Jurus Tanpa Bentuk 17
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira Bagian 17 yang diakibatkan perbedaan pengetahuan dan pengalaman, yang telah mengakibatkan timbulnya seribusatu aliran keigamaan, tempat yang satu akan selalu merasa lebih benar dari yang lain" Namun orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran memang sungguh-sungguh akan memiskinkan kemanusiaan. Hmm. Manusia di dalam dunia, bagaimana ia dapat memandang dunia jika berada di dalamnya" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Maka aku terperangah oleh kenyataan betapa mustahilnya pengetahuan yang kami miliki, karena keberhinggaannya kepada pengetahuan manusia di dalam dunia sahaja, tanpa kemungkinan melihat dari luarnya. "Bahkan setelah mati, jika kita masih bisa berpikir sebagai pribadi kita sekarang, tetap saja pemikiran kita terduniakan dalam pemikiran manusiawi. Kita tidak bisa keluar dari dunia dan melihat kita sendiri berada di dalamnya," ujar Naga Laut lagi. Apakah ia berpikir seperti itu karena selalu melihat cakrawala sepanjang hidupnya" Cakrawala yang selalu ada, tidak mungkin dilompati, karena setiap kali garis batas terlampaui tetap terpandang cakrawala baru. Itulah yang kupikirkan ketika memandang cakrawala itu sekarang: Batas bisa dilampaui, tetapi keberhinggaan menunjukkan bahwa suatu cakrawala akan selalu ada. Manusia tidak bisa dibatasi, karena setiap batas dapat dilampauinya. Manusia tidak terbatas melainkan berhingga, karena setiap kali me lewati suatu batas pandangannya selalu terbentur cakrawala yang belum dilewatinya. "Namun pikirkanlah sesuatu Anak..." "Apakah itu Bapak?" "Jika dikau berada di pantai dan memandang cakrawala, maka bukankah kapal yang muncul dari balik cakrawala itu selalu terlihat tiangnya terlebih dahulu?" Aku mencoba berpikir. "Apakah itu berarti laut melengkung, Bapak?" "Tidakkah mestinya begitu" Laut itu permukaannya melengkung, melengkung, dan melengkung terus, di laut mana pun yang telah dicapai kapal ini." "Bapak pernah mencoba untuk terus menerus mengikutinya?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Itulah. Daku ragu apakah pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan jawaban, ketika semua orang yang disebut bijak sudah punya jawabannya." "Apakah jawaban mereka itu Bapak?" Naga Laut tertawa. "Bahwa semesta ini berada di atas punggung kura-kura raksasa! Huahahahahaha!" Aku juga pernah mendengar cerita itu, terutama ketika terjadi gempa bumi yang juga terasa di Celah Kledung. Katanya kura-kura raksasa yang menjadi penyangga dunia ini bergerak, sehingga terjadilah gempa. "Benarkah itu Ibu?" Ibuku pun menjawab, bahwa segala cerita tentang asal usul segala sesuatu adalah usaha manusia untuk menjelaskan dunia, dengan segala perbendaharaan bahasa dan pengertian yang saat itu mereka miliki. "Janganlah terlalu cepat menertawakan cerita orang-orang tua anakku," kata ibuku lagi, "karena cerita yang manapun akan berguna jika kita pandai menafsirkannya. Sudah jelas anak kecil pun tahu dunia tidak berdiri di atas punggung kurakura." KEPADA Naga Laut aku pun berkata. "Mungkinkah itu sekadar peringatan bahwa kemungkinan gempa selalu ada, Bapak?" "Tentu, tentu, kami semua juga menafsirkannya begitu. Tapi orang-orang tua yang menceritakan itu sungguh lucu! Huahahahahahaha!" Begitulah Naga Laut tertawa terbahak-bahak, dan suasana kapal pun menjadi ceria sete lah hari-hari panjang yang diisi kesunyian dan duka berlarat-larat. Kapal melaju dengan layar terkembang megah. Aku memandang cakrawala, bagaikan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ingin menembus ke sebaliknya. Teringat cerita salah satu awak kapal tentang negeri yang sedang kami datangi. Dia sebutkan bahwa pada saat ini, kekuasaan Sriv ijaya atas negeri itu sebetulnya terdesak oleh raja-raja wangsa Shailendra yang mendirikan kerajaan Mataram di pedalaman, tetapi mampu menyerang langsung pantai Champa pada tahun 774, membakar tempat ibadat Po Nagar di Nha Trang, dan sekali lagi pada 787, ketika membakar tempat pemujaan di Phanrang. Dari Yawabhumipala bagian tengah, pasukan dinasti Shailendra ini juga telah mendarat di Tonkin pada 767, tetapi serbuan ini tidak pernah terdengar dianggap sebagai keberhasilan. Peranan wangsa Shailendra di tanah Champa memang termasuk menjatuhkan raja terakhir kerajaan Tchen-la yang sedang memudar, tetapi yang membuatnya seperti diterima adalah gerakan budaya yang diperkenalkannya, yang meski bersumber dari wangsa Pala di Jambhudvipa, tetapi disebarkan dengan penafsiran baru di Javadvipa. Bersamaan dengan dibangunnya Kamulan Bhumisambhara, muncul pula arca gaya Srivijaya di Semenanjung Malayu sebagai salah satu kebangkitan kembali seni patung Mahayana, maupun dalam patung-patung gaya Prei Kmeng. Pengaruh Shailendra takhanya di sana, karena sekitar empatpuluh tahun yang lalu di Chaiya yang berada jauh di utara Champa, telah dibangun dua patung Avalokitesvara yang menurut awak kapal itu sungguh luar biasa bagusnya. Arca Avalokitesvara yang juga disebut-sebut sebagai sangat indah, dibuat juga di Perak, di Semenanjung Malayu, yang menunjukkan pengaruh seni arca dari Javadvipa maupun Pala. Pelaut itu bercerita tentang pengaruh wangsa Shailendra di mana-mana. "Di Sungai Batu Pahat, Perak Utara, dibangun sebuah candi kecil yang pada dasarnya diletakkan kotak-kotak batu berisi lambang-lambang agama Siva dari emas, yang sangat mirip TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kotak-kotak benda keramat beruang sembilan di Javadvipa. Jadi bukan kebudayaan Jambhudvipa yang terlihat pengaruhnya di kerajaan Angkor, tetapi juga tata upacara kerajaan Shailendra, seperti gelar Raja Gunung, pemujaan raja-raja yang telah meninggal, dan pemujaan kepada lingga sebagai lambang kekuasaan. Bagi Tchen-la, wangsa Shailendra menjadi contoh, lengkap dengan kesenian taktertandingi dari suatu peradaban besar yang memberi tumpuan kepada kekuasaan Raja," ujarnya. Dhawa, demikian nama pelaut itu, ternyata sekitar enam tahun lalu, yakni menjelang tahun 790, berada di kapal yang sama dengan Jayawarman II, raja yang mempunyai hubungan keluarga agak jauh dengan wangsa-wangsa Kamboja terdahulu, yang pernah hidup di Javadvipa, entah sebagai tahanan atau murid yang patuh, dan tinggal di istana wangsa Shailendra. "Ia sangat dipengaruhi budaya yang dikenalnya di Javadvipa dan tampaknya pulang dengan keinginan menirunya," ujar Dhawa, "dan perlu dikau ketahui, wahai Pendekar Tanpa Nama, kepulangannya itu bertepatan dengan saat melemahnya kekuasaan raja-raja Javadvipa, dan mungkin merupakan sebabnya." Disebutkan betapa raja baru itu mulai mempersatukan wilayah Tchen-la yang terpecah-pecah. Tahapan penaklukkannya mengambil wujud sebanyak kotaraja yang didirikannya. Mula-mula Indrapura, di sebelah timur Kompong Cham, lalu menuju wilayah-wilayah sebelah utara danaudanau, yang tidak ditinggalkannya lagi karena menjadi pusat kekuasaannya. PERTAMA-TAMA ia bertempat tinggal di Kuti, di wilayah Angkor sendiri, kemudian di Hariharalaya, di Amarendrapura, dan ini bukanlah yang terakhir karena ia memang masih akan memperluas wilayah kekuasaannya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Jayavarman II adalah pendiri kekuasaan Angkor, bukan hanya dalam kekuasaan duniawi, tetapi juga pembangun keigamaan," ujar Dhawa, "bukan saja ia membebaskan negerinya dari kekuasaan Shailendra, yang agaknya demikian mencekam, sehingga perlu diputuskan oleh suatu prasasti, tetapi juga mendasari kekuasaannya atas dasar igama, mensahkan peranan raja dengan meningkatkannya sebagai utusan Dewa." Aku teringat berbagai cerita mereka yang ikut menyerbu ke negeri itu. "Apakah tidak ada masalah jika kita menampakkan diri di sana?" tanyaku kepada Dhawa. Ia menepuk bahuku. "Para raja boleh bermusuhan," katanya, "atas nama igama atau apapun yang menjadi kepentingan. Namun bagi para pedagang, tiada sesuatu pun yang perlu menghalangi hubungan yang saling menguntungkan bukan?" Lantas ia pun beranjak, sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku beranjak ke haluan, memandang cakrawala di kejauhan sambil