Ceritasilat Novel Online

Candi Murca 8

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 8 tidak mampu memberikan pengayoman dan keadilan, apalagi kesejahteraan bagi segenap rakyatnya." Kakek tua itu menghela tarikan desah. Parameswara ikut-ikutan menghela napas panjang. Parameswara membayangkan jika perang benar-benar terjadi maka akan timbul kekacauan yang luar biasa. Jika perang pecah, maka rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa yang menderita, akan banyak isteri yang kehilangan suami, akan ada banyak anak kehilangan bapaknya, akan banyak orang tua kehilangan anaknya sementara para wanita, biasanya menjadi jarahan. Pemerkosaan dan perampokan akan terjadi di mana-mana untuk selanjutnya negara akan menjadi kacau karena tidak ada lagi tatanan. Dengan jelas Parameswara membayangkan semua itu. "Lalu, apakah keperluanmu jauh-jauh datang dari bumi Blambangan ke Kediri ini anak muda?" tanya nenek tua pemilik warung itu. Parameswara diam untuk menimbang, apakah ada manfaatnya ia bercerita tentang asal-usulnya" "Aku mencari seseorang," Parameswara menjawab, "mungkin Kyai mengetahui?" "Siapa orang yang kaucari itu anak muda" Siapa tahu aku mengenal orang yang kaucari itu?" jawab kakek itu berupa sebuah pertanyaan. "Namanya Panji Ragamurti," jawab Parameswara singkat. Namun saat nama itu disebut terjadi perubahan yang luar biasa pada wajah suami isteri yang telah lanjut usia itu. Bahkan Nenek tua pemilik warung tidak bisa menguasai diri, mulutnya gemetaran karena cemas. Dengan seksama tentu saja Parameswara bisa membaca adanya perubahan yang aneh itu. "Ada apa Nyai" Ada apa Kyai?" tanya Parameswara. Namun Kyai dan Nyai tua itu sudah terlanjur gugup. Nama Panji Ragamurti yang baru saja disebutnya ternyata memang mempunyai pengaruh yang amat besar bagi kedua orang tua itu. Justru karena itu Parameswara bertambah penasaran di samping ia merasa gembira karena ada orang yang mengenal nama yang sedang dicarinya. "Nyai, ada apa?" desak Parameswara sekali lagi. Tangan nenek tua penjual makanan itu gemetar. 84 Koncatan wahyu, jawa, tidak lagi ketempatan wahyu 85 Songsong, jawa, payung 86 Koncatan adil, jawa, tidak lagi mampu bertindak adil 233 "Oooo, tidak, tidak," jawab nenek itu. Parameswara semakin tidak mengerti. "Ada apa Kyai" Mengapa begitu aku menyebut nama itu, sikap Kyai dan Nyai berubah?" Parameswara terus memaksa meminta keterangan. Dengan pandangan cemas kakek tua itu memandang Parameswara. Kakek tua itu justru balik bertanya, "ada keperluan apakah kau mencari Panji Ragamurti?" Parameswara harus menimbang bagaimana cara menjawab pertanyaan itu. "Tentu saja aku mempunyai keperluan dengan orang itu, yang sayang sekali aku tidak bisa menceritakan apa keperluanku kepada setiap orang. Tolong Kyai, kalau Kyai mengenal nama yang aku maksud itu tunjukkan arah, ke mana aku harus pergi untuk menemuinya." Kyai dan Nyai tua itu akhirnya saling pandang. Kalau semula mereka merasa amat cemas, berangsur-angsur kecemasannya itu susut. Nenek tua itu mengangguk kepada suaminya seolah memberi isyarat sesuatu yang dibalas dengan anggukan pelan pula. "Semua orang di Kediri mengetahui siapakah Panji Ragamurti itu, anak muda. Kalau kau membutuhkan keterangan siapakah orang itu cobalah pergi ke pasar. Semua orang bisa menyebut Panji Ragamurti itu siapa dan bertempat tinggal di mana," jelasnya. Justru oleh jawaban seperti itu rasa penasaran di dalam hati Parameswara semakin menjadi akan tetapi Parameswara telah berhasil menarik sebuah simpulan, terdapat sesuatu yang ditakuti pada nama itu. Parameswara memandang kakek tua di depannya yang cemas itu. Dipegangnya tangan kakek tua itu untuk menenteramkan hatinya, lewat cara itu seolah Parameswara berkata bahwa tak perlu ada yang dicemaskan. "Mungkin benar kata Kyai, aku bisa bertanya kepada semua orang yang aku jumpai di pasar. Tetapi apa salahnya kalau aku mendapatkan keterangan itu dari Kyai atau Nyai. Jangan cemas, keterangan yang aku peroleh ini, tidak akan menyebabkan Kyai maupun Nyai mengalami kerepotan." Pandangan mata Parameswara berusaha meyakinkan ke dua orang tua itu. Bahwa tidak akan ada akibat apa pun yang akan menimpa mereka. Ucapan Parameswara itu berhasil mengendapkan gejolak kecemasan suami isteri yang telah berusia lanjut itu. Mereka segera berpikir, menilik apa yang terjadi sebelumnya pemuda itu memang tidak mungkin menjadi bagian dari kelompok orang yang ditakutinya. "Para prajurit yang tadi bermaksud memaksa membawa kudamu, telah menuju ke arah yang benar," kata kakek itu. Parameswara memerlukan berpikir sejenak. Parameswara kemudian terlonjak. "Istana Kepatihan?" tanya pemuda itu dengan alis mencuat tinggi. Kakek tua itu hanya diam memandang wajah Parameswara. Parameswara berubah menjadi patung patung beku. Parameswara yang detak jantungnya terpacu sedikit lebih kencang merasa Namun penjelasan itu masih belum lengkap. "Kalau nama Panji Ragamurti itu akan membawaku ke Istana Kepatihan, lalu siapakah orang itu" Apakah Panji Ragamurti itu seorang patih?" desak pemuda itu. Parameswara merasakan desir menggerayangi punggungnya ketika kakek tua itu menganggukkan kepalanya. Parameswara terbelalak. "Bukan main," desis Parameswara, "ternyata orang yang kucari itu bukan orang sembarangan. Panji Ragamurti ternyata seorang patih. Bukankah Patih itu orang kedua setelah raja" Bukankah benar demikian Kyai?" desak pemuda itu. 234 Pemilik warung itu mulai diganggu oleh rasa ingin tahu. "Sebenarnya ada keperluan apakah kau akan menemui Ki Patih, anak muda?" rasa ingin tahu kakek tua itu begitu kental. Mendengar pertanyaan seperti itu rasa mualnya terpancing. "Aku akan meludahinya," jawab Parameswara pendek. Jawaban itu membuat kakek tua dan isterinya itu terlonjak. "Kau akan meludahi Gusti Patih?" Parameswara merasakan dadanya agak sesak. Pasangan kakek dan nenek pemilik warung itu terbelalak. Demikian kagetnya mereka memperoleh jawaban aneh itu, masing- masing mendadak seperti orang yang mengalami kesulitan bernapas dan buyutan. Kakek tua pemilik warung itu berusaha menenteramkan diri untuk pelampiasan rasa ingin tahu yang mengganjal kepalanya. "Kenapa kau akan meludahi Gusti Patih?" desak orang tua itu cemas. Membayangkan ada orang bermaksud meludahi Patih Kediri rupanya sudah cukup merangsang sepasang orang tua itu gemetar ketakutan. Parameswara semakin terpancing untuk bercerita tentang asal-usulnya namun kesadarannya untuk membungkus kisah pahit itu masih cukup kuat. Dari suami isteri yang telah lanjut usia itu Parameswara kemudian tahu siapakah dan sosok macam apakah Kyai Patih Panji Ragamurti itu dan bagaimana sepak terjangnya. Parameswara kemudian menjadi miris serta giris manakala mengetahui sepak terjang dan kebengisan Ki Patih Panji Ragamurti yang sanggup berbuat kejam dan semena-mena, terutama pada saat Kediri menghadapi kemelut yang disebabkan ulah orang-orang dari Ganter. Bahkan Parameswara telah melihat dengan mata dan kepala sendiri sepak terjang para prajurit yang melaksanakan perintah patih Panji Ragamurti itu. "Bukan main, ternyata seperti itu Panji Ragamurti itu," kata Parameswara dalam hati. "Dan aku, barangkali aku terlahir dari kama87 yang runtuh saat mengumbar birahi di tempat planyahan88." Dengan sekuat tenaga Parameswara menenteramkan diri sendiri seiring sosok Panji Ragamurti tercetak lekat di kelopak mata. Setelah merasa mendapatkan keterangan yang dibutuhkan Parameswara berpamitan. Kakek dan Nenek yang sudah tua itu melepaskan kepergiannya melalui pintu belakang. Suami isteri yang sudah lanjut itu terkejut ketika membuka pintu, seekor kuda telah berada di pekarangannya. Sapu Angin yang semula melarikan diri, telah kembali menunggu Parameswara. Kuda itu meringkik. "Aku mohon diri Kyai dan Nyai. Aku mohon maaf karena kedatanganku telah merepotkan Kyai dan Nyai." Sepasang orang tua pemilik warung itu tersenyum sambil melambaikan tangannya. Sesaat kemudian terdengar suara berderap membelah waktu yang kian senja itu. Melalui petunjuk yang diberikan kakek tua itu dengan gampang Parameswara keluar dari kota tanpa menarik perhatian. 34. 87 Kama, jawa, sperma 88 Planyahan, jawa, pelacuran 235 (Rangkaian peristiwa tahun 2011) Bagi Parra Hiswara hari berikutnya adalah hari menggelisahkan. Tarikan napas terasa amat sesak, mata sering berkunang-kunang dan jantung mengayun lebih deras tanpa alasan yang jelas apalagi untuk selanjutnya Parra Hiswara boleh dipastikan bakal berhadapan dengan gangguan yang tidak bisa dihindari. Sejak petang datang rasa gatal di telapak tangannya makin kentara. Parra Hiswara sungguh layak merasa cemas melihat bentuk gelap melingkar itu menempatkan diri di balik kulit di atas tulang dan daging yang menumbuhkan rasa sangat risih yang apabila digaruk akan memunculkan rasa ingin menggaruk dan menggaruk lagi, karena risih itu merupakan biang rasa gatal. "Dengan memiliki tanda ular melingkar di balik kulit ini," kata Parra Hiswara, "itu berarti aku harus menempatkan diri sebagai kaki tangan perempuan bermata tiga itu." Parra Hiswara memejamkan mata untuk mengenang bagian penting pembicaraan yang terjadi antara dirinya dengan Parameswara di ruang bawah tanah pada hari yang merupakan awal bencana itu. "Ketika aku bertanya siapa orang-orang yang tidur di atas masing-masing altar itu, orang bernama Parameswara itu menjawab mereka semua musuhku. Ketika aku bertanya mengapa aku harus merasa mereka adalah musuhku" Orang bernama Parameswara itu menjawab, apa yang terjadi itu takdir yang tidak bisa dihindari. Orang berasal dari masa silam itu menyebut perempuan cantik tidur telanjang itu musuhku dengan tujuh orang pemilik pertanda ular melingkar di telapak tangan itu adalah pengawalnya. Dengan aku memiliki benda aneh di telapak tanganku ini, berarti aku adalah kaki tangan perempuan itu. Aku harus menempatkan diri sebagai pendukungnya dan melakukan apa pun yang menjadi kehendaknya." Parra Hiswara melangkah mondar-mandir dan mengalami kesulitan menenangkan diri. Ia merasa hanya memiliki sedikit waktu dihadapkan pada keadaan istrinya yang berada dalam bahaya, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh tidak ada yang bisa dilakukan. Pilihan yang tersisa hanyalah memenuhi janji yang disepakati dengan Anak Agung Budayasa, malam ini, tengah malam ketika langit dihiasi bulan purnama. "Benar-benar gila," desis Parra Hiswara. Pintu terbuka, Yogi Sutisna masuk. "Ada perkembangan baru?" Yogi Sutisna mengangguk. "Rayana mengabarkan kepanikan yang terjadi keluarga mertuamu." Parra Hiswara hanya bisa menghela napas panjang. Apa yang disampaikan Yogi Sutisna, Parra Hiswara bisa membayangkan. Tak hanya mertuanya termasuk keluarganya sendiri pasti panik luar biasa. Orang tua dan kerabat keluarganya pasti berdatangan dari Sumbawa. Kepanikan atas 'kematiannya' ternyata masih harus disempurnakan lagi oleh penculikan yang menimpa Mahdasari. Pihak berwajib disibukkan oleh upaya menemukan korban penculikan itu. Namun manakala membayangkan pihak macam apa mereka yang melakukan penculikan itu Parra Hiswara tahu Polisi tak akan mampu melakukan apa pun. "Apa perlu aku mengabarkan kepada mertuamu bahwa kauselamat?" tanya Yogi. Parra Hiswara tidak perlu berpikir lama untuk menggeleng. "Hal yang tidak mungkin dilakukan," jawab Parra Hiswara. "Biarlah semua orang menganggap aku benar-benar mati. Sulit membayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi kalau aku muncul. Bagaimana caraku menjelaskan melalui cara apa aku bisa 236 selamat dari bencana itu. Jika ketahuan aku masih hidup aku justru tidak memiliki ruang dan keleluasaan untuk bergerak sesuai dengan keadaanku sekarang." Yogi Sutisna sependapat. Ia melihat Parra Hiswara yang dianggap mati memang tak mungkin muncul ke permukaan. Di koran hari itu, kasus yang menimpa Parra Hiswara dikupas habis termasuk oleh koran di mana Parra Hiswara bekerja. "Ada kabar Hirkam?" Parra Hiswara bertanya. Yogi Sutisna menggeleng. "Belum ada," jawab Yogi, "koran mulai menghubungkan antara kasus aneh yang menimpamu, hilangnya istrimu dan Hirkam yang menghilang dari rumah sakit. Mereka sedang menelusuri ada apa sebenarnya di balik semua itu." Parra Hiswara menyimak keterangan itu dengan cermat sambil melangkah mondarmandir menjelajahi semua sudut ruang dalam hotel itu. Dari kaca jendela terlihat bulan bulat memanjat makin tinggi, menyemburatkan cahaya yang entah mengapa kali ini oleh Parra Hiswara dirasakan sangat tidak nyaman. "Ada apa dengan cahaya bulan itu?" tanya Parra Hiswara pada diri sendiri. Akan tetapi pertanyaan itu terlontar melalui ucapan. Yogi Sutisna yang mendengar segera merasa aneh. "Kenapa?" Parra Hiswara mencoba mencermati keadaan yang dihadapi sejalan waktu yang ia biarkan berlalu, namun Parra Hiswara tidak menemukan kejanggalan apa pun, kecuali bahwa bulan purnama kali ini menimbulkan rasa tidak nyaman. Kemarin di Dwarapala Anak Agung Budayasa menyebut bakal terjadi sebuah kegaduhan luar biasa, adakah itu boleh diartikan ada kaitannya dengan cahaya bulan" "Aku merasa ada yang aneh pada cahaya itu," ucapnya datar. Akan tetapi bagi Yogi Sutisna apa yang dilontarkan sahabatnya tak boleh dianggap tidak ada maknanya. "Apa yang kaurasakan?" tanya Yogi Sutisna. Meski bisa merasakan adanya sesuatu yang aneh ketika memandang bulan namun bukan berarti Parra Hiswara bisa menerjemahkan dalam kalimat kata-kata. Sangat larut Parra Hiswara memandang sumber cahaya benderang itu dalam rangka menandai Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sesuatu aneh yang mengganggunya. Parra Hiswara yang mengarahkan perhatiannya ke wajah bulan melalui jendela kamar hotelnya mendadak terhenyak. Perhatian yang semula tertuju ke wajah bulan itu mendadak beralih ke telapak tangannya. Geliat di telapak tangannya menyita perhartiannya. Yogi beringsut mendekat ikut memerhatikan. Parra Hiswara merasa tegang ketika mendapati kulit telapak tangannya terasa menebal. Parra Hiswara melihat kebenaran apa yang dikatakan Parameswara di ruang bawah tanah, Parra Hiswara juga menandai apa yang disampaikan Anak Agung Budayasa, sesuatu di telapak tangannya yang menjadi sumber dari rasa gatal, keberadaannya berhubungan dan atau dipengaruhi oleh cahaya purnama. "Sesuatu yang akan terjadi pada malam purnama ini," ucap Parra Hiswara dengan amat hati-hati, "sesuatu yang indah sekali. Apa maksudnya?" Parra Hiswara berusaha mengenang apa yang diucapkan oleh Ken Katri Kenyatri. Parra Hiswara memiliki ingatan yang tajam, itu sebabnya kata demi kata, kalimat demi kalimat yang diucapkan gadis itu bisa terekam baik di benaknya. 