Badik Buntung 8
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 8 ini." Ma Gwat-sian tersenyum lebar. Thian-hi menghela napas, katanya, "Kita hanya bertiga disini, selanjutnya akupun tidak perlu menyembunyikan diri lagi. tapi aku sudah berjanji kepada orang supaya orang lain tidak tahu bahwa aku pandai main silat. Harap kalian suka merahasiakan." "Soal yang kuhadapi ini betapapun harus Sianseng bantu membereskan," demikian mohon Ma Bong-hwi sekali lagi, "Mengandal iimu silat Sianseng, tanggung segampang membalikkan tangan saja. Sudah tentu kita tidak akan membuka rahasia Sianseng pandai main silat. Persoalan itu sendiri pun juga tetap dapat dirahasiakan." Ma Gwat-sian pandang Thian-hi dengan rasa menyesal dan minta maaf, Thian-hi maklum dan manggut-manggut. Ma Bong-hwi menjadi kegirangan, segera ia menceritakan sebuah peristiwa besar yang sangat mengejutkan. Kata Ma Bong-hwi, "Belakangan ini gudang istana sering kebobolan. setiap kehilangan benda pusaka, tentu terlebih dulu mendapat pemberitahuan, namun siapakah pencurinya selama ini sulit dapat meringkusnya. Tan-siangkok memberi lapor kepada sang Baginda bahwa aku dapat membongkar perkara pencurian ini. Tapi kemaren telah hilang pula sebuah pusaka, kali ini yang dicuri adalah cap kerajaan." "Oo," Thian-hi mengiakan lalu bertanya, "Biasanya bagaimana hubungan Ma-ciangkun dengan Tan-siangkok" Entah bagaimana pula karakternya?" "Bicara terus terang," ujar Ma Bong-hui sembari menghela napas, "kesanku terlalu jelek kepadanya, dia terlalu mengumbar putra dan para centengnya. dia sangat benci kepadaku katanya aku terlalu suka banyak urusan, mencampuri sepak terjang keluarganya." Hun Thian-hi merenung sesaat kemudian lalu bertanya lagi, "Bagaimana karakter Tansiangkok?" Ma Bong-hui pandang Thian-hi dengan perasaan heran, mengapa dia tidak mengetahui, setelah beragu akhirnya ia berkata, "Umumnya masyarakat berkesan terlalu buruk terhadap dia. Dia memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan negara, kecuali Ing-ciang-kun Thian-seng dan aku, seluruh kerabat diistana raja boleh dikata hampir seluruhnya menjadi penyanjungnya." "Toako," tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, "Apa kau melupakan Toh-ciatsu?" "Benar, benar," ujar Ma Bong-hwi tersenyum, "Kenapa aku melupakan dia, Toh-ciatsu justru menjadi lawan Tan-siangkok yang sembabat, setiap kali Tan-siangkok menjalani kesalahan pasti dialah pertama kali yang tampil ke depan mencercahnya." Thian-hi manggut-manggut, samar-samar ia dapat meraba bahwa urusan ini tentu punya sangkut paut dengan Tan-siangkok, kenapa pula Tan-siangkok menunjuk kepada Ma Bong-hwi" Segera ia bertanya, "Siapakah sebetulnya yang berkuasa digudang istana?" "Seluruh istana dalam kekuasaan komandan Gi-lim-kun. yang menjabat komandan Gilim-kun adalah adik kandung Ing-ciangkun, sekarang sudah dipecat dari jabatannya, sebagai gantinya akulah yang diangkat sebagai komandan Gi-lim-kun sementara." "Menurut maksud Toakoku hendak mohon kau suka menjabat sebagai wakil komandan Gi-limkun membantu dia menyelidiki peristiwa ini." demikian Ma Gwat-sian menimbrung. Berubah air muka Thian-hi, katanya, "Masa aku mampu. kukuatir...." "Kau boleh gunakan nama palsu," sela Ma Gwat-sian tersenyum penuh arti. "Apalagi dandananmu sekarang sebagai pelajar kutu buku, bila berganti mengenakan pakaian seragam, tanggung takkan ada seorang pun yang mengenal kau lagi." Hun Thian-hi hendak menolak, segera Ma Gwat-sian maju dua langkah, dengan suara lirih dan kalem ia berbisik di pinggir telinga Thian-hi, "Kau baru datang dari Tionggoan, ya bukan?" Waktu Ma Gwat-sian maju mendekat, kontan Thian-hi mencium bau harum semerbak, namun serta mendengar bisikannya, suara yang lirih itu bagi pendengarannya bagai suara guntur menggelegar dipinggir telinganya, keruan kagetnya bukan kepalang. Kontan Thian-hi merasa kepalanya seperti dikemplang dengan godam, pandangannya gelap dan pusing, secara reflek mulutnya bertanya, "Apa?" "Siaumoay!" seru Ma Bong-hwi sambil mengerut kening. "Apa yang kau katakan?" Ma Gwat-sian mundur selangkah seraya menjawab, "Tidak apa-apa." Otak Hun Thian-hi masih terasa butek, sungguh ia heran cara bagaimana Ma Gwatsian dapat mengetahui rahasianya, kelihatannya dia tidak bisa main silat, soalnya dirinya pernah menelan buah ajaib serta melatih ilmu sakti macam Pan-yok-sin-kang sehingga tanpa disadari telah membongkar kepandaian sendiri sebagai ahli Lwekang yang tangguh, apakah ilmu silat Ma Gwatsian jauh lebih tinggi dari kemampuan sendiri serta telah mencapai puncak kesempurnaannya sehingga dapat menyembunyikan kepandaiannya itu" Karena terkaannya ini serta merta ia awasi Ma Gwat-sian, dengan seksama ia pandang dan amati muka dan badan orang dengan cermat. Melihat sikap Thian-hi ini. sudah tentu Ma Gwat-sian menjadi malu jengah dan lekas-lekas menunduk. Dengan bergelak tawa keras Ma Bong-hwi menepuk pundak Hun Thian-hi. Keruan Thian-hi tersentak kaget, kontan ia sadar akan kelakuannya yang kurang pantas, cepat ia tenangkan hati serta jantungnya yang berdebur keras. Dalam sekilas itu, ia gagal dalam selidikannya. "Lote," ujar Ma Bong-hwi, "Betapa pun kau harus membantu aku mengatasi persoalan ini." "Ma-ciangkun!" seru Thian-hi sambil menyengir. "Selanjutnya harap kau tidak panggil aku Ma-ciangkun lagi," demikian pinta Ma Bong-hwi, "Bila kau suka pandang mukaku, silakan kau panggil Ma-toako saja kepada aku." "Ah. rasanya kurang enak, bukankah kau adalah...." "Kalau begitu kau pandang rendah pribadiku?" kaata Ma Bong-hwi mengerut kening. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi berkata, "Matoako, apaan ucapanmu ini, mana bisa jadi?" Ma Bong-hwi tertawa girang. Sementara itu Ma Gwat-sian angkat kepala serta berkata, "Kalau begitu untuk selanjutnya aku pun harus panggil kau Hun-toako. Apa boleh?" "Kenapa tidak boleh" Aku merasa beruntuhg malah." Ma Gwat-sian Tertawa lebar, katanya, "Kata-kataku tadi tiada seorang lainpun yang tahu, legakan saja hatimu!" Hun Thian-hi tidak enak untuk menjawab. Seolah-olah Ma Gwat-sian tidak memberi kesempatan pada Thiani-hi untuk membual, namun entah bagaimana ia bisa tahu. Namun urusan sudah sedemikian lanjut, terpaksa mengikuti perkembangan selanjutnya. Kata Ma Bong-hwi, "Untuk mengejar kembali cap kerajaan itu, terpaksa harus minta bantuan kau Lote!" Apa boleh buat Thian-hi hanya menyengir saja, urusan sudah demikian lanjut, terpaksa harus terjun dalam persoalan rumit ini. Kalau hanya urusan pencurian ini melulu, kiranya aku dapat mengatasi. Demikian pikirnya. "Pencuri itu teiah meninggalkan sepucuk surat, katanya hari ini dia hendak mengambil Ce-kimcu (mutiara merah mas), asal Lote mau tampilkan diri, tentu pencuri itu dapat dibekuk." demikian Ma Bong-hwi memberi keterangan. Hun Thian-hi tertawa pahit, katanya, "Kalau begitu, terpaksa aku membantu sekuat tenagaku." Setelah makan malam, Thian-hi mengenakan seperangkat pakaian dinas kemiliteran, dalam kamarnya ia menanti kedatangan Ma Bong-hwi, terasa olehnya gerak-geriknya menjadi kurang bebas dan badan sangat gerah, maklum pakaian perang jaman itu terbuat dari bahan tebal yang tidak mempan senjata, saking kepanasan Thian-hi melangkah keluar ke taman bunga. Waktu sampai di rumpun bunga, tampak olehnya Ma Gwat-sian sedang berdiri disana, sesaat ia menjadi melengak. dalam hali ia membatin; 'selamanya Ma Gwat-sian jarang keluar kamar dan belum pernah selama ini melihat dia jalan-jalan di taman bunga, entah kenapa hari ini toh berada disini.' Waktu Thian-hi mendekat Ma Gwat-sian berpaling sembari tertawa manis, katanya, "Aku tahu kau pasti akan kemari, sejak tadi sudah kutunggu kau disini!" Diam-diam Thian-hi sangsi dan curiga, entah ada omongan apa yang hendak disampaikan Ma Gwat-sian kepadanya, tidak bicara di dalam rumah sebaliknya menunggu di kebon, setelah melengak ia baru bertanya, "Adakah urusan luar biasa yang perlu dirundingkan?" "Banyak perkataan yang tidak bisa kuucapkan di hadapan engkohku, umpama kukatakan dia pun takkan mau percaya. Terus terang aku merasa curiga kepada Ing-ciangkun!" Hun Thian-hi merasa diluar dugaan, mulutnya mengiakan, lalu katanya dengan pandangan kejut dan heran, "Menurut dugaanmu...." Ma Gwat-sian geleng-geleng kepala sambil tertawa, katanya, "Pencurian ini bukan perbuatan Ing-ciangkun. Dia bertempat tinggal di Thian-seng, biasanya ia sangat benci dan mencercah Tansiangkok lebih hebat dari engkohku, untuk urusan rumit ini secara logis seharusnya dialah yang diserahi tugas untuk membongkar perkara besar ini! Tapi diluar dugaan justru engkohkulah yang dia tunjuk." "Jadi menurut anggapanmu bahwa Ing-ciangkun hakikatnya adalah sekomplotan dengan Tansiangkok?" "Belum pasti, tapi ada kemungkinan. Menurut anggapanku Tan-siangkok sangat ambisius, sedemikian jauh dia sedang berusaha hendak menjodohkan tuan putri dengan putra kesayangannya, tujuannya supaya kelak dapat mewarisi kedudukan sang raja. Jikalau usahanya ini gagal, aku kuatir dia bakal mata gelap dan melakukan perbuatan terkutuk, jikalau hanya kehilangan satu dua barang berharga rasanya tidak perlu kau sendiri mesti ikut tampil ke depan." "Sebetulnya kepandaian silatku juga cuma cakar kucing melulu, tak perlu diagulkan." "Mengenal ilmu silat, aku bukan bidangnya, tapi bagi seseorang yang mampu bertahan dari Tay-seng-ci-lau, ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna. Meskipun aku tidak mengerti ilmu silat, tapi semua ini aku mendapat tahu dari cerita guruku." Diam-diam heran hati Thian-hi, orang macam apakah guru Ma Gwat-sian itu, tak perlu disangsikan lagi pasti seorang tokoh kosen yang lihay. Tengah ia terpekur, terdengarlah derap langkah kaki berat tengah mendatangi. Cepat Ma Gwatsian berkata, "Itulah engkohku datang, selamat jumpa nanti!" habis berkata ia terus menyelinap diantara rumpun bunga dan menghilang. Dengan termenung Thian-hi terpekur, sementara itu Ma Bong-hwi sudah mendatangi, segera Thian-hi membalik tubuh, kelihatan Ma Bong-hwi tercengang, katanya tertawa, "Hampir saja aku tidak mengenalmu lagi, dandananmu ini sungguh cukup ganteng dan perwira, tampan sekali sebagai panglima muda!" Hun Thian-hi mandah tertawa saja tanpa membuka suara. "Mari sekarang juga kita masuk ke istana!" demikian ajak Ma Bong-hwi. Thian-hi manggut-manggut, dengan langkah lebar mereka taerderap keluar dari gedung panglima besar. Diluar pintu sudah siap dua ekor kuda, cepat mereka naik kuda terus dicongklang pelan-pelan menuju ke pintu selatan, setelah berada di luar pintu selepas pandang ke depan nan jauh sana, kira-kira lima li jauhnya tampak sebentuk kota besar pula, bentuk kota di depan itu lebih besar, lebih megah, diantara kedua belah pintu gerbangnya yang menjulang tinggi adalah sejalur jalan batu mengkilap yang lebar dan bersih, Thian-hi berpikir pasti itulah Thian-seng adanya. Letak Thian-seng membelakangi pegunungan yang menghijau dan diselubungi mega nan mengembang, pemandangannya sungguh menakjupkan. Kata Ma Bong-hwi kepada Thian-hi, "Adikku itu sangat mengagulkan kau, selamanya belum pernah ia merasa kagum dan memuji seseorang." Hun Thian-hi tersenyum simpul, katanya, "Sebetulnya tiada suatu keistimewaan atas diriku, kalau dia betul-betul memuji aku, sungguh lebih disesalkan." "Setiap ucapannya selamanya tidak pernah meleset, sejak kecil ia diangkat murid oleh seorang tokoh aneh yang menyembunyikan diri. Berturut-turut aku mengalami berbagai kesukaran semua adalah dia yang bantu aku mengatasi dan membereskannya! Siapakah gurunya tiada seorangpun yang tahu kecuali dia sendiri." Tengah mengobrol tanpa terasa mereka sudah tiba di Thian-seng, mereka langsung keprak kuda mencongklang ke dalam kota. Belum jauh mereka berjalan dari depan sana mendatangi seorang panglima pertengahan umur yang memimpin serombongan orang berkuda, masih rada jauh lantas Ma Bong-hwi memberitahu kepada Thian-hi, "Pendatang ini adalah Ing Si-kiat Ingciangkun...." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah dekat dengan berseri tawa Ing Si-kiat maju menyapa, "Ma-ciangkun baru datang, dosa adikku itu, melulu mengandal tenaga Ma-ciangkun untuk menolongnya!" "Ah, Ing-ciangkun terlalu sungkan," ujar Ma Bong-hwi. Betapapun masih mohon bantuan Ingciangkun juga.!" Ing Si-kiat tertawa-tawa, katanya, "Aku akan memberi perintah kepada mereka supaya menutup pintu empat gerbang rapat2. tiada seorang pun diperbolehkan keluar masuk!" - Lalu ia berpaling memandang Hun Thian-hi serta katanya, "Yang ini adalah...." "Benar-benar, aku masih belum memperkenalkan kalian. Inilah adik angkatku! Dia bernama...." sampai disini ia merandek sebentar lalu meneruskan "Tio Kun-Kah ini aku hanya bawa dia untuk berdinas, dia kuangkat sebagai wakilku." Bergegas Hun Thian-hi menjura serta menyapa, "Ing-ciangkun! Selamat bertemu!" Sekilas Ing-ciangkun melirik ke arah Hun Thian-hi; seolah-olah ia tidak pandang orang sebelah matanya, katanya tertawa, "Selama ini aku masih belum tahu bahwa Ma-ciangkun ternyata punya seorang adik angkat, Saudara Tio Kun masih muda belia serta gagah lagi, kelak tentu punya harapan besar yang tak terukur!" Dengan tertawa-tawa Hun Thian-hi menjura serta merendahkan diri dan main sungkan, diamdiam ia perhatikan wajah serta tingkah laku Ing Si-kiat. Terasa olehnya bahwa sikap Ing Si-kiat kelihatan merasa curiga terhadap dirinya. "Tak heran Ing-ciangkun tidak mengetahui," demikian jawab Ma Bong-hwi memberi keterangan, "baru hari ini aku angkat saudara dengan dia, adik angkatku ini jauh lebih kuat dan pintar dari aku, untuk mengatasi peristiwa ini aku sangat mengandalkan tenaganya." Sekali lagi Ing Si-kiat perhatian Hun Thian-hi. lalu berkata, "Kalau begitu urusan adikku itu juga mohon bantuan pada. Tio-huciangkun untuk membantu." Cepat Hun Thian-hi menyahut, "Ing-ciangkun menggoda saja. saudaraku ini memang suka omong, sebenar-benarnya kemampuanku mana dapat membantu, selanjutnya masih harap Ingciangkun suka memberi petunjuk...." "Kalian masih punya urusan penting, aku Ing Si-kiat minta diri dulu, semoga kalian sukses dalam tugas." Berbareng Thian-hi berdua angkat tangan memberi hormat terus melanjutkan menuju ke istana raja. Tak lama kemudian mereka sudah tiba dibelakang. setelah turun dari atas kuda, waktu Thian-hi angkat kepala, tampak istana raja ini sedemikian tinggi megah dan mewah sekali, hanya undakan batu pualamnya saja begitu lebar dan panjang tak kurang dari delapan puluh tingkat, sambil berjajar dan menyoreng pedang Thian-hi berdua beranjak ke atas. Gerbang istana terjaga ketat oleh pasukan Gi-lim-kun, begitu melihat kedatangan Ma Bong-hwi berdua, bergegas mereka maju memberi hormat, menunjuk Thian-hi Ma Bong-hwi berkata pada mereka, "Inilah Tio-ciangkun, selanjutnya kalian juga harus dengar petunjuknya!" Serempak para Gi-Lim-kun itu mengiakan sambil menjura, selanjutnya mereka maju lebih jauh ke dalam istana, setiap pelosok istana terjaga ketat, beberapa grup pasukan berlalu lalang meronda, bersama Thian-hi Ma Bong-hwi mengadakan pemeriksaan dan meronda keberbagai pelosok lalu kembali ke tempat semula. Ce-kim-cu yang diincar pencuri itu terporotkan di atas belandar besar beberapa meter dari bawah, dibawahnya terjaga kuat oleh pasukan Gi-lim-kun. Begitulah Thian-hi berdua ikut berjaga dengan waspada sambil mengobrol sekadarnya menunggu waktu. hingga tanpa terasa tahu-tahu sudah tengah malam keadaan tetap sunyi hening tiada kejadian apa-apa. Kira-kira dua jam kemudian, keadaan masih tenang dan aman tentram, Ce-kim-cu jelas masih terpancang, disana dengan memancarkan sinarnya yang cemerlang kelap kelip. Tatkala itu cuaca sudah hampir terang tanah, Ma Bong-hwi mendengus hidung; segera ia melolos pedang dan bersiap waspada. Para pasukan Gi-lim-kun juga segera mempersiapkan diri masing-masing, sementara, pasukan panah pun sudah memancang anak panah di atas busur tinggal menunggu perintah. Sementara Hun Thian-hi juga merasa was-was dan kebat kebit, dengan penjagaan begitu ketat bagaimanapun si pencuri itu takkan dapat membawa lari Ce-kim-cu. Sebentar lagi ufuk timur sudah mulai bersemu kuning, keadaan masih tetap tenang dan aman. Sekelilingnya hening senyap, mereka tinggal menugggu saat gelap berganti terang tanah saja. Sekonyong-konyong seorang anggota Gi-lim-kun tergopoh2 lari keluar dari dalam istana terus maju kehadapan Ma Bong-hwi serta melapor, "Lapor Ma-ciangkun! Sang Baginda minta Ciangkun segera menghadap!" Ma Bong-hwi pandang kanan kirinya, lalu bertanya pada anggota Gi-lim-kun itu, "Baginda ada bilang apa tidak?" "Tidak!" sahut orang itu sambil membungkuk. Timbul rasa curiga Ma Bong-hwi. namun disini masih ada Hun Thian-hi dan tak perlu kuatir segera ia masukkan pedang ke dalam kerangkanya serta berseru, "Baik, segera aku menghadap!" - Lalu dengan langkah lebar ia beranjak masuk. Namun baru dua tiga langkah Ma Bong-hwi berjalan orang itu berkata pula, "Baginda juga minta Tio-ciangkun menghadap bersama." Semakin tebal curiga Ma Bong-hwi segera ia membalik serta berseru, "Tiociangkun, junjungan belum tahu akan dia!" mendadak ia menggeram serta menghardik, "Siapa kau?" Cepat orang itu menjura, serta berkata, "Tadi baru saja sang Baginda bangun, mendengar bahwa Ce-kim-cu tidak hilang lantas menanyakan Ciangkun, tahu bahwa Ciangkun bersama Tiociangkun menjaga bersama, beliau perintahkan hamba kemari mengundang Ciangkun berdua!" Ma Bong-hwi menjengek, hatinya dirundung kecurigaan, saat ini hari belum lagi terang tanah, pencuri itu masih punya cukup waktu untuk bekerja, bagaimana mungkin dirinya tinggal pergi. Tapi benar-benar atau palsu sulit diketahui, mana bisa memberi keputusah begitu cepat, dengan seksama ia awasi orang itu lalu bertanya, "Siapa namamu?" Badan orang itu kelihatan bergetar namun segera menjawab lantang, "Hamba Li Gun!" Ma Bong-hwi mendehem, lalu berkata kepada Thian-hi, "Lebih baik kau tetap tinggal disini, biar aku masuk dulu!" - Selesai berkata dengan langkak lebar ia menuju keistana. Melihat keputusan Ma Bong-hwi yang tegas itu, Li Gun menjadi gugup, dengan mendelong ia awasi punggung Ma Bong-hwi yang hampir menghilang disebelah dalam.... segera ia berdiri dan membalik tubuh serta melolos pedang, tiba ia berteriak kejut, "Hai, dimana Cekim-cu?" Semua hadirin menjadi berjingkrak kaget, serentak mereka angkat kepala memandang ke atas belandar, Hun Thian-hi sendiri juga angkat kepala, hatinya rada bercekat, batinnya, "Jika dalam sekejap ini Ce-kim-cu benar-benar hilang, memang harus diakui bahwa kepandaian pencuri itu entah betapa tingginya?" Waktu ia angkat kepala benar-benar juga Ce-kim-cu sudah hilang tanpa juntrungan, keruan bukan kepalang kagetnya, dikolong langit ini mana mungkin ada tokoh kosen begitu lihay ilmu silatnya, ia percaya pada diri sendiri seumpama pencuri itu seorang tokoh lihay pun, kesiur angin lambaian bajunya tentu dapat ditangkap oleh ketajaman kupingnya, namun kenyataan Ce-kim-cu sudah lenyap dalam waktu sesingkat itu. Para pasukan Gi-lim-kun menjadi gempar serempak mereka mengacungkan pedang dan mempersiapkan panah. Hun Thian-hi segera berseru dengan suara kereng, "Semua jangan ribut!" Dengan tajam ia menyapu pandang kesekitarnya. hatinya dirundung curiga yang tebal, tanpa disadari timbullah perasaan congkak dan tinggi hati, sungguh ia merasa penasaran telah dipermaiankan begitu rupa, dengan keras ia membuka suara, "Dimana Li Gun?" Orang-orang sekelilingnya saling pandang dan celingkukan, tiada seorang pun yang menjawab. Semakin memuncak rasa gusar Thian-hi, serunya, "Siapa diantara kalian yang kenal Li Gun?" Dengan seksama ia sapu pandang setiap raut muka orang disekitarnya, tiada seorang pun yang memberi jawaban. Keruan semakin gugup dan gelisah hati Thian-hi, baru sekarang dia betul-betul kebentur pada seorang tokoh kosen yang benar-benar lihay, baru saja ia bernat melompat naik untuk memeriksa, kelihatan Ma Bong-hwi sudah memburu keluar. Begitu melihat keadaan yang kalut ini kontan ia merasa firasat yang jelek. Sungguh menyesal dan malu lagi, cepat Thian-hi maju menjura serta berkata, "Sungguh aku tidak becus, Ce-kim-cu telah hilang dalam sekejap ini. Li Gun pun melarikan diri disaat terjadi keributan." Sesaat Ma Bong-hwi menjublek ditempatnya, akhirnya, ia menggoyangkan tangan sambil berkata, "Tak dapat salahkan kau, seharusnya aku tahu bahwa Baginda tidak mungkin mengundang aku tapi aku terburu nafsu hendak membongkar permaian licik ini, sehingga tanpa sadar terjebak ke dalam tipu muslihatnya" Sungguh pedih perasaan Thian-hi, katanya, "Aku ingin memeriksa ke atas sana, akan kulihat cara bagaimana Ce-kim-cu itu telah lenyap!" Ma Bong-hwi manggut-manggut, ujarnya, "Kali ini Ce-kim-cu hilang secara misterius, bolehlah kau naik kesana memeriksanya!" Thian-hi membungkuk tubuh sambil mundur dua langkah, ia berlaku hati-hati supaya tidak mempertunjukkan kepandaian aslinya, sedikit menekuk dengkul kakinya segera menjejak tanah terus merambat naik melalui tiang belandar yang besar itu. Begitu tiba di atas belandar dengan seksama. ia memeriksa kekanan kiri. tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang aneh, selain itu tiada sesuatu yang dapat diketemukan sebagai sumber penyelidikan. Dengan cermat ia periksa terus sekitar belandar besar yang dapat untuk bersembunyi manusia namun jejak atau telapak kaki orang pun tidak diketemukan. Kecuali orang itu bisa terbang dan lari pergi, kalau tidak tentu dapat kepergok. Disebuah sudut belandar sebelah sana ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan beberapa huruf yang menyolok, tulisan itu berbunyi, "Besok malam, kuambil Giok-hud!" Dengan ringan Thian-hi melompat turun" langsung ia angsurkan secarik kertas itu kepada Ma Bong-hwi. lalu berdiri menunduk tanpa buka suara. Setelah membaca tulisan itu, dengan menghela napas Ma Bong-hwi berkata, "Ternyata ada orang berani menyelundup masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, sungguh besar nyali orang itu." Selamanya Thian-hi belum pernah mendapat malu dihadapan umum, orang lain biasanya menyanjung puji dirinya, dengan berbagai daya upaya mohon dirinya membantu dan mengundang dirinya kemari ikut menanggulangi peristiwa pencurian misterius ini, tapi kenyataan barang yang dilindungi itu tetap hilang juga. malah sebuah sumber penyelidikan macam Li Gun juga sampai berhasil lolos, betapa malu dirinya. Seharusnya begitu Ce-kim-cu lenyap aku segera harus meringkus Li Gun, tapi orang itu toh berhasil merat juga. Sekian lama mereka berdiri berhadapan tanpa bersuara, tak lama kemudian cuaca sudah terang benderang. Ma Bong-hwi berkata, "Thian-hi, kau bukan pembesar dinas secara resmi, boleh silakan kau menyingkir dulu ke kamar sebelah, bila Baginda mengundang kau baru kau menghadap." Tak lama kemudian terdengar derap langkah ribut, disusul lonceng istana berdentang keras suaranya menggema diangkasa, seketika seluruh istana menjadi hening lelap. Setelah para pembesar menghadap dan melakukan upacara kehormatan terdengarlah Ma Bong-hwi tampil ke depan dan memberi laporan, "Hamba tidak becus bekerja. Cekim-cu telah hilang lagi, harap Baginda suka memberi hukuman setimpal!" Kedengarannya sang raja sangat murka, dengan menggeram ia berseru, "Apa pula yang diincarnya nanti malam" sia-sia belaka aku memberi makan kalian para pembesar tinggi, entah mengapa seorang maling kecil saja tidak becus menangkapnya." Setelah berludah dengan sebal ia melanjutkan, "Istana raja buat lalu lalang maling sesuka hatinya, barang berharga satu persatu telah dicurinya, apakah tiada seorang pun diantara kalian yang mampu berbakti kepada kerajaan?" Sebuah suara serak dan bernada rendah segera menyahut, "Harap junjungan tidak marah, Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo urusan ini tidak bisa semua menyalahkan Ma-ciangkun, paling tidak Lojen (hamba) juga ikut bersalah." Dalam hati Thian-hi membatin pembicara ini tentu Tan-siangkok adanya, bila dia mau menghasut atau mencelakai jiwa Ma Bong-hwi adalah sekarang kesempatan yang paling baik, entah apa sebetulnya maksud hatinya, ternyata dia tampil ke depan melindungi Ma Bong-hwi. Dengan gusar sang raja mendengus, lalu katanya, "Tan-siangkok, kaulah yang menjadi sandaran Ma Bong-hwi, sudah tentu kau pun bersalah." Terdengar Ing Si-kiat juga ikut menimbrung, "Harap Baginda suka mempertimbangkan kembali, Ma-ciangkun seorang cerdik pandai, hanya karena sedikit kecerobohannya sehingga Ce-kim-cu telah hilang, kalau malam ini orang itu berani datang lagi pasti dapat dibekuknya." Sebuah suara tua dan rendah yang lain ikut bicara, "Hamba juga berani menjadi sandaran Maciangkun!" "Toh-ciatsu, kau pun mau melindungi dia!" demikian tanya sang raja. Akhirnya Tan-siangkok bicara lagi, "Lojen berani tanggung sekali lagi, Maciangkun seorang pembesar yang mengetahui kepentingan tugasnya, aku percaya malam ini tidak bakal kehilangan barang lagi. Seumpama benar-benar hilang lagi, Lojen rela meletakkan jabatan, dan seluruh keluarga Ma-ciangkun boleh dipenggal kepalanya sebagai penebus dosa!" Bercekat hati Thian-hi, diam-diam ia kertak gigi, batinnya, "Tipu daya yang keji dan culas sekali. Kiranya kau mengatur tipu daya secara begitu licik, semula kusangka kau bertujuan baik ingin membantu meringankan bebas orang, kiranya bertujuan menumpas habis seluruh keluarga Ma-ciangkun." Kedengarannya sang raja juga merasa diluar dugaan, katanya lantang, "Apa" Begitu besar kepercayaan Tan-siangkok kepada Ma-ciangkun?" "Menurut hemat Lojen, Ma-ciangkun pasti dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna." "Baiklah, kegagalan hari ini tidak perlu kutarik panjang lagi." Bersama para pembesar yang lain Ma Bong-hwi berlutut. serta nyatakan terima kasih akan pengampunan lalu mengundurkan diri. Dengan lesu dan putus semangat Ma Bong-hwi