Sengatan Satu Titik 6
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 6 dilakukan Ki Awu Lamut sehari-hari, bersama orang-orang, menemani dan mengobati mereka, sekalipun tidak seorangpun yang merasakan arti penting kehadirannya." Risang memandang Arya dengan mata setengah terpicing, seperti pemuda muka pucat itu mendadak berubah menjadi bukan manusia. "Sesungguhnya kau ini pintar atau gila?" "Bicara sebenarnya aku pun tidak terlalu yakin dengan dugaanku ini. Apalagi orangnya toh ada disini, kenapa tidak kita tanyakan sekalian." Dengan mata yang masih terpicing, akhirnya Risang kembali ke ruang dalam. Diamatinya wajah Ki Awu Lamut yang anehnya tampak sabar menunggu percakapan mereka. Wajah tua itu menampakkan keriput disana-sini, tapi sinar matanya yang teduh bagaikan obor di kegelapan, sekalipun tak pentingkan arti hadirnya, tapi ia toh setia menemanimu, memberimu cahaya, yang redup dan hangat. Mendadak orang tua itu menyelutuk, "Apa yang diduga Arya benar seluruhnya," sepasang matanya menatap Arya penuh kekaguman, "kecuali bahwa apa yang kuketahui tentang Kulit Naga juga tidak lebih banyak dari apa yang diketahui oleh Sekar Gumintang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ketika mengucap nama Sekar Gumintang, kelopak mata orang tua itu seperti bergetar, seakan kaca yang tergetar pecah. Bilakah kaca yang pecah akan dapat utuh kembali" "Wah, rupanya telinga orang tua tukang obat ini panjang juga,"kekeh Risang, "Lalu siapa yang dimaksudkan oleh Bibi?" "Orang itu adalah saudara kembar Sekar Gumintang, ialah Putri T eratai Kemala." Kedua-dua Arya dan Risang kembali terlonjak kaget. "Tapi bukankah Putri Teratai Kumala sudah gugur puluhan tahun yang lalu?" tukas Risang cepat. Orang tua itu tersenyum rawan, "Orang luar hanya tahu bahwa kedua-dua Putri Teratai Kumala dan Iblis Tinju Neraka turut terkubur setelah amruknya balairung Istana Dasar Teratai ketika mereka sedang bertempur. Tapi apa sebenarnya yang terjadi siapapun tak pernah tahu pasti. Kenyatannya sampai sekarang siapapun tak pernah menemukan jasad kedua orang itu." Sepasang matanya Arya mendadak berkilat aneh. Ia seperti menemukan sesuatu hal yang sangat menarik. Seperti biasanya Risang Ontosoro yang menukas duluan, "Jadi kau ingin mengatakan bahwa kami harus mencari Putri Tertai Kumala yang tidak jelas mati hidupnya itu demi untuk mencari keberadaan Kulit Naga?" "Ku tahu ini bukah tugas yang ringan." Sahut Ki Awu Lamut dengan tersenyum. Risang Ontosoro menyengir, "Hakikatnya tugas ini mustahil akan berhasil." Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, katanya, "Walaupun kami sudah tidak menemukan orang lain lagi yang cocok untuk menunaikan tugas ini selain kalian tapi kami pun Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tidak ingin memaksakan kehendak. Seandainya kalian merasa berat......" "Tentu saja merasa berat," Tukas Risang Ontosoro "Tapi kami tetap akan menunaikannya." Sambung Arya cepat. Ki Awu Lamut menatap kedua anak muda ini lekat-lekat. Pancaran kasih sayang membayang jelas di pelupuk matanya. Perlahan Arya kembali berkata, "Pernah satu orang mengatakan kepadaku bahwa pokok kehidupan manusia sejati sesungguhnya tersimpul dalam satu kalimat, ialah bahwa ia tak minta dimaafkan di depan kemustahilan." Ki Awu Lamut memandang pemuda itu lekat-lekat. Samarsamar dalam wajah muda yang pucat seperti orang penyakitan itu terbayang satu tekad yang lebih panas dari kobaran api. Tekad yang akan meruntuhkan apapun. "Aku tahu kau tak akan mengecewakan siapapun," ia menoleh ke arah Risang Ontosoro, "Dan bagaimana denganmu"," Risang menjawab dengan tertawa, "Aku hanya tahu satu hal. Semakin mustahil sebuah urusan, maka semakin menarik pula untuk dilaksanakan. Kalau setiap orang takut dengan kesulitan lalu bilakah akan datang kemajuan?" Ki Awu Lamut mengangguk-anggukkan kepala, "Kalau begitu aku pun tak perlu memberi lain wejangan." Ia mengeluarkan dua buah bola lilin berwarna coklat bening sebesar buah kelengkeng."Ini adalah obat penawar dari segala macam racun. Juga bisa memulihkan luka dalam. Nilainya lebih tinggi dari obat apapun yang pernah kalian lihat. Sebaiknya tidak kalian gunakan kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa." Arya dan Risang menerima dua buah bola lilin itu dengan takzim. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ingatlah selalu bahwa dalam segala apa, kalian tak boleh hanya melihat dengan mata luar. Setiap hal mempunyai makna yang lebih dalam dari apa yang terlihat oleh mata telanjang." "Apa ini bukan wejangan?" sela Risang dengan suara tertahan yang dibalas oleh Ki Awu Lamut dengan pelototan mata. Arya tak bisa menahan tawanya. ~Dewi-KZ~ "Apa kau percaya segala apa tentang Kulit Naga itu?" Risang Ontosoro seperti menggumam pada dirinya sendiri. "Sekalipun tidak mau percaya juga tidak bisa." Arya menjawab dengan pandangan mata menerawang. "Kenapa tidak bisa"." "Tidak ada bukti yang mendukung bahwa Kulit Naga itu ada atau tidak ada. Dengan sendirinya tidak ada seorangpun yang bisa tahu pasti." "Tapi agaknya Bibi dan, eh...suaminya itu percaya betul." Risang Ontosoro tertawa kecil, "Bicara sebenarnya, sampai sekarang aku masih sulit percaya bahwa orang tua jenggot rumbut itu ternyata suami Bibi Sekar Gumintang." "Itulah yang mengherankanku." "Ehm, betul juga. Menurut apa yang kuketahui, waktu keluarnya Wahyu Kepala Naga sudah tinggal menghitung hari. Dalam keadaan seperti ini akan lebih masuk akal kalau Bibi menyuruh kita melurug ke Istana Lautan Awan. Tapi orang tua itu malah menyuruh kita mencari Kulit Naga yang tak karuan juntrungnya itu. Apalagi sebelumnya kita harus mencari Putri Teratai Kumala yang hidup matinya tak ketahuan, apatahlagi tempat tinggalnya. Bukankah seperti mencari jarum di tumpukan tahi kerbau." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sementara Risang menggerutu panjang pendek Arya mengedarkan pandangannya sekeliling, mencari-cari punggung Gagang Gerhana yang seperti biasanya tak bisa berjalan tenang. Bocah yang kembali memperlihatkan sifat ketolol-tololan itu sibuk berlarian kesana kemari, diantara lalu lalang orang yang berjalan, membawa pelbagai macam barang, pelbagai macam katuranggan. Desa ini memang agak sedikit ramai. Letaknya agak melereng gunung Merapi, meskipun untuk ke puncak gunung masih perlu menempuh perjalanan beberapa hari lagi. Sepanjang jalan tadi Arya menyaksikan hamparan sawah bersusun-susun yang bersemu kuning emas, tanda musim panen akan segera tiba. Bocah-bocah cilik berkejaran di pematang sawah, sesekali mengejutkan kawanan burung padi yang langsung terbang bergerombol. "Kau tahu" Bicara sejujurnya aku sedikit merasa heran dengan adik kecilmu itu." Kembali Risang membuka percakapan. "Oh?" "Selama beberapa hari perjalanan, tampaknya bocah cilik itulah yang paling banyak bergerak, berlarian kesana kemari, tapi tak sekalipun ia kelihatan lapar. Pernah dua hari lalu ketika kita masih di hutan kubakar satu ketela rambat merah, sengaja aku memanggang hanya satu butir, lalu kumakan dihadapan bocah itu. maksudku ingin kucoba keanehannya yang luar biasa itu, tapi bahkan sampai kulit ketela itu habis kumakan tak sedetikpun ia melirik ke arah ketelaku." "Ya, beberapa orang memang dibuat bingung dengan sifat bocah itu yang tidak biasa." Jawab Arya sambil mengulum senyum, agaknya merasa bangga dengan Gagang Gerhana. "Kenapa tidak kau titipkan saja bocah itu kepada Bibi, kurasa orang tua itu akan senang menjaganya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Orang sudah mempercayakannya kepadaku, betapapun harus kupenuhi kepercayaannya itu. Apalagi tak semua orang bisa dekat dengan Gagang Gerhana." Risang mengangguk-angguk, gumamnya dengan gegetun, "Kalau orang persilatan mendengar namamu, maka yang terbayang di mata mereka adalah kematian yang amat cepat dan mengerikan, satu sentuhan jari yang meminta satu nyawa. Kudengar bahkan ada orang yang berpendapat kau lebih kejam dari maut itu sendiri. Memangnya ada yang berfikir kalau kau juga bisa bersikap seperti ini?" lalu mendadak ia tertawa, "Hehe, bicara tentang ketela bakar, aku jadi ingat sejak pagi kita belum makan apapun. Apa kau tidak merasa lapar." "Ehm, sedikit. Tapi sepanjang jalan ini tampaknya tidak tampak ada warung nasi." "Ya, akupun heran. Desa yang begini makmur kenapa tidak mempunyai barang satu warung nasi." Bab XIX, Gadis Persembahan Jalan desa itu lebar. Ratusan kaki, roda pedati, dan gemeredap kaki keledai bergantian menapak debu yang membumbung coklat. Sekian banyak orang yang lalu di jalan itu anehnya tidak terdapat yang berjalan berlawanan arah. Semuanya menuju satu arah. "Apa kau tidak merasa orang-orang ini terlalu aneh?"gumam Risang Ontosoro sambil celingukan kesanakemari. "Sekian banyak orang berjalan dalam satu arah ini memang agak luar biasa," sahut Arya dengan sepasang mata sibuk mengikuti punggung Gagang Gerhana yang asyik belarian kesana-kemari. Berjalan dengan orang sebanyak ini memang suasana tersendiri bagi bocah itu yang biasanya menyendiri. Maka Arya pun tidak mau melarangnya. Hakikatnya ia memang tidak bisa melarang. Maklum anak seperti Gagang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gerhana itu memangnya siapa yang sanggup melarangnya untuk melakukan apa yang disukainya" "Mereka seperti mengadakan perayaan suatu apa." "Mungkin bersih desa." "Tapi kau toh melihat sendiri tadi, padi di persawahan belum lagi ditanam." "Ya, memang agak mengherankan." "Bagaimana kalau kita melihat-lihat?" Tanya Risang dengan suara tertarik. "Tidak ingin melihat pun tidak bisa lagi." Gumam Arya. Sepasang matanya tampak memandang di kejauhan sana. Sekitar seratus tombak dari tempat mereka berdiri, tampak sebuah lapangan yang amat besar. Tepat di tengah lapangan itu kelihatan sebuah panggung besar terbuat dari batu yang disusun begitu rupa sehingga membentuk mirip piramida. Dari jauh, panggung batu itu terlihat angker dengan sebuah pohon asem tua bertengger di atasnya, layaknya raja tua yang keriput. Beberapa buah asem tampak bergayut lemah di ranting-ranting yang bergoyang-goyang. Sementara itu arus manusia menyeret keduanya sehingga mau tidak mau Arya dan Risang juga masuk ke lapangan besar itu. Orang-orang, tua muda, laki-perempuan berduyun-duyun mengelilingi panggung batu itu. T ampaknya ada yang mereka nantikan. Arya dan Risang Ontosoro berdiri berendeng pundak, mencoba untuk tidak mati pengap di tengah lautan manusia yang seakan tumpah dari bendungan jebol. