Ceritasilat Novel Online

Budha Pedang Penyamun Terbang 10

Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 10 bertemu lantas ingin menguji bahkan mengadu kepandaian TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ masing-masing" Tentu juga sangat mungkin bahwa keduanya tidak saling mengenal dan tidak saling mengetahui nama masing-masing, tetapi tetap saling mengetahui betapa setiap gerak masing-masing adalah berisi dan karena itu tergerak untuk bertarung sehingga menjadi tontonan seperti ini. Bagaimanakah caranya dua orang pendekar saling mengenali dan kapan kiranya tiba saat keduanya untuk bertarung" Dari dunia persilatan selalu diceritakan tentang bagaimana setiap pendekar mampu membaca gerakan, apakah gerakan itu hanya gerakan kosong saja, ataukah itu gerakan yang tergolong isi. Apakah isinya" Isinya adalah ilmu, karena pendekar terbaik tidak mengatakan dirinya pendekar, melainkan tersembunyi di sudut-sudut sejarah dan kehidupan. Seperti apakah kiranya gerakan yang dibaca itu" Seorang pendekar yang tinggi ilmunya akan selalu bisa membaca, bahwa orang yang tampaknya terbungkuk-bungkuk membelah kayu di belakang rumah adalah seorang pendekar besar, hanya dari caranya memegang dan mengayun-kan golok, bahkan juga hanya dengan membaca belahan kayu itu. Kadang terdengar cerita betapa seorang pendekar besar yang menghindari per-tempuran, dan berusaha mempe-ringatkan lawan agar tidak membuang nyawa sia-sia, akan meminta seorang anak kecil membawakan potongan batu kepada penantangnya. Dari cara batu itu terpotong, yang begitu halus dan licin, seseorang akan mengetahui bukan saja ketajaman pedang mestika yang telah membelahnya, tetapi juga tingginya tenaga dalam yang telah mengayunkan pedang mestika itu. Seorang pendekar yang tinggi ilmunya akan selalu bisa membaca gerakan seorang tukang masak di sebuah kedai, pemetik kecapi, pengemis, penari, petani, kuli, dan pembaca sutra di kuil, apakah gerakannya kosong atau isi. Pernah kudengar pula cerita tentang sejumlah pengawal entah di mana yang berusaha mengusir seorang pemabuk TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sempoyongan yang menceracau dan berusaha mendekati tandu yang mengangkut seorang putri. Gerakan orang mabuk yang tampaknya sembarangan itu tak terbaca oleh para pengawal sebagai gerakan isi, sehingga dalam waktu singkat para pengawal itu bergelimpangan oleh pukulan dan semburan arak yang seperti tidak disengaja sama sekali. Justru putri di dalam tandu itulah yang dapat membacanya sebagai gerakan isi, karena ilmu silatnya sendiri juga tinggi, dan sebaliknya dengan gerakan mengipasi diri yang lemah lembut, ternyata mam-pu membunuh pembunuh ba-yaran yang memiliki ilmu silat Aliran Pengemis Mabuk itu. Jadi barangkali saja kedua pendekar yang sedang bertarung ini saling membaca gerakan dan langsung bertarung. Bisa berlangsung seperti itu, dan bisa juga berlangsung karena sebab yang lain. Kita tidak pernah tahu bukan" Namun inilah untuk kali pertama kusaksikan gerakan amat sangat cepat yang tampil sebagai gerakan lambat, dapat disaksikan mata awam, yang biasanya tidak akan melihat sesuatu pun dari gerakan yang amat sangat cepat itu. Membuatku teringat kepada pemahaman filsafat dalam Bab 26 dari Kitab Chuang-tzi yang sangat dikenal di Negeri Atap Langit: bubu dimaksudkan untuk me-nang-kap ikan jika ikannya telah tertangkap tidak perlu lagi memikirkan bu-bunya erat dimaksudkan untuk menangkap kelinci jika kelincinya tertangkap tidak perlu lagi memikirkan jeratnya kata-kata dimaksudkan untuk menampung gagasan jika gagasan telah diperoleh tidak perlu lagi memikirkan kata-katanya semoga saya dapat menemukan seseorang yang tidak lagi memikirkan kata-kata dan dapat saya ajak berbicara TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Apakah ini berarti kedua pendekar ini masing-masing telah menemukan seseorang yang tidak lagi memikirkan jurus silat dan dapat diajak bertarung" Berbicara dengan seseorang yang sudah tidak lagi memikirkan kata-kata berarti tidak berbicara dengan kata-kata. Dalam kitab tersebut dikatakan, dua manusia bijaksana bertemu tanpa mengucapkan sepatah kata. ketika pandangan mata mereka bertemu di s itulah Dao hadir Memang, Dao berarti Jalan dan cara berpikirnya menyatakan bahwa Dao tak dapat diberitahukan, melainkan hanya diisyaratkan. Bila kata-kata digunakan, maka sifatnya mengisyaratkan pemikiran yang dimiliki kata-kata, dan bukan artinya yang sudah menetap atau arti sampingannya, yang akan menyingkapkan tabir Dao. Kata-kata harus dilupakan ketika maksud yang dikandungnya sudah terpenuhi. Jika katakata sudah tidak diperlukan, mengapa masih sibuk dengan kata-kata itu" Dialihkan ke ilmu silat, mungkinkah kedua pendekar tersebut telah langsung bertarung tanpa perlu saling berkatakata lagi, karena bahkan seluruh pertaruhan jalan hidup seorang pendekar silat memang terletak dalam pertarungan, yang pada suatu hari berakhir dengan kematian" Mereka telah lama melayang-layang dan untuk kesekian kalinya siap berpapasan saling menyerang. Kini di atas jurang yang dalam itu mereka bersiap mengadu jurus yang tak tampak seperti jurus lagi, melainkan hanya gerak perlahan, seperti tarian, tetapi bukan juga tarian, hanya keindahan, dengan pedang menikam! Ugh! Belum pernah kusaksikan pemandangan yang begitu mengesankan dan mengharukan seperti ini. Tubuh mereka berdempetan dalam keadaan berdiri dan mengambang di udara di atas jurang yang dalam. Pedang yang seorang telah melesak ke dalam tubuh dan tembus sampai keluar dari TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ punggung lawannya itu. Mereka berdekapan bagaikan sepasang kekasih, dan darah mengucur deras ke dalam jurang yang sudah tidak kelihatan dasarnya. Mereka berpelukan bagaikan tubuh mereka bertopang atau bergantung pada sesuatu, tetapi jelas mereka tidak bertopang atau bergantung pada sesuatu. Mereka seperti terbang, tetapi berhenti di atas sana, mengambang, tenang dan diam, meski darah mengucur ke bawah jurang bagaikan air tertuang dari dalam kundika. Kemudian perlahan-lahan pelukan itu merenggang, yang seorang jatuh pelahan ke bawah menyusul tetesan-tetesan darahnya, bersama pedang yang menancap dan tembus sampai ke punggungnya. Pedangnya sendiri telah berada di tangan lawannya, yang memandang kejatuhannya dengan sangat sedih, bahkan air matanya pun menetes-netes jatuh ke dalam jurang. T ubuh pendekar yang tertusuk itu jatuh seperti terkapar, ia masih hidup ketika pelukan itu lepas dan matanya masih terbuka, bahkan seperti melambaikan tangan selamat tinggal. Namun matanya kemudian tertutup ketika dalam kedalaman itu tubuhnya yang seperti terkapar berbalik ke belakang dan ia seperti meluncur ke bawah secara sadar dengan kepala di bawah, tetapi tentu saja saat itu nyawanya sudah pergi. Tubuhnya meluncur ke bawah, di telan kekelabuan yang mahadalam. DI atas jurang, mengambang di udara, perempuan pendekar itu terisak. Kini tangisnya terdengar jelas terlontar dari tebing ke tebing dan sudah jelas itu tangis seorang perempuan. Pedangnya ikut terbawa tubuh lelaki pendekar lawannya, tetapi ia memegang pedang lawannya itu dengan penuh hormat, seperti pedang itu mewakili keberadaan lawan yang dihormatinya tersebut. Teriakan seekor burung memecahkan suasana. Alam sunyi sepi. Seperti diriku, rombongan orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban pada segaris jalan setapak di pinggang gunung batu itu, masih memandang segenap TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ adegan dengan terpesona. Jarak mereka memang jauh, seperti juga jarakku dengan perempuan pendekar itu, tetapi di tengah bentangan alam yang sunyi, segalanya tampak jelas. Perempuan pendekar berbusana sutera merah itu memasukkan pedang lawannya tersebut ke dalam sarung pedangnya sendiri. Mendadak saat itu tangisnya berhenti. Tidak sadarkah ia betapa segenap adegan yang telah dijalaninya menjadi tontonan" Kurasa ia melihat rombongan orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban itu, yang sambil menonton tak cukup hanya ternganga mulutnya karena terpesona, tetapi juga setiap kali mengeluarkan suara. Namun tahukah dirinya akan kehadiranku" Ternyata ia memang mengubah kedudukan tubuhnya, menoleh ke arahku, dan tangannya bergerak amat sangat cepat, dan kuketahui bahwa sebuah pisau terbang sedang melesat dengan pesatnya langsung menuju jantungku! Namun tanganku ternyata masih dapat menangkapnya. Saat itulah perempuan pendekar berbusana sutera merah tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Aku menghela napas. Bukan saja kehadiranku yang diketahuinya, tetapi juga diketahuinya bahwa aku memiliki ilmu silat yang layak diuji dengan serangan pisau terbang ini. Padahal semenjak tadi aku tidak bergerak dan bahkan secara terbatas menahan napas. Kuperhatikan pisau terbang yang kupegang. Ini sebuah pisau terbang yang indah. Pegangannya terbuat dari gading berukir, dan pada kedua sisinya terdapat ukiran naga. Keindahan pisau terbang ini jelas menunjukkan bahwa pemiliknya selalu melontarkan pisau itu dengan mengenai sasaran. Ini bukan jenis pisau terbang yang bisa ditinggalkan setelah dilempar, melainkan seperti selalu diambil lagi karena sasarannya sudah mati. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku tidak merasa perlu berkelebat mengejarnya, karena tujuan utamaku sama sekali belum terpenuhi, yakni menemukan Celah Dinding Berlian dan dari sana membuntuti perjalanan Harimau Perang. Tiada lain tiada bukan demi Amrita, yang kukira kematiannya masih diliputi rasa penasaran. Jika rahasia peranan Harimau Perang dalam kegagalan pasukan pemberontak merebut Thang-long belum terungkap, aku pun tidak akan bisa hidup dengan tenang. Namun lemparan pisau terbang ini kuanggap sebagai salam dari dunia persilatan Negeri Atap Langit... (Oo-dwkz-oO) Episode 147: [Celah Dinding Berlian] Kudaku kembali membawaku menyusuri tebing-tebing terjal yang curam. Sejak tadi kusebut jalan setapak, tetapi jalan setapak itu kadang-kadang menghilang, hanya terdapat dinding tebing saja, yang ternyata dapat digunakan untuk lewat juga. Aku sempat menarik tali kekangnya agar kudaku tidak maju, tetapi bukan saja kuda itu mendengus tanda tak setuju, melainkan pada saat yang sama kulihat kambingkambing gunung berlari di tepi dinding securam itu, tanpa ada seekor pun yang terjatuh ke dalam jurang. Maka kulepaskan tarikan kekangku dan kupercayakan semuanya kepada kudaku yang ternyata tahu mana jalan dan mana bukan. Tidak selalu jalan setapak hanya setapak dan kemudian menyatu dengan dinding batu, karena ada kalanya juga jalan setapak itu melebar, lurus dan panjang, sehingga kudaku pun dapat melaju dengan secepatnya di situ. Derap kudaku yang melaju dipantulkan dinding-dinding batu, yang tentu haruslah membuat aku mengerti betapa bukan diriku sendirilah yang mendengar derap kuda melaju ini. Pada setiap gunung dari lautan kelabu gunung batu ini terdapat jalan melingkar yang sambung menyambung dan melingkar-lingkar sampai tembus TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ke jalan menuju Kunming, kota di wilayah Negeri Atap Langit terdekat setelah Thang-long. Dari Kunming, jalan akan menyatu dengan jalan dari negeri orang-orang Pagan maupun dari wilayah Jambhudvipa di bagian utara Teluk Benggala, menjadi jalan yang disebut Jalur Tenggara Jalan Sutera, menuju Chengdu dan kemudian Changian, meski sutera itu sendiri tentu tidak menuju, melainkan justru datang dari Negeri Atap Langit, menuju segenap penjuru bumi melalui, selain Jalur Tenggara, juga Jalur Utara dan Jalur Selatan, maupun Jalur Padang Rumput, menembus negeri-negeri yang selama ini hanya kudengar bagaikan dongeng. HARUS kukatakan bahwa menyadari betapa jalan melingkar-lingkar di lingkung gunung bagai tiada habisnya ini akan berujung di jalur-jalur itu telah membuat gairah hidupku menyala-nyala. Meski tentu harus pula kuperingatkan di-riku sendiri, mengapa aku bisa sampai ke tengah gunung gemunung kelabu berselimut kabut seperti ini. Mungkinkah segala keko-songan dan kehampaan setelah kepergian Amrita dapat terisi de-ngan perburuan Harimau Perang yang di lain pihak memang mengundang rasa penasaran" Kalau bukan karena Amrita, belum tentu seka-rang aku berada di atas kuda yang kini melaju di jalan lurus ini, tetapi tidak kuingkari kenyataan betapa perjumpaanku dengan Amrita pun justru karena hasrat pengembaraan yang terdorong oleh pemandangan kapal-kapal Sriv ijaya di pantai utara Jawadwipa. Jalan lurus di tepi tebing kadang habis begitu saja, Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langsung bersambung dengan suatu titian batu yang menghubungkannya ke gunung lain. Kadang titian itu pendek saja, bahkan cukup lebar sehingga ku-daku dan aku dapat melaluinya seperti tidak terdapat jurang yang begitu dalam bagaikan tanpa dasar. Namun tak jarang pula titian itu begitu sempit dan begitu panjang, bahkan hanya cukup untuk jalan bagi seekor kuda, terserah apakah penunggangnya memilih turun dan berjalan di depannya, ataukah tetap duduk di atas punggung kudanya itu. Di tempat seperti inilah kadangTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kadang terjadi kecelakaan mengenaskan, ketika kuda yang lelah terpeleset dan jatuh dan lenyap ditelan kedalaman jurang meninggalkan gema ringkikan. Kadang hanya kudanya yang jatuh, atau hanya manusia yang tidak sedang menungganginya, tetapi bukan taksering keduanya. Memang ini jalan yang berbahaya, tetapi ada juga yang melewatinya. Bahkan kadang terdapat sekelompok rumah di sana-sini, yang me-nunjukkan betapa ada juga manusia bertempat tinggal di wilayah seperti ini. Pernah terjadi antara dua tebing tidak ada titiannya, sehingga hanya dengan cara melompatlah seseorang bisa mencapai tebing yang satu dari tebing yang lain, padahal jarak yang dibutuhkan agar seekor kuda dapat melompat sejauhjauhnya tidak se-lalu tersedia. Bahayanya masih ber-tambah apabila tepi tebing ada kalanya gugur tertimpa beban kuda dan manusia penunggangnya secara tiba-tiba. Hanya jika kuda atau ma-nusia sekadar memanfaatkannya sebagai tempat berpijak agar tetap dapat melaju, maka daya dorong da-lam lompatan itu tidak akan terlalu membebani tepian tebing yang ke-betulan semakin tipis. Kulihat puncak batu yang menjulang, semua ini dibentuk oleh angin, yang memang selalu bertiup kencang dalam kecepatan yang tinggi selama jutaan tahun. Mereka yang melompati jurang untuk menyeberang tentu juga harus mengenal dan memperhatikan kebiasaan angin ini. Jika tidak, kuda dan manusia penunggangnya dapat gagal menyeberang dan jatuh ke dalam jurang pada saat mereka seharusnya berhasil. Bukan berarti bahwa jarak yang sangat dekat, hanya selangkah misalnya, menjadi lebih mudah diseberangi, karena di tempat seperti ini pun tepi tebing dengan tak terduga dapat pula gugur. Benarkah kudaku dapat mengenali semua ini karena memang pernah melaluinya dalam perjalanan dari Negeri Atap Langit ke Daerah Perlindungan An Nam" Aku tidak yakin TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bahwa pernah me lewatinya saja cukup untuk mendapatkan pengenalan nyaris sempurna seperti ini. Aku lebih percaya betapa naluri kudaku ini luar biasa tajam. Kudaku itu tidak akan sembarang melompat sebelum mengenali medan. K-akinya mengetuk-ngetuk tanah mengukur tebal tipisnya lapisan tanah di atas batu, kepalanya mendongak seperti membaca angin, dan ekornya bergerak-gerak naik turun yang kurasakan seperti mencoba berpikir. (Oo-dwkz-oO) SUATU ketika, menjelang ma-lam tiba, aku tiba pada sebuah titian batu yang lurus, sempit dan panjang. Inilah jenis titian yang jika diseberangi dapat membuat kuda dan manusia jatuh bersama-sama pi-kirku. Namun aku tidak menganggapnya sebagai titian tersulit, karena sebelum tiba di sini kami telah melompati jurang yang lebar beberapa kali. Menjelang malam tiba artinya langit masih terang, tetapi rembulan telah kelihatan di langit. Mega-mega yang menyingkir memperlihatkan bintang yang terang, dan suatu warna keunguan tampak mu-lai semburat menjanjikan kegelapan yang pasti akan datang. Aku mengenal senja tanpa warna merah ini, ka-rena ini berarti gelap bagaikan akan tiba seketika tanpa peringatan lagi. Namun aku merasa lebih menye-berang lebih dahulu dan beristirahat di seberang sana jika malam tiba, itu pun jika kuputuskan tidak mene-ruskan perjalanan, karena sebenar-nyalah aku selalu merasa khawatir rombongan Harimau Pe-rang mun-cul di belakangku tiba-tiba. BETAPAPUN aku merasa lebih baik berhenti sebentar di seberang, sekadar menelan bekal daging asap yang kubawa, dan memberikan pula kesempatan kudaku makan rumput yang tumbuh di sela-sela batu itu. Begitulah kami pun menyeberang. Kulihat ke bawah, jurang masih bagai takberdasar. Meskipun langit terang, cahaya senja tanpa warna merah ini takmampu menembus kabut yang semakin TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pekat di dasar jurang itu, memberikannya suasana kelam yang mengerikan. Apakah kiranya yang masih mungkin hidup di bawah sana itu" Kudaku melangkah pelahan pada titian batu sempit itu. Bahkan seandainya aku harus turun, aku takdapat turun di samping kudaku, melainkan sejak awal haruslah berjalan di depan atau belakangnya, karena memang tidak ada tempat untuk menapak lagi. Namun aku sungguh sangat mempercayai kuda ini. Kunikmati warna-warni langit yang menjelang malam justru di gunung batu ini untuk pertama kalinya bercahaya, memperlihatkan sapuan-sapuan mega tipis di angkasa raya, yang betapapun memang mulai menyuramkan diri. Dalam lautan kelabu gunung batu ini, memang tidak kulihat matahari sama sekali. Kuda itu masih terus melangkah pelahan-lahan, ketika kam i tiba di tengah dan tiba-tiba berhenti, mendengus, dan kedua telinganya berdiri. Ah! Kami berada di tengah. Titian ini menghubungkan dua celah. Aku dan kudaku menembus suatu celah yang sempit dan panjang di bagian puncak-puncak gunung yang tinggi, bagaikan di atas hanya ada langit dan di bawah mega-mega berjalan. Namun bukan masalah ini yang membuat kedua telinga kudaku berdiri, melainkan betapa di ujung titian ini, pada bidang datar di tepi tebing curam, terlihatlah seorang penunggang kuda yang tersenyum-senyum dan telah menghunus golok lebarnya. Ia berbusana ringkas, bagaikan segalanya serba terikat, dengan warna abu-abu kusam, seperti juga kain yang membebat kepalanya. Wajahnya penuh dengan berewok, dan senyumnya semakin lama semakin lebar. Aku mengerti, jika di laut sangat mungkin kita bertemu bajak laut, maka di gunung kita bertemu mempunyai kemungkinan bertemu perampok gunung. Wajah orang ini ramah dan memang tersenyumsenyum, tetapi sangat meyakinkan sebagai perampok, dan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ aku tidak mengerti adakah sesuatu yang telah dilihatnya dan dianggapnya berharga sehingga layak dirampok. Kalau aku terus melangkah, cukup dengan ia mencegatku di sana dengan kudanya, maka nyawaku dan kudaku sudah terancam, karena dengan titian sesempit ini siapapun dapat terpeleset dan jatuh melayang-layang ke dalam jurang yang mahadalam. Begitu sempitnya titian ini, sehingga kudaku harus berjalan maju karena tiada tempat berpijak untuk berbalik, sedangkan kudaku seberapapun cerdasnya tidak mungkin berjalan mundur. Betapapun aku menoleh ke belakang, dan ternyata seseorang di atas kuda yang lain juga telah berdiri di sana, juga telah tersenyum-senyum sembari memegang golok lebar. Ia juga berwajah penuh dengan berewok, berpakaian ringkas, dan membebat kepalanya dengan kain. Melihat cara keduanya tersenyum lebar, kumaklumi betapa bukanlah perampokan harta benda saja menjadi tujuan mereka. Melainkan jika orang yang melewati titian ini dianggapnya tiada berharta benda, maka keduanya seperti sudah cukup puas melihat orang itu bersama kudanya masuk ke dalam jurang. Seberapa banyakkah orang yang melewati jalur sulit ini dengan membawa harta benda, apalagi dalam jumlah yang besar" Namun yang belum bisa kumengerti, jika sepasang perampok bersarang di atas gunung seperti ini, di manakah mereka menyimpan harta dan bagaimanakah caranya menikmati hasil rampokan dan jarahan itu" Aku tidak dapat berpikir lebih panjang karena keadaanku memang gawat dan rawan. Segala sesuatu yang kulakukan untuk mengatasinya, mestilah kulakukan dengan penuh perhitungan. Kurasa mereka menganggapku sebagai tidak membawa harta benda apapun, dan tentu saja itu memang tepat sekali, sehingga mereka dengan menutup kedua ujung titian itu mereka berharap aku jatuh ke dalam jurang. Entah sudah berapa banyak orang mereka perlakukan seperti ini, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ karena adalah masuk akal bahwa harta benda berharga, intan mas berlian rajabrana, tidaklah akan dibawa melalui lautan kelabu gunung batu seperti ini. Namun memang bisa diperhitungkan, bahwa orang yang melakukan perjalanan jauh tentu membawa sedikit uang sebagai bekal dalam perjalanan, dan bagi perampok gunung yang terpencil seperti ini, jika cukup banyak orang yang telah mereka rampok dalam bertahun-tahun, mungkin sudah banyak pula harta benda orang lewat yang timbun di suatu tempat entah di mana di wilayah gunung yang seolah-olah hanya terdiri dari batu itu. KUDAKU mendengus. Aku sempat berpikir justru karena kudaku itu lebih banyak menggunakan otaknya, maka nalurinya luput menangkap adanya kedua perampok berkuda yang pasti bersembunyi di celah batu-batu besar itu. Namun kali ini nalurinya yang tajam bekerja dengan baik, karena ia memang mendengus oleh bahaya maut yang datang mengancam. Dari depan maupun belakang melayang golok lebar yang melesat cepat tetapi berputar perlahan, siap memenggal kepala dari depan maupun belakang. Jika aku tetap berada di tempatku sekarang, tubuhku bisa terbelah menjadi tiga, karena golok lebar yang mirip golok tukang jagal itu bagaikan bisa membelah tubuh dalam sekali sambar, sedangkan ketinggian sambaran kedua golok itu tidak sama. Aku tahu sekarang. Bukanlah sekadar mata uang yang kubawa ingin dirampoknya, melainkan kudaku, yang sungguh mereka ketahui rupanya betapa sangat berharga! Kuda yang baik, apalagi kuda terbaik, lebih berharga dari apa pun di dalam alam yang keras ini, karena kuda terbaik memang dapat berlaku seperti kudaku, yakni bukan hanya meringankan, melainkan juga menyelamatkan, dan bahkan juga mencerahkan. Kuda yang baik mengetahui apa yang terbaik bagi penunggangnya. Bukankah kudaku yang setiap kali berhenti agar dapat kutatap pemandangan yang mencerahkan jiwa" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dari kejauhan, bagi yang sangat mengerti bagaimana caranya menilai seekor kuda, agaknya terbayang betapa akan sangat berguna kuda itu baginya, dan karena itu baginya sangat amat berharga. Namun kenapa tidak terpikir oleh siapapun yang merampoknya, bahwa kuda pun dapat berpihak dan tidak merelakan sembarang manusia menungganginya" Pikiran semacam ini jelas terlintas lebih cepat dari waktu pembacaannya, bahkan lebih cepat dari dua golok yang berputar pelahan tetapi mendekat dengan terlalu cepat itu. Jika kedua golok lebar yang ketajamannya bagai mampu mengiris apapun itu mengenai sasaran seperti tujuannya, tubuhku akan terbelah tiga dan kuda ini jatuh ke tangan mereka. Apabila kemudian kuda ini me lawan, jelas akhinya akan mereka bunuh pula. Kedua golok itu sudah dekat sekali, yang satu akan membelah dari kanan, yang lain membelah dari kiri. Tidaklah mungkin bagi mereka yang mengenal ilmu silat untuk dapat menghindarinya, karena bagi mereka yang mengenalnya pun masih dapat tewas tanpa sempat bergerak sama sekali. Maka tanganku pun bergerak me lepaskan pisau terbang bergagang gading itu dengan sebat. Sementara aku sendiri melenting ke udara untuk menghindari golok yang berputar menyambar dari belakang. Tanpa cara ini, jika seseorang dapat menghindari satu golok, tidak akan terhindar dari sambaran golok yang lain. Namun aku takhanya menangkis golok yang datang dari depan dengan lemparan pisau terbang bergagang gading itu, dan memang bukanlah menangkis tujuanku melemparkan pisau terbang yang bukan saja bergagang gading tetapi berukir gambar dua naga di masing-masing sisinya, melainkan membalikkan arah lemparannya, kembali ke arah pelemparnya sendiri! Aku melenting ke udara nyaris bersamaan dengan saat kulemparkan pisau itu. Golok yang melesat dari depan telah disentuh pisau terbangku pada pembatas antara gagang dan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ goloknya tepat pada saat perputarannya mengarah kepada pelemparnya, sehingga tanpa ayal golok itu meluncur kembali ke arah dari mana datangnya dengan kecepatan yang sama. Saat aku melenting, melesatlah di bawahku golok yang menyambar dari belakang, yang karena luput mengenaiku meneruskan luncurannya ke arah perampok berkuda yang mencegat di ujung titian di depanku itu. Titian sempit itu memang lurus dan lempang, jadi sebuah lemparan lurus dan lempang dari ujung titian di belakang punggungku yang luput mengenai sasaran akan mengarah Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langsung ke titik manapun yang segaris sampai ke ujung titian yang berada di depan, artinya juga ke arah lelaki berkuda yang mencegatku. Seketika terdengarlah jerit kesakitan yang bergema dan bergaung dari jurang ke jurang sambung menyambung sepanjang lautan kelabu gunung batu, yang bahkan masih terus terdengar gema dan gaungnya meski tubuh yang menjeritkannya telah terbelah jadi tiga, karena sambaran goloknya sendiri yang berbalik kepadanya masih disusul sambaran golok berputar yang luput mengenaiku dari belakang tubuhku. Hanya karena ia masih berusaha berkelitlah maka belahannya menjadi kurang tajam dan menimbulkan kesakitan luar biasa yang ditandai jeritan panjang, yang hanya terbungkam oleh sambaran golok berikutnya yang membelah tubuhnya dengan amat tepat. TIDAK usah kujelaskan bagai-mana tepatnya tubuhnya terbelah menjadi tiga. Namun bisa kusam-pai-kan betapa ketiga potongan tubuhnya itu melayang jatuh ditelan kegelapan jurang. Begitu merasakan diriku telah berada di punggungnya kembali, ku-daku me langkah maju lagi de-ngan hati-hati. Di sinilah letak ke-cerdasan kuda Uighur ini, karena sembarang kuda mungkin menjadi panik, mengangkat kedua kaki de-pan sambil meringkik, untuk terpeleset kaki belakangnya dan jatuh TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ diserap ke kedalaman jurang seperti yang telah terjadi dengan begitu banyak kuda dan penunggangnya yang telah menyeberangi titian ini. Kudengar sumpah serapah yang tidak kuketahui artinya karena diucapkan dalam bahasa yang tidak kukenal. Selama berada di Kuil Pengabdian Sejati memang kupelajari bahasa Negeri Atap Langit, te-tapi bukan saja cara pengucapan dari tulisan yang sama dapat berbeda-beda, melainkan juga bahwa me-mang banyak bahasa dari berbagai ma-cam suku yang sangat besar per-bedaannya. Namun nadanya jelas nada menyumpah dan tampaknya ia pun berteriak-teriak mengundang teman. Aku belum sampai ke seberang ketika sebatang anak panah menancap pada titian batu di depanku. Aku menoleh ke belakang, perampok berkuda yang berada di belakangku itu tidak menyusulku. Keputusan bijak karena jika ia lakukan maka kedudukannya akan menjadi sele-mah seperti kedudukanku sebelumnya. Namun memang bukan diri-nya-lah yang sebetulnya jadi masa-lah, me-lainkan anak panah itu, yang ketika kutengok sumber kedatangannya dari balik tebing di ketinggian, ternyata menampakkan berpuluh-puluh manusia yang sedang membidikku dengan busur silang. Kutahu panah yang dibidik-kan de-ngan busur silang bukan ha-nya me-luncur dengan cepat dan ber-tenaga, melainkan juga selalu tepat mengenai sasarannya. Padahal puluhan anak panah itu sekarang melesat! Kudaku bahkan belum sampai ke ujung. Ini sama dengan tidak bisa ber-gerak. Jika aku mampu meng-hindari puluhan anak panah itu dengan ketajaman tinggi, justru ku-daku itulah yang akan terajam anak-anak panah tersebut tanpa ampun lagi, sedangkan hidup tanpa kuda semacam itu di wilayah seperti ini, bagiku sama juga buruknya dengan kematian. Sungguh keadaan berbahaya yang sangat mengancam dan harus dipecahkan dengan segera. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Hari telah lewat senja. Meski langit belum gelap sepenuhnya, anak-anak panah yang melesat itu sudah sulit dilihat secara kasat mata. Maka ku-pejamkan mataku menerapkan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang dan segeralah dalam keterpejamanku tampak dengan jelas bagai-mana dalam bentuk caha-ya hijau suram puluhan anak panah itu me lesat ke arahku. Aku melen-ting dan bergerak amat sangat cepat, bah-kan lebih cepat daripada kecepatan kilat, sehingga tak hanya dapat kuhindari anak-anak panah yang melesat dari busur silang de-ngan sangat tepat ke arah sasaran, me-lainkan bisa kutangkap dan kukembalikan setiap anak panah itu dengan kecepatan dan ketepatan yang sama ke arah sasarannya. De-mikianlah pada saat aku kembali duduk di punggung kudaku, anak-anak panah itu telah menancap di jantung pemiliknya masing-masing. Beberapa di antara mereka jatuh terkulai dan melayang jatuh ke da-lam jurang, tetapi tak sedikit yang tersentak dan tertancap ke dinding ba--tu tempat mereka bersembunyi dan muncul untuk melepaskan anak---anak panahnya. Tiada terdengar jeritan sama sekali, karena anak-anak panah itu menancap dengan amat sangat tepat ke jantungnya. Dunia pun seketika sunyi, ketika dengan sangat pelahan kudaku melan-jutkan langkah-langkahnya menyelesaikan sisa titian sampai ke ujungnya. Tiba di ujung, masih juga kurasa-kan betapa suatu benda tajam berdesir dari arah belakangku, melesat lang-sung ke tengkukku. Segera ku-bungkukkan diriku dan sebilah pi-sau terbang segera lewat melesat di atas kepalaku, untuk menancap de-ngan mantap sampai ke gagangnya pada dinding batu. Masih terdapat kuda sang perampok gunung yang tubuhnya telah terbagi tiga itu. Kucabut pisau terbang yang menancap di sebelah pisau terbang yang kulemparkan sebelumnya, yang kemudian kucabut juga. Pisau terbang milik perampok gunung ini sangat sederhana, hanya seperti sebuah besi pipih yang diberi gagang kayu, tetapi dengan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menimangnya aku tahu pisau terbang akan selalu terlempar dengan tepat ke sasarannya. Aku berbalik dan kulemparkan kembali pisau terbang itu kepada pemiliknya. Pisau terbang itu berputar jungkir balik dengan pelan, tetapi melesat dengan terlalu cepat untuk dapat ditangkis atau dihindari pemiliknya sendiri. Tiada jeritan sempat terdengar dalam kesunyian mencekam menjelang malam pada lautan kelabu gunung batu itu, karena pisau terbang itu menancap tepat pada jidatnya. Membuatnya terguling dan terpelanting dari atas punggung kuda nun di seberang, tubuhnya jatuh di tepi jurang, dan jika ia masih hidup mungkin tangannya dapat berpegangan pada titian. Namun karena pisau itu menancap pada jidat dengan tepat, tubuhnya merosok tanpa daya di tepi jurang, untuk kemudian jatuh dan hilang lenyap dalam kedalaman untuk selamalamanya... TINGGAL kesunyian kini, bagaikan mengendap tiba-tiba bersama datangnya malam. Dinding-dinding kelabu masih terlihat dalam kegelapan, bahkan kegelapan yang ditimbulkan kedalaman jurang terlihat sebagai kekosongan mahakelam. Bukannya tidak kudengar puluhan sosok yang berkelebat di balik batu-batu besar, tetapi aku tidak perlu khawatir sekarang karena itulah suara-suara orang yang melarikan diri. Tentunya mereka dapat mengukur, seberapa jauhkah diriku yang telah membunuh kedua pemimpinnya itu dapat mereka lawan. Kupikir suatu keputusan yang bagus untuk mundur teratur dalam kegelapan seperti itu, karena sebagai lawan yang hanya satu orang aku dapat membunuh siapapun yang berada di dekatku, sedangkan dalam kekacauan pertarungan malam, sangat mungkin di antara mereka berlangsung saling bunuh teman. Aku tidak bergerak di tepi tebing. Jalan setapak berkelokkelok mengikuti lekukan dinding jurang yang curam. Semua orang pasti beristirahat. Juga rombongan kecil yang membawa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ keledai-keledai beban itu. Namun aku yakin rombongan Harimau Perang terus berjalan, karena justru di sanalah kesempatan mereka agar perjalanannya tetap berada dalam kerahasiaan. Aku merasa tegang karena merasa takboleh tersusul sebelum mencapai Celah Dinding Berlian. Aku belum bergerak. Benarkah ini jalan menuju Celah Dinding Berlian" Selama ini aku hanya mengikuti langkah kudaku, tetapi aku memang tidak melihat jalan yang lain selain jalan yang telah kulalui itu. Jadi dalam kegelapan ini pun aku merasa lebih baik percaya diri, karena jika tidak maka semesta kegelapan ini bisa menjadi masalah. Namun ketika gelap menjadi lengkap, rembulan yang kekuning-kuningan muncul di langit, dan mendadak saja dari suatu celah terlihat cahaya tipis yang memancar ke atas, lantas bagaikan air menggenangi lembah dan puncak-puncak gunung batu. Masih jauh tempat itu, tapi kuingat kata-kata Iblis Suci Peremuk Tulang. "Jika siang dindingnya menyala karena cahaya matahari, jika malam tetap cemerlang karena cahaya rembulan," katanya. Agaknya karena sepanjang hari gunung-gunung batu ini tenggelam dunia kabut kelabu beku, maka tiada cahaya apapun dalam kenyataannya dapat terlihat menyala maupun cemerlang. Betapapun akhirnya kusaksikan cahaya cemerlang Celah Dinding Berlian. (Oo-dwkz-oO) Episode 148: [Perjalanan Malam] Kudaku melaju setelah me lihat cahaya itu, seperti mengerti betapa tujuanku sementara ini adalah Celah Dinding Berlian. Aku merasa tenang karena sebelum berangkat kulihat telah dimakannya rumput, dedaunan, bahkan bunga-bunganya sekalian, yang tampak tumbuh di sela-sela. Kuda yang dilatih suku Uighur tahu bagaimana mengurus dirinya sendiri, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sehingga karena itulah kuda yang diternakkan suku itu paling banyak dicari, dan harganya mahal sekali. Kuda ini juga telah memakan tanaman mengandung air, yang seperti sengaja hanya tumbuh di wilayah berbatu-batu seperti ini. Semua itu membuatku tenang dan sementara kudaku berjalan kumakan pula bekal daging asap yang kubawa. Dari berbagai tanaman merayap yang memenuhi dinding-dinding, kadang terdapat buah-buahan berair yang berguna sekali menggantikan ketiadaan air. Begitulah sambil berjalan aku menyambar buahbuahan semacam itu dan menghirup airnya, karena aliran air yang kadang menyeberangi jalan tampak sudah semakin jarang. Perjalanan malam di lautan kelabu gunung batu pada malam hari bagaikan perjalanan di alam impian, karena memang tidak pernah kualam i suasana seperti ini. Aku memang terbiasa berjalan dalam kesendirian dari kampung ke kampung, dari padang ke padang, dari hutan ke hutan, bahkan juga naik turun gunung dan keluar masuk lembah, tetapi inilah perjalanan dari kesunyian ke kesunyian, menembus kepekatan kabut yang tetap kelabu dalam kegelapan. Demikianlah dalam sergapan kabut dunia serasa menyempit, tetapi selepas kabut dunia terlalu luas sehingga manusia di tengah alam seperti ini akan merasa sangat amat sendiri. Betapa tidak akan merasa amat sendiri jika cahaya rembulan seluruh jaringan jalan setapak yang melingkarlingkar dari gunung ke gunung dalam lautan kelabu gunung batu yang mahaluas itu" Tidak kulihat lagi rombongan kecil orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban itu, mungkin mereka sedang berada di suatu jalan di balik gunung, dan mungkin saja di balik gunung itu mereka berhenti dan malam. Begitulah perjalanan biasa saja sudah terasa begitu berat, bagaimana pula jika urusannya adalah memburu atau diburu seperti aku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ROMBONGAN Harimau Perang memang tidak atau belum tahu ada seseorang berangkat menuju Celah Dinding Berlian untuk menunggu dan mengikuti perjalanan mereka, tetapi kutahu bagaimana mereka akan dan harus terus bersikap betapa memang terdapat kemungkinan ada seorang matamata musuh mengikuti mereka. Sementara tanpa mereka ketahui aku selalu merasa waswas akan tersalip oleh kecepatan perjalanan mereka, sehingga harus mengarungi lautan kelabu gunung batu ini dengan pera-saan sedang diburu. Aku bertanya-tanya bagaimana-kah caranya mereka melakukan perjalanan dengan cepat sekarang. Apa-kah setiap orang menyerahkan diri kepada kudanya seperti aku" Ataukah kepada seseorang yang berkuda pa-ling depan sebagai penunjuk jalan, dan keduapuluh orang di belakangnya mengikuti tanpa berta-nya-tanya lagi" Aku hanya menduga, rombongan sebanyak duapuluh orang tentunya akan jauh lebih lambat daripada satu orang dengan kuda Uighur yang cerdas seperti kudaku. Namun belum ku-ketahui betapa perjalananku akan mendapat sangat banyak halang-an takterduga, sehingga rombongan Ha-ri-mau Perang sebenarnyalah akan se-lalu berada dekat di belakangku saja. Cahaya rembulan menyepuh se-gala puncak dengan lapisan lembut keperakan. Celah Dinding Berlian tampak pantulan cahayanya saja berkilauan, tetapi rupanya itu masih sangat jauh. Jika aku berjalan terus menerus pun aku takyakin sudah akan mencapainya dalam dua hari, bukan sekadar karena perjalanannya sulit, tetapi juga karena pemandangan bagai sangat sering menuntut siapapun berhenti. Bahkan kudaku, seperti telah kuceritakan waktu itu, seperti tahu apa yang terbaik bagi penunggangnya. Untung-lah kudaku kini agaknya pun tahu betapa ia takbisa dan tak perlu lagi berhenti demi sebuah pemandangan betapapun dahsyat dan betapapun penuh dengan pesona, karena dalam kenyataannya ia memang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terus berja-lan melewati saja pemandangan yang barangkali dalam hidup hanya akan pernah kusaksikan satu kali sahaja. Harus kuakui betapa damai segala pemandangan di depan mata. Rem-bulan yang perak agak kekuningan tergantung di langit bagaikan hiasan sebuah panggung. Itulah panggung dengan layar bergambar seribu gu-nung, dengan seribu celah dan seribu lembah, dengan jalan setapak yang berkelak-kelok, melingkar dan ber-putar bagai tiada habisnya. Siapa pun Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memang sebaiknya tidak tidur jika berada di hadapan dan di dalam pe-mandangan seperti ini, meskipun bukankah memang sangat dimung-kinkan betapa pemandangan terbaik terbentang tanpa seorang pun melihatnya" Aku teringat lukisan-lukisan gulungan tua di Kuil Pengabdian Sejati yang berasal dari Negeri Atap Langit. Kubayangkan pelukisnya duduk menggambar di depan sebuah pemandangan yang lengkap: gunung, langit, mega-mega, sungai, perahu, dan mungkin seseorang yang berjalan di kejauhan mengenakan caping. Namun ternyatas yang dilukisnya hanyalah sehelai daun bambu. Itu pun hanya dalam sekali goresan. Apakah sehelai daun bambu itu yang terindah baginya dari segala pemandangan" Apakah sehelai daun bambu itu mewakili semesta jiwa yang dimasukinya dalam pandangan" Aku memikirkan jurus silat, jika dengan satu jurus dapat kugugurkan seribu jurus yang berasal dari seribu orang. Juga di Kuil Pengabdian Sejati, telah kupelajari sebuah puisi dari penyair Li Ba i yang meninggal 35 tahun lalu, dan menjadi kebanggaan Wangsa Tang itu. seandainya kautanyakan kenapa aku tinggal di bukit hijau aku akan diam-diam tertawa: jiwaku tenang bunga-bunga persik mengikuti air sungai ada langit dan bumi lain di balik dunia manusia Dari puisi ini aku belajar tentang makna kesederhanaan. Bahasanya tidak berbelit-belit, dan artinya pun tidak sulit dimengerti. Namun aku tahu betapa ini bukanlah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kesederhanaan yang dapat dicapai tanpa tingkat kemahiran dan kepandaian yang tinggi. Sama seperti pelukis yang hanya menggerakkan tangannya satu kali untuk menggambarkan sehelai daun bambu dari pemandangan seribu keindahan di hadapannya, begitu pula penyair ini, yang membongkar selaksa peradaban cukup dengan sepotong pemandangan. Aku juga sangat terpesona dengan puisi seorang penyair kebanggaan Wangsa Tang lainnya, Wang Wei yang meninggal 38 tahun lalu. kerikil-kerikil putih berloncatan di arus sungai satu-dua lembar daun memerah di musim gugur yang dingin tak gugur hujan di jalan perbukitan namun bajuku basah di udara yang hijau segar BUKANKAH puisi semacam ini tidak memaksa pembacanya berpikir keras dengan segala macam pembermaknaan yang menuntut penguasaan atas pengetahuan tentang dunia" Bahkan puisi ini bagaikan bukan tentang suatu makna sama sekali, hanya pemandangan, dan warta sederhana bahwa baju yang dikenakan penatap pemandangan itu basah karena udara dingin berembun. Bahkan ia tidak menyatakan kesannya sama sekali, karena memang sudah akan dirasakan sendiri oleh pembacanya. Sederhana sekali puisi seperti ini, tetapi tentu saja sekadar kesederhanaan tidak akan mampu menangkap kesederhanaan di balik seribu keindahan. Sebaliknya, penguasaan atas pengetahuan tentang seribu keindahan itulah yang akan mampu menangkap kesederhanaan sebagai yang terindah. Aku merasa iri dengan para penyair, yang mampu menggenggam dunia dengan segala maknanya cukup dengan seberkas kata-kata. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Begitulah sembari mengarungi pemandangan seribu gunung batu di bawah cahaya rembulan, kupikirkan apa yang dapat kulakukan selama mengarungi kehidupan. Apakah kiranya persilatan saja cukup memuaskan bagiku, jika memang ingin mendaki gunung kesempurnaan" Adapun kesempurnaan dalam dunia persilatan artinya bahwa kemenangan belumlah sempurna tanpa kekalahan, sedangkan kekalahan dalam pertarungan hanyalah berarti kematian. (Oo-dwkz-oO) MALAM belum berlalu ketika serangan gelap datang dari balik batu di belakangku. Sebetulnya aku telah mendengar sebelumnya betapa di sekitarku bayangan-bayangan hitam berkelebat, sebenarnya tanpa suara, tetapi kudaku yang rupanya membauinya dan memberi tanda-tanda kepadaku, yang untunglah kumengerti sehingga aku menjadi lebih waspada. Bukankah menyedihkan ketika berada di dalam pemandangan yang begini indah kita harus saling berbunuhan" Sesosok bayangan melesat dengan bacokan tajam sebuah kelewang. Tanpa menoleh kulumpuhkan ia dengan kibasan tangan ke belakang. Namun dari kiri dari atas tebing dan dari kanan dari balik jurang serempak menyerang dua bayangan, keduanya juga menyabetkan kelewang dan dengan segera nasibnya sama dengan kawan penyamunnya yang pertama. Dalam sekejap ketiganya susul menyusul melayang jatuh ke dalam jurang. Cahaya rembulan seketika menampakkan kabut yang mengambang di atas jurang yang kelam, sehingga setiap tubuh yang terlempar jatuh langsung tak kelihatan. Begitulah para perampok dan penyamun gunung yang semula mundur teratur kini menyerang kembali dengan perencanaan. Tidak ada lagi serangan jarak jauh karena cara itu sudah terbukti gagal. Mereka menyerang sedekat mungkin karena ingin memastikan serangannya mengenai sasaran dan untuk TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengatasi kecepatanku maka dua sampai tiga, bahkan lima orang, menyerang berturut-turut maupun serentak dari berbagai arah dengan penuh perhitungan tanpa harus saling memberi perintah lagi. Dalam malam dalam diam dalam kekelaman kudaku melaju sepanjang jalan setapak di pinggang gunung. Malam berselimut dendam, dalam kegelapan bayangan demi bayangan berkelebat menuntut penuntasan. Dari tepi ke tepi dari ujung ke ujung kudaku melaju dan pada setiap serangan dengan segala hormat kuterbangkan setiap nyawa sementara tubuhnya melayang jatuh ke kedalaman jurang ditelan kelam. Kudaku kuda U ighur yang selalu siap bertempur sehingga bisa memacu dirinya bagaikan terbang dalam keadaan rawan. Kadang aku hanya perlu membungkuk rapat di atas punggung kudaku untuk membuat sambaran luput dan penyerangku melayang langsung masuk ke dalam jurang dengan teriakan panjang. Namun yang membuatku sangat terkejut adalah ketika kudaku melayang dari tepi tebing gunung yang satu ke tepi tebing gunung yang lain dan begitu mendarat kaki depannya telah menginjak dada seseorang di balik persembunyian. Para penyamun ini tampaknya jauh lebih banyak dari yang kuduga, karena setelah bertempur dan melaju dari sudut ke sudut sepanjang malam kurasa sudah lebih dari limapuluh penyamun kehidupannya kuselesaikan. Dari setiap sudut dari setiap kelokan dari puncak-puncak batu menjulang selalu saja ada serangan dengan segala persenjataan. Ada yang turun dengan tali lantas menyambar naik lagi, ada yang me lesat terbang dari kiri ke kanan, dan ada pula yang langsung menerjang ke punggung kuda tanpa sempat dihindarkan kecuali menyambutnya dengan pukulan Telapak Darah yang hanya akan membuatnya terpental ke dalam jurang sambil memuntahkan darah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ SEPANJANG jalan selama aku masih diserang tak jarang terdengar jeritan, tetapi tubuh mereka semua tanpa kecuali masuk ke dalam jurang. Tidak ada yang terlontar kembali menabrak dinding dengan kepala remuk tulang belakang patah atau hanya pingsan terkapar di te-ngah jalan atau tersangkut di celah batu. Ti-dak ada. Semuanya melayang masuk ke da-lam jurang dan memang kusengaja ha-rus menjadi demikian, karena aku tidak menghendaki timbulnya dugaan apa pun apabila kemudian rombongan Harimau Perang yang masih akan lewat di belakang me-lihat mayat bergelimpangan. Maka se-tiap serangan kusambut, kulayani, dan ku-selesa ikan dengan kecepatan pikiran. Iba-rat kata aku hanya cukup mengetahui ke-beradaan mereka, tak harus mendengar atau menatapnya, dan saat itulah nyawa me-reka melayang masih dalam laju serangan. Setidaknya sudah tujuh puluh lima orang kutewaskan dalam perjalanan sepanjang malam dan aku tidak tahu masih berapa lagi menghadang dan mengintai dan untuk akhirnya menyergap di depan. Jika semula kuketahui gerombolan penya-mun yang kedua pemimpinnya kutewaskan, ketika berusaha merampokku di ti-tian tadi, berdasarkan bunyi langkah ka-kinya yang mengendap-endap berjumlah limapuluh orang; berarti gerombolan ini te-lah bergabung dengan gerombolan pe-nyamun. Layak kiranya kuduga betapa wi-la-yah seribu gunung ini telah dibagi-ba-gi sebagai daerah kekuasaan para penyamun. Apabila diriku ternyata dapat lolos dari wilayah yang satu, belum berarti aku dapat lolos dari wilayah yang lain. Dalam hal gerombolan yang kedua pemimpinnya kutewaskan, sangat mungkin mereka telah minta bantuan atau menggabungkan diri dengan gerombolan penyamun gu-nung yang wilayahnya berbatasan. Maka agaknya aku pun sudah lolos dari gerombolan yang pertama dan kini menghadapi gerombolan yang berada di wilayah sebelahnya dan di antara mereka setidaknya setengah dari jumlah mereka telah kuterbangkan nyawanya. Satu kali TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ seorang di antaranya dengan nekad meloncat sangat cepat ke atas punggung kuda dan menempel pada punggungku, dan tentulah peluangnya besar sekali untuk membunuhku, tetapi tidak ia perhitungkan tentunya bahwa karena dalam detik yang sama semua orang menyerangku maka aku tinggal melenting ke atas agar para penyerangku saling ber-bu-nuhan tanpa sempat disadarinya. Kulihat ke-lewang kawannya sendiri membabat putus lehernya sementara pisau panja-ngnya menembus perut kawannya itu. Ku-depak tubuh keduanya dari punggung kudaku, yang langsung menggelinding masuk ke jurang menyusul kepala terputus yang melayang ditelan mega-mega mengambang keperakan dalam siraman cahaya rembulan yang tadi kekuningan tetapi kini keperak-perakan. Mengapakah aku tidak harus berhenti dalam dunia yang serbapenuh pesona se-perti saat ini" Karena dari balik pesona itulah para penyamun gunung yang paling berpengalaman dan paling menguasai medan bermunculan terus menerus de-ngan penuh ancaman. Mereka muncul dari balik tubir jurang, mereka menyerang dari atas tebing, mereka berlari-lari di tebing gunung terjal mengikutiku bagai kambing gunung yang sangat mengenal letak setiap batu, dan hanya pada waktu yang mereka anggap paling tepat saja mereka akan menyerang, sementara dari segala arah lainnya serangan tak hentinya berdatangan. Sudah begitu banyak korban berjatuhan melayang ke jurang, tetapi serangan demi serangan langsung dari balik jubah ma lam terus saja dilakukan, karena serangan jarak jauh hanya berakibat kematian kepada sang penyerang. Namun setelah lebih dari separuh dari gerombolan di wilayah sebelahnya itu me-la-yang ke bawah masuk jurang, mereka semua segera menarik diri, meski tetap mengawasi. Kudaku sengaja berhenti me langkah. Harus kuakui betapa cerdas. Jika ia terus melaju dengan kecepatan seperti semula, tidak akan kulihat mereka menempel di dinding batu pada TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ punggungnya. Seperti il-mu cicak, tetapi jika biasa terlihat dalam il-mu cicak bahwa yang menempel ke din-ding adalah telapak tangan dan telapak ka-ki, sehingga seseorang akan menempelkan tu-buh depannya ke dinding seperti cicak, di sini yang menempel adalah telapak tangan dan kaki juga, tetapi dengan punggung yang menempel ke dinding tebing, jadi tu-buh belakang dan bukan tubuh depannya yang menempel, sungguh rekat erat seperti cicak. Kulihat berpuluh-puluh orang berbusana ringkas dan kehitam-hitaman menempel pada dinding tebing curam menjulang. Kusebut kehitam-hitaman dan bukan hitam karena tentunya busana itu sebelumnya sangat hitam dan menyatu dengan kegelapan malam, tetapi kehidupan penyamun gunung yang jauh dari peradaban telah menjadikannya kusam ketika tak kunjung tergantikan. Aku terdiam. Mereka juga diam. Kudaku mendengus. Melambaikan ekornya. Lantas melangkah pelan-pelan. Aku berpikir keras. Akan kubasmi sajakah para penyamun gunung ini" JIKA aku tidak membantainya sekarang, niscaya lautan kelabu gunung batu ini akan menjadi tempat yang mengerikan untuk dilewati, padahal pemandangannya terlalu sayang dilewatkan karena pesona keindahannya yang layak dikatakan bukan alang kepalang. Berapa lagi korban akan terus berjatuhan jika mereka masih terus bertahan, dan berapa gerombolan lagi akan menghadang dari wilayah ke wilayah sepanjang perjalanan" Aku menjadi maklum kenapa Harimau Perang membawa rombongan sampai dua puluh orang. Kudengar banyak juga pelarian Pemberontakan An Shi yang lari kemari setelah kalah dalam pertempuran. Ini memang wilayah tak bertuan. Siapa mampu menguasainya dengan senjata maka dialah yang akan menjadi tuan. (Oo-dwkz-oO) Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Episode 149: [Seorang Perempuan Beralis Tebal] APAKAH mereka semua telah menjadi patung" Puluhan orang berbusana ringkas kehitam-hitaman yang tangan, kaki, dan punggungnya lengket pada dinding itu tidak bergerak sama sekali. Namun tentu saja mereka bukan patung. Mereka diam seribu bahasa. Entah diam demi kediaman itu sendiri, ataukah kediaman demi suatu tujuan yang mengerikan. Betapapun gerombolan ini adalah gerombolan penyamun yang hanya bisa bertahan hidup selama ini dengan akal dan tipu daya. Mengandalkan jumlah, mereka bukan bandingan pasukan pemerintah yang bukan tak sering dikirim untuk membasmi mereka. Lagipula, jika mereka memang pelarian dari pihak yang kalah pada Pemberontakan An Shi yang dipimpin oleh An Lushan, maka siasat tempur tentulah berada dalam penguasaan mereka pula, yang dengan sendirinya membuat mereka tak bisa disamakan dengan sekadar perampok dan penyamun yang biasanya menjarah, membunuh, dan memperkosa, hanya jika dapat dipastikan bahwa calon korbannya lebih lemah. Jalan di depanku lurus dan panjang. Cahaya rembulan kini membuatnya berkilat menembus kekelaman, dan di ujungnya seperti tiba-tiba saja muncul sepasang manusia, lelaki dan perempuan, keduanya berpakaian ringkas seperti busana orang-orang persilatan. Apakah mereka pemimpin para penyamun ini" Kudaku maju mendekat, seperti tahu betapa sebaiknya aku menilai keadaan dengan mengetahui juga paras mereka. Ketika akhirnya dapat kulihat wajah mereka itu, ternyata aku mendapat kesan yang tidak kubayangkan sebelumnya. Lelaki itu berwajah ramah, dan pada dasarnya dapat dikatakan gagah, meski agak pendek; sedangkan perempuan berkulit sangat putih itu harus kukatakan menggetarkan, dengan alis tebal di atasnya yang menyala bak bintang kejora. Busananya TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ juga ringkas dan betapapun, seperti lelaki itu, memang agak compang camping. Namun kesederhanaan busana mereka sama sekali tidak mengurangi pesona keduanya sebagai pasangan. Meskipun baru bertemu, segera benakku mengatakan betapa keduanya memang adalah pasangan, seperti suami isteri, atau sepasang kekasih, pokoknya saling mencintai. Dalam dunia persilatan kita tidak pernah tahu suatu pasangan itu menikah atau tidak. Aku merasakan betapa keduanya adalah pasangan, sebetulnya juga tanpa alasan yang jelas. Aku hanya melihatnya dari sesuatu yang memberi kesan itu dari cara berdiri mereka ketika berdiri berdampingan, dan terutama dari cara keduanya saling memandang sebelum mengajakku masuk ke dalam suatu percakapan. Perempuan yang alisnya tebal itulah yang berbicara. Ia menyoren pedang dan mengenakan alas kaki yang disebut sepatu. Busananya yang ringkas itu nyaris membebat seluruh tubuh, begitu rupa sehingga dadanya tampak rata. Ia masih membebat bagian dada itu dengan kain lagi, bagai tiada ingin segenap geraknya dalam pertarungan terganggu sedikit pun jua. Ia mengucapkan sesuatu. Aku tidak mengerti. Ia mengucapkan sesuatu lagi, terdengarnya seperti bahasa yang lain. Aku tetap tidak mengerti dan mengangkat bahu. Mereka saling berpandangan, dan lelaki itu mengatakan sesuatu kepada yang perempuan. Maka perempuan itu tampaknya lantas mengujikan bermacam-macam bahasa kepadaku, dan ternyata aku tidak perlu menunggu terlalu lama. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Pendekar, siapakah dikau, datang dari mana dan hendak menuju ke mana"'' Itu diucapkannya dalam bahasa Viet. ''Daku mengerti bahasamu yang ini, wahai perempuan terindah di tengah lautan kelabu gunung batu, tetapi daku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.'' PEREMPUAN beralis tebal itu tertawa mengikik. Suara tertawa yang memantul dari dinding ke dinding dan kukira mungkin saja rombongan orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban itu pun mendengarnya. Apakah rombongan Harimau Perang juga akan mendengarnya" Itulah yang membuatku tidak berkehendak menjawab apa pun. ''Perempuan terindah di tengah lautan kelabu gunung batu! Hihihihi! Daku takpaham maksudmu wahai pendekar, dikau memang memuji, atau menertawakan daku sebagai satusatunya perempuan tanpa saingan di tengah lautan kelabu gunung batu ini! Hihihihihi!'' Apa yang harus kukatakan" Aku tidak menjawabnya. Hanya bersikap waspada. Apalagi yang bisa dilakukan di tengah malam yang dingin dan sepi seperti ini, ketika di tepi jalan jurang tanpa dasar menganga, dan dinding tebing penuh puluhan penyamun yang menempel pada punggungnya, lengket seperti cicak, tetapi setiap saat siap menyerang" Betapapun diriku se-oranglah yang telah mengirim kawankawan mereka ke dalam jurang. Sebilah pedang mendadak telah dipe-gang perempuan beralis tebal itu. Ia menunjukkan pedangnya yang lurus panjang itu ke arah diriku, maka dari bagian gagang pedangnya meluncurlah jarum-jarum sangat beracun dengan kecepatan luar biasa. Apabila jarum-jarum itu mengenaiku, meskipun hanya menyerempet sahaja, tentulah tubuhku akan segera menghitam dan nyawaku melayang entah ke mana TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dalam seketika. Jadi kukibaskan lengan bajuku memberikan angin pukulan untuk mengembalikannya, maka jarum-jarum itu pun meluncur kembali ke arah perempuan beralis tebal tersebut. Jika jarum-jarum ini cukup menyerempetnya saja maka perempuan cantik itulah yang tubuhnya akan menghitam dan tamat riwayat hidupnya. Namun ia pun cukup menggerakkan pe-dangnya yang masih menunjuk kepada-ku itu menyilang ke kiri dan ke kanan, maka ja-rum-jarum itu sekali lagi berbalik me luncur kepadaku dan harus kukibaskan lagi lengan bajuku untuk mengembalikan jarum-jarum itu ke arahnya. Begitulah dalam kesunyian dan kekelaman malam, jarum-jarum ber-keredap dalam cahaya rembulan, meluncur dan meluncur kembali dalam keredap warna kuning dan hijau suram yang penuh ancaman. Kami tidak bersuara karena memang harus waspada. Jarum beracun bukanlah senjata sembarangan, kadang hanya tercium bau amis racunnya saja saat seseorang berhasil meng-hindarinya, tetap-lah cukup membuat siapa pun terkelepar dan menggelepar keracunan. Sembari melayani perma inan jarum bolak-balik kuperhatikan juga lelaki di sebelahnya, yang tampak begitu terpesona oleh perempuan itu. Sulit bagiku untuk menganggap mereka berdua sebagai pemimpin para penyamun, mengingat cara mereka berbicara dan wajah mereka yang sangat ramah, tetapi apalah yang bisa kuketahui di sebuah negeri asing dengan segala sesuatunya yang masih serbaasing bukan" Tentu telah kupelajari segala sesuatunya, dalam waktu sesingkat-singkatnya, dari Negeri Atap Langit yang memang besar dan sangat luas itu, sehingga sedikitnya kuketahui serba sedikit, bahwa bahasa yang mereka gunakan bukannya tidak kuketahui, melainkan mereka ucapkan dengan cara yang belum kukenal. Terdapat banyak wilayah yang dapat dibagi berdasarkan suku maupun daerah pemerintahan di Negeri Atap Langit, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tetapi wilayah kebahasaannya tidaklah terbagi sebanyak itu. Kuketahui bahwa aku sedang memasuki wilayah Guangxi yang berbatas-an dengan Daerah Perlindungan An Nam sehingga kuketahui bahasa yang berlaku di sana tentu bahasa Tai. Bahasa itu telah kupelajari sedikit, tetapi bahasa yang keduanya saling ucapkan adalah bahasa Negeri Atap Langit yang juga telah kupelajari agak lebih mendalam, tetapi pengucapannya cukup berbeda yang membuat aku takdapat mengenalinya. Dengan begitu mereka berdua pun, mungkin dengan seluruh pasukannya bukanlah orang setempat yang berbahasa Tai. Perempuan itu mengujikan bahasa Viet karena aku datang dari arah Daerah Perlindungan An Nam. Jika demikian, siapakah mereka ini sebenarnya" Dalam kelam malam perempuan beralis tebal yang indah itu menggerakkan pedang lurus panjangnya yang berkilauan berputar ke kiri dan ke kanan untuk membalikkan arah jarumjarum itu kembali ke arahku, yang setiap kali kusambut kibasan lengan baju akan kembali ke arahnya lagi. Untuk beberapa saat lamanya jarum-jarum ber-keredap cahaya kuning dan hijau suram itu melesat bolak-balik sepanjang jalan setapak lurus panjang di tepi jurang di bawah cahaya rembulan. Setelah beberapa saat jarum-jarum itu berbolakbalik semakin cepat. Aku dapat membuatnya dengan seketika menjadi amat sangat cepat dan membunuhnya sekarang juga, tetapi pandangan penuh cinta pasangan itu tadi membuatku tidak ingin melakukannya. Namun harus ku-lakukan sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa perma inan ini tidak ada gunanya diteruskan lebih lama. MAKA kukibaskan lengan bajuku yang kiri ke arah berbeda. Jarum-jarum itu pun berkelebat ke atas, ke dinding tebing tempat sisa puluhan penyamun itu menempel bagai cicak. Mereka tak sempat mengelak maupun menangkis, karena sejak semula pergerakan jarum-jarum itu memang begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti secara kasat mata. Dengan segera puluhan jarum menembus masuk ke tubuh TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ setiap orang yang menempelkan punggungnya pada dinding dan siap menyerang itu. Mereka berguguran ke bawah, rontok dalam keadaan tidak bernyawa lagi, jatuh berdebum-debum di atas jalan setapak, menghalangi langkah kudaku jika aku mau terus lewat. Dengan sekali kibas, sisa tubuh-tubuh itu kusapu dengan angin pukulan sehingga menggelinding semuanya ke dalam jurang. Seperti tidak pernah terjadi di atas lautan kelabu gunung batu ini, kecuali dua orang menghalangi. Aku berbicara kepada mereka dalam bahasa Viet. ''Izinkanlah daku lewat meneruskan perjalananku, wahai pasangan yang gagah. Daku minta maaf tak dapat memberitahukan apa pun kepada kalian, karena maksud dan tujuan perjalananku tidak dapat kukatakan.'' Perempuan beralis tebal itu tampak sangat marah karena kehilangan anak buah, dan tampak siap menyerang, tetapi lelaki itu menggerakkan tangan penanda menyabar-kannya. ''Jika tidak, katakanlah nama Tuan, wahai pendekar gagah perkasa, kiranya tak mungkin Tuan pergi begitu saja, tanpa meninggalkan sekadar nama sebagai jejak dalam pelajaran hidup kami.'' Aku menghela napas, karena namaku bukanlah namaku, tetapi dalam perkara satu ini aku tidak sanggup melakukan penyamaran. ''Daku tiada pernah memiliki nama, pasangan yang gagah, berikanlah kepadaku nama-nama kalian, agar daku mendapat sekadar tanda mata dalam perjalanan.'' Mereka tampak saling berpandangan. ''Jadi T uan bukanlah Harimau Perang"'' Ah! Rupanya mereka mengincar Harimau Perang! Bagaimana caranya elang di gunung mendengar percakapan ikan-ikan di dalam air" Perjalanan rombongan Harimau Perang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ adalah perjalanan rahasia, artinya tidak ada seorang pun mengetahuinya, dan aku mengetahuinya hanya karena pembocoran Iblis Suci Peremuk Tulang yang menyamar sebagai tukang kuda. Ini berarti terjadi kebocoran rahasia di pihak lainnya, tepatnya dari pihak yang memanggil Harimau Perang datang ke Chang'an. Ini juga membuat dugaanku mendekati ketepatan. Pemberontakan An Shi yang diawali tahun 755 dan berakhir 763 dengan kematian An Lushan sama sekali tidak memadamkan semangat perlawanan. Dengan meminta bantuan orang-orang Tibet maupun suku-suku di utara yang gemar bertempur, Maharaja Tang Dezong bagaikan telah memusuhi bangsanya sendiri, setidaknya bagi para pengikut An Lushan, yang membuat mereka memiliki alasan melanjutkan perjuangan. Namun kedudukan mereka memang sudah begitu terdesak, sehingga tidak menguasai wila-yah mana pun, kecuali menjadi penyamun, baik di gunung maupun di gurun. Setelah 34 tahun, makna perjuangan mereka hanya terlihat sebagai tindak kejahatan, meski bukan tanpa arti, karena tidak juga dapat dibasmi. Jika kedua orang ini adalah sisa perlawanan itu, sungguh aku merasa terharu atas memudar dan menga-burnya makna perjuangan para pendahulunya, yang menjadikan mereka barangkali hanya dikenal sebagai penyamun sekarang ini. Meskipun begitu, ibarat nyala api pada sumbu, perlawanan sekecil apapun harus dilumpuhkan, karena sekali api menemukan segala sesuatu yang mudah terbakar, dengan mudah pemberontakan cepat sekali berkobar. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Itukah alasannya seorang Harimau Perang harus didatangkan" Wangsa T ang yang jaya memang telah menjadi lemah oleh pemberontakan besar maupun kecil yang tiada habisnya. Keberhasilan Harimau Perang dalam memukul mundur gabungan pasukan pemberontak yang mengepung TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Thang-long di Daerah Perlindungan An Nam, telah membuat penguasa Negeri Atap Langit merasa menemukan orang yang tepat untuk memusnahkan sama sekali sisa-sisa perlawanan. Utusan maupun undangan resmi biasanya datang dan pergi melalui laut, tetapi dalam kepentingan pemanggilan Harimau Perang ini tentunya segala sesuatunya harus berlangsung dalam kerahasiaan. Namun jika namanya telah disebut oleh sepasang penyamun gunung ini, tidakkah ini berarti rahasianya sudah terbongkar" Harimau Perang bisa datang ke Negeri Atap Langit me lalui laut, tetapi keberadaannya di laut sangat mudah diketahui orang. Maka perjalanan dalam rahasia melalui daratan adalah kemungkinan yang masuk akal diperhitungkan. ''Mengapakah pasangan yang gagah ini harus mengira diriku adalah Harimau Perang yang ternama, sementara diriku hanyalah seorang pengembara yang tiada bernama sahaja"'' ''KAMI memang sedang menunggunya, wahai pendekar, dan kegagahan Tuan membuat kami mengira Tuan adalah Harimau Perang itu; jika tidak tentu tiada perlu pertumpahan darah seperti ini bukan"'' Apakah aku harus berterus terang bahwa aku pun sebetulnya berada di sini untuk mengikuti jejak Harimau Perang" Agak terlalu cepat rasanya bagiku bahwa tujuan perjalanan Harimau Perang yang penuh kerahasiaan itu terbongkar hanya dalam semalam. Betapapun, dalam hal Harimau Perang, tujuanku tidak sama dengan tujuan mereka berdua. Tujuanku adalah mengetahui peranan Harimau Perang dalam hubungan dengan terbunuhnya Amrita. Angin berdesir pelahan, membawa kabut pekat melewati kami, sebelum akhirnya berpendar kembali. Mereka masih ada di sana. Betapa lama rasanya waktu bagiku untuk melewatinya. ''Daku tidak tahu siapa itu Harimau Perang, wahai T uan dan Puan yang perkasa. Biarkanlah daku dan kudaku lewat segera, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ karena daku tak punya waktu untuk terus bicara. Telah cukup kita beradu tenaga dalam perkenalan. Tiada perlu tambahan darah tumpah lebih banyak lagi.'' Aku berpikir tentang rombongan Harimau Perang di belakangku. Mereka memang tidak bisa mengganti arah sebelum mencapai Celah Dinding Berlian. Tidak bisa mengganti arah karena tidak ada percabangan jalan sebelum Celah Dinding Berlian, tetapi mereka masih bisa berbalilk dan aku tidak akan pernah tahu mereka berbalik atau tidak berbalik karena masih berada di depan mereka seperti sekarang. Jadi aku harus mengusahakan agar tiada sesuatu pun yang kiranya akan mengganggu pikiran mereka dan membuatnya berbalik arah tanpa kuketahui. Inilah yang membuatku sejak pencegatan pertama tidak pernah berusaha meninggalkan jejak pertarungan. Tiada satu mayat pun dari berpuluh-puluh penyamun yang terbunuh tergeletak di tepi jalan, karena cara mereka terluka dapat menunjukkan siapa pembunuhnya. Harimau Perang dan rombongannya telah mengetahui keberadaanku, sehingga mereka dapat menjejakiku cukup dengan memeriksa satu saja dari mayat-mayat itu. Aku