memasuki kamar dimana Hun Thian-hi tengah menunggu. Thian-hi bangkit berdiri serta berkata penuh menyesal, "Ma-ciangkun, akulah yang salah sehingga kau yang ketimpa akibatnya." Ma Bong-hwi goyang2 tangan dengan lesu, sebelumnya ia sangat percaya akan kemampuan Hun Thian-hi, namun kenyataan Ce-kim-cu telah hilang, sumber penyelidikan yang utama pun sampai lolos, ini yang menjadikan kekecewaan hatinya. Sungguh rawan dan pedih perasaan Thian-hi melihat sikap orang, betapa pun malam ini Giokhud (patung Budha) tidak boleh hilang pula. Demikian Thian-hi bertekad. Kata Ma Bong-hwi, "Hari ini kita tak usah pulang, nanti akan kuutus seorang memberi tahu rumah. Sementara menunggu waktu kau holeh jalan-jalan sambil memeriksa keadaan sekitarnya supaya apal akan situasi nanti malam, tapi jangan sekali2 kau menuju ke istana dalam." Thian-hi manggut mengiakan, Ma Bong-hwi lantas tinggal pergi ke arah lain. Duduk di atas kursi Thianhi merasa kesepian akhirnya ia bangkit dan jalan-jalan, pikirannya masih diliputi keheranan, sungguh tidak masuk diakal, cara bagaimana pencuri itu dapat bekerja begitu rapi dan cepat membawa kabur Ce-kim-cu tanpa diketahui, begitulah sambil berjalan otaknya terus bekerja, tanpa merasa kakinya melangkah ke dalam sebuah taman bunga. Pada jaman ini orang yang dapat mengambil Ce-kim-cu dan tanpa diketahui olehnya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apakah mungkin pencuri itu seorang tokoh kosen aneh yang berkepandaian tiada taranya" Kalau benar-benar, masakah dia sudi melakukan perbuatan tercela begini. Bagi seorang berkepandaian tinggi tak mungkin mau melakukan perbuatan bangsa kurcaci. Begitulah pikirannya terus bergelombang tak tentram, mendadak kupingnya mendengar suara seruan kaget yang perlahan, Thian-hi berjingkrak kaget, waktu angkat kepala tampak Tuan putri tahu-tahu sudah berdiri tak jauh di depannya. Keruan gugup dan gelisah hatinya, tahu dia tanpa disadari dirinya sudah melanggar larangan memasuki istana dalam, cepat ia membungkuk tubuh memberi hormat, serunya, "Tuan putri! Kau baik, karena pikiran kalut hamba sampai melanggar larangan masuk kemari, harap tuan putri tidak marah." Tuan putri mendengus katanya, "Apakah kau wakil komandan Gi-lim-kun?" Tersipu-sipu Thian-hi mengiakan sambil menjura. "Kenapa kau berani memasuki daerah terlarang?" semprot tuan putri dengan merengut. Thian-hi menjadi tergagap, "Baru kemaren hamba ikut Ma-ciangkun kemari, apalagi benakku sedang gundah memikirkan tugas yang berat ini, sehingga tanpa sadar masuk kemari!" "Kemaren?" tanya tuan putri menegas sambil mengerut kening, "Baru kemaren kau masuk istana?" Thian-hi manggut-manggut. "Tapi kulihat mukamu seperti sudah kukenal, seperti pernah kulihat kau dimana, apa kau tidak bohongi aku?" Saat itu dua petugas ronda dalam lewat, begitu melihat Hun Thian-hi, mereka saling pandang terus maju menyembah kepada tuan putri, "Harap tuan putri memberi ampun, karena kelalaian kami sehingga orang ini masuk kemari, biarlah kami yang mengusirnya keluar!-' "Tidak perlu, akulah yang memanggilnya kemari waktu dia lewat disana, tiada urusan kamu disini, hayo pergi!" Kedua peronda itu saling pandang, sahutnya, "Tapi...." "Tapi apa lagi! Ajo lekas enyah jangan cerewet!" Kedua peronda itu menjadi gemetar dan apa boleh buat terpaksa mereka mengundurkan diri. Tuan putri menepekur sekian saat, lalu berkata lagi, "Sungguh sebal kenapa tidak bisa kuingat, eh, kenapa kau tunduk saja, coba angkat kepalamu supaya kulihat lebih tegas." Thian-hi angkat kepala, tampak tuan putri mengenakan pakaian serba putih, yang dikenakan ini adalah pakaian kebesaran dalam istana, jauh berlainan dengan sikapnya tempo hari di atas kereta. Dibelakangnya mengintil dua dayang, dengan pakaian yang panjang melambai ini tuan putri terasa lebih agung dan cantik, sehingga Thian-hi tak berani metmandang ke depan. Setelah mengamati sekian lamanya, mendadak tuan putri bertepuk dan berseru tertawa, "Benar-benar! Kini kuingat, bukankah kau tinggal digedung Ma-ciang-kun?" Terperanjat hati Thian-hi, tak duga ingatan tuan putri ternyata begitu tajam, kejadian tempo hari sudah sekian lamanya, malah sekarang dirinya sudah ganti pakaian. kiranya masih tak berhasil mengelabui sepasang biji matanya yang bening dan jeli itu. Apa boleh buat Thian-hi menjura, "Tempo hari hamba terlalu kurang hormat, sampai lupa nyatakan terima kasih akan pertolongan tuan putri." Kelihatannya tuan putri sangat senang, katanya tertawa lebar, "Sungguh hampir tak kukenal, tempo hari dandananmu sebagai pelajar kutu buku, sekarang sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, ai, sungguh aneh!" Thian-hi menjadi geli oleh banyolan tuan putri. Kata tuan putri lagi, "Tempo hari putra Tan-siangkok menghajar kau dengan pecut, kenapa kau tidak mau melawan" O. ja, dimana serulingmu itu" Apa kau bawa kemari?" Thian-hi tertawa-tawa, keadaan dirinya lebih jelas lagi dibelejeti, sungguh tajam dan lihay benar-benar tuan putri ini, ia geleng kepala untuk jawaban. "Ada omongan hendak kukatakan kepada kau, mari kau ikut aku! Kesana, ke gardu itu!" Lalu ia mendahului menuju kesebuah gardu yang terdekat. Thian-hi mengekor di belakang tuan putri memasuki gardu itu, tuan putri ulapkan tangan suruh Thian-hi duduk, Thian-hi geleng kepala, tuan putri berkata dengan tersenyum, "Kusuruh kau duduk. takut apa kau" Duduklah!" Terpaksa Thian-hi menduduki sebuah kursi, dengan seksama tuan putri meng-amatamatinya, Thian-hi menjadi risi dan kikuk, tuan putri terkikih geli, katanya, "Kiranya kau begitu pemalu, orang lain takkan menduga kau sebagai wakii komandan Gi-lim-kun, apakah kau pandai main silat?" Bergejolak hati Thian-hi, mendengar suara tawa tuan putri pikirannya lantas melayang mengenangkan keadaan di Tionggoan, seolah-olah ia merasa orang yang berada di depannya ini adalah Sutouw Ci-ko, wataknya memang periang seperti watak Sutouw Ci-ko, entah bagaimana dan dimanakah Sutouw Ci-ko sekarang. Tuan putri mendesiskan mulut, ujarnya, "Sedang kutanya kau! Apa yang sedang kau pikirkan?" Thian-hi tersentak kaget, sahutnya dengan rikuh, "Apa yang tuan putri tanyakan" Aku tidak jelas mendengar!" Tuan putri menjadi kurang senang, katanya, "Bagaimana kau ini, aku bicara dengan kau kenapa menjadi linglug, kukatakan cabutlah pedangmu, aku ingin bertanding pedang dengan kau." Thian-hi tersentak kaget sampai bangkit dari tempat duduknya, serunya: .Tuan putri, mana boleh jadi!" Tuan putri dan kedua dayang dibelakangnya menjadi terkekeh geli, Thian-hi sendiri semakin tersipu-sipu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Tuan putri segera berkata. "Jangan bersitegang leher, aku hanya menggertakmu saja, sebetulnya. umpama Ma-ciangkun sendiri kemari dia pun bukan menjadi tandinganku!" Baru saja Thian-hi dapat menghela napas lega, serta merta ia lantas mengerut kening mendengar bualan tuan putri, dengan cermat diam-diam ia amat-amati tuan putri, kelihatan raut mukanya bundar telor, pipinya bersemu merah laksana buah tho, biji matanya bening sejernih air, dengan tajam orangpun senang menatap dirinya, cepat-cepat ia alihkan pandangan matanya. sekilas ini terasa olehnya bahwa tuan putri ternyata begitu elok dan rupawan, sampai ia tidak berani memandang lebih lama lagi. "Belakangan ini aku pun suka meniup seruling, apakah kau sudi mengajarkan aku?" demikian ujar tuan putri. "Mana aku berani mengajarkan kepada tuan putri!" tersipu-sipu Thian-hi mengiakan. Tuan putri tak hiraukan ucapan Thian-hi dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan seruling terus diangsurkan kepada Thian-hi sembari berkata, "Coba kau periksa bagaimana seruling ini?" Terpaksa Thian-hi menerima seruling itu, tampak seruling ini begitu mulus dan bening laksana terbuat dari kaca, waktu dipegang terasa hangat, seluruh batangnya terukir sembilan naga bergulat seperti sedang bermain di tengah angkasa, kelihatannya jauh lebih bagus dari seruling miliknya itu. Tuan putri tertawa bangga, ujarnya, "Bagaimana" Tidak kalah bukan dibanding serulingmu?" Thian-hi tersenyum, katanya, "Seruling tuan putri ini jauh lebih bagus dari serulingku!" Tuan putri berkata, "Coba kau tiup sebuah lagu untuk kudengar!" Thian-hi melengak, tanyanya, "Sekarang juga?"' Tuan putri manggut-manggut. "Ya, sekarang juga!" Thian-hi menjadi bimbang, katanya, "Tiupan serulingku tidak begitu mahir, semoga tidak menjadi buah tertawaan tuan putri." Tuan putri manggut-manggut, dengan mendelong ia perhatikan Thian-hi serta menanti. Pelan-pelan Thian-hi angkat seruling kedekat mulutnya, sejenak ia berpikir lalu mulai memup seruling melagukan sebuah irama yang halus mengalun pelan, itulah lagu 'indahnya alam', nada lagunya rendah dan datar mengembang laksana mega berlalu seumpama air mengalir terus mengalun tak putus2. Sedemikian merdu dan mempesonakan irama seruling lagu Indahnya alam ini sehingga Tuan putri dan kedua dayangnya terlongong kesima, sekian lama setelah lagu selesai ditiup baru Tuan putri menghirup hawa segar, katanya, "Selamanya belum pernah kudengar irama seruling sedemikian bagus, sungguh enak dan menyegarkan badan, seharusnya kau menjadi guru musik saja." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, "Tiupan serulingku masih kurang sempurna, tak perlu dibanggakan. Sebetulnya Ma-ciangkun...." sebetulnya ia hendak menyinggung soal Ma Gwat-sian, tapi serta dipikir menjadi kurang enak rasanya, maka segera ia urungkan. "Kau cukup pintar dalam ilmu silat dan sastra, aku menjadi kurang paham dari mana Maciangkun dapat mencari orang sepandai kau ini." "Tuan putri terlalu memuji, sebenar-benarnya bisaku juga sangat terbatas!" "Apakah kau mau sering kemari menemani aku?" "Apa?" tanya Thian-hi melongo. "Maksudku, tiupan serulingmu begitu bagus, selanjutnya seringlah datang mengajarkan kepada aku!" Hun Thian-hi tersenyum getir, sahutnya, "Aku kuatir tidak mungkin!" "Apa kau tidak sudi?" Thian-hi serba sulit tak tahu cara bagaimana harus menjawab, terpaksa ia mengada2 saja katanya, "Tuan putri juga tahu, tadi aku sudah gagal dalam tugas pertama, kehilangan Ce-kim-cu merupakan kelalaianku, sehingga Ma-ciangkunlah yang ketimpa akibatnya, hatiku...." "Tak perlu kau takut menghadapi urusan itu, biar aku yang mintakan ampun kepada ayah baginda bagi kau dan Ma-ciangkun, ayah baginda tentu melulusi!" "Sekali2 tuan putri tidak boleh berbuat demikian. Hatiku akan lebih menyesal lagi, kebaikan tuan putri sungguh Huh Thian-hi menyatakan banyak terima kasih." Dengan tajam tuan putri pandang Hun Thian-hi, katanya, "Kau ini sungguh sombong, kebaikan lain orang sedikit pun kau tidak mau terima, untung aku ini seorang tuan putri, kalau tidak betapa kau akan lebih sombong lagi." Thian-hi menjadi tergagap dan tak kuasa menjawab lagi, diam-diam ia membatin dalam hati, apakah begitu watakku, demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikapku ini betul" Tuan putri tertawa, ujarnya, "Bila Giok-hud sampai hilang pula nanti malam, apakah kau hendak berpeluk tangan saja melihat seluruh keluarga Ma-ciangkun dipenggal kepalanya?" Thian-hi terlongong diam, sesaat kemudian baru menjawab, "Terima kasih tuan putri!" "Hari ini cukup sekian saja, mungkin ayah baginda mencari aku, aku harus segera pulang, kau sendiri juga lekas keluar dari tempat ini!" - habis berkata lalu balik masuk ke dalam sebentar saja bayangan punggungnya menghilang dibalik rumpun kembang. Diam-diam bergejolak perasaan Thian-hi, sungguh ia merasa sangat terima kasih dan haru, tuan putri ternyata seorang budiman yang baik hati, tapi sayangnya ia dilahirkan dalam kalangan bangsawan, mungkin dia tidak menyadari betapa culas hati manusia yang sedang saling berebutan kekuasaan harta dan kedudukan. Tanpa merasa ia menghela napas rawan, sekonyong-konyong ia merasa tangannya masih memegang sebuah benda apa, waktu menunduk kiranya seruling itu masih belum sempat ia kembalikan kepada tuan putri. Keruan ia menjadi bingung dan menjublek sekian lama, tak mungkin ia mengejar ke dalam terpaksa dalam kesempatan lain saja baru bisa dikembalikan. Thian-hi tak berani tinggal terlalu lama di tempat terlarang ini, sambil menyimpan seruling ke dalam bajunya bergegas ia lari keluar dari taman bunga, Waktu sampai di bilangan istana luar tampak Ma Bong-hwi tengah ubek2an mencari dirinya, melihat kedatangannya cepat ia bertanya, "Thian-hi, kemana kau, sukar mencari kau!" "Maaf toako, secara tidak sadar aku melanggar masuk kebun, tadi bicara sebentar dengan tuan putri!" "Kau ketemu dengan tuan putri?" Ma Bong-hwi menegas dengan terbelalak. Thian-hi manggut-manggut. Ma Bong-hwi menghela napas panjang, ujarnya, "Untung kau masih bisa keluar lagi. Selanjutnya jangan sembarang terobosan!" Thian-hi mengiakan. Selanjutnya mereka berdua pergi istirahat untuk menghimpun semangat supaya nanti malam lebih segar menjaga Giok-hud (patung Budha). Thian-hi duduk samadi