Ceritasilat Novel Online

Ching Ching 11

Ching Ching Karya ??? Bagian 11 semua tahu Kim-gin-siang-koai-coa tidak suka memberi ampun pada siapa yang membangkang. Mengerti kau?" "Baik, Nio." "Kau tak usah pusingkan satu gadis. Di kolong langit masih banyak yang tak kalah cantik dengan gadis itu." "Siauw-jie tahu." "Marilah pergi. Masih ada urusan kita yang lain." Dalam sekejapan mata saja dua orang itu sudah menghilang, meninggalkan hutan gelap yang semakin sunyi. Lan Sioe Yin diam-diam kembali ke kamarnya. Ia sedikit terburu-buru lantaran takut ketahuan orang. Ia tahu hal itu sebenarnya tidak perlu, namun rasa bersalahnya menyebabkan dia ketakutan sendiri. "Yin-cie, dari mana?" sapaan halus di belakangnya hampir membuat Sioe Yin menjerit kaget. Ia lekas menoleh dan menampak Boe Sin Mei memandangnya bercuriga. "Eh, aku ... aku habis memeriksa penjagaan." "Oh" Aku sedari tadi di tempat berjaga, mengapakah tak bertemu?" "Aku ... aku memeriksa yang ronda." "Aku baru saja bertemu mereka dan tak ada yang melihatmu." "Kau sengaja mencari aku" Ada urusan apa?" Sioe Yin mengelak dari pandang mata Sin Mei yang minta penjelasan. "Tidak ada. Hanya Nio menyuruhmu tidur siang-siang supaya tidak kecapekan." "Ya, aku juga akan segera istirahat." "Sioe Yin Cie, aku lihat kau melompati tembok belakang," kata Boe Sin Mei dengan nada sinis. Lan Sioe Yin kaget sekali. Ia memandangi Sin Mei dengan mata terbelalak. "Sin Mei, mohon kau jangan bilang siapa-siapa." "Baiklah. Aku tak akan bilang asal kau katakan siapa yang kautemui." "Aku ... aku tak dapat ..." "Kalau begitu aku juga tak menjanjikan - " "Namanya Ciang Bun. Sin Mei, jangan kau bilang siapa pun. Aku mohonkan padamu." "Sioe Yin Cie, janganlah kau terlalu kuatir." Boe Sin Mei tersenyum menenangkan. "Hari telah larut. Marilah kita beristirahat," katanya sembari menggandeng Sioe Yin ke kamar mereka yang memang berdekatan. Sie Ling Tan sebagai murid kesayangan dan tangan kanan Lie Chung Yen tentu saja tak kalah sibuk dengan gurunya. Namun, pemuda itu tak pernah mengeluh. Ia senang melakukan semua, apalagi Sioe Yin selalu membantu. Hanya ada satu yang mengganggu Ling Tan selama ini, yaitu Boe Sin Mei yang selalu mengikut ke mana pun pergi. Ling Tan bukan tak tahu gadis itu sudah lama menaruh hati padanya. Namun, jauh-jauh hari Ling Tan sudah terpaut pada Sioe Yin. Dulu ia masih meladeni Sin Mei lantaran mengira ia sebagai Ching-ching, puteri soe-hoenya. Tapi, kini setelah terbongkar semua, ia jarang beramah-tamah dengan gadis itu. "Tan Ko-ko, hendak ke manakah?" Boe Sin Mei menyapa. "Apakah kau tidak melatih Ching Ching 332 saudara-saudara yang lain?" "Tidak. Soe-hoe bilang, hari ini boleh tak latihan sampai tengah hari." "Gie-hoe mungkin kuatir pada kecapekan." "Bisa jadi. Eh, adakah kau melihat Yin-moay?" "Dia ada di kebun belakang. Ada urusan apa dengan dia?" Ling Tan menggumam, menyahuti pertanyaan Sin Mei. Pemuda itu bergegas pergi. Tentu saja Boe Sin Mei menjadi mendongkol. Apalagi, sewaktu ia berseru memanggil, Sie Ling Tan seperti tidak mendengar. Padahal, suara Sin Mei tidak pelan dan ia tahu juga bahwa Ling Tan belum tuli. Gadis itu menjadi kesal sekali. Ia mengikuti Ling Tan dari belakang. Si pemuda tentu saja risih dibuntuti begitu. Ia menoleh dengan pandang tak senang. "Ada apa lagikah?" "Tidak!" sahut Sin Mei dongkol. "Aku sekadar mau lewat." Dengan kesal gadis itu pergi ke kamarnya." "Jie-siauw-sio-cia, Jie-siauw-sio-cia!" seorang pelayan menghampiri Boe Sin Mei. "Hoe-jin memanggilmu ke kamar!" "Ada urusan apa?" "Tidak tahu." Setengah bergegas Sin Mei menuju kamar ibu angkatnya. Selama ini Han Mei Lin jarang mengobrol dengannya. Ada urusan apakah sampai memerlukan memanggil" Boe Sin Mei mengetuk pintu kamar dan segera masuk, begitu terdengar suara orang menyahut. Ia lantas menampak ibu angkatnya sedang mematut sebuah pakaian indah dari bahan mahal. "Ah, kau sudah datang. Marilah, coba kau kenakan ini." Han Mei Lin lantas mengangsurkan bahan itu secara berhati-hati sekali. Boe Sin Mei yang pada dasarnya menyenangi barang bagus, lantas kegirangan. Ia lekas memakai pakaian itu yang ternyata pas sekali di badannya. "Cocok, cocok," komentar Han Mei Lin. "Tinggal perlu disulam di sini dan di sini supaya nampak semakin manis." "Baju yang indah ini apakah Gie-bo sengaja menjahitkan sendiri?" "Benar, dan ternyata cocok sekali di badanmu bukan?" "Ya. Gie-bo sungguh ahli dalam menjahit. Apakah ini untukku?" "Bukan, ini untuk Ching-ching. Potongan badannya sama denganmu, maka itu aku perlukan kau buat mengepas baju. Oh ya. Untukmu sendiri sudah kubelikan beberapa setel pakaian, sekarang ada di kamarmu. Kau cobalah. Kalau ada yang tak benar, boleh kau datang kemari, nanti kuajari memperbaiki." Boe Sin Mei tak berkata-kata lagi. Ia mencopot pakaian setengah jadi itu dengan hati yang pedih. Gadis itu hanya menggumam sewaktu pamitan, namun Han Mei Lin terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak melihat perubahan muka sang anak angkat. Anak angkat keluarga Lie itu berlari ke kamar dengan berurai air mata. Hari ini sudah dua kali ia sakit hati. Pertama lantaran Lan Sioe Yin, kedua lantaran Lie Mei Ching. Ia jadi benci kedua gadis itu. Boe Sin Mei membanting pintu kamarnya kuat-kuat. Ia segera menumpahkan kekesalan di pembaringan. Tak sengaja ia melihat setumpuk pakaian di samping bantalnya. Tak usah diukur, pastilah pas di badan. Han Mei Lin pandai menaksir ukuran badan orang. Ia juga pandai memilih bahan. Semua pakaian itu dari bahan mahal, yang halus. Tapi tak semahal pakaian Ching-ching yang dijahit oleh ibu sendiri, kata Sin Mei dalam hati. Semakin dipikir, Sin Mei semakin benci pada Ching-ching. Ia benci Ching Ching 333 pada Han Mei Lin, Lan Sioe Yin, Sie Ling Tan, dan juga Lie Chung Yen. Segera terbayang semua perlakuan tak adil padanya. Teringat juga bagaimana ayah kandungnya mati di tangannya sendiri, cuma lantaran Lie Chung Yen. Semuanya benci padaku! Semua tak sayang padaku! Buat apa nanti aku membela mereka" Lihat saja nanti pembalasanku pada semua! Terutama pada Lie Mei Ching itu! tekad Sin Mei dalam hati. Hatinya kini terbakar dendam. Dendam oleh rasa jelus dan rasa iri yang semuanya bermula dari rasa kasihan pada diri sendiri. Tiga hari telah lewat. Pada malam ketiga itu, Lan Sioe Yin kembali menyelinap keluar dari kediaman keluarga Lie. Ia akan menemui Chang Lun di hutan kecil. Sioe Yin pergi terburu-buru. Ia tak sadar bahwa ia tidak pergi sendirian. Ada orang mengikutinya diam-diam! Ketika tiba di tempat tujuan, Sioe Yin segera mencari orang yang mau ditemuinya. Ia tak perlu susah-susah, Chang Lun lebih dulu melihatnya. "Yin-moay, di sinI!" bisik pemuda tampan itu seraya menyentil sebatang ranting kecil di tangan. "Bun Ko-ko?" "Ya, aku." "Kau datang. Tahukah, aku tak sabar tunggu tiga hari ini tiba." "Aku pun demikian. Malam ini aku tak dapat lama. Abangku hendak bertemu pula. Apakah kau membawa rencana pamanmu?" "Bun Ko-ko, aku tak dapat menemukannya," kata Sioe Yin dengan nada menyesal. "Aku sudah mencari di kamar baca dan juga di dalam kamarnya, tapi tak ada apaapa." "Yah, sudahlah. Apa boleh buat. Kau tak tahu apa-apa mengenainya?" "Tidak. Siok-siok cuma membicarakan dengan Tan Toa-ko, sementara aku dipanggil Siok-bo. Selama ini aku tiada sempat bicara dengan mereka, pula Siok-bo melarang keluar dari rumah." "Sayang sekali, tapi kau tak usah bersedih. Aku pasti selamat." "Bun Ko-ko, setelah malam ini baiknya kau jangan datang lagi." "Kenapa?" "Bai-hok ada di mana-mana. Kutakut kau salah pijak dan ..." "Kau terlalu kuatiri orang. Aku harus pergi sekarang, kau pulanglah. Belum tenang aku kalau tidak mengawasi kau selamat keluar dari hutan ini." "Baiklah, aku pulang. Bun Ko-ko, berhati-hatilah. Oh, kalau nanti kau bicarakan abangmu, mohonkan supaya ia ampuni keluargaku, bolehkan?" "Tentu, pergilah!" Lan Sioe Yin melambai dan berlari pergi dari tempat itu. Chang Lun menanti berapa lamanya sampai bayangan Siu Yin tak kelihatan lagi. Lalu ia berjalan ke pinggiran semak di mana tergeletak sesosok tubuh. Pemuda she Chang itu berjongkok dan membuka jalan darah orang yang terbaring itu. "Kulepas totokanmu, tapi kau jangan coba lari atau berteriak. Asal tahu, aku tak segan membunuh orang!" "Tidak berani," terdengar sahutan lirih. "Kau dari Pek-eng-pay?" "Ya!" "Kalau begitu, tak dapat tidak kau mesti mati. Aku tak mau Yin-moay mendapat susah!" Chang Lun mengangkat tangannya, siap membikin hancur kepala orang. "Tunggu, kalau aku mati sekarang, kau yang terlebih rugi!" "Oh" Bagaimana sedemikian?" "Karena aku dapat membantu kau menghancurkan Pek-eng-pay." Ching Ching 334 "Haha, kiranya kau seorang murid murtad. Baik, cara apa kau mau membantu?" "Peta tempat membuat bai-hok ada padaku." "Pantas Yin-moay tak menemukannya, rupanya sudah keduluan dicuri orang. Tapi pangkat apa kau di Pek-eng-pay sehingga dapat mencurinya?" "Kau tak usah tahu!" "Tak mau bilang ya sudah. Aku telah tahu, kau mestilah anak angkat keluarga Lie yang bikin ribut tempo hari bukan" Hahaha, sunggu Lie Chung Yen tak salah pilih anak, sehingga menguntungkan aku di kemudian." "Cukuplah! Katakan, kita mau runding tidak?" "Apa yang kau minta atas pengkhianatanmu?" "Setelah kaubunuh keluarga itu, perguruan dans emua harta kekayaan jatuh ke tanganku!" "Tidak dapat. Seisi perguruan akan mati, kecuali mereka yang mau kerja sama dengan kami. Maka itu, kau mau dirikan perguruan sendiri, kau mesti coba bujuk mereka itu mengikut padamu." "Baik, aku akan melaksanakan. Tunggulah kabar dariku tiga hari lagi." "Tunggu, mana peta itu?" "Tak dapat kuberikan sekarang. Mana tahu kau tiba-tiba menyerang." "Lantas bagaimana aku percaya kau ada memiliki peta itu?" "Aku tak menduga menemuimu. Kupikir Lan Sioe Yin hendak menemui kekasih gelapnya. Barang begitu mana kubawa?" Chang Lun mati langkah. Apa yang dikatakan Boe Sin Mei ada benarnya juga. Ia tak dapat berbuat lagi. "Aku percaya kau. Akan tetapi besok malam kau mesti bawa peta itu kemari." "Jangan kuatir. Kau boleh percaya padaku sebab aku sendiri tak sabar ingin melihat terbantainya keluarga itu." Tanpa pamitan lagi, Boe Sin Mei meninggalkan Chang Lun. Si gadis she Boe tidak main-main dengan ucapannya. Pagi berikut ia mulai membujuk kawan-kawannya yang sedang istirahat selagi berlatih. Sin Mei menghampiri mereka yang suram muka lantaran latihan berat pagi itu. "He, marilah. Kalian tentu haus. Lihat aku bawa apa," gadis itu mengeluarkan tujuh buah tho yang ranum. "Kebetulan, jie-sio-cia, kami memang kehausan." Tak pikir dua kali, lima oran gyang duduk agak jauh dari yang lain itu mengambil seorang satu. "Bagaimana tidak haus, kalian latihan semenjak subuh. Heran aku, kenapa dari kalian tak ada yang minta keringanan barang sedikit" Aku sendiri kasihat melihat kalian." "Ini demi kebaikan kita juag. Kalau berlatih keras, tentu kemampuan kita bertambah untuk menghadapi Kim-gin-siang-coa-pang," kata yang seorang. "Tapi kalian apakah tak merasa kesal digembleng secara berlebihan?" pancing Boe Sin Mei. "Kadang kalau sedang terlalu capek, kami juga kesal dan mengomel." "Nah, kalau sedang begitu, tidakkan kalian sebal dan merasa ingin pergi dari sini?" "Tidak sekali-kali!" sahut kelima murid itu serempak. "Kami sudah menetapkan pilihan, sampai tuntas mesti dilaksanakan. Meski mati lantaran latihan dan bukannya lantaran musuh, kami tak akan berganti pikiran!" Boe Sin Mei kecewa. Apa yang diajarkan oleh Lie Chung Yen terlalu mengakar dalam pada murid-murid ayah angkatnya itu. Kesetian yang ditunjukkan sulitlah terlunturkan. Ching Ching 335 "Andaikata, aku misalkan saja, ada orang yang mau memberi kekayaan berlimpah, tak habis seumur hidup dan menjamin kamu punya jiwa asal mau tinggalkan perguruan, apa tindakan kamu?" "Untuk apa harta berlimpah kalau nanti kita terus dikejar rasa berdosa lantaran menjual jiwa saudara, kawan, dan sahabat pada musuh" Nantinya kita tak boleh hidup tenang. Kalau begtu, segala harta intan berlian tak dapat menghibur." "Sio-cia tanya-tanya untuk apakah?" Sin Mei gelagapan. Ia tak siap ditanya demikian. "Untuk apa lagi" Tentulah untuk menguji ketulusan hati kita. Bukankah begitu?" Boe Sin Mei seolah mendapat pertolongan dan segera mengangguk mengiyakan. "Benar, aku tak mau di antara kamu ada yang menyesal di kemudian hari. Jangan salah sangka, aku cuma memikirkan kamu orang saja." "Jie-sio-cia tak usah sungkan. Kami mengerti," kata yang lain. Sin Mei juga tak lama-lama lagi. Ia lantas pamit dari situ. Kecewa bukan main ia. Dari antara murid ayah angkatnya, yang paling tak ada semangat pun masih membela perguruan. Apa lagi yang bisa diperbuat" Tak sengaja Sin Mei melihat Sie Ling Tan, pemuda pujaan hatinya sedang beristirahat pula. Inilah. Barangkali Ling Tan mau diajak kerja sama. Sin Mei datang mendekat. "Tan Toa-ko!" sapanya. "Jie-sio-cia," Ling Tan balas menyapa demi kesopanan. "Toa-ko, kau lelah" Makanlah ini buah tho, tanggung sebentaran lelahmu akan hilang." "Terima kasih. Aku sedang tak ingin. Kau simpan sajalah." "Tidak