Ceritasilat Novel Online

Ching Ching 8

Ching Ching Karya ??? Bagian 8 matahari hampir bersembunyi lagi di balik bumi. Lie Hay cepat mencari tempat untuk beristirahat. Tak jauh dari sana ternyata ada sebuah bio yang runtuh separo. Ia dapat tinggal di sana malam ini. Begitu masuk ke dalam, Lie Hay teringat lagi pada Ching-ching. Dulu, lebih dua tahun lalu, saat mereka mengembara bersama, sering sekali mereka berteduh di kuil-kuil terpencil macam ini. Lalu mereka akan menyalakan api, dan membakar binatang yang diburu Ching-ching di siang hari, dan mereka makan bersama. Ching-ching selalu memberinya bagian lebih banyak. Gadis itu tahu, perutnya lebih besar dan mesti diisi penuh. Kalau sudah makan, biasanya mereka lantas membaringkan diri di lantai, kemudian tidur sampai pagi. Tapi semua cuma masa lalu. Sekarang ia sendirian. Tak ada Ching-ching yang menemani, yang suka mengomeli dan menjahilinya kadang-kadang. Tak ada gadis yang dapat ia goda. Ia sendirian. Sambil menghela napas, Lie Hay duduk bersandar. Tak ada gunanya mengingat masa lalu terlalu lama. Lebih baik berbuat. Begitu kata Ching-ching selalu. Jadi, lebih baik sekarang ia tidur dan besok pagi mencari sahabat kecilnya itu. Lie Hay sudah terlena beberapa saat sampai kemudian ia mendengar suar-suara orang di luar bio. Tadinya ia hendak berlagak tak peduli. Tapi, waktu mendengar benakan-bentakan, tiba-tiba ia tak enak hati dan cepat sembunyi di balik tirai sambil mengintai. Tiga orang berbaju hitam masuk ke dalam bio sambil mendorong seorang yang dari perawakannya adalah seorang gadis. Tapi bio itu gelap hingga Lie Hay tak dapat memastikan. "Dasar gadis lamban, sama tak becus seperti ayahnya. Cuma merepotkan orang saja," gerutu yang seorang. "Siauw-tee, sekarang ia memang merepotkan. Tapi segera sesudah ayahnya kita bunuh, kita boleh hidup tenang." Tiba-tiba saja si gadis sesenggukan Suaranya agak terpendam tangannya yang menutupi mulut, tapi tetap saja kedengaran jelas. "Diam, berisik!" bentak yang tadi dipanggil siauw-tee. Bukannya berhenti, si gadis malah menangis lebih keras. "Tolo," si orang yang dari tadi mengomel mengangkat tangan dan menggampar pipi gadis itu. Wang Lie Hay yang bersembunyi merasa kasihan, tapi ia belum tahu persoalan, menganggap lebih baik tidak menampakkan diri. "Siauw-tee, jangan terlalu kasar," tegus seseorang yang belum bersuara. "Kalau dia sampai mati, kita tak akan dapat memaksa Toan Boen bertemu Ketua." "Hah, sial memang si Toan Boen. Sungguh tolol ia berani menentang Ketua hingga kini merepotkan kita harus menculik anak gadisnya segala. Tahu-tahu, entah kenapa, gadis itu merasakan ada orang lain di dekat tempat itu. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan, langsung saja berteriak, "Tolong!" Tentu saja tiga penawannya kaget bukan buatan. Apalagi 'Siauw-tee' yang paling beringas. Langsung saja ia melompat menjambak rambut hitam gadis itu sembari Ching Ching 234 menampari mulutnya, hingga si gadis malang menjerit kesakitan. Wang Lie Hay tak tahan lagi. Ia melompat keluar dari tempatnya bersembunyi. "Sungguh memalukan, tiga orang tua bangka mengganggu seorang gadis kecil tak berdaya!" serunya. Tiga kepala menoleh serentak. "Siapa kau" Mau apa kau di sini?" "Mestinya aku yang tanya," sahut Lie Hay, "apa yang kalian lakukan di sini." "Bocah busuk, kau pikir kau siapa, berani menanyai kami!" "Kalau kubilang 'kakekmu', kau mau percaya?" "Jahanam, kau belum pernah makan golok ya!" orang yang dipanggil siauw-tee merangsek maju sambil ayunkan golok. "Kalau sudah, mana bisa aku berdiri di sini?" enak saja Wang Lie Hay menyahut sambil menghindari serangan. Ia angat tangannya mencengkeram pangkal lengan penyerangnya. Sekali sentak, golok siauw-tee rontok ke tanah. Bersamaan gemerincing golok di lantai dua buah pedang meluncur ke arah Wang Lie Hay. Pemuda itu bertindak menghindar dengan berjungkir balik ke belakang. Namun, kedua pedang itus udah bererak lagi sebelum ia sempat berdiri tegak. Wang Lie Hay cepat menunduk sambil melipat sebelah kaki sementara kaki yang lain berputar menyapu kuda-kuda lawan. Dua penyerangnya langsung tersungkur. "Tua bangka tak berguna. Kalua kalian masih ingin hidup, cepat minggat dari sinI!" Tiga orang itu tak lagi buang waktu menghadapi pemuda tampan berwajah mayat di hadapan mereka. Buru-buru ketiganya kabur tak pedulikan tawanan mereka lagi. Wang Lie Hay menghampiri gadis yang masih terikat dan belumb erhenti mengangis. Diputuskannya semua tali yang melilit. Baru saat itu ia tahu, si gadis memakai cadar menutupi muka. "Jangan takut, mereka semua sudah pergi. Aku juga bukan orang jahat yang berniat tak baik padamu," kata Lie Hay. "Terima kasih, in-kong, telah menyelamatkans aya," kata si gadis di antara isak tangisnya. "Sudahlah, jangna kebanyakan basa-basi. Lebih baik tidur saja. Sekarang sudah larut." Lie Hay langsung membaringkan diri. Begitupun dengan gadis yang ia tolong. Hanya saja gadis itu menjauh ke sudut ruangan. Barangkali takut digigit malam-malam. Lie Hay mendengus. Masa bodoh. Ia sudah capek, betul-betul butuh istirahat. Peduli segala macam. Pagi harinya, waktu bangun, Lie Hay mendapati gadis yang kemarin ditolongnya sedang duduk memperhatikan dia dari tempat agak jauh. Ketika kepergok, paras gadis itu berubah merah dan ia menunduk malu. Lie Hay berlagak tidak tahu dan mendekatinya. "Kouw-nio, pagi benar kau bangun. Apakah mau pergi?" "Mana berani aku pergi tanpa pamit padamu, in-kong." "In-kong, in-kong. Umurku belum lagi sembilan belas, mana pantas dipanggil inkong?" Gadis itu mengangkat mukanya memandang Wang Lie Hay. Pemuda itu tersenyum padanya. Dan biarpun Lie Hay tak dapat melihat wajah di balik cadar itu, ia yakin gadis itu tersenyum juga. Hanya saja ada yang mengganggu Lie Hay dalam pandangan sekilas itu. Mata itu, mata yang hitam bulat itu mengingatkannya pada mata Ching-ching. Bedanya di mata gadis nakal itu terbayang keceriaan, tawa, canda, rasa gembira, sedangkan dalam mata gadis ini yang terlihat adalah kesedihan yang suram, menimbulkan rasa kasihan yang melihatnya. Ching Ching 235 "Sio-cia, dari sini, ke mana kau mau pergi?" Lie Hay mencoba mengusir banyangan Ching-ching dari kepalanya. "Pulang, Thia pasti sudah menunggu aku. Aku tak mau ia kuatirkan aku." "Rumahmu jauh" Barangkali aku semestinya megnantarmu kalau-kalau tiga bandit tua kemarin belum kapok mengganggumu." Terlihat betapa gadis itu menghela napas lega. Ia tak akan berani pulang sendirian. Ia belum pernah keluar rumah. Apalagi berjalan seorang diri. Betapa mengerikan! Tapi di samping pemuda ini, ia merasa aman. Bukankah penolongnya ini orang hebat" Semalam saja tiga penculiknya dirobohkan sekali gebrak. "Aku tinggal di Pat-kwa-lim." Dahi Lie Hay berkerut mendengar nama yang tidak biasa itu. "Di manakah adanya tempat itu, Kouw-nio?" "Barangkali ada dua hari perjalanan dari sini ke sebelah barat." "Baguslah. Kita berangkat saja sekarang. Tapi sebelumnya maaf kalau terlalu lancang. Bolehkah aku tahu dulu namamu?" "Aku she Toan bernama Coe, Toan Coe." "Aku she Wang, namaku Lie Hay." Sesudah saling memperkenalkan diri, keduanya lantas berangkat. Tepat seperti yang dikatakan Toan Cow, dua hari kemudian mereka menemukan hutan yang dituju. Lie Hay ingin menyelonong masuk begitu saja, tapi tToan Coe yang sudah tahu jalan mencegah. Ia mengajak pemuda itu mengitar lewat jalan lain. "Hutan ini diatur seperti Pat-kwa-tin. Cuma ada dua pintu menuju ke dalam. Jalan lain penuh dengan bik-hok. Kalaupun lepas dari jebakan itu, tak akand apat sampai ke tujuan. Cuma putar-putar saja di tempat semula." Lie Hay mengikuti gadis itu yang menunjukkan jalan. Tak lama kemudian mereka sampai di tengah hutan. Tapi, di bagain tengah itu justru tak banyak pepohonan. Tang ketemu cuma sebuah bangunan bercat hijau dari lantai sampai ke atapnya. Dilihat-lihat, bentuknya bukanlah segi empat, tapi segi delapan juga. "Ini rumahku. Marilah masuk. Kuperkenalkan pada Thia." Begitu masuk, mereka bertemu beberapa orang yang menyambut Toan Coe dengan gembira, namun langsung menghadang Lie Hay. "Eh, para siok-siok, janganlah salah paham. Ini adalah Wang Kong-coe penolongku," cegah Toan Coe ketakutan. "Kalau begitu, maafkanlah kami, In-kong," orang-orang yang menghadang itus erentak berlutut. Lie Hay jadi repot menyuruh mereka berdiri. "Haduh, haduh. Janganlah demikian sungkan. Aku tak terbiasa dengan segala basabasi begini. Hayo, bangunlah." Lie Hay bernapas lega setelahs emua orang itu bangkit. Ahhh, ia sudah lama terpisah dari dunia luar hingga penghormatan orang lain benar-benar membuatnya risih. "Cong Siok-siok, di manakah Thia-thia?" "Ia ada di kamar baca. A-cow, kau temuilah lekas. Ia sudah menguatiri keadaanmu." Toan Coe segera berlari ke dalam sementara Lie Hay diantar ke ruang tamu. Ia dijamu sebaik-baiknya sampai pemuda itu salah tingkah sendiri. Kemudian datanglah seorang berumur 50-an masuk ke ruangan itu bersama A-coe. "In-kong, maafkanlah saya terlambat menyambut sehingga In-kong lama menunggu." "Eh, tidak kok, sungguh tidak lama" kata Lie Hay gugup sambil menjura. "In-kong sudah menolong anak saya. Sungguh saya berterima kasih." "Jangan sungkan. Menolong sesama bukankah sudah kewajiban tiap orang. Dan kalau tka keberatan, harap jangan panggil In-kong. Saya sungguh tak pentas menerima Ching Ching 236 penghormatan itu." "Tuan sudah menolong anak saya, kalau bukan In-kong, apa lagi saya harus memanggil?" "Namaku Wang Lie Hay. Panggil saja A-hay," jawab pemuda itu gelagapan. "A-hay?" ayah A-coe yang bernama Toan Boen itu terkejut. Pemuda di hadapannya ini sungguh lugu. Rupanya tka kenal basa-basi meskipun sikapnya boleh dibilang sopan. Padahal dari apa yang diceritakan anaknya, Toan Boen tahu ini bukanlah pemuda sembarangan. Untungnya Toan Boen mengerti apa yang dirasakan Lie Hay ini. "Baiklah, aku panggil kau A-hay. Asalkan kau sudi menyapaku dengan Siok-siok dan anakku dengan moay-moay, apakah keberatan?" Wang Lie Hay menghela napas lega. Ia tadi sungguh bingung ma panggil apa pada tuan rumah ini. Sekarang diberi jalan keluar, tentu saja girang bukan buatan. "Tidak, tentu aku tidak keberatan." "Begini. Eh, Hay-jie. Kami sangan berterima kasih atas pertolonganmu. Dan kami bukanlah orang yang tak tahu diri. Hay-jie, kalau ada sesuatu yang kauinginkan, katakanlah saja." "Jangan begitu, Siok-siok, aku menolong tanpa mengharpakan balas jasa dari siapa pun." "Baiklah, tapi kami tak akan merasa tenang sebelum melakukan sesuatu untukmu. Begini saja. Biarlah kami menjamu engkau selama beberapa hari." Wang Lie Hay tidak melihat adanya kerugian dari dua belah pihak, karenanya ia setuju saja tinggal di sana. Paling cuma beberapa hari. Toan Boen dari mula sudah tertarik pada pemuda yang polos itu. Ia bertekad menahannya sementar. Kalau tak mau diberi imbalan, biarlah ia mengajarkan sesuatu pada pemuda itu. Barangkali ia akan mengajarkan kebiasaan di kalangan Kang-ouw yang kelak akan berguna bagi pemuda itu. Sudah sebulan Wang Lie Hay berdiam di tempat itu, tapi belum juga ia mengenali keseluruhan bangunan besar yang diketahuinya bernama Pat-kwa-kiong itu. Untungnya Toan Coe selalu mengantar ke mana pun ia pergi. Kalau tidak, barangkali ia sudah tersesat belasan kali. Diam-diam Toan Boen sering memperhatikan anaknya yang sedang bersama Lie Hay. Kasihan A-coe. Biar umurnya sudah 16 tahun, belum sekali pun ia bergaul dengan teman sebaya. Sekarang, setelah pemuda she Wang itu datang, A-coe kelihatan begitu gembira. Tidak lagi terlalu pendiam seperti dulu. Dan hal lain yang membuat Toan Boen suka pada Lie Hay adalah bahwa pemuda itu tidak mau menanyakan hal-hal yang bukan urusannya. Ia tak menanyakan kenapa A-coe diculik. Tak juga bertanya kenapa gadis itu mengenakan cadar terus-terusan, biarpun Toan Boen tahu, sebenarnya Lie Hay sungguh penasaran. "Ada seseorang mengajari, jangan suka tanya-tanya hal yang bukan urusanmu," kata Lie Hay waktu ditanya. Jawabannya malah membuat Toan Bun tak enak hati hingga tanpa diminta, Toan Boen menceritakan segala sesuatunya kecuali perihal anaknya yang bercadar. Dari ceritanya Lie Hay tahu bahwa ibu A-coe meninggal sejak gadis itu masih berumur dua tahun. Ia juga tahu bahwa A-coe tak punya teman bermain. Dan bagaimana sampai A-coe diculik, Toan Bun menyalahkan dirinya sendiri. Setengah tahun yang lalu ia adalah anggota sebuah perkumpulan. Ia adlaha seorang dari tiga orang kepercayaan ketua See-hong-pay, yang termasuk dari partai besar Pat-hong-pang. Tiga orang kepercayaan itu bergelar See-eng, See-liong, dan Seehouw adalah Toan boen sendiri. Suatu ketika, ketua pertai mereka sakit berat. Terjadi perpecahan di antara tiga pegawainya. Masing-masing ingin merebut Ching Ching 237 jabatan ketua. PPartai mereka menjadi kacau dan bertempur antaranggota sendiri. Toan Bun akhirnya mengundurkan diri. Tapi sebelum ia keluar dari perkumpulan itu, ketuanya menyerahkan sebuah kitap mengenali sebuah ilmu, yaitu See-hong-kiam-sut. Ia diminta menyerahkan kitab itu kepada ketua baru yang ditunjuk sendiri oleh