Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam 4

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 4 sambil memuji-muji. Setelah itu dia lalu memanggil Gajahpuro yang baru pagi tadi memasuki dusun dan bertemu dengan rombongan ayahnya. Klabangkoro mengaku kepada puteranya bahwa dia dan rombongannya pergi meninggalkan Anjasmoro untuk tugas yang akan dibicarakannya dengan puteranya kelak kalau sudah berhasil. "Gajahpuro, sekaranglah saatnya aku memberitahukan kepadamu tugas apa yang sedang kulakukan dan kuharap engkau dapat menyetujuinya dan membantu usaha bapamu." "Urusan apakah itu, ayah?" tanya pemuda itu yang merasa heran melihat sikap ayahnya yang bersungguh-sungguh mengajaknya bercakap-cakap berdua saja dalam ruangan itu. "Begini, sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu dan harus kaujawab dengan sejujurnya. Pertama, apakah engkau mencintai Niken Sasi dan engaku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya?" Wajah pemuda itu berubah kemerahan, akan tetapi dia menjawab tegas, "Bapa tentu tidak khilaf dan telah mengetahui bahwa sejak dahulu saya amat mencintai Niken Sasi dan tentu saja saya akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya. Akan tetapi mengapa bapa menanyakan hal ini?" " Nanti saja penjelasannya. Sekarang pertanyaan kedua : Apakah engkau suka kalau dapat menguasai aji Hasta Bajra yaitu aji yang dikuasai oleh para pimpinan Gagak Seto, kemudian menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Bapa Guru Sudibyo?" Pertanyaan itu hanya mempunyai satu jawaban. Setiap orang murid Gagak seto pasti menginginkannya. "Tentu saja bapa. Saya akan senang sekali kalau dapt mewarisi aji Hasta Bajra dan dapt menjadi ketua Gagak Seto." "Nah, sekarang dengarkan baik-baik, Gajahpuro. Semua keinginanmu itu akan terpenuhi kalau saja engkau suka melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, yaitu membantu siasat yang kami jalankan, kalau engkau menolak, sampai matipun engkau tidak akan mampu memperisteri Niken Sasi dan menjadi ketua Gagak Seto." Tentu saja Gajahpuro ingin sekali menjadi suami Niken Sasi yang amat dicintainya, dan siapa orangnya tidak mau menjadi ketua Gagak Seto" "Katakanlah, bapa. Saya akan melaksanakan apa saja untuk dapat memperisteri Niken dan menjadi ketua Gagak Seto." Bagus! Ini baru putera bapa! Begini, kulup. Niken Sasi adalah seorang gadis yang berhati keras. Sekali ia tidak mau menjadi isterimu,ia akan menolak dan tidak ada yang akan dapat memaksanya untuk dapat menerima pinanganmu." "Agaknya bapa benar," kata Gajahpuro dengan wajah sedih. "Akan tetapi, ia pasti akan menerima pinanganmu kalau kehormatannya sudah ternoda. Untuk mencuci aib itu, ia pasti menerima uluran tanganmu yang akan menikahinya karena hal itu berarti mencuci aib dan noda yang mengotori diri dan namanya." Gajahpuro memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak dan penuh selidik. "Apa.......apa yang bapa maksudkan" Saya tidak mengerti." "Ingat, kalau engkau sudah menjadi suaminya, tentu dengan mudah engkau akan mempelajari aji Hasta Bajar dari isterimu dan engkau kan menjadi ketua Gagak Seto." "ya, akan tetapi apa yang bapa maksudkan dengan mencuci aib yang menodai Niken Sasi?" "Begini, angger. Saat ini Niken Sasi sudah dapat kami tangkap dan ia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun pembius. Nah, ini kesempatan baik bagimu untuk menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu karena ia masih pingsan. Setelah engkau menguasai tubuhnya tentu setelah sadar ia tahu bahwa ia telah bukan gadis lagi, telah ternoda aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Kecuali kalau ada yang suka menikahinya, Dalam keadaan binging dan berduka itu, engaku maju sebagai penolong. Engkau meminangnya dan kaunyatakan kepadanya bahwa engaku tidak perduli apakah ia telah tercemar atau tidak." Perlahan -lahan wajah Gajahpuro menjadi pucat sekali. Kemudian merah, lalu pucat lagi ketika perlahan-lahan bangkit berdiri, memandang ayahnya tanpa berkedip. Suakr sekali suara keluar dari mulutnya dan setelah dia bisa bersuara, terdengar suaranya yang penuh kemarahan dan bercampur isak. "Terkutuk! Terkutuk sekali siasat itu. Tidak, aku tidak sudi melakukannya!" suaranya gemetar dan seluruh tubuhnya menggil. Klabangkoro berkata dingin. "Bocah goblok! Kalau engkau tidak mau, masih banyak orangyang dengan senang akan melakukan perkosaan itu.Kelak engkau tinggal menjadi penolongnya saja mengawininya." "Tidak, aku tidak sudi! Aku akan membongkar semua rahasia busuk itu. Akan kuberitahukan kepada Niken Sasi! Akulah yang akan mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu! Aku yang akan menyelamatkan Niken Sasi!" "Gajahpuro, bocah laknat! Engkau berani melawan ayahmu?" "Kalau perlu ! aku malu menjadi putera ayah!" "Wuuuttt......plak-plak.....!" Gajahpuro terhuyung ketika dua kali dia menangkis tamparan ayahnya. Akan tetapi Klabangkoro mendesak terus sehingga pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga dia terpelanting roboh. Di lain saat dia telah dibelenggu kedua tangannya dan Klabangkoro memanggil anak buahn Bawa anak durhaka ini pulang ke Anjasmoro dan sekap dia dalam tahanan. Awas, jangan sampai dia melepaskan diri. Layani dengan baik akan tetapi jangan sampai terlepas!" Dengan sikap masih angkuh Gajahpuro lalu dibawa keluar dari situ , dan Klabangkoro menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah saking marahnya. Dia merasa bingung sekali menyaksikan sikap puteranya yang menentangnya, bahkan memusuhinya dan hendak menghalangi rencananya. Kekuasaan memang merupakan nafsu yang amat kuat mencengkeram diri manusia. Demi kekuasaan manusia suka lupa diri dan tidak segan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi. Bahkan siap untuk memusuhi siapapun juga, bahkan anak sendiri, demi mencapai kekuasaan yang diidamkan. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah adanya perebutan kekuasaan di antara saudara kandung, di antara ayah dan anak, sampai terjadi perang dan mengorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia! Demikian pula dengan Klabangkoro. Dia melihat kekuasaan sudah di depan mata, sudah berada di ambang pintu. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya,betapa akan mulia dan terhormat, apabila dia dapat menjadi ketua Gagak Seto, kemudiandigantikan oleh puteranya. Maka, melihat sikap puteranya yang menentangnya, dia menjadi marah sekali. Dalam pandangannya saat itu, Gajahpuro kelihatan sebagai seorang anak yangdurhaka, yang mengecewakan,yang tidak tahu diri dan penghalang rencananya. Kalau perlu, mungkin dia akan tega membunuh puteranya itu! *** Dalam keadaan pingsan, Niken Sasi diangkut belasan orang laki-laki itu memasuki sebuah hutan di tepi selatan Sungai Brantas, di sebelah utara Lodaya. Ternyata di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah besar dari kayu dan bambu yang dijadikan tempat markas sementara oleh kelompok Jambuka Sakti yang bekerja sama dengan anak buah Gagak Seto di bawah pimpinan Klabangkoro. Karena sebelumnya Klabangkoro sudah memesan dengan keras, maka tidak ada anak buah Jambuka Sakti yang berani menggangu Niken Sasi. Gadis itu dibawa ke dalam sebuah kamar, dibelenggu kaki tangannya, lalu pintunya ditutup dan penjagaan ketat dilakukan anak buah Jambuka Sakti sambil menanti datangnya Klabangkoro yang akan mengambil keputusan apa yang harus dillakukan dengan gadis tawanan itu. Senja itu sunyai sekali di dalam hutan di lembah sungai Brantas. Kurang lebih duapuluh orang anak buah Jambuka Sakti berkeliaran di luar rumah. Ada yang membuat api unggun untuk mengusir nyamuk, ada yang menjerang air, bahkan ada yang menanak nasi untuk makan malam. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihat sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya. Saking cepatnya bayangan itu berkelebat,andaikata ada yang kebetulan melihatnya tentu akan mengira bahwa itu adalah bayangan seekor bintang hutan, atau bayangan kera yang banyak terdapat di sekeliling hutan itu. Aakn tetapi sebetulnya yang berkelebtan itu adalah bayangan seorang manusia, seorang pemuda tampan. Biarpun pakaian pemuda itu seperti pakaian pemuda dusun biasa, namun jelas di abukan pemuda sembarangan. Wajahnya anggun dan tampan, matanya mencorong dalam kegelapan senja remang, gerakannya trengginas ketika dia menyelinap dari satuke lain btang pohon sambail mengintai keadaan rumah yang terjaga ketat itu. Sinar apai unggun yang dibuiat para anak buah Jambuka Sakti menyinari wajahnya dan ternyata dia adalah pemuda yang pernah dijumpai Niken siang tadi di warung nasi. Pemuda pendiam yang sikapnya acuh itu. Dia mendekamdi balik rumpun semak dan matanya mengerling ke kanan kiri mempelajari keadaan. Dia tahu bahwa kalau dia muncul begitu saja, dia akan berhadapan dengan puluhan orang yang mengepungnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi dalam keadaan terkepung begitu, bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan gadis yang tertawan itu" Gadis yang pemberani, akan tetapi sembrono,pikirnya. Mudah percaya kepada orang. Jelas buklan gadis yang berpengalaman, walaupun dia tadi dia melihat betapa gadis itu sekali sambit menjatuhkan sebuah dawegan hijau. Agaknya seorang gadis yang memiliki sedikit kegagahan sehingga menjadi berani kurang perhitungan! Dia tidak akan begitu sembrono. Akan diperhitungkan dulu baik-baik sebelum dia berusaha untuk membebaskan gadis itu dari tangan para penawannya. Selagi dia mengintai dan memperhatikan, tiba-tiba serombongan orang datang memasuki pagar pekarangan rumah di tengah hutan itu. Mereka adalah Ki Klabangkoro dan belasan anak buahnya, karena para anak buah Jambuka Sakti sudah mengenal Ki Klabangkoro maka mereka menyambut dan Klabangkoro lalu memasuki rumah itu. Para ank buahnya menanti di luar, terpencar. "Sekaranglah saatnya!" pemuda yang tadi mengintai berpikir. "Atau aku mungkin terlambat!" Dengan cepat ia merangkak di bagian belakang rumah besar itu, cepat pula mengambil sebuah obor yang bernyala di bagian belakang. Ketiak ada beberapa anak buah Jambuka Sakti melangkah datang pemuda itu memegang obor dengan santai saja dan karena pada waktu itu terdapat pula rombongan tamu anak buah Gagak Seto, maka orang-orang Jambuka Sakti mengira bahwa pemuda itupun anak buah tamu. "Andika anak buah Gagak Seto?" tanya seorang anak buah Jambuka Sakti yang menghampiri bersama seorang taman lain. "Benar sekali ,kawan." kata pemuda itu. "Kami harus menjaga keamanan di luar selagi pimpinan kami berada di dalam." "Ha-ha-ha, jangan khawatir, kawan. Siapa orangnya berani datang mengacau tempat tinggal kami?" dua orang itu tertawa-tawa sehingga mereka menjadi lengah. Dalam detik selagi mereka tertawa itu, pemuda yang memgang obor dengan tangan kirinya itu cepat menyerang dengan pukulan tangan miring. Dua kali tangan kanannya menyambar, tepat mengenai leher dua orang itu yang segera roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Setelah merobohkan dua orang itu, pemuda tadi cepat menyelinap mendekati rumah lalu menggunakan obor membakar nagian belakang rumah itu. Sebentar saja api berkobar besar dan pemuda itu lalu berteriak-teriak. "Kebakaran.......! kebakaran.....! Tolong.......!!" Dan dia lalu menyelinap memasuki rumah itu! Sebentar saja keadaan menjadi geger. Orang-orang berteriak-teriak dan berusaha memadamkan api yang berkobar melahap bagian belakang rumah di mana disimpan rumput kering makanan kuda sehingga api berkobar dengan cepat. Ki Klabangkoro sedang berada di dalam kamar di mana Niken Sasi rebah telentang dan terbelenggu kaki tangannya. Tokoh Gagak Seto ini masih marah karena penolakan puteranya dan dia mengambil keputusan untuk menggagahi sendiri gadis itu. Kalu dia sendiri yang menggagahi, kelak tidak mengapalah kalau gadis itu menjadi isteri puteranya! Dia memasuki kamar itu dengan mengenakan topeng yang menutupi seluruh muka kecuali sepasang matanya. Niken Sasi sudah siuman dari pingsannya. Tubuhnya masih merasa lamah akan tetapi ia telah sadar sepenuhnya. Begitu sadar dan ingat akan segalanya, tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya besar. Ia telah terjebak. Bukan oleh Jinten yang juga ia lihat pingsan karena makanan beracun. Entah apa yang terjadi dengan Jinten. Akan tetapi ia sendiri jelas tidak berada di rumah Jinten, entah di rumah siapa. Ia berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya, akan tetapi ikatan itu kuat sekali dan tuibuhnya masih lemah.Ketika mendengar gerakan orang memasuki kamarny, ia cepat menengok dan terkejut meliaht seorang laki-laki bertubuh tinggi besar memakai sebuah kedok menghampirinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, akan