Budha Pedang Penyamun Terbang 2
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 2 dinding itu. Masalahnya, bagaimana aku bisa melepaskan pedang itu" Selama ini kedua pedang itu me lekat tanpa diminta, yang membuat aku berpikir tidak akan bisa menganggap diriku sempurna selama keduanya masih mengendon di dalam kedua tanganku. Maka dalam sekejap kuselusuri perbendaharaan ribuan mantra yang berada dalam diriku. Kucari mantra semacam mantra pelepas pedang jika memang kemampuan menyimpan pedang dalam tangan itu merupakan kemampuan sihir. Namun rasanya tidak kutemukan mantra itu. Bagaimana caranya Raja Pembantai dari Selatan memasukkan dan mengeluarkannya, sebelum kemudian memindahkannya ke dalam diriku berikut segenap mantra sihir itu" Aku nyaris merasa putus asa dalam usaha melepaskan sepasang pedang yang setiap kali selalu gagal. Padahal kalau pedang itu masuk TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kembali ke dalam tanganku, tubuh Pangeran Kelelawar tentu jatuh melayang ke bawah, padahal ia belum lagi mati. Tentu aku berada dekat sekali dengannya. Nafasnya tinggal satu-satu, karena tenaga dalamnya untuk sementara dapat melawan aliran racun kedua pedang itu. Matanya terus memandangku seperti berusaha mengatakan sesuatu. Namun aku sibuk berusaha melepaskan pedang itu dengan usaha yang sia-sia. Kedua kakiku sampai naik ke dinding batu di samping kiri dan kanan sepasang pedang yang masih menancap di tubuh Pangeran Kelelawar, kutekankan kaki ke dinding itu sambil menarik tubuhku sekuat-kuatnya, seolaholah dengan cara itu kedua pedang itu bisa terlepas dari tanganku. Begitu kuatnya usahaku menarik diri, sampai kepalaku terdongak ke belakang, begitu rupa sehingga tampak olehku segala pemandangan di bawah. Kami tertempel di dinding itu pada ketinggian setengah dari keseluruhan tinggi tiang. Rembulan masih purnama, tampak luar biasa luas bagaikan payung dari langit. Kiranya inilah yang menjadi sebab mengapa dari bawah tiang ini bagaikan menyangga rembulan. Namun aku tidak dapat menikmati keindahan itu sebab dipenuhi rasa putus asa karena tidak dapat melepaskan kedua pedang tersebut. Waktu kepalaku tersentak-sentak dalam usaha menarik diri itu terpandang bumi dan langit berganti-ganti. Dalam puncak keputus asaan aku berteriak: "Aaaaaaagggggggghhhhhhhh!" Lantas aku tenggelam dalam sunyi. Dalam kesunyian segalanya menjadi jelas, begitu jelas, terlalu jelas, lebih jelas dari kejelasan itu sendir pada tingkat yang murni tiada pengertian keesaan atau kejamakan dari para Buddha tiada keesaan mulanya mereka berbadan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tiada kejamakan mirip angkasa tiada memiliki badan Saat itulah aku terpental. Lepas! Aku melayang tanpa bobot, jadi meskipun lepas aku tidak jatuh ke bawah. Aku mengambang di hadapan Pangeran Kelelawar yang tertancap oleh kedua pedang itu di dalam dinding batu. Ia masih hidup, dan matanya masih memandangku seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku segera menjejak udara dan kembali menempel ke dinding batu dengan ilmu cicak di sebelah Pangeran Kelelawar, karena aku tahu bobot tubuhku akan segera kembali bersama kembalinya kesadaranku. Angin bertiup, amat sangat dingin. Setelah pertarungan usai alam menghadirkan dirinya kembali. Kami tenggelam dalam kabut. Meski malam bulan purnama, kabut tetap membuat kami taksaling dapat melihat. Kudengar napasnapas terakhirnya yang tersengal. ''Amrita di atas sana, tolonglah...'' Suaranya memang sangat lemah, dan ketika kabut itu pergi, agaknya ia pun ikut pergi. Tubuhnya tergantung dengan sayap kelelawar yang kuncup. Kepalanya tertunduk, darah yang semula mengucur dari tempat kedua pedang itu menancap telah membeku. Tempat ini memang sangat tinggi. Udara sangat tipis. Kulihat serpihan pada bulu mata, janggut, dan kumisnya. Saat menolong Amrita yang tak sadarkan diri waktu itu, kulihat seseorang berkepala botak, kurus kering seperti hanya tinggal kulit membalut tulang, dengan tubuh bongkok yang ditutupi jubah. Kini botaknya tampak sedikit berambut dan jubahnya terlihat berada di dalam, terbungkus busana hitam yang sewarna dengan sayap hitam kelam berbulu yang seperti tumbuh alam i antara pergelangan tangan dan pinggangnya. Ia tidak bersayap dan tidak berselimutkan kain hitam ketika muncul di pelabuhan. Bagaimanakah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ caranya pendeta Buddha ini mengubah dirinya jadi Pangeran Kelelawar" Aku menduga ia mengubah dirinya melalui mantra, tetapi tentu saja aku tidak dapat memastikan. Ia menggantung di sana, tentu tidak akan terlalu kelihatan dari bawah. Namun apabila kelak seseorang mendaki tebing ini, dengan ilmu cicak atau peralatan untuk mendaki, mungkin Pangeran Kelelawar ini sudah membatu bagaikan sebuah arca yang dipahatkan langsung pada dinding bukit yang sangat curam ini. Aku menengok ke atas, Amrita berada di atas sana katanya. Jadi kedua elang yang kulihat mengelilingi Puncak Tiga Rembulan tadi siang, bukanlah sepasang elang yang sedang mengawasi anak-anaknya, melainkan seorang putri nan indah rupawan tiada terkira. Bahkan dengan segala ukuran, Puteri Amrita Vighnesvara masih selalu unggul sebagai wujud kecantikan. Di atas sana, yang jaraknya masih setengah bagian dari tempat kematian Pangeran Kelelawar, tidak mungkinkah ia sudah mati kedinginan" KUINGAT lagi apa yang terjadi ketika berhadapan dengannya di pelabuhan. Titik lemahnya terbuka karena jebakan Jurus Penjerat Naga, yang memang akan membuka bagian terlemah, dan begitu lemahnya sehingga meski hanya kusentuh saja, tanpa tenaga dalam sama sekali, akan memberi akibat yang parah, yakni kematian. Namun karena terhadap Amrita diriku tidak berniat menamatkan riwayat hidupnya di muka bumi ini, maka sentuhanku itu sebenarnyalah merupakan selemah-lemahnya sentuhan, meski tetap saja telah membuat murid Naga Bawah Tanah itu kehilangan kesadaran. Tentu aku tidak dapat menjamin apakah ia akan tetap hidup jika berada di atas sana, apalagi tanpa seorang pun mengetahuinya, karena kukira mereka memang menyembunyikan diri di sana. Tempat yang tidak akan pernah didatangi manusia, karena udaranya yang begitu tipis dan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ suhu yang sungguh terlalu dingin bagaikan mampu membekukan darah mengalir. Hmm. Bagaimanakah caranya aku ke sana secepatnya agar dapat menolong Amrita" (Oo-dwkz-oO) AKU tidak boleh berpikir terlalu lama. Suhu sedingin ini, yang bahkan embun pun segera membeku bagaikan salju, mungkin saja telah menewaskan Amrita sejak lama. Namun aku tidak dapat mengandalkan ilmu cicak untuk me-rayapi tiang penyangga langit ini, karena pasti masih akan lama untuk sampai ke sana. Jika hanya mengandalkan ilmu cicak, secepat-cepatnya merayap, besok pagi pun belum tentu aku mencapai puncaknya. Sementara itu, jika aku dengan ilmu meringankan tubuh berusaha melenting-lenting sampai ke puncaknya, seperti biasanya jika me layang ke atas jika bertemu dinding tebing yang curang, kini tiada sesuatu yang dapat diinjak untuk me lentingkan aku terus menerus sampai ke atas. Berarti satu-satunya jalan tinggal berlari, berlari miring sepanjang dinding sampai ke atas, dan jika kutancap Jurus Naga Berlari di Atas Langit, maka sebelum fajar kurasa aku sudah akan sampai ke puncak. Masalahnya, kakiku tidak akan berlari di atas dataran yang rata, karena sesungguhnyalah sepanjang tiang hanyalah serpihan batu tajam, yang begitu tajamnya sehingga jika kulit manusia menyentuhnya, meski tenaga dalam telah membuatnya sekeras besi dan ilmu meringankan tubuh membuatnya seringan kapas, tetap saja ketajaman serpihan itu akan menembusnya. Maka, meskipun mampu berlari miring sepanjang dinding ke arah langit, aku tidaklah mungkin melakukannya jika tidak ingin telapak kakiku hancur. Angin bertiup lagi bagaikan membawa bongkahan-bongkahan es. Aku berkutat menahan dingin. Di sebelahku Pangeran Kelelawar itu membeku. Kulihat sayapnya yang kuncup, dan aku segera mendapat akal. Kusalurkan tenaga dalam ke ujung jariku agar dapat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ memotong selaput kulit yang membentuk sayap kelelawar tersebut. Satu lembar dari sayap kanan dan satu lembar lagi dari sayap kiri. Kulit itu nyaris keras seperti batu, tetapi kusalurkan hawa panas untuk mencairkan es yang telah membekukannya. Dari selaput kulit yang bukan sembarang kulit itulah, yakni selaput kulit sayap Pangeran Kelelawar, kubuat alas bagi telapak kakiku, sehingga aku akan dapat berlari tanpa terluka sama sekali. Dengan ilmu cicak, punggungku dapat menempel erat pada dinding curam sementara kedua tanganku mengerjakan lembaran-lembaran kulit tersebut, membuat tali daripadanya, dan mengenakan serta mengikatnya sebagai alas kaki yang membungkus serta menutupi sampai ke betisku. Meski terikat secara kasar begitu, selaput kulit tersebut enak jatuhnya di telapak kakiku dan segera kuketahui, bahwa meskipun selaput itu tampaknya lemas dan halus, begitu liat dan kuat sehingga senjata setajam apapun tak akan mampu menembusnya, seperti juga serpihan-serpihan batu setajam gelas sepanjang dinding ini tidak akan segaris pun dapat menggoresnya. Setelah kujejak-jejakkan sebentar, aku merasa yakin, dan segera melejit berlari miring ke arah langit dengan perasaan berlari di atas dataran batu. Rembulan bagaikan payung raksasa keperakan ketika kabut akhirnya kutembus. Fajar sebentar lagi tiba dan aku berharap cahaya matahari akan sedikit mencairkan kebekuan Puncak Tiga Rembulan yang bagai tidak tertahankan ini. Aku yang berlari dengan Jurus Naga Berlari di Atas Awan ini saja, yang artinya melakukan pengerahan tenaga dalam, masih merasa kedinginan begini rupa, lantas bagaimana pula dengan Amrita yang hanya tergeletak saja dalam kesendirian di atas sana" Ternyata berlari miring ke atas pada dinding curam Puncak Tiga Rembulan ini bukanlah hal terakhir yang bisa kulakukan sebelum dapat mencapai Amrita. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ SETENGAH perjalanan dari tempat Pangeran Kelelawar tertancap dua pedang pada dinding batu, artinya tiga perempat bagian jika dihitung dari bawah, saat rembulan memudar dan matahari menyingsing, kedua elang gunung abu-abu yang pernah kulihat terbang berputar-putar di puncaknya itu muncul dan menyambarku silih berganti. Bahwa kedua elang itu bukanlah elang sembarang elang segera bisa kuketahui dari kecepatan sambaran, kekuatan angin sambarannya yang mendesau, dan keras patukan, cakar, dan kibasan sayapnya yang bahkan menghancurkan batu-batu. Tiada pernah kuduga betapa dalam perjalananku sebagai pencari kesempurnaan dalam dunia persilatan, harus kuhadapi sepasang burung elang terganas dengan sayap-sayap besi, yang memaksaku mengerahkan segenap jurus yang tidak pernah kupakai, karena memang tidak pernah mendapat serangan dalam bentuk seperti ini. Dalam kemiringan dinding curam, aku bertarung melawan dua burung elang ketika cahaya matahari melesat dengan cahayanya yang berkilauan, membuat ketiga tiang raksasa Puncak Tiga Rembulan berkeretap dalam cahaya keemas-emasan. (Oo-dwkz-oO) Episode 107: [Panah-panah Asmara] BURUNG-BURUNG elang kelabu dengan kekuatan sayap sekeras besi. Hmm. Keduanya tentu diperintahkan Pangeran Kelelawar yang telah tertancap kedua pedang hitam di bawah itu untuk menyerang siapa pun yang menuju ke atas, untuk melindungi Puteri Amrita yang belum kuketahui nasibnya. Apakah kedua elang yang sungguh-sungguh perkasa itu harus juga kubunuh" Namun jika tidak kubunuh, tentu bukan hanya aku yang akan mati terbunuh, melainkan juga Puteri Amrita akan semakin jauh dari pertolongan meski aku sendiri belum tahu pasti pertolongan macam apa yang dibutuhkannya. Ia bisa menjadi lemah takberdaya, dan agaknya bahkan takbisa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ disembuhkan oleh kesaktian Pangeran Kelelawar, karena sentuhanku di tempat yang terlemah, tetapi bisa pula terutama akibat pembelajaran dari kitab curian. Aku belum tahu, karena itu aku menjadi semakin penasaran, dan karena itu haruslah kuselesaikan kedua burung elang pengawal ini. Namun membunuh kedua elang ini bukan perkara mudah, bahkan sebaliknya adalah mereka berdua yang berkemungkinan lebih besar untuk membunuhku, karena ruang pertarungan ini adalah ruang mereka dan bukan ruangku. Mereka selalu me layang-layang di Puncak Tiga Rembulan ini, tetapi aku baru untuk kali pertama tiba di sini, setelah semalaman bertarung melawan Ilmu Silat Kelelawar yang ajaib itu. Namun bahwa sebelum menghadapi kedua burung elang ini aku telah menghadapi Pangeran Kelelawar, dan bahwa dalam pertarungan itu telah kugunakan Jurus Bayangan Cermin untuk menyerap Ilmu Silat Kelelawar, Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ternyata sangat berguna untuk membaca dan menghadapi berbagai bentuk serangan kedua burung elang itu. Mereka terus menyerbu bergantian dengan sambaran cakar, paruh, dan kibasan sayap yang sangat berbahaya. Aku hanya dapat bertahan dengan kedua kaki menempel dan tentu tidak bisa lama-lama bertahan dengan kedudukan seperti itu. Serangan mereka bukan jurus