dimakan sekarang, bolehlah di simpan." Sin Mei menjejalkan buah masak itu ke tangan Ling Tan sehingga pemuda itu tak boleh menolak lagi. "Kalau begitu terima kasih." Sejenak keduanya terdiam. "Tan Toa-ko, aku ingin ajukan satu pertanyaan padamu. Bolehkah?" "Selama tidak menyangkut rahasia orang, aku tak perlu sembunyikan," sahut Ling Tan berhati-hati atas pertanyaan yang mau disebut, sehingga menjawab demikian. "Seandainya dapat, inginkah kau menjadi ketua perguruan Pek-eng-pay ini?" "Ah, mana bisa aku" Soe-hoe lebih pantas." "Kalau sesuatu menimpa Gie-hoe, bisa saja." "Jie-sio-cia jangan bicara yang bukan-bukan!" tegur Ling Tan. "Aku cuma memisalkan. Tapi kau ingin menjadi ketua, bukan?" "Tentu saja. Menjadi pendekar besar yang terhormat, siapa tak suka?" "Sebentar lagi keinginanmu terlaksana. Sebentar lagi Kim-gin-siang-coa-pang datang menyerang, Gie-hoe akan susah selamat." "Soe-hoe tak selamat, aku pun pasti binasa. Sudahlah, jangan harapkan yang tidak-tidak. Semoga saja hasil latihan nanti dapat berguna." "Percuma. Brelatih sampai cucurkan keringat darah belum dapat menang melawan. Satu-satunya jalan selamat cuma dengan tunduk pada mereka." "Kau ...!" Sie Ling Tan terbelalak kaget. "Tan Toa-ko, apabila kita bekerja sama dengan mereka, kita tak akan terbinasakan. Apabila kau dapat ajak serta beberapa murid, Pek-eng-pay tak akan musnah dan kau boleh menjadi ketuanya." "Bekerja sama dengan Kim-gin-siang-coa-pang" Mengkhianati partai sendiri" Kau Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah gila!" "Itu bukan mengkhianat, melainkan bertindak menyelamatkan diri." "Tak tahu malu kau berkata sedemikian! Tak ingat siapa memberimu makan-pakai Ching Ching 336 selama ini" Benar-benar tak kenal budi!" Sie Ling Tan menghardik. "Tak usah heran, padamu memang mengalir darah pengkhianat she Boe! Tak sudi aku bicara denganmu!" Pemuda itu mengambil pedangnya dan bergegas pergi. "Dalam darahku boleh jadi mengalir darah pengkhianat. Tapi apa mau kau sebut gadis kecintaanmu yang berkawan dengan musuh?" "Siapa kau maksudkan?" Sie Ling Tan berhenti. "Lan Sioe Yin. Siapa lagi" Lantaran dia, kau abaikan aku. Padahal, di hatinya ada orang lain yang bukan kau!" "Dusta!" Ling Tan membentak. "Kau cuma mau menutupi kebusukanmu dengan menyiarkan kebohongan." "Tak percayakah" Tanyalah padanya siapa itu Ciang Bun, siapa nama yang sebenarnya, dan apa hubungannya dengan Kim-gin-siang-coa-pang!" dalam kesalnya Boe Sin Mei tak sadar berteriak. Beberapa orang menoleh. Untung di antara mereka tak ada yang mendengar jelas, kecuali Sioe Yin sendiri yang langsung memasang kuping begitu mendengar nama 'Ciang Bun' disebut. Gadis yang tengah berjalan itu menghentikan langkah. Mukanya seketika pucat. Boe Sin Mei kebetulan melihatnya datang. "Nah, kau boleh tanya sendiri padanya." "Sin Mei, kau ... kau sudah janji ..." Sioe Yin tergagap. "Yin-moay, apakah benar?" tanya Ling Tan dengan suara gemetar. Lan Sioe Yin lama terdiam. Pada akhirnya ia mengangguk pelan. "Siapa dia?" "Namanya Ciang Bun." "Tanya nama aslinya," desak Sin Mei. "Tak peduli namanya yang asli, aku cuma kenal dia sebagai Ciang Bun," potong Lan Sioe Yin. "Kenapa" Kau malu mengatakan bahwa dia tak lain adalah Chang Lun, putra kedua Kim-gin-siang-koai-coa?" "Kau diamlah!" kata Ling Tan. "Kau sakit hati dan tak sanggup lagi mendengarnya?" ejek Boe Sin Mei. Ling Tan tak mempedulikan. Matanya terus menatap Sioe Yin yang menunduk. "Yin-moay, kenapa dia" Kenapa bukan orang lain" Orang yang gagah, seorang pendekar?" "Tan Toa-ko ..." "Kenapa penjahat itu?" "Dia tidak jahat!" Sioe Yin membela. "Segala tindakannya yang tidak benar cuma lantara dipaksa oleh ayah-ibu dan abangnya. Merekalah yang jahat. Kalau ia melawan, ia tak akan selamat!" "Alasan!" dengus Sin Mei. "Tan Ko-ko, persoalan ini jangan sampai Siok-siok mengetahui. Aku mohonkan ..." Ling Tan menatap lama-lama seraut wajah di hadapannya, yang memandang dengan tegang, antara takut dan pengharapan memohon padanya. Dan mata yang terbelalak itu berkaca-kaca. Ling Tan memalingkan muka. Ia tak tega melihat. Menyesal ia menyadari wajah cantik itu bukan untuknya. "Yin-moay, jangan kuatir. Ini tak bakal sampai kepada Soe-hoe." "Kau gila" Dia pergi menemui laki-laki lain dan kau malah menutupinya?" Sin Mei berseru heran. "Baiklah, tak perlu kau, aku saja yang melapor!" "Kalau kau melapor, aku juga akan mengadukan segala omonganmu!" ancam Sie Ling Tan. Boe Sin Mei tak berani berkutik. Ia memandang dendam pada Sie Ling Tan. "Kau Ching Ching 337 tolol!" makinya, dan lantas pergi. Ia sungguh tak dapat menerima perlakuan si pemuda. Belum lagi segala hinaan padanya. Kalau sebelum ini Sin Mei ragu untuk berkhianat, kini ia malah semakin bertekat. Untung juga aku sempat menyalin peta bikinan Gie-hoe tempo hari, pikirnya. Meski yang asli tak ada padaku, salinannya bolehlah kuserahkan orang! Chang Lun yang menerima peta itu di malam harinya terang saja merasa girang. "Kapan kau mau menyerang?" tanya Sin Mei. "Begitu putri keluarga she Lie datang, kami akan bikin habis mereka semua!" "Menunggu Ching-ching" Berapa lama" Anak tengik itu tak bakal lekas pulang." "Kalau tidak demikian, lain hari ia balas dendam. Itu lebih berabe." "Lantara satu orang, kau tunda satu rencana besar" Sungguh tidak bijaksana! Belum lagi kalau ia pulang bersama guru dan semua saudaranya seperguruan. Itulah namanya berabe." "Kebetulan kami ada dendam pada Pek-eng-pay, sekalian saja kami bantai." "Tapi makan waktu. Kenapa tidak segera bereskan urusan di sini, kemudian ke Pekeng-pay" Ching-ching tak bakal lari ke mana-mana lagi, pekerjaan juga terlebih gampang." "Haha, rupanya kau benar tak sabaran, entah ada dendam apa sama mereka" Tapi akalmu boleh dipakai. Baiklah. Kami akan 'berkunjung' secepatnya. Kapan waktu yang baik" Besok malam apakah kau sedia?" "Tidak. Jangan tengah malam. Saat fajar menyingsing paling tepat." "Baik. Dalam waktu dekat kami datang. Tapi ingat, ini tak boleh ada yang tahu. Dan pada mereka yang mau bergabung dengan kita, suruhlah memakai pita merah di lengannya." "Tak usah. Selain aku, kau boleh habisi semua pendekar konyol itu." "Ah, tepat sekali. Pendekar konyol! Sungguh tepat. Kau tunggulah saja waktunya, haha." Belum lenyap tawanya, bayangan Chang Lun sudah lenyap. Boe Sin Mei tersenyum sinis. Sebentar lagi seluruh kekayaan Pek-eng-pay akan jadi miliknya, termasuk juga ilmu mereka, kitab pedang yang dimiliki ayah angkatnya. Kemudian ia akan menghilang, hidup bersenang-senang di tempat lain sampai tiba saatnya ia kembali ke kalangan Kang-ouw sebagai seorang pendekar! Sudah beberapa hari Sie Ling Tan tak dapat tidur. Pengakuan Sioe Yin terus menggelisahkannya. Ia masih tak mengerti, apa yang dilihat Sioe Yin pada Chang Lun yang melebihinya" Memang, Chang Lun berkepandaian jauh lebih tinggi daripadanya, tapi bagaimanapun hebat, ia tetap dari kalangan hitam, tak sebanding dengan pendekar kalangan rendah sekalipun. Sie Ling Tan terus mencari-cari kesalahannya sendiri di mata Lan Sioe Yin. Ia tetap tak menemukan cacat. Dari tingkah gadis itu sendiri, ia merasa Sioe Yin ada mempunyai perasaan lain terhadap dirinya meski mereka sama-sama belum berani saling mengungkapkan. Itulah mengapa Ling Tan hampir tak mempercayai pendengarannya sewaktu Sioe Yin mengaku. Dan ini membuatnya penasaran terus-terusan. Tak terasa matanya tak dapat meram beberapa malam. Juga kali ini. Tengah malam sudah lewat lama. Sebentar lagi mentari muncul, namun tetap saja ia tak dapat terpejam. Mendadak kupingnya mendengar senjata diayun. Tak mungkin ada yang berlatih dini hari begini. Sie Ling Ten lekas berpakaian untuk kemudian keluar bersama pedangnya. Ia tak melihat apa-apa, tapi tak ada guna kembali ke kamar. Pemuda itu memutuskan untuk meronda sendiri. Baru saja ia memutuskan, terdengar suara ramai di kejauhan. Ling Tan mengerahkan gin-kang untuk naik ke bubungan atap. Ia melihat kelap-kelip cahaya obor. Tak Ching Ching 338 jauh lagi. Musuh sudah mengepung! Seketika itu juga kentongan berbunyi di sanasini. Saat itu yang terlintas di kepala si pemuda cuma satu. Ia harus melindungi gurunya! Sementara itu, di kamar Lie Chung Yen sudah terjadi peristiwa tersendiri. Mendengar ribut-ribut di kejauhan, ketua she Lie segera mendusin. Ia lantas bersiaga. Akan tetapi belum lagi keluar, pintu telah lebih dulu didobrak orang. Boe Sin Mei masuk dengan pedang siap di tangan. "Apakah mereka telah datang menyerang?" tanya Chung Yen. "Aku segera datang, kalian duluanlah!" Tapi Boe Sin Mei tak menghiraukan ayah angkatnya. Ia terus saja menghampiri Han Mei Lin yang duduk di pemaringan dan tanpa diduga menodongkan pedang ke leher sang nyonya. "He, apa kau buat"!!" Lie Chung Yen yang tak menduga sama sekali tak dapat berbuat banyak. "Jangan mendekat!" seru Sin Mei. "Atau kubikin putus lehernya!" Lie Chung Yen terpaksa diam di tempat. Ia tak berani sembarangan bertindak. "Kau jangan main gila. Ini apa-apaan?" "Di mana kitab kitab?" "Kau mengincar ilmu keluarga Lie" Jangan mimpi!" "Tua bangka, kalau tak kauserahkan kitab itu, kau akan lihat ibu-anakmu mati di hadapanmu!" Lie Chung Yen terperanjat, namun sebagai orang berpengalaman, ia dapat menekan kagetnya dan malah balik membentak. "Apakah kau mau mengancam" Beginikah sikapmu pada orangtua?" "Memangnya sikap bagaimana yang kau mau?" "Sudah sinting kau rupanya. Benar menyesal aku peliharakan kau, bahkan menurunkan ilmu keluarga kepadamu!" "Aku bukan anak kandungmu, tak usahlah berlagak sayang. Sebaliknya, aku juga tak perlu berlaku hormat padamu. Sekarang lekas kau keluarkan kitab itu, kalau tidak ..." Lie Chung Yen ragu-ragu. Kitab kitab adalah warisan soe-hoenya yang juga adalah mertua. Itu adalah milik keluarga, mana boleh diberikan ke sebarang orang" Tapi istrinya lebih berharga dari segala macam kitab silat. "Baiklah, asal kaulepaskan istriku!" "Jangan! Aku tak sudi warisan ayahku jatuh ke tangan penjahat!" teriak Han Mei Lin. "Yen-ko, kau jangan tertipu. Lihatlah siapa yang datang bersamanya. Meski nanti ia melepaskan kita, toh kita akan mati di tangan yang lain!" "Tapi - " "Yen-ko, kitab itu cuma Ching-ching yang boleh mewarisi. Kau tak usah ragu, aku tak akan biarkan orang lain merebutnya dari tangan anakku!" Sembari berkata demikian, Han Mei Lin memegang tangan Boe Sin Mei yang memegang pedang. Kemudian, secepat kilat ia bawa ke lehernya. Seketika darah muncrat membasahi pembaringan. Han Mei Lin telah putuskan urat lehernya sendiri! "Lin-jie!" Seperti macan terluka, Lie Chung Yen menggerung merebut istrinya yang sudah jadi mayat dari Boe Sin Mei. Gadis itu sendiri sudah lekas mundur ke samping Chang Lun. Beberapa lama Lie Chung Yen meratapi istrinya, tak peduli pada sekelilingnya. Kemudian mendadak ia tersadar. Lekas disambarnya pedang dan bergerak mengincar Boe Sin Mei. "Anak durhaka! Jangan harap keluar dari rumah ini dengan selamat! Kau, dan anak jahanam itu!" Ching Ching 339 "Heh, tadinya aku tak mau ikut campur, tapi lantaran kau maki aku, apa boleh buat," kata Chang Lun. "Baik! Majulah kamu berdua!" tantang Lie Chung Yen. "Tak usah berdua, sendirian pun cukuplah melawan satu orang tua!" ejek Chang Lun. "Bagus! Awas senjata!" Lie Chung Yen membuka serangan lebih dulu. Sambil senyum-senyum merendahkan, Chang Lun mengegosi pedang lawan. Sewaktu Lie Chung Yen menyerang lagi, ia juga tak banyak repot berkelit. Akan tetapi, nama Lie Tay-hiap bukannya sebarang nama. Sejurus kemudian Chang Lun tidak dapat menghindar melulu. Mau tak mau ia mesti menangkis atau membalas. Pemuda itu juga tidak keberatan. Ia diperintahkan membunuh seisi wisma Pek-eng-pay, maka pertempuran dengan Lie Chung Yen adalah bagian dari tugasnya. Diam-diam Lie Chung Yen merasa kagum juga pada lawannya. Usianya belum lagi mencapai dua puluh tahun, tetapi gerakannya gesit dan lincah. Ia mestilah seorang yang cerdas berbakat. Sayang, moralnya ditempa dengan cara yang salah sehingga menjadi penjahat muda. "Pak Tua, ilmumu tak ada apa-apanya," ejek Chang Lun. "Apakah cuma sebegitu yang kamu bisa?" Dalam pada itu Lie Chung Yen napasnya sudah sengal-sengal. Melihat Chang Lun masih bisa tertawa-tawa, merosotlah semangat si orang she Lie. "Anak muda, kau terlalu jumawa!" sahut Lie Chung Yen. "Sambutlah!" Setelah memperingati, mendadak Chung Yen lompat ke udara, tangannya mengembang ke samping dan setelah mendekat Chang Lun, ia mengayunkan tangan bersilang. Pedangnya di tangan kanan menyabet leher orang! Chang Lun menyadari serangan berbahaya, lekas menarik kepala ke belakang. Ia lantas keluarkan kipas menangkis pedang. "Gerakan Hui-eng-coan-in (Elang terbang menerjang awan) memang benar indah dan berbahaya, tapi belum apa-apa dibanding ilmu Kim-gin-siang-coa-pang!" "Jangan banyak mulu! Lihat pedang!" Lie Chung Yen tak banyak mengasih kesempatan musuh untuk mengoceh. "Ha! Kau boleh lihat buktinya!" Chang Lun berggerak berpusingan menghindari serangan berantai Lie Chung Yen. Kipasnya membuka-menutup dengan gerak yang sudah diperhitungkan. Begitupun waktu kipasnya terpentang