Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 15

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 15 percaya bahwa pemuda Han Lin itu adalah penyelamat Pangeran Cheng Hwa." "Akan tetapi, bagaimana paduka bisa berpendapat seperti itu" Apa buktinya?" tanya Lai-ciangkun ragu. "Bukti nyata memang belum ada, hal itu masih akan kucari. Akan tetapi melihat keadaannya, kita dapat mengambil kesimpulan dan patut mencurigainya." "Keadaan yang bagaimana, Pangeran" "Pertama, bagaimana seorang pemuda petani dapat berkeliaran dalam hutan terlindung dan terlarang itu, seorang diri pula" Hal ini tentu saja amat aneh dan mencurigakan, apalagi kemunculannya begitu tepat pada saat Pangeran Cheng Hwa terancam bahaya dan semua pengawalnya telah tewas. Dan kedua, kalau memang benar dia berkepandaian tinggi, kenapa dia membiarkan dua orang pembunuh itu lolos dan melarikan diri" dia mestinya dia menangkap seorang di antara mereka agar dapat diketahui siapa pembunuh itu dan ditanya mengapa mereka melakukan pembunuhan. Nah, kecurigaanku ini beralasan kuat, bukan?" Para perwira dan thaikam yang jumlahnya tujuh orang itu mengerutkan alis mereka dan mulailah mereka terpengaruh. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena memang sebelumnya ada perasaan iri dalam hati mereka terhadap Han Lin yang diangkat menjadi pengawal pribadi keluarga kaisar. "Akan tetapi, pangeran. Andaikata benar dia seorang di antara pembunuh, lalu apa maksudnya berpura-pura menolong Pangeran Cheng Hwa dari ancaman maut?" "Ah, mengapa kalian masih bertanya lagi" Hal itu mudah saja kita duga. Dia sengaja menanam budi itu agar dapat dibawa masuk ke istana dan dipercaya sebagai penyelamat pangera mahkota, dan ternyata usahanya itu berhasil dengan baik!" "Akan tetapi apa maksudnya?" "Jelas dia bermaksud buruk. Melihat betapa Pangeran Cheng Siu sudah mereka bunuh, tentu pemuda Han Lin itu bermaksud agar dia dapat masuk istana dan menjadi leluasa untuk bergerak. Mungkin dia bermaksud membunuhi semua pangeran. Kalau dia sudah tinggal di sini, hal itu tentu akan lebih mudah dia lakukan, apalagi mengingat bahwa dia memiliki ilmu silat yang tinggi." Para kepala pengawal itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka saling pandang dengan kaget dan khawatir. "Pangeran, semua yang paduka katakan itu memang masuk akal dan mungkin saja benar. Akan tetapi, tanpa bukti mana mungkin kita dapat bertindak" Apa buktinya bahwa Han Lin itu sebenarnya seorang di antara para pembunuh yang sengaja menyusup ke istana dengan niat jahat?" "Tenang dan sabarlah. Aku mengumpulkan kalian di sini justeru untuk membicarakan hal itu. Setelah kalian tahu bahwa Han Lin itu patut dicurigai, kalian dapat bersiap-siap. Ingat, dia seorang yang lihai sekali. Aku sendiri yang akan menyelidikinya. Kalian harus selalu siap dan diam-diam melakukan perondaan dan penjagaan ketat. Kalau kalian melihat dia menyerang seorang di antara para pangeran, terutama aku, kalian harus cepat cepat turun tangan menangkapnya. aku mempunyai dugaan bahwa dia menyusuo ke dalam istana untuk membunuhku dan para pangeran lainnya. Mengertikah kalian?" "Kami mengerti, pangeran." "Malam ini aku akan menyelidikinya, kalian agar siap dan membantuku kalau sampai aku diserang olehnya." Semua kepala pengawal itu menyatakan siap dan pertemuan itu dibubarkan. Han Lin merasa penasaran sekali, sejak pagi dia berada di istana, akan tetapi orang yang dicarinya tidak pernah muncul. Ingin sekali dia bertemu dengan Ki Seng atau A Seng yang telah menipu Suling Pusaka Kemala miliknya dan ia tahu bahwa kini A Seng telah mempergunakan pusaka itu untuk mengaku dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan bahkan telah diterima dan diakui oleh Kaisar sebagai puteranya. Akan tetapi yang berada di bangunan untuk tempat tinggal para pangeran itu hanya ada empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Bhok. Jenazah Pangeran Cheng Siu sudah berada dalam peti mati yang ditaruh di ruangan berkabung. Pangeran Cheng Lin atau A Seng tidak pernah tampak batang hidungnya. Dia sudah bertanya kepada Pangeran Cheng Hwa tentang orang yang dicarinya itu. "Pangeran, hamba mendengar kalau di antara para pangeran yang sudah hamba temui, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi hamba tidak pernah melihat bertemu." "Ah, Pangeran Cheng Lin" Sejak pagi tadi, setelah mendengar tentang pembunuhan dalam hutan, dia lalu memimpin sepasukan pengawal untuk menyelidiki hutan dan mencari para pembunuh itu." Han Lin mengangguk-angguk dan dalam hatinya dia tidak merasa heran kalau Pangeran Cheng Lin palsu itu berusaha mencari pembunuh Pangeran Cheng lin karena A Seng itu memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi pada sore hari itu dia mendengar bahwa Pangeran Cheng Lin palsu itu telah pulang ke istana. Tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus mencarinya di bangunan tempat tinggal para pangeran. Bagaimanapun juga, A Seng kini oleh seluruh penghuni istana telah diterima sebagai Pangeran Cheng Lin. Hanya dia seorang yang tahu dan kepalsuannya dan tidak mungkin dirinya untuk mengatakan di depan kaisar dan para pangeran bahwa Pangeran Cheng Lin itu palsu. Dia tidak mempunyai bukti untuk membongkar kepalsuannya. Satu-satunya jalan baginya hanyalah kalau dia dapat bertemu berdua saja dengan A Seng. Malam itu Han Lin sudah bersiap-"ip untuk menyelidiki A Seng. Dia belum tahu bahwa orang yang dulu mengaku bernama Coa Seng atau panggilannya A Seng itu sebetulnya mempunyai nama lengkap Ouw Ki Seng. Dia bersembunyi bayangan yang gelap dekat bangunan tempat tinggal pafa pangeran dan menanti. Penantiannya tidak sia-sia karena tibatiba dia melihat orang yang ditunggu-tunggunya itu, A Seng, keluar dari pintu samping bangunan bersama tiga orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Ki, Cheng Tek, dan Cheng Bhok. ia melihat A Seng berpakaian mewah seperti seorang pangeran sehingga dia tampak gagah sekali. Akan tetapi Han Lin masih mengenalnya. Jantungnya berdebar keras dan juga terasa panas mengingat bahwa orang itu telah memalsukan dirinya. Akan tetapi karena A Seng keluar bersama tiga orang pangeran yang lain, dia tidak berani berbuat apa-apa dan hanya mengintai. -00d00w00- Jilid XX VII SAMA sekali Han Lin tidak tahu bahwa sebelum empat orang pemuda itu keluar, A Seng telah lebih dulu menyatakan kecurigaannya terhadap Han Lin kepada tiga orang pangeran itu. "Kita harus berhati-hati. Pembunuhan terhadap dinda Cheng Siu dan penyerangan terhadap kakanda Cheng Hwa menunjukkan bahwa para pembunuh mengancam kita para pangeran. Dan aku amat mencurigai pemuda bernama Han Lin itu. besar sekali kemungkinannya dia adalah seorang di antara para pembunuh yang berpura-pura menolong Cheng Hwa agar dapat menyusup ke dalam istana sehingga dia akan mempunyai banyak kesempatan untuk menyerang kita." Tiga orang pangeran itu saling pandang dan tampak terkejut sekali. Tentu saja timbul kecurigaan besar terhadap Han Lin dan mereka juga merasa takut. "Akan tetapi itu hanya dugaan." kata Pangeran Cheng Ki. "Kita tidak mempunyai bukti apapun." "Benar, karena itu kita harus mencai buktinya," kata A Seng atau Ki Seng "Serahkan saja kepadaku. Aku akan mencari buktinya dan akan menangkap penjahat itu. Mari kita keluar dan pergi ke pondok Teratai untuk memancingnya. Jangan khawatir, aku telah mempersiapkan semua pengawal untuk melindungi kita kalau terjadi sesuatu." Pondok Teratai yang dimaksudkan Ki Seng adalah sebuah pondok indah yang berada di dekat kolan teratai di tengah taman bunga istana yang luas itu. Tiga orang pangeran itu menurut dan pergilah empat orang pemuda itu ke taman. Dan ketika mereka keluar dari pintu samping, Han Lin melihat mereka dan ketika mereka berjalan memasuki taman menuju ke pondok dekat kolam teratai, Han Lin membayanginya. Tiga orang pangeran yang lain tidak mengetahui, akan tetapi Ki Seng yang memiliki panca indera yang tajam tentunya sudah mengetahui bahwa ada orang membayangi mereka dan dia dapat menduga bahwa orang itu tentu Han Lin. Ketika empat orang itu memasuki pondok, Han Lin segera menghampiri jendela. Dia ingin mendengar percakapan mereka. Ketika akhirnya dia berhasil mendekati jendela pondok itu, memilih bagian yang gelap lalu mengintai ke dalam, dia merasa heran karena yang dilihatnya hanya ada tiga orang pangeran . A Seng sama sekali tidak tampak ada di dalam ruangan pondok itu. selagi dia merasa heran dan menduga-duga tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang datang dari arah belakangnya. "Penjahat! Tangkap penjahat!" teriakan itu disusul menyambarnya sebuah pukulan yang amat dahsyat ke arah punggungnya. Han Lin maklum bahwa itu merupakan serangan yang amat berbahaya. Dia cepat melompat ke samping untuk mengelak dan dia melihat bahwa penyerangnya bukan lain adalah Pangeran Cheng Lin palsu atau A Seng! "A Seng, iblis kau! Kembalikan sulingku!" bentak Han Lin marah. "Penjahat! Pembunuh! Tangkap pembunuh.....!!" Ki Seng berteriak dan dia sudah menyerang lagi dengan ilmu silat Sinliong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti). Melihat gerakan lawan yang amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali itu Han Lin lalu memainkan ilmu silat Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima unsur). Ternyata ketika lengan mereka saling beradu, tenaga mereka seimbang. Perkelahian tangan kosong terjadi dengan serunya di luar Pondok Teratai itu, di bawah sinar lampu yang cukup terang.Tapi diam-diam Ki Seng keluar dari dalam pondok dan mengambil jalan melingkar melalui pintu belakang sehingga Han Lin tidak melihat dan tahu-tahu dia muncul di belakang pemuda yang melakukan pengintaian itu. Teriakan-teriakan Ki Seng tadi memancing datangnya banyak perajurit pengawal yang dipimpin oleh para komandan pasukan pengawal yang memang telah dipersiapkan oleh Ki Seng lebih dulu. Para perwira ini sudah terpengaruh oleh katakata Ki Seng. Ketika mereka melihat betapa Pangeran Cheng Lin bertanding melawan Han Lin, otomatis mereka mengira bahwa Han Lin hendak membunuh Pangeran Cheng Lin seperti telah dikatakan oleh Ki Seng. Maka dengan sendirinya mereka lalu mencabut senjata dan tanpa dikomando lagi mereka lalu mengepung dan mengeroyok Han Lin! Han Lin terkejut bukan main. Melihat dirinya dikepung dan dikeroyok para perajurit pengawal dan perwira pimpinan mereka, sadarlah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam perangkap yang agaknya sudah diatur Ki Seng! Dia dianggap sebagai pengacau, penjahat yang hendak membunuh Pangeran Cheng Lin! "Tahan! Aku bukan pembunuh!" Dia mengerahkan ilmu kekebalannya Tiat-pouw-sin (Kekebalan Baju Besi) untuk menjaga diri dan menggerakkan kedua tangannya untuk menangkis dan berloncatan kekanan kiri menghindarkan semua serangan yang datang bertubi-tubi menghujani dirinya. "Dia penjahat! Dia hendak membunuh kami para pangeran!" teriak Ki Seng sehingga tentu saja para komandan pengawal itu tidak menghiraukan kata-kata Han Lin dan lebih percaya kepada pangeran Cheng Lin. Han Lin menjadi bingung juga. ia dikeroyok belasan orang pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan tangguh karena beberapa orang antara mereka adalah perwira-perwira. Apalagi di situ ada A Seng yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang sudah mencapai tingkat tinggi berkat gemblengan Cheng Hian Hwesio. Tingkat kepandaian A Seng sebanding dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Dan dia tentu saja tidak ingin membunuh para pengawal yang mengeroyoknya. Akan tetapi dia harus membela diri agar jangan sampai mati konyol. Han Lin mulai mempercepat gerakannya dan dia mulai merobohkan para pengeroyok dengan menggunakan totokan It-yang-ci. Melihat ini, Ki Seng menjadi terkejut dan juga heran. Dia sendiri mengandalkan ilmunya It-yang-ci untuk mengalahkan Han Lin dan sekarang ternyata Han Lin mampu mempergunakan ilmu itu. empat orang pengeroyok sudah roboh terguling dan tak berdaya walau tidak terluka dan yang lain menjadi gentar. gerakan Han Lin demikian cepat sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana caranya Han Lin merobohkan empat orang rekan mereka itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Hei, ada apa ini" Kalian semua, hentikan perkelahian ini! Aku perintahkan, hentikan perkelahian!" Semua orang yang mendengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Mahkoka Cheng Hwa menahan gerakan masing-masing dan melompat ke belakang. Bahkan Ki Seng sendiri tidak berani membangkang karena dia tahu akan kekuasaan putera Mahkota ini. "Apa yang terjadi di sini" Kenapa Han Lin dikeroyok" Kalian semua tahu bahwa dia telah kami angkat sebagai pengawal pribadi keluarga, kenapa malam ini kalian mengeroyoknya?" Pangeran Cheng Hwa menegur Ki Seng dan para komandan pengawal yang mengeroyok Han Lin. "Kakanda Pangeran, kakanda telah tertipu! Han Lin ini bukan orang baik baik! Mungkin dia malah bersekongkol dengan para pembunuh di hutan itu! ia tadi mengintai ketika kami para pangeran sedang bercakap-cakap dalam Pondok Teratai dan dia menyerang dan hendak membunuhku. Kakanda, berhati-hatilah dia telah menipu kita semua dan berhasil menyelundup ke dalam istana untuk membunuh kita semua para pangeran!" kata Ki Seng. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cheng Hwa mengerutkan alisnya memandang penuh perhatian kepada Han Lin. "Han Lin, benarkah engkau melakukan pengintaian terhadap empat orang adikku ini?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambil menunjuk ke arah Ki Seng dan tiga orang pangeran lain yang kini sudah berani muncul keluar. "Be...... benar, Pangeran." jawab Han Lin yang menjadi gugup dan tidak tahu harus berkata apa kecuali mengaku sejujurnya. "Dan benarkah engkau hendak membunuh adikku Pangeran Cheng Lin?" "Benar, Pangeran, akan tetapi dia...." "Sudah cukup, kakanda. Penjahat ini harus ditangkap dan dihadapkan Ayahanda kaisar agar dapat diputuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadanya!" setelah berkata demikian, Ki Seng memberi perintah kepada para komandan pengawal, "Tangkap dan belenggu kedua tangannya!" Para perwira itu maju dan menelikung kedua tangan Han Lin lalu mengikatnya, Han Lin tidak melawan karena dia tahu bahwa melawan akan semakin memberatkan dirinya. Di depan Pangeran Cheng Hwa dia tidak berani melakukan kekerasan. Diapun tidak mungkin mengaku dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin tanpa bukti apapun. Ki Seng seolah sudah mencengkeramnya dan dia tidak berdaya sama sekali. "Baik, mari hadapkan dia kepada Ayahanda Kaisar, biar beliau yang akan memutuskan." kata Pangeran Cheng Hwa yang menjadi ragu terhadap Han Lin. Han Lin lalu digiring oleh Ki Seng dan empat orang pangeran, dikawal pula oleh para perwira pengawal memasuki bangunan induk. Kepada para thaikam pengawal pribadi Kaisar, Pangeran Cheng Hwa minta agar dilaporkan kepada kaisar bahwa dia mohon menghadap karena ada urusan yang teramat penting dan tidak dapat ditunda lagi. Dia mohon menghadap bersama empat orang pangeran yang lain, juga akan menghadapkan Han Lin dan dikawal oleh para perwira pasukan pengawal. Mendengar laporan bahwa puteranya yang paling disayang dan dipercaya mohon menghadap bersama para pangeran yang lain, Kaisar Cheng Tung segera mengijinkan mereka masuk. Mereka semua diterima di dalam ruangan pustaka di mana kaisar sedang duduk bersantai. Kaisar merasa heran melihat Han lin dibawa rombongan itu dengan tangan terborgol. Semua orang memberi hormat dengan berlutut. "Pangeran Cheng Hwa, apakah yang telah terjadi" Kenapa pemuda yang kau terima menjadi pengawal istana ini malah menjadi tangkapan?" tanya kaisar dengan heran. "Ampunkan kalau hamba mengganggu paduka yang sedang bersantai. Telah terjadi peristiwa penting dan hamba semua menanti keputusan paduka dalam peristiwa ini." "Peristiwa apakah itu?" "Han Lin dituduh sebagai penjahat dan pembunuh oleh adinda Cheng Lin. karena hamba tidak ingin ada yang main hakim sendiri, maka hamba mengajak mereka semua untuk menghadap paduka memohon pengadilan paduka." "Hemmm, benarkah itu, Cheng Lin" Engkau menuduh Han Lin sebagai penjahat dan pembunuh" Bukankah dia malah telah menyelamatkan kakakmu Cheng Hwa" Apa alasan dan bukti tuduhanmu. " tanya Sri Baginda Kaisar kepada Ki Seng. "Ampunkan hamba, ayahanda yang mulia. Sesungguhnya, sejak terjadinya pembunuhan atas diri Cheng Siu dan penyerangan atas diri kakanda Cheng Hwa, lalu dibawanya Han Lin ke istana sebagai penyelamat kakanda Cheng Hwa, hamba telah menaruh kecurigaan besar kepada pemuda ini. Ketika hamba melakukan penyelidikan ke hutan, dari jejak kaki dan bekas perkelahian, hamba berpendapat bahwa pembunuhnya bukan hanya satu dua orang, melainkan paling sedikit tiga orang. Hamba mempunyai dugaan bahwa Han Lin ini seorang di antara para pembunuh itu yang kemudian purapura menjadi penolong kakanda Cheng Hwa." "Nanti dulu," Kaisar memotong. "Apa alasanmu menduga seperti itu?" "Kecurigaan hamba ini mempunyai alasan yang kuat. Pertama, kemunculan Han Lin di hutan itu amat aneh. Seorang pemuda petani berada seorang diri di hutan terlarang, dan tepat pada saat kakanda Pangeran Cheng Hwa diserang penjahat. Dan kedua, mana mungkin seorang pemuda petani memiliki ilmu silat yang tinggi dan mengapa pula dia yang memiliki ilmu silat tinggi itu membiarkan kedua orang bertopeng itu melarikan diri" Bukankah seharusnya ditangkap agar dapat diketahui siapa mereka?" Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk dan memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut. Kemudian dia menoleh lagi kepada Ki Seng. "Akan tetapi, kalau memang benar dugaanmu bahwa dia itu seorang diantara para pembunuh, mengapa pula malah menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa?" tanya Kaisar ragu. "Itu hanya merupakan siasatnya yang licik, Ayahanda Yang Mulia. Dia sengaja melakukan itu agar mendapat kesempatan memasuki istana, agar dia akan dapat membunuh para pangeran dengan mudah dan siapa tahu, mungkin pula dia akan membunuh paduka. Buktinya, tadi dia lakukan pengintaian ketika hamba bersama para pangeran lain sedang berada Pondok Teratai. Ketika hamba keluar memergokinya, dia menyerang hamba hendak membunuh hamba." Keadaan menjadi hening setelah Ki Seng berhenti bicara. Kaisar kini memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut dan pandang mata marah. "Han Lin, benarkah semua yang dituduhkan Pangeran Cheng Lin kepadamu itu?" "Ampun, Yang Mulia. Semua itu fitnah belaka." jawab Han Lin dengan suara tegas. "Hemm, kalau begitu, apa jawabanmu terhadap semua tuduhan itu?" "Hamba berada di hutan karena melihat rombongan dua orang pangeran, hamba seorang pendatang baru dan merasa tertarik sekali, ingin tahu bagaimana caranya para pangeran berburu. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah hutan terlarang bagi orang biasa. Kemudian hamba melihat betapa Pangeran Cheng Hwa diserang orang bertopeng. Hamba cepat turun tangan membela pangeran akan tetapi terlambat menolong lima orang pengawal yang dibantai, hamba berhasil memukul penyerang itu, akan tetapi muncul orang bertopeng kedua yang memiliki ilmu silat tinggi melarikan orang pertama. Hamba tidak melakukan pengejaran karena hamba khawatir kalau hamba meninggalkan Pangeran Cheng Hwa seorang diri, akan muncul penjahat lain yang akan menyerangnya. Kemudian Pangeran Cheng Hwa mengajak hamba ke istana dan hamba menuruti perintahnya." "Semua pernyataan yang diucapkan Han Lin itu benar dan hamba menjadi saksinya, Ayahanda Yang Mulia." Pangeran Cheng Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa berhutang budi kepada Han Lin dan karenanya ingin membela Han Lin. Kaisar Cheng Tung tetap mengerutkan alisnya dan mendengar pembelaan putra mahkota itu dia menganggukangguk sambil mengelus jenggotnya sambil memandang kepada Han Lin. "Han Lin, bagaimana jawabanmu terhadap tuduhan bahwa engkau telah mengintai para pangeran yang berada di Pondok Teratai kemudian ketika Pangeran Cheng Lin memergokimu, engkau menyerangnya dan hendak membunuhnya. Benarkah semua itu?" "Hamba akui bahwa hal itu memang benar, Yang Mulia. Hamba telah mendapat tugas untuk melindungi keselamatan keluarga paduka, dan karena hamba khawatir kalau-kalau para penjahat akan datang untuk membunuh para pangeran, maka ketika para pangeran memasuki pondok Teratai, hamba sengaja memdatangi dan menjaga. Kemudian Pangeran Cheng Lin keluar dan meneriaki hamba sebagai penjahat dan pembunuh, kemudian hamba berkelahi dengannya....." "Kenapa engkau melawannya dan hendak membunuhnya?" Kaisar mendesak, mulai marah karena semua yang dituduhkan Pangeran Cheng Lin itu diakui oleh Han Lin. "Karena...... karena..... dia.... dan hamba memang bermusuhan sejak dia belum menjadi pangeran." Terpaksa Han Lin mengaku demikian karena dia tahu bahwa kalau dia mengatakan yang sesungguhnya tentang diri pangeran palsu itu, tentu dia tidak akan dipercaya bahkan membuat dia makin kelihatan jelek dan bersalah, disangka melakukan fitnah karena kata-katanya tidak mungkin dibuktikan. "Ayahanda Yang Mulia, jelas pemuda ini berdosa besar. Mungkin dia pula yang telah membunuh adinda Cheng Siu. oleh karena itu hamba berpendapat bahwa ia adalah seorang yang amat berbahaya bagi keselamatan keluarga istana dan patut dijatuhi hukuman mati!" kata Ki Seng. Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya dan memandang Putera Mahkota Cheng Hwa. "Pangeran Cheng Hwa, bagaimana pendapatmu?" Pangeran Cheng Hwa memberi hormat lalu berkata dengan sikap tenang dan suaranya tegas. "Ayahanda Yang Mulia menurut pendapat dan pandangan hamba semua yang dikemukakan adinda Cheng Lin itu baru merupakan dugaan belaka. Tidak ada buktinya bahwa Han Lin adalah seorang di antara para pembunuh. Hanya satu yang sudah terbukti dia bersalah, yaitu bahwa dia melawan dan menyerang adinda Cheng Lin, akan tetapi hal itupun dilakukan karena dia mempunyai permusuhan dengan adinda Cheng Lin, permusuhan pribadi. Karena itu, dia belum pantas dikenakan hukuman karena kedosaannya belum terbukti." Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk kemudian berkata. "Baiklah, kami akan mengambil keputusan tengah-tengah dengan seadilnya. Han Lin belum terbukti menjadi pembunuh, akan tetapi dia tetap bersalah karena berani menyerang Pangeran Cheng Lin. Karena itu, dia harus dihukum cambuk dua puluh kali dan diusir keluar dari kota raja!" Ki Seng merasa kecewa, akan tetapi karena hal itu telah menjadi keputusan. dan tak seorangpun boleh atau berani membantah. "Menaati perintah Yang Mulia Kaisar, hayo seret dia keluar istana, laksanakan hukumannya sekarang juga" Kata Ki Seng kepada para pengawal. Kaisar menyuruh mereka semua mengundurkan diri. Ki Seng memimpin para pengawal membawa Han Lin keluar dari istana. Pangeran Cheng Hwa tidak ikut, akan tetapi dia berkata kepada adiknya "Adinda Cheng Lin, ingat, engkau tidak boleh lancang melanggar perintah Yang Mulia. Han Lin tidak boleh dibunuh lalu setelah dihukum cambuk dua puluh kali harus dibebaskan." "Baik, kakanda. Tentu saja saya tidak berani melanggar perintah." kata Ki Seng dengan sikap patuh. Dengan disaksikan empat orang pangeran itu, Han Lin dibawa keluar istana dan di alun-alun depan istana, hukuman cambuk dilaksanakan oleh seorang pengawal bertubuh tinggi besar yang menjadi algojonya. Hukuman itu dilaksanakan di bawah pohon besar yang tumbuh di alun alun itu. Han Lin dibelenggu kedua tangannya ke belakang tubuhnya dan dia di suruh berlutut. Bajunya ditanggalkan. Sebuah lampu gantung besar di pohon menerangi dan tampak algojo yang tinggi besar dengan kedua lengan berotot kekar itu sudah siap dengan sebatang cambuk terbuat dari pada rotan. Lima orang pangeran, Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek, Cheng Lin dan Cheng Bhok sudah duduk di atas kursi, tidak jauh dari situ. Dua losin perajurit berdiri melakukan penjagaan. "Laksanakan hukuman sekarang juga" teriak Pangeran Cheng Lin. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa mengerutkan alisnya. Lancang benar, pikirnya. Dia berada di situ dan sepatutnya dialah yang mengeluarkan perintah, bukan Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi karena perintah sudah dikeluarkan, dia diam saja. Biarpun demikian, mendengar perintah yang keluar dari mulut Ki Seng itu, Algojo itu menoleh dan memandang kepada Pangeran Mahkota Cheng Hwa dengan pandang mata menanti perintah. Algojo itu tahu benar bahwa di antara semua pangeran yang hadir di situ, Pangeran Cheng Hwa yang memiliki kekuasaan tertinggi. Melihat ini, Pangeran Cheng Hwa mengangguk. Diapun ingin melihat pelaksanaan hukuman cambuk itu cepat diselesaikan agar Han Lin dapat segera bebas. Algojo segera melaksanakan tugasnya setelah melihat anggukan Pangeran Cheng Hwa. Dia mengangkat cambuknya ke atas dan mengayun cambuk menimpa punggung Han Lin yang telanjang. "Tarr..... tarrr.... tarrr.....!!" Cambuk melecut-lecut ke atas kulit punggung Han Lin. Algojo menghitung sebelum Cambuknya melecut. Kalau bukan punggung Han Lin yang tertimpa lecutan cambuk rotan seperti itu yang digerakkan oleh tenaga yang kuat, tentu kulit punggungnya akan pecahpecah. Akan tetapi Han Lin melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) sehingga cambuk itu seolah melecut papan yang amat kuat dan tidak mendatangkan luka apapun kecuali sedikit memar dan bilur-bilur! "Sebelas.... tarrr! Dua belas.... tarr!!" hitungan dan cambukan itu berlangsung bertubi-tubi, namun sedikitpun tidak ada rintihan keluar dari mulut Han Lin dan tubuhnya sedikitpun tidak bergerak. Pangeran Cheng Hwa diam-diam kagum dan senang. Dia dapat menduga bahwa pemuda penolongnya itu tentu melindungi tubuhnya dengan kekebalan sehingga cambukan itu tidak melukainya. ".....tujuh belas.... tarr! Delapan belas. ". .tarrr!!" "Tahan!!" tiba-tiba Ki Seng bangkit berdiri dan mengangkat tangannya menghentikan cambukan itu. Sang algojo menahan cambukan berikutnya dan menoleh kepadanya. "Ada apakah, Yang Mulia Pangeran?" tanyanya. "Hentikan dulu cambukan itu. Engkau tidak memukul dengan sungguh-sungguh. Lecetpun tidak kulit punggung yang kau cambuk itu. Ini bukan hukuman namanya. Kakanda Pangeran, perkenankan hamba melakukan cambukan yang tinggal dua kali lagi itu. Saya harus ikut menghukum orang yang tadi hendak membunuhku!" Pangeran Cheng Hwa tersenyum mengejek. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Ki Seng yang disangkanya benar adik tirinya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dipikirnya hanya memil ki ilmu silat biasa saja dan belum tentu tenaganya lebih kuat dibandingkan algojo raksasa itu. Apa Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo artinya dua kali cambukan yang dilakukan Pangeran Cheng Lin dibandingkan dengan delapan belas kali cambukan yang telah dilakukan oleh algojo raksasa itu. Dia tersenyum dan mengangguk. "Silakan, adinda pangeran. Tapi ingat engkau hanya boleh mencambuk punggungnya, jangan mencambuk tengkuk atau kepala, apalagi sampai mematikannya!" ulang suaranya yang lembut terdapat wibawa yang tegas. Diam-diam Ki Seng merasa mendongkol juga. Tadinya dia memang ingin melakukan sisa dua kali cambukan untuk membunuh Han Lin. kalau dia mencambuk tengkuk atau kepala, pasti Han Lin akan tewas. Akan tetapi angeran Mahkota Cheng Hwa sudah mendahuluinya dan melarangnya. Dia terpaksa harus menaati karena kalau melanggar, dia menempatkan diri dalam posisi yang amat berbahaya. "Tentu saja, kakanda. Terima kasih." Ki Seng lalu menghampiri tempat pelakuan hukuman itu, mengambil cambuk dari tangan sang algojo. Han Lin terkejut sekali ketika melihat cambuk itu kini diambil oleh Ki seng. Mengertilah dia bahwa dirinya terancam bahaya maut. Akan tetapi dalam keadaan menjadi terhukum, dia tidak dapat berbuat sesuatu. Tidak mungkin dia membantah. Hanya ada satu hal yang menyelamatkannya, yaitu ucapan Pangeran Cheng Hwa kepada Ki Seng. Pangeran Mahkota itu melarang "adiknya" untuk mencambuk tengkuk atau kepala. Hal inilah yang menyelamatkannya, kalau hanya dicambuk di bagian punggung dia tidak akan tewas, walaupun kemungkinan besar dia menderita luka dan Kekebalan ilmu Tiat-pouw-san saja tidak akan mampu menahan kehebatan pukulan cambuk yang dilakukan oleh Ki Seng yang lihai sekali. Tentu Ki Seng akan memilih bagian jalan darah yang paling lemah. Han Lin lalu mengheningkan seluruh batinnya, mempersatukan semua kekuatan dalam tubuhnya dan menyalur kekuatan itu untuk melindungi jalan darah di kedua pundaknya. Ki Seng menghitung dengan selantang lalu mencambuk dan seperti sudah diperhitungkan Han Lin, dia mengerahkan seluruh tenaganya pada dua cambukan itu. "Sembilan belas! Syuuuuuttt...... darr.....!!" Han Lin merasa pundaknya seperti disambar petir dan dia merasa pula betapa dari perutnya keluar darah melalui mulutnya. Namun dia masih tetap menghimpun dan mengerahkan tenaganya untuk menerima pukulan ke dua. "Dua puluh! Syuuuuttt..., darrr....!!" tubuh Han Lin terguling dan dari mulutnya muntah darah segar! Ki Seng memandang kepada Han Lin yang rebah miring sambil tersenyum puas. "Mampus kau!" desisnya lirih dan lalu mengembalikan cambuk kepada algojo dan menghampiri saudara-saudaranya. Pangeran Cheng Hwa bangkit dari kursinya dan lari menghampiri Han Lin. Han Lin sudah bangkit perlahan, masih berlutut. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening sekali. "Han Lin, engkau tidak apa-apakah?" tanya Pangeran Cheng Hwa khawatir. Han Lin menggeleng kepalanya. "Ti , tidak apa-apa, terima kasih Pangeran." "Sekarang engkau boleh pergi dengan bebas," kata pula Pangeran Cheng Hwa, lalu berkata kepada kepala pasukan yang memimpin dua losin perajurit yang berjan di situ. "Antar dan kawal dia sampai keluar dari pintu gerbang selatan. Awas, jaga baik-baik jangan sampai ada orang mengganggunya. Kalian yang bertanggung jawab atas keselamatannya sampai keluar pintu gerbang!" Perintah ini dilaksanakan dengan baik oleh perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal itu. Dalam keadaan lunglai Han Lin dikawal sampai ke pintu gerbang selatan kemudian dilepaskan. Ketika itu malam sudah larut dan Han Lin melangkah terhuyung-huyung dalam kegelapan malam yang hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Menjelang fajar dia sudah jauh meninggalkan pintu gerbang kota raja dan dia merasa betapa tenaganya sudah hampir habis. Kedua kakinya gemetar dan akhirnya dia jatuh terkulai di bawah sebatang pohon yang berdiri di tepi jalan raya. Seorang gadis berpakaian putih cepat menghampirinya. "Sobat, engkau kenapakah" Engkau sakit?" tanya gadis itu dengan suara lembut sambil menghampiri Han Lin dan cepat meraba pergelangan tangan kiri Han Lin untuk merasakan denyut nadinya. Han Lin bangkit duduk dan mereka saling pandang. "Adik Tan Kiok Hwa.....!" seru Han Lin dengan girang sekali sehingga sejenak ia melupakan rasa sesak dan nyeri didadanya. "Kakak Han Lin.....! Engkaukah ini" diamlah saja, jangan bergerak, engkau terluka. Duduklah bersila, akan kucoba mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu!" Karena maklum akan kelihaian gadis yang tak pernah dia lupakan itu dalam ilmu pengobatan, Han Lin menurut. ia duduk bersila dan mengendurkan seluruh urat syarafnya. Setelah memeriksa detak nadi dan pernapasan Han Lin, Kiok Hwa lalu menotok beberapa jalan darah di kedua pundak dan punggung. Setelah itu ia mengeluarkan jarum emas dan jarum peraknya dan mulai mengobati Han Lin dengan tusukjarum di sekitar punggungnya, setelah Han Lin melepaskan bajunya. Fajar menyingsing. Sinar matahari mulai mengusir kabut pagi dengan sinarnya yang lembut. Han Lin merasa betapa sesak dan nyeri di dadanya sudah menghilang. Kiok Hwa mencabuti jarum-jarumnya dan berkata dengan nada lega. "Bahaya sudah lewat, Lin-ko. sekarang tinggal mengobati luka di kedua pundakmu." Ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dan menaburkan obat kepada luka-luka di pundak Han Lin. Terasa dingin dan nyaman sekali oleh Han Lin. "Terima kasih, Hwa-moi, aku sudah sembuh kembali. Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul menolongku." "Jangan bicara dulu, Lin-ko. Walaupun engkau sudah sembuh, akan tetapi engkau kehabisan tenaga. Himpunlah dulu tenaga murni untuk memulihkan kekuatanmu. Dalam keadaan seperti sekarang ini engkau harus selalu siap siaga, dalam keadaan sehat dan memiliki tenaga sepenuhnya." Han Lin mengangguk, lalu diapun memejamkan mata dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya, Kiok Hwa duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah, memandang dan menjaga pemuda itu dengan pandang mata penuh kasih sayang. Terbayanglah semua pengalamannya dengan Han Lin. Tanpa melalui banyak pengakuan kata-kata, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia mencinta Han Lin dan pemuda itupun mencintanya. Akan tetapi karena ia tahu betapa gadis yang dikenalnya sebagai Suma Eng itu mati-matian mencintai Han Lin. Ia tidak tega untuk merebut pemuda itu dari gadis yang sudah lama mencinta pemuda itu. Ia mengalah dan meninggalkan mereka. Ia lalu memasuki kota raja dan mendapat pengalaman tidak enak ketika ia hendak dijebak orang jahat yang berpura-pura sakit di sebuah kamar losmen. Akan tetapi tidak lama ia berada di kota raja karena mendengar bahwa di daerah Lamteng yang berada sebelah selatan kota raja berjangkit penyakit demam panas yang sudah makan banyak korban. Ia bergegas pergi ke daerah itu untuk menolong orang-orang yang kejangkitan penyakit itu. la sudah berhasil menolong dan menyelamatkan banyak orang sehingga namanya sebagai Pek I Yok Sian-li semakin terkenal. Untuk keperluan itu, Kiok Hwa harus mondar mandir ke kota raja untuk membeli obat obatan dari rumah obat. Ketika ia datang pergi ke kota raja membeli obat, bertemu dengan Souw Tek dan Su Te Ek yang terluka dalam pi-bu (adu silat di Hek-tiauw Bu-koan. Juga pada hari ini ia sedang hendak pergi ke kota raja untuk membeli obat ketika ia melihat pemuda terhuyung-huyung lalu roboh di bawah pohon yang kemudian ternyata adalah Han Lin. Kiok Hwa menghela napas panjang, sudah mengalah terhadap Suma Eng dan berusaha menjauhkan diri dari Han Lin, Akan tetapi nasib rupanya menghendaki lain dan secara tidak terduga sama sekali kini ia bertemu lagi dengan Han Lin bahkan harus mengobatinya karena pemuda itu menderita luka yang cukup parah. Dan pertemuan itu menambah goresan yang memperdalam perasaan cinta kasih-kepada Han Lin. Baru memandang kearah pemuda itu yang bersamadhi memejamkan mata saja, ada daya tarik yang luar biasa yang mencengkeram perasaan hatinya. Pada saat itu tahu benarlah Kiok Hwa bahwa tanpa adanya pemuda itu di sampingnya, hidup selangjutnya akan terasa hampa dan tidak menarik! Matahari makin cerah. Cahayanya yang tadinya kuning kemerahan mulai memutih dan panas mulai menyengat, Kiok Hwa merasa senang melihat betapa kedua pipi Han Lin mulai memerah, menunjukkan bahwa pemuda itu sudah sehat betul dan selain kesehatannya sudah pulih, juga tenaganya sudah utuh kembali. Han lin menggerakkan pelupuk matanya kemudian membuka kedua matanya, lalu menoleh ke arah Kiok Hwa. Keduanya tersenyum. "Hwa-moi, kembali engkau telah menolongku. Entah berapa kali sudah kau menolong dan menyelamatkan aku akan tetapi mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku, Hwa-moi?" Ada tuntutan terkandung dalam ucapan itu dan Kiok Hwa merasa terharu. "Sudahlah, jangan bicarakan hal itu Lin-ko. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau sampai menderita seperti ini. Engkau terkena pukulan pada kedua jalan darah di pundakmu, dan pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. dan punggungmu penuh bilur-bilur seperti bekas cambukan. Apa yang terjadi?" Han Lin menghela napas panjang, ia tidak ingin menceritakan tentang sebenarnya bahwa dia seorang pangeran, Ia khawatir kalau hal itu diketahui Kiok Hwa, akan mengubah sikap gadis itu terhadap dirinya. Tidak, dia ingin dikenal Kiok Hwa sebagai Han Lin, pemuda biasa. Bahkan kepada Sian Engpun dia tidak membuka rahasia ini. Sekali saja membuka rahasia sudah cukup menyengsarakannya, yaitu ketika dia membuka rahasianya itu kepada A Seng. Mendengar pertanyaan itu, otomatis Han Lin meraba punggungnya dan baru menyadari bahwa dia telah kehilangan pedangnya. Im-yang-kiam telah hilang, Ia mengingat-ingat. Ketika dia ditangkap oleh para perajurit, pedangnya diambil oleh Ki Seng! "Ada apakah, Lin-ko" Engkau seperti mencari sesuatu!" tegur Kiok Hwa. "Pedangku....., pedangku diambil orang....!" kata Han Lin dan teringat akan semua perbuatan Ki Seng yang kini menjadi Pangeran Cheng Lin dia merasa gemas sekali. "Im-yang-kiam" Ah, siapa yang telah mengambilnya, Linko?" tanya Kiok Hwa yang ikut merasa menyesal bahwa pedang pusaka yang langka itu diambil orang. Kan Lin menghela napas panjang. "Panjang ceritanya, Hwa-moi. Aku telah menyelamatkan Pangeran Mahkota Cheng Hwa yang akan dibunuh orang jahat dekat hutan. Beliau lalu membawaku ke istana dan aku diberi pekerjaan sebagai seorang pengawal di istana. Akan tetapi malam tadi, aku difitnah. Aku dituduh hendak membunuh para pangeran. Kiasar marah sekali dan aku tentu sudah dijatuhi hukuman mati kalau saja Pangeran Mahkota Cheng Hwa tidak membela. Karena pembelaan beliau maka hukuman ku diperingan, yaitu menerima hukuman dua puluh kali cambukan." "Hemm, engkau yang memiliki sinkang amat kuat dan memiliki kekebalan, mengapa sampai menjadi begini ketika dicambuk" Kukira jangankan hanya dua puluh kali, biar seratus kalipun engkau tentu tidak akan terluka kalau engkau mengerahkan sin-kang melindungi tubuhmu." kata Kiok Hwa heran. "Algojo hanya mencambuk sampai delapan belas kali saja, lalu cambuknya di minta Pangeran Cheng Lin dan dia yang mencambuk aku dua kali sehingga aku menderita luka parah." "Hemm, jadi Pangeran Cheng Lin itu seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi?" "Benar, dan dia jahat seperti iblis." "Ah, kalau begitu dia pula yang menjatuhkan fitnah atas dirimu?" "Benar." "Dan dia pula yang mengambil im yang-kiam darimu?" "Memang benar, Hwa-moi." "Hemm. Tidak akan ada asap kalau dak ada apinya. Tidak akan turun hujan kalau tidak ada awalnya. Tidak ada akibat tanpa sebabnya. Lin-ko, mengapa seorang pangeran dapat begitu membencimu" Padahal engkau telah menyelamatkan Pangeran Mahkota" Katakan, mengapa Pangeran Cheng Lin itu demikian membencimu, Lin-ko?" Han Lin merasa terdesak, namun dia bertekad untuk mempertahankan rahasianya. Setelah berpikir sesaat, dia menjawab, "Dia baru saja diterima sebagai pangeran, Hwamoi. Aku sudah mengenalnya dengan baik sebelum dia menjadi pangeran, yaitu ketika dia masih menjadi murid Cheng Hian Hwesio, Bahkan boleh dibilang dia itu masih saudara seperguruanku karena akupun dilatih ilmu silat oleh Cheng Hian Hwesio. Ketika itu, dia melakukan perbuatan menyeleweng dan minggat meninggalkan kami. Kemudian menjadi pangeran dan melihat aku berada di istana, mungkin dia khawatir aku aku membeberkan kejahatannya dan mungkin dia menganggap aku sebagai saingan." Tiba-tiba Han Lin memegang lengan Kiok