Asmara Dibalik Dendam 5
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 5 mematikan itu meluncur cepat ke arah dada Niken. Gadis perkasa ini maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah dan serangan itu merupakan serangan maut. Ia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak ke kiri dan tombak itu meluncur lewat, ia cepat memutar lengan kanannya untuk menangkis gagang tombak sambil mengerahkan tenaga Hasta Bajra! "Wuuuuutttt.......!" Wiku Syiwakirana terkejut, merasakan sambaran angin tangkisan lengan itu, dan dia segera menarik kembali tombaknya dan sekali tombak itu meluncur, kini tombak sudah menyerang lagi ke arah perut Niken! Kini Niken melompat ke luar kamar karena kamar itu tidak cukup luas baginya untuk melawan Wiku Syiwakirana yang bersenjata tombak berganggang panjang. Kesempatan itu dipergunakan Wiku Syiowakirana untuk melompat kesebelah kiri kamar dan tiba-tiba dia lenyap dari dalam itu. Niken terkejut, tak disangkanya ketua Durgomantra itu menggunakan pintu rahasia untuk melarikan diri. Ketika ia hendak memasuki kamar itu kembali, ia mendengar seruan Budhi di belakangnya. "Niken, awas senjata gelap!" Akan tetapi Niken cukup waspada. Ia dapat mendengar suara desiran angin pisaupisau yang meluncur dari dalam kamar ke arahnya itu. Kiranya, tujuh orang gadis dayang atau murid Durgomantra yang tadi melayani sang ketua, telah menggunakan pisau-pisau belati untuk menyerangnya. Dengan berani Niken lalu menggerakkan kedua tangannya dan ia sudah menangkis dan menampari tujuh buah pisau itu sehingga runtuh di atas lantai. Ia tidak lagi memperdulikan tujuh orang gadis yang ia tahu telah terpengaruh sihir ketua Durgomantra dan berlari menuju ke kamar Joko Kolomurti. "Niken, hati-hati.....!" Dari belakangnya Budhi memperingatkannya. Seperti juga tadi, Niken mendobrak pintu kamar Joko Kolomurti. Dan tidak ada bedanya dengan keadaan dalam kamar Wiku Syiwakirana, ia melihat Joko Kolomurti yang dianggpnya seorang pemuda yang baik dan bijaksana itu dikerumuni lima orang gadis murid perguruan Durgomantra. Joko Kolomurti terkejut bukan main ketika daun pintu kamarnya roboh dan melihat bahwa yang muncul adalah Niken, dia menjadi ketakutan. Dengan pakaian awut-awutan diapun melompat dan menerjang keluar pintu yang sudah jebol itu. Dia sudah memegang sulingnya dan memutar suling itu untuk menyerang siapa saja yang yang berani menghalangi larinya. "Jahanam busuk!" Niken yang sudah marah itu tentu saja tidak mau membiarkan Joko lari dan ia sudah manyambut dengan tamparan tangan kirinya. Joko menangkis dengan sulingnya. "Krakk!" Suling itu pecah ketika bertemu dengan tangan Niken dan Joko Kolomurti terhuyung ke samping di mana berdiri Budhi. Melihat Budhi, Joko marah bukan main karena dia menganggap pemuda ini yang menggagalkan segala-galanya. Secepat kilat dia mencabut kerisnya dan menubruk ke arah Budhi dengan tikaman maut! Namun, dengan tenang saja Budhi mengelak ke samping dan ketika tubrukan itu luput, kakinya mencuat dan sebuah tendangan mengenai dada Joko Kolomurti, membuat pemuda itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu terdengar Niken berseru, "Budhi, jangan bunuh dia!" Budhi memutar tubuhnya menghadapi Niken dan memandang heran, sedangkan Joko Kolomurti bergerak untuk bangkit berdiri. Agaknya dia sudah putus asa dan jerih, maklum bahwa dia tidak akan mampu menadingi kedua orang lawan itu, dan berdiri menyeringai kesakitan. "Joko Kolomurti, jahanam busuk! Mengingat engkau pernah menolongku satu kali, aku mengampunimu untuk sekali ini. Akan tetapi lain kali kalau aku bertemu dengan engkau dan melihat engkau masih berbuat kejahatan, aku akan membunuhmu! Pergilah!" bentak Niken. Joko Kolomurti cepat melompat dan melarikan diri. Melihat ini, diam-diam Budhi merasa kagum. Sikap Niken itu menunjukkan bahwa gadis itu adalah seorang yang mengenal budi Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ternyata para warga dusun sudah diserang oleh para murid Durgomantra yang dipimpin oleh Wiku Syiwakirana sendiri! "Budhi, kau bantulah warga dusun biar wiku jahanam itu aku yang menghadapi!" kata Niken yang cepat berkelebat ke arah pertempuran. Budhi percaya bahwa dara itu akan mampu manandingi sang wiku. Dia lari ke arah pertempuran dan melihat betapa ada bebrapa warga dusun yang sudah roboh oleh amukan para pemuda dan gadis murid perguruan Durgomantra yang mengamuk seperti kesetanan itu. Dia lalu menggunakan kecepatan gerakannya berkelebat ke sana sini dan setiap kali menampar, tentu ada seorang lawan yang roboh. Sepak terjangnya itu mengacaukan pihak lawan dan kesempatan itu dipergunakan Budhidarma untuk berseru agar para warga dusun berlindung ke belakangnya. Setelah para warga dusun itu berdiri di belakangnya. Budhi lalu melompat ke atas panggung dan berseru kepada para murid Durgomantra yang masih kelihatan penasaran dan hendak menyerang lagi. "Kalian semua dengarlah! Kalian murid-murid Durgomantra telah dibawa ke jalan sesat oleh Wiku Syowakirana! Kalian telah ditekan oleh kekuatan sihir! Kalian dimabokkan oleh minuman beracun! Ingat, diantara para warga dusun ini terdapat ayahmu sendiri! Sudah benarkah seorang anak melawan ayahnya sendiri! Sadarlah, kalian telah dibawa ke jalan sesat!" Setelah berkata demikian, Budhi lalu mengeluarkan teriakan melengking panjang.Semua orang terkejut mendengar pekik yang melengking-lengking ini. Akan tetapi akibatnya amat hebat. Di antara puluhan orang murid Durgomantra itu, yang tadiinya terpengaruh sihir, mendadak seperi orang disiram air dingin yang membuat mereka sadar! Itulah pekik yang mengendung aji Naga Kroda {Naga Marah}. Pekik yang mengandung kekuatan sakti dan mamapu menghancurkan pengaruh sihir. Mereka yang terlepas dari pengaruh sihir itu segera membuang senjata mereka dan berlarian menghampiri orang tua masingmasing. Terjadilah adegan yang mengharukan ketika para pemuda dan gadis yang telah sadar itu merangkul ayah masing-masing dengan tangis. Akan tetapi di antara mereka terdapat duapuluh orang lebih murid bawaan Wiku Syiwakirana, dan mereka ini memang orang-orang yang sudah memiliki watak yang buruk dan sesat seperti guru mereka. Mereka tidak lagi dipengaruhi sihir melainkan membantu guru mereka dengan suka rela karena mereka setuju dan cocok sekali dengan jalan hidup yang ditempuh gurunya. Mereka inilah yang menjadi marah dan dengan nekat mereka maju untuk menyerang Budhi. Melihat ini, Budhi melayang turun dari panggung dan menghadapi mereka dengan tamparan danntendangan yang tidak mematikan, namun cukup terasa untuk membuat mereka berpelantingan. Sementara itu, Wiku Syiwakirana sudah berhadapan dengan Niken. Ketika pintu kamarnya diterjang Niken, dia merasa jerih dan melarikan diri, akan tetapi itu hanya untuk mengumpulkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Betapapun tangguhnya gadis dan pamuda itu, kalau dia maju mengeroyok bersama putera dan para muridnya, tentu mereka berdua akan mampu ditundukkan. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika dia mendengar Budhi menggunakan aji teriakan melengking yang membuyarkan kekuatan sihirnya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang sakti mandraguna.Setelah sebagian besar muridnya kini tidak lagi mau membelanya dan sudah kembali kepada orang tua masing-masing, dia menjadi jerih dan dia sudah meloncat untuk melarikan diri! Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Niken telah berdiri didepannya dengan senyum mengejek. Wiku jahanam, dukun lepus! Engkau hendak lari ke mana?" bentak gadis itu denga marah, tangan kiri betolak pinggang, tangan kanan meraba gagang keris Megantoro, mulutnya tersenyum mengejek dan pandang matanya mencorong menyeramkan hati Wiku Syiwakirana. Karena tidak melihat jalan untuk melarikan diri lagi, ketua perguruan Durgomantra itu mejadi nekat dan marah. "Bocah setan! Aku akan membunuhmu!" bentaknya dan tombak di tangannya sudah meluncur ketika dia menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi Niken sudah siap siaga. Sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut keris pusaka Megantoro dan ia miringkan tubuhnya sambil meliuk ke kanan, kemudian ketika tombak lewat di sisi tubuhnya, ia menggerakkan kaki kanan ke depan disusul kerisnya menghujam ke arah lambung kiri Wiku Syiwakirana. Akan tetapi kakek itupun memiliki gerakan yang gesit. Dia sudah menarik tombaknya dan menggunakan gagang tombak yang diputar untuk melindungi lambungnya. "Traggg........!" Keris itu tertangkis gagang tombak yang diputar sedemikian rupa sehingga tombak itu kembali menyambar, sekali ini menyerampang ke dua kai Niken. Gadis inipun tidak menjadi gugup. Ia memang memiliki garakan yang lincah dan ringan sekali. Ketika tombak menyerampang kedua kakinya, ia meloncat ke atas sehingga tombak menyambar bawah kakinya dan dengan tubuhmelompat ke atas itu, Niken dapat menggerakkan kaki kiri langsung menendang dari udara yang menyambar ke arah leher lawan! "Ahhhh.......!" Wiku Syiwakirana terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan leher dan dagunya disambar kaki kecil mungil namun kuat sekali itu. Dia terpaksa berjungkir balik dan pada saat tubuh Niken sudah turun, tombaknya sudah meluncur lagi menusuk ke arah perut Niken. Ketika gadis itu mengelak, tombaknya menusuk lagi ke arah dada. "Trang-trang-tranggg......!" Tiga kali Niken menangkis tusukan-tusukan yang datangnya bertubi-tubi itu. Akan tetapi kali ini agaknya Wiku Syiwakirana sudah mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan jurus Tomara Sewu { Seribu Tombak} sehingga serangannya itu sambung menyambung dan susul menyusul. Tentu saja menghadapi hujan serangan tombak yang panjang itu. Niken yang hanya mempergunakan senjata keris menjadi kewalahan. Terpaksa ia melompat ke belakang,agak jauh tidak terjangkau tombak lawan lalu diam-diam mengerahkan aji Hasta Bajra ke dalam kedua lenganny. Cepat ia menyarungkan kerisnya dab ketika lawan menghambur maju lagi untuk mengirim serangkaian serangan, Niken memukul ke depan dengan dua tangan terbuka mendorong disertai aji Hasta Bajra sambil berteriak nyaring. "Haiiiiiiiittt...............!" "Dessss.......!" Angin yang amat kuat menyambar dan tubuh Wiku Syiwakirana tidak kuat lagi bertahan, jatuh terjengkang dan bergulingan. Dia merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas dan pada saat itu, sekali loncat Niken sudah berada dekat dengannya dan gadis itu menyambar tombak yang terlepas dari tangan pemiliknya. Melihat ini, Wiku Syiwakirana menjadi jerih dan diapun bangkit dan lari menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya. "Hendak lari ke mana kau?" Niken membentak, tangan kanannya bergerak dan tombak rampasan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya, tak terhindarkan lagi mengenai punggung Wiku Syiwakirana sampai tembus ke dadanya! Akan tetapi tubuh kakek itu masih berlari terhuyung memasuki rumah itu dan baru dia jatuh setelah tiba di ruangan dalam,jatuh menelungkup akan tetapi dadanya tidak sampai menyentuh lantai karena terhalang tombak yang tembus dadanya itu. Tewaslah dia seketika. Melihat ketua mereka tertembus tombak, sisa anak buah perguruan Durgomantra menjadi ketakutan dan mereka melempar senjata lalu melarikan diri cerai berai. Mereka yang sudah terlukapun berusaha sedapat mungkin untuk melarikan diri. Budhi dan Niken tidak melakukan pengejaran terhadap mereka. Setelah semua anak buah Durgomantra melarikan diri, Budhi dan Niken saling pandang. Pemuda itu ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang gadis perkasa ini selanjutnya, maka iapun bertanya, Niken, apa yang akan andika lakukan sekarang?" Niken berpikir sejenak, kemudian menjawab tanpa ragu lagi, "Tempat maksiat dan terkutuk ini harus dibasmi habis, dibumi-hangiskan. Barang-barang berharga yang berada di dalamnya dibagi-bagikan kepada [para warga dusun yng telah bersatu kembali dengan anak-anak mereka, selain untuk menebus kerugian mereka lair batin, juga agar taraf kehidupan mereka meningkat. Bagaimana pendapatmu, Budhi" Apakah engkau memiliki rencana lain?" Budhi tersenyum dan mengangguk. "Sebuah pikiran yang amat bagus dan benar, Niken. Akan tetapi patung itu harus dibakar agar tidak dipuja kembali oleh siapapun, karena pemujaan itulah sumber kemaksiatan ini." Niken setuju dan ia sendiri lalu mengukur pembagian barang-barang berharga yang dikeluarkan dari rumah besar itu kepada para warga dusun dan anak mereka. Kemudian, beramai-ramai mereka membakar rumah besar itu. Patung Bathari Durgo dan jenazah Wiku Syiwakirana ikut terbakar. Ketika warga dusun yang kegirangan itu membawa pulang anak-anak mereka dan barang-barang bagian mereka, Budhi dan Niken telah pergi jauh menurunibukit Girimanik. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni bukit itu dan agaknya Niken sengaja hendak menguji kepandaian Budhi maka iapun berlari seperti terbang cepatnya. Akan tetapi, Budhi dapat selalu mengimbangi kecepatan larinya sehingga diam-diam Niken merasa kagum juga. Jelas bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan Joko Kolomurti. Hatinya tertarik, kan tetapi pengalamannya dengan Joko masih menggores kalbunya, membuat ia tidak mudah percaya begitu saja kepada laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah. Mereka berdua yang berlari cepat itu sudah tiba di kaki bukit dan Niken berhenti berlari. Lehernya agak basah oleh keringat, akan tetapi ketika ia memandang kepada Budhi, ternyata pemuda ini sama sekali tidak berkerigat dan pernapasannya biasa saja, tidak seperti ia yang agak terengah. "Budhi, kenapa engkau mengikuti aku?" tanya Niken dengan suara mengandung kecurigaan. Setelah pengalamannya dengan Joko Kolomurti, ia tidak dapat percaya kepada Budhi begitu saja. Di todong pertanyaan yangtidak disangkanya itu, Budhi tertegun. "Eh, kenapa" Aku...........tidak mengikutimu,Niken." jawab Budhi agak gugup. "Hemm, kalau tidak mengikuti mengapa engkau mendampingiku ketika aku lari meninggalkan Girimanik" Mau apa sebetulnya engkau ini" Katakan saja terus terang!" Wajah Budhi menjadi agak kemerahan, akan tetapi hatinya merasa penasaran sekali. "Niken, kau sangka aku ini mau apa" Kita sudah bekerja sama menetang perguruan sesat Durgomantra, setelah berhasil dan selesai kita turun bukit berdua. Apa salahnya itu" Agaknya engkau tidak percaya dan curiga kepadaku!" "Setelah apa yang kualami di Durgomantra, aku tidak dapat mempercayai semua pria dan tidak akan terkecoh lagi oleh penampilan yang baik." "Bagus! Memang seharusnya demikian, Niken. Andika seorang wanita muda yang melakukan perjalanan seorang diri. Kalau tidak berhati-hati menjaga diri, dapat dihadapi banyak bahaya. Memang sudah sepantasnya andika mencurigai dan tidak percaya kepadaku, karena kita baru saja saling jumpa dan berkenalan. Akan tetapi sungguh aku tidak bermaksud untuk mengikutimu. Memang perjalananku menuju ke selatan maka aku menuruni lereng bagian selatan ini." Niken memandang tajam penuh selidik. Pemuda ini seorang yang digdaya, datang dari Gunung Kawi dan menuju ke selatan! Ke mana lagi tujuan perjalanan nya kalau bkan ke Lautan Kidul, apa lagi yang dicarinya kalau bukan keris pusaka Tilam Upih" "Hemmm,engkau mencari Tilam Upih?" tanyanya dan matanya yang bening itu bersianar tajam menembus seperti hendak menjenguk isi hati dada Budhi. Budhi terkejut, akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan apapun. Pemuda ini memang sudah memiliki batin yang kuat sekali sehingga dia dapat mengendalikan perasaannya. Dia hanya tersenyum memandang wajah dara itu. "Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?" "Karena engkau pernah menolongku, aku mau memberi tahu kepadamu, Budhi. Tidak perlu kau cari ke mana-mana. Tilam Upih sudah berada di tangan Adipati Surodiro di Nusa Kambangan dan kabarnya Surodiro hendak mengadakan sayembara. Siapa yang mampu mengalahkannya, dialah yang berhak memiliki Tilam Upih.Nah,engkau boleh mencari kesana dan selamat tinggal!" Tanpa menanti jawaban Niken lalu meloncat jauh ke depan dan lari dengan kecepatan terbang. Budhi mengikuti bayangan dara itu dengan pandang matanya dan dia menghela napas panjang beberapa kali. Seorang dara yang bukan main, pikirnya. Dia harus mengakui bahwa hatinya amat tertarik kepada Niken. Tertarik penuh kekaguman terhadap dara itu. Cantik jelita, gagah perkasa, berani dan baik budi, walaupun terkadang dapat bersikap galak seperti seekor harimau betina.Dia menghela napas beberapa kali lalu melanjutkan perjalanannya. Tilam Upih berada di Nusa Kambangan" Dia percaya bahwa Niken tidak berbohong, maka dipun menujukan langkahnya ke barat karena dia akan berkunjung ke Nusa Kambangan! *** Sepasang orang muda yang melangkah perlahan menyusup-nyusup hutan itu sungguh merupakan pasangan yang serasi sekali. Yang wanita seorang dara berusia kurang lebih tujubelas tahun,bertubuh ramping padat berkulit putih kuning. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa ia seorabf dara berdarah bangsawan atau setidaknya hartawan dengan pakaian sutera halus dan perhiasan emas menghias tubuhnya. Wajahnya cantik manis dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup. Bibirnya yang merah basah itui kadang cemberut manja. Rambutnya hitam subur dan panjang sekali, dikelabang dan disanggul sederhana menggantung di tengkuk dan diikat kain sutera. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan tangan kirinya memegang sebatang gendawa, tangan kanan memegang anak panah. Seorang dara yang cantik dan gagah sekali. Pemuda itupun mengagumkan. Seorang pemuda berusia duapuluh tahun, wajahnya tampan dan gagah perkasa seperti Raden Gatutkaca. Juga pemudaini menggunakan Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pakaian yang indah, tidak seperti pemuda dusun.Di pinggangnya tergantung sebatang golok dan tangannya juga memegang busur dan anak panah. Dari sikap dan senjata mereka dapat diduga bahwa kedua orang muda ini sedang berburu binatang hutan. "Wulan, kenapa hari ini sepi sekali tidak ada binatang buruan.......?" "Ssttt......!" Dara itu memberi isyarat agar pemuda itu diam dan ia sudah memasang anak panah pada busurnya, lalu berindap menuju ke kiri menyusup di antara semak belukar. Pemuda itu mengikuti dari belakang, lambat dan hati-hati agar kakinya tidak menimbulkan suara gaduh. Diapun melihat gerakan jauh di depan, agaknya ada seekor kijang yang sedang diintai dan diburu gadis itu, kemudian gadis itu melepas anak panah. "Kena......! Wah, dia lari.......!" Gadis itu lalu meloncat dan lari mengejar. Pemuda itupun mengejar dan melihat gadis itu memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap, dia berteriak dari belakang, "Wulan! Jangan memasuki hutan itu! Berbahaya........" Akan tetapi dara yang sudah melihat kijang buruannya berlari terhuyung itu tidak memperdulikan teriakan pemuda itu dan terus mengejar. Terpaksa pemuda itupun ikut pula mengejar dengan hati-hati dan waspada. Tiba-tiba dia melihat seekor ular besar bergantung kepada dahan sebatang pohon dengan kepala di bawah. Itulah sikap ular yang kelaparan dan menanti lewatnya calon mangsanya. Dan ular itu besar bukan main, sebesar pahanya! "Wulan, berhenti.......!!" teriak pemuda itu. Namun gadis itu yang seluruh perhatiannya tertuju kepada kijang yang sudah terluka, tidak tahu bahwa di atasnya ada bahaya mengencam dan ia terus berlari ke bawah pohon besar itu. "Wulan, awas.......! Ah, celaka.........!" pemuda itu berteriak namun terlambat. Ular itu sudah menjatuhkan dirinya, tepat di atas gadis yang sedang berlari itu. Gadis itu terkejut bukan main, hendak meloncat, akan tetapi tubuhnya sudah terbelit ular. Ia meronta, namun belitan itu amat kuat dan ia merasa dirinya tercekik,dadanya terhimpit sampai sukar bernapas. Ketika melihat kepala ular itu dekat dengan mukanya dengan lidah keluar,masuk, ia memandang dengan mata terbelalak dan merasa ngeri. Namun gadis itu ternyata memiliki ketabahan yang luar biasa. Busur di tangannya sudah terhimpit. Akan tetapi dengan pengerahan tenaganya, ia mampu menarik kedua lengannya sehingga lepas dari libatan dan kini ia mengguankan kedua tangannya yang terkepal untuk menghantam ke arah kepala ular! Agaknya pukulan kedua tangan gadis itu cukup keras dan menyakitkan. Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya, agaknya merasa jerih juga kalau kena pukulan lagi dan moncongnya siap untuk menggigit. Sementaraitu, pemuda itu sudah melompat dekat dan dia sudah memegang goloknya dan berkilauan saking tajamnya. "Wulan, tangkap lehernya! Cepat!" teriaknya. Wulan menyadari bahwa sekali ia terkena gigitan, akan sukar untuk dapat meloloskan diri,maka ia menerkam dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang mungil itu mencengkeram leher ular itu dengan kuatnya. Ular itu meronta dan lehernya yang sebesar betis itu terasa keras sekali, keras dan licin sehingga betapapun kuat gadis itu mencengkeramnya, namun tetap saja ia hampir tidak mampu bertahan dengan cengkeramannya. Pada saat itu, pemuda tadi sudah mendekat, tangan kirinya membantu gadis itu mencengkeram leher dan tangan kanan membacokkan goloknya ke arah kepala ular itu berulang kali. Darah bercucuran, ular mengegliat dan libatannya hampir meremukkan tulang-tulang iga gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu terkulai lemas dan pingsan.Libatan itu mengendur dan ular itupun mengeliat sekarat dengan kepala hancur. Pemuda itu cepat memondong tubuh gadis yang setengah pingsan itu keluar dari libatan tubuh ular, mambawanya ke bawah pohon menjauhi tempat itu dan merangkulnya. Perlahan dia mengguncang tubuh itu untuk menyadarkannya dan memanggil-manggil. "Wulan........,Wulansari ......! Sadarlah....., engkau tidak apa-apa, bukan" Dia merasa khawatir sekali. Akhirnya gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat dirinya duduk di atas pangkuan pemuda itu dan tubuhnya dirangkul, ia membelalakkan mata dan meloncat berdiri. "Kakang Wijaya! Kenapa engkau memangku dan memeluk diriku?" Dalam suaranya terkandung teguran marah. Pemuda itu nampak gugup. "Ah, aku .......aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Wulan. Aku berusaha menyadarkanmu dan aku......" "Sudahlah! Lain kali aku minta agar engkau tidak melakukan kelancangan seperti itu!" "Maafkan aku, Wulan." "Sudahlah, lupakan saja. Mana ular tadi?" Wulan melihat ular itu di bawah pohon sana, lalu menghampiri. Melihat ular yang perutnya sebesar pinggangnya itu dan pasti ular sebesar itu akan mampu menelan dirinya, ia bergidik. "Mengerikan sekali!" katanya. "Hutan gelap ini memang merupakan tempat yang berbahaya sekali, penuh binatang liar yang besar dan banyak pula ular berbisa, Wulan. Karena itu, sudahlahjangan kejar kijang yang terluka tadi dan mari kita keluar dari siani." kata Wijaya sambil mengembilkan busur dan anak panah gadis itu yang tadi terlepas. Wulansari tidak membantah lagi dan merekapun keluar dari hutan itu. Siapakah sepasang orang muda perkasa ini " Wulansari adalah puteri dan anak tunggal dari Adipati Surodiro yang menguasai Pulau Nusa Kambangan, Pulau itu memang memiliki banyak hutan liar.Tidak jarang Wulansari melakukan perburuan binatang hutan ditemani Wijaya yng menjadi murid ayahnya. Wijaya telah diambil murid oleh Adipati Surodiro sejak sang adipati belum menjadi penguasa di pulau itu. Ketika itu Adipati Surodiro masih beranama Koloyitmo, seorang datuk di daerah Laut Kidul. Dia mengambil Wijaya sebagai murid ketika anak itu baru berusia enam tahun, ditnggal mati ayah bundanya. Anak yatim piatu itu boleh dibilang juga menjadi semacam anak angkatnya, juga murid karena dia mengajarkan semua ilmunya kepada Wijaya. Sang adipati menyayangi murid ini seperti puteranya sendiri. Hal ini adalah karena dia tidak mempunyai putera lain kecuali Wulansari. Akan tetapi setelah mereka dewasa, Adipati Surodiro mempunyai keinginan untuk mejodohkan muridnya itu dengan puterinya. Wijaya merupakan seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, dan dia dapat menduga dari sikap pemuda itu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Wulansari. Akan tetapi diapun maklum sepenuhnya bahwa Wulansari agaknya tidak mencintai Wijaya, hanya menyayang sebagai seorang kakak seperguruan dan sepermainan. Karena itulah maka Adipati Surodiro masih sangsi dan ragu. Adipati Surodiro yang dulu bernama Koloyitmo adalah seorang bekasdatuk yangsakti mandraguna. Ketika belum lama dia mengangkat diri menjadi Adipati Nusa Kambangan setelah menundukkan semua kepala gerombolan di pulau itu, pada suatu hari dia menemukan keris pusaka Tilam Upih. Peristiwa penemuan itu sendiri amat luar biasa. Pada suatu hari, Adipati Surodiro yang mempunyai kesukaan mengail ikan besar di selat Nusakambangan, mengail di atas perahunya. Dia sengaja mencari ikan besar, maka diapun mempergunakan umpangading yang msih segar dan besar. Umpannya itu disambar seekor ikan hiu yang besar. Terjadi pergulatan berjam-jam lamanya antara Adipati Surodiro yang memegang tangkai pancing dan ikan itu yang meronta-ronta dan menarik perahunya sampai jauh. Akan tetapi akhirnya adipati yang gagah ini berhasil membunuh ikan hiu itu dan membawanya pulang. Dia melihat keanehan pada ikan itu.Ada sesuatu yang mencorong menembus perutnya. Maka dia lalu membelah perut ikan itu dan dia menemukan sebilah keris di dalam perut ikan. Keris itu bukan lain adalah benda pusaka Tilam