Ching Ching 12
Ching Ching Karya ??? Bagian 12 "Kenapa tidak boleh tanya" Hayo bilang! Kupatahkan tanganmu kalau kau tidak terus terang." "Tuan ini tanya Pondok Merah." "Lantas?" Yuk Lau masih tak mengerti. "Tuan betul tak tahu?" giliran si pelayan keheranan. "Itu tempat pelesiran. Banyak nona-nona cantik. Yuk Lau merah mukanya, tak dapat berkata-kata. "Aku tak tahu!" katanya lirih. "Sebaiknya dibicarakan di dalam," kata Lie Hay. Di dalam kamar Yuk Lau menceritakan segala sesuatunya dan memperlihatkan kipas itu. "Aku ingat," kata Lie Hay. "Saudara angkat Ching-ching itu, yang jadi pengikut Kim-gin-siang-coa-pang. Rupanya ia tahu tujuan kita kemari dan punya kabar mengenai Ching-ching." "Kiranya begitu. Lantas apa yang kita lakukan sekarang?" "Ke Pondok Merah. Apa maksudnya" Apakah Ching-ching di sana?" kata Lan Fung. Ching Ching 365 "Tak mungkin!" Yin Hung, Yuk Lau, Lie Hay, dan A-ping segera membantah. "Paling-paling kita menemui salah seorang yang punya berita." "Aku kuatir ini jebakan. Mungkin Ching-ching ada pada mereka dan mereka mau menjebak kita juga," kata Yuk Lau bercuriga. "Bagaimanapun, kita harus datang dulu ke Pondok Merah!" "Aku ikut!" seru Lan Fung. "Tapi - " "Aku akan menyaru laki-laki." "Kita pergi semua saja, untuk jaga-jaga," sahut Yin Hung. "Justru tak dapat. Seorang harus tinggal. Kalau yang lain tak kembali, ia mesti melapor kepada Soe-hoe atau yang lain," kata Yuk Lau. "Ini pekerjaan bahaya," kata Lie Hay. "Aku dan Yuk Lau saja yang pergi." "Tidak!" Lan Fung berkeras. "Aku mau ikut!" "Jangan!" "Pokoknya ikut!" "Aku tak mau repot nanti!" Lie Hay berkata dingin. Lan Fung diam. Kalau sudah begitu, ia tak berani membantah. Setelah sepakat, Yuk Lau dan Lie Hay pergi ke Pondok Merah diantar oleh si pelayan penginapan. Tempat yang dinamakan Pondok Merah itu benar-benar ramai. Bukan cuma orang muda yang datang, beberapa di antaranya sudah cukup berumur, tapi semua punya tujuan yang sama. Mencari kesenangan! Seumur hidupnya Yuk Lau dan Lie Hay belum pernah datang ke tempat beginian. Mereka ada pemuda baik-baik yang menjunjung tinggi moral dan kehormatan. tak heran mereka begitu risih dan sedapat-dapatnya menghindari gadis-gadis yang mendekati mereka. Seorang nyonya yang melihat betapa kikuk kelakuan mereka segera dapat menduga bahwa ini adalah pertama kali dua orang muda itu datang. Ia lekas mendekat. "Jie-wie Kong-coe, apakah sudah ada kenalan khusus di sini" Atau barangkali perlu dipanggil beberapa orang supaya dapat memilih?" "Eh, tidak ... kami tidak bermaksud untuk itu," Lie Hay terbata. "Eh, adakah di sini yang namanya kamar biru?" Yuk Lau langsung bertanya. Roman si nyonya berubah. "Jie-wie Kong-coe sudah ditunggu. Tapi saya mendapat pesanan cuma mengantar satu orang saja." "Baiklah, kau yang ke sana," kata Lie Hay. "Aku lebih suka menunggu di luar, di seberang jalan." "Kalau Kong-coe berkenan, boleh meminjam kamar di sebelahnya," kata si nyonya genit. Lie Hay memikirkan keselamatan Yuk Lau. Kalau benar dugaannya bahwa ini semua adalah satu jebakan, tentu ia harus ada di dekatnya supaya dapat segera membantu. "Baiklah. Aku akan menyewa kamar di sebelah kamar biru. Tapi aku mau sendirian!" "Terserah Kong-coe saja." Si Nyonya lantas mengantar dua tamunya ke kamar masing-masing. Yuk Lau masuk ke kamar yang disebut kamar biru. Nama yang cocok buat kamar itu sebab semua benda di sana dicat biru. Kursi, meja, tirai, dan lukisan-lukisan pemandangan laut, semuanya memberi warna biru. "Selamat datang, Yuk Kong-coe," sebuah suara halus menyambutnya. Yuk Lau melihat seorang gadis berbaju biru menghampiri. Tiap kali ia melangkah, tercium bau yang semerbak. "Eh, maafkan, aku tak tahu ada orang lain di sini. Kusangka ..." Yuk Lau mundur Ching Ching 366 dua langkah. "Kau tak usah ketakutan begitu. Aku tidak menggigit," si nona tertawa. "Aku tahu kau mengharap menjumpai Ciang Toa-ko. Baiklah kuantar ke sana." Nona itu mendekat ke tempat tidur. "Marilah!" Yuk Lau ragu-ragu mengikuti, tapi ketika si nona naik ke tempat tidur, ia berhenti. "Kouw-nio ... saya ada urusan penting. Sebaiknya ..." "Kau jangan menyangka yang tidak-tidak," kata si nona. "Di bawah tempat tidur ada jalan, tapi kau mesti naik dulu supaya sampai ke sana." Yuk Lau tidak melihat niat jahat pada wanita itu. pemuda tersebut lantas saja ikut jejak si nona. Begitu ia duduk di tempat tidur, tahu-tahu pembaringan itu seperti amblas ke dalam tanah. Mereka turun terus. Yuk Lau tak dapat melihat apa-apa sampai kemudian ada satu cahaya dan mereka berhenti. Si nona turun dari pembaringan. Yuk Lau buru-buru mengikuti di belakangnya. Mereka melewati lorong dengan beberapa pintu. Si nona masuk ke salah satunya dan mempersilakan Yuk Lau. "Ciang Toa-ko, tamumu sudah datang." "Terima kasih, Lan-moay," Chow Fuk berkata ramah. "Kalian tentu ingin berckap-cakap. Lebih baik kutinggalkan. Kalau ada apa-apa, panggil saja." Si nona meninggalkan mereka. "Gie-tee, apa kabarmu?" sapa Chow Fuk dengan muka girang. Yuk Lau tak menjawab sapaan itu. ia menatap tembok di sebelah belakang Chow Fuk. "Aku tak punya waktu berbasa-basi. Kedatanganku cumamau menanyakan keadaan Ching-ching kalau engkau mengetahui." "Sebetulnya aku ingin urusan kita terselesaikan lebih dulu," kata Chow Fuk. "Kita masih saudara, bukan?" "Aku tak punya saudara dari golongan hitam!" sahut Yuk Lau. Chow Fuk tertawa kecewa. "Sudah kuduga," katanya. "Kau tak mau mengampuni aku. Pastilah kau anggap aku ini tukang jagal yang kejam tiada dua." "Orang partai Kim-gin-siang-coa mana ada yang baik." "Ha ... ha ... Gie-tee, coba aku menanya padamu. Seumur hidupmu, berapa orang sudah kaubunuh?" "Yang kubunuh cuma orang-orang jahat. Dan jumlahnya pasti lebih sedikit dari pendekar-pendekar yang mati di tanganmu!" "Hebat, Gie-tee. Rupanya kau belum pernah memutuskan hidup orang sebab orang yang pernah mati di tanganku cuma satu dan dia bukan pendekar!" Yuk Lau mendelik kaget. Betulkah Chow Fuk tak pernah membunuh orang lain" "Hmmph, kau mau aku percaya ocehanmu?" "Aku memang gemar mengoceh, tapi tak suka berbohong. Memang tanganku beracun, aku sadari itu. makanya, aku tak sembarang mempergunakan. Pertama kali aku melepas sarung tangan adalah sewaktu Soe-hoe menyuruh aku melawan muridnya tertua yang tangannya sama beracun. Racun di tanganku lebih jahat daripada tangannya itu. Ia mati tiga hari setelah terpukul. Aku sendiri terluka dan harus berbaring selama tiga bulan. Soe-hoe merawat dan menyelamatkan jiwaku. Tapi dari saat itu sampai sekarang ia tak pernah dapat memaksaku melepas sarung tangan air." "Gurumu bukan orang baik-baik. Kau pun begitu juga." "Oh?" Chow Fuk tersenyum. "Lantaran aku diam di tempat begini" Ketahuilah, kota ini dikuasai oleh Pandita Agung. Di semua tempat ada mata-mata. Kecuali tempat ini. Pandita Agung melarang anak buahnya bergaul dengan wanita. Kami memang bekerja sama dengan mereka. Aku bahkan bersahabat dengan salah satu orang Ching Ching 367 kepercayaan di sana, tapi tetap saja pendeta-pendeta asing itu tak dapat dipercaya sepenuhnya." "Aku tak berminat mendengar segala dongenganmu. Berkatalah terus terang. Kau tahu tidak di mana adanya Gie-moay" Kalau kau tak tahu, guna apa aku buang waktu di sini?" "Justeru aku menemui engkau adalah untuk urusan Gie-moay." "Di mana dia" Apakah dia selamat?" "Kabar mengenai dia aku tak begitu jelas, tetapi ...." "Rupanya engkau memang cuma mau mempermainkan aku saja!" tuduh Yuk Lau kesal. "Tak ada guna aku berdiam di sini. Lebih baik aku pergi!" pemuda itu beranjak keluar.kamar. "Gie-tee," Chow Fuk memanggil. "Sebelum kau pergi, aku ingin kepastianmu. Apakah kau masih anggap aku sebagai saudara atau tidak?" "Tidak!" Yuk Lau menjawab mantap. Chow Fuk menghela napas. "Kalau begitu aku tak dapat berbuat apa-apa. tapi kita telah melakukan upacara angkat saudara. Kuharap diputus hubungan pun secara baik pula." "Sekarang pun aku siap memutuskan hubungan." "Tidak sekarang!" kata Chow Fuk. "Sebelum kita betul-betul menganggap tidak pernah ketemu dan tidak saling kenal, kuharap kau mau melakukan satu tindakan bersama-sama denganku terlebih dahulu." "Aku tak dapat kau perintah semaumu!" tukas Yuk Lau ketus. "Aku pun tak ada maksud memerintah. Aku mengajak, memohon kalau perlu, sebab pekerjaan ini tak dapat kulakukan sendiri." "Maaf saja, aku tak ada niatan bekerja sama denganmu!" Yuk Lau meneruskan langkah. "Gie-tee, kau mau menolong Ching-ching, bukan" Kau dan teman-teman yang bersamamu itu?" Yuk Lau berhenti dan menghadap pada Chow Fuk dengan muka merah lantaran marah dan gemas. "Jadi kau tahu di mana Gie-moay berada"! Sekarang kau mau mempergunakan dia buat memaksa aku melakukan kehendakmu?" "Sudah kubilang, aku tak ada niatan memaksa. Aku cuma memohon bantuanmu." "Kalau aku menolongmu, apa kau bisa jamin Ching-ching pasti selamat?" "Aku belum dapat memastikan, tapi paling tidak kita bisa mencoba." "Baik, kau mau aku lakukan apa?" tanya Yuk Lau setelah memikir sejenak. "Aku mau kau minta bantuan dari semua golongan partai putih. Makin banyak makin baik." "Kenapa semua" Mau diapakan?" "Mereka harus menolong kita membebaskan Gie-moay." "Mengapa begitu?" "Sebab kawanku dari kalangan pandita itulah yang telah menangkapnya ..." "Cuma golongan pandita, kenapa mesti membikin repot banyak orang?" potong Yuk Lau. "Golongan Pandita Agung bekerja sama dengan Kim-gin-siang-coa-pang. Mereka tahu Ching-ching telah membikin banyak kerusuhan bagi partai. Maka, untuk menyenangkan sekutunya, mereka menyerahkan Ching-ching kepada Kim-gin-siang-coa-pang." Yuk Lau diam. Ia memikirkan nasib adik angkatnya yang telah jatuh justreru ke tangan musuh bebuyutannya. "Ching-ching ... sekarang dia ..." "Dia sekarang ada di markas rahasia Kim-gin-siang-coa-pang. Dan celakanya, aku Ching Ching 368 sendiri tak tahu di mana tempat itu berada!" When Ching woke up, she was in a big soft bed. For a moment she forgot how she came to be there. But it was not long before she remembered what happened before. "Damn monk! Drugging me with anesthetic!" she said. She got down from her bed. She saw that she was in a luxorious room. Ching looked around. Even her room in Shaie couldn't campare to this one. It was big and complete. On one side, there was a big closet. When she opened it, she found silken dresses. On another part, there was a table with a mirror on it and a number of make-up. There were even expensive jewelry. Jade hairpin, diamond earrings, lustrous pearl necklace. She whistled admiringly. But she didn't touch any of them. She was wondering whose room it was. It could be the room of the Princess for all she knew. But why was she brought here" Ching walked over the drapes that separated this bedroom with another room. This time she walked in a some kind of study. On one wall there was a cupboard to the ceiling, filled with books. She took one of them, and was surprised to see that it was a rare kind of literary art. None of these books were inferior in quality. In another part of the room, there was a big writing table, complete with paper and ink of the best quality. In the center of the room there was a blue stone table. She couldn't figure out what kind of stone it was made out of. Another wall was papered with beautiful landscape painting. They were painted detailed with small people, houses, mountains, animals, grass. Ching admired the painting for a considerable time. Then she saw the two walls across the drapes. She entered one of them. She was in a much smaller room. There were no furniture. Only a square pond with transparent water. It would be nice to bathe in there when she had finished looking around. She walked back into the study, cross the room to open the other drapes. This time she set foot in a terrace. It has no wall, but exquisitely chiseled fences surrounded it. Just like a bird's cage. She peered through the fences. Down below was rippling clear water with small fishes sputtering in it. Apparently the terrace was directly above a pond. The water reflected the image of the sun. Across the pond was a picturesque garden, bordered by a high wall stone. How high, Ching couldn't make out. The roof of the terrace concealed it. Ching stood in the terrace, where there was a short table with the chair. On it was a harp made from elegant Dragon Wood. She caressed the carving. She picked one of the strings. A lucid sound reverberated until it disappeared in a distance. Ching grew up in a castle where she was taught all kinds of art and literature. She often came across rare art objects, hard to compare with other things. But only this time she found an instrument that generated such beautiful sound. She forgot herself. She couldn't resist the impulse to play a song on the Dragon Wood Harp. Without any further thought, she played a tuneful song. She drifted in it. She didn't pay anymore attention to her surroundings. When she finished playing, she was aware of the few people standing behind her. She was alerted at once. But when she saw that they were only servants with her food, she cheered. "Perfect timing! I'm hungry, and you brought me food. How nice of you." The food was laid out on the blue table in the bedroom. She devoured it. While she was eating. she asked to one servant, "How did you come in" I don't see any Ching Ching 369 doors. Is there another room that I'm not aware of?" Ching didn't get any answers. So the servants won't tell her. So what" She could see where they go out. Then she'd find the door. "May I ask who's your master who's been kind enough to invite me here?" Again, there was no answers. The servants just stood, face front. Ching got penasaran. "Hey, you!" she pointed at one. "Let me take look at your tongue!" The one she pointed at was puzzled by the odd request. "Hurry up!" Ching bellowed, pounding the table. The servant jumped, then put out her tongue. "So you do have a tongue. Why didn't you answer my questions?" Ching widened her eyes, but still no one made any response. "Alright then, I'll cut your tongue off for you." She touched her leg where she's used to keep her dagger. She only wanted to scare them. But the weapon was not here. "Where's my blade?" She began to panic. "Where are you hiding it?" One of the servants gave a signal to the others. They proceeded to leave Ching. Ching of course didn't stay put. She blocked one of them, but the servant managed to avoid her. Everybody else dispersed to different directions. Before Ching could do anything, she was left alone in the room. Bewildered, Ching stood there for a few moments. When she was back, she was outraged. She immediately looked for the likely places the servants might have gone. But after a while, when she still couldn't find any secret passage, she was agitated. She threw down plates and bowls. She cursed continuously. But no one heeded. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hey! You, the host! Give me back my things! Where are you" Afraid to show yourself?" she hollered. "Come here if you dare!" No one replied. The thick wall was covering her voice. But Ching was sure, whoever kept her here could hear every word she said somehow. "Alright!" she yelled. "There's no way I'd let myself caged by a cowardly enemy. This is humiliation! I'd rather die!" She took a piece of a bowl. She hold it in her hand. Then her body slumped to the floor. As her body fell with a noise, a part of the wall opened. Two guards with sabers on their hips entered. "She fainted. Is she dead?" one asked to his friend. "This brat" Die that easily" I don't think so!" His friend replied. He came closer and examined Ching. But when he saw the blood on the corner of Ching's mouth, she became worried nonetheless "Whoa, I think she really ate the piece." "Well, hurry, we might be still able to save her!" They forced her mouth open to pull out the piece of bowl from her throat. But unexpectedly they were flung away with flaming cheeks because of a slap. "Finally, I know the way out." Ching sat up. "You're such idiots!" She laughed, but stopped when she saw their uniforms. "Ptoey! Members of Golden-silver-snake-pair-gang! So what is this place" Your lair, I suppose" Good, I don't have to waste my time looking for it. Where's your master" Tell him to come out and meet me!" "Who do you think you are, ordering our master?" one guard said. "If you won't call him, I'll look for him myself," Ching replied. She moved to the opened passage way. The guards blocked her way. "Get out of my way!" Ching pushed him back two steps. The guard became angry. He Ching Ching 370 wanted to get back at her, but his friend stopped him. "Young Master said, we must not harm her." Ching stopped in mid-step. "Which Young Master are you talking about?" she asked. "First Young Master." Ching's face blushed. Chang Houw. What did he want anyway" She hurried out. But she was blocked again. "Young Master ordered to take care of the prisoner." "Then try and stop me!" She moved to hit the guard. But suddenly her body was gangrened and couldn't move. Someone struck her nerve point from behind. "Little brat! This way she'll be a good girl," the other guard said impatiently. Ching was amazed to find herself to be struck that easily. Even more amazed when she couldn't use her strength to release her blood stream. Her inner strength had vanished completely. "Now you sit nicely here. By midnight you'll be released." "Let's just leave her!" the other one said. Ching was left alone. She couldn't do anything. She couldn't even make a sound, for her speaking muscle was paralyzed. She repeatedly tried to free herself, but couldn't At last she gave up and fell asleep. The next day, when the servants brought her food, she wasn't all upset anymore. She just sat and read a book. When in the evening, food was brought again, she still didn't move. She suspected, the food was drugged by some poison that drained inner strength. She decided not to eat anything served by her host. Seven days Ching refused to eat. No matter how they begged her, she refused. She became thinner and paler. But not because she starved. Everyday she ate well. The fishes in the pond were plenty for a year's food. And not bad-tasting even if barbecued without any spices. She was thin and pale because she didn't like living in a cage. But the host didn't know that. The host was worried to see the distinct change in Ching's condition. On the eighth day, four servants brought three trays of food, put it on the table, and face Ching, all in tears. "Please, Miss, just eat a little bit!" they begged. "I'm the one who's not eating, what are you so concerned about?" Ching said without looking up from her book. "Just take all of this out. I lost my appetite." Suddenly one of the servants wailed, hugging her legs. "Miss, please! I beg you, eat even a spoonful." "Are you mad" Stop crying! Go away!" Ching wasn't at all touched. She was sure this was only a trick so she would eat the poisoned food. But then the two guards from the other day came. They were more frightened and their faces was pale. Even paler when they saw the food untouched. They looked at each other with widened eyes. Lie Ching sensed that something was wrong. She asked, frowning, "What happened" You're acting like somebody's got her head chopped off or something." "So you know already?" one of them said. "Know about what?" Ching got more puzzled. "We ... we were ordered to serve you." "We're responsible for your well-being." "If something happened to you, not only our heads that fell to the ground, our Ching Ching 371 families would get their share too," they said berebutan. "That's ridiculous. Who said such ridiculous things?" The servants were quiet. "Hey, I asked you, who said those horrible things?" "First Young Master." "Him again!" she grumbled. "What does he want from me" Drain me of all my strength" Kill me" Why go through all this trouble" Tell him, I don't want his services." So the servants could do but leave Ching. That afternoon, Ching was fishing with a simple rod that she had made herself when someone came with a servant. Seeing them coming, Ching hid her fishing gear and acted like she was observing the swimming fish. "Miss, this is a gift for you." "Just put it on the table!" Ching said, uninterested. "After you see the gift, there's a message from master." Unwillingly she took the red cloth that was covering the gift on the tray. Once she saw it, she turned her head. Her face changed from red to white and back. She couldn't speak for a moment. "What's the message?" she said at last. Her voice was soft, shaking. "He said, this time you get an arm. Next time, it will be a head!" The messenger pushed the servant forward. Then Ching realized that the servant had lost an arm! Now she knew that Chang Houw was using other people to force her. And he wasn't bluffing. "What does your master want from me"!" she yelled. "Not much. Just so you'd look after for your health. And eat, of course." "Eat the poisonous food?" she pouted. "Can't he think up any other way to poison me" How difficult can it be just to blow the sand pengusir sukma through the ventilation" Why does it have to be in the food?" "Forgive me for speaking freely," said the one-armed servant. "But you misunderstand. I'm responsible for all services, food, clothing, everything. I supervise the cooking, I bring it myself, no one can put poison in it without my knowing. Young Master even said, if Miss Lie was injured in any way, get a headache, or get a rash, that he won't forgive us." "He cut your arm, and you still defend him?" Her voice was harsh but it sounded more amazed than angry. "If it wasn't the poison in the food the other day, why am I so weak, and couldn't use my inner strength?" "We're just lower people, we don't know anything about that." Ching frowned. So how did she lose her inner strength. She must clear this up right away with Chang Houw. Seeing that the girl wasn't upset anymore, the messenger clapped his hands. From other sides, a dozen of servants entered, bringing all sorts of food. "Miss, please," the messenger said. Ching didn't even take a glance. She came and sat on a a chair, acting like a queen. "Tell your master, kalau mau menjamu orang, jangan setengah setengah. If he really means it, he has to come here himself and serve his guest." All servants widened their eyes in shock. Their young master, serving this brat" No way! "Why are you still standing there?" Ching yelled "Go tell your master!" "Well, if you want to invite him to dinner, Miss--" "Who's inviting?" Ching snapped. "I told you, I want him to wait on me. Ching Ching 372 Otherwise, you can take all these food back to the kitchen." The messenger realized, that Ching intended to humiliate their master. If their master didn't do what she wanted, then he couldn't blame her if she didn't eat either. In short, Miss Lie refused the master's good will. On that thought, he quickly acted. He pulled his sword and put it on the servant's neck. "Master said, if you membangkang, then I chop off her head!" Then he waited to see if Ching would change her mind. But Ching didn't move. Pity for the servant and her ego fought in her heart. If she obliged, that meant she gave into Chang Houw's threat. And this girl didn't like giving in to anybody. After giving the guest enough time, the messenger brought up his sword to cut the servant's head. Ching glanced a little. From the corner of her eyes, she could see the servant's helplessness. The sword flashed as it moved. "Hold it!" two voices shouted at the same time. Ching turned to see where the other voice came from, the one that drowned her own. Chang Houw stood there, gagah berwibawa. Everybody except Ching gave respects as he walked into their room. "Miss Lie is right. Kalau mau mengundang orang memang tidak boleh setengah setengah." Chang Houw poured wine into a cup. "Here, my toast to you." "How do I know the wine's not poisoned?" Ching turned her head. "Then let me--" "That's an old trick!" she snapped. "Of course you can drink it first. You already took the antidote." "Do you trust these more?" Chang Houw pointed to the table where a pair of chopsticks was still wrapped with silk. When he unwrapped, Ching saw that the chopsticks were made out of silver. "Everybody in the martial world knows that silver reacts with poison. Now you're giving me silver chopsticks, I'm more suspicious." She got up. "Grandfather once said, at least four hundred kinds of poison don't react with silver. Some poison reacts only after mixed with saliva. Some kinds are harmless on their own, but if you eat it along with another drug, then it becomes an incurable poison." Ching talked like an expert on poison. "Miss Lie, you don't trust me. I can understand that. We stand on opposite sides. But do you really distrust me that much?" "I don't want to distrust you, but it's not like I don't have reasons for it. Ever since I got here, I felt my strength had drained out on me. So if it's not because you put poison in my food, what other explanation is there" You can put other kinds of poison, for all I know." "Your strength disappeared, that is not because of me. But there's a kind of Tibetan poison called X . I don't think I have to mention names." "Those damn monks! Awas kalau nanti kubertemu!" she hissed. "So, Miss, do you accept my invitation now?" "Orang jahat usually have slippery tongue!" Ching still won't give up. Chang Houw didn't appear the least bit annoyed by her actions. He even smiled and said, "Yok-ong-phoa's granddaughter of course is more knowledgeable about poison and medicine than stupid me. I don't dare to show my stupidity with any proof. I only can guarantee with my words that there's no poison in this food." "Okay, I believe you!" Miss Lie sat down and took the silver chopsticks. Actually Chang Houw was out of tricks to persuade the girl to eat. He didn't expect the girl suddenly