Suling Pusaka Kumala 13
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 13 Ki Seng yang amat cerdik maklum bahwa tidak ada artinya membantah lagi. Suma Kiang yang pernah bertemu dengan Han Lin, tentu dapat mengenalnya sebagai bukan Pangeran Cheng Lin dan kalau sampai kaisar mendengar tentang hal itu, celakalah dia! Maka, tidak lain jalan baginya kecuali berdamai dengan Pangera Cheng Boan. "Dan apa yang harus saya lakukan untuk paman?" tanyanya langsung saja karena dia yakin bahwa pangeran itu tentu menghendaki imbalan. Pangeran Cheng Boan senang dengan sikap Ki Seng yang demikian tegas dan tidak berbelit-belit, melainkan langsung saja membicarakan syarat-syarat yang dibutuhkannya. "Kita dapat bekerja sama dengan baik sekali, pangeran. Akan tetapi, sebelum kami menceritakan kerja sama yang bagaimana kami kehendaki darimu, kami ingin lebih dulu mengetahui, siapa sebenarnya engkau ini?" Karena maklum bahwa keselamatan dirinya berada dalam genggaman tangan Pangeran Cheng Boan yang cerdik dan licik itu, Ki Seng menghela napas dan terpaksa mengalah. "Nama saya Ouw Ki Seng dan saya adalah ketua Ban-tokpang, juga saya menguasai Hek-houw-pang dan Pek-eng-Pang di lereng Thai-san." "Hemm, masih amat muda sudah menjadi ketua Ban-tokpang dan menguasai dua perkumpulan itu. Sungguh hebat!" kata Suma Kiang kagum. "Akan tetapi bagaimana engkau dapat memiliki Suling Pusaka Kemala?" tanya Pangeran Cheng Boan. Ki Seng memandang tajam dan berkata dengan suara tegas. "Pangeran, saya akan menceritakan semua rahasia saya. Akan tetapi kalau sampai paman mengkhianati saya, percayalah, saya masih memiliki cukup kekuatan untuk membasmi paman sekeluarga!" Pangeran Cheng Boan tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, siapa yang akan mengkhianatimu" Engkau juga tentu tidak akan mengkhianatiku setelah kita bekerja sama, bukan" Nah, ceritakan saja, kami akan menyimpan rahasiamu karena itu merupakan rahasia kami juga." "Aku mencuri Suling Pusaka Kemala dari tangan Han Lin." akhirnya dia mengaku terus terang karena tidak ada pilihan lain. "Pangeran, saya pernah bertemu dengan pemuda bernama Han Lin itu dan dia kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi." kata Toa Ok. "Dan saya tahu benar bahwa Han Lin itu memang bukan pemuda ini." "Akan tetapi, Ouw Ki Seng....." kata Suma Kiang dan pada saat itu Pangeran Cheng Boan memotongnya. "Suma Sicu, kami telah berjanji kepadanya untuk tetap menganggap dan memanggilnya sebagai Pangeran Cheng Lin!" "Ah, benar sekali. Maafkan saya, pangeran Cheng Lin! Akan tetapi saya melihat tadi bahwa engkau mempergunakan Ityang-ci dan gerakan silatmu mirip lengan gerakan silat Han Lin. Apakah ida hubungan antara engkau dan dia?" "Kami memang saudara seperguruan." kata Ki Seng. "Akan tetapi, Paman Pangeran, paman belum menceritakan kepada saya apa yang harus saya kerjakan dalam kerja sama antara kita ini." "Begini, Pangeran Cheng Lin, sebelumnya perkenalkanlah sicu (orang gagah) ini dalah Suma Kiang atau Huang-ho SinTiraikasih Website http://kangzusi.com/ hong, seorang pembantuku yang setia. Dan yang seorang ini adalah sahabatnya yang juga ingin menghambakan diri kepada kami, nama julukannya adalah Toat-beng Kui-ong." "Akan tetapi terkenal dengan sebutan Toa Ok!" kata Suma Kiang. Ki Seng memberi hormat kepada dua orang datuk itu. Pangeran Cheng Boan lalu melanjutkan. "Engkau akan tetap kami anggap sebagai Pangeran Cheng Lin yang aseli dan kita merupakan sekutu yang saling membantu. Kami membantumu mempertahankan dirimu sebagai Pangeran Cheng Lin dan kita bekerja sama untuk menyingkirkan saingan-saingan dan musuh-musuh kita yang berada di istana." "Saingan-saingan dan musuh-musuh" Siapakah mereka yang paman maksudkan?" tanya Ki Seng, ingin sekali mengetahui. "Pangeran Cheng Lin." Pangeran Cheng Boan menoleh ke kanan kiri dani melanjutkan ketika melihat bahwa tidak ada pengawal yang mendengarkan percakapan mereka. "Apakah engkau tidak ingin kelak menggantikan kedudukan kaisar?" Bukan main kagetnya hati Ki Seng. Hal inilah yang sejak siang tadi menjadi bahan pemikirannya. Otomatis dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja saya ingin, paman!" "Bagus! Akan tetapi apa engkau kira mudah kelak menggantikan kedudukan Kaisar" Engkau mempunyai banyak saingan. Di sana ada lima orang pangeran, dan engkau sebagai putera keturunan Mongol tentu saja hampir tidak mempunyai harapan untuk menggantikan kedudukan kaisar. Akan tetapi dengan bantuan kami, bukan tidak mungkin, bahkan hampir dapat dipastikan engkau kelak akan menjadi kaisar, pengganti kaisar yang sekarang." Bukan main girangnya hati Ki Seng. Siang tadi ketika melamunkan kedudukan kaisar, dia sudah melihat ketidakmungkinan itu dan membuat dia hampir putus harapan. Akan tetapi kini dia melihat kemungkinan itu kalau dibantu oleh Pangeran Cheng Boan! "Dan apa yang harus saya lakukan, Paman?" tanyanya penuh gairah seolah-olah besok atau lusa dia sudah akan dapat duduk sebagai kaisar! "Tenang dan bersabarlah, pangeran Kita menghadapi urusan besar yang harus diperhitungkan dengan masakmasak. Biarlah sementara ini, hubungan antara kita berjalan secara wajar saja, seperi hubungan antara keponakan dan pamannya. Kelak akan kita perbincangkan dan bagaimana kita dapat menyingkirkan lima orang pangeran yang lain itu dan membasmi pendukung-pendukung mereka. Untuk menyingkirkan lima orang pangeran itu, engkaulah yang akan mudah melakukannya karena engkau tinggal dalam istana. Akan tetapi jangan tergesa-gesa, tunggu komandoku kapan engkau harus bergerak. 5ementara itu, engkau harus bersikap baik dan berbakti kepada kaisar agar memudahkan kami membantu dan mengangkat menonjolkanmu sebagai seorang pangeran yang baik dan penting. Dan sewaktu-waktu kami panggil, engkau harus datang ke sini agar kita dapat mengadakan perbincangan." Ki Seng mengangguk-angguk. "Baiklah, paman, akan saya taati semua pesan paman dan saya tidak akan melakukan sesuatu sebelum menerima petunjuk dari paman. Akan tetapi yang membuat saya merasa heran, mengapa paman demikian baik terhadap diri saya" Mengapa paman suka membantu saya agar kelak menggantikan kedudukan kaisar?" Sambil bertanya demikian, mata Ki Seng menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. Pangeran Cheng Boan tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, tidak ada pekerjaan yang sia-sia, tidak ada usaha keras yang tidak menghasilkan keuntungan. Kami juga tidak mau bekerja tanpa hasil. Pangeran Cheng Lin, kami merasa yakin bahwa tanpa bantuan kami, engkau tidak mungkin sama sekali untuk kelak menjadi kaisar. Karena itu, tentu saja kami mengharapkan imbalan untuk bantuan kami kepadamu. Kalau kelak engkau sudah menjadi seorang kaisar, engkau harus mengangkat puteraku Cheng Kun ini sebagai orang kedua yang paling berkuasa dalam negeri. Dengan demikian, hasil kerja sama kita ini akan membahagiakan kita bersama. Maukah engkau berjanji?" Ki Seng berkata dengan sikap sungguh sungguh. "Saya berjanji, paman, bahwa kelak kalau saya sudah menjadi kaisar, saya akan mengangkat kanda Cheng Kun menjadi perdana menteri dan wakil saya!" "Bersumpahlah untuk itu, Pangeran Cheng Lin." kata Pangeran Cheng Boan. Ki Seng bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang. "Saya bersumpah bahwa kelak kalau saya sudah menjadi kaisar, saya akan mengangkat kanda Cheng Kun menjadi perdana menteri dari wakil saya!" Empat orang itu bergembira sekail dan dalam kesempatan itu Pangeran Cheng Boan mendengarkan keterangan tentang diri Toa Ok untuk lebih mengenal datuk yang baru dijumpainya itu. Ki Seng juga bergembira dan dia maklumi bahwa dia tidak boleh mempermainkan pangeran yang cerdik itu. Sekali dia mempunyai pikiran tidak baik dan ketahuan, dia akan celaka. Bukan saja rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan, akan tetapi pangeran itu juga mempunyai pembantu-pembantu yang lihai sekali. Tiba-tiba dia teringat akan dua orang wanita kekasihnya yang dia tinggalkan. Terhadap Pangeran Cheng Boan yang menjadi sekutunya dia tidak perlu merahasiakan keadaan dirinya lagi dan tempat mana lagi yang lebih aman untuk menitipkan dua orang kekasihnya itu kalau bukan di dalam istana Pangeran Cheng Boan" Pangeran Cheng Boan melihat Ki Seng yang tiba-tiba termenung itu dan dia bertanya, "Pangeran Cheng Lin, apa yang kau risaukan" Agaknya engkau memikirkan dan merenungkan sesuatu." "Ah, paman sungguh berpemandangan tajam sekali. Memang ada suatu hal yang agak merisaukan hati saya dan saya mohon kebaikan dan kebijaksanaan paman untuk menolong saya." "Pertolongan apakah yang kau butuhkan" Katakanlah dan kami akan berusaha untuk menolongmu." kata Pangeran Cheng Boan. "Kalau engkau menghadapi musuh yang kuat, serahkan saja kepada saya Pangeran Cheng Lin!" kata Suma Kiang. "Saya juga siap untuk menyingkirkan musuh-musuh yang mengancammu, pangeran." kata Toak Ok. "Terima kasih atas kesediaan Ji-wi (kalian berdua) membantu saya. Akan tetapi, paman pangeran, bukan itu yang saya ingin minta dibantu. Sesungguhnya, saya mempunyai dua orang.... kekasih dan saya ingin mereka berdua itu berada di kota raja. Karena tidak mungkin mengajak mereka ke istana, maka saya mohon bantuan paman agar suka menampung mereka dan membiarkan mereka berdua tinggal di istana paman agar sewaktu-waktu saya dapat menjumpai mereka." "Wah, sebelum menjadi pangeran engkau sudah mempunyai dua orang selir, Lin-te, (adik Lin)" Hebat sekali kau!" Cheng Kun tertawa. "Ah, kalau cuma itu yang kau butuh-kan, tentu saja kami akan membantu. Biarlah mereka berdua tinggal di sini dan sewaktu-waktu engkau boleh menemui mereka, Pangeran Cheng Lin." "Terima kasih, paman. Mereka adalah dua orang wanita yang memiliki ilmu silat cukup tinggi dan tentu saja dapat membantu paman untuk menjaga keselamatan keluarga paman." "Siapakah mereka berdua itu, pangeran" Kalau mereka merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, tentu namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga atau persilatan) dan mungkin kami sudah pernah mendengar atau mengenal mereka." kata Suma Kiang. "Yang seorang bernama Ciang Mei Ling, puteri mendiang Ciang Hok ketua Pek-eng-pang dan ia adalah tunanganku. Yang kedua adalah seorang wanita kang-ouw bernama Kim Goat dan berjuluk Sian Hwa Sian-li." "Ah! Sian Hwa Sian-li, wanita berpayung yang lihai itu" Aku pernah mendengar namanya yang besar!" kata Suma Kiang. "Saya pernah satu kali bertemu dengan wanita cantik berpayung yang lihai itu." kata pula Toa Ok. Mendengar bahwa dua orang kekasih Ki Seng adalah wanita-wanita yang lihai tentu Pangeran Cheng Boan menjadi girang sekali. Berarti tidak percuma dia menampung dua orang wanita itu karena mereka dapat memperkuat kedudukannya dan dapat menjaga keselamatan keluarganya. Setelah mereka bercakap-cakap, Ki Seng pamit dan dia tidak segera kembali ke istana, melainkan mengunjungi rumah penginapan An Lok. Sian Hwa Sian-li menyambutnya dengan hangat dan gembira dan mereka melepaskan kerinduan dalam kamar yang mereka sewa. "Ki Seng, kenapa begitu lama engkau pergi" Sampai tiga hari, aku merasa rindu sekali padamu. Rindu dan khawatir kalau-kalau engkau sudah melupakan aku." "Kim Goat, mulai detik ini engkau harus menyebutku Pangeran Cheng Lin, apalagi kalau berhadapan dengan orang lain." "Ah, jadi..... jadi.... engkau..... eh, paduka telah diterima oleh sribaginda Kaisar dan kini telah menjadi Pangeran Cheng Lin" Saya merasa gembira sekali dan Kiong-hi (selamat), pangeran!" Sian Hwa Sian-li memberi hormat dengan membungkuk sampai dalam. Ki Seng merangkulnya, "Kalau tidak ada orang lain, tidak perlu engkau menghormat seperti itu. Aku telah bertemu dengan ayahanda Kaisar dan aku segera diterima, diperkenalkan kepada semua keluarga istana dan aku mendapatkan sebuah kamar di dalam bangunan untuk para pangeran. Aku tinggal bersama lima orang pangeran lain yang menjadi saudara-saudara tiriku di sana." "Wah, bagus sekali! Kalau begitu paduka tentu akan segera membawa saya masuk istana dan tinggal pula di sana!" "Hemm, tidak semudah itu, Kim Goat. Peraturan istana tidak memperbolehkan seorang pangeran yang masih bujangan membawa isteri atau selirnya ke dalam istana. Kecuali kalau dia telah menikah dengan sah, baru dia boleh mendapatkan bangunan terpisah dan tersendiri. Akan tetapi, aku telah mendapatkan pertolongan seorang pangeran, dia adalah adik Kaisar, jadi masih pamanku sendiri. Aku telah bercerita kepadanya tentang engkau dan Ciang Mei Ling dan dia mau menerima kalian berdua untuk tinggal di istananya. Dengan demikian, maka setiap waktu aku dapat mengunjungi kalian di sana. Nah, sekarang engkau harus melakukan perintahku. Engkau pergilah ke Thai-san, jemputlah Ciang Mei Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ling dan bawa ke rumah panginapan ini. Kalau ia sudah datang, aku akan membawa kalian tinggal di istana Paman Pangeran Cheng Boan." Ketika Ki Seng berpamit, Sian Hwa Sian-li berkeras hendak menahannya. "Pangeran, paduka bermalam saja di sinl malam ini. Besok pagi saya akan berangkat ke Thai-san dan malam ini berilah kesempatan kepada saya utuk melepaskan rindu saya kepada paduka!" Ia merengek manja. "Hushh, jangan bodoh, Kim Goat. Ingat, sekarang aku sudah sah menjadi pangeran dan aku harus cepat kembali ke istana. Sebagai seorang pangeran baru aku harus pandai membawa diri. Akupun rindu kepadamu, akan tetapi nanti kalau engkau dan Mei Ling sudah berada di istana Paman Pangeran Cheng Boan, kita dapat melepaskan rindu kita sepuas hati kita." Ki Seng lalu bergegas pulang ke istana dan karena kesepian ditinggal kekasihnya itu, Sian Hwa Sian-li lalu berangkat malam itu juga meninggalkan kota raja. ooo00000ooo Pria tinggi besar berusia tiga puluh tahun itu saling papah dengan seorang pria tinggi kurus berusia lima puluh tahun. Mereka berdua melangkah terhuyung-huyung keluar dari kota raja melalui pintu gerbang utara dan wajah mereka pucat, napas mereka terengah-engah eperti orang-orang yang sedang menderita sakit parah. Mereka itu adalah Souw Tek dan suhengnya (kakak seperguruannya), Si Toan Ek. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini menjadi tamu dalam pesta ulang tahun Lo Kang ketua Hek-tiauw Bu-koan. Kemudian, karena merasa tak senang melihat kesombongan keluarga Lo, apalagi ketika Lo Siang Ku menantang adu kepandaian kepada para tamu, mereka maju untuk menguji kepandaian. Akan tetapi, dua orang anak Lo Kang, Lo Siang Kui dan kakaknya, Lo Cin Bu, bersikap kejam sekali dan memukuli mereka yang sudah kalah itu sehingga mereka berdua terluka parah. Dengan bersusah payah, saling papah, mereka berdua berhasil keluar dari kota raja menuju ke dusun Pak-siang-bun. Ketika mereka tiba di luar kota raja di jalan yang sepi itu mereka merasa tidak kuat menahan nyeri dan keduanya lalu beristirahat, duduk di bawah sebatang pohon besar. Su Toan Ek duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengurangi rasa nyeri yang menyesakkan dadanya. Souw Tek juga duduk bersila dan menggosok-gosok dadanya yang terkena tendangan keji Lo Siang Kui. Dari mulut mereka terkadang terdengar keluhan dan rintihan. Pada saat itu, dari arah utara datang seorang wanita. Ia berjalan seorang diri di atas jalan yang sunyi itu. Wanita itu masih muda, seorang gadis yang usianya paling banyak dua puluh tahun dan ia tentu akan menarik perhatian semua pria yang melihatnya. Gadis itu cantik luar biasa. Kulitnya putih mulus dan kedua pipinya kemerahan karena sehat. Matanya yang tajam bersinar lembut seperti mata burung Hong, hidungnya kecil mancung dan bibirnya selalu membayangkan senyum ramah. Rambutnya yang amat hitam panjang digelung ke atas bagaikan mahkota hitam yang membuat kulit muka dan lehernya tampak semakin putih mulus. Ia membawa sebuah buntalan kain kuning di punggungnya dan pakaiannya terbuat dari sutera putih bersih, sepatunya berwarna hitam, terbuat dari kulit. Gadis cantik jelita ini bukan lain adalah Tan Kiok Hwa yang dijuluki orang PeK I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih). Seperti kita ketahui, setelah ia bersama Han Lin dan Sian Eng terbebas dari tangan Thian-te Sam-ok yang dibantu orang orang Pek-lian-kauw, Kiok Hwa tinggalkan Han Lin dan Sian Eng tanpa pamit. Hal ini terpaksa ia lakukan walaupun dengan berat hati karena ia harus berpisah dari satu-satunya pria yang pernah dicintanya di dunia ini. Ia amat mencintai Han Lin, akan tetapi ia tidak suka terlibat dalam permusuhan dan perkelahian dan selain itu, iapun tahu bahwa Sian Eng amat mencinta Han Lin, karena itu ia lebih suka mengalah dan menjauhkan diri dari Han Lin, walaupun hatinya merana. Wataknya yang lembut membuat Kiok Hwa seialu suka mengalah dan rela berkorban demi kebahagiaan orang lain! Ketika Kiok Hwa tiba di dekat bawah pohon di mana Souw Tek dan Su Toan Ek duduk bersila mengumpulkan hawa murni sambil kadang mengerang kesakitan, segera perhatian Kiok Hwa tertarik sekali. Bagi seorang yang sudah menjadi pekerjaannya mengobati orang sakit, setiap melihat orang sakit merupakan tantangan besar bagi Kiok Hwa. Ia harus menolong dan mengobatinya, siapapun adanya orang yang sakit itu, pria atau wanita, besar atau kecil, kaya atau miskin, baik atau jahat. Ia selalu memandang penyakit seperti lawannya yang harus dihadapi dan ditundukkan. Maka, melihat dua orang itu, ia lalu mendekat dan sekilas pandang saja tahulah gadis lihai ini bahwa dua orang laki-Iaki itu menderita luka dalam yang cukup berat. "Sobat-sobat, kalian terluka dalam yang cukup parah!" tegurnya dengan suara lembut. Dua orang yang menderita luka dalam itu membuka mata mereka dan mereka memandang dengan heran ketika melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di de-pan mereka dan memandang mereka dengan sinar mata lembut dan bibir yang manis sekali itu tersenyum ramah. Karena merasa heran dan penasaran Souw Tek bertanya, "Nona, siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa tahu bahwa kami menderita luka dalam yang parah?" Kiok Hwa tersenyum. "Siapa aku bukan hal yang penting, akan tetapi aku mengerti bahwa kalian terluka parah karena aku adalah orang yang biasa mengobati. Maukah kalian kuobati sehingga lukamu sembuh dan kalian terhindar dari maut?" Sebelum Souw Tek menjawab, Su Toan Ek sudah bangkit berdiri dan bertanya kepada Kiok Hwa, "Bukankah nona PeK I Yok Sian-li?" Kiok Hwa tersenyum. "Orang-orang terlalu melebihlebihkan dalam memberi nama kepadaku." "Ak, kiranya nona adalah PeK I Yok Sian-li yang amat terkenal!" seru Souw Tek dengan girang sekali karena dia sudah pernah mendengar nama besar gadis berbaju putih yang suka sekali mengobati dan menolong orang yang menderita sakit. "Kalau begitu, tolonglah kami, nona. Kami memang telah terluka dalam." "Bagian tubuh yang manakah engkau terpukul" Aku akan mencoba mengobati engkau lebih dulu, paman, karena aku melihat bahwa lukamu lebih parah." kata Kiok Hwa kepada Su Toan Ek sambil menghampiri pria yang usianya sudah lima puluh tahun itu. "Sian-li, aku terkena pukulan keji selagi aku sudah roboh, di bagian dadaku." "Bukalah bajumu dan perlihatkan dadamu yang terpukul." kata Kiok Hwa de ngan tenang sambil menurunkan buntalan pakaian dan obat dari punggungnya, meletakkannya di atas tanah dan iapun berlutut depan Su Toan Ek. Su Toan Ek membuka bajunya sehingga dadanya telanjang. Di atas kulit dadanya tampak warna menghitam bekas pukulan Lo Cin Bu. Kiok Hwa segera memeriksanya. "Hemm, pukulan disertai sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Untung tidak mengandung hawa beracun sehingga mudah disembuhkan, apalagi karena engkau sendiri juga seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga dalam) yang kuat, paman Sekarang aku akan mengobati dengan tusuk jarum, harap paman duduk santai dan jangan mengerahkan tenaga apapun." Setelah berkata demikian, Kiok Hwa mengeluarkan dua batang jarum emas dan tiga batang jarum perak. Dia menusuk dengan jarum emas di dada kanan kiri bawah pundak dan menusukkan tiga batang jarum perak di seputar warna hitam di dada. Kemudian ia mengambil sebutir obat pulung berwarna putih dan menyuruh Su Toan Ek menelannya dengan bantuan secawan air putih yang dituangkan dari sebuah guci. Setelah itu, Kiok Hwa menggunakan ibu jari tangan kirinya untuk menekan-nekan bagian dada yang berwarna hitam. Sungguh hebat. Dalam waktu sebentar saja, warna hitam itu makin pudar. "Sekarang bernapaslah dalam-dalam dan kerahkan sin-kang ke dada untuk memulihkan jalan darah." kata Kiok Hwa ambil mencabuti lima batang jarum itu. Su Toan Ek melakukan apa yang dika-takan Kiok Hwa dan setelah belasan kali menghirup udara sampai penuh dan mengerahkan sin-kang ke dada, dia merasa betapa dadanya sembuh kembali, rasa nyeri telah lenyap dan ketika dia melihat ke arah dadanya, warna hitam tadi-pun telah lenyap! "Sian-li, aku telah sembuh sama sekali, Sungguh tidak kosong belaka julukan PeK I Yok Sian-li. Terima kasih banyak, Sian-li." Dia bangkit dan membungkuk memberi hormat. "Ah, harap jangan bersikap sungkan, paman. Sekarang biarlah saya mencoba untuk mengobati saudara ini." katanya sambil menghampiri Souw Tek yang masih duduk bersila. Tanpa diminta Souw Tek juga melepas bajunya dan memperlihatkan dadanya yang membiru akibat tendangan kaki Lo Siang Kui yang amat keras. "Aku juga terluka terkena tendangan pada dadaku, Sian-li." kata Souw Tek. Kiok Hwa memeriksa luka itu. "Ah, tidak berapa parah lukamu karena tendangan itu hanya mengandalkan tenaga kasar. Untung tulang rusukmu tidak ada yang patah." Kiok Hwa menggunakanl jari-jari tangannya untuk menotok dan menekan di sana-sini, kemudian memberi kebutir obat pulung untuk ditelan Souw Tek. Seperti halnya Su Toan Ek, sebentar saja Souw Tek sudah sembuh dan terbebas dari rasa nyeri di dadanya. Juga warna membiru pada dadanya hampir hilang. "Terima kasih, Sian-li. Engkau sungguh hebat sekali. Aku mendengar bahwa mgkau adalah murid Thian Beng Yok-sian (Dewa Obat Kurnia Langit), Melihat kelihaianmu dalam ilmu pengobatan, maka tidak mengecewakan kalau engkau menjadi murid Dewa Obat itu!" Souw Tek memuji dengan girang sekali. Kiok Hwa menyimpan kembali obat dan jarum-jarumnya ke dalam buntalan pakaian, lalu mengikatkan kembali buntalan kain kuning itu pada punggungnya. Sambil melakukan ini, ia berkata lembut. "Sebenarnya, jauh lebih mudah menjaga agar tidak sakit daripada mengobati. luka ji-wi (kalian berdua) terjadi karena pukulan dan hal ini hanya dapat timbul Karena jiwi berkelahi. Kalau ji-wi dapat menahan diri dan tidak berkelahi, tentu tidak akan terluka dan untuk tidak berkelahi jauh lebih mudah daripada mengobati." "Aih, Sian-li. Engkau tidak tahu. Kami sama sekali bukanlah orang-orang yang suka mengandalkan kekuatan untuk berkelahi. Akan tetapi dua orang muda ke-luarga Lo itu sungguh sombong dan kejam bukan main. Hek-tiauw Bu-koan mengandalkan kepandaian dan kedudukan calon mantunya yang seorang putera pangeran, untuk bertindak sewenangwenang dan kejam." kata Souw Tek penasaran. "Apakah yang terjadi?" tanya Kiok Hwa. Biasanya, ia tidak mau mencampuri urusan orang, apalagi kalau urusan permusuhan dan perkelahian. Akan tetapi kini mendengar ada dua orang muda yang sewenang-wenang, ia menjadi ingin tahu. Souw Tek menghela napas. Mereka bertiga duduk di atas batu-batu yang berada di bawah pohon besar itu. "Hek tiauw Bu-koan adalah sebuah perguruan yang paling besar dan terkenal di kota raja. Lo-pangcu, ketua Hek-tiauw Bu koan mengadakan pesta ulang tahun dan kami berdua juga datang hadir sebagai tamu. Dalam perayaan itu, seorang anak perempuan Lo-pangcu yang bernama Lo Siang Kui memamerkan ilmu silatnya. Yang memanaskan hati, gadis sombong itu lalu bersumbar, menantang siapa saja yang merasa memiliki kepandaian silat untuk mengadu ilmu silat dengannya. Melihat kesombongannya, aku lalu maju menandinginya, hanya dengan maksud untuk menguji ilmu silatnya. Akan tetapi kalau aku hanya berniat menguji, gadis itu ternyata menyerang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus-jurus maut. Aku terdesak karena ia memiliki gerakan yang cepat sekali. Setelah lewat lima puluh jurus, aku terkena tamparannya dan jatuh terduduk di atas panggung. Dalam keadaan sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba gadis itu menendang dadaku sehingga aku terlempar ke bawah panggung dalam keadaan pingsan." Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Hemm, kejam sekali gadis itu." "Mungkin ia menganggap aku sebagai musuh besarnya karena aku adalah saudara seperguruan dari ketua Hek-houw Bu-koan yang menjadi saingan Hek-tiauw Bu-koan." "Lalu bagaimana paman ini sampai terluka?" tanya Kiok Hwa sambil memandang kepada Su Toan Ek. Su Toan Ek menghela napas panjang "Sungguh membuat orang merasa penasaran sekali. Semula sama sekali tidak ada niat di hatiku untuk melakukan pentandingan di tempat perayaan pesta ulang tahun Hek-tiauw Bu-koan itu. akan tetapi melihat kekejaman gadis itu menendang dada Souwsute (adik seperguruan Souw) sampai terluka parah, aku menjadi penasaran dan aku segera naik ke panggung untuk memberi hajaran kepada gadis sombong itu. Akan tetapi kemudian yang maju melawan aku adalah seorang pemuda kakak gadis itu yang bernama Lo Cin Bu. Kami bertanding dan ternyata pemuda itu jauh lebih lihai dibandingkan adiknya. Dia mampu mengimbangi aku bahkan setelah lama bertanding seimbang, dia berhasil menotok punggung dan pada saat aku tidak berdaya, dia memukul dadaku dengan kuat sekali sehingga aku terluka parah. Aku dan Souw-te lalu memaksa diri meninggalkan tempat itu dalam keadaan terluka parah. Untung kami bertemu denganmu, Sian-li, sehingga kami tidak sampai tewas dan dapat tertolong." Mendengar keterangan mereka, Kiok Hwa menghela napas panjang. "Hemmm, sayang sekali orang-orang muda menyombongkan dan mengagulkan kepandaian mereka untuk bersikap kejam melukai orang lain tanpa alasan yang kuat. Akan tetapi, peristiwa ini harap ji-wi dapat mengambil hikmahnya. Kalau saja ji-wi bersikap sabar dan tidak timbul emosi menyambut tantangan mereka, tentu tidak terjadi perkelahian dan ji-wi tidak sampai terluka. Permusuhan, adu kepandaian dan perkelahian hanya akan merusak hubungan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baik antara manusia, me-nimbulkan kebencian dan dendam. Apakah ji-wi menaruh perasaan dendam terhadap mereka dan ingin menuntut balas?" Souw Tek saling pandang dengan su-hengnya (kakak seperguruannya). Mereka telah mendengar semua kata-kata Pek I Yok Sian-li yang bernada bijaksana, sehingga mereka merasa malu dan sungkan untuk mengaku bahwa mereka menaruh dendam. "Tidak, Sian-li. Kami tidak mendendam." kata Souw Tek. "Bagus sekali kalau begitu. Dendam hanya akan membakar diri sendiri dan akan menciptakan ikatan karma yang kuat. Andaikata kalian berdua menaruh dendam lalu berusaha membalas sampai berhasil merobohkan mereka, apakah ji-wi yakin bahwa merekapun juga tidak akan mendendam. Mereka akan berusaha pula untuk menuntut balas, maka terjadilah permusuhan dan dendam-mendendam, balas-membalas, mungkin sekali terjadi bunuh-membunuh yang tidak ada akhirnya, dilanjutkan oleh murid-murid atau anak-anak ji-wi." "Ya Tuhan! engkau masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian pengobatan yang lihai, memiliki watak bijaksana dan suka menolong, ditambah lagi wawa-san tentang kehidupan yang demikian luas. Sungguh kami merasa kagum dan taluk, Sian-li." kata Su Toan Ek sambil memberi hormat, diturut oleh sutenya. Kiok Hwa membalas penghormatan itu. "Ji-wi harap jangan terlalu memuji. Aku hanya melaksanakan tugas hidupku. Nah, selamat tinggal, ji-wi. Aku harus melanjutkan perjalananku ke kota raja." Setelah berkata demikian, Kiok Hwa melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja yang tembok bentengnya yang mengitari kota raja sudah tampak dari situ. Dua orang laki-laki itu mengikuti bayangannya dengan pandang mata kagum. "Seorang wanita yang hebat luar biasa!" gumam Souw Tek setelah bayangan Kiok Hwa lenyap di sebuah tikungan ja-lan. "Seolah Dewi Kwan Im saja yang menjelma....." kata pula Su Toan Ek. Mereka lalu melanjutkan perjalanan pulang ke dusun Paksiangbun. Hubungan Ki Seng dengan keluarga Pangeran Cheng Boan menjadi semakin akrab. Dia segera mendapatkan kenyataan pahit bahwa hampir seluruh keluarga kaisar di dalam istana, dari permaisuri dan para selir sampai para thaikam dan pengawal di istana, tidak akrab dengannya. Terutama sekali para pangeran. Mereka itu seolah menjauhinya, seperti mengasingkannya. Dia merasa dibenci, hanya seorang di antara lima orang pangeran itu yang tidak kelihatan membencinya, yaitu Pangeran Cheng Hwa, pangeran yang tertua. Akan tetapi pangeran yang usianya dua puluh lima tahun inipun tidak akrab dengannya, seperti tidak acuh. Karena merasa tidak disuka di istana, kecuali Kaisar Cheng Tung yang jarang bertemu dan bercakap-cakap dengannya Ki Seng merasa tidak betah tinggal d istana dan dia lebih sering berada di rumah Pangeran Cheng Boan. Di sana dia diterima dengan penuh keramahan, dan juga seringnya dia berkunjung ke rumah Pangeran Cheng Boan tidak mendatangkan kecurigaan apa-apa pada keluarga istana. Karena itu, hampir setiap hari dia berada di istana Pangeran Cheng Boan dan istana kaisar seolah hanya merupakan tempat untuk tidur saja. Karena setiap hari Ki Seng berkunjung ke istana Pangeran Cheng Boan maka hubungannya menjadi akrab sekali, terutama dengan para selir muda pangeran itu yang selalu mengelu-elukan kunjungannya. Dari pagi sampai petang Ki Seng berada di istana itu, sedangkan Pangeran Cheng Boan pergi melakukan tugasnya. Juga Cheng Kun jarang berada di rumah sehingga Ki Seng berada di gedung istana itu bersama para selir yang melayaninya. Maka tidaklah mengherankan kalau segera terjadi hubungan yang nmat mesra antara Ki Seng dan para selir muda pamannya! Tujuh orang selir muda itu bagaikan tujuh tangkai bunga sedang mekar membutuhkan siraman yang menyegarkan dan mereka kehausan akan cinta kasih. Mereka bertemu dengan Ki Seng, seorang pemuda tampan gagah yang dengan senang hati suka menyirami mereka sehingga mereka dapat melepaskan dan memuaskan dahaga mereka. Sejak jatuh oleh rayuan Sian Hwa Sian-li, Ki Seng menjadi budak dari nafsunya sendiri. Maka, bertemu dengan tujuh orang perempuan muda yang genit-genit itu, mana mungkin dia mampu bertahan" Segera berlangsung perjinaan di antara Ki Seng dan tujuh orang selir itu. Ki Seng seperti mabok dan tidak ingat bahwa perbuatannya itu keterlaluan sekali, melanggar kesusilaan. Akan tetapi aneh. Pangeran Cheng Boan seolah memejamkan mata terhadap semua itu. Dia pura-pura tidak tahu saja. Padahal, tentu saja dia segera mendengar hubungan gelap antara tujuh orang selirnya itu dan Pangeran Cheng Lin palsu, Akan tetapi dia tidak marah. Pangeran ini menganggap tujuh orang selirnya sebagai alat untuk bersenang-senang saja dan mereka itu mudah diganti wanitawanita lain kalau dia sudah merasa bosan. Maka diapun mendiamkannya saja dan pura-pura tidak tahu. Bahkan para selirnya itu dapat menjadi pengikat bahwa Ki Seng agar pemuda itu benar-benar tunduk kepadanya. Ketika Ki Seng menjemput Sian Hwa Sian-li dan Ciang Mei Ling yang sudah tiba di hotel, lalu membawa dua orang wanita itu ke istana Pangeran Cheng lioan, dua orang wanita itupun diterima dengan ramah dan senang hati. Dua orang wanita itu merasa girang sekali dan kagum terhadap gedung besar seperti Istana yang mewah dan indah itu. Bahkan Sian Hwa Sian-li sendiri yang telah banyak pengalaman, tetap saja merasa rendah diri dan takjub melihat istana dan isinya yang demikian megah dan mewah. Pangeran Cheng Boan merasa gembira melihat dua orang wanita cantik itu, apalagi mendengar dari Suma Kiang dan Toa Ok bahwa wanita yang lebih tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi sehingga dapat diandalkan memperkuat barisan pengawal dan jagoannya. Berbeda dengan Sian Hwa Sian-li Kim Goat yang dapat menikmati keberadaannya di dalam gedung istana Pangeran Cheng Boan itu, Ciang Mei Ling merasa tidak enak. Ia merasa dititipkan oleh Pangeran Cheng Lin kepada keluarga Pangeran Cheng Boan. Tentu saja ia mengharapkan untuk tinggal bersama Pangeran Cheng Lin. Bukankah ia sudah menjadi tunangan pangeran itu, bahkan secara sembunyi telah menjadi isterinya" Kenapa Pangeran Cheng Lin tidak mau segera menikahinya secara resmi dan membawanya ke istana" Diam-diam gadis ini merasa khawatir dan merasa tidak enak sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa "suaminya" itu dengan bebasnya berjina dengan Sian Hwa Sian-li, juga dengan tujuh orang selir muda Pangeran Chen Boan dalam rumah itu! Ia mulai merasa muak dan menyesal bahwa ia telah terlanjur menyerahkan diri kepada Pangeran Cheng Lin yang dulunya dikenal sebagai Ouw Ki Seng. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Suami tidak resmi itu adalah seorang pangeran. Bukan hal yang aneh kalau seorang pangeran mempunyai banyak orang selir. Ia menyesal sekali akan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Apa yang dapat ia lakukan kecuali menerima nasib" Mei Ling mulai segan menerima Pangeran Cheng Lin dalam kamarnya dan ia lebih banyak menangis kalau berada dalam kamarnya seorang diri. Kehadiran dua orang wanita kekasih Pangeran Cheng Lin ini menarik perhatian Cheng Kun. Pemuda bangsawan ini bukanlah seorang pemuda alim. Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua kehendaknya. Sejak dia remaja dia sudah berkeliaran dan bergaul dengan pemuda-pemuda yang selalu mengejar kesenangan. Dia sombong dan mata keranjang. Maka, tentu saja kehadiran dua orang wanita secantik Sian Hwa Sian-li dan Ciang Mei Ling di rumahnya tidak luput dari perhatiannya. Terutama sekali Sian Hwa Sian-Ji yang baginya amat menarik hati dan menggairahkan. Wanita yang banyak pengalaman ini-pun tidak tinggal diam. Begitu melihal putera pangeran yang biarpun tidak tampan namun gagah berwibawa itu, ia segera pasang aksi. Mata dan mulutnya membuat gerakan-gerakan memikat dengan kerling tajam dan senyum manis penB tantangan. Dari percakapannya dengan Ki Seng, ia mendengar keluhan pangeran itu bahwa keluarga istana tampaknya tidak senang kepadanya, mungkin karena ibunya seorang wanita Mongol. Hal ini menipiskan harapan Sian Hwa Sian-li untuk menjadi seorang di antara isteri Pangeran Cheng Lin yang mungkin kelak menjadi Kaisar! Maka perhatiannya beralih kepada putera Pangeran Cheng Boan. Selain alasan itu, juga pada dasarnya adalah seorang wanita mata keranjang yang tidak akan melewatkan pria, apalagi muda dan bangsawan pula, begitu saja! Pada suatu malam bulan purnam Tujuh orang selir muda Pangeran Che Boan bersenang-senang di bawah bulan purnama dalam taman. Mereka mengajak Sian Hwa Sian-li dan Ciang Mei Ling yang sudah akrab dengan mereka setelah kedua orang wanita itu tinggal di dalam istana pangeran itu selama kurang lebih satu bulan. Dalam kesempatan itu, atas desakan dan permintaan para selir, Sian Hwa Sian-li memperlihatkan kepandaian silatnya dengan bersilat menggunakan senjata sabuk sutera merahnya. Indah sekali ketika ia bersilat dengan selendang sutera merah itu. Selendang sutera itu lenyap bentuknya menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Ia tampak seperti seorang bidadari yang sedang menari. Setelah menyelesaikan tarian silatnya, sian Hwa Sian-li, dibantu para selir ganti membujuk Ciang Mei Ling untuk nemperlihatkan kepandaiannya. "Ah, aku malu untuk memperlihatkan ilmu silatku di depan Sian-li. Mana aku dapat dibandingkan dengan ia yang begitu lihai?" Mei Ling mencoba menolaknya karena ia tahu benar bahwa ilmu silatnya masih jauh kalah dibandingkan ilmu Sian Hwa Sian-li. "Ayolah, adik Mei Ling," bujuk para selir itu. "Engkau tidak bermain silat untuk Sian-li, melainkan untuk kami yang sama sekali tidak bisa silat." "Ilmu pedangnya bagus sekali!" kata sian Hwa Sian-li. Mendengar itu, para selir menggapai seorang pelayan dan memerintahkan agar para pelayan itu mengambilkan pedang milik Ciang Mei Ling yang berada di dalam kamarnya. Setelah pelayan datang membawa pedangnya, Mei Ling tidak dapat menolak lagi. Terpaksa ia lalu mencabut pedang itu dan bersilat pedang. Tentu saja ia memainkan Pek-engkiamsut (Ilmu Pedang Garuda Putih), yaitu ilmu andalannya. Benar saja, para selir yang tidak mengerti ilmu silat itu terpesona dan kagum. Gerakan Mei Ling demikian gesit, demikian indah sehingga mereka yang tidak mengerti ilmu silat tidak melihat bahwa ilmu pedang Mei Ling kalah kalau bertanding melawan ilmu sabuk sutera merah Sian Hwa Sianli. Setelah Mei Ling berhenti bermain pedang tiba-tiba giliran para selir itu yang memperlihatkan kepandaian mereka, meniup suling, memetik yang-kim, bernyanyi bahkan ada yang menari. Mereka bersenang-senang dan minum anggur harum sampai akhirnya mereka menjadi setengah, mabok. Setelah puas bersenang-senang, karena hawa udara mulai dingin, para selir itu lalu meninggalkan taman sambil tertawatawa. Mei Ling juga kembali ke kamarnya. Hanya Sian-li yang tinggal di taman. Ia masih ingin menikmati keindahan taman yang bermandikan cahaya bulan. ia minta kepada pelayan untuk meninggalkan seguci anggur dan sebuah cawan untuknya. Sian Hwa Sian-li duduk termenung. Ia merindukan Ki Seng, atau lebih tepat lagi, ia merindukan kehadiran seorang pria di sisinya pada saat seromantis itu. Ki Seng tidak pernah datang berkunjung di waktu malam, hanya pada pagi sampai sore hari. Dituangkannya anggur dalam cawan dan diminumnya perlahan-lahan, seolah hendak menikmati anggur itu sedikit demi sedikit. Dalam keadaan yang sunyi itu, suara langkah kaki di belakangnya dapat tertangkap pendengarannya yang tajam ter-latih. Sian Hwa Sian-li tidak bergerak, tetap duduk dengan santai di atas bangku menghadapi meja kayu yang kecil. Pendengarannya yang tajam memberitahu kepadanya bahwa yang datang menghampiri nya adalah seorang pria! Hal ini dapat ia ketahui dari bunyi langkah itu. Langkah wanita lebih ringan dari langkah pria. Langkah kaki ini berat dan tegap. Ia sudah dapat menduga siapa yang datang menghampirinya. "Sian-li...." orang yang datang itu memanggilnya lirih. Sian Hwa Sian-li menoleh dan wajahnya tersenyum manis sekali ketika matanya memandang kepada wajah Cheng Kun yang telah berdiri dekat di belakangnya. Ia lalu bangkit berdiri dan memberi hormat dengan gaya lemah gemulai. "Ain, kiranya engkau, Cheng-kongcu!" kata Sian Hwa Sianli, suaranya seperti bernyanyi. "Sian-li, sedang apakah engkau duduk seorang diri malammalam di dalam taman?" tanya Cheng Kun sambil memandangi wajah yang amat cantik jelita tertimpa sinar bulan yang lembut itu. Gigi yang seperti mutiara berjajar itu mengkilap ketika sepasang bibir itu terbuka. "Saya sedang minum anggur sambil menikmati indahnya taman di malam terang bulan purnama, Cheng-kongcu. Kongcu, silakan duduk dan maukah kongcu menemani saya minum anggur menikmati malam indah ini?" Cheng Kun merasa girang sekali. Wanita itu terangterangan menawarkan hubungan yang lebih akrab. Dia pun lalu duduk di atas bangku, bersanding dengan Sian Hwa Sianli. "Sian-li, tentu saja aku mau. Akan tetapi, benar-benarkah engkau ingin aku menemanimu minum arak malam ini?" Sian Hwa Sian-li mengerling dan tersenyum manis sekali. "Kenapa tidak" Saya benar-benar menginginkannya. Siapakah orangnya yang tidak ingin minum anggur menikmati keindahan taman, malam bulan purnama didampingi seorai pemuda yang ganteng dan gagah?" Cheng Kun menjadi semakin girang "Sian-li, engkaulah yang cantik jelita dan menarik hati, pula aku melihat ketika engkau bersilat sabuk sutera merah tadi. Alangkah indahnya, dan alangkah lihainya. Akan tetapi, kulihat di sini hanya ada sebuah cawan. Tidak ada cawan untukku." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aih, kongcu. Satu cawan bukankah sudah cukup" Secawan anggur kita minum berdua, bukankah menambah keharuman dan kehangatan anggur?" Setelah berkata demikian, Sian-li menuangkan anggur dari guci ke dalam cawan itu sampai penuh lalu menyerahkannya kepada Cheng Kun. Cheng Kun menerima cawan itu, membawanya ke dekat bibir lalu berkata dengan gembira. "Untuk persahabatan kita!" Dia minum anggur itu setengahnya dan menyerahkan cawan yang masih ada anggur setengahnya itu kepada Sian-li. "Giliranmu minum. Secawan diminum berdua katamu tadi!" kata Cheng Kun. Sian-li tersenyum dan minum anggur dari cawan itu. Kemudian ia mengisi lagi cawan kosong itu dengan anggur sampai penuh. Akan tetapi ketika ia menyerahkannya kepada Cheng Kun, pemuda itu berkata sambil tersenyum. "Sekarang giliranmu minum lebih dulu, Sian-li." Sian Hwa Sian-li tidak membantah. Ia mengangkat cawan itu dan berkata, "Untuk malam indah ini yang mempertemukan kita berdua!" Dan iapun minum anggur setengahnya, lalu yang setengah cawan lagi diminum habis oleh Cheng Kun. Demikianlah, mereka berdua berganti-ganti minum anggur dari satu cawan sehingga tubuh terasa hangat dan suasana menjadi gembira. Akan tetapi tiba-tiba Sian Hwa Sian li menggerakkan kedua pundaknya seperti orang menggigil. "Ihh, malam indah sudah larut dan hawa mulai dingin sekali. Kalau minum dalam kamar tertutup tentu akan hangat dan nyaman." Tentu saja ucapan yang jelas mengandung ajakan ini tidak disia-siakan oleh Cheng Kun yang telah dicengkeram nafsunya sendiri yang berkobar. "Benar sekali, Sian-li. Bagaimanai kalau kita melanjutkan minum angur dalam kamarmu?" Sian Hwa Sian-li pura-pura terkejut kemalu-maluan dan mengerling genit sambil tersenyum. "Ihhh, kongcu.....!" desahnya manja. "Bagaimana, maukah engkau kutemani minum anggur dalam kamarmu?" Cheng Kun yang sudah yakin menang itu mendesak. Sian Hwa Sian-li mengangguk dan keduanya bangkit. Wanita itu dengan langkah gemulai meninggalkan taman, di kuti oleh Cheng Kun yang membawakan guci anggur dan cawan masih terisi anggur setengahnya. Bagaikan dua orang maling, mereka berindap-indap. Namun malam itu sudah larut dan hawa udara amat dinginnya sehingga tidak ada penghuni rumah yang masih berada di luar kamarnya. Mereka dapat memasuki kamar Sian Hwa Sian-li tanpa diketahui orang lain. Dalam kamar itu mereka melanjutkan kesenangan mereka berenang dalam lautan nafsu yang memabokkan dan membuat mereka lupa akan segala. Kemewahan dan kemegahan yang bergelimpangan merupakan wujud lahiriah yang belum tentu membungkus sesuatu yang indah dan bersih. Segala macam kekayaan, kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, bahkan agama hanya merupakan pakaian yang tidak menentukan kebersihan si pemakai. Pakaian itu memang indah dan juga bersih, namun belum dapat dipastikan bahwa si pemakai menjadi bersih pula. Bahkan banyak sekali terjadi dalam keluarga bangsawan-bangsawan tinggi, hartawan-hartawan yang kaya raya, yang hidupnya dihormati semua orang, tampak agung berwibawa, di dalamnya terdapat hal-hal yang kotor sekali, jauh lebih kotor daripada kekotoran yang terdapat dalam keluarga miskin sederhana. Hal ini tidaklah aneh karena segala kecemerlangan lahiriah itu bahkan menjadi pendorong untuk orang yang memilikinya untuk melakukan hal-hal yang kotor. Harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu yang semestinya selain untuk dipergunakan untuk kebutuhan keluarga sendiri, juga sisanya yang banyak dapat dimanfaatkan untuk menolong orangorang yang kekurangan, bahkan mereka pergunakan untuk mencapai keinginan mereka. Untuk mendapatkan kekuasaan, untuk mendapatkan kemenangan, dan untuk mendapatkan apa yang dikejar untuk memuaskan nafsu-nafsu pribadinya. Dalam rumah gedung milik Pangeran Cheng Boan yang indah seperti istana itu telah terjadi hal-hal yang amat kotor menjijikkan. Pertama-tama Pangeran Cheng Boan yang sudah tidak kekurangan apapun itu merencanakan siasat yang jahat dan keji untuk meraih kedudukan tertinggi! Kemudian, setelah Ki Seng bersekutu dengannya, Ki Seng melakukan perjinaan dengan semua selir pangeran itu dan sang pangeran purapura tidak tahu dan mendiamkannya saja. Kini terjadi lagi hal yang tidak senonoh. Cheng Kun bermain gila dengan Sian Hwa Sian-i di dalam gedung itu juga! Menjelang fajar, sebelum meninggalkan kamar Sian Hwa Sian-li, Cheng Kun berkata kepada wanita itu, "Sian-li, kita Ini telah menjadi orang sendiri. Aku akan berterus terang kepadamu dan minta bantuanmu. Terus terang saja aku juga tergila-gila kepada Ciang Mei Ling.bantulah aku untuk mendapatkannya, Sian-li." Sian Hwa Sian-li mengerutkan diam dan pura-pura cemberut. Padahal dalam hatinya ia merasa geli. Baginya tidak ada rasa cemburu karena ia menyerahkan diri kepada pemuda itu tidak berikut hatinya. Baginya Cheng Kun hanyalah sebuah di antara alat-alat baginya untuk menyenangkan diri, untuk memuaskan nafsu birahinya dan tentu saja demi mencapai cita-citanya agar dapat hidup mulia dan terhormat di masa depan. Tentu saja ia suka membantu karena ia tahu bahwa tidak mungkin memonopoli pemuda bangsawan ini untuk dirinya sendiri dan kalau ia membantu sampai berhasil, berati Cheng Kun berhutang budi kepadanya. "Hemm, Cheng Kongcu, engkau mau mendapatkan Mei Ling dan lupa kepadaku." "Tidak mungkin aku melupakanmu. Bahkan kalau engkau mau membantu sampai berhasil, engkau menjadi pembantuku yang setia." "Apakah engkau tidak takut kalau ketahuan Pangeran Cheng Lin" Ingat, kini berdua adalah kekasihnya dan kalau dia tahu bahwa kongcu menggoda kami, tentu dia akan marah." "Kenapa dia harus marah" Dia telah merayu dan memiliki hubungan gelap dengan semua ibu tiriku, aku dan ayah juga mengetahuinya dan tidak marah kepada-nya. Sudahlah, jangan khawatir tentang pangeran Cheng Lin, dia pasti tidak akan marah. Maukah engkau membantuku, sayang?" "Baiklah, akan tetapi setelah berhasil, engkau harus memberi hadiah yang amat langka dan berharga untukku, Kongcu." "Jangan khawatir, kalau berhasil aku akan memberimu sepasang giwang dari berlian yang amat indah dan mahal harganya." Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi girang dan mereka berdua lalu mengatur siasat. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam, Ciang Mei Ling duduk seorang diri dalam kamarnya. Wanita muda ini termenung sedih. Baru sekarang ia mendapat dugaan bahwa dirinya dipermainkan oleh Pangeran Cheng Lin. Terkenanglah ia akan semua pengalamannya dahulu Pangeran Cheng Lin yang dahulu bernama Ouw Ki Seng sebagai ketua Ban-tok pang itu datang dan mengadakan persahabatan dengan ayahnya yang menjadi ketua Pek-eng-pang. -00dw00kz00- Jilid XXIV KEMUDIAN, Ki Seng itu membantu ayahnya mendapatkan kembali kereta berisi barang kawalan yang di-rampas oleh Sian Hwa Sian-li. Kemudian ia dijodohkan oleh ayahnya kepada Ouw Ki Seng. Dan terjadilah malapetaka itu. Ayahnya terbunuh penjahat, Dan secara aneh penuh rahasia, ia telah menyerahkan diri kepada Ouw Ki Seng. Sampai sekarang hal itu masih menjadi rahasia baginya. Tentu saja ia bukan gadis semurah itu, menyerahkan diri begitu saja di luar pernikahan kepada seorang pemuda. Hal itu terjadi di luar kesadarannya, hal yang amat aneh dan sampai sekarang masih merupakan teka-teki yang belum dapat terjawab olehnya. Sekarang, baru tampak olehnya watak aseli pria yang menjadi tunangannya, bahkan yang telah merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis itu. Ternyata di antara Ki Seng dan Sian Hwa Sian-li terjalin hubungan gelap, Bukan hanya itu, bahkan setelah berada di gedung keluarga Pangeran Cheng Boan, ia melihat sendiri betapa Ki Seng juga berhubungan mesum dengan ketujuh selir pangeran itu. Ia merasa muak sekali dan mulai merasa tidak betah tinggal di situ. "Tok-tok-tok.....!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar. "Siapa di luar?" tanya Mei Ling sambil bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pintu. "Adik Mei Ling, engkau belum tidur" Ini aku, bukalah pintumu!" terdengar jawaban suara Sian Hwa Sian-li. Mendengar suara itu, Mei Ling lalu membuka daun pintu dan masuklah Sian Hwa Sian-li. Ia membawa seguci anggur dan dua cawan. Diletakkannya guci dan cawan ke atas meja dan iapun duduk di atas sebuah kursi tanpa dipersilakan lagi. Hubungannya dengan Mei Ling memang sudah akrab. "Sukur engkau belum tidur, Mei Ling." katanya sambil tersenyum. "Aku masih belum mengantuk dan belum ingin tidur." kata Mei Ling sejujur-nya. "Sama kalau begitu. Akupun tidak dapat tidur, maka aku lalu mencarimu untuk kuajak minum anggur agar nanti enak tidur. Mari kita minum dan lupakan segala masalah, Ling-moi (adik Ling)." Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur ke dalam dua cawan itu. Mei Ling merasa bersukur juga atas kedatangan Sian Hwa Sian-li. Setidaknya kedatangan wanita itu mengalihkan perhatiannya daripada renungan yang menyedihkan hatinya. Ia menerima cawan dan minum isinya. Dadanya terasa hangat setelah anggur itu memasuki perutnya. Mereka duduk berhadapan dan Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur lagi ke dalam dua cawan mereka. Mei Ling menghela napas panjang berulang kali, masih teringat akan renungannya tadi. "Eh, Mei Ling, kulihat engkau seperti sedang bersusah hati. Ada apakah?" "Enci Sian-li, aku merasa tidak betah tinggal di sini lebih lama lagi!" kata Mei Ling, mengungkapkan perasaan hatinya karena tidak orang lain lagi yang dapat diajak bicara. "Eh" Mengapa, Mei Ling" Bukankah kita hidup di sini serba mewah, cukup dan senang, dan juga setiap hari kita dapat berjumpa dengan Pangeran Cheng Lin?" tanya Sian Hwa Sianli sambil memandang heran penuh selidlk. Mei Ling menghela napas panjang lagi. "Justru karena kedatangannya setiap hari di sini membuat aku merasa tidak betah tinggal di sini!" katanya, teringat dengan hati muak ketika Pangeran Cheng Lin memasuki kamar para selir Pangeran Cheng Boan dan bercumbu dengan mereka di kamar itu. "Eh" Mengapa begitu" Oh, mengerti aku sekarang. Agaknya engkau merasa cemburu dan tidak senang melihat Pangeran Cheng Lin bermesraan dengan para selir muda itu. Memang begitulah watak pria. Selalu menyakiti hati wanita dengan penyelewengan-penyelewengannya. Akan tetapi menurut pendapatku, kita wanita jangan mudah saja dipermainkan seperti itu. Kalau pria pandai menyeleweng, kenapa kita tidak" Kita balas penyelewengan mereka, baru hati ini tidak penasaran dan merasa puas!" Mei Ling mengerutkan alisnya. "Enci Sian-li, aku bukan wanita macam begitu!" katanya ketus. "Hemm, baiklah. Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi. Mari kita minum sepuasnya dan melupakan semua itu." ia menuangkan lagi cawan yang ketiga, mereka minum, lalu dituangkannya lagi cawan ke empat dan seterusnya. Setelah anggur satu guci itu habis, Mei Ling merebahkan kepalanya di atas meja, berbantalkan lengannya sendiri. Sian Hwa Sian-li tersenyum puas. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas bertulis dari balik ikat pinggangnya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia memapah Mei Ling yang sudah mabok, lalu membawa gadis itu terhuyung menuju ke kamar sebelah dalam, yaitu kamar Cheng Kun. Diketuknya pintu kamar itu lima kali sebagai isarat. Daun pintu terbuki dan Cheng Kun menyambut dengan senyum girang. Dia menerima Mei Ling yang harus dipapahnya memasuki kamat dan Sian Hwa Sian-li lalu pergi setelah pintu kamar ditutup dari dalam. Sambil tersenyum ia kembali ke kamar Mei Ling mengambil guci dan dua cawan, lalu keluar lagi, menutupkan daun pintu dari luar, kemudian ia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Di bawah pengaruh obat perangsang yang memabokkan, dalam keadaan tidak sadar Ciang Mei Ling menyerahkan diri dengan gairah dan dengan suka rela kepada Cheng Kun yang tentu saja merasa girang bukan main. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Mei Ling terbangun dan sadar sepenuhnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang asing baginya, rebah telentang tanpa pakaian, di samping tubuh Cheng Kun yang masih tidur mendengkur. Pemuda itu juga dalam keadaan tanpa pakaian. Ia kaget setengah mati dan lapat-lapat terbayang olehnya betapa ia telah melayani pemuda itu bermain cinta. Cepat Mei Ling menyambar pakaiannya dan setelah mengenakan semua pakaiannya, ia menyambar selimut dan melemparkan ke atas tubuh. Cheng Kun yang telanjang, lalu mengguncang pundak pemuda itu dengan kuat. Cheng Kun terbangun dengan kaget, lalu bangkit duduk, badan bagian bawah tertutup selimut. Dan terbelalak memandang Mei Ling yang sudah berpakaian dan kini berdiri memandangnya seperti seekor singa betina marah. "Jahanam busuk! Apa yang telah kau lakukan padaku" Engkau memperkosa aku selagi aku berada dalam keadaan mabok! Engkau patut kubunuh!" Ia sudah siap menyerang dengan pukulan maut. "Nona Ciang Mei Ling, tenang dan lihatlah baik-baik! Bagaimana kaukatakan bahwa aku memperkosamu" Bukan aku yang datang memasuki kamarmu, melainkan engkau yang berada di kamarku! Engkau yang mendatangi aku bukan aku yang mendatangimu." Mei Ling memandang ke sekeliling, Kamar itu diterangi lampu yang remang-remang, namun ia masih dapat melihat dengan jelas bahwa ini bukanlah kamarnya. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bagaimana hal ini dapat terjadi" Bagaimana aku dapat berada di kamar ini dan.... dan.... apa yang telah terjadi.....?" tanyanya bingung dan menyadari bahwa ucapan Cheng Kun tadi benar. Ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu yang menggaulinya dengan paksa karena ialah yang berada di kamar pemuda itu! "Tadi malam aku sudah tidur ketia daun pintu kamarku terketuk. Ketika aku membukanya, ternyata engkau yang mengetuk dan engkau langsung masuk ke dalam kamarku ini dan engkau yang menghendaki untuk tidur bersamaku di sini. Aku sama sekali tidak memaksamu, nona. Semua terjadi dengan suka rela, atas kehendak kita berdua." Mei Ling tidak tahan mendengarkan terus. Ia merasa malu, merasa rendali dan hina. Ia lari ke pintu membukanya dan berlari keluar ke kamarnya. Pintu kamarnya tertutup dari luar, ia membukanya dan berlari masuk. Dilihatnya di atas meja terdapat sepotong kertas bertulis dan cepat diambil dan dibacanya surat itu. "Adik Mei Ling, Karena engkau mabok berat, maka aku tidak dapat pamit dan aku tinggalkan engkau melepaskan lelah. Senang sekali telah dapat minum bersama malam, ini. Sian Hwa Sian-li." Mei Ling terduduk lemas di atas kursi. Ia mengingat-ingat. Kini teringat-lah ia bahwa semalam ia minum anggur bersama Sian Hwa Sian-li di kamarnya ini. Hanya sampai di situ ingatannya. Tahu-tahu ia terbangun dalam keadaan telanjang bulat di samping Cheng Kun, di atas pembaringan pemuda itu, dalam kamar pemuda itu. Dan samar-samar teringatlah ia betapa ia telah melayani pemuda itu dengan senang hati. Teringat akan semua itu, meledaklah tangis Mei Ling. Ia menangis tersedu-sedu, menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar sampai keluar kamarnya. "Tidak mungkin.....! Tidak mungkin...!" Ia berseru dalam tangisnya. Bagaimana mungkin ia berbuat seperti itu" Mendatangi kamar Cheng Kun dan mengajak pemuda itu tidur bersama" Ia bukan wanita macam itu. Sedikitpun tidak pernah ada dalam benaknya untuk berbuat tidak senonoh seperti itu. Tiba-tiba ia melempar dirinya ke atas pembaringan, menangis tersedu-sedu, membenamkan mukanya pada bantal. Akan tetapi ia bangkit duduk dan sedu-sedannya terhenti tiba-tiba. Ia teringat sesuatu. Teringat akan peristiwa yang dialaminya bersama Ki Seng. Betapa mirip benar dengan peristiwa semalam. Ketika itu, ia minum-minum dengan Ki Seng di taman. Kemudian ia tidak tahu apa-apa lagi, tidak ingat apa yang terjadi dan tahu-tahu ia terbangun di dalam kamar Ki Seng, di atas pembaringannya dan ia telah menyerahkan kehormatannya, kegadisannya, kepada Ki Seng tanpa ia sadari. Betapa besar persamaannya dengan peristiwa semalam. Agaknya rahasianya terletak pada minuman itu. Setelah minum, ia menjadi mabok dan selanjutnya ia tidak tahu apa yang terjadi dan tahu-tahu terbangun di atas tempat tidur dalam kamar seorang laki-laki dan ia telah menyerahkan dirinya. Teringat ini, ia bangkit berdiri dan menyambar pedangnya yang tergantung di dinding kamar. Sian Hwa Sianli agaknya yang menjadi biang keladinya, atau setidaknya ia tahu akan hal ini. Ia akan memaksa wanita itu mengakui terus terang apa yang terkandung dalam anggur semalam dan apa yang sebenarnya telah terjadi. Akan tetapi baru saja tiga langkah ia menuju pintu, ia menahan kakinya, memutar tubuh dan dengan lemas kembali duduk di atas kursi dan meletakkan pedang yang sudah dicabutnya ke atas meja. Ia teringat bahwa ia sama sekali bukan tandingan Sian Hwa Sian-li. Kalau ia menggunakan kekerasan, ia pasti kalah. Pula, Sian Hwa Sian-li sudah menjelaskan peristiwa semalam dalam surat yang ditinggalkannya di atas meja. Kepada siapa ia harus menuntut" Tidak ada bukti apapun bahwa Sian Hwa Sian-li yang mengatur semua itu. Tidak ada bukti bahwa ia keracunan. Tidak ada bukti bahwa ia diperkosa. Bahkan buktinya ia sendiri yang berada di kamar Cheng Kun! Kalau ia ribut-ribut, tentu peristiwa itu terbuka dan diketahui semua orang bahwa semalam ia telah tidur di kamar Cheng Kun. Akibatnya ia sendiri yang akan menderita malu. Mei Ling mengembalikan pedangnya, disarungkan dan digantungkan di dinding kembali. Ia tidak menangis lagi. Pada wajahnya terbayang suatu tekad dan keteguhan hati. Ia akan menyelidiki mereka semua. Ia akan mempergunakan kesempatan selagi ia berada di istana pangeran itu untuk menyelidiki semua. Ia harus dapat membongkar rahasia Sian Hwa Sian-li yang ia duga menjadi biang keladi sehingga dirinya dua kali menyerahkan kehormatannya kepada dua orang pria. Iapun akan menyelidiki keadaan Pangeran Cheng Lin yang sama sekali tidak mendatangkan rasa kagum dan hormat dalam dirinya. Bahkan rasa cinta yang pernah ada terhadap pemuda itu kini hampir lenyap, terganti kemuakan dan kecurigaan. Ia harus menyelidiki apa hubungan yang ada antara Pangeran Cheng Lin dan Pangeran Cheng Boan yang membiarkan Pangeran Cheng Lin menggauli semua selir mudanya. Pasti ada apa-apa-nya di sini, pikirnya. "Enci Siang Kui, kenapa engkau menangis begini sedih?" Tanya Sian Eng yang memasuki kamar Lo Siang Kui dan mendapatkan gadis itu menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Sian Eng duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak saudara sepupunya itu. Mendengar pertanyaan dan merasakan sentuhan tangan Sian Eng, Siang Kui menjadi semakin mengguguk menangis. Sian Eng maklum bahwa gadis itu sedang tercekam kesusahan, maka ia tahu bahwa sebaiknya dalam keadaan seperti itu, ia membiarkan menangis agar sedihnya larut bersama air matanya. Setelah tangisnya mereda, Siang Kui bangkit duduk dan pada saat itulah Sian Eng yang masih duduk di tepi pembaringan mengulangi pertanyaannya. "Enci Siang Kui, apakah yang terjadi sehingga engkau menjadi sedih begini" Katakanlah kepadaku, barangkali aku dapat menolongmu." Siang Kui menyusut air matanya dengan saputangan. "Apakah engkau tidak melihat, Eng-moi (adik Eng)" Biasanya setiap seminggu dua kali dia pasti datan berkunjung. Akan tetapi akhir-akhir ini, belum tentu dua minggu sekali dia datang dan kalau dia datang, sikapnya kepadaku dingin saja. Aku tahu dan merasakan bahwa tentu ada apa-apa yang terjadi kepadanya yang membuat dia seolah-olah tidak tertarik dan tidak perduli lagi kepadaku, tidak mencinta lagi......" Sian Kui menghapus lagi air matanya yang bercucuran. "Aahhh.... Cheng Kun Kongcu yang kau maksudkan" Aku tahu itu dan aku pun diam-diam merasa heran." "Eng-moi, apa yang dapat kulakukan" Apa yang harus kulakukan agar dia dapat berubah kembali sikapnya seperti dulu?" "Kui-ci (kakak Kui), engkau amat mencinta Cheng Kongcu, bukan?" "Tentu saja! Aku mencintanya setengah mati!" "Kalau memang begitu, kenapa engkau tidak segera menikah saja dengannya" Setelah menikah, engkau tentu akan tinggal serumah dengan dia dan setiap hari dapat berkumpul." "Kepastian hari pernikahan tentu saja bergantung kepadanya, Eng-moi. Aku dan ayah hanya menanti keputusannya saja." "Kalau begitu, nanti bila dia datang, utarakanlah keinginanmu untuk segera menikah dengannya." "Sudah, Eng-moi. Tempo hari aku sudah kemukakan hal ini, minta agar dia segera menentukan hari pernikahan, akan tetapi dia malah menjadi marah dan mencelaku terlalu tergesa-gesa karena dia masih harus menyelesaikan dulu banyak urusan penting tanpa menerangkan apa urusan penting itu." "Hemm, kalau begitu, terpaksa engkau harus menunggu, enci Kui." "Akan tetapi yang merisaukan hatiku adalah sikapnya, Engmoi. Menunggu hari pernikahanku sih bukan masalah, aku dapat menunggu sampai kapanpun. Akan tetapi sikapnya yang dingin, dan jarangnya dia datang berkunjung. Bayangkan, sudah hampir tiga minggu ini dia tidak pernah datang, memberi kabarpun tidak. Padahal, kalau dia memang ingat kepadaku, dia kan mempunyai banyak pelayan untuk disuruh memberi kabar kepadaku" Jarak dari istana ayahnya sampai ke tempat ini pun tidak berapa jauh." Melihat kesedihan dan kemarahan kakak sepupunya, Sian Eng lalu menghibur dan berkata, "Sudahlah, tidak perlu bersusah hati benar, enci Kui. Kalau memang engkau merasa penasaran, kenapJ engkau tidak datang saja menyusul ke sana, bertemu dengannya dan menanyakan sendiri" Engkau bukan seorang gadis lemah dan cengeng!" Bangkitlah semangat Lo Siang Kui mendengar ucapan Sian Eng ini. Ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Engkau benar! Tentu ada apa-apa yang tidak beres dengan dia dan aku harus mengetahui hal itu. Aku harus menyusulnya ke rumahnya dan menanya kan hal ini kepadanya. Dia harus berterus terang. Kalau dia sudah tidak cinta lagi kepadaku, biar putus saja hubungan ini. Aku tidak mau dipermainkan!" "Bagus! Begitulah seharusnya sikap seorang wanita gagah, bukan seperti wanita-wanita lemah dan cengeng yang bisanya hanya menangis kalau dipermainkan pria." kata Sian Eng. Dara perkasa ini bukan sekadar memanaskan hati Siang Kui, melainkan ucapannya itu keluar dari lubuk hatinya, sesuai dengan wataknya yang keras. Andaikata apa yang dialami Siang Kui itu menimpa padanya, tentu iapun akan mengambil sikap tegas seperti yang ia anjurkan kepada Siang Kui. Siang Kui segera berganti pakaian baru dan membedaki mukanya agar tidak tampak bekas tangisnya. Kemudian, tanpa pamit kepada ayah dan keluarganya, dan hanya Sian Eng saja yang mengetahuinya, iapun meninggalkan perguruan Hektiauw Bu-koan dan menuju ke rumah gedung besar milik Pangeran Cheng Boan yang seperti istana itu. Ketika Siang Kui tiba di pintu gapura pekarangan istana Pangeran Cheng Boan, lima orang perajurit penjaga menghadangnya. Seorang di antara lima orang perajurit itu, melihat Siang Kui yang cantik, segera timbul niatnya untuk menggoda. "Selamat siang, nona manis. Nona hendak mencari siapakah?" tanyanya sambil menyeringai dan memasang gaya cengar-cengir. "Aku hendak bertemu dengan Cheng Kongcu." kata Siang Kui singkat tanpa menanggapi ucapan ceriwis itu. "Wah, tidak mudah bertemu dengan Cheng Kongcu, nona manis. Bagaimana kalau bertemu dan bicara dengan aku saja" Aku akan melayanimu dengan baik-baik. Percayalah!" kata penjaga itu dengan sikap genit. Empat orang penjaga yang lain tertawa-tawa melihat tingkah rekan mereka yang genit itu. Selagi Siang Kui hendak marah dan menghajar penjaga yang kurang ajar itu, muncul seorang kepala jaga yang lebih tua. Begitu melihat Siang Kui, dia segera mengenal gadis itu dan cepat maju memberi hormat. "Ah, kiranya Lo Siocia (Nona Lo) yang datang. Apa yang dapat kami lakukan untukmu, nona?" "Aku ingin bertemu dengan Cheng Kongcu." "Tadi saya lihat dia berada di taman bunga. Biar saya laporkan, nona." "Tidak usah, biar aku mencarinya sendiri di taman." kata Siang Kui dan ia lalu cepat masuk dan membelok ke taman bunga yang berada di kiri gedung. Taman itu luas sekali, berada di sebelah kiri gedung terus sampai ke belakang gedung. Lima orang penjaga muda itu merasa heran melihat sikap kepala jaga yang demikian hormat kepada gadis cantik tadi. "Kau gila! Kaukira siapa yang kau permainkan tadi?" bentak kepala jaga kepada penjaga yang tadi menggoda Siang Kui. "Ia.... ia siapakah.....?" tanya si penggoda tadi. "Mau tahu" Ia adalah tunangan Cheng Kongcu! Dan ia adalah puteri Lo Kauwsu (Guru Silat Lo) ketua dari Hek-tiauw Bu-Koan. Ia tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi!" Si penggoda tadi menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Wah..... celaka.....! Aku.... aku tidak tahu.....!" "Hayo cepat engkau hajar mulutmu yang lancang itu sendiri atau aku akar melaporkan kelakuanmu kepada Cheng Kongcu!" "Ah, jangan..... jangan..... jangan lapor. Baik, aku akan menghajar mulutki sendiri .....!" kata si penggoda itu dar diapun lalu menggunakan kedua tangannya untuk menampari mulutnya sendil dari kanan kiri. "Plok-plak-pIok-plak...." berulang kali sampai bibirnya pecah berdarah, ditertawakan oleh teman-temannya Sementara itu, Lo Siang Kui memasuki taman. Setelah tiba di taman bunga bagian belakang, dari jauh ia melihat Cheng Kongcu berjalan perlahan bersama seorang wanita. Ia melihat mereka dari belakang dan tampaknya mereka berdua itu berjalan berdampingan dan bercakap-cakap dengan asyik. Siang Kui mengerutkan alisnya dan ia lalu membayangi dari belakang, bersembunyi di balik-balik rumpun bunga atau batang pohon, makin mendekati mereka. "Sian-li." ia mendengar suara Cheng Kun bicara, "aku sudah menerangkan semua hal kepadamu, apakah engkau masih juga tidak percaya?" Siang Kui mendengarkan dengan penuh perhatian. "Akan tetapi, Cheng Kongcu, agaknya tidak masuk di akal." terdengar wanita itu berkata. "Bukankah dia telah membuktikan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan memiliki Suling Pusaka Kemala, bahkan Sribaginda kaisar sendiri telah menerima dan mengakuinya sebagai puteranya?" "Semua orang memang dapat terpedaya, akan tetapi pembantu ayahku yang bernama Suma Kiang tidak dapat dikelabuhi karena dia mengenal Pangeran Cheng Lin yang aseli. Ketika dia didesak dan diterima sebagai sekutu ayah, akhirnya dia mengaku. Suling itu dicurinya dari Pangeran Cheng Lin yang aseli. Sebenarnya dia adalah Ouw Ki Seng ketua Ban-tok-pang." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aih, sungguh tidak kusangka sama sekali. Aku juga telah ditipunya!" seru wanita itu. "Hal ini sebetulnya harus dirahasiakan. Yang mengetahuinya hanya ayah, aku, Paman Suma Kiang dan Paman Toa Ok. Akan tetapi karena engkau telah menjadi sekutu dan.... kekasihku yang ku-percaya, maka aku memberitahu kepadamu." "Terima kasih, Kongcu. Engkau sungguh baik sekali kepadaku!" kata wanita itu yang membiarkan dirinya dipeluk dan dicium. Siang Kui tidak dapat menahan diri lagi. ia melompat keluar dan gerakannya ini dapat ditangkap pendengaran Sian Hwa Sian-li yang amat tajam. Sian-li cepat melepaskan rangkulan Ciang Kun, membalikkan tubuhnya dan melompat ke depan Lo Siang Kui. Melihat bahwa wanita yang dicumbu Cheng Kun ternyata amat cantik, Siang Kui menjadi semakin cemburu. Wataknya memang keras dan galak, maka melihat wanita itu menghampirinya, tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan jurus Hek-tiauw-pok-touw (Rajawali Hi-tam Menyambar Kelenci), tangan kirinya mencengkeram ke arah muka sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini sungguh keji dan berbahaya. Kalau tangan kiri mengenai sasaran, muka yang cantik dari Sian Hwa Sian-li tentu akan rusak dan kalau tangan kanan yang mengenai dada, dapat menewaskan wanita cantik itu! Namun, tingkat kepandaian Sian Hwa Sian-li jauh lebih tinggi daripada tingkat Lo Siang Kui, maka biarpun ia juga harus berlaku waspada dan hati-hati, dengan Cepat ia dapat menghindarkan diri dengan melangkah ke belakang dan menjauhkan sasaran yang diserang. Melihat serangennya gagal, Siang Kui menjadi penasaran dan menyambung dengan serangan beruntun. Karena tidak mengenai siapa wanita itu yang tanpa sebab menyerangnya, Sian Hwa Sian-li tidak bertindak sembrono dan iapun mempergunakan kecepatan gerakan untuk menghindar. Sampai tujuh kali ia menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Cheng Kun terkejut melihat munculnya Siang Kui yang tibatiba menyerang Sian Hwa Sian-li kalang kabut. "Kui-moi, jangan serang!" bentaknya, akan tetapi Siang Kui yang galak sudah terlalu marah untuk dapat menghentikan serangannya. la.menyerang terus. "Dukk.....!" Sian Hwa Sian-li kini menangkis dan karena tenaga sin-kangnya lebih kuat, maka Siang Kui terhuyung ke belakang. Akan tetapi, kenyataan bahwa ia kalah kuat itu tidak membuat ia mundur. Ia menyerang lagi dengan gencar. Cheng Kun tahu bahwa Sian Hwa Sian-li amat lihai. "Sian-li, jangan, bunuh ia!" Dia memperingatkan. Sambil mengelak ke kanan kiri, Sian-li bertanya, "Kongcu, ia ini siapakah?" "Ia tunanganku, jangan bunuh!" kata lagi Cheng Kun. Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li memperoleh kesempatan. Ia menggunakan sebagian besar tenaganya untuk menangkis pukulan Siang Kui sehingga gadis itu terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan Sian Hwa Sian-li untuk balas menyerang. Tangan kirinya menampar pundak, membuat Siang Kui terputar dan tangan kanannya menampar tengkuk. Siang Kui yang pingsan itu tidak sampai terbanting jatuh. "Dia terluka.....?" tanya Cheng Kun khawatir. "Tidak, hanya pingsan. Sebaiknya kita bawa ke dalam dan kalau ia siuman, kau bujuk ia agar lain kali jangan bersikap galak kepadaku. Pergunakan ini untuk menjinakkannya." kata Sian-li sambil menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan merah kepada Cheng Kun. Cheng Kun tersenyum dan dia lalu memondong tubuh Siang Kui yang pingsan, lalu dia membawanya ke rumah gedung. Di dalam rumah, dia bertemu dengan para pelayan dan para ibu tirinya, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusannya dan tidak berani bertanya. Ketika ibunya sendiri yang muncul, ibunya bertanya. "Ada apakah" Kenapa ia....." Ehh, bukankah ia Lo Siang Kui, tunanganmu" Kenapa ia?" "Agaknya masuk angin, ibu. Ia pingsan, biarlah aku akan merawatnya dalam kamarku." kata Cheng Kun dan ibu kandungnya tidak berkata apa-apa lagi. Ibu yang anaknya hanya tunggal ini sejak Cheng Kun masih kecil terlalu memanjakannya. Tidak ada permintaan yang tidak diturutinya. Setelah kini Cheng Kun dewasa, ibunya tidak berani menghalangi semua perbuatannya karena kalau ia melakukan itu, anaknya tentu akan melawannya dan bersikap kasar kepadanya. Karena itu, melihat puteranya membawa tunangannya itu ke dalam kamar, iapun tidak berani melarang, hanya menggeleng kepala dan menghela napas lalu pergi meninggalkan tempat itu. Di dalam kamarnya, Cheng Kun merebahkan tubuh Siang Kui di atas pembaringan dan seperti yang telah diajarkan oleh Sian Hwa Sian-li, dia mengurut perlahan tengkuk gadis itu. Tak lama kemudian Siang Kui mengeluh lirih dan bergerak, lalu membuka matanya. Melihat dirinya rebah di atas pembaringan dan Cheng Kun duduk di tepi pembaringan, ia terkejut dan mencoba untuk bangkit duduk. "Di mana ia" Perempuan busuk itu...!" "Tenanglah, Kui-moi." Cheng Kun me-nekan kedua pundak gadis itu dengan lembut agar Siang Kui tetap rebah telentang. "Ia adalah seorang di antara pembantu-pembantu ayah yang amat lihai. Engkau sama sekali bukan tandingannya dan ia tidak ingin mencelakaimu. Bukti nya engkaupun tidak terluka. Akan tetapi engkau masih lemah dan pikiranmu kacau, maka minumlah dulu anggur ini agar hati dan pikiranmu menjadi tenang." Sambil berkata demikian, Ciang Kun mengambil sebuah cawan penuh anggur merah yang sudah dipersiapkan sejak tadi dan dia membantu Siang Kui bangun duduk, merangkul pundaknya dan memberinya minum anggur itu. Melihat betapa dirinya dirangkul dan diperlakukan dengan sikap lembut dan manis oleh tunangannya, meredalah kemarahan Siang Kui dan ia tidak menolak ketika dianjurkan untuk minum anggur dalam cawan yang sudah ditempelkan ke bibirnya oleh Cheng Kun. Ia minum anggur secawan itu sampai habis. "Nah, sekarang rebahlah kembali dan mengaso sebentar sampai tubuhmu segar dan pikiranmu tenang kembali." kata Cheng Kun sambil membantu gadis itu merebahkan kepalanya di atas bantal. Matanya terpejam dan ia merasakan betapa seluruh tubuhnya dijalari kehangatan setelah anggur tadi diminumnya. Rasa hangat yang nikmat sekali. Rasa hangat itu perlahan-lahan menjadi semakin panas dan akhirnya ia mengerang lirih karena tubuh, hati dan pikirannya telah dibakar oleh gairah berahi yang berkobar. Ia merasakan betapa kedua tangan Cheng Kun membelainya, akan tetapi ia tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan girang. Gairah yang tidak wajar membakarnya dan menuntut kepuasan. Akhirnya ia lupa akan segala. Bukan saja ia menurut saja akan apapun yang akan dilaku-kan Cheng Kun atas dirinya, bahkan ia menyambutnya penuh gairah. Dalam jaman apapun, wanita selalu terancam oleh bujuk rayu pria. Oleh karena itu, para pria, terutama para gadis remaja dan mulai dewasa, haruslah waspada sekali, pandai menjaga diri, kehormatan dan harga dirinya. Tentu saja tidak semua pria berwatak seperti srigala kelaparan, namun banyak sekali pria yang tampak baik-baik, sopan santun dan terhormat, bagaikan srigala berbulu domba siap untuk menerkam bila diberi kesempatan. Dengan mempergunakan segal macam daya, pamer harta, bujuk rayu, sumpah palsu pria-pria macam itu selalu mengintai para gadis yang dipilihnya Sedikit saja gadis itu lengah, terkulai oleh bujuk rayu dan sumpah palsu, sila oleh pamer kekayaan, pria srigala itu akan menerkamnya. Maka hancurlah martabat, harga diri dan kehormatan gadis itu! Masih mending kalau pria bertanggung jawab dan menikahinya sebagai isterinya yang sah. Akan tetapi, tidak jarang terdapat pria yang benar-benar berwatak srigala. Setelah calon korban jatuh oleh rayuannya, srigala itu akan menggerogoti daging korbannya sekenyang dan sepuasnya, kemudian meninggalkan pergi bangkai korban itu begitu saja, tergeletak di tepi jalan sampai membusuk. Betapa ngerinya kalau sudah begitu. Karena itu, wahai para gadis, waspadalah dan perkuatkan imanmu, hargailah diri dan kehormatanmu sendiri, jangan mabok oleh bujuk rayu gombal, jangan silau oleh pameran harta, jangan tertipu oleh sumpah setia sampai mati, jangan secara murah menyerahkan diri dan kehormatanmu sebelum kamu dinikahi sebagai isteri. Dan Wahai para pria pada umumnya dan para pemuda khususnya. Waspadalah, jangan membiarkan nafsu daya rendah menguasai dirimu sehingga kamu lupa diri dan menodai seorang gadis, apalagi kalau ia pacar dan calon isterimu. Ingatlah bahwa menikmati sejenak itu dapat mengakibatkan penyesalan seumur hidup! Jangan terpikat dan minum anggur yang digunakan iblis karena anggur yang rasanya nikmat itu mengandung racun yang amat berbahaya sekali!. Akan tetapi kalau hal itu memang telah terjadi karena kamu tidak dapat mengalahkan nafsumu sendiri, ber-sikaplah jantan. Bertanggung jawablah! Karena meninggalkan seorang gadis yang telah kamu nodai merupakan perbuatan yang amat terkutuk dan yang akan menghantui dirimu selama hidup. Pada keesokan harinya, setelah pengaruh racun perangsang itu habis daya pengaruhnya, Lo Siang Kui terkejut melihat keadaan dirinya. Ia menangis dan menyesali perbuatannya, Akan tetapi Cheng Kun merangkulnya dan menghiburnya. "Sudahlah, Kui-moi. Mengapa engka menangis" Bukankah kita saling mencinta dan bukankah engkau adalah calon isteriku" Kita melakukan ini karena salin mencinta. Kenapa disesali?" "Kun-ko.... akan tetapi.... kita belum menikah...." tangis Siang Kui mereda karena kata-kata tunangannya tadi telah menghibur hatinya. "Kalau belum, mengapa" Kita menikah hanya menunggu waktu saja. Sudahlah jangan menangis dan jangan bersedih. Engkau akan menjadi isteriku, maka perbuatan yang kita lakukan tadi sama sekali tidak ada salahnya, Kui-moi. Sekarang beriaslah dan pulanglah dulu." Lo Siang Kui mengeringkan air matanya dan iapun mengenakan pakaiannya dan membedaki mukanya yang agak pucat. "Kun-ko, siapakah perempuan jahat yang amat lihai itu?" Hatinya terasa panas kembali mengingat betapa tunangannya bersikap demikian akrab dan mesra terhadap wanita cantik yang ilmu silat-nya amat lihai itu. "Ah, ia bukan orang sembarangan, Kui-moi. Ia seorang tokoh besar dalam dunia kang-ouw yang sekarang menghambakan diri kepada ayahku. Namanya Kim Goat dan julukannya adalah Sian Hwa Sian-li. Ilmu silatnya tinggi sekali dan ia menjadi seorang di antara para pengawal keluarga kami. Sudahlah, sekarang engkau pulang dulu dan tak lama lagi kita menikah." "Akan tetapi, kapankah kita menikah, Kun-ko" Tetapkanlah hari dan tanggalnya agar aku tidak menunggu-nunggu." "Ah, hal itu dapat kita bicarakan nanti, Kui-moi?" Siang Kui mengerutkan alisnya dan menatap wajah tunangannya dengan tajam. "Kenapa nanti" Engkau harus menentukan sekarang, Kun-ko. Ingat, aku telah....." "Akan kupikirkan dulu, Kui-moi." "Tidak, Kun-ko. Aku minta kepastiannya sekarang juga. Aku tidak akan pulang sebelum memperoleh kepastian dari-mu!" kata Siang Kui dengan keras kepala. Cheng Kun menghela napas panjang. "Baiklah, begini saja. Dalam waktu satu minggu ini aku pasti akan datang ke rumahmu dan memberi kepastian hari dan tanggal pernikahan kita." "Betul dalam minggu ini" Jangan melanggar janji, Kun-ko. Aku tunggu kedatanganmu dalam minggu ini. Sekarang aku pulang dulu!" Gadis itu lalu meninggalkan gedung itu, diantar Cheng Kun sampai di luar gedung. Setelah agak jauh meninggalkan istana Pangeran Cheng Boan menuju ke Hek-tiauw Bu-koan yang berada di ujung kota, dari sebuah gang kecil tiba-tiba muncul seorang gadis cantik manis. Gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu adalah Ciang Mei Ling dan ia menghampiri Siang Kui lalu berkata lirih. "Enci Lo Siang Kui, bukan?" Siang Kui memandang heran karena ia merasa belum mengenai gadis ini. "Benar, aku Lo Siang Kui. Siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau menegur aku di jalan?" "Namaku Ciang Mei Ling, enci. Aku mempunyai urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu." "Aku tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Aku tidak mengenalmu. Jangan ganggu aku!" kata Lo Siang. Kui dengan suara ketus karena hatinya sedang risau dan timbul watak galaknya. "Enci Siang Kui, aku tinggal di rumah gedung Pangeran Cheng Boan dan aku tahu apa yang telah terjadi semalam atas dirimu. Aku hendak bicara denganmu mengenai diri tunanganmu Cheng Kun. Apakah engkau tetap tidak tertarik dan tidak mau mendengarkan omongan-ku?" Wajah Siang Kui berubah merah. Gadis ini mengetahui tentang peristiwa yang terjadi semalam. Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa wajah yang cantik manis itu seperti diliputi awan kedukaan. "Bicaralah." katanya singkat. Ciang Mei Ling memandang ke kanan kiri. Banyak orang berlalu-lalang di jalan raya itu. "Tidak enak kalau kita bicara di sini enci. Banyak orang berlalu-lalang di sinl membuat kita tidak leluasa bicara." Ia menengok ke kiri di mana terdapat sebuah rumah makan yang cukup besar dan yang baru saja dibuka dan masih sepi, "Bagaimana kalau kita masuk ke rumal makan itu, minum teh dan bicara?" Lo Siang Kui menengok dan melihat rumah makan yang masih sepi itu dan ia mengangguk. Tanpa bicara kedua orang gadis itu lalu melangkah dan memasuki rumah makan itu. Seorang pelayan menyambut tamu pertama itu dengan ramah. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ji-wi siocia (Nona berdua) hendak sarapan?" tanyanya. "Kami hanya mau minum teh panas dan sediakan beberapa kue kering." pesan Mei, Ling. Pelayan pergi dan tak lama kemudian dia sudah menyuguhkan pesanan itu. Setelah pelayan pergi bertanyaiah Siang Kui dengan tidak sabar. "Nan, sekarang bicaralah. Apa yang ingin kaubicarakan mengenai diri Cheng Kongcu?" "Enci Lo Siang Kui, aku mengetahui semua yang telah terjadi atas dirimu semalam, Engkau telah menjadi korban kebiadaban pemuda bangsawan Cheng Kun yang kau anggap sebagai seorang tunangan yang baik itu. Engkau telah menjadi korban persekutuan busuk antara Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li, iblis betina itu." Wajah Siang Kui menjadi pucat, lalu menjadi merah. Ia terkejut dan juga merasa malu sekali karena rahasianya semalam diketahui orang lain. "Apa...... apa yang kau bicarakan ini" Jangan main-main engkau, Ciang Mei Ling!" "Aku tidak main-main, enci. Aku tahu bahwa engkau telah menjadi korban kecabulan Cheng Kun. Bukankah engkau diberi minum anggur sebelumnya dan setelah minum anggur itu engkau menjadi lupa keadaan?" Wajah Siang Kui menjadi merah sekali, malu teringat akan sikapnya semalam, betapa ia menyambut semua perbuatan Cheng Kun terhadap dirinya dengan penuh gairah dan baru pagi tadi ia sadar dan menyesali perbuatannya. "Bagaimana...... bagaimana engkau bisa tahu.....?" tanyanya gagap. Melihat gadis itu kebingungan, Mei Ling menyadari bahwa ia terburu-buru dalam pengakuannya. Ia lalu berkata dengan lebih tenang. "Enci Lo Siang Kui, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, biarlah engkau lebih dulu mengenal siapa aku dan mengetahui keadaanku di istana Pangeran Cheng Boan. Seperti kukatakan tadi, aku bernama Ciang Mei Ling. Aku puteri dari mendiang ketua Pek-eng-pang di lereng pegunungan Thai-san. Aku telah bertunangan dengan seorang pangeran. Pangeran Cheng Lin namanya dan atas kehendaknya aku dijemput Sian Hwa Sian-li dan diharuskan tinggal di istana Pangeran Cheng Boan. Kurang, lebih sebulan yang lalu, aku...... akupun menjadi korban kebiadaban Cheng Kun: Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah diberi minum anggur oleh Sian Hwa Sian-li dan tahu-tahu. aku berada di dalam kamar Cheng Kun dan aku dipermainkannya seperti dia mempermainkanmu." "Ahhh.....!" Lo Siang Kui terkejut bukan main. "Sejak engkau memasuki taman, aku sudah mengikuti, enci. Aku memang sedang melakukan penyelidikan terhadap mereka semua sejak aku dijadikan korban kebiadaban Cheng Kun. Aku tahu bahwa mereka semua itu bersekongkol. Pangeran Cheng Lin tunanganku itu bersekongkol dengan Pangeran Cheng Boan, dibantu oleh Sian Hwa Sian-li. Mereka semua bukan orang baik-baik, juga tunanganku Pangeran Cheng Lin itu. Mereka bersekongkol, entah untuk urusan apa sedang kuselidiki. Mereka itu semua orang hina Sian Hwa Sian-li itu seorang iblis betina. Ia tidak saja berjina dengan Pangeran Cheng Lin, akan tetapi juga dengan Cheng Kun." Hati Lo Siang Kui merasa panas bukan main. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mempercayai semua ucapan Ciang Mei Ling yang baru saja dikenalnya. Apaiagi ia teringat bahwa Cheng Kun sudah berjanji dalam waktu seminggu akan memberi keputusan tentang hari pernikahan mereka. Dengan marah Siang Kui bangkit berdiri dari kursinya. "Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku tidak percaya akan semua omonganmu!" Setelah berkata demikian, ia cepat keluar dari rumah makan itu dan berjalan cepat menuju pulang. Ia menahan air matanya yang sudah me-ngembang di pelupuk matanya. Ciang Mei Ling menghela napas panjang. Ia merasa iba kepada Lo Siang Kui. Gadis itu telah salah memilih, pikirnya. Memilih seorang laki-Iaki busuk seperti Cheng Kun. Tiba-tiba ia teringat akan dirinya sendiri dan berulang kali menghela napas. Ia sendiripun telah salah memilih jodoh. Ia terkecoh oleh sikap Ouw Ki Seng yang semula tampak baik sekali itu. Biarpun kemudian ia mengetahui bahwa Ouw Ki Seng yang menjadi tunangannya itu seorang pangeran, namun hal ini tidak menghibur hatinya yang terluka. Bukan saja ia telah terpedaya, menyerahkan diri dan kehormatannya kepada pangeran itu dalam keadaan terbius, akan tetapi juga kini ia menjadi korban kebiadaban Cheng Kun. Kini ia dapat menduga bahwa semua itu tentu atas usaha licik dari Sian Hwa Sian-li. Ketika ia diajak minum anggur, tentu anggur itu diberi sesuatu oleh iblis betina itu yang membuat ia terangsang dan tidak sadar. Iapun dapat menduga bahwa dulu, ketika ia menyerahkan kehormatannya kepada Pangeran Cheng Lin, iapun berada dalam keadaan yang sama, terbius oleh racun perangsang yang dicampurkan dalam minuman anggur. Presis seperti yang dialami oleh Lo Siang Kui. Setelah melihat hubungan jina antara Pangeran Cheng Lin atau dahulu-nya Ouw Ki Seng itu dengan Sian Hwa Sian-li, iapun dapat menduga bahwa dahulupun ia menjadi korban Ouw Ki Seng atas muslihat Sian Hwa Sian-li. Akan tetapi ia akan menyelidiki terus untuk mengetahui persekutuan apakah sebetulnya yang ada antara mereka semua. Setelah membayar harga minuman dan makanan, Ciang Mei Ling lalu bergegas kembali ke istana Pangeran Cheng Boan. Ia bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sudah sepuluh hari lamanya Lo Sian Kui menungu-nunggu dengan tidak sabar, namun Cheng Kun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Padahal sebelum adanya Sian Hwa Sian-li di rumah tunangannya itu, Cheng Kun selalu berkunjung ke rumahnya hampir setiap hari. Putera pangeran itu berjanji akan datang berkunjung dalam seminggu untuk membicarakan tentang hari pernikahan. Akan tetapi ditunggu sampai sepuluh hari, dia tidak kunjung datang dan tidak mengirim berita apapun. Padahal, ia sudah menyerahkan kehormatannya, walaupun penyerahan itu dilakukannya dalam keadaan tidak sadar, terpengaruh oleh sesuatu yang membuat ia kehilangan pertimbangan. Teringat akan semua ini, Siang Kui menangis tersedu-sedu dalam kamarnya. Setelah lewat seminggu Cheng Kun belum juga datang, Lo Siang Kui mengu-rung diri dalam kamarnya. Ia tidak mau makan dan hanya menangis saja dengan sedihnya, membuat ayah dan ibunya dan juga kakaknya menjadi bingung. Ketika ditanya, Siang Kui tidak mau menjawab, hanya menangis dan mengusir pergi orang orang yang bertanya. Bahkan ayah dan ibunya tidak ia perdulikan, apalagi kakak nya. Dengan hati khawatir Lo Kang lalu menemui Lo Sian Eng. "Sian Eng, tolong-lah encimu Siang Kui itu. Sudah tiga hari ia tidak mau makan dan hanya menangis dalam kamarnya. Kalau kami tanya, ia tidak mau menjawab bahkan mengusir kami dari kamarnya. Tolonglah, Sian Eng, barangkali engkau yang akan mampu mengajaknya bicara." Demikian Lo Kang meminta kepada Sian Eng. Sian Eng sudah tahu akan keadaan Siang Kui, akan tetapi ia memang diam saja tidak ingin mencampurinya karena ia tahu bahwa Siang Kui adalah seorang gadis yang keras hati. Akan tetapi setelah pamannya mengajukan permintaan itu dengan suara mengandung kegelisahan, iapun menyanggupi dan ia segera menuju ke kamar Siang Kui yang tertutup daun pintunya. Siang Eng pernah digembleng selama lima tahun oleh mendiang Hwa Hwa Cinjin, seorang datuk besar ahli silat dan ahli sihir. Maka, selain ilmu silat tinggi, iapun pernah mempelajari ilmu sihir, ilmu untuk menguasai atau mempengaruhi pikiran orang lain. Ia tahu bahwa pada saat itu pikiran Siang Kui sedang kacau dan karena dilanda suatu kedukaan maka pikirannya menjadi lemah sehingga akan mudah untuk dipengaruhi. Maka, ia lalu mengerahkan kekuatan batinnya, menyalurkan kekuatan itu pada suaranya dan ia mengerahkan khi-kang agar suaranya terdengar nyaring dan jelas ke dalam kamar itu dan mengetuk daun pintunya. "Tok-tok-tok! Enci Siang Kui, dengar-kan aku, enci Siang Kui. Aku Sian Eng yang akan mengangkatmu dari kedukaanmu. Bukalah pintunya, enci Siang Kui. Buka pintu kamarmu dan biarkan aku masuk!" Terdengar suara kaki diseret dan daun pintu itupun dibuka dari dalam oleh Siang Kui. Sian Eng terkejut melihat gadis yang biasanya cantik pesolek itu kini keadaannya amat menyedihkan. Pakaiannya kusut, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya merah, tubuhnya tampak lemas dan lesu! Sian Eng cepat merangkulnya dan membawanya ke tempat tidur. "Duduklah, enci Siang Kui. Duduklah di sini." Siang Kui duduk di tepi pembaringan dengan taat. "Sekarang berbaringlah. Engkau perlu beristirahat." kata pula Sian Eng yang suaranya mengandung kekuatan sihir. Siang Kui tidak membantah dan merebahkan diri, telentang di atas pembaringan. Sian Eng mengetahui apa yang dibutuhkan gadis itu pada saat ini. "Enci Siang Kui, engkau rebah dan mengaso dulu, aku akan mengambilkan makanan dan minuman untukkmu. Sebelum aku kembali, tenangkanlah hati dan pikiranmu, jangan merisaukan apa-apa dan mengaso sajalah." Ia lalu meninggalkan Siang Kui, menutupkan daun pintu dari luar dan bergegas pergi ke dapur. Cepat ia minta kepada pelayan untuk menyediakan bubur dan air teh yang ia bawa ke kamar Siang Kui. Ketika ia memasuki kamar, ia minta agar Lo Kang dan isterinya yang mengikutinya tidak mengganggunya dan meninggalkan kamar itu. "Jangan khawatir, paman dan bibi Aku akan mencoba untuk menghiburnya dan mengajaknya bicara. Sebaiknya kalau kami ditinggalkan berdua saja di kamar ini." Lo Kang dan isterinya mengangguk dan meninggalkan kamar itu. Sian Eng lalu memasuki kamar, menutupkan daun pintunya dan membawa bubur dan air teh mendekati Siang Kui yang masih rebah telentang di atas pembaringan. "Enci Siang Kui, bangun ,dan duduklah. Ini ada semangkuk bubur. Makanlah dulu agar tubuhmu kuat dan minumlah air teh ini." Karena terpengaruh oleh ucapan Sian Eng yang mengandung kekuatan sihir, bagaikan orang yang sedang bermimpi Siang Kui bangkit duduk, menerima cangkir berisi air teh dan meminumnya. Kemudian dengan taat iapun makan semangkuk bubur itu. Karena sudah tiga hari ia tidak makan atau minum, sebentar saja semangkuk bubur dan secangkir air teh itupun habis. Setelah makan, kedua pipi Siang Kui yang tadinya pucat kini menjadi kemerahan. Sian Eng duduk di tepi pembaringan di samping Siang Kui. Sambil merangkul pundak gadis itu, Sian Eng bertanya. "Enci Siang Kui, engkau percaya kepadaku, bukan?" Siang Kui mengangguk sambil menatap wajah Sian Eng. "Dan engkau yakin bahwa kalau engkau membutuhkan pertolongan, aku akan menoiongmu dan hanya aku yang akan dapat menoiongmu?" Kembali Siang Kui mengangguk penuh keyakinan. "Nah, kalau begitu, sekarang ceritakanlah kepadaku mengapa engkau begini bersedih, enci Siang Kui. Apa yang telah terjadi denganmu dan ketika tempo hari engkau tidak pulang, engkau bermalam di manakah?" Ditanya begitu, tiba-tiba Siang Kui menangis tersedu-sedu. Ketika Sian Eng merangkulnya, Siang Kui juga memeluKi Sian Eng sambil menangis. Sian Eng membiarkan gadis itu menangis sepuasnya karena hal itu merupakan pelepasan segala kedukaannya. Setelah tangis Siang Kui mereda, Sian Eng menggunakan sehelai saputangan untuk mengusap air mata dari muka Siang Kui. "Nah, bicaralah, enci. Percayalah bahwa aku tentu akan dapat membantumu memecahkan segala persoalan yang mengganggu hatimu." "Sian Eng, bagaimana aku harus mengatakan kepadamu" Ah, Eng-moi, hatiku sakit sekali, kebahagiaanku hancur, kehidupanku rusak binasa......" Sian Eng terkejut. "Ah....! Apakah yang telah terjadi denganmu, enci" Tentu Cheng Kun itu penyebabnya! Hayo kata-kan, apa yang telah dia lakukan kepadamu?" Sian Eng dapat menduga dengan mudah. Bukankah ia yang menganjurkan Siang Kui