Tanah Warisan 3
Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 3 "Maksudmu?" ORANG itu tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Senyumnya membayangkan suatu maksud yang sama sekali tidak semanis senyum itu sendiri. Sedang kumisnya yang lebat bergerak-gerak di atas bibirnya yang tebal. "Kalau itu yang kau maksudkan," berkata kawannya yang agaknya dapat dimengerti maksud orang yang berkumis itu, "Terserahlah kepadamu. Itu tidak termasuk tugas kita." "Apa salahnya kadang-kadang kita memikirkan diri kita sendiri." Tiba-tiba kawannya yang lain menyahut, "Aku sependapat. Apa salahnya" Kita tidak mengingkari kewajiban kita." "Aku tidak berkeberatan. Gadis itu memang cantik sekali." "Jadi bagaimana" Apakah kita ambil saja gadis itu sekarang juga" Tidak akan ada seorang pun yang berani merintangi. Seandainya ada, maka orang itu harus kita selesaikan, sebagai contoh bahwa niat kita tidak akan dapat dihalangi lagi oleh siapapun." Tetapi kawannya menggelengkan kepalanya. "Kau tidak pernah dapat bersabar. Kalau kau keberatan berbuat demikian, halaman ini akan menjadi kacau. Kemarahan yang tidak tertahankan akan membuat anak-anak muda itu menjadi gila. Mungkin mereka tidak sabar lagi dapat menahan hati. Seandainya kita harus berkelahi melawan mereka dalam keadaan serupa itu, kita masih harus berpikir lagi. Apalagi yang kita ambil kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas kita." "Jadi bagaimana sebaiknya?" "Nanti sesudah semua ini selesai. Kita ikuti ke mana gadis itu pergi." "Aku sudah pernah melihat rumahnya," tiba-tiba yang seorang, yang sejak semula tidak ikut berbicara memotong. "Dimana, dan kenapa kau tahu rumahnya?" 61 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Aku pernah mengambil sesuatu dari rumahnya. Gadis itu memang bernama Ratri." "Lalu?" "Kita ambil saja gadis itu di rumahnya." "Aku tidak sabar. Kita tunggu saja ia di jalan ke rumahnya itu." "Baiklah." Keempatnya kemudian telah sepakat untuk mengambil gadis itu di jalan pulang. Mereka sama sekali tidak perlu mencemaskan apapun di Kademangan yang seolah-olah telah mereka kuasai itu. Apalagi keempat orang itu terlampau yakin, bahwa tidak seorangpun dari penghuni Kademangan ini yang pantas diperhitungkan. Keempat orang itu tahu betul bahwa orang-orang Kademangan ini selalu diselubungi ketakutan apabila mereka mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Dan sekali-kali mereka sempat juga melihat tanpa diketahui oleh orang-orang Kademangan itu, latihan-latihan yang diadakan oleh para anggota pengawal yang kadang-kadang dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri. Pertunjukan seterusnya sama sekali tidak menarik lagi bagi keempatnya. Mereka bahkan menjadi gelisah dan darah mereka seakan-akan telah merayap sampai ke kepala. Setiap kali Ratri naik ke pendapa, wajah-wajah mereka menjadi merah padam. "Aku hampir menjadi gila," desis yang berkumis. Yang lain tidak menyahut. Mereka hanya berdesis sambil menggigit bibir mereka. BETAPA lambatnya, malam pun menjadi semakin malam. Satu-satu acara di pendapa itu terselesaikan. Dan keramaian itupun mendekati akhirnya. "Setan," orang berkumis itu menggerutu. "Hampir tengah malam. Ada saja pertunjukkan yang masih disajikan. Gila. Apakah mereka tidak lelah juga?" Ketika kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka pun menjadi tidak sabar pula. Tetapi akhirnya semua acarapun telah lewat. Satu-satu para penonton meninggalkan halaman Kademangan. Anak-anak yang tertidur di dukung oleh ayah atau ibu mereka di bawa pulang ke rumah masing-masing. Yang terakhir meninggalkan halaman itu adalah para penari dan anak-anak muda anggota pengawal Kademangan yang harus mengantar mereka, selain yang memang bertugas ronda di Kademangan. Karena mereka berjalan ke arah yang berbeda, maka Temunggul telah membagi para pengawal dalam kelompok-kelompok kecil ke arah yang berbeda-beda pula. Namun sudah tentu bahwa Temunggul sendirilah yang akan mengantarkan Ratri pulang, bersama satu dua orang yang rumahnya berdekatan. "Aku berani pulang sendiri," bisik Ratri kepada kawannya. "Temunggul tidak perlu mengantarkan aku." "Huh," kawannya, seorang gadis yang gemuk mencubitnya, "Kau ini ada-ada saja Ratri. Apakah keberatannya" Apalagi Temunggul sendiri yang akan mengantarkanmu. Adalah kebetulan saja rumahku dekat dengan rumahmu. Kalau tidak, tentu Temunggul tidak akan mengantarkan aku." "Apakah bedanya aku dan kau dan yang lain-lain. Dan apakah bedanya Temunggul dan para pengawal yang lain." Temannya yang gemuk itu tertawa. Katanya, "Bedanya, kau cantik seperti bidadari. Aku tidak." "Bohong, bohong," Ratrilah yang kemudian mencubiti kawannya yang gemuk itu. Meskipun kulitnya seakan-akan kebal, namun ia menjerit kecil, "Aduh, jangan Ratri." "Kau selalu menggangguku." "Baiklah, aku tidak mengganggumu lagi. Tetapi anggaplah tidak ada bedanya, siapapun yang mengantarkan. Temunggulpun tidak berkeberatan. Begitu." "Ah," Ratri tidak menyahut. Kawannya yang gemuk itu tersenyum ketika Temunggul masuk ke dalam gandok sambil berkata, "Semua sudah pulang. Kini aku sudah selesai. Marilah, aku antar kalian pulang." Ratri tidak menjawab. Dijinjingnya selendangnya dan beberapa macam peralatan kecil yang lain. Kemudian bersama kawannya yang gemuk itu ia melangkah ke luar. Di luar masih ada seorang gadis 62 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan lain yang akan berjalan bersamanya. Kemudian mereka bertiga berjalan berbimbing tangan di dalam gelapnya malam. Temunggul dan seorang pengawal yang lain berjalan di belakang mereka bertiga. Mereka hampir tidak berbicara sepatah katapun. Dalam dinginnya malam, mulut-mulut mereka serasa menjadi terlampau malam untuk dibuka. Tetapi, tidak seorang pun di antara mereka yang menyadari bahwa empat pasang mata yang tajam selalu memperhatikan mereka. Keempat orang itu adalah orang yang menyebut dirinya kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, yang dipimpin oleh Wanda Geni. "Lihat," berkata Wanda Geni. "Mereka telah datang." "Bertiga," sahut kawannya. "Tidak, berlima," berkata yang lain. "Bukan, maksudku tiga orang gadis dan dua pengantarnya." "Ya. Mereka tidak akan menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan kita disini, di desa mereka sendiri." Wanda Geni tersenyum. Katanya, "Aku akan membawanya pulang. Bukankah tidak termasuk pantangan bagi kita" Yang tidak diperkenankan adalah hasil rampasan yang berupa harta benda. Tetapi kali ini sama sekali bukan harta dan bukan pula benda-benda berharga." "He," kawannya mengerutkan keningnya, "Kenapa kau bawa pulang?" "Itu urusanku. Kalau kalian memerlukannya, ambillah yang dua." Kawan-kawannya mengerutkan alisnya. Tetapi mereka tidak membantah lagi, karena iring-iringan kecil itu sudah menjadi semakin dekat. "BIARLAH mereka lampau. Aku akan mencegatnya di depan, dan kalian menahan di belakang." Ketiga kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian Ratri dan kedua kawannya di antar oleh Temunggul dan seorang anggota pengawal yang lain, lewat tepat di hadapan ke empat orang yang sedang mengintai dari balik rimbunnya dedaunan di dalam halaman seseorang. Kepala-kepala mereka tersembul di antara helaian daun-daun perdu di atas pagar-pagar batu. "Sekarang," tiba-tiba Wanda Geni berdesis. Seperti anak-anak tupai, maka keempatnya segera berloncatan lewat di atas pagarpagar batu, langung ke tengah-tengah jalam. Wanda Geni mencegat di depan, sedang di belakang mereka tiga orang kawan-kawannya. Temunggul terkejut bukan buatan. Apalagi ketiga gadis-gadis itu sehingga mereka terpekik dan melangkah surut. Namun ketika di belakang mereka pun berdiri tiga orang yang belum mereka kenal, maka mereka pun segera menjadi gemetar. "Siapa kau," bertanya Temunggul kepada seorang yang berdiri di depan. Terdengar suara tertawa perlahan-lahan, "Jangan bikin ribut anak-anak. Hari telah larut malam." "Siapa kau," sekali lagi terdengar suara Temunggul. Suara tertawa itu masih terdengar. Di antara suara tertawa itu orang-orang yang berdiri di hadapan iring-iringan itu menjawab, "Namaku Wanda Geni." "He," hampir terpekik Temunggul mendengar nama itu. Apalagi pengawal yang seorang dan ketiga gadis-gadis itu. "Tetapi, tetapi," Temunggul menjadi agak tergagap. "Apakah maksud kalian mencegat perjalanan kami. Bukankah masih belum lama kalian datang ke Kademangan ini untuk mengambil berbagai macam barang-barang rakyat kami?" "Ya, memang belum waktunya kami datang kembali ke Kademangan ini untuk memungut upeti," jawab Wanda Geni. "Lalu, apakah maksud kalian menghentikan kami?" Suara tertawa Wanda Geni semakin menggetarkan jantung Temunggul dan apalagi gadis-gadis itu. "Kali ini aku mempunyai keperluan yang khusus," jawab Wanda Geni. "Aku tidak memerlukan harta dan 63 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan benda-benda yang berharga, tetapi aku memerlukan yang lain. Dada Temunggul menjadi semakin berdebar-debar. "Aku adalah manusia biasa seperti kau, seperti orang-orang lain itu pula. Aku memerlukan isi apabila hidupku terasa sepi. Nah, mungkin kalian dapat mengerti sekarang. Ketahuilah bahwa isteriku telah mati dua tahun yang lalu. Setengah tahun kemudian aku mencoba kawin lagi. Tetapi isteriku yang kedua itu sama sekali tidak setia. Itulah sebabnya, aku melarikan diri dari pergaulan yang wajar. Aku mencoba melupakan semua kepahitan itu dengan caraku. Namun ternyata aku tidak dapat lari dari kesepian. Nah, aku harap kalian dapat membantu." Kata-kata itu bagaikan petir yang meledak di atas kepala gadis-gadis itu. Segera mereka menangkap maksud Wanda Geni. "Dalam kesepian itu, tiba-tiba aku melihat seorang yang tiada taranya yang pernah aku jumpai. Aku mendengar gadis itu bernama Ratri. Nah, sekarang soalnya, apakah aku dapat membawa Ratri pulang." Ratri hampir menjadi pingsan mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta dipeluknya kedua kawannya erat-erat. Nafasnya menjadi terengah-engah dan tidak sepatah kata pun dapat diucapkan. "Kemudian," berkata Wanda Geni. "Ketiga kawan-kawanku itupun memerlukan teman. Bukankah kedua gadis itu dapat kami bawa serta untuk mengawani Ratri." Temunggul berdiri tegak seperti patung. Jantungnya bergejolak seperti di landa angin pusaran. Sebagai seorang pengawal ia wajib melindungi setiap orang yang berada di dalam lingkungan Kademangan Candi Sari. Sebagai seorang laki-laki ia harus melindungi gadis-gadis itu. Apalagi gadis itu adalah Ratri. Tetapi tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Wanda Geni. Dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat. PELUH dingin telah mengalir membasahi segenap pakaiannya. Pakaian yang paling baik yang dipunyainya. Sedang kawannya, seorang pengawal yang lain, membeku pula di tempatnya. Kedua anak-anak muda itu sebenarnya bukan penakut. Tetapi berhadapan dengan orang-orang Sekar Jagat, mereka terpaksa membuat terlampau banyak pertimbanganpertimbangan. "Bagaimana" Bukankah kau yang bernama Temunggul yang menjadi pemimpin anak-anak muda Kademangan ini." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya di luar sadarnya, "Ya," jawabnya. "Kalau begitu, kau dapat memutuskan sekarang. Apakah kau berkeberatan atau tidak," berkata Wanda Geni kemudian. Temunggul tidak segera dapat menjawab. Dipandanginya senjata Wanda Geni yang masih tergantung dipinggangnya. Kemudian tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi ketiga kawan-kawan Wanda Geni yang berdiri dengan garangnya. "Anak muda," berkata Wanda Geni. "Apakah kalian ingin melawan?" Keringat Temunggul dan seorang kawannya itu semakin deras mengalir di punggung dan di kening. Sejenak mereka saling berpandangan. "Bagaimana?" desak Wanda Geni. "Kenapa kalian berbuat seperti itu?" bertanya Temunggul tiba-tiba. "He" Kau bertanya kenapa?" "Ya." "Sebaiknya kalian tidak usah mencari sebab itu. Sekarang kalian harus menjawab, apakah kalian akan melawan atau tidak?" Sebenarnya Temunggul mengakui di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan mampu melawan Wanda Geni. Apalagi berempat, sedang seorang lawan seorang pun ia tidak akan berbuat banyak. Namun apakah ia harus menyerahkan Ratri di bawa orang-orang liar itu" "Jawab," tiba-tiba Wanda Geni membentak, kemudian katanya. "Aku dapat berbuat apa saja yang aku kehendaki. Membunuh kau berdua dan membawa gadis-gadis ini. Kalau kau membuat aku marah, aku dapat pergi sambil membakar satu dua atau bahkan sepuluh duapuluh rumah di Kademangan ini. Biarlah 64 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan semua orang terbangun dan mengeroyok kami berempat. Maka kalian akan melihat bangkai yang berhamburan di seluruh halaman Kademangan ini. Bahkan seandainya Ki Demang, Jagabaya dan bahu Kademangan yang lain ikut serta pula mereka pun akan menjadi tawur dan rabuk tanah Kademangan ini." Temunggul masih belum menjawab. Namun ketika sekilas terpandang wajah Ratri yang ketakutan, tiba-tiba kejantanannya tersentuh, sehingga dengan tatag ia berkata, "Jangan kau teruskan niat itu. Lebih baik kalian mengambil harta benda yang ada di Kademangan ini, aku tidak akan berani menghalangi. Tetapi tidak semestinya kalau kau tiba-tiba menginginkan seorang gadis. Betapapun biadabnya cara-cara hidup kita sebagai manusia, namun merampas kebebasan seseorang