Sengatan Satu Titik 4
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 4 "Oh ?" Risang Ontosoro kembali termenung. Setengah harian kemudian ia baru membuka mulut, mengucapkan tiga bait dengan nada setengah berkidung : "Pergi itu kembali. Kosong berarti satu. Awan itu samar." Lalu tubuhnya membalik. Dengan satu loncatan panjang hilang di gerumbul semak. ~Dewi-KZ~ Arya menyusuri galengan sawah. Kabut putih melayanglayang, mengaburkan pandangan mata. Beberapa kali kakinya terbenam dalam Lumpur. Padi yang menguning bergelayut manja dalam irama pemujaan. Bergemerisik seolah berbisik. Memperlihatkan kesujudan kepada Yang Maha Segala Maha tanpa menyimpan pamrih. Meskipun cara berjalan Arya sangat tenang, namun kepalanya benar-benar penuh. Berbagai hal, berbagai peristiwa terjadi saling bersusul. Begitu cepat. Seolah semuanya tidak berhubungan sama sekali. Namun juga seperti menyimpan pesan yang saling berkaitan. Dua yang terakhir adalah peristiwa di Kademangan dan pertarungan, atau lebih tepatnya, pertemuan antara Setan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Galunggung Utara, Macan Taring Tunggal dan Risang Ontosoro. Siapa wanita berbaju putih yang bertempur dengan Maling Tiga Ratus Kaki tempo hari tentu saja Arya mengenalnya. Bahkan mengenalnya dengan sangat baik. Karena wanita itulah pokok perselisihannya dengan ayahnya, yang membuatnya harus menoreh kebaktiannya kepada ayahnya dengan segaris luka. Y ang bahkan tak gampang sembuh oleh usapan panjang sang waktu. Itulah wanita yang menyebabkan ibunya kehilangan semangat hidupnya. Kehilangan kekuatan jiwanya. Dan akhirnya harus berakhir dalam debu. Bertahta di atas duka. Yang membuatnya terkejut sebenarnya bukanlah wanita itu, atau kemampuannya dalam ilmu silat. Sejak dulu ia tahu wanita itu memang mempunyai kepandaian. Bahkan cukup tinggi kepandaiannya. Justru karena itulah maka ibunya tersisih. Karena ibunya hanyalah perempuan desa biasa. Yang hanya mahir berma in pisau dapur. Walaupun kesimpulan terakhir ini agak meragukan sejak diketahuinya bahwa ibunya adalah Putri Istana Dasar Teratai, yang tentu menguasai dasar-dasar ilmu silat. Yang membuatnya terkejut adalah anak kecil dengan pandangan mata kosong itu. Dan beberapa patah ucapan wanita itu yang janggal. Kejadian kedua lebih tidak masuk akal lagi. Tentang Risang Ontosoro itu, jelas mempunya ilmu silat yang sangat tinggi. Sampai Setan Galunggung Utara dan Macan Taring Tunggal tidak dapat menundukkannya dalam serangan gabungan. Maka tingkatan ilmunya jelas diatas Gagak Jemarit. Tapi kenapa bocah itu mandah saja ketika Gagak Jemarit menangkapnya. Sesungguhnya apa maksudnya " Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dan sebab apa ia menghalangi Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara " bahkan mengetahui dengan jelas bahwa kedua orang itu berasal dari Istana Seribu Kosong. Terlalu banyak yang aneh dari bocah misteius itu. Melihat tenaga yang digunakan untuk menyerang dengan ratusan daun itu, jelas serupa dengan tenaga yang digunakan untuk melempar ranting dalam pertarungan antara Maling Tiga Ratus Kaki dan wanita berbaju putih. Apakah memang anak itu yang membantu Maling T iga Ratus Kaki " Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara juga aneh. Kenapa hanya menghadapi seorang anak tanggung saja harus menyerang dengan tenaga gabungan. Ini jelas tidak sesuai dengan jiwa persilatan dalam diri kedua tokoh itu. Dan anjing itu, siapakah yang mengirimnya " apakah diantara ketiga orang itu, atau ada orang lainnya " Dan apa hubungan semua peristiwa ini dengan Wahyu Kepala Naga " Samar-samar Arya merasakan perasaan yang tidak nyaman. Seperti ada tangan halus yang mengendalikan semua kejadian ini. Tapi untuk apa " Beberapa pengawal Jatingaleh yang hilang tempo hari juga belum diketemukannya. Sementara waktu terus menggerus. Tak ada jeda. Tanpa sadar Arya meremas kepalannya. Betapapun misteri ini harus tersingkap. Karena hal ini menyangkut kehormatan pribadinya, menyangkut nilai yang dijunjungnya sepenuh hati. Langkah Arya berhenti ketika tiba-tiba Mahesa Manunggal muncul. Di tengah kabut yang menghampar, profilnya tampak gagah. Arya mengernyitkan keningnya ketika me lihat Mahesa Manunggal tidak sendiri. Seorang nenek dengan rambut putih keperakan dan sorot mata lembut berdiri di sampingnya. Sekilas Arya tidak melihat keistimewaan apapun pada diri Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ nenek tua itu. Namun nalurinya mengatakan kalau nenek tua itu bukan orang biasa. Arya menghentikan langkahnya. Tersenyum, "Caramu menyembelih kuda itu benar-benar sangat bagus. Tampaknya aku benar-benar harus berterima kasih kepadamu." "Cara itu memang sangat bagus. Aku sendiri bahkan tidak menyangka bahwa aku benar-benar bisa melakukan pekerjaan sebagus itu." Mahesa Manunggal menjawab. Suaranya seperti mengandung maksud tertentu, "sayanganya pekerjaan yang kau lakukan justru tidak terlalu bagus." "Oh?" "Maka sebelum pekerjaanmu tambah semakin jelek, sebaiknya kau mengatakan padaku dimana Ratna Dewi berada." "Jangan lupa dia juga harus menyerahkan potongan bambu di balik bajunya itu. Atau tampanya akan menjadi semakin jelek." Si Nenek menyambung. Bab XI, Kitab Teratai Sepasang mata Arya menyorot terang, bias aneh kembali terpancar dari balik pupilnya, "Kenapa aku harus menyerahkannya ?" "Karena kau masih tidak ingin kehilangan nyawamu." Arya tertawa, kalimat seperti itu sudah terlalu sering di dengarnya, sekalipun berlum sekalipun ia pernah mengucapkannya. Pucat di wajahnya sedikit memburatkan warna merah, "Rupanya kau yang mengirim anjing itu." Rona keterkejutan tak dapat di sembunyikan dari wajah si Nenek maupun Mahesa Manunggal. Selang sejenak si Nenek tertawa dingin, "Setidaknya otakmu tidak setumpul yang kukira." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kalau dipaksakan memang masih lumayan. Kenapa kau mengirim anjing itu ?" "Kadang anjing lebih berguna dari pada manusia." Arya menganggukkan kepalanya, "Benar, setidaknya anjing tidak akan terlalu banyak protes." "Cuma di dunia ini kadang juga ada manusia yang tak mempan di gigit anjing." "Makanya kalian menyegatku disini." Erangan katak yang tersambar ular sawah menyayat kabut. Perasaan yang sama juga berkecamuk di kepala Arya. Ada hal yang mendadak terpikir oleh benaknya. Sesuatu yang membayangkannya pun ia tak berani. Matanya mengerling Mahesa Manunggal, "Kau bertanya kepadaku tentang Ratna Dewi, apa kau benar-benar tidak tahu dimana dia berada ?" "Kalau tahu, untuk apa bertanya ?" suaranya ketus, nadanya dingin. Namun ada sesuatu yang terasa disembunyikan disana. Sederet penjelasan menjabar di kepala Arya. Malam itu, entah siapa yang menculik Ratna Dewi, namun jelas penculik itu berhubungan dengan Mahesa Manunggal. Hanya setelah berhasil menculik Ratna Dewi, seorang lainnya, yang mungkin saja bernama Ki Awu Lamut, berhasil menculik adiknya itu dari tangan Mahesa Manunggal kemudian 'menyimpannya' di gubuk bambunya. Tapi kenapa K i Awu Lamut harus menculik Ratna Dewi dari tangan Mahesa Manunggal, kalau toh keamanan gadis itu sudah terjamin di tangan tunangannya " dan apa tujuan sebenarnya dari Mahesa Manunggal " kenapa sikapnya berubah begini hebat " apa benar hanya karena persoalan Ratna Dewi " atau ada hal lain yang tersembunyi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Dan kau benar-benar menghendaki potongan bambu ini ?" "Bukan dia, tapi aku." Si Nenek membenarkan. Satu benang merah kembali terlihat. Siapapun Nenek itu, dia pasti ada hubungannya dengan Istana Dasar Teratai. Mengingat Kitab Teratai Menutup yang di bawanya jelas adalah pusaka Istana Dasar Teratai. Namun apa tepatnya kedudukan atau hubungan Nenek itu dengan Istana Dasar Teratai seketika belum bisa ditebak oleh Arya. Angin pagi menggoyang batang-batang padi. Ujung padi yang gemuk memberat berayun-ayun kian kemari. Senyum ironis tersembul di bibir Arya, "Jalan setapak ini hanya selebar dua jari. Kalau aku ingin melewatinya, maka harus melangkahi kalian." "Dan kau tahu, melangkahi kami bukanlah pekerjaan yang mudah." Si Nenek menjengek. "Cuma aku juga tidak terbiasa melangkah mundur. Apalagi padi-padi ini kelihatan begitu indah dan menyenangkan, sungguh sayang kalau aku harus lewat dengan merusaknya." "Maka hanya ada pertarungan." Si Nenek tampaknya tidak bersiap, sikapnya tetap seperti semula, berdiri seenaknya. Namun Arya bisa merasakan hawa pembunuhan yang semakin menebal, mengoyak kabut pagi yang pelan-pelan menguap. Bibir Arya mengembangkan senyuman seekor rubah tua, "Biasanya aku tidak pernah menolak untuk bertarung, apalagi sudah sekian lama kita tidak pernah bertemu, kepandaianmu pasti sudah meningkat pesat, ingin benar aku melihatnya." "Kalau begitu kita mulai saja." Hawa pembunuhan menguar dari tubuh Mahesa Manunggal, mengoyak udara pagi yang bersih. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya seperti bimbang, beberapa kali tangannya mengelus batang-batang padi yang kuning kasar. Pandang matanya menyusuri warna kuning yang menghampar dengan semu hijau di beberapa garis. Di kejauhan sana seorang petani tampak seperti titik kecil. "Kalau aku mati, maka tak ada yang ku salahkan. Betapapun kematian hanya sebuah jalan yang harus dilewati. Bila kau yang tewas, itu juga karena sebuah pertarungan yang adil, kurasa kau tidak akan menyesalinya." "Aku pasti tidak akan menyesal." "Namun kalau karena pertarungan kita ratusan batang padi ini terbabat dan rusak, tidak berdosakah kita terhadap dua tiga perut yang menantikannya dengan harap, terhadap sepasang tangan rapuh yang merawatnya tiap pagi ?" Arya seperti bergumam terhadap dirinya sendiri. Suaranya mengambang diantara embun yang mulai menguap. Mahesa tak dapat menjawab, si Nenek juga tidak. Ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menganggu dada kedua orang ini. Arya meneruskan gumangannya, "Aku tidak tahu denganmu, tapi aku akan merasa sangat menyesal." "Kalau begitu kau akan menyerahkan Ratna Dewi dan Kitab Teratai Menutup ?" Mahesa memaksakan suaranya untuk tidak berubah. Walaupun tetap ada nada sumbang yang samar. Sepasang mata Arya menatap lurus. "Tidak, masih ada satu jalan." "Oh ?" Entah bagaimana, tiba-tiba sepasang kaki Arya melesak ke dalam tanah. Sebatas mata kaki, lutut, kemudian dengan cepat tubuh dan kepalanya ikut terbenam, menyusup ke dalam lumpur sawah. Tanah terasa tergetar sebentar. Lalu sunyi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mahesa Manunggal maupun si Nenek tidak sempat memperkirakan apa yang terjadi. Bahkan berpikir ke sana pun tidak. Kedua orang ini hanya melongo takjub. Maklum pemandangan seperti ini sekalipun dalam mimpi pun jarang orang yang melihatnya. Menunggu mereka sadar dengan apa yang terjadi, Arya sudah lenyap di telan bumi. Benar-benar ditelan bumi. Mahesa Manunggal memburu ke tempat Arya berdiri dan hanya menemukan tanah yang gembur. Sebentuk pusaran air Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tergambar di permukaan tanah selebar satu kaki. Si Nenek mengambil nafas panjang. Membebaskan paruparu tuanya dari sesak yang mendadak menyerang. Sepasang matanya tercenung tajam. Perlahan bibirnya seperti berbisik, "Ilmu Belut Putih." Mahesa Manunggal memandangnya tajam. Ilmu Belut Putih merupakan sejenis kepandaian yang terkenal di antara orangorang golongan hitam, utamanya para Bajak dan Perompak. Dengan ilmu itu mereka bisa menghilang diantara celah karang dan ombak, maupun Lumpur sawah. Biasanya digunakan kalau mereka sedang melarikan diri dari kejaran musuh. Sebenarnya ilmu ini tidak begitu digemari. Apalagi oleh orang golongan putih. Karena sifatnya yang memamerkan kepengecutan dan terlebih karena ilmu ini dianggap tidak sempurna. Umumnya orang yang menguasai kepandaian ini sekalipun bisa membuat kulit tubuhnya licin laksana belut sehingga sulit di pegang, namun belum ada yang benar-benar bisa menghilangkan diri di kedalaman bumi atau sela-sela ombak dan karang. Bahwa Arya bisa melakukan hal yang umumnya dianggap mustahil ini sudah cukup memberi pukulan berat kepada si Nenek maupun Mahesa Maunggal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kukira kita terlalu memandang rendah terhadap sahabat lamamu itu." Si Nenek berdesis. Nada suaranya menunjukkan tekanan yang dalam. "Berita tentangnya terlalu simpang siur. Ada yang menganggapnya iblis besar, ada juga yang menyangkanya sebagai pendekar golongan putih. Tapi tak pernah ku dengar ada orang yang mengatakan bahwa dia menguasai ilmu Belut Putih sampai tingkat setinggi ini." "Tampaknya kepandaiannya bahkan diluar apa yang kita perhitungkan." "Tapi apa benar dia membawa Kitab Teratai Menutup ?" "Kalau kabar yang kuterima benar, bahwa anak itu yang menggantikan kedudukan ketua di Istana Dasar Teratai, mengingat kepandaian dan kecerdasannya maka dapat kupastikan Kitab Teratai Menutup memang sudah terjatuh ke tangannya." Si Nenek menghela nafas panjang. "Pekerjaan ini sepertinya bertambah semakin berat. Wahyu Kepala Naga sebentar lagi akan muncul, sementara orang-orang yang mengincarnya masih menyembunyikan kepala. Apakah badai dua puluh tahun yang lalu akan kembali bertiup di dunia persilatan ?" gumam si Nenek seperti kepada dirinya sendiri. Bersama sepoi angin yang berhembus, kedua orang ini melayang balik. ~Dewi-KZ~ Pondok bambu itu masih seperti hari-hari kemarin. Warnanya yang bersemu kuning masih menyimpan kedamaian yang menyejukkan. Belasan ekor ayam dan berbagai macam unggas masih berkotek riang. Pun riak air yang memecah pasir. Namun suara Ratna Dewi, Arum Puspita maupun Ki Awu Lamut sudah tak terdengar. Pintu tidak dikunci. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya mendorongnya perlahan. Tangannya sedikit bergetar ketika menolak pintu. Ia tak memanggil, juga tak mengetuk pintu. Benar saja, pondok itu kosong. Arya mengedarkan pandangannya. Rasa cemas membuat kulitnya sedikit bergetar. Semua benda masih tertata di tempatnya. Rapi dan bersih. Tak ada bekas yang ditinggal. Sebuah caping bambu tersampir di dinding. Juga sebatang tongkat yang tampak amat tua. Sepasang kursi dan meja, juga satu buah kursi panjang dari bambu terpajang sederhana. Ruangan itu sebenarnya tenang dan menyegarkan. Siapapun yang memasukinya akan merasakan ketenangan yang merasuk, menular dalam darah yang cepat berdetak. Mungkin karena itu Ki Awu Lamut tak pernah kelihatan resah. Wajahnya selalu bersemu merah. Memancarkan semangat yang berkobar, kontras dengan usianya yang hampir satu abad. Namun bagi Arya ruangan ini sekarang menjadi demikian misterius. Seolah ada kabut yang memisahkan. Samar-samar, namun mengganggu. Kenapa Ki Awu Lamut menculik Ratna Dewi dari Mahesa Manunggal " apakah benar hanya sekadar menyelamatkan, atau ada sesuatu dalam diri adiknya yang berhubunga dengan kepentingan Ki Awu Lamut " Namun Ki Awu Lamut terkenal karena sikapnya yang acuh tak acuh dan tak suka mencampuri urusan orang lain. Hidupnya melulu hanya untuk obat dan mengobati orang lain. Tapi siapa yang bisa memastikan " Setiap orang punya rahasia. Seaneh dan seacuh apapun seseorang, ia pasti punya kepentingan. Hidup ini kan berjalan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ karena setiap makhlup punya hasrat dan dorongan untuk melaju. Manusia yang tak punya keinginan bukanlah manusia. Namun kalau pun Ratna Dewi dan Arum Puspita tertawan oleh Ki Awu Lamut saat ini, dalam waktu dekat ia mungkin tidak perlu terlalu khawatir. Hubungan baiknya dengan orang tua itu setidaknya akan menahan Ki Awu Lamut untuk mencelakai kedua gadis itu sebelum berkonfirmasi dengannya. Atau setidaknya membicarakan jual beli yang mungkin diingankan orang tua itu. Arya menghentikan lamunannya. Dijatuhkan tubuhnya ke kursi panjang. Dengan nyaman punggunya merebah. Sudah cukup lama tubuhnya tak beristirahat. Ketika otot-otot di seluruh tubuhnya mengendor, baru ia menyadari bahwa sudah sekian lama ia tak merasa begitu nyaman. Diam-diam ia bersyukur bahwa seorang jenius yang menemukan model kursi malas seperti ini dilahirkan sebelumnya, sehingga ia bisa turut merasakan maha karya ini. Sekarang ini masalah masih terus berkerumuk meminta penyelesaian. Tapi seorang bijak tak akan membiarkan tubuhnya mati karena penat. Seliat apapun seekor kuda, ia tetap membutuhkan satu dua helai rumput hijau yang masih basah. Maka Arya pun memutuskan untuk melupakan segala hal sementara. Dilepaskannya kepalanya dari segala beban. Hidungnya mengendus udara yang bersih segar. Telinganya mendengar debur air dan kotek ayam. Pikirannya tenang menganyam awan. Dengan cepat, kantuk mulai memberati matanya. Namun hidup manusia selalu tak luput dari pelbagai kejutan. Yang namanya kejutan, datangnya seperti telor ayam, tak pernah terduga. Bila kau mengharapkannya, maka ia akan menyembunyikan kepalanya rapat-rapat, layaknya kura-kura yang masih perawan. Namun bila kau tak ingin dia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ datang, maka dia akan bertingkah seperti anak nakal yang berumur belasan, tak pernah puas untuk terus menganggumu. Sebelah kaki Arya sudah menginjak ladang mimpi ketika cahaya di matanya yang setengah terpejam lapat-lapat memantulkan berpuluh aksara. Huruf-huruf itu seperti ada, seperti tak ada, menari-nari tak henti-hentinya. Bila ada manusia yang menderita rasa kantuk luar biasa, juga lapar yang melilit perut, biasanya dia akan mendahulukan matanya dan melupakan perutnya sementara. Orang tidur kan tidak lagi merasa lapar. Teknik ini biasanya cukup efektif untuk mahasiswa yang jadwal makannya senin-kamis. Namun bila seseorang diserang hawa kantuk dan rasa ingin tahu, maka dia tidak akan bisa tidur sebelum rasa keingintahuanya terpuaskan. Makanya banyak orang yang sanggup begadang dua hari dua malam demi menghatamkan cersil. Tak dapat disangkal bahwa Arya juga manusia. Namun ia sebenarnya bukan seorang yang terlalu egois. Betapapun sepasang matanya adalah salah satu sahabatnya yang paling terpercaya. Maka sekuat tenaga coba dilupakannya hurufhuruf itu. Tapi semakin dilupakan, malahan semakin jelas. Pelupuk matanya seperti layar monitar yang tak dapat dimatikan (memangnya zaman itu udah ada monitor "). Dengan masygul, akhirnya dibukanya matanya. Tepat diatas kepalanya adalah atap yang terbuat dari genteng tanah. Tak seperti umumnya genteng yang tebal dan lurus, genteng-genteng di pondok itu dibuat tipis dan melengkung. Sedikit banyak Arya tahu kenapa gentenggenteng di pondok bambu ini dibuat tipis melengkung. Ki Awu Lamut pernah mengatakan bahwa ia suka mendengarkan suara air hujan yang jatuh di atap, merasakan mengalirnya air di atasnya. Air selalu merupakan keindahan tersendiri bagi orang tua itu. Kecipak air danau, rintik air Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hujan. Semua itu merupakan puisi tanpa kata yang sangat dinikmatinya. Waktu kecil Arya pernah melihat orang tua itu termenungmenung mengamati embun yang beterbangan waktu malam, menitik pada pucuk daun, kemudian kembali menguap, menyegari udara. Anehnya, begitu Arya membuka matanya, puluhan hurufhuruf yang tadi seperti hidup itu lantas lenyap tak berbekas. Arya mencoba menajamkan matanya, meraih kesadarannya yang tersisa, kemudian menggeleng-gelengnya kepalanya beberapa kali, namun huruf-huruf itu tak juga muncul. Kantuknya segera hilang oleh rasa penasaran yang semakin berkobar. Seperti cicak, ia memanjat dinding. Bergelantungan pada sebatang belandar yang melintang, diamatinya genteng-genteng itu. Ia perlu mendekatkan jarak lagi sebelum matanya menumbuk semacam ukiran yang mirip huruf. Ah..bukan huruf, ia mengenal berbagai macam huruf, namun tak ada yang seperti ini. Arya mencoba mengamati genteng yang lain. Satu ukiran lagi. Tapi juga tak mirip huruf. Satu pikiran tiba-tiba berkelebat di otaknya, yang membuat semburat merah di wajahnya terpancar tegas. Berdebar-debar dikeluarkannya Potongan bambu yang betuliskan K itab Teratai Menutup dari saku bajunya. Beberapa kali jari telunjuknya mencoret-coret udara sebelum semburat kegirangan memenuhi mukanya. Ukiran di genteng itu ternyata adalah separuh huruf yang pertama dari Kitab Teratai Menutup. Boleh dibilang itu adalah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kitab Teratai Membuka. Bila kedua potongan huruf itu disatukan, maka akan terbentuk huruf yang sempurna. Arya menghela nafas dengan tersenyum, menghempaskan kegembiraan yang memenuhi dadanya. Bibirnya berdecak kagum terhadap cara penyimpanan yang luar biasa itu. Persoalan muncul ketika ia menyadari bahwa satu buah genteng hanya bertuliskan satu potong huruf. Kalau ia ingin membaca keseluruhan huruf-huruf itu, maka ia harus mencopot seluruh genteng. Hal ini terlalu gila. T idak akan ada orang yang merasa nyaman melihat orang muda seperti dirinya mencopot atap rumah orang, apalagi hal ini akan menarik perhatian. Maka ia mencari potongan kayu dan dengan merangkak dan bergelantungan kesana kemari menuliskan dan mengumpulkan potongan huruf-huruf itu. Bulan sabit muncul dengan malu-ma lu ketika Arya diam bersila. Di depannya, lima potong kayu dengan ratusan huruf yang terukir. Dengan batin yang sunyi, Arya mencoba menggerakkan daya ciptanya terhadap ratusan huruf itu. Dan huruf-huruf itu mulai menari, bergelayut di tiap sel otaknya, mengalir dalam pembuluh darahnya. Dalam tenang yang seperti kuning telur, Arya melihat aliran darah yang mengalir seakan tak berhenti. Hawa murni yang berputar, lalu membuyar. Kemudian kembang teratai dengan kuncup yang mekar, daun yang lebar mengambang. Kitab Teratai Teratai adalah Teratai Ia mekar karena ia mekar. Ia menapak air tanpa memberi riak. Cinta adalah Cinta. Ia mekar karena ia mekar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ia merasa tanpa melukai. Hidup adalah hidup. Ia berjalan karena ia Jalan. ~Dewi-KZ~ Arya merasakan darah di tubuhnya bergolak-golak. Detak jantungnya berderap seakan melomba. Seekor naga seolah sedang berenang di seluruh sel sarafnya. Kitab Teratai sesungguhnya merupakan Kitab yang sangat aneh. Berisi hanya kalimat-kalimat mirip puisi, atau kidung. Bila orang biasa yang membacanya, maka dia hanya seperti bernyanyi, dengan bait yang tidak jelas artinya. Namun bila yang membacanya adalah seorang yang terbiasa dengan rangkaian misteri alam, kerap mengasah jiwa dengan berbagai laku, maka Kitab itu benar-benar akan memberi pengaruh yang luar biasa. Pada dasarnya, Kitab Teratai tidak diciptakan untuk dipelajari. Ia melainkan tak sengaja tercipta dari perpaduan tiga kekuatan yang sedang bertarung. Tiga kekuatan berbeda yang saling serang menyerang, namun juga saling melengkapi. Maka isinya juga bukan pelajaran s ilat atau hawa murni. Bait demi bait yang tertulis melulu melukiskan pertarungan tiga kekuatan itu, beserta rasa dan emosi yang terlontar dari tiga tokoh sakti yang bertarung. Maka bagi seorang pemula dalam ilmu silat, kitab itu tidak akan memberi manfaat apa-apa. Hanya bagi seorang yang sudah mencapai pengertian cukup tinggi dalam ilmu silat, bukan saja rasa yang terbit dari penghayatan kidungan itu akan meningkatkan semangat, olah kekuatan dan sifat-sifat pertarungan antara tiga kekuatan yang terkandung juga akan berpadu dan saling menyempurnakan. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Fajar merekah merah ketika dari seluruh tubuh Arya mengepul sejenis kabut air, tipis dan berjalur-jalur. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sambil menghembuskan nafas panjang, Arya meredakan pergolakan darah dan hawa murninya. Sekujur badan dirasakannya enteng seperti kapas. Mukanya yang pucat juga sudah lebih memerah. Sebenarnya Arya berfikir untuk menghancurkan saja kelima potongan kayu itu, tapi benaknya mendadak terfikir, bahwa keadaannya mempelajari Kitab Teratai itu sekalipun terjadi secara setengah ajaib dan tak terduga, tapi disisi lain juga tanpa terlebih dahulu minta ijin terhadap yang menciptakannya, setidaknya pewarisnya. Bahwa sebagian penggalan Kitab Teratai itu tertulis di sini, maka pasti Ki Awu Lamut sedikit banyak berhubungan dengannya, paling tidak ia lah yang menyalinnya ke genteng pondoknya. Meski sekarang dirasakannya orang tua itu agak diliputi misteri, namun tata sopan tak boleh diabaikan. Betapapun pantang bagi Arya untuk mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Maka diikatnya lima potong kayu bertuliskan Kitab Teratai itu dalam satu buntalan. Setelah memandang sekeliling, akhirnya diputuskannya untuk menyimpannya di balik caping bambu yang tergantung di dinding. Ketika menggantungkan potongan kayu berisi Kitab Teratai di balik caping bambu inilah tiba-tiba matanya menangkap secarik kain kecil berwarna hijau muda. Secarik kain itu terikat pada tongkat tua di samping caping bambu. Arya masih ingat, bahwa pakaian atau selendang yang terikat di pinggang Arum Puspita agaknya juga terbuat dari corak kain yang sama. Arya mengambil kain itu, mengamatinya sejenak, dan segera menemukan bahwa kain itu kelihatannya memang terobek dari selendang milik Arum Puspita. Apakah gadis itu mencoba memberikan petunjuk terhadapnya karena tahu ia pasti akan kembali ke tempat itu " Di balik kain tertulis sepatah kata, Awan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan adanya petunjuk ini, Arya menjadi yakin bahwa Ratna Dewi dan Arum Puspita agaknya memang tertawan oleh Ki Awu Lamut dan kemungkinan besar tidak akan kembali ke tempat ini, setidaknya dalam waktu dekat ini. Kalau memang mereka tidak akan kembali, untuk apa pula menunggu" Tapi apa sebenarnya yang dimaksudkan Arum Puspita dengan kata Awan itu" apakah menunjuk puncak Sindoro yang selalu diliputi awan putih itu" atau ada arti yang lain" Sambil berjalan keluar, Arya kembali berfikir, beberapa waktu lalu, Arum Puspita pernah menceritakan tentang Tiga Istana Abadi, yang salah satunya bernama Istana Lautan Awan. Apakah itu yang dimaksudkan oleh gadis itu" Ketika melewati beberapa ekor ayam yang berkotek, Arya menjadi teringat bahwa sejak tadi kemarin dirinya belum makan apa-apa. Untuk melanjutkan perjalanan yang agaknya tidak pendek ini, kalau harus dimulai dengan perut yang kosong melilit kan begitu tidak berperasaan terhadap cacingcacing dalam perutnya yang selalu menemaninya dengan setia baik dalam suka maupun duka. Maka dengan sekali gerakan ia menangkap seekor ayam disitu, pergi kebelakang pondok dan segera menemukan tumpukan kayu bakar yang siap pakai. Sambil mengunyah daging ayam yang terasa gurih, Arya mengingatkan dirinya untuk tak merasa begitu berdosa terhadap Ki Awu Lamut tentang seekor ayamnya ini. Betapapun dirinya termasuk sedikit orang yang rapat dengan orang tua itu. Maka cara makannya pun semakin lahap. Sambil mengendus bau ayam bakar yang harum Arya sempat heran bahwa kantuknya bisa hilang begitu saja. Bergolaknya isi perut sebagai tanda dari mengamuknya Racun 30 hari Masuk Surga yang biasanya terjadi secara berkala setiap matahari terbenam juga tak dirasakannya lagi. Memangnya racun itu sudah tawar ". Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya menggeleng-gelengkan kepala. Sekalipun benar Kitab Teratai teramat sakti, namun dari yang didengarnya, selama 300 tahun ini belum ada yang berhasil menawarkan Racun 30 Hari Masuk Surga. Mungkin kekuatan yang timbul dari penghayatan Kitab Teratai itu hanya menetralkannya untuk sementara saja. Sambil menghembuskan nafas panjang, Arya membersihkan sisa-sisa kayu bakar yang masih berserak. Setelah sekian lama bergulat diantara hidup mati, sekarang ini dirinya sudah terlebih paham bahwa yang paling pantas ditakuti didunia ini adalah bila dirinya tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Maka misteri yang menguntitnya ini betapapun harus di singkap jelas. Apakah mati yang akan jadi tumbalnya, itu urusan belakang. Pucuk matahari mulai terlihat. Langit berwarna biru bersih. Tapi mendadak dari tepi langit tertampak sinar merah yang menyemburat ke atas. Sinar yang mencorot tajam itu hanya tampak sekilas, tapi tentu tak terlepas dari pandangan mata Arya. Seketika sorot mata Arya memancarkan sinar tajam. ~Dewi-KZ~ Ki Demang masih berbaring. Sekalipun nafasnya naik turun teratur, namun kesadarannya belum lagi kembali. Sejak ditemukannya tubuhnya sepuluh hari yang lalu kondisinya tak berubah. Tidak memburuk, tapi juga tidak membaik. Hal ini karuan membuat Ki Jagabaya dan yang lain-lain cemas tidak karuan. Berbagai ramuan obat dan teknik pemyembuhan sudah dilakukan, namun hasilnya nihil. "Kakang Jagabaya, apa kau tidak merasakan hal yang aneh dalam diri Kakang Kebo Sora?" Tanya wanita berbaju putih yang bernama Pandan Kumala. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ki Jagabaya menganggukkan kepala, "Beberapa waktu lalu penah ku dengar juga Ki Jamritha yang memberikan ramuan kayu putih itu mengatakan bahwa dalam diri Adi Demang mengendap semacam obat bius yang merenggut kesadarannya untuk sementara waktu. Waktu itu aku tidak yakin, karena selain kulihat keadaan Adi Demang yang nampaknya baik-baik saja, Ki Awu Lamut juga pernah mengatakan bahwa kondisi K i Demang baik-baik saja." "Ki Awu Lamut" Apakah dia yang memeriksa Kakang Demang untuk pertama kali?" "Benar." Sepasang alis Pandan Kumala bertaut, sementara tangan kanannya perlahan mengusap keringat tipis yang merembes dari dahi Ki Demang. Lalu ujarnya pelan, "Apakah Kakang Jagabaya pernah berfikir tentang kemungkinan Ki Awu Lamut yang memasukkan obat bius itu dalam tubuh Kakang Demang ?" Ki Jagabaya terbatuk-batuk, "Kuakui aku memang tidak pernah berfikit sampai kesitu. Menurut apa yang kuketahui dan sepanjang pengalaman bergaulku dengan orang tua itu, tak pernah kudengar ia melakukan sesuatu yang melanggar batas kewajaran, sekalipun cara bergaulnya memang agak mendekati laku seorang pertapa." Ki Jagabaya melirik Pacak Warak dengan ujung matanya. "Tapi umumnya seorang tabib memang kehidupannya sebagian tercurah untuk meneliti obat-obatan dan mengobati orang lain. Hal ini juga tampak dari tabib-tabib yang lain." Pacak Warak menyambung. Suara gedobrakan mendadak terdengar. Dari pintu masuk seorang bocah dengan gaya linglung. Matanya jelalatan kesana-kemari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pandan Kumala segera bangkit, meraih bocah itu dan meletakkannya dalam pangkuannya. Dirapikannya rambut bocah itu yang kelihatan awut-awutan. Ki Jagabaya sekilas memejamkan matanya. Rasa tak nyaman selalu merembeti hatinya begitu melihat putra bungsu Ki Demang itu dalam keadaan begitu rupa. ~Dewi-KZ~ Bab XII, Istana Lautan Awan Bocah yang bernama Gagang Gerhana itu menoleh kesanakemari. Tampak jelas betapa sorot pandang bocah itu tidak memperhatikan satu benda pun yang berada di ruangan itu. Hanya sekilas tadi biji hitam matanya sempat sejenak mengerling ke arah Ki Demang yang terbujur pingsan. Sepasang mata Pandan Kumala yang pada mulanya sayu ketika Gagang Gerhana datang mendadak bersinar terang begitu melihat tangan kanan bocah itu mengenggam sesuatu yang mirip ranting pohon. Tak perlu berpikir dua kali bagi Pandan Kumala untuk mengenali bahwa ranting itulah yang menghalangi serangannya terhadap Maling Tiga Ratus Kaki tempo hari. Tapi bagaimana ranting itu bisa berada di tangan anaknya" Bahkan pada saat pertempuran tempo hari tak ada seorangpun yang memperhatikan ranting itu. Ditatapnya mata anaknya, "Gerhana, dari mana kau mendapatkannya?", tanyanya hati-hati. Gagang Gerhana seperti tidak memperhatikan pertanyaan ibunya. Kepalanya masih sibuk menoleh kian kemari. Pandang Kumala menarik nafas. Kedua tangannya memegang kedua sisi kepala Gagang Gerhana dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memandang lurus ke arah matanya. "Gerhana, dari mana kau mendapatkan ranting ini?" suaranya mendesak. Ki Jagabaya yang mempunyai ketajaman mata lumayan tinggi bisa mengerti arah pertanyaan Pandan Kumala, tapi Pacak Warak yang saat pertempuran tidak terlalu memperhatikan jalannya peristiwa menjadi terbengong heran. Gagang Gerhana mengeluarkan gumangan tidak jelas. Bibirnya berkomat-kamit entah mengucapkan apa. Hanya tangan kanannya yang memegang ranting tampak seperti menggaris-garis udara. Pandan Kumala mengerutkan keningnya. Selintas ingatan menyentak kepalanya. Dilepaskannya anak satu-satunya itu. Begitu menyentuh tanah, seperti sengaja tidak sengaja tangan kanan Gagang Gerhana mencoret-coret tanah. Yang aneh, kedua matanya malah menatap tubuh Ki Demang dengan termangu-mangu, seakan jiwa yang menggerakkan tangan dan pandangan mata adalah dua jiwa yang berlainan. Gerakan tangan Gagang Gerhana berhenti. Di lantai tanah yang keras tergores satu kalimat. Istana Lautan Awan. Paras muka Ki Jagabaya berkerut keheranan, lebih kepada kelakuan Gagang Gerhana dari pada apa yang ditulisnya, begitu juga Pacak Warak. Lain dengan Pandan Kumala yang garis-garis wajahnya berubah keras. Sepasang tangannya juga sedikit bergetar. "Kakang Jagabaya, kukira aku terlupa membasuh kedua kaki bocah ini sehingga begitu kotor. Aku ke belakang dulu." Pandan Kumala mencoba memperlunak suaranya. Namun toh getar yang samar sempat tertangkap oleh telinga K i Jagabaya. Pandan Kumala tak sempat melihat anggukan Ki Jagabaya sebelum dengan cepat kakinya melangkah sambil menggendong Gagang Gerhana di pinggang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gerombolan semut hitam menyingkir serabutan ketika telapak kaki Pandan Kumala menginjak salah seorang dari kawanan binatang hitam itu tanpa sengaja. Dengan menggendong seorang bocah berbobot tiga puluhan kilo langkah kaki wanita pertengahan baya itu masih tetap lincah dan ringan. Melintasi gerumbul bambu yang hijau merimbun, terlihat sebuah batu besar berlumut yang agaknya sudah sangat tua. Batu itu berwarna hitam legam, sekilas tampak seperti seekor kerbau mendekam. Dibawah batu tampak mata air yang bergemericik jernih. Air yang bening menggumpal dengan garis tengah hanya setengah meter. Siapapun yang melihat batu hitam berlumut itu pasti menyangka bahwa batu itu adalah sebuah batu yang sudah sangat kuno dan merupakan salah satu dari kewajaran alam. Tak ada yang mengira bahwa ternyata batu hitam itu merupakan sebuah batu yang ajaib. Zaman dahulu kala, tertulis cerita yang menggambarkan tentang kelahiran seekor unta besar dari belahan batu keras. Tapi unta tidak cocok hidup di bumi Jawa. Maka batu itu pun tidak melahirkan unta, melainkan manusia. Seorang manusia yang tingginya tidak lebih dari setengah meter. Namun sekalipun cebol, perawakan orang ini sangat kekar, kepalanya bahkan termasuk sangat besar. Telinganya meruncing tajam. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Orang aneh ini keluar begitu saja dari dalam batu ketika Pandan Kumala mengetok-ngetok batu itu beberapa kali, sambil tiga kali menepuk permukaan mata air. Orang cebol ini berdiri di depan Pandan Kumala, tidak berbicara, juga tidak memperlihatkan sikap menanya. Satusatunya yang tertangkap dari mimik wajahnya adalah bahwa ia sangat patuh terhadap wanita istri K i Demang ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Mereka benar-benar pergi ke Istana Lautan Awan?" Orang ini mengangguk. Pandan Kumala tidak menanyakan kepastiannya. Karena ia sangat tahu, berita apapun yang dibawa oleh orang ini tidak pernah salah. Sejenak kepalanya berpaling memandang anaknya, sebelum diletakkannya Gagang Gerhana di tanah. "Kau suruh aku menjaga bocah ini?" "Ya, sampai aku kembali." "Lebih baik kau suruh aku membunuh orang, atau mencari jarum yang hilang ditengah tumpukan tahi kerbau dari pada suruh menjaga bocah ini." "Aku tahu, menjaga bocah seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah," matanya menatap si Cebol tajam, "tapi aku tidak menyuruhmu memilih." Itu artinya ia tidak punya pilihan lain. "Ia hanya butuh makanan bila perutnya kosong. Juga kau harus menjaganya agar tak seorang pun dari penduduk Dipa Saloka mengetahui keberadaannya, atau bahkan hanya melihatnya." Pandan Kumala tersenyum aneh, "Atau kau memilih untuk kehilangan kepalamu." Sekali berkelebat tubuhnya hilang di tengah rimbun bambu. Si Cebol menghela nafas panjang, "Bocah ini hanya butuh makanan bila perutnya kosong, tapi bagaimana aku tahu kalau perutnya kosong." Kenyataannya Gagang Gerhana adalah seorang bocah yang sangat aneh. Biar bagaimana lapar pun ia tidak akan memperlihatkan ekspesi kelaparan di wajahnya, juga tidak akan meminta makanan. Ia pun tidak mau makan kalau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perutnya tidak kosong, sekalipun misalnya setumpuk nasi goreng dihidangkan di depan hidungnya. Si Cebol agaknya sudah sekian lama berkumpul dengan bocah ini, hal yang menjelaskan bahwa ia sedikit tahu kebiasaan Gagang Gerhana. Namun kenapa Pandan Kumala seperti menyembunyikan kenyataan ini dari orang-orang Dipa Saloka" Memangnya dia pun memiliki kepentingan yang tersembunyi" ~Dewi-KZ~ Berbeda dengan Istana Dasar Teratai dan Istana Seribu Kosong yang keberadaannya sangat mesterius, sebaliknya, keberadaan Istana Lautan Awan diketahui oleh hampir semua ksatria dunia persilatan. Sekalipun beberapa tahun ini agak merosot perkembangannya, namun sampai sejauh ini belum ada seorang pun yang berani berbuat kurang ajar terhadap Istana Lautan Awan. Konon, ketua dari Istana Lautan Awan adalah seorang pertapa yang telah berusia hampir seratus lima puluh tahun. Ketua ini, yang dikenal sebagai, Kiai Amuk Nanggala, dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia persilatan yang masih tersisa, selain bahwa Istana Lautan Awan sendiri adalah juga lambang kejayaan dunia persilatan yang masih berdiri kukuh. Betapa tinggi kesaktiannya, bahkan sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Kiai Amuk Nanggala ini sanggup berada di dua tempat sekaligus. Juga bergerak secepat putaran angin. Hanya karena dua puluh tahun terakhir orang tua ini banyak mengurung diri di tempat pertapannya, sehingga generasi terakhir dari dunia persilatan tidak terlalu jelas tentang kenyataan sebenarnya dari Kiai Amuk Nanggala. Orang-orang muda hanya mendengar dari cerita guru maupun orang-orang tua mereka tentang mitos Kiai Amuk Nanggala. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun bahwa Kiai Amuk Nanggala adalah sa lah satu tokoh pujaan dunia persilatan yang ditakuti sekaligus dihormati adalah hal yang tidak terbantah. Sekarang ini, sekalipun jabatan resmi ketua masih dipegang oleh Kiai Amuk Nanggala, namun dalam urusan keseharian Istana Lautan Awan sebagian besar dilaksanakan oleh murid tertuanya, yaitu Ki Banjar Pasutan, bersama dengan dua orang adik seperguruannya, yang masing-masing bernama, Ki Rekti Panarakan dan Nyai Gelang Panarakan. Yang kedua terakhir ini merupakan suami istri. Sementara Kiai Amuk Nanggala sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar pertapaannya, bahkan selama lima tahun terakhir ini, selain ketiga muridnya dan seorang murid yang bertugas mengantar makanan, tak seorang pun yang pernah melihat rupa asli Kiai Amuk Nanggala. Istana Lautan Awan terletak di sebuah pulau karang yang sangat tinggi. Dikelilingi oleh deburan ombak samudra yang setiap detik berusaha memecah dasar karang. Boleh dikata tempat ini merupakan salah satu keajaiban dunia yang sulit dicari bandingannya. Dengan pulau karang yang seolah muncul begitu saja dari dasar laut, bertengger gagah di permukaan buih yang bergelombang, dan dengan bangunan Istana berwarna putih pualam yang setiap saat seperti hilang timbul di tengah beraraknya awan, membuat siapapun yang memandangnya akan berdecak kagum. Pulau karang itu sendiri terletak beberapa ratus meter dari bibir pantai. Maka bagi siapapun yang berniat berkunjung ke Istana Lautan Awan, ia harus menyebrang dengan naik sebuah sampan kecil yang tertambat di beberapa patok kayu di bibir pantai. Sedangkan Pantai itu merupakan sebuah pantai pasir putih yang gemerlap oleh kilauan titik-titik hijau pada waktu malam. Dengan ratusan pohon kelapa dan nyiur yang selalu berayun melambai, dan buah yang berwarna hijau segar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bergelantungan manja, menambah keelokan alam yang perkasa ini. Pada musim tertentu, ribuan ekor penyu seolah ratusan batalion akan datang bergelombang, menyimpan telurtelurnya di kehangatan pasir pantai. Bila orang datang pada saat demikian, bukan saja ia akan melihat penyu-penyu itu yang seakan datang dari negeri seberang, juga ia akan beruntung dapat menikmati telur penyu yang lain dari pada yang lain. Istana Lautan Awan, seperti biasanya, selalu dalam suasana sunyi yang khidmat. Ratusan orang yang lewat dan berjalan di lorong-lorong dan ruangan Istana ini, namun gaduh kecil pun tak pernah terdengar. Setiap orang berbicara dengan lirih, melangkah dengan hati-hati. Hanya di halaman samping terdengar teriakan-teriakan berirama dari dua puluhan pemuda yang berlatih silat secara berkelompok. Sekalipun menggunakan kata Istana, namun itu tak lain hanya sebatas sebutan saja. Kenyataannya Istana ini lebih mirip sebuah perguruan silat. Hanya memang disiplin yang berlaku dalam Istana ini lain dari pada yang lain. Latihan menahan diri dan ketenangan adalah dua hal pokok yang terus dipupuk di setiap anak murid Istana Lautan Awan. Itulah sebabnya sekalipun berpenghuni ratusan orang namun tak suara ribut pun terdengar di Istana ini. Namun pagi itu, seorang anak murid berumur pertengahan baya yang bertugas mengurus keperluan dapur tampak berjalan mondar-mandir dengan dahi berkerut. Murid itu bernama Sambang Rejo, sudah bertahun-tahun menjadi pengurus dapur. Ruangan dapur itu sendiri cukup luas, berisi tiga tungku besar dengan tiga buah kuali yang sebesar dua puluh kali perut orang dewasa, bertengger di mulut tungku. Ketika seorang murid lain masuk ke ruangan dapur itu, Sambang Rejo segera menarik tangan temannya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ada apa ?" Tanya temannya yang bernama Sawuk Mancur itu dengan suara kaget. Maklum tidak biasanya teman tugasnya ini berlaku begini aneh. "Apa kau lihat rempelo (limpa) bangau yang kumasak pagi tadi?" suara Sambang Rejo terdengar khawatir. "Bukankah kau yang memasaknya?" Sambang Rejo mengangguk-angguk. "Lalu bagaimana aku lebih tahu dari pada kau?" "Apa bukan kau yang mengambilnya?" Sawuk Mancur tertawa, "Sekalipun aku mempunyai nyali sebesar kuali itu, tak nanti aku berani mengambilnya." Limpa bangau itu dimasak dengan pesanan khusus dari Nyai Gelang Panarakan yang sekalipun tidak hamil tapi suka ngidam berbagai macam makanan yang aneh-aneh. Ada malah dia pernah ngidam rendeng kuku kuda. "Benar juga." Desah Sambang Rejo sambil melepaskan tangan temannya. "Apa limpa itu hilang?" Tanya Sawuk Mancur dengan hatihati. Rona khawatir mulai membayang di mukanya. Maklum betapa galak dan pedasnya (emangnya jahe") Nyai Gelang Panarakan sudah bukan rahasia lagi. "Kalau tidak hilang masakah aku sampai bertanya padamu?" jawab Sambang Rejo sambil menarik muka. Mendadak Sawuk Mancur menarik lengan temannya ke sudut ruangan. Setelah celingak-celinguk ke sana kemari barulah ia berbisik dengna suara tertekan, "Apakah perkara kehilangan ini sudah terjadi beberapa kali?" Ganti Sambang Rejo yang melengak, "Bagaimana kau tahu?" "Apakah yang tercuri selalu makanan yang istimewa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Memangnya kau ini sudah kawin dengan kuntilanak sehingga bisa tahu isi hatiku?" Sawuk Mancur menarik muka, "Kau sendiri yang kawin dengan demit." "Lalu bagaimana kau tahu?" "Aku tahu karena pada hari-hari tugasku juga terjadi kehilangan yang demikian." "Apakah selalu makanan yang istimewa"." Sawuk Mancur mengangguk-angguk, "Bahkan makanan yang tercuri adalah goreng otak ikan yang kusiapkan khusus untuk Ki Banjar Pasutan." Mendadak Sambang Rejo tertawa, "Kukira kau dan aku memang berjodoh. Setiap yang terjadi padamu selalu pula aku tertimpa hal yang sama." "Sembarangan kau. Aku masih suka perempuan." Jengek Sawuk Mancur sambil menarik muka. "Bukan itu maksudku. Aku hanya mengingatkanmu tentang adik perempuanmu itu." Tukas Sambang Rejo sambil tertawa. Sawuk Mancur menyentakkan tangan temannya, dan dengan bergegas meninggalkan ruangan begitu suara kentongan mengumandang dua kali. Tinggal Sambang Rejo yang dengan pusing berputar-putar di kepalanya memandangi piring porselen tempat diletakkannya limpa bangau itu semula. Berharap limpa bangau itu akan muncul secara ajaib. Suara kentongan dua kali adalah pertanda makan siang. Biasanya seluruh anak murid akan duduk berjejer di sebuah barak yang memanjang, berhadapan dengan angin laut yang meniup sepoi. Di ujung barak itu barulah terdapat sebuah meja istimewa yang hanya berhak digunakan oleh ketiga tetua, yaitu Ki Banjar Panutan dan dua adik seperguruannya. Kalau dilihat sepintas, ruangan itu seperti sebuah restoran Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ alam yang ditata apik. Kenyataannya, setiap ruangan di Istana Lautan Awan selalu punya keindahan tersendiri. "Mana limpa bangau yang kupesan?" suara Nyai Gelang Panarakan terdengar nyaring. Serentak semua tangan dan mulut menghentikan gerak. Tontonan yang menarik pasti tak akan disiasiakan oleh siapapun. Justru orang kalau lagi marah mencak-mencak maka dia akan menjadi tontonan yang mengasikkan. Tapi orang nya sendiri malahan tidak sadar bahwa dia telah menjadi tontonan. Maka itu bila kau sedang marah terhadap seseorang, biasanya disampingmu akan ada orang yang tertawa geli. Karena orang marah bukan saja sebuah tontonan yang menarik, tapi juga menggelikan. Sambang Rejo hanya menunduk saja. Sedikitpun tidak berani mendongakkan kepala, apalagi menjawab. Kalau melihat gemetaran kakinya, seolah-olah ia sedang menghadapi pengadilan kasus pidana mati. Orang biasanya hanya tahu bahwa perempuan yang dimarahi oleh lakinya pasti tidak akan berkutik, tak tersangka bila laki-laki dimarahi kaum perempuan pun tidak ada bedanya. Makanya di dunia ini selain banyak istri yang takut suami, suami yang takut istri pun tidak sedikit. "Kenapa tidak menjawab, apa mulutmu ada jahitan setannya?" "Kau tanya cara demikian padanya, sekalipun aku juga tidak akan sanggup menjawab." suara Ki Rekti Panarakan mencoba menengahi. "Kenapa" Memangnya suaraku seperti lolongan burung hantu?" sentak Nyai Gelang. Ki Rekti Panarakan hanya tertawa saja. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa pertanyaan istrinya itu lebih menakutkan dari pada lolongan burung hantu yang sudah sangat tua. Namun ditelannya kembali perkataannya itu ke dalam perut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Nyai Gelang Panarakan memelototi Sambang Rejo sambil Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berkacak pinggang, "Atau jangan-jangan limpa bangau itu kau sembunyikan di perut busukmu itu?" Sambang Rejo menggeleng-gelengkan kepalanya cepatcepat. Tangannya semakin rapat tertekuk di depan perutnya. Seakan takut pelototan Nyonya itu akan melubangi isi nasinya. Suasana mencekam itu pecah oleh suara Ki Banjar Panutan, "Bukankah peristiwa kehilangan ini bukan pertama kali?" Betapapun seseorang kalau sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi lagak-lagunya memang lain dari yang lain. Tak terkecuali Ki Banjar Panutan ini yang suaranya saja sudah mengandung kegagahan tersendiri. Sambang Rejo yang serasa mendapat pengampunan dari vonis mati segera mengangguk beberapa kali, "Benar, benar, Kiai." "Kalau peristiwa kehilangan ini terjadi sekali, maka bolehlah dikatakan sebagai ketelodoranmu. Namun kalau sampai terjadi beberapa kali bukankah berubah menjadi sebuah peristiwa yang ganjil?" "Akan terlebih ganjil lagi jika ternyata yang hilang itu semuanya adalah makanan-makanan istimewa." Sambung Ki Rekti Panarakan. Nyata tersohotnya nama Istana Lautan Awan memang bukan nama kosong belaka. Sampai ada makanan yang hilang dari daftar di bagian dapurpun mereka dapat mengetahuinya. "Ya, kalau dalam rumah sebesar ini ternyata terdapat seekor kucing besar yang doyan makanan-makanan enak. Sungguh membuat orang penasaran saja." "Padahal selamanya kita tidak pernah memelihara kucing." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kalian dua setan ini sedang membicarakan apa?" Nyata cara bicara Nyai Gelang Panarakan terhadap siapapun memang tidak berbeda. Semua yang ada diperutnya dikeluarkannya tanpa dihaluskan terlebih dahulu. "Memangnya kau belum lagi paham" Kami dua setan ini sedang membicarakan sebuah permainan sederhana." Jawab Ki Rekti Panarakan sambil tersenyum. Biasanya kebanyakan lelaki akan jemu bila bertemu dengan perempuan yang agak kasar cara bicaranya seperti Nyai Gelang Panarakan ini. Tapi ada juga sementara lelaki yang justru bergairah bila menemukan perempuan seperti ini. Serupa seorang yang gemar memakan sambal, pasti akan sangat bergairah bila menemukan secoek sambal yang sangat pedas. "Permainan apa" Memangnya kalian berdua sudah pikun semua, masakah setua ini masih bisa memikir segala permainan." "Semakin tua seseorang, biasanya sifatnya juga akan semakin mendekati watak anak kecil. Lagi pula permainan yang kami mainkan ini ku jamin sekalipun seorang dewasa juga akan tertarik." Semua yang ada diruangan tak ada yang bersuara. Karena permainan ini bukan saja menarik untuk anak kecil, bahkan orang dewasa pun tak akan sabar menunggu adegan selanjutnya. "Sesungguhnya ada permainan apa?" "Permainan Menangkap Kucing." "Biasanya orang hanya pandai menangkap tikus, atau memburu harimau. Dari dulu justru tak ada orang yang tertarik untuk berburu kucing." Karena kucing hakikatnya tidak usah diburu. Asal kau meletakkan seikat tulang di dapur dengan sendirinya ia pun akan datang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Dan kalian berdua justru tertarik terhadap hal yang dari dulu orang tidak tertarik melakukannya" Memangnya kalian sudah bukan orang lagi?" "Kami tertarik bukan karena kami bukan orang lagi, tapi karena kucing ini bukan kucing biasa." "Memangnya kucing apa?" "Kucing yang sangat istimewa." "Lagi pula hanya mau mencuri makanan-makanan istimewa." Sambung Ki Banjar Panutan. Nyai Gelang Panarakan agaknya sudah dapat memahami permainan memburu kucing ini. Dengan sendirinya semua orang yang mendengarnya juga sudah bisa memahami. "Lalu bagaimana kalian akan menangkap kucing ini?" Ki Rekti Panarakan tertawa, mimik wajahnya seperti seorang pemburu yang cerdik, "Kalau kau ingin menangkap tikus, apa yang kau lakukan?" "Aku tidak pernah menangkap tikus." "Kebanyakan orang perempuan memang merasa geli jika melihat tikus. Apa tah lagi menangkapnya." Sela Ki Banjar Panutan. "Aku bahkan menyangka dimana ruangan dapur pun dia tidak tahu." Sahut Ki Rekti Panarakan, "Tapi kau pasti tahu bukan?" kepalanya berpaling ke arah Sambang Rejo. Sambang Rejo mengangguk, "Biasanya aku akan menaruh racun tikus dalam makanan yang kusiapkan." "Benar. Tapi apa kau tahu bahwa untuk menangkap kucingpun ternyata bisa digunakan metode yang sama?" "Maksud Kiai?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bukankah ketika kau menangkap bangau itu tempo hari aku berpesan kepadamu bahwa siapapun tak boleh mencicipi limpa bangau itu sebelum kau hidangkan kemari. Bahkan tidak terkecuali kau sendiri?" Sambang Rejo mengangguk. Mulanya ia menyangka Ki Rekti Panarakan tidak menginginkan siapapun mencicipi makanan untuk istrinya. Tapi agaknya ada maksud lain dari pesan itu. "Dan bukankah tidak ada yang mencicipi limpa bangau itu?" "Bahkan saya pun tidak berani." "Kenapa kau larang dia mencicipinya" Kalau tidakmencicipinya bagaimana dia tahu kalau rasanya sudah pas dan tidak keasinan?" Nyai Gelang Panarakan tidak tahan untuk bertanya. Ki Rekti Panarakan tertawa. Agaknya ia adalah tipe orang yang banyak tertawa. "Karena kalau dia mencicipinya, maka ia akan berubah menjadi kucing tidur." Belum selesai kata-katanya diucapkan tiba-tiba dari atas belandar terjatuh sebuah benda yang lumayan besar. Mirip karung beras yang menggelembung. "Brakk" benda yang bulat m irip karung menggelembung itu jatuh tepat di meja mereka bertiga. Begitu jatuh, begitu meja jamuan itu pecah berantakan. Meja dari batu pualam putih itu ternyata tidak kuat menahan daya jatuh dari benda itu, sepertinya yang jatuh bukanlah karung, tapi sesuatu yang amat besar dan berat. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bab XIII, Cerita Pak Tua Lucu Ki Banjar Panutan sudah menyingkir ke samping. Meskipun sudah cukup tua, namun reaksinya tak kalah dengan anak umur dua puluhan, apalagi pembawaannya memang tegap dan kuat. Begitu juga Ki Rekti Panarakan dan isterinya. Benda yang jatuh itu ternyata orang. Orang yang masih hidup. Kelihatan besar karena perut orang ini memang lebih besar dari gentong. Anehnya orang ini serupa orang yang dua puluh tahun tidak tidur, begitu jatuh langsung mendengkur. Orang dengan perut sebesar gentong ini tentu saja tak lain tak bukan adalah Setan Galunggung Utara. Walaupun sempat dihalangi oleh Risang Ontosoro namun karena bandel dan penasaran akhirnya diteruskannya juga perjalannya ke Istana Lautan Awan. Cuma kedatangannya bukan sebagai tamu, kalau boleh dikatakan perannya adalah menjadi penjaga diamdiam, sebagaimana pesan Nenek tua dulu itu. Maka seketika tidak dapat diperlihatkan dirinya terang-terang. Maka ia pun diam-diam bersembunyi di salah satu ruangan dalam istana. Namun setiap orang pasti butuh makan. Apalagi perut seukuran milik Setan Galunggung Utara itu, dengan sendirinya porsinya juga lebih dari orang biasa. Celakanya, dirinya tak bisa minta secara terang-terangan, untuk ke daratan juga harus menyebrangi lautan dulu. Apalagi desa yang terdekat juga sedikitnya berjarak satu hari perjalanan dari s itu. Setelah memikir panjang pendek akhirnya diputuskannya untuk mencomot sebagian jatah penghuni Istana Lautan Awan. Namun apa lacur, sekalipun banyak makanan yang bisa dicuri, tapi toh Setan Galunggung Utara tak dapat mengambil apa adanya. Walaupun hal ini sebenarnya tak terlalu susah dipahami, bukankah setiap pencuri selalu mencuri hanya barang-barang yang berharga dan istimewa" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Maka akibatnya ia pun berubah jadi setan tidur. Tampaknya tidurnya bahkan cukup nyenyak, kelihatan walaupun terjatuh dari belandar tinggi dan menimpa meja pula namun kedua kelopak matanya tak bergerak, suara ngoroknya bahkan masih terdengar. "Ini sih bukan kucing tidur, tapi kucing gemuk. Bahkan kelewatan gemuknya." Celutuk Nyai Gelang Panarakan sambil terkikik. "Ya, aku pun tidak menyangkan kalau kucing tidur ini ternyata begini gemuk. Pantas banyak makanan yang ia curi." Ki Rekti Panarakan berpaling ke arah kakak seperguruannya, "Apa kau kenal kucing tidur ini?" "Pada dua puluh tahun yang lalu, hanya sedikit orang yang tidak kenal padanya." "Tapi pada tahun-tahun belakangan ini bukankah tidak ada orang yang melihatnya?" "Hanya karena tidak ada orang yang melihatnya, bukan berarti ia tidak ada." "Tapi kenapa sekarang ia tiba-tiba muncul di sini?" Nyai Gelang Panarakan menyela. "Kau tanya padaku, memangnya aku adalah cacing di perutnya?" jawab Ki Rekti Panarakan sambil mengulum senyum. Nyai Gelang Panarakan melotot ke arah suaminya, maksudnya ingin mengomel tapi didahului oleh Ki Banjar Panutan, "Apapun maksudnya, yang terpenting mulai sekarang penjagaan harus diperketat. Ramalan Bapa Guru agaknya mulai mendekati waktunya." Suara Ki Banjar terdengar prihatin. Entah apa yang dimaksudkannya dengan ramalan itu. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Diantara delapan Kademangan besar, yang paling ramai adalah Kademangan Jatingaleh, yang paling ramah penduduknya Dipa Saloka, sedangkan yang paling kaya adalah Kademangan Rawa Biru. Sebagaimana namanya, Kademangan Rawa Biru terletak mengelilingi sebuah rawa, atau lebih tepatnya danau dengan beberapa bagian tanah berlumpur di beberapa tempat. Wilayahnya sendiri tidak terlalu luas, diapit oleh dua buah gunung kecil bernama Manuk Kanginan dan Cemara Ondo. Dengan tanah yang subur dan air yang berlimpah itulah, setiap jengkal tanah di Kademangan Rawa biru selalu berselimut kehijiauan. Sangat cocok untuk pertanian maupun peternakan. Petak-petak hijau menghampar seakan tak bertepi. Lenguhan sapi dan embikan kambing mengirama tak henti. Pada waktu sore, gerombolan kerbau dan sapi layaknya pori-pori hitam tersebar di tepi Rawa, yang airnya jernih membiru, dengan ombak tipis bersusul rapi. Seorang seniman yang melihatnya dengan mata hati akan menatap rawa itu bagaikan kain sutra biru yang dibentangkan, sesekali mengombak tertiup sepoi angin. Anak-anak gembala riang berkejaran, bermain dengan bayang matahari, bergelayut di dahan yang meliuk, dan sesekali saling bergulingan. Sekalipun berlimpah dengan hasil alam dan pertanian, namun penduduk Kademangan Rawa Biru tidak banyak. Jalanan juga tidak seramai sebagaimana Kademangan Jatingaleh. Namun meski tidak ramai, setiap jalan dan bangunan di Kademangan ini diatur dan dirawat dengan baik. Tak ada sampah yang berserak di jalanan, kecuali beberapa daun kuning mahoni yang luruh tertiup angin. Setiap rumah dipacak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan tiang yang kokoh, beberapa dicat kehitaman, sehingga menambah kegagahan dan aura kejantanan. Seorang tua dengan jenggot memutih salju dan ikat kepala kain yang diikatkan seenaknya tampak berjalan di galengan sawah. Wajahnya memerah segar terkena sinar matahari. Tubuhnya sedikit terbungkuk. Sesekali kakinya terbenam dalam Lumpur yang segar. Langkahnya tertatih, namun mantap. Dua orang petani yang sedang menyiangi padi menyapanya dengan anggukan ramah. "Bagaimana padi-padi kalian?" "Pangestunipun Ki, semuanya baik. Hanya sedikit yang rubuh oleh angin tadi malam." Tadi malam angin memang bertiup sedikit kencang. Orang tua itu mengangguk-angguk. Setelah tersenyum ramah kepada dua orang petani itu ia segera melanjutkan Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perjalanannya yang tertunda. "Aki sendiri akan kemana sore-sore begini?" Si Orang tua menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh dan tersenyum, "Aku ingin melihat rawa. Sudah lama aku tak merasakan angin danau." "Betapa tua Ki Jejer Pinuluh itu, kira-kira berapakah usianya?" salah seorang petani itu menggumam pelan. "Katanya dia lebih tua dari ayahku yang meninggal lima tahun lalu itu. Berarti umurnya sudah lebih dari seratus tahun." "Namun sepasang kakinya masih kuat. Matanya juga masih tajam." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Itulah disebabkan dia tak sibuk dengan berbagai tetek bengek seperti kita. Ia makan apa yang dapat dimakan, sama sekali tak risau dengan apapun." Sinar Matahari yang menerobos sela-sela caping mengingatkan kedua orang itu terhadap pekerjaan mereka yang tertunda. Menyusuri beberapa petak sawah lagi, tibalah Ki Jejer Panuluh di tepi rawa. Lumpur yang coklat kehijauan segera menyambut. Angin meniup lembut. Orang tua ini mematahkan sebatang dahan yang sudah kelihatan kering, lalu menggunakannya sebagia loncatan dari batu ke batu, melompati barisan Lumpur yang sesekali beriak oleh kepak ikan. Beberapa meter kemudian sebuah batu cadas yang hitam besar menyambut lompatan kaki kesekian dari kakek tua itu. Batu hitam sejenis ini ada beberapa di tepi rawa ini, biasanya digunakan sebagai tempat memancing atau bersantai orangorang yang ingin menikmati angin danau. Sekaligus sebagai pembatas antara tepi yang dangkal dengan tengah danau yang agak dalam. Orang tua itu memutar ke sisi lain dari batu. Di sebuah ceruk yang bersih ia menjatuhkan pantatnya dengan lega. Sesaat kemudian matanya kelihatan terpejam, hidungnya kembang-kempis menghirup udara segar. Tampak sekali orang tua berjanggut putih ini begitu menikmati suasana yang tercipta. Namun mendadak beberapa cipratan air memercik ke wajahnya, disusul suara tawa berderai. Dengan agak malas Ki Jejer Panuluh membuka matanya, dan langsung me lihat sebuah kepala yang mengambang di permukaan air. Kepala itu tertawa dengan mulut terbuka lebar, rambutnya yang hitam terapung berayun-ayun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kau rupanya," desah Ki Jejer Panuluh seperti mengomel, "di dunia ini memang tidak terpikir olehku ada orang kedua yang begitu suka menggangguku selain kau." Kepala itu kembali tertawa riang. Tiba-tiba melompat dan langsung hinggap di sisi si Orang tua. Dengan hanya mengenakan celana sebatas lutut terpampanglah dadanya yang bidang kokoh. "Dan juga tak terpikir oleh ku didunia ini ada orang yang begitu suka diganggu olehku selain Paman." Ujar anak muda ini yang tak lain adalah Risang Ontosoro dengan tawa berderai. Orang tua itu mengusap-usap kepala Risang Ontosoro dengan senyum, "Bagaimana kabar ayahmu" Penyakit pegalnya apakah masih sering kambuh?" "Masih sering. Apalagi kalau aku ada di rumah." Ki Jejer Panuluh tertawa, "Bahkan ayahmu pun tak luput dari gangguanmu." Sejenak kemudian raut muka Risang Ontosoro berubah serius, "Paman, aku