237 "Hari ini adalah sehari menjelang purnama," kata Ken Katri Kenyatri semalam, "ketika purnama bulat sempurna itu besok datang, maka cahayanya akan menjadi sumber keindahan yang tiada tara. Besok kau akan mengetahuinya. Ken Katri Kenyatri menyebut sumber keindahan tiada tara sebaliknya Budayasa menyebutnya sebagai kegaduhan." Bulan purnama itu kini sedang dihadapinya, tepat berada di depan wajahnya, bulat sempurna tanpa ada segala sesuatu yang menghalanginya. Pada wajah rembulan itu ada bayangan gelap yang bentuknya mirip pohon beringin terbalik. Ilmu pengetahuan telah membuktikan, bagian gelap adalah sisi lembah sementara bagian yang terang adalah bagian yang mungkin bisa disamakan dengan pegunungan di bumi. Yogi Sutisna tak hanya memerhatikan telapak tangan kanan Parra Hiswara. Yogi Sutisna juga memerhatikan wajah sahabatnya. Ia menandai sesuatu yang berubah. "Parra," letup Yogi Sutisna tertahan. Parra Hiswara menoleh. "Apa?" balasnya. "Lihat wajahmu di kaca," kata Yogi. Parra Hiswara mengerutkan dahi, namun ia segera berbalik memenuhi saran yang diberikan sahabatnya. Parra Hiswara mendekat ke bingkai kaca yang melekat di dinding. "Ya Tuhan," letup Parra Hiswara tertegun. Dengan seksama Parra Hiswara memerhatikan perubahan yang terjadi di wajahnya. "Menurutmu, wajahku berubah?" tanya Parra Hiswara bagai tidak percaya. Yogi Sutisna merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dengan takjub Yogi Sutisna memerhatikan perubahan yang memang terjadi. "Apa yang kaurasakan?" tanya Yogi Sutisna. Parra Hiswara meraba wajahnya dalam upaya menemukan jawaban atas apa yang tengah menimpanya. Dengan penuh perhatian Parra Hiswara mengelus-elus pipi, dagu dan keningnya, mengelus rasa gatal yang mulai menjalar di permukaan kulit, berbentuk rasa risih seperti ketika bagian tubuh dirambati oleh semut, apalagi semut itu memiliki gigitan dengan jejak gatal. "Apa yang kaurasakan?" ulang Yogi Sutisna dengan kalimat yang sama. Agak beringas Parra Hiswara berbalik dan bergegas menuju jendela. Dengan penuh perhatian ia memandangi bulan. Untuk selanjutnya Parra Hiswara merasa telah berhasil menemukan jawab dari pertanyaan yang mengganggunya. Mondar-mandir Parra Hiswara diganggu rasa tidak nyaman. "Jangan sampai menunggu tengah malam," kata Parra Hiswara, "kita ke Kebun Raya sekarang." Yogi Sutisna sependapat. Sebelum terlambat, sebelum kedahuluan sesuatu yang akan terjadi entah apa Parra Hiswara harus diungsikan ke tempat yang sepi. Tidak ada yang memerhatikan ketika Parra Hiswara keluar dari kamarnya dengan wig panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Dengan tanpa banyak bicara Yogi Sutisna membawa kendaraannya melaju ke utara. Dari tempat duduknya Parra Hiswara memerhatikan bulan bulat di langit belahan timur yang ikut bergerak dengan kesan sama cepat secepat gerak mobilnya menerobos dedaunan dan pepohonan dan juga terhalang oleh deretan bangunan. "Cahaya bulan itu memberi pengaruh aneh padaku," tegas Parra hiswara kepada diri sendiri. 238 35. Bulan itu pula yang memberi pengaruh nyata pada apa yang kini berada di depan Surtan Panca. Tanpa teman Surtan Panca memerhatikan bayangan yang berada di antara nyata dan tidak nyata. Di belakang Surtan Panca gunung Merapi sedang batuk deras menandakan betapa perih paru-parunya. Lava meleleh ke barat dan ke selatan menjadi tontonan. Dari arah Ketep Pass di barat dan di sepanjang tepian jalan menuju ke gardu pandang Ketep Pass semua orang mengarahkan pandang mata ke arah yang sama, mereka adalah gabungan dari penduduk setempat dan pendatang dari daerah lain yang ingin melihat secara langsung geliat gunung itu lebih jelas. Di beberapa sudut jalan dengan arah pandang yang lapang ada banyak motor diparkir, pemiliknya ada yang duduk-duduk di atas sadelnya namun ada pula yang memilih santai di atas rerumputan. Di sela apa yang terjadi rupanya ada orang yang jeli untuk memanfaatkan keadaan dengan menjual jagung bakar, ketela bakar dan kopi. Lelehan lava menjadi tontonan menarik juga bagi penduduk di sepanjang jalan yang menghubungkan Kaliurang Yogya, mereka tak hanya penduduk setempat namun banyak yang berdatangan dari Yogyakarta. Sebuah bus penuh turis melaju cepat merangkak naik dengan tujuan yang sama. Namun pemandangan yang paling indah dan menakjubkan justru di lereng selatan gunung itu. Sayang jalan yang menghubungkan kota Klaten ke gardu pandang Deles Pass yang merupakan pedesaan terakhir di bawah Merapi tidak mulus. Meski jalan itu telah diperbaiki berkali-kali namun tekstur tanah yang labil menyebabkan mudah rusak. Belajar dari pengalaman, jalur jalan itu diperbaiki dalam rangka memudahkan dilakukan evakuasi apabila Merapi marah dan memuntahkan laharnya. Akhir-akhir ini jarak luncur lava makin menggila, abu yang disemburkan nyaris merata ke sekitar gunung. Atap rumah-rumah di Selo tampak putih, dedaunan putih, sebagian tanaman sayur menjadi rusak karena tebalnya abu. Dari tempat-tempat itu, lelehan lava terlihat amat jelas, bergulung-gulung bersama asap bergumpal-gumpal menjarah apa pun yang berada di bagian bawahnya. Bila yang dijarah itu adalah hutan maka akan hanguslah hutan itu menyisakan pepohonan yang meranggas sebaliknya apabila yang dijarah adalah perkampungan maka yang tersisa hanya jerit tangis ketakutan. Namun semua itu tidak menarik perhatian Surtan Panca. Penasaran yang ia peroleh melalui pertemuan dan perkenalannya dengan Parra Hiswara berbuah jawaban nyata. Sejak petang Surtan sudah menempatkan diri di sebuah tempat yang menurutnya sangat strategis. Tidak pada setiap purnama bayangan candi yang hilang itu menampak maka sungguh sebuah keberuntungan dirasakan Surtan Panca karena merasa hadir di waktu yang tepat. Sejak petang pandangannya lurus ke tempat yang jauh hari sebelumnya telah dicurigainya. Suara gelegar berasal dari arah belakang ketika Merapi memuntahkan lahar sama sekali tidak memancingnya menoleh. Pemandangan yang demikian sudah sering dilihat sebaliknya kemunculan bayangan candi itu jauh lebih menarik perhatiannya. Detik demi detik, menggiring lengan ayun jarum jam bergerak, Surtan Panca tidak mengalihkan perhatian. Udara dingin telah dilawannya dengan pakaian rangkap yang masih dilapisi lagi dengan jaket. Celana olah raga tebal dirangkap dua, dengan telapak 239 kaki juga dibungkus kaos kaki rangkap dua. Masih belum cukup persiapannya, kedua telapak tangan dibungkus dengan sarung tangan. Makanan gorengan yang ketika dibeli masih panas kini dingin membeku. Hanya kopi dalam termos yang mampu mengawal untuk tetap bertahan. Di timur, bulan merangkak naik pelan tetapi pasti, semakin lama semakin tinggi. Ada banyak gumpalan kabut melayang di puncak Merapi dan Merbabu, namun mungkin merasa sungkan pada bulan bulat yang demikian cantik mega putih dan abu-abu itu telah minggat entah ke mana. Lalu terbelalaklah Surtan Panca melihat sesuatu yang timbul tenggelam yang pada mulanya tak jelas apa. Ketika Surtan Panca memerhatikan dengan lebih cermat, apa yang ia lihat dari sebuah garis carut marut, dari bentuk tebal tipis yang mengombak, ternyata apa yang semula tidak mendapat perhatiannya itulah yang justru ia cari. "Bayangan candi, ya Tuhan," desis Surtan Panca dengan leher serasa tercekik. Terbelalak Surtan Panca memerhatikan ujut samar yang bergerak menuju ke arah nyata itu. Dongeng yang dulu pernah diterima dari kakeknya, yang konon katanya sang kakek mendapatkannya dari ayahnya, yang itu pun didapat dari pendahulunya, ternyata benar, di tempat yang penuh dengan tanaman bambu itu bersemayam sesuatu yang amat sanggup mengoyak jantung, tak sekadar membuatnya berdebar. Surtan Panca amat larut mencermati bentuk sepasang menara yang menjulang amat tinggi. Berbeda dengan candi Borobudur yang sangat ia pahami lekuk-likunya termasuk bagaimana bentuk stupanya sebaliknya puncak candi itu sungguh sangat aneh. Surtan Panca yang terbelalak takut berkedip, ia cemas bila berkedip maka bayangan candi itu akan hilang. Namun Surtan Panca ternyata salah, meski akhirnya ia berkedip dan berkedip lagi namun bayangan bentuk bangunan megah itu terlihat. Candi itu belum dalam bentuk nyata, hanya berupa garis-garis tipis yang bahkan mengombak digoyang udara, akan tetapi ujutnya bisa dikenali. Surtan Panca menata degup jantungnya. Rasa takutnya mendorong Surtan Panca untuk sebaiknya bergegas pergi dari tempat itu namun rasa ingin tahunya yang besar mendorong Surtan Panca untuk tetap bertahan. Bagai berasal bukan dari kendali benaknya, Surtan Panca beranjak mendekat. "Besar sekali," desis Surtan Panca. Surtan Panca sudah banyak memiliki perbendaharaan pengetahuan tentang candicandi di daerah Jawa Tengah. Telah berkali-kali ia mengunjungi Candi Jonggrang di Prambanan mengantarkan sanak saudaranya yang datang dari Sumatra. Pun pengetahuan Surtan Panca atas candi Borobudur cukup bisa untuk menandai Candi yang kini tampak di depan matanya benar-benar besar, amat besar, setidaknya berlipat jauh lebih besar dari ukuran candi Borobudur. "Borobudur adalah lambang kegilaan orang-orang zaman dulu, namun rupanya apa yang aku lihat ini bahkan jauh lebih gila," ucap Surtan Panca dalam hati. Namun terbukti Surtan Panca tidak memiliki keberanian yang cukup untuk bergerak lebih mendekat. Ia tak mungkin lupa pada apa yang dialami dan dituturkan Parra Hiswara dan tidak berminat terlibat dalam persoalan yang menandai kemunculan bayangan candi itu. Bulan beranjak naik, namun Surtan Panca harus menghapus keinginannya melihat candi yang semula murca itu menampakkan diri lebih dekat secara utuh. Keinginan itu bila dituruti bisa membahayakan keselamatannya. 240 Candi itu tetap hanya berada di ruang bayang-bayang, berada di antara ada dan tak ada, yang apabila diperhatikan dan semakin lama memerhatikannya akan menyebabkan orang yang memandangnya menjadi gila karena pemandangan yang demikian sungguh sulit diterima nalar sementara pergulatan yang muncul memang berpotensi menyebabkan gila. Surtan Panca yang terus memerhatikan ujut Candi itu mengalami kesilitan luar biasa dalam mengendalikan diri. 36. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka) Sang waktu terus bergerak hingga sore pun terlampaui. Keberadaan siang telah digantikan oleh kehadiran malam, bintang-bintang bertaburan di langit. Di tepi sebuah sungai Parameswara membuat perapian. "Sapu Angin," kata Parameswara pada kudanya. Kuda Sapu Angin meringkik kecil. "Malam ini, aku akan melihat-lihat seperti apa Kotaraja Kediri. Aku akan kembali dan menyusup ke Istana Kepatihan." Parameswara melemparkan ranting yang kemudian diringkus oleh lidah api yang segera membakarnya dengan lahap. "Yang jelas kautahu sendiri, Kediri bukan tempat yang aman bagimu. Kau aku ijinkan untuk pergi ke mana kausuka dan melawanlah bila ada yang berniat buruk, akan tetapi jika malam tiba kau harus menungguku di tempat ini." Kuda Sapu Angin kembali meringkik, pertanda mengerti. Namun kuda Sapu Angin tiba-tiba bergeser mendekatinya. Kaki kanannya diangkat. Parameswara segera mematikan perapian setelah menerima isyarat itu. Asap yang masih mengepul segera disiraminya dengan air. Parameswara bergegas mencermati keadaan dan mempertajam pendengarannya. Akhirnya meskipun lamat-lamat Parameswara berhasil menangkap suara beberapa ekor kuda yang berderap. "Ada apa lagi, Sapu Angin?" tanya Parameswara. Kuda Sapu Angin meringkik. Setelah memerhatikan lebih seksama lagi Parameswara menarik simpulan, derap kuda yang terdengar amat riuh di kejauhan itu memburu seseorang atau barangkali dua orang yang juga sama-sama menunggang kuda. Menyadari tempat di mana ia kini berada akan dilewati oleh orang-orang itu Parameswara memberi isyarat pada Sapu Angin. "Bersembunyilah, mereka akan lewat tempat ini," kata Parameswara. Kuda Sapu Angin bergegas menyusup ke dalam semak dan perdu. Parameswara melenting lincah dan hinggap di atas dahan pohon saman dan pandangan matanya tertuju ke arah barat. Simpulan yang diperolehnya ternyata benar karena jauh di barat tampak beberapa orang berkuda dengan memegang obor yang menyala di tangan. Orang-orang berkuda itu makin lama semakin dekat. Setelah beberapa saat lamanya akhirnya orang berkuda yang diburu oleh beberapa orang prajurit berderap melintas di bawahnya. Menilik kecepatannya yang cukup Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tinggi 241 menjadi pertanda penunggangnya amat trampil berkuda. Lebih dari itu buronan berkuda itu pasti mengenal dengan baik tempat-tempat di sekitar itu, terlihat dari caranya berbelok pada sebuah tikungan yang tidak ragu-ragu sama sekali. Parameswara masih menunggu beberapa saat lagi. Akhirnya beberapa orang berkuda dengan obor di tangan itu melintas juga di bawahnya. "Senopati Naragupita," desis Parameswara. Sebenarnyalah, orang-orang berkuda itu para prajurit Kediri yang tengah memburu seorang telik sandi yang mencoba mengintip kekuatan Kediri atau bermaksud mencuri berbagai keterangan. Adalah aneh, karena prajurit Kediri itu justru kurang begitu pintar mengendalikan kudanya apalagi boleh dikata di daerah yang menjadi wilayahnya sendiri. Pada tikungan tajam yang semula bisa dilalui orang yang diburu dengan berbelok mulus. Sebaliknya prajurit Kediri yang mengejar dan berderap paling depan kurang begitu trampil menguasai kudanya. Pada belokan yang menikung, yang mestinya harus mengurangi kecepatan penunggang kuda itu justru melecut kudanya, akibatnya orang itu kehilangan kendali. Kuda yang berderap di paling depan itu meliuk dan jatuh terbanting. Celakalah bagi penunggang kuda berikutnya yang tidak menyangka bakal dihalangi geraknya. Kudanya terus menerjang dan jatuh ikut berguling-guling untuk kemudian terjerembab di parit. "Bangsat, goblok," umpat orang itu, wajahnya penuh lumpur. Namun kecelakaan itu berlanjut dan berantai. Penunggang kuda berikutnya jatuh pula terjerembab disusul kuda di belakangnya. "Goblok, matamu picek89, " terdengar umpatan yang sangat kasar. Parameswara mengenalinya sebagai suara Senopati Naragupita. Namun sejenak kemudian Senopati Naragupita terpaksa menggeliat dan melenting karena tubuhnya menindih obor. Seorang prajurit yang pakaiannya terbakar berteriak- teriak karena kepanasan dan segera ambyur menceburkan diri ke sungai. "Bangsat," umpat Naragupita. "Yang paling depan tadi siapa, ha?" "Aku, Senopati," jawab seorang prajurit dengan gugup. "Matamu picek ya" Bilang kalau tidak bisa berkuda, kau akan kutempatkan di regol belakang. Tahu?" dampratnya. Prajurit yang kena damprat itu hanya menundukkan kepalanya, sambil menahan nyeri karena ternyata kakinya terkilir. Senopati Naragupita masih berniat mengumbar segala serapahnya akan tetapi mulutnya segera terbungkam karena dari jauh terdengar suara tertawa bergelak-gelak. Orang berkuda yang yang semula diburunya rupanya berhenti. "Kalian akan menangkap Bintang?" terdengar suara orang itu sambil mengumbar tertawanya. "Jangan harap kalian akan bisa menangkap bintang, karena aku bukan bintang sembarangan. Aku adalah Lintang Panjer Sore90." Senopati Naragupita terpaksa menggeretakkan gigi menahan amarahnya. Sudah berkali-kali Naragupita berusaha memburu telik sandi dari Ganter itu, namun orang itu seperti belut berlendir licin yang amat sulit ditangkap. Kini orang itu bahkan mengejek melecehkannya. "He, kemarilah kau kalau berani," teriak Senopati Naragupita dengan parau 89 Matamu picek, jawa, matamu buta 90 Lintang Panjer Sore, jawa, bintang yang paling terang sore hari, Mars. 242 Namun orang yang mengaku dirinya sebagai Lintang Panjer Sore itu tidak menggubris. Sejenak kemudian terdengar suara kudanya berderap. Senopati Naragupita memerhatikan arah kuda Lintang Panjer Sore beberapa saat. Senopati Naragupita segera terlonjak ketika menyadari sesuatu. "Cepat kejar. Orang itu akan kembali menyusup ke Kotaraja," teriaknya. Akan tetapi Senopati Naragupita hanya bisa menggeretakkan gigi setelah melihat kenyataan anak buahnya tidak mungkin memburu Lintang Panjer Sore itu. Lintang Panjer Sore telah berderap jauh dan kemudian menghilang. "Keparat. Goblok semuanya. Berkuda saja tidak becus," umpat Naragupita dengan kasar. Parameswara manggut-manggut. Kalau semula Parameswara melihat Senopati Naragupita sebagai orang yang ramah, malam ini ia melihat keadaan yang sangat bertolak belakang. Senopati Naragupita rupanya memiliki berbagai perbendaharaan umpatan yang amat kasar sekalipun. Apa boleh buat para prajurit itu terpaksa kembali ke Istana tanpa hasil. Kembali para prajurit melintas melewati pohon saman di mana Parameswara bersembunyi. Parameswara melihat akibat terjatuh dari kuda itu menyebabkan beberapa orang mengalami nasib sial. Seorang prajurit tangannya terkilir dan seorang lagi terpaksa ditelungkupkan di atas kuda. Entah apa yang terjadi padanya. Parameswara tersenyum ketika pikiran nakalnya muncul. "Apa yang terjadi kalau tiba-tiba aku hadirkan sebuah cleret tahun menghadang mereka. Tentu mereka akan berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri." Hanya sekadar membayangkan Parameswara geli. Setelah beberapa saat, rombongan prajurit berkuda yang balik arah bagai pulang setelah kalah perang tidak kelihatan lagi, Parameswara segera meloncat turun. Sebuah isyarat diberikan oleh pemuda itu, dan kuda Sapu Angin yang bersembunyi muncul dari semak dan perdu. "Sapu Angin," kata Parameswara, "sebagaimana tadi telah kukatakan kepadamu, aku akan menyusup ke Istana Kepatihan. Aku ingin melihat seperti apa ujut orang bernama Panji Ragamurti yang ternyata merupakan momok mengerikan bagi sebagian orang itu. Kaujagalah dirimu, kalau malam ini aku tidak kembali ke tempat ini, tunggu sampai hari berikutnya." Sapu Angin mengangguk. Parameswara segera bangkit dan mencium lehernya. Kuda Sapu Angin bisa merasakan bahasa kasih sayang yang diberikan kepadanya. Kuda itu balas mencium Parameswara. Malam menukik tajam. Parameswara kemudian telah berada di dalam kota. Suasana agak lengang. Hanya di tempat-tempat tertentu terlihat agak ramai. Beberapa orang prajurit terlihat melakukan perondaan yang amat ketat. Beberapa kali Parameswara berpapasan dengan mereka. Jika hal itu terjadi Parameswara memilih menghindar bersembunyi. Akhirnya setelah berjalan kaki beberapa jenak, Parameswara telah berdiri di depan sebuah bangunan megah. Istana Kepatihan. Parameswara memandang bangunan besar itu dengan tatapan nanar. Parameswara seperti sulit memercayai bahwa ternyata ia anak seorang Patih. Patih tentu bukan orang sembarangan karena patih adalah orang kedua yang mempunyai kekuasaan tinggi setelah raja. Namun sekaligus Parameswara merasa getir karena dirinya adalah anak yang terbuang yang entah mengapa ke dua orang tua 243 kandungnya menganggapnya tidak pernah ada. Benarkah yang ia duga, ia terlahir dari perbuatan planyahan" Berpikir seperti itu menyebabkan Parameswara muak. "Seperti apa wajah orang itu" Seperti apa pula wajah wanita yang seharusnya kupanggil ibu itu?" tanya Parameswara kepada diri sendiri. Dari tempatnya berdiri Parameswara memerhatikan, ada beberapa orang prajurit yang tengah berjaga-jaga di pintu regol. Beberapa buah obor dinyalakan menerangi segenap sudut wisma kepatihan. "Apa yang harus kulakukan?" Parameswara sibuk menimbang. Bagaimanapun, bertemu dengan orang tua kandung menimbulkan perasaan tidak tenang dan bahkan gelisah. Bagaimana sikapnya nanti setelah bertemu atau sebaliknya bagaimana sikap ke dua orang tuanya setelah mengetahui dirinya yang datang adalah anaknya" Parameswara butuh waktu untuk menimbang langkah apa yang akan diambil setelah kini ia berada di halaman istana kepatihan itu. Parameswara berusaha mendamaikan diri. Punggungnya seperti dirambati semut dan terasa dingin telapak tangannya. "Aku tidak perlu menundanya lagi. Aku harus bertemu dengan Panji Ragamurti dan isterinya," keputusan bulat diperolehnya. Parameswara kemudian melangkah melintas jalan. Beberapa orang prajurit yang berjaga diregol melihat kehadirannya bergegas menyiagakan diri. Para prajurit itu segera berloncatan sambil mencabut pedang dari masing-masing sarungnya. Parameswara merasa kewaspadaan para prajurit itu dirasa terlampau berlebihan. "Berhenti," bentak salah seorang dari mereka. Parameswara terus melangkah dan kemudian berhenti setelah berada dalam jarak yang dekat. Akan tetapi rupanya prajurit yang menjaga regol itu mengenalinya sebagai buronan yang menghilang saat dikepung di sebuah warung siang sebelumnya. "He, kau rupanya?" berkata prajurit itu. Tangan kanannya terangkat ke atas sebagai sebuah isyarat, beberapa orang prajurit bergegas mengepungnya. Parameswara membiarkan dirinya dikepung. Beberapa di antara para prajurit itu bahkan menyentuhnya dengan ujung tombak dan memaksanya melangkah masuk ke halaman. "Ada apa itu?" tanya seseorang dari kejauhan. Parameswara mengenali sebagai Ki Lurah yang berwajah brewokan. "Orang yang tadi siang melarikan diri di warung, Ki Lurah," jawab seorang prajurit. Mendengar itu, Ki Lurah yang brewokan bergegas mendatanginya. Ki Lurah itu sebenarnya sedang kesal karena belum lama berselang ia dan kawan-kawannya tidak berhasil menangkap telik sandi Lintang Panjer Sore. Kini ia memperoleh kesempatan menyalurkan amarahnya. Diperhatikan Parameswara itu dengan sebaikbaiknya. "Rupanya kau anak muda?" tanya orang brewokan itu sambil mengelus-elus kepal tangannya. Parameswara diam. Dengan tatapan mata lebih tajam dipandangnya orang itu. "Aku ingin bertemu dengan Kyai Patih Panji Ragamurti," ucapnya. "Pertemukan aku dengannya." Para prajurit yang mengepung itu terkejut melihat pemuda itu ternyata mempunyai keperluan dengan Patih Panji Ragamurti yang mereka hormati. Segenap prajurit saling pandang. Mereka tidak bisa melupakan kejadian ganjil yang terjadi siang sebelumnya, di 244 mana di saat mereka mengepung pemuda itu, tiba-tiba muncul pusaran angin yang meliuk-liuk menggoda mereka. Kini pemuda itu muncul dan bermaksud bertemu dengan Patih Panji Ragamurti. "Lancang sekali," desis Ki Lurah yang brewokan. "Berani-beraninya kau menyebut namanya begitu saja?" Ki Lurah yang membutuhkan penyaluran atas kejengkelannya itu melangkah lebih dekat dan dengan tiba-tiba mengayunkan tangannya menggampar wajah Parameswara. Namun Parameswara tidak mau diperlakukan seperti itu. Gesit Parameswara meliukkan tubuh menghindar. Dengan cekatan tangan yang sedang mengayun deras itu ditangkap dan diputar dengan paksa. Prajurit brewokan itu mengaduh kesakitan karena tangan kanannya terkunci, prajurit itu mengaduh lagi ketika Parameswara menekan tangan itu. "Apa jadinya kalau tangan ini kupatahkan?" tanya Parameswara. Lurah Prajurit brewokan itu menjerit kesakitan. Namun umpatannya amat kasar. "Gila kau. Apa yang kaulakukan?" teriaknya melengking. "Aku tak senang diumpati. Berani kau mengeluarkan kata-kata kotor itu lagi, aku patahkan tanganmu. Kauingin tanganmu kupatahkan, ha?" berkata Parameswara sambil memberikan tekanan yang kuat ke siku prajurit itu. Sungguh sebuah sentuhan pada simpul syaraf menyebabkan Ki Lurah itu menjerit. "Gila, apa yang kaulakukan he?" teriaknya. "Sudah aku bilang. Aku tidak senang dipisuhi91," bentak Parameswara. Para prajurit yang mengepung pemuda itu kebingungan melihat kejadian yang tidak terduga sama sekali. Mereka sama sekali tak mampu mengikuti dengan cara bagaimana Ki Lurah pimpinan mereka bisa dengan gampang ditelikung tangannya ke belakang. "Dhemit, bangsat," orang itu tidak bisa menahan mulutnya. Parameswara yang jengkel menekan siku orang itu. Prajurit itu mengaduh. "Jangan, he, jangan," lengkingnya. "Tadi sudah kukatakan, aku tidak senang mendengar umpatan. Kalau kauberani mengumpat maka kau akan kehilangan tanganmu?" ucap Parameswara sambil kembali menekan. Simpul syaraf tertentu yang digerayangi itu menyebabkan kesakitan luar biasa. Lebih dari itu, Ki Lurah Prajurit itu merasa tangan kanannya lumpuh tak bisa digerakkan. Nyerinya tidak ketulungan. "Bagaimana" Kau masih akan mengumpat lagi?" desak Parameswara. "O, tidak. Tidak lagi," jawab Ki Lurah itu dengan gugup. Parameswara mendorong Ki Lurah brewokan itu hingga terjengkang ke belakang. Parameswara menebarkan pandangan ke segenap prajurit yang mengepungnya. "Aku ingin bertemu Panji Ragamurti," suaranya terdengar datar. "Suruh ia keluar." Para prajurit saling pandang. Rupanya mereka bingung. "Untuk apa kau bertemu Gusti Patih, Parameswara?" Jawaban itu berasal dari pendapa. Orang yang memberikan jawaban itu kemudian melangkah dengan tenang mendatangi. Parameswara mengenalinya dengan baik, karena orang itu adalah Senopati Naragupita. Parameswara memandangnya dengan tatapan tajam. Parameswara sama sekali tidak tersenyum meskipun Senopati muda itu tersenyum. "Semua mundur," berkata Senopati Naragupita pada segenap prajurit bawahannya. 