Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 14

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 14 suaranya gemetar. "Apa kesalahanmu" Engkau masih menanyakan hal itu" Engkau bedebah biadab. Engkau telah menggunakan muslihat untuk menodai Lo Siang Kui! Setelah engkau menodainya, engkau berjanji akan menentukan hari pernikahan kalian dalam waktu seminggu. Akan tetapi telah sepuluh hari engkau tidak muncul. Apa engkau sudah ingin mampus?" Sian Eng menekan pedangnya dan ujung pedang menembus baju, menyentuh kulit terasa betapa keras dan runcingnya. Mendengar ucapan itu, Cheng Kun memutar pikiran-nya. Sudah pasti wanita ini bukan Siang Kui sendiri karena dia tentu akan mengenali suaranya walaupun bentuk tubuh gadis ini mirip Siang Kui. Dan teringatlah dia akan adik sepupu Siang Kui, gadis yang amat lihai itu, yang seingatnya ber-nama Lo Sian Eng. Tentu gadis ini adik sepupu itu. Cheng Kun cukup cerdik dan diapun dapat menduga bahwa gadis ini tentu hanya menakut-nakutinya dan mengancamnya, tidak bermaksud membunuh-nya. Dia menjadi berani dan dia sengaja membuat suaranya nyaring ketika berseru. "Ampunkan saya! Jangan bunuh saya.. ....." "Hushh! Jangan berteriak-teriak!" bentak Sian Eng. "Katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya akan menaati semua perintahmu, akan tetapi jangan bunuh saya." kata Cheng Kun yang merendahkan suaranya lagi dengan keyakinan bahwa teriakannya tadi tentu terdengar oleh Sian Hwa Sian-li yang kamarnya tidak jauh dari situ. "Engkau tidak ingin mampus" Kalau begitu, besok pagi engkau harus datangi keluarga Lo dan menyatakan keputusan-mu untuk segera menikahi Lo Siang Kui dalam waktu secepatnya, dalam bulan ini juga. Kalau tidak kau lakuknn itu, pasti pedangku akan memenggal lehermu!" Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat memasuki pintu kamar itu dan ada sinar merah menyambar ke arah leher Sian Eng dari belakang. Sinar merah itu ternyata adalah sehelai sabuk merah yang digerakkan secara lihai sekali oleh Sian Hwa Sian-li. Biarpun hanya sabuk sutera merah, akan tetapi karena digerakkan dengan pengerahan sin-kang, kalau ujung sabuk itu mengenai tengkuk Sian Eng, tentu gadis ini akan roboh. Namun, ketika itu tingkat kepandaian Sian Eng sudah maju pesat. Ia dapat menangkap sambaran angin serangan ke arah tengkuknya itu dan secepat kilat ia merendahkan tubuhnya lalu membalik dan pedangnya sudah mendahuluinya menyerang ke arah dada penyerang gelapnya itu. "Singgg.....!" Sinar pedang menyambar dan Sian Hwa Sianli terkejut bukan main. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba itu dan terpaksa ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang Sian Eng. "Hemmm, engkau tentu Sian Hwa Moli yang tak tahu malu itu!" bentak Sian Eng yang sengaja mengubah julukan Sian Hwa Sian-li (Dewi Bunga Dewa) menjadi Sian Hwa Mo-li (Iblis Betina Bunga Dewa)! Sian Hwa Sian-li mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian, akan tetapi ia tidak mengenai gadis yang separuh mukanya tertutup kain merah ini. Seorang gadis yang lihai, bukan saja mampu menghindarkan serangannya, bahkan dapat melakukan serangan balasan yang amat berbahaya. Ia mengerling ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda itu telah lari bersembunyi ke sudut kamar. Hatinya lega bahwa pangeran itu tidak terluka. "Siapa engkau" Mau apa engkau mengacau di sini?" bentak Sian Hwa Sian li. "Mau membunuh iblis betina semacam engkau!" bentak Sian Eng dan ia sudah menyerang lagi. Tadinya Sian Eng sengaja menutupi mukanya dengan kain merah agar ia tidak akan dikenal dan kalau keadaannya berbahaya seperti yang diceritakan Siang Kui, ia akan melarikan diri. Akan tetapi begitu melihat Sian Hwa Sian-li, ia teringat akan cerita Siang Kui dan timbul kebenciannya terhadap wanita cantik pesolek itu. Ia lalu mengambil keputusan untuk membasmi wanita ini. Serangan Sian Eng hebat karena gadis itu memainkan ilmu pedang Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Bisa Ular), Bukan hanya jurusnya saja yang berbahaya bahkan pedangnya itu sendiri amat berbahaya karena pedang itu mengandung racun ular yang amat ganas. Sian Hwa Sian-li sendiri adalah seorang ahli tenting racun, maka begitu pedang itu menyambar, ia dapat menangkap bau racun yang keluar dari pedang. Ia terkejut dan tentu saja maklum bahwa sekali saja tergores pedang itu cukup untuk mendatangkan ancaman maut baginya. Iapun mem-pergunakan kegesitannya untuk melompat keluar dari kamar yang terlalu sempit untuk berkelahi itu. Sian Eng melompat dan mengejar. Mereka bertanding di luar kamar yang lebih luas dan segera sinar pedang di tangan Sian Eng sudah mendesak dengan hebatnya. Cheng Kun yang masih ketakutan segera berteriak-teriak, "Tolonggg! Ada pembunuh! Tolongggg.....!!" Teriakan itu mengundang munculnya Suma Kiang dan Toa Ok! Sian Eng terkejut bukan main ketika dua orang datuk yang lihai ini muncul. Ia sudah berhasil mendesak Sian Hwa Sian-li dengan hebat. Melihat orang yang pernah diakuinya menjadi ayahnya dan juga gurunya muncul bersama Toa Ok, maklumlah ia bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang terlalu kuat baginya. Melawan Sian Hwa Sian-li seorang diri ia tentu akan dapat mengalahkannya. Juga ia merasa mampu menandingi bekas ayah dan gurunya yang sesungguhnya musuh besarnya itu, ia merasa bahwa ilmu kepandaiannya kini sudah melebihi tingkat kepandaian Suma Kiang. Akan tetapi ia meragu apakah ia akan mampu menandingi Toa Ok yang amat lihai itu. Apalagi kalau mereka bertiga maju bcrsama. Bagaimana mungkin ia akan dipat menang" Tentu ia terancam bahaya maut kalau ia terus nekat menandingi mereka bertiga. Tiba-tiba Sian Eng melompat jauh untuk melarikan diri. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, dari balik dinding itu muncul sesosok bayangan. Secara amat tiba-tiba bayangan itu menyerang dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat. Sian Eng sama sekali tidak menduga akan ada orang muncul di tikungan dan langsung menyerang dengan totokan, terkejut dan cepat miringkan tubuhnya untuk menge-lak dari totokan. Akan tetapi pada saat itu, kaki orang itu menendang dengan gerakan melingkar yang aneh sekali. Ia tidak mampu menghindarkan diri lagi dan pinggir lututnya terkena tendangan. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Sian Eng terpelanting. Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li telah melompat dekat dan wanita yang berhati kejam ini yang merasa penasaran dan marah tadi didesak oleh Sian Eng, segera menggerakkan sabuk sutera merahnya ke arah leher Sian Eng, mengirim serangan maut. "Syuuuutttt....!" Ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat. Biarpun terpelanting jauh, namun Sian Eng dapat menguasai dirinya, maka melihat menyambarnya sinar merah, iapun menggerakkan pedangnya menangkis. "Brettt.....!" Ujung sabuk sutera merah itu putus terobek pedang di tangan Sian Eng. Sian Hwa Sian-li terkejut sekali dan melompat ke belakang. Pada saat itu, Toa Ok juga sudah mendekati dan sinar emas berkelebat ketika pedang Kimliongkiam (Pedang Naga Emas) di tangannya menyambar dengan tusukan ke arah dada Sian Eng. Dalam keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu Sian Eng masih mampu dengan amat cepatnya menggulingkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput! Hal ini membuat Toa Ok men-jadi penasaran dan marah. Dengan sekali lompatan dia sudah mengejar dan dia mengangkat pedangnya, kemudian diba-cokkan ke arah leher Sian Eng yang masih bergulingan. "Wuuuuttt..... trang......!!" Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Kim-liong-kiam yang menyambar ke arah leher Sian Eng itu tertangkis dari samping. Toa Ok membelalakkan matanya ketika melihat bahwa yang me-nangkis pedangnya adalah Suma Kiang! "Hei i! Apa artinya ini?" teriaknya penasaran. "Jangan bunuh ia! Aku mengenal ilmu pedangnya!" kata Suma Kiang yang segera mendekati Sian Eng dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah merenggut kain merah penutup muka gadis itu. Sian Eng melompat berdiri dan iapun beradu pandang dengan Suma Kiang yang terbelalak. Kemudian Suma Kiang berseru dengan girang sekali karena tentu saja dia segera mengenai wajah anaknya. "Suma Eng, anakku....!" teriaknya. Sian Eng adalah seorang yang cerdik ekali. Sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa dirinya berada dalam bahaya. Ia berhadapan dengan banyak lawan pandai dan tidak mungkin ia akan mampu menyelamatkan dirinya kalau ia menggunakan kekerasan melawan mereka. Biarpun kini melihat muka Suma Kiang timbul kebenciannya yang amat sangat mengingat akan kematian ibunya yang diperkosa secara biadab oleh laki-laki yang tadinya ia sangka ayahnya sendiri ini, namun Sian Eng menahan perasaannya. Ia harus bersikap cerdik, kalau ia ingin selamat. Pihak lawan terlampau kuat, teru-tama sekali pemuda yang kini berdiri tegak sambil memandang kepadanya itu. Pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian indah. Itukah Pangeran Cheng Lin tunangan gadis bernama Ciang Mei Ling seperti diceritakan oleh Siang Kui kepadanya" Akan tetapi, betapa hebat ilmu kepandaian pemuda itu! Dengan tangan kosong, dalam beberapa gebrakan saja pemuda itu mampu merobohkannya, walaupun serangan itu dilakukan mendadak dan tidak tersangka-sangka olehnya. Na-mun, agaknya biarpun ia diserang dalam keadaan siap siaga, akan sukar mengalahkan pemuda itu! Semua ini berkelebat seperti kilat dalam benaknya dan Sian Eng segera menekan perasaannya dan mengatur siasat dalam sikapnya. "Ayah....!" Serunya kaget, heran dan girang. "Ayah berada di sini?" Ia menyarungkan pedangnya dan maju menghampiri ayahnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Iapun membiarkan dirinya di-peluk oleh Suma Kiang yang benarbenar merasa girang bukan main. "Anakku! Ia ini anakku. Ia Suma Eng, anakku tersayang. Ah, untung aku mengenai ilmu pedangmu tadi, Eng-ji (anak Eng) sehingga aku sempat menangkis pedang Toa Ok. Kalau tidak.... ah, engkau tentu telah menjadi mayat....!" kata Suma Kiang terharu. "Anakku, mereka semua ini bukanlah musuh, melainkan sahabat-sahabatku yang baik. Perkenalkanlah. Beliau ini adalah Pangeran Cheng Lin yang masih keponakan dari Pangeran Cheng Boan pemilik istana ini!" Dia menunjuk kepada Ouw Ki Seng yang kini memandang dengan senyumnya yang khas kepada Sian Eng. Diam-diam pemuda ini kagum kepada Sian Eng. Tadi telah dilihatnya betapa Sian Eng dapat mendesak dan mengalahkan Sian Hwa Sian-li! Dan kini setelah penutup mukanya direnggut, tampak betapa cantik jelitanya gadis itu! "Seorang pangeran, ayah?" kata Sian Eng yang bersandiwara dengan pandainya. "Kalau begitu aku harus memberi hormat dengan berlutut!" Ia membuat gerakan hendak berlutut, akan tetapi Ki Seng cepat maju dan memegang kedua pundak nya untuk mencegahnya berlutut. "Tidak perlu berlutut, Nona Suma Eng!" Ketika merasa betapa kedua telapak tangan pangeran itu menyentuh kedua pundaknya, Sian Eng hendak mem-perlihatkan kekuatannya sekalian hendak menguji kepandaian pangeran yang tadi telah merobohkannya itu. Ia mengerahkan sinkang dan menyalurkannya ke arah kedua pundaknya. Hawa yang panas dengan kuatnya keluar dari kedua pundaknya itu untuk menolak dan membuat kedua telapak tangan itu kepanasan dan terpental! Wajah Ki Seng tampak kaget akan tetapi senyumnya berubah sinis. Dia maklum bahwa gadis jelita ini hendak mengujinya, maka diapun mengerahkan tenaga saktinya dan kedua tangannya tetap menempel di pundak itu, tidak dapat di-lontarkan tenaga sakti yang dikerahkan Sian Eng dan gadis itu merasa betapa kedua telapak tangan yang menempel di kedua pundaknya itu terasa dingin seperti es! Adu tenaga ini hanya sebentar saja, tidak tampak oleh orang biasa, akan tetapi orang-orang seperti Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa Sian-li tentu saja dapat menduganya. "Pangeran, terimalah hormat saya." kata Sian Eng setelah kedua tangan itu melepaskan pundaknya dan iapun mengangkat kedua tangan ke depan dada. Inipun merupakan serangan ujian, karena gerakan kedua tangannya itu menimbulkan serangkum hawa yang menyambar ke arah dada pangeran itu. "Nona, engkau terlampau sungkan!" kata Ki Seng sambil merangkap kedua tangan pula dan menggerakkannya ke depan untuk menyambut penghormatan gadis itu. Tentu saja dalam melakukan ini, diapun mengerahkan sin-kang dan akibatnya, Sian Eng terdorong mundur sampai dua langkah! Tahulah gadis ini bahwa pemuda itu benar-benar sakti, mengingatkan ia akan kesaktian Han Lin. Agaknya pangeran ini akan merupakan seorang lawan yang berat bagi Han Lin. "Paman Suma Kiang, puterimu ini sungguh hebat dan mengagumkan!" kata Ki Seng sambil tersenyum. Suma Kiang tertawa. Hatinya senang sekali. Diapun tahu bahwa tadi puterinya telah menguji kelihaian pangeran palsu itu. "Suma Eng, perkenalkan, kakek yang gagah perkasa ini adalah Toat-beng Kuiong...." "Aku sudah mengenalnya, ayah. Dia adalah Toa Ok dan pernah aku hampir mati di tangannya." kata Sian Eng dengan cepat