Upih. Dengan didapatkannya keris pusaka yangampuhnya menggiriskan itu Adipati Surodiro bagaikan harimau tumbuh sayap. Dia tidak terkalahkan dan kekuasaannya semakin meluas sampai kepesisir selatan. Akan tetapi dia merahasiakan adanya pusaka itu padanya karena dia maklum bahwa pusaka itu milik raja-raja di kediri dan kalau terdengar raja Kediri bahwa Tilam Upih ada padanya, tentu dia akan ditekan untuk menyerahkannya.Bertahun-tahun rahasia itu terpendam, bahkan puterinya dan muridnya sendiripun tidak mengetahuinya. Ketika tersiar kabar tentang ramalan Sang Prabu Jayabaya bahwa Tilam Upih akan muncul dari Lautan Kidul, Adipati Surodiro menjadi terkejut sekali. Apalagi dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa telah banyak berdatangan orang-orang gagah yang hendak mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia khawatir sekali kalaukalau Pulau Nusakambangan menjadi ajang pertandingan karena perebutan pusaka itu dan karena mereka itu adalah orang-orang gagah perkasa dari segenap penjuru, dia khawatir kalau hal itu akan mengacaukan wilayahnya dan membahayakan kedudukannya. Oleh karena itu dia lalu mengumumkan sebuah sayembara. Diumumkannya bahwa dialah yang telah menemukan keris pusaka Tilam Upih ,dan dia hendak mengadakan sayembara, dimulai bulan depan bahwa barang siapa dapat mengalahkan dia dalam sebuah pertandingan adu kesaktian, pemenang itulah yang berhak mendapatkan Tilam Upih. Sebetulnya dengan mengadakan sayembara ini, Adipati Surodiro mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk menjaga agar Nusa Kambangan tidak dijadikantempat perebutan pusaka itu sehingga melemahkan kedudukannya, juga agar dia tidak dimusuhi oleh Sang Prabu Jayabaya sebagai orang yang memiliki pusaka kerajaan Kediri itu. Tentu akan muncul pemuda-pemuda digdaya dalam sayembara itu, dan siapa tahu, di antara para pemuda itu ada yang akan menarik hati puterinya. Demikian keadaan Adipati Surodiro. Pada hari itu, Wulansari dan Wijaya pergi berburu dan hampir saja gadis itu mengalami kecelakaan di makan ular besar. Menjelang senja, kedua oang muda itu baru kembali ke kadipaten, membawa dua ekor kelinci dan seekor kijang. Dua ekor kelinci itu dibawa oleh Wulansari, sedangkan bangkai kijang itu dipanggul Wijaya. Mereka sengaja melalui hutan di dekat pantai, karena walaupun dengan demikian mereka mengambil jalan memutar yang agak lebih jauh, namun perjalanan melalui hutan itu lebih mudah, tidak naik turun seperti kalau melalui hutan di tengah pulau. Pula, pemandangnnya amat indah kalu mengambil jalan melalui hutan di pantai itu. Taiba-tiba Wulansari yang berjalan di depan berhenti. Wijaya yang berjalan di belakangnya juga berhenti dan pemuda ini merasa heran. Tidak biasanya adik seperguruannya itu mudah merasa lelah dan perlu istirahat. "Wulan, mengapa berhenti?" "Kakang, lihatlah di sana itu! Kenalkah engkau kepada mereka?" Wijaya memandang dan melihat lima orang turun dari sebuah perahu hitam yang layarnya telah digulung dan kini mereka berlima menarik perahu itu ke daratan pulau. "Tidak, aku tidak mengenal mereka. Nampaknya mereka bukan orang kita. Kata Wijaya sambil menggeleng kepala. "Kalau begitu kita harus menegur mereka. Ada keperluan apa mereka datang ke pulau kita. Siapa tahu mereka mempunyai niat buruk." "Baik, mari kita turun ke sana." Keduanya menuruni lereng itu dan pada saat itu mereka melihat munculnya dua orang penjaga pantai. Agaknya terjadi pertengkaran antara dua orang penjaga itu dengn lima orang pendatang, yang dilanjutkan perkelahian. Wijaya dan Wukansari melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja dua orang anak buah itu telah dipukul roboh oleh seorang di antara mereka dan kini lima orang itu menertawakan mereka. "Mari kita cepat ke sana!" kata Wulansari marah dan mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng dan sebentar saja mereka sudah tiba di pantai itu. "Ha-ha-ha-ha, kalian berdua belum mengenal siapa kami! Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu! Dan kalian berani mengusir kami" Hayo, majulah lagi kalau berani!" tantang seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam yang tadi merobohkan dua orang penjaga pantai itu. "Dari mana datangnya buaya muka hitam menjual lagak di tempat ini!" Bentak Wulansari yang sudah tiba ditempat itu. Si Muka Hitam terkejut mendengar bentakan wanita dan dia segera memutar tubuh memandang, diikuti empat orang temannya. Melihat Wulansari membawa dua ekor kelinci dan seorang pemuda memanggul bangkai kijang, mereka terheran, akan tetapi lalu tertawa bergelak. "Babo-babo, engkau perawan cilik berani bicara kasar kepadaku" He, bocah ayu. Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu, datang ke pulau ini untuk menyelidiki berita tentang sayembara perebutan Tilam Upih. Dan siapakah engkau, bocah ayu?" "Manusia-manusia lancang! Sayembara baru diadakan seminggu lagi belum waktunya kalian datang. Dan tidak ada seorangpun dari luar pulau kami. Hayo kalian cepat pergi meninggalkan pulau, kalau tidak, akan kuusir dengan kekerasan!" Kata wulansari galak. Lima orang itu saling pandang lalu tertawa tergelak. "Ha-ha-ha-ha, bocah ayu manis tapi galak. Siapakah engkau berani bersikap seperti ini di depan kami?" bentak si muka hitam. "Namaku Wulansari dan aku adalah Puteri Kanjeng Rama Adipati di Nusakambangan!" Mendengar ini, Lima orang itu berhenti tertawa dan memandang penuh perhatian. "Puteri Sang Adipati" Pantas, begini galak! Akan tetapi, kamipun buka orangorang yang boleh sembarangan saja di usir. Bawalah kami menghadap Adipati Surodiro. Kami sudah mengenalnya dan tentu dia akan menerima kami dengan baik." "Tidak!" Bentak Wulansari. "Kalian sudah melakukan pelanggaran bahkan memukul roboh dua orang penjaga kami. Pergilah atau aku akan menghajar kalian!" Kembali lima orang itu tertawa. "Menghajar kami" Ha-ha-ha, ingin sekali kami melihat bagaimana kau akan melakukan itu, bocah ayu!" Wulansari menjadi marah sekali. Dia melemparkan duabangkai kelinci itu kepada Wijaya, kemudian melangkah maju menghampiri si muka hitam. Si muka hitam memandang sambil tersenyum dan kedua tangannya bertolak pinggang. "Engkau mau apa, cah ayu" Mau memukulku" Boleh, boleh! Tentu enak seperti dipijiti. Boleh kau memukul sesuka hatimu, berapa kalipun boleh dan boleh kau pilih bagian yang paling lunak,ha-ha-ha!" Si muka hitam memang memiliki aji kekebalan, maka dia berani menyombongkan diri. Apalagi yang akan memukul seorang perawan remaja yang ayu manis, tentu tangannya juga lunak halus, memukulpun tentu tidak akan sakit. Maka dia memasangdirinya untuk dipukul, mulutnya yang lebar menyeringai sombong. "Buaya muka hitam, engkau sendiri yang minta dipukul. Nah, terimalah ini!" Wulansari mengerahkan tenaganya pada tangannya yang kanan, kemudian diayunnya tangan itu menampar ke arah dada yang lebar dan berotot itu. "Plakkk..........!!" Tamparan itu mengenai dada, dan empat orang kawan si muka hitam sudah tertawa-tawa melihat pukulan yang tidak keras itu. Tentu si muka hitam akan menerimanya dengan enak saja.Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati mereka ketika melihat si muka hitam tiba-tiba menjadi pucat mukanya, mulutnya menyeringai, tangannya menekan dada dan diapun terkulai roboh sambil mengaduh-ngaduh! Tadinya empat orang kawannya mengira dai hanya main-main dan pura-pura kesakitan saja, akan tetapi ketika melihat si muka hitam memuntahkan darah merah mereka benar-benar kaget dan cepat berlari menghampiri. Ketika melihat keadaan kawan mereka yang terluka parah, di dadanya nampak warna kebiruan, mereka menjadi marah sekali. "Berani eengkau melukai saudara kami!" bentak mereka dan empat orang itu sudah mencabut golok mereka dari pinggang untuk menyerang Wulansari. Akan tetapi Wijaya sudah melompat ke depan dan menggunakan bangkai kijang sebagai senjata, mengamuk dan melawan empat orang yang memegang golok. Juga Wulansari tidak tinggal diam, ia menggunakan busurnya untuk mengamuk. Menghadapi amukan Wijaya dan Wulansari empat orang itu terkejut dan kewalahan. Akhirnya, dengan jerih mereka berempat menarik tangan si muka hitam dan lari ke perahu ke air dan ombak lautan menerima perahu itu dan menghanyutkannya ke tengah. Wulansari dan Wijaya tidak mengejar, hanya memandang sambil tersenyum gembira sudah dapat mengusir Lima orang kasar itu dari pulau mereka. Dua orang penjaga pantai itu lalu membawakan kelinci dan kijang mereka dan keduanya lalu kembali ke kadipaten, merasa gembira bahwa hari itu mereka telah memperoleh pengalaman yang amat menarik hati dan menegangkan.Ketika mereka berhadapan dengan Adipati Surodiro, sang adipati tertawa mendengar cerita mereka, biarpun dia sempat khawatir mendengar puterinya terbelit ular besar. "Ha-ha-ha-, orang-orang tak tahu diri itu! Mereka menganggap kita ini apa" Berani benar mendatangi Nusa Kambangan sebelum hari sayembara yang ditentukan tiba." katanya, kemudian dia membicarakan urusan sayembara itu dengan puterinya dan muridnya, minta mereka siaga kalau dia minta untuk menandingi seorang peserta sayembara. "Akan tetapi kami terlalu lemah, kanjeng rama. Bagaimana kalau kami kalah dalam pertandingan itu?" bantah Wulansari. "Kalau kalian kalah, akulah yanga maju. Syarat memenangkan sayembara itu adalah kalau orang dapat mengalahkan aku. Akan tetapi tidak mungkin kalau aku sendiri yang mengahdapi mereka semua. Kalian menjadi semacam penguji atau penyaring. Yang benar-benar berkepandaian saja baru dapat berhadapan dengan aku." Wulansari dan Wijaya mengerti dan merekapun menyanggupi dengan hati bangga karena mereka memperoleh kesempatan untuk memamerkan kepandaian mereka. *** Pada hari yang ditentukan, Nusa kambangan kedatangan banyak tamu. Bermacam-macam tamu yang berdatangan di kadipaten Nusa Kambanagn itu dan mereka semua diterima Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo oleh para petugas sebagai tamu yang dihormati.Di depan gedung Kadipaten, di alun-alun telah dibangun sebuah panggung yang besar. Hampir semua penduduk kadipaten Nusa Kambangan datang membanjiri alun-alun untuk menjadi penonton. Akan tetapi di antara para hadirin yang banyak itu, hanya sedikit yang berniat memasuki sayembara. Kebanyakan dari mkereka hanya ingin menjadi penonton, menyaksikan jalannya pertandingan sayembara dan ingin mengetahui siapa yang akhirnya akan memiliki Kayi Tilam Upih. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal Adipati Surodiro dan tahu akan kedigdayaannya maka mereka sudah menjadi jerih dan tidak berani mengikuti sayembara harus mengalahkan sang adipati yang sakti mandraguna itu. Setelah para calon pengikut sayembara didaftar, maka pertandingan itupun dimulai. Dan ternyata Sang Adipati Surodiro sendiri tidak langsung maju. "Untuk melayani banyak pengikut sayembara, sungguh amat melelahkan bagiku kalau aku harus melayani kalian semua. Karena itu, aku akan diwakili oleh murid dan puteriku. Siapa yang dapat mengalahkan mereka barulah akan bertanding melawanku." demikian sang adipati memberitahu dan semua orang dapat menerima peraturan ini. Apa lagi mereka yang diharuskan bertandinga melawan Wulansari, mereka merasa gembira sekali. Dapat bertanding dan beradu tangan dengan dara cantik jelita itu sudah merupakan suatu keuntungan tersendiri. Kiranya tidak akan penasaran walaupun tidaka berhasil mendapatkan Tilam Upih. Akan tetapi, Adipati Surodiro mengadakan pilihan. Hanya pemuda yang namapak gagah perkasa saja yang dilayani bertanding oleh Wulansari, sedangkan yang lain ditandingi oleh wijaya. Pertandingan demi pertandingan berlangsung di atas panggung, dan para penonton yang sebagian besar terdiri dari penduduk kadipaten Nusa kambangan bersorak gembira karena melihat betapa Wijaya dan Wulansari masing-masing telah memenangkan tiga kali pertandingan! Adipati Surodiro sendiri belum sempat maju.Baru bertanding melawan murid dan puterinya saja, satu demi satu para peserta sayembara telah dapat dikalahkan. Banyak di antara peserta menjadi jerih dan mundur sebelum bertanding! Pemuda dan dara itu sajasudah terlampau kuat bagi mereka. Apa lagi kalau sang adipati sendiri yang maju! Mereka menjadi gentar dan mundur teratur. Tiba-tiba sesosok bayangan melayang bagaikan seekor burung garuda hinggap di atas panggung. Ketika semua orang memandang, ternyata ia adalah seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik dan gagah. Sebatang keris terselip di pinggangnya dan gadis ini mengahadap ke arah Adipati Surodiro sambil bertolak pinggang! Kemudian terdengar suaranya yang merdu namun lantang. "Adipati Nusa Kambangan! Bangkitlah dan tandingi aku. Akulah yang akan mengalahkanmu dalam pertandingan dan aku yang berhak memperoleh keris pusaka Tilam Upih!" Banyak di antara para penonton yang tertawa mendengar ini. Seolah mendengar ocehan mulut kanak-kanak. Bagaimana seorang gadis muda itu berani menantang sang adipati" " Hemm, engkau masih terlalu muda untuk menadingi aku. Biarlah muridku saja yang menandingimu. Wijaya kau lawanlah gadis itu dan hati-hati, jangan lukai gadis itu!" kata Sang Adipati sambil tersenyum. Wijaya melangkah maju dengan genbira. Tentu saja hatinya gembira menghadapi lawan seorang gadis yang kecantikannya tidak kalah dibandingkan Wulansari. "Nimas,marilah kita main-main sejenak!" katanya gembira. Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak sambil mendorongkan tangan kanannya ke arah Wijaya. "Siapa mau main-main denganmu" Pergilah!" Wijaya terkejut bukan main karena dari tangan kanan gadis itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! Dia mencoba untuk menangkis, akan tetapi merasa ada hawa panas menghantam dirinya dan diapun terjengkang! Melihat ini, Wulansari terkejut dan marah. Ia sudah meloncat maju ke depan gadis itu. "Engkau bocah setan yang kejam!" bantaknya sambil menyerang. Akan tetapi kembali gadis itu menggerakkan tangan mendorong dan Wulansari juga terjengkang dan terpaksa harus berjungkir balik agar tidak sampai terbanting. Semua orang yang melihat ini menjadi gempar! Jelaslah sudah bahwa gadis yang baru muncul ini seorang dara yang sakti sehingga Wijaya dan Wulansari dapat dikalahkannya dalam segebrakan saja. Juga Adipati Surodiromelihat ini. Sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depan gadis itu, dan memberi isyarat dengan tangan agar puteri dan muridnya mundur. Dua orang muda itu terpaksa meninggalkan panggung. Bagus sekali! Kiranya engkau ini gadis muda sudah memiliki ilmu yang tinggi. Katakan siapa andika dan dari mana andika datang!" Kata Adipati Surodiro. Gadis itu berdiri tegak, menatap tajam wajah sang adipati lalu terdengar suaranya lantang karena semua orang menahan napas ikut mendengarkan. "Aku bernama Niken, datang dari Anjasmoro!" Adipati Surodiro tertawa. Ha-ha-ha,pantas! Melihat gerakan tanganmu tadi, aku menduga bahwa itu adalah Aji Hasta Bajra! Andika tentu murid Gagak Seto, bukan?" "Aku tidak pernah menyembunyikan kenyataan. Aku memang murid Gagak Seto dan aku datang untuk mengikuti sayembara mendapatkan Tilam Upih." jawab Niken yang bersikap tenag dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. "Ha-ha-ha, tidaklah begitu mudah, nini! Andika memang terlalu kuat untuk murid dan puteriku, akan tetapi dengan ilmumu itu belum tentu andika akan mampu mengalahkan aku!" "Tidak perlu banyak cakap, Sang Adipati! Mari kita mulai saja pertandingan ini!" kata Niken dan ia sudah memesang kuda-kuda dengan gagahnya. Tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri ke bawah, keduanya dengan jari terbuka dan kedua lututnya agak ditekuk. "Ha-ha-ha, Ki Sudibyo benar-benar telah memiliki murid yang hebat mengagumkan. Ha-ha-ha! Nah, aku sudah siap, mulailah!" kata adipati itu dengan sikap tenang dan memandang rendah. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang datuk persilatan yang terkenal dan sudah memiliki banyak pengalaman. Tantu saja dia tidak takut menghadapi lawan seorang wanita muda! Bahkan menghadapi Ki Sudibyo sendiri dia tidak takut, apalagi muridnya. "Lihat seranganku! Haiiiiiiiittt.............!" Niken sudah menyerang dengan gerakan gesit sekali. Dara ini sudah mengerahkan aji Tapak sikatan yang membuata tubuhnya selincah burung sikatan, dan kedua tangannya sudah diisi dengan Aji Hasta Bajra. Serangan pertamanya demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan bunyi angin berciutan dan sempat mengejutkan hati sang adipati juga. Adipati Surodiro cepat mengelak, akan tetapi pukulan kedua dari Niken sudah menyusul demikian cepatnya sehingga lawan tidak lagi sempat mengelak dan terpaksa harus menangkis. "Desss.........!" Dua lengan bertemu dan akibatnya membuat keduanya terdorong mundur. Niken diam-diam terkejut. Ternyata adipati ini memang sakti! Bukan hanya mampu menagkis aji Hasta Bajra, bahkan membuat ia terdorong ke belakang . Ia menjadi lebih berhati-hati dan tidak berani memandang rendah lawannya. Keduanya sama menginsyafi akan kehebatan lawan, dan keduanya bertanding dengan hati-hati sehingga pertandingan itu amat menarik dan seru. Telah limapuluh jurus lewat akan tetapi belum nampak tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan itu. Berkali-kali terdengar tepuk tangan ketika masing-masing dapat menghindarkan diri dari serangan dahsyat lawan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Niken kalah pengalaman. Adipati itu memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh, dan gerakan silatnya juga berubah-ubah sehingga membingungkan Niken. Tiba-tiba sang adipati membuat gerakan silat yang aneh. Kaki tangannya bergerak-gerak membentuk setangkai bunga dan itulah Aji Wijayakusuma dalam bentuk gerakan silat! Dan anehnya, dari kedua tangan kakek itu muncul hawa yang amat hebat wibawanya, sehingga Niken sendiri merasa tergetar. Hyaaaaatttt!" Adipati Surodiro membentak dan tubuh Niken terdorong keras. Hampir saja dara ini terjengkang, akan tetapi ia dapt melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali melompat ke bawah panggung dan lenyap di antara penonton. Karena merasa tidak mampu menandingi adipati yang sakti itu, Niken merasa malu dan iapun pergi tanpa pamit! Adipati Surodiro tertawa gembira. "Wah, seorang dara yang sakti!" Dia memuji lalu memandang kepada orang banyak. "Apakah masih ada peserta sayembara yang merasa penasaran dan ingin menguji ilmu kanuragan?" Budhidarma berada di antara penonton dan sejak tadi dia menonton pertandingan itu. Dia meliahat pula betapa Niken dikalahkan adipati yang banyak pengalaman itu. Dia melihat betapa aji yang dikeluarkan sang adipati yang mengalahkan Niken adalah aji yang hebat sekali, mengandung daya kekuatan yang menggetarkan, bahkan terasa olehnya yang berdiri dari jarak jauh. Melihat tidak ada lagi yang maju, diapun melompat ke atas panggung dan segera bersikap menghormat kepada sang adipati. "Perkanankan saya yang muda mencoba-coba!" katanya sederhana. Budhi adalah seorang pemuda yang sikapnya sederhana.Biarpun dia tampan dan halus, namun penampilannya bukan seperti seorang jagoan maka tidak mengesankan. Melihat pemuda ini,diam-diam Surodiro merasa suka. Seorang pemuda yag tampan dan juga sopan sekali, dan melihat sinar matanya yang mencorong, dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang yang "berisi".Maka dia cepat melangkah maju dan memandang penuh perhatian. "Bagus, orang-orang muda sekarang sungguh bersemangat dan berani. Orang muda, siapakah nama andika dan dari mana andika datang?" "Saya bernama Budhidarma dan seorang perantau yang kebetulan lewat di daerah ini lalu mendengar tentang sayembara. Karena ingin meluaskan pengalaman saya memberanikan diri mengikuti sayembara ini, harap paman adipati tidak mempergunakan tangan keras kepada saya." Ucapan nyang merendah ini semakin menyenangkan hati sang adipati. Anak ini sopan, tahu diri, akan tetapi bukan penjilat sehingga menyebutnya paman, bukan gusti dan sebutan lain yang menjilat lagi. "Ha-ha-, boleh sekali. Akan tetapi biarlah aku beristirahat sejenak. Wulansari, kauwakili aku!" Dia berteriak dan Wulansari yang sejak tadi juga memperhatikan Budhi , menjadi tertarik dan cepat ia melompat ke atas panggung walaupun Wijaya memperingatkannya agar hati-hati karena baru saja tadi telah dikalahkan oleh Niken. Setelah berhadapan,Wulansari semakin kagum. Pemuda di depannya ini memang tampan dan gagah sekali, namun lembut bagaikan Sang Arjuna. Ia ingin sekali mengetahui apakah pemuda ini juga memiliki kepandaian yang tinggi. Maka iapun berseru, "Kalau andika hendak mengikuti sayembara, bersiaplah, ki sanak.Aku mewakili ayahku untuk mengujimu!" Budhi tersenyum. Dia tadi sudah melihat betapa ilmu kepandaian gadis puteri sang adaipati ini biarpun cukup hebat dan lencah, akan tetapi belum seberapa kalau dibandingkan ilmu yang di kuasai Niken, maka tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya.Dia menjadi serba salah.Dia harus mengalahkan gadis ini dan inilah merupakan hal yang amat tidak disukainya. Mengalahkan seorang gadis! Sungguh amat memalukan dan juga dia tidak ingin menyakiti gadis cantik ini baik jasmani maupun rohani, tidak mau menyakiti badannya maupun hatinya. Dia harus mengalah,akan tetapi tidak sampai kalah. Baiklah, saya sudah siap!" katanya dan dia memasang kuda-kuda yang menimbulkan tawa pada beberapa orang penonton. Budhi berdiri dengan kedua kaki ditekuk lututnya sehingga setengah berjongkok, tangan kiri di bawah dada seperti seorang yang sedang memgang sebuah bola yang tidak nampak. Kelihatan lucu dan bukan seperti orang yang sedang memasang kuda-kuda, akan tetapi sesungguhnya, kudakuda itu adalah pembukaan pasangan kuda-kuda yang disebut Sangga Bumi {Menyangga Bumi}, sebuah kuda-kuda yang kuno dan langka dipergunakan orang. Surodiro yang banyak pengalaman mengenal kuda-kuda ini dan jantungnya berdebar tegang, Benarkah pemuda ini mengenal Aji Sangga Bumi" Murid siapakah pemuda bernama Budhidarma ini" "Lihat serangan! Haiiiiiittt......!" Wulansari sudah menerjang dengan cepatnya.Tangan kanannya menghantam ke arah dada budhi dan tangan kirinya menampar ke arah pelipis. Sungguh merupakan serangan yang amat cepat dan juga berbahaya bagi lawan. Namun Budhi sudah siap siaga dan dengan melangkah ke belakang dua kali, dia menggagalkan serangan kedua tangan itu. Kini dai maju lagi dari samping dan tangannya menampar ke arah pundak Wulansari.Gadis ini miringakan tubuh dan menangkis dengan putaran tangan kanannya. "Plakk!" Wulansari merasakan betapa tangan yang ditangkisnya itu lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga kasar sehingga tangannya yang menangkis tidak merasa nyeri sama sekali. Wulansari salah duga. Disangkanya pemuda ini tidak memiliki kepandaian tinggi, maka iapun berhati-hati agar jangan melukai pemuda yang menimbulkan rasa suka di hatinya itu. Ia menyerang dengan cepat namun tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Hal ini diketahui oleh Budhi. Pemuda ini menjadi semakin serba salah. Gadis ini memiliki, watak yang baik, tidak kejam dan mau mengalah, pikirnya. Bagimana dia tega untuk mengalahkannya di depan orang banyak sehingga mau tidak mau berarti dia membuatnya malu" Dia main mundur dan nampaknya saj oleh para penonton bahwa pemuda itu terdesak terus, dihujani serangan tanpa mampu membalas. Akan tetapi sungguh terasa naeh bagi Wulansari karena semua serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh pemuda itu! Ia menjadi penasaran dan makin lama makin memperhebat serangannya, mulai menyadari bahwa pemuda itu tidaklah selemah yanga ia duga. Dan benar saja, setelah semua ilmu ia keluarkan, semua tenaga ia kerahkan, belum juga ia mampu menyentuhnya! Ia mulai bingung dan juga penasaran. "Balaslah, hayo balas!" katanya agak jengkel karena merasa dipermainkan. "Maafkan aku!" kata Budhi yang merasa sudah terlalu lama melayani gadis itu. Tangannya menampar ke depan cepat sekali dan tangannya mengandung hawa dingin yang menyambar. Wulansari terkejut dan meloncat mundur, akan tetapi pada saat itu ia merasa perutnya seperti tersentuh. Ia memandang ke arah perutnya dan dengan kaget ia tidak lagi melihat kerisnya di pinggang. Ketika ia mengnagkat muka, ternyata keris itu sudah berada di tangan Budhi. Budhi membungkuk dan mengembalikan keris itu. "Maafkan, ini kerismu......." Semua penonton tidak melihat bagaimana caranya dan tahu-tahu keris yang tadinya berada di pinggang gadis itu sudah berpindah ke tangan Budhi. Bahkan ada yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi Wulansari yang berwatak keras itu masih belum merasa puas. Ia tidak pernah terdesak oleh pemuda itu, bagaimana kerisnya tahutahu pindah ke tangan pemuda itu" Seperti main sulap saja. "Aku belum kalah, mari kita main-main dengan senjata!" tantangnya. Wulansari, mundurlah engkau!" Terdengar sang adipati berseru kepada puterinya. Dia tadi melihat dengan jelas cara Budhi merampas keris dan dia merasa kagum bukan main. "Tidak,ayah. Aku masih belum kalah!" kata Wulansari dan dia berseru, "Lihatlah seranganku!" Dan iapun sudah menerjang dengan dahsyat. Budhi mengelak dan berlompatan ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari tikaman keris yang dilakukan dengan cepat dan bertubi-tubi itu. Dia sengaja hanya mengelak dan kadang menangkis, membiarkan gadis itu memuaskan hati dengan serangan sampai tigapuluh jurus, barulah dia menggerakkan tangan kiri,menangkap pergelangan tangan gadis itu.Wulansari