memapaki serangan Lie Chung Yen dan mendadak menutup menjepit pedang di antara tulang-tulang kipas. Sekali sentak saja, pedang Lie Chung Yen terpental menancap di tembok. "Budak busuk, tak punya modal saja berani menantang Kim-gin-siang-coa-pang?" "Tak ada pedang, aku masih ada dua tangan!" seru Lie Chung Yen. "Benar mencari mampus!" Chang Lun menangkis pukulan Chung Yen. Pendekar itu tidak puas. Ia melancarkan satu lagi pukulan ke dada orang. Kali ini Chang Lun tidak menangkis, tak pula berkelit. Ia memapaki pukulan itu dengan tangannya yang terbuka. Kini kepalan Lie Chung Yen terbungkus kepalan Chang Lun. Sejenak keduanya terdiam dalam keadaan seperti itu. Boe Sin Mei yang menonton mengawasi dengan tegang. Ia tahu dua orang itu sedang mengadu tenaga. Siapa yang menang" Mendadak kedengaran suara barang patah, bersamaan Chang Lun berseru kaget. Sebelah tangan Chung Yen yang bebas telah memukul pula, padahal sebelah tangan yang lain tengah adu kekuatan. Pukulan tak terduga itu mengarah ke kepala. Namun luput! Chang Lun terlalu gesit menghindar, tapi tak urung sebelah kupingnya tersampok kesiuran angin. "Sebelah tanganmu patah, mesti kupatahkan yang satu lagi?" ejek Chang Lun. Ching Ching 340 Lie Chung Yen tak menjawab. Ia terus menyerang dengan sebelah tangan dan banyak pula menendang. Namun, karena kesakitan akibat sebelah tangannya yang patah tak berfungsi, terang saja kekuatannya jauh berkurang. Chang Lun juga seperti tak mau banyak buang waktu. Kipasnya yang bertulang baja mengeluarkan suara kesiuran waktu bergerak. Segera saja Lie Chung Yen jatuh di bawah angin. Ia terpukul berkali-kali. Namun, pendekar itu bersemangat baja. Ia tak juga menyerah sampai Chang Lun mulai tersengal. "Sudah cukup aku melayanimu. Kini, mampuslah!" Chang Lun menggerakkan tangan dan kakinya bersamaan, kipasnya juga berkelebat cepat. Kedengaran tiga kali beruntun suara barang patah disusul muncrat darah dari dada Lie Chung Yen. Pendekar itu tersungkur jatuh ke tangah dan diam tak berkutik. Chang Lun mengerutkan kening. Ia agak kecewa pada diri sendiri. Kipasnya mengarah leher orang, kenapa bisa meleset. Namun, mengingat betapa sebelum itu Chung Yen telah patah tulang kedua tangan dan kakinya, Chang Lun tak terlalu pikirkan kesalahan. "Dia sudah mati," katanya kepada Boe Sin Mei. "Sekarang tinggal membantai yang di luar." "Marilah!" Dalam pada itu Sie Ling Tan yang berniat membantu gurunya tertahan sejumlah anak buah Kim-gin-siang-coa. Pemuda itu mengayun pedangnya bersemangat. Namun, lawannya terlalu banyak dan terlatih pula. Ia tak dapat gampang-gampang meloloskan diri. Tak jauh darinya, Lan Sioe Yin dan pelayannya A-ping berpunggungan meladeni pengeroyok. Kepandaian si pelayan yang tak seberapa sebenarnya cuma merepotkan si nona, tapi Lan Sioe Yin mati-matian melindunginya. Sie Ling Tan melihat ini. Ia juga lihat bahwa pengeroyok Sioe Yin tak sebanyak yang mengerubuti dia sendiri. Gadis itu lebih gampang lolos bila mendapat sedikit bantuan. Sebaliknya bila bertahan, tak lama lagi pastilah mendapat cedera. Maka dari itu, Sie Ling Tan sengaja mundur mendekati Lan Sioe Yin. Setelah jarak mereka tak jauh lagi, ia melompat tinggi melepaskan diri dari pengeroyoknya ke arah Sio Yin dan membantu gadis itu. "Yin-moay, kau lihatlah keadaan Soe-hoe. Aku saja yang menghadapi mereka." "Tapi - " "Lekas!" Melihat Sioe Yin ragu-ragu, si pemuda mendorong A-ping ke pinggir. Menguatiri pelayannya, Sioe Yin lantas menyusul. Lagipula ia percaya Ling Tan dapat melindungi diri sendiri. lebih baik ia menengok keadaan peh-bonya. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Begitu masuk kamar dan melihat dua tubuh yang terkapar bersimbah darah, A-ping lantas menjerit ngeri. Lan Sioe Yin lebih tenang. Ia segera mendekati peh-bonya kalau-kalau masih hidup. Namun, jiwa wanita itu telah lebih dulu melayang meninggalkan raga. "Sio-cia, itu Loo-ya bergerak. Ia masih hidup!" jerit A-ping separo girang separo ngeri. Lan Sioe Yin memburu peh-pehnya. Benar, meski luka parah dan napasnya sengal-sengal, ia masih hidup. "Peh-peh!" panggilnya. "Yin-jie, kau datang. Ambil di belakang lukisan. Berikan ... Ching-ching! Lekas!" "Ya, Peh-peh." Sioe Yin terburu-buru menuju lukisan. Tapi di situ cuma satu lukisan besar menutupi dinding. Apakah peh-pehnya tidak salah" "Di belakang ... gambar ... elang terbang!" kata Lie Chung Yen. Berkata sebegitu saja ia sudah kehabisan tenaga dan batuk-batuk. Maka dari itu Sioe Yin meski Ching Ching 341 belum jelas tak berani bertanya. Lantara terburu-buru, ia mengepalkan tangan dan menjebol gambar elang terbang. Benar saja. Di belakang gambar itu cuma papan tipis dan ada tempat rahasia. Dalam keadaan biasa pasti ada satu cara membukanya. Namun sekarang yang cepat adalah lebih perlu. "Peh-peh, sudah ketemu!" Sioe Yin mengambil kitab yang ada di sana. "Inikah yang mesti diserahkan kepada Ching-moay?" Namun, Lie Chung Yen tak menjawab. Sioe Yin lantas mendekat dan mendapati pehpehnya telah menyusul sang istri ke akhirat. "Jahanam! Siapa pun yang melakukan ini akan kubalas!" Dalam marahnya Lan Sioe Yin berlari ke luar. Ia berlari terus sampai ke ruang tamu. Ruangan itu sudah berantakan tak karuan. Di sana tak ada orang lagi. Yang ada cuma mayat bertumpuk yang mandi darah menyebabkan di sana tercium bau amis yang menyesakkan napas. Melihat kadaanmacam bebitu, darah Sioe Yin berdesir. Mendadak ia sadar, sudah tak ada jalan keluar. Malam ini seisi Pek-eng-pay akan binasa. Bila kelak Ching-ching pulang ... "A-ping, marilah!" katanya. "Simpan kitab ini!" "Tapi ..." A-ping tak dapat bertanya. Dalam keadaan tidak siaga ia telah ditotok nonanya, sehingga tak dapat bergerak, tak dapat bersuara. "A-ping, seandainya aku mati hari ini, kau mesti tetap hidup. Tunggu nona kecilmu pulang. Berikan kitab ini kepadanya. Ingat, hanya kepada Ching-ching saja! Kalau ada orang lain merampas, lindungi ini dengan seluruh tenaga, kalau perlu dengan jwia. Dan bilang dia supaya membalaskan dendam keluarga!" Sesudah memesan demikian, Lan Sioe Yin memondong pelayannya untuk diletakkan di antara mayat yang bertumpuk. Satu sosok malah ditimpakan di atas pelayan. "Maafkan aku, kau mesti begini. Tapi kalau tidak, kau tak akan selamat!" Lan Sioe Yin berdiri. Ia siap kembali ke belakang membantu saudara-saudaranya yang lain. Namun, baru ia membalik, dua orang yang ia kenali memasuki ruangan itu bersamaan. "Sin Mei, Bun-ko ... kau ... kalian ...!" Segala pikiran jelek bermunculan di kepala si nona. "Jangan keburu cemburu," Chang Lun yang melihat perubahan roman muka si nona lekas mendului. "Aku cuma membantu Boe Kouw-nio menyelesaikan urusan!" "Oh, rupanya kau mau menolong." Sioe Yin menurunkan pedang yang sudah siap dipakai. "Bun-ko, apakah abangmu memimpin penyerangan ini" Tahukah dia kau ada di sini?" "Dia tak tahu aku kemari," kata Chang Lun. "Baguslah. Sin Mei, ayah angkatmu gugur. Apa kau lihat siapa yang melukai dia?" "Tak usah jauh-jauh. Orangnya ada di depanmu," jawab Sin Mei. "Kau jangan bergurau. Apa maksudmu, ngomonglah yang terang." "Dia - " Chang Lun hendak berkata namun keburu dipotong Boe Sin Mei yang terlalu bersemangat. "Justru kami berdua yang mengobrak-abrik Pek-eng-pay. Perkara ayah angkatku sama saja." "Maksudmu ... Kalian membunuh Peh-peh dan Peh-bo" Bun-ko ... aku tak menyangka ...!" Chang Lun melirik tajam pada Sin Mei yang lancang mulut. Namun mau apa" Ia tak dapat mengelak lagi sekarang. "Partaimu telah runtuh> Baiknya kau ikut saja denganku." "Benar. Kita dapat hidup senang di - " "Diam kau pengkhianat! Tak sudi aku turut jejakmu. Tan Toa-ko rupanya benar. Kau Ching Ching 342 seorang yang tak dapat dipercaya." "Tan Toa-ko tolol. Maka itu hidupnya tidak panjang." "Kau ... kau bunuh dia?" "Kenapa" Aku memang sengaja habisi dia. Kalau aku tak dapat miliki dia, orang lain juga tidak. Maka dari itu, ia mesti mati!" "Kau biadab. Kau bukan manusia. Lantaran persoalan Tan Toa-ko, kau bunuh juga Peh-peh dan Peh-bo. Kenapa" Dulu kau bunuh ayah sendiri buat menyelamatkan Pehpeh, eknapa sekarang kau bunuh orang yang pernah kauselamatkan?" "Mau tahu" Baiklah kuceritakan sedari mula. Dulu waktu kecil hidupku melarat. Ibuku cuma seorang perempuan miskin di kampung terpencil. Ayahku cuma dua kali menengok aku, anak haramnya. Rupanya ia takut ketahuan penya anak dari perempuan kampung. "Waktu umurku sembilan tahun, ibuku mati. Aku ikut dengan pamanku, namun di rumahnya aku diperlakukan sebagai pelayan. Dua tahun lamanya, sampai Thia datang menjemput. Tapi aku harus mengaku sebagai orang lain, bukan anaknya! "Thia mau aku kelak menguasai Pek-eng-pay supaya ia bisa ikut campur mengatur. Aku tak mau dijadikan alat ayahku mencapai cita-citanya. Lagipula aku tak mau hilang apa yang sudah kupunya. Itu sebabnya kubunuh dia di saat yang tepat. Aku dianggap pahlawan dan aku tak hilang kesenangan. Pintar ya aku?" "Kau lebih kejam dari binatang!" teriak Sioe Yin. "Kau pantas mati!" Gadis itu lantas menyerang dengan pedang di tangannya. Boe Sin Mei melayani. Namun, menghadapi serangan bertubi-tubi, ia kerepotan juga. Apalagi ilmunya masih jauh di sebelah bawah Lan Sioe Yin. Setelah lewat puluhan jurus, Boe Sin Mei jatuh di bawah angin. "Chang Kong-coe, dia benar-benar mau membunuhku! Lekas bantu aku!" pinta Sin Mei menyadari jiwanya terancam. "Terima kasih, kurasa aku lebih suka menonton saja," sahut Chang Lun. Mendengar jawabannya, Boe Sin Mei kaget. Gerakannya menjadi lamban. Melihat kesempatan, Lan Sioe Yin tidak menyia-nyiakan tempo. Ia segera mengayun pedang menembusi jantung si gadis she Boe. "Ha, sungguh suatu pertunjukan bagus!" Chang Lun bertepuk tangan memuji. "Kau pun tak boleh kulepas begitu saja!" Lan Sioe Yin menodongkan pedangnya. "Apakah kau mau bunuh aku" Boleh. Nih, leherku boleh kautebas." Chang Lun melangkah mendekati Sioe Yin. "Hayolah, kenapa mundur" Hm. Hahaha! Aku tahu kau masih ada hati padaku. Kau tak akan tega membunuhku. Begini saja, lupakan semua ini. Ikutlah denganku pulang. Kami butuh gadis-gadis pemberani macam engkau. Kita akan bersenang-senang sepanjang hidup." "Kau benar" suara Lan Sioe Yin gemetar. Air matanya sudah membanjir. "Aku tak sanggup bunuh padamu. Tapi aku tak sudi berkhianat!" Pedang di tangan Lan Sioe Yin terayun. Detik berikutnya badan si nona roboh dengan leher putus! "Gadis bodoh!" dengus Chang Lun dingin. "Tak tahu diuntung. Diajak senang, malah bunuh diri. Kau pikir aku peduli" Kau mau mati, matilah!" Mendengar cerita A-ping, bergolak darah Ching-ching. Hatinya terbakar dendam. Napasnya memburu. "Kurang ajar Kim-gin-siang-coa-pang! Mereka akan kubantai semua!' "Siauw-sio-cia, inilah titipan Loo-ya, kitab kitab. Dan ini adalah pedang Toasio-cia. Kuharap untuk membalas dendam keluarga, kau memakai ilmu dan pedang milik keluarga sendiri pula." "Kau benar. Mulai dari hari ini aku akan belajar ilmu pedang keluarga Lie!" Ching Ching 343 "Selama Sio-cia belajar, izinkan saya yang melayani. Dan kalau ada sempat, saya juga ingin membalaskan sakit hati Toa-sio-cia." "Baiklah. Tapi kita tak dapat tetap tinggal di sini." "Kenapa?" "Berita ini pasti segera tersebar. Orang-orang akan datang menyembahyangi Thia. Nanti kita tak dapat belajar. Kita mesti cari tempat yang tenang." "Tapi Sio-cia, kalau rumah ini ditinggal, saya kuatir akan digunakan jadi sarang rampok kelak." "Aku juga tak mau orang mengobrak-abrik makam keluarga. Malam ini kau tidurlah. Urusan itu aku yang bikin beres. Besok pagi-pagi kita berangkat!" A-ping tak berani membantah. Setelah menyiapkan apa yang mau dibawa, ia segera mengaso. Akan tetapi, Ching-ching sepeninggalnya juga tak dapat tenang. Ia ingin lekas membalas. Ia mengambil kitab kitab dan membuka-buka halamannya seklias. Akhirnya ia membaca semua petunjuk yang ada. Tangannya turut bergerak. Tanpa sadar akhirnya Ching-ching tengah berlatih sendirian. Matahari telah terbit. Ching-ching baru sadar bahwa ia tak tidur semalaman lantaran latihan. Gadis itu heran sendiri. Apakah selama membaca ia juga berlatih" Ia menutup buku dengan bingung. "Sio-cia, semua sudah beres. Tempo-tempo kita bolehberangkat." Suara A-ping mengingatkan Ching-ching apa yang mesti dikerjakannya. "Sebelum pergi aku ingin sembayang dulu." "Saya sudah siapkan." "Eh, pintar. Tak heran Yin Cie-cie sangat sayang padamu. Kau memang paling mengerti." Ching-ching lekas mengadakan upacara sembahyangan dibantu A-ping. Di depan makam-makam itu keduanya bersumpah menuntut balas. Setelah menjalankan segala upacara, Ching-ching masuk ke dalam rumah. "A-ping, keluarlah dulu. Aku mau sendirian sebentar!" "Ya, Sio-cia. Ching-ching berjalan-jalan sendirian keliling rumah. Inilah terakhir kalinya ia berada di situ dengan segala kenangannya. Sebentar ia akan meratakan rumah itu supaya tidak nanti menjadi puing. Itu cuma akan mengingatkan orang pada kekalahan partainya menghadapi Kim-gin-siang-coa-pang. Tidak! Ia tak rela. Sebenarnya dalam hati Ching-ching merasa sayang. Ia ada keinginan kembali ke sini dan mendirikan perguruannya sendiri. Tapi