Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 10

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 10 hati. Dia masih belum yakin apakah sikap Sian Hwa Sian-li dengar kerling memikat dan senyum manisnya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya" Dia tidak ingin terjebak. Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak Bukit Merak dan Ki Seng melihat sebuah rumah besar yang agaknya belum lama dibangun di puncak itu. Bangunan ini seluruhnya dari kayu. Kokoh dan indah, selain dicat beraneka warna, juga banyak terdapat ukir-ukiran yang indah. Bangunan itu cukup besar dan dikelilingi oleh sebuah taman bunga yang terpelihara rapi, penuh dengan bunga-bunga beraneka warna. Di bagian luar dari taman bunga itu terdapat pagar yang mengitari, pagar bambu runcing dan di bagian depan terdapat pintu gapura yang lebar. Begitu mereka memasuki pintu gapura, dari bangunan itu datang berlarian sembilan orang wanita menyambut. Ki Seng memandang penuh perhatian dan dia merasa heran sekali. Sembilan orang wanita itu masih muda-muda, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya dan pakaian mereka dari sutera indah beraneka warna, bentuk tubuh mereka juga menggairahkan, akan tetapi wajah mereka semuanya buruk! Ketika sembilan orang wanita itu menyambut kedatangan Sian Hwa Sian-li mereka merubungnya dan seperti dikomando mereka mengeluarkan ucapan riuh rendah. "Selamat datang, Sian-li yang mulia" Sian Hwa Sian-li tertawa-tawa dan dirubung oleh sembilan orang wanita yang berwajah buruk itu, kecantikannya semakin menonjol. Ia bagaikan seolah seekor burung Hong di antara sembilan ekor burung gagak. Sambil tersenyum Sian Hwa Sian-melambaikan tangannya dan berkata "Sudah, cepat kalian mempersiapkan pesta besar untuk menjamu tamuku ini. Dia ini adalah pangcu dari Bantok-pang!" Mendengar ucapan ini, sembilan oran wanita itu lalu menghadap Ki Seng, memberi hormat dengan membungkuk sampai dalam dan dari mulut mereka terdenga salam merdu, "Selamat datang, pangcu!" Setelah mengucapkan selamat denga sikap hormat, sembilan orang wanita it sambil tertawa-tawa lalu berlarian masuk kembali ke dalam rumah itu. Merek bagaikan sembilan orang gadis remaja yang lincah dan gembira, dan melihat dari gerakan mereka Ki Seng dapat menilai bahwa mereka semua memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. "Hemm, engkau mempunyai pelayan-pelayan yang lincah, Sian-li." katanya sambil menoleh dan memandang wajah Sian Hwa Sian-li. Wanita itu kini menutup payungnya dan juga menatap wajah Ki Seng sambil tersenyum. "Jangan pandang rendah mereka, Ouw pangcu. Biarpun mereka itu hanya merupakan pelayan dan pembantuku, akan tetapi kalau mereka membentuk Kiu-seng-tin (Barisan Sembilan Bintang), akan sukarlah untuk memecahkan dan mengalahkan barisan mereka. Dan mereka juga merupakan orang-orang yang setia sampai mati kepadaku!" kata Sian Hwa Sian-li dengan bangga. "Hebat sekali," Ki Seng memuji. "Tentu engkau yang melatih mereka." "Memang. Mereka merupakan murid-murid pula yang baik dan berbakat. Engkau hendak melihat bukti kelihaian dan kesetiaan mereka" Lihat!" Sian Hwa Sian-li bertepuk tangan tiga kali di segera tampak sembilan orang wanita datang berloncatan dan mereka sudah memegang sebatang pedang dan tanpa diperintah mereka sudah mengepung Ki Seng. Gerakan mereka gesit, rapi dan agaknya merupakan barisan pedang yang tangguh. Wajah mereka dingin seperti arca dan mereka agaknya hanya menanti perintah Sian Hwa Sian-li untuk bergerak menyerang Ki Seng! Melihat ini, dengan sendirinya Ki Seng juga bersiap siaga untuk melawan mereka dan mengira bahwa Sian Hwa Sian-li memang sengaja hendak menjebaknya dengan barisan pedang ini. Akan tetapi ternyata tidak demikian, Sian Hwa Sian-li menggerakkan tangan memberi isarat dan berseru, "Kembalilah kalian ke rumah dan cepat persiapkan hidangan untuk pesta itu. Potong ayam bebek dan kelenci yang paling gemuk dan muda. Pergilah!" Sembilan orang itu tanpa berkata apapun segera berloncat pergi. "Bukan main!" Ki Seng memuji. "En kau memang hebat, Sian-li." "Hemm, engkau belum melihat kemampuan-kemampuanku yang lain. Mari kita masuk ke rumah." Dengan gembira dan bebas wanita itu menyambar tangan Ki Seng, dan menariknya memasuki rumah. Merasa betapa ringannya digandeng tangan yang berkulit halus dan hangat itu, Ki Seng tersipu dan jantungnya berdebar. Akan tetapi dia membiarkannya saja dan ikut memasuki rumah itu. Setelah melangkahi ambang pintu, Ki Seng terbelalak. Rumah yang terbuat dari kayu itu ternyata dalamnya mewah bukan main! Prabot-prabot rumah yang serba indah dan mahal, permadani yang tebal dan beraneka warna, hiasan dinding berupa lukisan dan tulisan yang luar biasa dan mahal, digantungi tirai-tirai sutera. Seperti ruangan rumah hartawan atau bangsawan seperti yang pernah dia dengar diceritakan orang. Melihat pemuda itu terkagum-kagum, Sian Hwa Sian-li menjadi girang dan ia menarik tangan pemuda itu diajak duduk di atas kursi berukir. Mereka duduk berhadapan, terhalang sebuah meja bundar. "Inilah rumahku, baru tiga bulan aku tinggal di sini. Telah bosan aku merantau dan melihat kesuburan dan keindahan Bukit Merak ini, aku lalu mengambil keputusan untuk tinggal di sini bersama sembilan orang pelayanku yang setia. Bagaimana pendapatmu tentang rumahki ini" Mari kita melihat-lihat sebelum duduk mengobrol!" Ia bangkit lagi dan kembali menggandeng tangan Ki Seng Mereka berdua lalu berjalanjalan dalam rumah itu, memeriksa setiap ruangan. Ki Seng semakin kagum. Rumah itu memiliki dua kamar induk yang amat indah dan luas, memiliki kamar mandi yang lengkap, dan dapur yang memiliki prabot serba lengkap pula. Di bagian belakang terdapat lima buah kamar yang menjadi kamar sembilan orang pelayan tadi. Ki Seng melihat sembilan orang pelayan itu sedang sibuk bekerja di dapur dan tercium bau masakan yang sedap. "Hebat! Rumahmu bagus dan menyenangkan sekali!" Ki Seng memuji. Sian Hwa Sian-li tersenyum. Mereka sudah duduk kembali di ruangan tengah. "Bagian mana yang kau anggap paling indah menyenangkan, pangcu?" "Hemm......., semua bagian indah," Ki seng mengingatingat dan memandang ke sekeliling, "akan tetapi yang paling menyenangkan adalah kamar tidur itu. Begitu indah menyenangkan dan berhawa sejuk, jendelanya menghadap taman bunga sehingga udaranya segar dan berbau harum." Ki Seng memuji dengan sejujurnya tanpa mengandung maksud tertentu. Sian Hwa Sian-li tertawa sehingga mulutnya terbuka. Wanita ini memang manis sekali kalau tertawa. Muncul lesung pipit di pipi kirinya. "Kita berpesta dulu, makan minum, kemudian kita akan bersenang-senang dalam kamar itu." Ia menatap wajah Ki Seng dan pemuda itu melihat Sian Hwa Sian-li memandangnya dengan sepasang mata hampir terpejam. Jantungnya berdebar aneh dan dia merasa mukanya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Sian Hwa Sian-tersenyum. Ki Seng makin tersipu karena dia merasakan sesuatu yang asing baginya, namun dia tahu bahwa dia amat tertarik kepada wanita ini. "Ouw-pangcu, sekarang kita harus mempererat persahabatan antara kita dengan mengenal riwayat diri masing masing. Aku ingin sekali mengetahui riwayatmu, siapa orang tuamu dan bagaimana engkau yang semuda ini sudah dapat menjadi pangcu dari Ban-tok-pang dan telah memiliki ilmu kepandaian demikian hebat. Siapa pula gurumu" Aku melihat tadi totokanmu itu luar biasa sekali. Apakah itu yang dinamakan It yang-ci" Aku hanya pernah cerita tentang ilmu itu, akan tetapi belum pernah menyaksikannya." Ki Seng merasa bahwa sudah sewajarnya kalau mereka saling mengenal lebih dekat dengan menceritakan keadaan masing-masing. Akan tetapi, dia merasa tidak kalah tinggi kedudukannya sehingga kalau mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, sepatutnya Sian Hwa Sian-li yang lebih dulu menceritaka keadaannya. Diapun ingin sekali mengetahui riwayat hidup wanita cantik yang memikat hatinya itu. "Usulmu baik sekali dan aku dapat menerimanya, Sian-li. Akan tetapi, riwayatku tidak menarik, karena itu akan kuceritakan kepadamu setelah lebih dulu Engkau bercerita tentang dirimu." "Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, Ouw-pangcu." kata wanita itu dengan sikap manja. "Segala sesuatu tentang dirimu amat menarik hatiku, Sianli." kata Ki Seng terus terang. Sian Hwa Sian-li membelalakkan matanya dan wajahnya berseri. "Benarkah, Pangcu" Benarkah engkau tertarik kepadaku?" "Aku amat tertarik kepadamu, Sian-li. Engkau seorang wanita yang memiliki daya tarik yang kuat dan aku ingin sekali mengetahui riwayatmu." "Aihhh.......! Aku menjadi khawatir...." "Apa yang kaukhawatirkan?" "Aku khawatir kalau isteri atau tunanganmu menjadi cemburu kepadaku!" mata Sian Hwa Sian-li mengerling tajam. Ki Seng tertawa dan pada saat itu, seorang pelayan datang membawa seguci arak dan dua buah cawan. Setelah mengisi kedua cawan dan meletakkannya di depan Sian Hwa Sian-li dan Ki Seng, dai menaruh guci di atas meja, pelayan itu lalu pergi lagi. Semua dilakukannya dengan cekatan dan tanpa kata-kata. "Engkau tidak perlu khawatir, Sian li. Aku belum beristeri dan juga tidak mempunyai tunangan." kata Ki Seng. "Bagus sekali kalau begitu. Girang aku mendengarnya dan mari kita minum untuk memberi selamat kepadaku!" Ia mengangkat cawan. "Memberi selamat kepadamu" Untuk apa?" tanya Ki Seng yang juga mengangkat cawannya. "Ya, memberi selamat kepadaku karena aku dapat berkenalan dengan engkau yang masih perjaka, belum beristeri di belum bertunangan. Mari kita minum demi persahabatan kita!" Keduanya lalu minum arak dan suasana menjadi semakin akrab. "Nah, ceritakanlah tentang dirimu, Sian-li." Sebelum menceritakan riwayatnya, Sian Hwa Sian-li mengajak minum lagi sampai mereka menghabiskan arak tiga cawan. Lidahnya menjadi ringan oleh pengaruh arak dan iapun mulai bercerita dengan sikap dan gaya yang genit dan manja. "Aku berasal dari selatan, jauh di selatan, di Propinsi Yunnan. Aku hidup sebatang kara, orang tuaku telah tewas ketika terjadi perang di daerah selatan. Semenjak berusia lima belas tahun aku hidup di bawah asuhan seorang pamanku, yaitu adik ibuku. Akan tetapi dia jahat dan aku dijualnya untuk menjadi budak pada sebuah keluarga hartawan. Di sana aku bekerja sebagai budak, akan tetapi hartawan itu mempunyai niat untuk mengambil aku menjadi selirnya. Aku merasa takut dan pada suatu malam aku berhasil melarikan diri. Karena khawatir dikejar, aku berlari terus sampai memasuki sebuah hutan. Pakaianku koyak-koyak terkait duri, perutku lapar dan tubuhku lemas dan pada saat menjelang senja itu, para pengejar, para tukang pukul hartawan itu dapat menyusulku di dalam hutan itu......" "Kasihan sekali engkau, Sian-li." kat Ki Seng yang mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. "Ki Seng, kita telah menjadi sahabat Lupakan saja sebutan Sian-li dan pangcu itu, ya" Nama kecilku adalah Kim Goat panggil saja aku dengan nama itu dan akupun memanggil engkau dengan nama mu saja." Ki Seng tersenyum dan merasa lebih akrab. Wanita ini sungguh menyenangkan pikirnya. "Baiklah, Kim Goat. Nama yang bagus Kim Goat (Bulan Emas)." "Akan tetapi nasib dan peruntunganku tidak sebagus itu. Ketika aku dapat di kejar dan disusul, tubuhku sudah begitu lemah sehingga aku tidak dapat berlari lagi. Tukang pukul yang lima orang jumlahnya itu sudah mengepungku, siap untuk menangkapku. Pada saat itu muncul ah seorang laki-laki berusia sekita enam puluh tahun. Dia menyelamatkanku dan membunuh lima orang tukang pukul it dan setelah mengetahui bahwa aku hidup sebatang kara, dia lalu mengajakku pergi. semenjak hari itu aku menjadi muridnya sampai lima tahun aku menjadi muridnya dan selanjutnya, aku bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi isterinya." "Hemmmm......." Ki Seng mengerutkan alisnya, terasa sesuatu yang tidak enak dalam hatinya mendengar wanita itu menjadi isteri gurunya sendiri. "Ya, aku tidak mempunyai pilihan lain, Ki Seng. Dialah satusatunya orang di dunia di mana aku bergantung, menjadi sandaranku, menjadi pengganti orang tuaku, juga guruku, juga suamiku. Akan tetapi setahun kemudian, dia tewas di tangan seorang musuh. Aku hidup sebatang kara lagi. Hatiku dipenuhi dendam. Karena itu aku selalu berusaha untuk memperdalam ilmu silatku dan setelah aku merasa mampu, aku lalu membunuh hartawan yang pernah menyuruh para tukang pukulnya mengejar dan menangkapku, aku mencari pamanku dan membunuhnya pula. Dan akhirnya aku berhasil membunuh musuh besar yang telah menewaskan guruku. Nah, semenjak itulah aku malang melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan mendapatkan julukan Sian Hwa Sian-li, karena aku selalu meninggalkan bunga setiap melakukan sesuatu sebagai tanda." "Dan selama itu engkau tidak pernah bersuami lagi" Juga sekarang tidak?" Sian Hwa Sian-li menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Aku lebih senang hidup sendiri, bebas dan dapat memilih Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kawan sesuka hatiku, bergaul dengan siapa saja yang kusukai. Seandainya aku bersuami, tentu aku tidak dapat mengundangmu menjadi tamuku dan kita mengobrol berdua sesantai ini, bukan?" Ki Seng mengangguk-angguk dan tersenyum pula. "Beruntung sekali aku karena engkau tidak bersuami sehingga aku dapat menjadi tamumu. Riwayatmu amal menarik hati dan aku percaya bahwa selama bertualang di dunia kang-ouw engkau tentu telah memiliki banyak pengalaman. Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebat sehingga Ciang-pangcu dari Pek-eng-pang tidak mampu menandingimu." "Akan tetapi kenyataannya, aku tidak dapat menandingimu padahal engkau masih begini muda, Ki Seng." "Usiaku tidak berselisih jauh dengan usiamu, Kim Goat. Engkaupun masih amat muda." "Hemm, berapa sih usiamu, Ki Seng?" "Aku sudah berusia dua puluh satu tahun." "Ah, masih amat muda." "Tentu tidak jauh selisihnya denganmu, kalau tidak dapat dikatakan bahwa engkau lebih muda lagi." Sian Hwa Sian-li tertawa. "Hi-hik, biarpun aku sendiri tidak tahu berapa sesungguhnya usiaku, akan tetapi sudah pasti lebih dari dua puluh satu tahun." "Akan tetapi engkau kelihatan masih muda sekali, paling banyak dua puluh tahun!" "Sesungguhnyakah?" Sian Hwa Sian-li tersenyum gembira. Tidak ada pujian yang lebih menyenangkan bagi seorang wanita daripada pujian bahwa ia masih tampak muda! "Sekarang ceritakanlah riwayatmu, Ki Seng." Pemuda itu menghela napas panjangi "Riwayatku tidak menarik dan menyedihkan, Kim Goat. Sebetulnya, nama Owh Ki Seng adalah nama samaranku. Aku... tidak dapat kuceritakan rahasia tentang diriku, Kim Goat. Kita baru saja berkenalan." Kim Goat atau Sian Hwa Sian-li mengerutkan alisnya yang kecil panjang dari hitam. "Akan tetapi, bukankah kita telah menjadi sahabat baik" Ah, sudahlah! Kalau engkau hendak merahasiakan dirimu, terserah. Akan tetapi setidaknya ceritakan siapa orang tuamu, gurumu dari bagaimana semuda ini engkau sudah menjadi ketua Ban-tok-pang." "Siapa orang tuaku belum dapat kuceritakan. Guruku berjuluk Cheng Hian Hwesio dan bertahun-tahun waktuku kuhabiskan untuk belajar ilmu silat. Setelah aku tamat belajar aku berkunjung ke Ban tok-pang dan karena para pimpinan Ban tok-pang takluk kepadaku, maka setelah pimpinannya meninggal dunia, lalu aku diangkat menjadi ketua Ban-tokpang. Sampai sekarang, baru kurang lebih satu bulan aku menjadi ketua Ban-tok-pang." "Dan hubunganmu dengan Pek-eng-pang?" "Tadinya aku datang untuk menalukkan Pek-eng-pang dan menariknya menjadi bawahan perkumpulanku. Aku sudah mengalahkan mereka dan pada saat para Piauwsu mengabarkan betapa kereta mereka kau rampas, aku masih berada di sana sebagai tamu. Maka aku lalu membantu mereka menghadapimu." "Dan aku girang sekali kau lakukan itu karena dengan begitu maka kini kita saling berkenalan dan menjadi sahabat baik." Para pelayan berdatangan membawa hidangan yang masih mengepul. Sian Hwa Sian-li lalu mengajak tamunya untuk makan minum, dilayani para pelayan wanita yang sembilan orang jumlahnya itu. Hidangan itu mewah sekali dan Ki Seng juga tidak malu atau sungkan lagi. Pia makan minum dengan lahap dan gembiranya, apalagi karena Sian Hwa Sian-li melayaninya dengan ramah dan manis. Malam telah tiba ketika mereka berdua akhirnya merasa kenyang dan menyudahi perjamuan berdua itu. Ketika diajak bangkit dari kursinya, Ki Seng merasa kepalanya ringan dan perasaannya mengapung. Dia tidak biasa minum arak sedemikian banyaknya, maka pengaruh arak membuatnya agak mabok. Sian Hwa Sian-li membimbingnya dani mempersilakannya untuk mandi. Ki Seng merasa diperlakukan sebagai raja! Bahkan Sian Hwa Sian-li sudah menyediakan pakaian pengganti untuknya, pakaian pria yang amat bagus, terbuat dari sutera halus, pakaian yang biasa dipakai oleh seorang bangsawan atau hartawan dan pakaian itu masih baru! Setelah mandi dan berganti pakaian baru, Ki Seng keluar dari kamar mandi dan dia tertegun, terpesona ketika melihat Sian Hwa Sian-li telah berdiri di depan kamar mandi menyambutnya. Wanita itu agaknya juga sudah habis mandi dan mengenakan pakaian yang amat indah, wajahnya cantik jelita berseri-seri pun tersenyum kepadanya! Ki Seng menelan ludah sendiri, tidak dapat berkata-kata dan juga tidak menolak ketika Sian Hwa Sian-li menghampirinya dan menggandeng tangannya. Sian Hwa Sian-li yang sudah berpengalaman itu tersenyum geli ketika merasa betapa tangan Ki Seng yang digandengnya itu gemetar. Maklumlah wanita ini bahwa Ki Seng adalah seorang pemuda yang mungkin belum pernah bergaul dengan wanita. Tanpa berkata apapun ia lalu menggandeng pemuda itu memasuki kamarnya yang luas dan indah. Bagaikan seekor kerbau yang jinak, Ki Seng membiarkan dirinya dituntun ke dalam kamar itu. Dalam diri Sian Hwa Sianli dia menemukan seorang guru yang amat pandai yang mengajarnya berenang dalam lautan nafsu berahi. Dia segera terbuai dalam kemesraan yang memabokkan dan lupa segalagalanya. Nafsu memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Nafsu memiliki pengaruh yang amat kuat. Manusia, betapa pun kuatnya dia, seringkali menjadi lemah menghadapi nafsunya sendiri, kalau nafsu itu telah berubah menjadi majikan yang mencengkeram dan menguasainya, Nafsu menawarkan kenikmatan dan kesenangan jasmani, menyuguhkan kepuasan. Oleh karena itu maka tidak mengherankan kalau manusia jatuh olehnya. Bagi seorang yang sudah dicengkeram oleh nafsu, hidup ini merupakan medan untuk mengejar kesenangan duniawi, kesenangan jasmani dan dalam pengejaran kesenangan inilah manusia sanggup melakukan apa saja, melanggar peraturan apa saja. Nafsu membuatnya mabok dan lupa daratan. Nafsu bagaikan nyala api, makin diturut makin diberi umpan, akan menjadi semakin besar yang akhirnya akan membakar segalanya termasuk dirinya pribadi. Nafsu bagaikan kuda yang kalau dibiarkan meliar akan kabur dan menyeret kita sendiri ke dalam jurang. Akan tetapi kalau kita dapat mengendalikan dan menguasai api dapat mengendalikan dan menguasai kuda maka kita akan dapat memanfaatkan dan mempergunakan untuk kepentingan hidup Ini. Begitu kuat pengaruh nafsu yang mencengkeram hati akal pikiran kita sehingga semua pengetahuan dan kepandaian kita tidak ada artinya sama sekali untuk menentangnya karena pusat pengetahuannya dan kepandaian itu, ialah hati akal pikiran kita, sudah dicengkeramnya dan menjadi budaknya. Satu-satunya jalan bagi kita untuk dapat terbebas dari pengaruh nafsu kita sendiri yang demikian kuat hanyalah dengan selalu ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan Maha Pencipta dengan penuh keimanan dan kepasrahan lahir batin, kepasrahan yang penuh ketawakalan dan keikhlasan. Dan waspada terhadap diri kita sendiri, terhadap kiprahnya hati akal pikiran kita sehingga kita akan selalu dapat mengamati ulah nafsu kita sendiri. Hanya dengan penyerahan kepada Tuhan, maka Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita menundukkan nafsu kita sendiri. Ki Seng adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam pengalaman dengan wanita. Dia belum pernah bergaul dengan wanita. Dan memang pada dasarnya pemuda ini sudah membiarkan dirinya takluk terhadap nafsunya sendiri sehingga bertemu dengan Sian Hwa Sian-li, dia mudah terjun dan menyelam dalam gairah nafsu berahinya. Mabok oleh kemesraan yang dinikmatinya. Sian Hwa Sian-li merasa gembira bukan main mendapatkan seorang pemuda yang selain masih perjaka, juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, seorang pemuda yang boleh diandalkan sebagai rekan dan sahabat karena kesaktiannya, seorang pemuda yang amat menyenangkan dijadikan kekasih barunya. Dan keduanya ternyata memiliki watak yang cocok! Jilid XVIII TIGA HARI tiga malam itu mereka isi dengan pesta pora, mabok-mabokan minum anggur cinta berahi. Tentu saja hubungan mereka menjadi semakin akrab. Pada pagi hari ke empat, ketika mereka berdua terbangun dari tidur dalam keadaan lelah dan puas, Sian Hwa Sian-li melihat sebatang suling berbentuk naga kecil menggeletak di tempat tidur, tadinya tersembunyi di bawah bantal kepala Ki Seng. Ia segera mengambil suling itu dan berkata, "Indah sekali suling ini.....!" Ki Seng menggeliat bangkit dan melihat Suling Pusaka Kemala itu berada di tangan Sian Hwa Sian-li, secepat kilat tangannya menyambar dan suling itu telah dirampasnya. "Eh, kenapakah, Ki Seng" Aku hanya ingin melihat!" seru Sian Hwa Sian-li terkejut. Ki Seng menyadari bahwa perbuatannya itu terlalu kasar. "Maaf, aku hanya tidak ingin kehilangan benda ini, karena benda ini merupakan pusaka yang teramat penting bagiku. Nah, engkau boleh melihat dan memeriksanya sekarang." Di menyerahkan kembali suling itu kepada Sian Hwa Sian-li yang menerimanya dengan hati lega karena tadi ia menyangka pemuda itu marah kepadanya. Ia meneliti suling itu dan memuji dengan kagum. "Suling yang indah sekali. Terbuat dari batu kemala murni dan ukirannya amat indah. Sebuah benda yang langka sekali, Ki Seng. Dari mana engkau memperoleh benda selangka ini?" Ia mengembalikan suling kemala itu kepada Ki Seng yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja dekat pembaringan. "Suling itu peninggalan ibuku yang tadinya menerima dari ayahku. Suling pusaka itulah yang menjadi pertanda siapa diriku sebenarnya." Sian Hwa Sian-li tertarik sekali dan ia merangkul Ki Seng. "Ki Seng, kukira sekarang sudah waktunya engkau membuka rahasia tentang dirimu kepadaku. Kita telah menjalin hubungan yang amat erat, kita saling mencinta dan saling menjadi kekasih hati. Perlukah lagi engkau merahasiakan siapa adanya dirimu dariku?" Ki Seng menghela napas dan berkata. "Baiklah, bagiku engkau adalah satu-satunya orang yang boleh mengetahui rahasia ini. Akan tetapi harap engkau tetap menyimpannya sebagai rahasia sampai tiba waktunya rahasia ini dibuka untuk umum." "Ceritakanlah, kekasihku dan aku akan menyimpannya seperti rahasiaku sendiri dan akan kulindungi dengan taruhan nyawaku." "Akupun kelak mengharapkan bantuanmu pada waktu aku menuntut hakku. Ibuku telah meninggal dunia, Kim Goat. Nama ibuku adalah Chai Li dan ia masih keponakan dari seorang kepala suku Mongol yang bernama Kapokai Khan. Pada waktu ibuku masih seorang gadis, menjadi puteri tercantik di daerahnya, Kapokai Khan berhasil menawan Kaisar Cheng Tung yang sedang melakukan perjalanan di utara. Kaisar Cheng Tung menjadi tawanan di daerah yang dikuasai Kapokai Khan sebagai tawanan terhormat. Bertemulah ibu Chai Li dengan Kaisar Cheng Tung dan mereka saling jatuh cinta, lalu Puteri Chai Li menjadi isteri Kaisar Cheng Tung, dan lahirlah aku." "Ahhh.......!" Sian Hwa Sian-li lalu melepaskan rangkulannya dan cepat ia melompat turun dari pembaringan dan berlutut di atas lantai. "Kiranya paduka adalah seorang pangeran! Harap ampunkan hamba yang telah bersikap tidak hormat karena tidak mengetahui.....!" Ouw Ki Seng tertawa. Tangannya menyambar ke depan dan sekali tarik, tubuh wanita itu telah terangkat ke atas pembaringan dan dipangkunya. "Hushh, jangan begitu. Sebelum aku diterima dengan resmi menjadi seorang pangeran, bagimu aku tetap Ouw Ki Seng dan jangan sekali-kali memperlihatkan sikap seperti tadi karena dengan begitu engkau akan membuka rahasiaku!" "Baik, hamba....... eh, aku akan bersikap biasa, Ki Seng. Kalau begitu, siapakah nama aselimu?" tanya Sian Hwa Sian-li, di dalam hatinya ia merasa berbahagia sekali karena orang yang menjadi kekasih barunya ini ternyata seorang pangeran! Pikirannya melayang-layang dan membayangkan betapa ia akan menjadi isteri seorang pangeran, dan bahkan mungkin kelak kalau sang pangeran menjadi kaisar, ia akan menjadi permaisuri! "Namaku adalah Cheng Lin. Ketika Kaisar Cheng Tung meninggalkan ibu Chai Li untuk kembali ke selatan, ibuku itu sedang mengandung aku sehingga aku belum pernah bertemu dengan ayah kandungku. Kaisar Cheng Tung meninggalkan suling kemala ini kepada ibuku dan suling inilah yang menjadi pertanda bahwa aku benar adalah putera Kaisar Cheng Tung. sebelum ibuku meninggal dunia, ia memberikan suling ini kepadaku dengan pesan agar aku mencari ayah kandungku ke kota raja kerajaan Beng. Akan tetapi, aku belajar ilmu silat dengan tekun lebih dulu sehingga aku memiliki bekal kepandaian sebelum mencari ayah kandungku. Demikianlah riwayatku, Kim Goat." "Jadi, engkau belum pergi menemui ayah kandungmu itu?" "Belum, aku hendak menyusun kekuatan lebih dulu sebelum melakukan hal itu Karena itu, untuk menyusun kekuatan agar kedudukanku cukup kuat dan terpandang, setelah aku menjadi ketua Ban-tok-pang, aku ingin menundukkan perkumpulan-perkumpulan lain. Aku telah berhasil menundukkan dan menguasai Hek-houw-pang, dan sebetulnya aku ingin pula menundukkan dan menguasai Pekengpang." "Akan tetapi, mengapa engkau ingin menguasai dua perkumpulan itu?" "Selain agar kedudukanku kuat, juga aku menginginkan penghasilan mereka, terutama Pek-eng-pang dengan hasil piawkiok mereka, dan Hek-houw-pang dengar hasil rumahrumah pelesir dan rumah judi mereka." "Akan