Tanah Warisan 2
Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 2 serta para pemimpin Kademangan yang lain telah bergeser menepi. "Kesempatan pertama akan diberikan kepada anak-anak muda," berkata Temunggul sambil memandang berkeliling. Bramanti bergeser setapak. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya di belakang seoorang laki-laki tua di depannya. "Kalau seseorang mampu mengalahkannya, maka pencalonan ini akan gugur." Temunggul berhenti sejenak, kemudian, "Untuk menilai kemampuannya sebelum ada di antara kalian yang ingin mencobanya, maka akan diberikan kesempatan kepada keduanya untuk menunjukkan sampai tingkat manakah kemampuan mereka." Suasana menjadi hening. Sementara itu Temunggul menganggukkan kepalanya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya sambil bertanya, "Bukan begitu?" Ki demang dan Ki Jagabaya menganggukkan kepala mereka. "Ya, begitulah," jawab Ki Jagabaya dengan suaranya yang bernada rendah. "Nah, marilah kita mulai." Kesempatan pertama diberikan kepada Panjang. Dan agak ragu-ragu ia melangkah ke pusat arena sambil menjinjing sepucuk tombak pendek. Dengan tombak itulah ia akan memamerkan keprigelannya bermain senjata. "Mulailah," berkata Temunggul yang berdiri tidak begitu jauh dari padanya. Panjang mengangguk. Kemudian mulailah ia mempersiapkan dirinya. Kakinya kini merenggang, kemudian kedua tangannya menggenggam tangkai tombaknya. Sejenak kemudian ia telah mulai berloncatan sambil memutar tombaknya. Sekali-kali ia memantukkan ujung tombak itu, kemudian mengayunkannya mendatar. Kakinya meloncat dengan lincahnya. Sekali-kali ke depan. Kemudian mundur setengah langkah, namun tiba-tiba tubuhnya seakan-akan meluncur maju dengan cepatnya sambil menusukkan ujung tombak pendeknya. 32 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Tepuk tangan dan berteriak-teriak tidak menentu sambil melontar-lontarkan baju mereka ke udara. "BAGUS," berkata Temunggul. "Kalian dapat menilai, apakah ada di antaranya yang masih merasa perlu meyakinkan keprigelannya. Tetapi sebelumnya marilah kita memberikan kesempatan kepada Suwela." Suwela kemudian melangkah maju. Berbeda dengan Panjang yang masih dibayangi oleh keragu-raguan, maka Suwela melangkah ke tengah-tengah arena dengan kepala tengadah. Sambil tersenyum-senyum di gerak-gerakkannya sepasang pedang di tangannya. "Kau mendapat kesempatan itu," berkata Temunggul, "Nah, mulailah." Suwela segera mulai dengan permainannya. Mula-mula ia melenting tinggi sambil menyilangkan pedangnya. Kemudian demikian kakinya menyentuh tanah, maka sepasang pedangnya telah berputar seperti sepasang sayap yang menggelepar sebelah menyebelah. Dengan tangkasnya Suwela meloncat ke berbagai arah. Kemudian melenting beberapa kali. Pada saat terakhir dijatuhkannya dirinya, berguling beberapa kali, dan dengan gerak yang manis sekali ia meloncat berdiri di atas kedua kakinya. Tepuk tangan dan sorak-sorai kecil bagaikan meruntuhkan langit. Sehingga untuk sejenak Suwela masih tetap berada di tengah-tengah arena sambil menganggukangguk ke segala arah. "Kesempatan itu telah datang," berkata Temunggul. "Ayo, siapa yang merasa bahwa kedua calon ini masih belum pada saatnya menjadi anggota pengawal." Untuk sesaat arena itu menjadi sepi. Beberapa anak-anak muda saling berpandangan. Tetapi belum seorangpun yang melangkah kakinya masuk ke dalam arena. "Ayo," berkata Temunggul pula. "Siapa" Setidak-tidaknya kita akan tahu, sampai di mana kemampuan kedua calon ini, sebelum mereka ditetapkan menjadi anggota pengawal." Sejenak anak-anak muda Kademangan Candi Sari saling berpandangan. Namun masih belum ada seorang pun yang maju ke arena. "Tidak hanya anak-anak muda." Temunggul berteriak lagi, "Siapapun boleh selain mereka yang telah menjadi anggota pengawal." Sejenak arena itu menjadi hening. Baru sejenak kemudian semua mata memandang seseorang yang dengan langkah ragu-ragu memasuki arena. "Nah," berkata Temunggul. "Kau agaknya yang ingin melihat, apakah kedua anakanak muda ini cukup bernilai untuk menjadi anggota pengawal." Orang itu menganggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab. "Aku tidak akan berusaha mengalahkan mereka atau salah seorang daripadanya. Aku tidak akan mampu. Tetapi seperti yang kau katakan Temunggul, setidak-tidaknya kita akan dapat gambaran betapa kekuatan yang tersimpan di Kademangan ini." "Bagus," sahut Temunggul. "Senjata apakah yang akan kau pilih" Rotan, cambuk atau jenis yang lain." "Aku akan memakai rotan." "Baik," berkata Temunggul kemudian. "Siapakah yang akan kau pilih menjadi lawanmu" Suwela atau Panjang?" "Salah seorang daripadanya. Yang manapun juga," jawab orang itu. Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya Suwela yang masih berdiri ditengah-tengah arena. "Kaulah yang masih berdiri disini. Lawanmu akan mempergunakan rotan. Apakah yang akan kau pilih sebagai senjata?" "Akupun akan mempergunakan rotan," sahut Suwela. "Bagus. Bersiaplah kalian." Suwela segera meletakkan pedangnya dan menerima dua potong rotan. Yang sepotong agak panjang, sedang yang lain lebih pendek. Demikian juga orang yang menyatakan dirinya menjajagi kemampuan Suwela itu. Suwela yang segera telah bersiap, tersenyum sambil berkata, "Hem, agaknya kau menaruh minat juga pada permainan ini Jene. Aku memang sudah menyangka." Orang yang bernama Jene itupun tersenyum pula. "Aku hanya ingin bermain-main." 33 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Sementara itu Temunggul yang juga memegang sepotong rotan berkata, "Marilah, permainan segera akan dimulai." Suwela dan Jene pun segera bersiap. Mereka berdiri berhadapan dengan sepasang rotan di kedua tangan masing-masing. Temunggul mengangkat rotan di tangannya. Kemudian berkata, "Kalau aku mengayunkan rotan ini, maka permainan akan segera dimulai. Aku percaya bahwa kalian telah memahami segala macam peraturan dan pantangan di permainan ini." Keduanya mengangguk sambil mempersiapkan diri. Kaki mereka merenggang sedang sepasang rotan masing-masing bersilang di muka dada. Sejenak kemudian rotan di tangan Temunggul mulai bergerak. Dan dalam sekejap rotan itu telah terayun dengan derasnya. Orang-orang yang mengelilingi arena itu mulai menjadi tegang. Mereka melihat Suwela dan Jene mulai berputar-putar sambil menggerakkan tongkat-tongkat rotan mereka. Sekali-kali rotan-rotan itu berputar, kemudian menyilang rendah. Sedang tongkat rotan yang pendek mereka pergunakan sebagai perisai apabila serangan benar-benar datang menyambar. Bramanti yang berdiri di antara penonton menarik nafas dalam-dalam. Suwela menjadi kecewa ketika tidak seorang pun yang bersedia memasuki arena. Dengan demikian ia tidak akan mendapat gambaran sampai berapa jauh kemajuan yang telah dicapai oleh kawan-kawan yang hampir sebayanya. Namun agaknya harapannya itu dapat terpenuhi. DENGAN penuh perhatian ia melihat, betapa kaki Suwela meloncat-loncat dengan lincahnya, sedang Jene bergerak lamban, namun mantap. Seolah-olah kakinya melekat kuat-kuat di atas tanah tanpa tergoyahkan, apabila ia sedang berdiri tegak dengan kaki merenggang. Rotan-rotan itu telah mulai bergerak-gerak. Kadang-kadang berputar di atas kepala, namun kadang-kadang terayun-ayun disisi tubuh. Sejenak kemudian Jenelah yang mulai melancarkan serangan-serangannya yang mantap. Ayunan rotannya menyambar dengan dahsyatnya. Ternyata bahwa anak muda itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Namun lawannya cukup lincah untuk mengimbangi kekuatan itu. Dengan sigapnya Suwela menghindar sambil menyentuh rotan lawannya, sehingga rotan itu menjadi berubah arah. Tetapi Jene segera memperbaiki kesalahannya. Ia bergerak setapak, dan sekali lagi memutar rotannya dan langsung terayun kelambung lawannya. Ia meloncat selangkah surut sambil membungkukkan badannya, sehingga ujung rotan lawannya meluncur beberapa nyari saja dari perutnya. Bramanti yang menyaksikan permainan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, "Mereka mempunyai kemampuan yang cukup. Kalau Jene dan Suwela dapat bermain demikian baik, apalagi Temunggul, Ki Jagabaya dan Ki Demang. Tetapi kenapa tidak seorangpun yang berani berdiri di paling depan untuk melawan Panembahan Sekar Jagat" Apakah rata-rata kemampuan anak-anak Sekar Jagat itu nggegirisi?" Bramanti terkejut ketika ia melihat Suwela terpaksa melontarkan dirinya beberapa langkah surut. Sedang Jene tidak membiarkan kesempatan itu lewat. Dengan loncatan panjang ia memburu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Bahkan ia terdorong surut selangkah ketika tiba-tiba saja, tanpa disadarinya ujung rotan Suwela telah mendorong ikat pinggang kulitnya. "Uh," ia mengeluh pendek. Namun segera ia memperbaiki keadaannya, sehingga ketika Suwela berganti menyerang, Jene berhasil menangkisnya. "Cukup baik," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam di dalam hatinya. "Jene mempunyai kekuatan yang cukup, sedang Suwela adalah seorang anak muda yang lincah. Perkelahian ini pasti memerlukan waktu yang lama sebelum salah seorang dari mereka melemparkan sepasang rotannya." Tetapi sejenak kemudian Bramanti melihat, bahwa betapapun kuatnya Jene, namun kelincahan Suwela setiap kali berhasil mendahului gerak lamban Jene. Meskipun kadang-kadang dalam benturan senjata 34 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Suwela harus mempertahankan rotannya agar tidak terlepas, namun setiap kali rotannya menjadi silang menyilang di wajah kulitnya yang kekuning-kuningan itu. Temunggul yang menunggui permainan itu, mengikutinya dengan tegang. Setiap kali ia menarik nafas, dan bahkan setiap kali ia menyeringai seolah-olah ialah yang dikenai oleh salah satu dari dua pasang rotan yang bergerak berputar-putar itu. Akhirnya Bramanti melihat bahwa Jene pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Saat-saat berikutnya rotan Suwela menjadi lebih sering mengenai tubuh lawannya, sehingga pada suatu saat Jene meloncat jauh-jauh ke belakang sambil melepaskan kedua rotan dari tangannya, "Aku menyerah," katanya. Kata-kata itu disambut oleh ledakan gemuruh dari penonton yang selama ini menahan ketegangan di dalam hatinya. Anak-anak telah melontarkan apa saja yang ada di tangan mereka. Caping, bahkan ikat pinggang. "Suwela menang. Suwela menang," terdengar teriakan gemuruh. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia kini telah melihat betapa sebenarnya anak-anak Candi Sari memiliki kemampuan untuk menyelamatkan Kademangan ini dari tangan pemeras yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat, justru keadaan sedang kisruh. Justru pada saat Pajang harus bertempur melawan Mataram. Saat-saat berikutnya, orang-orang di sekitar arena itu melihat seorang anak muda yang lain masuk pula ke dalam arena. Kini anak muda itu harus berhadapan dengan Panjang. SEPERTI Jene maka anak muda itu tidak dapat melampaui kelincahan Panjang, meskipun ilmu mereka sebenarnya tidak terpaut banyak. Kemenangan Panjang pun disambut dengan gemuruhnya tepuk tangan dan sorak surai. Anak-anak kecil berloncat-loncatan sambil mengacung-acungkan tangan mereka. Dan dengan suara yang melengking-lengking, mereka berteriak-teriak. "Panjang menang, Panjang menang." Selanjutnya ternyata masih ada beberapa orang lain yang ingin melihat, apakah Suwela dan Panjang benar merupakan calon yang paling tepat, dan tidak ada yang menjadi anggota pengawal Kademangan. Tetapi ternyata Suwela dan Panjang mampu mempertahankan pencalonan mereka, sehingga orang yang terakhirpun tidak dapat mengalahkannya. "Kalau masih ada yang ingin mengajukan dirinya untuk melakukan pendadaran, pasti masih akan diterima, tetapi karena Suwela dan Panjang telah lelah, maka untuk adilnya, permainan akan ditunda sampai besok. Nah, apakah masih ada yang ingin mencoba lagi?" Tidak seorangpun yang menyatakan dirinya. Beberapa kali Temenggul mengulanginya, namun agaknya memang sudah tidak ada seorang pun yang akan melakukannya. Temunggul mengedarkan pandangan matanya berkeliling untuk melihat apabila ada satu dua orang yang ingin menyatakan dirinya. Tetapi ia tidak melihatnya. Namun tiba-tiba tatapan matanya itu berhenti pada seseorang yang justru mencoba menyembunyikan dirinya di antara para penonton. Sejenak Temunggul berdiam diri. Namun kemudian ia tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekat. Semua mata mengikutinya dengan pertanyaan di dalam hati. Bahkan Ki Jagabaya yang duduk di antara para pemimpin Kademangan yang lain, bergeser sambil bergumam, "Apa yang akan dilakukan anak itu?" Tidak seorang pun yang menyahut, karena memang tidak ada seorang pun yang mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Temunggul. "Kemarilah," tiba-tiba Temunggul berkata lantang, "Ayo, kemarilah." Sejenak tidak ada jawaban. Karena itu, sekali lagi Temunggul berkata, "Bramanti, kemarilah." Dada Bramanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. "Suwela," berkata Temunggul. "Kau masih mempunyai seorang lawan." Kemudian kepada Bramanti ia berkata, "Nah, Bramanti. Untuk menjadi seorang laki-laki. Nah, cobalah turun ke arena. Apakah kau juga 35 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan seorang laki-laki yang pantas berada di dalam lingkungan permainan kami seperti semasa kanak-kanak." Bramanti masih belum beranjak dari tempatnya. "He, kenapa kau diam saja" Kemarilah." Bramanti masih diam. Temunggul menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, "Kau harus jadi seorang laki-laki. Kalau kau tidak mau datang kemari, maka kau akan aku tarik. Ternyata Temunggul tidak hanya menakut-nakuti. Selangkah demi selangkah ia mendekatinya. Bramanti tidak mempunyai pilihan lain, kecuali memenuhi permintaan itu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melangkah memasuki arena. "Nah, begitulah anak laki-laki," teriak Temunggul yang kemudian kepada segenap penonton ia berteriak. "He, tataplah anak muda yang perkasa ini. Inilah putera paman Pruwita. Ia pasti mempunyai kemampuan seperti ayahnya. Karena itu, marilah, kau harus melakukan penjajagan juga atas kedua calon ini." Bramanti menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak akan melakukannya Temunggul. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku sudah yakin bahwa Suwela dan Panjang mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi anggota pengawal Kademangan." Temunggul tertawa. Katanya, "Ayolah. Bersikaplah sebagai seorang anak laki-laki. Apalagi putera paman Pruwita yang hampir-hampir tidak terkendali itu. Kau pun, harus menunjukkan bahwa kau adalah seorang laki-laki. "Tetapi aku tidak akan melakukannya." "Karena kau tidak ingin?" ulang Temunggul. "Bukan, bukan. Maksudku, karena aku tidak berani." Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekali lagi Temunggul tertawa. Kemudian ditariknya tangan Bramanti, dan dibawanya anak itu ke tengah-tengah arena. Sambil mengangkat tangan Bramanti Temunggul berkata, "Untuk mendapatkan tempatmu kembali diantara kami, kau harus berani berkelahi dengan cara ini. Menang atau kalah bukan soal. Tetapi sebagai seorang laki-laki kau tidak boleh menjadi gemetar ketakutan." Bramanti tidak segera menjawab. Dadanya sedang diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sementara itu, Temunggul terkejut ketika ia mendengar suara yang bernada berat. "He, siapakah anak itu?" Temunggul berpaling. Dilihatnya Ki Jagabaya berdiri mendekatinya, "Apakah anak itu Bramanti yang pernah kau bawa ke Kademangan?" "Ya Ki Jagabaya," jawab Temunggul. "Akan kau apakan anak itu?" "Aku harap ia berkelahi melawan Suwela atau Panjang." "Apakah itu memang kau kehendaki Bramanti?" BRAMANTI menggelengkan kepalanya, sehingga Ki Jagabaya itupun kemudian membentak. "Kalau begitu, pergi kau. Mau apa kau berada di tengah arena?" Kemudian kepada Temunggul ia berkata, "Tidak ada peraturan yang dapat memaksa seseorang harus bertanding. Lepaskan anak itu." "Tetapi," Temunggul tergagap. "Maksudku, biarlah ia menjadi seorang laki-laki." "Kenapa kau ribut-ribut tentang anak itu. Biar sajalah ia menjadi perempuan atau menjadi banci. Itu bukan persoalanmu." Namun kata-katanya terputus oleh kata-kata Ki Demang, "Biarlah Ki Jagabaya. Anak laki-laki Candi Sari tidak boleh cengeng. Karena itu, biarlah ia merasakan serba sedikit, bahwa anak-anak muda Candi Sari harus berwatak laki-laki." Ki Jagabaya menggeram, tetapi ia tida dapat berbuat apa-apa. Sambil mengumpatumpat ia kembali duduk di tempatnya. Kini kembali Temunggul menengadahkan wajahnya. Di panggilnya Suwela sambil berkata, "Nah, lihatlah, dan ajarilah Bramanti menjadi seorang laki-laki." 36 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Suwelapun menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Temunggul, kemudian wajah Ki Demang yang duduk di tepi arena disamping Ki Jagabaya. Barulah ketika Ki Demang mengangguk kepadanya hatinya menjadi mantap. "Nah Bramanti," berkata Temunggul. "Senjata apakah yang akan kau pergunakan?" Bramanti tidak segera dapat menjawab. Sejenak ditatapnya wajah Temunggul, Suwela, kemudian Ki Demang dan Ki Jagabaya. Menanggapi sikap orang-orang Candi Sari, dada Bramanti serasa sudah tidak dapat menampung lagi. Tetapi setiap kali teringat akan ibunya, maka ia selalu berjuang untuk tetap menguasai perasaannya. Ternyata nama ayahnya yang kurang menguntungkan baginya itu benar-benar telah membawanya ke dalam berbagai kesulitan. Namun ia masih bertahan pada pendiriannya. "Ini adalah salah satu ujud kebaktianku kepada orang tua. Aku harus mencuci nama keluargaku dengan tingkah laku dan perbuatan baik." Kemudian terngiang kembali kata-kata ibunya, "Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu?" Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu. Bramanti itu terkejut ketika ia mendengar Temunggul membentaknya, "He, kenapa kau tidur" Ayo, sebut, senjata apakah yang kau kehendaki." Tetapi Bramanti menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ingin berkelahi, karena aku memang tidak mampu melakukannya. "Persetan," Temunggul menjadi jengkel. "Melawan atau tidak melawan Suwela akan menyerang kau dengan caranya dan bersungguh-sungguh. Aku akan menghitung sampai bilangan kesepuluh. Ayo cepat sebut senjata yang kau kehendaki. Jangan membuat nama ayahmu tercemar. Ayahmu adalah seekor serigala yang disegani di Kademangan ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aku masih ingat, betapa ia seorang yang gagah perkasa. Kenapa kau kini menjadi pengecut dan bahkan banci?" Bramanti tidak dapat menjawab. Karena itu ia terdiam. "Cepat," teriak Temunggul. Ki Jagabaya yang telah beringsut mengurungkan niatnya untuk berdiri, karena Ki Demang mengamiatnya, "Biarlah saja," berkata Ki Demang. Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bramanti akhirnya tidak dapat mengelak lagi. Ketika Temunggul membentaknya sekali lagi ia menjawab, "Kalau aku terpaksa melakukannya, terserahlah kepada Suwela, senjata apakah yang dikehendakinya." "Bagus," sahut Temunggul yang kemudian bertanya kepada Suwela. "Senjata apa yang kau kehendaki?" "Cambuk," sahut Suwela sambil tersenyum. Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum pula. "Bagus. Kalian akan memakai cambuk." "Tidak," tiba-tiba Ki Jagabaya berteriak. "Terlampau berbahaya bagi Bramanti." "Sudahlah Ki Jagabaya," cegah Ki Demang, "Jangan campuri persoalan anak-anak." Ki Jagabaya terdiam. Namun ia masih berkumat-kamit. Sementara itu, Temunggul telah memberikan sebuah cambuk kepada Suwela dan sebuah kepada Bramanti sambil berkata, "Nah, kalian akan segera bertanding sebagai anak lakilaki. Bukan anak-anak cengeng. Karena itu tidak boleh menangis dan berlindung kepada ibu masing-masing." Terdengar suara tertawa tertahan di antara para penonton. Namun karena mereka melihat Temunggul tertawa, akhirnya suara tertawa itu pun meledak. Suara tertawa di seputar arena terasa seperti percikan bara api di telinga Bramanti. Tetapi sekali lagi mencoba menahan hatinya. "Kalau aku membuat kesalahan, aku akan di usir dari Kademangan ini. Aku akan kehilangan tanah kelahiran yang tercinta ini, dan ibupun akan semakin menderita," katanya di dalam hati. Karena itu maka ia telah berjuang untuk mengambil suatu keputusan, bahwa ia tidak akan melawan. Sejenak kemudian maka Temunggul telah melangkah surut sambil berkata, "Aku akan menghitung sampai tiga. Kemudian kalian akan mulai dengan pertandingan itu. Sejenak kemudian terdengar Temunggul mulai menyebut urutan bilangan itu. "Satu, dua, tiga." 37 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan BERBARENG dengan terkatubnya mulut Temunggul, terdengarlah cambuk Suwela meledak sehingga Bramanti terkejut karenanya dan meloncat selangkah surut. Sikap Bramanti itu telah meledakkan tawa sekali lagi di seputar arena. Namun kali ini hati Bramanti tidak lagi menjadi panas, karena justru ia telah menemukan keputusan. "He, jangan lari," desis Suwela sambil melangkah maju, sedang Bramanti terusmenerus bergeser mundur, melingkar dan kemudian meloncat. Suwela tertawa, dibarengi oleh suara tertawa orang-orang yang melihat pertunjukan itu. ?"Aku akan mulai Bramanti," berkata Suwela. "Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan." Bramanti tidak menyahut. Tetapi tangannya menjadi gemetar dan ujung cambuknya diseretnya di atas tanah yang berdebu. Tetapi agaknya Suwela benar-benar akan mulai. Di angkatnya tangkai cambuknya, kemudian sekali lagi menggelepar di udara sambil melontarkan bunyi yang memekakkan telinga. Meskipun ujung cambuk itu belum menyentuh tubuhnya, namun Bramanti telah mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja cambuk itu menggelepar sekali lagi di susul oleh suara keluhan terdengar. Bramanti meloncat beberapa langkah mundur sambil menyeringai kesakitan. Seleret jalur merah telah membekas ditengkuknya. "He anak Pruwita, kenapa kau menangis he?" "Ayo, lawanlah Suwela," teriak yang lain. Bramanti menggigit bibirnya sambil meraba jalur merah ditubuhnya itu. Tetapi Suwela seolah-olah tidak tahu, bahwa Bramanti sedang menyeringai kesakitan. Perlahan-lahan ia melangkah mendekat sambil menggerak-gerakkan tangkai cambuknya. Bramanti menjadi semakin terdesak mundur. Tetapi pada suatu saat ia tidak dapat mundur lagi. Bahkan beberapa anak-anak muda yang berdiri di seputar arena itulah mendorongnya maju. Pada saat Bramanti sedang terhuyung-huyung karena dorongan anak-anak muda di belakangnya sambil menyorakinya, sekali lagi cambuk Suwela meledak. Kini punggung Bramantilah yang merasa disengat oleh ribuan lebah. Tetapi agaknya Suwela masih belum puas. Sesaat kemudian terdengar cambuk itu terdengar Bramanti berteriak kesakitan. Sekali lagi Suwela tertawa terbahak-bahak dibarengi oleh orang-orang yang menonton diseputar arena. "Ayo anak Pruwita. Kalau kau ingin membalas dendam, sekarang adalah saat yang paling baik. Ayah-ayah kami ingin melihat, apakah anak Pruwita mampu berbuat seperti ayahnya." Bramanti mengerutkan tubuhnya sambil merintih kesakitan. Tiba-tiba dilemparkannya cambuknya sambil berkata, "Aku minta ampun." Sekali lagi suara tertawa meledak seolah-olah memanggil bunyi puluhan guruh yang meledak bersama-sama. Anak-anak berteriak-teriak memanggil nama Bramanti, sedang orang-orang tua memalingkan wajahnya sambil meludah ditanah. Inilah anak Pruwita itu. Tetapi agaknya Suwela masih belum puas. Ia meloncat sekali lagi mendekat. Tetapi ketika tangannya terangkat, maka terdengar Ki Jagabaya berteriak, "He, kau gila Suwela. Anak itu sudah melepas senjata." "Ia menjadi takut," desis Temunggul. Namun Ki Jagabaya berteriak lagi, "Menurut ketentuan, apabila salah satu pihak telah melepaskan senjata, itu berarti ia telah mengakui kekalahan. Pertandingan tidak perlu diteruskan. "Tetapi ini bukan penjajakan dalam rangka pendadaran. Kali ini kami ingin mengajari Bramanti untuk menjadi seorang laki-laki. Anak laki-laki Candi Sari. Itu saja." "Tetapi itu sudah keterlaluan. Itu sama sekali bukan mengajari. Yang dilakukan oleh Suwela adala penyiksaan tanpa perikemanusiaan." "Bukan maksud kami Ki Jagabaya," sahut Suwela. "Apa, apa kau bilang" Kau berani membantah he anak manis?" Suwela mengerutkan keningnya. Di pandanginya wajah Ki Demang yang justru tersenyum. Kemudian 38 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan katanya, "Sudahlah Ki Jagabaya. Jangan marah. Tetapi kau benar, bahwa perkelahian harus dihentikan." Lalu katanya kepada Tumenggung, "Sudahlah. Aku berharap bahwa Bramanti akan dapat menjadi seorang anak laki-laki dari Kademangan Candi Sari." "Nah," berkata Temunggul kemudian, "Apakah kau masih bermaksud untuk menjadi anggota pengawal Kademangan ini?" Bramanti tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. "Renungkan apa yang kau lihat hari ini," berkata Temunggul. "Mungkin suatu ketika kau ingin menjadi pengawal seperti Suwela dan Panjang." Kata-kata Temunggul itu disambut oleh suatu tertawa gemuruh. Beberapa anak-anak muda yang lain berteriak-teriak tidak menentu. Sedangkan Bramanti masih saja menundukkan kepalanya. "Pergilah," berkata Temunggul kemudian. Bramanti tidak menunggu Temunggul mengucapkannya untuk kedua kalinya. Dengan tergesa-gesa ia menyeret kakinya tertatih-tatih keluar arena. KETIKA ia telah berada di antara para penonton, ia menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut ketika seorang laki-laki agak kekurus-kurusan menggamitnya. Ketika ia memandanginya wajah laki-laki itu, ia mendengar orang itu bergumam, "Sakit." Bramanti mengangguk, jawabnya, "Ya paman." "Kau masih ingat aku?" Sekali lagi Bramanti mengangguk, "Masih paman." "Aku dulu tidak sekurus sekarang ketika aku menjadi pembantu ayahmu." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sebaiknya kau pulang saja. Anak-anak memang dapat berbuat aneh-aneh terhadapmu." Bramanti mengangguk, "Ya paman. Tetapi aku akan mendengarkan hasil pendadaran kedua anak-anak muda itu." Laki-laki yang tinggi kekurus-kurusan itu mengangguk. Katanya, "Mereka belum akan diterima hari ini. Biasanya masih ada yang harus mereka lakukan." Bramanti tidak menyahut. Kini dilihatnya Temunggul berdiri di tengah arena sambil menengadahkan dadanya. Sejenak kemudian ia berkata, "Pendadaran tingkat pertama telah selesai. Keduanya telah dapat mengatasinya. Untuk seterusnya kami selalu menunggu kawan-kawan yang sedang tumbuh." Temunggul berhenti sejenak, "Dan kamipun akan selalu menunggu kawan kami yang telah lama sekali meninggalkan kampung halaman, Bramanti yang telah menyatakan keinginannya, bahwa pada suatu ketika ia akan dapat diterima menjadi pengawal Kademangan." Ketika Temunggul berhenti sejenak dan tersenyum aneh, maka anak-anak muda yang lain pun bersorak pula. Sedangkan Bramanti berdiri menyudut, dibelakang orangorang lain. Namun orang-orang itupun berpaling kepadanya sambil tersenyum pahit. "Kita akan sampai pada pendadaran tingkat kedua," berkata Temunggul seterusnya, "Tetapi kita tidak akan mempergunakan kuda liar lagi. Kita akan mengambil cara yang bermanfaat bagi kita sekarang ini." Temunggul itu berhenti pula sesaat. Dipandanginya wajah-wajah Suwela dan Panjang yang menegang. "Kalian berdua," berkata Temunggul kemudian, "Diberi kesempatan sepekan lamanya untuk menangkap harimau yang sering mengganggu Kademangan ini. Harimau itu pasti harimau tua yang sudah tidak mampu lagi mencari makanan di hutan-hutan sebelah. Nah, apabila kalian berhasil, maka kalian dengan resmi akan diterima menjadi pengawal Kademangan ini. Kalian boleh membawa senjata apa saja yang kallian kehendaki untuk memburu harimau itu." Temunggul berhenti pula sejenak, lalu, "Tetapi seandainya harimau itu tidak muncul lagi, maka kalian boleh menukarnya dengan harimau yang mana saja. Asal dalam waktu sepekan ini." Suwela dan Panjang saling berpandangan sejenak. Wajah mereka menjadi tegang. Namun kemudian mereka berdua mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Apa kalian sangup melakukannya?" bertanya Temunggul. "Tentu," jawab Suwela. "Aku akan menangkap harimau itu bersama Panjang. Harimau yang manapun 39 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan juga." "Bagus," berkata Temunggul. "Sekarang kita sudah selesai." Maka bubarlah mereka yang mengerumuni arena. Bramantipun dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu,supaya tidak timbul persoalan-persoalan yang lain lagi, yang dapat membuatnya bertambah pening. Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, ibunya telah berdiri di ambang pintu pringgitan. Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan serta merta ia bertanya, "Bukankah tidak terjadi sesuatu atasmu Bramanti?" Bramanti tersenyum. Jawabnya, "Tidak ibu. Aku hanya menonton saja." "Oh," ibunya mendesah. "Syukurlah. Aku selalu dibayangi oleh kecemasan tentang kau. Aku melihat sikap anak-anak yang tidak begitu baik terhadapmu." "Aku berusaha menyesuaikan diri ibu. Aku tidak mendekati mereka. Aku melihatnya dari kejauhan, di antara orang-orang tua, perempuan dan kanak-kanak." Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, "Bagaimana dengan kedua anak-anak muda yang ikut dalam pendadaran itu?" "Suwela dan Panjang, yang kedua-duanya cukup baik untuk menjadi anggota pengawal. "Bramanti berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi justru itulah yang mengherankan. Ternyata disini ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Namun tidak seorangpun yang berani melawan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi ikut serta dalam pergolakan yang terjadi antara Pajang dan Mataram. "O, jangan berbicara tentang itu lagi Bramanti," potong ibunya, "Berbicaralah tentang halaman ini, tentang rumah ini dan tentang Kademangan ini." Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku juga sedang berbicara tentang Kademangan ini ibu. Bukankah masalah Panembahan Sekar Jagat itu juga masalah Kademangan ini, dan masalah Pajang dan Mataram itu juga akan menyangkut langsung Kademangan ini" Apakah kita akan berpangku tangan selagi Mas Ngabehi Loring Pasar berusaha membangun suatu pemerintahan yang akan dapat memperbaharui wajah kerajaan Pajang yang sudah mulai suram karena solah Hadiwijaya yang agak sisip saat terakhir." "Oh," ibunya berdesah. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Tidak seorang pun dari Kademangan ini yang melibatkan diri dalam persoalan yang tidak dimengertinya". "Ya, itulah yang membuat kita semua disini menjadi kerdil." "Bramanti," desis ibunya kemudian. "Sebaiknya kaupun tidak perlu ikut melibatkan diri dalam persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan kita disini." Bramanti tidak menjawab, tetapi sorot matanya membayangkan gejolak hatinya sehingga ibunya berkata, "Kau pasti akan pergi lagi dari rumah ini." Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya lagi berbantah dengan ibunya. Ibunya adalah salah seorang yang pendiriannya dapat lepas dari pendirian kebanyakan orang di Kademangan ini, meskipun ibunya seakan-akan terpencil. "Apakah kau mengerti maksudku Bramanti," bertanya ibunya. Bramanti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya bu. Aku mengerti." "Bagus. Dengan demikian kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini." Bramanti terdiam. "Apapun yang terjadi di dunia di luar dunia kita biarlah itu terjadi. Kita tidak perlu ikut mencampurinya. Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja mengangguk-angguk meskipun dadanya bergolak. Ia merasa bahwa masalah yang di-katakannya itu adalah masalah yang asing bagi ibunya. Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur, maka Bramanti itupun turun pula ke halaman. Pengamatannya yang pendek atas kampung halamannya telah menumbuhkan banyak persoalan di dalam dirinya. Sekali-kali dirabanya jalur-jalur merah di tubuhnya. Untunglah bahwa ibunya tidak melihatnya, sehingga perempuan tua itu tidak mempersoalkannya. "Sampai kapan aku dapat menahan diri menghadapi semua persoalan semacam ini," desisnya. "Pada suatu saat aku tidak akan dapat menahan hati lagi." 40 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Bramanti menjadi cemas sendiri. Apa yang dialaminya benar-benar membuat hatinya terlampau pedih. "Mungkin tidak ada seorang pun yang akan bersedia menerima hinaan serupa ini," katanya kepada diri sendiri, sehingga Bramanti sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu, apakah yang dilakukan itu sudah tepat. "Setiap orang pasti akan mentertawakan aku. Dan apakah memang demikian yang dimaksud oleh guru?" Pertanyaan serupa itu selalu saja mengganggunya. Namun akhirnya diletakkannya alasan yang selalu memperkuat sikapnya. "Tidak setiap orang berada dalam keadaan yang pahit seperti aku. Tidak semua orang mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Agaknya itulah yang membuat aku lain dari orang-orang lain." BRAMANTI menarik nafas dalam-dalam, kemudian diambilnya cangkulnya dan mulailah ia menyiangi tanaman di halaman rumahnya. Ayunan tangannya berhenti ketika ia melihat melalui pintu regol halamannya, beberapa anak-anak muda lewat di jalanan di depan rumahnya. Di antaranya mereka adalah Panjang, anak muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran tingkat pertama. Tetapi Bramanti tidak menegur mereka. Ketika anak-anak muda itu telah lalu, maka kembali ia mengayunkan cangkulnya, sehingga keringatnya membasahi seluruh bagian tubuhnya. Namun demikian, angan-angannya masih saja tersangkut kepada sifat-sifat anakanak muda di Kademangan ini. Mereka ternyata bukan pengecut. Tetapi kenapa mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu pada saat serupa ini" "Menangkap harimau bukan pekerjaan yang mudah," desisnya sambil menggeliat. Kedua tangannya bertelekan ke pinggang. "Tetapi aku kira mereka berdua akan dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Aku akan bergembira sekali apabila aku mendapat kesempatan untuk menyaksikan pergulatan itu." Bramanti tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berdesis, "Aku akan mencoba melihatnya." Agaknya Bramanti benar-benar ingin melihat, bagaimana tandang kedua anak-anak muda itu menghadapi seekor harimau. Karena itu, maka Bramantipun harus tahu benar, apakah benar-benar ada seekor harimau yang sering mendekati dan bahkan memasuki Kademangan mereka. "Harimau itu akan keluar dari sarangnya di malam hari," desisnya. "Dengan demikian, akupun harus keluar di malam hari." Keinginan Bramanti itu benar-benar tidak dapat ditahannya lagi, sehingga ketika malam turun, ia berkata kepada ibunya, "Nanti malam aku akan tidur di luar saja bu." Ibunya mengerutkan keningnya, "Kenapa?" ia bertanya. "Terlalu panas. Aku kira, di luar, dibekas kandang itu, udara tidak sepanas di dalam rumah." "Tetapi......," suara ibunya terputus. "Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin tidur nyenyak dalam udara yang sejuk." Ibunya mengangguk-angguk meskipun ia masih menyimpan beberapa pertanyaan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata, "Terserahlah kepadamu Bramanti." Sebenarnyalah, kemudian Bramanti membawa sehelai tikar dan dibentangkannya di atas setumpuk jerami di bekas kandangnya yang telah diperbaikinya pula. Ternyata udara di dalam kandang itu cukup hangat. Bahkan lebih hangat daripada di dalam rumah yang dikatakannya terlampau panas itu. Tetapi Bramanti sama sekali tidak dapat berbaring dengan tenang. Tidak saja kakinya, tetapi tangannya, dan bahkan telinganya selalu dikerumuni oleh nyamuk yang berdesing-desing. Tetapi Bramanti memang tidak ingin tidur. Ia ingin pergi dengan diam-diam. Ketika malam menjadi semakin larut, Bramanti segera berkemas. Perlahan-lahan ia mendekat bilik ibunya, dan perlahan-lahan ia mengetuk sambil memanggil, "Bu, ibu?" Tetapi tidak ada jawaban. "Ibu sudah tidur," desisnya. Dengan demikian maka ia telah mendapat kesempatan untuk meninggalkan 41 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan kandang itu dengan diam-diam. Sejenak kemudian, maka Bramantipun telah berada di jalan yang menunju ke bulak ke sebelah Kademangannya. Bulak itu langsung menghadap kehutan yang meskipun tidak terlampau lebat, namun masih dihuni oleh berbagai macam binatang buas. "Kalau benar ada harimau tua yang berkeliaran di desa ini," berkata Bramanti di dalam hatinya. "Pasti berasal dari hutan itu." Karena itu, maka Bramanti ingin melihatnya, apakah Suwela dan Panjang juga mencari harimau di daerah itu. Dugaan Bramanti ternyata benar. Ketika ia keluar dari Kademgannya, ia melihat sosok tubuh yang duduk berselimut kain panjang. Dengan demikian, maka Bramantipun segera menyelinap ke dalam rimbunnya dedaunan. Untunglah bahwa ia masih belum terlanjur melangkah keluar pedesaan, sehingga kedua orang yang berselimut kain panjang itu belum melihatnya. Dengan hati-hati sekali, Bramanti menyusur dinding desanya, kemudian meloncat keluar. Sambil merangkak ia menyusup di sela-sela tanaman jagung yang masih muda mendekati kedua sosok tubuh yang sedang duduk itu. Lamat-lamat Bramanti mendengar salah seorang dari mereka berkata, "Sebentar lagi kita berangkat," Ternyata suara itu adalah suara Suwela. "YA," sahut yang lain, "Apakah Temunggul akan datang kemari juga?" "Ya, ia akan ikut bersama kami, meskipun ia hanya sekadar akan melihat." "Agaknya ia tidak percaya, bahwa kami berdua akan sanggup menundukkan harimau itu." "Mungkin, tetapi mungkin juga ia tidak yakin, bahwa kami akan melakukannya. Agar kami tidak curang dengan membawa beberapa orang kawan lagi, maka ia akan mengawasinya." Kemudian mereka pun diam untuk sejenak. Agaknya Panjang tidak cukup sabar menunggu, sehingga sambil berdiri ia berkata, "Kalau ia tidak segera datang, kita akan meninggalkannya. Seharusnya ia mempunyai keberanian cukup untuk menyusul kami." Suwela tidak menjawab, bahkan ia menguap sambil berdesis, "Aku sudah ngantuk. Waktu yang diberikannya hanya sepekan. Apakah sebagian terbesar waktu kita akan habis untuk menunggu, kemudian kami dinyatakan tidak memenuhi syarat." "Itu dia," tiba-tiba Panjang memotong. Suwela mengangkat wajahnya. Di pandanginya sesosok tubuh yang berjalan tergesagesa ke arah kedua anak-anak muda yang kedinginan itu. "Apakah kalian telah siap?" bertanya orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Temunggul. "Tentu," jawab Suwela. "Apakah senjata kalian?" Suwela menunjukkan tangkai pisau belati panjangnya, "Aku membawa dua bilah pisau panjang." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Panjang ia bertanya, "Dan kau?" "Panjang, silakan kalian pergi. Daerah ini adalah daerah jelajah harimau itu sebelum ia memasuki Kademangan untuk mencuri ternak. Bahkan mungkin lambat laun akan menangkap salah seorang dari antara kita." "Apakah kau akan ikut?" bertanya Panjang. Temunggul tidak segera menjawab. Ditatapnya bulak yang panjang di hadapannya. Kemudian sebuah padang ilalang. Di belakang padang yang tidak terlampau luas itu terdapat sebuah hutan yang masih dihuni beberapa jenis binatang buas. Akhirnya perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ikut. Adalah kuwajiban kalian berdua untuk menangkap harimau itu, supaya kalian dapat diterima menjadi pengawal Kademangan." "Lalu, apakah gunanya kami berdua harus menunggumu disini?" "Semula aku agak ragu-ragu melepaskan kalian berdua. Tetapi setelah aku sekarang melihat kelengkapan dari tekadmu, aku tidak ragu-ragu lagi. Aku yakin kalau kalian akan dapat menangkap harimau itu. Sehingga dengan demikian kalian akan dapat menjadi anggota pengawal Kademangan." 