kapan" Sekarang ini ia tak siap. Menunggu nanti, kuatir rumahnya sudah ditempati orang dan menjadi sengketa. Lalu ia mesti bagaimana" A-ping menunggu nonanya di luar rumah. Tak berapa lama Ching-ching keluar. "Mari!" katanya dan berjalan tanpa menoleh. A-ping mengikut. Keluar dari kota kelahirannya, baru Ching-ching mau melihat. Di atas kota itu, di kejauhan tampak segulung asap hitam. "Kebakaran!" kata A-ping. "Bukan urusan kita!" sahut Ching-ching dan terus melangkah pergi. Berita mengenai runtuhnya Pek-eng-pay sampai juga di Pek-san-boe-koan. Sebagai sesama anggota Kang-ouw dan apalagi Ching-ching pernah menjadi murid di sana, berita itu tentu saja menjadi bahan pembicaraan. Tak terkecuali Lie Wei Ming, ikut kepikiran sampai merasa perlu mengumpulkan murid-muridnya. "Kamu orang tentu sudah mendengar berita," Lie Wei Ming membuka pembicaraan. "Kamu ada pemikiran apa, lebih baik dibicarakan." Sejenak murid-muridnya terdiam. Semenjang kejadian Ching-ching diusir dari Ching Ching 344 Pek-san-boe-koan, memang seperti ada ganjalan antara guru dan murid. Mereka jadi sungkan bercakap-cakap dengan gurunya. Terlebih ada kejadian seperti sekarang, bertambahlah simpati pada si gadis she Lie. Diam-diam banyak yang menyalahkan guru mereka bertindak kelewat keras. "Bagaimana?" tanya Lie Wei Ming lagi pada empat muridnya tertua. "Soe-hoe, tempo hari Siauw-soe-moay, eh maksudku Ching-moay, eh bukan. Itu ... Lie Kouw-nio pamit pulang ke rumahnya. Masa sekarang tentulah ia sudah di sana lama. Entah apakah dia selamat sewaktu terjadi peristiwa." In Sioe Ing mendului buka mulut. Lagunya menyindir sang guru yang mengusir adik seperguruannya. "Soe-cie, jangan bicara yang bukan-bukan. Soe-moay, eh, Ching-moay, tak bakal mati begitu gampang," kata Chia Wu Fei menegur. "A-lau, ia adik angkatmu. Bagaimana pandanganmu sendiri?" Yuk Lau yang abang angkatnya Ching-ching adalah yang terlebih sakit hati sewaktu dara itu diusir. Maka pada kesempatan ini ia segan bicara banyak. "Tee-coe cuma berani minta izin Soe-hoe buat menengok keadaan Gie-moay." "Yah, daripada di sini membicarakan yang tidak-tidak, ada baiknya juga mengirim orang mencari kabar. Baiklah, kau boleh berangkat." "Terima kasih, Soe-hoe." "Soe-hoe, kalau boleh, Tee-coe ingin mendampingi Sam-soe-tee," kata Miauw Chun Kian, murid tertua. "Tee-coe juga mau ikut!" timpal In Sioe Ing. "Uh, kalau aku sudah dapat berlari, aku juga tak mau ketinggalan," gerutu Cia Wu Fei. "Sekarang ini berdiri saja masih gemetaran." "Tak usahlah banyak-banyak orang yang pergi. Cukup Yuk Lau dan Chun Kian saja." "Baik! Tee-coe berempat mohon pamit!" semua muridnya memberi hormat dan meninggalkan sang guru. Sesampainya di luar, keempat murid itu kembali membicarakan persoalan barusan, lebih leluasa daripada di hadapan guru mereka. "Toa-soe-heng, menurut pemikiranmu, apakah Soe-moay, eh Ching-moay dapat selamat dari tangan Kim-gin-coa?" tanya Sioe Ing berkuatir. "Tentu saja!" Wu Fei yang menyahut. "Apakah Soe-cie tak ingat seberapa tinggi ilmunya sebelum menjadi murid Pek-san-boe-koan?" "Aku juga merasa pasti dia selamat," kata Yuk Lau. "Tapi, aku ingin melihat keadaannya." "Kudengar Ban-tok-pang juga kena dihancurkan. Apa Sam-soe-tee tak hendak menengok Khoe Kouw-nio?" goda Wu Fei. Muka Yuk Lau mendadak merah. Saudara-saudaranya tahu ia ada menaruh hati kepada si nona she Khoe. "Ke Pek-eng-pay dapat juga melewati Ban-tok-lim. Kau dapat melihat-lihat," kata Sioe Ing. "Sayang Soe-cie tak boleh ikut. Kalau tidak, kau pun dapat mencari tahu keadaan Wang Lie Hay!" Wu Fei kembali cengengesan melihat roman In Sioe Ing yang berubah. "Kalau tak salah, ia jalan bersama Khoe Yin Hung dan Ching-ching. Toa-soe-heng, mestinya kau kasih sempat Soe-cie yang pergi." "Ngo-soe-tee, bukannya kau berprihatin, malah bercanda," tegur Chun Kian. "Kalau tidak bercanda, aku bisa menangis. Lihatlah, aku tak kuat jalan jauh. Dari sana ke mari juga mseti dituntun layaknya kakek-kakek." "Jangan terlalu berduka. Dilihat keadaanmu kan sudah banyak mendingan. Tak berapa lama kau mesti sembuh." "Tapi aku tak sabar. Aku ingin lekas keluar dan mencari Ching-ching!" "Itu urusan kami, kau tak usah berkuatir!" kata Miauw Chun Kian. "Begitu bertemu Ching Ching 345 nanti, kusuruh dia datang menengokmu." Miauw Chun Kian dan Yuk Lauw tengah beristirahat di sebuah kedai. Sembari mengisi perut, dibincangkan arah perjalanannya. "Dari Pek-san-boe-koan ke Pek-eng-pay ada makan waktu enam hari berjalan. Kalau memutar lewat Ban-tok-lim, menghabiskan waktu sepuluh hari. Menurut Toa-soe-heng, perlukah kita mampir?" tanya Yuk Lau. "Mmm. Sepuluh hari. Terlalu lama kalau Ching-ching memang butuh bantuan," kata Miauw Chun Kian. Ia melirik adik seperguruannya yang berubah roman mukanya. "Tetapi adalah kewajiban kita juga melihat apa yang terjadi pada Ban-tok-pang," sambungnya buru-buru. "Lalu, bagaimana baiknya menurut Soe-heng?" "Begini saja. Di simpangan di depan sana kita pepisahan. Kau menuju Ban-tok-lim, aku ke Pek-eng-pay. Bulan depan tanggal dua tengah hari kita bertemu lagi di tempat itu. Yuk Lau mengangguk. Mendung di mukanya lenyap seketika. Miauw Chun Kian tersenyum saja. "Kau tahu, kalau Ching-ching dan Wu Fei ada di sini, kau akan habis digoda. Sayang, lidahku tak pandai menggoda orang," kata murid pertama Pek-san-boe-koan itu. "Tapi rasanya tak perlu lidah yang lincah. Lihat, baru berkata begitu saja, mukamu sudah merah seperti orang mabuk!" "Soe-heng omong apa, aku tak mengerti," sahut Yuk Lau pura-pura bodoh. Miauw Chun Kian tak menjawab. Ia hanya mesem sembari meneguk tehnya. Namun, senyumnya segera lenyap sewaktu seorang petani datang mengaso di situ membawa berita. "Wah, tadi aku melihat bidadari pencabut nyawa!" aktanya dengan napas memburu. "Di mana?" tanya orang lain yang juga mengunjungi kedai itu. "Di sebelah sana. Wah, hebat dia! Puluhan orang mengeroyok dihabisinya sekali Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kebasan tangan." "Wah, aku jadi ingin melihat!" "Jangan coba-coba! Bidadari itu amat kejam. Aku lolos saja dengan susah-payah. Pelayan bidadari itu hampir saja membunuhku. Untung aku dapat melawan dan kemudian lari kemari!" Miauw Chun Kian dan Yuk Lau saling pandang. Sebagai kalangan pesilat, tentu saja mereka mau tahu lebih banyak. "Soe-heng, kita melihat?" "Baik, tapi kita jangan dulu campur tangan!" Setelah meletakkan pembayaran di meja, kedua pemuda itu segera menuju ke arah yang ditunjuk petani barusan. Benar saja. Tak berapa lama berlari kedengaran suara orang bertempur. Kelihatan pula seorang gadis yang memegang pedang tengah dikeroyok belasan orang berpakaian hitam. "Pengecut! Beraninya main keroyok! Soe-heng, mari kita bantu!" "Dia tak butuh bantuan," kata Chun Kian. "Marilah sembunyi di balik semak itu dan melihat kejadian sebenarnya. Yuk Lau mengikuti soe-hengnya yang telah mendului berjalan ke semak yang tak jauh dari tempat pertempuran. Dari tempatnya sembunyi, Yuk Lau dapat melihat dan mendengar terlebih jelas. "Toa-soe-heng, pengeroyok itu orangnya Hek-houw-piauw-kiok." Miauw Chun Kian menangguk. "Kita mesti membantu yang mana?" "Sst!" Ching Ching 346 Yuk Lau tak berani banyak mengoceh. Dengan heran bercampur kuatir, ia mengawasi si nona yang mulai tampak terdesak. "Kau kurang lincah, mesti bergerak lebih cepat! Tanganmu kurang lurus waktu menusuk. Ulangi ke sebelah kanan. Sekarang!" Terdengar sebuah suara dingin memberi petunjuk. Si nona lekas menurut. Ia bergerak lebih lincah. Sebentaran saja keadaan berbalik. Kini si nona berada di atas angin! Yuk Lau mencari-cari datangnya suara. Kemudian matanya menangkap sosok tubuh seorang dara muda yang duduk di keteduhan semak-semak. Seperti juga dara yang sedang bertempur, gadis ini berbaju putih dengan ikat rambut yang putih pula. Sayang, mukanya tak kelihatan di balik rimbun semak. Si nona yang tengah bertempur kini berbalik mendesak lawan-lawan pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat-kelebat cepat menebas kanan-kiri. Dua pengeroyoknya roboh seketika. Seorang dari orang Hek-houw-piauw-kiok memberi komando pada yang lain. "Kurung dia rapat-rapat. Setelah habis yang satu ini, kita habisi yang satu lagi!" Orang-orang Pek-houw-piauw-kiok lantas mengurung. Si nona nampak kebingungan. Ia tak dapat meluruskan pedang. "Dalam keadaan seperti ini kamu mesti bertahan, tapi waspada. Begitu sempat, jangan punya perasaan ragu. Tusuk saja lawanmu sampai tembus!" kata si dara yang menonton. Petunjuk gadis itu sangat berharga buat si nona berpedang. Ia bertahan. Begitu ada lowongan, ia langsung menebas dan menusuk serta cepat ditarik lagi buat melindungi diri. "Cukup bagus," puji si dara baju putih, "tapi kurang mengarah tepat. Kali ini incar jantungnya, jangan meleset!" "Kamu banyak mulut, kenapa kamu sendiri tak berani ikut bertempur!?" bentak pemimpin Pek-houw-piauw-kiok. "Hati-hati bicara dengan majikanmu!" si nona berpedang menjadi galak, menusuk leher orang yang lancang omong itu. "Jangan!" cegah si dara di balik semak. Sepotong ranting kecil mengalangi jalannya pedang. Akibatnya pedang itu melenceng, menusuk pengeroyok lain yang hendak coba-coba membokong. "Yang satu ini belakangan," kata si dara dingin. "Sudah cukup latihanmu hari ini. Habisi mereka semuanya!" "Baik!" Si nona berpedang cepat menghadapi yang lain-lain Ia tak lagi menggunakan jurus-jurus barusan. Gerakannya berubah lebih cepat. Ia nampak sudah hafal dengan jurus yang satu ini. Badannya berputar-putar cepat. Dua lagi pengeroyoknya roboh. Yang lain hilang semangat melihat teman-temannya sudah jadi mayat. Serempak mereka kabur ke lain-lain arah. "Jangan ada yang lolos!" seru dara baju putih. Ia melompat dari tempatnya duduk. Tangannya berkelebat beberapa kali, disusul robohnya mereka yang lari. Satu lagi roboh dengan pedang si nona menembusi punggung. Cuma satu lagi yang masih hidup, yaitu si pemimpin yang keburu ditotok sebelum lari. "Kalau musuhmu beberapa orang, jika ad ayang lari, jangan lempar pedang. Mana tahu yang lain balik lagi menyerang kamu" Itulah bahaya." "Lalu saya mesti bagaimana?" "Lain hari kuajari cara jitu menyampok orang. Sekarang bereskan dulu yang satu itu!" Mereka mendekati orang satu-satunya yang masih hidup. Ching Ching 347 "Kamu kemenakan si pengkhianat Yong Hu, bukan?" tanya si nona yang sudah mengambil balik pedangnya. "Yong Hu mana?" "Jangan berlagak" Orang Pek-houw-piauw-kiok tak tahu Yong Hu adalah bohong!" "Ada urusan apa denganmu." "Pamanmu pengkhianat busuk. Kau pikir, kita tak tahu ia mendatangi pesta Kim-koay-coa?" "Itu ... itu tak ada urusan denganku." "Tapi kamu turut dia menghadiri itu pesta!" tuduh si nona berpedang. "Sekarang beri tahukan, siapa lagi yang datang ke sana?" "Tidak tahu!" "Kamu mau bandel?" si nona menodongkan pedang. "Mau bunuh, bunuhlah! Siapa takut mati?" "Mati cepat terlampau murah buatmu. Orang bandel macammu mesti disiksa dulu!" Gadis yang seperti lebih tinggi kedudukannya itu menotok belakang leher orang. Mendadak orang Hek-houw-piauw-kiok itu menjerit sembari bergulingan di tangah. "Aduh! Ampun! Sakit! Ampun! Kamu mau tahu apa, kuberi tahu, tapi hentikan dulu ..." "Siapa lagi yang datang?" "Aku tak lihat. Semuanya mengenakan kedok. Tapia da yang punya tanda ketua Cheng-in-pay dan ada yang membawa golok besar milik Hek-to-sian-houw." "Lainnya?" "Aku tak tahu, sungguh tak tahu. Kami ditempatkan di bilik-bilik terpisah. Aduh, aku tak kuat. Lekas sembuhkan aku. Aku mohon!" "Penderitaanmu akan berakhir. Bunuh!" perintah si gadis, yang langsung diturut si nona berpedang. Orang itu tak berkutik lagi. Seperti sudah tahu apa mesti dilakukan, ia membuka baju mayat itu dan menggoreskan sesuatu di dadanya. Yuk Lau melotot di tempatnya sembunyi. Kalau bukan dicegah Chun Kian, sudah tadi-tadi ia keluar mencegah tindakan keji si gadis. Tapi lantaran tak dapat berbuat apa-apa, ia lantas mendengus saja. "Siapa itu?" tanya si nona berpedang. "Hari ini kita tak mengharap kedatangan dua tamu terhormat!" kata dara yang berkedudukan lebih tinggi. "Kita pergi!" Ditariknya tangan si nona berpedang. Dalam sekejapan mata saja, bayangan dua gadis itu tidak kelihatan lagi. Setelah mereka pergi, Chun Kian keluar dari tempatnya bersembunyi. "Soe-heng, kenapa kau larang aku mengalangi mereka?" tanya Yuk Lau. "Keduanya begitu keji, menggunakan orang buat berlatih. Tapi aku rasa pernah ketemu dengan mereka." "Terang saja," sahut Chun Kian. "Salah satunya adalah adik angkatmu!" "Ching-ching" Tidak! Tak mungkin ia berlaku begitu kejam." "Kalau mengingat yang dibunuh adalah partai pengkhianat golongan putih, kurasa tindakannya dapat diterima." "Tapi kenapa dia tak mau ketemu kita?" "Entah. Barangkali lantaran peristiwa tempo hari. Atau lantaran terlalu sakit hati. Ah, ia bahkan tak mau kita melihat wajahnya." "Aku masih tak percaya." "Tak mungkin salah. Ilmu pedang yang kita lihat adalah ilmu Pek-eng-pay jurus ketiga. Dan cara dia menyambit ... Siapa lagi yang punya cara begitu jitu di daratan Tiong-goan ini?" Miauw Chun Kian menghela