tidak berpikir mereka akan melanjutkan perjalanan dengan rencana semula jika menduga bahwa aku berada di depan mereka. Maka kuhapus sebisanya segala sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaan, dengan membuat mayat siapapun jatuh ditelan kedalaman jurang, dan kini pasangan penyamun yang mungkin sekali merupakan keturunan sisa-sisa laskar An Lushan ini juga harus kusingkirkan. Namun alis tebal di atas mata cemerlang perempuan berbaju lusuh ini meragukan pertimbanganku. Cara pasangan lelakinya menatap perempuan ini membuatku tahu betapa akan menderitanya ia tanpa kehadiran perempuan terindah di lautan kelabu gunung batu tersebut. Padahal tampaknya betapapun aku harus menyingkirkan mereka berdua, karena TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ jika kubiarkan tetap hidup dan berkeliaran di puncak-puncak gunung batu ini, pertemuan mereka dengan Harimau Perang dan rombongannya sangat mungkin mengungkapkan keberadaanku. Di tangan lelaki berewok yang berwajah ramah itu kini tergenggam sebuah pedang yang juga lurus panjang. ''Pendekar yang gagah dan mengaku tidak bernama, apakah yang membuat Tuan berpikir betapa pembunuh seratus kawan seperjuanganku dapat kami izinkan lewat begitu saja"'' Mereka berdua mengangkat pedangnya. Aku menghela napas. Begitu mahalnya harga kehormatan sehingga harus dibayar dengan nyawa. Aku masih menyimpan pisau terbang berukir sepasang naga di kedua sisinya, tapi kukira aku tidak akan menggunakannya. Malam kembali kekuningan ketika rembulan ditelan awan tipis sehingga cahaya keperakannya berubah dan menyepuh segala mega yang mengambang di atas jurang. Dindingdinding tebing membiaskan cahaya kuning suram yang membuat suasana muram bagai memastikan sebuah perpisahan. ''Telah kuakui betapa diriku memang tiada bernama,'' kataku, ''izinkanlah pengembara yang hina dina nun jauh dari Jawadwipa ini mengenal nama Tuan dan Puan yang gagah perkasa.'' ''Jawadwipa" Tidakkah itu berada di ujung dunia" Daku dengar tentang kapal-kapal lincah Sriv ijaya, dan bagaimana pasukan Syailendra menyerbu kota-kota pantai selatan dari Khmer sampai Daerah Perlindungan An Nam. Apakah dikau seorang anggota pasukan yang tertinggal, terlantar, dan terlunta-lunta, lantas bertualang"'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Daku bukan seorang anggota pasukan, hanya seorang pengembara yang mencari pengetahuan, yang kini sedang meminta beberapa jurus pelajaran.'' Memang sengaja kupancing mereka, karena kutahu rombongan Harimau Perang terus melaju, dan aku belum dapat mengukur apakah suatu pertarungan melawan pasangan ini akan berlangsung cepat atau berlarat-larat. Baiklah pendekar yang tiada bernama, izinkanlah Sepasang Elang Puncak Ketujuh memberikan salam perkenalan. Belum habis kalimat itu, keduanya sudah terbang menghunus pedang dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh mata, dan hanya karena naluriku sajalah maka mendadak saja aku sudah melenting di udara. Bukanlah tanpa maksud aku mena-nyakan nama mereka, karena sebuah gelar didapatkan terutama karena pencapaian ilmu silatnya dalam mengalahkan. Gelar mereka, Sepasang Elang Puncak Ketujuh, jelas menunjukkan dua perkara: pertama, bahwa sumber gagasan ilmu silat mereka ditimba dari gerak pertarungan burung elang; kedua, bahwa ilmu s ilat keduanya adalah ilmu silat berpasangan. Petunjuk terakhir ini penting, karena merupakan jenis ilmu silat yang paling sulit dihadapi di dunia ini, apalagi jika penggunanya telah mencapai ilmu yang tinggi. Bukankah pasangan pendekar yang mengasuhku, Sepasang Naga dari Celah Kledung, dengan ilmu silat ciptaannya, Ilmu Pedang Naga Kembar, juga takpernah terkalahkan dalam dunia persilatan karena ilmu berpasangan itu" Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar itulah kuhadapi berbagai serangan dahsyat Sepasang Elang Puncak Gunung, meski aku hanya bersenjatakan sepasang tangan. (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Episode 150: [Melawan Sepasang Elang] Mereka berkelebat dan menyambar seperti sepasang elang menangkap mangsa dari udara. Aku me lejit dari punggung kudaku dan melayani pertarungan di udara. Mereka terbang, aku pun terbang. Mereka berkelebat, aku pun berkelebat. Mereka menyambar, aku pun menyambar. Namun jika kedua penyamun dari keturunan para pemberontak An Lushan itu terbang, berkelebat, dan menyambar seperti sepasang elang; maka kulayani mereka dengan Ilmu Pedang Naga Kembar, yang meski diciptakan orangtuaku sebagai ilmu pedang berpasangan, telah dimungkinkan bagiku untuk memainkannya sendirian, tetapi yang akan tetap dirasakan lawan sebagai menghadapi suatu pasangan. Kali ini, memainkan ilmu pedang itu tanpa pedang, kujadikan tanganku sebagai ganti pedang, dengan memberikannya tenaga dalam sejauh diperlukan, sehingga lawanku akan merasakannya sama seperti menghadapi sepasang pendekar bersenjata pedang. Meskipun aku hanya menggunakan tanganku, dengan Ilmu Pedang Naga Kembar lawanku tetap akan tersayat jika tergores, tertusuk jika pertahanannya tembus, dan tetap berdentang pedangnya jika meski hanya angin pukulan tanganku yang sekeras pedang menangkis serangannya. Dengan tangan kosong aku bagaikan memegang pedang yang tidak kelihatan. Maka, alih-alih bertangan kosong, kenyataan betapa diriku bagaikan memegang pedang takkelihatan itu menjadikan keadaannya justru semakin berbahaya bagi mereka. Sebelum mereka akhirnya berhasil membiasakan diri, berkali-kali leher mereka nyaris tersobek ujung pedang takkelihatan itu dan hanya karena ilmu mereka yang sangatlah tinggi sahaja maka jiwa mereka masih berada di dalam badannya. Demikianlah kami bertarung seperti dua elang menghadapi naga, tetapi naga yang telah menjadikan dirinya sepasang dan sanggup menghadapi setiap serangan dari TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ segala jurusan. Setiap kali aku tampak menghadapi yang satu dan diserang yang lain, setiap kali pula aku telah berada di belakang yang lain itu, dan memberinya serangan mengejutkan. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar lawanku takpernah tahu diriku yang sedang menyerang atau diserangnya, karena Ilmu Pedang Naga Kembar mengandalkan kecepatan begitu rupa, sehingga diriku bagaikan tampak sekaligus sebagai dua orang yang menyerang secara bersamaan. Kenyataan bahwa tanganku bagai memegang pedang takkelihatan telah membuat sepasang penyamun gagah itu mengalami kesulitan yang amat sangat. Aku terbang dan menikmati pertarungan dengan keduanya bagaikan memiliki kesempatan meregang otot setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Namun tentu saja manusia terbang, hanya karena ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi maka seseorang dapat mengambang, dan adalah tingkat tenaga dalamnya akan membuat ia mampu mengarahkan diri ke mana ia ingin me layang. Dalam hal itu, sebagai sepasang penyamun yang hidup di lingkungan seperti lautan kelabu gunung batu, maka keduanya telah memi-liki dan mengasah kemampuannya dengan sangat menyesuaikan diri dengan keadaan alam. Mereka tahu setiap sudut, lekuk, dan lapisan pemandangan yang dapat mereka manfaatkan dalam menghadapiku, sehingga takjarang mereka pun kepadaku memberikan kesulitan. DALAM kelebat pertarungan di udara yang tidak dapat dilihat mata awam, tetapi mestinya tampak jelas olehku yang bergerak tak kalah cepat dari gerak mereka yang kini melebihi kilat, masih juga terkadang tak tampak mereka olehku antara ada dan tiada sehingga keadaannya bagiku tentu saja juga membahayakan. Maka kupancing mereka ke bawah dan ke bawah menembus mega-mega yang mengambang di atas jurang, dengan cara pura-pura terdesak dan hanya bertahan karena pedang tak kelihatanku itu berhasil menangkis setiap TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ serangannya sehingga terdengar suara berdentang-dentang. Demikianlah suara berdentang-dentang karena serangan dan tangkisan terdengar bergema dari lembah ke lembah dari jurang ke jurang menyelusuri setiap celah dan tentu akan terdengar oleh setiap telinga yang terpasang penuh kewaspadaan. Apakah yang akan terjadi seandainya suara berdentangdentang yang timbul karena aku pura-pura terdesak ini terdengar oleh telinga-telinga tajam siapa pun dari orangorang yang seharusnya kuhindarkan" Sembari menjatuhkan diri dan diburu Sepasang Elang Puncak Ketujuh yang karena terpancing telah semakin penasaran untuk menghabisiku, kuketahui betapa siapa pun yang telinganya tajam itu akan sangat mampu membaca pertarungan hanya dari suaranya, bahkan kadang dapat juga mengetahui s iapa orangnya karena dapat mengenali jurusnya dari suara-suara benturan. Adakah kiranya seseorang yang telah mendengar suara berdentang-dentang benturan pedang di tengah ma lam yang begitu pekat dalam kesenyapan" Adapun jika seseorang itu Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ternyata memang ada, siapakah kiranya ia yang di tengah malam penuh kesenyapan berjaga dan mendengarkan dengan tenang" Tanpa terasa pertarungan kami telah terus menerus melayang turun, karena aku memang menjatuhkan diri untuk menjauhkan mereka dari lingkungan yang sungguh mereka akrabi, sehingga mampu membuat mereka berkelebat antara ada dan tiada disebabkan pengenalan luar biasa atas lingkungan. Kedua pedang mereka berputar seperti balingbaling yang masing-masingnya dapat kutangkis sehingga melentikkan bunga-bunga api meski pedang tak kelihatan dari angin pukulanku bukanlah baja maupun besi. Semakin ke bawah semakin banyak pohon dan semak menyeruak dari celah dinding karang. Kulihat juga air terjun besar menggerojok dengan dahsyat menjanjikan sungai besar di TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bawahnya. Segalanya berjalan seperti yang telah kupikirkan. Aku akan menghabisi mereka di dalam air, tempat sepasang elang tidak akan pernah bisa mengepakkan sayapnya. Memang itulah tujuanku menanyakan namanya, karena dalam dunia persilatan gelar yang mereka pasang atau dipasangkan oleh orang banyak didapatkan dari kemampuannya. Para pendekar terbiasa bangga akan gelarnya dan tiada sadar itu juga menunjukkan apa yang tidak bisa dilakukannya. Dengan gelar Sepasang Elang Puncak Ketujuh kuyakini betapa taktertandingi kemampuan mereka di atas sana ketika berkelebat dan melenting dari puncak ke puncak gunung batu. Melejit, menempel, atau berlari miring pada dinding-dinding curam. Lantas pada gilirannya menggabungkan segenap kemampuan itu dengan jurus-jurus berpasangan yang tidak bisa lain selain mematikan. Betapa tidak akan mematikan jika keindahan gerak mereka yang bergerak seperti terbangnya elang begitu memesona lawan sehingga taksadar mesti membayarnya dengan kematian" Itulah persoalan dengan jurus silat, betapa keindahan gerak terarahkan sebagai pengakhiran riwayat hidup seseorang. Jadi kutahu betapa harus kurusak jurus-jurus silat Sepasang Elang Puncak Ketujuh itu di tempat yang paling mungkin untuk merusaknya, yakni di dalam air! Itulah sebabnya kujatuhkan diriku menembus mega-mega di atas jurang agar keduanya menjadi jauh dari lingkungan yang mendukung jurus-jurus berpasangan mereka. Namun tidaklah kuperhitungkan betapa bukan saja jurang yang sejak lama kusebut bagai tanpa dasar itu sungguh bagaikan takberdasar, tetapi juga betapa sepasang penyamun ini selama ikut meluncurkan diri ke bawah untuk menghabisiku sungguh serangannya masih sangat mengancam! Perbenturan sepasang pedang dengan pedang tak kelihatan dari jurusjurus Ilmu Pedang Naga Kembar tetap saja melentikkan bunga-bunga api dalam perjalanan menembus kekelaman menuju ke bawah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Semakin ke bawah, semakin lebat tanaman, dan sempat kulihat mayat-mayat yang berjatuhan sebagian tersangkut ranting dan batang di tepi jurang bergelantungan dalam cahaya suram rembulan kekuningan. MAYAT yang baru saja terjatuh tentu masih utuh bahkan darahnya masih mengalir dan menetes dari luka tempat tertancapnya anak panah, tetapi mayat-mayat dari masa lalu telah menjadi kerangka dengan tengkorak menyeringai. Melihat busananya yang bukan busana pesilat, tentu mereka adalah korban para perampok atau penyamun gunung ini, yang rupa-rupanya me-mang selalu membuang para korbannya ke dalam jurang yang bagai tak ber-dasar. Keputusanku juga kuambil berda-sar-kan kemungkinan, bahwa sekian banyak aliran air semakin ke bawah semakin menyatu sebagai anak sungai yang berakhir di air terjun yang bersambung menjadi sungai lagi. Apalagikah yang bisa kita minta dari jurang yang dalam" Semakin ke bawah semakin tiada puncak dan Sepasang Elang Puncak Ketujuh semakin tidak mempunyai tempat untuk mengembangkan jurus-jurus silat cakar elangnya yang terindah. Mendekati permukaan air kubuka Jurus Penjerat Naga yang membuat keduanya yakin betapa diriku telah berada di dalam genggaman mereka. Masih di udara, secara bersamaan keduanya menarik tangan yang meme-gang pedang ke belakang, dan menu-sukkannya ke tubuhku bagaikan tiada makanan yang lebih empuk lagi bagi santapan pedang mereka. Saat itulah aku lenyap dari pandangan mereka, karena memang berkelebat secepat pikiran ke balik punggung