Budha Pedang Penyamun Terbang 4
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 4 bukanlah tabu untuk dijalani. Siapa pun yang mendekatinya mesti berpikir tentang penyakit kelamin rajasinga yang mungkin saja akan menimpa mereka. Lelaki itu pun ternyata meloncat berdiri dengan ringan. "Astacandala tanpa kasta! Bagaimana mungkin ada seorang pelacur T ongking di antara kita di sini?" Ia menjauh sambil meledak-ledakkan cambuknya. "Ayo lanjutkan kerja!" Kulirik secepat kilat majikan penganyaman tikar pandan yang sejak tadi telah membela kami. Ia tampak memperhatikan Amrita dengan tajam. Adakah sesuatu yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ selama ini tidak dipikirkannya, karena kejadian ini lantas menimbulkan suatu gagasan" Dilihat sepintas lalu, sosok kami memang seperti kebanyakan paria pengembara biasa yang setiap kali berhenti untuk bekerja, yakni dekil, lusuh, dan berbau pula. Namun apabila seseorang memperhatikan dengan tajam, bagaimanakah caranya mengingkari keindahan mata Amrita" Ia telah menggimbalkan rambut, melusuhkan wajah, dan selalu menunduk, tetapi segenap sosoknya menyatakan suatu bahasa tubuh yang berbeda. Memang meskipun paria berada di luar kasta, ternyata di dalamnya tetap berlapis pula, seperti terdapatnya mleccha yang tidak bekerja dan hanya dapat meneruskan kehidupan dengan melakukan kejahatan saja. Sepintas lalu saja perbedaan paria pengembara yang sudi bekerja dan mleccha astacandala yang mencuri dan merampok bila kesempatan tiba cukup kentara, apalagi jika itu bukanlah paria pengembara yang sesungguhnya. Kepalaku sudah tunduk kembali, tetapi diriku tahu belaka betapa mata sang majikan masih tetap menatap kami berdua. Kuharap ia tidak tiba-tiba tersadar oleh keindahan Amrita yang bagiku pun seperti baru tampak nyata dari sosoknya, meski ia tampak dekil, lusuh, dan selalu menunduk pula. Memanglah keindahan tidak bisa ditutupi, meski tubuh Amrita kecil tetapi kesosokannya sungguh sempurna, yang kadangkala kurasa Amrita sendiri tak terlalu menyadarinya. Aku masih menganyam dan aku tahu Amrita pun dalam ketertundukannya membaca keadaan yang sama. Demikianlah kami terus menganyam dan baru berakhir sampai senja tiba. Sebelum keluar kami harus antri untuk menerima upah sebelum keluar, berdasarkan jumlah tikar yang kami selesaikan hari ini. Dalam hal ini dengan terpaksa kami telah memanfaatkan kecepatan tangan yang hanya mampu dilakukan dengan ilmu silat, agar kami dapat terus mengumpulkan upah yang banyak, sehingga dapat melakukan perjalanan dengan perasaan aman. Dengan begitu jumlah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tikar yang kami seleaikan menjadi paling banyak, dan entah kenapa dalam antrian itu kam i berada di deretaan terakhir. Majikan kami duduk pada sebuah bangku kecil, mengambil mata uang dari dalam tenggok setelah menghitung lembaran tikar yang kami serahkan. "Enam," kata Amrita sambil mengajukan gulungan tikar. Aku berdiri di belakangnya. Biasanya aku hanya menunjukkan dengan isyarat saja jumlah tikar yang selesai kuanyam. Majikan itu semula menunduk karena mengambil mata uang, tetapi ketika menyerahkannya ke tangan Amrita, dan menatap wajahnya, rupanya ia tak tahan lagi menahan sesuatu yang agaknya sejak tadi telah diketahuinya. Ia bersujud mencium tanah. "Putri Amrita! Ampunilah sahaya!" (Oo-dwkz-oO) Episode 118: [Pendekar Cahaya Senja] KAMI adalah orang terakhir dalam antrian, sehingga majikan rumah penganyaman tikar pandan itu, yang kukira telah menyadari keberadaan Amrita sejak tadi, berani nekat bersujud seperti itu, yang jika siapa pun mengetahuinya tentu akan membuka penyamaran. Betapapun kami terpaksa menganggap penyamaran kami telah terbuka, meskipun bapak yang bersujud itu kami percaya tidak akan mengatakannya kepada siapa pun juga. "Bapak, berdirilah, kami sedang menyamar, Bapak akan membuka samaran kami jika menyembah seperti ini." "Ampunilah sahaya!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Sudahlah Bapak, berdirilah, kami akan sangat berterima kasih jika Bapak berdiri sekarang juga," ujar Amrita. Majikan kami berdiri sambil menyerahkan upah kami. Namun setelah menerima upah mata uang logam itu, Amrita mengibaskan tangannya. Mataku dengan cepat menangkap mata uang itu me lesat dan menembus tiang rumah, dan menancap pada dahi seseorang yang bersembunyi sejak tadi mendengarkan perbincangan kami. Lelaki yang memegang cambuk itu ambruk ke lantai tanah. Pada saat majikan kami terkejut dan menoleh ke arah tubuh yang terguling sebagai mayat, kami sudah berada lima ribu langkah jauhnya dari tempat penganyaman itu. Kami terus melejit dengan ilmu meringankan tubuh dalam senja yang seperti tiba-tiba saja menjadi gemilang. Kami berkelebat di antara cahaya keemasan, melesat dan melesat mencari kota lain yang cukup besar dan cukup ramai untuk bersembunyi dan menyadap segala perbincangan. Telapak kaki kami tiada lagi menyentuh tanah, cukup menyentuh pucuk rerumputan, kami pun terbang. Semakin tinggi rerumputan, semakin tinggi semak-semak, semakin tinggi padang alang-alang, semakin tinggi kedudukan tubuh kami, sehingga ketika tiba di tepi hutan, kami pun terbang di atas pucuk-pucuk pepohonan. Ketika matahari kemudian terbenam dan cahaya yang ditinggalkannya memoles langit dengan warna darah, saat itulah ribuan kelelawar bagaikan serentak bangkit keluar dari dalam gua-gua yang berada di dalam hutan, memenuhi langit dan pergi entah ke mana untuk mencari makan. Demikianlah untuk sementara kami berkelebat di antara ribuan kelelawar yang berhamburan dari dalam hutan dan mengangkasa dengan kepakan nan anggun. Saat mereka semua berada di langit dan menjauh entah ke mana, kami pun merasakan kesunyian dalam kelam langit yang telah semakin tua TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ merahnya, dan semakin lama semakin menggelap. Namun langit sungguh belum menjadi gelap, bumilah yang gelap dan di bawah kami kekelaman hutan. Saat itulah berkelebat suatu bayangan yang bisa kurasakan desirnya tetapi tak dapat kutegaskan sosoknya. Aku dan Amrita hanya bisa mengandalkan kecepatan untuk menghindarkan serangannya yang ganas, sebelum akhirnya mengambil jarak dan hinggap di puncak sebuah pohon. Ia berbusana seperti pendeta Buddha aliran Yogachara, tetapi kepalanya tidak gundul me lainkan panjang sampai ke bahu. Mungkin ia memang pendeta, tetapi yang kemudian menyempal dan menolak tata cara yang biasa, bahkan tampaknya kemudian menempuh jalan persilatan untuk mencapai kesempurnaan. "Pendekar Cahaya Senja," bisik Amrita kepadaku. Aku terkesiap, baru kusadari betapa jubahnya itu, yang berwarna merah darah dan kuning, memang merupakan warna langit senja setelah matahari terbenam, yang telah membuat kami hanya dapat mendengar desiran jubahnya itu mendekat dan tak dapat menegaskan sosoknya. Secara sepintas Amrita pernah bercerita kepadaku tentang seorang pendekar yang hanya muncul untuk bertarung pada saat matahari terbenam, tepatnya setelah matahari terbenam, ketika matahari menjadi merah keemasan dan berkobar bagaikan api membakar langit, tetapi yang kemudian dengan lambat dan pasti dari saat ke saat berubah, sampai akhirnya menjadi gelap. "Ia hanya muncul setelah matahari terbenam dan menghilang sebelum gelap tiba, karena ilmu silatnya memang berhubungan dengan cahaya, saat siapa pun tidak dapat menegaskan keberadaannya, selain ketika sebilah pedang perak yang bagaikan cermin memantulkan cahaya kuning senja menembusi tubuhnya," kisah Amrita waktu itu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ia mendapatkan gelarnya bukan sekadar karena hanya muncul untuk bertarung dan ilmunya berhubungan dengan cahaya senja, melainkan karena sangat menikmati pertarungan dalam suasana senja itu sendiri. "Pendekar Cahaya Senja sangat mencintai senja dan suka menikmati sosok-sosok yang bertarung sebagai bayangan hitam dalam latar belakang langit yang kemerah-merahan, dan katanya pula kematian terindah adalah kematian pada saat langit semburat jingga, apakah itu keemas-emasan, kemerah-merahan, ataupun keungu-unguan menjelang malam," ujar Amrita pula. MESKI Amrita bercerita dengan sambil lalu, aku masih mengingatnya, bagaimana Pendekar Cahaya Senja menikmati pertarungan sebagai peristiwa yang penuh keindahan. Bahkan ia tak akan muncul jika langit mendung dan kelabu tanpa cahaya jingga sama sekali. Baginya senja yang terindah adalah mutlak bagi pertarungannya, juga apabila dalam pertarungan itu dirinya harus kalah dan karenanya akan mati. ''Jika tiba saat kematian dalam puncak kesempurnaan, apakah kiranya yang mesti disesalkan, dan bagiku tiada yang lebih sempurna selain kematian karena bertarung dalam puncak keindahan,'' ujarnya suatu ketika, yang tersebar dari mulut ke mulut dari kedai ke kedai di seluruh Kambuja. Adapun puncak keindahan baginya adalah senja yang terindah, saat ia menampakkan diri di antara cahaya keemasan seperti kemunculannya kali ini, dengan jubah pendeta merah kuning yang masih dikenakannya meski ia bukan pendeta lagi, bukan demi keinginan tampak sebagai pendeta, tetapi demi kepentingannya ilmunya, yang memang berhubungan dengan keadaan senja yang terindah, tetapi yang selama ini berarti kematian bagi lawan-lawannya. Kini ia di sana, melipat tangan di dada, membelakangi sisa cahaya matahari yang masih menyala. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Kalian berkelebat di tengah senja terindah. Iri hatiku hanya bisa melihatnya, dan maafkan daku yang tak bisa membiarkan kalian berlalu. Kutahu siapa Putri Amrita karena gerakannya mengingatkanku kepada Naga Bawah Tanah yang ternama, tetapi siapakah yang menemaninya aku tak mengenalnya, bisakah kiranya ia memperkenalkan dirinya'' Bahasa Khmer yang kukuasai sungguh parah, tetapi tetap saja kuusahakan menjawabnya. ''Daku yang tanpa nama tiadalah artinya dibanding Pendekar Cahaya Senja.'' Ia tampak tertegun. ''Hmm. Kudengar angin berbisik tentang Amrita yang dikalahkan Pendekar Tanpa Nama dari Jawadwipa. Kiranya dikaulah orangnya yang menguasai Jurus Penjerat Naga. Hahahahaha! Amrita! Bagaimana dikau bisa tertipu oleh pencuri-pencuri kitab itu" Huahahahahaha!'' Amrita membalas ejekan itu dengan serangan maut. Pendekar Cahaya Senja menghilang ke balik kelam dan hanya kembali sebagai desiran tipis yang nyaris tiada beda dengan desiran angin dan memang secara demikianlah lawanlawannya dengan mudah terkalahkan. Jubahnya yang kuning dan merah berubah menjadi merah kekuningan dan kuning kemerahan, menjadi jingga seperti langit senja yang karena kecepatan geraknya bagaikan menjadi bagian dari langit senja itu sendiri padahal begitu nyata sebagai serangan yang berbahaya. Namun yang dikatakan tentang Amrita tidaklah keliru sehingga tiada mungkin Amrita menggunakan Jurus Penjerat Naga terhadapnya. Menimbulkan pertanyaan kepada diriku juga tentang siapa tepatnya pencuri kitab yang telah menipunya itu, yang mungkin sebenarnya sudah tertipu oleh penyalin Kitab Jurus Penjerat Naga, karena memang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kerahasiaan adalah bagian dari kelahiran kitab-kitab ilmu silat terpenting. Senja belum menjadi malam. Pendekar Cahaya Senja selalu muncul pada senja hari dan se lalu menyelesaikannya sebelum malam tiba. Apabila ia masih muncul di bawah langit yang kemerah-merahan sekarang ini artinya ia tidak terkalahkan dan setiap lawannya berhasil ditewaskan. Dalam pertarungan tingkat tinggi seperti ini, hanya hidup atau mati, karena pendekar yang mencari kesempurnaan dalam ilmu silat memang akan menantang pendekar dengan ilmu yang Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tertinggi. Belumlah pendekar namanya jika mencari lawan yang lebih rendah ilmunya, karena kesempurnaan tiada akan tercapai dalam ujian di bawah tingkatannya, meski jika berada di atas tingkatannya tentu akan berhasil menewaskannya. Demikianlah pencarian kesempurnaan dalam ilmu silat, yang hanya akan mencapai puncaknya pada kematian dalam pertarungan. Sangat bisa dimengerti mengapa pendekar ini, yang mendapat gelar Pendekar Cahaya Senja, memilih senja sebagai saat-saat pertarungan yang memungkinkan kematiannya. Tidaklah keliru ia memburu kami yang berkelebat dengan kecepatan kilat. Adalah kekeliruan kami sendiri bahwa kami berkelebat seperti yang hanya dimungkinkan oleh pencapaian ilmu silat dalam tingkat tertentu. Kami bermaksud menyamar dan kami telah membuka penyamaran kami sendiri. Begitulah kehidupan siapapun yang mengarungi sungai telaga dunia persilatan, begitu seperti kami ia berkelebat meninggalkan dunia awam, berarti ia masuk kembali ke dalam rimba hujau yang penuh tantangan. Seperti sekarang kami berkelebat pergi, tetapi ternyata memasuki dunia senja pendekar ini. Kucoba membaca pertarungan yang sulit dijabarkan ini, karena Pendekar Cahaya Senja bagaikan senja itu sendiri. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ JUBAHNYA yang merah dan kuning semakin terlihat penting sebagai bagian ilmunya yang memuja keindahan. Kuingat sebuah syair: indah seperti darah menyiprat semburat di langit merah membubungkan nyawa meregang tubuh yang masih memegang pedang Sepintas lalu Amrita yang juga berkelebat tanpa bisa dilihat seperti bertarung sendirian. Namun Pendekar Cahaya Senja memang sama sekali tidak menghilang, ia berkelebat dan akan tampak sebagai bayang-bayang hitam dengan latar bekakang langit kemerah-merahan. Itulah ilmu silat Pendekar Cahaya Senja yang sangat mengecoh, karena dengan kecepatan bergeraknya yang luar biasa tinggi, seolah-olah dapat melepaskan diri bayang-bayangnya. Bayang-bayang hitam itu sendiri dengan latar belakang langit merahnya tampak sangat lamban, begitu lamban, bagaikan membawakan tarian yang paling pelan dan begitu pelahannya bagaikan tiada lagi yang lebih pelan. Namun meski tampak lamban janganlah mencoba melakukan sesuatu terhadapnya, seperti membacoknya, karena ketika bayang-bayang hitam itu tampak begitu indah, saat itu Pendekar Cahaya Senja tiada lagi di situ. Mungkin lawannya pun tak sempat lagi mencari, karena itulah saat nyawanya tercabut dan melesat pergi. Mungkin Amrita akan bernasib sama jika tidak setinggi itu tingkat ilmu silatnya -tetapi sampai kapan ia bisa bertahan" Pendekar Cahaya Senja selama ini menamatkan riwayat lawannya, siapa pun lawannya itu, selalu sebelum malam tiba. Dapatkah Amrita memecahkan rahasia ilmunya" Meski telah ia mainkan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ilmu Silat Kipas Maut yang luar biasa itu, kulihat Amrita sejauh ini hanya bisa bertahan. Adapun langit yang merah keemasemasan telah menjadi merah darah, seolah-olah menegaskan tuntutan atas tercipratnya darah! Kuingat busana para pendeta Yogachara yang dikenakannya. Adakah ia mengembangkan ilmu silatnya juga dari suatu pemahaman filsafat" Meski jika ia memang mengembangkan ilmu silatnya melalui pendalaman filsafat, maka tiada yang dapat kulihat secara langsung dari hubungan itu, setidaknya aku akan mempunyai dasar untuk sekadar menduga, daripada tidak berbuat sesuatu dan melihat Amrita ditewaskan selewat senja. Sementara Amrita telah semakin terdesak dalam keremangan, kuingat kembali segala sesuatu yang kuketahui tentang Yogachara, seperti yang kudapatkan ketika mencuri dengar perbincangan Sepasang Naga dari Celah Kledung dengan tamu-tamunya. Sejauh bisa kuingat, Yogachara merupakan suatu bentuk dari Buddha Mahayana yang menekankan pentingnya ketenangan dan samadhi sebagai jalan menuju pencerahan. Pemikiran aliran Yogachara berkembang menuju tatanan rumit, yang pada dasarnya menempatkan diri di antara kaum pemakul Sarvastisada dan pehampa Shunyatavada. Segala sesuatu temasuk bendabenda zat padat tidak dianggap sesungguhnya ada, tetapi beberapa hal memang ada, terutama dalam kebenaran tertinggi dan kesadaran dalam dirinya sendiri. Kadangkala Yogachara juga disebut Chittamatra, atau hanya pikiran, karena paham bahwa Buddha diadakan oleh pikiran, meskipun dalam ajaran Mahayana secara umum, keberadaan pikiran itu sendiri tidak dianggap nyata. Kadangkala juga Yogachara diacukan kepada alayavijnana, semacam jiwa semesta sebagai sumber pengalaman yang memancar dalam dunia. Akibatnya, apa yang dianggap nyata hanyalah cermin dari sesuatu yang diciptakan pikiran. Aliran TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ filsafat ini berakibat luas kepada nalar dan kebersyaratan ilmu dalam Hindu maupun Buddha. Telah kukatakan bahwa hubungan antara ilmu silat tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi pemahaman atas apa pun yang menjadi latar belakang filsafat bagi ilmu s ilat, tetap sahih dimanfaatkan dalam penafsiran, termasuk untuk memecahkan rahasia ilmu s ilat itu sendiri. Seharusnya diriku mengumpulkan lebih banyak penjelasan dari kenanganku untuk dapat memecahkan rahasia ilmu silat Pendekar Cahaya Senja dengan lebih baik, tetapi sisa waktu sebelum malam tidak memungkinkannya lagi. Aku harus memecahkan rahasia ilmu silatnya dengan sekelumit kenangan itu saja, sebelum mempelajarinya lebih mendalam seandainya kelak masih dibutuhkan, karena jika dalam keadaan yang sudah sangat mendesak ini aku bertahan untuk merenung-renung saja, niscaya nyawa Amrita akan melayang. Meskipun nyawa Amrita akan melayang dalam puncak kesempurnaannya, aku tidaklah merelakannya. KUTAFSIRKAN untuk sementara bahwa jika ilmu silat Pendekar Cahaya Senja mungkin saja mengacu kepada Buddha Mahayana aliran Yogachara, maka segala sesuatu yang terpikirkan oleh Amrita tidak mungkin merupakan sesuatu yang nyata, sebaliknya ia dapat mempercayai apa pun yang sedang dirasakannya, karena ilmu silat Pendekar Cahaya Senja hanya mengecoh pikiran tetapi bukan perasaan. Ini berarti Pendekar Cahaya Senja membalikkan siasat ilmu silat, yang biasanya menggunakan akal untuk mengecoh perasaan, menjadi perasaan sebagai dasar untuk menghindari pengecohan akal. Jika pikiran terbentuk oleh susunan kebiasaan yang menjadi kuasa tertentu, maka suatu jiwa semesta yang menjadi sumber segala jiwa dalam diri setiap orang menjadi satu-satunya pedoman atas kenyataan yang bisa dipegang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Itulah, dalam penafsiranku, yang diajarkan aliran Yogachara, sehingga amatlah penting untuk melatih dan mengutamakan ketenangan dan samadhi, agar pemusatan pikiran tak terkecoh oleh pancaindera, yang sangatlah tidak mudah kiranya, selama jiwa masih tetap menjadi bagian dari tubuh. Justru karena itu, kuanggap ilmu silat Pendekar Cahaya Senja dalam kesadarannya tetap terikat kepada ketubuhannya, sehingga selama lawannya masih manusia, siapa pun ia dapat mengandaikan betapa pengaruh pancaindera yang membuat pemusatan pikirannya kurang sempurna berlangsung pula terhadap Pendekar Cahaya Senja. Jadi siapa pun lawannya boleh mengandalkan tanggapan jiwanya terhadap serangan Pendekar Cahaya Senja, karena pancaindera tubuh yang memengaruhi jiwa juga terdapat pada pendekar yang mengandalkan pesona keindahan untuk mencapai kemenangan itu. Bumi telah menjadi gelap. Namun langit masih semburat kemerah-merahan, meski memang tiada lagi keemas-emasan dan mega-mega telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan hitam. Inilah saat yang rawan karena dengan hilangnya sisa cahaya itu akan selesai pula perlawanan Amrita dalam kesempurnaan ilmu silat Pendekar Cahaya Senja. Aku tidak boleh berpikir terlalu lama, meski memikirkan pemecahan ilmu silat itu dengan tergesa memang sungguh gegabah kiranya. Kuyakinkan diriku betapa ilmu silatnya memang berhubungan dengan filsafat aliran Yogachara. Bahkan kuduga pilihan atas jalan persilatan telah membuatnya bertentangan dengan para pendeta aliran itu, dan membuatnya menempuh jalan sendiri dengan menerapkan ajaran Yogachara sebagai cara pencapaian kesempurnaan dalam ilmu silatnya, sehingga tetap dikenakannya jubah para pendeta Y ogachara, meski tidak lagi menggunduli kepalanya. Kulihat ia berkelebat di balik kelam, memang tampak indah dalam keberlambanan, tetapi itulah bayangan yang ditinggalkan, karena dengan kecepatannya yang tinggi ia telah berada di belakang lawan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Apa yang harus kulakukan" Apa pun itu haruslah cepat dan segera. Amrita haruslah bertarung dengan mata tertutup, karena pandangan mata siapa pun akan terpesonakan oleh segenap jurusnya yang bagaikan peragaan tarian di langit keindahan. Meskipun mata itu nanti tertutup, tidak berarti harus menggunakan ilmu pendengaran seperti diriku dengan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, karena indera pendengaran adalah juga bagian dari kebertubuhan yang akan memengaruhi pikiran. Dengan memasuki jiwa semesta melalui jiwanya sendiri, segala kesaksian atas kenyataan terandaikan lebih dimungkinkan. ''Amrita! Jangan lihat semuanya!'' Teriakanku terdengar juga oleh Pendekar Cahaya Senja, tetapi aku bicara dalam bahasa Melayu yang belum tentu dikuasainya, sehingga ia tak mungkin mengubah apa pun. Tentu saja ini juga sebuah pertaruhan, karena jika ternyata ia mengerti belaka bahasa Melayu yang mungkin diketahuinya dari pesisir Campa, ia dapat berpura-pura tak paham dan tetap saja menjebak Amrita. Segalanya berlangsung dengan amat sangat cepatnya, dan menceritakannya tentu butuh waktu yang lebih lama. Amrita masuk ke dalam jiwanya, sehingga hilanglah gelap dan hilanglah pula terang. Hilang pandangan dan hilang pula pendengaran. Tiada gambaran dan suara desiran apa pun yang akan tertangkap indera, karena ia telah menutupnya seperti dalam samadhi. Namun jiwanya yang telah melepaskan diri dari pancaindera membimbing kedua kipas yang dipegangnya ke belakang melalui bawah ketiaknya. Kedua kipas yang tertutup dan menjadi setajam pedang mustika dalam pengerahan tenaga dalam. Terdengar jeritan melengking, tepat pada saat senja berubah menjadi malam, saat cahaya kemerah-merahan di langit menghitam dan sepenuhnya menjelma kegelapan. Kedua kipas itu menancap di dada kiri dan kanan Pendekar TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Cahaya Senja yang menyergap dengan serangan cakar maut dari belakang. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Amrita memang tidak akan mungkin menghindar seperti sebelumnya, yang berarti pula tamat perlawanannya, meski ternyata dengan tertutupnya segenap pancaindera, geraknya terbimbing jiwa kepada suatu tindakan yang takbisa lebih tepat lagi. PENDEKAR Cahaya Senja langsung mati dengan tubuh terkulai seperti memeluk Amrita dari belakang. Darahnya menyembur dari dada, membasahi seluruh punggung Amrita, bahkan juga rambutnya. Agaknya menang dan kalahnya Pendekar Cahaya Senja, dalam puncak kesempurnaannya sebagai manusia dalam jalan persilatan, memang selalu terjadi pada saat senja. Biasanya ia mengalahkan lawan-lawannya sebelum senja menghilang, kali ini ia terkalahkan tepat ketika senja berubah menjadi ma lam. Mungkin pertarungan terlama yang pernah dilakukannya, terlama dan terakhir, karena memang tiada akan ada lagi pertarungan baginya. Tiada pendekar yang tiada terkalahkan. Pendekar Cahaya Senja menekuni filsafat aliran Yogachara untuk mengembangkan ilmu silatnya, tetapi ia mengembangkannya sebagai jurus dan bukan kedudukan jiwa. Maka meskipun ia sungguh telah berhasil menciptakan jurus-jurus yang penampakannya sungguh nyata dan karena itu sangat menjebak pula, ternyata tiada pengaruhnya terhadap jiwa yang telah melepaskan indera, juga sebagaimana diajarkan filsafat Yogachara yang dianutnya (Oo-dwkz-oO) Episode 119: [Meninggalkan Khmer] Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo PADA suatu malam berhujan kami sudah berada di dalam perahu yang menuju ke muara Sungai Mekong. Kami masih tetap menyamar dan tetap mendengarkan bagaimana orang bicara tentang Jayavarman II, dan agaknya putrinya sendiri TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tidak pernah mendapat cukup alasan untuk tetap merongrong kekuasaan ayahnya itu. Memang benar bahwa dengan pasukannya yang kuat Jayavarman II telah menaklukkan wilayah yang luas, tetapi dengan kekuasaannya betapapun orang banyak merasakan suatu ketenangan. "Pendekar Tanpa Nama, biarkanlah Amrita mengikuti dirimu ke mana pun kakimu melangkah. Tiada lagi yang dapat dilakukan Amrita di tanah kelahirannya ini. Semua orang telah mengkhianati dan mengingkarinya. Biarkanlah Amrita mengikutimu, wahai pendekar pengembara..." Suara hujan yang menimpa atap perahu sungguh amat riuh. Setidaknya dua puluh orang terkapar berdempetdempetan di dalam perahu itu. Sebagian tidur, sebagian ketakutan, dan sebagian lagi hanya melamun. Amrita membisikkan kata-katanya ke telingaku agar tak perlu berteriak dan semua jadi terganggu. "Daku bukanlah orang yang tepat untuk diikuti, wahai Putri, dikau putri raja yang terampil dan akan sangat berguna demi pekerjaanku. Beliau memimpikan suatu kesatuan kerajaan Angkor yang jaya. Tiada lain selain dirimu yang akan mewujudkan mimpi-mimpi itu, demi kesejahteraan rakyat di seluruh tanah Kambuja." "Dan mengkhianati segenap derita wangsa ibuku?" "Sejarah akan memberikan pengadilannya sendiri Amrita, dan kita tidak dapat mengubahnya lagi, kecuali melanjutkan dan jika perlu memimpinnya. Dengan kekuasaan ayahmu dikau dapat melakulannya, Putri, demi kesejahteraan seluruh rakyatmu." Amrita memeluk dan menenggelamkan kepalanya ke dalam diriku. Hujan badai membuat perahu oleng kemoleng. Ini memang bukan perahu yang besar. Betapapun kukagumi ketangkasan tukang perahu ini, yang hanya dengan dayungnya mampu menembus tirai hujan dan menjaga TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ keseimbangan, sehingga perahu ini tetap terjaga dan melaju ke hilir. Berat hatiku jika memang harus berpisah dengan Amrita. Kami telah mengembarai Kambuja dengan menyamar bersama-sama. Penyamaran yang setiap kali nyaris terbuka karena para pemburu hadiah atau para pembunuh bayaran selalu bisa mengendus jejak kami berdua. Peristiwa yng terjadi di tempat penganyaman tikar pandan dahulu tidaklah dengan sendirinya berlalu. Para pengawal rahasia istana menyelidik, dan tentu bisa diduga bahwa majikan kami dahulu itu tidak memiliki cukup alasan untuk merahasiakannya. Setiap kali penyamaran kami terbuka, Amrita selalu berhasil membunuh mereka yang memergoki keberadaannya, yang hanya