di atas dipan dalam sebuah kamar khusus yang disediakan untuk dirinya, dalam kesunyian ini ia dapat melatih Pan-yok-hianTiraikasih Website http://kangzusi.com/ kang. Tanpa merasa waktu ia selesai dalam latihannya cuaca sudah gelap, pelita juga suaah dinyalakan, bergegas ia keluar menemui Ma Bong-hwi, tampak muka orang kejut dan semangatnya lojo, terang ia tidak bisa tidur. Ma Bong-hwi masuk ke dalam istana mengeluarkan Giok-hud, tampak Patung Budha ini tinggi tiga inci seluruh patung ini mengkilap bening terbuat dari pualam pilihan, betul-betul merupakan barang antik yang tak ternilai harganya. Ma Bong-hwi segera suruh anak buahnya memasang tangga dan perintahkan supaya patung Budha ini ditaruh di atas belandar.... Mendadak Thian-hi tersentak oleh sebuah pemikiran lain, cepat ia berkata, "Ma-ciangkun! Siapa yang mengusulkan supaya patung ini diletakkan di atas belandar?" "Ing-ciangkun yang mengusulkan, menurut hematku memang tepat diletakkan disana, apakah kurang tepat tempat itu?" Tergerak hati Thian-hi, teringat olehnya akan kecurigaan Ma Gwat-sian yang mengatakan kalau Ing-ciangkun ini kurang dapat dipercaya, segera ia buka suara, "Hari ini lebih baik kita tidak meletakkan patung ini di atas belandar, coba sekali ini diletakkan di lantai saja!" Semula Ma Bong-hwi beragu, akhirnya setuju juga meletakkan patung Budha itu di atas lantai, ternyata malam itu berlalu dengan tenang dan aman tanpa terjadi suatu apa. Hari kedua semua tercengang dan kejut2 heran. Ma Bong-hwi sendiri juga merasa heran dan takjup. Memang Ce-kim-cu itu hilangnya secara misterius. Apakah belandar besar itu yang kurang beres" Bagaimana mungkin pencuri itu datang pergi begitu cepat tanpa suara lagi seakan-akan bisa menyulap Ce-kim-cu itu masuk ke dalam kantongnya sendiri Sungguh aneh! Thian-hi sendiri sudah curiga sejak mula bahwa di atas belandar itu tentu ada rahasianya. Mengandal taraf kepandaian Lwekangnya, betapapun pencuri itu takkan dapat lolos dari pengawasan begitu saja, kecuali pencuri itu sebelumnya memang sudah sembunyi di atas belandar, bila sembunyi di atas memang orang di bawah tak dapat melihat, waktu perhatian semua orang di bawah sedang terpencar gampang saja ia mengambilnya, namun orangnya masih sembunyi di sana, tanpa dapat meninggalkan tempat sembunyinya itu, kalau tidak, tiada alasan tanpa perbuatannya itu bisa konangan oleh begitu banyak orang. Tapi analisa ini pun tidak mungkin terjadi, bila orang itu tetap sembunyi di atas, siang hari lebih tak mungkin bisa lari, masa dalam sehari semalam dia bisa tahan lapar dan dahaga sembunyi terus di atas belandar" Hal ini terang tidak mungkin. Hari kedua pagi2 benar-benar, serta mendengar patung Budha tidak hilang sungguh girang sang Baginda bukan main, tapi segera iapun keluarkan perintahnya, memberi jangka waktu sepuluh hari untuk mengejar kembali barang-barang mestika yang hilang itu. Apa boleh buat Ma Bong-hwi terpaksa mengiakan saja. Betapapun karena patung Budha tidak sampai hilang perasaannya yang tertekan rada kendor dan berlega hati. Setelah mengundurkan diri cepat bersama Thian-hi ia pulang ke gedungnya di Bi-seng. Belum lagi sampai di rumah, seluruh anggota keluarganya sudah mendengar berita gembira ini semua berbondong keluar menyambut. Mereka dielu2kan memasuki rumah, setelah basa basi sekadarnya, Ma Bong-hwi lantas masuk istirahat, Thian-hi tahu beruntun beberapa malam dia tidak tidur maka iapun cepat kembali ke kamar bukunya. Seorang- diri ia termenung dalam kamarnya memikirkan cara bagaimana sebenarbenarnya pencuri itu mengambil Ce-kim-cu, sekian lama ia tidak berhasil memecahkan persoalan ini. Kecuali belandar besar itu ada rahasianya yang tersembunyi. Tengah ia terpekur, Ma Gwat-sian datang bertandang. cepat Thian-hi menyilahkan duduk, sekadarnya mereka bicara urusan biasa, akhirnya pembicaraan mereka beralih ke persoalan pencurian barang-barang mestika itu. Thian-hi menceritakan pengalamannya cara bagaimana Cekim- cu itu hilang dalam sekejap mata kepada Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian berpikir sekian lamanya, akhirnya ia bertanya, "Menurut sangkamu di atas belandar itu dapat bersembunyi si pencuri itu bukan?" "Itu hanya suatu kemungkinan saja!" "Apa pula kemungkinan yang lain?" "Kemungkinan lain perbuatan ini bukan dilakukan oleh manusia!" "Hun-toako, jika aku harus memilih satu diantara kedua kemungkinan itu, aku memilih kemungkinan kedua. Istana raja bukan kediaman pribadi seseorang, betapapun takkan ada kesempatan bagi seseorang membuat tempat-tempat rahasia di belandar istana, kemungkinan kedua hanyalah kesimpulan dalam perkataan saja," Setelah mendengar ucapan Ma Gwat-sian seketika ia berjingkrak bangun, teringat olehnya akan bau amis yang aneh itu, ja, benar-benar, itu bukan perbuatan manusia, tapi adalah.... Semula ia tidak perhatikan bau amis yang aneh itu, sekarang setelah diingat, terasa olehnya bau semacam itu dulu ia pernah menciumnya sekali, itulah pada saat ia mempelajari jurus pencacat langit pelenyap bumi di dalam gua ular yang dlajarkan oleh Ang-hwat-lomo itu. Ja, bau amis itu adalah bau yang keluar dari badan ular. Sambil menepuk kepalanya Thian-hi berseru kegirangan, "Sekarang aku tahu sebab musabab menghilangnya barang mestika itu!" Ma Gwat-sian tersenyum manis, ujarnya, "Perbuatan ular, ya bukan!" Terkeaima Thian-hi memandangi muka Ma Gwat-sian, orang begitu yakin akan kesimpulannya, sudah tentu Thian-hi terkejut akan kecerdikan gadis rupawan yang lemah ini, atau sebetulnya memang dia membekal kepandaian silat yang tiada taranya" Sedikitpun ia tidak berani menyangkal dugaan Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian sendiri pernah mengatakan bahwa dia tidak pandai main silat, namun kecerdikan yang luar biasa ini serta keyakinannya yang teguh ini benar-benar sangat mengagumkan. "Jikalau bukan perbuatan orang, sudah pasti perbuatan binatang, binatang lain yang bisa merambat ke atas belandar dan tanpa diketahui oleh orang, apalagi punya gerak gerik yang gesit dan cekatan kecuali ular tiada binatang lainnya lagi. Orang itu dapat mengendalikan ular untuk mencuri mestika itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, jelas bahwa orang ini pasti seorang kosen juga, jangan kau pandang remeh dia." Thian-hi manggut-manggut, sungguh ia takjup akan kecerdikan Ma Gwat-sian, setiap perkataannya seolah-olah dikatakan seperti dia sendiri yang menghadapi perkara itu, atau lebih jelas lagi seperti ia sendiri yang melakoni. Dihadapan Ma Gwat-sian ia merasa betapa bodoh dirinya ini. Ma Gwat-sian menunduk menghindari pandangan Thian-hi, sambungnya, "Untuk mengendalikan ular gampang, tapi mengendalikan secara diam-diam tanpa bersuara justru sangat sukar. Aku harus istirahat, kudoakan semoga kau sukses malam nanti." -habis berkata terus dia keluar mengundurkan diri. Thian-hi bangkit mengantar orang sampai diambang pintu. sekian lama ia termenung2 lagi, lalu mulai pula dengan latihan Pan-yok-hian-kangnya, tak lupa iapun menyelami pelajaran Wi-thian-citciatsek. Sang waktu berjalan sangat cepat, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib setelah makan malam bersama Ma Bong-hwi mereka berangkat lagi menunaikan tugas diistana. Malam ini Thian-hi mengusulkan lagi kepada Ma Bong-hwi supaya patung Budha pualam itu diletakan di atas belandar saja. "Bukankah di bawah lebih gampang dijaga dan diawasi?" "Tapi tujuan kita adalah hendak menancing pencuri itu datang baru bisa menangkapnya, kalau di bawah dia tak mau datang bagaimana kita bisa meringkusnya!" Ma Bong-hwi rada kuatir patung Budha itu bisa menghilang secara misterius lagi, namun Baginda memerintahkan dirinya dalam jangka sepuluh hari harus mengejar pulang mestika yang tercuri, cara menunggu lobang untuk menangkap kelinci bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan perkara pencurian ini, adalah lebih baik memancing pencuri itu datang sendiri lebih tepat, karena pikiran ini segera ia manggut-manggut dan menyuruh anak bUahnya meletakkan Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo patung Budha itu ke atas belandar. Hakikatnya Thian-hi tidak memberi tahu jalan pikirannya kepada Ma Bong-hwi, namun dia sudah punya pegangan, hanya dia meraba-raba, entah ular macam apakah yang begitu lihay dapat bekerja secerdik manusia sampai sekarang dia belum mendapat akal cara bagaimana ia harus mengatasi ular lihay ini. Akhirnya ia berkata pada Ma Bong-hwi, "Ma-ciangkun menjaga bagian bawah, biar aku mengawasi bagian atas!" Ma Bong-hwi manggut-manggut. Malam ini Thian-hi menghimpun seluruh semangat dan mencurahkan seluruh perhatiannya dengan waspada menanti kedatangan simaling, diam-diam dalam hati ia sudah bertekad harus dapat meringkusnya, seperti kegagalan semula pihak lawan tentu menggunakan cara licik untuk memencar perhatian seluruh penjaga itu lalu melepas ularnya untuk bekerja dengan cepat, akan kulihat cara apa yang dia gunakan malam ini. Tengah ia bepikir, suasana hening dan sunyi tiba-tiba terdengar seseorang berseru, "Baginda datang!" Baginda benar-benar muncul dihadapan mereka keruan semua orang tersentak kaget dan tersipu-sipu menyembah memberi hormat, Baginda menyapu pandang kepada mereka lalu berkata, "Ma-ciangkun mengundang aku kemari ada urusan apa?" Ma Bong-hwi melongo. Sementara Thian-hi mengeluh dalam hati, cepat ia mendongak, dalam waktu sekejap itu benar-benar juga patung Budha sudan lenyap, hanya tampak selarik cahaya bergerak lantas lenyap. Sebat luar biasa ia jejakkan kaki mencelat naik ke atas. Perbuatan Thian-hi ini sungguh sangat mengejutkan sang Baginda, ia tersurut dua langkah, sementara itu Ma Bong-hwi sedang menjawab, "Hamba sekalian tiada pernah mengundang Baginda. Terang kita telah kena tipu lagi!" Begitu tiba di atas belandar Thian-hi melihat seekor ular hitam panjang empat kaki tengah melata cepat sekali ke depan sana sambil menggigit patung Buddha itu, gerak geriknya begitu gesit secepat angin, sekejap saja sudah tiba di ambang sebuah lobang dan hampir menghilang. Tanpa ayal segera Thian-hi sambitkan pedang ditangannya, tepat sekali menancap di depan lobang itu sehingga jalan lari siular kebuntu, cepat sekali ia ulur tangan mencengkeram keleher ular terpaut tujuh senti dari bawah kepala ular, dimana terletak kelemahannya. Melihat jalan lari sudah putus, ular itu agaknya tahu bahaya tengah mengancam cepat buntutnya melingkar terus melecut naik menyerang jalan darah pergelangan Thianhi. Disebelah bawah Ma Bong-hwi sudah perintahkan seluruh pintu ditutup rapat dan dijaga ketat mulai mengadakan penggeledahan. Sudah tentu Thian-hi tidak gampang kena diserang oleh siular, tangannya membalik berbareng jarinya menyelentik tepat sekali menjentik ujung ekor siular, ular itu berteriak kesakitan, tapi mulutnya tetap menggondol patung Buddha itu tak mau meletakkan, gesit sekali mendadak hendak menerobos keluar. Ketiga jari tangan Thian-hi lantas mencengkeram ke tempat kelemahan siular di bawah kepalanya, cara kerjanya cepat dan telak, apalagi dia sudah bertekad hendak menangkap ular lihay ini. Tapi disaat ia berhasil, mendadak dari belangkangnya terasa menyerang datang sejalur angin kencang menerjang ke arah jalan darah Ling-tai-hiat dipunggungnya, keruan kejut hati Thian-hi, tangkas sekali ia membalikkan telapak tangannya yang lain menyampok ke belakang, seekor ular putih telak sekali kena ditamparnya sampai jatuh di atas belandar tak bergerak lagi. Ular hitam itu lari lagi ke depan, namun mana bisa lolos dari kesigapan tangan Thian-hi, sekali berkelebat ia mengejar maju dan tepat sekali berhasil menggencet kelemahannya di bawah kepalanya, ular itu dipaksa mengeluarkan patung Budha, lalu sambil menjinjing patung Buddha itu Thian-hi melompat turun ke-bawah. Cepat Thian-hi maju menghadap kepada Baginda memberi lapor, "Pencurinya adalah seekor ular, sudah berhasil hamba ringkus, di atas belandar masih terdapat seekor ular putih yang lain juga berhasil kupukul mampus!" Baginda berseri tawa, ujarnya, "Jasa Hun-ciangkun sungguh tidak kecil, ilmu silatnya juga hebat sekali, Yim (aku) berkeputusan untuk memberi anugerah dan pahala kepada kau." Tuan putri mengikik tawa dan melangkah maju, katanya, "Ilmu silatmu ternyata begitu lihay. Sungguh aku tidak mengira kaulah orangnya yang naik ke atas belandar!" Hun Thian-hi merangkak bangun. Dengan heran sang Baginda bertanya kepada tuan putri, "Jadi kalian sudah kenal?" "Ya," sahut tuan putri, "Belum lama berselang aku udah pernah melihat dia, kemarin pagi akupun baru teromong2 dengan dia!" Sang Baginda melenggong. Thian-hi berkata, "Pemelihara ular ini pasti berada di dalam istana juga, ular ini belum mati, harap sang Baginda menyingkir, aku mau melepasnya untuk mencari pemiliknya." Sang Baginda rada sangsi, akhirnya berkata, "Aku sudah berada disini tak perlu menyingkir lagi. Aku ingin ikut menyaksikan!" Apa boleh buat Thian-hi lantas melepas ular hitam tu. Ular itu merambat cepat sekali berputarputar di dalam istana lalu melata keluar, begitu cepat dan gesit sekali gerak geriknya, namun selama itu Thian-li membuntuti di belakangnya dengan ketat. Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka memasuki sebuah taman, kesanalah ular hitam itu menuju terus menuju ke sebuah gunung2an palsu, untung Thian-hi bergerak sangat cepat sebelum si ular menyusup masuk ke dalam sebuah lubang di bawah gunung2an palsu itu ia berhasil menawannya pula. Sementara itu sang Baginda, tuan putri dan banyak orang lagi pun telah tiba. Segera sang Baginda memberi perintah, "Panggil orang untuk mengeduk gunung2an palsu ini, apakah barang-barang yang hilang tu berada di sana." Tak lama kemudian beberapa orang telah datang lalu mencangkul dan menggali lobang itu, setelah gunung2an itu roboh tampak di bawahnya situ memang terpendam barangbarang mestika yang hilang itu. Baginda jadi berpikir, katanya tertawa, "Siapakah pemelihara ular ini sulit diketahui dalam waktu singkat ini, bunuh saja ular itu habis perkara!" Apa boleh buat, terpaksa Thian-hi melaksanakan perintah raja. Tapi dia tahu bahwa belakangan hari kejadian ini pasti bakal menimbulkan bibit bencana yang lebih besar. Bab 16 Tatkala itu cuaca sudah gelap gulita. Baginda suruh Thian-hi besok pagi harus masuk piket dan memberi lapor selengkapnya. Setelah itu ia lantas tinggal pergi bersama tuan putri. Ma Bong-hwi tertawa puas, katanya kepada Thian-hi, "Kalau Lote ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi besok pagilah saatnya. Kejadian hari ini sungguh diluar dugaanku, kiranya hanya seekor ularlah yang membuat gara-gara. Kalau bukan atas tindakanmu yang cepat sungguh aku tidak berani membayangkan akibatnya." Hun Thian-hi tertawa tawar. katanya., "Inipun berkat adikmu yang beritahu kepada aku!" Ma Bong-hwi melengak, katanya tertawa, "Dia lagi, Dia tidak beritahu kepada aku, kini memberitahu kepada kau malah." dengan cengar-cengir pandang Thian-hi. Thian-hi kehabisan kata-kata untuk menjawab. Begitulah segera mereka keluar dan pulang bersama. Sepanjang jalan diam-diam Thian-hi ambil keputusan, ia sudah penujui gunung gemunung yang tinggi dan luas di belakang Thian-seng itu. Ingin dia mencari suatu tempat disana untuk mengasingkan diri sementara. Begitu tiba di gedung Ciangkun, sudah tentu terjadi keramaian dengan sambutan yang meriah sekali. Tengah malam itu juga diam-diam Thian-hi sudah mempersiapkan diri, setelah ganti pakaian ia menulis sepucuk surat diletakkan di atas meja, diamat-amati kedua batang seruling itu lalu disimpan ke dalam butalannya, gesit sekali ia melompat keluar dari jendela terus tinggal pergi. Begitu tiba di luar ia terus memasuki taman bunga belum berapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia menjublek di tempatnya, kelihatan Ma Gwat-sian tengah berdiri disana menantikan dirinya. Kata Ma Gwat-sian tertawa, "Hun-toako! Aku tahu kau pasti akan tinggal pergi, maka sejak tadi ku-tunggu kau disini. Thian-hi menunduk tanpa buka suara, segala gerak geriknya ternyata sudah di dalam perhitungan Ma Gwat-sian. "Mari kau ikut aku," ajak Ma Gwat-sian, "Ada beberapa patah kata hendak kuucapkan kepada kau." Hun Thian-hi menguntit di belakangnya, Ma Gwat-sian mencari sebuah batu hijau besar lalu duduk di sana. Diapun suruh Thian-hi duduk di sebelahnya, setelah rada sangsi Thian-hi duduk juga di sampingnya. Kata Ma Gwat-sian, "Guruku beritahu kepada aku, katanya jika kau mau menyembunyikan jejak dan asal usulmu, ada lebih baik kau sembunyi di dalam kota besar saja. Kau punya harapan untuk menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun. Tapi bila kau berkukuh hendak pergi, cara menghilangmu yang mendadak ini malah akan menimbulkan prasangka." Thian-hi menjublek tanpa bicara, otaknya tengah berpikir. Kata Ma Gwat-sian pula, "Watakmu rada congkak, tapi bila kau sudi menjabat pangkat, orang lain tidak akan mengira ada seorang tokoh kosen menyembunyikan diri sebagai pejabat tinggi pemerintahan. Sebaliknya kalau kau tinggalkan pangkat dan kedudukan ini, justru bakal membongkar rahasiamu sendiri." Thian-hi juga menginsyafi hal itu, katanya, "Jadi maksudmu supaya aku tetap tinggal saja?" Ma Gwat-sian tertawa. ujarnya, "Itupun menurut omongan guruku, aku hanya menyampaikan saja kepada kau!" Heran dan ketarik hati Thian-hi, tanyanya, "Sebenar-benarnya siapakah gurumu itu" apa boleh beri tahu padaku?" "Kau tak usah kuatir akan hal itu! Guruku tidak akan mencelakai kau!" Hun Thian-hi tak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpikir olehnya ucapan Ma Gwat-sian tadi memang cukup masuk di akal, tiada halangannya ia menurutkan nasehat itu, tanyanya, "Apakah kau tahu asal usulku sejelasnya?" "Juga tidak! Tempo hari guruku pernah berjalan-jalan sampai dipinggir tebing curam itu, dilihatnya sebarisan lobang2 kecil, tahu ia bahwa pasti ada seseorang Tionggoan yang telah menyelundup masuk kenegeri ini, dan akupun menemukan kau pula, dan kaupun menggunakan seruling, maka tahulah aku bahwa pasti kau datang dari Tionggoan, tidak salah bukan rekaanku"." Dengan cermat Thian-hi pandang sepasang biji mata Ma Gwat-sian yang jeli bening berkilat, wajahnya begitu halus elok bak umpama sang dewi dari rembulan, serta merta kepalanya manggut-manggut. diam-diam bercekat hatinya, kiranya tanpa disadari aku telah meninggalkan jejak waktu menyelundup masuk ke Thian-bi-kok ini. Kata Ma Gwat-sian lagi, "Orang yang mengetahui nama Tay-seng-ci-lau sedikit sekali jumlahnya, yang bisa menyelami intisarinya jarang pula terdapat. Sebaliknya begitu kau melihat Tay-seng-ci-lau dengan gugup lantas suruh Siau-hou mengembalikan, dapatlah diselami bahwa kau pasti sudah paham akan Tay-seng-ci-lau itu, malah hatimu juga baik dan lurus!" Diam-diam mengeluh hati Thian-hi, setiap tujuan gerak-geriknya seolah-olah telah dipaparkan secara jelas dihadapan Ma Gwat-sian. "Pada malam itu, ada seseorang datang menyatroni engkohku, setelah orang itu pergi salah seorang pengawal telah dibunuh oleh engkohku. Tapi pengawal itu mengeluarkan suara lebih dulu, sebetulnya tiada alasannya dia berteriak kecuali ada seseorang yang memaksanya begitu. Dan lagi dalam gedung kita ini tiada orang lain kecuali kau!" Thian-hi bungkam seribu busa, tak kuasa ia mendebat. menunduk saja tanpa bersuara. Ma Gwat-sian tersenyum. ujarnya, "Itu melulu analisaku yang cukup cermat belaka. untung benar-benar semuanya. Guruku sudah menghapus jejak yang kau tinggalkan itu, kau tak usah kuatir." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Gurumu itu pasti seorang aneh yang kosen, aku tiada jodoh untuk menghadap menyatakan terima kasih kepada beliau, harap kau suka mewakili aku menyatakan hormat dan sembah sujudku." "Kenapa begitu sungkan, sekarang apa kau pasti hendak pergi" Atau tetap tinggal disini?" Thian-hi beragu dan tak bersuara. "Menurut aku, aku harap kau tetap tinggal disini. urusan disini belum selesai, masih banyak hal yang harus kuminta bantuanmu. Akhirnya tanpa bersuara Thian-hi manggut-manggut setuju. Benar-benar juga besok paginya Thian-hi diangkat menjadi Bu-wi Ciangkun, kedudukannya sebagai komandan Gi-lim-kun. Setelah lewat lohor, tuan putri minta Thian-hi menyiapkan kereta, dia ingin mengendalikan kereta pergi pesiar. minta Thian-hi sebagai pengiringnya. Terpaksa Thian-hi turuti permintaannya, tak lupa iapun menyiapkan tunggangannya. Tak lama kemudian tuan putri sudah berdandan mengenakan seperangkat pakaian ketat serba merah langsung naik ke atas kereta, katanya kepada Hun Thian-hi, "Kau harus hati-hati menguntit dibelakangku jangan sampai ketinggalan!" Selesai berkata kudanya segera dibedal dengan kencang. Thian-hi membawa empat orang pengikut. Begitu enam ekor penarik kereta tuan putri membedal kencang bersama pengikutnya Thian-hi segera menyusul. Setelah keluar dari pintu selatan mereka berputar-putar mengelilingi kota tiga putaran lalu luruS menuju ke selatan. Menginsafi tugasnya yang berat Thian-hi tidak berani lena dengan kencang iapun mengikuti dibelakang. keenam ekor kuda penarik kereta, adalah kuda pilihan, keruan keempat pengikutnya itu jauh ketinggalan dibelakang. Hun Thian-hi sendiri juga ketinggalan beberapa tombak dibelakang. Entah berapa jauh dan berapa lama mereka seolah-olah berlomba, akhirnya tuan putri memperlambat lari keretanya. Lambat laun Hun Thian-hi dapat mengejar dekat, sambil memandang ke arahnya tuan putri tersenyum geli. sambil membetulkan letak rambutnya ia berkata, "Selamanya belum pernah ada orang mampu mengejar aku sedemikian dekat!" Setelah dekat Thian-hi merogoh keluar seruling batu Giok putih itu dikembalikan kepada tuan putri. katanya, "Tempo hari tuan putri lupa membawa kembali seruling ini, harap tuan putri suka terima kembali." "Tidak usah. kuberikan kepadamu!" Thian-hi melengak, tuan putri berkata lagi, "Sebetulnya aku tidak bisa meniup seruling kau ambil saja!" "Aku sendiri sudah punya, harap tuan putri suka terima kembali." "Kenapa?" tanya tuan putri kurang senang. "Apa kau tidak sudi menerima pemberianku" Serulingmu sendiri itu justru sangat baik, kalau kau ingin kembalikan, boleh ditukar dengan milikmu itu saja!" Thian-hi menjadi serba sulit. katanya, "Sebetulnya serulingku itu harus dipersembahkan kepada tuan putri, soalnya seruling Itu pemberian seorang Cianpwe sebagai kenang2an tak boleh hilang!" Tuan putri mendengus hidung, waktu berpaling dilihatnya keempat pengikut itu sudah kelihatan bayangannya, pecutnya segera terayun "tar!" keenam kuda penarik kereta itu segera mencongklang lagi seperti kesetanan. Terpaksa Thian-hi menyimpan seruling dan mengejar lagi. Kali ini tuan putri membelokkan keretanya memasuki hutan pegunungan, keretanya menjadi bergoyang2 seperti menari2 di atas pegunungan yang belukar dan tidak rata itu. Thian-hi menjadi kuatir, betapa pun baiknya tuan putri dapat mengendalikan kereta. namun dijalanan yang tidak rata ini bukanlah mustahil nanti bisa terjadi sesuatu diluar diluar dugaan. Dengan sekuat tenaga dan segala daya upaya Thian-hi berusaha mengejar, namun tunggangan sendiri kalah kalau dibanding keenam kuda pilihan penarik kereta itu, jarak mereka tetap beberapa tombak. Mendadak didengarnya Tuan putri menjerit2 ketakutan, Thian-hi terkejut dan membedal maju. tampak keenam kuda itu berdiri berbareng dan menjadi beringas liar ketakutan, Kiranya tak jauh disebelah depan sana tampak dua ekor beruang besar tengah mendatangi pelan-pelan, tuan putri menjadi pucat ketakutan. Thian-hi sangat kalut, cepat ia lonmpat turun seraya melolos pedangnya. lalu memburu ke depan mencegat di depan kedua biruang besar itu. "Tio Gun" teriak tuan putri. "Lekas kembali, seorang diri mana kau mampu melawan!" Terlihat oleh Thian-hi kedua biruang ini jauh lebih besar dan tinggi dari tubuhnya sendiri, tinggi kepalanya hanya sebatas pinggang kedua ekor biruang itu. Diam-diam ia heran dan kejut akan kebesaran kedua ekor biruang ini, namun mana Thian-hi gentar menghadapi kedua binatang ini. Katanya tertawa, "Tuan putri tak perlu takut, hari ini anggap saja kita berburu biruang." Melihat Thian-hi berani maju sambil menenteng pedang, kedua ekor biruang itu seperti merasa heran dan saling pandang, sambil mengaum keras serempak menubruk ke arah Thianihi. Thian-hi juga membentak keras, badannya berkelit menyingkir ke samping, seluruh tenaga dikerahkan ditangan kanan begitu sebat gerak geriknya, begitu berada disamping kiri salah seekor biruang itu. kontan pedangnya lantas bekerja menusuk ambles seluruh batang pedangnya ke dalam lambungnya. Biruang itu menggerung kesakitan dan murka. seekor yang lain segera mengulur sebelah tangannya mengemplang kekepala Thian-hi. Thian-hi berusaha menutupi kepandaian sendiri, sambil menarik pedangnya ia melompat berkelit lagi rada jauh, dari kejauhan ini segera ia ayun pedangnya, laksana anak panah selarik sinar pedangnya meluncur ke depan dan ambles seluruhnya kedada biruang yang lain itu. Meski terluka berat kedua biruang itu masih belum mati, namun sebelum ajal mereka pantang menyerah, berbareng menggerung keras terus menubruk maju lagi dengan cakar terpentang! Tatkala itu jarak mereka semakin dekat, keruan tuan putri menjerjt ketakutan. dilihat pula oleh Thian-hi keenam ekor kuda itu tak jauh disebelah sana, sedikit beragu kedua ekor biruang itu sudah menyerbu datang. tanpa banyak pikir lagi mulut Thian-hi bersuit nyaring, Pan-yok-hiankang yang dilatihnya selama beberapa lama ini segera digunakan. seenaknya saja ia menepuk ke depan. kontan kedua ekor biruang yang tinggi besar itu diterpa gelombang tenaga pukulan yang dahsyat sehingga terpental tiga tombak jauhnya, rebah tak berkutik lagi. Sekian lama Thian-hi berdiri menjublek. hatinya sungguh sangat menyesal, tidak seharusnya ia melancarkan Pan-yok-hian-kang, bagi seseorang yang