napas. "Sudahlah, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan." Ching Ching 348 "Soe-heng, apakah tetap ke Pek-eng-pay" Kalau benar nona tadi adalah Ching-ching, kau tak bakal ketemu sebab ia lari ke utara." "Dendamnya begitu besar. Aku mau lihat seberapa banyak yang dilakukan Kim-gin-siang-coa-pang yang membuatnya menjadi demikian." "Baik. Kita berpisah sekarang dan ketemu lagi di sini tanggal dua bulan depat!" Yuk Lau membelok ke timur. Sebelum pergi, matanya sempat melirik mayat orang yang telah diukir luka. Hutang mata bayar mata Dendam kesumat menagih darah Yang berkhianat mati bayarannya Sebuah sajak yang tak dapat dibilang bagus, tapi mencerminkan dendam penyairnya. Yuk Lau bergidik merasakan kesumat dalam syair itu. Tak sadar kakinya membawa dia berlari cepat-cepat menjauhi tempat pembantaian tersebut. Hari-hari berlalu tanpa terasa. Selama itu Ching-ching dan A-ping terus berlatih tekun sekaligus mencari mereka yang berkawan dengan Kim-gin-siang-coa-pang. Dengan caranya sendiri, mereka dapat mengetahui siapa-siapa saja yang berkhianat diam-diam. Dunia Kang-ouw geger. Terlalu banyak tokoh yang sudah mati. Namun, mereka tak dapat terlalu menyalahkan, apalagi lantaran yang mati bukan cuma golongan putih yang licik, tapi kebanyakan adalah anggota partai Kim-gin-siang-coa-pang. Meski sudah cukup makan korban, Ching-ching dan A-ping belum puas. Tujuan mereka yang sebenarnya adalah memancing tokoh-tokoh pertai besar itu. Namun, usaha mereka tampaknya sia-sia. "A-ping, Pek-eng-kiam-soet sudah kaukuasai lebih sepertiga bagian, selebihnya boleh kaupelajari sendiri. Beberapa waktu ini aku tak dapat mendampingimu," kata Ching-ching suatu ketika. "Sio-cia mau ke mana?" "Mencari beberapa jagoan. Kudengar ada tujuh orang jagoan tua yang telah menjadi antek Kim-gin-siang-coa-pang." "Tapi Sio-cia, bukankah itu berbahaya" Izinkanlah budak ikut buat membantu sewaktu-waktu." "Dengan kepandaian kamu sekarang, melindungi diri saja belum cukup. Sudah, begini saja. Di isni kita pepisahan, bulan depan aku kembali. Kalau kamu dapat menguasai lebih separto Pek-eng-kiam-sut, kamu boleh ikut." "Sio-cia ..." Belums empat A-ping meneruskan, Ching-ching telah hilang dari pandangan. Cuma gema suaranya saja masih kedengaran. "Sebulan, A-ping, di tempat inI!" Ching-ching sengaja pergi secara mendadak. Ia tahu A-ping pasti bersikeras ingin ikut. Dan itulah berbahaya buat dirinya sendiri. Ching-ching tahu, tanpa bantuannya, A-ping juga akan maju pesat ilmunya. Tak segan nona itu memberikan buku ilmu pedang kepada pelayannya. Ia sendiri boleh dikata telah menguasai. Untunglah ia telah memiliki dasar ilmu kelas atas, sehingga buat mempelajari Pek-eng-kiam-sut tak makan banyak waktu. Hanya saja buat menjadi mahir, ia mesti banyak berlatih. Ini yang Ching-ching tak sempat. Padahal, ia telah bersumpah akan menagih hutang jiwa dengan ilmu warisan keluarga. Kali ini Ching-ching menuju ke selatan. Ia berniat akan membasmi Sin-chio-pang. Telah diketahuinya bahwa pang-coe perkumpulan tersebut, Sin-chio-houw, telah mengadakan kerja sama dengan Kim-gin-siang-coa-pang. Perjalan ke Sin-chio-pang tak terlalu sukar. Belum sampai seminggu ia telah tiba Ching Ching 349 di sana. Begitu tiba, tanpa pikir panjang ia memasuki wilayah partai. Ia tak banyak kuatir sebab Sin-chio-pang bukan perkumpulan besar. Orang-orang Sin-chio-pang terang tidak senang wilayahnya dimasuki sebarangan. Baru sampai di pintu gerbang, belasan orang telah mengepung Ching-ching. "He, Nona, kau telah memasuki wilayah kami. Tahukah, yang masuk ke sini tanpa izin tak boleh keluar hidup, kecuali membayar upeti," kata salah seorang menggertak. "Mana Sin-chio-houw?" tanya Ching-ching tak peduli. "Engkau datang dari mana dan siapa namamu" Nanti disampaikan kepada Houw Pang-coe. Kalau berkenan, ia akan datang menemui." "Jangan banyak aturan, suruh dia lekas keluar menemui nonanya!" "Wah, anak kecil banyak lagak. Dihabisi sajalah!" cetus yang lain. "Benar, ia berhani menghina Houw Pang-coe. Bunuh saja!" "Baik, majulah kamu bebareng. Siapa takut?" tantang Ching-ching. "Bunuh!" seru seorang. Yang lainnya segera mengikut mengeroyok. Ching-ching cuma mesem saja. Orang-orang ini bukan tandingannya dan ia tak hendak banyak buang tenaga. Sekali melompat, gadis itus udah lenyap dari hadapan para pengeroyoknya, yang lantas mencari-cari dengan bingung. "Rasakan pedangku!" pekik Ching-ching yang mendadak saja sudah berada di belakang. Pedangnya berkelebat cepat. Seketika semua pengeroyoknya roboh dengan jantung bolong terkoyak pedang. Hanya satu yang disisakan hidup. Ching-ching membiarkannya lari supaya memanggil Sin-chio-houw keluar. Benar saja, tak berapa lama Ching-ching menanti, dari dalam keluar belasan orang yang lantar berbaris membentuk pagar di kiri-kanan. Menyusul seorang laki-laki berwajah sangar dengan tongkat panjang keluar pula dengan sikap jumawa. "Siapa berani menantang aku, keluar!" bentak orang sangar itu. Melihat cuma seorang gadis muda yang ada di pelataran, serta-merta ia melecehkan. "Haha! Anak kemarin sore, namaku kau belum tahu, kau sudah berani menantang?" "Namamu aku tak mau tahu. Sampai di mana kau punya ilmu, itu yang mau kulihat!" "Kau minta pengajaran" Boleh!" "Kau yang kuberi pelajaran!" Ching-ching melompat maju, bersiaga. "Aku Sin-chio-houw Chen Cie pantang dihina. Nona cilik, hari ini kau mesti mati!" Sin-chio-houw memutar tombaknya yang panjang, menimbulkan bunyi kesiuran angin berpusing. Melihat ini saja Ching-ching sudah tahu kekuatan orang. Ia masih menang dalam segalanya, cuma mesti menghitung jarak antara senjata. "Majulah bocah!" bentak Sin-chio-houw. Ching-ching memiringkan badan, mencari kelemahan lawan. Tombak Sin-chio-houw memang berputar melindungi sang ketua yang enggan menyerang duluan menghadapi orang muda. Namun, dara di hadapannya bukan orang muda sebarangan. Ia telah menguasai ilmu tingkat tinggi dan, meski terbatas, sudah punya sedikit pengalaman. Mata si nona yang awas telah melihat satu celah di antara perputaran tombak. Satu celah yang selalu terulang di tempat yang sama. Celah kematian bagi Sin-chio-houw! Ching-ching membentak sekali, kemudian sembari mengacungkan pedang ia maju merangsek ke arah lawannya. Sin-chio-houw tersenyum. Gadis nekad ini akan segera mati! Tapi ia keliru sebab pada saat yang berikut, ketua Sin-chio-pang itu merasakan benda dingin membeset kening, kemudian dirasanya pedih di tempat yang sama. Mendadak pandangannya gelap, matanya rapat, lantaran cairan kental yang telah membasahi mukanya. Ching Ching 350 "Belum sejurus kau sudah keok, mau berlagak hendak mengajariku?" ejek Ching-ching. "Ampun, Siauw-lie-hiap! Mataku buta, tak kenal gunung Thay-san di depan sehingga bertindak lancang. Harap Lie-hiap sudi mengampuni!" "Asal kau menjawab satu-dua pertanyaanku, aku akan pertimbangkan buat ampuni kamu!" "Lie-hiap silakan tanya. Asal tahu ajwabannya, pasti kuberitahukan tuntas." "Aku tahu kau diam-diam jadi antek Kim-gin-siang-coa-pang dan datang ke perjamuannya tempo hari. Nah, pada waktu pergi ke sana, kau bertemu dengan siapa saja"!" "Aku ... aku tak ingat," Sin-chio-houw mengelak. "Kalau kulintangkan pedangku di depan lehermu begini, barangkali kau ingat?" "Aw, ampun! Ya, aku melihat Chen Sen dari Cheng-in-pay dan Yuen Pan dar Kwie-to-pay." "Mereka sudah mati! Siapa lagi yang kaulihat dan yang kautahu menjadi antek partai terkutuk itu?" "Dari undangan aku cuma tahu mereka itu saja." Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ada yang lainnya" Apakah tujuh jagoan tua yang dikabarkan datang juga hadir?" "Ya, sepasang pendekar Goat-seng-siang-mo-ko dan dua orang hoat-ceng yang aneh dandanannya." "Dua hoat-ceng" Siapa?" "Namanya tidak tahu, tapi kabarnya mereka mendirikan tempat sembahyangan dekat kota Kong-an buat menyebarkan agama mereka." "Sudah ini giliran mereka. Tapi mula-mula kau dulu kubereskan!" "Ampun, Lie-hiap, jangan bunuh. Apa yang Lie-hiap mau, akan saya beri. Bahkan kalau Lie-hiap mau jadi ketua di sini, ini tanda ketua." "Mari sinikan! Kau tak pantas jadi ketua. Tidak malu kau merengek sementara anak buahmu menonton. Kau pantas mati. Biar bagaimanapun mereka yang jadi antek Kimgin-siang-coa-pang harus mati. Tapi jangan kuatir, ini akan cepat. Kau tak akan sempat merasa sakit!" Habis berkata, Ching-ching mengebaskan pedangnya kembali ke sarung. Terdengar suara pekik tertahan dari kerongkongan Sin-chio-houw dan hampir seketika itu juga, lepaslah jiwanya dari badan. "Pang-coe!!" serentak anak buah Sin-chio-houw yang tadi tak berani berkutik datang mendekat dengan panik. "Diam di mana kamu berdiri!" bentak Ching-ching menghentikan semua gerakan. "Pang-coe, pang-coe. Siapa pang-coe" Tanda ketua ada padaku. Dia itu sudah jadi mayat!" Dengan galaknya gadis itu memandang berkeliling. Semuanya yang adu mata segera menunduk, kecuali satu orang. Seorang muda umur dua puluhan yang memandangnya dengan dendam. "Kamu lihat apa?" bentak Ching-ching. "Kau perempuan jahat, kau yang membunuh Pang-coe!" "Dia bersalah lantaran berkhianat, sudah semestinya mati!" "Dia sudah mohon ampun." "Tak ada ampun buat penjahat! Eh, kamu melotot"! Mau balas dendam" Majulah!" "Aku tak ada kemampuan, tapi aku tak takut mati. Ayo!" "Heh, aku tak mau bunuh yang tak ada dosa. Ini, kuserahkan tanda ketua padamu. Kalau kamu mau balas dendam, carilah aku. Tapi, dari sekarang kuingatkan. Jangan hubungan sama Kim-gin-siang-coa-pang sebab nanti sebelum balas dendam, kau mati duluan!" Ching Ching 351 Pemuda yang memegang tanda itu berdiri kebingungan. Terlebih lagi gadis muda yang berbicara barusan telah menghilang mendului suaranya. Ching-ching menuju Kong-an secepat-cepatnya. Ia ingin segera membereskan dua hoat-ceng yang disebut oleh Sin-chio-houw. Rupanya keberuntungan ada di pihaknya. Baru separuh jalan, ia sudah ketemu jejak dua pendeta itu. Ketika itu Ching-ching sedang megnaso di atas dahan sebuah pohon yang rimbun daunnya. Ia dapat melihat ke mana-mana, tapi orang yang lewat tak dapat lihat padanya. Hampir saja si nona ketiduran, apalagi hari begitu panas, sedangkan angin bertiup sepoi. Sekonyong-konyong muncul satu iring-iringan dengan dua ekor kuda putih berjalan paling depan. Di punggung kuda yang seekor duduk seorang pendeta mengenakan jubah bertopi, merah dan kuning. Di kuda yang satu lagi duduk seorang pemuda cakap dengan paras dingin. Ia duduk tegak tak bergerak di atas punggung kudanya. Dua kuda itu diiringi lagi oleh dua barisan pendeta yang jubahnya mirip dengan si pendeta di depan, tapi warnanya kuning dan biru. Mereka membawa keliningan yang digoyang sepanjang jalan. Di tengah-tengah terdapat tandu kuning-hitam warnanya yang digotong empat orang. Di belakang tandu itu masih ada sebagian yang lain membawa ceng-ceng, yakni semacam piringan logam yang sepasang. Alat itu dibunyikan dengan cara diadu dan mengularkan suara yang sangat berisik. Melihat semuanya, Ching-ching menyangka inilah rombongan salah satu hoat-ceng yang dicari. Tanpa banyak pikir, ia lantas melompat menghadang, mengagetkan dua kuda yang di depan sampai meringkik, berdiri di atas dua kaki. Untung mereka yang di punggungnya sudah pandai mengendarai sehingga tak sampai jatuh. "Siapa berani mengalangi perjalanan Pandita Agung!" Bebareng dengan bentakan itu, si pemuda meloncat turun dari kudanya dan mencoba mencekal tangan si nona. Ching-ching berkelit dan mendorong dengan sebelah tangannya. Si pemuda lantas saja terhuyung beberapa tindak. Sesudah tegak badan, ia merangsek pula. Di lain saat, pendeta yang membawa keliningan sudah mengurung Ching-ching dalam bentuk segi tiga. Mereka mengawasi si nona tanpa berkata, serentak pula keliningan di tangannya tak bersuara. Ching-ching tahu, tentulah mereka memakai tenaga dalam buat membikin bungkam keliningan masing-masing. "Perempuan jahat, besar nyalimua berani mengganggu perjalanan Pandita Agung! Hayo mohon maaf!" "Yang mana itu namanya Pandita Agung" Hayo kasi aku lihat!" kata Ching-ching. Merasa pimpinannya dihina, para pendeta itu jadi marah. Mereka mulai membunyikan kerincingan sembari maju setapak demi setapak mendekati si nona. "Kamu sungguh membikin berisik, mengganggu ketenangan orang!" Ching-ching berjongkok memungut segenggam kerikil dan melempar pada keliningan para pendeta itu. Akibatnya, keliningan berhenti berbunyi dan tangan para pendeta itu kesemutan tak bisa digerakkan. "Nona, harap sopan. Kami tak ada urusan denganmu, kenapa kau bikin perkara?" "Kalau aku mau cari persoalan, lantas kau mau apa?" Ching-ching balas membentak si pemuda. Pemuda itu hendak berkata sesuatu, mendadak satu bayangan melompat antara dia dan Ching-ching. Ternyata dia adalah pendeta yang tadi di atas kuda. "Haha, Siauw-mo-lie, tak dinyana kita ketemu di sini!" tawanya. "Aku tak rasa pernah bertemu dengan kau, kenapa kaupanggil aku begitu?" tanya Ching-ching. "Kau tak ingat aku" Tapi aku ingat tampangmu sampai mati pun!" Si pendeta Ching Ching 352 merenggut kudung kepalanya, memperlihatkan kepala yang botak