tetapi kenapa engkau bukannya menundukkan Pekeng Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pang, bahkan membantu mereka untuk menentangku?" tanya pula Sian Hwa Sian-li. "Apakah engkau menyesal, Kim Goat" Bukankah dengan demikian kita dapat saling bertemu seperti sekarang ini?" Ki Seng menggoda. Sian Hwa Sian-li tersenyum. "Tentu saja aku tidak menyesal, bahkan merasa senang sekali. Aku hanya ingin tahu mengapa engkau tidak menundukkan dan menguasai Pekengpang." "Justeru aku mengharapkan bantuanmu untuk ini, Kim Goat." "Bantuanku" Hi-hik, jangan berkelakar, Ki Seng. Mereka itu tidak mampu menandingiku, sedangkan aku kalah olehmu. Apa sukarnya kalau engkau hendak menundukkan mereka" Tidak ada yang akan mampu menandingimu dan dengan mudah engkau akan dapat menundukkan mereka dan menguasai Pek-eng-pang." Ki Seng menghela napas dan tersenyum. Terbayang wajah Mei Ling dan agaknya sekarang bayangan wajah itu lebih menarik lagi. "Soalnya, mereka itu Menyambutku sebagai tamu dan sikap mereka terhadap aku baik sekali. Pula..... aku tidak tega terhadap Ciang Mei Ling..." "Ah-ah......" Sian Hwa Sian-li mencubit paha Ki Seng, kemudian ia merangkul dan berkata manja, "kalau begitu engkau tertarik dan mencinta kepada gadis itu" "Terus terang saja aku suka sekali kepadanya, Kim Goat. Karena itu bantulah aku untuk menguasai Pek-eng-pang sekaligus mendapatkan Mei Ling." "Dan kalau engkau sudah mendapatkan Mei Ling, engkau lalu akan lupa kepadaku dan mencampakkan aku?" Suara wanita itu terdengar sedih. Ki Seng merangkulnya. "Tentu saja tidak, Kim Goat. Engkau adalah wanita pertama yang pernah kugauli, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku. Pula bukankah mulai saat ini engkau bersedia untuk menjadi kekasihku dan pembantuku" Aku mengharapkan pula bantuanmu kelau kalau aku menuntut hakku kepada Kaisar sebagai puteranya. Engkau tentu suka membantuku untuk menguasai Pek-eng pang tanpa mengganggu Mei Ling, bukan?" Ki Seng membujuk. Sian Hwa Sian-li menghela napas panjang dan menatap wajah Ki Seng. "Baiklah, aku akan membantumu dalam segala hal yang kaukehendaki sampai kelak engkau menjadi seorang Pangeran. Akan tetapi kalau engkau sudah menjadi pangeran dan mungkin menggantikan kedudukan Kaisar, harap jangan melupakan aku. Nah, bagaimana aku dapat membantumu untuk menguasai Pek-eng-pang?" "Sebaiknya diatur begini....." Ki Seng lalu berbisik-bisik mengatur rencana apa yang harus mereka lakukan terhadap Pek-eng-pang. Pada pagi nari itu, setelah tiga hari tiga malam Ki Seng tinggal di rumah Sian Hwa Sian-li di puncak Bukit Merak seperti yang telah dijanjikan, dia menuruni bukit mengendarai sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Semua isi kereta itu masih lengkap. Sian Hwa Sian-Li mengantar sampai keluar halaman dan kereta bergerak ke depan menuruni bukit. Metelah tiba di kaki bukit, kereta itu terus menuju ke perkampungan Pek-eng-pang, tidak pernah berhenti dan tiba di perkampungan itu setelah hari menjadi malam. Ciang Hok dan Ciang Mei Ling yang sejak pagi menunggununggu, menjadi girang sekali dan segera menyambut kedatangan Ki Seng. Juga para piauwsu menyambut dan merasa gembira melihat betapa kereta dan semua isinya lengkap telah kembali dengan selamat. Mereka bersorak gembira dan Ciang Hok bersama Mei Ling segera menyambut Ki Seng dengan wajah berseri. Tentu saja ayah dan anak ini menjari girang bukan main. Mereka menyambut Ki Seng dengan pesta yang memang sudah disediakan untuk menyambutnya! bergantian Cian Hok dan Mei Ling mengangkat cawan arak untuk mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Ki Seng, yang disambut oleh pemuda itu dengan gembira pula. "Kami telah berhutang budi besar sekali kepadamu, Ouwpangcu. Engkau telah menyelamatkan bukan saja nama dari kehormatan Pek-eng-pang, akan tetapi juga nyawa kami. Oleh karena itu, kami mengharap dengan sangat sukalah engkau menerima uluran tangan kami untuk mengekalkan perhubungan di antara kami dengan perjodohan. Dengan segala kerelaan hati kami ingin menjodohkan Mei Ling, anak tunggal kami, denganmu, Ouw-Pangcu." kata Ciang Hok dan isterinya-pun mengangguk-angguk. Mendengar ucapan ayahnya ini, Mei Ling menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Ia tersipu, akan tetapi tidak meninggalkan kursinya dan hanya sekali ia mengerling Ke arah Ki Seng dengan wajah tersipu. Ki Seng tersenyum dan diapun mengerling ke arah Mei Ling. Tiga hari yang lalu, mungkin dia tidak berani mengerling atau memandang kepada gadis itu karena merasa sungkan dan malu. Akan tetapi, setelah dia bertemu dengan Sian Hwa Sian-li yang menjadi gurunya dalam permainan asmara, kini dia tidak lagi merasa sungkan atau malu. Hubungannya selama tiga hari tiga malam dengan Sian Hwa Sian-li seolah membangkitkan seekor binatang buas dalam dirinya, yang membuat dia memandang wanita cantik seperti seekor singa kelaparan memancing seekor domba atau memandang sebuah permainan yang amat indah menyenangkan untuk dipermainkan ! "Terima kasih atas maksud baik dani kepercayaan Paman Ciang kepadaku," jawabnya. "Tentu saja aku menerima baik uluran tangan paman ini, karena aku sendiri merasa amat kagum dan suka kepada nona Ciang Mei Ling. Akan tetapi karena pernikahan merupakan urusan keluarga maka aku harus mendapat ijin lebih dulu dari ayahku." "Ah, tentu saja, di mana tempat tinggal ayahmu?" tanya Ciang Hok. "Ayah tinggal di kota raja dan aki akan minta persetujuannya untuk menikah dengan nona Ciang Mei Ling." "Ki Seng, di antara kita sudah ada ikatan keluarga, bagaimana engkau masih memanggil Mei Ling dengan nona?" kata Nyonya Ciang Hok sambil tersenyum. "Baiklah, aku akan memanggilnya Ling-moi (adik Ling)!" kata pula Ki Seng sambil tersenyum dan Mei Ling tersipu sambil tersenyum manis. Pesta perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana yang lebih gembira dan akrab dan malam itu Ki Seng bermalam di sebuah kamar yang disediakan oleh keluarga Ciang. Malam itu sunyi. Seluruh penghuni rumah keluarga Ciang sudah tidur karena mereka lelah dan kekenyangan setelah pesta perjamuan sore tadi. juga para anak buah Pek-eng-pang sudah tidur. Merekapun kelelahan setelah merayakan kembalinya kereta berikut isinya dengan minum-minum sepuasnya. Lewat tengah malam, tiga sosok bayangan hitam berkelebat di atas genteng tumah Ciang-pangcu. Mereka memakai pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup kain hitam. Mereka itu adalah Sian Hwa Sian li dan dua orang temannya. Dua orang itu adalah dua orang perampok yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, pernah ditalukkan Sian Hwa Sian-li dan kini menjadi kawan yang menaati semua perintah Sian Hwa Sian-li. Karena itu ketika Sian Hwa Sian-li mengajak mereka untuk membantunya menyerbu rumah ketua Pek-eng-pang, mereka segera menyanggupi. Di atas wuwungan rumah itu mereka berhenti dan mendekam untuk melihat keadaan di bawah. Di bawah sana sunyi sekali, tanda bahwa semua orang di perkampungan Pekengpang itu sudah tidur, bahkan tidak tampak penjaga malam atau peronda. "Ingat, tugas kalian hanya memasuki kamar gadis itu dan menangkapnya, lalu membawanya lari, Hati-hati, ia cukup lihai dan jangan sekali-kali kalian melukainya, apalagi membunuhnya. Biar aku yang menghadapi ketua Pek-engpang." Dua orang perampok itu mengangguk. "Jangan khawatir, kalau hanya menangkap seorang gadis, tentu kami sanggup!" kata seorang dari mereka. Setelah meneliti benar keadaan di bawah, Sian Hwa Sian-li lalu memberi isarat kepada dua orang kawannya dan mereka lalu melayang turun ke dalam taman bunga di belakang bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ciang Hok, ketua Pek-eng-pang, dan keluarganya. Dalam penyamaran ini Sian Hwa Sian-li tidak membawa payung merahnya. Ia lelah mendengar dari Ki Seng tentang keadaan rumah ketua Pekengpang itu dan dari atas genteng tadi iapun sudah mempelajari di mana letak kamar Ciang Hok dan kamar Ciang Mei Ling. "Kalian lakukanlah, itu kamarnya." Ia menunjuk ke arah kamar gadis puteri ketua Pek-eng-pang itu, sedangkan ia sendiri menuju ke kamar besar di mana Ciang Hok dan isterinya tidur. Dengan mudah saja ia dapat menggunakan tenaga sinkangnya untuk membuka daun jendela dengan paksa lalu melompat masuk ke dalam kamar yang gelap itu. Hanya sedikit sinar dari lampu di luar kamar yang menerobos masuk melalui jendela yang sudah terbuka. Biarpun terbukanya jendela itu hanya menimbulkan sedikit saja suara, namun agaknya sudah cukup untuk membuat Ciang Hok terbangun. Apalagi ada cahaya masuk dari luar jendela. Dia terkejut dan cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Akan tetapi pada saat itu sinar kilat meluncur dan menusuk ke arah dadanya. Ciang Hok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis. Ternyata yang menusuk adalah sebatang pedang yang dipegang oleh seorang yang mukanya tertutup kain hitam. "Crakkk!" Lengannya terluka oleh pedang yang tajam itu sehingga Ciang Hok mengaduh kesakitan. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi dan pedang itu kembali menyambar. Serangan itu amat hebat. Cepat sekali dan mengandung tenaga yang kuat. Ciang Hok tidak sempat lagi untuk menghindarkan diri dan pedang itu menusuk dan memasuki lambungnya. Dia berteriak dan roboh terpelanting. Dalam keadaan terluka parah itu kembali pedang berkelebat menyambar lehernya dan tewaslah ketua Pek-Eng-pang itu dalam keadaan menyedihkan, berlumur darahnya sendiri. Nyonya Ciang terkejut dan terbangun pula dari tidurnya. Ia turun dari pembaringan, akan tetapi segera disambut bacokan pedang yang mengenai lehernya dan tanpa dapat berteriak lagi nyonya inipun roboh di samping mayat suaminya dan tewas pada saat itu juga. Setelah membunuh suami isteri itu, Sian Hwa Sian-li cepat melompat keluar dari jendela dan terus melompat ke atas genteng dan melarikan diri, sengaja meninggalkan dua orang pembantunya yang ditugaskan untuk menangkap dan menculik Mei Ling. Tidak seperti ayah dan ibunya, malan itu Mei Ling masih belum pulas benar Pikirannya masih melayang-layang membayangkan wajah Ki Seng, pemuda yang dijodohkan kepadanya itu. Ia merasa tegang dan juga senang karena ia memang sudah tertarik kepada Ki Seng semenjak pertama kali bertemu dengan pemuda itu. Maka ketika daun jendelanya dipaksa terbuka dari luar, iapun sudah terjaga dan cepat melompat turun dari atas pembaringan, tepat pada saat dua sosok bayangan melompat memasuki kamarnya dari jendela yang sudah terbuka lebar. Dari sinar yang memasuki kamar melalui jendela yang terbuka, ia melihat dua sosok bayangan hitam berlompatan memasuki kamarnya. Karena pedangnya ter-gantung di dinding, Mei Ling tidak sempat mengambilnya dan ia sudah menerjang maju menyerang orang terdepan dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi yang dipukulnya itu cepat mengelak lalu menjulurkan tangan hendak meringkusnya. Mei Ling miringkan tubuhnya dan menampar. "Plakk......!" Orang itu terkena tamparan pada lehernya dan hampir terpelanting. Akan tetapi ternyata dia cukup kuat karena tamparan itu tidak merobohkannya dan pada saat itu orang kedua sudah menubruk dan memegang lengan tangan Mei Ling. Mei Ling meronta akan tetapi ia belum ia sempat melepaskan diri, orang pertama tadi sudah memegangi tangan yang sebelah lagi. Karena keadaan di kamar itu gelap, Mei Ling tidak dapat berbuat sesuatu selain meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari pegangan kedua orang itu. Akan tatapi dua orang itu ternyata kuat sekali. Mereka sudah dapat menyeret Mei Ling keluar dari kamar itu melalui jendela dan setibanya di luar jendela baru Mei Ling dapat melihat bahwa dua orang yang menangkapnya itu adalah dua orang tinggi besar berpakaian serba hitam dan mukanya tertutup kain hitam pula. Setelah kini berada di tempat yang tidak begitu gelap sehingga ia dapat melihat, Mei Ling mempergunakan kakinya menendang. Seorang di antara kedua orang penangkapnya itu tertendang perutnya dan dia berseru kesakitan sambil melepaskan pegangan. Setelah sebelah tangannya bebas, Mei Ling menghantam ke-arah orang kedua. Orang itu dapat menangkis, akan tetapi terpaksa harus melepaskan pegangannya. Kini Mei Ling bebas dan iapun mengamuk, menggunakan kaki tangannya, bersilat dengan ilmu silat Pekeng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih) menyerang kedua orang bertopeng itu. Akan tetapi ternyata kedua orang itupun cukup lihai. Mereka mampu mengelak atau menangkis dan terus mendesak Mei Ling untuk dapat meringkus gadis itu. Dalam keadaan terdesak itu, Mei Ling teringat akan Ki Seng yang tidur di ka-mar sebelah, kamar tamu. "Seng-ko, tolong......!" Ia berteriak sambil menangkis empat buah tangan yang berusaha untuk menangkapnya itu. Ki Seng memang tidak tidur di malam itu. Dia menanti karena memang dia sudah berunding dengan Sian Hwa Sian-li bahwa malam itu Sian Hwa Sian-li akan bergerak mengajak dua orang perampok yang dikenalnya. Ki Seng tadi tentu saja mendengar gerakan Sian