Ching Ching 9
Ching Ching Karya ??? Bagian 9 katanya tegas. "Aku sudah pernah berharap dan mendapat kecewa. Biarlah aku sebegini saja." "Kau takkan nantinya menyesal?" "Itu sudah jadi keputusanku." "Baiklah," kata Ching-ching. "Tapi kau terima sajalah kotak ini. Anggaplah pemberian dariku." Toan Cu menggeleng. Dengan tampang sedih Ching-ching berkata, "Kau tak mau terima hadiah dari temanmu?" "Baiklah. Tapi jangan mengharap aku pakai isinya." "Terserah kepadamulah." Wajah Ching-ching berseri lagi. Mereka berjalan terus. Menjelang sore, sampailah mereka di suatu kota kecil. Setelah dicari-cari, ketemu satu penginapan yang cuma satu-satunya. Penginapan yang merangkap rumah makan itu tak besar tapi kelihatan apik. Di sana ada beberapa kamar saja. Tak cukup kalau setiap orang satu, Untung pembaringannya cukup besar sehingga dapat dipakai berdua. Setelah diatur-atur, Ching-ching mendapat kamar bersama Toan Cu dan Yin Hung sekamar dengan Thio Lan Fung. Sehabis makan malam, mereka masuk kamar masing-masing untuk istirahat. Ching-ching hampir saja terlelap waktu pintu kamar digedor orang. Toan Cu turun dari ranjang dan membukanya. Khoe Yin Hung menerobos masuk. "Aku tak mau sekamar dengan setan betina itu!" sungutnya. "Kalau kau mau tidur di sini boleh saja," kata Ching-ching. "Tapi tak ada lagi tempat di atas sini." "Tidur di tanah pun jadi!" Khoe Yin Hung langsung membaringkan diri di bawah. Tapi baru beberapa saat, ia sudah mengeluh lagi. "Jangan berisik!" hardik Ching-ching yang tak bisa tidur karena suara yang dibuat Yin Hung. "Kalau mau tinggal, jangan banyak ribut." "Coba kau yang tidur di sini, mau tahu kalau kau tak ngomel!" tukas Yin Hung. Toan Cu jadi tak tega. Ia bangkit dari pembaringan. "Khoe Kouw-nio, tidurlah di atas sini." Ching Ching 267 "Apa kau mau tidur di bawah" Dingin tahu!" Ching-ching bangkit duduk. "Aku tak ada urusan berat dengan Thio Kouw-nio. Biar saja aku pindah ke sana." Dengan senang hati Khoe Yin Hung pindah ke pembaringan. "Gara-gara kau!" Ching-ching menyalahkan. Tapi gadis itu tak peduli. "Terima kasih, Toan Kouw-nio, kau baik sekali!" Toan Cu tersenyum dan keluar. Ia menuju kamar Thio Lan Fung. Diketuknya pintu. Tak ada yang menjawab. Toan Cu mencoba membuka, ternyata tidak dikunci. "Thio Kouw-nio, apakah kau sudah tidur?" bisiknya lirih. "Sudah," terdengar sahutan kesal, "kalau saja kau tak bolak-balik keluar-masuk kamar!" Thio Lan Fung menyangka Khoe Yin Hung yang datang. "Maafkan. Tapi Khoe Kouw-nio ingin tukaran kamar, jadi aku kemari." Barulah Thio Lan Fung sadar, bukan Khoe Yin Hung yang kembali, melainkan Toan Cu, gadis bercadar itu. Sejak mula Thio Lan Fung dan Toan Cu jarang ketemu. Di antara mereka tak ada perselisihan. Jadinya Lan Fung tak keberatan berbagi pembaringan dengannya. Toan Cu sudah kelelahan. Dari seluruh rombongan, ialah yang ilmunya paling rendah hingga lebih cepat letih. Sebentar kemudian gadis itu sudah lelap. Sebaliknya dengan Thio Lan Fung, ia malah tak bisa tidur. Sebentar-bentaran diliriknya Toan Cu yang sudah pulas. Sejak berapa hari lalu, Thio Lan Fung sudah penasaran melihat A Cu yang bercadar. Ia ingin tahu, dari perkumpulan manakan gadis itu hingga memakai penutup luka. Ia ingin tahu juga apa di balik cadar itu. Wajah yang cantikkah, atau jelek" Kuintip saja sedikit, pikirnya. Ayolah, toh ia sudah tidur. Gemetar, tangan Thio Lan Fung mengarah ke cadar Toan Cu dan menyibakkannya sedikit. Tapi ia tak dapat melihat apa-apa selain sebuah bayangan gelap. Lan Fung mendekatkan mukanya ke wajah Toan Cu sembari membuka cadar lebih lebar. Hampir saja ia