pimpinan Pat-hong-pang dan diminta tidak menyerahkannya kepada See-eng maupun See-liong, tak peduli siapa pun yang menang nantinya. Toan Bun sendiri diminta bersumpah tidak mempelajari isi kitab itu. Sebagai imbalan atas kesanggupannya, ketua memberitahukan rahasia Pat-kwa-tin kepadanya supaya dapat terlindung dari gangguan anggota See-hong-pang yang lain. Toan Bun mengubah sebuah hutan menurut barisan ini. Kemudian didengarnya See-liong telah membunuh See-eng. Namun, sebagai ketua yang sah harus lebih dulu mempelajari See-hong-kiam-soet dan rahasia Pat-kwa-tin. Oleh sebab itulah Toan-boen dikejar-kejar sampai kini. Ia juga dituduh menyembunyikan pusaka See-hong-soe-kiam, padahal sesungguhnya ia tak tahu mengenai pedang pusaka angin barat tersebut. "Selama ini ketua yang baru tak dapat mengusikku karena tak tahu rahasia Pat-kwa-tin yang diatur mengelilingi tempat ini," kata Toan Bun. "Tapi, waktu itu A-coe main terlalu jauh keluar hutan, sehingga tertangkap pegawai See-hong-pay yang selalu berjaga di sana. Untung kau cepat menolong anakku. Kalau tidak, entah apa yang terjadi nanti." "Siok-siok, jangan sebut-sebut lagi hal itu. Aku jadi tak enak hati. Sebenarnya aku menemui Siok-siok bukan untuk bertanya soal hal itu. Aku ingin berpamitan meneruskan perjalananku." "Ah, kenapa terburu-buru" Apakah kau tak betah tinggal di sini, atau adakah perlakuan kami menyakiti hatimu?" "Bukan, tidak begitu. Aku sebenarnya sedang mencaris eorang kawan. Perjalananku sudah tertunda sebulan. Tentu saja hatiku tak tenang biarpun Siok-siok dan Moaymoay berlaku sangat baik padaku." Toan Bun terdiam. Sebenarnya ia tidak rela melepaskan pemuda ini. "Klaau kau memang ada urusan, aku tak boleh melarang. Biarlah kusuruh orang menyiapkan bekalmu besok. He, jangan menolak. Ini adlaha hal terakhir yang dapat kulakukan untukmu." "Kalau begitu, Siok-Siok, saya pamit dulu hendak menemui Moaymoay untuk memberitahukan hal ini." Toan Bun mengangguk. Hhh, kasihan ankanya. Gadis itu pasti kehilangan. Temannya yang pertama, seorang pemuda, yang megnenalkannya kepada dunia yang ceria, dunia orang muda. "Hai-ko, mestikah kau pergi begitu cepat?" tanya Toan Coe dengan tatapannya yang kecewa. "Ya, aku masih mencari temanku." "Apakah dia, temanmu itu, seorang gadis?" Lie Hay mengangguk. "Gadis yang sering kuceritakan padamu, ingat?" Toan Coe menunduk. Sekilas Lie Hay melihat air bening di sudut mata gadis itu. "Jangan sedih. Aku nanti masih bisa ke sini untuk menemuimu. Akan kuajak juga dia supaya berkenalan denganmu." "Hay-ko, bolehkah kutahu namanya?" "Sekarang belum. Tapi nanti aku akan bertemu dengannya. Kau boleh tanyakan Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendiri." Toan Coe tidak bilang apa-apa, tapi hari itu ia tak mau jauh dari Lie Hay Ching Ching 238 sedikit pun. Esoknya, Lie Hay diantar keluar hutan oleh Toan Bun dan Toan Cu sendiri. Pemuda itu memaawa bekal pemberian majikan tempat itu. Sampai di luar hutan, nyaris tak tega Lie Hay meninggalkan Toan Coe yang menangis terus. Tapi ia menguatkan hati untuk berpamit. "Siok-siok, Moay-moay, terima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Sayang, aku mesti pergi. Kalian jaga dirilah baik-baik." "Hay-jie, kau pun baik-baiklah di perjalanan." Sesudah berpamitan sekali lagi pada ayah-beranak itu, Wang Lie Hay meninggalkan tempat tersebut dengan kepala tegak, tanpa menoleh lagi. Ching-ching menghentakkan kakinya dengan kesal. Lagi-lagi Chia Wu Fei, soe-hengnya, mengganggu. Dan celakanya hari itu, entah kenapa, ia merasa kesal tanpa sebab. Jelas saja, Wu Fei salah seidkit saja ia damprat. Wu Fei mengejar Ching-ching yang masuk ke kamar. Dipanggil-panggilnya gadis itu, namun tak ada jawaban. "Siauw-soe-moay, buka pintunya, aku mau bicara." Ching-ching masih tak mau menjawab. "Baiklah, aku mau minta maaf, tapi padamu, bukan sama pintu." "Tidak lucu!" sahut Ching-ching dari dalam. "Ching-ching, buka dong. Kalau tidak, aku dobrak!" "Coba saja. Kau akan menyesal kalau berani-berani masuk." Ching-ching menyambar poci teh, siap untuk melemparnya ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, poci teh itu pun melayang. Tapi orang yang baru masuk itu sigap menanggapi dengan tenaga dalam, mendorong tempat air itu mendarat di meja tanpa setitik pun isinya tumpah. "Soe-hoe!" Ching-ching berseru kaget waktu lihat siapa yang datang. Di belakang soe-hoenya, Wu Fei cekikikan. Ching-ching menjebi ke araj pemuda itu. "Apa lagi kali ini?" tegur gurunya. "Soe-heng menggangguku terus, aku jadi kesal," Ching-ching mengadu. "Biasanya kalau digoda, kau balas mengganggu. Hari ini saja mendadak marah-marak," serga Wu Fei membela diri. "A-fei, kau keluarlah. Aku mau bicara pada soe-moaymu." "Ya, Soe-hoe. Omeli saja supaya - " "A-fei!" Wu Fei terbirit-birit keluar. "Ching-ching, ada tugas untukmu. DI selatan kabarnya ada gerombolan rampok yang tidak segan-segan membunuh orang. Kau tanganilah mereka." Ching-ching tidak heran menerima soal begini. Ia sudah biasa ikut soe-heng atau soe-cienya membasmi penjahat. "Tapi dengan siapa" Toa-soe-heng, Sam-soe-heng, dan Sie-soe-cie sedang pergi. Tee-coe tak mau kalau mesti bersama Ngo-soe-heng." "Kau berani berangkat sendiri?" "Sendiri" Boleh?" Mata gadis itu berbinar. "Asal kau bisa jaga kelakuanmu." "Asyiiik! Kapan tee-coe mesti berangkat?" "Besok. Sekarang kau bersiaplah." Begitu soe-hoenya keluar, Ching-ching langsung beberes. Wu Fei yang datang mengganggu cuma digetoknya saja pakai kepalan tangannya yang kecil. "Curang, semua dikasih tugas. Aku tidak," gerutu Wu Fei sambil mengusap-usap kepalanya. "Salah sendiri malas berlatih. Sekarang kepandaianku sudah melebihimu, tahu." "Biarpun demikian, mana bisa begini caranya. Aku mau bilang Soe-hoe supaya Ching Ching 239 mengizinkanku pergi denganmu. "Moga-moga tidak diizinkan!" Ching-ching berseru pada Wu Fei yang melesat keluar. "Soe-hoe, betulkah Ching-ching akan pergi sendirian membasmi rampok di selatan?" tanya Wu Fei. Melihat gurunya mengangguk, ia jadi uring-uringan. "Ching-ching boleh pergi, aku bagaimana?" "Kau tinggal. Ilmumu mesti diperbaiki!" "Tapi aku tak ada teman berlatih. Soe-heng dan soe-cie pergi. Dan Ching-ching ..." "Justru Ching-ching kusuruh juga supaya tidak mengganggumu berlatih. Kalian kalau disuruh latihan bersama main-main melulu kerjanya. Lagipula ilmu soe-moaymu kini ada setingkat di atasmu. Kau tidak malu?" "Tapi Soe-hoe ...." "A-fei, jangan bertingkah seperti anak kecil. Makin hari kelakuanmu makin mirip soe-moaymu. Sebelumnya kau tak pernah rewel begini." "Barangkali ketularan," gumam Wu Fei, tapi ia tak berani lagi nganggu gurunya. Lie Wei Ming menggelengkan kepala. Punya satu saja murid seperti Ching-ching sudah bikin pusing. Sekarang Wu Fei ikut-ikutan. Kedua anak itu sunggu membuat repot. Tapi, justru keduanya juga yang membuat Pek-san-boe-koan riang suasananya. Tidak kaku dan menakutkan seperti saat Ching-ching belum datang. Hahh, entah dia harus berbuat bagaimana pada kedua anak itu. Malam sebelum Ching-ching pergi, Lie Wei Ming menemuinya di ruang latihan. Wu Fei, yang kini mesti berlatih terus-terusan, juga ada di sana. "Ching-ching, besok kau pergi. Ini tugas pertamamu. Seperti kebiasaan, malam ini kau boleh pilih senjata yang kausukai." Lie Wei Ming menunjuk enam buah kotak yang ada di sana. Begitu melihat, Ching-ching sudah tahu, pedang yang mengisi kotak-kotak itu. Cuma satu yang tak bisa ia terka, sebuah kotak yang panjangnya cuma setengah kotak pedang biasa, tapi lebarnya justru tiga kali ktoak-kotak yang lain. Ching-ching membuka tutup kotak itu. Di dalamnya adalah sebuah pedang dengan sarung putih mengkilat. Pedang itu begitu tipisnya hingga dapat dipertemukan ujung dengan ujung. Gagangnya berlapis emas di ujung, lainnya putih, sama dengan sarungnya. Sekilas terlihat seperti sabuk biasa. Justru itu keistimewaannya, musuh jadi tak tahu kalau ia bersenjata. Lagipula mudah membawanya, tak usah repot ditenteng ke mana-mana. "Aku mau yang ini saja, Soe-hoe," kata Ching-ching. Gurunya mengangguk. Dari mula orang taua itu sudah menduga mana yang akan diambil muridnya. "Kau cobalah." Kemudian Lie Wei Ming membantu memakaikan pedang itu di pinggang Ching-ching, sekalian menunjukkan cara membuka dan menggunakannya. Tapi, begitu tangan Lie Wei Ming melepasnya, pedang yang seperti sabuk itu lolos ke bawah melewati pinggang Ching-ching. Wu Fei yang tadinya memandangi dengan iri, kini tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air matanya, sampai sakit perutnya. Ia bergulingan di lantai. Melihat muka Ching-ching, ia bertambah geli. "Hahaha, pedang itu tak cocok untukmu. Pinggangmu terlalu kecil. Pantasnya buat aku saja," Wu Fei mengejek. Ching-ching cemberut. Ia suka sekali pada pedang itu. Tak rela kalau sampai tidak memperolehnya. "Jangan kuatir," kata suhunya yang tahu isi hati gadis itu. "Pedang ini bisa dikecilkan sesuai ukuran pinggangmu." Ching-ching senang pedang itu boleh ia miliki. Wu Fei mencibir iri. Ching-ching membalas. Suhu mereka cuma geleng-gelengkan kepala melihat kelakuan dua Ching Ching 240 muridnya. Mereka memang paling sering bertengkar. Kerap kali sama-sama bikin ulah, tapi keduanya paling akrab dari semua. Esoknya pagi-pagi sekali Ching-ching berangkat. Wu Fei tak mau mengantarnya. Ching-ching tak peduli. Paling juga nanti waktu ia pulang, Wu Fei sudah kembali seperti semula, malah kanget padanya. Begitu yang terjadi pada waktu-waktu lalu. Perjalanan ke selatan makan waktu beberapa hari. Tapi, hal itu tak membuat Ching-ching lelah. Sejak kecil ia terbiasa bekelanan. Sudah jadi murid Pek-san-boe-koan juga sering diajak berjalan jauh. Gadis itu malah mengnaggap perjalan kali ini sebagai acara liburan keluar kota. Sesudah sampai ke daerah selatan, gadis itu menjadi waspada. Ini tugasnya yang pertama, ia tak boleh gagal. Bahkan, kalau bisa diselesaikannya secepat mungkin. Untungnya ia tak perlu diselesaikannya secepat mungkin. Untungnya ia tak perlu mencari gerombolan rampok itu. Mereka sendiri yang datang mencegatnya di jalan. Ching-ching tak menyangka bakal bertemu yang dicari di jalan yang lumayan ramainya. Tak cuma seorang pedagang yang lewat di sana, tapi juga dua-tiga orang saudagar kaya. Namun, rupanya rampok-rampok itu termasuk orang nekad. Merampok belasan orang, di tengah hari pula. "Kalau mau selamat, serahkan barang kalian sekarang juga," kata seorang yang rupanya adalah pimpinan kesemua rampok itu. Anak buahnya yang puluhan orang mengepung tempat itu. Yang coba-coba lari langsung dibunuh di tempat. Begitu pula yang mencoba melawan. Yang menyerah diperlakukan kasar dan dilucuti pakaiannya. Ching-ching yang mengawasi dari jauh mengurutkan kening mengingat-ingat. Rasa-rasanya ia pernah ketemu kepala bandit itu, tapi entah di mana. Ia mendekat supaya lebih jelas melihat. Tapi, baru maju beberapa tindak, belasan orang mengepungnya dengan senjata di tangan masing-masing. "He, lihat ada gadis jalan sendirian." "Hei, gadis manis, bolehkah aku menemanimu?" "Jangan sama dia, sama aku saja. Aku lebih muda dan ganteng." Perampok-perampok tak tahu adat itu menggoda, membuat Ching-ching gatal menghajar mereka. Tapi, ia tak mau menyerang duluan. Dibiarkannya saja semua mengoceh sembarangan. "Hei, ada apa?" si Pimpinan rampok yang melihat anak buahnya berkerumun, maju mendekat. Ketika melihat Ching-ching, ia tersentak kaget. Gadis itu sendiri tak kalah terkejut. Keduanya saling memandang sesaat. Ching-ching lebih dulu tersadar dan langsung menyapa. "Sobat lama, setahun tak berjumpa, kau sudah lupa padaku?" ejeknya. "Si Pemimpin rampok yang tak lain adalah Kim-to-tay-ong menggeram marah. "Kau, bocah busuk, dendamku padamu akan terlunasi hari ini!" "Eh" Apakah tidak salah" Jangan-jangan malah kau sendiri yang musnah. Sudah lupa waktu dihajar soe-hengku, kau bersumpah mau hidup baik-baik?" "Soe-hengmu?" mata Kim-to-tay-ong jelalatan mencari sosok pemuda yang pernah menalahkannya dulu. "Soe-hengku tidak iktu. Tapi kau jangan keburu senang. Aku ini lebih kejam darinya, tahu?" Kim-to-tay-ong tampak lega mendengar kata-kata Ching-ching. Ia memandang rendah gadis di hadapannya ini. "Segala macam anak kecil macammu, sekali gebrak gampang dibuat menangis." "Enak saja. Kaupikir gampang bikin aku nangis" Hati-hati, malah kau yang memohon ampun padaku nanti." Ching-ching menyiagakan kuda-kuda. Ching Ching 241 "Gayanya boleh juga," kata seorang perampok. "Masih kalah dengan Tay-ong," sahut yang lain. "He, penjahat bulukan, ayo serang aku!" seru Ching-ching. "Bocah bau, karena kau masih anak-anak, biarlah kau menyerang duluan." "Asal kau jangan menyesal nanti." Ching-ching mencabut pedangnya dan langsung menyerang Kim-to-tay-ong. Mulanya poimimpin rampok itu menganggap enteng serangan-serangan Ching-ching. Tapi, makin lama pedang gadis itu mengincar nyawanya. Ia tak mungkin cuma menghindar saja. Kim-to-tay-ong kini balas menyerang. "Ini yang kutunggu, kenapa tidak dari tadi?" sambut Ching-ching sembari menangkis dan menyerang balik. Selagi