42 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Suwela menarik nafas dalam-dalam, "Agaknya kau masih tidak mempercayai kami. Mudah-mudahan sebelum waktunya kami akan dapat membuktikan, bahwa kami benarbenar mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi seorang anggota pengawal. Bahkan tidak akan kalah bernilai dari kawan-kawan kami yang telah lebih dahulu memasukinya." Temunggul mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Baiklah. Kalau begitu, berangkatlah. Malam ini adalah malam yang pertama. Kalian masih mempunyai kesempatan empat malam setelah malam ini." "Ya," jawab Panjang. "Tetapi kami jangan kau siksa dengan caramu seperti malam ini. Waktu kami terbatas akan habis disini, menunggumu tanpa berbuat apa-apa." "Sudah aku katakan, bahwa mula-mula aku ragu-ragu. Tetapi sekarang aku sudah yakin." "Baiklah," berkata Suwela, "Kami akan pergi." Sejenak kemudian, Temunggul melepaskan kedua kawannya itu pergi berburu harimau. Namun pada keduanya sama sekali tidak membayang kecemasan dan keragu-raguan sama sekali, sehingga karena itu maka Temunggulpun tidak ragu-ragu pula untuk melepaskan mereka. Suwela berjalan di depan sambil meraba-raba tangkai sepasang pisau belati panjangnya, sedang Panjang berjalan menjinjing tombaknya di belakang. Agaknya dingin malam telah membuatnya agak terlampau sejuk, sehingga Panjang masih juga berselimut kain panjangnya. KETIKA kedua anak-anak muda itu telah menjadi semakin jauh memasuki gelapnya malam, maka Temunggul pun segera meninggalkan tempat itu pula, kembali ke Kademangan. Tempat itu kembali menjadi sunyi. Sekali-kali terdengar derik jengkerik di rerumputan. Kemudian hilang seakan-akan tertelan oleh gelapnya malam. Bramantipun kemudian bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya. Dengan nada datar ia bergumam perlahan-lahan kepada diri sendiri, "Ternyata Temunggul adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Ia melepaskan kedua anak-anak itu setelah ia yakin, bahwa keduanya akan dapat mengatasi tugasnya, betapapun sulitnya." Bramanti berhenti sejenak, kemudian, "Aku akan melihat, apakah mereka akan berhasil." Bramanti kemudian melangkah, meninggalkan tempatnya. Dari jarak yang cukup, di antara batang-batang jagung, Bramanti berusaha mengikuti kedua anak-anak muda yang sekarang berburu harimau itu. Ternyata keduanya memang cukup berani, sehingga mereka tidak saja menunggu di bulak yang luas itu, tetapi menyongsong harimau itu, begitu ia ke luar dari hutan. Malam yang pertama, ternyata telah mereka lampaui tanpa terjadi sesuatu. Keduanya mengumpat- umpat tidak habis-habisnya. Sambil menggaruk-garuk punggungnya Suwela bertanya, "Aku tidak tahu, pada hari-hari apa harimau itu keluar dari persembunyiannya untuk makan di luar hutan." "Setiap malam kita harus menungguinya di sini," sahut Panjang. "Kalau harimau itu tidak juga keluar?" Panjang menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Mungkin kita harus masuk ke dalam hutan itu. Kitalah yang akan memburunya di kandang sendiri." "Ya. Kita harus menangkap seekor harimau. Di manapun juga." Pada hari yang kedua, mereka berangkat lebih cepat. Mereka tidak perlu lagi menunggu Temunggul. Ketika mereka menganggap bahwa waktunya sudah tiba, mereka pun segera berangkat. Seperti hari yang pertama, Bramanti berhasil mengikuti mereka. Iapun datang lebih awal, supaya ia tidak tertinggal, dan terpaksa mencari keduanya di padang yang luas itu. Juga pada hari yang kedua mereka tidak menemui apa pun juga. Sekali lagi mereka berdua terpaksa mengumpat-umpat. Semalam suntukmereka tidak tidur sambil menahan diri dari gigitan nyamuk hutan. Namun ternyata mereka harus pulang tanpa membawa apapun juga. Demikianlah di hari ketiga, keduanya pergi lagi bersama-sama. Mereka menjadi semakin lesu. Bukan karena mereka tidak mempunyai kekuatan jasmaniah yang cukup untuk bekerja terus-menerus tanpa tidur sekejappun. Namun oleh kekecewaan masing-masing, maka gairah mereka pun telah menjadi 43 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan susut. Dengan segan mereka berjalan menyusur jalan di tengah-tengah bulak langsung ke padang ilalang. Seandainya harimau itu tidak juga ke luar dari hutan, maka mereka berdualah yang akan masuk, dan mencarinya di dalam hutan itu. Mereka tidak peduli, apakah harimau yang dijumpai kemudian adalah harimau yang sering mencuri ternak atau bukan. Mereka tidak mau kehabisan waktu dengan menunggu-nunggu tanpa berbuat sesuatu. Bramanti yang di hari ketiga itupun berhasil pula mengikuti kedua anak-anak muda itu, telah mencoba untuk tidak kehilangan mereka. Dengan hati-hati ia merundukrunduk di antara batang ilalang beberapa langkah dari keduanya. Ditengah-tengah padang itu keduanya berhenti sejenak. Terdengar Panjang berkata, Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Marilah kita tunggu sebentar. Mungkin harimau itu akan ke luar hari ini." "Pendadaran ini tidak terlampau berat untuk menangkap seekor harimau berdua dengan kau, tetapi kesempatan untuk melakukannya hampir tidak ada. Kalau kita berdiri saja di sini, dan harimau itu lewat beberapa puluh langkah di depan kita, kita sudah tidak melihatnya." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Biarlah kita coba. Tetapi kita tidak duduk memeluku lutut. Kita berjalan mondar-mandir. Kemungkinan untuk menjumpai harimau itu akan menjadi lebih banyak. Mungkin kita yang akan mendekatinya, tetapi mungkin juga harimau itu." "Baiklah, marilah kita coba. Tetapi sebelum kita bertemu dengan harimau itu, kita sudah kehabisan nafas." Panjang tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan di antara batang-batang ilalang. Sekali-kali ia berhenti, kemudian kakinya terayun kembali selangkah demi selangkah maju. Beberapa langkah di belakangnya, Suwela berjalan dengan segannya menjinjing sebilah dari sepasang pisau panjangnya. Ditimang-timangnya pisau belati itu seolah-olah hendak mengetahui, apakah pisau belati itupun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. Beberapa kali mereka berjalan mondar-mandir, sehingga Suwela menjadi jemu, dan berkata, "Aku akan duduk saja di sini." Panjang menarik nafas dalam-dalam. "Duduklah," jawabnya. Namun meskipun ia masih berdiri, tetapi ia sudah tidak berjalan mondar-mandir lagi. BRAMANTI yang bersembunyi di balik batang-batang ilalang memperhatikan keduanya dengan hati berdebar-debar. Meksipun keduanya cukup berani, namun mereka sama sekali belum berpengalaman. Mereka hanya mempercayakan diri kepada kemampuan mereka berkelahi, kepada tenaga mereka dan kelincahan mereka. Tetapi mereka belum matang untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya. "Pendadaran untuk menjadi anggota pengawal Kademangan ini cukup berat," berkata Bramanti di dalam hatinya, sementara ia masih duduk sambil menghalau nyamuk yang mengerumuninya. Sejenak Suwela dan Panjang membeku di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Panjang masih saja berdiri menggenggam tombak pendeknya, sedang Suwela kemudian duduk di atas sebongkah batu padas. Malam pun menjadi bertambah malam. Angin yang sejuk mengalir perlahan-lahan mengusap tubuh- tubuh yang sudah mulai basah oleh keringat. Betapa tegangnya mereka menunggu tanpa batas waktu. Bramanti duduk sambil memeluk lututnya. Lambat laun dadanya pun mulai dirayapi oleh kejenuhan. Malam yang sepi, nyamuk dan kantuk telah mengganggunya. Tetapi ia tidak ingin meninggalkan kedua anak-anak muda itu. Keinginannya untuk melihat apa yang terjadi telah memukaunya untuk tetap tinggal di tempatnya. Sejenak kemudian Bramanti mengangkat kepalanya. Ia merasakan bahwa malam ini agak terlampau sepi. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi binatang-binatang hutan. Tidak terdengar salak anjing liar dan pekik kera di pepohonan. Terlampau sepi, bahkan jengkerik dan belalangpun sama sekali tidak berdesik. "Terlampau sunyi," ia bergumam kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, secerah harapan melonjak 44 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan dihatinya. Harapan bahwa apa yang ditunggu-tunggunya akan segera datang. Keinginannya untuk melihat batapa kedua anak-anak muda itu berusaha menangkap seekor harimau, hidup atau mati, akan segera terjadi. Bramanti menjadi berdebar-debar ketika hidungnya yang tajam menjentuh bau yang lain dari bau rerumputan. Semakin lama semakin nyata. "Agaknya harimau itu telah datang," desisnya. Bramanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia masih melihat kedua anak-anak muda itu seolah-olah tidak beranjak dari tempatnya. Panjang masih berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling, sedang Suwela duduk dengan segannya, memandang kekejauhan. "Hem," desah Bramanti di dalam hatinya. "Agaknya mereka tidak mengenal buruan yang akan mereka tangkap." Ketika bau itu menjadi semakin tajam, maka Bramanti menjadi gelisah. Apakah kedua anak-anak muda itu menunggu harimau itu menerkamnya. Tetapi ia menarik nafas ketika melihat Panjang terperanjat. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Suwela sambil berdesis, "Aku melihat batang ilalang bergerak-gerak." "Dimana," bertanya Suwela sambil meloncat berdiri. Panjang menunjuk ke arah ujung ilalang yang bergerak-gerak. "Ya, pasti itulah. Marilah, kita jangan membuang banyak waktu. Kita bunuh saja harimau itu, supaya kita dapat membawanya dengan mudah." "Memang lebih mudah menangkap mati daripada menangkap hidup," sahut Panjang. "Kita memencar," berkata Suwela kemudian. Panjang menganggukkan kepalanya. Tombaknya pun kemudian merunduk seperti ia sendiri membungkukkan ilalang yang bergerak-gerak. Katika gerak ujung ilalang itu berhenti, maka Panjang pun berhenti pula. Meskipun ia telah membulatkan tekadnya untuk menangkap harimau itu, namun ketika tiba-tiba dari sela-sela dedaunan, matanya membentur benda yang bercahaya kebiru-biruan, hatinya berdesir. Darahnya serasa berhenti mengalir. Sorot mata harimau itu telah membuatnya gemetar. Namun sejenak kemudian ia menyadari, bahwa ia tidak boleh membantu. Harimau itu akan dapat menerkamnya dan merobek-robek dagingnya. Karena itu maka ia harus menghadapi setiap kemungkinan. KETIKA Panjang itu menggeser pandangan matanya, maka dilihatnya Suwelapun telah menggenggam sepasang pisau belati panjangnya. Sambil berjingkat ia maju setapak demi setapak. Namun Panjang menjadi heran. Suwela memandang ke arah lain. Ia tidak mengawasi harimau yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang mengerikan. Tetapi Suwela memandang beberapa langkah di belakang harimau itu. "Apakah Suwela masih belum melihat harimau itu?" bertanya Panjang di dalam hatinya. Dan pertanyaan itu menjadi semakin tajam tergores didinding hatinya ketika ia melihat justru Suwela melangkah surut. "Pajang," ia berdesis. "Kau lihat harimau itu?" Panjang mengangguk. Tetapi kini ia tidak berani lagi berpaling ke arah Suwela yang berdiri beberapa langkah daripadanya, "Aku telah melihatnya." "Tetapi kenapa kau masih saja berdiri di situ." "Ia memandang kemari," sahut Panjang dengan suara bergetar, sedang tombaknya telah siap untuk mematuk harimau yang masih saja memandanginya dengan heran. "Harimau itu ada disini," berkata Suwela tergagap. "Kau keliru. Aku sudah melihatnya. Harimau itu ada disini." "He," Suwela terperanjat. Sejenak ia berpaling, hanya sekejap, kemudian matanya kembali melekat ketubuh harimau yang belang itu. "Apakah bukan kau yang keliru. Ia menghadap kemari." "Tidak. Ia menghadap kemari." 45 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Kalau begitu," suara Suwela terputus. Yang terdengar adalah suara harimau itu menggeram. Ketika kemudian terdengar suara harimau yang lain pula, maka barulah mereka sadar, bahwa yang dihadapinya bukan hanya seekor harimau. Tetapi sepasang harimau jantan dan betina. Jantung kedua anak-anak muda itu serba berhenti berdenyut. Adalah diluar perhitungan mereka, bahwa mereka malam itu akan bertemu dengan sepasang harimau di padang ilalang. Betapa besar hati mereka, dan betapa besar hasrat mereka untuk menjadi anggota pengawal, namun ketika mereka berdua harus berhadapan dengan sepasang harimau, ternyata telah membuat hati mereka kecut. Tetapi semuanya telah terlanjur. Harimau itu telah berada di hadapan mereka. Dengan demikian, mereka sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada berkelahi. Mereka seorang-seorang harus melawan harimau itu masing-masing seekor. Ternyata bukan hanya kedua anak-anak muda itulah yang menjadi cemas dan berdebar-debar. Dibalik batang-batang ilalang, Bramantipun menjadi cemas pula. Telinganya telah menangkap suara harimau itu menggeram. Dan iapun segera tahu, bahwa harimau itu tidak hanya seekor, tetapi sepasang. Sementara itu, Panjang dan Suwela sudah tidak dapat menghindar lagi. Seperti berjanji sepasang harimau itu masing-masing memilih lawannya. Dengan mata yang bersinar-sinar dan geram yang menyeramkan kedua ekor harimau itu perlahan-lahan maju mendekati lawan yang mereka pilih. Kedua anak-anak muda itu surut beberapa langkah. Mereka segera menyiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan. MEREKA kemudian melihat dua ekor harimau itu merunduk. Mengibaskan ekornya. Dan sambil meraung panjang, hampir bersamaan waktunya keduanya meloncat menerkam lawan masing-masing. Panjang yang bersenjata tombak, mencoba meloncat menghindari. Kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan tombaknya mematuk punggung harimau yang tidak berhasil menjangkau lawannya. Tetapi ternyata jarak Panjang terlampau jauh dari harimau itu, sehingga ujung tombaknya hanya