membuat jejaknya makin panjang dan para pemburunya juga makin banyak. Meskipun aku juga yakin bahwa tidak akan pernah terlalu mudah untuk menangkap Amrita, apalagi dengan diriku bersamanya, telah lama kupikirkan bahwa keadaan semacam ini tidak bisa berlangsung seterusnya. Apalagi keberadaanku di Kambuja telah diketahui pula oleh kaki tangan Naga Hitam. Tentu aku sama sekali tidak takut menghadapi siapa pun yang dikirim Naga Hitam, tetapi bukanlah pada tempatnya jika Putri Amrita Vighnesvara ini harus ikut pula menerima akibatnya. Siapakah yang bisa menjamin bahwa tidak sebatang jarum pun, yang beracun dan mematikan, tidak akan melesat dari kegelapan dan menembus jantungnya, sementara yang dituju sebetulnya diriku" DALAM dunianya Amrita dapat melakukan perdamaian dengan ayahnya, dan untuk itu ia hanya perlu kembali ke istana. Dalam duniaku segala sesuatunya tiada pernah dapat diduga, seperti yang telah berlangsung dalam hidupku se lama ini, dan jika aku betapapun siap untuk mati, tetapi aku tidak akan pernah siap untuk kematian Amrita dalam duniaku yang penuh marabahaya, apalagi mati terbunuh di hadapanku. Begitulah hatiku terbelah antara ingin terus bersama dan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ melindunginya, berhadapan dengan kenyataan bahwa tempat Amrita adalah di istana untuk membangun kesatuan Kambuja bersama ayahnya. Apakah yang akan terjadi dengan sejarah Kambuja, jika Amrita mampu mengumpulkan laskar yang mengganggu bahkan meruntuhkan kekuasaan ayahnya, dengan diriku di sampingnya pula" Sudah kuniatkan untuk meninggalkan tanah orang-orang Khmer dengan sejarah mereka. Begitulah yang kupikirkan tentang Amrita, tanpa menyadari betapa banyak masalah lain di Kambuja yang lebih menentukan jalan cerita. Selain aku sebetulnya tidak terlalu mengenal hubungan Jayavarman II dan Amrita yang sebenarnya, bahwa keselamatan Amrita ternyata sudah tidak terlalu penting lagi bagi Jayavarman II, justru salah duga atas hubungan Jayavarman II dengan putrinya itu telah membuat musuh-musuh sang raja mengira bahwa Amrita adalah permata yang terlalu berharga bagi Jayavarman II. Kami masih berada di wilayah Champassak di sebelah timur laut dari pusat kerajaan di Angkor. Aku bermaksud mengantar Amrita sampai tiba dengan selamat di istana ayahnya, karena perburuan kepadanya masih terus berlangsung. Namun tidaklah terpikirkan sama sekali olehku, betapa ancaman terhadap Amrita tidak sekadar datang dari para pemburu hadiah dan pembunuh bayaran yang terhubungkan dengan istana ayahnya, melainkan juga dari orang-orang Cham dari berbagai kesatuan wilayah Champa di balik barisan pegunungan yang selalu tertutup awan; maupun juga dari wilayah utara yang diduduki Negeri Atap Langit. Kekuasaan Jayavarman II yang dengan jelas berkembang sangat pesat berusaha dibendung dengan segala cara, dan Amrita diandaikan sebagai titik lemah yang akan sangat menentukan. Kedudukan terakhir itu tidak pernah kuduga karena pengetahuanku yang terbatas tentang perebutan pengaruh di wilayah Kambuja, sampai suatu peristiwa terjadi pada malam berhujan ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Terdengar guntur menggelegar, angin sangat ribut, dan tirai hujan dalam gelap malam tiada tertembus pandangan meskipun begitu ternyata ada yang matanya lebih dari tajam untuk menembus kegelapan, begitu tajamnya sehingga menabrakkan perahu mereka kepada perahu yang kami tumpangi. Sebelum perahu itu menabrak, tukang perahu kami sudah berteriak. "Awas! Ada perahu mau menabrak kita!" Tukang perahu itu orang Cam, bahasanya serumpun dengan bahasa Malayu, lebih mudah kupelajari dari bahasa Khmer, dan kalimat sependek itu dapat kumengerti dengan jelas. Namun dalam suasana seperti ini dampak tumbukan perahu sama mengejutkannya dengan sambaran halilintar. Perahu itu terguling, mendadak saja diriku sudah berada di dalam air dan kurasakan tubuhku terseret arus yang menceraiberaikan seluruh penumpangnya. "Amrita!" teriakku sekuatnya, tetapi hujan dan angin dalam kegelapan seperti melenyapkan segala-galanya. Aku melenting ke atas setinggi-tingginya dan melihat sekilas sesosok manusia bersisik telah menangkap Amrita yang terkulai. Naga Kecil! Kukirimkan pukulan cahaya dengan seketika, itulah jenis pukulan dari perbendaharaan ilmu Raja Pembantai dari Selatan yang tidak akan pernah kugunakan jika bukan untuk menolong Amrita. Namun apa yang terjadi" Sambil masih berenang membawa Amrita, Naga Kecil mengibaskan tangannya dan dari telapak tangannya meluncurlah bola cahaya berwarna merah yang mencegat pukulan cahaya warna putih dari tanganku. Akibatnya terjadilah ledakan cahaya mahadahsyat yang menerangi malam. Aku masih berada di angkasa ketika tirai hujan berkilat merah, sebelum menjadi gelap saat tubuhku ditelan arus sungai kembali. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ TERNYATA Naga Kecil tidak sendirian. Ia telah lenyap bersama Amrita. T inggal kini diriku yang dikepung sekitar dua puluh manusia bersenjatakan cambuk. Aku masih berada di dalam air dan terseret arus dalam kegelapan. Mereka semua juga terseret arus, tetapi berdiri di atas permukaan air karena mengenakan terompah dari kayu. Sudah terpikir olehku untuk menyelam ketika setidaknya enam cambuk, tiga di kiri dan tiga di kanan dengan segera telah menjerat lenganku, dan melontarkanku ke udara. Kubiarkan diriku terlempar, dan aku tahu belaka betapa mereka tentu menyiapkan sesuatu ketika mereka harapkan diriku meluncur kembali ke bawah. Namun begitulah untuk sementara aku tetap berada di atas, bahkan dapat mengikuti arus sungai yang menghanyutkan mereka di atas terompah kayunya itu, sehingga mereka pun tampak kebingungan dan saling memandang. Aku masih mengambang ketika dari balik tirai hujan dua puluh pisau terbang melayang ke arahku! Delapan belas pisau terbang bisa kuhindari, sedangkan dua sisanya kutangkap dan kukembalikan jauh lebih cepat dari daya lontaran mereka. Keduanya menancap di dada pelemparnya sendiri. Mereka berdua jatuh dan terapung ketika aku sudah berdiri di atas permukaan sungai dengan ilmu meringankan tubuh, sementara delapan belas sisanya telah lenyap ditelan kegelapan. Aku tidak berusaha mengejarnya, karena salah satu di antara dua orang anak buah Naga Kecil itu masih bergerak, penanda ia masih hidup. Aku bergerak menyusul dan menyambar tubuhnya ke tepi sungai. Namun napasnya pun sudah satu-satu. ''Dibawa ke mana Amrita"'' Sebetulnya ia sudah tidak mampu menjawab. Maka kusalurkan tenaga prana yang membuatnya bisa menjawab. Meski agaknya ia tidak mau menjawabnya. Padahal aku harus tahu ke mana Amrita dibawa. Kusalurkan lagi tenaga prana yang membuat tubuhnya segar untuk sementara, tetapi lantas TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kutekan suatu titik di tubuhnya yang memberikan kesakitan luar biasa. Ia mendesis dengan sisa tenaganya. ''Katakan! Atau kubiarkan kamu tetap hidup dengan kesakitan selama-lamanya!'' Bahwa aku harus bicara dengan bahasa Khmer, membuat kesulitanku terasa berlipat ganda. Kutekan lagi titik kesakitan itu. Saat ia akan merasa bagaikan seribu jarum beracun bergantian menusuk-nusuk tulang belakangnya. ''Ah, bunuh saja daku!'' ''Katakan! Cepat! Ke mana Naga Kecil membawa Amrita"!'' Jelas Naga Kecil tidak akan kembali ke pertapaan Naga Bawah Tanah yang tersembunyi itu, karena betapapun aku sudah mengetahui tempatnya. ''Katakan! Sebelum aku pergi dan membuatmu tetap bertahan dalam kesakitan!'' Di sungai telaga dunia persilatan aku memang sudah banyak membunuh, tetapi tak berarti aku suka menyakiti orang. Namun perasaaan takut akan kehilangan Amrita telah membuatku menggunakan suatu cara agar orang ini bicara sebelum tewas untuk selamanya. Dari perbendaharaan mantra warisan Raja Pembantai dari Selatan kuubah wajahku begitu mengerikan seolah iblis pun akan lari melihatku. Seorang anggota kawanan mungkin telah bersumpah setia untuk tidak mengungkap rahasia, bahkan untuk bunuh diri demi kesetiaannya, tetapi mereka tidak siap untuk mati dirobekrobek makhluk ganas bertaring panjang dengan mulut berbau busuk menetes-neteskan air liur yang sangat lengket dan menjijikkan. Menjelang kematiannya, ia tampak sangat ketakutan. ''Aaaahhh! Ampun! Ampun!'' ''Katakan! Atau kutelan! Grrrrhhhhh!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sihir itu ternyata mengena. ''Sungai Merah! Pergilah ke Sungai Merah...'' Saat itu wajahku berubah ke wajah asalku. Tidak ada yang bisa dilakukan orang yang tubuhnya bergambar rajah naga itu pada saat-saat terakhirnya, ia mati dengan mata masih memandangku. Kulepaskan tubuhnya, dan arus sungai membawanya pergi. Hujan berubah jadi gerimis. Di tepi sungai aku menghela nafas panjang. (Oo-dwkz-oO) UNTUK mencapai Sungai Merah aku harus menembus wilayah Campa sampai ke pantainya, lantas menyusuri kota demi kota ke utara di sepanjang pesisir timur tanah Kambuja itu sampai ke Teluk Tongking yang berhadapan dengan Pulau Hainan. Di teluk itulah terletak muara Sungai Merah yang juga disebut Sungai Hong. SEPANJANG perjalanan sedikit demi sedikit kukumpulkan riwayat wilayah yang kutuju, yang meskipun sebagian wilayahnya juga dihuni orang Cam, memiliki sejarah yang berbeda sama sekali. Para pedagang Negeri Atap Langit yang kutemui berkisah bahwa dataran di sekitar Sungai Merah itu telah dikuasa i balatentara Wangsa Han sejak 700 tahun lalu, meski baru dua ratus tahun kemudian Negeri Atap Langit berhasil membangun suatu pemerintahan, tetapi yang pejabatnya diangkat dari penduduk setempat, sehingga kemapanan lebih dapat dijamin. Dalam keadaan seperti itu, pejabat setempat sebagai pemimpin wilayah akan peka terhadap kepentingan kemaharajaan Negeri Atap Langit, tetapi yang akan mengutamakan kepentingannya sendiri Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ketika kekuatan wangsa yang berkuasa melemah. Dua ratus tahun lalu, para pemimpin setempat menolak kekuasaan wangsa-wangsa yang lemah ini, tetapi awal abad TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ VII, jadi seratus tahun lebih dari saat aku menyusuri pantai timur itu, perlawanan mereka melemah, dan menerima saja kekuasaan Wangsa Sui dan Wangsa Tang. Saat aku menjelajahi wilayah tersebut dalam usaha mencari Amrita, wilayah itu telah diresmikan sebagai Daerah Perlindungan An Nam. Daerah Perlindungan adalah jenis kebijakan di wilayah perbatasan yang terpencil, tetapi dianggap menguntungkan, yang penduduknya bukan berasal dari Negeri Atap Langit. Pendirian Daerah Perlindungan An Nam diikuti penyerapan golongan penguasa setempat ke dalam peringkat jabatan kemaharajaan. Selama kekuasaan Wangsa Tang masih kuat, wilayah An Nam berada dalam suasana damai. Namun pada saat aku menyusuri kota demi kota di sepanjang pesisir timur, yang merupakan kota-kota pelabuhan tempat segala kabar terdengar dan beredar, kudengar betapa pengaruh Negeri Atap Langit kembali goyah. Sampai seratus tahun berikutnya kelak, ternyata Daerah Perlindungan An Nam memang bergolak, ketika kelompok setempat yang kuat berjuang merebut kekuasaan, bahkan tidak jarang memang memberontak bersama dengan melemahnya kekuasaan Wangsa Tang, yang membuat tempat-tempat tertentu di Sungai Merah kini menjadi pusatpusat kekuasaan baru di wilayah An Nam. Di sepanjang Sungai Merah, mula-mula pusat kekuasaan itu terdapat di berbagai dataran, terutama di sebelah barat daya dan sisi utara dataran, tetapi yang sejak seratus tahun lalu telah berpindah ke sebelah selatan sungai yang tanahnya lebih tinggi, mungkin menghindari banjir, di tempat yang kemudian akan disebut Thang-long. Demikianlah sembari menyusuri jejak Naga Kecil yang disebutkan menuju ke Sungai Merah, aku mempelajari segala sesuatunya dengan perbendaharaan bahasa yang sangat terbatas, karena di sini orang tidak berbicara dengan bahasa Khmer lagi. Untunglah, selama masih menyusuri pesisir, bahasa Malayu masih bisa digunakan, karena kapal-kapal TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Srivijaya yang selalu ada di sana maupun serangan Wangsa Syailendra ke Pho Nagar, Virapura, bahkan juga Tongking, yang sebetulnya belum berlangsung lama adalah bagian dari hubungan dengan wilayah Suvarnadvipa, termasuk Mataram di Jawadwipa di dalamnya, yang meninggalkan jejak kebahasaan dan kebudayaannya pula. 4) Namun semakin ke utara, dan menyusyuri Sungai Merah ke pedalaman, tampak sekali pengaruh Negeri Atap Langit yang segenap kebudayaannya bagaikan tampak sengaja mereka serap, justru untuk melawan penindasan kekuasaannya. Ini membuatku harus banyak belajar kembali. DARI Champassak aku telah menyeberangi pegunungan dan turun ke pesisir bekas kerajaan orang Campa yang bernama Vijaya. Dari sana aku melangkah terus dari candi ke candi, karena kuketahui dari Amrita bahwa Naga Kecil, meskipun tidak dapat mengucapkan bahasa manusia adalah seorang pemuja Siva. Ini untuk menjamin bahwa meskipun telah kuketahui tujuan Naga Kecil adalah Sungai Merah, tidak akan terjadi bahwa tanpa kuketahui telah kulewati Naga Kecil, tetapi lantas diikutinya diriku dari belakang. Kini aku tahu Amrita ternyata tidak membunuh Naga Kecil ketika bertarung di dalam air pada lorong bawah tanah itu. Ataukah Amrita memang tidak membunuhnya, ataukah Naga Kecil telah memperdayainya, sehingga Amrita merasa telah membunuh tetapi Naga Kecil masih hidup" Memang tidak pernah kuingat terdapat mayat manusia bersisik waktu itu. Tidak di dalam danau dan tidak juga terapung-apung. Waktu itu aku tidak merasa perlu bertanya karena kupikir tentu Amrita sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan sebaikbaiknya. Segalanya gelap bagiku, karena terlalu banyak urusan dapat dikaitkan kepada Amrita, mulai dari hubungan cintanya dengan Naga Kecil, pengkhianatannya terhadap kekuasaan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ayahnya, keterlibatannya dengan pencurian kitab, maupun kepentinganku sendiri yang telah terseret makin jauh. Naga Kecil itu, apakah yang telah membuatnya menculik Amrita, dengan perencanaan yang tampaknya sangat matang pula" Sudah jelas bahwa pada suatu hari yang tidak kami ketahui, kebetulan atau tidak kebetulan, seseorang telah mengetahui keberadaan kami. Penyamaran memang bukan perkara yang mudah, apalagi jika diburu para pengawal rahasia istana yang dalam menjalankan tugasnya itu akan menyamar. Kuingat kembali Arthasastra yang menjadi pegangan negeri mana pun yang merujuk kebudayaan dari Jambhudvipa. Dalam kitab itu tertulis tentang Kegiatan Petugas Rahasia yang Menyamar Sebagai Pekerja Rumah, Pedagang dan Pertapa yang lengkapnya seperti berikut: 1. Dengan membagi daerah pedesaan menjadi empat bagian, kepala pelaksana harus menyuruh mendaftarkan jumlah desa, yang tergolongkan sebagai yang terbaik, menengah dan terendah (mencatat mana yang bebas pajak, mana yang menyediakan serdadu, jumlah (pendapatan) dalam gandum, ternak, uang tunai, hasil hutan, kerja dan hasil sebagai pengganti pajak. 