mendahului Toa Ok. Ia tahu bahwa kalau ia tidak mengaku telah mengenai Toa Ok dan kemudian Toa Ok mengenalnya, maka tentu orang-orang itu akan merasa curiga padanya. Karena itu ia mendahului dan mengaku terus terang. Dengan mengandalkan kedudukan Suma Kiang di situ, ia merasa tenang dan ada yang diandalkan untuk menolongnya. Toa Ok memandang dengan ragu. "Nona mengenai aku" Ah, aku sudah terlau tua sehingga tidak mengenai lagi siapa nona." Sian Eng tersenyum, manis sekali. Ia tahu bahwa kakek ini belum mengetahui bahwa kedua orang rekannya, Ji Ok dan Sam Ok, telah tewas di tangannya dan tangan Han Lin. Ia tidak perlu memberi-tahukan hal itu. Kematian dua orang datuk sesat itu memang di tempat sepi dan tidak ada Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seorangpun mengetahui. Yang tahu hanya ia dan Han Lin. "Toa Ok, mungkin engkau sudah lupa. Akan tetapi cobalah ingat baik-baik. Ketika engkau bersama Ji Ok dan Sam Ok, dan seorang wanita lagi, menyerang guruku Hwa Hwa Cinjin di Puncak Ekor Naga pegunungan Cin-Ling-san, aku membantu guruku itu dan memukul mundur kalian berempat." Toa Ok terbelalak. "Ahh! Jadi eng-kaukah gadis murid Hwa Hwa Cinjin itu?" "Jadi engkau telah menyerang supek Hwa Hwa Cinjin, Toa Ok?" Suma Kiang bertanya kaget. "Serangan itu mengakibatkan kematian suhu Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua, ayah." Sian Eng memberitahu dengan maksud untuk mengadu domba dua orang itu. "Ah, hal itu terjadi lama sebelum kita menjadi rekan dan sahabat Huang-ho Sin-liong." kata Toa Ok. Pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang dikawal belasan orang perajurit. Dia mendengar ucapan dua orang jagoan-nya itu dan melihat sikap mereka yang seperti akan bermusuhan. "Tenang dulu kalian berdua! Ada urusan dapat dibicarakan. Apa yang telah terjadi" Kami mendengar bahwa ada se-orang pembunuh masuk ke sini dan hendak membunuh Cheng Kun!" Suma Kiang segera melangkah maju menghadapi Pangeran Cheng Boan. Dia adalah pembantu pangeran itu sejak dua puluh tahun lebih yang lalu, menjadi pembantu yang setia. Kini dia maklum bahwa keadaan puterinya gawat dan dia harus dapat membelanya. "Ampun, Yang Mulia." katanya merendah. "Yang masuk ke sini ternyata adalah anak perempuan saya sendiri. Agak-nya terjadi kesalah-pahaman di sini, harap paduka suka mengampuninya dan suka mendengarkan alasannya mengapa ia sampai datang membikin ribut di sini." Pangeran Cheng Boan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sian Eng. Ia menduga tentu gadis ini yang diaku anak oleh Suma Kiang, karena ia tidak mengenai gadis itu. Kenapa gadis cantik ini hendak membunuh puteranya" Apa alasannya" "Mari kita semua masuk ke ruangan belakang dan bicara di sana. Kalau alasan anakmu ini masuk akal, kami akan mempertimbangkannya." perintah Pangeran Cheng Boan dan semua orang mengikutinya masuk ke ruangan belakang. Mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar. Pangeran Cheng Boan, Cheng Kun, Ki Seng, Toa Ok, Sian Hwa Sian-li, Suma Kiang dan Sian Eng yang duduk di sebelah kiri ayahnya. Gadis ini sama sekali tidak tampak gentar. Ia duduk dengan tenang, yakin bahwa ayahnya tentu akan membelanya dan iapun terus bersandiwara sebagai anak Suma Kiang yang merasa bahagia bertemu dengan "ayahnya" itu! Pada saat itu, seorang gadis cantik memasuki ruangan itu. Ia tampak ragu melihat semua orang duduk mengelilingi meja dengan wajah serius. Akan tetapi melihat gadis itu, Pangeran Cheng Boan segera berkata kepadanya. "Masuk dan duduklah, Nona Ciang." "Maaf, Pangeran. Saya mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang penjahat datang mengacau dan...." "Duduklah, nona. Engkaupun sebagai seorang penjaga keamanan keluarga di sini, berhak untuk mengetahui. Kami sedang hendak membicarakan tentang hal itu." kata Pangeran Cheng Boan. Sian Eng memandang kepada gadis itu dan mendengar bahwa gadis itu disebut "nona Ciang", iapun menduga bahwa tentu gadis ini yang bernama Ciang Mei Ling, tunangan Pangeran Cheng Lin seperti yang diceritakan oleh Siang Kui. Mei Ling mengangguk dan segera duduk di kursi kosong dekat Ki Seng. "Yang Mulia, sebelum kita semua membicarakan tentang kedatangan anak saya ini, perkenankan saya memperkenalkan paduka dan semua yang hadir kepada anak saya." Mendengar permintaan itu, Pangeran Cheng Boan mengangguk dan memandang kepada Sian Eng dengan penuh perhatian, dalam hatinya menduga-duga apa sebabnya gadis cantik jelita itu hendak membunuh puteranya. Sementara itu, Cheng Boan juga memandang kepada Sian Eng dengan alis berkerut. "Suma Eng, anakku. Tadi sudah kuper-kenalkan padamu Pangeran Cheng Lin dan Toa Ok. Biar kulanjutkan memperkenalkan semua yang hadir kepadamu. Beliau ini adalah tuan rumah, dan kepada beliau inilah aku menghambakan diri. Beliau adalah Pangeran Cheng Boan, paman dari Pangeran Cheng Lin atau adik dari Yang Mulia Sribaginda Kaisar." Sian Eng bangkit dari tempat duduk-nya dan dengan gerakan lembut gemulai ia mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan suaranya halus penuh hormat, "Terimalah hormat saya, Yang Mulia." Sebutan itu ia tiru dari Suma Kiang. Pangerran Cheng Boan mengangguk. Kemudian Suma Kiang memperkenalkan Cheng Kun. "Dan ini adalah Cheng Kongcu, putera Yang Mulia Pangeran Cheng Boan." Kembali Sian Eng memberi hormat dan Cheng Kun hanya menganggukkan kepala sedikit dengan mulut masih cemberut teringat akan ancaman Sian Eng tadi. "Wanita ini adalah Sian Hwa Sian-li, seorang di antara para pembantu Pangeran, dan gadis ini adalah Nona Ciang Mei Ling, juga menjadi penjaga keamanan bersama kami semua." Setelah diperkenalkan kepada semua yang hadir, Sian Eng duduk kembali. Pada saat itu, seorang perajurit pengawal masuk dan memberi hormat kepada Pangeran Cheng Boan, melaporkan ditemukannya dua orang peronda yang pingsan, seorang di taman dan yang seorang lagi di bagian belakang gedung dekat kamar Cheng Kun, di belakang sebuah pot kembang. Pangeran Cheng Boan mengangguk dan menyuruh perajurit itu mundur. Semua perajurit yang tadi mengawal Pangeran Cheng Boan hanya menjaga di luar ruangan itu. "Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi malam ini. Engkau cerita lebih dulu Cheng Kun. Apa yang terjadi denganmu tadi." kata Pangeran Cheng Boan kepada puteranya. Cheng Kun memandang kepada Sian Eng yang tersenyum kepadanya. Dia mengerutkan alisnya lalu berkata kepada ayahnya. "Saya sedang duduk dalam kamar saya ketika ada orang mengetuk daun pintu kamar saya dari luar. Ketika saya tanya siapa itu, ia menjawab bahwa ia seorang pelayan baru. Saya membuka daun pintu dan gadis ini dengan muka tertutup kain merah menodongkan pedangnya kepada saya dan mengancam akan membunuh saya." pemuda itu berhenti sebentar dan meragu. "Hemm, kau tidak bertanya mengapa ia hendak membunuhmu?" tanya ayahnya. "Saya bertanya, ayah, dan ia...... ia mengatakan bahwa saya harus segera menikahi Lo Siang Kui dalam bulan ini juga, kalau tidak ia akan memenggal leherku." kata pula Cheng Kun sambil me-raba lehernya. "Apa artinya ini?" bentak Pangeran Cheng Boan kepada Sian Eng. "Nona Lo siang Kui adalah tunangan puteraku, kenapa engkau memaksanya untuk segera menikahinya dengan ancaman akan membunuhnya" Sudah tentu dia akan menikahinya, akan tetapi tidak dengan jalan diancam hendak dibunuh seperti itu! Apa maksudmu dengan ancaman itu?" Sian Eng tersenyum tenang dan berkata kepada Cheng Kun. "Cheng Kongcu, kenapa tidak bicara yang sesungguhnya menceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan Lo Siang Kui?" Ditegur begitu, Cheng Kun diam saja, merasa takut dan malu untuk menceritakan perbuatannya terhadap tunangannya sendiri. "Apa-apaan semua ini" Bicara apa. kalian" Hayo ceritakan!" bentak Pangeran Cheng Boan. "Yang Mulia, gadis ini memang hendak mengacau. Jelas ia hendak membunuh Cheng Kongcu, maka sebaiknya tangkap ia sebagai pembunuh!" tiba-tiba Sian Hwa Sian-li berkata dengan pangeran itu. "Nanti dulu!" bentak Suma Kiang. "Kalau belum ada kepastian anakku bersalah, aku akan membelanya! Yang Mulia, setidaknya berilah dulu kesempatan kepada Suma Eng untuk menceritakan mengapa ia melakukan ancaman kepada Cheng Kongcu." Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk. Baginya, Suma Kiang merupakan pembantu utama yang paling setia dan dapat dipercaya, maka tentu saja dia tidak akan begitu saja menghukum anak perempuan pembantu itu. Maka dia laiu memandang kepada Sian Eng dan berkata, "Nona, ceritakanlah dengan jujur apa yang terjadi dan mengapa engkau berani masuk ke sini dan mengancam putera kami." "Tentu saja saya akan menceritakan dengan terus terang dan sejujurnya, Yang Mulia. Apalagi setelah saya bertemu dengan ayah saya yang ternyata menghambakan diri kepada paduka, ayah yang sudah lama saya cari. Saya akan bercerita dengan sebenarnya. Saya datang ke kota raja untuk mencari ayah saya ini dan saya mondok di rumah keluarga Lo, perguruan Hek-tiauw Bu-koan dan pada suatu hari, yaitu kemarin, saya melihat enci Lo Siang Kui berduka bahkan hampir ia membunuh diri dengan tidak mau makan sampai berhari-hari. Setelah saya bujuk-bujuk, akhirnya ia mengaku bahwa sepuluh hari yang lalu, ketika ia berkunjung kepada tunangannya, yaitu Cheng Kongcu di sini, ia telah dinodai oleh Cheng Kongcu." "Apa....?" Pangeran Cheng Boan bertanya sambil menoleh kepada puteranya. Dia tidak perduli kalau puteranya berhubungan dengan para wanita, akan tetapi menodai tunangannya sendiri, sungguh hal ini membuat dia merasa tidak senang karena perbuatan itu dapat mencemarkan nama dan kehormatan keluarga mereka. "Benarkah itu, Cheng Kun?" Cheng Kun menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan dia melirik kepada Sian Hwa Sian-li, khawatir kalau gadis itu menceritakan betapa Siang Kui telah dirobohkan sampai pingsan oleh Sian Hwa Sian-li kemudian dia bawa ke kamarnya. "Benar, ayah. Kami berdua telah khilaf.... telah lupa diri...." Sian Eng tidak begitu bodoh untuk menceritakan semua peristiwa itu karena ia tidak ingin dimusuhi oleh Cheng Kun. Ia sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan keluarga ini yang agaknya menyimpan rahasia besar dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang seperti ayahnya, Toa Ok, dan pemuda lihai yang ternyata pangeran putera Kaisar itu. "Enci Lo Siang Kui tidak menceritakan bagaimana hal itu terjadi. Ia hanya mengatakan bahwa ia telah ternoda dan Cheng Kongcu berjanji kepadanya untuk dalam waktu seminggu berkunjung kepadanya untuk menentukan hari pernikahan mereka. Akan tetapi ditunggu sampai sepuluh hari, Cheng Kongcu tidak kunjung datang sehingga enci Siang Kui menjadi putus asa dan bertekad untuk membunuh diri dengan tidak mau makan. Saya meng hiburnya dan malam ini saya sengaja datang menemui Cheng Kongcu untuk memaksanya agar dia memenuhi janjinya kepada enci Siang Kui dan segera mengajukan ketentuan hari pernikahan mereka. Saya sama sekali tidak tahu bahwa ayah saya menghambakan diri di sini, kalau saya tahu tentu saya tidak akan melakukan hal itu, Yang Mulia." "Ampunkan hamba dan anak hamba, Yang Mulia." kata Suma Kiang. "Dengan penjelasan itu, ternyata anak saya tidak bermaksud membunuh Cheng Kongcu, melainkan hendak menggertaknya demi untuk menolong nona Lo Siang Kui. Karena itu mohon pengampunan paduka, dan anak saya ini dapat menyumbangkan kepandaian silatnya untuk membantu paduka." "Cheng Kun, engkau telah bertindak gegabah dengan menggauli tunanganmu sendiri. Bagaimana kalau hal itu tersiar di luaran" Nama baik dan kehormatan kita akan tercemar. Tidak ada jalan lain, engkau harus memboyongnya ke sini dan menikahinya dengan sah walaupun untuk itu tidak perlu dirayakan secara besar-besaran. Kelak, kalau engkau menikah dengan puteri pilihanku, Nona Lo Siang Kui dapat dijadikan selir pertama." "Baik, ayah. Akan saya laksanakan." kata Cheng Kun dengan hati lega karena ternyata Sian Eng tidak menceritakan seluruhnya. "Suma-sicu, engkau menawarkan puterimu untuk membantu kami, apakah ia yang hanya seorang gadis muda ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup memadai?" "Tidak semestinya kalau saya memuji pandaian anak saya sendiri, Yang Mulia. Akan tetapi paduka dapat menanyakan kepada Sian Hwa Sian-li ini karena tadi ia sudah bertanding melawan anak saya." jawab Suma Kiang sambil tersenyum memandang kepada Sian Hwa Sian-li yang tadi terdesak hebat oleh Sian Eng. "Bagaimana pendapatmu tentang Ilmu kepandaian silat Nona Suma Eng ini, Sian Hwa Sian-li?" tanya Pangeran Cheng Boan sambil menoleh kepada wanita itu. Sian Hwa Sian-li menjadi merah mukanya. Ia tidak dapat memungkiri bahwa Sian Eng lebih lihai darinya, bahwa ia tadi sudah hampir kalah melawan gadis itu, akan tetapi untuk mengakui kekalahannya tentu saja ia merasa malu. "Saya mendapat kenyataan bahwa ilmu silatnya cukup lihai, Yang Mulia." katanya sederhana. Sejak tadi ketika penutup muka Sian Eng dibuka, Ki Seng diam-diam merasa kagum bukan main. Tadi melihat betapa gadis itu dapat menandingi bahkan