manusia, jadi tidak bisa dihadapi dengan jurus-jurus silat yang dipelajari dari pengamatan terhadap burung elang. Ilmu Silat Kelelawar tidaklah mengamati gerak kelelawar dari luar, melainkan menyerap segenap sifat gerakannya dengan menghayati kehidupan kelelawar itu sendiri, sehingga jurus-jurusnya tetap bersifat kelelawar yang mampu berkelebat dengan mata tertutup dalam kegelapan. Namun Ilmu Silat Kelelawar itu hanya mungkin dimainkan dengan sempurna jika pelakunya bersayap kelelawar seperti Pangeran Kelelawar. Maka sungguh kupertaruhkan nyawaku ketika kujejakkan kakiku ke dinding, melepaskan diri dari ilmu cicak, meluncur TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dengan kecepatan sangat tinggi seperti gerak kelelawar menyambut serangan elang itu, menghindari sambarannya tetapi meminjam tubuhnya untuk kujejak agar bisa melenting ketika sambaran elang yang satu lagi datang. Aku bisa melayang karena gerakanku sangat cepat, yang berarti aku dapat bergerak banyak sebelum tubuhku mestinya jatuh ke bumi. Bukankah ini yang dilakukan anak-anak desa, jika mereka memperagakan gerak indah ketika meloncat dari atas tebing, sebelum jatuh ke bawah, di sebuah kolam, sungai, atau air terjun" Sebelum itu terjadi aku dapat menjejak punggung burung itu agar dapat me lenting, sama seperti aku biasa melenting meski hanya menjejak pucuk-pucuk daun, tetapi kali ini melenting agar dapat menghindari serangan burung elang yang datang kemudian. BURUNG elang yang datang kemudian ini berkelebat dengan cakarnya dan mengibaskan sayapnya sepenuh tenaga, tetapi yang hanya menyambar udara karena seperti setiap kelelawar aku pun kini dapat menghindarinya. Saat itulah kujejakkan kakiku ke punggungnya sebagai tendangan maut yang langsung mematikannya, sekaligus mendorong diriku sendiri kembali kepada burung elang yang sebelumnya telah menyerangku. Aku tak bersayap, tetapi kelelawar pun tidak selalu melayang dengan cara mengepak, melainkan seperti menjatuhkan diri dan hanya menggunakan sayapnya itu sebagai kemudi yang akan menentukan arahnya. Itulah yang kulakukan dengan berbagai cara meliukkan tubuhku, sehingga dalam sekejap aku telah berada di atas burung yang masih terdorong oleh jejakanku sebelumnya, hanya untuk kujejak sekali lagi, tetapi kali ini sebagai tendangan maut yang juga menamatkan riwayatnya. Dengan daya dorong tendangan itu aku kembali meluncur menuju dinding, untuk langsung menempel kembali seperti TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ cicak. Kulihat kedua elang perkasa yang dengan sangat menyesal harus kutewaskan itu me layang jatuh ke bawah tanpa nyawa lagi. Meninggalkan sejumlah bulu yang beterbangan dan menyusul jatuh dengan lebih lamban karena angin dingin yang membuatnya melayang-layang. (Oo-dwkz-oO) BERAPAKAH tinggi tiang raksasa yang seolah menyangga langit ini" Aku tidak tahu. Apabila kemudian tiang yang menjadi bagian dari Puncak Tiga Rembulan ini menembus mega, aku kembali berlari miring ke atas hanya dengan mengandalkan perasaanku saja, karena dalam kenyataannya sepanjang mata memandang aku tidak dapat melihat apa pun lagi, kecuali cahaya demi cahaya. Lapis demi lapis cahaya keemasan dari pagi yang sudah penuh sehingga tempat rembulan diganti matahari membuat segalanya hanyalah cahaya menyilaukan. Selepas mega hanya cahaya di atas dinding keemasan sehingga hanya kakiku yang telah terbungkus selaput kulit sayap kelelawar dapat merasakan jalan ke atas dan hanya ke atas, tiada lain selain ke atas, tempat kuyakini terdapatnya Amrita di atas sana dalam keadaan siap kehilangan nyawa. Bayangan betapa Amrita terkapar di sana dalam keadaan lemah membuat aku mengerahkan segala daya untuk melejit ke atas tanpa terbendung lagi. Suhu memang tetap dingin, tetapi cahaya matahari menembus butiran-butiran udara dan berjuang mencairkan kebekuannya. Begitulah cahaya menjadikan dirinya sendiri sebagai harapan, berkilauan, dalam bentangan cahaya menyilaukan, ketika matahari bagaikan suatu payung cahaya di atas sana, yang tak mungkin kupandang berlama-lama, sehingga aku terus berlari tetapi sambil memejamkan mata. Dalam kecepatan tinggi kutancap ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang, sekadar untuk memastikan pijakan berdasarkan desir angin yang menyapu sisi tiang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Berlari miring menuju ke atas tidaklah sama dengan berlari dalam keadaan biasa di tanah datar. Meskipun telah kugunakan Jurus Naga Berlari di Atas Langit yang membuat diriku sangat ringan dan mampu melesat seperti kilat, tetapi berlari pada dinding tegak lurus dengan ketinggian seperti itu menuntut pengerahan tenaga dalam yang lebih besar dari pertarungan selama berhari-hari. Mengerahkan tenaga dalam tanpa lawan seperti ini, aku berhadapan dengan segala kelemahanku sendiri. Makin ke atas makin tertantang daya tahanku sendiri. Hanya kesunyian kini, menembus dingin dalam sepuhan matahari. biasakanlah menganggap bentuk dunia sebagai sunyata tak terlihat bentuk badannya demikianlah uraian tentang bentuk yang ditangkap dan bentuk yang menangkap Mendadak saja kakiku lepas dari segala jejakan. Melenting ringan ke atas bagaikan telah diluncurkan oleh pengerahan tenaga sejak dari bawah. Aku meluncur ke atas, tapi kemudian berhenti dan melayang turun perlahan-lahan seperti tubuhku lebih ringan dari sesobek kapas. Dari atas kulihat sa lah satu dari Puncak T iga Rembulan itu, yang tengah tepatnya, sebuah dataran batu melingkar tempat sesosok tubuh berbalut selimut kulit kambing sedang berbaring di atasnya. Itulah Puteri Amrita yang terkapar tanpa daya, tetapi ia masih berada jauh di bawah sana, karena aku melayang turun dengan sangat pelahan-lahan. Di dekatnya kulihat sisa unggun kayu yang sudah tidak menyala lagi. Tentu yang kemudian kukenal sebagai Pangeran Kelelawar itulah yang sangat mungkin telah membawa kayu bakar itu ke atas. Jika perlu sete lah digandakannya diri TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menjadi tiga, sehingga ia tidak perlu naik dan turun lagi beberapa kali. Aku turun perlahan-lahan seolah-olah tubuhku bergantung kepada sebuah payung, tetapi aku turun tanpa payung dan tetap saja turun perlahan-lahan sehingga dapat menikmati pemandangan, nun sampai ke batas cakrawala di sekitarnya. Hutan, jurang, dan persawahan, disusul pemukiman, dan gugusan candi-candi. Kulihat semuanya dari atas, kerbau yang digunakan untuk membajak, orang-orang menanam bibit, iring-iringan pendeta Buddha menuju ke tempat upacara, kerumunan atas tontonan, sejumlah orang memasang puncak candi, mengangkut batu, dan juga harimau yang mengejar kijang. Kulihat sungai besar yang cokelat dengan anak-anak sungainya. Perahu-perahu yang menyusurinya dalam kesunyian, pemukiman yang dilewatinya, dan anak kecil berlari-lari di tepian. Kadang kulihat juga seorang perempuan dengan rambut terandam dengan dada terbuka berjalan sendirian dengan barang bawaan di atas kepala di jalan setapak di atas bukit. Dari atas terlihat betapa terpencilnya Puncak Tiga Rembulan dengan segala kesulitan untuk mencapainya. Namun bersama dengan itu tampaklah pula betapa Puncak Tiga Rembulan ibarat sebuah tempat yang tidak seharusnya berada di atas bumi karena seperti turun dari langit di bumi yang lain. Pada tiang yang berada di tengah dari Puncak Tiga Rembulan itulah Amrita tergolek berbalut selimut dalam sapuan cahaya keemasan. Puncak tiang adalah dataran batu nan hitam melingkar yang panjang jari-jarinya sekitar limapuluh langkah, tetapi dari atas kulihat Amrita bagaikan sedang tidur di atas ranjangnya sendiri. Ia berbalik ke sana dan kemari, lantas meregangkan tangan, dan membuka mata. Kukira ia langsung melihatku yang sedang melayang-layang turun, karena meskipun jarak kami masih terlalu jauh, bagaikan terasa olehku betapa ia tersenyum. Semakin dekat jaraknya, semakin tampak kepadaku wajahnya sebagai wajah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang mungil. Wajah penuh kemurnian yang akan membuat siapapun lupa betapa Amrita Vighnesvara selain berarti dewi pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebetulnya juga berarti dewi penghancur. Aku melayang turun semakin dekat, dan perasaanku memang tidak keliru jika merasa ia tersenyum kepadaku. Aku tidak hanya merasakannya sekarang, tetapi juga melihatnya. Matahari membuat Amrita bagaikan bongkahan emas di tengah batu hitam. Angin nyaris membawaku kepada tiang Puncak Tiga Rembulan yang di sebelahnya, tetapi kukemudikan diriku dengan cara menyapu udara agar tetap mengarah kepada Amrita. Semakin jelas bahwa ia memang tersenyum. Perempuan pendekar yang semula kuhadapi dengan pertaruhan nyawa itu, yakni pertarungan yang mengizinkan pembunuhan, kini menyambutku dengan pandangan kekanak-kanakan yang murni. Apakah itu benar suatu kemurnian, ataukah jebakan terakhir seorang petarung yang dengan segala cara ingin menang" Itulah masalahnya dengan pertarungan para pendekar, apakah pertarungan hanya sahih di dalam gelanggang, ataukah dunia ini dianggap sebagai gelanggang pertarungan itu sendiri, tempat siapapun yang kurang waspada dapat tewas seketika karena serangan rahasia" Aku telah sampai kepada jarak tempat bisa kukirimkan angin pukulanku sekarang juga, karena sudah terlalu sering kudengar cerita tentang perempuan di balik selimut seperti itu, yang bagaikan menanti dengan penuh hasrat tetapi di balik selimutnya menggenggam belati melengkung siap menikam. AKU turun semakin dekat, sedikit kuberatkan tubuhku agar diriku tidak kabur dibawa angin. Jadi dalam ilmu meringankan tubuh sebetulnya terdapat jurus pemberat badan, bahkan pernah kudengar cerita tentang seorang pendekar yang mempunyai ilmu pemberat badan, sehingga tubuhnya bergeming begitu rupa bagaikan seonggok batu gunung ketika TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menghadapi barisan gajah. Namun tentang hal itu biarkanlah kuceritakan nanti karena di bawah itu kulihat Amrita yang tergeletak di dalam selimut tampak pucat, begitu pucat, sangat pucat, bagaikan tiada lagi yang lebih pucat. Aku heran, mengapa tidak ada yang bisa dilakukan Pangeran Kelelawar itu untuk menolongnya" Tidakkah semestinya dengan penyaluran tenaga dalam maka Amrita dapat setidaknya terhangatkan dan bertahan di atas Puncak Tiga Rembulan yang betapapun memang dingin tak tertahankan itu" Manusia biasa boleh membeku, tetapi untuk apa para pendekar memiliki tenaga dalam, jika tidak dapat menahan dingin melalui olah pernapasan mereka yang boleh dikatakan nyaris sempurna" Aku turun tepat di hadapan Amrita dan ia tetap saja hanya tersenyum, tetapi kini dengan air mata berlinang-linang... Aku mendekatinya dan memegang urat nadi di tangannya. "Bagaimana keadaanmu?" aku bertanya dalam bahasa Sansekerta. Sekali lagi ia hanya tersenyum lemah dengan air mata mengalir ke pipi. Astaga. Ia tidak dapat berbicara! Apakah yang telah terjadi" Maka segera kulakukan penyapuan dengan tenaga prana ke seluruh tubuhnya. Penyapuan adalah cara pembersihan, tetapi juga dapat digunakan untuk memberi tenaga dan membagikan kelebihan prana. Pembersihan yang dilakukan ke seluruh darah dan daging tubuh disebut penyapuan umum, sedangkan yang berada di bagian tubuh tertentu disebut penyapuan setempat. Kulakukan penyapuan umum ke seluruh tubuh Amrita. Kubuka selimutnya, lantas kucakupkan tangan dalam jarak sejengkal di atas kepalanya. Aku tidak menyentuhnya, tetapi mempertahankan jarak yang lebih rendah lagi di seluruh tubuhnya ketika tanganku bergerak menyapu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan tangan tetap melengkung, kusapukan tanganku perlahan-lahan ke bawah dari kepala ke kaki mengikuti suatu garis, kemudian kembali sampai ke lutut, lantas membuang limbah pembersihan itu ke bawah kaki. Begitulah diulang berkali-kali dengan cakupan kedua tangan yang setiap kali mengulang diperlebar jaraknya. Setiap kali Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo limbah pembersihan memang harus dibuang ke bawah kaki, untuk menghindari agar tidak masuk lagi dan menjadi racun ketika tangan kembali naik ke tubuh bagian atas. Jika tidak dilakukan, bahkan tubuhku sendiri akan keracunan oleh limbah penyapuan itu, yakni bahwa jari-jariku sendiri, juga tangan dan telapak tangan, akan menjadi sakit dan tubuh melemah, akan mengalami kesakitan yang sama seperti Amrita. Lantas kubalikkan tubuhnya, kusapu lagi dengan tangan tetap berjarak dari tubuhnya pada punggung ke bawah, dengan cara yang masih sama. Kupusatkan perhatianku dan kuteguhkan niatku, karena hanya dengan pendekatan ini penyapuan akan berhasil. Setelah semua limbah terbuang ke bawah kaki, Amrita pun tertidur. Untuk itu kulakukan gerakan untuk membangunkannya kembali, dengan menyapukan kembali tangan ke atas, tetapi yang tidak lagi untuk melakukan pembersihan. Jika tadi limbah belum kubuang ke bawah kaki, limbah itu akan terbawa kembali saat tangan bergerak kembali ke atas, dan bisa berpindah atau menetap di daerah kepala, sehingga membuatnya bertambah sakit. Penyapuanku itu telah menutup prana yang bocor. Agaknya dalam usaha penyembuhan Amrita, ketika