Ceritasilat Novel Online

Sengatan Satu Titik 3

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 3 berusaha sekuatnya mengerahkan tenaga mereka, tapi semakin dikejar semakin jauh jaraknya dari si Kedok Hitam. Tengah si Kedok Hitam girang dapat meninggalkan pengejarnya mendadak ia terkejut ketika melihat sosok bayangan di depannya. Bayangan itu datang begitu saja, seolah muncul dari bumi yang merekah mendadak. Orang itu tampak diam saja, seolah tidak menyadari bahwa kecepatan dan kekuatan dari tiga orang yang masing-masing saja dapat membuat seekor kerbau menjadi perkedel sedang meluruk berbarengan ke arahnya. "Minggir," bentak si Kedok Hitam sambil menjambret baju orang itu, maksudnya mau dilemparkan ke samping. Tapi sekalipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya tubuh orang itu tetap tak bergeming, bagaikan pasak yang jatuh dari langit dan menancap kuat-kuat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Menyadari keadaan mulai runyam si Kedok Hitam susulkan tangan satunya untuk menghantam. Hantaman itu seperti telak menghantam dada orang, tapi s i Kedok Hitam hanya merasakan kepalannya menumbuk semacam benda yang lunak tapi alot, sekalipun cukup telak mengenainya tapi tetap tak dapat menghancurkannya. Bahkan kemudian kepalannya terasa menempel kuat ke dada orang itu. Karuan tengguknya basah dengan keringat dingin. "Hanya segini kepandaianmu berani ribut-ribut di depanku?" jengek orang itu. Suaranya serak pecah, seperti keluar dari batang pohon kering yang berlubang di tengahnya. Sementara itu dalam sekejap Lembu Patik Pulung dan Bajak Daratan juga sudah sampai. "Untung kau orang tua dapat menangkapnya," ujar Lembu Patik Pulung. Orang itu hanya mendengus, "Kalau kecoak macam begini saja kau tidak becus membekuknya, apa dasarmu untuk mencari kepala naga?" Agak memerah juga wajah Lembu Patik Pulung, hanya karena malam yang gelap maka perubahan mukanya itu tak kentara. Orang itu mengibaskan tangannya perlahan, tahu-tahu tubuh si Kedok Hitam yang menempel di dadanya itu tergetar mencelat. Mestinya kalau hanya melencat begitu saja memang bukan masalah bagi seorang ahli silat, tapi anehnya mencelatnya si Kedok Hitam ini terus tidak bisa bangun lagi. Bajak Daratan segera meringkusnya. ~Dewi-KZ~ Si Kedok Hitam sudah tak berkedok lagi. Dalam keadaan seperti ini ia memang tidak memerlukan kedok. Yang dibutuhkannya sekarang adalah sebilah pisau. Sebilah pisau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang lumayan tajam sehingga bisa memotong tiga puluh satu lingakaran tali yang mengikatnya. Kalau tak ada pisau tajam, pisau daging pun boleh. Ia diikat di sebuah kursi. Bajak Daratan tadi, dengan tertawa, menyuruhnya duduk dengan nyaman, tapi ia sendiri hampir gila saking gatal di pantatnya. Dua batang lilin berkedip-kedip di depan si Kedok Hitam, melenggak lenggok serupa penari tayub. Biasanya si Kedok Hitam amat menghargai lilin di rumahnya, menyayanginya dan merawatnya seolah itu adalah putri raja yang kesasar, maklum orang miskin. Tapi sekarang rasa gemasnya mungkin lebih besar dari kerbau yang dipaksa naik dari kubangan, goyangan api lilin itu dirasanya seolah mengejeknya. Dalam kerlip lilin wajahnya tampak memerah. Mungkin marah, gemas, jengkel, atau kelaparan, maklum dari magrib tadi ia hanya makan angin malam. Hidungnya tidak mancung, juga tidak pesek, sedang saja. Dahinya lebar, dengan potongan rambut sepanjang leher. Ia sendiri cukup bangga dengan bentuk mukanya itu. Sebagian orang bahkan pernah menyanjungnya sebagai pemuda paling tampan di dunia, Cuma sayang orang-orang itu adalah pengemis semua, dengan mangkok sedekah yang kosong. Badannya sedang saja, tidak tinggi juga tidak pendek, pundaknya agak lebar. Sesungguhnya ia tidak mirip seorang ahli silat kelas satu, ia lebih seperti anak tanggung yang s ibuk mencari pacar, atau jambu tetangga. Hanya matanya yang agak unik. Sorot matanya seperti sorot mata kancil bertubuh kucing, cerdik, tapi juga setiap saat bisa mencakar. Saat ini, sekalipun tubuhnya tidak bisa bergerak, namun bola matanya jelalatan kesana kemari. Di ruangan lain, mengelilingi jamuan panganan yang lengkap, enam orang sedang duduk melingkar. Demang Lembu Patik Pulung, Bajak Daratan Mata Tunggal, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Hanggarawura, Ranti Sumirah, Seorang Kakek bertubuh kecil pendek yang dikenal sebagai Maling Tiga ratus kaki, dan Seorang Orang tua berjubah hitam berjuluk Gagak Jemarit. Orang tua berjubah hitam itulah yang menangkap si Kedok Hitam tadi. "Bagaimana urusan ini sampai terdengar oleh Istana Seribu Kosong?" gumam Lembu Patik Pulung sembari menghela nafas, setelah terdiam sekian lamanya. "Apa kau yakin bocah itu berasal dari Istana Seribu Kosong?" sahut Hanggarawura. "Senjata rantai berujung belati, dewasa ini tak ada yang menggunakannya selain penghuni Istana Seribu Kosong, " "Tapi itu toh tidak bisa mastikan kalau bocah itu berasa l dari sana." "Sekalipun tidak pasti, toh lebih baik menyangka demikian dari pada meyakininya sebagai gembel jalanan yang iseng. Betapapun kita harus memperkirakan sampai hal yang terburuk." "Gembel jalanan tak akan seiseng itu." Sela Ranti dengan tertawa, perempuan paruh baya in seperti tidak cemas sedikitpun. Tiba-tiba Kakek berjubah hitam itu mendengus pendek, "Hmk, sekalipun Istana Seribu Kosong mau ikut campur juga bukan soal, malah tambah ramai." Lembu Patik Pulung berdehem, "Ya, asal ada Ki Gagak Jemarit disini sekalipun Istana Seribu Kosong hendak main gila juga bukan masalah, Cuma semakin banyak yang terlibat bukankah peluang kita pun semakin berkurang." "Selain Kebo Sora dan Istana Seribu Kosong memangnya siapa lagi yang turut campur?" tanya Ranti. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ku dengar Kiai Santun Paranggi dan Thian-Ok hweshio juga turut ambil bagian, belum lagi seorang pemuda yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, Sengatan Satu Titik Satu Nyawa." Bajak Daratan bertanya dengan terkejut, "Apakah dia yang memusnahkan perkampungan Ular Merah?" Demang Patik Pulung tidak menjawab. Diam, dalam beberapa hal, bisa diartika mengiyakan. "Kepandaian bocah ini memang tidak rendah," Ujar Maling Tiga ratus kaki tiba-tiba. Gagak Jemarit tertawa menjengek, "Betapapun tingginya masakan dia mampu menyandak larimu?" Maling T igak ratus kaki menghela nafas panjang, "Beberapa kerat tulang tua ini mana bisa dibandingkan dengan anak muda," Lembu Patik Pulung bangkit, berjalan ke jendela, membukanya dan dengan tercenung mengawasi sekilas para pengawal yang hilir mudik di luar. Angin pegunungan mengusap kulitnya yang mengerut kedinginan. "Yang terpenting, gerakan kita harus tambah dipercepat. Semakin cepat semakin baik." Kata Demang lembu Patik Pulung setelah terdiam sekian lamanya. Bajak daratan beranjak bangkit, "Aku akan memeriksa bocah itu." Mestinya Bajak Daratan tidak terlalu khawatir dengan si Kedok Hitam yang tadi mengaku bernama Risang Ontosoro, sebuah nama yang aneh, tak terlalu enak terdengar di telinga, juga tak terlalu pas untuk dipakai oleh seorang bocah tanggung. Ikatan tali yang pasti tidak kurang dari tiga puluh putaran itu sekalipun banteng kesurupan juga mustahil melepaskan diri, apalagi tenaga lunak dari Gagak Jemarit masih menotok sebagian jalan darahnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Cuma mendadak ada sesuatu yang diingatnya dan harus dipastikannya langsung melalui mulut bocah itu. Tapi tak lama, Lembu Patik Pulung berlima serentak meloncat ketika jerit Bajak Daratan terdengar mendadak. Kalau orang seperti Bajak Daratan bisa menjerit, maka masalah yang dihadapinya pasti tidak lumrah. Ketika Lembu Patik Pulung berlima menerjang ke dalam ruangan yang semula dipakai untuk meringkus Risang Ontosoro itu mendadak mereka pun melengak terkejut. Di depan kursi dengan tali temali yang tak satupun putus itu Bajak Daratan terlihat termangu-mangu bengong. Ruangan itu tak berubah, tak ada barang yang berpindah, genting rumah juga masih rapi, tapi Risang Ontosoro sudah tak kelihatan batang hidungnya. "Bagaimana dia bisa lolos?" gumam Hanggarawura seperti bertanya pada dirinya sendiri. Maklum melihat keadaan yang rapi itu siapapun tak akan bisa menduga bagaimana si bocah bisa lolos. Bahkan Bajak Daratan sudah merinding janganjangan yang mereka tangkap itu bukan manusia. "Jendela ini seperti tidak pernah dibuka." Kata Ranti sambil memandangi jendela yang masih terkunci dari dalam. Tiba-tiba Gagak Jemarit mendengus, "Sekalipun kepandaian bocah itu sepuluh kali lebih tinggi juga mustahil lolos dengan sendirinya, apalagi ia bukan setan gentayangan." Tidak ada yang menyahut, semuanya mendengarkan karena mereka tahu kalimat Gagak Jemarit belum selesai. Sepasang mata Gagak Jemarit yang celung dan tajam menatap lekat-lekat Bajak Daratan, "Maka pasti ada orang lain yang membebaskannya." Semua mata menatap Bajak Daratan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Wajah Bajak Daratan sendiri sudah membesi hijau, "Kalian kira aku yang melepaskan bocah itu?" "Memangnya bukan kau yang mengikatnya tadi?" jengek Gagak Jemarit. Bajak Daratan menantang mata Gagak Jemarit tajam, memandang orang-orang lainnya, sebelum tiba-tiba wajahnya menampilkan ekspresi yang sukar dimengerti, seperti penasaran, gusar, juga tidak percaya. Perlahan-lahan warna mukanya berubah pucat, membiru, dan akhirnya dari seluruh lubang di tubuhnya mengeluarkan bau busuk. Lembu Patik Pulung terkejut, ketika ia memandang dadanya, tertampak sejalur luka yang mekar perlahan-lahan. Darah merembes, lalu mengucur deras. Namun darahnya ternyata tidak berwarna merah, melainkan hitam busuk, seperti air got. "Kenapa kau membunuhnya?" tanya Lembu Patik Pulung dengan suara bergetar. Matanya menatap Gagak Jemarit. Gagak jemarit hanya mendengus, "Memangnya kau ingin melepaskannya?" jengeknya dingin. Hanggarawura meski lahirnya tampak tenang-tenang saja, diam-diam bergidik juga menyaksikan betapa keji dan mematikannya serangan Gagak Jemarit. Ia tadi hanya sempat melihat selarik sinar hitam berkelebat, dan tanpa mampu melakukan perlawanan Bajak Daratan sudah lekas mampus. Tanpa terasa ia melirik Ranti di sampingnya. Dilihatnya wajah istrinya itu sudah memucat putih. Sedang Maling Tiga Ratus kaki, walaupun agak terkejut juga terhadap kepandaian Gagak jemarit itu tapi yang paling menarik perhatiannya hanya satu hal, bagaimana cara Risang Ontosoro melarikan diri, sekalipun misalnya Bajak Daratan yang melepaskannya, tapi mustahil gerakan mereka tak didengarnya. Ia mengedarkan pandangannya sekeliling, naluli Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ malingnya mengatakan ada yang tak beres dengan keadaan kamar ini. Pelupuk matanya menyipit ketika sebuah garis yang samarsamar di lantai tertangkap sudut matanya. ~Dewi-KZ~ Arya biasanya sangat tenang dalam menghadapi segala hal, maklum kalau jiwa sendiri saja sudah tergadai segala tindakannya dengan sendirinya akan menjadi acuh tak acuh, tak ada yang ditakutkan lagi. Namun kali ini ia harus mengakui bahwa hatinya berdesir. Ia masih duduk di warung teh yang sama, menghadap secangkir teh hijau yang sama beningnya. Namun bedanya ia sudah tak sendirian lagi. Seorang bocah dengan sinar mata penuh teka-teki duduk di depannya, menyeruput teh hangat ditangannya pelan-pelan. Ketika terjadi peristiwa mengepruk rumput untuk mengejutkan ular di atap kademangan tadi Arya sudah yakin sekalipun kepandaian pemuda itu terhitung jago tangguh, tapi setidaknya tidak diatas dirinya. Maka ketika mengetahui pemuda bernama Risang Ontosoro itu berhasil ditangkap oleh Gagak Jemarit, dihatinya agak-agak menyesal, kemudian Arya pun bersiap menolongnya. Cuma pihak musuh terlalu tangguh, apalagi terdapat dua jago tua yang namanya cukup mengguncangkan dunia persilatan, ialah Gagak Jemarit dan Maling Tiga Ratus Kaki. Yang terakhir ini konon menurut peribahasa Dalam semalam mencuri seribu rumah, bahkan anak ayam pun tak ditinggalkannya. Maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Arya pun balik lagi ke warung teh itu untuk mencari tempat tenang dan berfikir cara bagaimana ia menolong Risang Ontosoro. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun ketika hendak beraksi mendadak ia dibuat tertegun Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan melongo heran. Dilihatnya Risang Ontosoro, yang sebelumnya tertangkap dan diringkus bak lemper itu, dengan gaya 'dunia ini punya gue' berjalan masuk ke warung makan itu. Tanpa menoleh kanan kiri lagi, bocah yang kelihatannya setengah sinting setengah kerasukan itu langsung menuju mejanya. Kira-kira sudah ada setengah harian kedua orang yang sama-sama aneh ini duduk berhadapan, namun satu katapun belum terucapkan. Mendadak Risang Ontosoro tertawa, lalu katanya, "Ilmu menimpuk saudara ini sungguh jitu, kalau dipakai memburu emprit, wah..tentunya akan dapat lumayan." "Ilmu lolos dari jaring saudara malahan terlebih licin. Kalau semua maling di dunia ini bisa menguasainya, bukankah kawanan opas akan gulung tikar seluruhnya?" jawab Arya sambil tertawa. Risang Ontosoro tertawa bergelak, "Memangnya sekali lihat sudah kupastikan pribadimu memang tidak sungkan-sungkan, nyatanya cara bicaramu juga tanpa tedeng aling-aling, betulbetul membikin hatiku sangat senang. Malah sudah kupikirkan untuk mengangkat saudara dengan anda." "Ah..terima kasih." "Apalagi, kata orang tua-tua, berkawan setelah berlawan, kata-kata ini bukankah sangat cocok dengan keadaan kita saat ini." "Berkawan dengan orang seperti saudara, sungguh mimpipun tak kubayangkan." Mendadak Risang Ontosoro mendelik, "Cuma diantara kita tak pernah ada ikatan apapun, hakikatnya sejak menjadi orok belum pernah kulihat orang sepertimu ini, potonganku juga Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tidak mirip maling yang kelaparan, kau juga bukan opas yang bertugas, lalu mengapa kita harus berlawan?" "Perempuan menikahi laki-laki pun kadang-kadang tak ada sebabnya, mengapa orang berkelahi harus ada sebabnya?" jawab Arya masih sambil tersenyum. "Boleh jadi karena orang-orang itu adalah satu kompolotan denganmu makanya kau gusar ketika ku intip mereka dan lantas mengajak berkelahi padaku." Semakin bicara semakin gusar tampaknya, sampai bola mata pun hampir meloncat keluar bak ikan mas koki. Arya tertawa, "Orang miskin sepertiku ini mana pantas berkomplot dengan orang-orang kaya seperti mereka. Apalagi istilah berkelahi itu kurasa tidak terlalu tepat, bukankah kita hanya sempat bertepuk angin saja?" Risang Ontosoro memandang Arya lama, perlahan matanya mulai mengendur, "Kata-katamu seperti masuk akal." Arya hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Keduanya kembali terdiam. Masing-masing mengembarakan lamunan ke antah berantah. Di warung itu hanya tersisa mereka berdua saja. Ada juga satu orang pelayan yang tadi melayani, tapi mungkin sekarang sudah ngorok. Malam sedingin ini, sampai kabutpun seolaholah mengepulkan hawa dingin, siapapun tak akan rela ketinggalan kesempatan untuk meringkuk di dalam selimut. Risang Ontosoro yang kembali memulai pembicaraan, "Sepertinya kau tidak begitu sehat." Arya tersentak, orang yang mengetahui kalau dirinya mengidap racun 30 hari naik ke surga pasti bukan orang sembarangan. Maklum racun ini tak memperlihatkan gejala di luar. Kecuali orang yang mempunyai ketajaman mata tertentu saja yang dapat melihatnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun Arya hanya tertawa hambar, "Setiap orang kan sesekali harus kurang sehat. Kalau terus menerus sehat bukankah akan menjadi siluman." "Siluman pun ada kalanya masuk angin." Tukas Risang Ontosoro sambil tertawa kecil. Lalu lanjutnya, "Tapi racun 30 Hari naik ke Surga bukanlah malaikat kematian. Tiga tahun lalu nenekku pernah meminum racun ini, tapi sampai sekarang ia bahkan masih mampu menyembelih sapi." Arya kembali melengak, ketajaman mata pemuda yang tampaknya bersikap seenaknya ini benar-benar di luar dugaan. Jantungnya seketika juga berdegup kencang begitu mendengar keterangan terakhir. Maklum, di dunia ini siapa orangnya yang menghendaki kematiannya di percepat, sekalipun tua bangka yang sudah ompong giginya juga akan meminta umurnya ditambah barang beberapa tahun. Meski mati sama pastinya dengan hari esok, tapi hidup yang tak pasti justru adalah perjalanan yang asik. Sekalipun pahit getir dan berbagai misteri menakutkan silih berganti membayang di setiap langkah, tapi orang hidup toh tak hendak surut. Ibarat kata remaja yang sedang di mabuk cinta, "Melangkah dengan tekad yang tak hendak merunduk di depan kemustahilan." Samar-samar di balik selaput mata Arya yang bening, memancar sinar yang menyala terang. Risang Ontosoro tersenyum. Meski ia tidak kenal sebelumnya dengan pemuda muka pucat ini, malah sempat bergebrak, namun membagi harapan dan tekad akan hidup kepada siapapun selalu menyenangkan. Ia pun paham bahwa senyum yang hangat dan berharga adalah senyum yang dapat membuat orang lain tersenyum. Burung hantu yang mengintip dari balik gerumbul daun disana pun seakan turut tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setelah terdiam beberapa saat lamanya, kembali Risang Ontosoro berkata, "Sudah lama aku tidak menghadap nenekku itu, kalau saudara tidak berhalangan besok pagi-pagi bolehlah aku akan mengiringi saudara ke tempat nenek." Arya tersenyum, "Banyak terima kasih atas kesediaan saudara, Cuma aku masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Dalam waktu dekat ini mungkin tidak dapat pesiar kemana-mana." Kedua bola mata Risang Ontosoro berputar, "Beberapa urusan saudara itu apakah berkaitan dengan komplotan orang kaya bau itu?" Arya hanya tertawa saja dan tidak menjawab. Hanya wajahnya tampak bersinar aneh. Setelah meneguk habis minumannya kembali Risang Ontosoro berkata, "Baiklah, kalau begitu cukup kau tahu saja bahwa nenekku tinggal di puncak Merbabu. Kalau saudara ada waktu silahkan berkunjung." Jawab Risang Ontosoro sambil beranjak bangkit. Arya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Setelah bayangan bocah aneh itu hilang di kabut pekat, segera Arya pun beranjak. Malam beranjak menjemput fajar, setiap kegelapan pasti bertaut dengan semburat terang. Arya memandang pucuk langit dengan tatap teduh, kerlip gemintang seolah taburan embun di hamparan cakrawala yang sunyi. ~Dewi-KZ~ Demang Kebo Sora merasakan tubuhnya bagai melayang di gugusan awan. Tangan dan kakinya terasa enteng bagai kapas. Sejenak, suasana kosong membalur jiwanya. Di tengah kekosongan itu tiba-tiba perutnya terasa panas, perlahan hawa panas itu merambat ke kaki tangan, dada, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ leher, kepala, hingga dalam sekejap seolah seluruh tubuhnya mendadak dimasukkan ke dalam kuali raksasa dengan minyak mendidih. T ak pelak keringat sebesar kacang merembes bagai embun. Hawa panas itu memanggang sekian lamanya tak kunjung reda, malah semakin menggila. Saking panasnya Kebo Sora merasa darahnya bergolak hebat, menerjang dari perut ke leher, lalu.. "Huakkk..." Sebuah kuali yang disiapkan di depan Demang Dipa Saloka itu hampir setengah sudah terisi darah segar kehitaman, ditambah kali ini, mungkin sebentar lagi perlu ganti kuali baru. Dalam keadaan lamat-lamat, sayup-sayup telinga Demang Kebo Sora mendengar suara percakapan. Seseorang bertanya, "Apa dia akan hidup?" nada suaranya penuh kegembiraan orang hidup, seperti orang yang mengucapkannya baru saja mendapatkan harta karun dua puluh karung ditambah bini muda tiga biji. "Tentu saja, di tanganku masakah ada orang mati karena sakit." Jawab sebuah suara lainnya, yang terdengar tandas dan agak serak. Orang pertama tadi tertawa, "Tapi justru orang yang mati di tanganmu karena kau pukul sendiri malah tidak sedikit," Orang kedua hanya mendengus. Kedua orang ini sudah tentu adalah Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara, dua orang manusia aneh bin ajaib itu. Sekarang keduanya sedang berdiri di kanan kiri Demang Kebo Sora yang rebah dalam keadaan pucat dan setengah pingsan. Diujung pembaringan bambu sana berdiri Mahesa Manunggal dengan raut muka cemas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Paman, bagaimana keadaannya?" tanya Mahesa Manunggal kepada Macan Taring T unggal. "Dadanya gosong separoh, andai saja tidak kutemukan dia atau kutemui setelah lewat dua jam tadi maka isi dadanya mungkin sudah ambrol." Jawab Macan Taring T unggal. "Kalau isi dadanya ambrol, nyawanya pun pasti mrucut hilang." Setan Galunggung Utara tak tahan untuk tak menimbali. Macan Taring Tunggal hanya mendelik saja kepada sahabatnya itu. "Sekarang jiwanya sudah tak menghawatirkan. Cukup istirahat satu bulan dia akan pulih kembali." "Terima kasih paman." Ucap Mahesa Manunggal sambil membungkukkan badan. "Orang ini bukan bapak atau moyangmu, untuk apa kau berterima kasih untuknya?" tukas Macan Taring Tunggal sambil mendeliki pemuda itu. Orang berbaju kulit macan ini agaknya tak punya ekspresi wajah selain hanya gusar dan mendelik saja. Mahesa Manunggal tidak menjawab. Kepalanya malah menunduk. Ketika melihat air muka pemuda itu memerah jengah, Setan Galunggung Utara tertawa bekakakan, "Sekalipun dia bukan bapak dan moyang bocah cilik ini, tapi kalau sampai orang ini mati, kepada siapa nanti dia akan melamar pacarnya?" katanya di tengah derai tawanya. "Kau ini memang suka berguyon seperti anak kecil saja." Di tengah derit pintu bambu yang membuka, seorang nenek dengan tubuh agak bungkuk dan sorot mata yang lembut murni melangkah pelan-pelan. Di tangannya sebuah mangkuk berisi air rebusan obat mengepulkan bau khas. Anehnya, sekalipun mangkuk itu seperti sangat panas, tapi tangan si nenek tak bergetar sedikitpun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Suka berguyon kan jauh lebih baik dari pada suka mendeliki orang," jawab Setan Galunggung Utara dengan tawa berderai, tubuhnya yang bulat gemuk itu sampai terguncang-guncang karena tawanya. Macan Taring Tunggal kontan mendelik gusar, tapi baru saja mau mendamprat si nenek sudah berkata, "Sudah beberapa tahun aku tidak menjenguk ke Istana, bagaimana keadaan si nenek tua?" Setan Galunggung Utara mestinya mau mengolok-olok lagi, lha wong dia sendiri nenek kok manggil orang lain nenek tua, tapi keburu di dahului oleh Macan Taring Tunggal, "Keadaannya baik, sekalipun usia menua, tapi semangatnya malah tambah menyala-nyala. Beberapa bulan lalu malah sempat pesiar ke segala." Si Nenek menghela nafas, matanya menerawang ke jauh sana, bibir pun menyunggingkan senyum, "Semangatnya untuk hidup dan kecintaannya kepada sesama dan alam semesta memang sulit dicari bandinganya di dunia." Sejenak, senyap merayap pelan. Agaknya semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Gemerisik daun yang ditimpali kokok kodok bersahut-sahut berdendang di tengah senyap. "Kuundang kalian berdua kemari, hah...sesungguhnya aku tidak enak hati mengganggu kehidupan kalian yang tenang damai itu." Ujar si Nenek setelah termenung sekian lamanya. "Ah..tenang damai sih tidak, malahan setiap hari aku sibuk bertengkar dengan macan ompong ini, bagaimana bisa dikatakan damai?" tukas Setan Galunggung Utara. Si Nenek hanya tersenyum, "Cuma urusan ini sedikit banyak juga bersangkut paut dengan kalian, meski harus sedikit buang tenaga namun pasti tidak sia-sia perjalanan kalian ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sesungguhnya urusan apa?" tanya Macan Taring Tunggal penasaran. Bab VIII, Vila Bambu tepi Danau Si Nenek tak menjawab. Sejenak dipandanginya wajah Ki Demang yang masih pucat, hanya tarikan nafasnya sudah teratur. Lalu terbungkuk-bungkuk ia keluar dari kamar. Tangan kanannya menggape pelan, menyuruh orang-orang mengikutinya. Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara sekilas beradu pandang sebelum keduanya bangkit dan berjalan mengikuti. Mahesa Manunggal tentu saja tidak ketinggalan, meski disempatkannya juga merapikan selimut yang menutupi tubuh Ki Demang. Di ruang tengah, dengan lampu lebih terang dan dua sisir pisang di meja, si Nenek sudah menunggu. Setan Galunggung Utara segera memilih tempat duduk Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo paling nyaman, sebuah kursi malas dari bambu. Sambil menarik nafas lega dijatuhkannya pantatnya ke lambung kursi. Berada dimanapun, hal pertama yang dilakukannya adalah memilih tempat ternyaman, maklum tubuhnya yang seperti gentong bengkak itu akan terlalu merana bila dibiarkan berdiri terlalu lama. Bahkan dalam pertempuran pun, ia akan menumpuk dua tiga orang yang dibekuknya dan kemudian dijadikannya kursi empuk. Macan Taring Tunggal hanya berdiri saja, sedang Mahesa Manunggal menyenderkan tubuhnya di dekat jendela yang dibiarkan terbuka setengah. Di luar, bayang-bayang pohon yang bergoyang tertiup angin layaknya serombongan raksasa yang berjoget tarub. Lama juga si Nenek terdiam. Sepasang matanya seperti memandang ke tempat yang sangat jauh. Tiga orang lainnya juga tak membuka suara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kesunyian yang berlama-lama ini sebenarnya sudah membuat keki perasaan Setan Galunggung Utara. Suasana yang disukainya adalah jamuan makan yang ramai, maka keadaan yang membuatnya tak betah sudah tentu sepi seperti ini, untung saja si Nenek sudah mengambil nafas panjang dan bersiap membuka suara sebelum perut si Gemuk ini tambah melembung saking dongkol. "Dua puluh tahun lalu, saat kau merajai Hutan Seribu Harimau," ujar si Nenek sambil memandang Macan Taring Tunggal, kemudian beralih ke Setan Galunggung Utara, "dan kau masih gentayangan di lereng Galunggung, dalam dunia persilatan dikenal istilah Tiga Istana Abadi, yang terdiri dari Istana Seribu Kosong, Istana Dasar Teratai, dan Istana Lautan Awan. Tentunya kalian berdua masih ingat." Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara mengangguk berbareng. Samar-samar di sorot mata keduanya tersimbul nyala yang aneh, seperti kekaguman, jeri, juga hormat. "Keangkeran dan kekuatan Tiga Istana Abadi saat itu boleh dikatakan belum ada bandingannya. Sekalipun tidak secara resmi, namun sudah dimaklumi oleh semua insan persilatan tentang kepeminpinan Tiga Istana Abadi dalam dunia persilatan." Si Nenek terbatuk-batuk. "Apakah Tiga Istana Abadi adalah sebuah kelompok persilatan, atau sejenis perguruan?" tanya Mahesa Manunggal tiba-tiba. Si Nenek tak menjawab, tangannya berusaha meraih kendi air di meja. "Tepatnya bukan satu perguruan, tapi tiga perguruan." Tukas Setan Galunggung Utara. Betapapun Mahesa dapat menangkap nada yang berbeda dari suara Setan Gemuk ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setelah meminum seteguk air, mencecap bibirnya, si Nenek kembali menyambung, "Boleh juga dikatakan perguruan silat, sekalipun ilmu silat bukan satu-satunya yang ditekuni di tiga istana itu." "Kabar tentang Tiga Istana Abadi memang seperti legenda. Orang-orang bahkan ada yang mengatakan bahwa maju dan runtuhnya dunia persilatan tergantung sepenuhnya pada Tiga Istana itu." Macan Taring Tunggal berkata sambil mendesah. Agaknya menyesali sesuatu. Si Nenek tersenyum, di tatapnya Macan Taring Tunggal dengan teduh, "Lalu bagaimana pendapat si Raja Hutan mengenai kabar itu?" Macan Taring Tunggal menghela nafas panjang, "Mendengar kabar tentang kehebatan Tiga Istana Abadi itu sebenarnya ada juga dihatiku rasa penasaran, sekadar ingin menjajalnya, apakah kabar itu memang benar, atau cuma kentut orang yang kurang kerjaan. Namun Sekalipun aku memang suka mengagulkan diriku sendiri, juga tidak terlalu tamak dengan segala pengaruh dan nama kosong. Apalagi seekor harimau tak akan mengganggu bekas kencing harimau lainnya." Macan Taring Tunggal menggunakan kiasan dengan kencing harimau disini bukan berarti menghina, karena memang seekor harimau suka menandai wilayah hutan kekuasaannya dengan bekas kencingnya. "Kalau aku sih hanya setan gentayangan saja, asal orang tak menggangguku, maka biasanya aku juga tak ambil pusing dengan segala omongan." Setan Galunggung Utara menimbrung. "Kabar di luaran memang banyak diberi bumbu dan kecap sehingga terkesan menyeramkan, namun bahwa selama itu ilmu silat ketiga istana tak ada yang mengalahkan memang bukan hanya omong kosong belaka." Kata si Nenek sambil Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menerawang jauh, seperti melihat masa lalu yang gemilang, yang jauh. "Cuma begitu tinggi kepandaian para penghuni Tiga Istana Abadi tentu juga bukan me lulu mengandalkan legenda dan nama besar saja." "Didalam kalangan Tiga Istana Abadi sendiri dikenal istilah Tiga Pusaka Abadi, yaitu Kitab Teratai Membuka, Kitab Teratai Menutup, dan Wahyu Kepala Naga. Tiga pusaka ini ditempatkan secara terpisah masing-masing dalam tiga istana yang berbeda, dijaga dengan sangat ketat, dan merupakan lambang sekaligus kekuatan sebenarnya dari Tiga Istana Abadi." "Apakah ketiga pusaka itu berisi ilmu silat maha tinggi?" tanya Mahesa Manunggal. "Aku tidak tahu. Dalam dunia sekarang ini mungki tidak ada yang tahu." Jawab si Nenek sambil menggeleng, "Konon pada seratus dua puluh tahun yang lalu, ketiga pusaka itu adalah simbol dari ikatan persahabatan antara T iga tokoh maha lihai yang merupakan pendiri T iga Istana Abadi." Setan Galunggung Utara mencecap mulutnya yang penuh kunyahan pisang, kemudian tanyanya dengan tak menghentikan kunyahannya, "Lalu untuk apa kau ceritakan hal itu pada kami?" suaranya bergerunjal-gerunjal, bercampur dengan arus lumatan pisang yang lewat di kerongkongannya. "Setahun yang lalu, Mahesa Manunggal mendapat kabar bahwa Wahyu Kepala Naga akan keluar. Entah siapa yang menyebarkan desas-desus ini, namun kabar yang beredar menyebutkan bahwa siapapun yang menguasai wahyu kepala naga, maka dia akan punya kekuatan untuk menguasai dunia persilatan, bahkan juga mengambil alih wahyu keprabon." Lanjut si Nenek tanpa memperdulikan ocehan si Gemuk. "Itu adalah urusan orang-orang yang gila harta dan tamak kekuasaan, lalu apa hubungannya dengan kami?" Setan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Galunggung Utara mencoba mengingatkan pertanyaannya yang tak terjawab. "Tentu saja ada hubungannya," sahut si Nenek sambil tersenyum, "Karena Istana Seribu Kosong tak lain dan tak bukan adalah gedung usang yang kalian huni sekarang ini." Bagi Mahesa Manunggal, jawaban ini tak mengejutkan, sekalipun juga membuatnya tercengang, namun bagi Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara, bahkan geledek di siang terik pun mungkin kalah mengejutkan dibanding jawaban Si Nenek ini. Tanpa terasa, Macan Taring Tunggal maju selangkah, mencoba mengamati sinar mata si Nenek, sedang Setan Galunggung Utara melongo dengan mulut terbuka, lupa dengan apa yang dikunyahnya, sehingga sebagian kunyahan pisang itu jatuh berceceran di tanah. Si Nenek terdiam sejenak, mencoba memberi kesempatan kepada dua makhluk aneh itu untuk meredakan gejolak emosi yang tiba-tiba bergolak. Sementara Macan Taring Tunggal dengan susah payah menggeleng-gelengkan kepalanya yang pening. Ingatannya berkelebat ke masa sepuluh tahun ke belakang. Saat itu dirinya, dengan dendam yang bertumpuk karena dikalahkan dengan licik dan luka-luka yang hampir membuatnya sekarat, terkapar di tebing jurang dengan gerojokan air terjun yang menggemuruh. Berhari-hari sudah, tubuhnya yang penuh luka itu berjalan, mencoba mengais sisa nafas yang ada, atas nama dendam. Tanpa makanan, hanya berusaha menjilat tetes embun di ujung hidung, hingga akhirnya ia tiba di tebing jurang itu. Dengan pandangan yang nanar ditatapnya air terjun yang menggemuruh, seakan ingin merontokkan isi dada. Air itu begitu berlimpah, seolah bahkan bumi tak kuat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menampungnya, tapi dirinya yang kering dan luar biasa kehausan itu malah tak sanggup mencapainya. Dengan tenaganya saat ini, jangankan meneguk air di Sungai dengan arus sederas ini, membuka kelopak mata saja rasanya seperti mengangkat seribu perut gajah yang gemuk-gemuk. Hanya telinganya yang jelas mendengar gemuruh air. Ingin rasanya ia menggigit lidahnya sendiri untuk mengakhiri hidup, namun kalau mengingat kehormatannya yang tercabik musnah dan penghinaan yang dialam inya, sekalipun mau mati juga setidaknya harus membalas dendam terlebih dahulu. Maka sekuat tenaga disentakkannya tubuhnya dengan sisa tenaga terakhir, dan badan yang penuh luka itu segera menggelundung ke bawah, dengan deras menyongsong air yang bergemuruh. Tindakannya ini kalau dalam keadaan biasa bisa disebut bunuh diri. Dengan ketinggian lebih dari seratus tombak itu sekalipun gajah juga tak mungkin jatuh dengan masih bernyawa. Tapi dirinya justru dalam keadaan yang luar biasa. Kalau ia tidak menerjunkan diri, ia pun akan mati kehausan dan kelaparan. Maka dipertaruhkannya satu-satunya kesempatan terakhir ini dengan menggadaikan nyawa sendiri. Setelah menerjunkan diri, ia pun tak sadar lagi. Dikiranya diri sendiri sudah berpindah alam, sudah mati. Tapi justru dalam alam yang dikiranya sebagai dunia orang mati itu ia begitu tenang, hatinya kosong. Badan tak ada. Segala dendam, segala nama dan kedudukan menghilang begitu saja. Tak ada yang dirasakannya, hanya suwung. Sampai suatu hari dirasakannya hawa panas seolah membakar dirinya. Mungkinkah lidah neraka yang sedang mencincang tubuhnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ketika sekuat tenaga ia membuka matanya, yang pertama kali nampak adalah bayangan seorang nenek tua dengan rambut seluruhnya putih keperakan. Dengan sinar mata yang teduh menenangkan, nenek itu menempelkan sebelah tangannya di dadanya yang menghitam gosong. Hawa panas menerobos masuk dari telapak tangan si nenek. Di samping si nenek duduk dengan nyaman seorang dengan perawakan bagai gentong bengkak, dengan raut wajah yang gembira. Si gemuk ini sambil tertawa-tawa mengangguk-anggukkan kepalanya ke arahnya, seolah memompakan gelombang demi gelombang semangat ke dalam jiwanya yang pupus. Mulai hari itulah ia baru tahu kalau ternyata dirinya belum mati. Sejak saat itu juga ia tinggal bersama si nenek dan si gemuk dalam sebuah gedung usang. Gedung itu cukup besar, bangunannya juga sangat kokoh, hanya nampaknya tidak terawat. Galagasi dan lumut menempel dimana-mana. Dinding dan lantai penuh dengan rumput liar. Di kelilingi gunung dan tebing, tersinar dengan cahaya setiap pagi. Gedung itu sebenarnya tak cukup layak disebut sebagai tempat tinggal, namun toh Macan Taring Tunggal betah tinggal disana dan enggan untuk tinggal pergi. Hal ini karena sekalipun gedung itu sudah tua dan angus, tapi penghuninya sangat istimewa. Bersama si Nenek yang suka menanam aneka sayuran dan bunga-bungaan, acap kali juga menembang, dan Si Gemuk yang selalu tertawa dan gembira sekalipun tak makan dua hari, ia mencoba menutup buku masa lalunya, melupakan dendamnya, menghapus sakit hatinya, dan mencoba mencari arti dari hidup yang singkat ini. Ia ingin mencari Yang Sejati dalam hidup, yang tak akan rusak oleh melapuknya badan, tak lekang dengan mengerutnya kulit, tak hilang oleh gemuruh kematian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bertahun-tahun ia menjalaninya pencariannya ini, dan hanya mengira bahwa tempat itu adalah sejenih pertapaan terpencil yang memang banyak terdapat di pegunungan pegunungan tinggi. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika sekarang mengetahui bahwa gedung usang yang ditinggalinya itu adalah Istana Seribu Kosong, salah satu dari T iga Istana Abadi yang tersohor di dunia persilatan. "Kalian tidak pernah mengiranya bukan?" pertanyaan si Nenek menyeret Macan Taring T unggal dari larutnya lamunan. "Mimpipun aku tidak mengiranya" kata Setan Galunggung Utara dengan menyengir, "Waktu itu ku lihat di depan gedung itu berloncatan lima ekor kelinci yang sedang bermain. Dasar memang cacing-cacing di perutku sudah pada memberontak Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo maka tanpa ku pikir ku tangkap kelinci-kelinci itu. Siapa tahu beberapa ekor kelinci itu begitu gesit, setelah berkutat sekian lamanya tak berhasil juga ku tangkap walau seekor. Saking gemas ku angkat tangan untuk memberi barang beberapa pukulan ke arah kelinci itu. Saat itulah aku bertemu dengan si nenek tua, yang mengatakan padaku kalau aku ingin menangkap kelinci itu, maka aku tidak boleh menggunakan ilmu s ilat." "Lalu bagaimana kau jawab perkataan Sekar Gumintang itu," tanya si Nenek dengan tersenyum. Tapi sebelum Setan Galunggung Utara menjawab, Mahesa Manunggal menyela dengan penasaran, "Jadi nama nenek tua tuan rumah Istana Seribu Kosong itu adalah Sekar Gumintang?" Si Nenek mengangguk, sementara Setan Galunggung Utara melotot, "Jangan potong ceritaku." Bentaknya dongkol. Mahesa Manunggal tertawa, "Baiklah. Coba teruskan ceritamu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu ku jawab, 'bagaimana bisa ku tangkap tanpa ilmu silat, kelinci-kelinci itu begitu gesit' lalu Nenek Tua menjawab, 'asal kau perhatikan gerak telinga mereka maka dengan mudah kau akan bisa menangkapnya'" Lanjut Setan Galunggung Utara, "mulai saat itu lah aku tinggal disana. Mengamati gerak kuping kelinci itu." "Apakah sekarang kau sudah mampu menangkap kelincikelinci itu?" Mahesa Manunggal tak bisa menahan penasarannya. "Sekarang aku sudah bisa melihat gerak telinga mereka, tapi ma lah kemudian aku tak tega menangkapnya, maka terpaksa aku mengangkat saudara dengan beberapa setan putih itu." Jawab Setan Galunggung Utara dengan tertawa. Mahesa keruan melongo. Selama hidupnya sudah banyak didengarnya hal yang aneh-aneh, tapi mendengar seorang manusia mengangkat saudara dengan kelinci baru di dengarnya sekarang. Macan Taring Tunggal memecah suasana yang terputus itu dengan berdehem, lalu tanyanya, "Jadi kau memanggil kami adalah untuk menyuruh kami berdua menjaga istana seribu kosong dari serbuan orang-orang tamak itu?" Si Nenek menggeleng, "Istana Seribu kosong sendiri tidak perlu terlalu di khawatirkan. Karena yang mereka cari adalah Wahyu Kepala Naga, maka sasaran utamanya adalah Istana Lautan Awan." "Jadi Wahyu Kepala Naga disimpan di Istana Lautan Awan." Kata Setan Galunggung Utara. "Aku sendiri sudah berunding dengan adi Sekar Gumintang tentang hal ini. Bahwa dia tidak ikut kesini dan tetap berdiam di Istana Seribu Kosong memang bermaksud berjaga-jaga terhadap hal yang diluar perkiraan, sedangkan kita semua selekasnya menuju ke Istana Lautan Awan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Macan Taring T unggal merasakan sesuatu yang cukup aneh bagi pikirannya. Melihat kekuatiran si Nenek yang biasa dipanggil Eyang Wuranti itu maka dapat diperkirakan bahaya yang meluruk tidak ma in-main. Namun nama Tiga Istana Abadi sendiri juga tak kurang keramatnya, maka kalau sekarang sampai harus meminta bantuan kepada dirinya dan Setan Galunggung Utara yang boleh dikatakan masih terhitung orang luar, lalu kemana perginya jago-jago Tiga Istana yang dulu menggetarkan seluruh pulau itu" Apa mereka sudah pada aras-arasen semua " Namun perasaan ini tak ditanyakannya. Setelah melalui gemblengan luar biasa dalam perjalanan hidupnya, dapat diketahuinya bahwa Laku yang paling menyenangkan dan membahagiakan adalah memberi sesuatu kepada orang lain, baik itu benda atau jasa, dengan melepaskan pamrih., memotong balasan. Karena memberi adalah saling memberi, menerima adalah saling menerima. Macan Taring Tunggal hanya bertanya, "Kapan kita berangkat?" Si Nenek memandangnya dengan tersenyum. ~Dewi-KZ~ Dipa Saloka gempar. Di beranda, "Siapa yang melakukannya" Ya, siapa yang punya kepandaian begitu nggegirisi sehingga sanggup melakukan hal seperti ini.?" Gumam Ki Jagabaya dengan termangu-mangu. Sikapnya seperti orang linglung. T angannya mencengkeram erat gagang pedang, bergeletar. Sementara Kiai Santun Paranggi menarik nafas dalamdalam, mengisi penuh-penuh rongga paru-parunya yang sesak, kemudian menghembuskannya perlahan, "Siapapun yang melakukannya, dia pasti seorang yang tidak pernah kukenal." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Jagabaya menoleh, raut muka Kiai Santun Paranggi terlihat kental berkerut. "Berpuluh tahun melanglang buana, kukira seluruh tokoh sakti di delapan penjuru sudah pernah ku kenal, atau biarpun tidak kenal juga tahu sedikit. Tapi ternyata beberapa hari saja orang-orang sakti beruntun bermunculan, dan tidak satupun yang kukenal." Lanjut Kiai Santun Paranggi dengan gegetun. Pacak Warak yang berdiri di bawah pohoh dengan beberapa pemuda hanya memandangi kedua orang tua itu dengan penuh rasa ingin tahu, juga khawatir, campur gelisah. Ketika ayam jantan berkokok fajar tadi, salah seorang pemuda desa yang bernama Glagah Geni menemukan tubuh Ki Demang tersampir di ranting-ranting pohon randu dalam keadaan pingsan dan muka yang pucat, seolah tak berdarah. Kejadian ini tentu saja langsung menggegerkan seluruh kademangan. Beberapa hari yang lalu Ki Demang mengatakan ingin menyelidiki sesuatu dan mengalihkan semua wewenang ke tangan Ki Jagabaya. Beberapa hari tak ada kabar, tak tahunya sekarang mendadak tubuhnya tersampir di pohon dengan terluka, siapa yang tidak bingung. Pacak Warak bangkit berdiri ketika Ki Jagabaya melambaikan tangan ke arahnya. "Sejak tadi apa kau melihat Mahesa Manunggal?" tanya Ki Jagabaya tiba-tiba. Pacak Warak menggeleng, agaknya merasa heran kenapa Ki Jagabaya menanyakan pemuda sawahan itu. "Apa kau merasa Mahesa Manunggal ada hubungannya dengan hal ini?" tukas Kiai Santun Paranggi tiba-tiba. Ki jagabaya menghela nafas. Sepasang matanya bersinar guram, "Aku hanya merasa sedikit aneh dengan anak itu. Kenapa ia muncul ke permukaan secara mendadak" gumamnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Agaknya kepandaiannya juga tidak rendah," sahut Kiai Santun Paranggi. Sebelum Ki Jagabaya berkomentar lebih jauh, terdengar suara langkah halus dari dalam rumah, lalu pintu yang berderit, "Kalian tidak perlu terlalu khawatir." Seorang tua dengan tubuh tinggi besar, brewok yang putih susu, berjalan agak kepincangan ke arah Ki Jagabaya. Dialah Ki Awu Lamut, seorang tua yang piawai dalam hal pengobatan dan penyakit. Ki Jagabaya segera memburu maju, "Apa dia tidak apaapa?" Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Keadaannya tidak menghawatirkan. Sekalipun dadanya terluka, namun tidak membahayakan." Ki Jagabaya menghela nafas lega, tarikan wajahnya seketika juga mengendur, lalu tanyanya,"Apa kau tahu sebab apa luka di dadanya?". Ki Awu Lamut kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, "Seperti bekas pukulan. Tapi aku tidak pandai silat, jadi tidak bisa menebak pukulan apa yang melukai dada Ki Demang." Setelah mengisi penuh paru-parunya dengan udara segar, Ki Awu Lamut melanjutkan, "Aku hanya merasa sedikit aneh." "Aneh apa?" "Aku merasa bahwa sebelum aku telah ada orang yang mengobati lukanya itu. Meskipun tidak tampak dari luar, namun melihat keadaan tubuhnya, Ki Demang seperti sudah mendapatkan tindakan penyembuhan." Jawab Ki Awu Lamut sambil melontarkan pandangannya jauh ke arakan megamega. "Maksud Kiai, sebelum Kiai sudah ada orang yang mengobati Ki Demang?" tegas Pacak Warak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Awu Lamut hanya tersenyum saja. Perkataannya sudah cukup jelas. "Tapi akulah yang menemukan Ki Demang, dan begitu ku temukan langsung ku bawa kemari." Sela seorang pemuda yang berpotongan sederhana, seperti kebanyakan anak petani. Anak muda itulah Glagah Geni. "Makanya aku merasa aneh." Jawab Ki Awu Lamut sabar. "Tapi yang terpenting keadaan sudah tidak membahayakan." Lalu sambil mendesiskan kidung samar-samar, Ki Awu Lamut melangkah ke depan dengan terpincang, tapi tenang, melewati regol dan melompat ke seekor kuda kurus berwarna belang. Ki Jagabaya hanya memandang saja. Tidak mengucapkan terima kasih, juga tidak heran dengan tingkah Ki Awu Lamut yang tidak berpamit, seolah itu sudah hal yang sewajarnya. "Tampaknya itu bukan kuda sembarangan." Gumam Kiai Santun Paranggi tiba-tiba. Ki Jagabaya berpaling. Kiai Santun Paranggi tampak termenung-menung. Pandangannya lekat ke kuda belang milik Ki Awu Lamut yang berjalan santai. Aneh juga, meski kurus tapi langkah keempat kaki kuda itu terlihat rapi dan ringan. "Kabarnya kuda belang itu bernama Sapu Bayu." Pacak Warak menjelaskan, "tapi kukira itu hanya sekedar nama saja." Kiai Santun Paranggi tidak berkomentar. Hanya kepalanya nampak mengangguk-angguk. Saat itulah mendadak terdengar titir berkumandang, bertalu-talu, sahut-menyahut memecah pagi yang bersih. Ki Jagabaya dengan sigap menyambar pedang panjang, mengalungkannya di punggung, kemudian mengeprak kuda Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tunggangannya yang segera berlari secepat kilat. Diikuti Pacak Warak dan Glagah Geni. Di Gapura batu. Gagak Jemarit berdiri seenaknya. Kedua tangannya tersembunyi dalam jubah abu-abu lebar. Ujung mulutnya memperlihatkan senyum sinis. Disampingnya Demang Lembu Patik Pulung berdiri dengan muka senyum tak senyum. Injakan sepasang kakinya tampak ringan, namun kokoh. Sebelah tangannya memegang les kuda. Berjejer, terdapat pula Hanggarawura dan Ranti Sumirah. "Rupanya Adi Demang yang datang, sungguh tak sopan membiarkan Adi terlau lama menunggu," seru Ki Jagabaya begitu sebelah kakinya menginjak tanah. Demang Lembu Patik Pulung menunduk sedikit, sebelah tangan membuka di dada, "Maafkan kalau sepagi ini sudah merepotkan Kakang Jagabaya." Kata-katanya sungkan, nadanya halus. "Ah, tidak merepotkan, sama sekali tidak merepotkan. Hanya sedikit mengejutkan saja.maklum sudah agak lama Adi Demang tidak berkunjung ke Dipa Saloka," Jawab Ki Jagabaya sambil berjalan mendekat. "Kakang Jagabaya, kedatangan kami kali ini sebenarnya hanya sekedar ingin lewat saja. Cuma begitu melihat gapura ini, seketika teringat kepada Kakang Demang dan Kakang Jagabaya, maka ada niatku untuk menyambangi Kakang berdua, lagi pula temanku Kakang Hanggarawura dari Ibukota ini juga sudah lama mendengar nama Kakang Demang, kalau hanya lewat dan tidak mampir rasanya menjadi kurang pantas." Tutur Demang Lembu Patik Pulung. Hanggarawura yang berdiri di sampingnya hanya menunduk sambil tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Alis Ki Jagabaya sedikit berkedut. Beberapa hari lalu terang-terang Ki Demang berkata ingin pergi ke Kademangan Jatingaleh dan tadi pagi tahu-tahu pulang dengan terluka, maka dalam pikirannya pasti terjadi pertarungan antara Ki Demang dan Lembu Patik Pulung, tapi me lihat nada bicara dan raut muka Demang Jatingaleh itu hari ini, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi pikiran itu hanya berkelebat sebentar saja, dilain detik Ki Jagabaya sudah tertawa ramah, "Bagus, sungguh bagus. Sudah lama Kademangan Dipa Saloka ini tak pernah menemui tamu agung. Maka harap dimaafkan kalau dalam pelayanan kami ada yang tidak berkenan.," kata Ki Jagabaya sambil menyilahkan rombongan Demang Jatingaleh untuk masuk ke Kademangan. Ia sendiri lebih dahulu naik ke punggung kuda dan memimpin ke depan. Ketika melewati Sawung Geni, diam-diam Ki Jagabaya berbisik, "Siapa tadi yang membunyikan titir pertama kali?" Sawung Geni menggeleng sambil melongo. "Kalau begitu cari tahu." ~Dewi-KZ~ Tempat tinggal Ki Awu Lamut, sekalipun tidak dapat dikatakan mewah, namun cukup istimewa. Dengan dinding, tiang, atap, dan lantai panggung yang semuanya dibuat dari ruas-ruas bambu membuat rumah mungil itu lebih mirip sebuah vila peristirahatan. Halaman sekeliling, yang juga berpagar bambu hijau, penuh ditumbuhi bunga-bungaan dan berbagai macam tanaman umbi, memberikan semerbak wangi alam. Di sela-sela tanam-tanaman itu beberapa ekor ayam berkotek riuh. Lenguhan sapi dan embikan kambing sesekali Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyumbang suara. Benar-benar suasana yang menyenangkan. Belum lagi Bibir danau yang membuat garis bening berkelol dan ikan-ikan liar yang berloncatan nakal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Awu Lamut membuka pagar bambu, membiarkan kuda belang kurusnya bebas merumput, dan sejenak memandangi ayam-ayam yang berkotek sebelum berputar ke halaman belakang. Di halaman belakang, menghadap garis air yang melenggak-lenggok seorang pemuda dan dua orang gadis dengan rambut hitam terurai duduk membelakang. Begitu mendengar langkah K i Awu Lamut yang khas, ketiga orang muda ini segera berdiri. Salah seorang gadis yang tampak paling muda malah langsung mendekat dan bertanya, "Bagaimana keadaan ayah Paman?" Ki Awu Lamut tersenyum, "Tidak membahayakan." Jawabnya sareh. Gadis itu, yang ternyata adalah Ratna Dewi seketika menghela nafas lega, kedua telapak tangan mengusap mukanya sendiri. "Apa pusingmu sudah agak mendingan?" tanya Ki Awu lamut sambil menoleh kepada pemuda di sebelah Ratna Dewi. Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum khas. Siapa lagi kalau bukan Arya Dipa Loka, "Merepotkan paman saja." Jawabnya. Ki Awu Lamut menggeleng, "Ketika kau kecil dulu seringkali kau bermain ke telaga ini bersama Ibu dan Adikmu yang bengal ini. Setiap kali kau tenggelam di tengah danau karena mengejar ikan akulah yang menjalamu ke permukaan, apa masih ingat?" "Masih ingat, masih ingat, waktu itu jenggot paman belum sepanjang dan seputih ini." Sela Ratna Dewi sambil tertawa. "Kau toh suka bergelayut pada jenggot kambing ini." Ratna Dewi tertawa cekikikan. Disebelahnya, Arum Puspita tak tahan untuk mencubit pinggang gadis bengal itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Perutku sudah mengempis sejak tadi pagi, tidakkah kau merebus satu dua potong ketela pohon?" "Ketelah pohon sudah habis ditelan tiga gentong cilik." "Lalu apa yang tersisa untuk gentong tua?" "Dua ikat duri ikan." Jawab Ratna Dewi sambil terpingkal. Dilain detik ia sudah menarik tangan Arum Puspita untuk masuk ke dalam rumah. Setelah tertawa kecil, Ki Awu Lamut kembali berpaling ke arah Arya, "Aku sebenarnya ingin mengajakmu bercakapcakap lebih lama. Pengalamanmu selama beberapa tahun ini tentu menarik untuk ku dengarkan. Namun nampaknya ada hal kecil yang harus kau lakukan." Raut muka Arya berubah serius, "Apakah suara titir tadi?" "Benar. Akulah yang membunyikan titir tadi ketika kulihat Lembu Patik Pulung dan beberapa begundalnya melewati batas utara, agaknya menuju ke Kademangan." "Bukankah masih ada Ki Jagabaya?" "Masih ada juga K iai Santun Paranggi. Tapi kedua orang itu tak akan sanggup menahan Gagak Jemarit dan Maling Tiga Ratus Kaki. Apalagi ada yang ku khawatirkan tentang Lembu Patik Pulung." "Maksud paman?" Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, "Pukulan yang melukai dada ayahmu, samar-samar bisa kukenali sebagai Pukulan Gajah Mengeduk Lumpur milik Raja Iblis Tinju Es, Cuma melihat kekuatannya agaknya bukan Iblis itu sendiri yang turun tangan. Bisa jadi Lembu Patik Pulung sudah mendapat ajaran dari Raja Iblis itu." Hati Arya berdesir. Nama Raja Iblis Tinju Es menggetarkan dunia persilatan sejak tiga puluh tahun yang lalu. Terkenal karena kekejaman dan kekejiannya. Menurut kabar burung, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dalam satu hari si Raja Iblis ini pernah melumatkan lima desa tanpa menyisakan satu nyawa pun. Dalam deretan dedengkot iblis, namanya sejajar dengan Iblis Tinju Neraka. Kenyataannya kedua raja iblis ini memang kakak beradik seperguruan. "Kalau begitu aku berangkat." Ujar Arya setelah termenung sejenak. Ki Awu Lamut mengangguk, "Kau harus memasang mata telingamu tajam-tajam. Beberapa hari ini kurasakan udara mulai memanas. Beberapa orang tua agaknya ikut bermain. Sebelum jelas kawan dan lawan kuharap kau selalu hati-hati." Arya mengangguk. Ditatapnya mata orang tua itu dengan sinar terima kasih, juga terharu. Berada di hadapan Ki Awu Lamut, dengan jenggot panjangnya yang melambai tersentuh angin, seperti berhadapan dengan mendiang ibunya. Lamatlamat dirasakannya hubungan yang tak terkatakan antara dirinya dan orang tua berjenggot ini. Ki Awu Lamut memandang langkah Arya dengan termangu. Melihat pemuda dengan muka pucat itu, dalam lamunannya terbayang seorang yang mirip. Seketika sorot matanya memancarkan cahaya aneh. Siapa sebenarnya Ki Awu Lamut ini" Kenapa Ratna Dewi tiba-tiba ada disini" Sungguh masalah yang ruwet. ~Dewi-KZ~ Kepalan Ki Jagabaya mengepal kencang. Urat-urat hijau bertonjolan. Wajahnya keras menegang. "Kuakui aku bukan tokoh berkedudukan tinggi, juga bukan dedengkot persilatan dengan kadigdayaan nggegirisi. Tapi apapun juga aku adalah seorang lelaki. Tak nanti akan melakukan perbuatan seperti yang Adi tuduhkan itu." Katanya lambat-lambat dengan rahang keras. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Mengenai pribadi Kakang Jagabaya sudah kuketahui dari dulu. Meski bukan tokoh berkedudukan tinggi, tak nanti akan melakukan perbuatan begitu pengecut. Tapi Dipa Saloka ini sekalipun tidak besar namun banyak orangnya. Dalam kolam yang sekecil apapun betapapun tidak dapat dijamin isinya adalah ikan semua." Sahut Demang Lembu Patik Pulung. Nadanya masih halus, juga sopan. Tapi ujung mulutnya seperti menyunggingkan senyum sinis. "Lebih celaka lagi kalau isinya adalah kura-kura semua." Timpal Gagak Jemarit dingin. Ki Jagabaya menggeram. Wajah Pacak Warak dan Sawung Geni yang duduk bersila di belakangnya juga memerah darah. Sawung Geni malah sudah meraba gagang pedangnya. "Kakang Jagabaya, dalam adu mulut aku tak begitu pandai, adu pedang pun tak becus. Kenapa tak kita selesaikan saja hal ini dengan baik-baik. Apa susahnya kalau Kakang Jagabaya mempersilahkan Kakang Demang keluar sebentar, agar sesuatunya bisa dijelaskan hitam dan putihnya." Dalam hati Gagak Jemarit memuji permainan mulut Demang Jatingaleh ini. Meski mengatakan tidak begitu pandai, tapi nyatanya Ki Jagabaya dibuat mangap tidak bisa, mingkem susah. Bab IX, Dua gelanggang Satu Mayat "Bukankah tadi sudah ku katakan bahwa adi Demang Kebo Sora saat ini sedang berhalangan, tak bisa menemui siapapun. Kenapa Adi terus mendesak?" Ki Jagabaya masih berusaha menahan kesabarannya. "Tidak bisa menemui atau takut keluar?" jengek Gagak Jemarit. Sepasang mata Ki Jagabaya berkilau merah. "Kisanak, kuhormatimu sebagai tamu, tapi kalau mulutmu tak bisa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menahan kegatalan, aku tidak akan melawan dengan mulut. Aku hanya becus memegang golok saja." Gagak Jemarit tertawa menyakitkan, "Kalau begitu kenapa tidak segera kau cabut golokmu" Atau memang golok rongsokan itu sudah berkarat dalam sarungnya?" ejeknya. Ki Jagabaya merasakan darahnya menggelegak. Ia bisa menahan kesabaran kalau itu menyangkut pribadinya, tadi tidak kalau menyinggung kademangan dan kehormatannya. Ia sudah akan meloncat ke halaman ketika desir angin mengirim sebuah suara, dengan nada tenang tapi kuat. "Aku sudah datang." Semua kepala menoleh, semua mata membelalak. Membelakangi sinar matahari yang jatuh keemasan Arya melangkah tenang. Rambut panjangnya terurai, sebagian membiaskan sinar matahari sehingga tampak berkilat-kilat. Tangannya melambai teratur. Dalam sekejap sudah naik ke atas pendopo dan langsung duduk di samping Ki Jagabaya. Ki Jagabaya sendiri saking terherannya sampai melongo sekian lamanya, lupa untuk menyapa. Demang Lembu Patik Pulung tak kurang herannya, wajah di depannya ini seperti kenal seperti tidak, agaknya seorang yang pernah dilihatnya pada waktu lampau. Gagak Jemarit dan Hanggarawura juga tak membuka suara, agaknya tidak kenal. Sedang Ranti Sumirah mulai timbul gairah di matanya. Lengang yang tak lama itu dipecahkan justru oleh suara Sawung Geni, "Rupanya Kakang Arya. Lama tak jumpa, bagaimana kabar Kakang?" Arya berpaling, menatap wajah Sawung Geni, tersenyum, "Baik. Bagaimana denganmu, juga Adi Glagah Geni?" Sawung Geni tersenyum, kepalanya sedikit menunduk, "Pangestu Kakang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekelebat ingatan berkilat di pikiran Demang Lembu Patik Pulung, "Kaukah Arya Dipaloka, putra sulung Kakang Demang Kebo Sora?" "Benar." Singkat jawaban Arya, juga tidak bertele-tele. Sikapnya tenang, sedikit angkuh, namun juga tak mengusik. Lembu Patik Pulung sebenarnya ingin memainkan lidahnya lebih jauh dengan menyindir perselisihan antara ayah dan anak itu di masa dahulu. T api jawaban Arya singkat dan tegas, sama sekali tak menyisakan ruang untuk dikutak-utik. "Lalu apa maksudmu buka bacot disini?" Gagak Jemarit ganti yang tidak sabar. Arya tersenyum, "Bukankah kalian yang mengundang kedatangaku ?" Mata Gagak Jemarit melotot, wajahnya menyeringai menyeramkan, "Yang kusuruh keluar adalah Kebo Sora, apa hubungannya denganmu?" "Pertama, kau masih belum layak menyuruhnya. Palingpaling kau hanya setimpal untuk mengundangnya dengan penuh hormat, itu pun tergantung apa gedibal di jidatmu itu sudah kau bersihkan atau belum." Suara Arya masih tenang. Namun wajahnya sudah tak lagi tersenyum. "Kedua, aku adalah anaknya. Kalau Ayah tidak bisa, anak bisa menggantikan." Muka Gagak Jemarit yang memang hitam semakin menghitam, seumur-umur belum pernah ada orang berani menghinanya secara demikian. Apalagi seorang bocah kemarin sore. Tidak memberi kesempatan yang lain, ia segera menyemprot, "Oh, jadi semua belang kerak Kebo Sora dapat di limpahkan kepadamu?" Arya tak menjawab. Sikapnya jelas dan tegas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Saking gusarnya Gagak Jemarit malahan tertawa. Seolah tak menggerakkan kakinya, mendadak tubuhnya melayang ke tengah halaman. Tegak menanti. Tulang-tulangnya berkerotokan. Seluruh tubuhnya seakan mengeluarkan bias hitam. Hawa pembunuhan menggumpal tebal. Beberapa pemuda yang berjaga-jaga sebenarnya masingmasing sudah menghunus tombak. Namun mendadak mereka merasakan pernafasan sendiri sesak, tak terasa kaki pun menyurut mundur. Arya turun dari pendopo, melangkahi undakan. Langkah yang biasa. Lalu tegak menghadap Gagak Jemarit. Cara berdirinya juga biasa, sama sekali tak mengunjukkan suatu permulaan jurus atau ilmu silat. Ki Jagabaya sendiri sebenarnya berniat mencegah, betapapun ini adalah masalah Kademangan, kalau Ki Demang berhalangan, dirinyalah yang paling bertanggung jawab. Namun ketika hendak membuka mulut, ujung matanya tibatiba menangkap isyarat Sawung Geni. Hal yang membuatnya heran dan aneh. Melihat pemuda yang kelihatannya menyembelih tikus saja pun tak mampu ini berani menyambut tantangannya, Gagak Jemarit menggeram, "Bocah, kalau kau punya senjata, keluarkan senjatamu. Kalau kau punya pesan terakhir, ucapkan lekas-lekas. Atau kau memilih jadi setan penasaran." "Aku tidak punya senjata. Yang kukatakan juga sudah terlampau banyak, tak perlu berpesan lagi." Sinar mata Gagak Jemarit berkobar, "Baik. Kalau begitu kau pentang matamu lebar-lebar, jangan sampai mati pun kau tak tahu dengan tangan sebelah nama ku jebol dadamu. Atau kau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memilih membersihkan kakiku dengan mulutmu, boleh jadi aku akan membuat kematianmu sedikit enak." Arya tertawa. Benar-benar tertawa, "Ku pikir kau benar seorang jago tangguh. Tak tahunya hanya pandai menakutnakuti saja. Sia-sia orang banyak menyebut-nyebut namamu." Gagak Jemarit menggerung gusar, sambil membentak murka cakarnya meluruk. Bau amis menusuk tajam. Disebelah sana, Demang Lembu Patik Pulung berkerny it jidat. Tidak seharusnya jago setingkat Gagak Jemarit terpancing amarahnya saat bertempur. Arya mendongak. Matanya tenang menahan langit. Tak diperhatikannya serangan Gagak Jemarit yang datang Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membadai. Wajahnya acuh, seakan semua hal itu tak ada hubungannya dengannya. Sepotong awan menyelimuti matahari. Daun-daun luruh. Embun-embun yang belum sempat menguap memercik gelisah. Sebelum tiba di sasaran, cakar beracun Gagak Jemarit tibatiba mengganda. Dari satu menjadi dua, dari dua menjadi sepuluh, dari sepuluh menjadi seratus. Bagai sekelompok mega hitam, ratusan cakar itu seolah menyelumuti tubuh Arya. Itulah jurus 'Hujan Racun Naik ke Langit'. Seekor burung kecil yang melintas lewat, tergetar hebat dan luruh dalam warna darah, merah yang menghitam, lalu semakin hitam. Amis, dan mematikan. Satu kehidupan telah terenggut. Saat itulah kaki Arya bergeser. Satu kali, dua kali, sampai ratusan kali. Sementara pinggang ke atas tak bergerak, kepalanya tetap mendongak mengawasi langit. Seiring dengan bergeraknya kaki Arya, Gagak Jemarit tibatiba melihat tubuh lawannya mengganda cepat. Seolah-olah memenuhi udara, menyesakki ruang tanpa sisa. Bersamaan itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ nafasnya mulai sesak, udara seolah-olah terampas dari dadanya. Tak tahan ia segera mengumpulkan seluruh semangatnya. Menggumpalkan tenaga dalam di kedua tangan dan menghentakkannya dengan sekali membentak keras. Ratusan cakar seketika menghilang, berganti dengan seleret sinat hitam yang menggulung. Tajam, bengis, dan