believe what he said. When he recovered from the shock, Ching Ching 373 he sat down to accompany his guest. "Hey, who says you can sit?" Ching pointed with her chopsticks. "Aren't you supposed to wait on me?" The servants widened their eyes in surprise. This brat had no manners at all. She really wanted their master to wait on her. They were certain that their master would lose his cool this time. But they guessed wrong. Chang Houw's expression didn't' change. He stood beside Ching-ching, and waited for her next command. As she ate, Ching was busy thinking, what could it be that could make this Chang Houw angry and hate her instead. She would rather this boy scold her, because then she could scold him back. Or rather he had her killed, so she wouldn't have to owe this devil anything. "Miss, is there something not to your satisfaction?" Chang Houw asked when he saw Ching stopped eating. "Mm. I don't like eating without entertainment," Ching grinned. "How about you performing something for me?" "What song would you like" I'll play it on the harp for you." "No. Somebody else can play the music while you dance to it!" "What"!" not only Chang Houw who shouted in surprise, but his servants also. "Well, I'm not the one who wants to menjamu orang sampai tuntas!" Ching said harshly, but she cheered in her heart. Chang Houw would get mad undoubtedly. "All right." The answer made the girl taken aback. "But I'm not a dancer. I hope you'll understand if I make some mistakes." "Well, let me tell you, that my favorite is the genit girl dance." "Whoa, okay. I'll try my best," Chang Houw said. A servant took a harp with wonder. She begam to play a song. Chang Houw moved his body like a girl. But his gagah body was not flexible. His moves were like a wooden statue. Seorang pelayan mengambil Khim dengan terheran heran. Ia mulai mainkan satu lagu. Chang Houw mulai lenggak-lenggok lagak seorang dara. Sayang badannya yang gagah itu tak begitu luwes. Tingkahnya jadi seperti boneka kayu yang kaku. Pelayan-pelayan yang tadinya sungkan dan tidak tega pada tuannya mulai cekikikan. Masing-masing tak dapat tahankan diri tidak ketawa. Terpaksa mereka gigiti ujung baju supaya tak kentara. Ching sudah tadi tadi tergelak. Seorang bawahan tak tahan lagi , cekikikan sampai duduk di tanah. Chang Houw tidak marah. Ia malah menari makin semangat. Lebih lucu jadinya. Ching tertawa sampai sakit perutnya, keluar airmatanya. Tak dapat makan lagi dia, tapi puas hatinya. Ketika lagu habis dan Chang Houw berhenti, serentak para bawahannya sadari kelakuan mereka. Gelak terhenti. Mereka berdiri kaku dengan kepala tunduk merasa bersalah. Mana tahu malah ganti kongcu mereka tertawa tewa girang. Semakin heran mereka. Baru kali ini sang tuan muda lapaskan tawa segitu gembira. "Miss Lie, you're really good at having fun. I've never felt so energized and happy. But I still made too many mistakes. Next time, you must teach me," kata si pemuda. Ching mesem mendongkol. Maksud mengerjai orang malah jadi penghiburan orang. Tapi gundah hatinya terpupus sedikit. Ia menghela napas putus asa. Baru kali ini Lie Mei Ching habis daya menghadapi orang. Tapi kejadian hari itu tidak membuat hati si nona luluh. Hari berikut masih juga ia bikin ulah macam macam yang bikin orang pusing kepala. Namun Chang Houw Ching Ching 374 seperti tahu betul bagaimana menghadapi tingkahnya. Kadang ia sendiri datang mengunjungi, kadang dibiarkannya Ching ngamuk ngamuk sendiri. Kini malah Ching yang habis akal menghadapi orang. Lepas dari tempat ini tak mungkin. Cari mati juga susah. Akhirnya si nona menyadari, tak ada guna menyiksa diri. Buat marah marah butuh tenaga akhirnya dia yang lelah. Lantas kenapa tidak dinikmati saja hidup di tempat mewah ini " meskipun sebenarnya ia mendongkol lantaran dikurung macamnya burung. Lantaran ia tak banya bertingkah lagi, maka si nona dapat juga berteman dengan para gadis yang melayaninya. Ia paling akrab dengan A-lian yang tangannya buntung itu. Sebab merasa si gadis bercacat lantaran dia juga, maka ia taruh perhatian lebih besar. Dari A-lian juga ia dapat mengorek segala keterangan. Mana tahu satu saat orang lepas omong memberitahu jalan keluar. Mau tak mau Ching mulai kerasan ditempatnya sekarang. Memang ia tak bebas, tapi ia cukup diperlakukan baik. Bahkan ia sudah boleh berjalan jalan di sarangnya Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo biang iblis itu. Tentu saja dengan ditemani Chang Houw. Dari situ ia mendapat tahu kalau sarangnya Kim Gin Siang Koai Coa terletak ditengah tengahnya gunung batu. Jalan keluar maupun masuk cuma satu yakni lewat lorong lorong batu yang gelap. Bahkan seluruh bangunan terletak di antara lorong lorong itu. Ching bukannya tak berniat lari. Ia pernah coba-coba cari jalan sendiri. Sewaktu Chang Houw mengajak pesiar di dalam taman sebrang kamarnya, diam diam si nona menghapalkan pintu rahasia yang pernah dilewati. Tapi entah bagaimana ia salah masuk. Tahu tahu saja ratusan jarum halus menyambar ketika membuka salah satunya. Meski matanya cukup jeli menangkap kelebatan sinar keperakan, namun ia belum dapat bergerak secepat dan segesit dulu. Biar menghindar sebisabisanya, belasan jarum terlolos dan nyaris menancap di hiat to terpenting. Ia pasti tamat kalau tidak secara mendadak satu tirai melindungi di depannya. Jarum jarum itu patah menjadi ratusan potong dan rontok ke tanah begitu mengenai tirai yang sekuat baja. Sewaktu tirai itu hilang, Ching baru menyadari Chang Houw yang berdiri di dekatnya. Tirai yang telah melindungi ternyata tak lain adalah baju luarnya si pemuda. Chang Houw tak mengucap sepatah kata. Hanya saja mukanya tegang dan nampak gusar. Itu kali pertama Ching melihatnya sedemikian. Tak usah dibilang, si nona sudah tahu tuan muda itu tengah marah besar. "I'll take you back to your room!" Chang Houw said coldly. Ia balik badan berjalan menunjuk kamar si nona. Mereka melewati belasan pintu rahasia. Keduanya sama tak berkata-kata. Baru setelah sampai di depan kamarnya Ching- ching beranikan diri bilang "Chang Kongcu, I ... forgive me for the troubles." ia bicara cepat cepat lantaran sungkan. Chang Houw angkat sebelah tangan. "No need. I hope next time you won't endanger yourself by walking around without a guide." sehabis bicara ia lantas pergi. Semenjak itu Ching tak berani sembarang pergi. Ia tak mau bahayakan jiwa sendiri. Terlebih sebelum dendamnya terbayar lunas. That day, once again Chang Houw took her out. They walked pretty far. Some servants came along to bring snacks. "Master Chang, where are you taking me?" Ching asked. "I want to show you a beautiful place. It's mine, you know," Chang Houw said, proud of himself. "Even my parents don't know about the place." "What is it?" Ching Ching 375 "You'll see for yourself. I usually go there if I'm down. I can stay there for a long time. I leave when I feel better." "I see." Ching understood. No wonder A-lian said, his master was as if he had no heart. That was not the case at all. He was just good at hiding his feelings. He only let them out when he was alone. After a while Chang Houw told the servants to stop. He himself continued walking with Ching. "Miss Lie, after this the path is rather difficult. Be careful," he warned her. Memang selanjutnya perjalanan agak sukar ditempuh orang kebanyakan. Buat Chang Houw yang ada ginkang tentu tak seberapa payah. Tapi Ching yang mengandalkan gwakang (tenaga luar) saja tentu kerepotan. Tapi didepan Chang Houw tak mau memperlihatkan kelemahan. Ia maju terus berpegangan kanan-kiri. Pemuda she Chang itu tentu menawarkan bantuan. Ia patahkan satu cabang pohon dan memegang ujungnya. Dengan itu ia bermaksud menarik Ching dimana perlu. Tapi si nona mana mau. Meski dalam hati ia mengakui, ternyata anak iblis itu masih mengingat adat sopan laki-perempuan. Kira kira sepemasak nasi mereka mendaki, Chang Houw menunjuk ke satu tempat. "You see that big rock over there" That's where we're headed." "What's so special about that?" tanya Ching curious. Setelah melewati jalanan yang begitu sulit, ia merasa sudah sepantasnya ia tahu kemana dan apa yang mereka tuju. Tapi Chang Houw tidak mau menjawab. "You'll see," he said. Ching penasaran. Ia jadi besemangat ingin lekas sampai. Chang Houw bersenyum melihat betapa si nona begitu gesit, tidak seperti setadi-tadi. Mereka sampai jua di batu besar itu. Dengan terengah Ching sekali lagi menanya. "So what do you want to show me?" "Just a little more. But first you have to cover your eyes." "Macam-macam saja!" Ching menggerutu. Tapi toh ia keluarkan saputangannya dan tutupi mata. Dengan masih memegangi tongkat keduanya mulai berjalan pelan pelan. Ching- ching menurut saja kemana lantaran sudah terlalu penasaran. Tapi tentu ia tak bisa berjalan secepat dengan mata terbuka. Mereka berjalan melingkar. Ching merasakan ia dibawa masuk ke sebuah ruangan besar. Disitu amat sejuk hawanya. Mereka masih berjalan. Ching mendengar suara air mengalir. Terasa pula kakinya menapak pasir. Tapi mereka masih terus berjalan tanpa suara. Tempat yang dilalui sangat menurun, terjal dan agak licin. Sampai akhirnya mereka masuk lagi ke sebuah ruangan besar yang amat sunyi. Tanah dibawah kaki keras dan suara air sama sekali tidak kedengaran. "Now you can open them," Chang Houw whispered. Tergesa-gesa Ching merengutkan saputangan yang menutupi mata. Seketika matanya terbuka, seketika itu pula ia ternganga. Tak tahan terpekik takjub melihat pemandangan didepan matanya. Ching tidak melihat suatu ruangan indah yang sehebat istana. Ia juga tidak melihat perhiasan segala rupa. Bahkan ia tak tahu ada dimana. Sekelilingnya gelap, namun terdapat banyak titik cahaya warna warni seperti bintang. Jauh diatas, dibawah, didepan, dibelakang, dimana-mana. "What are they?" she whispered tak sadar. She was afraid that the beautiful lights would go away if she talked louder. "Are they firefly?" "No. I think they're stars," Chang Houw replied. "Wow!" Suddenly Ching felt an urge to laugh. She was so ecstatic to look at such Ching Ching 376 beautiful things. She wanted to dance. But she remembered that her host was still beside her. "Can ... can I take home one of them?" she asked. Dan tanpa menunggu lagi ia sudah berjalan mendekati satu bintang yang paling dekat. Mengambang setinggi lututnya. "Watch out!" Chang Houw memperingati. Ching tak memperdulikan. Tahu-tahu ia tersandung sesuatu benda keras sebelum sempat meraih bintang itu. Untung Chang Houw lekas bergerak menarik tangannya dan menyentakkan ke belakang. Ching jadi menghadapi pemuda itu. She couldn't see him, but she felt his warm breath. She realized then that he was very close. She stepped back quickly. At the same time, Chang Houw moved back. Both of them were jengah. Thank goodness it was dark, so they couldn't see each other's faces yang sama-sama malu. Sejenak keduanya terdiam. Ching cepat palingkan muka lagi melihat bintang-bintang yang bertebaran. "Master Chang, what are they" What makes them so beautiful" Are they like dangerous animal or plant?" Ching asked. "You really wanna know" Okay." Mendadak cahaaya-cahaya indah itu lenyap tergantikan satu cahaya kemerahan. Chang Houw memegang satu obor menyala, menerangi tempat itu. Kini Ching dapat melihat apa yang ada disana. Ternyata adalaah tiang-tiang batu berbentuk gunung-gunungan yang tajam dari atas-dan dari bawah. Ribuan jumlahnya, terserak di dalam suatu guha yang besar. Semua tampak begitu mengerikan dalam keremangan cahaya. Ching melihat ke bawah, kearah mana tadi terdapat bintang yang ingin diraihnya. Ternyata sama saja. Tak lebih tiang batu yang mencuat. Tadi ia tersandung pinggirannya. Dan kalau ia terjatuh, pasti menimpa unjungnya yang tajam sampai tembus dan......... Kelanjutannya Ching tak berani membayangkan. "Master Chang, where did the stars go" Were they afraid of the light and ran away?" "No. These stone pillars are the stars." "No way. The stars were so small and beautiful. These stone pillars are big and hideous!" "The tips of the stone pillars shine the beautiful light. You don't believe me" Now you hold this tip here while I put out the torch." Ching menurut. Dan benar kata Chang Houw. Begitu cahaya obor padam, ribuan bintang itu kembali lagi. Dan Ching sedang memegang salah satunya. "Begitu." Ching kini mengerti. "So the tips of these pillars can illuminate beautiful lights." "They do, don't they" I want to know how myself, but I still don't know the answer." Chang Houw menyalakan lagi obor ditangannya. "No, no! Please don't light it," Ching asked. "I still want to enjoy them." gadis itu terus saja duduk selonjor ditanah, memandangi titik titik gemerlap diatas kepalanya. Ia dapat merasakan Chang Houw duduk amat dekat dengannya. Tapi apa mau dikata, tempat yang datar cuma tempat mereka duduk itulah. Lainnya penuh tiang batu, jadi Ching membiarkan saja. Entah sudah berapa lama mereka duduk diam disitu sampai kemudian Chang Houw berkata, "Miss Lie, we've gone too