menyalurkan tenaga dalamnya Pendekar Kelelawar tidak melakukan penyapuan dalam tubuh Amrita lebih dahulu. Sentuhanku pada titik terlemah yang menjadi terbuka karena Jurus Penjerat Naga telah membuka lubang yang dilalui prana yang bocor. Tanpa menutup lubang itu, penyembuhan sangat lambat, meskipun Amrita diberi daya dengan prana, karena prana hanya akan bocor keluar. Ini yang membuat kesakitan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dan kelemahan akan kembali, hanya beberapa saat sesudah disembuhkan atau tenaganya dikembalikan. BEGITU lemahnya Putri Amrita sehingga ia tidak dapat berbicara. Betapapun kelak kuketahui betapa Amrita sendiri tidak pernah mengampuni musuh-musuhnya, kurasa aku sama sekali tidak menyesal telah menyembuhkan dia. Sebaliknya, tidak dapat kubayangkan apa yang akan terjadi jika di Puncak Tiga Rembulan ini nyawanya pergi tanpa sempat kutolong lagi. Amrita membuka mata, dan segera terasakan adanya suatu getaran dalam dadaku. Ia mengulurkan tangannya dan kusambut tangan itu, yang ternyata ketika tersentuh begitu lembut seperti kapas. Itulah tangan terindah yang pernah kutemui di dunia ini, dengan jari-jari kecil yang bagaikan begitu mudah terkulai, dengan kuku-kuku bening di atas kulit kuning nan langsat, yang kini keemasan karena cahaya matahari. Kuangkat tangan kiriku dalam kedudukan Menggapai Langit dalam penyerapan prana matahari, sebagai chakra yang menyalurkannya ke tubuh Amrita melalui tangan kananku. Ia pun lantas memejamkan mata lagi, tetapi tidak untuk tidur melainkan agar prana mengalir ke dalam dirinya dengan lancar. Namun kami hanyalah dua manusia saja di Puncak Tiga Rembulan yang sunyi dengan angin yang bertiup dingin dan sangat menggigilkan. Apakah yang harus menjadi alasan bagi kedua manusia itu, yang seorang lelaki dan yang lain perempuan, untuk tidak berbagi kehangatan" Aku memegang tangannya yang lembut halus mulus dengan maksud memberikan penyembuhan, tetapi tidaklah kuingkari betapa aku merasakan getaran manakala tangannya menyambutku dengan tatapan berbinar penuh kebahagiaan. Pikiran bahwa perempuan ini telah dan akan membunuh siapa pun yang kiranya dia anggap lawan menguap dari kepalaku. Aku hanya merasakan getaran, semacam kebahagiaan, yang tidak kutahu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ namanya dalam perbendaharaan bahasa, karena tentulah ada kata lain selain asmara... Matahari bersinar terang, tetapi apakah yang masih diharapkan dari sebuah tempat di ketinggian yang begitu tingginya sehingga menembus mega-mega bagaikan tempat dewa-dewa bersemayam" Namun tidak ada dewa-dewa di sini, hanya kami berdua yang sedang berbagi kehangatan dengan tenaga prana, yang jika untuk pertama merupakan penyembuhan, maka yang kedua dengan prana matahari terang cuaca, adalah mengembalikan kekuatan. Demikianlah wajahnya yang semula pucat kini kembali bersemu merah, yang kemudian mengalir ke dadanya, ke perutnya, lantas kedua kakinya. Ia masih memejamkan mata, dan kulihat wajahnya tersenyum, tetapi ini bukanlah senyuman seperti yang kulihat pertama kali dengan air mata membasahi pipi itu. Ini adalah senyuman karena memikirkan sesuatu yang menggelikan, mungkin membahagiakan, tetapi aku lebih merasakannya sebagai rencana petualangan. Amrita yang pucat tanpa darah dan tidak berdaya tentu berbeda dari Amrita yang telah memiliki kembali segenap kekuatannya. Lubang kebocoran prana kutahu sudah tertutup, tiada lagi masalah bagi Amrita, meski matanya masih terpejam dengan tangan tetap memegang tanganku. Sebaliknya, kini kurasakan kehangatan tertentu merasuki seluruh tubuhku. Apa yang harus kulakukan di puncak tertinggi tanah Khmer ini, dengan seorang perempuan terkapar yang telah kusingkapkan selimutnya, tertatap dadanya, dan masih mengenakan busana seperti yang kusaksikan di pelabuhan, yakni terbuat dari cita nan tembus pandang" Di Puncak Tiga Rembulan ini, aku hanyalah seorang lelaki yang sendirian saja, jauh di tanah terasing dan tiada mengenal seorang pun dalam perjalanan dari keterasingan yang satu ke keterasingan yang lain, tetapi kini seorang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ perempuan muda yang indah, perkasa, serta matang tubuhnya tergolek dan terbuka di hadapanku. Amrita meremas tanganku, kuremas pula tangannya. Tangannya menarikku dan tidak kulawan sama sekali sehingga aku terjerembab di atas tubuhnya. Kedua tangannya menekan punggungku dan aku tidak bisa bergerak lagi karena kedua kakinya menjepit dan mengunci pinggangku. ''Pendekar Tanpa Nama,'' katanya dalam bahasa Sansekerta, ''salurkanlah tenaga prana dari mulutmu melalui mulutku....'' Maka bibirnya pun segera mengunci bibirku. Aku tidak berdaya, tetapi sungguh aku menyukainya. (Oo-dwkz-oO) Episode 108: [Jibvayuddha] DALAM Kama Sutra terdapat istilah jibvayuddha yang artinya adalah Pertarungan Lidah, tetapi yang memiliki ketentuan bahwa pasangan lelaki dalam percintaan ini tidak berkumis. Maka ketika percintaan yang kesekian akan dimulai kembali, sebelumnya Amrita ingin mencukur seluruh bulu yang berada di wajahku. ''Datanglah kemari Pendekar Tanpa Nama, tidurlah terlentang di pangkuanku, biar kubersihkan wajahmu,'' katanya. Di tangannya telah tergenggam sebilah pisau, yang biasanya digunakan sebagai satu dari sederetan pisau terbang pada ikat pinggang. Aku tahu pisau seperti itu ketajamannya luar biasa, bahkan besi pun jika tidak dilambari tenaga dalam akan ditembusnya. Dengan pisau itu, ketika aku terlentang di pangkuannya sementara ia mencukurku, tentunya ia bisa menggorok leherku sampai putus, tetapi ujian bagi seorang pecinta kukira justru datang pada saat-saat seperti ini: Apakah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ia mencintai perempuan itu begitu rupa sehingga rela dibunuhnya, ataukah cintanya sebatas kehangatan bara yang menyala hanya ketika percintaan membakarnya" Masalahnya, sebagai pendekar, seberapa besarkah nyaliku menghadapi pisau setajam itu di bawah urat leherku" Kini aku tahu apakah itu pertarungan dalam arti sebenarnya, yakni kemampuan untuk menaklukkan ketakutan dan keraguan dalam diri sendiri. Maka aku pun merebahkan diri kepangkuannya. Udara masih dingin. Amrita membungkus dirinya dengan selimut kulit kambung, dan aku dengan kain sekadar penahan dingin yang kini mesti menahan dingin udara yang sangat tidak sekadarnya. ''Masuklah kemari,'' Amrita berkata sambil membuka selimutnya, dan kulihat segalanya di dalam sana. Aku bergulir satu kali dan masuk ke sana. Tinggal kepalaku di luar selimut itu, siap dibersihkan seluruh bulunya oleh Amrita yang ingin memberlangsungkan jibvauddha sesuai petunjuk Kama Sutra. Ia mulai mencukur. Angin kencang dan dingin. Bunyinya sangat berisik, seperti bunyi ribuan orang yang bersiul tetapi tidak bersama-sama. Untuk mencukur wajahku, ia hanya membutuhkan sekali sapuan dan tak perlu mengulang supaya licin bagaikan batu pualam. Namun saat semuanya sudah bersih, ternyata pisau itu tidak beranjak pergi, melainkan tetap berada di leherku. Aku tertegun, tetapi bersikap diam, seolah tidak sadar bahwa pisau itu sengaja berhenti di sana. Wajah Amrita muncul di atas kepalaku. Rambutnya begitu wangi dan jatuh pula pada wajahku. ''Dikau pikir akan daku potongkah kepala yang wajah seramnya telah daku ubah menjadi manis ini"'' Dilemparkannya pisau itu, lantas ia bergulir ke atas tubuhku. Wajah kami berhadapan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Dikau sudah tak berkumis, sekarang kita mulai dari depan. Ini tentang ciuman. Ciuman bisa dilakukan pada kening, pipi, leher, mata, dada lelaki, ...,'' ujarnya sambil melakukan semua itu. Aku diam saja, karena ketika melakukannya ia memang terus berbicara seperti memberikan pelajaran. ''Vatsyayana berkata, tidaklah mungkin menghitung bagian tubuh tempat seseorang dapat menempatkan bibirnya.'' Begitulah lagi-lagi sambil mengatakannya ia pun melakukannya, dan lenyap ke balik selimut bulu kambing yang hangat itu. Kupandang langit yang biru di atasku, bagaikan tiada lagi yang lebih biru dari kebiruan langit yang paling biru. Mega-mega lewat bagaikan terlalu cepat. Aku teringat cerita Harini tentang Kama Sutra bagian yang ini, bahwa menurut Vatsyayana, ketika ciuman memegang peran untuk menimbulkan rasa tertarik, lebih baik diiringi cakaran dan gigitan. Adalah keliru jika percaya bahwa selama saat-saat awal tidak ada aturan. Selama seseorang mempertahankan kepekaannya, ia akan peduli kepada yang dilakukan pasangannya. Baru kemudian segalanya akan lepas... Itulah kata Vatsyavana, dan ketika memikirkannya aku lupa sejenak perilaku Amrita di dalam selimutnya. di bawah kata raga Vatsyavana mengkaji laku percintaan di seluruh dunia ia menyebut raga sebagai tingkat kelima dari kehendak yang disebut rati pada tahap awal sekali ketika kehendak meningkat namanya prema seperti panas matahari melelehkan mentega begitulah cinta melelehkan chitta TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dan membentuk sneha meningkatnya kemesraan mengundang mana pertimbangan menumbuhkan pranaya pada saat kepercayaan diri mutlak berkembanglah raga dan pada tingkat tertinggi tercapailah anuraga Beratlah bagiku mengatasi Amrita. Kurasa kancutku pun sudah tidak jelas lagi berada di mana. "Amrita, jangan...," kataku dalam bahasa Sansekerta, tetapi ia seperti tidak akan mengenal bahasa mana pun di dunia. Sepanjang pagi sepanjang siang sampai sore hari, Amrita menyusuri urutan petunjuk-petunjuk Kama Sutra yang dikuasai di luar kepala. Aku tidak bisa diam saja, karena keberpasangan ini menuntutku untuk mencari pada tubuh Amrita apa yang dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai nabhimula, urusandhi, dan pedu. Harus kuakui betapa kunikmati percintaan dengan Amrita, tetapi harus kuakui dengan jujur pula betapa perasaan bersalahku karena pengkhianatan terhadap Harini nun di desa Balinawang di Jawadwipa sana terus memburu, sehingga barangkali saja Amrita merasakan keraguanku. Namun ia tampaknya tidak mau menyerah, dengan seluruh kemampuannya ia berusaha membuat aku lupa, entah siapa berada di Jawadwipa sana yang telah mengisi hati dan pikiranku, meski tetap tiada berdaya menyambut kehendak tubuh untuk melayani Amrita, di atas Puncak Tiga Rembulan yang menyediakan hawa dingin, yang diperdingin, begitu dingin, sehingga percintaan bagaikan suatu kewajiban, dibandingkan kematian yang tampaknya mungkin saja mencengkeram tiba-tiba, mengingat perubahan suhu yang memang bisa sangat amat mendadak datangnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan perasaan bersalah kulayani Amrita, dengan pikiran yang terus menerus melayang ke desa Balinawang. Apakah Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perasaan bersalahku akan berkurang, jika kubayangkan saja Harini" Sepuluh tahun lebih telah berlalu semenjak kami berpisah. Dulu usiaku 15 tahun dan Harini sepuluh tahun lebih tua daripadaku. Dari Harini untuk kali pertama kukenal segenap isi Kama Sutra dan dari perempuan yang saat itu bagiku sungguh sempurna tersebut kukenal apa artinya memiliki tubuh dengan segenap kemungkinan yang bisa diberikannya dalam permainan asmara. Kusingkap selimut. Hari telah menjadi malam dan tanpa Amrita di atas Puncak T iga Rembulan yang menembus megamega ini tidak bisa kubayangkan nasib tubuhku dalam kedinginan dan kesepian. Kubayangkan Harini, tetapi jiwa dan badan seorang lelaki 25 tahun agaknya tidak terlalu sama dengan remaja ingusan 15 tahun. Jika dari Harini ibarat kuterima pelajaran dan percobaan, dari Amrita dapat kunikmati seninya percintaan. BERBARING berdampingan, aku dan Amrita memandang rembulan yang terlalu terang, terlalu lebar, terlalu besar, dan bagaikan sungguh-sungguh terlalu dekat karena Puncak Tiga Rembulan ini memang bagaikan menyangga rembulan dan untunglah bagaikan saja, sebab jika tidak tiadalah dapat kubayangkan kekacauan semesta yang telah menyebabkannya. Namun memang rembulan tampak seolaholah begitu dekat, bagaikan payung jamur di atas langit dunia kami. "Dikau lihatkah rembulan yang tampak seolah-olah begitu dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai Pendekar Tanpa Nama yang gagah perkasa dari Jawadwipa?" "Ya daku lihat rembulan yang tampak seolah-olah begitu dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai Putri Amrita Vigneshvara yang tiada duanya yang belumlah kuketahui asal usulnya." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Pada saatnya dikau akan mengetahui juga siapa diriku, karena di tanah Khmer semua orang terlalu tahu siapakah daku meski belum pernah bertemu. Katakanlah dahulu kepadaku, adakah tempat di Jawadwipa yang membuat kita dapat memandang rembulan seperti sekarang?" Kucoba mengingat-ingat segala tempat yang pernah kulewati di Jawadwipa, kurasa memang tidak ada tempat yang keajaibannya seperti Puncak Tiga Rembulan sekarang ini, meski kutahu banyak keajaiban lainnya. Puncak Tiga Rembulan memang bagaikan tidak berada di dalam dunia. Namun kalau tidak berada di dalam dunia lantas sekarang ini aku berada di mana" Tentu saja aku tidak dapat menjawab pertanyaanku sendiri. Jika memang Puncak Tiga Rembulan ketinggiannya menembus mega-mega, kukira semenjak masih berada di tengah lautan di Teluk Siam, dari atas kapal pun semestinya sudah dapat kulihat ketiga puncak yang dapat membuat suatu gambaran menjadi tiga dalam wujud benda nyata ini. Namun bukankah Puncak Tiga Rembulan ini memang ada, begitu nyata seperti aku kini sedang tidur terlentang di atas salah satu puncaknya, memandang rembulan yang begitu luas, sangat luas, dan amat sangat luasnya sehingga tiada dapat kulihat tepi-tepinya karena agaknya memang sudah begitu dekatnya, sangat amat dekat, dan tentu saja terlalu dekat, meski aku merasa terlalu tenang dan memang tenang-tenang saja bagaikan tidak ada sesuatu yang memang perlu membuat aku merasa tidak tenang. "Tidak ada rembulan seperti ini di Jawadwipa, wahai Amrita, meski rembulan yang berada di sana adalah rembulan yang ini juga." "Tetapi jika memang rembulan yang ini juga, dan sekarang begitu dekat dengan kita, bagaimanakah mereka saat ini dapat melihatnya?" Dalam cahaya bulan yang terang keperakan, kucari tanda adakah Putri Amrita, murid kesayangan Naga Bawah Tanah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Ketika tertatap olehku kedua matanya, kulihat cahaya cemerlang mengertap dan berkeredap penuh kebahagiaan. Kutahu ia tidak memerlukan jawaban, karena lantas memeluk dan menciumku kedua pipiku seperti seorang ibu menumpahkan perasaan kepada anaknya. Putri itu lantas menggamit tanganku dan memperhatikannya. "Tangan dikau begitu halus," katanya, "seperti bukan tangan pendekar." "Seperti apakah kiranya tangan pendekar itu menurut pendapat dikau, wahai murid Naga Bawah Tanah yang sakti mandraguna" Bukankah tanganmu sendiri selembut kapas, bagaikan tangan bayi yang belum pernah menyentuh apa pun selama hidupnya?" Kami saling berpandangan, dan tersenyum penuh pengertian, karena memang hanya mereka yang belajar silat dengan tenaga kasar akan menjadi kasar telapak tangannya. Mereka melatih diri dengan memukul batu, memasukkan tangan ke pasir panas, atau memukul-mukul karung goni berisi entah apalah yang membuat tangan kapalan begitu rupa sehingga kulit seolah-olah bisa dikupas tanpa terasa. Aku jadi teringat masa latihanku sendiri. Meski tidak memukul batu dan menohok pasir panas, juga tidak bisa dibilang ringan. Aku teringat ketika pasangan pendekar yang mengasuhku itu melatihku dengan cara seperti ini, yakni harus berdiri di atas gelondongan batang pohon yang licin di tengah sungai, dan aku harus terus menerus tetap bisa berdiri meskipun batang pohon itu bukan saja licin sekali tetapi juga terus menerus berputar. Bisakah dibayangkan bahwa dalam keadaan seperti ini mereka berdua masih menghamburiku dengan pisau-pisau terbang pula" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ AKU teringat betapa bisa lama sekali diriku mesti bertahan agar tetap dapat berada di atas batang kayu. Meski tidak lagi melempar pisau terbang, pasangan pendekar itu menetapkan aku tetap harus berada di atas batang kayu yang berputarputar itu. Mereka bahkan akan pergi meninggalkan diriku dan tidak mau tahu, dalam keadaan apa pun aku harus tetap mampu berdiri di atas batang kayu di tepi sungai tersebut. Tentu saja pada mulanya, apalagi untuk kali pertama , jangankan untuk berdiri di atasnya dan meloncat-loncat menghindari siraman pisau-pisau terbang pula, sedangkan untuk mampu naik ke atasnya saja luar biasa susahnya. Sekali aku dapat menaiki pohon itu, aku sama sekali tidak bisa berdiri, melainkan hanya berbaring saja memeluknya, karena setiap kali mencoba berdiri langsung jatuh ke sungai dan harus merayap kembali. Batang pohon itu sendiri memang sudah lama berada di sana, bahkan pasangan pendekar yang mengasuhku itu sendiri tidak juga tahu semenjak kapan batang pohon tersebut berada di situ. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sejak mereka masih muda pun mereka berdua telah menggunakannya untuk berlatih, karena memang sudah ada di sana ketika mereka datang untuk pertama kalinya ke Celah Kledung. Batang itu memang besar, panjang, dan menghitam licin karena lumut yang menahun, terletak di bagian tepi sungai yang tidak mengalir, pada semacam ceruk tempat orang biasa memasang bubu, tetapi yang semenjak lama tak lagi digunakan untuk itu setelah seseorang yang tidak dikenal mati terbunuh di tempat. Mayatnya itulah yang melintang di atas batang yang kelak pada hari kemudian menjadi tempatku berlatih itu. Di atas ceruk itu terdapat pohon besar yang tinggi dan rindang, sehingga memang nyamanlah jika aku berlatih di situ, apalagi setelah kukuasa i ilmu meringkankan tubuh dengan sedikit sempurna, sehingga batang pohon itu tiada lagi menjadi siksaan bagiku. Dengan ringan aku mampu melenting-lenting TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ di atas batang pohon itu tanpa jatuh sama sekali, sembari melemparkan kembali pisau-pisau terbang yang berhasil kutangkap kepada ayah ibuku. Kemudian, apabila karena jarang digunakan untuk latihan ada saja yang menggunakannya untuk berkasih-kasihan. Ingatan ini mengembalikan aku kepada keadaan diriku sekarangO "Pendekar Tanpa Nama, dikau sedang melamunkan apa?" Inilah aku, seorang perantau lata dari Jawadwipa, tidur berbaring di dalam selimut di samping seorang perempuan yang begitu indah cantik rupawan tiada terkira. Nun jauh di atas Puncak Tiga Rembulan, tempat aku belum tahu cara terbaik untuk turun kembali. "Bagaimana caranya turun, wahai Puteri, itulah yang sedang berada di dalam pikiranku kini," jawabku. Kukira akan terlalu panjang untuk mengisahkan kembali apa yang tadi melintasi pikiranku. Masa lalu yang sebetulnyalah juga belum selesai untukku. Lagipula, bukankah masa depan yang semestinyalah menjadi jauh lebih penting bagiku" Meski dalam hal itu pun diriku hanyalah pengembara dalam waktu, yang tidak memiliki masa lain selain masa kini yang betapapun memang menuju ke depan. "Dikau berpikir tentang turun ke bumi, wahai Pendekar Tanpa Nama, mengapa tidak tinggal di langit saja, bersama mega-mega dan Amrita?" Tidak kumungkiri daya pikat Amrita yang luar biasa dan betapa diriku ingin memilikinya, tetapi meskipun bayangan Harini makin lama makin jauh, keberadaanku di tanah asing ini sendiri menyadarkan kepada tujuan hidupku. Memang benar betapa kesempurnaan pencapaian manusia melalui ilmu persilatan menjadi tujuan dalam pembelajaran di jalan pedang, tetapi sebagai pengembara di bumi manusia, berjalan tanpa tujuan itulah bagiku yang menjadi satu-satunya tujuanku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kita tidak mungkin berada di sini selama-lamanya bukan, wahai Puteri Tanah Khmer yang indah lagi rupawan, bekal daging keringmu sudah habis, dan besok kita belum tahu akan makan apa. Tidak ada tetumbuhan maupun hewan yang bisa mengisi perut kita sama sekali di Puncak Tiga Rembulan ini." Amrita bercerita bahwa selama ini Pangeran Kelelawar itulah memang yang telah merawatnya, tetapi tanpa menyadari sama sekali perkara kebocoran prana akibat sentuhanku, setelah titik lemahnya dibuka oleh Jurus Penjerat Naga. Karena tidak kunjung sembuh, Amrita tidak bisa ke mana-mana. Semula Pangeran Kelelawar membawanya ke sana dengan maksud hanya untuk sementara, tempatnya berlatih sampai tumbuh selaput kulit di antara pergelangan tangan sampai pinggangnya, sambil menghindari musuhmusuh Amrita yang tersebar di mana-mana. Namun karena Amrita tetap saja tiada berdaya, akhirnya Pangeran Kelelawar setiap kali terbang untuk berburu ketika bekal makanan menipis. Kulihat sekeliling, tiada tulang belulang sama sekali, bersih seperti lantai istana di atas langit. Amrita seperti bisa membaca pikiranku. eiPaman guruku mempunyai ilmu untuk menghancurkan tulang di daging, jadi ketika dipanggang dagingnya bisa dimakan berikut tulang di dalamnya. Terlalu rumit bagiku waktu itu, dan diriku masih terlalu lemah jika harus memegang sepotong daging dengan kedua tangan. Sebelum turun bertarung denganmu ia tinggalkan daging-daging kering ini. Agaknya ia pun tidak yakin dirimu akan dapat dikalahkannya." "Kenapa?" "Ia berlatih dan merenung berhari-hari sebelum hari pertarungan itu, dan ia sering menghela napas panjang," katanya, "Daku kira tidak akan bisa daku kalahkan pendekar dari Jawadwipa itu, sampai sekarang belum kutemukan kunci TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ untuk membongkar ilmu s ilatnya, bentuknya sama sekali tidak dapat daku lacak." Akulah yang kini menghela napas panjang. Pengorbanan seseorang demi kematian dalam puncak kesempurnaan selalu mengharukan diriku, apalagi jika dirikulah yang menjadi jalan kematiannya itu, yang menjadi sebab kenapa seorang pendekar sangat menghormati siapa pun lawannya dalam pertarungan seperti itu. HMM. Jadi seseorang telah menjadikan Puncak Tiga Rembulan ini sebagai tempat berlatih silat. Kukira memang tempat yang sangat cocok untuk mengembangkan Ilmu Silat Kelelawar yang betapapun memang luar biasa itu, dan aku Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tahu tentu bukan sekadar karena telah mengalami diserang dan bertarung dengan Pangeran Kelelawar, melainkan karena telah menyerapnya dengan Jurus Bayangan Cermin. Begitu banyak ilmu silat yang telah kuserap, tetapi aku tidak selalu memikirkan kembali seperti Ilmu Silat Kelelawar ini, karena kukira inilah cara termudah turun kembali ke bumi. (Oo-dwkz-oO) Episode 109: [Perjuangan Orang Kalah] PANGERAN Kelelawar itu, kenapa dia disebut Pangeran" Bagiku ini agak membingungkan, karena semula, ketika datang berkelebat menolong Amrita di pelabuhan, ia tampak sebagai seorang biksu. Bukanlah rahasia lagi bahwa ilmu silat merupakan bagian penting dari pembelajaran para biksu maupun biksuni, karena biara Buddha tidaklah sepi dari ancaman marabahaya. Sebaliknya, bersama dengan tersebarnya igama Buddha ke berbagai wilayah di sebelah timur dan selatan Jambhudvipa, tersebar pula berbagai bentuk ilmu silatnya, yang terutama dipelajari orang-orang persilatan golongan putih, dengan tujuan menghadapi dan membasmi golongan hitam yang terkenal ganas ilmu silatnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Namun Ilmu Silat Kelelawar seperti yang diperagakan Pangeran Kelelawar tidaklah seperti ilmu silat para biksu yang kukenal. Seperti telah kuhadapi, Ilmu Silat Kelelawar ini bisa membuat penggunanya terbang, yang tentu saja tidak didapatkannya dengan mudah. Selain bahwa ilmu silat ini hanya dapat diperagakan secara sempurna jika pelakunya menggunakan selaput kulit yang tumbuh antara pergelangan tangan sampai pinggang, selaput kulit tersebut hanya mungkin tumbuh melalui tapabrata luar biasa yang mengikuti perilaku kelelawar, yakni menggantung di mana pun, di atas pohon, di dalam gua, atau pada tonjolan batu di tepi tebing, dengan kaki di atas dan kepala di bawah, pun masih dilengkapi mantra yang dibuat untuk itu. Jadi jelas Pangeran Kelelawar bukan biksu, bahkan menurut Amrita, igama yang dianut pun bukan Buddha. ''Ia seorang Hindu,'' kisah Amrita. Berikut inilah kisah Amrita selanjutnya. Mengikuti penyebutan yang diberikan oleh orang-orang Negeri Atap Langit, terdapatlah sebuah wilayah di dataran tengah Mekong pada poros Sungai Se Mun, dari Roi Et sampai wilayah Bassac, yang disebut Tchen-la. Negeri itu, ketika aku tiba di tanah Khmer, setidaknya telah berdiri sekitar 200 tahun. Prasasti-prasasti pertama dalam Khmer muncul di wilayah itu dalam pergantian abad sekitar 100 tahun lalu, dan belakangan, seperti juga asal-usul Fu Nan, tersebarlah suatu dongeng yang menempatkan Tchen-la sebagai tempat lahirnya orang-orang berdarah Kambuja, termasuk Khmer, yang kemudian sering membingungkan diriku sebagai orang asing, karena orang Khmer terkadang menyebut negeri mereka ini Kambuja juga. Tiga ratus tahun yang lalu mungkin wilayah Tchen-la terbatas pada daerah yang dialiri Sungai Se Mun, sementara wilayah Bassac dikuasa i orang Cham. Memang Mi-son terletak tidak jauh dari situ, di arah timur, seberang daerah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pegunungan yang dapat ditembus. Pada masa itu seorang raja Champa mendirikan sebuah lingga dalam sebuah candi, yang dipersembahkan kepada Siva, di sebuah gunung dekat Bassac, tempat belakangan akan didirikan Vat Phu, yang merupakan pusat pemerintahan Tchen-la. ''Dan Pangeran Kelelawar adalah keturunan raja Champa itu"'' ''Bukan hanya keturunan, melainkan pewaris, tetapi dengarlah dahulu lanjutannya.'' Sekitar limapuluh tahun sebelum Tchen-la itu sendiri berdiri, jadi 250 tahun sebelum aku tiba, seorang raja bernama Bhavavarman, keturunan wangsa yang memerintah di Fu-nan, yang mungkin sekali cucu Rudravarman, menikah dengan seorang puteri Tchen-la dan mempersatukan negeri itu. Ia berusaha menaklukkan Fu-nan, mungkin untuk mendukung hak-hak keluarganya. Ketika ia meninggal setelah tahun 598, kedua negeri sudah tergabung dengan baik sekali. Adiknya, Chitrasena, yang kemudian menggantikannya dengan gelar Mahendravarman, menyelesaikan penaklukan Fu-nan dan memperbanyak bangunan Siva di wilayahnya. NAMUN adalah putranya, Isanavarman, berjaya antara 611 sampai 635 dengan pemerintahan gemilang, sampai sanggup membangun ibu kota baru, yakni Isanapura. "Ceritakanlah kepadaku yang ada hubungannya dengan Pangeran Kelelawar sahaja, wahai Amrita yang jelita," kataku. "Apakah yang tidak akan daku berikan kepada dikau, wahai Pendekar Tanpa Nama yang telah membuat Amrita untuk kali pertama jatuh cinta?" Maka ia pun bercerita tentang raja pertama Champa, Bhadravarman, yang memerintah sekitar 400, dan membangun tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada Siva di daerah pegunungan Mi-son itu, yang akan menjadi pusat pemujaan raja-raja abad selanjutnya. Ia disebutkan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ membangun sebuah ibu kota, dan di sekitar tempat itulah akan ditemukan prasasti-prasasti dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Cham. Namun yang sekarang ini pun sudah tidak dapat ditemukan lagi, karena semuanya musnah terbakar. "Siapa yang membakar?" "Belum jelas apakah sengaja dibakar atau karena terbakar begitu saja, Pangeran Kelelawar pun tidak tahu pasti, kecuali bahwa seluruh keluarganya terlunta-lunta." 