2. Di bawah petunjuknya petugas pajak harus menjaga sekelompok lima atau sepuluh desa. 3. Ia harus mencatat jumlah desa dengan menentukan batasannya, jumlah ladang dengan menghitung (ladang) yang dibajak dan yang tidak, ladang kering dan basah, taman, kebun sayur, (bunga dan buah) yang dipagari, hutan, bangunan, cagar alam, puri, irigasi, tempat pembakaran mayat, rumah istirahat, tempat untuk m inum air, tempat suci, lapangan rumput dan jalan; dan tentang hadiah, penjualan, pemberian dan pembebasan mengenai batas desa dan ladang, dan (mencatat) rumah dari jumlah pembayar pajak dan bukan pembayar pajak. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ 4. Dan di dalamnya (ia harus mencatat) mereka yang termasuk empat varna, jumlah petani, penggembala, pedagang, pekerja tangan, pekerja dan budak, jumlah makhluk berkaki dua dan berkaki empat, dan jumlah uang, kerja, pajak dan denda timbul dari mereka. 5. Dan tentang pria dan wanita dalam keluarga, ia harus tahu jumlah anak dan orangtua, kerja mereka, adat, dan jumlah penghasilan dan pengeluaran mereka. 6. Dan dengan cara yang sama, petugas bagian harus mengawasi seperempat bagian daerah pedesaan. 7. Di pusat petugas pajak dan bagian, para hakim harus menjalankan tugas mereka dan berusaha memperoleh beaya. 8. Dan petugas yang menyamar sebagai pekerja rumah, diarahkan oleh kepala pelaksana, harus menemukan jumlah ladang, rumah dan keluarga di desa tempat mereka bertugas, ladang dan ukuran serta hasil seluruhnya, rumah, tentang pajak dan pembebasan dan keluarga tentang varna dan pekerjaan. 9. Dan mereka harus mencari tahu jumlah perorangan di dalamnya dan penghasilan serta pengeluaran mereka. 10. Dan mereka harus menyelidiki alasan untuk pergi dan berdiam dari mereka yang mengadakan perjalanan dan mereka yang datang (masing-masing), juga tentang pria dan wanita yang membahayakan, dan (harus cari tahu) kegiatan para mata-mata. 11. Dengan cara yang sama, mata-mata yang menyamar sebagai pedagang harus cari tahu jumlah dan harga barang raja yang dihasilkan di negerinya sendiri, yang diperoleh dari tambang, pengairan, hutan, kilang, dan ladang. 12. Dan tentang kegiatan mengenai barang yang bernilai tinggi dan rendah yang dihasilkan di mancanegara dan didatangkan melalui jalan air atau jalan darat, mereka harus TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ cari tahu jumlah pajak, tol jalan, beaya pengawalan, beaya pada rumah jaga pengawal dan perahu penyeberangan, bagian, makanan dan hadiah. 13. Dengan cara yang sama, para petugas yang menyamar sebagai pertapa, dipimpin oleh kepala pelaksana, harus mengetahui kejujuran atau ketakjujuran para petani, penggembala dan pedangan dan kepala bagian. 14. Dan para pembantu yang menyamar sebagai pencuri tua mencari tahu alasan untuk masuk, diam, dan keberangkatan para pencuri dan pemberani musuh, dalam cagar alam, persimpangan jalan, tempat sepi, sumur, sungai, danau, penyeberangan sungai, perumahan puri, pertapaan, rimba, gunung, hutan, dan semak. 15. Demikianlah kepala pelaksana yang selalu rajin, harus mengawasi daerah pedesaan; dan (para mata-mata) juga harus mengurusnya, juga badan-badan lain dengan asal sendiri (yang berbeda) harus mengawasinya. Memang aku tidak pernah terlalu bisa menikmati bahasa resmi, apalagi yang berbau hukum, tetapi dari Arthasastra itu terbayang segala sesuatu yang mungkin dikerjakan para pengawal rahasia istana. Namun jika memang benar pengawal rahasia istana yang mengabdi kepada Jayavarman II menemukan jejak kami, mengapa Naga Kecil yang menangkap Amrita, dan mengapa pergi ke utara, ke Sungai Merah yang sudah berada di luar Campa" Betapapun kusadari kesalahan yang telah kami lakukan, yakni belum mampu bersikap seperti orang biasa dalam arti sesungguhnya. Sudah bagus ketika Amrita berdiam diri saat dagunya didorong ke atas oleh gagang cambuk di tempat penganyaman tikar pandan itu, tetapi jatuhnya petugas bercambuk tanpa nyawa lagi setelah majikan kami bersujud, sudah tentu mengundang pelacakan. Kemudian, meski kami segera menyempurnakan mayat Pendekar Cahaya Senja dengan pembakaran, dan tidak kami rasakan pertarungan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Amrita itu disaksikan seseorang, ternyata cerita tentang pertarungan itu sudah begitu saja tersebar dari kedai ke kedai melalui mulut para pembual, entah bagaimana caranya, tanpa jaminan ketepatan sama sekali. Ini terjadi karena kami membiarkan diri kami bersikap seperti para penyoren pedang di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan, yakni selalu menanggapi setiap bahaya yang mengancam dengan kemampuan ilmu s ilat, sementara syarat pertama penyamaran adalah bersikap sepenuhnya seperti orang awam. Jika itu pun belum mampu kami penuhi, bagaimana mungkin menghindari para petugas rahasia yang bahkan mengetahui segala sesuatu di dalam rumah sebuah keluarga itu" Sehingga apabila kami sungguh berperan dengan baik dalam penyamaran itu, tetap saja kami masih harus sangat berhati-hati terhadap siapapun yang berada di sekitar kami. Meski begitu, betapapun aku merasa kami sudah bersikap awam seperti yang semestinya dituntut dalam sebuah penyamaran. Bersikap seperti tukang kayu ketika menjadi tukang kayu, bersikap seperti pandai emas ketika menjadi pandai emas, bersikap seperti pengemis ketika menjadi pengemis, bersikap seperti sais kereta ketika harus menjadi sais. Sungguh aku begitu yakin bahwa tidak ada seorang petugas rahasia pun mengendusnya. Hanya menjadi pelacur sajalah yang tidak dijalani Amrita, karena dirinya tiada lagi bisa bercinta dengan siapapun juga selain kepada diriku. Secara keseluruhan, karena memang terus menerus berpindah tempat di seluruh Kambuja, untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, kami tetap berperan sebagai kaum paria pengembara, yang berkelana di atas bumi tanpa pernah mendapat kemapanan, menggelandang tanpa tujuan selain melanjutkan kehidupan Maka memang menjadi pertanyaan besar bagiku sekarang mengenai peran Naga Kecil di sini. Apakah dia menemukan Amrita karena daya batin alam iahnya, dan para petugas rahasia memang memanfaatkannya, ataukah tindakan Naga TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Kecil tidak ada hubungannya dengan kebijakan istana yang mana pun juga" Namun rajah bergambar naga menggeliat dengan mulut menganga yang kulihat pada tubuh orang yang mengikutinya itu, mengingatkan diriku kepada tanda-tanda suatu perkumpulan rahasia... DARI Vijaya aku telah melewati Amaravati, dan terus menyusuri pantai sepanjang Indrapura. Aku tetap berperan sebagai paria pengembara yang bercaping dan berbaju compang-camping, tetapi memilih untuk tidak terlalu sering bertemu dengan manusia. Betapapun aku merasa harus secepatnya mencapai Sungai Merah, yang masih sangat jauh karena batas utara Campa yang terujung, tempat berdirinya candi Siva di Caoha, belum kulewati pula. Pantai adalah tempat yang ramai, karena tiap sebentar terdapat kampung nelayan, bahkan pelabuhan, sehingga kutentukan untuk selalu melakukan perjalanan malam. Siang hari aku tidur di mana pun agar memiliki cukup tenaga pada malam harinya. Dalam penyamaran di dunia yang penuh mata-mata ini, aku menahan diri untuk tidak berkelebat dan melesat dengan Jurus Naga Berlari di Atas Langit agar tidak seorang mengendus keberadaan seseorang dari dunia persilatan di dunia awam. Namun, begitulah, pada suatu siang berangin ketika aku tidur di tepi pantai dengan wajah tertutup caping di bawah pohon nyiur yang melambai-lambai, terdengar sebuah suara dalam bahasa Jawa. ''He, pengemis! Bangunlah!'' (Oo-dwkz-oO) Episode 120: [Ruang Tulisan, Waktu Tulisan] PEMBACA yang Budiman, sementara Pembaca mengikuti kisah perjalananku di Kambuja, aku mengalami kejadian yang membuat diriku berada dalam kedudukan yang sulit, karena TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ seseorang telah menyandera Nawa agar kuserahkan riwayat hidup yang sedang kutulis tersebut. Adapun kesulitan itu meliputi dua matra: Pertama, bahwa jika kuserahkan demi Nawa, dan bagiku keselamatan seorang anak jauh lebih penting dari apa pun juga, karena anak adalah masa depan, Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo maka besar kemungkinan naskah tersebut bahkan tak dapat kubaca kembali, padahal aku menuliskannya demi sebuah penyelidikan, mengapa diriku disuruh bunuh oleh negara; kedua, dengan melibatkan diri dalam kejadian itu, sambungan penulisanku tidak jelas kapan bisa dilanjutkan, padahal aku tidak dapat menulis dan membebaskan Nawa dalam waktu bersamaan. Apa akal" Dalam waktu yang sempit, aku mendapat jalan keluar yang hanya dapat berhasil dengan bantuan Pembaca, yang akan berbaik budi tetap mengikuti lanjutan cerita tersebut meski mengetahui betapa aku belum sempat menuliskannya! Bukankah penulisanku terhenti ketika kuketahui sesosok bayangan berkelebat, dan sosok yang lain mendadak muncul sambil menempelkan pedang di leher Nawa" Memang, aku dapat mengharapkan bahwa guratan demi guratan aksara yang sedang kutulis itu diandaikan saja sebagai lanjutan cerita yang berlangsung sampai aku keluar dari wilayah Campa. Namun seberapa banyaklah yang dapat dituliskan oleh sebuah pengutik di atas lembaran lontar bukan" Jadi, maaf, seribu kali mohon maaf atas kebodohanku dalam penulisan, dan terima kasih sebesar-besarnya atas pengertiannya, bahwa peristiwa yang berlangsung sesudahnya, seperti pertarunganku melawan Amrita dan seterusnya, tentu belum dituliskan selengkapnya saat aku terpaksa menghentikannya ketika memergoki bayangan yang berkelebat dalam kegelapan tersebut. Mohon maklum dan mohon maaf! Masalahnya, jika aku tidak dapat mengambil jarak dengan masa kiniku, tidak dapat kujamin aku akan segera kembali ke masa lalu dan menuliskannya; sedangkan jika penulisan masa laluku itu terbengkalai dan akhirnya terlupakan sama sekali, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ aku pun tidak dapat mencapai kejelasan pada masa kiniku. Maka aku harus segera menyelesaikan pengembalian ingatan segenap masa laluku itu, agar tidak tenggelam dalam kebingungan seperti sekarang. Kini persoalan pelik lain harus kupecahkan dalam waktu singkat, sehubungan dengan pentingnya keselamatan Nawa. Betapa besar dosa dan rasa bersalahku jika seorang anak harus menjadi korban dalam masalahku yang sudah memasuki usia 101 tahun. Sangatlah tidak layak seorang anak terkorbankan untuk seseorang yang setiap saat berkemungkinan mati. Persoalannya, apakah sosok yang berkelebat dalam kegelapan itu datang bersama dengan sosok yang memegang Nawa" Jika mereka datang bersama, dan memang bekerjasama, tentu harus kuperhitungkan berbeda dengan kenyataan jika mereka tidak saling mengenal. Paling sulit adalah memperhitungkan, jika mereka mungkin tidak saling mengenal, tetapi bisa saja kepentingannya sama; ataukah ternyata tidak sama. Jika yang menyandera Nawa telah menyatakan kepentingannya, maka apakah kiranya maksud dan tujuan sosok yang langkahnya begitu ringan, nyaris takterdengar sama sekali, yang jelas tidak bermaksud memperlihatkan diri" "Aaaakkhhh!" Nawa menjerit, pedang itu telah menggores kulit lehernya. Mataku masih bisa melihat garis hitam kental dalam kegelapan, tanda darah keluar dari goresan luka. "Semua naskah ada di pondok," kataku, "silakan ambil semua, tetapi tinggalkan Nawa di