Suling Pusaka Kumala 11
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 11 dari luar. Karena maklum bahwa Eng-ji mendapat guncangan hebat. Han Lin lalu mempergunakan ilmu It-yang-ci untuk menotok kedua pundak dan tengkuk Eng-ji, lalu dia melepaskan kancing baju pemuda remaja itu untuk mengurut dadanya Akan tetapi tiba-tiba dia menarik kedua tangannya seperti dipagut ular dan matanya menatap ke arah dada yang telah terbuka kancing bajunya itu. "Ya Tuhan.....! Dia..... dia ...... perempuan.....!" bisiknya dan cepat dia mengancingkan lagi baju itu dengan jari tangan gemetar. Setelah itu dia mengurut punggung Eng-ji dan menekan bawah hidungnya. Tak lama kemudian Eng-ji mengeluh, menarik napas panjang dan membuka matanya. "Jahanam keparat!" Tiba-tiba Eng ji memaki dan bangkit duduk, memandang ke sekeliling, lalu mendapatkan Han Lin yang duduk di tepi pembaringan dan diapun tersadar. "Lin-ko, mana paman yang bercerita tadi" Kenapa aku rebah di sini?" "Kau tadi pingsan, Eng-ji. Mereka berada di luar." "Aku ingin mendengarkan ceritanya lagi. Mari kita keluar, Lin-ko." "Engkau sudah merasa sehat" Tenangkanlah hatimu, Engji." "Aku tidak apa-apa. Mari kita keluar." Diapun turun dari pembaringan dan bersama Han Lin keluar dari kamar itu. Melihat dia sudah sembuh kembali, kepala dusun menjadi lega dan girang. "Siauwte (adik), engkau tadi mengagetkan dan menggelisahkan kami." katanya pada Eng-ji. Eng-ji tersenyum. "Maafkan aku, Chung-cu (lurah), agaknya aku masuk angin sehingga jatuh sakit dengan tibatiba. Akan tetapi sekarang aku sudah sembuh kembali. Paman, teruskanlah ceritamu tadi. Lalu bagaimana setelah laki-laki jahanam itu membawa pergi anak itu?" A-lok melanjutkan ceritanya. "Setelah dia pergi dan tidak tampak lagi, barulah aku berani bangkit berdiri. Tanpa memperdulikan kaki kananku yang cedera dan nyeri sekali, aku berlari setengah merangkak memasuki dusun dan minta bantuan penduduk. Kami berbondong-bondong lari ke tempat itu dan mengurus jenazah Teng Siu Lin dan tiga orang kawanku. Suami Teng Siu Lin, yaitu Lo Kiat, hancur hatinya melihat isterinya tewas secara demikian mengerikan. Dia jatuh sakit dan beberapa bulan kemudian diapun meninggal dunia menyusul isterinya," A lok berhenti bercerita dan keadaan menjadi sunyi sekali. Han Lin memandang wajah Eng-ji. Dia melihat betapa dengan susah payah Eng-ji menahan diri untuk tidak menjerit-jerit. Kini tampak jelas olehnya apa yang sesungguhnya terjadi. Eng-ji bukanlah putera Suma Kiang! Namanya bukan Eng-ji melainkan Lo Sian Eng, seorang gadis, puteri mendiang Lo Kiat dan mendiang Teng Siu Lin yang malang itu, yang menjadi korban kekejian Suma Kiang lalu membunuh diri. Lo Sian Eng menjadi gadis yatim piatu. Dia melihat gadis yang selama ini mengelabuhi dan dalam pandangannya merupakan seorang pemuda remaja yang lincah menyenangkan itu menelan ludah agaknya untuk menenangkan hatinya yang tergoncang, lalu bertanya dengan suara lemah. "Jadi mereka berdua telah meninggal dunia" Di mana makam mereka?" "Mereka kami makamkan berjajar di pemakaman umum dusun ini." kata A-Lok. Han Lin dan Eng-ji lalu mengucapkan banyak terima kasih kepada kepala dusun dan dua orang tua itu, kemudian berpamit meninggalkan rumah kepala dusun. Eng-ji segera mengajak Han Lin pergi ke perkuburan umum di luar dusun dan memasuki tanah kuburan yang sepi. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan sepasang kuburan itu karena di depan gundukan tanah itu terdapat batu nisan yang tertuliskan nama Lo Kiat dan Teng Siu Lin. Mereka berdiri di depan sepasang makam itu dan Han Lin berkata dengan suara lembut. "Eng-moi....." Eng-ji yang bukan lain adalah Sian Eng itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Han Lin dengan wajahnya yang masih pucat. "Lin-ko, kau menyebut aku apa.....?" "Eng-moi, aku tahu bahwa engkau sesungguhnya adalah Lo Sian Eng, puteri suami isteri yang terkubur di sini." "Kau...... kau..... sudah tahu.....?" "Mudah saja menduga, Eng-moi. Aku yang selama ini seperti buta, tidak tahu bahwa engkau seorang gadis." Kesedihan yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Sian Eng, kini seperti bendungan air bah yang pecah. Ia jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu, hal yang sejak tadi ingin ia lakukan. Banyak hal yang menusuk-nusuk hatinya dan membuat ia ingin menjerit-jerit menangis. Pertama karena ayah dan ibu kandungnya telah tewas, kedua karena kematian ibu kandungnya demikian mengenaskan, ketiga karena orang yang selama ini dianggap ayah yang mencintanya, ternyata adalah musuh besarnya, pembunuh ibunya dan menghancurkan keluarga orang tuanya. Ia menangis sesenggukan sampai kedua pundaknya terguncang-guncang. "Ayah, ibu..... ampunkan anakmu......tadinya aku tidak tahu..... aku menganggap dia ayahku yang baik.... ampunkan aku..... ayah, ibu, aku bersumpah, akan kubalaskan sakit hati dan kematian ayah dan ibu.... akan kubunuh si jahanam keparat Suma Kiang, iblis busuk jahat itu... .!!" katanya sambil memukuli tanah di depannya. Ia lalu menangis lagi sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak ada maknanya. Han Lin memandang dengan terharu, teringat akan ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya juga menderita lahir batin karena ulah Suma Kiang. Dia menghela napas panjang. Dia tahu bahwa Sian Eng sedang dilanda kesedihan besar dan jalan satu-satunya yang terbaik adalah membiarkannya melampiaskan kesedihannya melalui tangis. Air matanya saja yang akan mencuci kesedihannya, menjadi penyalur sakit hatinya. Karena itu dia mendiamkannya saja, hanya memandang dengan perasaan iba. Sekarang dia merasa betapa bodohnya dia. Setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu bersama gadis itu, dia masih belum tahu bahwa ia adalah seorang wanita, bukan seorang pemuda remaja seperti yang dianggapnya selama ini. Dan teringat akan sikap Eng-ji yang demikian baik kepadanya, teringatlah betapa Eng-ji dengan mesra merangkul Pek I Yok Sian-li sehingga membuatnya cemburu, teringat betapa Eng-ji mengatakan bahwa ia mencinta Pek I Yok Sian li, Han Lin merasa betapa mukanya menjadi panas. Dia merasa malu sekali, akan tetapi juga timbul perasaan tidak enak dalam hatinya, perasaannya tidak nyaman. Bukankah semua ulah dan sikap Sian Eng ketika menyamar sebagai pria itu menunjukkan bahwa gadis ini agaknya menaruh hati kepadanya" Kalau di ngat betapa Eng-ji marah-marah melihat dia memandang wanita cantik dalam rumah makan itu! Tak salah lagi, Sian Eng mencintanya! Bukan cinta sahabat seperti yang tadinya dia sangka, melainkan cinta seorang gadis terhadap seorang pria! Dari dugaan ini mendatangkan rasa tidak enak sekali dalam hatinya. Sebetulnya, betapa mudahnya bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Sian Eng yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula, berwatak baik dan ternyata keturunan orang baik-baik, bukan puteri Suma Kiang seperti yang tadinya dia sangka. Akan tetapi, bagaimana hal itu dapat terjadi" Dia sudah jatuh cinta kepada Tan Kiok Hwa, gadis ahli pengobatan yang berhati emas itu. Teringat akan ini, betapa Sian Eng mencintanya dan dia tidak akan mampu membalasnya, hatinya terasa pedih dan dia merasa amat iba kepada Sian Eng. Setelah tangis Sian Eng mereda, barulah Han Lin berani menghiburnya. "Sudahlah, Eng-moi. Tidak baik menurutkan kedukaan hati, tidak sehat membenamkan hati dalam kesedihan. Orang tuamu sudah terbebas dari kesengsaraan hidup, sudah kembali ke alam asal. Kita doakan saja semoga mereka mendapatkan tempat yang baik, aman dan tenteram. Bagaimanapun juga, sekarang engkau telah dapat menemukan siapa sebenarnya dirimu, dan aku sungguh merasa berbahagia sekali mendapat kenyataan bahwa engkau bukanlah anak dari manusia iblis Suma Kiang itu." Sian Eng menyeka sisa air matanya dan memandang kepada Han Lin dengan mata merah. "Lin-ko, hati siapa tidak kan hancur melihat kenyataan ini" Ibuku diperkosa sampai membunuh diri sehingga ayahku juga menjadi sakit dan meninggal dunia, semua ini akibat perbuatan terkutuk iblis Suma Kiang. Akan tetapi sejak kecil aku dipelihara dan dididik oleh iblis itu dengan penuh kasih sayang! Ternyata dia musuh besarku. Suma Kiang, manusia iblis jahanam, aku pasti akan membalaskan sakit hati ayah dan ibu kandungku!" "Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku pasti membantumu karena akupun mencari orang bernama Suma Kiang itu." "Kenapa engkau mencarinya, Lin-ko?" "Ingatkah engkau akan ceritaku dulu bahwa ibuku menjadi sengsara hidupnya karena seorang yang amat jahat" Orang itu bukan lain adalah Suma Kiang!" Sian Eng membelalakkan matanya yang kemerahan. "Jadi.... selama ini engkau tahu bahwa aku adalah anak dari musuh besarmu" Akan tetapi kenapa engkau bersikap amat baik kepadaku Lin-ko" Padahal engkau tahu bahwa aku yang ketika itu menyamar adalah puteri musuh besarmu." "Tadinya akupun terkejut sekali ketika engkau sebagai Engji menceritakan bahwa ayahmu adalah Suma Kiang. Akan tetapi bagaimana aku dapat membencimu, walaupun yang kusangka ayahmu itu telah menghancurkan kehidupan ibuku" Engkau amat baik dan engkau tidak jahat seperti Suma Kiang, maka akupun tentu saja bersikap baik kepadamu." Sian Eng memandang penuh haru. "Lin ko, engkau seorang yang bijaksana dan baik sekali. Semestinya engkau benci kepadaku yang waktu itu tentu kau kira putera orang yang telah berbuat keji terhadap ibumu, akan tetapi engkau malah baik sekali kepadaku." "Dan aku girang bahwa ternyata engkau bukan putera Suma Kiang, Eng-moi. engkau adalah Lo Sian Eng, puteri mendiang sasterawan Lo Kiat dan isterinya yang bernama Teng Siu Lin." "Dan bagaimana engkau mengetahui bahwa aku adalah Lo Sian Eng seperti diceritakan paman A-lok?" Sian Eng ingin sekali tahu. Wajah Han Lin menjadi agak kemerahan. Dia teringat betapa dia mengetahui bahwa Eng-ji adalah seorang wanita ketika dia membuka kancing baju gadis yang menyamar sebagai pemuda remaja itu Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengatakan hal ini kepada Sian Eng karena tentu gadis itu akan menjadi malu sekali dan mungkin juga marah kepadanya. "Setelah melihat reaksimu ketika mendengar penuturan Alok, timbul dugaanku itu, Eng-moi. Aku menduga bahwa engkaulah Lo Sian Eng itu, dan aku lalu teringat akan sikap yang aneh dari Eng ji, maka semakin yakinlah aku bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda." "Sikap aneh yang bagaimana, Lin ko?" Percakapan itu menarik hati Sian Eng sehingga sejenak ia melupakan kesedihannya. Memang duka itu diberi umpan oleh ingatan yang mengingat-ingat keadaan masa lalu dan membayangkan keadaan dirinya sehingga timbul perasaan iba dan Kalau pikiran dipergunakan untuk memperhatikan hal lain dan tidak bermaim main dengan ingatan masa lalu, maka kedukaannya akan menghilang. "Banyak setelah kuperhatikan dan ingat sekarang, Eng-moi. Di antaranya, engkau tidak mau tidur sepembaringan bersamaku. Engkau selalu sembunyi-sembunyi kalau mandi dan bertukar pakaian. engkau pandai memasak. Bahkan engkau menjadi marah-marah ketika aku memandang gadisgadis cantik di rumah makan itu." Kini wajah Sian Eng yang berubah kemerahan. "Aku paling tidak suka melihat laki-laki yang mata keranjang, maka aku tidak senang engkau memandangi gadis-gadis cantik." katanya. Kemudian ia bangkit berdiri dan dan berkata, "Lin-ko, aku hendak pergi sebentar." "Ke mana, Eng-moi?" "Membeli perlengkapan sembahyang. Aku ingin bersembahyang dengan pantas di depan makam ayah ibuku." "Mari kutemani, Eng-moi." Keduanya lalu meninggalkan tanah kuburan itu. Kebetulan sekali dalam dusun yang cukup besar itu terdapat beberapa buah toko yang menjual barang-barang cukup lengkap. Sian Eng, masih berpakaian sebagai Eng-ji, membeli perlengkapan sembahyang dan juga membeli tiga stel pakai an wanita dusun. Dalam perjalanan mereka kembali ke tanah kuburan, Han Lin bertanya. "Untuk apa engkau membeli pakaian wanita, Eng-moi?" Sian Eng menoleh, menatap wajah Han Lin dan tersenyum! Han Lin menjadi lega. Gadis ini memang memiliki watak yang lincah dan gembira sehingga tidak berlarut-larut tenggelam dalam kedukaan dan wataknya yang gembira itu sudah muncul kembali dengan cepat. "Lin-ko, engkau sudah tahu bahwa aku seorang wanita. Kukira tidak ada gunanya lagi aku menyamar sebagai pria karena engkau sudah mengetahuinya. Mulai sekarang aku akan mengenakan pakaian wanita biasa." "Wah, aku akan kehilangan Eng-ji, sahabatku yang lucu dan ramah itu!" Han Lin menggodanya. Tiba-tiba Sian Eng berhenti melangkah sehingga Han Lin terpaksa berhenti juga dan memandang wajah Sian Eng yang kelihatan gelisah. "Eh, ada apa, Eng-moi?" "Lin-ko, setelah Eng-ji menjadi Sian Eng, engkau masih akan suka memandangnya sebagai sahabat baik, bukan" Kita masih menjadi sahabat yang saling membantu, iya kan?" Di dalam suaranya terkandung permintaan dan harapan yang mendesak. Han Lin merasa tidak tega untuk menyangkal. Pula, bukankah memang dia amat suka kepada Eng-ji" Setelah EngTiraikasih