Meraba Matahari 7
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bagian 7 Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Jika mereka tidak dapat dicegah, apaboleh buat." Namun ketika Tarji kemudian meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari, maka justru Raden Ajeng Rantamsarilah yang pergi menemui Rembana yang sedang sibuk membelah kayu, sehingga Rembana tidak menyadarinya Beberapa saat Raden Ajeng Rantamsari berdiri beberapa langkah dari Rembana yang sedang sibuk itu. Tubuhnya berkeringat. Bajunya terbuka di bagian dadanya, sedangkan lengannya digulung agak tinggi. Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Sejak kehadirannya di rumah itu, Rembana telah menarik perhatian Raden Ajeng Rantamsari. Anak muda yang berwajah cerah itu nampaknya selalu tersenyum. Kelakarnya yang segar, tanpa meninggalkan unggah-ungguh telah memikat hari Raden Ajeng Rantamsari. Matanya yang berkilat-kilat menyiratkan gairah hidup yang tinggi serta memancarkan kecerdasan otaknya Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa Di Kateguhan, Raden Ajeng Rantamsari jarang sekali bergaul dengan anak-anak muda Ia tinggal di keputren bersama ibundanya Di Keputren itu memang terdapat taman yang indah, ditumbuhi berjenis-jenis Ebook by Dewi Kangzusi 464 Kang Zusi http://kangzusi.com/ tanaman serta pohon bunga yang membuat taman itu menjadi semakin semarak. Beberapa orang dayang melayaninya siang dan malam. Tetapi itu tidak cukup bagi Raden Ajeng Rantamsari. Di taman yang dikelilingi dinding yang tinggi itu tidak pernah hadir seorang anak muda selain Kangjeng Adipati Yudapati. Itupun jarang sekali. Yang sering terjadi adalah ibundanya datang menemuinya justru di luar keputren. Kadang kadang Raden Ajeng Rantamsari juga melihat Senapati muda yang lewat diluar regol keputren disaat mereka menjalankan tugasnya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak pernah berkenalan dengan mereka Karena itu, perkenalannya dengan Rembana yang nampak selalu gembira Itu, mempunyai kesan yang lain di hati puteri itu. Selangkah dcmi selangkali Raden Ajeng Rantamsari itu bergerak mendekati Rembana yang sedang sibuk. Sekali diangkamya kapaknya tinggi tinggi. Kemudian terayun dengan deras sekali menghantam sebatang kayu yang tergolek di depannya Dengan sekali ayun, gelondong kayu itupun telah terbelah. Rembana mengusap keringatnya yang mengembun di keningnya. Namun Rembana itu terkejut ketika ia mendengar suara lembut menyapanya "Kakang Rembana" Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Raden Ajeng Rantamsari berdiri termangu-mangu memandanginya Jantung Rembana berdesir. Sorot mata yang bening itu bagaikan memancarkan embun yang dingin di teriknya cahaya matahari. Ebook by Dewi Kangzusi 465 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Raden Ajeng" terdengar suara yang terloncat dari bibir Rembana "Berhentilah, kakang. Bukankah itu bukan pekerjaan kakang." Rembana tersenyum. Katanya "Aku adalah anak yang lahir dan dibesarkan di kaki bukit, Raden Ajeng. Aku sudah terbiasa melakukannya" "Tetapi sekarang kakang adalah seorang Senapati. Bahkan Senapati yang pernah mendapat pujian pada saat kakang bersama pasukan kakang ikut dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina Pujian yang langsung diberikan oleh Kangjeng Sultan Tegal Langkap. Kakang juga telah berhasil menumpas gerombolan perampok di kademangan Panjer. Sekarang, kakang mendapat tugas melindungi kami sekeluarga yang tinggal di rumah ini." "Tetapi kebiasaan masa kanak-kanak dan remajaku itu tidak dapat aku tinggalkan, Raden Ajeng. Begitu aku berhadapan dengan kapak dan gelondong kayu, maka rasarasanya tanganku menjadi gatal." "Sekarang, beristirahatlah kakang." "Tetapi kerja ini belum selesai, Raden Ajeng." "Biarlah nanti diselesaikan oleh Tarji. Atau jika kakang Rembana masih belum puas, nanti kakang dapat menyelesaikannya" "Biarlah aku selesaikan saja sama sekali Raden Ajeng." Raden Ajeng Rantamsari itupun kemudian justru duduk di sebuah lincak panjang, dibawah sebatang pohon jambu air Ebook by Dewi Kangzusi 466 Kang Zusi http://kangzusi.com/ yang rimbun sambil berkata " Kakang, beristirahatlah. Duduklah disini." "Ah. Pakaianku basah oleh keringat, Raden Ajeng. Biarlah aku selesaikan saja kerja ini." "Kakang " suara Raden Ajeng Rantamsari merendah " duduklah disini." Wajah Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, kata-katanya yang terasa sejuk ditelinga rasa-rasanya telah mencengkam jantung Rembana Ia tidak kuasa menolaknya sehingga kemudian diletakkan kapaknya Namun Rembana tidak mau duduk di lincak itu pula. Tetapi ia justru duduk diatas seonggok kayu yang telah ditimbun disebelah lincak yang panjang itu. "Duduklah disini, kakang." "Terima kasih, Raden Ajeng." Raden Ajeng Rantamsari tersenyum. Ia tahu, bahwa Rembana masih merasa segan untuk duduk disebelahnya "Aku ingin kakang bercerita tentang pandan diatas bukit Pudak Seketi itu " berkata Raden Ajeng Rantamsari sambil tersenyum. "Apanya yang harus aku ceritakan, Raden Ajeng. Hutan pandan itu sulit sekali ditembus. Daun pandan yang berduri itu saling berkait." "Jadi bagaimana dengan orang-orang yang mencari daun pandan untuk dibuat barang-barang kerajinan?" Ebook by Dewi Kangzusi 467 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Mereka mencari daun pandan yang tumbuh dipinggir saja, Raden Ajeng. Mereka tidak dapat pergi ke tengah." Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Dengan nada yang merendah iapun kemudian berkata " Jika musim pandan berbunga, alangkah indahnya hutan pandan itu, kakang.'" "Kita hanya dapat melihat dari pinggir hutan itu saja, Raden Ajeng." Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya beberapa hal tentang hutan pandan di bukit Pudak Seketi itu. Demikianlah, maka huhungan Rembana dengan Raden Ajeng Rantamsari dari hari ke hari menjadi semakin rapat. Meskipun Rembana masih tetap menyadari siapakah dirinya dan siapa pula Raden Ajeng Rantamsari, namun sebenarnyalah Rembana tidak dapat ingkar, bahwa hatinya yang paling dalam telah terjerat oleh sikap, pandangan mata, tutur kata Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, luruh dan menyentuh itu. Demikian pula Raden Ajeng Rantamsari. Kadang-kadang ia merasa menyesal, bahwa ia telah dilahirkan oleh seorang ibu yang kebetulan adalah isteri seorang Adipati. Sehingga dengan demikian ia hidup dalam batasan-batasan yang mengungkungnya. Ia tidak dapat bebas seperti gadis-gadis sebayanya yang hidup diluar dinding kadipaten. Bahkan kemudian telah terjadi peristiwa yang mengguncang kemapanan hidupnya Ibundanya telah dituinta meninggalkan dalem kadipaten Kateguhan. Perjumpaannya dengan Senapati muda yang bernama Rembana itu telah membuat Raden Ajeng Rantamsari yang Ebook by Dewi Kangzusi 468 Kang Zusi http://kangzusi.com/ menginjak dewasa itu terhisap kedalam dunia angan-angan yang membubung. Dalam pada itu, setelah beberapa lama Raden Madyasta serta ketiga orang Senapati muda berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda ternyata tidak pernah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Malam-malamnya dilalui dengan tenang tanpa gangguan sama sekali. Bahkan Raden Madyasta telah mulai berpikir untuk menghadap ayahandanya dan menyampaikan laporan tentang keadaan di rumah bibinya. Jika saja ayahandanya sependapat, maka ayahandanya dapat menunjuk orang lain untuk melanjutkan mgas mereka Namun tiba-tiba saja telah terjadi gejolak dipermukaan yang telah terasa menjadi tenang itu. Ketika hari merambat siang, Raden Ayu Prawirayuda berada di serambi samping. Raden Ayu itu masih saja mempunyai kesenangan membatik. Digelarkan kain putih yang sebagian sudah digores dengan lukisan batik yang lembut. Sekali-sekali ditiupnya canting yang sudah berisi malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan yang sudah baerisi malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan tangannya bergerak-gerak meninggalkan goresan lukisan yang rumit. Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu terkejut ketika ia mendengar seseorang menyapanya "Kangmbok." Hampir saja Raden Ayu Prawirayuda menumpahkan malamnya yang cair dan panas didalam wajan kecilnya. "Dimas Wicitra." Wicitra tertawa. Katanya " Kangmbok terkejut karena tibatiba aku sudah berada disini?" Ebook by Dewi Kangzusi 469 Kang Zusi http://kangzusi.com/"Ya. Kau memang mengejutkan aku " sahut Raden Ayu Prawirayuda. "Maaf, kangmbok. Bukan maksudku mengejutkan kangmbok." "Untuk apa kau tiba-tiba saja datang kemari Wicara" "Sikap kangmbok aneh. Bukankah aku adik kangmbok. Satu-satunya saudara kandung kangmbok. Jika ada dua orang saudara kita, kedua-duanya telah meninggal. Yang tinggal adalah aku. Adik laki-laki kangmbok Prawirayuda" "Aku tahu. Nah, sekarang apa yang kau maui?" "Apakah kangmbok tidak mempersilahkan aku duduk" Kangmbok. Aku datang dari jauh. Aku datang dari Kateguhan untuk menengok satu-satunya saudara kandungku." "Baik. Duduklah Wicitra" Wicitra tersenyum. Iapun kemudian duduk diserambi ditemani Raden Ayu Prawirayuda "Kangmbok. Semalam aku berrnalam di rumah seorang kawanku yang tinggal di Paranganom. Seharusnya aku bermalam disini, dirumah saudara kandungku." Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawab. Kangmbok meninggalkan Kateguhan tanpa memberi-tahu aku. Padahal aku adalah satu-satunya saudara kandung kangmbok." Ebook by Dewi Kangzusi 470 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak sempat, Wicitra. Tiba-tiba saja aku harus pergi dari Kateguhan." "Bukankah sebenarnya kangmbok tidak harus meninggalkan Kateguhan" Kangmbok hanya harus meninggalkan dalem Kadipaten. Bukankah sesungguhnya sudah disediakan rumah yang cukup memadai bagi kangmbok?" "Aku mempunyai harga diri, Wicitra. Apa kata orang Kateguhan jika aku bersedia meninggalkan kadipaten dan tinggal di rumah yang berada jauh di luar dinding kota itu?" "Bukankah itu salah kangmbok sendiri?" "Kenapa aku yang salah?" "Sudahlah kangmbok. Aku tidak mau membicarakan persoalan kangmbok yang sangat pribadi itu " "Lalu, apa yang akan kau katakan Wicitra?" "Kenapa sikap kangmbok sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kakak perempuan yang penuh kasih seperti masa kanak-kanak itu" Kangmbok adalah anak sulung. Dua saudara kita meninggal diusia remaja mereka Kemudian aku adalah anak bungsu. Jarak umur kita memang agak banyak kangmbok. Waktu kecil, kangmbok bersikap sangat manis kepadaku. Bahkan kangmbok terlalu memanjakan aku. Kangmbok menggendong aku kemana-mana Jika aku menangis, mata kangmbok ikut menjadi basah." "Wicitra. Sukurlah jika kau sempat mengingat semuanya itu. Tetapi apa balasanmu setelah kau menjadi dewasa" Kau kehilangan sifat-sifat baikmu. Kau tumbuh didalam lingkungan yang salah. Kau berada didalam lingkungan yang akhirnya Ebook by Dewi Kangzusi 471 Kang Zusi http://kangzusi.com/ merusak hidupmu. Ayah dan ibu semasa hidupnya telah kehilangan kendali atas dirimu." Wicitra tertawa. Katanya "Mungkin kangmbok benar. Tetapi sebagaimana waktu itu aku berubah, maka pada saatnya akupun akan berubah pula. Aku menyadari semuanya itu dan aku berniat untuk memperbaikinya" "Kau memang harus mencoba, Wicitra . Kau harus berani melepaskan diri dari lingkungan yang buruk itu. Kau tidak boleh dekat kerbau berkubang. Kau akan terpercik oleh lumpur pula" "Aku mengerti kangmbok Aku memang akan meninggalkan duniaku yang buram itu. Aku akan tinggal disini." "Tinggal disini?" "Ya, kangmbok. Aku minta kangmbok menyampaikan kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma, agar Madyasta dan ketiga orang senapati itu dikembalikan kepada tugas mereka masing-masing." "Mereka disini melindungi aku dan Rantamsari." Wicitra tertawa lebih keras. Katanya "Jika hanya untuk melindungi kangmbok dan Rantamsari dari kejahatan, kenapa harus empat orang Senapati" Bukankah cukup dengan empat atau lima orang prajurit saja" "Keadaannya cukup gawat Wicitra." "Kenapa kangmbok tidak berusaha melindungi diri sendiri serta Rantamsari" Apakah arti gelar kangmbok pada saat kangmbok berada di Kateguhan" Bukankah kangmbok digelari Srikandi Kateguhan?" Ebook by Dewi Kangzusi 472 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Itu dahulu, Wicitra. Itupun gelar yang berlebihan. Aku hanya mengangankan agar di Kateguhan ada prajurit perempuan meskipun jumlahnya kecil. Itu saja. Bukan berarti aku memiliki ilmu yang tinggi. "Kangmbok. Meskipun demikian, kangmbok tidak memerlukan para Senapati muda yang masih ingusan itu." "Wicitra. Mereka adalah Senapati pilihan. Mereka telah mampu memadamkan gejolak yang terjadi di Panjer baru-baru ini." Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Itu sama sekali tidak mengherankan." "Mereka juga pernah mendapat pujian langsung dari Kangjeng Sultan di Tegal Langkap setelah mereka terlibat dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina" "Omong kosong. Itu hanyalah ceritera yang direka-reka oleh para Senapati muda itu sendiri." "Tidak. Pujian itu diakui oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma sendiri." "Baik. Baik, kangmbok. Meskipun demikian sebenarnya mereka tidak kangmbok perlukan. Aku akan tinggal disini. Keberadaanku disini akan lebih berarti dari keempat orang Senapati ingusan itu." "Wicitra. Kau masih saja suka membual. Itukah bagian dari keinginanmu memperbaiki sifat dan watakmu?" "Aku tidak membual kangmbok. Aku berkata sebenarnya" jawab Wicitra " karena itu, aku minta kangmbok Ebook by Dewi Kangzusi 473 Kang Zusi http://kangzusi.com/ menyingkirkan para Senapati muda itu termasuk Raden Madyasta" "Tidak. Wicitra Mereka akan tetap berada disini." "Aku mengerti, kangmbok. Sebenarnya keberadaan mereka disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perlindungan sebagaimana yang kangmbok katakan. Tetapi keberadaan mereka disini tentu karena maksud kangmbok yang lain." "Aku tidak tahu maksudmu, Wicitra." "Kangmbok tengah menawarkan Rantamsari kepada mereka" "Wicitra Jagalah mulutmu. Karena mulutmu kau akan dapat terjerat oleh petaka." Tetapi Wicitra justru tertawa berkepanjangan. Katanya "Di Kateguhan kangmbok gagal menginginkan menantu seorang Adipati. Sekarang kangmbok membawa Rantamsari ke Paranganom dan menawarkan kepada para senapati muda itu." "Cukup Wicitra." "Kangmbok tidak usah marah. Aku tahu bahwa Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana. Salah seorang senapati muda yang ada di rumah ini." Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi merah bagaikan membara. Dengan lantang Raden Ayu itu berkata "Wicitra. Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu. Seandainya benar Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana apa keberatanmu" Rantamsari sudah dewasa. la sudah tahu mana Ebook by Dewi Kangzusi 474 Kang Zusi http://kangzusi.com/ yang baik dan mana yang buruk Karena itu, kau tidak usah ikut campur. Biar saja Rantamsari menentukan jalan hidupnya sendiri." "Tetapi bukankah tidak sepantasnya Rantamsari berhubungan dengan Senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu?" "Tetapi ia adalah Senapati pilihan, Wicitra." "Senapati itu tidak ada sekuku ireng dibanding dengan aku." "Apa maksudmu?" "Seharusnya kangmbok sudah mengetahuinya" "Mengetahui apa?" "Bukankah aku pernah memberikan isyarat bahwa aku inginkan Rantamsari menjadi isteriku." "Itu adalah pikiran gila, Wicitra, Itu tidak mungkin. Kau tahu, bahwa itu adalah bagian dari sifat dan watakmu yang kotor, yang terbentuk di tengah-tengah yang kotor pula" "Apakah pemikahan itu satu hal yang kotor" Bukankah pernikahan justru bagian dari kehidupan yang memang dikehendaki oleh Yang Maha Pencipta unmk melestarikan keberadaan umatnya" Pemikahan adalah satu hal yang suci, kangmbok." "Ya Pemikahan itu sendiri memang satu hal yang suci. Justru karena itu, maka pemikahan diatur dengan beberapa tatanan. Wicitra. Kau adalah pamannya. Rantamsari adalah Ebook by Dewi Kangzusi 475 Kang Zusi http://kangzusi.com/ anakku. Anak kakak kandungmu. Bagaimana kau dapat mengambilnya menjadi isterimu?" "Apa salahnya kangmbok. Aku laki-laki. Rantamsari seorang perempuan. Bukankah sudah sewajamya jika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan?" "Tetapi tidak dengan kenanakan sendiri." "Kangmbok. Jika niatmu, terpenuhi, bukankah kau ingin Rantamsari menikah dengan Kangjeng Adipati Yudapati" Nah, bukankah Adipati Yudapati itu saudara laki-laki Rantamsari?" "Semuaitu omong kosong. Fitnah." Wicitra tertawa pula, "Wicitra. Sekarang pergilah. Aku tidak mau kau berada di rumahku. Aku tidak mau kau mengotori lantai serambiku." "Jangan kasar terhadapku, kangmbok. Seharusnya kangmbok berterima kasih kepadaku. Kangmbok tidak perlu menjajakan Rantamsari ke Paranganom." "Cukup. Pergilah Wicitra" "Kangmbok jangan mengusir aku. Sudah aku katakan, aku akan tinggal disini menjaga keselamatan kangmbok dari Rantamsari. Yang sepantasnya diusir adalah Madyasta dan para senapati itu. Tidak pantas Rantamsari berhubungan rapat dengan seorang senapati kecil seperti Rembana itu." "Pergilah Wicitra Sebelum aku mengusirmu." "Kangmbok tidak akan dapat mengusir aku." Ebook by Dewi Kangzusi 476 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku dapat memanggil para senapati itu." "Apa artinya senapat itu bagiku" Aku akan dapat dengan mudah membunuh mereka" "Apakah kau benar-benar akan mencobanya, Wicitra?" Wajah Wicitra menjadi tegang. Dengan geram ia berkata " Kau akan menyesali perbuatanmu itu kangmbok." "Tidak. Aku tidak akan menyesal. Kaulah yang akan menyesal jika kau tidak mau pergi dari tempat ini." Tetapi Wicitra itu menggeleng. Katanya "Aku tidak akan pergi." "Pergi. Kau harus pergi " suara Raden Ayu Prawirayuda menghentak keras. Tetapi Wicitra masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, sehingga Raden Ayu Prawirayuda itupun berkata "Jadi aku harus mengusirmu dengan kekerasan Wicitra " Namun tiba-tiba saja pintu serambi itupun terbuka. Seorang Senapati muda muncul dari balik pinm yang terbuka itu. "Maaf Raden Ayu. Aku mendengar sedikit keributan disini. Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, aku sekali lagi mohon maaf." "Tidak terjadi apa-apa disini, anak muda. Aku adalah adik kandung kangmbok Prawirayuda " "O " Ebook by Dewi Kangzusi 477 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Usir orang ini. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia tidak pantas berada di rumah ini." "Jadi?" "Bawa orang ini keluar. Jika perlu dengan paksa." Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Marilah, Raden. Aku persilahkan Raden Keluar." "Pergi, kau dengar?" Wicitra justru membentak. Tetapi Rembana tidak beringsut. Katanya " Aku sudah mendapat perintah dari Raden Ayu Prawirayuda Karena itu, sebelum aku mempergunakan kekerasan, lebih baik Raden keluar dari rumah ini." "Kau akan mempergunakan kekerasan?" "Ya " "Cobalah. Cobalah jika kau berani." Rembana memang menjadi ragu-ragu. Namun ketika ia berpaling dan memandang Raden Ayu Prawirayuda, ia melihat Raden Ayu Prawirayuda itu mengangguk. Karena itu, maka Rembana bergeser selangkah maju sambil berkata "Aku akan memaksa Raden." "Bagus. Ternyata kau seorang Senapati muda yang berani. Nah, cobalah. Paksa aku keluar dari rumah ini." Rembana memang tidak sabar lagi. Tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, maka didengarnya seseorang berdiri di Ebook by Dewi Kangzusi 478 Kang Zusi http://kangzusi.com/ pintu yang terbuka itu. Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Madyasta berdiri di pintu. "Raden"desis Rembana "Ada apa?" "Angger Madyasta" Raden Ayu Prawirayudalah yang menyahut "aku minta orang ini diusir dari rumahku." Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Wicitra yang menjadi tegang setelah ia melihat Madyasta hadir pula di serambi itu. "Bukankah itu paman Wicitra?" "Ya, Raden. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia datang untuk niengganggu ketenanganku." "Maaf paman " berkata Raden Madyasta kemudian " aku berada disini karena aku diperintahkan oleh ayahanda untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman keluarga bibi. Karena itu, jika paman Wicitra membuat bibi gelisah, aku mohon paman meninggalkan tempat ini." Wajah Wicitra menjadi merah membara Namun ia tidak mempunyai pilihan. Jika terjadi perselisihan serta benturan kekerasan maka para Senapati yang lainpun tentu akan segera berdatangan. Agaknya Wicitra masih belum siap menghadapi para Senapati itu. Apalagi seorang diantaranya adalah Raden Madyasta, yang baru pulang dari sebuah perguruan serta tuntas dalam ilmu kanuragan. Karena itu, maka dengan hati yang luka Wicitra itupun berkata kepada kakak perempuannya "Baik, kangmbok. Ebook by Dewi Kangzusi 479 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Sekarang aku akan pergi. Tetapi jangan kira bahwa aku tidak akan kembali." Sebelum Raden Ayu Prawirayuda menjawab, maka Wicitrapun bergegas meninggalkan serambi itu. Dipintu ia berhenti sejenak memandang wajah Raden Madyasta. Namun Raden Madyastapun memandang pula langsung ke biji matanya. Sepeninggal Wicitra, Raden Madyastapun bertanya " Ada apa dengan paman Wicitra, bibi?" "Anak itu selalu mengganggu saja ngger. Sejak aku masih tinggal di Kateguhan. Tetapi bagaimana mungkin ia tiba-tiba saja sudah berada di pintu serambi ini." "Maaf bibi. Aku melihat paman Wicitra masuk regol dan berjalan di halaman. Aku melihat paman Wicitra masuk pintu seketeng. Tetapi karena aku tahu, bahwa paman Wicitra itu adik kandung bibi, maka aku tidak menegurnya " "Ia memang adik kandungku, ngger. Tetapi sifat dan wataknya tidak dapat dikendalikan lagi. Karena itu, ngger. Aku mohon lain kali, jangan biarkan ia masuk ke rumah ini." "Baik, bibi. Aku akan mengingatnya. Akupun akan berpesan kepada kakang Rembana, kakang Sasangka dan kakang Wismaya, agar paman Wicitra tidak djijinkan masuk." "Terima kasih, ngger. Anak itu membuat jantungku berdebaran semakin cepat." "Baik, bibi." Raden Madyasta dan Rembanapun kemudian meninggalkan serambi itu. Raden Ayu Prawirayuda kembali Ebook by Dewi Kangzusi 480 Kang Zusi http://kangzusi.com/ duduk di depan gawangan menggelar. kain yang sedang dibatiknya. tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi bertekun. Jantungnya masih saja terasa berdegup. Hari ini Raden Ayu Prawirayuda nampak gelisah. Ia tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukannya sehari-hari dengan baik. Setiap kali Raden Ayu Prawirayuda itu duduk sambil merenungi anak gadisnya yang tumbuh dewasa itu. Tumbuh dewasa itu bahkan debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat, jika ia teringat kata-kata Wicitra, bahwa Wicitra justru menginginkan Rantamsari untuk menjadi isterinya. "Anak itu sudah menjadi gila" desis Raden Ayu Prawirayuda. Sementara itu, sejak Wicitra datang, ia belum melihat Raden Ajeng Rantamsari, pintu biliknya tertutup rapat, biasanya Rantamsari tidak menutup diri dalam biliknya seperti itu. "Apakah ia mendengar pembicaraanku yang keras dengan pamannya di serambi?" bertanya Raden Ayu Prawirayuda didalam hatinya. Raden Ayu Prawirayuda merasa ragu. Beberapa saat ia berdiri di depah pintu bilik anak gadisnya. Namun perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda itu mengetuk pintu bilik itu "Rantamsari " terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda lembut Tidak terdengar jawaban. Karena itu, Raden Ayu Prawirayudapun mengulanginya, mengetuk pintu itu perlahan Ebook by Dewi Kangzusi 481 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Rantamsari." Yang terdengar adalah justru isak tangis tertahan. Perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda mendorong pintu itu sehingga terbuka. Dilihatnya Rantamsari menelungkup di pembaringannya. Raden Ayu Prawirayuda melangkah mendekatinya. Kemudian duduk di bibir pembaringan sambil mengusap rambut anaknya yang hitam kelam. "Kenapa kau menangis ngger?" Rantamsari tidak segera menjawab "Rantamsari. Jawablah pertanyaan ibu. Kenapa kau menangis ngger?" "Ibu " Rantamsari bangkit. Namun iapun segera duduk dilantai dihadapan ibunya sambil meletakkan kepalanya di pangkuannya. "Apa yang kau pikirkan, Rantamsari?" suara ibunya terdengar sejuk di telinga Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gadis itu. "Apakah aku bersalah ibu?" "Kenapa kau bertanya seperti itu, ngger?" "Kenapa paman marah kepadaku'" " "Kau dengar pembicaraan kami?" "Tidak seluruhnya ibu. Tetapi serba sedikit aku mendengarnya." Ebook by Dewi Kangzusi 482 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Apa yang telah kau dengar?" "Paman menyebut nama kakang Rembana." "Ya, Rantamsari. Apa lagi yang kau dengar?" "Tidak jelas ibu. Tetapi agaknya paman menyalahkan aku karena aku berhubungan dengan kakang Rembana. Bahkan paman menganggap aku seorang gadis yang rendah, yang dijajakan di Paranganom. Yang lain aku tidak dapat mendengarnya ibu. Ketika aku sudah berada didalam bilik ini, aku mendengar ibu mengusir paman setelah ibu bertengkar dengan paman." "Jangan hiraukan pamanmu, Rantamsari. Ia tidak akan datang lagi. Aku sudah minta angger Madyasta untuk mencegahnya jika ia akan memasuki-rumah ini." "Ya, ibu. Tetapi apa sebenarnya yang diinginkan paman Wicitra itu?" "Rantamsari. Kau sudah dewasa. Aku tidak ingin merahasiakannya lagi, apa yang diingini oleh pamanmu itu." Bab 21 Rantamsari mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah ibunya yang bagaikan membeku. Sorot mata ibunya jauh menerawang menembus batas ruang dan waktu. Sejak lama Wicitra memang sudah mengisyaratkan kepada Raden Ayu Prawirayuda, bahwa ia menginginkan Rantamsari untuk dijadikan isterinya. Ia minta agar Rantamsari jangan diberikan kepada orang lain. Tetapi Wicitra baru berkata dengan jelas, justru setelah ia berada di Paranganom. Ebook by Dewi Kangzusi 483 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ibu" desis Rantamsari. Raden Ayu Prawirayuda itupun tersadar. Sambil membetulkan rambut anaknya iapun berkata " Rantamsari. Sebenarnya bahwa pamanmu menginginkan agar kau dapat dijadikan isterinya" "Bukankah aku kemanakannya", Bukankah paman Wicitra itu adik kandung ibu?" Raden Ayu Prawirayuda mengangguk lagi. "Ibu " mata Rantamsaripun menjadi basah lagi.. "Sudahlah, Rantamsari. Lupakan keinginan pamanmu itu." "Itukah agaknya, kenapa paman tidak senang melihat hubunganku dengan kakang Rembana." "Rantamsari " suara ibunya merendah " akulah yang justru ingin bertanya. Apakah benar kau telah menjalin hubungan