s ini!" Kutatap dengan pandangan menembus kegelapan. Agaknya ia membebatkan kain hitam di wajahnya, sehingga hanya tampak matanya. Pantaslah takbisa kujejaki wajahnya tadi, karena kain hitam menyamarkannya dengan kegelapan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Kulihat Nawa yang juga melihat ke arahku. Apakah yang diharapkannya dari seorang kakek tua yang setiap hari dilihatnya hanya menulis saja" Langkah-langkah halus dari bayangan yang berkelebat tadi telah sampai ke belakang pondok. Apakah ia bermaksud mencuri tumpukan lontar yang telah kutulisi selama setahun ini" Aku tidak terlalu yakin bahwa seseorang tahu apa yang kutuliskan selama ini, kecuali pengusaha lembaran lontar ini, yang pertanyaannya terpaksa kujawab, bahwa aku sedang menulis kenang-kenanganku. Kurasa apapun yang kutulis tidak penting bagi pengusaha lembaran lontar itu, sehingga kuandaikan ia tidak pernah memperbincangkannya, dan tentu tidak juga Nawa, yang baginya diriku hanyalah kakek tua. Namun setidaknya terdapat dua perkara yang memungkinkan seseorang mencari dan peduli dengan keberadaan maupun apa yang kulakukan di sini. Pertama, bahwa aku memang seorang buronan, yang bagi penangkapan atau kematianku tersedia hadiah 10.000 inmas; kedua, bahwa seorang perempuan muda telah bertanya-tanya kepada Nawa, apakah aku ini seorang pendekar, yang telah membuat Nawa bertanya kepadaku pula. "AAAAKKHHH!" Nawa menjerit, pedang itu telah menggores kulit lehernya. Mataku masih bisa melihat garis hitam kental dalam kegelapan, tanda darah keluar dari goresan luka. "Semua naskah ada di pondok," kataku, "silakan ambil semua, tetapi tinggalkan Nawa di s ini!" Kutatap dengan pandangan menembus kegelapan. Agaknya ia membebatkan kain hitam di wajahnya, sehingga hanya tampak matanya. Pantaslah tak bisa kujejaki wajahnya tadi, karena kain hitam menyamarkannya dengan kegelapan. Kulihat Nawa yang juga melihat ke arahku. Apakah yang diharapkannya dari seorang kakek tua yang setiap hari dilihatnya hanya menulis saja" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Langkah-langkah halus dari bayangan yang berkelebat tadi telah sampai ke belakang pondok. Apakah ia bermaksud mencuri tumpukan lontar yang telah kutulisi selama setahun ini" Aku tidak terlalu yakin bahwa seseorang tahu apa yang kutuliskan selama ini, kecuali pengusaha lembaran lontar ini, yang pertanyaannya terpaksa kujawab, bahwa aku sedang menulis kenang-kenanganku. Kurasa apa pun yang kutulis tidak penting bagi pengusaha lembaran lontar itu, sehingga kuandaikan ia tidak pernah memperbincangkannya, dan tentu tidak juga Nawa, yang baginya diriku hanyalah kakek tua. Namun setidaknya terdapat dua perkara yang memungkinkan seseorang mencari dan peduli dengan keberadaan maupun apa yang kulakukan di sini. Pertama, bahwa aku memang seorang buronan, yang bagi penangkapan atau kematianku tersedia hadiah 10.000 inmas; kedua, bahwa seorang perempuan muda telah bertanya-tanya kepada Nawa, apakah aku ini seorang pendekar, yang telah membuat Nawa bertanya kepadaku pula. Aku harus bertindak cepat, jika ingin Nawa tetap selamat. "Lepaskan anak ini sekarang juga! Dan ambil naskah itu! Cepat! Sebelum aku berubah pikiran!" Bahwa ia perlu menyandera Nawa, kutafsirkan sebagai pengenalan atas diriku yang sebenarnya. Ini membuat gertakanku berhasil, karena aku juga telah memperhitungkan, kedua orang yang menyatroni tidak bekerja sama, mengingat perbedaan tingkat ilmu mereka. Aku mengenal para pendekar. Ibarat burung rajawali, mereka selalu terbang sendiri. Tidak banyak kemungkinannya dengan ilmu setinggi itu akan sudi bahkan hanya untuk bicara dengan penyandera ini. Perhitunganku tidak keliru, karena jika ilmu penyandera ini tinggi, ia tentu minta naskah itu kuambil ke dalam pondok, dan menolak kehendakku. Lagipula ia tidak tahu apa yang terdapat di dalam pondok, sedangkan dalam dunia persilatan, segala sesuatu yang dianggap penting pasti dirahasiakan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Begitulah ia melesat sambil melemparkan Nawa ke arahku. Kutangkap Nawa yang ketakutan dan segera memelukku. Dengan sebelah tangan kudekap ia di s isi kiri tubuhku dan aku segera berkelebat ke dalam pondok. Sesosok bayangan berkelebat menghilang ketika aku masuk. Kulihat sepintas. Belum ada sesuatu pun yang sempat disentuhnya. Namun lebih dari yang kuharapkan, penyandera bertutup kain hitam yang hanya terlihat matanya itu sudah tewas dengan luka di dadanya. Adapun bayangan itu sudah lenyap di balik kegelapan. Aku tidak berminat mengejarnya, sejauh tidak ada sesuatu yang kuanggap penting telah diambilnya, apalagi dengan adanya Nawa dan mayat orang itu dalam pondokku. Aku segera keluar agar Nawa tidak me lihat mayat dengan luka tepat pada jantungnya itu. Memang nyaris tak berdarah sama sekali karena ketinggian ilmu pedang yang membunuhnya, tetapi bukan sekadar kekerasan betapapun bukanlah pengalaman menyenangkan bagi seorang anak, melainkan betapa akan sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan anak secerdas Nawa. Kuletakkan Nawa yang masih terpaku dengan peristiwa yang dialam inya itu di luar. Lantas aku masuk dan memeriksa lagi orang itu. Di pinggangnya terdapat rantai, yang mungkin merupakan senjata yang belum sempat dipakainya. Ia hanya berkancut seperti semua orang yang tidak mempunyai kedudukan tinggi, tetapi kain kancutnya yang hitam kelam menunjukkan tujuan penggunaannya untuk kepentingan tertentu. Kuperiksa gulungan kain yang melingkari pinggangnya, sehingga rantai itu memang sepintas lalu tak ada. Seperti kuharapkan, segala sesuatu yang menunjukkan keterlibatan dengan kerja penyusupan terdapat di sana, seperti jarum-jarum beracun, tali berkait untuk bergantung, bola-bola peledak, maupun pisau terbang. "Kalapasa...." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Kudengar desisanku sendiri pada malam sunyi. Aku harus segera melenyapkan mayat ini jika tidak ingin mendapat kesulitan. KUANGKAT mayat itu dan aku pun berkelebat lewat pintu belakang. Inilah kesulitan seseorang dari dunia persilatan yang menyamar sebagai seorang awam, apabila kemudian ternyata persoalan dari dunia persilatan itu masih terus menyusulnya. Dunia persilatan penuh dengan mayat bergelimpangan, karena seseorang yang hidup dalam dunia itu memang selalu berada dalam kedudukan antara hidup dan mati, sementara di dunia awam tergeletaknya satu mayat saja akibat pembunuhan sudah menjadi peristiwa menggemparkan. Istilah mayat yang kejatuhan embun masih berlaku untuk menekankan makna betapa sesuatu telah berlangsung di luar kewajaran. Ke manakah aku harus pergi dalam kegelapan ini" Meski malam telah turun, tetapi ini malam yang belum larut sama sekali. Justru di kota seramai Mantyasih, kedatangan malam itu seperti harus dirayakan. Di berbagai pojok jalan obor penerangan menyala dan memperlihatkan kerumunan, bahkan di tepi jalan besar terlihat keramaian karena terdapat sebuah tontonan. Aku membawa mayat anggota Kalapasa ini dengan berlindung di balik kegelapan di balik tembok. Aku harus sangat waspada, karena jika benar yang harus kusembunyikan mayatnya ini adalah anggota Ka lapasa, seharusnya ia tidaklah bekerja sendirian. Berlindung di bawah bayangan tembok bata merah di jalan besar tidaklah mudah, karena cahaya obor yang cukup banyak telah memudarkan kegelapannya. Cahaya api kekuningan menyepuh tembok bata merah, bahkan bayanganku yang memanggul mayat tampak jelas pada tembok itu! Bergoyanggoyang sesuai goyangan api yang tertiup angin... Aku terkesiap dan segera berkelebat dari bayangan kegelapan yang satu ke bayangan kegelapan yang lain. Aku sama sekali tidak boleh terlihat, jika tidak ingin seisi kota TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ keluar dari rumahnya dan memburuku. Maka aku terbang ke atas tembok dan melesat di atasnya, berkelebat dari atas atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain, menghindari keramaian, menuju ke pinggiran kota. Di depan berbagai arca Siva kulihat sejumlah orang masih melakukan upacara malam, dan ini pun harus kuhindari hanya di belakang arca itu terdapat kegelapan. Di depan arca bahkan obor terang benderang, dan semakin ke pinggiran kota semakin sedikit terdapat tembok perkotaan, sehingga nyala api menyelusuri tanah seluas-luasnya, memperlihatkan bayang-bayangku memanjang memanggul mayat yang kejatuhan embun. Tujuanku adalah tempat pembakaran orang-orang mati. Tempat itu berada di luar tembok kota, di pinggiran, tempat bermukimnya orang-orang paria, yang meski disebut tanpa kasta ternyata masih berperingkat pula. Rumah-rumah mereka jelas tidaklah terbuat dari batu bata seperti rumah para bangsawan di dalam kota, melainkan seperti kandang hewan sahaja. Kadang tak berdinding dan hanya beratap, bahkan tak jarang hanya menggeletak begitu saja di atas jerami. Itulah golongan candala, mleccha, dan tuca. Di dekat mereka itulah terdapat pancaka-pancaka pembakaran mayat, tempat siapa pun yang keberangkatannya ke alam baka tidak memerlukan upacara, karena tidak mempunyai biaya tentunya, mayatnya segera dibakar sampai habis tanpa sisa. Itulah sisa pekerjaan bagi para astacandala yang meski berperingkat dalam ketanpakastaan sepintas lalu tampak sama saja, yakni kumuh dan nestapa. Mereka, laki dan perempuan, sedang duduk berkerumun bagai gundukan dalam kegelapan. Bahkan siang hari pun Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka tidak selalu tahu apa yang bisa dikerjakan selain mencari sisa-sisa makanan. Mereka berdiri ketika aku datang. Tidak ada penerangan apapun di tempat itu. Demikianlah orang-orang yang selalu dianggap tidak mempunyai igama ini, ataupun jika memiliki kepercayaan dianggap saja sebagai golongan vidharma, upadharma, upatha, apatha, vipatha, atau TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mithyadusti ini, atau golongan sesat, hidupnya nyaris seperti binatang, meski dalam kenyataannya tetap saja memiliki kebudayaan. Kulemparkan mayat itu ke depan mereka. Dengan terkejut mereka berdiri. "Siapa di antara kalian mengenali mayat ini," kataku. Segalanya memang gelap, tetapi apalah yang bisa terlalu gelap bagiku sebagai orang persilatan, maupun bagi mereka yang selalu hidup dalam kegelapan itu" KUKELUARKAN beberapa keping mata uang perak. Yah, tidak perlu emas untuk membuat mata mereka terbelalak lebih. Kutahu jaringan perkumpulan rahasia sangat mengandalkan kaum paria, karena bagi kasta di atasnya kaum tanpa kasta ini hanya ada untuk mendukung keberadaan mereka, yang keberadaannya bagai merupakan suatu takdir, sama sepert keberadaan anjing, angin, rembulan, yang bagaikan sudah semestinya ada demi keberadaan mereka. Karena itu tidak ada sesuatu pun dari kaum paria itu harus menjadi begitu istimewa untuk diperhatikan lebih dari seharusnya. Sebaliknya kaum paria itu selalu memperhatikan segalanya yang berlangsung di luar dunia mereka, karena segala sesuatu yang berada di luar dunia mereka itu sangat memengaruhi keberadaan mereka. Selain bahwa seolah-olah tiada sesuatu pun dalam dunia mereka sendiri yang dapat menarik perhatian mereka. Mereka yang berada di tepi dunia selalu memandang ke arah pusat dunia, mereka yang berada di pusat dunia tidak punya waktu memandang apapun, selain memandang diri mereka sendiri. Di Mantyasih, mereka merasa berada di pusat dunia dan sibuk dengan upacara igama. Candi-candi terus dibangun mengerahkan tenaga dari desa, sehingga sawah dan ladang terbengkalai. Orang desa yang jatuh miskin, merayap masuk TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kotaraja yang selama ini dipandang sebagai pusat dunia, tetapi tidak ada satu manusia pun peduli kepada mereka. Para pengawal dan penjaga kota menahan mereka di luar kotaraja, dan hanya bisa masuk jika kaum berkasta membawa mereka masuk sebagai budak atau orang upahan. Dari tahun ke tahun mereka beranak pinak, selain ada kalanya datang pula rombongan baru yang desanya terlantar karena membangun candi. Anak beranak yang lahir di kandang hewan akhirnya takmengenal kehidupan lain selain keselamatan hari ini. Bukan hanya orangtuanya kehilangan kepercayaan kepada dewa-dewa yang telah berpaling, tetapi anak-anak tumbuh di kandang hewan ini telah menciptakan dewa-dewanya sendiri! Makanya mereka disebut sebagai apatha atau mithyadusti, mereka yang sesat, dan karena itu tidak dapat diterima sebagai bagian dari peradaban. Bahkan pengemis dan gelandangan di dalam kota, seolah-olah kastanya lebih tinggi dari mereka, karena pengemis dan gelandangan hanyalah warga biasa yang terlantar, bisa berkasta sudra, bahkan vaisya yang jatuh rudin, tetapi apatha dianggap kelahiran yang salah. Kedudukan semacam itu membuat mereka tak pernah dipandang, tetapi selalu memandang, dan karena itu layak kuanggap tahu segala sesuatu. Kulemparkan ikatan mata uang perak itu, yang segera berserak di atas tanah. Mereka menyergapnya seperti buaya menyambar itik, tetapi aku segera menendangi mereka dengan tenaga kasar, sehingga sepuluh orang terlempar sambil mengerang. "Dasar astacandala! Katakan siapa pernah me lihat orang ini! Baru uangnya boleh dimakan!" Uang bagi orang-orang yang malang ini hanya berarti arak dan pelacur, sedangkan para pelacur yang tidak terlalu butuh uang pasti akan menolaknya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Mereka mendekati mayat itu dan memeriksanya. Mereka membolak-balik mayat, dan kurasakan hal itu agak terlalu lama. Dengan cepat kuambil kembali ikatan mata uang perak itu, lantas kulemparkan lima keping ke udara. "Itu untuk pembakaran, siapa pun yang akan melakukannya," kataku sambil berlagak pergi, "aku hanya buang waktu di sini." Aku melangkah pergi. Dengan langkah biasa. Setelah agak jauh kudengar langkah seseorang menyusulku "Tuan, Tuan, sahaya melihatnya." Aku menoleh. Seorang lelaki berkancut yang sangat dekil, seperti nyaris telanjang, karena kancut yang tak jelas warnanya itu pun sungguh compang-camping. Rambutnya terurai dan kaku, seperti mengesahkan ketidakberadabannya. Meski kurasa cara berbahasanya tidaklah sekasar seperti yang biasa diperdengarkan golongannya. "Apa yang kamu lakukan sehingga melihatnya?" "Sahaya sedang mencari telur burung di batas kota, T uan, ketika sahaya mendengar perbincangan di bawah pohon yang daunnya sangat rimbun itu. Sahaya tidak berani turun, karena mereka pasti akan membunuh sahaya. Pertemuan ketiga orang penunggang kuda itu jelas dirahasiakan, karena mereka saling bertukar kata sandi." "Apa yang mereka bicarakan?" "Mereka berbicara perlahan sekali tuan, maaf, sahaya tidak berkata telah mendengar percakapan mereka, sahaya hanya menyatakan telah melihatnya.' Ia benar. Namun tentunya harus ada sesuatu yang bisa kuperhitungkan berdasarkan pandangan matanya. "APA saja yang dikau lihat?" "Kuda mereka." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kenapa dengan kuda mereka?" "Kuda mereka ketiganya hitam, tegap dan perkasa." Hmm. Apakah ini mempunyai makna" Mereka yang memilih untuk hidup sebagai penyusup akan akrab dengan warna hitam. Kuda hitam bukan perkecualian, karena tidak akan mudah terlihat dalam penyusupan dan perburuan dalam kegelapan. Ini hanya membenarkan dugaanku sebelumnya, bahwa orang ma lang yang terbunuh dalam tugas itu adalah petugas rahasia. Namun sebetulnya dengan segenap bukti yang kudapat, belum bisa dipastikan, apakah dirinya anggota Kalapasa, atau justru pengawal rahasia istana -meski kuyakinkan diriku betapa pengawal rahasia istana sesungguhnya telah dididik untuk bersikap ksatria, dan tidak akan pernah menyandera bahkan membahayakan seorang anak kecil demi kepentingannya. Masalahnya, jaringan rahasia Cakrawarti disebutkan telah demikian merasuk, sehingga sangat mungkin untuk menanamkan seorang anggota Kalapasa sebagai pengawal rahasia istana, yang merupakan tindak gabungan antara ilmu penyamaran dan ilmu penyusupan. Dengan perkembangan ilmu-ilmu kerahasiaan itu, tidakkah mencari jejakku akan menjadi terlalu mudah" Pertemuan ketiga orang itu juga berarti bukan hanya satu orang yang terbunuh itu saja mengetahui keberadaanku. Tidakkah itu sangat berbahaya" Buronan negara terlacak oleh suatu regu pemburu resmi. Dengan jalur perintah dan penugasan mereka yang terlatih, tidakkah saat ini setidaknya sudah seratus orang pengawal rahasia istana mengepuh pemondokanku" "Tuan, mayat kedua orang itu sudah tiba lebih dahulu, Tuan." "Mayat dua orang" Siapa?" "Dua dari tiga orang berkuda hitam yang berkumpul di bawah pohon itu, Tuan. Sebelum Tuan datang, seseorang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sudah datang dengan dua mayat dan membayar agar segera dibakar." "Hah?" "Makanya sahaya segera mengenali yang ketiga itu ketika Tuan datang dan melemparkan mayatnya. Sahaya tidak berkata kepada siapa pun tentang pertemuan ketiga orang itu, takut ada mata-mata salah mengerti tentang keberadaan sahaya." Setiap orang mengerti arti siksaan oleh para petugas rahasia. Siksaan yang dapat membuat orang tidak bersalah mengaku bersalah. "Siapa yang membawa kedua mayat itu, dan kapan?" Orang tanpa kasta ini menoleh ke sekelilingnya. "Semua orang melihatnya, Tuan, tetapi apakah itu berarti uangnya harus dibagi?" Itulah yang kukatakan tadi. Apakah harus dikatakan mereka memiliki budi pekerti" Meski aku tahu kecenderungan untuk merendahkan mereka adalah kesalahan besar. Kuperhatikan astacandala ini memiliki semangat hidup, dan tampaknya juga berdaya cipta, meski sepintas lalu hanyalah gelandangan hina dina tanpa kehormatan sama sekali. "Kuberikan semuanya untuk dikau," kataku, "hanya jika ada gunanya bagi daku!" Ia lantas mendekati aku dan berbisik. Aku menahan napas, karena seperti orang sadhu manusia tanpa kasta ini tampaknya sudah berbulan-bulan tidak mandi. Hanya saja dirinya bukan orang sadhu, bahkan siapa dewanya tiada jelas sama sekali. "Memang akan berguna Tuan, karena meskipun ia tampak sebagai seorang laki-laki, sahaya tahu ia sebetulnya seorang perempuan." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Bagaimana dikau tahu?" "Karena memang terlalu kentara Tuan. Sahaya rasa ia tak pandai menyamar. T idak jelas apa maksudnya. Mungkin takut diperkosa di wilayah ini. Aneh, suaranya saja jelas suara perempuan muda." Jika perempuan ini juga yang membunuh keduanya, kemungkinan juga yang telah menamatkan riwayat penyandera Nawa dan menghilang dengan sangat cepatnya, artinya mustahil takut diperkosa. Betapapun aku merasa terbunuhnya ketiga orang ini sangat menguntungkan. Jika tidak aku terpaksa berpindah tempat lagi, sebagaimana layaknya seorang buronan, yang sulit kulakukan sekarang karena aku harus selalu menulis. Aku bukan saja tidak dapat menulis sambil berkelebat dalam pelarian, dan bahwa segenap gulungan keropak itu harus dibawa, tetapi juga betapa aku membutuhkan lembaran-lembaran lontar untuk ditulisi ini, yang untuk mengolahnya dari daun rontal tidaklah dapat dilakukan seketika. Jika setiap kali mau menulis harus berhenti dulu untuk mengolah rontal menjadi lembaran lontar, kapan pula tulisan tentang riwayat hidupku ini akan selesa PADAHAL aku butuh penyelesa ian secepat dan setuntas mungkin, agar segera kuketahui dari perkara yang sekecilkecilnya, mengapa setelah mengundurkan diri dari dunia persilatan selama 25 tahun, wangsa Syailendra menjadikan aku seorang buronan. Aku merasa keadaanku tidak terlalu mengkhawatirkan sekarang, tetapi bagaimana dengan perempuan itu" ''Bagaimana caranya ia menyamar sebagai lelaki"'' ''Seperti banyak lelaki maupun perempuan yang keluar malam Tuan, ia melingkarkan kain penahan dingin yang menutupi dadanya. Selebihnya seperti kebanyakan pria yang berkain pendek, maka kakinya yang seperti belalang membuat sahaya curiga. Suaranya yang lemah meyakinkan sahaya.'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Apa yang dikatakannya"'' '''Bakar kedua mayat ini segera,' katanya. Itu saja. Ia datang menunggang kuda hitam, dan kuda hitam yang lain untuk membawa dua mayat di atas punggungnya. Apakah Tuan mengetahui di mana kuda yang ketiga"'' Aku merasa penjelasan orang tanpa kasta ini meyakinkan. ''Pergi ke arah mana perempuan itu"'' ''Ke sana Tuan"'' Ia menunjuk arah dari mana aku datang. Itu berarti ada kemungkinan aku telah berpapasan dengannya tanpa kuketahui! Pikiranku segera melayang kepada Nawa. Setelah melemparkan seikat uang perak, aku melesat kembali ke pemondokan. Tidak kupedulikan lagi api menyalanyala terang di luar batas kota, dari mayat yang langsung dibakar di atas pancaka. Dengan upah atas pembakaran tiga mayat dalam semalam, kurasa kaum paria itu hari ini berpesta. (Oo-dwkz-oO) TIBA di pondok, sesosok bayangan berkelebat. Apakah aku harus mengejarnya" Mengingat kecepatannya, meski ilmu meringankan tubuhnya memang sangat tinggi, kukira aku masih akan mampu mengejarnya, tetapi tentu saja pikiranku Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tertuju kepada Nawa. T ernyata dia masih ada. Maka aku pun segera masuk dan menengok ke dalam bilik. Gulungan yang telah bertumpuk-tumpuk pun ternyata masih ada dan kukira bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Aku keluar dan mendekati Nawa. Kuperiksa lukanya. T idak berbahaya. Aku masuk ke dalam pondok dan mencari daun obat-obatan. Untunglah masih ada. Segera kuusap sedikit di lehernya itu. Dengan segera memang mengering dan tidak berbahaya sama sekali. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan dari luka itu, tetapi bagaimana dengan perasaan anak berusia TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ enam tahun, yang baru akan memasuki tahun ketujuh dalam kehidupannya itu" Bagaimanakah ia akan menerima peristiwa yang telah melukai lehernya itu" Bukan apa yang terjadi kepada dirinya barangkali yang perlu kukuatirkan bagi seorang anak yang cerdas seperti Nawa, dan telah kukenal setahun ini melalui segenap yang selalu aku membuat aku berpikir dalamdalam; melainkan apa yang dipikirkannya tentang diriku, yang telah mengelak dari pertanyaannya yang langsung dahulu itu: apakah aku seorang pendekar" Masa lalu apakah yang mungkin dimiliki oleh seorang tua, sehingga seseorang sampai harus menyandera seorang anak kecil untuk mendapatkan apa yang ditulisnya" Apa pula yang mungkin dituliskannya, sampai begitu panjangnya, yang membuat seseorang sampai menyandera dan terbunuh pula oleh seseorang yang lain, yang agaknya tidak ingin naskah itu diambil dan dibawa" Seberharga apakah naskah itu kiranya, jika ternyata dilindungi begitu rupa" Siapakah kiranya orang tua yang hidupnya seolah-olah hanya menulis di sela kesibukannya mengolah daun rontal menjadi lembaran lontar ini" Aku sangat ingin menyapa Nawa. Namun kurasa anak ini tidak memerlukan sapaan yang seperti basa-basi, meskipun jika menyapanya tentulah aku tidak berbasa-basi sama sekali. Aku hanya memeluknya, dan dia ternyata merebahkan diri di pangkuanku. ''Kakek,'' katanya, ''Kakek tenanglah. Daku tidak kurang sesuatu apa.'' AKU tertegun. Apakah peristiwa ini membuatnya mendadak dewasa" Bukan diriku yang harus menenangkannya karena kejadian yang tentunya luar biasa itu, melainkan dirinya yang merasa harus menenangkan diriku. Tidakkah ini lebih dari biasa" Sembari memeluknya kusapu kegelapan malam. Sayupsayup masih terdengar keramaian di luar tembok. Dalam TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ setahun ini Mantyasih bertambah ramai, sehubungan dengan pembangunan candi terbesar yang tampaknya semakin membutuhkan lebih banyak lagi tenaga manusia. Sudah tujuh puluh lima tahun candi itu dibangun, melewati berbagai masa dan peristiwa. Kukira pembangunannya kini memang mendekati saat-saat terakhirnya. "Kakek..." Nawa berbisik dengan sangat amat pelahan. Alam pun terasa sangat amat sunyi, sehingga meskipun suara-suara di kejauhan itu menjadi bertambah jelas, tidak menghilangkan bisikan Nawa sama sekali. "Janganlah takut, Kakek, tidak ada sesuatu pun yang perlu Kakek takuti..." Meskipun aku memasuki umur 101 tahun, dan sampai hari ini aku belum terkalahkan, mataku terasa panas oleh air mata yang mengambang. Lima puluh tahun belakangan ini aku hidup menyendiri, dan memang sangat amat sendiri, tanpa pernah merasa ada yang harus ditakuti, tetapi meski barangkali di luar maksudnya, sikap Nawa terhadapku membuatku terharu. Ternyata seseorang, meskipun anak kecil, begitu peduli kepadaku. Baginya aku hanyalah seorang tua sebatang kara yang sendirian saja, tanpa seorang pun merasa perlu untuk agak lebih peduli kepadanya... Nawa yang akhirnya tertidur, tentu juga karena kelelahan batin, kugeletakkan pada amben bambu di serambi. Orangtuanya sudah tahu bahwa jika Nawa tak pulang berarti ia tidur di sini. Kuselmuti dirinya dengan kain dan kudengar napasnya yang lembut. Belum waktunya ia mengenal dunia yang begitu keras, meski anak mana pun akhirnya akan menjadi dewasa dan mengenal dunia dengan tantangannya sendiri. Baru kusadari sejak tadi belum kunyalakan lampu damar. Kupertajam kewaspadaanku dan kukira keadaannya aman. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan batu api kunyalakan damar itu. Apinya kecil, tetapi lebih dari cukup untuk menulis. Aku sudah biasa menulis pada malam hari ketika suasana sudah begitu sunyi. Kukira sosok perempuan yang menyamar sebagai lelaki itu juga tidak akan menggangguku. Jika dirinya ingin mengawasiku tanpa suara di salah satu sudut gelap itu, biarlah ia mengawasi diriku yang sedang menulis, yang kupedulikan adalah menyelesaikan riwayat hidupku dengan secepat-cepatnya agar terselesaikan sebelum kematian entah bagaimana caranya tiba. Kusiapkan pengutik dan lembaran-lembaran lontar yang kosong. Setelah berpikir sejenak, aku menulis kembali. Semoga tidak ada kesalahan. (Oo-dwkz-oO) Episode 121: [Pembunuh Bayaran] DI bawah pohon nyiur yang melambai, aku masih tidur dengan wajah tertutup caping. Namun tidurnya mereka yang menyusuri jalan di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan, bukanlah tidurnya orang awam yang mengalami tidur sebagai istirahat sejenak dari upacara kehidupan. Tidurnya mereka yang memilih jalan untuk menyoren pedang memang adalah tidur dalam pengertian tubuhnya beristirahat, tetapi justru dalam tidurnya itulah segenap inderanya bekerja penuh, sehingga dapat dikatakan dalam keadaan tidur pun kewaspadaan seorang pendekar tetap tinggi. Dalam keadaan tidur dengan napas teratur, akan tetap terdengar olehnya langkah mengendap-endap siapa pun ia yang berkepentingan dengan dirinya, apakah itu sekadar untuk menyapa, apalagi jika bermaksud membunuhnya! Maka bukan hanya langkah mengendap-endap yang sebaiknya terdengar dengan jelas, tetapi tentunya juga desiran jarumjarum halus yang beracun menembus udara harus mampu didengarnya dengan sangat amat jelas; karena jika tidak, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bagaimanakah kiranya jalan persilatan yang ditempuhnya akan terlewati dengan selamat" Memang benar bahwa seorang pendekar itu harus siap untuk mati, tetapi bukan hanya kesiapan untuk mati terbunuh saja yang dituntut dari seorang pendekar, melainkan kematian dalam kesempurnaan dirinya sendiri. Ini membuat tidur yang sempurna adalah tidur dalam tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Itulah sebabnya telah kuketahui langkah-langkah orang ini, yang mendekati perlahan-lahan dengan agak memutar, karena mungkin dikiranya dengan itu diriku tidak akan mengetahui dirinya datang. Namun dapat kubaca dari langkahnya bahwa ia menganggap itu tidak banyak gunanya, sehingga akhirnya ia melangkah lurus, berhenti pada suatu jarak, dan menegurku. Siapakah dia dan apa yang harus kulakukan dengannya. Meskipun mataku masih tertutup kutahu ia menyoren pedang, bercaping, dan di balik pinggangnya terdapat pisau-pisau terbang. Jelas ia berasal dari dunia persilatan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan seperti hanya berarti pertarungan. Jadi aku pun harus benar-benar waspada! IA berbahasa Jawa, dan dari logatnya kutahu diucapkan seseorang dari Jawadwipa. Bahwa ia berbahasa Jawa untuk membangunkan aku, maka itu berarti dirinya mengenali diriku, meskipun barangkali belum pernah berjumpa denganku. Seseorang tidak perlu mengenali dan menegurku dengan cara seperti ini, kecuali ia benar-benar bermaksud mencari dan menemukan aku. Aku membuka caping. Langit biru. Seketika kutahu apa yang harus kulakukan setelah mendengar ombak berdebur di pantai. Aku melesat dan berlari sepanjang pantai. Ia mengejarku dan memang kubiarkan ia menyusulku. Ia berlari di sampingku. Kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Mataram, tetapi busananya seperti banyak orang di daerah ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Pedangnya sudah tercabut dan seperti baling-baling berusaha membacok bahu kiriku. Kuajukan tangan kiriku untuk menangkis pedang itu. Trangngng! Terdengar suara seperti logam menimpa batu. Tentu dengan tenaga dalam bisa kujadikan tanganku sekeras batu. Ia tampak terkejut tetapi terus mencoba lagi dan aku terus memainkan tanganku seperti sebuah pedang. Aku terus berlari dan dengan begitu aku telah menyeretnya kepada sebuah pertarungan yang belum pernah dijalaninya. Aku sengaja lari dengan kecepatan yang cukup untuk membuatnya mengejarku, tetapi tidak akan cukup untuk mencegat dan menyerangku. Ia hanya bisa mengejar, mengejar, dan mengejar, dan hanya dapat berada di sampingku jika aku memberinya kesempatan untuk itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang tinggi, karena tentunya kami tidak dapat dilihat dengan mata awam, tetapi itu belum cukup mengimbangi Jurus Naga Berlari di Atas Langit, karena dengan ilmu ini diriku bahkan bisa berlari di atas air dengan lebih cepat lagi. Demikianlah sepanjang pantai itu kami melesat dengan dirinya selalu berada di sampingku dan tidak pernah bisa berhenti seperti jika dia berhasil mencegatku. Aku membuatnya berlari, berlari, dan terus menerus berlari, melesat di antara debur ombak, perahu-perahu nelayan, dan batang-batang pohon nyiur yang kadang-kadang begitu miring di atas pantai sehingga kami harus terbang melompatinya. Selama berlari kusempatkan diriku berpikir. Siapa pun yang berada di belakang penyoren pedang ini, dan bermaksud membunuhku, telah mengirim orang yang salah. Betapapun tinggi tingkat kepandaian orang ini, kuragukan tujuan pengirimnya untuk membunuhku. Siapa pun yang bermaksud membunuhku, betapapun sudah tahu tingkat ilmu silat seperti apa yang semestinya dikuasai seseorang agar mampu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengalahkan diriku. Jadi, jika seseorang dengan tingkat ilmu silat seperti ini tetap dikirimkan juga dari Jawadwipa, sampai mencari dan menemukanku di tempat sejauh ini, apakah maksudnya" Jika pembunuhanku tidaklah menjadi tujuan, aku haruslah memikirkan sesuatu yang lain. Kubiarkan pedangnya sekali-sekali mengenai bahu dan tanganku yang berakibat pedangnya makin lama makin bergerigi seperti layaknya logam yang mengenai batu. Namun ia terus menerus merangsekku dan tidak sadar aku telah membawanya lari jauh sampai puluhan ribu langkah di sepanjang pantai yang landai. Tenaganya makin lama makin berkurang, tetapi tidak dirasakannya karena aku terus menyesuaikan kecepatanku dengan kecepatannya. Artinya ia selalu merasa sudah hampir mencapaiku, yang membuatnya terus berlari tanpa perhitungan lagi. Sampai lama kelamaan tenaganya habis juga, dan saat itulah kujepit pedangnya dengan dua jari, lantas setelah kupegang kulumpuhkan dirinya dengan tepisan punggung tangan kiri, yang membuatnya terjerembab di pasir basah pada punggungnya. Langsung kuinjak dadanya. "Dikau menyebutku pengemis! Siapakah dirimu?" Ia tidak menjawab. Apakah dirinya anggota jaringan rahasia" Aku meragukannya. Mereka yang bergabung dengan jaringan rahasia mempunyai kepatuhan teruji, bahwa jika mereka tertangkap dan terkalahkan maka bunuh diri menjadi kewajiban. Butiran-butiran racun terdapat dalam kantong mereka, yang harus segera mereka telan apabila tertangkap seperti sekarang. Kuletakkan ujung pedang yang kupegang ke tempat jantungnya berada. "Dikau datang dari Jawadwipa. Adakah dikau s iap mati jauh di negeri orang, tidak pernah melihat anak dan istri kembali?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ia tersenyum. Baru kuingat bahwa bagi anggota jaringan rahasia, hidup sendiri dan tidak berkeluarga adalah yang terbaik. Selain demi terjaganya rahasia, juga karena dengan begitu tidak ada sandera yang dapat digunakan untuk memerasnya. Namun jika ia tidak dikirim untuk membunuh, apa yang akan dilakukannya" Ternyata ia lantas berbicara. "Sahaya mendapat tugas untuk menjatuhkan embun," ujarnya, yang berarti ia ditugaskan untuk membunuh, "tetapi mereka tidak mengatakan Pendekar Tanpa Nama begitu tinggi ilmunya." "Siapa yang menugaskan kamu?" "Pendekar Tanpa Nama akan mengetahuinya, jika sahaya dapat memegang kembali pedang yang telah lepas dari tangan sahaya." Aku masih menginjak dadanya. Segera kulepaskan. Semula aku muak kepadanya karena sempat memikirkan kemungkinannya sebagai pembunuh yang mengejar bayaran. Ternyata dia hanya orang suruhan. Sebaliknya, mengingat pengejarannya sampai sejauh ini, kukira ia melakukan tugasnya dengan baik sekali. Ia bangkit dari kegeletakannya. Kukembalikan pedangnya. Namun begitu menerima pedang itu, dengan kedua tangan memegang erat gagangnya ia tusuklah perutnya sendiri sampai tembus ke punggungnya. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku sangat terkejut dan menangkap tubuhnya yang jatuh ke depan. Darah mengalir dari mulutnya, tetapi masih bisa kumengerti yang dikatakannya. "Na-ga-hi-tam...." (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ AKU masih terus berjalan menyusuri pantai, dengan kenangan atas Jawadwipa yang meskipun belum setahun kutinggalkan, serasa begitu jauh dalam lorong waktuku penuh pertumpahan darah. Apakah keadaannya akan jadi lain jika kucari dan kutempur saja Naga Hitam waktu itu, dan tidak mengikuti kesenangan sendiri mengembara dibawa angin seperti ini. Kucoba merenung, apakah aku takut kepada Naga Hitam" Dengan gelar naga yang telah dicapainya, ibarat kata ilmu seorang pendekar tidak bisa lagi diukur. Seorang pendekar dengan gelar naga sudah jelas tidak terkalahkan, apakah itu karena ia telah menantang semua pendekar dan selalu menang, apakah tiada seorang pun yang berani menantangnya, atau telah direbutnya gelar naga itu dari pendekar lain yang telah menyandang gelar naga. Jika yang terakhir ini memang telah dilakukannya, sungguh tak terbayangkan bagaimana seorang pendekar bergelar naga akan bisa dikalahkan, karena ia seolah-olah telah mengalahkan pendekar terbesar. Namun benarkah begitu" Jika memang benar, apakah sudah tidak berlaku lagi pepatah di atas langit ada langit maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang yang di belakang" Aku telah menenggelamkan diri dalam samadhi untuk memperdalam ilmu silatku selama sepuluh tahun di dalam gua, seperti aku begitu keluar akan langsung menantang Naga Hitam. Di dalam gua itulah kemampuan yang kumiliki menjadi berlipat ganda, karena pemecahan filsafat yang kuberlakukan kepada ilmu silat, yang telah mengembangkan pendekatanku terhadap ilmu silat itu, sehingga sulit diimbangi tanpa melakukan pendekatan yang sama. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar akan kuimbangi Ilmu Pedang Naga Hitam, dengan Jurus Penjerat Naga bahkan setiap naga berkemungkinan kukalahkan, tetapi dengan Jurus Bayangan Cermin, yang terus kugali dan kembangkan sebagai TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ilmu Bayangan Cermin, maafkanlah jika kukatakan bahwa tiada terbayangkan ada lawan yang tidak bisa kukalahkan. Tentu aku tidak sedang menyombongkan diri. Bukankah kepada diriku pun berlaku pepatah di atas langit ada langit maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang yang di belakang" Aku mengungkapkan hal itu karena dengan begitu seharusnya aku memang mencari, menantang, dan menempur Naga Hitam, meskipun misalnya ia menghindari diriku. Naga Hitam seharusnyalah kucari dan kutantang secara terbuka, bilamana perlu bahkan dengan cara mempermalukannya, agar ia segera keluar dari sarangnya dan bertandang, karena ia sudah terlibat begitu jauh dengan dunia kejahatan. Dalam dunia persilatan, para naga semestinya berada di atas semua golongan, tetapi Naga Hitam bagaikan telah bergabung dengan golongan hitam. Padahal kemampuanku sebetulnya mewajibkan aku membasmi gerombolannya. Ternyata aku bukan saja tidak pernah menantangnya, melainkan pergi jauh, bagai ingin pergi ke luar dunia. Memang benar telah kutewaskan banyak murid Naga Hitam, bahkan berkat diriku pula berbagai kesatuan dalam jaringannya mengalami kehancuran, yang telah membuat Naga Hitam menganggapku seperti duri dalam daging, dan selalu mengirimkan para pembunuh bayaran untuk memburuku. Kurang alasan apa lagi bagiku untuk menantangnya bertarung dan menewaskannya" Memang benar pula bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya, tidak sama sekali menghindarinya, dan dalam kenyataannya begitu banyak urusan telah menyeretku tidak ke arah pertarungan itu, yang kemudian kuketahui telah menjadi perbincangan dari kedai ke kedai, meski Naga Hitam melalui utusan-utusannya tetap selalu memburuku, tetapi jika aku lebih memilih untuk menjadi pengembara, berjalan-jalan melihat dunia, tidakkah ini berarti aku ternyata lebih mementingkan diriku sendiri" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ MUNGKINKAH aku cukup bodoh untuk mengira diriku belum mampu mengalahkan Naga Hitam" Mungkinkah karena masih begitu muda maka diriku belum bisa mengukur dan membandingkan, betapa tidak ada sesuatu pun yang perlu kutakutkan dari Naga Hitam, bahkan dari pendekar mana pun yang tidak terkalahkan dan karenanya berhak atas gelar naga " Mungkinkah aku terlalu menyadari, bahwa bukan ilmu silat yang jadi masalahku, melainkan kebijaksanaan dan kecendekiaan yang tidak kumiliku sebagai bagian dari wibawa naga " Sekarang, hari ini, di pantai ini, aku merasa malu kepada diriku sendiri. Merasa malu dan bersalah, karena telah mementingkan perasaanku sendiri, daripada kebutuhan orang banyak yang sudah sangat mendesak, yakni melepaskan diri dari gurita jaringan kejahatan Naga Hitam. (Oo-dwkz-oO) BEGITULAH aku terus berjalan, berjalan, dan berjalan jauh meninggalkan reruntuhan candi di Caoha, terus menerus menyusuri pantai sampai ke Teluk T ongking. Kucari jejak Naga Kecil dari kedai ke kedai, dari pasar ke pasar, sembari berpikir bahwa mungkin masih ada lagi pembunuh-pembunuh bayaran Naga Hitam yang dikirim mencariku. Semakin kusadari betapa Kedatuan Srivijaya sungguh berjaya di lautan. Kapal-kapal mereka sampai di Teluk Tongking ini bisa ditemukan di setiap pelabuhan. Kapal seperti yang pernah kutumpangi dulu, dengan nakhoda bernama Naga Laut yang telah kutinggalkan di bekas pelabuhan kerajaan Fu-nan di muara Sungai Mekong. Begitulah aku menjadi seorang pemburu, dengan bayangan harus menyelamatkan Amrita, tetapi yang tahu juga sedang diburu, oleh pembunuh-pembunuh tangguh yang dikirim dari jauh, yang bersama dengan serbuan pasukan Wangsa Syailendra di sepanjang pantai Kerajaan Campa sebelumnya, membentuk jaringan perantauan Jawadwipa yang melayani kepentingan berbagai pihak dalam pertarungan kekuasaan di TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Suvarnadvipa. Naga Hitam telah memanfaatkan jaringan