bergerak, mulutnya tak henti mengoceh. "Kau ini tak tahu diri. Sudah diampuni sekali, masih buat kesalahan yang sama. Hahhh, sial kau ketemu aku. Kali ini aku tak akan mengampunimu." Gadis itu menyerang gencar. Tak lama kemudian, ia sudah ada di atas angin. Kim-to-tay-ong menangkis serabutan. Tahu tak dapat mengalahkan lawannya, ia memakai jalan lain. "Serang!" perintahnya kepada anak buahnya. Puluhan orang maju bebareng menyerang Ching-ching. Gadis itu melotot diserang orang begitu banyak. Tapi, ia tak gentar sama sekali. Disambutinya pengeroyok itu. Akan tetapi, dengan ilmunya yang sekarang, ia tak sanggup menghadpai orang sebegitu banyaknya. Ia pun tak sudi menyerah. Dicarinya jalan lain. Bagaimana aklau keluar dari kepungan dan membunuh Kim-to-tay-ong lebih dulu. Dengan matanya Ching-ching mencari-cari ke mana jahanam itu. Apakah sudah kabur" "Tahan!" seru gadis itu tiba-tiba. Mendengar suara berwibawa yang disertai khikang, penyerangnya berhenti mendadak. "Kalian goblok!" maki Ching-ching. "Tahu tidak, berhadapan dengnaku berarti cari mati. Tapi aku orang baik, tak mau membunuh sembarangan. Aku cuma mau memberi pelajaran pada pemimpin kalian. Tapi mana dia sekarang" Karena ketakutan, ia suruh kalian maju dan menyelamatkan diri sendiri. Apa begitu" Orang tak bernyali macamnya, mana pantas jadi pemimpin" Kalian jangan mau diperalat lagi." Para rampok yang pada dasarnya mudah dipengaruhi itu jadi bimbang. Mereka mengakui kebenaran kata-kata Ching-ching. "Benar juga," kata seorang yang paling berani. "Selama ini kita capek, Tay-ong tinggal terima hasil. Itu kan tidak adil." "Ya, dan kalau menghadapi pengawal istana, Tay-ong selalu lari duluan. Abangku mati karenanya," timpal yang lain. "Betul kan kataku," Ching-ching memanasi. "Orang seperti itu pantasnya diahajar saja. Mana dia, kita hajar ramai-ramai." Ching-ching dan rampok-rampok itu segera mencari. "Itu dia di sana!" seseorang menunjuk Kim-to-tay-ong yang berlari di kejauhan. "Ya, itu dia. Kejaaar!" Ching-ching mengomando. Puluhan rampok itu menuruti perintahnya, ikut di belakang gadis yang sudah elbih dulu bertindak. Ching-ching tersenyum. Mulanya musuh, sekarang malah ia yang pimping rampok-rampok itu. Waah, kalau begini terus, tiap hari diberi tugas pun, ia tak akan menolak. Kumpulan rampok itu mengejar bekas pemimpin mereka, Kim-to-tay-ong. Yang dikejar berlari terbirit-birit melihat bekas bawahannya takluk di bawah perintah Ching-ching dan malahan ikut mengejar dia. Sebenarnya rampok yang puluhan jumlahnya itu tak mungkin mengejar Kim-to-tay-ong Ching Ching 242 yang tidak jelek ilmu larinya. Sayang, bandit itu memilih jalan yang salah. Ia menuju ke pinggir jurang. Tentu saja ia tak bisa terus berlari. Jurang di depan, orang-orang yang marah di belakang. Mana yang paling mendingan" Aakhirnya Kim-to-tay-ong putuskan memilih yang terakhir. Ia menunggu di pinggiran jurang itu sambil berlutut. Begitu pengejarnya tiba, ia langsung memohon ampun. "Ampuni aku, Siauw-tee, Toa-ko, lepaskanlah jiwaku kali ini. Anakku banyak, makan apa mereka kalau aku mati. Biarlah aku copot jabatan ketua dan turun ke tingkat yang rendah, tolong ampuni aku!" "Orang yang macam begini kalian jadikan pemimpin! Haduh, bisa ditertawakan orang," kata Ching-ching melecehkan. "Rupanya bedebah ini berhasil tipu kalian. Wah! Seumur hidup kalian menanggung malu." Muka rampok-rampok itu jadi merah termakan ocehan Ching-ching. "Hah, benar! Kalau demikian, hajar saja dia supaya kelak kita tak ditertawakan anak-cucu kita karena tak becus memilih pimpinan." Pendapat ini langsung disetujui yang lain. Mereka langsung menghajar Kim-to-tay-ong ramai-ramai. Ching-ching membiarkan saja orang-orang itu menangani urusannya. Ia tinggal menunggu hasil. Gadis itu duduk santai di tanah sambil sesekali meringis mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika sudah cukup lama, tahu-tahu suara teriakan orang yang makin lama makin pelan itu berhenti sama sekali. "Tahan!" seru Ching-ching lagi-lagi dengan kerahkan khi-kang. Ia menyeruak kerumunan orang untuk melihat keadaan Kimt-to-tay-ong. Dan ia langsung membuang muka melihat apa yang menimpa bandit itu. Wajah Kim-to-tay-ong sudah tak berbentuk lagi. Dari ana-mana mencucurkan darah. Begitupun badannya. Dilihat dari caranya terbaring, Ching-ching dapat patiskan tulang orang itu remuk semua. Dihajar puluhan orang tanpa dapat melawan, siapa yang tahan. "Huh, rupanya ia sudah mampus," dengus gadis itu. "Hei, kalian kuburkanlah mayatnya!" "Buat apa repot, lempar saja ke jurang," usul seseorang. "Terserah mau kalian saja," Ching-ching memberi jalan kepada dua orang berbadan besar yang mengangkat Kim-to-tay-ong dan melemparnya ke jurang menganga. "Ia sudah mati. Sekarang apa?" tanya rampok-rampok itu. "Apa lagi" Cari harta yang ia rampas, kita bagi sama rata," kata Ching-ching. "Setuju!" sambut yang lain. Beramai-ramai mereka pulang ke markas mereka. Ching-ching sempat kaget waktu ditunjukkan gudang harta para rampok itu. Hampir sekamar penuh. Harta sebegitu banyak tak akan habis dimakan tujuh turunan. Sayangnya, Kim-to-tay-ong orang yang serakah dan nasibnya jelek hingga mesti Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bertemu Ching-ching berkali-kali sampai tiba ajalnya. "Lie-hiap," sapa seorang perampok, "bagaimana pembagiannya?" "Ada berapa orang di sini?" "Seratus dua puluh orang." "Denganku jadi 121. He, ayo ngantri! Kita bagi-bagi rejeki!" seru Ching-ching. Membagi harta sebanyak itu ternyata makan waktu hampir tiga hari. Ching-ching sudah capek, tapi ia berusaha membagi seadil-adilnya. Untung juga tak ada yang tak puas dengan bagiannya masing-masing, yang memang sudah cukup banyak. "Coe-wie semua sudah dapat bagian bukan" Nah, aku ada satu permintaan. Dengan uang ini kalian buka usaha dan hidup secara baik-baik. Jangan rampok lagi. Kalau ketangkap prajurit kerajaan, bisa berabe tahu. Nah, maukah kalian bersumpah tak akan merampok lagi?" Ching Ching 243 Orang yang sudah pegang uang sebegitu banyak, tentu saja mau menuruti. Mereka sama-sama berjanji dan bersumpah tak akan merampok lagi. "Bagus, sekarang kita pesta saja. Hayo, mana, keluarkan araknya!" ajak Ching-ching yang segera disambut gembira. Sebenarnya ajakan Ching-ching mengandung maksud lain. Ditunggunya sampai semua orang tidur karena mabuk. Ia sendiri dari mula memang tak pernah minum benar-benar hingga masih segar-bugar pada waktu yang lain roboh satu-satu. Ia mencabut belatinya dan mendekati rampok-rampok itu satu-satu. Pada masing-masing ia membuat tanda dengan belatinya. Sebuah titik di dahi, di antara kedua alis. Lalu luka kecil itu dibubuhi semacam obat yang membuat luka cepat sembuh, tapi meninggalkan bekas seumur hidup. Lain hari kalau ia ketemu perampok yang punya tanda di dahi, ia tak akan sungkan membunuhnya. Menandai 120 orang bukan pekerjaan yang entng. Ching-ching merasa tangannya pegal-pegal, tapi tugasnya bleum beres. Ia menyambar harta bagiannya dan membawanya ke belakang markas tempat wanita dan anak-anak tinggal. Dicarinya keluarga yang sedang bersedih. Pasti tak lain adalah anak-bini Kim-to-tay-ong. Didekatinya keluarga itu. Tujuh orang wanita sedang sesenggukan. Di dekat mereka kira-kira ada selusin bocah dan dua bayi yang menangis tak kalah keras. Ching-ching menggelengkan kepala. Buset Kim-to-tay-ong. Baru tahun lalu mengaku istrinya ada tiga orang. Sekarang sudah tujuh. Bukan main! "Pssst!" Ching-ching berbisik lirih, mengejutkan wanita-wanita itu. "Kalian ini apakah keluarga Kim-to-tay-png?" Delapan kepala serentak mengangguk. "Nih, ada warisan dari suami kalian. Bagilah yang adil. Sekarang kita mesti cepat keluar dari sinis ebelum mereka yang di luar terbangun." Delapan wanita itu, begitu tahu apa isi bungkusan yang diberikan Ching-ching, langsung percaya pada gadis itu dan menurut tanpa banyak ngoceh lagi. Ching-ching mengajak mereka pergi diam-diam lewat pintu belakang. Sebenarnya mudah saja mereka minggat kalau tak ada selusin bocah yang rewel. Belum lagi bayi yang menangis terus. Hampir saja Ching-ching hilang sabar. Untung saja anak-anak itu langsung bungkam waktu ia membujuk. "Sst, jangan banyak ribut. Nanti ketahuan. Kita sedang main petak umpet dengan paman-paman yang ada di dalam. Jangan sampai mereka temukan kalian." Sesudah berkata begitu, bocah-bocah tersebut jadi tidak terlalu rewel lagi biarpun masih ada yang cekikikan dan berbisik-bisik satu sama lain. Bukan main lega hati Ching-ching waktu mereka sudah keluar dari markas dan berjalan agak jauh sampai seorang bocah kecil menarik-narik bajunya. "Ciecie, aku sudah lelah. Apakah kita masih mesti ngumpet?" Ching-ching menoleh ke salah seorang istri Kim-to-tay-ong yang tampak lebih bijaksana dari yang lain. "Apakah sudah aman?" tanyanya. "Belum. Sebelum sampai ke desa, mereka akan dapat mengejar." "Berapa jauh desa itud ari sini?" "Tak terlalu jauh," jawab istri Kim-to-tay-ong itu. Ching-ching berjongkok di dekat anak kecil yang menyapanya. "Siauwtee, kalaut ak mau ketahuan para siok-siok, kita mesti berjalan sedikit lagi." "Aku tak kuat," keluh bocah itu." "Kalau begitu biar Ciecie yang gendong." "A-piauw, jangan rewel!" tegur ibu anak itu. "Biarlah," kata Ching-ching. "Kita mesti cepat." Ching-ching menggendong anak itu sampai ke desa terdekat. "Hah, kalian aman sekarang. Aku sudah tak ada Ching Ching 244 urusan lagi. Selamat tinggal!" "Siauw-lie-hiap, terima kasih atas bantuanmu. Tapi sebelum pergi, boleh aku tahu namamu dan asalmu?" "Aku she Lie bernama Mei Ching, murid keenam Pek-san-bu-koan." "Aku akan ingat baik-baik untuk kelak membalas budi. Kalau tidak kehidupan sekarang, barangkali di kehidupan selanjutnya." Setelah menjura sekali lagi, Ching-ching tinggalkan tempat itu secepatnya kembali ke Pek-san-bu-koan lewat jalan lain. Ia enggan bertemu lagi dengan anak buah Kim-to-tay-ong. Gadis itu hampir memasuki sebuah kota ketika ia lewat di sebuah jalan kecil yang sepi. Ia berpapasan dengan seorang tua yang membawa-bawa tali dan berjalan sambil sesenggukan. Merasa curiga dengan kelakuan orang itu, Ching-ching diam-diam membuntuti dan sembunyi sambil mengintai waktu orang itu berhenti di bawah sebatang pohon. Orang itu membawa talinya membanjat pohon, lantas pada sebatang cabang yang kuat ia menalikan tlainya dambil membuat jerat. Setelah mengalungkan jerat itu ke lehernya, ia menarik napas dan melompat ke bawah! Tapi entah bagaimana, tapi yang ia ikatkan ke cabang terlepas. Orang itu terbanting ke tanah. Tidak sampai patah tulang, memang, tapi sakitnya lumayan juga. Orang tua itu memanjat lagi dan menalikan lagi talinya. Sekarang ia menalikan sekuat mungkin. Tapi waktu ia melompat, lagi-lagi talinya terlepas. Sampai tiga kali kejadian itu terulang. Yang terakhir, si orang tua sempat merasakan jeratan tali di leher yang membuatnya sesak napas sebelum talinya copot lagi. "Huhhh, rupanya Giam-lo-ong pun tak sudah menjemputku." Menyangka dewa-dewa yang menggagalkan usahanya, si orang tua menjura ke langit. "Oh, dewa, harap tidak halangi usahaku untuk mati. Biarlah aku rela jadi setan gentayangan, asal tak usah lagi tanggung derita hidup di dunia." "Mana bisa begitu?" tahu-tahu terdengar suara dari atas dan kemudian sebuah bayangan turun ke tanah. Si orang tua menndongak. Melihat gadis manis cengar-cengir memandangnya, ia menyangka ini bidadari yang dikirim dari langit. Lantas saja laki-laki tua itu soja tiga kali. "Sian-lie, aku orang tak berguna yang tak pantas hidup di dunia. Harap kau mau luluskan permintaan. Cabutlah nyawaku segera." "Tak mungkin," sahut gadis itu yang tak lain adalah Ching-ching. "Pertama, aku bukan sian-lie. Kedua, soehoe melarang aku sembarangan cabut nyawa orang tak bersalah. Eh, lo-pek, kenapakah kau mau cabut jiwa sendiri" Orang lain kepingin hidup, kau malah kepingin mati, jadi setan gentayangan segala. Dipikirnya jadi setan itu apakah enak" Sengsara, tahu tidak?" "Daripada hidup tak berguna, menderita pula," sahut orang tua itu sedih. "Hidup sengsara, mati pun susah. Mendingan hidup saja," kata Ching-ching enteng. "Eh, lo-pek, kenapakah kau kepingin bunuh diri" Coba ceritakan, barangkali aku dapat bantu pecahkan persoalanmu." "Sulit, sulit," kata orang tua itu. Setelah dipaksa-paksa, mau juga ia bercerita. Orang itu bernama Ciu Bun, seorang petani. Ia hdiup bersama seorang istri dan tiga orang anak. Anaknya yang pertama sudah menjanda karena ditinggal mati suaminya. Ia membapa dua anak yang masih kecil kembali pada orang tuanya. Anaknya yang kedua bernama Ciu Hon, satu-satunya putra. Ciu Hon sudah punya istri dan bernaak lima orang. Istrinya yang bernama Liu Sie adalah seorang yang Ching Ching 245 cerewet dan serakah. Pendek kata, Ciu Bun kurang menyukai menantunya ini. Anaknya yang terkecil, Ciu Cie, umurnya belum lagi delapan belas. Sebagai seorang gadis, wajahnya boleh dibilang cantik dibanding gadis-gadis kampung sebayanya. Pada awalnya, petani she Ciu itu, meskipun dengan sederhana, masih dapat hidupi keluarganya, sampai suatu ketika Nyonya