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan susah payah Arya celingukan kesana-kemari mencari bayangan Gagang Gerhana. Tapi sampai lehernya pegal tak ditemukannya bayangan bocah cilik aneh itu. Bicara sebenarnya, sekalipun ia mencari sampai lehernya putus juga tak akan ditemukannya bocah itu. Maklum manusia dimana-mana sampai ruang untuk semut pun tidak ada memangnya mau dimana mencari bocah cilik yang hanya setinggi kaki. "Kau tak usah terlalu khawatir. Aku selalu berpendapat bahwa dalam keadaan apapun adikmu yang aneh itu pasti punya kepandaian khas untuk melindungi diri." Gumam Risang pelan. Arya membalas dengan senyumnya yang khas. Sekarang ini mau khawatir juga tidak ada gunanya. Lebih baik tenang berdiam sampai manusia-manusia ini menyelesaikan urusannya. Barulah mereka bertiga dapat keluar dari situ dengan damai. Hiruk pikuk dari pelbagai macam manusia, pelbagai macam suara itu terus berlangsung. "Sesungguhnya apa yang sedang mereka tunggu?" gumam Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Risang agak kesal. Kira-kira sudah setengah jam mereka menunggu. "Apapun yang mereka tunggu pasti bukan tugu batu itu akan melahirkan seekor kerbau bunting." Gurau Arya. Suara pemuda ini masih tetap tenang seperti sedia kala. Risang langsung tergelak. Mendadak terdengar lengkingan panjang. Lengkingan itu begitu berpengaruhnya sehingga dalam sekejap suara-suara yang mendengung langsung sirap. Kesunyian yang panas segera menghampar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kemudian terdengar suara aneh, seperti Guntur tapi tak sekeras Guntur. Seakan ada dua batu yang bergesekan. Lalu terjadilah hal yang membuat Risang melongo. Ternyata puncak tugu batu itu perlahan menggeser, memperlihatkan sebuah lubang sebesar buah semangka. Lalu dari lubang batu yang hanya sebesar semangka itu muncullah seorang manusia, seorang manusia yang berdandan bak pangeran. Jubah hitam bersulam emasnya terlebih dahulu muncul. Disusul kepalanya yang muncul, lalu pundaknya, perut, lalu kaki. Ketika sinar matahari menyorot menerangi wajah orang ini seketika Risang mengkirik. Wajah orang ini begitu luar biasanya sama seperti cara keluarnya yang tidak biasa. Selebar wajahnya semerah cabe matang, satu buah matanya tertutup oleh kain sutra hitam yang diikat menyilang, sementara dua gigi taringnya mencuat seperti srigala tua. Satu buah matanya tampak mencorong merah. Dengan wajah yang mengerikan seperti ini, sekalipun pakaiannya gemerlap indah toh tak dapat menyembunyikan rasa seram orang yang melihat. Anehnya orang-orang seperti tidak peduli dengan bentuk wajah orang ini yang luar biasa. Yang tampak di wajah penduduk hanya rasa kagum dan jeri. Dengan jubah hitam panjang bergaris keemasan yang melambai tertiup angin orang ini berdiri menyeringai seperti memancarkan daya tarik menakutkan. Risang melirik Arya, gumamnya lucu, "Kenapa tebakanmu selalu tidak pernah meleset?" Arya menyengir, "Aku sendiri tak menduganya." "Apa dia benar-benar lahir dari batu itu?" "Agaknya begitu," Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bola mata Risang terpicing, "Kau juga percaya hal-hal begituan?" "Mau tidak percaya juga tidak bisa," sahut Arya diplomatis. "Menurutku kalau yang muncul itu seekor kerbau bunting seperti dugaanmu itu barulah menarik." "Kalau dua ekor malah lebih menarik." Risang tertawa tertahan. Seorang tinggi besar yang berdiri di belakang mereka tampak geram karena bisak-bisik kedua anak muda ini. Kalau bisa ingin disumpalnya mulut kedua orang ini dengan tankai cangkul. Risang hanya meliriknya dengan menyengir. Tiba-tiba orang bejubah hitam itu mengangkat tangannya. Seketika ratusan orang di lapangan itu membungkukkan badan sambil bersama-sama menggumamkan kalimat yang terdengar misterius. Arya dan Risang tentu tak ingin ikut membungkukkan badan, tapi karena tidak ingin terlihat mencolok, mereka terpaksa ikut membungkuk. Risang menyumpah-nyumpah dengan berbisik, "Setan alas, bau sekali pantat orang ini. Pasti dua minggu tidak mandi." Orang berjubah hitam menurunkan tangan, orang-orang pun kembali menegakkan badan. "Para kawulaku sekalian, kali ini aku datang, seperti janjiku satu bulan yang lalu, karena besarnya cintaku pada kalian dan daerah lereng merapi ini." Seketika terdengar gemuruh teriakan orang-orang. "Aku telah me lihat titik hitam disela-sela awan putih. Aku juga mendengar kisikan dari kawah merapi, bahwa Dalam waktu satu minggu lereng merapi ini diterjang hujan badai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang sangat hebat. Rumah-rumah akan roboh, sawah rusak, hewan mati." Gemuruh orang-orang sontak menjadi seringai ketakukan yang kaku. "Itupun belum selesai. Setelah hujan badai berhenti, akan datang sekawanan ular yang akan memangsa apapun yang hidup di lereng merapi ini." Beberapa wanita terdengar menjerit ketakukan. Maklum, tidak ada wanita di dunia ini yang tidak takut ular. Bagi Risang Ontosoro yang selama ini tak takutkan langit tak jerikan bumi, tentu saja dia menganggap perkataan ini hanya kentut kambing belaka, namun dia juga merasa aneh bahwa agaknya yang tidak percaya terhadap omongan orang bermata satu itu hanya dia dan Arya, dan mungkin ditambah Gagang Gerhana. Risang mencoba mengamati wajah orangorang di sekelilingnya. Tampak wajah-wajah pucat pasi, seakan-akan perkataan orang itu sudah merupakan bukti bahwa bencana itu memang pasti akan datang. Setelah jeda sejenak, kembali suara orang bermata satu itu menggema. "Untung saja atas bantuan Kyai Sanca Samber Nyawa aku berhasil mendapatkan petunjuk bagaimana menangkal semua itu. Sebagaimana yang aku katakan bulan lalu, untuk menghindari bencana mengerikan ini Kyai Sanca Samber Nyawa membutuhkan tiga macam persembahan yang nantinya akan dikirimkan kepada Penguasa Gunung Merapi ini melalui kawah." Risang tak tahan untuk berbisik, "Siapa Kyai Sanca Samber Nyawa?" Arya menyeringai, "Kau Tanya padaku lalu aku harus tanya pada siapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang balas menyeringai sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Orang bermata satu itu kembali melanjutkan ucapannya. "Tiga persembahan itu adalah Seorang gadis perawan yang lahir pada hari selasa kliwon dan berumur delapan belas tahun tepat, lima buah hati kambing yang masih segar, lalu kain sutra hijau dengan sulaman ular hijau berkepala lima." Terdengar desis di beberapa tempat. Arya sendiri merasa beberapa macam persembahan ini memang luar biasa. Umumnya sesaji di beberapa tempat yang dia lihat hanya berupa nasi tumpeng dengan lauk pauk lengkap, atau paling mahal sebuah kepala kerbau yang baru dipotong. Sesaji berupa manusia hidup, hati kambing, dan sutra bersulam baru sekali ini didengarnya. Dengan sendirinya perhatiannya tambah terarik. Orang bermata satu itu mengedarkan pandangan matanya sekeliling, agaknya ingin menguji kepatuhan dan kepasrahan hati orang-orang yang mengerumuninya. Satu buah matanya tampak menyorot tajam. Arya sengaja menunduk ketika sorot mata itu melewatinya. Ternyata memang tidak ada orang yang protes. Ujung mulut lelaki itu tampak menyeringai puas. Lalu dengan suara lebih keras ia melanjutkan. "Nanti ma lam bulan akan menunjukkan seluruh wajahnya. Saat itu adalah waktunya Kyai Sanca Samber Nyawa menampakkan dirinya. Maka kalau kalian tidak ingin menghadapi bencana itu, sekaranglah saatnya untuk memberikan tiga macam persembahan itu kepadaku. Nanti malam aku yang akan menyerahkannya kepada Kyai Sanca Samber Nyawa." Orang bermata satu itu mengulapkan tangannya. Mendadak dari ujung utara sana terdengar alunan suling yang mendayu, berbareng dengan pukulan gong yang bertalu-talu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Orang-orang menyingkir kekiri-kanan, terbentuk satu jalan selebar satu setengah tombak. Tak lama muncul serombongan orang lelaki dengan kain putih melilit pinggang ke bawah, bertelanjang dada, berjumlah kurang lebih dua puluh orang. Orang-orang itu berjalan perlahan dengan barisan yang rapi. Tiga orang di barisan pertama tampak meniup suling, sedangkan dua orang selanjutnya memikul gong yang dipukul oleh satu orang lainnya dengan kayu cemara hitam yang dibebat kain putih. Di belakang keenam orang itu bebaris sisa rombongan dengan formasi dua-dua. Beberapa diantaranya membawa Nampan yang tertutup kain putih yang masih merembeskan darah segar. Empat orang memikul sejenis tandu terbuka yang berisi bentangan sutra bersulam ular hijau berkepala lima berlatar api keemasan yang berkobar. Kain sutra itu tampak berkilau menyilaukan memantulkan sinar surya. Tapi semua itu tak menarik perhatian Risang Ontosoro, Karena matanya hanya focus menatap akhir barisan itu. Di akhir barisan itulah pemandangan yang paling menarik perhatian, walau setiap mata yang memandangya tidak dapat menyembunyikan sorot penyesalan dan pilu namun tetap mereka tak mengejapkan mata. Di Barisan paling akhir rombongan itu, empat orang pemuda mengusung tandu bambu kuning gading yang dibebat kain putih bertabur kembang tujuh rupa dimana diatasnya berbaring seorang gadis jelita dengan setagen putih melilit di perutnya. Selempang putih bersilang menutupi bahu gadis itu. Wajahnya yang berwarna sepucat kain yang melilit tubuhnya menatap dengan mata kosong ke langit biru. Segumpal awan putih tampak mengambang di ujung cakrawala. Entah apapun yang dipikirkan gadis itu, agaknya hanya dia sendiri yang tahu. Mungkin saja dia teringat kematian, mungkin juga memikirkan orang-orang dan masa remaja yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ditinggalkannya, atau bisa saja tidak memikirkan apa-apa. Maklum orang kalau sudah tidak punya harapan lagi, segenap jiwa raganya akan kosong melompong, sama sekali tak ada rasa. Perasaan seperti ini mungkin hanya orang yang berangkat untuk menerima hukuman pancung saja yang bisa merasakan. Cuma kalau orang terhukum setidaknya masih menyimpan penyesalan yang bisa diingatnya, sedangkan gadis itu memangnya kesalahan apa yang dilakukannya. Seandainya Arya tidak memijit tangan Risang diam-diam, Hampir saja anak muda ini sudah berteriak marah melihat pemandangan ini. Mulutnya sudah terbuka lebar. Tenggorokannya seperti tercekik melihat pemandangan mengenaskan ini. Sepasang matanya yang biasanya bersinar jenaka kini tampak merah melotot. Toh ia masih berbisik geram, "Ini sudah sangat keterlaluan." "Kau ingin ikut campur?" Arya balik bertanya dengan desisan tanpa membuka mulutnya. Anehnya suara pemuda ini masih tetap tenang dingin. Agaknya pemandangan didepan sana sama sekali tak mempengaruhi emosi pemuda itu. Risang sedikit heran dengan keadaan Arya yang masih adem ayem itu. Sambil melirik ia menganggukan kepala. "Kalau begitu kau harus atur nafasmu terlebih dahulu. Bertempur dengan kemarahan sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kekalahan." Bisik Arya lagi. Risang tertegun. Kalau ingin berkelahi, tenangkan dirimu. Tenang, itulah kunci kemenangan. Nasihat ini entah sudah berapa kali diulang oleh ayahnya, nyatanya dalam prakteknya tidak semudah menghafalkan. Sesungguhnya inilah sa lah satu perbedaan antara Arya dan Risang. Risang Ontosoro mendapatkan ilmu silatnya dari guru, melalui teori dan latihan, sehingga walaupun mutu ilmu silatnya sendiri amat tinggi tapi dalam penggunaannya ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masih kewalahan dan belum dapat memanfaatkan inti sari dan kandungan isinya dengan leluasa. Berbeda dengan Arya yang mendapakan kepandaiannya dari jalan pengalaman dan sentuhan langsung dengan alam. Bagi Arya, kelihaiyan dan mutu ilmu silat bukanlah ditentukan oleh nama dan rumitnya jurus, tapi lebih kepada pendekatan yang sebaik-baiknya kepada alam. Sehingga sekalipun gerakannya sederhana dan terkesan itu-itu saja, dalam penggunaannya justru amat manjur dan membawa perbawa yang dahyat. Karena sebelum ia bergerak, terlebih dahulu ia mengenali tanah dimana dia berpijak, merasakan udara dan mengalirnya lajur embun melalui semilir angin yang menyentuh kulitnya. Kemudian barulah ia menyertakan gerakan jari tangannya di sela tempat yang kosong. Ilmu silatnya hakikatnya adalah irama alam itu sendiri. Sejenak Risang memejamkan matanya, mencoba mengatur nafas dan mengendurkan otot leher. Sebenarnya Arya bukannya tidak terpancing emosinya melihat pemandangan pilu di depan matanya, Cuma sepasang matanya hanya sekilas saja melirik tandu bambu dimana gadis itu berbaring. Ia lebih memperhatikan kain sutra bersulam ular kepala lima itu. Sulaman bergambar ular itu mengingatkannya akan kertas bergambar kepala Naga yang direbut oleh Mahesa Manunggal dari tangan Lembu Patik Pulung tempo hari. Kedua gambar kepala ular itu agaknya mirip satu sama lain. Apalagi latar api yang yang berkobar semakin meyakinkan Arya bahwa antara keduanya memang terdapat kaitan suatu apa. Arya mencoba mengati sulaman itu terlebih cermat. Tapi sampai sekian lama ia belum dapat mendapatkan satu pun macam kaitan yang mungkin ada. Otaknya malah tiba-tiba menjentikkan satu pertanyaan nakal, ular berkepala lima itu kira-kira jantan apa betina dan bagaimana cara lahirnya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Memikirkan pertanyaan ini tak sadar ujung bibir Arya terjungkit ke atas. Risang Ontosoro yang kebetulan kembali melirik pemuda Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu tentu saja dibuat kebingungan dengan tingkah laku Arya yang tersenyum-senyum sendiri itu. "Adik dan kakak ternyata sama-sama sinting," gumamnya letih. Arya menoleh, "Ada apa?" "Oh, tidak. Aku hanya berpikir kapan kita harus bergerak?" "Tunggu sebentar lagi." "Apa yang harus ditunggu?" bisik Risang kesal, "Memangnya kita harus menunggu sampai setan mata satu itu kembali mengerut ke liangnya." "Sejujurnya aku ingin me