Badik Buntung 16
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 16 tandingan, saat mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba merah pasti tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung mengeroyok dirinya, tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total. Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyianyiakan kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya untuk menerobos kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu akan menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum tentu mampu membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba badannya melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan. Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay meminjam tenaga benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam jarak yang lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos ke dalam sana, ia sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan mencegat di depan Thian-hi. Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang masuk dulu kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi rintangan dua orang di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar tiba-tiba ia menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan di punggung Thian-hi. Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa dirinya sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa sempat berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing menangkis serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah pihak saling bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang mungkin bisa menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan gabungan musuh yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut. Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan sambel belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun sudah mental ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah berlari-lari kencang ke dalam lembah. Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwatlo-mo berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar dengan kencang. Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah tentu girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat gerak kakinya, anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan. Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik burung berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni meluncur turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo. Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi. Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam hati, "Lagilagi tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi olehnya!" namun Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan bertindak. Bu-bing menyeringai lebar, katanya, "Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jianlian-hok-ling itu bukan" Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat untuk memperolehnya!" "Jadi Suthay juga mau ikut merebut?" demikian jengek Ang-hwat-lo-mo. Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya, "Setelah aku berada disini, kalian harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus kalian kerjakan disini." Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa dibuatbuat. jengeknya, "Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?" "Urusanku tak perlu orang luar ikut campur." demikian sentak Bu-bing Loni. Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat sikap dan tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu apalagi wataknya begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang, "Kau ingin memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu." "Siapa kau?" tanya Bu-bing. Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar begitu hina dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia mengendalikan diri, serunya bergelak tawa, "Siapa aku" Aku adalah aku, jangan harap kau dapat memonopoli Jianlian- hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!" Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh. Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk memberanikan diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin, "Laba-laba merah segera bakal menerjang datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!" Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai bergerak menghampiri ke arah mereka berempat. Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya, "Kau sangka cuma kau saja yang mampu menunjukkan dia?" - pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah laba-laba merah itu. Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing Loni bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk laba-laba merah yang jahat itu. Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat berpikir dengan kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Withian-cit-ciatsek menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay itu.... apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bubing seorang. Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak sama-sama adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari keuntungan sendiri2. Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara bagaimana supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan apakah benarbenar Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka berdua bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk mengantar mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah. Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing Loni. Bu-bing Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang rendah musuh binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib bila ia mundur dan tak kuasa melawan. Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada kuat dan merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu. Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap gerak-gerik kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia menggeser maju lebih dekat. Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya, agaknya ia belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat seperti ragu-ragu apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah merupakan gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati. Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba merah merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat terbang, ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing Loni. Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak berkelit kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri, tapi secepat itu pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba merah lagi-lagi menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bubing bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu ketika mendadak ia melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu. Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing melarikan diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya ia tercengang, tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni. Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik sinar hijau kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan tangannya langsung meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara tangan kanan Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus menangkis dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat mencelat keluar. Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa, belum lagi labalaba merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas seluruhnya ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun badainya menjadi lemas dan roboh mati. Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang sangat bangga. Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah memang teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya, pasti seluruh tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak akan tertolong lagi. Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah, tengkuk Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bubing Loni, mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya" Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan pikiran Bokpak- it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang akan berhutang budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun Thian-hi sudi berpihak pada mereka, Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bubing Loni, "Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?" Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni, bila mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang, begitulah rencananya. Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar pertanyaan Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan pertanyaan ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam. Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni saling gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan menerobos Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kesana. Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam, "Kuperintahkan kalian segera keluar dari lembah ini!" Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bubing sudah unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi, "Apakah kau sudi keluar?" Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong dirinya terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar, namun bila ia bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo" Tadi ia sudah melihat gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu bertempur melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa, "Lihat keadaannya dulu!" Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini, hidungnya mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni, "Benar-benar, kami akan bertindak setelah melihat situasi selanjutnya!" Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah diseret kepihaknya secara paksa. Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum lagi sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati lukaluka dalamnya ini, sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan Thian-hi yang merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya bukan tandingan. Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, "Baik! Akan kulihat cara bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?" Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya, "Masa sekarang?" - lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu. Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat mengambil posisi yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi, "Aku ada sebuah urusan hendak kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi baru kita bicarakan!" Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke pihaknya, bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua pasti menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan kemungkinan ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka saling mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol. Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni adalah musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap Bu-bing bisa memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan Hun Thian-hi mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua saling bermusuhan. Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni, "Kepandaian silat kalian terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak pasti dapat menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?" Bu-bing Loni mendengus ringan. Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak hadir disini, ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo ini ia menjadi sukar membuka suara lebih lanjut.... Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar, "Tujuanku ke Bik-hiatkok ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!" - ia tahu bila ia turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan semula adalah menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek" Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang rona wajah Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum ucapan Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hatihati dan berjaga, sesaat setelah ia berkata, "Itu tidak menjadi soal...." Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas, "Tidak menjadi soal" Belum tentu ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi dirinya, terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya menempur Bu-bing Loni. Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya mengejek dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga lantas beringas. Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah tentu Anghwat- lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut, "Jangan kau tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang tujuannya hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar Jian-lian-hokling itu" Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang terlaksana. Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil kau nanti bakal menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!" Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat tidak mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bokpak-itkoay. Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah pihak yaitu; 'kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jianlian-hok-ling, urusan selanjutnya gampang diselesaikan.' Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi, "Siapa yang terkurung di dalam rumah batu itu?" Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya ia tidak rela membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat membenar-benarkan cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya, "Seorang kawan!" Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay katanya kepada Hun Thian-hi, "Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong keluar kawanmu itu kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam perebutan ini, apakah kau setuju?" "Begitupun baiklah!" sahut Thian-hi tersenyum. Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi tidak ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju kerjasama dengan Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-itkoay bakal terjepit dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib. Situasi sudah terbalik, apakah memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal. Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila lukaluka dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi Hun Thian-hi. Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke dalam gubuk batu itu. Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah saling beradu pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal ini bakal terjadi, kenapa harus bimbang dan takut" Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu itu kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi Ang-hwat-lo-mo sambil memicingkan matanya. Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua orang kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas. Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya tertawa, "Bagaimana" Ketemu tidak?" Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai, "Ang-hwat, jangan kau main bacot dan ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?" "Urusan ini kita kesampingkan dulu," demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu, "Mari kita selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu." "Apa-apaan maksudmu ini?" sentak Hun Thian-hi berang. Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik Thian-hi kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan kali inilah yang bakal menentukan. Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung disini tanpa perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak memihak kepada Ang-hwat-lo-mo" Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel secarik kertas. Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa urusan tidaklah sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi sekarang sudah pergi, hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu. Maka ia bertanya kerada Ang-hwat, "Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?" "Sudah tentu tidak disana." demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa, "Bila ada matamu kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu." "Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak lagi berada di dalam gubuk ini?" demikian jengek Bu-bing Loni. "Begitukah anggapanmu?" seru Ang-hwat masih bergelak tawa, "Bila benar-benar mereka ada di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?" "Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk ini?" demikian Bu-bing Loni menegas. Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing pasti menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan bagaimana akibatnya nanti. Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana, ingin dia tahu benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing. Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya tidak terkurung di dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk datang kemari, dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang. Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel didinding itu. Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat maju, bila ia dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula. "Jangan bergerak!" Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang. Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad. ditengah jalan pedangnya pun dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah samping, sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang kesana. Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya menyelonong keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo. Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur berulang-ulang, sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak tanggung2 melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan hawa pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar dari badan kasarnya. Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Anghwat-lomo, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis sesuatu hal yang tidak boleh diketahui orang lain. Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak. seruling jade teracung miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya. serempak ia serang Bubing Loni berdua. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal menyergap dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lomo, tak sempat menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri. Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh dari tempat kertas itu. maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu, sekilas pandang ia dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut, "Untuk mengetahui jejak kedua perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!" - tulisan ini tidak dibubuhi tanda tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar hutan tadi. Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya orang ini" Sejak kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya kepandaian silat sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian, ini benar-benar suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku menyusul kesana" Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru saja ia hendak membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung sesuatu kesulitan. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona wajah mereka bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan tercampur aduk. Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti sadar peristiwa apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat laun sudah sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai disini jalan pikiran Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menyerbu ke arah dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi gosokkan kedua telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya menjejak tanah tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang. "Hun Thian-hi!" seru Bu-bing Loni dengan geram, "Besar benar-benar nyalimu, berani kau berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?" Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya sudah tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lianhok-ling sekalian. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya, "Kalau kita terlalu lama tinggal di tempat ini, mungkin takkan dapat keluar pula dari sini!" Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni menjengek dingin, "Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang keluar, tak usah kau kuatir lagi keselamatanku." Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya, "Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua harus mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan caranya untuk menyelesaikan hal ini." - habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari kencang kemulut lembah. Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia berseru, "Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?" "Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita menunggu ajal secara konyol?"' Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang itu, maka dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi, "Kau harus ikut kami kesana, setelah tiba diluar Bikhiat- kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!" "Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya" Hun Thian-hi merupakan lawan yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang dapat kau perbuat?" "Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!" begitulah semprot Bubing. Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bikhiat-kok. sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai bergerakgerak.... terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar. Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-itkoay sama menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi, "Siapakah orang yang meninggalkan catatan kertas itu?" Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa kecandak dan orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa, "Akupun tidak tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!" Bu-bing mencak-mencak gusar. ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini berusaha merintangi dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi. Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem, "Sebenar-benarnya apa yang tertulis di atas kertas itu?" Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa, "Aku tahu, tapi tak sudi kukatakan. Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?" ia mendongak memandang kelangit tampak burung dewata terbang berputar-putar ditengah udara. Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang disaat mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata, tapi setelah dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang. Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus berhasil merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu bahwa harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun merekapun tidak rela bila Bu-bing Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada kesempatan tinggal pergi naik burung dewata. Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun lahirnya ia berlaku tenang dan mengulum senyum dingin. Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa, "Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar hendak tinggal pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?" Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan menempur tiga musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan ini pasti tak perlu direwes lagi. Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas kepalanya cepat ia bergaja hendak mencelat naik. Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan tabir pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah dianggap enteng oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi melulu, melihat Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti kecewa, soalnya ia tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya. Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba terpaksa Bubing tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal keluar segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus memunahkan rangsakan kedua pedang musuhnya. Sementara mendapat peluang ini tubuhnya mendadak melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya teracungacung ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan kiri Bu-bing untuk merintangi orang melarikan diri. Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker tenaganya menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu. Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa aneh dan kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun Thian-hi sekarang benar-benar diluar perkiraannya semula. Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana angin lesus yang bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang memegang pedang tergetar lepas dari tangannya. Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia lancarkan tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai lembayung memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi. Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi melancarkan serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi waktu terlalu mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi perjalanan Bu-bing Loni belaka. Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap salah satu jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali untuk mengurung dan membendung jalan keluarnya. Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang panjang Bu-bing melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan Hun Thian-hi menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan tepat sekali hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah udara. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka beranggapan bahwa Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar dugaan akhirnya toh Bu-bing berhasil lolos. Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu tubuhnya meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari kencang melesat keluar lembah. Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir kesamping. Tapi justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya, "Hun Thian-hi tunggu dulu, ada suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!" Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir apa lagi, terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya, "Ada urusan apa lagi?" Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah urusan apa yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi. Kata Bok-pak-it-koay, "Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk kepentingan sendiri, soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah lenyap gara-gara kalian!" sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu sambungnya, "Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hatihatilah!" - habis berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana. "Nanti dulu!" teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul. Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo. Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya, "Ada omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang kau tipu." Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu, sangkanya bila ia dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya, tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya, "Siapa orang yang kau katakan tadi?" - ia tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau toh dia dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya, "Kukatakan juga tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!" kali ini ia benar-benar berlari pergi tanpa rintangan. Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan sendiri, bilamana ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan Kangouw bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya. Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-moih dan apa pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit dan berkata pada Hun Thian-hi, "Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi tahun2 terakhir ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan sekian kalinya!" ia tertawa pula dengan hambar. "Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana kau tidak akan mengalami segala pahit getir ini." demikian ujar Thian-hi. Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar, "Yahhhhh! Mungkin tidak seharusnya aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!" ia tenggelam lagi dalam alam pikirannya, lalu tambahnya tertawa, "Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!" ~lalu ia berpaling ke arah Thian-hi serta katanya, "Selamat bertemu dilain kesempatan!" - ia tinggal pergi dengan langkah goyang gontai. Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba terasa sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini membekal suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali dirinya hampir menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap Ang-hwat, Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi jawaban akan pertanyaan diri sendiri.... Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas dirinya dengan Anghwat- lo-mo ini. Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama kemudian sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan burung dewata. Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia naik kepunggung burung dewata terus terbang ke atas langit. Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun tiada sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga tidak kelihatan bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun lagi kebumi. Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay" Atau mengerjakan apa lagi, kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum sampai disana, lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini" Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan menerobos keluar dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah kemudian tak tahan lagi ia tersungkur jatuh ke depan. Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti disengat kala, sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini, karena orang yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama berpisah. Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah tak dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas. Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah orang yang sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh, tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa kejut dan keheranan Thian-hi Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi, jiwanya telah melayang. Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah betapa perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan diri untuk menanggung akibatnya. Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa telah kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat mundur lempang ke belakang. Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar hutan sebelah sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar menggumam, "Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!" Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan berat, tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih Lam In yang telah membunuh Ang-hwat-lo-mo. Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lomo sudah ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu luar biasa yang ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati. Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In mengerling ke arah Thian-hi, tanyanya, "Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?" Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk jenazah Anghwat- lo-mo, "Kau lihat dia" Dia sudah mati bukan?" Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia perbuat atas dirinya. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula, "Kau sedikit lebih pintar dari dia, kalau tidak kau pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari puluhan langkah baru roboh sampai disini." Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa jiwanya telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan langkah kemudian baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun sudah celaka dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini. Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula, "Betapa pun kau tidak akan lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa." sampai disini tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan yang haus darah. Thian-hi menenangkan hati, katanya, "Mengandal apa kau berani bicara begitu pasti" Kejadian selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan." "Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?" seringai Lam In. Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini. Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya, "Salah dugaanmu!" - sembari berkata ia mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua butir pil warna hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat. Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur tipu daya ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik Sin-jiu-mo-ih Lam In yang aneh ini. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan mulai bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia tidak mau percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah jiwanya melayang. Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo, "Kau majulah, bereskan manusia kerdil itu!" Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelanpelan ia berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku. Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati. namun sedapat mungkin ia berlaku tenang, dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang menghampiri dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In, "Gertak sambelmu ini hanya cukup menakuti bocah kecil belaka, beranikah kau menempur aku?" Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka sekali mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah, serunya dingin, "Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?" Bab 31 Semangat dan nyali Thian-hi semakin besar, dengan tak kalah dinginnya iapun balas menjengek, "Begitukah sangkamu" Yang terdahulu memang aku merasa diluar dugaan, tapi untuk selanjutnya justru kau sendirilah yang bakal merasa diluar dugaan!" Sin-jiu-mo-ih mengunjuk tawa sinisnya, tangannya mengulap ke belakang, dari dalam hutan pelan-pelan berjalan keluar seseorang, sekali pandang mencelos hati Thian-hi, yang muncul ini bukan lain adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yaitu Kiu-yu-mo-lo. Berkatalah sin-jiu-mo-ih kepada Kiu-yu-mo-lo, "Ajo bantu aku membekuk Hun Thianhi itu!" - cepat Kiu-yu-mo-lo berkelekat maju terus menubruk ke arah Thian-hi. Jang membuat Thian-hi terkejut adalah bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah sadar dan tergugah imannya dari sesat kejalan terang, tapi sekarang muncul di tempat ini, pasti dia telah dikerjain oleh tabib sakti bertangan jail ini. Begitu Kiu-yu-mo-lo melesat tiba Thian-hi lantas mencelat menyingkir, kelihatannya kepandaian Kiu-yu-mo-lo sudah jauh lebih maju, setelah terhindar segera ia berteriak kepada Lam In, "Berhenti dulu!" Sin-jiu-mo-ih rada bimbang, tapi akhirnya ia berseru kepada Kiu-yu-mo-lo, "Tahan sebentar. Coba dengar apa yang hendak dia ucapkan!" Kata Hun Thian-hi, "Bahwasanya apakah tujuanmu coba bicara terus terang saja, mungkin persoalan ini masih bisa kita rundingkan, jikalau kau keras kepala ingin main kekerasan, aku bisa naik burung dewata tinggal pergi, apa yang mampu kau perbuat atas diriku?" "Tujuan apa" Tujuanku adalah Jian lian-hok-ling itu, jikalau kau bisa menyerahkan sekarang aku tidak ambil panjang urusan ini. Kalau tidak meski kau bisa naik burung dewata, aku berani bertaruh kau tidak akan mampu lari dari tanganku." "Kalau begitu marilah kami coba-coba!" demikian tantang Thian-hi sambil tertawa tawar, lenyap suaranya tiba-tiba ia melejit naik kepunggung burung dewata, burung itu segera pentang sayap terbang keudara. Sin-jiu-mo-ih terkekeh-kekeh dingin, mendadak sepuluh jarinya terkembang, puluhan ekor burung-burung kecil berbulu hijau seketika beterbangan, bau obat yang tebal segera beterbangan di tengah udara dari badan burung-burung hijau kecil itu, kontan terdengar burung dewata memekik panjang, sayapnya terpentang menggelepar tapi tak mampu terbang ke tengah udara, kelihatannya seperti berat sekali tak mampu lagi membawa badannya. "Bagaimana, percaya tidak?" demikian jengek Sin-jiu-mo-ih sambil menyeringai dingin. Bercekat hati Thian-hi, seruling jade seketika dilolos keluar badan pun cepat melambung tinggi terus diputar sambil meluncur ke atas, sekaligus ia serang puluhan burung-burung kecil berbulu hijau yang terbang teramat gesit, tujuannya hendak memukul roboh sekali hantam. Tapi Sin-jiu-mo-ih ternyata tidak tinggal diam, lagi-lagi ia tertawa panjang, badannya melejit tinggi laksana seekor burung rajawali langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi. Sebagai tokoh kelas wahid pada jaman ini sudah tentu Thian-hi tidak gentar menghadapi segala permainan Sin-jiu-mo-ih, terdengar ia mendengus dingin, serulingnya ditukikkan miring turun ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, segulung sinar putih kemilau segera menyongsong kedatangan Sin-jiu-mo-ih Berani menghadapi Hun Thian-hi yang terkenal hebat dan lihay ini, sudah tentu Sin-jiu-mo-ih Lam Im punya bekal yang cukup berkelebihan untuk mengatasi serangan lawan, Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tampak begitu ia meluncur tiba Hun Thian-hi sudah merobah jurus permainannya untuk menyerang dirinya, tangkas sekali ditengah udara sebelah kakinya menjejak sebelah kaki yang lain, seenteng asap badannya tiba-tiba melambung lebih tinggi lagi menghindari serangan musuh. Sudah tentu Thian-hi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, jikalau sekarang ia tidak segera turun tangan, babak selanjutnya belum tentu bisa memperoleh kesempatan sebaik ini. Tanpa ayal iapun layangkan tubuhnya menerjang lebih tinggi mengejar pula dengan rangsakan yang lebih dahsyat. Tiba-tiba Sin-jiu mo-ih mengebutkan sepasang lengan bajunya yang panjang lebar, bubuk obat warna putih seketika beterbangan di tengah udara, dan yang lebih hebat seluruhnya menerjang ke arah kepala Thian-hi. Sudah tentu bukan kepalang kejut Thian-hi melihat permainan licik musuh, cepat serulingnya digentakkan serta dibolang-balingkan di depan tubuhnya, syukur ia berhasil menghalau bubuk obat itu dengan kekuatan tenaga dalamnya, gebrak selanjutnya ia menjadi jeri mengejar pula, cepat ia lorotkan tubuhnya meluncur turun ke tanah. Meski ia cukup cekatan tak urung ada sebagian bubuk obat yang berhasil tersedot ke dalam hidungnya, kontan ia rasakkan dadanya sesak dan mulut menjadi mual hendak muntah2, yang lebih celaka lagi kepala terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang. Thian-hi insaf bahwa ia sudah menyedot racun, cepat ia loncat pula ke belakang keluar dari lingkupan bubuk-bubuk putih itu, terus berdiri tegak mengempos semangat dan tak berani sembarangan bergerak. Terdengar Sin-jiu-mo-ih tertawa menggila ditengah taburan bubuk obatnya yang beracun, badannya segera menukik turun secepat burung elang menerkam anak ajam langsung menepuk ke batok kepala Hun Thian-hi dengan kedua telapak tangannya. Meski Thian-hi cuma menyedot sedikit saja bubuk obat itu, tapi ia sendiri maklum bahwa ia sudah keracunan cukup berat, sebisanya ia mengerahkan serulingnya ke atas memunahkan rangsakan Sin-jiu-mo-ih Lam Im yang sangat berbahaya itu. Sementara Sin-jiu-mo-ih sendiri juga teramat heran, bagaimana mungkin Hun Thianhi tidak segera roboh mampus setelah menyedot obat beracunnya yang sangat jahat, setelah mencelat mundur sejenak ia berpikir lalu katanya dingin, "Tiada gunanya, meski kau pernah menelan buah ajaib, sama saja kau bakal mampus ditanganku!" - lalu ia terbahak-bahak lagi lebih menggila. Dengan berhasilnya Thian-hi menghalau rangsakan Lam Im yang mematikan itu, kepala Thianhi pun terasa semakin berat pikirannya mulai kabur, setiap perkataan Lam Im seakanakan sebuah pukulan godam yang mengetok batok kepalanya sehingga kepalanya terasa hampir pecah. Selesai berkata segera Lam Im mendesak maju pula kepada Thian-hi, ingin rasanya sekali hantam ia bikin lawan kecilnya ini mampus seketika, adalah setimpal hukuman ini bagi Thian-hi karena dialah yang telah menggagalkan usahanya dalam memperoleh Jian-lian-hokling itu. Pandangan Thian-hi kepada Lam In yang berada di depannya semakin kabur, tahu dia bahwa sembilan bagian dari sepuluh jiwa raganya sudah tercengkeram di tangan Lam Im, bayangan beberapa raut wajah yang sangat dikenalnya berkelebatan dalam benaknya, terasa olehnya betapa penderitaan seseorang dalam mendekati ajalnya, banyak alasannya untuk memperjuangkan hidupnya karena banyak urusan yang belum selesai ditunaikan, dan lagi segan dan berat rasanya meninggal dunia fana yang membawa banyak kenangan bagi sanubarinya, suatu pemikiran yang cukup dapat menghibur hatinya cuma bila ia benar-benar mati, meski ia belum berhasil menunaikan tugasnya tapi tiada seorang pun dalam dunia ini yang bakal menanggung sengsara karena dirinya. Dengan menyeringai sadis Lam Im menghampiri pula ke arah Thian-hi, didapatinya sekarang dengan pasti bahwa Hun Thian-hi sudah kehilangan daya pertahanan terhadap serangannya. Sekonyong-konyong ditengah udara kumandang sebuah teriakan, "Lam Im nanti dulu!" Sin-jiu-mo-ih terkejut, sekilas ia melengak, dalam jaman ini orang yang berani gembar-gembor memanggil namanya cuma beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sedang para sahabat karibnya yang aneh2 banyak yang sudah wafat, tak terpikir olehnya siapakah orang ini yang berani meneriakan namanya secara langsung, cepat ia menengadah melihat ke atas udara. Thian-hi sendiri juga tersentak sadar mendengar teriakan ini, timbul setitik harapan dalam sanubarinya, dengan susah payah ia coba angkat kepala mendongak ke atas angkasa. Seekor burung rajawali yang besar berbulu emas pelan-pelan menukik turun dan hinggap dimuka bumi, kiranya pindatang ini adalah murid Thay-si Lojin. keruan kejut dan girang pula hatinya. Thay-si lojin merupakan seorang tokoh yang berjiwa luhur dan berwatak aneh berkepandaian tinggi pula, maka muridnya itu pasti bukan sembarang tokoh pula, sekarang dia berani muncul dalam keadaan yang gawat ini. maka harapan hidup jiwanya semakin besar, dari teriakan atau panggilan tadi dapatlah diduga bahwa beliau pasti kenal akan Sinjiu-mo-im Lam Im. Begitu melihat siapa pendatang ini, tergetar benak Sui-jiu-mo-ih Lam Im, cepat ia memapak maju lalu menjura serta sapanya hormat, "Kiranya kau orang tua yang datang, Lam Im tidak tahu harap maaf bila kurang hormat!" Melihat kelakuan orang semakin lega sanubari Thian-hi, tingkat kedudukan Thay-si Lojin di Bulim teramat tinggi dan cukup diagungkan tiada yang tidak mengindahkan ketenaran namanya, dilihat gelagatnya mereka saling berkenalan, maka tiada sesuatu pula yang perlu dikuatirkan dirinya. Terdengar si orang tua berkata pada Lam Im sambil tertawa, "Selama berpisah apakah kau baik-baik saja?" Lam Im menundukkan kepala tidak bersuara. Gurunya Sin-chiu-ih-sing adalah keponakan Thaysi Lojin, beliau banyak mendapat bimbingan dan asuhan sangat berharga dari tokoh agung ini, demikian juga dirinya tidak sedikit mendapat petunjuk dan bimbingan dari Thay-si Lojin. Orang tua itu tertawa. ujarnya, "Ilmu ketabiban adalah untuk menolong jiwa orang, sekali2 pantang digunakan, untuk mencelakai jiwa manusia, ketahuilah hukum karma, sesuatu yang pernah kau perbuat kelak akan menimpa pula akan dirimu." Karena berlega hati pertahanan Thian-hi semakin kendor dan akhirnya tidak tertahan lagi, kepalanya semakin berat, tampak bayangan si orang tua, dan Sin-jiu-lo-jin sama semakin kabur dan beterbangan di depan matanya, beberapa kali ia melihat Sin-jiu-mo-ih membuka mulut hendak bicara tapi suaranya tidak terdengar, pelan-pelan kepalanya tertunduk dan kaki menjadi lemas pula setelah sempoyongan akhirnya ia meloso jatuh dan tidak ingat diri. *** Entah berapa lama berselang, akhirnya Thian-hi pelan-pelan siuman dari pulasnya, tatkala itu cuaca sudah gelap gulita, bintang-bintang beterbaran dicakrawala yang cerah cemerlang, sesaat kemudian ia celingukan kian kemari, sekelilingnya kosong melompong tiada sesuatu pun yang menarik pandangan matanya. Thian-hi menjadi keheranan, masih jelas dalam ingatannya ia pernah kena racun yang sangat jahat. kebetulan si orang tua datang menolong jiwanya, tapi apa yang telah terjadi selanjutnya ia tidak tahu. Pelan-pelan ia bangkit berdiri, terlihat serulingnya menggeletak di tanah sebelah kakinya, pelan-pelan dijemputnya senjatanya itu, tampak pada batang serulingnya itu tertempel secarik kertas, dimana tertulis, "Lam Im sudah kubawa pergi, lekas menyusul ke Ni-hay!" Thian-hi tahu bahwa orang tua itulah yang meninggalkan pesan ini, sejenak ia terlongong, lalu menjelajahkan pandangannya kesekelilingnya. tampak burung dewata masih mendekam di bawah pohon sana, cepat ia menghampiri terus naik ke atas punggungnya dan terbang langsung menuju keselatan, ke Ni-hay. Waktu terang tanah Thian-hi sudah sampai di Ni-hay dan turun di pesisir yang berpasir halus, ia periksa keadaan sekelilingnya, dalam hati ia bertanya-tanya siapakah sebenarbenarnya yang mengundangku kemari kenapa si orang tua juga menyuruhku kemari juga" Sekarang aku sudah tiba di tempat tujuan jelas tidak akan salah kaprah, kenapa takut-takut lagi, orang yang mengundang aku pasti akan muncul menemui aku sendiri. Ia ulapkan tangannya menyuruh burung dewatanya menyingkir pergi, seorang diri ia beranjak dipesisir Ni-hay yang tak berujung pangkal. Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang dari sebuah kapel yang terdapat dipinggir sebelah atas yang dibangun di atas batu karang dipinggir laut sebelah depan. sana, Thian-hi menghentikan langkahnya, dalam waktu sepagi ini, masa mungkin ada orang berkunjung ke tempat ini. jelas pasti orang yang mengundang aku itulah yang memanggil diriku. Dengan cermat Thian-hi mengawasi ke arah kapel di depan sana, sekarang ganti terdengar suara gelak tawa yang lantang, tapi arah suaranya sudah berganti tempat disetelah sana. Thian-hi jadi mengerutkan kening, sabenar-benarnya orang macam apakah yang mengundang aku kemari" Demikian ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa begini humor dan suka berkelakar agaknya, entah bagaimana aku bersikap nanti setelah ketemu dengan beliau. Tampak sebuah sosok bayangan abu-abu berkelebat keluar dari kapel itu lalu berlari-lari kencang menyelusuri pesisir yang berpasir. Cepat Thian-hi melompat mengejar, dari kejauhan ia berteriak, "Cianpwe harap tunggu sebentar!" Agaknya orang itu tidak peduli atau mungkin anggap tidak dengar akan teriakan Thian-hi, langkah kakinya malah dipercepat. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi kerahkan tenaganya mengejar lebih pesat pula. Bayangan abu-abu itu melesat secepat kjlat menuju ke arah sebuah kapel lain disebelah depan sana, sekali berkelebat tiba-tiba bayangannya lenyap dibailk kapel itu. Thian-hi langsung mengejar masuk, setiba ia di dalam kapel didapati keadaan kosong melompong tiada jejak manusia, mau tak mau ia mengerutkan alis. hatinya menjadi gelisah dan cukup kesal, tapi agaknya orang sengaja main sembunyi2 dan kelakar padanya. Thian-hi jelajahkan pandangannya mengawasi kesegala pelosok kapel yang tidak begitu besar ini, tapi sungguh ia tidak habis mengerti kemana orang itu bisa sembunyi dengan mengelabui matanya, saking kewalahan ia berdiri mematung diam saja, sesaat kemudian ia baru bersuara, "Untuk keperluan apakah sebenar-benarnya Cianpwe mengundang Wanpwe kemari, kenapa tidak mau unjuk diri untuk bicara?" Baru saja habis ia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan melesat terbang dari puncak kapel terus melesat keluar jauh sana. Cepat Thian-hi melesat keluar kapel belum jauh ia mengejar tiba-tiba tampak orang itu membalikkan tangan, tampak ia melemparkan segulung benda kecil warna putih melesat pesat ke arah mukanya. Sekali raih Thian-hi berhasil menangkap, kiranya itulah segulung kertas, waktu ia angkat kepala lagi tampak bayangan itu sudah menghilang pula dibalik kapel di depan sana, cepat Thian-hi membuka lempitan kertas itu, dimana ada tertulis, "Bahwasanya kita tidak pernah mengundang kau kemari!" Saking dongkol Thian-hi menjublek ditempatnya, sesaat ia sukar berkata-kata. Gerakkan tubuh orang itu sungguh teramat pesat, ia insyaf bahwa dirinya tidak akan lebih unggul dan berhasil menyandaknya, tapi apakah dia mudah dipermainkan demikian saja" Tidak! Betapapun aku harus mencari dan mengejar sampai orang itu muncul, bila orang mau unjukan diri segala urusan pasti bisa diselesaikan. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Karena pikirannya ini cepat Thian-hi melesat pula ke kapel disebelah depan sana. Baru saja kakinya bergerak tampak pula olehnya sebuah bayangan abu-abu yang lain melesat keluar dari kapel semula terbang pesat ke arah jurusan lain. Thian-hi jadi melengak heran, pikirnya, "Kiranya bukan melulu seorang saja, tak heran dalam tulisan itu ia menyebut "kita", naga-naganya sedikitnya mereka berjumlah dua orang!" Ia tidak hiraukan bayangan yang bergerak belakang ini, langsung ia menyusul ke Kapel yang ada di sebelah depan sana. Baru saja kakinya tiba di ambang pintu secarik kertas melayang jatuh dari langit2 kapel, sekali raih Thian-hi mengambilnya, keadaan kapel kosong melompong tiada jejak manusia. Gesit sekali Thian-hi jejakkan kakinya melompat mundur keluar kapel, waktu ia baca tulisan dalam kertas itu seketika darah bergolak di rongga dadanya, saking marah ia mematung ditempatnya sambil kertak gigi, kiranya tulisan itu berbunyi, "Bujung kau terlambat datang, aku tinggal pergi, jangan kau marah lho!" Sesaat lamanya Thian-hi masih terlongong li tempatnya, ia pikir aku terhitung seorang tokoh kelas wahid juga, sungguh tidak nyana di tempat sejauh ini aku dipermainkan orang, sukar dipercaya ada orang yang mampu lolos dari pengamatan sepasang matanya yang jeli. Akhirnya ia bersuara ke arah kapel di depannya itu, "Cianpwe harap jangan main sembunyi lagi.... aku tahu bahwa kau orang tua masih belum meninggalkan kapel ini, harap suka unjukkan diri untuk bicara dengan Wanpwe!" Tidak terdengar penyahutan. Thian-hi berkata lagi, "Cianpwe jangan permainkan aku lagi, kepandaian silat Cianpwe sungguh membuatku kagum dan takluk benar-benar, silakan kalian keluar saja!" Maka terdengarlah sebuah suara tawa dari dalam kapel itu, berkatalah sebuah suara serak yang bernada rendah, "Bujung macammu ini kiranya cerdik juga, tapi aku orang tua tidak gampang kena kau tipu!" Berdiri diluar kapel Thian-hi menyahut tertawa, "Akupun tidak akan kena dikelabuhi lagi, cukup aku berdiri diluar sini, kecuali kau melarikan diri. kalau tidak betapa pun kau akan muncul juga!" Sesaat lamanya suasana menjadi sunyi, kemudian terdengar sebuah dengusan hidung, suara serak itu berkata pula, "Untuk apa kau bujung ini selalu menguntit aku" Kerjaan penting tidak kau selesaikan, sehari2an kau melakukan pekerjaan tak genah!" Diam-diam Thian-hi lantas membatin, "Entah siapa yang bekerja gegabah, usiamu sudah sedemikian lanjut, tapi bersikap edan2an tak tahu adat. sekarang kau menegur aku malah" - dalam hati ia membatin begini, tapi mulutnya berkata lain, "Jadi maksud Cianpwe supaya aku lekas-lekas meninggalkan tempat ini?" "Benar-benar!" suara serak itu menyahut, "usiamu masih semuda itu tapi sehari2an mengejar2 perempuan, tidak tahu malu, hayo lekas pulang!" Thian-hi jadi menyengir, ia garuk2 kepalanya yang tidak gatal, teguran orang tidak masuk alasan, sejenak ia berpikir lalu serunya, "Kalau begitu baiklah Wanpwe segera pulang, harap Cianpwe suka capaikan diri merawat mereka berdua." - ia siap melangkah pergi. "Hai nanti dulu!" suara serak itu berteriak tinggi.... Sebenar-benarnya Thian-hi cuma pura-pura belaka, mendengar teriakan itu, ia putar balik lagi, katanya, "Ada urusan apa lagi" Cianpwe?" Kedengarannya orang itu menjadi gugup, katanya, "Masa mau tinggal pergi begitu saja!" "Habis apa yang harus Wanpwe lakukan?" demikian sahut Thian-hi, "Cianpwe tidak mau unjuk diri untuk bicara, terpaksa tinggal pergi saja, urusan boleh kita bicarakan lagi lain kesempatan!" Orang itu mendengus, katanya, "Jangan kau gunakan alasan itu untuk main ancam terhadap aku ya!" "Sedikitpun Wanpwe tidak berpikiran begitu," demikian Thian-hi berdiplomasi sambil tertawa, "soalnya aku menurut kehendak Cianpwe supaya aku lekas pulang bukan!" Baru saja ia selesai bicara mendadak didengarnya kesiur lambaian baju dibelakangnya, luncurannya sedemikian pesat jarang ditemui selama ini. Sebat sekali ia berkelebat menyingkir. Tahu-tahu seorang tua yang berbadan kurus kecil sudah muncul dihadapannya. Mulut orang tua kurus kecil ini mengeluarkan suara aneh, lalu berkata ke arah kapel, "Lotoa, bocah ini rada aneh sedikit, pukulanku kiranya berhasil dihindari olehnya." Orang didalam. kapel itu mendengus, dilain kejap tampak sesosok bayangan melayang turun bentuk orang tua ini hampir sama dengan orang tua yang terdahulu, cuma raut mukanya tampak sedikit lebih gemuk dan lebih tua. Sejenak ia mengawasi Thian-hi lalu ia tanya, "Naga-naganya kau memang punya banyak kepandaian tulen, hari ini akan kupaksa kau membojong seluruh kepintaranmu itu." Mendadak Thian-hi ingat secara reflek tadi ia sudah gunakan langkah Ling-coa-pou untuk meluputkan diri dari sergapan si orang tua kurus kecil ini, tidak perlu dibuat heran bila mereka menjadi takjup dan ingin menjajal kepandaiannya. Cepat ia menjura serta berkata, "Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya nama mulia Cianpwe berdua!" Orang tua yang rada gemuk menjadi kurang sabar, katanya, "Aku bernama Goan Tiong, dia bernama Goan Liang, orang menyebut kami Ni-hay-siang-kiam, sudah cukup bukan, mari sekarang kau boleh unjuk sejurus dua gebrak kepandaianmu." Dari samping Goan Liang ikut menyela, "Toako main sungkan apa segala" Makin sungkan kepalanya semakin besar, justru aku tidak percaya kepandaian sejati apa yang dia miliki, biar kujajal dia lagi betapa tinggi kepandaian bocah keparat ini." Sembari berkata kakinya sudah melangkah ke depan, keruan Thian-hi merasa kaget, melihat gerak gerik kedua orang tua yang begitu gesit dan tangkas tadi, Thian-hi tahu bahwa dirinya bukan tandingan mereka berdua, cepat ia melangkah mundur serta berteriak, "Nanti dulu!" Goan Liang menghentikan kakinya, tanyanya, "Masih mau ngobrol apa lagi kau?" Melihat sikap kasar orang Thian-hi jadi gemas dan dongkol, tapi apa boleh buat, sejenak ia merandek lalu katanya, "Cara ini kurang adil! Kalian menindas bocah kecil, berdua main keroyok lagi, apakah kalian tidak takut ditertawakan orang, Ni-hay-siang-kiam yang kenamaan kok mengeroyok bocah kecil?" ~sebenar-benarnyalah baru hari ini ia pertama kali mendengar nama Ni-hay-siang-kiam ini. Cepat Goan Tiong mencegah Goan Liang, "Loji jangan main kasar. Ucapan bujung ini memang benar-benar, masa begitu gampang kau hendak menjatuhkan pamor kita selama puluhan tahun?" Terpaksa Goan Liang mundur pula ke tempatnya semula. Kata Hun Thian-hi, "Cianpwe berdua mengundang aku kemari entah ada keperluan apa?" "Konon kabarnya kau bakal menjadi jagoan nomor satu di seluruh kolong langit ini, apalagi sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, maka kuundang kau kemari untuk belajar kenal!" "Kalau hanya untuk keperluan itu, tidak perlulah dilanjutkan persoalan ini, bagaimana ilmu silatku Cianpwe berdua tadi sudah menyaksikan, terpaut terlalu jauh dibanding kalian berdua, kabar angin kenapa harus dipercaya!" Goan Tiong menggeleng kepala, "Belum tentu begitu, bukan mustahil hal itu bisa kenyataan." Thian-hi tertawa besar, "Wah, aku terlalu diagulkan, tapi tokoh-tokoh silat yang berkepandaian tinggi dalam dunia ini jumlahnya laksana bintang-bintang yang tersebar, di cakrawala, siapa yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu?" Goan Tiong berdua melengak, sesaat mulut mereka terkancing. Kata Goan Liang, "Tapi toh pasti ada yang nomor satu bukan, apakah kau sendiri tidak berani mengakui?" Thian-hi menggeleng kepala, ujarnya, "Soal ini tidak bisa dibicarakan secara khusus, ilmu teramat luas dan tergantung dari orang-orang yang mempelajarinya, seperti pepatah ada berkata ada gunung yang lebih tinggi dari gunung yang lain, orang pintar ada pula orang lain yang melebihi kepintarannya, sulit untuk menentukan nomor satu itu dengan suatu kepastian dalam teori belaka" "Jite." sela Goan Tiong, "ucapannya memang benar-benar, sudah jangan main debat lagi, yang terang kami akan menjajal sampai dimana tingkat kepandaiannya, kenapa melantur segala" "Ya benar-benar, kenapa aku menjadi linglung!" ujar Goan Liang tertawa geli sendiri. Maka berkatalah Hun Thian-hi, "Kalau Cianpwe berdua sudah berketetapan, akupun tidak bisa mengelak lagi, cuma bila bertarung secara keras lawan keras bukan mustahil salah satu pihak bisa terluka dan hal ini akan merugikan nama Cianpwe berdua, maka kuharap Cianpwe berdua suka mencari cara lain yang lebih sempurna!" Goan Tiong bergelak-gelak, serunya, "Kau hendak main gertak untuk mempersukar kami berdua" Betapa pun kami tidak akan dapat kau kelabui, bukankah tadi kau katakan pelajaran ilmu tergantung bakat dan ketekunan orang yang mempelajarinya" Kepandaian apa yang paling kau banggakan silakan pamor pada kami, bila kami berdua memang tidak ungkulan, kami rela mengaku kalah, cara ini kukira cukup menguntungkan bagi kau!" Thian-hi tertawa-ewa, ujarnya, "Tapi tiada sesuatu pelajaran yang boleh kubanggakan!" Goan Tiong menarik muka, katanya bersungut, "Jangan kau pungkir lagi, kalau tidak aku tidak akan main sungkan-sungkan lagi pada kau!" Apa boleh buat akhirnya Thian-hi berkata, "Bicara mengenai ilmu kebanggaanku, sebenarbenarnyalah tiada satupun yang kumiliki, tapi Cianpwe mendesakku begini rupa, terpaksa kuanggap segala pelajaran yang kumiliki itu sebagai ilmu bekalku, lalu bagaimana baiknya?" "Sombong benar-benar kau," semprot Goan Liang, "Cobalah nanti kau pamer segala kemampuanku itu, apakah kami berdua mampu melayani kau. Bagaimana cukup puas belum!" Hun Thian-hi tertawa lebar, memang kesanalah tujuannya semula, untuk gebrak2 yang akan datang betapapun ia pantang menyerah, jika sampai kalah, bila Ni-hay-siang-kiam dua bangkotan aneh ini mengajukan persoalan2 pelit, pasti dirinya menjadi semakin runyam. Sejenak Thian-hi berpikir lalu ia berkata, "Guruku diberi julukan Seruling selatan, seperti apa yang kalian lihat aku pun menggunakan seruling sebagai senjata, maka aku lebih peka dalam pengetahuanku mengenai nada atau ritme musik, sekarang cobalah kalian dengarkan irama lagu serulingku ini!" Goan Tiong tertawa besar. serunya, "Sejak lama kudengar huhwa Seruling selatan