Hwa Sian-li yang menyerbu ke dalam kamar Ciang Hok, akan tetapi dia mendiamkannya saja. Juga dia yang mengintai dari jendela kamarnya melihat Sian Hwa Sian-li yang memakai topeng, dia mengenalnya dari bentuk tubuhnya, melompat keluar dari kamar Ciang Hok dan melarikan diri melalui genteng. Ketika dia mendengar ributribut di kamar Mei Ling, dia segera keluar dari kamarnya dan hanya bersiap. Setelah terdengar seruan Mei Ling minta tolong kepadanya, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo barulah Ki Seng meloncat dan dia membentak, "Jahanam dari mana berani membuat keributan di sini?" Cepat sekali dia menyerang dan sekali tangannya bergerak, langsung saja dia sudah menyerang dengan ilmu It-yang-ci. Totokan-totokannya demikian cepat dan hebat, tak dapat dielakkan atau ditangkis oleh dua orang perampok itu dan berturut-turut mereka roboh terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena sudah tewas seketika. Totokan It-yang-ci dari Ki Seng memang dahsyat sekali, juga amat kejam karena totokan itu telah dicampurnya dengan ilmu pukulan beracun Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Dua orang itu tewas dengan muka berubah menjadi kehitaman. Pada saat itu, para anak buah Pek eng-pang berdatangan sambil membawa senjata karena mereka mendengar suara ribut-ribut. Ada pula yang membawa lampu gantung sehingga keadaan di situ menjadi terang. Ki Seng menunjuk ke arah kamar Ciang Hok sambil berseru "Itu kamar Paman Ciang jendelanya terbuka, mari kita lihat!" Mendengar ini, Ciang Mei Ling menjadi terkejut dan dengan hati penuh kekhawatiran ia lalu melompat ke dalam kamar itu di kuti oleh Ki Seng dan para murid Pek-eng-pang yang membawa lampu gantung. Daun pintu ternyata juga tidak terkunci dan dapat didorong terbuka dari luar. Begitu daun pintu terbuka dan sinar banyak lampu gantung yang dibawa para anggauta Pek-eng-pang menyorot ke dalam, semua orang terbelalak melihat tubuh Ciang Hok dan isterinya sudah menggeletak di atas lantai, berlumur darah mereka sendiri. "Ayahhh...... ibu.....!!" Ciang Mei Ling menjerit dan terkulai pingsan. Ki Seng cepat menyambut tubuh gadis itu sehingga tidak sampai terjatuh ke atas lantai, Kemudian dipondongnya Mei Ling dan dibawanya masuk ke dalam kamar gadis itu, di kuti oleh para pelayan wanita yang sudah berkumpul dan merekapun bertangisan. Sementara itu, para anggauta Pek-rng-pang ketika melihat bahwa ketua dan nyonya ketua mereka tewas, menjadi marah sekali dan mereka melampiaskan kemarahan mereka kepada dua orang perampok bertopeng yang tewas di tangan Ki Seng tadi. Mereka menghujankan senjata pada tubuh kedua orang itu. "Tahan dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan dan melihat bahwa yang membentak itu adalah Ouw Ki Seng, para murid itu menghentikan amukan mereka dan mundur. "Kita harus melihat dulu siapa mereka ini yang telah membunuh ketua dan isterinya!" kata, Ki Seng dan dia lalu merenggut lepas kain hitam yan menutupi sebagian muka dua orang tinggi besar itu. Setelah penutup muka mereka itu dibuka, beberapa orang murid Pek eng-pang yang biasa mengawal barang kiriman, berseru. "Twa-to Siang-houw (Sepasang Harimau Golok Besar)!" "Siapakah Twa-to Siang-houw?" tanya Ki Seng. "Mereka adalah sepasang perampok yang biasa bergerak tanpa anak buah dan mengganas di daerah Pegunungan Thai san sebelah timur. Akan tetapi selama ini mereka bersikap baik dengan kami tidak pernah mengganggu, hanya cukup menerima hadiah dari ketua kami." "Hemm, nyatanya mereka telah membunuh ketua kalian dan hampir saja menculik nona Ciang Mei Ling." kata Ki Seng. Pada saat itu terdengar jerit tangis Mei Ling. "Ayah....... ibu......!!" Gadis itu berlari keluar dari kamarnya, dan para pelayan wanita mencoba untuk mencegahnya. Akan tetapi gadis itu mendorong para pelayan wanita sehingga mereka roboh saling tindih dan dengan rambut awut-awutan dan sambil menangis gadis itu berlari menuju kamar ayahnya yang masih dirubung oleh para anggauta Pek-Eng-pang. Setibanya di depan pintu kamar itu, Ki Seng menangkap lengannya. "Ling-moi, tenanglah. Kuasailah perasaanmu dan bersabarlah." "Tenang" Sabar" Seng-ko, ayah ibuku dibunuh orang dan engkau minta aku tenang dan sabar?" Gadis itu menjerit dan meronta. Ki Seng tetap memegangi tangannya bahkan lalu merangkul pundaknya. "Ling-moi, di mana kegagahanmu" Ayah ibumu memang telah dibunuh orang, akan tetapi para pembunuhnya sudah kubunuh pula. Mereka berdua itulah pembunuh ayah ibumu." Mei Ling menoleh ke arah yang ditunjuk Ki Seng, yaitu dua mayat perampok yang tadi hendak menculiknya. "Mereka yang membunuh ayah dan ibu"!" tanyanya ragu. "Benar, Ling-moi. Tidak ada yang mengacau rumah ini kecuali mereka berdua." "Apakah tidak ada orang lain yang memasuki kamar ayah dan melakukan pembunuhan itu?" tanya Mei Ling. Ki Seng menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Tentu kedua orang penjahat itu yang lebih dulu memasuki kamar ayahmu dan membunuh ayah ibumu yang masih tidur, baru kemudian mereka memasuki kamarmu." "Jahanam keparat! Siapakah mereka"!" "Menurut keterangan para anggauta Pek-eng-pang, mereka adalah Twa-to Siang-houw." Mei Ling teringat lagi kepada ayah ibunya. Ia memandang ke dalam kamar dan menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. "Ling-moi, sebaiknya sekarang kita rawat jenazah kedua orang tuamu baik-iaik, kasihan kalau mereka dibiarkan lebih lama lagi di lantai." kata Ki Seng. Mei Ling masih terisak dan hanya mengangguk. Ki Seng lalu memimpin para anak buah Pek-eng-pang untuk mengurus dua jenazah Ciang Hok dan isterinya. Ki Seng menyuruh A Kiu untuk memimpin para anak buah Pek-eng-pang mengurusi kedua jenazah itu. Para anak buah Pek-eng-pang bertanya, apa yang harus mereka lakukan terhadap dua mayat perampok Twa-to Siang-houw. "Lemparkan mayat-mayat itu ke dalam Jurang biar dimakan binatang buas!" kata ki Seng dan semua anak buah Pek-engpang bergidik melihat sinar mata yang dingin dari pemuda itu. juga Mei Ling merasa ngeri. Ia tahu betul bahwa kalau ayahnya masih hidup, tentu ayahnya melarang untuk membuang mayat-mayat itu ke dalam jurang dan tentu ayahnya akan menyuruh para anak buah untuk mengubur mereka. Akan tetapi karena ia masih tenggelam ke dalam kedukaan, maka iapun diam saja. Malamnya, ketika Mei Ling duduk dan menangis seorang diri di depan peti jenazah ayah dan ibunya, Ki Seng menhampirinya dan berlutut di samping gadis itu. Melihat sikap Ki Seng seperti hendak menghiburnya, Mei Ling menghentikan tangisnya terisak lalu berkata dengal pilu. "Seng-ko, aku...... sekarang...... telah menjadi yatim piatu...... hidup sebatang kara di dunia ini....." "Ling-moi, tidak perlu engkau berkecil hati. Bukankah di sini ada aku yang selalu akan menjagamu dan melindungimu dengan taruhan nyawaku" Mendiang ayahmu telah berpesan sebelum meninggal dunia. Beliau ingin menjodohkan kita, berarti itu merupakan pesan agar aku melindungimu. Bagaimana, Ling-moi, apakah engkau setuju untuk berjodoh denganku, menjadi isteriku sehingga aku dapat melindungi selama hidupmu?" Mei Ling menyusut air matanya dam dengan mata kemerahan ia memandang kepada pemuda itu. "Seng-ko, engkau telah menyelamatkan Pek-eng-pang, dan engkau telah dipilih oleh ayah untuk menjadi suamiku, bahkan malam tadi engkau telah menyelamatkan aku dari tangan dua orang penjahat itu. Aku hanya menyerahkan segalanya kepadamu, Seng-ko. Aku menurut saja. Akan tetapi pernikahan itu baru dilaksanakan setelah setahun aku berkabung, kecuali kalau dilaksanakan di depan peti mati ayah ibuku......" Mei Ling menahan tangisnya dan terisak sehingga kedua pundaknya terguncang. Ki Seng tidak berniat mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan sekarang. Masih banyak yang harus dilakukan dan diperjuangkan, dan pernikahan hanya akan mengikatnya. Biarpun dia amat merindukan dan menginginkan Mei Ling, akan tetapi dia tidak ingin menikah dulu sekarang, sebelum tercapai cita-citanya, yaitu menjadi seorang pangeran! "Tidak, Ling-moi. Aku tidak tergesa-gesa, bagiku sudah cukup bahagia kalau berdekatan selalu denganmu dan kita menikah nanti kalau engkau sudah lepas berkabung saja." katanya dan hal ini melegakan hati Mei Ling karena iapun merasa tidak enak kalau harus menikah selagi ia berada dalam kedukaan yang amat besar. Kematian Ciang-pangcu segera diketahui banyak orang karena berita itu tersebar luas. Banyak orang datang melayat. Para penduduk dusun di sekitar perkampungan Pek-eng-pang datang melayat, Juga para saudagar yang suka mengirim barangnya dikawal oleh Pek-eng Piauw kok datang melayat. Bahkan beberapa golongan penjahat yang berhubungan baik dengan Pek-eng-pang berdatangan. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Hwa Sian-li juga datang melayat. Kedatangannya diterima baik oleh Ciang Mei Ling dan para anggauta Pek-eng pang karena bagaimanapun juga wanita ini telah mengembalikan kereta berikut isinya kepada Pek-engpang melalui Ouw Ki Seng. Semua urusan di Pek-eng-pang selama perkabungan ini, praktis diurus dan dikuasai oleh Ki Seng karena Mei Ling menyerahkan segalanya kepada pemuda itu. Ki Seng lalu menyerahkannya kepada A kiu sehingga A Kiu-lah yang memimpin para anak buah Pek-eng-pang. Karena A Kiu menjadi orang kepercayaan Ki Seng, maka semua anak buah Pek-eng-pang menaatinya. Ketika Ki Seng bersama Mei Ling menyambut kedatangan Sian Hwa Sian-li, hanya Ki Seng dan wanita itulah yang tahu akan rahasia kematian Ciang Hok dan isterinya. Pertukaran pandang yang mesra antara keduanya tidak tampak oleh orang lain, dan dalam mata Ki Seng terpancar rasa sukur dan terima kasih kepada kekasihnya itu karena Sian Hwa Sian-li benar-benar telah membantunya sehingga dia dapat menguasai Pek-eng-pang tanpa ada rasa permusuhan dengan Mei Ling. Bahkan di mata Mei Ling, dia merupakan penolong besar ketika gadis itu hendak diculik oleh Twa-to Siang-houw. Sepasang perampok yang sial itu sampai matipun tidak tahu bahwa mereka memang sengaja dikorbankan. Mereka oleh Sian Hwa Sian-li disuruh menculik Me Ling dan sengaja dibunuh oleh Ki Seng agar pembunuhan terhadap Ciang Hok dan isterinya itu seolah-olah dilakukan oleh Twa-to Sianghouw. Padahal yang melakukan pembunuhan itu adalah Sian Hwa Sian-li sendiri. Kalau Twa-to Siang houw yang diserahi tugas membunuh Ciang Hok, kiranya hal itu tidak akan terlalu mudah dilakukan oleh dua orang penjahat itu. Semua telah diatur dengan rapi oleh Ki Seng dan Sian Hwa Sian li! "Aku sungguh ikut merasa berduka dengan kematian Ciang-pangcu,". kau Sian Hwa Sian-li ketika disambut oleh Ki Seng dan Mei Ling dan mereka duduk di ruangan depan, tak jauh dari dua peti mati yang ditaruh berjajar. "Padahal baru saja aku menganggap Ciang-pangcu sebagai sahabat baru. Siapakah yang telah melakukan pembunuhan terhadap ayah dan ibumu, nona Ciang Mei Ling?" "Pembunuhnya adalah Twa-to Siang houw, akan tetapi merekapun telah dibunuh oleh Seng-ko." kata Mei Ling. "Ahhh! Aku tahu siapa mereka itu! Dua orang perampok ganas. Tentu mereka datang untuk mencuri dan ketahuan oleh Ciang-pangcu. Akan tetapi sukurlah kalau mereka sudah terbunuh. Seandainya belum, tentu aku sendiripun akan suka mencari dan menghajar mereka sampai mampus!" Setelah bercakap-cakap beberapa lamanya, Sian Hwa Sianli berpamit dan dengan suara sewajarnya ia berkata kepada Ki Seng, "Ouw-pangcu, kalau urusan di sini sudah selesai, kuharap engkau suka berkunjung ke tempatku. Bukankah di antara kita telah terjalin persahabatan" Engkau juga, nona Ciang Mei Ling." Ki Seng mengangguk. "Baiklah, aku akan berkunjung ke rumahmu, Sian-li." Ki Seng mengatur semua perkabungan dan penguburan Ciang Hok dan isterinya sehingga Mei Ling merasa berterima kasih sekali. Setelah penguburan selesai Ki Seng lalu mengajak gadis itu bercakap-cakap di ruangan dalam. "Sekarang bagaimana, Ling-moi" Setelah ayahmu meninggal, siapakah yang akan mengatur semua pekerjaan, baik perusahaan pengawalan barang maupun perguruan?" Mei Ling menghela napas, barulah terasa olehnya bahwa secara tiba-tiba ia harus memikul kewajiban yang teramat berat. Akan tetapi ia teringat kepada Ki Seng. Bukankah pemuda itu telah berjanji akan menikah dengannya" Walaupun belum diresmikan karena keburu ayah ibunya meninggal, akan tetapi bukankah Ki Seng telah menjadi tunangannya, calon suaminya" Dan pemuda itu juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dapat di percaya sepenuhnya untuk menguasai dan mengelola Pek-eng-pang. "Seng-ko, aku menyerahkan Pek-eng pang kepadamu untuk mengaturnya. Terserah kepadamu bagaimana baiknya." "Baiklah, mulai sekarang aku akan mengatur Pek-eng-pang. Karena aku adalah ketua Ban-tok-pang, maka Pek-eng-pang menjadi semacam cabang dari Ban tok-pang. Aku akan mengatur agar perusahaan pengawalan barang dari Pek-eng pang menjadi semakin besar dan kuat sehingga para pedagang tidak akan ragu lagi mengirim barang di bawah pengawalan kita. Aku akan menunjuk A Kiu untuk menjadi ketua baru Pek-eng-pang