lihat cara bagaimana ia akan membawa gadis itu melalui liang yang kecil itu. Setahuku ilmu mengerutkan tulang hanya bisa bekerja terhadap orang yang memilikinya dan tidak dapat ditularkan begitu saja." Risang mengangguk, "Benar. Aku tidak pernah melihat ada orang mampu mengerutkan tulang orang lain." Setelah merandek sejenak kembali ia melanjutkan, "Tetapi kalau menunggu sampai orang itu masuk ke liang anjingnya lalu cara bagaimana kita akan mengejarnya" Aku tidak tahu denganmu, yang terang aku belum mampu untuk mengerutkan tubuh menjadi sekecil itu. Kau kan tahu perutku biasanya sangat besar." Arya tertawa kecil, "Tepat. Kalau tidak cukup besar bagaimana kau bisa menghabiskan lima porsi buntut goreng sekali lahap?" Risang menyeringai bangga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Agaknya melihat muka dan suara Arya yang tenang, kepercayaan diri dan ketenangan Risang pulih dengan cepat sehingga sifatnya yang jenaka pun kembali timbul. Arya bertanya, "Menurutmu apakah kepalan tanganmu cukup keras?" "Tergantung kau ingin membandingkannya dengan apa. Kalau untuk menggencet lumat tulang hidung si setan mata satu itu sih kukira masih bisa diandalkan." "Bagaimana kalau dibandingkan dengan tugu batu itu?" "Itu mah gampang. Kalau tidak bisa memecahnya aku pun bisa pinjam pemukul gong itu untuk ganti mewakili, kukira pemiliknya tidak terlalu pelit." Arya tersenyum, "Jadi kalau kau toh tidak bisa masuk ke liang ularnya, kau masih bisa menghancurkan liangnya. Baik Manusia atau ular, kalau tahu rumahnya dipukul hancur orang biasanya dia tidak akan betah lagi tinggal di dalam dan mau tidak mau harus keluar." Risang ikut tersenyum, "Hah, dalam keadaan seperti ini otakmu memang dapat diandalkan." Sementara itu rombongan itu sudah sampai di depan tugu batu. Tiupan suling dan tabuhan gong berhenti. Barisan memecah dirinya menjadi dua. Lelaki bermata satu itu terlihat tersenyum puas. Sejenak kemudian ia menengadahkan kepalanya ke atas, mulutnya bekomat-kamit seperti mengucapkan mantra, lalu mendadak balok batu yang paling atas menggeser dengan sendirinya sehingga lubang yang tadinya hanya sebesar semangka membesar hingga selebar peti mati. "Wah, ular mata picak ini pun ternyata punya kepandaian melebarkan liang." Keluh Risang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sambil mengangkat kedua tangan ke atas, orang bermata satu itu memberi tanda kepada rombongan untuk memasukkan semua sesajian ke dalam lubang batu. "Eh, menurutmu apakah orang ini punya kepandaian memukul yang lumayan?" kembali Risang tak dapat menahan perasaannya. "Agaknya ia melatih sejenih ilmu tenaga luar yang kebal." Memang tampak otot lelaki itu berjulur-julur bagai rotan. Kulitnya juga agak sedikit gelap kasar. Ketika itu rombongan yang membawa nampan sudah pada masuk ke dalam lubang batu, disusul oleh empat orang yang membawa tandu berisi kain sutra bersulam ular berkepala lima, lalu giliran empat orang lainnya yang mengusung gadis berkain putih. "Apalagi yang kita tunggu", semuanya sudah masuk." Risang berbisik gelisah. Arya mengangguk. Namun belum lagi keduanya bergerak mendadak terdengar jeritan seorang perempuan. "Itu bukan anakku..." Di kesunyian yang mencekam ini jeritan yang menyayat hati ini terasa seperti suara kulit yang terobek pisau. Entah apa maksud perkataan perempuan ini yang pasti segera saja kegaduhan terjadi. Orang-orang saling mendorong ke depan. Jerit kekagetan dan bantahan pun merusak sunyi yang panas itu. Empat orang yang mengusung tandu agaknya sedang akan masuk ke lubang batu ketika kegaduhan itu terjadi. Seketika keempatnya berhenti lalu seperti tidak sengaja menurunkan tandu dan mencoba melihat gadis yang masih berbaring kaku di atas tandu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ketika wajah gadis itu terlihat lebih jelas di tengah s iraman matahari seketika keempat pengusung itu pun terbeliak. Keempatnya saling pandang satu sama lain dengan kebingungan. Lelaki bermata satu tampaknya tak paham dengan perubahan yang mendadak ini. "Kenapa kalian berhenti?" bentaknya kepada keempat pengusung tandu. "Gadis ini...." Jawab orang yang paling depan dengan terbat-bata. "Gadis ini kenapa?" Setelah menentramkan nafas akhirnya keluar juga suaranya yang jelas, "Gadis ini bukan anak perempuan Nyi Sumini." "Memangnya kenapa kalau bukan anak perempuannya?" Tanya si Lelaki bermata satu sambil me lirik ke wanita setengah baya yang tampak berdiri sempoyongan. Perempuan inilah yang tadi menjerit. Wajahnya pucat pasi dengan mata yang bendul merah membelalak. Pengusung tandu itu agaknya tak dapat mendapatkan katakata yang tepat. Jakunnya turun naik namun satu katapun tak keluar dari mulutnya. Karuan ini membuat orang bermata satu tambah gusar. "Seharusnya yang akan dikorbankan adalah anakku. Akulah yang mendandaninya tadi pagi." Terdengar suara berat bernada sedih. Seorang petani tua berdiri sambil mendekap perempuan setengah baya yang sempoyongan tadi. Meski terlihat amat terpukul bahwa anak perempuannya akan dijadikan barang persembahan tapi tampaknya wajah petani yang sudah agak tua ini tampak tegar. "Kau ingin mengatakan bahwa gadis ini tertukar?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kami tidak tahu. Ketika mengusung dari balai desa tadi terang yang naik ke tandu adalah Ratih, anak perempuan Nyi Sumini ini." Jawab pengusung tandu yang ada di belakang. "Maksudmu kemudian gadis itu bisa tertukar tanpa kalian mengetahuinya?" Pengusung tandu itu mengangguk takut-takut. "Padahal kami tidak pernah menurunkan tandu." Tambah yang pertama tadi. Agaknya ia sudah menemukan kembali ketenangannya. Percakapan ini sebenarnya tidak terlalu keras, namun karena kesunyian yang disebabkan penasaran orang-orang sehingga walaupun suara mereka tidak terlalu keras namun terdengar jelas dari tempat Arya dan Risang berdiri. Tentu saja kedua pemuda itu semakin tertarik dengan perubahan ini. Tak dinyana peristiwa ini ternyata masih terdapat misteri yang menarik. Kalau gadis itu tertukar diatas tandu tanpa keempat orang yang memikulnya mengetahuinya, padahal tandu itu adalah tandu terbuka memangnya mata keempat orang itu sudah buta semua atau bagaimana" Sepenuh perhatian Risang mencoba menajamkan pandangannya ke wajah gadis yang masih berbaring di tandu. Anehnya gadis itu tampak tak berubah mimic mukanya. Masih tetap pucat kaku. Kedua bola matanya tetap kosong menatap ke langit biru. Sejenak Risang mengira apakah gadis itu bukan orang mati" Sekilas gadis itu memang tampak seperti orang mati. Tapi kalau me lihat dadanya yang turun naik dengan halus menandakan nafasnya masih teratur, di dunia ini memangnya ada orang mati yang masih bernafas" Lain yang diperhatikan Risang, lain pula yang menarik perhatian Arya. Pemuda bermuka putih pucat ini tampak lebih tertarik pada tugu batu itu. Kalau orang sebanyak itu mampu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masuk kedalamnya apa tidak mungkin tugu itu sebenarnya adalah lorong menuju suatu tempat misterius " Bukankah Putri Teratai Kumala dulunya bertempat tinggal di istana bawah tanah" Apa tidak mungkin lorong ini ada hubungannya" Melihat tugu batu itu yang tampak berlumut disana-sini agaknya sudah sangat lama terletak disini. Lamat-lamat di sebuah cekuk gompal separo, Arya melihat sebuah tanda lingkaran. Sementara itu lelaki bermata satu tampak memperhatikan gadis di atas tandu lekat-lekat. Dalam putih pucat dan pandangan matanya yang kosong, toh masih terlihat kecantikan alami yang memabukkan. Dahi yang rata tak terlalu lebar, hidung mancung dan kelopak mata yang berbulu lembut. Dilihat-lihat gadis ini memang amat cantik. Seandainya ini bukan anak perempuan Nyi Sumini pun tidak masalah. Begitu pikir si lelaki bermata satu, namun mendengar berita tadi mau tidak mau hatinya was-was juga. Apa tidak mungkin gadis ini bisa malih rupa" Perlahan didekatinya gadis itu. T angannya terulur mencoba menjamah pipi sang gadis. Namun belum sempat tangan yang kasar itu menyentuh kulit yang halus lembut mendadak sinar kilat berkiblat. Ujung pedang yang entah bagaimana muncul dari lilitan setagen di pinggang si gadis memapas bagai kilat. Di tengah jeritan orang-orang terdengar lelaki bermata satu itu membentak marah. Rupanya dia memang punya kepandaian. Meski diserang mendadak tapi tidak jadi gugup. Secepatnya ia tarik tangannya, tapi toh ujung pedang masih menyayat kulit tangannya yang seketika membekas jalur merah sepanjang daun. Sekali kakinya menjejak ia sudah melayang satu tombak ke belakang. Begitu kakinya menapak tanah, langsung ia bes iaga penuh. Kedua tangannya mengepal kencang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sementara si gadis sendiri, dengan satu gerakan indah sudah melompat bangun. Pakaiannya yang putih berkibar tertiup angin, rambut panjang hitam legam terurai berombak. Gerakannya enteng lembut, namun juga mengandung sifat ketangkasan. Dengan sebatang pedang yang berkilat perak menyilaukan sekilas ia seperti dewi yang turun dari kahyangan. "Siapa kau?" geram Lelaki Bermata satu. Terlebih dahulu si gadis tertawa panjang, suaranya merdu melebihi kicau merpati, "Aku adalah aku. Memangnya kau tidak bisa melihat siapa aku?" Waktu berbaring tadi sepasang mata dan tubuh gadis ini tak ubahnya seperti orang mati, kaku dan kosong. Namun begitu melompat dan melolos pedang, bola mata yang kosong itu seketika berubah terang. Aura tubuhnya pun seperti mendadak tebangun, penuh gairah dan kelincahan. Risang bahkan merasakan bahwa tiba-tiba saja matahari kehilangan sinarnya. Mendengar perkataan gadis itu yang mempermainkannya tambah gusar lelaki bermata satu itu, "Siapapun kau tampaknya kau sudah bosan hidup." bentaknya. "Ah, hidupku terasa sangat menyenangkan. Makan enak uang pun cukup, mana bisa aku bosan." Jawab si Gadis sambil tertawa cekikikan, "kadang-kadang kalau lagi iseng aku lalu mengganggu orang sepertimu ini. Coba, hidup seenak ini masakah bisa bosan segala?" "Dimana Ratih"' "Oh, maksudmu gadis berlesung pipit itu. Sudah kusuruh ia pulang ke kamarnya. Katanya ia tidak mau bertemu denganmu, takut mimpi buruk. Maklum wajahmu yang setampan ini sekalipun nenek-nenek juga akan muntah melihatnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Semakin bicara semakin tajam kata-kata gadis itu, juga semakin gembira nadanya. Seakan-akan ia lagi melakukan suaut permainan yang menarik. Dengan sendirinya lelaki bermata satu itu gusar tak kepalang. Tanpa berkata-kata lagi tinjunya menghantam ke muka. Betapapun ototnya yang keras memang bukan hanya pemandangan kosong belaka. Seketika angin tajam berkesiur tajam. Gadis itu bersiul nyaring, setelah melilitkan pedang lemasnya ke sekeliling pinggang, tangannya yang kecil putih menyambut pukulan langsung lawannya dengan gerakan setengah membuka. Keduanya pun lantas terlibat pertarungan seru. Dalam sekejap dua puluh jurus berlalu. Ilmu silat yang digunakan lelaki bermata satu itu terkesan keras menekan, dengan taktik serangan mengandalkan tenaga luar dan kekebalan kulitnya. Setiap gerakannya menimbulkan desir angin yang keras. Sementara lawannya memainkan ilmu silat bergaya lembut indah. Setiap gerakan tubuhnya seolah tarian yang luwes lincah. Sekalipun serangan lawan keras menekan, namun tak dapat mematahan gerakan yang lembut luwes ini. Risang Ontosoro menyaksikan dengan terbelalak. Kedua bola matanya seperti mau copot. Melihat tampang pemuda ini, malah sepertinya sukmanya pun sudah melayang pergi. Tak sepatah gerakan pun terlewat dari perhatian Risang. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sementara Arya malah tampak acuh tak acuh dengan pertarungan dua orang itu. Ia menyaksikan dengan sikap biasa, bahkan terasa agak hambar, seperti orang lagi melihat kerbau kentut. Maklum sekalipun gadis itu sangat cantik, gerakannya juga lincah indah, namun di mata Arya terkesan manja dan tidak tahu aturan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Hal ini maklum saja, seorang lelaki kalau hatinya sudah terisi oleh satu anak gadis, maka dalam pandangan matanya perempuan lain akan tampak hambar. Beberapa yang berbakat menjadi hidung belang tentu harus dikecualikan. Sedangkan Arya, sekalipun ia belum mau mengakuinya, hatinya sudah terampas habis oleh Arum Puspita. Dengan sendirinya setiap perempuan selainnya hanya tampak sebagai kambing bunting saja. ~Dewi-KZ~ Bab XX, Dung Sebaliknya dari Arya, bagi Risang, sikap demikian sangat mencocoki hatinya. Sepanjang malam dan siang ia selalu bertingkah menurut kata hatinya, segala peradatan tak digubrisnya. Lebih dari itu di hatinya pun masih kosong, maka melihat gadis ini yang bak bidadari menari, sepasang matanya tak mau lepas pandangan. Waktu itu pertempuran telah mencapai puncaknya. Wajah si Lelaki bermata satu tampak merah padam, butir-butir keringat sebesar kedelai berteretesan seperti hujan dari seluruh pori-pori tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke kiri kanan dengan bau amis santer. Sementara si gadis juga sudah kehilangan kulum senyumnya. Di sepasang pipinya yang tadinya putih pucat muncul sesamar warna merah muda. Gerakannya juga tambah cepat. Dari jalannya pertempuran memang jelas bahwa si Gadis tampak unggul. Kecepatan dan keindahan gerak tangannya seperti juga ribuan benang sutra yang menjerat tubuh lawannya. Namun si lelaki bermata satu juga bukan lawan empuk. Sepasang telapak tangannya yang agaknya beracun itu beberapa kali menghambat gerakan kilat lawannya. Maka Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ itu pertarungan sudah berlangsung sekian lamanya tapi belum juga membuahkan satu ketentuan. Risang yang menyaksikan dengan mata melotot agaknya sudah tak sabar melihat keadaan yang tidak menentu ini. Beberapa kali hatinya sudah berniat untuk melompat memberi bantuan, tapi sekalipun bersifat berandalan sedikitnya ia masih seorang lelaki. Tak sudi ia mengeroyok orang. Dalam pada itu si Gadis sudah mendesak lawannya sampai ke tepi lubang batu. Perlawanan dari lelaki bermata satu pun tampaknya sudah mengendor dan kacau. Dalam satu gerakan tampak telapak tangan si gadis membacok miring ke arah pundak. Bacokan yang tampaknya enteng seperti bulu burung itu membelah cepat. Jangan pandang tangannya yang putih kecil, tapi kalau sampai terkena telak rasanya tidak akan lebih baik dari sayatan belati buatan baja asli. Lelaki bermata satu yang agaknya sudah kacau pikirannya tak sempat menangkis dan hanya memandangi bacokan itu sambil membelalak. Bacokan tangan itu hampir sampai ke sasaran ketika sebuah suara "dung" satu kali terdengar samar. Lalu seperti terhalang oleh tembok yang tak kelihatan, telapak tangan yang hampir telak mengenai bahu itu tergetar miring. Bukan hanya serangannya meleset, bahkan tubuh si gadis juga tersurut mundur. Segera saja paras si gadis melebar merah, antara terkejut, kaget, juga gusar. Penasaran ia membentak satu kali terus kembali merangsak maju. Sementara ujung mulut lelaki bermata satu tampak mengulum senyum lega. Namun toh ia tak berani maju menyambuti serangan si gadis. Ia hanya diam di pinggiran lobang batu. Paras muka Arya yang semula adem ayem dan tampak acuh tak acuh tiba-tiba juga berubah serius ketika suara dung ini terdengar. Maklum suara dung ini sekalipun samara dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ seperti sebuah gema dari dinding jurang yang berlaksa meter dalamnya, namun mampu menembus dan menggetarkan hati sanubari. Seperti juga ia seribu sajak yang terkata, ditambah dengan lapisan tenaga dalam yang tak terukur, maka keampuhannya menjadi luar biasa menakutkan. Sinar mata Arya berkilau menatap lubang batu yang tampak gelap. Karena gusar, serangan di gadis kali ini menjadi tak kenal kasihan. Jurus-jurus maut berkiblat sengit. Sebaliknya, Si lelaki agaknya sudah tak punya tenaga lagi untuk me lawan, ia hanya sibuk menghindar kesana-kemari, walau toh tak pernah meninggalkan pinggiran lubang batu. Tapi seperti juga tadi, setiap kali serangan si gadis nyaris mengenai sasaran kembali terdengar suara "Dung" yang lantas saja membelokkan arah serangan. Mendadak Risang menggembor keras, "Pengecut busuk, tunjukkan ekormu," berbareng tubuhnya mengapung bagaikan burung rajawali raksasa dan langsung menyambar lubang batu. Agaknya pemuda ini sudah tak dapat menahan dirinya lagi. Apalagi Arya juga seperti tak ingin mencegahnya, walaupun ia masih saja berdiam diri dengan tangan terlipat di depan dada. Jarak antara tempat Arya dan Risang berdiri dengan panggung batu paling tidak ada empat tombak lebih. Walaupun harus satu kali menutul pundak seseorang namun toh lompatan Risang ini sudah terhitung luar biasa cepatnya. Apalagi dilakukan dengan gerak tubuh yang indah luwes sehingga menampakkan wibawa tersendiri. Namun sesuatu yang terlebih cepat dan terlebih hebat terjadi di pinggiran lobang batu. Dua detik sebelum Risang sampai di tugu batu mendadak berkelebat sinar hijau yang muncul dari lobang batu dan langsung menggubat dan menarik kaki si lelaki bermata satu. Dalam satu detik si lelaki bermata satu kontan amblas ke dalam lobang batu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Perubahan ini begitu cepat terjadinya sehingga si Gadis yang sedang bergerak menyerang seketika tertegun diam. Tak kurang juga kejut di hati Arya. Maklum gerakan dan tenaga sehebat itu selama hidup belum pernah dilihatnya. Betapa cepat gerakan ini sampai-sampai bagi orang yang matanya kurang jeli hanya melihat lelaki itu mendadak menghilang tanpa tahu sebab musababnya. Ukur punya ukur Arya sendiri mengaku belum mampu melakukan gerakan demikian. Ketika Risang sampai di pinggiran lobang batu, tubuh lelaki bermata satu itu sudah tak tampak lagi. Hanya lobang hitam yang tampak gulita. Anehnya beberapa puluh orang yang masuk sebelumnya dengan berbagai macam barang sesaji itu juga sudah raib tak karuan rimbanya. Karena rasa penasaran sebenarnya ada juga niat di hati Risang untuk melompat masuk ke lobang batu. Tapi sekalipun ia kelihatan berangasan dan tak tahu aturan pada dasarnya otaknya memang cerdik. Melihat lobang batu yang gelap hitam seperti tak berdasar itu tidak mustahil ada perangkap di dalam sana. Kalau nekad melompat masuk jangan-jangan masalah akan tambah runyam. Terlebih lagi ia pun belum paham ujung pangkal dari perkara ini. Maka itu ia hanya berdiri melongo saja dengan mata membelalak memandang kegelapan. "Siapa kau?" Pertanyaan yang dikeluarkan dengan nada ketus dan gusar, tapi dengan suara semerdu kicau nuri ini menyadarkan Risang dari lamunannya. Kepalanya menoleh miring. Seketika tergambarlah bentuk wajah yang lonjong buah apokat dengan mata bulat bersinarsinar, memperlihatkan sifat nakal dan tangkas. Dagu yang lancip membelah dua menggantung di bibir yang mungil kecil. Ujung bibir yang berwarna bagai delima muda itu tampak bersungut. Membelakangi sinar matahari yang menggurat langit biru, tampak sepasang pipi gadis itu memerah cerah, berhias tetes keringat yang kecil bening. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Berdiri di tengah kerumunan manusia yang pelbagai ragam itu ia seolah sekuntum melati di padang salju, yang merekah putih menantang kebesaran sang surya. Saking terpesonanya Risang sampai ia lupa berkata-kata. Mulutnya terbuka lebar, saat itu seandaianya ada seekor lalat yang bersedia berkunjung ke lobang mulutnya itu rasanya tak akan tertolak. Dipandang seperti itu dengan sendirinya sifat malu-ma lu si gadis sebagai seorang wanita muncul secara otomatis. Karuan pipinya tambah merah jengah, bentaknya pedas, "Kutanya siapa kau berani mencampuri urusanku?" Seketika Risang gelagapan seperti mulutnya mendadak digerojok perasan cabe, "Eh, aku....aku..." "Aku apa" Apa ibumu tak pernah mengajarimu bicara?" "Ah... tidak, Cuma mendadak saja aku lupa caranya." Jawabnya sambil menyengir. "Masa cara berbicara juga ada kalanya lupa?" "Ehm...memang begitulah." Sementara itu orang banyak yang tadi senyap terdiam mulai bersuara gaduh. Perubahan yang tak disangka-sangka ini betul-betul membuat semua orang tak habis mengerti. Mereka yang semula berangkat dari rumah dengan muka takut-takut harap sekarang berubah menjadi penasaran sekaligus cemas. Seorang tua berpakaian lurik coklat hitam dengan blangkon sewarna maju ke depan tugu batu. Terlebih dahulu ia merangkap kedua telapak tangannya di depan dada barulah berkata dengan santun, "Saya adalah Lurah di Kalicandak lereng merapi ini. Dengan tak bermaksud mengurangi kepantasan, saya ingin meminta penjelasan kepada kedua kisanak tentang kejadian ini?" Gantian sekarang si gadis yang gelagapan, "Eh..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang menyeringai diam-diam, "Hehe, tampaknya ibumu juga belum mengajarimu cara berbicara" Mungkin yang diajarnya hanya cara membuat onar saja." Batinnya. Merasa kasihan, juga sedikit ingin pamer, Risang balas merangkap tangan kemudian membuka mulut, "Apa yang dilakukan nona ini kukira sudah jelas seperti matahari di siang hari. Semua yang dilakukan dan dikatakannya tak bermaksud lain selain ingin membantu penduduk desa Kali...Kalicandak lereng merapi ini." Katanya berlagak arif. "Membantu, huh...apa maksudnya membantu" Yang jelas perbuatan nona ini malah mengacaukan upacara ini." Sela seorang lelaki di belakang Lurah berblangkon yang tampak berwajah keras. "Mengacau?" ulang Risang tak mengerti. Si Kepala Desa mencoba memberi penjelasan, "Tujuan diadakannya upacara ini adalah tolak balak, supaya bencana yang akan timbul dapat dicegah dengan tumbal yang telah di tentukan oleh Kyai Sanca Samber Nyawa melalui Ki Moto Siji tadi. Tapi dengan perbuatan nona ini menjadikan Ki Moto Siji menghilang dan upacara ini pun tak dapat diteruskan. Kalau demikian halnya bukankah bencana yang akan melanda tidak beberapa lama lagi menjadi tak terbendung?" "Tapi sesaji yang ditentukan dengan mengorbankan seorang gadis apakah tidak terlalu keji. Dimanapun tidak pernah kujumpai sesaji semacam ini. Huh...ini pasti hanya omong kosong si mata buta itu saja." Sahut si gadis cepat, juga pedas. Lelaki di belakang Lurah naik alis matanya, juga beberapa orang yang berkerumun. Satu dua orang berteriak gusar. Suara Ki Lurah berubah tegas, "Nona bukanlah penduduk sini sehingga sampai sejauh ini kami masih memperhatikan tata krama kepada tamu. Tapi kalau nona tak bisa menjaga Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kehormatan diri sendiri, kami pun terpaksa harus berlaku kurang hormat." Risang menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak terasa gatal, sungguh tak disangkanya urusan akan berubah menjadi seperti ini, "Aku masih belum begitu paham dengan maksud Ki Lurah sekalian. Menurut hematku apa yang dilakukan nona ini adalah hal yang sebaik-baiknya. Mengorbankan seorang manusia untuk urusan tak jelas dengan sebenarnya sangat melanggar nilai kemanusiaan. Seekor harimau pun tak akan memangsa anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya begal tak akan merampok keluarganya sendiri. Apalagi kita adalah masyarakat yang beradab dan mengenal tata sopan. Jadi dimana letak kesalahannya?" Mendengar kata-kata Risang ini sorot mata si Gadis sekilas memancarkan rasa terima kasih, walaupun paras mukanya masih merah membesi. Risang sendiri heran dari mana katakata seperti ini bisa keluar dari mulutnya. Si kepala desa sejenak terdiam, agaknya berfikir. Kemudian setelah mengambil nafas berujar, "Kata-kata kisanak itu benar secara keseluruhan apabila diterapkan dalam keadaan biasa. Sebodoh-bodoh kami juga tak akan tega mengorbankan anak gadis sendiri. Namun waktu ini situasi sudah demikian luar biasanya sehingga kami pun terpaksa bertindak seperti ini. Kisanak salah kalau mengatakan upacara sesaji ini tak ada tujuannya atau tak jelas maksudnya. Seperti apa yang dikatakan Ki Motosiji tadi bahwa tak lama lagi desa kami akan tersambar bencana yang tak karuan dahsyatnya, lagi pula datangnya beruntun. Seandaianya kami tidak melakukan upacara persembahan maka desa ini berikut isinya akan musnah. Dengan tujuan menyelamatkan sekalian penduduk dan desa lah kami baru melakukan upacara ini." "Tapi bahwa desa ini akan tertimpa bencana hanyalah melulu perkataan orang bermata satu itu. Perkataan seperti itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kan hakikatnya seperti kentut belaka?" kembali si Nona menyela. Agak berubah juga paras muka si kepala desa. Tapi belum sempat ia menyahut lebih dahulu Risang menyela. "Benar, Apa yang dikatakan nona ini bukan tidak berdasar Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sama sekali. Apakah hanya karena omongan Ki Motosiji tadi lantas kita harus percaya penuh bahwa bencana akan datang. Dalam hal ini aku malah tidak mengerti kenapa penduduk desa yang beradab ini percaya dengan omongan seperti itu." Si Kepala Desa menghela nafas, "Kami sama sekali tidak menyalahkan Kisanak sekalian. Karena seandainya dalam posisi Kisanak tentu kami juga akan berpendapat demikian. Hal ini karena kisanak baru pertama kali menyaksikan. Berbeda dengan kami yang telah mengalam i sebelumnya." Sambil menoleh ke belakang, tangannya menggapai. Seorang lelaki tua berbaju kain karung tak berkancing dengan jenggot yang sebagian besar memutih maju menghampiri. "Ini adalah Ki Sarunggi. Beberapa bulan yang lalu keluarga dari Ki Sarunggi ini telah didatangi oleh Ki Motosiji dengan sebuah kabar bahwa dalam satu minggu anak lelakinya yang baru berumur lima tahun akan hilang dimakan ular sanca. Bencana itu dapat di cegah apabila Ki Sarunggi bersedia memberikan sesaji berupa hati kambing segar ke tugu batu ini. Saat itu Ki Sarunggi juga tak percaya dengan kabar ini, malah dia hanya menganggapnya ucapan seorang sinting." Risang menoleh lelaki tua bernama Ki Sarunggi ini. Dilihatnya kepala lelaki itu mengangguk dalam. Samar-samar bayangan kesedihan masih bergelayut di s inar matanya. "Lalu apa yang terjadi. Masakah benar ada ular sanca dapat memangsa anak lelaki?