menahan jeritnya ketika tangan kanan mendadak terasa lumpuh! Dan dengan sendirinya jari-jari tangan yang memegang keris tidak dapat mempertahankan lagi ketika keris itu diambil oleh tangan kanan Budhi yang segera melompat mundur. Kini gadis itu berdiri dengan muka kemerahan dan memandang kepada Budhi dengan bersinar-sinar penuh kagum! Budhi tersenyum dan mengangsurkan tangan untuk mengembalikan keris, akan tetapi Wulansari membalikkan tubuh dan melompat turun dari panggung dengan wajah tersipu. Kini penonton bertepuk tangan memuji atas kemenangan Budhi. Melihat Wulansari kalah, Wijaya sudah hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi ia dibentak oleh Sang Adipati Surodiro. Adipati itu sendiri naik ke atas panggung dan manghampiri Budhi. "Orang muda,engkau memiliki kepandaian yang hebat. Bolehkah kami mengetahui siapa gurumu yang terhormat?" "Harap paman adipati memaafkan saya karena guru saya berpesan agar nama beliau jangan disebut-sebut, karena itulah saya terpaksa sekali tidak dapat menjawab pertanyaan paman adipati." Adipati Surodiro menganguk-angguk. "Hemm, engkau seorang murid yang baik dan patuh. Tidak mengapa, dengan menguji kepandaianmua, mudah-mudahan aku akan dapat mengetahui siapa adanya gurumu. Nah, bersiaplah, orang muda!" "Lihat seranganku, hyaaaaaattt.........!" serangan yang dilakukan Adipati Surodiro sekali ini sungguh dahsyat. Hal ini adalah karena adipati itu yakin akan ketangguhan pemuda itu dan ia ingin benar-benar mengujinya, bukan hanya untuk melihat apakah pemuda ini pantas menerima Tilam Upih, akan tetapi terutama sekali apakah pantas menjadi jodoh Wulansari! Menghadapi serangan yang dahsyat bukan main itu, Budhi menggerakkan tubuh ke samping untuk mengelak. "Eiiiiiiiiiittt...........!" Elakannya demikian halus dan indah dan hantaman adipati itu luput. Angin pukulannya saja membuat pakaian Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Budhi berkibar, Adipati Surodiro sudah membalik dan kini kakinya mencuat dari samping mengirim tendangan yang mendatangkan angin bersiutan. Namun, dengan lincah Budhi miringkan tubuhnya sehingga tendangan itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki lawan, akan tetapi adipati itu sudah menarik kembali kakinya dan menyerang lagi dengan dahsyatnya. Kalau dibandingkan dengan tadi ketika melawan Niken, gerakan sang adipati sekarang jauh bedanya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, karena agaknya dia maklum benar bahwa kini lawannya adalah seorang pemuda yang benar-benar tangguh. Dan ternyata Budhi mampu menandinginya dalam segala gerakannya yang aneh itu. Ketika sang adipati menghantamnya dengan tangan kanan disertai tenaga sepenuhnya, Budhi tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar dengan elakan. Terpaksa daipun mengerahkan tenaga untuk menagkis pukulan itu. "Dessss.......!!" Bukan main hebatnya pertemuan tenaga raksasa itu. Akibatnya, sang adipati terhuyung ke belakang sampai dua meter sedangkan Budhi melangkah mundur tiga langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibuktikan bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih lebih kuat dibandingkan lawannya. Tentu saja Adipati Surodiro terbelalak. Jarang selama ini ada lawan, apalagi seorang muda, yangamampu menandingi kekuatannya akan tetapi pemuda ini dapat membuat dia terhuyung. Dia merasa penasaran sekali dan mulailah dai mengeluarkan ilmu ampuh, yaitu Aji Wijoyokusumo. Gerakan kaki tangannya mulai aneh, membentuk bunga dengan kelompoknya, akan tetapi dari kaki tangan itu menyambar hawa yang menggetarkan. Budhi menahan napas dan dipun mengerahkan aji kesaktiannya karena maklum bahwa aji yang dikeluarkan lawannya itu mengandung kekuatan sihir yang hebat. Kini mereka saling pukul dan saling serang dengan hebatnya, membuat semua orang yang menonton menjadi melongo takjub, dan beberapa orang tokoh tua, para datuk persilatan, diam-diam kagum sekali dan menduga-duga murid siapa gerangan pemuda ini. Dia tentu seorang tokoh baru, karena di antara mereka tidak ada seorangpun yang pernah mengenal pemuda itu. Kini pertandingan sudah mencapi puncaknya. Bagi Budhi, sekali ini diapun sama sekali tidak main-main melainkan mengeluarkan semua kepandaian dan tenaganya. Dia tidak sungkan untuk membalas dengan dahsyat karena lawanpun menyerang dengan pukulan-pukulan mematikan dalam usahanya untuk keluar sebagai pemenang. Seratus jurus telah lewat dan belum ada yang nampak akan keluar sebagai pemenang. Budhi juga merasa penasaran dan pada saat dai mendapatkan kesempatan, dia menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan dengan jari-jari tangan terbuka, sambil mengeluarkan suara melengking yang dahsyat sekali. Itulah pekik Naga Kroda dan pukulan itu adalah Aji Tapak Sapujagad! Agaknya adipati itu mengenal pukulan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut, keras lawan keras. "Desssssssss........!" Tubuh sang adipati terjengkang dan dia roboh terduduk! Darah mengalir dari ujung mulutnya, sementara itu Budhi masih berdiri dengan muka berubah agak pucat. "Kanjeng rama.......!" Wulansari meloncat ke dekat ayahnya. Akan tetapi Adipati Surodiro memejamkan matanya, bersila dan menggeleng kepala lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. "Kau......kau......kau lukai kanjeng rama......!" Wulansari bangkit dan menghunus kerisnya. "Wulan......!" Ayahnya menegur dan gadis itu kembali berlutut. "Bantu aku berdiri......!" kata adipati itu dan diapun berdiri dipapah oleh Wulansari dan Wijaya yang sudah datang membantu. Setelah bangkit berdiri, adipati itu tersenyum kepada Budhi dan berkata, "Budhidarma, aku mengaku kalah dan engkaulah yang berhak menerima Tilam Upih." Kemudian dia menghadapi banyak orang dan berkata lantang, "Andika semua telah menyaksikan bahwa sayembara dimenangkan oleh Budhidarma. Nah, sayembara ini dituup dan dibubarkan." Semua orang bubaran dan Budhi dipersilakan masuk ke dalam gedung kadipaten oleh Adipati Surodiro, ditemani pula oleh Wulansari. Setelah memasuki ruangan dalam Budhi berkata dengan hati agak merasa tidak enak. "Paman Adipati, kalau diperbolehkan, saya ingin membantu mengobati luka dalam yang paman derita itu." "Ah,tentu saja boleh, anak mas Budhidarma." kata sang adipati. Budhi lalu mempersilakan adipati itu untuk duduk di atas pembaringan, bertelanjang baju dan dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk menggosok punggung dan dada adipati itu. Pada dada sebelah kanan nampak warna menghitam yang setelah diurut oleh Budhi lambat laun menjadi merah kembali. Setelah selesai dan mereka duduk berhadapan, Sang Adipati Surodiro menghela napas panjang dan berkata, "sekarang aku dapat menduga siapa gurumu, anak mas. Aji Pekik Naga Kroda tadi mengingatkan aku kepada seorang pertapa suci yng berjuluk Bhagawan Tejolelono! Aku pernah bertemu dengan beliau di punck Mahameru. Benarkah dugaanku?" Budhidarma terpaksa mengangguk. "Memang tepat sekali dugaan paman." "Hebat! Selama ini aku belum pernah mendengar pertapa itu mempunyai seorangpun murid, dan ternyata andika demikian beruntung menjadi muridnya. Dan seorang murid yang amat baik pula. Anak mas Budhidarna, aku merasa kagum sekali kepadamu. Keris pusaka Tilam Upih tentu kuserahkan kepadamu dan kuserahkan dengan segala senang hati karena memang andiak orang yang paling pantas memiliki pusaka itu. Wulan, ambilkan keris pusaka itu dan bawa ke sini!" "Baik, kanjeng rama." Gadis itu lalu pergi keluar dari ruangan itu. Ketika gadis itu keluar dari kamar,sang adipati berkata kepada Budhi. "Anak mas Budhidarma. Ada sesuatu hal lagi yang ingin kubicarakan dengamu. Kalau andika tidak berkeberatan, aku ingin sekali menjodohkan puteriku yang tunggal Wulansari denganmu. Aku ingin andika menjadi keluargaku dan kelak mewarisi kadipaten Nusa Kambangan. Bagaimana pendapatmu, anak mas?" Budhi terkejut bukan main. Sama sekali tidak pernah diduganya sang adipati akan menariknya sebagai mantu! Dia hanya bengong memandang Adipati Surodiro tanpa dapat menjawab. "Bagimana pendapatmu, anak mas?" "Ah,ini........ini....saya sama sekali belum mempunyai pikiran tentang perjodohan, paman.Harap maafkan, bukan saya berani menolak anugerah yang diberikan kepada saya, hanya saja saya masih mempunyai banyak tugas dan selama ini tidak pernah sedikitpun berpikir tentang perjodohan." "Ha-ha-ha, aku dapat mengerti, anak mas. Akan tetapi perjodohan itu tidak perlu dilangsungkan sekarang juga. Kalau engkau tidak setuju, pernikahan dapat dilangsungkan kapan saja engkau sudah melaksanakan semua tugasmu." "Maaf, paman. Saya terpaksa tidak dapat menerimanya. Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan." Adipati Surodiro mengerutkan alisnya yang tebal. "Apakah ini berarti bahwa engkau menolak puteriku karena engkau merasa tidak suka kepadanya?" "Ah, sama sekali tidak, paman! Puteri paman adalah seorang gadis bangsawan tinggi, cantik jelita dan sakti mandraguna, bahkan terlalu tinggi dan berharga dibandingkan diri saya.....Akan tetapi saya menolak karena memang saya sama sekali tidak ingin mengikatkan diri dengan perjodohan." Adipati Surodiro tidak berkata-kata lagi karena pada saat itu Wulansari sudah muncul membawa sebatang keris yang bersarung indah. Dia menerima keris itu dari tangan puterinya, lalu berkata kepada Budhi. Nah, terimalah, anak mas Budhidarma, sebagai hadiah kemenanganmu dalam sayembara." Dengan hati berdebar karena girang Budhi menerima keris pusaka itu dari tanga sang Adipati, lalu menyelipkan keris itu diikat pinggangnya. Melihat ini, Adipati Surodiro bertanya, " Apakah andika tidak memeriksanya lebih dulu keadaan keris pusaka itu, anak mas Budhidarma?" "Tidak perlu, paman. Saya percaya sepenuhnya kepada paman yang pasti tidak akan melakukan penipuan. Sekarang saya mohon diri, paman dan sekali lagi harap maafkan kalau saya membuat hati paman merasa kecewa." Adipati Surodiro menghela napas panjang. "Baiklah, anak mas. Kalau andika begitu terburu-buru, kamipun tidak akan menahanmu, Selamat jalan." Budhi melirik ke arah Wulansari dan merasa tidak enak kalau tidak berpamit, maka dia berkata lirih, "Nimas Wulansari, saya mohon pamit." Wulansari nampak tersipu dan menjawab lirih pula, "Selamat jalan, kakangmas Budhidarma." Setelah pemuda itu meninggalkan gedung kadipaten, di ruangan itu sunyi. Ayah dan puterinya itu tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Wulansari yang berkata karena hatinya mendesak-desaknya. "Ayah, mengapa ayah tidak menahannya" Tenaga seperti dia itu amat kita butuhkan untuk memperkuat kedudukan kadipsten Nusa Kambangan." Sang adipati sudah dapat menjenguk isi hati puterinya dan diapun menghela napas panjang. "Sudah kulakukan itu Niken. Akan tetapi dia menolaknya, mengatakan bahwa masih banyak tugas yang harus dia laksanakan." "Ahhh......!" Gadis itu tertunduk. "Wulan, katakan terus terang. Apakah hatimu tertarik kepada Budhidarma itu?" Gadis itu makin menundukkan mukanya. Tanpa berani mengangkat muka ia bertanya, "Mengapa kanjeng rama bertanya seperti itu?" "Sebetulnya aku sendiripun suka kepadanya. Dialah merupakan satu-satunya pemuda yang kiranya sepadan untuk menjadi jodohmu." Kini gadis itu mengangkat mukanya. Wajahnya berseri kemerahan dan matanya bersinar-sinar. "Kalau begitu mengapa kanjeng rama tidak menahannya?" "Sudah kulakukan itu, Wulan. Akan tetapi dia menolak karena dia masih mempunyai banyak tugas. Akan tetapi jangan khawatir, kalau memang engkau berjodoh dengannya, kelakpun tentu akan dapat bertemu kembali. Hanya ada satu hal yang membuatku merasa sangsi, Wulan. Aku melihat kakak seperguruanmu itu, Wijaya,amat mencintaimu. Dan sebelum muncul Budhidarma, aku sendiri juga setuju kalau Wijaya menjadi calon jodohmu." Gadis itu mengerutkan alisnya. "Akupun suka kepadanya, kanjeng rama. Akan tetapi cintaku kepadanya adalah cinta seorang adik kepada kakaknya. Saya tidak bisa menjadi isteri pria yang saya anggap sebagai kakak sendiri." Adipati Surodiro yang merasa kecewa hanya menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, dia blum tahu siapa sebetulnya Budhidarma,keturunan siapa. Dan dia mengharapkan, tak lama lagi akan dapat berjumpa kembali dengan pemuda itu. *** Budhi berjalan seorang diri mendaki bukit barisan yang menghadangnya dalam perjalanan meninggalkan Nusa Kambangan. Bukit barisan itu seolah menjadi semacam tanggul untuk Laut Kidul,berbaris memanjang dari barat ke timur. Ratusan bukit berjajar-jajar seperti barisan raksasa. Karena melakukan perjalanan jauh berhari-hari, Budhi merasa lelah juga.Terik panas matahari membakar di daerah gersang itu, daerah pegunungan kapur yang kebanyakan gundul. Dia berhenti di bawah sebatang pohon randu alas yang besar sekali. Randu alas ini merupakan pohon yang tahan panas dan tahan kekurangan air. Agaknya sebagai pengganti makanan yang sukar didapat melalui akar-akarnya di tanah, cabang-cabangnya malang melintang dan menadah embun di waktu pagi dan air hujan di musim penghujan. Budhi termenung mengenangkan semua pengalamannya dalam sayembara di kadipaten Nusa kambangan itu. Sungguh heran dia mengapa orang-orang begitu mati-matian memperebutkan Tilam Upih bahkan gurunya sendiri memberi tugas kepadanya untuk mendapatkan keris pusaka itu. Tadi dia sudah memeriksa keris itu dan mendapatkan kenyataan bahwa keris itu tidak ada apa-apanya! Sebilah besi tua yang sudah karatan dan ketika dia menguji dengan tenaga saktinya, tidak mendapat getaran apapun pada keris pusaka itu! Apakah Adipati Nusa Kambangan memberikan keris yang palsu"Ah, agaknya tidak mungkin. Untuk apa dia bersusah payah mengadakan sayembara kalau hanya ingin menipu" Hanya akan menambah permusuhan saja. Mungkin karena kabarnya keris pusaka itu, sudah lama terendam dai dalam Lautan Kidul, terendam air yang mengandung garam, maka keris itu menjadi rusak dan berubah menjadi besi tua karatan yang tidak ada gunanya lagi. Betapapun juga dia telah mendapatkan keris itu, dan akan dia perlihatkan kepada gurunya lebih dulu sebelum dihaturkan kepada pemiliknya yaitu Sang Prabu Jayabaya di Kediri. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kaki kuda yang banyak sekali, barlari cepat menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian dia melihat serombongan penunggang kuda yamh jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang! Setelah agak dekat, terlihat oleh Budhi bahwa mereka itu adalah serombongan perajurit, dipimpin oleh dua orang yang pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan tinggi. Seorang di antara dua pemimpin ini adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak gagah, akan tetapisikap dan pandang matanya jelas membayangkan bahwa dia seorang pemuda bangsawan yang licik dan congkak. Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh lima tahun, berpakaian senopati dan dia ini gagah sekali seperti Raden Gatutkaca dengan kumisnya yang melintang tebal. Tadinya Budhi mengira bahwa pasukan itu adalah pasukan yang sedang lewat saja, maka dia tidak mengacuhkandan dia masih duduk bersandar dengan santai pada batang pohon randu alas itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dua orang pemimpin pasukan itu mengangkat tangan ke atas dan pasukan itupun berhenti lalu mengurung pohon randu alas dan berlompatan turun dari atas punggung kuda meraka. Budhi yang tidak merasa mempunyai kesalahan apapun, masih tidak mengerti bahwa mereka itu mengepung dirinya, dan masih enak-enak bersandar pada pohon itu. Senopati yang seperti Raden Gatutkaca itu melangkah menghampirinya dan dengan suara yang parau lantang dia bertanya, "Apakah andika yang bernama Budhidarma, orang muda?" Karena dirinya ditanya, barulah Budhi bangkit dari duduknya, mengapus peluhnya dan memandang kepada senopati itu, lalu membungkuk dengan sikap hormat. "Benar, saya bernama Budhidarma. Ada keperluan apakah paduka mencari saya?" Dia terpaksa bersikap hormat karena dari pakaiannya tahulah dia bahwa dai berhubungan dengan seorang senopati agung dari Kediri. Dugaannya memang benar, senopati itu bukan lain adalah Lembudigdo,senopati Kediri yang mengemban tugas dari Sang Mahaprabu Jayabaya untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia disertai Pangeran Panjiluwih,pemuda berusia tigapuluh tahun itu yang tidak seperti yang lain, masih duduk di atas kudanya dengan sikap pongah. Ketika mendengar akan adanya sayembara memperebutkan keris pusaka Tilam Upih di Nusa Kambangan. Senopati Lembudigdo langsung membawa pasukannya menuju ke Nusa Kambangan dan dia menghadapi sang adipati Surodiro. Adipati Surodiro tertawa bergelak menerima senopati dari Kediri ini yang menanyakan tentang Tilam Upih. "Ah, ha-ha-ha! Andika datang terlambat, Senopati! Kami baru saja mengadakan sayembra untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih dan pemenangnya adalah seorang pemuda bernama Budhidarma. Dia sudah menerima keris pusaka itu dan membawanya pergi. Baru dua hari dia meninggalkan tempat ini." Mendengar keterangan itu, Senopati Lembudigdo langsung memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran. Dan dua hari kemudaian dai dapat menyusul Budhi yang sedang ngaso dibawah randu alas. Karena gambaran pemuda itu cocok dengan keterangan yang didapatnya dari Adipati Surodiro, maka langsung dia bertanya apakah pemuda ini yang bernama Budhidarma. Dan ketika Budhi membenarkan, dia memberi isarat kepada pasukannya untuk mengepung lebih ketat. "Bagus! Budhidarma, benarkah engkau telah mendapatkan keris pusaka Tilam Upih dari tangan Adipati Nusa Kambangan?" tanya pula Senopati Lembudigdo, matanya memandang tajam ke arah keris yang diselipkan di pinggang Budhi. "Heh, Budhidarma, keris pusaka itu harus andika serahkan kepadaku!" bentak Pangeran Panjiluwih dengan mata memandang bengis. Budhi merasa mendongkol juga hatinya menghadapai sikap yang congkak itu. Dia masih duduk santai bersandarkan batang pohon randu ketika menjawab tenang, " Kenapa harus kuserahkan kepada andika?" "Keparat busuk!" bentak sang pangeran. "Tidak tahukah andika dengan siapa berhadapan" Aku adalah Pangeran Panjiluwih dari Kerajaan Kediri!" Mendengar pengakuan ini, tentu saja Budhi menjadi terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada senopati dan para perajuritnya. Melihat kebingungan pemuda itu, Senopati Lembudigdo lalu berkata lembut. "Ketahuilah orang muda, Pemuda ini benar adalah Pangeran Panjiluwih dari kerajaan Kediri, dan aku sendiri adalah senopati Lembudigdo. Kami menjadi utusan Kanjeng Gusti Sang Prabu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih dan membawanya kembali ke kerajaan. Karena keris itu sudah ada padamu, maka kami minta kepada kami untuk kami haturkan kepada Sang Prabu." Budhidarma makin terkejut. Gurunya menghendaki dia mendapatkan keris pusaka Tilam Upih untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya dan kini utusan raja itu sudah berdiri di depannya. Mengapa susah-susah mengentarkan sendiri keris pusaka yang sudah menjadi besi tua itu kepada Sang Prabu" Lebih mudah diberikan kepada utusan ini! "Ah, kiranya paduka adalah senopati dan pangeran. Harp maafkan kalau hamba Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bersikap kurang hormat karena tidak mengetahuinya. Kalau paduak menghendaki keris pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kanjeng Gusti di Kediri, baiklah....." Akan tetapi ketika Budhi hendak meloloskan keris itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Niken! "Jangan bodoh, Budhi!" Semudah itu hendak menyerahkan Tilam Upih kepada orang lain!" Budhi terkejut melihat munculnya Niken yang mencegah dia menyerahkan keris pusaka itu kepada utusan raja. "Akan tetapi......mereka ini adalah utusan Sang Parbu......!" Budhi membantah. "Siapa dapat menjamin mereka itu utusan Raja dan benar-benar akan menyerahkan kieris pusaka itu kepada Raja?" Budhi terkejut dan memandang kepada Senopati Lembudigdo dan Pangeran Panjiluwih dengan sinar mata meregu. Apalagi melihat sikap pangeran itu, yang demikian angkuh, timbul perasaan tidak percaya dan tidak senang dalam hatinya. "Benar juga ucapanmu itu!" kata Budhi dan dia lalu membungkuk kepada senopati yang nampak gagah perkasa itu. "Harap paduka memaafkan, akan tetapi saya tidak dapat menyerahkan pusaka ini kepada paduka atau siapa saja. Saya akan menghaturkan sendiri kepada Gusti Prabi." Tentu saja Budhi tidak mengetahui apa sebabnya Niken mencegah dia menyerahkan pusaka itu kepada pasukan yang menjadi utusan raja. Gadis ini masih ingat benar akan wajah Pangeran Panjiluwih! Dan ia paling tidak suka kepada pangeran yang satu ini, karena pangeran ini yang paling sering menghinanya sebagai anak keturunan rendah, menghina ayah ibunya! Tentu saja timbul perasaan tidak senang, bahkan benci dan tidak percaya kepada pangeran ini. Itulah sebabnya ia mencegah Budhi menyerahkan keris pusaka yang dicari semua orang itu kepada rombongan ini. Andaikata pangeran itu akan menghaturkan keris pusaka kepada Raja, iapun tidak rela kalau Pangeran Panjiluwih yang menerima pujian dam hadiah imbalan sebagai penemu keris pusaka. Mendengar ucapan Budhi, Pangeran Panjiluwih menjadi marah sekali. Tanpa turun dari kudanya, dia membentak, "Keparat jahanam! Berani engkau menolak perintah kami" Engkau perlu dihajar!" Dan dia sudah mengerakkan kudanya maju dan cambuknya diayun ke arah muka Budhi. "Tar-tar-tar!" Tiga kali cambuk itu melecut kearah kepala Budhi, akan tetapi dengan mudah Budhi mengelak dari sambaran cmbuk itu. Hal ini membuat Pangeran Panjiluwih menjadi semakin marah. Dia adalah putera Raja dan kini ada seorang pemuda dusun berani menentangnya! Melihat sang pangeran turun tangan sendiri, Senopati Lembudigdo meloncat ke depan dan melerai. "Sudahlah pangeran, tidak perlu paduka turun tangan sendiri. Masih ada hamba dan para perajurit." Senopati itu lalu menghadapi Budhi dan berkata, "Budhidarma, kuminta andika percaya kepada kami. Andika tidak boleh menolak, karena kami mewakili Raja yang menuntut kembalinya pusaka kerajaan. Berikan pusaka itu kepada kami!" "Budhi, jangan berikan!" bentak Niken marah. "Heii, engkau ini bocah perempuan dusun berani ikut campur. Engkau minta dihajar, ya?" Pangeran Panjiluwih lalu melompat turun dari atas kudanya dan menyeranga Niken dengan cambuknya. Niken tidak mengelak seperti yang dilakukan Budhi tadi,melainkan cepat menangkap tangannya menyambar dan ia sudah menagkap pergelangan tangan yang memegang cambuk dan sekali renggut saja cambuk itu sudah berpindah tangan. Dan kini tanpa membuang waktu ia sudah mengamuk mencambuki pangeran itu! Melihat ini, para perejurit sudah maju dan mengeroyoknya dan banyak perejurit menjadi lecet-lecet mukanya terkena sambaran cambuk yang digerakkan secara cepat luar biasa oleh Niken. Sementara itu, melihat gadis itu sudah mengamuk, Senopati Lembudigdo juga tidak tinggal diam. Dia menerjang dan hendak menagkap Budhi untuk merebut keris pusaka Tilam Upih yang terselip di pinggang pemuda itu. Akan tetapi Budhi mengelak dan balas menampar. Ternyata Senopati itu tidaklah selemah Pangeran Pnjiluwih yang malas barlatih ilmu kanuragan dan lebih suka pelesir dan mengumpulkan wanita cantk itu. Senopati itu adalah seorang gemblengan dan sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Maka dia dapat menandingi Budhi dengan gagahnya. Dan para perejurit terpecah dua,sebagian membantu Pangeran Panjiluwih mengeroyok Niken dan sebagian mengeroyok Budhi dan membantu Senopati Lembudigdo. Melihat pengeroyokan itu, Budhi berpikir bahwa selain pihak musuh terlalu banyak, juga dia tidak ingin bermusuhan dengan pasukan kerajaan Kediri. Apalagi sampai melukai seorang senopati dan seorang pangeran yang sedang bertugas! Menyerahkan keris pusaka juga tidak benar, maka satu-satunya jalan hanyalah melarikan diri meninggalkan pertempuran. "Niken, kita lari!" katanya dan diapun melompat jauh melalui atas kepala para pengeroyoknya. Dia melihat Niken juaga berkelebat dan sudah melompat jauh, akan tetapi Senopati Lembudigdo mengejar dengan cepatnya pula. Maklum bahwa senopati itu tangguh sekali dan Niken dapat berbahaya kalau sampai melawan dia, Budhi lalu membalik dan menghadapi senopati itu, satu lawan satu. Kini dia menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke depan. Senopati Lembudigdo cepat menangkis, akan tetapi dia tidak kuat bertahan dan tubuhnya terpelanting. Budhi lalu meninggalkannya pergi. Senopati Lembudigdo terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda it ternyata jauh lebih sakti dari pada yang diduganya dan kalau tadi tidak nay merobohkan, agaknya karena memang pemuda itu banyak mengalah. Tahulah dia bahwa kalau pemuda itu menghendaki biar dikeroyok banyak orang tetap saja mereka takkan mampu mengalahkannya. Maka diapun tidak menyuruh pasukannya untuk melakukan pengejaran, bahkan mengajak pasukannya untuk kembali saja. Akan tetapi, Pangeran Panjiluwih merasa penasaran. "Pangeran senopati, kenapa kita harus pulang setelah mengetahui di mana adanya Tilam Upih" Bagimana kita dapat pulang tanpa membawa pusaka itu" Mari kita kejar bocah setan itu dan rampas Tilam Upih dari tangannya!" Senopati menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal terpaksa harus mengajak pangeran ini pergi mencari Tilam Upih. Pangeran yang sombong ini sungguh tak athu diri. Pangeran, apa yang dapat kita lakukan terhadapnya" Dia itu sakti sekali. Kita sudah mengetahui