long. We better go back. If you like, we can come back here the day after tomorrow." "Okay," Kata Ching dengan berat hati. Ia menunggu Chang Houw menyalakan obor, kemudian mengikutinya keluar dari tempat itu. Mereka berjalan belok ke kiri dan ke kanan. Ching tidak merasa lewat kesitu sewaktu datang. Ini dikatakannya pada Chang Houw. Ching Ching 377 "We're not," kata si pemuda. "We're taking another path." Selagi berkata mata pemuda itu berbinar dan senyumnya seperti senyum seorang anak kecil yang ingin memperlihatkan sesuatu yang hebat kepada sobatnya. Sejenak Ching terpana seolah melihat orang lain dan bukan Chang Houw, putra biang iblis dijaman itu. Tak sadar kakinya berhenti. Chang Houw menoleh heran. "What is it?" tanyanya. "Nothing," kata Ching. Wajah anak kecil yang sedang bergembira itu hilang. Tergantikan rupa seorang pemuda dewasa yang mempunyai wibawa besar. Dalam hati si nona merasa kecewa. Tak terlalu jauh mereka berjalan, tiang-tiang batu makin sedikit dan akhirnya tidak ada lagi. Kini di depan mereka cuma ada satu lubang lebarnya seperentang tangan, tingginya sepinggang, dan amat gelap. "Do we have to crawl in there?" tanya Ching. "No. This is what we're gonna do." Tahu tahu Chang Houw duduk. Ia menoleh dan tertawa gembira. "I'll put out the torch. We'll slide down this hole and down. You better sit in front. Don't get scared if we slide fast." Melihat betapa Chang Houw gembira, Ching tahu ia akan mengalami hal menyenangkan. Maka denga bersemangat ia mengikuti tindakan Chang Houw. "Okay, I'm putting out the torch. Now, to go forward, you must push back with your hands to the sides. After that, you just let go and you'll slide on your own." "Okay." Ching melakukan apa yang diikatakan Chang Houw. Tahu-tahu ia sudah memasuki lorong gerap yang licin dan menurun. Turun-turun terus. Ching- ching melaju dengan cepatnya. Ia merasa angin menerpa mukanya dan menyibak rambutnya ke belakang. Tanpa terasa ia berteriak antara girang dan tegang. Agak jauh dibelakangnya terdengar Chang Houw berseru-seru riang. Mendadak lorong licin yang gelap itu habis. Ching merasakan badannya terhenti suatu tempat yang empuk dan halus. Ia merabanya dan ternyata adalah pasir kering. "Get out of the way! Get out of the way!" terdengar suara Chang Houw. Ching berusaha bangkit. Tapi susah sekali berdiri diatas pasir halus yang melesak kalau diinjak. Tang keburu ia menyingkir ketika Chang Houw tiba dan tak dapat menghentikan lajunya. Ia melompat supaya tidak menabrak Chiing-ching. Tapi, tidak tertabrakpun si nona sudah jatuh lebih dulu. Keduanya terjungkal tengkurap dengan muka menghadap pasir. Keruan saja butir-butir halus itu masuk ke dalam mulut dan hidung mereka. Keduanya duduk sambil menyemburkan pasir di dalam mulut. Tahu-tahu mereka sudah tertawa bersama layaknya dua orang yang sudah lama berkawan. "Puah. We have to wash up before we leave. My servants might get suspcious if we go home like this." "You know the way, lead on," Kata Ching. Ia tidak merasa terlalu sungkan lagi. Chang Houw meraba-raba dinding mencari sesuatu. Tak berapa lama ia sudah menyalakan obor. Dan pergi ke satu tempat. Disana ada selokan kecil yang jernih airnya dimana mereka dapat mencuci muka dan bahkan minum airnya. "We can get out now. And Miss Lie, I hope you can keep what happened today between us." "I won't tell anybody," Ching promised. Chang Houw led the way. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari suatu guha yang tertutup tirai tanaman. Seluruh mulut guha itu seolah dipenuhi tanaman Ching Ching 378 hijau yang menggantung dari atas sampai kebawahnya menyeruapai tirai. Chang Houw membetulkan lagi letaknya sehingga dilihat dari luar, nampak seperti batuan lain yang sama tertutup tanaman. Tak seorangpun akan tahu dibelakangnya terdapat satu guha besar. Ternyata hari sudah hampir gelap. Tapi mereka tak kuatir karena membawa obor. Dan para pelayan yang mengiringi juga tak jauh tempatnya. Dalam perjalanan pulang mereka tak saling bercakap. Cuma terkadang saling melirik sambil tersenyum. Now they shared a pleasant secret. Only they could know. Chang Houw mengantar Ching sampai ke kamarnya. Mereka saling berpamit sambil senyum senyum. A-lian yang melihat jadi terheran heran. Ketika Chang Houw berlalu, pelayan itu lantas menanya kepada si nona. "Miss, where did Master take you" We waited an awful long time. We saw you climb up that steep stone mountain, but didn't see you came back down. And suddenly you and Master were behind us. And all the way back I saw you glanced at each other, smiled at each other. What happened, actually" Sambil mengoceh, A-Lian menggiring si nona mandi. Ia melayani dengan telaten, tapi mulutnya tak berhenti. Sementara Ching cuma tertawa tawa saja tak mau memberi tahukan membuat si pelayan benar penasaran bukan buatan. Esoknya, begitu bangun Ching lekas beberes rapi. Ia berharap hari ini Chang Houw hendak mengajaknya ke tempat kemarin. Sayang hujan turun dengan deras. Diluar basah, dan Ching dapat membeyangkan betapa sulit naik ke batu besar dalam hujan. Karenanya ia cuma bisa berdiam dikamar. Buat perintang waktu ia memain Khim sambil memperhatikan hujan yang masih terus saja. Ching terbawa alunan lagu yang mengisahkan keindahan kampung halaman. Ia jadi teringat saat suci-nya di Sha Ie mengajari lagu ini. Teringat suci-nya, teringat pula pada gurunya, dan kakeknya, di negeri jauh. Rasa rindu mengusik kalbunya. Namun sekarang ia tengah dikurung disini. Kesepian, tiada berteman. Entah dapat keluar hidup ataukah tidak. Tak sanggup Ching meneruskan permainan. Jari jarinya berhenti bergerak. Namun ia tak mendapatkan keheningan. Satu alunan lain melanjutkan lagunya. Suara suling yang begitu jernih sayup sampai ke telinga. Mengalahkan deru hujan. Ching mencari datangnya suara. Tapi tirai air mengahalangi pandangan ke luar sana. Hanya saja lamat-lamat tampak sosok seorang gagah berdiri di seberang kolam. Tegak diguyur air melimpah. Tak perlu Ching melihat siapa, sudah tahu dia. Pastilah Chang Houw adanya. Tapi apa-apaan dia berhujan hujan macam begitu " Bunyi seruling tambah keras. Tidak lagi sekedar berbunyi, tapi merasuk kalbu tiap yang mendengar. Mengajak ikut berlagu. Tanpa sadar Ching was carried away. Her fingers began to move again on her harp. Paduan bunyi-bunyian indah terdengar amat merdu. Selaras berirama atas suatu lagu. Entah barangkali lagu yang mereka mainkan sampai ke telinga para dewa, atau bagaimana. Begitu lagu berakhir, hujan pun berhenti. Kini Ching dapat melihat jelas ke seberang kolam di muka kamar. Chang Houw berdiri disana. Bajunya dan rambutnya basah, tapi samasekali tidak mengurangi kegagahannya. Sejenak mereka saling adu mata. Saling menatap dengan pikiran masing- masing. Ching lekas tersadar. Menutupi rasa jengah, kembali jari-jarinya memetik dawai. Kali ini lagu yang riang-gembira. Dan suara suling diseberang sana menyahuti. Sekali lagi merampungkan satu lagu. "That was beautiful!" A-Lian tahu-tahu saja sudah ada di belakang si nona. Ching Ching 379 Ching kaget. Ia sama sekali tak mendengar kedatangan pelayan ini. "How long have you been there?" she asked. "Not long. Miss, please play one more song. The sounds of the harp and the flute were so beautiful. Especially played by you and Master." Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ching menangkap sindiran orang. Serta merta ia cemberut. "Play it yourself!" A-Lian realised she had mispoken. Lekas ia berlagak mengumpak. "No, no! I just want to listen. I didn't know you had such skills that can compare with Master's. Master knows a lot about songs and literature. I thought nobody can beat him. Now I know you can play as good as Master. But do you know as much as Master?" "Hmm, you're underestimating me?" Ching bit the bait. "The question you should be asking is the other way around. Does he know as much as I do?" A-Lian smiled silently. "I can bet you, any song that you play, Master can accompany you." "We'll see," kata Ching. Jari-jarinya bergerak lagi. Lagu lain mengalun. Bersamaan suara suling juga terdengar. Seperti yang sudah tahu lebih dulu lagu apa mau dimainkan. Begitu terdengar Chang Houw menyahuti dengan benar, Ching-chinng segera berhenti, mengganti lagi dengan lagu yang lain. Dan kalau dapat disahuti ia ganti lagi. Lagu yang terdengar cuma sepootong sepotong saja tentu tak dapat dibilang enak didengar. Malah memusingkan bagi yang tidak mengerti musik. A-Lian sendiri tidak lagi menikmati yang dimainkan. Ia masih tinggal disitu hanya untuk mengetahui mana yang unggul antara Si nona dengan tuan rumah. Berpuluh lagu telah tersahut. Hampir semua lagu yang Ching kenal sudah diperdengarkan. Gadis itu sampai kebingungan mana lagi yang belum dimainkan. Untung ia dipihak yang maju duluan, Chang Houw sekedar mengiringi. Tapi kalau pemuda itu lebih dulu, entah Chinng-ching sanggup menyahuti atau tidak. Berapa jenak persaingan itu terhenti. A-Lian bersorak girang. "Ternyata benar Kong-coe tak ada yang mengalahkan." "Not necessarily." kata Ching. Hatinya mulai panas dilecehkan seorang pelayan. Ia bertekad tak mau kalah. Segera jemarinya memain lagi. Kali dini diperdengarkan suatu lagu yang menghentak sukma. Menggugah hati untuk maju berperang. Memang lagu itu tak lain adalah lagu perang dari negeri Shaie. Ching sengaja memperdengarkannya kali ini. Hampir yakin ia bahwaa Chang Houw takkan sanggup menyahuti. Tapi ia kecelik. Sebentaran mendengar saja Chang Houw sudah dapat mengikuti. Suara sulingnya tidak mengalun, tapi tersentak terputus-putus. Tepat sama dengan irama yang Ching mainkan. Gadis itu terkejut. Apakah Chang Houw pernah mendengar lagu itu" Apakah ia pernah pergi ke Sha-Ie" Padahal di negeri tersebut yang tahu mengenai lagu perang itu juga tak banyak. Meski kaget, tapi Ching tak sampai hilang akal. Lekas ia mengganti lagunya. Sekarang yang dimainkan adalah lagu tarian dewi perang. Lagu yang hanya boleh didengar di kalangan istana Sha-Ie saja. Memang kemudian Chang Houw terdiam. Ia terpaku mendengar bunyi Khim yang dimainkan. Nada-nada lembut yang mengalun, sebentar kemudian berubah bersemangat. Tak sadar Chang Houw bergerak-gerak. Mula mula hanya kakinya mengetuk-ngetuk. Namun kemudian gerakkannya menjadi cepat. Tahu tahu ia sudah memainkan satu tarian yang terdiri dari jurus-jurus ** andalannya ! Ching sendiri kaget melihat itu. Ia hanya bermaksud mengalahkan Chang Houw dalam hal Khim (musik). Ketika ia tahu Chang Houw tidak dapat menyahuti permainannya Ching Ching 380 gadis itu senang dan tambah bersemangat. Mana tahu kemudian si pemuda memamerkan jurus-jurus ** nya yang selama ini belum tertandingi. Si nona tentu saja tak menyia nyiakan kesempatan. Sebagai seorang yang gemar akan Bu (silat) segera ia pasang mata mengikuti gerakan Channg Houw sembari mengingat. Sambil begitu tak lupa ia terus memainkan kecapi di bawah tanganya. Sayang sebelum rampung ** seluruhnya, lagu telah habis. Tapi paling tidak Ching had committed to memory more than three quarters of the jurus tersebut! Chang Houw berhenti bergerak. Ia berdiri mematung keheranan. What was he doing just now" Dancing" He had never learned to dance. Bingung pemuda itu menoleh pada si nona yang tengah memperhatikan dari balik 'kurungannya'. Ching berlagak tidak tahu. Ia mengelus-elus Khim sambil berkata, "A-lian, sekarang kau tahu siapa lebih unggul, aku atau majikanmu ?" Tapi kata-katanya tidak mendapat jawaban. Hanya deru napas tersengal yang dapat didengar. Heran Ching menoleh. Tertampak A-Lian duduk ditanah. Napasnya ngos-ngosan, di keningnya peluh berleleran. "He, A-Lian kenapa kau ?" "Sio-cia........ham..hamba tak kuat. Entah kenapa kaki dan tangan tidak terkendali, maunya bersilat. Lihat, kalau barusan lagu tak berhenti, bisa mati lelah aku." Kata A-Lian sembari atur napasnya. "Kenapa bisa begitu sio-cia?" Ching cuma mesem saja. Ia sendiri tak tahu sebabnya. "Sio-cia, aku mengakui. Kalau dalam soal Khim, engkau unggul setingkat dari Kong-cu. Tapi apakah berani adu dalam Bun (sastra) ?" Ching tertawa. Selain Khim (musik) ia juga menguasai Bun, Bu dan Tiok (catur). Takut apa" Lagi pula ia kepingin tahu sampai mana hebatnya si Kong-cu yang dijagokan pelayan ini. Maka ia ganti meleceh, "Tanya kongcu-ya mu apa dia berani melawan aku ?" "Bagus!" A-Lian bersorak. "Segera kuundang Kong-cu kemari." Dalam sekejapan dara pelayan itu menghilang. Lupa dia akan lelahnya barusan. Akalnya berhasil. Sekarang si nona mau mengundang majikannya. Dua-tiga langkah lagi maka ia akan melayani seorang nyonya muda! Berbulan Ching bergaul dengan Chang Houw, semakin ia mendapati bahwa pemuda itu layak dijadikan teman mengobrol, teman memain, dan lawan yang tangguh. Ia dapat menandingi si nona dalam hal apapun mulai music, chess, literature, sampai silat. Tak jarang berdua mereka habiskan waktu berdiskusi soal macam-macam, seharian. Terkadang kalau bosan mereka pergi ke gua diatas bukit batu. Berlama-lama memandangi cahaya bintang di dalam goa. Mereka semakinn