tetapi usahanya sia-sisa belaka. "Siapa engkau" Mau apa engkau menjebak dan menawanku?" Niken Sasi membentak. Orang ini tentu tidak ingin dikenal mukanya maka mengenakan topeng pikirnya dan ia memancing agar orang itu membuka mulut karena dari suaranya mungkin ia mengenal orang itu. Akan tetapi orang itu tidak menjawab, bahkan duduk di tepi pembaringan dan tangan kirinya mulai membelai leher Niken yang putih mulus itu. Tentu saja Niken membelalakkan matanya dan dengan muka merah karena marah ia memaki-maki. "Anjing babi hina dina! Kalau engkau memang jantan, lepaskan aku dan kita bertanding sampai seorang menggeletak tak bernyawa! Pengecut keji kau kucincng tubuhmu kalau aku bebas!" Akan tetapi laki-laki itu agaknya tidak peduli. Pandang matanya dingin saja dan inilah yang membuat jantung Niken berdebar-debar penuh ketegangan. Orang ini akan berbuat sesuka hatinya dengan darah dingin! "Kebakaran.........!!" Tiba-tiba terdengar teriakan ini yang disusul keteriakan kebakaran dari banyak mulut dan terdengar orang-orang berlari-lari. Mendengar ini, Ki Klabangkoro tentu saja menjadi kaget dan diapun melompat keluar dari kamar itu untuk melihat sendiri apa yang sedang terjadi. Baru saja Klabangkoro keluar, pemuda itu sudah menyelinap masuk dan cepat dia memondong tubuh Niken Sasi yang masih terbelenggu kaki tangannya. Melihat pemuda itu dari sinar api penerangan dalam kamar, Niken Sasi mengenalnya sebagai pemuda tadi siang yang dijumpainya dalam warung nasi. Hatinya girang sekali dan ia segera berkata. "Kisanak, cepat bebaskan kaki tanganku dari belenggu ini agar aku dapat membantumu menghadapi jahanam-jahanam laknat itu!" Pemuda itu tidak berpikir lama. Benar juga, pikirnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi kalau dia harus memondong tubuh gadis ini, bagaimana dia akan mampu melakukan bela diri dengan baik" "Baik, akan kubukakan ikatan kaki tanganmu," katanya singkat dan dia segera membuka simpul tali yang mengkat kedua kaki tangan Niken Sasi. Bukan main lega dan girangnya hati gadis itu setelah kaki tangnnya terbebas dari ikatan. Tubuhnya tidak lemas lagi dan agaknya semua sisapengaruh obat bius telah lenyap sehingga ia merasa kuat. Cepat ia mengambil keris pusaka Megantoro yang tadi oleh penawannya dicabut dari ikat pinggangnya dan ditaruh di atas meja. Dengan keris itu terselip di ikat pinggang, ia merasa semakin kuat dan siap untuk menghajar kawanan penjahat itu. Hayo kita hajar mereka! Kata Niken Sasi penuh semangat dan tanpa menanti jawaban ia sudah mendahului melompat keluar dari dalam rumah itu. Dua orang penjaga yang tadinya ikut memadamkan kebakaran dan kini teringat lagi akan tuigasnya menjaga tawanan, berlari-lari menghampiri rumah itu dan mereka hampir bertabrakan dengan Niken Sasi di pintu depan.Melihat gadis itu telah bebas , dua orang ini terbelalak kaget dan segera berteriak-teriak :Tolong.......! Tawanan lolos.......!" Sebelum dua buah mulut yang berteriak itu sempat tertutup kembali, tiba-tiba Niken Sasi bergerak dan dua orang penjaga itu terpelanting, tak mampu mengeluarkan suara lagi. Melihat dua orang reken mereka roboh tak bergerak lagi, banyak anak buah gerombolan itu berlari-lari menghampiri sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata. Setelah melihat gadis tawanan itu terlepas ditemani seorang pemuda tampan, mereka semua dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang membuat kebakaran lalu membebaskan gadis tawanan itu. Sebentar saja, puluhan orang sudah mengepung Niken Sasi dan pemuda itu.Akan tetapi Niken Sasi tidak menjadi khawatir, bahkan kemarahannya berkobar. Ia meloncat ke depan dan menerjang para pengeroyok itu dan dalam segebrakan saja dua oarang telah terpelanting oleh tendangan dan tamparan dara perkasa itu. Gegerlah para aanak buah Jambuka Sakti. Apalagi ketika pemuda tampan itu juga mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang pengeroyok lain. Ramailah teriakan mereka sambil melakukan pengeroyokan. Kibangkoro yang masih mengenakan topeng, juga terkejut melihat Niken Sasi telah terlepas dari ikatan dan kini mengamuk bersama seorang pemuda. Karena dia tidak ingin dikenal Niken Sasi, maka dia tidak melepaskan topengnya dan ikut membantu para anak buah Jambuka Saskti. Diapun ingin membuktikan sendiri kesaktian gadis itu, maka begitu menerjang maju, dia mengerahkan tenaga pada pada kedua tangannya dan menghantam ke arah dada gadis itu dengan tenaga dasyat. Tentu saja dia tidak berani mengeluarkan senjata yang ampuh, yaitu Pecut Dahono karena senjata itu tentu akan dikenal oleh Niken Sasi. Nien Sasi mengenal pukulan ampuh ketika laki-laki bertopeng yang tinggi besar itu menyerangnya. Cepat iapun menggerakkan tangan kanannya, memutar dari kiri ke kanan setengah lingkaran menangkis pukulan ke arah dadanya itu. "Dukkk.........!"Niken Sasi merasa betapa lengannya yang menangkis tergetar Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hebat, akan tetapi penyerangnya juga terhuyung ke samping. Bukan main kagetnya hati Klabangkoro karena tadi dai telah mengerahkan seluruh tenaganya dan ternyata tangkisan itu membuat dia terpelanting dan terhuyung. Dari pertemuan tenaga itu saja terbukti sudah bahwa dalam hal tenaga sakti, dai masih kalah kuat oleh gadis ini! Percayalah dia kini bahwa gadis itu memang benar telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, juga melihat tenaganya, sudah pasti ia telah menguasai Hasta Bajra. Gadis ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau saja dapat dinodai sehingga kelak mau diperisteri Gajahpuro, memang hal yang paling baik dan menguntungkan. Akan tetapi,kalau tetap tidak mau diperisteri puteranya, gadis ini memang sebaiknya dilenyapkan saja, dibunuh. Kalau tidak, tentu akan menjadi penghalang baginya. "Serbuuuu......!Bunuh.........!" Akhirnya dai mengambil keputusan untuk membunuh saja dara yang berbahaya ini. Kalau para anak buah Jambuka Sakti tadinya masih meragu untuk membunuh gadis tawanan itu karena semula mereka dipesan agar jangan menggangu Niken Sasi, kini mendengar teriakan Ki Klabangkoro, cepat mereka memperketat kepungan dan mulai menggunakan senjata tajam untuk menyerang Niken Sasi dan pemuda itu. Niken Sasi tidak menjadi gentar. Kini ia sudah mengcabut Kyai Megantoro dan mengamuk. Juga pemuda di sisinya mengamuk dan pemuda itu mengeluarkan sebuah senjata aneh, sebatang suling bambu kuning! Akan tetapi suling ini ternyata hebat sekali. Sekali saja ujung suling menotok dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, maka orang itu akan terpelanting dan tidak dapat bangun kembali! Betapapun kuatnya Niken dan pemuda penolongnya, mereka berdua kerepotan juga.Bukan saja orang tinggi besar yang bertopeng hitam itu yang amat hebat kepandaiannya, merupakan lawan yag kuat sekali bagi Niken Sasi, akan tetapi juga beberapa jagoan tingkat atas dari Jambuka Sakti telah pula maju membantu. Mereka berdua telah merobohkan belasan orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah dan mereka terkepung ketet dan mulai terdesak. Niken Sasi sama sekali tidak gentar dan hendak mengamuk terus,akan tetapi pemuda itu berseru kepadanya, "Mari kita pergi!" Dan dia menggunakan kesempatan untuk memegang pergelangan tangan kiri Niken lalu mengajaknya lari secepatnya meninggalkan gelanggang pertempuran. Niken Sasi hendak membantah, akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus menariknya dan mengajaknya berlari cepat. Gerombolan itu melakukan pengejaran. Cuaca sudah mulai gelap dan kedua orang yang melarikan diri itu berhasil meninggalkan para pengejarnya dan tak lama kemudian mereka berhenti di tepi sungai yang banyak ditumbuhi rumput ilalang sehingga mereka tersembunyi. Barulah Niken Sasi dapat mengucapkan ketidak senangan hatinya. "Kenapa andika menarik tanganku dan memaksa aku melarikan diri?" Sepasang mata bersinar-sinar dalam keremangan cuaca yang diterangi bulan dan bintang-bintang. Malam itu langit bersih sekali. Sinar bulan tigaperempat sudah muncul di timur, dan dibantu bintang-bintang, sinarnya membuat cuaca menjadi remang-remang dan dingin. "Keadaan lawan terlalu banyak dan terlalu kuat,"jawab pemuda itu. "Aku tidak takut! Bantah Niken Sasi, masih belum hilang kemarahannya. "Menyelamatkan diri dari pengeroyokan banyak lawan bukan berarti takut. Sebaliknya, nekat melawan pengeroyokan banyak orang dan kemudia tewas dan mati konyol adalah perbuatan orang yang bodoh. Andika tentu tidak mau kalau dikatakan bodoh, bukan?" Niken Sasi terdiam, menyadari kebenaran omongan pemuda itu dan ia seperti baru teringat bahwa pemuda ini telah menolongnya, melepaskannya dari belenggu. Kalau tidak datang pemuda ini menolongnya, melakukan pembakaran dan melepaskan ikatannya, entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia bergidik ngeri kalau memenang kembali belaian jari-jari tangan orang bertopeng tinggi besar itu pada lehernya, seolah-olah sepuluh ekor ular yang merayap-rayap di lehernya. "Kenpa engkau menolongku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu diajukan, seperti menodongkan keris di depan dada pemuda itu. Ditanya demikian secara tiba-tiba, pemuda itupun tertegun, akan tetapi pemuda itu tersenyum. "Kenapa,ya?" Kenapa akau menolongmu" Ah, kenapa tidak" Aku melihat seorang ditawan gerombolan lalu aku mebayangi gerombolan itu dan menolongnya. Bukan itu dan menolongnya. Bukankah itu wajar saja" Apa anehnya?" "Hemmm........, eh siapa namamu?" "Namaku" Namaku Joko Kolomurti. Dan engkau siapa?" "Aku Niken." "Niken siapa?" "Niken saja." "Niken Saja" Baiklah, nimas Niken Saja......." "Hushh! Bukan Niken Saja, hanya Niken tanpa tambahan apa-apa!" kata Niken Sasi sambil tersemyum karena merasa lucu. "Ahh, maaf!" Pemuda yang mengaku bernama Joko Kolomurti itupun tertawa. "Boleh aku menyebutmu nimas, Bukan" Nah, sekarang aku bertanya,engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah, nimas?" "Namaku Niken, jangan ditambah nimas segala. Dan akupun akan menyebutmu Joko saja. Aku tidak suka nama lengkapmu itu. Joko, aku datang dari Gunung Ajasmoro dan aku hendak pergi ke pantai Lautan Kidul. Dan engkau sendiri?" "Ah, aku tinggal dipegunungan Kidul, yaitu di Girimanik bersama ayahku dan para pengikut ayahku. Aku baru saja hendak pulang dari perjalanan merantau yang sering kulakukan. Kebetulan sekali jalan kita menuju ke selatan yang sama. Kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah engkau hendak pergi ke pantai Lautan Kidul?" "Tidak ada hubungannya denganmu.maka tidak perlu kuceritakan." kata Niken jujur. Pemuda itu tidak menjadi marah dan bangkit berdiri. "Niken, tidak enak bicara di sini. Tempat ini banyak nyamuk. Mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan. Tak jauh dari sini ada sebuah bukit di mana terdapat banyak goa-goa yang dapat kita tempati untuk melawatkan malam." "Baiklah, " kata Niken yang juga bangkit berdiri. Daerah ini tidak dikenalnya, maka kalau ada petunjuk jalan, tentu amat baik baginya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan, dibawah sinar bulan dan bintang-bintang. "Kalau aku tidak salah sangka, agaknya aku mengetahui apa yang menjadi tujuan perjalananmu ke pantai Lautan Kidul." kata Joko. Api unggun yang kemerahan dan dia tersenyum lebar. "Mudah saja, Niken. Aku adalah orang yang tinggal dekat pantai Laut Selatan, oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu yang penting di daerah ini, tentu aku mendengar dan mengetahuinya. Selama berbulan-bulan ini, berbondong-bondong orang gagah, para pendekar dan para petualang, berkeliaran di sepanjang Pantai Laut Kidul. Tujuan mereka semua sama, yaitu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih yang kabarnya pada waktu ini akan muncul dari pantai Lautan Kidul. Nah, melihat bahwa engkau juga seorang dara pendekar, apa sukarnya menebak apa yang menjadi tujuanmu datang ke daerah ini?" Niken bernapas lega dan duduk kembali. Sejenak mereka saling pandang dari sepasang mata Joko keluar sinar kagum penuh pesona. Ditempa sinar api unggun yang kemerahan,wajah dara itu ampak semakin cantik jelita! Niken juga harus mengakui bahwa pemuda yang duduk di depannya ini adalah seorang yang tampan dan gagah. "Ah, begitukah" Maafkan kalau tadi aku menyangaka engkau memata-matai aku. Kiranya banyak oranga yang mencari Tilam Upih" Joko, dugaanmu memang tepat. Aku memang sedang mencarai keris pusaka itu. Daptkah engkau membantuku dan memberi keterangan di mana aku bisa mendapatkan Tilam Upih?" "Tentu saja aku dapat membantumu, Niken. Akan tetapi ada syaratnya. Aku tidak berani membantumu kecuali kalau engkau memenuhi syarat itu." Niken mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah tampan itu. Kecurigaannya