karena dia adalah orang kepercayaanku dan ilmu kepandaiannya juga cukup tinggi dan boleh diandalkan." "Aku hanya menurut saja, Seng-ko." kata gadis itu. "Akan tetapi aku mengharap engkau tidak segera meninggalkan aku. Aku..... aku masih belum siap hidup seorang diri......" "Jangan khawatir, Ling-moi. Aku akan memimpin di sini dan memberi petunjuk selama beberapa bulan kepada A Kiu sebelum aku meninggalkan tempat ini." Beberapa hari kemudian, Ki Seng dan Mei Ling memanggil seluruh anggauta Pek-eng-pang untuk berkumpul di ruangan besar. Semua anggauta hadir karena merekapun ingin mengetahui perkembangan perkumpulan mereka setelah ketua mereka meninggal dunia. Hampir semua dari mereka Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah mendengar bahwa Ciang Mei Ling akan dijodohkan dengan Ouw Ki Seng dan mereka semua merasa setuju karena mengetahui betapa lihainya pemuda itu yang telah menyelamatkan nama baik Pek-eng-pang, bahkan telah menyelamatkan pula Mei Ling dari tangan penjahat. Selain itu, juga Ki Seng telah membunuh dua orang pembunuh Ciang pangcu. Jasa pemuda itu sudah terlalu besar dan mereka semua juga mengharapkan bahwa pemuda itu yang akan memimpin Pek-eng-pang. Setelah semua orang berkumpul dan para murid kepala yang dianggap sebagai anggauta atau murid yang dipercaya oleh mendiang Ciang-pangcu sebagai kepala kepala piauwkiok duduk di deretan depan, Ciang Mei Ling lalu membuka pertemuan itu. "Para saudara, kalian semua tentu mengerti bahwa setelah ayahku sebagai ketua Pek-eng-pang meninggal duni. tentu kita harus mengangkat seorang ketua baru untuk memimpin Pek-eng-pang kita. Aku sendiri merasa tidak ada kemampuan untuk memimpin perkumpulan Kita yang kadang menghadapi tantangan dan persoalan yang rumit, karena itu mengingat bahwa saudara Ouw Ki Seng ini telah berjasa besar kepada kita, juga bahwa dia mempunyai kemampuan itu, maka saya menyerahkan kepemimpinan Pek-eng-pang ini ke tangannya. Bagaimana, apakah saudara-saudara dapat menyetujui pendapatku ini?" Para murid kepala yang berjumlah lima belas orang itu yang pertama-tama menjawab serentak, "Kami setuju!" dan jawaban ini tentu saja diturut oleh para anggauta lainnya. Menghadapi sambutan ini, Ouw Ki seng tersenyum dan diapun bangkit kedepan. "Saudara sekalian, terima kasih atas kepercayaan saudara sekalian kepadaku. Perlu kiranya saudara sekalian ketahui bahwa mendiang Ciang Pangcu telah meninggalkan pesan agar aku dan Ling-moi menjadi suami isteri. Pernikahan akan ini lakukan setelah masa berkabung setahun lewat." Para anggauta menyambutnya dengan tepuk tangan gembira walaupun beberapa orang di antara mereka merasa terpukul dan kecewa hati mereka karena diam diam beberapa orang pemuda anggauta Pek-eng-pang jatuh cinta kepada puteri ketua itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorangpun yang berani membantah. Ki Seng mengangkat kedua tangan menyuruh mereka tenang. "Karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga kelangsungan dan kebesaran Pek eng-pang. Akan tetapi karena aku sendiri sudah menjadi ketua dari Ban-tok-pang, kiranya tidak mungkin seseorang menjadi ketua dari dua buah perkumpulan. Oleh karena itu, aku menunjuk orang kepercayaanku, A Kiu, untuk menjadi ketua Pek eng-pang yang baru." Ki Seng memberi isarat kepada pembantunya itu dan A Kiu segera bangkit dari tempat duduknya agar tampak oleh semua anak buah Pek eng-pang. Sekali ini, para anggauta Pek eng-pang, terutama para murid kepala mengerutkan alis mereka. Kemudian seorang tinggi besar yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, yang merupakan murid pertama di antara mereka, bangkit berdiri dan berkata. "Kalau Ouw-pangcu sendiri yang menggantikan kedudukan mendiang Ciang-pangcu dan memimpin kami, kami merasa senang dan sama sekali tidak berkeberatan karena kami semua sudah mengetahui benar akan kemampuan Ouwpangcu. Akan tetapi kalau Ouw-pangcu menunjuk orang lain untuk menjadi ketua Pek-eng-pang, kami merasa keberatan karena belum melihat sampai di mana kemampuan orang itu!" Semua anggauta Pek-eng-pang serentak membenarkan pernyataan murid kepala pertama itu. Ouw Ki Seng tersenyum. Dia maklum bahwa para anggauta Pek-eng-pang itu belum mengenal A Kiu dan belum tahu akan kemampuan pembantunya itu. Maka ia lalu berkata, "Siapa di antara anggauta Pekeng-pang yang paling tinggi kepandaiannya, harap maju ke sini. Aku akan membuktikan bahwa A Kiu adalah seorang yang boleh diandalkan kepandaiannya dan patut untuk menjadi ketua Pek-eng-pang." Anggauta Pek-eng-pang yang tadi bicara segera melangkah maju menghampiri Ki Seng. "Sayalah yang menjadi kepala dari semua piauwsu di sini dan di angkat sebagai murid pertama Pek-eng pang, Ouw-pangcu." katanya. "Bagus! Sekarang kuminta murid kepala ke dua dan ke tiga juga maju ke sini." Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun berloncatan maju. Ki Seng menoleh kepada Mei Ling dan bertanya, "Ling-moi, benarkah merek bertiga ini merupakan murid-murid yang paling tinggi tingkat kepandaiannya?" Mei Ling mengangguk. "Benar, Seng ko. Mereka bertigalah yang mewakili ayah untuk membimbing para murid lain dalam pelajaran ilmu silat." "Baik sekali kalau begitu. Nah, sekarang, untuk membuktikan bahwa A Kiu pantas menjadi ketua Pek-engpang, kalian bertiga boleh maju bersama mengeroyok A Kiu untuk menguji kemampuannya. A Kiu, layani mereka!" kata Ki Seng. A Kiu mengangguk dan dia lalu meninggalkan kursinya dan pergi ke tengah ruangan yang kosong, berdiri dan siap menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Akan tetapi sebelum tiga orang anggauta Hek-eng-pang itu maju, Ciang Mei Ling bangkit dan berkata lantang. "Pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian, oleh karena itu aku minta agar kalian tidak mempergunakan senjata, melainkan mengandalkan kaki tangan saja!" Tiga orang anggauta Pek-eng-pang itu memberi hormat dan mengangguk kepada Mei Ling, bahkan lalu melepaskan pedang masing-masing dari punggung dan meninggalkannya di atas kursi mereka. "A Kiu, engkau juga sama sekali tidak kuperkenankan mempergunakan senjata!" kata Ki Seng kepada pembantunya itu. A Kiu mengangguk. "Baik, pangcu." Kini A Kiu sudah berhadapan dengan tiga orang murid kepala dari Pek-eng-pang. Tiga orang yang merasa penasaran itu lalu mengepung A Kiu dari tiga jurusan membentuk barisan segi tiga. A Kiu yang terkepung di tengah-tengah bersikap tenang. Diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga murid kepala Pek eng-pang, maka dia bersikap hati-hati. Dia percaya akan pandangan dan perhitungan Ouw Ki Seng yang tentu telah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian para murid Pek-eng-pang itu sehingga disuruh mengeroyoknya. A Kiu yang sudah berusia lima puluh tahun itu merupakan tokoh dari Ban-tok-pang dan tingkat kepandaiannya hanya di bawah tingkat mendiang Ouw Kian dan Ouw Sian ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang. "Paman A Kiu, awas terhadap serangan kami!" Orang pertama dari para murid kepala Pek-eng-pang berseru dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah dada A Kiu. Sementara itu, kedua orang kawannya juga sudah menyerang dari kanan dan kiri. Menghadapi serangan tiga orang itu, A Kiu memperlihatkan kegesitannya. Dia melangkah ke belakang dan menggerakkan kedua lengannya diputar ke depan kanan kiri. Pukulan orang pertama dapat dielakkan dengan langkah mundur, sedangkan pukulan dari kanan kiri ditangkisnya dengan kedua lengannya. "Dukk! Dukk!" Dua orang penyerang dari kanan kiri itu terpental ke belakang ketika lengan mereka bertemu dengan lengan A Kiu yang kuat. Akan tetapi mereka sudah membalik dan menyerang lagi. Tiga orang itu bersilat dengan ilmu silat Pek-eng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih). Gerakan mereka cepat dan juga setiap pukulan mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat. Akan tetapi ternyata A Kiu memiliki gerakan yang lebih cepat dan kedua tangannya selalu dapat menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya yang datang bagaikan hujan. Akan tetapi ternyata ilmu silat Pek-eng Sin-kun memang hebat. Tiga orang murid kepala Pek-eng-pang itu menyerang bagaikan tiga ekor garuda yang menyambarnyambar. Oleh karena itu, setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah A Kiu terdesak dan dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas. Dia merasa khawatir juga karena kalau hal itu dibiarkan berlanjut, akhirnya dia akan terkena pukulan dan kalau demikian hal-nya, berarti dia kalah! Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga sakti dari ilmu Bantokciang (Tangan Selaksa Racun) dari tanpa diketahui oleh tiga orang lawannya! kedua lengannya berubah menjadi kehitaman. Ketika tenaga Ban-tok-ciang sudah menjalar ke dalam kedua lengannya! A Kiu terdengar mengeluarkan bentakan bentakan nyaring sambil menangkisi lengan lawan. "Dukk-dukk-dukkk!" Tiga orang itu terpental ke belakang dan ketiganya mengaduh dan meringis, memegangi lengan yang tadi beradu dengan lengan A Kiu. Ketika mereka memandang lengan yang terasa nyeri luar biasa itu, panas dari pedih, mereka terkejut karena pada lengan mereka terdapat tanda menghitam. Sebagai ahli-ahli silat yang sudah berpengalaman, maklumlah mereka bahwa mereka telah terkena serangan tenaga beracun! Maka mereka berloncatan kebelakang dan tidak berani melanjutkan pertandingan. Ki Seng lalu bangkit dan menghampiri mereka. "Apakah kalian sudah merasa kalah" Lihat, lengan kalian itu sudah kemasukan hawa beracun dan kalau tidak cepat disembuhkan, hawa beracun itu akan menjalar ke dalam dan nyawa kalian tidak dapat dipertahankan lagi." Tiga orang itu terkejut dan ketakutan, segera mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Seng. "Harap OuwTiraikasih Website http://kangzusi.com/ pangcu menaruh kasihan kepada kami dan sudi mengobati kami." "Mudah saja mengobati karena A Kiu juga tidak berniat membunuh kalian. Akan tetapi apakah kalian sudah yakin bukan kemampuan. A Kiu dan menerima dia sebagai ketua Pek-eng-pang?" "Kami sudah mengaku kalah dan memang Paman A Kiu pantas menjadi ketua Pek-eng-pang." kata tiga orang itu yang merasa betapa nyeri pada lengan mereka semakin menghebat, rasanya panas seperti membakar. "Nah, tahan napas kalian!" kata Ki seng dan dia menggunakan It-yang-ci untuk menotok pundak dan lengan tiga orang itu berturut-turut. Setelah itu, dia mengurut bagian yang kulitnya berwarna hitam dan sebentar saja warna hitam pada kulit lengan itu lenyap dan rasa nyeripun lenyap pula. Tiga orang murid kepala Pek-eng-pang itu mengucapkan terima kasih dan Ki Seng tersenyum. "Kalau kalian bersikap baik terhadap ketua kalian yang baru, tentu dia akan suka mengajarkan kalian ilmu pukulan yang amat lihai itu. Dengan demikian kepandaian para murid Pek-eng-pang akan meningkat dan nama Pek-eng-pang akan menjadi semakin terkenal." "Akan tetapi, siapakah nama lengkap dari Paman Kiu" Bagaimana kami harus memanggilnya?" tanya murid kepala sambil memandang kepada A Kiu. A Kiu tersenyum. "Aku memang she Kiu, maka kalian boleh menyebutku Kiu pangcu." Semua orang merasa puas dan Mei Ling juga tidak berkeberatan dengan pilihan Ki Seng karena ia sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda yang menjadi calon suaminya itu. Beberapa hari kemudian, Ki Seng pergi berkunjung ke Bukit Merak. Dia mengatakan terus terang kepada Mei Ling bahwa dia pergi berkunjung ke tempat tinggal Sian Hwa Sian-li. "Ia merupakan seorang sahabat yang dapat diandalkan dan kelak tentu akan dapat membantu kita." kata Ki Seng. Biarpun hatinya merasa tidak enak bahwa tunangannya berkunjung ke rumah wanita cantik yang genit itu, akan tetapi tentu saja Mei Ling merasa malu untuk menyatakan keberatan dan kecemburuannya. Tentu saja kedatangan Ki Seng disambut dengan gembira oleh Sian Hwa hian-Li yang memang sudah merindukan kekasih barunya itu. Ketika dengan terus terang Ki Seng menceritakan keadaan pek-eng-pang, betapa dia sudah menguasai Pek-eng-pang dan mengangkat pembantunya, A Kiu, menjadi ketua Peng-eng-pang, Sian Hwa Sian-li tertawa. "Hi-hik, usahamu berhasil baik,. Ki Seng-" Ki Seng merangkul. "Berkat bantuanmu yang amat besar, Kim Goat. Kalau tidak mendapat bantuan malam itu dan mengorbankan dua orang pembantumu, mana bisa aku berhasil sebaik ini. Ciang pangcu dan isterinya tewas, Mei Ling selamat dan ia bahkan berterima kasih kepadaku. Engkau memang hebat dan pantas menjadi kekasihku yang setia dan baik." "Asal saja engkau tidak akan cepat melupakan aku, terutama setelah engkau menjadi seorang pangeran kelak," kata Sian Hwa Sian-li sambil menyandarkan kepalanya di atas dada Ki Seng dengan manja. "Mana mungkin aku dapat melupakanmu, Kim Goat." "Dan bagaimana dengan Mei Ling?" "Aku dan ia sudah terikat dengan pertunangan, akan tetapi aku menangguhkan pernikahan sampai sehabis berkabung selama satu tahun." "Dan setelah setahun engkau akan mengawininya?" Ki Seng menggeleng