4) Haruslah kujelaskan pula tentunya, bagaimana perubahan kekuasaan telah berlangsung perlahan-lahan di seluruh wilayah yang meliputi tanah Khmer dan Champa, tempat sejarah kerajaan-kerajaan Fu-nan, Tchen-la, dan Angkor, silih berganti meliputinya, yang ternyata juga dipengaruhi keadaan alam maupun gelombang kebudayaan yang datang dari arah Jambhudvipa. Perubahan berlangsung di daerah selatan, ketika kekuasaan berpindah ke kerajaan Tchen-la, saat itu di Fu-nan telah terdapat penduduk yang hanya terdiri dari kelompok orang-orang Malayu di pinggir laut dan mencari nafkah hanya di laut. Terbuka, sebagai warga kota yang didatangi segala bangsa, penduduk tersebut menyambut segala pengaruh dan membagi-bagikannya lagi sedemikian rupa, sehingga wilayahnya menjadi pusat kebudayaan di kawasan selatan dari Negeri Atap Langit. Namun dengan Tchen-la sendiri, kita temukan bangsa yang murni Khmer, tertutup di dataran tinggi Mekong dan sama sekali tidak mengenal laut. Sebagai petani, tetapi juga prajurit, orang-orang Tchen-la akan sigap menukar kemiskinan mereka dengan penaklukan dan perampokan. Sedangkan kebudayaan mereka, yang berasal dari Jambhudvipa, dan terlebih-lebih dari kebudayaan Fu-nan yang telah memiliki kepribadian sendiri, memang kemudian jadi cemerlang. Namun kebudayaan tersebut hanya sebatas negeri itu saja, yang memang terus menerus TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ diperluas, tanpa menyebarkan pengaruh sendiri seperti Jambhudvipa dan dalam tingkatan yang dinilai lebih rendah dari kebudayaan Fu-nan. "Nanti dulu, apa ukurannya kebudayaan Tchen-la dianggap lebih rendah daripada kebudayaan Fu-nan?" Kudengar perbincangan seperti ini di sebuah perahu ketika memasuki pedalaman Khmer. "Itu ukuran orang-orang Angkor sekarang, yang menganggap orang Fu-nan istimewa." "Bagaimana kalau orang Tchen-la yang menolak untuk menirukan yang istimewa" Itu tidak sama dengan mengatakannya lebih rendah." "Terserahlah apa pendapatmu, tetapi itulah yang dikatakan banyak orang." "Dan tentu saja itu bukan pendapat orang Tchen-la. Tidak ada tinggi rendah dalam kebudayaan, yang ada hanyalah diberlangsungkan dan dibermaknai oleh banyak atau sedikit orang!" SEJALAN dengan perbedaan tajam tersebut, terlihat perbedaan besar dalam cara pengolahan tanah, yang mungkin menjelaskan segala perbedaan yang lain. Orang Fu-nan terpaksa mengeringkan air delta dan lebih disibukkan dengan urusan kelebihan daripada kekurangan air. Lagipula kelihatannya mereka hanya bertanam padi terapung. Perdagangannya pasti merupakan sumber penghasilan yang sama pentingnya dengan pertanian. Adapun orang Khmer menggarap dataran tinggi, yang tidak menahan air berkat kemiringannya sendiri. Sebaliknya harus menampung air sepanjang musim kering, menyiram sawahsawahnya tempat ia bertanam padi gunung. Perbedaanperbedaan tajam tersebut tentu membekas pada rakyat yang sangat ketat dipengaruhi cara hidup masing-masing. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Tidak mengherankan jika kemudian orang-orang Khmer turun ke dataran rendah karena kagum melihat kekayaan Funan, dan berlangsunglah perkara pertama dalam riwayat kebudayaan wilayah itu suatu gelombang perpindahan ke wilayah selatan, yang agaknya akan menjelaskan banyak hal di kemudian hari. Namun Tchen-la tidak menduduki wilayah Fu-nan, karena perubahan arus Sungai Mekong menimbulkan banjir yang membawa bencana besar, sehingga wilayah Funan tengah yang lama, hampir tidak bisa dihuni. Kenyataan, kelompok-kelompok orang Khmer terpencil dan miskin, tetap bertahan di wilayah itu, terutama pada tanggul-tanggul tanah endapan dan tanah-tanah yang tinggi. Betapapun, Fu-nan menjadi tidak penting lagi bagi nasib Kambuja. Kemaharajaan Khmer, pewaris Tchen-la, terus berkembang ke utara, dan meski ibukotanya yang bernama Sambor terhubungkan dengan lautan melalui Sungai Mekong, tetapi lautan menjadi semakin tidak penting bagi kehidupan budaya tanah Khmer, untuk tidak mengatakan telah meninggalkannya sama sekali. Terihat bahwa siapa pun yang berkuasa di Khmer akan berlindung di dataran tinggi tempat asalnya di ujung utara Kambuja dan dataran tinggi Korat sampai Roi Et, seperti kembali kepada asal-usulnya. Jadi orang-orang Khmer sama sekali tidak meniru cara menggarap tanah delta seperti yang diciptakan orang Fu-nan. Kota-kota Tchen-la merupakan lahan luas yang dikelilingi dinding tanah dan terutama oleh parit yang sangat lebar. Letak parit tersebut selalu diatur lebih rendah dari sebuah sungai yang terus menerus mengalir dan langsung dihubungkan dengannya. Maka parit itu terisi air dengan sendirinya selama musim hujan dan air pasang, dan menjadi tempat persediaan air pada musim kering, dan menghidupi penduduk dengan sawahnya. Cara penampungan air yang cerdik ini cocok dengan iklim dan keadaan tanahnya, diciptakan di Tchen-la dan kemudian dibawa orang Khmer ke dataran rendah Kamboja. Itulah yang menjadi dasar kekuasaan Angkor hari ini. Cara-cara ini TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ disaksikan orang Fu-nan langsung dari tempat pemukiman bundar pada masa pra-sejarah ribuan tahun s ilam yang masih terlihat di dekat tempat tinggal mereka, dan tampaknya mereka memang tidak pernah membuat pengairan tanah kering yang lebih maju dari itu. Sedangkan orang Khmer tidak akan menggarap delta Sungai Mekong, yang sebetulnya cocok sekali, tetapi menggunakan tanggul-tanggul yang muncul di antara dua air pasang untuk panen tambahan. Dari kebiasaan ini terlihat perbedaan mendasar tentang pengaturan dan falsafah ruang, tetapi ada persamaan dari kedua kebiasaan ini, yakni bahwa pemusatan kekuasaan dianggap perlu oleh rakyatnya, demi penciptaan dan pengawasan aturan-aturan dalam berbagai cara pengairan tersebut. Dalam hal ini, Tchen-la langsung menggantikan Funan dan berhasil mencapai penguasaan pengaruh me lalui jalan yang sama. Kedua kerajaan yang sama-sama mendapat pengaruh Jambhudvipa, yang dihidupkan terus oleh Tchen-la tanpa terlalu banyak perubahan, karena sebagian besar pengaruhnya sampai di situ melalui Fu-nan, sesuai kecenderungan jalannya nasib manusia, bahwa yang dikalahkan mengadabkan sang pemenang dan bertahan hidup melalui sang pemenang itu. Aku segera mengerti bahwa jika Pangeran Kelelawar adalah seorang keturunan bangsawan Champa pemuja Siva dari Pegunungan Mi-son, maka dalam diri Amrita agaknya masih mengalir darah bangsawan Tchen-la, yang mempertahankan kebudayaan Fu-nan, tetapi kini terjajah oleh Angkor. Kelak akan kuketahui mengapa keduanya dapat berkumpul di sekitar Naga Bawah Tanah yang tidak pernah menampakkan diri. Amrita, tinggal di istana karena ibunya yang keturunan Tchenla menjadi salah satu isteri raja Angkor yang sekarang berkuasa, Jayavarman II. Menyadari bahwa ibunya dikawini secara paksa, Amrita menggalang segala usaha untuk menjatuhkan pemerintahan ayahandanya sendiri. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ UNTUK itu sejumlah pembunuhan gelap di istana telah Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dilakukannya. Di istana Indrapura, yang baru saja dibangun di sebelah timur Kompong Cham, dalam beberapa bulan terakhir sering berlangsung kematian mencurigakan atas warga istana. Mulai dari yang diracuni lewat makanan atau minuman, dicekik dan dibekap di bawah bantal ketika sedang tidur, ataupun diserang senjata rahasia dari jarak jauh. Baik lelaki maupun perempuan, yang ditewaskan adalah orang-orang penting yang memegang kendali laju penyatuan Angkor sebagai citacita Jayavarman II. Mendengar cerita itu keningku berkerut. Ia mengaku telah menggunakan jaringan rahasia dari Jawadwipa untuk menjamin kerahasiannya. Entah kenapa aku tidak merasa terkejut. Bukankah pada hari pertama kakiku menginjak pelabuhan bekas kerajaan Fu-nan, telah kudengar orang menyebut kresna-naga yang berarti Naga Hitam" Aku sungguh terkesiap dengan luasnya jaringan rahasia yang menjual jasa pembunuhan ini, meski mengingat pengaruh kedatuan Srivijaya dan wangsa Syailendra di tanah Khmer ini, seharusnya aku tidak usah terlalu heran. Tanpa Amrita harus menyebutnya, sudah semestinya aku menduga bahwa Naga Hitam juga menggunakan tenaga orang-orang setempat. (Oo-dwkz-oO) ''JADI apa yang akan kita lakukan sekarang" Apakah kita akan tetap di sini dan bertahan tanpa makanan, ataukah turun melanjutkan pengembaraan"'' Mendengar ucapanku itu Amrita yang sejak tadi berkicau riang mendadak jadi muram dan matanya berlinang menatapku tajam. Ah, siapakah yang akan tahan menghadapi tatapan seperti itu" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Akan ke manakah kiranya Pendekar Tanpa Nama meneruskan perjalanan, meninggalkan Amrita sendirian dalam kesepian"'' Tentu aku sampai ke Puncak Tiga Rembulan ini pun karena Amrita. Namun apakah masih bisa disebut cinta jika dalam kenyataannya sekarang ini aku selalu ingin pergi saja" Rasanya memang bagaikan bisa kuserahkan jiwa ragaku bagi Amrita, tetapi apalah kemudian yang harus kukerjakan di tanah yang juga disebut Kambuja ini" Sebagai pengembara di rimba hijau dan sungai telaga persilatan, setelah mengatasi Ilmu Silat Kelelawar seharusnya kukeluarkan tantangan kepada Naga Bawah Tanah dan siap memberikan yang terbaik untuk kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukanlah karena aku takut dikalahkan semenjak memainkan dengan semakin baik Jurus Bayangan Cermin maupun Jurus Penjerat, bahkan telah kupikirkan suatu jurus yang tiada akan pernah terlawan karena meski bukan sihir yang diserangnya adalah pikiran, tetapi karena jika aku menang, hanyalah tangis Amrita akan kudengar berkepanjangan. Keberadaan Amrita tampaknya menunjukkan keberadaan diriku yang selalu mendua, apakah aku akan hidup untuk cinta, ataukah mengalahkan semuanya demi cita-cita" ''Pendekar T anpa Nama, janganlah pergi demi Amrita, atau ajaklah Amrita mengembara kemana pun dikau berkelana, meskipun keliling dunia!'' Perempuan yang sedang jatuh cinta. Hmm. Benarkah mereka bersedia mengorbankan apa saja" Jangankan perempuan, lelaki pun akan melakukan hal yang sama! Apakah ini berarti cinta membuat manusia buta" Nantilah kuperiksa ujaran-ujaran para bijak seperti Nagasena, Nagarjuna, maupun Sang Buddha sendiri tentang cinta, karena aku tidak percaya betapa cinta harus membuat manusia bodoh adanya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sekarang aku memikirkan berbagai cara untuk kembali turun ke dunia. Betapapun keindahan Puncak Tiga Rembulan begitu ajaib sehingga tidak selalu bisa dijelaskan, kurasa bukanlah keindahan demi keindahan itu sendiri yang kucari dalam pengembaraanku ini. Telah kukalahkan Pangeran Kelelawar dalam pertarungan untuk mencapai kesempurnaan dalam persilatan, dan Amrita yang sebelumnya terandaikan juga akan jadi lawanku ternyata bersikap sebagai yang tidak bisa ditinggalkan. Aku mesti turun dan pergi untuk berganti pandangan, darahku bagaikan menggelegak dan berdenyut memintaku untuk segera meneruskan perjalanan... (Oo-dwkz-oO) Episode 110: [Terjun dari Langit] AKHIRNYA kugunakan selimut bulu kambing yang kulitnya tersamak sampai lemas itu sebagai sayap kelelawar yang tidak kumiliki. Betapapun ilmu meringankan tubuh Puteri Amrita Vighnesvara itu sudah sangat tinggi, masih perlu pendalaman baginya untuk bisa membuat tubuh begitu ringan, agar dapat berbobot kapas ketika turun me layang perlahan-lahan seperti berpegangan kepada sebuah payung raksasa. ITU artinya aku harus memondong tubuhnya dan dengan begitu tubuhku tidak bisa menjadi seringan kapas lagi. Kupilih cara turun seperti terbangnya kelelawar, yakni turun dengan kecepatan seperti orang terjatuh tetapi sangat terkendali, karena selaput sayapnya menjadi kemudi. Inilah cara yang telah kugunakan tanpa sayap ketika harus menghadapi kedua burung elang penjaga puncak itu, yang tentu saja memanfaatkan penyerapan Jurus Bayangan Cermin atas Ilmu Silat Kelelawar. Kini, dengan menggunakan sayap kulit kambing, aku bahkan dapat memperlambat laju jatuh kapan saja aku menghendakinya dan terbang naik turun berputarputar seperti kelelawar. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Begitulah dengan Puteri Amrita menempel pada punggungku aku menja-tuhkan diri dengan kepala lebih dulu dari Puncak Tiga Rembulan. Tanganku terpentang, membuka dan menutup seperti cara kelelawar, meluncur ke bawah dengan cepat dan penuh kendali. Begitu tingginya Puncak Tiga Rembulan ini sehingga me luncur turun dengan cepat ini pun rasanya lama sekali. Itulah sebabnya ilmu cicak tidak dapat menjadi pilihan untuk menuruninya, karena meskipun bisa dipercepat dengan tiap sebentar melompat seperti katak sebelum menempel kembali, itu pun akan memakan waktu berbulan-bulan. Tepat ketika fajar menyingsing dan tiang-tiang T iga Puncak Rembulan berkilau keemasan, aku melayang dengan Amrita di punggungku memasuki pemandangan terbentang dari lapisan ke lapisan di udara tinggi, menembus mega-mega dan warnawarni pelangi di langit yang berubah-ubah dari ungu ke biru memasuki kuning lantas merasuk kelabu, dengan sangat cepat, tetapi yang terasa sangat lambat, begitu lambat, sehingga dapat kami amati dengan cermat segala sesuatu di atas bumi dari ketinggian ini. Pegunungan Mi-son yang bagaikan gundukan ungu tua, aliran Sungai Mekong dengan anak-anak sungainya berkelak-kelok di atas permadani hijau tua hutan rimba belantara pedalaman Kambuja. Pemandangan itu akan hilang mendadak apabila aku memutar tubuhku jungkir balik yang membuat Amrita di punggungku tentu terpaksa mengikutinya sebelum kembali kuluruskan tubuhku. Begitulah caranya aku mengatur kecepatan dan kelambatan dalam perjalanan turun ke bumi. Melayang, meluncur, melayang, sebagaimana kelelawar yang bukan burung pun akhirnya dapat terbang. Tiada akan pernah kukira tentunya, betapa Ilmu Silat Kelelawar yang kuserap berkat Jurus Bayangan Cermin, hanya karena jurus ini memang harus menyerapnya terlebih dahulu sebelum mengembalikan jurus ini kembali kepada penyerangnya, akan segera menjadi sangat berguna. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Kami masih meluncur, melayang, dan meluncur sembari menembusi berlapis-lapis pemandangan langit sebelum akhirnya mencapai setengah dari tinggi tiang Puncak Tiga Rembulan. Ketinggian luar biasa yang membuat segalanya sangat lambat, terlalu lambat, yang membuat kami dapat menatap dengan cermat bagaimana tubuh Pangeran Kelelawar masih tertancap pada dinding tebing karena tertancap dua pedang hitamku yang melesak sampai ke pangkalnya. Bahkan sempat kukitari lingkar dinding tempat kami mengadu jiwa itu, sehingga tampak jelas tubuhnya yang kaku membeku bagai menyatu dengan batu. Kepalanya tertunduk seperti ketika aku meninggalkannya di sana bersama kedua pedang hitam warisan Raja Pembantai dari Selatan, yang sangat dikenal orang-orang Khmer karena didatangkan wangsa Syailendra untuk membantai siapapun yang menghalangi jalan mereka. Dingin udara membekukan segala-galanya. Serpihan embun yang menjadi beku menyelimuti seluruh tubuh Pangeran Kelelawar yang selaput kulit kedua sayapnya telah kujadikan alas dan penutup kaki bagaikan sepatu. Kukelilingi tiang itu perlahan-lahan sehingga Amrita bisa selama mungkin memandang paman gurunya itu untuk terakhir kali, sebelum meninggalkannya untuk selama-lamanya. Baru kusadari kemudian betapa keduanya memang sempat lama bersama, sejak Pangeran Kelelawar membawanya pergi dari pelabuhan itu sampai tiba saatnya menyerangku, tepat saat aku tiba di kaki Puncak Tiga Rembulan pada ma lam bulan purnama. Setidaknya duapuluh hari dan barangkali hanya duapuluh hari menjelang bulan purnama, paman dan keponakan perguruan itu sempat bersama dalam usaha Pangeran Kelelawar menyembuhkan Amrita, karena Pangeran Kelelawar itu memang selalu mengembara. Dalam kenyataannya Pangeran Kelelawar tidak berhasil memecahkan kunci Jurus Penjerat Naga yang telah membocorkan prana, sehingga Amrita takdapat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ disembuhkannya, dan pada gilirannya takdapat pula memecahkan kunci Jurus Bayangan Cermin yang telah menyerap Ilmu Silat Kelelawar miliknya, sebelum akhirnya terperangkap pula oleh Jurus Penjerat Naga. JIKA aku sampai menggunakan Jurus Penjerat Naga itu berarti lawan yang kuhadapi memang tangguh seperti para naga, karena hanya diciptakan terutama untuk menghadapi lawan dengan kesaktian pada tingkat naga. Hanya pasangan pendekar yang mengasuhku saja memilih untuk menciptakan Ilmu Pedang Naga Kembar daripada mempelajarinya, karena memang mencintai permainan ilmu pedang berpasangan. Sembari mengelilingi tiang sebesar bukit yang berada di tengah itu, aku diliputi perasaan haru menghayati kehidupan Pangeran Kelelawar yang terlempar dari kehidupan istana, mengembara dalam pencarian kesempurnaan dalam dunia persilatan, dan suatu hari tewas di tangan seorang perantau asing dari Jawadwipa. Tidakkah terasa pedih, dikalahkan seorang pendatang, dari bangsa yang telah menjarahrayah dan membakar candi pemujaan sembari menyebarkan pembunuhan, meski memperkaya kebudayaan pula" Namun siapakah yang tidak akan kalah dan mati di ujung pedang dalam dunia persilatan, dalam perjalanan mencari kesempurnaan seperti dikehendakinya" Siapapun dia, betapapun saktinya, selama masih menghendaki pencapaian kesempurnaan haruslah siap untuk mati di tangan siapapun yang lebih unggul daripada dirinya. Jadi selalu siap membunuh dan juga selalu siap dan rela terbunuh -memang di sanalah seorang pendekar mempertaruhkan kehormatannya. Kemudian kuketahui betapa Amrita pun menangis. Air matanya meleleh pada pipinya yang membeku. Aku sangat mengerti bagaimana ikatan dalam perguruan silat bisa lebih erat daripada ikatan kekeluargaan. Apalagi keduanya berada di tempat yang sama dalam keadaan yang rawan, bahwa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Amrita terancam kematian dan Pangeran Kelelawar bersiap menghadapi kematian. Kemudian bukan hanya airmata, tetapi juga suara sesenggukannya terdengar olehku di antara deru dingin, yang semakin lama semakin mengencang angin, meski bukanlah maksud Amrita yang menempel di punggungku itu untuk memperdengarkan kedukaannya yang sangat dalam dan memedihkan. Kuusahakan melayang lebih dekat dan semakin dekat, karena apalagi dengan Amrita di punggungku tiada mungkin kami melayang naik. Dalam jarak yang dekat tetapi tentu takbisa berhenti, wajah Pangeran Kelelawar yang betapapun memang beku menyatu batu bagaikan masih hidup, dengan tangan terkulai lemas, tetapi takbergoyang dalam tiupan, sementara dua pedang menancap seperti bagian tubuh itu sendiri. Meskipun tubuh itu jelas tiada bernyawa, tetapi kedudukan tubuh yang bagaikan menyatu pada batu seperti itu, wajah yang tertunduk dengan mata terpejam bagaikan tepekur begitu, seperti menyimpan banyak sekali cerita. Akhirnya harus ditinggalkan juga tubuh Pangeran Kelelawar yang semakin lama semakin mengecil itu, meninggalkannya dengan segala cerita yang ada padanya, semakin jauh dan semakin jauh. Aku terus meluncur ke bawah, bahkan mempercepatnya, dengan mengapitkan kedua tangan sejajar tubuh dengan kaki yang juga terkatup rapat. Bagai terdengar ledakan di telingaku ketika tubuhku dengan Amrita menempel pada punggungku menembus segala lapisan udara, meluncur Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan meluncur turun langsung ke bumi. Percepatan kulakukan karena perjalanan memang masih jauh. Perasaan telah melayang dengan lambat hanyalah pertanda betapa Puncak Tiga Rembulan ini sangatlah tinggi. Betapapun setelah meninggalkan titik tempat tubuh Pangeran Kelelawar tertancap sendirian itu perjalanan tinggal separuh lagi. Aku ingin segera kembali ke bumi karena dingin udara langit memang bagaikan taktertahankan. Selimut telah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kujadikan sayap untuk mengemudi, sehingga diriku hanya dibalut kancut dan kain jubah dari kapal yang jauh dari cukup untuk menahan dingin, serta Amrita busananya lebih parah lagi, takmengenakan apapun di bagian atasnya dan dari pinggang ke bawah masih saja kain tembus pandang gaya Funan, yang meskipun tidaklah set ipis tampaknya apalah artinya pada ketinggian di antara mega-mega" Aku meluncur turun, turun, dan turun, kini sengaja tegak lurus ke bawah karena aku tidak ingin membuang waktu lagi. Dalam sekejap sepertiga dari setengah bagian bawah itu terlampaui, dan kiranya akan terus meluncur jika Amrita tidak mengingatkan bahwa aku tidak bisa terus menerus menjatuhkan diri tegak lurus kecuali ingin jatuh seperti karung dan hancur lebur meleleh seperti buah kates jatuh dari atas pohon kelapa. ''Menyamping! Menyamping!'' Amrita berteriak di telingaku. Tentu aku tahu bahwa kini tiada lagi mega yang akan tertembusi dan karena itu sudah waktunya kusesuaikan kejatuhanku dengan tarikan bumi, maka akupun berputar satu kali sebelum membelokkan arah menyerong, menjauhi ketiga tiang Puncak Tiga Rembulan, melampau hutan, dan setelah itu membentangkan lagi kedua kaki dan tangan. DENGAN segera penurunanku tertahan, melambat, dan aku melayang lagi mengitari wilayah hutan yang pernah kurambah ketika mencari Puncak Tiga Rembulan, dan di luar hutan itulah terlihat titik-titik seperti semut, beribu-ribu semut, yang segera menyebar ketika melihat kami. "Lihat!'' Amrita berteriak, "pasukan Jayavarman!'' Benarkah mereka memang menanti kedatangan kami" Tidakkah dari bawah sana kami pun taklebih hanya sebuah titik" Aku mencoba melayang menyamping lebih jauh dan lebih jauh lagi dari titik-titik semut yang lari berhamburan menyeberangi persawahan itu. Melayang menyamping TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ memang mengurangi kecepatan, menjadikanku lebih lamban, tetapi tetap menurun dan menurun jua. Arah pendaratanku bagaikan bisa mereka duga. Sebagian pasukan yang berkuda dengan cepat memburuku ke tempat aku takbisa melayang lebih jauh lagi. Aku masih mempunyai pandangan luas di atas ini, dan dengan sayap selimut kulit kambing ini aku masih bisa mengemudikan diri ke tempat yang aku kehendaki. Sembari melayang dan terpandang hutan, sawah, kampung, lapangan, serta jurang, aku sempat berpikir. Tantangan Pangeran Kelelawar, meski diucapkan dalam bahasa Sansekerta, terdengar oleh setiap orang di pelabuhan Fu-nan. Pertarungan kami mempunyai jadwal yang jelas, yakni pada ma lam bulan purnama, dan tempatnya juga jelas, yakni Puncak Tiga Rembulan. Meski tempat itu, seperti yang kualami, sangat sulit dicapai, jika aku pun sampai ke sana, mengapa harus menjadi lebih sulit bagi orang Khmer sendiri" Amrita kurasakan semakin erat mencengkeram. Aku berpikir kepungan beribu-ribu orang ini lebih berhubungan kepada dirinya daripada diriku. Bukankah dirinya, seperti yang telah diceritakannya sendiri, telah menyebarkan kematian begitu rupa di istana untuk melumpuhkan pemerintahan Jayavarman" Betapapun telah dimanfaatkannya para pembunuh gelap dari jaringan Naga Hitam, selama pengawal rahasia istana yang terlatih berhasil mengendusnya, sangatlah mungkin kerahasiaannya terbongkar. Telah diketahui betapa Jayavarman II tinggal bertahun-tahun di lingkungan istana di Jawadwipa, dan tentunya ia belajar pula bagaimana memanfaatkan jaringan rahasia seperti Cakrawarti demi kepentingannya. Kami masih cukup tinggi di udara, setidaknya masih dapat berputar sekali lagi dalam wilayah yang sangat luas ini. Mereka tentu mendengar diriku dan Putri Amrita Vighnesvara ini berada di atas Puncak Tiga Rembulan untuk bertarung TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ulang, dan karena Pangeran Kelelawar berada di pihak Amrita, maka kemungkinan besar mereka berdua itulah yang akan turun dari atas sana. Namun karena tidak tahu pasti tempat pendaratannya, mereka sebarkan manusia di mana-mana. Apakah mereka perkirakan bahwa siapa pun tidak mungkin meluncur jatuh ke bawah, sehingga di kaki tiang-tiang itu sendiri tidak diperlukan penjagaan oleh seorang pun jua" Kubelokkan arah me layangku kembali menuju kaki Puncak Tiga Rembulan. Setidaknya jika ribuan manusia, yang berkuda maupun tidak berkuda tetap akan memburuku ke kaki tiangtiang itu, tidaklah mudah bagi siapa pun untuk menempuh rimba raya yang pernah kulalui itu, Aku melayang makin rendah. Pucuk-pucuk pohon di bawahku, bahkan sejumlah burung terbang berpapasan di atas kami. Kadang-kadang terlirik pula olehku sarang burung dan telur-telurnya di atas pohon itu. Kami melesat ke arah kaki Puncak Tiga Rembulan yang berada di dataran tinggi. Pucuk-pucuk pohon kemudian menyerempet tubuh kami sebelum akhirnya kukerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengurangi pengaruh bobotku yang ditarik perputaran bumi. Amrita telah pula melenting lebih dulu dari punggungku, sebelum aku seharusnya menginjak tanah, yang ternyata kubatalkan karena kudengar suitan senjata rahasia siap merajam tubuhku. Dengan sayap kulit kambing ini, tanpa beban Amrita di punggungku, aku dapat bergerak seperti yang dimaksudkan Ilmu Silat Kelelawar, yakni berkelebat terus menerus tanpa menginjak tanah sama sekali. Ribuan jarum beracun yang amis baunya, tanda racun yang tingkatnya tinggi, melesat dan bersuit-suit dari segala arah. Di atas tanah