menjerit melihat apa yang di balik cadar. Sebuah paras yang mengerikan! Penuh luka-luka aneh menjijikkan yang belum pernah sebelum ini dilihatnya. Thio Lan Fung menutupi mulut. Ia cepat melepaskan kain di tangannya dan buru-buru berbaring dengan muka pucat. Sesaat kemudian ia beringsut menjauhi Toan Cu. Dalam hatinya ia kuatir tertular. Ditutupinya muka dengan kedua belah tangan seolah ingin melindungi diri. Tak terasa ia tertidur juga pada akhirnya. Pagi harinya, Thio Lan Fung selalu menghindari Toan Cu. Kalau Toan Cu mendekat, ia cepat-cepat minggat. Kalau tak sadar berdekatan, ia cepat menyingkir. Ching-ching yang melihatnya jadi heran. Diapakan Thio Lan Fung sampai ketakutan begitu. Tapi Toan Cu cuma menggeleng waktu ditanya. Ching-ching terpaksa memendam penasarannya. Pagi itu juga mereka berangkat lagi. Seperti sebelumnya, Wang Li Hai berjalan bersama gadis-gadisnya. Ching-ching berjalan nanti di depan, nanti di belakang, mengobrol dengan para pendekar atau toa-soe-hengnya. Tapi ia masih enggan berbicara dengan Wu Fei. Bukannya mendendam. Ia cuma senang melihat tampang soehengnya yang menyesali kelancangannya kemarin. Tengah hari, rombongan itu beristirahat di tepian kali. Di sana mereka dapat minum atau mencucui muka. Li Hai bercanda dengan kawan-kawannya, Ching-ching tak mau mengganggu. Ia duduk memencil di atas sebuah batu. Miauw Chun Kian sedang berbicara serius dengan sesama pendekar. Tak ada teman Ching-ching bicara selain dari Wu Fei yang masih berjongkok tak jauh dari tempat Ching-ching duduk. Tapi gadis itu sungkan menyapa duluan. Ia tahu, Wu Fei ingin berbaikan, tapi justeru Ching-ching tak beri kesempatan. Padahal sebelumnya tak pernah marahan lebih Ching Ching 268 dari setengah hari. Apalagi cuma karena soal kecil. Ching-ching mendapat jalan. Ia memungut sebutir batu kecil, dilemparnya ke air di hadapan Cia Wu Fei hingga memercik ke muka pemuda itu. Buru-buru Ching-ching berlagak asyik memperhatikan kawan-kawannya yang lain. Tapi dari sudut mata ia sempat melihat Wu Fei mencari-cari siapa kiranya yang sudah mengganggu ia. Cia Wu Fei memandangi soe-moaynya yang seperti tak tahu apa-apa. Tapi justeru sikap begitu membuat Wu Fei jadi tahu siapa yang telah berbuat. Dalam hatinya ia senang. Kiranya Ching-ching telah buka jalan untuk berbaikan. Biarlah sekarang ia yang berlagak jual mahal. Melihat Wu Fei yang sepertinya tak peduli, Ching-ching jadi heran. Ia mengambil lagi sebuah batu, melemparnya ke air. Saat itu Wu Fei menoleh dan melihat apa yang diperbuatnya. Merasa kepergok, Ching-ching melengos ke arah lain. Wu Fei tak mau lama-lama berdiam diri. Ia mendekati soe-moaynya. "Apakah kau masih marah oleh urusan kemarin?" tanyanya. Ching-ching tak menjawab, malah menjebi. "Kau tentunya marah. Memang aku yang salah. Mulut lancang mestinya dipukul saja." Wu Fei menepuk mulut sendiri sampai berkali-kali. "Cukuplah, aku sudah puas menggodamu. Aku tak marah lagi. Tapi lain kali jangan banyak campuri urusanku." "Tak berani, tak berani." Wu Fei menggoyangkan tangan. Miauw Chun Kian mendekati keduanya. "Ayo jalan. Yang lain sudah bersiap, kalian masih duduk saja." Wu Fei membantu Ching-ching berdiri. Mereka berjalan seiring. "Hei, Ching-ching! Tunggu!" Wang Li Hai menyusul. "Kalian berdua, sejak kemarin tak mau dekat padaku. Ada apakah?" "Takut kalau-kalau nanti mengganggu," kata Wu Fei sambil melirik gadis-gadis yang dalam pada itu sudah menyusul juga. Sambil haha-hihi, Wu Fei dan Ching-ching bertindak mendului. Diam-diam Li Hai mengerling iri. Senangnya Wu Fei tak usah pusing dengan semua gadis yang