akrab meski masing-masing belum mengubah panggilan sapa mereka, namun permusuhan hampir terlupa. Sampai suatu ketika. Saat Ching dan Chang Houw tengah bermain catur di dalam taman. Mendadak terdengar satu lengkingan tajam membelah angkasa. Chang Houw yang Giliran jalan terhenti tangannya di udara. Roman mukanya berubah ubah. Terheran Ching memandangi. Terlebih sewaktu pemuda itu tergesa pamit. "Miss Lie, today I have some business to attend to. I have to postpone our game. I better take you to your room now." "What kind of business?" Ching bertanya ingin tahu. "Important business." "Does that whistle mean that you must go?" Chang Houw replied by nodding his head. "Go then," Ching said. "But I want to stay here." "But ..." Ching Ching 381 "Why" Can't I?" Ching menantang. Sampai sekarang sifat tak mau kalah dan tak sudi diperintah itu belum lenyap. Dan Chang Houw paham betul wataknya. Maka dari itu ia mesem saja. "Whatever you say," katanya. Ia yakin sebentar kemudian Ching akan bosan dan balik sendiri ke kamar. "Excuse me." Ia melirik A-lian yang mendampingi si nona. Pelayan itu mengangguk. Ia akan menjaga Ching sebaik baiknya. Ketika Chang Houw berlalu, tak sabar Ching bertanya pada A-Lian. "Do you know what that whistle meant?" "Young Master already told you, it meant that he was wanted." "Who called him" Why was he in such a rush?" A-Lian didn't reply. She just bowed her head. "Is it his father" His mother?" Ching melanjutkan bertanya. "Your mother-in-law," a cynical voice said. Serempak Ching dan A-Lian menoleh. Dari balik gunung-gunungan di taman itu muncul seorang pemuda perlente yang membawa kipas. "You ...!!" Ching mendesis geram. "Yes, it's me. Your brother-in-law." sahut pemuda itu seraya tertawa. Ia mendekati si nona. "Sister-in-law, I Chang Lun congratulate you." Brak! Sekali menghentak berkelebatan berpuluh benda putih dan hitam menghambur ke arah Chang Lun. Pemuda itu kaget menyangka diserang senjata rahasia. Lekas ia berputar dan mengabas kesana-kemari dengaan kipasnya. Ketika menyadari benda apa yang beterbangan tadi ia tertawa. "You became much fiercer. I congratulated you and you throw me these chess stones?" Sekali lagi satu benda melayang. Kali ini papan caturnya sekali. Tapi Chang Lun sudah siap. Ia menyambuti sambil terbahak. "So you want to fight. Okay. So you'll know that I'm not below my brother." Setengah mati Ching menahan amarah yang memuncak. Ingin ia membunuh Chang Lun saat itu juga ditempat. Dan setelah berbulan terlupakan, kini sakit hatinya kembali merasuk. Untuk yang pertama kali setelah beberapa bulan terakhir ia menyesali lweekangnya yang terlenyap. Namun meski dendam terhadap pemuda ini tak terukur lagi, Ching masih tahu diri. Sekarang bukan saatnya. Lebih baik ia menghindar buat sementara. Lain waktu Chang Lun pasti mendapat ganjaran. Kalau perlu dengan menggunakan kakaknya. "A-lian, let's go. The air stinks here. I want to go back to my room," katanya pedas. Si Pelayan tak bersuara. Mengikut saja ia kepada si nona. Dalam haati berharap supaya Chang Lun tak sampai berbuat macam macam. Bisa runyam nantinya. Tapi harapannya tidak terkabul. Chang Lun malah menghadang di hadapan Ching- ching. "Where are you going" He just left you for a minute and already you're looking for your husband" I can keep you company." Ching berlagak tidak mendengar dan tidak melihat. Tapi mukanya berobah merah. Matanya menyala-nyala dan mulutnya terkatup rapat sampai tinggal menyerupai segaris merah. "Wow, she's angry. And prettier too. I guess you like it here. Your face is glowing. You even gained some weight." Habis sudah kesabaran Ching diperhinakan sedemikian. Tangannya terayun hendak menggampar mulut orang. Tapi Chang Lun terlebih gesit menangkap pergelangannya. "Aduh, marah lagi. Kenapa......Aduh!" Dalam jengkelnya Ching menginjak kuat kuat kaki sipemuda. Ia tahu ia tak berdaya Ching Ching 382 sekarang. Yang diandalkan cuma naluri semata. Naluri buat melawan, buat menumpahkan kemarahan. Yang dilakukan juga bukan gerakan silat. Sekedar berbuat. Tapi benar saja, Chang Lun tidak menduga. Ketika merasa sakit dikaki, tangannya melepaskan. "A-Lian!" Ching memanggil pelayannya dengan suara gemetar. Si pelayan buru buru mendului menunjukkan jalan. Tapi Chang Lun belum puas memperolok gadis ini. Lekas ia mencegat kebali. "Okay then, no more sweet talk. Are you really going to marry my brother?" Ching melongo. Chang Lun ini apakah masih memperolok-olok " Tapi ia tidak lagi cengengesan seperti tadi. Kali ini wajahnya angker. Matanya tajam berkilat. "Even if you killed me, I--" Plak! Giliran Chang Lun menampar. Ching menekap pipinya yang terasa pedas. Matanya mencorong memandang si pemuda. Tapi Chang Lun tak kalah garang. Melotot sama galak. "I knew you were a spy. You get nice with my brother, so you know where our hideout is. Then you'll escape, telling everybody where it is, so they can wipe us out. How low! Bitch!" Ching menatap tajam. Sebenarnya sama sekali tak ada niatan dia berbuat seperti apa yang dituduhkan Chang Lun. Namun kini hatinya sedang panas. Ia bertekad adu jiwa sekarang juga dengan pemuda ini. Maka itu ia balas memaki. "So what" Didn't you do exactly the same thing with my cousin, A-lan" Now I'm just following in your footsteps. So you're mocking yourself!" Perkataan Ching tepat mengena. Chang Lun tak dapat berkata kata. "You just wait. I'll kill off your family the same way you did mine!" "Go ahead and try. But not before I make you a cripple. I'll cut off your arms and legs. I'll scar your face, so that no even Houw can recognize you. I'll make you suffer for the rest of your life. You can't die, you can't take revenge. Your life will be worthless." Sambil berkata Chang Lun berkelebat mendekat. Ching bersiaga. Begitu Chang Lun datang, ia akan membenturkan kepala sekuat tenaga. Biar kepala mereka hancur sama-sama. A-Lian yang melihat gelagat makin gawat, lekas menghadang di hadapan Chang Lun. Gadis itu berlutut memohon. "Siaw-kongcu, ampuni Sio-cia. She was lying. Honest!" "Stupid servant. Kau sendiri dengar dia memaki dengan kurang ajar. Why are you defending her" You want to defect" Huh"!" "I don't dare. But, please, don't act on your own. How will I explain to Master?" "I'll handle my brother. Out of my way!" sekali mendepak A-Lian terpental sampai dua tombak. "Master, don't! She won't be able to fight you. She has no strength left!" A-Lian masih berteriak. "No strength?" Chang Lun terhenti. Tapi kemudian ia melanjutkan. "What's the difference" Even if she had her strength, she would still die by my hands!" Chang Lun maju lagi. Ching berdiri gagah. Tak gentar ancaman si pemuda. Tapi belum lagi Chang Lun melanjutkan tindakan, tahu tahu satu bayangan berkelebat. Mendadak saja pemuda perlente itu terjengkang kebelakang, tak kuasa bangkit. Ching menoleh. Chang Houw berdiri disana. Mukanya merah. Ia marah. "Apologize to Miss Lie!" he ordered his brother. "Brother ... I ..." "Do it!" nada suara Chang Houw mengandung perintah yang tak bisa dibantah. Ching Ching 383 Bahkan Chang Lun tak berani menentang. Ia bangun mengusap bibirnya yang berlepotan darah. "Alright. This time I, Chang Lun, beg for your forgiveness." setelah bicara pemuda itu terus berkelebat menghilang. Chang Houw menoleh kepada Ching. Tapi gadis itu tengah membalikkan badan. Ia tak mengucap sepatah kata. "Miss Lie ...," dia memanggil. Tapi Ching tidak menyahut. Menolehpun tidak. Gadis itu berjalan menuju satu pintu batu. Ia tahu disitulah jalan terdekat kembali ke kamarnya. A-Lian memandu di depan. Gadis itu juga tak berani bersuara. Ketika Ching menghilang di balik pintu, sekelebat Chang Houw melihat kilatan air dimatanya. Esok harinya ketika Chang Houw datang berkunjung, Ching tak mau menerima. A-Lian memberi laporan bahwa sejak semalam gadis itu tidak bersuara. Menangispun tidak. Hanya duduk diam dipembaringannya. Tidak makan, tidak minum. Tidak berbuat apaapa. Berhari hari cuma itu saja tingkahnya. Lebih celaka daripada sewaktu ia datang pertama. Dulu masih marah-marah, masih memaki. Sekarang cuma diam dan diam. Akhirnya pada hari kelima Chang Houw masuk ke kamarnya tanpa diundang. Terperangah ia melihat pujaan hatinya kusut masai. Mukanya pucat, rambutnya berantakan. Matanya menatap kosong. Sungguh menghibakan. Tergetar hati Chang Houw dibuatnya. Ingin pemuda itu memeluknya, menghiburnya. Membiarkan sang pujaan menangis di dadanya. Tapi Ching tidak bersuara. Tidak mendengar dan tidak melihat apa-apa. Ia tidak mengeluh. Apalagi menangis. Hanya setiap kali matanya mengedip, kentara hatinya menahan siksa. Derita yang ditimbulkan dendam yang terlalu dalam. Tanpa daya buat membalas. Chang Houw tak dapat hanya berdiri menatap. Ia mendekat, duduk di sisi pembaringan. Saat itu pertama kali ia berani memegang tangan Ching terang-terangan. Menggenggamnya erat. Seolah dengan jalan demikian ia dapat memberi kekuatan pada si nona. Ia juga tak berkata kata. Perasaannya tak perlu diucapkan. Ching takkan mendengar. Tapi ia bisa merasakan. Si nona muda telah mengetahui segala isi hatinya, seperti juga dia bisa membaca hati si gadis she Li. Hanya dua hati. Melebihi seribu kata. For a while they sat without moving. A-lian stared from the corner. Waiting. Touched. Realizing that her master's wish would never come true. Between her master and Lie Ching was a deep ravine, a splitting difference. Black and white. Love and hate. Batas yang semu, yet endless. "Lian, you take care of her. I'll be back." Chang Houw berkata. Sekelebatan saja bayangannya sudah menghilang. Ada sesuatu yang mesti ia lakukan. Yesterday, when he was summoned by his parents, Chang Houw knew that something was going to happen. Every time both his parents called, sitting side by side like prosecutors, meant that they were going to discuss something important. And he didn't guess wrong. Even as he paid his respects, his mother asked him, "Well?" Only one word. But so meaningful. Chang Houw knew. His mother was asking about Miss Lie. But he did not know how to answer. So he kept silent. His head bowed. "Well?" his mother asked again impatiently. "Did she agree?" Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "I haven't asked her," Chang Houw replied. "You haven't" It's been almost a year dan you haven't even asked her" Does she know about your feelings for her?" Ching Ching 384 "I think she does?" "So what are waiting for?" His mother heran. "Do you know how she feels toward you?" Chang Houw was silent. Ching's feelings" He didn't know. He couldn't tell. The girl was stubborn. Unpredictable. At one moment she seemed close and attainable. At other, she could be as cold as a snowy peak. Chang Houw didn't know. "A year. That's too long to wait. Ask her tomorrow and get this cleared. If she doesn't make a sastisfying response, you don't have to wait any longer." "But Mother ..." "What?" "She's not like that. If I surprised her, she won't go for it. And she's already so vengeful. I need time to..." "There's no more time. We will make our move next year at the latest. The white community has to be destroyed, or at least admit us as their superior. As number one. Have you forgotten already?" Chang houw hadn't forgot. Being number one in the Warrior World was his goal. The goal his mother had brought him up with. A must. No matter how, no matter what the obstacle. But that was then. Before he had ever met a girl named Lie Mei Ching. Now his goal had almost dimmed, engulfed by the flame of love in his heart. "Houw-ji?" This time his father spoke. With his loud thundering voice, but making his soul serene. Patient. "Yes, Father." "What's your opinion" Do you think Miss Lie wishes to join us?" Chang Houw knew the answer to that. No! But he couldn't say that in front of his mother. "I don't know." "You don't know?" his mother yelled. "You still don't know" You can't even guess?" "My wife, the heart of a woman is deeper than the deepest ocean, harder to predict that the weather. Just look at yourself. Aren't you that way also?" "Yes. But this is just taking too much time..." "Our son knows better about his love. Knows better how to conquer her. If he says he needs a little more time, that means he does need it. It's success that we want." Listening to her husband, the mother finally consented. "One more month. If she still doesn't want to be my student, I myself will take care of her. Understand?" Chang Houw nodded and left with heavy heart. How would he tell Ching about this" She would surely decline. Maybe he'd better delay this. And think of a way to trick the girl into consenting, and to be safe from her cruel mother. But now, after seeing how Ching suffered so, Chang Houw didn't have the heart. She had only met Chang Lun, and what effect did it have on her. Not to mention if she was forced to be his mother's student. Then a member of the family. No. The girl would feel tormented for the rest of her life. He'd better let her go. Chang