mereka, tepat pada saat berada di permukaan air. Keduanya takbisa meng-hindar lagi, karena kedua tanganku mendorong punggung mereka masuk ke dalam air yang bergelora di bawah air terjun raksasa itu. Di dalam air kedua elang itu terserap pergolakan yang semakin terasa berat karena tiada yang dapat dilihat dalam TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ malam dengan cahaya rembulan kekuningan nun jauh di atas tebing yang semakin terasa betapa tingginya bukan alang kepalang. Dengan sebat kuselesa ikan riwayat pasangan lelaki dari Sepasang Elang Puncak Ketujuh, yang sejak tadi nyaris membunuhku, yang segera mendapatkan segaris luka dari perut ke dada di dalam air gelap dan bergolak itu. Darahnya hanya tampak sebagai air hitam kental dan tubuhnya segera mengambang ke permukaan serta terseret arus sungai yang luar biasa deras entah ke mana. Masih di dalam air pasangan yang perempuan menyerangku, tetapi aku menghindar dengan mudah dan segera kutotok jalan darahnya sehingga ia taksadarkan diri. Segera kuraih tubuhnya dan aku melejit keluar dari sungai, berlari di atas permukaannya ke tepian dan mencari sekadar batu datar untuk meletakkan tubuhnya itu. Kutemukan batu datar yang kering, tampak jelas dalam cahaya suram kekuningan rembulan, dan kugeletakkan ia di sana. Kuletakkan pedangnya yang tadi kuambil di sampingnya dan kutinggalkan perempuan beralis tebal itu setelah kubuka totokan jalan darahnya. Aku melayang ke atas, meringankan tubuhku seperti kapas, dan mengarahkan diriku ke atas menuju tempat kudaku menunggu. Barulah kusadari betapa jauhnya sudah kami melayang turun dan tercebur ke dalam air terjun, karena bagaikan begitu lama aku mencapai tempat semula. Selama membubung ke atas itulah kusaksikan betapa tiada habisnya jalan setapak melingkar-lingkar dari gunung batu yang satu ke gunung batu yang lain di lautan kelabu gunung batu ini dan tiada terbayangkan apakah suatu ketika jalan setapak itu ada habisnya. Kuingat pesan Iblis Sakti Peremuk Tulang, bahwa aku harus menunggu rombongan Harimau Perang di Celah Dinding Berlian, antara lain juga untuk menyelamatkan diriku sendiri. Dikatakannya betapa mereka yang selepas Celah Dinding TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Berlian taktahu jalan sangat mungkin tersesat dan tidak akan pernah keluar dari lautan kelabu gunung batu untuk selamalamanya. Mengingat itu pula disediakannya kuda yang begitu cerdas dan memang pernah melalui jalan yang sama. Namun karena kuda tetaplah kuda, maka disampaikannya pesan sepenting itu agar aku dapat menjalankan tugasku. Saat aku berpikir seperti itu, kura-sakan angin bersiut di bawahku dan tanpa sempat berpikir kukibaskan len-gan-ku ke bawah dengan Jurus Naga Meng-goyang Ekor. Aku tetap membubung, tetapi hatiku hancur. Rupanya pasangan perempuan dari Sepasang Elang Puncak Ketujuh ini menerima kenyataan bahwa aku telah membiarkannya hidup sebagai penghinaan. Maka telah dilemparkannya pedang ke arahku dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya menembus angin gunung sehingga melesat luar biasa cepat. Hatiku hancur karena kutahu pedang itu berbalik dengan kecepatan dua kali lipat seperti yang dimungkinkan oleh Jurus Naga Menggoyang Ekor yang sengaja dilatih untuk menghadapi serangan mendadak dari belakang. Aku takbisa berbuat lain karena aku pun tak tahu bahwa adalah pedang perempuan beralis tebal yang penuh pesona itulah yang terasakan olehku sebagai angin dingin penuh ancaman maut itu. PEDANG itu berbalik dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatan semula, kembali ke arah pelemparnya menembus kekelaman menembus awan gemawan yang mengambang di atas setiap jurang. Aku tidak akan mendengar suara apa pun ketika pedang itu menembus jantungnya. Namun aku tahu itulah saat ajalnya tiba. Tenagaku hampir habis ketika tiba di jalan lurus panjang tempat sepasang penyamun itu mencegatku. Aku harus menyentuh sebatang ranting yang menjorok ke jurang dengan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kakiku agar dapat melenting dengan sisa tenaga ke arah kudaku yang masih menunggu. (Oo-dwkz-oO) SUDAH dua hari perjalananku berlangsung tanpa gangguan berarti. Kudaku melaju dan me lambat silih berganti dengan suatu tujuan pasti, yakni Celah Dinding Berlian. Memang benar betapa dari jauh celah itu mengeluarkan cahaya berkilau-kilauan jika siang karena memantulkan kembali cahaya matahari, sedangkan malam pun tiada perubahan karena cahaya rembulan yang suram dipantulkannya kembali ke angkasa. Celah Dinding Berlian, disebut demikian karena dindingnya memang berkilau-kilauan memantulkan segala cahaya, tetapi rasanya aku tidak kunjung sampai ke sana. Tidak pernah kukira betapa diriku akan begitu lama mencapainya karena berbagai halangan. Para penyamun dari gunung ke gunung telah mengundurkan ke gua-gua mereka entah di mana setelah mendengar habisnya seratus penyamun dari dua wilayah, lengkap dengan pasangan pemimpin masing-masing. Jika pasangan pemimpin wilayah kedua, seperti nama yang mereka perkenalkan, disebut Sepasang Elang Puncak Ketujuh, maka pasangan pertama yang menghadangku ketika aku berada di tengah-tengah titian itu disebut Berewok Kembar dari Sungai Kuning. Ah, jadi keduanya kembar, cocok benar kedua-duanya menjadi kepala penyamun, dan kedua-duanya tewas masuk jurang. Sama seperti perlakuan mereka kepada para korban. Dengan menghabiskan 104 penyamun dalam semalam, ibarat kata pintu-pintu terbuka, karena para penyamun pada gunung-gunung batu berikutnya lantas tiada lagi tampak batang hidungnya. Lautan kelabu gunung batu yang begini sunyi, tempat hanya terdengar suara angin bersiul, berbisik, dan bernyanyi, ternyata begitu penuh dengan penyamun hampir di setiap sudutnya. Bukan hanya harimau gunung yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ setiap saat bisa menerkam kita ternyata, tetapi juga para penyamun yang bersembunyi di balik celah dan batu-batu besar itu. Dari langkah demi langkah di jalan setapak di antara jurang dan dinding curam bukan tak pernah kudengar desah napas di balik tubir jurang, dari balik celah sempit, ataupun menempel dan menjadi sewarna dengan dinding batu karena gabungan ilmu cicak dan ilmu bunglon. Kudaku dan aku tahu keberadaan mereka, para penyamun tunggal yang bekerja sendirian tanpa gerombolan, yang biasanya berkemampuan lebih tinggi daripada penyamun gerombolan dengan banyak orang. Namun selama mereka tidak mengusikku, aku pun tidak akan mengusik mereka. Ketika harimau gunung dan penyamun pergi, tidak berarti sisa perjalanan menjadi lebih mudah. Di lautan kelabu gunung batu kubiasakan diri tidur di atas ranjang batu di balik celah, melingkar seperti udang demi menahan dingin, dan tidak menyalakan api malam hari agar keberadaanku tidak diketahui siapapun yang dapat mengganggu tugasku untuk mengikuti rombongan Harimau Perang. Kukunyah daging asap yang dingin ketika kabut yang pekat lewat sementara aku minum langsung dari aliran air yang turun dari dinding, menyeberangi jalan batu setapak, untuk jatuh ke jurang dan tertampung lagi entah di mana sebelum mengalir lagi dan mengalir lagi dan mengalir lagi dan bertemu dengan aliran lain lagi, menyatu sebagai air terjun yang menyatu di bawah itu. Aku suka bertiarap di jalan batu ketika bertemu aliran air semacam itu, minum air langsung dengan mulut bersama kudaku, menikmati kesegaran air di lautan gunung berbatu-batu, yang sering takkumengerti bagaimana caranya terdapat sumber mata air di dunia batu semacam itu. Pengalaman semacam itulah yang kudapati, sebelum akhirnya tampak di depanku sebuah kedai persinggahan di tepi jurang, ketika jalan setapak memang menjadi lebih luas dan memasuki suatu lapangan rumput. Lautan kelabu gunung TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ batu memang seolah hanya terdiri dari alam, tetapi dalam kenyataannya tetap saja terdapat peradaban. Di depan kedai kulihat keledai-keledai beban ditambatkan. Agaknya rombongan yang kulihat dari kejauhan itu sudah sampai di sana. Aku pun menambatkan kudaku, dan memasuki kedai itu. (Oo-dwkz-oO) Episode 151: [Sebuah Kedai di Tepi Jurang] Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo KETIKA aku memasuki kedai itu, kulihat bahwa rombongan orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban tersebut terdiri dari delapan orang. Mereka se-mua sedang tertawa-tawa sambil minum arak, agaknya setelah makan dengan kenyang dan nikmat dalam uda-ra dingin dan berkabut seperti ini. Kedai berada di tepi jurang, tetapi lapangan di depannya menghijau karena rerumputan basah berembun. Layaklah menjadi tempat persinggahan, takhanya untuk manusia, tetapi juga untuk kuda atau keledai yang melakukan perjalanan bersamanya. Di tepi jurang, artinya ke-dai itu berada di tepi sebuah pemandangan, karena kali ini di depannya tak terdapat dinding curam menjulang, melainkan lembah tempat se-buah sungai tampak mengalir berkelak-kelok nun di bawah sana dengan perahu-perahu yang menga-rungi-nya. Memang tampak seperti perjalanan ini akan berakhir, tetapi aku tidak mau terkecoh, karena sebelum tiba di Celah Dinding Berlian se-ba-ik-nya aku menganggap perja-lanan justru sama sekali belum dimulai. Kusadari betapa jalan setapak dari kedai ini justru tidak menuju sungai yang tampak di bawah itu, melainkan menghilang ke sebuah celah di antara dinding-dinding cu-ram tinggi menjulang, sehingga keberadaan pemandangan di tepi jurang itu menjadi sesuatu yang penting. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Demikianlah orang-orang yang kini telah membuka capingnya itu duduk minum arak sambil menghadap jendela terbuka memperlihatkan lembah dan sungai berkelak-kelok mengalir dengan perahu-pe-rahu yang mengarunginya. Itu sebuah sungai yang besar dan perahu-perahu tak hanya berlayar menga-runginya melainkan juga menyeberanginya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Namun dari puncak ini tentu saja sungai besar itu tampak kecil meski tetap terlihat titik-titik kecil manusia berjalan di tepiannya atau berdiri di atas rakit atau perahu. Sungai yang berkelak-kelok pada lembah yang bertebing landai itu berkilauan memantulkan cahaya matahari, tetapi kedai ini berada di puncak berkabut dan hanya ketika kabut berpendar cukup lama pada saat-saat tertentu maka pemandangan membentang di depan jendela terbuka dan orang-orang itu duduk memandang keluar sambil minum arak dan bercakap-cakap sambil tertawa-tawa. Aku duduk di bangku yang lain karena mereka semua menguasai tempat di depan jendela. Bapak kedainya seorang tua yang tampak kukuh tubuhnya, seperti biasanya penduduk yang hidup di wilayah pegunungan, apalagi pegunungan hanya dengan jalan setapak berdinding curam dan puncakpuncak batunya tinggi menjulang yang dari celah ke celah penuh dengan penyamun. Bapak kedai itu mengawasiku semenjak aku masuk dan aku pun menatapnya pula. Segera kuketahui bahwa bapak kedai itu termasuk ke dalam orang-orang yang menyoren pedang, orang-orang rimba hijau, orang-orang sungai telaga dunia persilatan. Hanyalah karena suatu alasan tentunya maka ia mengasingkan diri di sini, berlindung di balik kehidupan sebagai bapak kedai, yang hanya kadang-kadang saja bertemu manusia yang memberanikan diri mengarungi lautan kelabu gunung batu ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ia masih menatapku, terlihat senyum tipis di bibirnya. Rambutnya yang seluruhnya sudah putih terikat dan tergelung rapi. Kain pengikatnya sutera biru yang membentuk ekor melambai, seperti juga ikatan pada rambut orang-orang yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa itu. Aku hanya membalas tatapannya selintas. Adakah ia sedang menilai segenap langkah dan gerakanku juga" Aku menundukkan kepala bagaikan orang awam yang rendah diri. Ia menyapaku dengan bahasa Negeri Atap Langit yang kukenal karena pernah kupelajari di Kuil Pengabdian Sejati. ''Silakan masuk Tuan, silakan duduk. Apakah yang bisa sahaya sediakan untuk Tuan setelah perjalanan panjang" Apakah dapat sahaya sediakan arak, daging kambing bakar, dan sup kacang polong dengan kuah kaldu ayam hutan"'' Apa yang ditawarkannya membuat aku lapar setelah selama ini hanya bisa makan seadanya. Namun aku juga ingin menguji kemampuan bahasa Negeri Atap Langit yang pernah kupelajari. Jika aku tidak mulai menggunakannya, aku hanya akan menjadi orang bisu di negeri orang yang selalu kudengar berbicara seperti burung. Maka aku pun mengangguk atas usulnya itu sambil menanyakan sesuatu pula. ''Pak, Bapak, masih berapa la-makah kiranya dapat sahaya capai Celah Dinding Berlian"'' 'TIDAK lama lagi T uan, jika tiada aral melintang, dalam dua hari dua malam Tuan juga sudah akan mencapainya,'' katanya, dan setelah melihat kudaku di luar ia pun melanjutkan, ''apakah itu kuda T uan"'' ''Ya, Bapak.'' ''Kuda orang Uighur seperti itu sangat mengenal jalan yang pernah dilaluinya, dan jika tiada aral melintang Tuan bahkan bisa tiba lebih cepat.'' Kuperhatikan tekanan kata-katanya ketika berkata jika tiada aral melintang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Dan apakah kiranya aral melintang yang mungkin menghalangi itu Bapak"'' Bapak kedai itu tersenyum dan menjawab dengan dingin. ''Jika Tuan terbunuh oleh para penyamun, tentu Tuan bahkan tidak akan pernah mencapainya, kecuali Tuan membunuh mereka lebih dulu, tetapi dengan begitu pun bukankah perjalanan kita sudah terganggu bukan"'' Aku menatapnya. Adakah sesuatu yang telah diketahuinya" Ia beranjak ke ruang masaknya. Tentu di situ-situ juga. Ia meya-kinkan sebagai bapak kedai, seperti memang mencintai pekerjaan itu, meski aku masih juga bertanya-tanya. Apakah kiranya yang membuat seorang pendekar pengembara suatu hari merasa harus berhenti di tempat terpencil seperti ini, dan memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan membuka kedai" Wilayah ini bukanlah tempat yang menguntungkan jika berjualan makanan dan minuman menjadi tujuannya. Lagipula jika ia mengharapkan sekadar uang, maka uang bukanlah sesuatu yang kiranya akan dapat berguna di tempat seperti ini. Orang-orang yang duduk menghadapi jendela terbuka di kedai bambu itu masih minum arak sambil menikmati pemandangan dan tertawa-tawa. Kucoba ikuti perbincangan mereka, maka sedikit-sedikit dapat kuikuti bahwa mereka rupa-rupanya sedang membicarakan penyair Li Bai, yang perilakunya memang tidak seperti orang kebanyakan tersebut. ''Hahahahaha! Kalau maharaja memanggilnya, dan dia masih tergeletak karena mabuk, dia harus diguyur air supaya bangun! Hahahahahaha!'' ''Begitu sadar langsung bisa menulis puisi! Hahahahahaha!'' ''Puisi buatan orang mabuk! Hahahahahaha!