licin. Namun, ada empat huruf di kepalanya yang lantas diperlihatkan pada Ching-ching, yakni huruf See-chong-sa-kwa. Seketika Ching-ching teringat lagi pendeta asing yang ditemuinya bertahun lalu di rumah keluarga Kwan. "Ah, See-chong-sa-kwa, begitu senang kau akan hadiah pemberianku sampai tak usaha menghilangkannya." "Menghilangkan bagaimana" Seumpama kulit kepalaku dibeset, tulisan ini belum tentu hilang." "Mau tahu" Lepaskan kepalamu, tak usah dibawa-bawa ke mana-mana." "Dilepaskan" Sama saja aku mati." "Sekalinya goblok memang tetap saja coglok. Memang itu yang aku maksud," Ching-ching tertawa geli. "Kau tertawa sekarang yang puas sebab sebentar lagi tak dapat kau tertawa." "Oh" Kenapa begitu?" "Sebab kepalamu akan turun ke tanah!" "Siapa mau turunkan kepalaku?" Ching-ching masih saja tertawa. "Soe-teeku inilah!" See-chong-shak-wa menunjuk si pemuda. "Soe-tee, keinginanmu balas dendam terwujudlah sekarang. Iblis wanita inilah yang telah membunuh ayah dan adikmu!" "Sa-kwa, siapa dia" Apa urusanku dengannya?" "Namaku See-chong-shak-wa!" pendeta itu mencak-mencak. "Tak dapatkah kau menyebutnya betul?" "Sebodoh! Siapa orang ini?" "Aku perkenalkan diriku sendiri. Namaku Hai Chong, sedangkan margaku Tan. Apakah mengingatkan kau pada sesuatu?" "Hubungan apa kau dengan Tan Piauw-soe dan anaknya, si Hai Bun?" "Aku anak keluarga Tan yang sulung!" "Oh, rupanya kau itu. Baiklah, kau boleh bereskan kaup unya urusan belakangan. Sekarang ini kau ada lain urusan. See-chong-sa-kwa, apakah sekte kamu yang adakan hubungan dengan Kim-gin-siang-coa-pang?" "Kamu maua dakan hubungan dengan siapa, itu bukan urusanmu!" "Aku sudah tunggu terlalu lama. Urusan kita mesti selesai dulu!" kata Tan Hai Chong tak sabar. "Berhubung kamu juga nggota sekte, baik aku tanyakan, apakah kalian ada hubungan dengan Kim-gin-siang-coa-pang?" "Memang. Lantas kau mau apa?" "Kalau gitu, kamu semua adalah penganut agama sesat, mesti dihabisi!" kata Ching-ching galak. "Kau membunuh keluargaku, menghalangi perjalanan Pandita Agung, dan sekarang menghina sekte kami. Demi Budha Hidup, kau tak dapat diampuni!" si pemuda she Tan mengeluarkan golok yang dicabut dari punggungnya. "Baiklah, sekarang atau nanti, toh segala urusan antara kita mesti beres." Ching-ching mencabut pedangnya sendiri. "Kau majulah!" "Lihat senjata!" seru Tan Hai Chong memperingatkan. Habis berkata, ia segera menyerang pula. Pemuda itu mengarahkan goloknya ke kepala Ching-ching, namun bacokannya cuma mengenai angin sementara yang diarah tanpa diketahui telah berada di belakang Tan Hai Chong. Ching-ching tertawa. Ia memulai serangannya yang pertama. Hai Chong menangkis tebasan si nona dan mencoba membalas dengan menyabet ke pinggang. Sayang, lagilagi serangannya mengenai angin. Ching Ching 353 "Rasa-rasanya golok besar itu terlalu berat buatmu sehingga kau tak dapat bergerak lincah. Kenapa tidak kau buang saja dan ganti yang lebih enteng?" ejek Ching-ching. Tan Hai Chong tidak pedulikan kata-kata si nona. Ia terus menyerang lagi dengan berapi-api. Ching-ching memandang sepi serangan orang. Sayang, ini adalah kesalahan yang hampir mencelakakan jiwanya. Secara mendadak sekali Tan Hai Bun melompat tinggi, badannya memuntir di udara. Ching-ching terkesima melihat gerakan tak terduga. Selagi si nona lengah, Hai Chong maju menebas dengan goloknya. Untung Ching-ching menang pengalaman. Ia mengangkat pedang melindungi badan. Lelatu api memercik ketika dua senjata beradu. Seketika itu pula si pemuda she Tan terlontar mundur, tapi Ching-ching juga undur terjungkal. "Hihi, Siauw-mo-lie, tak dinyata berapa tahun tak ketemu, ilmumu bukannya mendapat kemajuan, malahan turun beberapa tingkat. Menghadapi soe-teeku yang belum lima tahun berlatih saja, kau kalah?" dari pinggiran si Ayam Jago dari Tibet terkikik geli. Ching-ching sendiri kaget. Biasanya sekali melihat, ia sudah dapat mengukur kemampuan orang. Dibanding dengan dirinya sendiri, Tan Hai Chong bukan apa-apa meski ia sendiri mesti mengakui, pemuda she Tan ini memang memiliki bakat luar biasa. Apalagi ditambah perasaan dendamnya, semakin hebatlah ia. Sejenak si nona terpekur.T api detik berikut ia sudah menyadari apa yang tidak betul. Pertama adalah ia terlalu menganggap sepi orang lain, lalu ia melupakan bahwa ilmu si pemuda berasal dari luar daratan Tiong-goan. Perubahan gerakannya tidak seperti ilmu silat biasa dan ia sendiri melawan dengan Pek-eng-kiam-sut, baik dalam bernapas ataupun dalam bergerak. Ilmu tersebut, meski cukup tangguh, bukanlah ilmu kelas satu yang dapat diandalkan secara penuh, terutama menghadapi lawan berat. "Siauw-mo-lie, kenapa bengong" Apakah gentar" See-cong-shak-wa mengejek lagi. Ching-ching melirik tajam. Dulu, setan gundul itu pernah dihajarnya habis, sekarang menghadapi adiknya seperguruan, manakah mungkin tak sanggup" Ia mengalihkan pandangan pada si pemuda. "Sambutlah!" serunya. Ching-ching maju sembari memutar pedang. Kali ini pendatang-pendatang Tibet itu yang menjadi kagum. Setelah mengempos semangat, gampang saja Ching-ching meladeni Tan Hai Chong sampai lewat sepuluh jurus. Meski gerakan si pemuda gesit dan tak gampang diduga, setelah lewat sekian lama, ia nampak mulai terdesak. See-chong-shak-wa melihat ini. Mau tak mau ia menguatiri juga keadaan adik seperguruannya. Namun, tak dapat ia membantu terang-terangan, nanti soe-teenya merasa diremehkan. "Soe-tee, aku juga ada dendam dengan iblis ini. Harap kau tak keberatan aku membereskan sedikit urusan," akhirnya si pendeta gundul berkata begitu Hai Bun dalam keadaan tak dapat membalas selain melindungi diri. Tergetar juga hatinya si nona waktu See-chong-shak-wa lompat ke antara dia dan Hai Bun. Menghadapi si pemuda sendirian ia masih sanggup, tapi kalau berdua" Namun, Ching-ching tak kasih unjuk perasaan. Ia cuma mesem saja sembari terus menyerang. Tapi See-chong-shak-wa tak boleh juga dipandang enteng. Dengan semacam lonceng di tangan kiri dan sebuah pisau si pendeta menyerang bertubi-tubi, Ching-ching tak ada sempat membalas lagi. Ia putar pedang melindungi diri. Kaget juga si nona melihat kemajuan yang dicapai si pendeta tahun belakangan. Mendengar suara loncengnya yang bikin pekak telinga, tentulah tenaga dalamnya sudah maju Ching Ching 354 beberapa tingkat. Dan pisau di tangannya juga gesit bergerak. Apalagi, ia dibantu Tan Hai Chong, maka Ching-ching hampir tak dapat maju. Tapi, sementara melindungi diri, ia tetap awas mencari kelengahan lawan. Susah juga, bila yang satu mundur, yang lain datang. Ia mana punya tempo" Tapi ketika yang ditunggu tiba sewaktu Hai Chong dan soe-hengnya menyerang hampir bersamaan, yang berarti secara bersamaan pula menarik serangan buat disusul yang berikut. Selagi keduanya menarik diri itulah mendadak Ching-ching melompat ke sebelah Hai Chong. Ia mengitari badan si pemuda mendekati See-chong-shak-wa, mengitar lagi lalu menendang kepala gundulnya menjadi tolakan buat poksai di udara untuk kemudian mendarat dengan dua kaki. Si pendeta dan soe-teenya sama meringis. Ternyata di lengan mereka telah terdapat satu goresan memanjang. "Ilmu siluman apa yang kaugunakan?" bentak See-chong-shak-wa yang tidak menyadari kapan mendapat luka. "Jurus Jiauw-san-coan-in (Mengitari gunung menebas mega), bukannya ilmu siluman," Ching-ching tertawa. Hai Chong tak banyak bicara. Belum habis gelak si nona, ia telah maju lagi dengan sepenuh tenaga. Soe-hengnya juga tak lama-lama, ia maju membantu. Sayangnya, Ching-ching tak gampang dikalahkan. Meski peluh mulai membasahi keningnya, ia masih tenang menghadapi lawannya. Mendadak si Pendeta Gundul menyadari, cara begini, meski dapat menang dari si nona, pastilah makan waktu dan tenaga tidak sedikit. Ia berdua boleh dikata berimbang dengan si nona. Kalau mau lekas selesai, mestilah memakai cara berbeda. See-chong-shak-wa mundur dari gelanggang. Ia berdiri saja di pinggiran sambil membunyikan keliningan. "Sa-kwa, kau lagi sembahyang supaya nanti rohmu naik ke langit?" Di antara menyerang, Ching-ching masih sempat menggoda orang. Tapi yang diajak bercakap tidak menggubris. Ia terus saja menggoyang lonceng. Makin lama makinc epat dan semakin keras. Keliningan itu mengeluarkan suara berlagu tidak karuan. Ching-ching sungguh merasa terganggu suara itu. Tindakannya jadi banyak melenceng. Sebaliknya, Tan Hai Chong yang malah jadi bersemangat. Mulai pula ia menyanyi dengan bahasa yang susah dimengerti oleh Ching-ching. Gadis itu mendelik saking heran. Lebih-lebih tindakan Hai Chong jadi ngawur, tetapi sungguh dahsyat. "Edan!" tak sadar berseru si nona. Tadi menuduh orang pakai ilmu siluman, sendirinya panggil hantu dan kesurupan! Makinya dalam hati. Gadis itu lekas bersiasat. Hai Chong jadi bersemangat semenjak kelingingan berbunyi. Jadi, pertam-tama ia mesti menghancurkan itu lonceng. Mana tahu selagi Ching-ching mencari kesempatan, si pemuda she Tan malah melihat kelemahan orang. Diangkatnya golok hendak menebas leher orang! Ching-ching merasakan kesiuran angin dingin menerpa, mengancam jiwa. Lekas ia mengalihkan perhatian pada See-chong-shak-wa dan angkat pedang guna menangkis sembari menarik badan ke belakang. Terdengar suara besi diadu, lelatu api memercik membutakan pandangan buat sesaat. Saat berikutnya,s epotong besi terpental ke tanah. Si nona merasa pedangnya menjadi terlebih enteng. Seketika ia sadar apa yang terjadi. Pedangnya telah kutung, tinggal tersisa gagang. "Pedangku!" teriaknya. "Pedang dari Yin Cie-cie. Peninggalan satu-satunya. Kau harus ganti dengan nyawamu!" Ching Ching 355 Hai Chong sedang memegang golok, mana dengar ancaman orang. Sekali lagi ia bertindak menebas. Kali ini Ching-ching tidak menghindar, malah maju dan memukul sepenuh tenaga. Terasa kesiuran angin pukulannya dahsyat memapaki golok dan malah membuat baja berat itu hampior-hampir melukai tuannya sendiri. See-chong-shak-wa lekas maju menolongi soe-teenya. Ditangkapnya lengan Tan Hai Chong merebut golok. Pemuda itu selamat dari golok, namun abang-adik seperguruan itu tak selamat dari hawa pukulan Ching-chin gyang membuat mereka terjengkang di Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tanah. Begitu terjatuh, See-chong-shak-wa telah bersiap. Sebelum Ching-ching mengirim serangan berikut, ia telah lebih dulu melempar segenggam tanah ke muka orang. Selagi si nona mengebaskan tangan mengusir debu, ia lekas menggunakan ketika buat bangkit bersama soe-teenya. Bebareng mereka menyerang si nona yang nampak belum siap. Keduanya keliru. Dalam keadaan marah, Ching-ching selalu siap membalas. Belum lagi sampais erangan orang, si nona lebih dulu mengirim pukulan susul-menyusul seperti air mengalir tanpa henti. Baik See-chong-shak-wa maupun Tan Hai Chong tak dapat menghindari satu pun dari semua pukulan itu. Dalam sesaat mereka telah babak belur. Tan Hai Chong malahan telah memuntahkan darah segar dari mulut. "Ban-hoa-lian-hoan-ciang sungguh bukan sebarang pukulan!" Satu bayangan kuning melompat keluar dari tandu, membuat Ching-ching menunda niat menghabisi si pendeta gundul. Pendeta biru dengan sikap agung melayang pelan ke hadapan Ching-ching. "Ternyata benar kau!" si pendeta agung itu terkejut melihat siapa di hadapannya. Ching-ching menjura, sekadar pura-pura. "Kita belum pernah bertemu, bagaimana dapat engkau mengenali aku dan juga jurus yang kugunakan?" Si Pendeta balas menjura dengan sikap tunduk dan separo sungkan. "Sat-kauw-sian-lie, harap kauampuni sikapku dan kedua muridku yang lancang padamu!" Begitu mendengar orang menyebut julukan, Ching-ching lantas mengerti. "Yang Agung salah mengenali orang. Tapi kalau boleh aku menanya, hubungan apa antara ibuku denganmu?" "Kiranya engkau adalah putri dari beliau. Ah, tapi Kouw-nio sungguh mirip dengan sang Bidadari Pembasmi Anjing yang gagah. Bukan salah mataku keliru orang." "Lalu, perhubunganmu dengan ..." "Kami boleh dikata berkawan. Oh ya, di mana ibumu" Apakah ia ikut bersama engkau?" "Tidak. Ibu telah pergi ke langit barat." Sejenak si Pendeta terbengong-bengong. Ia tak paham istilah yang menyatakans eseorang telah meninggal. Namun, dua muridnya yang telah bangkit berdiri membisikkan pengertian itu kepadanya. Si Pendeta Biru manggut-manggut, membuat peci tinggi di kepalanya bergoyang-goyang seperti mau jatuh. Namun, sementara ia menyatakan duka cita, segala sikap sungkannya lenyap. Ching-ching menerima pernyataan itu dengan hromat meski dia masih berwaspada lantara sekte itu adalah antek Kim-gin-siang-coa-pang. "Pandita, aku tak biasa berbasa-basi. Kedatanganku kemari sengaja hendak mengusut, apakah benar kamu orang menjadi kaki tangan Kim-gin-siang-coa-pang. Muridmu telah mengaku. Bagaimana penjelasanmu sendiri?" "Memang kami melakukan kerja sama untuk memperluas ajaran Sang Buddha. Sayang, Ching Ching 356 sebelumnya kami tak mengetahui adanya permusuhan antara mereka dengan putri Satkauw-sian-lie." "Apakah kamu orang tidak mencari tahu dulu partai macam apa Kim-gin-siang-coa-pang." "Berita yang kami dengar semuanya baik. Kiranya kami kena ditipu orang." "Kalau