sekadar menyentuh kulit harimau itu tanpa melukainya. Bahkan harimau itu kemudian meloncat menyerangnya dengan kuku-kukunya yang tajam. Sejauh dapat dilakukan Panjang melawan dengan tombaknya. Sekali ia berhasil mengenai dada harimau itu. Namun kulit harimau itu ternyata begitu liatnya, sehingga tombaknya hanya berhasil merobek kulit harimau itu. Namun justru karena lukanya itulah harimau itu menjadi semakin tegang. Sekali lagi harimau itu meraung keras-keras. Kemudian dengan garangnya menyerang kembali. Giginya yang runcing tajam menyeringai mengerikan. Panjang pun kemudian melawan sekuat-kuat tenaganya. Meskipun ia ngeri juga, namun ia sadar, bahwa ia harus melawan. Kalau tidak, maka ia akan menjadi makanan harimau itu seperti anak-anak kambing yang hilang dari kandangnya. Dan Panjang sama sekali bukan seekor kambing yang lemah dan menyerah tanpa melakukan perlawanan. Dalam pergulatan yang terjadi kemudian, sekali-kali kuku harimau itu pun menyentuh tubuhnya. Jalur-jalur yang merah membekas di kulitnya, sedang pakaiannya telah hancur direnggut oleh kuku-kuku harimau yang ganas itu. Di lain pihak, Suwela pun ternyata mengalami kesulitan. Apalagi ia bersenjata sepasang pisau belati panjang. Ia tidak dapat mengambil jarak yang cukup, meskipun senjatanya lebih lincah dari sebatang tombak. Namun meskipun ia telah berjuang sekuat tenaganya, ia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari kulit kuku-kuku harimau yang setajam ujung belatinya. Sejenak kemudian, maka kedua anak-anak muda itu telah mandi dengan keringat dan darahnya sendiri. Semakin lama keduanya semakin tidak akan dapat melawan kegarangan dua ekor harimau belang yang sedang lapar itu. Meskipun demikian, namun Suwela dan Panjang sama sekali tidak berputus asa. Apa yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan diri, telah mereka lakukan. Bahkan senjata-senjata mereka seolah-olah 46 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan telah melekat pada tangan-tangan mereka, sehingga bagaimanapun juga, senjatasenjata itu sama sekali tidak akan dapat terlepas. Tetapi harimau itu adalah harimau yang besar. Bagaimanapun juga tangkas, lincah dan kuatnya tangan kedua anak-anak muda itu, namun untuk melawan harimau-harimau itu adalah pekerjaan yang terlampau berat. Ternyata kemudian, ketika darah mereka telah semakin banyak mengalir, maka perlawanan mereka pun menjadi semakin surut. Kuku-kuku harimau itu semakin sering menyentuh kulit mereka. Apalagi setelah harimau-harimau itu mencium bau darah. Maka suaranya pun menjadi semakin keras, menggeram dengan marahnya. Dalam keadaan yang semakin sulit, ketika mereka mencoba melawan dengan kekuatan mereka yang terakhir, sekali lagi kedua anak-anak muda itu terkejut. Sebuah bayangan hitam meluncur dengan cepatnya menerkam salah seekor harimau belang itu, kebetulan yang sedang berkelahi melawan Panjang, sehingga anak muda yang bersenjata tombak itu untuk sejenak berdiri termanggu-manggu. Tetapi segera ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar bayangan itu berteriak, "He, jangan termenung. Bantulah Suwela mengalahkan lawannya. Serahkan yang seekor ini kepadaku." Panjang tidak sempat berpikir lagi. Segera ia meloncat mendekati Suwela yang sedang terdorong jatuh oleh sentuhan kaki harimau itu. Tepat pada waktunya Panjang datang membantunya. Ujung tombaknya mematuk dengan derasnya ke lambung harimau itu, sehingga harimau itu terkejut dan mengurungkan niatnya untuk menerkam Suwela yang jatuh terlentang. KESEMPATAN itu ternyata dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Suwela. Segera ia meloncat bangun. Ternyata sepasang pisau belatinya masih melekat di tangannya. Sekilas ia melihat harimau yang seekor, yang sesaat sebelumnya berkelahi melawan Panjang, kini sedang sibuk melayani lawannya yang baru, yang tidak segera dapat mereka ketahui. Namun Suwela dapat melihat dengan jelas, bahwa bayangan itu seolah-olah melekat dipunggung harimau belang itu, sambil mengayun-ayunkan pisau belatinya. Bertubi-tubi tanpa henti-hentinya menghujam ke punggung dan lambung harimau itu. Kesempatan itu tidak mereka lewatkan. Mereka masih belum yakin. Apakah orang yang baru datang menolong mereka itu mampu melawan harimau yang kini sedang dicengkamnya. Apalagi pada suatu ketika tangannya yang sebelah itu terlepas, maka ia pasti akan terpelanting, karena harimau itu dengan sekuat-kuat tenaganya menggeliat dan melonjak-lonjak. Sejenak kemudian maka Suwela dan Panjang yang telah mandi darah itu, menggeretakkan gigi mereka. Serentak mereka menyerbu dan menghujamkan senjata masing-masing. Beruntun seperti orang yang sedang kerasukan. Kemarahan yang bergelora di dalam dada kedua anak-anak muda itu agaknya telah menambah ketahanan tubuh mereka. Bahkan kehadiran seseorang yang tidak mereka kenal itu telah menambah nafsu mereka pula, sehingga tenaga mereka yang telah susut itu, serasa menjadi pulih kembali. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka berusaha untuk mengalahkan harimau yang seekor itu dengan secepat-cepatnya. Berdua mereka lambat laun berhasil menguasainya, sehingga pada suatu saat senjata Panjang berhasil menembus di celah-celah rusuk harimau itu. Dengan sekuat tenaga harimau itu menghentakkan tubuhnya. Demikian kuatnya sehingga tangkai tombak itu terlepas dari tangan Panjang. Tetapi tombak itu masih menghujam di lambung harimau itu. Dan sebelum harimau itu berhasil mengibaskan tombak itu, maka sepasang pisau belati Suwela telah menyobek kulitnya pula. Bertubi-tubi sehingga harimau itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan lagi. Sejenak terdengar harimau itu mengaung dahsyat sekali. Namun sejenak kemudian suaranya lenyap seakan-akan ditelan oleh sepinya malam. Kedua anak muda itu berdiri dengan nafas terengah-engah. Setelah mereka yakin bahwa lawannya telah 47 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mati, maka justru tubuh mereka menjadi terlampau lemah. Mereka hampir tidak kuat berdiri menahan tubuh masing-masing. Tetapi tiba-tiba Suwela tersentak sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Ia sama sekali tidak melihat lagi harimau yang seekor, sehingga tiba-tiba ia menjadi cemas. Terbata-bata ia berkata di sela-sela engah nafasnya, "He, dimana orang yang datang menolong kita tadi?" Panjang tidak menyahut. Ia menjadi cemas, bahwa justru orang yang menolongnya itu telah dibinasakan dan digonggong oleh harimau yang seekor lagi. Karena itu, betapapun lemahnya mereka menyeret kaki-kaki mereka, pergi ke bekas tempat yang tidak mereka kenal ia berkelahi. Keduanya tertegun ketika mereka melihat tubuh harimau yang telah menjadi bangkai terbaring di antara batang-batang ilalang yang telah menjadi porak poranda. Tetapi mereka tidak menjumpai seorangpun lagi. Seperti pada saat datang, bayangan itupun pergi tanpa diketahui arahnya. "Aneh," desis Panjang. "Siapakah yang telah menolong kita itu?" Suwela menarik nafas dalam-dalam. Dengan sisa-sisa kainnya ia menyeka darah dan keringat di seluruh badannya. Sakit dan pedih terasa menyengat di seluruh permukaan kulitnya. "Aneh," ia berdesis. "Siapakah kira-kira orang itu," bertanya Panjang. "Apakah kau mempunyai dugaan tentang orang yang aneh itu?" "Temunggul," desis Suwela, namun ia sendiri meragukan jawabannya. "Memang mungkin. Tetapi apabila orang itu Temunggul, maka ia pasti tidak akan menghilang sebelum kami menyapanya." Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendapat suatu teka-teki yang tidak mudah ditebaknya, "Sulit untuk menebak," ia berdesis. "Tidak ada ciri apapun yang dapat kita kenal." PANJANG mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika angin yang silir mengusap tubuhnya, mulailah terasa seolah-olah tulang-tulangnya telah terlepas sama sekali. Tubuhnya menjadi terlampau lemah sehingga terdengar suaranya lamat-lamat. "Aku tidak kuat lagi untuk berdiri,". Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Tubuhnya sendiri menjadi demikian lemahnya, sehingga seakan-akan tidak mampu lagi menguasai anggota badannya. Tetapi ketika Panjang merobohkan dirinya duduk di atas rerumputan, terdengar Suwela berkata agak keras, "Obor. Aku melihat beberapa buah obor datang kemari." Dengan serta merta Panjangpun berdiri. Seakan-akan ia mendapat kekuatan baru untuk tegak di atas kedua kakinya. "Ya obor. Siapakah mereka?" Suwela menggeleng. "Aku tidak tahu." Betapapun lemahnya namun kedua anak-anak muda itu berusaha untuk tetap berdiri. Mereka ingin mendapat bantuan untuk kembali ke Kademangan. Mungkin seorang dapat membantunya berjalan, atau mungkin memapahnya. Mereka juga ingin membawa bukti bangkai-bangkai macam itu kembali ke Kademangan. Tetapi mereka sama sekali sudah kehabisan kekuatan. Karena itu, kehadiran orang-orang dari Kademangan akan dapat membantu mereka. Sejenak kemudian obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Suwela yang tidak sabar lagi tiba-tiba berteriak, "He. Siapa kau?" Tidak terdengar jawaban. Tetapi obor-obor itu merambat lagi mendekati mereka berdua. Ternyata mereka adalah para peronda. Ketika mereka mendengar aum harimau yang dahsyat, meskipun masih agak jauh dari pedesaan, maka mereka pun menjadi gelisah. Mereka tahu, bahwa Suwela dan Panjang sedang menjalankan masa pendadaran dengan menangkap harimau. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa mereka bersama-sama tujuh orang dengan senjata masing-masing berusaha mencari arah suara aum harimau itu. Seandainya harimau itu telah bertemu dengan Suwela dan Panjang, bagaimanakah akhir dari pertemuan itu. "He," teriak Suwela. "Kami disini." 48 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Obor-obor itupun kemudian semakin dekat. Seorang yang berdiri di paling depan segera bertanya ketika mereka telah dekat. "Bagaimana dengan kau berdua?" "Kemarilah, lihatlah tubuhku yang luka arang kranjang, meskipun tidak begitu dalam." "Bagaimana dengan harimau itu." "Kemarilah," sahut Suwela. Obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Ketika orang yang terdepan telah berada di hadapan Suwela, dengan serta-merta ia bergumam. "Bukan main. Bukan main. Lukamu benar-benar arang kranjang Suwela." Suwela tidak menjawab. Tetapi nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Dari luka-lukanya itu masih mengalir darah dan lubang-lubang kulitnya mengembun keringat. Para peronda itupun kemudian mengerumuni Suwela dan Panjang yang hampir kehabisan tenaga. Dibawah sinar obor mereka melihat, luka-luka berjalur-jalur membujur lintang di tubuh kedua anak-anak muda itu. "Pendadaran itu terlampau berat. Masih lebih baik menundukkan kuda liar itu daripada harus berkelahi melawan harimau. Kuda liar itu tidak akan dengan sengaja membunuh. Tetapi harimau ini." Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka tibatiba saja bertanya, "Lalu bagaimana dengan harimau-harimau itu sekarang?" Suwela tidak menjawab. Tetapi dengan jarinya ditunjuknya ke arah dua ekor harimau-harimau yang sudah mati itu. Ketika para peronda itu melihat, mereka terlonjak. Hampir berbareng mereka berdesis. "Dua. Dua ekor harimau." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Kami berdualah yang hampir mati." "Luar biasa. Kalian selamat, dan bahkan kalian mampu membunuh keduanya." Panjang menggelengkan kepalanya yang lemah. Dengan suara yang seakan-akan menyangkut kerongkongannya ia berkata. "Bukan kami." "He?" para peronda itu terbelalak. Tanpa sesadar mereka memandangi Suwela yang lesu. Dan Suwela pun membenarkannya. "Bukan kami." "Lalu siapa?" "Nantilah aku akan bercerita kalau aku tidak mati kehabisan darah." "O," para peronda itu baru sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang luka arang kranjang. Karena itu, maka orang yang tertua di antara mereka segera berkata, "Marilah kita cepat-cepat pulang. Papahlah keduanya. Keduanya agaknya sudah terlampau lemah." Maka dengan dibantu oleh dua orang masing-masing Suwela dan Panjang berjalan pulang ke Kademangan. Kedua tangannya melingkar di bahu dua orang sebelah menyebelah, agar mereka tidak terjatuh di perjalanan. Sedang orang-orang yang lain berusaha menarik bangkai harimau itu untuk di bawa ke Kademangan pula, meskipun agak terlampau berat. Suwela dan Panjang hampir tidak sadar lagi ketika mereka berpapasan dengan beberapa orang lain, yang dengan cemas mencarinya pula. Mulut-mulut mereka menjadi serasa terlampau berat sehingga mereka sama sekali tidak menjawab sepatah katapun atas segala macam pertanyaan. "Luka agak berat," salah seorang dari mereka yang memapahnya yang menjawab. "Nanti saja, kalau ia sudah beristirahat. Sekarang kalian lebih baik membantu menyeret bangkai-bangkai harimau itu?" "He, ada berapakah harimau itu" Apakah lebih dari satu?" "Ada dua." "Dua," dada mereka pun terguncang, "Dua orang harus berkelahi melawan dua ekor harimau belang?" Tidak ada jawaban. Mereka yang memapah Suwela dan Panjang berjalan semakin cepat. Mereka berusaha secepat-cepatnya sampai di Kademangan, agar keduanya dapat segera diobatinya luka- lukanya. Namun sebelum mereka memasuki regol Kademangannya, kedua anak-anak muda itu telah menjadi pingsan. 