ingin menyampaikan sesuatu." "Tentang anak muda bernama Arya Dipaloka itu?" "Agaknya kita tak bisa menganggapnya remeh." Jawab Risang Ontosoro sambil mengangguk. Seperti tak heran bahwa orang tua itu mampu mengetahui apa yang akan ia bicarakan. "Sudah aku duga. Pembawaan anak muda itu memang luar biasa, tak banyak menonjolkan diri, tapi setiap perbuatannya selalu menggegerkan orang." "Menurutku ia sudah mendapatkan Kitab Teratai Menutup." "Bukan saja Kitab Teratai Menutup, bahkan Kitab Teratai Membuka pun sudah didapatkannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Wajah Risang Ontosoro mengunjukkan rona kejut. Si Kakek agaknya dapat membaca raut muka Risang, "Waktu itu kebetulan kulihat dia minum di Warung Jahe Pancawarna. Melihat mukanya yang tak begitu pucat lagi, ku tahu kalau Racun 30 Hari Naik Ke Surga sudah tak mengamuk lagi dalam tubuhnya, sekalipun juga belum hilang seluruhnya." "Maksud Paman..." "Ya..di dunia ini kalau masih ada kekuatan manusia yang masih sanggup meredam mengamuknya Racun 30 Hari Naik Ke Surga, maka itulah Kitab Teratai." Beberapa detik kedua orang ini terdiam, masing-masing meresapi kecamuk pikiran yang berkerumuk. "Sebenarnya ia bukan orang yang diperhitungkan." Suara Risang Ontosoro memecah keheningan. "Waktu ayah memesanku tentang masalah seputar Wahyu Kepala Naga, beliau hanya menyebut tiga pihak utama, yang dengan sendirinya adalah Tiga Istana Abadi. Selain dua tiga tokoh tua semisal Nenek tua dari Dipa Saloka itu dan Pandan Kumala, isteri kedua Ki Demang Kebo Sora atau Demang Jatingaleh, Lembu Patik Pulung. Sama sekali beliau tak menyinggung tentang Arya Dipa Loka." Si Orang tua berjanggut putih mengangguk-angguk. Matanya menunduk mengamati kecipak air yang membelai kakinya, "Dunia memang penuh dengan hal-hal aneh. Segala hal yang tidak terduga selalu terjadi. Putaran alam memaksa manusia untuk tunduk dan merasa kecil dihadapan Yang Segala Maha. Sayangnya lebih banyak orang yang menulikan mata dan telinganya. Yang kuharapkan semoga apapun yang terjadi tak menyengsarakan orang-orang yang tak berdosa." Risang Ontosoro mendengarkan dengan diam. Dalam pendengarannya, kalimat itu bukan saja gumangan yang tibatiba, namun lebih sebagai wasiat yang timbul dari pengalaman Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dan penempaan jiwa dari Ki Jejer Panuluh. Pengalaman yang tak terbayar oleh apapun. "Paman, kalau aku boleh menanyakan sesuatu kepada paman.." kata Risang dengan hati-hati, menyembunyikan rasa penasaran yang meluap di hatinya. Ki Jejer Panuluh tertawa, "Sejak kapan kau jadi begitu sungkan terhadapku, sedangkan ayam kesayanganku saja langsung kau telan bulat-bulat"!" Risang Ontosoro kembali berderai, mengingat kejadian menggelikan sekaligus merangsang itu. Namun sejenak kemudian wajahnya kembali berubah serius. "Kalau Paman tidak keberatan, aku ingin tahu lebih banyak tentang Wahyu Kepala Naga itu." "Bukankah ayahmu sudah menceritakannya?" "Ayah hanya mengatakan bahwa Wahyu Kepala Naga adalah sebuah pusaka yang sangat berharga dan penting. Beberapa bulan yang akan datang kemungkinan akan terjadi pergolakan di dunia persilatan karena desas-desus dari beberapa orang yang mengabarkan kemunculannya. Itu saja." "Dan apa yang disuruh Ayahmu padamu?" "Dia orang tua menyuruhku untuk memperhatikan keadaan. Sesekali bersikap terhadap sesuatu yang kuanggap perlu disikapi. Namun beliau me larang keras aku terlalu campur tangan." "Dan bukankah itu cukup?" Risang Ontosoro memandang orang tua yang juga merupakan adik ayahnya itu dengan kesal. Bibirnya runcing merajuk. Ki Jejer Panuluh tertawa, "Anak nakal. Dahulu bukankah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa kalau kukatakan mangga itu manis tapi kau tidak pernah mencicipinya maka Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sekalipun kau percaya tapi hal itu tak akan pernah berpengaruh pada perkembangan jiwamu?" "Aku tidak lupa. Aku bahkan masih ingat wajah paman serius sekali waktu mengatakan itu." "Dan sekarang kau paham bukan?" Ki Jejer Panuluh melirik keponakannya itu dengan sudut matanya, melemparkan pandang yang penuh teka-teki, sambil tak lupa mengulum senyum. "Kakak beradik ternyata sama saja. Paman tak kalah anehnya dari Ayah." Ki Jejer Panuluh tertawa, ditepuk-ditepuknya pundak keponakannya, "Memangnya kau belum lagi tahu" Bukankah setiap manusia mempunyai segi anehnya sendiri. Mungkin tidak mudah dipaham i oleh orang lain, namun itulah manusia. Ia tak diciptakan seperti kertas, yang jelas putih hitamnya, gamblang lurus bengkoknya. Manusia selalu misterius, berubah dari waktu ke waktu, seperti air ini. Dan bukankah kau juga memiliki segi keanehan tersendiri. Terus terang, selama hidupku ini tak pernah kulihat anak muda yang berani berguyon dan mengejek orang yang tiga kali lebih tua sepertimu." Risang Ontosoro meringis ketika jari-jari tua Ki Jejer Panuluh membetot daging lengannya. "Sebelum sesorah Paman menjadi bertambah panjang, aku ingin bertanya apa yang harus kulakukan saat ini?" Ki Jejer Panuluh tersenyum. Kepalanya berpaling ke arah rawa yang bersemu kebiruan. Dua ekor burung bangau terbang rendah menyusur permukaan air. "Apa yang harus kau lakukan, maka lakukanlah." Katanya seperti bergumam kepada dirinya sendiri, "Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa bagi seorang anak muda sepertimu musuh yang paling besar adalah dirimu sendiri, dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pertarungan yang paling berbahaya adalah bagaimana mengendalikan segala hasrat di jiwa mudamu." Risang Ontosoro sudah menceburkan dirinya ke danau. Namun kata-kata Ki Jejer Panuluh masih terdengar mengalun. Seakan sebuah ilham yang memaksa masuk ke kepalanya. Hari sudah gelap ketika Risang Ontosoro berniat keluar dari tubuh danau. Setelah bercakap-cakap dengan Ki Jejer Panuluh tadi disempatkannya tubuhnya menikmati segarnya air di bawah siraman matahari sore. Baru setelah matahari berubah menjadi bola merah di langit barat, digerakkannya kakinya menuju tepi. Dengan cepat dicomotnya pakaiannya yang teronggok di tepi. Ia baru akan melompat ke jalanan ketika dirasakannya pundaknya ngilu. Lalu seluruh tubuhnya serasa mati rasa. Detik berikutnya badannya luruh ke tanah. Kiranya seseorang telah menotoknya dari jauh. Namun ilmu kepandaian Risang Ontosoro bisa dikatakan tak rendah. Bahkan Setan Galunggung Utara dan Macan Taring Tunggal pun tak bisa meringkusnya dalam satu serangan gabungan. Siapa orangnya yang mempunyai ilmu silat demikian lihai sehingga bisa menotoknya demikian mudah, sampai dirinya tak merasakan sedikitpun hawa serangan" Risang Ontosoro tak hanya merasakan tubuhnya lemas. Perlahan kelopak matanya pun memberat. Pengaruh totokan itu ternyata tak hanya menutup simpul syaraf geraknya namun juga sedikit-dem i sedikit merampas kesadarannya. Sepenuh tenaga Risang Ontosoro memaksakan matanya untuk tak terpejam. Namun semakin ditahan semakin mengantuk rasanya. Bersamaan dengan gelapnya cakrawala, gelap juga pandangan Risang Ontosoro. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ajaib, Risang Ontosoro merasa hidungnya masih bernafas. Ketika mencoba mengalirkan hawa murni, seketika tubuhnya juga bertambah segar. Sama sekali tak ada gangguan. Yang aneh, ia sekarang tidak berada di tepi rawa. Tempat ini adalah sebuah kamar peraduan yang indah, kalau tidak bisa dibilang sangat indah. Sebuah ranjang ukuran king saze dengan kasur empuk berwarna putih bersih dan ukiran kayu yang halus terpajang gagah di tengah ruangan. Ranjang itu begitu besarnya sehingga mungkin sepuluh orang bertubuh agak gede pun bisa muat sekaligus. Disamping ranjang terdapat meja kayu berpelitur coklat. Diatasnya tersaji minuman berwarna kemerahan dengan kepulan asap tipis. Bau harum tercium semerbak. Yang paling menarik bagi Risang Ontosoro adalah sebuah jendela dengan kain sutra putih yang bening. Kepak sayap burung bercampur nyanyian perkutut terdengar riuh menembus tirai tipis. Belum lagi kagetnya hilang, mendadak pintu bercat putih di sudut kamar terbuka tanpa suara. Tertampak dua orang gadis berumur likuran dengan gaun kebiruan dan ikat kepala sutra biru tua masuk. Salah satunya membawa semacam nampan berisi dua piring nasih putih mengepul dan sop buntut ikan yang juga masih hangat. Sedang gadis yang satu menjinjing satu baskom berisi air bersih dengan lap putih yang terlihat lembut. Kedua gadis yang tak dapat dianggap jelek itu berjalan menunduk. Dengan sopan meletakkan apa yang mereka bawa di meja kayu seberang ranjang dan dengan cepat kembali melangkah balik, menutup pintu dan hilang. Saking terbengongnya Risang Ontosoro yang biasanya seruduk sana seruduk sini itu sampai lupa untuk menanyakan dimanakah dia saat ini. Mulutnya yang terbuka bahkan belum terkatup ketika pintu itu menutup. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan setengah tak sadar Risang menowel hidungnya sendiri. Terasa masih utuh. Kalau begitu ia masih hidup. Tapi tempat apakah ini, bahkan orang tuanya pun tak pernah Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memperlakukan dirinya demikian istimewa. Mungkinkah ia sudah tersesat ke dunia lelembut. Dunia yang katanya dihuni oleh jutaan wanita cantik bagai bidadari, dengan pajangan dan ornamen surgawi. Tapi ia toh bukan orang yang percaya hal-hal begituan. Sebagai anak muda, ia lebih percaya kekuatan dalam dirinya. Tapi bukankah hidup selalu misterius, selalu penuh kejutan. Coba diingat-ingatnya apa yang terjadi terakhir kali. Ia ingat saat itu matahari baru separoh tenggelam, ketika seseorang menotoknya dari jarah jauh dengan serangan tanpa angin. Lalu dirinya lantas terlelap tanpa ingat apa-apa lagi. Mengingat kembali kepandaian orang ini membuat bulu kuduknya berdiri. Sungguh tak disangkanya didunia ini begitu banyak tokoh misterius yang berkepandaian nggegirisi. Tapi tunggu, sebelum benar-benar tak sadar, sempat dilihatnya sosok dengan pakaian yang berkibar mendatangi. Ah ya, sosok itu pasti perempuan. Ia ingat rambutnya yang hitam berombak. Juga sepasang mata yang mencorong tajam itu. Tak tahu apa yang harus dilakukannya, iseng-iseng Risang mulai me lirik kepulan asap tipis dari nasi hangat disampingnya. Baru ia sadar perutnya serasa terlilit. Apalagi sop buntut ikan itu begitu merangsang. Bagi orang yang berperut kosong, ketela busuk saja sudah demikian mengundang, apalagi sop hangat yang harum seperti ini. Maka tanpa pikir panjang segera disikatnya kedua makanan itu dalam beberapa gerakan, dan dalam sedetik semuanya amblas di perutnya. Risang Ontosoro baru ingin mengeluarkan desahan puas ketika pintu putih itu kembali terbuka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kupikir perutmu tak akan puas dengan sedikit makanan ini," wanita ini memakai pakaian putih yang berkibar, berpadu dengan kematangan usia dan kecantikannya yang alami. Bukan saja wajahnya cukup cantik, selapis aura yang menebar anggun juga tampak dari sepasang matanya yang bersinar terang. Risang Ontosoro tentu saja mengenal wanita ini, sekalipun belum pernah berkenalan serasa resmi. Karena wanita ini adalah salah seorang yang memang diperhatikannya. Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala, istri kedua Ki Demang Kebo Sora. Maka dia pun tertawa, "Lalu kenapa tidak kau bawakan tambahannya sekalian," seseorang kalau perut kenyang dengan sendirinya semangatnya juga berkobar. "Karena ku kuatir kau akan mati kekenyangan." "Ah, sedikit makanan ini mana mungkin membuatku mati kekenyangan." Pandan Kumala memandang anak muda ini tajam, "Sebenarnya sedikit makanan ini sudah cukup membuat sepuluh ekor kuda mati bersamaan." Risang Ontosoro pura-pura terkejut, lalu bertanya dengan nada dibuat kaget, "Apakah ada racun dalam makanan ini?" Pandan Kumala mendengus dingin, "Memangnya kau pikir kubawa kesini dirimu ini hanya untuk bersenang-senang?" Mendadak Risang Ontosoro memperlihatkan ekspresi tercekik, lalu kedua tangannya seperti terkejang-kejang. Tapi sedetik kemudian ia kembali tertawa riang, seolah itu adalah lelucon yang paling menggelikan. "Tapi aku tak percaya." Katanya ditengah tawa berderai. "Memangnya kau pikir aku sedang main-main?