Website Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo http://kangzusi.com/ ji ternyata adalah seorang gadis bernama Sian Eng, hal itu tidak perlu menghilangkan rasa sukanya. "Tentu saja, Eng-moi. Kita adalah sahabat-sahabat yang baik!" katanya sungguh-sungguh. Wajah yang tadinya membayangkan kegelisahan itu menjadi cerah kembali. Senyumnya menghias wajah itu manis sekali dan mata itu amat indah, seperti sepasang bintang kejora. Han Lin kagum dan baru sekarang setelah dia tahu bahwa Eng-ji adalah seorang gadis, dia melihat betapa "cantik" wajah pemuda remaja itu, terlalu cantik. Mengapa dia begitu bodoh sehingga tidak pernah menduga bahwa Eng-ji sebenarnya seorang gadis yang amat cantik" Mereka kini tiba di tanah kuburan dan kembali mendung menyelimuti wajah Sian Eng yang tadinya berseri. Dengan khidmat ia mengatur peralatan sembahyang, membakar hioswa (dupa biting) dan bersembahyang. Han Lin tanpa diminta juga ikut bersembahyang. Setelah bersembahyang dengan hio, Sian Eng lalu berlutut di depan makam kedua orang tuanya dan berkata dengan suara terharu. "Ayah, ibu, di sini anakmu Lo Sian Eng bersumpah untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibu. Tenanglah ayah dan ibu, aku akan mencari jahanam Suma Kiang dan tidak akan berhenti sebelum dapat menemukan dan membunuhnya!" Suaranya lirih akan tetapi mengandung ancaman yang terasa oleh Han Lin. Sua ra itu demikian dingin dan mengandung ancaman maut! Sian Eng menancapkan batu nisan dan dibantu oleh Han Lin, ia menuliskan nama ayah dan ibunya di batu nisan masing-masing. Kemudian ia duduk termenung di tempat kuburan yang teduh oleh pohon-pohon yang ditanam orang dan tumbuh subur di situ. "Eng-moi, sekarang apa yang hendak kau lakukan" Setelah meninggalkan tempat ini, engkau akan pergi ke manakah?" tanya Han Lin memecahkan kesunyian yang menyelubungi mereka berdua. "Aku akan melaksanakan tugasku!" kata Sian Eng dengan pasti. "Apakah tugasmu itu kalau boleh aku mengetahui?" "Ada dua tugas yang harus kulaksana-kan dalam hidupku. Pertama mencari dan membunuh Suma Kiang karena dia yang menyebabkan kematian ayah ibuku." "Akan tetapi bukankah menurut pengakuanmu sendiri, Suma Kiang telah memelihara dan membesarkanmu, mendidikmu dengan kasih sayang?" tanya Han Lin untuk meredakan dendam yang dia tahu amat mendalam itu. "Hemm, tidak ada budi, betapa besarpun, yang sanggup menghapus dosa yang telah dia lakukan terhadap orang tuaku terutama terhadap ibu kandungku. Aku harus membunuh manusia berwatak iblis itu!" "Dan tugas yang kedua?" "Tugasku yang kedua adalah mencari dan membunuh Thian-te Sam-ok karena mereka bertiga telah membunuh guruku Hwa Hwa Cinjin." kata Sian Eng dengan suara tegas. Han Lin terkejut. Melihat tingkat kepandaian gadis itu, untuk membunuh Suma Kiang, mungkin saja ia dapat melakukannya. Akan tetapi melawan Thian-te Sam-ok yang demikian lihai" "Eng-moi, bagaimana engkau akan mampu membunuh Thian-te Sam-ok" Mereka itu lihai sekali! Engkau akan terancam bahaya besar jika menghadapi mereka bertiga!" "Aku tidak takut, Lin-ko! Untuk melaksanakan tugasku, aku mempertaruhkan nyawaku. Aku tidak akan menyesal kalau sampai aku tewas dalam melaksanakan tugas ini. Pula, aku yakin bahwa tidak sia-sialah aku mempunyai seorang sahbat baik seperti engkau, Lin-ko. Aku yakin bahwa engkau tentu akan suka membantuku menghadapi para musuh besarku itu. Bukankah Suma Kiang itu merupakan musuh besar kita bersama?" Ia berhenti sebentar, mengamati wajah Han Lin peluh selidik. "Dan bukankah Thian-te Sam Ok juga memusuhimu, bahkan hampir saja membunuh kita" Aku yakin engkau akan suka membantuku dan melawan mereka." "Tentu! Tentu saja aku suka sekali membantumu, Eng-moi. Akan tetapi, aku sendiri mempunyai beberapa tugas yang amat penting." "Tugas apakah itu, Lin-ko?" Han Lin meragu sejenak, lalu menjawab, "Aku harus mencari seseorang yang telah mencuri sebuah benda pusaka peninggalan ibu kandungku." Dia berhenti sampai di situ, tidak ingin membuka rahasia pribadinya. "Siapakah yang telah mencuri benda pusaka itu, Lin-ko" Aku teringat akan pesan ibumu bahwa engkau harus mencari ayah kandungmu pula." Han Lin hanya mengangguk, menghela napas dan berkata lirih, nadanya minta maaf. "Maafkan aku, Eng-moi. Aku tidak dapat menceritakan hal itu kepadamu, untuk sekarang ini." Sian Eng mengerutkan alisnya dan menatap Han Lin dengan penuh selidik, akan tetapi ia lalu menghela napas dan berkata, "Baiklah kalau engkau ingin merahasiakan hal itu, Lin-ko. Akan tetapi setidaknya aku boleh mengetahui, bukan! ke mana engkau hendak mencari pencuri benda pusakamu itu?" "Aku hendak mencarinya ke kota raja." jawab Han Lin terus terang. Wajah Sian Eng berseri ketika ia memandang kepada pemuda itu. "Ke kota raja" Ah, kalau begitu tujuan kita sama, Lin-ko! Aku tidak tahu ke mana harus mencari Thian-te SamTiraikasih Website http://kangzusi.com/ ok yang tidak tentu tempat tinggalnya itu. Akan tetap aku tahu atau dapat menduga bahwa Suma Kiang mungkin sekali berada di kota raja pula. Dahulu, ketika dia meninggalkan aku di Puncak Ekor Naga di Cin-ling san, dia mengatakan bahwa dia hendak pergi ke kota raja. Karena itu, sekarang aku hendak pergi mencarinya ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, bukan" Kuharap engkau tidak menolaknya, Lin-ko. Aku..... aku tidak dapat membayangkan berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini. Aku akan merasa kesepian dan kehilangan segala-galanya." Han Lin merasa terharu. Dia dapat membayangkan perasaan duka yang sangat menghimpit hati gadis itu. Baru saja gadis itu menemukan siapa sebenarnya ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi hanya menemukan mereka dalam nama saja karena mereka telah menjadi segunduk tanah berjajar dua. Ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Orang yang tadinya dianggap ayahnya dan masih hidup, ternyata merupakan orang yang telah mengakibatkan kematian ayah dan ibu kandungnya, ternyata merupakan musuh besarnya. Satu-satunya orang yang kini dianggap dekat adalah Han Lin, yang dianggap sebagai seorang sahabat baik. Dan dia dapat merasakan bahwa gadis itu mencintanya. Tentu saja gadis itu akan merasa hancur hatinya dan berduka sekali kalau dalam saat seperti itu dia meninggalkannya. Tidak mungkin dia dapat menolak permintaan Sian Eng untuk melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Tidak ada alasannya yang tepat. Apalagi kalau dia teringat bahwa gadis itu mempunyai musuh besar lain yang amat berbahaya, yaitu Thian-te Sam-ok. Melihat watak Sian Eng dia tahu bahwa kalau gadis itu bertemu dengan mereka, tentu Sian Eng akan berlaku nekat dan menyerang mereka. Akibatnya tentu akan mencelakakan bagi gadis itu. Thian-te Sam-ok terlalu tangguh bagi Sian Eng. "Baiklah, Eng-moi. Kita melakukan, perjalanan bersama ke kota raja. Akan tetapi sebelumnya aku lebih dulu hendak memberitahu kepadamu bahwa setelah kita tiba di kota raja, terpaksa kita harus berpisah karena aku harus melaksanakan tugasku seorang diri saja." Sian Eng menjadi girang sekali. Sepasang matanya bersinar dan wajahnya berseri. Saking girangnya, ia lupa diri bahwa ia bukan lagi pemuda remaja Eng-ji. Ia memegang kedua tangan Han Lin ambil berkata penuh senyum, "Aku tahu, engkau tentu tidak akan keberatan, Lin-ko. Aku tahu engkau seorang yang baik bati sekali, berbudi luhur dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih kepadamu, Lin-ko!" Biarpun gadis itu masih berpakaian pria namun karena dia sudah tahu bahwa ia adalah seorang gadis, kini dipegang kedua tangannya dengan jari-jari tangan yang memegang kuat-kuat, Han Lin merasa rikuh sekali dan mukanya berubah kemerahan. Dengan lembut dia menarik lepas tangannya dan untuk mengalihkan perhatian dan percakapan diapun berkata ambil tersenyum. "Eng-moi, engkau lupa bahwa sekarang engkau tidak perlu menyamar lagi, kenapa engkau tidak berganti pakaian?" "Ah ya, aku sampai lupa, Lin-ko! Akan tetapi......" Ia memandang ke sekeliling mencari tempat untuk berganti pakaian. "Di sana ada pohon-pohon besar, engkau dapat berganti pakaian di belakang pohon. Biar aku yang berjaga di sini agar tidak ada orang lewat dan melihatmu" kata Han Lin yang mengerti bahwa gadis itu kebingungan mencari tempat sembunyi untuk bertukar pakaian. Sian Eng lalu pergi ke pohon besar itu dan kebetulan di situ terdapat semak semak yang agak tebal. Di belakang semak semak itulah ia berganti pakaian, yakin bahwa Han Lin tidak akan menoleh atau memandang ke arahnya. Han Lin berdiri membelakangi tempat itu. Tanpa dapat dicegahnya, benaknya membayangkan Sian Eng bertukar pakaian menanggalkan pakaian pria yang membungkus tubuhnya. Mukanya terasa panas dan ada bisikan-bisikan di belakangnya, "Kalau engkau menoleh dan memandang, apa salahnya" Alangkah bagusnya penglihatan itu....." "Hushh! Tidak sopan kau!" hati Hari Lin membantah dan menegur. "Aihh, siapa bilang tidak sopan" Bukankah gadis itu pernah melihat engkau telanjang ketika mencuri pakaianmu selama engkau mandi" Kini tiba giliranmu melihat ia bertelanjang!" "Setan.....!" Han Lin memaki. "Tidak orang melihatnya, apa sih salahnya" Ia tidak akan rugi. Tengoklah! pandanglah!" "Keparat!" Han Lin menampar kepalanya sendiri. Rasa nyeri mengusir bisikanbisikan itu dan diapun duduk termenung, mengatur perasaannya dan menentramkan hatinya yang sempat terguncang oleh bisikan-bisikan pembujuk tadi. "Lin-ko.....!" Tiba-tiba Han Lin terkejut ketika mendengar suara Sian Eng memanggilnya dari arah belakang. Akan tetapi dia menahan diri untuk tidak segera menoleh. "Eng-moi, engkau sudah selesai berpakaian?" Dia bertanya. "Tentu saja sudah, kalau belum, masa aku datang menghampirimu?" jawab Sian Eng. Han Lin memutar tubuhnya dan matanya terbelalak! Dia berhadapan dengan seorang gadis yang bertubuh ramping padat, wajahnya cantik dan manis sekali. walaupun ia hanya mengenakan pakaian wanita dusun yang sederhana. Rambutnya terurai, di kat tengahnya dengan pita merah dan ada setangkai bunga menghiasi rambutnya. Wajahnya segar berseri dan senyumnya sungguh menawan. Ternyata Sian Eng jauh lebih cantik daripada yang dia bayangkan! Seperti setangkai bunga yang amat indah. "Lin-ko, engkau kenapa?" tanya Sian Eng sambil tersenyum menggoda, hatinya girang dan bangga sekali melihat Han Lin menatapnya dengan sinar mata membayangkan kekaguman. "Aku..... aku kenapa?" Han Lin bertanya gagap dan baru menyadari bahwa dia tadi hanya berdiri bengong dan terpesona. Sian Eng tersenyum makin lebar dan bagi Han Lin, dunia seakan ikut tersenyum. "Lin-ko, kenapa engkau memandangku seperti itu?" "Seperti apa?" tanya Han Lin yang kini sudah dapat menguasai hatinya. "Seperti..... seperti orang melihat setan!" Sian Eng tertawa. Han Lin juga tertawa. Tawa mereka itu membuyarkan semua pesona dan dia merasa biasa kembali, seperti kalau berhadapan dengan Eng-ji karena tawa Sian Eng itu wajar dan sama dengan tawa Eng-ji. "Tidak, bukan seperti melihat setan melainkan seperti melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Engkau canti jelita seperti bidadari, Eng-moi." Ucapan ini keluar dari lubuk hatinya, dengan tulus dan tanpa maksud memuji untuk merayu. Wajah Sian Eng berubah kemerahan dan ia menjadi semakin tampak cantik. Matanya berbinar-binar. "Lin-ko, sesungguhnyakah ucapanmu itu atau sekedar pujian kosong belaka?" Han Lin menjawab dengan sungguh sungguh. "Demi Tuhan, aku bicara sesungguhnya, Eng-moi. Engkau memang cantik luar biasa." "Mana lebih cantik antara aku dan Pek I Yok Sian-li, Linko?" Han Lin terkejut bukan main mendengar pertanyaan ini, seperti dipagut ular Dia tersentak dan memandang kepada Sian Eng, sampai lama tidak dapat menjawab. Pada saat yang amat pendek itu, dalam benaknya muncul bayangan Pek I Yok Sian-li (Dewa Obat Baju Putih Tan Kiok Hwa, cantik jelita lemah lembut bijaksana! Dan dalam waktu amat singkat itu pikirannya telah membuat perbandingan. Ibarat burung, Kiok Hwa adalah burung merak yang indah lembut penuh damai sedangkan Sian Eng adalah seekor burung rajawali yang gagah perkasa, liar dan ganas. Ibarat kembang, Kiok Hwa adalah setangkai kembang seruni yang berwarna lembut dan tenang sedangkan Sian Eng adalah setangkai mawar yang berwarna merah menyala dan penuh duri! Keduanya sama-sama cantik menarik, memiliki daya tarik yang khas masing-masing. "Jawablah, Lin-ko. Jawablah dengan jujur. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang jujur dan tidak berhati palsu." "Apa" Apa yang harus kujawab?" Han Lin tergagap. "Jawablah, menurut engkau, siapa yang lebih cantik antara aku dan enci Tan Kiok Hwa?" Han Lin sudah dapat menenangkan hatinya yang terguncang dan bingung oleh pertanyaan itu. Dia menjawab sambil tersenyum. "Kedua-duanya cantik jelita, tidak ada yang lebih tidak ada yang kurang." "Lin-ko, engkau..... mencintai enci Kiok Hwa, bukan?" Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Han Lin tidak tahan menentang pedang mata yang demikian tajam dan bersinar penuh selidik. Dia menjadi bingung. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya maka akan tidak enaklah kalau dia mengatakan bahwa dia mencinta Kiok Hwa seperti keadaan yang sesungguhnya. Akan tetapi, tidak baik pula kalau dia berbohong mengatakan tidak. Kini teringatlah dia ketika dulu Eng-ji mengaku cinta kepada Kiok Hwa dan kini tahulah dia mengapa Eng-ji mengaku demikian. Tentu ada maksud lain kecuali agar dia tidak mencinta Kiok Hwa! "Aku kagum dan suka kepadanya, Eng-moi." Akhirnya dia berkata, mengambil jawaban yang berada di tengah-tengah. "Dan kepadaku, Lin-ko" Apakah terdapat sedikit perasaan suka di hatimu terhadap aku?" Mata yang bersinar seperti bintang itu mengandung harapan dan permintaan. Han Lin menjawab sejujurnya, seperti apa yang dirasakannya. "Aku juga kagum dan suka sekali padamu, Engmoi." "Lin-ko, sungguhpun engkau mencintai enci Kiok Hwa, jangan..... jangan engkau lupakan aku dan membiarkan aku merana seorang diri...." Suara gadis itu gemetar dan pandang matanya sayu. "Aku tidak akan melupakanmu, Eng-moi. Sudahlah, mari kita berangkat. Hari telah hampir sore, apakah kita harus melewatkan malam di tanah kuburan ini?" Sian Eng lalu memberi hormat kepada makam ayah ibunya, diturut oleh Han Lin dan keduanya melangkah meninggalkan tanah kuburan itu. Sian Eng beberapa kali menoleh, memandang ke arah batu nisan yang sudah terukir nama ayah ibunya. Karena tidak ingin menarik perhatian semua orang di dusun Cia-lim-bun, mereka meninggalkan dusun itu dan menuruni lereng pertama di mana dusun itu berada. Setelah tiba di kaki pegunungan Tai hang-san mereka mendapatkan sebuah dusun lain. Senja telah datang mereka mendapatkan sebuah rumah penginapan sederhana di dusun itu. Rumah penginapan ini biasanya disewa oleh para pemburu dari kota yang suka berburu di hutan hutan pegunungan Taihangsan. Sebuah rumah penginapan kecil yang sederhana namun lumayan karena mereka bisa mendapatkan dua buah kamar yang mereka sewa. Malam itu mereka dapat memesan masakan dan nasi kepada pemilik rumah penginapan. Seekor ayam disembelih dan dimasak menjadi beberapa macam masakan untuk mereka. Ketika mereka sedang makan di dalam ruangan belakang, Sian Eng teringat dan berkata kepada Han Lin. "Ah, Lin ko. Aku sampai terlupa karena kedukaan yang melandaku siang tadi. Kenapa aku begitu bodoh" Aku sama sekali tidak ingat untuk menyelidiki apakah ayah dan ibuku mempunyai keluarga di dusun Cia-lim-bun." Han Lin juga tertegun. "Ah, kenapa aku juga lupa untuk mengingatkanmu, Eng-moi" Jangan khawatir, besok pagi-pagi aku akan kembali ke Cia-lim-bun dan akan menanyakan keterangan kepada lurah dusun itu. Engkau menunggu saja di sini." "Baik, Lin-ko. Akupun tidak ingin menjadi pusat perhatian orang yang tentu akan mengetahui bahwa aku adalah bocah yang dibawa pergi oleh pembunuh ibuku. Nanti kalau ternyata ada keluarga orang tuaku di dusun itu, baru aku akan menemui mereka di sana." Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Lin meninggalkan rumah penginapan itu seorang diri dan dia berlari cepat menuju ke dusun Cia-lim-bun. Sebentar saja dia sudah tiba di dusun itu dan langsung saja dia menuju ke rumah kepala dusun. Kebetulan sekali kepala dusun sedang hendak keluar melakukan pemeriksaan terhadap para pekerja di sawahnya dan pamannya yang tua menemaninya. "Hei, orang muda. Engkau sepagi ini sudah datang ke sini" Ada keperluan apakah yang membawamu pagi-pagi datang berkunjung?" tanya kepala dusun yang ramah itu. "Harap suka memaafkan saya, chung cu (lurah) karena sepagi ini saya sudah berani datang mengganggu. Saya hanya mohon sedikit keterangan mengenai mendiang Lo Kiat dan isterinya, mendiang Teng Siu Lin. Yaitu, apakah mereka menpunyai sanak keluarga di dusun ini, atau di tempat lain" Saya ingin sekali mengetahui siapa dan di mana adanya keluarga mereka itu?" Jilid XX "MENGENAI hal itu, pamanku ini tentu mengetahui karena selain dia lama sekali menjadi penduduk Cia-lim-bun, juga kebetulan sekali dia dahulu tetangga dan mengenal baik Lo Kiat dan isterinya itu. Nah, paman, ceritakanlah apa yang paman ketahui tentang mereka berdua kepada orang muda ini." kata kepala dusun. Kakek itu kelihatan senang untuk bercerita karena hal ini membuktikan bahwa dia lebih tahu daripada orang lain. "Teng Sui Lin itu sudah yatim piatu. Ayah ibunya meninggal dunia tidak lama setelah ia menikah, terserang wabah penyakit menular yang melanda dusun ini. tidak memiliki saudara atau sanak keluarga lain. Sedangkan suaminya, Lo Kiat, adalah seorang sasterawan yang gagal ujian. Menurut cerita mereka ketika kami sempat mengobrol, Lo Kiat mempunyai seorang kakak sebagai saudara tunggal. Menurut cerita Lo Kiat, kakaknya itu bernama Lo Kang dan berbeda dengan Lo Kiat yang sejak kecil menekuni sastra, Lo Kang itu sejak kecil memperlajari ilmu silat sehingga menjadi seorang guru silat yang kenamaan di kota raja, bahkan menurut cerita mendiang Lo Kiat, perguruan silat yang di pimpin Lo Kang itu bernama Hek-tiauw Bu-koan (Perguruan Silat Rajawali Hitam) yang amat terkenal di kota raja. Hanya itulah yang kuketahui." Akan tetapi itu sudah cukup bagi Han Lin. Dia merasa girang sekali mendengar bahwa Sian Eng memiliki seorang paman tua di kota raja! Selain hal ini tentu akan menggembirakan hati Sian Eng, juga setelah tiba di kota raja dia dapat berpisah dari gadis itu yang tentu tidak akan kesepian lagi karena sudah bertemu dengan keluarga ayahnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Han Lin lalu meninggalkan dusun Cia-lim-bun dan menuruni lereng, kembali ke dusun di kaki pegunungan di mana Sian Eng masih menanti di rumah penginapan. Sian Eng menyambut kedatangan Han Lin yang berseri wajahnya itu dengan pertanyaan penuh harap, "Bagaimana, Lin-ko" Berita apa yang kau dapatkan di sana?" "Berita baik yang amat menggembirakan, Eng-moi. Ayah ibumu memang tidak mempunyai sanak keluarga di dusun Ciang-lim-bun, bahkan ibumu tidak diketahui memiliki sanak keluarga sama sekali karena kakek dan nenekmu telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular di dusun itu. Akan tetapi ayah kandungmu mempunyai seorang kakak bernama Lo Kang yang kini memimpin sebuah perguruan silat terkenal bernama Hek-tiauw Bu-koan di kota raja." "Ah, aku masih mempunyai seorang Toa-pek (uwa) bernama Lo Kang" Sungguh menyenangkan sekali!" seru Sian Eng gembira. "Yang lebih menggembirakan lagi, dia tinggal di kota raja, Eng-moi. Padahal, kitapun sedang pergi ke sana, jadi kebetulan sekali, engkau dapat mencari dan menjumpainya di sana. Kiraku untuk mencari sebuah bu-koan (perguruan silat) yang terkenal tidaklah sukar." "Oooh, aku gembira sekali, Lin-ko. Bertemu dengan satusatunya keluarga ayah kandungku! Dan dia seorang guru silat terkenal" Akan tetapi kenapa ayah kandungku bahkan menjadi sasterawan?" "Entahlah, menurut cerita paman dari kepala dusun, memang sejak kecil ayah kandungmu tekun mempelajari sastra sedangkan kakaknya itu tekun mempelajari ilmu silat sehingga menjadi seorang pemimpin perguruan silat yang terkenal di kota raja." Pada pagi hari itu juga Han Lin dan Sian Eng melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali dan baru berhenti kalau terhalang datangnya malam. ooo00d0w00ooo Hek-Tiauw Bu-koan (Perguruan Silat Rajawali Hitam) merupakan perguruan silat terbesar di kota raja. Banyak orang muda, bahkan putera para hartawan dan bangsawan yang ingin belajar silat, menjadi murid di situ walaupun bayarnya cukup mahal. Akan tetapi di antara para muridnya yang lebih seratus orang banyaknya, hanya sedikit yang jadi atau yang dapat mengusai ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dengan baik. Kebanyakan dari mereka tidak tahan dan tidak sabar untuk mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang sukar dan membutuhkan keuletan. Baru mempelajari pasangan kudakuda saja seorang muridnya harus tekun belajar setiap hari selama berbulan-bulan, bahkan bagi yang tidak memiliki bakat besar, sampai belajar setahun lamanya belum juga mampu memasang kuda-kuda yang cukup kokoh. Karena itu, kebanyakan dari mereka hanya menguasai kembanganTiraikasih Website http://kangzusi.com/ kembangannya saja dan putus di tengah jalan karena tidak tahan uji. Yang memimpin Hek-tiauw Bu-koan adalah seorang pendekar bernama Lo Kang, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap berusia kurang lebih lima puluh tahun. Wajahnya gagah, dengan kumis dan jenggot lebat seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok. Dia terkenal memiliki ilmu silat yang banyak ragamnya, akan tetapi yang paling terkenal adalah ilmu silatnya yang disebut Hek-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Hitam). Ilmu silat ini merupakan ilmu yang paling dalam dari perguruan itu dan yang dapat mencapai tingkat sehingga menguasai ilmu silat Rajawali Hitam ini hanya beberapa orang murid saja. Mereka inipun belum menguasai secara sempurna karena untuk menguasai sepenuhnya, orang harus memiliki sinkang (tenaga sakti) yang cukup. Lo Kang dibantu oleh dua orang anak nya. Anak pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar gagah seperti ayahnya, berwajah tampan dan bermata lebar. Adapun anak kedua adalah seorang gadis yang berusia dua puluh tahun, wajahnya bulat dan cantik, pandang matanya keras seperti pandang mata kakaknya. Dua orang kakak beradik ini sejak kecil digembleng oleh ayah mereka dan keduanya merupakan murid-murid yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para murid lainnya. Karena itu mereka membantu ayah mereka untuk mendidik murid-murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Adapun murid-murid tingkat permulaan diajar oleh lima orang murid kepala. Putera Lo Kang itu bernama Lo Cin Bu dan pemuda tinggi besar, tampan dan gagah ini terkenal berhati keras dan wataknya agak angkuh. Hal ini karena dia tahu bahwa ayahnya merupakan guru silat yang paling terkenal di kota raja dan dia merasa bahwa keluarganya memiliki ilmu silat yang tidak akan dapat dikalahkan oleh orang lain! Adiknya, gadis itu bernama Lo Siang Kui dan gadis yang cantik manis inipun memiliki watak yang mirip kakaknya, agak angkuh dan merasa diri sendiri paling hebat. Pembentukan watak seperti ini tidak terlalu mengherankan karena ayah mereka, Lo Kang juga berwatak tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling jagoan. Dan ini bukan sekedar kesombongan! kosong belaka karena sudah seringkali keluarga Lo ini mengalahkan jagoan-jagoan yang sengaja datang untuk mencoba dan menguji kepandaian mereka. Watak keluarga Lo ini menjadi lebih congkak lagi setelah mereka menerima pinangan Cheng Kun yang biasa disebul Cheng-kongcu (tuan muda Cheng) karena dia adalah seorang pemuda bangsawan,' seorang di antara putera - putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi adik kaisar! Pinangan itu diterima dan setelah Lo Siang Kui ini menjadi tunangan Cheng' kongcu, watak keluarga Lo menjadi semakin tinggi hati. Lo Kang merasa dirinya terangkat karena akan menjadi besan Pangeran Cheng Boan. Hek-tiauw Bu-koan memiliki bangunan yang besar, dikelilingi pagar tembok yang setinggi dua meter. Gedung itu amal luas, memiliki taman bunga dan kebun belakang dan di belakang terdapat bangunan yang dijadikan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) yang luas sekali. Letak pusat Hek-tiauw Bu-koan ini di pinggir kota raja, dekat pintu gapura sebelah selatan, di tepi jalan besar sehingga semua yang memasuki kota raja lewat pintu gerbang selatan yang merupakan pintu paling ramai, tentu akan melihat papan nama besar yang tergantung di depan gedung itu. Pada hari itu, pintu gerbang halaman rumah dan gedung itu sendiri tampak terhias meriah. Papan nama yang bertuliskan Hek-tiauw Bu-koan di depan pintu gerbang juga dicat baru dan mengkilap. Beberapa orang murid perguruan itu dengan pakaian serba baru berjaga di pintu gerbang dan sejak pagi berdatanganlah tamu-tamu yang disambut para murid, diantar masuk dan di ruangan depan para tamu itu disambut oleh Lo Kang yang ditemani dua orang anaknya, Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui. Cin Bu tampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru, demikian pula Siang Kui tampak cantik dan gagah. Ayah dan dua orang anaknya itu memang kelihatan gagah dan berwibawa. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning, menunjukkan bahwa mereka adalah ahli ahli bermain pedang. Ketika pagi hari itu Han Lin dan Sian Eng tiba di depan pintu gerbang perguruan Rajawali Hitam yang terhias meriah itu, mereka berdua merasa heran. Melihat ada tujuh orang muda, agaknya murid-murid perguruan itu, berdiri di depan pintu gerbang menyambut para tamu,, setelah tidak tampak tamu datang, Han Lin dan Sian Eng lalu maju menghampiri pintu gerbang itu. Para murid itu mengira bahwa mereka berdua juga tamu, maka mereka menyambut dengan hormat. Han Lin dan Sian Eng cepat membalas penghormatan mereka. Para murid itu dalam menyambut para tamu, selalu menanyakan nama para Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tamu untuk dilaporkan ke dalam ketika mereka mengantar tamu itu ke dalam. Akan tetapi sebelum mereka bertanya kepada Han Lin dan Sian Eng, Han Lin mendahului mereka bertanya, "Saudara-saudara, perguruan Hek-tiauw Bu-koan ini sedang merayakan apakah maka di sini dihias begini meriah?" Mendengar pertanyaan ini, para murid perguruan silat itu terbelalak dan saling pandang. Mengertilah mereka bahwa pemuda dan gadis ini sama sekali bukan tamu untuk menghadiri perayaan, buktinya mereka tidak tahu apa yang sedang dirayakan. "Jadi ji-wi (kalian berdua) belum tahu" Perayaan ini adalah merayakan hari ulang tahun ketua kami yang ke lima puluh tahun. Kalau begitu ji-wi bukan tamu undangan. Ada keperluan apakah ji-wi datang ke sini?" kata seorang di antara mereka, sikapnya berbalik tidak hormat lagi, melainkan curiga. Pada saat itu, dari dalam muncul lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bersikap gagah. Mereka ini adalah lima orang murid kepala. Seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok, melihat para murid mengepung seorang pemuda dan seorang gadis, segera maju dan membentak. "Ada apa ini?" "Twa-suheng (kakak seperguruan tertua)," seorang di antara para murid yang lebih muda itu berkata, "dua orang ini bukan tamu-tamu undangan karena mereka tidak tahu untuk apa perayaan ini diadakan." Si brewok itu mengamati wajah Han Lin dan Sian Eng. Melihat gadis yang cantik jelita itu, sikapnya melunak dan pandang matanya tidak segalak tadi. "Kalau kalian bukan tamu undangan, lalu untuk apa kalian datang ke sini" Ada keperluan apakah datang berkunjung ke Hek-tiauw Bu-koan?" Kini Sian Eng menjawab dengan pertanyaan pula. "Bukankah ketua Hek-tiauw Bu-koan ini seorang yang bernama Lo Kang?" "Benar, nona. Suhu memang bernama Lo Kang." jawab si brewok. "Kalau begitu, tolong antarkan kami untuk bertemu dengan dia! Saya ingin menghadap Lo-kauwsu (guru silat Lo)!" kata Sian Eng penuh gairah. "Apakah kalian hendak belajar silat" Kalau untuk itu, tidak perlu bertemu suhu, cukup mendaftarkan kepada kami saja. Akan tetapi jangan hari ini karena hari ini kami sibuk. Datanglah ke sini besok pagi." "Kami bukan datang untuk belajar silat." kata Sian Eng. "Aku datang untuk bertemu Lo-kauwsu. Dia adalah pamantuaku. Aku ini keponakannya yang datang dari dusun Cia-limbun di Tai-hang-san!" Si brewok itu tampak tertegun dan heran. Dia belum pernah mendengar bahwa gurunya mempunyai seorang keponakan perempuan seperti ini, padahal dia sudah menjadi murid guru silat Lo Kang selama sepuluh tahun. "Akan tetapi suhu sedang sibuk sekali menerima para tamu, dan sedang merayakan hari ulang tahunnya, tidak dapat diganggu." "Coba laporkan kepadanya. AKu yakin dia akan senang sekali menerima kedatanganku!" kata Sian Eng mendesak. "Baiklah, akan saya laporkan. Siapa nama kalian?" "Aku bernama Lo Sian Eng dan ini sahabatku bernama Han Lin." "Harap kalian tunggu sebentar di sini, akan saya laporkan kepada suhu." kata si brewok yang lalu masuk ke dalam dengan langkah lebar. Han Lin dan Sian Eng melangkah mundur dan berdiri di pinggiran karena ada beberapa orang tamu berdatangan dan disambut oleh para murid Hek-tiauw Bu-koan. Akan tetapi mereka tidak menunggu lama. Si brewok sudah datang dan dia langsung menghadapi Sian Eng dan berkata dengan alis berkerut. "Suhu telah saya lapori, akan tetapi beliau menyatakan bahwa beliau tidak mempunyai seorang keponakan yang bernama Lo Sian Eng. Mungkin nona salah alamat, kata suhu, karena itu sebaiknya nona tidak mengganggu suhu yang sedang sibuk." Sian Eng mengerutkan alisnya. Han Lin tahu bahwa gadis itu akan marah, maka dia cepat berkata kepada si brewok tadi. "Saudara agaknya terjadi kekurang-pengertian di sini. Memang adik Lo Sian Eng ini tidak pernah bertemu dengan Lo-kauwsu (guru silat Lo). Akan tetapi kalau engkau melaporkan bahwa adik Lo Sian Eng adalah puteri dari sasterawan Lo Kiat, kami yakin dia akan mengenal dengan baik. Kami mohon dengan hormat, sukalah saudara melapor sekali lagi dengan mengatakan bahwa puteri sasterawan Lo Kiat mohon bertemu." Sian Eng maklum bahwa Han Lin tidak menghendaki ia main kasar, maka iapun segera tersenyum manis kepada si brewok itu dan berkata, "Tolonglah, saudara yang baik. Tolong sekali ini saja lagi." Si brewok meragu. Tadinya dia hendak menolak dan mengusir mereka, akan tetapi melihat senyum manis dan pandang mata gadis cantik jelita itu, hatinya luluh dan dia mengerutkan alis sambil mengangguk. "Baiklah, akan tetapi kalau suhu merasa terganggu dan marah, kalian sendiri yang harus bertanggung jawab." Setelah berkata demikian, kembali dia melangkah lebar memasuki pekarangan yang luas itu menuju ke rumah yang sedang menerima para tamu. Kembali Sian Eng dan Han Lin menunggu. Tiba-tiba Sian Eng menarik tangan Han Lin dan mereka mundur menjauh, bahkan lalu membalikkan tubuh agar jangan sampai muka mereka tampak oleh dua orang yang baru datang sebagai tamu. Mereka itu bukan lain adalah Ji Ok dan Sam Ok! "Aku harus bunuh mereka!" kata Sian Eng lirih dengan suara mengandung kemarahan. Ia teringat betapa gurunya, Hwa Hwa Cinjin, tewas setelah bertanding melawan Thian-te Sam-ok. Apalagi kalau ia teringat betapa ibu Han Lin juga tewas oleh pisau yang disambitkan, oleh oleh Ji Ok, hatinya menjadi panas, sekali. "Sssstt.....tenanglah, Eng-moi. Engkau tidak ingin membikin kacau perayaan pamanmu, bukan" Sekarang belum waktunya untuk menentang mereka. Kita tunggu saatnya yang tepat." bisik Han Lin dan Sian Eng menjadi tenang kembali, teringat bahwa kalau ia menyerang kedua orang itu, tentu akan terjadi pertempuran dan hal ini tentu saja mengacaukar perayaan yang diadakan oleh pamannya itu. Maka ia mendiamkan saja sampai kedua orang musuh besar yang tidak menyadari tentang keberadaan ia dan Han Lin diantar masuk oleh para murid Hek-tiauw Bu-koan. Tak lama kemudian si brewok datang lagi dan dari wajahnya yang berseri dapat diduga bahwa dia membawa berita baik. "Memang benar bahwa suhu mempunyai seorang adik bernama Lo Kiat! Suhu memanggil kalian untuk masuk dan menghadap." "Terima kasih!" kata Han Lin dan dia bersama Sian Eng lalu mengikuti si brewok memasuki pekarangan menuju ke rumah gedung itu. Ruangan depan di mana perayaan itu diadakan, amat luas dan ruangan itu telah penuh dengan tamu. Tidak kurang dari seratus orang memenuhi ruangan itu. Agaknya para tamu terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tamu-tamu muda yang dipersilakan duduk di bagian bawah, sedangkan kelompok ke dua terdiri dari para tamu yang agaknya merupakan tokoh-tokoh besar, hanya ada belasan orang saja dan mereka ini duduk di bagian atas, sejajar dengan tempat duduk pihak tuan rumah. Han Lin dan Sian Eng dibawa menghadap Lo Kiang dan dua orang anaknya. Sian Eng memandang kepada laki-laki berusia lima puluh tahun itu dengan penuh perhatian. Hatinya berdebar dan ia merasa bangga. Inilah orang yang menjadi kakak dari ayah kandungnya. Begitu gagah dan berwibawa paman-tuanya itu! Di lain pihak, Lo Kang dan dua orang anaknya yang tadi diberitahu si brewok tentang seorang gadis yang mengaku sebagai puteri Lo Kiat, kini memandang Sian Eng dengan penuh selidik. Ketika Han Lin dan Sian Eng mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, Lo Kang hanya mengangguk, dan dua orang anaknya juga hanya mengangguk. Diam-diam Sian Eng merasa tidak enak hati. Apakah mereka masih tidak percaya kepadanya maka bersikap demikian angkuh" "Pek-hu (Uwa), saya Lo Sian Eng menghaturkan hormat saya kepada pek-hu." kata Sian Eng yang menghadapi Lo Kang. "Hemm, engkaukah puteri Lo Kiat" Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Lo Kang sambil mengamati wajah gadis itu. "Pek-hu, ayah dan ibu saya telah meninggal dunia karena sakit." Lo Kang mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, begitulah kalau mempunyai tubuh yang lemah. Sejak kecil aku sudah menganjurkan kepadanya untuk berlatih silat, akan tetapi dia memilih menjadi kutu buku yang lemah dan berpenyakitan! Berbeda dengan aku yang setua ini masih sehat kuat! Dan siapa pemuda ini?" tanya nya sambul menunjuk kepada Han Lin. "Nama saya Han Lin, locianpwe (orang tua yang gagah)." jawab Han Lin. "Dia adalah seorang sahabat yang menjadi teman seperjalanan saya, pek-hu." kata Sian Eng memperkenalkan. Sepasang alis Lo Kang mengerut semakin dalam dan matanya memandang kepada Sian Eng penuh teguran. "Seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda" Sungguh tidak pantas!" "Akan tetapi, pek-hu....." Sian Eng hendak membantah akan tetapi Lo Kang sudah menggerakkan tangan dengan tidak sabar. "Sudahlah, kita bicara nanti saja. Sekarang kami sedang sibuk menerima tamu. Kalian berdua duduklah bersama para tamu di sana." Dia menuding kearah kelompok tamu yang duduk di bagian bawah. "O ya," sambungnya cepat. "Lo Sian Eng, perkenalkan, inilah anak-anakku, saudara-saudara sepupumu. Dia ini Lo Cin Bu dan yang ini Lo Siang Kui," Dia menuding kepada dua orang anaknya itu yang tetap saja bersikap angkuh terhadap Sian Eng. Mereka hanya mengangguk ketika Sian Eng memberi hormat, akan tetapi Cin Bu agak tersenyum memandang adik sepupunya yang cantik itu. Kembali Lo Kang melambaikan tangan memberi isarat kepada Sian Eng dan Han Lin untuk duduk di kelompok bawah. Sian Eng dan Han Lin segera turun dari undak-undakan dan mencari tempat duduk di antara para tamu yang berada di bawah. Sian Eng yang hatinya merasa tidak puas dengan sikap uwanya dan saudara-saudara sepupu nya, tidak perduli ketika banyak pasan mata para tamu memandangnya dengan kagum. Ia dan Han Lin mendapatkan tempat duduk di bagian belakang dan segera lenyap di antara para tamu. Mereka melihat betapa Ji Ok dan Sam Ok mendapat tempat duduk kehormatan, di kelompok yang duduk di bagian atas. "Hemmm........ sombong amat......!" Sian Eng mendesis setelah duduk di bagian paling belakang bersama Han Lin karena di bagian depan kelompok bawah itu sudah penuh tamu. "Ssstt..... tenanglah, Eng-moi. Di sini kita malah tidak tampak oleh Ji Ok dan Sam Ok, sebaliknya kita dapat mengintai gerak-gerik mereka." kata Han Lin lirih. Tiba-tiba terdengar seruan para murid yang berjaga di depan. "Yang terhormat Kongcu Cheng Kun datang......!" Mendengar ini, Lo Siang Kui berlari keluar, di kuti oleh Lo Kang dan kakaknya, Lo Cin Bu. Agaknya keluarga ini begitu bangga untuk menyambut calon suami Siang Kui, yaitu Cheng Kun atau Cheng Kongcu, putera Pangeran Cheng Boan! Bahkan Nyonya Lo Kang yang tadinya duduk di kursi, bahkan tidak ambil perduli ketika Siang Eng dan Han Lin muncul, kini bangkit dari kursinya dari biarpun ia tidak keluar menyambut, namun ia tetap berdiri sambil tersenyum, gembira dan bangga. Setelah menyambut Cheng Kongcu di depan, Lo Kang dani Cin Bu mengikuti pemuda itu yang berjalan berdampingan dengan tunangannya, Siang Kui. Sian Eng dan Han Lin memandangi penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah, pakaiannya mewah gemerlapan, dari topi di kepalanya sampai sepatu di kakinya, semua serba baru dan merupakan barang mewah dan mahal. Wajahnya tidak dapat disebut tampan, akan tetapi karena pembawaan dan pakaiannya, dia tampak gagah berwibawa. Lo Kang membawa tamu muda itu ke bagian atas dan setelah tiba di atas Lo Kang menghadap kepada para tamunya dan berkata dengan suara lantang memperkenalkan tamunya yang amat dihormatinya itu. "Cu-wi (saudara sekalian), perkenalkanlah. Beliau ini adalah Kongcu Cheng Kun, putera dari yang mulia Pangeran Cheng Boan dan beliau ini adalah calon mantu kami!" Mendengar ini, sebagian besar dari para tamu bangkit berdiri dan memberi hormat ke arah putera pangeran itu, yang dibalas oleh Cheng Kun dengan anggukan kepala yang angkuh dan bangga. Akan tetapi Sian Eng dan Han Lin termasuk diantara mereka yang tetap duduk. Mereka melihat bahwa Ji Ok dan Sam Ok juga tetap duduk di tempatnya. Cheng Kun lalu mendapatkan kursi di samping Lo Kang dan Siang Kui, diapit di tengah-tengah. Agaknya kedatangan putera pangeran ini merupakan pertanda bahwa pesta dimulai, atau dibukanya pesta perayaan itu menunggu kedatangannya. Seperti juga sebagian dari para tamu, Cheng Kun membawa hadiah yang dibawakan dua orang pembantunya yang datang belakangan. Hadiah yang dibawa dua orang pembantunya itu tidak kepalang banyaknya. Kalau lain tamu hanya masing-masing membawa sebuah bungkusan, dua orang pembantu itu membawa tidak kurang dari sepuluh buah bungkusan besarbesar! Semua hadiah berupa bungkusan itu ditumpuk di atas sebuah meja besar yang telah disediakan di situ, dan hadiah dari Cheng Kun itu diletakkan di atas meja bagian paling depan sehingga kelihatan oleh semua orang. Lo Kang bangkit berdiri dan melangkah ke tengah panggung yang dipasang di tengah ruangan itu. Panggung ini sengaja dibuat untuk tempat pertunjukan. Semua orang dunia persilatan kalau mengadakan perayaan tentu membangun panggung seperti itu, mempersiapkan tempat untuk Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pertunjukkan karena biasanya tentu ada pertunjukan