Candi Murca 6
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 6 dan Swasti Prabawati kembali bermalam. Kayu-kayu dan ranting kering yang mereka kumpulkan cukup banyak untuk menghangatkan tubuh semalam suntuk dan mengusir nyamuk yang jumlahnya hanya tujuh, celakanya tujuh ekor nyamuk itu masing-masing memiliki teman banyak sekali. "Masih jauhkah pesisir Ywangga itu?" Parameswara membuka percakapan setelah beberapa saat suasana terasa hening. Swasti Prabawati yang memandangi api menoleh. Dalam temaram malam, ujut bukit yang semula dilewati pada siang sebelumnya tidak tampak bayangannya. "Menurut hitunganku, jika kita terus berkuda tanpa berhenti maka besok tengah malam kita akan sampai di pantai itu. Kenapa" Apa kau merasa perjalanan telah berubah menjadi menjemukan?" Parameswara tertawa pendek, tawa yang kemudian ditelan. "Aku justru beruntung karena telah mendapatkan seorang teman. Paling tidak, aku tidak akan tersesat dan menemukan arah yang benar untuk bisa sampai di Kediri," jawab Parameswara. Perhatian Swasti Prabawati tertuju pada arah yang akan diambil kenalan barunya itu. "Bagaimana setelah sampai di Kediri?" tanya Swasti Prabawati. Parameswara terus memandangi lidah api. Swasti Prabawati yang menunggu tidak mendapat jawaban sama sekali. Jelas terlihat Parameswara merasa enggan menjawab pertanyaan itu. Perhatiannya lebih tertuju pada kayu di genggaman tangannya. Sebuah ranting kayu yang dilemparkannya ke dalam api langsung terbakar. Akan tetapi gadis itu tidak menyerah begitu saja, pertanyaan itu diulanginya. "Jika aku boleh tahu," kata Swasti Prabawati. "Setelah kausampai di Kediri apa yang akan kaulakukan di sana" Apa kau akan melamar menjadi seorang prajurit" Jika kau berkeinginan itu aku kira keinginanmu itu pasti terkabul. Ilmu kanuragan mu cukup tinggi untuk bisa diterima menjadi seorang prajurit. Bahkan aku yakin kau akan mendapatkan pangkat setara Senopati, bahkan Temenggung atau Pasangguhan 62." Parameswara yang mempermainkan api dengan ranting itu masih tetap beku namun justru karena itu membuat Swasti Prabawati semakin ingin tahu. Tangan Parameswara itu digamitnya, Parameswara pun menoleh. "Ada keperluan apa kau ke Kediri?" tegasnya. Pertanyaan itu tidak mampu memaksa Parameswara menoleh. "Untuk mencari seseorang," jawabnya pendek. "Siapa?" tanya Swasti Prabawati. Parameswara memerlukan menghela napas sebelum menjawab pertanyaan itu. "Namanya Panji Ragamurti," jawabnya pendek. 62 Pasangguhan, jawa, diduga merupakan kedudukan amat terhormat di jalur keprajuritan. Sebutan Pasangguhan terdapat dalam Pararaton maupun Negarakretagama. 167 "Untuk keperluan apa?" Rasa ingin tahu Swasti Prabawati terus mengejarnya. Senyum yang mengembang di sudut bibir Parameswara adalah senyum sinis. "Untuk kuludahi wajahnya," jawab Parameswara pendek pula. Swasti Prabawati kaget. Namun Swasti Prabawati melihat rona sungguh-sungguh di permukaan wajah pemuda itu. Pemuda itu benar-benar tak main-main dengan ucapannya. "Kenapa" Apa salah orang itu kepadamu?" tanya Prabawati heran. Sebenarnya Parameswara enggan bercerita. Namun dengan pembicaraan itu tanpa disadari Parameswara seperti menemukan sebuah celah untuk menyalurkan beban dan menumpahkan sebagian kegelisahannya. Parameswara memandangi api. Sambil bercerita pemuda itu tidak mengalihkan tatapan matanya dari lidah api. "Tadi aku berpikir," ucapnya, "seandainya ada seorang laki-laki dan wanita telah menyatukan diri dan karena hubungan itu lalu lahir manusia baru seharusnya mereka bertanggung jawab terhadap keturunan yang merupakan akibat dari perbuatan itu." Parameswara menghentikan ucapannya karena ada sesuatu yang mendadak mengganjal lehernya sebaliknya bagi Prabawati apa yang diucapkan teman bicaranya itu sungguh menarik perhatiannya. Swasti Prabawati menunggu namun Parameswara terlihat mengalami kesulitan untuk melanjutkan ceritanya. "Lanjutkan," ucap gadis itu pelan dan terdengar sejuk. Parameswara merasa wajahnya menebal. "Apabila kemudian akibat dari perbuatannya itu justru dibuang maka manusia yang melakukan hal seperti itu bukan manusia lagi tetapi binatang. Itu sebabnya aku harus bisa menemukan orang itu untuk meludahinya." Swasti Prabawati menggeser duduknya lebih dekat lagi. Tangan Parameswara yang memegang ranting-ranting kayu dan mempermainkan api disentuhnya. Parameswara menoleh. Meski lamat-lamat Swasti Prabawati bisa melihat mata pemuda itu agak basah. Prabawati menggenggam tangan Parameswara. "Yang kauceritakan itu menimpamu?" Parameswara hanya mengangguk untuk pertanyaan itu. Suasana pun kemudian menjadi hening. Parameswara sibuk merasakan kepahitan yang semakin mengental di dalam hatinya yang semakin direnungkan semakin perih saja. "Jadi kau akan menggugat?" tanya Swasti Prabawati. Parameswara menggeleng. Senyumnya mengembang sinis. "Menggugat untuk apa" Aku tidak akan menggugat kelahiranku sebagai sampah. Aku hanya akan melihat seperti apa orang yang menjadi perantara kelahiran sampah itu. Binatang macam apakah mereka." Swasti Prabawati merasa adanya sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang tidak pada tempatnya. "Parameswara," berkata Swasti Prabawati. "Aku merasa tak sependapat denganmu. Menurutku tidak akan ada orang tua mana pun yang tega membuang anak kandungnya. Apabila sampai hal itu terjadi aku yakin bukan dalam rangka membuang tetapi pasti ada penyebabnya. Mungkin saja kedua orang tuamu mengalami kesulitan luar biasa hingga harus mengambil pilihan itu. Bukankah pilihan menyerahkan kamu kepada Ki Ajar Kembang Ayun merupakan pilihan yang sangat tepat?" Parameswara tak menjawab. Namun pendapat Swasti Prabawati itu memang harus dikunyah lebih jauh. 168 Dari kejauhan terdengar lolong serigala yang menyayat. Kuda Sapu Angin yang mendapat teman baru tidak banyak bertingkah. Kuda jantan itu bahkan seperti membuat pembicaraan sendiri dengan kuda seperjalanannya, kuda yang semula dibawa Swasti Prabawati namun kuda itu terpaksa harus dititipkan di rumah seorang penduduk karena tak mungkin membawanya menerobos lebatnya hutan Kumitir saat menuju ke perguruan Kembang Ayun. Bagi kuda Sapu Angin, perjalanan itu juga menjadi perjalanan yang menyenangkan karena teman seperjalannya berjenis kelamin beda. "Bagaimana Parameswara?" desak Swasti Prabawati. Parameswara tidak menoleh padahal Prabawati ingin pemuda tampan itu menoleh. "Aku sudah berusaha, namun tetap saja warna perasaanku seperti itu. Aku sudah terlanjur digelut oleh prasangka." Tiba-tiba saja keduanya dikagetkan oleh ulah kuda kuda mereka yang diikat pada sebatang pohon. Kuda Sapu Angin memberontak amat kuat hingga tali yang mengikat pada batang pohon itu lepas. Apa yang dilakukan kuda itu kemudian membuat Swasti Prabawati merah padam. Parameswara yang berwajah membeku itu tidak kuasa menahan senyumnya. "Jika kudaku hamil, kau harus bertanggung jawab," kata Swasti Prabawati. Parameswara yang menahan tawa kembali mengalihkan pandangan ke lidah api. "Mengapa aku yang kaumintai tanggung jawab" Bukankah yang berbuat itu Sapu Angin?" jawabnya datar. Swasti Prabawati justru merasa jengah melihat pemandangan di depannya. Gadis itu kemudian menggeser duduknya agak menjauh dari Parameswara. Rupanya Prabawati sadar ia hanya berdua dengan Parameswara dan jika hanya berdua saja antara seorang pemuda dan seorang gadis maka hal yang tak diharapkan mungkin saja terjadi. Di langit bintang-bintang gemerlap bertaburan. Saat pemuda itu menengadah, tibatiba terlihat lintang alihan melejit dengan cahaya yang merah membentuk garis lurus dan kemudian lenyap entah ke mana. Parameswara membaringkan diri berbantal bungkusan pakaiannya. Pemuda itu berangkat tidur. "Maukah kau mendengar ceritaku?" berkata Swasti Prabawati. Parameswara mengangguk. "Berceritalah, aku akan mendengarkan," jawab Parameswara. Dengan ranting di tangannya Ken Swasti Prabawati mempermainkan api. "Seperti halnya kau aku juga tak tahu siapa ayah kandungku. Aku juga memiliki kegelisahan sepertimu, meski bentuk kegelisahan itu berbeda." Parameswara merasa terusik, sebelah alisnya mencuat. "Biku Sambu itu siapa?" tanya Parameswara. Prabawati memejamkan mata, menghayati lakon yang akan dituturkannya. "Sebagaimana kau mungkin mengira Ki Ajar Kembang Ayun itu adalah ayahmu namun ternyata bukan, demikian juga dengan aku. Baru-baru ini aku mengetahui Biku Sambu bukan ayahku. Beliau hanya ayah angkat yang membesarkan aku dengan kasih sayang tiada terukur." Parameswara menoleh dan memandang Swasti Prabawati dengan tatapan mata tak berkedip. "Lalu siapa orang tua kandungmu?" desaknya. "Aku belum tahu," jawabnya datar. "Kau tidak ingin menemukan mereka?" kembali tanya Parameswara. 169 "Tentu aku ingin menemukan mereka. Semoga keinginanku untuk menemukan mereka dan melepas kerinduanku kepadanya kelak akan terkabul," ucapnya. Jelas ada perbedaan sikap antara Parameswara dan Swasti Prabawati. Meski mereka menghadapi persoalan yang mirip namun cara memandang persoalan dan menyikapinya berbeda. Akan tetapi Parameswara tidak mempersoalkan lebih lanjut. Swasti Prabawati juga mengakhiri ceritanya. Sang waktu terus bergerak maju. Pagi sekali mereka telah bangun dan berkemas. Perjalanan waktu yang masih panjang mendorong mereka untuk berpacu kencang. Hanya pada saat-saat tertentu saja mereka menyediakan waktu merumput dan istirahat untuk kuda-kudanya. Namun setiap kali waktu istirahat datang wajah Swasti Prabawati merah padam menyaksikan ulah Kuda Sapu Angin pada kuda betina tunggangannya. Di sebuah tempat Parameswara tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan tatapan mata sulit untuk ditebak Parameswara memandang ke arah langit timur. Dadanya sedikit mengombak ada sesuatu yang pedih di dasar hatinya. "Deretan Gunung Raung sudah tidak tampak lagi. Berarti perjalananku sudah jauh meninggalkan perguruan," berbicara pemuda itu pada dirinya sendiri. Prabawati melihat sikap aneh itu. "Ada apa?" Swasti Prabawati mendekat. "Kita sudah menempuh jarak lumayan jauh. Apabila Gunung Raung tak kelihatan puncaknya bukankah itu berarti perjalanan memang sudah jauh?" Swasti Prabawati tersenyum. "Kau merasa sedih rupanya?" Parameswara tersenyum. Namun Swasti Prabawati tahu, senyum yang mekar itu dari jenis senyum kecut dan pahit. "Rasanya setiap langkah yang aku ambil semakin menjauh aku selalu diingatkan semakin menjauh pula aku dari Kembang Ayun di mana di sana ada orang-orang yang kucintai," jawab Parameswara. Swasti Prabawati merasa tertarik. "Seorang gadis?" Parameswara hanya menyunggingkan senyum tipis. Tidak terasa waktu telah bergeser kembali siang yang sangat terik merambah masuk ke wilayah sore. Namun Parameswara dan Swasti Prabawati tak merasa perlu beristirahat lagi. Kuda-kuda mereka berderap saling membalap. Kecepatan kuda itu barulah dikurangi setelah malam kemudian datang lagi. "Apakah tidak sebaiknya kita berhenti?" tanya Parameswara, "terlalu gelap untuk kuda-kuda kita. Kita beristirahat dulu, nanti bila rembulan sudah muncul, kita lanjutkan kembali." Namun Swasti Prabawati terus memacu kudanya. Parameswara terus mengikutinya dari belakang. Jawaban baru diperoleh setelah beberapa saat kemudian Parameswara mendengar sesuatu. Meski terdengar lamat-lamat Parameswara bisa mengenalinya. "He tunggu, apakah itu suara ombak?" Parameswara bertanya. Prabawati tidak menoleh. "Ya," jawab Swasti Prabawati. "Kita sudah dekat dengan pantai. Selanjutnya kita tinggal menyusur pantai itu ke arah barat maka kita akan sampai di pesisir Ywangga Parabalingga." Suara debur ombak terdengar semakin jelas. Berbeda dengan ombak laut selatan yang selalu gemuruh maka ombak Laut Jawa itu tidak terlampau besar. Semakin dekat ke 170 pantai, kabut tipis melayang lamat-lamat. Swasti Prabawati menghentikan derap kudanya. Gadis itu kemudian meloncat turun sambil memerhatikan keadaan di sekitar tempat itu. Dengan cermat Parameswara memerhatikan pantai yang memanjang ke timur dan ke barat. "Kita berada di mana?" tanya Parameswara. Swasti Prabawati masih memerhatikan pesisir yang meliuk di sebelah berat. "Rupanya kita telah cukup jauh menempuh perjalanan. Aku mengenali pantai yang menjorok di sebelah barat itu. Dari tempat itu kita masih membutuhkan waktu setengah malam lagi. Barulah kita akan tiba di sana." Parameswara meloncat turun. "Sebaiknya kita beristirahat. Kita tidak perlu tergesa-gesa, kasihan kuda-kuda kita." Akan tetapi Swasti Prabawati yang telah turun dari kuda itu justru meloncat kembali ke atas punggungnya. Lamat-lamat di arah barat tampak kerlap-kerlip cahaya yang tampaknya berasal dari perahu nelayan. Prabawati menduga boleh jadi di arah itu terdapat sebuah perkampungan. Dengan tiba-tiba