bertanya-tanya, apalagikah kiranya yang akan kualami dalam perjalanan hidupku. (Oo-dwkz-oO) Episode 98: [Di Negeri Orang Khmer] SEKITAR dua belas hari kemudian kapal ini memasuki muara Sungai Mekong, hilir dari Sungai Siemreap. Nakhoda membelokkan arah, karena bermaksud singgah di Fu-nan lebih dahulu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Banyak sekali pesanan istrinya yang dari Champa itu," kata seorang awak kapal. Peranan Fu-nan sebagai pusat perdagangan sebetulnya sudah memudar, semenjak Sriv ijaya menguasai segenap lintas dan titik penting dalam jalur perdagangan antara Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa. Namun itu tidak berarti Fu-nan lantas menjadi kota mati. Dahulu tempat pertemuan berbagai bangsa di dunia ini terletak pada sebuah delta di Sungai Mekong, di tepian batas wilayah Kamboja, pada suatu titik tempat Teluk Siam telah menyusut jadi semakin dekat ke sungai. Fu-nan, dengan ibu kota bernama Vadyapura, adalah nama yang diberikan para pedagang Negeri Atap Langit. Ke sanalah, sejak ratusan tahun lalu, para pedagang dan pengembara dari negeri-negeri utara datang mengambil sutera, ketika pada saat yang bersamaan Fu-nan menjadi penting sebagai pembentuk jalur kelautan antara Jambhudvipa dan Negeri Atap Langit, melampaui wilayah di selatan yang kelak disebut Suvarnadvipa. Dengan jalur ini, para pedagang dari Jambhudvipa tidak perlu berlayar memutari Semenanjung Malayu melalui Selat Melaka, melainkan cukup sampai Teluk Benggala, tepatnya Tanah Genting Kra, yakni tanah tersempit di semenanjung itu yang dapat ditempuh untuk menyeberang ke Teluk Siam, dan mempersingkat pelayarannya. Bahwa yang disebut Fu-nan terletak di pantai timur dari Teluk Siam, dan bukan sebaliknya, yang dari sudut pandang kelautan agak aneh, memang beralasan. Fu-nan adalah satusatunya tempat dari berbagai kota di pantai sekitar Teluk Siam yang tanahnya bisa digarap dengan hasil bumi berkelimpahan. Tanah antara pantai dan sisi barat Sungai Mekong dapat dan telah digarap menjadi persawahan, yang pada awalnya tentu saluran-saluran pengairannya belum seperti yang berada di Javadvipa saat ini, melainkan memanfaatkan genangan alami air dari sungai ke tanaman padi tersebut. Kelimpahan beras TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang tersedia ini sangat berguna bagi penambahan bekal para pelaut, maupun untuk persediaan pangan para pelaut itu, yang pada masa angin tidak bertiup dari arah benua, yakni Negeri Atap Langit maupun Jambhudvipa, yang selalu berlangsung sampai setengah tahun. Jadi memang para pedagang memang datang pada saat bersamaan, dan pergi juga bersamaan, ketika setengah tahun yang lain angin bertiup masing-masing ke arah sebaliknya. Begitu rupa tepatnya jadwal ini, sehingga penduduk setempat menyebut orang-orang asing ini sebagai burung-burung musim. Mereka bisa tinggal selama lima bulan ketika menunggu angin ini, dan selama lima bulan ini tentu saja tidak tinggal diam. Demikianlah campur aduknya para pendatang dari berbagai penjuru bumi, artinya bukan hanya dari Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa, melainkan juga dari negerinegeri di balik negeri mereka jika dipandang dari selatan ini, bertemu, bergaul, dan kadang juga tetap tinggal di sana, karena menjadi perantara dalam jalur dagang, atau penerjemah, yang kemudian juga tak jarang meleburkan diri dalam perkawinan dengan penduduk setempat. Tidak mengherankan jika Fu-nan yang berada di delta Sungai Mekong itu menjadi tempat yang menarik, sebagai tempat pertemuan dan pertukaran kebudayaan, yang hanya menyurut kemudian, selain karena kapal-kapal Sriv ijaya kemudian menguasai lautan dan menawarkan barang-barang mereka sendiri secara langsung, sehingga peran Fu-nan Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebagai perantara menjadi hilang; juga karena berbagai wilayah di bagian selatan Negeri Atap Langit maupun Jambhudvipa berhasil mengembangkan tanah menjadi persawahan sebagai persediaan pangan, sehingga kegiatan di lautan pun berkurang. Bukankah pernah kuceritakan serbasedikit tentang ini" KAPAL mengembangkan layar untuk melawan arus. Meskipun dari lautan kami sudah memasuki sungai, tepi kiri TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dan kanannya masih begitu jauh, nyaris tidak kelihatan. Hanya samar-samar di tepian terlihat pucuk pohon-pohon kelapa. Tiada beda jauh tampaknya dengan Javadvipa yang kutinggalkan. Perahu-perahu para pencari ikan kadang berpapasan di kejauhan. Kulihat bagaimana mereka memperhatikan kami. Mereka pasti mengenali kapal ini datang dari perairan yang jauh di selatan. Benarkah tiada dendam sama sekali dari mereka kepada pihak yang mereka sebut "orang-orang Yawa" dalam prasasti mereka" Jantung kerajaan Champa semula letaknya di Thua-thien, kemudian di daerah Quang-nam, tetapi pada pertengahan abad ini terdapat pemindahan pusat ke selatan, yakni Pandurangga yang juga disebut Phan-rang, dan ke Kauthara yang bernama lain Nha-trang, tergantung mengacu kepada bahasa Sansekerta atau bahasa yang dipengaruhi pembentukannya oleh Negeri Atap Langit. Dinasti baru ini memiliki kebiasaan mengganti nama raja yang meninggal dengan nama baru, sesuai nama dewa yang dirujuk di kayangan sana. Raja pertama mereka, Prithiv indravarman, setelah meninggal mendapat nama Rudraloka. Nah, penggantinya yang bernama Satyavarman, anak saudara perempuannya, yang harus menghadapi serangan dari Javadvipa tahun 774. Dari Dhawa kudengar lagi cerita yang mereka tulis pada prasasti perihal serangan itu: Orang-orang yang lahir di negeri-negeri lain Orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih menjijikkan dari bangkai Orang-orang yang menakutkan Sama sekali hitam lagi kurus Mengerikan lagi jahat seperti maut yang datangnya naik kapal Mereka dikejar TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dengan kapal-kapal yang baik dan dikalahkan di laut Kuingat cerita yang mirip dengan itu di sebuah kedai, yang dari sana kuketahui Raja Pembantai dari Selatan terlibat dalam penyerbuan tersebut. Raja Pembantai dari Selatan yang diberi makanan bagi kejahatannya, agar tidak memakan rahayat Mataram di bawah Rakai Panamkaran, yang membawa serta Barisan Setan Iblis dengan kekejaman yang bagaikan tidak mungkin dilakukan manusia. Jadi setelah cerita Pak Tua di kedai di Javadvipa dahulu, aku telah mendengarnya lagi dari Dhawa, rupanya peristiwa ini sering diceritakan kembali. Maka demikianlah candi batu bata itu dibangun kembali tahun 784, berarti sepuluh tahun kemudian, dan saat itulah prasasti tersebut dituliskan. Namun tiga tahun kemudian, ketika pemerintahan sudah diserahkan kepada adiknya, Indravarman, serangan dari Javadvipa rupanya datang lagi, kali ini merusak Candi Bhadradhipsaticvara yang terletak di sebelah barat kotaraja Virapura. "Tiga tahun lalu ia mengirim utusan ke Negeri Atap Langit, tidak jelas untuk apa," ujar Naga Laut kemudian, "kudengar Indravarman juga sangat ingin membangun kembali candi yang dihancurkan orang-orang Shailendra itu." Kupandang wajah Naga Laut, benarkah ia bermaksud singgah di Fu-nan hanya untuk memenuhi pesanan istrinya yang sangat cantik dan muda, yang berasal dari Champa itu" Apakah yang masih tersisa dari sebuah kota bandar yang telah memudar" Saat itu sungguh aku tidak menduga, betapa bodohnya pertanyaanku itu. Menjelang Fu-nan, sungai agak menyempit, meskipun sebetulnya masih juga luas, dan kami makin sering berpapasan dengan perahu-perahu setempat, tampaknya penduduk yang pergi dan pulang ke ladang atau sawahnya. Busana mereka, meski sederhana, tampak indah bagiku, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bukan sekadar karena cerita yang tergambarkan pada kain yang mereka kenakan, tetapi juga cara melipat dan mengikat kain-kain itu pada pinggangnya, yang memberikan suatu ciri tersendiri. Tentu, bahwa di atas perahu kebanyakan dari mereka akan duduk saja, tetapi mereka yang perahunya berhenti karena harus menebar jala kadang berdiri dan kulihat sosok-sosok mengesankan, dalam latar berbagai arca terindah di tepi sungai. BENARKAH raja-raja Shailendra menyerbu