Ciu tua jatuh sakit. Sakit yang cukup susah disembuhkan. Untuk tutupi biaya pengobatan istrinya, Ciu Bun merelakan sepetak tanahnya untuk dijual. Namun, pengorbanannya sia-sia. Tka lama kemudian, istrinya meninggal dunia. Belum cukup penderitaan orang tua itu, anaknya yang sulung jatuh sakit pula. Kali ini Ciu Bun tak dapat menjual sawah yang sisa sepetak karena ditentang oleh Ciu Hon dan istrinya, dengan alasan dari sawah itulah mereka dapat bertahan hidup. Terpaksalah Ciu Bun dan Ciu Cie menjual barang berharga yang ada pada mereka. Belum lagi anaknya sembuh, dua cucunya ikut sakit pula. Kini mereka tak punya barang apa pun lagi. Semua yang kiranya laku sudah habis dijual. Dalam penderitaan, anak Ciu Bun yang sulung meninggal, disusul kedua cucunya. Kini yang dapat diandalkan cuma sawah yang tinggal sepetak. Sayangnya, musim kering berlangsung terlalu lama. Panenan tahun itu gagal. Sawah pun tinggal berupa sepetak tanah yang retak-retak kurang air. Saking kecewa, Ciu Bun jatuh sakit pula. Selagi ia terbaring tak berdaya, Liu Sie pergi kepada Wan Wan-gwa, orang yang paling kaya di kota itu. Istri Ciu Hon itu meminjam uang kepada Wan Wan-gwa dengan adik iparnya sebagai jaminan! Bukan main marah Ciu Bun ketika mengetahui hal itu. Ia memaki-maki menantunya, sementara Ciu Hon yang tunduk pada istri, tak bisa berkata apa pun. Ciu Cie cepat melerai pertengkaran mereka dengan menyatakan tak keberatan dijadikan jaminan. "Dengan uang pinjaman, Thia dan Koko dapat usahakan sawah kita. Sesudah panen, bukankah kalian dapat menebusku di rumah keluarga Wan wan-gwee?" kata gadis itu. Biarpun dengan hati sedih, Ciu Bun tak bisa apa-apa ketika ankanya diboyong oleh Wan Wan-gwa, rentenir yang terkenal kejam dan mata keranjang, sungguhpun hati Ciu Bun tak pernah tenang. Musim hujan tiba. Ciu Bun mengerjakan sawahnya dengan giat, dibantu Ciu Hon yang ikut membanting tulang, seolah dengan demikian ia ingin menebus perlakuan istrinya yang kurang baik kepada ayah dan adiknya. Batas waktu penebusan semakin dekat. Tapi bersemaan dengan itu, padi di sepetak sawah keluarga Ciu juga mulai menguning, siap untuk dipanen. Ciu Bun senang. Tak lama lagi ia akan bertemu kembali dengan anak bungsunya, Ciu Cie. Namun suatu hari, ketika ayah-bernak Ciu pergi ke sawah untuk panen, mereka mendapati sawah mereka sudah dirusak orang. Bulir padi yang penuh berisi tak ada lagi. Yang tinggal cuma batangnya saja. Ciu Bun sampai jatuh berduduk melihat semua itu. "Siapa ... siapa yang tega ..." cuma itu yang sanggup keluar dair mulutnya. Ciu Hon saking kecewa susah-payahnya musnah begitu saja, mengamuk sendirian. Kadang menangis, kadang berteriak, kadang menyumpah-nyumpah. Petani-petani lain menjadi kasihan dan mendekati ayah-beranak ini. "A-Hon, sudahlah." "Akan kubunuh yang melakukan ini!" "Siapa yang tega ...?" Ciu Bun meratap. "Di kota ini, siapa dapat lakukan tindakan keji demikian selain .... Ciu Peh-peh, Ching Ching 246 adakah kau menggadaikan anak gadismu kepada Wan Wan-gwe?" tanya seorang tetangga. "Kenapa kau bertanya begitu?" tegur tetangga yang lain. "Soalnya kejadian ini persis sama yang dialami Kwan Lo-pek dua tahun lalu. Waktu itu ia terpaksa gadaikan anak gadisnya. Waktu sawahnya mulai menampakkan hasil, ada orang yang merusak hingga anaknya tak tertebus lagi." "Jadi ini pekerjaan hartawan busuk itu!" Ciu Hon berteriak marah. "Biar kubunuh dia!" Tak dapat dicegah lagi, ia berlari ke rumah Wan Wan-gwe. "Hei, Wan-gwe busuk, cepat kau lepaskan adikku! Cepat, kalau tidak kuadukan kepad Ti-koan!" "Eh, petani busuk, mau apa kau?" "Aku mau jemput kembali adikku, A-cie!" "Mana boleh! Lunasi dulu hutangmu pada majikanku!" Terjadi perang mulut antara Ciu Hon dan pegawai Wan Wan-gwe. Saat itu Liu Sie datang menyusul suaminya. "Suamiku, jangan bikin malu, mari pulang saja," bujuknya. "Mana boleh, adikku belum dikembalikan!" "Benar, kita harus dapatkan A-cie kembali," timpal Ciu Bun. "Mana kau tahu, A-cie sekarang sudah dapat baju-baju bagus dan makan kenyang. Mana sudi ia kembali jadi anakmu," hardik Liu Sie kepada merutanya. "Kau jangan kurang ajar!" baru kali itu Ciu Hon berani membentak istrinya. Si istri tak terima. Kini terjadi adu mulut antara tiga orang - Ciu Hon, Liu Sie, dan pegawai Wan Wan-gwe - sampai petugas keamanan menggiring mereka ke pengadilan. "Ada apa?" tanya Ti-koan kepada mereka. Berebutan ketiganya menjelaskan duduk perkara. Belum lagi beres bicara, datanglah Wan Wan-gwa. Tikoan itu menyambutnya dengan hormat. Setelah kasak-kusuk sebentar, tiba-tiba saja tikoan itu menjadi berseri dan tanpa tanya-tanya ia langsung bereskan persoalan. "Orang she Ciu, kau ada bukti peminjamannya?" Ciu Bun cepat keluarkan selembar surat gadai. Tikoan itu membacanya sekilas. "Dalam surat ini kau telah jual anakmu segara 150 tael kepada Wan Wan-gwa. Mau apa lagi?" "Baohong, aku cuma terima seratus taek," bantah Liu Sie. "Kau!" Ciu Bun menuding istrinya. "Perempuan laknat! Berani kau jual adikku!" "Kalau tidak begitu, anak-anakmu akan mati kelaparan, dungu!" "Kau perempuan hina, kenapa tidak kau gadaikan saja dirimu sendiri!" "Jangan ribut!" tikoan kota itu membentak. "Ciu Hon, kau terbukti memfitnah orang. Pengawal, kurung dia. Dan kepada Ciu Bun dan Nyonya Ciu, beri hukum cambuk masing-masing sepuluh kali!" Tikoan yang sudah kena sogok itu royal menghamburkan hukuman. Matanya melirik kepada Wan Wangwe yang mengangguk-angguk puas. Pulang ke rumah, Liu Sie masih mengomel menyalahkan suaminya yang keburu napsu. "Diam!" bentak Ciu Bun yang sudah pusing. "Semua salahmu juga, menjual ipar sendiri - " "Kalau tidak begitu, apakah kita bisa hidup sampai hari ini" Dasar orang tua tak tahu diri, tak tahu terima kasih! Kaupikir nasi yang kaumakan turun sendiri dari langit" Semua itu mesti pakai duit, tahu! Orang jompo tak berguna! Kalau tak suka, kau boleh pergi sana!" Liu Sie mengomeli mertuanya. Sakit hati oleh caci-maki menantunya dan karena sedih kehilangan naaknya, Ciu Bun nekat bunuh diri. "Wah, sungguh keji menantumu. Tega-teganya ia menjual ipar sendiri. Wan Wan-gwa pun sudah keterlaluan pula. Lo-pek, coba tunjukkan tempat Wan Wan-gwa itu. Aku Ching Ching 247 jamin, nanti sore kau akan kumpul lagi dengan dua anakmu." Setengah percaya, Ciu Bun mengantar Ching-ching ke rumah gadai milik Wan Wan-gwa. "He, kakek tua, kau kan yang kemarin cari gara-garai" Kemarin kau gadaikan anakmu, sekarang apa yang mau kaugadai?" tanya pegawai parobaya dii sana. "Kepalamu!" tahu-tahu Ching-ching melompat ke dekat pegawai itu sambil mengancam dengan pedangnya. "Kau kan jago taksir barang. Kemarin Ciu Kouw-nio kauhargai seratus tael. Nah, kepalamu adakah sepuluh tael harganya?" Si pegawai itu langsung gemetaran. Kumisnya yang sudah abu-abu bergerak-gerak lucu. Nyaris Ching-ching ketawa. Tapi saat ini ia harus pasang tampang galak. "Ampun, Lie-hiap. Kep ... k-kepala s-s-saya t-tidak diju-j-jual." "Manusia saja bisa digadai. Kenapa cuma sepotong kepala kok tidak bisa?" "Ampuuun, Lie-hiap," pegawai itu meratap. "Di sini banyak barang berharga. Lie-hiap boleh ambil seberapa suka, tapi jangan kepala saya!" "Aku juga tak butuh kepalamu, asal kau beri tahu di mana Wan Wan-gwe simpan Ciu Kouw-nio." "Di ... di rumahnya," jawab pegawai itu ketakutan. Kumisnya bergerak-gerak lagi. Tahu-tahu Ching-ching mendapat akal bagus. "Baiklah, kau boleh senang aku tak lagi butuh kepalamu. Tapi sebagai ganti, aku minta kumis dan rambutmu." Dengan pedangnya, Ching-ching membabat kumis dan rambut orang itu. Setelah menotok pegawai itu, Ching-ching dan Ciu Bun pergi ke rumah Wan Wan-gwe. Rumah itu bertembok tinggi dan pintunya dijaga ketat. Meskipun bukan halangan bagi Ching-ching, tapi Ciu Bun jadi enggan masuk ke dalam. Ia memilih menunggu saja. Begitu pun lebih baik bagi Ching-ching. Ia tak perlu repot menjagai orang tua itu. Ching-ching keluyuran sambil mengintip ke tiap kamar. Di salah satu kamar, dilihatnya seorang laki-laki berperut buncit sedang menghitung uang. Gadis itu berkesimpulan, inilah Wan Wan-gwa. Ia melompat masuk dan sebelum Wan Wan-gwa Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sempat berbuat apa-apa, sebilah pedang sudah menempel di leher laki-laki gendut itu. "Jangan coba-coba teriak, atau kepalamu turun ke tanah!" ancam Ching-ching. "Ampun, ampun, jangan bunuh saya, ampun!" Wan Wan-gwa memohon. "Jangan berisik! Kau punya senjata?" "A-a-a-ada ... pedang di samping tempat tidurku." "Ambil, lalu kau lawanlah aku!" "S-s-saya ... saya tak berani, Lie-hiap." Hartawan she Wan itu menjatuhkan diri berlutut. "Saya ada banyak uang. Lie-hiap boleh ambil semua, tapi mohon ampuni jiwa saya. "Ih, siapa butuh uangmu. Aku suruh kau melawan!" "Saya sungguh tak berani. Betul-betul tak berani." Sial, Suhu larang aku bunuh orang yang tak mau melawan. Jadinya aku tak bisa bunuh orang tak berguna ini, pikir Ching-ching. "Ya sudah, aku tak memaksa. Tapi, aku ada ingin bertanya. Betulkah kau membeli gadis she Cioe seratus tael dan membakar sawahnya?" "Tida - " "Mau mungkir?" Ching-chign tekan sedikit pedangnya menyentuh sedikit kulit Wan Wan-gwa hingga berdarah sedikit. "Eh, ya betul." "Apa saja dosamu, coba aku kepingin tahu!" Ching Ching 248 Agak ragu-ragu Wan Wan-gwa pada mulanya. Tapi dengan gemetar, ia sebut juga dosa-dosa yang sudah ia buat. Satu, dua, tiga ... dua puluh. Ching-ching sudah bosan mendengarnya. "Cukup, cukup. Dosamu itu sudah dapat jadi alasan untuk membunuhmu, tahu! Tapi, baiklah kukembalikan jiwamu kali ini, gunakan kesempatan untuk tebus dosa. Bertobatlah. Kalau tidak, lebih baik tak ketemu aku lagi. Aku cuma mau kasih kesempatan satu kali dalam hidupmu." "Terima kasih, Lie-hiap yang luhur budi," kata Wan Wan-gwa. "Bolehkah saya tahu siapa kiranya Lie-hiap yang murah hati?" "Hmmh, kalau dulu-dulu kau ketemu aku, pasti aku mengaku sebagai Sat-kauw-sian-lie atau Boe-beng-bie-kwie. Tapi karena sekarang aku sudah jadi murid Suhu, aku mesti mengaku. Namaku Lie Mei Ching, murid keenam Pek-san-bu-koan. Baiknya kau ingat, supaya kau tak lupa pada janjimu." "Tapi aku bukan pengadu macammu. Aku akan bilang Thia-thia aku tak mau jadi murid di sini," Ching-ching mengikuti omongan dan Lan Fung kemarin harinya. "Cih! Tak tahu malu, ingkari ucapan sendiri." Gantian wajah Lan Fung yang merah. Ia sudah mau mendamprat Ching-ching waktu genderang berhenti dipukul dan seorang murid Pek-san-boe-koan mengumumkan, "Ujian pertama dimenangkan Thio Lan Fung Thio Kouw-nio." Pada saat bersamaan muncullah Lie Wei Ming, Tabib Yuk, dan Thio Chin Wu, yang rupanya memang sudah menunggu. "Lie Mei Ching!" Lie Wei Ming memanggil. "Apakah kau terima keputusan?" "Aku terima kalah," kata Ching-ching. Tegas dengan suara jelas dan cukup keras. Diam-diam Lie Wei Ming bersimpati pada gadis ini. Orang yang mau terima kekalahan sedikitnya punya jiwa pendekar. Thio Chin Wu punya perasaan yang sama. Ia mengagumi saingan anaknya ini. Di sebelahnya Tabib Yuk merasa bangga. Thio Lan Fung boleh jadi memenangkan ujian, tapi dalam merebut simpati orang Ching-ching menang selangkah. Ujian yang lain nantinya gampang saja. "Ujian kedua!" Tahu-tahu muncul ratusan murid Pek-san-boe-koan mengelilingi tempat itu. Empat orang dari mereka menggotong dua galah yang panjang sekali. Galah-galah itu diberdirikan. Di sebelah atasnya terbentang kain putih bersih. Dua murid yang lain membawa tinta dan pit yang besar. Yuk Lau dan Wu Fei maju. "Ujian kedua adalah menguji ingatan dan ilmu dasar. Ini ada pit, tinta, dan kain. Tugas kalian adalah menuliskan sajak yang sudah dihafal di kain itu. Yang berhasil menyelesaikan akan jadi pemenang." "Jadi yang menang adalah yang menyelesaikan?" Ching-ching menegaskan. Wu Fei dan Yuk Lau bebareng memanggutkan kepala. Mereka menunggu sampai genderang dipukul tiga kali tanda ujian dimulai. Thio Lan Fung yang sudah siap, mengerahkan gin-kang mencelat dan menulis di kain putih yang terpasang tinggi di ujung galah. Ia berhasil menulis satu kata waktu mesti turun ke bawah. Ching-ching mundur-mundur dan memperhatikan agak jauhan. Murid Pek-san-boe-koan ramai menyoraki supaya ia mengalahkan Lan Fung. "He, garismu yang terakhir kurang panjang. Jelek tulisanmu jadinya," komentar gadis itu. "Jangan cuma bicara! Coba perbaiki!" tantang Lan Fung. Berlagak tolol, Ching-ching memanjat galah dan dengan susah payah berhasil memanjangkan garis yang ditunjuk. Ia turun lewat jalan yang sama. Thio Lan Fung tersenyum melecehkan. Kiranya anak centil ini belum punya gin-kang Ching Ching 249 yang lumayan. Selesai istirahat Lan Fung melompat lagi menuliskan kata lain. Ketika ia turun, lagi-lagi Ching-ching mengkritik. "Tuh, sekarang kau lupa kasih titik di pinggir." "Sana kau betulkan." Lagi-lagi Ching-ching memanjat tiang. Kali ini sulit baginya mencapai tempat yang dimaksud. Tangannya harus diulur panjang-panjang. Ia sampai mencoretkan titik, tapi pegangannya mengendur dan badannya meluncur ke bawah. Semua orang yang melihat berseru kaget, tak terkecuali Thio Chin Wu dan Lie Wei Ming. Guru besar