91 Dipisuhi, jawa, diumpati 245 Para prajurit itu melangkah mundur memberi jarak akan tetapi sebenarnya tidak melepaskan kepungan. Senopati Naragupita memandang Ki Lurah Prajurit yang menjadi bawahannya. Di luar dugaan Senopati Naragupita meludahinya. "Kalau tidak berguna untuk apa kau jadi prajurit" Seharusnya pangkatmu belum Lurah. Kau tidak pantas menyandang pangkat itu," kata Senopati Naragupita dengan suaranya yang sangar. Prajurit berpangkat lurah yang lumpuh tubuhnya itu bingung dan salah tingkah. Lurah prajurit brewokan itu bermaksud bangkit akan tetapi tubuhnya benar-benar lumpuh tidak punya tenaga. "Bukan main," kata Senopati Naragupita kepada Parameswara, "rupanya kau bukan orang sembarangan. Kulihat kau menguasai ilmu yang bisa digunakan melumpuhkan lawan hanya dengan menggerayangi simpul-simpul syaraf tertentu." Parameswara membungkam mulut. Senopati Naragupita yang masih muda itu melangkah berkisar memutarinya. Parameswara menyesuaikan diri siap menghadapi. "Tetapi bagaimana kalau lawanmu bukan orang goblok" Apa yang bisa kaulakukan kawan?" lanjut Senopati itu. Parameswara memandang "Aku datang ke sini tidak untuk mencari permusuhan. Aku ingin bertemu dengan Panji Ragamurti" jawab Parameswara dengan tegas. Senopati Naragupita merasa heran. "Untuk keperluan apakah kau bertemu dengan Gusti Patih Panji Ragamurti?" desak Senopati Naragupita. "Bukan urusanmu. Aku datang ke sini untuk bertemu dengan Panji Ragamurti. Tidak dengan orang lain," jawab Parameswara dengan suara datar dan perasaan tak senang. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Senopati Naragupita menjadi semakin penasaran. Baru beberapa saat yang lalu ia gagal menangkap telik sandi Lintang Panjer Sore, kini muncul seorang pemuda yang bersikap amat aneh. Boleh jadi ada sebuah mata rantai yang dibawa pemuda itu, yang bisa digunakan membongkar jaringan mata-mata yang selama ini terlampau merepotkan Kediri. "Gusti Patih sedang tidak ada di tempat. Gusti patih sedang pergi beberapa hari untuk keperluan yang amat penting. Aku yang mewakilinya. Akulah sekarang Gusti Patih itu. Nah, cepat katakan, apa keperluanmu?" Senopati muda itu berkata lantang. Parameswara menghela tarikan napas kecewa. Jauh sekali ia menempuh perjalanan dari perguruan Kembang Ayun sampai Kediri. Setelah tiba di tempat tujuan, yang dicari tidak ada. "Benarkah Panji Ragamurti tidak ada?" desak Parameswara. Baik Senopati Naragupita maupun anak buahnya merasa heran karena selama ini tidak ada orang yang lancang memanggil nama Panji Ragamurti begitu saja. Kedudukan Patih adalah kedudukan yang tinggi. Karena itu berhak dan harus dipanggil dengan sebutan Gusti. Namun pemuda itu memanggil nama Panji Ragamurti begitu saja. "Lancang sekali kau memanggil nama Gusti Patih hanya njangkar92 begitu saja?" ucap Senopati Naragupita kurang senang. 92 Njangkar, jawa, bersikap tidak sopan karena menyebut nama tidak lengkap 246 "Bukankah namanya memang Panji Ragamurti?" jawab Parameswara ketus. "Jadi apakah salahku kalau memanggil namanya seperti itu" Kalau Panji Ragamurti tidak ada, pertemukan aku dengan isterinya." Justru karena itu Senopati Naragupita semakin penasaran. Kecurigaannya bahwa pemuda yang sebaya dengannya itu tentu telik sandi dari Ganter semakin menjadijadi. Dengan sebuah isyarat yang hanya dimengerti oleh para prajurit bawahannya Senopati Naragupita meminta pengepungan itu diperketat. Para prajurit itu bergerak berloncatan. Parameswara melihat kepungan atas dirinya diperketat. Bahkan sejenak kemudian, sekelompok prajurit datang ikut mengepung. Saat Parameswara memerhatikan, jumlah prajurit itu semakin banyak saja. Maka dengan cermat Parameswara mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa timbul. "Katakan, apa sebenarnya keperluanmu bertemu dengan Gusti Patih Panji Ragamurti?" tanya Naragupita. Kali ini sikap ramahnya yang dibuat-buat itu hilang berubah menjadi sikap yang tegas dan kasar. "Aku hanya punya keperluan dengan Panji Ragamurti dan atau isterinya, tidak denganmu. Pertemukan aku dengan mereka." "Sombong sekali kau," desis Naragupita. "Orang-orang Ganter memang sombong dan merasa dirinya paling lelaki. Tetapi anggapan itu akan kubuat jungkir balik di tempat ini. Nah, tunjukkanlah kepadaku, kalau kaubenar-benar seorang lelaki." Parameswara tidak mau memandang lemah lawannya. Justru karena itu pemuda dari Blambangan itu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Senopati Naragupita bergeser menyiapkan sebuah serangan. Senopati Naragupita tahu lawannya yang sebaya itu memiliki kemampuan olah kanuragan yang tak boleh dianggap remeh, itu sebabnya Senopati Naragupita tidak perlu merasa ragu. "Aku Parameswara dari tanah Blambangan. Datang ke sini untuk bertemu dengan Panji Ragamurti. Mengapa kau memaksaku mengakui dari Ganter?" Parameswara berteriak memperingatkan. Namun Senopati Naragupita tidak peduli. Dengan mendadak Senopati yang masih muda usianya itu melejit, sambil tubuhnya melayang tangannya deras menyambar. Kepalan tangannya mengayun bermaksud menghantam kepala Parameswara. Akan tetapi rupanya Parameswara tak merasa perlu menghindar. Kedua tangannya segera disilangkan di depan dada. Sebuah benturan yang keras terjadi. Parameswara yang tidak menyangka akan menghadapi kekuatan yang begitu besar, terhuyung-huyung ke belakang. Nyaris saja Parameswara terjatuh. Akan tetapi Senopati Naragupita tidak kalah kagetnya. Senopati Naragupita semula bermaksud melumpuhkan Parameswara hanya dalam sekali serangan, namun pertahanan yang dilakukan pemuda itu mampu mementahkan gempuran dan bahkan menjadi sebuah serangan balik yang merepotkan. Senopati Naragupita terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling. Melihat kejadian tak terduga itu, serentak segenap prajurit merapatkan kepungan dan mengacungkan senjatanya. Mereka siap mengeroyok pemuda yang ternyata mampu membuat Senopati Naragupita sedikit kerepotan. Namun Senopati Naragupita yang telah bangkit kembali segera berteriak lantang. "Mundur. Jangan ada yang ikut campur permainan ini." 247 Para prajurit yang bergerak mengepung itu kembali mundur ke belakang namun tetap membuat kepungan semakin rapat. Beberapa orang prajurit yang baru saja datang menambah jumlah mereka semakin banyak. "Siapa sebenarnya kau?" teriak Senopati Naragupita. "Sudah kusebut entah berapa kali. Namaku Parameswara. Aku berasal dari Bumi Blambangan," jawab Parameswara dengan lantang pula. Namun Senopati Naragupita sama sekali tak memercayai pengakuan itu. Senopati Naragupita lebih percaya kepada prasangka yang terlanjur tumbuh subur di dalam hatinya sendiri. Bagi Senopati Naragupita, sosok yang mengaku-aku berasal dari Blambangan itu jelas bohong, dari baunya saja telah kelihatan, ia berasal dari Ganter. "Jangan sebut Blambangan lagi. Kau orang Ganter," bentaknya dengan keras. Justru karena itu Parameswara malah menertawakannya. "Terserah kaulah. Kau mau mengatakan aku orang Ganter" Terserah kau," jawab Parameswara enteng. Senopati Naragupita kembali mempersiapkan diri. Kali ini ia tidak memandang rendah lawannya sebagaimana Parameswara telah mengukur kekuatan lawan saat benturan terjadi, Parameswara juga tak mungkin menganggap ringan lawannya. Senopati Naragupita mengulurkan tangan kiri ke depan, sebaliknya tangan kanan ditarik dan menengadah di belakang. Kaki kiri ditekuk ke depan, dan kaki kanan mengimbanginya dengan sebuah kuda-kuda yang kukuh ke belakang. Sebuah kembangan yang indah dipamerkan oleh Senopati yang berusia muda itu. Tangan yang terjulur itu kemudian ditarik menyusur ke lengan kanan bagaikan gerakan orang yang menari. Kaki kanannya yang semula memberikan perlindungan yang kukuh melangkah ke depan disusul dengan kaki kirinya yang bergeser ke depan pula. Kali ini tangan kanan diangkat tinggi-tinggi. Parameswara tak mau terlambat. Parameswara segera mengimbangi dengan gerak kembangan olah kanuragan dari jalur perguruan Kembang Ayun. Kedua tangannya mengawali dengan saling melekat di dada, seperti orang yang tengah menyembah. Kedua telapak tangan kemudian berputar seperti meremas sesuatu di dalamnya. Kedua kakinya kemudian merenggang dan tangan kiri dijulurkan ke depan, sebaliknya tangan kanan menggenggam kuat ditekuk di sebelah kanan dada. Sebuah kembangan yang terlihat sederhana saja. Dengan cepat Senopati Naragupita yang sudah mengukur kemampuan lawan melenting berusaha menerjang bagian kiri tubuh Parameswara yang dianggapnya merupakan titik terlemah dari tubuhnya. Namun baik tangan kiri maupun tangan kanan Parameswara rupanya sama lincahnya. Parameswara menggeser kaki kirinya ke belakang tangan kirinya siap mengayun menghajar tangan Naragupita. Senopati Naragupita bukan orang yang bodoh yang tidak melihat adanya bahaya. Senopati Naragupita menggeliat di udara dan mengubah serangan, tiba-tiba kaki kirinya menyambar deras dengan bertumpu pada kaki kanannya. Sebuah ayunan berkekuatan penuh yang siap menghajar pinggang Parameswara. Sulit diikuti mata, Parameswara tiba-tiba saja melenting dan tubuhnya melayang deras, untuk kemudian berjumpalitan mengambil jarak. Parameswara melayang turun di dekat sebuah arca gupala. "Bukan main," desis Parameswara yang dengan tulus memuji. 248 Namun Senopati Naragupita juga tidak kalah kagum melihat kelincahan lawannya. Senopati Naragupita baru saja melihat sebuah gerakan meloloskan diri dari jebakan dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Namun pemuda sebaya dirinya itu ternyata mampu menghindar dengan cara tak terduga dan terukur sekali. "Hebat. Kaubenar-benar hebat," kata Senopati Naragupita yang merasa senang memperoleh lawan tanding yang sepadan. Kedua petarung muda usia itu kembali mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dengan deras Senopati Naragupita meloncat melakukan sebuah serangan. Kali ini dua kakinya melayang mendahului tubuhnya. Sebuah gerakan menggunting menggunakan kaki yang amat berbahaya. Akan tetapi serangan semacam itu adalah serangan yang berulangkali dipelajarinya saat menggembleng diri di Perguruan Pesanggaran. Kemana arah gerakan kaki menggunting itu, serta bagaimana kemungkinan-kemungkinan kembangan nya telah dikenalinya dengan sebaik-baiknya. Parameswara segera menjatuhkan diri berguling melewati arah lintasan serangan lawannya. Manakala Parameswara melenting, ia berhasil menempatkan diri di belakang lawannya. Dengan keadaan yang demikian itu sebenarnya gampang bagi Parameswara untuk melumpuhkan lawannya namun yang dilakukannya hanya sekadar menyentuh pundak Senopati Naragupita pelahan saja. Diperlakukan seperti itu maka wajah Senopati Naragupita menjadi merah padam. Parameswara mundur selangkah sambil memerhatikan dengan cermat apa yang akan dilakukan Senopati Naragupita berikutnya. Ketika Senopati Naragupita kembali meloncat menyerang maka dengan perhitungan yang cermat dan terukur Parameswara menghadapinya. Naragupita menawarkan sebuah serangan dibalas Parameswara dengan membelinya sekaligus menjual sebuah serangan. Maka di halaman pendapa Istana Kepatihan Kediri itu pun riuh dengan perang tanding yang terjadi. Para prajurit menyaksikan pertempuran itu dengan jantung berdegup kencang. Para prajurit yang mengepung arena perang tanding itu pun semakin banyak. Berita mengenai perang tanding itu menjalar tak tercegah. Para prajurit pengawal wisma kepatihan kemudian segera berbondong-bondong mendatangi Istana Kepatihan untuk menyaksikan apa yang