Houw'd rather lose her that to see her suffer, or to watch her killed. By his own mother! Ching-ching mengawasi kepergian Chang Houw lewat ujung matanya. Ia melihat betapa pemuda itu tergesa. Satu jalan telah terbuka! Sebentar lagi ia pasti segera terbebas. Dan dendamnya akan terbalas. Setelah lama bergaul dan pasang omong dengan Chang Houw, Ching-ching sudah dapat menduga setiap tindakan yang Ching Ching 385 akan dilakukan pemuda itu. Begitupun kali ini. Sesuai janjinya pada Chang Lun, ia akan menggunakan cara licik menipu Chang Houw. Sebenarnya ia benci cara busuk sedemikian. Jiwa pendekar ajaran maha guru Pek San Bu Koan masih membekas. Kalau tidak tentu sudah lama ia terbebas dari kurungan. Tapi kali ini tak ada lain jalan. Chang Lun terlanjur menyulut api dendam yang hampir habis terguyur kebaikan Chang Houw. Kini si nona telah membulatkan tekad. Tak ada lagi yang bisa menghalangi. Esok harinya Chang Houw kembali datang. Kali ini ia menyuruh A-Lian keluar. Ketika tinggal mereka berdua, mulailah Chang Houw bercakap-cakap dengan si nona. "Lie-Kouwnio, Lie-Kouwnio, are you listening to me?" Ia mengguncang tangan Ching-ching. Namun si nona masih menatap lurus ke depan. "Lie Kouwnio, I've arranged so you can leave. But you can't tell anybody about this. I'm going to try to get the antidote for the poison in your body. But first, you must get your strength back. So eat. And drink the medicine. After that, you can get your revenge. I promise, you'll be free next month." Mendengar ini hati Ching-ching bersorak girang. Tak sengaja matanya mengedip lebih cepat. Chang Houw melihat. Ia tersenyum senang. "Now rest up. Beginning tomorrow, I can't visit you anymore. I have to find the antidote. But trust me, I'll do the best I can." Ching-ching puas. Ia akan segera bebas. Apa yang pertama kali akan dilakukannya " Tentu menemui Siaw Kui. Mendadak rindunya menumpuk pada pemuda itu. Ia ingin segera bertemu. Lalu Yuk Toa-hu dan kakek angkatnya. Dan kawan kawanya di Pek San Bu Koan. Bersama sama mereka akan berencana membalas dendam. Ya, bersama-sama.... Sementara Ching-ching sibuk dengan pikirannya, Chang Houw juga mengerut kening. Ia sudah mengetahui bahwa obat racun Sia-kang-tok-see (pasir racun pemunah tenaga) kini disimpan oleh ibunya. Ia harus meminta pada ibunya. Tapi mana mungkin diberi. Bagaimana kalau berdusta bahwa Ching-ching sudah setuju dijadikan murid" Ah, ibunya pasti girang dan memberikan obat pemunah itu dengan sukarela. Tapi kemudian ia juga akan menemui Ching-ching dan terbongkar semuanya. Apa dia harus mengajak Ching-ching bersekongkol, dan ... Tidak! Ching-ching tak mungkin sudi. Ia kenal watak gadis itu. Ia harus berusaha sendiri, tak bisa lain. Tapi cara bagaimana " Hanya satu jalan yang bisa dipikirkan. Mencurinya. Tapi buat mencuri itu ia harus pertaruhkan jiwanya. Beberapa hari Ching-ching menunggu, Chang Houw tidak juga datang. Si Nona sudah putus harapan, sempat berpikir bahwa Chang Houw tak ingin melepasnya dan buat selamanya ia takkan pulih. Tapi dalam hatinya Ching-ching masih menaruh kepercayaan pada pemuda itu. Diam diam ia menduga duga, mana yang menjadi nyata, pikirannya, ataukah perasaan hatinya lebih peka" Ia mendapat jawaban setelah menanti delapan hari lamanya. Chang Houw datang dengan membawa sebuah kotak di tangannya. Tanpa berkata-kata ia memberikan pada si nona, yang sudah tahu, apa isi kotak itu. Pemuda itu cuma mengawasi betapa Ching-ching bergirang menerima kotak tersebut. "Chang Kong-coe, I?Thank you. I do not know what to say," kata Ching-ching. Senyumnya mengembang, wajahnya berseri. Tak lama lagi ia akan kembali menjadi Ching-ching yang dulu, yang gagah, dan bebas. Chang Houw tak berkedip melihat pemandangan dihadapannya. Lihatlah, bahkan bidadari sekalipun takkan dapat menyamai kecantikan si nona sekarang ini. Tidak buat Chang Houw. Semua capai-lelahnya untuk mendapat pemunah itu lenyap mendadak. Ia tak ingat berapa kali jebakan senjata rahasia hampir membunuhnya. Terlupakan betapa ia hampir mati di kamar rahasia ibunya. Dengan melihat Ching Ching 386 kegembiraan sang pujaan hati adalah lebih dari cukup buat membayar deritanya semalam. Ching-ching masih bergembira beberapa saat. Menyadari betapa Chang Houw mengawasi, ia menjadi jengah sendiri. Mereka sama terdiam, sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Tahu tahu Chang Houw teringat sesuatu. Napasnya tersentak. "Miss Lie, when you've recovered, will you leave immediately?" "Of course, I don't have any business with?" mendadak Ching-ching tediam. Kembali dia diingatkan pada dendam keluarganya. "Maybe I should tell you. The antidote won't get you better in just a few days. You'll have to take a lot of rest for some time. I think it's best that when you leave this place, you go straight to your grandfather Yok-ong-phoa Yuk Lau. He can treat you until you completely recovered." "I will do what you say." "You can leave in a few days." Suara Chang Houw terdengar lirih. "Wait until I decide who can escort you out." "Thank you." Suara Ching-ching tak kalah pelan. Sebenarnya tak enak hati ia menerima begitu banyak kebaikan Chang Houw. Tapi mau bagaimana lagi " Lagi lagi mereka membisu. Entah berapa lama. Sampai akhirnya Chang Houw bangkit dan berpamit pada si Nona. Sampai kemudian Chang Houw menuju kamarnya sendiri, ia terus mengenangkan Nona She Lie itu. Teringat olehnya kegembiraan Ching-ching, tapi dalam sekejapan terlihat kembali murung. Kenapa" Apakah dia merasa sedih lantaran harus meninggalkan tempat ini" Harus meninggalkan Chang Houw" Ataukah dia cuma berpura-pura di depannya" Tapi sebentar lagi nona itu akan pergi. Itu yang terlebih membebani pikiran Chang Houw. Kemudian untuk selanjutnya mereka takkan pernah berkawan lagi. Tidak akan pernah lagi. Sebab Ching-ching mendendam pada keluarganya, dan ia takkan mungkin membiarkan siapapun menyakiti Ayahnya, Ibunya, atau adiknya. Tapi ia juga tak mau Ching-ching celaka. Aih, sebenarnya kemanakah hatinya lebih berat " Kepada Ching-ching atau kepada keluarganya " Chang Houw tak dapat menjawab. Sekalipun ia telah mengurung diri dalam kamar mencari jawabnya. Hatinya pedih mengingat sebentar lagi akan pepisahan dengan kecintaannya. Menyesal ia tak boleh lebih lama berada dekat dengannya. Chang Houw memejamkan mata. Terbayang wajah Ching-ching saat cemberut, saat marah, saat berduka, waktu tertawa, tersenyum, bicara........ Chang Houw tak ingin kehilangan itu semua. Namun ia tak dapat memiliki si Nona. Akan tetapi ada satu cara. Ia dapat menyimpan semua kenangan akan Ching-ching dalaam gambar ! Segera pemuda itu mengambil gulungan kertas dan kuas. Lekas tangannya bekerja. Ia harus menyelesaikannya. Semuanya. Mumpung ia masih ingat, sebelum hatinya pedih oleh perpisahan, dan dendam. Chang Houw mencurahkan segenap pikiran dan tenaga pada pekerjaannya sehingga tak menyadari akan lewatnya sang waktu. Tak kurang dari tujuh buah lukisan telah selesai ketika suara ketukan di pintu kamarnya terasa mengganggu. Dan tanpa dipersilahkan, tamu tak diundang telah masuk kedalam. Chang Houw berusaha menyembuanyikan semua hasil pekerjaannya, namun tamunya yang tak lain adiknya sendiri, telah lebih dulu melihat. "Ah!" serunya setelah pulih dari terkejut. Ia mendekati sebuah lukisan. "Let's see. What's my brother doing" Hmm, it's a pity this painting is too beautiful. Prettier that the real person. Much prettier. "Do you need something?" Chang Houw berlagak tidak dengar komentar Chang Lun. Ching Ching 387 "Toako, you're really crazy about her. You can get in trouble because of these paintings, you know." "What do you mean?" "You were too busy painting to greet Mother home, weren't you?" "Mother won't be back in three days." "Those three days are passed already! She came home this afternoon. She waited for you all day in the big room, but you didn't come. I wanted to tell you, but she didn't let me. She had a very important news. She wanted to tell you first. But you were too busy painting life-size people!" "Is that true" Whoa, I better go to her!"kata Chang Houw tergesa. "No use. She's already gone to rest. That's why I can come here to tell you. Be careful, Toako. You know how she hates to be belittled, let alone by her own son." "Yes, I know that." Chang Houw terduduk lemas. Chang Lun hanya menggelengkan kepala. Sebentar kemudian ia pergi ke kamarnya sendiri. Chang Houw menoopang kepala dengan tangan di dahi. Ia telah berbuat kesalahan besar dengan mengabaikan ibunya. Oh, bagaimana bisa" Padahal ia tahu betul, ibunya adalah pencemburu yang paling benci dinomorduakan. Bahkan dengan suaminya sendiri ia tak meu kalah. Dari sepasang siluman ular ia yang memakai julukan ular emas, sedang semua tahu emas lebih tinggi nilainya dari perak. Sekarang, dia, anak kesayangan Kim Koay Coa, yang diharapkan dapat menggantikan orang tua menjadi yang nomor satu di kolong langit, malah berani melupakan ibunya. Sang ibu pasti marah besar. Apalagi kalau tahu apa yang menyebabkan. siapa yang menjadikan sedemikian. Takkan ada ampun ! Chang Houw bergegas bangkit. Ia harus bertindak. Sekarang! Sebelum semuanya terlambat! Satu bayangan tampak menyelinap kedalam kamar batu dimana Lie Mei Ching tengah terlelap. Gerakkannya amat cepat dan ringan tandanya orang berkepandaian tinggi. Sosok itu mendekati tempat tidur dan terpekur mengawasi si nona. Namun saat kemudian tanggannya lebih cepat bergerak ke muka orang. Ching-ching tersentak dari mimpinya. Ia tak dapat bernapas. Seseorang mencoba membunuhnya! Gadis itu menjerit dan meronta, berharap datang pertolongan dari Sang Tuan Rumah. Tapi suaranya hanya serupa pekik yang hampir tak terdengar. Tak ada gunanya berontak. Tangan yang memegangnya terlalu kuat. "Sssssh, it's me!" came a soft whisper. Ching recognized the voice. It was Chang Houw himself. What was he doing here this time of night" "I will take off my hand, but you have to keep quiet." Ching had no other choice than nod her head. "I am going to get you out of this place, but we have to do it quietly. Get your clothes. I'll wait outside." Ching-ching bergegas-gegas. Sebentar saja ia sudah siap dengan baju ringkas. Malam ini ia akan bebas! Dipandangnya sebentar kamarnya dari dalam kegelapan. Ia tak akan kembali lagi ke sini. Tak akan pernah! Dara itu tak berlama-lama. Segera disambarnya kotak pemberian Chang Houw kemarin dulu. Isinya belum disentuh, tapi kalau mau benar-benar pergi tentu barang itu tak boleh ketinggalan. Begitu sampai di luar kamar, Chang Houw meraih tangan Ching-ching. "Stay close behind me. I'm going to get you out of here, but until we are out, you cannot Ching Ching 388 make any noise. Otherwise, we both could die." Ching-ching nodded. Berbimbingan dengan Chang Houw, they both moved silently ... Chang Houw membawa Ching-ching melewati lorong gelap yang panjeng dan berbelok-belok. Entah bagaimana Kong-cu itu dapat berjalan sangat cepat dalam kegelapan. Sedetik juga tak pernah ia merasa ragu akan jalan jalan yang ditempuhnya. Diam diam Ching-ching merasa bersyukur bahwa Chang Houw memegang tangannya erat. Kalau tidak, ketinggalan dua langkah saja pasti dia sudah tersesat jalan. Belum lagi ia tak dapat lihat apa-apa. Tapi bersama Chang Houw ia selalu merasa aman. Tindakannya juga mantap meski dalam gelap. Entah berapa lama sudah mereka berjalan. Tahu tahu Chang Houw berhenti. Dengan sendirinya Ching-ching juga tidak melangkah. Mereka berdiri dalam kegelapan dan keheningan beberapa lama. Ching-ching tak tahu ada apa, namun ia tak berani bertanya mengingat peringatan Chang Houw tadi. Tahu-tahu Chang Houw menghela napas. Terdengar nadanya seperti orang menyesal. "We're caught." katanya lesu. "Tak ada gunanya main menggelap lagi." "Now what?" tanya Ching-ching kecewa. Mendadak terdengar suara 'blang' beberapa kali. Seketika tempat itu terang benderang. Pintu-pintu rahasia disekitar mereka terbuka. Tempat mereka berdiri, yang tadinya serupa lorong, kini berada di tengah tengah satu ruangan. Beberapa orang laki berdandan serupa maju membawa obor. Beberapa lagi menghunus pedang. Kemudian terdengar suatu suara menggeleser halus. Pelan, tapi berirama. Suaranya berkumandang di semua tempat. Ching-ching sampai bingung darimana arah datangnya. "Anak mempersembahkan hormat pada ibu tercinta." belum lagi orangnya tiba, Chang Houw sudah mengucap salam dengan amat hormat. Satu pintu rahasia terbuka lagi. Dari gelap muncul satu orang perempuan. Pakaiannya dari sutera merah bersulam benang emas. Meski dalam kegelapan juga nampak berkilau. Apalagi terkena cahaya api, maka makin indah kelihatannya. "Houw-ji, where are you taking her?" Chang Houw did not answer. He stood with his head bowed. Wanita yang disebut ibu oleh Chang Houw melangkah semakin dekat. Dengan kepala tegak dan hati berdebar Ching-ching pentang mata. Sekarang. Ya, sekarang ini ia akan dapat melihat satu orang yang namanya begitu ditakuti kalangan Bu-lim belakangan ini. Nama yang menggetarkan hati tiap orang, namun