Pek-san-boe-koan itu hendak menolong, tapi badan Ching-ching lebih dulu menyentuh tanah. Lie Wei Ming menangkap gerakan dan gin-kang yang menyebabkan Ching-ching jatuhnya empuk dan tidak terlalu keras. Ia mengerutkan kening. Melihat ini, ia tahu gin-kang Ching-ching bagus sekali, melebihi dirinya. Berarti, barusan anak itu cuma pura-pura. Mengapa" Ching-ching bangun, terpincang-pincang mendekati Lan Fung yang tertawatawa melihatnya. Yuk Lau dan Wu Fei buru-buru mendekat. "Ching-ching, apa-apaan?" tanya Yuk Lau berbisik. "Thio Lan Fung sudah menang selangkah. Masa mau kau biarkan ia menang sekali lagi" Kau sebenarnya mau tidak menjadi murid Pek-san-boe-koan?" "Sewot amat. Tunggu saja. Pokoknya aku pasti menang." Sambil memperhatikan Thio Lan Fung yang sedang menulis, Ching-ching mengomentari macam-macam. Kalau Lan Fung berhenti, ia mengejek. "Ayo! Jangan loyo. Sekarang tulis kata sabar. Bisa tidak?" "Cerewet! Mending kalau bisa kerjakan sendiri." Selagi Thio Lan Fung menulis, Ching-ching mengaduk tinta dan menyiapkan kuasnya. Begitu Lan Fung turun, ia memberikan kuasnya sehingga Lan Fung tak bisa lama-lama istirahat. Thio Lan Fung kecapekan. Napasnya mulai tidak teratir. Tapi, tinggal dua huruf lagi yang mesti ditulis dan ia akan mengalahkan Ching-ching. Lan Fung mengempos semangat dan mengumpulkan tenaga, menulis lagi satu kata. Sekarang tinggal satu huruf! Tersenyum senang Lan Fung turun ke tanah. Belum sampai kakinya menyentuh tanah, sebuah bayangan berkelebat melampauinya. Ching-ching memutuskan tali-tali yang mengikat kain ke galah di sebelah kiri. Digulungnya kain itu ke kanan sampai pada huruf yang baru ditulis. Sebelah kakinya bertumpu pada galah sementara tangannya cepat menulis satu huruf yang ketinggalan. Kain itu dibawanya turun dan diserahkan kepada Lie Wei Ming. Genderang dipukul. Ching-ching memenangkan ujian kedua! "Curang!" kata Lan Fung menghentakkan kaki, hampir menangis. "Aku yang capek-capek menulis ... Tulisanku kan lebih banyak." "Eh, sewot! Tadi sudah disebutkan, 'yang menyelesaikan akan jadi pemenang.' Nah, aku yang selesaikan. Jadi, aku yang menang. Puas?" "Huh!" Lan Fung mendengus kesal. "Ujian yang ketiga," kalian harus mengambil pedang di kamar sembilan nyawa." Bersama-sama mereka menuju gedung yang disebut kamar sembilan itu. Gedung itu dibangun di sisi lain Pek-san. Yang kelihatan dari gedung itu cuma bagian depan. Bagian belakangnya menempel ke gunung. "Pedang Yap Lie Hoa ada di dalam. Yang berhasil membawanya keluar akan menjadi murid tingkat satu. Kalian hati-hatilah. Ujian yang sekarang ini bukan main-main. Lengah sedikit bisa celaka. Dalam ujian ini kalian harus waspada, tak boleh sembarangan." Ching Ching 250 Sesudah mendengar segala wejangan Lie Wei Ming, Ching-ching dan Thio Lan Fung balapan ke dalam gedung. Dari luar gedung itu tampak tidak terlalu besar, tapi dalamnya luas sekali. Anehnya, tak ada perabotan di sana. Begitu masuk, mereka ketemu dua pintu batu. "Mana kau pilih?" tanya Ching-ching. "Kanan atau kiri?" Thio Lan Fung bingung memilih. Ia melirik kepada Ching-ching. Gadis itu tampak tenang-tenang saja. Barangkali ia sudah tahu jalannya. "Kau saja duluan pilih," katanya. "Baik, aku pilih yang kiri." Ching-ching mendekati pintu yang ia sebut. "Tidak!" Lan Fung menghalangi. "Aku mau yang kiri!" katanya tegas. "Kalau begitu aku ambil yang kanan," kata Ching-ching, menuju pintu yang dipilih dan masuk tanpa ragu lagi. Thio Lan Fung bimbang. Ia curiga pada Ching-ching. Apakah ia sudah tahu jalan pikiran Lan Fung barusan sehingga sengaja duluan pilih pintu kiri baru kemudian yang kanan" Lan Fung mengerutkan kening. Ching-ching orang yang licik dan banyak akal. Jangan-jangan di balik pintu kiri ada banyak jebakan. Paling baik ia mengikuti ke pintu kanan saja membuntutui gadis itu. Setidaknya kalau memang ada jebakan, Ching-ching akan kena duluan sehingga ia bisa waspada. Berpikir demikian, Lan Fung segera mengikuti jejak Ching-ching ke pintu kiri. Di balik pintu batu, semuanya gelap sekali. Ching-ching tak berani buru-buru melangkahkan kaki. Ia berdiri diam dulu sambil mengejap-ngejapkan mata, membiasakan diri. Sesudah itu, baru ia jalan pelan-pelan. Belum sampai dua puluh langkah, ia mendengar suara orang di belakangnya. Ching-ching langsung mengenali Lan Fung. "Penakut!" gumamnya mengejek. Tapi ia pura-pura tidak tahu kalau Lan Fung mengikuti. Ching-ching melihat cahaya di depan, di tempat yang menikung dipasangi obor, terus sampai ia mesti berhenti. Di depannya tak ada lagi tanah. Yang ada cuma semacam jurang. Lebarnya sekitar sepuluh tombak. Untuk sampai ke seberang ada jembatan dari gelendong kayu yang lumayan ... kecilnya. Ching-ching melongok ke dalam jurang itu. Ia tak tahu berapa dalamnya. Yang kelihatan cuma hitum. Ching-ching menapakkan kaki ke gelendong kayu. Ia tersenyum. Rintangan begini bukan apa-apa buatnya berjalan di atas tali ia sanggup, masa cuma kayu segelendong saja yang jauh lebih besar tak bisa dilewatinya. Ia mendengar suara kaki Lan Fung semakin dekat. Kepingin tahu, bisa tidak gadis itu melewati jembatan ini. Buru-buru ia menyeberang sampai ketengah, dan berdiri menunggu. Ia ingin lihat rupa gadis itu saat melihat apa yang dihadapi. Lan Fung yang mengikuti Ching-ching bengong melihat jurang dalam yang menganga di hadapannya. "Seru ya," kata Ching-ching menyambut. "Pakai beginian segala. Seperti tukang obat yang suka pamer kepandaian di pasar saja. He, ngapain bengong di situ. Hayo kemari!" Ching-ching sengaja melompat dan berputar-putar di atas balok sambil sesekali jumpalitan. Lan Fung memandanginya dengan iri. Ia menundukkan muka. Terlihat olehnya bahwa balok itu terpancang ke lubang di tebing jurang, tapi tidak terkubur erat. Barangkali kalau diputar ... Lan Fung tersenyum jahat menggerakkan tangan. Balok kayu diputarnya sedikit. Ching Ching 251 Ching-ching yang tidak tahu jadi kaget sekali. Ia tergelincir dari balok yang diinjaknya, jatuh ke dalam jurang yang seperti mulut besar mau melahapnya! "Aw!" ia berteriak kaget. Tangannya cepat menggapai, meraih balok kayu yang sudah terlewat di atas kepala. Dapat! Ching-ching cepat menarik badannya ke atas dan duduk di balok itu. Fiuh! Nyaris saja. Untung sedari anak-anak ia sudah dilatih melawan rasa takut hingga pikirannya jernih dan bisa bergerak cepat sekali. Kalau tidak ... Ching-ching melongok ke jurang di bawahnya. Hiii! Ia cepat berdiri dan buru-buru menyeberang. "Licik kau, Thio Lan Fung!" umpatnya sesampai di seberang. "Awas kubalas kau nanti!" Lan Fung menyesal. Ia sendiri belum sampai di seberang. Bagaimana kalau nanti Ching-ching melakukan hal yang sama padanya" Lama ia diam berpikir-pikir. "Huuh, menunggui kau aku bisa ubanan. Duluan saja ah!" kata Ching-ching tak sabar. Ia berjalan agak jauh. Sampai di tempat yang agak gelap tak terkena cahaya obor, ia berhenti dan memperhatikan Lan Fung. Ingin tahu, berani tidak gadis itu meniti balok kayu. Thio Lan Fung tak lagi melihat Ching-ching. Gadis itu sudah berjalan duluan. Sekarang aman kalau dia mau menyeberang. Tapi, yang jadi masalah, bisa tidak ia berjalan di kayu yang cuma sebesar gitu" Tapi, melihat Ching-ching tadi kok sepertinya gampang sekali. Kalau gadis itu bisa, kenapa dia tidak" Lagipula ginkangnya lumayan dan yang paling penting ia tak mau keduluan Ching-ching mengambil pedang Thio Lie Hoa. Agak gemetar Thio Lan Fung melangkah juga. Ternyata berjalan di atas balok ini tidak segampang yang dilihatnya. Apalagi melihat jurang tak berdasar di bawahnya, dan menjaga keseimbangan badan betul-betul sulit. Lan Fung mencoba memusatkan pikiran. Ia tak boleh ngelantur macam-macam kalau mau selamat sampai di seberang. Ching-ching memperhatikan dari jauh. Dilihat badan Lan Fung yang oleng ke kiri ke kanan. Tangannya yang terentang memperjelas gerakan gadis yang meniti jembatan itu. "Dia tak bakalan lewat!" kata Ching-ching dalam hati. "Kalau begitu caranya, sebentar lagi pasti terpeleset dan terbanting ke bawah. Tamat riwayatnya. Puas! Jahat sih!." Tapi sedetik kemudian Ching-ching berubah pikiran. Saat itu Lan Fung sudah benar-benar tak bisa bertahan. Badannya miring-miring. Kaki yang menapak di kayu tinggal sebelah. Ia jatuh. Lan Fung menjerit menyadari kedua kakinya tidak menapak lagi. Ia memejamkan mata. Dan masih menjerit-jerit ketika sepasang tangan menangkap sebelah kakinya. "Hush!" Diam!" sebuah suara jernih membentak. Lan Fung membuka mata. Ia melihat Ching-ching di bawahnya - tidak, di atasnya, tapi ... entahlah, Lan Fung tak tahu lagi mana atas mana bawah! Ching-ching kerepotan menolong Lan Fung yang menggantung terbalik. Apalagi Lan Fung tak berbuat apa-apa untuk menolongi diri sendiri. "He, usaha dong. Jangan mengandalkan aku! Hei, kau sudah mati belum" Kalau sudah, kulepas saja kakimu, tak ada guna dipegang-pegang." "Jangan dilepas!" Lan Fung ketakutan. Ching-ching tersenyum. Thio Lan Fung tidak semaput karena kaget. Bagus! Susah payah Ching-ching berhasil juga menarik kaki Lan Fung hingga gadis itu berhasil Ching Ching 252 duduk di balok kayu. Sejajar dengan Ching-ching, tapi memunggungi gadis lincah itu. Ching-ching menepuk punggung Lan Fung. "Kau untung, aku tak jadi mati karena niat jahatmu tadi. Coba kalau tidak, pasti kita sudah sama-sama jadi mayat di dasar jurang." Ching-ching berdiri. "Sudah ah, kau terlalu banyak menyita waktuku. Selebihnya, urus dirimu sendiri saja." Ia melompat ke tepi. "Hei!" Lan Fung memanggil. "Aku memang hutang nyawa padamu. Kali lain akan kubayar lunas. Tapi, kalau kaupikir aku lantas berhenti jadi sainganmu, kau keliru." "Justru itu," sahut Ching-ching. "Aku tolongi engkau karena tidak mau buru-buru memenangkan ujian. Pertandingan tanpa saingan itu tidak lucu. Jadi, kau tak perlu berterima kasih begitu kepadaku," sindirnya. Muka Lan Fung memerah sampai ke telinga. Untung cahaya yang ada remang-remang dan ia memunggungi Ching-ching sehingga gadis itu tak mungkin melihat. "Aku mau pergi," kata Ching-ching. "Kalau kau mau tinggal di situ seharian, terserah." "Kau tak mau bantu, aku juga tak meminta." "Membantumu" Ah, nanti kau hutang budi padaku. Pertandingan jadi tidak seru. Baiknya memang tidak, bukan" Kau usahalah sendiri, masa tidak sanggup?" Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Saya tak akan lupa." "Ya, dan jangan lupa juga kembalikan Ciu Kouw-nio, Phan Kouw-nio, dan entah siapa lagi yang kausebut tadi." "Ya, ya, sekarang juga saya akan lepaskan mereka." Ching-ching yakin Wan Wan-gwa akan menepati janjinya karena masih sayang nyawa. Ia pun tak menunggu lebih malam, segera pergi menemui Cioe Boen. "Anakmu akan segera lepas. Kau tunggu di sini, aku ada urusan," kata Ching-ching. Ia lantas pergi. Waktu kembali, dilihatnya Cioe Boen sudah bediri dengan seorang wanita muda. "Ha, rupanya ini anakmu, ya." "Benar," sahut Cioe Boen memandangnya heran. "Lo-heng siapa?" "Masa sudah lup ... Oh iya, aku sedang menyamar." Ching-ching mencopot kumis palsunya. "Lie-hiap?" barulah Cioe Boen mengenali. "Aku menyamar untuk beri pelajaran pada mantumu. Eh, Ciecie, tolong bantu pakaikan bedak ini." Ching-ching memang punya rencana. Ia mencari baju buat penyamaran dan bedak serta gincu untuk merias muka. Ia juga memakai kumis dan rambut palsu yang diambil dari pegawai Wan Wan-gwa. Tentu saja ia tak lupa juga membeli cermin. Cioe Cie membantunya merias muka. Sebentar saja sudah jadi. Melihat muka Ching-ching, lantas saja Cioe ayah-beranak jadi ketawa. Tampang gadis itu jadi aneh sekarang. Mukanya sebelah putih karena beda, sebelah hitam oleh arang. Bibirnya merah bergincu. Janggut, kumis, alis, dan rambut palsunya juga dicat sebelah-sebelah. "Kalian jangan ketawa. Ini buat menakuti orang, tahu." "Maaf, Lie-hiap, tapi aku tak tahan," Cioe Cie cekikikan. "Sekarang tinggal tunggu gelap saja dan menjalankan rencanaku." Begitu hari larut, Ching-ching menuju rumah keluarga Cioe. Di sana tinggal Lioe Sie dan anak-anaknya karena Cioe Hon masih belum dilepaskan Tie-koan. Pintu kayu yang tertutup bukan halangan buat masuk. Ginkangnya juga sebabkan ia dapat berjalan tanpa suara. Sampai di kamar, Lioe Sie tidur, ia membangunkan perempuan Ching Ching 253 itu. "Lioe Sie," panggilanya dengan suara diseram-seramkan. "Bangun, waktumu sudah sampai." Lioe Sie yang terbangun mendadak jadi kaget. Untung Ching-ching cepat totok urat gagunya jadi tak menjerit. Cepat juga dilepas lagi. "Jangan banyak tingkah, kau harus ikut," kata Ching-ching. "Kau siapa?" bisik Lioe Sie. "Aku malaikat yang diutus Giam-lo-ong mengambil nyawamu." Mendengarnya, Lioe Sie langsung jatuh terduduk. "Jangan, tolonglah, jangan cabut nyawaku. Anakku banyak, kalau aku mati, siapa yang urus mereka?" "Dosamu banyak, tak bisa diampuni. Kau selalu berlaku jahat pada mertua dan iparmu ..." "Saya janji tak akan begitu lagi," Lioe Sie terisak-isak. "Hah, baiklah. Tapi kalau kali lain kau berlaku buruk pada ipar dan mertuamu, aku akan datang lagi mencabut nyawamu. Sekarang keduanya ada di jalan. Kaujemputlah mereka!" Terburu-buru Lioe Sie