karena merasa berhak atas tanah Kamboja sebagai turunan raja-raja yang pada masa lalu berkuasa di Fu-nan" Nanti akan kuketahui, bahwa meskipun orang-orang Yawabhumipala yang datang bersama serbuan Shailendra itu telah digambarkan sebagai makhluk-makhluk menjijikkan, betapapun kebudayaan Shailendra memang telah memberi pengaruh yang tidak sedikit kepada wilayah ini. Meskipun sudah tidak menjadi pusat perdagangan, masih banyak orang dari negeri-negeri yang jauh melintasi Fu-nan, seperti kulihat dari berbagai jenis kapal yang tampak di sana. Aku tidak sempat mengamati satu per satu, karena dalam deretan kapal-kapal yang berlabuh di bandar itu suasana serba cerah ceria. Mataku berbinar-binar. Naga Laut tersenyum menatapku. "Beda nian dengan Javadvipa kan, Anak?" "Apakah kotaraja kedatuan Sriv ijaya tidak seperti ini, Bapak?" "Ya, tentu ramai juga, dikau harus sempatkan ke sana jika kembali, Anak, tetapi lebih banyak yang dikau bisa lihat di s ini Anak, jalan-jalanlah bersama Dhawa," ujar Naga Laut, sembari mengingatkan, "jangan terlibat apa pun, Anak, kita masih harus masuk ke pedalaman." Di antara kapal-kapal yang berlabuh, kulihat juga beberapa kapal Sriv ijaya, tetapi yang belum tentu berlayar demi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kepentingan Sriv ijaya, karena kapak-kapal itu tidak jarang menjual jasa sebagai kapal angkutan lengkap dengan awak kapalnya. Entah kenapa melihat kapal-kapal itu aku mendapat firasat tertentu. Bahwa mungkin saja kapal itu telah mengangkut seseorang dari Javadvipa. Permusuhan wangsa Shailendra terhadap orang-orang Khmer yang kami sebut kmir ini tidaklah harus berarti hubungan terputus sama sekali, sebaliknya bentrok bisa terjadi justru dari pergulatan suatu hubungan itu sendiri. Namun jika terdapat seseorang yang lain dari Javadvipa di tanah orang-orang Khmer ini, apakah bagiku yang seharusnya menjadi masalah" Maka setelah membantu para awak kapal menaikkan barang, karena Naga Laut memang menafkahi diri dan para awak kapalnya sebagai pedagang maupun penyedia jasa angkutan, dan tidak mengandalkan jarahan dari kapal-kapal Srivijaya yang hanya dibagi-bagikannya saja, aku melenggang keluar dari wilayah pelabuhan. Hari sudah gelap, aku bermaksud menengok keramaian di luar sana yang seperti menunggu malam tiba. Sebelum keluar dari gerbang, kulewati kapal-kapal Sriv ijaya yang bentuknya sama belaka dengan kapal kami. Terganggu oleh pemikiranku sejak tadi, aku sengaja memasang ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang. Kapal itu kosong, tetapi beberapa orang terdengar bercengkerama. Ternyata aku tidak mengenal bahasanya. Bagiku hanya terdengar seperti suara burung, jadi mereka bukan orang Sriv ijaya yang berbahasa Malayu maupun orang Mataram yang bahasanya kukenal. Jadi mereka bukanlah awak kapal, karena sebuah kapal tidak akan disewakan tanpa awak kapalnya, mungkin mereka adalah penumpang, atau bahkan penyewa kapal. Aku pun terus melangkah, tetapi terpaksa harus menghentikannya lagi, ketika di antara bunyi bahasa bersuara burung itu terdengar kata-kata seperti "Shailendra" dan juga"Y ava". Memang ini bisa berarti apa saja TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang tidak ada hubungannya dengan kedatangan kami, tetapi tentu juga bisa berarti suatu perbincangan tentang kami. Aku masih mendengarkan. Aku terkesiap, karena tiap sebentar, di antara berbagai bunyi yang tidak kupahami, terselip kata kresna-naga. Kata itu sangat kukenal, karena diucapkan orang-orang di Yawabhumipala, yang tiada lain artinya adalah Naga Hitam! Apakah kiranya yang sedang dilakukan Naga Hitam sekarang, jika namanya masih juga disebut-sebut orang di tempat yang begitu jauh dari Y awabhumipala" SEBEGITU luasnyakah jaringan Naga Hitam itu, sehingga barangkali serbuan orang-orang Shailendra telah menggunakan jasanya pula" Suatu serbuan yang berhasil hanya mungkin jika didukung oleh keterangan-keterangan berharga tentang titik-titik kelemahan musuh, dan bilamana perlu didukung berbagai tindak penyebaran ketakutan, yang sangat bisa dilakukan gerombolan Naga Hitam. Namun dengan siapakah ia bekerja di negeri jauh ini sekarang" Aku masih berpikir, ketika Dhawa datang menyusulku dari belakang. "Nakhoda mencari awak kapal baru," katanya, "jumlah kita terlalu sedikit untuk terus berjuang." Kuangkat tanganku agar dia diam. Namun rupanya suara Dhawa itu justru terdengar oleh mereka, sehingga mendadak saja dari balik dinding kapal itu muncul dua sosok yang segera saling memandang dengan kami! Melihat diriku, salah seorang di antara mereka berdua langsung berteriak. "Pendekar Tanpa Nama!" Ia pun menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk lingkaran, lantas memasukkannya ke dalam mulut. Terdengar suitan keras, dan entah darimana saja TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ berlompatanlah sejumlah orang yang begitu datang langsung mengepung kami berdua. Dalam kegelapan aku tidak bisa segera mengenali para pengepung ini. Namun teriakan tadi menggunakan bahasa yang berlaku di Javadvipa, jadi kemungkinan besar ia berasal dari sana. Terdapat deretan obor yang berlaku sebagai penerangan di sepanjang pelabuhan, karena sampai malam kapal-kapal masih datang dan pergi. Bukan hanya yang datang dan pergi ke mancanegara, tetapi lebih banyak lagi yang datang dan pergi ke pedalaman. Cahaya api itulah yang telah membuat pisau belati lurus panjang mereka berkilat, berkeredapan dalam malam. Cahaya juga memperlihatkan sosok-sosok mereka yang ramping, terlalu ramping untuk ukuran tubuh seorang pelaut yang tenaga besarnya dibutuhkan setiap saat. Bukan hanya ramping tetapi juga sangat rapi, bagaikan siap pergi ke sebuah pesta atau upacara. Mereka semua berkain dengan tenunan membentuk gambar-gambar indah, kepala berikat, telinga beranting, tangan bergelang, leher berkalung, jauh nian dengan diriku dan Dhawa yang hanya berkancut dan berselempang kain tanpa gambar sekadar menahan dingin malam. Dhawa mencabut pisau, tetapi kutahan. "Sarungkan kembali Dhawa, aku tak mau ada korban jiwa." Aku membuka kain yang kuselempangkan, siap menyambut serangan mereka. Orang yang mengenaliku tadi berbicara dengan bahasa burung kepada para pengepung, yang tampak menjadi semakin siap. "Pendekar Tanpa Nama," ujarnya pula kepadaku dalam bahasa yang berlaku di Yawabhumipala, "Naga Hitam berkirim salam kepadamu, sebelum kami semua mencabut nyawamu!" Aku menghela napas. Rasanya sudah mengembara begini jauh, tetapi masih juga Naga Hitam memburuku sampai ke Funan. Apakah ini tidak terlalu berlebihan" Mungkin memang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ salah aku meninggalkan Javadvipa tanpa menyelesaikan urusanku lebih dahulu dengan Naga Hitam. Namun siapakah yang harus disalahkan jika Naga Hitam tak pernah turun tangan sendiri dan aku juga lebih tertarik untuk mengembara daripada berurusan dengan satu orang tanpa tahu kapan habisnya" Seperti yang pernah kukatakan, dengan terbunuhnya sejumlah murid, seharusnyalah Naga Hitam sudah mencari dan membunuhku dengan tangannya sendiri. Sebaliknya, cukup dengan satu kali tantangan terbuka kepada Naga Hitam yang kusebarkan di sungai telaga dunia persilatan, maka betapapun sibuknya ia dalam permainan kekuasaan, demi nama dan kehormatannya ia harus menghadapiku di tempat yang telah ditentukan. Aku tidak habis pikir kenapa minatku berhadapan dengannya hilang, sementara aku berkubang sepuluh tahun di dalam gua untuk melipat gandakan ilmu silat hanya untuk menghadapi ancamannya. Aku pernah berniat memburunya demi menghapus rasa keterancaman darinya, tetapi aku juga tahu Naga Hitam tak akan mudah dicari jika dirinya memang Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tak ingin ditemukan. Namun aku tahu pasti betapa penting baginya untuk memusnahkan aku sekarang, setelah jaringan seluruh gerombolannya diobrak-abrik para pengawal rahasia istana. Aku tanpa sengaja mungkin telah membuat banyak rencananya berantakan. Meski begitu aku yakin betapa pertemuan ini hanya sebuah kebetulan. Apalah artinya diriku seorang, bagi Naga Hitam yang urusannya sudah berada di tingkat kerajaan" Bahkan Pahoman Sembilan Naga pun, yang merupakan dewan musyawarah tertinggi dalam dunia persilatan, bagaikan tidak lagi digubrisnya. Mencapai kesempurnaan sebagai manusia melalui jalan persilatan bagaikan sudah tidak lagi menjadi tujuan seorang Naga Hitam. Suatu hal yang tidak terbayangkan berlaku bagi seseorang yang telah mencapai wibawa naga. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Mengapa Naga Hitam begitu takut menghadapiku, seseorang tak bernama yang hanya punya sepasang kaki untuk berjalan melihat dunia?" Ia tertawa terkekeh-kekeh. Dalam sekejap di tangannya terlihat senjata rantai berbandul besi. Tangannya terangkat memberi tanda agar sekitar dua puluh orang bersenjata pisau panjang yang serba berkilatan itu menyerang! (Oo-dwkz-oO) Episode 99: [Seorang Puteri di Atas Kudanya] Dengan tenaga dalam hasil olah pernapasan selama sepuluh tahun di dalam gua seribu lorong, dengan ilmu meringankan tubuh yang bahkan bisa membuat tubuhku begitu ringan sehingga lebih ringan dari udara, dengan Ilmu Pedang Naga Kembar, Ilmu Pedang Cahaya Naga, Jurus Penjerat Naga, Jurus Dua Pedang Menulis Kematian, jurusjurus yang sudah kuberi nama Jurus Bayangan Cermin tetapi yang sebetulnya masih perlu dimatangkan lagi, dan sebuah jurus yang sedang kuolah begitu rupa sehingga aku hanya perlu menyerang pemikiran untuk melumpuhkan siapa pun dia yang bernafsu membunuh tubuhku; dengan itu semua aku pada dasarnya siap menghadapi lawan setiap saat. Apalagi jika diingat, bahwa dalam diriku, meski tanpa pernah kukehendaki, terdapat ribuan mantra sihir dan ilmu racun yang terpindahkan berkat niat Raja Pembantai dari Selatan, yang akan menolak setiap serangan sihir dan racun dengan sendirinya, tanpa harus kuperintahkan sendiri. Maka, sungguh aku sama sekali tidak menjadi gentar apabila lebih dari duapuluh orang ini akan menyerangku sekarang jugs. Aku hanya merasa sulit menempatkan diriku jika harus bertarung, mengingat pesan Naga Laut agar aku jangan terlibat apa pun. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dhawa telah meraba belati panjangnya yang melengkung itu. Aku sangat khawatir karena te lah kulihat betapa mahirnya Dhawa memainkan senjata itu, sehingga bahkan Kalamurti maupun Kalarudra waktu itu tidak berhasil membunuhnya, dan sebaliknya apabila telah dicabutnya belati panjang melengkung tersebut, memang tidak akan tersarungkan kembali sebelum meminum darah. Sedangkan apabila darah ditumpahkan oleh seorang asing, di tanah ini dan dianggap berasal dari Javadvipa pula, tidaklah akan menjadi terlalu jelas bagaimana caranya aku menghindarkan diri lebih jauh lagi. Kusentuh tangannya agar menahan diri, meski orang-orang ini begitu siapnya menyerang dan menikam dari segala penjuru. "Tahan!" Kudengar kata ini hanya sebagai suara seorang perempuan, tetapi yang memang memberi perintah agar serangan ditahan. Adalah Dhawa nanti yang menerjemahkan semuanya kepadaku, sehingga aku dapat menceritakannya kembali sekarang ini. Serangan itu memang bagaikan tertahan oleh suatu tenaga gaib. Semuanya menoleh ke satu arah, dan tampaklah perempuan yang anggun itu. "Ah! Puteri!" Mendadak semua orang yang siap menyerang kami berdua dengan tikaman dari segala arah yang mematikan itu melepaskan senjatanya, yang segera jatuh berdentangan di tanah, lantas menjatuhkan diri dengan setengah tengkurap menggelesot, sebagai tanda tunduk, pasrah, mengaku hamba, dan memang menghambakan diri dan hidupnya bagi puteri bangsawan yang duduk di atas kuda tersebut. Hanya aku yang tidak menggelesot. Aku tetap, berdiri. Para pengawal putra bangsawan itu segera beterbangan dari atas kudanya, siap membanting dan menyungsepkan wajahku ke TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tanah. Namun saat itulah seluruh ilmu silatku tanpa diminta seolah menjawab serangan tersebut. Tidak seorang pun di antara para pengawal itu berhasil menyentuh tubuhku. Padahal aku seperti tidak bergerak. Sama sekali tidak. Padahal tentu saja bergerak. Di sekitar tubuhku suara pedang, keris, tombak, bahkan cambuk, berdesau-desau dan meledak ledak tanpa pernah mengenaiku. Aku seperti tetap berdiri dan senjata-senjata itu membabat bayangan diriku sahaja, tetapi sebenarnya aku telah bergerak dengan begitu cepatnya tanpa terlihat sama sekali sehingga tampak seperti tetap berdiri. Aku tetap berdiri dan menatap, tajam ke arah puteri bangsawan itu, yang juga menatapku dengan tajam. "Dhawa, terjemahkanlah," kataku. Maka Dhawa pun menyampaikan apa yang kuucapkan sementara para pengawal puteri itu bagaikan s ibuk membacok angin. "Siapakah kiranya puteri anggun yang duduk di punggung kuda, yang tidak mengizinkan seorang pun untuk menatap wajahnya yang cantik jelita, sehingga begitu perlu mengizinkan para pengawalnya memusnahkan seseorang yang takbernama?" Bahkan Dhawa, yang telah mengenali berbagai adat di berbagai negeri pun menerjemahkan kata-kataku dengan kepala tertunduk. Kulihat puteri yang duduk menyamping di atas kuda itu tersenyum tipis, tetapi yang dalam kegelapan dan keremangan cahaya obor terasa tajam dan penuh makna. la mengeluarkan kata-kata yang suaranya bagiku terdengar memukau. Dhawa pun langsung menerjemahkannya. "Mungkinkah seseorang bisa takbernama jika kemampuannya secara kasat mata jelas luar biasa" Ataukah ia sebenarnya bermaksud menghina, dengan berpura-pura TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lemah takberdaya, dan begitu yakin semua orang yang melihat dapat ditipunya?" Namun Dhawa menambahkan kepadaku. "Bicaralah dalam bahasa Sanskerta, atau bahasa Malayu, dia pasti mengerti. Sulit menerjemahkan bahasa kalian berdua ke dalam bahasa Khmer 458, sedang pertaruhan kita adalah nyawa." Puteri di atas kuda itu menyela percakapan kami dengan bentakan. Rupa"nya ia tidak mengerti bahasa Malayu yang diucapkan Dhawa kepadaku. "Sanskerta saja," Dhawa menukas, "dia tak mengerti Malayu." Kulanjutkan dengan bahasa Sanskerta, yang meskipun kupahami secara tertulis, belum pernah kuucapkan sama sekali, dan hanya dapat kuraba karena bahasa itu berpengaruh banyak kepada bahasa Jawa. Sebetulnya, dengan mempertimbangkan pengaruh kebudayaan Wangsa Syailendra yang hampir segalanya mereka pelajari, aku layak mencoba bahasa yang paling kuketahui tersebut. Namun mempertimbangkan bahwa puteri di atas kuda itu adalah se"orang bangsawan, dan penguasaan bahasa Sanskerta adalah salah satu pembeda bangsawan dan rakyat jelata, maka dalam suasana tegang seperti ini kurasa masuk akal menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Malayu memang bahasa pengantar antarbangsa, dari Suvarnadvipa sampai ke kawasan ini; pengaruh Wangsa Syailendra mestinya membuat bahasa tanah asal mereka dikenal, tetapi aku mengucapkan bahasa Sanskerta untuk pertama kalinya. "Sahaya yang tiada bernama tidak bermaksud menghina siapa pun jua, apalagi puteri bangsawan yang perkasa, yang baginya tiada sesuatu yang kasat mata harus takterlihat oleh mata. Hanya kesaktian nan mandraguna memberi tingkatan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ semacam itu, yang telah menggugah rasa hormat sahaya tanpa harus menjadi hamba." Aku tak sekadar menyanjung dengan kata-kata itu, jawabannya tadi jelas menunjukkan bahwa ia dapat melihatku yang bergerak dengan kecepatan kilat, dan jelas pula ia menyatakan dengan caranya sendiri betapa ia jangan disamakan dengan orang kebanyakan. Aku mengucapkan kata-kata sanjungan itu dengan pertimbangan, bahwa jika aku tidak menunjukkan betapa aku juga mengerti dirinya hebat, aku takutkan puteri itu akan terdorong untuk menunjukkan kehebatannya. Aku takdapat menduga dengan pasti seberapa tinggi ilmu silat sang puteri yang semenjak tadi belum bergerak itu, tetapi menlik caranya berkuda yang begitu nyaman meski duduk miring spseri itu maupun kemampuan matanya mengikuti kecepatanku, tentu ia memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan bergerak yang tidak dapat dianggap enteng. Meskipun aku tidak gentar sama sekali menghadapinya, meski barangkali memiliki balatentara, dan berada di negerinya sendiri pula, untuk