punya landasan pelajaran silat, begitu melihat seluruh isi perut kedua biruang ini hancur luluh pasti mereka bakal tahu bahwa keduanya terpukul mati oleh sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat hebat. Tengah ia tenggelam dalam pikirannya. tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba pundaknya, kontan ia tersadar dari lamunannya. tampak tuan putri berdiri di depannya, kelihatannya ia sangat takut sehingga seluruh tubuhnya lemas lunglai hampir roboh. Serta merta Thian-hi harus memajangnya katanya: Tuan putri tak perlu takut lagi!" Saking lemas tubuh tuan putri lantas menggelencut ke dalam pelukan Thian-hi. katanya, "Disini tiada orang lain, tak usah kau panggil aku tuan putri, aku bernama Ih-gi!" Tergetar hati Thian-hi, cepat ia memajangnya berdiri. katanya, "Tuan putri! Biruang itu sudah mampus, silakan tuan putri berdiri, tak usah takut!" Setelah berdiri tegak dengan berang tuan putri pandang Thian-hi, katanya, "Apa kau tidak suka kepada aku?" Merah jengah dan panas muka Thian-hi, jawabnya tergagap, "Tuan putri berbadan agung berkedudukan tinggi. mana bisa aku...." "Bukankah kau sendiri sekarang sebagai panglima tinggi yang pegang kekuasaan. masa kau tidak berani menyukai aku?" Thian-hi menghela napas, katanya, "Tuan putri kau dan aku baru bertemu beberapa kali, mana bisa membicarakan soal ini." Tuan putri cemberut dan kurang senang, tanyanya. "Kudengar Ma-ciangkun punya seorang adik perempuan, apa benar-benar?" "Benar-benar, tapi apa sangkut pautnya dengan kau?" Tuan putri menjengek tanyanya, "Apakah kau pernah bertemu dengan dia" Thian-hi manggut-manggut. "Sejak lama sudah kudengar bahwa dia punya seorang adik perempuan yang sangat cantik, tapi selamanya belum pernah keluar pintu, tiada seorang pun yang pernah melihat dia, banyak orang mengajukan lamaran semuanya gagal, dia cantik bukan?" Bicara sampai disini tuan putri menjadi rawan, pelan-pelan ia menunduk. dilain saat ia angkat kepala dan bertanya tegas, "Jangan kau bohongi aku. Sebetulnya kau suka aku atau suka dia." Thian-hi terlongong sekian lamanya, dilihatnya sikap tuan putri begitu murung dan sedih sungguh sangat kasihan, setelah menarik napas, ia berkata, "Kejadian di dunia ini siapa yang berani mengira sebelumnya!" Sungguh dia tidak mengira setelah berada di Thian-bi-kok ini dia harus menghadapi berbagai kesulitan ini. Angkat kapala dilihatnya tuan putri masih menantikan jawabannya, terpaksa ia berkata, "Tuan putri! Menurut hemadku, tidak lebih kita sebagai sahabat yang baru berkenalan saja!" Tuan putri membalikkan tubuh dengan jengkel langsung ia naik ke atas kereta. Thian-hi memburu datang serunya berteriak, "Tuan putri tak boleh menuju ke dalam sana." Tak usah kau urus aku!" semprot tuan putri gusar Keretanya dilarikan lagi ke depan dengan cepat, Thian-hi menjadi gugup dan berteriak-teriak, terpaksa ia memburu dengan kencang. untung jalanan disebelah depan sangat jelek lari kereta menjadi lambat, Thian-hi bisa mengejar semakin dekat. Akhirnya kereta berhenti juga karena jalan terlalu sempit. Thian-hi lantas tampil ke depan serta berkata, "Tuan putri. mari putar haluan saja!" "Tidak mau. Kau temani aku disini, orang lain takkan mampu mencari kemari." Begitulah tuan putri merengek2. Thian-hi angkat pundak tanpa bersuara. Begitulah mereka berdiri tanpa bersuara, sejenak kemudian tuan putri membuka suara, "Hatiku kesal, coba kau tiup serulingmu untuk menghibur hatiku." Apa boleh buat Thian-hi keluarkan serulingnya. di lain saat irama yang merdu mengasjikkan mengalun merdu di alam pegunungan yang sunyi, dengan asjik dan menjublek tuan putri mendengarkan tanpa merasa air mata mengalir membasahi pipinya yang putih molek, setelah lagunya habis, ia lantas berkata sesenggukkan, "Kenapa kau bersikap dingin terhadap aku?" Thian-hi tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. sesaat kemudian baru ia bersuara, "Citacita dan tujuan hidup kita berlainan, kau dan aku bukan manusia dalam satu tingkatan." Tuan putri terlongong memandang Thian-hi katanya, "Yang kuinginkan hanyalah kau. Apabila kau megejar kedudukan pangkat dan harta, semuanya dapat kuberikan kepada kau, apakah kau menyangsikan kemampuanku?" Thian-hi tersenyum, ujarnya, "Banyak kejadian di alam fana ini yang belum diketabui oleh tuan putri, tak pernah terpikir olehku untuk mengejar pangkat dan harta, yang terang memang tuan putri bersikap sangat baik terhadap aku. sungguh aku harus nyatakan banyak terima kasih, menurut pendapatku tuan putri tak lain karena terburu oleh perasaan belaka, dulu aku juga pernah mengalami hal demikian.' "Bukan begitu jalan pikiranku, kau pandai silat dan pintar sastra lagi, apalagi watakmu cukup baik dan lurus, tidak seperti putra Tan-siangkok itu, sikapnya takabur dan licik. Kau punya bakat sebagai pemimpin, calon suamiku kelak pasti dapat mewarisi kedudukan raja. menurut pilihanku kaulah yang paling tepat!" Thian-hi tertawa getir, katanya, "Kelak kau akan tahu sendiri bahwa justru aku Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang yang paling tidak tepat." Tuan putri menunduk menepekur, beberapa lamanya tak bersuara lagi. "Tuan putri," panggil Thian-hi pelan-pelan, "aku bicara menurut kenyataan." suaranya begitu lirih hampir kupingnya sendiri juga tak dapat mendengar. Mereka menjadi menjublek di tempat masing-masing tanpa bersuara sampai sekian lamanya. Akhirnya Thian-hi yang membuka kesunyian lagi, "Cuaca hampir gelap, kita harus lekas pulang!" Dengan menunduk tuan putri memutar keretanya kembali, dia biarkan saja keenam kuda putih itu berjalan pelan-pelan, kedua biji matanya lempang mengawasi depan tanpa berkesip, seolaholah tenggelam dalam pemikiran yang tiada berujung pangkal. Dengan menunggang kuda Thian-hi berjalan disisi kereta, dari samping terlihat olehnya rambut tuan putri yang terurai dihembus angin memanjang, ujung matanya basah oleh air mata. Sambil menghela napas ia menunduk tak berani melihat lagi. Begitulah dengan legak-legok kereta itu akhirnya sampai juga di jalan raja, jauh di ufuk barat sana sang surja sudah hampir tenggelam. Keempat anggota Gi-lim-kun itu dengan gelisah masih menanti diluar hutan. Setelah tiba di istana, Thian-hi rasakan seluruh badannya capai, setelah makan malam ia terus masuk kamar berlatih. Pan-yok-hian-kang. Tapi sekian lama ia menjadi gundah karena pikirannya tak bisa tenteram. Akhirnya dengan kesal ia berjalan keluar dan mondar-mandir di serambi panjang lalu meronda ke berbagai pos penjagaan, tampak rombongan demi rombongan pasukan Gi-lim-kun mondar mandir meronda, tanpa tujuan kakinya melenggong sampai ufuk timur mulai terang. Hari kedua dari istana dalam didapat kabar bahwa tuan putri rebah di tempat tidur tak bisa bangun, jatuh sakit. Diam-diam Thian-hi menghela napas. Setelah piket, Ma Bong-hwi mengundangnya Thian-hi kerumahnya, tapi Thian-hi takut bertemu dengan Ma Gwat-sian, menggunakan alasan kerena repot di istana, ia menolak ajakan itu. Tak lupa ia menanyai alamat tempat tinggal Tan-siangkok, Ma Bong-hwi rada sangsi, namun akhirnya memberi tahu juga. Diam-diam Thian-hi sudah berkeputusan untuk menyatroni gedung kediaman Tansiangkok untuk membuat penyelidikan, orang macam apakah sebenar-benarnya Tan-siangkok itu, setelah segala urusan disini dapat dibereskan lebih baik akupun harus segera membebaskan diri dari segala kerepotan. Baru saja cuaca menjadi gelap Thian-hi lantas salin pakaian hitam yang ketat. Gedung kediaman Tan-siangkok juga berada di Thian-seng ini, segera ia beranjak menuju ke gedung Tansiangkok. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu gedung Tan-siangkok, setelah celingukan tak melihat bayangan orang, sekali berkelebat enteng sekali ia lompat naik ke atas tembok lalu melejit lebih tinggi ke atas wuwungan. Pelan-pelan ia menggeremet maju terus loncat turun ke sebuah taman bunga. Baru saja kakinya menyentuh tanah, di dalam keremangan malam terdengar seseorang bicara, "Tan Su! Hari sudah gelap! Lekas lepaskan anjing!" Terkejut Thian-hi, sebat sekali tubuhnya melejit tinggi hinggap di atap rumah. Dengan seksama ia awasi keadaan sekelilingnya, didapatinya gedung Tan-siangkok ini jauh lebih besar dan megah dibanding gedung Ma-ciangkun, empat penjuru dikelilingi tembok tinggi dan pohonpohon rindang dan tanam2an kembang. Di lain saat terlihat oleh Thian-hi bayangan hitam besar2 berlari-lari kian kemari, Thian-hi dapat melihat tegas itulah anjing2 besar sebangsa serigala yang buas. Baru saja ia berniat maju lebih lanjut ke dalam, tiba-tiba pintu besar terbuka, dari luar masuk seseorang. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, karena dilihatnya orang yang baru datang ini tak lain tak bukan adalah Ing-ciangkun Ing Si-kiat. Thian-hi berpikir, ternyata benar-benar orang ini tidak bisa dipercaya, malam2 dia kemari tentu punya intrik dengan Tan-siangkok. Tidak salah kecurigaan Ma Gwat-sian terhadapnya. Tampak Ing Si-kiat menggunakan pakaian preman, Tan-siangkok sendiri menyongsong keluar menyambut tamunya ini, setelah sekedar sapa sapi mereka masuk bersama. Diam-diam Thian-hi menguntit mereka dari atas genting. Mereka memasuki sebuah ruang besar, empat penjuru ruang besar itu terjaga ketat, dengan hati-hati Than-hi berkelebat keluar terus sembunyi di bawah pajon untuk mencuri dengar. Terdengar Tan-siangkok bertanya kepada Ing Sikiat, "Apakah Ing-ciangkun tahu asal usul Tio Gun itu?" Ing Si-kiat menjawab, "Ma Bong-hwi cukup percaya kepada aku, namun soal ini dia tidak pernah beritahu kepada aku, aku sendiri juga tidak enak menanyakan!" Diam-diam hati Thian-hi, pikirnya; Ing Si-kiat ternyata sedang menyelidiki asal usulku terang memang sekongkol dengan Tan-siangkok. Tapi entah apa yang sedang hendak mereka lakukan. Tan-siangkok mengerutkan alis, katanya, "Tio Gun itu memang cukup menyebalkan, ilmu silatnya benar-benar hebat, Baginda kelihatannya sangat sayang dan bangga kepadanya. Sebetulnya Komandan Gi-lim-kun dijabat oleh adikmu, kini berada di tangannya, kukira urusan akan lebih menyulitkan kita!" Bercekat hati Thian-hi, batinnya, "Ternyata mereka hendak berontak, tak heran Ma Gwat-sian bilang kecuali peristiwa kehilangan barang-barang mestika itu, Thian-bi-kok ini masih punya bencana lain yang bakal terjadi." "Entah bagaimana dengan putramu itu" terdengar Ing Si-kiat bertanya.... Tan-siangkok mendengus, sahutnya, "Dia kurang becus, tuan putri melirik pun tidak mau melihat dia!" "Menurut berita yang kuperoleh dari Gi-lim-kun, katanya tuan putri sangat simpatik terhadap Tio Gun, apalagi sebelum ini mereka sudah pernah berjumpa." "Apa benar-benar?" Tan-siangkok menegas. Ing Si-kiat manggut-manggut. Thian-hi menjadi was-was, ternyata diantara anggota pasukan Gi-lim-kun itu ada mata2 pihak musuh, tak heran orang itu tempo hari begitu leluasa melenyapkan dirinya. Memang pejabat komandan Gi-lim-kun yang terdahulu adalah adik kandung Ing Si-kiat, maka tak perlu dibuat heran bahwa diantara mereka masih ada terdapat bawahan kepercayaannya. Setelah kembali nanti aku harus mengadakan razia dan pembaharuan di dalam tubuh Gi-lim-kun. Tan-siangkok berjalan mondar-mandir, katanya, "Tio Gun ini lebih menakutkan dari Ma Bonghwi, bagaimana juga orang ini harus dilenyapkan." "Kelihatannya Baginda juga semakin ceroboh, mengangkat orang tanpa tahu asal usul orang itu, hanya mengandal kesenangan hati belaka." Tan-siangkok mendengus dua kali, katanya, "Apakah dia tidak mencari tahu siapakah dalang pencurian barang-barang mestika itu?" - pada perkataannya penuh rasa cemooh dan membanggakan diri sendiri. Merandek sejenak lalu melanjutkan, "Tuan putri justru sangat teliti dan cermat, Goan-mo anakku itu kiranya tidak memenuhi seleranya! Jah, apa boleh buat!" "Kalau Tio Gun disingkirkan kukira putramu masih punya harapan. Angkat dia sebagai komandan Gi-lim-kun, tanggung kelak ia bakal menonjol diantara rekan2nya." Tan-siangkok berhenti lalu mendongak memandang atap rumah, di lain saat ia mondar-mandir lagi, katanya: .,Toh-ciatsu situa renta itu tak perlu ditakuti, dulu hanya Ma Bong-hwi seorang, dia pegang kekuasaan militer, sekarang tambah lagi seorang Tio Gun." "Sepak terjang Tio Gun selama ini rada mencurigakan, entah darimana Ma Bong-hwi menemukan bocah keparat itu." Tan-siangkok berhenti lagi memandang Ing Si-kiat. katanya, "Jika tiada Ma Bonghwi dan tak ada Tio Gun pula, apa pula yang hendak kau lakukan?" Ing Si-kiat tertawa, sahutnya, "Meskipun Ma-ciangkun berdinas luar, tapi kekuatan tentaranya jauh lebih kuat dari aku, apalagi bala tentaranya juga jauh lebih terlatih, melulu Tio Gun dan ratusan pasukan Gi-lim-kun tak perlu dibuat takut." "Jikalau tiada mereka berdua, pasti Toh-ciatsu takkan berani banyak bacot. Tatkala itu putraku bakal dapat menumpas huru-hara dan mendirikan jasa dan memperoleh pahala, jikalau kita melamar putrinya, Baginda tak bisa tidak mesti menerima pinangan ini." Thian-hi semakin jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya. Kiranya Tan-siangkok sedang berusaha supaya putranya menikah dengan tuan putranya menikah dengan tuan putri, supaya kelak dapat mewarisi kedudukan raja, dengan jalan yang licik tapi cukup nyata ini tentu tiada seorangpun yang tidak akan tunduk. Ing Si-kiat tertawa, katanya, "Baginda raja tentu akan setuju!" Tan-siangkok juga tertawa senang, ujarnya, "Kali ini tidak mungkin menggunakan ular lagi. Tak kukira Tio Gun itu pandai menangkap ular!" Ing Si-kiat berpikir sekian lama, katanya, "Bagaimana menurut pendapat Tansiangkok?" Tan-siangkok menyeringai sinis, dari atas rak buku diambilnya alat2 tulis terus menulis apa-apa di atas telapak tangannya. Melihat huruf2 itu Ing Si-kiat tertawa, katanya, "Akupun punya maksud demikian." - terdengar gelak tawa mereka yang keras kumandang. Thian-hi tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan, tapi samar-samar ia dapat meraba tentu mereka merencanakan sesuatu yang bertujuan jahat, entah tipu daya jahat apa lagi yang sedang mereka rancang. Terdengar Ing Si-kiat berkata, "Cara ini dapat membabat rumput sampai keakar2nya, cukup kita hadapi Tio Gun itu dengan cara yang lebih hati-hati saja!" Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, "Untuk pelaksanaannya kuharap Ing-ciangkun membantu sekedarnya." "Ah, kenapa Tan-siangkok begitu sungkan" Untuk pelaksanaan rencana ini harap Tan-siangkok memikirkan lebih matang." "Urusan jangan terlambat, pukul besi mumpung masih panas, Tio Gun baru saja diangkat menjadi panglima, kesempatan inilah yang paling baik untuk melaksanakan rencana itu." "Menurut maksud Tan-siangkok...." "Besok saja!" "Besokpun baik, tapi kalau rencana kali ini gagal belakang hari tentu bakal menimbulkan bibit bencana." "Besoklah saatnya pembukaan dasar. masa kita tidak berlaku hati-hati. Bagaimana menurut pendapat Ing-ciangkun mengenai pasukan yang berada di Bi-seng itu?" "Yang aku kuatirkan hanyalah Ma Bong-hwi seorang, orang lain sedikit pun tidak kupandang sebelah mataku." Lalu mereka bergelak tawa sambil berjabatan tangan. Ing Si-kiat lalu bangkit dan minta diri, katanya, "Sekarang aku minta diri, rencana kerja di dalam seluruhnya tanggung jawab Tansiangkok, mengenai penjagaan diluar akulah yang akan mengatur." Tan-siangkok bangkit mengantar tamu, sahutnya, "Aku tak menahanmu lebih lama lagi, waktu terlalu mendesak, harap Ing-ciangkun banyak membantu...." Ing Si-kiat tertawa sambil manggut-manggut, mereka berjajar keluar pintu. Thianhi berkelebat di atas wuwungan, dilihatnya Tan-siangkok mengantar Ing Si-kiat sampai di pintu luar. Thian-hi menghirup napas panjang, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, sebat sekali tubuhnya melesat terbang keluar dari lingkungan Gedung Tan-siangkok ini, terdengar anjing di bawah meng-gonggong2 bersahutan Terpaksa Thian-hi mendekam di atas pojokan atap tanpa berani bergerak, seluruh gedung menjadi ribut dan ramai, tak lama kemudian baru kembali menjadi sunyi. Sementara itu hati Thian-hi masih menerawang, entah tipu daya apa yang sedang direncanakan oleh kedua orang itu, dalam pada itu ringan sekali kakinya melangkah bagai terbang berlari menuju keistana raja. Dari kejauhan tampak istana yang megah menjulang tinggi, tanpa terasa terbayang olehnya muka tuan putri yang sedih menangis, pelan-pelan ia menghela napas. Begitu sampai diistana Thian-hi langsung kembali ke kamarnya. Ternyata Ma Bonghwi sedang menunggu disana. Begitu melihat Thian-hi pulang segera Ma Bong-hwi memapak maju serta tanyanya, "Lote, kau menyelidik ke gedung Siangkok bukan?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi tidak menduga hari sudah begitu malam namun Ma Bong-hwi masih berada di tempatnya, sebagai jawaban ia manggut-manggut saja "Lote," kata Ma Bong-hwi, "Bukan aku suka cerewet sebetulnya tindakanmu ini terlalu bahaya, di dalam gedung Tan-siangkok ada memelihara ratusan anjing2 galak, sekali jejakmu konangan. pasti kau bakal menghadapi banyak rintangan." "Ucapan Toako memang benar-benar, malam2 Toako kemari entah ada urusan apa?" "Bukan keperluanku adikku yang mengundang kau kesana, ada omongan yang perlu dikatakan kepada kau." Berdetak jantung Thian-hi, Ma Gwat-sian mencari aku" Malah ada urusan lagi. kelihatannya urusan yang cukup genting! Thian-hi terlongong. Ma Bong-hwi mendesak, "Marilah sekarang juga berangkat, dalam istana tiada pekerjaan penting, malam ini kau menginap dirumahku saja," Apa boleh buat Thian-hi segera ganti pakaian, setelah memberi pesan kepada anak buahnya bersama Ma Bong-hwi naik kuda terus berangkat. Tiba dipintu gerbang kota, kebetulan bersua dengan Ing-ciangkun. Begitu melihat mereka berdua Ing Si-kiat segera maju menyapa, "Kiranya saudara Ma dan Tio-lote! Hendak kemana kalian?" "Ternyata Ing-ciangkun, Ing-ciangkun selalu berdinas ronda sungguh tidak mengenal lelah, kami hendak pulang kerumah Ma-ciangkun." "Tentu kalian punya urusan penting! Silakan!" segera ia perintahkan membuka pintu. Cepat Thian-hi berdua mencohgklang kuda keluar. Langsung mereKa menuju ke Bi-seng. ditengah jalan Ma Bong-hwi menutur bahwa Siau-hou sangat kangen bertemu dengan Thian-hi. Thianhi tertawa senang, setelah sampai langsung mereka masuk keruang belakang. Thian-hi segera menyampaikan salam kepada Ma-hujin serta, menjumpai Siau-hou. Tak lama kemudian tampak Ma Gwat-sian juga keluar. Setelah bercakap-cakap sekadarnya Ma Bong-hwi dan istrinya minta diri sambil menyeret Siau-hou masuk ke dalam. Ma Gwat-sian unjuk senyuman manis, Thian-hi membalas dengan senyuman pula. Kata Thian-hi, "Kudengar katanya kau punya urusan dengan aku, apa benar-benar?" "Benar-benar. mungkin bagi kau cukup penting, sebab guruku sudah tahu sebab musabab kau sembunyi dinegara kecil ini, tak lain untuk menghindari bencana bukan?" Terkejut Thian-hi, berubah air mukanya, katanya tersekat, "Gurumu...." "Beberapa hari yang lalu guruku baru pulang dari perjalanannya ke Tionggoan, beliau rada kurang percaya akan sepak terjangmu dulu, beliau berkata kau bukan orang macam itu. Tetapi kenyataan kau sembunyi di tempat ini!' "Adakah orang lain pula yang mengetahui?" "Kau tak usah gelisah." ujar Ma Gwat-sian, "Hanya guruku dan aku saja yang tahu. Menurut guruku hanya ingin mencari tahu dulu, apakah berita itu dapat dipercaya." Thian-hi mandah tertawa ewa, seolah-olah ia mendapat firasat apa-apa sampai pada tahap sekarang agaknya aku tidak usah pedulikan segala tetek bengek lagi. katanya, "Adakah gurumu membicarakan keadaan di Tionggoan?" Sekian lama Ma Gwat-sian pandang Thian-hi lalu katanya tertawa, "Situasi di Tionggoan sangat kalut, katanya banyak gembong-gembong iblis bermunculan membuat huru hara.... Tiada seorang toKoh kosen dari aliran lurus yang mampu mengatasi gelombang huru hara ini." Thian-hi manggut dengan maklum, tahu ia bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah lolos, tentu dia bakal menimbulkan keonaran, entah apakah Tok-sim-sin-mo juga sudah berhasil lolos, kalau dihiturg waktunya, perjanjian Soat-san-su-gou dengan Bu-bing Loni bakal habis waktunya, entah apakah beliau bisa mencari dirinya di tempat ini. "Apakah kau masih punya sanak kadang di Tionggoan?" demikian Ma Gwat-sian main selidik. "Guruku masih hidup, aku punya seorang taci angkat, entah bagaimana keadaan mereka." Ma Gwat-sian menunduk, sesaat kemudian bertanya, "Orang lain adakah yang membuat hatimu rindu padanya?" "Memang banyak orang di Tionggoan menyangka aku ini sesuai dengan berita yang tersebar luas itu, namun banyak pula orang-orang yang menanam budi kepada aku, selamanya hatiku terkenang dan berterima kasih kepada mereka." demikian Thian-hi berdiplomasi. Ma Gwat-sian tertawa, katanya, "Thian-bi-kok ini selamanya melarang orang asing menyelundup kemari, memang orang luar tidak akan mampu datang kemari. Kalau kau diketahui datang dari Tionggoan pasti kau akan mengalami kesulitan." "Terima kasih akan peringatanmu ini, aku pun terpaksa datang kemari...." "Asal guruku tidak membuka rahasia ini. selamanya tidak akan ada orang tahu." "Kukira tidak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, kedatanganku ini tidak punya perhitungan untuk menetap selamanya disini." Ma Gwat-sian rada melengak, katanya, "Benar-benar kau hendak pergi?" "Ya, aku tidak bisa menetap terlalu lama disini. Banyak urusan yang harus kukerjakan di Tionggoan, tak bisa aku menyembunyikan diri saja disini." "Apa kau tidak takut" Apakah kau unggulan melawan mereka?" "Seumpama tidak unggulan aku juga harus pulang ke sana." "Kau tak usah kuatir," ujar Ma Gwat-sian lirih, "Aku bisa minta guruku bantu kau, asal beliau mau, kau tentu tak perlu kuatir lagi. Ketahuilah gunung gemunung di belakang Thian-seng yang bernama Thian-ting itu, banyak bersemajam orang-orang aneh, guruku adalah orang aneh diantara orang-orang aneh itu." "Ada kalanya suatu urusan yang tidak bisa diselesaikan dengan bantuan orang luar, apalagi gurumu sekarang sedang menyelidiki keadaanku, betapapun tak mungkin membantu, untuk kebaikan ini, aku terima setulus hati." "Sekarang kau tak usah gelisah, segalanya akulah yang mengatur, guruku tidak akan bertindak terhadap kau." "Terima kasih akan kebaikanmu ini." ujar Thian-hi tertawa dibuat-buat. "Tak perlu sungkan, bagaimana keadaanmu di istana?" "Cukup baik!" "Tadi pagi engkohku mengundang kau kemari, kenapa kau tak mau datang?" "Aku baru saja terima jabatan, disana ada urusan pula maka tiada senggang kemari." "Hun-toako," ujar Ma Gwat-sian menunduk, suaranya lirih, "Aku merasa....seolaholah kau segan bertemu dengan aku!." "Tak ada kejadian itu!" cepat Thian-hi menyahut gugup. "Kau tak usah kelabui aku," ujar Ma Gwat-sian lirih, "aku sudah tahu! Tapi aku tidak tahu kenapa kau tak sudi bertemu dengan aku!" "Mana ada kejadian begitu, hubungan kami seperti saudara sekandung, mana bisa aku tak sudi bertemu dengan kau!" Ma Gwat-sian angkat kepaja mengawasi Thian-hi dengan seksama, katanya, "Coba beritahu aku apakah karena urusan tuan putri, kemarin siang kau keluar pesiar bersama tuan putri, pulangnya air muka tuan putri rada berbeda dengan keadaan biasanya, hari ini kudengar kabar dia jatuh sakit lagi! Kenapa?" Sungguh gugup dan gelisah hati Thian-hi, kata-kata Ma Gwat-sian memang tepat dan sulit untuk dielakkan, terpaksa ia menjawab, "Tiada kenapa, di atas gunung kami berjumpa dengan dua ekor biruang yang tinggi besar, dia ketakutan tapi biruang itu berhasil kubunuh." "Kukira bukan itu sebabnya, aku tahu watak tuan putri, tak mungkin karena gangguan kedua ekor biruang itu lantas menjadi murung, kedua ekor biruang itu tak perlu dibuat heran, semestinya dia perintahkan orang untuk mengangkutnya pulang serta memberikan pujian muluk2 kepada kau, tapi semua ini tak pernah terjadi." "Tapi kami memang benar-benar disergap oleh kedua ekor biruang itu." Thian-hi meng-ada2 membela diri. "Jadi kau sudah mengakui bukan karena kedua ekor biruang itu sehingga tuan putri bersikap dingin dan murung. Pasti ada kejadian lain yang lebih penting lagi, kalau tidak tak mungkin dia begitu sedih sampai jatuh sakit!" "Tuan putri adalah putri tunggal Baginda, kelak dialah yang bakal mewarisi kedudukan ayahnya, ada omongan yang tidak bisa ku utarakan." "Beritahu kepadaku," tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, "Apakah dia. jatuh hati kepada kau?" Bergetar tubuh Thian-hi, kepalanya terangkat ia mengamati Ma Gwat-sian, katanya, "Kenapa kau bisa memikirkan ke arah itu?" "Betul bukan?" ujar Ma Gwat-sian bangkit berdiri sambil tertawa-tawa, "Kudengar dari engkohku katanya kau pernah bertemu dengan dia dalam istana, tentu sikapnya sangat simpatik terhadap kau. Kau jauh lebih kuat dan baik dibanding putra Tan-siangkok. Kau dapat menduduki jabatanmu sekarang sebagai Komandan Gi-lim-kun kukira dia punya andil yang cukup besar." Thian-hi menjadi sebal, segera ia mengalihkan pembicaraan, katanya, "Tadi baru saja aku menyelidiki ke gedung Tan-siangkok. Disana kulihat Ing-ciangkun sedang mengadakan perundingan rahasia." "0," Ma Gwat-sian mengiakan, katanya, "Mereka sedang berunding cara bagaimana untuk menghadapi kalian bukan?" "Akhirnya Tan-siangkok menulis entah apa di atas telapak tangannya, dia tidak membacakan, jadi akupun tidak tahu apa sebenar-benarnya rencana mereka." - lalu secara singkat jelas ia menceritakan pengalamannya kepada Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian berpikir, katanya, "Kelihatannya mereka sudah mempersiapkan segalanya, menggunakan kekuatan tentara lagi untuk menghadapi kau dan engkohku. Tentu besok mereka akan mengadakan Hong-bun-yam (perjamuan) mengundang kalian berdua." Thian-hi juga berpikir demikian, namun ia bertanya, "Tapi kenapa menggunakan cara halus dan mempersiapkan kekuatan lagi?" "Untuk perjamuan itu kukira mereka sudah mempersiapkan arak beracun, sepihak