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Seorang pendeta di Kuil Pengabdian Sejati menulis catatan yang pernah kubaca tentang Li Bai. Dia adalah penyair yang dikenal suka mabuk, selalu memegang secawan arak di kedai minuman, tetapi yang kadang-kadang setelah meninggalnya tiga puluh lima tahun lalu, perilakunya itu dilebih-lebihkan dalam berbagai percakapan dari mulut ke mulut dari kedai ke kedai. Tentang kematiannya itu sendiri misalnya, seperti dipercakapkan orang-orang ini. ''Dia minum terlalu banyak dan berdiri di tepi kolam!'' ''Karena mabuk dia pikir rembulan mengambang di kolam!'' ''Padahal itu hanya bayangan rembulan!'' ''Ia terjun ke kolam, berusaha memeluknya!'' ''Ia tenggelam! Hahahahaha!'' ''Dasar pemabuk! Hahahahaha!'' Dalam beberapa perilaku Li Bai, seperti yang dibicarakan orang dari kedai ke kedai, memang seperti ditunjukkan puisipuisinya, yang sejauh kuingat tertulis seperti ini. di antara bunga-bunga aku sendirian bersama guci anggurku minum sendirian; dan mengangkat cawan kuajak rembulan minum bersamaku, bayangannya dan bayanganku di dalam cawan anggur, hanya kami bertiga; lantas aku mengeluh bagi rembulan yang takbisa minum dan bayanganku yang mengosong bersamaku yang takpernah ngomong; tanpa kawan lain, aku bisa ditemani yang dua ini; dalam saat-saat membahagiakan, aku pun mesti bahagia dengan segalanya di sekitarku; aku duduk dan menyanyi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dan seperti rembulan menemaniku; tetapi jika aku menari, adalah bayanganku menari bersamaku; sementara belum mabuk, aku senang membuat bulan dan bayanganku menjadi kawan, tetapi lantas ketika aku terlalu mabuk, kami semua berpisah; betapapun merekalah kawan-kawan yang selalu bisa kuandalkan yang takkan marah apapun yang terjadi; kuharap suatu hari kami bertiga akan berjumpa lagi di kedalaman Bima Sakti KADANG-KADANG delapan orang ini pun bernyanyi-nyanyi setengah mabuk, sambil mengutip puisi-puisi Li Bai yang seperti ini. Padahal sejauh dapat kutafsirkan, Li Bai bukanlah seorang pemabuk seperti orang-orang yang sudah putus asa karena tidak mampu mengatasi kenyataan, melainkan ia yang minum anggur untuk menikmati kehidupan. Itulah pendapatku tentang Li Bai, yang kematiannya sama sekali bukanlah karena mabuk dan tenggelam karena terjun ke kolam untuk memeluk rembulan, melainkan karena sakit pada 762, ketika usianya 61 tahun, saat menjadi tamu Li Yang-bing, seorang hakim di wilayah itu. Ia meninggal tepat di Tsai Shih Chai setelah terbaring sakit enam hari di T angdu. ''Aku ingin menjadi Li Bai!'' salah seorang berteriak sambil mengangkat gelasnya. ''Aku juga!'' ''Aku juga!'' ''Aku juga!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Mereka mengangkat gelas dan minum sampai arak itu berleleran pada jenggot dan kumis mereka. Apakah mereka juga menulis puisi" Jika mereka bukan pegawai kerajaan, tentu sebabnya antara lain karena tidak bisa menulis, apalagi menulis puisi. Apakah mereka hanya suka dengan mabuknya" Bahwa kalau penyair boleh mabuk, maka mereka juga boleh mabuk" Ataukah jika seorang penyair bisa menulis karena mabuk, maka mereka merasa akan bisa menulis kalau sudah mabuk" Li Bai dilahirkan di wilayah tengah benua di utara Negeri Atap Langit, puisi-puisinya ditulis dengan bahasa sehari-hari sehingga dimengerti dan disukai orang banyak, dan puisipuisinya juga menunjukkan kecintaan kepada alam. Terhadap alam ia tidak tampak seperti ingin menguasainya, melainkan bahagia menjadi bagian daripadanya, seperti kanak-kanak abadi yang suka berbaring telanjang bulat di pegunungan dalam belaian angin. Ia mencintai dan menghargai sahabatsahabatnya, ia sangat membenci ketidakadilan, dan mendapatkan kekuatan dari perbukitan dan sungai-sungainya. Bahwa riwayat Li Bai sebagai pemabuk dilebih-lebihkan, kuketahui dari catatan seorang rahib di Kuil Pengabdian Sejati yang memeriksa juga bahwa sampai tiga puluh lima tahun lalu, anggur semasa hidupnya itu hanya anggur buatan rumah saja, sedangkan di selatan, juga hanyalah peragian beras seperti arak panas yang diminum orang-orang itu sekarang. Meskipun bahan yang akan disebut air api sudah disuling sebelum masa Wangsa Tang, orang-orang hanya mabuk dalam lingkungan terbatas. Betapapun anggur yang mungkin ditenggak Li Bai tidaklah memiliki isi air api yang tinggi. Namun tentu wajar menghubungkan anggur dengan penyair semasa Li Bai, bahkan kukira juga sekarang ini, karena masa Wangsa Tang bukanlah sepenuhnya masa kejayaan filsafat Kong Fuzi, sehingga anggur dan perempuan, agaknya, terdengar lebih sering mendapatkan pemujaan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Makanan dan minuman yang kupesan datang. Apakah yang bisa lebih nikmat dalam udara dingin selain sup kacang polong dengan kuah kaldu ayam hutan yang panas" Daging kambing bakar itu pun masih berkepul ketika tiba di mejaku. Aku makan sangat lahap dengan mulut berbunyi. Sampai orangorang itu menoleh kepadaku sebentar, tapi lantas segera tertawa-tawa lagi. Aku tidak peduli. Setelah semua makanan itu habis tandas, segera datang pula arak panasku. Hmm. Apakah arak seperti ini juga yang melahirkan puisi-puisi Li Ba i" Tidak. Aku tidak boleh percaya bahwa puisi-puisi dilahirkan oleh arak dan anggur. Seperti juga para pendekar yang minum arak sebelum bersilat tidak akan pernah menang dalam pertarungannya jika memang mabuk. Bahkan Li Bai pun menulis puisi berjudul ''Tentang Minum Terlalu Banyak''. kemarin aku terlalu banyak minum di Menara Timur, lantas ketika pulang topiku kupasang terbalik-balik; yang menolongku jalan ke rumah; yang membantuku turun dari menara, aku tak tahu JADI, Li Bai memang suka minum, tetapi ia tidak menganjurkan siapa pun untuk minum terlalu banyak. Namun Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kurasa orang-orang yang sedang memperbincangkan Li Bai ini agak sedikit mabuk, meski kutipan mereka atas puisi-puisi Li Bai seperti tepat. kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku. barangkali salju lembut telah melayang jatuh" kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit, kemudian tertunduk kembali, merenungi bumi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Perbincangan mereka pun bagiku sebetulnya bukanlah sembarang perbincangan. "Itulah akibatnya jika terlalu percaya kepada Kong Fuzi," kata yang satu, "orang-orang hanya peduli dengan urusan kekhalayakan, urusan antarmanusia, dan melupakan alam." "Ya, kekuasaan mencari pembenaran, peraturan mencari pembenaran, dan juga perdagangan mencari pembenaran. Tidak ada satu pun yang berbi-cara tentang alam." "Perebutan kekuasaan hanya mengundang kekacauan. Para pejabat dibunuh, cendekiawan dikucilkan, dan pemberontakan berkobar, hanya bisa dipadamkan oleh perang berkepan-jangan." "Lupakanlah dahulu Kong Fuze! Kita kembali kepada Dao!" Tentu aku pun mempelajari, meski-pun Kong Fuze sangat dihormati dalam membangun peradaban, seperti adat yang menekankan bahwa cita-cita kekuasaan yang paling dasar adalah pemerintahan yang dilaksanakan melalui kekuatan Dao. Adapun Dao di sini maksudnya jalan menuju kebajikan dalam tiga pengertian, pertama sebagai tata cara alam atau tata cara semesta, yang menyatakan he atau keserasian; kedua sebagai tata cara kehidupan manusia sesuai dengan susunan alam; ketiga sebagai tata cara yang diikuti manusia karena keputusannya sendiri, sehingga meski berakar dalam diri, Dao harus tetap dicari dan dikejar. Namun dalam adat yang menuruti ajaran Kong Fuze, puisi hanya mencatat dan memuji-muji kemakmuran dan kedamaian, serta anjuran untuk mengikuti jejak orang-orang bijak untuk mencapai keluhuran dan keabadian sebagai puncak cita-cita manusia. Ini berbeda dengan penganut aliran Kaum Dao, yang lebih menekankan puisi sebagai pernyataan pribadi, de-ngan bahasa yang paling pribadi pula, sehingga memberi tempat yang lapang kepada nurani dan kepekaan. Maka dengan terganggunya cita-cita peradaban karena TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kekacauan yang silih berganti, para penyair mencari perlindungan dalam kedamaian alam dan kegemaran pada arak dan bunyi-bunyian. Pengungkapan perasaan yang luhur dan perenungan yang dalam tentang kehidupan dan alam adalah untuk mencapai keabadian. Maka begitulah keabadian memiliki pengertian sebagai pembebasan dan pemurnian diri dari pencemaran oleh peradaban, melalui peleburan ke dalam Dao. Mereka masih mabuk sambil mengutip puisi-puisi Li Bai. hidup kita di dunia ini hanya impian belaka untuk apa aku harus kerja keras" biar saja aku mabok seharian biar saja aku tergeletak dekat pintu pagar waktu sadar kukejapkan mata ke pepohonan: seekor burung kesepian bernyanyi di sela bunga-bunga kutanyakan kepadanya ini musim apa: jawabnya: "Angin musim semilah yang membuat burung bernyanyi di pohon mangga." terharu mendengar nyanyinya aku pun menarik napas panjang lalu menuangkan anggur ke mulutku lagi aku pun bernyanyi sepuas-puasnya sampai bulan bersinar terang waktu laguku selesai, semua inderaku terasa kaku BAGIKU yang paling menarik dari Li Bai sebagai penyair adalah keberadaannya sebagai seorang pengembara, yang telah menjelajahi Negeri Atap Langit. Ia yang dilahirkan di Sujab pada 701 di dekat Danau Balkash, di sebuah keluarga dengan darah pinggiran wilayah tengah benua, dibawa dari sana ke Sichuan waktu masih berusia lima tahun. Ia selalu merasa bahwa seluruh Negeri Atap Langit adalah rumahnya, yang tentu saja disebabkan oleh perjalanannya luas dan tidak kunjung berhenti. Ia bisa menulis tentang pasir Gurun Gobi maupun keelokan wilayah selatan Negeri Atap Langit. Ia tahu seperti apa rasanya tidur di padang pasir dengan angin TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menyakitkan di sekitarnya, dan karena itu dapat dihargainya bunga-bunga dan keindahan bagian selatan negeri. Banyak orang mengagumi betapa begitu beragam gagasan dapat ditulisnya, termasuk entah gagasan apa yang setelah dibacakannya seusai makan malam bersama sahabatsahabatnya, karena segera dibakar dan dihanyut-kannya ke sungai sampai hilang ditelan arus. Kemungkinan karena semasa hidupnya pun terdapat pokok perbincangan yang terlalu berbahaya untuk diucapkan, apalagi tertulis di atas kertas sebagai puisi. Maka puisi pun dibakar jika keselamatan jiwa seseorang menjadi taruhannya. Ia bisa menulis puisi tentang rambutnya sendiri yang mulai memutih, kerinduannya akan lebih banyak anggur, seperti gagasan umum pada masanya, maupun yang tak terpikirkan seperti tentang pekerjaan tukang pencair logam, tentang seorang kawan Jepun, maupun seorang pejabat dari Jambhudvipa, yakni kepala pasukan di Huchow yang disebut Chia-yeh. Ia juga disebut menulis puisi tentang dunia lain yang nilai penghargaannya berbeda, seperti tentang penelitian dalam ilmu pengetahuan, keadaan kimiawi tubuh seusianya, maupun pemikiran betapa dirinya adalah bagian dari adat lama Tao Yuan-ming yang hidup empat abad sebelumnya. Ketika Li Bai baru setahun dilahirkan, pemikiran Kaum Dao sedang menyalip pengaruh pemikiran Kong Fuze, sehingga menumbuhkan kesenian dan kesusastraan. Namun Li Bai mempelajari ajaran Buddha dengan sama mendalamnya dengan ajaran Kaum Dao, menghabiskan waktunya bertahuntahun dalam kesunyian pegunungan untuk belajar dari guru ke guru. Tentu ia juga menulis banyak puisi yang dipersembahkan kepada kuil-kuil Buddha, tetapi yang kemungkinan besar telah hilang ketika kuil-kuil mendapat tekanan istana suatu ketika, dalam permainan kekuasaan yang Titisan Siluman Harimau 2 Bulu Merak Serial 7 Senjata Qi Zhong Wu Qi Zhi Karya Gu Long Para Ksatria Penjaga Majapahit 10

Cari Blog Ini