sementara ini keributan dan pertentangan bukanlah sesuatu yang kucari. Sementara kami bertukar kata, serangan sama sekali tidak berhenti. Hanya puteri itu melihat betapa aku selalu menghindar dengan kecepatan kilat sehingga sepintas lalu tampaknya hanya berdiri saja dan para pengawalnya membacok bayangan. Ia mengibaskan tangan. serangan pun mendadak berhenti. Ia melompat turun dari kuda dengan gerakan seringan bulu yang jatuh melayang. Para pengawal mundur sembari menundukkan kepala. Aku menatapnya seperti orang tersihir. Tentu bukan karena payudaranya baru tampak nyata olehku sekarang, dengan segala keindahan yang paling dimungkinkan dalam penampakannya di bawah nyala kemerahan obor di sekitarnya, wi, I betapa kain yang dikenakannya menerawang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ begitu rupa, sehingga saw., Samar terbayanglah segala sesuatu di baliknya. Lompatannya ringan, gerakannya lembut, tetapi kutahu itulah bayang-bayang maut yang bisa sampai mengecoh. Harus kuakui betapa aku sangat terpesona kepada perempuan ini. Api memang menebarkan cahaya kemerahan, tetapi keputihan kulitnya yang langsat dari tubuh nan ramping serta aroma mendebarkan yang meruap darinya tiada terhindarkan. "Pendekar yang mengaku tidak punya nama," katanya pula, "aku tiba di tempat ini karena bermaksud pulang naik kapal ke Indrapura, begitu tiba kulihat sesuatu yang tidak kusuka, bahwa seorang pelaut dari Javadvipa memiliki kekuasaan memerintahkan orang-orang kami untuk mencabut nyawamu, syukurlah dirinya menyembah, tetapi ia akan tetap diadili meski pembunuhan itu belum dilakukannya. Negeri kami mengenal hukum. Datang dari negcri di bagian selatan manakah dirimu pendekar, yang dikuasai Wangsa Syailendra di Javadvipa atau Kadatuan Srivijaya?" Berat rasanya mataku menghindari lekuk liku tubuhnya dalam goyangan bayang-bayang karena api yang tertiup angin. Wajahku mungkin merah dan jengah, sekuat tenaga kupusatkan pikiran kepada percakapan. "Sahaya hanyalah seorang pengembara, wahai puteri Khmer yang cantik lagi jelita, tiada menghamba kepada siapa pun selain mereka yang lemah dan tiada berdaya, tidak bisa kukatakan diriku anak negeri mana, meski kuakui Celah Kledung asalku di Javadvipa." Kutatap matanya yang bening lagi tajam, dan mata itu mengerjap balas menantangku. Rambutnya lurus dan penjang, jatuh lemas ke bahunya yang putih. Rambutnya terjalin dengan tusuk konde kulit penyu, dengan mata intan permata berkilatan dalam cahaya obor. Dijalin agak rumit seperti patung Laksm i yang sempat kulihat di tepi sungai. Ikat pinggangnya berkeredap mewah keemas-emasan, seperti TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ imbangan bagi kepolosan segala sesuatu di balik kainnya yang menerawang itu, kain termahal yang dibawa pedagangpedagang Negeri Parsi. "Celah Kledung! Pernah kudengar nama itu dari para juru cerita Wangsa Syailendra! Adakah sesuatu yang diketahui pengembara takbernama ini tentang Sepasang Naga dari Celah Kledung?" Bibirnya yang merah itu merekah berkilatan, baris giginya sangat putih, dan kulit wajahnya terlihat begitu lembut, takbisa kubayangkan betapa kecantikan semacam ini bisa terdapat di dalam dunia. Sebagai pengembara di sungai telaga persilatan tidak pernah ingin kumiliki segala sesuatu selain ilmu-ilmu, tetapi pertemuanku dengan perempuan ini membuatku untuk pertama kalinya mengenal perasaan ingin memiliki sesuatu di luar ilmu. Bagaimana aku tidak menjadi jujur dengan perasaan yang mengharu biru seperti itu" "Sahaya taktahu bagaimana Sepasang Naga dari Celah Kledung telah diceritakan kembali, tetapi merekalah yang telah mengasuhku, duhai Puteri, semoga tiada sesuatu pun yang menyalahi dari mereka yang telah menjadi orangtuaku sendiri." Namun di tangannya segera terpegang sebilah pedang lurus tajam keperakan yang terlihat sangat lentur. Ujungnya Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendadak sudah menyentuh leherku. "Telah kukatakan dirimu bukan yang kucari, wahai Pendekar Tanpa Nama! Peradilan akan diberikan kepada yang bersalah, tetapi kepadamu yang tidak sudi bahkan sekadar untuk menundukkan kepala, mungkin karena mengira tiada seorang pun mampu mengatasi kemampuannya, kuberi kehormatan menghadapi diriku dalam pertarungan, wahai Pendekar Tanpa Nama, karena hanya dirimulah, berdasarkan semua cerita yang berhembus dari selatan, pantas kuhadapi sebagai lawan. Bertarunglah!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ia mengibaskan tangan kirinya yang tidak memegang pedang. seorang pengawal meneriakkan sesuatu dalam bahasa Khmer, dan semua orang yang bersujud dan menggelesot itu mundur teratur membentuk sebuah lingkaran. Jangan terlibat dengan sesuatu, kata Naga Laut. Itu baru beberapa saat yang lalu ketika aku dipersilakannya berjalan-jalan keliling kola. Namun baru beberapa langkah saja. Bahkan aku belum keluar dari wilayah bandar antarbangsa yang pernah sangat ternama ini, tag kuduga aku sudah terlibat persoalan yang sungguh tidak bisa dianggap kecil. Bukan sekadar karena nama Naga Hitam kembali terbawa-bawa, dan bahwa puteri ini jelas seorang bangsawan yang sangat ditakuti, melainkan jugs bahwa kurasakan diriku dalam waktu s ingkat justru merasa sangat ingin terlibat dalam hal dengan perempuan ini. Puteri itu mundur beberapa langkah, menarik kaki kirinya ke belakang dan menekuknya, sehingga seluruh tubuhnya seperti doyong ke belakang, tetapi pedangnya yang lentur dan selalu bergoyang karena sangat tipis itu terarah lurus kepadaku. Aku tahu sejak tadi, dan dari betapa ringan langkah-langkahnya, bahwa ilmu silat perempuan ini sangat tinggi. Memandang lebih cermat, aku tidak habis pikir bagaimana puteri bangsawan ini dapat mempelajari ilmu silatnya tanpa terlihat bekas latihan tenaga dalam di tubuhnya sama sekali. Kukenal Pendekar Melati, bekas latihan tenaga dalam itu betapapun membekas di sekujur tubuhnya, yang meskipun mulus tetap memperlihatkan, menonjol pada lengan dan tangan, betis dan paha, karena sebelum mendapatkan kesempurnaan seseorang yang sedang mempelajarinya sebagai pemula tidak akan terlalu mengenal perbedaan antara tenaga dalam dan tenaga Iuar sehingga akan sering juga mempergunakan tenaga ototnya. Suatu hal juga terlihat pada Campaka, sejumlah perempuan yang kukenal dari dunia TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ persilatan, maupun sejumlah lainnya yang kulihat sebagai pengawal rahasia istana. Mereka tetap ramping, tetapi sangat berisi, dengan tenaga pukulan tangan yang terjamin mampu memecahkan batu. Puteri Khmer ini, sebaliknya sekilas pintas bagaikan tidak pernah keluar dari istana. Bahkan, seperti yang terbaca olehku pada tatapan matanya, yang harus kukatakan tersirat sebagai jalang, seolah-olah tidak pernah turun dari atas ranjang! Kejalangan yang tersamar di balik keanggunan. Tiada pernah kusangka akan menyeretku ke suatu kisah asmara panjang yang mendebarkan. Selintas pintas aku teringat Harini, perempuan yang sepuluh tahun lebih tua dariku yang menguji coba segenap ajaran Kama Sutra kepadaku. Ah! Mungkinkali kutepati segala janjiku untuk kembali ke Balingawan" Aku teringat segala kitab dalam kotak warisan pasangan pendekar yang mengasuhku. "Bertarunglah!" Puteri itu menukas lamunanku meski takperlu. Kewaspadaan menghadapi serangan dalam keadaan seperti ini dari waktu ke waktu semakin menyatu dengan napasku. Jurus pembukaan itu tidak pernah kulihat, tetapi pernah kubaca dalam kitab Riwayat Pendekar Satu Jurus, justru sebagai jurus yang tidak pernah dipakainya. Aku berpikir keras. Apakah dirinya bermaksud menggunakan Jurus Penjerat Naga kepadaku" Dalam kitab Jurus Penjerat Naga disebutkan bahwa Jurus Penjerat Naga, seperti yang kemudian juga kupelajari, tidaklah seperti jurus sama sekali, karena di sanalah terletak apa yang disebut jerat dalam Jurus Penjerat Naga. Namun yang diperlihatkan puteri Khmer ini adalah sebuah jurus, yang disebutkan tidak pernah digunakan oleh Pendekar Satu Jurus, penulis kitab Jurus Penjerat Naga tersebut. Bagaimanakah persoalan ini harus kupecahkan" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Api segenap obor yang berada di bandar itu telah padam menjelang pagi. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu seperti Pendekar Satu Jurus yang terdapat dalam kitab itu. Aku berdiri mematung, puteri Khmer itu masih dalam kuda-kuda yang sebetulnya disebut takpernah digunakan oleh Pendekar Satu Jurus. Tentu saja ia tidak bodoh, jika ia mengetahui keberadaan Sepasang Naga dari Celah Kledung, dan bahwa telah diketahuinya diriku sebagai anak asuhan mereka, maka ia harus menduga aku juga mengetahui isi kitab Jurus Penjerat Naga maupun kitab Riwayat Pendekar Satu Jurus. Aku pun menduga puteri Khmer itu sedang mencoba membingungkan aku dengan penggunaan jurus tersebut, karena betapapun Jurus Penjerat Naga hanya dapat diberlangsungkan me lalui jurus-jurus yang sama sekali bukan seperti jurus. Sehingga terdapat dua kemungkinan dalam sikapnya itu; pertama, ia ingin menguji apakah aku menguasai jurus itu atau tidak, melalui tanggapanku terhadap kuda-kuda pembukaannya; kedua, jika aku tidak mengenalinya, maka diandaikannya betapa aku juga akan segera menyerangnya, yang membuat ia harus menunggu, meski tidak harus sampai selama itu. NAMUN aku juga menduga bahwa dirinya mempertimbangkan kemungkinan ketiga, yakni jika aku memang menguasai dan mengenal Jurus Penjerat Naga, dan jika kemungkinan inilah yang terdapat padaku, baginya tiada lebih dan tiada kurang inilah pertarungan yang sebenarnya, karena siapa yang lebih dulu menyerang dipastikan akan kalah dan binasa! Mereka yang menyaksikan di luar arena tentu sudah sangat lelah. Kedudukan berdiri berhadapan ini telah berlangsung semalaman tanpa gerak sama sekali. Aku berdiri seperti patung tanpa kuda-kuda sama sekali, karena Jurus Penjerat Naga memang tidak akan pernah tampak seperti suatu jurus TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sama sekali. Namun putri itu sudah semalaman berdiri dengan kuda-kudanya yang membuat tubuhnya doyong ke belakang itu, dengan pedang terulur lurus ke arahku. Inilah yang membuat aku bertanya-tanya dalam kewaspasdaan sepanjang malam, mungkinkah terdapat kitab Jurus Penjerat Naga lain yang terbawa dalam gelombang pengaruh kebudayaan wangsa Shailendra ke tanah Khmer ini, dan kitab yang lain itu mengajarkan bahwa jurus yang tidak pernah digunakan Pendekar Satu Jurus ternyata bisa dipakai, ataukah putri dengan kain menerawang melambai-lambai ini memang benar sekadar berusaha mengacaukan pikiranku saja" Lebih aman bagiku mempertimbangkan kemungkinan terakhir itu, karena dasar Jurus Penjerat Naga hanya satu, yakni siapa pun yang menyerang lebih dahulu maka dia akan kalah dalam pertarungan. Maka pertarungan, apalagi antara dua orang yang menguasai Jurus Penjerat Naga, justru sudah berlangsung ketika keduanya berhadapan dan belum menyerang sama sekali! Pertarungan dalam diam seperti ini jauh lebih berat dari pertarungan bergerak yang mana pun. Fajar makin menjelang. Dalam kitab Riwayat Pendekar Satu Jurus yang dulu dibacakan Harini kepadaku, pertarungan terlama yang pernah dilakukan Pendekar Satu Jurus adalah dari malam tiba sampai fajar merekah, seperti ketika bertarung melawan Pendekar Lautan Tombak. Namun itu tidak berarti bahwa pertarungan tanpa gerak sepanjang malam itulah batas waktu bagi penantian serangan lawan. Pendekar Satu Jurus mendapat namanya karena selalu hanya memerlukan satu jurus untuk mengalahkan lawan, karena pada masanya tiada seorang pun dari lawan-lawannya mengenal terdapatnya Jurus Penjerat Naga tersebut, sehingga pertarungannya selalu diselesaikan dalam waktu singkat. Bahkan Pendekar Lautan Tombak, yang dengannya Pendekar Satu Jurus berhadapan sepanjang malam, tak juga menyerang hanya karena menunggu saat kelengahan Pendekar Satu Jurus, yang ternyata tak pernah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ datang. Karena itu ketika akhirnya ia menyerang juga, memang saat itulah terbuka kelengahannya dan Pendekar Lautan Tombak menemui ajalnya. Ini berarti bahwa pertarungan antara dua orang yang menguasai Jurus Penjerat Naga adalah pertarungan untuk saling menanti dengan kewaspadaan tinggi, yang berarti juga tiada mempunyai batas waktu sama sekali! Fajar merekah, langit semakin lama semakin terang. Ribuan kelelawar di langit berkepak pulang ke sarangnya. Kudengar kicau burung. Seekor burung gagak berkaok di puncak tiang sebuah kapal. Sejak semalam kerumunan di luar arena semakin lama semakin banyak. Kudengar bahasa percakapan dalam bisik-bisik yang takkukenal. Tiada kusangka begitu menginjak tanah di luar Suvarnadvipa untuk pertama kalinya, aku langsung mendapat tantangan yang begini berat, dari seorang perempuan pendekar yang keindahannya bagiku ternyata akan sangat membakar... (Oo-dwkz-oO) Episode 100: [ Kehormatan pada Pembaca] [TAMAT] Pembaca yang Budiman, untuk kesekian kalinya aku mohon maaf, izinkan orang tua berumur 100 tahun seperti aku yang tak tahu diri berani menulis ini, mengambil waktu rehat sebentar. Sudah berapa lama aku menulis" Entahlah. Di dalam rumah sudah bertumpuk-tumpuk keropak yang memuat riwayatku itu. Seperti diketahui, menulis di atas lembaran lontar tidaklah bisa berlangsung terlalu cepat. Sudah bagus jika aku dapat menyelesaikan tulisan di atas sepuluh lembar keropak dalam sehari. Jika memaksakan diri, memang bisa mencapai 20 lembar, tetapi tak jarang juga, apabila aku lebih sering mengantuk dan tertidur, atau diganggu Nawa yang selalu bertanya tentang ini dan itu dan tidak pernah mau TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ berhenti jika tidak mendapat jawaban memuaskan, dalam sehari hanya bisa kuselesaikan tulisan di atas lima lembar keropak. DALAM setiap lembar keropak dapat termuat sekitar delapan baris tulisan, empat baris berdampingan dengan empat baris yang lain, dan setiap barisnya termuat lebih kurang 40 huruf. Berarti dalam setiap keropak terdapat setidaknya 320 huruf, sehingga dalam sehari rata-rata kuguratkan sekitar 3.200 huruf dalam aksara Jawa. Apabila setiap kata dalam bahasa Jawa rata-rata terdiri empat huruf, dan setiap bab dalam riwayatku mencapai 2.000 kata, artinya aku membutuhkan 8.000 huruf untuk setiap bab yang baru dapat kuselesaikan, dengan berbagai selingannya, dalam tiga hari. Namun karena aku sedang bekerja sebagai pembuat lontar itu sendiri, maka tentu saja aku tidak dapat terus menerus menulis. Ada kalanya dalam sehari aku hanya mengurusi daun-daun rontal yang dijadikan lontar itu saja. Jadi sebutlah setiap bab kuselesa ikan dari guratan demi guratan selama empat hari. Berarti, kini, memasuki bab 100, aku telah menuliskan riwayatku itu selama lebih dari satu tahun. Dengan begitu kita sudah memasuki tahun 872, kerajaan Mataram masih berada di bawah pemerintahan Rakai Kayuwangi, dan aku masih berada di Mantyasih, berlindung dari keramaian sebuah kotaraja di balik tembok merah batu bata, dengan sebuah gapura yang juga terbuat dari batu bata, tempat orang berlalu lalang sebagai jalan pintas ke sebuah perkampungan. Tanah di balik tembok ini adalah milik seorang perwira kerajaan yang tampaknya selalu pergi, kalau tidak untuk berperang menumpas pemberontakan besar maupun kecil, setidaknya untuk mengawasi tetap berlangsungnya kesatuan wilayah, dengan cara apa pun, keras maupun halus, agar ketenteraman dan kesejahteraan rakyat tetap terjaga. Mungkin karena merasa jarang menempati tanah miliknya yang luas itu, ia membuatnya tetap terhuni dengan menyewakannya. Salah seorang penyewa tanahnya adalah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pembuat lontar untuk istana, tempat aku bekerja kepadanya sekarang ini, dan diizinkan menempati salah satu gubuk. Dibanding pemerintahan raja-raja sebelumnya, masa pemerintahan Rakai Kayuwangi kemudian akan kuketahui sebagai salah satu masa yang paling tenang, sehingga mengherankan juga sebenarnya, permainan kekuasaan macam apa yang membuat istana sampai mengeluarkan selebaran untuk memburu dan membunuhku. Dalam ketenangan, kebudayaan berkembang tanpa ketegangan, yang di satu pihak dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, tetapi di pihak lain memberikan peluang kepada renungan