batin dengan senapati muda itu, sebagaimana dikatakan oleh pamanmu?" "Ibu juga menyalahkan aku?" "Tidak. bukan maksudku, Rantamsari. Aku hanya ingin tahu, apa yang sedang bergejolak di dada anak gadisku." "Ibu " suara Rantamsari menjadi parau "menurut pendapatku, kakang Rembana adalah anak muda yang baik. Ia ramah dan gembira. Meskipun ia suka berkelakar, tetapi ia masih mengenal batas-batas unggah-ungguh serta tidak mengurangi harga dirinya sebagai seorang senapati muda yang mempunyai kelebihan." Ebook by Dewi Kangzusi 484 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Jadi kau memang tertarik kepadanya, Rantamsari." "Ibu. Aku adalah putri ibu. Sebagaimana seorang gadis yang hidup di lingkungan dinding kadipaten, segala sesuatunya sudah ditentukan baginya. Aku tinggal menjalaninya saja. Karena itu, jika memang ada titah yang lain, aku tidak dapat menolaknya." "Tidak, Rantamsari. Tidak. Sudah aku katakan, aku hanya ingin mengetahuinya." "Aku tidak dapat ingkar, ibu. Aku tertarik kepada kakang Rembana. Wajahnya yang cerah, hatinya yang terbuka, kelakarnya, namun juga pandangannya yang luas tentang hidup dan kehidupan." "Kau sudah banyak berbicara dengan senapati muda itu Rantamsari?" * , "Ya. Ibu. Aku sudah tahu pula, bahwa kakang Rembana juga tertarik kepadaku." "Baiklah, Rantamsari. Aku bukan seorang ibu yang hanya menuruti keinginanku sendiri. Aku harus mendengarkan kemauanmu karena kaulah yang akan menjalaninya. Masa depanmu akan terletak di tanganmu sendiri." "Ibu. Jadi ibu tidak berkeberatan?" "Ibu hanya ingin meyakinkan sikapmu, Rantamsari. Dengarlah. Rembana hanyalah seorang senapati prajurit di Puranganom. Ia bukan seorang yang pinunjul. Mungkin ia memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ada berapa orang senapati muda di Paranganom ini. Karena itu, kau harus itu pikirkan sebaik-baiknya masa depanmu. Jika kau benar-be nar Ebook by Dewi Kangzusi 485 Kang Zusi http://kangzusi.com/ ingin menyatukan dirimu dalam kehidupan Rembana, maka kau harus siap menjalani hidup dan kehidupan yang sederhana. Karena Rembana seorang prajurit, maka ia akan lebih sering berada di luar rumah. Tugas akan selalu memanggilnya, sebagaimana ia berada disini sekarang ini." "Aku mengerti ibu. Tetapi justru kehidupan yang sederhana itulah yang akan dapat dinikmati sedalamdalamnya. Tidak seperti saat kita tinggal di kadipaten Kateguhan. Segala sesuatunya berlangsung sesuai dengan pranatan, sehingga rasa-rasanya kita telah kehilangan diri sendiri dalam keberadaan kita ini ibu. Kita tidak mempunyai kebebasan menentukan sikap dan bahkan keinginan-keinginan yang paling mendasar dari hidup ini." Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya," Dari-mana kau dengar sikap hidup sebagaimana yang kau katakan itu. Rantamsari" Dari Rembana" Aku tidak menyalahkannya. Justru apa yang kau katakan itu sangat menarik perhatianku. Menurut pendapatku, yang kau katakan itu benar adanya." "Ibu sependapat?" Raden Ayu Prawirayuda mengangguk. "Ibu " senyum yang manis mengembang dibibir Raden Ajeng Rantamsari. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya sambil memejamkan matanya. Dengan suara yang lirih iapun berkata " Ibu, doakan agar aku akan menemukan kebahagiaan." "Aku mengerti Rantamsari. Sikap kakangmasmu yang telah mengusir kita dari Kateguhan telah menghunjam, melukai jantungmu sampai ke dasar. Agaknya luka itu tidak mudah untuk dapat disembuhkan. Peristiwa itu tentu sangat mempengaruhi pandanganmu tentang hidup dan kehidupan." Ebook by Dewi Kangzusi 486 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Mungkin ibu. Tetapi aku ingin menemukan hari-hari mendatang yang panjang. Aku tidak akan selalu berpaling pada masa lalu itu, meskipun sebagai pengalaman akan mempunyai arti tersendiri bagiku.-" Raden Ayu Prawirayuda masih saja membelai rambut anaknya. Namun beberapa saat kemudian. Raden Ayu Prawirayuda itupun berkata " Beristirahatlah, Rantamsari. Mungkin kau merasa letih oleh gejolak perasaanmu. Jika kau ingin tidur. tidurlah." . "Tidak. ibu. Aku tidak ingin tidur. Aku akan pergi ke dapur." Justru Raden Ajeng Rantamsarilah yang lebih dahulu bangkit berdiri. Ketika Raden Ayu Prawirayuda juga bangkit, maka Rantamsaripun menggandeng ibunya keluar dari biliknya langsung pergi ke dapur. Di dapur, para abdi sedang sibuk menyiapkan makan siang bagi para senapati muda yang berada di rumah itu. Rantamsaripun kemudian telah ikut pula membantu mereka, menyediakan mangkuk serta peralatan yang lain. Hari itu, wajah Raden Ajeng Rantamsari nampak sangat cerah. Rasa-rasanya Raden Ajeng Rantamsari telah meletakkan beban yang memberati perasaannya. Selama ini, Raden Ajeng Rantamsari tidak berani berterus terang kepada ibunya, bahwa sebagai seorang gadis hatinya telah tersentuh oleh seorang anak muda yang bernama Rembana. Sebaliknya, anak muda itupun telah tertarik pula kepadanya. Meskipun Rantamsari sebenarnya telah menduga, bahwa ibunya ikut merasakan getar timbal balik antara dirinya Ebook by Dewi Kangzusi 487 Kang Zusi http://kangzusi.com/ dengan senapati muda itu, namun ibunya tentu ingin mendengar pengakuannya itu. Kedatangan pamannya seakan-akan justru telah membuka kesempatan kepadanya untuk menyampaikan hal itu kepada ibunya. Pernyataan ibunya itu, telah membuat hubungan Raden Ajeng Rantamsari dengan Ki Lurah Rembana menjadi semakin akrab. Raden Ajeng Rantamsari tidak lagi merasa pakewuh untuk berbicara dengan Rembana di tempat-tempat terbuka. Namun hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dengan Rembana itu tidak terlepas dari pengamatan senapati muda yang lain. Sasangka. Senja itu, warna-warna jingga yang silau memancar di langit. Beberapa lembar mega hanyut beriringan dihembus ingin dari lautan. Setelah mandi, Madyasta dan Wismaya duduk di halaman belakang rumah Raden Ayu Prawirayuda. Mereka sempat memandangi burung-burung bangau yang terbang beriringan pulang kesarangnya. "Apakah Rembana dan Sasangka juga sudah mandi?" bertanya Madyasta. "Sudah Raden. Mereka ada di serambi gandok." "Kakang Wismaya " berkata Madyasta kemudian " aku melihat telah terjaadi perubahan dalam hubungan diantara keduanya. Aku tidak tahu, apakah yang telah menyebabkannya." "Maksud Raden, pada keduanya seakan akan telah terbentang jarak." Ebook by Dewi Kangzusi 488 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya." "Ya, Raden. Aku mengenal keduanya dengan baik. Aku berada dalam kelompok yang sama pada saat kami bersamasama memasuki dunia keprajuritan. Agaknya jenjang kedudukan kamipun merambat bersama-sama pula, sehingga kami sempat menjadi Lurah prajurit yang justru memaksa kami untuk berpisah, karena kami mengemban tugas kami masing-masing." "Bukankah selama ini tidak ada masalah diantara keduanya?" "Nampaknya tidak ada Raden. Tetapi sebenarnyalah bahwa akhir-akhir ini memang terasa ada jarak diantara mereka." "Mudah-mudahan tidak timbul persoalan yang mendasar diantara mereka. Namun adalah kewajibanku untuk mengetahui, ada apa sebenarnya diantara mereka itu." Sebenarnyalah saat itu, Rembana dan Sasangka duduk di serambi gandok. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Sasangkalah yang membuka pembicaraan " Rembana. Sebelumnya aku minta kau jangan salah paham. Jangan menganggap aku orang lain yang mencampuri urusan pribadimu. Aku adalah bukan hanya sekedar kawanmu. Tetapi kau bagiku rasa-rasanya sudah bagaikan saudara kandung." Rembana berpaling. Dengan kerut di dahi iapun bertanya " Ada apa Sasangka." "Sudah sejak beberapa hari sebenarnya aku ingin mengingatkanmu, Rembana." Ebook by Dewi Kangzusi 489 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Apakah ada yang aku lupakan?" "Tidak. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik." "Jadi, apa yang perlu kau peringatkan?" "Rembana, Aku bermaksud baik. Jangan tuduh aku mencampuri persoalan pribadimu." Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Katakan, Sasangka." "Aku ingin membicarakan hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari." "Hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari" Kenapa?" "Selagi belum terlanjur menjadi terlalu jauh." "Kenapa?" "Aku ingin menasehatkan, agar kau mempertimbangkan kembali hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari. Pada akhir-akhir ini aku melihat hubunganmu telah bergerak semakin akrab. Sentuhan-sentuhan batin diantara kalian telah membuat hubungan kalian menjadi khusus." Rembana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terima kasih atas perhatianmu, Sasangka. Tetapi jangan hiraukan. Aku tidak beniat menolak uluran tanganmu serta niat baikmu. Tetapi karena aku sudah dewasa penuh, biarlah persoalan itu aku selesaikan sendiri." Ebook by Dewi Kangzusi 490 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku hanya ingin mengingatkan, agar kau tidak menjadi kecewa dihari-hari mendatang." "Kecewa" Kenapa aku harus kecewa?" "Kau harus berani melihat ke dirimu sendiri." Rembana menarik nafas panjang. Katanya "Aku mengerti, Sasangka. Kau tentu akan mengatakan, bahwa aku adalah sekedar anak pedesaan. Anak yang dilahirkan dan dibesarkan di kaki bukit. Ayahku dan ibuku adalah orang-orang dari kaki bukit itu pula. Sedangkan Raden Ajeng Rantamsari adalah anak seorang Adipati, meskipun Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kangjeng Adipati itu sudah meninggal." "Ya. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa di hari-hari mendatang. Seperti seseorang yang terbangun dari sebuah mimpi yang indah, maka kau akan menjadi sangat kecewa." "Kenapa aku harus kecewa'" "Raden Ajeng Rantamsari pada suatu saat tentu akan dinikahkan dengan seorang yang pantas untuk menjadi suaminya. Mungkin seorang Adipati muda atau seorang putera Adipati. Bahkan mungkin saja Raden Ajeng Rantamsari akan mendapat suami seorang ksatria dari Istana Tegal Langkap." "Jika nasibku memang seburuk itu, biarlah aku sandangnya Sasangka." "Sebenarnya kau tidak perlu menunggu sampai kau mengalaminya Rembana. Mumpung belum terlanjur, kau dapat ber usaha untuk mencegahnya." "Terima kasih atas kepedulianmu itu, Sasangka. Tetapi aku tidak berniat untuk menghindar sekarang. Seperti orang yang Ebook by Dewi Kangzusi 491 Kang Zusi http://kangzusi.com/ akan maju kemedan perang. Aku sudah siap. Jika aku memang, maka aku akan pulang dengan berbagai macam penghormatan. Bahkan bermahkotakan gelar seorang pahlawan. Menikmati pujian dan kebanggaan. Tetapi jika aku kalah, maka namaku akan tercemar. Orang lain akan berpaling jika berpapasan di jalan. Bahkan dapat terjadi lebih buruk dari itu. Menjadi seorang tawanan perang yang dihinakan. Dipekerjakan lebih buruk dari seorang budak. Atau dapat juga aku mati dipertempuran. Tetapi aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan itu. Aku siap untuk menang. Tetapi akupun siap untuk kalah atau bahkan mati." "Kau keras kepala Rembana." "Kau tahu itu Sasangka. Aku memang orang yang keras kepala. Aku tidak mudah menerima pendapat orang lain." "Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang gawat, Rembana. Aku minta kau mengerti." "Sasangka " berkata Rembana kemudian. Nada suaranya meninggi "Aku sudah dewasa penuh. Aku sudah dapat memilih, manakah yang baik dan manakah yang tidak baik bagiku. Aku minta kau tidak mencampurinya." "Itulah yang kau kehendaki sekarang Rembana" Justru pada saat kau memerlukannya." "Tidak. Aku tidak memerlukannya." "Kau sakit, Rembana. Tetapi kau tidak mau mengakui, bahwa kau memerlukan pengobatan." "Sasangka. Kau sudah terlalu dalam mencampuri persoalan yang sangat pribadi bagiku. Nasehatmu sudah cukup." Ebook by Dewi Kangzusi 492 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Belum Rembana." "Bahkan sudah terlalu banyak. Atau justru karena kau merasa iri?" Sasangka terkejut, sehingga tiba-tiba saja iapun bangkit berdiri "Rembana. Kau menganggap aku menjadi iri?" "Jika tidak, lepaskan aku sekehendak hatiku. Kau tidak berhak mencampuri persoalan pribadiku. Mungkin aku memerlukan bantuanmu dalam pertempuran antara hidup dan mati. Tetapi aku tidak memerlukan pendapatmu dalam persoalan ini." Wajah Sasangka menjadi merah. Namun sebelum ia menjawab dengan suara yang bergetar, ia melihat Wismaya sudah berdiri di tangga serambi gandok itu. "Wismaya " desis Rembana. "Aku mendengar sebagian dari persoalan yang kalian bicarakan dari balik dinding sebelah. Maaf. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mendengarkannya. Ketika aku ingin menemui kalian berdua, aku mendengar pembicaraan kalian. Semakin lama menjadi semakin tajam. Semula aku tindak ingin mencampurinya. Tetapi ketika aku akan pergi, aku justru merasa menjadi bagian dari keberadaan kita semuanya di rumah ini." "Aku bermaksud baik " berkata Sasangka. "Aku mengerti" sahut Wismaya. "Tetapi ia telah mencampuri persoalan pribadiku terlalu dalam. Aku sudah mengatakan, bahwa aku berterima kasih Ebook by Dewi Kangzusi 493 Kang Zusi http://kangzusi.com/ atas kepeduliannya. Tetapi selanjutnya, biarlah aku yang memutuskan." "Memang kaulah yang harus memutuskan. Tetapi Sasangka ingin memberikan pertimbangan kepadamu." "Sudah aku katakan. Aku berterima kasih. Tetapi selanjutnya terserah kepadaku. Jika hubunganku dengan puteri itu dianggap demikian aku akan terperosok kedalam lidah api, biarlah aku terbakar sampai hangus. Sasangka tidak perlu menangisinya." "Jadi itukah arti kesetia-kawanan bagimu Rembana." "Aku menghargai kesetia-kawanan. Tetapi.tentu ada batasnya. Sampai kemana kau dapat memasuki duniaku. Duniaku yang sangat pribadi ini." "Sudahlah Sasangka " berkata Wismaya " niat baikmu memang harus dihargai. Tetapi kau memang tidak akan dapat memasuki dunia Rembana sampai sedalam dalamnya." "Aku hanya ingin mencegah sebelum terjadi mala-petaka padanya." "Aku mengerti. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi. Biarlah ia memilih, jalan manakah yang akan di laluinya." "Apakah aku harus membiarkannya memilih jalan sesat?" "Kau sudah memperingatkannya, Sasangka. Jika ia masih saja ingin berjalan lewat jalan itu, kita tidak dapat berbuat apa-apa." "Aku tidak akan membiarkannya." Ebook by Dewi Kangzusi 494 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Sasangka " suara Wismaya menjadi berat " sejauh mana hak kita mencampuri persoalan-persoalan orang lain yang sangat pribadi. Kita dapat menunjukkan niat baik ktia, kepedulian kita. Sesudah itu, terserah kepadanya. Karena itu, sudahlah. Biar Rembana sendiri yang memutuskannya." "Jadi itu nasehatmu Wismaya." "Jangan salah paham. Aku tidak menasehatimu. Aku ingin melerai perselisihanmu dengan Rembana." "Aku tidak berselisih. Tetapi aku ingin mencegah Rembana terperosok kedalam kepedihan dikemudian hari." "Aku sudah mengucapkan terima kasih, Sasangka "sahut Rembana" "tetapi yang kau lakukan bukan memperingatkan aku. Tetapi kau justru memaksakan kehendakmu." "Untuk kepentinganmu sendiri Rembana." "Sudah aku katakan, jangan hiraukan aku. Bahkan seandainya aku akan lebur menjadi debu." "Kau menyinggung perasaanku." "Sudahlah, Sasangka. Ia memang berhak menentukan, apa yang terbaik menurut pikirannya. Kita hanya akan menjadi penonton." "Itu bukan sikap sahabat yang baik. Aku harus berani mengatakan yang baik dan yang buruk baginya, meskipun ia sendiri tidak menyukainya." "Kau benar Sasangka. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi." Ebook by Dewi Kangzusi 495 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Baik. Baik. Aku tidak peduli lagi apa yang akan tejadi padanya, Apapun yang akan terjadi." Sasangka tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan Rembana dan Wismaya. "Sasangka, Sasangka. Kaulah yang salah paham." Sasangka masih mendengar Wismaya memanggilnya. tetapi ia tidak menghiraukannya lagi. Wismaya menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Rembana, maka dilihatnya mata Rembana yang merah. Agaknya Rembana harus menahan kemarahan yang telah membakar jantungnya. "Sasangka sudah menjadi gila. Ia merasa iri melihat hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari." "Ia bukannya menjadi iri, Rembana. Maksudnya benar-benar baik. Aku sependapat dengan jalan pikirannya. Tetapi aku tidak sependapat dengan sikapnya yang ingin memaksakan pendapatnya itu kepadamu. Sebenarnya akupun ingin menyampaikan kepadamu sebagaimana di katakan oleh Sasangka. Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Kau sudah dewasa. Kaulah yang akan menjalaninya. Kaulah yang sudah berbicara dengan Raden Ajeng Rantamsari, sehingga kaulah yang tahu sikapnya yang sesungguhnya." "Seperti kepada Sasangka, akupun berterima kasih kepadamu Wismaya." "Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku adalah penonton lakon yang sedang kau perankan. Aku sama sekali tidak berhak untuk menjadi dalang dalam lakon ini." Ebook by Dewi Kangzusi 496 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Terima kasih." Wismaya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera beranjak. Wismaya ingin mencari Sasangka dan berbicara dengannya untuk meluruskan kesalahan-pahaman yang baru saja terjadi. Tetapi Wismaya tidak dapat menemukan Sasangka di halaman rumah itu. Sasangka memang keluar lewat regol halaman depan. Ia berjalan saja menelusuri jalan didepan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Ketika langit menjadi gelap, Sasangka berdiri di ujung jalan bulak, diluar gerbang padukuhan. Dipandanginya langit yang semakin lama semakin gelap. Sisa cahaya matahari tidak lagi nampak diujung gunung dan di bibir mega-mega yang mengambang, seakan tersangkut di lambung gunung. Sasangka berdiri termangu-mangu. Diletakannya satu kakinya diatas sebuah batu yang agak besar yang terletak di tanggul parit yang mengalir di pinggir jalan, dibawah sebatang pohon turi yang sedang berbunga, Bunganya yang putih masih nampak lamat-lamat tersembul dari keremangan ujung malam. Namun Sasangka yang memandangi ujung gunung itu tidak menyadari, dua orang sedang mengamatinya dari balik semak-semak di pinggir jalan bulak. "Orang itu salah seorang dari senapati yang berada di Panjer" "Apa benar Ki Lurah Sura Branggah " desis yang lain. Ebook by Dewi Kangzusi 497 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak akan salah lagi. Sejak beberapa hari aku berusaha mengenali mereka dengan baik. Satu demi satu. Apalagi anak muda yang bernama Madyasta, putera Kangjeng Adipati Prangkusuma itu." "Kalau begitu, marilah, kita habisi saja orang itu." "Kita berdua?" "Ya " Sura Branggah termangu mangu Sementara itu kawannyapun berkata "Ki Lurah Sura Branggah adalah orang yang dikenal sebagai seorang vang berilmu tinggi. Ki Lurah tentu akan dapat membunuh tikus kecil itu. "Ya. Hanya tikus kecil. Selesaikan orang itu, aku menunggumu disini." "Aku?" "Ya. Bukankah ia tidak lebih dari tikus kecil?" "Tetapi yang namanya dikenal semua orang Kateguhan dan Paranganom adalah KI Lurah Sura Branggah." "Yang penting bukan dikenal atau tidak dikenal. Yang penting orang itu mati. Ia adalah salah satu dari senapati yang menurut Ki Tumenggung Reksadrana harus dibunuh, karena orang itu ikut bertanggung jawab atas kematian putera Ki Tumenggung itu." "Ya. Orang itu harus dibunuh." "Nah. Karena itu bunuhlah." Ebook by Dewi Kangzusi 498 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ki Lurah sajalah yang membunuh. Agar kerja kita lekas selesai." "Aku perintahkan kepadamu." "Jangan begitu ki Lurah. Tetapi bagaimana jika kita lakukan bersama-sama." "Cah edan. Kita akan dapat terperosok kedalam kemungkinan terburuk. Agaknya memang belum waktunya kita membunuhnya sekarang." "Mumpung ia sendiri, Ki Lurah." "Otakmu memang otak kerbau. Jika kita gagal, maka rencana yang sudah kita susunpun akan gagal pula.semuanya. Kita harus memilih saat terbaik untuk membunuhnya. Bahkan mungkin justru dihalaman rumah Raden Ayu Prawirayuda itu sendiri." Kawannya terdiam. Sebenarnyalah iapun merasa ragu, apakah berdua mereka akan berhasil seandainya mereka memutuskan untuk mencoba membunuh anak muda itu. Namun ketika keduanya kembali memandang kearah senapati muda itu, maka yang nampak adalah dua orang. Selain Sasangka, ditempat itu hadir pula Wismaya. "Marilah kita kembali ke rumah Raden Ayu" ajak Wismaya. "Aku ingin mendinginkan jantungku dahulu Wismaya." "Nanti kita akan dicari. Waktunya makan malam sudah tiba." Ebook by Dewi Kangzusi 499 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku masih belum dapat meredakan gejolak di dadaku jika aku bertemu dengan Rembana nanti." "Kau bukan kanak-kanak lagi, Sasangka" Sasangka menarik nafas dalam-dalam. "Selebihnya, aku juga ingin menjelaskan maksudku, agar kau tidak salah paham dengan ucapan-ucapanku itu." "Tidak. Aku tidak merasa salah paham. Aku mengerti sepenuhnya maksudmu itu, Wismaya." "Jika demikian, jangan menunggu Raden Madyasta mencari kita." Sejenak kemudian Wismaya dan Saiangka itupun telah hilang dibelakang pintu gerbang. "Ternyata nyawa kita masih akan panjang" desis kawan Ki Sura Branggah itu. "Kenapa?" Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jika kita tadi benar-benar menyerang, senapati muda itu, maka kita akan segera berhadapan dengan dua orang senapati muda yang berilmu tinggi itu" "Bukankah dengan demikian dua orang diantara empat sasaran kita sudah kita selesaikan hari ini?" "Sura Branggah memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan geram iapun bertanya."Apa". Dua sasaran kita akan terbunuh?" Ebook by Dewi Kangzusi 500 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun tiba-tiba kawannya itu tertawa tertahan. Katanya "Ya. Merekalah yang membunuh sasaran mereka. Dua orang." "Gila kau." "Bukankah aku bersama Ki Sura Branggah?" "Kau mencoba menghina aku. Aku cekik kau sampai mati." "Jangan marah Ki Lurah. Jika kau bunuh aku, maka kau kehilangan seorang pengikut yang berilmu tinggi " "Huh" Ki Sura Branggah tidak menjawab. Namun iapun segera melangkah pergi. Sambil tertawa tertahan pengikutriya itupun berlari-lari kecil, mengikuti Ki Sura Branggah di belakangnya. Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, suasananya memang nampak sedikit berubah. Tetapi Wismaya dan Raden Madyasta berusaha agar Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari tidak segera merasakan perubahan itu." Karena itu, ketika mereka makan malam di ruang dalam, Wismaya yang pendiam serta Raden Madyasta lebih banyak mengisi waktu dengan pembicaraan-pembicaraan yang memang berbeda dengan cara Rembana berbicara pa da saat-saat seperti itu. Hanya sekali-sekali saja Rembana dan Sasangka ikut terlibat dalam pembicaraan yang memang nampak lebih bersungguh-sungguh itu. Raden Ayu Prawirayuda nampaknya memang tidak menangkap perubahan suasana yang terjadi di rumahnya. Tetapi agak berbeda dengan Raden Ajeng Rantamsari. Ia Ebook by Dewi Kangzusi 501 Kang Zusi http://kangzusi.com/ melihat perubahan yang terjadi pada Rembana. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak tahu apakah yang menyebabkannya. Setelah makan malam, maka Raden Madyasta serta para senapati muda itupun segera kembali ke gandok. Beberapa saat mereka duduk di serambi. Namun Sasangka dan Rembanapun segera masuk ke dalam bilik mereka masingmasing. Tetapi sesaat kemudian, Rembanapun telah keluar pula dari biliknya. Seperti biasanya ia membawa pedangnya yang tergaintung di lambungnya. "Aku bertugas di belakang malam ini Raden berkata Rembana, aku akan berada di serambi belakang." "Baik, kakang" jawab Raden Madyasta " hati-hatilah." "Ya, Raden. Marilah Wismaya." "Aku akan menggantikanmu tengah malam nanti" "Sebaiknya kau tidur saja sekarang." Wismaya tersenyum. Katanya "Ya. Sebentar lagi. Bukankah kita baru saja makan?" Rembana mengangguk. Namun wajahnya tidak nampak cerah seperti biasanya. Sejenak kemudian, maka Rembanapun telah hilang dibalik kegelapan. Sinar cahaya lampu di pendapa tidak dapat menggapai-gapainya lagi ketika ia menyelinap di belakang gandok. Rembana tidak pergi ke serambi belakang lewat longkangan di belakang pintu seketeng. Tetapi Rembana memilih melingkari rumah raden Ayu Prawirayuda yang besar itu. Ebook by Dewi Kangzusi 502 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Yang kemudian duduk diserambi tinggal Wismaya dan Raden Madyasta. Namun Wismayapun memberikan isyarat kepada Raden Madyasta untuk turun dan berjalan melintasi halaman. "Sasangka tentu belum tidur " berkata Wismaya. Raden Madyasta mengangguk-angguk. "Mungkin ia tidak dapat tidur malam ini." . "Ya." Wismayapun kemudian mengulangi lagi ceriteranya tentang perselisihan antara Sasangka dan Rembana yang serba sedikit sudah dilaporkannya kepada Raden Madyasta. "Sayang sekali, bahwa perselisihan itu harus terjadi." "Ya, Raden." "Menurut kakang Wismaya, apakah Sasangka benar-benar ingin memperingatkan Rembana dengan jujur atau justru karena Sasangka merasa iri hati?" Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian " Sulit bagiku untuk mengetahui Raden. Tetapi menurut pengenalanku atas Sasangka, ia bukan seorang yang dengki. Sasangka memang kadang-kadang ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain." "Jadi, menurut kakang Wismaya, Sasangka berkata dengan jujur. Tetapi caranya yang telah menyinggung perasaan kakang Rembana." Ebook by Dewi Kangzusi 503 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Wismaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri " Ya. Mungkin sekali, Raden." "Baiklah, kakang. Besok aku akan berbicara dengan keduanya. Aku tidak ingin tugas kita kali ini membawa perpecahan diantara mereka yang sebelumnya bersahabat." "Ya, Raden." Jika perlu, maka harus ada diantara kita yang meninggalkan rumah ini. Ayahanda dapat memerintahkan orang lain untuk menggantikan tugas kita disini." Wismaya mengangguk-angguk, sementara Raden Madyastapun berkata selanjutnya " Jika perlu kami bersama-sama ditarik dari tugas ini, agar tidak menimbulkan persoalan baru. Ayahanda dapat membuat alasan yang masuk akal. Misalnya pergantian tugas karena kakang Wismaya, kakang Sasangka dan kakang Rembana sudah terlalu lama meninggalkan barak masing-masing. Dengan demikian, terutama bagi orang lain diluar kita berempat, tidak mereka-reka persoalan yang timbul di rumah ini. Berbeda jika seandainya ayahanda hanya memindahkan satu atau dua orang diantara kita berempat." "Raden benar " Wismaya mengangguk-angguk " jika yang ditarik dari tugas ini hanya satu atau dua orang, maka akan ada masalah yang timbul di rumah ini. Apalagi masalah itu memang sudah ada. Seperti bunga api sepercik dan jatuh diatas alang-alang kering. Kabar itu akan segera membakar daerah ini, terutama dilingkungan keprajuritan." "Bukankah dengan demikian akan dapat menjadi setitik noda yang mengotori nama prajurit Paranganom?" Ebook by Dewi Kangzusi 504 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Wismaya mengangguk-angguk. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanyapun duduk di atas sebuah lincak panjang di sudut halaman rumah itu. Pembicaraan mereka justru menjadi berkepanjangan, sehingga Wismaya tidak lagi ingat, bahwa lewat tengah malam ia akan bertugas menggantikan Rembana yang berada di halaman belakang. Baru menjelang tengah malam, Raden Madyasta sempat mengingatkan " Kakang Wismaya tidak beristirahat dahulu" Sebentar lagi tengah malam. Kakang harus menggantikan kakang Rembana." "Sudah tanggung, Raden. Jika aku berbaring sekarang, maka baru esok pagi aku bangun." Raden Madyasta tersenyum. Katanya " Jika demikian, sebaiknya kakang Wismaya justru mempersiapkan diri." Malam ini Sasangka akan menggantikan Raden Madyasta mengawasi bagian depan rumah ini." "Ya. Mudah-mudahan Sasangka sempat tidur meskipun hanya sebentar." Sulit baginya untuk tidur. Tetapi untunglah bahwa tugas mereka tidak bersamaan sesudah tengah malam. Jika tidak ada orang lain yang sempat mengawasi, maka perselisihan itu akan dapat terjadi lagi." Keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke gandok sebelah kanan. Namun ketika mereka sampai di tangga gandok, mereka melihat Rembana muncul dari kegelapan. Namun langkahnya nampak gontai. Ebook by Dewi Kangzusi 505 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Bahkan ketika ia berdiri di sudut gandok, tangannya berpegangan erat-erat. "Kakang Rembana." Raden Madyasta itupun segera berlari mendekati Rembana disusul oleh Wismaya. "Ada apa kakang?" bertanya Raden Madyasta dengan suara bergetar. Rembana tidak dapat bertahan berpegangan sudut gandok itu lagi. Tetapi ketika ia akan jatuh terjerembab, Raden Madyasta dengan cepat menangkapnya. Raden Madyasta terkejut ketika tangannya menyentuh cairan yang hangat pada tubuh Rembana. Bahkan kemudian, Raden Madyasta itu melihat sebuah pisau belati tertancap di lambung sebelah kiri. "Apa yang terjadi, kakang" bertanya Raden Madyasta dengan jantung berdebaran. Pada saat itu pula, Sasangka berlari-lari keluar dari biliknya. "Apa yang terjadi?" Sebelum Wismaya dan Raden Madyasta menjawab, Sasangkapun telah menghambur menuruni tangga gandok sebelah.kanan. Iapun kemudian bcrjongkok pula disisi Rembana, disebelah Raden Madyasta, sementara Wismaya berjongkok di sisi yang lain. "Kakang Rembana. Apa yang terjadi?" Ebook by Dewi Kangzusi 506 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Rembana, katakan. Apa yang terjadi" Siapakah yang menusuk lambungmu?" bertanya Wismaya pula. Rembana menggeleng. Suaranya menjadi sangat dalam"Aku tidak dapat melihatnya, Raden." "Kau tidak sempat melawan sama sekali?" Rembana menggeleng. Suaranya menjadi bertambah lirih " Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan seseorang menusuk lambungku. Dengan cepat pula ia menghilang. Aku tidak dapat mengenali wajahnya dalam kegelapan. Apalagi sebagian dari wajahnya itu tertutup oleh ikat kepalanya. "Bertahanlah, Rembana " desis Raden Madyasta. Lalu katanya "Kakang Sasangka. Tolong, panggil seorang tabib yang tinggal didekat rumah ini agar ia dapat merawat kakang Rembana untuk sementara. Sementara itu biarlah tabib kadipaten di panggil pula kemari." Tetapi Rembana menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak ada gunanya lagi Raden." "Kakang, kakang." Nafas Rembana menjadi semakin sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. "Kakang, kakang." Tetapi Rembana sudah tidak mendengar lagi. Malam itu, kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah Raden Ayu Prawirayuda. laporanpun segera sampai ke kadipaten. Pasukan di barak yang dipimpin oleh Rembanapun Ebook by Dewi Kangzusi 507 Kang Zusi http://kangzusi.com/ dengan cepat bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Rembana telah gugur dalam men jalankan tugasnya. Malam itu, Raden Wignyana telah berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda pula. "Dimas " desis Raden Madyasta. "Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk melihat keadaan di rumah bibi ini, kangmas." "Inilah yang terjadi dimas ." "Bukankah kakang Rembana seorang senapati muda yang mumpuni" Kenapa begitu mudahnya kakang Rembana terbunuh disini?" "Itulah yang harus kita cari sebabnya, dimas." "Pembunuh kakang Rembana tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Setidak tidaknya setataran dengan kakang Rembana. Orang itu hanya mempunyai kelebihan licik, curang dan tidak tahu malu" "Aku sependapat dimas. Orang itu tentu licik dan curang." "Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk segera kembali dan memberikan laporan terperinci. Besok pagi-pagi ayahanda akan datang kemari." Dalam pada itu, Wismayapun sempat berbisik ditelinga Raden Madyasta " Untunglah, bahwa tidak ada yang tahu, apa yang terjadi antara Rembana dan Sasangka. Jika saja ada yang mengetahuinya, maka tentu akan segerai tersebar kabar buruk yang langsung menghakimi Sasangka." Ebook by Dewi Kangzusi 508 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya " Raden Madyasta mengangguk angguk dengan kerut di kening Raden Madyastapun bertanya Tetapi bagaimana menurut pendapatmu, kakang " "Aku belum dapat berkata apa-apa tentang peristiwa ini, Raden. Aku melihat Sasangka menjadi sangat murung. Mungkin ia merasa, bahwa kita telah menuduhnya." Malam itu, sekelompok prajurit telah berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda atas perintah Ki Tumenggung Sanggayuda. Tetapi yang ditugaskan adalah dari pasukan pengawal, yang dipimpin oleh Ki Lurah Adisana dan berada langsung dibawah perintah Tumenggung Sanggayuda. Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari masih saja menangis di pangkuan ibunya. Rembana, seorang anak muda yang sangat menarik baginya, telah tiada. Sebuah pisau belati menancap di lambungnya. "Kenapa hal ini harus terjadi, ibu?" bertanya Raden Ajeng Rantamsari. Kita tidak dapat menentang garis pepesten, Rantamsari." "Tetapi kakang Rembana masih terlalu muda untuk meninggal." "Apapun yang kita inginkan terhadap seseorang, tetapi yang akan terjadi atasnya, terjadilah. Tidak seorang-pun mampu mencegahnya." "Sejak kemarin sore, aku melihat sesuatu yang lain pada kakang Rembana, ibu. Kakang Rembana lebih banyak diam. Sekali-sekali saja tersenyum. Bukankah biasanya ia selalu cerah. Banyak berbicara dengan kelakarnya yang segar?" Ebook by Dewi Kangzusi 509 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ya, Rantamsari." "Seolah-olah kakang Rembana tahu apa yang akan terjadi semalam." Mungkin firasat itu telah menyentuhnya, Rantamsari. Tetapi Rembana tidak mampu mengurainya, sehingga yang terjadi itu tidak terbayangkan sebelumnya." Rantamsari mengusap matanya yang selalu basah. Seperti yang dikatakan oleh Wignyana, maka pagi itu, Kangjeng Adipati Prangkusuma telah hadir di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Demikian pula keluarga Rembana yang semalam sudah diberi tahu pula apa yang telah terjadi. Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, ibu Rembana itu sempat pingsan. Tidak hanya sekali. Tetapi dua tiga kali. "Anak yang baik " berkata ibunya disela-sela tangisnya " ia adalah tumpuan harapan keluarga kami." "Sudah, Nyi " ayah Rembana mencoba menghiburnya " Yang Maha Agung menghendakinya kembali ke sisinya. Yang terjadi itu adalah diluar kemampuan siapapun juga untuk mencegahnya.:" Tetapi ketika tangis ibu Rembana itu mereda, maka justru ayahnyalah yang pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya. Matanya menjadi merah karena laki-laki itu tidak dapat menahan tangisnya. Kangjeng Adipati telah memanggil Madyasta, Wismaya dan Sasangka bertiga didalam bilik yang khusus. Ebook by Dewi Kangzusi 510 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Bagaimana menurut pendapatmu, Madyasta?" "Hamba belum dapat mengatakan apa-apa ayahanda." "Apakah aku perlu menambah beberapa orang senapati untuk bertugas disini" Semula tugas ini dianggap tugas yang aneh, yang tidak perlu harus dilakukan oleh senapati pilihan. Tetapi temyata seorang dari senapati pilihan itu justu telah terbunuh disini." Jilid 07 Bab 22 - Ancaman Paman MADYASTA, Wismaya dan Sasangka saling berpandangan sejenak. Namun Wismaya dan Sasangka kemudian menundukkan wajahnya. Madyastalah yang kemudian menjawab "Untuk sementara tidak perlu ayahanda. Hamba, kakang Wismaya dan kakang Sasangka akan melaksanakan tugas ini sebaik baiknya, Kami bernial memancing orang yang lelah membunuh kakang Rembana untuk kembali lagi. Jika yang bertugas disini bertambah, mungkin ia tidak akan berniat untuk datang lagi. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata "Tetapi berhati-hatilah. Kalian tahu, bahwa orang ib tentu orang yang berilmu tinggi. Mereka dapat membunuh seorang Senapati pilihan tanpa sempat mempertahankan diri. Selain berilmu tinggi, orang itu tentu juga seorang yang licik, yang tanpa segan-segan menyerang dari belakang." "Ya, Ayahanda " Ebook by Dewi Kangzusi 511 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak ingjn jatuh lagi korban diantara kalian." Madyasta menarik nafas panjang. Wismaya dan Sasangka masih saja menunduk dalam-dalam. Hari itu juga sebelum dimakamkan, atas permintaan anak buahnya, Rembana telah dibawa ke baraknya Dengan penghormatan penuh, jenazah Rembana dilepas ke makam. Diwajah para prajuritnya membayang kemarahan yang bergejolak didalam dada mereka. Namun Ki Tumenggung Wiradapa sempat meredakan perasaan mereka. Katanya "Bukan hanya kalian yang berduka, tetapi seluruh kadipaten ini, termasuk Kangjeng Adipati Prangkusuma. Ki Lurah Rembana adalah Senapati muda yang penuh harapan dimasa mendatang. Tiba-tiba saja umurnya telah direnggut dengan eara yang sangat licik. Kami berjanji untuk pada suatu saat menemukan pembunuh Ki Lurah Rembana." Para prajuritnya mendengarkannya sambil berdiam diri. Tetapi gigi mereka terkatub rapat. Mereka harus menahan gejolak di hati. Namun para pemimpin kelompok yang sudah lebih tua, berusaha juga untuk meredam kemarahan para prajuritnya. Se-orang pemimpin kelompok yang sebagian kumisnya Sudah memutih bertanya "Kalian marah kepada siapa" Jika kita ingin membalas dendam atas kematian Ki Lurah, siapakah sasaran kita?" Para prajurit itupun terdiam. Mereka memang tidak lahu, kepada siapa mereka mendendam. "Kita harus mempergunakan nalar kita. Bukan hanya perasaan kita" berkala pemimpin kelompok itu. Ebook by Dewi Kangzusi 512 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Demikianlah, sebuah iring iringan yang panjang mengantar Rembana ke makam. Selain keluarganya, maka sepasukan prajurit ikut pula mengatarnya Kedua putra Kangjeng Adipati, Madyasta dan Wignyana ada diantara para pengiring itu. Mereka berjalan bersama Wignyana dan Sasangka yang kelihatan murung. Berita tentang kematian seorang Senapati muda di rumah Raden Ayu Prawirayuda segera merjdi pembicaraan, terutama diantara para prajurit. Yang tersinggung tidak hanya para prajurit, anak buah Ki Lurah Rembana. Tetapi para prajurit Paranganom merasa tersinggung. Jika bibit-bibit permusuhan sudah terasa ada diantara orang-orang Paranganom dan orang-orang Kateguhan, maka kematian Ki Lurah Rembana, rasa-rasanya seperti angin yang bertiup mengipasi bara api disetumpuk kayu. Dalam pada itu, Madyasta tetap pada pendiriannya ketika sekali lagi Kangjeng Adipati memanggilnya dan mempertanyakan kemungkinan untuk memperkuat pengamanan di rumah Raden Ayu Prawirayuda "Jika penjagaan di rumah itu diperkuat, maka akibatnya orang-orang membunuh kakang Rembana tidak akan berani datang lagi ayahanda. Biarlah hamba bersama kakang Wismaya dan kakang Sasangka bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk di rumah bibi Prawirayuda." "Tetapi kau harus sangat berhati-hati, Madyasta " "Ayah anda mencemaskan hamba " " Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya " Apakah ada ayah yang tidak mencemaskan keadaan anaknya jika ia berada di satu lingkungan yang berbahaya ?" Ebook by Dewi Kangzusi 513 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Hamba mengerti, ayahanda. Tetapi hamba berjanji untuk berhati-hati." "Ki Lurah Wismaya dan Ki I .urah Sasangka juga harus berhati-hati. "Hamba ayahanda " "Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepadamu. Kau yang berada di medan, sehingga kau yang paling mengenali keadaan medan itu." "Hamba mohon doa restu ayahanda." "Madyasta" berkata Kangjeng Adipati dengan nada berat. "Nampak betapa Kangjeng Adipati itu menjadi ragu. Sebenarnya Kangjeng Adipati masih belum ingin menyampaikan ceritera yang harus disesali dari sikap Raden Ayu Prawirayuda tentang anak gadisnya yang ingin dipersandingkan dengan Kangjeng Adipati Yudapati. Tetapi dengan ke matian Rembana, maka Kangjeng Adipati justru merasa perlu untuk berbicara dengan Madyasta. Madyasta merasakan keragu-raguan ayahandanya. Setelah beberapa saat Madyasta menunggu, namun Kangjeng Adipati tidak segera melanjutkan kata-katanya, maka Madyastapun bertanya "Ada yang meragukan hati ayahanda ?" "Ya " Kangjeng Adipati mengangguk-angguk " tetapi baiklah. Mungkin ada baiknya kau mengetahuinya sekarang. Mungkin dapat kau jadikan bahan pertimbangan pada saat kau melakukan tugasmu, mengamankan rumah bibimu." "Hamba ayahanda." Ebook by Dewi Kangzusi 514 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Keragu-raguan masih terasa ketika Kangjeng Adipati itupun kemudian meneeritakan apa yang pernah didengarnya dari Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda Raden Madyasta mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Madyasta mengerutkan dahinya. Kemudian mengangguk-angguk kecil. Balikan kadang-kadang ia mengangkat wajahnya. Namun Raden Madyasta tidak memotong kata-kata ayahandanya yang masih diwarnai oleh kebimbangan itu. Kangjeng Adipati menarik nafas panjang ketika ia selesai menyampaikan keterangan sebagaimana didengarnya dari kedua orang Tumenggung yang telah pergi ke Kadipaten Kateguhan itu. "Apakah yang dikatakan oleh painan Tumenggung itu benar, ayahanda?" bertanya Raden Madyasta. Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati itu baru saja melepaskan beban yang terasa sangat berat bergayut di hatinya "Madyasta " berkata Kangjeng Adipati kemudian aku tidak tahu, apakah yang terjadi juga sebagaimana dikatakan Oleh kedua pamanmu Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda. Tetapi kedua orang pamanmu itu mendengar keterangan dari Tumenggung Reksadrana dihadapan Adipati Yudapati." Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun berkata "Apapun yang terjadi ayahanda, peristiwa pengusiran bibi Prawirayuda dari Kateguhan merupakan gambaran keretakan keluarga di Kateguhan sepeninggal paman Adipati Prawirayuda" Ebook by Dewi Kangzusi 515 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya. Akibatnya memang akan terkait pada Kadipaten Paranganom karena kangmbok Prawirayuda sekarang berada di Paranganom." "Ayahanda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin apa yang dikatakan oleh Ki-Tumenggung Reksadrana dihadapan kakangmas Adipati Yudapati itu tidak seluruhnya benar. Tetapi tentu ada pula dasarnya Sehingga kebeneian orang-orang Kateguhan terhadap bibi Prawirayuda tidak dapat segera dihapuskan." "Menurut dugaanmu, apakah kakangmasmu Yudapati telah mengirim orang seeara khusus untuk membunuh Rembana " Lalu apa hubungannya kebeneian Yudapati dengan keberadaan Rembana di rumah bibimu itu, sehingga Rembana harus disingkirkan." "Sasarannya tentu bukan kakang Rembana, ayahanda. Tetapi sekedar untuk menakui nakuti dan menyakiti hati bibi Prawirayuda yang dibeneinya itu." "Jika benar dugaan itu, Madyasta. Maka kau, Sasangka dan Wismaya harus menjadi semakin berhati-hati. Mungkin kematian Rembana masih belum memberinya kepuasan. Mungkin orang-orang Kateguhan masih ingin menunjukkan kelebihannya. Kaulah yang harus menjadi lebih berhati-hati.""Maksud ayahanda, hambalah yang akan menjadi sasaran berikutnya ?" "Hanya sikap hati-hali, Madyasta." "Hamba mengeni ayahanda. Hlamba akan lebih berhatihati." Ebook by Dewi Kangzusi 516 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Sebenaniyalah bahwa ia memang mencemaskan Raden Madyasta. Tetapi Madyasta bukan kanak-kanak lagi. Ia telah dibekali dengan kemampuan dalam olah kanuragan. Madyastapun terus berlatih untuk melindungi dirinya sendiri. Hari-haripun kemudian dilalui dengan suasana yang muram di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Raden Ajeng Rantamsari nampak masih berduka karena kepergian Rembana. Seorang anak muda yang telah menarik perhatiannya. Sementara itu, tinggal tiga orang anak muda yang berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Namun ketiganya adalah orang-orang yang telah mendapat tempaan lahir dan batin. Dalam pada itu, sekali lagi Raden Ayu Prawirayuda menawarkan bilik yang lebih baik kepada Raden Madyasta yang berada di ruang dalam. "Terima kasih, bibi." "Keeuali tempatnya lebih pantas bagi angger Madyasta, bukankah angger akan lebih terlindung jika angger berada di ruang dalam. Setidak-tidaknya angger tidak dapat diserang dengan eara yang licik itu." Aku justru harus semakin ketat mengawasi lingkungan ini bibi. Biarlah aku tetap bersama para Senapati muda itu. Mudah-mudahan kami akan dapat menemukan, siapa yang telah membunuh kakang Rembana. "Tetapi kita tentu tidak ingin ada korban yang lain, ngger." "Tentu bibi. Kami akan berhati-hati." Ebook by Dewi Kangzusi 517 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Raden Ayu Prawirayuda tidak dapat memaksa Raden Madyasta untuk mempergunakan bilik di ruang dalam meskipun Raden Ayu Prawirayuda telah mertunjukkan kekhawatirannya akan keselamatan Madyasta. Tetapi Raden Ayu Prawirayudapun dapat mengerti, bahwa Raden Madyasta bukan seorang Senapati yang akan mempergunakan gelar Gedong Minep jika ia berada di medan perang. Tetapi Raden Madyasta tentu akan mempergunakan gelar Garuda Nglayang atau bahkan Gajah Meta Karena itu Raden Ayu Prawirayuda membiarkan Raden Madyasta untuk menentukan sikapnya sendiri. Meskipun demikian, Raden Ayu Prawirayuda masih juga berpesan "Aku mohon angger selalu berhati-hati. Maaf ngger jika aku berpesan mewanti-wanti. Bukan karena aku menganggap bahwa angger masih perlu diperingatkan. Tetapi sekedar kekhawatiran orang tua" "Terima kasih, bibi. Aku tidak pernah merasa tersinggung atas peringatan yang bibi berikan." Sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta, Wismaya dan Sasangka menjadi semakin berhati-hati. Bahaya akan dapat mengancam mereka setiap saat. Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari nampak menjadi kesepian. Ia tidak lagi dapat bereanda dengan Rembana yang memang seorang yang selalu nampak riang. Sekali-sekali untuk mengatasi kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berbincang dengan Wismaya atau Sasangka Tetapi Wismaya terlalu pendiam bagi Raden Ajeng Rantamsari, sehingga setiap kali mereka bertemu, Wismaya hanya menjawab pembicaraan Raden Ajeng Rantamsari dengan kata sepatah-sepatah. Ebook by Dewi Kangzusi 518 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Raden Madyasta sendiri nampaknya tidak mempunyai banyak waktu. Disiang hari kadang kadang Raden Madyasta pulang ke kadipaten. Namun kadang sehari suntuk Raden Madyasta berada di rumah bibinya bersama Wismaya dan Sasangka. Kadang-kadang mereka berada di halaman depan. Namun kadang-kadang mereka berada di kebun belakang. Atau mereka berada di tempat yang berbeda-beda serta mengisi kekosongan waktu dengan kerja apa saja yang dapat Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka lakukan di rumah itu. Ternyata Wismaya memiliki ketrampilan khusus untuk membuat perabot dari bambu. Selama berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Wismaya sudah membuat tiga buah lineak bambu panjang yang diletakkan di bawah sebatang pohon yangrindang di halaman depan serta dua buah di kebun belakang, Disiang yang terik, kadang-kadang Wismaya sempal berbaring di lineak bambunya Bahkan kadang-kadang Sasangka dan bahkan Raden Madyasta juga sering berbaring di siang hari, disejuknya udara dibawah bayangan rimbunnya dedaunan. Hari i u terasa sepi. Wismaya duduk diserambi gandok sendiri. Udara terasa panas, sehingga Wismaya tidak mengatupkan bajunya Dadanya yang bidang nampak terbuka. Sehelai kipas bambu dikibaskannya tidak henti-hentinya Sasangkalah yang justru berbaring di lineak bambu di kebun belakang. Di luar sadarnya, Sasangka memandangi pintu butulan yang terbuka menuju ke longkangan samping yang menjadi asri setelah Rembana menggarap longkangan itu menjadi semacam taman yang tidak terlalu luas. Ebook by Dewi Kangzusi 519 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Dalam kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berada di serambi terbuka di longkangan itu sambil membatik. Seperti ibunya, Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang pembatik yang telaten. Batikannya berkesan halus dan eermat, dengan isen-isenan yang rumit dan lembut. Di udara yang terasa panas itu, Raden Madyasta tidak sedang berada di rumah bibinya. Raden Madyasta tidak langsung minta diri kepada bibinya serta kepada Raden Ajeng Rantamsari, tetapi Raden Madyasta hanya berpesan kepada Wismaya dan Sasangka bahwa ia akan pergi ke kadipaten. "Apakah ada yang harus dilaporkan?" bertanya Wismaya. "Tidak" jawab Radon Madyasta "Aku hanya ingin menghadap ayahanda" "Wismaya dan Sasangka tidak lerlalu banyak bertanya. Mereka memandangi anak muda itu keluar dari regol halaman setelah berpesan "Berhati-hatilah, kakang." Sepeninggal Raden Madyasta, Sasangka tidak kembali ke serambi gandok. Tetapi ia langsung pergi ke kebun belnknng. Sementara Wismaya kembali ke serambi gandok Meskipun diantara keduanya tidak nampak ada pertikaian, tetapi keduanya menjadi kurang akrab sejak kematian Rembana Seakan-akan kabut tipis berhembus diantara keduanya Namun karena keduanya sudah ditempa oleh berbagai macam pahit manisnya kehidupan, maka keduanya selalu mengendalikan perasaan mereka. Karena itulah, maka mereka memilih untuk berada ditempat yang berbeda. Pada saat-saat yang kosong, jika mereka berbincang kesana-kemari, pembicaraan mereka akan dapat menyentuh serabut yang paling halus didalam jantung Ebook by Dewi Kangzusi 520 Kang Zusi http://kangzusi.com/ mereka, sehingga akan dapat mengungkit persoalan yang lebih gawat. Silirnya angin membuat mata Sasangka menjadi berat. Sementara dari sela-sela rimbunnya dedaunan, Sasangka melihat matahari telah memanjat sampai ke puncak. Namun ketika diluar kehendaknya mata Sasangka terpejam, ia terkejut mendengar suara Raden Ajeng Rantamsari agak keras "Paman mengejutkan aku." Sasangka masih terbaring di amben bambu di kebun belakang. Tetapi ia berusaha mendengar dengan sungguhsungguh suara Raden Ajeng Rantamsari, yang agaknya berada di serambi terbuka yang menghadap ke taman kecilnya di longkangan. Sebenarnyalah Raden Ajeng Rantamsari terkejul ketika tiba-tiba saja Wicitra sudah berada di taman itu pula. "Maaf Rantamsari. Aku tidak ingin mengejutkanmu." "Silahkan duduk paman. Aku akan memanggil ibu." "Tidak. Itu tidak perlu. Aku tidak ingin berbicara dengan ibumu. Tetapi aku ingin berbicara dengan kau, justru di saat kau sendiri." "Tidak paman. Sebaiknya aku memanggil ibu." "Ibumu mungkin sibuk didapur. Meskipun ada pembantunya, namun biasanya ibumu sendirilah yang menyiapkan makan bagi anak-anak muda yang ada di rumahmu ini." Ebook by Dewi Kangzusi 521 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tetapi aku tidak dapat menerima paman sendiri. Seandainya ibu sibuk, biarlah kesibukannya itu ditinggalkannya lebih dahulu, agar ibu dapat menemui paman." "Dengarlah kata-kataku. Kau tidak perlu menyampaikannya kepada ibumu. Kita dapat berbicara langsung. Kau dan aku." "Tidak" " Ya. Kau tidak akan pergi dari tempat ini " suara Wicitra menjadi kasar. Jantung Raden Ajeng Rantamsari tergetar. Ketika ia memandang waiah pamannya, dadanya berdesir tajam. Ia melihat ketegangan di wajah paniannya itu. "Dengar Rantamsari" berkata Wicitra kemudian "aku daiang untuk menjemputniu." "Menjemput aku" Apa yang paman maksudkan?" "Kau tentu sudah tahu, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan kau dimiliki oleh siapapun. Setelah kau ditolak untuk mengabdikan dirimu, tubuhmu dan jiwamu kepada Kangjeng Adipati Yudapati, maka ibumu telah membawamu kemari. Kau mulai dijajakan disini. Bahkan ibumu mulai menurunkan harga dirimu. Jika semula ibumu menawar seorang Adipati, maka kini ibumu puas dengan membiarkan kau berkasihkasihan dengan Senapati-senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu." "Paman. Paman telah menyinggung perasaanku dan tentu juga ibu." Ebook by Dewi Kangzusi 522 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun Wicitra itu tertawa. Katanya "Kau dan ibumu tidak akan dapat ingkar lagi, Rantamsari. Karena itu, daripada disini kau dijajakan oleh ibumu, sekarang, marilah. Ikut aku. Kau akan menjadi isteriku. Aku akan dapat menuruti semua keinginanmu." "Paman. Aku adalah kemanakan paman sendiri. Paman adalah adik ibuku.. Bagaimana mungkin keinginan paman itu dapat terjadi ?" "Kenapa tidak" Bukankah keinginanku ini tidak segila keinginan ibumu di Kateguhan" Bukankah ibumu ingin kau menjadi isteri saudaramu sendiri" Adipati di Kateguhan" Nah, sekarang kalian harus menanggung akibatnya. Kalian justru diusir dari Kateguhan. Kalian tentu berbohong kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, kenapa kalian telah diusir dari Kateguhan. Kalian tentu telah mengarang sebuah ceritera yang lain." "Cukup. Cukup paman. Sebaiknya paman segera meninggalkan rumah ini." Wicitra tertawa. Katanya "Aku akan pergi bersamamu, Rantamsari. Kau lebih baik menjadi isteri pamanmu daripada menjadi isteri saudaramu sendiri." "Tidak. Itu bohong." "Bertanyalah kepada ibumu, bagaimana ibumu membujuk Kangjeng Adipati Yudapati untuk memperisterimu." "Pergi. Pergi. Aku minta paman segera pergi." "Marilah kita pergi Rantamsari. Kita dapat keluar lewat pintu butulan dan hilang dikebun belakang. Ibumu tidak akan mengetahuinya." Ebook by Dewi Kangzusi 523 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tidak." Ketika Wicitra