kepalanya. "Sebelum aku menjadi seorang pangeran, aku tak mau menikah!" "Kenapa engkau tidak berterus terang saja kepadanya tentang keadaan dirimu" bukankah ia calon isterimu?" "Tidak! Hanya engkau yang boleh mengetahui rahasiaku. Dan akupun tidak berniat untuk menjadikan Mei Ling sebagai isteriku." "Kalau begitu, kenapa tidak engkau tolak saja ikatan perjodohan itu?" "Aku..... aku menginginkan ia, Kim Goat. Ia cantik jelita dan menarik hatiku. aku ingin memilikinya sekarang juga, akan tetapi bagaimana?" "Hi-hi-hik!" Sian Hwa Sian-li tertawa dan mencubit paha pemuda itu lalu berkata. "Apa sukarnya bagimu" Kalau engkau memaksanya, iapun tidak akan dapat mengelak dan melawan." "Aku tidak ingin secara itu, Kim Goat. Aku tidak ingin memilikinya dengan cara memperkosa. Dapatkah engkau Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membantuku agar ia suka menyerahkan dirinya kepadaku dengan sukarela tanpa paksaan walaupun kami belum menikah?" "Hi-hi-hik!" Kembali Sian Hwa Sian-li mencubit. "Engkau nakal, Ki Seng. Kalau engkau sudah mendapatkan yang baru, engkau akan melupakan yang lama. Kalau engkau sudah berhasil memiliki Mei Ling, engkau tentu tidak akan ingat lagi kepadaku!" "Sungguh mati aku tidak akan melupakanmu, Kim Goat. Aku bahkan akan berterima kasih sekali kepadamu dan aku semakin sayang padamu." "Hemm, engkau sekarang sudah pandai merayu. Akan tetapi bagaimana aku akan dapat mempercayaimu begitu saja?" "Baiklah, aku bersumpah. Biar hidupku akan sengsara kalau aku sampai melupakanmu!" "Aku percaya kepadamu, pangeran, Tidak perlu engkau bersumpah, akan tetapi sebelum aku membantumu dalam hal itu yang kutanggung pasti berhasil engkau harus tinggal di sini selama tiga hari tiga malam lagi!" Ki Seng tersenyum. Tidak perlu wanita itu mengajukan syarat seperti itu, karena memang kunjungannya adalah untuk melampiaskan rasa rindunya kepada wanita yang pandai mengambil hatinya itu. Kembali Ki Seng seperti mabok, berenang dalam lautan cinta berahi di bawah bimbingan Sian Hwa Sian-li yang berpengalaman sehingga nafsu dalam dirinya semakin berkobar, semakin kuat mencengkeramnya sehingga tanpa ia sadari, dia telah menjadi budak dari pada nafsunya sendiri. Nafsu yang hanya menuntut kesenangan dan kepuasan yang tiada batasnya. Pada hari ke empat, ketika Ki Seng akan meninggalkan kediaman Sian Hwa Sian-li untuk kembali ke perkampungan Pek-eng-pang, wanita itu memberinya sebotol kecil benda cair berwarna merah. "Campurkan ini ke dalam arak, tidak akan terasa apa-apa bahkan membuat arak menjadi lebih harum dan ia tentu akan menuruti segala kehendakmu. Akan tetapi sekali lagi, jangan engkau melupakan aku, Ki Seng!" "Terima kasih, Kim Goat. Bagaimana aku dapat melupakan engkau yang begini cantik dan menggairahkan, juga sudah banyak menolongku" Tidak, aku masih membutuhkan banyak sekali bantuanm dan kelak kita akan menikmati hidup penuh kemuliaan bersama." Dengan hati girang dan penuh harapan menikmati apa yang ia bayangkan dalam usahanya mendapatkan diri Mei Ling, Ki Seng berlari cepat kembali ke Pek-eng-pang. Dia disambut oleh Mei Ling dengan wajah agak muram. Gadis ini memang merasa cemburu dan tidak enak hati sekali menanti Ki Seng yang tidak kunjung datang dari tempat kediaman Sia Hwa Sian-li. Senja telah mendatang ketika dia tiba di perkampungan Pek-eng-pang Melihat Mei Ling menyambutnya denga wajah yang agak muram, Ki Seng segera berkata dengan wajah gembira. "Ah, senang sekali aku sudah dapat kembali ke sini, Lingmoi. Selama tiga hari ini hatiku kesal karena setiap hari Sian Hwa Sian-li dan kawan-kawannya hanya membicarakan tentang ilmu silat dan dunia kang-ouw. Malam ini aku ingin sekali mengadakan perjamuan kecil bersamamu, makan minum dan bercakap-cakap dengan santai berdua saja. Kita mengadakan perjamuan di mana enaknya, Ling-moi" Di ruangan dalam atau di taman bunga?" Mendengar cerita Ki Seng bahwa pemuda itu merasa kesal hatinya berada di tempat tinggal Sian Hwa Sian-li dan kini mengajaknya makan minum, lenyap sudah rasa tidak senang dari hati Mei Ling, dan ia terseret oleh kegembiraan pemuda pujaan hatinya itu. "Sebaiknya di taman bunga saja, Seng-ko. Di sana hawanya sejuk dan kita dapat makan minum di gardu dekat kolam ikan. Engkau mandi dan mengasolah dulu, Seng-ko. Aku akan membantu para pelayan menyediakan hidangan untuk kita." Dengan gembira Ki Seng lalu pergi mandi dan berganti pakaian bersih. Setelah hidangan siap dan malam sudah tiba, Mei Ling sendiri mengetuk pintu kamar Ki Seng dan memanggilnya dari luar. Pemuda itu lalu keluar dari kamarnya dan ternyata Mei Ling juga sudah mandi, tampak segar dengan pakaian yang rapi. "Seng-ko, hidangan telah dipersiapkan di taman bunga. Mari kita makan, Sen ko." Kedua orang itu jalan beriringan memasuki taman bunga. Malam itu bulan separuh memberi cahaya redup yang menyejukkan suasana. Akan tetapi di taman bunga itu tampak indah karena Mei Ling menyuruh para pelayan memasang lampu lampu gantung beraneka warna di sana sini. Ketika mereka tiba di sebuah bangunan tanpa dinding, semacam gardu di tepi kolam ikan, di sana sudah dihidangkan masakanmasakan di atas sebuah meja dengan dua buah kursi dan lampu gantung di bangunan itu cukup terang. Suasananya menyenangkan sekali dan setibanya di situ, hidung Ki Seng disambut bau masakan yang sedap, membuat perutnya terasa lapar sekali. Melihat di situ tersedia seguci arak dengan dua cawan yang cukup besar, Ki Seng girang sekali. Dia lalu mengambil tempat duduk dekat guci arak itu, dan segera menuangkan arak ke dalam dua buah cawan di depan mereka, masing masing setengah cawan saja. "Mari minum, Ling-moi, untuk pembangkit nafsu makan." Gadis itu tidak membantah dan mereka minum arak itu dengan satu tegukan. Kemudian mulailah mereka makan. Dengan sikap manis Mei Ling melayani Ki Seng, mengambil dan memilihkan daging-daging terbaik untuk ditaruh ke dalam mangkok pemuda itu. "Malam ini kita harus minum sepuasnya, Ling-moi. Ah, lampu itu sinarnya terlalu cerah menyilaukan mata. Tolong, Ling-moi, tolong pindahkan lampu itu agar tidak menyilaukan mata!" kata Ki heng sambil menuding ke arah lampu yang tergantung dekat tempat itu. Mei Ling segera bangkit dan menghampiri lampu gantung itu, memindahkannya ke belakang serumpun bunga. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Seng untuk menuangkan cairan merah dari botol kecil yang diperolehnya dari Sian Hwa Sian-li. Setelah Mei Ling kembali ke kursinya, ia melihat Ki Seng memenuhi kawannya dengan arak, kemudian menuangkan arak ke cawannya sendiri. Sama sekali Mei Ling tidak tahu bahwa sebagian dari arak dalam cawannya dalam dari botol kecil itu. "Ling-moi, silakan minum untuk merayakan kegembiraan malam ini!" kata Ki Seng sambil mengangkat cawannya ke depan mulut. "Ah, aku telah menghabiskan tiga cawan arak, Seng-ko. Kiranya sudah cukup, aku takut kalau mabok." "Tidak, Ling-moi. Secawan lagi saja hayolah, temani aku bergembira! Secawan ini lagi saja dan aku tidak akan minta engkau minum lagi!" Dalam suara pemuda itu terkandung permintaan yang sangat membujuk. Mei Ling merasa tidak tega untuk menolak, maka iapun mengangkat cawan araknya dan menempelkan di bibirnya yang merah. Arak itu berbau harum dan karena khawatir mabok ia minum arak itu dengan nekat sambil memejamkan mata. Ia minum arak itu sampai habis dan menaruh cawan kosong ke atas meja sambil memandang kepada Ki Seng dengan senyum gembira. Hatinya lega karena ia tidak mabok, tidak merasa pening. "Terima kasih, Ling-moi. Engkau benar-benar seorang gadis yang baik hati, telah suka menemani aku minum dan bergembira. Aku benar-benar merasa senang dan gembira sekali. Hayo minum lagi, Ling-moi. Makanmu kulihat sedikit sekali." "Sedikit" Heh-heh-heh!" Tawanya kini terdengar lepas dan ringan. "Makan sebegini kau bilang sedikit" Biasanya aku tidak makan sebanyak ini, Seng-ko. Aku sudah kekenyangan nih!" Ki Seng tersenyum, hatinya girang melihat sikap gadis itu mulai terlepas dan tawanya begitu bebas. Dia memandang wajah gadis itu penuh harap. "Aku juga sudah kenyang, Ling-moi." Dia melihat betapa wajah gadis itu di bawah sinar lampu kini tampak merah sekali, matanya redup seperti orang mengantuk memandang kepadanya dengan aneh. "Ling-moi, engkau kenapakah?" Ki Seng bertanya. Tiba-tiba Mei Ling tertawa, tawanya merdu dan bebas. "Heh-heh-hi-hi-hik." "Ling-moi, kenapa engkau tertawa?" tanya Ki Seng yang belum menyadari apa yang terjadi pada gadis itu. "Hi-hi-hik, engkau tampak lucu sekali, Seng-ko......" "Lucu?" Ki Seng bertanya heran. "Lucu dan menyenangkan sekali...." Mal Ling bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang goyang seperti pohon cemara tetiup angin. Ki Seng juga bangkit berdiri dan mulailah dia dengan hati berdebar menduga bahwa ini tentu pengaruh ramuan yang di campurkan dengan arak dalam cawan Mei Ling tadi. Ramuan obat yang diterimanyA dari Sian Hwa Sian-li rupanya mulai bekerja! Maka dengan berani dia lalu memutari meja mendekati Mei Ling dan merangkulnya. Begitu dirangkul, Mei Ling balas merangkul dan menyandarkan mukanya di dada Ki Seng. "Ling-moi, aku cinta padamu....." bisik Ki Seng. "Ah, aku juga, Seng-ko....." Mei Ling berbisik sambil menekan mukanya di dada pemuda itu. Ki Seng menjadi girang sekali. "Mari kita kembali ke rumah, Ling-moi. Di sini dingin sekali." katanya sambil menggandeng tangan Mei Ling dan mengajaknya pergi meninggalkan taman bunga sambil bergandengan tangan. Para pelayan melihat sepasang orang muda itu pergi sambil bergandengan tangan. Mereka saling pandang dan tersenyum, akan tetapi tidak ada yang berani membuka suara. Selain mereka takut, juga mereka sudah mendengar bahwa sepasang orang muda itu telah ditentukan untuk menjadi calon suami isteri. Mereka hanya sibuk membersihkan meja di mana Ki Seng dan Mei Ling tadi makan minum. Ki Seng membawa Mei Ling yang seperti orang mengantuk, berjalan sambil bersandar kepadanya itu bukan ke kamar gadis itu melainkan ke kamarnya sendiri, Hal ini menunjukkan kecerdikannya. Kalau dia membawa Mei Ling ke kamar gadis itu, seolah-olah dia mendatangi kamar Mei Ling. Akan tetapi kalau dia membawa gadis itu ke kamarnya, Mei Ling yang mendatangi kamarnya, dan gadis itu yang menghendaki pertemuan itu, bukan dia! Mei Ling sama sekali tidak menolak ketika ia dibawa masuk ke kamar Ki Seng, juga hanya memandang pemuda itu dengan mata setengah terpejam ketika Ki Seng menutup dan memalang pintu kamarnya. Ketika Ki Seng kemudian merangkulnya, iapun membalas merangkul dengan penuh gairah, seperti orang mabok. Ia seperti sudah kehilangan kesadarannya,, tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menurut saja apa yang dilakukan Ki Seng terhadap dirinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mei Ling terbangun dari tidurnya. Pengaruh ramuan obat perangsang yan diminumnya sudah lenyap dan tiba-tiba ia teringat akan apa yang terjadi semalam seperti orang mimpi. "Ohhh...... tidak.....!" Ia cepat bangkit duduk dan matanya terbelalak. Bukan mimpi! Ia berada di atas pembaringan dan Ki Seng masih rebah di sampingnya masih tidur. Ia telah tidur di dalam kamar Ki Seng! Dan pakaian mereka.... "Ahhhh..... bagaimana dapat terjadi semua ini.....?" Ia berseru dan Ki Seng terbangun dari tidurnya. Diapun bangkit duduk dan memandang wajah Mei Ling sambil tersenyum. "Ada apakah, Ling-moi" Sepagi ini engkau sudah terbangun?" Mei Ling melompat turun dari atas pembaringan dan membetulkan letak pakaiannya. Kemudian ia memandang Ki Seng dengan alis berkerut. "Seng-ko! Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku?" Ki Seng juga turun dari pembaringan dan hendak merangkul Mei Ling. Akan tetapi gadis itu mengelak dan melangkah mundur, "Seng-ko! Kenapa aku tidur di sini" Apa yang telah kaulakukan?" -00dw00kz00- Jilid XIX "LING-MOI, kurasa pertanyaanmu itu terbalik. Semestinya engkau bertanya apa yang telah kaulakukan! Lihatlah, engkau yang telah tidur bersamaku di dalam kamarku, bukan aku yang tidur di kamarmu." Mei Ling memandang bingung dan tangan kirinya diangkat memijat-mijat keningnya. "Kita makan minum dalam taman, setelah itu....." Ki Seng menyambung, "Setelah itu engkau kuantar kembali ke kamarmu, akan tetapi engkau tidak mau dan memaksa ingin tidur bersamaku dalam kamarku ini. Engkau yang menghendakinya, Ling-moi. Aku hanya memenuhi apa yang kau kehendaki." "Ah.....!" Mei Ling mengangkat kedua tangannya dan ditutupkan pada mukanya. "Apa yang telah kulakukan" Apa yang telah kita lakukan, Seng-ko" Kita..... kita masih belum menikah....." Gadis itu tidak dapat menahan penyesalan dan kesedihan hatinya. Ia menangis sesenggukan. Ki Seng maju dan merangkul gadis itu. "Sudahlah, jangan menangis, Ling moi. Apa yang telah kita lakukan bukan kesalahanmu, juga bukan kesalahan kita. Kita saling mencinta dan bukankah kita ini kelak akan menjadi suami isteri" Kita kini telah menjadi suami isteri, hanya tinggal menanti pengesahan saja, kalau masa berkabung sudah lewat. Tidak perlu disesalkan, Ling-moi, bukankah engkau mencintaku seperti aku mencintamu?" Mei Ling yang tadinya merasa menyesal dan hendak marah kepada Ki Seng, tidak jadi marah melihat kenyataan bahwa ialah yang tidur di kamar Ki Seng. Walaupun ia tidak ingat lagi mengapa begitu, akan tetapi kenyataannya, memang berada di kamar itu maka tidak dapat ia menyalahkan Ki Seng. Dan kata-kata Ki Seng dapat menghibur hatinya akan apa yang telah mereka lakukan. ia lalu merangkul Ki Seng dan menangis didada pemuda itu. Ki Seng diam-diam tersenyum penuh kemenangan! Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kalau hati akal pikiran telah menjadi rimba nafsu, maka hati akal pikiran akan melakukan segala usaha dan daya upaya untuk memuaskan nafsu yang telah menjadi majikannya. Nafsu sex bukanlah sesuatu yang kotor, buruk atau jahat, sebaliknya malah. Nafsu ini, seperti se-macam nafsu lainnya, merupakan pembawaan sejak kita lahir, menjadi peserta kita yang amat bermanfaat bagi kehidupan kita. Bahkan nafsu ini menjadi sarana perkembang-biakan manusia di dunia. Selama nafsu ini menjadi peserta ini kita menguasai dan mengendalikannya, maka nafsu ini mendatangkan kebahagiaan dan kebaikan dalam kehidupan kita. Akan tetapi sebaliknya, kalau kita membiarkan nafsu sex ini merajalela dan menguasai kita, menjadi majikan kita, naka kita akan diseretnya. Hati akal pikiran kita akan berdaya upaya untuk mendirikan kepuasan bagi nafsu itu. Akibatnya, terjadilah perjinaan, perkosaan, dan pelacuran. Ki Seng sudah menjadi hamba nafsu berahinya sendiri. Dia selalu menurut dorongan nafsunya dan untuk memuaskannya dia kini telah mendapat korban, yaitu Mei Ling yang percaya penuh kepadanya dan semenjak malam itu, gadis itu menuruti segala kehendak Ki Seng. Bukan akhirnya rahasia itu tidak dapat ditutup-tutup lagi dan semua anggauta Pek-eng-pang tahu bahwa kedua orang muda itu sudah melakukan hubungan seperti suami isteri. Sering mereka tidur sekamar. Akan tetapi tentu saja tidak seorangpun dari mereka yang berani memberi komentar mengenai hal ini. Ki Seng memenuhi janjinya kepada Sian Hwa Sian-li. Dia tidak melupakan wanita itu dan seringlah dia datang berkunjung dan bermalam di rumah wanita ini. Dia memuaskan nafsunya dengan Mei Ling dan dengan Kim Goat. Akan ini tapi makin dipuaskan, nafsu akan semakin murka, akan semakin kuat dan menuntut lebih banyak, lagi! Kini Ban-tok-pang yang diketuai Ki Seng tidak kekurangan penghasilan dari Hek-houw-pang, dia dapat memungut hasil dari rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelacuran yang tidak sedikit jumlahnya. Dari Pek-eng-pang, dia dapat memperoleh hasil dari perusahan pengawal kiriman barang. Setelah semua perkumpulan yang kini dipimpin oleh A Kiu dan A Hok berjalan lancar, dan dia bersenang-senang selama beberapa bulan dengan Mei Ling dan Sian Hwa Sian-Li, akhirnya Ki Seng mengambil keputusan bahwa waktunya sudah tiba baginya untuk pergi ke kota raja, menemui "ayahnya", yaitu Kaisar Cheng Tung sebagai putera kaisar itu yang bernama Cheng Lin dan terlahir didaerah Mongol di utara. Sudah tiba waktunya pula untuk membuka "rahasia" dirinya itu kepada Mei Ling agar wanita itu tidak banyak rewel dan menuntutnya untuk segera menikahinya setelah masa berkabung lewat. Pada suatu malam, setelah mempertimbangkan baik-baik, diapun bercakap-cakap dengan Mei Ling di dalam kamarnya. "Ling-moi, dalam beberapa hari ini, aku akan pergi dari sini. Aku akan pergi ke kota raja." Mei Ling terbelalak. "Ke kota raja, Aku ikut, Seng-ko." "Jangan, Ling-moi. Aku sedang menghadapi urusan besar. Engkau tidak boleh ikut dan tinggal ah saja di sini." "Urusan apakah itu, Seng-ko" Untuk urusan apakah engkau hendak pergi ke kota raja, seorang diri pula?" "Ini merupakan rahasia besar, Ling moi. Akan tetapi karena engkau sekarang telah menjadi isteriku, biarlah engkau mengetahui rahasia besar ini sebelum aku pergi. Ketahuilah, aku akan pergi ke kota raja, menghadap Kaisar untuk menuntut hakku." "Menuntut hakmu" Hak apakah itu Seng-ko?" "Akan kuceritakan kepadamu, akan tetapi aku minta agar engkau untuk sementara merahasiakan keadaanku ini sampai aku memperoleh hakku. Berjanjilah" Mei Ling memandang heran dan mengangguk. "Aku berjanji, Seng-ko." "Begini ceritanya. Dua puluh tahun yang lalu, Kaisar Cheng Tung yang pada waktu itu masih muda, tertawan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh kepala suku Mongol bernama Kapokai Khan dan dibawa ke utara, ke daerah Mongol. Ditempat tawanan itu dia diperlakukan dengan baik dan hormat dan di perkampungan Mongol itu Kaisar Cheng Tung bertemu dengan keponakan Kapokai Khan yang bernama Chai Li. Mereka saling jatuh cinta dan Puteri Chai Li lalu diperistri oleh Kaisar Cheng Tung. Ketika Pu-U-ri Chai Li mengandung, Kaisar Cheng Tung dibebaskan dan kembali ke selatan. Puteri Chai Li ditinggalkan dengan janji bahwa kelak akan dijemput. Puteri Chai Li melahirkan seorang putera, akan tetapi Kaisar Cheng Tung tak kunjung datang menjemput sampai akhirnya Puterti Chai Li tewas di tangan penjahat dan anak itu menjadi besar dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi anak itu akhirnya dapat mempelajari ilmu silat yang cukup tinggi sehingga dia dapat mengangkat dirinya sendiri memperoleh kedudukan yang cukup baik. Nah, sekarang anak itu telah dewasa dan dia hendak menuntut agar diterima oleh ayah kandungnya dan diakui sebagai seorang pangeran, keturunan Kaisar Cheng Tung." Mei Ling terbelalak memandang wajah Ki Seng. "Maksudmu..... engkau adalah..... putera Kaisar Cheng Tung itu...." Ki Seng tersenyum dan mengangguk sambil mengeluarkan suling kemala dari balik bajunya. "Benar. Akulah Cheng Lin putera Kaisar Cheng Tung dan benda ini adalah peninggalan ayah kandungku itu kepada mendiang ibuku, menjadi tanda bahwa aku adalah puteranya yang terlahir di daerah Mongol." "Ohhh.....!!" Mei Ling berseru dengan kaget, heran dan juga amat girang mendengar bahwa kekasihnya, calon suaminya, adalah seorang pageran! Ia cepat menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada pemuda itu. "Ampunkan saya, karena tidak tahu saya....." "Husssh....., bangkitlah, Mei Ling." kata Ki Seng sambil merangkul pundak wanita itu. "Sudah kukatakan bahwa engkau harus merahasiakan keadaanku ini. kalau engkau bersikap seperti ini dan ketahuan orang lain tentu akan terbuka rahasiaku. Bersikaplah wajar dan seperti biasanya saja. Setelah aku secara resmi menjadi pangeran, boleh engkau bersikap lain," "Baik...... Seng-ko....." kata Mei Ling dengan suara gemetar karena ketegangan hatinya. Masih berdebar keras jantungnya mendengar bahwa tunangan yang secara belum resmi telah menjadi suaminya itu adalah seorang pangeran, putera Kaisar! "Nah, engkau tahu sekarang mengapa aku hendak pergi ke kota raja dan seorang diri pula. Engkau tinggal ah di sini dan kalau ada sesuatu yang penting, ajaklah A Hok dan A Kiu untuk berunding. Untuk sementara ini, kau pimpinlah Pek-Engpang dan A Kiu biar memimpin Ban-tok-pang." "Baik, Seng-ko." kata Mei Ling dan dalam suaranya terkandung kepatuhan harus terhadap laki-laki itu. Dalam pandangan Mei Ling, laki-laki itu bukan hanya menjadi calon suaminya, melainkan juga seorang pangeran yang harus dipatuhi perintahnya. Beberapa hari kemudian, Ki Seng meninggalkan Pek-engpang, diantarkan sampai keluar dari perkampungan oleh Mei Ling. Mei Ling melihat Ki Seng pergi dan mengira bahwa lakilaki itu akan langsung pergi ke kota raja. Akan tetapi Ki Seng mengambil jalan lain karena dia akan pergi dulu ke Bukit Merak di markas Sian Hwa Sian-li telah menunggu. Dia mengajak wanita itu untuk menemaninya ke kota raja, selain untuk menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan, juga dapat menjadi pembantu kalau-kalau dia menghadapi rintangan dalam usahanya menjadi seorang pangeran! Setelah tiba di rumah Sian Hwa Sian li, wanita itu telah siap dan mereka berdua segera berangkat meninggalkan Bukit Merak yang ditinggalkan untuk diatur oleh sembilan orang pelayan wanita. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan gembira, masing-masing membawa sebuah buntalan pakaian di punggung. Sian Hwa Sian-li tidak lupa membawa payungnya karena selain benda ini dapat menjadi senjatanya yang ampuh, juga ia memerlukannya untuk melindungi kulit wajahnya yang halus dan putih mulus itu dari sengatan sinar matahari. ooo00d00w0ooo Dua orang pemuda itu mendaki kaki pegunungan Tai-hangsan. Mereka adalah dua orang pemuda yang berwajah tampan dan usia mereka masih muda sekali. Yang seorang baru berusia paling banyak dua puluh satu tahun, tubuhnya sedang tegap dengan dada yang bidang, matanya mencorong penuh semangat, hidungnya mancung dan bibirnya yang berbentuk indah itu selalu tersenyum ramah, langkahnya tegap seperti langkah harimau dan pakaiannya sederhana seperti seorang petani. Pemuda ke dua lebih muda lagi. Paling banyak enam belas tahun usianya. Wajahnya tampan sekali, lebih tampan dari pemuda pertama. Tubuhnya sedikit agak kecil dengan pinggang kecil. Matanya lebar dan kocak, dan senyumnya membuat wajah itu cerah dan segar. Rambutnya hitam dan lebat, digelung ke atas dan sebagian kepalanya tertutup kain pengikat rambut yang lebar. Pakaiannya juga sederhana namun tidak mengurangi ketampanannya. Seperti pemuda pertama, diapun membawa sebuah buntan pakaian berwarna kuning di punggungnya. Mereka melangkah dengan tegak sambil bercakap-cakap dengan sikap lincah dan gembira. Kita sudah mengenal baik dua orang pemuda ini. Yang pertama adalah Han Lin dan pemuda ke dua bukan lain adalah Suma Eng yang menyamar sebagai seorang pemuda bernama Eng-ji. Sebetulnya Suma Eng adalah seorang yang usianya sudah hampir sembilan belas tahun, akan tetapi setelah menyamar sebagai seorang pemuda, ia tampak masih muda sekali, seperti seorang pemuda remaja berusia enam belas tahun! Setelah melakukan perjalanan berdua selama belasan hari, hubungan di antara mereka makin akrab saja. Dan Han Lin, seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita kecuali dengan Tan Kiok Hwa yang dicintanya, akan tetapi itupun hanya sebentar saja, sama sekali tidak pernah dibayangkan bahwa pemuda menjadi sahabat yang amat menyenangkan dan bernama Suma Eng-ji itu sebetulnya adalah seorang gadis yang setengah mati jatuh cinta kepadanya! Sikap Eng-ji amat baik kepadanya sehingga Han Lin terkadang lupa bahwa pemuda remaja ini adalah putera Suma Kiang, musuh besarnya. kadang-kadang kalau dia teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa tidak enak sekali. Suma Kiang begitu jahat terhadap dirinya dan ibu kandungnya, akan tetapi puteranya, Suma Eng-ji ini, begitu baik kepadanya. Akan tetapi kebaikan sikap Eng-ji kepadanya kadang terganggu kalau ia teringat bahwa pemuda remaja ini jatuh cinta kepada Tan Kiok Hwa, gadis berpakaian serba putih yang berhati emas, yang setiap saat siap menolong siapa saja dengan pengobatan tanpa pandang bulu. Akan tetapi kalau dia melihat sikap dan watak Eng-ji yang aneh dan kadang ugal-ugalan itu, teringatlah bahwa Eng-ji adalah seorang pemuda yang masih mentah. Cintanya terhadap Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Berbaju Putih) Tan Kiok Hwa tentu hanya menrupakan cinta monyet yang tidak akan tahan lama! Teringat akan ini, legala hatinya dan Han Lin senyum-senyum sendiri. "Ehh, Lin-ko, apanya sih yang lucu?" Eng-ji menegur kawan seperjalanannya itu. "Apa yang lucu?" balas tanya Han Lin, tidak mengerti. "Kulihat engkau senyum-senyum sendiri, tentu ada yang lucu!" "Ah, itukah" Aku tersenyum melihat engkau, Eng-ji." Eng-ji berhenti melangkah, matanya yang lebar menatap wajah Han Lin penuh selidik dan mulutnya cemberut. "Engkau tersenyum melihatku" Engkau menertawakan aku" Apaku yang lucu dan harus ditertawakan?" Eng-ji menuntut, marah karena ia merasa ditertawakan. "Tenang dan sabarlah, Eng-ji, dan jangan marah dulu. Aku tersenyum melihatmu karena sikapmu yang aneh-aneh. Engkau mengajak aku untuk membelokkan arah perjalanan ke kota raja dan menuju ke pegunungan ini. Mau apakah engkau sebenarnya" Apakah sekadar pesiar ke pegunungan" Bukankah dalam perjalanan kita selalu melewati gununggunung?" "Itukah yang membuatmu tersenyum" Kukira engkau menertawakan aku. Aku mengajakmu ke sini untuk mencari dusun tempat tinggal mendiang ibuku, Lin-ko. Aku ingin sekali bersembahyang di depan makam ibu kandungku yang tidak pernah kulihat atau kuingat. Aku rindu sekali kepada ibu!" Suara Eng-ji agak gemetar karena hatinya terharu, teringat akan ibunya yang menurut cerita ayahnya telah meninggal dunia. Ayahnya tidak pernah mau bercerita tentang ibunya sehingga dia amat merindukan ibunya. "Ibumu sudah meninggal di dusun yang berada di pegunungan ini, Eng-ji" Ah, maaf, aku tidak tahu akan maksud dan tujuan perjalananmu ke sini. Jadi ibumu telah meninggal dunia sejak engkau masih kecil?" "Menurut ayah, ibu meninggal sejak aku berusia tiga tahun." "Ibumu masih muda, mengapa meninggal