bangkit kembali. "Hemm, apa syaratnya?" "Ketahuilah, Niken. Yang tahu banyak adalah pamanku sendiri. Karena itu, tanpa perkenan ayah, bagimana aku berani membuka rahasia pamanku itu" Nah, kalau engkau mau berkunjung kepada kami, bertemu dengan ayahku, aku akan minta perkenan ayah untuk menceritakan tentang pamanku itu. Dan agaknya tidak sukar bagimu untuk menemukan dan mendapat keris pusaka itu." Bukan main girangnya rasa hati Niken. "Itulah syaratmu" Tentu saja aku siap untuk mengunjungi ayahmu. Kalau hal itu menyangkut rahasia pamanmu, tentu saja syaratmu cukup pantas. Mari kita berangkat ke Girimanik untuk menghadap ayahmu!" Melihat sikap Niken yang begitu bernafsu, Joko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau seperti anak kecil melihat mainan. Niken! Tidak semudah kita pergi ke Girimanik malam hari begini. Perjalanan itu amat berbahaya kalau dilakukan di waktu malam. Besok pagi barulah kita dapat melanjutkan perjalanan. Malam ini kita beristirahat dulu disini. Tempat ini bersih dan cukup menyenangkan, bukan?" Niken terpaksa membenarkan. "Baiklah, aku akan tidur di sudut sini," katanya. Sudut itu memang bersih dan lantainya rata, maka Niken yang sejak melakukan perjalanan sudah terbiasa tidur di mana saja untuk melewatkan malam,lalu merebahkan diri miring .Karena pengalamannya tadi menguras tenaganya, dan sisa pengaruh racun pembius masih terasa sedikit menimbulkan rasa kantuk, sebentar saja ia sudah tidur pulas. Joko memandang sambil tersenyum senang. Setelah menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dinyalakan di mulut goa, diapun merebahkan diri miring menghadapi gadis itu dan tertidur. Niken menggeliat. Tiba-tiba telinganya mendengar lengking suara suling ditiup merdu sekali. Segara ia dapat menangkap tembang yang dimainkan dengan suling itu. Sekar Kiananti! Dan amat indahnya tiupan suling itu. Tembangnya meliuk-liuk bagaikan gelombang Lautan. Ia membuka mata lalu bangkit duduk. Ia mengigil. Hawa ternyata dingin sekali dan api unggun sudah padam. Akan tetapi ada sinar matahari pagi menyentu mulut goa. Sudah pagi! Dan iapun terpesona memandang kepada pemuda yang duduk di atas sebuah batu di depan goa. Joko kiranya yang meniup suling itu. Dan ia teringat betapa pemuda itu kemarin mengamuk dengan senjata sebatang seling!Agaknya senjata itu adalah sebatang suling sungguhan yang dapat ditiup dan dimainkan. Perasaan gembira menyelinap dalam dada Niken Sasi dan dengan sendirinya ia lalu menembang, mengikuti suara suling itu. "Esok-esok kok wis ngidung tembange sekar kinanti......" Pemuda yang masih meniup suling itu menengok dan Niken juga memandang, dan keduanya berhenti menembang dan meniup suling, saling pandang,terpesona. "Wah, tiupan sulingmu indah sekali, Joko......" Niken memuji. "Dan suaramu, bukan main merdu dan indahnya, Niken!" kata Joko pula dengan kagum. Niken melangkah keluar, menghampiro Joko. Melihat wajah pemuda itu segar, agak basah, dan rambutnya juga agak basah, ia berkata sambil tersenyum, "Wah, sepagi ini engkau sudah mandi agaknya. Ah, engkau membuat aku jadi merasa malas dan malu. Di mana ada sumber air?" Joko menudingkan sulingnya ke bawah. "Di sana ada sumber air jernih Niken. Mandilah, aku menatimu di sini, sambil membakar ubi. Engkau suka ubi bakar, bukan?" "Ubi bakar" Enak sekali. Di mana kau dapatkan ubi?" "Di tegal sawah sana. Pemiliknya kalau mengetahui, tentu tidak keberatan merelakan beberapa buah ubinya kepada kita." Kata pemuda itu tersenyum sambil membawa beberapa buah ubi ke dekat api unggun yang masih membara. Niken juga tertawa lal, gadis itu berlari-lari menuruni bukit. Benar saja terdapat sumber air jernih yang mengucur turun dari celah-celah batu. Tanpa curiga lagi karena tempat itu memang sunyi sekali, ia menanggalkan seluruh pakaiannya lalu mandi dengan berjongkok di bawah air mancur. Air menimpa kepala dan tubuhnya, terasa nyaman dan sejuk bukan main, menimbulkan perasaan senang di hati. Tak lama kemudian ia kembali kedepan goa dengan rambut terurai. Rambut itu basah dan agar cepat kering harus dibiarkan terurai. Akan tetapi Joko menyambutnya dengan pujian. " Duh Jagat Dewa Bathara yang Maha Agung! Eangkau mengejutkan aku, Niken. Aku tadi mengira ada bidadari turun dari kahyangan! Begitu cantiknya engkau dengan rambutmu seperti itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang seindah engkau........!" Niken merasa betapa mukanya panas. Ada perasaan malu, akan tetapi juga girang menyelinap dalam hatinya mendengar pujian Joko. Joko sejak kemarin bersikap sopan dan pujiannaypun sopan sehingga tidak membuat ia marah. Berbeda dengan pujian pria lain terhadap dirinya. Pujian yang selalu mengandung nafsu dan kekurangajaran. "Hemm, kiranya selain pandai meniup suling, engkaupun pandai merayu Joko." "Sungguh mati aku tidak merayu, melainkan bicara menurut kenyataannya, Niken." Niken menghampiri sambil tersenyum manis, dan mengebut-ngebutkan rambutnya agar cepat kering. "Sudahlah, sudah matangkah ubinya?" "Sudah siap, dan hemm, alangkah sedap baunya! Mari, Niken, silakan." Mereka lalu makan ubi. Sesungguhnyalah, lezat tidaknya makanan sebagian besar bergantung kepada keadaan perut. Kesehatan badan dan batin. Kalau nadan sehat, perut lapar dan batin senang, maka makanan sederhana sekalipun akan terasa lezat dan nikmat. Dua orang muda yang sarapan ubi bakar dan hanya minum air sumber itu benar-benar menikmati sarapan mereka sapai kenyang. Setelah itu, mereka meninggalkan goa dan melanjutkan perjalanan menuju ke salatan. Mulailah mereka mendaki banyak bukit-bukit di selatan dan setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng sebuah bukit. Bukit ini tidak seperti bukit lainnya yang banyak terdapat di situ, nampak hijau subur. "Itulah Girimanik, tempat tinggal kami, Niken." Kata Joko Kolomurti sambil menuding ke arah puncak bukit yng nampak hijau lebat penuh pohon. Niken merasa gembira karena ia akan mendapatkan keterangan tentang pusaka yang sedang dicarinya. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya ia memperoleh keterangan.Tadinya ia sudah merasa bingung ke mana harus mencari Tilam Upih, kalau saja pusaka itu meninggalkan jejak. Untung baginya bertemu dengan Joko, yang bukan saja menyelamatkan dari tangan gerombolan penjahat,akan tetapi juga akan dapat memberi keterangan tentang keris pusaka Tilam Upih. Setelah tiba di lereng terakhir dekat pucak, tiba-tiba Niken berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalk kedepan. Di kanan kiri jalan yang mereka lalui kini terdapat arca-arca yang berbaris kiri kanan. Yang membuat Niken terheran dan terkejut adalah melihat arca-arca sebesar dua kali ukuran manusia itu menggambarkan wajah-wajah menakutkan, wajah-wajah raksasa dan iblis menyeramkan sekali. "Apa itu........?"Tanya Niken kepada Joko. Pemuda itu tertawa. Ha-ha-ha, jangan katakan kepadaku bahwa seorang gadis perkasa seperti engkau ini takut melihat arca-arca itu, Niken." "Bukan takut, melainkan serem. Arca-araca apakah itu?" "Ah, itu adalah arca-arca para pengawal dan pengikut Ibu Dewi." "Ibu Dewi.......?" Niken tidak mengerti. "Ketahuilah, Niken . Kami di sini adalah pemuja Ibu Dewi. Kebetulan sekali, malam nanti adalah hari purnama sidhi (bulan purnama penuh) dan seperti biasanya setiap bulan purnama, kami mengadakan upacara pujaan kepada Ibu Dewi. Engkau akan menjadi tamu kehormatan kami, Niken. Karena itu, simpan pertanyaanmu, karena malam nanti engkau akan menyaksikan sendiri dan mengerti." Melihat sikap pemuda itu demikian gembira , sinar matanya mencorong dan mulutnya tersenyum,Niken juga tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, aku akan menahan keherananku dan akan melihatnya sendiri malam nanti." "Nah, mari kita menghadap ayahku." Mereka berdua mempercepat langkah mereka. Arca-arca itu masih berjajar, terus menuju ke atas dan makin lama,arca-arca yang berdiri di kanan kiri jalan itu semakin indah ukirannya sehingga bagaikan hidup saja. Dan yang terakhir terdapat selosin arca puteri-puteri cantik jelita berdiri seperti menyambut tamu di depan sebuah bangunan yang megah. Dupa harum menyambut hidung Niken ketika ia tiba di depan pintu gapuro besar depan rumah itu. Di kanan kiri dan belakang rumah megah itu terdapat rumah-rumah lain yang biasa saja, tidak seperti rumah induk yang megah dan indah itu, penuh dengan ukiran-ukiran di atapnya. Di depan pintu gapuro yang tertutup itu tergantung sebuah kentungan dari bambu yang kecil mungil dan diukir indah. Joko mengembil pemukul kentungan itu lalu memukul kentungan tiga kali, perlahan saja. Terdengar bunyi ketukan yang cukup nyaring dan tak lama kemudian pintu gapuro yang besar itupun dibuka orang dari dalam. Dan Niken terbelalak kagum, kiranya di sebelah gapuro itu menunjukkan kehidupan yang sibuk dan nampaklah rumah itu benar-benar megah seperti Iatana saja. Di depan rumah itu berdiri belasan orang wanita yang berusia antara Limabelas sampai duapuluh tahun, cantik-cantik manis seperti arca-arca selosin puteri di depan gapuro. Wajah mereka semua berseri dan semyum mereka sungguh manis ketika mereka mengenal siapa yang mengetuk kentungan. "Ah, kiranya paduka, Raden Joko........" Belasan orang wanita itu menyambutnya dengan gembira dan hormat sekali, bahkan Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengebaikan Niken. Gadis ini tertegun. Raden" Mereka menghormati Joko seolah pemuda itu seorang pangeran saja, atau putera bangsawan tinggi! Agaknya Joko Kolomurti juga menyadari bahwa para dayang atau pelayan itu sama sekali tidak memperhatikan Niken, maka dia berkata lantang. "Tenang kalian semua! Cepat laporkan kepada Kanjeng Romo Wiku bahwa aku pulang bersama seorang tamu terhormat, yaitu nona Niken ini." Kini belasan orang wanita itu memandang kepada Niken, ada yang menyembah kepada Niken, ada yang mengangguk,akan tetapi pandang mata mereka sama, yaitu mengandung hati yang tidak senang. Hal ini terasa sekali oleh Niken, akan tetapi ia tidak peduli. Ia tidak mempunyai urusan dengan mereka , dan melihat sikap Joko, mereka itu hanylah pelayan-pelayan belaka! Setelah belasan orang itu memberi hormat dengan sembah kepada Joko, mereka lalu masuk ke dalam rumah setengah berlari.Langkah mereka kecil-kecil dan ringan, tubuh mereka seperti meluncur saja ke dalam. Hanya bunyi gerakan kain mereka saja yang terdengar karena mereka semua kini membisu dan dengan sikap takut dan hormat. Rumah besar itu nampaknya sunyi dan tenteram setelah para wanita tadi bersikap demikian lincah di depan rumah kini memasuki rumah.Akan tetapi setelah Joko mengajak Niken mendaki anak tangga menuju keserembi depan, ternyata olehnya bahwa rumah ini sama sekali buka sunyi karena tidak ada orangnya. Kini terlihat olehnya bahwa di setiap depan pintu atau lorong berdiri dua orang pria yang bertugas menjaga, dengan tombak di tangan dan sikap mereka tegak seperti perajurit. Ketika Joko lewat, mereka memberi hormat dengan sembah tangan kiri ke depan dahi. Kalau tidak melakukan gerakan itu, tentu Niken mengira bahwa mereka itupun arca-arca! "Wah, rumahmu indah sekali, Joko." Bisik Niken kepada pemuda itu ketika mereka memasuki lorong yang penuh hiasan ukir-ukiran.Batu dan kayu-kayuan semua diukir halus sekali, dan di semua pintu tentu terukir kepala raksasa yang besar dan pintu itu menjadi mulutnya yang ternganga. "Ini adalah istana Girimanik atau juga pertapaan Girimanik tempat tinggal kanjeng romo. Aku adalah putera tunggal kanjenga romo dan kami tinggal di sini bersama Ibu Dewi." Niken tidak sempat bertanya lagi karena pada saat itu, dengan langkahnya yang kecil-kecil dan tak bersuara, telah muncul dua orang pelayan. Mereka menghaturkan sembah kepada Joko lalu berkata, " Kanjeng Gusti mengutus hamba untuk memberi tahu paduka bahwa beliau menanti paduka dan tamu di dalam ruangan tamu." Niken Sasi yang pernah hidup di istana raja sampai berusia sepuluh tahun, tidak merasa asing dengan sikap para pelayan yang demikian hormat kepada seorang pangeran saja. Ia menjadi semakin heran dan ingin sekali mengetahui dan mengenal keluarga yang hidupnya sebagai keluarga raja ini. "Marilah,Niken. Kanjenga romo telah menanti kita." kata Jojko dan Niken hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu. Mereka memasuki sebuah ruangan di depannya di jaga oleh dua orang pria penjaga yang memegang penggada besar dan tubuh merekapun tinggi besar seperti raksasa. Ruangan itu luas dan dipenuhi prabot ukir-ukiran indah, digantungi sutera-sutera beraneka warna. Niken melihat lima orang gadis dayang yang cantik duduk bersimpuh dikiri kanan dan di atas sebuah kursi besar duduklah seorang laki-laki yang usianya sekitar enampuluh tahun, akan tetapi masih nampak