itu untuk melacak jejakku, padahal pertempuran dalam perburuan Amrita itu tentu menjadi dongeng yang bertebaran di segala penjuru. Kuingat pertemuan terakhir dengan Naga Kecil pada malam berhujan itu. Saat halilintar berkeredap, garis-garis lengkung sisiknya menyala kebiruan, seperti cahaya tubuh ikan yang hidup di kedalaman. Kuingat Amrita berkisah tentang lidahnya yang bercabang, dan kemampuannya mengendalikan pikiran, baik pikiran manusia maupun ikan. Tentu dengan itu ia tidak perlu berbicara dengan lidahnya yang bercabang itu. Namun apakah orang-orang lantas dapat mengingat kehadirannya" Di sebuah kedai pada sebuah pelabuhan kecil di muara Sungai Merah, aku bertanya dengan bahasa Malayu, yang dikenal di sepanjang pantai Teluk T ongking. ''Bapak, pernahkah melihat manusia bersisik yang diceritakan orang-orang itu"'' Tidak bisa lain, aku hanya dapat mengajukan pertanyaan pancingan. Aku tidak tahu jalan lain, dan sebuah pertanyaan kuharap menambah kemungkinan yang dapat kuperhitungkan. ''Maksud Anak dengan manusia bersisik adalah Naga Kecil" Tentu semua orang pernah mendengar cerita tentang murid Naga Bawah Tanah yang ajaib itu, tetapi bukannya itu hanya cerita" Kita tidak pernah tahu apa yang mungkin dan tidak mungkin, dari dunia yang disebut dunia persilatan itu. Heheheheheh. Namun istri sahaya menyukainya, untuk mengantarkan cucu-cucu kami tidur.'' ''Bukankah Naga Kecil itu saudara seperguruan Amrita, putri Jayavarman II yang sedang menggalang kesatuan Angkor di selatan, dan Putri Amrita adalah nyata"'' Pemilik kedai itu manggut-manggut sambil mempersilakan orang-orang lain yang baru datang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Tidak ada yang lebih nyata dari Putri Amrita, putri raja yang naik kuda dengan busana tembus pandang, cerita tentang pengkhianatannya terbawa angin sampai kemari. Namun kisah di sekitarnya, tentang saudara seperguruannya yang bersisik kebiru-biruan itu kenapa harus dipercaya" Selalu ada cerita bagaikan dongeng di sekitar seorang tokoh, mulai dari kesaktiannya -puteri itu bisa membunuh tanpa bergerak katanya- sampai tokoh-tokoh di sekelilingnya, yang semuanya juga mirip dongeng. Coba, semua orang mengatakan Naga Bawah Tanah tidak pernah memperlihatkan diri bukan" Hahahaha! Itulah caranya menciptakan dongeng!'' Aku setuju, bagaimana caranya kita memercayai sesuatu yang tidak kita ketahui dengan pasti" Namun aku mengetahui banyak hal tentang Amrita dengan pasti, yang telah membuatku meninggalkan Khmer, menyusuri pantai sepanjang Kerajaan Campa, dan sampai di muara Sungai Merah ini. ''PARA pemberontak berkumpul di Hoa Lu, tidak aneh jika Putri Amrita yang dicari seluruh mata-mata ayahnya itu bergabung ke sana. Orang-orang Viet di sini sudah lama bermusuhan dengan orang Khmer, tetapi sekarang mereka lebih nekat lagi karena berpikir untuk melepaskan diri dari Negeri Atap Langit, sementara kebudayaannya dengan senang hati mereka tiru di sana-sini.'' Aku mendapat sebuah gambaran, tetapi gambaran yang sangat baur. T idak ada sesuatu yang sudah dapat dipastikan dari perbincangan ini, tetapi bagiku cukup bahwa di utara Campa, di Teluk Tongking ini, terdapat kegiatan yang berhubungan dengan pergolakan kekuasaan di seluruh wilayah. Kudengar orang-orang Viet ini memang sangat gemar berperang, meski mereka juga sangat menggunakan otaknya, dan tidak pernah menantang Negeri Atap Langit jika kedudukan kemaharajaan itu sedang sangat kuat. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Anak merantau dari mana" Tampaknya anak warga Srivijaya...'' Aku terkesiap. Tidakkah Sriv ijaya dimusuhi di sini, karena kapal-kapalnya mengangkut pasukan Wangsa Syailendra dari Jawadwipa yang membantai di mana-mana" Pemilik kedai itu seperti dapat membaca pikiranku. Ia tersenyum. ''Sriv ijaya adalah teman berdagang seluruh warga pesisir, apa pun kebangsaannya. Kami tidak menyalahkan Sriv ijaya yang barangkali memang menyewakan dan menakhodai kapal-kapal yang mengangkut orang-orang Jawa sampai kemari. Apalah yang bisa dilakukan orang kecil atas persengketaan di antara para raja" Lihatlah bagaimana orang Campa dan Khmer terpengaruh oleh kebudayaan Wangsa Syailendra dari Jawa itu. Tenang sajalah Anak, negeri kami bukan musuh negeri Anak!'' Aku memang sudah meninggalkan Khmer dan tidak berada di wilayah Campa lagi, bahkan orang-orang Viet tidak akan pernah sudi tunduk kepada Jayavarman II, jika kekuasaan Negeri Atap Langit pun diterimanya tidak dengan suka dan rela. Namun apakah yang bisa dipegang dari kata-kata seorang pemilik kedai, yang harus berusaha bersikap manis kepada semua orang agar jadi langganan" Ketika pemilik kedai itu menyambut lagi orang-orang yang baru turun dari kapal. Aku mendapat kesempatan untuk sedikit merenung, berdasarkan segala macam keterangan yang kudapatkan sepanjang perjalanan, mengenai kedudukan berbagai kerajaan yang bertetangga dengan Campa ini. Berbagai kerajaan di Tanah Khmer sebagian besar merupakan negeri yang mengandalkan hidupnya dari pertanian, sehingga tidak sepenuhnya terlibat dengan perdagangan antara Jambhudvipa dan Negeri Atap Langit, sementara itu juga tidak memiliki pelabuhan yang dapat Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengancam perdagangan Sriv ijaya. Dengan kedudukan seperti ini, sulit dimengerti campur tangan perniagaan para datu Srivijaya di wilayah selatan Kambuja. Memang tampaknya terdapat kehendak Wangsa Syailendra untuk mengukuhkan kesinambungan darah mereka dengan Kerajaan Funan, meski ini juga sering dilihat sebagai hanya alasan agar dapat menjarah dan merampok harta raja-raja Khmer. Namun lebih masuk akal mempertimbangkan kenyataan, bahwa terdapat jaringan dagang lain di sepanjang pantai sebelah utara Kambuja, tempat orang-orang Viet bercokol, sebagai wilayah taklukan Negeri Atap Langit, yang mengancam kedudukan dan pengaruh orang-orang Malayu dalam perdagangan antara Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa. Keberadaan berbagai kerajaan Cam yang kecil di selatan dan tengah jalur pantai Campa menjadikan terdapatnya pusat kegiatan yang sangat menguntungkan dalam jaringan perdagangan dengan Negeri Atap Langit. Kelompok kerajaankerajaan Cam ini, sebagai lanjutan keberadaan Kerajaan Linyi, berbagi kerangka mandala yang sama, mengakui keunggulan kekuasaan dan perdagangan para pemimpinnya masing-masing di seluruh wilayah Campa bagian tengah. Jaringan dagang ini meliputi Campa bagian selatan, wilayah yang disebut orang-orang Negeri Atap Langit sebagai Chu-po, kepulauan di utara pulau yang terdapat Chu-po itu , Kambuja, dan Daerah Perlindungan An Nam yang dibawahkan oleh Negeri Atap Langit. SEKITAR 40 tahun lalu, penaklukan kota-kota Luoyang dan Changan pada 755, disambung perang saudara melawan pemberontak An Lushan, penjarahan atas Kanton oleh para pedagang Persia pada 758, dan serangan orang-orang Tibet ke bagian tengah Negeri Atap Langit, yang baru berakhir tahun 777, telah melemahkan Negeri Atap Langit. Jalur perdagangan di laut wilayah selatan dari Negeri Atap Langit sekarang ini, sedang berusaha dipulihkan sebagian, sementara jaringan perdagangan ditata kembali. Perubahan penting yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terjadi, sebagai ganti jalan masuk ke pasar Negeri Atap Langit, banyak barang dagangan sekarang masuk ke Negeri Atap Langit melalui Delta Sungai Merah, yang masih termasuk ke dalam Daerah Perlindungan An Nam, artinya dalam wilayah Negeri Atap Langit. Perubahan ini mendorong penataan kembali pelabuhan-pelabuhan persinggahan Cam sepanjang pantai Campa, sehingga pelabuhan-pelabuhan di bagian selatan seperti Phan Rang dan Nha Trang lebih unggul atas pelabuhan-pelabuhan Cam bagian utara. Kesejahteraan Cam tergantung dari perdagangan dengan Negeri Atap Langit. Mereka menjual dan mengirimkan ke luar negerinya barang-barang hasil hutan yang mewah, seperti kayu gaharu, cula badak, dan gading dari pelabuhanpelabuhannya, dan sebagai penukaran menerima sutra maupun barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah besar dan sengaja dibuat untuk diperdagangkan, di bagian tengah Kambuja dan Campa. Maka pelabuhan-pelabuhan Cam bersaing langsung dengan Samudradvipa dan bagian utara Semenanjung Malayu dalam penyediaan hasil hutan ke pasar Negeri Atap Langit dan Kambuja. Karena tempat yang lebih dekat dengan pasar Negeri Atap Langit, maka kedudukan mereka lebih baik daripada orang-orang Malayu mendatangkan dan kemudian memperdagangkan hasil-hasil Negeri Atap Langit dengan hasil-hasil Kambuja maupun Campa. Ketika dalam beberapa puluh tahun terakhir, setidaknya paruh kedua abad VIII ini, mengakibatkan merosotnya pasar, dan membatasi masuknya barang Negeri Atap Langit maupun pertukaran untuknya, keadaan ini taktertahankan oleh orang-orang Ma layu dan segera dihakimi dengan serangan menghancurkan atas pantai Campa oleh suatu armada yang datang dari wilayah Srivijaya. Pada 767, demikian orang-orang Viet bercerita, Tongking diserbu oleh kapal-kapal yang datang dari Cho-po, yang maksudnya taklain daripada Jawa. Mereka sebutkan juga betapa serangan ini berhasil dibalas oleh Penguasa Daerah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Chang Po Yi, sehingga kapal-kapal dari Jawa ini terkalahkan, yang disebut dalam catatan Negeri Atap Langit tentang Daerah Perlindungan An Nam sebagai kemenangan kecil. Aku mempertimbangkan kemungkinan, bahwa asal dari kapalkapal itu memang Jawadwipa, tetapi tampaknya takmungkin dapat dikirim oleh seorang penguasa merdeka seperti Devasimha atau penggantinya. Andaikanlah misalnya mereka memiliki segenap sumberdaya untuk melancarkan serangan jarak jauh seperti itu, kepentingan dalam melibatkan serangan kekuatan bersenjata di tempat terpencil sangat terbatas, mengingat mereka juga punya musuh di depan gerbang mereka di bagian tengahg Jawadwipa. Kapal-kapal yang menyerang Tongking barangkali adalah gabungan kapal-kapal Srivijaya dan kapal-kapal dari pantai utara Jawadwipa. Tujuh tahun kemudian, pada 774, sebuah prasasti dari Candi Po Nagar di Nha Trang muncul dan menyebutkan perihal serbuan pasukan asing ke pantai-pantai Campa. Kapalkapal asing menyerang Aya T ran, bagian dari Nha Trang, dan para penyerbu ini menguasai kota, membakar dan merampok kuil-kuilnya. Namun akhirnya kota direbut kembali oleh raja Campa, Satyavarman, yang memaksa para penyerbu untuk mundur kembali. Pada 787, armada orang-orang Malayu lain menyerang kota Panra atau Phan Rang di sebelah se latan Aya Tran, yang juga dijarah dan dihancurkan. Sekali lagi para penyerbu dapat dipaksa meninggalkan negeri, tetapi kali ini membawa barang-barang rampasan bersama mereka. Jika melihat cara penyerbuan-penyerbuan ini diceritakan kembali, dapatkah dipastikan dua serangan terakhir itu berasal Jawadwipa atau Samudradvipa, jika orang-orang Cam menggunakan nama yang sama untuk kedua pulau" Betapapun sangatlah meragukan bahwa dua serangan yang begitu besar dapat dilakukan tanpa dukungan persekutuan Srivijaya. Bagiku serangan-serangan ini menunjukkan bahwa orang-orang Cam dan Viet adalah lawan-lawan tangguh, sehingga kedatuan Srivijaya terpaksa menggunakan cara lain TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ untuk menguasai perdagangan sepanjang pantai Kambuja, Campa, maupun Daerah Perlindungan An Nam. SEORANG pedagang bernama Suleyman dari wilayah yang disebut Arab 4), yang kukenal di salah satu pelabuhan, pernah bercerita bahwa kapal-kapal Sriv ijaya yang menyerang kerajaan di bagian selatan Kambuja, dan tampaknya serangan ini berlangsung antara 782 dan 790 di bawah pemerintahan raja dari Wanga Syailendra yang bernama Sangramadhananjaya, penerus dari Dharmasetu. Semasa pemerintahannya, sepasukan kecil kesatuan Sriv ijaya berhasil menaklukkan kerajaan kecil pula yang disebut Indrapura di pedalaman Sungai Mekong. Selama mendengarkan cerita di Daerah Perlindungan An Nam yang bahasa, peristilahan, dan penyebutan namanamanya berbeda, aku harus cukup teliti untuk menandai, bahwa yang bagi orang Viet adalah Phan-Rang bagi orang Cam adalah Panduranga, yang bagi orang Viet adalah NhaTrang bagi orang Cam adalah Kauthara, sehingga semakin ke utara aku harus mengingat-ingat sendiri bahwa Binh-dinh adalah Vijaya sedangkan Tra-kiew adalah Indrapura. Demikianlah perebutan pengaruh antara bahasa Sansekerta dari Jambhudvipa dan bahasa di bagian selatan Negeri Atap Langit yang memengaruhi bahasa di Daerah Perlindungan An Nam memperlihatkan perbedaan nama-nama untuk menyebut tempat yang sama. Bahasa mana yang akhirnya lebih banyak dipakai, ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Aku masih belum tahu cara terbaik melacak jejak Naga Kecil. Apa jadinya kalau aku hanya tertipu, dan ia tidak membawa Amrita ke Sungai Merah seperti yang bersenjata cambuk di hulu Sungai Mekong waktu itu" Keluar dari kedai setelah membayar harga makanan. Aku tertegun melihat sejumlah pengemis berbaju tebal. Musim dingin telah tiba, tetapi pelabuhan kecil ini cukup ramai. Banyak orang bermaksud menuju Hoa-lu dan sete lah itu ke Thang-long. Pedang Pembunuh Naga 5 Pendekar Bloon Karya S D Liong Sumpah Palapa 28