Hwa dan matanya memandang ke depan. Kiok Hwa menengok dan gadis inipun melihat bayangan dua orang berlari cepat menuju ke tempat itu. Setelah dua orang itu tiba dekat, dengan kaget Han Lin dan Kiok Hwa melihat bahwa mereka itu bukan lain adalah Toa Ok dan Suma Kiang! "Itu dia!" seru Toa Ok. "Bunuh dia!!" kata pula Suma Kiang. Dua orang datuk ini memang diutus oleh Pangeran Cheng Boan yang sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo istana malam itu. Mendengar bahwa Han Lin atau Pangeran Cheng Lin yang aseli itu hanya dihukum cambuk dan dilukai oleh Ki Seng akan tetapi tidak dapat di bunuh karena dibela Pangeran Mahkota Cheng Hwa, dia cepat mengutus dua orang jagoannya itu. "Cepat kejar dan bunuh dia selagi terluka parah" demikian perintahnya. Demikianlah, dua orang itu keluar dari kota raja dan melakukan pengejaran. Mereka mengira bahwa Han Lin masih menderita luka parah maka segera mereka menerjang maju untuk membunuhnya. Toa Ok sudah menggunakan Kimliongkiam (Pedang Sinar Emas) yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang dahsyat. Suma Kiang juga sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan langsung saja menyerang dengan cepat dan kuatnya. Pada saat itu, Han Lin memang sudah sembuh sama sekali dari luka dalam di tubuhnya. Akan tetapi walaupun dia sudah menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya dan tenaga sin-kang-sudah kembali, namun dia masih sedikit lemah dari pada biasanya. Menghadapi serangan tiga batang pedang yang digerakkan tangan-tangan yang amat kuat itu, Han Lin segera mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya bergerak cepat dan lincah searti seekor burung walet, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara sinar tiga batang pedang itu. Dia bersilat dengan Ngo-heng Sin-kun (Ilmu Sakti Lima Unsur) dan kadang membalas dengan totokan It-yang-ci. Namun, kondisinya yang masih lemah dan kepalanya yang masih terasa sedikit pening itu membuat Han Lin desak hebat. Tiga batang pedang di tangan kedua orang lawannya benarbenar amat berbahaya dan biarpun Han Lin sudah mengelak sedapatnya, tetap saja ujung pedang Toa Ok melukai pangkal lengan kirinya dan ujung pedang Suma Kiang juga melukai paha kanannya. Pangkal lengan kiri dan paha kanan Han Lin terluka mengucurkan darah dan dari rasa panas di kedua bagian tubuh yang terluka itu tahulah dia bahwa lukanya itu mengandung racun. Pedang-pedang kedua orang datuk sesat itu tentu telah direndam racun. Karena dua luka di tubuhnya itu, gerakan Han Lin menjadi semakin kendur dan lambat. Melihat ini, Kiok Hwa dengan nekad menerjang untuk membela Han Lin. "Kalian jahat dan tidak tahu malu mengeroyok seorang yang tidak membawa senjata!" Kiok Hwa berkelebat dan berusaha merampas pedang di tangan Toa Ok dengan jalan memukul siku kanannya agar pedang itu terlepas dari tangannya. Gerakan Kiok Hwa itu cepat bukan main sehingga Toa Ok tidak dapat menghindar. "Plakk!" Siku kanannya terpukul dan seketika tangannya menjadi tergetar lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya. Tangan kirinya menyambar dan menyambar bawah pundak kanan Kiok Hwa. "Desss.....!" tubuh Kiok Hwa terpental dan terbanting roboh di bawah pohon. "Hwa-moi.....!" Han Lin berseru dan cepat dia menyerang Toa Ok dengan tiga buah totokan secara bertubi. Toa Ok terkejut dan melompat ke belakang. Akan tetapi Han Lin tidak sempat menghampiri Kiok Hwa karena Suma Kiang sudah menyerangnya lagi dengan sepasang pedangnya. "Lin-ko, sambut.....!" Kiok Hwa yang telah terluka bawah pundak kanannya itu menemukan sebatang kayu ranting sebesar lengannya di bawah pohon itu. Dengan tangan kirinya ia melontarkan ranting itu ketika Han Lin melompat belakang dan menoleh kepadanya, han Lin menyambar tongkat itu dengan tangannya. Pada saat itu, Toa Ok dan Suma Kiang sudah menyerang lagi. Han Lin memutar tongkat ranting itu dan segera memainkan ilmu silat Sin-tek-tung (Tongkat Bambu Sakti). Gulungan sinar kuning yang aneh melingkarlingkar dan mencuat ke sana-sini tampak dan ternyata gulungan sinar permainan tongkatnya mampu membendung gelombang serangan ketiga pedang. Namun, dalam keadaan terluka dan mengeluarkan banyak darah, Han Lin menjadi semakin lemah sehingga tongkatnya itu hanya dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Kiok Hwa melihat bahaya ini, akan tetapi ketika ia bangkit untuk nekat menolong lagi, tubuhnya terkulai lemah dan ia roboh kembali. Ternyata pukulan tangan kiri Toa Ok yang mengenai dadanya tadi membuat terluka di sebelah dadanya yang cukup parah. Keadaan Han Lin gawat. Agaknya tak lama lagi ia akan roboh dan tewas, dan kalau hal ini terjadi, tentu keselamatan kiok Hwa juga terancam maut. Mendadak berkelebat bayangan merah muda dan terdengar bentakan nyaring, "Toa Ok dan Suma Kiang dua manusia iblis yang hina dan jahat!" Sinar pedang berwarna hijau menyambar ganas ke arah leher Suma Kiang. Datuk ini terkejut dan cepat menangkis dengan pedang kanannya. "Cringgg....!!" Bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Suma Kiang melihat bahwa yang menyerangnya bukan lain adalah Lo Sian Eng, atau yang diakuinya sebagai Suma Eng, anak- yang dahulu amat disayangnya! "Suma Eng, mundurlah, aku tidak ingin membunuhmu!" kata Suma Kiang yang bagaimanapun juga masih mempunyai perasaan sayang kepada gadis yang semenjak kecil dianggap sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan semua ilmunya sudah dia turunkan kepada gadis itu. "Aku Lo Sian Eng, bukan Suma Eng. Engkau tidak ingin membunuhku, akan tetapi aku ingin membunuhmu seratus kali untuk membalaskan dendam ayah dan ibu kandungku!" bentak Sian Eng dan iapun sudah menyerang dengan hebat. Suma Kiang terpaksa menangkis dan membalas menyerang untuk membela diri. Sementara itu, Toa Ok masih bertanding melawan Han Lin. Karena kini Han Lin tidak dikeroyok lagi, maka lawannya menjadi agak ringan baginya. Akan tetapi sebaliknya, darah banyak keluar dari tubuhnya dan dia mulai lemas. Dengan demikian, kekuatan mereka berdua seimbang dan pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian. Kiok Hwa yang bersandar di batang pohon menjadi agak lega melihat munculnya Sian Eng. Diam-diam ia menghela napas panjang. Mereka bertiga selalu bertemu. Mengapa begitu kebetulan" Sian Eng yang penuh dendam itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga Suma Kiang menjadi kewalahan. Datuk ini segera terdesak hebat oleh pedang Ceng-liong- kiam (Pedang Naga Hijau) di tangan gadis perkasa itu. Suma Kiang melindungi dirinya sekuat mungkin, namun akhirnya sebuah sambaran pedang Sian Eng mengenai lengan kirinya sehingga lengan itu terluka menganga di atas siku. Suma Kiang melompat belakang. Sian Eng hendak mendesak untuk nembunuh ayah angkatnya itu, akan tetapi pada saat itu terdengar Kiok Hwa berseru, "Eng-moi (Adik Eng), bantulah Lin-ko.....!" Sian Eng menoleh dan melihat betapa Han Lin dengan wajah pucat didesak Toa Ok yang bergerak semakin ganas. Khawatir akan keadaan Han Lin, Sian Eng melompat ke dekat dua orang yang sedang bertanding mati-matian itu. Pedangnya meluncur dan menusuk ke arah punggung Toa Ok dari belakang. "Singgg....!!" Sinar hijau menyambar ke arah dada Toa Ok. Datuk yang lihai ini mendengar suara pedang dari arah belakangnya. Dia memutar tubuh ke kiri untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pedang itu menyerempet iga kiri di bawah lengan. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya memukul. "Crakk......desss....!" Pedang itu mengenai dada kiri Toa Ok, akan tetapi pukulan tangan kiri yang mengandung ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) itupun mengenai pundak Sian Eng. Dara perkasa itu terdorong ke belakang akan tetapi tidak sampai jatuh. Toa Ok yang melihat betapa Suma Kiang sudah melarikan diri dan dia sudah terluka, tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan perkelahian karena maklum bahwa hal akan sangat membahayakan dirinya. ia lalu melompat jauh dan melarikan diri dengan luka berdarah pada dada kirinya Sian Eng melihat Han Lin berdarah darah pada pangkal lengan dan pahanya dan pemuda itu berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Ia melihat pula Kiok Hwa menghampiri Han Lin dan gadis berpakaian putih itupun terhuyung-huyung, agaknya terluka pula. Sian Eng merasa betapa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia menguatkan dirinya dan menghampiri mereka. "Lin-ko, bagaimana luka-lukamu?" tanyanya khawatir sambil memegang lengan pemuda itu. Lengan kanan pemuda itu sudah dipegang oleh Kiok Hwa. Han Lin memandangnya dan tersenyum. "Aku tidak apaapa, Eng-moi. Hanya luka-luka daging saja dan lemas..." "Dia kehilangan banyak darah, adik Eng." kata Kiok Hwa. Sian Eng merasa lega dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali. Segala tampak berpusing. "Sukur..... sukurlah....." katanya dan ia lalu roboh terkulai, pingsan! "Eng-moi....!" Seru Han Lin. "Adik Eng! Engkau kenapa?" seru Kiok Hwa dan mereka berdua berjongkok dekat tubuh Sian Eng yang rebah telentang dengan muka pucat sekali. Kiok Hwa cepat memeriksa keadaan Sian Eng. tak lama kemudian ia berdiri dan mengerutkan alisnya. "Bagaimana, Hwa-moi" Bagaimana keadaannya?" Kiok Hwa menghela napas panjang. "Keji sekali Toa Ok. Adik Eng terkena pukulan Ban-tokciang pada pundaknya. Masih untung bahwa ia memiliki tubuh yang sehat dan tenaga sin-kang yang kuat. Dan lebih menguntungkan lagi agaknya ia dahulu telah banyak minum obat anti racun ketika ia mempelajari pukulan-pukulan beracun. Kurasa hawa beracun Ban-tok-ciang tidak akan menjalar kejantungnya dan aku masih sanggup mengobati dan menyembuhkannya." "Ah, sukur sekali kalau begitu, Hwa moi." kata Han Lin dan diapun mengeluh karena tubuhnya terasa lemah sekali, ia lalu duduk bersila dekat Sian Eng yang masih pingsan. "Lin-ko, aku tadi sudah menotok jalan darahmu untuk menghentikan keluarnya darah dari kedua luka di pangkal lengan dan pahamu. Akan tetapi engkau sudah mengeluarkan banyak darah dan engkau harus beristirahat dan makan obat kuat yang akan kubuatkan untukmu." "Hwa-moi, aku lihat engkau sendiri juga terluka. Engkau tadi juga terkena pukulan tangan Toa Ok yang berbahaya!" Han Lin memandang wajah Kiok Hwa yang pucat. Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Aku memang terluka, akan tetapi aku dapat mengatasinya. Jangan mengkhawatirkan aku. Lebih baik sekarang mari kita bawa adik Eng. Aku tadi melihat sebuah pondok bambu di hutan sana itu, pondok bambu kosong yang agaknya ditinggalkan para pemburu. Kita beristirahat di sana." Han Lin mengerahkan tenaganya dan bangkit berdiri. Kiok Hwa menotok beberapa jalan darah di tubuh Sian Eng dan gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya. "Bagaimana keadaanmu, Eng-moi?" Han Lin bertanya. "Dadaku...... nyeri panas dan napasku sesak......" keluh Sian Eng. "Adik Eng, mari kita masuk hutan di sana itu, ada sebuah pondok bambu di sana, kita dapat beristirahat dan mengobati luka kita. Lin-ko dan akupun terluka dan lemah, maka tidak dapat memondongmu. Mari kami bantu engkau berjalan ke sana." Kiok Hwa lalu membantu Sian Eng bangkit dan gadis perkasa ini menggigit bibir mengerahkan sisa tenaganya untuk melangkah dan ia dipapah oleh Han Lin dan Kiok Hwa. Tiga orang muda yang terluka itu terhuyung-huyung memasuki hutan dan benar saja, tidak jauh dari situ terdapat sebuah pondok bambu, bahkan ada empat buah dipan bambu di dalam pondok. Tempat ini biasanya menjadi tempat pondokan para pemburu kalau kemalaman di dalam hutan. Setelah membaringkan Sian Eng di atas sebuah dipan, Kiok Hwa lalu mulai mengobati Sian Eng dan juga Han Lin. Iapun minum obat untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Pengobatan dari Kiok Hwa itu manjur bukan main sehingga menjelang malam hari, mereka semua telah dapat terhindar dari bahaya dan telah sembuh. Akan tetapi mereka, terutama Han Lin, harus istirahat selama beberapa hari untuk memulihkan tenaganya. Kebetulan sekali dalam pondok itu terdapat banyak lilin yang ditinggalkan para pemburu sehingga mereka tidak sampai kegelapan. Pada keesokan pagi-pagi, Kiok Hwa yang keadaannya paling baik di antara mereka, meninggalkan pondok dalam hutan itu untuk pergi membeli bahan makan. Ia membeli bahan makanan yang sekiranya cukup untuk mereka makan beberapa hari lamanya. Lo Sian Eng dan Han Lin duduk bersila di atas dipan bambu. Mereka duduk berhadapan, Sian Eng di atas dipan yang satu, Han Lin di atas dipan yang lain. mereka melatih pernapasan untuk menghimpun dan memulihkan tenaga mereka. Sejak tadi Sian Eng mengamati Han Lin yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Gadis itu memandang kagum. Bukan main pemuda yang telah merampas hatinya ini. Seorang pangeran tulen. Betapa kuatnya menyimpan rahasia dirinya, bersikap seperti seorang pemuda sederhana. Biarpun pertanyaan tentang kepangeranannya itu sudah ada di ujung lidahnya, namun Sian Eng menekan dan menahannya, tidak ingin membuka rahasia pemuda itu. Dia harus menghormati rahasia itu. Ia hanya memandang penuh kagum. Pandang mata yang terdorong oleh perasaan hati memiliki daya yang kuat sekali. Han Lin yang tadinya memejamkan matanya itu, tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ada sesuatu yang seseorang mendorongnya untuk membuka kedua matanya. Ketika dia membuka kedua matanya, pandang matanya tepat bertemu dengan sepasang mata jeli yang menatapnya. Dua pasang matanya bertemu pandang, bertaut, melekat. Sian Eng tersenyum memecahkan pesona yang membius mereka. "Lin-ko, mengapa engkau memandangku seperti itu?" tanyanya, malu-malu. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kenapa......" Ah, aku ingin sekali tahu bagaimana engkau tiba-tiba dapat berada di sana menolongku ketika kami terancam bahaya maut itu, Eng-moi?" Sian Eng tidak tersipu lagi. Ia merasa bersukur karena ucapan Han Lin itu mengusir rasa canggung dan rikuh yang timbul oleh bertemunya pandang mata mereka. "Panjang ceritanya, Lin-ko. Sebaiknya engkau yang bercerita lebih dulu mengapa engkau terluka dan berkelahi melawan Toa Ok dan Suma Kiang kemarin?" Han Lin tersenyum. Gadis ini masih seperti dulu. Tak pernah mau mengalah, bahkan dalam menceritakan pengalaman sekalipun. "Setelah meninggalkan Hek-tiauw Bu koan, aku melakukan penyelidikan dan mendengar banyak tentang keluarga istana." Baru mendengar ini saja Sian Eng telah tersenyum dalam hatinya. Tidak aneh kalau dia menyelidiki tentang keluarga istana karena dia sendiri adalah seorang pangeran, pikirnya. "Pada suatu hari aku mendengar pula bahwa Suma Kiang dan Toa Ok bekerja pada Pangeran cheng Boan. Ketika melihat Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu keluar pintu gerbang bersama sepasukan pengawal, aku menjadi tertarik dan membayangi dari belakang. Kiranya rombongan itu pergi ke hutan untuk berburu dan di dalam hutan itu aku melihat mereka berpencar, kedua orang pangeran itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing untuk berburu. Aku melihat Pangeran mahkota Cheng Hwa diserang orang bertopeng, maka aku segera melindunginya. Penyerang itu dapat melarikan diri bersama temannya yang juga bertopeng, Pangeran Cheng Hwa membawaku ke istana dan mengangkat aku sebagai pengawal". Sian Eng merasa heran sekali. Sungguh aneh, pikirnya. Dia sendiri seorang pangeran dan Pangeran Mahkota itu tentu masih saudaranya, mengapa dia telah menyembunyikan diri" Lalu ia teringat, Tentu karena Ki Seng telah mencuri Suling Pusaka Kemala dan orang jahat itu kini menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin. Karena Han Lin tidak memegang bukti diri, yaitu Suling Pusaka Kemala maka dia belum dapat menyatakan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin yang sejati! Sian Eng yang cerdik itu segera dapat menduga akan tetapi ia diam saja. "Lalu bagaimana, Lin-ko?" Ketika menyebut Lin-ko kali ini, lidahnya terlalu kaku karena ia menyadari sepenuhnya bahwa yang dipanggilnya itu adalah seorang pangeran. "Kemarin malam terjadinya malapetaka itu di taman istana. Aku dituduh berniat jahat terhadap para pangeran, bahkan Pangeran Cheng Lin menyerang dan menuduh aku hendak membunuh pargeran-pangeran di istana. Aku ditangkap dan hendak dibunuh, akan tetapi aku dibela oleh Pangeran Mahkota Cheng Hwa sehingga oleh Sri Baginda Kaisar aku dijatuhi hukuman dua puluh kali cambukan, oleh algojo aku dicambuk dan tentu saja aku dapat melindungi tubuhku dengan kekebalan. Akan tetapi baru delapan belas kali, cambuk itu diminta oleh Pangeran cheng Lin dan aku dicambuk dua kali olehnya. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sin-kangnya besar sehingga cambukan dua kali itu membuat aku terluka berat. Aku lalu diusir dari istana bahkan diharuskan keluar kota raja." "Betapa kejam dan jahatnya dia....!!" Sian Eng berseru marah sekali terhadap Ki Seng. "Hemm, kalau aku bertemu lagi dengan dia, pasti akan kuhancurkan kepalanya!" "Siapa yang kau maksudkan, Eng-moi?" "Pangeran Cheng Lin, siapa lagi?" "Hemm, dia itu lihai bukan main Eng-moi." "Lalu bagaimana" Lanjutkan ceritara Lin-ko." "Keluar dari pintu gerbang dalam keadaan terluka parah aku bertemu dengan adik Tan Kiok Hwa." "Hemm, sungguh kebetulan sekali" kata Sian Eng, suaranya terdengar aneh "Memang kebetulan sekali, Eng-moi, Agaknya Tuhan memang menghendaki agar aku tetap hidup. Hwa-moi mengobatiku sehingga lukaku agak mendingan, Akan tetapi muncul dua orang itu, Toa Ok dan Suma Kiang. Entah bagaimana mereka dapat mengejarku dan hendak membunuhku. Hwa-moi dan aku terdesak hebat dan kami berdua tentu mati kalau engkau tidak muncul dan menolong kami. Nah, begitulah ceritaku, Eng-moi. Sekarang ceritakanlah bagaimana engkau secara kebetulan dapat muncul menolongku". "Ceritaku juga panjang, Lin-ko. Aku tinggal di rumah Paman Lo Kang. Engkau lihat Cheng Kun, putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi tunangan enci Lo Siang Kui itu, bukan" Nah, telah lama Cheng Kun tidak datang berkunjung sehingga enci Siang Kui menjadi gelisah. kemudian ia pergi berkunjung ke istana pangeran Cheng Boan, menemui Cheng Kun. Dan apa yang ia dapatkan dan alami di sana sungguh hebat, Lin-ko. Ternyata di rumah Pangeran Cheng Boan itu terdapat Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa Sian-Ii yang menjadi pengawal-pengawal pribadi. Juga Pangeran Cheng Lin yang jahat itu agaknya menjadi komplotan mereka yang berkumpul di rumah pangeran Cheng Boan. Dan kau tahu apa yang dialami enci Siang Kui di sana" Ia dijebak oleh Cheng Kun yang dibantu Sian Hwa Sian-li, diberi minum anggur yang sudah diberi racun sehingga ia terjatuh ke tangan Cheng Kun dan dinodai tunangannya sendiri." "Hemm, sudah kuduga bahwa dia bukan manusia baik-baik. Jadi engkau sudah bertemu pula dengan Pangeran Cheng Lin yang menjatuhkan fitnah kepadaku itu Eng-moi?" "Bukan saja bertemu, Lin-ko. Bahkan pernah dia ikut mengeroyokku." "Bagaimana terjadinya itu?" Han Lil berseru kaget. "Dengar sajalah, jangan tergesa-gesa, Nanti juga ceritaku akan sampai ke bagian itu. Sampai di mana ceritaku tadi" Oya, enci Kui telah menjadi korban kebiadapan Cheng Kun. Ia pulang dan menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Cheng Kun yang berjanji akan datang dalam waktu seminggu, sampai sepuluh hari tak kunjung datang untuk menentukan hari pernikahan. Enci Siang Kui gelisah dan aku marah sekali. Malam itu aku diam-diam mendatangi istana Pangeran Cheng Boan!" "Aku dapat membayangkan itu. Engkau tentu marah sekali, Eng-moi." "Ya, aku dapat temukan Cheng Kui dan aku mengancamnya, memaksanya untuk segera menikahi enci Siang Kui. akan tetapi tiba-tiba muncul Sian Hwa Sian Li dan kami bertanding. Aku dapat mendesaknya akan tetapi lalu muncul Toa Ok, Suma Kiang dan juga Pangeran cheng Lin yang merobohkan aku dengan tendangan. Toa Ok hendak membunuhku, akan tetapi Suma Kiang mencegah karena mengenal gerakanku dan merenggut topeng yang kupakai. Karena maklum pada saat itu aku tidak berdaya, maka aku pura-pura gembira bertemu dengan dia, kusebut dia ayah. Aku dimaafkan dan Cheng Kun berjanji akan menikahi Siang Kui sebagai selirnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi, Cheng Kun dibunuh seorang gadis yang juga menjadi korbannya. Gadis itu kemudian dibunuh oleh pangeran Cheng Lin yang kebetulan malam itu berada di sana. Malam itu juga sebetulnya aku hendak membunuh Suma Kiang, akan tetapi gagal karena yang lain datang mengeroyok. Aku masih dapat meloloskan diri dari sana dan melarikan diri keluar dari kota raja. Karena aku tahu bahwa aku tentu menjadi orang buruan mereka dan akan tidak aman berada di kota raja. maka aku lalu berkeliaran di luar kota raja sampai aku melihat engkau dikeroyok oleh Suma Kiang dan Toa Ok tadi. Nah, begitulah pengalamanku, Lin-ko." Sian Eng sengaja tidak mau bercerita bahwa ia telah mendengar akan persekutuan Pangeran Cheng Boan dengan Pangeran Cheng Lin palsu dan bahwa ia tahu pula siapa Han Lin sebenarnya, yaitu Pangeran Cheng Lin yang aseli. Pada saat itu Kiok Hwa pulang dari berbelanja. Melihat dua orang itu bercakap-cakap, Kiok Hwa menegur. "Lin ko engkau tidak boleh banyak bicara, engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu. Kita masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Bagaimana kalau orang orang jahat datang dan tenagamu masih belum pulih" Dan engkau, adik Eng, Jangan mengajak Lin-ko banyak bicara!" Sian Eng tertawa, apalagi melihat Han Lin segera duduk bersila dan memejamkan kedua matanya kembali, begitu patuh kepada Kiok Hwa. "Habis, aku rindu sekali padanya, enci Kiok Hwa!" Lalu ia turun dan memeriksa barang belanjaan Kiok Hwa. "Uhh! kenapa hanya ikan asin dan daging kering saja yang kau beli, enci Hwa" Kenapa tidak membeli beberapa ekor ayam" bosan dong setiap hari makan ikan asin dan daging kering melulu!" "Ain, Eng-moi. Memangnya kita ini sedang pesiar" Yang enak-enak saja yang kau bayangkan!" "Habis, kalau tidak membayangkan yang enak-enak, apakah hidup yang sekali saja harus membayangkan yang tidak enak melulu?" "Ih, engkau memang nakal!" kata Kiok hwa yang mau tidak mau harus tersenyum juga. Senyum yang menutupi perasaan dalam hatinya. Ia merasakan benar dalam tatapan Sian Eng tadi betapa besar rasa kasih dalam hati gadis itu terhadap Han Lin. Ia harus mengalah. Demi kebahagiaan mereka. Mereka memang cocok. Sama para pendekar yang gagah perkasa. ooo00d0w00ooo Ketika Toa Ok dan Suma Kiang melapor kepada Pangeran Cheng Boan tentang kegagalan mereka membunuh Han Lin karena dihalangi oleh Sian Eng, pangeran Cheng Boan menjadi marah sekali. "Semua ini gara-gara engkau, Suma Sicu! Kalau engkau tidak melindungi gadis liar itu, tentu sekarang kita telah dapat membunuh Pangeran Cheng Lin yang aseli." Pangeran Cheng Boan berjalan hilir mudik dalam ruangan itu, wajahnya muram dan pandang matanya penuh kekecewaan dan kemarahan. "Sekarang, bagaimana baiknya" Selama dia masih berkeliaran, semua rencana kita terancam menjadi berantakan!" ^od0wo^ Jilid XXVIII SUMA KIANG berkata, "Harap paduka tenang dan tidak menjadi kecil hati, yang Mulia. Saya telah menyelidiki dan ternyata pemuda dan dua orang gadis itu berada dalam pondok pemburu dalam hutan. Kita dapat menggunakan akal untuk membinasakan mereka bertiga sekaligus. akan tetapi untuk ini perlu bantuan Pangeran Cheng Lin." "Hemm, engkau mempunyai siasat" laksanakan itu, aku akan mengirim utusan mengundang Pangeran Cheng Lin." kata Pangeran Cheng Boan dan tak lama kemudian Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng sudah datang ke istana itu. Mereka lalu mengadakan perundingan dalam ruangan belakang, yaitu Pangeran Cheng boan, Pangeran Cheng Lin palsu, Suma Kiang, Toa Ok, dan tidak ketinggalan Sian Hwa Sian-li. Dalam pertemuan itu, Suma Kiang menceritakan tentang siasat yang direncanakan. Mendengar itu, Ki Seng mengerutkan alisnya. "Memang baik sekali ...! tidak sukar melaksanakan siasat ini. Akan tetapi resikonya teramat berat buat saya, Paman Pangeran. Bayangkan, kalau rahasia ini bocor dan ketahui.. Celakalah aku. Paman hanya menjadi penonton saja, akan tetapi saya yang harus menanggung semua akibatnya." "Hemm, siapakah yang akan memetik buahnya kalau berhasil" Pangeran, engau tentu tahu betapa bahayanya ancaman yang datang dari Han Lin itu. Sebelum dia dapat disingkirkan, kita semua terancam bahaya. Akan tetapi kalau dia dapat disingkirkan dulu, barulah yang lain akan dapat dilaksanakan dengan amat mudah. Ingat, hasilnya adalah rahasia pribadimu akan terjamin dan kelak engkau akan menjadi satu-satunya pangeran yang akan menggantikan kedudukan kaisar!" Ki Seng menarik napas panjang. Dia merasa seperti menunggang harimau, Kalau turun dia akan celaka, terpaksa meneruskannya. Kalau dia tidak mau bekerja sama, rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan. Kalau Pangeran Cheng Boan membuka rahasia kepada Kaisar, akan celakalah dia. Tidak ada pilihan lain. Dia harus melanjutkan dan berpegang kepada harapan cemerlang bahwa kalau semua rencana persekutuan itu berhasil, kelak dia akan menjadi kaisar. Harapan ini yang menimbulkan semangat baginya. Dua hari kemudian baru rencana yang dirundingkan di rumah Pangeran Cheng Boan itu dapat terlaksana. Pada sore hari itu, diam-diam Pangeran Cheng Boan memberi seekor kuda yang amat baik, besar dan kuat, kepada Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng. Ki Seng membawa kuda yang amat indah itu ke istal. Kemudian ia menemui Pangeran Cheng Bhok yang mempunyai kesukaan memelihara dan menunggang kuda. "Adinda Pangeran, saya mempunyai hadiah untuk adinda!" kata Ki Seng dengan suara gembira dan wajahnya penuh senyum. Pada saat itu kebetulan Pangeran Cheng Bhok berada seorang diri. Dia tersenyum. "Hadiah apakah itu, kakanda Cheng Lin?" "5aya ingin membuat kejutan. Sebaiknya adinda melihat sendiri saja. Mari ikut dengan saya!" kata Ki Seng yang lalu menggandeng tangan Pangeran Cheng Bhok dan mengajaknya pergi ke istal, bagian belakang taman. Mereka berhenti di depan istal di mana kuda hitam tinggi besar itu berada "Wah, kuda siapakah ini, kakanda" Bagus sekali!" seru Pangeran Cheng Bhok sambil memandang kuda itu dengan kagum. "Ini kuda adinda. Sengaja saya beli untuk hadiah bagi adinda." kata Ki Seng sambil tersenyum. "Ahh...! Benarkah" Terima kasih, kakanda Cheng Lin. Kakanda baik sekali" Pangeran Cheng Bhok mendekati kuda hitam itu dan mengelus kepala kuda. "Kuda ini sudah terlatih baik sekali adinda. Namanya Hekliong-ma (Kuda Naga Hitam), larinya seperti angin. Mari kita coba, adinda. Saya akan menunggangi kuda lain dan kita coba kecepatan Hek-liong-ma." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pangeran Cheng Bhok merasa girang bukan main. Kedua orang pangeran itu itu menunggang kuda keluar dari kebun istana. Pangeran Cheng Bhok menunggang kuda hitam dan Ki Seng menunggangi kuda lain. Mereka terus membiarkan kuda mereka berlari congklang menuju ke pintu gerbang selatan. Di sepanjang jalan penduduk kota raja memandang ketika dua orang pangeran yang tampan itu menunggang kuda mereka. Betapa tampan dan gagahnya kedua orang muda bangsawan itu. Pangeran Cheng Lin palsu atau Ki Seng melarikan kudanya keluar pintu gerbang dan setelah tiba di luar, sambil tertawa dia berkata, "Adinda Cheng Bhok, sekarang kita menguji kecepatan hek-liong-ma. Coba adinda kejar saya kalau dapat!" Dia mencambuk kudanya sehingga kuda itu melompat ke depan dan membalap. Pangeran Cheng Bhok adalah seorang penggemar kuda dan dia suka sekali berlumba kuda. Hatinya gembira mendapatkan kuda yang demikian bagus, maka tantangan itu disambutnya dengan tawa dan diapun mencambuk kuda hitam dan melesat ke depan, mengejar. Kedua orang pangeran itu berkejaran dan kuda mereka membalap dengan amat cepatnya, makin lama makin jauh meninggalkan tembok benteng kota raja. Sementara itu, senja mulai menggelapkan cuaca, malam hampir tiba. Ki Seng membalapkan kudanya dengan cepat. Pangeran Cheng Bhok berusaha mengejarnya. Akan tetapi ternyata kuda hitam itu tidak sehebat namanya. Biar pun Pangeran Cheng Bhok sudah mencambukinya dan menendang-nendang dengan kakinya, namun tetap saja kuda hitam itu tidak mampu menyusul kuda yang berada di depannya, selalu tertinggal belasan meter di belakang. Hal ini membuat Pangeran Cheng Bhok menjadi penasaran sekali karena biasanya, dalam adu balap kuda, Pangeran Cheng Lin tidak pernah mampu mengalahkannya. Cuaca sudah menjadi remang-remang ketika Ki Seng menghentikan kudanya dan pangeran Cheng Bhok tentu saja menahan kudanya dan berhenti di samping kakaknya. Mereka telah tiba di tepi hutan dan tempat itu sunyi sekali. Tidak tampak ada orang lain di sekitarnya. "Kakanda, mengapa berhenti di sini?" tanya Pangeran Cheng Bhok dan nada suaranya tidak gembira karena hatinya memang merasa kesal melihat kenyataan bahwa kuda hitam yang ditungganginya tidak mampu mengalahkan larinya kuda yang ditunggangi Pangeran Cheng Lin. "Malam hampir tiba, mari kita pulang saja!" "Nanti dulu, adinda, ada sesuatu yang amat menarik di sana. Saya ingin memperlihatkannya kepadamu. Mari, ikutilah saya." Pangeran Cheng Lin palsu itu lalu menjalankan kudanya memasuki hutan. Pangeran Cheng Bhok mengerutkan alisnya, agak ragu, akan tetapi terpaksa iapun mengikuti dari belakang karena dia ingin tahu apa yang akan diperlihatkan kakaknya itu. Sementara itu, di istana kerajaan, Pangeran Cheng Boan tergesa-gesa menemui Pangeran Cheng Hwa. "Wah, celaka, pangeran! Kita harus cepat mengambil tindakan. Bahaya besar mengancam Pangeran Cheng Lin dan pangeran Cheng Bhok!" katanya dengan muka pucat dan tampak gelisah sekali. "Ada apakah, paman" Apa yang terjadi?" tanya Pangeran Cheng Hwa dengan sikapnya yang tenang. "Saya melihat tadi kedua orang pangeran itu membalapkan kuda mereka keluar pintu gerbang selatan dan ketika saya tanyakan kepada penjaga istana, saya mendapat keterangan bahwa kedua orang pangeran itu hendak berlumba menunggang kuda di luar pintu gerbang!" "Paman, apa salahnya dengan itu" Mereka sudah biasa berlumba balap kuda seperti itu. Apa yang perlu dikhawatirkan?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambi tersenyum. "Aduh celaka! Kenapa anda tidak melihat bahaya besar yang mengancam". Dahulu tidak dapat disamakan dengan sekarang! Bukankah sekarang ada penjahat Han Lin yang berkeliaran di luar kota raja" Ada penyelidik saya baru saja memberi kabar kepada saya bahwa penjahat ini mengumpulkan kawan-kawannya di hutan sebelah selatan kota raja. Tentu ia bermaksud jahat. Bagaimana kalau penjahat itu dan kawan-kawannya menghadang kedua orang pangeran itu" Kita harus cepat mengejar ke sana dan melindungi mereka! Cepatlah, pangeran!" Biarpun dalam hatinya dia meragukan bahwa Han Lin adalah seorang jahat, akan tetapi ucapan Pangeran Cheng Boan dan sikapnya yang ketakutan itu mempengaruhi Pangeran Cheng Hwa. Cepat dia memanggil kepala pengawal dan memerintahkan dia mempersiapkan sepasukan pengawal sebanyak dua losin orang. Kemudian dia sendiri bersama Cheng Boan ikut dalam pasukan ini dan mereka membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Debu mengepul tinggi mengiringi derap kaki dua puluh tujuh ekor kuda itu, membuat keremangan senja menjadi tambah gelap lagi. Sementara itu, Pangeran Cheng Lin palsu turun dari atas punggung kudanya sambil berkata, "Adinda Pangeran Cheng Bhok, turunlah. Kita tinggalkan kuda di sini dan harus berjalan kaki." Pangeran Cheng Bhok menurut, ia lompat turun dan bertanya, "Akan tetapi ke mana kita hendak pergi dan apa yang hendak kakanda perlihatkan kepada ku?" Pada saat itu, tangan Ki Seng bergerak cepat dan dia sudah menotok pundak Pangeran Cheng Bhok. Pangeran itu seketika terkulai lemas dan roboh. "Kakanda Cheng Lin....." Akan tetapi kembali Ki Seng menotok dan pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara atau bergerak lagi, hanya matanya yang terbelalak memandang kepergian kakaknya, penuh rasa kaget, heran dan takut. Ki Seng lalu menuntun kedua ekor kuda dan menambatkan mereka di batang pohon tepi jalan. Kemudian dia kembali mendekati tubuh Pangeran Cheng Bhok yang masih rebah telentang. Dia tidak memperdulikan pandang mata Pangeran Cheng Bhok yang ditujukan kepadanya dan hanya berdiri mendengarkan. Tak lama kemudian pendengarannya yang tajam dapat menangkap derap kaki banyak kuda. Setelah banyak kuda itu terdengar berhenti di pinggir hutan, agaknya telah menemukan dua ekor kuda yang ditambatkannya tadi, Ki Seng cepat memanggul tubuh Pangeran Cheng Bhok dan dibawanya berlari memasuki hutan. Setelah dalam keremangan senja dia melihat sebuah pondok di kejauhan, dia lalu melempar tubuh Pangeran Cheng Bhok ke atas tanah. Ki Seng mencabut pedang yang tadi diselipkan di bawah jubahnya, sebatang pedang telanjang yang berwarna dua, yang sebelah berwarna hitam dan yang sebelah lagi berwarna putih! Pangeran Cheng Bhok yang jatuhnya terlentang itu melihat Ki Seng mencabut pedang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya yang terbelalak membayangkan ketakutan, bahkan ada air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, sinar matanya seperti memohon-mohon agar dirinya jangan dibunuh. Akan tetapi sambil tersenyum sinis Ki Seng menggerakkan pedang itu, ditusukkan ke dada Pangeran Cheng Bhok. "Blesss....!" Pedang itu menusuk sampai tembus dan Pangeran Cheng Bhok hanya terbelalak. Dia tewas dengan mata terbelalak, tewas seketika karena pedang itu menembus jantungnya. Ki Seng membiarkan pedang itu menancap di dada pangeran Cheng Bhok. Dia memperhatikan dan pendengarannya menangkap suara gaduh banyak orang mendatangi tempat itu. Dia tersenym puas dan dicabutnya sebatang pedang lain, pedangnya sendiri dan dengan pedang itu dia melukai pundak kiri dan paha kanannya. Baju dan celananya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya, akan tetapi yang mengeluarkan darah cukup banyak sehingga baju dan celana itu berlepotan darah. Ketika Pangeran Cheng Hwa dan pangeran Cheng Boan bersama perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal tiba di situ, mereka melihat Pangeran Cheng Bhok rebah telentang dan tewas dengan sebatang pedang masih menancap di dadanya, sedangkan Pangeran Cheng Lin mendekam dalam keadaan terluka dan pakaiannya berlepotan darah. "Adinda Cheng Lin! Apa yang terjadi?" Pangeran Cheng Hwa berjongkok dekat Ki Seng. Ki Seng mengeluh kesakitan. "Kami diserang..... saya melawan akan tetapi terluka dan Cheng Bhok..... dia terbunuh...." "Siapa yang melakukan ini?" Pangeran Cheng Boan yang turut berjongkok berkata marah. ".....dia..... Han Lin dan dua orang wanita.... mereka lari meninggalkan saya ketika mendengar orang banyak datang.... mereka lari ke pondok itu....." Ki Seng menuding ke arah pondok yang tampak dari situ. "Cepat, kejar dan serbu pondok itu!" pangeran Cheng Boan berseru dan memimpin sendiri pasukan pengawal yang berlarilarian menuju pondok. "Mari kita bantu.... kakanda Pangeran Cheng Hwa.... penjahat-penjahat itu lihai sekali...." Ki Seng berkata kemudian bangkit dan terpincang-pincang dia bersama Cheng Hwa menuju ke pondok itu. Sementara itu, di dalam pondok diterangi dua batang lilin menyala, mereka bertiga duduk bersila menghimpun tenaga. Han Lin duduk di atas dipan di sudut sedangkan Kiok Hwa dan Sian Eng berdua duduk di atas sebuah dipan lain. kesehatan mereka sudah pulih berkat pengobatan Kiok Hwa, bahkan tenaga mereka juga sudah kuat kembali. Mereka bertiga terkejut mendengar suara ribut ribut di luar pondok. Suara banyak sekali orang yang mengepung pondok. Kini bahkan hanya dua puluh delapan orang termasuk Ki Seng yang mengepung pondok melainkan ditambah lagi dua puluh orang perajurit yang dipimpin Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li. Tentu saja semua ini sudah diatur dan direncanakan oleh Pangeran Cheng Boan komplotannya! Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa membuka pintu pondok dan keluar. Ternyata di depan pintu telah berdiri Pangeran Cheng Boan, Pangeran Cheng Hwa, dan Ki Seng yang pakaiannya berlepotan darah, dan pondok itu telah dikepung puluhan orang perajurit. "Mereka inilah pembunuhnya!" teriak Ki Seng sambil menudingkan telunjuknya kepada tiga orang yang terkejut dan terheran itu. "Engkau keparat busuk! Ini fitnah keji" bentak Sian Eng dengan marah dan gadis ini sudah siap untuk menerjang. Akan tetapi Han Lin memegang lengannya dan memandang kepada Pangeran Cheng Hwa. "Pangeran, apakah artinya ini?" tanyanya. Pangeran Cheng Hwa memandang ragu. Akan tetapi buktinya telah cukup. Pangeran Cheng Bhok tewas dan Pangeran Cheng Lin luka-luka. "Han Lin, perbuatan kalian bertiga sudah terbukti. Kalian telah membunuh pangeran Cheng Bhok dan melukai Pangeran Cheng Lin. Karena itu, menyerahlah saja untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Sri Baginda Kaisar." "Membunuh" Tidak, pangeran, kami sama sekali tidak membunuh orang." kata Han Lin. "Engkau masih berani menyangkal?" bentak Pangeran Cheng Boan yang mengangkat sebatang pedang yang berlepotan darah. "Coba lihat, pedang siapa ini?" "Im-yang-kiam.....! Itu pedang saya" kata Han Lin yang mengenal pedang itu. "Nah, mau menyangkal apa lagi" pangeran Cheng Hwa, pedang inilah tadi yang menancap di dada Pangeran Cheng Bhok. Pedang ini saya cabut untuk dijadikan bukti." "Han Lin, tidak perlu menyangkal lagi. Menyerahlah untuk kami tangkap!" suara Pangeran Cheng Hwa terdengar tegas dan sepasang alisnya berkerut. Bukti pedang yang diakui sebagai milik Han Lin ini membuat dia percaya bahwa pembunuhnya memang Han Lin. "Lin-ko, kita lawan dan kita meloloskan diri!" kata Sian Eng dan ia sudah mencabut Ceng-liong-kiam yang benpendar hijau, siap untuk mengamuk. Akan tetapi kembali Han Lin memegang lengan gadis itu. Dia berpikir bahwa kalau dia melawan, hal itu bahkan menambah kuat-dugaan bahwa dia yang melakukan pembunuhan. Dan dia tentu akan menjadi musuh kerajaan, menjadi pelarian dan orang buruan. Apalagi dia melihat Ki Seng, yang biarpun berlepotan darah namun dia yakin semua itu hanya sandiwara dan manusia berwatak iblis itu tidak apa-apa dan masih lihai sekali. Juga melihat Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li berada pula di situ, berbaur dengan para perajurit. Pihak lawan amat banyak dan terlalu kuat sehingga kalau mereka bertiga melawan, tentu mereka bertiga akan tewas pula. la tidak mau tewas sebagai seorang pemberontak dan penjahat! "Simpan pedangmu, Eng-moi. Kita menyerah saja. Aku yakin bahwa Pangeran Cheng Hwa dan Sri Baginda adalah orang-orang bijaksana dan adil." katanya lembut namun mengandung wibawa sehingga Sian Eng menghela napas dan dengan wajah membayangkan penasaran ia menyarungkan kembali pedangnya. "Tangkap dan belenggu tangan mereka!" Pangeran Cheng Boan memerintah Beberapa orang perajurit yang memang sudah mempersiapkan tali yang kuat segera dan membelenggu tangan tiga orang itu ke belakang. Pangeran Cheng Boan juga merampas pedang dari punggung Sian Eng. Kemudian mereka bertiga digiring keluar hutan dan dibawa ke kota raja. Hanya kehadiran Pangeran Cheng Hwa saja yang melindungi Han Lin, sian Eng, dan Kiok Hwa