Swasti Prabawati menyendal tali kendali kudanya maka kuda betina yang sedang dilanda birahi itu berderap sangat cepat. Parameswara segera melenting mengapung di udara untuk kemudian turun dengan pelahan di atas punggung Sapu Angin. Sesaat Sapu Angin membutuhkan ancang-ancang untuk tiba-tiba melejit berderap memburu kekasihnya. Ombak pantai utara pulau Jawa itu terus bergerak susul-menyusul. Gemericik riaknya terasa begitu tenang tidak terlampau bergemuruh. Tebing dan pantai pasir yang memanjang ke arah barat disapanya dengan lembut dan bersahabat. Tak berapa lama kemudian Swasti Prabawati berhenti. "Ada apa?" tanya Parameswara. "Di mana cahaya lampu tadi?" tanya Swasti Prabawati. Parameswara menebarkan pandangan matanya ke segala penjuru namun cahaya lampu yang semula terlihat itu memang telah hilang tidak meninggalkan bekas. Cahaya lampu itu benar-benar tidak ada lagi, tidak terlihat perahu nelayan atau perkampungan penduduk. Pesisir di mana mereka benar-benar senyap. Derajad penasaran yang dirasakan Parameswara meningkat dengan tajam. Namun Parameswara segera terlonjak. "Itu di sana," tiba-tiba Swasti Prabawati berkata. Rasa penasaran yang dialami Parameswara menjadi-jadi. "Gila," letupnya, "mengapa bisa berada di belakang kita sana" Bukankah dengan demikian kita telah melewatinya?" Parameswara terheran-heran melihat cahaya lampu kecil itu kini muncul di arah timur. Dengan segenap rasa bingungnya Parameswara meloncat turun dan memerhatikan cahaya lampu itu dengan cermat. Di sebelah timur tepat di garis cakrawala mulai Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tampak semburat cahaya pertanda bulan yang sudah kehilangan bulatnya akan segera muncul mewartakan kehadirannya dari balik bumi. Ketika cahaya bulan itu mulai mampu membantu Parameswara merasa dadanya berdesir. Meski jauh Parameswara bisa melihat cukup jelas sosok orang yang berdiri dengan memegang obor. "Kaubisa melihat cukup jelas?" tanya Parameswara. Prabawati mengangguk. Berbeda dengan Parameswara, Prabawati beranggapan tak ada yang janggal pada cahaya itu. "Cahaya lampu itu" Tentu saja aku melihatnya," jawab Swasti Prabawati. 171 "Maksudku, orang yang memegang obor itu bisa kaulihat?" tanya Parameswara sekali lagi. Swasti Prabawati menggeleng. Baginya yang terlihat hanya nyala sebuah lampu yang kekuning-kuningan. Rupanya gadis itu tidak memiliki kemampuan mempertajam pandangan mata seperti yang dilakukan Parameswara. Parameswara kian penasaran. "Apa yang akan kita lakukan" Apakah kita akan kembali ke timur lagi?" Parameswara sibuk berpikir. Parameswara kemudian melihatnya sebagai sebuah keganjilan. Orang yang di sebelah timur, berdiri di garis pantai itu tengah menggerakkan obornya ke kiri dan ke kanan. Melihat itu Parameswara tak perlu menimbang lagi. "Kita kembali," ucapnya. "Untuk apa?" Swasti Prabawati mengungkapkan ketidak-setujuannya. "Kita masih jauh menempuh perjalanan ke barat, mengapa kita kembali ke sana?" Parameswara bungkam sejenak. Namun pemuda itu memiliki cara pandang yang berbeda. "Aku melihat dan merasa orang itu sedang mempermainkan kita." Swasti Prabawati menggeleng. "Maksudmu, orang yang tadi memegang lampu di sebelah barat, orang itu bisa muncul di tempat lain" Di belakang kita" Orang yang di sana jelas orang lain," kata Swasti Prabawati. Masalahnya Parameswara melihat obor itu kembali di ayun-ayunkan. "Kautunggulah aku di sini, aku akan kembali. Ayo Sapu Angin, kita kembali ke sana." Parameswara segera melenting berjumpalitan dan tubuhnya mengapung untuk kemudian melayang pelahan di atas punggung kudanya. Sapu Angin langsung nggeblas 63 seperti terbang saja layaknya, berderap kembali ke arah timur. Parameswara berkuda sambil tatapan matanya terus tertuju ke arah kejauhan di mana orang memegang obor itu berada. Pemuda itu merasakan dadanya berdegup ketika melihat kenyataan, orang aneh yang memegang obor itu tidak berdiri di atas pasir namun mengambang di permukaan air. Apakah orang itu bisa berdiri di atas air hal itu masih belum jelas baginya. Jarak yang jauh itu semakin dekat. Parameswara terus memerhatikan orang yang memegang obor. Sekali lagi obor terlihat diayunkan ke kiri dan kanan, seperti mengejek. Akan tetapi yang tidak terduga itu terjadi. Parameswara melihat pelahan-lahan tubuh orang itu tenggelam dan obor yang dipegang itu pun padam untuk kemudian tidak terlihat jejaknya sama sekali. Parameswara segera mempercepat derap kudanya. Derajad rasa penasaran di dadanya kian menggila. "Gila. Ada apa sebenarnya ini?" desis Parameswara. Akhirnya Parameswara telah tiba di tujuan. Parameswara segera melenting ke atas sebuah batu sebesar gajah yang tergolek di atas pasir. Dari tempatnya berdiri pemuda itu memerhatikan ombak. Namun orang yang dicarinya lenyap entah kemana. Parameswara menunggu sejenak berharap orang yang jelas menyelam itu akan muncul lagi di atas air. "Benar-benar sebuah kejadian yang janggal serta sulit untuk dipahami. Di tempat ini ada orang yang mempermainkan aku. Sungguh gila. Mana dia?" Parameswara terus memerhatikan keadaan. Dengan ketajaman matanya pemuda itu mengamati tiap jengkal permukaan laut. Parameswara berharap bisa melihat sesuatu yang 63 Nggeblas, jawa, melesat 172 janggal saat orang yang menyelam itu muncul di permukaan untuk menghirup udara. Namun cahaya bulan yang muncul serta warna ombak yang pecah amat menyulitkannya. "Siapa sebenarnya orang itu?" tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba Parameswara terbelalak. Pandangan matanya tertuju pada sebuah arah. Amat sulit dimengerti dan diterima akal akan tetapi itulah yang terjadi. Jika orang yang memegang obor itu menyelam dan dengan demikian obor padam bersamaan dengan lenyap tubuhnya maka kali ini yang terjadi justru sebaliknya. Obor itu muncul dari dalam laut. Pelahan-lahan tampak tangan yang memegangnya menyembul dari dalam air disusul tubuh bagian atas dan kemudian dada dan akhirnya seluruh tubuhnya. Meski anak Ki Ajar Kembang Ayun telah beberapa kali menyaksikan kejadian yang ganjil akan tetapi tontonan yang dilihatnya kali ini benar-benar sulit diterima, amat sulit untuk dipahami. Kalau obor padam tenggelam karena dibawa menyelam adalah hal yang lumrah namun obor muncul dari dalam air, bagaimana cara menerima keganjilan itu" Dengan rasa penasaran dan penuh perhatian Parameswara memerhatikan. Orang yang berdiri di atas permukaan ombak dan tubuhnya bergoyang-goyang itu mengayunayunkan obor yang dipegangnya seperti mengejek. Parameswara bergegas meloncat turun. Dengan langkah yang ragu pemuda itu menyentuh lidah air laut dan ombak pun menjilat kakinya. Parameswara akhirnya telah bulat dengan keputusannya. Pemuda itu segera menerobos ombak yang datang. Namun langkah pemuda itu terhenti. Orang yang berdiri di atas air dan memegang obor itu dengan pelahan kembali masuk ke air. Parameswara segera melenting cepat mendekati orang yang diselubungi rahasia itu. Namun secepat itu pula orang itu melenyapkan diri di bawah permukaan. Beberapa saat sebelum padam, obor itu terlihat masih menyala dan melayang-layang di dalam air hingga ikan yang bergerak di jarak yang paling dekat dengannya kelihatan. Akhirnya obor itu benar-benar padam. Parameswara gemetar. Tak tercegah Parameswara pun menggigil. Kali ini dalam jarak yang cukup dekat diperhatikannya ombak yang pecah gemerlapan seperti benggala 64 retak ditimpa oleh cahaya bulan. Tatapan matanya ditebarkan ke mana-mana tetapi tetap saja yang dicarinya tidak muncul lagi. Masih beberapa saat lamanya Parameswara menguji kesabarannya tetapi yang ditunggunya tidak menampakkan diri. Dengan perasaan masih diliputi oleh tanda tanya Parameswara melangkah mundur kembali ke tempat di mana kudanya berada. Waktu yang ada masih dipergunakan memerhatikan dengan lebih teliti. "Bagaimana?" tanya Swasti Prabawati yang menyusul. Kali ini Parameswara benar-benar bingung. "Apakah kaupercaya hantu?" balik bertanya Parameswara. Ken Swasti Prabawati mencuatkan alis. "Kenapa?" Parameswara terlihat gamang bahkan ada rasa ngeri. "Mungkin kita berdua sedang digoda Hantu Laut." Swasti Prabawati ikut-ikutan memandangi permukaan laut yang pecah karena sinar rembulan. "Hantu laut?" bisik Swasti Prabawati. Parameswara mengangguk. "Ya, Hantu Laut," jawab Parameswara mempertegas dengan nada berbisik pula. 64 Benggala, jawa, cermin 173 Swasti Prabawati punya alasan untuk terlonjak. "Jangan-jangan orang itulah yang aku cari. Ki Ajar Kembang Ayun memberiku petunjuk, aku harus mencari seorang pemancing yang mendapat julukan Hantu Laut. Apa mungkin orang itu?" Gadis dari kaki Gunung Penanggungan itu sungguh penasaran. "Seseorang berdiri di atas air. Orang itu melambai-lambaikan obornya. Lalu ia menenggelamkan diri saat kudekati." "Orang itu menyelam?" lanjut Swasti Prabawati. Parameswara ragu untuk mengangguk, kenangan aneh yang yang baru berlalu sejengkal itu membelitnya. "Ya," jawab Parameswara. "Aku berharap orang menyelam itu akan muncul kembali, namun yang kudapat malah berlebihan. Obor itu juga muncul dari dalam air. Bagaimana bisa begitu" Bukankah api dan air itu dua sifat yang amat bermusuhan" Saat orang itu menenggelamkan diri lagi, ia seperti menyelam dengan memegang obor. Gila" Maka Swasti Prabawati termangu. Keadaan itu memang sungguh ganjil dan sulit dicerna hingga nama Hantu Laut mungkin merupakan jawaban yang paling tepat. Akan tetapi Parameswara juga berpikir apakah tidak mungkin pertunjukan aneh yang baru saja dilihatnya itu merupakan sebuah bentuk dari ilmu olah kanuragan" Bukankah dalam olah kanuragan kemampuan menghilang juga layak dilakukan oleh para hantu. Aji Panglimunan, yang menyebabkan orang yang menguasainya bisa menghilang dari pandangan mata adalah merupakan sebuah bentuk dari ilmu kanuragan. Apakah tak mungkin apa yang dilihatnya juga merupakan kemampuan kanuragan pula" Parameswara harus merenungkan kemungkinan itu lebih lama. "Sebaiknya kita jangan melanjutkan perjalanan," kata Parameswara. Swasti Prabawati berbalik. "Kenapa?" tanya gadis itu heran. "Kita menginap lagi di tempat ini," jawabnya. Namun Swasti Prabawati tidak sependapat. "Jarak pesisir Ywangga sudah dekat. Kita tak perlu berhenti di sini. Kita lanjutkan saja perjalanan." Parameswara melangkah menepi dan duduk di atas sebuah batu. Apa boleh buat Swasti Prabawati terpaksa harus mengalah. "Kalau benar orang itu yang kaucari, kita harus menginap di tempat ini," berkata Parameswara tegas. "Apa yang kita lakukan di sini?" tanya gadis itu. "Aku akan menyelidiki keganjilan ini. Aku tak akan merasa puas sebelum menemukan jawabnya. Ada apa di tempat ini dan siapa pula orang yang memegang obor itu," jawabnya. Parameswara terus mengamati permukaan air laut. "Bisa jadi apa yang kita lihat itu hantu namun bisa jadi pula yang kita lihat itu hanya pameran kemampuan kanuragan. Kemampuan untuk meringankan tubuh supaya bisa bergerak di atas permukaan air bagi ayahku Ki Ajar Kembang Ayun bukan hal yang luar biasa. Namun membuat obor menyala dari dalam air dan di dalam air bagaimana caranya, bagaimana orang itu bisa membuat pengeram-eram seperti itu?" Swasti Prabawati akhirnya bisa mengerti. Meski rasanya sudah tak sabar lagi ingin segera sampai di pesisir Ywangga Parabalingga keinginan itu terpaksa harus ditahan. 