punya kepandaian khusus menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya, dengan irama seruling menutuk jalan darah sangat kenamaan di dunia persilatan. fsungguh tak duga hari ini kami memperoleh kesempatan untuk menikmati kepandaian yang tiada taranya ini!" Thian-hi tertawa-tawa, kesepuluh jarinya sudah mulai bergerak pada posisi masing-masing di atas lobang batang seruling itu, pelan-pelan ia lekatkan di depan bibirnya, dengan cermat ia pandang kedua orang di depannya. "Silakan tiup saja," demikian ujar Goan Tiong dan Goan Liang bersama, "Jangan kau kuatir kami tidak akan kuat bertahan." Sebetulnya Thian-hi punya perhitungan atau rencananya sendiri, melihat sikap orang ia maklum bahwa kedua orang ini tentu sudah menelan Jian-lian-hok-ling itu, kalau tidak masa berani mereka begitu takabur, agaknya untuk menang dan mengalahkan kedua musuhnya ini teramat sulit sekali. Tapi bagaimana juga ia harus mencobanya. mengandal lwekang betapapun aku tidak rela kena dikalahkan tanpa diuji sebelumnya meski aku harus dikeroyok dua. Dalam kejap lain irama serulingnya sudah mengembang ditengah udara, suaranya lembut rendah dan merdu sekali irama musik ini kedengaran kalem tapi sebenar-benarnya sekaligus Thian-hi sudah melagukan Ngo-im-ho-bing (paduan lima nada), sedemikian merdu dan mengasjikkan sekali mengili hati seperti aliran sungai mengalir gemercik lembut, pendengarnya pasti teralun ke dalam alam inilah yang mempesonakan. Gioan Tiong dan Goan Liang berdua diam-diam menjadi heran, sebagai murid Lam Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo siau adalah jamak bila Thian-hi punya kepandaian yang tinggi dan mendalam dalam ilmu serulingnya ini dan kepandaian ini tentu juga merupakan ilmu khusus yang dipelajarinya sejak kecil tapi kenapa rasanya begini longgar dan cetek saja pengetahuannya dalam bidang ilmu musik ini. Tapi meski punya pikiran memandang ringan betapapun mereka selalu siap waspada, soalnya ini baru merupakan gebrak permulaan. Irama seruling masih mengembang terus dan nadanya semakin meninggi lalu mengalun turun pula menyelusuri dataran rendah melebar kesegala penjuru, sekelilingnya seolaholah sudah diramaikan oleh kicauan irama berbagai bunyi kicauan burung, baru sekarang Goan Tiong dan Goan Liang mulai terkejut dan terkesiap hanya kiranya Thian-hi memang cukup cerdik memancing pendengarannya terjebak ke dalam khayalan pikirannya, sedikit kurang hati-hati celakalah mereka, cepat mereka mulai mengerahkan hawa murni dan tenaga untuk bertahan. Tanpa disadari oleh mereka bahwa irama lagu yang dikerahkan dengan kekuatan hawa murni yang hebat itu bahwasanya sudah merasuk ke dalam hatinya, begitu mereka mengerahkan tenaga untuk melawan, kontan irama seruling lantas menerjang seperti gelombang laut yang mendampar batu-batu karang tidak berkeputusan. nada lagunya juga semakin tinggi dan cepat, suara kicauan burung yang mengasjikkan dan bau kembang yang menyejukkan badan telah lenyap, kini berganti auman binatang buas yang saling berpaduan dengan rupa rendah, laksana ratusan kuda berderap langkah dengan lari kencang. Lambat laun Goan Tiong dan Goan Liang mengunjuk kepayahan, jidatnya basah oleh keringat, betapa kuat mereka mengerahkan pertahanan namun karena dasarnya semula kurang kuat dan keterjang pula dari luar dan dalam. sehingga pertahanan yang terjepit itu lama kelamaan semakin kendor dan hampir bobol sama sekali, jelas mereka sudah tidak kuat lagi mempertahankan diri.... Biji mata Thian-hi berkilat-kilat, tiba-tiba bibirnya bergerak irama serulingnya melambung tinggi, seolah-olah membawa semangat kedua lawannya naik ke atas awan mengembang ditengah angkasa lalu dibantingnya jatuh pula ke tanah, begitulah berulang kali diombang ambingkan turun naik seperti sebuah sampan kecil dihempas naik turunkan dalam gelombang samudra yang mengamuk. Goan Tiong sudah tak kuasa lagi mengendalikan diri, cepat ia membuka mulut lebar-lebar dan menggembor sekeras-kerasnya, demikian juga Goan Liang tidak mau ketinggalan, mulutnya pun mengeluarkan pekik tinggi yang nyaring, kedua suara mereka berpadu sejajar melawan irama seruling yang sedang mengamuk seperti angin puyuh ditengah padang pasir. Begitu dua macam suara saling bentrok, irama seruling Thian-hi rada kena terdesak, keruan Thianhi kaget, tahu bahwa bila dilanjutkan cuma membuang-buang tenaga dan belum tentu bisa menang, ia turunkan serulingnya dan seketika lenyaplah irama lagu yang mengamuk dan memistik hati itu. Sambil membasut keringat di jidatnya Goan Tiong tertawa dibuat-buat, katanya, "Gebrakan ini jelas kau tidak mampu mengalahkan kami, coba kau masih punya kepandaian apa lagi, silakan boyong keluar!" Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Irama serulingku tak dapat menang, kepandaian lain apa lagi yang aku miliki?" "Tidak menjadi soal" bukankah kau tadi mengatakan setiap ilmu yang kau bekali merupakan kepandaian yang sama-sama kau banggakan?" demikian olok Goan Tiong. "Cobalah belum tentu kau bakal kalah." Terpikir oleh Thian-hi suatu cara untuk memperoleh kemenangan, namun dalam mulut ia masih merendah, katanya, "Mengandal kepandaian Wanpwe yang masih begini cetlk mana berani aku bertanding lebih lanjut dengan Cianpwe berdiua?" Goan Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar, "Kenapa main sungkan-sungkan, bukankah kau ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek" Cobalah dengan ilmu ini" Konon ilmu ini cuma merupakan sejurus tunggal yang teramat lihay dikalangan persilatan, hayo beri kesempetan pada kami berdua untuk menyaksikannya." "Adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku yang lebih muda harus patuh dan menurut saja. sebelumnyalah meski Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya di seluruh kolong langit ini, dalam pembawaan Wanpwe yang kurang becus ini, pasti bukan apa-apa bagi Cianpwe berdua."-demikian Thian-hi masih merendah diri. Karena diagul2kan Goan Tiong dan Goan Liang menjadi kesenangan. serunya tertawa besar, "Masa ija. marilah dicoba-coba!" Pelan-pelan Thian-hi mengacungkan serulingnya. serunya, "Awas Cianpwe! Wanpwe akan mulai." "Dengan tertawa Goan Tiong dan Goan Liang membuka tangan, maksudnya supaya Thian-hi mulai saja tak usah kuatir pada mereka, terang sikap mereka ini memandang rendah. Mereka tetap bertangan kosong, diam-diam Thian-hi mengupat dalam hati. karena jelas sekali orang terlalu memancang rendah pada Wi-thian-cit-ciat-sek, hal ini malah membuatnya kuatir, tak enak rasanya mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi dalam keadaan terdesak begini mau tak mau ia harus melancarkan jurus-jurus ilmunya itu, maka begitu jejakkan kakinya badannya melambung ke tengah udara dan berputar setehgah lingkaran, serulingnya menutul kesamping terus ditukikkan kebawah, itulah jurus Wi-thian-cit-ciat-sek salah satu dari kembangan variasinya, segulung tenaga dahsyat kontan menerjang ke arah Goan Tiong berdua. Goan Tiong dan Goan Liang berdiri jajar, serempak menekuk dengkul, gerak gerik mereka serasi benar-benar, sama-sama mendorong kedua telapak tangan ke depan menyongsong rangsakan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya dikolong langit, masa dapat digempur dan dipunahkan begitu gampang oleh Ni-hay-siang-kiam cukup dengan songsongan empat pukulan telapak tangan belaka, tujuh jalur tenaga dahsyat berputar dan saling silang bergantian berputar menyampok balik gelombang pukulan mereka berdua, malah jauh berkelebihan tenaga yang mendampar itu terus menerpa ke arah mereka berdua. Seketika dada kedua orang seperti dipukul godam, saking kejutnya serempak mereka melompat mundur, begitu berdiri tegak pula tangan masing-masing sudah menghunus pedang. Sebenar-benarnia Thian-hi sendiri tidak melancarkan serangannya sepenuh hati, apalagi sikap kedua lawannya terlalu memandang enteng, apa boleh buat terpaksa ia kendorkan tenaga serangannya, tapi saat mana Ni-hay-siang-Kiam sudah keburu melolos pedang, cuma Thian-hi sudah menarik serangan lebih lanjut maka ia batalkan rangsakan selanjutnya. Goan liong dan Goan Liang saling pandang, kata Goan Tiong, "Kenapa kau mundur dan batalkan seranganmu?" Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, "Tenaga Wanpwe kurang kuat tak kuasa meneruskan lagi." Ia tahu bila ia mengatakan dirinya sudah menang kedua lawannya ini pasti tidak terima, betapapun harus dicoba sekali lagi, kini mereka sudah menghunus pedang, ada lebih baik aku mundur setapak, siapa tahu dengan caraku ini aku bakal memperoleh keuntungan. Dengan memicingkan mata Goan Liang mengawasi Hun Thian-hi, katanya, "Tapi jikalau kau kalah. jangan harap kami suka menyerahkan kedua orang itu kepada kau!" Hun Thian-hi tertawa, katanya, "Sudah tentu aku maklum. tapi tidak mudah aku mengambil kemenangan!" Goan Tiong dan Goan Liang sama adalah tokoh-tokoh silat kelas tinggi. sudah tentu mereka tahu kemana jutrungan ucapan Thian-hi. soalnya mereka sudah kebiasaan bersikap sombong dan takabur, mana bisa mereka mau mandah menyerah" "Bagaimana?" kata Goan Tiong, "Silakan kau coba sekali lagi!" Hun Thian-hi sudah tahu bahwa kedua musuhnya pasti akan mendesaknya, ia mandah tertawa ewa, sahutnya, "Tak perlulah, coba-coba juga sama saja, bila Cianpwe berdua suka memberi kelonggaran Wanpwe punya suatu cara, tapi entahlah Cianpwe berdua apa setuju?" "Cobalah kau sebutkan caramu itu!" seru Goan Tiong berdua. Hun Thian-hi girang, bila dua lawannya ini setuju kemenangan jelas bakal dicapainya, betapapun usul yang akan diajukan ini sulit untuk ditampik oleh kedua lawan tuanya ini. Maka ia menambahkan, "Tapi usulku ini agaknya rada kurang menguntungkan bagi Cianpwe berdua." Goan Tiong dan Goan Liang beradu pandang, terpaksa mereka kertak gigi, sahutnya, "Baiklah silakan kau sebutkan, sebetulnya cara baik apa?" Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia berpendapat mengandal ilmu silat ia tidak mampu mengalahkan kedua lawannya, tapi ia harus mencari suatu akal untuk menundukkan mereka, akhirnya ia berkata, "Aku ada beberapa persoalan yang sulit dipecahkan. entah apakah Cianpwe berdua suka memberi petunjuk?" Lagi-lagi Goan Tiong berdua beradu pandang, kata Goan Tiong, "Maksudmu kau hendak menguji kami dengan persoalanmu itu untuk menentukan menang kalah?"' "Bukan begitu maksudku seluruhnya, cuma aku ingin tahu beberapa persoalan, dengan pengalaman dan pengetahuan Cianpwe berdua yang luas. tentu kalian dapat memberi penjelasan padaku!" Alis Goan Tiong bertaut, ia merenung sekian lamanya, tidak bisa tidak ia harus menyetujui permohonan Thian-hi ini. cuma persoalan apakah yang hendak Thian-hi tanyakan" Ini sulit diketahui, bila perlu nanti setelah kami menang secara kebesaran jiwa kami serahkan Ma Gwatsian dan gurunya kepada Hun Thian-hi, betapapun aku tidak boleh kalah. Sejenak ia berpikir apa boleh buat terpaksa ia manggut-manggut, katanya, "Baik, tapi harus ada batasnya, kau hanya boleh mengajukan tiga pertanyaan!" Thian-hi manggut-manggut, dengan mengajukan cara ini sudah tentu dia sudah punya persiapan, setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, "Ingin aku tahu cara bagaimana Ma Gwatsian diantarkan masuk dan cara bagaimana pula keluar dari lembah itu?" Goan Tiong menyengir girang, sejak tadi hatinya kebat-kebit, entah pertanyaan apa yang hendak diajukan oleh Hun Thian-hi" Sekarang mendengar pertanyaan yang sepele ini ia menjadi geli dan berlega hati, bahwasanya mereka paling jelas mengenai hal ini, kalau tidak masa begitu gampang mereka bisa mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu" "Masa hal yang sepele itu tidak dimengerti! Dimana terdapat Jian-lian-kok-ling itu disekitarnya pasti terdapat pula Laba-laba darah, laba-laba darah ini setiap setengah bulan pasti tertidur. Tatkala Cian-lian-hok-ling itu hampir matang baunya yang harum tersuar luas dan memabukkan, kebetulan pula laba-laba merah itu sedang tertidur, kesempatan inilah digunakan Ang-hwat untuk