mendalam. Aku hanyalah seorang pengembara di sungai telaga persilatan, itu pun yang pengembaraannya kemungkinan besar sudah hampir selesa i. Bukankah hanya itu yang bisa dikatakan seseorang yang sudah berumur 100 tahun" Namun meski aku bukan seorang pemikir, apalagi mahir dalam berfilsafat, terpikir juga perkara keberadaan aksara yang dalam setahun ini lebih banyak kugauli daripada ilmu s ilat tersebut. Ilmu silat barangkali memang merupakan penemuan Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo manusia yang hebat, terutama dalam menggali daya kemampuan tubuhnya sendiri. Bukankah kemampuan para pendekar untuk berkelebat secepat kilat, melenting di atas pepohonan dan atap-atap rumah, menyatu ke dalam bayangbayang, menepuk batu menjadi abu, bertarung dengan mata terpejam, bahkan berlari di atas air adalah sesuatu yang dahsyat" Tentulah aku bersyukur telah mendalam i ilmu silat begitu rupa sehingga kukenali diriku sendiri maupun orangorang lain dalam usaha mencapai kesempurnaan sebagai manusia. Namun dalam setahun ini ibarat kata kudalami ilmu surat, dan sungguh ilmu surat itu dibandingkan ilmu s ilat tiada kalah memesona. Aku tinggal mengguratkan aksara, maka terhamparlah padang-padang hijau dengan latar belakang gunung nan ungu sementara mega-mega berarakan melewatinya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Apabila terus kuguratkan pengutik pada lembar-lembar lontar itu, maka padang-padang hijau akan disapu cahaya matahari keemasan yang muncul dari celah dua gunung, membuat embun pada rerumputan di padang-padang itu mengertap berkilatan, sebelum akhirnya terinjak-injak kaki kuda yang menggebu dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Siapakah lelaki yang berada di atas punggung kuda itu" Rambutnya yang panjang terurai di atas bahunya yang bidang, dengan pedang panjang tersoren di punggungnya, menggebu dan menggebu, ternyata karena diburu oleh serombongan pasukan berkuda sebanyak duabelas orang. Dua orang dari pasukan itu melaju lebih cepat dari yang lain dengan kemahiran berkuda begitu rupa sehingga keduanya dapat melepaskan tali kekang sembari membidik dengan panahnya di atas kuda yang melaju. Kedua kuda itu masih berlari dengan kecepatan yang sama ketika kedua pengawal rahasia istana itu secara bersamaan melepaskan anak panahnya. Dua anak panah segera meluncur melebihi kecepatan angin menuju sasarannya. Lelaki berambut panjang yang melambai-lambai tertiup angin pagi itu menoleh ke belakang dan mencabut pedangnya, tetapi sudah terlambat. Kedua anak panah yang melesat itu menancap di punggungnya, menancap begitu dalam sampai menembus jantung dan paru-parunya. Lelaki berambut panjang itu terpental dari atas kuda dan ketika menyentuh rumput basah jiwanya sudah pergi. Para pengawal rahasia istana yang berbusana serba putih, dengan pedang yang juga serba putih berkilatan, segera berkerumun mengitarinya tanpa turun dari kuda mereka sama sekali. Aku memang pernah menyaksikan sendiri peristiwa yang kutuliskan itu, ketika masih kecil aku berdiri pada suatu pagi di tepi sebuah jurang di Celah Kledung. Saat itu ibuku menggamit tanganku dan menghindarkan aku dari pemandangan lebih lanjut, sembari bergumam sendiri, "Apakah tidak terlalu pagi darah tumpah hari ini?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dalam hatiku waktu itu aku bertanya-tanya, apakah itu berarti darah sebaiknya tertumpah agak lebih siang" Namun aku tidak ingat lagi apakah kemudian aku menanyakannya. Bukan peristiwa itu sendiri yang sebetulnya ingin kuceritakan di sini, me lainkan bahwa aku dapat menceritakannya kepadamu, wahai Pembaca yang Budiman, melalui perantaraan aksara. Saat aku mulai menuliskan cerita ini aku berada di tahun 871, dan seperti telah kusebutkan tadi, Pembaca, berdasarkan banyaknya tumpukan gulungan keropak yang telah kutulisi, agaknya aku telah menulis lebih dari setahun dan kini memasuki tahun 872. Aku belum tahu kapan penulisan riwayat ini akan berakhir, sehingga belum tahu lagi kapan kiranya dirimu suatu ketika akan membacanya. Kuingat bahwa aku juga pernah membaca kitab-kitab yang ditulis oleh orang yang sudah mati. Kitab-kitab seperti Arthasastra, Kamasutra, maupun Manasara-Silpasastra ditulis lebih dari empat ratus tahun sebelum aku membacanya dan ketika membacanya itu sungguh aku merasa berada di dalam sebuah dunia seperti yang telah diungkap melalui aksaranya. Bagaimanakah kiranya manusia telah menemukan aksara, yang bukan sekadar mewakili bunyi me lainkan juga menyampaikan makna" Bahkan jurus silat takjarang mengacu kepada aksara itu. Tidakkah manusia memiliki pilihan lain selain aksara untuk menyampaikan gagasan-gagasannya" Tentu aku juga te lah mengalami dan menyaksikan bagaimana kami berbahasa dengan bendera, dengan asap, dengan genderang, dengan siulan, dengan jari, dengan tubuh, bahkan hanya dengan tatapan, tetapi aksara ini sungguh tiada duanya, terutama ketika dalam kenyataannya merupakan benda mati. Bukankah gulungan keropak dalam peti kayu tidak ada artinya jika tetap tertumpuk di dalamnya tanpa seorang pun membacanya" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Keropak bertulisan menjadi kitab yang bisa dibaca, yang tentu tetap menjadi benda mati jika bukan saja aksaranya tak dikenal tetapi juga maknanya tidak dapat dipahami" Dari pengalamanku membaca berbagai macam kitab, meskipun itu hanyalah kitab ilmu silat, justru tergantung kepada pembacanyalah sebuah kitab menjadi berguna atau tidak berguna, menjadi bermakna atau tidak bermakna, menjadi berdaya atau tidak berdaya. Adalah pembaca yang memberi makna kepada sebuah kitab, sesuai dengan perbendaharaan makna yang mampu dikembangkan dalam penjelajahan pikiran ketika membacanya. Pelajaran pertama dalam pembermaknaan ini diberikan oleh pasangan pendekar yang mengasuhku, ketika suatu hari mereka bagaikan berganti-gantian membaca sebuah kitab, menyampaikan suatu cerita kepadaku sebelum tidur. Esok paginya, ketika aku terbangun, gulungan keropak itu masih menumpuk rapi di dalam bilik. Karena seingatku ceritanya sangat mengasyikkan, aku ingin membacanya sendiri bagaimana cerita semacam itu telah dituliskan. Ternyata waktu kubuka gulungannya lembaran lontar itu tidak ada tulisannya sama sekali! Waktu kutanyakan kepada ibuku, ia hanya menjawab dengan ringan. "Ada atau tidak ada tulisannya sama saja, semua tergantung kepada yang membaca dan kemampuannya memberi makna." Kemudian aku menjadi semakin paham apa yang dimaksud ibuku, ketika meskipun aku sudah mampu membaca aksara, tetapi belum mampu membaca apa pun yang dituliskan pada kitab-kitab di dalam peti kayu itu, karena peti kayu itu memang tidak hanya berisi kitab ilmu silat, melainkan segala macam ilmu yang kedua orangtua asuhku itu pun belum tentu sudah membaca habis isinya. Kadang-kadang kulihat ayahku tekun membaca sampai jauh ma lam, bahkan nyaris sampai TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menjelang pagi, hanya untuk menutupnya sembari mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Kitab ini berat sekali," katanya. Padahal dunia pun adalah sebuah buku terbuka bukan" Tapi bagaimana kalau tidak bisa membacanya" Maka setelah menulis terus-menerus setahun ini, meskipun bagi orang tua berumur seratus tahun seperti aku lumayan melelahkan, aku tahu betapa aku sebetulnya tidak bekerja sendirian. Kehormatan suatu bacaan tidak terletak di tangan penulisnya, melainkan justru pada para pembacanya, karena setiap pembaca menciptakan sebuah dunia berdasarkan bacaannya menurut kemampuannya masing-masing. Semakin kaya perbendaharaan seorang pembaca, semakin berdayalah pembermaknaan yang diberlangsungkannya. Itulah sebabnya kitab ilmu silat yang sama dapat menjadikan seseorang menjadi pendekar takterkalahkan, bagi yang lain hanya membuatnya jadi tukang pukul. DENGAN demikian seorang pembaca sebetulnya bekerja sama kerasnya dengan seorang penulis. Artinya ketika membaca sebetulnya ia juga sedang menuliskannya kembali. Menuliskan kembali bacaan itu untuk dirinya sendiri, menurut kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Bukankah dalam