menjalankan perintah 'malaikat' itu. Tentu saja Cioe Boen dan Cioe Cie heran melihat perubahan begitu besar padanya. Tapi mereka tahu, ini tentu ulah pendekar wanita yang menolong mereka. Dari jauh Ching-ching mengawasi. Ia senang melihat muka girang dari Cioe Boen dan Cioe Cie. Apalagi ketika Cioe Hon datang berlari-lari. Rupanya Wan Wan-gwa sudah mengurus supaya ia dilepaskan. Keluarga itu sudah berkumpul lagi sekarang. Waktunya bagi Ching-ching untuk pergi. Satu hari lagi Ching-ching sampai di Pek-san-boe-koan. Gadis itu tak mau terburu-buru. Ia ingin menikmati masa-masa di luar perguruan. Tapi, supaya tak ada yang mengenalinya sebagai Lie Mei Ching, murid keenam Pek-san-boe-koan, tentu saja ia harus mengubah rupa. Penyamaran sebagai seorang kong-coe yang dipilihnya. Ia sedang beristirahat di cabang sebuah pohon yang tumbuh di simpangan sebuah jalan, waktu didengarnya ribut-riut orang lewat. Empat orang laki-laki berhenti di bawah pohon yang ia tumpangi. Mereka sama sekali tak tahu ada seorang yang tepat di atas kepala mereka. Terus saja empat orang itu bercakap-cakap dengan suara keras. "Sebentar lagi gadis itu lewat ke mari. Kita akan dapat minta obat buat saudara kita dan sekalian membalas dendam." "Ya, gadis itu akan pergi ke Bukit Tengkorak mencari Yok Ong Phoa, jadi ia pasti lewat sini." Mendengar nama kong-kongnya disebut, Ching-ching langsung pasang kuping. Siapa mencari kong-kongnya" Dan siapa bilang kong-kongnya ada di Bukit Tengkorak" Ia tahu betul, Tok Ong Phoa alias Tabib yuk tinggal di kaki Pek-san. Raja obat itu bahkan ia kunjungi hampir tiap hari. Tak berapa lama datang seorang gadis menenteng pedang datang ke sana. Empat orang tadi langsung memegatnya. "Iblis busuk," salah seorang langsung memaki, "cepat kaukeluarkan pemunah racun untuk saudara kami yang kaulukai kemarin!" "Saudara kalian yang mana?" tanya gadis itu tak mengerti. "Kau memang pikun atau memang lupa pada saudara kami yang kauracuni di hutan bambu kemarin?" "Yang itu" Huh, buat apa aku tolongi berandal macam dia. Biar saja dia mati sengsara kena racunku." Ching Ching 254 "Kau rupanya perlu dihajar dulu. Baiklah, aku akan paksa kau serahkan pemunah racun itu, suka atau tidak suka." Empat laki-laki itu langsung menyerang si gadis. Sekali melihat orang bergerak, Ching-ching sudah tahu kemampuan orang. Ia tahu empat pengeroyok itu masih rendah ilmunya, dan gadis yang diserang paling cuma setingkat di atas mereka. Kalau satu lawan satu, gadis itu bisa jadi akan menang, tapi dikeroyok empat ... Sebenarnya Ching-ching tak mau ikut campur, tapi gadis ini katanya mencari Tabib Yuk. Entah ada urusan apa, ia ingin tahu. Kalau gadis ini mati, ia juga akan penasaran. Mendapat pikiran dmeikian, Ching-ching mau juga turun tangan. Ia membantu tepat saat si gadis mulai terdesak. "Cih, tak tahu malu, empat orang keroyok seorang gadis," katanya sembari pukul ke kanan-kiri. Empat pengeroyok itu undur beberapa langkah. "Kau pemuda usil, ikut campur urusan orang! Minta digebuki juga ya?" "Boleh coba kalau bisa!" ejek Ching-ching dengan suara agak diberat-beratkan. Tentu saja. Mana ada pemuda yang suaranya seperti anak-anak. Ia terpaksa mengubah suara sedikit. Pertempuran terjadi lagi, kali ini lima lawan dua. Tapi, kedudukan justru berbalik. Ching-ching dan gadis yang dibantunya malah berada di atas angin. Suatu ketika, Ching-ching mendengar suara kesiuran golok membokongnya. Tapi, ia tahu juga gadis di sisinya sudah gerakkan pedang menangkis, ia pun tka mau menghindar. Senjata beradu. Golok itu tak jadi lukai punggung Ching-ching. Tiba-tiba sifat iseng gadis ini muncul kembali. Sambil mengerling dan tersenyum, ia berkata pada gadis itu, "Adik manis, terima kasih pertolonganmu." Gadis itu mengerutkan kening. Pemuda ini cukup ganteng, jagoan lagi. Sayangnya genit, pikirnya. Ching-ching mengambuk, tapi tetap tak mau bunuh lawan-lawannya. Ia tak tahu masalah. Cuma penasaran ingin tahu ada urusan apa kong-kongnya sampai dicari-cari. Karena itu, ia bertempur setengah hati. Cuma sekadar pamer di depan gadis ini. "Jurus Liap-in-jio-ciu (Mengejar awan merebut mestika)!" seorang pengeroyoknya mengenali jurus yang dimainkan oleh Ching-ching. "Dari Pek-san-boe-koan!" "Tepat sekali!" sahut gadis itu sembari bergerak merebut senjata-senjata lawan. Ia berputar mendekati mereka satu-satu. Ketika berdiri tegak, empat golok sudah tergenggam di tangannya. "Kudengar Pek-san-boe-koan adalah dari partai putih, kenapa malah membela golongan hitam?" "Siapa bela golongan hitam" Aku cuma benci lihat ketidakadilan. Empat lawan satu gadis tak berdaya. Apakah itu adil?" "Murid Pek-san-boe-koan sendiri sering keroyok orang dengan barisan Pek-san-ngo-heng-tin)." "Sering katamua" Coba sebut siapa saja yang pernah menghadapi barisan itu!" "Banya. See-thian-mo-ong, Cui-beng-kiam-eng, dan Pat-jioe-lo-mo." "Betul, dan mereka adalah penjahat-penjahat Kang-ouw yang sudah punya nama besar, bukan" Bukannya sebangsa orang yang tak sanggup melawan." "Pek-san-siauw-hiap, kami ada dendam sendiri pada nona ini. Harap jangan halangi maksud kami." "Hah, kudengar kalian cuma mau penawar racun. Kenapa tak minta baik-baik" Kiranya akan diberi. Betul tidak, Kouw-nio?" "Tak sudi aku berikan penawar pada mereka!" bantah gadis itu bandel. Ching Ching 255 "Yah, kalau begitu, aku tak mau memaksa," sahut Ching-ching santai. "Siauw-hiap!" salah seorang dari empat orang berseru. "Kalian jangan kuatir, aku juga punya penawar. Coba, seperti apa racun yang menyerang kawan kalian?" "Racun itu sebabkan gatal dan bentol di sekujur tubuh. Kalau digaruk, akan membengkak dan pecah keluarkan darah." "Ck-ck-ck. Kasihan, itu pasti terkena Ceng-tok-hoa. Tunggu, kuambil dulu penawarnya." Ching-ching ambil dua bungkusan dari sabuknya. "Yang bungkus merah atau yang kuning, ya?" Gadis di sebelahnya melotot kaget. Pemuda ini tahu jenis racun saja sudah mengherankan, apa lagi punya penawarnya. Ia tak tahu, Ching-ching diam-diam justru mencopet dari sakunya sendiri. "Siauw-moay, kau tahu yang mana?" Gadis yang terheran-heran itu agak kaget. Ia tahu bungkusan mana yang merupakan obat, tapi mana sudi ia beri tahukan. Ia mengerling ke arah empat orang yang menunggu. "Yang merah!" jawabnya sembari melengos. "Salah besar," kata Ching-ching yang sempat melihat kerlingan benci itu. "Yang kuning adalah obatnya. Maka dari itu, rajin-rajin belajar supaya tak keliru." Dengan kesal, gadis yang ditegurnya mendengus. Tipuannya tak berhasil. Ia sungguh kesal sekali. "Sie-wie, ini dia obatnya." "Terima kasih, Siauw-hiap, kami berempat dari See-hong-pay tak akan lupakan budimu." "Kalian dari See-hong-pay" Kalau saja aku tahu, aku tentu tak akan berlaku kasar. Maukah kalian memaafkan kelakuanku yang kurang sopan dan ... tolong sampaikan salamku kepada Kwee Pang-coe. Katakan saja dari 'si bandel kecil.' Ia akan ingat padaku." "Eh, Siauw-hiap. Kwee Pang-coe ... Kwee Pang-coe sudah meninggal." "Hah" Kwee Pang-coe ...," saking kaget Ching-ching menggunakan suara yang biasa. Untung tak ada yang menyadari. "Maksudku ... bagaimana bisa ... Ia tak dibunuh orang, bukan?" "Oh, tidak. Tida. Beliau sakit keras dan tak dapat diobati hingga ..." "Aku mengerti. Lantas bagaimana perkumpulan kalian?" "Kami sudah angkat ketua baru." "Yah, bagaimanapun sampaikan saja salamku kepadanya. Dan juga, belasungkawa dari kami di Pek-san-boe-koan." "Baiklah. Sekali lagi, terima kasih, Siauw-hiap." "Kalian baiknya cepat pergi. Jangan sampai saudaramu itu terlambat ditolong." Sesudah empat orang itu pergi, gadis id sana ikut pergi juga. "Hei, hei, hei! Apakah kau mau pergi begitu saja" Rupanya kau belum pernah diajarkan bagaimana berterima kasih." "Setelah kauberikan obat penawar kepada musuhku" Jangan harap!" "Siauw-moay, jangan galak-galak. Nanti hilang kecantikanmu," bujuk Ching-ching. Ia senang waktu lihat muka gadis yang digodanya memerah. Keisengannya makin menjadi. "Siauw-moay ...." "Cis, siapa sudi jadi adikmu!" cibir gadis itu. "Baiklah, nona manis, aku cuma mau kau sebutkan namamu saja." "Kau ini siapa, berani tanya namaku?" Kentara sekali kalau gadis itu sebal pada pemuda lancang di hadapannya. "Kau ini galak betulan, tapi aku suka gadis galak. Oh ya, kau tak usah sebut Ching Ching 256 namamu, aku sudah tahu. Kau adalah Khoe Yin Hung dari Ban-tok-pang." "Bagaimana kau tahu?" "Memangnya kenapa kalau tahu?" Gadis bernama Khoe Yin Hung itu melengos pergi. "Oeit, eit, tunggu dulu. Gadis secantik kau bahaya jalan sendirian. Biar aku temani." Khoe Yin Hung tak peduli. Ia terus saja berjalan sampai tangannya ditarik Chingching. Dengan marah Khoe Yin Hung mengibaskan cekalan Ching-ching dan lantas menampar. "Aduh!" jerit Ching-ching. "Rasakan! Lain kali jangan semua gadis kauanggap gampang dirayu!" Ching-ching memegangi pipinya yang pedih. Tangannya yang sebelah sudah terangkat hendak balas menampar, tapi ia segera ingat samarannya sebagai pemuda pendekar. Tentunya ia tak boleh membalas dengan cara yang sama. "Wah, sayang kau tak suka kepadaku. Tadinya aku mau beri hadiah ini." Ching-ching mengacungkan sebuah giok tipis berukir. Benda itu didapat dari kantong Khoe Yin Hung waktu ia mencopet obat. "Itu punyaku! Kembalikan!" Khoe Yin Hung menerjah hendak merebut giok di tangan pemuda di hadapannya. "Tidak!" Ching-ching berkelit. Khoe Yin Hung mengejar. Sejenak mereka berkejar-kejaran di tempat itu sampai Khoe Yin Hung kecapaian. Gadis itu berhenti berlari. Sambil membanting kaki ia berteriak mengancam, "Kembalikan barangku! Kalau tidak - " "Tidak usah pakai mengancam segala. Barang ini akan kukembalikan kalau kau mau jawab. Mau apa kau cari Yok Ong Phoa?" "Bukan urusanmu!" "Kalau begitu, biar giok ini untukku saja," Ching-ching mengantungi giok itu. "Kau ... kau jahat. Aku tak akan mengampunimu!" Khoe Yin Hung menyerang lagi. Kali ini Ching-ching tak menghindar. Ia malah mengulur jari, terus ke pundak Yin Hung. Gadis dari Ban-tok-pang itu kaku tertotok sebelum sempat menyentuh Ching-ching. "Aku bersungguh-sungguh sekarang. Ada urusan apa kau dengan Yok-ong-phoa?" "Kau tak perlu tahu." "Ya sudah. Asal kau tahu saja, jangan cari dia di Bukit Tengkorak. Percuma, sampai tua pun tak akan ketemu." Ching-ching mulai cengar-cengir lagi waktu berkata, "Gadis galak, sebenarnya aku suka menemanimu di sini. Sayang, ada urusan lain dengan gadis yang lebih manis darimu. Aku pergi dulu ya." Ching-ching berbalik hendak pergi. "Oh, ya, aku juga sudah ambil semua obat dan racun punyamu. Terima kasih, ya." "Hei, tunggu! Aku bagaimana?" Khoe Yin Hung berteriak panik. "Nanti juga lepas sendiri. Begitu matahari terbenam, jalan darahmu akan bebas semua," sahut Ching-ching dari kejauhan. "Kuharap kita bertemu lagi, Khoe Yin Hung!" Dengan bersemangat Ching-ching mendaki Pek-san kembali ke perguruan. Ia baru saja memasuki gerbang Pek-san-boe-koan waktu dua orang melompat menghadangnya. "Ching-ching, dari mana saja kau" Aku hampir mati bosan menunggu dan menguatiri dirimu. Takutnya kau diculik Setan Gunung dan tak bisa kembali kemari." Datang-datang Wu Fei Mengomeli. "Tahu tidak, ngo-soe-hengmu hampir lupa makan-tudir memikirimu," sambung Miauw Chun Kian membuat muka soe-teenya semu dadu. Ching Ching 257 "Oh" Tapi kau tidak lupa latihanmu, bukan?" "Tentu tidak. Kau boleh uji, dijamin aku akan mengalahkanmu," Wu Fei sesumbar. "Bagus, aku juga kepingin lihat!" sambut Chun Kian sambil melempar dua batang ranting kepada adik-adiknya sebagai ganti pedang. Ilmu Wu Fei memang maju pesat sekali. Bertempur beberapa jurus saja, Ching-ching mesti takluk kepada soehengnya. Pada jurus kesepuluh, ranting di tangan Ching-ching terlontar ke udara. "Tuh kan!" Wu Fei tersenyum bangga. "Curang sih!" gumam Ching-ching tak terima. "Orang baru datang, belum makan, Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo belum istirahat, sudah diajak tarung. Tentu saja tak bisa menang." "Sudah kalah, mengaku saja," ejek Wu Fei. "Tak bisa. Tungguh tiga hari lagi, ganti aku akan mengalahkanmu!" seru Ching-ching. "Aku tunggu! Aku tunggu!" sahut Wu Fei meremehkan. "Ching-ching, kau laporan dulu pada Soehoe sana!" Miauw Chun Kian menyuruh. "Beres!" Ching-ching berlari ke kamar soehoenya. Di dalam kamar, ternyata Lie Wei Ming tidak sendirian. Yuk Lau ada di sana juga, untuk melapor kepada soehoe mereka. "Hei, Sam-soe-heng, kapan pulang?" tanya Ching-ching setelah memberi hormat kepada gurunya. "Beberapa jam lalu," kata Yuk Lau. Ia kemudian mohon diri supaya Ching-chingdapat bicara berdua dengan gurunya. Ching-ching menceritakan pengalamannya. Hampir semua. Pertemuan dengan Khoe Yin Hung ia simpan untuk diri sendiri. Gurunya tak boleh tahu ia puas menggoda gadis dari Ban-tok-pang itu. "Oh ya, Soehoe, di perjalanan aku bertemu anggota See-hong-pay. Kata mereka, Kwee Pang-coe wafat karena sakit yang tak tersembuhkan, kemudian mereka angkat ketua baru." "Siapakah nama ketua baru itu?" "Aduh!" Ching-ching menepuk dahi sendiri. "Tee-coe lupa menanyakan." Gadis itu meringis dengan rasa bersalah. "Hm, tak apalah. Toh