tak pernah terlihat wujudnya. Wanita itu dengan anggun melangkah maju. Cahaya obor pelan-pelan menerangi mulai Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dari kaki terus ke atas. Semakin mendekat semakin jelas rupanya. Wanita itu berhenti dihadapan Ching-ching dan Chang Houw. "Miss Lie, how are you?" tanyanya sambil pamer satu senyum. Tapi Ching-ching malah bergidik melihat senyumannya. Sambil membelalak tak percaya ia mundur selangkah. "You ... you ..." Selama kejadian, tangan Chang Houw belum lagi dilepas. Kini lantaran Ching-ching mundur, jadinya tangan yang bertaut itu kelihatan oleh semua orang. Si wanita juga melihat. Kemudian ia menyusul melirik anaknya. Chang Houw mesti tahu diperhatikan sang bunda, tidak menjadi jengah. Pegangannya kepada Ching-ching malah makin erat. Si nona yang terpana melihat Kim Koay Coa tidak menyadarinya. "Houw-ji, Houw-ji. Perempuan yang kau kenal tidak kurang. Yang mengincar kedudukan menjadi istrimu juga tak sedikit, kenapa kamu malah penujui gadis Ching Ching 389 kepala batu yang satu ini?" Mendengar teguran Kim Koay Coa, Ching-ching jadi tersadar. Dengan muka merah disentakkannya tangan sehingga terlepas dari genggaman orang. Ia undur lagi beberapa tindak. Tangannya tracung menuding si Ular Emas. "You ... It's not possible! You're dead!" "No. You're wrong. Yo-si-su-thay is dead. I am still alive." Memang Kim Koay Coa itu tak lain dari Yo Si Suthay adanya. "But you're dead! Siaw-kui saw it! "If I'm dead, then how can I stand here right now, in front of you?" jengek Kim Koay Coa. "Your Siauw Kui was wrong. He saw a woman who looked like me and wore a nun's robe." "So it was true. Yo Si Suthay was your disguise." Ching-ching menggumam. "That's right. Sayang lantaran kau waktu itu menaruh curiga maka Yo Si Suthay harus dibunuh mati." Kim Koay Coa tertawa. "Miss Lie, I do have to say, you have keen observation. Nobody knew who I was for many years. But your little nose appeared and my mask was taken off. I must congratulate you." "But ... Then who is Gin-koay-coa?" "You don't really expect me to tell you that, do you" Silakan kau putar otak sekali lagi. Yang mau kuberitahukan adalah bahwa dendamku padamu sudah tertumpuk banyak. Pertama karena kau membunuh ibuku. Kedua karena kau bongkar penyamaranku, yang berarti hilang jerih payahku selama bertahun tahun. Tapi separoh hutangmu kuanggap lunas karena aku juga telah menghabisi ayah-bundamu. Separoh lagi boleh hilang bila kau mau menjadi pengikutku. Ai, sesungguhnya sudah lama kuinginkan kau menjadi pengikut. Lebih baik lagi kalau kau bersedia jadi menantu." Kim Koay Coa tertawa lagi. "Your mother ... Who is your mother?" Ching-ching sibuk putar otak. Siapa gerangan yang pernah dia bunuh dan usianya layak menjadi ibu siluman ini" Selama otaknya berputar, tak habis heran si nona. Yo Si Suthay adalah seorang yang terkenal galak dan berdisiplin. Bicaranya juga jarang, cuma sekadar yang perlu. Namun begitu berganti peran, betapa orang dapat omong banyak dengan lagak genit dan manja, namun tetap punya wibawa. "Lie Kouwnio, kalau kau lupa........." "I haven't forgotten," kata Ching-ching. "Hek-coa-popo itulah tentu ibumu." "You're smart. She is my mother. And you have to die for killing her. Unless you join our family. A life for a life. Your life for my mother's." "Never!" menjerit Ching-ching. "I would never ..." Sekejapan ia melirik Chang Houw yang pias mukanya. Seketika si nona rem mulutnya dan balik omong. "Even if I have to die today, I would never regret I have killed that ugly devil, so do not expect me to go crawling to you to pay for my 'sins'" "Meski kumati hari ini selamanya aku tidak menyesal telah membunuh iblis jelek ibumu itu. Maka jangan harap ku mau bayar hutang- tebus dosa segala." Wajah Kim Koay Coa yang tadinya penuh senyum itu menjadi beku seketika. "Then die!" si nyonya mengeluarkan cambuk. Di pecutkannya ke udara. Terdengar bunyi mendesis bergema. Ching-ching sekilas melihat cahaya ungu memancar dari kulit ular yang dijadikan senjata itu. tahulah dia, racun jahat dioleskan kepada sejata. Sekali terkena, entah bagaimana nasibnya. "Nio ..." terdengar lirih suara Chang Houw. Suara itu entah pedih entah kecewa ataukah berkuatir. "Houw-ji, stay out of this!" berseru Kim Koay Coa. Sekaligus ia lecutkan sekali lagi pecutnya ke arah Ching-ching. Ching Ching 390 Ching-ching tahu, tak ada gunanya melawan. Tenaganya hilang, pula kepandaiannya jauh berada di bawahan siluman ular itu. Namun si nona tak gentar. Ia berdiri dengan sikap siaga. Terasa kuda-kudanya goyah. Tapi Ching-ching sedikitpun tak mau unjuk kelemahan. Selarik sinar ungu menuju muka orang. Ching-ching siap menghindar. Tapi sesungguhnya ia sadar tak mungkin lolos dari sambaran lecut orang. Namun sebagai nona bandel, masa ia mandah saja dibunuh " 'Tarrr' terdengar suara keras ketika pecut mengenai kulit orang. Disusul mengucur darah ke atas tanah. Tapi bukan Ching-ching yang jadi korban. Dalam waktu cuma sekejap mata Chang Houw telah berdiri di hadapan si nona. Pecut melingkari tangannya yang sengaja dipakai menerima. Terlihat bajunya hancur terkena hawa panas pecut beracun. Kulitnya yang putih juga matang biru. Dan darahnya yang menetes berwarna hitam. Inilah tandanya betapa jahat racun di senjata orang. "Chang Houw!" Kim Koay Coa membentak. Nadanya seperti kaget, seperti marah, terlebih lagi menyesal. "Nio, I beg of you. Please let Miss Lie go for now. Just this once." "I ... You ...." Kim-koay-coa was speechless tak dapat berkata-kata beberapa saat lamanya. Kemudian ia melempar satu botol kecil dari sakunya. "Houw-jie, take this antidote." "Nio, I'll take it when Miss Lie is free." "Houw-jie, you're really ..." Kim Koay Coa melotot gusar. "You'll die even before she can leave this place! "Sebelum orang pergi kau sudah keburu mati!" Chang Houw tegak ditempatnya. Botol obat telah digenggam ditangan, tapi ia belum mau mengambil obat penawar. "Master Chang, I do not ask for your protection. Take the antidote," Ching said. She knew the poison was already spreading fast. If Houw did not take the antidote immediately, he could die. That means that he would die in vain because of her. Padahal Ching-ching pantang berhutang budi pada musuh. Chang Houw made no move. Matanya lurus memandang sang ibu. Mulutnya saja bersuara. "A Warrior never take back his own words!" Perkataannya itu ditujukan entah pada Ching-ching atau pada ibunya. Tetapi kedua wanita itu tahu, omongan Chang Houw bukan sembarang diucapkan. Kim Koay Coa memandang dingin wajah anaknya. "If I refuse, would you then die in vain" Miss Lie will die, and you will be dead." "Kalau aku menolak, bukannya kau nanti mati tersia-sia" Lie Kouwnio tidak selamat, kau sendiri terbinasa." Chang Houw went silent. His mother was right. If he were dead, who else would protect Miss Lie" She would never be able to escape this devil's lair. Then again, to die on the same day would be good. They lived as enemy in this life, who knew if they could be together in the next" Kim Koay Coa tahu anaknya keras hati. Percuma ia membujuk sebagaimana. Karenanya ia beralih bicara pada Ching-ching. "Miss Lie, if you surrender, not only I will give you a comfortable life for the rest of your life, but I will also guarantee your safety for the rest of mine. We can all be happy. No one is in debt, no one does any favors for anybody." "Lie Kouwnio, andai kau mau menyerah, bukan saja kuberi kehidupan enak sepanjang hidup. Tapi aku juga menjamin keselamatanmu sampai akhir hayatku. Demikian kita sama sama enak. Semua sama senang. Tak ada yang berhutang, tak ada yang melepas budi." Ching-ching mengerti maksud si nyonya. Andaikata Chang Houw mati, berarti dia ikut berdosa. Tapi Kim Koay Coa menyebut tentang melepas budi segala. Berarti ia Ching Ching 391 tak tega melihat anaknya mati sekarang. Andaikata Chang Houw tidak tampak menyerah, tentu Ching-ching akan dilepas bebas. "I will not be a two-faced person," Ching replied. "Let us say that I surrender, we both know that I will not do it wholeheartedly. One day, I will bikin celaka kamu, and I would be betraying both sides. No, I choose death over that." "Aku tak mau jadi orang muka dua." sahut Ching-Ching." Andaikatapun sekarang kumenyerah, tapi tidak sepenuh hati. Lain hari pasti kubikin celaka kamu. Maka dari itu daripada menghianati dua pihak, lebih banyak kupilih mati saja." Tampak lamat-lamat senyuman di bibir Kim Koay Coa. Matanya menerawang jauh seperti mengingat sesuatu. Lama tak ada yang bersuara di dalam ruangan situ. 'Bluk' tahu tahu Chang Houw rubuh. Ia memegangi dadanya. Mukanya mengunjuk rasa sakit, tapi mulutnya sedikitpun tidak mengeluh. Kim Koay Coa lekas memburu ke depan. Ching-ching yang terlebih dekat sudah maju selangkah, tapi kemudian berhenti. Ia cuma memandang saja orang kesakitan. "Take this!" Kim Koay Coa mengangsurkan satu buah Tan-wan (obat tablet) kemulut anaknya. Chang Houw closed his eyes. "I'll wait until Miss Lie is safe," his lips moved. Suaranya sudah amat lemah. "Fine, I will do what you want. Miss Lie can go. You have my word." Kepala Kim Koay Coa bergerak sedikit. Dayang yang memegang obor teru membuka satu pintu rahasia. "Orang She Lie silahkan pergi." berseru Kim Koay Coa. Sejenak Ching-ching ragu. Kalau ia pergi, mau tak mau ia menerima budi Chang Houw. Tapi kalau ia diam ditempat, berarti Chang Houw mati. Meski pemuda itu adalah musuhnya, bagaimanapun sikap pemuda itu sudah mendapat simpati si nona. Lantas bagaimana baiknya" Si nona melangkah. Ia berlutut di sampingnya Chang Houw. Diambilnya tan-wan di tangan sang bunda, lalu disuapkannya ke mulut si pemuda. Semuanya dilakukan amat cepat dan tergesa. Baik Chang Houw maupun ibunya terkejut atas tindakan si nona. Saking terpana mulut Chang Houw terbuka. Mudah saja buat Ching-ching membuat pemuda itu telan obat penawar. "Master Chang, bagaimanapun I am in your debt. I do not know how to repay you. I cannot let go my vow of vengeance, but other than that, even if you ask for my life, I will give it to you," si nona berkata. "Miss Lie, how can I ask for repayment when I have not done you any favors" aku tak merasa melepas budi. Bagaimana mungkin minta balas jasa," Chang Houw said. "You are here because I forced you to. As a good host, it is my duty to see you off safely. Now you even have poison in your body. Is it not that I have wronged you?" "Bukankah kedatanganmu kemari juga lantaran aku yang paksa. Sebagai tuan rumah sudah kewajiban kalau kumengantar kau pergi dengan selamat. Malah kini kau sedang keracunan obat. Bukannya aku yang berdosa padamu?" Ching-ching waved this off. "I'm not good with speech. Aku tak pintar basa-basi. I do not like to be in debt. Master Chang, you can ask anything of me and I will try my best to fulfill it. If you do not ask, then I would rather take my own life right here in front of you." Sikap Ching-ching lugas. Meski sungkan di hadapan si tuan muda, tetap saja tak bisa bersikap mengikuti tata peradaban. Chang Houw sudah kenal adat si nona. Maka dari itu tak ayal lagi terus berkata. "Then I will ask this of you. In the future, whatever happens, I wish that you will not fight with me menjadi lawanku pibu (bertarung)." Ching Ching 392 "Which means I cannot kill you," she said. "I accept." Kemudian tanpa berpamit lagi ia terus mengikuti si dayang penunjuk jalan. "Orang she Lie!" memanggil Kim Koay Coa. "Ini!" Ia melemparkan satu buah benda. Dengan sigap Ching-ching menangkap. Begitu menerima ia seketika menjadi pucat sembari meraba saku. Ternyata kotak obat pemberian Chang Houw tidak lagi ditempatnya, justeru berpindah di tangan. Kim Koay Coa telah mengambil tanpa sepengetahuan. Baru Ching-chign menyadari seberapa tinggi ilmu orang. Akan tetapi gadis itu tidak perlihatkan perasaan. Tanpa mengucap sepatah kata ia membalik dan melanjutkan langkah. Chang Houw mengikuti kepergian si nona dengan perasaan kacau. Ia merasa lega, tapi berduka. Seperti ada sesuatu yang hampa dalam hatinya. Hilang terbawa oleh kepergian gadis itu. Namun Chang Houw sadar, bagaimanapun ia dan si nona she Lie berada di dua pihak yang bertentangan. "Andai saja keadaan tidak begini." diam-diam ia membatin. White Mountain dari kejauhan amatlah indah dipandang mata. Puncaknya yang menjulang dilapisi awan. Lerengnya seringkali seperti terhalang kabut tipis. Sesuai namanya Pek San yang menampilkan pemandangan putih belaka. Namun apabila makin didekati, warna putih itu makin pudar. Bahkan apabila telah tiba di kaki gunung itu sendiri, jangan harap melihat salju, atau kabut. Yang ada hanya warna hijau seperti kebanyakan gunung lain. Bahkan lereng gunung Pek San lebih subur. Pohon-pohon besar tumbuh disitu seolah memagari kaki gunung. Di kaki gunung itu Ching-ching berhenti sebentar untuk beristirahat. Dipandanginya alam sekitar yang sudah pernah ia kenal. Tiada yang berubah. Semua masih tampak sama. Tapi sudah berapa lama ia tidak menginjak lereng gunung itu. Setahun" Padahal