terjadi. Perkelahian yang berlangsung itu benar-benar amat nggegirisi. Senopati Naragupita menyerang Parameswara susul-menyusul bagai prahara di musim hujan. Ayunan pedang panjangnya begitu ganas menyambar-nyambar berusaha mengail nyawa. Gempuran yang dilakukan seperti badai menerjang karang. Namun batu karang itu bukanlah karang yang mudah dihancurkan, batu karang itu adalah Parameswara, seorang pemuda gemblengan perguruan Kembang Ayun di bumi Blambangan. Lebih jauh dari itu, perkelahian yang terjadi itu mengagetkan penghuni Istana. Nyai Panji Ragamurti yang merasa cemas segera memanggil anak gadisnya. Ratna Muninggar datang tergopoh-gopoh menghadap Ibunya. "Apakah yang terjadi di pendapa itu?" tanya Nyai Panji Ragamurti dengan tatapan cemasnya yang tak bisa disembunyikan. Ratna Muninggar memandang Ibunya, lekat. "Menurut keterangan seorang abdi emban, Senopati Naragupita sedang berusaha menangkap mata-mata dari Ganter," jawab gadis yang bernama Ratna Muninggar itu. Nyai Panji Ragamurti menerima keterangan itu dengan agak gelisah. Sudah beberapa hari suaminya, Patih Panji Ragamurti pergi tidak diketahui ke mana dan kapan 249 akan pulang, sementara keadaan Kediri semakin tak menentu oleh gangguan orangorang Ganter. Hal itu membuatnya cemas. Nyai Patih Ragamurti sadar, wisma kepatihan merupakan tempat yang paling dibenci banyak orang melebihi kebencian pada Istana utama yang dihuni oleh Sri Kertajaya. "Kau jangan pergi ke mana-mana, Muninggar," kata Ibunya. Namun Muninggar tidak sependapat dengan Ibunya. "Aku justru ingin melihat apa yang terjadi di halaman itu ibu," jawab Gadis itu. Nyai Patih Ragamurti langsung melotot. "Jangan ngawur kau," cegah Ibunya. "Kau tidak tahu, bahwa saat ini Istana ini benar-benar sedang diincar oleh orang-orang dari Ganter" Mata-mata mereka menyebar di mana-mana, bahkan mungkin juga menyusup di antara para prajurit yang mengawal Istana Kepatihan ini. Jadi jaga dirimu baik-baik. Jangan berbuat macam-macam yang bisa mengundang bahaya." Ratna Muninggar mencoba untuk mengerti alasan Ibunya. Sebenarnya bagi Ratna Muninggar, di halaman Istana kepatihan yang tengah riuh oleh perang tanding itu, ada sesuatu yang dicemaskannya sekaligus memancing rasa ingin tahunya. Tetapi peringatan Ibunya memang tak mungkin diabaikan. Namun Ratna Muninggar bukanlah gadis penakut. Ketika ia mendapat kesempatan, Ratna Muninggar justru menyelinap. Keinginannya untuk melihat apa yang terjadi tidak bisa ditahan lagi. Dengan berlari-lari kecil sambil menyingsingkan kain panjang yang dikenakan Ratna Muninggar menuju pendapa. Di halaman Istana, perang tanding yang berlangsung semakin riuh. Kalau semula Senopati Naragupita hanya bermaksud mengadu tinggi ilmu, keadaan itu telah berubah dan bergeser jauh. Senopati Naragupita terpancing oleh amarah setelah beberapa saat lamanya tidak berhasil mengatasi lawannya, bahkan kemudian dalam beberapa kali serangan, pemuda bernama Parameswara itu malah merepotkannya. Maka Senopati Naragupita benar-benar waringuten, atau bagai orang yang kehilangan kesadaran karena mabuk kembang kecubung. Tandangnya semakin nggegirisi, bahkan setiap ayunan pedangnya benar-benar dengan tujuan membunuh musuhnya. Akan tetapi dengan cekatan Parameswara bisa mengimbangi lawannya yang sudah kepanjingan dhemit itu. Bahkan pada akhirnya Parameswara semakin menguasai medan, serta mempersempit ruang gerak lawannya. Apa boleh buat. Senopati Naragupita akhirnya merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggerakkan anak buahnya. Senopati Naragupita segera berjumpalitan menjauh mengambil jarak ketika Parameswara mengejar dan melontarkan serangan beruntun. Napas Senopati yang masih muda usia itu tersengal. "Tangkap orang itu, hidup atau mati," akhirnya Senopati Naragupita menjatuhkan perintahnya. Beberapa orang prajurit yang mengepung serta berada pada lapisan paling depan segera berlompatan menyerang. Dengan cekatan Parameswara menghindar dan Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekaligus membalas menyerang. Geliat tubuhnya yang lentur menyulitkan semua lawannya. Akan tetapi itu bukan berarti keadaan yang menguntungkan bagi Parameswara. Lapis serangan pertama bisa dihindari, disusul dengan lapis serangan berikutnya. Bahkan dengan teriak melengking Senopati Naragupita melibatkan diri pula. Kali ini Parameswara benar-benar harus memerhatikan keadaan dengan cermat. Lengah sedikit, akan buruk akibatnya. Masalahnya hambatan justru muncul dari dirinya 250 sendiri. Serangan macam apa pun belum memancing Parameswara untuk mencederai musuhnya. Akhirnya Parameswara memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika pemuda itu disudutkan pada keadaan yang serba salah, maka keputusan yang diambilnya tidak ada lagi kecuali mempertahankan diri. Jika untuk mempertahankan diri itu harus melukai lawannya apa boleh buat. Maka ayunan tangannya bisa berakibat buruk bagi lawannya. Seorang prajurit yang mengayunkan tombak, sama sekali tidak menyangka ayunan kaki pemuda itu dengan telak akan menghajar dadanya. Prajurit itu terjengkang dan tidak mampu bangkit kembali. Parameswara merampas tombak panjang milik prajurit itu, diputarnya di atas kepala menimbulkan suara berdesing tajam. Para prajurit yang mengepungnya berloncatan muncul. Parameswara berteriak amat lantang. "Apakah salahku hingga aku diperlakukan seperti ini?" Teriakan itu begitu keras hingga menggapai sudut-sudut wisma kepatihan. Nyai Panji Ragamurti yang duduk di ruang tengah menggigil bagai orang kedinginan. Akan tetapi Senopati Naragupita tidak peduli lagi. Sekali lagi Senopati Naragupita berteriak memberikan aba-aba. Serentak pula para prajurit yang mengepung pemuda itu berloncatan menyerang. Berbagai jenis senjata mengepung mencari celah kesempatan untuk sekadar menggores kulit lawannya. Semakin lama Parameswara semakin marah. Namun juga berarti kesulitan baginya karena harus menghadapi musuh yang berlapis-lapis. Jika Parameswara terus bertahan dengan keadaan itu, maka akan tiba saatnya segenap tenaganya akan terperas sampai tuntas. Parameswara yang berkeringat itu berpikir keras, bagaimana cara membebaskan diri dari keadaan yang menyulitkan itu" Sempat terfikir oleh pemuda itu untuk menghadirkan cleret tahun ciptaannya. Namun untuk melakukan itu Parameswara membutuhkan ketenangan fikiran. Tidak mungkin memusatkan perhatian untuk memanggil cleret tahun sambil berloncatan menghindari lawannya. Pada saat yang demikian itulah sebuah serangan yang tidak terduga-duga tiba-tiba menyambarnya. Parameswara menggeliat menahan rasa sakit akibat sebuah pedang yang menggores dadanya. Pedang Senopati Naragupita!. Parameswara berdesis menahan nyeri. Ketika kemudian pemuda itu memerhatikan dadanya, darah mulai mewarnai kulitnya, tembus ke pakaiannya. Parameswara menggigil. Kali ini Parameswara benar- benar tidak mampu menguasai diri. Dengan kerasnya pemuda itu mengaum seperti lengkingan seekor serigala sambil mencopoti pakaiannya. Darah merah itu mengucur dari luka yang melintang panjang. Dengan bertelanjang dada Parameswara memandang semua orang. "Kalian benar-benar keterlaluan. Kalian memaksakan sebuah keadaan yang tidak aku mengerti. Aku sudah mengatakan, aku berasal dari Bumi Blambangan, kedatanganku ke tempat ini untuk bertemu dengan Panji Ragamurti. Tetapi apa yang kalian lakukan padaku?" teriak pemuda itu amat lantang. Matanya menatap dengan beringas. Namun Senopati Naragupita benar-benar bermaksud memanfaatkan keadaan. itu Dengan teriakan keras pemuda itu memberi isyarat. "Bunuh telik sandi dari Ganter ini. Serang dia." 251 Senopati Naragupita tidak sekadar memberi aba-aba namun Senopati muda itu juga memberi contoh. Tangannya berputar cepat siap mengayunkan pedang dengan gerakan yang sangat cepat mengayun deras silang-menyilang. Parameswara tidak merasa ragu menyongsong menggunakan ayunan ujung tombaknya. Senopati Naragupita terpaksa berjumpalitan untuk menyelamatkan diri. Parameswara merasa dadanya semakin nyeri. Darah yang menyatu dengan keringat itu terasa pedih namun malah membangkitkan amarahnya. Itu sebabnya pemuda itu tiba- tiba melemparkan tombaknya melesat deras menghajar kepala patung gupala. Pecah kepala patung itu. Namun yang membuat semua orang tercekat adalah apa yang dilakukan pemuda yang kesetanan itu. Tiba-tiba saja Parameswara merapatkan kedua tangannya di atas kepala. Kedua kakinya merenggang membentuk kuda-kuda yang kuat. Tangan yang menyembah langit itu kemudian turun pelahan membentuk kembangan. Telapak tangan kiri diletakkan di depan dada, tangan kanannya diangkat tinggitinggi ke belakang. "Yang ingin mati, mendekatlah," kata pemuda itu dengan suara datar namun sangar. Bahkan Senopati Naragupita tidak berani sembarangan menghadapi keadaan yang tidak terduga itu. Senopati Naragupita yang telah belajar serta mendalami kemampuan olah kanuragan, dengan cepat bisa mengenali sikap itu sebagai puncak dari penyatuan kekuatan aji pamungkas. Justru karena itu Senopati Naragupita meloncat mundur. "Siapkan anak panah," teriak Senopati Naragupita lantang. Segenap prajurit yang mengepung Parameswara bergerak cepat. Para prajurit yang menggunakan senjata tombak dan pedang berloncatan menjauh, memberi ruang gerak dan kesempatan kepada sekelompok prajurit dengan senjata anak panah. Serentak mereka menarik busur dan memasang anak panah. Namun tiba-tiba terdengar sebuah teriakan melengking. "Berhenti," suara itu terdengar lantang sekali. Pengaruh suara itu ternyata sedemikian kuatnya meski berasal dari mulut seorang gadis. Senopati Naragupita terpaksa memberikan isyarat kepada pasukan panah menunda serangan. Dengan tidak berkedip Parameswara memandang seorang gadis yang baru saja muncul dari antara para prajurit. Gadis yang cantik sekali. "Ada apa Muninggar?" tanya Senopati Naragupita. Ratna Muninggar memandang Senopati Naragupita dengan tatapan aneh. Sejenak kemudian perhatian gadis itu tertuju kepada Parameswara. "Siapa orang ini kakang?" tanya Ratna Muninggar. "Dia telik sandi Ganter," jawab Naragupita. "Bukankah dia tadi menyebut dirinya berasal dari Blambangan?" desak gadis itu. Senopati Naragupita tersengal, sibuk menata napasnya. "Bisa saja dia mengatakan berasal dari Blambangan atau dari mana pun," jawab Senopati Naragupita. Ratna Muninggar memerhatikan Parameswara dengan tatapan aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak wajar pada tubuh pemuda itu. Akan halnya Parameswara yang telah tenang dan meredakan diri, berangsur-angsur telah mengurai kekuatan ajian Riung Laut di genggaman tangannya. Parameswara memungut pakaiannya yang tergeletak di tanah dan mengenakannya. "Siapakah namamu kakang?" tanya gadis itu. 252 "Namaku Parameswara," jawab Parameswara tegas. "Bagaimana kaubisa memiliki medali yang kaupakai itu, kakang Parameswara?" tanya gadis itu. Ternyata itulah sebuah pertanyaan yang menyentakkan. Senopati Naragupita kaget bukan kepalang. Senopati Naragupita akhirnya memang melihat Parameswara menggunakan sebuah kalung dengan bandul sebuah lencana yang amat dikenalinya. Lencana itulah yang membuat hatinya berdebar-debar. Sebagaimana Ratna Muninggar Senopati Naragupita bahkan para prajurit anak buahnya mengenali lencana itu dengan baik. "Aku ulangi kakang, bagaimana kaubisa memiliki kalung dengan bandul lencana seperti itu?" desak gadis itu. Parameswara kemudian termangu. Pertanyaan itu memancing Parameswara untuk memegang lencananya, tatapan matanya nanar memandang pendapa kepatihan. Ada rasa kecewa yang kental di dadanya. "Kau siapa?" tanya Parameswara. Gadis itu tersenyum. "Namaku Ratna Muninggar," jawabnya. "Ada hubungan apa kau dengan Panji Ragamurti?" tanya Parameswara. Bagi semua orang pertanyaan itu terasa aneh. "Patih Panji Ragamurti ayahku," jawab Gadis itu. Meski telah menduga, namun Parameswara merasakan ada desir tajam merambati dadanya. Pemuda itu manggut-manggut. "Aku ingin bertemu dengan ayahmu. Ke mana dia?" Ratna Muninggar tersenyum menyejukkan suasana. Cahaya obor menerpa wajah gadis itu. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana ceritanya hingga kau memiliki lencana yang kaugunakan sebagai bandul kalung itu," desak Ratna Muninggar. Namun Parameswara bersikukuh. "Ke mana perginya ayahmu?" desaknya datar. Apa boleh buat. Ratna Muninggar merasa harus mengalah. "Sudah sebulan lamanya ayahku pergi untuk sebuah keperluan. Mungkin aku bisa mewakilinya?" tanya gadis itu lagi. Parameswara terdiam. Darah yang menetes dari lukanya mulai membeku, namun rasa nyeri yang ditinggalkannya amat menyengat. Parameswara menebarkan pandangan dan akhirnya hinggap di wajah Senopati Naragupita. Senopati muda itu rupanya menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Senopati Naragupita menunduk dalam-dalam, kebingungan. Akan halnya para prajurit yang semula mengepungnya saling pandang satu dengan lainnya. "Bagaimana dengan Ibumu?" tanya Parameswara. Pertanyaan itu membuat Ratna Muninggar terheran-heran. "Kenapa dengan Ibuku?" tanya gadis itu dengan nada penasaran. "Ibumu masih ada" Masih hidup?" kembali Parameswara bertanya. Lagi-lagi bagi Ratna Muninggar pertanyaan itu terasa janggal. "Ibuku masih hidup. Kenapa?" Parameswara merasakan dadanya yang terluka semakin nyeri. Namun nyeri di hatinya melebihi segalanya. 