memasukan Ma Gwat-sian berdua kesana, begitulah kejadiannya! Soal cara bagaimana kami menolong mereka keluar, hal ini jauh lebih gampang lagi, kami turun dari belakang gunung, bukanlah seperti menjinjing kantong saja kami mengeluarkan mereka?"' Thian-hi manggut-manggut sambil tersenyum, tanyanya pula, "Masih ada sebuah pertanyaan, yaitu mengenai kuda hijau, apakah Cianpwe berdua tahu soal ini?" Goan Tiong berdua beradu pandang lagi, tampak rona wajah mereka rada berubah, kata Goan Tiong pada Hun Thian-hi, "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan ini kepada kami?" Rada kaget juga Thian-hi mendapat pertanyaan balasan ini, sangkanya kedua orang ini pasti tidak tahu, dikolong langit ini masa benar-benar ada kuda warna hijau, pasti obrolan Siau-bin-moim saja sebelum ajal, atau mungkin Jing-san-khek itu sengaja hendak mempersukar Siau-bin-moim, seumpama memang benar-benar ada kejadian ini, tidak mungkin sekali ia ajukan pertanyaannya lantas tepat pada orang yang berkepentingan. Dari perubahan air muka kedua orang ini agaknya mereka pasti tahu seluk beluk kuda hijau itu, malah persoalan ini agaknya cukup penting, kalau tidak masa mereka kelihatan bersikap waspada dan hati-hati. Dalam hati ia terkejut namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, katanya pula Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sambil tertawa, "Aku cuma dengar dikolong langit ini ada seekor kuda hijau, kukira Cianpwe pasti tahu akan kebenar-benaran ini maka kuajukan pertanyaan ini, sebenar-benarnya aku tiada punya maksud apa-apa!" Goan Tiong menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh, "Apakah benar-benar dan dapat dipercaya ucapanmu ini?" Thian-hi tidak tahu apa hubungan atau sangkut paut kedua orang ini dengan Kuda hijau itu, maka iapun tidak berani memberitahu apa yang dia ketahui. dari cerita Siau-binmo-im, katanya, "Berani sumpah bahwa aku memang tidak tahu bila Cianpwe berdua ada mengetahui soal kuda hijau itu!" "Urusan ini bukan persoalan sembarangan, dikolong langit cuma beberapa orang saja yang tahu perihal kuda hijau itu, dari mana kau kisa tahu, lekas kau jelaskan padaku." Thian-hi menjadi ragu-ragu, entah mengapa begitu penting dan kelihatannya sangat gawat perihal kuda hijau itu, sebetulnya akulah yang mengajukan persoalan ini kepada mereka, sekarang berbalik menjadi aku yang diperas keteranganku, serta merta ia menjadi kecewa dan menyesal, cuma mencari kesulitan sendiri saja. Sudah tentu iapun segan menjelaskan keseluruhannya, katanya, "Bagaimana keadaan sesungguhnya aku tidak tahu jelas, aku tidak bisa sembarangan omong!" Goan Tiong mendengus, sebaliknya Goan Liang lantas bertanya, "Kalau begitu, percakapanmu ini bisa disimpulkan bahwa persoalan ini menjadi tidak begitu penting menurut penilaianmu semula!" Hun Tliian-hi manggut-manggut, katanya, "Boleh dikata begitulah, tak tahu aku kenapa Cianpwe berdua kelihatannya menjadi tegang, sudah tentu aku menjadi segan untuk meneruskan persoalan ini!" Tanya Goan Tiong lagi, "Persoalan lain aku tidak peduli, tapi bila kau mendapatkan kuda hijau itu. cara bagaimana kau hendak mengurusnya?" Thian-hi harus hati-hati, ia tahu bahwa Goan Tiong berdua sedang menyelidik dan mengorek isi hatinya, nanti akan diketahui olehnya dimana pendirian kedua belah pihak. ia harus berpikir lebih cermat perlukah ia menjelaskan, bila ia terus terang bukan mustahil mereka akan bersikap bermusuhan terhadap dirinya, kalau hal ini sampai terjadi bukan saja perihal kuda hijau itu tidak berhasil dikorek, Ma Gwatsian dan gurunya pun tidak akan dapat diketemukan atau mungkin pula tidak akan diserahkan pada dirinya. Thian-hi harus termenung sekian lamanya, Goan Tiong menjadi tidak sabar, desaknya, "Mau tidak kau menjelaskan terserah pada kau, tapi bila tidak kau jelaskan Ma Gwatsian berdua tidak akan kami serahkan kepada kau!" - berhenti sebentar ia melirik memberi isyarat kepada Goan Liang lalu sambungnya, "CobaJah kau pikir lebih matang, tiga hari lagi kau boleh datang kemari!" lalu mereka bergerak hendak tinggal pergi. "Hai, nanti dulu!" teriak Thian-hi membantu maju. "Apa sekarang juga kau hendak bikin penyelesaian" Begitupun baik!" Kata Hun Thian-hi, "Ketahuilah bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya pernah menolong jiwaku, mereka tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, boleh kujelaskan cuma setelah kuterangkan, Cianpwe berdua harus berjanji mau melepas mereka keluar!" Goan Tiong berpikir sebentar lalu manggut-manggut ujarnya, "Begitupun baiklah!" Pelan-pelan Hun Thian-hi menghela napas, terasa olehnya bahwa urusan tidak bakal bisa lancar menurut dugaannya semula, maka katanya, "Soal kuda hijau itu, aku mendapat tahu dari penuturan Siau-bin-mo-im!" Goan Tiong menggeram sambil membanting kaki dengusnya, "Siau-bin-mo-im?" Thian-hi menjadi kurang senang melihat sikap orang yang kurang simpatik, kenapa pula dengan Siau-bin-mo-im" Kenapa pula kelihatannya kau memandang rendah dan menghina pribadinya" "Beliau teringat akan perihal kuda hijau itu," demikian Thian-hi melanjutkan, "sebelum ajal beliau ada pesan padaku supaya menanyakan hal ini kepada Jing-san-khek, tapi aku harus memperoleh Kuda hijau itu lebih dulu, kalau tidak Jing-san-khek tidak akan mau memberi tahu padaku." "Agaknya kau salah lihat, orang itu adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im," demikian Goan Tiong menjelaskan dengan sikap dingin, "Kecuali Mo-bin Suseng tiada orang kedua yang mau membeberkan rahasia ini kepada orang luar!" Thian-hi terkejut, namun lahirnya tenang tertawa-tawa, katanya, "Mereka tiga bersaudara berbentuk sama, kuyakin bahwa beliau Siau-bin-mo-im adanya!" Goan Tiong menjengek bibir, sindirnya sinis, "Anggapmu aku tidak tahu" Ketahuilah cuma Mobin Suseng seorang saja yang tahu perihal ini, Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im sama sekali tidak tahu menahu soal ini!" Thian-hi tertegun, sungguh tak nyana bahwa urusan bisa berubah begini besar, soalnya ia sendiri tidak bisa membedakan mana Siau-bin-mo-im atau Mo-bin Suseng tulen. Betapapun ia tidak percaya manusia tambun pendek yang meregang jiwa itu adalah Mo-bin Suseng, dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan Siau-bin-mo-im mangkat, begitu juga seperti bayangan setan tahu-tahu Ah-lam Cuncia sudah muncul dihadapannya lalu menghilang pula dengan langkah seenteng asap mengembang, beliau membawa jenazah Siau-bin-mo-im, mana mungkin orang itu adalah Mo-bing Suseng! Tengah Thian-hi tenggelam dalam keraguannya, terdengar Goan Tiong berkata dingin, "Apapun alasanmu tidak berguna lagi, kalau toh kau sudah datang kemari karena pesan Mobin Suseng itu marilah kita bicara terus terang saja, kuda hijau memang berada di tempat kami, maka silakan bicara terus terang pula padaku saja!" "Hun Thian-hi semakin melenggong, katanya tertawa, "Moh-bin Suseng adalah musuh besar yang membunuh ayahku, mana sudi aku mendapat pesannya, harap Cianpwe berdua tidak salah paham!" Goan Liang segera menibrung, "Berani dia membocorkan perihal ini kepada orang luar, malah berpura-pura dan bermuka2 begitu mirip sekali, tapi ketahuilah kami berdua tidak begitu gampang dapat dikelabui dan ditipu mentah-mentah. Gurunya I-lwe-tok-kun kan berada disini juga, dia sendiri tidak berani datang kemari justru kaulah yang diutusnya kesini!" Tak habis heran Thian-hi, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Goan Tiong berdua begitu kukuh berpendapat bahwa orang yang memberi tahu perihal itu kepadanya adalah Mobin Suseng adanya, malah menuduh dirinya adalah utusan Mo-bin Suseng pula, begitulah pikir punya pikir semakin besar tanda tanya yang mengganjal sanubarinya, seluruh persoalan ini benar-benar luar biasa. "Kalau kau benar-benar ingin minta kuda hijau itu boleh kami berikan kepada kau, cuma asal kau sendiri punya akal dan mampu bekerja sendiri! Mari kau ikut kami." - lalu mereka mendahului beranjak lari ke arah depan sana. Tanpa banyak pikir Thian-hi segera mengintil di belakang mereka, pikirnya, Ahlam Cuncia agaknya sudah sehat kembali, matanya sudah melihat dan ilmu silatnya sudah pulih kembali, pastilah tiada sesuatu keperluan apa-apa lagi, aku sendiri tidak punya kepentingan atas kuda hijau itu, cuma Ma Gwat-sian masih berada ditangan mereka, terpaksa aku harus ikut kemanapun mereka menuju, Begitulah dengan berlari-lari kencang Ni-hay-siang-kiam membawa Hun Thian-hi masuk ke pedalaman terus manjat ke atas gunung, tak lama kemudian mereka sudah beranjak di dalam hutan-hutan yang lebat di dalam pegunungan yang tinggi dan terjal. Segala rintangan tidak menjadi penghalang yang berarti bagi mereka, mereka terus berlari bagai terbang, setiba disebuah tikungan tiba-tiba Goan Tiong berdua berhenti dan berpaling ke belakang, sekejap saja tahu-tahu Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun di belakang mereka, sejenak mereka beradu pandang, mata mereka sama memancarkan sorot terang yang membayangkan rasa kejut hati mereka. Cepat Hun Thian-hi pun menghentikan luncuran tubuhnya, katanya kepada Goan Tiong, "Tujuanku cuma minta Ma Gwat-sian bisa dikembalikan secepatnya, tiada niatku mencari garagara soal kuda hijau apa segala!" "Kenapa" Apa kau jadi ketakutan?" demikian jengek Goan Tiong dingin. Thian-hi tertawa2, ujarnya, "Selamanya aku tidak gampang dipancing atau dibuat marah, aku menjadi heran kenapa Cianpwe berdua agaknya hendak mempersukar diriku hanya karena soal kuda hijau itu?" Kalau aku tidak gampang terpengaruh oleh keadaan itulah baik", demikian Goan Liang menyeletuk, "sebaliknya aku menjadi bersedih bagi temanmu itu, bukankah kau sendiri mengatakan sudah menyanggupi untuk mengurus persoalan ini menurut pesannya, kenapa sekarang kau harus berhenti ditengah jalan dengan hampa!" "Ah, memang mungkin aku yang salah. Cuma ilmu silat Ah-lam Cuncia sudah pulih kembali, jadi agak nya tidak perlu aku bersusah payah lagi," demikian Hun Thian-hi coba membela diri dengan alasannya Tak duga Goan Tiong menggeram sambil menjebir bibir dengan sinis, katanya, "Dapatlah seseorang yang pernah menelan Ban-lian-ceng bisa sembuh kembali" Dalam hal ini bocah berumur tiga tahun pun jangan harap dapat kau apusi. Apalagi bila ilmu silatnya sudah pulih betulbetul, kenapa pula muridnya harus berpesan kepada kau sebelum ajal." Thian-hi jadi terbungkam, ia sendiri juga bingung dan sulit meraba kemana juntrungan persoalan ini, mau tidak mau keyakinan hatinya menjadi goyah, memang ia jadi bingung bagaimana harus beri penjelasan lebih lanjut. Tersimpul olehnya cara penjelasan paling baik yaitu diakui bahwa orang yang berpesan sebelum ajalnya itu benar-benar adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im, tapi apakah mungkin hal ini terjadi" Ia tenggelam dalam renungannya. Terdengar Goan Tiong berkata dingin, "Penjelasan paling baik bagi kau adalah bahwa orang itu bukan Siau-bin-mo-im, tapi Mo-bin Suseng adanya. Gurunya berada di tangan kami betapapun ia tidak akan berani membocorkan rahasia ini, kalau tidak gurunya bakal mengalami derita dan ancaman elmaut." Bercekat hati Thian-hi, mukanya menjadi masam, batinnya jadi benar-benarlah orang itu adalah Mo-bin Suseng adanya, hatinya menjadi mendelu dan entah pahit entah getir atau ia harus bergirang, sesaat lamanya ia jadi sukar merasakan perasaan hatinya. Goan Tiong mendengus keras-keras lalu menarik Goan Liang berlari pula menuju ke sebuah perkampungan dan terus lari masuk. Keruan Thian-hi jadi gugup cepat ia mengejar, teriaknya, "Nanti dulu Cianpwe, omonganmu belum selesai." "Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, marilah kau ikut!" Goan Tiong berseru tertawa. Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, jalan menuju ke perkampungan masih sepi tak kelihatan ada bayangan manusia, laksana dikejar setan saja mereka bertiga beriringan melesat lari ke dalam perkampungan itu. Dalam kejap lain mereka sudah tiba di sebuah kebon kembang yang teramat luas. Thian-hi loncat ke atas tembok, tampak taman kembang ini kira-kira seluas beberapa li, dalam kebon kembang ini terdapat berbagai aneka ragam kembang yang indah dan gunung2an besar kecil serta jembangan yang tersebar dimana-mana. Begitu berada di dalam taman kembang ini bayangan Ni-hay-sian-kiam lantas lenyap. Thian-hi jadi dongkol, kenapa kedua orang itu tidak tahu aturan, entah apa sangkut pautnya kedua orang ini dengan kuda hijau itu, lagaknya mereka tidak sudi menyerahkan kuda hijau itu kepada Jeng-san-khek, inilah kejadian yang aneh dan amat mengherankan hatinya. Dari ketinggian tempatnya berdiri terlihat di depan rada jauh sana terdapat Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebuah bangunan gedung yang tinggi megah, sekitarnya dikelilingi pohon-pohon pendek dan bunga2 yang sedang mekar saling berlomba memperlihatkan keindahannya. Pasti mereka menuju ke sana itulah, demikian pikir Thian-hi, dua orang itu paling suka menonjolkan diri dan suka jaga gengsi, betapapun segan untuk melarikan diri, apalagi ilmu silat mereka sudah sedemikian lihay tentu takkan terjadi hal-hal seperti dugaannya ini. Thian-hi rada was-was untuk bertindak ke dalam, kuatirnya dalam kebon ini ada dipasang alat2 rahasia untuk menjebak orang, terpaksa ia melolos serulingnya sekali enjot tubuh enteng sekali kakinya hinggap di tanah. Baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba Goan Tiong menerobos keluar dari belakang sebuah gunung2an menghadang di hadapan Thian-hi sambil menghunus pedang, katanya dingin, "Kami berdua cuma ingin merintangi kau, bilamana kau berhasil menerjang masuk ke dalam gedung itu, segala urusan bisa segera diselesaikan." Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, Goan Tiong muncul lagi begitu cepat dan tak terduga-duga, bila tadi ia langsung menyerang pasti aku terdesak di bawah angin, sekarang ia menghadapiku dengan persyaratannya ini, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, meski mereka pernah menelan Jian-liang-hok-ling, agaknya sulit untuk mencapai kemenangan, tapi kalau cuma menerjang ke sebelah dalam mencapai pintu gedung itu rasanya tidak terlalu sukar. Tanpa bicara lagi Thian-hi acungkan serulingnya, sementara kakinya beranjak mendekat, langsung ia menerjang dengan tutukan kedada Goan Tiong. Sangkanya dengan mengajukan syaratnya itu tentu Goan Tiong akan mati-matian merintangi dirinya, tak nyana bukan saja menangkis atau melawan ternyata Goan Tiong berkelit mundur lalu lenyap dibalik gunung2an batu. Thian-hi tidak hiraukan kemana Goan Tiong melenyapkan diri, ia berlari kencang menerjang terus ke depan. Tapi belum berapa langkah ia maju. tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang telah muncul pula mencegat jalannya, dua batang pedang menyamber bersilang dari kanan kiri membabat keleher Hun Thian-hi, serangan ini cukup ganas dan lihay sekali. Tergerak hati Thian-hi, kenapa aku tidak main gertak saja terhadap mereka yang maju dan menyergap bersama ini, meminjam tenaga mereka untuk jumpalitan menerjang ke arah depan malah" Seiring dengan pikirannya ini, serulingnya cepat ditutukkan ke depan menangkis tepat pada persilangan kedua pedang lawan. Tak duga baru saja serulingnya menyetuh kedua senjata musuh kontan ia rasakan segulung tenaga besar menerjang ke arah badannya seketika ia terpental mundur dan mencelat tinggi sampai terlempar keluar tembok. Cepat Thian-hi menyedot hawa, mengendalikan badan memberatkan tubuh, waktu meluncur tubuh tepat kakinya berhasil hinggap di atas tembok, waktu ia angkat kepala pula bayangan Goan Tiong dan Goan Liang sudah menghilang tanpa bekas. Berkerut alis Thian-hi, tiba-tiba ia berlari-lari kencang sekali di atas tembok yang memagari kebon kembang yang luas itu, tak lupa kedua matanya yang jeli mengawasi ke dalam kebon, apakah bayangan Goan Tiong dan Goan Liang ada kelihatan, tapi sedemikian jauh ia tak berhasil melihat bayangan apapun kecuali kembang2 dan pepohonan yang hidup subur, sekali berkelebat Thian-hi mencari posisi lain dari tempatnya yang baru ini ia coba menerjang ke dalam. Tapi baru saja ia mencapai tanah, tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang sudah muncul pula terus menyerang dengan pedang masing-masing. Thian-hi tercengang kaget, sungguh tak duga bahwa gerak kedua orang ini sedemikian tangkas dan cepat, apalagi seolah-olah sudah tahu sebelumnya dirinya bakal menubruk dari jurusan mana dan di tempat itu pula mereka sudah menanti. Betapapun sekali ini aku harus menjajal sampai dimana kepandaian mereka, demikian pikirnya, seruling teracung tinggi miring, pelan-pelan ia kerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek. Bab 32 Kelihatannya Goan Tiong berdua bersikap acuh tak acuh, pedang mereka tetap bergerak menyilang dari kanan kiri, bergerak cepat dan lambat maju mundur langsung menyongsong ke ujung seruling jade lawan. Baru saja Hun Thian,hi lancarkan serangan serulingnya, mendadak terasa gelombang tenaga yang lunak dan kuat mengurung dirinya dari berbagai penjuru, meski kekuatan Withian-cit-ciatseknya sanggup menggugurkan gunung membelah bumi juga seketika menjadi sukar dikembangkan lebih lanjut, begitu tenaga sendiri menjadi bujar badannya lantas membal balik dan terpental mundur ke atas tembok lagi, sedemikian hebat tenaga lontaran ini sehingga ia bergoyang gontai di atas tembok hampir terlempar keluar. Hatinya mencelos, selama ia melancarkan Wa-thian-cit-ciat-sek belum pernah ketemu tandingan sedemikim tangguh, nyata bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek sedikitpun tidak mampu menunjukkan perbawanya. Sungguh tidak habis heran hatinya, apakah mungkin tenaga yang dikerahkan telah salah salurannija" Ataukah jurus permainannya yang kurang sempurna" Terbayang olehnya waktu pertama kali dirinya terjun kegelanggang percaturan dunda persilatan, Ang-hwatlo-mo cuma mengajar sejurus Pencacat langit pelenyap bumi, mengandal Lwekang sendiri pada waktu itu, kenyataan jurus itu dapat menambah sepuluh lipat tenaganya sendiri. Apalagi Withian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang tiada taranya yang tiada bandingannya, masa lebih asor dibanding Pencacat langit pelenyap bumi" Sebaliknya kalau benar-benar cara penggunaannya. tak mungkin dirinya sedemikian gampang dipermainkan lawan, yang terang dalam sekejap ia akan dapat angkat nama dan menggegerkan seluruh dunia persilatan. Begitulah pikir punya pikir tak terasa ia berdiri berjublek di atas tembok, Akhirnya pandangannya meneliti keadaan sekitar kebon kembang itu, lambat laun didapatinya sesuatu yang ganjil dari tumbuhan bunga itu, kiranya setiap tanaman kembang dan pepohonan yang satu sama lain mempunyai letak yang persis dan jarak yang tertentu teratur rapi sekali. terang itulah bentuk dari sebuah barisan. Hatinya jadi was-was bahwa kebon kembang inipun ternyata diatur dengan bentuk sebuah barisan, kalau tidak. tidak mungkin Goan Tiong dan Goan Liang dapat bergerak sedemikian lincah dan cepat sekali dalam waktu yang sedemikian singkat pula. Thian,hi insaf untuk menerjang masuk dan menembus langsung ke gedung besar itu adalah sesukar memanjat langit, apa lagi bila ia teringat pengalamannya di dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin dulu, ia jadi jeri untuk sembarangan beranjak ke dalam. Terpaksa ia putar kayun mengelilingi pagar tembok. Diam-diam ia mencari akal cara bagaimana. untuk menjebol barisan ini, tapi hakikatnya ia tidak akan memperoleh kunci pemecahannya karena ia sendiri tidak tahu segala seluk beluk mengenai barisan apakah yang dihadapinya ini. Saking gemes lalu terpikir olehnya, "Bila Ham Gwat ada disini perkembangan selanjutnya tentu gampang diatasi, bukankah Ham Gwat juga bisa menyelami intisari dari rahasia barisan Thay-si-ciang-soat-lian,mo-tin?" semakin dipikir hatinya menjadi gundah, berbagai pikiran menggejolak dalam becaknya, akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam menghilangkan segala pikiran yang membutakan otaknya, dengan seksama ia mulai lagi meneliti keadaan dan kedudukan posisi barisan yang aneh ini. Sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu berkelebat diujung pandangan matanya, sesosok bayangan itu melayang turun dari tengah udara seringan daun melayang jatuh ke tanah dan akhirnya hinggap di atas tembok disebelahnya. Waktu menegas lihat seketika hatinya menjadi girang2 kejut, karena pendatang ini bukan lain adalah Ah-lam Cuncia adanya. Sungguh tak kira bahwa Ah-lam Cuncia bisa muncul dalam saat dan keadaan yang sulit ini. ini benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan menggirangkan pula hatinya. Tapi untuk tujuan apa pula Ah-lam datang kemari" Sambil tersenyum lebar Ah-lam Cuncia menyapa dulu kepada Hun Thian-hi, "Hun-sicu apa baikbaik saja selama berpisah?"' Cepat-cepat Hun Thian-hi menjura hormat serta tanyanya, "Entah untuk apakah Taysu datang kemari?" Ah-lam Cuncia menyapu pandang keadaan kebon kembang di dalam tembok lalu tertawa, katanya, "Hun-sicu sampai meluruk kemari apakah karena persoalan kuda hijau itu?" - dengan tawa berseri ia pandang muka Hun Thian-hi. Dari nada pertanyaan Ah-lam Cuncia, Hun Thian-hi bisa menarik kesimpulan bahwa beliau pun karena urusan itu pula sehingga datang kemari, keruan hatinya rada terhibur, sebagai Suheng dari Ka-yap Cuncia, sebagai angkatan tua yang aneh dan serba misterius bagi dunia persilatan. pasti beliau dengan gampang saja dapat memecahkan rahasia barisan kembang yang rumit ini. mengandal kepandaiannya, tidak perlu takut lagi menghadapi Goan Tiong berdua. Belum lagi Hun Thian-hi angkat bicara, keburu Ah-lam Cuncia berkata lagi, "Jikalau Hun-sicu kemari juga karena kuda hijau, maka Loceng menganjurkan supaya Hun-sicu lekas pulang saja!" "Semula tujuan Wanpwe bukan kuda hijau itu, hendak menolong Ma Gwat-sian. Tapi sekarang urusan sudah menjadi berkepanjangan, mau tak mau kedua urusan ini harus kuselesaikan sekalian!" - lalu ia jelaskan asal mula kejadian ini sampai keadaan yang menyulitkan ini. Ah-lam Cuncia berpikir sekian lamanya, ujarnya, "Sebab musabab kuda hijau itu terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan. Mo-bin Suseng memang terlalu membawa adatnya sendiri, bekerja tanpa perhitungan sehingga terjadilah keadaan yang menyulitkan ini." Berdetak jantung Thian-hi mendengar ucapan orang, ditariknya suatu kesimpulan pula bahwa orang yang telah terbunuh oleh pukulannya tempo hari memang benar-benar adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im seperti yang diduganya semula. Agaknya Ah-lam Cuncia dapat meraba alam p kiran Thian-hi, dengan tertawa welas asih ia berkata, "Orarg yang mati itu memang Mo-bin Suseng adanya, sekarang dia sudah ajal maka budi dan dendam sudah himpas sama sekali."' Tak tahu Thian-hi bagaimana perasaan hatinya saat itu, Mo-bin Suseng adalah musuh besar pembunuh ayahnya, ternyata musuh besar sudah mampus oleh tangannya sendiri, bukankah itu berarti bahwa dia sudah berhasil menuntut balas" Sebenar-benarnyalah ia tidak terpengaruh akan perasaan haru atau senang, selama ia kelana di Kangouw, cita-citanya cuma menuntut balas bagi kematian ayahnya, sampai ke ujung langit pun Mo-bin Suseng akan dikejar sampai berhasil dibunuhnya, tapi selama itu muka asli dan bagaimana bentuk Mo-bin Suseng itu belum pernah dilihat atau diketahuinya, namun sekarang mendadak diketahui bahwa sebenarbenarnyalah Mobin Suseng sejak beberapa saat lamanya sudah mampus di tangannya sendiri. Dengan perasaan kosong ia termangu-mangu mengawasi Ah-lam Cuncia, seolah-olah bentuk atau raut muka Mo-bin Suseng sudah tidak berkesan lagi dalam ingatannya, dengan keheranan ia bertanya pada sanubarinya sendiri, "Apakah cita-citaku sudah terkabul?" - sedikit pun ia tidak merasakan hal ini! "Kau masih punya banyak tugas harus kau kerjakan, banyak pula harapan yang harus Naga Pembunuh 10 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Kilas Balik Merah Salju 1