untuk mencari Cheng Kun yang tak pernah datang lagi berkunjung. Kemudian Siang Kui pergi dan semalam suntuk tidak pulang. Seminggu setelah pulang gadis itu lalu mengeram diri dalam kamar, tidak makan tidak minum sampai tiga hari lamanya! Siapa lagi yang menjadi penyebabnya selain Cheng Kun" Siang Kui menghela napas, melepaskan ganjalan hatinya. Memang Sian Eng satu-satunya orang yang akan dapat menolongnya menghadapi Sian Hwa Sian-li yang lihai. Tanpa dipengaruhi kekuatan sihir sekalipun ia sudah mengambil keputusan untuk menumpahkan semua kedukaannya kepada Sian Eng. "Ketika engkau berkunjung ke rumah Cheng Kun, apa yang terjadi, enci Siang Kui?" Sian Eng mendesak. "Banyak hal terjadi, Eng-moi. Ketika aku berkunjung ke sana, aku langsung mencari Kun-ko ke dalam taman. Dan tahukah engkau apa yang kulihat" Dia sedang berkasihkasihan dengan seorang wanita yang cantik dan pesolek. Wanita yang menurut perkiraanku sudah berusia tiga puluhan tahun akan tetapi genitnya bukan main. Seorang iblis betina!" Wajah gadis itu menjadi merah sekali karena kemarahannya timbul ketika ia teringat kepada Sian Hwa Sian-li. "Hemm, sudah kuduga bahwa dia seorang laki-laki yang tidak setia. Lalu apa yang terjadi, enci Siang Kui?" "Melihat mereka berkasih-kasihan, aku menjadi panas hati dan aku menyerang wanita itu untuk membunuhnya. Akan tetapi..... ternyata ia lihai sekali, Eng-moi. Aku..... aku kalah dan roboh tertotok oleh wanita itu." "Hemm, kiranya ia lihai?" kata Sian Eng dengan kaget. Ia tahu bahwa ilmu silat Siang Kui cukup tinggi. Kalau wanita itu mampu menotok roboh Siang Kui, jelas Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bahwa wanita itu memang lihai sekali. "Aku jatuh pingsan dan ketika aku siuman kembali, aku telah berada di kamar Kun-ko. Dia menghiburku dan memberi minum anggur. Setelah minum anggur, aku..... aku menjadi seperti mabok dan tidak dapat menguasai diriku. Kesadaranku seperti hilang dan aku...... aku..... bahkan tidak menolak ketika dia menggauliku....." Siang Kui menundukkan mukanya dan merasa malu sekali. "Ya Tuhan......!" Sian Eng berseru, "Jahanam itu.....!!" "Keesokan harinya baru aku menya-dari apa yang telah kulakukan. Aku menyesal dan menangis. Kun-ko menghiburku, dan mengatakan bahwa dalam waktu seminggu dia akan datang untuk menentukan hari pernikahan kami. Tentu saja aku percaya kepadanya dan aku merasa terhibur dan aku lalu pulang. Akan tetapi di tengah perjalanan, seorang gadis cantik mengajak aku bicara. Ia bernama Ciang Mei Ling dan ia mengaku sebagai tunangan Pangeran Cheng Lin. Apa yang ia ceritakan benar-benar membuat aku merasa gelisah sekali. Ia menceritakan bahwa ia sendiripun menjadi korban kebiadaban Cheng Kun, digauli setelah ia diberi minum anggur yang sama dengan yang kuminum. Katanya semua itu diatur oleh Sian Hwa Sian-li....." "Siapa itu Sian Hwa Sian-li?" "Ia adalah wanita yang berkasih-kasihan dengan Cheng Kun." "Ah, kiranya begitu?" "Aku masih tidak percaya akan semua omongan Ciang Mei Ling karena Kun-ko sudah menjanjikan kepadaku untuk datang menentukan hari pernikahan kami. Akan tetapi setelah lewat seminggu, dia tidak muncul dan tidak memberi kabar.Aku menjadi khawatir sekali, Eng-moi, apalagi kalau aku teringat akan cerita Ciang Mei Ling. Jangan-jangan....... Kunko itu memang benar seorang yang jahat dan hanya akan mempermainkan aku.... dan menurut Ciang Mei Ling, mereka semua, Pangeran Cheng Lin, Pangeran Cheng Boan, Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li, mereka semua itu bersekongkol, entah untuk apa...." "Gila! Aku harus turun tangan. Tak dapat kubiarkan saja laki-laki itu merusak kehidupan dan kebahagiaanmu, enci Siang Kui. Kalau perlu aku akan menggunakan kekerasan untuk memaksa dia menikahimu. Tenang sajalah, aku pasti akan menyeret dia bertekuk lutut di depanmu!" kata Sian Eng dengan nada suara penuh kemarahan. "Hati-hatilah, Sian Eng. Iblis betina Sian Hwa Sian-li itu lihai bukan main dan Pangeran Cheng Boan mempunyai banyak jagoan lihai yang menjadi pengawal keluarganya." Siang Kui memperingatkan. "Jangan khawatir, enci Siang Kui. Aku tentu akan berhatihati." jawab Sian Eng. Malam itu bulan bersinar hampir sepenuhnya. Tidak ada awan menghalang sehingga sinar bulan menerangi kota raja. Suasana amatlah indahnya. Seluruh kota bermandikan cahaya bulan dan hampir semua orang berada di luar rumah mereka. Kanak-kanak bermain-main di pelataran rumah, teriakanteriakan mereka mengundang suasana gembira. Orang-orang dewasa berjalan-jalan dengan riangnya. Akan tetapi, suasana yang ramai meriah itu tidak berlangsung lama. Angin yang membawa hawa dingin datang bertiup. makin lama hawa udara menjadi semakin dingin sehingga kanakkanak sudah diteriaki ibu mereka untuk masuk ke dalam rumah agar tidak sampai masuk angin. Orang-orang dewasa juga tidak betah bertahan di luar. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Jalan-jalan ditinggalkan orang, jendela dan pintu rumah ditutup agar hawa dingin tidak menyerang masuk ke dalam rumah. Yang berkeadaan mampu segera membuat perapi-an di tungku untuk menghangatkan badan. Para perajurit yang bertugas jaga malam itu di gardu-gardu penjagaan gedung-gedung para pembesar atau bangsawan tinggi, mengenakan mantel bulu yang tebal dan ada pula yang membuat api unggun di gardu penjagaan. Akan tetapi dalam udara yang dingin itu ada orang yang berada di luar. Bahkan ia bergerak cepat sekali, hanya tampak bayangannya saja yang berkelebatan dan selalu ia memilih tempat yang terlindung kegelapan bayangan bangunan atau pohon. Ketika ia tiba di sebuah rumah, ia berhenti di dalam bayangan rumah itu yang gelap. Dari situ ia memandang ke seberang jalan di mana berdiri gedung megah seperti istana milik Pangeran Cheng Boan. Bayangan itu adalah Lo Sian Eng, Pakaiannya yang ringkas berwarna merah muda itu tampak gelap dalam sinar bulan itu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang beronce merah. Sian Eng marah sekali ketika mendengar cerita Lo Siang Kui tentang perbuatan biadab yang dilakukan Cheng Kun atas diri kakak sepupunya itu. Malam ini, tanpa memperdulikan hawa udara yang amat dingin, gadis perkasa itu mengenakan pakaian ringkas, membawa pedangnya dan keluar dari rumah pamannya pergi menuju gedung tempat tinggal Cheng Kun. Agar tidak menarik perhatian orang, Sian Eng menyelinap dalam bayangan gelap dan kini ia berada di dalam bayangan rumah yang berdiri di seberang gedung Pangeran Cheng Boan. Dari tempat gelap di seberang jalan itu ia dapat melihat sebuah gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit yang berjaga di sekitar gardu itu. Rumah gedung itu sendiri sudah menutup semua daun jendela dan pintunya. Akan tetapi di luar gedung tergantung banyak lampu teng yang cukup memberi penerangan kepada pekarangannya yang luas. Dari tempat persembunyiannya Sian Eng dapat melihat pula bahwa gedung itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi, bahkan di bagian atas pagar tembok dipasangi hiasan runcing seperti tombak berjajar. Dengan jalan memutar, melalui tempat-tempat yang gelap oleh bayangan bangunan dan pohon-pohon, Sian Eng tiba di bagian belakang pagar tembok itu. Tempat itu sepi sekali dan dengan pengerahan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) ia melompat dan bagaikan seekor burung tubuhnya melayang ke atas dan mtangannya menangkap sebatang tombak yang berada di atas pagar tembok. Dengan mudah ia mengangkat tubuhnya dan kini ia berdiri di 4atas pagar tembok, di antara tombak-tombak yang berjajar. Setelah menjenguk ke sebelah dalam pagar tembok ia melihat bahwa itu adalah sebuah taman yang berada di belakang gedung. Ia lalu melompat turun tanpa menimbulkan suara ketika kakinya menginjak tanah seperti seekor kucing saja. Akan tetapi ia cepat menyusup ke belakang rumpun bunga ketika mendengar kentungan dipukul orang dan ia melihat dua orang perajurit datang meronda sambil membawa sebuah lampu gantung di ujung sebatang tongkat. "Bagus, inilah yang kuharapkan." bisik nya kepada diri sendiri sambil menyelinap ke balik pepohonan untuk menghadang datangnya dua orang peronda itu. Ia tidak mengenai keadaan di gedung itu dan ia membutuhkan seorang penunjuk jalan! Dua orang perajurit peronda itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di depan mereka terdapat seorang gadis perkasa yang telah siap menyerang mereka seperti seekor singa betina siap menerkam dua ekor kelenci. Kemunculan Sian Eng memang mengejutkan sekali. Dua orang itu hanya tampak dua buah lengan berkelebat dan tahu-tahu mereka sudah roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok. Sian Eng menyambar tongkat yang ujungnya tergantung lampu teng itu agar tidak sampai ter-banting dan terbakar. Ia meniup padam lampu itu dan memandang kepada dua orang yang sudah rebah telentang tanpa dapat bergerak. Ia memilih seorang dari mereka yang wajahnya membayangkan ketakutan. Inilah yang akan dapat dijadikan penunjuk jalan, pikirnya dan tangan kirinya diayun memukul leher orang ke dua yang matanya melotot. Orang itupun mengeluh dan pingsan. Sian Eng menepuk pundak orang yang dipilihnya. Ketika orang itu menggerakkan tubuhnya dan hendak bangkit duduk, pedang Coa-tok Sin-kiam (Pedang Sakti Bisa Ular) telah menodong lehernya. Ujung pedang yang runcing itu terasa menggigit kulit sehingga orang yang sudah ketakutan itu menjadi semakin takut sehingga dia menggigil. "Ampun.... ampunkan saya.... jangan bunuh saya....." dia meratap. "Aku tidak akan membunuhmu asal engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana. adanya kamar tuan muda Cheng Kun!" bisik Sian Eng dengan nada suara mengancam. "Awas, kalau engkau menipuku atau engkau berteriak, pedangku ini akan menembus lehermu!" "Baik.... baik..... lihiap (pendekar wanita)..... kamarnya berada di bagian belakang, di sebelah kiri....." Tangan orang itu menunjuk ke arah gedung besar itu. "Tunjukkan, bawa aku ke sana. Awas, jangan sampai ketahuan orang, ambil jalan yang aman." kata Sian Eng dan orang itupun bangkit berdiri, dan pedang di tangan Sian Eng itu tidak pernah meninggalkan kulit lehernya. Peronda itu lalu berjalan menyeberangi taman menuju ke bagian belakang gedung. Sian Eng berjalan di belakangnya menodongkan pedangnya. Sebagai seorang perajurit pengawal yang biasa meronda di seluruh bagian gedung itu tentu saja orang itu mengenai semua bagian gedung dan, diapun tahu pintu-pintu rahasia dari mana dia memasuki gedung. Tentu saja pintu-pintu rahasia itu hanya diketahui oleh penghuni gedung dan para perajurit pengawal. Sian Eng terus menodong punggung penjaga itu sampai penjaga itu berhenti melangkah dan dengan telunjuk kanannya menuding ke arah pintu sebuah kamar yang berada di bagian belakang sebelah kiri gedung itu. "Lihiap, itulah kamar Cheng Kongcu." bisiknya lirih. "Jangan bohong! Kalau engkau berani berbohong, akan kubunuh kau!" desis Sian Eng sambil menodongkan pedangnya ke dada orang itu. Orang itu menggigil ketakutan. "Tidak ..... saya tidak berani berbohong, lihiap." katanya. Setelah yakin bahwa orang itu tidak akan berani berbohong kepadanya, tangan kiri Sian Eng bergerak dan orang itu terkulai roboh dengan tubuh lemas tak mampu bergerak. Setelah menyeret tubuh penjaga itu ke belakang sebuah pot kembang besar, Sian Eng lalu menghampiri pintu kamar itu dan mengetuk. "Tok-tok-tok!" Terdengar suara seorang laki-laki dari dalam kamar. "Siapa itu?" -00dw-00kz-00- Jilid XXV SIAN ENG sengaja menjawab dengan suara yang lembut dan mesra, "Saya, Kongcu, harap buka pintunya." Hening sejenak, lalu suara laki-laki itu terdengar pula. "Siapakah engkau?" "Saya pelayan baru, kongcu, hendak melayani kongcu kalau-kalau kongcu membutuhkan sesuatu." kata pula Sian Eng dengan suara memikat. Tepat seperti dugaannya. Kongcu itu mata keranjang dan timbul keinginan hatinya untuk melihat wanita yang mengaku pelayan baru dan yang suaranya merdu memikat itu. Sian Eng mendengar langkah kaki menuju ke pintu. Ia sudah siap dengan pedang di tangannya. "Kri ittt....!" Daun pintu dibuka dan Cheng Kun terbelalak kaget melihat seorang gadis yang memakai topeng kain. Akan tetapi kekagetannya segera berubah menjadi ketakutan ketika sebatang pedang sudah menodong dadanya. Dia mundurmundur masuk kembali ke kamarnya, di kuti oleh Sian Eng yang tetap menodongkan pedangnya. "Kau..... siapakah engkau..... dan apa artinya ini......?" "Tidak perlu engkau tahu siapa aku." kata Sian Eng yang sengaja mengenakan topeng kain penutup separuh mukanya bagian bawah sebelum ia mcngetuk daun pintu tadi. "Yang perlu kau ketahui adalah bahwa aku akan menembuskan pedang ini di dadamu kalau engkau berani berteriak!" Wajah Cheng Kun berubah pucat sekali. "Jangan..... jangan bunuh aku. Apakah kesalahanku dan apa sebetulnya yang kau kehendaki dariku?" Dia berusaha untuk bersikap tenang, akan tetapi tetap saja Pemberontakan Taipeng 1 Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Istana Karang Langit 3