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Perkataan nona benar seluruhnya. Selang seminggu kemudian tiba-tiba anak lelaki Ki Sarunggi mendadak menghilang. Di galengan sawah sebelah utara desa diketemukan pakaiannya yang sudah koyak-koyak dalam lumuran darah." Gadis berkain putih terpekik ngeri. Risang juga tak kurang kagetnya. Terkesiap juga hatinya mendengar cerita yang luar biasa ini. Tergagap anak muda ini menanggapi, "Eh..Maaf, tapi bukankah bisa saja hal itu terjadi secara kebetulan?" Si Kepala desa tersenyum tawar, "Pikiran seperti itu juga masuk ke benak saya ketika Ki Sarunggi melaporkan hal ini. Namun esok harinya ternyata datang kabar dari beberapa desa tetangga tentang peristiwa serupa. Total jenderal ada lima keluarga yang didatangi oleh Ki Motosiji dengan kabar serupa dan dalam waktu seminggu kabar bencana itu menjadi kenyataan, terkecuali ada satu keluarga yang karena mereka hanya punya anak tunggal maka ketakukan mereka juga lebih besar, maka mereka menuruti saran dari Ki Motosiji itu, dan kenyatannya anak dari keluarga ini selamat hingga kini. Makanya kami kemudian berkeyakinan bahwa apa yang dikatakanKi Sarunggi itu bukan hanya omong kosong. Ia pasti menguasai satu ilmu tersendiri yang sanggup menangkap halhal seperti itu." Risang terdiam sambil menelan ludah. Perkara demikian hakikatnya belum pernah dibayangkannya. Ia lebih berhadapan dengan selaksa anak panah dari pada harus menyelesaikan persoalan seruwet ini. Namun apa daya , nasi sudah jadi gaplek, mau mundur tidak bisa. Diam-diam ia memaki ketololan sendiri. Si gadis juga tampaknya kebingungan, bola matanya berpuataran kesana-kemari. "Lalu kalian mau apa?" katanya lebih mirip rintihan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Si Kepala desa tersenyum pahit, "Kami tidak inginkan apaapa. Kami hanya berharap nona bisa menyelasaikan masalah yang nona timbulkan sendiri, betapapun ini menyangkut keselamatan ratusan orang." Beberapa orang di kerumunan itu menggumamkan persetujuannya. "Tapi ....aku..." bola mata mempesona itu mulai Nampak berkaca-kaca. Betapapun ia masih seorang gadis muda. Hanya karena pembawaan dan didikan sebagai ahli silat saja maka nyalinya menjadi lain dari yang lain, namun berhadapan dengan masalah yang tidak bisa diselesa ikan dengan hanya mengandalkan ilmu silat ini mau tak mau hatinya bingung juga. Kalau hati sudah bingung, menuruti watak asli sebagai gadis cilik, tak urung air mata akan keluar. Kasian juga Risang melihat lagak gadis itu yang seakan bisa menangis setiap saat. Namun dirinya juga tak terpikir cara tepat. Terhitung dirinya juga sudah masuk ke perkara ini, bagaimana bisa mau menolong orang lain sedang diri sendiri terlili duri. Sebenarnya bisa saja ia melompat lari keluar dari kerumunan ini, kalau perlu mengajak serta si gadis. Seratus persen pasti tidak akan ada orang yang sanggup mengejarnya. Namun tindakan demikian hanya dilakukan oleh pencoleng saja, apa pula nasib dan keselamatan ratusan penduduk desa ini terancam bahaya. Benar ia berandalan, tapi kalau ada orang sekarat dihadapannya mustahil ia akan berpeluk tangan. Dalam suasana tegang itu mendadak terdengar nyaring, "Kiai Sanca Samber Nyawa!!!, Kiai Sanca Samber Nyawa datang..." Entah perkataan ini pertama kali diteriakkan oleh siapa, yang jelas sekejap kemudian semua orang berteriak dengan perkataan yang sama. Suasana menjadi gempar. Semuanya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berteriak dengan wajah ketakutan. Semuanya sama menunjuk satu arah. Tak sadar wajah Risang menegang. Segenap tenaga dalam pun otomatis menyebar ke seluruh tubuhnya. Maklum kalau ini benar adalah Kiai Sanca samber Nyawa, maka melihat caranya tadi manarik membetot Ki Motosiji dan menghalangi setiap serangan Gadis berkain putih hanya dengan suara "Dung" yang agaknya berasal dari alat music, jelas kepandaian Kiai satu ini sangat tinggi. Ketika melirik kesamping dilihatnya si gadis juga diam-diam meraba gagang pedang tipisnya. Sepasang matanya menatap tajam ke satu arah. Melihat wajah putih merona bermahkota gelap rambut mayang yang terikat dengan kain sutra putih itu seketika semangat Risang bertambah dua kali dari biasanya. Maklum siapapun dia asal masih bernama dan bersifat lelaki pasti akan tambah semangatnya kalau bertempur di samping sang gadis pujaan. Perlahan kerumunan yang merapat dalam satu arah itu terkuak, menyisakan satu celah setapak yang berujung pada satu sosok. Penasaran juga Risang ingin melihat seperti apa bentuk Kiai Sanca Samber Nyawa itu. Namun ketika matanya tertumbuk pada sosok yang berjalan perlahan itu seketika ia berjingkrak terkejut, hampir saja ia jatuh terguling. Beberapa kali dikejapkejapnya matanya, namun sosok itu tak berubah. Bagaimana ia tak terkejut setengah mampus, karena sosok yang sedang berjalan di tengah tatap ketakutan ratusan orang itu adalah Arya, benar-benar seratus persen Arya Dipaloka tulen. Saking tak percayanya, sungguh Risang ingin memites pecah perut pemuda itu, mungkin saja di dalam perut itu tersembunyi orang lain. Namun dipandang dari sudut Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ manapun ia memang Arya. Wajahnya masih sepucat dan setenang dulu, lagak-lagunya tetap acuh-tak acuh, tatapan matanya pun masih tetap dingin beku, walau Risang tahu dibalik tatap yang dingin itu tersembunyi bara api persahabatan yang berkobar tak padam. "Jadi ini yang namanya Kiai Sanca Samber Nyawa, kelihatan masih cukup muda. Bagaimana menurutmu?" gumam gadis berkain putih sambil melirik Risang. Risang hanya menyengir bodoh. Sungguh ia tak tahu harus menjawab apa. Tak terasa kembali tangannya menggarukgaruk kepala yang tak gatal. "Kenapa" Apa kau takut?" omel gadis itu perlahan, "huh, melihat lagaknya kuyakin ia hanya gentong nasi belaka." "Kalau ia hanya gentong nasi, maka di dunia ini tidak akan ada barang yang lebih berbahaya dari pada gentong nasi." Gumam Risang letih. "Apa" Kau bicara apa?" "Ah, tidak. Aku hanya ingin mengatakan meski orang ini kelihatan muda namun agaknya kepandaiannya lumayan juga." Sementara itu Arya telah sampai di depan mereka. Sepasang matanya memandang dengan kereng, seakan ia benar-benar Kiai Sanca Samber Nyawa yang naik pitam. "Kalian berdua ini kutu busuk apa berani mengangguku?" bahkan kata-katanya pun bernada dingin menggidikkan. "Wah, kalau aku tidak kenal dirimu, mau aku percaya kau benar-benar penjahat berdarah dingin." keluh Risang dalam batin. "Dan kau ini kentut kambing apa berani menanyai kami?" balas gadis berkain putih tak kalah sangar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya tertawa dingin, "Nona muda, pahit benar lidahmu, apa kau kira punya nyawa rangkap Sembilan sehingga berani kurang ajar dihadapanku?" Sebelum gadis itu balas menyahut, terlebih dahulu Risang bertanya dengan wajah tolol, "Apa kau ini benar Kiai Sanca Samber Nyawa?" Arya hanya mendengus dingin tak menjawab. Malahan gadis itu yang membentak sambil me lotot, "Kalau bukan dia, memangnya adalah dirimu?" nadanya seakan didunia ini tak ada orang yang lebih tolol dari Risang. Sementara itu sekalian orang selain mereka berdua sama menundukkan wajah dengan ekspresi ketakutan. Beberapa ada yang mencuri pandang ke arah Arya. Tapi begitu kesampok sinar wajah anak muda ini yang dingin beku seketika menunduk dan tak berani melirik pula. Setelah beberapa lama barulah si Kepala desa memberanikan diri bertanya dengan nada takut-takut, "Ehm...saya adalah kepala desa disini, mohon Tanya, apakah anda ini benar Kiai Sanca Samber Nyawa?" Arya mengerling sekejap, "Apa terlebih dahulu harus kubutikan padamu?" "Ah, tidak, mana kami punya nyali setinggi itu. Kalau Kiai sudah datang malah membuat lega hati kami. Urusan ini, seperti Kiai lihat sendiri, bukanlah kami yang membuat onar, mohon Kiai bertindak seadil-adilnya." Jawab si Kepala desa tergagap. "Aku ingin bertindak apa adalah keputusanku sendiri. Tidak usah kau repot mengajariku." Sahut Arya ketus. Si Kepala desa seketika merangkap tangan sambil menunduk, diikuti oleh orang-orang di belakangnya. "Kami siap menerima perintah." Katanya takzim. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan gaya agung-agungan Arya naik ke tingkat tangga batu paling tinggi. Setelah mengedarkan pandangan ke segenap arah, ia pun mulai membuka mulut dengan suara tenang namun bisa didengar oleh semua orang di lapangan itu. "Peristiwa ini memang benar bukan kesalahan kalian, dalam hal ini tentu aku tidak akan menyusahkan orang yang tidak bersalah. Tentang gadis anak peremuan Nyi Sumini itu kelak akan kuurus sendiri, sementara ini sudah kuterima sesaji kalian hati kambing segar dan kain sutra. Sekarang kalian kembalilah ke rumah masing-masing. Tunggu berita dariku. Dan jangan mempercayai siapapun yang berbicara atas namaku. Karena aku tidak akan pernah mewakilkan urusanku lagi kepada siapapun." Serentak terdengar gumangan lega dari kerumunan orang. Walau dalam hati masih belum percaya bahwa Kiai Sanca Samber Nyawa bisa 'sebaik' ini, namun tidak seorangpun yang berani bertanya. "Dan kalian berdua," Arya mengerling ke arah Risang Ontosoro dan si gadis berkain putih, "masuklah ke dalam lubang. Kita lihat hukuman apa yang menanti kalian." Sebenarnya si gadis sudah mau unjuk protes, tapi keburu tangannya di remas Risang sambil ia sendiri mendahului berkata, "Kalau itu keinginan Kiai, tentu kami hanya akan menurut saja" serentak ia pun melompat masuk lubang. Karena tangannya masih memegang tangan si gadis, otomatis si gadis berkain putih pun mau tak mau terseret ikut terjun ke dalam lubang batu. Setelah sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak mendapati adanya orang yang mencurigakan, Arya pun ikut melompat ke dalam lubang. Risang tidak tahu persis apa yang terjadi pada dirinya. Hanya dirasakannya tubuhnya masuk ke dalam ruang gelap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang kosong. Sekian lamanya ia melayang diudara, belum juga kakinya mendapat pijakan. Dalam pada itu daya jatuh tubuhnya pun semakin deras, ia bahkan bisa mendengar angin yang menderu di gendang telinganya. Ia tahu bahwa Seandainya ia terjatuh dengan kecepatan seperti ini, sekalipun tidak sekarat sedikitnya juga akan patah tulang. Tapi sebelum ia menemukan cara yang terbaik, tiba-tiba dirasakannya tubuhnya menumbuk semacam barang. Lalu seperti mendadak tertahan oleh sebuah jaring yang liat lemas, tubuhnya kembali terlontar ke atas, lalu kembali meluncur ke bawah, beberapa kali seperti itu sampai ia benarbenar bisa berpegangan kuat pada jaring. Sebenarnya ia pun tidak pasti apa yang dipijaknya, karena keadaan yang gelap Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gulita sampai ujung hidung sendiripun tak kelihatan. Dalam keadaan demikian ia hanya mengandalkan ketajaman telinganya. Sejenak ia mencoba menentramkan diri dan mengatur nafas. Agak lama kemudian lamat-lamat ia mendengar gemuruh arus air di bawahnya. Seperti gelombang air laut yang mendampar karang, bolak-balik. T api mustahil ia berada di lautan, masakah dari lereng merapi langsung menembus ke lautan. Kecuali kalau ia melewati pintu gaib. "Pemuda usil, dimana kau?" suara merdu bernada gemas ini mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian. "Oh, nona apakah kau selamat?" "Kau sendiri selamat, masakah aku tega untuk tidak selamat?" omelnya, Risang bisa merasakan nada gelisah di suara gadis ini, "ku ingin Tanya satu hal padamu." "Apa nona ingin Tanya kita sekarang berada dimana" Wah, Kalau saja aku tahu, tentu dari tadi sudah kukatakan pada nona. Sayang aku sendiri tidak jelas." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku tidak ingin T anya kita sekarang berada dimana. Kalau itu mah aku tahu kau tidak akan tahu. Aku hanya ingin Tanya kenapa kau menarik tanganku tadi. Kalau kau ingin mati, kenapa mengajak orang lain yang tidak bersangkut paut?" "Eh...ini," merah juga wajah Risang, untung keadaan gelap sehingga tidak kelihatan, "bukankah ini adalah perintah dari Kiai Sanca Samber Nyawa?" "Kalau memang perintahnya memangnya kenapa?" sambar si gadis cepat, "aku malah ingin jajal-jajal kepandaiannya, huh, kukira kau seorang lelaki dewasa tak tahunya hanya anak kambing yang takut hujan." "Wah, kalau aku ini anak kambing kan nona bisa celaka?" "Kenapa aku bisa celaka?" "Biasanya kambing suka kencing dan berak semaunya. Padahal aku sekarang ingin kencing setengah mati, kalau aku kambing bukankah kau akan kebagian bau pesing?" Kaget juga gadis itu, maklum selama ini ia paling menyukai kebersihan, hakikatnya memang tidak ada anak perempuan yang suka hal kotor dan menjijikkan, "Kalau kau berani kencing di celana aku akan....." "Kau akan apa?" Risang balik berolok-olok, "paling-paling yang kau bisa adalah menutup rapat hidungmu, itupun tidak terlalu lama, jadi mau tidak mau kau memang harus merasakan bau sedap ini." "Kau..." Berpikir gadis itu pasti jengah, Risang mencoba mengalihkan pembicaraan, "Sebenarnya tidak kau jajal pun aku sudah tahu kalau kau memang bukan tandingannya?" "Siapa" Oh...Kiai Sanca itu, " kedengaran dengusan meremehkan, "Bagaimana kau tahu" Kau sendiri kan tidak pernah bergebrak dengannya?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang tidak menjawab, malah mengajukan pertanyaan, "Apa kau pernah dengar nama Sengatan SatuTitik Satu Nyawa?" Kali ini terdengar dengus kemarahan, "Siapa tidak kenal dia" Gembong iblis paling kejam nomor satu. Bukankah dia yang tahun lalu membasmi perkampungan Ular Merah tanpa menyisakan satu makhluk bernyawa pun" Juga yang kabarnya membunuh sepasukan Jatingaleh dan hanya meninggalkan selusin kuda mati" Tapi kudengar orang ini sudah mampus ditangan Raja Iblis Tinju Es. Ah, inilah hal benar, kalau sesama iblis sudah saling membunuh, pekerjaan kaum putih akan tambah ringan." "Wah, kabar berita di kalangan persilatan sungguh harus dikagumi cepatnya," gumam Risang pelan. "Kau bicara apa?" "Ah, tidak. Aku hanya mengigau saja." "Dasar anak kecil. Eh, kenapa kau tanyakan ibis itu?" "Ehm...tidak apa-apa. Seperti katamu tadi, aku memang baru terjun ke dunia persilatan, makanya belum tau banyak hal-hal diluaran. Kutanyakan nama itu kepadamu karena kudengar ia sangat terkenal." "Huh, terkenal karena kekejiannya, siapa yang sudi?" "Heh.." "Siapa heh, apa aku tidak punya nama?" Risang tersenyum diam-diam, "Kalau begitu aku harus memanggil apa kepada nona?" "Kau sendiri, aku harus memanggil apa kepadamu, apa kambing kecil?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dari tersenyum Risang menghela nafas, "Dasar perempuan tidak pernah mau kalah..." batinnya, namun keluar juga jawabannya. "Dipanggil kambing kecil pun tidak masalah. Cuma sejak kecil ayah-bunda memberiku nama Risang Ontosoro, kalau mendadak dirubah khawatir mereka akan gusar, kalau gusar penyakit encoknya akan kumat lagi, itulah celaka bagiku." "Yang sakit ayah ibumu, kenapa kau yang celaka?" "Karena jadinya aku yang harus memberi makan sapi, mengerjakan sawah, mencari kunyit tua, juga memijiti mereka semalaman." Gadis itu seketika terkikik. Lalu seperti teringat sesuatu tiba-tiba ia terdiam. Sejenak kesunyian membentang. Hanya gelap dan deru arus air yang mengalun tak henti. "Namaku Puspa Arini, lain kali kau jangan memanggil sembarangan." Karena gelap, Risang tak dapat melihat ekspresi dari si nona, namun mendengar suaranya yang berubah pelan dan malu-malu, anak muda ini dapat membayangkan paras yang putih itu menunduk. Sunyi yang gelap itu mendadak pecah oleh suara gemuruh lain yang datang dari atas. Suara ini seperti gelora api yang beranak pinak, ingin menelan apapun, ingin memusnahkan apapun. Lalau dari atas sana tiba-tiba muncul sebuah bola api yang semakin membesar sehingga sebesar anak kerbau. "Apa itu?" bisik Puspa Arini ketakutan. Betapapun ia masih seorang gadis cilik. Dan tidak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang tidak takut setan. "Aku tidak tahu, mungkin setan neraka." Terdengar Puspa Arini menjerit kecil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kobaran api itu perlahan melayang turun. Dari suara gemerataknya memang kelihatan sangat mengerikan sekali. Api itu berhenti sekitar tujuh tombak di atas mereka, sehingga keadaan sekeliling Risang berubah samar-samar. Sekarang dapat dilihatnya Puspa Arini yang meringkuk tak jauh dari dirinya dengan wajah pucat ketakutan, juga jaring lemas yang menahan mereka. Jaring ini aneh juga, warnanya putih kebiruan seperti terpilin dari kulit entah apa, bertebar seperti sarang laba-laba yang membentang dalam lubang batu dengan garis tengah tiga tombak. Lebih jauh lagi Risang bisa melihat arus air yang bergerojok di bawahnya, berjarak sekitar lima tombak dari bentangan jaring. Lamat-lamat Risang dapat menyaksikan uap hangat yang mengepul membawa bau belerang. Aliran air ini lumayan besar, juga sangat keras, ditambah kelokannya yang menembus perut bumi dan bebatuan, seandaianya ada orang jatuh kedalamnya maka kesempatan untuk selamat mungkin tidak ada sepuluh persen. Tak terasa meremang juga bulu kuduk Risang. Berbagai pengalaman seram pernah dilaluinya, tapi yang sengeri ini memang baru pertama kali. Terjatuh dalam jaring misterius, lalu didatangi api setan yang entah bagaimana bisa terbang melayang-layang begitu. Setelah celingukan kesana-kemari, selain menambah rasa seram ia juga merasa heran. Hal ini karena ia tidak menemukan Arya. Juga beberapa puluh orang yang membawa sesajen itu. Ia tahu persis Arya juga melompat ke lubang batu bersamanya. Apa mungkin pemuda itu terjatuh dalam tempat yang tak sama" Tapi orang terjatuh toh selamanya tegak lurus, tidak pernah pakai belok, jadi seharusnya ia juga mendarat di jaring itu. Tapi kenyatannya Arya tidak ada disana, hanya dia dan Puspa Arini. Lalu kemanakah pemuda itu" Mungkinkan dia dimakan setan" Atau jangan-jangan Arya menguasai ilmu terbang" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mendadak Risang merasakan tangannya ada yang memegang. Ketika ia berpaling dilihatnya Puspa Arini dengan wajah pucat ketakutan dan mata bendul merah memegang tangannya dengan kencang sambil sepasang mata membelalak menatap api setan. ~Dewi-KZ~ Bab XXI. Sumur Api, Syair Angin Di tengah suasana mencekam itu mendadak terdengar sayup-sayup suara seruling yang aneh. Risang mencoba menajamkan pendengarannya, tapi arah dari mana datangnya suara itu tetap tak dapat di tentukannya, seakan ia menggema dari setiap sudut. Lalu, bagaikan rintihan lirih seekor harimau yang tertindih gunung, terdengar suara orang bersajak, dengan nada yang memencarkan pilu dan duka. Ing wekasaning rina Jelmane urip laku tan kinira Suwung anane Suwung rasane (Di penghujung hari Hidup adalah sebuah laku yang tak terpikir Hanya ada kosong Yang terasa hanya kosong) Di dalam lubang batu yang entah terbuat dan dibuat oleh siapa, terjaring dengan ikat lemas yang entah apa, diatas air panas yang menggerojok tak henti, dan dibawah api setan yang melayang entah bagaimana, tiba-tiba terdengar suara sajak seperti itu ditengah alunan seruling yang seakan tak berasal, dengan sendirinya menimbulkan kesan tersendiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bahkan Risang yang biasanya tak acuh dengan segala hal yang berbau tulis menulis pun tiba-tiba merasakan getar yang tiba-tiba menyulut ujung perasaaannya. Ia bisa menangkap nada duka dan pilu yang penuh penyesalan dari sajak itu, bahwa ketika kaki langit perlahan memakan ujung senja dan matahari bagaikan bola tua yang pulang kandang, pelanpelan, dimana usia manusia tinggal seujung kembang jagung, seseorang barulah akan menemukan bahwa hidup yang dijalaninya ternyata sederet perbuatan yang tak pernah dia pikirkan sebab, akibat, maupun pertanggung jawabannya. Kita makan hanya karena kita ingin makan, bukan karena kita membutuhkan makanan, kita berjalan hanya karena ingin melemaskan otot kaki, tanpa pernah berfikir akan kemanakah perjalanan kita berakhir. Dalam keadaan seperti itu, apalagi yang dapat kita temukan selain kekosongan, rasa hampa dan penyesalan. Adakah lain tempat selain ketakutan terhadap pertanggung jawaban yang pasti akan dituntut, karena helaan nafas dan detak jantung ternyata tak gratis" Adakah lagi kekuatan yang dibanggakan saat jenggot memutih seperti susu yang tertikam dan tulang berderak-derak rapuh" Dimanakah kesombongan dan hasil keserakahan tak putus di waktu jaya" Dengan gema yang berulang-ulang terpantul kian kemari, alunan tembang itu semakin menambah misterius perasaan. Seperti juga ia berasal dari balik dinding neraka. Apakah mungkin sang Iblis sendiri yang sedang mendesahkan sesalnya" Ataukah keluh sayat malaikat yang melihat manusia bergotong royong menghancurkan dirinya sendiri, dengan cepat" Mendadak, dengan gelegar yang seakan meremukkan isi dada, api setan itu meledak hebat. Bagaikan dinding neraka yang jebol, hawa panas seketika menghampar dan lidah api yang bergulung-gulung bagai gelombang badai menghempas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seperti ingin menggulung kehidupan yang tersisa, bak rasa serakah manusia yang tak meninggalkan secuil s isa. Kalau ada saatnya seseorang dekat rapat dengan kematian, maka saat ini Risang sedang merasakannya. Benar-benar dirinya saat itu sudah tak punya lagi ce lah untuk hidup. Jaring yang menjeratnya justru menjadi titik mati yang tak memungkinkannya lolos dari tangan maut. Banyak orang berkata bahwa ketika akan mati, seseorang akan mendadak menjadi lebih arif, terpikir banyak hal yang tak pernah terdetik semasa hidup. Hal ini mungkin karena maut memutuskan semua ikatan yang menjerat sekeliling manusia. Juga membuka tabir-tabir antara kita dengan berbagai orang, berbagai hal. Namun pada saat itu yang ada di kepala Risang hanya kosong yang damai. Apapun tak dipikirkannya, dalam kepalanya seolah hanya ada gelap yang menghanyutkan, semacam lubang hitam yang menyedot hati untuk tak resah oleh apa saja. Sepasang matanya membelalak menatap kobaran api yang sedetik lagi akan menamatkan riwayatnya. Bahwa di sampingnya ada Puspa Arini mungkin juga menimbulkan pengaruh yang menentramkan sehingga sebaliknya dari gelisah dan ketakutan, ia malah merasa plong dan lega. Terasa oleh Risang tangan yang mungil putih itu menggenggam telapak tangannya erat-erat. Agak bergetar, namun lebih terasa hangat. Secepat-cepatnya lari kuda, ia masih kalah cepat dengan sapuan angin. Tapi sepesat-pesatnya angin badai, ia masih lebih lambat dari pada kilatan cahaya. Namun betapapun cepat laju sinar sang surya, tetap terlebih cepat lagi adalah pikiran manusia. Walaupun api setan itu me ledak