begitu, Pandita Agung, memandang mukaku dan ibuku, bolehkah kau putuskan hubungan dengan mereka" Aku tak hendak bermusuhan dengan kawan lama ibuku, tetapi kalau keadaan memaksa ...." "Oh, jangan salah sangka. Kawan Sat-kauw-sian-lie adalah kawanku juga, dan musuhnya adalah musuhku. Kouw-nio adalah putrinya, dapat juga menggantikan kedudukan Sian-lie di hatiku, jikalau Kouw-nio sudi berkawan denganku yang sudah tua." "Tentu saja. Semua kawan ibuku mesti pula kuhormati sebagai tetua. Terimalah salam hormat dari Lie Mei Ching!" Ching-ching melakukan basa-basi peradatan. "Jangan sungkan! Jangan sungkat!" kata si Pendeta. "Semestinyalah aku yang bangga mengenali Sat-kauw-sian-lie ibu dan anak. Apalagi putrinya kini mewarisi kegagahan dan jiwa yang luhur. Kouw-nio, menurut berit dalam, itu partai terjadi kekacauan. Pengikutnya banyak yang tewas. Andaikata itu adalah perbuatanmu, aku sungguh mengagumi." "Memang," kata Ching-ching tersiup. Ia risih terus-terusan mendapat pujian. "Aku mau semua yang bersekongkol dengan musuhku mati. Semua harus mati, tanpa kecuali." "Sungguh suatu tindakan yang berani. Betul-betul seperti Sat-kauw-sian-lie bertahun lalu." Si Pendeta mengacungkan jembol, untuk kemudian menarik napas panjang. "Sayang, beliau keburu pergi sebelum aku sempat memenuhi janji mengasi lihat pusaka negeri kami." "Pusaka apa?" tanya Ching-ching. "Maafkan, aku terlalu lancang." "Tak apa. Tak ibunya melihat, putrinya toh dapat mewakili." Pendeta itu mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya yang amat lebar. "Inilah kotak mestika kami." "Kecil betul." Ching-ching mengamati kotak segienam yang mungil itu. seperti anak-anak, rasa ingin tahunya segera muncul dan lantas ia merengek pada si Pendeta. "Apa isinya" Boleh dilihat?" "Silakanlah!" Dengan rasa ingin tahu, si Nona membuka itu kotak pelan-pelan. Apa isinya" Ia bertanya-tanya. Mutiara" Batu giok" Berlian" Kotak terbuka lebar. Segulung asap segera menyambar wajah Ching-ching. Sebelum si nona sadar apa yang terjadi, badannya telah lemas dan limbung, jatuh ke tanah! Lie Wei Ming tengah mengawasi latihan da muridnya, In Sioe Ing dan Chia Wu Fei. Terutama muridnya Wu Fei itu, yang baru saja berlatih setelah sekian lama tak berdaya. Di samping sang guru besar, berdiri Tabib Yuk turut mengawasi. In Sioe Ing menunjukkan kemajuan besar. Lie Wei Ming tampak puas. Namun, tidak demikian dengan Wu Fei. Pemuda itu banyak berbuat kesalahan, meski dalam jurus-jurus yang pernah ia kuasai sekalipun. "Cukuplah!" terdengar suara Lie Wei Ming. "A-fei, tak ada gunanya kau berlatih kalau tidak memusatkan perhatianmu." Chia Wu Fei menyarungkan pedang. Ia tak menyahuti ucapan gurunya. "Mana semangat kamu" Percuma latihan kalau kau tak ada semangat dan kemauan. Apakah kau suka menjadi orang bercacad selamany?" Ching Ching 357 "Memang aku murid tiada guna!" Wu Fei melempar pedangnya ke tanah. "Angkat senjata juga tak becus. Buat apa aku susah payah belajar" Melindungi diri sendiri juga tak sanggup, malah membawa siap kepada orang yang menyelamatkanku!" Habis berkata, dengan langkah yang menunjukkan kegusaran, pemuda itu pergi meninggalkan semua tanpa berpamitan.Soe-tee!" In Sioe Ing menegur. Ia hendak mengejar, namun dihalangi oleh Tabib "Yuk. "Biarlah dia sendirian dulu barang sebentar. Kurasa kita terlalu cepat memaksa dia berlatih. Kesehatan dan tenaganya belum pulih betul. Bukan kesalahannya kalu tidak sempurna memainkan senjata." "Kemarin-kemarin justru dia yang minta dilatih buru-buru supaya dapat lekas keluar dari sini. Kenapa sekarang justru tak ada semangat?" Lie Wei Ming mengerutkan alis. "Dan sikapnya tadi, tak dapat dibilang sopan!" "Sioe Ing, kau tahu sesuatu?" Melihat roman muka In Sioe Ing, Tabib Yuk lantas menanya sebab. "Soe-tee jadi begitu semenjak mendengar kabar dari kalangan Kangouw yang menyebutkan seorang nona banyak membantai orang-orang persilatan dengan kejam. Menilik berita, kami menduga si nona tak lain adalah Ching-ching yang membalas dendam keluarga pada sebarang orang. Soe-tee tak habis menyalahkan diri sendiri. dalam pikirnya, andaikata Ching-ching tak diusir, ia tak akan menjadi sedemikian gegabah!" "Rupanya begitu!" Sejenak ketiga orang itu termenung. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri, namun tak hendak mengutarakannya pada orang lain. Keheningan di situ buyar oleh datangnya seorang murid membawa kabar. "Soe-hoe, Toa-soe-heng telah datang." Baru saja kata habis diucapkan, telah muncul pula Miauw Chun Kian ke hadapan mereka. Romannya tidak mengunjuk kegembiraan. Mestilah kabar yang dibawanya bukan kabar yang baik. "Soe-hoe, Soe-siok," Miauw Chun Kian menghormat. "A-kian, kau baru saja datang. Mengasolah dulu, setelah itu baru menghadap." "Tee-coe tidak sebegitu lelah. Di samping itu juga, ada satu berita yang mesti disampaikan segera." "Di sini tak ada orang luar. Kau boleh katakans egera," kata gurunya. "Tapi, mana Yuk Lau?" "Soe-tee sekarang ini berada di Ban-tok-lim bersama-sama dengan Wang Kong-coe dan Thio Kouw-nio serta Khoe Kouw-nio." "Engkah dari sana" Bagaimana keadaan Khoe Kouw-nio" Apakah masih berduka?" "Telah lewat 100 hari, masa berkabung sudah lewat. Akan tetapi, ia masih berat meninggalkan tempat yang telah rata dengan tanah itu." Lie Wei Ming manggut-manggut. Di kalangan pesilat, satu berita lekas tersebar. Kabar mengenai musnahnya Ban-tok-pang juga telah sampai. "Dan bagaimana keadaan Ching - Pek-eng-pay?" "Tak jauh beda. Sewaktu tiba, Tee-coe cuma menemukan beratus kuburan. Rumah keluarga Lie telah habis dimakan api." "Ching-ching bagaimana?" Tabib Yuk tak sabar hendak mendengar kabar mengenai cucu angkatnya. "Di peerjalanan Tee-coe bertemu dengan dua gadis yang mmengenakan baju berkabung serta menggunakan pula Pek-eng-kiam-soet." Miau Chun Kian lantas menceritakan pengalamannya. Ching Ching 358 "Untunglah kalau dia selamat!" kata Tabib Yuk setelah mendengar seluruh cerita. "Akan tetapi, kau tidak melihat wajahnya?" Lie Wei Ming menegaskan. "Dari suara dan gerak-geriknya, Tee-coe hampir yakin itulah dia. Akan tetapi, dari perbuatannya...." "Baiklah. Semuanya sudah kudengar. Kau istirahatlah. Setelah segar nanti, aku hendak membicarakan sesuatu." "Soe-hoe, ada satu hal lagi. Tee-coe sempat mendengar mengenai pertemuan pendekar di Tempat dua-tiga bulan mendatang. Seluruh partai golongan putih diharap datang buat membicarakan cara membasmi Kim-gin-siang-coa-pang yang mulai bertindak kelewat batas." "Soal ini juga sudah sampai. Itu pula yang akan kita bincangkan nanti." "Kalau begitu, baiklah Tee-coe mohon diri." Miauw Chun Kian pamit. "Tee-coe juga hendak undur," kata Sioe Ing. Kedua saudara seperguruan itu kemudian beriringan pergi. Sioe Ing sengaja ikut mohon diri untuk mengadu kepada soe-hengnya mengenai Wu Fei. Namun, yang pertama kali ditanyakan tentulah mengenai Wang Lie Hay. "Ia baik. Thio Kouw-nio dan Khoe Kouw-nio mengurusnya dengan baik. Ah, tidak. Sebenarnya dia itu yang mengurus Khoe Kouw-nio dengan telaten." "Khoe Kouw-nio" Kusangka Hai-ko lebih perhatian kepada Thio Lan Fung?" "Soal begitu aku tak mengerti. Tapi anehnya, sikap Khoe Yin Hung begitu berubah. Kerjanya seharian cuma sembahyang ke pusara neneknya dan berlatih pedang. Lupa makan, lupa tidur, kalau saja tak diingatkan Wang Lie Hay. Herannya lagi, semasa aku di sana, Khoe Kouw-nio tampak segan bertemu Wang Kong-coe." "Kenapa begitu" Apakah lantaran terlalu terpukul?" "Bisa jadi. Tapi kau mesti bergirang buat soe-hengmu, sebab kini Khoe Kouw-nio lebih memperhatikan dia ketimbang kepada Wang Kong-coe." "Itu bagus. Pantas saja Sam-soe-heng enggan pulang." "Bagaimana kabarnya di sini" Siauw-soe-tee apakah sudah lebih baik?" "Justru itu yang membuatku berkuatir. Semangatnya mendadak terbang entah ke mana berapa hari ini. Kuharapkan Soe-heng dapat menasihati dia. Aku sendiri tak sanggup. Tapi, baiknya Soe-heng beristirahatlah dulu. Soe-tee tak akan bertindak terlalu jauh." "Lebih baik - " "Soe-siok yang bilang supaya membiarkan dulu beberapa lama." Chun Kian tak membantah lagi. Apa pula badannya sudah penat, maka ia pergilah beristirahat. Di lain tempat, Khoe Yin Hung tengah tekun berlatih. Yuk Lau menemani, sedangkan Wang Liw Hay cuma mengawasi dari kejauhan. Ia bukan tak tahu kalau si pemuda she Yuk menaruh hati kepada Khoe Yin Hung. Dan tampaknya kini Khoe Yin Hung juga mulai menyukai Yuk Lau. Semestinya Wang Lie Hay merasa gembira. Kini gadis-gadis yang sering meminta perhatiannya berkurang lagi. Namun, dalam hatinya ia ada merasa kehilangan juga. Ada sedikit rasa tak suka melihat akrabnya Yuk Lau dengan Yin Hung. "Kau lihat apa?" mendadak saja Thio Lan Fung telah berdiri di hadapannya. "Apakah sepasang manusia di sana" Tak usah mengiri. Bukankah masih ada aku di sini" Selama ada aku, kau tak akan kesepian." "Aku tidak mengiri," Wang Lie Hay tertawa. "Lebih bagus kalau kau mengiri. Sudahlah, biarkan kedua orang itu. mari kita jalan-jalan. Sayang kalu hari cerah ini dilewatkan di dalam rumah." Akan tetapi, pasangan itu tetap saja tak sempat berdua-dua. Ketika keluar dan Ching Ching 359 melewati mereka yang sedang berlatih, Yuk Lau menegur duluan. "Kalian hendak ke manakah?" "Kami akan cari hawa segar. Mau ikut?" ajak Lie Hay. "Boleh juga. Siauw Hung, bagaimana?" "Aku masih ingin latihan." "Jangan memaksa diri. Engkah sudah latihan semenjak pagi buta. Nanti kau keburu bosan." "Ya baiklah," Khoe Yin Hung menyetujui. Di pinggir si pemuda she Wang, Thio Lan Fung cemberut. Ia tak suka ada orang lain pada saat kepingin berduaan dengan pujaannya. Sebaliknya, Lie Hay sungguh lega dua kawannya yang lain mau ikut. Sewaktu menuruti ajakan Lan Fung tadi, ia merasa sedikit berdosa pada Ching-ching. Tapi, lantaran Yuk Lau yang terhitung saudara dan Yin Hung sahabat Ching-ching, dosanya seolah sedikit terhapuskan. Dua pasang muda-mudi itu berjalan tanpa berkata-kata. Entah kenapa lidah mereka mendadak kelu dan seolah asing satu dengan yang lain. Padahal, beberapa hari ini mereka selalu bersama dan dapat mengobrol secara biasa. Namun, kebisuan mereka tak berlangsung lama. Selagi berjalan, Yuk Lau melihat bayangan orang sekelebatan. Tapi dalam waktu singkat itu ia telah dapat mengenali orang. "Itu kawan Ching-ching yang kulihat tempo hari!" "Nona yang kauceritakan itu?" Lie Hay memastikan. "Benar! Ching-ching mestinya ada bersama dia." "Tapi kenapa kita tidak lihat?" "Mana tahu si nona dikirim sebagai penunjuk jalan. Marilah kita kejar!" Wang Lie Hay dan Yuk Lau mendului. Lan Fung dan Yin Hung yang gin-kangnya cuma tingkat lumayan ketinggalan sedikit, tapi masih dapat mengikut. Lagipula, keempatnya tak usah terlalu jauh mengejar, lantaran orang yang di depan juga tidak berilmu tinggi. "Kouw-nio, harap tunggu!" seru Yuk Lau. Si nona yang tahu dikejar malah mempercepat langkah. Namun, tak ada guna, sebab Lie Hay keburu menyandak. "Nona, kami tak ada maksud jahat. Harap kau jangan salah paham." "Kamu orang mau apa?" dengan galak si nona bertanya. Tangannya sudah siap melolos pedang. "Kami mencari seseorang." "Apa hubungannya denganku?" "Namanya Ching-ching," Yuk Lau tak sabar. "Kira-kira tiga bulan lewat aku melihat engkau ada bersamanya." "Di mana dia sekarang?" tanya Wang Lie Hay. "Hubungan apa kau dengan Majikan?" "Kami adalah kawannya," kata Lie Hay. "Bahkan Kong-coe ini terhitung saudara angkatnya." A-ping mengawasi barang sejenak. Pada saat yang sama Lan Fung dan Yin Hung menyusul. Melihat kedua nona itu, mendadak saja muka A-ping menjadi cerah. "Jie-wie Kouw-nio! Ah, tentu saja. Aku ingat sekarang. Kalian pernah datang sewaktu pertemuan beberapa bulan lalu." "Dan kau. Bukankah pelayan Lan Kouw-nio?" Khoe Yin Hung juga tidak melupakan orang. "Itulah aku." Roman muka A-ping berubah sewaktu nama nonanya disebut. Ching Ching Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 360 "Sekarang nonamu di mana?" tanya Yuk Lau. "Nona sudah ke Langit Barat." "Ching-ching" Tak mungkin!" "Yang kumaksud adalah nonaku Lan Sioe Yin," A-ping buru-buru meluruskan. "Soal Siauw-sio-cia, aku telah berpisah. Dua hari lalu tepat sebulannya." "Baiknya kita pulang dulu dan baru tukar pengalaman," potong Lie Hay. Maka, semua pulang ke pondok. Di sana A-ping diminta menceritakan segala apa yang terjadi semenjak Pek-eng-pay diserang orang sampai ke sepak terjangnya bersama Ching-ching. A-ping menceritakan semua dengan jujur, kecuali bahw nonanya ada hubungan dengan tuan muda kedua Kim-gin-siang-coa-pang. Pelayan itu merasa masih harus melindungi nama baik nonanya. "Jadi, semenjak Ching-ching ke Sin-chio-pang, ia tak ada memberi kabar lagi?" "Ya. Padahal, Siauw-sio-cia sudah berjanji akand atang pada waktu tepat sebulan." "Begitu. Sudah lewat dua hari. Biasanya Ching-ching tak pernah begitu lambat aku kuatir ..." "Daripada kita berkuatir di sini, lebih baik kita mencari kabar ke Sin-chio-pang. Bagaimana?" usul Yuk Lau. "Begitu pun baik. Kita berkemaslah. Esok siang kita berangkat!" Lie Hay memutuskan. "Siauw Hung, kau ikut?" tanya Yuk Lau. Sejenak Khoe Yin