49 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Di Kademangan, beberapa orang yang dianggap mengerti tentang ilmu obat-obatan duduk dengan wajah yang tegang mengerumuni Suwela dan Panjang. Temunggul duduk dengan gelisah. Kecemasan membayang di wajahnya. Setiap kali ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. "Bagaimana?" ia berbisik kepada salah seorang dari orang-orang yang sedang berusaha mengobati Suwela dan Panjang itu. "Mudah-mudahan. Mudah-mudahan mereka segera sadar." Temunggul menggigit bibirnya. Di pandanginya kedua tubuh yang berbaring diam itu. Terasa tubuhnya sendiri seakan-akan menjadi pedih oleh jalur-jalur bekas kuku harimau yang mengerikan itu. "Aku tidak menyangka, bahwa ada sepasang harimau jantan dan betina," ia berkata kepada dirinya sendiri. "Kalau terjadi sesuatu atas keduanya, maka akulah yang harus bertanggungjawab. Hatinya melonjak ketika tiba-tiba ia melihat Panjang mulai bergerak-gerak. Perlahan-lahan anak muda itu membuka matanya. Nafasnya mulai berjalan agak teratur. Temunggul mendesak maju dan duduk disisi Panjang. Tetapi ia masih belum bertanya sesuatu. Agaknya Panjang masih terlampau lemah. "Ia akan segera baik," berkata salah seorang dari mereka yang ikut berusaha mengobatinya. "Terima kasih," desis Temunggul. Ki Demang dan Ki Jagabaya serta beberapa orang pemimpin Kademangan itu, yang duduk beberapa langkah dari kedua tubuh yang terbaring itupun menarik nafas, ketika mereka melihat Panjang membuka matanya, dan sesaat kemudian Suwela pun menjadi sadar pula. Mereka menjadi bertambah segar ketika pada bibir mereka diteteskan beberapa titik air. Sehingga wajah mereka yang sudah menjadi seputih kapas itupun agak dijalari oleh warna darahnya yang mulai mengalir dengan teratur. Temunggul mengangkat kepalanya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Ketika ia memandang ke halaman, maka dilihatnya warna yang kemerahmerahan telah membayang pada dedaunan dan pepohonan. "Hampir pagi," desisnya. "Kedua anak-anak itu telah berjuang melampaui kekuatan mereka yang wajar. Untunglah mereka selamat. Bahkan mereka berhasil membunuh kedua ekor harimau itu." Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar seseorang yang duduk dibelakangnya berdesis. "Bukan mereka yang telah membunuh harimau itu." "He," ia bertanya. "Lalu siapa" Dan darimana kau tahu?" "SUWELA dan Panjang sendirilah yang mengatakan ketika kami datang menengoknya. Sebelum mereka menjadi pingsan." "Ya, tetapi siapa yang membunuh harimau itu" Apakah ada orang lain di antara mereka ketika kau datang?" Orang itu menggeleng. "Tidak. Tidak ada orang lain." Temunggul menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi orang itu berkata, "Nanti, bertanyalah kepadanya sendiri. Aku pun tidak sempat bertanya lagi, karena keduanya menjadi terlampau lemah." Temunggul menganggukkan kepalanya. "Baiklah, nanti aku akan bertanya kepada mereka." Temunggul kemudian meninggalkan pringgitan, langsung melintasi pendapa dan turun ke halaman. Udara yang sejuk telah membuatnya agak tenang. Namun apa yang dibayangkannya perkelahian antara kedua anak-anak muda itu ngeri sekali. "Tetapi," ia bergumam. "Siapakah orang yang disebut-sebut telah membunuh harimau itu?" Tanpa sesadarnya Temunggul itupun kemudian berjalan menyelusuri jalan di muka Kademangan itu tanpa arah. Sekali-kali ditengadahkannya wajahnya, memandangi jalur-jalur awan yang kemerah-merahan di langit yang biru. Ketika Temunggul itu menuruni tebing bendungan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat sesosok bayangan berjalan perlahan-lahan menaiki tebing. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas. Orang itu 50 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan adalah Bramanti. "Darimana kau Bramanti?" Bramanti tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Temunggul yang masih membekas ketegangan yang mencekam jantungnya. "He, darimana kau?" bentaknya ketika Bramanti tidak segera menyahut. "Oh, aku baru saja dari bendungan." "Sepagi ini?" "Ya, perutku sakit. Tetapi bukankah matahari telah naik?" Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Bramanti dengan sorot mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa kau mandi terlampau pagi?" "Aku biasa mandi sepagi ini. Kalau tidak ke sungai, akupun mandi di rumah." Sorot mata Temunggul menjadi semakin aneh. Dan dengan suara gemetar ia bertanya, "Kenapa dadamu itu Bramanti. Dan lenganmu" Meskipun kau berusaha membersihkannya, tetapi aku masih dapat melihat bekas-bekas darah itu." Bramanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, "Oh, aku tergelincir dari pohon kelapa pagi tadi." "Kau memanjat pohon kelapa pagi-pagi buta?" Kini Bramantilah yang memandangi Temunggul dengan sorot mata yang aneh. Dengan ragu-ragu ia menjawab, "Kenapa kau heran Temunggul" Bukankah sudah menjadi kebiasaan setiap orang yang menderas kelapanya, mengambil bambu di pagi-pagi buta." Temunggul menarik nafas dalam-dalam. "Kau nderes juga?" "Ya, sekadar meringankan beban ibu. Kelapa kami terlampau cukup, sehingga aku menyisihkan tiga batang untuk aku ambil gulanya." Temunggul tidak menjawab lagi. Dipandanginya jalur-jalur merah di dada dan lengan Bramanti. Namun kemudian ia berkata, "Seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri sebagai seorang laki-laki." "KENAPA?" bertanya Bramanti. "Hari ini Suwela dan Panjang terbaring di pringgitan Kademangan dengan jalurjalur merah di dada, punggung dan lengannya seperti jalur merah ditubuhmu itu. Tetapi jauh lebih banyak dan dalam." "Pertanyaanmu itu menyatakan kebohonganmu. Bukankah menjadi kepuasan, bahwa keduanya harus menangkap seekor harimau" Nah, harimau itulah yang telah membuat jalur-jalur merah ditubuh mereka. Nanti apabila jalur-jalur itu telah sembuh dan membekas di kulitnya, mereka akan berkata dengan bangga, bahwa jalur-jalur itu adalah bekas luka yang ditimbulkan oleh kuku-kuku harimau. Sedang kaupun agaknya akan berbangga mengatakan, bahwa jalur-jalur di dadamu itu adalah bekas geseran batang kelapa." Bramanti tidak menjawab, tetapi ia menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. "Kalau kau tidak pingsan melihat darah, tengoklah mereka di Kademangan." Bramanti menarik nafas, jawabnya, "Sebenarnya aku ingin menengoknya. Tetapi ia masih takut, kalau-kalau kehadiranku akan menimbulkan persoalan lagi seperti pada saat pendadaran itu." "Huh," Temunggul mencibirkan bibirnya. "Kau memang tidak pantas untuk menjadi anggota keluarga kami, laki-laki Kademangan ini." Sebelum Bramanti menjawab, Temunggul telah meneruskan langkahnya turun ke bendungan. Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dirabanya jalur-jalur merah di dadanya. Perlahan-lahan ia berdesis. "Ibu pun pasti akan bertanya, kenapa jalur-jalur ini telah tergores di dadaku. Dan ibu pasti akan berkata, "Lain kali jangan memanjat terlampau pagi." Sekali lagi Bramanti berpaling memandangi Temunggul yang telah turun ke air. Kemudian diayunkannya kakinya berjalan pulang ke rumahnya. Ternyata dugaan tidak salah. Ibunya menjadi cemas melihat jalur-jalur di dadanya itu. "Tidak apa-apa," berkata Bramanti. "Dengan getah mlandingan di campur dengan kunyahan daunnya, 51 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan segera luka-luka kecil ini akan sembuh." Dan nasehat yang dinanti-nantikannya itu di ucapkan oleh ibunya pula. "Lain kali jangan memanjat terlampau pagi. Tunggulah sampai embun mulai menguap." Dan Bramanti pun telah menyediakan jawabannya pula. "Baik bu." "Nah," berkata ibunya. "Minumlah selagi masih panas." Bramanti pun kemudian berjalan dengan kepala tunduk, masuk ke dapur. Perlahanlahan ia duduk di sebuah bale-bale bambu. Sejenak di pandanginya semangkuk air panas, dan seonggok gula kelapa. Kemudian tangannya pun terjulur meraih mangkuk itu. Ketika ia mengangkatnya, tangan itu tertegun. Dipandanginya air hangat itu sejenak. Keningnya berkerut ketika tiba-tiba saja kenangannya meloncat kepada seorang gadis yang ditemuinya pertama-tama ketika ia datang kembali ke padukuhannya. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Wajah gadis itu seakan-akan membayang di dalam mangkuknya. Tiba-tiba Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Diteguknya air hangat itu sambil berdesis di dalam hatinya, "Temunggul telah mendorong aku untuk selalu mengenang wajah itu. Sebenarnya aku tidak menaruh perhatian sama sekali." Bramanti menggigit bibirnya. Dicobanya untuk mengusir bayangan yang telah mulai mengganggunya itu. "Aku sudah mulai mencari perkara," ia berkata di dalam hatinya. "Aku telah banyak sekali berkorban. Aku telah merendahkan diriku dengan menahan hati sekuat-kuat tenagaku. Penghinaan di arena pendadaran itu adalah pengorbanan yang tiada taranya dari seorang laki-laki. "Kalau kemudian aku terlibat dalam persoalan seorang gadis dan langsung berhadapan dengan Temunggul, maka pengorbanan itu akan sia-sia." Karena itu, maka Bramanti pun berusaha untuk tetap dapat mempergunakan nalarnya tanpa membiarkan perasaannya mengembara menyusuri langit. Tanpa sesadarnya Bramanti meraba jalur-jalur merah di dadanya. Ia merasa sesuatu bergetar didadanya ketika terasa jalur-jalur itu menjadi pedih. JALUR-JALUR di tengkuk dan punggungnya masih belum sembuh, dan kini ditambah lagi jalur-jalur baru di dadanya meskipun jalur-jalur di dada itu tidak ditimbulkan oleh pukulan cambuk pada tengkuk dan punggungnya. "Hem," Bramanti berdesah. "Aku tidak dapat membiarkan mereka di sayat-sayat oleh harimau itu. Mereka baru sekadar menjalani pendadaran." Namun kemudian ia menggeram, "Persetan dengan anak-anak Candi Sari yang gila dan sombong. Mereka merasa diri mereka terlampau kuat dan tangguh. Suatu sikap yang berbahaya. Tetapi mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa menghadapi orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat." Sementara itu anak-anak muda Kademangan Candi Sari berdatangan seorang demi seorang ke halaman rumah Ki Demang setelah mereka mendengar berita tentang kedua kawan mereka Suwela dan Panjang. Sebagian dari mereka menjadi cemas, dan bahkan ada yang merasa, bahwa cara yang dipergunakan oleh Temunggul itu terlampau berbahaya. Apalagi di hari-hari mendatang, cara itu tidak di rubah, maka korban-korban yang tidak berarti masih akan berjatuhan. Setelah beberapa orang mengalami cedera dalam pendadaran, dan bahkan ada yang menjadi cacat untuk seumur hidupnya karena terjatuh dari punggung kuda yang binal, maka kini Suwela dan Panjang hampir saja mati terbunuh. Tetapi mereka hanya berani menyatakannya di dalam hati masing-masing. Ada satu dua orang yang memperkatakan soal itu tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya langsung kepada Temunggul. "Temunggul sendiri merasa menyesal," berkata salah seorang dari anak-anak muda itu. Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya di pandangnya beberapa anak muda yang telah diterima menjadi anggota pengawal. "Mereka lebih senang, apabila pendadaran dilakukan dengan cara yang lebih berat." 52 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Tentu. Semakin banyak yang jatuh, mereka menjadi semakin bangga akan kedudukannya." Keduanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka menjadi terdiam ketika seorang anggota pengawal lewat di depan mereka. Keduanya hanya dapat memandangi ciri dari anggota pengawal itu. Sedang pengawal itu sendiri mengusap-usap dagu mereka. Seleret baris merah pada ujung lengan baju mereka. Ketika pendapa Kademangan itu menjadi penuh, maka beberapa orang terpenting di antara mereka diperkenankan masuk. Tujuh orang di antara mereka segera memasuki pringgitan dan duduk di atas sehelai tikar, dekat disamping Suwela dan Panjang berbaring. "Di mana Temunggul" bertanya salah seorang dari mereka. "Baru saja pergi," jawab yang lain. "Baru saja?" "Beberapa saat yang lalu. Ia menunggui keduanya yang luka-luka itu. Baru ketika mereka sudah sadar Temunggul keluar ruangan ini. Entah, ia pergi kemana." Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka sudah tidak terlampau cemas lagi, karena Suwela dan Panjang telah menjadi bertambah segar setelah mereka menelan masing-masing sebutir telur mentah. "Bagaimana keadannmu?" bertanya salah seorang dari mereka yang duduk di samping Suwela dan Panjang. Suwela menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan, "Sudah baik. Aku sudah menjadi bertambah baik." "Syukur. Tetapi bagaimanakah yang terjadi sebenarnya?" "Jangan terlampau banyak berbicara lebih dahulu," potong Ki Demang yang masih saja duduk di samping Ki Jagabaya dan beberapa bahu Kademangan yang lain. "Oh," anak muda yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Suwela dan Panjang yang masih sangat pucat, meskipun sudah agak tampak segar. Tetapi ia tidak bertanya-tanya lagi. Pringgitan itupun kemudian menjadi sepi. Hanya desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan. Sekali-kali satu dua orang dari mereka yang berusaha mengobati kedua anak-anak muda yang terluka itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dari wajah mereka dapat dibayangkan, bahwa mereka berpengharapan sepenuhnya, untuk dapat mengatasi kesulitan dari kedua anak-anak muda ini. SERENTAK mereka berpaling ketika pintu pringgitan itu terbuka. Mereka melihat Temunggul melangkah masuk dengan wajah yang suram. Ia tertegun sejenak di muka pintu, namun kemudian ia melangkah terus dan duduk pula di samping Suwela. "Kau sudah menjadi semakin baik," desisnya. Suwela mengangguk kecil. Kemudian kepada Ki Demang Temunggul berkata, "Ki Demang, apakah Suwela sudah mengatakan tentang dirinya?" Ki Demang menggelengkan kepalanya, "Belum. Aku melarang ia berbicara terlampau banyak." "Tidak terlampau banyak. Aku hanya ingin mendengar tentang harimau itu." "Bertanyalah." "Apakah kau sudah dapat berceritera tentang harimau itu," bertanya Temunggul. Suwela menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan kata-kata yang patah-patah ia menceriterakan apa yang telah terjadi atas mereka berdua. Setiap kepala mereka yang berbeda di dalam pringgitan itu terangguk. Dan kemudian terdengar Temunggul bertanya, "Apakah kau tidak dapat menduga, siapakah yang telah menolongmu." "Semula aku menyangka, bahwa kaulah yang telah melakukannya." Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia terpaksa mengakui bahwa ia sama sekali tidak melakukannya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, "Bukan aku." 53 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Kalau bukan kau, maka kami tidak dapat mengatakan, siapakah orang itu." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun peristiwa itu merupakan peristiwa yang besar bagi dirinya dan bagi Kademangan Candi Sari. Ia sendiri dan bahkan mungkin di seluruh Kademangan ini, tidak ada yang dapat membunuh seekor harimau belang yang sebesar itu seorang diri hanya dengan pisau belati seperti yang dilihat oleh Panjang dan Suwela. "Siapakah orang itu?" pertanyaan itu selalu mengganggunya. "Apakah mungkin orang yang menamakan diri Panembahan Sekar Jagat" Tetapi apakah kepentingannya ia menolong Suwela dan Panjang. Menilik sikap orang-orangnya, maka Panembahan Sekar Jagat pasti akan membiarkan Suwela dan Panjang mati dicabik-cabik harimau lapar itu. Namun, kemungkinan itu masih ada. Mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri tidak sejahat orang-orangnya. Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Panjang yang berbaring disamping Suwela itu berdesis lambat, "Seakan-akan aku pernah mendengar suara orang itu." "Siapa?" bertanya Temunggul dengan serta merta. "Sayang. Aku lupa. Apabila pada suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang suaranya serupa, aku akan dapat menyebutkannya." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tetap tidak dapat menduga. Siapakah orang itu. Siapakah yang telah menolong Suwela dan Panjang dari kukukuku harimau yang ganas itu. Namun, meskipun seseorang telah menolongnya, tetapi keduanya telah dianggap telah memenuhi syarat, karena mereka berdua telah berhasil membunuh salah seekor dari sepasang harimau itu, sehingga dengan demikian Suwela dan Panjang akan dapat diterima menjadi anggota pengawal Kademangan. "Kalian akan segera di wisuda apabila kalian telah sembuh," berkata Temunggul untuk membesarkan hati kedua anak-anak muda itu. "Kalian akan segera menjadi anggota pengawal. Kali ini penerimaan atas kalian pasti harus agak berbeda dengan di saat-saat lampau. Karena kalian telah melampaui suatu saat yang paling menegangkan. Sayang, bahwa kami tidak dapat mengerti, siapakah yang telah menolong kalian. Seandainya demikian, maka orang itupun harus di undang pula. Ia akan dapat menjadi anggota kehormatan, karena orang itu pasti berada setidaktidaknya sejajar dengan para anggota pengawal. Bahkan melampauinya." "Pada suatu saat kau akan menemukannya," desis Panjang. "Suara itu tidak akan aku lupakan pada saat ia meloncati punggung harimau itu." "Mudah-mudahan," jawab Temunggul. "Mudah-mudahan kau dapat menemukannya. Dengan demikian akan terungkatlah suatu kekuatan yang terpendam di Kademangan ini." PANJANG tidak menjawab lagi. Kepalanya masih terasa pening, sehingga ia tidak sempat mengingat-ingat lebih lanjut. Hanya kadang-kadang saja timbul suatu persoalan di dalam hatinya. Betapapun ia mencoba mengingkari. Suara itu benar-benar pernah didengarnya. Suara seseorang yang tidak mungkin mampu melakukannya. Tetapi seolah-olah ia yakin bahwa suara itu adalah suaranya. "Mungkin telingakulah yang sudah tidak wajar lagi, atau dalam kekalutan pikiran waktu itu, aku tidak dapat mendengarnya dengan baik, sehingga timbullah kesalahan dugaan itu," berkata Panjang di dalam hatinya. Namun kemudian, "Tetapi seandainya orang itu, kenapa" Apakah keberatanku?" Tetapi Panjang tidak mengatakan perasaan dan dugaan-dugaan itu kepada siapapun. Ia yakin, bahwa anak-anak itu akan mentertawakannya. Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang menengok mereka yang terluka itupun meninggalkan ruang pringgitan yang menjadi terlampau panas. Dari mulut ke mulut ceritera itu berkembang. Dan pertanyaan tentang bayangan kehitam-hitaman yang menerkam harimau dan membunuhnya itupun berkembang pula. Suwela dan Panjang, yang merasa keadaannya telah menjadi semakin baik, minta kepada Ki Demang untuk pulang saja ke rumah masing-masing. Di rumah mereka akan menjadi lebih tentram dan mudah-54 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan mudahan dengan demikian menjadi lebih cepat sembuh. Ki Demang, para pemimpin Kademangan yang lain dan Temunggul tidak merasa keberatan atas permintaan itu. Karena itu, maka mereka pun segera menyiapkan sebuah pedati untuk membawa keduanya pulang ke rumah masing-masing. Yang mula-mula di antar pulang adalah Suwela, kemudian baru Panjang. Perlahanlahan pedati itu berjalan dengan tenangnya di atas tanah berbatu-batu, sehingga gemeretak rodanya telah membangunkan anak-anak yang sedang tidur di pangkuan ibunya, di bawah pepohonan rindang di halaman. Bramanti yang sedang duduk di bawah sebatang pohon sawopun mengangkat wajahnya. Jarang sekali sebuah pedati lewat di jalan di muka halaman rumahnya. Karena itu, tanpa sesadarnya ia berdiri dan berjalan ke regol untuk melihat apakah yang telah diangkut di dalam pedati itu. Anak muda itu terkejut ketika ia melihat beberapa anak-anak muda berjalan di sisi pedati itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia kemudian masuk kembali ke dalam regol rumahnya, supaya tidak menimbulkan persoalan yang tidak dikehendakinya. Meskipun demikian ia tetap berdiri di balik pintu kalau-kalau ia dapat mengintip, apakah yang ada di dalam pedati itu. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Panjang yang terluka berdesis. "Berhenti. Berhenti sebentar." Pedati itupun segera berhenti. Anak-anak muda yang mengikuti pedati itupun segera mendekat dan berkerumun di sekeliling Panjang yang berbaring di dalam pedati. "Kenapa kau berhenti disini Panjang," bertanya salah seorang anak muda. Panjang berdesis. Kemudian katanya, "Tolong, panggil Bramanti." "Untuk apa kau panggil anak itu." "Tolonglah, panggil Bramanti." Bramanti yang berdiri di balik pintu, mendengar pula percakapan itu, sehingga dadanya pun menjadi berdebar-debar. "Apakah kau memerlukannya?" bertanya anak muda yang lain. "Ya, aku memerlukannya." "Kau ingin mencambuknya seperti Suwela di arena?" "Tolong, panggilkan anak itu." Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dua orang anak-anak muda kemudian melangkah masuk regol. Mereka terkejut ketika mereka menjumpai Bramanti sudah berada di balik pintu. "He, kau mengintip kami ya?" bertanya salah seorang dari kedua anak-anak muda itu. Bramanti menggelengkan kepalanya. "Bukan maksudku. Aku memang tertarik kepada sebuah pedati yang lewat di jalan ini." Kedua anak-anak muda itu saling berpandangan. Kemudian yang seorang bertanya, "Apakah anehnya pedati lewat di jalan ini, dan apakah yang menarik?" Bramanti tidak menjawab. Ketika matanya membentur tatapan mata anak muda itu cepat-cepat digesernya pandangannya. "KENAPA?" anak muda itu mendesak. "Biasanya pedati-pedati lewat di jalan sebelah desa." "Apa salahnya mengambil jalan ini untuk pergi ke rumah Panjang?" Bramanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, "Apakah Panjang ada di dalam pedati itu?" "Ya. Ia terluka semalam dalam pendadaran. Nah, sekarang kau dipanggilnya." 55 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Aku," bertanya Bramanti. "Ya, kau." "Kenapa aku?" "Jangan ribut. Datanglah kepadanya, kau akan tahu kenapa Panjang memanggilmu." Bramanti ragu-ragu sejenak. Dan karena ia tidak beranjak dari tempatnya maka hampir bersamaan kedua anak-anak muda itu berkata, "Cepat." Bramanti tidak dapat menolak lagi. Dengan ragu-ragu ia melangkah keluar regol. Ketika ia memandang berkeliling maka dilihatnya beberapa anak-anak muda menatapnya dengan pandangan aneh. "Panjang ada di dalam pedati itu," desis salah seorang dari anak-anak muda itu. Bramanti melangkah mendekat. Dengan ragu-ragu pula ia menjengukkan kepalanya dari arah belakang pedati itu. Dilihatnya Panjang berbaring di dalamnya, bersandar setumpuk jerami kering. "He, kaukah itu Bramanti," bertanya Panjang dengan suara yang masih lemah. "Apakah kau heran karena aku memanggil kau?" bertanya Panjang pula. Dan sekali lagi Bramanti menganggukkan kepalanya. "Apakah kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi?" Panjang bertanya pula, dan kali ini Bramanti menggelengkan kepalanya. Panjang menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia terdiam, namun tiba-tiba ia bertanya, "Dimanakah kau semalam Bramanti?" Bramantilah yang kemudian termenung. Ia mengangkat wajah ketika Panjang bertanya sekali lagi, "Dimana?" Bramanti tidak dapat berbuat lain. Ia harus menjawab pertanyaan itu betapapun singkatnya. Maka jawabnya pendek. "Di rumah." Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi jawaban itu belum cukup meyakinkannya. Karena itu ia bertanya lagi, "Bramanti, kenapa kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi, ketika hampir setiap anak-anak muda datang ke sana menjenguk aku dan Suwela" Apakah kau masih mendendam" Maksudku, bukan karena kematian ayahmu, tetapi karena perlakuan Suwela di arena?" 56 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi ia terpaksa menjawab pula dengan kata-kata, "Tidak Panjang. Sama sekali tidak. Aku tidak mendendam. Tetapi justru aku takut kalau kehadiranku akan dapat menumbuhkan persoalan baru lagi bagiku." Panjang mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk meyakinkan dirinya, bahwa suara itu adalah suara yang didengarnya semalam. Namun demikian Panjang masih tetap ragu-ragu. Tekanan kata-katanya agak berbeda meskipun Panjang dapat menduga, bahwa semalam kata-kata itu diucapkan dalam keadaan tergesa-gesa. Namun tiba-tiba Panjang itu mengangkat kepalanya. Betapapun lemahnya, namun ia mencoba untuk bangkit dan bersandar pada kedua tangannya. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang dada Bramanti yang digarisi oleh jalur-jalur merah. Dengan serta merta Panjang bertanya, "Kenapa dadamu itu Bramanti?" Bramanti tidak segera menjawab. Di amat-amatinya kemudian ia berkata, "Aku tergelincir pagi tadi, ketika aku mengambil bumbung legen dari batang kelapa itu." "Apakah kau tidak berbohong Bramanti?" "Kenapa aku mesti berbohong" Apakah keuntunganku." "Dan jalur-jalur di lengan dan tengukmu itu?" Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, "Karena kebodohanku. Inilah akibat cambuk Suwela kemarin." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dugaannya masih juga terpancang di dalam hatinya. Bahwa suara bayangan hitam semalam pernah didengarnya. Apalagi ketika ia melihat jalur-jalur di dada Bramanti itu. Namun Panjang masih tetap raguragu. "Baik Bramanti," berkata Panjang kemudian, "Aku hanya ingin berbicara denganmu. Mungkin kau tahu maksudku, tetapi mungkin pula sama sekali tidak. Aku kira sebaiknya kau berterus terang apabila kau mengerti maksud pembicaraan ini." Tetapi Panjang menjadi kecewa ketika Bramanti menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku tidak tahu maksudmu Panjang." PANJANG menggigit bibirnya. Kemudian diletakkannya kepalanya di atas jemari kering itu kembali sambil berkata, "Baiklah. Terima kasih Bramanti," kemudian kepada kawannya yang mengemudikan pedati itu ia berkata, "Marilah, kita berjalan lagi. Temunggul akan mengunjungi aku di rumah setelah ia datang ke rumah Suwela. Bahkan mungkin sekarang Temunggul sudah berada di rumahku." Pedati itu kemudian berjalan lagi dengan suaranya yang berderak-derak di atas jalan yang berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh. Sekali-kali anak-anak muda yang berjalan di sisi pedati itu masih juga berpaling memandangi wajah Bramanti yang tegang, yang masih saja berdiri di tengah jalan. "Hem," Bramanti menarik nafas dalam sekali. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk ke dalam regol halamannya. Perlahan-lahan ia bergumam, "Cerdik juga Panjang itu." 57 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Ah," desahnya kemudian, "Aku tidak peduli apa yang terjadi atasnya. Lebih baik aku tidak mengetahui apa-apa daripada melibatkan diri dalam kesulitan yang mungkin sulit terkendali untuk seterusnya. Tetapi Bramanti tidak dapat berbuat demikian. Setiap kali ia masih juga memperhatikan perkembangan yang terjadi di Kademangan Candi Sari. Bahkan kadangkadang terlalu sulit baginya untuk tidak ikut memikirkan persoalan-persoalan yang menyangkut Kademangannya. Namun bagaimanapun juga Bramanti tetap berusaha untuk tidak mencampurinya secara langsung. Sementara itu Suwela dan Panjang berangsur-angsur menjadi baik kembali. Keduanya sudah dapat berada di lingkungan anak-anak muda lagi, meskipun masih harus tetap berhati-hati dengan luka-lukanya. Geseran-geseran kecil saja akan dapat membuat luka-luka itu berdarah lagi. Namun untuk tetap tinggal di rumah, agaknya terlalu menjemukan bagi kedua anak-anak muda itu. Yang mengherankan bagi Bramanti setelah peristiwa sepasang harimau itu, Panjang kadang-kadang ke rumahnya tanpa maksud tertentu. Berbeda dengan anak-anak muda yang lain. Panjang bersikap jauh lebih baik kepadanya. Meskipun kemudian Panjang tidak pernah memperkatakan harimau itu lagi, tetapi ia masih tetap berkunjung ke rumah Bramanti apabila lewat jalan di depan regol halaman rumah itu. "Kau terlampau menyendiri Bramanti," berkata Panjang. "Bukan maksudku," jawab Bramanti. "Tetapi kau tahu, akibat yang harus terjadi apabila aku datang di antara mereka. Aku selalu mengalami gangguan-gangguan yang dapat membuat aku hampir kehilangan akal. Kadang-kadang timbul niatku untuk pergi lagi dari Kademangan ini. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan ibu yang semakin tua, dan juga aku harus menunggui tanah ini, tanah warisan." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Kami anak-anak muda Candi Sari, masih dibayangi oleh ceritera tentang kematian ayahmu, sehingga mula-mula kami bercuriga, kalau-kalau kau ingin melepaskan dendam." "Sudah aku katakan. Aku tidak akan melakukannya." "Karena itu, kau harus telaten. Setiap kali kau datang ke Kademangan dan berkumpul dengan kawan-kawan yang lain. Pada suatu saat mereka akan melupakannya dan kau akan menjadi keluarga kami kembali seperti pada masa kanak-kanak." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku akan mencoba. Mudah-mudahan aku berhasil. Tetapi apabila setiap kali aku mengalami perlakuan yang kasar, mungkin aku terpaksa meninggalkan Kademangan ini lagi." Panjang memandangi wajah Bramanti dengan penuh keragu-raguan. Tetapi ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan. Dan sejenak kemudian ia berkata, "Bramanti, dua hari lagi, aku dan Suwela akan diterima dengan resmi menjadi anggota pengawal Kademangan ini. Dengan demikian aku sudah berhak memakai baris merah pada kedua ujung lengan bajuku." "Aku mengucapkan selamat Panjang," jawab Bramanti yang kemudian bertanya. "Apakah kekhususan dari anggota pengawal itu dari anak-anak muda yang lain?" "Sebenarnya justru kewajiban kamilah yang menjadi lebih banyak. Kami harus berdiri di depan apabila terjadi sesuatu dengan Kademangan ini." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan isi hatinya. Namun kemudian terucapkan juga, "Panjang, bagaimana pendapatmu tentang Panembahan Sekar Jagat sebagai seorang anggota pengawal." Seleret warna merah memercik di wajah Panjang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. "Kenapa kau bertanya tentang Panembahan Sekar Jagat?" bertanya Panjang. "Bukankah setiap kali ia datang ke Kademangan ini untuk merampas hak milik rakyat di Kademangan ini" Semakin lama menjadi semakin berani. Apakah itu bukan termasuk kewajiban dari anggota Pengawal dan bahkan setiap laki-laki di Kademangan ini?" Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kau benar. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa dengan demikian Kademangan ini justru tidak akan dihancurkannya" Apakah kita yakin bahwa kita akan dapat melawan seluruh kekuatan Panembahan Sekar Jagat yang menurut pendengaran kami 58 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan memiliki kekuatan sepasukan orang-orang yang sukar dicari tandingannya." Bramanti tidak menyahut lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Untuk sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa atas anak-anak Panembahan Sekar Jagat itu," berkata Panjang kemudian. "Dan aku kira kita tidak usah memikirkannya. Ki Jagabaya pasti akan membuat perhitungan-perhitungan yang baik, apabila saatnya tiba." "Ya," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Datang sajalah dua hari lagi di Kademangan." "Aku takut, Panjang. Aku takut kalau peristiwa di arena pendadaran itu terulang lagi." Panjang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Penerimaan secara resmi itu dilakukan pada malam hari. Kau akan mendapat kesempatan cukup untuk melindungi dirimu di antara para penonton yang lain. Menurut rencana penerimaan kami berdua kali ini akan menjadi lebih meriah dari waktu-waktu lampau karena peristiwa sepasang harimau yang hampir mengambil nyawaku itu, seandainya tidak ada seseorang yang menolong kami. Bramanti tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. "Kau akan dapat melihat kemeriahan Kademangan ini, meskipun kami selalu merasa dibayangi oleh Panembahan Sekar Jagat." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan aku mempunyai keberanian untuk melihat." "Kau akan melihat gadis-gadis Kademangan ini menari dan berdendang," Panjang berhenti sejenak, lalu. "Apakah kau sudah mengenal sekuntum bunga di antara gadis-gadis di Kademangan ini" Seorang penari yang tidak ada bandingnya?" Bramanti menggelengkan kepalanya. "Belum," jawabnya. "Tentu sudah kau kenal di masa kanak-kanak." "Siapa?" "Namanya Ratri," "O," tiba-tiba saja Bramanti berdesir. Namun ia berusaha untuk melenyapkan segala macam kesan di wajahnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, "Ya, aku memang sudah menenalnya. Bukankah Ratri balak isteri Temunggul itu yang kau maksud?" "He?" Panjang mengerutkan keningnya, "Siapa yang mengatakan bahwa Ratri bakal istri Temunggul?" "Oh," Bramanti tergagap. "Maksudku, bukankah mereka telah berjanji untuk kemudian hidup bersama-sama." Tiba-tiba Panjang tertawa. Katanya, "Kau salah. Mungkin kau pernah melihat Temunggul berjalan mengikuti Ratri. Tetapi mereka sama sekali belum membuat hubungan apapun." "Temunggul sendiri berkata kepadaku," akhirnya Bramanti berkata terus terang. Suara tertawa Panjang menjadi semakin keras, sehingga perutnya berguncangguncang. "Temunggul hanya bergurau," katanya. Tetapi dengan sungguh-sungguh Bramanti menjawab. "Temunggul tidak pernah bergurau dengan aku. Ia mengatakannya dengan wajah yang tegang." "Kenapa tiba-tiba saja hal itu dikatakan kepadamu," bertanya Panjang. Bramanti terdiam. Ia menjadi bingung untuk menjawab. Sehingga katanya demikian, "Aku kurang menyadari waktu itu, apakah sebabnya tiba-tiba saja Temunggul mengatakannya." "Itu suatu lelucon yang baik bagi kami." Bramanti tiba-tiba memotong. "Jangan. Jangan kau tanyakan kepada Temunggul. "Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi barangkali kau perlu mendengar juga, bahwa Temunggullah yang tergila-gila kepada gadis itu. Gadis itu sendiri sama sekali tidak tahu menahu. Seandainya ia tahu, ia sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, meskipun di antara anak-anak muda di Kademangan ini Temunggul adalah seorang yang paling unggul. Unggul dalam segala hal." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Lalu anak muda yang manakah yang akan 59 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan dicarinya?" "Entahlah," jawab Panjang, "Kalau ia tahu, mungkin anak muda yang menolongku itulahyang dicarinya. "Ah," Bramanti berdesah. Tetapi kemudian ia tersenyum. "Apakah Ratri mengenal orang yang menolongmu" Dan apakah kau yakin bahwa yang menolongmu itu seorang anak muda, dan bukan seorang yang telah melampaui setengah abad?" Panjang tertawa. Namun kemudian ia berdiri sambil berkata, "Ah, aku akan lupa waktu bila aku berbicara tentang Ratri. Pergi sajalah dua hari lagi ke Kademangan. Gadis itu pasti akan menari. Mungkin tari Kirana dan Panji, tetapi mungkin juga yang lain, yang dipetik dari Kisah Mahabarata atau kisah-kisah yang lain." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Akan aku coba kalau aku cukup mempunyai keberanian." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, "Baiklah. Sekarang aku minta diri." Panjang pun kemudian meninggalkan halaman rumah Bramanti, sementara Bramanti Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kembali meletakkan dirinya duduk di bawah sebatang pohon sawo yang rindang. Anak muda itu tidak menyadari, bahwa ibunya mengintip dari celah-celah pintu rumahnya. Sambil mengelus dada perempuan tua itu berkata kepada dirinya sendiri. "Syukurlah. Agaknya Bramanti telah mendapat seorang teman." Dua hari kemudian Kademangan Candi Sari menjadi sibuk. Setiap orang telah memperkatakan masa-masa penerimaan Suwela dan Panjang yang lebih meriah dari masa-masa sebelumnya, karena masamasa yang menegangkan yang telah dialami oleh kedua anak-anak muda itu. Ketika matahari merendah di ujung langit, maka Kademangan menjadi semakin ramai. Anak-anak sudah mulai berdatangan. Mereka berlari-lari di halaman sambil berteriak-teriak. Seolah-olah dunia bagi mereka adalah ajang kegembiraan, tanpa kesulitan dan tanpa keprihatinan. Angin senja yang silir telah menggerakkan daun-daun nyiur yang hijau kemerahmerahan oleh sinar matahari yang masih tersangkut. Seakan-akan ikut menari-nari dalam kegembiraan yang menyeluruh di Kademangan Candi Sari. SEMAKIN rendah matahari, halaman Kademangan menjadi semakin meriah. Ketika warna-warna hitam telah mulai menyaput halaman itu, maka lampu-lampu dan oborobor pun mulai dinyalakan orang. Anak-anak menjadi semakin ramai berlari-lari sembunyi-sembunyian. Satu-satu anak-anak muda telah mulai berdatangan pula. Bahkan orang-orang tua dan perempuan- perempuan yang ingin melihat kemeriahan yang jarang-jarang diselenggarakan. Temunggul dan beberapa orang yang berkewajiban menyelenggarakan malam keramaian itu telah menjadi sibuk mengatur segala sesuatunya. Mereka harus menempatkan dan mengatur tempat-tempat duduk dan tempat-tempat upacara penerimaan. Sedang seperangkat gamelan telah di atur pula di bagian depan. Sementara itu di gandok sebelah Timur, para penari telah sibuk memilih pakaian yang akan mereka pakai. Sejenak kemudian merekapun telah mulai berhias. Di antara mereka terdapat seseorang penari yang paling dikagumi di Kademangan itu, Ratri. Ratri sendiri, meskipun ia menyadari kelebihannya dari kawan-kawannya, namun sebenarnya ia tidak ingin sama sekali mendapat sanjungan yang berlebih-lebihan. Sebagai seorang gadis ia memang berbangga di dalam hati. Tetapi ia justru cemas akan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Kelebihan-kelebihan itu akan sangat menarik perhatian orang. Apalagi anak-anak muda. Dengan demikian maka kelebihankelebihan yang ada padanya itu akan dapat menyeretnya ke dalam kesulitan. Ketika gelap malam telah menyelubungi Kademangan Candi Sari, maka upacara penerimaan kedua anak-anak muda itupun segera dimulai. Temunggul bersama Ki Demang dan Ki Jagabaya telah siap untuk mengucapkan kata-kata penerimaan dan memberikan baju yang berjeleret merah di kedua ujung lengannya. Tetapi upacara itu sendiri sama sekali tidak menarik bagi anak kecil. Mereka bersungut-sungut ketika 60 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan anak-anak muda, kakak-kakak mereka bertepuk tangan menanggapi upacara itu. Yang ditunggu oleh anak kecil adalah berbagai macam pertunjukkan. Dan bahkan sebagian anak-anak muda pun mengharap agar upacara itu pun segera selesai, agar mereka segera dapat menyaksikan berbagai macam tari-tarian. Terutama tarian yang akan dibawakan oleh Ratri. Tepuk tangan seolah-olah meruntuhkan langit ketika upacara penerimaan itu sudah selesai. Suwela dan Panjang kini telah berhak memakai baju-baju yang berciri anggota Pengawal Kademangan. Dengan demikian maka yang berikutnya adalah acara keramaian dengan berbagai macam pertunjukan. Mata para penonton seolah-olah terpaku ketika dipendapa itu mulai muncul seorang penari. Dan penari itu adalah Ratri. Dengan indahnya ia membawakan tarian tunggal. Tarian yang menggambarkan seorang gadis yang meningkat remaja sedang bersolek. Kemudian berdendang sambil mendukung sebuah golek, yang seolah-olah seorang bayi yang sedang dibuai oleh ibunya agar segera tidur. Ingatan penonton segera dilarikan kepada sebuah golek yang besumber pada cerita Panji, Timun Emas. Timun Emas yang sedang bermain-main dengan golek kencana ketika tiba-tiba seorang raksasa datang hendak menangkapnya. Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip menyaksikan tarian itu. Bukan sekadar tariannya, tetapi penarinya. Seorang gadis remaja yang cantik. Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang sempat memperhatikan, bahwa di antara para penonton terdapat empat orang yang tidak begitu di kenal di Kademangan Candi Sari. Empat orang yang bertubuh kekar dan kasar. Seorang di antara mereka sama sekali tidak melepaskan sekejap pun wajah Ratri yang seolaholah bulan bulat yang cemerlang di langit. Orang itu menggapit kawannya yang berdiri di sampingnya sambil berbisik, "He, siapakah gadis itu?" "Aku dengar orang menyebut namanya Ratri." "Aku belum pernah melihat gadis secantik itu." Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana kalau sekali-kali kita tidak mengambil harta di Kademangan ini?" Naga Sasra Dan Sabuk Inten 26 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Pendekar Cacad 20