174 Parameswaralah yang justru mengusiknya dengan sebuah pendapat yang benar-benar memancing rasa penasarannya. "Orang-orang yang menguasai kemampuan kanuragan tinggi mempunyai kebiasaan yang aneh-aneh. Kurasa demikian pula dengan orang itu. Jika ada orang yang mempunyai kemampuan kanuragan tinggi di daerah ini apakah tidak ada hubungannya langsung dengan Sang Pemancing yang gemar menyusuri pantai?" Swasti Prabawati bertambah gelisah. "Bagaimana cara kita menarik perhatian orang itu agar mau menemui kita?" "Kita tunggu saja di sini. Kita buat perapian." Pesisir atau pantai selalu kaya dengan angin. Sang bayu itu berhembus tiada henti menyebabkan kayu yang dibakar cepat berkobar. Bulan di langit sebelah timur memanjat kian tinggi. Warna laut pun pecah di mana-mana. Rembulan itu mulai merangsang ombak untuk berdebur lebih kuat. "Sampai kapan kita menunggu?" Swasti Prabawati bertanya. "Sabarlah," jawabnya tanpa menoleh. Akan tetapi belum sempat Parameswara merenungkan keadaan lebih lanjut, tibatiba terdengar suara tertawa yang menyentak. Parameswara dan Swasti Prabawati bergegas bangkit dan segera memerhatikan dari arah mana suara tertawa melengking dengan nada yang tinggi itu. Pandangan keduanya kemudian berhenti di arah barat. Di sana tampak seseorang berdiri, kali ini bukan di atas permukaan air, tetapi di atas pasir. Orang itu mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi. Parameswara dan Swasti Prabawati melihat orang itu seperti memegang sesuatu. Benda yang dipegang dengan tangan kanan itu kemudian menyala, menjadi sebuah obor. "Kita dekati orang itu," tegas Parameswara. Swasti Prabawati dan Parameswara melangkah bergegas. Angin yang berhembus agak lebih kuat dan ombak yang menjilat kaki mereka tidak dipedulikan. Akhirnya, jarak mereka semakin dekat. Orang itu bersikap seperti menunggu keduanya. Swasti Prabawati menggigil, wajah orang yang memegang obor itu sungguh amat dikenalinya. "Ayah," tiba-tiba saja Swasti Prabawati berteriak melengking. Swasti Prabawati yang sangat kaget itu segera berlari. Akan tetapi justru karena itu Parameswara berhenti untuk memerhatikan apa yang bakal terjadi. Swasti Prabawati makin dekat dengan ayahnya. Kerinduan yang tebal menyebabkan gadis itu menubruk ayahnya. Namun Parameswara melihat betapa orang dengan obor itu tiba-tiba bergerak seperti dihisap kekuatan raksasa, ambles ke pasir. Pasir yang terbelah menelan orang itu dengan amat cepat dan menutup diri. Swasti Prabawati yang tidak menduga keadaan itu jatuh berguling-guling tubuhnya berlepotan pasir. "Ayah!" jerit gadis itu dengan melengking. Swasti Prabawati seperti orang yang kehilangan akal. Ia berteriak-teriak seperti bocah kecil yang kehilangan mainan bahkan berteriak meraung-raung. Tetapi sosok orang yang memegang obor itu tidak ada jejaknya, benar-benar lenyap ditelan bumi. "Ayah. Ini aku anakmu ayah," jeritnya. Keadaan yang amat janggal aneh dan tidak terduga itu menyebabkan Parameswara terdiam tak tahu harus bersikap bagaimana atau melakukan apa. Di depannya Prabawati menjadi liar dan berlarian. Namun orang yang dipanggil ayah itu lenyap tidak ketahuan rimbanya. Meski Parameswara berusaha keras untuk memecahkan persoalan yang aneh itu tetapi tidak berhasil. 175 "Ayah," teriak gadis itu dengan amat gugup. "Dia ayahku Parameswara. Orang yang memegang obor tadi ayahku." Teriak gadis itu makin liar. Parameswara bergeser dan telah berada di tempat di mana orang dengan obor itu berdiri. Diperhatikannya pasir dan jejak jejak yang tertinggal akan tetapi ombak yang datang telah menghapus jejak macam apa pun. Swasti Prabawati panik. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bagaimana Parameswara" Bagaimana dengan ayahku?" gelisah sekali gadis itu. Tetapi Parameswara benar-benar tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Parameswara mulai ragu. Jangan-jangan sosok yang sangat aneh itu benar-benar hantu. Berpikir seperti itu bulu kuduknya bangkit. "Benarkah orang itu ayahmu?" tanya Parameswara. "Dia ayahku," jawab Swasti Prabawati tegas. "Dia ayahku Parameswara, tetapi mengapa ayahku seperti itu?" Parameswara manggut-manggut. "Gunakan kejernihan hatimu Prabawati. Sepanik dan gelisah macam apa pun, coba gunakan kejernihan hatimu, untuk melihat keganjilan ini," Parameswara menenangkan gadis seperjalanannya itu sambil menepuk-nepuk pundaknya. Prabawati merasa dadanya amat sesak, beban yang disangganya terlampau berat. Gadis itu menjatuhkan diri dalam pelukan Parameswara sambil tangisnya terdengar amat sesenggukan. Parameswara membiarkan gadis itu melarutkan perasaannya untuk mengurangi sebagian bebannya. "Apakah ayahmu, mempunyai kemampuan kanuragan seperti yang tadi kita lihat?" tanya Parameswara. Prabawati melepaskan diri dari pelukan dan menatap mata Parameswara dengan pandangan yang amat lekat. Pelahan Gadis itu menggeleng. "Jika orang itu memang benar ayahmu tentu dengan senang hati ia akan menerima kedatanganmu dan menyambutmu. Sebaiknya marilah kita tanyakan hal ini kepada orang yang mengetahui jawabnya," bisik Parameswara. "Siapa?" tanya Swasti Prabawati seperti orang yang tolol. "Orang yang tengah kaucari di Ywangga." Keputusan Parameswara segera berubah. Pemuda yang sebenarnya pemberani itu bisa miris juga saat menyadari apa yang dihadapinja itu bukan makhluk manusia tetapi hantu. Parameswara segera menuntun Swasti Prabawati menuju ke tempat di mana kuda- kuda mereka berada. Rencana menginap di tempat itu dibatalkan. Maka perjalanan yang sempat tertunda karena kejadian aneh itu dilanjutkan kembali. Kali ini baik Parameswara maupun Swasti Prabawati tidak banyak berbicara. Keduanya terus berpacu menyusur pantai dengan dibayangi berbagai pertanyaan yang sangat menggoda. Swasti Prabawati sulit mengerti mengapa ayahnya menghilang atau bersikap aneh seperti itu. Akhirnya setelah perjalanan yang cukup lama, mereka menjamah waktu tengah malam. Bulan yang sudah beberapa hari meninggalkan purnama memanjat tinggi pula. Di kejauhan tampak kerlap-kerlip lampu. Rupanya pesisir Ywangga Parabalingga telah dekat. Rumah-rumah penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan terlihat di kejauhan. 176 "Lihatlah di depan banyak sekali cahaya oncor itu pasti perkampungan. Mungkin perkampungan Ywangga Parabalingga. Ayo lebih cepat. Ayo Sapu Angin, kita lebih cepat lagi," teriak Parameswara bersemangat. Sapu Angin mempercepat derapnya. Sebaliknya kuda betina yang ditunggangi Swasti Prabawati tidak secepat itu. Parameswara terpaksa memperlambat kecepatannya. Namun Parameswara segera menarik tali kekang untuk berhenti sama sekali karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di depan ada orang tengah menebar jala. Orang itu rupanya melihat kehadiran Parameswara dan menghentikan pekerjaannya. Nelayan penebar jaring itu menepi dan berdiri di atas hamparan pasir. "Apakah orang itu orang yang sama dengan pemegang obor itu, atau pencari ikan yang sesungguhnya?" berkata Parameswara pada diri sendiri. Swasti Prabawati yang menyusul menyejajarinya. "Orang menjala ikan," bisik Parameswara. Dengan tidak berkedip Swasti Prabawati memandangi orang yang berdiri di tepi pantai itu. Swasti Prabawati segera meloncat turun dan dengan tidak sabar bergegas mendekat. "Selamat malam," sapa Parameswara kepadanya. "Selamat malam," jawab orang itu. Swasti Prabawati memerhatikan wajah orang itu dengan tatapan mata lekat. "Maafkan aku paman, bolehkah aku mengetahui siapa paman?" tanya gadis itu. Ditanya dengan cara itu rupanya pencari ikan itu gugup. Penjala ikan itu mengira orang berkuda yang berada di depannya itu berniat jahat. Parameswara segera membaca keadaan itu, sikap Parameswara yang ramah membuat orang itu agak tenang. "Ijinkan kami memperkenalkan diri paman. Namaku Parameswara, aku berasal dari wilayah Blambangan, sedang ini teman seperjalananku dari kaki Gunung Penanggungan. Kami membutuhkan beberapa keterangan." Orang itu memandang Parameswara dengan tatapan mata curiga. "Keterangan apa?" "Sebelumnya, ijinkanlah kami mengetahui nama paman," jawab Parameswara. Orang itu mundur satu langkah. "Kenapa bertanya namaku?" Parameswara tersenyum. Orang itu benar-benar penuh prasangka dan curiga. "Karena, bukankah berkenalan dan saling tahu nama merupakan hal yang bagus?" Orang itu akhirnya mengangguk pelahan. "Namaku Bantar Mendung," jawab orang itu. Swasti Prabawati manggut-manggut. Orang yang dicarinya di pesisir Ywangga bukan Bantar Mendung tetapi Biku Paraban. "Paman kenal dengan seorang pencari ikan bernama Biku Paraban?" desak gadis itu tidak sabar. Rupanya orang itu malah bertambah curiga. Bahkan penjala ikan itu bersiap-siap melarikan diri dengan melangkah mundur. Parameswara segera melenting dengan cepat dan telah mencegat di belakangnya. Bantar Mendung bingung. "Kalian mau apa?" tanya Bantar Mendung dengan gugup dan bahkan cemas. Bantar Mendung menoleh ke laut karena ada sesuatu yang ditakutkan dan diyakini akan muncul dari sana. Parameswara melihat sikap itu sebagai sesuatu yang aneh. 177 "Kami tak bermaksud jahat paman Bantar Mendung. Kami hanya membutuhkan keterangan. Kelihatannya paman tahu di mana orang yang kami cari itu berada." Swasti Prabawati yang menyadari orang itu gugup karena mengira ia bermaksud jahat segera mengubah sikap menjadi lebih ramah. Parameswara ikut-ikutan memandang laut ketika Bantar Mendung itu memandangi ombak. "Benar paman. Kami hanya numpang bertanya. Kami sedang mencari seorang pemancing ikan yang katanya tinggal di daerah ini. Nama orang itu Biku Paraban," Swasti Prabawati menambahkan. Orang itu diam sejenak. Parameswara dan Swasti Prabawati melihat dengan jelas orang itu sedang sibuk mempertimbangkan apakah akan menjawab atau tidak. Namun menilik sikapnya jelas tersirat ada sesuatu yang membuatnya gelisah. "Bagaimana?" desak Parameswara. Akhirnya orang itu menghela tarikan desah. "Untuk apa kalian berdua mencarinya?" orang itu bertanya. "Sayang sekali kami tidak bisa menjelaskan paman. Akan tetapi kami benar-benar mempunyai kepentingan dengan orang itu," Swasti Prabawati menjawab. Orang itu masih termangu. "Sebenarnya ada apa?" Parameswara bertanya. "Kalian telah menyebut namanya orang itu pasti akan datang ke sini," jawab orang itu. Parameswara dan Swasti Prabawati saling menoleh dan melempar pandang. Mereka jelas tidak paham dengan apa yang dimaksud Bantar Mendung. "Maksudnya" Dengan disebut namanya saja maka orang itu akan datang?" tanya Parameswara. Swasti Prabawati sangat heran pada penjelasan yang diterimanya itu. Bantar Mendung mengangguk tegas membenarkan, sikap gelisahnya ditunjukkan ke arah laut memaksa Parameswara teringat pada kejadian aneh yang baru dialaminya. Tiba- tiba saja Parameswara berpikir, adakah hubungannya" "Apakah Biku Paraban itu, sebangsa Hantu Laut?" tanya Parameswara. Mendapat pertanyaan menyengat itu, Bantar Mendung kaget. Bantar Mendung melangkah mundur dan segera berlari meninggalkan tempat itu. Parameswara dan Swasti Prabawati tidak mencegahnya. Namun Parameswara segera berteriak. "Terimakasih untuk keterangan yang kauberikan kepadaku, paman." Orang itu berlari sipat kuping hingga jatuh bangun menjadi gambaran betapa ketakutan orang itu pada sosok Biku Paraban. Kenyataan itulah yang segera memancing pertanyaan sosok macam apakah sebenarnya Biku Paraban itu. Tentunya sosok yang lebih menakutkan dari Hantu Laut. Apalagi, bukankah Ki Ajar Kembang Ayun menyebut nama Hantu Laut" "Bagaimana, Parameswara?" tanya Swasti Prabawati bingung. "Sikap orang itu sungguh aneh," jawab Parameswara. "Ia ketakutan saat nama Hantu laut disebut seolah nama itu tabu untuk disebut begitu saja karena akan menjadi hantu yang bisa muncul bila dipanggil namanya." Swasti Prabawati termangu merenung. Keadaan itu memang membuatnya sangat penasaran. Banyak sekali pertanyaan yang tidak terjawab. 178 "Jika kita berpikir sosok macam apakah Biku Paraban itu" Apakah dia orang jahat yang membuat penduduk ketakutan" Siapa pun dia namanya tabu disebut karena kalau disebut hantu itu akan muncul." Swasti Prabawati menggigil. Gadis itu sulit sekali menerima keadaan. Sekian lama ia kehilangan ayahnya lalu di tempat itu ia bertemu dengan pemegang obor yang ia yakini ayahnya namun orang itu lenyap menenggelamkan diri ke dalam tanah berpasir saat ia bermaksud memeluk melepas kerinduannya, orang itu lenyap tidak ketahuan ke mana rimbanya, keadaan itu sudah cukup untuk membuatnya gila. Kini ia dihadapkan lagi pada persoalan yang rupanya tidak kalah anehnya. Maka Swasti Prabawati mulai berpikir adakah sosok orang pemegang obor itu adalah benar hantu yang bisa mengubah-ubah wajah seenaknya seperti wajah ayahnya pula. Apakah sosok itukah Hantu Laut yang membuat Bantar Mendung penduduk pesisir Ywangga itu ketakutan" Tetapi mengapa pula Ki Ajar Kembang Ayun memintanya untuk menemuinya" Menemui hantu" Tiba-tiba Swasti Prabawati menggigil. Dadanya mengombak oleh resah yang tidak tertahan. "Biku Paraban Hantu Laut," teriak gadis itu dengan keras, suaranya memantulmantul mengenai lereng dinding pebukitan di sebelah selatan. Menggema suara ke segala penjuru angin. "Ayo keluarlah. Ini aku anak Biku Sambu dari kaki Penanggungan ada keperluan denganmu. Keluarlah kau Hantu Laut." Bantar Mendung yang berlari ke arah barat semakin lintang pukang mendengar suara teriakan yang terlampau berani menyebut nama Biku Paraban yang baginya sama dengan mengundang kemunculan para hantu dari dunia jin setan prayangan 65. Bantar Mendung rupanya yakin benar, dengan dipanggil namanya seperti itu sepasukan hantu demit segelar sepapan akan segera muncul menemui dan mungkin malah mengepung kedua anak muda itu. Itulah sebabnya Bantar Mendung memilih melarikan diri tidak mau terlibat dalam persoalan yang bukan urusannya. Parameswara dan Swasti Prabawati menebar pandang ke arah permukaan laut yang memanjang dari timur ke barat. Cahaya ombak yang diterpa sinar bulan terlihat pecah kekuningan. Sulit untuk melihat sesuatu yang ganjil di laut dengan warna pecah seperti itu. Namun Parameswara dan Swasti Prabawati terpaksa menahan degup