dengn semena-mena apalagi seorang gadis, adalah tidak masuk di dalam akal kami." "He," Wanda Geni mengerutkan keningnya. "Kau berani menasehati aku he" Kau berani menentang keinginan kami apapun alasannya" Apalagi dengan demikian kau menganggap bahwa kami telah berbuat melampaui kebiadaban orang yang paling biadab." "Kau ternyata dapat menilai persoalan ini sendiri. Baiklah aku memang ingin mengatakan demikian." Wajah Wanda Geni menjadi merah semerah darahnya, ia tidak pernah mendengar seorang berani menunduhnya sedemikian menyakitkan hati. Apalagi yang mengucapkan tuduhan itu adalah seorang kanak-kanak yang baru pandai bermain loncat-loncatan. Seandainya di tempat itu tidak ada seorang gadis yang bernama Ratri, maka Wanda Geni pasti sudah menjadi buas dan liar. Dan Temunggul pun pasti tidak akan dapat melihat matahari terbit di esok hari. Betapa dadanya akan pecah, namun Wanda Geni masih menahan dirinya. Namun ia tidak mau membiarkan Temunggul mengumpatinya lagi. Karena itu, maka sebagai seorang pemimpin dari Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kelompok kecil pengikut Panembahan Sekar Jagat, Wanda Geni segera mengangkat wajahnya sambil berkata dengan suara gemetar, "He, kenapa kalian tidak berbuat sesuatu. Anak ini telah menghina aku, tetapi ia sama sekali bukan lawanku." KETIGA kawan-kawan Wanda Geni mengerutkan keningnya. Mereka agak menjadi heran, bahwa Wanda Geni masih saja dapat menahan dirinya. Namun perintah itupun telah menggerakkan mereka selangkah maju. Temunggul bergeser setapak. Ternyata yang harus dihadapinya adalah ketiga orang yang berdiri di belakang. "Tetapi, berkata Wanda Geni. "Jangan kau bunuh anak-anak itu. Buatlah mereka jera, supaya mereka tidak menghalangi niat kita. Biarlah aku menunggui gadisgadis itu supaya tidak meninggalkan kita disini." "Baiklah," jawab salah seorang temannya. Kemudian katanya kepada Temunggul. "Aku masih ingin memperingatkan kau Temunggul. Bukankah namamu Temunggul" Sebaiknya kau tidak usah melawan. Sebab di dalam perkelahian, kadang-kadang aku lupa diri. Mungkin aku sama sekali tidak bermaksud membunuhmu. Tetapi tanpa aku sengaja tanganku menyentuh keningmu, sehingga kau mengalami gegar otak. Kalau kau mati dalam keadaan demikian, jangan sekali-kali menyalahkan aku." Darah Temunggul tiba-tiba menjadi mendidih. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, "Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian berbuat biadab terhadap gadis-gadis Kademangan kami. Selama ini kami tidak berani berbuat apa-apa terhadap kalian, meskipun kalian telah merampas harta benda kami. Tetapi perbuatan kalian sudah melampaui batas kesabaran kami disini." "Jangan kau beri kesempatan ia berbicara lagi," Wanda Geni menjadi tidak sabar. "Bungkam mulutnya. Kemudian kita tinggalkan tempat ini, sebelum aku menjadi semakin marah dan membakar seluruh Kademangan ini." "Baik, baik," jawab kawannya. Mereka pun kemudian melangkah semakin maju sedang Temunggulpun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Karena Temunggul pun telah bersiap, maka kawan-kawannya yang seorang pun bersiap pula. 65 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Meskipun demikian, Temunggul dan kawannya tetap menyadari bahwa mereka harus melawan orang- orang yang selama ini mereka takuti. Mereka merasa pula, bahwa mereka tidak cukup mampu untuk berkelahi melawan mereka. Apalagi berempat, sedang seorang lawan seorang pun mereka pasti akan mengalami kesulitan. Namun mereka pun tidak akan dapat membiarkan Wanda Geni berbuat semena-mena dengan melarikan gadisgadis. Bagaimanapun juga mereka harus mencoba mempertahankannya. Apalagi gadis itu bernama Ratri. Karena ketiga kawan-kawannya masih belum berbuat sesuatu, Wanda Geni pun segera membentak, "Cepat, apakah kalian menunggu pagi?" Ketiga orang itu berpaling sejenak. Kemudian maju lagi selangkah. Temunggul dan kawannya segera mendekatkan diri masing-masing. Mereka berusaha bertempur berpasangan. Namun sayang, bahwa mereka sama sekali tidak membawa senjata apapun, karena mereka sama sekali tidak bersiap untuk berkelahi. Mereka datang ke Kademangan untuk menyelenggarakan keramaian. Hanya para pengawal yang bertugas khususlah yang membawa senjata mereka. Dengan demikian, maka diam-diam mereka mengharap mudah-mudahan ada di antara kawan-kawan mereka yang sedang meronda lewat jalan ini pula. Namun yang masih menjadi pertanyaan mereka, apakah kawan-kawan mereka itu pun berani ikut bertindak menghadapi ketiga orang-orang itu ditambah dengan seorang Wanda Geni" Sejenak Temunggul masih sempat melihat halaman yang terbentang di sebelah menyebelah jalan itu. Pintu-pintu regol telah tertutup dan rumah-rumah yang tampak diseberang dindingdinding batu telah menjadi suram. Seandainya orang-orang yang tinggal di dalam rumah itu terbangun, dan mereka mendengar perkelahian yang ribut, mereka pasti tidak akan berani berbuat apa-apa apabila mereka tahu, bahwa yang ada di tempat itu adalah Wanda Geni dan ketiga kawan-kawannya pengikut Panembahan Sekar Jagat. Tetapi Temunggul dan kawannya tidak mendapat waktu lagi. Seorang dari antara ketiga orang lawannya telah mulai menyerang. Sebuah ayunan tangan yang cepat, mengarah ke kening Temunggul. Namun Temunggul pun telah bersiap pula. Dengan sigapnya ia menghindari serangan itu. NAMUN Temunggul terkejut. Orang itu tidak menyerangnya lagi, tetapi terdengar ia tertawa pendek, "Bagus," katanya "Begitulah pesan gurumu?" Temunggul tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak. Sementara ketiga gadis yang berjalan bersamanya menjadi ketakutan dan saling berpelukan dengan tangan gemetar. "Jangan takut," berkata Wanda Geni. Namun suaranya itu justru membuat ketiganya hampir pingsan. Orang yang menyerang Temunggul itu telah bersiap untuk menyerang lagi. Namun suara tertawanya masih terdengar sepotong-sepotong seolah-olah ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh. "Aku tidak sempat melihat kalian bermain-main," berkata Wanda Geni. "Cepat selesaikan. Dan segera kita bawa gadis-gadis ini kembali ke padepokan." Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka menjawab, "Baiklah. Aku pun sedang lesu untuk bermain-main di malam yang dingin ini." Maka sejenak kemudian ketiganya pun telah maju mendekati Temunggul dan kawannya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian maka mereka pun segera mulai dengan serangan-serangan mereka. Temunggul dan kawannya menyambut serangan-serangan itu dengan sepenuh kemampuan mereka. Serangan-serangan itupun mereka elakkan satu demi satu. Bahkan Temunggul yang dibakar oleh kecemasannya, bahwa Ratri akan dibawa oleh iblis-iblis itu, telah mulai membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan pula. Ratri dan kawan-kawannya menjadi semakin ketakutan. Mereka berpelukan dan berdesak-desakan. Sejenak kemudian mereka telah berdiri melekat pagar batu di pinggir jalan. Mulut-mulut mereka serasa terkunci, dan bahkan darah mereka pun serasa telah berhenti mengalir. 66 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Sementara itu Temunggul dan seorang kawannya masih berkelahi terus. Bahkan Temunggul dan kawannya itu merasa heran terhadap kemampuan mereka sendiri. Ternyata mereka tidak segera terpukul jatuh dan apalagi di lumpuhkan. Mereka masih juga mampu menghindar dan melawan. Ketiga orang-orang Wanda Geni itupun menjadi heran. Ternyata anak-anak yang menjadi pengawal Kademangan inipun mampu juga berkelahi. Karena itu, maka mereka semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin cepat dan berbahaya. Namun, Temunggul dan kawannya yang seorang itu, seolah-olah mendapat tenagatenaga yang ajaib. Selama ini mereka tidak pernah mempergunakan kemampuan mereka untuk bertempur mempergunakan kemampuan mereka segani itu. Ketika mereka tersudut dan terpaksa berkelahi, mereka menjadi heran sendiri, bahwa mereka mampu melakukannya. Tenaga mereka tidak terduga sama sekali, bahwa berkekuatan yang luar biasa SERANGAN-SERANGAN ketiga orang yang mampu mereka hindari dan bahkan mereka imbangi dengan serangan-serangan pula, telah membuat hati mereka semakin mekar. Ternyata orangorang Panembahan Sekar Jagat bukanlah hantu-hantu yang tidak terlawan. Dan kini mereka menghayati perlawanan itu. Wanda Geni yang melihat perkelahian itu berjalan semakin sengit, menjadi semakin tidak sabar, sekali lagi ia berteriak nyaring, "Cepat. Apalagi yang kalian tunggu?" Ketiga kawannya yang mendengar suara Wanda Geni itupun menggeretakkan gigi mereka. Mereka kemudian semakin mempercepat serangan-serangannya, susul menyusul berurutan. Dengan demikian, bagaimanapun juga kemampuan yang ada pada Temunggul dan kawannya yang hanya seorang itu, namun akhirnya mereka menjadi semakin terdesak pula. Mereka harus melawan orang-orang yang sudah jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam diri mereka. Apalagi mereka berdua harus menghadapi tiga orang sekaligus, sehingga semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan dapat dikalahkan. "Persetan," tiba-tiba Wanda Geni menggeram. "Kalian berkelahi seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian ragu-ragu. Kalau anak-anak itu tidak mau mendengar peringatanmu, maka bukan salah kalianlah apabila mereka terbunuh. Nah, lakukanlah apa saja yang pantas kalian lakukan. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku akan membawa Ratri lebih dahulu. Kalau kedua anak-anak gila itu sudah kalian selesaikan, susullah aku dan bawalah yang dua orang itu apabila kalian menghendaki." "Sebentar lagi pekerjaan kami akan selesai," desis salah seorang dari mereka yang sedang berkelahi melawan Temunggul. "Terserah," jawab Wanda Geni acuh tak acuh, "Aku akan mendahului." Kawan-kawannya tidak menjawab lagi, tetapi tandang merekalah yang menjadi semakin cepat, sehingga Temunggul dan kawannya pun menjadi semakin sulit untuk bertahan. Mereka terdorong mundur dan semakin mundur, sehingga jarak mereka semakin jauh dari ketiga gadis-gadis yang mereka antar dan kini sedang mereka pertahankan itu. Dada Temunggul menjadi semakin berdebar-debar ketika sekilas ia melihat Wanda Geni melangkah mendekati Ratri. Sejenak kemudian ia mendengar Ratri terpekik. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Serangan-serangan lawannya justru menjadi semakin dahsyat. Sekali-kali terasa tubuhnya tersentuh tangan lawan-lawannya. Bahkan kadangkadang dagunya atau pelipisnya, sehingga membuatnya beberapa kali terhuyunghuyung surut dan nyaris jatuh terlentang. Tetapi ketika ia sempat melihat Ratri sekilas, ternyata Wanda Geni masih berdiri beberapa langkah daripadanya. Ketika Wanda Geni maju lagi setapak, maka Ratri itu pun terpekik sekali lagi. "Apakah kau berusaha untuk mendapat pertolongan dari seseorang?" bertanya Wanda Geni. "Tidak seorang pun yang berani melawan selain kawanmu yang gila itu. Namun ia harus menebus kegilaannya itu terlampau mahal. Bahkan mungkin dengan nyawanya. Karena itu, tidak ada gunanya kau berteriak-teriak. Seluruh Kademangan, termasuk Ki Demang dan Ki Jagabaya pun tidak akan berani berbuat apa-apa. Apalagi orang-orang lain. 67 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Ratri memeluk kedua kawannya semakin erat. Semakin dekat Wanda Geni kepadanya, semakin erat ia berpegangan. Nafasnya menjadi terengah-engah dan jantungnya serasa akan meledak. Jantungnya berdebar-debar. Gejolak hatinya luar biasa. Terbayang di dalam kepalanya, apakah yang kira-kira akan terjadi atas dirinya, apabila ia jatuh ke tangan Wanda Geni. Sedang menurut perhitungannya Temunggul dan kawannya pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Meskipun sebelum terjadi peristiwa itu, Ratri sama sekali kurang menaruh perhatian terhadap Temunggul, meskipun Temunggul selalu berusaha mendekatinya, namun apabila ia harus memilih di antara mereka, Temunggul dan orang yang bernama Wanda Geni maka dengan ikhlas ia akan menyerahkan hatinya kepada anak muda, pemimpin anggota pengawal Kademangannya TETAPI apakah anak muda itu mampu berbuat demikian, melepaskan dirinya dari tangan Wanda Geni" Apalagi ketika ternyata Temunggul dan kawannya itu menjadi semakin terdesak. Mereka menjadi semakin jauh dan tidak mungkin untuk menolongnya kembali. Sekali-sekali Ratri mendengar orang-orang yang berkelahi melawan Temunggul itu tertawa, seolah-olah mereka sedang bermain-main dengan riangnya. "Pergilah dan bawalah gadis yang seorang itu," terdengar salah seorang dari ketiga orang yang berkelahi melawan Temunggul itu berteriak. "Aku ingin bermainmain sebentar lagi." Wanda Geni berpaling sejenak. Ia pun kemudian tertawa melihat perkelahian itu. Sejenak kemudian ia melihat Temunggul terdorong beberapa langkah surut. Ketika sebuah pukulan mengenai dagunya, maka anak muda itu pun tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya lagi sehingga ia terjatuh terlentang. Hampir bersamaan dengan itu, kawannyapun terdorong tanpa dapat mengendalikan diri, sehingga tiba-tiba saja ia telah jatuh menimpa Temunggul. "Bangun," berkata salah seorang dari lawan-lawan mereka, "Dan lihatlah, bagaimana gadis yang kau pertahankan itu di bawa oleh lurah kami, Ki Wanda Geni." Temunggul menggeram. Didorongnya kawannya, dan dengan sisa-sisa tenaganya ia meloncat berdiri. "Nah, agaknya kau memang ingin melihat," kemudian kepada Wanda Geni ia berkata, "Silakan. Bawa gadis yang kau kehendaki itu." Wanda Geni tertawa. Ia masih melihat kawan Temunggul berdiri tertatih-tatih. "Baiklah. Aku akan mendahului kalian," gumam Wanda Geni itu. Kemudian ia berpaling kepada Ratri sambil berkata, "Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menolak nasib yang akan terjadi atas dirimu. Kalau kau tidak ikhlas mengalami perlakuan ini, maka kau telah terjerat oleh kecantikanmu sendiri ke dalam keadan yang tidak kau kehendaki, seperti ceritera tentang seekor rusa yang mengagumi kecantikan tanduknya yang bercabang-cabang. Tetapi ketika bahaya mengancamnya, tanduknya itulah yang melemparkannya ke dalam malapetaka, karena ketika ia mencoba melarikan diri, tanduknya yang cantik itu telah terjerat pada sulursulur kayu. Nah, agaknya kaupun mengalami nasib seperti seekor rusa yang cantik." Ratri menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi berdiri pada sepasang kakinya. Dengan lemahnya ia bersandar pada dinding halaman di pinggir jalan itu. Di pandanginya Temunggul yang berdiri kaku di tempatnya dengan sepasang matanya yang membayangkan keputus-asaan. Temunggul tidak dapat melihat mata itu di dalam gelap. Tetapi ia tidak dapat merasakan, bahwa gadis itu pasti dicengkam oleh ketakutan dan kengerian yang tidak dapat digambarkannya. Nampak ia sendiri sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Ia menjadi terlampau lemah dan ia sendiri telah menjadi berputus asa. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Wanda Geni. Tiba-tiba saja dengan lantang ia berkata, "He, siapakah yang mengintip itu. Aku melihat kepala tersembunyi dari balik dinding. Kalau kau penghuni rumah sebelah, keluarlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku beri kau kesempatan untuk melaporkan peristiwa ini ke Kademangan. Aku ingin melihat apakah yang akan dilakukan terhadap kami." 68 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tetapi tidak ada jawaban. Dan dengan demikian Wanda Geni melangkah semakin dekat kepada Ratri. "Aku sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Marilah, Kau dapat memilih. Apakah kau akan menurut atau aku harus membuatmu pingsan dahulu." Ratri telah benar-benar tidak mampu lagi untuk berdiri meskipun bersandar dinding halaman. Tiba-tiba ia menjadi demikian lemahnya sehingga tangannya sajalah yang mencoba menahannya untuk berdiri. Tetapi kedua kawannya yang lainpun telah menjadi sedemikian takutnya, sehingga akhirnya mereka bertiga terduduk di tanah, seakan-akan semua tulang-tulang mereka telah terlepas dari tubuhnya. Wanda Geni mengerutkan keningnya melihat hal itu. Sejenak ia tertegun, namun sejenak kemudian ia berkata, "Baiklah, aku harus mendukungmu." TETAPI ketika Wanda Geni itu baru maju selangkah lagi, dan ketika Wanda Geni baru mengulurkan tangannya untuk menarik lengan Ratri yang masih berpegangan kepada kawannya, tiba-tiba udara malam yang dingin itu telah digetarkan oleh suara tertawa. Suara yang lain dari suara Wanda Geni dan ketiga teman-temannya. "Kau memang benar-benar seorang laki-laki jantan Wanda Geni," terdengar suara di antara sela-sela tertawanya. Serentak mereka yang mendengar suara itu berpaling. Mereka melihat bayangan yang kehitam-hitaman di dalam kesuraman malam, bertengger di atas dinding halaman di tepi jalan itu. Dada Wanda Geni serasa menjadi retak melihat dan mendengar orang itu tertawa. Dengan suara parau ia bertanya, "Siapa kau?" "Hem, apakah kau perlu mengetahui siapa aku?" "Sebut namamu. Apakah kau juga orang Kademangan ini?" "Huh," orang itu menyahut. "Tidak ada seorang pun dari Kademangan ini yang berani bersikap jantan, He, apakah kau pernah menemui perlawanan sedikitpun di Kademangan ini," suara orang itu melengking dengan nada yang semakin tinggi. "Kalau kau kali ini menemui perlawanan, adalah karena kegilaan laki-laki yang bernama Temunggul itu terhadap gadis yang akan kau bawa dan bernama Ratri itu. Apakah kau dapat mengerti" Bukan karena harga diri mereka sebagai pengawalpengawal Kademangan yang perkasa. Meskpun dua orang anggota mereka yang baru, ternyata dapat membunuh dua ekor harimau, tetapi mereka tidak berani mempertahankan hak mereka, apabila kau datang." "Aku tidak ingin mendengar sesorahmu. Sebut siapa namamu dan darimana kau datang?" "Wanda Geni," berkata bayangan itu. "Aku adalah seorang utusan dari Resi Panji Sekar, tetapi jangan salah, Panji Sekar adalah nama seorang Resi yang sakti yang tinggal di padepokannya di daerah Pliridan, sama sekali bukan nama dapur keris eluk sanga. Meskipun Resi Panji Sekar memiliki sebuah pusaka keris eluk sembilan dapur Panji Sekar." "Persetan dengan keris eluk sanga. Tetapi apa maksudmu datang kemari?" potong Wanda Geni. "Seperti kau," jawab bayangan hitam itu. "Aku mempunyai tugas untuk mengambil kekayaan yang ada di Kademangan ini seluruhnya yang masih tersisa. Aku memang ditugaskan untuk menemuimu dan minta agar kau menghentikan kegiatanmu di Kademangan ini. Kau sudah cukup lama melakukannya. Agaknya telah sampai waktunya untuk memberikan giliran kepadaku atas nama Resi Paji Sekar di Pliridan." "Setan alas," Wanda Geni mengumpat. "Apakah kau belum mengenal aku?" "Ya, aku kenal kau. Namamu Wanda Geni. Kau adalah utusan dari Panembahan Sekar Jagat. Bu-kankah begitu" Karena itu sebaiknya kau menghadap Panembahan Sekar Jagat dan menyampaikan salam Resi Paji Sekar. Kemudian minta keikhlasan Panembahan Sekar Jagat untuk mengalihkan daerah perampasannya dari Kademangan ini. "Cukup, cukup. Aku tidak mau mendengar kau mengigau lagi. Sebaiknya kau pergi dan kembali kepada Resi yang gila itu. Katakan, bahwa mimpinya itu akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sekarang, pergilah, aku mempunyai pekerjaan yang penting kali ini. Dan kali ini aku sama sekali tidak sedang 69 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan mengambil kekayaan apapun di Kademangan ini." "O," suara orang itu menjadi semakin meninggi. "Kau keliru Wanda Geni. Kecantikan adalah kekayaan yang tiada tara harganya. Bukan begitu" Karena itu, sebaiknya kau pergi menghadap Panembahan Sekar Jagat. Sampaikan pesan Resi Panji Sekar. Aku kira Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang cukup bijaksana. Jauh lebih bijaksana daripada kau sendiri." "Cukup," teriak Wanda Geni. "Pergilah. Atau kau mau mati?" "Kedua-duanya aku tidak ingin. Mati tidak, pergipun tidak." Wanda Geni menggeram. "Siapakah namamu?" "Putut Sabuk Tampar. Juga nama dapur keris eluk sanga." "PERSETAN dengan keris eluk sanga. Aku tidak peduli. Jangan kau sebut-sebut lagi. Sekarang pergilah. Pergilah." "Tidak. Aku tidak mau pergi." Wanda Geni sudah tidak dapat menahan diri lagi. Giginya terdengar gemeretak. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang masih saja duduk di atas dinding itu. "Aku terpaksa membunuhmu." Orang itu tertawa, Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dikembangkannya tangannya seperti hendak terbang. Dan sesaat kemudian ia meloncat langsung menyerang Wanda Geni yang mendekatinya. Wanda Geni mengelakkan serangan itu. Sebagai seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, ia memiliki bekal dan pengalaman yang cukup untuk bertempur melawan siapapun juga. Dan kini, dengan penuh kemarahan ia berkelahi melawan seseorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Ternyata orang yang menyebut dirinya Sabuk Tampar itu memiliki kelincahan yang luar biasa. Ketika serangannya yang pertama dapat dielakkan, maka segera ia melenting dan mengayunkan kakinya setengah putaran. Wanda Geni terkejut melihat sikap itu. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka kakinya telah tersentuh kaki lawannya. Tetapi Wanda Geni berhasil meloncat dan sentuhan itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya. Selain membakar kemarahannya yang memang telah meluap-luap. Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang dahsyat. Ternyata Wanda Geni yang tangguh itu kali ini dapat lawan yang lincah dan cekatan. Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Tampar itu, meloncat-loncat seolah-olah sama sekali tidak bergerak-gerak di atas tanah. Tangannya bergerak-gerak dengan cepatnya menyambar lawannya dari segala arah, seperti puluhan burung sikatan yang menari-nari mengitarinya. Tetapi Wanda Geni cukup mampu mempertahankan dirinya. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia selalu berusaha menangkis setiap serangan. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari benturan-benturan yang terjadi, karena ia merasa bahwa ia memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Namun kali ini ternyata lawannya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Selain kelincahannya yang nggegirisi, kekuatannyapun mengejutkan pula, sehingga setiap benturan telah membuat Wanda Geni menyeringai. Sementara itu, Temunggul dan kawannya seolah-olah berdiri membeku melihat perkelahian yang tidak disangka-sangkanya itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa persoalan itu akan berkembang dengan hadirnya orang baru yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dari Pliridan utusan Resi Panji Sekar. Dalam keremangan malam mereka melihat Putut Sabuk Tampar bertempur dengan lincahnya. Kadang- kadang geraknya sama sekali tidak dapat mereka ikuti. Terlampau cepat dan membingungkan. Namun agaknya bukan saja Temunggul dan kawan-kawannya yang kadang menjadi bingung. Ketiga kawan Wanda Geni itu pun memandang pertempuran itu dengan mulut ternganga. Sekali-kali mereka mendengar Wanda Geni mengumpat, kemudian menggeram dan bahkan kadang- kadang orang itu berteriak. Sedang lawannya masih juga sempat tertawa. "Apakah kau tetap pada pendirianmu?" tiba-tiba terdengar suara Putut Sabuk Tampar. 70 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Persetan," sahut Wanda Geni yang kini telah memegang sebilah parang ditangannya. "Kau harus mati karena pokalmu itu, maka kepalamu akan aku tanjir di gerbang Kademangan ini, supaya setiap orang yang menjadi utusan orang yang kau sebut bernama Resi Panji Sekar, dapat melihat bahwa nasib merekapun akan serupa dengan nasibmu itu." Perkelahian itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Meskipun Wanda Geni telah mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak mampu menguasai lawannya yang bertempur dengan lincahnya. Ayunan senjata Wanda Geni yang berdesing-desing seperti suara ribuan lebah itu, sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya, bahkan pakaiannya yang hitam. Temunggul dan kawannya masih saja membeku di tempat mereka. Juga ketiga gadisgadis yang terduduk itupun sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. Betapa ketakutan telah menguasai jantung mereka, sehingga mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. TEMUNGGUL yang berdiri tegak itu, masih juga berusaha melihat wajah orang yang baru itu, yang menyebut dirinya berasal dari Pliridan dan bernama Putut Sabuk Tampar. Tetapi dalam keremangan malam, wajah itu seolah-olah hanya sebuah bulatan yang hitam. Bahkan putih matanya pun tidak tampak olehnya. Ketika terpandang oleh Temunggul wajah Wanda Geni, betapapun samarnya, namun ia masih dapat melihat lekuk-lekuk yang jelas dan bahkan ia masih dapat melihat kumis yang melintang di atas mulutnya. "Wajah orang itu pasti sengaja dibuat menjadi semakin samar di dalam gelapnya malam," berkata Temunggul di dalam hatinya. Tetapi Temunggul tidak begitu berkepentingan dengan wajah itu. Yang lebih penting baginya adalah menghadapi persoalannya yang persoalan Ratri. "Apakah maksud orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu sesungguhnya?" pertanyaan itu melingkar-lingkar di dalam hatinya. Ketika ia memperhatikan perkelahian itu, maka kini semakin tampak bahwa Wanda Geni menjadi semakin terdesak meskipun ia bersenjata. Sekali-kali ia meloncat surut. Meskipun kemudian ia maju lagi sambil memutar parangnya, namun tiba-tiba ia harus mundur dan mundur lagi. Ketika ia berhasil mendesak Putut Sabuk Tampar sehingga orang itu tidak sempat mundur lagi karena tubuhnya telah melekat pada dinding batu di pinggir jalan itu, maka dengan sebuah teriakan nyaring Wanda Geni meloncat sambil menusukkan parangnya, ia tidak mau kehilangan kesempatan yang baik ini. Betapapun juga, seandainya Putut itu akan menangkis dengan tangannya, maka tangannyalah yang pasti akan sobek oleh senjatanya, dan bahkan mungkin tulangnya akan retak dan sebelum ia sempat berbuat banyak, maka serangan berikutnya yang akan mengakhiri pertempuran. Temunggul yang melihat keadaan itu menjadi cemas. Kalau Putut itu terbunuh, maka ia akan menghadapi persoalan kembali. Ia akan melihat Wanda Geni membawa Ratri untuk suatu perbuatan yang paling mengerikan. Dalam waktu yang sekejap itu ia mencoba memperbandingkan kedua pihak yang kini sedang bertempur. Wanda Geni, salah seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat telah menyatakan maksudnya yang jelas. Kali ini ia akan membawa Ratri. Sedang orang yang kedua, Putut Sabuk Tampar menurut keterangannya ingin mendesak pengaruh Panembahan Sekar Jagat, dan membuat daerah ini menjadi pemerasan Resi Paji Sekar. Keduanya pasti tidak menyenangkan bagi Kademangan Candi Sari. Tetapi aku harus memperhitungkan keadaan yang aku hadapi sekarang," desisnya. Namun sebelum ia sempat menemukan suatu keputusan, ia telah melihat Wanda Geni menghujamkan parangnya. Hampir saja Temunggul terpekik seperti seorang gadis yang terkejut melihat ulat merambat dikakinya. Namun tiba-tiba hatinya berdesir mendengar suara tertawa yang bernada tinggi itu. Ternyata tusukan parang Wanda Geni tidak mengenai sasarannya. Tusukan parang menghujam masuk ke dalam dinding di sela-sela batu-batu yang tersusun, dekat di sebelah dada Putut Sabuk Tampar. Dalam keremangan 71 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan malam, dan dalam peristiwa yang berlangsung dengan cepatnya, Temunggul telah kehilangan pengamatan. TERNYATA bukan saja Temunggul yang menilai keliru dari pertempuran itu. Kawannya dan ketiga kawan Wanda Geni itupun menyangka bahwa perkelahian itu telah sampai pada akhirnya. Dengan kemarahan yang luar biasa, Wanda Geni mencoba menarik parangnya. Namun dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, Putut Sabuk Tampar meloncat, memukul pergelangan tangan Wanda Geni, sehingga terasa tulang-tulang di sela-sela batu-batu. Mau tidak mau Wanda Geni harus mengakui bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan sekadar anak-anak Candi Sari. Bukan sekadar para pengawal yang baru saja mengadakan keramaian di Kademangan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain daripada menghancurkan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini bersama-sama. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar Wanda Geni berteriak nyaring, "He, marilah cepat-cepat kita selesaikan orang gila ini. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayaninya." Ketika kawan Wanda Geni itu memang sudah melihat bahwa seorang Wanda Geni tidak akan dapat menyelesaikan lawannya. Karena itu, maka tanpa di ulang lagi, merekapun berloncatan mendekati perkelahian yang menjadi bertambah sengit. Ketiganya langsung melibatkan diri mereka untuk bersama-sama menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sekar Tampar. Agaknya Putut Sabuk Tampar kini harus membuat perhitungan. Seorang lawan seorang ia memang dapat mengalahkan Wanda Geni dengan mudah. Tetapi menghadapi empat orang, ia harus mengerahkan segenap kemampuannya yang ada padanya. Tiba-tiba saja Putut itu meloncat dan mencabut parang yang masih melekat pada dinding di pinggir jalan. Dengan parang itu ia kini bersiap menghadapi keempat lawan-lawannya. "Berikan senjatamu," teriak Wanda Geni kepada salah seorang kawannya. Sebelum kawannya menjawab, Wanda Geni telah meloncat merebut senjata itu. Kini dengan sebuah golok ditangan bersama dua orang kawannya yang bersenjata golok pula, Wanda Geni menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang seorang kawannya yang lain, yang sama sekali tidak bersenjata memandangi saja perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Perkelahian itu kini menjadi semakin meningkat. Mereka tidak saja saling memukul dengan tangan-tangan mereka tetapi yang terdengar disela-sela teriakan nyaring adalah dentang senjata beradu. Perkelahian itu ternyata telah membangunkan orang-orang yang tingal sebelah menyebelah jalan. Tetapi sebagian dari mereka justru tidak berani beranjak dari pembaringan. Satu dua orang bahkan telah menimbuni pintu-pintu mereka dengan bermacam-macam barang. Dingklik-dingklik dan peti-peti kayu. Satu dua orang yang agak memiliki keberanian, keluar dari pintu butulan dan mencoba melihat apa yang terjadi. Namun sejenak kemudian mereka pun telah masuk kembali ke dalam rumah-rumah mereka dengan tubuh yang gemetar. Empat buah senjata saling menyambar di udara. Sekali-kali terdengar senjatasenjata itu berbenturan, dan sekali-kali tampak bunga-bunga api berloncatan. Temunggul masih saja berdiri dengan kaki bergetar. Bukan oleh ketakutan seperti Ratri dan kedua kawannya, tetapi anak muda itu telah dicengkam oleh ketegangan yang luar biasa. Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Namun tiba-tiba Temunggul itu telah disentuh oleh suatu pertimbangan, bahwa dalam keadaan serupa ini ia tidak akan dapat berdiri saja membeku. Kalau Wanda Geni dapat memenangkan perkelahian itu, maka ia akan mengalami perlakuan yang lebih buruuk lagi. Demikian juga agaknya Ratri dan kedua kawannya. Karena itu, ia harus berbuat sesuatu. Ia belum tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Namun pertimbangannya mengatakan kepadanya bahwa ia harus berpihak. Apapun yang nanti akan terjadi. Dengan nafas yang terengah-engah Temunggul melihat seorang kawan Wanda Geni yang tidak bersenjata itu. Tiba-tiba ia telah terdorong untuk berbuat. Dengan serta merta ia meloncat tanpa ragu-ragu lagi menyerang orang yang berdiri ternganga-nganga melihat perkelahian yang dahsyat itu. 72 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan ORANG itu terkejut. Hampir-hampir ia tidak sempat mengelak. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menghindarkan dirinya dari serangan Temunggul. Sudah tentu bahwa orang itu tidak akan tinggal diam. Kemarahannya kepada pemimpin pengawal Kademangan itu terungkat kembali. Sehingga sesaat kemudian mereka pun telah berkelahi pula dengan serunya. Kini Temunggul harus berkelahi seorang melawan seorang. Keduanya tidak bersenjata apapun juga. Namun agaknya Temunggul yang telah menjadi terlampau lelah, tidak mampu lagi mengimbangi tenaga lawannya. Ia pun segera terdesak meskipun ia masih mampu bertahan. Agaknya perkelahian itu telah membangunkan kawan Temunggul yang seorang. Dengan serta merta ia ikut pula berkelahi membantu Temunggul, sehingga orang itu harus melawan kedua pengawal itu bersama-sama. Wanda Geni yang melihat Temunggul ikut pula dalam perkelahian itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Bunuh saja anak-anak gila yang tidak tahu diri itu. Salah seorang dari kalian dapat melakukannya dengan senjata itu. Biarlah kami berdua menghadapi Putut ini." Perintah itu pun tidak perlu diulangi. Salah seorang dari kedua kawannya itu pun segara meloncat surut. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar sebuah keluhan tertahan. Kawannya yang seorang, yang masih berkelahi bersama dengan Wanda Geni, terdorong beberapa langkah suruat. Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedangkan tangannya yang lain dengan gemetar memegangi dadanya. Sebuah luka telah merobek dada itu, sehingga darahnya mengalir tidak tertahankan lagi. Sejenak orang itu terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk. "Setan alas," Wanda Geni mengumpat-umpat. Kemudian kepada kawannya yang seorang ia berkata, "Lepaskan dahulu anak-anak itu, kita selesaikan saja orang gila yang telah mencoba mencampuri persoalan kita ini." Kawan Wanda Geni yang seorang, yang telah bersiap untuk membinasakan Temunggul dan kawannya, segera meloncat kembali. Ia pun menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu jauh lebih berbahaya dari Temunggul dan kawannya itu. Karena itu, maka yang mula-mula harus dibinasakan adalah Putut yang gila itu. Kepada seorang kawannya yang berkelahi melawan Temunggul Wanda Geni berkata, "Tahankanlah sebentar. Kami akan segera membinasakan Putut ini. Kemudian datang giliran kedua anak-anak Candi Sari yang malang itu." Wanda Genipun kemudian berkelahi dengan sepenuh kemampuannya. Kawannya yang tinggal seorang itu pun telah memeras tenaganya. Keduanya mencoba untuk menyerang Putut Sabuk Tampar dari arah yang berbeda-beda. Namun ternyata Putut itu tidak menjadi bingung. Dengan tanang ia melayani kedua lawannya. Bahkan setiap kali ia berusaha untuk melihat perkelahian antara Temunggul dengan kawannya, melawan seorang kawan dari Wanda Geni. Namun perkelahian itu sama sekali tidak mencemaskannya, karena kawan Wanda Geni yang seorang itu, yang harus berkelahi melawan dua orang pengawal Kademangan, menjadi terdesak pula, meskipun ia masih tetap mampu untuk bertahan. Dalam keadaan yang demikian itulah Putut Sabuk Tampar berusaha menentukan akhir dari pertempuran mereka. Dengan garangnya ia mempercepat serangan-serangannya. Bahkan kemudian seolah-olah sudah tidak terlawan lagi oleh Wanda Geni dan kawannya yang seorang itu. Akhirnya ketika sudah tidak berpengaruh lagi untuk memenangkan perkelahian itu, Wanda Geni terpaksa mengambil sikap. Baginya lebih baik untuk tetap hidup daripada mati terbunuh. Hidup baginya berarti masih terbuka bermacam-macam kemungkinan. Tetapi apabila ia terbunuh, maka semuanya akan segera terhenti. Dengan demikian maka akhirnya ia mengambil kesimpulan untuk meninggalkan perkelahian. Betapapun kecewanya, ia terpaksa melepaskan keinginannya untuk membawa Ratri kali ini. Tetapi dengan demikian 73 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan ia justru mendendam. Keinginannya untuk membawa gadis itu justru semakin mencengkam dadanya. "Awas kalau lain kali," ia menggeram di dalam hatinya, "Kali ini kebetulan Putut gila ini ikut mencampuri persoalan kita. Tetapi suatu ketika, aku pasti akan membawamu. Dan nasibmu akan menjadi lebih jelek lagi daripada nasibmu kini, seandainya kau tidak terlampau banyak ribut." Keputusan itu agaknya yang telah diambil oleh Wanda Geni. Karena apapun yang akan dilakukannya, sudah pasti bahwa ia bersama kawannya itu, tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Sedang yang seorang lagi, yang berkelahi melawan Temunggulpun, sudah dapat diperhitungkannya pula, bahwa orang itupun tidak akan dapat menang. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengarlah sebuah suitan nyaring dari mulut Wanda Geni. Dan setiap orang yang mendengar suitan itupun segera mengerti maksudnya. Mereka pasti akan segera meninggalkan medan. Dugaan itu sama sekali tidak salah. Sejenak kemudian Wanda Geni pun segera meloncat surut, disusul oleh kedua kawannya hampir bersamaan, meskipun keduanya berkelahi di arena yang berbeda. Sejenak kemudian, maka ketiganya segera berlari sekencang-kencang dapat mereka lakukan tanpa menghiraukan kawannya yang seorang yang sudah terluka itu. Melihat ketiga kawannya berlari, maka orang yang terluka itupun mencoba untuk mengikuti mereka. Tetapi ketika ia tertatih-tatih berdiri, maka iapun segera terjatuh lagi. Temunggul dan kawannya berdiri termangu-mangu. Semula mereka akan mengejar lawannya yang seorang. Tetapi karena mereka melihat orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu tidak beranjak dari tempatnya, maka niat mereka pun di urungkannya. Mereka pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa meskipun seandainya mereka berhasil menyusul ketiga orang yang berlari itu tanpa bantuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. "Kau tidak usah lari," terdengar suara Putut itu melengking, "Kau tidak akan dibunuh, asal kau benar-benar menyadari segala macam kesalahanmu. Kau akan dibiarkan hidup, tetapi kau harus bersedia memberikan setiap keterangan yang diperlukan." Orang itu tidak menjawab. "Kenapa kau diam saja?" bentak orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Orang itu masih belum menjawab. "Bagaimana" Kalau kau tidak bersedia memberikan keterangan apapun tentang Panembahan Sekar Jagat, buat apa kau tetap hidup?" Masih belum ada jawaban. Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar itu menarik nafas dalamdalam. Katanya, "Kalau begitu baiklah. Kau memang tidak pantas dikasihani. Mungkin memang lebih baik mati bagimu. Tetapi kami sama sekali tidak ingin membunuhmu. Matilah kau karena kau tidak akan dapat bangkit dan meninggalkan tempat itu. Aku akan berpesan, setiap orang yang lewat besok pagi tidak boleh menyentuhmu sebelum kau benar-benar mati. Baru setelah kau mati, kau akan dikuburkan. Sebelumnya kau akan menjadi tontonan anak-anak, bahwa salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat ternyata dapat juga terluka dan bahkan mati." "Persetan," tiba-tiba orang itu menggeram. "Kalau benar-benar kau lakukan itu, berarti Kademangan ini akan kedatangan bencana yang maha besar. Tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan tinggal diam. Putut Sabuk Tampar mengerutkan keningnya, sedang Temunggul dan kawanya saling berpandangan sesaat. Namun kemudian terdengar suara tertata Putut Sabuk Tampar dalam nada yang tinggi, "Kau memang senang berbicara yang aneh-aneh. Mati atau tidak mati, Wanda Geni pasti sudah akan banyak berceritera. Tentang kau yang terluka, tentang gadis-gadis yang cantik itu, dan tentang pengawal Kademangan yang sama sekali tidak berani berbuat sesuatu kalau tidak terpaksa oleh kepentingan pribadi. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan marah kepada orang-orang Kademangan ini, 74 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan sebab orang-orang di Kademangan ini adalah orang-orang yang baik hati, yang dengan suka rela menyerahkan apa saja yang diperlukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Dan kebaikan hati itu pulalah yang mendorong aku datang ke tempat ini, untuk menggeser pengaruh Panembahan Sekar Jagat atas nama Resi panji Sekar." Putut itu berhenti sejenak, lalu, "Nah, kau lihat, apakah anak muda yang bernama Temunggul ini berani berbuat sesuatu, kalau ia tidak terdorong oleh pamrih pribadinya, karena ia tidak mau kehilangan Ratri?" Dada Temunggul berdesir mendengar sindiran itu. Dan Putut itu berbicara terus, kali ini kepada Temunggul, "Apakah kau akan ingkar?" Temunggul tidak segera dapat menjawab. "Sekarang, tolonglah gadis-gadis itu dan antarlah mereka segera pulang. Ayah dan ibu mereka pasti telah menunggu. Temunggul menggigit bibirnya. Sejenak ia membeku ditempatnya. "Kenapa kau termenung" Bukankah kau telah menyerahkan hidup matimu untuk keselamatanmu" Bukan untuk keselamatan Kademanganmu?" Putut itu berhenti sejenak. "Kau tidak usah ingkar. Kalau kau benar-benar berbuat untuk Kademangan ini, maka kau pasti sudah membuat sesuatu sejak Kademangan ini dijamah oleh Panembahan yang rakus itu. Ternyata kalian sama sekali tidak berbuat apa-apa. Nah, lain kali kamilah yang akan datang Utusan Resi Panji Sekar. Aku akan datang dengan beberapa orang kawanku. Dan aku mengharap suatu ketika aku akan bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat." Temunggul masih saja membisu, tetapi debar jantungnya serasa menjadi kian cepat. "Kenapa kau diam saja?" bertanya Putut itu. "Cepat, antarkan gadis-gadis itu pulang ke rumah masing-masing. Aku tidak memerlukannya. Yang aku perlukan adalah emas dan permata, yang pada saatnya akan aku ambil. Sekarang, cepat pergi. Temunggul mengantarkan gadis-gadis itu, dan yang seorang membawa orang ini ke Kademangan. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Lukanya agak parah, dan aku akan mengamat-amatimu. Kalau kalian takut akan Panembahan Panji Sekar perlakukan orang itu dengan baik. Meskipun perlakuan yang demikian tidak kau berikan kepada orang-orangmu sendiri." Temunggul masih juga belum menjawab. "Cepat," tiba-tiba Putut itu berteriak dengan suaranya yang tinggi melengking. "Aku akan dapat merubah pendirianku setiap saat. Aku dapat dengan tiba-tiba dirangsang oleh nafsu seperti Wanda Geni apabila aku memandang wajah gadis-gadis itu." Dada Temunggul seakan-akan tersentak mendengar kata-kata Putut itu, sehingga kemudian ia berpaling, memandangi gadis-gadis yang masih terduduk lemah di tanah. "Ayo, bawalah mereka ke rumah masing-masing." Temunggul menganggukkan kepalanya. "Baiklah." "Hati-hati, meskipun Wanda Geni telah semakin jauh." Temunggul tidak menjawab. Perlahan-lahan ia mendekati ketiga gadis-gadis itu sambil berkata, "Marilah aku antar kalian pulang." Sejenak gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Mereka hanya saling berpandangan dengan sorot mata yang masih saja dibayangi oleh ketakutan. "Marilah," desis Temunggul yang menjadi cemas, kalau tiba-tiba saja Putut Sabuk Tampar itu berubah pendiriannya. Dan jantungnya serasa akan pecah ketika ia mendengar Putut itu berkata, "Ratri memang cantik." "Cepat," desis Temunggul perlahan-lahan. RATRI pun segera menyadari keadaannya. Karena itu meskipun kakinya masih gemetar, dipaksanya dirinya untuk berdiri bersama-sama kedua kawannya. "Ayo cepat. Aku sudah mulai dihinggapi penyakit gila yang menjalar dari darah Wanda Geni. Cepat pergi," Putut itu menggeram. Temunggul menjadi semakin cemas. Ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk melawan Putut itu, 75 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan seandainya Putut itu pun menjadi gila seperti Wanda Geni. "Marilah," sekali lagi Temunggul berdesis. Ratri dan kawan-kawannya berusaha untuk tetap berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan sambil berpegangan satu dengan yang lain dengan eratnya. "Gadis itu jangan kau tinggal lari meskipun kau akan bertemu lagi dengan Wanda Geni, Temunggul," terdengar Putut itu tertawa. "Bagaimana kalau aku berbuat serupa yang kau lakukan itu, bukan sekadar untuk seorang gadis yang bernama Ratri" Tetapi untuk Kademanganmu?" Temunggul tidak menjawab, bahkan berpalingpun tidak. Dengan suara yang bergetar ia berbisik, "Cepat. Cepatlah sedikit. Orang itu agaknya tidak kalah gila dari Wanda Geni." Ratri dan kedua kawannya pun memaksa diri mereka berjalan lebih cepat lagi, untuk segera menjauhi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Namun dada mereka masih juga selalu berdebar-debar apabila mereka kemudian mendengar orang itu tertawa berkepanjangan. "Kita singgah saja di rumah terdekat," berkata Temunggul. "Aku antar kalian besok pagi-pagi." "Tidak," Ratrilah yang menjawab, meskipun suaranya hampir tidak terdengar. "Aku akan dicekik ayah, kalau aku tidak pulang malam ini." "Tetapi kalian berada dalam bahaya," sahut Temunggul. "Diperjalanan, kita akan mungkin sekali bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu." Terasa tengkuk gadis-gadis itu meremang. Tetapi mereka lebih senang apabila mereka segera dapat kumpul di antara keluarga mereka. Apalagi Ratri telah mendapat pesan dari ayahnya, bahwa ia harus segera pulang setelah pertunjukan selesai. "Tetapi orang-orang yang mengerikan itu?" ingatan itu pun setiap kali selalu mengganggunya. "Bagaimana Ratri," bertanya Temunggul kemudian. "Aku akan pulang," jawab Ratri, "Rumahku sudah dekat." "Tetapi sangat berbahaya?" "Dimana pun bahaya itu akan datang. Kalau aku bermalam di rumah siapapun, orangorang itu dapat juga mencariku. Karena itu aku merasa lebih aman tinggal bersama ayah dan ibu. Kecuali kalau nanti ayah mengambil keputusan lain." Temunggul mengerutkan keningnya. Kemudian ia bergumam, "Baiklah. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Rumahmu memang sudah dekat. Tetapi kita masih harus mengantarkan kedua kawan-kawanmu itu." "Tetapi rumahku lebih dekat." "Tidak," sahut Temunggul. "Kita lewat jalan kecil ini. Aku merasa bahwa jalan ini jauh lebih aman dari jalan yang lebih besar." Ratri tidak membantah lagi. Kalau ia memaksa untuk di antar lebih dahulu, maka pasti akan menyinggung perasaan kedua kawan-kawannya, meskipun rumah mereka seolah-olah hanya terpisah oleh dinding batu. DEMIKIANLAH maka mereka menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah ketiga Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gadis-gadis itu. Tetapi dengan demikian, maka yang terakhir dari ketiganya sampai di muka regol rumahnya adalah Ratri. "Terima kasih Temunggul," desis Ratri ketika ia akan memasuki regol halamannya. "Aku antar kau sampai ke pendapa Ratri, sampai ayahmu membuka pintu untukmu." Ratri menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab, "Baiklah Temunggul, aku sangat berterima kasih dan ayahpun akan berterima kasih pula." Tetapi ketika Ratri akan melangkah memasuki regol rumahnya Temunggul berkata lambat sekali, seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, "Ratri." Ratri tertegun. Ketika dilihatnya wajah Temunggul menunduk maka dada gadis itu pun berdesir. "Sebelum aku menyerahkanmu kepada ayahmu, aku ingin berbicara, Ratri." 76 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Dada Ratri menjadi berdebar-debar. Ia sudah dapat menduga, apa yang kira-kira akan dikatakan oleh Temunggul itu, maka wajahnya segera menjadi kemerah-merahan, dan dadanya menjadi pepat. "Apakah kau ingin mendengarkan Ratri?" bertanya Temunggul. Ratri menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Temunggul, aku sudah tidak dapat menahan rasa takut dan cemas. Kalau setiap saat orang-orang yang mengerikan itu lewat di jalan ini maka nasibku akan dapat kau bayangkan." "Tidak Ratri. Orang itu tidak akan lewat jalan ini. Apalagi ia sudah dikalahkan oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar." "Tetapi bagaimanakah kalau Putut itulah yang justru menyusul kita?" Temunggul terdiam sejenak. Namun hasratnya untuk mengucapkan kata hatinya sudah tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga karena itu ia menjawab. "Putut itu tidak akan datang kemari pula. Ia tidak memerlukan kau Ratri. Tetapi ia memerlukan harta dan benda-benda berharga." "Demikian juga orang-orang Panembahan Sekar Jagat pada mulanya." "Tetapi, aku melihat beberapa perbedaan dari kedua golongan itu." "Tetapi kau sendiri baru saja mencemaskan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu Temunggul. Bukankah kau ingin membawa kami bermalam di rumah orang lain?" "Ratri," tiba-tiba terdengar suara Temunggul, "Aku hanya memerlukan waktu sebentar." "Besok masih banyak waktu Temunggul. Aku minta maaf, kali ini aku sudah terlampau lelah. Keringat terasa terlampau dingin sejak saat aku dicengkam oleh ketakutan. Sekarang agaknya perasaan takut itu masih saja menguasai jantungku." Temunggul menarik nafas dalam-dalam. "Hem," ia berdesah di dalam hati. "Kalau sejak tadi aku menyatakannya, persoalanku pasti sudah selesai." Dan kini ia mendengar Ratri berkata lagi, "Maafkan aku Temunggul. Aku ingin segera masuk ke rumah. Dengan demikian aku akan merasa aman." "Baiklah," jawab Temunggul. "Marilah." Keduanya pun kemudian mendorong pintu regol perlahan-lahan dan hilang menyusup ke dalamnya. Dengan hati-hati mereka melintasi halaman, naik ke pendapa. "Ratri," Temunggul berbisik ketika Ratri hampir mengetuk pintu pringgitan. "Aku tidak ingin memaksamu untuk mempersoalkannya sekarang. Agaknya keadaan sama sekali tidak menguntungkan meskipun sudah aku rancangkan berhari-hari. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat yang muncul dengan tiba-tiba telah merusak semua rencanaku." Temunggul berhenti sejenak, kemudian, "Namun meskipun demikian, Ratri, aku masih juga ingin menyampaikan kepadamu, bahwa aku telah menumpahkan harapanku sebagai seorang laki-laki kepadamu. Kau pasti tahu maksudku." MESKIPUN Ratri tidak menduga, namun kata-kata Temunggul yang berterus terang itu telah menggoncangkan dadanya. Sejenak ia berdiri membeku ditempatnya. Kepalanya menunduk dalam- dalam dan bibirnya seakan-akan telah terkunci. Namun tanpa dapat diucapkannya, Ratri sama sekali tidak pernah merasa, bahwa anak muda yang bernama Temunggul, dan yang kini memegang pimpinan anak-anak muda pengawal Kademangan itu telah dapat memikat hatinya. Ia mengagumi Temunggul sebagai seorang laki-laki yang perkasa. Selebihnya daripada itu, tidak ada sama sekali. Memang, pada saat-saat ia terjepit, pada saat-saat ia dihadapkan pada bencana yang tidak terbayangkan itu, ia seakan-akan menggantungkan harapannya kepada anak muda yang selama ini menjadi kebanggaan seluruh Kademangan. Tetapi ternyata ia tidak berhasil berbuat sesuatu. Justru orang lain yang belum dikenalnya sama sekali telah menolongnya dan menyelamatkannya, entah disengaja atau tidak. Dengan demikian, maka sikapnya terhadap Temunggul pun tetap tidak berubah. Seandainya Temunggullah yang menyelamatkannya, maka sudah pasti, ia tidak akan ingkar lagi, tetapi yang terjadi adalah lain. 77 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Karena Ratri tidak segera menyahut, maka Temunggul mendesaknya. "Apakah aku dapat mengharap?" Ratri menjadi kian bingung. Namun sebelum ia tersudut dalam keharusan untuk menjawab, terdengar ayahnya terbatuk-batuk di dalam. "Ayah sudah bangun," desisnya. Temunggul menjadi kecewa. Tetapi ia pun mendengar suara batuk-batuk itu, dan bahkan kemudian suara pembaringan berderit. "Ayah sudah bangun." "Baiklah," jawab Temunggul. "Aku mengharap jawabanmu lain kali." Ratri terdiam. Kepalanya kini tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu ia mendengar langkah ayahnya berdesir pada lantai yang kasar. "Siapa itu?" terdengar suara ayahnya. "Aku ayah, Ratri." "Oh," langkah ayahnya itupun kemudian mendekati pintu. Sejenak kemudian pintu itu berderit dan terbuka. "Kenapa kau baru datang?" suara ayahnya berat parau. "Pertunjukan sampai jauh malam ayah." "Omong kosong. Aku melihat di Kademangan. Sampai pertunjukan selesai aku baru pulang. Dan setelah aku sempat tidur baru datang. Kemana saja kau selama ini he?" Wajah Ratri menjadi pucat. Tetapi ia mencoba menjawab, "Aku harus mengemasi pakaian tariku ayah. Kemudian menunggu kawan-kawan yang lain selesai pula." "Kenapa mesti menunggu." "Pakaian kami bercampur baur ayah, sehingga kalau ada kekurangan pada seorang kawan, kami masih sempat meneliti semua pakaian yang ada." Ayahnya menarik nafas. Tetapi wajahnya masih berkerut-kerut. Ketika terlihat olehnya bayangan di dalam kegelapan, maka sambil menggosok-gosok matanya yang masih setengah terpejam ia bertanya, "Siapakah yang mengantarkan kau itu?" "Temunggul ayah." "He," ayahnya terperanjat. Dan tiba-tiba saja sikapnya segera berubah. Sambil tersenyum ia kemudian berkata. "Maaf ngger. Aku tidak tahu kalau kau telah sudi mengantarkan anakku. Kalau aku tahu, bahwa anakku pulang bersama kau, maka aku tidak akan mencemaskannya." Bagaimanapun juga Temunggul terpaksa tersenyum pula sambil menganggukkan kepalanya dalam- dalam. "Aku sengaja mengantarkannya sampai ke muka pintu paman, supaya aku dapat menyerahkannya kepada paman." "Terima kashi." sekali lagi ia tersenyum sambil mempersilahkan. "Marilah ngger, silakan singgah sebentar." "Sudah terlampau jauh malam paman. Aku minta diri." Ayah Ratri mengerutkan keningnya, jawabnya,"Jadi kau tidak mau singgah?" "Terima kasih. Lain kali aku akan memerlukan datang kemari paman." Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah ngger. Baiklah. Aku sangat berterima kasih karena kau sendirilah yang mengantarkannya." "Kami para pengawal telah membagi kerja paman." "Terima kasih ngger, " dan sekali lagi laki-laki tua bergumam. "Terima kasih." Temunggul pun kemudian minta diri. Dengan hati yang dipenuhi oleh pertanyaan dan harapan, ia turun dari pendapa. Ketika ia berpaling, yang dilihatnya tinggal ayah Ratri saja yang masih berdiri di muka pintu. "Aku belum mendapat jawaban," desisnya. "Tetapi mudah-mudahan aku tidak salah mengerti. Sepengetahuanku, belum ada seorang pun yang mendahului aku." 78 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Dan tiba-tiba saja Temunggul menggeram ketika diingatnya, bahwa Bramanti telah kembali ke rumah ibunya. Terbayang kembali pertemuan antara keduanya pada saat Bramanti menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya, setelah beberapa tahun lamanya menghilang. Dan yang pertama-tama sekali ditemuinya pada saat itu adalah Ratri Tiba-tiba Temunggul menggeram tepat ketika ia sudah berada di luar regol. Didorongnya pintu regol itu, dan dengan langkah yang tergesa-gesa ia meninggalkannya. "Tetapi aku kira kata Bramanti bahwa ia tidak sengaja menemui Ratri pada saat itu," Temunggul mencoba menenangkan hatinya sendiri. Namun kemudian, "Tetapi apabila ternyata anak itu berkhianat, maka aku akan membuat perhitungan tanpa belas kasihan. Aku akan menyeretnya keluar dari Kademangan ini di hadapan Ratri." Namun kemudian Temunggul itu mengumpat, "Anak-anak Panembahan Sekar Jagat itu benar-benar gila. Mereka telah merusak suasana yang aku bangun dengan susah payah, sehingga Ratri terlampau di cekam oleh ketakutan. Kalau tidak, barangkali Ratri akan mendengar pengakuanku sambil tersenyum atau bahkan sambil tertawa. Tetapi kini, aku terpaksa mengulanginya pada kesempatan yang belum pasti. Tanpa disengaja, maka langkah Temunggul itupun menjadi semakin lebar. Ia sama sekali tidak berhasrat lagi kembali ke Kademangan. "Persetan dengan Kademangan. Biarlah anak-anak yang bertugas ronda mengurusnya." Tetapi tiba-tiba diingatnya seorang kawannya mendapat beban dari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar untuk membawa seorang anak buah Wanda Geni yang terluka. Dengan demikian maka ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kepepatan hatinya yang berpengaruh pada keputusannya, "Terserah Ki Jagabaya. Apakah yang akan dilakukannya terhadap orang itu." Dan Temunggul pun melangkah semakin cepat pula ke rumahnya. Apalagi ketika terlihat olehnya warna kemerah-merahan telah membayang di langit. Sementara itu ayah Ratri telah menutup pintunya kembali dan menyelaraknya dengan kayu menyilang. Kemudian dengan wajah yang jernih ia bertanya, "Kenapa angger Temunggul sendiri yang mengatarmu Ratri. Kenapa bukan orang lain, atau kenapa angger Temunggul tidak mengantar orang lain?" Sambil membenahi pakaian-pakaiannya yang kusut di dalam bungkusan kecilnya, Ratri menjawab, "Aku tidak tahu ayah." "Ah, kau pasti tahu sebabnya." Tetapi Ratri menggeleng. "Aku tidak tahu." Ayahnya menarik nafas panjang-panjang sambil duduk di atas sebuah dingklik bambu. "Anak itu benar-benar luar biasa. Aku kira tidak ada duanya di Kademangan ini. Angger Temunggul adalah harapan masa datang bagi Kademangan ini. Apabila kami yang tua-tua menjadi semakin tua, maka angger Temunggul pasti akan tampil. Sayang ia bukan putera Ki Demang yang akan dapat menggantikan kedudukan itu. Meskipun demikian, ia pasti akan menjadi seorang yang penting di Kademangan ini kelak. Jangankan kelak, sekarang pun ia sudah termasuk salah seorang yang kami anggap penting." Ratri tidak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam biliknya setelah menenguk air dingin dari dalam kendi di atas geledeg rendah. Tetapi ayah Ratri kemudian berdiri dan mengikutinya. Sambil berdiri di depan pintu bilik ia berkata, "Kau harus bersikap baik terhadapnya Ratri. Temunggul adalah pemimpin dari seluruh anak-anak muda di Kademangan ini." Ratri tidak menjawab. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya. "Apakah kau tidak berganti pakaian dahulu, atau makan seadanya" Agaknya ibumu telah menyediakannya untukmu." "Tidak ayah. Aku lelah sekali. Aku ingin segera tidur. Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditinggalkannya pintu bilik anaknya. Namun kemudian ia tersenyum sendiri. Katanya di dalam hati, "Ratri adalah seorang gadis yang sedang meningkat remaja. 79 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Ia lebih senang merenung di pembaringannya dari pada makan. Hem." Orang tua itu pun kemudian pergi ke pembaringannya pula. Sekali ia menguap. Namun sejenak kemudian yang terdengar adalah dengkurnya yang taratur. Tetapi sementara itu Ratri juga merenung di dalam biliknya. Ditatapnya atap rumahnya, seakan-akan ia baru menghitung raguman bamboo yang berderet-deret di atas pembaringannya. Sekali-kali terdengar ia berdesah. Berbagai macam masalah telah bergelora di dalam dadanya. Ketakutan, kecemasan dan kebingungan bercampur baur di dalam hatinya. Sesaat bayangan kekasaran dan keganasan orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Panembahan Sekar Jagat. Kemudian terlintas bayangan orang yang mengaku bernama Putut Sabuk Tampar. Dan yang terakhir, terbayang wajah Temunggul yang pucat, namun penuh harapan. "Apakah akan jadinya aku sekarang seandainya tidak ada orang yang menamakan dirinya Putut Sabuk Tampar itu," desah Ratri di dalam hatinya."Mungkin aku telah membunuh diriku. Dan ayah ibu tidak akan dapat melihat aku lagi, meskipun hanya mayatku." Ratri menutup wajahnya dengan keduabelah tangannya. Namun bayangan yang menakutkan itu masih saja tampak di rongga malamnya, justru semakin jelas. "Oh," Ratri kemudian menelungkup. Tetapi bayangan-bayangan itu masih juga tidak mau lenyap dari kepalanya. Karena itu, maka untuk seterusnya Ratri sama sekali tidak berhasil untuk tidur sekejap pun. Bahkan tanpa sesadarnya, terasa cairan hanyat membasahi pipinya. Ratri menangis bagaimanapun juga ia bertahan. Untunglah, bahwa tidak seorangpun seisi rumah itu yang terbangun karenanya, sehingga ia tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan membuatnya semakin bingung. Apalagi Ratri sendiri menyadari, bahwa terusirnya Wanda Geni belum berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah hilang sama sekali. Sebab setiap saat Wanda Geni itu dapat datang kembali. Dan sudah barang tentu, ia tidak akan dapat mengharapkan bahwa setiap saat Putut Sabuk Tampar itu dapat selalu membantunya dan menyelamatkannya dari keganasan Wanda Geni. "Tetapi Putut Sabuk Tampar sendiri, adalah orang yang ingin merampas semua kekayaan dari Kademangan ini," berkata Ratri di dalam hatinya. Namun di hati kecilnya ia melihat beberapa perbedaan antara Wanda Geni dan Putut Sabuk Tampar. Putut itu mempunyai perbawa yang menarik perhatiannya, meskipun ia belum mengenal sebelumnya. "Mungkin aku merasa berhutang budi kepadanya," desisnya perlahan-lahan. Ratri mengusap matanya yang basah ketika ia mendengar suara kokok ayam di kandang. Semakin lama semakin riuh. "Hampir pagi," ia bergumam. Dan ia sama sekali masih belum tidur sekejap pun juga. Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tetapi ketika ibunya menjengkuknya dari sela-sela pintu biliknya ia berpura-pura memejamkan matanya, supaya ibunya menyangka bahwa ia sedang tidur lelap. "Ia terlampau lelah," berkata ibunya kepada dirinya sendiri. Lalu ditinggalkannya. Ratri di pembaringannya, untuk merebus air di dapur. Di pagi harinya, ketika Ratri keluar dari dalam biliknya, ibunya melihat matanya yang pendul. Karena itu dengan cemas ibunya bertanya, "Apakah kau semalam menangis Ratri?" Ratri menggeleng. "Tidak ibu, kenapa aku menangis?" Ibunya memandang mata Ratri itu tajam-tajam. "Kau menangis semalam," ulang ibunya. "Aku tidak melihat kau pulang. Tetapi pendul di matamu itu tidak dapat kau sembunyikan." "Aku kurang tidur ibu. Sampai hampir pagi aku memang tidak dapat tidur karena kelelahan." "Kau aneh," jawab ibunya. "Orang yang lelah biasanya akan dengan mudahnya tertidur." Ratri tidak dapat menjawab lagi. Tetapi ia pun tidak mengiakannya. Agaknya ibunya tidak memaksanya untuk mengakui bahwa semalam ia menangis. Sebagai seorang ibu, ia menyadari, bahwa umur anaknya adalah umur yang sedang dibelit oleh berbagai macam hiruk pikuk kehidupan. Mungkin Ratri sedang 80 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan berselisih dengan kawan-kawannya, mungkin ia gagal mempertunjukkan puncak kemampuannya semalam atau mungkin ia sedang dipengaruhi oleh perasaan seorang gadis yang meningkat dewasa menanggapi kawan-kawan laki-lakinya. Karena itu dibiarkannya saja Ratri masih tetap untuk mencuci mukanya. Kemudian masuk kembali ke dalam biliknya membenahi rambut dan mengganti pakaiannya yang kusut. Namun bagaimanapun juga Ratri masih tetap dibayangi oleh perasaan takut. Adalah mungkin sekali Wanda Geni datang disetiap saat untuk mengambil dan membawanya ke neraka yang paling jahanam. Dengan demikian maka sehari-harian Ratri menjadi suntrut. Wajahnya suram dan sama sekali ia tidak bernafsu untuk makan. Apalagi apabila diingatnya pula katakata Temunggul yang berterus terang. Maka hatinya menjadi semakin kacau. Karena ternyata bahwa Temunggul tidak akan dapat melindunginya. Seandainya ia terpaksa menerima Temunggul dan menempatkan anak muda itu di dalam hatinya, namun kemudian ia terpaksa harus terjun ke dalam sarang iblis itu, apakah yang dapat dilakukan oleh Temunggul" Orang tua Ratri tidak dapat menutup penglihatannya tentang anak gadisnya. Karena itu, maka setiap kali ibunya selalu bertanya, apakah Ratri sedang sakit. "Aku terlampau lelah bu. Mungkin karena aku terlampau kurang tidur. Badanku rasanya tidak enak, dan bahkan kepalaku amat pening." "Beristirahatlah." Ratri tidak menyahut. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. Di hari berikutnya, Ratri masih belum dapat melepaskan ketakutannya. Bahkan semalam-malam ia hampir tidak tidur lagi. Hanya karena lelah yang amat sangat, ia terlena untuk beberapa saat menjelang dini hari. "Ratri," bertanya ibunya. "Sebaiknya kau berterus terang. Kau pasti tidak hanya sekadar lelah dan kantuk. Aku melihat wajahmu terlampau muram." Semula Ratri tetap bertahan, dan menyimpan semua peristiwa yang dialaminya. Namun akhirnya ia tidak dapat tetap berdiam diri. Ketakutan, kecemasan dan kebingungan yang menghentak-hentak dadanya akhirnya meledak juga. Diceriterakannya semua yang dialaminya. Namun yang masih disimpannya adalah pengakuan Temunggul terhadapnya. Ia tidak ingin mempersoalkan masalah itu dengan ayah dan ibunya sekarang. Yang diceriterakan semata-mata adalah persoalan Wanda Geni, orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dan kegagalan Temunggul melawan mereka. TIBA-TIBA wajah ayah Ratri menjadi tegang. Dengan serta merta ia berkata lantang, "Nah, bukankah aku sudah berkata, jauh sebelum peristiwa ini terjadi. Bahkan pada saat Ratri tergila-gila untuk belajar menari. Apakah manfaatnya belajar menari. Inilah. Inilah akibat yang paling jelas kita lihat sekarang." "Pak," berkata isterinya memotong kata-kata suaminya. "Jangan menyalahkan Ratri. Kalau itu dianggap bersalah, biarlah kesalahan itu tidak kita persoalkan lagi sekarang. Semuanya sudah telanjur." "Begitulah. Begitulah akhirnya. Sudah telanjur". "Bukankah demikian keadaannya?" jawab ibu Ratri, lalu "kini Ratri sedang bingung. Bagaimana mengatasi persoalan ini. Jangan menambah Ratri menjadi semakin bingung. Dan apakah seandainya Ratri dianggap bersalah, kita akan terpancang pada kesalahan itu, dan membiarkannya diseret oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat?" "Tentu tidak. Tentu tidak," sahut ayah Ratri cepat-cepat. "Itulah masalahnya. Bagaimana?" Laki-laki itu tidak segera menjawab. Tetapi kini kepalanya tepekur. Ia mengerti, betapa hati anaknya dicengkam oleh ketakutan. Memang setiap saat Wanda Geni dapat datang ke rumahnya. Seperti saat-saat ia mengambil pendok emas atau mengambil timang tretes berlian, maka ia akan dapat mengambil Ratri. Namun setiap kali ia masih saja menyesali Ratri, bahwa ia tidak menurut nasehatnya dahulu, dan setiap 81 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan kali ibunya selalu memperingatkan, bahwa yang penting adalah menyelamatkan Ratri. "Aku belum tahu, apakah yang sebaiknya aku lakukan," berkata laki-laki itu seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Dengan langkah yang berat ia berjalan mondar-mandir. "Apakah Ratri perlu bersembunyi?" bertanya isterinya. "Dimana ia akan dapat bersembunyi di Kademangan ini," desis ayahnya. "Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan?" ibunyapun kemudian dicengkam oleh kecemasan. "Aku akan minta perlindungan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Aku akan ke Kademangan. Mungkin mereka dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan semacam ini. Kalau perlu, biarlah Ratri untuk sementara berada di Kademangan sampai keadaan menjadi reda. Kalau kita yakin bahwa Wanda Geni telah tidak kembali lagi, maka biarlah Ratri nanti pulang ke rumah ini." "Kapan kita dapat menentukan waktu itu, waktu dimana kita dapat mengambil keputusan, bahwa Wanda Geni tidak akan kembali lagi." "Kita akan dapat merasakannya. Meskipun aku tidak dapat mengatakan dengan tepat, kapan. Tetapi seandainya Wanda Geni masih tetap pada pendiriannya, pasti ia akan kembali dalam waktu singkat." Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terserahlah kepadamu pak. Tetapi Ratri harus diselamatkan." Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku akan pergi ke Kademangan. Setidak-tidaknya aku akan mendapat nasehat. Bagaimana aku harus menyelamatkan anakku ini." Ayah Ratripun kemudian pergi ke Kademangan menemui Ki Demang dan Ki Jayabaya, untuk meminta perlindungan dari mereka terhadap anaknya yang sudah jelas terancam bahaya. Bahaya yang sangat mengerikan bagi seorang gadis. Karena apabila Ratri itu berhasil dibawa ke sarang iblis-iblis itu, maka ia pasti akan kehilangan. Ratri pasti akan menempuh cara yang bagaimanapun juga untuk menghapus malu. Bahkan mungkin ia akan membunuh diri." Ketika ayah Ratri sampai ke regol Kademangan, ia menjadi heran. Di Kademangan itu dilihatnya beberapa anak-anak muda pengawal Kademangan telah berkumpul. Bahkan Temunggulpun telah ada di halaman itu pula. Di pendapa dilihatnya Ki Demang, Ki Jayabaya dan beberapa orang bebahu Kademangan yang lain. Namun di antara mereka terdapat seseorang yang asing baginya. "Orang itukah yang telah disebut-sebut Ratri sebagai salah seorang pembantu Wanda Geni yang terluka?" pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. Karena itu, maka ayah Ratri tidak segera masuk ke dalam regol. Ia berhenti sejenak di luar sambil melihat suasana. Ketika dilihatnya seorang pengawal yang berdiri di depan regol, maka ayah Ratri itu mendekatinya sambil bertanya, "Kenapa halaman ini kelihatan sangat sibuk?" "O," pengawal yang telah mengenal ayah Ratri itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Kami akan melepaskan seorang tawanan kami." "Tawanan" Yang mana?" "Itu, yang duduk di pendapa bersama Ki Demang." Ayah Ratri mengerutkan keningnya. Sikap orang itu sama sekali tidak membayangkan sikap seorang tawanan. Bahkan melampaui seorang tamu yang sangat dihormat. "Orang itu terluka ketika ia berkelahi melawan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar." Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dalam keadaan luka itulah ia dapat ditawan oleh salah seorang anggota pengawal Kademangan." Ayah Ratri masih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi ia menuntut untuk dibebaskan." "Dan tuntutan itu dikabulkan oleh Ki Demang?" Pengawal itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Setelah melalui banyak sekali pertimbangan dan pembicaraan. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk melepaskannya, demi keselamatan seluruh Kademangan." Sekali lagi ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. 82 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Tetapi bukankah ia terluka?" bertanya ayah Ratri kemudian. "Ya, tetapi luka itu sudah diobati. Agaknya orang itu merasa bahwa ia sudah cukup kuat untuk kembali ke induknya. Ia minta kami memberikan seekor kuda." Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, mengangguk-angguk dan menganggukangguk. Namun sejenak kemudian ia harus meloncat menepi ketika seekor kuda yang tegar meloncat berlari menyusup regol halaman, berpacu dengan cepatnya meninggalkan debu yang tipis berhamburan di jalan-jalan berbatu. "Itulah orangnya," desis pengawal itu. Berbagai tanggapan bergolak didalam dada orang tua itu. Ia kadang-kadang merasa bersyukur bahwa Ki Demang cukup bijaksana, sehingga orang-orang Panembahan Sekar Jagat tidak terlampau mendendam Kademangan ini, termasuk anaknya. Tetapi apabila diingatnya, sikap orang-orang itu terhadap anaknya, maka kebenciannya pun segera memuncak. Setelah orang berkuda itu hilang di tikungan, maka orang tua itupun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berkata perlahan-lahan kepada pengawal yang kini berdiri diseberang jalan di depan regol itu. "Aku akan menemui Ki Demang." "Silakan," jawab pengawal itu. Ayah Ratri itu pun kemudian memasuki halaman Kademangan dan langsung minta kepada salah seorang bahu Kademangan untuk bertemu dengan Ki Demang. Setelah mereka duduk di pendapa, maka ayah Ratri itu pun langsung menyampaikan persoalannya dan kesulitan-kesulitannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya yang hadir pula disitu. Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Jagabaya mendengarkan dengan wajah yang tegang. "Aku minta perlindungan Ki Demang. Anakku selalu dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa. Ia tidak mau makan sama sekali dan semalam hampir tidak dapat tidur sekejappun. Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling kepada Temunggul yang duduk pula di antara mereka. Katanya, "Jawablah persoalan yang dikatakan oleh ayah gadis yang menjadi masalah itu." Wajah Temunggul sekilas dibayangi oleh warna merah. Namun kemudian ia beringsut maju. Katanya, "Kami disini sudah membicarakannya paman. Ketika kami mendengar permintaan tawanan kami itu untuk mengajukan syarat. Orang itu akan kami lepaskan, tetapi ia harus menjamin, bahwa kawan-kawannya selanjutnya tidak akan berbuat sebuas itu lagi terhadap gadis-gadis." Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Temunggul meneruskannya, "Orang itu telah menyanggupinya. "Tetapi," potong ayah Ratri. "Orang itu bukan orang tertinggi di antara mereka. Meskipun ia menyanggupinya tetapi atasannya tetap berpendirian demikian." "Tidak paman," jawab Temunggul. "Ternyata Panembahan Sekar Jagat sama sekali tidak membenarkan tindakan-tindakan serupa itu. Sudah tentu ia akan marah, apabila ia mendengar bahwa salah seorang anak buahnya telah melanggar pantangan itu." "Darimana kau tahu?" "Tawanan kami inilah yang mengatakannya. Wanita bagi Panembahan Sekar Jagat adalah suatu persoalan yang tidak ada manfaatnya. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat sendiri menurut pendengaran kami lewat tawanan kami itu, juga tidak pernah kawin sepanjang umurnya." Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Hatinya menjadi sedikit lapang mendengar penjelasan itu, meskipun masih juga timbul keragu-raguan. "Apakah orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu masih juga dapat dipercaya," pertanyaan itu selalu mengganggu pikirannya. Tetapi kegelisahan didadanya sudah tidak lagi melonjak-lonjak seperti pada saat ia pergi ke Kademangan. Orang tua itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Temunggul meneruskan. "Meskipun demikian, 83 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan aku akan selalu berusaha untuk mengawasi mereka, paman. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan, maka aku akan segera mengambil tindakan yang akan dapat mengamankan gadis-gadis di Kademangan ini." "Terima kasih ngger," jawab ayah Ratri sambil mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan tidak terjadi lagi bencana apapun atas gadis-gadis kita. Kita sudah membiarkan kekayaan kita satu demi satu mereka ambil. Sudah tentu kita tidak akan dapat membiarkan anak-anak kita mereka ambil pula." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya pula. "Kita akan bersama-sama berusaha," katanya, kemudian, "Dan aku menaruh kepercayaan kepada tawanan yang kita lepaskan tadi. Agaknya ia berbicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan ia berjanji, kalau Wanda Geni masih akan mengulangi perbuatannya, ia akan mengadukan kepada Panembahan Sekar Jagat. Sebab dengan demikian, hal itu akan dapat mengganggu kelancaran pekerjaan mereka, memungut harta dan kekayaan tidak saja di Kademangan ini." "Dan sebentar lagi kita akan melihat dua kekuatan berbenturan," desis ayah Ratri. "Antara siapa?" bertanya Ki Jagabaya dengan serta merta. "Bukankah angger Temunggul dimalam itu bertemu tidak saja dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, tetapi juga hadir sesorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dan mengaku sebagai seorang utusan dari Resi Panji Sekar?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, Kademangan ini akan menjadi ajang pertentangan dari orang-orang lain. Dan kita sama sekali tidak berbuat apa-apa." "Jangan bermimpi Ki Jagabaya," potong Ki Demang, "Kita sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu." "Bagaimana dengan anak-anak kita" Ternyata Temunggul telah memulainya. Dan ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu adalah orang-orang biasa, yang dapat luka oleh senjata." Tetapi apakah kita mengetahui jumlah kekuatan mereka yang sebenarnya?" sahut Ki Demang. "Kita tidak boleh mempertaruhkan Kademangan ini untuk memberikan kepuasan kepada beberapa pribadi saja. Kita harus menghitungkannya, apa yang pantas dan dapat kita lakukan." Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ia menjadi kecewa, Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seperti setiap kali ia mempercakapkan masalah itu, ia pun selalu menjadi kecewa. Dan setiap kali ia berbicara masalah itu, ia selalu terdiam sambil menahan hati. Ki Demang kurang mempunyai keberanian menjajagi kekuatannya, meskipun Ki Jagabaya dapat juga mengerti, bahwa Ki Demang ingin berbuat dengan sangat hatihati. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Ki Demang kepada ayah Ratri, "Pulanglah. Kita akan memperhatikan nasib gadis-gadis kita. Kita akan menemukan cara yang sebaikbaiknya tanpa mengorbankan seluruh Kademangan kita ini." "Terima kasih," jawab ayah Ratri. "Setiap ada persoalan tentang anak-anakku, aku akan menyerahkannya kepada Ki Demang dan orang-orang lain yang seharusnya memang bertanggung jawab." Ki Demang tersenyum sambil berkata, "Jangan takut." Ayah Ratri pun kemudian meninggalkan Kademangan dengan hati yang agak lapang. Disampaikannya semua pembicaraannya kepada istri dan anaknya, sehingga keduanya pun menjadi agak tenang. Di tambah-tambahinya keterangan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul agar anak dan istrinya itu tidak selalu diburu oleh keragu-raguan dan kecemasan. "Orang itu menyanggupkan dirinya menjadi taruhan," berkata ayah Ratri kepada anak dan istrinya. "Kalau Wanda Geni masih akan mengulangi perbuatannya, ia akan menyampaikannya kepada Panembahan Sekar Jagat. Sebab Panembahan Sekar Jagat sama sekali tidak menghendaki hal-hal serupa itu dapat terjadi. Bukan karena kebaikan hatinya, tetapi semata-mata karena ketamakannya akan harta benda, sehingga persoalan serupa itu akan dapat mengganggu usahanya mengumpulkan benda-benda berharga dari Kademangan ini." 84 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Istri dan anaknya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi seperti ayah Ratri itu, sebenarnya, mereka masih menyimpan keragu-raguan di dalam hati. Dengan demikian, maka sejak peristiwa itu Ratri jarang sekali keluar dari rumahnya, apalagi dari halaman. Ia selalu berada di dalam biliknya, atau berjalan-jalan di ruang dalam. Hanya kadang-kadang sekali ia turun ke halaman apabila ia telah menjadi rindu sekali menghirup cahaya matahari yang cerah. Sementara itu, berita tentang hal itu telah tersebar di seluruh Kademangan. Hampir setiap mulut mempercakapkannya. Tidak terkecuali Panjang, anggota pengawal Kademangan yang baru. Ketika ia pulang dari Kademangan di saat matahari terbenam, ia melihat Bramanti sedang menyalakan lampu regolnya, sehingga karena itu ia pun berhenti. "He," sapanya. "Lampumu terlampau kecil." Bramanti berpaling. Kemudian ia tersenyum. "Aku harus menghemat minyak." Panjang kemudian singgah ke halaman itu. Mereka duduk berdua bersandar dinding regol. "Darimana kau Panjang?" bertanya Bramanti. "Dari Kademangan," jawab Panjang pendek. "Apakah akan ada keramaian lagi di Kademangan?" bertanya Bramanti. Panjang menggelengkan kepalanya, "Ekor dari keramaian yang dahulu itupun masih belum terlupakan." "Kenapa?" "Ratri." "Kenapa dengan Ratri?" "Apakah kau sama sekali tidak mendengarnya?" Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Aku telah mendengar bahwa telah terjadi keributan. Tetapi aku tidak jelas apakah yang sebenarnya telah terjadi." "Dimanakah kau malam itu, ketika di Kademangan ada keramaian?" "Di rumah." "Apakah kau tidak melihat ke Kademangan?" "Ya, aku melihat. Tetapi aku pulang sebelum keramaian itu selesai." "Kenapa?" "Aku terlampau lelah." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Bramanti seakan-akan ia sedang mencari sesuatu di antara hitam matanya. "Sekali lagi Kademangan kita dijamah oleh seseorang yang diliputi oleh rahasia yang sangat gelap," berkata Panjang kemudian. Bramanti tidak menyahut, ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Hampir saja Ratri menjadi korban." "Korban apa?" "Panembahan Sekar Jagat." jawab Panjang, lalu "Maksudku orang-orang Panembahan Sekar Jagat." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kenapa kau tidak terkejut, atau menjadi heran atau dengan serta merta memberikan tanggapan?" Bramanti tergagap. Namun ia kemudian menjawab, "Aku menunggu kau selesai berbicara." Panjang menarik nafas. Katanya, "Baiklah. Aku teruskan. Saat itu Ratri berjalan bersama dua kawannya diantar oleh Temunggul dan seorang kawan. Tetapi mereka tidak dapat melawan Wanda Geni dan tiga orang kawannya. "Bukan mengalahkannya yang penting bagi Temunggul," sahut Bramanti. "Tetapi keberaniannya untuk melawan. Itulah yang seharusnya dilakukan sejak semula. Kalau Temunggul dan para pengawal Kademangan ini berani berbuat demikian, aku kira Panembahan Sekar Jagat harus berpikir untuk kesekian kalinya, apabila ia masih akan meneruskan perampokan yang selalu dilakukan itu." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Temunggul memang sudah melakukannya. 