nanti kalau ada upacara pengangkatan ketua, kita akan diberi tahu juga. Ah, kau tentunya lelah. Beristirahatlah!" "Baik, Soe-hoe. Tee-coe mohon diri." Sepeninggal Ching-ching, Khoe Yin Hung berdiri kaku di simpangan jalan. Ia mengomel, hampir menangis karena kesal. Untung matahari segera silam. Semua totokannya jadi terbuka, tepat seperti yang Ching-ching bilang. Hari telah gelap. Tak ada guna terus berjalan atau mencari penginapan. Salah-salah tersesat nanti. Kali ini Yin Hung terpaksa bermalam di pinggir jalan. Esok harinya ketika akan berangkat, Yin Hung agak bingung menentukan ke mana ia harus pergi. Ia diberi tugas oleh neneknya untuk mencari Yok Ong Phoa, si raja obat. Tapi ia juga teringat terus pada gioknya yang diambil si pemuda kemarin. Sejak kecil giok itu tak pernah lepas darinya. Sekarang giok itu diambil orang. Yin Hung merasa ada bagian dirinya yang ikut hilang. Khoe Yin Hung akhirnya memutuskan untuk mengambil dulu gioknya. Ia mengambil jalan yang kemarin ditempuh Ching-ching. Ke mana kemarin pemuda itu mau pergi" Yin Hung mengingat-ingat. Ah, paling juga pulang ke Pek-san-boe-koan. Bukankah jalan ini menuju Pek-san" Tak ragu lagi Yin Hung memilih jalan. Gadis dari Ban-tok-pang itu menuju Pek-san-boe-koan dengan bersemangat. Ia harus dapatkan gioknya kembali. Sayang, kemarin dulu ia lupa tanyakan nama pemuda itu. Ching Ching 258 Namun, Yin Hung hampir yakin akan menemuinya di tempat yang ia tuju. Begitu tiba di gerbang Pek-san-boe-koan, Khoe Yin Hung sudah dapat kesulitan. Tak sebarang orang boleh seenaknya masuk ke perguruan itu. Lebih dulu ditanyai ada keperluan apa, dan dari mana berasal. Biarpun ditanyai secara sopan, Khoe Yin Hung yang sudah terlanjur marah menganggap sudah keterlaluan. Ia membentak beberapa orang yang menghadang. Tentu saja mereka tidak terima. Ketika Yin Hung menyerang, ia disambuti beberapa batang pedang. "Tahan!" tiba-tiba seseorang berseru. Tak lain adalah Miauw Chun Kian, murid pertama Pek-san-boe-koan. "Ada apakah ini?" "Soe-heng, nona ini hendak mendobrak masuk!" lapor salah seorang. "Kami menanyai baik-baik, malah diserang." "Kouw-nio, ada urusan apakah kalau saya boleh tahu?" "Huh! Seorang dari saudaramu mencuri giok milikku!" "Apa" Tapi ... bagaimana ..." "Soe-heng, Soe-hoe memanggilmu," Wu Fei menyusul. Melihat Khoe Yin Hung, ia langsung menjura. "Maafkan, aku tak tahu kalau ada tamu. Siapakah adanya Kouw-nio?" "Aku Khoe Yin Hung," jawabnya singkat. "Khoe Kouw-nio bilang, salah seorang dari saudara kita telah mencuri gioknya," kata Chun Kian sambil mengerutkan kening. "Ini bukan masalah biasa. Biar Soe-hoe saja yang menyelesaikannya. Silahkan, Khoe Kouw-nio!" Lie Wei Ming terkejut waktu muridnya membawa seorang gadis masuk. Ia lebih heran waktu mengenali gadis itu bermarga Khoe dari Ban-tok-pang. Setahunya, Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan tertutup. Sudah bertahun-tahun orang jarang mendengar namanya disebut. Anggotanya juga jarang mencari masalah. Yang sulit adalah Ban-tok-pang tak diketahui termasuk golongan hitam ataukah golongan putih. "Adalah suatu kehormatan bagi kami mendapat kunjungan dari Ban-tok-pang," sambut Lie Wei Ming. "Tidak juga kalau Cian-pwee tahu tujuanku datang ke sini. Aku mau menagih barangku yang dicuri oleh salah seorang muridmu!" "Muridku" Apakah Kouw-nio yakin?" "Ya, ia mengaku murid Pek-san-boe-koan." "Kouw-nio tahu siapa namanya?" "Sayangnya tidak. Tapi aku akan dapat mengenali kalau bertemu dengannya." "Seperti apakah rupanya" Perempuan atau laki-laki?" "Laki-laki. Umurnya kira-kira ... aku tak tahu. Pokoknya belum sampai 20 tahun. Rupanya tidak terlalu jelek. Ia memakai baju putih." "Ada banyak pemuda berciri demikian di sini. Banyak juga yang suka memakai baju putih." "Aku tak peduli. Pokoknya ia pasti ada di sini." "Chun Kian, kau tahu siapa-siapa saja yang keluar beberapa hari ini?" "A-bun dan A-houw, A-wen, A-cay, A-cie, dan Yuk Lau Soe-tee." "Sam-soe-heng bukan macamnya orang yang senang menggoda gadis," bantah Wu Fei. "A-fei, coba kaupanggil mereka semua!" perintah Lie Wei Ming. Yuk Lau terkejut waktu ia dipanggil. Apalagi waktu Wu Fei meceritakan sebabnya. Tapi, ia tak merasa berbuat salah. Cepat-cepat ia menghadap gurunya. "Apakah ini orangnya?" tanya Lie Wei Ming kepada Khoe Yin Hung. "Bukan. Tak satu pun dari mereka yang mirip dengan pemuda yang mencuri giokku. Barangkali yang lainnya." Ching Ching 259 "Tapi cuma mereka yang pergi turun gunung beberapa hari ini." "Aakah kalian mau menyembunyikan pencuri itu?" tuduh Khoe Yin Hung. Ia memaksa semua pemuda di Pek-san-boe-koan keluar menampakkan diri. Kemudian diperiksanya satu-satu. Sampai pegal Yin Hung memperhatikan murid-murid yang jumlahnya ratusan itu, tak seorang yang ia kenali. "Khoe Kouw-nio, barangkali kau salah kenali orang. Buktinya ia tak ada di sini," kata Wu Fei. "Aku yakin ia ada di sini. Ia mengaku sebagai murid Pek-san-boe-koan," Khoe Yin Hung ngotot. "Bagaimana cara ia mengaku?" "Eh, dia ... dia bertemu dengan orang See-hong-pay dan dikenali memakai jurus Liap-in-jio-Dicetak ulang seizin, lalu ia mengaku berasal dari Pek-san-boe-koan. Oh ya, ia juga menitip salam dengan nama si kecil bandel." Lie Wei Ming mengangguk, ia sudah tahu siapa yang dicari. Yuk Lau pun tampak curiga pada seseorang. "Khoe Kouw-nio, bagaimanakah ia dapat mencuri giokmu?" "Ia ... ia mencopetnya dariku," jawab Khoe Yin Hung dongkol, teringat lagi kejadian lalu. "Bukan itu saja, ia juga mengambil semua obat yang ada di sakuku." "Mencopet" Haaa, aku tahu siapa orangnya!" teriak Wu Fei. Ia langsung lari ke dalam. Melihat kelakuan orang itu, dahi Khoe Yin Hung berkerut heran. Tak lama Wu Fei pergi ke dalam. Ia kembali menyeret seorang yang mengomel-omel. "Ngo-soe-heng ini apa-apaan. Aku baru saja terlelap, tahu-tahu dibangunkan dan kauseret keluar. Apakah kau sudah gila?" "Khoe Kouw-nio, inikah orang yang mencuri giokmu?" Khoe Yin Hung menatap Wu Fei, lalu beralih pada Ching-ching. "Orang itu laki-laki." "Kau lihat dulu baik-baik. Coba kalau bajunya begini dan rambutnya seperti ini. Miripkan ia dengan pemuda itu?" Khoe Yin Hung tampak ragu. "Hai!" sapa Ching-ching dengan suara agak berat. "Kangan aku ya sampai menyusul kemari segala." Khow Yin Hung mengenali suara itu. "Kau ...!" tudingnya heran sekaligus marah. "Ching-ching, cepat kau kembalikan barang orang dan minta maaf," perintah gurunya "Maafkan, tapi barangmu ada di kamarku. Ayo, kita ambil!" Sebelum gurunya sempat berkata, Ching-ching sudah menarik tangan Khoe Yin Hung ke kamarnya. "Ini giokmu, dan ini semua obatmu. Dan sekarang, sebagai tanda penyesalanku, aku akan mentraktirmu makan di kota." "Aku tidak - " "Harus!" potong Ching-ching sambil menyeret Khoe Yin Hung pergi. "Soe-cie, kalau urusanmu sudah beres, Soe-hoe ingin menemuimu," kata seorang murid tingkat tiga yang berpapasan dengan mereka. "Bilang pada Soe-hoe, Khoe Kouw-nio mau memaafkanku kalau sudah ditraktir makan. Jadi, aku mesti ke kota dulu untuk menyudahi persoalan." "Eh, aku tidak minta ...," Khoe Yin Hung menyangkal. "Bilang saja begitu!" kata Ching-ching kepada adik seperguruannya. Di perjalanan menuju ke kota, Khoe Yin Hung diam saja sambil cemberut. "Kenapa sih kau diam terus?" tanya Ching-ching tak tahan lama-lama membisu. "Kenapa kau bilang begitu pada gurumu" Aku kan tak minta ditraktir. Kau sendiri Ching Ching 260 yang memaksa." "Tolol, kalau tidak begitu, mana boleh aku keluar seperti sekarang. Bisa jadi aku malah sedang diomeli Soe-hoe sekarang. Mendingan jalan-jalan, meskipun mesti keluar uang membayari kau makan." Keduanya terdiam lagi. "Khoe Kouw-nio, boleh aku tanya sesuatu?" Sebelum Khoe Yin Hung menjawab, Chingching sudah melanjutkan kata-katnaya. "Kau mencari Yok Ong Phoa, apakah untuk urusan balas dendam?" "Tentu saja tidak!" jawab Yin Hung cepat. "Tapi itu bukan urusanmu!" "Tentu saja urusanku!" jawab Ching-ching meniru gaya Yin Hung berkata. "Soalnya, cuma aku yang tahu di mana dia sekarang." "Ngaco! Semua orang tahu Yok Ong Phoa ada di Bukit Tengkorak." "Kau sendiri yang ngaco! Kong-kong tidak ada di sana. Aku bahkan tak yakin ia pernah menginjakkan kaki di bukit itu." "Kong-kong?" Khoe Yin Hung terkejut. "Yok Ong Phoa kong-kongmu?" Ching-ching mengangguk. "Dan sudah kubliang, cuma aku yang tahu di mana adanya Raja Obat itu saat ini." "Di mana?" tanya Yin Hung. Ching-ching berlagak tidak dengar. "Di mana adanya Yok Ong Phoa?" Yin Hung mengulang. "Kau mau tahu" Dia ada di ...," Ching-ching sengaja memotong ucapannya, membuat Hoe Yin Hung tambah penasaran. "Aku tak mau bilang sebelum kaukatakan ada urusan apa dengan Kong-kong!" Khow Yin Hung berpikir sejenak sambil menatap gadis sebayanya itu. Ia menyukai gadis ini, tapi entah bisa dipercaya atau tidak. Akhirnya diambil keputusan untuk membohongi saja gadis itu. Urusan ini tak boleh diketahui orang sebarangan. Tapi, seolah dapat membaca pikiran Yin Hung, Ching-ching lebih dulu berkata, "Jangan coba-coba menipu, ya. Nanti kutipu lagi kau." "Dari mana kau tahu aku mau menipu?" "Soalnya aku ahli soal tipu-tipu. Gelagat orang yang berniat menipu dapat segera kulihat." "Yah, kalau begitu aku akan berterus terang saja," Khoe Yin Hung berkata. "Di daerah tempat tinggal kami terdapat banyak sekali tanaman dan binatang beracun. Bukan itu saja, bahkan hawa di sana beracun juga. Cuma di tengah-tengah perkampungan kami sajalah yang hawanya bersih. Tapi, di sana justru paling banyak tumbuhan dan binatang berbisa." "Kalian tidak takut?" tanya Ching-ching. "Ada satu obat yang bikin kami kebal terhadap segala macam racun. Obat itu dibuat oleh kakek moyangku dan disimpan dalam kotak-kotak dari giok yang ribuan jumlahnya. Obat itu mesti dimakan sedikitnya dua kali dalam setahun, kalau tidak kami akan keracunan. Celakanya, kini tinggal beberapa puluh saja jumlahnya. Nenekku tak dapat membuat obat baru karena tak punya resepnya. Sudah bertahun-tahun dicobanya, namun tak juga berhasil. Obat terakhir yang dicoba malah melukai dirinya sendiri." "Oh, jadi kau mau ketemu Kong-kong supaya ia membantu membuat resep obat sakti itu?" potong Ching-ching. "Begitulah. Aku sudah beri tahukan padamu. Sekarang katakan, di manakah Yok Ong Phoa." "Mana bisa begitu gampang" Kaupikir Kong-kong akan langsung membantumu, begitu Ching Ching 261 saja?" "Kenapa tidak?" "Apakah nenekmu kenalan baik Kong-kong" Apakah Kong-kong pernah hutang budi padanya" Tidak" Kalau begitu bagaimana kau yakin Kong-kong bakal membantu?" "Lantas bagaimana?" tanya Khoe Yin Hung yang termakan ucapan Ching-ching. "Serahkan padaku. Aku bisa atur semuanya, asal ..." "Asal apa?" "Asal di kota nanti kau yang traktir aku." Khoe Yin Hung tersenyum. Rupanya gadis ini punya maksud mengajaknya ke kota. "Jadi," kata Yin Hung setuju. "Tapi aku belum tahu namamu." "Aku she Lie. Namaku Mei Ching. Tapi semua kawanku memanggil Ching-ching. Kalau kau suka jadi temanku, kau boleh memanggil demikian pula." "Baiklah, Ching-ching. Namaku kau sudah tahu. Kau boleh panggil aku Yin Hung atau Hung-hung, terserah." "Siauw Hung saja ah." "Kenapa?" "Temanku dulu ada yang bernama Siauw Kui. Kau boleh menggantikan dia jadi sahabatku." "Siauw Kui" Namanya lucu, hihi." "Orangnya juga lucu. Agak tolol, tapi baik." "Aku tak mau disamakan dengan orang tolol," Yin Hung merajuk. "Kalau orang baik" Soalnya Siauw Kui biar agak menjengkelkan, tapi baiiik sekali." "Yah, kalau begitu, baiklah. Eh, Ching-ching, sejak kecil aku jarang berteman. Aku tak tahu mesti bagaimana." "Sama teman kau mesti baik, menurut, royal, setia," Ching-ching menyebutkan banyak lagi yang aneh-aneh. Yin Hung mendengarkan dengan serius. "Betulkah" Kalau begitu, sulit benar jadi sahabat." Gantian Ching-ching yang heran. "Kau percaya?" "Tentu. Katamu, teman harus dipercaya." "Oh ya, betul," kata Ching-ching. Dalam hati ia tertawa. "Nah, itu rumah makannya. Ayo masuk!" Setelah kenyang, Ching-ching membantu Yin Hung menyewa kamar. Mereka berjanji bertemu lagi besok, kalau Ching-ching sudah bicara pada Yok Ong Phoa. "Besok siang, kaupesan makanan seperti tadi dan tunggu aku di rumah makan!" kata Ching-ching sebelum pergi. Khoe Yin Hung mengiyakan. Ching-ching tidak langsung kembali ke Pek-san-boe-koan. Ia mampir dulu ke rumah Tabib Yuk. "Kong-kong, aku datang!" teriaknya waktu sampai. "He, Ching-ching! Kapan kau pulang" Bagaimana tugasmu" Beres?" sambut Tabib Yuk dari dalam. "Baru pulang tadi pagi. Tugasku sudah dijalankan dengan baik. Kong-kong, aku mau minta tolong." "Tolong apa?" "Kawanku ingin minta dibuatkan resep." "Resep apa?" "Obat antiracun." Ching-ching menceritakan lagi apa-apa yang dikatakan Yin Hung. "Suruh saja ia kemari," kata Tabib Yuk. "Tak bisa begitu gampang. Aku punya salah padanya, dan untuk menebus kujanjikan Ching Ching Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 262 membujuk Kong-kong membantu. Kalau ia tahu begitu mudah, ia akan menganggap aku masih berutang padanya." "Lantas aku mesti bagaimana?" tanya Tabib Yuk sambil ketawa. "Jual mahal sedikit." "Baiklah. Aku