mendesak Sian Hwa Sian-li, dia sudah merasa kagum sekali. Setelah melihat wajah yang cantik jelita itu, dia terpesona dan dalam pandang matanya, wajah Sian Hwa Sianli dan wajah Ciang Mei Ling tampak buruk dibandingkan wajah gadis ini! Demikianlah memang ulah nafsu yang menguasai diri manusia. Nafsu selalu me-nuntut dan menghendaki yang baru, yang dianggapnya akan lebih menyenangkan daripada yang telah dimilikinya. Kesenangan nafsu berakhir dengan kebosanan karena nafsu ingin menjangkau yang lebih, dan yang belum terdapat, belum di-miliki selalu tampak lebih bagus, lebih menyenangkan daripada yang telah berada di tangan. "Ilmu kepandaian silat nona ini hebat sekali, Paman Pangeran, bahkan ia mampu mengalahkan Sian Hwa Sian-li tadi," kata Ki Seng atau Pangeran Cheng Lin palsu. Mendengar ini, Sian Hwa Sian Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo li mengerling kepadanya dengan alis berkerut. Akan tetapi wanita ini tidak berani berkata apa-apa walaupun dalam hati-nya ia marah sekali. Rasa tidak sukanya kepada Ki Seng yang telah diketahuinya bukan pangeran aseli itu semakin mene-bal. Mendengar ucapan Ki Seng itu, Pangeran Cheng Boan merasa girang sekali. Dia percaya sepenuhnya kepada keterangan pemuda yang sakti itu dan tentu saja dia merasa senang mendapatkan pembantu baru yang selain cantik jelita juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan boleh diandalkan, apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Suma Kiang yang sudah dipercaya benar. "Suma-sicu, kami maafkan apa yang telah diperbuat Suma Eng malam ini dan kami suka menerimanya sebagai pembantu kami." kata pangeran itu. Sian Eng menjadi girang sekali. Kini ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam sakit hatinya kepada Suma Kiang, juga kepada Toa Ok, dan ia akan dapat pula menyelidiki persekongkolan itu. Kini semua orang mengucapkan selamat kepada Sian Eng, bahkan Sian Hwa Sian-li sendiri tampak ramah kepadanya. Semua tampak ramah kecuali Ciang Mei Ling yang bersikap dingin dan tidak acuh kepadanya. Pangeran Cheng Boan lalu memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan makanan dan minuman karena dia hendak merayakan diterimanya Siar Eng sebagai pembantu dengan sebuah pesta kecil di antara mereka semua. Sian Eng yang amat cerdik pandai membawa diri sehingga tidak ada seorang pun yang mencurigainya, kecuali mungkin Ciang Mei Ling yang kadang-kadang mengerling kepadanya dan Sian Eng mendapatkan betapa kerling mata gadis itu amat tajam dan seolah menembus ke dalam dada dan menjenguk hatinya. ia menjadi waspada terhadap Ciang Mei Ling yang dianggapnya berbahaya. Sian Eng mendapatkan sebuah kamar dalam istana yang besar itu. Malam itu juga ia berpamit dari Pangeran Cheng Boan untuk kembali sebentar ke rumah Lo Siang Kui, mengabarkan tentang hasil pertemuannya dengan keluarga Pangeran Cheng Boan sekalian berpamit dari keluarga Lo Kang karena mulai malam itu ia akan tinggal di istana Pangeran Cheng Boan sebagai seorang pengawal atau penjaga keamanan keluarga pangeran itu. Siang Kui dan ayah ibunya senang mendengar keterangan Siang Kui bahwa soal pernikahan antara Siang Kui dan Cheng Kun akan ditangani oleh Pangeran Cheng Boan sendiri dan keputusannya pasti akan dilakukan pangeran itu dalam waktu dekat. Biarpun ayah dan ibu Siang Kui belum mengetahui keadaan puteri mereka yang ternoda oleh calon mantu mereka itu, namun berita tentang akan dipercepatnya hari pernikahan puteri mereka, membuat mereka merasa gembira. Malam itu juga Sian Eng berpamit dari mereka dan membawa buntalan pakaian-nya, berpindah ke dalam istana Pangeran Cheng Boan. Semenjak malam jahanam itu di mana ia terbius oleh anggur beracun yang disuguhkan Sian Hwa Sian-li kepadanya sehingga dalam keadaan tidak sadar dan terangsang ia ternoda oleh Cheng Kun, hati Ciang Mei Ling dipenuhi kebencian Bukan hanya benci kepada Cheng Kui dan Sian Hwa Sian-li yang menggunakai siasat keji sehingga ia menyerahkan kehormatannya kepada Cheng Kun, akan tetapi juga timbul kebenciannya terhadap tunangannya sendiri, Ouw Ki Seng atau Pangeran Cheng Lin! Kini baru terbuka, matanya bahwa pangeran yang menjadi tunangannya itu bukan seorang lakilaki yang baik. Ia tahu bahwa Pangeran Cheng Lin mengadakan hubungan gelap berjina dengan para selir muda Pangeran Cheng Boan, dan bahwa tunangannya itu pun berbuat mesum dengan Sian Hwa Sian-li. Kini ia dapat menduga bahwa ketika ia dahulu menyerahkan diri kepada Pangeran Cheng Lin, sama seperti ia menyerahkan diri kepada Cheng Kun, semua itu terjadi di luar kesadarannya. Peristiwanya sama dan kini ia dapat mengambil kesimpulan bahwa semua itu telah diatur oleh Sian Hwa Sianli! Ia merasa dirinya kotor tercemar, dan ia melihat pula sikap tunangannya yang kini tidak acuh terhadap dirinya. Kini tinggal dendam membara di hatinya, bahkan kini timbul kecurigaan tentang kematian ayah ibunya. Benarkah Twa-to Siang-houw (Sepasang Harimau Golok Besar) yang membunuh ayah ibunya" Kenapa dua orang perampok itu membunuh ayah ibunya" Dan malam itu ia sudah melawan mereka berdua. Rasanya mustahil kalau ayahnya sampai kalah dan terbunuh oleh mereka berdua. Ia sendiri dikeroyok oleh mereka berdua dan biarpun ia terdesak, namun ia merasa yakin bahwa mereka berdua bukan lawan ayahnya. Mereka tidak akan mampu mengalahkan ayahnya! Jangan-jangan ini hanya merupakan tipu muslihat yang sudah diatur oleh Pangeran Cheng Lin dan Sian Hwa Sian-li! Semua pemikiran itu membuat Mei Ling merasa muak dan benci kepada tunangannya, biarpun tunangannya itu seorang pangeran! Ia tidak akan merasa bahagia menjadi isteri seorang pria seperti itu. Semenjak ia ternoda oleh Cheng Kun, diam-diam Mei Ling melakukan pengintaian terhadap mereka semua. Karena itu ia mengetahui belaka ketika Cheng Kun memperdaya Lo Siang Kui sehingga gadis tunangannya itu dijadikan korban kebiadabannya. Ia sudah berusaha menemui Lo Siang Kui ketika pada keesokan harinya gadis itu pergi meninggalkan gedung Pangeran Cheng Boan. Ia sudah berusaha membuka rahasia kejahatan Cheng Kun, akan tetapi Lo Siang Kui tidak percaya kepadanya. Mei Ling lalu mengintai mereka. Akan tetapi Pangeran Cheng Boan dan para kaki tangannya itu bersikap hati-hati sekali dan Mei Ling juga tidak berani sembrono karena maklum betapa lihainya para pembantu pangeran itu. Kalau sampai pengintaiannya ketahuan, ia tentu akan celaka. Karena itu, sampai peristiwa munculnya Sian Eng di rumah itu untuk mengancam Cheng Kun, Mei Ling masih belum dapat mengetahui rahasia komplotan itu. Akan tetapi ia menduga keras bahwa hubungan antara Pangeran Cheng Lin dan Pangeran Cheng Boan bukan hubungan kekeluargaan biasa. Pasti ada rahasia di balik semua itu dan ingin la mengetahui rahasia itu. Kemunculan Sian Eng yang menyerang dan mengancam Cheng Kun untuk mem-pertanggungjawabkan perbuatannya terhadap Lo Siang Kui, pada mulanya menarik perhatian Mei Ling dan ia kagum kepada Sian Eng. Akan tetapi alangkah menyesal dan kecewanya ketika pada akhirnya ternyata bahwa Sian Eng adalah puteri Suma Kiang dan gadis itu bahkan menghambakan diri kepada Pangeran Cheng Boan! Rasa suka yang tadinya timbul di hatinya terhadap Sian Eng yang menyerang Cheng Kun berubah menjadi kebencian karena ia menganggap Sian Eng seorang di antara para kaki tangan Pangeran Cheng Boan. Pada suatu senja Mei Ling melakukan pengintaian terhadap Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li. Dua orang ini mengadakan pertemuan di pondok kecil di tengah taman, minum arak sambil bercakap-cakap. Melihat kedua orang itu duduk di bangunan pondok yang terbuka itu sambil bercakap-cakap, Mei Ling lalu menginta dan menyelinap di balik rumpun bunga yang banyak daunnya sehingga tubuhnya tertutup sama sekali. Apalagi tempat ia bersembunyi mengintai dan mendengarkan itu terlindung bayangan pohon yang gelap. "Aku masih merasa heran sekali, Cheng Kongcu. Kalau ayahmu pangeran sudah mengetahui bahwa Ouw Ki Seng itu adalah Pangeran Cheng Lin yang palsu, mengapa ayahmu mau saja menerimanya sebagai sekutunya, bahkan membiarkan dia berbuat sesuka hatinya menggaul para selir ayahmu?" Mei Ling terbelalak dan jantungnya berdebar keras membuat kedua kakinya gemetar. Apa yang didengarnya itu terlalu hebat dan penting. Ouw Ki Seng, tunangannya itu, ternyata hanya seorang pangeran palsu" Apa pula ini" Tiba-tiba ia terkejut setengah mati ketika pundaknya ada yang menyentuh. Ia cepat menoleh dan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menyentuh pundaknya itu bukan lain adalah Sian Eng, puteri Suma Kiang! Secara otomatis Mei Ling menggerakkan tangannya untuk memukul, akan tetapi Sian Eng sudah menangkap pergelangan tangannya dan menaruh telunjuk tangan kanannya di depan mulut, memberi tanda supaya Mei Ling tidak membuka suara membuat gaduh. Melihat tanda dan sikap ini, biarpun la merasa heran dan curiga, Mei Ling tidak jadi bergerak menyerang. Mereka berdua berhimpitan bersembunyi di balik rumpun bunga dan mendengarkan sambil mengintai ke arah dua orang yang duduk berhadapan terhalang meja kecil di mana terdapat dua guci anggur dan arak. "Sssttt, hati-hati engkau bicara!" desis Cheng Kun ketika mendengar ucapan Sian Hwa Sian-li tadi. "Ah, apa yang kau khawatirkan, Cheng Kongcu" Malam ini Pangeran Cheng Lin tidak berada di sini." kata wanita itu. "Benar, akan tetapi bagaimana dengan Ciang Mei Ling" Dan Suma Eng yang kini juga berada di sini" Kalau mereka mendengarnya...." "Sudahlah, tidak perlu banyak khawa-tir, kekasihku yang tampan." kata Sian Hwa Sian-li dengan sikap genit. "Sebelum mengajakmu ke sini tadi, aku sudah memeriksa dan mengintai kamar mereka. Dua orang gadis itu berada di kamar masingmasing. Pula, tempat ini terbuka, kalau ada orang datang mendekat tentu iku akan melihatnya. Kita dapat bicara dengan leluasa di tempat ini." "Aku tidak begitu khawatir tentang Mei Ling. Bukankah ia sudah kutundukkan" Pula, ia adalah tunangan Pangeran Cheng Lin, mungkin ia sudah tahu bahwa pangeran itu palsu. Yang kukhawatirkan adalah Suma Eng itu. Ia tampaknya galak dan ganas, ilmu kepandaiannya tinggi sekali." "Tidak perlu takut. Gadis itu adalah puteri Suma Kiang. Mungkin saja ayahnya sudah memberi tahu tentang diri Pangeran Cheng Lin." "Akan tetapi hatiku belum yakin. Ah, kalau saja aku bisa mendapatkan si cantik jelita itu seperti aku mendapatkai Mei Ling, tentu ia akan dapat kukuasai Akan tetapi mungkinkah hal itu dilaksanakan" Ia begitu lihai!" "Hi-hik, mengapa tidak mungkin" Dengan anggur perangsangku, seorang dewa dari kahyanganpun dapat terjatuh ke dalam pelukanmu, Cheng Kongcu." "Aih! Benarkan itu, Sian-li" Kalau begitu, cepatlah lakukan untukku. Ia cantik jelita sekali dan ia pernah menghinaku Aku ingin sekali mendapatkannya agar puas hatiku dan dapat membalas penghinaanku." "Tunggu saja tanggal mainnya! Suatu waktu ia pasti akan menjadi milikmu akan tetapi apa yang kau peroleh atas semua jasaku itu?" "Jangan khawatir, Sian-li. Aku tidak akan melupakanmu. Kalau kelak ayah sudah dapat menjadi kaisar, engkau tentu akan menjadi mantu kaisar, menjadi seorang di antara isteri steriku yang paling berjasa dan kucinta." "Hemm," Sian Hwa Sian-li cemberut "Engkau akan mempunyai berapa orang isterikah, Cheng Kongcu?" "Tentu saja banyak! Kalau ayah sudah menjadi Kaisar kelak, berarti aku menjadi putera mahkota yang kelak menggantikan ayah menjadi Kaisar. Aku akan mempunyai isteri sebanyak mungkin, juga selir dan dayang-dayang yang cantik jelita." "Hemm, dasar mata keranjang." Sian Hwa Sian-li berlagak marah dengan sikap genit. "Jangan khawatir, Sian-li. Engkau tetap akan menjadi seorang di antara isteriku yang kucinta. Engkau akan selalu berdekatan dengan aku karena engkau juga menjadi pengawal pribadiku dan pelindungku." "Akan tetapi bagaimana ayahmu pangeran akan dapat menjadi kaisar menggantikan Kaisar Cheng Tung" Bukankah masih ada Pangeran Cheng Lin itu, walaupun sebenarnya dia Ouw Ki Seng" Kaisar Cheng Tung sendiri sudah menerimanya sebagai seorang pangeran." "Ah, jangan khawatirkan tentang pangeran palsu itu." "Akan tetapi Ouw Ki Seng itu lihai sekali, Cheng Kongcu. Kita harus berhati-hati sekali!" Sian Hwa Sian-li memperingatkan. "Takut apa" Di sini ada Suma Kiang ada Toa Ok, ada engkau sendiri, ditambah lagi Ciang Mei Ling dan Lo Sian Kui yang tentu sekarang suka membantu kita!" "Akan tetapi kalau ayahmu pangeran sudah mengetahui bahwa dia Pangeran palsu, kenapa tidak dilaporkan saja kepada Kaisar Cheng Tung agar dia ditangkap dan dihukum?" "Ah, ternyata engkau masih bodoh Sian-li. Kita mengajak Ouw Ki Seng bersekutu dan sengaja mendukungnya sebaga pangeran hanya untuk memperalat dia dalam usaha menyingkirkan para penghalang, Tanpa disingkirkannya para penghalang dalam istana itu, bagaimana mungkin ayah akan dapat menjadi kaisar?" "Siapakah penghalang-penghalang itu, Cheng Kongcu?" "Ssstt, jangan kuat-kuat bicara!" Cheng Kun memperingatkan, Sian Hwa sian-li menoleh ke kanan kiri, dengan pandang mata tajam menyapu keadaan sekeliling. Lo Sian Eng dan Mei Ling yang melakukan pengintaian menahan nafas. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li agaknya tidak mencurigai sesuatu. "Tenanglah, tidak ada siapa-siapa di sekitar sini." katanya. "Ceritakanlah, Siapa penghalang-penghalang yang harus disingkirkan itu, Cheng Kongcu" Ingat, aku adalah pembantu dan juga pelindungmu, Maka sebaiknya kalau aku mengetahui segala keadaan sehingga dapat membantu dengan tepat dan tahu siapa kawan siapa lawan." "Mereka adalah lima orang pangeran yang berada di dalam istana. Mereka itu harus disingkirkan karena merupakan penghalang bagi ayah untuk menjadi kaisar. Tentu saja hal ini akan dapat dilakukan dengan mudah oleh Ouw Ki Seng yang tinggal di istana sebagai seorang pangeran pula." "Apakah dia mau melakukannya?" "Kenapa tidak" Kami mendukungnya sebagai pangeran dan kami menjanjikan kelak akan mendukungnya menjadi puteri mahkota kalau para pangeran yang lair telah disingkirkan." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hernm, mengerti aku sekarang." Siai Hwa Sian-li mengangguk-angguk. "Dan kalau mereka berlima itu berhasil disingkirkan, kita lalu menyingkirkan Pangeran palsu itu, bukan" Wah, cerdik sekali rencana itu! Akan tetapi, bagaimana dengan Pangeran Cheng Lin yang aseli" Bukan-kah Ouw Ki Seng telah merampas Suling Pusaka Kemala itu dari tangannya" Di mana adanya Pangeran Cheng Lin yang aseli itu" Apakah telah dibunuh oleh Ouw Ki Seng?" "Itulah yang kadang merisaukan hati ayah. Menurut keterangan Ouw Ki Seng Pangeran Cheng Lin yang aseli itu masih hidup dan dia adalah saudara seperguruannya sendiri bernama Han Lin yang katanya amat lihai." Lo Sian Eng yang mendengarkan percakapan itu hampir saja mengeluarkar seruan kaget, akan tetapi cepal ia menggunakan tangan untuk membungkam mulut sendiri. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Han Lin itu penyamaran pangeran Cheng Lin" "Nah, bagaimana kalau Pangeran Cheng Lin yang aseli itu muncul dan menceritakan semuanya kepada Kaisar Cheng Tung" Kedok Ouw Ki Seng akan terbuka dan persekutuan ini tidak ada gunanya lagi malah mungkin membahayakan nama baik ayahmu." "Hal itupun sudah kami pikirkan dan justeru karena adanya kemungkinan munculnya Pangeran Cheng Lin yang aseli maka kami menarik Ouw Ki Seng menjadi sekutu kami. Dengan adanya Ouw Ki Seng yang berada di sini sebagai pangeran, apa yang dapat dilakukan Pangeran Cheng Lin yang aseli" Bukti diri pangeran itu hanyalah Suling Pusaka Kemala, dan benda pusaka itu sudah menjadi milik Ouw Ki Seng. Siapa yang akan percaya kepada Pangeran Cheng Lin yang aseli. Begitu muncul, dia akan ditangkap sebagai pemalsu pangeran. Juga dengan sdanya Ouw Ki Seng, maka kalau pangeran aseli itu muncul akan ada yang menandinginya." "Wan, semua sudah diatur dan direncanakan dengan baik sekali. Ayahmu pangeran memang cerdik sekali, Cheng Kongcu. Aku senang sekali dapat membantu." "Sudahlah, mari kita masuk, Sian li. Hawanya mulai dingin di sini." kata Cheng Kun sambil bangkit berdiri, diturut oleh Sian Hwa Sian-li. Tak lama kemudian mereka sudah meninggalkan taman sambil bergandeng tangan, memasuKi gedung melalui pintu belakang. "Jahanam.....!" Sian Eng memaki setelah dua orang itu pergi. Mei Ling memandang dengan heran dan penuh selidik. Tentu saja ia meraa ragu. Bukankah gadis ini puteri Suma Kiang yang menjadi pembantu utama Pangeran Cheng Boan" "Siapa yang engkau maki?" tanyanya penuh keraguan. "Mereka semua!" jawab Sian Eng sambil mengepal tinju dengan gemas "Mereka seluruh komplotan jahat itu. Aku mengenalmu, Ciang Mei Ling. Engkau tentu tunangan Pangeran Cheng Lin palsu itu. Enci Siang Kui sudah bercerita tentang engkau kepadaku. Engkau juga menjadi korban mereka." "Akan tetapi engkau.... bukankah engkau ini puteri Suma Kiang?" tanya Mei Ling, masih ragu. "Kita semua tertipu oleh mereka yang berhati palsu itu. Engkau tidak perlu tahu siapa aku, hanya engkau boleh tahu bahwa akupun memusuhi komplotan busuk Itu!" Sikap keras dan tegas dari Sian Eng itu entah mengapa menimbulkan kepercayaan dalam hati Mei Ling. "Aku tidak mengerti mengapa engkau sebagai puteri suma Kiang memusuhi mereka, akan tetapi aku percaya kepadamu, Suma Eng. kuharap engkau berhati-hati karena di sini terdapat banyak orang pandai. Baru Suma Kiang dan Toa Ok saja sudah merupakan dua orang yang amat sukar dikalahkan, apalagi kalau Ouw Ki Seng atau Pangeran palsu itu maju. Dia lebih lihai lagi. Juga Sian Hwa Sian-li seorang iblis betina yang licik dan jahat." "Aku tahu, Ciang Mei Ling. Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya. Sian Eng yang merasa bahwa mereka berdua telah mendengar terbukanya rahasia besar komplotan itu, dan tentu gadis yang telah dinodai Cheng Kun ini tidak akan tinggal diam. "Aku akan membunuh si jahanan Cheng Kun itu!" kata Mei Ling dengan gemas. "Dia dan iblis betina itu telah memperdayaku dan jahanam itu telah menodaiku!" Sian Eng mengangguk. "Mereka semua layak dibasmi. Akan tetapi engkau haru berhati-hati, Mei Ling. Iblis betina itu tentu akan membelanya." Kedua orang gadis itu lalu berpisah meninggalkan taman dengan cara menyusup melalui kegelapan malam, kembali ke kamar masing-masing dalam gedung Pangeran Cheng Boan itu. Mereka berunding di dalam ruangan belakang yang tertutup itu. Pangeran Cheng Boan duduk di kepala meja dan yang lain-lain duduk mengelilingi meja bundar yang besar itu. Ouw Ki Seng duduk di seberangnya dan di kanan kirinya duduk Suma Kiang dan Toa Ok, sedang-kan Sian Hwa Sian-li dan Cheng Kun di kanan kiri Pangeran Cheng Boan. Ciang Mei Ling tidak tampak di situ. Bagaimanapun juga, Pangeran Cheng Boan masih belum dapat menerima gadis itu sebagai orang kepercayaannya biarpun Mei Ling diaku sebagai tunangan Ouw Ki Seng. Bahkan Ouw Ki Seng sendiripun tidak berani mengajak gadis itu masuk ke dalam persekutuan rahasia itu dan diapun tidak ingin gadis itu mengetahui bahwa dia adalah seorang pangeran palsu. Karena itulah maka pada malam hari itu Mei Ling tidak diperkenankan hadir dalam rapat rahasia itu. "Pangeran Cheng Lin, sudah paham benarkah engkau tugasmu" Coba ulangi apa yang harus kaulakukan." kata Pangeran Cheng Boan kepada Ki Seng yang duduk dengan sikap tenang. "Sudah, paman. Saya sudah paham betul. Tiga hari yang akan datang Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu akan mengadakan perjalanan berburu binatang di hutan selatan seperti biasa dikawal sebanyak dua puluh orang perajurit pengawal. Saya harus menyamar dan mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh mereka." "Bagus. Ingat, untuk tugas ini engkau harus bekerja sendiri agar tidak mencurigakan. Dan yang terpenting dan yang harus tidak boleh lolos adalah Pangeran Cheng Hwa. Engkau tahu bahwa dia adalah Pangeran Mahkota yang kelak akan nenggantikan Kaisar Cheng Tung. Sukur kalau engkau dapat membunuh keduanya." kata pula Pangeran Cheng Boan. "Jangan khawatir, paman. Saya akan dapat melakukannya dengan baik dan mudah. Apa artinya dua puluh orang perajurit pengawal itu untuk saya" Di-tambah dua kali lipat lagipun tidak akan lapat menghalangi aku membunuh mereka berdua." "Bagus! Kalau Pangeran Cheng Hw sudah dapat disingkirkan, empat orang yang lain itu mudah menyusul. Aku sendiri yang akan menutupimu kalau ada yang berprasangka. Akan kunyatakan dengan sumpah bahwa pada saat kedua orang pangeran itu diserang orang di tengah hutan, engkau sedang berada bersamaku di rumah kami ini." Setelah selesai mengadakan perundingan, mereka bubaran dan Ki Seng menuju ke sebuah kamar yang memang disediakan untuk dia kalau dia berada di istana Pangeran Cheng Boan. Denga gembira Ki Seng menuju ke kamar yang cukup besar dan mewah Itu karena sebelum rapat dimulai dia sudah memesan kepada Mei Ling untuk menunggunya dalam kamarnya itu. Malam ini dia ingin bersenang-senang dengan tunangannya yang secara tidak resmi telah menjadi isterinya itu. Sementara itu, Cheng Kun juga kembali ke kamarnya. Ketika dia memasuk kamarnya, dia tercengang akan tetapi juga girang melihat Ciang Mei Ling telah berada di dalam kamar itu! Sejak dia berhasil menggauli gadis itu dengan bantuan obat perangsang dalam anggur yang disuguhkan Sian Hwa Sian-li kurang lebih sebulan yang lalu, dia tidak pernah lagi berkesempatan mendekati Mei Ling. Gadis itu selalu menjauhkan diri. Akan tetapi malam ini, tahu-tahu gadis itu sudah berada di dalam kamarnya dan menantinya, Tentu saja dia girang bukan main dan cepat dia menghampiri sambil mengembangkan kedua tangannya, siap untuk merangkul. "Nona Chiang Mei Ling, betapa rindu aku kepadamu, manis!" Cheng Kun melangkah maju dan kedua tangannya sudah menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba sebatang pedang yang dipegang tangan kanan gadis itu telah menodong dadanya. Dia merasa betapa ujung pedang yang runcing dan tajam itu telah menembus kain bajunya dan sudah menyentuh kulit dadanya. "Cheng Kun, manusia busuk! Dengan bantuan iblis betina itu, engkau telah menodaiku, untuk itu sekarang engkau harus mampus di tanganku!" Cheng Kun menjadi ketakutan. Wajarnya pucat, matanya terbelalak. "Tidak....tidak....jangan bunuh aku.... toloooonnngggg!!" Akan tetapi jerit melengking itu di sambung teriakan kematian karena pedang di tangan Mei Ling sudah memasuki dadanya. Ketika Mei Ling melangkah mundur dan mencabut pedangnya, tubuh Cheng Kun terkulai roboh dan darahnya membanjiri lantai kamarnya. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Ki Seng telah berdiri di ambang kamar itu. Ketika tadi dia kembali ke kamarnya, dia tidak melihat Mei Ling berada di kamarnya seperti yang telah dipesannya. Dia menjadi kecewa dan bermaksud untuk pergi ke kamar gadis itu. Pada saat mencari Mei Ling itulah dia mendengar jerit melengking dari kamar Cheng Kun. Dia cepat melompat dan berlari menuju ke kamar itu dan dilihatnya Mei Ling telah berada di kamar itu dengan pedang yang berlumuran darah di tangannya sedangkan Cheng Kun telah menggeletak mandi darah. "Ling-moi, apa yang kaulakukan ini?" seru Ki Seng dengan kaget sekali. Mei Ling memandang kepada Ki Seng dengan mata mencorong. Timbul kebencian dan kemuakan besar dalam hatinya terhadap pemuda yang dahulu membuatnya kagum dan tertarik ini. "Ouw Ki seng!" katanya dengan suara yang dingin. "Engkau pangeran palsu, engkau laki-laki jahanam!" "Mei Ling, apa artinya sikap dan makianmu itu?" bentak Ki Seng dengan heran dan marah, juga terkejut sekali. "Artinya bahwa aku tahu betapa engkau telah mengatur siasat yang amat jahat. Dibantu iblis betina Sian Hwa Sian-li itu engkau telah menodaiku, dan aku tidak akan sangsi lagi bahwa pembunuhan atas diri ayah ibuku tentu diatur olehmu." "Mei Ling.....!" Seru Ouw Ki Seng dan pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang berlari-lari bersama Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li, di kuti pula enam orang perajurit pengawal. Melihat ini, Ki Seng segera mengambil keputusan. Mei Ling telah membunuh Cheng Kun dan karena gadis itu adalah tunangannya maka dia tentu akan terlibat kalau dia tidak mengambil keputusan cepat. "Engkau pembunuh!" bentaknya dan cepat dia menyerang Mei Ling dengan pukulan maut Sin-liong-jut-tong (Nagdl Sakti Keluar Guha) sebuah jurus ampuh dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (lima Silat Naga Sakti). Pukulan dengan kedua tangan mendorong ke depan mengarah dada Mei Ling ini hebat sekali. Serangkum tenaga sakti menyambar ke arah gadis itu. Mei Ling yang sudah tahu bahwa pemuda itu amat lihai, cepat melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik tiga kali, kemudian dengan nekat ia menyerang dengan pedangnya. Dengan penuh kebencian ia menusukkan pedangnya untuk membunuh pemuda yang telah merusak kehidupannya itu. Akan tetapi tingkat kepandaian silat gadis puteri ketua Pek-eng-pang itu masih jauh di bawah tingkat kepandaian Ki Seng, maka tusukan itu dengan amat mudahnya dihindarkan oleh Ki Seng dengan miringkan tubuh ke kanan, menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini tiba di samping kiri Mei Ling. Dengan gerakan cepat sekali, dia membalik dan tangan kanannya sudah menampar ke arah punggung gadis itu dengan pengerahan tenaga sakti yang amat kuat. "Wuuttt..... plakkk!" Itulah pukulan ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang pernah dipelajari Ki Seng dari perkumpulan Ban-tok-pang. Tubuh Mei Ling tersungkur dan gadis itu tidak bergerak lagi. Tewas dengan mulut mengeluarkan darah. Ketika melihat puteranya menggeletak mandi darah, Pangeran Cheng Boan berteriak keras dan dia menangis setelah mendapat kenyataan bahwa puteranya telah tewas. "Apa yang terjadi di sini" Siapa yang membunuh puteraku?" teriaknya. Ouw Ki Seng melangkah maju, "Paman Pangeran, saya mendengar teriakan dan ketika saya datang ke sini, saya melihat kanda Cheng Kun telah tewas Pembunuhnya adalah Ciang Mei Ling ini!" Dia menuding ke arah tubuh gadis itu yang telah tewas pula. "Melihat kejadian itu saya lalu membunuhnya." "Akan tetapi..... mengapa ia membunuh Cheng Kun" Bukankah ia itu gadis tunanganmu?" Pangeran Cheng Boan bertanya penasaran. "Saya sendiri tidak mengerti, paman Agaknya terjadi percekcokan di antara mereka." "Pangeran, kenapa tergesa-gesa membunuhnya" Seharusnya ia ditangkap dan ditanya dulu mengapa ia membunuh Cheng Kongcu." kata Sian Hwa Sian li dengan suara menegur. Ia merasa terpukul sekali dengan kematian Cheng Kun yang diharapkannya kelak akan mengangkat dirinya. "Ia telah mengetahui rahasia...." Ki Seng menyadari bahwa di situ terdapat pula enam orang perajurit, lalu disambungnya, "....rahasia yang seharusnya tidak ia ketahui. Maka aku lalu membunuhnya, Sianli." "Aduh, celaka! Bagaimana sampai bisa terjadi hal seperti ini?" Keluh Pangeran Cheng Boan dengan hati hancur. Dia hanya mempunyai seorang saja putera dan sekarang puteranya telah terbunuh! "Dimana Suma Kiang" Dia seharusnya menjaga keselamatan Cheng Kun!" Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pada saat itu terdengar suara beradu-nya senjata tajam di ujung lorong yang menuju ke belakang. Semua orang terkejut dan tanpa diperintah lagi, Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li sudah berloncatan menuju ke arah itu. Ki Seng juga me-lompat dan mengejar mereka. Apa yang terjadi di bagian belakang rumah itu" Suma Kiang sedang duduk di luar kamarnya mencari hawa sejuk karena di dalam kamarnya hawanya agak panas. Tiba-tiba muncul Sian Eng. Melihat gadis itu berdiri di depannya, Suma Kiang menegur dengan ramah sambil memandang kepada "puterinya" itu dengan sinar mata menyayang. "Suma Eng, anakku, engkau belum tidur" Mari duduk di sini dan mengobrol bersama." Akan tetapi alangkah heran hati Suma Kiang ketika melihat gadis itu tetap saja berdiri di depannya, bahkan ia bertolak pinggang dan berkata dengan suara aneh, suara yang penuh kemarahan dan kebencian. "Suma Kiang, manusia iblis! Aku adalah Lo Sian Eng, bukan Suma Eng!" "Eh, Suma Eng, apa artinya ini?" tanya Suma Kiang dengan kaget dan heran masih belum menduga apa-apa. -00d00w00- JILID XXVI "ARTINYA, engkau sama sekali bukan ayah kandungku! Engkau bahkan musuh besarku yang telah memperkosa ibuku sehingga ia membunuh diri dan menyebabkan kematian ayah kandungku pula, karena itu, sekarang engkau harus mati di tanganku!" Setelah berkata demikian, Sian Eng mencabut pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dari punggungnya dan langsung saja ia menyerang Suma-Kiang dengan cepat. Pedangnya menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Suma Kiang. Serangan ini datangnya cepat sekali dan mengandung tenaga dahsyat. Suma Kiang terkejut setangah mati mendengar ucapan Sian Eng tadi. Seketika diapun tahu bahwa gadis itu telah mengetahui akan rahasianya, Entah bagaimana gadis itu dapat mengetahuinya, akan tetapi dia maklum bahwa gadis itu tentu akan membalas dendam dan benar-benar akan membunuhnya. Ketika Sian Eng menyerang dengan hebat itu, tidak ada jalan lain baginya untuk menghindarkan diri dari maut kecuali dengan melempar diri ke belakang dan terus bergulingan di atas lantai. "Singg.....craakkkkk!" Kursi yang tadi diduduki Suma Kiang terbelah menjadi dua oleh sambaran pedang. Akan tetapi Suma Kiang sudah dapat menyelamatkan diri dan karena maklum bahwa ilmu kepandaian gadis itu kini sudah tinggi sekali, diapun cepat mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Sebagai seorang pengawal pribadi dan penjaga keamanan di istana Pangera Cheng Boan, sepasang pedangnya tidak pernah terpisah dari tubuhnya. "Suma Eng, sabar dulu, mari kita bicara...." katanya menyabarkan. "Tutup mulut dan bersiaplah untuk mati dan menebus dosamu!" bentak Sian Eng yang sudah menyerang lagi. Pedangnya menyambar ke arah leher. Ketika Suma Kiang melangkah mundur dan menekuk lutut sehingga sambaran pedang itu lewat di atas kepalanya, tahu-tahu pedang di tangan Sian Eng sudah membalik dan kini menusuk lehernya. Suma Kiang terkejut dan cepat mengarakkan pedang kirinya menangkis. "Tranggg....!" Dua pedang bertemu dan pedang kanan Suma Kiang kini membalas dengan tusukan ke arah dada gadis itu. Akan tetapi dengan mudahnya Sian Eng mengelak. Segera mereka terlibat dalam perkelahian yang amat seru. Suma Kiang yang sebetulnya mencinta Sian Eng dengan sungguh-sungguh dan menganggapnya sebagai puterinya sendiri, terpaksa membela diri dan balas menyerang. Hatinya terasa sakit sekali melihat gadis yang disayangnya itu bersungguh-sungguh hendak membunuhnya. Akan tetapi, bagaimanapun juga tentu saja dia lebih sayang dirinya sendiri daripada gadis itu. Dia harus membela diri dengan sungguhsungguh kalau tidak ingin mati di tangan gadis yang amat lihai itu. Dan pembelaan diri yang paling kuat adalah dengan balas menyerang pula. "Hai itttt.....!!" Sian Eng sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan yang tampak hanya gulungan sinar kehijauan dari Ceng-liong kiam yang membacok ke arah leher suma Kiang dari samping. Bagaikan kilat menyambar pedang itu meluncur ke arah leher lawan dengan kekuatan yang cepat akan dapat memancung leher lawan kalau mengenai sasaran. Karena serangan itu berbahaya sekali, Suma Kiang tidak sempat mengelak dan kembali dia menangkis dengan pedang tangan kirinya. "Tranggg....!" Bunga api berpijar, Suma Kiang terkejut karena merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat, tubuhnya terdorong dan membuat dia terhuyung ke belakang. Pada saat itu, tangan kiri Sian Eng sudah berkelebat, menyerang dengan pukulan Pek-lek Ciang- hoat. Suma Kiang masih mencoba untuk membuang diri ke belakang, akan tetapi hawa pukulan yang amat dahsyat membuatnya terpelanting. Pada saat itu, pedang Sian Eng sudah menyambar lagi kearah lehernya! "Celaka....!" Suma Kiang berseru dan menggunakan kedua pedangnya untuk menggunting pedang Sian Eng yang menyerangnya. Pedang gadis itu tertangkis, meleset dan masih melukai pundak kiri suma Kiang! Datuk ini terpaksa melompat ke samping lalu bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuhnya dengan memutar kedua pedangnya. Keadaannya gawat dan berbahaya sekali. Sian Eng sudah siap untuk menyerang lagi pada saat musuh besarnya sedang bergulingan Itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jejak kaki berlari mendatangi tempat itu dan terdengar pula teriakan Sian Hwa Sian-li, "Tangkap pembunuh!" Melihat Sian Hwa Sian-li datang bersama Toa Ok dan juga Ouw Ki Seng yang lihai, tahulah Sian Eng bahwa kalau ia melawan mereka, tentu ia akan celaka. Maka cepat ia meloncat dan melarikan diri keluar dari dalam rumah itu, terus ke taman belakang dan melompati pagar yang mengelilingi tempat tinggal Pangeran Cheng Boan. Ketika para kaki tangan pangeran itu mengejar, Sian Eng telah lenyap ditelan kegelapan malam. Pangeran Cheng Boan menjadi semakin bingung dan marah. "Apa artinya semua ini?" teriaknya ketika dia mengetahui bahwa pembantu utamanya, Suma Kiang yang telah menjadi pembantu setianya sejak puluhan tahun yang lalu, nyaris terbunuh oleh anaknya sendiri. "Sebetulnya ia bukan anak kandung saya, Pangeran." Suma Kiang menjelaskan "Akan tetapi sejak berusia tiga tahun saya rawat dan didik menjadi seperti anak saya sendiri. Beberapa tahun ini menjadi murid supek (uwa guru) saya dan ilmu kepandaiannya meningkat hebat bahkan saya sendiri tidak mampu menandinginya." "Akan tetapi mengapa ia hendak membunuh engkau yang merawat dan mendidiknya sejak kecil?" Pangeran Cheng Boan bertanya, penasaran. "Entahlah bagaimana..., ia tahu bahwa saya yang menyebabkan kematian ibunya dan ia hendak membalas dendam untuk itu." "Hemm, ada-ada saja!" Pangeran Cheng Boan berkata marah dan sedih mengingat akan kematian puteranya. "Ia merupakan bahaya. Sebar para penyelidik cari dan bunuh gadis itu. Pangeran Cheng Lin, terjadinya peristiwa tidak enak ini, apalagi yang menyebabkan kematian puteraku, maka rencana kita harus dilaksanakan dengan cepat. Mari kita semua berunding di ruangan dalam!" Jenazah Cheng Kun dan Ciang Mei Ling diurus oleh orangorangnya pangeran itu dan keluarga Pangeran Cheng Boan menangisi kematian Cheng Kun. Akan tetapi pada malam hari itu juga Pangeran Cheng Boan mengajak para jagoannya untuk berunding di ruangan rahasia mereka. Dalam perundingan itu direncanakan dengan matang bagaimana Ouw Ki Seng harus melakukan tugas membunuh dua orang pangeran yang akan melakukan perjalanan ke hutan sebelah selatan kota raja untuk berburu binatang hutan. "Ingat, Pangeran Cheng Lin. Engkau harus melakukan tugas ini seorang diri dan penuh rahasia. Jangan sampai gagal dan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain. Kalau sampai gagal dan bocor, engkau harus menanggungnya sendiri kami tidak dapat membela atau melindungimu." pesan Pangeran Cheng Boan "Harap Paman Pangeran jangan khawatir. Saya pasti akan dapat membunuh Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu. Akan tetapi saya khawatir seorang di antara mereka akan lolos, Agar tugas saya dapat terlaksana dengan baik, saya minta agar Sian Hwa Sian li diperbolehkan membantu saya. Ia belum banyak dikenal orang di kota raja sehingga akan lebih aman kalau dia yang membantu daripada Paman Suma Kiang atau Paman Toa Ok." kata Ki Seng. "Saya akan membantu Panger Cheng Lin, Yang Mulia, agar tugas dapat dilaksanakan dengan hasil baik" kata Sian Hwa Sian-li sambil tersenyum manis dan menatap wajah Pangeran Cheng Boan dengan pandang mata memikat. Setelah kini Cheng Kun tewas, perhatian wanita itu beralih kepada Pangeran Cheng Boan. Ia sudah mendengar seluruh siasat yang dilakukan pangeran ini menipu Ouw Ki Seng pangeran palsu itu. kalau semua rencana berhasil, Pangeran Cheng Boan inilah yang besar kemungkin besar akan menggantikan kedudukan kaisar, bahkan perlu ia dekati. Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk. "Baiklah, aku setuju kalau Sian hwa Sian-li ikut dan membantumu, Pameran Cheng Lin." ooo00d0w00ooo Rombongan berkuda itu terdiri dari dua puluh orang perajurit mengawal dua orang pangeran keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Mereka semua tampak gagah sekali, terutama dua orang pangeran itu. Pangeran Cheng Hwa adalah seorang pangeran yang bertubuh tinggi tegap, berusia dua puluh lima tahun dan dia merupakan putera mahkota karena dia adalah pangeran tertua, lahir dari permaisuri. Sikapnya lemah lembut dan agung berwibawa. Pangeran Cheng siu yang menemaninya pergi berburu berusia sekitar sembilan belas tahun merupakan pangeran kelima dan dia disayang oleh Pangeran Cheng Hwa. Pangeran kelima ini bertubuh tinggi kurus berwajah tampan agak kewanitaan. Dua orang pangeran ini menunggang dua ekor kuda pilihan yang besar, melarikan kuda mereka depan di kuti dua puluh orang perajurit pengawal itu. Di sepanjang perjalanan dua orang pangeran ini menjadi tontonan yang mengagumkan, terutama bagi para wanitanya. Tidak lama kemudian mereka telah tiba di luar hutan selatan yang cukup lebat. Hutan ini merupakan hutan yang dilindungi, hutan yang memang dipelihara dan menjadi tempat Kaisar dan keluarganya pergi berburu. Para pemburu umum dilarang keras memburu binatang di hutan ini dan siapa berani melanggar diancam hukuman berat. Karena itu, hutan selatan ini dihuni banyak binatang hutan. Mereka berhenti di luar hutan itu. Matahari telah naik dan sinarnya menembus celah - celah daun pohon-pohon yang memenuhi hutan. Dari dalam hutan sudah terdengar kicau bermacam burung dan suara berbagai binatang hutan, seakan menantang para pemburu itu. Pangeran Cheng Siu memandang kakaknya dengan wajah berseri. "Kanda Cheng Hwa, mari kita berlumba. Kita berpencar masing-masing membawa sepuluh orang pengawal dan kita lihat nanti, siapa di antara kita yang mendapatkan buruan paling banyak!" Pangeran Cheng Hwa tersenyum gembira. Dia senang melihat adiknya gembira seperti itu. "Baiklah, Cheng Siu. Engkau boleh membawa lima belas orang mengawal, sisanya yang lima orang mengawalku. Akan tetapi kita tidak boleh curang, para pengawal dilarang ikut berburu, harus dari hasil buruan kita sendiri." "Baik, kanda. Jangan khawatir, aku mengerti akan peraturan permainan!" kata Pangeran Cheng Siu yang lalu menoleh kepada rombongan pengawal. "Harap lima belas orang dari kalian mengikuti aku, sedangkan sisanya yang lima orang mengawal kanda pangeran!" Lima belas orang pengawal lalu memisahkan diri dan ketika Pangeran Cheng Siu menggerakkan kudanya memasuki hutan mereka juga menjalankan kuda mengiringkan dari belakang. Setelah adiknya bersama para pengawal lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan, Pangeral Cheng Hwa juga lalu memberi isarat kepada lima orang pengawalnya dan mereka menjalankan kuda memasuki hutan. Pangeran Cheng Hwa mempersiapkan busur dan anak panah di tangan kirinya dan mulailah dia memandang ke sekeliling dengan waspada untuk mencari binatang buruan. Dua orang pangeran dan dua puluh orang pengawal mereka itu sama sekai tidak tahu bahwa ada dua pasang mata mengikuti gerak-gerik mereka ketika mereka berhenti di luar hutan tadi. Pengintai-pengintai itu adalah Ouw