sehat dan gagah. Tubuhnya sedang saja, dean mukanya kemerahan, pandang matanya penuh wibawa. Mata itu mencorong ketika dia memandang kepada Niken yang berjalan masuk bersama Joko. Joko menghadap ayahnya dan menghaturkan sembah, lalu berkata, "Kanjeng Romo, ini adalah Niken yang saya undang sebagai tanu untuk menyaksikan pesta pemujaan nanti malam. Niken ini adalah Kanjeng Romo Wiku Syiwakirana." Sebagai seorang muda yang mengenal kesusilaan, Niken juga memberi hormat dengan sembah.Lalu berkata. "Harap Paman Wiku sudi memafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu." "Jagat Dewa Bathara, andika ini seorang dara remaja telah pandai membawa diri dan bersusila. Nini, aku yakin bahwa andika tentu telah memperoleh pelajaran dari seorang guru yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru yang telah menggemblenggumu, karena akupun dapat menduga bahwa selain kesusilaan, andika juga telah memiliki aji kedigdayaan." Diam-diam Niken terkejut. Pria ini baru melihat saja sudah dapat menduga bahwa ia memiliki kedigdayaan! Iapun tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya, apa lagi kedatangannya ini untuk minta bantuan, yaitu keterangan tentang Tilam Upih. Mungkin nama perguruannya akan menolong pula. "Paman Wiku, saya adalah murid Gagak Seto di Anjasmoro." "Demi para dewata! Tidak meleset dugaanku. Kiranya andika adalh murid Ki Sudibyo ketua Gagak Seto yang gagah perkasa" Joko, bagaimana engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini?" "Kanjeng Romo, pertemuan kami kebetulan saja. Saya membantunya ketika Niken dikeroyok oleh orang-orang Jambuka Sakti dan kamipun berkenalan." "Hemm,Jambuka Sakti" Selalu saja gerombolan itu membuat onar. Nini, kenapa nadikasampai dikeroyok orang-orang Jambuka Sakti ?" tanya Wiku Syiwakirana dengan pandang mata penuh selidik. "Entahlah paman. Saya tidak merasa pernah bermusuhan dengan mereka." Kata Niken. "Mungkin ada hubungannya dengan perjalananmu mencari Tilam Upih, Niken" "Keris pusaka Tilam Upih.......?"" Wiku Syiwakirana bertanya dengan mata terbelalak. Jelas bahwa dia terkejut mendengar gadis itu mencari pusaka Tilam Upih. "Benar, kanjeng Romo, dan mendengar ia mencari pusaka itu, saya mengundangnya ke sini karena kalau kanjenga romo memperkenankan, saya dapat berita tentanhg pusaka itu." "Sungguh hebat bukan main! Kalau yang datang seorang pendekar kawakan,seorang jagoan terkenal, mencari Tilam Upih, kami tidak akan merasa aneh, Akan tetapi andika, seorang dara remaja, berani melakukan perjalanan jauh dan berbahaya seorang diri untuk mencari keris pusaka yang diperebutkan itu! Eh, nini, untuk apakah andika mencari pusaka itu?" "Sesungguhnya, saya mencari pusaka Tilam Upih bukan untuk saya pribadi,paman. Saya hanya melaksanakan perintah Bapa Guru." "Aha, jadi Ki Sudibyo sendiri yang mengutusmu" Kalau pendekar seperti dia mempercayaimu untuk mencari Tilam Upih, tentu ilmu kepandaianmu sudah hebat sekali!" "Sesungguhnya, kanjeng romo. Biarpun Niken ini seorang dara, akan tetapi ia sakti mandraguna. Sudah saya saksikan sendiri ketika ia mengamuk dan merobohkan orang-orang Jambuka Sakti." kata Joko. Wiku Syiwakirana mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, menatap wajah Niken, kemudaian melirik ke arah muka puteranya dan tersenyum. Sekali pandang saja tahulah dia membaca isi hati puteranya yang masih menyembunyikan rasa kagum dan tergila-gila kepada gadis perkasa. "Nah, nini. Setelah andika berda di sini, apa yang ingin andika tanyakan mengenai keris pusaka Tilam Upih?" tanya Wiku Syiwakirana sambil tersenyum. "Maaf, paman, saya hanya merepotkan paman saja. Sesungguhnya, Bapa Guru mengutus saya untuk mencari Tilam Upih yang kabarnya akan muncul di pantai Lautan Kidul dan akan dijadikan perebutan para pendekar dan orang-orang gagah. Akan tetapi, Bapa Guru tidak dapat memberi tahu di mana pusaka itu akan muncul. Oleh karena itu, saya menjadi bunging dan apabila paman dapat memberi petunjuk tentang di mana adanya pusaka itu, saya akan berterima kasih dan merasa bersyukur sekali." "Ha-ha, tentu saja kami dapat memberi petunjuk kepedamu, nini. Keris itu sudah beberapa tahun ini berada di tangan adik seperguruanku sendiri." Niken terkejut dan heran. Ia merasa heran mengapa kakek ini mau membuka rahasia kalau pusaka itu berada di tangan adik seperguruan sendiri, dan terkejut karena kalau ia hendak merampas keris pusaka itu dari adik seperguruan sang wiku, berarti iapun akan menjadi musuh sang wiku! "Tapi...... kalau begitu......." katanya ragu. "Ah, ini memang bukan rahasia lagi dan tiadak perlu dirahasiakan. Bahkan semua orang sudah mengetahuinya karena Adi Surodiro sendiri sudah mengumumkan bahwa dia membuat sayembara untuk memperebutkan keris pusaka Tialam Upih." "Sayembara" Bagaimana itu, paman?" "Begini, nini. Kebetulan sekali Adi surodiro, yaitu adik seperguruanku yang menjadi adipati, penguasa di Nusa kambangan, beberapa tahun yang lalu mendapatkan keris pusaka Tilam Upih di pesisir Lautan Kidul. Kabarnya dia mendapatkan keris itu di dalam perut seekor ikan hiu yang besar. Ikan itu tertangkap kail dan ketika dibelah, dalam perutnya ditemukan keris pusaka itu. Bertahun-tahun ia merahasiakan penemuannya ini, sampai kemudian tersiar berita bahwa Tilam Upih akan muncul di pantai Lautan Kidul. Karena maklum bahwa berita iotu tentu akan mendatangkan banyak pendekar dan ketua perguruan , juga bahwa tentu Kerejaan Kediri akan berusah merampasnya, maka Adi Surodiro inginagar pusaka itu diperebutkan secara resmi dengan jalan mendirikan sayembara. Yaitu, mereka yang menghendaki keris pusaka itu agar saling mengadu kepandaian lebih dulu. Siapa yang paling unggul, kemudian harus mampu mengalahkan Adi Surodiro yang memegang Keris Tilam Upih, barulah dia akan memiliki pusaka itu." Niken menjadi girang sekali. "Ah,ini berita baik sekali. Kalau begiu, saya tidak perlu mencari jauh-jauh. Kapan diadakan sayembara itu dan di mana, paman?" "Jangan khawatir, Niken. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke tempat tinggal Paman Surodiro. Siapa tahu kalau melihat aku dia akan bersikap lunak kepadamu. Waktunya masih sebulan. Tinggallah dulu di sini sampai tiba waktunya dan aku akan mengantarkan engkau ke sana." kata Joko. Mendengar ini, tentu saja hati Niken menjadi girang bukan main. Sungguh beruntung ia bertemu dengan pemuda yang demikian baiknya. Tentu saja ia menerima tawaran pemuda itu dan menghaturkan terima kasih kepada Wiku Syiwakirana dan Jokokolomurti. Sekarang, harap engkau beristirahat dulu karena aku harus membantu persiapan malam upacara pemujaan malam nanti, Niken." kata Joko yang lalu menoleh kepada dua orang di antara para dayang yang duduk bersimpuh di situ. "Kalian antarkan nona ini ke kamar tamu yang paling besar di belakang dan layani baik-baik, sediakan segala keperluannya." "Baik, Raden. Mari silakan, Mas Ayu......" kata seorang dayang dengan sikap hormat. Niken lalu membawa buntelan pakaiannya dan mengikuti dua dayang memasuki bagian dalam rumah besar itu. Niken dibawa ke sebuah di antara banyak kamar di belakang rumah itu dan ternyata kamar yang disediakan untuknya adalah sebuah kamar yang lengkap dan cukup luas. Dengan ramah dan hormat dua orang pelayan itu melayaninya, menghidangkan makan siang yang cukup lengkap. Niken mencoba untuk mencari keterangan dari mereka tentang keadaan perkumpulan yang dipimpin Wiku Syiwakirana, akan tetapi ternyata para pelayan itu biarpun bersikap ramah dan hormat, amat tertutup. "Harap maafkan karena kami dilarang keras untuk bicara tentang perkumpulan kami. Yang berhak memberi keterangan hanya Kanjeng Gusti dan puteranya." demikian kata mereka dan selanjutnya mereka bungkam. Niken lalu menyuruh mereka pergi karena setelah makan ia ingin beristirahat dulu. *** Baru saja Niken tertidur, ia terbangun lagi dikejutkan suara hiruk pikuk diluar kamarnya. Ketika ia turun dan membuka pintu, ia mendengar suara banyak orang dari arah depan rumah itu. Tentu saja ia merasa heran sekali, apalagi melihat banyak penjaga pria berlarian keluar sambil membawa tombak atau golok, bahkan para pelayan wanita berlari keluar sambil membawa pedang atau keris, seolah semua orang siap untuk melawan musuh yang datang menyerbu. Niken membetulkan pakaiannya, menjadi ringkas ringan karena ia ingin sekali melihat apa yang terjadi dan siap membantu pihak tuan rumah kalau ada marabahaya datang. Padahal saat ia hendak pergi keluar, munculah Joko dan wajah pemuda inipun menunjukkan kekhawatiran. "Joko, apa yang terjadi" Ada apakah ribut-ribut ini" "Ah, pemuda pengacau itu datang lagi mengacau!" kata Joko sambil mengepal tinju. " Kami membutuhkan bantuanmu, Niken." "Tentu saja aku akan membantu. Akn tetapi ceritakan dulu duduk persoalannya. Siapa pemuda yang kaumaksudkan itu?" "Sepekan yang lalu muncul seorang pemuda yang menuntut agar kami membebaskan para gadis dusun yang menjadi murid dan pelayan di sini, dengan mengatakan bahwa kami melakukan paksaan kepada mereka. Sudah kami jelaskan bahwa di sini tidak ada paksaan. Para wanita dan pria yang menjadi anggota kami masuk secara suka rela, tanpa paksaan. Setelah dia kami biarkan bertanya sendiri kepada para gadis dusun yang berada di sini, akhirnya kami dapat meyakinkannya bahwa kami tidak melakukan paksaan, dan dia pergi. Akan tetapi sekarang dia muncul lagi diiringkan puluhan orang warga dusun-dusun di sekitar Girimanik, dan sikap mereka mengancam!" Hemm, engkau seorang yang sakti,kenapa mendiamkannya saja dan tidak memberi hajaran pada saat pertama dia muncul, Joko?" "Terus terang saja, hal itu sudah kulakukan. Akan tetapi dia ..... dia digdaya sekali, Niken. Agaknya aku bukan lawannya, bahkan kanjeng romo sendiri menasihati agar membiarkan dia pergi tanpa menggunakan kekerasan." "Sekarang, apa maunya datang lagi?" "Dia dan puluhan orang warga dusun itu menuntut agar perkumpulan kami dibubarkan dan semua warga dusun yang sudah menjadi anggota kami dibiarkan pulang." "Hemm, mana ada aturan macam itu?" Mari kita lihat, apa macamnya orang kurang ajar itu!"kata Niken yang lalu berlari keluar bersama Joko. Ketika mereka tiba di luar, Niken melihat serombongan warga dusun berdiri di depan pintu gapura yang sudah terbuka lebar. Mereka jelas adalah warga dusun, dapat dikenal dari pakaiannya dan merekapun memeganga senjata yang khas, yaitu arit, golok, linggis, dan sebagainya lagi. Dan jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang pria. Di depan sendiri berdiri seorang pemuda sederhana. Pakaiannya juga seperti pemuda dusun, namun dia tampan dan berkulit kuning, tubuhnya tegap dan sinar matanya membuat hati Niken berdebar. Agaknya seperti itulah mata seekor naga! Dari sinar matanya ini saja dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang "berisi" , seorang yang sakti mandraguna dan bukan lawan yang lunak. "Hayo pimpinan perkumpulan sesat Durgamantra! Kembalikan anak-anak perempuan kami, kalau tidak kami akan hancurkan perkumpulan sesat ini!" terdengar teriakan mereka. Selagi para warga dusun berteriak-teriak dan para anak buah perkumpulan Durgamantra itu hanya bersiap-siap dan berjaga-jaga, mendadak terdengar aba-aba di bagian belakang dan terkuaklah kelompok anak buah perkumpulan itu. Kurang lebih duapuluh orang gadis dan tiga puluh orang pria muda yang sudah bersiap itu minggir dan muncullah Wiku Syiwakirana dengan langkah tegap, perlahan dan tenang berwibawa. Semua suara terdiam ketiak orang ini muncul dan sejenak dia memandang kedepan, terutama ke arah pemuda yang memimpin warga dusun itu. "Orang muda, kembali andika membuat gaduh dan mengacau ketentraman kami. Sebetulnya apakah kemauanmu?" tanya Wiku Syiwakirana dengan sura tenang. Pemuda itu memberi hormat dengan sembah ke dadanya. "Oum, sadhu,sadhu......! maafkan kalau saya berani datang lagi. Sang Wiku. Karena saya terdesak oelh para orang tua dusun yang menghendaki anak-anak mereka dibebaskan dan dikeluarkan dari tempat ini." "Kenapa mereka menghendaki demikian" Anak-anak mereka itu masuk ke sini atas kehendak mereka sendiri, tidak ada yang memaksa. Kalu mereka hendak keluar sekarang juga, kami tidak akan menahan mereka. Sebaiknya ditanyakan kepeda mereka sendiri. Coba sebutkan nama seoarng murid kami yang diminta orang tuanya!" Seorang laki-laki yang berusia empatpuluh tahun berteriak, "Mana Sariati! Sariati, anakku, keluarlah aku mau bicara!" Wiku Syiwakirana menoleh kebelakang memandang kelompok murid wanita dan berseru, "Ada yang namanya Sariati" Majulah agar kami semua mendengar suaramu sendiri!" Seorang gadis berusia delapan belas tahun melangkah maju dengan sigapnya. Ia bukan seperti seorang gadis dusun yang malu-malu dan jelas bahwa ia telah menguasai