sehingga mereka bertiga tidak diganggu atau disiksa. Pangeran Mahkota ini melarang mereka menganggu dan setelah tiba di istana dia lalu menyerahkan tiga orang tawanan kepada perwira komandan pasukan pengawal istana agar dimasukkan dalam kamar tahanan dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri. Malam itu juga, Pangeran Cheik Boan, Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Lin menghadap Kaisar untuk melaporkan peristiwa kematian Pangeran Cheng Bhok yang terbunuh itu. Mendengar bahwa kembali ada pangeran yang terbunuh, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sri Baginda Kaisar Cheng Tung marah sekali. "Pangeran Cheng Bhok terbunuh?" teriaknya. "Siapa yangg membunuhnya" Tangkap pembunuh itu. Tangkap!!" "Pembunuhnya tiga orang sudah kami tangkap, Kakanda Kaisar." Pangeran Cheng Boan melapor. "Bagus! Hukum mati penggal kepala mereka besok pagi di lapangan dan suruh rakyat menyaksikannya!" "Ayahanda Yang Mulia, apakah keputusan ayahanda ini tidak terlalu tergesa-gesa" Paduka belum mendengar bagaimana terjadi peristiwa itu." kata Pangeran heng Hwa. "Adinda Cheng Lin dapat menceritakannya." Kaisar Cheng Tung memandang Pangeran Cheng Lin dan baru tampak olehnya betapa pakaian pangeran ini berlepotan darah. "Eh, engkau kenapa, Cheng lin" Terluka?" "Hamba nyaris tewas seperti adinda pangeran Cheng Bhok, ayahanda yang Mulia. Peristiwanya begini. Hamba memberi hadiah seekor kuda kepada adinda Cheng Bhok dan dia mengajak hamba untuk menguji larinya kuda itu. Hamba berdua lalu berlumba di luar pintu gerbang kota raja. Ketika hamba berdua tiba di tepi hutan di sebelah selatan i u, hamba melihat bayangan tiga orang memasuki hutan. Hamba menjadi curiga karena seorang di antara mereka adalah Han Lin yang tempo hari pernah menyerang hamba dalam taman. Hamba dan adinda Cheng Bhok lalu turun dari kuda dan memasuki hutan untuk menyelidiki. Ketika hamba berdua tiba dekat sebuah pondok, tiba-tiba Han Lin dan dua orang gadis muncul dan menyerang hamba berdua, Han Lin itu amat lihai dan dua orang gadis temannya itupun lihai sekali. Hamba mempertahankan diri mati-matian sehingga luka-luka dan adinda Pangeran Cheng Bhok ditusuk dadanya oleh pedang yang dipegang penjahat Han Lin, Padi saat itu, rombongan kakanda Pangeran Cheng Hwa tiba sehingga tiga orang itu melarikan diri ke pondok, meninggalkan jenazah adinda Cheng Bhok yang masih tertusuk pedang dadanya dan hamba yang terluka parah." "Penjahat itu telah membunuh dua orang puteraku. Dia harus dihukum pancung di depan rakyat agar menjadi contoh!" kata lagi Kaisar Cheng Tung dengan nada suara mengandung kedukaan. "Penjahat Han Lin itu sudah mengakui bahwa pedang yang menancap di dada adinda Pangeran Cheng Bhok adalah miliknya, Kakanda Kaisar. Hukuman itu sudah lebih daripada adil!" kata Pangeran Cheng Boan. "Maaf, Ayahanda Yang Mulia. Hamba tetap menganggap keputusan hukuman itu agak tergesa-gesa. Perlu diselidiki dulu apakah benar-benar Han Lin dan dua orang gadis itu yang menjadi pembunuh, hamba khawatir kalau kita salah tangkap dan menghukum mati orang-orang yang tidak berdosa." "Cheng Hwa, Ada bukti pedang itu dan ada saksi dan keterangan adikmu Cheng Lin, dan engkau masih juga belum yakin" Apakah engkau tidak percaya kepada adikmu Cheng Lin?" "Hamba mohon Ayahanda Kaisar sudi memaafkan kakanda Cheng Hwa. Dia membela Han Lin karena teringat bahwa Han Lin pernah menyelamatkannya ketika dia diserang orang jahat di dalam hutan," kata Ki Seng dengan cerdik berlagak membela Pangeran Cheng Hwa. "Kakanda Kaisar, sekarang hamba yakin benar bahwa perbuatannya menolong ananda Pangeran Cheng Hwa dahulu itu memang direncanakan agar dia dapat menyusup ke dalam istana. Tentu pembunuh Pangeran Cheng Sui dahulu itu dia juga atau teman-temannya!" kata Pangeran Cheng Boan. Ucapan Pangeran Cheng Boan termakan betul oleh kaisar sehingga dia menjadi semakin marah. "Adinda Pangeran Cheng Boan. Laksanakan hukum pancung terhadap tiga orang pembunuh itu. Atur agar pelaksanaan hukum itu dilalukan di lapangan depan istana, disaksikan oleh rakyat dan dirikan panggung karena kami sendiri juga akan menyaksikan untuk menghibur arwah kedua orang putera kami!" "Baik, kakanda Kaisar!" jawab Pangeran Cheng Boan dengan lantang karena dalam hatinya dia bersorak gembira. Siasat yang diaturnya bersama Ki Seng ternyata berhasil dengan baik sekali. Bukan saja dapat melenyapkan seorang pangeran lagi, akan tetapi juga dapat membasmi pangeran Cheng Lin aseli berikut Lo sian Eng, gadis yang lihai dan berbahaya itu. Kaisar lalu meninggalkan ruangan dan mereka semua bubaran. Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng meninggalkan ruangan itu dengan hati gembira sekali. Akan tapi walaupun tidak memperlihatkan pada wajahnya, dalam hatinya Pangeran Cheng Hwa masih merasa ragu. Dia masih sukar untuk dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Han Lin itu dapat melakukan perbuatan yang demikian jahat, juga dua orang teman Han Lin itu tidak pantas menjadi penjahat. Gadis cantik berpakaian merah muda itu demikian gagah sikapnya, seperti seorang pendekar wanita, sedangkan gadis berpakaian serba putih yang amat jelita itu sikapnya demikian lembut dan halus seperti seorang dewi! Bagaimana mungkin tiga orang itu menjadi sebuah komplotan pembunuh. Tapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Bukti pedang dan saksi Pangeran Cheng Lin sudah begitu kuat dan keputusan hukuman dijatuhkan Kaisar. Semalaman Pangeran Cheng Hwa tidur dengan gelisah. Bayangan wajah tiga orang terhukum itu selalu tampak dalam benaknya. Pagi-pagi sekali pengumuman itu tersiar luas sehingga diketahui semua penduduk kota raja, bahkan terbawa sampai ke luar kota raja. Tiga orang penjahat yang telah membunuh Pangeran Cheng Siu dan Pangeran Cheng Bhok tertangkap dan akan dihukum pancung di lapangan depan istana. Semua orang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menonton pelaksanaan hukuman itu. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri akan ikut menyaksikan. Suatu peristiwa yang langka. Maka berbondong-bondong orang berdatangan kelapangan di depan istana. Tentu saja sebagian besar dari mereka adalah laki-laki karena kebanyakan wanita dan kanak-kanak merasa ngeri menyaksikan kepala orang dipenggal! Tepat di depan pintu gerbang istana dibangun sebuah panggung yang akan menjadi tempat duduk Sri Baginda Kaisar dan para pengiringnya. Sejak pagi sekali panggung yang masih kosong itu sudah dijaga sepasukan perajurit pengawal. Dan Di tengah-tengah lapangan itupun dibangun sebuah panggung, yang akan menjadi tempat tiga orang terhukum itu dipenggal kepalanya. Rakyat berduyun-duyun memenuhi lapangan itu. Yang berdiri di belakang juga dapat menonton dengan enak karena panggung tempat pelaksanaan hukuman dan panggung tempat duduk Kaisar itu cukup tinggi sehingga dapat tampak jelas oleh mereka yang berdiri di belakang, mereka yang berhati tabah berdiri mengelilingi panggung tempat pelaksanaan hukuman agar dapat melihat lebih jelas, sedangkan mereka yang berhati tidak tega berdiri menonton di belakang dalam jarak jauh. Terdengar tambur dibunyikan pertama bahwa Sri Baginda Kaisar akan keluar dari istana. Pintu gerbang istana dibuka dan muncul ah rombongan Kaisar. Kaisar dengan wajah yang masih membayangkan kesedihan melangkah dengan tegak dan tenang menuju tangga yang membawanya naik ke panggung. Dia di ringkan empat orang puteranya, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Pangeran Cheng Ki, Pangeran Cheng Tek, dan Pangeran Cheng Lin. Kemudian di belakang para pangeran berjalan para perwira pengawal dengan pasukan pengawal pribadi yang berhenti, dan berdiri berjajar di bagian belakang tempat duduk Kaisar dan para pangeran. Para pejabat tinggi yang sudah hadir terlebih dulu di kursi-kursi yang terletak di bagian bawah panggung, bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat ketika kaisar menaiki panggung. Juga para komandan pasukan penjaga memberi hormat dan para perajurit bersikap hormat dan tegak. Setelah Kaisar Cheng Tung duduk di atas kursi yang disediakan, dia mengangkat tangan kiri ke atas. Ini merupakan tanda bahwa pelaksanaan hukuman boleh dimulai. Terdengar bunyi tambur yang nadanya berbeda dari tadi dan dari dalam pintu gerbang istana muncul ah dua losin perajurit pengawal yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cheng Boan yang bertugas mengatur pelaksanaan hukuman itu, mengiringkan tiga orang yang kedua dengan mereka dibelenggu ke belakang tubuh. Terdengar berdengung seperti ribuan kumbang beterbangan keluar dari sarangnya ketika para penonton menyambut keluarnya tiga orang hukuman itu. Ada yang terheran-heran, ada yang merasa penasaran, ada yang marah, akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa aneh dan kasihan. Tadinya mereka mengira bahwa tiga orang pembunuh itu tentu tiga orang laki-laki yang kelihatan bengis dan menyeramkan. Akan tetapi apa yang mereka lihat" Seorang pemuda yang masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, berpakaian sederhana dan sikapnya halus, wajahnya tampan, sedikitpun tidak membayangi watak kejam atau jahat! Dan dua orang "pembunuh" yang lain itu, Seorang gadis cantik, usianya paling banyak sembilan belas tahun, berpakaian serba merah muda, langkahnya tegak dan gagah, sedikit pun tidak tampak jahat, juga tidak ada tanda-tanda takut padanya, tidak menangis. Dan gadis yang ke dua, yang berpakaian serba putih, cantik jelita sepi bidadari, lembut ayu dan mulutnya selalu dihias senyum manis. Bagaimana mungkin tiga orang muda seperti itu merupakan pembunuhpembunuh yang dikabarkan kejam dan jahat" Tiba-tiba terdengar banyak orang berseru ketika mereka mengenal Kiok Hwa sebagai gadis yang pernah menolong dan mengobati mereka. "PeK i Yok Sian-li.....! PeK i Yok Sian-li.....!!" Terjadi kegaduhan, akan tetapi para penjaga segera mendekati mereka dan mengacungkan tombak, mengancam agar mereka tidak membikin ribut. Orang-orang itu takut dan diam. akan tetapi mereka memandang kepada Kiok Hwa dengan mata terbelalak dan merasa semakin penasaran. Gadis ahli pengobatan itu mana mungkin menjadi pembunuh yang akan dihukum pancung. Han Lin menjadi sedih, bukan soal karena dia menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan oleh ayah kandungnya sendiri, melainkan sedih melihat betapa Sian Eng dan terutama Kiok Hwa juga menjadi korban karena dia. Akan tetapi ketika mengerling ke arah dua orang disayang berjalan di kanan kirinya itu, Dia terheran-heran melihat Sian eng berwajah tenang, sama sekali tidak tampak sedih atau takut, dan terutama kali Kiok Hwa. Gadis ini bahkan tersenyum-senyum, seolah bukan digiring ke arah maut melainkan digiring ke ruang pengantin! "Eng-moi, engkau tidak takut?" bisiknya ke kiri di mana Sian Eng berjalan di sisinya. "Takut" Tidak, aku bahkan merasa beruntung dapat menghadapi maut bersamamu, Lin-ko." "Dan engkau, Hwa-moi?" "Aku merasa bangga dan bahagia dapat mati bersama kalian!" kata gadis itu sambil tersenyum manis dan Han Lin dapat menangkap sinar mata gadis itu yang penuh dengan cinta kasih! "Diam kalian!" bentak suara kasar dan parau di belakang mereka. Yang membentak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang memanggul sebatang golok besar, berat dan mengkilap saking tajamnya. Semua orang memandang kepada algojo ini dan goloknya dengan perasaan ngeri. Bagaimana mereka tega melihat algojo raksasa itu mengayun goloknya memenggal leher tiga orang muda yang tampan dan cantik itu! Tiga orang hukuman itu dengan dikawal algojo raksasa, dengan langkah tebing menghampiri pangung tempat pelaksanaan hukuman dan menaiki tangga. Kini mereka tiba di atas panggung, menghadap Kaisar Cheng Tung yang duduk di kursi dan memandang kepada mereka bertiga. Timbul sedikit keraguan dalam hati Kaisar Cheng Tung melihat tiga orang muda itu. Benarkah mereka ini pembunuh" Pertanyaan ini timbul dalam hati sanubarinya karena melihat pemuda dan dua orang gadis itu, dia menjadi ragu. Akan tetapi bukti dan saksi semua jelas dan diapun sudah menjatuhkan keputusan hukuman mati. Melihat ayah kandungnya duduk di atas kursi di panggung yang agak tertinggi dari panggung di mana dia berada, Han Lin tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada Kaisar Cheng Tung. Sian Eng yang tahu bahwa Han Lin adalah Pangeran Cheng Lin, putera dari kaisar itu, merasa penasaran dan tidak senang kepada kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada puteranya sendiri yang tidak berdosa, maka ia tetap berdiri tegak bahkan memandang ke arah kaisar dengan mata bersinar penuh rasa penasaran. Akan tetapi, Kiok Hwa yang melihat Han Lin berlutut, dengan patuh berlutut pula dan gadis ini menarik tangan Sian Eng sehingga akhirnya, melihat mereka berdua berlutut, Sian Eng juga ikut berlutut. Melihat mereka yang dia jatuhi hukuman mati itu berlutut menghadap padanya, Kaisar Cheng Tung merasa iba dan dia khawatir kalau-kalau dia akan mengubah keputusannya, maka dia cepat mengangkat tangan kanan ke atas sebagai isarat kepada algojo untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat. Sang algojo yang bertubuh raksasa itu mengangkat golok yang besar dan mengkilat itu. Sebagian besar penonton tidak tahan melihatnya. Ada yang membalikkan tubuhnya, ada yang membuang muka, dan ada pula yang memejamkan kedua mata dan menutupi kedua telinganya. Sang algojo mengerahkan tenaganya dan siap mengayun golok yang sudah berada di atas kepalanya itu ke bawah, ke arah leher Han Lin. "Omitohud.....Tahan......!!