siapa yang membawa Tilam Upih dan kita dapat melapor kepada Kanjeng Gusti Prabu." "Apakah tidak malu melapor akan tetapi tidak mampu membawa pusaka itu, paman?" sindir sang pangeran. Wajah senopati itu menjadi merah. "Kalau perlu kita akan membawa pasukan yang lebih besar dan kawan-kawan yang benar meiliki kesaktian untuk mengejarnya. Akan tetapi dalam keadaan kita sekarang, kita tidak mampu berbuat apa-apa." Akhirnya pangeran itu terpaksa mengeikuti rombongan yang menuju kembali ke Kediri akan tetapi wajahnya selalu cemberut dan sebelum tiba di kota raja, dia telah meninggalkan pasukan itu tanpa pamit. Kepada para perejurit yang dekat dengannya, dia hanya mengatakan bahwa kalau senopati Lembudigdo menanyakan, agar dikatakan bahwa dia hendak berusaha sendiri mengejar Budhidarama, pemuda yang membawa Tilam Upih itu! Ketika mendengar keterangan dari para perejurit, Senopati Lembudigdo hanya menghela napas, "Betapa bodoh dan lancangnya!" katanya. "Kalian semua menjadi saksi bahwa sang pangeran pergi sendiri meninggalkan kita tanpa pamit kepadaku agar Sang Prabu tidak menyalahkan aku." setelah memesan kepada para perajurit dia lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke kota raja Kediri. *** Budhi berlari cepat, dibelakangnya berlari Niken. Setelah jauh meninggalkan tempat di mana mereka tadai dihadang pasukan dan dikeroyok, Budhi berhenti, Niken juga berhenti dan menghapus keringat yang membasahi lehernya, kemudia ia menghampiri Budhi yang sudah duduk di atas akar pohon yang menonjol kepermukaan tanah. "Budhi, hendak engkau apakan Tilam Upih yang sudah berada di tanganmu itu?" Budhi tersenyum dan memandang kepada wajah yang ayu dengan sinar mata yang bagaikan bintang kejora itu. "Hendak kauapakan"Tentu saja hendak kuhaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya di Kediri." "Hemm,aku tidak percaya engkau akan mampu menjaga pusaka itu. Tadi saja kalau tidak ada aku yang memperingatkan ,dengan mudahnya sudah kauserahkan kepada mereka itu!" "Karena mereka itu adalah pasukan dari Kediri yang dipimpin oleh senopati. Akan tetapi sekarang aku tidak akan percaya kepada mereka,akan kuserahkan sendiri kepada Sang Prabu." "Aku tidak percaya engkau mampu menyerahkan kepada Sang Prabu, Budhi,kauserahkan saja pusaka pusaka itu kepadaku dan aku yang akan menghaturkan pusaka itu kepada beliau." "Hemm, mengapa harus kuserahkan kepadamu?" "Karena aku dapat menjaga lebih aman lagi, dan tidak perlu kujelaskan mengapa harus aku yang menghaturkan kepada Sang Prabu. Berikanlah kepadaku!" "Ehm,kalau tidak kuberikan, lalu bagaimana?" "Aku akan mencoba merampasnya darimu dengan kekerasan !" kata Niken, suaranya mulai terdengar mengancam. "Niken,engkau seorang dara yang jelita dan gagah perkasa. Untuk apa engkau ikutikut memperebutkan Tilam Upih" Bahkan engkau ikut pula memasuki sayembara. Mengapa demikian?" "Sudah kukatakan, tidak perlu kau tahu. Sekarang, engkau berikan atau tidak pusaka itu?" Sikap gadis itu makin ketus. Budhidarma tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Semua orang memperebutkan pusaka Tilam Upih, pada hal keris pusaka ini hanyalah sepotong besi berkarat yang tidak ada gunanya. Nah, kalau engkau memang mengendaki besi berkarat ini, terimalah. Aku tidak mau lagi meperebutkannya!" Budhi meloloskan pusaka yang bersarung itu dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Niken. Kini Niken yang tertegun dan memandang dengan mata terbelalak. Keris pusaka Tilam Upih yang sudah berada di tangan pemuda itu, sekarang begitu saja diserahkan kepadanya! Kini ia yang menjadi terheran-heran dan ragu sehingga biarpun Budhi sudah lama menyodorkan pusaka itu, tetap saja belum diambilnya. "Budhi, kenapa demikian mudah engkau hendak menyerahkan pusaka ini kepadaku?" "Sudah kukatakan. Pusaka ini hanya sepotonga besi tua yang karatan, aku tidak mau memperebutkannya lagi, Nah,terimalah." Niken menerima pusaka itu dan dengan jantung berdebar-debar ia menghunus pusaka itu. Dan terbelalak, matanya tak lepas memandang pusaka itu dan nampak wajahnya amat kecewa. Budhi merasa kasihan. "Tentu pusaka itu sudah berubah banyak. Kabarnya pusaka itu berada di perut ikan hiu sampai puluhan tahun. Tentu saja menjadi rusak dan karatan." "Tidak!" kata Niken setengah menjerit. "Ini bukan pusaka Tilam Upih yang tulen. Ini keris pusaka palsu!" Budhi terbelalak. "Apa"Palsu?" "Ya,ini bukan Tilam Upih " Ini keris palsu!" kembali Niken berseru marah. "Hemm, Niken. Bagimana engkau bisa tahu bahwa keris pusaka ini palsu" Apakah engkau pernah melihat yang asli?" "Aku belum pernah melihat yang asli,akan tetapi aku sudah mendapat penjelasan yang lengkap tentang Kayi Tilam Upih.Aku berani memastikan bahwa ini keris palsu. Budhi, apakah engkau......."gadis itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. "Eiiit-eiit, Niken.Jangan engkau menuduh aku yang memalsukan ketris pusaka Tilam Upih,engkau keterlaluan sekali! Kalau memang Tilam Upih itu palsu, berarti Sang Adipati di Nusa Kmabngan yang memalsukannya. Aku telah ditipunya dan diberi keris yang palsu." Aku percaya kepadamu, Budhi. Ini tentu ulah Adipati Surodiro dan aku akan menuntutnya!" Setelah berkata demikian, Niken membawa keris itu pergi dari situ dengan berlari cepat, menuju kembali ke selatan! "Niken,tunggu.....!!"Budhi meloncat dan tak lama kemudia dia dapat menyusul Niken. Gadis itu berhenti dan memandang dengan sinar mata menentang. "Budhi, mau apa engkau mengejar aku?" "Niken, bukan engkau yang harus menuntut ke Nusa Kambangan, melainkan aku karena akulah yang dibohongi adipati itu." "Tidak, aku akan minta pusaka yang asli." "Aku juga. Mari kita pergi berdua dan mendengar apa yang hendak dikatakan oleh adipati keparat itu!" kata Budhi dan akhirnya Niken tidak menolak lagi karena bagimanapun juga, pemuda itu yang lebih berhak. Dan Budhi sebetulnya ingin menemani gadis itu karena dai merasa khawatir. Gadis itu bukan tandingan Adipati Surodiro, dan kalau dibiarkan sendiri pergi ke Nusa Kambangan, bisa celaka. Budhi dan Niken melakukan perjalanan cepat dan setelah tiba di pantai laut selatan, mereka lalu menyewa perahu pada seorang nelayan. Mereka diantar ke pulau Nusa Kambangan. Ketika keduanya mendarat beberapa orang penjaga mengenal mereka dan segara melaporkan kepada Sang Adipati. Dua orang muda itu langsung saja pergi ke kadipaten dan mereka disambut oleh sepasukan penjaga keamanan yang menghadang mereka di depan gedung kadipaten. "Katakan kepada Paman Adipati Surodiro bahwa kami berdua ingin menghadap karena ada urusan yang teramat penting!" kata Niken dengan suara tegas. Para perjurit yang sudah mengenal gadis itu sebagai pengikut sayembara, dan juga pemuda itu yang sudah mampu mengalahkan sang adipati, segera mengawal mereka pergi ke dalam gedung kadipaten untuk menghadap Adipati Surodiro yang sudah diberitahu oleh para penjaga dan juga siap menyambut dua orang tamu itu. Begitu bertemu, tanpa menanti penggunaan salam menyalam seperti biasanya orang bertemu, Niken sudah langsung saja menghardik. "Paman Adipati Surodiro! Tidak kusangka seorang adipati seperti andika ini tidak merasa malu untuk bertindak curang!" Adipati Surodiro memandang Niken dengan alis berkerut dan matanya mengeluarkansinar marah. "Hem,apakah maksudmu datang dan menuduhku seperti itu?" bentaknya. Budhi lalu melerai. "Begini, Paman adipati. Ketika kami ditengah jalan kami memeriksa Kyai Tilam Upih yang saya terima dari paman, ternyatalah bahwa keris pusaka itu adalah keris pusaka palsu! Nah, bagaimana paman akan mempertanggungjawabkan kenyataan ini?" Niken mengambil keris pusaka itu dan melemparkan kepada sang adipati yang segera menangkapnya dengan tangannya. Agaknya memang dia sudah menduga bahwa dua orang muda itu tentu datang untuk membicarakan urusan itu, maka diapun telah menati dan menyambut seorang diri saja, tanpa ditemani seorangpun. Juga tidak nampak Wijaya dan Wulansari, dua orang muda,murid dan puterinya, yang paling dipercayainya. Adipati Surodiro menghunus keris pusaka itu dan memasukkannya kembali, menghela napas panjang. Lalu berkata, "Tadinya kuharapkan andika tidak akan tahu akan kepalsuan benda ini, anak mas Budhi. Akan tetapi ternyata dugaanku keliru dan baiklah,akan kuceritakan semua yang telah terjadi kepada andika berdua." "Harap saja cerita paman tidak dibuat-buat dan meyakinkan!" kata Niken dan sang adipati menghela napas sambil tersenyum. "Peristiwa ini kurahasiakan dari siapapun juga, bahkan puteriku sendiri tidak mengetahuinya. Kurang lebih sebulan yanga lalu, jauh sebelum aku mengumumkan akan mengadakan sayembara perebutan Tilam Upih, pada suatu malam, kamarku dimasuki sesosok tubuh manusia.Kukira hanya maling biasa, akan tetapi ternyata ketika hendak menangkapnya, dia seorang yanga amat sakti. Karena dia mengenakan sebuah topeng di mukanya, aku tidak mengenalnya, hanya tahu dia seorang yang bertubuh sedang dan tegap. Dialah yang mencuri Tilam Upih dan meninggalkan penggantinya, yang palsu itulah. Aku telah mengerahkan seluruh kepandaianku, akan tetapi aku tidak berdaya melawannya bahkan aku dipukulnya sampai pingsan!" "Apakah paman tidak berteriak mainta bantuan para pengawal?" tanya Niken. "Tadinya aku merasa malu untuk minta bantuan. Bagaimana mungkin aku, Adipati Nusa Kambangan, berteriak-teriak menghadapi seorang pencuri saja.Dan akhirnya aku terpukul pingsan, dia lari membawa pusaka itu dan meninggalkan yang palsu. Aku merahasiakan peristiwa yang kuanggap amat memalukan dan memukul nama besarku itu." Budhidarma lalu menghela napas dan berkata, "Jadi karena pusaka itu telah hilang dan ditukar yang palsu,maka paman lalu mengadakan sayembara ini?" Wajah adipati itu menjadi kemerahan. "Aku merasa amat sakit hati kepada maling itu, akan tetapi tidak berdaya. Maka, aku lalu mengadakan sayembara itu. Orang yang akan dapat memenangkan aku tentu akan mampu mencari maling yang telah melarikan Tilam Upih itu. Andika yang telah mengalahkan aku, anakmas Budhi dan sekarang aku telah berterus terang . Oleh karena itu, aku berharap andika yang akan mampu menemukan maling itu dan merampas keris pusaka Tilam Upih." Tiba-tiba Niken bangkit berdiri, "Aku tidak percaya omonganmu, paman. Engkau tentu telah menyembunyikan Tilam Upih yang asli dan menyerahkan yang palsu! Kalau engkau tidak mengeluarkan yang asli, jangan salahkan aku kalau aku memaksamu dengan kekerasan!" Gadis itu sudah siap untuk menyerang. "Hemm, aku tidak berbohong!" kata Adipati Surodiro. "Siapa percaya akan dongeng itu?" bentak pula Niken akan tetapi Budhi segera bangkit dan berkata kepada Niken dengan suara halus. "Niken, aku percaya kepada cerita paman adipati. Maka, marilah kita pergi dari sini!" Dia menerima kembali keris dari surodiro. Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Niken cemberut, akan tetapi terpaksa ia keluar dari ruangan itu tanpa pamit seperti yang dilakukan Budhi, dan tak lama kemudian mereka telah menyeberangai pula Selat Nusa Kambangan itu dan mendarat di pantai Lautan Kidul. Setelah turun ke darat, Niken marah-marah kepada Budhi. Tadi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tanpa bantuan Budhi, ia tahu bahwa ia tidak berdaya menghadapi Adipati Sudrodiro, apalagi di kadipaten itu terdapat banyak pasukan yang tentu akan mengeroyoknya. "Budhi, aku tahu sekarang mengapa engkau begitu mengalah dan percaya kepada Surodiro. Padahal aku yakin dia pasti berbohong dan Tilam Upih tentu masih di tangannya!" "Tidak mungkin, Niken. Kalau Tilam Upih masih berada di tangannya, lalu mengapa dia mengadakan sayembara" Tidak, keterangannya tadi tentu benar." "Lalu kemana engkau akan mencari orang aneh penuh rahasia itu" Engkau hanya tahu bahwa dia berkedok dan berkepandaian tinggi. Bagimana engkau bisa tahu atau menduga siapa adanya orang yang mencuri keris pusaka itu?" "Aku akan mencarinya dan akan hasilnya, terserah kepada Hyang Widhi. Akan tetapi aku yakin bahwa kejahatan akan berakhir dengan kekalahan, Niken." "Hemm, kurasa engkau memang sengaja mengalah kepada Surodiro karena engkau jatuh cinta kepada puterinya!" "Ah,jangan menuduh yang bukan-bukan, Niken!" "Siapa menuduh"Engkau terang-terangan ditipu oleh Adipati Surodiro, akan tetapi engkau tidak marah bahkan membelanya. Apalagi yang menjadi sebab kalau bukan karena engkau jatuh cinta kepada Wulansari" Ia memang cantik menarik. Huh, muak aku melihatmu! "Niken......!" Akann tetapi gadis itu sudah melarikan diri dengan cepat tanpa menengok lagi kepada dan Budhi hanya mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sambil menghela napas panjang berkali-kali. Entah mengapa, dia merasa tiba-tiba suasana hatinya menjadi sunyi sekali setelah ditinggalkan Niken yang galak itu. Ketika Niken berada bersamanya, dia merasa segala sesuatu serba lengkap dan menyenangkan. Inilah yang dinamakan cinta" Dia menghela napas lagi dan tidak mampu menjawab. "Bagus, aku masih dapat menyusulmu di sini, Budhi!