dahsyat, namun kilatan dalam pikiran Risang terlebih cepat lagi. Saat itu segalaTiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo galanya terasa kosong bagi pemuda itu, secara tak sengaja matanya menumbuk gagang pedang di pinggang Puspa Arini. Tadi ia telah mencoba kekuatan dari jaring lemas ini, melihat sifatnya yang ulet kuat kelihatannya terbuat dari campuran urat kerbau, sarang laba-laba dan baja lunak, Risang yakin sekalipun pedang baja tempaan ratusan kali juga jangan harap bisa memotongnya. Ujung jaring itu diikatkan pada bebatuan yang menonjol di tiap sisi lubang. Walaupun jaringnya kuat, namun batu yang jadi pengikatnya boleh jadi Cuma batu biasa. Pikiran itu dating cepat bagai fajar merekah, tak terduga, juga bukan hasil dari perenungan yang panjang. Hanya karena kemauannya untuk hidup dan ketenangannya dalam menghadapi kematian, dua hal yang seharusnya bertolak belakang, tapi malah menjadi pemicu dan penggosok terhadap lelatu yang memercik dari balik kekosongan. Secepat kelebat pikirannya, bagaikan kilat Risang me lolos pedang di pinggang Puspa Arini, lalu sambil tangan kiri memeluk pinggang gadis itu, dengan tubuh memutar setengah lingkaran, sekuat tenaga disabetkannya pedang tipis lemas itu ke bebatuan samping dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Seketika kembang api memercik berhamburan bersamaan dengan bunyi 'trang' nyaring. Batu itu rompal terpapas pedang. Dengan sendirinya ikatan jaring juga terlepas. Lalu mendadak tubuh kedua muda-mudi itu terjatuh ke bawah. Daya jatuh Risang dan Puspa Arini ini sekalipun cepat namun betapapun sedetik lebih lambat dari jilatan api. Maka tanpa pikir, sambil berjatuh Risang gulingkan badannya ke atas, menutupi tubuh Puspa Arini, bersamaann dengan gerakannya anak muda berandalan ini merasakan punggungnya seperti tersentuh tangan raja Neraka, panasnya tidak kepalang. Untung detik itu juga tubuhnya tercebut Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masuk kedalam sungai bawah tanah, kalau tidak mungkin tulang-belulangnya ikut gosong. Lalu segala-galanya menjadi gelap, ia sepeti terbang tinggi di udara hampa. Tak ada ujung, tak ada pangkal. Risang merasakan tubuhnya seenteng kapuk. Seperti juga ia lagi berjemur di atas ranjang awan, begitu tinggi, begitu nyaman. Lalu mendadak saja seperti ada kekuatan maha kuat yang membetot paksa tubuhnya kebawah, lalu dengan rasa sakit yang seakan meluluhkan setiap inci perasaannya ia seperti terbanting keras ke muka bumi. Dengan punggung seolah membara, Risang ingin menjerit sekuatnya. Seumur hidup belum pernah dirasakannya rasa sakit separah ini. Namun yang keluar dari bibirnya hanya erangan kecil. Perlahan kesadarannya mulai berkumpul di kepala. Ditengah hawa panas yang seolah membakar hangus isi dada, samar-samar dilihatnya seraut wajah indah dengan sepasang bola mata bening berlapis kaca. Tampak air bening menetes lembut dari bola mata yang sejernih air telaga itu. "Bagaimana keadaanmu?" suara lembut penuh perasaan yang keluar dari mulut mungil berpipi pucat itu seolah air dingin yang mengguyur kepala Risang dan mengembalikan sisa kesadarannya dan sedikit kekuatannya. Satu-persatu diingatnya apa yang telah terjadi. Ketika ia mencoba memutar bola matanya sedikit, terlihatlah awan putih yang melayang bergulung-gulung menutupi langit biru, juga dinding batu berwarna kelabu berlumut. Pandangan mata Risang kembali ke wajah Puspa Arini. Sekarang terlebih jelas bisa dilihatnya wajah yang cantik manis itu tampak pucat, butiran air mata masih mengembang di ujung bola berbulu lentik itu. Matanya terlihat merah seperti habis menangis. Dalam keadaan seperti itu wajah itu tampak terlebih bercahaya dan penuh daya tarik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang ingin memaksakan sedikit senyum di bibirnya yang terasa kering panas, namun yang muncul malah seringai kesakitan. Bahkan untuk menggerakkan bibir saja, ternyata seberat ini. "Kau jangan buru-buru bergerak dulu. Istirahat saja yang cukup. Sungguh kukira aku tak akan sempat bicara lagi denganmu...." Kata Puspa Arini halus, kalimatnya belum berakhir ketika air mata kembali menggenang di sudut matanya. Tampak ujung rambut yang kini dibiarkan terurai itu masih tampak basah. Melihat rasa khawatir yang tampak jelas dari raut muka Puspa Arini, Risang merasakan kepalanya sedikit mabuk. Meskipun saat ini tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaga dan kendali syarafnya, namun bisa mendapatkan perhatian dan rasa khawatir setulus hati dari seorang gadis yang dipujanya, betapapun ia masih jauh beruntung. Sepenuh perasaaan ia mencoba mengirimkan sekulum senyum lewat tatapan matanya, seolah berkata lembut untuk jangan khawatir. Puspa Arini agaknya dapat menangkap isyarat Risang itu. Sambil membalas dengan sebaris senyum yang terlihat sangat manis dan suci, gadis berpakaian putih itu beberapa kali menganggukkan kepalanya. Mendadak Risang merasakan hawa panas kembali mengembang dalam dadanya. Seperti ada seekor naga api yang mengamuk menerjang segenap isi dada, bahkan hawa panas itu terus menggila menyebar ke seluruh tubuh. Segenap tetes darahnya seolah mendidih. Tulang belulangnya bagai dimasukkan dalam kawah gunung api. Derita dan rasa sakitnya jangan dikata lagi. Untung sungguh ia belum bisa bergerak. Kalau tidak mungkin ia sudah menumbukkan kepalanya ke dinding batu. Saat itu hanya sepasang matanya yang tiba-tiba berubah semerah saga, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kerut-kerut kesakitan tampak jelas dari tarikan muka dan pandangan matanya. Puspa Arini jelas bingung dengan perubahan mendadak ini. "Kau...kau kenapa lagi?" tanyanya tergagap penuh rasa khawatir. Risang tentu tak bisa menjawab, hakikatnya ia juga tak bisa mendengar. Saat ini gendang telinganya seperti beduk yang ditabuh bertalu-talu, berdengung mengoyak isi kepala seolah sebentar lagi ia akan jadi orang gila. Seandainya ia mendengar pertanyaan Puspa Arini itu, ia pun tidak akan bisa menjawab. Ia sendiri tidak tahu kenapa mendadak tubuhnya berubah seperti ini. Seingatnya hanya punggungnya yang saat itu terjilat api, namun itu pun tidak lama, seharusnya hanya menyisakan luka bakar di kulit. Tapi ini seperti seluruh isi tubuhnya terbakar, bahkan rasa panasnya terus bertambah dari detik perdetik. Sungguh ia tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Karena serangan hawa panas itu, secara alamiah yang terbetik dalam pikiran Risang adalah air. Saking kuatnya desakan itu agaknya membangkitkan sekerat kekuatannya. Perlahan dan tanpa suara, bibirnya bergerak mengeja kata 'Air' Puspa Arini yang memperhatikan sekecil apapun gerakan pemuda itu langsung menangkap isyarat bibir Risang. Setengah melompat ia segera berlari kesana, dan tak lama kemudian kedua telapak tangannya sudah menangkup dua lembar daun lebar berawarna hijau cerah yang menampung genangan air segar. Didekatkannya daun itu ke bibir Risang, lalu setelah melihat bibir yang kelihatan putih memucat itu membuka sedikit, sedikit demi sedikit dikucurkannya air dalam daun itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang berharap air itu akan meredakan gejolak hawa panas di tubuhnya. Namun aneh sungguh. Begitu tetesan air masuk ke tenggorokannya dan meluncur turun ke isi perut, bukan kesegaran yang dirasakan tapi malah derita yang lebih besar. Seolah hawa panas dalam tubuhnya melakukan perlawanan. Ia mengamuk semakin hebat. Seluruh tubuh Risang saat ini sudah menggigil hebat di tengah hawa panas yang bahkan sudah menembus pori-pori tubuhnya dan menciptakan semacam uap panas yang tak kasat mata. Puspa Arini tentu tambah panik melihat bukannya keadaan Risang membaik, tapi malah tambah sekarat. Kedua bola matanya melotot merah seperti ingin keluar, seluruh kulit ditubuhnya mengencang panas. Biji tenggorokan pemuda itu bergetar naik turun namun tak satu huruf pun yang keluar. Puspa Arini mencoba memercikkan air segar ke wajah Risang, berharap itu akan meredakan sedikit rasa sakitnya. Tapi begitu air menyentuh kulit, dengan suara 'cess' kecil, tetes air seketika menghilang, meninggalkan uap putih yang langsung mengepul. Seperti juga kulit wajah itu adalah wajan besi yang terpanggang api. Saking kaget dan paniknya Puspa Arini sampai terpekik kecil. Kebingungan dan rasa panic yang luar biasa membuat keringat dinginnya menetes membasahi dahi yang putih halus. Bola matanya bergerak-gerak resah. Tak tahu apa yang harus dilakukannya Puspa Arini akhirnya hanya memegang tangan kanan Risang erat dengan kedua belah tangannya. Telapak tangan pemuda itu terasa panas membara. Namun Puspa Arini tak peduli, sekalipun tangannya akan terbakar hangus, tak akan dilepaskannya tangan Risang. Sejak bertemu, yang dilakukannya hanya memaki pemuda ini, mengolok-oloknya dan bersikap seolah dirinya lebih pintar dari Risang. Pertama kali ia memang menganggap Risang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hanya mencoba menarik perhatiannya saja, tak berbeda dengan anak muda lain yang terpesona oleh kecantikannya. Tapi kemudian pemuda tanggung ini, dengan menggunakan tubuhnya sendiri menyelamatkannya dari kobaran api. Perbuatan yang tak akan bisa dilakukan kecuali oleh seorang berhati tulus. Karena kecuali orang yang hatinya bersih dari tipu daya, siapa manusianya yang sanggup berhadapan secara jantan dengan maut". Pengorbanan ini, meskipun hanya satu kali dan ia pun belum terlalu mengenal pemuda ini, namun sudah cukup bagi seorang gadis seperti dirinya. Seluruh perhatian dan ketulusan hatinya coba disalurkannya pada genggaman tangan ini. Sekuat apapun daya tahan seorang manusia, ia pun tetap terbatas. Pelan-pelan Risang merasakan matanya gelap. Lalu kembali samar tersadar, lalu gelap lagi. Ia seperti terapungapung di permukaan air, lalu seperti digotong orang, lalu entah apa lagi. ~Dewi-KZ~ Dimanakah Arya" Bukankah sewaktu terjun tadi ia juga bersama Risang dan Puspa Arini" Toh mustahil daya jatuh seseorang dapat belok segala. Memang benar bahwa daya jatuh tak dapat belok, tapi toh dapat dibelokkan. Betapapun Arya memang lebih matang satu tingkat dari pada Risang. Gemblengan lahir batin yang dilakoninya juga lebih hebat dan mendalam. Kalau Risang masih mempunyai orang tua yang membimbingnya, maka Arya hanya mempunyai dirinya sendiri. Mati-matian ia pernah bergulat dengan sekawanan anjing hutan, mengadu tulang dengan babi hutan. Orang yang menjalani tujuh tahun kehidupan dalam hutan yang liar, ditengah ma lam yang menyimpan kematian, di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ selokan kota tempat buang sampah, dengan sendirinya akan terbentuk sebagai golok besi yang kuat kokoh. Kalau tidak begitu, bagaimana ia bisa merubah kekurangan di jari-jari kananya, yang hanya tersisa dua buah, menjadi semacam kekuatan yang mendirikan bulu roma" Arya tahu amat sulit berdamai secara begitu saja dengan penduduk desa. Kalau masalahnya dengan kepala desa mungkin masih bisa diselesa ikan, tapi seseorang yang amat pintar dan bijaksana bisa menjadi tak tahu aturan dan suka menang sendiri jika berkumpul dengan banyak orang dan merasa pasti menang. Dari pengalamannya Arya tahu mudah sekali mengeprak seekor anjing buduk, atau bahkan membunuhnya, tapi lain masalahnya jika kau berhadapan dengan sekawanan anjing liar. Jumlah selalu memberikan kekuatan tambahan, sekaligus mengurangi kebijaksanaan. Maka untuk meredakan nyala api, harus digunakan api yang lebih besar. Penduduk desa paling takut dengan Kiai Sanca Samber Nyawa, maka jalan paling baik untuk meredam kemarahan mereka adalah dengan membangkitkan katakutan mereka. Dan ternyata berhasil. Tak seorangpun yang protes. Arya bukannya tak berpikir bahwa tindakannya itu akan membuka persoalan baru yang lebih parah. Namun ia hanya berpikir bahwa menghadapi Kiai Sanber Nyawa mungkin jauh lebih mudah dari pada penduduk yang tak berdosa itu. Setidaknya ia tidak akan merasa serba salah kalau terpaksa harus menggunakan kekerasan. Karena pertimbangan inilah ia menerjunkan diri ke dalam Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lubang. Dan meski tak dapat mengira jebakan macam apa