85 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Agaknya ia merasa, bahwa waktunya memang sudah tiba untuk melakukan perlawanan." "Tetapi Temunggul tidak bertempur karena ia seorang pengawal Kademangan. Ia berkelahi karena ia ingin membela Ratri," Bramanti berhenti sebentar, lalu, "Itu tidak wajar Panjang. Seharusnya Temunggul bersikap demikian sepanjang waktu, justru untuk kepentingan seluruh Kademangan." "Dari siapa kau meniru anggapan itu atasnya?" Sekali lagi Bramanti tergagap. Dan ia mendengar Panjang berkata seterusnya. "Aku mendengar dari pengawal yang mengawani Temunggul saat itu, bahwa kemudian hadir seseorang yang diliputi oleh rahasia itu, dan mengatakan tentang Temunggul seperti yang kau katakan." Sejenak Bramanti tidak menjawab. Tetapi sejenak kemudian ia bertanya, "Apakah kau tidak beranggapan begitu?" "Ya, aku pun beranggapan begitu. Kita memang harus bersikap demikian dalam segala kepentingan." "Dan bukankah kau, aku dan orang itu dapat berpendirian serupa sebelum kita berbicara dan memperbincangkannya." Sekali lagi Panjang menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi," katanya kemudian, "Orang aneh itu pun sangat menarik perhatian. Orang itu menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar. Utusan Resi Panji Sekar." "Apakah Temunggul tidak dapat mengenal orang itu apabila suatu kali ia bertemu lagi?" Panjang menggelengkan kepalanya. "Orang itu sengaja menyembunyikan pribadinya. Suaranya pun dibuat-buatnya sehingga melengking-lengking tidak karuan. Sikapnya dan tata gerak disaat-saat ia bertempur, sama sekali tidak dapat dikenal. Semuanya serba berlebih-lebihan dan bahkan mirip dengan seseorang yang sedang bermain-main." "Aneh," gumam Bramanti. "Apakah pamrihnya, sehingga orang itu tidak mau menyatakan dirinya?" "Kami tidak tahu. Temunggul tidak tahu, dan Ratri juga tidak tahu." Panjang berhenti sebentar, lalu, "Tetapi menurut dugaanku orang itu agaknya orang yang telah menolong aku itu pula." "Ketika kau melakukan pendadaran dengan berkelahi melawan harimau itu?" "Ya," "Apakah hubungannya?" "Keduanya datang dengan tiba-tiba pada saat yang diperlukan, dan keduanya menghilang dengan tiba-tiba pula. Keduanya tidak mau memperkenalkan dirinya dan keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding, yang tidak akan kita temui di Kademangan kita ini." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Mungkin, memang mungkin," desisnya, "Mungkin orang itu benar-benar orang Resi Panji Sekar." "Mungkin," gumam Panjang. "Memang mungkin." Keduanya pun kemudian saling berdiam diri, seolah-olah sedang mendengarkan desir angin di dedaunan di malam yang menjadi semakin kelam. Tiba-tiba Panjang berdesah sambil berdiri, "Sudah gelap. Aku akan pulang." "O," Bramanti tersadar, "Begitu tergesa-gesa" Aku sebenarnya ingin mempersilakan kau naik ke pandapa." "Terima kasih. Lain kali aku akan selalu datang. Aku merasakan sesuatu yang aneh di halaman rumah ini." "Apakah yang aneh itu?" "Aku tidak tahu, tetapi seolah-olah dilingkungan dinding halaman ini pun tersembunyi suatu rahasia. Rahasia yang tidak mudah ditebak." Bramanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, "Kau bergurau." "Aku bersungguh-sungguh." "Mungkin kau terlampau terpengaruh oleh kehidupan kita di masa kanak-kanak. Rumah ini kini sudah berubah sama sekali, sehingga seolah-olah di dalamnya tersimpan suatu rahasia yang gelap. Tetapi sebenarnya itu sama sekali bukan rahasia. Justru kenyataan yang terhampar siang dan malam." 86 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Panjang menarik nafas dalam-dalam. "Selamat malam Bramanti. Apakah nanti malam kau tidak akan keluar halaman rumah ini." Bramanti menggelengkan kepalanya, "Tidak Panjang. Aku lebih senang tidur di rumah." "Bukankah katamu kau tidur di kandang?" Ya. Aku memang tidur di kandang. Tidak terlampau panas, tetapi juga tidak terlampau dingin." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Satu-satu ia melangkahkan kakinya melangkahi tlundak regol halaman. Di luar regol ia berhenti sejenak sambil berpaling. "Tetapi tawanan yang di dapat malam itu, kini sudah dilepaskan." "He," Bramanti mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi tegang, namun kemudian kesan itu pun segera lenyap. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya, "Tetapi, kenapa dilepas" Aku memang sudah menyangka, bahwa dengan demikian kita akan merasa lebih aman." "Ya." Dan orang itu telah memberikan jaminan, bahwa Panembahan Sekar Jagat pasti akan mencegah apabila ada orang-orangnya yang masih akan mengganggu gadisgadis." Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kita dapat mempercayainya?" "Mudah-mudahan ia dapat dipercaya. Dan agaknya ia pun bersungguh-sungguh." "Apakah kau melihat sendiri?" "Aku melihat sendiri. Semua pengawal berkumpul di Kademangan ketika kami melepaskannya." Bramanti tidak segera menjawab. Tampaklah ia termenung, namun kemudian ia berdesis. "Mudah- mudahan demikianlah hendaknya." Panjang tidak menjawab lagi, tetapi ia berkata, "Selamat malam. Aku akan pulang." Sepeninggalan Panjang, Bramanti kemudian duduk termenung ditangga pendapa. Dipandanginya kehitaman malam yang menjadi semakin pekat. Lampu minyak diregol halaman tergetar karena angin yang bertiup dari Selatan. Bramanti berpaling ketika ia mendengar ibunya memanggilnya. "Makanlah," berkata ibunya. Bramanti pun kemudian berdiri dan berjalan ke dapur. Meskipun kemudian tangan Bramanti memegang mangkuk tanah yang berisi nasi, namun hatinya menjalar ke dunia angan-angannya yang tidak bertepi. Dunia yang dapat menampung segala macam kejadian dan peristiwa. Tanpa disadarinya, Bramanti telah membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi, apabila Ratri tidak tertolong saat itu. Ia dapat menduga, apa saja yang akan dilakukan oleh Wanda Geni. Dan tiba-tiba saja ia berdesah di dalam hatinya. "Kasihan Ratri. Ternyata Temunggul tidak mampu melindunginya." Bramanti yang mula-mula sama sekali tidak menaruh perhatian atas Ratri, justru lambat laun ia mulai membayangkannya. Ia mulai mereka-reka wajah gadis itu di dalam angan-angannya. Namun setiap kali ia menghentakkannya sambil bergumam kepada diri sendiri. "Aku agaknya akan mencari persoalan." Tetapi wajah Ratri semakin membayang di rongga matanya. Setelah makan, Bramanti pun minta diri kepada ibunya, untuk tidur di kandang yang kosong, seperti hampir setiap malam dilakukannya. Namun agaknya malam terasa terlampau panas, sehingga hampir di tengah malam Bramanti keluar dari dalam kandang. Setelah mengamati keadaan sekitarnya, maka ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan mengitari rumahnya. Namun agaknya Ia menjadi jemu, sehingga dengan demikian, maka ia pun berjalan keluar regol halaman. Bramanti tidak tahu, kemana ia akan pergi. Tetapi ditelusurinya saja lorong yang membujur lewat di depan regol halamannya. Selangkah demi selangkah, semakin lama semakin jauh. Ketika ayam jantan mulai berkokok di tengah malam, Bramanti tersadar, bahwa ia telah berada di depan rumah Ratri. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Siang hari tidak akan berani berdiri di depan rumah itu. Kalau 87 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Temunggul melihatnya, maka hal itu pasti akan menjadi persoalan yang berlarutlarut. Namun sejenak kemudian tiba-tiba Bramanti itu melenting dan bersembunyi di balik dinding halaman rumah Ratri itu. Ia mendengar langkah yang semakin lama menjadi semakin dekat. Bramanti menarik keningnya. Di dalam keremangan cahaya lampu regol halaman ia melihat dua orang berhenti di regol itu. Ternyata mereka adalah Temunggul dan ayah Ratri. Dada Bramanti menjadi berdebar-debar karenanya. Dan sejenak kemudian ia mendengar ayah Ratri berkata, "Terima kasih ngger. Kau sudah mau bersusah payah mengantarkan aku sampai ke rumah." "Ah," jawab Temunggul. "Itu termasuk tugasku paman." "Ya, tugasmu adalah tugas yang sangat berat," ayah Ratri berhenti sejenak, kemudian, "Eh, tetapi, tetapi, meskipun tugasmu sudah berat, aku masih minta kau membantu mengawasi Ratri. Aku percaya kepadamu ngger. Meskipun kau gagal mengalahkan Wanda Geni, tetapi aku kira kau adalah orang yang paling kuat di Kademangan ini selain Ki Jagabaya dan Ki Demang. Kalau aku tidak mempercayakan Ratri kepadamu, maka orang-orang lain pasti akan lebih tidak dapat dipercaya lagi." Wajah Temunggul tertunduk karenanya, "Terima kasih atas kepercayaan itu paman." "Kalau bukan kau yang harus menjaganya, siapa lagi," berkata ayah Ratri seterusnya. "Terima kasih paman." "Nah, selamat malam. Mudah-mudahan dalam menunaikan tugasmu, kau jangan lengah. Kau akan dapat menjadi orang terbesar di Kademangan ini." Temunggul tersenyum, katanya, "Betapapun besarnya, tetapi aku tidak akan dapat menjadi orang terbesar di Kademangan ini." "Sudah tentu ngger. Tetapi, apabila wahyu memang ingin berpindah dari satu Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keturunan ke keturunan yang lain, apakah sulitnya. Lihatlah, suami pertama Nyi Pruwita. Bukankah ia seorang Demang yang disegani" Tetapi ia mati selagi anaknya masih kecil." "Bramanti?" "Bukan. Anak suaminya yang pertama bernama Panggiring." "O, ya Panggiring." "Ayah Panggiring adalah seorang Demang. Demang dari Kademangan ini. Tetapi nasibnya tidak terlampau baik. Ia mati, dan sepeninggalannya istrinya kawin lagi. Dan lahirlah Bramanti. Tetapi agaknya semakin besar semakin terasa oleh Panggiring bahwa ayahnya terlampau keras dan kasar kepadanya, sehingga akhirnya ia pergi. Maka kemudian ibunya pun harus mengalami kematian suaminya untuk kedua kalinya. Bukankah kau pernah mendengarnya juga?" Temunggul tidak segera menjawab. Sesaat ia mengangguk-angguk. Namun sementara itu dada Bramanti terasa menjadi sesak. Ternyata ayah Panggiring dahulu adalah seorang Demang. "Persetan," ia menggeram. "Namun sekarang, aku adalah anak ibu satu-satunya. Panggiring telah pergi tanpa bekas." Namun meskipun demikian, pembicaraan itu menjadi perhatiannya juga. Dan ia mendengar ayah Ratri itu berkata, "Nah, setelah Demang itu meninggal, anak lakilakinya masih terlampau kecil dan bahkan kemudian hilang tidak ada beritanya, maka di angkat lagilah Demang yang sekarang ini." Temunggul mengerutkan keningnya. Kepalanya terangguk-angguk. Namun ia masih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. "Sayang istrinya kawin lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Pruwita itu," berkata ayah Ratri seterusnya, "Sehingga akhirnya Janda Pruwita pun termasuk orang yang kita hormati di Kademangan ini. Bahkan hampir saja ia terpilih untuk menggantikan Demang yang meninggal itu. Tetapi semakin lama kelakuannya menjadi semakin buruk, sehingga pada suatu ketika ia terpaksa mengalami nasib yang mengerikan itu. Bukankah kau ingat?" Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya, aku hanya ingat apa yang terjadi. Tetapi aku tidak banyak mengerti." 88 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa pada suatu saat, kedudukan Demang dapat bergeser dari garis keturunan." Temunggul menarik nafas dalam-dalam. "Ah," ayah Ratri berdesah. "Aku berbicara terlampau banyak. Selamat malam. Apakah kau akan singgah ke rumahku?" "Terima kasih paman. Besok aku akan datang." "Kami, seisi rumah menunggu kedatanganmu dengan senang hati." "Terima kasih. Aku kini minta diri." Temunggul pun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan regol halaman rumah Ratri. Ketika ia berpaling, regol itu telah tertutup kembali dan ayah Ratri pun telah hilang ditelan pintu yang telah merapat itu. Kini, tinggallah Bramanti merenung di balik sebatang gerumbul perdu yang rimbun. Tanpa disadarinya, ia telah dicengkam oleh ceritera ayah Ratri. "Ayah Panggiring itu dahulu seorang Demang," desisnya. "Tetapi ayahku pun seorang yang berpengaruh pada mulanya, meskipun akhirnya ia seakan-akan sama sekali tidak berharga." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia terpukul oleh akibat kelakuan ayahnya. Namun sekali lagi ia memantapkan tekadnya, "Aku harus membersihkan nama ayah dan keluargaku. Aku harus berbuat baik, sebaik-baiknya untuk Kademangan ini. Dengan demikian orang akan melupakan apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan ayah." Dan tiba-tiba Bramanti itu pun sadar, bahwa kini ia berada di halaman rumah Ratri. Karena itu, maka ia pun kemudian berdiri dan dengan lincahnya meloncat dinding halaman. Dengan tergesa-gesa ia melangkahkan kakinya, pulang ke rumahnya. Tetapi ia tidak masuk ke dalam biliknya. Ia langsung pergi ke kandang dan membaringkan dirinya di atas jerami kering. Sementara itu Temunggul pun sedang melangkahkan kakinya pulang ke rumahnya. Sekilas-kilas teringatlah olehnya ceritera ayah Ratri tentang Demang Candi Sari sebelum Demang yang sekarang. Tetapi ternyata ia sudah tidak begitu ingat apa yang telah terjadi saat itu. Meskipun umurnya lebih tua sedikit dari Bramanti, tetapi ia tidak dapat mengingat dengan jelas, siapakah ayah Panggiring itu, dan apakah yang pernah terjadi atasnya. Ia hanya ingat, bahwa Panggiring dan Bramanti adalah dua orang bersaudara seibu, tetapi tidak seayah. Ia hanya ingat, bahwa ayah Ratri tidak begitu senang kepada Panggiring, sehingga anak itu kemudian pergi tanpa diketahui kemana. Rahasia Kunci Wasiat 11 Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu Keris Setan Kobra 1