Ki Seng dan sian Hwa Sian-li yang telah mendahului dan menanti di hutan itu, bersembunyi diantara semak belukar dan mendengarkan bercakapan antara kedua orang pangeran tadi. Setelah melihat dua orang pangeran beserta rombongan mereka memasuki hutan, Ki Seng berkata kepada Sian Hwa Lan-li. "Sian-li, kau bereskan pangeran yang dikawal lima orang itu. Yang dikawal lima belas orang tadi bagianku. Awas, jangan sampai gagal. Bunuh mereka semua!" Sian Hwa Sian-li tersenyum, lalu memasang topeng kain hitam di depan mukanya. "Jangan khawatir. Mari kita berlumba seperti mereka, siapa yang akan lebih cepat membereskan mereka." "Jangan main-main. Lakukanlah!" kata Ki Seng dan dia sendiripun lalu memasang topeng kain hitam menutupi mukanya. Kedua orang itu lalu berpencar, melakukan pengejaran terhadap buruan masing-masing. Sebentar saja Ki Seng sudah dapat nenyusul Pangeran Cheng Siu yang dikawal lima belas orang perajurit. Pangeran muda ini merasa gembira dan tegang. Busur dan anak panah telah siap di tangan kirinya. Matanya jalang memandang ke depan, kanan dan kiri untuk menangkap kalau ada gerakan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seekor binatang hutan. Tiba-tiba matanya terbelalak girang. Dia melihat seekor kelenci putih menyusup di antara semak belukar. Cepat dia memasang anak panah pada busurnya dan membidik, kemudian melepaskan anak panahnya ke arah kelenci yang menongolkan kepalanya di antara semak. Anak panah meluncur cepat ke arah kelenci. Akan tetapi Pangeran Cheng Siu terbelalak kaget dan heran ketika melihat anak panahnya itu disambar tangan seseorang yang tiba-tiba saja sudah muncul di situ. Seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng kain hitam pula. Hanya sepasang mata orang itu yang tampak, mencorong di balik dua lubang pada topeng itu. Dengan beberapa loncatan, orang bertopeng itu telah berada di depan kuda yang ditunggangi Pangeran Cheng Siu. "Hei, apa yang kaulakukan ini" Siapa kau....?" Pangeran itu membentak, akan tetapi pada saat itu, orang bertopeng yang bukan lain adalah Ouw Ki Seng telah menggerakkan tangan kanannya. anak panah yang tadi ditangkapnya menyambar seperti kilat dan tepat mengenai dada pangeran itu sebelah kiri. Sedemikian kuatnya lontaran Ki Seng sehingga anak panah itu menancap sampai tembus ke punggung. Pangeran Cheng Siu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya terpelanting dari atas kudanya yang meringkik dan mengangkat kedua kaki ke atas. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga lima belas orang perajurit pengawal itu tertegun. Sama sekali mereka tidak pernah mengira akan ada orang yang berani melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Cheng Siu. Apalagi hutan itu adalah hutan terlindung dan terlarang. Mereka mengira tempat ini aman seperti biasa. Karena itu ketika Ki Seng menangkap anak panah dan mendekati pangeran, mereka masih belum menyadari akan adanya bahaya. Tahu-tahu orang bertopeng itu menyerang Pangeran Cheng Siu dengan anak panah yang ditangkapnya dan pangeran itu kini telah menggeletak di atas tanah dengan dada tertembus anak panah dan tewas seketika. Barulah lima belas orang perajurit pengawal itu bergerak maju dan berteriak-teriak. "Tangkap pembunuh!" Akan tetapi Ki Seng tidak lari, bahkan dia menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala seorang prajurit dan tangan kanannya merampas pedang yang dipegang perajurit yang roboh terjungkal itu. Para perajurit pengawal berloncatan dari atas kuda mereka dan sambil berteriak-teriak mengepung serta mengeroyok Ki Seng. Namun, dengan pedang rampasannya, Ki Seng mengamuk, dia memang sengaja merampas pedang untuk menghadapi para pengawal. Dia tidak mau mempergunakan pukulan tangan karena pukulan yang mengandung sinkang yang beracun akan dapat dikenali oleh seorang ahli silat. Akan tetapi bacokan atau tusukan pedang untuk membunuh tentu tidak akan ada yang mengenal siapa pelakunya. Dengan alasan itu pula tadi dia membunuh Pangeran Cheng Siu dengan menggunakan anak panah pangeran itu sendiri. Lima belas orang perajurit pengawal itu sama sekali bukan tandingan Ki Seng yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi. Pedang di tangannya menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar yang panjang dan berturut-turut lima belas orang prajurit itu roboh. Darah muncrat di mana mana dan tempat itu menjadi mengerikan. Mayat-mayat malang melintang berserakan. Setelah lawan terakhir roboh Ki Seng membuang pedang rampasannya, sejenak meneliti dengan pandang matanya yang menyapu di antara mayat-mayat itu. Setelah merasa yakin bahwa mereka semua, terutama pangeran itu, sudah tewas, Ki Seng lalu melompat meninggalkan tempat itu untuk mencari Sian Hwa Sian-li yang diharapkan juga telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Seperti telah disepakati berdua, Sian Hwa Sian-li melakukan pengejaran terhadap Pangeran Cheng Hwa yang dikawal lima orang perajurit. Sebentar saja Sian Hwa Sian-li sudah dapat menyusul pangeran itu dan karena ia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, kalau mungkin mendahului Ki Seng, Sian Hwa Sian-li langsung saja meloloskan sabuk sutera ikat pinggangnya. Biasanya, ia mempergunakan sehelai sabuk sutera berwarna merah. akan tetapi sekali ini, untuk merahasiakan dirinya, ia memakai sabuk sutera berwarna hitam, sesuai dengan pakaiannya yang juga serba hitam. Ia juga tidak membawa senjatanya yang aneh, yaitu sebuah payung karena kalau hal ini dilakukannya, tentu orang akan dapat mudah mengenalnya. Pangeran Cheng Hwa yang menjalankan kudanya di depan, terkejut bukan main ketika muncul seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan juga mukanya ditutupi topeng kain hitam. Hampir saja ia tadi melepaskan anak panah, karena ketika berkelebat, orang itu hanya tampak bayangan hitam saja yang dikiranya seekor binatang hutan. Ketika melihat bahwa bayangan itu ternyata seorang manusia bertopeng, tentu saja dirinya tidak jadi melepaskan anak panahnya. "Siapa engkau dan apa maksudmu menghadang kami?" bentak Pangeran Cheng Hwa. "Aku datang untuk membunuhmu" kata Sian Hwa Sian-li dengan suara yang di rendahkan agar terdengar seperti suara pria. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa yang ahli menunggang kuda dan sedikit banyak pernah belajar silat, cepat melompat ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia berada di antara lima orang pengawalnya. Para pengawal itupun terkejut sekali mendengar ucapan orang bertopeng itu. Dengan marah mereka lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka, mencabut pedang dan serentak mereka maju mengeroyok orang bertopeng itu. "Tar-tar-tar....!" Sabuk sutera hitam itu meledak-ledak ketika digerakkan oleh Sian Hwa Sian-li, menangkis pedang pedang yang menyerang dan mengepungnya. Gerakan wanita itu amat lincah dan cepat sehingga lima orang yang menyerangnya menjadi bingung. Orang bertopeng itu seolah telah menjadi banyak, berkelebatan ke sana - sini dan selalu tidak dapat tersentuh pedang mereka. Kalau tidak mengelak cepat, bayangan itu menangkis dengan sabuk sutera hitam dan setiap kali pedang mereka bertemu dengan ujung sabuk, tangan mereka tergetar hebat. Lima orang pengawal itupun bukan tandingan Sian Hwa Sian-li yang lihai. biarpun mereka mengeroyok dan mengepung dalam usaha mereka melindungi Pangeran Cheng Hwa, mengerahkan seluruh kemampuan mereka, namun setelah lewat belasan jurus, satu demi satu lima orang pengawal itu roboh terkena patukan ujung sabuk yang amat lihai itu, Setiap patukan merupakan totokan ke arah jalan darah kematian dan berturut-turut lima orang itu roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena mereka telah tewas. "Sekarang engkau mampus!" bentak Sian Hwa Sian-li sambil melompat ke dekat Pangeran Cheng Hwa dan sabuk sutera hitamnya menyambar ganas. Pangeran Cheng Hwa sudah mencabut pedangnya dan melihat sinar hitam menyambar ke arahnya, diapun menangkis dengan pedangnya. "Wuuuttt.....tranggg.....!" Pedang terlepas dari tangan Pangeran Cheng Hwa. Sian Hwa Sian-li mengulang serangannya. Ujung sabuk menyambar dan lecutan dahsyat dan mematikan ke arah ubun-ubun kepala pangeran itu. "Ehh.....?"" Tiba-tiba Sian Hwa Sian li berseru kaget karena sabuknya itu berhenti di udara. Ketika ia memutar tubuhnya, ternyata ujung sabuk itu telah ditangkap seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana seperti seorang petani, wajahnya yang tampan itu tersenyum dan dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Tubuhnya sedang nampak kokoh berisi, dan matanya mencorong memandang kepada orang yang mukanya tertutup topeng itu. Pemuda itu bukan lain adalah Han Lin. Seperti kita ketahui, Han Lin bersama Siang Eng telah berhasil membunuh Ji Ok dan Sam Ok. Setelah itu Han Lin mengantar Sian Eng ke perguruan silat hek-tiauw Bu-koan di mana Sian Eng diterima dengan baik oleh toapek-nya (uwa tua) Lo Kang yang menjadi ketua Hek-Tiaw Bu-koan. Setelah melihat betapa gadis itu diterima oleh keluarganya, hati Han Lin merasa lega dan dia lalu meninggalkan keluarga Lo. Selama ini dia tidak pernah meninggalkan kota raja. Dia mulai melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan cermat. Dari para penduduk kota raja dia mendengar bahwa yang menjadi kaisar masih Kaisar Cheng Tung yang menurut keterangan ibunya adalah ayah kandungnya. Ayah kandungnya masih menjadi kaisar. Dan yang lebih membesarkan hatinya adalah keterangan yang di peroleh dari penduduk bahwa Kaisar Cheng Tung adalah seorang kaisar yang baik budi, dermawan dan memperhatikan nasib rakyat kecil. Sebetulnya di dasar hatinya sejak dulu telah timbul perasaan tidak senang kepada ayah kandungnya ini yang dianggapnya telah menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya yang isteri seorang kaisar itu hidup terlunta-lunta sengsara sampai akhirnya meninggal dunia dalam keadaan menyedihkan. Semua itu adalah karena Kaisar Cheng Tung tidak pernah menjemput ibunya seakan akan tidak memperdulikannya. Namun nama baik kaisar itu di mata rakyat sedikitnya menyenangkan dan membanggakan hatinya, sedikit mengurangi rasa tidak senangnya. Diapun menyelidiki keadaan keluarga kaisar, mendengar bahwa di samping belasan orang puteri, kaisar memiliki enam orang putera. Pangeran pertama yang menjadi putera mahkota bernama Pangeran Cheng Hwa dan di antara lima pangeran yang lain terdapat seorang pangeran bernama Pangeran Cheng Lin. Mendengar pula bahwa pangeran yang satu ini baru beberapa pekan datang dan tinggal di istana, tahulah dia bahwa yang disebut Pangeran Cheng Lin itu tentu Coa Seng atau yang biasa dipanggil A Seng. Pemuda palsu dan jahat itu tentu telah memalsukan dirinya, menghadap kaisar Cheng Tung dan mengaku sebagai pangeran Cheng Lin sambil memperlihatkan Suling Pusaka Kemala sebagai bukti diri dan agaknya kaisar terpedaya dan menerimanya sebagai puteranya. Han Lin merasa gemas, akan tetapi dia tidak berdaya! Apa yang dapat dia lakukan" menghadap kaisar dan mengatakan bahwa dialah Pangeran Cheng Lin yang aseli sedangkan Coa Seng adalah pangeran palsu" Apa buktinya" Satu-satunya benda yang dapat dijadikan bukti diri adalah suling Pusaka Kemala dan sekarang suling itu telah berada di tangan Coa Seng. Dia kalah bukti dan kalau dia nekat menghadap, tentu dia yang dituduh palsu dan akan ditangkap. Han Lin bersabar diri dan diam-diam melanjutkan penyelidikannya. Diapun tidak mungkin menyerang A Seng yang telah menjadi Pangeran Cheng Lin itu. bukan itu saja, baik di dalam istana maupun di luar. Semua orang tentu akan membela A Seng sebagai pangeran dan dia akan ditentang seluruh penduduk dan semua bala tentara. Dia harus bersabar. Dalam penyelidikannya, dia mengetahui bahwa A Seng sering sekali pergi berkunjung ke istana Pangeran Cheng Boan, adik Kaisar Cheng Tung. Akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan A Seng dengan Pangeran Cheng Boan selain sebagai paman dan keponakan. Akan tetapi ada sesuatu yang menegangkan hatinya, ia melihat Suma Kiang dan Toa Ok berada di istana Pangeran Cheng Boan itu. Biarpun hatinya terasa panas sekali melihat dua orang musuh besarnya itu, dua orang yang jahat sekali bahkan Suma Kiang adalah orang yang menjadi biang keladi kesengsaraan hidup ibunya, namun terpaksa dia menahan diri. Dua orang itu agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Cheng Boan dan kedudukan mereka kuat dan terlindung. Dia tidak boleh gegabah, Apalagi agaknya A Seng yang sempat berkunjung ke istana itu tentu mempunyai hubungan baik dengan Suma Kiang dan Toa Ok. Kalau mereka bertiga bergabung, sungguh merupakan kekuatan yang amat sulit dilawan, amat tangguh dan berbahaya sekali. Han Lin masih bingung apa yang harus dia lakukan terhadap A Seng. Juga dia tidak tahu bagaimana dia dapat membalas dendam kematian dan kesengsaraan ibunya kepada Toa Ok dan Suma Kiang. Akan tetapi dia tidak merasa putus asa dan masih selalu mencari kesempatan. Pada hari itu, seperti biasa dia berjalan-jalan dan melewati depan istana tanpa tujuan tertentu. Pada saat itulah dia melihat rombongan dua orang pangeran yang dikawal oleh dua puluh orang perajurit itu. Dia merasa tertarik sekali. Dia sudah mengenal bahwa pangeran yang lebih tua itu adalah putera mahkota, Pangeran Cheng Hwa. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan dua orang pangeran itu. Maka, diam-diam dia membayangi rombongan berkuda itu keluar dari pintu gerbang selatan. Dia terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari cepat untuk dapat mengimbangi larinya rombongan berkuda itu. Untung baginya bahwa rombongan itu tidak pergi jauh. Kalau jarak yang harus ditempuhnya terlampau jauh, tentu dia akan kehabisan tenaga dan napas, tenaganya tidak akan mampu mengimbangi tenaga larinya kuda yang memang sudah memiliki tenaga alamiah. Setelah tiba tepi hutan lebat itu, rombongan berhenti lalu rombongan berpencar menjadi dua rombongan. Karena dia lebih tertarik kepada Putera Mahkota Pangeran Chei Hwa yang di luaran dia dengar merupakan seorang pangeran yang paling bijaksana, maka dia memilih untuk membayangi pangeran yang hanya dikawal oleh lima orang perajurit itu. Demikianlah, maka pada saat lima orang pengawal itu tewas di tangan orang bertopeng hitam dan keselamatan Pangeran Cheng Hwa terancam oleh sambaran sabuk sutera hitam yang amat lihai itu, Han Lin cepat turun tangan, melompat dekat dan berhasil menangkap ujung sabuk sutera hitam yang menyerang Pangeran Cheng Hwa. Sian Hwa Sian-li terkejut bukan main akan tetapi juga marah karena melihat kegagalannya, Han Lin hanya merupakan seorang petani muda. "Engkau bosan hidup!" bentaknya. "Lekaskan sabukku!" Ia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik sabuknya agar Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terlepas dari pegangan pemuda tampan itu. akan tetapi tarikannya macet. Sabuk itu seperti telah melekat pada jari tangan pemuda itu yang memegangnya. Sian Hwa Sian-li penasaran dan ia mengerahkan seluruh tenaganya menarik. Tiba-liba Han Lin melepaskan pegangannya sehingga ujung sabuk itu menyambar balik dengan amat cepatnya, melecut ke arah muka Sian Hwa Sian-li sendiri. Akan tetapi wanita ini adalah seorang yang amat lihai. Biarpun ia terkejut setengah mati menghadapi serangan senjatanya sendiri itu, ia masih sempat mengangkat tinggi tangannya yang memegang sabuk sehingga ujung sabuk itu menyambar lewat di atas kepalanya dan ia terhindar dari bahaya lecutan sabuknya sendiri. "Manusia kejam!" Han Lin menegur orang bertopeng itu. Sian Hwa Sian-li termasuk orang yang terlalu mengagulkan kepandaian sendiri dan biasa memandang rendah orang lain. Biarpun dua gerakan Han Lin tadi, menangkap ujung sabuknya lalu menahan tarikannya, sudah menunjukkan kelihaian pemuda itu, namun Sian Hwa Sian-li masih belum menyadari. Ia marah karena usahanya membunuh Pangeran Cheng Hwa digagalkan pemuda ini. Ia melihat pangeran itu kini berdiri jauh di belakang pemuda yang membelanya, maka ia harus dapat membunuh pemuda ini dan sebelum dapat menyerang Pangeran Cheng Hwa. "Jahanam, kubunuh engkau!" bentaknya dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar kucing, digerak-gerakkan menyilang seperti se ekor kucing marah. Han Lin melihat betapa kedua lengan itu, dari kukunya sampai pergelangan tangan, berubah menghitam. Maklumlah dia bahwa wanita itu ahli tangan beracun. Dan memang benar demikian. Dalam kemarahannya Sian Hwa Sian-li telah mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) untuk membunuh pemuda yang menghalang-halangi usahanya membunuh pangeran itu. "Hai ittt.......!" Kembali sabuk sutera hitam berkelebat menyerang seperti seekor ular mematuk ke arah ubun-ubun kepala Han Lin. Pemuda ini dengan tenangnya mengelak sehingga serangan sabuk hitam itu luput. Akan tetapi, sabuk sutera hitam itu bergerak cepat membentuk gulungan sinar hitam yang terus nengejar Han Lin, serangan ujung sabuk diseling dengan serangan cakar kucing hitam. Serangan datang bertubi-tubi, akan tetapi Han Lin masih terus bersilat Ngo-heng Sin-kun dan mempergunakan keringanan tubuhnya untuk melejit kesana-sini, bagaikan telah berubah menjadi bayangan sehingga tak pernah tersentuh kabuk maupun kedua cakar hitam. Setelah lewat dua puluh jurus, Han Lin dapat mengukur kepandaian penyerangnya dan diam-diam merasa heran. Melihat gerakan tubuh orang bertopeng Itu, dia dapat menduga bahwa lawannya tentu seorang wanita! Gerakannya demikian lentur dan menggeliat gemulai, juga dia dapat mencium bau harum minyak wangi yang biasa dipakai kaum wanita, Dia merasa heran mengapa ada seorang wanita memakai topeng hendak membunuh Putera Mahkota. Timbul niatnya untuk menangkap wanita itu hidup-hidup agar dapat dikenal siapa orangnya dan mengapa hendak membunuh Pangeran Cheng Hwa. Ketika dia mendapat kesempatan, sedikit saja pertahanan lawan itu terbuka, secepat kilat jari tangan kiri Han Lin meluncur dalam totokan It-yang-ci. "Tukk....!" Sian Hwa Sian-li mengeluh pelan, ia mencoba untuk menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, akan tetapi pengaruh totokan yang mengenai pundaknya Itu membuat tubuhnya lemas dan iapun terkulai, tak berdaya karena tidak mampu bergerak lagi. Pada saat itu, Ouw Ki Seng sudah tiba di situ. Dia melihat dengan jelas ketika Sian Hwa Sian-li roboh oleh seorang pemuda dan ketika dia memandang penuh perhatian, dia terkejut setengah mati mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Han Lin. Celaka, pikirnya. Dia harus cepat melarikan Sian Hwa Sian-li karena kalau wanita itu tertangkap, rahasianya akan terancam. Persekutuannya dengan Pangeran Cheng Boan akan terbuka. Cepat ia menerjang maju, mngerahkan seluruh tenaganya menyerang Han Lin dengan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang. Dia tidak berusaha menggunakan It-yang-ci karena pukulan ini tentu dikenal oleh Han Lin dan dan membuka rahasia penyamarannya. "Wuuuuuttt......!" Angin pukulan yang amat dahsyat mengejutkan Han Lin. Maklumlah dia bahwa dia diserang oleh orang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat. Maka cepat dia melompat ke belakang, menghindarkan diri. Kesempatan itu dipergunakan Ki Seng untuk menyambar tubuh Sian Hwa Sian-li dan sekali melompat, dia sudah lenyap di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Han Lin tidak mengejar karena dia teringat bahwa Pangeran Cheng Hwa berada seorang diri di situ dan kalau dia meninggalkannya, hal itu amat berbahaya bagi keselamatan pangeran itu. Dia lalu memutar tubuhnya menghadapi sang pangeran, lalu memberi hormat dan bertanya. "Paduka tidak apa-apa, pangeran?" Pangeran Cheng Hwa sejak tadi menonton pemuda yang membelanya dan dia merasa bersukur dan kagum sekali. Dia tahu bahwa tanpa adanya pertolongan dari pemuda sederhana itu, tentu dia sekarang telah tewas. "Engkau mengenal aku, sobat" Siapakah engkau?" "Paduka adalah Pangeran Cheng Hwa, putera mahkota. Semua orang mengenal paduka. Saya bernama Han Lin, pangeran." "Han Lin, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Jasa dan budimu ini tidak akan kulupakan. Ahh..... kita harus cepat mencari adikku, Pangeran Cheng Siu. Mari kita mencarinya. Engkau boleh menunggang seekor dari kuda para pengawalku yang tewas itu!" Pangeran Cheng Hwa lalu menghampiri kudanya yang masih berada di situ dm menunggangi kuda itu. Han Lin juga melompat ke atas punggung seekor di antara kuda-kuda para pengawal, dan mereka berdua lalu menjalankan kuda masuk ke bagian kiri hutan itu di mana tadi Pangeran Cheng Siu berburu dikawal oleh lima belas orang perajurit. Ketika akhirnya mereka menemukan Pangeran Cheng Siu, Pangeran Cheng Hwa terbelalak pucat melihat adiknya terkapar tanpa nyawa, dan lima belas orang perajurit yang mengawalnya juga telah tewas semua! "Celaka!" serunya sambil berlutut dekat jenazah adiknya. "Siapa yang berani melakukan ini" Membunuh adikku dan mencoba untuk membunuhku pula?" "Penjahat-penjahat itu ada dua orang mungkin lebih, pangeran. Yang mencoba membunuh paduka tadi memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi orang kedua yang tadi melarikannya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Saya kira dia yang telah melakukan semua pembunuhan ini, kemudian dia datang menolong kawannya yang tadi menyerang paduka. Sayang mereka keburu melarikan diri dan tidak dapat saya tangkap." "Engkau telah berhasil menyelamatkanku, jasa itu saja sudah cukup besar, Han Lin. Sekarang bantulah untuk mengangkat dan membawa pulang jenazah adikku Pangeran Cheng Siu ke istana. Biar nanti kukirim pasukan untuk mengurus semua jenazah para perajurit pengawal. Han Lin segera mengangkat dan memondong jenazah Pangeran Cheng Siu dan membawanya naik ke atas punggung kuda. Dia menunggang kuda sambil memangku jenazah itu dan mengiringkan pangeran Cheng Hwa yang menunggang kuda di depan keluar dari hutan itu menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan Han Lin bersikap waspada, khawatir kalaukalau ada orang yang akan menyerang Pangeran Cheng Hwa. Ternyata tidak terjadi serangan dan mereka tiba dikota raja dengan selamat. Istana menjadi gempar ketika orang-orang mengetahui bahwa Pangeran Cheng Siu telah dibunuh penjahat bertopeng ketika dia sedang berburu binatang hutan. Tentu saja Kaisar sekeluarganya berkabung dan Kaisar menjadi marah. Diperintahkannya kepada panglima pasukan keamanan kota raja untuk mencari para pembunuh itu. Pangeran Cheng Hwa membawa Han Lin menghadap kaisar. "Mari kuperkenalkan engkau kepada Ayahanda Kaisar" kata pangeran itu. "Beliau perlu mengetahui bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman baha maut di tangan penjahat." "Akan tetapi saya hanya melakukan apa yang menjadi kewajiban setiap warga negara, pangeran, Apa yang saya lakukan itu sudah semestinya dan tidak perlu di besarbesarkan." kata Han Lin merendah, dan jantungnya berdebar tegang ketika mendengar ajakan Pangeran Cheng Hwa yang hendak menghadapkan dia kepada kaisar. Dia akan dipertemukan dengan ayah kandungnya. "Jasamu tidak dapat dilupakan begitu saja, Han Lin. Aku akan minta kepada Ayahanda Kaisar agar engkau diberi kedudukan sebagai pengawal istana. Mari kita menghadapi beliau." Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan memang sebetulnya diapun ingin sekali menghadap dan bertemu muka dengan orang yang menjadi ayah kandungnya. Pangeran Cheng Hwa membawanya masuk ke ruangan dalam istana dan setelah mendapat keterangan dari para thai-kam pengawal bahwa Kaisar sedang berada di dalam ruangan pustaka, menyendiri untuk menghibur diri atas kedukaan yang menimpa keluarganya, yaitu kematian Pangeran Cheng Siu. Dua orang thaikam pengawal yang berada di pintu ruangan pustaka itu segera melapor ke dalam ketika melihat bahwa yang datang bersama seorang pemuda asing adalah Putera Mahkota. Kaisar Cheng Tung juga menyuruh pengawal itu mempersilakan puteranya masuk. Pangeran Cheng Hwa dan Han Lin memasuki ruangan itu dan mereka berdua segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar yang sedang duduk seorang diri menghadapi meja dan membaca kitab suci. Agaknya untuk menghibur hatinya yang sedang susah itu kaisar menghiburan kepada ayat-ayat dalam kitab suci. Dia mengalihkan pandangannya dari kitab yang dipegangnya ketika puteranya menghadap dan ketika melihat Han Lin Kaisar Cheng Tung memandang dengan penuh perhatian dan dalam hatinya ia merasa heran karena dia merasa seperti pernah mengenal pemuda berpakaian seperti pemuda petani itu. "Cheng Hwa, siapakah pemuda ini?" tanya kaisar kepada puteranya. "Ayahanda, inilah pemuda yang telah menyelamatkan nyawa ananda dari ancaman maut di tangan para penjahat." kata Pangeran Cheng Hwa. "Cheng Hwa, sebetulnya apakah yang telah terjadi sehingga adikmu Cheng Siu mengalami bencana dan tewas" Tadi kami belum sempat mendengar sejelasnya. Ceritakanlah." kata kaisar dengan suara yang dalam, mengandung kedukaan. "Ananda berdua adik Cheng Siu mengadakan perburuan di hutan selatan dikawal oleh dua puluh orang perajurit. setelah tiba di hutan, adik Cheng Siu mengajak ananda untuk berpencar dan berlumba siapa yang akan mendapatkan buruan terbanyak. Ananda lalu menyuruh lima belas orang perajurit mengawalnya dan yang lima orang mengawal ananda, ketika ananda dan lima orang pengawal tiba di tengah hutan, tiba-tiba ada seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan mukanya tertutup topeng hitam menyerang ananda. Dia bersenjata aneh, yaitu sehelai sabuk hitam. Lima orang pengawal ananda mengeroyoknya, akan tetapi mereka semua roboh dan tewas!. Ketika orang itu hendak membunuh ananda, tiba-tiba muncul penolong ini. dia yang melawan dan merobohkan penyerang ananda, akan tetapi sebelum dapat menangkapnya, ada seorang bertopeng lain yang datang lalu membawa lari orang bertopeng pertama. Ananda lalu mengajak penolong ini untuk mencari adik Cheng Siu dan ananda menemukan adik Cheng Siu bersama lima belas orang pengawalnya telah tewas di bagian lain dalam hutan itu. Demikianlah, ayahanda, kalau tidak ada pemuda ini, ananda tentu sudah menjadi korban pembunuh seperti adik Cheng Siu." Kaisar Cheng Tung memandang kepada Han Lin yang menundukkan mukanya. Keharuan menyelinap di hati pemuda ini. Dia telah berhadapan dengan ayah kandungnya. Akan tetapi, kemegahan dan kebesaran di ruangan itu menambah kewibawaan yang amat kuat dari pria yang duduk di depannya sehingga dia menundukkan muka, tidak berani memandang wajah yang tadi hanya dilihatnya sepintas lalu saja. "Orang muda, siapa namamu?" terdengar kaisar bertanya, suaranya ramah dan lembut. "Nama hamba Han Lin, Yang Mulia" kata Han Lin, tetap menunduk. Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya. Nama inipun terasa tidak asing baginya. "Han Lin, coba angkat mukamu dan pandanglah kami!" Han Lin mengangkat mukanya dan memandang. Dua pasang mata bertemu pandang. Bermacam perasaan mengaduk hati pemuda itu. Ada rasa bangga dan haru melihat wajah kaisar yang masih tampan dan berwibawa itu, akan tetapi juga ada rasa sakit mengingat betapa pria ini menyianyiakan ibu kandungnya. Kaisar Cheng Tung juga merasakan betapa sepasang mata pemuda itu mencorong dan seolah dapat menjenguk isi hatinya. "Han Lin, engkau telah berjasa besar menyelamatkan Pangeran Mahkota. Katakan, apa yang kau minta sebagai imbalan." Han Lin kembali menundukkan mukanya "Ampunkan hamba, Yang Mulia. hamba menganggap bahwa perbuatan hamba itu merupakan kewajiban, karena itu hamba tidak mengharapkan imbalan apapun." "Ayahanda, kalau paduka setuju, ananda mengusulkan agar Han Lin ini diberi kedudukan sebagai pengawal istana. Dengan ilmu silatnya yang tinggi tentu dia akan dapat memperkuat penjagaan di istana sehingga keselamatan keluarga kerajaan lebih terjamin." Kaisar Cheng Tung mengangguk-angguk "Kami setuju sekali. Perintahkan saja kepada komandan pasukan pengawal Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo istana bahwa Han Lin mulai sekarang kami angkat sebagai pengawal dalam istana yang tugasnya menjaga keselamatan keluarga kerajaan." "Han Lin, mulai sekarang engkau menjadi pengawal keluarga kami " kata Pangeran Cheng Hwa dengan girang. Sebetulnya Han Lin tidak ingin bekerja sebagai pengawal, akan tetapi karena pada saat itu tidak mungkin baginya mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin, maka dia pun akan mendapatkan kebebasan untuk menyelidiki keadaan istana kalau menjadi pengawal dalam istana, maka diapun tidak menolak. Dia segera memberi hormat sambil berlutut kepada kaisar. "Hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah paduka yang diberikan kepada hamba." katanya. Kaisar memberi isarat kepada Cheng Hwa untuk mengundurkan diri. Pangeran itu lalu mengajak Han Lin mengundurkan diri setelah memberi hormat kepada Kaisar. Mereka keluar dari ruangan pustaka itu dan Pangeran Cheng Hwa mengantar Han Lin ke bangunan yang menjadi tempt tinggal para pangeran. "Mari kuperkenalkan engkau kepada adik-adikku dan para anggauta keluarga kerajaan yang perlu mendapatkan perlindunganmu." Ketika mereka memasuki bangunan tempat tinggal para pangeran, hati Han lin berdebar. Dia akan bertemu dengan A Seng! Akan tetapi yang menyambut mereka hanyalah tiga orang pangeran saja, yaitu Pangeran Cheng Ki yang menjadi pangeran ke dua berusia dua puluh empat tahun, pangeran ke tiga bernama Cheng Tek yang berusia dua puluh tiga tahun dan Pangeran Cheng Bhok berusia Dua puluh tahun sebagai pangeran ke empat. Setelah mendengar ucapan tentang Han Lin yang sudah menyelamatkan putera Mahkota, tiga orang pangeran itu memuji dan merasa senang kini mempunyai tambahan seorang pengawal yang berkepandaian silat tinggi. "Di mana Pangeran Cheng Lin" Kenapa dia tidak berada di sini?" tanya Pangeran Cheng Hwa dan mendengar ini, diamdiam Han Lin merasa jantungnya berdebar tegang. Pangeran Ki Seng menjawab, "Hmmnn Cheng Lin begitu mendengar tentang terbunuhnya adik Cheng Siu segera memimpin sepasukan perajurit untuk mencari pembunuhnya." "Hemm, dia mencari penyakit- Pembunuh-pembunuh itu berkepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin dia mampu menandingi mereka" Kenapa tidak menyerahkan saja pengejaran dan pencarian itu kepada para panglima dan komandan pasukan?" Pangeran Cheng Hwa berkata sambil mengerutkan alisnya. Diam-diam Han Lin mencatat dalam hatinya bahwa para pangeran ini agaknya belum mengetahui bahwa Ouw Ki Seng yang menjadi pangeran palsu itu memiliki kepandaian silat yang amat tinggi. Karena Han Lin menyatakan bahwa dia tidak suka mengenakan pakaian seragam perajurit pengawal, Pangeran Cheng Hwa lalu memberinya beberapa stel pakaian biasa yang tentu saja bagi Han Lin yang biasanya memakai pakaian amat sederhana seperti pakaian petani itu. pakaian pemberian pangeran itu amat mewah dan indah, terbuat dari sutera halus. Sebagai seorang pengawal dalam istana yang bertugas menjaga keselamatan keuarga kerajaan, Han Lin juga mendapatkan sebuah kamar di bangunan para komandan dan thaikam pengawal yang jauh letaknya dari bangunan tempat tinggal para pangeran. Diam-diam Han merasa senang karena sini dia mendapat kesempatan dengan leluasa sebagai pengawal melakukan penyelidikan terutama sekali terhadap Pangeran Cheng Lin palsu alias Ouw Ki Seng atau A Seng. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouw Ki Seng ketika dia melihat Sian Hwa Sian-li dirobohkan oleh Han Lin dan tidak berhasil membunuh Pangeran Cheng Hwa. Khawatir kalau-kalau Sian Hwa Sian-li tertangkap sehingga semua rahasia persekutuan itu akan terbongkar, dia lalu cepat melarikan Sian Hwa Sian-li keluar dari dalam hutan. setelah membuang pakaian hitam dan topeng. dengan pakaian biasa dia memasuki kota raja secara terpisah dengan Sian Hwa Sian-li. Sebagai seorang ahli ilmu totok It-yang-ci, dengan mudah Ouw Ki Seng dapat membebaskan totokan yang dilakukan Han Lin terhadap tubuh Sian Hwa Sian-li. Pangeran Cheng Boan segera mengadakan rapat dengan kaki tangannya ketika melihat datangnya Ki Seng dan Sian Hwa Sian-li. Dia sudah mendengar dari istana tadi bahwa Pangeran Cheng siu telah tewas terbunuh penjahat, akan tetapi mendengar pula betapa Pangeran Cheng Hwa selamat dan tertolong oleh seorang dari ancaman maut. Pangeran Cheng Boan duduk di atas kursi di kepala meja dengan alis berkerut. Ouw Ki Seng, Sian Hwa Sian li, Suma Kiang dan Toa Ok duduk di depannya, terhalang meja. "Benarkah apa yang kami dengar di depan Kaisar tadi" Pangeran Cheng Siu tewas akan tetapi Pangeran Cheng Hwa lolos" Pangeran Cheng Lin, apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau telah gagal membunuhnya?" tanya Pangeran Cheng Boan dengan penasaran kepada Ki Seng. "Apakah yang telah terjadi?" "Harap Paman Pangeran dapat memaklumi. Beginilah terjadinya peristiwa ini. Saya dan Sian Hwa Sian-li telah mendekati di hutan ketika rombongan dua orang pangeran yang dikawal dua puluh orang perajurit itu tiba di hutan. Akan tetapi mereka lalu berpencar, terpecah menjadi dua rombongan. Pangeran Cheng Siu dikawal oleh lima belas orang perajurit dan Pangeran Cheng Hwa dikawal oleh lima orang perajurit. Saya lalu minta kepada Sian Hwa Sian-li untuk mengikuti dan membereskan Pangeran Cheng Hwa dan lima orang pengawalnya. Sedang saya sendiri membayangi Pangeran Cheng Siu dengan lima belas orang pegawalnya. Saya berhasil membunuh Pangeran Cheng Siu berikut lima belas orang pengawalnya. Ketika saya pergi mencari Sian Hwa Sian-li, saya mendapatkan ia telah membunuh lima orang pengawal Pangeran Cheng Hwa, akan tetapi ia tidak berhasil membunuh Pangeran Cheng Hwa karena ada seseorang yang menolongnya." Pangeran Cheng Boan mengerutkan alisnya. "Celaka! Justeru Pangeran Cheng Hwa yang merupakan orang terpenting yang harus disingkirkan lebih dulu! Apakah engkau tidak mampu mengalahkan orang yang membela Pangeran Cheng Hwa itu, Sian-li?" Sian Hwa Sian-li menghela napas panjang dan berkata, "Maaf, Pangeran, Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan terus terang saja saya tidak mampu menandinginya." "Ah, sialan!" Pangeran Cheng Bon memukulkan telapak tangan kanannya ke atas pahanya dengan kecewa. "Paman Pangeran, kita tidak dapat menyalahkan Sian Hwa Sian-li. Orang yang menolong Pangeran Cheng Hwa memang lihai sekali dan tahukah paman siapa dia" Dia itu bukan iain adalah saudara seperguruanku sendiri, yaitu Han Lin yang pernah saya ceritakan kepada paman." Pangeran Cheng Boan terbelalak. "Apa katamu" Han Lin..... kau maksudkan.... Pangeran Cheng Lin yang aseli.....?" Ki Seng menghela napas dan mengangguk. "Benar, dialah yang tahu-tahu muncul di sana. Sebetulnya saya tidak takut menandinginya, akan tetapi melihat sian-li sudah roboh tertotok, saya khawatir kalau sampai terbuka topeng Sian-li sehingga rahasia kita dapat bocor. Karena itu, terpaksa saya hanya melarikan sian-Ii dari hutan itu." "Hemm, dia sudah muncul...." Pangeran Cheng Boan bangkit dari kursinya dan berjalan hilir mudik di ruangan itu, tampaknya bingung dan gelisah. "Dia merupakan bahaya besar bagi kita.....!" "Harap Paman Pangeran tidak usah khawatir. Saya sudah diterima oleh Ayahanda Kaisar sebagai puteranya dan selama saya diterima sebagai Pangeran Cheng Lin di istana, apa yang akan dapat dilakukan oleh Han Lin" Dia tidak mempunyai bukti diri lain kecuali Suling Pusaka Kemala yang sudah di tangan saya." Mendengar ini, hati Pangeran Cheng Boan menjadi agak tenang kembali dan dia lalu duduk di kursinya. "Akan tetapi aku mendengar bahwa orang yang telah menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa itu kini diterima sebagai pengawal di istana. Hal ini berbahaya sekali dan sebelum kita bergerak lebih jauh, Han Lin itu harus dapat kita singkirkan. Sungguh sial sekali. Baru saja puteraku tewas dan kini dibuat pusing oleh gadis Suma Eng itu, sekarang muncul lagi Pangeran Cheng Lin yang aseli!" "Bukan Suma Eng, Yang Mulia, melainkan Lo Sian Eng." kata Suma Kiang. "Tidak perduli siapa namanya, yang jelas ia merupakan musuh dan ancaman bagi kita. Kita harus dapat menyingkirkan gadis itu dan Han Lin terlebih dahulu, baru rencana kita akan dapat berjalan lancar." "Harap paduka tenang, Yang Mulia." kata Toa Ok yang bersikap tenang. "Dua orang itu memang harus dibunuh dan kita sudah mengetahui di mana adanya mereka, Lo Sian Eng itu tentu berada di rumah perguruan Hek-tiauw Bu-koan. Ia membela nona Lo Siang Kui dan ia mengaku bermarga Lo, berarti ia masih sanak keluarga Lo dan di mana lagi ia berada kalau bukan di rumah keluarga Lo Kang" Paduka kirim pasukan dan saya sendiri yang akan membantu pasukan menyerang Hek-tiauw Bu-koan dengan tuduhan Lo Sian Eng yang telah melakukan pembunuhan atas diri Cheng Kongcu. bersama saudara Suma Kiang, kami berlima tentu akan mampu mengalahkan dan membunuh Lo Sian Eng." "Ucapan Toa Ok itu benar sekali, Pangeran Cheng Boan. Biarlah nona Lo Sian Eng dibereskan oleh Paman Suma Kiang dan Toa Ok. Adapun mengenai diri Han Lin, biarlah saya akan membereskannya. saya sudah mempunyai rencana yang baik untuk menjatuhkannya. Harap Paman Pangeran jangan khawatir!" Pertemuan itu selesai dan Ki Seng kembali ke istana. Dia segera menghubungi para komandan pasukan pengawal dan para thaikam pengawal, mengumpulkan mereka di sebuah ruangan tertutup. "Aku mengumpulkan kalian untuk menanyakan pendapat kalian tentang pemuda bernama Han Lin yang katanya telah menyelamatkan Pangeran Mahkota kakanda Cheng Hwa. Kalau menurut pendapat kalian, bagaimana dengan orang itu?" "Kenapa dengan dia, Pangeran Cheng Lin" Dia adalah seorang pemuda sederhana dan menurut keterangan Pangeran Cheng Hwa, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena itu sekarang dia diangkat menjadi seorang pengawal pribadi keluarga kerajaan." kata komandan pasukan pengawal istana, yaitu Laiciangkun (panglima Lai). Ki Seng menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya. "Memang itulah tujuannya, agar dia dipercaya. Menurut hasil penyelidikanku di hutan tempat terjadinya pembunuhan, ada tanda-tanda bahwa penyerang dan pembunuh Pangeran Cheng Siu bukan hanya dua orang, melainkan sedikitnya tiga orang. Agar tidak ada saksi mata, maka semua pengawal yang berjumlah dua puluh orang itu dibunuh. Kukira pemuda itu merupakan seorang di antara para pembunuh itu!" "Eh, bagaimana paduka dapat berpendapat demikian, pangeran" Bukankah dia yang menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa dari tangan pembunuh?" "Hemm, kurasa itu hanya sandiwara dia. Mungkin pembunuhnya terdiri dari tiga orang. Setelah berhasil membunuh pangeran Cheng Siu, seorang di antara pereka menyerang dan membunuh lima orang pengawal Pangeran Cheng Hwa lalu berpura-pura hendak membunuh Pangeran Mahkota. Lalu muncul ah Han Lin itu menggagalkan usaha pembunuhan dan mengalahkan si pembunuh. Akan tetapi muncul orang ke tiga yang melarikan pembunuh pertama. Semua itu telah diatur dengan baiknya sehingga kalian juga Kisah Pedang Di Sungai Es 11 Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng Pecut Sakti Bajrakirana 11

Cari Blog Ini