Hung ragu. Ia menguatirkan keselamatan kawannya itu memang, tapi ia juga tak kepingin bertemu dengan Ching-ching. "Bagaimana?" tanya Wang Lie Hay. "Baiklah," kata Yin Hung dengan berat hati. Ia juga tak kepingin tinggal sendiri. Perjalanan ke Sin-chio-pang tak seberapa jauh, cuma makan waktu sepuluh hari perjalanan. Namun, rombongan yang datang ini lebih terkecewa ketika pemimpin partai yang baru mengatakan yang dicari tak ada di sana. "Beberapa waktu lalu memang ada satu nona mengacau di sini dan membunuh ketua kami. Kalau tak salah, lantaran Houw Sian-pang-coe mengadakan hubungan dengan satu partai sesat. Inilah suatu fitnah dan penghinaan besar terhadap partai kami. Kalau Coe-wie adalah kawan-kawan si nona, mohon maaf, kami tak dapat menganggap sebagai sahabat." Wang Lie Hay menatap tajam si ketua. Pemimpin muda itu baru 20-an tahun, mana dapat ia langsung dipilih menjadi ketua" Dalam hati Lie Hay ingin bertanya, namun tak jadi lantaran hal demikian amatlah tidak sopan. Namun, si pang-coe muda lekas maklum keinginan orang. Tidak diminta, ia lantas menceritakan bahwa justru Ching-ching yang mengangkat dia jadi pemimpin. "Dalam adat kami, tanda ketua cuma boleh dipegang oleh pemimpin, untuk kemudian diteruskan langsung kepada penggantinya tanpa perantara tangan orang lain. Yang bukan ketua, menyentuh pun tak boleh. Kalau terpaksa sekali, mesti dibungkus selapis penghalang, baru boleh dipegang. Aku telanjur menerima, orang lain tak berani membantah. Namun, si nona bukan dari partai kami, tak berniat pula menjadi ketua, tapi berani memegang dengant angan telanjang. Tanda ketua kami menjadi cemar dan baru dapat suci kalau dibasuh darah orang yang mencemarkan." Pemuda itu menghela napas. "meski telah diangkat ketua juga lantaran kawan kalian, aku tak merasa berterima kasih. Malah di pundakku kini ada beban bahwa aku harus menyucikan itu tanda." Yuk Lau dan Lie Hay terperanjat. Berarti secara tidak langsung, ketua partai Ching Ching 361 menyatakan dendamnya pada Ching-ching dan berniat membunuhnya. "Antar tamu keluar!" mendadak si ketua muda berseru. Itulah satu pengusiran halus yang telah membungkam mulut tamu-tamunya yang ingin bertanya lebih jauh. Si ketua muda itu malah lebih dulu meninggalkan tempat. Maka, tamu-tamunya tak dapat berbuat lain daripada keluar dari markas Sin-chio-pang. Namun, belum berapa jauh mereka meninggalkan gedung, satu benda melayang ke dekat Wang Lie Hay. Ternyata adalah sebuah surat yang diikatkan ke batu. Lie Hay yang cepat menangkapnya segera membaca surat tersebut. Mendengar dua pendeta disebut-sebut. Yang kalian cari menuju ke kota Kong-an. Wang Lie Hay tersenyum meremas surat itu. "Ching-ching tak salah pilih orang. Aku yakin segala urusan bisa beres dengan menggembirakan di hari kemudian. Sekarang, baiknya kita melanjutkan perjalanan ke Kong-an." Kota Kong-an adalah satu kota yang ramai. Banyak barang yang diperjualbelikan, tak sedikit restoran dengan menu makanan yang merwah, namun yang membuat heran rombongan muda ini adalah begitu banyak pendeta asing berpakaian aneh. Pendeta yang manakah yang disebutkan dalam surat tempo hari" "Hai-ko, aku sudah lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu?" rengek Lan Fung. "Ya, memang sudah waktunya makan," Lie Hay setuju. Mereka pun masuk ke salah satu rumah makan yang paling dekat. Memilih meja untuk enam orang yang tidak jauh dari jendela supaya dapat melihat-lihat, mereka duduk dan memesan mkanan. Selagi menanti datangnya pesanan, mereka bercakap-cakap. Tahu-tahu percakapan mereka terhenti. Mereka merasa suasana di ruangan itu berubah. Semua orang melihat ke pintu dan buru-buru berdiri sembari mengangguk hormat. Secara serempak empat pendekar muda itu menoleh ke pintu. Di sana berdiri dua orang pemuda gagah. Yang seorang bermuka tegas dan dingin. Mereka tidak mengenalnya, tapi pemuda di sebelahnya pernah mereka temui. Tak salah lagi, pemuda yang bersarung tangan keperakan itu adalah Chow Fuk. Yuk Lau buru-buru membuang muka begitu mengenali siapa yang datang. Sedapat-dapatnya ia memalingkan wajah supaya tak dikenali orang. Untung dua orang muda yang baru datang itu cuma melirik sekali kepada mereka. Selanjutnya si pemilik rumah makan tergopoh-gopoh menyambut sehingga keduanya tak sempat menaruh perhatian lebih banyak. Selama makan, Yuk Lau tak banyak bercakap. Melihat Chow Fuk membuat mangkal betul. Ia juga tak suka melihat kawannya. Pasti bukan orang baik-baik, begitu pikirnya. "Kita sudah sampai di kota ini, selanjutnya apa?" tanya Lan Fung sekeluarnya dari rumah makan. "Pertama-tama tentulah mencari tempat menginap," sahut Lie Hay. "Kita mesti menyelidiki keadaan kota dan itu makan waktu berhari-hari." "Kebetulan," kata Lan Fung. "Aku juga kepingin pergi melihat-lihat." "Asal jangan lupa pasang mata dan telinga buat mencari tahu mengenai Ching-ching," gumam Lie Hay. "Di situ ada penginapan. Baiklah kita ke sana." Rombongan kecil itu menuju ke penginapan yang ditunjuk Wang Lie Hay. Begitu mereka datang, langsung disambut seorang pelayan. "Kong-coe dan Kouw-nio mau menginap" Benar tidak salah pilih, penginapan ini adalah yang terbaik di kota Kong-an. Kami menyiapkans egala apa mulai air mandi, makan enak dan hiburan, tak heran banyak orang memilih tempat - " "Kami butuh lima kamar," kata Lan Fung tak sabar. "Empat yang terbaik!" katanya mengerling A-ping. Ching Ching 362 Gadis itu diam saja. Ia menyadari dirinya yang berkedudukan lebih rendah. "Berapa lama Kong-coe dan Kouw-nio mau menginap?" "Selama kami mau! Urusan apa dengan kau" Yang penting kami bisa bayar!" Pelayan itu cemberut dibentak-bentak, tapi ia tak berkata apa-apa. Lie Hay melihat ini dan merasa tak enak hati. Ia mengeluarkan sepotong uang perak dan menyodorkannya kepada si pelayan. "Kami sudah lelah dan butuh kamar supaya dapat segera beristirahat," katanya dengan nada memohon maaf. Si pelayan lantas saja mengambil potongan uang itu dengan sikap senang. "Tentu, tentu. Marilah, mari masuk!" Si pelayan mengantar kepada pemilik penginapan. Setelah mengurus sedikit hal-hal yang perlu, ia pun mengantar ke kamar. A-ping mendapat satu kamar yang sederhana, tapi cukup rapi dan bersih. Yang lain-lain tentu saja mendapat kamar yang lebih mewah. "Ini kamar-kamar yang cocok buat pendekar-pendekar seperti Kong-coe dan Kouw-nio," kata si pelayan seraya melirik senjata di tangan tamu-tamunya. "Banyak pendekar menginap di sini dan tidak merasa kecewa." "Di antara pendekar-pendekar itu, adakah seorang nona muda yang gagah?" Lie Hay mencari tahu, barangkali Ching-ching pernah menginap di situ. "Wajahnya cantik dan, eh, agak galak." "Oh, ada ... ada. Nona itu galak dan suka mencari ribut." "Yah." "Orangnya tidak tinggi, tidak pendek, dan lihay?" "Itulah dia." "Kouw-nio itu teman Coe-wie?" si pelayan nampak sangsi. "Ia mencari ribut dengan pendeta di sini, kemudian hari berikutnya ia pergi meninggalkan kamar yang berantakan. Ia pergi begitu saja tanpa membayar." Kelima tamu itu saling berpandangan. "Kau tak tahu apa yang terjadi padanya?" "Dia ... yah ... mungkin ...." Pelayan itu nampak ragu. Ia melongok ke kanan-kiri sebelum berbisik. "Barangsiapa ribut dengan pengikut Pandita Agung mestinya tidak selamat!" Kelima tamu itu terdiam. "Kapan ... kapan itu kejadiannya?" tanya Yuk Lau setelah beberapa lama. "Hmm ..." si pelayan mengingat-ingat, "sudah cukup lama ... mmm ... tiga bulan lalu kira-kira. A-ping menghembus napas lega. "Bukan Siauw-sio-cia!" katanya. "Tiga bulan lalu dia masih bersama denganku." "Selain dia, adakah nona yang lain menginap?" Si pelayan menggeleng. "Jarang ada gadis menginap sendirian di sini. Biasanya dikawal pelayan atau datang bersama orangtuanya yang pedagang. Paling banyak menginap adalah pendekar-pendekar yang pedangnya besar-besar atau para pedagang." "Yah, terima kasih. Ini buatmu!" lagi-lagi Lie Hay memberi sepotong perak, membuat si pelayan girang dan segera pergi setelah mengucap terima kasih. "Kiranya Ching-ching tak pernah ke sini. Sia-sia kita ke mari!" Lan Fung menggerutu. "Ini bukan satu-satunya penginapan. Dia bisa di mana saja." "Pandita Agung," Yuk Lau menggumam. "Ketua Sin-chio-pang menyebut-nyebut pendeta. Mungkinkah pengikut si Pandita" Dan kata pelayan tadi, barangsiapa bikin ribut dengan mereka susah selamat. Mungkinkah Ching-ching ...." "Kita mesti cari tahu soal pendeta-pendeta ini. Itu sudah jelas," kata Lie Hay. Ching Ching 363 "Cara paling mudah adalah dengan keluyuran di jalan dan mencari tahu dari pedagang di jalan," usul Lan Fung. "Boleh juga," Lie Hay setuju. "Kita pencar supaya mudah," lagi-lagi Lan Fung yang punya usul. "Aku dan Hay-ko ke utara. Sebelum gelap, kami sudah pulang!" Gadis itu menarik tangan Lie Hay dan lantas pergi. "Sebaiknya kita bertiga jangan pencar," kata Yuk Lau pada Yin Hung dan A-ping yang setuju saja. Mereka lantas jalan bertiga. A-ping berjalan agak di belakang, seperti juga menjadi pelayan Yin Hung. Gadis itu tak tahu harus bagaimana, begitu pula Yuk Lau dan Yin Hung, sama-sama canggung. Di perjalanan tak ada dari mereka membuka percakapan. Tiba di satu belokan, mendadak Yuk Lau terperanjat. Tak jauh di depan mereka, mendatangi dua orang yang mereka lihat tadis siang. Chow Fuk dan kawannya. Tapi, kali ini Yuk Lau tak mungkin menghindar. Chow Fuk terang telah melihat dia. "Eh, Siao Hung, lihatlah jepitan rambut yang itu. tampaknya cocok buatmu!" Dalam bingung, Yuk Lau menarik Yin Hung ke tukang menjual perhiasan. Yin Hung terheran-heran. Tak biasanya Yuk Lau menunjuk satu barang dengan begitu semangat, tapi ia menanggapi. "Yang mana?" "Yang mana yang kau suka?" Yin Hung tambah kebingungan. Hanya untuk menyenangkan Yuk Lau saja ia berlagak memilih. Yuk Lau mencuri pandang ke arah Chow Fuk. Ternyata pemuda itu juga sedang mengawasi dari sebelah sana, sembari pura-pura memilih di tukang kipas. Namun, pemuda she Chow itu lekas mengalihkan pandangan dan tawar-menawar. Akhirnya ia membayar kipas itu dan melanjutkan perjalanan melewati tukang perhiasan. Lewat begitu dekat sampai hampir menabrak. Yuk lau tentu menghindar dengan bercuriga. Namun, jadinya justeru ia menabrak A-ping yang berdiri di belakang sampai sempoyongan hampir jatuh. Chow Fuk menahan punggung A-ping dengan kipasnya. Sebagai seorang pemuda, ia cukup hati-hati untuk tidak menyentuh gadis. "Tidak apa-apa?" tanya Chow Fuk. "Tidak," jawab A-ping gugup. Chow Fuk berjalan lagi seperti tak terjadi apa-apa. Yuk Lau memandang heran. Apa maksud pemuda itu" "A-ping, kau bagaimana?" tanya Yin Hung. "Saya baik, Sio-cia." "Salahku kurang hati-hati," kata Yuk lau minta maaf. "A-ping, apa itu di pinggangmu?" Yin Hung berkata. Si gadis pelayan meraba pinggangnya. Di sana terselip kipas kertas. "Bagaimana bisa ...?" A-ping keheranan. "Barangkali kong-coe yang tadi ..." Begitu gadis itu mengambil kipas yang disangkutkan ke ikat pinggangnya, tulang-tulang kipas yang dari kayu itu patah. Kipas terkebas, jatuh ke tanah. Sekilas Yuk Lau melihat huruf Ching berwarna merah. Darah! Pemuda itu segera memungut dan membukanya dengan hati-hati. Ia terkejut melihat kipas kertas itu. di antara gambar pemandangan yang dilukis, terdapat huruf-huruf merahyang ditulis secara cepat-cepat. Huruf-huruf itu agak pudar lantaran tinta darah yang belum kering, namun masih terbaca kalimat Ching-ching. Pondok merah. Kamar biru. "Kita segera kembali ke penginapan!" kata Yuk Lau. Ching Ching 364 Tiba di penginapan, barulah Yin Hung berani bertanya ada apa. ia tak sempat mlihat huruf-huruf di atas kipas. Saat itu baru Yuk Lau menunjukkan kepadanya. "Dia pasti sesuatu mengenai Gie-moay," kata Yuk Lau. "Dia siapa?" "Ingatkah sewaktu pertemuan besar di Pek-eng-pay, seorang dari anak buah Kim-gin-siang-coa-pang disebut Gie-toa-ko oleh Ching-ching?" "Ya?" "Itulah dia." "Ah, aku tak ingat rupanya. Tapi, pastikah kong-coe yang tadi itu?" "Itulah dia." "Dia menulis Pondok Merah. Kamar biru. Apa maksudnya?" "Nama tempat, bisa jadi." "Tempat apa" Di mana?" "Barangkali bisa kita tanya si pelayan." Yuk Lau mencari pelayan yang kemarin itu. "Ada perlu apa, Kong-coe?" "Apakah kau tahu tempat yang namanya Pondok Merah?" Mendadak si pelayan cekikikan. "Tahu, Kong-coe. Hi-hi-hik. Kong-coe mau ke sana" Nanti saja kalau sudah gelap." "Eh?" Yuk Lau terkejut. "Nanti saya antar. Jangan kuatir, mulut saya biasa disumpal. Nona tak bakal tahu!" "Nona apa yang tak bakal tahu!" mendadak Lan Fung sudah berada di situ bersama Lie Hay. "Eh, ini, nonanya tuan ... itu ... eh, saya banyak pekerjaan!" Si pelayan hendak kabur. "Tidak boleh pergi!" bentak Lan Fung. "Ini ada apa?" Lie Hay bertanya. "Aku menanyakan tempat, dan mendadak dia ngaco-belo tak karuan," sahut Yuk Lau bingung. "Tempat apa?" "Pondok Merah." Mendadak si pelayan cekikikan, tak peduli pada Lan Fung yang mendelik. "Kenapa" Apa kau tertawakan?" tanyanya galak. "Hi ... hi ... hi ... Kong-coe ini ... sebaiknya Sio-cia tidak tanya." Makhluk Jejadian 3 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Keris Peminum Darah 2

Cari Blog Ini