menggunakan tipu daya yang licik. dipihak lain sudah mempersiapkan bala tentara, bila rencana licik terbongkar mereka menggunaKan kekuatan pasukannya untuk menumpas kamu." "Kiranya begitu!" ujar Thian-hi bingung. "Tidak bisa tidak kalian harus hadir dalam perjamuan itu, kalau tidak pergi berarti kalian sudah secara terang-terangan berdiri dipihak yang berlawanan. Apa-lagi Ing-ciangkun juga pasti hadir, mungkin pula Toh-ciatsu juga diundang, kalau kalian pergi jangan sekali2 minum arak. Thian-hi manggut-manggut. katanya, "Mereka menyiapkan tentara, cara bagaimana mengatasinya?" "Urusan itu aku tidak tahu dan bukan bidangku, silakan kau tanya engkohku saja. Perjamuan besok malum itu sangat penting. merupakan titik tolak dari segala keselamatan negara, jangan sekali2 dihadapi secara serampangan. Selamanya engkohku anggap Ing Si-kiat sebagai sahabat lama, Ing Si-kiat tidak akan mencelakai jiwanya, tepat pada waktunya harap kau suka menjaga dan melindungi dia!" "Sudah tentu aku akan berusaha sekuat tenaga dan kemampuanku betapapun aku pasti melindungi engkohmu," "Tuan putri jatuh sakit, bagaimana menurut maksudmu?" Melihat Ma Gwat-sian menyinggung persoalan itu pula. Thian-hi tertawa, sahutnya, "Mati atau hidup besok malam susah diketahui, kenapa membicarakan urusan itu!" Ma Gwat-sian tersenyum, ujarnya, "Sekarang sudah larut malam, pergilah tidur, besok kau harus menghadiri Hong-bun-yam itu!" - habis berkata segera ia mengundurkan diri. Thian-hi berdiri mengantar Ma Gwat-sian, setelah menyendiri terasa hatinya hambar entah berapa lama ia menjublek ditempatnya. mendadak terbayang raut wajah Ham Gwat, lalu terbayang pula akan Su Giok-lan, tak lama lagi teringatlah kepada Sutouw Ci-ko, demikian juga bentuk wajah Ka-yap Cuncia yang welas asih itu terbayang dalam benaknya. Kemana pula jejak Lam-siau Kongsun Hong sang guru berbudi berkelebat juga dalam otaknya. Tak lama kemudian didengarnya. langkah kaki mendekat, tampak Ma Bong-hwi mendatangi, Thian-hi tersentak dari lamunannya, kata Ma Bong-hwi tertawa, "Tadi Gwat-sian sudah menjelaskan seluruhnya kepada aku sungguh aku hampir tak mau percaya!" "Tiada jeleknya Toako percaya untuk kali ini. Jikalau Tan-siangkok benar-benar mengadakan Hong-bun-yam itu, bagaimana Toako hendak menghadapinya?" "Mengandal Ing Si-kiat, aku tidak perlu takut, kekuatan pasukannya jauh lebih lemah dari aku. jikalau tidak pulang pada waktu yang ditentukan. diapun takkan bisa hidup lebih lama lagi!" "Toako hendak menggunakan kekerasan atau cara halus?" "Gwat-sian minta aku tidak membocorkan rahasia ini. selamanya aku patuh akan nasehatnya. Demikian juga untuk hal ini, kau sendiri bagaimana pendapatmu?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jika berada dalam gedung Tan-siangkok, bila musuh kuat dan pihak kita lemah, tindakan yang utama adalah kita harus berdaya untuk meloloskan diri, setelah lolos baru kita pikirkan cara menghadapinya!" Ma Bong-hwi tenggelam dalam pikirannya, katanya, "Sedianya aku sudah siap menghantamnya untuk hancur bersama, sekarang aku menjadi beragu malah, rasanya tiada harganya hancur bersama mereka, apakah kau punya cara untuk meloloskan diri itu!" "BUat kita tidak minum arak beracun mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa atas diri kita. Kalau tepat pada waktunya kita belum keluar dari gedung Tan-siangkok, akan kuutus seseorang menggunakan perintah raja untuk menarik mundur kita berdua secara kilat. Bila mereka sedikit lena tentu akan terjebak ke dalam tipu daya ini." "Ini merupakan salah satu cara. Lebih baik kita bekerja menurut gelagat!" Begitulah setelah bercakap-cakap sekadarnya. mereka masuk istirahat. Thian-hi mulai berlatih dan samadi di dalam kamarnya. Ka-yap Cuncia menyuruh aku kemari untuk terlatih Wi-thian-citciat- sek, sekarang tiga bulan sudah berselang, sedikit pun aku belum memperoleh hasil, Tionggoan sudah semakin kemelut, bagaimana aku bisa hidup tentram disini. Lalu dikeluarkan buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek, dengan seksama ia memeriksa dan meneliti meski pun dalam kamarnya. petang gelap, namun gambar2 Wi-thian-citciat-sek itu dapat dilihat dan dibacanya secara jelas, otaknya bekerja. Tahu-tahu cuaca sudah mulai terang. Pagi2 benar-benar Ma Bong-hwi sudah bangun, Thian-hi pun menyimpan Wi-thian-cit-ciasek lalu berangkat ke Thian-seng. Sebagai komandan Gi-lim-kun yang berkuasa di istana Thian-hi tidak perlu piket setiap pagi, setelah upacara berakhir. Tan-siangkok melangkah masuk ke dalam kamar kerja Thian-hi sembari berseri tawa, katanya, "Tio-ciangkun. Tio-ciangkun seorang panglima yang gagah perwira, merupakan panglima tinggi yang paling muda dan berani dalam sejarah Thian bi-kok kita, hari ini aku mengadakan perjamuan untuk merajakan pengangkatan Bu-wi Ciangkun, kuundang pula para pembesar istana. harap kau sendiri tidak menampik untuk hadir dalam perjamuan nanti malam." Cepat Thian-hi menjawab, "Siauciang baru saja berkedudukan di istana, Tansiangkok begitu tinggi menghargai kami, sungguh kami tidak berani terima." Sementara itu Ing Si-kiat juga ikut melangkah maju, katanya, "Tio-lote merupakan tunas harapan bangsa kita, Tan-siangkok dan aku sering berdebat seru sampai kepala panas, namun betapapun kita merupakan satu rumpun, satu keluarga dalam satu negara. Malam nanti aku pun bersedia hadir, demikian juga Ma-ciangkun. sedang Toh-ciatsu menolak. maklum dia sudah tua dan berpenyakitan lagi. Banyak pula pembesar lain yang akan hadir semua. Harap Tio-ciangkun tidak menolak." Thian-hi tahu, katanya, "Para pembesar semua adalah angkatan yang lebih tua, kalau aku tidak hadir berarti aku tidak tahu penghargaan, baiklah nanti aku hadir, sebelumnya kunyatakan banyak terima kasih terlebih dulu kepada Tan-siangkok." Tan-siangkok tertawa lebar, katanya, "Tio-ciangkun merupakan tunas harapan kita semua, masih begitu muda sudah menjabat kedudukan begitu tinggi, kelak pasti punya harapan lebih tinggi dari kita semua. Tak usah sungkan-sungkan!" lalu dengan berseri tawa bersama Ing Si-kiat mengundurkan diri. Ma Bong-hwi lantas melangkah masuk, Thian-hi tersenyum penuh arti, kata Ma Bonghwi, "Sungguh tak nyana, ternyata seperti dugaan semula. Baik aku pulang dulu menyiapkan segala sesuatunya!" Thian-hi mengantar Ma Bong-hwi sampai di ambang pintu, tak lama kemudian datang seorang Thaykam memberi lapor bahwa Baginda raja mengundangnya untuk bicara. Diam-diam bergejolak hati Thian-hi, entah ada urusan apa Baginda mengundang dirinya, tersama Thaykam itu ia ikut masuk ke dalam istana. Setelah menyembah kepada Baginda raja, tampak olehnya sang raja sedang murung dan bersedih. katanya, "Setelah pergi bersama kau tuan putri lantas jatuh sakit tanpa mau bicara, sebetulnya apa ang telah kalian alami?" Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia menjadi bingung, akhirrja menjawab, "Mungkin hamba yang kurang becus menjaga tuan putri sehingga beliau ketakutan, kami disergap dua ekor biruang besar di atas gunung, mungkin saking takut itulah sehingga beliau jatuh sakit." Baginda goyang2 tangan, ujarnya, "Tidak mungkin, nyali tuan putri tidak sekecil seperti apa yang kau katakan, tak mungkin hanya karena urusan sekecil ini menjadi ketakutan dan sakit. Sejak kecil dia jarang sakit, menurut tabib katanya punya janggalan hati, itulah sakit rindu, sebetulnya apa yang telah kalian alami lagi?" "Hamba tidak tahu sebetulnya tiada kejadian lain yang luar biasa." Baginda menarik muka, katanya rada gusar, "Apa! Kau tak mau bicara?" "Apakah tuan putri sekarang sudah siuman?" "Dia baik-baik saja, hanya tidak mau berkata atau bersuara, selalu terlongonglongong ngelamun, coba kau bicara terus terang, aku tidak akan salahkan kau." "Apakah Baginda dapat mengijjnkan hamba bertemu dengan tuan putri?" "Kau...." Baginda melengak. Mendadak ia seperti tersadar, dengan seksama ia amatamati Thian-hi, sesaat kemudian berkata, "Berapa umurmu sekarang?" "Hamba berusia dua puluh satu!" "Apakah kau sudah punya calon jodoh?" Tergetar jantung Thian-hi, setelah terlongong ia menjawab, "Belum!" Baginda manggut-manggut tak bicara lagi. Thian-hi pun tidak bersuara lagi, hatinya menjadi gelisah, pertanyaan Baginda ini merupakan suatu pernyataan yang paling dikuatirkan untuk diterima. Diam-diam ia berdoa semoga tuan putri dapat menyelami perasaannya. "Sekarang aku tahu, kau boleh keluar. Urusan ini aku tidak salahkan kau." Thian-hi menyembah lalu mundur, sungguh ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaan hatinya saat itu. Baru saja cuaca menjadi gelap Tan-siangkok sudah mengirim utusan mengundangnya, sejak siang Thian-hi sudah berpesan seperlunya kepada anak buahnya, segera ia naik kuda terus berangkat bersama utusan itu. Gedung Tan-siangkok dihias begitu indah dan megah, ramai luar biasa, ratusan pembesar2 militer dan sipil sudah hadir, ruang yang besar itu menjadi penuh sesak. Tak lama kemudian Ma Bong-hwi juga sudah datang, banyak pembesar mengelilingi Thian-hi, Thian-hi menjadi keripuhan berbagai pertanyaan dan sanjung puji yang berkelebihan, kepala menjadi pusing, namun dengan tersenyum sedapat mungkin ia layani mereka. Tan-siangkok menyeruak orang-orang yang merubung itu terus mendekati Thian-hi, katanya, "Kedatangan Tio-ciangkun sungguh merupakan suatu kehormatan bagi aku orang tua ini." "Demi permintaan Siangkok Tayjin, mana Siau-ciang berani tidak hadir. Siangkok Tayjin mengadakan perjamuan bagi diriku, sungguh membuat aku malu dan terima kasih, budi kebaikan Siangkok ini sungguh sulit aku membalasnya." Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, "Tio-ciang-kun masih muda ganteng lagi, setiap orang akan kagum dan memujimu, kalau punya gadis perawan sungguh ingin rasanya kau kuambil mantu." Seluruh hadirin ikut bergelak tawa akan kelakar ini, Thian-hi sendiri menjadi kikuk, diam-diam hatinya rada dongkol. Tak lupa Tan-siangkok pun sekedar basa basi dengan Ma Bong-hwi, akhirnya mereka dipersilahkan duduk di kursi teratas. Tan-siangkok sendiri duduk di sebelah kanan Thian-hi, di sebelah yang lain duduk Ma Bong-hwi. Setelah seluruh hadirin menempati tempat duduknya masing-masing, tampak serombongan gadis2 aju membawa poci arak dan cawan berbondong-bondong tersebar ke seluruh ruangan menyuguhkan hidangan pertama. Segera Thian-hi berdiri dan berkata kepada Tan-siangkok, "Siangkok, maaf aku tidak bisa minum arak!" Tan-siangkok lekas bangun berdiri pula, katanya, "Kenapa Tio-tiiangkun begitu sungkan, apakah sengaja hendak membuat aku serba runyam!" "Sebetulnyalah aku pernah berjanji di hadapan ibunda sebelum beliau ajal, selamanya tidak akan minum arak." begitulah Thian-hi kemukakan alasannya. Tan-siangkok menjadi kewalahan, matanya melirik ke arah Ing Si-kiat, segera Ing Si-kiat bangun serta bertanya kepada Thian-hi, "Waktu ibundamu wafat entah berapa umur Tiociangkun?" Thian-hi merandek, jawabnya, "Kira-kira empat belas tahun!" "Nah tatkala itu Tio-ciangkun masih bocah kecil, sudah tentu ibunda Tiongciangkun melarang minum arak, sekarang Tio-ciangkun naik pangkat mendirikan pahala, usia sudah dewasa!" "Tapi ibundaku...." "Bagaimana kalau Baginda yang menganugrahi secawan arak?" tanya Ing Si-kiat mendesak. Thian-hi menjadi bungkam, sebetulnya sengaja ia mengada2 menggunakan pesan ibunya untuk menolak, tapi pertanyaan Ing Si-kia+ ini membuatnya serba sulit, tidak bisa tidak ia harus minum, sesaat ia bingung dan berdiri terlongong. Lekas Ma Bong-hwi bangkit serta menalangi. ujarnya, "Tan-siangkok, Ing-ciangkun sudahlah kenapa begitu bersitegang leher. Apalagi aku dan Tio-lote sudah melulusi permintaan adikku untuk tidak minum arak." Sesaat Ing Si-kiat tampak melongo, katanya, "Kenapa" Apa Ma-ciangkun juga tidak sudi minum arak?" "Pesan adikku tidak bisa tidak harus kupatuhi. Bukankah Ing-ciangkun juga tahu hal ini." Apa boleh buat Ing Si-kiat menyeringai sinis. Selamanya Ma Bong-hwi sangat mematuhi setiap patah kata adiknya memang sudah diketahuinya dengan jelas. Sekarang Ma Bong-hwi bicara secara gamblang, diapun menjadi kewalahan. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, segera Tan-siangkok berkata, "Kenapa Maciangkun tidak sudi minum arakku, apakah curiga dan merasa sirik terhadapku?" "Ah, Siangkok berkelakar saja!" "Biasanya aku tak senang mengurus segala urusan tetek bengek dalam keluarga, sehingga putra anjingku itu suka bersimaharaja di luaran. Tapi hari ini secara langsung biarlah aku mohon maaf sebesar2nya kepada Ma ciangkun di hadapan sekian orang-orang gagah, apakah Maciangkun masih tidak sudi mencicipi arakku?" Melihat orang sudah naik pitam Ma Bong-hwi mandah tersenyum saja, ujarnya, "Mana aku membenci dan sirik terhadap Siangkok, soalnya aku terpaksa." Tan-siangkok memberi isyarat dengan kedipan mata, seorang gadis pelayan segera Pendekar Panji Sakti 20 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagus Sajiwo 3