Amrita telah memegang kipas besar yang kibasan anginnya saja telah merontokkan jarum-jarum itu ke tanah. Namun hujan jarum yang datang dari segala arah itu tidak juga berhenti, sehingga Amrita me lepaskan dua belas pisau terbang ke dua belas arah yang tepat mengenai sasarannya. Dua belas tubuh yang tertancap pisau terbang di TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lehernya masing-masing terjatuh dari atas pohon di sekitar tiang-tiang Puncak Tiga Rembulan itu. Berhentinya serangan jarum itu membuatku bisa mendarat di bumi. DARI segala arah telah muncul orang yang memegang berbagai macam senjata, dan lengan mereka berkelat sebagai tanda jabatan tertentu. ''Pengawal istana,'' dengus Amrita, ''apa kerja kalian di tengah hutan ini"'' Jumlah mereka sekitar lima puluh orang. Salah satu pemimpinnya menunjuk ke suatu arah dengan pedangnya. Amrita memekik tertahan. Para pengawal pribadinya yang kulihat di pelabuhan waktu itu tergantung pada lehernya dan tubuh mereka penuh dengan luka. Tidak kurang dari dua belas orang banyaknya. Tubuh Amrita bergetar, wajahnya memerah, dan matanya menyala-nyala. Di tangannya segera terpegang satu lagi kipas. ''Kalian harus membayar untuk perbuatan kalian!'' Lantas ia mengepakkan kedua kipasnya ke belakang, dan tubuhnya melayang ringan ke arah pengawal istana yang menunjuk dengan pedang itu. Kulihat Amrita melayang di udara dengan dua tangan yang memegang kipas itu terlipat di samping tubuh menuju ke arah pengawal istana itu, yang dengan begitu mengira Amrita sebagai makanan empuk. Namun begitu ia berusaha membacok kepala Amrita yang seolah-olah tidak terlindung, Amrita me lejit jungkir balik sampai dengan kepala masih di bawah berada di atas kepala pengawal istana itu. Aku sudah tahu apa yang akan dilakukan Amrita, dalam sekejap mata kedua kipas yang sudah mengembang di samping tubuhnya itu tinggal ditepukkannya ke bawah, dan lenyaplah kepala pengawal istana itu tidak kelihatan lagi. Tinggal tubuhnya terbanting dengan darah menyembur deras bagai air mancur dari batang lehernya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan tenaga tepukan itu Amrita melayang jungkir balik ke atas, sehingga ketika kepalanya berada di atas kembali, dapat segera dilihatnya berpuluh-puluh pengawal istana itu keluar dari persembunyiannya, dan semuanya, semuanya tanpa kecuali, melemparkan senjata rahasia jarum-jarum beracun. Masih di udara Amrita menggerakkan kipasnya begitu rupa sehingga tubuhnya berputar bagai baling-baling dengan kipas tersebut sebagai sayap baling-balingnya; maka ribuan jarum beracun itu pun terserap oleh angin pusaran tubuh Amrita yang kini sudah berputar seperti baling-baling itu. Tidaklah mengherankan bagiku jika di tanah Khmer ini tiada lawan yang cukup sepadan bagi Amrita, yang membuat putri nan cantik serta jelita ini merajalela tanpa tandingan. Pantaslah jika ibarat kata seluruh pasukan bersenjata Angkor dikerahkan untuk menangkapnya. Kemudian akan kuketahui, bahwa sebetulnya adalah Amrita dan para pengawal pribadinya yang telah bergerak ke seluruh Kambuja membasmi golongan hitam di tempat-tempat persembunyian mereka. Maka kedigdayaan Putri Amrita, murid Naga Bawah Tanah yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang telah menjadi permakluman seisi negara. Para pengawal istana melesat beterbangan ke arah Amrita yang masih berputar, tetapi saat itulah Amrita mendadak berhenti berputar, melenting ke luar dari lingkaran jarum yang berpusar sambil mengibaskan kedua kipasnya mengikuti pusaran itu, mendorong jarum-jarum itu dengan tenaga pusarannya yang dahsyat melesat kembali ke arah para penyerangnya! Demikianlah ribuan jarum itu berurutan keluar dari pusaran, menyambut para pelemparnya sendiri dengan janji perajaman. Terpaksalah para pengawal istana ini, sembari masih meluncur di udara, menggerakkan senjatanya untuk menangkis jarum-jarum beracun mereka sendiri. Maka bagi Amrita yang sementara itu telah sampai ke bumi, terdapatlah kesempatan untuk menjejakkan kakinya lagi, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ melesat dengan kedua kipas tertutup yang ketajamannya melebihi pedang, berkelebat cepat membuat garis di bagian tubuh setiap pengawal istana, yang ketika menangkis jarumjarum itu pertahanannya jadi terbuka. Membuat garis artinya melubangi tubuh di tempat yang mematikan. Ketika Amrita mendarat kembali hampir seluruh pengawal istana yang menyerangnya itu sudah tewas. Dari garis yang diguratkan Amrita di tubuhnya merembes darah, yang semula memang hanya membentuk garis, tetapi lantas membanjir menggenangi tanah. Sisanya yang masih hidup mengerangerang sebentar, tetapi segera tewas menyusul yang lain menuju nirvana jika mereka mempercayainya. Dalam sekejap mata putri istana yang halus mulus dengan telapak tangan selembut kapas ini telah menewaskan limapuluh pengawal istana. Aku yang baru saja menginjak tanah bahkan belum sempat berbuat apa-apa. Untuk berterus terang, bahkan belum sempat menarik nafas sama sekali! Peristiwa yang baru saja kuceritakan secara rinci itu sebenarnyalah berlangsung dalam sekejap mata. HANYA karena mereka yang terlibat dalam dunia persilatan, yang pergerakannya serbacepat, begitu cepat, melebihi kecepatan pikiran, matanya terlatih untuk mekakukan pengamatan. Jadi segala yang berkelebat tetap saja berkelebat, bukan tak mungkin lebih cepat dari pikiran, tetapi pengajian atas pengamatan tetap bisa dilakukan, atas pandangan mata yang terlatih menanggapi percepatan pergerakan. Kulihat Putri Amrita yang memunggungi diriku, berdiri tegak dengan kaki terbentang, menatap tajam ke dalam hutan yang memperdengarkan suara gemuruh datang suatu barisan. Kupejamkan mataku dan melalui ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang kuketahui betapa selaksa manusia yang bermaksud mengepung kami sedang mendatang dengan bergelombang. Di dalam, di atas, maupun di luar hutan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Agaknya memang tiada celah yang ingin mereka berikan. Berlindung di antara kerimbunan hutan sudah tiada memungkinkan, karena telah dipenuhi pasukan; jika melenting ke atas pucuk-pucuk pepohonan, maka di sana kulihat pasukan pengawal rahasia istana, yang paling tinggi ilmu silatnya dari berbagai kesatuan keprajuritan, telah berteberan dan berayun ringan di ketinggian; lantas kalaupun dengan suatu cara kami lolos dari hadangan, di luar hutan masih terdapat lautan pasukan kerajaan yang menyemut untuk memastikan berhasilnya penangkapan. Kusaksikan Putri Amrita, dan kuraba sayap kulit kambing yang masih terikat pada kedua tanganku. Barulah kusadari betapa Ilmu Silat Kelelawar yang terserapnya hanya secara kebetulan dan tidak diniatkan, kini sungguh bagiku menjadi andalan. Gelombang manusia muncul dari dalam hutan bagaikan air pasang. (Oo-dwkz-oO) Episode 111: [Demi Sebuah Penangkapan] SELAKSA prajurit menyerang bagaikan gelombang pasang dari dalam hutan dengan pekik peperangan yang menggetarkan langit dan membuyarkan awan. Kami yang hanya berdua bagaikan menjadi sekadar noktah di lautan, Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan segera kukepakkan sayap kulit kambing yang membuat tubuhku mengambang ke atas, lantas kugerakkan tubuhku naik dan turun seperti kelelawar menyambarnyambar buah di dalam hutan. Sayap itu membuat aku dapat bergerak jungkir balik dan berguling-guling di udara tanpa menyentuh sesuatupun di atas bumi, menghindari usaha penangkapan membabi buta karena pembunuhan gelap Amrita yang nyaris melumpuhkan pemerintahan. Kulirik Amrita yang dengan kedua kipasnya bergerak seperti menari tetapi yang setiap gerakannya mendatangkan kematian. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Korban-korban Amrita inilah yang menjadi penanda gerakan takkelihatan. Ia bergerak sangat cepat, terlalu cepat, secepat-cepatnya cepat karena gelombang pasang pasukan kerajaan ini memberikan jumlah manusia yang seolah-olah di luar perhitungan dalam jarak yang begitu dekatnya sehingga tiada ruang bagi penghindaran dan penyelamatan. Dalam sekejap ratusan nyawa telah tercerabut sepasang kipas Amrita yang dapat kulihat telah menjadi merah sepenuhnya karena darah para penyerang. Perempuan pendekar ini bergerak dengan sangat tenang, terlalu tenang, sangat amat tenang, tetapi dengan kecepatan taktertatap dan hanya korban-korban berpentalan tanpa nyawa sajalah membuat para pengepungnya dapat menandai kedudukan. Para pengepung ini tidak sembarang mengepung, di antara para prajurit bersenjatakan tombak dan parang yang menyerang dengan teriakan selalu diselipkan seorang perwira berilmu tinggi yang diharapkan mendapat sekejap kesempatan. Dalam pertempuran beratus ribu orang juga berlaku dalil dunia persilatan, bahwa hanya diperlukan setitik kelemahan dalam sekejap kelengahan untuk menyentuh bagian yang paling me lumpuhkan. Namun siapakah orangnya yang dapat melumpuhkan Amrita Vighnesvara sang dewi penghancur murid Naga Bawah Tanah yang kesaktiannya bagaikan dewa, tanpa Jurus Penjerat Naga yang telah dipelajarinya pula meski dari kitab curian yang nyaris mencelakakannya" Para perwira diselundupkan di antara barisan untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan, tetapi Amrita te lah menyiapkan pisau-pisau terbang dalam ikat pinggangnya hanya untuk menyambut mereka itu sahaja. Begitu cepatnya gerakan Amrita, sangat amat cepat sampai tiada terlihat, sehingga dapat dilihatnya segenap gerak penyerangan sebagai sesuatu yang amat sangat lambat, bahkan terlalu lambat, sehingga dapat dilumpuhkannya setiap penyerang dengan terlalu mudah, bagaikan menepuk nyamuk yang sedang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kekenyangan. Namun dengan mata awam tentu saja ini menjadi pembantaian mengerikan. ALIH-ALIH pasukan kerajaan bermaksud merajam, sebaliknya Amrita melapangkan jalan bagi setiap sukma yang hari itu tiba saatnya berpulang. Untuk setiap perwira yang menyerang dalam kesempitan dilayangkannya pisau terbang yang bagaikan bermata untuk segera menancap pada setiap tenggorokan tanpa perlindungan. Pengepungan ini betapapun terlihat kacau balau sungguh penuh perhitungan, meski perhitungan yang manapun sangat mungkin mengalam i kesalahan. Perhitungannya sendiri memang tampak sederhana, karena setelah menyadari kesaktian Amrita, diduga bahwa ia bisa ditenggelamkan oleh lautan manusia. Tidaklah terduga tentu bahwa ilmu silat Amrita jauh lebih tinggi dari yang dapat dibayangkan manusia. Naga Bawah Tanah tentu tidak mendapatkan namanya dengan begitu saja, dan jika akhirnya Amrita diterima sebagai murid satu-satunya tentu karena dapat menerima segenap ilmu yang diturunkannya. Inilah memang yang membuatku bertanya-tanya: Jika Naga Bawah Tanah tidak pernah memperlihatkan diri, bagaimanakah caranya Amrita dapat menjadi muridnya" Namun ini tentu bukan saat untuk memikirkannya, terutama ketika aku masih berkelebat seperti kelelawar di udara, menghindari hujan tombak dan anak panah yang datang bagaikan hujan, tanpa celah sama sekali untuk dapat menghindarinya. Maka terpaksalah aku tidak sekadar menghindar, melainkan juga menangkisnya, dan untuk itu kusambar sebuah pedang yang melayang, lantas menggerakkannya dalam perpaduan antara Ilmu Silat Kelelawar dan Ilmu Pedang Cahaya Naga. Dengan Ilmu Silat Kelelawar aku dapat bergerak di udara terus menerus tanpa menyentuh bumi, dengan Ilmu Pedang Cahaya Naga aku dapat menangkis seberapa banyak dan seberapa cepat pun TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ setiap serangan yang mendatang, bahkan bila perlu membalasnya begitu rupa, sampai habis luluh lantak tanpa sisa, meski terhadap pasukan yang berasal dari golongan petani ini aku tidak tega melakukannya. Seharusnya kugunakan sepasang belati panjang seperti Pangeran Kelelawar, tetapi menurutinya sesuai Ilmu Silat Kelelawar tidak akan bisa tanpa menelan korban. Jadi kugunakan Ilmu Pedang Cahaya Naga yang kecepatannya tidak dapat diikuti mata, begitu rupa cepatnya sehingga bukan saja aku dapat menangkis, melainkan dapat membabat ribuan senjata yang menyerang berbarengan pada punggung senjata-senjata itu. Kemudian, apabila begitu cepatnya gerakanku sehingga tak selalu sempat para penyerang itu melempar senjata, maka kukurimkan sekadar angin pukulan untuk melontarkan mereka ke mana-mana. Jelas aku tidak tega menggunakan pukulan Telapak Darah yang merupakan puncak pencapaian angin pukulan itu, terutama karena seluruh urusan pengepungan dan penangkapan ini sungguh tidak menyangkut diriku. Ini sungguh berbeda dari Amrita, yang menyadari dirinya akan dirajam, yang hanya membangkitkan kehendak untuk merajam pula. Telah kukatakan betapa kedua kipasnya telah menjadi merah karena darah. Setiap kali kipas di tangan kiri maupun kanan mengembang maupun menutup, darah memuncrat dari tubuh korban. Amrita tidak lagi tampak sebagai putri cantik jelita dengan mata mengerjap tajam yang dapat membuat setiap orang terkesiap, melainkan algojo pencabut nyawa yang seluruh tubuhnya bagaikan tercelup darah. Amrita hanya merah. Kain tembus pandangnya yang telah membuat aku terpesona dan mengejarnya