jantung yang terangsang untuk berpacu lebih kencang, seperti diguncang-guncang karena ternyata memang benar apa yang dicemaskan Bantar Mendung itu karena sejenak kemudian Parameswara dan Swasti Prabawati melihat sesuatu di sebelah utara. Meski hanya lamat- lamat sangat jelas terlihat. Orang yang berenang dengan menggenggam sesuatu yang bercahaya di dalam air, berenang dengan lincah melebihi lincahnya ikan. "Hantu itu, Parameswara," bisik Swasti Prabawati. "Ya," jawab Parameswara pendek saja. Masih membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk menunggu hantu yang berenang itu. Parameswara bergegas sibuk berpikir, sikap yang bagaimana yang harus diambilnya untuk menghadapi hantu yang jelas berasal dari dunia lain, dari alam yang berbeda. Akhirnya, hantu yang berenang itu muncul ke permukaan air dengan obor di tangan kanan. Parameswara melihat, yang dipegang oleh sosok hantu itu benar-benar obor, angin 65 Prayangan, jawa, dunia makhluk halus 179 yang berhembus bahkan nyaris memadamkan cahaya obor itu. Ketika orang itu berjalan lebih mendekat Swasti Prabawati melihat ujutnya memang ujut ayahnya. "Ayah. Benarkah orang itu ayah?" bisik gadis itu yang sulit untuk mengendalikan diri. Parameswara memegang tangan Prabawati dengan kuat. "Untuk sementara, jangan kau menganggap orang itu ayahmu Swasti. Yang kita hadapi sesuatu yang sulit dijangkau akal," bisik Parameswara. Swasti Prabawati memenuhi saran Parameswara. Dengan sekuat tenaga gadis itu berusaha mengendalikan diri walau melihat orang pemegang obor itu benar-benar mirip ayahnya. Akhirnya, pemegang obor itu telah berdiri pada jarak yang dekat karenanya baik Parameswara maupun Swasti Prabawati bisa melihat ujut orang itu dengan jelas. Nun jauh di sebelah barat Bantar Mendung yang sempat menoleh dan melihat obor muncul dari permukaan ombak semakin lintang pukang larinya, jatuh bangun beberapa kali. "Kau memanggilku?" tanya hantu pemegang obor itu dengan suara yang datar seperti tidak menyimpan gejolak. Parameswara menggamit Swasti Prabawati. "Ya," jawab gadis itu. "Apakah kau Hantu Laut Biku Paraban?" Disebut hantu tidak menyebabkan rona wajah pemegang obor itu berubah. "Mengapa kau mencariku" Siapa orang yang menyuruhmu datang kemari?" Swasti Prabawati merasa ulu hatinya ngilu sekali. Gadis itu akhirnya tahu, meski sosok ujutnya sama tetapi orang yang berada di depannya jelas bukan Biku Sambu ayahnya, bahkan Swasti Prabawati merasa sangat yakin sosok pemegang obor itu bukan manusia, ia benar-benar makhluk dari dunia lain, dunia hantu. Beberapa jenak Swasti Prabawati berusaha menenteramkan diri. "Ki Ajar Kembang Ayun dari perguruan Pesanggaran memintaku menemuimu," kata gadis itu dengan suara terbata. Rupanya nama Ki Ajar Kembang Ayun mempunyai makna tersendiri bagi sosok pemegang obor itu. Wajahnya tampak sedikit kaget dan tetapi itu sudah cukup bagi Parameswara untuk mengambil simpulan pemegang obor itu bukan hantu tetapi benarbenar manusia. Parameswara pun manggut-manggut dan berusaha untuk tidak tersenyum. "Mengapa Ki Ajar menyuruhmu menemui aku?" tanya pemegang obor itu. Prabawati melepaskan tangannya dari tangan Parameswara. "Aku mencari ayahku. Aku diminta bertanya kepadamu di mana ayahku berada," kata Swasti Prabawati dengan suara terdengar terbata. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wajah pemegang obor semakin berubah. Semuanya itu tidak lepas dari perhatian Parameswara. Parameswara bahkan telah sampai pada sebuah dugaan yang disimpannya dugaan itu di dalam hati. "Siapa nama ayahmu?" tanya pemegang obor. "Ayahku," suara Swasti Prabawati terdengar amat tersendat, "ayahku Biku Sambu." Kali ini pemegang obor itu yang benar-benar kaget. Parameswara pun tidak bisa menyembunyikan senyumnya karena merasa yakin simpulannya benar. Pemegang obor itu melangkah lebih dekat. Dengan seksama diperhatikannya gadis itu. "Apakah kau, namamu Swasti Prabawati?" tanya orang itu dengan suara sedikit bergetar. "Ya," jawab gadis itu dengan suara serak. 180 Swasti Prabawati tentu saja merasa heran. Pemegang obor itu melangkah lebih dekat. Sekali ayun obor yang dipegangnya melesat menancap di dalam tanah berpasir tembus serta amblas tidak ketahuan di mana. Kali ini cahaya yang menerangi mereka hanya berasal dari cahaya bulan. Orang itu memberi isyarat agar Swasti Prabawati mendekat. Tanpa ragu gadis dari perguruan Pasir Wutah itu pun mendekat. Swasti Prabawati merasa dadanya bagai diguncangguncang ketika orang itu meraih tubuhnya dan memeluknya begitu lekat. Tidak tahu oleh alasan apa Swasti Prabawati menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Hantu Laut itu. Beban yang begitu berat seperti mendapat penyaluran untuk tumpah ruah. Parameswara menghela napas oleh perasaan sangat lega setelah merasa simpulannya benar. "Sudah lama sekali aku menunggumu," kata orang itu dengan nada suara yang terdengar bergetar. "Aku pamanmu. Ayahmu Biku Sambu saudara kembarku." Hening segera datang. Senyap pun menyelimuti. Swasti Prabawati masih memerlukan untuk melarutkan beban di dadanya. Hantu laut yang ternyata adalah pamannya itu memeluk dengan lekat dan membusai rambutnya. Parameswara juga melihat, orang yang selama ini hidup layaknya hantu itu sebenarnya mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri. Bahkan dalam siraman cahaya bulan terlihat kelopak mata Hantu Laut itu membasah. Di langit, bulan yang tak bulat itu seperti ikut tersenyum menjadi saksi atas apa yang terjadi. Bintang-bintang gemerlapan di mana-mana, bahkan seperti kebetulan burung yang terbang malam banyak berseliweran di udara. Biku Paraban seperti seorang ayah yang telah sekian tahun kehilangan anaknya dan anak yang hilang itu kini telah kembali. Itu sebabnya betapa perasaan orang tua itu begitu meluap. Akan halnya bagi Swasti Prabawati, yang ia rasakan tidak ubahnya telah bertemu kembali dengan ayah kandungnya, apalagi antara Biku Sambu dan Paraban memiliki wajah yang serupa bagai pinang dibelah dua. "Paman Biku, terimalah sembah dan baktiku," akhirnya gadis itu mampu bersuara meski dengan nada yang amat tersendat seolah menyangkut di tenggorokan. Justru Biku Paraban yang tak mampu menjawab. Lagi-lagi gadis itu direngkuh dan dipeluknya. Biku Paraban memandang langit seperti akan berbicara pada sesuatu yang berada di sana. "Wahai para Dewa, terimakasih untuk karunia yang kauberikan kepadaku malam ini. Terimakasih Dewa," parau sekali suara orang itu. Parameswara merasa miris. Akhirnya Biku Paraban telah menguasai diri. Dituntunnya Prabawati melangkah menuju sebuah batu sebesar kerbau bengkak yang tergolek. Parameswara mengikuti langkah mereka dari belakang. Sapu Angin seperti tanggap atas apa yang sebenarnya terjadi. Kuda Sapu Angin lebih banyak diam mencermati keadaan. Demikian juga dengan kuda betina tunggangan Swasti Prabawati seperti mulai belajar bahasa yang dipergunakan makhluk manusia mulai tanggap dan ikut merasakan. "Apa sudah lama ayahmu pergi?" tanya Biku Paraban. Swasti Prabawati memandang pamannya begitu lekat. Gadis itu dililit oleh pesona melihat kenyataan betapa wajah orang itu amat mirip dengan ayahnya. Benar-benar mirip. "Sudah satu bulan lebih ayahku pergi, paman. Aku cemas memikirkan beliau karena sebelum kepergiannya, ayah Biku Sambu menggembleng diri seperti orang yang 181 lupa diri. Aku cemas kepergian ayah adalah untuk memenuhi sebuah tantangan perang tanding. Aku mencemaskan nasibnya, paman." Biku Paraban termangu. Biku Paraban kemudian menoleh kepada Parameswara. Diperhatikannya wajah pemuda itu dengan sangat lekat. Seperti sebuah kebetulan saja Biku Paraban melihat sesuatu pada raut wajah pemuda itu. "Dan kau, siapakah kau anak muda?" tanyanya. "Namaku Parameswara, paman. Ki Ajar Kembang Ayun adalah ayahku." Justru oleh jawaban itu Biku Paraban memerhatikan wajahnya dengan lebih cermat. Parameswara yang diperhatikan tentu saja merasa penasaran. "Ada apa paman?" Parameswara bertanya. "Apakah kau anak kedua Ki Ajar Padmanaba itu?" Parameswara merasakan bulu kuduknya bangkit. Ternyata orang yang disebut Hantu Laut atau Pemancing ikan dari pesisir Ywangga itu banyak mengetahui berbagai hal termasuk nama asli ayahnya. Parameswara amat tergoda rasa ingin tahunya. "Aku memang anak kedua Ki Ajar. Lebih tepatnya, di perguruan Kembang Ayun Pesanggaran itu aku hanya anak angkat. Kepergianku meninggalkan perguruan adalah untuk mencari ayahku," jawab Parameswara. Parameswara melihat, seperti ada sesuatu yang bergolak di dalam dada orang tua itu. Akan tetapi Parameswara tidak berhasil menebak ada apa sesungguhnya. Justru Parameswara yang kemudian terperanjat ketika Biku Paraban itu bertanya. "Kau akan mencari ayahmu ke Kediri?" Gemetar Parameswara. "Paman mengetahui asal-usulku?" Pertanyaan itu menyebabkan orang tua yang rambutnya sebagian telah memutih itu diam berpikir beberapa lama. Biku Paraban memandangi Parameswara dan Swasti Prabawati bergantian. "Kalian berdua sudah cukup lama saling mengenal?" tanya Biku Paraban. Parameswara memandang Swasti Prabawati. Swasti Prabawati mewakili Parameswara menjawab pertanyaan itu. "Baru dua hari ini paman," jawab Swasti Prabawati. Biku Paraban memandangi Parameswara dan Swasti Prabawati bergantian seperti ada sesuatu yang menjadi pertimbangannya. Biku Paraban kemudian berdiri. "Kalian ikut aku," ucapnya. Swasti Prabawati langsung mengikuti pamannya dari belakang sebaliknya Parameswara justru mendekati kudanya. "Sapu Angin, kauboleh berkeliaran sesukamu. Tetapi ingat, jangan jauh-jauh dari tempat ini. Aku masih belum tahu akan berapa lama berada di sini. Tetapi aku yakin kau tak akan kesepian," bisiknya. Kuda Sapu Angin itu meringkik sebagai ungkapan memahami pesan yang diberikan padanya itu. Sapu Angin yang tak perlu diikat itu kemudian berbalik dan menggerakkan kaki depannya. Parameswara menyempatkan mengelus punggungnya dan bergegas menyusul. Parameswara memerhatikan tempat di mana Biku Paraban itu tinggal dengan terpaksa harus menggeleng-geleng kepala. Ada sebuah pohon dengan dahan-dahan yang lintang melintang yang diatur sedemikian rupa sehingga tersulap menjadi sebuah tempat tinggal yang aneh. Cerita tentang orang yang tinggal di pepohonan Parameswara pernah 182 mendengar itu dari Ajar Taji Gading yang pernah merantau ke wilayah Tanjung Pura. Namun agaknya tak harus pergi menyeberang laut untuk bisa melihat orang tinggal di atas pohon. Namun Parameswara tidak bisa menganggap remeh tempat itu karena kebutuhan yang diperlukan tersedia dengan lengkap. Tak jauh dari pohon ada sumber air menempel di punggung tebing. Di tempat itu Hantu Laut bisa memenuhi kebutuhan atas air bersih dan untuk mandi. Parameswara yang memanjat naik mendapati ada semacam amben66 yang dirangkai dari bilah-bilah bambu yang bisa digunakan untuk tidur. Parameswara terbelalak ketika melihat ada beberapa benda tembikar yang digunakan menanam berbagai bumbu, ada cabe dan tomat. Bahkan dengan penciumannya Parameswara bisa menangkap bau bawang merah dan bawang putih. Parameswara tersenyum manakala membayangkan andaikata dirinya yang tinggal di tempat itu dalam jangka waktu yang lama dan memerankan diri sebagai Hantu Laut. "Bila siang hari maupun sore, pemandangan di laut tentu indah sekali," ucap anak Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun untuk diri sendiri. Namun rupanya tuan rumah tidak berniat membawa tamu-tamunya duduk tanpa melakukan apa pun di pohon itu. Punggung Parameswara berdesir ketika Biku Paraban menyibakkan dedaunan. Tepat di belakangnya yang adalah sebuah tebing batu-batu cadas yang keras ternyata terdapat sebuah pintu sebuah goa. Biku Paraban memasukinya. Goa itu tidak terlampau gelap karena ada cahaya yang berasal dari dalam. "Paman tinggal di tempat ini?" tanya Swasti Prabawati yang merasa penasaran. Swasti Prabawati ngeri membayangkan pamannya benar-benar hidup sebagai hantu, tidak seperti sewajarnya manusia. "Karena sesuatu hal aku tidak mungkin meninggalkan tempat ini," jawabnya tanpa penjelasan. Parameswara memerhatikan goa yang terletak di tepi pantai di dalam tebing batu padas itu dengan penuh perhatian. Ruangan goa itu ternyata sangat luas dan bahkan Parameswara kemudian melihat berbagai peralatan untuk memasak juga ada di dalam goa itu. Akan tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah patung wanita berdiri seperti sedang bersandar dinding. Dengan rasa ingin tahunya Swasti Prabawati mendekati patung batu yang diraut dengan kemampuan pahat tingkat tinggi itu. Patung batu itu terlihat seperti hidup. Rasa ingin tahu Swasti Prabawati tak bisa dibendung lagi. Swasti Prabawati tidak mampu menahan munculnya desir tajam oleh alasan yang tidak