tarian atau permainan silat. Lo Kang juga sudah mengundang serombongan penyanyi dan penari yang terkenal di kota raja dengan bayaran tinggi. "Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat. Kami seluruh keluarga mengucap kan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran cuwi, juga terima kasih atas semua sumbangan dan hadiah yang diberikan kepada kami. Kami merayakan hari ulang tahun saya yang ke lima puluh, juga sekalian merayakan berdirinya Hek-tiauw Bu-koan yang sudah dua puluh lima tahun. Untuk menyambut kedatangan cuwi, kami persilakan cuwi untuk minum secawan arak!" Setelah berkata demikian dengan suara lantang, Lo Kang lalu mengambil secawan arak yang disodorkan oleh Siang Kui dan mengajak para tamu minum. Para tamu menyambut dengan minum arak dari cawan masing-masing. Setelah sambutan yang singkat dari Lo Kang ini, mulailah hidangan disuguhkan dan para tamu mulai makan minum dengan gembira. Tak lama kemudian para penabuh musik dan para penyanyi muncul dan perayaan itu menjadi semakin meriah ketika para gadis penyanyi yang muda-muda dan cantik-cantik itu mulai menyanyi dengan iringan musik. Kemudian merekapun mulai menari sehingga suasana semakin meriah. Sejak tadi Han Lin diam saja. Kadang kadang dia memandang ke arah Ji Ok yang duduk di samping Sam Ok di kelompok bagian atas sebagai tamu-tamu kehormatan. Pertemuannya dengan Ji Ok tanpa disangka-sangka ini membuatnya termenung. Dia teringat kepada ibunya yang tewas oleh pisau yang disambitkan Ji Ok untuk membunuhnya. Ji Ok telah membunuh ibunya! Biarpun hal itu tidak disengaja, tetap saja Ji Ok yang membunuh ibunya. Diapun teringat ketika ibunya yang terluka parah dan dalam keadaan sekarat itu melarangnya untuk membunuh Ji Ok karena ibunya sudah berhutang nyawa kepada Ji Ok! Teringat akan semua itu, hatinya menjadi sedih sekali. Bagaimanapun juga, Ji Ok bukanlah manusia baik-baik, bahkan seorang tokoh sesat yang jahat sekali. Biarpun ibunya tampak mencinta dan taat kepada Ji Ok, namun hal itu dilakukan karena ibunya terpengaruh sihir. Ji Ok telah menyihir ibunya sehingga ibunya menjadi seperti sebuah boneka hidup! Untuk semua kejahatannya itu Ji Ok pantas dihajar, atau kalau perlu dibunuh! Hidupnya seseorang macam Ji Ok hanya akan mengotorkan dunia dan mendatangkan bencana bagi orang lain! "Lin-ko....." Mendengar bisikan Sian Eng itu barulah Han Lin tersadar dari lamunannya dan dia menoleh. "Ada apakah, Eng-moi?" "Engkau diam dan melamun saja, tidak menonton taritarian. Ada apakah?" "Ah, tidak apa-apa." Mereka tidak melanjutkan percakapan bisik-bisik itu karena menjadi perhatian para tamu lain yang duduk dekat mereka. Untuk memindahkan perhatian, Han Lin lalu mengajak Sian Eng untuk minum araknya dan makan hidangan yang berada di meja depan mereka. Setelah para penari meramaikan pesta itu dengan tarian dan nyanyian dan para tamu sudah makan secukupnya, tampak Lo Siang Kui maju ke tengah panggung dan memberi tanda dengan tangannya agar musik dan nyanyian dihentikan. Suasana menjadi agak sunyi setelah musik dihentikan, hanya terdengar suara para tamu yang bicara dengan gembira. Ketika Siang Kui berdiri di tengah panggung dan mengangkat tangan kanan memberi isarat agar para tamu tidak berisik, semua orang terdiam dan suasana menjadi sepi. Semua orang memandang kepada gadis yang berwajah bulat seperti bulan dan cantik itu. Kedua pipi Siang Kui kemerah-merahan, agaknya pengaruh arak yang membuatnya menjadi berani tampil ke depan dan bicara di depan orang banyak. "Cuwi yang terhormat. Untuk meriahkan hari ulang tahun ayah dan memperingati berdirinya Hek-tiauw Bu-koan, saya akan menyuguhkan tarian ilmu silat pedang dari perguruan kami." Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke punggung dan tampaklah sinar pedang berkilat ketika ia mencabut pedangnya dari sarung pedang. Tepuk tangan gemuruh menyambut ucapan gadis itu. Siang Kui memandang ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda bangsawan inipun bertepuk tangan dengan gembira dan bangga, Siang Kui tersenyum. Memang sesungguhnya gadis ini hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada sang tunangan itu. Dengan gerakan tangkas Siang Kui lalu memasang kudakuda. Kaki kanannya ditekuk ke belakang dan ia berdiri dengan kaki kiri saja, pedangnya disembunyikan di bawah lengan kanan dan kedua lengannya dipentang ke kanan kiri. Inilah pasangan kuda-kuda yang disebut Hek-tiauw-tiam-ci (Rajawali Hitam Pentang Sayap). Memasang kuda-kuda seperti itu sambil matanya tajam menatap ke depan dan mulutnya tersenyum, Siang Kui tampak manis sekali. "Hemm, melihat betapa kokohnya kuda-kuda itu, aku percaya ia memiliki ilmu pedang yang cukup kuat." kata Sian Eng. Han Lin mengangguk. "Agaknya saudara sepupunya itu bukan hanya sombong kosong belaka, melainkan benar-benar lihai." kata Han Lin. "Hai ittt.....!" Siang Kui mengeluarkan bentakan nyaring dan mulailah ia bersilat. Pedangnya menyambar-nyambar dengan ganas, mengeluarkan desing saking kuatnya, makin lama semakin cepat gerakannya sehingga lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mendengung-dengung. "Bagus!" bisik Sian Eng kagum. Han Lin mengangguk-angguk. "Benar, ilmu silat perguruan Hek-tiauw Bu-koan memang hebat." Semua tamu juga kagum menonton gadis cantik itu bermain silat pedang. Kini bahkan tubuhnya hanya tampak bayangannya saja dan hanya kadang-kadan tampak kakinya menginjak lantai karena gulungan sinar pedangnya demikian panjang dan lebar sehingga membungkus tubuhnya dan suara gerakan pedang itu berdesingan seperti kilat menyambarnyambar. Yang paling gembira dan bangga tentu saja Cheng Kun, pemuda bangsawan itu. Saking bangganya, diapun bertepuk tangan dan begitu terdengar tepuk tangan itu, sebagian besar tamu juga ikut-ikutan bertepuk tangan memuji. Siang Kui menghentikan permainan pedangnya dan ia berdiri dengan senyum menghias wajahnya. Tidak tampak napasnya memburu, hanya ada sedikit keringat membasahi anak rambut yang terjuntai di atas dahinya, membuatnya tampak manis sekali. Begitu ia berhenti bersilat, tepuk tangan gemuruh menyambutnya dan banyak di antara para tamu bahkan bangkit berdiri dan bertepuk tangan untuk menyambutnya. Juga para tamu di kelompok atas, para tamu kehormatan ada yang bertepuk tangan. Akan tetapi, sepasang mata tajam dari Siang Kui melihat betapa dua orang diantara tamu kehormatan itu tidak bertepuk tangan. Mereka adalah Ji Ok dan Sam Ok yang tidak bertepuk tangan, bahkan tersenyum mengejek. Dan ada pula beberapa orang yang duduk di deretan terdepan dari tamu kelompok bawah tidak menyambut dengan tepuk tangan. Hal ini memanaskan hati Siang Kui. Gadis itu merasa dirinya paling hebat dan merasa bahwa ilmu pedangnya sudah tinggi sekali. Sudah terbiasa ia oleh pujian, maka sekali ini melihat ada orang-orang yang tidak turut memuji, tentu saja ia merasa tidak senang hatinya. Setelah tepuk tangan mereda dan berhenti, gadis itu lalu memandang ke arah mereka yang tidak bertepuk tangan dan berkata dengan lantang. "Terima kasih atas pujian cuwi. Akan tetapi saya melihat ada beberapa orang yang tidak bertepuk tangan memuji bahkan menertawakan saya. Tentu mereka ini menganggapi rendah ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Karena itu, bagi mereka yang memandang rendah dan merasa memiliki ilmul silat tinggi, saya persilakan untuk maju dan mari kita main-main sebentar untuk menguji ilmu siapa yang lebih unggul!" Dasar keluarga Lo itu memiliki keangkuhan tinggi, terlalu memandang tinggi ilmu kepandaian sendiri, maka mendengar kata-kata dan melihat sikap Siang Kui, Lo Kang sama sekali tidak menegur atau menyalahkannya. Bahkan dia mengangguk-angguk tanda setuju. Demikian pula Lo Cin Bu. Pemuda ini menganggap adiknya benar dan mempertahankan namai besar Hek-tiauw Bu-koan. Suasana sunyi menyambut ucapan Siang Kui tadi. Biarpun gadis itu tidak memperlihatkan kemarahan, namun isi ucapan itu jelas menunjukkan bahwa ia tersinggung oleh mereka yang tidak menyambutnya dengan tepuk tangan, bahkan secara terang-terangan gadis itu menantang mereka. Hati para tamu mulai terasa tegang karena biasanya, orang-orang dunia persilatan pantang kalau ditantang, walaupun ditantang secara halus. Tidak akan terasa aneh kalau ada yang menyambut tantangan itu dan kalau terjadi demikian, perayaan itu berjalan seperti yang mereka harapkan, yaitu terjadinya pertandingan adu ilmu silat. "Hemm, ia mencari perkara." bisik Sian Eng. "Ia mengeluarkan tantangan, padahal tadi aku melihat Ji Ok dan Sam Ok tidak ikut bertepuk tangan memuji. Kalau kedua orang itu maju, tentu ia akan celaka." "Kita lihat saja perkembangannya. Bagaimanapun juga, ia adalah saudara sepupumu dan yang merayakan pesta ini adalah keluargamu, maka engkau harus membantu mereka." bisik Han Lin. Apa yang diduga Sian Eng segera menjadi kenyataan. Bukan Ji Ok atau Sam Ok yang menyambut tantangan itu, melainkan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang bangkit dari tempat duduknya di kelompok bawah. Dia seorang yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kekerasan hati. Setelan bangkit dari tempat duduknya, dia langsung naik panggung dan menghampiri Siang Kui yang memegang pedangnya. "Kepandaian Lo-siocia (nona Lo) cukup menganggumkan. Sudah lama aku mendengar bahwa Hek-tiauw Bu-koan adalah perguruan silat yang paling terkenal di kota raja sehingga lainTiraikasih Website http://kangzusi.com/ lain perguruan mati dan tidak berkembang. Karena itu, aku ingin sekali mencoba kemampuan sendiri dan bermain-main dengan nona." Siang Kui memandang pria itu dengan alis berkerut. "Siapakah engkau" Kenalkan diri lebih dulu sebelum kita bertanding." Suaranya mengandung tantangan dan sikapnya memandang rendah. "Aku bernama Souw Tek dari dusun Pak-siang-bun di sebelah utara kota raja. Karena aku hanya ingin menguji ilmu silat, bukan hendak berkelahi atau bermusuhan, maka aku ingin agar kita saling mengadu ilmu silat tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata. Aku ingin sekali membuktikan kehebatan ilmu silat Hek-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Hitam) !" Tampak sinar pedang berkelebat ketika Siang Kui memasukkan kembali pedangnya di sarung pedang yang menempel di punggungnya. Gerakannya demikian cepat sehingga sukar di kuti dengan pandangan mata. "Bagus, bertanding tangan kosongpun aku tidak gentar. Majulah, aku sudah siap!" kata Siang Kui sambil membuka pasangan kuda-kuda seperti tadi, yaitu pasangan Rajawali Hitam Pentang Sayap, akan tetapi sekali ini tanpa pedang. Pria yang bernama Souw Tek itupun segera memasang kuda-kuda. Kedua kaki terpentang lebar, tubuh agak merendah, kedua tangan membentuk cakar, yang kiri menempel pinggang, yang kanan di depan muka. Tiba-tiba terdengar bentakan. "Tahan....!" Siang Kui dan calon lawannya menunda gerakan mereka dan menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Lo Kang. "Souw Tek, engkau mempergunakan pasangan pembukaan ilmu silat Hek-houw Sin-kun (Silat Sakti Harimau Hitam). Ada hubungan apakah antara engkau dengan Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam)?" tanya Lo Kang. Perguruan Silat Harimau Hitam adalah sebuah di antara para perguruan silat yang berada di kota raja dan menjadi saingan Hek-tiauw Bu-koan. Souw Tek menghadap ke arah Lo Kang dan memberi hormat. "Lo-kauwsu, saya bukan anggauta Hek-houw Bukoan, akan tetapi ketuanya masih terhitung saudara seperguruanku. Akan tetapi saya menyambut tantangan Losiocia tidak ada sangkut pautnya dengan Hek-houw Bu-koan, melainkan atas kehendak saya sendiri." "Baiklah, kalau begitu lanjutkan." kata Lo Kang sambil duduk kembali. "Orang she Souw, aku sudah siap!" tantang Siang Kui sambil memasang kuda-kuda kembali. "Baiklah, nona. Lihat seranganku!" kata Souw Tek yang telah memasang kuda-kuda dan tiba-tiba tubuhnya melompat ke depan seperti seekor harimau menubruk dan menggunakan tangannya yang membentuk cakar untuk mencengkeram pundak gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan ringan dan lincah seperti seekor burung, gadis itu telah melompat ke belakang sehingga cengkeraman itu luput dan langsung saja Siang Kui sudah menendangkan kakinya. Cepat sekali kaki itu mencuat ke depan dan mengarah lambung lawan. Souw Tek terkejut, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan secepat itu. Dia menggerakkan lengan kanannya ke bawah untuk menangkis kaki itu. "Dukk!" Kaki kiri Siang Kui tertangkis, akan tetapi secepat kilat kaki kanannya menendang lagi, kini mengarah lutut kiri lawan. "Bagus!" Souw Tek terkejut dan kagum, akan tetapi sempat menarik kaki yang tertendang ke belakang sehingga luput dari ciuman ujung sepatu Siang Kui. "Awas....!" Bentak Souw Tek dengan suaranya yang besar dan nyaring. Kini Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tubuhnya melompat seperti seekor harimau menubruk mangsanya dan memang inilah jurus Go-houw-pothouw (Harimau Lapar Tubruk Kelenci). Tubuhnya melompat ke atas dan menubruk ke arah