beracun. Arya menghela nafas panjang. Ia sudah memberi kesempatan. Perlahan pandangan matanya menurun. Kakinya berhenti, lalu seiring dengan sinar matahari yang menerobos celah awan, tangan kanannya bergerak. Satu jari lurus menyengat. Begitu cepatnya sengatan itu sampai Gagak Jemarit tak sempat melihat jelas. Ia hanya merasakan bahu kirinya seperti digigit semut, lalu detak jantung mengeras tiba-tiba, menggedor seluruh pembuluh nadi, dan semakin menggila. Sebelum rontokan daun terakhir menyentuh tanah, seperti tertarik oleh makhluk halus dari dunia lain mendadak tubuh Gagak Jemarit terjungkal ke belakang. Luruh ke tanah. Bersatu dengan debu, dengan sehelai darah menggaris di ujung bibir yang tersenyum aneh. Seakan puas, seakan menyesal, seperti risau. Tak ada bekas. Tak ada tanda luka. Sehelai daun sawo yang setengah menguning jatuh tepat di tetesan darahnya. Dari tanah, kembalilah ke tanah. Irama alam tak berubah. Terus bernyanyi, tak putus-putusnya. Demang Lembu Patik Pulung tercekat. Jantungnya seakan diremas oleh kekuatan tak kelihatan. Tak terasa keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia pun tak melihat jelas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ serangan Arya. Ia hanya merasakan udara mendadak membelah, lalu Gagak Jemarit yang terjungkal. Namun begitu wajahnya tak berubah, tetap dingin dan tenang. Ki Jagabaya sampai lupa menarik nafas. Seumur hidup baru sekali ini dilihatnya pertarungan yang begitu memukau, merampas detak jantung, sekaligus tak menyisakan ruang lain selain hidup dan mati. Sementara Pacak Warak hanya melongo tak mengerti. Kepalanya malah pusing. Arya membalik tubuh. Menatap Demang Lembu Patik Pulung. Tajam dan menantang. "Ehm," Demang Lembu Patik Pulung berdehem, mencoba meredakan getar jantung."Ilmu silat Anakmas benar-benar membuat mataku terbuka. Disini kuucapkan selamat atas ilmu silat yang luar biasa hebat ini." Demang Lembu Patik Pulung merangkap tangan, sedikit menundukkan wajah. Hanggarawura memuji dalam hati. Penyikapan keadaan dari Lembu Patik Pulung benar-benar membuatnya kagum. Orang ini bisa memuji lawan dengan wajah tenang. Suaranya bahkan tak bergetar. Seolah kematian Gagak Jemarit tak ada hubungannya dengannya. "Terima kasih, Paman." Suara Arya datar. Setelah meneguk ludah Lembu Patik Pulung me lanjutkan, "Cuma masalah ini kukira tidak bisa diselesaikan dengan satu kematian, atau bahkan jika seluruh nyawa kami amblas. Ini adalah masalah Kademangan, bila aku tidak sanggup, maka seluruh penghuni Jatingaleh akan bangkit." Mulut berkata, otaknya berputar. Melihat perimbangan kekuatan membalik drastis, dengan licin ia membalik persoalan sebagai seolaholah menyangkut Kademangan Jatingaleh secara umum. Nadanya tenang dan halus, namun mengancam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu bagaimana menurut Paman?" "Mengingat Kakang Demang dan persaudaraan antara dua Kademangan, aku bersedia menangguhkan waktu. Asal dalam satu bulan kedepan ada orang yang berani bertanggung jawab untuk mengembalikan Keris Pusaka itu ketempatnya, segala perselisihan dan sengketa akan ku lupakan. Cuma entah dalam Dipa Saloka ada tidak seorang yang punya keberanian demikian." Lembu Patik Pulung melirik Ki Jagabaya. Muka Ki Jagabaya menegang. Tapi sebelum ia membuka mulut Arya sudah mendahului. "Aku yang akan bertanggung jawab." "Ehm, bukannya aku meragukan Anakmas, namun menurut kabar sejak beberapa tahun lalu Anakmas sudah meninggalkan Dipa Saloka. Apalagi hubungan Anakmas dengan Kakang Demang..." Lembu Patik Pulung sengaja menggantungkan kalimatnya. Ki Jagabaya menahan semua makian yang hampir keluar dari mulutnya. Raut wajah Arya tidak berubah, "Sekalipun aku pernah meninggalkan Dipa Saloka, namun aku tetap anak dari bumi Dipa Saloka, sama halnya dengan hubunganku dengan ayah. Sekalipun pernah terjadi pertentangan antara kami, namun aku masih tetap anaknya." Demang Lembu Patik Pulung kembali menelan ludah. Jawaban Arya tandas dan tegas, tak dapat ditawar. "Kalau begitu. Baiklah diatur sebegini saja." Ucapnya akhirnya, "Tak berani aku mengganggu lebih lama. Mohon pamit. Juga salamku untuk Kakang Demang." Begitu berkata pamit, betul-betul Lembu Patik Pulung langsung pergi. Diikuti oleh Hanggarawura dan Ranti Sumirah, sama sekali tak menoleh lagi terhadap mayat Gagak Jemarit. Seakan itu tak ada urusannya dengannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Orang ini benar-benar ular dari segala macam ular. Bahkan mayat temannya pun tak dihiraukannya." Ki Jagabaya mendesah. Dua orang pemuda bergerak untuk menggotong mayat Gagak Jemarit. Namun keburu ditahan Arya, "Hati-hati dengan racun ditubuhnya. Lebih baik kalian tidak menyentuh kulitnya." Ki Jagabaya berpaling heran, "Memangnya seluruh tubuhnya beracun ?" "Gagak Jemarit melatih sejenis ilmu yang menggunakan kekuatan racun di dalam tubuh. Sekalipun nyawanya sudah tak ada, namun daya racun dalam tubuhnya masih bisa membunuh. Mungkin ini lah sebabnya Lembu Patik Pulung tak berani mengambil resiko untuk membawa mayatnya." "Sekaligus ia menimpakan Gagak Baracun ini ke tangan kita. Sungguh rencana yang cermat." Sambung Sawung Geni. Ki Jagabaya berdecak. Bahkan setelah kematian temannya, Lembu Patik Pulung masih mempunyai jurus simpanan untuk membunuh tanpa menggerakkan tangan. Benar-benar seorang berbakat yang tak lahir sekali dalam sewindu. Setelah kaget dan terkejutnya sirna, Ki Jagabaya menepuknepuk pundak Arya, "Kau sudah begini besar, ilmu silatmu juga luar biasa. Sungguh tak tersangka." Arya memandang orang tua itu dengan terharu. Semasa kecil dulu, Ki Jagabaya adalah salah seorang yang paling dekat dengannya. Kenangan yang tak mungkin untuk dilupakan. Namun mendadak selintas ingatan membuyarkan lamunannya, "Kemana Kiai Santun Paranggi ?" Ki Jagabaya menggeleng heran, "Aku juga heran, begitu rombongan Lembu Patik Pulung tadi datang, orang tua itu sudah tak kelihatan batang hidungnya. Mungkinkah.." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Jagabaya tak menyelesaikan kalimatnya yang menggantung karena Arya sudah meloncat tinggi, memanjat pohon, dan bertengger di ranting pucuk. Sekilas ia seperti burung raksasa yang sedang mencari mangsanya. Tak lama ia bertengger di pucuk pohon sawo kecik itu sebelum raut mukanya berubah hebat. Memerah seperti saga. Ki Jagabaya mencoba mengarahkan pandangannya ke arah yang dilihat Arya. Samar-samar di kejauhan terlihat asap hitam memanjat langit. Kontan wajah Ki Jagabaya kembali menegang. "Pukul titir." Perintahnya menggelegar. Tubuhnya sendiri sudah melayang ke punggung kuda. Sekilas diliriknya puncak pohon. Bayangan Arya sudah lenyap. Ki Jagabaya boleh dikata sebagai salah seorang ahli kuda masa itu. Semua kuda yang berada di kandang belakang rumahnya tak satu pun yang tidak istimewa. Maka meskipun tiba-tiba jalan setapak itu terpotong dengan gundukan bukit yang terjal, kuda yang ditungganginya tak menemui banyak kesulitan. Melewati bukit terjal, Ki Jagabaya baru melihat debu yang mengepul beterbangan, asap hitam yang membumbung, dan rangka rumah yang sudah jadi arang. Disana-sini masih terlihat lelatu api memercik. Sekeliling rumah yang terbakar itu adalah padang rumput dengan berbagai perdu dan bunga-bungaan yang memesona. Namun semua keindahan itu seakan terkoyak dalam lingkaran pertempuran yang berkobar. Tanah terbongkar disana, tercongkel di sini. Helai rumput beterbangan. Pohon perdu tercerabut satu dua. Di tengah gulungan debu yang berputaran seperti beliung samar-samar Ki Jagabaya melihat seorang perempuan dengan baju putih yang cemerlang, bertarung dengan seorang bertubuh agak pendek namun sangat gesit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gerakan perempuan berbaju putih itu lembut namun lugas. Sepasang tangannya bergantian menepuk, disela patukan selendang putih yang berputaran membingungkan. Tapi sekalipun gerakan perempuan berbaju putih itu sebat dan cepat, namun lawannya, lelaki bertubuh agak pendek itu, tak kurang cepatnya. Tubuhnya meloncat kesana, melenting kesini bagaikan kera. Kakinya bergerak cepat, ringan, dan sesekali menyusupkan tendangan jitu. Mata Ki Jagabaya menyipit ketika melihat Kiai Santun Paranggi terduduk bersandar batu di sebelah sana. Pakaian yang dikenakan orang tua itu terlihat terkoyak di beberapa tempat, memperlihatkan lebam biru bekas pukulan. Sementara pikulannya menancap di sebuah batu cadas. Yang aneh, Arya malah tak terlihat disini. Ki Jagabaya sudah mengedarkan pandangannya sekeliling, menisik semak yang bergerumbul, namun tetap bayangan pemuda itu tak kelihatan. Beberapa saat Pacak Warak dan Sawung Geni juga sudah tiba. Bersama beberapa pemuda pengawal keduanya segera menempatkan diri dengan tangan bertumpu gagang pedang. Beberapa orang siap dengan gendewa terpentang. Ki Jagabaya tergerak ketika gerumbul semak di sampingnya bergoyang-goyang. Kakinya mendekat, tangan kanan melekat pada hulu keris. Ketika semak tersibak, kerut tegang di wajah Ki Jagabaya segera berkurang setengah. Setelah menghela nafas lega, tangannya terulur ke dalam semak. Begitu ditarik, di lengan itu menggelendot seorang bocah laki-laki berusia sekitar dua belas tahun. Rambutnya terurai tak teratur. Mulutnya berkomat-kamit. Dan yang paling aneh, mata bocah itu meski bening dan hitam, namun kosong. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Jagabaya meletakkan bocah itu di belakang, memberi isyarat pada Pacak Warak untuk menjaganya dan kembali memusatkan perhatian pada pertempuran. Mendadak terdengar lelaki bertubuh pendek itu tertawa panjang. Kakinya menendang dalam gerakan lingkaran. Seiring dengan itu kedua tangannya mengibas ke depan. Seketika puluhan paku berkilat perak mengambur. Melihat puluhan senjata rahasia yang menyambar datang, perempuan berbaju putih bersiul nyaring. Selendang putihnya membuat gerakan seakan membebat bulan. Menangkis sekaligus meraup puluhan paku perak. "Maling buduk, masih berpikir untuk kabur?" di tengah teriakannya yang lembut nyaring puluhan paku perak itu balik menghujani Maling T iga Ratus Kaki. Maling Tiga Ratus Kaki diam-diam tercekat. Ketika Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bertempur dengan Kiai Santun Paranggi tadi ia merasa tenaga dalamnya mengalir maksimum. Kecepatan geraknya juga dapat dikendalikannya sesuka hati sehingga setelah tiga ratus jurus lebih ia berhasil mendesak Orang tua itu dan menghadiahkan beberapa pukulan dan satu tendangan. Tapi saat itulah wanita ini muncul. Seorang yang tak diperhitungkannya, bahkan mungkin juga oleh Lembu Patik Pulung. Kabar terakhir yang mereka dapatkan bahwa di Dipa Saloka hanya tersisa Ki Jagabaya dan Kiai Santun Paranggi, meski yang terakhir ini agak alot, namun dengan sedikit strategi 'memancing singa ke tengah daratan' tak sulit untuk diselesaikan. Tak terduga ketika delapan puluh persen rencana yang disusun berhasil, muncul Arya yang dengan singkat membeset nyawa Gagak Jemarit, lalu wanita berbaju putih setengah baya ini, yang tanpa babibu dan basa-basi langsung menyerang. Bahkan kepandaiannya tidak di bawah dirinya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ketika melihat Ki Jagabaya muncul bersama dengan sebagian besar pengawal Kademangan, Maling Tiga Ratus Kaki diam-diam sudah terkejut. Meski saat ini ia belum tahu benar apa yang teradi dengan rombongan Lembu Patik Pulung dan lain-lain namun nalurinya mengatakan ada sesuatu yang keluar dari perhitungan. Salah-salah nyawanya sendiri bisa turut amblas. Maka saat terakhir tadi ia menghamburkan paku perak dengan maksud meminjam kelengahan lawan untuk melarikan diri. Sekalipun ilmu silat perempuan itu tinggi, namun dalam urusan gerak kaki mencawat ekor ia masih yakin di dunia ini hanya segelintir yang bisa mengimbangi kecepatan kakinya. Tak terduga wanita itu sepertinya sudah menduga jalan pikiran Maling Tiga Ratus Kaki. Begitu puluhan paku perak tersampok dan tergulung dalam selendangnya, langsung di hamburkan balik. Belum lagi Ma ling Tiga Ratus Kaki memusnahkan daya luncur paku-paku itu, seleret tapak miring yang mengiris udara sudah menyusul. Namun Maling Tiga Ratus Kaki pada dasarnya juga bukan jago kelas teri. Bahaya menghadang di depan hidung, raut mukanya tetap tak berubah. Gerakan tangannya masih tenang mantap. Dengan kedua tangan berputar kencang menghadang di depan, mendadak tubuhnya seperti patah. Bagian pinggang ke atas meliuk ke belakang seakan tanpa tulang. Dengan begitu gerakan telapak tangan yang memancung mendatar itu hanya mengenai tempat kosong. Namun gerakan wanita itu juga tak kalah aneh. Begitu pancungan tangan luput, ujung selendang sudah mematuk ganas. Kedudukan Maling Tiga Ratus Kaki benar-benar tidak menguntungkan. Gerakan terakhirnya tadi memamerkan ilmu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ simpanannya yang disebut 'Mengerut tulang, Menyusut daging' sehingga tubuhnya bisa bergerak lentur dan lemas, seakan tulang dagingnya bisa mulur mengkeret. Namun gerakan itu sama juga artinya dengan mengunci kedudukan tubuhnya ke pojok. Tak ada ruang lagi untuk menghindar dari serangan susulan. Maling T iga Ratus Kaki merasakan nyawanya seakan sudah separo meninggalkan batas langit. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tengkuk. Pada saat yang paling menentukan itulah mendadak sebatang ranting pohon melayang masuk ke kalangan pertempuran, ujung ranting menumbuk selendang yang seketika lemas, sementara sebatang daun yang masih menempel di ranting itu mengusap pergelangan tangan si wanita berbaju putih. Seketika si wanita menjerit ngeri. Tak jelas apa yang terjadi, ia tiba-tiba merasakan tenaganya seperti masuk ke lautan kosong, separuh tubuhnya seperti lumpuh. Kesempatan ini tentu saja tak disia-siakan oleh Ma ling Tiga Ratus Kaki. Menurut kewajaran, seharusnya ia menyerang perempuan itu selagi lawan tak siap, dan menghabiskan nyawanya dalam satu pukulan mematikan. Namun sekelebat ingatan mendadak melintas di kepalanya. Pikirnya, kalau memang orang yang melemparkan ranting mau membantunya, dengan melihat tenaga yang menyertai lemparan ranting itu seharusnya ia dengan mudah bisa membunuh perempuan berbaju putih hanya dengan satu pukulan. Tapi toh orang itu hanya melumpuhkannya saja, itu pun hanya sementara. Apa tidak bisa jadi orang itu sengaja memberikan kesempatan kepada Maling T iga Ratus Kaki untuk kabur. Karena toh kalau ia meneruskan pertempuran dan sanggup membunuh wanita itu, disitu masih ada Kiai Santun Paranggi, yang meskipun terluka namun masih berbahaya, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ belum lagi Ki Jagabaya dan sekumpulan pengawal dengan gendewa terpentang. Apalagi ia toh belum tahu jelas apa maksud orang itu membantunya. Apa dia kawan atau musuh yang sengaja menjebak. Berpikir demikian, Maling Tiga Ratus Kaki segera melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi. Dengan satu putaran tubuhnya menyusup ke rimbunan pohon-pohon. Masih di dengarnya desing anak panah yang mengiris udara sebelum tubuhnya hilang di telan gerumbul pohon. Sementara perempuan berbaju putih itu menyurut mundur dua langkah. Pandangannya mengedar sekeliling. Sekalipun hatinya tercekat oleh kekuatan yang luar biasa itu, raut mukanya tetap tenang. "Kisanak dari mana yang datang bertamu " kenapa tidak mengunjukkan muka sehingga tuan rumah bisa memberikan sekadar peradatan ?" ucap wanita itu lantang. Suaranya menggema, memperlihatkan penguasaan tenaga dalam yang sangat baik. Dalam pantulan cahaya matahari yang hampir bertengger di puncak langit, profilnya menekan kuat. Pakaian lebar berwarna putih bersih yang samar-samar membiaskan cahaya matahari. Dagu yang runcing, alis berbentuk bulan sabit, dan rambut yang terurai berkibaran membuat siapapun melupakan segala kepahitan. Kenyataannya, perempuan seperti inilah yang memancarkan kasih sayang murni dalam bentuk yang paling alam i. Tak ada jawaban. Sekali lagi wanita itu mengulangi panggilannya. Namun tetap tak ada jawaban. Hanya angin pelan yang membawa bau sangit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kalau begitu memang buka tetamu. Mungkin hanya setan penasaran saja yang kebetulan pesiar kesini." Katanya sambil merapikan pakaiannya yang kusut bekas pertempuran, mengikat selendang di pinggang dan menoleh kepada Ki Jagabaya. "Apa kabar Kakang " sudah lama agaknya Kakang tidak mengunjungi tempat ini." Sapanya ramah. Ki Jagabaya tersenyum kikuk. "Beberapa hari terakhir ini aku cukup banyak pekerjaan, sehingga tidak punya kesempatan untuk menyambangi Nyai maupun Angger Gagang Gerhana." Wanita itu tersenyum dan tidak menyahut. Matanya berganti menatap bocah linglung di samping Ki Jagabaya, yang asik menggores-gores tanah dengan jarinya dan tak peduli dengan segala apapun yang ada di sekelilingnya. Samar-samar sinar mata wanita itu memperlihatkan se laput duka. Wajahnya yang perkasa ketika bertempur tadi seolah menguap, berganti dengan warna sendu. Perlahan kakinya melangkah menghampiri si bocah, mengelus-elus kepalanya beberapa kali dan merapikan rambut bocah itu yang terurai tak teratur. Ki Jagabaya semakin tak tahu apa yang harus di katakannya. "Beberapa hari ini aku tidak pernah melihat Adi Gagang Gerhana lagi di Kademangan. Agaknya sudah bertambah lebih sehat." Suara Sawung Geni memecah hening. Wanita itu berpaling, sekilas tersenyum. Beberapa pemuda memeriksa rumah yang terbakar. Sedang Pacak Warak menghampiri K iai Santun Paranggi. Wanita itu perlahan menoleh ke arah rumah yang sudah berupa puing-puing hitam. "Agaknya gubuk ini sudah tidak bisa ditinggali lagi." Gumamnya pelan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Jagabaya mendehem, "Menurut hematku Nyai sebaiknya kembali saja ke Kademangan, menemani Adi Demang. Apalagi kesehatan Adi sekarang ini belum membaik sepenuhnya." Wanita itu tak menjawab. Matanya menerawang jauh, mencari batas langit. Atau seperti memandang sesuatu yang sangat jauh, sangat pedih. "Sejak Mbakyu tak ada dan pertentangan antara kami sekeluarga, aku sudah bersumpah untuk tak lagi menginjak rumah Kademangan. Kurasa Kakang Jagabaya tahu akan hal ini." Gumamnya lirih, tapi seperti mengandung satu tekad. Ki Jagabaya menghela nafas panjang, "Tentang sumpah Nyai itu sudah tentu aku tahu. Cuma keadaan tidak seperti biasanya. Perkembangan yang terjadi beberapa hari ini sungguh mengerikan, terakhir terlukanya Adi Demang disusul penyerangan Lembu Patik Pulung bersama begundalnya. Maka demi kebaikan kita semua, kuminta Nyai memikirkannya kembali." "Lagi pula Ki Demang belum lagi sadar. Tentang segala kebutuhannya tentu Nyai lebih tahu dari kita semua." Sambung Pacak Warak. "Tidak usah banyak bicara. Keadaan sudah berkembang luar biasa, dalam beberapa hari ini beberapa tokoh tingkat tinggi pasti akan berdatangan, mau mengacau, atau memendam niat yang lain. Dalam situasi seperti ini segala sumpah harus disisihkan terlebih dahulu." Seruan Kiai Santun Paranggi menyela dari samping. Meskipun luka di beberapa tempat, namun kelihatannya tidak membahayakan. Malah suaranya bertambah lantang. Perempuan yang dipanggil Nyai itu menundukkan kepala, agaknya berpikir. "Baiklah. Sekali ini aku mengalah, namun kalau diijinkan aku ingin menyambangi tempat istirahat Mbakyu terlebih dahulu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tentu saja." Siapa sebenarnya wanita ini, yang membuat Pacak Warak dan Ki Jagabaya menyamakan kedudukannya dengan Ki Demang Lembu Sora" Apa hubungannya dengan kedatangan berbagai tokoh dunia persilatan ". ~Dewi-KZ~ Bagi orang seperti Macan Taring Tunggal, berbagai bentuk dan peristiwa di dunia ini seolah sudah terlalu banyak yang dilihatnya. Dari yang paling aneh sampai yang paling mengerikan. Dari yang menggelikan sampai yang membuat perut muntah. Kenyataannya perjalanan hidupnya sendiri boleh dibilang lain dari pada yang lain. Maka sekalipun kau meneriakkan di gendang telinganya bahwa orang abad dua puluh satu dapat menginjakkan kaki Bulan, perhatiannya tidak akan tercuri, bahkan kelopak matanya mungkin tidak akan berkedip. Tapi sekali ini bahkan sepasang matanya yang biasanya selalu bersinar tawar itu me lotot sebesar gundu. Karena pemandangan di depannya ini bukan saja aneh bin ajaib, juga amat jarang terjadi. Sekalipun kau berjalan sampai ke kutub utara, mustahil akan kau temukan yang kedua. Setan Galunggung Utara bahkan sudah mengucak matanya dua puluh kali, mungkin lebih. Berputar lima belas kali. Melihat dari atas, memandang dari bawah. Sesungguhnya pemandangan apa yang terpampang sehingga membuat gembong persilatan seperti Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara sampai terbengongbengong itu. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bab X, Perubahan Dalam Pohon itu tidak terlalu tinggi, hanya satu setengah tombak. Meskipun tidak begitu tinggi tapi sangat gemuk, juga amat rimbun. Dahannya melingkar-lingkar seperti ekor naga, dengan kerut-kerut yang membuat tampangnya semakin angker. Akar-akar bertonjolan seperti jerawat yang membuat anak muda tak berani jual tampang. Tapi yang aneh bukanlah pohon itu, karena pohon seperti ini dengan mudah akan kau dapatkan di toko bunga. Yang ajaib adalah disalah satu dahan pohon itu tergantung orang, hanya satu orang. Dan orang hidup. Orang ini tergantung terbalik. Kaki kanannya tergantung oleh seutas tali, sedang kaki kirinya bergelayut kian kemari. Di tangan kanan orang itu tergenggam gagang panci, yang berisi tulang-tulang kerbau, tanpa daging. Di bawah panci barulah terdapat api yang berkobar meliukliuk. Sepasang mata orang aneh ini tampak tertutup, agaknya tertidur. Tapi mana ada di dunia ini cara tidur yang seaneh ini. Setan Galunggung Utara sudah mencobanya tadi, tapi tetap tak terasa nyaman. Kalau begitu orang ini tidak tidur. Mungkin semedi. Atau sejenis tapa yang aneh. Tapi Setan Galunggung Utara kembali menggelenggelengkan kepalanya. Bahkan di planet paling ajaib sekalipun tak akan ada semedi dengan jungkir balik memegang panci. Maka Setan Galunggung Utara berkesimpulan bahwa orang ini sedang memasak. Tapi tadi Macan Taring Tunggal mengingatkannya bahwa manusia tak makan tulang. Hanya anjing yang suka tulang, itupun tidak pakai dimasak lebih dulu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Akhirnya Setan Galunggung Utara tak tahan, "Sobat cilik, kau ini sedang memainkan pertunjukan apa ?" serunya agak keras. Kenyataannya ia tidak pernah bersuara pelan. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Orang itu membuka satu buah matanya, berkedip-kedip lucu. Setan Galunggung Utara tertawa geli. Seumur hidup belum pernah dilihatnya orang berkedip-kedip hanya dengan satu mata. "Apa kau merasa sangat lucu " kenapa tidak kau beritahukan padaku agar aku pun bisa tertawa " suara orang itu tidak termasuk jelek, bahkan sekilas sangat menarik. Serak-serak lelaki. Setan Galunggung Utara menutup paksa mulutnya. Ditelannya sisa tawanya kembali ke perut. "Kau tanya aku sedang memainkan lakon apa?" Setan Galunggung Utara menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Aku sedang mengantarkan tamu." Setan Galunggung Utara celingak-celinguk kesan-kemari. Tapi sampai lehernya pegal tak dilihatnya satu manusia pun selain mereka bertiga. "Apa kau tak bisa melihat tamu yang sedang kuantarkan." Setan Galunggung Utara menggelengkan kepalanya beberapa kali. Orang itu menghela nafas, seperti sangat menyesal, "Dari dulu memangnya sudah ku ketahui bahwa melihat dengan satu mata jauh lebih jelas dari pada melotot dengan dua mata. Apalagi kalau empat mata melotot berbarengan, mungkin tahi gajah di depan mata saja tidak dapat dilihat." Setan Galunggung Utara berpikir sebentar. Kata-kata orang ini seperti menyindir mereka berdua. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Orang itu bertanya lagi, "Apa kau me lihat Macan Tinggal Tulang itu ?" Setan Galunggung Utara terbengong sekian lamanya, setelah berpikir baru ditolehnya Macan Taring Tunggal. Setelah dilihat setengah harian lamanya, ia baru menyadari kalau temannya itu memang hanya tinggal tulang di balut kulit saja. Sontak tawanya mau meledak, tapi melihat sepasang mata Macan taring Tunggal yang melotot merah, sekuat tenaga ia tahan mulutnya. "Sekarang kau lihat dirimu sendiri." Setan Galunggung Utara tak paham dengan maksud orang aneh ini, tapi tak urung di pandanginya juga perutnya yang mirip gentong melar. "Nah, sekarang tentunya kau sudah melihat tamu yang kuantarkan." Setan galunggung Utara kembali terbengong. Ia baru berpikir sejak kapan ia pernah bertamu kepada orang ketika Macan Taring T unggal tertawa dingin. "Kau boleh saja menganggap kami tetamu, tapi belum tentu kami sudi menganggapmu tuan rumah." "Tentu saja kau harus menganggapku tuan rumah. Karena aku telah bercapek-capek menjamu kalian dengan semacam hidangan. Lagi pula hidangan yang sangat istimewa." "Hidangan apa yang akan kau suguhkan kepada kami ?" Setan Galunggung Utara tidak tahan untuk menyela. Maklum kalau menyangkut hidangan, minatnya menjadi sangat besar. Orang itu membuka satu butir matanya yang tadinya tertutup, berkedip-kedip aneh, lalu menggoyang-goyangkan panci di tangan kanannya. Setan Galunggung Utara menatap beberapa batang tulang kerbau itu dengan me lotot. Setelah sekian lamanya barulah ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menghela nafas, "Niat baikmu ini sungguh membuatku terharu. Tapi aku tidak makan tulang." Orang itu tertawa, "Kenapa kau tidak makan tulang ?" "Karena aku hanya Setan saja, sekalipun beberapa saudaraku ada yang suka tulang, bahkan gemar juga makan aspal dan semen namun aku hanya makan nasi. Lagi pula si Macan ompong ini mengatakan hanya anjing yang makan tulang." Setan Galunggung Utara mencoba menjelaskan. Orang itu kembali tertawa, "Jadi hanya anjing yang makan tulang ?" Setan Galunggung Utara mengangguk yakin. "Memangnya kalian bukan anjing ?" pertanyaan ini kalau bagi orang lain tentu sangat menyakitkan sekali. Boleh jadi jawabannya adalah bacokan arit atau parang. Namun paras Setan Galunggung Utara ternyata tak memerah sedikitpun. Yang keluar dari mulutnya hanya pertanyaan sederhana "Menurutmu kami adalah anjing ?" "Kalau ada orang mandah saja disuruh-suruh untuk menggigit orang lain, kalau bukan anjing lalu apa namanya ?" "Kenapa kau bisa mengatakan tujuan kami adalah menggigit orang ?" "Memangnya kepergian kalian ini bukan untuk menggigit orang ?" Setan Galunggung Utara termenung-menung, seperti berpikir keras. "Atas dasar apa kau menghalangi kami ?" akhirnya Macan Taring T unggal yang buka suara. "Atas dasar satu tanganku." Maksud orang aneh ini tentu saja dapat ditangkap baik oleh Macan Taring Tunggal maupun Setan Galunggung Utara. Arti Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dari perkatannya adalah bahwa dengan satu tangan saja orang itu dapat mengalahkan mereka. Pada dasarnya adalah umum bagi orang dunia persilatan untuk membanggakan dirinya sendiri dan merasa paling hebat. Sekalipun sifat seperti itu tidak begitu dianjurkan, tetapi di lain pihak juga membuat mereka pantang mundur dan tidak gampang menyerah. Cuma bahwa didepan dua tokoh sekaliber Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara ada orang menyatakan diri sanggup membekuk mereka dengan hanya satu tangan adalah peristiwa yang belum pernah terjadi. Mendadak, tanpa mengunjukkan tanda-tanda terlebih dahulu Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara melesat ke depan. Yang dituju adalah kedua tangan kaki lawan. Tak ada kesiur angin. Tak ada daun tersapu. Inilah gerakan tanpa suara. Serangan tanpa angin. Memamerkan penguasaan tenaga dalam yang sempurna. Betapa menakutkannya serangan Gagak Jemarit yang mengandung racun ganas, tapi kalau dibandingkan dengan gerakan kedua orang aneh ini, maka Gagak Jemarit seolah jagal sapi yang belum begitu mahir. Dalam pertimbangan siapapun, bahkan dalam pikiran Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara sendiri, sudah merasa pasti bahwa serangannya kali ini tidak akan luput. Apalagi kali ini dua orang maju berbareng. Empat tangan selalu lebih baik dari dua tangan. Kalaupun ada yang menduga lain, maka itu adalah orang aneh itu sendiri. Dan seorang lagi, yang dengan anteng bertengger di atas pohon. Sepersekian detik sebelum serangan Macan Taring T unggal dan Setan Galunggung Utara tiba, tubuh orang aneh itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mendadak bergemetaran keras, seperti terkena penyakit demam. Bersamaan dengan itu ratusan helai daun berguguran bagai hujan. Dalam pandangan orang lain, gugurnya daun-daun itu merupakan kejadian yang biasa, tapi bagi Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara, ratusan helai daun yang menghujan itu tidak ubahnya seperti ratusan lempeng besi panas yang bertaburan dari langit. Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara membentak bersamaan. Dua pasang tangan membalik ke atas, berputaran seperti angin beliung. Ratusan daun tergulung menjadi satu, dan dengan sekali hentak serentak meluruk balik ke arah si orang aneh. Orang itu bersiul nyaring. Tangan kananya yang memegang panci bergetar keras. Lima potong tulang kerbau berputaran menghalau panah daun. Dilain kejap orang itu sudah melompat berjumpalitan. Dan dengan tenang kakinya mendarat ringan bagai daun luruh. Tegak menanti, rambutnya yang panjang terurai tersibak. Dan, astaga, itulah Risang Ontosoro, si Bocah misterius. Bahkan Arya yang sejak tadi bersembunyi di atas pohon pun hampir terjatuh saking kaget. Tadi ketika tergantung terbalik, karena rambut yang panjang menutupi sebagian besar muka, seketika Arya tidak mengenalinya, sekalipun merasa pernah mendengar suaranya. Risang Ontosoro tertawa terbahak, "Dua orang aneh dari Istana Seribu Kosong nyatanya kepandaiannya memang tidak mengecewakan. Cuma cara kalian yang menyerang secara keroyokan ini apa tidak takut ditertawai anak ayam." "Tidak takut," jawaban Setan Galunggung Utara memperlihatkan sifatnya yang blak-blakan dan apa adanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mulut berkata kaki bergerak. Serupa gangsingan saja tubuhnya berputar dan langsung menghantam Risang Ontosoro. Kekuatan yang timbul seperti pusaran badai yang mengamuk. Begitu Setan Galunggung Utara bergerak, Macan Taring Tunggal seketika juga bertindak. Tangannya lurus menjotos muka. Keras dan tajam bagai palu godam. Dua serangan hebat ini agaknya membuat si Bocah aneh sukar bermain mulut dan terpaksa memusatkan konsentrasinya untuk bertahan. Namun begitu Risang Ontosoro memang seorang bocah aneh yang sulit di tebak isi dan maunya. Dua kaki tak bergerak, matanya bersinar mencorong, dan satu tangan tergulung ke punggung. Hanya satu tangan yang memapak ke depan. Bocan aneh ini benar-benar menghadapi serangan hanya dengan satu tangan. Macan Taring Tunggal merasa pukulannya yang mengandung tenaga keras liat jatuh di ruang kosong. Amblas dan pupus. Sedang tubuh Setan Galunggung Utara yang berpusar seperti gangsing mendadak membelok dan langsung terlempar ke atas pohon, ke tempat Arya bersembunyi. Karuan Arya yang tak menduga perubahan mendadak itu tidak bisa berpikir panjang. Ia hanya punya kesempatan untuk menyorongkan tangan kirinya ke depan, memunahkan tenaga lontaran Setan Galunggung Utara. Dilain kejab tubuhnya sudah hinggap di atas tanah dengan dada menengadah. Gerakan ketiga orang yang bertarung itu pun lantas berhenti mendadak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setan Galunggung Utara memandangi Arya terlongonglongong, seperti melihat makhluk angkasa luar yang tiba-tiba jatuh dari langit yang bolong. Dalam kenyataannya, ia memang pantas heran. Sejak tadi agaknya pemuda itu sudah bertengger di atas pohon, tapi ketiga orang di bawah seperti tak sadar sama sekali. Ini saja sudah membuktikan bahwa ilmu silat pemuda itu tak dibawah siapapun diantara mereka bertiga. "Apa kau juga berniat menjadi tuan rumah bagi kami berdua ?" Setan Galunggung Utara bertanya asal-asalan. Tapi jawaban Arya kembali membuatnya terlongong. "Ya." Singkat dan lugas. "Apa juga atas dasar satu tanganmu ?" "Tidak, hanya satu jari." Kalau tadi jawaban Risang Ontosoro sudah membuat Setan Galunggung Utara mimpi pun tak pernah menduganya, maka jawaban Arya ini sekalipun lubang telinganya dicuci delapan belas kali, ia tetap tidak mempercayainya. Sayang sekali, ia agaknya harus percaya. Karena begitu huruf terakhir diucapkan jari Arya sudah bergerak. Lurus menyengat. Setan Galunggung Utara masih belum bergerak. Sepasang matanya membelalak bak ikan mas koki. Seumur hidup belum pernah dilihatnya gerakan secepat ini. Bahkan kilat pun tak akan secepat ini. Setan Galunggung Utara pun tak merasakan apa-apa, karena mendadak terdengar suara aneh dari balik semak. Bersamaan dengan itu seekor anjing berwarna hitam keluar dari semak. Menggeliat beberapa kali, lalu menyenderkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kepalanya ke tanah, seperti tertidur, tapi tak ada nafas. Tak ada detak jantung. "Mundur," teriakan Arya keras menggelegar. Belum habis gema teriakannya mendadak anjing hitam itu meledak. Percikan darah dan daging berhamburan. Setitik darah meletik ke sebuah pohon. Titik darah itu dari merah perlahan menghitam, lalu seluruh batang pohon ikut menghitam. Tak berapa lama terdengar bunyi 'krak'. Pohon itu tumbang. Hitam seperti arang. Macan Taring Tunggal mengawasi dengan dingin. Hatinya bahkan lebih dingin lagi. Beberapa keringat dingin merembes di pucuk hidungnya. Bahkan wajah Risang Ontosoro pun memucat, "Sungguh Keji." Desisnya. "Bagaimana kau tahu kalau anjing itu beracun ?" Macan Taring T unggal bertanya tiba-tiba. Arya tidak menjawab. Matanya lekat memandangi bukubuku jarinya, seolah menghitung hari-hari yang tersisa. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Macan Taring Tunggal juga tidak melanjutkan pertanyaannya. Karena ia tiba-tiba memahami suatu hal yang tak tega untuk di ucapkan. Pemuda itu dengan serangan satu jarinya sanggup mematikan jantung anjing itu sebelum tubuhnya meledak. Menghentikan penderitaan hewan ma lang itu dengan memupus nyawa. Dalam serangan itu jelas-jelas jarinya menyentuh jalan darah di kepala anjing. Menurut akal pikiran lumrah, kalau percikan darah dan bulu dari anjing itu saja mengandung racun yang begitu ganas, maka seluruh pori-pori dan kulit anjing hitam itu pasti juga menularkan racun yang dua kali lebih ganas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tapi pemuda itu bahkan seperti tak merasakan apa-apa. Maka ada dua kemungkinan. Yang pertama, kulit dan pori-pori Arya sudah kebal dan mati, sehingga tidak bisa menyalurkan racun yang menyerang lewat susunan syaraf kulit. Tapi itu tidak mungkin. Hanya orang mati saja yang berkulit mati. Maka hanya tersisa satu kemungkinan. Yaitu bahwa dalam tubuh Arya juga mengandung racun yang sama ganas, atau bahkan lebih ganas dari pada racun dalam tubuh anjing. Sehingga racun anjing hitam itu tak mempan dalam tubuhnya. Risang Ontosoro tentu juga mengetahui keadaan ini. Ia telah lebih dahulu berkenalan dengan Arya dan dengan Panca Rasanya yang aneh, ia sudah mengetahui bahwa dalam tubuh pemuda itu terkandung Racun 30 Hari Naik Ke Surga. Racun yang bahkan bumi pun tak sudi menerimanya. Maka ia pun tidak mengatakan apa-apa. Hanya matanya yang samar-samar menyiratkan perhatian yang kental. Perhatian seorang manusia terhadap manusia lainnya. Perhatian dua orang yang saling memahami. Dalam persaudaraan yang asli. Dalam hubungan yang tak butuh pertukaran nama, apalagi jasa. Arya menatap mata Macan Taring Tunggal. Lalu beralih ke Risang Ontosoro. Cahaya aneh redup mendadak memancar dari sepasang matanya yang bening. Ia tidak mengatakan apa-apa. Juga tidak menanyakan apaapa. Seolah semuanya sudah jelas dan gamblang hanya dengan tatapan mata saja. Perlahan ia membalik tubuh. Berjalan pelan-pelan. Tak ada seorang pun yang menghalangi. Setelah tubuh Arya hilang tertelan rimbun pepohonan, Setan Galunggung Utara baru menghembuskan nafas panjang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apakah kau masih ingin mengantarkan kami pulang ?" matanya lekat menatap Risang Ontosoro. Risang Ontosoro masih tampak termenung-menung. Setelah agak lama barulah ia menjawab. "Sekarang tidak lagi," nadanya suaranya seperti ia sedang memikirkan sesuatu yang rumit, "Cuma aku ingin mengatakan satu hal kepada kalian." Titisan Darah Terkutuk 2 Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Kitab Serat Biru 2

Cari Blog Ini