ia mengerti. Prabawati hanya merasa ada hubungan batin yang kuat antara patung batu wanita itu dengannya. Dengan seksama Prabawati mencermati wajah patung yang cantik itu seperti menyiratkan kesedihan yang luar biasa. Menempatkan diri berdiri di sebelah keponakannya Biku Paraban menerangi patung itu menggunakan obor. Parameswara kaget melihat ujut patung batu itu mirip dengan Swasti Prabawati. "Patung siapa ini, paman?" tanya Swasti Prabawati. Biku Paraban tidak dengan segera menjawab, ia memerlukan memerhatikan arca itu dengan penuh perhatian, barulah sejenak kemudian ia menoleh. "Patung Ibumu," jawab Biku Paraban dengan suara yang terdengar agak bergetar. Sungguh itulah jawaban itu menyebabkan Swasti Prabawati terlonjak. Prabawati memandangi patung tanpa berkedip. Biku Paraban mendekatkan obor di tangannya untuk 66 Amben, jawa, tempat tidur 183 menerangi wajah patung itu dengan lebih jelas agar. Begitu sedihnya tatapan patung itu bisa dirasakan anaknya. Swasti Prabawati tidak bisa membendung gejolak di dadanya. Maka dengan tangan gemetar Swasti Prabawati memegang lengan patung itu dan menciumnya seperti yang dilakukan seorang anak dalam mengungkapkan baktinya. Swasti Prabawati merasa dadanya kian sesak. Relung jiwanya amat tersentuh oleh wajah yang digayuti duka itu, Swasti Prabawati kemudian berjongkok memeluk dan mencium kakinya. Gadis itu bersimpuh. "Apakah yang terjadi pada Ibuku paman?" terdengar agak parau suara gadis itu. Swasti Prabawati tak mengalihkan pandangan matanya dari patung Ibunya. Bagaimanapun Swasti Prabawati merasa selama ini ia hidup dibesarkan hanya oleh ayahnya tanpa didampingi oleh kehadiran seorang ibu. Swasti Prabawati tentu tidak bisa menghapus kenangan masa kecilnya yang sering merasa cemburu melihat teman-teman sebayanya memiliki ayah sekaligus ibu. Kehadiran sosok ibu itu akhirnya sering muncul di dalam tidurnya. Kini Swasti Prabawati tiba-tiba dihadapkan pada arca Ibunya, hal itu sungguh sangat mengguncang jiwanya. Butuh waktu beberapa saat untuk meyakinkan diri sendiri bahwa yang berada di depannya itu hanya sekadar sebuah patung, meski pengaruh kejiwaan terhadap dirinya benar-benar luar biasa. Biku Paraban seperti kesulitan untuk menjelaskan apa yang terjadi di masa lampau. "Ibumu mati muda," kata Biku Paraban. "Dewa di langit berkenan memberinya kesempatan untuk segera kembali sesaat setelah melahirkanmu." Parameswara merasakan giris mendengar awalan cerita itu. Apa yang dialami Swasti Prabawati sebagai anak yang kebingungan karena berpisah dengan orang tuanya, sebangun dengan apa yang dialaminya yang sedari kecil tak tahu seperti apa ujut orang tuanya. Sebaliknya bagi Swasti Prabawati kelahirannya yang ternyata menjadi penyebab kematian Ibunya meninggalkan duka tersendiri di sudut hatinya. "Mohon diceritakan, paman. Serta di manakah saat ini ayahku berada?" Swasti Prabawati tidak sabar lagi. Suara gadis itu terdengar amat serak mewakili isi hatinya yang sedang berderak. Biku Paraban menghela napas mengawali ceritanya, sebuah kisah amat kelabu yang terjadi di masa lalu yang meski betapa ia sangat ingin melupakan namun tak mungkin terhapus dari ingatan. Sekuat apapun ia berusaha melupakan sekuat itu pula kejadian di masa lalu itu menancap di benaknya. "Kami tiga bersaudara," Biku Paraban memulai bercerita. Parameswara ikut menyimak kisah itu dengan seksama dan segenap perhatian serasa tidak ingin ada satu kalimat pun yang tercecer. "Saudara yang tertua adalah Narasinga. Yang ke dua dan ke tiga terlahir kembar. Aku lahir lebih dulu, orang tuaku menandaiku dengan sebuah nama yang kupakai hingga sekarang, Paraban. Lalu disusul saudaraku yang terlahir paling belakang, yang ditandai dengan nama Sambu." Parameswara maupun Swasti Prabawati sama sekali tak menyela cerita itu. Mereka menempatkan diri dan menunggu dengan penuh minat. Biku Paraban menerawang seperti mencoba mengenang apa yang telah terjadi di masa yang menjadi bagian dari sejarah kehidupannya, saat mana ketika itu otot-otot masih gempal dan kekar. Saat nafsu begitu gampang bergolak. 184 "Kami bertiga, hidup rukun di sebuah padepokan di sebuah tempat di pesisir laut selatan. Di tempat itu pula kami menggembleng diri mempelajari ilmu kanuragan dari perguruan Pasir Wutah." Nama Pasir Wutah disebut menyebabkan Swasti Prabawati tercekat sekaligus heran. Menurut pemahamannya Pasir Wutah itu berada di kaki Gunung Penanggungan, Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Pasir Wutah?" tanya gadis itu. "Ya," jawab Biku Paraban. "Apakah di kaki Gunung Penanggungan?" Biku Paraban menggeleng. "Perguruan Pasir Wutah di kaki Gunung Penanggungan adalah perguruan yang dikembangkan oleh saudara kembarku, kakang Biku Sambu. Sedang perguruan Pasir Wutah sebelumnya berada pesisir laut selatan." Parameswara mencatat dengan baik nama itu. Swasti Prabawati menyimak dengan lebih seksama. "Maaf paman. Paman memanggil kakang kepada paman Biku Sambu, bukankah paman terlahir lebih dulu?" tanya Parameswara. Biku Paraban tersenyum. "Ada kepercayaan yang diyakini banyak orang, pada bayi kembar, bayi yang lahir lebih dulu justru yang muda dan bayi yang lahir belakangan justru lebih tua. Bayi yang lahir belakang karena ngemong 67 adiknya yang lahir lebih dulu. Itulah sebabnya aku memanggilnya kakang." Parameswara termangu memikirkan jawaban yang dirasanya agak aneh itu. 25. Maka menjelajahlah Biku Paraban itu bagai menembus ruang dan waktu menerobos masuk kembali ke masa lampau, ke waktu yang telah lewat. Di mana pada saat itu, ia beserta saudara-saudaranya masih berusia muda dan menggembleng ilmu kanuragan dengan penuh semangat dengan berguru pada ayahnya sendiri, Ki Bendung Swara. Akan tetapi sebagaimana layaknya anak muda, maka selalu saja ada sandungan yang menjadi kerikil tajam meretakkan hubungan mereka. Persoalannya hanyalah karena hadirnya seorang perempuan. Andaikata Ki Bendung Swara masih hidup, pertikaian itu mungkin tidak perlu terjadi dan bisa dikendalikan. Akan tetapi sudah setahun lebih pimpinan perguruan Pasir Wutah itu telah tiada mati karena keracunan. "Sambu," Narasinga berteriak. Sambu yang tengah berlatih olah kanuragan itu menghentikan kegiatannya. Dengan tatapan mata yang aneh Sambu memandang kakaknya yang mempunyai sifat brangasan itu. Mata Narasinga yang kemerah-merahan menandai bagaimana keadaannya dan atau apa yang baru saja ia lakukan. "Ada apa?" Sambu balik bertanya. Sambu tidak membalas meski Narasinga bertolak pinggang. "Kenapa masih kaudekati dia?" 67 Ngemong, jawa, mengasuh 185 "Mendekati siapa?" tanya Sambu. Narasinga benar-benar jengkel. Pengaruh tuak yang diminumnya membuat otaknya bergoyang. "Jangan kauusik gadis itu, dia milikku," ancam Narasinga. Akan tetapi Sambu bukanlah jenis lelaki pengecut yang takut digertak begitu saja. Senyum sinisnya mencuat. Sambu mendekati kakaknya sampai pada jarak amat dekat. Narasinga bahkan terpaksa harus mundur beberapa langkah karena ia sadar, jika Sambu mengayunkan tangan kanannya menggampar wajahnya, jarak yang tersedia untuk itu terlalu rapat. "Apa hakmu melarangku berhubungan dengan Luh Saras?" balas Sambu yang tentu saja membuat Narasinga tambah tidak senang. "Justru kau yang kuminta untuk tidak lagi mengganggu Luh Saras lagi. Dia telah menjatuhkan pilihannya padaku." Kenyataan yang dihadapi Narasinga memang seperti itu adanya, Luh Saras, gadis cantik siswa perguruan yang baru itu telah menjatuhkan pilihannya kepada Sambu meski Narasinga dan Paraban juga ikut memperebutkan perhatiannya. "Aku tak peduli," teriak Narasinga, "Luh Saras tertarik padamu karena kaugunakan ilmu gendam pemikat wanita." Mendengar tuduhan macam itu membuat Sambu tertawa. Tuduhan itu terasa sangat mengada-ada. Tanpa mempedulikan Narasinga, Sambu berniat kembali melanjutkan latihannya. Akan tetapi rupanya Narasinga benar-benar sedang tidak mampu berpikir. Narasinga melempar bumbung berisi tuak yang baunya sangat menyengat. Melihat sikap itu Sambu segera mempersiapkan diri. Apa yang ia curigai ternyata benar karena tiba-tiba Narasinga meloncat. Tongkat panjang yang dipegangnya, melintang di depan dada. Matanya tajam terarah pada Sambu. Sambu membalasnya dengan tak kalah tajam. Masing-masing mata kakak beradik yang sedang berseteru itu nyaris terlepas dari dalam kelopaknya, apabila tidak terikat kuat oleh otot-otot, maka bola mata itu akan berjatuhan. "Kau mau apa?" tanya Sambu. Narasinga meludah dengan amat kasar. "Aku mau bilang, jangan kau ganggu Luh Saras," ancamnya sekali lagi. Sambu tidak senang dengan sikap kakaknya. Sambu tahu Narasinga sedang berada dalam pengaruh minuman yang memabukkan. Paraban yang mendengar pertengkaran itu datang mendekat. Paraban yang menempatkan diri berdiri di sebelah saudara kembarnya dengan segera dianggap sebagai sikap keberpihakan. "Ada apa ini?" tanya Paraban. Narasinga melotot. "Jangan ikut campur," bentak Narasinga. Namun Paraban tidak peduli. "Mengapa harus bertengkar?" Paraban berdiri di dekat saudara kembarnya. Terpengaruh oleh pengaruh tuak yang diminumnya dengan mudah Narasinga tersulut kemarahannya. Narasinga membuka gerak kembangan olah kanuragan yang menandai kesiapannya bertarung, hidup atau mati. "Aku minta kalian berdua, jangan coba-coba menarik perhatian Luh Saras. Gadis itu milikku. Aku akan menjadikannya sebagai isteriku," teriaknya dengan suara yang lantang. Paraban meski juga ikut terpesona oleh kecantikan Luh Saras namun masih mampu menggunakan akal untuk menerima kenyataan. Paraban tidak memaksa diri dan mundur 186 teratur memberi kesempatan kepada Sambu untuk meraih kebahagiaannya. Akan tetapi justru Narasingalah yang kehilangan akal. Ketika cinta sedang menggelegak ditolak maka hasrat itu bisa berubah menjadi kekuatan amarah, bahkan kebencian. Melihat sikap Narasinga yang demikian Paraban berusaha menengahi. "Luh Saras sudah menjatuhkan pilihannya pada kakang Sambu mengapa kau masih memaksakan diri?" tanya Paraban. Tetapi Narasinga melotot kepadanya. Tangan kanannya yang tidak lagi memegang tongkat kayu menuding langsung ke hidungnya. "Pergi kau pecundang, jangan ikut campur urusan ini," teriaknya. Akan tetapi Paraban tentu tidak senang diperlakukan dengan kasar oleh kakak kandungnya itu. Dengan penuh keyakinan ia melangkah mendekatinya. Paraban telah bersiaga penuh jika tiba-tiba Narasinga menyerang, bahkan menawarkan sebuah serangan balasan yang pasti mematikan bila diperlukan. "Sadarilah kekeliruanmu kakang Narasinga. Luh Saras tidak menjatuhkan pilihannya kepadamu," kata Paraban. Narasinga tidak senang mendengar jawaban itu. "Diam kau," bentak kakaknya dengan amat kasar. "Luh Saras tidak menyukaimu kakang Narasinga. Kau mau apa" Apakah kau akan memaksanya seperti yang kaulakukan selama ini pada beberapa orang gadis yang tidak mau kepadamu lalu kaupaksa, kauperkosa, apakah kau akan melakukan hal itu pula kepada Luh Saras" Sampai kapan cerita macam itu akan berakhir?" Menggigil Narasinga mendapat cercaan yang begitu pedas itu. Untuk beberapa saat mulutnya terbungkam tidak mampu berbicara lagi. Namun cercaan itu juga merangsang kemarahannya hingga akan memecahkan ubun-ubunnya. "Kau mau membungkam mulutmu apa tidak, ha?" Paraban tidak senang diperlakukan seperti itu. Paraban menyingsingkan lengan bajunya dan siap melayani apapun yang akan dilakukan kakaknya. Paraban tidak perlu merasa gentar karena dalam keseharian, kakaknya yang gemar minum tuak itu bukan tandingannya. Namun Sambu mencegahnya. "Sudahlah adi Paraban, tenanglah. Mengapa kau terpancing?" ucap Sambu yang bagaikan siraman sejuk membuat panas yang akan meledak itu kembali dingin. Paraban diam. Sambu yang kemudian menempatkan diri menghadapi kakaknya yang telah waringuten68 itu. Sambu menggeleng-geleng kepala melihat kakaknya benar-benar kehilangan kendali, akal warasnya murca entah ke mana. Narasinga mencabut senjatanya dari warangkanya, sebuah pedang panjang putih mengkilat yang amat tajam, ketajamannya bahkan bisa dipergunakan mencukur rambut. Sambu merasa kecewa karena sikap kakaknya itu bukan contoh yang baik, untunglah pada saat itu para siswa perguruan sedang tidak berada di padepokan. Telah sebulan lamanya padepokan sedang suwung 69 karena atas perintah Sambu segenap siswa dikirim ke beberapa tempat di sepanjang pesisir selatan itu untuk menolong penduduk yang baru mengalami bencana disapu ombak besar yang menjadi susulan gempa bumi. 68 Waringuten, jawa, kehilangan kendali, lupa diri. 69 Suwung, jawa, kosong tidak ada orang 187 "Kakang Narasinga," kata Sambu, "jika memang benar kau menginginkan Luh Saras, aku masih memberi kesempatan kepadamu untuk menanyainya. Apa ia mau kauambil sebagai isterimu atau