lawan, mencengkeram dengan kedua tangan yang kiri mengancam ubun-ubun kepala, yang kanan terjulur mencengkeram ke arah pundak kiri. Sungguh ini merupakan jurus serangan yang amat berbahaya. Namun dengan tenang Siang Kui menggunakan jurus Hektiauwsia-hui (Rajawali Hitam Terbang Miring), tubuhnya mengelak dengan miring ke kiri, kemudian sambungan jurus Hek-tiauw-sin-yauw (Rajawali Hitam Menggeliat) kedua tangannya menangkis dari samping diputar ke arah atas sehingga dua lengannya dapat menangkis dua lengan lawan yang menyerang ke arah kepala dan pundak. "Dukk! Dukk!" Empat lengan bertemu dan serangan Souw Tek itu gagal. Bahkan dia harus cepat berjungkir balik membuat salto sampai tiga kali ke belakang kalau dia tidak mau jatuh oleh tangkisan itu. Kemudian terjadilah pertandingan yang menarik sekali. Para tamu menonton dengan kagum. Gerakan kedua orang itu tidak pernah menyimpang dari aliran masing-masing sehingga Souw Tek menubruk-nubruk dan mencakar-cakar seperti seekor harimau, sedangkan Siang Kui bergerak lincah dan kadang-kadang melompat ke atas seperti terbang. Seolah-olah para tamu itu menyaksikan seekor harimau sakti berkelahi melawan seekor rajawali sakti! Mereka saling serang dengan dahsyatnya, berusaha sekuat tenaga untuk keluar sebagai pemenang. "Siang Kui memang hebat,. ia tidak akan kalah." bisik Sian Eng kepada Han Lin. "Agaknya begitulah. Tenaga mereka seimbang akan tetapi gadis itu memiliki gerakan yang lebih lincah. Pula ia tidak ragu-ragu dalam penyerangannya, bahkan eranganserangannya ganas sekali, berbeda dari lawannya yang agaknya masih ragu-ragu untuk menggunakan tenaga sepenuhnya menyerang seorang gadis." kata Han Lin. Dugaan mereka ternyata benar. Setelah mereka bertanding lewat lima puluh jurus, mulailah Souw Tek terdesak. Dan agaknya Siang Kui mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak dan melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Agaknya gadis ini tidak sekedar hendak mencapai kemenangan, melainkan juga berniat untuk merobohkan lawannya. Souw Tek yang terdesak hebat itu hanya mampu mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan Siang Kui menjadi semakin ganas seperti seekor rajawali yang kelaparan menyerang lawan, berkelebatan dan kadang melompat ke atas seperti terbang. "Hai itttt....!!" Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas, lalu menukik dan menyerang ke arah ubun-ubun kepala Souw Tek dengan totokan. Tangan kanannya itu seperti paruh rajawali yang mematuk, mengarah ubun-ubun. Serangan ini bukan main hebat dan berbahayanya. Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya maut, Souw Tek mengangkat kedua tangannya ke atas, bukan hanya untuk menangkis dan melindungi ubun-ubun kepalanya, melainkan juga untuk berusaha menangkap lengan penyerangnya itu. Akan tetapi, tanpa diduga-duganya, Siang Kui bahkan membiarkan lengan kanannya yang menyerang itu tertangkis dan tertangkap dan tiba-tiba sekali tangan kirinya menampar tengkuk lawan. "Plakk!" Tamparan dengan tangan miring itu menyambar tengkuk dan tubuh Souw Tek terpelanting roboh. Tamparan itu nampaknya saja tidak keras, akan tetapi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam, maka akibatnya cukup parah bagi Souw Tek. Dia merasa seolah kepalanya pecah dan kepeningan membuat dia tidak dapat segera bangkit berdiri, hanya bangkit duduk sambil memegangi kepalanya. Pada saat itu, Siang Kui sudah melangkah datang dan mengayun kakinya menendang ke arah dada Souw Tek yang sudah tidak berdaya itu. "Desss.....!" Tubuh Souw Tek terlempar dan terpelanting jatuh ke bawah panggung dalam keadaan pingsan! "Ganas dan kejam!" kata Han Lin lirih dan Sian Eng mengerutkan alisnya. Ia tidak lagi dapat membanggakan saudara sepupunya itu karena apa yang dilakukan sungguh memalukan. Seorang gagah tidak akan melakukan hal itu. Menyerang lawan yang sudah jelas kalah dan tidak mampu melawan lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun bangkit dari tempat duduknya di kelompok bawah itu, menghampiri Souw Tek dan setelah menotok dan mengurut beberapa bagian tubuh Souw Tek, laki-laki itu membantu Souw Tek yang sudah siuman untuk duduk kembali. Laki-laki itu lalu melangkah ke arah panggung dan setelah berhadapan dengan Siang Kui, dia berkata, suaranya bernada teguran. "Nona Lo, engkau sungguh keterlaluan. Sute-ku (adik seperguruanku) tadi sudah kalah dan tidak dapat melawan lagi, kenapa nona masih menyerangnya dengan tendangan keji" Nona dapat membunuhnya!" Siang Kui bertolak pinggang menghadapai laki-laki yang bertubuh tinggi kurus itu dan suaranya terdengar menantang ketika ia berkata lantang, "Dalam pertandingan adu silat, kematian merupakan hal lumrah. Apa lagi kalau hanya terluka. Kalau takut terluka atau tewas, lebih baik tinggal di rumah dan jangan memasuki pertandingan silat!" Ia memandang dengan sikap gagah. "Baiklah, kalau begitu sekarang aku yang maju menggantikan sute-ku yang sudah kalah. Hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu, nona!" kata orang itu. Pada saat itu, Lo Cin Bu bangkit dari tempat duduknya dan berseru, "Kui-moi! Engkau sudah bertanding satu kali, biarkan aku yang menghadapinya!" Pemuda tinggi besar itu lalu melangkah lebar ke tengah panggung. Melihat kakaknya datang, Siang Kui tersenyum dan berkata sambil melirik ke arah laki-laki tinggi kurus itu. "Sayang, sebetulnya aku ingin menghadapi dan menghajar yang ini juga, akan tetapi kalau engkau ingin mendapat bagian, silakan, Bu-ko!" Dan iapun melangkah kembali ke tempat duduknya dekat Cheng Kun, tunangannya yang menyambutnya dengan senyum penuh kebanggaan. Lo Cin Bu kini berhadapan dengan laki-laki tinggi kurus itu. "Aku. Lo Cin Bu menggantikan adikku dan berdiri di sini sebagai wakil Hek-tiauw Bu-koan. Engkau siapakah yang berani menentang Hek-tiauw Bu-koan?" ' Laki-laki itu tersenyum pahit. "Aku bernama Su Toan Ek, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Souw Tek. Tadi adikmu menantang-nantang dan sute-ku yang berdarah muda menyambut tantangan itu dan telah diberi pelajaran keras oleh adikmu. Karena itu akupun ingin diberi pelajaran oleh Hek-tiauw Bu-koan." "Engkau datang atas nama Hek-houw Bu-koan?" tanya Cin Bu. Laki-laki itu menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan. Seperti juga suteku tadi, aku maju atas nama pribadi dan menyambut tantangan pihak tuan rumah untuk ikut meramaikan perayaan ini." "Bagus, kalau begitu mari kita bertanding mengadu ilmu silat untuk mengetahui siapa di antara kita yang lebih tangguh." tantang Cin Bu. "Majulah, orang muda. Aku sudah siap!" kata laki-laki bernama Su Toan Ek itu, sikapnya tenang sekali dan dia tidak memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan Souw Tek tadi. Lo Cin Bu sudah lebih berpengalaman dibandingkan adiknya, maka dia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Souw Tek. Diapun berlaku hati-hati. "Lihat serangan." bentaknya dan tangan kanannya menyambar ke depan dengan pukulan ke arah dada. Akan tetapi pukulan itu hanya pancingan belaka dan sudah ditariknya kembali, bia hanya ingin melihat gerakan lawan kalau diserang. Dia melihat Su Toan Ek menggerakkan tangan dari bawah ke atas dan mencengkeram. Kalau pukulannya tadi dilanjutkan, tentu lengannya akan dicengkeram dari bawah. Sungguh merupakan tangi kisan sekaligus serangan balasan yana berbahaya, dan cengkeraman itu merupakan ciri khas bahwa lawannya adalah seorang ahli silat Hek-houw Sinkun yang pandai. Cin Bu yang menarik kembali tangan kanannya, sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah pelipis dengan tangan membentuk kepala rajawali yang mematuk dengan ujung kelima jarinya. Su Toan Ek juga mengenal serangan berbahaya. Dia mengelak sambil melangkah ke belakang, kemudian kedua tangan nya menyerang dari kanan kiri membentuk cengkeraman ke arah kedua pundak Cin Bu sambil menubruk ke depan. Cin Bu juga mengelak mundur sambil mengembangkan kedua tangan seperti sayap seekor rajawali untuk menangkis. "Dukk! Dukk!" Dua pasang lengan bertemu dan Cin Bu merasa tubuhnya terguncang. Dia melangkah mundur lagi dan maklumlah dia bahwa Su Toan Ek adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga dalam) yang tangguh. Diapun mengerahkan sinkang (tenaga sakti) dan menyerang seperti seekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan tangkasnya. Su Toan Ek yang bertubuh tinggi kurus itupun melawan dengan mengandalkan kekuatannya dan berusaha untuk menerkam dan mencengkeram dengan kedua tangan yang membentuk cakar harimau. Pertandingan ini lebih menegangkan dibandingkan yang pertama tadi. Kalau pertandingan yang pertama tadi, Siang Kui dan Souw Tek mengerahkan kecepatan untuk mengalahkan lawan, pertandingan kedua ini dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga setiap sambaran tangan mendatangkan angin yang kuat dan mengeluarkan suara bersiutan. "Pemuda itu lebih tangguh dari adiknya." kata Han Lin yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu. "Akan tetapi lawannyapun lebih tangguh daripada sutenya tadi." kata Sian Eng. "Pemuda itu tidak akan kalah. Ilmu silatnya yang berdasarkan pada gerakan burung rajawali itu lebih lincah dan lebih banyak perkembangannya daripada gerakan orang tinggi kurus yang bergerak seperti harimau itu." kata pula Han Lin. "Agaknya dia sama ganas dan bengis seperti adiknya. Jurus-jurus pukulannya merupakan serangan maut yang berbahaya." Sian Eng berkata sambil mengerutkan alisnya. Memang ada rasa bangga di dalam hatinya bahwa keluarga ayah kandungnya terdiri dari keluarga ahli silat yang pandai. Akan tetapi keganasan, kebengisan dan keangkuhan mereka membuat ia merasa kecewa dan tidak senang sekali. "Hyaaattt.....!" Tiba-tiba Cin Bu membentak nyaring dan tubuhnya melayang ke depan, didahului kedua kakinya yang melakukan tendangan seperti sepasang kaki rajawali yang menyerang lawan. Su Toan Ek terkejut dan cepat merendahkan dirinya untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu Cin Bu membuat gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya berjung-kir balik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Kedua tangan membentuk paruh rajawali menyerang ke bawah, yang kanan mematuk kepala dan kiri mematuk jalan darah di punggung! Su Toan Ek membalikkan tubuh, akan tetapi gerakannya kurang cepat dan terlambat. Biarpun dia dapat menghindarkan kepalanya dari serangan dengan miringkan kepalanya, namun totokan ke arah punggungnya tepat mengenai sasaran. "Tukkk.... aahhh....!" Dia terhuyung-huyung ke belakang dan saat itu Cin Bu sudah turun dan cepat pemuda ini mengirim pukulan ke arah dada lawan yang sudah terhuyung itu. "Bukk....." Tubuh Su Toan Ek terpental keluar dari panggung, jatuh ke bawah dan dia rnuntuhkan darah segar. Souw Tek cepat menolong Toa-suhengnya dan memapahnya keluar dari tempat perayaan itu, terus keluar dari pekarangan rumah untuk meninggalkan tempat itu. Mereka telah kalah mutlak dan tidak ada gunanya lagi bagi mereka untuk tinggal lebih lama di situ, hanya akan menjadi bahan tertawaan orang saja. Setelah memperoleh kemenangan, Cin Bu berdiri tegak memandang ke sekeliling, lalu berkata dengan suara lantang. "Siapa yang merasa memiliki kepandaian dan tadi berani memandang rendah kepada adikku, silakan maju untuk menguji kepandaian." Setelah berkata demikian, Cin Bu kembali ke tempat duduknya semula. Suasana yang tadinya hening ketika semua orang menonton pertandingan itu, kini kembali berisik karena para tamu saling bicara sendiri, membicarakan ketangguhan kakak beradik she Lo yang telah mengalahkan dua orang lawannya tadi. Tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring seorang wanita. Ketika Han Lin dan Sian Eng memandang, mereka diam-diam merasa khawatir karena melihat bahwa yang tertawa itu adalah Sam Ok yang kini telah bangkit dari tempat duduknya dan melangkah dengan lenggang gemulai menuju ke tengah panggung. Suara tawa itu mengatasi semua suara berisik sehingga para tamu menoleh dan memandang. Tentu saja mereka tertarik sekali melihat seorang wanita cantik melangkah dengan lenggang yang membuat pinggulnya menari-nari. Wanita itu tampaknya berusia kurang lebih empat puluh tahun, sama sekali tidak kelihatan seperti usianya yang sebenarnya, yaitu sudah enam puluh tahun. Wajah yang cantik itu tersenyum-senyum dan matanya melirik-lirik tajam. Setelah semua orang tidak lagi berisik melainkan memandang kepadanya dengan penuh perhatian, Sam Ok lalu menghadap ke arah tempat duduk tuan rumah dan ia berkata lantang, dan karena ia memandang ke arah Lo Kang, maka ia seolah bicara kepada Ketua Hek-tiauw Bu-koan itu. "Namaku Ciu Leng Ci dan aku bukanlah seorang tamu undangan. Aku datang ikut rekanku Phoa Li Seng untuk memberi selamat kepada Hek-tiauw Bu-koan yang merupakan perguruan silat paling terkenal di kota raja. Tadi aku tidak ikut bertepuk tangan memuji karena bagiku permainan pedang itu biasa-biasa saja. Akan tetapi nona Lo tadi menantang kepada mereka yang tidak bertepuk tangan, maka aku merasa bahwa Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo aku juga ditantang. Karena itu, aku sekarang ingin main-main sebentar dengan ilmu silat dari keluarga Hek-tiauw Bu-koan." Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut dan sambil tersenyum itu, Lo Siang Kui merasa diejek dan ditantang! Sebelum ayah dan kakaknya sempat mencegah, ia sudah melompat dan berlari ke tengah panggung menghadapi Sam Ok dan langsung saja ia mencabut pedangnya sehingga tampak sinar terang berkelebat. Dengan pedang di tangan kanan ia menghadapi Sam Ok dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka wanita itu. "Ciu Leng Ci! Kalau memang engkau menganggap ilmu pedangku biasa-biasa saja dan tidak ada harganya untuk dipuji, marilah coba engkau tandingi ilmu pedangku!" Sam Ok tersenyum mengejek. Tangan kanannya meraih ke belakang pundak dan di lain saat tampak sinar hitam berkelebat ketika ia sudah mencabut Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dari sarung pedangnya yang menempel di punggung. "Wah, Lo Siang Kui bisa celaka sekarang.....!" Sian Eng berseru lirih dengan alis berkerut. "Aku akan membantunya!" Ia bangkit berdiri akan tetapi Han Lin menyentuh lengannya, memberinya isarat untuk duduk kembali. Setelah gadis itu duduk kembali, Han Lin berbisik kepadanya. "Jangan turun tangan dulu, hal itu berarti akan merendahkan pihak tuan rumah. Aku tidak percaya Sam Ok berani mencelakai gadis itu karena begini banyak tokoh kangouw berada di sini." Sian Eng mengangguk dan membenarkan pendapat Han Lin. Saudara sepupunya itu demikian angkuhnya. Kalau ia maju tentu akan disambut dengan marah dan ia yang akan mendapat nnalu. Maka iapun lalu menonton saja dengan hati gelisah. Bagaimanapun juga, Siang Kui adalah saudara sepupunya dan ia sudah tahu betul betapa lihai dan kejamnya Sam Ok si iblis betina itu. Biarpun dari sinar pedangnya saja sudah dapat dikatakan bahwa Sam Ok memiliki sebuah pedang pusaka bersinar hitam yang ampuh, Siang Kui yang berwatak angkuh itu sama sekali tidak takut. "Nona Lo, pedang yang berada di tanganmu itu hanya pedang biasa, tidak dapat diandalkan dan ilmu pedangmu tadipun biasa-biasa saja. Aku bukan sekadar membual, melainkan mengatakan dengan sebenarnya. Kalau dua orang dari aliran Hek-houw Bu-koan tadi dikalahkan olehmu dan kakakmu, hal itu adalah karena kepandaian mereka masih rendah sekali. Untuk membuktikan kebenaran ucapanku, nah, maju dan seranglah aku dengan pedangmu itu. Hendak kulihat apa yang dapat kaulakukan dengan pedangmu itu terhadap diriku!" Sam Ok mengeluarkan kata-kata itu dengan lantang sehingga terdengar oleh para tamu, dan biarpun ia mengucapkannya dengan tersenyum dan dengan kata-kata halus, namun bagi Siang Kui merupakan tantangan yang amat memandang rendah kepadanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali. "Perempuan sombong, lihat pedangku!" bentaknya dan ia sudah menyerang dengan dahsyat, mengelebatkan pedangnya yang menyambar ke arah leher Sam Ok dengan pengerahan tenaga seakan-akan ia hendak sekali serang membabat putus leher wanita itu! Akan tetapi dengan gerakan amat tenang Sam Ok mengangkat pedangnya dan menangkis sambaran pedang lawan itu. "Tranggg....!" Tampak bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Siang Kui terkejut setengah mati ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat dan pedang itu hampir saja terlepas dari pegangannya! Hal ini jelas membuktikan bahwa tenaga sin-kang wanita itu amat kuatnya. Akan tetapi biar tahu akan hal ini, Siang Kui tidak menjadi gentar dan pedangnya sudah menyambar dan menyerang bertubi-tubi sehingga lenyap bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Sam Ok. Akan tetapi dengan sikap masih tenang Sam Ok menghadapi hujan serangan itu dengan elakan atau tangkisan dan setiap kali ia menangkis dengan pedangnya, pedang di tangan Siang Kui terpental. Akan tetapi gadis ini nekat terus mendesak dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hektiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Rajawali Hitam). Tubuhnya berkelebatan dan kadang melompat ke atas seperti terbang untuk kemudian menukik dan menyerang dari atas dengan pedangnya. Namun, semua usahanya itu gagal dan semua serangannya dapat dipatahkan atau dihindarkan oleh Sam Ok. Sam Ok membiarkan dirinya diserang sampai tiga puluh jurus lebih. Siang Kui sudah mulai kebingungan dan penasaran sekali karena semua serangannya gagal. Tiba-tiba Sam Ok berseru dengan nyaring sekali. "Patah....!" Pedangnya yang bersinar hitam itu dibacokkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya menyambut pedang Siang Kui sehingga kedua pedang itu bertemu dengan dahsyat di udara. "Trakkk......!!" Siang Kui terkejut dan melompat ke belakang, lalu memandang pedang yang berada di tangannya. Pedang itu tinggal sepotong karena telah patah di tengahtengahnya ketika beradu dengan pedang hitam di tangan Sam Ok! Sam Ok tertawa. "Nah, apa kataku tadi" Pedang dan ilmu pedangmu memang belum pantas menerima pujianku!" Sambil berkata demikian, ia sendiri menyimpan kembali pedangnya. Siang Kui menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa ia kalah dalam pertandingan silat pedang, akan tetapi ia masih tidak mau menerimanya, seolah-olah ia tidak percaya bahwa dirinya dapat dikalahkan orang lain. Ia membanting sisa pedangnya ke atas lantai dan berkata dengan berang. "Ciu Leng Ci, pedangku memang kalah kuat dibanding pedangmu, akan tetapi apakah engkau berani bertanding melawanku dengan tangan kosong?" tantangnya. Sam Ok tersenyum mengejek. "Apa yang kau andalkan untuk dapat menang dariku" Lebih baik engkau kembali ke tempat dudukmu agar terhindar dari terluka olehku!" "Manusia sombong! Jagalah serangan-ku!" Tiba-tiba Siang Kui yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya sudah melompat cepat ke depan menerjang dengan pukulannya. Ia memainkan ilmu silat tangan kosong Hek-tiauw Sin-kun dan menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Ia amat bernapsu untuk menebus kekalahannya bermain pedang tadi, maka serangannya bertubi-tubi dan membabi-buta! Seperti juga tadi, Sam Ok mengandalkan kelincahannya untuk mengelak atau kadang menangkis pukulan dan tendangan yang dilakukan Siang Kui sehingga lewat dua puluh jurus. Tiba-tiba ia berseru nyaring. "Roboh!" Telunjuk tangan kiri menuding. Suara bercuitan terdengar dan dari telunjuk itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Itulah ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang hebatnya bukan alang kepalang! Siang Kui merasa betapa pundak kanannya dilanggar sesuatu seperti tertusu pedang iapun roboh terjengkang. Ia merasa nyeri sekali di pundaknya, panas dan perih. Ketika ia menunduk dan memandang, ternyata bajunya di bagian pundak kanan sudah hangus dan kulit pundaknya tampak kehitaman. Ia kaget sekali, maklum bahwa ia telah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun jahat sekali. Siang Kui bangkit berdiri dengan wajah pucat memandang kepada lawannya. Lo Kang sudah melompat ke dekat puterinya dan merangkulnya. "Lo-kauwsu, anakmu telah terkena pukulan Ban-tok-ci, kalau engkau tidak menggunakan obat penawar ini, tidak ada obat lain yang akan mampu menyembuhkannya." kata Sam Ok sambil menyerahkan sebuah bungkusan kertas dan Lo Kang menerimanya tanpa sepatahpun kata. Dia lalu memapah puterinya kembali ke kursinya dan cepat mencampurkan obat penawar itu dengan air teh dan meminumkannya kepada Siang Kui. Ternyata obat itu manjur bukan main karena seketika rasa panas dan perih pada pundaknya menghilang. "Ciu Leng Ci, coba engkau melawan aku!" tiba-tiba terdengar bentakan dan Lo Cin Bu sudah melompat ke depan Sam Ok sebelum wanita itu meninggalkan panggung. Sam Ok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik dan penilaian, seperti seorang pedagang kuda yang sedang menilai seekor kuda yang hendak dibelinya. Ia memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki kemudian tersenyum senang. Dalam penilaiannya, pemuda itu mengagumkan hatinya. Tinggi besar tampak kokoh kuat dan gagah! "Orang muda yang gagah, siapakah engkau?" "Aku adalah Lo Cin Bu. Adikku Lo Siang Kui telah kalah olehmu. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa ilmu silat dari aliran Hek-tiauw Bu-koan rendah dan tidak dapat menandingimu, melainkan tingkat adikku yang belum begitu tinggi. Hayo tandingilah aku kalau engkau memang tidak mau menghargai ilmu silat kami." "Hi-hi-hik, orang muda. Boleh jadi ilmu silat Hek-tiauw Bukoan sudah baik dan tinggi, akan tetapi ingatlah bahwa di dunia ini banyak sekali ilmu silat yang lebih tinggi daripada yang kalian bangga-banggakan itu. Lebih baik engkau ikut denganku selama satu dua tahun untuk memperdalam ilmu silatmu. Bagaimana?" Ucapan itu dilakukan penuh kerling memikat dan senyum manis, akan tetapi Cin Bu merasa dipandang rendah sekali. Dia adalah jagoan dari Hek-tiauw Bu-koan, tingkatnya hanya kalah oleh ayahnya saja dan di kota raja dia sudah sukar menemukan tandingnya. Sekarang dipandang rendah oleh wanita ini, tentu saja ketinggian hatinya tersinggung dan mukanya berubah merah karena marah. "Ciu Leng Ci, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!" bentak Cin Bu dan dia sudah maju tiga langkah menghampiri wanita itu dan memasang kuda-kuda dengan membuka kedua lengan seperti seekor burung rajawali hendak terbang. "Bagus, pemuda gagah. Aku ingin melihat sampai di mana kemampuanmu!" kata Leng Ci atau Sam Ok. "Sambut seranganku!" Ci Bu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Begitu menyerang Cin Bu sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya karena dia maklum betapa lihai lawannya. "Bagus!" Sam Ok memuji dan iapun menggerakkan tangan untuk menangkis dan sengaja ia menggunakan tenaga untuk mengukur kekuatan pemuda itu. "Dukkk.....!!" Cin Bu tertolak ke belakang, akan tetapi Sam Ok juga merasa betapa lengannya tergetar sehingga tahulah ia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang lebih kuat dibandingkan Siang Kui. -00dw00kz00- Jilid XXI CIN BU merasa penasaran sekali ketika tubuhnya terpental, seolah dia bertemu dengan dinding yang amat kuat. Dia segera menyerang lagi dan tangannya yang membentuk paruh burung itu menotok ke arah bagian tubuh yang berbahaya karena sekali ini dia hendak menebus kekalahan adiknya agar nama besar Hek-tiauw Bu-koan terangkat lagi. Akan tetapi, ke manapun dia menyerang, dia selalu memukul angin kosong belaka atau pukulannya itu ditangkis dan selalu tangannya terpental dan seluruh lengannya tergetar hebat. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil dan lawan hanya mengelak atau menangkis saja tanpa balas menyerang dia merasa dipandang rendah sekali. "Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" tantangnya. "Hi-hik, sayang kalau sampai melukaimu, pemuda gagah!" Sam Ok tertawa dan tiba-tiba secepat kilat tangannya menyambar dan telapak tangan yang halus dan hangat itu mengelus pipi Cin Bu. Pemuda ini terkejut sekali karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja pipinya bukan hanya dielus, melainkan dipukul atau ditampar. Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi kini Cin Bu merasa menjadi permainan wanita itu. Pipinya dielus, dagunya diusap, bahkan kadang pahanya dicubit dan pinggulnya ditepuk. Wajahnya berubah merah sekali karena dia belum dapat menyentuh tubuh lawan dengan semua serangannya, sebaliknya kalau lawannya itu menghendaki, tentu sejak tadi dia sudah roboh, terluka berat bahkan mungkin sekali tewas! Dia merasa penasaran sekali dan sambil menggigit bibir sendiri dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, bahkan menyerang dengan membabi buta. Anehnya, semua serangannya yang dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh lawan. Tiba-tiba Sam Ok mengeluarkan suara tawa kecil dan begitu jari-jari tangannya menyambar, Cin Bu merasa betapa semua tenaganya lenyap, tubuhnya lemas dan dia tidak kuat berdiri lagi dan ambruk berlutut di depan lawannya itu! Secara cepat sekali sehingga sukar di kuti pandangan mata, ternyata Sam Ok telah berhasil mempergunakan tiam-hiat-to (menotok jalan darah) membuat tubuh pemuda itu lumpuh dan lemas. Melihat Cin Bu berlutut di depannya, sambil tersenyum lebar Sam Ok membungkuk dan kedua tangannya memegang kedua pundak pemuda itu sambil berkata lembut namun nyaring sehingga terdengar semua orang yang hadir di situ. "Ah, pemuda gagah, tidak perlu menghormatiku dengan berlutut seperti ini!" Jari-jari tangan yang mungil itu menyentuh pundak dan seketika Cin Bu bergerak lagi. Dia segera bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah sekali dan sambil menundukkan mukanya dia melangkah kembali ke tempat duduknya. Semua orang melihat betapa dia sudah jatuh berlutut. Dia sudah kalah, hal ini harus ia sadari dan akui. Wanita itu terlalu kuat, terlalu tangguh baginya. Dia tahu benar bahwa kalau wanita itu menghendaki, dia dapat tewas dalam perkelahian tadi. Dia dapat menduga bahwa dia jatuh berlutut tadi karena Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo totokan yang ampuh sekali. Dia dan adiknya telah dikalahkan dengan mudah oleh wanita itu dan hal ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi hatinya yang penuh kecongkakan, yang biasanya terlalu memandang tinggi kepada diri dan kemampuannya sendiri. Lo Kang yang menyaksikan betapa kedua orang anaknya itu kalah dengan amat mudahnya oleh tamu wanita itu, menjadi merah sekali mukanya. Dari kekalahan kedua orang anaknya tadi diapun sudah dapat mengukur kepandaian wanita bernama Ciu Leng Ci itu. Dari kekalahan dua orang anaknya yang amat mudah itu tadi saja diapun sudah maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi wanita itu. Dia teringat ketika wanita tadi memperkenalkan diri. Namanya Ciu Leng Ci dan katanya ia bukan tamu undangan, melainkan datang ikut bersama Phoa Li Seng. Dia mengenal Phoa Li Seng sebagai Ji Ok, datuk yang amat lihai. Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan wanita ini adalah Sam Ok, rekan dari Ji Ok yang juga amat terkenal memiliki ilmu silat yang amat hebat! Dengan memberanikan diri Lo Kang bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi dia tidak menghampiri wanita itu, melainkan menegur dari bagian atas di mana dia duduk dan menghadap ke arah Sam Ok yang berdiri di atas panggung. "Ciu-toanio (Nyonya Besar Ciu), engkau datang bersama Phoa-locianpwe yang berjuluk Ji Ok. Apakah engkau yang berjuluk Sam Ok?" Sam Ok tersenyum, senyum yang mengandung ejekan. "Lo-busu (guru silat Lo), aku tidak ingin menggunakan nama julukanku untuk menakut-nakuti orang. Dua orang anakmu sudah membuktikan bahwa ilmu silat mereka masih amat rendah, tepat seperti yang kukatakan tadi. Kalau engkau setuju dengan penilaianku tadi, akuilah akan kerendahan mutu Ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan. Akan tetapi kalau engkau menyangkal, engkau dapat mempertahankan kehebatan ilmu silatmu itu dariku!" Lo Kang menjadi penasaran sekali, hiarpun dia sudah dapat memaklumi bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita itu, namun kalau dia membiarkan orang meremehkan ilmu silat dari perguruannya, namanya akan jatuh dan takkan ada lagi orang mau berguru kepadanya. Karena itu dia menjadi nekad dan dia melangkah maju hendak menghampiri Sam Ok dengan alis berkerut dan sinar mata memancarkan api kemarahan. Akan tetapi sebelum dia tiba di tengah panggung, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan Sian Eng sudah melompat dari bagian bawah ke tengah panggung, menghadang Lo Kang. "Toapek, harap toapek jangan turun tangan sendiri memberi hajaran kepada wanita sombong itu. Toapek adalah tuan rumah yang sedang mengadakan pesta perayaan. Sebaiknya aku sajalah yang akan maju mewakili toapek menghadapi perempuan sombong ini!" Lo Kang terkejut dan memandang kepada keponakan yang baru saja ditemuinya itu dengan alis berkerut. "Lawan itu lihai sekali. Engkau hanya anak dari mendiang Lo Kiat, adikku yang sasterawan lemah itu. Apa yang akan dapat kaulakukan untuk menandinginya?" Cin Bu dan Siang Kui juga sudah bangkit dari tempat duduk mereka dan menghampiri Sian Eng. "Hei, engkau ini anak kecil hendak ikut-ikutan! Lancang benar hendak mewakili ayah kami!" bentak Lo Siang Kui. "Adik kecil, mundurlah dan jangan mencari perkara. Kalau engkau maju melawannya dan terpukul mati, engkau hanya membikin malu kami dan merepotkan saja!" Sian Eng yang pada dasarnya berwatak keras, tersenyum mengejek dan berkata kepada mereka bertiga, "Hemm, kalian lihat saja nanti!" Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan mereka bertiga ia sudah melompat ke depan Sam Ok. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah hidung wanita itu dan membentak dengan . suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang. "Hei , Sam Ok iblis betina yang jahat dan busuk! Aku Lo Sian Eng menantangmu bertanding, beranikah engkau melawan aku?" Tantangan yang sekaligus memaki dan meremehkannya ini tentu saja membuat Sam Ok marah sekali. Wajahnya menjadi merah, sepasang matanya menyinarkan api. Ia tadi sudah mendengar cegahan Lo Kang dan dua anaknya terhadap gadis yang menantangnya ini. "Bocah gila! Engkau tidak tahu disayang keluargamu dan nekat hendak melawanku. Apakah engkau sudah bosan hidup" Kalau sudah bosan, biarlah aku akan mengantar nyawamu ke alam baka!" "Sam Ok, bukan aku yang akan mati, melainkan engkau yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua dosamu yang bertumpuk-tumpuk!" kata Sian Eng. Sam Ok tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah setan, mampuslah!" teriaknya dan ia sudah menerjang maju, sekali ini tidak seperti ketika ia melawan Siang Kui dan Cin Bu. Kalau tadi ia hanya ingin mengalahkan mereka tanpa membunuh, bahkan setelah memukul Siang Kui juga langsung memberi obat penawar, akan tetapi sekarang, begitu ia menyerang, ia telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang beracun dari jari telunjuk tangan kirinya meluncur untuk mengirim totokan maut dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun). Hebat bukan main totokannya itu karena kalau mengenai sasaran, pasti lawan akan tewas seketika! Sian Eng yang pernah bertanding melawan Sam Ok, mengenal serangan ini dan iapun tidak mau mengalah atau memperlihatkan kelemahannya. Ia tidak mengelak, melainkan maju dan menyambut serangan totokan jari itu dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan Ban-tok-ci yang dipergunakan Sam Ok. "Dukkk!!" Dua lengan itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Sam Ok terdorong mundur sampai lima langkah, sedangkan Sian Eng hanya mundur dua langkah. Bukan main kagetnya Sam Ok ketika merasa betapa lengan lawan yang menangkisnya itu sedemikian kuatnya dan mengandung hawa yang tidak kalah panasnya dengan hawa pukulannya sendiri! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis muda yang cantik jelita ini bukan lain adalah pemuda tampan bernama Eng-ji yang pernah menjadi lawan ketiga Sam-ok menemani Han Lin dan Pek I Yok Sian-li Tan Kiok Hwa! Ia menjadi penasaran dan semakin marah. Sambil berteriak nyaring ia sudah menerjang lagi dan menghujankan serangan maut. Siang Eng memperlihatkan kegesitan-nya. Ia mengelak atau menangkis lalu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya sehingga kedua orang wanita itu sudah terlibat dalam perkelahian yang amat dahsyat dan mati-matian. Bahkan orang-orang di sekitar panggung itu dapat merasakan hawa pukulan panas yang menyambar-nyambar! Melihat jalannya pertandingan ini, Lo Kang terkejut dan heran, juga girang dan timbul harapan dalam hatinya agar keponakannya itu dapat memenangkan pertandingan dan mengembalikan kehormatan dan nama besar Hek-tiauw Bukoan. Saking tegang dan gembiranya, Lo Kang bangkit berdiri dari kursinya dan menonton sambil berdiri. Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui juga bangkit berdiri dan menonton dengan kedua mata terbelalak. Mereka berdua juga merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang lebih dari itu, mereka merasa malu sekali mengingat betapa tadi mereka bersikap angkuh dan memandang rendah kepada adik sepupu yang baru saja datang itu. Wajah mereka menjadi merah sekali, akan tetapi merekapun menonton dengan hati tegang dan penuh harapan agar saudara sepupu itu dapat membalaskan kekalahan mereka. Tiga puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu semakin dahsyat dan seru. Sudah beberapa kali tubuh Sam Ok terpental dan terhuyung ketika lengan mereka saling beradu. Tiba-tiba Sian Eng mengubah gerakannya dan kini ia bersilat dengan ilmu Pek-lek Ciang-hoat (Silat tangan Kosong Halilintar)! Sam Ok terkejut sekali. dan sebelum ia dapat menghindarkan diri, pundaknya terkena dorong in tangan kiri Sian Eng. "Plakk!" Tubuh Sam Ok terpelanting dan terguling-guling di atas papan panggung. Wanita itu melompat bangun, pundak kanannya terasa nyeri, akan tetapi ia memaksakan diri untuk mencabut pedang Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dari punggungnya. Akan tetapi sebelum pedang tercabut, sesosok bayangan berkelebat di dekatnya. "Sam Ok, mundurlah. Aku akan melawan gadis ini!" Ternyata orang itu adalah Ji Ok. Sam Ok yang merasa pundak kanannya nyeri sehingga lengan kanannya juga kurang leluasa untuk bermain pedang, maklum bahwa kalau melawan terus ia pasti kalah. Maka melihat kemunculan Ji Ok, hatinya merasa girang dan diapun cepat melompat turun dari atas panggung, tidak lagi duduk di bagian atas melainkan mencari tempat kosong di bagian bawah panggung. Sian Eng menghadapi Ji Ok dengan hati panas. Tentu saja ia mengenal baik datuk ini, orang yang amat dibencinya karena Ji Ok inilah orangnya yang pernah menguasai dan mempengaruhi ibu Han Lin dengan sihir, kemudian bahkan pisau terbang iblis ini pula yang telah menewaskan ibu Han Lin. Sejak tadi Ji Ok memperhatikan gadis yang bertanding melawan Sam Ok ini dan dia merasa kagum bukein main. Bukan hanya kagum oleh kecantikan Sian Eng, akan tetapi juga amat kagum melihat betapa lihainya gadis itu sehingga mampu mendesak dan mengalahkan Sam Ok! Dia telah kehilangan Chai Li dan kalau ada penggantinya, agaknya gadis inilah yang pantas menjadi pengganti Chai Li, untuk menjadi pembantu dan juga kekasih atau isterinya! Kalau gadis ini dapat menjadi isterinya, keadaannya akan menjadi kuat sekali dan dia bahkan tidak takut terhadap Toa Ok atau musuh yang manapun! Maka, begitu berhadapan dengan Sian Eng, Ji Ok diam-diam mengerahkan daya sihirnya untuk mempengaruhi gadis itu. Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu amat benci kepadanya. Sian Eng memang sedang berusaha untuk menekan perasaannya yang dilanda kebencian yang amat sangat. Bukan saja karena Ji Ok telah membunuh ibu Han Lin, walaupun tidak sengaja, melainkan juga karena dara ini teringat betapa Thian-te Sam-ok adalah pembunuh-pembunuh dari kakek-uwa gurunya yang juga menjadi gurunya yang ke dua, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin. "Lo Sian Eng, engkau masih begini muda namun sudah memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Engkau pantas kalau menjadi seorang sahabat baikku, dan aku akan mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadamu. Untuk itu, aku perintahkan kamu untuk berlutut memberi hormat kepadaku!" Ji Ok mengerahkan daya sihirnya dan mulutnya berkemakkemik membaca mantera. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu sihir dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga begitu ada kekuatan sihir menyerangnya, Sian Eng segera mengetahuinya! Cepat gadis inipun mengerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya yang tajam menatap wajah Ji Ok, dipusatkan di antara kedua alis laki-laki itu dan sinar matanya seolah menembus daerah itu dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggetar. "Siapa yang berlutut" Engkau atau aku" Engkaulah yang berlutut, Ji Ok!" Ji Ok sama sekali tidak mengira akan mendapat serangan yang membuat daya sihirnya membalik dan menghantam dirinya sendiri. Tanpa dapat dicegah lagi ke dua kakinya bertekuk lutut! Setelah berlutut barulah dia menyadari keadaannya dan dengan pengerahan sin-kang dia dapat memulihkan kesadarannya dan dia sudah melompat berdiri. Wajahnya menjadi merah sekali, merah karena malu dan juga marah. Kini dia mengamati wajah gadis itu dengan tajam penuh selidik dan tiba-tiba teringat olehnya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini! Gadis ini pandai ilmu sihir pula! Benar, dia ingat sekarang. Gadis ini adalah gadis yang dulu membantu Hwa Hwa Cinjin ketika dia dan dua orang rekannya, yaitu Toa Ok dan Sam Ok, menyerang kakek sakti itu! "Kau..... kau..... murid Hwa Hwa Cinjin!" serunya marah, akan tetapi dia tidak berani memandang rendah lagi dan cepat dia melolos senjatanya yang ampuh, yaitu sehelai sabuk sutera putih. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat dan Han Lin sudah berdiri di samping Sian Eng. "Eng-moi, mundurlah dan biarkan aku sendiri yang menghadapi jahanam busuk ini!" Sian Eng tersenyum dan melompat turun dari atas panggung. Ketika Ji Ok melihat Han Lin, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia tahu betapa lihainya pemuda ini tahu pula bahwa putera Chai Li pasti tidak akan mau melepaskannya, dan akan membunuhnya untuk membalaskan ibunya. Maka, menggunakan kesempatan selagi Han Lin belum siap, dia langsung saja menggerakkan sabuk sutera putihnya yang meluncur dan ujungnya menyambar ke arah leher Han Lin dalam serangan maut yang amat berbahaya! Han Lin maklum akan datangnya bahaya maut. Dia menggerakkan tubuhnya, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan sabuk sutera putih itu. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Ji Ok untuk melompat jauh turun dari atas panggung dan melarikan diri, mengejar Sam Ok yang sudah melarikan diri terlebih dahulu Jodoh Rajawali 13 Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit Bara Diatas Singgasana 6