orang-orang yang kini merupakan kerabatnya terdekat tinggal disitu. Setelah mengaso sejenak, Ching-ching meneruskan berjalan ke tujuan. Rumah tabib Yuk. Ia mesti merepotkan kakek angkatnya itu sekali lagi. Melihat pondok Si Raja Obat, mendadak Ching-ching merasa berdebar. Ia seperti juga pulang ke rumah. Tahu-tahu dirasanya teramat rindu pada sang kakek. Secepatnya ia berlari ke pondok sederhana itu. "Yuk Kong-kong!" sepanjang jalan ia berteriak memanggil. Di pekarangan depan dilihatnya sang raja obat tengah menjemur berbagai macam akar-akaran. Ia memanggil sekali lagi. Melihat siapa yang datang, Yok Ong Phoa amat terkejut. Tangannya gemetar. Akar obat yang mau dijemurnya berantakan ditanah. "Kau..........." ia menuding dengan bingung. Ching-ching tak kalah heran melihat reaksi orang. "Kong-kong, apa sudah lupa" It's me, Ching-ching!" "Ching-ching!" tabib Yuk lantas mendekat. Beberapa batang akar obat terinjak, tapi ia tak ambil peduli. Diperhatikannya muka si nona. "Oh my. You're still alive?" Terbengong Ching-ching jadinya. "When did I die?" "Ah-Lau and Wang Li Hai. They brought home the news that ...Wait, I have to tell them about this." Yok Ong Phoa Yuk Fung menyuruh cucu angkatnya itu menunggu. Ia sendiri terburu buru menuju ke Pek San Bu Koan untuk mengabarkan kepulangan Ching-ching. Sebenarnya Ching-ching sendiri tak tega melihat Kakek itu sedemikian repot. Tapi mau bagaimana. Ia sendiri ingin ketemu dengan kawan-kawan yang lain, padahal sudah disumpah tidak menginjak Pek San Bu Koan lagi seumur hidupnya. Ching Ching 393 Tak terlalu lama, Ching-ching sudah mendengar langkah orang berlari. Benar saja, kemudian ia melihat Chia Wu Fei datang, susul menyusul dengan Miaw Chun Kian dan Yuk Lau. "Ching-moy!" mereka semua berteriak serempak begitu tiba dipondok. Tapi ketika melihat Ching-ching berdiri di depan pintu dengan tertawa, kesemuanya cuma bisa berdiri menjublak. Wu Fei adalah yang paling pertama bergerak. Sekali berkelebat ia menarik rambut Ching-ching. Nona itu tidak menduga, dengan sendirinya tak sempat mengelak. "Aww! Wu Fei-ko apa-apaan?" "Huaa, Ching-ching, you are still alive!" "Of course I am. Kalau sudah mati apa bisa merasa sakit?" gerutu si nona. Serentak yang lain-lain ikut bersorak. Mereka berebut pasang omong duluan dengan si nona. Jelas orang jadi bingung dibuatnya. "Aaaa!" tahu tahu Ching-ching berteriak. Yang lain kaget, terdiam. "Aku mau lebih dulu menanya!" kata si nona galak. "Kalian dapat kabar aku sudah mati dari mana?" "Sam-suheng yang bilang!" menuding Wu Fei. "That's right. Memang aku yang membawa kabar. Aku sendiri mendapatkan di markasnya partai agama di Kong An, dari seorang pemuda bernama Tan Hai Chong. Ia bilang ketika kau ditangkap Kim Gin Siang Coa Pang, mereka membunuhmu ditempat. Mayatmu dibakar, abunya disebar." "Kurang ajar budak itu! Justru Tan Hai Chong itulah yang bersama gurunya mempedayai aku. Jelas dia tahu aku masih hidup. Kenapa pula ia berkata yang bukan-bukan. Eh, darimana Gie-ko (kakak angkat) mengenal dia ?" "Dia pernah ada hutang budi dengan Sian Toa-ko Chow Fuk. Maka dari itu mau memberi keterangan mengenaimu. Tak tahunya kita ditipu mentah-mentah." Wajah Yuk Lau tampak dendam. "Bangsat tak tahu diri!" ia mengumpat. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ching-ching noticed that Yuk Lau called orang sebagai Big Brother. Berarti kedua kakak angkatnya itu sudah berbaikan. Tetapi di depannya Yuk Lau also added 'late'. Seketika wajah si nona pucat. "Apa...apa yang terjadi pada Toa-ko?" "What-what happened to Toa-ko?" "When his teacher caught him talking to me, "Ketika dipergoki gurunya bahwa toa-ko sering bertemu denganku, ia dianggap penghianat dan tiada pengampunan lagi. Karena untuk menyelamatkan aku supaya dapat mencarimu toa-ko melawan habis-habisan gurunya. Ia......." suara Yuk Lau mendadak serak. Ching-ching sendiri amat terpukul. Kepalanya terasa pening. Kakinya lemas. Tak terasa ia jatuh berlutut. "Ching-moy!" Wu Fei memayangnya berdiri."Lebih baik kita bicara di dalam saja!" katanya sambil mendului membawa si nona kedalam. Beberapa saat lamanya Ching-ching tak dapat berbicara. Ia menangis tanpa suara. Tapi kemudian ia tersenyum sambil menghapus airmata. "Paling tidak kini semua orang tahu bahwa toa-ko bukan orang jahat. Soal kematiannya biarlah kelak kita yang membalas." Melihat si nona tidak lagi berduka malah nampak bersemangat, yang lain tertular merasa lebih gembira. Apalagi sebenarnya kematian Chow Fuk sudah lama terjadi. Masa berkabung juga sudah lewat. Tak heran mereka mudah kembali cerah. Semuanya cuma merasakan kegembiraan atas kepulangan Ching-ching yang tak lurang suatu apa. Tidak ada yang tahu betapa perasaan gadis itu yang sesungguhnya. Ia merasa Ching Ching 394 berdosa atas kematian Chow-Fuk. Sedikit banyak ialah yang menyebabkan. Andaikata ia tidak sampai tertangkap oleh Chang Houw, pasti tak ada kejadian macam begini. Dendamnya kembali berkobar. Tapi dipihak lain ia juga merasa berhutang budi pada musuh besarnya itu. Lebih celaka, ia pernah menganggapnya sebagai kawan. "Tahu tidak, gara-gara mendengar kabar kematianmu, kami anak murid Pek San Bu Koan banyak kau bikin repot. Dari berkabung sampai upacara sembahyangan kami lakukan semua. Tahukah " Suhu sampai 40 hari pantang makaan daging." ocehan Wu Fei membuat si nona tersadar dari lamunan. "Apa iya ?" katanya. Hatinya tergetar mengingat sang guru. "Why would I lie" We all wore white in mourning. Teacher didn't, of course, but he fasted instead. He also came to the funeral ritual." "Buat apa bohong" Waktu itu kami semua selalu pakai baju putih tanda berkabung. Suhu terntu tidak, tapi ia berpantang sebagai gantinya. Lalu waktu upacara sembayangan, guru juga datang." Diam-diam si nona terharu mendengar bahwa bekas saudara-saudaranya seperguruan begitu menghargai dia. Namun di depan Wu Fei mana mau ia perlihatkan perasaan hati. Maka sambil tertawa tawa ia malah berkata, "coba bagaimana upacara menyembahyangi aku ?" "Tahukah kau kelenteng yang di kaki gunung ini" Disanalah kami adakan...." "Kelenteng bobrok itu" Teganya !" "Tentu sajaa kami perbaiki dulu. Kalau tidak mana pantas terima tamu pendekar-pendekar besar." "Banyak pendekar menyembahyangi aku" Wah, mati pun tidak menyesal." Ching-ching tertawa lagi. "Jangan jumawa. Mereka datang karena menghormati suhu, ayahmu dan kakekmu." kata Miaw Chun Kian. "Oh, ya. Waktu sembayangan ada sekelompok gembel yang mengaku kerabatmu. Pemimpinnya berjuluk Ban Jiu Touw Ong kalau tidak salah. Dia yang paling ngotot mengaku sebagai ayahmu, dia yang menangis paling keras, bahkan memaki-maki suhu di depan banyak orang. Dikatainya beliau tak becus menjaga murid. Yuk-kong-kong juga dikatai tak becus." Wu Fei semangat bercerita. Ching-ching tak tahu harus tertawa atau menangis mendengarnya. "Kami semua bersedih sedih. Toa-suheng dan Sam-suheng tak bisa makan-tidur, paling kasihan melihat Hai-ko. Badannya kurus seperti lidi." "Kau sendiri menangis tiga malaman sampai matamu bengkak tak bisa melek kenapa tak disebut-sebut?" omel Yuk Lau. Wu Fei berlagak tidak dengar. "Ching-ching, kepulanganmu apakah Li-Hai sudah tahu ?" tanya Wu Fei membuat si nona yang setengah melamun kembali tersadar. "Tidak. Aku belum lagi bertemu dengan dia. Barangkali sekarang dia sedang jalan jalan dengan suci, ya. Pantas sedari tadi aku tak melihat Sioe Ing-cici." Seketika semua terdiam. Mereka saling pandang dengan sikap yang mengherankan si nona. "Kenapa" Atau mereka malah sudah kawin sekalian?" Ching-ching bergurau. "Kau sudah tahu ?" tanya Yuk Lau. "Dia malah sama sekali belum tahu!" bantah Wu Fei. "Apa" Ching-ching bingung."Tahu apa ?" "Sioe Ing tidak lagi ada disini. Ia sudah pergi." Miaw Chun Kian yang memberi tahu. "Ada kejadian apa sampai Sioe Ing-cici diusir?" "Sebenarnya itu adalah kesalahan Su-moy sendiri, tapi juga bukan sepenuhnya Ching Ching 395 kesalahan dia." "Aku tidak mengerti..?" "Setelah kau dikabarkan mati, Wang Li Hai sedemikian sedihnya sehingga jatuh sakit. Selama itu selain Kong-kong yang merawatnya adalah Su-ci dan Thio Lan Fung. Semua tahu keduanya sama menaruh hati pada pemuda itu. Malahan ayah nona Thio sudah pula datang melamar untuk puterinya, dasar tidak tahu malu!" Wu Fei menghentikan ceritanya sekedar buat memaki. "Sioe Ing-sumoy mendengarnya lalu menanyakan kepada Thio Lan Fung." Yuk Lau menyambung cerita adik seperguruannya. "Entah bagaimana tahu-tahu Su-moy dan si nona she Thio sudah bergebrak dengan seru. Dalam pertempuran itu Thio Lan Fung terluka berat sampai perlu dibawa kepada kong-kong supaya dirawat. Ayahnya, Thio Tay-hiap tidak terima, lantas datang melabrak ke perguruan. Suhu mencoba membereskan perkara secara damai, tahu-tahu su-moy datang dan mabuk pula kemudian memaki-maki Thio Tay-hiap didepan anak-murid yang lain." "Suhu murka melihat kelakuan su-moy yang memalukan. Seketika itu juga su- moy diusir dari perguruan." kedengaran berduka suara Miaw Chun Kian. "Sebenarnya suhu tak perlu sampai mengusir." kata Wu Fei menyesali. "Waktu itu su-ci sedemikian mabuknya sehingga tak sadar apa yang dikatakan. Malah kalau mau dibilang justeru suhu yang salah, tahu su-ci tidak tenang bukannya diberi nasihat malah dilepaskan keluyuran." "Su-moy sudah dewasa. Lagipula suhu tak dapat mengawasi murid satu persatu." bantah Miaw Chun Kian. "Aku pikir hal itu dilakukan demi menjaga wibawa." menyahut Ching-ching. "Apabila Kang-ouw tahu beliau melindungi murid yang tidak tahu adat, apa jadinya Pek-San-Bu-Koan?" "Nah, ternyata Ching-moy lebih mengerti." "Justeru aku tidak mengerti sama sekali. Apa suhu kalian lebih perhatikan wibawanya sendiri daripada anak-muridnya?" menggumam si nona. Baik Chun Kian maupun Yuk Lau tak dapat menjawab. Sekarang iniipun mereka tidak mengerti tindakan suhunya. Betulkah hanya demi kewibawaannya seorang" Ataukah demi seluruh murid Pek-San-Bu-Koan" Atau demi kepentingan Sioe-Ing atau bagaimana" "Bagaimanapun, aku yakin tindakan Suhu didasari alasan yang kuat." kata Miaw Chun Kian. "Memang demikian seharusnya tindakan murid berbakti!" Ching-ching mengacungkan jempol. "Soal itu bolehlah tidak usah dibicarakan lagi. Sekarang aku mau tanya kabarnya Khu Yin Hung?" "Dia sedang berada di kampungnya, berusaha membangunn kembali reruntuhan rumahnya dengan bantuan orang-orang disana. Oh ya, pelayanmu si A-Ying itu juga menemaninya disana." "Sayang Sam-suheng sedang banyak urusan disini, kalau tidak tentu ia akan turun diam di Ban-Tok-Lim juga." kata Wu Fei seraya melirik Yuk Lau yang tersipu. "Kau apakah tidak menanyakan keadaan Wang Li Hai?" membalas Yuk Lau kepada si Nona. "Ya, betul. Apa kau tidak kasihan kepadanya" Semenjak kau hilang itu dia banyak lebih kurus dan sering sakitan. Mukanya sekarang pucat pula. Semestinya kau jenguk dia !" menyambung Wu Fei. "Dia sendiri anggap aku sudah mati, guna apa kujenguk dia" Lagipula disampingnya kini ada Thio Lan Fung yang malah sudah berani melamar." ketus Ching-ching. Kentara gadis itu minum cuka alias cemburu. "Sudah, kalian jangan sebut dia Ching Ching 396 lagi, kalau tidak aku mendingan tidur saja !" Ketiga pemuda yang lain tertawa saja mendengar ancamannya, tetapi kemudian tak ada pula yang menyebut nama Wang Li Hai. Yang dibicarakan kini hanya seputar berita di kalangan Bu-lim saja berhubung si nona banyak ketinggalan kabar setahun ini. --oOo - The news of Lie Mei Ching coming home was spread among the warriors. Many went to look for her to ask her about Kgscp. In the end, the White Mountain School had its hand full. Everyone knew that although Lie Mei Ching was kicked out of the school, but the relationship between the students were very close. So they came to White Mountain with the excuse to congratulate Lie Wein Ming on his birthday. Murid-murid Pek San Bu Koan tentu saja terkejut berbareng heran lantaran ulang tahun Li Wei Ming ke-82 itu memang tidak dirayakan dan tidak mengundang orang. Memang bukan kebiasaan untuk merayakan ulang tahun dibawah kelipatan sepuluh. Bahkan Li Wei Ming sendiri semenjak pagi sudah pergi entah kemana. Ia yang lebih dapat menyelami tindak-tanduk anggauta Bu-Lim sudah menduga adanya kejadian, maka lekas menyingkir dengan sedikit mendongkol. Miaw Chun Kian sebagai murid tertua bertugas menerima tamu. Ia tak dapat lain daripada mengucap terimakasih dan mohon maaf atas tidak adanya persiapan. "Sesungguhnya she-jiet Suhu kami tahun ini tidak dirayakan, akan tetapi cu-wi (anda sekalian) berkenan mengingatnya, kami sungguh merasa tersanjung. Sayang kami tiada persiapan sama sekali, maka untuk menjamu hanya tersedia teh saja." "Ah, kami datang toh bukannya minta dijamu." kata seorang tetamu. "By the way, where is your teacher?" kata yang lain. "As a matter of fact, Teacher is not here for the moment," Miaw Chun Kian replied. "He left very early in the morning, maybe just to take a walk to the back of the mountain." Hantu Muka Dua 3 Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian Matahari Esok Pagi 8