tidak," Narasinga terdiam. Tawaran yang diberikan Sambu itu menjadi sesuatu yang amat membingungkan. Narasinga ingat, beberapa hari yang lalu ia telah mengemukakan hasrat dan kehendaknya kepada Luh Saras namun gadis itu menggeleng menampiknya. Cinta Luh Saras telah dipersembahkan kepada Sambu. Luh Saras tidak mungkin mengalihkan cinta itu kepada orang lain. Itu sebabnya mulut Narasinga kembali terbungkam. Namun ledakan di dalam dadanya membutuhkan penyaluran. Maka dengan tiba-tiba Narasinga itu melenting cepat menjulurkan sebuah serangan yang amat mematikan. Narasinga rupanya tidak melihat jalan lain yang bisa digunakan memiliki Luh Saras kecuali menghabisi orang yang menjadi penghalangnya. Meski orang itu adik kandungnya sendiri. Sambu tidak mengira akan mendapat serangan yang begitu mendadak. Walau dengan cepat Sambu berusaha berkelit akan tetapi pedang Narasinga masih bisa menggapai lengannya. Sebuah luka memanjang tercipta disusul kemudian oleh munculnya warna merah, darah meleleh. Narasinga memutar pedang siap menyusuli dengan serangan berikutnya. Sambu yang merasa kecewa sekali terhadap sikap kakaknya itu merasa gamang untuk melayani. Melihat gelagat yang kurang baik itu Paraban segera melenting menghadang serangan yang datang. Sebuah sapuan tajam mengayun datar membahayakan Narasinga. Narasinga segera menggeliat menghindar. "Naskleng70," umpatnya kasar. Wajahnya merah seperi kepiting direbus. Pengaruh minuman memabukkan serta kemarahannya telah menyatu menjadi sosok yang tak bisa berpikir waras lagi. Narasinga mengacungkan pedangnya lurus ke hidung adiknya. Wajah Paraban menebal, perilaku kakaknya itu benar-benar kelewatan. Meski sikapnya yang demikian karena berada dalam keadaaan mabuk hal itu tak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran lebih-lebih mabuk itu memang disengaja karena tak mungkin Narasinga punya nyali saat pikirannya waras. "Mengapa kauikut campur ha?" teriaknya. Meluap kemarahan Paraban. "Kau sudah tidak mampu berpikir waras lagi kakang Narasinga hingga kautega akan membunuh adikmu sendiri?" Paraban balas berteriak tak kalah kerasnya. Narasinga benar-benar marah. Narasinga segera memutar senjatanya, bersiap-siap dengan sebuah serangan baru. Masalahnya Paraban tidak mau dijadikan pecundang. Paraban segera mencabut dan memutar senjatanya pula, sebuah pedang panjang dengan sisi tajam yang berkilat-kilat dengan bentuk sama persis seperti yang dimiliki kakaknya. Keduanya melenting hampir bersamaan waktu, mengapung di udara dan kemudian melesat saling menyerang. Ayunan pedang menebas amat derasnya, saling berbenturan di udara membuahkan bunga api yang muncrat ke mana-mana. Paraban berjumpalitan di udara menghindari serangan berikutnya yang masih menyusul. Namun Paraban mampu mengimbangi serangan itu dengan tidak kalah baiknya, sebuah sapuan yang ia tawarkan, datang bergulung dari atas berupa gerakan pedang berputar seperti mengebor tanah yang dijamin pasti akan berlobang menyebabkan Narasinga harus berjumpalitan menghindar. "Bajingan," umpat Narasinga dengan amat kasar. 70 Naskleng, Bali, umpatan kasar khas Bali, identik dengan Dancuk gaya Surabaya 188 "Sadari kekeliruanmu kakang Narasinga," Paraban memberikan kesempatan, "renungkan apa pantas perkelahian ini?" Namun Narasinga memang tidak mampu berpikir jernih. Narasinga melejit cepat melancarkan serangan yang sangat berbahaya, bagaikan seekor burung sikatan Narasinga bergerak memutar mencari celah untuk mencederai adik kandungnya. Lagi-lagi Paraban merasa kecewa karena serangan itu benar-benar sebuah serangan yang bisa menyebabkan kematian. Sudah demikian hitamkah warna hati Narasinga sehingga tidak lagi mampu membedakan antara pantas dan tidak pantas. Apa boleh buat Paraban tak punya pilihan lain, Paraban terpaksa menghindar. Ayunan pedangnya segera menerobos memecahkan serangan kakaknya memaksa Narasinga segera mengubah arah, lagi-lagi sebuah serangan yang amat berbahaya. Paraban segera menjatuhkan diri sambil kaki kirinya menendang dengan deras. Tendangan kaki itu membuat Narasinga terlempar deras ke atas. Namun gerakan itu segera dimanfaatkan untuk berjungkir balik. Ketika melayang turun pedangnya terayun deras menjanjikan serangan yang mematikan. Dengan cekatan Paraban segera berguling- guling menghindar karena hampir saja pedang panjang itu membenam di dadanya. "Hentikan," tiba-tiba terdengar sebuah teriakan. Mereka yang berkelahi itu berhenti. "Mengapa kalian berkelahi seperti itu" Dan menjadikan aku sebagai penyebab" Mengapa tidak kalian bunuh saja aku?" Paraban dan Sambu termangu diam. Juga Narasinga tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Kemunculan gadis itu dengan tiba-tiba telah membungkam Narasinga yang liar. Luh Saras mendekati Narasinga, matanya merah dan tangisnya serasa tak tercegah. "Silahkan kakang bertiga saling berbunuh. Apa pun yang akan kalian lakukan aku tidak peduli. Tetapi sebelumnya bunuh aku lebih dulu. Ke sini kalian harus benamkan pedang itu. Ayo lakukan. Lakukan kakang Narasinga, kakang Paraban, kakang Sambu." Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suara Luh Saras terdengar amat serak dan kecewa sekali. Gadis muda yang berwajah lembut dan cantik itu tidak mampu menguasai diri lagi. Ia jatuh bersimpuh di lantai dekat pendapa. Tangisnya sesenggukan. Narasinga yang kebingungan bergegas pergi. Setelah menimbang Paraban juga segera meninggalkan tempat itu. Hanya Sambu yang tinggal dan mendekati kekasihnya. "Mengapa jadi begini kakang" Mengapa kalian tiga bersaudara bertengkar dan akan saling berbunuh karena aku?" suaranya serak. Sambu diam tidak bisa menjawab. Sebenarnyalah Sambu tak kalah kecewa melihat keadaan itu. Luh Saras yang menangis segera direngkuhnya. Luh Saras menjatuhkan diri di dalam pelukan kekasihnya, akan tetapi mereka tidak sadar, bahwa yang hanya sekadar berpelukan seperti itu telah membuat Narasinga yang melihat dari kejauhan mendidih, atau hangus dibakar rasa cemburu. "Sudahlah, jangan pedulikan apa pun," kata Sambu. Namun tetap saja Luh Saras menangis, sedih dan kecewa kepada diri sendiri yang merasa menjadi penyebab pertengkaran di antara tiga bersaudara itu. Luh Saras merasa kehadirannya justru telah memecah belah mereka, lebih dari itu Luh Saras merasa kehadirannya di perguruan Pasir Wutah telah menjadi sumber kekisruhan belaka. Rupanya persoalan memang tidak selesai begitu saja. Narasinga tak bisa menerima kenyataan. Akal warasnya tidak bekerja sebagaimana lumrahnya. 189 "Aku tidak mau hangus sendiri. Aku tidak mau dibakar cemburu sendiri. Jika harus terbakar maka biarlah terbakar semuanya. Sambu atau Paraban boleh memiliki gadis itu, tetapi mereka hanya akan mendapatkan sisanya belaka. Aku akan mencari kesempatan untuk itu." Sebuah rencana yang benar-benar jahat. Di sebuah petang, Luh Saras benar-benar tidak menduga Narasinga akan tega berbuat jahat kepadanya. Ketika Luh Saras sedang berada di pakiwan71, tiba-tiba saja Narasinga muncul dari belakang dan mendekapnya. Narasinga adalah seorang dari tiga pewaris utama perguruan Pasir Wutah. Itu sebabnya Narasinga telah menguasai ilmu melumpuhkan lawan dengan mengunci simpul-simpul syaraf. Sebuah tekanan yang diberikan pada beberapa simpul syaraf tertentu di punggung menyebabkan gadis itu tidak bisa bergerak lagi. Juga pada syaraf tertentu di leher menyebabkan gadis itu tidak bisa berbicara. Dengan beringasnya Narasinga menumpahkan dendam kesumatnya. Sebagaimana yang dilakukan kepada beberapa gadis yang menjadi korbannya, Narasinga memerkosa Luh Saras menjadikan hari itu sebuah mimpi buruk abadi yang tidak pernah dibayangkan oleh gadis itu sebelumnya. Setelah hasratnya terpuasi, Narasinga minggat meninggalkan perguruan. Sambulah yang kepalanya serasa akan pecah melihat nasib buruk yang menimpa kekasihnya itu. Sambu menjadi gelap mata. Tak ada pilihan lain kecuali mengadu nyawa. Demikian mengetahui nasib buruk yang menimpa Luh Saras kekasihnya Sambu segera mencabut senjatanya dan mencari kakak kandungnya, namun Narasinga telah hilang entah ke mana. 26. "Akibat dari pemerkosaan biadab itulah, Luh Saras hamil," berbicara Paraban yang disimak Swasti Prabawati dengan perasaan hancur lebur. Mata gadis itu memerah. Terlampau sulit baginya untuk menerima kenyataan yang tak terduga itu, membayangkan pun belum pernah. "Paman Paraban," suara Swasti Prabawati terdengar teramat serak. "Jadi aku ini, terlahir dari Ibuku, akibat buah pemerkosaan?" Paraban terkunci mulutnya. Bahkan tak tahu lagi bagaimana caranya mengangguk sekadar untuk membenarkan pertanyaan itu. Ruangan di dalam goa itu kemudian menjadi hening dan senyap. Swasti Prabawati mendekap wajah dengan dada mengombak, jiwanya menggemuruh dijejali sesak kesumat. "Apa gunanya aku terlahir ke dunia tetapi dengan cara yang sangat nista seperti ini?" teriaknya tiba-tiba. Swasti Prabawati berdiri, matanya merah, bibirnya yang bergetar menandai macam apa warna hatinya. 71 Pakiwan, jawa, kosa kata ini sudah jarang dipakai dan hanya digunakan oleh kalangan terbatas di daerah Yogyakarta. Orang Jawa Timur menyebutnya jedhing, orang Solo menyebutnya kolah. Umumnya pakiwan adalah kamar mandi yang terpisah dari bangunan induk atau berada di pekarangan. 190 "Di mana Narasinga itu sekarang berada?" tanya gadis itu dengan suaranya yang datar tetapi sangar. Teriakan gadis itu penuh muatan kemarahan, seolah dengan kemarahan seperti itu, lebar langit sekalipun bakal dibelahnya. "Duduklah. Aku belum selesai dengan ceritaku," kata Paraban. Betapa sulitnya gadis itu menenteramkan diri bersaha berdamai dengan disi sendiri, Bibirnya bergetar sebagaimana tangannya juga gemetar. Apa pun serasa akan diremuk dengan tangannya. "Bagiku sudah selesai cerita itu paman Paraban. Aku tidak ingin mendengar cerita selanjutnya," katanya dengan sangar Cerita yang dituturkan Biku Paraban itu memang menjadi sebuah beban yang amat berat bagi Swasti Prabawati. Gadis itu bahkan mulai merasa jijik pada diri sendiri seolah keberadaannya di dunia ini berasal dari lepotan kotoran yang menjijikkan, atau sesuatu yang merangsang muntah. Meski berusaha macam apa pun untuk menenangkan diri akan tetapi Swasti Prabawati tidak berhasil. Dadanya kian mengombak oleh amarah yang menggemuruh. "Di mana lelaki bangsat itu berada, paman?" tanya gadis itu dengan suara yang makin bergetar. "Jangan kausebut bangsat nduk. Sebab bagaimanapun keadaannya, Narasinga itu tetap ayahmu," Biku Paraban berusaha menenangkan. Namun justru karena itu kemarahannya malah tersulut. "Apa?" suara gadis itu melengking, "apakah karena orang itu yang menjadi lantaran keberadaanku di dunia ini, aku tidak boleh memakinya bangsat" Apa bangganya aku paman" Apa bangganya aku lahir ke dunia ini tetapi dengan cara yang demikian nista, melalui cara yang menjijikkan. Aku lahir dari buah pemerkosaan" Jika boleh aku memilih aku tak perlu lahir ke dunia ini." Swasti Prabawati menutup kalimatnya dengan nada amat sangar. Swasti Prabawati tersengal. Kemarahannya terpancing. Kenyataan pahit yang harus dihadapi Swasti Prabawati itu mau tidak mau menjadi renungan bagi Parameswara. Bagi pemuda itu, keberadaan orang tua kandungnya juga masih menjadi sebuah teka-teki. Benar apa yang dikatakan Swasti Prabawati kalau boleh memilih mungkin bagi sebagian orang tidak perlu lahir ke dunia ini jika harus melalui jalan yang nista. Sebagaimana pada dirinya telah tumbuh sebuah pertanyaan mengapa orang tua kandungnya justru membuangnya sehingga ia berada di perguruan Kembang Ayun dan diambil anak oleh Ki Ajar Padmanaba" "Apakah aku juga akan mengatakan dengan lantang, tidak seharusnya aku lahir ke dunia ini jika melalui jalan yang nista?" bisik Parameswara untuk diri sendiri. Parameswara yang menunduk itu kemudian menengadah dan menatap ujut patung. Swasti Prabawati makin menggigil. "Jawablah paman, di mana ayahku Biku Sambu sekarang berada dan di mana pula bangsat Narasinga itu sekarang berada?" desaknya. "Duduklah lagi Swasti. Aku akan melanjutkan ceritaku." Terlampau berat memang, namun akhirnya Swasti Prabawati berhasil meredakan diri. Biku Paraban kembali menerawang, mengenang kembali bagian dari masa lalunya. 