ilmu kanuragan yang membuat gerakannya lincah dan ringan. "Aku Sariati berada di sini, bapa. Ada apakah bapa memanggilku?" Ia berhenti dalam jarak dua meter dari kelompok warga dusun itu. Ayahnya melangkah maju menghadapi anaknya. Sejenak dia seperti tertegun. Hampir dia tidak mengenal lagi anaknya. Sekarang anaknya demikian cantik dan gagah, bukan gadis dusun yang malu-malu dan canggung. "Sariati, mari pulang bersamaku, anakku!" "Tidak, bapa. Aku tidak mau pulang. Aku sudah senang berada di sini, menjadi murid Durgamantra. Pulanglah, bapa dan jangan membuat ribut!" Ayah itu maju dan memgang pergelangan tangan anaknya. "Sariati engkau harus pulang! Embokmu menangis terus, kau harus pulang sekarang juga!" "Tidak, lepaskan aku!" Sekali gadis itu memutar lengannya, pegangan bapanya terlepas bahkan orang tua itu terhuyung ke belakang! Sariati lalu melompat ke belakang dan masuk ke dalam rombongan murid wanita Durgamantra. Beberapa orang ayah memanggil anaknya, laki-laki maupun perempuan untuk keluar, Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akan tetapi keadaannya sama saja dengan Sariati tadi, mereka semua tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di situ. "Ha-ha-ha!" Wiku Syiwakirana tertawa tenang. "Kalian semua, melihat dan mendengar sendiri. Orang muda, andika sudah melihat jelas" Mereka itu dengan suka rela ikut menjadi murid kami, sama sekali tidak ada paksaan. Kenapa kalian menuduh kami perkumpulan sesat dan hendak memaksa murid-mrid kami keluar?" "Sang Wiku Syiwakirana," kata pemuda itu sambil melangkah maju sedangkan warga dusun yang tadinya bersemangat sekali, kini nampak lesu setelah melihat betapa anak mereka tidak mau pulang. "Memang kami semua telah menyaksikan dan mendengar betapa murid-murid Durgomantra tidak ada yang mau pulang. Akan tetapi harap andika ingat bahwa mereka itu masih mempunyai ayah dan ibu dan orang tua mereka berhak menentukan nasib mereka. Andika tidak boleh memisahkan mereka dari orang tua mereka." "Akan tetapi mereka itu juga murid-murid kami yang sudah bersumpah setia kepada Sang Betari. Kami juga berhak melindungi mereka dari paksaan siapapun juga untuk meninggalkan tempat ini! Kalau mereka pergi atas kehendak mereka sendiri, kami tidak akan menghalangi, akan tetapi siapapun juga yang hendak memaksa mereka pergi, akan kami tentang!" "Mereka telah ditipu!" "Mereka telah disihir!" Terdengar teriakkan-teriakan para orang tua yang merasa penasaran. Niken yang sejak tadi menjadi penonton dan pendengar, tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia mendengar sediri pengakuan para murid wanita yang berada di situ bahwa mereka masuk menjadi murid dan anggota perkumpulan Dorgamantra secara suka rela,bukan dipaksa. Kini pemuda itu pemimpin para orang tua untuk memaksa anak-anak mereka keluar dari perkumpulan itu.Maka dengan marah ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke depan pemuda itu. Pemuda itu terkejut dan heran melihat gerakan dara yang demikian tangkasnya, seperti terbang saja. Niken menentang pandang mata pemuda itu sambil bertolak pinggang, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu dan berkata dengan suara menegur. Kenapa engkau mengacau dan menghasut para warga dusun itu untuk memaksa anak mereka keluar dari perkumpulan Durgamantra" Aku tidak melihat adanya paksaan dar para pimpinan Durgamantra! Apakah engkau kurang pekerjaan maka mencampuri urusan pribadi orang lain?" Pemuda itu memandang penuh selidik, lalu berkata sambil tersenyum mengejek. "Engkau tentu murid perguruan Durgamantra, tentu saja engkau membela perguruanmu!" "Siapa bilang aku murid Durgamantra" Aku hanya seorang tamu yang tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pribadi orang lain. Para murid itu masuk Durgamantra tidak dipaksa akan tetapi secara sukarela. Kalu orang tua mereka hendak memaksa mereka keluar tentu saja perguruan Durgamantra berhak pula menghalangi." kata Niken. Pemuda itu nampak penasaran. " Kalau andika hanya seorang tamu, berdiri saja di luar dan jangan mencampuri urusan kami!" "Andika sendiri bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan warga dusun atau dengan perguruan Durgamantra, sebaiknya pulang saja dan jangan usil di sini. Kalau tidak, terpaksa aku sebagai tamu Durgamantra akan megusirmu dengan kekerasan!" Pemuda itu kini mengerutkan alisnya. "Bagus! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan perguruan Durgamantra dan semua anteknya! Dia melangkah maju sehingga kini berhadapan dengan Niken dalam jarak dua meter. Wajar Niken berubah merah dan ia membentak. "Keparat lancang mulut! Aku bukan antek siapapun! Hayo kau tarik kembali sebutan itu atau aku akan menghajarmu!" bentaknya. "Akupun ingin tahu bagaimana engkau akan menghajarku, bocah sombong!" balas pemuda itu. Niken tidak dapat menahan lagi kemrahannya. "Bagus, sambutlah seranganku! Haiiittt......!" Cepat bagaikan seekor burung sikatan, Niken sudah menerjang ke depan dengan tamparan tangan kirinya dan ke arah muka pemuda itu. Pemuda itu terkejut juga melihat tamparan yang amat cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat itu sehingga begitu tangan itu bergerak, dia sudah merasakan sambaran angin pukulan yang panas. Cepat dia mengelak dengan melangkah mundur. Akan tetapi begitu tangan kiri Niken luput mengenai sasaran tangan kananya sudah menyusul dengan serangan pukulan dorongan tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Pukulan ini juga cepat bukan main dan sekali ini, pemuda itu menggerakkan tangan kanan, diputarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis. "Dukkk!!" pertempuran kedua lengan itu keras sekali dan tubuh Niken terpetar, akan tetapi dalam berputar itu kakinya mencuat dan menyambarlah sebuah tendangan yang dahsyat ke arah pusar pemuda itu. "Ehhh.......!!" Pemuda itu terkejut bukan main akan tetapi ternyata dia meiliki kecepatan yang menganmkan. Dia membuang tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik dua kali. Kembali mereka berdua saling berhadapan, pandanga mata seperti menimbang dan menaksir kedigdayaan lawan, seperti dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan penuh ancaman. Niken merasa penasaran sekali. Rangkaian serangannya tadi dapat dilumpuhkan dan tahulah ia mengapa Joko Kolomurti mengaku kalah oleh pemuda ini. Ternyata pemuda ini memang tangkas sekali. Sungguh orang tidak akan menyangkanya. Pemuda ini masih muda sekali, bahkan sikapnya yang sederhana itu menimbulkan kesan seorang pemuda yang bodoh. Niken bertekad untuk memenangkan pertandingan itu.Kalau tidak, betapa akan malunya terhadap keluarga Joko yang dibelanya. Maka, sambil berseru nyaring,tubuhnya yang menggunakan aji Tapak Sikatan sudah menyerang lagi. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung sikatan dan kaki tangannya bertubitubi mengirim serangan susul menyusul. Akan tetapi bukan saja serangannya yang dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan sebaliknya pemuda itu juga sempat membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang dahsyat! Maklumlah Niken bahwa lawannya benar-benar tangguh. "Hyaaaattt.......!" Tangannya mencengkeram ke arah muka pemuda itu yang cepat mengelak sambil membuang tubuhnya miring. Akan tetapi Niken menyusulkan tendangannya yang amat kuat ke arah lambung lawan.Pemuda itu sudah siap dan mengerahkan tenaga, lalu menangkis kaki yang menendang itu. "Dukkk.......!" Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Niken terdorong keras dan membuat ia hampir kehilangan keseimbangantubuh dan terhuyung. Setelah melompat dan berdiri tegak kembali wajah Niken berubah kemerahan. Biarpun ia belum kalah, akan tetapi tadi ia nyars jatuh. Bangkit kemerahannya. Tadinya ia memang hendak mengalahkan saja pemuda yang dianggapnya lancang dan usil mencampuri urusan orang lain itu. Akan tetapi kini setelah meresakan benar betapa tangguhnya lawannya itu, ia menkadi penasaran. Kalau ia tidak menggunakan Hasta Bajra,agaknya akan sukar baginya untuk keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Apalagi melihat wajah tampan yang tersenyum-senyum, dianggapnya pemuda itu mengejeknya. "Babo-babo, jangan tertawa dulu keparat. Rasakan aji pukulanku ini!" Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian menerjang dengan aji Hasta Bajra! Pemuda itu terkejut bukan main ketika ada hawa panas sekali menyambar ke arahnya. Cepat di merendahkan tubuh setengah berjongkok, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan dada, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut dan menangkis pukulan dahsyat dan ampuh dari Niken. "Wiiiirrrrrr........desss.......!!" Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu. Tubuh Niken terlempar kebelakang seperti sehelai daun tertiup angin, akan tetapi pemuda itupun terhuyung-huyung ke belakang! Niken terbelalak dan cepat ia mengatur pernapasannya. Dadanya terasa agak sesak, dan iapun melihat pemuda itu menarik napas panjang berulangkali, tanda bahwa pemuda itupun terguncang isi dadanya. Akan tetapi Niken maklum bahwa pemuda itu mampu menyambut aji Hasta Bajra! Sementara pemuda itupun agaknya maklum bahwa Niken memiliki aji kesaktian yang hebat. Dia lalu memberi hormat kepada Wiku Syiwakirana dan berkata, "Sang Wiku, kiranya andika berlindung di belakang seorang dara yang sakti mabdraguna. Karena itu kami tidak ingin bermusuhan dengan orang yang tidak berkepentingan, maka biarlah kami menunda urusan ini sampai lain kali!" Dia lalu memutar tubuhnya dan mengajak para warga dusun untuk meninggalkan tempat itu. Para warga dusun itu tidak membantah, namun mereka kelihatan penasaran dan berulangkali mereka menolah untuk memandangi anak-anak mereka yang telah menjadi murid perguruan Durgamantra itu. Setelah pemuda itu dan warga dusun pengikutnya pergi jauh, Wiku Syiwakirana tertawa dan berkata kepada Niken, "Nini Niken, bantuanmu sungguh besar sekali bagi kami. Pemuda itu sakti akan tetapi andika telah berhasil mengusirnya. Kami yakin dia dan teman-temannya tidak akan berani lagi mengganggu kami." "Kanjeng Romo, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta pemujaan, sekalian untuk menyambut nimas Niken." "Ha-ha-ha, engkau benar, Joko. Marilah kita bersiap-siap." Mereka memasuki kembali rumah itu dan Niken berpamit untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia menutup pintu dan duduk bersila di atas pembaringannya, mengatur pernapasannya. Ia merasa heran dan kagum, juga penasaran sekali. Pemuda itu berani menangkis aji Hasta Bajra dan membuat tubuhnya terlempar. Biarpun pemuda itu juga terhuyung, namun ia dapat mersakan bahwa ia masih kalah tenaga, kalah kuat dibandingkan dengan pemuda itu! Akan tetapi nampaknya pemuda itu mengalah dan mengundurkan diri, agaknya tidak mau bermusuhan dengannya. Ia sendiri harus mengatur pernapasan dan bersemedi untuk memulihkan kembali tenaganya karena siapa tahu, malam nanti pemuda itu akan datang lagi mengganggu. Kalau bertemu dan bertanding lagi, ia harus berhati-hati dan kalau perlu ia akan menggunakan pusaka pemberian gurunya, yaitu keris Megantoro. Di ruangan lain sebelah dalam, Sang Wiku Syiwakirana bercakap-cakap dengan Joko Kolomurti, dengan suara berbisik-bisik, walaupun di situ tidak ada seorangpun murid Durgamantra. "Engkau beruntung sekali telah bertemu dengannya dan dan dapat membujuknya datang ke sini. Akan tetapi, sudah yakinkah engaku bahwa pilihanmu itu tepat?" tanya sang Wiku. "Sudah kuperhitungkan masak-masak kanjeng Romo. Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang dara sehebat Niken! Kecantikannya sempurna, dan kanjeng rama sendiri telah menyaksikan betapa digdayanya dara itu. Kalau menjadi isteriku, berarti kita mendapat tambahan tenaga yang boleh diandalkan untuk memperkuat kedudukan perguruan kita." kata Joko Kolomurti dengan suara mengandung kebanggaan dan kegembiraan. "Akan tetapi yang membuat hatiku merasa gelisah, melihat Niken seorang dara yang berhati baja. Aku sungguh khawatir ia akan menolak cintaku dan tidak mau menjadi isteriku." "Ha-ha-ha, engkau sungguh meremehkan kemampuanmu sendiri,kulup. Engkau seorang pemuda yang cukup tampan dan memiliki kedigdayaan, gadis mana tidak akan merasa senang menjadi isterimu" Pula, ada aku di belakangmu yang tentu akan membantumudan jangan lupa,dengan restu Ibumu Bathari, semua keinginanmu pasti akan tercapai. Percayalah, setelah malam pemujaan nanti, Niken pasti akan menjadi isterimu." Joko Kolomurti menganguk dan wajahnya berseri karena hatinya tidak ragu lagi. *** Malam itu, sejak senjakala lewat bulan mulai muncul di ufuk timur. Sebuah bola kemerahan yang besar bulat muncul dari puncak bukit dan tak lama kemudian, warna kemerahan telah berganti menjadi warna kuning keemasan yang memandikan permukaan bumi dengan cahaya nya yang lembut dan sejuk. Terdengar gamelan ditabuh. Suara gambang berselang seling dengan lengkingan suling, menjadi gembira penuh semangat oleh suara gendang yang mendetak-detak. Malam indah itu disambut meriah sekali oleh perguruan Durgamantra.Sebuah panggung yang luas didirikan mereka untuk menjadio tempat upacara pemujaan, dihias dengan kain warna-warni dan kembang-kembang. Setelh bulan muncul, semua murid sudah berkumpul dan laki-laki perempuan mengenakan pakaian mereka yang terbaru dan terindah, juga tercium wangi-wangian dari pakaian mereka. Para anggota wanita di sudut panngung sebelah kiri sedangkan para prianya duduk di sudut panggung sebelah kanan. Di kepala panggung terdapat tiga tiga kursi yang dihias indah, akan tetapi kursi-kursi itu masih kosong. Penabuh gamelan duduk di bawah panggung dan dua orang pesinden yang tidak cantik namun bersuara emas duduk di antara mereka. Seluruh anggota atau murid perguruan Durgamantra yang berjumlah empatpuluh orang lebih itu berkumpul di situ dan menanti dengan sikap hormat dan khidmat.Gamelan di tabuh lirih-lirih, suaranya dibara angin malam, menghanyutkan. Bulan sudah tersenyum di atas kepala, masih condong di timur. Tak lama kemudian, terdengar aba-aba dari dalam rumah di belakang panggung dan gamelan dipukul lebih gencar lgi dengan lagu Kebogiro seperti gamelan yang menyambut datangnya mempelai. Kemudian sebuah iring-iringan muncul dari dalam rumah induk dan semua murid yang tadi duduk di atas lantai panggung di sudut iri dan kanan segera menghadap ke arah iring-iringan itu dengan hormat dan menyembah. Yang pertama sekali adalah Sang Wiku Syiwakirana,berjalan di depan dengan langkah tegap dan sikap gagah. Di belakangnya nampak sebuah joli yang indah dan dirias meriah, dipikul oleh enam orang gadis berpakaian sutera putih yang panjang sampai menutupi kaki. Di belakang joli ini berjalan Joko Kolomurti bersama Niken yang mendapat kehormatan untuk keluar bersama iring-iringan itu sebagai seorang tamu agung. Dan di belakang dua orang muda itu berjalan selosin pemuda yng bertelanjang dada, diikuti oleh selosin gadis bertapih pinjung yang rata-rata masih muda dan cantik. Iring-iringan berhenti di depan tiga buah kursi, dan Joko Kolomurti berkata kepada ayahnya dengan sikap hormat, "Kanjeng Romo, kita lupa menyediakan sebuah kursi untuk diajeng Niken." Gadis itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan diajeng itu,akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang sungguh-sungguh, iapun mengenggap bahwa perubahan sebutan itu disesuakan dengan upacara yng khidmat itu. "Benar, suruh ambil sebuah kursi lagi." kata Sang Wiku dan seorang murid lakilaki yang mengikuti di belakang lalu cepat mengambil sebuah kursi diletakkan di samping kursi paling kiri. Melihat ini, Niken merasa tidak enak sekali. Ia memang berterima kasih kepada keluarga itu, apalagi sudah mendapat keterangan yng berharga tentang Tilam Upih dan kalau malam ini ia menyaksikan malam perayaan upacara pemujaan Bathari Durgo, adalah untuk menyatakan terima kasihnya. Akan tetapi ia merasa sungkan diperlakukan sebagai tamu agung. Bagaimanapun juga, tentu saja ia tidak berani membantah. Kini Sang Wiku sendiri menghampiri joli dan membuka tirai joli. Niken terbelalak kagum. Kiranya di dalm joli itu terdapat sebuah patung emas seorang wanita dalam keadaan duduk. Inikah patung Sang Bathari Durgo" Cantik nian! Padahal, menurut yang pernah didengarnya, Sang Bathara Durgo telah dikutuk dan berupa seorang puteri berwajah raksasa wanita! Sang Wiku sendiri yang memondong patung itu lalu didudukkan di atas kursi paling kanan. Kemudian dia duduk di atas kursi sebelah kiri patung itu. Joko Kolomurti berkata kepada Niken. "Diajeng Niken,silakan duduk." Dia sendiri duduk di sebelah kiri ayahnya dan karena kursi yang tersisa tinggal disebelah kirinya, Niken lalu duduk di atas kursi itu. Semua murid melakukan penghormatan dengan menyembah. Akan tetapi sembah mereka itu nampak aneh oleh Niken. Mereka menyembah sampai tubuh atas mereka mennelungkup, tiarap rata dengan lantai panggung dan dari kerongkongan mereka keluar suara memanjang seperti orang mengerang. Sang Wiku Syiwakirana lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa pesta pemujaan dimulai. Gamelan masih ditabuh dengan meriah. Dua orang berpakaian sutera putih maju membawa seekor ayam bulu putih mulus, dan seorang pemuda berkain putih bertelanjang dada juga ikut, membawa sebuah bokor emas dan sebuah guci. Mereka bertiga berlutut di depan Sang Wiku. Pemuda itu lalu menyerahkan guci kepada sang wiku yang segera membuka tutup guci dan menuangkan isinya kedalam bokor. Nampak cairan berwarna merah dan bau anggur yang harum memenuhi panggung. Niken juga mencium bau anggur ini, bau yang asing baginya, akan tetapi buakn tidak menyenangkan. Setelah bokor itu penuh, pemuda itu menerima lagi guci dan meletakkan di samping patung, kemudian dua orang gadis berpakaian putih mendekatkan ayam bulu putih di depan kaki Sang Wiku. Sang Wiku mencabut sebilah pisau belati dari pinggangnya, kemudian mulutnya membaca mantra yang aneh dan panjang sambil memejamkan kedua matanya. Lalu dia bangkit, mengikuti dua orang gadis yang kini membawa ayam bulu putih di depan patung. Juga pemuda itu membawa bokor dan meletakkannya di depan kaki patung. Sang Wiku lalu menggerakkan pisaunya menyembelih leher ayam putih. Ayam itu menggelempar dalam pegangan dua oranga gadis dan darahnya mengucur ke dalam bokor berisi anggur. Karena ayamitu berbulu putih mulus, maka darahnya nampak nyata sekali ketika mengucur sampai menetes-netes ke dalam bokor. Setelah darah itu tuntas, ayam berhenti menggelempar, dua oranga gadis menyembah lalu turun dari panggung membawa bangkai ayam. Pemuda itupun mengikuti mereka, meninggalkan guci dan setumpuk cawan di dekat patung emas. Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Joko Kolomurti lalu bangkit, menuangkan anggur dari bokor ke dalam secawan dan dengan sikap hormat menyerahkan kepada ayahnya, Sang Wiku menerimanya, lalu bangkit menghampiri patung emas, membaca mantra lalu mendekatkan cawan kesepasang bibir emasyang indah itu. Semuamurid memandang tanpa berkedip dan menahan napas. Niken yang tidak mengerti juga memandang dengan hati merasa geli. Bagaimana mungkin sebuah patung disuguhi minuman anggur" Akan tetapi iapun terbelalak ketika anggur di dalam cawan itu dituangkan sampai habis! Secawan anggur habis diminum swebuah patung! Ia hampir tidak percaya dan berkedip-kedip, dan melihat patung itu seolah-olah tersenyum dan menggerakkan biji matanya. Setelah Sang Wiku kembali duduk, Joko Kolomurti kembali menuangkan anggur dari bokor ke dalam sebuah cawan lain, lalu dengan sikap hormat menghaturkan secawan anggur itu kepada ayahnya. Sang Wiku menerima sambil tersenyum menganguk, dan minum habis anggur dari cawan itu. Kini Joko Kolomurti menghampiri Niken. "Diajeng Niken, kami harap andika sudi menerima dan minum secawan anggur untuk menghormati Ibunda Bathari." katanya dengan sikap ramah dan hormat. Wajah Niken menjadi merah. Ia merasa sungkan untuk menolak, akan tetapi juga ia muak dan tidak sampai hati minum anggur yang sudah dicampuri darah ayam itu. "Maaf, Joko........aku....aku tidak dapat minum darah ayam itu...." katanya lirih agar jangan sampai menyinggung keluarga perguruan itu. Kenapa engkau begitu bodoh, Joko?" tentu saja Niken tidak bisa minum anggur ini. Ia bukan anggota kita dan tidak biasa minum anggur ini. Suruh ambil guci anggur kecil dalam kamrku. Itu anggur madu istimewa yanga bik sekali untuk diminum Niken." Joko lalu menyuruh seorang gadis yang duduk di sudut untuk mengambilkan guci anggur itu. Setelah guci anggur itu di bawa dan diserahakan kepada Joko, pemuda ini lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah cawan. Anggur inipun merah dan berabau harum, dan Joko menyerahkan kepadanya sambil berkata. "Aku menyambutmu dengan secawan anggur, diajeng. Harap engkau sudi meminumnya. Tentu saja Niken merasa tidak enak untuk menolak, akan tetapi sebelum ia menerimanya. Sang Wiku cepat berkata, "Joko, bawa cawan itu ke sini. Aku akan memberkatinya demi kesehatan dan keselamatan Niken." Joko menyerahkan cawan itu kepada ayahnya yang lalu membaca mantra sambil menatap cawan iyu. Barulah cawan diserahkan kepada Niken. Niken menerimnya dan mencoba dulu mencicipi anggur. Ternyata harum dan manis. Maka ia terus minum anggur yang hanya secawan kecil itu dan selain rasanya enak,juga terasa hangat dan nyaman di perut. Tentu saja minuman itu menghangatkan perut karena sebetulnya itu adalah minuman keras yang terbuat dari tuak dicampur dengan madu. "Joko, tuangkan secawan lagi. Aku harus menghormati tamu kita!" kata sang Wiku yang nampak gembira. Joko menuangkan lagi secawan dan menyerahkannya kepada Sang Wiku, yang segera memberikannya kepada Niken sambil berkata, "Akupun ingin menghormatimu dengan secawan anggur ini, Niken. Harap engkau tidak keberatan untuk meminumnya." Karena ternyata minuman itu tidak merugikannya,dan secawan itu hanya sedikit saja, Niken tidak berani menolak, meneriam cawan itu dan meminumnya. Joko sendiri lalu minum dari bokor, yaitu anggur yang sudah bercampur darah ayam. Gamelan ditabuh gencar mengiringai nyanyian para pesinden. Niken mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa gembira bukan main. Tubuhnya terasa ringan seperti hendak melayang-layang dan segala sesuatu di depan dan sekelilingnya nampak indah menggembirakan. Ia merasa berbahagia dan semua wajah di situ nampak tersenyum ramah kepadanya. Tanpa disadarinya lagi, mendengar tembang yang dinyanyikan para pesinden, iapun bersenandung. Tembang itu dikenalnya dan ia sendiri memang pandai bertembang. Dari sampingnya, Joko meliriknya dan pemuda ini nampak gembira bukan main. Wiku Syiwakirana bertepuk tangan tiga kali. Bunyi gamelan berubah. Kini agak asing karena terdengar aneh bagi telinga Niken, namun harus diakui bahwa gending ini meriah dan gembira sekali, terutama kendangnya yang bertingkah genit. Dan para murid yang tadi dudyk di kedua sudut panggung, turun meninggalkan panggung. Akan tetapi duabelas pasang muda mudi yang mengenakan pakaian putih, mulai menari-nari dengan lemah gemulai dan indah! Aneh sekali terjadi pada diri Niken. Ia menonton tari-tarian itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. Baginya saat itu, tarian itu demikian indahnya, bagaikan selosin dewi sedang menari dengan selosin dewa! Dan bunyi gamelan yang asing itu begitu menghanyutkan dan seolah menyusup ke dalam seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya bergerak-gerak sendiri menurutkan irama kendang. Melihat ini, Joko lalu menuangkan anggur dari guci kecil itu sampai tiga kali lagi dan disuguhkan kepada Niken yang meminumnya dengan gembira. Malam semakin larut dan suara gamelan ditabuh semakin gencar. Kini iramanya cepat dan tari-tarian duabelas pasang penari itu menjadi semakin cepat pula. Tanpa disadari oleh Niken, tari-tarian mereka mengarah kepada gerakan-gerakan mesum, tubuh berlenggang lenggok memikat dan pandang mata serta senyum mereka mulai genit. Sang Wiku memberi tanda dan sepasang demi sepasang dari para penari itu menunda tarian mereka untuk minum secawan anggur bercampur darah ayam. Begitu minum anggur itu, pasangan ini menari dengan mesum, berpelukan dan berciuman sambil menari! Sisa anggur itu kemudian dibagi para anggota sehingga semua anggota kebagian minum. Joko bangkit dari duduknya,menghampiri Niken dan memgang tangannya. "Diajeng, mari kita menari!" Ia menarik tangan Niken dan gadis ini hanya tertawa kecil, bangkit dan terhuyung-huyung akan tetapi ia mencoba untuk menari. Akan tetapi, ia mulai merasa pening, kepeninagan yang terasa nikmat dan akhirnya, karena terhuyung hampir jatuh, Joko merangkulnya dan menuntunnya masuk kedalam rumah. Wiku Syiwakirana tertawa bergelak melihat betapa puteranya telah berhasil membawa Niken masuk dan iapun melanjutkan pesta pora itu karena biasanya, setiap bulan purnama pesta itu dirayakan semalam suntuk sampai bulan tidak lagi nampak di angkasa. Sambil bertembang lirih, Niken di papah Joko ke dalam kamarnya. Ia membiarkan saja dirinya dirangkul ketat dan dibawa masuk kedalam kamar pemuda itu. "Eh.......Joko.....ini di mana" Kamar indah sekali......" "Ini kamarku, Niken." Biarpun kepalanya pening dan ia sudah mabuk, namun Niken masih juga mendengar bahwa ia berada di kamar pemuda itu. "Kenapa di kamarmu, Joko" Aku...........aku ingin tidur, akan tetapi di kamarku sendiri.......aku.......aku mau keluar saja......." Akan tetapi Joko merangkulnya kuat-kuat. "Tidurlah