maju selangkah, Raden Ajeng Rantamsari justru bergeser mundur beberapa langkah. "Rantamsari" berkata Wicitra dengan nada tinggi "jangan menunggu kesabaranku habis. Selama ini aku selalu menahan diri. Tetapi kau tidak pernah terlepas dari perhatianku. Karena itu, marilah. Kita pergi sekarang." "Tidak. Tidak." "Rantamsari. Kesabaran seseorang ada batasnya. Kesabaranku sekarang sudah sampai ke batas itu. Karena itu, marilah. Jangan membantah lagi." "Aku dapat menjerit paman." "Ibumu baru sibuk. Ibumu yang ada didapur tidak akan mendengarnya. Atau" Tiba-tiba saja Wicitra telah menarik kerisnya. Katanya "Jika kau meneoba berteriak, maka aku akan membunuhmu." "Bunuh aku paman. Aku lebih baik mati daripada harus ikut paman." "Jangan berkata.begitu." "Aku bersungguh-sungguh." "Kau bersungguh-sungguh?" "Ya." Ebook by Dewi Kangzusi 524 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Jadi kau memilih mati?" "Ya." "Baik, Rantamsari. Aku lebih senang melihat tubuhmu terkapar mati daripada melihat tubuhmu dimiliki oleh orang lain. Karena itu, jika kau memang benarbenar tidak mau ikut kepadaku, maka aku benar-benar akan membunuhmu." "Itu lebih baik, paman. Bunuh aku." Ujung keris Wicitra memang telah bergetar. Selangkah ia maju sambil berkata "Aku juga bersungguh-sungguh, Rantamsari." "Lakukan, paman. Lakukan" Jantung Wicitra terasa bagaikan berdentangan. Wajahnya menjadi tegang. Matanya menjadi merah. Sebenarnyalah bahwa Wicitra hanya sekedar ingin menakut-nakuti Rantamsari. Tetapi ternyata Rantamsari sama sekali tidak berubah sikap. Ia tetap pada sikapnya. Kecewa dan marah berbaur didalam dadanya. Dengan demikian, maka nalarnyapun menjadi kabur pula. Bahkan akhimya Wicitrapun tidak mampu lagi menimbang keputusan yang diambilnya. "Rantamsari. Jika kau benar-benar menolak, maka aku akan sampai hati membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak mau melihat kau menjadi sisihan orang lain." Wajah Rantamsari menjadi tegang. Ketika ia sempat melihat sekilas wajah Wicitra yang tegang, matanya yang Ebook by Dewi Kangzusi 525 Kang Zusi http://kangzusi.com/ merah serta ujung keris yang bergetar, maka ketakutan yang sangat telah menerpa jantungnya Karena Itu, tanpa menghiraukan akibatnya, seandainya ujung keris ilu menaneap didadanya, Raden Ajeng Rantamsari sudah siap untuk menjerit. Namun sebelum dilakukannya, terdengar pintu butulan berderak menghentak. Sesosok tubuh meloncat masuk ke dalam 1aman itu. Wicitra terkejut. ia bergesei surut. Sementara itu Raden Ajeng Rantamsari segera berlari kebelakang orang yang baru saja memasuki taman. "Tolong aku, kakang Sasangka." "Kau" desis Wicitra "apa kau tidak mempunyai kerja selain menunggui Rantamsari." "Apa yang akan Raden lakukan"- bertanya Sasangka. "Pergilah. Kau tidak usah turut campur. Ini persoalan keluarga" "Tidak. Ini bukan sekedar persoalan keluarga" sahut Raden Ajeng Rantamsari. "Seandainya persoalan ini benar-benar persoalan keluarga, apakah aku akan membiarkan saja Raden membunuh. Aku sudah mendengar apa yang Raden bicarakan dengan Raden Ajeng Rantamsari. Karena itu, aku sudah mengetahui persoalan apa yang sebenarnya terjadi." "Sekarang pergilah. Jangan campuri persoalan kami." Ebook by Dewi Kangzusi 526 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Apakah aku harus membiarkan saja jika terjadi pembunuhan disini. "Jika Rantamsari menuruti keinginanku, aku tentu tidak akan membunuhnya. Aku memang mengancamnya dan menakut-nakutinya Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada Rantamsari, apakah aku harus membunuhnya atau tidak." "Usir orang ini dari taman kakang." "Kau dengar Raden." "Aku tidak peduli." "Radea Kami adalah prajurit yang mendapat tugas untuk melindungi keluarga ini." "Kau harus melindungi mereka dari kejahatan. Pencurian misalnya. Kau harus menjaga agar ayam yang dipelihara kangmbok tidak dicuri orang. Kau juga harus menjaga jemuran di belakang itu." "Raden menghina aku. Aku bertugas untuk melindungi keluarga Raden Ayu Prawirayuda dari gangguan apapun juga. Termasuk yang Raden lakukan sekarang ini." "Aku peringatkan kau sekali lagi." "Aku yang memperingatkan Raden agar Raden segera meninggalkan taman ini." Wicitra menjadi semakin marah. Dengan suara yang bergetar iapun berkata "Jika kau tidak mau meninggalkan taman ini, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu." Ebook by Dewi Kangzusi 527 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak dapat meninggalkan tugasku. Meskipun aku tahu, siapakah Raden ini, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain." Wicitra tidak menunggu lebih lama lagi. Kerisnyapun segera merunduk. Selangkah demi selangkah ia mendekati Sasangka yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. "Minggirlah Raden Ajeng" desis Sasangka Raden Ajeng Rantamsaripun segera bergeser surut. Sementara itu Wicitrapun telah meloncat menyerang Sasangka. Tetapi Sasangka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya mampu mengelakkan serangan itu. Ketika Wicitra siap menyerangnya pula, Sasangka telah menarik kerisnya yang selalu melekat ditubuhnya kapan saja selama ia berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda, apalagi setelah Rembana terbunuh. Sejenak kemudian, pertempuran yang sengit lelah terjadi. Keduanya adalah orang orang yang memiliki ilmu yang linggi, Wicitra yang, merasa terganggu itu menjadi sangat marah. Sedangkan Sasangka merasa bertanggungjawab atas keselamatan keluarga Raden Ayu Prawirayuda, termasuk Raden Ajeng Rantamsari Wicitra memang tidak menduga, bahwa ternyata Sasangka, sebagaimana juga Rembana, memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Serangan serangannya tidak segera dapat mengenai sasarannya, Kerisnya yang terayun-ayun mengerikan tidak segera mampu menyentuh tubuh Sasangka. Ebook by Dewi Kangzusi 528 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Sebaliknya Sasangkapun tidak mudah menggapai lawannya. Sasangka yang berloncatan sambil memutar kerisnya, tidak segera mampu mengenai Wicitra yang bertempur dengan tangkasnya Raden Ajeng Rantamsari berdiri di serambi dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak segera tahu, siapakah yang akan meme-nangkan pertempuran itu. Ia hanya melihat Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kedua orang itu saling mendesak. Sekali-sekali Sasangka harus bergeser surut. Namun kemudian Wicitralah yang harus mengambil jarak. Namun Wicitra mengumpat kasar ketika ujung keris Sasangka sempat menyentuh lengannya. Tidak terlalu dalam. Tetapi dibawah bajunya yang terkoyak, darah mulai mengembun di lukanya "Gila kau anak muda" geram Wicitra "aku akan membunuhmu." Sasangka ndak menjawab. Namun ketika Wicitra meningkatkan ilmunya, Sasangkapun berusaha untuk mengimbanginya Namun hentakkan ilmu itu sempat mendesak Sasangka. Bahkan ujung keris Wicitra sempat tergores di bahu Sasangka Sasangka bergeser surut sambil menggeram. Ketika tangannya meraba bahunya terasa eairan yang hangat membasahi telapak tangannya "Kau akan mati" geram Wicitra Sasangka tidak menjawab. Tetapi ia meloncat menyerangnya dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ebook by Dewi Kangzusi 529 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Wicitra terdesak surut. Sasangka berusaha untuk menekan Wicitra sampai ke sudut longkangan. Namun tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti ketika mereka mendengar suara Raden Ayu Prawirayuda "Apa yang terjadi disini, Rantamsari?" Raden Ajeng Rantamsari berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri di depan pintu serambi. Raden Ajeng Rantamsaripun segera berlari serta memeluk ibunya sambil menangis. "Paman, ibu." "Kenapa dengan pamanmu?" "Paman memaksa aku pergi bersamanya, ibu." "Kau lakukan itu Wicitra ?" Wicitra berdiri termangu-mangu. Nafasnya terasa bekejaran di hidungnya. Dengan nada datar ia berkata " Ya. Aku ingin membawa Rantamsari keluar dari kubangan ini." "Kubangan " Apa yang kau maksud ?" "Rumah ini tidak pantas menjadi lempat imggal Rantamsari. Seorang gadis yang seharusnya menjadi gadis terhormat. Kangmbok sudah menjajakan Rantamsari disini dengan harga yang sangat murah." "Kau tahu bahwa kata-katamu itu melukai hatiku, Wicitra ?" Ebook by Dewi Kangzusi 530 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Wicitra tertawa katanya "Kangmbok sudah melukai hatiku lebih dari seribu kali." "Itu karena pokalmu sendiri." "Tidak. Tetapi aku justru ingin menghentikan tingkah laku kangmbok yang tidak terkendali itu. Seharusnya kangmbok menjaga nama-anak gadisnya dengan baik. Tetapi kangmbok justru sebaliknya. Kangmbok sama sekali tidak menghargai nama anak gadisnya." "Kau masih juga mengigau seperti itu, Wicitra. Kau kira apa yang kau katakan itu dipercaya orang." "Percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku, kangmbok. Aku hanya ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kateguhan dan disini." "Cukup. Pergilah. Kau tahu, bahwa kau harus pergi." Wajah Wicitra menjadi semakin tegang. Sementara itu Raden Ayu Prawfirayudapun berkata " Usir orang itu pergi, ngger." Sasangka memandang Raden Ayu Prawirayuda sejenak. Namun kemudian dipandanginya Wicitra sambil berkata "Kau dengar, Raden. Kau harus pergi dari tempat ini." "Kau kira kau akan dapat mengusirku ?" "Jika aku tidak dapat mengusir Raden, maka aku akan membunuh Raden." "Kau akan membunuh aku sebagaimana kau membunuh kawanmu sendiri, Rembana, karena kau juga menginginkan Rantamsari." Ebook by Dewi Kangzusi 531 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Darah Sasangka tersirap. Dengan bibir yang gemetar Sasangka menjawab " Raden jangan mengada-ada. Pergi atau aku akan membunuhmu." Wicitra tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap Sasangka dengan kasar. Tetapi Sasangka masih sempat mengelak. Bahkan kerisnya terjulur dengan cepat pula, justru sempat menggapai pundak Wicitra. Wicitra terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Sasangka mampu bergerak secepat itu. Dengan demikian, maka Wicitrapun meloncat mundur. Namun Sasangka tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat Sasangkapun memburunya dengan keris yang bergetar. Ketika keris Sasangka terayun mendatar menebas kearah dada, Wicitra yang belum siap benar, menangkis serangan itu. Demikian derasnya ayunan keris Sasangka, maka dalam benturan senjata yang terjadi, terasa tangan Wicitra menjadi pedih. Sementara itu Sasangka telah menjulurkan kerisnya pula mengarah ke lambung. Sebelum tangannya mapan, Wicitra harus menangkis serangan Sasangka. Sementara itu Sasangka telah memutar kerisnya, seakan-akan membelit keris Wicitra. Tangan Wicitra yang masih terasa pedih, tidak mampu menahan putaran keris Sasangka, sehingga keris Wicitra itu lepas dari tangannya. Ebook by Dewi Kangzusi 532 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Pada saat itu, terbuka kesempatan bagi Sasangka untuk meloncat menyerang pada saat Wicitra tidak sedang memegang senjata. Namun terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda "Angger Sasangka." Sasangka yang sudah hampir meloncat menikam dada Wicitra harus menahan diri. "Wicitra" berkata Raden Ayu Prawirayuda " kau sadar, bahwa kau lidak dapal berbuat banyak disini. Pergilah. Ambil kerismu atau aku biarkan Senapati muda ini membunuhmu." Kemarahan Wicitra rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. "Ambil kerismu dan pergi dari rumah ini" berkata Raden Ayu Prawirayuda pula. Wicitra itupun kemudian telah memungut kerisnya. Namun kemudian ia melangkah surut sambil berkata "Kangmbok jangan mengira bahwa aku telah dikalahkannya. Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhnya, membunuh Senapati yang seorang lagi serta membunuh Madyasta. Tidak akan ada lagi orang yang dapat menahanku untuk mengambil Rantamsari." Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Dipandan-ginya Wicitra yang bergeser surut kearah pintu butulan. "Kau jangan berbangga dengan kemenangan kecil ini " berkata Wicitra kepada Sasangka " kemenangan yang sebenarnva, akan diientukan pada bagian terakhir pertempuran diantara kita berdua." Ebook by Dewi Kangzusi 533 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku akan menunggu, Raden" geram Sasangka. Jika saja Raden Ayu Prawirayuda tidak meneegahnya, maka ia akan benar-benar berusaha membunuh Wicitra. Sejenak kemudian, maka Wicitrapun segera meninggalkan taman kecil itu. "Terima kasih, ngger" berkata Raden Ayu Prawirayuda kemudian "Untunglah bahwa angger Sasangka melihat peristiwa ini dan sempat menolong Rantamsari. Aku berada di dapur. Semula aku benar-benar tidak mendengar sesuatu terjadi disini. Baru kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara teriakan Rantamsari" "Itu sudah menjadi kewajibanku, Raden Ayu. Aku berada disini untuk menjaga keselamatan keluarga ini." "Kenapa pendengaranku sudah menjadi semakin buruk. Aku berada di dapur.Seharusnya aku mendengarnya sejak semula." "Jaraknya memang agak jauh, Raden Ayu. Ada beberapa sekat di ruang dalam, sehingga orang yang berada di dapur, tidak dapat mendengar keributan yang terjadi disini." "Bagaimanapun juga Wicitra adalah adikku, sehingga aku tidak dapat membiarkannya terbunuh. Tetapi jika sekali lagi ia datang mengganggu Rantamsari, apaboleh buat." . . "Raden Wicitra tidak akan datang lagi, Raden Ayu." "Tetapi apakah angger Madyasta belum datang ?" "Aku kira belum, Raden Ayu." "Angger Wismaya ?" Ebook by Dewi Kangzusi 534 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tadi Wismaya berada di gandok. Keributan disini memang tidak terdengar dari gandok seperti juga tidak terdengar dari dapur." "Aku minta agar angger Wismaya dan angger Madyasta diberitahu tentang peristiwa ini. Biarlah mereka menjadi lebih berhati-hati." "Tetapi dapatkah kita menghubungkan sikap Raden Wicitra ini dengan kematiaivRembana, Raden Ayu ?" Raden Ayu Prawirayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Raden Ayu itupun berkata " Aku belum dapat mengatakan apa-apa, ngger. Akupun tidak mau mendengar tuduhannya terhadap angger Sasangka, bahwa justru angger Sasangkalah yang dikatakan membunuh angger Rembana. Tetapi memang mungkin sekali ia berusaha untuk menghapus jejak dan melemparkan tuduhan kepada oranglain." Sasangka terdiam. Ia memang mendengar Wicitra justru menuduhnya telah membunuh Rembana. Dalam pada itu, Raden Ayupun kemudian berkata kepada Rantamsari " Masuklah Rantamsari." Rantamsari menarik nafas panjang. Dipandanginya Sasangka yang masih berdiri tegak dihadapaimya. Sasangka sudah cukup lama berada di rumahnya. Tetapi Rantamsari tidak pernah memperhatikannya dengan sungguh sungguh. Baru saat itu ia seakan-akan melihat Sasangka seutuhnya. Ebook by Dewi Kangzusi 535 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Sejak para Senapati bersama Raden Madyasta berada di rumahnya, perhatiannya langsung tertuju kepada Rembana, sehingga ia tidak memperhatikan para Senapati yang lain. Hampir diluar sadarnya, Raden Ajeng Rantamsari itupun berdesis " Terima kasih, kakang. Jika kau tidak datang menolongku, aku tidak, tahu apa yang akan terjadi. Mungkin aku telah diseret oleh paman Wicitra ketempat yang tidak diketahui. Tetapi mungkin aku benar-benar telah dibunuhnya." "Aku hanya menjalankan kewajiban Raden Ajeng." Raden Ajeng Rantamsari mengangguk kecil Namun kemudian iapun berpaling kepada ibunya sambil berkata "Ibu, aku benahi dahulu kain yang sedang aku batik itu." "Baiklah" berkata ibunya "seterusnya kau batik kainmu di longkangan sebelah dapur. Tempatnya lebih rapat. Ibupun akan mendengar jika pamanmu datang lagi." "Ya, ibu." Demikian Raden Ayu Prawirayuda masuk, Raden Ajeng Rantamsari segera memadamkan bara di anglo kecil yang dipergunakannya untuk memanasi malam yang dipergunakannya untuk membatik. "Raden Ajeng" berkata Sasangka "biarlah aku berjaga-jaga di luar longkangan." "Jangan pergi, kakang. Tunggulah sampai aku selesai. Aku menjadi ketakutan sendiri meskipun di longkangan dan disiang hari pula. Paman Wicitra akan dapat benar-benar datang lagi. Jika paman datang lagi, mungkin paman akan benar-benar membunuhku." Ebook by Dewi Kangzusi 536 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Sasangka menarik nafas panjang. Ia tidak dapat meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari yang ketakutan. Adalah diluar sadarnya ketika Sasangka kemudian memperhatikan gadis yang sedang sibuk mengemasi kain serta peralatan batiknya. Adalah diluar sadarnya pula bahwa Sasangka berkata kepada dirinya sendiri dalam hatinya " Gadis itu memang cantik." Sasangka terkejut ketika Raden Ajeng Rantamsari berkata "Terima kasih, kakang. Aku akan membatik di longkangan dalam, di sebelah dapur." " O, silahkan. Silahkan Raden Ajeng." Raden Ajeng Rantamsaripun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam sambil menjinjing gawangan dan kain yang sedang dibatiknya serta peralatannya yang lain. Sasangka menarik nafas dalam-dalam. Taman kecil itupun menjadi sepi kembali. Beberapa gerumbul perdu yang tertata rapi, berantakan terinjak-injak kaki mereka yang bertengkar. "Biarlah besok aku benahi setelah Raden Madyasta melihat keadaan ini " berkata Sasangka didalam hatinya. Sasangkapun kemudian meninggalkan taman kecil di longkangan itu. Ia tidak kembali ke kebun belakang untuk bebaring di lineak bambu yang dibuat oleh Wismaya. Tetapi Sasangka itupun pergi ke serambi gandok untuk menemui Wismaya. Bab 23 - Kekecewaan Adipati Ebook by Dewi Kangzusi 537 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kau tidak mendengar keributan yang terjadi di longkangan tadi ?" "Apa yang terjadi ?" Sasangkapun kemudian telah menceriterakan apa yang terjadi di taman kecil itu. "Kau terluka Sasangka " berkata Wismaya kemudian. "Tidak seberapa.""Tetapi luka itu harus diobati. Biarlah aku bantu kau mengobatinya." Wismayapun kemudian mengobati luka Sasangka. Meskipun luka itu tidak parah, tetapi jika tidak mendapat pengobatan yang baik, luka itu akan dapat membengkak dan menjadi berbahaya. "Beristirahatlah. Biarlah aku mengawasi keadaan " berkata Wismaya. Sasangka mengangguk kecil. Iapun kemudian masuk ke dalam biliknya dan kemudian membaringkan dirinya. Udara di bilik itu tidak sesejuk di halaman belakang. Silirnya angin tidak terasa. Bahkan udara di bilik itu terasa panas. Sehingga karena itu, Sasangka tidak menjadi mengantuk seperti saat ia berbaring di lineak bambu di halaman belakang. Namun dengan demikian, angan-angan Sasangka sempat berterbangan kian kemari dan hinggap di tempat-tempat yang Ebook by Dewi Kangzusi 538 Kang Zusi http://kangzusi.com/ memancarkan keeeriaan sebagaimana sebuah mimpi yang indah. Wismayalah yang kemudian pergi ke halaman belakang. Seperti Sasangka, Wismayapun berbaring di amben bambu yang telah dibuatnya. Tetapi Wismaya menjaga agar ia tidak tertidur oleh sejuknya bayangan dedaunan yang rimbun serta semilirnya angin yang menerpa tubuhnya. "Kemana saja perginya Raden Madyasta ini?" bertanya Wismaya kepada dirinya sendiri "Apakah Raden Madyasta akan berada di dalem kadipaten sehari penuh ?" Namun agaknya Raden Ayu Prawirayuda tidak sabar menunggu Raden Madyasta kembali. Raden Ayu Prawirayuda telah mereneanakan untuk pergi menghadap Kangjeng Adipati Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Prangkusuma untuk melaporkan tentang sikap dan tingkah laku adik laki-lakinya. "Kenapa kita harus memberitahukan kepada paman Adipati?" bertanya Raden Ajeng Rantamsari "aku akan menjadi malu sekali, ibu. Bukankah persoalan ini adalah persoalan kita sehingga sama sekali tidak menyangkut paman Adipati Prangkusuma ?" "Rantamsari. Apa yang dieelotehkan pamanmu agaknya didengar pula oleh angger Sasangka. Sehingga lambat laun pamanmu Adipati juga akan mendengarnya. Mungkin lewat angger Madyasta yang akan mendapat laporan dari Sasangka. Karena itu, maka biarlah pamanmu mendengar langsung dari mulut kita sendiri. Selebihnya, kita sekarang berada di Paranganom. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita melaporkannya kepada pamanmu Adipati, sehingga jika terjadi sesuatu, kita tidak akan dianggap bersalah karena kita seakanakan telah menyembunyikan sesuatu." Ebook by Dewi Kangzusi 539 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Rantamsari tidak menjawab. Ia menurut saja apa yang dikatakan oleh Ibunya. "Kita akan mengajak angger Wismaya untuk me-ngantar kita pergi ke kadipaten" berkata Raden Ayu Prawirayuda. "Kenapa tidak kakang Sasangka saja ibu. Bukankah kakang Sasangka yang langsung terlibat dalam persoalan ini " Seandainya paman Adipati memerlukan beberapa keterangan, maka kakang Sasangka akan dapat membantu kita." Raden Ayu Prawirayuda merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata "Baiklah, Rantamsari. Kita akan minta Sasangka mengantar kita ke kadipaten." "Kapan kita pergi menghadap paman Adipati ibu ?" "Nanti, disore hari, setelah matahari turun, sehingga kita tidak kepanasan di jalan." "Aku akan memberitahu kakang Sasangka." "Biarlah aku saja yang berbicara dengan Sasangka, Rantamsari. Ia akan merasa lebih dihargai jika bukan anak-anak yang memberikan perintah kepadanya." "Bukankah aku tidak akan memberikan perintah ?" "Sudahlah. Biarlah aku saja yang mengatakannya kepadanya." Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis "Baik, ibu." Ebook by Dewi Kangzusi 540 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Dalam pada itu, ketika terjadi keributan di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Raden Madyasta memang sedang meninggalkan rumah itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta tidak pergi ke kadipaten. Tetapi Raden Madyasta justru pergi ke Panjer. Karena itu, Raden Madyasta berangkat ketika matahari belum memanjat terlalu tinggi. Kudanya dilarikannya seperti dikejar hantu. Raden Madyasta harus sudah berada di rumah bibinya lagi sebelum senja. Ternyata hari itu bukan untuk pertama kalinya Raden Madyasta pergi ke kademangan Panjer. Agaknya Raden Madyasta tidak dapat melupakan perjumpaannya dengan gadis Panjer, anak Ki Demang Rara Menur. Ketika Raden Madyasta sampai di kademangan Panjer, rumah Ki Demang nampak sepi. Tetapi Raden Madyasta mendengar suara orang menumbuk padi. Sebagaimana kebiasaannya, meskipun Rara Menur anak seorang Demang, tetapi ia sering berada didekat lumbung menumbuk padi. Meskipun ada pembantu yang dapat melakukannya, tetapi Rara Menur sering melakukannya sendiri. Karena itu, setelah mengikat kudanya di sebelah pendapa, maka Raden Madyasta itupun langsung pergi lewat halaman samping, menuju ke lumbung. Sebenarnyalah ia melihat Rara Menur sedang menumbuk pagi. Karena itu, maka Raden Madyasta sengaja mendekatinya dengan diam-diam. Ebook by Dewi Kangzusi 541 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Demikian Raden Madyasta melingkari sudut lumbung dan berdiri di belakang Rara Menur, Raden Madyastapun berkata "Apakah aku dapat membantu, Menur." Rara Menur terkejut sehingga bergeser setapak. Ketika ia berpaling, maka sebelah tangannya menekan dadanya. Nafasnya tiba-tiba mengalir semakin cepat. "Raden mengejutkan aku. Jantungku hampir saja copot." Raden Madyasta tersenyum. Katanya - Begitu mudahnya jantungmu copot" Apakah tangkainya terbuat dari anyaman daun pisang." "Ah. Raden. Silahkan duduk di pringgitan Raden." "Tidak ada orang di pendapa. Apakahg Ki Demang pergi" "Ya Raden. Tetapi tentu sudah hampir pulang. Ayah pergi ke bendungan, melihat orang-orang yang sedang gugur gunung. Bendungan itu bocor. Sebelum kebocoran itu merambat semakin besar, maka orang-orang padukuhan induk ini bersama-sama dengan orang-orang padukuhan terdekat lain-nya, pergi beramai-ramai memperbaikinya." Raden Madyasta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Menurpun berkata pula "Silahkan Raden duduk di pringgitan. Ayah tidak akan lama lagi." "Aku lebih senang duduk disini sambil menunggu Ki Demang, Menur." "Tetapi Raden mengganggu aku." "Jika aku ingin membantu, kau selalu berkeberatan." "Tentu aku berkeberatan." Ebook by Dewi Kangzusi 542 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kalau begitu, teruskan saja. Aku berjanji tidak akan mengganggumu." "Raden aneh - desis Rara Menur. Bahkan kemudian diletakkannya penumbuk padinya. Sambil duduk disebuah amben panjang yang berada di emperan lumbung, Rara menur berkata "Seharusnya Raden duduk di pringgitan." Raden Madyasta termangu-mangu sejenak, Namun kemudian iapun berkata sambil melangkah dan bahkan duduk di amben itu pula "Daripada duduk di pringgitan sendiri, aku lebih senang duduk disini bersamamu Menur." "Ah Raden." "Udara disini terasa lebih sejuk. Bayangan dedaunan yang rimbun, angin yang mengalir menggoyang ranting-ranting kecil." Rara Menur menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba Rara Menur itu bertanya "Kenapa Raden sering datang kemari?" Raden Madyasta mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab " Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu, Menur. Kenapa aku sering datang kemari. Seandainya kau tidak tinggal disini, tentu aku tidak akan pernah datang kemari lagi setelah kami berhasil menghancurkan gerombolan brandal itu." "Aku bersungguh-sungguh Raden." Raden Madyasta menarik nafas panjang. Katanya "Apakah kau masih ragu-ragu, Menur." Ebook by Dewi Kangzusi 543 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak ragu-ragu terhadap pernyataan Raden. Aku tidak ragu-ragu atas cinta Raden kepadaku. Akupun tidak ragu-ragu mencintai Raden. Tetapi bukankah kita tidak hanya hidup berdua diluasnya dataran bumi ini." "Menur. Apa maksudmu?" "Raden. Disamping kepercayaanku terhadap kesungguhan cinta Raden, namun aku juga selalu bertanya, siapakah aku ini. Siapa pula Raden Madyasta." "Kau akan berbicara tentang derajad, Menur?" "Kita tidak dapat menanggalkan derajat kita masingmasing Raden. Aku tidak lebih adalah anak seorang Demang. Sedangkan Raden adalah putera seorang Adipati." "Apakah ada bedanya?". "Tataran dalam tatanan masyarakat tidak dapat kita ingkari, Raden. Hampir setiap orang yang ingin mengambil menantu selalu berbicara tentang bobot, bibit dan bebet. Raden tahu, siapakah aku jika dinilai dari bobot, bibit dan bebet itu." "Kau nampaknya benar-benar bersungguh-sungguh Menur." "Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku bersungguh-sungguh?" Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam. Katanya Pendekar Seribu Diri 7 Satria Gendeng 01 Tabib Sakti Pulau Dedemit Tusuk Kondai Pusaka 1