253 "Aku ingin bertanya pada Ibumu mengenai riwayat lencana ini, pertemukan aku dengannya," kata Parameswara. Namun Senopati Naragupita masih menyimpan curiga. "Jangan Muninggar," cegah Senopati Naragupita. Namun Parameswara telah melepas lencana itu. Dilemparkannya lencana itu pada Ratna Muninggar. Gadis itu tak bisa menangkap dengan baik. Lencana itu jatuh ke tanah. Gadis itu segera memungutnya. Beberapa saat Ratna Muninggar memerhatikan lencana itu. Rasa penasarannya kian liar dan menjadi. "Mari ikut aku," kata Ratna Muninggar. "Muninggar, jangan," cegah Senopati Naragupita. "Jangan cemas kakang Senopati. Mungkin ini masalah keluarga, jadi aku mohon kakang jangan ikut campur. Bahkan siapa tahu kakang Senopati dan para prajurit harus minta maaf kepadanya karena telah menyebabkan dadanya terluka," jawab Gadis itu. Senopati Naragupita tambah bingung. Ratna Muninggar melangkah meninggalkan pendapa dengan Parameswara pelahan melangkah mengikuti di belakangnya. Di dalam hati Parameswara benar-benar jengkel terhadap perlakukan kasar yang diterimanya. "Senopati, bagaimana ini?" tanya seorang prajurit. Pertanyaan yang sederhana itu ternyata sulit dijawab, "Jangan-jangan benar pengakuan pemuda itu. Ia bukan orang dari Ganter. Kita yang memaksanya mengakui sebagai telik sandi dari Ganter," kata prajurit yang lain. "Diam kau," bentak Senopati Naragupita dengan kasar. Keadaan itu benar-benar membingungkan dan tak menyenangkan hatinya. Senopati Naragupita berjalan mondar-mandir tidak tahu harus melakukan apa. Adalah pada saat yang demikian itu, Senopati Naragupita beserta segenap prajurit bawahannya terkejut, ketika terjadi peristiwa janggal. Awalnya mereka mendengar sesuatu yang tidak jelas, seperti suara gemeresak amat ribut. Para prajurit saling pandang untuk mengetahui suara apakah sebenarnya itu. Namun sesaat kemudian mereka segera menemukan jawabnya dan melihat apa yang terjadi. Sebuah pusaran angin yang tidak diketahui dari mana asalnya meliuk-liuk, menari-nari di halaman Istana itu. Segenap prajurit bergegas berloncatan menyaksikan kejadian aneh itu. "Gila. Bukankah tadi siang kita menyaksikan kejadian seperti ini?" tanya seorang prajurit yang merasa amat heran. "Ya," jawab temannya. "Bagaimana bisa terjadi demikian?" prajurit yang pertama mengurai penasaran yang makin kental. Semua prajurit terbelalak menyaksikan ulah biang cleret tahun itu. Angin berpusar itu benar-benar seperti makhluk hidup. Benda itu meliuk kesana meliuk kemari seperti menggoda. Bahkan sesaat kemudian, ulahnya benar-benar sulit dimengerti. Biang angin lesus itu bergerak ke pendapa, sebuah obor yang menyala dilintasinya. Obor itu padam. Cleret tahun kecil itu terus melintas ke pendapa, masuk ke dalam sebuah pintu yang terbuka untuk kemudian lenyap tak ketahuan ke mana perginya. Gemparlah segenap prajurit itu gempar pula Senopati Naragupita. Dengan cepat Senopati Naragupita menarik simpulan, cleret tahun yang dilihatnya di siang hari sebelumnya dan yang terjadi sekarang bukanlah gejala alam yang lumrah. Naragupita segera curiga, keadaan ganjil itu karena ulah pemuda itu. 254 Dengan bergegas Senopati Naragupita menyusul ke dalam Istana kepatihan. Para prajurit benar-benar takjub. "Jangan-jangan, pusaran angin itu prewangan?" seorang prajurit tidak kuat menahan rasa penasaran. "Kenapa kau berpendapat seperti itu?" tanya prajurit di sebelahnya. "Tadi siang cleret tahun itu muncul menyebabkan kita kehilangan jejaknya, dan sekarang muncul lagi," jawabnya. "Benar juga. Bukankah tadi siang pemuda itu berada di warung itu dan kita bermaksud menangkapnya lalu pusaran angin itu muncul menyebabkan kita kehilangan jejaknya. Sekarang pemuda itu muncul lagi di sini, dan pusaran angin itu muncul pula. Jelas ada hubungan antara pemuda itu dengan pusaran angin yang selalu muncul. Ya atau tidak?" Para prajurit yang lain rupanya tidak ada yang bisa membantah kebenaran pendapat prajurit itu. "Namun siapa sebenarnya dia" Apakah benar seperti yang kita duga, dia mata-mata dari Ganter" Kalau benar mengapa ia memiliki lencana yang menjadi ciri khas Gusti Patih itu?" tanya prajurit itu. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lagi-lagi pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bahwa pemuda itu memiliki sebuah lencana yang sebenarnya menjadi ciri khusus dari Ki Patih Panji Ragamurti, justru membuat semuanya berdebar-debar. "Kalau begitu, kita lihat bagaimana perkembangannya," bisik seorang prajurit. "Kita akan tahu siapa sebenarnya dia." "Apakah kita perlu menyusul ke dalam sana?" tanya seseorang. "Kalau kauberani, susul saja ke dalam sana," jawab prajurit yang lain. Dengan bergumpal pertanyaan yang mengganduli hati Ratna Muninggar membawa Parameswara menghadap Ibunya. Parameswara berusaha tenang namun sulit menguasai diri. Bagaimanapun setelah sekian lama, boleh dikata usia pertanyaan yang mengganduli benaknya itu sepantaran dengan umurnya. Semula ia mengira Ki Ajar Kembang Ayun memang benar ayahnya. Ketika masih bocah ia sering bertanya ke mana Ibunya yang selalu dijawab ibunya telah tiada. Ki Ajar Pratonggopati termasuk yang mengarang cerita tentang ibunya yang mendahului pergi beberapa saat setelah melahirkannya. Belakangan pertanyaan itu membuncah ketika seseorang tak dikenal memberitahu bahwa ia masih punya ayah dan ibu. Orang macam ibunya, bagaimana wajahnya" Parameswara berdesir dan bangkit semua bulu kuduknya saat akhirnya melihat ujut perempuan itu. Pandangan Parameswara tidak berkedip, napasnya tidak mereda tetapi malah semakin mengombak. "Jadi ini orang yang telah menjadi perantara kelahiranku?" berbisik Parameswara untuk diri sendiri. Parameswara gemetar. Nyai Panji Ragamurti memandang Ratna Muninggar dengan tatapan bingung. Nyai Panji Ragamurti memerhatikan Parameswara dengan tatapan mata lekat. "Dia siapa?" tanya Nyai Panji Ragamurti. "Kakang ini yang tadi bertarung di halaman berkelahi melawan kakang Senopati Naragupita," kata Muninggar. Nyai Panji Ragamurti kaget. Dari wajahnya terlihat bias cemas. "Kau siapa anak muda?" tanya Nyai Panji Ragamurti dengan agak ragu. 255 Nyai Panji Ragamurti cemas jika pemuda yang telah berada di depannya itu adalah telik sandi dari Ganter. "Namaku Parameswara," jawab Parameswara pendek. "Apa keperluanmu?" tanya Nyai Panji Ragamurti lagi. Parameswara merasa dadanya kian perih. Namun perih itu tidak berasal dari luka di dadanya yang melintang. "Aku ingin bertemu dengan Patih Panji Ragamurti," Parameswara menjawab dengan suara serak dan berbau ketus. "Panji Ragamurti itu suamiku. Ada apa kau mencari suamiku?" desak Nyai Panji Ragamurti. "Kakang Parameswara memiliki lencana ini, ibu," kata Muninggar menyela pembicaraan ibu dan tamunya yang aneh itu. Nyai Panji Ragamurti menerima lencana itu dari tangan anak gadisnya, dan mengamati benda itu untuk beberapa saat lamanya. Tiba-tiba saja perempuan itu gemetar. Meski Nyai Panji Ragamurti telah berusaha untuk menahan diri, namun gemetar gelisahnya tidak bisa dikendalikan. Dengan tatapan mata terbelalak Nyai Panji Ragamurti menatap Parameswara beberapa saat lamanya, bermaksud mencari sesuatu pada wajah itu. Bibir wanita tua itu ndremimil. "Kau, Mahisa Medari?" berkata wanita itu dengan gugupnya. Parameswara mencuatkan alis. Nama itu asing baginya. "Namaku Parameswara," jawabnya pendek. "Jagad Dewa Batara93," desis wanita itu, nyaris tak bisa menguasai diri. Parameswara memandang perempuan tua itu dengan tidak berkedip. "Kau anakku, kau Mahisa Medari," ucap wanita itu dengan amat gugup. Wanita tua itu gemetar. Wanita tua itu melangkah bermaksud mendekati pemuda yang dipanggilnya dengan nama Mahisa Medari itu. Namun Parameswara mencegahnya. "Tunggu, jangan mendekat," cegah pemuda itu. Nyai Panji Ragamurti terpaku di tempatnya. Ratna Muninggar kebingungan menghadapi keadaan yang ternyata benar-benar berada di luar dugaannya. Akan halnya Senopati Naragupita yang mengikuti pembicaraan itu dari luar dinding tidak kalah pula kagetnya. Senopati Naragupita mendadak merasa seluruh tubuhnya dirambati oleh ribuan ekor semut. "Jadi, kau mengira aku anakmu?" tanya Parameswara dengan nada agak ketus. Nyai Panji Ragamurti bingung. Ada sesuatu yang akan meletup dari dalam dadanya, namun Nyai Panji Ragamurti tidak tahu bagaimana cara melampiaskannya. Lebih dari itu, sikap pemuda yang disebutnya Mahisa Medari itu kurang begitu bersahabat. Nyai Panji Ragamurti melangkah ke depan namun justru karena itu Parameswata mengangkat tangannya mencegah perempuan itu mendekat. Parameswara bahkan mundur. "Ibu, Ratna Muninggar tidak bisa menahan diri. "Apakah benar dia kakakku?" Parameswara mencuatkan senyum sinisnya sambil berjalan mondar-andir. Setelah mengalami kesulitan menenangkan diri Parameswara kembali mengobral tatapan matanya yang tajam dan berbau rasa sirik. "Dari mana kauperoleh lencana ini?" tanya wanita itu. 93 Jagad Dewa Batara, 256 "Ayahku, Ki Ajar Kembang Ayun memberikan lencana itu kepadaku," jawabnya pendek dan lugas. Perempuan itu terkejut. "Ki Ajar Kembang Ayun?" Nyai Panji Ragamurti seperti menggumamkan nama itu. "Apakah, Ki Ajar Kembang Ayun itu Ki Ajar Padmanaba?" Pertanyaan itu membuat dada Parameswara lebih giris. Dadanya bagai tersayatsayat. "Ya," jawabnya lugas. Nyai Panji Ragamurti merasa bagai akan meledak kepalanya. Ditatapnya wajah Parameswara itu lebih lekat. Nyai Panji Ragamurti menjadi semakin yakin dengan simpulannya setelah melihat ujut lahiriah Parameswara itu memang amat mirip dengan wajah suaminya. "Kalau begitu, kau Mahisa Medari. Kaubenar-benar anakku." Nyai Panji Ragamurti berteriak dengan suara melengking. Namun isi dada Parameswara bagai teraduk. Parameswara teringat pada wajah Mahisa Branjang kakaknya di Badran Arus, teringat wajah Ken Rahastri keponakan yang dicintainya. Ingat pula pada wajah Ki Ajar Kembang Ayun yang melimpahinya dengan kasih sayang. Sebuah pertanyaan muncul di sela-sela semua itu mengapa ia menjadi orang yang terbuang, dan berada di tempat yang tak seharusnya. Amat serak suara Parameswara, "kalau benar aku adalah anak yang kaulahirkan, mengapa kaubuang anakmu?" Pertanyaan Parameswara yang tak pernah diduga itu mengagetkan Nyai Panji Ragamurti, mengejutkan Ratna Muninggar, serta membuat Senopati Naragupita semakin gelisah. Meski Parameswara berusaha menahan diri, namun napasnya mulai tersengal. "Jawablah Nyai Panji Ragamurti. Mengapa kaubuang anakmu" Harimau binatang buas saja tidak akan berbuat seperti itu akan tetapi lihatlah apa yang kauperbuat padaku," Parameswara bertanya datar namun penuh dengan muatan tuduhan. Nyai Panji Ragamurti bingung. Kemunculan anak lelakinya itu sudah membuatnya bingung dan gemetar, masih ditambah dengan sikapnya yang tidak terduga. Hati wanita itu tersayat-sayat. "Mengapa kau bertanya seperti itu?" Parameswara tambah menggigil. "Apa aku tak boleh mengetahui Nyai Panji Ragamurti" Apakah aku tak mempunyai hak untuk mengetahui, macam apa ujut manusia yang menjadi penyebab kelahiranku di dunia ini" Apakah aku tak boleh bertanya, untuk sebuah alasan apa mereka telah dan tega membuangku?" Parameswara mulai menemukan jalan untuk meletupkan beban. Ratna Muninggar menatap pemuda itu dengan pandangan aneh. Parameswara melangkah, kali ini agak lebih mendekat kepada wanita yang seharusnya dipanggilnya ibu itu. "Atau barangkali Nyai dengan gampang melupakan?" "Tidak Medari," jawab Nyai Panji Ragamurti itu dengan suara bergetar, "kau keliru jika mempunyai dugaan macam itu. Kausalah jika mengira selama ini aku melupakanmu. Kausalah ngger94." Parameswara tersenyum amat sinis. Sulit baginya untuk menerima alasan itu. Bagi Parameswara, persoalannya bukan pada sulitnya melupakan tetapi mengapa dirinya harus 94 Ngger, jawa, panggilan kepada anak atau cucu atau pada orang yang jauh lebih muda. 257 dibuang. Nyai Panji Ragamurti merasa isi dadanya kian sesak. Keadaan yang tak terduga itu seperti memaksanya mengenang sebuah peristiwa yang telah menjadi bagian dari masa lalu. 37. Adalah kala itu, "Kau hamil?" tanya Panji Ragamurti yang pada saat itu masih muda usia dan belum menduduki