akan membuatnya cukup sulit buatmu. Sekarang kau mesti pulang. Sudah sore, nanti Soe-hoe mencari." "Besok aku datang lagi!" seru Ching-ching berlari pergi. "Ching-ching, kau dipanggi Soe-hoe. Ke mana saja kau sejak tadi dicari?" tegur Miauw Chun Kian ketika soe-moaynya datang. "Ke mana-mana," jawab Ching-ching seenaknya. Ia lantas pergi ke kamar soe-hoenya. "Soe-hoe mencari aku?" tanyanya. "Hmm, aku ingin tahu ada urusan apa kau dengan Ban-tok-pang." "Tidak ada apa-apa. Tee-coe cuma ingin kenalan saja dengan Khoe Yin Hung." "Kenalan kenapa begitu caranya?" "Ah, Soe-hoe seperti tak tahu sifat Tee-coe yang senang mengganggu orang." "Hhh, baiklah. Aku tak memaksa. Tapi, lain kali jangan cari urusan lagi dengan orang luar. Apalagi sampai bawa-bawa nama perguruan." "Baik, Soe-hoe." "Setelah keluar nanti, panggil Sioe Ing kemari." "Soe-cie sudah pulang" Eh, Soe-hoe, Tee-coe mundur dulu." Setelah berpamit, Ching-ching pergi mencari soe-cienya. Ia mendapati In Sioe Ing sedang berdiri bersandar ke tiang gedung sambil melamun. Ching-ching mendekatinya pelan-pelan, berniat mengageti dari belakang. Tapi, tahu-tahu dilihatnya Sioe Ing tersenyum. Menyangka soe-cienya sudah tahu niatan orang, Ching-ching membatalkan maksudnya. "Soe-cie, Soe-hoe mencarimu," katanya. Di luar dugaan, Sioe Ing melompat kaget. Karena tidak menyangka, Ching-ching jadi ikut terkejut juga. "A ... a ... apa katamu?"Sioe Ing tergagap. Ching-ching yang sudah pulih dari kaget malah menggoda. "Nah, ya, ketahuan. Soe-cie sedang melamun. Melamun apa hayo, sampai senyum-senyum sendiri?" "Ah, tidak!" Sioe Ing tersipu menyangkal. "Kau bilang apa tadi?" "Soe-hoe mencarimu." "Oh, kalau begitu aku ke sana sekarang." Sioe Ing terburu-buru pergi. "Eh, Soe-cie mau ke mana" Kamar Soe-hoe ada di sana." "Oh, iya." Sioe Ing membalikkan badan menuju ke arah yang ditunjukkan Ching-ching. Ching-ching memperhatikan dengan bingung. Kenapa Soe-cienya jadi linglung begitu" Tapi, Ching-ching tak sempat berpikir lama-lama. Lebih baik ia pergi mencari Wu Fei dan main catur dengan soe-hengnya itu. Selama beberapa hari Sioe Ing berlaku aneh, tak seperti sebelumnya. Gadis itu segan makan dan sulit tidur. Ia jadi sering melamun dan tak jarang senyum-senyum sendiri. Ching-ching yang sering memergoki tentu saja jadi kuatir. Ia yang tahu sedikit tentang pengobatan mencoba memeriksa soe-cienya, namun tak ada tanda-tanda Sioe Ing sakit. Sayang, ia tak dapat minta bantuan Tabib Yuk yang sedang pergi dengan Khoe Yin Hung mencari bahan obat entah ke mana. Sioe Ing sendiri tiap kali di tanya selalu menjawab, "Tak ada apa-apa, aku baik-baik saja kok." Namun pada suatu siang, akhirnya diketahui juga kenapa Sioe Ing bertingkah aneh. Saat itu, Ching-ching yang sudah benar-benar kuatiri keadaan soe-cienya memaksa Sioe Ing ikut ke kota memeriksakan diri pada tabib yang ada di sana. Tadinya Ching Ching 263 Sioe Ing menolak, namun untuk menyenangkan hati soe-moaynya, ia mau juga pergi. Di halaman mereka bertemu Chia Wu Fei yang sedang latihan. "Hei, kalian mau ke mana?" tanyanya. "Ke kota." "Ikut!" Wu Fei menyarungkan pedangnya. "Kau kan sedang latihan." "Masa bodoh. Tiap hari latihan terus, hampir mati aku karena bosan." "Ya sudah. Jangan ngomel. Mau ikut ya ikut saja," kata Ching-ching. Jadilah mereka pergi ke kota bertiga mengantar Sioe Ing ke tabib. "Bagaimana?" tanya Ching-ching waktu tabib selesai memeriksa. "Tidak apa-apa," kata si tabib. "Tidak perlu obat, nanti juga sembuh sendiri." "Apa sakitnya?" tanya Ching-ching lagi, penasaran. "Ini sakit biasa buat gadis-gadis." Dikatakan demikian, wajah Sioe Ing langsung semu dadu. "Sakit apa sih?" Wu Fei mengerutkan alis. "Oh, begitu rupanya," kata Ching-ching yang mengerti gelagat. "Hei, Soe-heng, ternyata Soe-cie sakit rindu." Lalu gadis itu cekikikan menertawakan Sioe Ing yang tersipu. Setelah memberi sekadar uang jasa pada si tabib, mereka keluar sambil tak hentinya menggoda Sioe Ing. Sepanjang jalan Sioe Ing tertunduk saja, sementara dua saudara seperguruannya tertawa-tawa, sampai kemudian seseorang mendekati mereka dan menegur. "In Kouw-nio, apa kabar?" Sioe Ing mengangkat mukanya sesaat, lalu menunduk lagi melihat pemuda yang menyapa dia. "Baik," katanya lirih. "Soe-cie, kau tak kenalkan kami pada kawanmu?" goda Wu Fei. "Oh ya, ini adalah kedua adik seperguanku." "Perkenalkan, namaku Wang Li Hai." "Aku Chia Wu Fei dan ini soe-moayku, Lie Mei Ching." Pemuda itu terkejut melihat Ching-ching. Benarkan gadis yang ada di hadapannya ini adalah gadis yang ia cari" Lie Mei Chign yang sama yang sering ia panggil 'istri'" Wang Li Hai memperhatikan baik-baik. Benar! Senyumnya itu yang berkesan bandel namun memikat. Dan matanya, yang bening sebening telaga, yang mencorong, dan tampak ceria adalah mata Ching-ching yang ia kenal! "Wang Kong-coe, apakah kita pernah ketemu?" tanya Ching-ching yang heran, kenapa Wang Li Hai begitu terkejut melihatnya. "Be ... aku rasa belum," sangkal Wang Li Hai. Ia tak mengenaliku, pikirnya sedih sekaligus lega. Ching-ching tak boleh tahu identitasnya yang lama. Itu yang dipesan gurunya sebelum ia pergi. Sulit menahan gejolak hatinya. Ia berkata, "In Kouw-nio, kalau kau masih ada urusan, aku tak akan menghalangi lagi. Moga-moga lain hari kita jumpa lagi." "Wang Kong-coe, tidakkan kau ingin menemani kami jalan-jalan sebntar?" kata Ching-ching tak tega melihat wajah Sioe Ing yang kecewa. "Maafkan, aku ada berjanji pada seseorang." "Siapa?" tanya Sioe Ing, tapi ia lantas menutupi mulut dengan tangan. "Maaf, tak semestinya aku ikut campur urusan orang." "Tak apa. Ia adalah Coe Loo-ya," Wang Lie Hai sebarang menyebut nama. Ia mesti cepat menyingkir! "Oh." Sioe Ing nampak lega. Di belakang punggungnya Ching-ching dan Wu Fei Ching Ching 264 saling berpandangan sambil nyengir. "Aku permisi dulu." Wang Lie Hay memberi hormat dengan menangkupkan dua tangan di depan dada, yang langsung dibalas oleh ketiga murid Pek-san-boe-koan. Setelah Lie Hay tak kelihatan, Wu Fei dan Ching-ching langsung tertawa bersamaan. "Soe-cie, jadi dia rupanya pemuda yang membuatmu tak dapat tidur dan segan makan?" goda Wu Fei. Sioe Ing tak menjawab. Mukanya saja yang semakin merah. "Tidak jelek! Tidak jelek! Cukup ganteng kok," komentar Ching-ching. "Hei, hati-hati, jangan berkata begitu depan Soe-cie," kata Wu Fei. "Coe Loo-ya saja ia cemburui. Apalagi kau." "Aku tak berani! Aku tak berani!" Ching-ching menggoyangkan tangan berlagak ketakutan. Sioe Ing pura-pura cemberut. Padahal dalam hati, entah kenapa ia senang digoda demikian. "Kalian jangan ganggu lagi, bolehkah?" "Kami putuskan belakangan, tapi kau harus cerita dulu di mana ketemu Wang Li Haimu itu," todong Ching-ching. "Ia menolongku waktu aku diserang orang saat perjalanan membereskan tugasku kemarin dulu." Sambil berjalan pulang, Sioe Ing bercerita selengkapnya mengenai pertemuan dengan pemuda she Wang itu. Ching-ching hampir-hampir tak percayai mata sendiri. Lan Siu Yin, piauw-cienya, sembunyi-sembunyi menemui Chang Lun yang menjadi salah satu musuh partai putih. Dan yang paling celaka, tampaknya ada satu hubungan. Terlihat bagaimana cara Siu Yin memandang Chang Lun dan bagaimana pemuda itu memegang tangannya. Gadis lincah itu terpana. Ia tak dengar waktu Siu Yin menyapa Chang Lun. "Bun-ko!" "Yin-moay!" "Kakakmu tahu kau kemari?" "Tentu saja tidak. Kau sendiri?" "Tak ada yang tahu," kata Siu Yin. Sesaat keduanya terdiam. Mereka menatap langit yang malam itu dipenuhi bintang. "Yin-moay, kau sudah tahu namaku sebenarnya, kenapa kau memanggilku Bun-ko?" "Ah, nama itu lebih enak buat telingaku. Nama Chang Lun selalu ingatkan aku pada partaimu." "Terserahlah. Aku kau panggil apa pun suka." Keduanya terdiam lagi. "Bun-ko, tak bosankah kita begini terus" Aku ingin seperti orang lain yang dapat nikmati pemandangan siang hari." "Tak mungkin, Yin-moay. Semenjak orang mengenalku sebagai Chang Lun, kita tak dapat bebas lagi bertemu di siang hari." "Sebetulnya dapat saja," kata Siu Yin. "Bagaimana caranya?" "Tinggalkan partaimu. Bergabunglah dengan kami partai putih." "Tak mungkin!" Chang Lun melepas tangan Siu Yin dan membelakangi gadis itu. "Kau tahu, ayah dan ibuku Kim-gin-siang-coa, pendiri partai itu. Abangku juga ada di sana. Bagaimanatah mungkin aku khianati keluarga sendiri." "Maafkan mulutku terlalu lancang," sesal Siu Yin. "Aku cuma ingin supaya kita dapat sering ketemu." "Aku tahu maksudmu baik. Tapi kita terpaksa begini sementara waktu. Aku takut orang mencemoohkanmu." "Aku tak peduli omongan orang!" Ching Ching 265 "Yin-moay, aku senang kau mau berkorban untukku. Tapi jangan kaukorbankan kerabat dan partaimu. Apa kata orang nanti kalau tahu orang Pek-eng-pay ada berteman denganku." "Ah, Bun-ko, kau selalu memikirkan orang lain, tidak seperti kakakmu yang keji." Terdengar nada benci dalam suara Siu Yin. Di balik gerombol semak Ching-ching tersenyum sinis. Orang partai Kim-gin-siang-coa mana ada yang tidak jahat" Termasuk juga Chang Lun. Ching-ching tak percaya ia punya sifat baik. Huh, lihat saja senyumnya yang dibuat-buat dan terutama matanya yang terkesan licik. "Memang, kakakku itu keras hati. Ia ingin menjadi beng-coe (ketua persilatan). Ia ingin kuasai seluruh partai, tak peduli apa pun caranya." "Aku juga sudah dengar tentang surat-surat ancaman yang dikirim oleh partaimu. Bun-ko, dapatkah kauusahakan supaya Pek-eng-pay tidak mendapat surat semacam itu?" "Aku akan berusaha membujuk Houw-ko nanti." "Terima kasih, Bun-ko." "Yin-moay, hari sudah menjelang pagi. Pulanglah! Besok kita boleh berjumpa lagi." "Hampir lupa aku mengatakan padamu. Besok kami kembali ke Pek-eng-pay." "Kenapa buru-buru?" "Siok-siok harus siapkan segala sesuatunya untuk pertemuan para eng-hiong bulan depan." "Baiklah," Chang Lun berlagak tidak menaruh perhatian. "Mari kuantar kau." "Janganlah merepotkanmu. Aku dapat pulang sendiri." "Hati-hatilah!" kata Chang Lun, menggenggam tangan Siu Yin. "Kau juga waspadalah pada abangmu," pesan Siu Yin sebelum ia melesat pergi. Chang Lun juga tak tinggal berlama-lama. Ia segera pergi. Ching-ching keluar dari tempatnya sembunyi dengan kening berkerut. Tak dinyana piauw-cienya adakan hubungan secara menggelap dengan Chang Lun. Celaka pulalah ia telah bocorkan berita adanya pertemuan di Pek-eng-pay. Ching-ching menghela napas sebelum ayunkan langkah kembali ke Goat-kiong. Pagi hari esoknya seisi Goat-kiong, selainnya Wu Thio Long yang belum dapat bangun, tumpah di luar gedung. Mereka mengantar tamu-tamu yang akan pulang sampai ke ujung jalan utama. Di sanalah undangan memencar-mencar ke tujuan masing-masing. Wu Kong tampak berat melepas Ching-ching. Semenjak keluar dari Goat-kiong, ia tak beranjak dari sisi gadis itu. Di depan mereka Wang Li Hai sibuk meladeni gadis-gadis di sampingnya. Terkadang ia menoleh ke belakang, kepada Ching-ching dan Wu Kong. Tak dapat diartikan pandangan itu. Ada perasaan sedih, cemburu, iri, memelas, meminta tolong. Ching-ching berlagak tidak tahu. Ia pura-pura asyik bicara dengan Wu Kong. "Kasihan Hai-ko, ia repot sekali nampaknya," kata Ching-ching. "Aku malah iri sama dia," cetus Wu Kong. "Iri" Kau tidak lihat ia kelabakan dikerubuti?" "Bukan. Ia disukai banyak gadis, itu urusannya. Hanya saja beruntunglah ia memiliki teman akrab yang memanggil ko-ko padanya. Sementara aku, tiap orang selalu berlaku sungkan. Sebutan Wu Kong-coe selalu lekat padaku." Sekonyong-konyong Ching-ching terbahak. "Kau bicara berbelit-belit. Kenapa tidak berterang saja ingin dipanggil ko-ko?" katanya. Paras Wu Kong menjadi merah. "Baiklah, aku akan memanggilmu Wu Toa-ko." Ching Ching 266 "Itu pun baik, Ching-moay. Eh, aku boleh menyebutmu begitu, bukan?" "Itu sudah terang. Kalau aku memanggilmu ko-ko, apa lagi kau boleh sebut padaku selain moay-moay?" Rombongan itu berhenti di simpangan jalan. Sudah waktunya mereka memencar. "Wu Kongcu, cukup sampai di sinilah kiranya kau mengantar. Kami akan segera lanjutkan perjalanan." "Baiklah. Coe-wie selamat kalan. Jaga diri baik-baik," sahut Wu Kong. "Jaga dirimu juga." Masing-masing pendekar berpamit. Ching-ching yang paling akhir. "Wu Toa-ko, sampai ketemu bulan depan di Pek-eng-pay," kata gadis itu seraya mengejar teman-temannya yang mendului. "Aku tunggu kau di sana!" Ia melambai lalu berjalan tak menoleh lagi. "Omong-omong apa saja kau dengannya?" tanya Wu Fei. "Ngo-soe-heng mau tahu saja." "Aku tanya, kau ngomong apa sama dia! Parasnya berseri waktu kau bicara." "Kenapa kau membentak-bentak?" tukas Ching-ching. "Aku tak suka." Ia lantas mendului Wu Fei bergabung dengan Wang Li Hai dan gadis-gadis lainnya. "A Cu!" panggilnya pada Toan Cu yang sedari tadi lebih pendiam dibanding yang lain. Didekatinya gadis bercadar itu. "Kemarin Kong-kong ada memberiku obat. Salep ini untuk mukamu. Pakai setiap malam sebelum kau tidur." Toan Cu memandangi tempat salep dari batu giok itu dengan sedih. "Tidak!" Rahasia Siluman Raga Kaca 1 Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Dewi Penyebar Maut 2

Cari Blog Ini