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring. Budhi menengok dan melihat Wijaya telah meloncat dari perahunya dan berada di depannya. Wajah pemuda yang gagah jantan itu nampak kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemerahan. Karena sudah mengenal pemuda ini dan dia merasa suka, Budhi tersenyum menyambutnya, bukan menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari dua meter. "Ah,kiranya engkau, Wijaya"Ada keperluan apakah engkau menyusul aku" Apakah engkau diutus oleh paman adipati?" "Tidak ada yang mengutusku! Aku sengaja mengejarmu karena aku mepunyai urusan pribadi yang harus diselesaikan di antara kita sekarang juga!" "Urusan antara kita berdua" Eh, ki sanak, urusan apakah itu" Aku merasa tidak mempunyai urusan apapun denganmu." Tidak perlu banyak cakap lagi, Budhidarma. Engkau datang dan memasuki sayembara, hndak merampas diajeng Wulansari dari tanganku! Hemm,aku akan mempertahankan dengan nyawaku!" kata pemuda gagah itu dengan geram. Budhi terbelalak, akan tetapi lalu teringat betapa sang adipati pernah membujuknya untuk suka menikah dengan Wulansari.Kini tahulah dia. Pemuda ini mencintai Wulansari dan cemburu kepadanya. Tentu karena mendengar tentang maksud sang adipati mengambilnya sebagai mantu! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada pemuda ini yang demikian gagah dan jantan. Bahkan sikapnya untuk "mempertahankan" Wulansari sudah menunjukkan kegagaghannya dan betapa besar cinta kasihnya pemuda itu kepada adik seperguruannya itu. "Akan tetapi aku mamasuki sayembara bukan untuk merebut Wulansari, melainkan merebut Tilam Upih!" dia membantah. "Biarpun demikian, tetap saja engkau juga bermaksud merebut daijeng Wulansari. Buktinya, paman adipati hendak menjodohkan engkau dengan Wulansari dan sikap Wulansari terhadap diriku sama sekali berubah setelah engkau memenangkan sayembara itu! Sudahlah, Budhidarma, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekarang kita hanya berdua di sini, kita perebutkan Wulansari dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mati dan siapa menang dia akan mendapatkan Wulansari." "Gila................!" kata Budhi akan tetapi ucapannya itu disambut serangan oleh Wijaya yang sudah menjadi marah bukan main. Cemburu memang suatu perasaan yang amat aneh. Dapat membuat orang yang betapa lemahpun menjadi kuat dan yang penakut menjadi pembarani, juga dapat membutakan mata pikiran sehingga dia tidak akan memperdulikan segala macam pertimbangan lagi. Diserang secara dahsyat itu, Budhi mengelak. Dia tahu bahwa bicara dengan pemuda yang kalap itu tidak akan ada gunanya lagi, maka dia terus mengelak walaupun lawan menghujankan serangan bertubi-tubi. Dia merasa kasihan kepada Wijaya, maka tidak tega untuk membalas. Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Wulansari telah berada di situ. "Kakang Wijaya, apa yang kau lakukan ini?" bentaknya kepada kakak seprguruannya, akan tetapi agaknya Wijaya sudah tidak mau mendengar lagi dan bahkan menyerang semakin dahsyat. Kini Wijaya bahkan sudah mencabut sebatang keris dan menyerang dengan kerisnya! Budhi tetap hanya mengelak dan kadang menepis keris itu dengan tangannya, akan tetapi tetap saja tidak mau membalas. "Kakang Wijaya, hentikan itu!" teriak pula Wulansari. Dan tiba-tiba gadis itu terbelalak heran. Ia melihat Budhi terhuyung, terkena tamparan tangan kiri Wijaya! Hampir ia tidak dapat percaya! Bagaimana mungkin Wijaya dapat membuat pemuda sakti yang telah mengalahkan ayahnya itu sampai terhuyung dengan sebuah tamparannya! Agaknya bukan Wulansari saja yang terkejut dan heran. Wijaya sendiripun heran, akan tetapi dia girang sekali dan mendesak terus dengan kerisnya dan tamparan tangan kirinya. Dan kini Budhi benar-benar terdesak hebat. Pemuda ini hanya mampu mengelak dan menangkis terus mundur. "Desss......!" Sebuah pukulan tangan kiri mengenai dada Budhi dan pemuad itu terpelanting dan terjengkang. Melihat dia dapat merobohkan lawan, Wijaya merasa bangga sekli, dia dapat mengalahkan Budhi, di depan Wulansari lagi! Dia bertolak pinggang dan berkata dengan lagak amat gagah. "Budhidharma! Bangkitlah kalau engkau laki-laki!" Budhidarma bangkit merangkak,lalu berkata, "Tobat, Wijaya, aku mengaku kalah....!" Dan dia terus meloncat dan melarikan diri ketakutan. Melihat ini, Wulansari terbelalak dan ia lalu menghampiri Wijaya, "Kakang.........engkau mampu mengalahkannya.......!" Wijaya tersenyum. "Untuk mempertahankan dan memperebutkanmu, semua iblis, bahkan dewa sekalipun akan kuhadapi dan kulawan dengan taruan nyawaku, diajeng." Sementara itu, tak jauh dari situ, Budhi mengintai dari balik semak-semak dan diapun tersenyum puas. Inilah kemenangan yang paling indah baginya. Menang karena telah dapat menyatukan du hati yang nyaris terpisah. Dia memang sengaja mengalah dan dia tahu bahwa ini satu-satunya jalan untuk menyatukan dua hati kakak beradik seperguruan itu. Diapun pergi sambil tersenyum, dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh Wijaya dan Wulansari. *** Di dalam kamar yang agak gelap itu, beruang kali Ki Sudibyo menghela napas panjang. Dia merasa betapa kesehatannya semakin memburuk Dan dia amat merindukan Niken. Ingin dia melihat Niken, muridnya yang terkasih itu berada di dekatnya, timbul perasaan menyesal mengapa dia memberi tugas seberat itu, mencari Tilam Upih, kepada muridnya itu. Biarpun Niken sudah menguasai aji Hasta Bajra, namun di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat yang amat pandai. Kini timbul kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau muridnya itu akan terancam bahaya dan dia sama sekali tidak berdaya. Tubuhnya sudah amat lemah dan selama muridnya itu pergi, dia hanya bersembunyi saja di dalam kamarnya, dududk bersamadhi memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muridnya diselamatkan dari semua malapetaka, dijauhkan dari marabahaya. Dia sama sekali tidak memperdulikan lagi keadaan Gagak Seto, mempercayakan saja kepada Klabangkoro dan Mayangmurko, dua orang muridnya tertua yang sudah dipercayanya sebagai murid-murid yang setia kepadanya. Pada suatu hari, menjelang malam, Ki Sudibyo memanggil Jinten yang melayaninya selama Niken pergi! Pelayan itu selalu siap melayaninya dan berada di luar kamarnya. "Jinten.......!" Dia memanggil dan pelayan itu segera memasuki kamar. Baru sekarang Ki Sudibyo menyadari betapa kini sudah berubah. Mukanya yang manis itu dibedaki tebal, alisnya ditambah warna hitam dan kedua pipinya dan bibirnya juga diberi pemerah. Nampak cantik pesolek. Akan tetapi Ki Sudibyo diam saja karena menganggap bahwa hal seperti itu wajar saja dilakukan wanita muda. "Jinten, buatkan aku wedang jahe. Yang pedas,ya?"kata Ki Sudibyo dan diapun terbatuk-batuk. " Badanku terasa tidak enak dan lemah sekali." Dia terbatukbatuk lagi. "Baik, bendara, akan saya persiapkan." kata Jinten dengan hormat dan lembut, akan tetapi setelah keluar dari kamar itu, pelayan ini bergegas lari ke tempat tinggal Klabangkoro yang tidak berada jauh dari rumah induk. Ia segera nampak berbisik-bisik dengan sikap manja kepada Klabangkoro. "Ki Sudibyo kelihatan lemah sekali dan sakit, terbatuk-batuk dan minta dibuatkan wedang jahe yang pedas." ia melapor. Klabangkoro mengangguk-angguk. "Bagus, kini saatnya yang baik telah tiba." Dia mengambil sebuah bungkusan dari almari lalu menyerahkannya kepada Jinten. "Jinten, masukkan obat bubuk ini ke dalam wedang jahe yang akan kau hidangkan kepada Ki Sudibyo, lalu tinggalkan di kamarnya. Akan tetapi engkau harus mengintai dari luar dan melihat bahwa wedang jahe itu benar-benar telah diminumnya. Nanti aku menyusul ke sana." Dengan tangan gemetar Jinten menerima bungkusan itu. "Akan tetapi.........bagaimana.... kalau dia mengetahui" Aku bisa celaka!" "Hushh, aku ada di sini, takut apa" Cepat laksanakan, manis!" dia merangkul dan mencium wanita itu yang segera nampak tabah lalu pergi meninggalkan rumah Klabangkoro untukl membuat wedang jahe yang akan dicampur dengan obat bubuk berwarna putih itu. Sementara itu, Klabangkoro cepat menghubungi Mayangmurko di pondoknya. "Adi Mayang murko, cepat engkau mambuat persiapan.Saatnya telah tiba untuk kita bertindak terhadap Ki Sudibyo."Dia lalu menceritakan pelaporan Jinten. "Kau tangkap tiga orang murid untuk dibawa kepada Ki Sudibyo kalau diperlukan. Aku sekarang hendak pergi dulu ke sana. Nanti engkau menyusul segera." "Baik, kakang Klabangkoro." kata Mayangmurko dengan gembira dan diapun cepat pergi berpisah dari kakak seperguruannya itu. Ketika Klabangkoro tiba di luar kamar Ki Sudibyo, dia melihat Jinten. Wanita ini segera menghampiri dan berbisik, "Wedang jahe itu telah diminum sampai habis." "Bagus, sekarang engkau pergilah menjauh dan jaga agar tidak ada murid dapat mendekat ke sini." Setelah Jinten pergi, Klabangkoro lalu membuka pintu kamar itu dan dia melihat Ki Sudibyo duduk bersila dengan alis berkerut dan mulut menyeringai seperti menahan rasa nyeri. Dengan jantung berdebar tegang dia mendekati lalu berlutut ketika Ki Sudibyo mambuka matanya. "Klabangkoro, mau apa engkau masuk ke sini tanpa kupanggil?" Ki Sudibyo menegur sambil memandang tajam. "Bapa Guru, saya datang menjenguk karena mendengar bahwa keadaan Bapa Guru tidak sehat." "Hem, siapa bilang aku tidak sehat" Aku.......ahhhh......" Tiba-tiba Ki Sudibyo memgang dadanya dan terbatuk-batuk. "Bapa sakit keras, karena itu saya kira sebaiknya kalau Bapa Guru meninggalkan pelajaran Aji Hasta Bajra kepada saya agar aji itu tidak akan lenyap dan dapat dimiliki oleh ketua baru. Juga sudah sepantasnya kalau Bapa Guru mengangkat saya sekarang juga menjadi ketua sebelum terlambat." Sepasang mata itu terbalalak marah. "Klabangkoro, apa yang kaukatakan itu?" Kini sikap Klabangkoro tidaklah sehormat tadi lagi. " Maksud saya,Bapa harus mengangkat saya menjadi ketua Gagak Seto dan mengajarkan Hasta Bajra kepada saya. Kalau sudah tidak keburu sebaiknya Bapa Guru menuliskannya pelajaran aji itu dalam sebuah kitab." "Jahanam! Berani kau berkata demikian" Mengharuskan aku?" Ki Sudibyo marah sekali. "Bapa Guru tidak perlu marah-marah, hal itu hanya akan mempercepat kamatian Bapa!" "Keparat!" Ki Sudibyo meloncat bangun untuk menyerang muridnya itu, akan tetapi tiba-tiba dia terpelanting dan mengeluh, memegangi dadanya. "Ha-ha-ha,andika sudah tidak berdaya, Ki Sudibyo!" kata Klabangkoro dengan sikap kurang ajar. "Cepat angkat aku menjadi ketua dan tuliskan Aji Hasta Bajra menjadi kitab pelajaran, atau aku terpaksa menyiksamu sampai mati!" "Klabangkoro! Engkau yang bertahun-tahun menjadi muridku,kupercaya dan kuberi pelajaran, begiini tega.....?" tanyanya,hampir tidak percaya. "Salahmu sendiri, Ki Sudibyo. Aku yang sudah bersetia kepadamu selama bertahuntahun, membantu menegakkan dan mambesarkan Gagak Seto, sama sekali tidak kauperhatikan bahkan engkau akan mengangkat gadis itu menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadanya! Karena itu, sekarang engkau harus mengangkatku menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadaku. Percuma karena tubuhmu sudah keracunan!" "Keracunan?" "Ya, dalam wedang jahe tadi!" " Sudah.......jadi Jinten......?" "Sudah lama ia menjadi pembantuku yang setia. Dan hampir semua murid Gagak Seto juga menjadi pendukungku." "Tidak! Tidak sudi. Biar engkau akan menyiksa dan memnunuhku, tidak akan kuangkat engkau menjadi ketua, apalagi mengajarkan Hasta Bajra kepadamu!" Dia kembali bangkit berdiri, mengepal kedua tinjunya. "Aku akan melawanmu matimatian!" Kini Ki Sudibyo menerjang ke depan. Akan tetapi dai terhuyng dan ketika Klabangkoro menangkisnya, diapun terpelanting lagi dan jatuh terduduk. Tahulah bahwa murid durhaka itu tidak berbohong. Dia telah keracuanan.Andaikata tidak keracuanan sekalipun belum tentu dia dapat menendingi muridnya karena tubuhnya sakit-sakitan dan lemah, apalagi kini telah keracunan. Dia benar-benar tidak berdaya! "Bunuhlah, aku tidak takut mati!!" kata Ki Sudibyo dengan marah. " Nyawaku akan mengutukmu!" "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau dapat menolak permuntaanku!" Klabangkoro bertepuk tangan tiga kali dan pintu itu terbuka.Masuklah Mayangmurko dan orang ini mendorong masuk tiga orang murid muda. Tiga orang itu terdorong dan berlutut di atas lantai. "Nah,Ki Sudibyo,apakah engkau masih menolak menuliskan Aji Hasta Bajra untukku?" Kisah Si Rase Terbang 3 Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Kisah Si Bangau Putih 11