jabatan patih di Kediri. "Aku hamil kakang," jawab Rara Datin. Rara Datin adalah nama Nyai Panji Ragamurti di kala masih berusia muda. Panji Ragamurti memandang isterinya dengan tatapan janggal. Bagai ada sesuatu yang tidak disukainya. Rara Datin yang melaporkan kehamilannya berharap melihat suaminya meledak gembira, ternyata sikap Panji Ragamurti tak seperti yang diharapkan. "Mengapa?" tanya Panji Ragamurti dengan pandangan mata curiga. bahwa isterinya hamil justru mencurigakan. "Apa yang mengapa, kakang?" Rara Datin balas bertanya. "Kau hamil, mengapa kau hamil?" desak Panji Ragamurti. Rara Datin merasa dadanya sesak. Kecewa yang muncul amat mendadak itu terasa kental menyesakkan segenap sudut di relung hatinya. Justru karena itu untuk beberapa saat Rara Datin tidak tahu harus berkata apa. "Mengapa kaubisa hamil?" desak suaminya. "Aneh kau ini kakang, Bukankah kau suamiku" Bukankah aku ini isterimu" Bukankah kau telah menjamahku" Apakah kau tidak pernah membayangkan jika yang kita lakukan itu bisa menyebabkan kehamilanku?" letup Nyai Rara Datin. Matanya mulai berlinang berkaca-kaca. Namun rupanya ada sesuatu yang tidak bisa diterima begitu saja oleh Panji Ragamurti. Sesuatu yang berawal dari sebuah rasa curiga yang kemudian tumbuh mekar menjadi api yang membakar hatinya. Pandangan mata Panji Ragamurti menyebabkan Nyai Rara Datin serba salah. "Benarkah kehamilanmu ini karena aku Nyai?" desak Panji Ragamurti. Pertanyaan itu bagai sembilu yang menggores permukaan hatinya yang terasa sakit sekali. Nyai Rara Datin harus mengalaminya. Meski wanita cantik itu berusaha menahan diri, akan tetapi air mata mulai bergulir membasahi pipinya. "Jawab!" tiba-tiba Panji Ragamurti membentak. Nyai Rara Datin mendadak gemetar dibentak seperti itu. Akan tetapi tuduhan itu terlampau menyakitkan sulit untuk diterima begitu saja, karena pada kenyataannya Nyai Rara Datin tidak pernah merasa selingkuh dengan orang lain. "Yang kukandung ini anakmu, kakang Panji Ragamurti," lengkingnya. Namun pikiran Panji Ragamurti sudah terlanjur kotor. Di benaknya sudah dikuasai oleh bayangan wajah seorang lelaki. Itulah wajah orang yang sebelumnya mempunyai hubungan khusus dengan Rara Datin sebelum ia hadir dan merebut wanita itu. 258 "Aku tak percaya pada ucapanmu itu Rara Datin. Pasti laki-laki bangsat itu yang telah menabur benih ke perutmu. Aku tidak percaya jika kehamilanmu itu karena aku," tuduhnya dengan beringas. Robek sudah dada wanita itu. Sakitnya melebihi apa pun. Rara Datin sungguh tak mengira akan demikian jadinya. Dengan menjadi isteri Panji Ragamurti menyebabkan Rara Datin telah kehilangan harkat dari cinta sejati yang terpaksa terenggut karena yang dihadapinya adalah orang brangasan yang tak segan-segan mengancam akan membunuh. Kini setelah ia berkorban, setelah harus berpisah dengan orang yang dikasihinya bahkan setelah mencoba menerima takdir dengan tidak berpikir lain lagi rupanya masalah tidak selesai begitu saja. Kehamilannya dipersoalkan, bahkan ia dituduh selingkuh. Nyai Rara Datin menangis sesenggukan. "Aku bersumpah disaksikan Dewa di langit kakang, semoga aku disambar petir jika aku melakukan tindakan selingkuh di belakangmu," isak wanita malang itu dengan amat tersendat. Sumpah yang diucapkan dengan sungguh hati itu justru membuat Panji Ragamurti meradang. "Aku tidak percaya dengan sumpahmu," jawab Panji Ragamurti beringas. "Jangan mengobral sumpah palsu omong kosong di hadapanku." Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Rara Datin kecuali menangis meratapi nasib. Panji Ragamurti yang merasa kecewa karena merasa dikhianati itu bergegas pergi. Sehari semalam Panji Ragamurti tidak pulang. Apabila sedang berada dalam keadaan kalut Panji Ragamurti akan melampiaskan kemarahannya dengan minum sampai mabuk. Beberapa bumbung legen atau tuak bisa ia habiskan meninggalkan jejak mabuk yang bisa berjalan berhari-hari. Akan tetapi, betapa tersentaknya Nyai Rara Datin ketika suaminya pulang malam berikutnya. "Lihat Datin, apa yang aku bawa ini," kata suaminya dengan menyungging senyum. Degup jantung Rara Datin serasa berhenti berdetak. Pemandangan mengerikan yang disajikan suaminya itu meremukkan segenap isi dadanya amat telak dan sempurna. Rara Datin menggigil gemetar. Meski wanita itu berusaha untuk berdiri dengan tegak namun kakinya gemetar tidak sanggup menyangga tubuhnya. Panji Ragamurti dengan permainannya tersenyum puas. Panji Ragamurti tertawa geli melihat Rara Datin jatuh terduduk dan wajahnya memucat. Bagai tanpa beban Panji Ragamurti memelorotkan celana dan mengencingi kepala yang dijinjingnya. Dengan langkah ringan Panji Ragamurti menggantung kepala yang telah terpisah dari tubuh itu ke dinding. Tidak cukup dengan perbuatannya Panji Ragamurti masih menyempatkan meludahi kepala itu sebelum masuk ke dalam bilik dan membaringkan diri. "Mampuslah kau bangsat, tidurlah dengan gelisah di alam kematianmu. Dengan kaumampus, jangan kau mengira aku memaafkan perbuatanmu telah menghamili isteriku," ucapnya dengan kasar. Panji Ragamurti masih tertawa geli. Rara Datin memandang wajah tanpa tubuh yang tergantung di dinding itu dengan hati remuk. Hatinya benar-benar hancur. Tak ada hati yang remuk melebihi melihat lelaki kekasih hatinya mati nista diperlakukan macam itu. 259 Hari-hari berikutnya, adalah hari-hari dengan panas api neraka, Rara Datin telah kehilangan gairah hidup. Sementara kodrat sebagai wanita tak bisa dihindarinya, semakin lama perutnya kian membesar. Kehamilan yang mestinya dilimpahi kasih sayang itu justru menjadi neraka dengan panas yang menggila. Ketika bayi itu kemudian lahir, Panji Ragamurti tidak menyambutnya sebagaimana Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pada umumnya seorang ayah yang merasa bahagia karena dikaruniai anak akan tetapi sumpah serapah diumbar dari mulutnya. "Aku tidak mau anak itu. Buang anak itu," teriak Panji Ragamurti. Namun Rara Datin masih memiliki naluri seorang ibu. "Apa dosa bayi ini kakang?" Rara Datin balas bertanya dengan pertanyaan yang amat menusuk. "Apa kaubilang?" Panji Ragamurti meradang. "Kau bertanya apa dosanya" Kau tak melihat betapa di mataku ia bukan manusia tetapi binatang?" Nyai Rara Datin meringkuk berusaha melindungi anaknya. 38. Parameswara yang menyimak kisah itu menggigil. Sepasang rahangnya mengatup kuat dan tangannya mengepal gemetar. Seandainya saja di kepalan tangannya itu terdapat sebuah batu, maka batu itu akan akan pecah berantakan. Tak tenang hanya berdiri, anak pungut Ki Ajar Kembang Ayun itu berjalan mondar-mandir. Napas pemuda itu mengombak. Di depannya Nyai Panji Ragamurti yang menangis berusaha menahan sedu sedan kesedihannya. "Ibu sama sekali tidak bersalah Mahisa Medari, ibu terpaksa minta tolong pada Kyai Ajar Padmanaba untuk menyelamatkanmu," isak wanita itu. Parameswara masih menggigil gemetar, tangannya buyutan, bibirnya juga bergerak tak terkendali. "Jadi aku ini binatang" Itu sebabnya aku dibuang karena aku ini binatang?" suara Parameswara terdengar gemetar. Ratna Muninggar melangkah mendekat dan menyentuh lengan Parameswara. "Jangan berkata begitu, kakang, ibu tidak bersalah," Ratna Muninggar berupaya menenangkan hati Parameswara. Parameswara tersenyum sinis. "Tidak ada gunanya lagi aku berlama-lama berada di sini," ucap Parameswara sambil merampas lencana di genggaman ibunya. Nyai Ragamurti melangkah mendekat berusaha menggapai anak lelakinya namun Parameswara meradang. "Jangan sentuh aku. Bukankah aku ini hanya seekor binatang?" Nyai Panji Ragamurti yang kehilangan tenaga berpegangan pada tiang saka, tangan kanannya menggapai lunglai. "Mahisa Medari, jangan pergi," terdengar suara ibunya serak sekali. Namun Parameswara tidak peduli. Parameswara yang bergegas keluar berpapasan dengan Senopati Naragupita. Parameswara tak mempedulikannya dan bergegas berjalan 260 terus ke regol Istana Kepatihan. Senopati Naragupita mengejarnya. Senopati Naragupita segera memberi isyarat kepada segenap prajurit untuk membiarkan Parameswara lewat. Dengan tenang Parameswara meninggalkan pendapa Istana Kepatihan itu. "Bagaimana Senopati" Siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya seorang prajurit. Senopati Naragupita tidak mampu menutupi gelisah hatinya. "Nama pemuda itu Parameswara. Dia memiliki lencana itu karena ternyata dia anak mbarep Ki Patih Panji Ragamurti," jawab Naragupita. Segenap prajurit yang menyimak terkejut. "Ha?" Bagaimanapun para prajurit tak menyangka pemuda yang telah mereka perlakukan kurang baik itu ternyata anak Ki Patih Panji Ragamurti. Mereka merasa menyesal dan sekaligus bersyukur karena belum terjadi apa-apa pada pemuda itu yang mungkin bisa mengundang kemarahan Patih Panji Ragamurti. Jika sampai Patih Panji Ragamurti itu marah amat sulit membayangkan amuk macam apa yang akan dilakukan Ki Patih Panji pada mereka. Di ruang dalam wisma kepatihan Nyai Panji Ragamurti menangis. Sulit sekali bagi wanita itu untuk menerima keadaan. Sekian lama Nyai Panji Ragamurti merindukan anak lelakinya itu, hal itu ditahan-tahan menjadi gumpalan rasa nyeri, setelah kini keinginannya terkabul ternyata berupa bentuk yang sama sekali tidak diharapkan. Sakit dirasakan seorang ibu mana pun atau perempuan mana pun adalah ketika anaknya tidak mengganggap keberadaannya sebagai ibu. "Sudahlah ibu, jangan ditangisi," kata Muninggar berusaha menenteramkan hati Ibunya. Namun Nyai Panji Ragamurti masih tetap larut dalam tangisnya. Ratna Muninggar meninggalkan ibunya dan mengayunkan kaki ke halaman. Di halaman tengah, Ratna Muninggar menemui Senopati Naragupita. "Bagaimana dengan ibumu?" tanya Senopati Naragupita yang tak kunjung reda dari rasa gelisah dan bersalah. Ratna Muninggar menghela desah yang terasa pahit di dada. "Ibu sangat terpukul kakang," jawab Muninggar. "Sudah lama ibu merindukan kehadiran kakang Mahisa Medari, namun ketika keinginannya terkabul, kakang Mahisa Medari mempunyai penilaian yang salah terhadap ibu." Senopati Naragupita diam, tarikan napasnya agak mengombak. "Aku juga menyesal," kata Senopati Naragupita. Ratna Muninggar menempatkan diri di depan Senopati muda itu. "Kenapa?" tanya gadis itu. Senopati Naragupita tidak segera menjawab. Perhatiannya jatuh ke pintu gerbang di mana di sana puluhan orang prajurit juga sedang sama bingung seperti dirinya. "Seharusnya aku tidak mencurigainya sebagai mata-mata Ganter," jawab Senopati Naragupita. Ratna Muninggar menyentuh tangan Senopati Naragupita. Dari sikapnya terbaca ada kedekatan di antara mereka. "Kakang tidak bersalah. Kakang sedang melaksanakan tugas," jawab Muninggar. Senopati Naragupita menggeleng. "Aku telah melukai dadanya," jawab Senopati Naragupita lirih. "Tetapi dia sungguh pemuda yang luar biasa. Ilmu kanuragan yang dimilikinya benar-benar aneh." 261 Senopati Naragupita tidak menutupi rasa kagumnya. Beberapa jenak ingatannya masih dililit oleh pesona kemunculan pusaran angin yang mendebarkan itu. "Betapa senang seandainya aku bisa menguasai ilmu aneh itu," Senopati Naragupita berangan-angan. 39. (Rangkaian peristiwa tahun 2011) Dan purnama yang datang kali ini pula adalah juga purnama yang memaksa Tantri Praba bingung melihat apa yang terjadi pada anak laki-lakinya, yang setelah selama ini sukses membingungkannya rupanya masih perlu tambahan. Bulan bulat di langit timur mungkin tidak memberi pengaruh apa pun pada banyak orang, namun cahaya bulan itu memberi akibat dan pengaruh yang nyata pada Elang Bayu Bismara, yang tertandai itu tidak hanya dari betapa amat tersita perhatiannya namun juga oleh bintik-bintik yang mulai keluar di kulitnya. Tidak terkira keletihan Tantri Praba setelah seharian merasa melakukan pekerjaan yang bagai sia-sia. Sejak pagi Tantri Praba berkeliling kota menelusuri sudutsudut jalan untuk menemukan bangunan aneh yang diyakini di tempat itu seorang perempuan sedang membutuhkan pertolongan, perempuan yang meringkuk dalam ruang amat sempit dengan api yang siap menyembur membakar tubuhnya. Tantri Praba tidak bisa memungkiri rasa cemasnya melihat perubahan aneh yang terjadi pada anak lelakinya, istri Yudawastu Widhiyaksa itu berharap apabila ia bisa membantu menolong menyelamatkan perempuan dalam bahaya itu maka sekaligus akan menjadi jawaban keadaan anaknya. Seharian ia lakukan itu sendiri tanpa suaminya karena sang suami terjerak oleh berbagai kegiatan yang tak bisa dihindari. Demikian teliti ia mencari nyaris tidak ada satu ruas jalan pun yang lolos dari perhatiannya. Bangunan di mana ia melihat perempuan dalam bahaya itu sungguh sangat khas, ornamennya berbentuk gapura mirip bangunan dalam film cina. Namun bentuk bangunan yang demikian jarang ada, bahkan bangunan klenteng di sudut jalan Yogyakarta diperhatikan cukup lama akan tetapi apa yang dilihat melalui tuntunan anak lelakinya itu tidak seperti yang dilihat. Pun Tantri Praba telah berusaha melacak melalui internet, hasilnya nihil. Sore harinya Tantri Praba pulang membawa rasa letih luar biasa akan tetapi rasa letih itu tetap tidak mampu mengalahkan rasa cemasnya. Tantri Praba merasa telah membuang waktu sia-sia sementara ia merasa harus berpacu dengan waktu. Namun apa yang bisa dilakukan ketika tidak bisa memastikan tempat yang ia lihat melalui cara ajaib itu. Meski jantungnya lari kencang tak ada yang bisa dilakukan. Petang telah lama lewat ketika Tantri Praba pulang. Dari teras rumahnya ia mampu melihat dengan cukup jelas bagaimana Gunung Merapi muntah berat. Hampir setiap lima sampai sepuluh menit lava merah keluar menggelontor bara hingga jauh ke bawah. Koran yang terbit hari itu menyebut muntahan lahar itu bahkan sampai kaki gunung mengalir ke hilir sungai sampai ratusan meter jauhnya, menjadi record terpanjang setelah sebelumnya tumpahan lahar hanya sampai di kaki gunung. "Berhasil?" tanya Yudawastu Widhiyaksa yang membaca kecemasan istrinya. 