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tentu tidak, tapi melihat ilmu silatmu yang sangat tinggi itu, kalau kau mau membunuhku cukup dengan satu jarimu saja sudah cukup. Untuk apa repot-repot meracuniku. Apalagi perempuan setengah tua sepertimu biasanya paling suka membanggakan diri sendiri. Mana sudi kau menggunakan cara rendah seperti itu. Benar tidak?" Pandan Kumala memandang Risang tajam. Setelah mengalami penculikan yang tak biasa ini ternyata bocah ini masih bisa tertawa-tawa tanpa beban, bahkan sempat juga memaki dirinya. Sungguh ia ingin tahu sebenarnya bagaimana bentuk hati anak gila ini. "Sekalipun kau tidak mati karena racun, tapi setiap waktu bisa saja kurenggut nyawamu dengan mudah." Dengusnya dingin. "Tak usah bicara berbelit-belit, apa yang aku inginkan dariku?" Agak terkejut juga Pandan Kumala terhadap ketangkasan bicara anak ini. Sesuatu yang membuatnya harus lebih berhati-hati. Sambil tertawa dingin Pandan Kumala berujar, "Apa yang kuinginkan darimu" Huh, memangnya kau anggap apa dirimu" Kau tak lebih hanya satu bocah cilik saja. Dengan satu tangan dapat ku pupus dirimu menjadi debu." Risang Ontosoro menatap Pandan Kumala tajam, mencoba mereka apa yang sedang berkecamuk di benak perempuan berbaju putih ini, "Kalau kau tak mengharapkan apa-apa dariku, lalu kenapa kau membawaku kemari." "Karena aku suka. Apa yang suka kulakukan akan kulakukan." Kalimatnya masih berkumandang di kamar kecil itu ketika tubuhnya hilang di balik pintu. Risang bahkan tak melihat kapan dia melangkah mundur. Gerakannya boleh dibilang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tidak terlalu cepat, namun rapi. Setiap hal seperti sudah diperhitungkan dengan teliti. Hanya orang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan pengaturan tenaga saja yang dapat melakukan hal seperti ini. Seolah-olah biasa, namun istimewa. Angin hangat meniup kelambu di jendela kecil itu. Risang menatap jendela itu sambil terlongong. Kalau mau ia bisa saja kabur lewat jendela itu. Sekalipun pasti terdapat rintangan, dia tak pernah takut. Bahkan semakin besar bahayanya semakin besar pula rangsangan dalam tubuhnya. Tapi hal paling menarik saat ini baginya adalah mengetahui maksud yang terkandung dalam perbuatan Pandan Kumala ini. Untuk itu ia bisa saja menyelinap dan menyelidiki bangunan ini dengan seksama. Dalam soal menyelinap dan mengintip boleh dikata kepandaiannya diatas rata-rata bocah seusianya. Namun itu bukan cara cerdik. Siapa tahu Pandan Kumala sengaja menjebaknya dalam permainan ini. Maka diputuskannya untuk menggunakan akal yang paling primitif, tapi efektif. Cara yang biasanya digunakan oleh ular sawah untuk menunggu mangsanya. Yaitu tidur. Betapapun sudah cukup diketahuinya kalau orang perempuan kebanyakan memang serba teliti, ini merupakan kelebihan tersendiri. Namun mereka juga penyakit yang sangat parah, yaitu tak tahan menunggu. Tak peduli perempuan jenis apa tak akan terhindar dari penyakit ini. Maka sambil bersiul-siul ringan dibaringkannya tubuhnya ke ranjang. Ranjang ini sangat empuk, setidaknya lebih empuk dari pada jerami busuk di kandang belakang rumahnya. Dengan sendirinya kantuknya juga datang lebih cepat. Sedetik kemudian suara ngoroknya sudah berirama. Di dunia ini sekalian batu sama kerasnya, sekalipun berlainan nama dan jenisnya. Tapi justru tidak ada manusia yang semacam. Meski jenisnya sama-sama manusia, namun setiap orang dengan orang yang lain selalu berbeda. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Perbedaan ini terkadang sangat mencolok, terkadang juga samar. Justru karena adanya perbedaan inilah setiap perkawinan tak ada yang mulus datar. Selalu saja ada ganjalan, bumbu pedas, asin, yang mewarnai jalannya sebuah keluarga. Dengan sendirinya wanita berbeda dengan lelaki. Lelaki pun tak pernah mau disamakan dengan wanita. Adapun Risang Ontosoro adalah tipe bocah lelaki yang lelap sekali tidurnya. Tak peduli apakah itu di atas tumpukan jerami busuk atau di kasuk empuk. Dengkurnya juga berirama. Mengalun naik turun. Saking lelapnya seolah setiap tidurnya selalu mempunyai mimpi yang indah. Maka sekalipun langit rubuh juga tak akan membangunkannya kalau ia tak mau bangun. Justru karena inilah ia tak menyadari bahwa seorang gadis dengan ikat pinggang sutra keunguan dan alis yang melengkung lentik sedang mengendap-endap di kamarnya. Ia pun tidak terbangun. Suara dengkurnya bahkan tambah keras. Seorang laki-laki kalau mengetahui seorang gadis sedang mengendap-endap dikamarnya tentu saja ia tidak akan terbangun. Bahkan kalau toh ia sedang tidak tidur akan dipaksakannya juga matanya untuk terpejam. Betapapun kejadian seperti ini kan sangat menarik. Gadis itu melangkah dengan berjingkat layaknya kucing. Berkali-kali kepalanya menoleh kesana-kemari. Sambil merunduk-runduk ia mendekati Risang Ontosoro, memandangnya lekat-lekat dan untuk beberapa saat matanya seperti awan yang tak tahan menahan air yang ditampungnya. Beberapa detik kemudian bagaikan sungai yang mengalir pelan, dua buah jalur air mengembang dari sepasang matanya yang bening. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun dalam detik berikutnya sekulum senyum menghiasi bibirnya yang mungil. Sekalipun Risang sudah cukup terlatih untuk menahan diri, namun kalau didepannya ada seorang gadis yang meneteskan air mata kemudaian tersenyum secara murni begitu, sekalipun dia masih bisa menahan perasaannya namun toh tidak akan tahan menahan penasarannya. "Memangnya kau ini sudah tersedak cabe" Sebentar menangis sebentar tertawa." Kata-kata ini sesungguhnya tak ingin diucapkannya, namun tiba-tiba saja sudah terloncat dari mulut. Gadis itu tampak berjingkat kaget, "Kau, kau .." Melihat ekspresi wajahnya itu layaknya gadis yang tiba-tiba ditemui delapan belas pelamar secara bersamaan. "Aku, kenapa aku" Apa wajahku sangat lucu?" Beberapa saat gadis itu tak menjawab. Kepalanya tertunduk ke bawah. Baru setelah menarik nafas panjang beberapa kali ia berkata lirih, "Kenapa kau tidak bilang kalau kau sudah bangun?" "Sebenarnya aku ingin bicara, namun tiba-tiba aku teringat sebuah cerita" "Cerita?" "Ya, sebuah cerita yang sangat menarik. Apa kau mau mendengarnya?" Tentu saja gadis itu tak akan menjawab tidak. Dengan santai Risang duduk di tepi pembaringan, lalu dengan gaya seorang pendongeng tulen ia mulai memainkan mimik wajahnya seserius mungkin. "Dahulu kala ada seorang pintar yang sangat lucu. Mmm, kita sebut saja ia Pak Tua Lucu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gadis itu terlihat tersenyum sedikit. "Suatu malam, Rumah Pak Tua Lucu didatangi oleh seorang pencuri. Celingak-celinguk si pencuri mendongkel papan pintu rumah Pak Tua Lucu yang memang tak susah didongkel." ~Dewi-KZ~ Bab XIV, Lorong Tikus "Apa kau tahu kenapa pintu rumah Pak T ua Lucu gampang sekali dibobol?" Gadis itu menggelengkan kepala. "Karena Pak Tua ini memang sangat miskin. Saking miskinnya sampai kunci rumah pun tak mampu dibeli." Lanjut Risang sambil tertawa. Udara mulai mencair. Urat-urat tegang di wajah gadis itu kelihatan mengendor. "Pak Tua Lucu, yang memang tak pernah pulas bila tertidur karena tikarnya yang penuh kutu dan sangat kasar, langsung tahu akan datangnya si pencuri. Apakah kau tahu apa yang dilakukan Pak T ua itu?" "Ia menangkap si pencuri." "Apa kau yakin?" "Tentu saja." "Kalau begitu kau telah terkecoh oleh Pak T ua Lucu itu." "Kenapa?" "Karena Pak Tua itu bukannya menangkap si pencuri itu melainkan langsung menjatuhkan dirinya ke kolong tidur." "Kenapa ia tidak menangkap si pencuri itu, apakah dia seorang penakut?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Pertanyaanmu itu persis sama dengan apa yang ditanyakan oleh istri Pak Tua Lucu begitu pencuri itu pergi." "Lalu apa jawabannya?" "Pak Tua berkata, 'Aku bersembunyi bukan karena aku takut, tapi karena aku malu'. Isterinya pun heran dengan jawaban lalu bertanya 'kenapa"'." "Aku pun merasa sedikit heran." "Maka Pak Tua menjawab, 'Karena dirumah ini tidak apaapa, sekalipun ia mencari sampai ekornya putus juga tak bakalan menemukan sesuatu yang berharga. Pada akhirnya ia pasti akan kecewa. Maka akupun merasa malu telah mengecewakannya." Gadis itu terkikik. Giginya yang putih rata bagai kuma la membuat Risang merasa ia sedang berhadapan dengan bidadari. "Apa kau Tahu maksud cerita ku ini?" Sambil meredam sisa-sisa tawanya gadis itu menggeleng. "Kuceritakan kisah Pak Tua Lucu itu Karena akupun serupa dengannya. Disini sekalipun semuanya barang berharga tapi tidak satupun yang jadi milikku. Maka sekalipun kau mencari sampai ekormu putus juga tak akan kau temukan apa yang kau inginkan. Cuma aku pun tahu seandaianya aku bersembunyi di kolong ranjang, hal itu akan semakin membuat kau keceawa. Maka aku pun pura-pura tidur." Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bagai mendadak terperosok ke lubang hitam, wajah si gadis memerah dalam sekejap. Kepalanya tertunduk,"Tapi aku tidak sedang mencuri." Katanya lirih. "Dari dulu memangnya tidak ada pencuri yang memasang merek di wajahnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tapi aku benar-benar tidak ingin mencuri." Suaranya semakin lirih. "Memangnya kau disuruh oleh perempuan tua itu?" Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu tapi terhenti. Wajahnya mengesankan bahwa ia seperti menahan Sesuatu yang sangat berat. Risang tahu bahwa semakin ia bertanya semakin berat gadis itu untuk mengatakan rahasianya. Cara terbaik adalah menunggu. Dan benar saja, baru sebentar ia diam gadis itu sudah lantas menoleh ke sana kemari. Setelah menghela nafas panjang baru ia berkata. "Apakah kau tahu siapa aku?" "Sedikit perempuan di dunia ini yang ku kenal, itu pun sudah membuatku pusing tak karuan." "Aku adalah Adik perguruan dari Kakangmbok Pandan Kumala." Air wajah Risang menampilkan rona terkejut, "Jadi kau saudara perguruan perempuan tua itu"." "Namaku Pandan Kenanga." "Kalau kau memang saudara perguruan perempuan tua itu, kenapa kulihat kau seperti mencuri-curi datang kesini?" "Itu karena tak seorang pun boleh kesini tanpa ijin dari Kakak Pandan Kumala, tak terkecuali siapapun. Apakah kau tahu kau sedang berada dimana?" "Bolehkan aku membalik pertanyaan itu padamu?" Gadis itu tersenyum, "Ini adalah Istana Bulan Teratai." Risang tampak termenung sebentar, "Apa hubungannya dengan Istana Dasar Teratai"." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Memang ada hubungannya, tapi aku tidak boleh mengatakannya kepadamu." Kalau perempuan sudah mengatakan tidak ingin memberitahukan sesuatu padamu, maka sekalipun sampai ekormu putus merayunya juga dia tak akan memberitahukan kepadamu. Risang tentu saja tahu dalil ini, maka dia pun mengalihkan pertanyaannya. "Jadi kenapa kau kesini?" Gadis itu menunduk, memegangi ujung bajunya dan berkata dengan rona merah di wajahnya, "Karena aku tidak ingin kau seperti yang lainnya." "Memangnya kenapa dengan yang lainnya?" Dengan ekor matanya gadis itu mengerling ke arah Risang. Pesona seperti ini sekalipun hanya sekejap namun betapa banyak lelaki yang runtuh mungkin sukar dihitung dengan angka. "Kau benar-benar tidak tahu dengan yang lainnya?" "Kalau aku tahu tak akan ku terkurung di kamar busuk ini." Gadis itu kelihatan menentramkan hatinya. Sikapnya yang malu-malu kemerahan itu sudah cukup bagi pemuda manapun untuk melupakan segalanya. "Kalau begitu dapat kuberitahukan kepadamu bahwa sebelumnya kamar ini juga terisi oleh puluhan pemuda sepertimu. Mereka bukan saja orang-orang muda yang kuat, sebagian juga termasuk pendekar muda yang perkasa." "Dan kemana mereka sekarang ini?" "Sekarang ini mereka ada di gudang bawah tanah." "Di gudang" Memangnya mereka sudah menjadi barang rongsokan semua?" sahut Risang sambil tertawa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tak terduga Pandan Kenanga tidak tertawa, mukanya malah bertambah serius, "Sekalipun bukan barang rongsokan namun juga sudah tak berguna lagi." "Oh?" "Karena untuk membunuh tikus pun mereka sudah tak mampu lagi." "Oh" Memangnya tenaga mereka sudah musnah semua?" "Tepatnya bukan musnah dengan sendirinya, tapi disedot habis oleh Kakak seperguruanku." Risang Ontosoro merasa kata-kata gadis itu semakin lama semakin sinting, tapi sejak awal urusan ini memang sudah gila. Terpaksa ia pun berusaha mengikuti arus yang sedang bermain. "Disedot katamu?" Pandan Kenanga mengangguk samar. "Bagaimana disedotnya?" "Disedot dengan itu.." baru tiga kalimat diucapkan wajahnya sudah memerah bak kepiting panggang. Tapi tampaknya Risang tak memberinya kesempatan. "Itu apa?" Semakin merah wajah Pandan Kenanga. Sambil menghentak-hentak kakinya ke lantai omelnya dengan gemas, "Dasar tolol, masakah kau masih tidak mengerti." Mendadak Risang Ontosoro tertawa, "Aku mengerti sekarang. Maksud kedatanganmu kesini adalah ingin menyelamatkanku, benar tidak?" Masih dengan malu-malu Pandan Kenangan berkata lirih, "Aku hanya tidak tega melihat pemuda sepertimu berakhir dengan cara demikian." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu apa kau akan membawaku pergi?" "Cuma tidak bisa sekarang." "Kenapa tidak bisa sekarang". Bukankah menolong orang seperti memadamkan kebakaran, semakin cepat semakin baik" Memangnya aku harus menunggu sampai tenagaku juga disedot?" "Bukan begitu, cuma sekarang penjagaan masih sangat ketat. Padahal sekali kabur harus berhasil, kalau tidak, mungkin bukan Cuma tenagamu saja yang akan lenyap, tubuhmu juga tak akan ada lagi." Setelah merandek sejenak, kembali ia melanjutkan, "setengah jam lagi akan ada pergantian jaga, tepat pada waktu itulah kesempatan untuk kabur." "Dan bagaimana dengan perempuan tua itu?" "Ia tidak akan tahu. Karena pada waktu ini sampai dua jam ke depan ia sedang berada di kamar semedinya." Risang Ontosoro mengangguk-angguk, seperti percaya penuh terhadap ucapan gadis itu. "Setengah jam lagi kau akan kesini?" "Aku akan melontarkan batu lewat jendela itu. Waktu itu hendaklah kau juga seketika keluar. Aku akan menunggumu di luar." "Baik." Pandan Kenangan seperti hendak mengatakan hal lain lagi, tapi tidak jadi. Setelah celingak-celinguk lagi gadis cantik berbaju ungu itu bergegas keluar kamar. Namun belum sampai di depan pintu ia sudah menoleh. "Kenapa kau demikian percaya kepadaku?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang Ontosoro tertawa, "Karena aku mudah sekali percaya kepada orang lain. Apalagi kalau orang itu adalah gadis cantik sepertimu." Setelah Pandan Kenangan keluar, Risang Ontosoro termenung-menung sendiri. Sekalipun banyak hal yang tidak dimengertinya namun hanya satu hal yang dipikirkannya. Yaitu tentang Arya Dipa Loka. Ia sendiri tidak mengerti kenapa hanya masalah anak muda itu yang menarik perhatiannya. Ia seperti merasakan hubungan yang sangat dekat dengan Arya. Ketika melihatnya pertama kali di kedai teh, ia sudah merasakan hal ini. Seperti ada kesamaan antara dirinya dengan Arya. Karena itulah dari ingin memberi pelajaran, ia berbalik memberi tahu pemuda itu tentang obat pemecah dari Racun 30 hari Naik Surga. Sekarang ia tahu, Arya sudah memiliki Kitab Teratai secara utuh. Namun anehnya ia sedikitpun tidak merasa iri atau tersaingi. Padahal kalau orang lain yang mendapatkannya, sekalipun harus kehilangan ekor juga akan ia rebut matimatian. Semakin lama, Risang Ontosoro merasakan dirinya sendiri semakin aneh. Apakah ini yang disebut rahasia Takdir" Ia tinggal menanti setengah jam lagi. Terus terang ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia begitu mudah mempercayai Pandan Kenanga. Seolah ada buhul gaib yang menariknya untuk mempercayai gadis itu sepenuhnya, sekalipun ia sendiri melihat bahwa Pandan Kenanga juga bukan gadis cilik yang polos. Tarikan wajah perempuan itu menandakan pengalamannya yang matang. Tapi bukankah hidup ini juga amat misterius" Kemarin ia masih bercakap-cakap dengan Pamannya di tepi danau Rawa Biru. Siapa yang menduga bahwa hari ini ia akan berbaring di ranjang seempuk ini di tempat yang katanya adalah Istana Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bulan Teratai" Tak pernah ia mendengar nama ini sebelumnya. Setengah jam biasanya berlalu dengan sangat cepat. Namun dalam waktu yang sangat cepat itu bukankah tidak mustahil akan terjadi kejadian-kejadian aneh lagi. Baru saja Risang akan membaringkan dirinya lagi ke ranjang, sepotong batu kecil masuk melalui jendela kecil di depan. Setelah berkerontangan sebentar, batu itu berhenti persis di kaki ranjang. Sejenak Risang berkerut alis. Bukankah belum ada setengah jam" Mungkinkah waktunya dipercepat. Dengan jari-jari kaki dicomotnya batu itu. Ah, kenapa seperti ada kertas yang membungkus. Risang membawa batu kecil itu ke depan matanya dan segera menemukan sehelai kertas membungkus batu kecil itu. Dengan rasa penasaran yang mendebarkan ia buka kertas itu. Sebuah kalimat. Kalimat yang sangat aneh. "Jangan percayai siapapun. Arya Dipa Loka." Begitu terperanjatnya Risang Ontosoro sampai tak sadar ia sudah meloncat ke sisi jendela. Dilongoknya kepalanya keluar. Tapi, jangankan orang, sebatang hidung pun tak dilihatnya. Hanya taman bunga dengan berbagai warna dan ratusan lebah yang berdengung asik. Terbengong-bengong Risang kembali memandangi kertas itu. Tulisan itu tak berubah. Matanya juga sangat sehat. Tak mungkin ia salah lihat. Apakah benar-benar Arya yang melemparkan batu itu" Atau jangan-jangan anak muda itu juga terperangkap seperti dirinya. Tapi itu tidak mungkin. Kalau Arya terperangkap, ia tidak akan tahu bahwa orang lain juga tertangkap. Apalagi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sampai mengirimkan peringatan segala. Namun kalau tidak, kenapa tidak ia sendiri menemuinya. Risang Ontosoro tertawa ironis. Pesan di kertas kecil itu memperingatkannya untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi bahkan terhadap pesan itu sendiri, ia sulit untuk percaya. Sambil meneguk air mangga yang tadi dihidangkan Risang kembali berpikir. Si pemberi pesan, siapapun itu, atau kalau itu memang Arya, mungkin sudah melihat Pandan Kenanga masuk ke kamarnya. Makanya ia berpesan untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi mungkin juga ia tidak melihat gadis itu, yang berarti keadaan di Istana Bulan Teratai ini begitu misteriusnya, sehingga entah siapapun itu, tidak bisa dipercayai. Ketika melongok ke luar jendela tadi, sekilas Risang tidak melihat siapapun. Dalam hal ini tentu saja ia paham. Penjagaan yang tidak memperlihatkan tanda-tanda jauh lebih menakutkan dari sepasukan tentara yang berbaris menoncolok. Tak terasa setengah jam berlalu. Dengan dada berdebar Risang Ontosoro menatap jendela kecil bergorden sutra putih tipi di depannya. Dan benar saja, sepotong batu menerobos masuk. Berkerontangan, dan menggelinding ke depan kakinya. Hati-hari dijumputnya batu itu. Tak ada pesan. Kalau begitu memang dari Pandan Kenanga. Sekilas Risang menatap pesan di kertas. Setelah tertawa sebentar ia pun segera menerobos jendela. Kalau kau memasang tanda 'Jalan Pelan-Pelan' di depan rumahmu. Maka orang yang lebih tua akan berjalan pelan. Tapi orang muda dan anak-anak kecil akan berlarian seolah disitu tak ada tanda apa-apa. Bahkan segolongan remaja yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mungkin tidak kau sukai bukan saja akan berlari kencangkencang, bisa jadi mereka juga akan berteriak-teriak kepadamu. Sifat ini dinamakan sifat keledai. Semakin kau melarang seseorang, semakin orang itu berhasrat melakukaknnya. Risang Ontosoro tentu saja bukan jenis anak nakal seperti itu. Cuma ada kalanya seorang anak yang penurut pun akan menjadi sangat liar. Hal ini sesungguhnya merupakan warnawarni hidup yang berjalan indah. Taman bunga itu begitu suburnya, tapi setelah diluar baru diketahuinya bahwa gemerlap sinar yang berkerlip di setiap sudut itu bukanlah sinar matahari, melainkan berasal dari Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kaca-kaca yang membias. Risang memandang sekeliling. Taman ini serupa gua yang sangat besar. Ada kemungkinan terletak di perut gunung atau bawah permukaan tanah. Anehnya cahaya berwarna kebiruan yang membias dari kaca-kaca di langit-langit itu seperti bergelombang. Risang Ontosoro tak tahan untuk menyembunyikan decak kagumnya. Begini banyak tempat menakjubkan di dunia. Betapa kebesaran dan kedahsyatan alam membawanya ke alam haru akan kasih dan pemurahnya Sang Pemberi Hidup. Setelah memperhatikan sejenak, Risang melayang ke sudut barat, dimana terlihat sebuah ceruk berongga yang mirip pintu. Masuk ke ceruk itu, barulah Risang menemukan Pandan Kenanga dengan buntalan kain di punggungnya menunggu dengan bersungut. "Kenapa lama sekali" Hampir mati aku menunggumu disini." Risang hanya tertawa. Menghadapi perempuan yang mengomel seperti ini memang cara terbaik hanya tertawa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita akan kemana?" "Ke neraka." Risang kembali tertawa. Selanjutnya ia pun berjalan sambil tutup mulut. Pandan Kenanga menyusuri lorong itu dengan sebatang obor kecil. Berkelok-kelok, membelok ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri. Berdebar Risang memandangi lorong yang mirip lobang tikus ini. Ia tahu, sekali ia tersesat, jangan harap akan melihat matahari terbit esok hari. "Kenapa diam" Biasanya kau cerewet sekali." "Kucing yang suka mengeong pun ada kalanya jadi pendiam." "Kau toh bukan kucing." "Makanya aku ingin bertanya satu hal padamu." "Untuk bertanya mengapa harus minta ijin segala." "Karena aku takut kau akan benar-benar membawaku ke neraka." Setelah tertawa, kembali ia melanjutkan, "Tempat ini apakah terletak di bawah danau Rawa Biru?" Pandan Kenanga menghentikan langkahnya, menatap Risang dengan matanya yang jernih, untuk kemudian kembali melangkah. "Kenapa sekarang kau yang diam?" "Dari mana kau tahu kalau tempat ini terletak di bawah danau Rawa Biru?" "Jadi benar rupanya." "He, kau belum menjawab pertanyaanku." "Ku jawab nanti kalau perutku kenyang." Ujar Risang santai sambil tertawa lepas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Lorong tikus ini benar-benar panjang. Sampai pegal kaki Risang belum juga Pandan Kenanga menghentikan langkahnya. Kalau kau ingin berjalan jauh tanpa merasa lelah maupun bosan, ada satu hal yang bisa kau lakukan, melamunlah. Risang Ontosoro sendiri tak sepenuhnya mengerti perbedaan melamun dan berfikir. Baginya semuanya itu satu. Dengan melamun ia bisa melihat dunia dengan arah yang ia tentukan sendiri. Melihat darah bukan sebagai kesedihan, mendengar burung bukan sebagai riuh yang mendatangkan uang. Dengan melamun ia jadi mengerti tentang sendiri yang ramai, atau riuh yang sunyi. Ketika melihat batu-batu yang berkerut, ia suka membayangkan nenek tua yang tertatih menyapu halaman. Kerut di batu itu, bungkuk di nenek itu, mungkin sebuah toreh akan masa silam yang bisa jadi tak selamanya menyenangkan. Tapi ia lebih suka memandangnya sebagai hasil pengalaman yang mahal, yang entah itu menyedihkan atau menyenangkan, namun tetap harus dihargai. Maka ia suka bercakap-cakap dengan nenek tua, atau berbaring di kerut batu. Kini Risang mencoba melamunkan wanita yang berjalan di depannya. Perempuan ini tak mungkin sangat muda, tapi juga tak menampakkan tanda ketuaan. Seolah ia adalah guji kaca yang selalu di gosok, tak peduli berapa usianya, tetap nampak cemerlang. Dilihat dari langkah kakinya yang tenang, sama sekali tidak mirip orang yang sedang melarikan diri. Buntalan kain yang terbungkus asal-asalan, dan raut wajah yang jauh dari cemas, sungguh Risang harus mengakui kalau dirinya akhir-akhir ini mudah sekali tertipu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mungkinkah pesan dari kertas misterius itu benar adanya, bahwa tak ada yang dapat dipercayai di Istana Bulan Teratai ini" Toh nasi sudah kepalang tanggung. Untuk kembali kesana jelas tak mungkin. Maju berarti masuk perangkap orang. Tak sadar Risang Ontosoro kembali tertawa ironis. "Ada apa kau tertawa" Apa teringat cerita lucu lagi?" "Apa kau mau mendengarnya" Tapi sekalipun kau tidak mau mendengarnya aku akan tetap bercerita, karena cerita ini benar-benar lucu." "Apa tentang Pak Tua Lucu lagi?" "Ya, tapi namanya bukan lagi Pak Tua Lucu" "Lalu siapa namanya?" Laskar Dewa 3 Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia Seruling Sakti 14