saja di sini, Niken. Kamar ini indah bukan" Dan aku mencintaimu, diajeng. Engkau akan menjadi isteriku...." Joko merangkul dan hendak menciumnya. Akan tetapi Niken masih dapat meronta. Ia merasa dirinya seperti dibakar dari dalam, karena sesungguhnya ia telah minum ramuan racun perangsang yang sudah dicampur kedalam tuak tadi. Ia merasa senang dalam rangkulan pemuda itu dan ada dorongan gairah dalam dirinya untuk menyerah dalam kenikmatan. Akan tetapi gemblengan batin yang selama ini diterimanya dari gurunya demikian kuatnya, membuat jiwanya meronta. "Tidak.........tidak..........aku.......aku mengantuk, hendak tidur...........!" Ia terhuyung. Joko menyambar lengannya dan mendorongnya sehingga gadis itu terpelanting jatuh ke atas pembaringan. Begitu rebah, Niken lalu menggumam. "Ah, senang sekali dapat tidur.....nyaman sekali........" Dan iapun tertidur! Sama sekali Niken tidak pernah mimpi bahwa ia telah terjatuh ke dalam cengkeraman pria yang lebih keji daripada seekor srigala kelaparan. Memang sama sekali tidak akan ada yang menyangka bahwa Joko Kolomurti yang kelihatan demikian tampan gagah dan halus, demikian ramah dan hormat, hanyalah srigala bertopeng domba. Kini dia menghampiri pembaringan, matanya seperti mencorong, mulutnya basah dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor srigala kelaparan mencium darah daging kelinci yang lunak dan hangat. Sudah terasa dalam mulutnya betapa nikmat dan lezatnya rasa daging itu. Hampir semua orang di dunia ini tak dapat dinilai dari keadaan luarnya, karena kita semua sudah terbiasa mengenakan topeng di depan muka kita. Dan kitapun mudah sekali terkecoh oleh topeng-topeng yang menutupi wajah-wajah orang lain. Topeng yang menggambarkan keadaan wajah yang sama sekali berbeda, bahkan kadang berlawanan, dengan keadaan batin. Kehidupan manusia sudah bergelimang kepalsuan. Karena itu, tidak mengherankan kalau Niken juga tertipu oleh keadaan lahiriah Joko Kolomurti. Sebetulnya, perguruan macam apakah Durgomantra itu dan orang-orang macam apakah Sang Wiku Syiwakirana dan puteranya" Wiku Syiwakirana sejak masih muda merupakan seorang penyembah dan pemuja Sang Batari Durgo dan batara Syiwa. Dia pernah memperdalam ilmu-ilmunya ke negeri Cola dan di negeri itulah dia mulai menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa dan isterinya, yaitu Batari Durgo. Dia bahkan mengubah namanya menjadi Wiku Syiwakirana dan menganggap dirinya sebagai titisan Batara Syiwa. Dengan sendirinya dia menganggap bahwa isterinya yang sejati adalah Batari Durgo. Karena Batari Durgo tidak atau belum ada titisannya menurut pendapatnya, maka dia membuat sebuah arca Durgo dari tembaga berlapis emas sebesar manusia dan diapun mendirikan perguruan Durgomantra untuk memuja dan menyembah Batari Durgo. Sebelum menjadi Wiku Syiwakirana, dia telah beristeri dan mempunyai seorang putera. Ketika anaknya terlahir, Wiku Syiwakirana menganggap puteranya itu putera Batari Durgo dan memberi nama Joko Kolomurtisebagai titisan Batara Kolo! Dan untuk melengkapi pemujaannya kepada Batari Durgo, dia secara diam-diam telah meracuni isterinya sendiri, ibu kandung Joko Kolomurti! Semenjak itu, dia tidak lagi beristeri, akan tetapi dia dapat mengambil gadis-gadis muda sebagai dayang atau selir sambil menanti munculnya "titisan" Batara Durgo untuk dijadikan isterinya. Kepada puteranya, Joko Kolomurti selalu ditekankan bahwa ibunya yang sejati adalah Btari Durgo yang patungnya disembah-sembah. Biarpun kepercayaan yang dianut itu membuat Wiku Syiwakirana seperti orang gila sehingga dia membunuh isterinya sendiri, namun dia bukanlah seorang yang lemah. Dia telah mempelajari berbagai ilmu dari negeri Cola, bahkan dia pandai pula menggunakan ilmu sihir dan racun-racun pembius sampai pembunuh.Dalam bimbingan seorang ayah tanpa ibu seperti itu, Joko Kolomurti menjadi besar dalam keadaan seperti tidak waras pula. Dia selau menganggap dirinya Sang Batara Kolo, atau titisannya . Akan tetapi karena diapun mempelajari kebudayaan yang diberikan guru-guru yang dipanggil ayahnya, dia menjadi seorang pemuda yang nampak lemah lembut dan sopan santun. Justeru keadaannya ini yang membuat dia lebih berbahaya dari ayahnya, karena pada lahirnya dia nampak sebagai seorang pendekar muda yang baik hati. Selain menguasai kebudayaan Joko Kolomurti juga mewarisi ilmu kedigdayaan dari ayahnya. Seperti telah dibuktikan dengan peristiwa tadi ketika seorang pemuda memimpin warga dusun yang menuntut dibebaskannya anak-anak mereka, terutama anak-anak gadis mereka, biarpun tidak waras, ayah dari penyembah Batara Daurgo itu ternyata cerdik sekali. Para murid itu sudah berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kekuatan sihir dan racun mereka itu telah menyerahkan segala-galanya kepada ayah dan anak itu. Bahkan banyak warga dusun yang kaya rela menyumbangkan harta mereka karena percaya bahwa Wiku Syiwakirana dapat menolong mereka dari kesulitan apa saja. Sang Wiku ini terkenal sebagai seorang "dukun" yang serba bisa dan pandai. Karena itu, hampir semua dusun di sekitar daerah itu merasa takut dan taat keppadanya. Kalau puluhan warag dusun itu berani menuntut agar anak-anak gadis mereka dibebaskan, hal itu adalah karena munculnnya seorang pemuda yang memimpin mereka. Niken Sasi bermimpi buruk sekali. Ia merasa seperti tenggelam dan hanyut ke dalam sungai yang airnya deras sekali. Ia terseret arus sungai itu dan berusah sekuat untuk menggrekkan kaki tangnnya agar tidak sampai tenggelam tiba-tiba seekor buaya menerkamnya. Niken meronta dan berusah melepaskan diri dari terkeman buaya itu namun sia-sia karena tenaganya terasa lemah. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya berada dalam pelukan seorang pemuda tampan. Joko Kolomurti ! Ia merasakan sesuatu yang amat luar biasa. Entah mengapa, ia merasa senang sekali berada dalam pelukan pemuda itu. Akan tetapi, biarpun kesadarannya mengambnag dan terasa jauh dan hanya lapat-lapat saja, namun kesadaran itu masih mengingatkan ia bahwa hal ini tidaklah patut, tidaklah benar ia harus mencegah, harus menolak! Ketika merasa betapa gadis yang dipeluknya itu meronta, Joko berbisik di dekat telinga Niken. "Diajeng, aku cinta padamu........,engkau adalah isteriku tersayang......" Alangkah merdunya suara dan kata-kata itu, amat menyenangkan hatinya. Akan tetapi biarpun lemah Niken membantah, "Tidak.....,aku tidak mau........! Lepaskan aku......!"Akan tetapi ia hanya meronta lemah dan agaknya sudah tidak ada kekuatan dan cara baginya untuk menghindarkan diri dari ancaman malapetaka yang dapat menimpa diri seorang gadis. Pada saat yang gawat bagi keselamatan dara yang kehormatannya terancam itu, berkelebat bayangan orang yang tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Melihat Niken yang meronta-ronta dalam rangkulan Joko Kolomurti, pemuda itu membentak , "Manusia berhati iblis! Lepaskan gadis itu!" Dan sekali sambar, lengan Joko sudah dipegangnya dan ketika dia menarik, tubuh Joko tertarik dan pelukannya terlepas dari tubuh Niken. Dengan bingung Niken bangkit dengan lemah, membetulkan pakaiannya yang awutawutan dan rambutnya yang terlepas sanggulnya dan hanya memandang kepada pemuda itu yang kini sudah berhadapan dengan Joko. Ketika Joko merasa dirinya ditarik orang sampai terlepas dari pelukannya, dia marah bukan main. Cepet dia membalik dan ketiak melihat siapa orang yang menariknya, kemarahannya meningkat, akan tetapi juga bercampur perasaan jerih ketika dia mengenal bahwa pemuda itu adalah pemuda sakti yang siang tadi memimpin warga dusun menyerbu Drgomantra. Kemarahan dan rasa takut membuat daia menjadi nekat. "Tolooooooonnggg...........! Maliinggg......!" Dia berteriak nyaring dan cepat menghunus kerisnya dan menubruk, menyerang ke arah pemuda itu dengan dahsyatnya. Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali pemuda itu dapat menghindar ke kiri dan sekali tangannya menangkis pergelangan tangan Joko yang memegang keris, keris itupun telepas dari pegangan dan Joko mengeluh karena lengannya seperti dipukul sepotong besi. Dan pada saat itu, kaki pemuda itu sudah menyambar. Joko menangkis dengan tangannnya, akan tetapi tetap saja.Tangan dan tubuhnya menerima tendangan yang amat dahsyat, yang menyebabakan tubuh Joko terpental dan menabrak dinding lalu jatuh pingsan! Demikian hebatnya tendangan pemuda itu yang agaknya sudah marah sekali melihat perbuatan Joko tadi. Akan tetapi pada saat itu,puluhan orang anggota Durgamantra sudah tiba di luar kamar itu dan pintu ditendang dari luar. Muncullah Wiku Syiwakirana sendiri bersama puluhan orang muridnya. Matanya yang besar dan mencorong itu mengamati keadaan dalam kamar puteranya yang diterangi lampu dinding dan melihat puteranya telentang di susdut dalm keadaan pingsan, dia marah bukan main. Kemarahannya memuncak ketika dia mengenal pemuda yang berdiri di dalam kamar itu sebagai pemuda pengacau yang siang tadi memimpin warga dusun. "Tangkap gadis itu dan bunuh pemuda ini!" bentaknya. Para muridnya menyerbu dengan senjata di tangan. Aada yang membawa keris, adapula yang membawa golok atau tombak. Melihat ini dan mengingat bahwa dara yang ditolongnya itu masih berada dalam keadaan tidak berdaya, pemuda itu lalu menyembar Niken lalu membawanya meloncat. Tubuhnya melayang diatas kepala para penyerbu itu dan tiba di luar pintu. Ketika Wiku Syiwakirana hendak mencegahnya dengan pukulan tangan kanan yang dahsyat, pemuda itu yang kini memondong tubuh Niken dengan lengan kiri menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga dan akibatnya, Wiku Syiwakirana terpental jauh ke belakang. Semua muridnya terkejut dan tertegun, kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda itu untuk meloncat dan menghilang dalam kegelapan malam yang diakibatkan oleh mendung yang tiba-tiba menghalangi sinar bulan purnama. Siapakah pemuda yang memiliki kesaktian hebat itu sehingga dengan mudah dia mampu mengalahkan Joko Kolomurti dan Wiku Syiwakirana" Dia adalah Budhidharma. Seperti telah diceritakan di bagian depan,setelah mempelajari ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari gurunya, Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi, Budhi disuruh turun gunung oleh gurunya. Dia mendapat tugas untuk mencari Tilam Upih,kemudian baru dia akan mengunjungi Gunung Anjasmoro, mencari perkumpulan Gagak Seto dan menemui ketua Gagak Seto untuk menuntut penjelasan mengapa Gagak Seto membunuh ayah ibunya. Ketika melakukan perjalanan ke selatan, dengan tujuan pantai Laut Kidul untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih, tibalah dia di kaki bukit Girimanik. Dan di dusun di kaki bukit itulah dia melihat banyak orang bersedih hati dan ketika dia bertanya, mereka menceritakan bahwa anak-anak mereka, terutama gadis-gadis cantik, tidak mau pulang ke rumah dan menjadi anggota perguruan yang dianamakan Durgomantra di Girimanik.Setelah mendapat keterangan dengan jelas, Budhi lalu menghimpun para warga dusunyang memiliki anak-anak yang tidak mau pulang itu beramai-ramai mereka mengunjungi Girimanik. Dan seperti suadah diceritakan di depan di bagian depan, Budhi mengajak para warga dusun itu untuk mendatangi Durgomantra dan menuntut dikembalikannya anak-anak mereka. Akan tetapi, dengan terkejut sekali Budhi dihadapi dan dilawan Niken yang membela pihak Durgomantra! Dia amat terkejut dan heran melihat adanya seorang gadis yang demikian digdaya membela Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perkumpulan sesat itu. Dari sikap dan kata-kat gadis itu, maklumlah dia bahwa gadis itu telah tertipu dan menganggap perkumpulan Durgomantra sebuah perguruan yang baik. Inilah yang menyebabkan dia mengajak para warga dusun untuk mundur. Dia sendiri lalu melakukan penyelidikan karena khawatir bahwa gadis perkasa itu di bawah pengaruh pemimpin Durgomantra seperti halnya para gadis puteri warga dusun. Dan kebetulan malam itu diadakan malam pesta pemujaan Sang Bathari Durgo. Budhi mengintai dan melihat pula betapa Niken seperti orang mabok dan digandeng oleh Joko Kolomurti ke dalam rumah.Dia mendapat parasaan tidak enak, maka dengan mempergunakan kepandaiannya, dia menyelinap masuk ke dalam rumah itu dan membayangi Joko Kolomurti. Demikianlah, akhirnya dia dapat menyelamatkan Niken yang nyaris menjadi korban kekjian Joko Kolomurti. Niken mengeluh dan merintih lirih ketika Budhi melepaskannya dari pondongan dan merebahkannya di atas rumput tebal di bawah pohon besar. "Ahh.........badanku panas........ahhh,mengantuk sekali dan lemas........" keluh gadis itu dengan gelisah. Budhi maklum bahwa gadis itu terpengaruh oleh minuman yang mengandung racun pembius dan mungkin perangsang, ditambah lagi