191 27. Sebulan setelah peristiwa yang mengerikan itu bencana susulan seperti kiamat itu sendiri. Luh Saras menangis sesenggukan meratapi nasibnya. Meski Luh Saras telah ternoda pada dasarnya Sambu masih mau menerima kenyataan atas gadis itu apa adanya. Akan tetapi yang didengar Sambu melebihi petir yang meledak dekat telinganya, padahal tak ada mendung dan angin. "Kau hamil?" tanya Sambu kaget. Luh Saras mengangguk. Matanya menerawang dengan tatapan yang kosong tiada cahaya lagi. Gairah untuk hidup yang dimiliki gadis itu benar-benar padam. Sambu masih belum bisa menerima, "Pemerkosaan yang dilakukan kakang Narasinga itu menyebabkan kau hamil?" Mata yang kosong tanpa cahaya itu kemudian menggenang bagaikan sebuah telaga dengan air yang berlimpah. Namun kesedihan hati tidak sekadar telaga yang berlimpah, karena tidak ada wadah macam apa pun yang mampu menampungnya. Kesedihan hati jauh lebih mengombak dan beriak daripada samudra seluas apa pun. "Bunuhlah aku kakang Sambu," suara Luh Saras terdengar bergetar, "untuk apa aku hidup di dunia ini?" Sambu segera meraih Luh Saras dan dipeluknya gadis yang malang nasibnya itu. Sambu merasakan dadanya seperti akan pecah, hatinya bagai disayat-sayat dengan pisau. Pedih yang terasa nyaris tidak tertahankan. Setiap ingatannya tertuju kepada Narasinga kakaknya selalu berubah menjadi dendam yang menggelegak membutuhkan penyaluran. Kepedihan hati Luh Saras adalah dendam yang karatan bagi Sambu. "Bunuh aku kakang, antarkan aku ke gerbang kematian. Untuk apa aku hidup lebih lama lagi kakang Sambu?" Tangis gadis malang Luh Saras itu kian mengental. Lengan Sambu dipeluknya dengan ketat. Di balik dinding, Paraban yang menyimak pembicaraan itu merasa hatinya ikut tersayat. Buah perbuatan Narasinga yang biadab itu sungguh mengerikan. Sudah begitu ternyata Narasinga seorang lelaki pengecut. Ia minggat tak ketahuan rimbanya. "Apa pun yang terjadi, Luh Saras, marilah kita hadapi bersama, jangan persoalkan lagi apa yang menimpamu, jangan persoalkan lagi kehamilanmu. Aku akan tetap mencintaimu," serak suara Sambu seserak itu pula warna hatinya. "Aku tak punya apa-apa yang pantas untuk kubanggakan di hadapanmu kakang Sambu. Lihatlah betapa nistanya keadaanku." Tangisnya makin menjadi. Bagi Sambu untuk menerima kenyataan itu memang teramat sulit. Namun meski bagaimana cintanya harus mampu mengesampingkan segalanya. Bahkan keadaan Luh Saras yang sudah tidak suci lagi dan apalagi gadis itu telah hamil tidak menghalangi kesungguhannya untuk mengawini. Justru keadaannya Luh Saras yang demikian itulah yang harus mendorongnya untuk melindungi. Cintanya benar-benar teruji. "Apa pun keadaanmu Luh Saras, aku akan tetap mengawinimu. Agar anak yang kaulahirkan nantinya akan memiliki ayah." 192 Sesenggukan tangis Luh Saras karena tidak mengira kekasih yang dicintainya memiliki hati yang begitu mulia. Maka sebuah upacara perkawinan yang sangat sederhana segera dilaksanakan. Bahkan upacara perkawinan itu seperti dibungkus dengan keprihatinan. Semua orang yang hadir menitikkan air mata ketika Sambu dan Luh Saras telah mengikat janji dalam ikrar. Paraban yang kemudian jantungnya serasa retak. Paraban merasa bersalah karena ikut berebut gadis itu. Paraban kemudian merasa apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak pantas. Beberapa hari kemudian, "Aku akan pergi," kata Paraban. Sambu merasa kaget. "Ke mana?" Paraban memerlukan menata degup jantungnya. "Akan kucari jejak kakang Narasinga, di mana pun orang itu bersembunyi." Sambu memandang saudara kembarnya, dengan tatapan mata yang amat lekat. "Apa yang akan kaulakukan seandainya berhasil menemukan kakang Narasinga?" tanya Sambu dengan pandangan yang sulit ditebak. "Orang itu tidak pantas hidup," kata Paraban. Sambu tersenyum getir. Senyum itu mungkin lahir dari dendam, atau mungkin dari kepahitan atau rasa getir yang telah menggumpal beku. Yang jelas, Sambu menggeleng tidak sependapat dengan gagasan yang dicetuskan saudara kembarnya. Sambu memegang tangan Paraban sambil memandang langsung ke hitam bola matanya tembus hingga ke pusat kalbunya. "Aku tidak sependapat," kata Sambu. "Kenapa?" tanya Paraban. "Bertanyalah pada dirimu sendiri apakah kau merasa berhak menghukum kakang Narasinga?" Mulut Paraban seketika terkunci. Pertanyaan yang kelihatan sederhana itu mau tak mau harus ditelan dan direnungkannya. Sambu tidak sependapat Paraban menghukum Narasinga sebab Sambu merasa lebih berhak melakukan itu. Paraban manggut-manggut. "Aku mengerti, kakang," kata Paraban, "yang aku lakukan barangkali sekadar berusaha menemukan jejaknya. Kalau aku sudah mengetahui di mana kakang Narasinga berada segalanya terserah pada kakang Sambu." Alasan itu diterima akal oleh Sambu hingga kepergiannya direstui oleh saudara kembarnya. Akan tetapi rupanya melacak jejak Narasinga ternyata bukanlah pekerjaan yang gampang. Narasinga seperti hilang ditelan bumi yang terbelah dan kemudian menutup kembali untuk menghapus segala macam bekas kehidupannya. Akan halnya Sambu lelaki itu mendampingi isterinya dengan baik dan bersikap sebagai suami yang baik pula. Namun meski demikian sikap Sambu yang amat baik itu tidak mampu menghapus duka Luh Saras yang selalu terbayang pada bencana yang menimpanya. Seiring dengan kehamilannya yang semakin membesar, kesedihan, duka dan nestapanya tetap tidak bisa dihapus begitu saja. Tubuh wanita yang semula padat berisi itu telah berubah menjadi amat kurus dan kering. Dan sepanjang kehamilannya belum sekalipun Sambu menjamahnya meski sebagai seorang suami Sambu berhak melakukan itu. Rupanya baik Sambu dan Luh Saras telah 193 sepakat mereka akan menjadi suami isteri yang sesungguhnya, kelak setelah bayi yang dikandungnya itu lahir. Akan tetapi, manusia hanya sekadar berencana. Dewa-dewa di langit yang punya ketetapan. "Bagaimana?" Sambu bertanya cemas melihat isterinya tak kuat menahan sakit. "Aku akan melahirkan," desis Luh Saras sambil menggigit bibir. Sakit yang amat melilit meremas perutnya. "Cepat, panggil dukun bayi," teriak Sambu. Seorang murid perguruan yang mendapat perintah bergegas melaksanakan tugas yang diberikan itu. Dukun bayi yang dipanggil segera datang tergopoh untuk menunaikan tugasnya. Akan tetapi dukun bayi itu benar-benar kewalahan menghadapi persalinan anak Nyai Sambu. Bayi yang dikandungnya lahir sungsang meminta pengorbanan yang tiada terkira. Nyai Sambu menangis ketika bayi merah itu diangsurkan kepadanya. Melihat bayi itu membuatnya teringat pada seseorang yang telah membuatnya hidup menderita dengan maha sempurna. Dengan tatapan mata yang nanar, Nyai Sambu memandang suaminya. Sambu merasa remuk segenap isi dadanya. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku tidak kuat lagi kakang," suara Luh Saras tersendat, "jika aku harus mati tolong kaurawat anak ini." Sambu adalah lelaki yang tegar. Tidak sekalipun ia menitikkan air mata. Namun begitu isterinya, isteri yang tak pernah dijamahnya itu menghembuskan tarikan napasnya yang pamungkas, bersamaan pula dengan air matanya yang bergulir di pipi. Laki-laki tegar itu ternyata bisa meruntuhkan air mata. Runtuh pula isi dadanya. Dengan tenang dan bahkan tersenyum Nyai Sambu itu memejamkan mata setelah mengucapkan selamat tinggal kepada suami yang amat dikasihi. Jauh sebelumnya mereka pernah berangan-angan akan membangun rumah tangga yang bahagia, tetapi perjalanan tak selalu lurus dan tak selalu sesuai seperti yang diharapkan. Bayi itu menangis melengking, bersamaan dengan kematian Ibunya, ibu yang tidak sempat melaksanakan tugasnya memberi napas kehidupan, melalui kemurnian air susu. Maka pada pagi itu, hanya sesaat sebelum matahari terbit, perguruan Pasir Wutah pun berduka. Angin semilir seperti mewartakan tembang megatruh72 yang menyentak siapa pun. Sepasang burung gagak terbang dan hinggap di wuwungan sebagai pertanda ada bau kematian yang tercium oleh hidungnya yang tajam. Seorang nenek tua mendendangkan tembang yang menyayat. "Kembeng kembeng waspaku mijil, pasrah kang kuwasa, trima panduming dumadi, tiwas andedawa lara 73" Luh Saras telah pergi, meninggalkan bayi yang kemudian harus dibesarkan sendiri oleh Sambu. Sambu yang kemudian bersumpah tidak akan kawin itu memutuskan diri menjadi seorang biku, sebagaimana Paraban juga kemudian menjadi biku dengan menyerahkan diri pada agama Syiwa yang dianutnya. 72 Megatruh, jenis tembang jawa yang tergolong baku sebagaimana dandang gula, kinanthi, mas kumambang dll. Pada zaman Kediri tembang ini tentu belum ada dan hanya diasumsikan sebagai suasana duka yang mendalam. Megatruh berasal dari kata megat dan ruh, terpisah dari ruh. 73 Kembeng kembeng waspaku mijil, pasrah kang kuwasa, trima panduming dumadi, tiwas andedawa lara, jawa, menggenang air mataku keluar, pasrah (terserah) pada Tuhan yang maha kuasa, menerima semua keadilannya, daripada memperpanjang sakit (kecewa). Bait tersebut dikutip dari tembang Mas Kumambang. 194 Tahun demi tahun waktu berlalu, namun sang waktu yang dengan begitu derasnya lewat itu tidak sanggup menghapus semua kenangan buruk yang ditinggalkan Narasinga. Perbuatannya yang keji dan tidak berperikemanusiaan itu menggumpal menjadi kesumat abadi di dada Biku Sambu dan Biku Paraban. Gadis kecil buah pemerkosaan Narasinga atas diri Luh Saras telah beranjak dewasa. Swasti Prabawati kemudian menjadi kembang yang kecantikannya tidak ubahnya kembaran Ibunya. Pada suatu hari ketika langit sedang mendung di kaki gunung Penanggungan, Biku Sambu kaget ketika sebuah isyarat bergetar mengalir melalui udara. Biku Sambu yang duduk membaca rontal yang berisi kitab-kitab ajaran Syiwa tersentak. Rontal itu segera ditutupnya dan bergegas bangkit berdiri. Beberapa saat Biku Sambu masih memerhatikan suasana. Setelah merasa yakin isyarat itu memang untuknya Biku Sambu pun bergegas meninggalkan pendapa. Biku Sambu terus bergerak mengikuti jejak getar suara itu. Getar itu membawanya ke bulak panjang. Benar, ternyata di sana seseorang telah menunggu. "Kau adi Biku Paraban?" tanya Biku Sambu. Lehernya serasa tercekik karena bagaimanapun juga telah beberapa tahun ia berpisah dengan saudara kembarnya itu. "Ini aku kakang," jawab Biku Paraban. "Bagaimana keadaanmu selama ini?" Senyum yang mekar dari bibir Sambu adalah senyum yang amat getir. Meski telah lama berpisah dari saudara kembarnya, namun pertemuan yang terjadi itu melemparkan Sambu kembali ke masa lalu. Apa yang terjadi di masa silam seperti baru terjadi kemarin. "Baik. Keadaanku selalu dalam pengayoman Hyang Widdi," jawab Biku Sambu. Biku Paraban masih punya sebuah pertanyaan susulan. "Bagaimana pula dengan anakmu?" Biku Sambu tersenyum. "Swasti Prabawati sekarang telah beranjak menjadi gadis yang cantik. Banyak pemuda bingung melihat kecantikannya. Wajahnya juga sangat mirip dengan Ibunya." Tidak terlampau sulit bagi Biku Paraban untuk membayangkan seperti apa wajah keponakannya itu bila disebut tak jauh berbeda dari Ibunya. Biku Paraban menghela desah bagai masih menyimpan keprihatinan yang dalam. "Gadis itu tentu bingung jika melihat ada orang lain memiliki wajah sama dengan ayahnya," biku Paraban berkata. Biku Sambu tertawa. "Kau tidak ingin singgah?" Biku Paraban menggeleng. "Jika aku singgah anakmu akan banyak bertanya. Biarlah kita berada di sini saja." Biku Sambu memerhatikan saudara kembarnya dengan seksama. Waktu yang telah lama berlalu tidak terasa telah mengantarnya memasuki wilayah senja, umur pun menjadi tua. Padahal semua yang terjadi di masa lampau seolah baru terjadi kemarin. "Di mana selama ini kautinggal?" tanya Sambu. Paraban terkekeh. "Mustahil kalau kau tidak tahu di mana aku berada kakang," jawabnya. Biku Sambu ikut tertawa. "Kau masih menjadi penjala ikan di pesisir Ywangga?" tanya Biku Sambu. "Atau kau masih gemar bermain-main memerankan Hantu Laut di pesisir utara itu?" Paraban manggut-manggut. Dengan demikian Paraban tahu meski telah cukup lama mereka berpisah sebenarnya satu dengan lainnya selalu saling mengawasi. Lebih dari itu 195 sebagai orang kembar keduanya memiliki ikatan batin yang kuat. Keadaan macam itulah yang mungkin menyebabkan satu sama lain selalu berhubungan. "Memancing menjadi sebuah pekerjaan yang bisa menenteramkan hatiku kakang Sambu. Itu sebabnya aku merasa betah sekali berada di sana," jawab Paraban. "Lalu apa keperluanmu datang kali ini?" tanya Sambu lagi. Paraban terdiam. Akhirnya pembicaraan mulai menjamah ke masalah utama. Seperti bersepakat saja layaknya angan-angan mareka segera tertuju pada sosok yang telah lama lenyap, sosok Narasinga. Bagaimanapun muncul pertanyaan di benaknya, setelah sekian tahun masih hidup suburkah dendam itu" Apakah masih pantas mempersoalkan peristiwa yang telah begitu lama lewat" "Telah kaudapatkan jejak kakang Narasinga?" desak Sambu. Biku Paraban mengangguk. "Aku telah berhasil menemukan jejaknya meskipun kakang Narasinga telah mengganti nama. Kemunculanku di tempat di mana ia tinggal tentu mengagetkannya. Ia akan hadir memenuhi tantanganku." Biku Sambu merasa isi dadanya mulai menggigil dan menggelegak. "Kapan, dan di mana?" "Di Panjaringan, tepat satu tahun lagi dihitung dari bulan purnama yang sekarang ini," jawab Paraban. 