262 Tantri Praba balas memandang suaminya. Tantri Praba menggeleng. "Di mana Bayu?" tanya istri yang cemas itu. Yudawastu Widhiyaksa melihat kelelahan di wajah istrinya. Yudawastu Widhiyaksa cukup bijak dengan melakukan tindakan yang menenteramkan. Yudawastu Widhiyaksa menawarkan pelukan. "Bayu sedang menikmati cahaya bulan di belakang," jawab Yudawastu Widhiyaksa. Kelelahan dan ketidakpastian menyebabkan Tantri Praba ingin menjerit, namun ia masih punya kemampuan menahan diri dan bahkan untuk mengusap air mata yang mulai menggenang dan bergulir di pipi. Memikirkan perempuan yang berada dalam bahaya, terpenjara dalam ruang sempit tanpa bisa melakukan apa-apa dengan api siap menyembur membakarnya, hal itu sungguh membuat Tantri Praba merasa cemas. Ia merasa hanya memiliki sedikit waktu namun tak ada yang bisa dilakukan. "Sudah ada kabar dari Dokter Wisnu?" tanya Tantri Praba dalam bisikan. Yudawastu Widhiyaksa membusai rambut istri dan menyempatkan mencium keningnya. "Tadi ketika di kantor kami saling menelpon," kata Yudawastu Widhiyaksa. "Anak Agung Budayasa, orang dengan kasus seperti Bayu yang akan dipertemukan dengan kita masih belum pulang juga. Keluarganya tidak ada yang tahu ke mana perginya, dengan demikian tak jelas kapan ia kembali." Jam dinding antik di sudut ruang terus mengayun menggerakkan bandulnya ke arah kiri dan kanan dan memutar jarum jam, jarum menit dan jarum detik terus menapaki dimensi waktu tanpa memberi kesempatan menoleh ke belakang. Tantri Praba yang untuk sejenak menikmati kedamaian dalam pelukan suaminya tiba-tiba melepaskan diri. Lebar langkah yang dilakukan ketika ada dorongan kuat untuk melihat anaknya. Yudawastu Widhiyaksa mengikuti di belakang. Namun pasangan suami istri itu tidak menemukan anaknya, tidak ada siapa pun di halaman belakang. Tantri Praba segera ingat kemampuan aneh yang sekarang dikuasai anaknya. "Bayu, menampaklah sayang, ini mama!" kata Tantri Praba dengan suara sangat menghiba. Tanti Praba tidak memperoleh jawaban dan menempatkan Yudawastu Widhiyaksa mendadak merasa gelisah. Baru berapa menit lalu ia memastikan Bayu berada di halaman belakang dan duduk mencangkung di depan kolam, lalu ke mana bocah itu" "Bayu," panggil Yudawastu Widhiyaksa dengan suara agak keras. Tidak ada jawaban. "Bayu jangan bikin kami bingung, Bayu," tambah Yudawastu Widhiyaksa. Namun Bayu yang dikira menghilang tidak menanggapi, rupanya ia lebih senang bermain petak umpet. Dengan kemampuan menghilang itu, tentu tak ada siapa pun yang bisa menang dalam permainan petak umpet melawannya, bahkan dengan bocah itu sebenarnya berdiri di sebelahnya, di belakang dan bahkan di depannya. Apalah yang bisa dilakukan pada orang yang tidak tampak" "Bayu, menampak sayang, ini mama," ulang Tantri Praba. Yudawastu Widhiyaksa bergegas mengambil inisiatip dengan kembali masuk rumah untuk memeriksa kamarnya. Namun tak juga di kamarnya, juga di ruang-ruang 263 yang lain tidak berhasil ditemukan. Yudawastu Widhiyaksa kembali ke halaman belakang. Mencuat alis Yudawastu Widhiyaksa mendapati sikap istrinya yang aneh. Yudawastu Widhiyaksa bergegas mendekatinya. Tantri Praba terduduk dengan kaki ditekuk dan memamerkan raut wajah berlepotan ketakutan dan ketidakmampuan melakukan apa pun. Bibirnya bergetar-getar hendak menyuarakan jeritan yang nyangkur di tenggorokan. Pandangan matanya tertuju ke dasar kolam renang. "Ya Tuhan, Bayu," teriak Yudawastu Widhiyaksa yang akhirnya melihat apa yang dilihat istrinya. Yudawastu Widhiyaksa bertindak cekatan, ia tidak peduli dengan pakaian yang dikenakannya. Yudawastu Widhiyaksa meloncat dan ambyur ke dasar kolam. Dengan menahan napas Yudawastu Widhiyaksa berusaha menolong anak lelakinya yang tenggelam. Yudawastu Widhiyaksa adalah seorang perenang yang baik. Hobbynya atas olah raga renang itulah yang melatari pembangunan kolam renang di halaman belakang yang cukup luas. Dengan kepanikan luar biasa Yudawastu Widhiyaksa mengambil anaknya dan membawanya mentas. Panik yang dialaminya berharga mutlak karena kesadaran tidak ada orang yang mampu bertahan di dalam air lebih dari lima menit. Padahal Bayu pasti telah bermenit-menit tenggelam, bahkan boleh jadi lebih dari lima belas menit. Siapa pun orangnya pasti mati. Pikiran macam itulah yang menyebabkan Tantri Praba merasa detak jantungnya berhenti mengayun. Namun Tantri Praba sebenarnya tidak perlu mengalami itu. Pun Yudawastu Widhiyaksa rupanya harus segera mengurai cemas dan ketakutannya bakal kehilangan anak. "Ya Tuhan," letup Yudawastu Widhiyaksa. Dan Tantri Praba bagai menemukan sumber semangatnya lagi. Dengan terheranheran ia memandangi anaknya ternyata tidak menghadapi masalah yang gawat dalam bentuk apa pun. Bayu tak kehilangan nyawanya tertandai dari ia tidak kehilangan tarikan napasnya. "Bayu, kamu tidak apa-apa?" Bayu yang dilibas amnesia tidak menggeleng dan juga tidak mengangguk. "Namaku Badrawati," jawab bocah itu. Bersamaan Tantri Praba dan suaminya menghela tarikan napas amat panjang untuk mengisi kebutuhan oksigen di lorong-lorong parunya. Tantri Praba yang terbebas dari kecemasan luar biasa segera meraih dan memeluk anaknya. Didekapnya dan diciuminya bocah itu sekaligus dibasahinya dengan lumuran air mata. "Terserah siapa pun namamu," ucap Tantri Praba dengan suara amat serak, "kau anakku. Aku ibu yang melahirkanmu." Elang Bayu Bismara memang kehilangan semua kenangannya. Itu terjadi sejak ada pertanda benda aneh tidak dikenal melingkar di telapak tangan kanannya yang diperoleh melalui sebuah kejadian yang hadirnya lewat mimpi. Benda di balik telapak tangan dan menempatkan diri di atas daging itu adalah benda hidup dan bernyawa yang numpang tinggal di tubuhnya, ikut menghisap sari pati zat makanan yang mengalir dalam Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo darahnya yang pada ujungnya malah menghapus semua kenangan dari benaknya. Elang Bayu Bismara bahkan merasa bukan itu namanya. Bayu merasa bernama Badrawati. Siapa Badrawati, mengapa sosok lain itu menempati tubuh Bayu" 264 Akhirnya rasa cemas itu berubah menjadi rasa takjub. Satu kemampuan aneh lagi dikuasai anaknya yang mampu menyelam lama tak ubahnya ikan. Bayu 'Badrawati' membiarkan perempuan yang mengaku ibunya itu memeluknya dengan ketat dan lama. Naluri Badrawati yang bingung bisa merasakan ketulusan hati perempuan itu, maka Badrawati membiarkan rasa nyaman itu berlalu agak lama. Akan tetapi Badrawati akhirnya melepaskan diri setelah memberikan pelukan. Pandang mata bocah itu ke bulan terasa aneh. "Ada apa sayang?" tanya Tantri Praba. Tantri Praba dan Yudawastu Widhiyaksa ikut memerhatikan bulan yang sedang purnama bulat sempurna. Dengan adil dan leluasa bulan membagikan cahayanya kepada siapa saja yang menginginkan, cahayanya benar-benar semburat benderang menyebabkan benda yang berada pada jarak lumayan jauh bisa dikenali dengan baik. Tantri Praba dan suaminya tak mengalami kesulitan menerjemahkan bahasa wajah yang terpancar di raut muka anaknya, bahwa bocah itu tak senang. Sesuatu yang berasal dari cahaya bulan itu menyebabkan anak itu tidak berkenan. Betapa sirik cara Bayu dalam balas memandang bulan dapat dikenali dengan baik. "Bayu, kau merasakan apa?" tanya Tantri Praba. Bayu tidak menoleh. Ia pilih bergeming dengan sikapnya. "Namaku Badrawati! Bukan Bayu," jawab bocah itu dalam bisikan. Tantri Praba hanya bisa menghela tarikan napas berat, dengan jawaban itu boleh diyakini nama Elang Bayu Bismara benar-benar telah lenyap digantikan oleh nama baru, nama aneh yang seolah lazim dipakai oleh orang-orang di zaman silam. Lebih aneh lagi karena Badrawati lebih layak digunakan sebagai nama perempuan. "Apa yang kaurasakan Badrawati?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Bayu 'Badrawati' tidak mengalihkan perhatiannya dari bulan yang bercahaya amat terang. "Bulan itu membuatku tidak senang," jawab Bayu 'Badrawati'. Ayah dan Ibunya saling pandang. "Kenapa kamu tidak suka?" pancing ayahnya dengan penuh selidik. Perhatian Elang Bayu Bismara benar-benar tersita, pertanyaan ayahnya sama sekali tidak mengusiknya, tidak menjadi penyebab ia harus menoleh mengalihkan perhatiannya. Cara menatap bulan yang dilakukannya sungguh sirik, lugas dalam menggambarkan rasa tidak suka. Tantri Praba yang kian panik meraih kepala anaknya dan menenggelamkan dalam pelukannya. Namun Bayu berontak dan kembali mengarahkan perhatiannya ke bulan. "Bulan itu menyebabkan tubuhku gatal," jawab Bayu setelah beberapa jenak lewat. Namun jawaban itu menyebabkan Tantri Praba dan suaminya terkejut dan bahkan bergerak menuju ke panik. Dengan apa yang dikatakan Bayu itu bukankah berarti apa yang terjadi malam itu terulang kembali" Bergegas Tantri Praba menempatkan diri di depan anaknya dan memerhatikan barangkali terjadi perubahan. "Ya Tuhan," desis Tantri Praba setengah terpekik. Cemas yang datang mendadak itu benar adanya, Tantri Praba menandai munculnya bintik-bintik di kulit anaknya, sama persis kejadiannya seperti pada malam saat bencana yang menimpa anaknya itu. Bintik-bintik aneh merupakan awal dari munculnya alergi yang ketika sampai pada puncaknya benar-benar mengubah ujut anaknya menjadi sosok mengerikan. Gatal yang muncul karena alergi itu menyebabkan Bayu sangat tersiksa. Di 265 puncak kesakitan yang dialaminya Bayu bahkan seperti akan mengelupas kulit tubuhnya, ia menggaruk semua bagian yang gatal seperti orang gila. Tantri Praba saling pandang dengan Yudawastu Widhiyaksa. Melalui tatapan mata pasangan suami istri itu saling berbicara. Paham apa yang harus dilakukan Yudawastu Widhiyaksa bergegas mengeluarkan hand phone dari sakunya dan menekan tomboltombol yang diperlukan. "Hallo," terdengar sebuah jawab dari seberang, "selamat malam." Suara itu bisa dengan mudah dikenali. "Masih sibuk?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. "Pasien terakhir baru saja pulang," jawab Dokter Wisnu di seberang. "Ada apa?" Yudawastu Widhiyaksa tidak merasa perlu berputar-putar. "Tolong datanglah ke rumah, alergi yang dialami Bayu itu mungkin akan muncul lagi." "Baik!" jawab Dokter Wisnu dari seberang. Sejalan waktu berlalu Tantri Praba berdebar-debar menyaksikan perubahan yang terjadi pada anak lelakinya kian mengarah entah ke mana. Bintik-bintik di sekujur tubuh Bayu 'Badrawati' semakin menjadi. Reaksi alergi sebenarnya bukan datang dari cahaya bulan, namun cahaya bulan purnama itulah yang menyebabkan benda hidup di telapak tangannya menggeliat dan meminta perhatian. Padahal perhatian dari tubuh yang ia tumpangi adalah reaksi alergi yang luar biasa. Dengan berdebar Yudawastu Widhiyaksa dan Tantri Praba memerhatikan apa yang akan terjadi dan menimpa anaknya, setiap perubahan yang terjadi tak pernah luput dari perhatiannya. Dengan seksama Tantri Praba memerhatikan keadaan kulit anaknya yang berubah kasar, menebal sangat mirip penyakit kulit. Bintik-bintik di kulit itu tumbuh merata dan siap mengalami perubahan bentuk. Badrawati mulai menjawab rasa gatal itu melalui tangan yang menari, menggaruk sana-sini. "Bayu, kamu tidak apa-apa sayang?" bisik Tantri Praba. Kiranya tak ada yang bisa melampaui kecemasan perempuan itu. "Badrawati!" jawab bocah itu tegas. "Namaku Badrawati, jangan panggil aku dengan nama lain." Mrinding Tantri Praba karena bisa mengenali secara nyata sosok yang berbicara itu bukan anak lelakinya namun sosok lain yang entah berasal dari mana yang merampok Dagelan Setan 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Misteri Pusaka Pedang Gaib 1

Cari Blog Ini