sampai ke Puncak Tiga Rembulan telah menjadi kain yang basah kuyup oleh darah dan diikatkannya sebagai kancut seperti busana pria. Kakinya yang putih mulus juga merah sepenuhnya oleh darah yang bagaikan tiada pernah mengering karena setiap kali tersembur semprotan darah baru. Adalah juga darah yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terus menerus bercipratan membuncah-buncah ke seluruh tubuh bagian atasnya, yang meski tiada mengenakan apa pun kini tak ada yang bisa dilihat lagi selain dari merahnya darah. Amrita mungkin tidak akan sempat menyadari keadaan dirinya, karena gelombang pasang yang kini sengaja tidak dihindarinya. Perempuan pendekar ini mengeluarkan Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan yang sangat kejam dan berbahaya, karena memang akan sangat mengecoh setiap lawannya. Jurus ini memperlihatkan gerak-gerik seorang pendeta yang tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, dan asyik mengipasi dirinya sendiri sambil menikmati pemandangan alam. Jadi Amrita tidak melenting-lenting lagi, bahkan matanya mengerling genit seperti bhiksuni berganti pekerjaan menjadi muncikari. Maka sepintas lalu Amrita dengan seluruh tubuh yang telah memerah oleh darah itu bagaikan perempuan kehilangan kewarasan, karena berjalan melenggang sambil berkipas-kipas di tengah medan pertempuran. NAMUN akibat dari jurus ini tidak terbayangkan, karena bukan saja penyerang terkecoh oleh keberadaan Amrita yang melenggang penuh kelemah lembutan, tetapi sekian lapis barisan yang berada di belakangnya pun tewas bergelimpangan sebelum menyerang. Apakah yang telah terjadi" Aku teringat pernah membaca Kitab Pembahasan Jurus-Jurus Kipas Berbagai Aliran dan di sana disebutkan tentang Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan tersebut. Seingatku memang dikatakan di situ bahwa jurus-jurus ilmu kipas merupakan ilmu silat yang menggabungkan kelembutan dan kekerasan, dan karena itu mensyaratkan penguasaan ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam yang tinggi. Dalam Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, kelembutan itu terletak dalam gerakan lemah, ibarat pendeta yang sudah 40 hari berpuasa, tetapi yang dalam gerakan Amrita menjadi lemah gemulai penuh kerlingan; sedangkan kekerasannya terletak pada tenaga dalam yang disalurkan melalui kipas itu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Disebutkan bahwa dalam ilmu kipas, tenaga dalam akan membuat kipas kertas lebih kuat dari senjata logam manapun, bahkan angin pukulan kipas itu dapat menerbangkan siapapun dengan kuda-kuda begitu kuatnya sampai jatuh tergulingguling jika tidak membentur pohon dengan begitu keras sehingga tewas saat itu juga. Namun jurus yang satu ini, Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, jauh lebih istimewa, karena tenaga dalam yang dikuasai bukan hanya harus mampu membuat kipas kertas lebih tajam dari logam, melainkan betapa zat udara yang meneruskan garis dan sisi bidang kipas itu pun menjadi zat padat dan tajam, setajam mata pisau belati yang lebih dari tajam. Tenaga dalam memadatkan udara sepanjang sisi bidang yang mengikuti kipas sejauh-jauhnya, sejauh daya tenaga dalam yang tersalur melalui kipasnya. Tenaga dalam yang biasa membuat kipas kertas sekuat logam, hanya tenaga dalam luar biasa membuat seorang pendekar mampu membelah pohon maupun batu, dari jarak seribu langkah dari pohon atau batu itu, hanya dengan menggerakkan kipas yang bagaikan disambung baja tertajam di dunia tanpa kelihatan. Itulah yang sedang dilakukan Amrita sekarang dengan Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan. Di tengah medan pertempuran di bawah Puncak Tiga Rembulan yang tinggi menjulang ia tampak berkipas sambil me lenggang-lenggok, tetapi kibasannya ibarat irisan logam tajam bertenaga dahsyat yang membabat siapapun dalam garis lintasannya, dengan pencapaian sejauh-jauhnya. Bukan saja baris terdepan yang menyerang dengan segala pekikan jatuh bergelimpangan, tetapi juga empat sampai lima baris di belakangnya yang baru siap untuk menyerang terbabat bergelimpangan. Apapun yang menghalangi jalan dipatahkannya. Jika itu tombak, maka tombak itu akan patah; jika itu pedang, maka itu akan terbelah; jika itu perisai, tak urung akan terpercik warna merah karena tangan yang memegangnya terdedah parah. Jangan ditanyakan lagi bagian tubuh manusia seperti perut, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ leher, dada, atau kepala yang berada dalam garis lintasan kipas yang dalam jarak seribu langkah tetap menyapu ganas. Pemandangan yang sungguh aneh, tetapi sangat mengerikan. Kalau sebelumnya hanya yang berada dekat Amrita seperti mengantar nyawa segera bersimbah darah, kini semua orang di baris-baris belakangnya pun, sampai empat dan lima lapisan ikut bergelimpangan dengan luka terparah. Kipas itu sedang terbuka atau tertutup akibatnya berbeda, karena meski sama tajam dalam irisan, dalam keluasan sangat besarlah perbedaan. Bagaikan terdapat pisau jagal raksasa dari langit yang membelah ke kiri dan ke kanan, dan di sana Amrita berlenggang-lenggok sendiri bagaikan takpeduli, dengan sekujur tubuh, dari wajah sampai sepasang kaki, merah semrerah-merahnya merah karena darah. "Amrita!" Aku berteriak menyergah di antara serbuan membabibuta yang sebenarnya juga tidak memberi kesempatan. "Sudahlah Amrita! K ita tinggalkan semua ini! T inggalkan!" Amrita mengerling dalam penghayatan jurusnya itu, sembari menggerakkan kipasnya, dan kini para penyerangkulah yang bergelimpangan dan terlontar ke udara dengan tubuh-tubuh terbantai mengenaskan. Tentulah sudah kuduga betapa tidaklah akan terlalu mudah meninggalkan gelanggang Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pertempuran, yang telah diperhitungkan demi berhasilnya penangkapan. Meskipun Amrita adalah puteri Jayavarman II sendiri, pembunuhan gelap adalah kesalahan tak berampun, yang karena itu pasti berlangsung oleh penyebab yang lebih besar dari sekadar kepentingan kekuasaan. Telah kusebutkan betapa selain prajurit yang mengempas bak gelombang pasang dari dalam hutan, di atas pucuk pepohonan telah menanti para pengawal rahasia istana, yang tentu saja paling tinggi ilmunya di antara segenap kesatuan dalam pasukan kerajaan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ BERBEDA dengan pengawal rahasia istana Mataram di Jawadwipa yang busana resminya serbaputih, dengan pedang lurus panjang yang berkilat keperakan, maka para pengawal rahasia istana raja Jayavarman II yang masih sedang menggalang kesatuan Angkor di seluruh Kambuja ini berbusana jauh lebih sederhana, taklebih dan takkurang karena mereka semua hanya berkancut abu-abu kecoklatan, yang memberi kesan lusuh, dengan ikatan kain kepala yang disimpulkan di depan. Hanya perhiasan seperti kalung dan kelat bahu menunjukkan kedudukan mereka yang lebih tinggi. Betapapun, ke sanalah aku melayang seperti kelelawar menyambar-buahan, tetapi dengan tangan memainkan Ilmu Pedang Cahaya Naga. Penghargaanku atas kesetiaan mereka kepada rajanya membuat aku tidak tega membunuh mereka. Namun apa daya serangan para pengawal rahasia istana ini jauh lebih berbahaya dari gelombang manusia di bawah sana. Melenting di atas pucuk-pucuk pepohonan membuatku dapat memainkan paduan Ilmu Silat Kelalawar dan Ilmu Pedang Cahaya Naga dengan cara yang berbeda. Jika di bawah tadi Ilmu Silat Kelelawar membuat aku tidak perlu menapak bumi yang memang penuh dengan manusia bertombak, di atas pohon ini bisa kumanfaatkan pucuk-pucuk pepohonan untuk mengubah jurus-jurus Ilmu Silat Kelelawar yang agaknya telah mereka pelajari sebelum pengepungan. Memang tampak serangan serempak mereka tidak menemui sasaran, bahkan dengan kecepatan cahaya aku bergerak dengan mudah untuk membuat senjata mereka melayang berpentalan. Telah kukatakan aku sama sekali tidak ingin membunuh, tetapi ini pun tidak dapat dilakukan tanpa kesulitan, terutama karena ilmu silat mereka yang tinggi dan ini membuat serangan mereka berbahaya, begitu berbahaya sehingga bagaikan tiada mungkin dihentikan atau dihindari tanpa membunuhnya. Padahal aku memindahkan gelanggang ke atas pucuk-pucuk pepohonan ini justru agar pembantaian TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Amrita mendapat cara untuk dihentikan, hanya dengan membuat jalan keluar aku dapat meyakinkan Amrita bahwa menghindari pertempuran bisa dilakukan. Masalahnya, bukan saja bahwa para pengawal rahasia istana jumlahnya bukan sekadar belasan atau puluhan orang, melainkan ratusan orang banyaknya, yang memenuhi pucuk-pucuk pepohonan seluruh wilayah hutan, karena memang dikerahkan dari berbagai istana seluruh Angkor; tetapi juga bahwa Puteri Amrita sama sekali tidak sudi menghindari pengepungan ini dan pergi. Dugaanku tidaklah terlalu keliru, karena sementara aku berkelebat mengelak dari berbagai serangan yang begitu cepatnya, sempat kulirik Amrita yang setelah bosan dengan Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan kini me lentinglenting dengan ringan di atas kepala dan pundak ribuan penyerangnya untuk menyebarkan maut melalui jarum-jarum beracunnya yang takpernah kutahu di mana disimpan. Seluruh tubuhnya masih penuh dengan darah, membuatnya seolaholah bagaikan penampakan iblis yang terkejam dan terganas. Orang-orang tewas dengan tubuh tersentak dan menghijau. Apabila sebatang jarum saja lebih dari cukup untuk mengakhiri riwayat seseorang, apakah yang akan terjadi ketika Amrita ternyata cukup meraup saja jarum-jarum beracun itu, dan terus menerus menghamburkannya bagaikan tiada akan ada habisnya" ''Katakanlah kepadaku, wahai Amrita,'' aku berteriak sambil menghindari berbagai tetakan tajam yang sangat mematikan, ''bagaimana agar bisa daku bawa dikau keluar dari sini dan menghindarkan orang-orang tak bersalah ini dari pembantaian"'' Amrita hanya tertawa, tak lagi renyah seperti yang kukenal, melainkan terdengar getir tanpa kegembiraan. Maka aku pun tidak lagi merasa membutuhkan jawaban, apalagi ketika serangan para pengawal rahasia istana berilmu tinggi itu semakin gencar dan menuntut terpusatnya perhatian. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sekali lagi aku merasa harus berterima kasih kepada Ilmu Silat Kelelawar yang membuatku bisa tetap berputar dan berputar naik turun seperti kelelewar berkelebat di antara pepohonan. Para pengawal rahasia istana ini dengan cerdik sama sekali tidak berusaha mengepung dan menyerang serentak seperti ratusan ribu prajurit di bawah itu, melainkan hanya bergerak bila aku berada di petak yang mereka jaga, sehingga tiada ruang kosong yang digunakan Amrita karena perhatian tersita untuk menyerangku. Seberapa besarkah daya tahan manusia" Dari waktu ke waktu gelombang manusia terus menerus menyerang Amrita di bawah sana. Jangan lupa betapa kami terjun dan turun melayang dari dataran Puncak Tiga Rembulan antara lain karena tiada lagi yang bisa dimakan. Amrita masih melentinglenting dan terbang ke sana sini sambil menyebarkan maut dengan kipasnya, tetapi para kepala pasukan telah semakin cerdik dalam siasat pengepungan. Menyadari betapa lautan manusia ternyata tak juga dapat menenggelamkan Amrita, dan betapa bahkan dengan cara itu pun Amrita dapat menjadi lenyap mendadak tak kelihatan, tetapi segera muncul kembali dengan Jurus Kipas Menggunting dalam Lipatan sehingga korban jauh lebih banyak lagi berjatuhan, panglima pengepungan ini bersuit sebagai pertanda anak buahnya harus mundur. MAKA sejak barisan lapis pertama mereka pun mundur seratus langkah. Kedudukan yang mundur digantikan barisan panah, bisa mencapai lima puluh ribu orang, yang meskipun saat melepaskan anak panahnya berbarengan, datangnya dari arah yang berlain-lainan. Sepuluhribu anak panah meluncur setinggi dada, sepuluh ribu yang lain setinggi paha, sepuluh ribu lagi meluncur setinggi mata kaki, dan dua puluh ribu sisanya mengancam rajaman dari atas kepala. Tentu tidaklah mungkin Amrita menghindarinya, bahkan jika ia bertiarap begitu rupa, tetaplah puluhan ribu anak panah akan mengenai sasarannya. Bagaimanakah caranya Amrita akan bisa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menghindarinya" Agaknya Amrita menggunakan Jurus Kipas Menelan Matahari yang membuat seluruh tubuhnya bagaikan berada dalam kurungan, yang adalah gerak kipas yang membentengi seluruh badan. Puluhan ribu anak panah pun mental kembali semuanya, semuanya dan semuanya tanpa sisa, dalam keadaan hancur, tetapi yang segera disusul lapis selanjutnya dalam barisan yang sama. Demikianlah kipas yang membentengi Amrita menjadi bagaikan penggilingan yang menelan dan memuntahkan puluhan ribu anak panah terus berlesatan tiada habisnya. Sehabis panah, tombak atau tepatnya lembing dengan ujung yang pipih, dalam jumlah yang tiada terhitung pun melesat penuh semangat rajaman. Namun Amrita tak hanya sudi menerima serangan, ia pun menuntut haknya untuk ganti menyerang, sehingga alih-alih Amrita yang maksudnya dirajam, tetap saja di pihak penyerang yang Misteri Rumah Berdarah 7 Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah Misteri Kapal Layar Pancawarna 14