28. Suasana di dalam goa yang tersembunyi di tebing pantai Ywangga Parabalingga itu menjadi senyap. Parameswara yang lebih banyak menunduk saat mendengarkan cerita itu menengadahkan kepala saat melihat Biku Paraban mengakhiri ceritanya. Prabawati amat tidak tenang. Dengan tuntasnya kisah itu, Swasti Prabawati tahu untuk keperluan apa ayahnya pergi tanpa pamit. "Jadi demikian rupanya?" Swasti Prabawati menjadi gelisah. "Ayahku pergi untuk membuat perhitungan dengan Narasinga itu?" Paraban mengangguk. "Benar," jawab Biku Paraban sambil mengangguk pendek. Prabawati mengejar. "Kapan itu paman" Dan di mana tempat yang paman sebut Panjaringan itu?" Membayangkan sebuah perang tanding yang akan terjadi, serta membayangkan kemungkinan yang akan menimpa ayah yang dikasihinya lebih-lebih saat membayangkan sosok Narasinga memaksa dada gadis dari kaki Gunung Penanggungan itu mengombak. Gelisah kesumat dan amarah menjadi satu. "Terimakasih karena paman telah menceritakan semua yang telah terjadi. Dengan demikian aku mengetahui siapa aku sebenarnya. Aku tahu siapa orang yang harus kuburu untuk kubeset kulit tubuhnya dan kucungkil matanya. Maka katakan paman, di mana aku bisa menemukan ayahku dan Narasinga itu?" Amarah dan dendam adalah saudara sekandung yang bila menyatu bisa berubah menjadi banjir bandang. Amarah dan dendam kesumat itulah yang kemudian menguasai 196 segenap sudut dan relung hati Prabawati. Seolah tidak ada tujuan hidup kecuali membalas dendam. Patung batu Luh Saras tetap diam membeku. Namun barangkali jiwanya yang tidak tenang di alam kematian terpanggil datang oleh pembicaraan di dalam goa itu. Dalam angan-angan Parameswara, patung batu itu sampai menangis menitikkan air mata. "Untuk beberapa waktu, kalian tinggallah di sini," kata Biku Paraban itu. Prabawati tidak bisa menerima itu. "Paman. Aku membutuhkan keterangan di mana ayahku berada," Swasti Prabawati tak sabar. Namun Biku Paraban segera bangkit. Lelaki tua itu melangkah mendekat patung. Yang terjadi kemudian seolah Luh Saras dan Biku Paraban berdiri berhadaphadapan, yang terjadi seolah Biku Paraban itu meminta kepada patung di depannya untuk mengambil sebuah keputusan yang terbaik, langkah apa yang harus diambil. Biku Paraban berdesah pendek. Lalu menoleh ke arah Swasti Prabawati. "Apa yang akan kaulakukan jika aku beritahu di mana ayahmu dan Narasinga saat ini berada?" Dada gadis itu kembali mengombak, jiwanya menggelegak. "Akan kubeset wajah Narasinga itu," jawab Swasti Prabawati dengan suara serak bergetar. Paraban tersenyum. "Apa kaupikir, kau akan mampu menghadapi Narasinga" ayahmu belum tentu mampu menghadapi Narasinga. Apalagi kau yang hanya pupuk bawang," kata Paraban merendahkannya. Swasti Prabawati menggigil. Sebaliknya dengan Parameswara yang mampu berpikir lebih jernih membenarkan apa yang diucapkan Biku Paraban itu. Akan tetapi yang lebih menjadi perhatiannya adalah layak dan pantaskah Swasti Prabawati membalas dendam" Sejahat macam apa pun bukankah karena Narasinga gadis itu lahir di bumi" Namun demikian Parameswara juga melihat betapa getir dan pahit tidak tertahankan yang dirasakan Swasti Prabawati, melihat kenyataan atas diri sendiri, yang kelahirannya terbungkus nista. "Aku tidak peduli apa pun," teriak Swasti Prabawati." Akan kutukar nyawaku dengan nyawa bangsat itu." Biku Paraban kemudian memandangi Parameswara dan Prabawati bergantian. Ada sesuatu yang menggumpal di dalam dada laki-laki tua itu yang ingin dikeluarkan, namun tersangkut di kerongkongan. "Parameswara," tanya Biku Paraban. Parameswara terkejut dan bergegas menengadah. "Bagaimana paman?" balasnya. "Apakah kau tertarik pada keponakanku?" tanya Biku Paraban dengan tatapan mata tajam. Mendapat pertanyaan itu tentu saja menyebabkan Parameswara kaget. Pertanyaan itu bahkan terlampau membelok dari persoalan yang tengah mereka bicarakan. Gadis teman seperjalanannya yang ternyata menyimpan banyak sekali masalah itu juga ikut kaget. Pertanyaan itu tentu menjadi pertanyaan yang janggal. "Apa maksud paman?" tanya Parameswara yang kebingungan. "Kau tinggal menjawab. Apakah kau tertarik pada keponakanku?" 197 Pertanyaan itu benar-benar membuat Parameswara bingung. Pertanyaan itu juga tidak selayaknya diajukan. Jika Parameswara menjawab tidak bisa jadi akan ada yang tersinggung. Namun Biku Paraban ternyata melontarkan pertanyaan yang sama pula kepada Swasti Prabawati. Parameswara justru menunggu jawaban gadis itu. "Bagaimana Prabawati?" tanya Biku Paraban. "Apakah kau merasa tertarik pada Parameswara?" Swasti Prabawati menoleh pada Parameswara. Parameswara menundukkan kepala. Dengan tegas Swasti Prabawati menjawab. "Aku tidak punya pikiran seperti apa yang paman katakan itu. Aku mengenal Parameswara baru beberapa hari ini. Aku tidak menyimpan benih perasaan apa pun kepadanya kecuali hubungan persahabatan," jawab gadis itu tegas. Biku Paraban manggut-manggut. Tampaknya Biku Paraban senang mendengar jawaban itu. Tak jelas mengapa Biku Paraban bersikap demikian. Meski Parameswara merasa amat curiga namun Parameswara tidak berhasil menemukan jawabnya. "Aku minta kalian menjadi muridku. Aku akan mewariskan ilmu yang aku miliki. Akan tetapi ingat jangan ada benih asmara tumbuh di antara kalian berdua. Bersikaplah kalian seperti saudara yang saling kasih dan melindungi. Itu syaratnya untuk mewarisi ilmu-ilmuku," kata Biku Paraban dengan tegas. Bagi Parameswara menyenangkan sekali bisa menambah wawasan olah kanuragan dari Sang Pemancing yang memiliki ilmu yang aneh yang telah ia lihat dan rasakan sebelumnya. Betapa seseorang bisa memegang obor dan tetap menyala meski berada di dalam air hal yang demikian tentu mengundang rasa ingin tahu, bagaimana orang itu bisa melakukan keajaiban itu. Namun tidak demikian dengan Swasti Prabawati. Gadis dari kaki Penanggungan itu benar-benar tidak sabar. "Bagaimana dengan ayahku" Paman Biku masih belum menjawab pertanyaanku." Biku Paraban tetap berdiri dengan tegak di hadapan patung batu yang dirautnya. Seolah mewakili sosok yang dipatungkan itu Biku Paraban menjawab. "Kau harus menggembleng diri menggenjot kemampuan kanuragan yang kaumiliki hingga pantas berhadapan dengan orang yang memerkosa ibumu. Lihat wajah patung itu. Apakah kau tidak merasakan apa yang menjadi jeritan hatinya?" Justru karena itu Swasti Prabawati terdiam. Swasti Prabawati memandangi wajah patung itu dengan lekat. "Jadi, apakah yang harus aku lakukan?" tanya gadis itu. "Kalian berdua hanya punya waktu setengah bulan untuk belajar diri di tempat ini," jawab Biku Paraban dengan tegas. Parameswara dan Swasti Prabawati saling pandang. Waktu setengah bulan untuk menggembleng diri" Apa yang bisa dilakukan dalam waktu yang sesingkat itu" Mendadak Parameswara merasakan adanya sebuah kejanggalan. Swasti Prabawati jelas keponakan Biku Paraban dengan demikian berhak mendapatkan warisan ilmu olah kanuragan yang dimiliki pamannya. Sebaliknya dengan dirinya, apa alasan Biku Paraban hingga merasa perlu menggemblengnya pula" Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Biku Paraban seperti bisa menebak apa isi hati pemuda itu. "Apakah kau tengah berpikir mengapa aku mewariskan pula ilmuku padamu?" tanya Biku Paraban. Parameswara mengangguk. 198 "Kelak pada saatnya kau akan mengetahui jawabnya akan tetapi untuk sementara janganlah kau mempersoalkan. Gunakan waktu setengah bulan yang ada untuk belajar dengan tekun dan menggembleng diri dengan sebaik-baiknya. Perkara perjalananmu mencari orang tua kandungmu bukankah tidak masalah kalau kau terpaksa menundanya hanya setengah bulan?" Parameswara balas memandang tajam. "Tetapi apakah waktu yang setengah bulan itu cukup, paman Biku?" Parameswara mengungkapkan keraguannya. "Waktu yang setengah bulan itu amat cukup untuk memindahkan semua ilmu itu ke dalam lipatan ingatanmu akan tetapi untuk menyempurnakan membutuhkan waktu yang amat panjang. Tak ada batasan waktu yang bisa digunakan untuk memagari sebuah ilmu. Semakin kaupelajari, maka kau akan merasa makin bodoh. Namun wawasanmu terhadap sifat-sifat olah kanuragan dari jalur perguruan Pasir Wutah akan semakin lebar sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Kau akan mengenalinya dengan baik, seperti kau mengenali tubuhmu sendiri," jelasnya. Parameswara tak menolak. Sebagaimana Swasti Prabawati akhirnya bisa mengerti dan menerima keinginan Biku Paraban itu. 29. Maka mulai saat itu, di bawah bimbingan Biku Paraban, Parameswara melecut diri mempelajari kemampuan olah kanuragan yang bersumber dari jalur perguruan Pasir Wutah. Parameswara yang terbiasa dengan ilmu kanuragan dari jalur perguruan Sekar Langit yang juga disebut olah kanuragan Palwa Riung Laut tidak mengalami kesulitan menerima berbagai petunjuk dari Biku Paraban meski ilmu yang dipelajari mempunyai sifat berbeda serta lebih ditekankan pada olah pernapasan. Sebaliknya dengan Swasti Prabawati, gadis itu bagaikan orang yang kepanjingan 74 dhemit. Di depan patung batu di tengah goa itu, Swasti Prabawati merasa seperti diperhatikan dan harus mempertanggung-jawabkan langsung di hadapan Ibunya tidak sekadar pada paman gurunya. Itu sebabnya, Swasti Prabawati berlatih dengan amat keras. Segala macam petunjuk yang diberikan Biku Paraban diperhatikan dan laksanakan dengan sebaik-baiknya. Swasti Prabawati bukan gadis yang bodoh bahkan boleh dikata otaknya amat encer. Biku Paraban jarang sekali mengulang petunjuk yang diberikan pada gadis itu. Langkah demi langkah serta semua sifat gerak dijelaskan dengan gamblang. Beberapa petunjuk yang selama ini diterimanya dari biku Sambu namun sulit dimengerti, dengan penjelasan yang diterimanya dari paman gurunya itu menjadi lebih jelas. Bagai seekor burung sikatan Swasti Prabawati berloncatan, ada kalanya melenting berjumpalitan dengan tingkat kesulitan yang luar biasa tingginya namun pada suatu ketika ia mampu melakukan gerakan melayang memutar setelah mengapung di udara. Dengan cekatan gadis itu bergulung-gulung menerjemahkan petunjuk yang diberikan 74 Kepanjingan, jawa, kerasukan 199 pamannya. Biku Paraban benar-benar puas melihat tandang grayang 75 anak gadis saudara kembarnya itu. Sebaliknya pada Parameswara, Biku Paraban lebih menekankan pada kemampuan pernapasan. Biku Paraban tampaknya melihat sesuatu yang tak sewajarnya pada pemuda itu, walau tidak bisa menyebut dengan tepat apakah sesuatu yang tidak wajar tersebut. Maka berbeda dengan Prabawati pada Parameswara Biku Sambu lebih menekankan pada sifat-sifat rahasia yang ada di balik ilmu kanuragan, bukan yang bersifat badan wadag akan tetapi lebih ke jiwa atau rohnya. "Ingat Parameswara," Biku Paraban memberi petunjuk, "bahwa inti dari kekuatan, dari jalur mana pun perguruan itu berasal terletak di kepala, tergantung pada bagaimana kaumampu memusatkan perhatianmu untuk membangunkannya. Kalau kau tak mampu, maka kekuatan gaib dalam tubuhmu itu akan tetap tidur tanpa kau menguasainya. Oleh karena itu, kosongkanlah jiwamu. Ikuti terus ke mana gerak pikiranmu, pada saatnya kau justru harus menguasainya. Kau mengerti?" Parameswara mengangguk meski belum mengerti. "Sekarang lakukan," kata Biku Paraban. Pada awalnya Parameswara amat kesulitan. Meski pemuda itu memejamkan mata akan tetapi yang ia peroleh tak lebih dari sekadar memejamkan mata itu sendiri. Gendang telinganya berdentang-dentang ditabuh godaan yang berasal dari diri sendiri, juga oleh teriakan-teriakan melengking yang dilakukan Swasti Prabawati. Namun meski sesulit apa pun, pemuda itu tetap bersikukuh pada tujuannya semula untuk menutupi babahan hawa sanga76, satu-satunya cara bisa menggapai tataran olah kanuragan yang lebih tinggi. Sementara itu selapis demi selapis Swasti Prabawati terus menapaki jalan yang disediakan untuknya. Pada saat memasuki hari ke lima semakin terlihat perubahan pada gadis cantik itu. Tandang-grayangnya makin cukat trengginas 77, makin gesit dan tangguh seperti banteng. Hanya pada saat-saat yang ditentukan saja gadis itu berhenti beristirahat untuk tidur guna memulihkan kembali semua kekuatan yang telah diperasnya. Namun kesempatan untuk tidur yang diberikan oleh Biku Paraban itu bukanlah tidur yang sesungguhnya karena masih menjadi bagian dari upaya untuk menguasai dan menyempurnakan ilmu dari jalur perguruan Pasir Wutah itu. Tidur itu adalah pemusatan semadi memusatkan segenap perhatian dan menyatukan dalam keheningan. Tidur untuk Swasti Prabawati adalah dengan duduk bersila serta kedua-tangan bersedekap di dada. Esoknya kembali datang. Biku Paraban menyiapkan sarapan untuk keponakannya Pendekar Penyebar Maut 31 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Pedang Medali Naga 4