yang akan menunggunya, tapi Arya jelas bisa memperkirakan bahwa ia tidak akan disambut dengan sangat ramah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Maka begitu tubuhnya anjlok, ia segera melepas baju atasnya dan dengan menggunakannya sebagai semacam parasut, dibantu dengan gerak tenaga dalamnya yang sempurna, ia membuat tubuhnya bisa hinggap di dinding sumur, jauh sebelum Risang terjatuh ke jaring api, dan karena ini pula yang menyebabkan ia tak mendengar jerit ngeri dari sahabatnya itu. Sambil meraba-raba dinding, perlahan Arya mencatat dalam ingatannya setiap perhitungan yang mungkin terhadap apa yang terjadi. Kalau sekawanan orang itu bisa masuk ke lubang ini, dan tentu mereka tidak jatuh terlalu dalam mengingat jumlah dan apa yang mereka bawa, maka pasti ada semacam jalan rahasia di depat bibir sumur. Perkiraannya bahwa jalan rahasia ini mungkin sudah dicopot ketika lelaki bermata satu itu jatuh. Meski begitu bekasnya mesti masih ada. Merayap bagai cecak, akhirnya ia sampai di jarak dua meter dari bibir sumur. Tiba-tiba sebuah lapisan semacam logam tergesek tangannya. Menempel pada dinding sumur, logam besi itu membentuk garis setengah lingkaran. Diatas pelat besi ternyata benar ada lobang setinggi satu meter. Arya tersenyum sendiri, bahkan ia sendiri pun harus mengakui kalau ia tidak terlalu bodoh. Dengan mengerahkan seluruh ketenangan dan ilmu ringan tibuhnya, Arya masuk ke lubang gelap itu. Seluruh bulu di tubuhnya berdiri tegak seiring kewaspadaan yang meningkat dari detik ke detik. Arya tahu bahwa lobang gelap ini layaknya sebuah mulut macan yang menunggu mangsa. Apapun yang ada didalamnya, yang pasti itu berarti ancaman maut bagi pendatang yang tak diundang. Memasuki lobang ini seperti juga menyerahkan diri mentah-mentah di mulut macan lapar, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ setiap langkah ke depan adalah perpendakan jarak dari kematian, entah dengan sebab apa. Maka Arya pun tak tanggung-tanggung untuk menyiapkan seluruh pertahanan dan kekuatan yang ia punyai. Dua jari tangn kanannya keras siaga, siap me lancarkan serangan satu titik yang mengerikan itu. sekalipun itu berarti ia harus menyerang orang yang belum pernah di kenalnya. Semakin dalam, udara dalam lorong tanah gelap gulita itu semakin pengap. Bahkan Arya mulai merasakan bahwa paruparunya harus bekerja semakin keras. ~Dewi-KZ~ Bab XXII Perjamuan Orang Mati Lubang itu berbentuk seperti mulut ular, dengan bagian mulut kelihatan agak sempit, tapi semakin me luas seiring panjangnya yang entah berujung apa, mungkin sekali kematian, setidaknya itu hal paling buruk yang harus dipikirkan Arya. Setelah me lewati jarak tiga meter, Arya mendapati tinggi lubang itu sudah me lebihi tinggi tubuhnya dan sekarang ia bisa mengambil sikap pertahanan yang paling leluasa, namun ia pun tak pernah lupa, kesempatan yang terlalu besar selalu berbanding sama dengan tingkat kegagalannya. Sekarang ia berjalan dengan berjinjit, memperkecil ruang gesek telapak kakinya pada tanah, untuk meminimalisir kemungkinan suara gesekan yang akan timbul, sekaligus menyiapkan diri untuk menggerakkan otot paha secara maksimal. Semakin ke dalam, gelap semakin meraja, saat ini Arya bahkan tidak bisa melihat jari tangannya sendiri, meski dalam satu hal kegelapan ini menguntungkannya. Kewaspadaannya semakin tinggi ketika mata tak lagi dapat berfungsi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebagaimana mestinya dan instingnya untuk bertahan pun akan melibatkan seluruh anggota tubuh yang mungkin, yang terkecil sekalipun. Saat ini Arya bahkan bisa merasaskan bulubulu di tengkuknya berdiri tegang. Mendadak perasaannya menangkap sesuatu yang mengancam. Tidak ada suara, tidak ada bau yang mencurigakan, tapi instingnya tiba-tiba bergetar, seperti seekor banteng yang diintai srigala. Tanpa sadar Arya berhenti melangkah. Ada yang dilewatkannya, ia belum tahu apa itu, tapi perasaannya mengatakan ada yang salah. Arya memutar seluruh kecerdasan dan pengalamannya bertahun-tahun sementara itu tubuhnya diam bagai patung dengan tingkat sensitifitas bagai singa gunung terluka. Dorongan otaknya mengatakan ia boleh kembali melangkah ke depan, tapi instingnya sebagai si Sengatan Satu Titik menahan saraf motoriknya untuk bergerak. Dan untuk kondisi seperti ini Arya lebih memilih untuk mengandalkan insting itu, semacam kepekaan yang terbentuk dari ratusan pertarungan dan macam-macam keadaan yang dikatakan sebagian orang sebagai 'Perjalanan di perbatasaan hidup-mati'. Lalu seperti setitik lelatu api yang tiba-tiba terpercik, mendadak otaknya menangkap hal yang berbeda di telapak kakinya. Tanah yang menempel di telapak kaki kanannya sebelah depan- berbeda tekstur dengan tanah yang dipijak telapak kaki kirinya. Perbedaan itu sangat halus dan hampir mustahil terasa pada keadaan biasa, tapi tidak dalam kondisi seperti ini. Berbagai kemungkinan segera berkelebat di kepala Arya dan yang paling mungkin, Lubang Jebakan. Memasang lubang jebakan di tempat yang nihil cahaya, ide jenius, tapi hanya efektif untuk menangkap macan, bukan si Sengatan Satu Titik Satu Nyawa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Langit-langit lubang itu meski sudah agak tinggi tapi tidak cukup tinggi untuk diraih oleh sepasang tangan Arya tanpa melompat, dan dengan gerak sehalus mungkin Arya menancapkan jari-jari tangannaya pada langit-langit gua, dan dengan terlebih halus lagi melepaskan kaki kanannya dari tekstur tanah yang berbeda itu. Tidak ada suara yang timbul. Dalam hitungan detik yang ritmis Arya kembali menggerakkan kaki tangannya, merayap seperti cecak, maju, menyusuri langit-langit gua yang benjol di sana-sini, yang disyukuri Arya. Dalam jarak satu meter dari tanah yang diperkirakannya sebagai pinggir lubang jebakan, Arya meremas tanah di telapak kirinya, membuatnya menjadi bola lempar, dan dengan jentikan jari tengah mengarahkannya ke bawah. Gumpalan tanah itu boleh saja hanya sebesar genggaman telapak tangan, tapi tenaga yang mendorongnya kira-kira sama dengna pukulan enam puluh kilo, seberat tubuh manusia. Tidak ada setengah detik sebelum terdengar gubrakan tanah longsor, seperti tiba-tiba seseorang amblas di telan lubang tak terduga, dan berbarengan juga terdengar suara desisan angin yang terbelah senjata tajam. Tiga puluhan anak panah, Arya menghitung dalam hati. Dan mungkin dua puluh baris tombak yang berbaris berdiri di dasar jebakan, keji amat. Dalam detik itu juga Arya menyadari bahwa lawan di depan tak menghendaki macan dalam kerangkeng, ia ingin kulit macan. Kulit macan hanya bisa dibeset dari macan yang sudah mati. Maka setiap jebakan menyembunyikan jebakan lain yang lebih mematikan. Sekali terjatuh, tidak ada ruang lolos. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan memejamkan mata sejenak Arya meresapi pengalaman ini sebagai pelajaran yang tak ternilai. Ia sadar ia baru saja mengunjungi pintu akherat dan entah ada berapa pintu lagi yang menunggu di depan, menunggu untuk membetot satu-satunya nyawanya. Dan bukan si Sengatan Satu Titik kalau hanya pandai berhitung. Berbareng suara desisan senjata, Arya menggenjot tubuhnya ke depan, langsung ke titik dimana ia memperkirakan asal panah-panah itu dilepas. Suara gerakan tubuhnya teredam oleh suara berdesingnya anak panah dan longsoran tanah, salah satu tujuan Arya dengan menyambitkan tanah itu. Bahkan dalam bendungan yang paling ketat sekalipun selalu ada celah, seberapa sempitnya, namun mesti ada, karena itulah meski manusia mampu membendung sungai tapi tidak pernah bisa membendung air. Air selalu bisa mencari celah, yang celakanya, selalu ada. Arya tidak tahu berapa rantai jebakan lagi yang menunggunya di depan, tapi ia tahu satu hal, satu jebakan bisa dikendalikan dengan pengatur waktu, tanpa harus dikontrol oleh tangan manusia, tapi tidak dengan jebakan berantai. Justru karena sistem geraknya yang serba rumit, jebakan berantai harus dikendalikan oleh manusia, tidak bisa hanya mengandalkan pengatur waktu. Saat ketika terdengar longsoran tanah itu, orang yang mengendalikan jebakan berantai, sekaligus melepas pegas di panah berantai itu pasti mengira bahwa buruannya sudah terpanggang. Sedetik lagi baru ia akan menyadari bahwa ia hanya menangkap udara, namun selang waktu yang sedetik itulah yang digunakan oleh Arya, satu detik yang menentukan segalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dalam satu detik itu Arya mempertaruhkan seluruh kepandaiannya. Memang tidak jarang perubahan luar biasa dan peristiwa monumental di dunia ini justru ditentukan oleh satu detik seperti ini. Barang siapa yang bisa mengenali momen seperti ini dan bisa menggunakannya dengan efektif, orang demikianlah baru bisa disebut orang pintar. Dan jelas Arya tidak termasuk manusia goblok. Ia justru jauh lebih pintar dari orang lain. Pegas panah berantai itu kosong, tidak ada siapa pun disitu. Inipun sudah diduga oleh Arya, siapapun yang mengendalikan jebakan berantai ini pasti berada di belakang jebakan yang paling akhir. Arya hanya bermaksud menjadikan pegas itu sebagai tumpuan untuk loncatan berikutnya. Arya menggunakan alat pegas itu sebagai tumpuan loncatan hanya karena berfikir bahwa pegas itu tentu jauh lebih aman sebagai tumpuan dari pada lantai gua. Tubuh Arya melesat bagai meteor tanpa cahaya, betapa cepat sampai ia sendiri merasa agak bangga dengan ilmu ringan badannya. Kenyataannya, dalam dunia mungkin beberapa orang saja yang sanggup menandingi ilmu ringan tubuhnya. Tapi lesatan pikirannya bahkan ribuan kali lebih cepat dari gerak tubuhnya. Sambil melayang ia pun menghitung, seakan juga mendengarkan pikiran si pengendali pesawat rahasia berantai ini. Orang itu sedang mendengarkan, dan setengah detik lagi ia akan menyadari bahwa buruannya lolos, lalu ia akan mengaktifkan jebakan berikutnya. Orang itu tentu tidak berbuat kesalahan karena memang begitulah yang seharusnya ia lakukan, ia hanya kurang beruntung, karena saat ini ia berhadapan dengan Sengatan Satu T itik Satu Nyawa. Ia lebih tidak beruntung lagi karena ia agak meremehkan lawannya. Siapapun yang meremehkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lawan ia telah kehilangan lima puluh persen kesempatan untuk menang. Ia baru saja menyadari ketidak beruntungannya ketika sebuah tenaga halus tapi tajam seperti menembus jalan darah di leher kanannya, tepat di saluran nafas. Tenaga itu mirip benar dengan angin pegunungan yang bertiup dingin. Tapi orang ini lupa, bahwa ada kalanya angin gunung bisa sangat mematikan. Ia tidak sempat merasakan sakit, ia hanya merasa mendadak seluruh tenaganya hilang lenyap, sepersekian detik kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi. Sengatan Satu T itik Satu Nyawa. Dalam gelap Arya mengawasi lawannya yang rubuh seperti daun layu luruh. Ia tidak melihat orang itu, ia juga tidak bisa melihat eskpresi wajahnya, tapi ia tahu serangannya tidak gagal. Jarang sekali serangannya pernah gagal. Masih tidak ada cahaya. Cermat dan dengan kecekatan yang bisa membuat siapapun iri, Arya memeriksa tubuh lawannya dan segera menemukan apa yang dicarinya. Semacam peta untuk orang buta. Disembunyikan di gulungan rambut. Dengan rabaan tangannya sejenak Arya mempelajari peta itu, melekatkannya dalam otaknya dan segera mencari celah yang bisa ia masuki, celah yang tidak terpikirkan oleh si pembuat peta, seperti air mencari celah di bendungan. Sambil tersenyum aneh Arya segera melayang lagi, ringan, nyaris tanpa suara, tapi menyimpan potensi untuk menghancurkan siapapun yang menghadang, seperti angin musim gugur. Gua buatan itu ternyata berliku-liku dan dibentuk seperti labirin. Orang yang tersesat disitu jangan harap bisa keluar dengan kepala sehat, itupun kalau tidak mampus oleh belasan jebakan mematikan yang tak punya perasaan. Tapi dengan mempelajari peta Arya bisa memperkirakan letak jebakan juga Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ belokan yang benar. Penguasaan tenaga dalam yang sempurna dipadu dengan ilmu ringan tubuh yang istimewa Pendekar Remaja 7 Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Pedang Sinar Emas 5