kepala setiap pembaca tidak akan terdapat padang rumput yang sama, kuda berlari yang sama, ketajaman sisi pedang lentur yang sama, karena pengalaman dan pengetahuan setiap orang atas gambaran yang tersampaikan itu tidak terlalu sama bukan" Bahkan perbedaannya pun bisa menjadi sangat besar, tidak mustahil pula menjadi bertentangan. Ini baru menyangkut penggambaran yang diandaikan kasat mata, lantas bagaimana pula jika itu menyangkut gagasan yang tidak terkasatkan sekadar oleh mata, seperti keadilan, kebahagiaan, dan keindahan" Pembaca yang terbiasa dan terlatih menjelajahi serta menghayati gagasan-gagasan yang tak terkasatkan oleh mata TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tentu akan lebih berdaya dalam menikmati, memanfaatkan, dan berarti menuliskannya kembali dalam kepalanya sendiri daripada yang tidak. Menuliskan kembali dalam dan bagi dirinya sendiri membuat segenap daya dalam seorang pembaca bekerja. Pada dasarnya, demikianlah ujaran seorang pandai, seorang penulis mati setelah tulisannya selesai. Penulis tidak akan lagi menjadi sumber makna, karena pembaca yang manapun akan membaca tulisan apapun dengan penafsirannya sendiri. Sungguh nasib sebuah tulisan memang mutlak berada di tangan pembaca. Adalah pembaca yang bekerja menciptakan sebuah dunia dengan segenap daya dalam dirinya. Semakin berdaya pembaca, semakin kaya dunia yang diciptakannya; semakin kurang berdaya seorang pembaca, semakin terbatas dunia yang dapat diciptakannya. Namun keberdayaan setiap pembaca sebetulnya tidak terbandingkan, karena setiap pembaca memiliki wacananya masing-masing, demi dan untuk kebermaknaannya sendiri. (Oo-dwkz-oO) AKU masih mengguratkan aksara demi aksara, ketika sesosok bayangan berkelebat di balik pohon-pohon pisang. Umurku memang 100 tahun, bahkan kurasa menjelang 101 tahun -bagaimana aku tahu kapan tepatnya aku dilahirkan, jika pasangan pendekar yang mengasuhku itu menemukan aku hanya sebagai bayi bersimbah darah di dalam gerobak yang nyaris jatuh ke dalam jurang" Namun setua ini, kepekaanku atas bahaya yang mengancam agaknya belum berkurang sama sekali. Hari memang telah senja. Kesibukan menulis karena takut usia mendadak berakhir membuat aku saat-saat belakangan semakin kurang peduli kepada senja yang bagiku selalu penuh dengan pesona. Kusadari keberadaan diriku sebagai senja itu sendiri, bukan senja yang membuat langit semburat merah keemas-emasan, melainkan senja yang telah menjadi sangat gelap langitnya, tinggal segaris cahaya redup di sebelah barat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang nyaris tidak terlihat sama sekali. Memang, kenyataan betapa diriku tiada berkurang daya sama sekali sete lah mengundurkan diri dalam samadhi selama 25 tahun lamanya di dalam gua, kecuali menjadi agak pelupa, telah membuatku khawatir betapa diriku tidak akan kunjung mati. Kekhawatiran yang mungkin agak berlebihan, karena manusia semestinyalah akan mati. Namun kesegaran tubuh, kewaspadaan, dan daya tempurku yang sama sekali tidak menurun, bahkan seperti selalu meningkat, bagai mengesahkan kekhawatiranku. Apakah itu berarti aku memang harus mati di ujung senjata seorang lawan yang akan mengalahkan aku" Selama mengembara di sungai telaga dunia persilatan aku selalu siap untuk mati ditangan seorang pendekar yang lebih tinggi ilmunya dariku, karena dengan begitu, seperti setiap pendekar yang perlaya dalam pertarungan, kematianku akan menjadi kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukan saja hari itu tidak kunjung tiba, sebaliknya aku merasakan suatu perasaan bersalah yang luar biasa, karena dengan semakin banyaknya pendekar yang tewas ditanganku, semakin leluasalah orang-orang golongan hitam merajalela tanpa para pendekar yang akan membasminya. Suatu perasaan yang memuncak setelah peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar limapuluh tahun yang lalu. Kemenangan dalam dunia persilatan ternyata bukanlah sesuatu yang manis, sebaliknya kenyataan betapa aku tidak pernah terkalahkan sampai hari ini, telah membuatku hari-hariku lebih terasa sebagai kepahitan, membuat kehidupan bagiku selalu terasa sendu dan muram. Kutajamkan pandanganku ke arah gerumbul pohon-pohon pisang. Sesosok bayangan yang tadi berkelebat menahan diri untuk tidak bergerak di balik sebatang. Hmm. Ia memiliki kemampuan menyatukan diri dengan bayang-bayang dan kegelapan seperti yang sering kulakukan, tetapi bagiku tentu saja tiada artinya. Bumi sudah semakin menggelap, tetapi keberadaannya di gerumbul pohon pisang itu bagaikan begitu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terang seperti siang. Ia menahan nafas, tetapi bahkan kudengar detak jantungnya. SIAPAKAH dia" Perempuan pengembara yang membawa kain buntalan seperti diceritakan Nawa" Ataukah seseorang lain yang mengenaliku, dan telah mengawasiku selama ini, tetapi luput dari pengamatanku" Meskipun aku sangat percaya diri dan tahu benar akan kemampuanku, dua dalil dalam dunia persilatan tidak akan pernah kulupakan agar tetap rendah hati: Di atas langit ada langit, yang maksudnya betapapun tinggi ilmu s ilat seorang pendekar, t idaklah mustahil akan ada pendekar lain yang lebih tinggi ilmu silatnya; dan gelombang yang di depan ditelan gelombang yang di belakang. Dalil pertama mungkin bisa kuingkari, atau tepatnya kutafsirkan sesuai keinginanku, dengan berusaha keras agar Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo diriku itulah yang selalu akan menjadi langit di atas langit yang lain; bahkan aku bisa menjadikannya dalil untuk mengembangkan ilmu silatku sendiri, bahwa seberapa tinggi pun ilmu silat yang sudah kucapai aku masih selalu mungkin mencapai yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Namun dalil kedua, gelombang yang di depan akan ditelan gelombang, jelas merupakan hukum alam yang merupakan kepastian, bahwa yang muda akan menggantikan yang tua, dan begitulah seterusnya. Dalam dunia persilatan, itu berarti akan tiba saatnya seorang pendekar muda mengalahkan seorang pendekar tua yang sebelumnya tidak pernah kalah, sampai seorang pendekar muda lain kelak mengalahkan dirinya. Maka, meskipun sampai hari ini tidak seorang pun pernah mengalahkan aku, meski mungkin nyaris membunuhku, aku tetap merasa wajib menyadarinya untuk membuat diriku hatihati. "Tidak ilmu yang tidak punya kelemahan," kata ibuku, seperti kuingat selalu ketika menghadapi pertarungan yang berat. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Saat itulah sosok tersebut keluar dari gerumbul pohon pisang, membawa sesuatu yang tampak meronta-ronta dengan sebelah tangannya. "Akhirnya kutemukan juga dirimu di sini, wahai Pendekar Tanpa Nama," katanya pula. Tangan kirinya mencekal tengkuk seorang anak kecil. Astaga! Meskipun gelap, aku mengenalinya! Nawa! Sebilah pedang menempel di lehernya! Aku beranjak, melepaskan pengutik, dan melesat ke hadapannya. Ia mundur selangkah. "Kakek!" Nawa berujar dengan tersengal. Orang itu mundur selangkah, tetapi aku tidak maju sama sekali ketika kulihat mata pisau itu menekan leher Nawa. Darahku naik, tetapi aku harus tenang: Siapakah mereka yang tega menjadikan anak kecil ini sebagai sandera" "Apa maumu?" tanyaku, sementara telingaku menangkap langkah halus di belakangnya, jelas langkah seseorang berilmu tinggi. "Serahkan semua lembaran lontar yang telah berisi tulisan itu kepadaku," katanya, "atau leher anak ini akan menggelinding sekarang juga!" Malam serasa lebih pekat dari malam yang biasa. Menjadikan anak kecil sebagai sandera sungguh perbuatan yang nista! Aku berpikir keras, sangat keras, karena meski tiada kupedulikan nyawaku sendiri, tidak berarti Nawa juga akan selamat jika aku mati. Apapun akan kulakukan demi masa depan anak kecil yang cerdas ini, yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan tidak berminat kepada ilmu silat sama sekali. "Serahkan! Sekarang juga!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dalam kegelapan kudengar sosok di belakangnya berkelebat. BUKU I TAMAT (Oo-dwkz-oO) Pendekar Cacad 16 Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai Pendekar Bayangan Setan 14