pengaruh sihir yang membuat pikirannya menjadi gelap dan keasadarannya lenyap. Dia lalu duduk bersial dekat Niken, bersedekap mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir pengaruh sihir yang menguasai pikiran Niken. Juga dia mengerahkan kekuatan pikirannya untuk mempengaruhi Niken agar tertidur. Dia yakin bahwa pengaruh racun itu akan lenyap dengan sendirinya setelah beberapa waktu dan jalan satu-satunya yang terbaik bagi gadis itu adalah dapat tidur pulas. Usahanya berhasil. Niken dapat tidur pulas di atas rumput yang lunak. Budhi tetap duduk bersila di dekatnya sampai malam itu terlewat. Setelah matahari pagi mulai membakar ufuk timur dengan cahayanya yang kemerahan dan daun-daun pohon mulai nampak, Budhi sadar dari samadhinya. Dia mendengar suara gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya. Gadis itu terbelalak seperti orang kaget, lalu bangkit duduk, agak menggigil kedinginan karena tubuhnya sudah basah oleh embun, kemudian ia menoleh ke kiri dan melihat Budhi duduk bersila di dekatnya. "Ihhhhh.....!" Ia menjerit kecil dan meloncat berdiri bagaikan disengat kalajengking, dan berdiri dalam keadaan siap. Ia mengingat-ingat dan melihat letak pakaiannya dengan khawatir. Masih lengkap, dan ia bernapas lega. Budhi juga bangkit berdiri, mamandang gadis itu dengan tenang. Kini Niken sudah sadar sepenuhnya. Ia teringat bahwa ia ikut merayakan pesta yang meriah. Lalu tidak ingat apa-apa lagi. Kenapa tahu-tahu ia berada di sini, tidur di atas rumput dan pemuda itu berada di dekatnya" Pemuda itu! Tentu saja ia teringat. Pemuda itu adalah pemuda yang memimpin warga dusun menyerbu ke Durgomantra! Dan pemuda itu yang berani dan mampu menahan pukulan aji Hasta Bajra! Tentu pemuda ini telah menculiknya dari perguruan Durgamantra selagi ia tertidur. "Jahanam! Sungguh jahat engkau !" bentaknya dan karena ia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh serta merta ia menyerang dengan aji Hasta Bajra yang amat ampuh.Kemarahan dan sangkaan buruk membuat ia menyerang dengan dahsyat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Budhidharma telah siap siaga. Dia memang telah menduga dan memperhitungkan sikap Niken ini yang tidak percaya kepadanya, maka begitu diserang, dia telah dapat berkelebat dan mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Sebelum Niken menyerang lagi. Budhidharma melompat ke belakang dan berseru dengan suara berwibawa, "Tahan dulu! Andika terburu nafsu dan salah sangka. Aku bukanlah musuhmu, bahkan telah membebaskanmu dari cengkeraman iblis yang amat keji! Andika memang seorang dara yang gagah perkasa, akan tetapi jelas kurang pengalaman sehingga mudah saja terpengaruh oleh pimpinan Durgomantra yang menggunakan ilmu sihir dan racun!" Niken menahan gerakan serangannya dan tertegun. "Apa kau bilang" Engkaulah yang jahat, menghasut warga dusun untuk minta anak-anak mereka dibebaskan. Padahal, anak-anak mereka yang telah menjadi murid Durgomantra itu hidup bahagia dan mereka menjadi murid atas kehendak sendiri. Jangan kau membohongi aku!" "Aku sama sekali tidak berbohong.Andika agaknya belum tahu orang-orang macam apakah Wiku Syiwakirana dan puteranya yang bernama Joko Kolomurti itu! Gadisgadis itu telah disihir dan dibius, dan andika sendiri tadipun dibius dengan minuman keras dan sihir sehingga hampir saja ternoda oleh Joko Kolomurti. Aku datang menghalangi perbuatan terkutuknya. Mereka itu pemuja Bathari Durgo dan mereka tidak pantang melakukan segala perbutan busuk." Niken mulai ragu. Pemuda ini kelihatan memang tidak jahat, akan tetapi mengapa duduk bersila di dekat ia yang sedang tidur di situ?"Apa yang kaulakukan tadi" Kenapa engkau membawaku ke sini, dan apa yang terjadi denganku?" "Andika berada dalam pengaruh obat bius dan sihir. Terpaksa aku merampasmu dan membawamu ke tempat ini setelah melarikan diri. Aku merebahkan andika di sini dan dengan pengerahan tenaga batin aku berhasil membersihkan pengaruh sihir dari pikiran andika. Akan tetapi pengaruh racun pembius itu baru dapat lenyap setelah andika tidur." Niken mengingat-ingat dan lapat-lapat ia teringat betapa ia tidur di kamar Joko Kolomurti memeluknya dan ia merasa demikian senang dirangkul pemuda itu, akan tetapi ia metronta karena tahu bahwa hal itu tidaklah benar. "Tidak berbohongkah engkau" Benarkah aku dipengaruhi sihir dan ditipu mereka?" Akhirnya ia bertanya dengan ragu sambil menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya. Wajah itu demikian tampan dan gagah dan baru sekarang Niken menyadarinya. Sepasang mata itu demikian tajam mencorong penuh kekuatan. "Kata-kat memang kosong dan dapat saja berbohong. Karena itu aku persilakan andika menemui warga dusun. Mereka itu adalah orang-orang dusun yang kehilangan anak mereka. Mereka tidak akan berbohong." Niken mengangguk-anggik, merasa bahwa pendapat itu memang benar. Orang-orang dusun adalah orang-orang yang sederhana, dan mereka adalah orang-orang yang kehilangan anak mereka. Mengapa mesti berbohong kalau memang anak mereka hidup bahagia diperguruan Durgomantra" "Baiklah, aku mau ikut denganmu menemui para warga dusun. Akan tetapi siapakah engkau" Engkau meiliki kepandaian tinggi, mampu menandingi pukulanku. Dari perguruan mana engkau datang?" Budhidharma tersenyum. Senang hatinya bahwa dara ini mulai percaya kepada kepadanya. Kalau dia ditemani seotrang gadis seperti ini, tentu dengan mudah dia akan dapat menundukkan perguruan Durgamantra. Ketika dia kemarin mengajak warga dusun mundur, adalah karena adanya gadis ini di pihak lawan. "Namaku Budhidharma, bukan dari perguruan manapun. Aku datang dari Gunung Kawi dan kebetulan saja lewat daerah ini dan mendengar keluhan para warga dusun yang yang kehilangan anak mereka, maka aku lalu berusaha turun tangan membantu mereka. Dan andika sendiri, siapakah dan bagaimana dapat berada di tempat seperti itu?" "Namaku Niken," ia tidak memberi tahu nama lengkapnya karena khawatir dikenal orang sebagi cucu raja. "Aku sedang melakukan perjalanan merantau dan kebetulan lewat di sini pula. Di sebuah dusun aku terjebak dan tertawan oleh gerombolan penjahat. Akan tetapi aku diselamatkan oleh Joko Kolomurti yang membawaku lari dari sarang gerombolan itu. Karena berterima kasih dan berhutang budi atas pertolongannya yang membebaskan aku dari bencana yang mengerikan, aku lalu memenuhi undangannya untuk berkunjung ke Girimanik. Tentu saja aku menganggap Joko sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berbudi baik." Budhidharma mengangguk-angguk. Kini dia mengerti mengapa seorang gadis seperti Niken dapat membantu perguruan Durgomantra. Kiranya gadis ini berhutang budi kepada Joko Kolomurti! Dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya gadis ini terancam kehormatannya ketika terjebak gerombolan penjahat dan kebetulan Joko Kolomurti melihatnya dan pemuda itu tentu saja menolong gadis secantik ini agar tidak menjadi mangsa orang lain, melainkan menjadi mangsanya sendiri! Bagaikan seekor harimau yang menolong seekor kambing dari terkaman srigala, mengusir srigala itu kemudian dia sendiri menerkam kambing yang ditolongnya! "Sekarang mengertilah aku! Niken, aku tidak menyalahkanmu, dan tentu saja engkau menganggap Joko seorang pemuda yang berbudi baik dan pantas dibela. Akan tetapi, berhati-hatilah. Di dunia ini banyak sekali srigala dan harimau berkeliaran memakai kedok domba.Nanti engkau akan mengetahui sendiri orang macam apa sebenarnya pemuda itu dan ayahnya." Mereka lalu menuju kesebuah dusun dan disambut oleh warga dusun. Dari mereka inilah Niken mendengar cerita tentang sepak terjang perguruan Durgomantra. Rahasia perguruan itu, perbutan mereka yang penuh kemesuman, terbongkar ketika gadis-gadis yang tidak cantik tidak dapat diterima menjadi murid, dan ada pula gadis-gadis yang tidak dapat dipengaruhi dan berhasil meloloskan diri pulang ke dusun mereka. Mereka inilah yang menceritakan segala peristiwa yang menyeramkan yang terjadi di Girimanik. Betapa murid-murid wanita diberi minuman dan menjadi liar, kemudia mereka ini harus melayani Wiku Syiwakirana dan Joko Kolomurti sebagai dayang yang bukan lain hanya dijadikan pemuas nafsu biadab mereka. Betapa pesta pemujaan Bathari Durgo itu pada hakekatnya adalah pesta yang penuh kecabulan, di mana para murid pria dan wanita yang sudah minum anggur darah menjadi hambahamba nafsu yang mabok dalam kemesuman. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngerinya hati Niken mendngar keterangan ini. Bahkan ia masih agak ragu dan tidak percaya sepenuhnya mengingat betapa Joko Kolomurti sudah menolongnya dan bersikap baik dan sopan. Akan tetapi iapun mengerti bahwa agaknya tidak mungkin para warga tani ini berbohong. Kalau memang perguruan Durgomantra merupakan tempat yang baik bagi anak-anak merek, membuat anak-anak mereka hidup berbahagia, untuk apa mereka itu merasa penasaran dan menghendaki kembalinya anak-anak mereka" "Mari,sekarang juga kita datangi mereka!" Akhirnya dia berkata penuh semangat. "Kalau benar seperti apa yang kalian ceritakan, aku akan menghancurkanDurgomantra!" Sekitar limapuluh orang warga dusun itu berbondong-bondong mengikuti Niken dan Budhi mendaki bukit Girimanik. Hari masih pagi sekali, udara masih amat dingin dan Girimanik masih diliputi kabut. Karena hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ingin cepat-cepat membuktikan sendiri kebenaran cerita warga dusun, Niken berlari cepat dan hanya Budhi saja yang mampu mendampinginya. Warga dusun itu tertinggal jauh. Setelah tidak berhasil menangkap Budhi yang melarikan Niken, para anggota Durgomantra terpaksa kembali dan melanjutkan pesta pora mereka. Mereka sudah mabok nafsu, dan mabok minuman yang membuat mereka lupa diri sehingga pagi itu masih banyak di antara mereka yang belum sadar. Ketika tiba di pintu gerbang perkampungan Durgomantra, Niken dan Budhi melihat bahwa tidak ada seorangpun penjaga yang di situ dan suasananya sunyi sekali, seolah perkampungan itu telah ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi panggung yang didirikan di depan rumah indul itu masih ada dan lampu-lampu gantung masih belum dipadamkan karena kabut membuat cuaca di situ masih gelap remang-remang. Niken masih teringat akan semua yang dialami sebelum ia kehilangan kesadarannya. Panggung inilah yang dijadikan tempat pesta pemujaan patung Bathari Durgo. Akan tetapi sekarang patung itu sudah tidak nampak. Juga Wiku Syiwakirana dan puteranya, Joko Kolomurti sudah tidak berada di panggung itu membuat Niken membuang muka dan bulu tengkuknya meremang. Ngeri rasa hatinya melihat pra murid Durgomantra yang bergelimpangan di situ. Laki-Laki dan perempuan capur aduk tidur malang melintang dengan busana yang tidak karuan, banyak yang hampir telanjang. Ada pula yang masih berpelukan. Pendeknya, jelas nampak bekas-bekas tempat pesta pora penuh kemesuman di panggung itu. Melihat keadaan Niken, Budhi bertanya, "Andika sudah percaya sekarang, Niken?" Niken yang wajahnya berubah merah sekali mengangguk. "Sungguh aku tidak mengira sama sekali, Budhi. Mari kita cari wiku jahanam itu!" Mereka lalu meloncat memasuki rumah dan Niken yang sudah tahu di mana kamar sang wiku, lalu langsung menuju ke sana. Daun pintu kamar itu masih tertutup dan sekali doring dengan kedua tangannya, daun pintu itu jebol dan mengelurkan suara keras. Dan apa yang dilihatnya di sebelah dalam kamar itu membuat Niken mundur kembali dengan wajah tersipu dan membuang muka. Sang Wiku Syiwakirana rebah dirubung tujuh orang gadis cantik seperti seekor jangkrik dikerumuni semutsemut! Wiku Syiwakirana yang sudah sadar itu juga kaget bukan main melihat pintu jebol. Apalagi melihat munculnya Niken di depan pintu bersama seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda pengacau yang menghasut warga dusun. Dia segera melompat sambil membulkan letak pakaiannya, lalu menyambar sebatang tombak yang berada di sudut kamar. Tombak itu mengeluarkan sinar dan ujungnya menghitam tanda bahwa senjata itu mengendung racun. Para wanita yang tadinya mengerumuni Wiku Syiwakirana dan melayaninya, menjadi ketakutan dan berkumpul di sudut kamar sambil berjongkok dan tubuh mereka menggigil. "Wiku jahanam!" Niken membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ketua Durgomantra itu. "Kiranya benar kata para warga dusun. Engkau seorang yang hina dan busuk!" Wiku Syiwakirana yang maklum bahwa kedatangan gadis itu tentu tidak membawa niat baik terhadap dirinya, tidak banyak cakap lagi dan dia sudah menggerakkan tombaknya, menyerang dengan dahsyat dan ganasnya. Tombak yang mengandung racun Pedang Penakluk Iblis 13 Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis Golok Halilintar 10

Cari Blog Ini