dunia" Karena sakit atau apa?" "Ayahku tidak pernah mau menceritakan tentang kematian ibu. Bahkan kalau aku bertanya tentang ibu, dia marah marah. Agaknya ayahku amat mencintai ibu dan kematian ibu amat menghancurkan hatinya. Bahkan nama ibupun tidak pernah diberitahukan kepadaku" kata Eng-ji dengan suara mengandung kekecewaan dan kesedihan. Han Lin membayangkan watak Suma Kiang yang amat jahat itu. Dia sangsi apakah seorang manusia berwatak iblis seperti itu dapat mencinta seorang wanita sedemikian besarnya. "Kalau engkau tidak ingat akan wajah ibumu dan tidak tahu namanya, bagaimana engkau akan dapat mencari keterangan tentang ibumu itu?" "Ayah hanya memberitahu bahwa ibu berasal dari dusun Cia-lim-bun di pegunungan Tai-hang-sang ini. Karena itulah aku mengajakmu untuk singgah di pegunungan ini untuk mencari dusun Cia-lim-bun. Barangkali di dusun itu aku akan dapat mencari keterangan tentang ibu dan dapat menemukan makamnya, bahkan siapa tahu akan dapat kutemukan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keluarga ibu, kakek dan nenek misalnya, atau saudarasaudara dari mendiang ibuku." Han Lin merasa iba kepada Eng-ji. "Marilah, kita mencari di depan, kalau bertemu dusun, kita mencari keterangan tentang dusun Cia-lim-bun." katanya dan pereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, masih di kaki gunung, mereka memasuki sebuah dusun Kecil. Kepada seorang petani yang mencangkul sawahnya, Eng-ji bertanya, "Paman, dapatkah engkau menunjukkan dimana adanya dusun Cia-lim-bun?" Petani itu menunda pekerjaannya. "Cia-lim-bun" Itu di sana, di lereng pertama. Dusun itu dapat tampak dari sini." katanya sambil menuding ke arah lereng bukit. Han Lin dan Eng-ji melihat dan benar saja. Di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun. Genteng-genteng rumah dusun itu sudah dapat terlihat dari situ. "Mari, Lin-ko!" kata Eng-ji sambil menarik tangan Han Lin diajak berlari. Agaknya pemuda itu lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada petani saking girang hatinya. "Terima kasih, paman!" kata Han Lin kepada petani. Dia harus mengikuti Eng ji yang berlari cepat mendaki lereng bukit itu. Karena mereka berdua berlari cepat, sebentar saja mereka telah tiba di dusun itu. "Eng-ji, sebaiknya kalau kita menemui kepala dusun saja. Dari dia tentu kita akan memperoleh keterangan lebih lengkap dan lebih banyak." Eng-ji mengangguk. "Kukira sebaiknya begitu, Lin-ko." Suara Eng-ji agak gemetar dan jelas tampak betapa hatinya berdebar gelisah dan harap-harap cemas menghadapi keterangan tentang ibu kandungnya dan mungkin ia dapat bertemu dengan keluarga ibunya. "Akan tetapi bagaimana cara menanyakannya" Aku tidak tahu nama ibuku." "Tenanglah, Eng-ji. Biar aku yang akan bertanya kalau engkau merasa gugup. Nama ayahmu Suma Kiang, bukan" Nama ibumu engkau tidak tahu. Mungkin kepala dusun itu mengenal nama ayahmu atau teringat akan namamu." Eng-ji hanya mengangguk karena ia merasa bingung, tidak tahu harus bertanya secara bagaimana. Dari petunjuk beberapa orang dusun, dengan mudah mereka menemukan rumah kepala dusun Cia-lim-bun. Kepala dusun itu masih muda. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun dan melihat kepala dusun yang masih muda itu, Han Lin mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena kepala dusun itu menyambut mereka dengan ramah, diapun bersikap hormat. "Ji-wi (anda berdua) silakan duduk dan apa yang dapat kami bantu untuk ji-wi?" kata kepala dusun itu setelah mempersilakan mereka duduk. "Maafkan kalau kami mengganggu kesibukan, chung-cu (lurah)." kata Han Lin. "Kedatangan kami menghadap ini untuk minta keterangan tentang suami istri dan anaknya yang tinggal di dusun cia lim-bun ini kira-kira lima belas tahun yang lalu." "Lima belas tahun yang lalu" Ah, ketika itu kami belum menjadi lurah di sini, bahkan belum tinggal di dusun ini. Kami baru sekitar sepuluh tahun tinggal di sini, dan baru lima tahun menjadi kepala dusun." jawab lurah itu dengan ramah. Eng-ji kecewa sekali mendengar ini dan dengan suara penuh harapan ia bertanya, "Chung-cu, apakah sekiranya kami boleh bertanya kepada orang yang sudah tinggal di sini pada lima belas tahun lebih yang lalu?" "O, itu mudah saja. Seorang paman kami telah puluhan tahun tinggal di sini, mungkin dia mengetahui. Tunggu dulu, kami memanggilnya." Kepala dusun itu lalu masuk ke ruangan belakang dan tak lama kemudian dia kembali lagi bersama seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. "Inilah, paman, dua orang muda yang ingin bertanya tentang suami isteri dan anaknya yang pernah tinggal di sini lima belas tahun yang lalu." kata kepala dusun itu kepada pamannya. Laki-laki tua itu memandang kepada Han Lin sampai beberapa lamanya, lalu da menggeleng kepala. Setelah itu dia memandang kepada Eng-ji dan mengamati pemuda remaja itu penuh perhatian. Agaknya perhatiannya tertarik kepada Eng-ji dan dia bergumam. "Ya, aku pernah melihat wajah ini..... kenapa yang akan dapat melupakan peristiwa mengerikan itu" Orang muda, kalau saja engkau seorang wanita, wajahmu persis dengan wanita yang malang itu." Mendengar ucapan itu, Eng-ji merasa jantungnya berdebar. "Paman, apakah maksudmu" Siapa wanita yang malang itu, yang wajahnya mirip wajahku?" "Nanti dulu, orang muda. Laki-laki dan wanita itu, suami isteri dan anaknya yang kau cari itu, siapakah nama mereka?" tanya kakek itu. "Suaminya bernama Suma Kiang sedangkan isterinya aku tidak tahu namanya. Anaknya bernama Suma Eng-ji." kata Eng-ji penuh harapan Akan tetapi laki-laki itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal nama itu. Akan tetapi, tentang wanita yang malang itu, ada yang lebih mengetahuibta karena dialah saksi peristiwa yang mengerikan itu. Sebaiknya kita panggil saja dia karena kami semua mendengar tentang peristiwa itu darinya. Dia yang lebih tahu." Kakek itu lalu menyuruh keponakannya, kepala dusun itu untuk memanggil seseorang. "Panggil A-lok ke sini, biar dia bercerita sendiri." katanya. Kepala dusun lalu menyuruh orangnya untuk memanggil orang bernama A-lok itu dan sambil menanti datangnya orang yang dipanggil, dia mempersilakan Han Lin dan Eng-ji duduk sambil menghidangkan minuman teh. Tak lama kemudian orang yang bernama A-lok itupun datang di situ. Laki-laki ini berusia sekitar lima puluhan tahun dan jalannya terpincang-pincang, agaknya mengalami cacat pada kaki kanannya. "Paman A-lok, silakan duduk," kata kepala dusun dan setelah A-lok mengambil tempat duduk dia berkata, "Dua orang muda ini datang untuk mencari keterangan tentang suami isteri dan anaknya yang tinggal di sini kurang lebih lima belas tahun yang lalu. Dan menurut pamanku, saudara muda ini wajahnya mirip sekali dengan seorang wanita yang pernah kau ceritakan tertimpa nasib yang mengerikan." A-lok memandang kepada Eng-ji dan matanya terbelalak, seolah dia baru melihat kemiripan yang disebut kakek paman kepala dusun tadi. "Ya Al ah! Benar sekali!" "Nah, apa kataku?" kata kakek yang menjadi paman kepala dusun. "Pemuda ini wajahnya mirip sekali dengan wajah mendiang Siu Lin, bukan?" "Siapa itu Siu Lin?" Eng-ji bertanya dengan jantung berdebar. "Paman yang baik, apakah engkau mengenal suami isteri dan anaknya itu" Suaminya bernama Suma Kiang, dan anaknya bernama Suma Eng-ji." A-lok menggeleng kepalanya. "Tidak cocok. Suami Siu Lin bernama Lo Kiat yang kini telah meninggal dunia dan mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Lo Sian Eng." Setelah memandang Eng-ji sesaat dan mengerutkan alisnya, diapun melanjutkan. "Apakah mereka itu benar-benar tinggal di dusun ini, kongcu (tuan muda)?" Eng-ji hampir putus harapan, akan tetapi dia mencoba untuk menerangkan. "Wanita itu berasal dari dusun Cia lim-bun ini. Ia meninggal dunia dan suaminya yang bernama Suma Kiang lalu membawa pergi anak mereka yang bernama Suma Eng-ji dan ketika itu baru berusia tiga tahun." A-lok mengerutkan alisnya semakin dalam sambil menatap wajah Eng-ji "Nanti dulu! Apakah laki-laki bernama Suma Kiang itu usianya ketika itu sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya merah dahinya lebar, matanya sipit, jenggotnya panjang, di punggungnya terdapat sepasang pedang dan tangannya memegang sebatang tongkat yang mengerikan karena tongkat itu mirip seekor ular?" Eng-ji menahan diri untuk tidak terlonjak kegirangan. Betapa tepat gambaran itu! Itulah ayahnya! "Benar! Benar sekali!" teriaknya. "Paman yang baik, ceritakan tentang mereka, terutama tentang sang isteri yang telah meninggal itu!" A-lok menggeleng-geleng kepalanya dan bergumam. "Sungguh aneh sekali. Agaknya ada kesalahan paham di sini. Akan tetapi baiklah, akan kuceritakan apa yang telah kami lihat. Aku tidak akan pernah melupakan peristiwa itu selama hidupku, dan kau lihat, cacat di kaki kananku ini menjadi bukti kebenaran ceritaku." Dia berhenti dan menghela napas panjang. "Ceritakanlah, paman yang baik. Ceritakanlah segalanya tentang wanita itu dan apa yang telah terjadi!" Eng-ji sudah tidak sabar lagi dan ucapannya mengandung desakan sehingga Han Lin menyentuh lengannya memberi isarat agar kawannya itu bersabar dan membiarkan A lok menceritakan dengan tenang. A-lok minum air teh yang disuguhkan. tampaknya tidak tergesa-gesa, penuh keyakinan bahwa ceritanya akan menarik sekali. Kemudian dia mulai bercerita "Wanita bernama Teng Siu Lin itu memang seorang yang cantik sekali. Ketika itu usianya sekitar dua puluh satu tahun dan memang sejak masih gadis ia menjadi kembang di dusun ini. Ia menikah dengan seorang sasterawan bernama Lo Kiat yang datang dari kota, akan tetapi setelah menikah, Lo Kiat tinggal di dusun ini dan mengajarkan ilmu baca-tulis kepada anak-anak di dusun ini dan sekitarnya. Ketika itu, mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Lo Sian Eng yang ketika peristiwa terjadi berusia kurang lebih tiga tahun," Kembali dia berhenti dan minum air teh-nya. Dia agaknya menikmati ceritanya sendiri karena maklum bahwa kedua orang muda yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu menanti kelanjutan ceritanya dengan tak sabar. "Lalu bagaimana tentang kematian wanita itu" Apakah karena sakit?" Eng-ji mendesak. Ia meragu dan tidak yakin apakah wanita yang diceritakan itu benar Ibunya, walaupun katanya berwajah mirip dia karena wanita itu isteri seorang sastrawan bernama Lo Kiat. "Pada suatu pagi, aku bersama tiga orang kawan, berjalan keluar dari dusun Ini mendaki bukit. Suasananya amat sunyi ketika itu dan tiba-tiba kami mendengar jerit suara wanita. Kami cepat pergi ke arah suara itu dan ketika kami tiba di sana, kami tercengang menyaksikan pemandangan yang mendirikan bulu roma dan membuat kami tercengang dan ngeri. Seorang laki-laki agaknya baru saja memperkosa wanita yang bukan lajn adalah Teng Siu Lin! Dalam keadaan marah telanjang, wanita malang itu melompat dan membenturkan kepalanya pada sebuah batu sehingga ia tewas seketika. Anaknya, Lo Sian Eng yang baru berusia tiga tahun itu menangis di atas rerumputan. Tentu saja kami terkejut dan marah. Kami segera berlari untuk bertindak terhadap laki-laki laknat itu. Akan tetapi dia lihai bukan main. Dia lalu mengamuk dan kami berempat dia robohkan dengan tongkat ularnya. Tiga orang kawanku tewas dan aku sendiri mengalami cedera berat pada kaki kananku, akan tetapi aku masih sadar dan aku pura pura mati sehingga laki-laki iblis itu tidak menyerangku lagi. Aku melihat betapa laki-laki itu memondong Sian Eng dan dibawanya anak itu pergi dari situ." Han Lin melihat betapa wajah Eng ji menjadi pucat sekali dan pemuda remaja itu menggerakkan bibirnya yang menggigil, "Lalu.... laki-laki jahanam iblis itu.... siapakah dia......?" A-lok berkata. "Laki-laki itu tidak meninggalkan nama, akan tetapi dia adalah orang yang kugambarkan tadi, tinggi kurus, membawa sepasang pedang di punggungnya, tangannya membawa tongkat ular, mukanya merah dan...." "Aihhhhh......!!" Eng-ji mengeluh dan ia terkulai pingsan dan tentu akan roboh dari kursinya kalau saja Han Lin tidak dengan cepat menyambar tubuhnya. "Eh, kenapa dia.....?" Kepala dusun, pamannya, dan A-lok bertanya heran. Han Lin memangku Eng-ji. "Dia pingsan, agaknya masuk angin." "Orang muda, bawa dia ke kamar, biarkan dia rebah di pembaringan." kata kepala dusun yang ramah itu. Han Lin menurut karena memang dia perlu meredakan Eng-ji untuk disembuhkan. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu mengalami guncangan batin yang hebat mendengar akan kejahatan Suma Kiang, ayahnya itu. Dia memondong tubuh Eng-ji dan membawanya masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan oleh kepala dusun. Dengan hormat dia minta agar mereka semua keluar dari kamar. "Saya akan menyadarkannya, harap paman sekalian keluar dulu." katanya. Kepala dusun dan dua orang itupun keluar dari dalam kamar, bahkan kepala dusun menutupkan pintu kamar Kitab Lorong Zaman 1 Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur Hianat Empat Datuk 2

Cari Blog Ini