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan kuning dan tahutahu di atas panggung tempat pelaksanaan hukuman itu telah berdiri seorang hwesio berusia hampir tujuh puluh tahun. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu. Melihat ini, algojo itu lalu mengayunkan goloknya, bukan kepada leher Han Lin, melainkan ke arah kepala hwesio itu. Algojo ini telah menerima uang sogokan dari Pangeran Cheng Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Boan dan dipesan agar melaksanakan hukuman itu dengan baik dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk menghalangi pelaksanaan hukuman. Akan tetapi hwesio tua itu menggerakkan tangan kirinya. Serangan itu tertahan di udara seolah tubuh algojo itu berubah menjadi arca, kemudian sekali hwesio itu mendorongkan tangannya, tubuh algojo yang tinggi besar itu terjengkang dan terjatuh ke bawah panggung. Dia jatuh seperti sebongkah batu dan diam diatas tanah karena tidak mampu bergerak lagi. Algojo itu telah terkena totokan It-yang ci yang amat dahsyat. Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan terbelalak melihat kejadian itu. Para perwira pasukan pengawal sudah siap untuk mengerahkan pasukan mereka untuk mengepung dan menyerbu hwesio yang mereka anggap membikin kacau itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang pejabat tinggi yang sudah tua melangkah maju mendekati panggung di mana hwesio itu berdiri, lalu ketiganya menjatuhkan diri berlutut. "Hamba menghaturkan hormat kepada Yang Mulia Sri Baginda Kaisar Hui Ti!" seru mereka bertiga dengan suara lantang sehingga mengejutkan semua orang. Orang-orang yang usianya lima puluhan tahun ke atas dapat mengenal hwesio itu setelah tiga orang pejabat tinggi itu memberi hormat. Kiranya hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti yang pada empat puluh tahun yang lalu terpaksa melarikan diri karena istananya diserbu oleh pasukan Pangeran Yen, pamannya sendiri yang memberontak. Selama empat puluh tahun Kaisar Hui Ti disangka orang sudah mati, akan tetapi tidak pernah ditemukan jenazahnya. Karena selama empat puluh tahun tidak pernah muncul, dia dianggap sudah hilang. Maka, kemunculannya sebagai seorang hwesio tentu saja amat mengejutkan. Kaisar Cheng Tung juga menjadi amat terkejut ketika mendengar bahwa hwesio tua itu adalah bekas Kaisar Hui Ti. Peristiwa terbuang dan larinya Kaisar Hu Ti dari istana terjadi ketika dia masih kecil, akan tetapi sejak kecil dia sudah mendengar cerita keluarga tentang Kaisar Hui Ti itu. Ketika itu. Kaisar Hui ti yang baru berusia delapan belas tahun, diserbu oleh pamannya sendiri. Pangeran Yen yang membawa pasukan dari Peking menyerbu istana Kaisar Hui Ti di Nan king. Setelah Kaisar Hui Ti melarikan diri. Pangeran Yen menjadi kaisar baru yang berjuluk Kaisar Yung Lo. Ketika Kaisar Yung Lo meninggal dunia dalam tahun 1425, penggantinya adalah puteranya Kaisar Hung Hsi. Akan tetapi kaisar ini sudah berpenyakitan dan meninggal dunia dalam tahun itu juga. Tahta kerajaan lalu diwariskan kepada cucu mendiang Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Hsuan Tek yang menjadi kaisar hanya selama sebelas tahun. Kaisar Hsuan Tek adalah ayah Kaisar Cheng Tung. Ketika ayahanda meninggal dunia, Kaisar Cheng Tung memegang tahta dalam usia delapan tahun. Kalau di ngat bahwa mendiang Kaisar Yung Lo adalah kakek buyutnya, dan Kaisar Hui Ti adalah keponakan Kaisar Yung Lo, maka Kaisar Hui Ti masih terhitung paman kakeknya. Kaisar Cheng Tung adalah seorang Ahli sastra, seorang yang memegang peraturan dan kebudayaan, seorang yang bijaksana. Biarpun Kaisar Hui Ti adalah orang pelarian, akan tetapi sekarang telah menjadi hwesio dan sudah tua, maka diapun lalu turun dari kursinya, berdiri menghadap ke arah hwesio itu dan merangkap kedua tangan depan dada lalu memungkuk dengan hormat, "Saya Cheng Tung memberi hormat kepada paman kakek Hui Ti!" Suaranya lembut namun lantang dan mendengar ini, semua pejabat yang hadir di situ lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Hwesio itu dan memberi hormat. "Omitohud....! Sribaginda Kaisar Cheng Tung yang bijaksana dan semua pembesar kerajaan. Harap jangan memberi penghormatan secara berlebihan. Pinceng (aku) bukan lagi Kaisar Hui Ti, melainkan seorang hwesio tua pengembara bernama Cheng Hian Hwesio." "Paman Kakek yang budiman, petunjuk apakah yang hendak kakek berikan kepada kami" Mengapa kakek menghalangi pelaksanaan hukuman terhadap orang-orang yang membunuh dua orang putera kami?" "Omitohud! Sri Baginda Kaisar, pinceng tahu bahwa paduka adalah seorang yang amat bijaksana dan baik hati, yang kadang dapat mendatangkan kelemahan ini hingga paduka mudah diperdaya orang jahat. Ketahuilah bahwa pemuda yang memakai nama Han Lin ini adalah murid yang amat baik. Pinceng berani menjamin, berani menanggung bahwa dia tidak mungkin membunuh kedua orang pangeran putera paduka itu." "Akan tetapi, paman kakek yang budiman, ketahuilah bahwa ada bukti dan saksi dalam tuduhan itu dan sudah terbukti bahwa Han Lin ini yang membunuh pangeran Cheng Bhok. Tanpa bukti dan saksi, tidak mungkin kami mau menjatuhkan hukuman dengan semena-mena terhadap orang yang tidak berdosa." kata Kaisar Cheng Tung. "Bukti dan saksi itu bohong semua!" kata Sian Eng dan begitu ia mengerahkan tenaga sin-kang, tali yang membelenggu kedua tangannya sudah putus dan kedua tangannya itu kini bebas. Ia lalu membebaskan pula belenggu kedua tangan Kiok Hwa dan melihat suhunya di situ, Han Lin juga membebaskan kedua tangannya yang terbelenggu. Para perwira yang memimpin pasukan pengawal adalah orang-orang yang sudah tepengaruhi Pangeran Cheng Boan, maka ketika Pangeran Cheng Boan berseru, "Tangkap mereka!" para perwira itu meemberi isarat kepada anak buahnya untuk bergerak. "Semua diam dan tidak boleh bergerak!" tiba-tiba Kaisar Cheng Tung membentak dan semua pengawal itu tentu saja tidak berani bergerak. Bagaimanapun juaga, mereka tentu saja lebih tunduk kepada Kaisar Cheng Tung daripada kepada pangeran Cheng Boan. "Nona, katakan mengapa engkau bilang bahwa bukti dan saksi itu bohong semua." "Yang Mulia, lo-cian-pwe ini benar kalau mengatakan bahwa paduka terlalu lemah sehingga mudah diperdaya orang. Paduka tidak tahu bahwa ada komplotan besar yang bergerak di belakang paduka yang merencanakan semua pembunuhan atas diri para pangeran itu. Paduka tidak tahu bahwa Pangeran Cheng Lin yang berdiri di belakang paduka itu adalah seorang manusia berhati iblis yang menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin, dan bahwa Pangeran Cheng Lin yang aseli bukan lain adalah saudara Han Lin inilah" Tentu saja ucapan yang lantang sekali ini seperti menyambarnya halilintar dalam cuaca terang. Semua orang terkejut dan pada saat itu, sesosok bayangan meluncur dari atas panggung Kaisar dan melayang ke atas panggung di mana Sian Eng berdiri. "Bohong! Fitnah! Perempuan busuk engkau patut mati!" Ki Seng sudah menerjang bagaikan seekor burung elang menyambar, kedua tangannya sudah memukul dan mendorong dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sian Eng. Han Lin melihat serangan yang amat berbahaya itu. Diapun melompat ke depan Sian Eng menyambut serangan itu dengan kedua telapak tangannya pula. "Blaarrr.....!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat dan kuat itu saling bertumbukan dan akibatnya, tubuh Ki Seng terpental keluar panggung dan tubuh Han Lin juga terdorong mundur. Dua orang pemuda itu sudah siap lagi untuk saling serang, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Kaisar Cheng Tung. "Semua berhenti! Yang berani bergerak menyerang berarti menentang perintah kami dan akan dihukum berat!" Mendengar perintah ini, Ki Seng tidak berani bergerak, akan tetapi dia menoleh ke arah panggung tempat kaisar berada dan dia berseru dengan lantang. "Akan tetapi, ayahanda Kaisar yang mulia! Mereka ini berani melempar fitnah dan menghina hamba, berarti mereka berani menghina paduka pula!" "Diamlah dulu, Pangeran Cheng Lin. kami akan menyelidiki semua ini dan kalau mereka bersalah, pasti kami jatuhi hukuman. Tidak perduli siapa, kalau dia bersalah pasti tidak akan terlepas dari hukuman. Sekarang kami perintahkan engkau Cheng Lin dan juga semua pangeran, dan kalian bertiga yang didakwa sebagai pembunuh, agar menghadap kami dalam persidangan. Paman Kakek Cheng Hian Hwesio juga kami persilakan hadir dalam persidangan, demikian pula semua menteri agar hadir dan ikut menyaksikan!" Setelah berkata demikian, Kaisar Cheng Tung membungkuk terhadap Cheng Hian Hwesio dan meninggalkan panggung kembali ke dalam istana. Dapat dibayangkan betapa panik rasa hati Pangeran Cheng Boan melihat betapa keadaan menjadi berbalik dan mengancam dirinya. Akan tetapi, hadirnya Cheng Hian Hwesio bekas kaisar Hui Ti sungguh membuat dia tidak mampu berkutik. Diapun tidak berani mengerahkan para pembantunya untuk menyerang Han Lin dan dua orang gadis itu. Han Lin saja sudah demikian lihainya, apalagi Cheng Hian Hwesio yang menjadi gurunya. Juga para pejabat tinggi kini menggiringkan Cheng Hian Hwesio dan tiga orang muda itu. Dia tidak berdaya, tidak berani bergerak dan terpaksa mengikuti mereka masuk ke istana, menuju ke ruangan persidangan di mana Kaisar Cheng Tung sudah duduk dijaga ketat oleh para perwira pengawal yang berdiri di belakang tempat duduk kaisar. Mereka semua menghadap Kaisar. Dalam ruangan persidangan ini, para penghadap tidak berlutut seperti biasa, melainkan disediakan kursi-kursi untuk mereka, di bagian yang lebih rendah daripada tempat duduk kaisar. Kaisar Cheng Tung nenghendaki demikian karena terasa tidak enak dan tidak leluasa baginya kalau harus bersidang dengan orangorang yang berlutut. Hui Sian Hwesio mendapatkan kursi kehormatan di sebelah kiri kaisar Cheng Tung yang menghormatinya sebagai sesepuh. Para menteri duduk di kiri kanan. Empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Lin palsu duduk menghadap di depan kaisar. Tak jauh dari situ, menghadap Kaisar pula, Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa berlutut di atas lantai. Sebagai pesakitan tentu saja mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan berlutut. Suasana dalam ruang-persidangan itu hening dan angker, dengan penjagaan yang ketat sehingga Sian Eng yang biasanya rewel itupun tidak banyak ulah, melainkan menurut saja ketika disuruh berlutut di sebelah kiri Han Lin, sedangkan Kiok Hwa berlutut di sebelah kanan pemuda itu. Suasana hening itu membuat suara Kaisar Cheng Tung terdengar lantang dan jelas ketika dia berkata sambil memandang Cheng Hian Hwesio yang duduk di sebelah kirinya. "Paman Kakek Cheng Hian Hwesio, kami harap kakek suka lebih dulu menceritakan tentang diri Han Lin sebagai murid paman kakek." "Omitohud, pinceng hanya dapat menegaskan bahwa murid pinceng Han Lin adalah seorang pemuda yang baik dan pinceng berani menanggung bahwa dia tidak mungkin melakukan pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun yang mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin juga pinceng kenal dengan baik. karena dia dahulu menjadi murid pinceng dengan nama A-seng. Pinceng telah melatih A-seng selama bertahun-tahun, akan tapi ternyata kemudian bahwa dia adalah seorang yang berwatak jahat sekali, dia bahkan pernah berusaha untuk membunuh pinceng, dan dia telah membunuh dua orang pengikut pinceng. Karena itu, pinceng harap paduka agar berhati-hati dengan orang muda yang sesat itu." kata Theng Hian Hwesio sambil memandang ada Ki Seng. "Ayahanda Kaisar, hwesio tua ini sejak dulu pilih kasih, tidak heran kalau dia kini membela Han Lin dan melemparkan fitnah kepada hamba." kata Ki Seng, mengambil keputusan untuk menyangkal semua tuduhan dan membela diri sekuatnya. "Diamlah, Cheng Lin dan jangan bicara kalau tidak ditanya. Ini merupakan persidangan dan harus dipatuhi oleh siapapun juga." Kaisar Cheng Tung menegur. "Sekarang giliranmu, nona. Siapa namamu?" Kaisar memandang kepada Sian Eng dan gadis ini mengangkat muka dan menatap wajah kaisar dengan berani. Kaisar Cheng Tung tertegun. Jarang ada wanita muda berani menentang pandang matanya setabah itu. "Nama hamba Lo Sian Eng, Sribaginda yang mulia." jawab Sian Eng. "Coba jelaskan apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa ada komplotan yang merencanakan pembunuhan terhadap para pangeran." "Kebetulan sekali hamba tinggal di rumah Pangeran Cheng Pedang Jimat Lanang 1 Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Pendekar Cacad 20

Cari Blog Ini