menempel ke mana pun pergi. Bagi pemuda itu, satu orang gadis di dekatnya sudahlah cukup. "Dari sini, lewat jalan hutan akan lebih cepat sampai ke Pek-eng-pay," kata Lie Chung Yen yang menunjuk jalan di depan. "Tapi jalanannya susah dan jarang dilewati orang." "Lie Tay-hiap, sekarang ini kita kepepet waktu," kata Yo-si Soe-thay memberi pendapat. "Kalau sekiranya ada jalan pendek, buat apa memutar lagi?" Yang lain mengangguk setuju. "Kita berbanyakan di sini," dukung Houw-touw Yo Chow. "Ada sulit apa pun dapat saling bantu." Lie Chung Yen mengangguk. Ia memimpin rombongan pendekar itu berjalan melewati hutan tersebut. Benarlah apa yang dikatakannya. Hutan itu seperti tak pernah dilewati. Tak ada jalan yang sengaja dibuat di situ. Tanah yang mereka injak terasa empuk dan hampa. Agak melesak kalau dipijak. Kiranya adalah tumpukan daun yang gugur dan menyatu dengan tanah. Cahaya juga susah masuk ke situ. Jadinya mereka seperti berjalan di malam hari. Belum lagi banyak akar-akaran malang-melintang. Kalau tak mau tersandung, mereka mesti bertindak hati-hati sekali. Biarpun demikian, tak seorang dari mereka gentar masuk ke dalamnya. Paling tidak tak ada yang perlihatkan perasaan demikian kepada yang lain. Pada perjalanan itu Wang Li Hai ketinggalan di belakang. Gadis-gadisnya banyak ingin dibantu meski bagi para pendekar wanita seperti mereka rintangan semcam Ching Ching 269 itu cuma soal kecil. Berbeda dengan Toan Cu yang lemah. Wang Li Hai tahu itu. Ia pun lebih banyak menuntun Toan Cu daripada yang lain. Hal ini membuat mereka sirik. Mereka kemudian bersikap tak sabar dan mendului. Tinggal Ching-ching yang sayang pada Toan Cu dan Wu Fei yang enggan menjauh dari soe-moaynya, masih mau menunggui. Karena ketinggalan, mereka yang muda ingin buru-buru saja sehingga kurang waspada. Suatu saat, tanah yang dipijak bergeser dan ... Bruss!! Mereka semua terperosok. "Aaaw!" jerit Lan Fung kaget. Yang di belakangnya ikut terperosok juga. Tanah yang jadi longsor itu lumayan juga. Mereka terseret miring ke bawah sampai tanahnya tak longsor lagi. "Ching-ching, kau tak apa-apa?" Wu Fei dan Wang Li Hai sama-sama menguatirkan gadis itu yang terseret paling jauh. Gadis itu berusaha bangun. Ia lalu berdiri bertolak pinggang sambil melotot pada dua pemuda itu. "Bajuku sobek, pinggangku nabrak pohon, kakiku nyaris patah, kaubilang tak apa-apa" Barangkali mesti tunggu aku mati dulu baru - " Bruk! Ching-ching terjatuh lagi. Ia tumbang ke depan. Mukanya melesak ke tanah yang lembut. "Ching-ching!" Wu Fei dan Li Hai lekas-lekas menyerodot turun untuk menolongi. Ching-ching dibantu berdiri. Ia mengebaskan baju dan mukanya yang kotor. "Puah! Puah!" diludahkannya tanah yang masuk ke mulutnya. "Pahit!" "Kau benar tak apa-apa?" tanya Li Hai masih kuatir. "A Hai, kalau dia sudah mengomel begini, tandanya tak apa-apa. Justeru paling celaka kalau dia diam saja," kata Wu Fei sembari menolong membersihkan tanah di rambut Ching-ching. Li Hai nyengir dan ikut-ikutan membantu. "Sudah! Sudah! Aku bisa sendiri! Sana bantu yang lainnya!" Ching-ching sebetulnya tak usah menyuruh. Toan Cu dan gadis-gadis yang lain sudah ditolongi para pendekar yang tidak terperosok. Ketika semua sudah sampai di atas, mereka duduk sejenak supaya hilang kagetnya. Bagi orang terlatih seperti mereka, tak perlu lama-lama tenangkan diri, sebentar saja sudah pulih dan siap lanjutkan perjalanan. Toan Cu juga bergegas berdiri. Tahu-tahu ia terjatuh lagi. "Aduh!" keluhnya pelan. "Eh, A Cu kenapakah?" "Kakiku sakit sekali," desis Toan Cu. "Jangan-jangan patah kakimu!" Ching-ching menakuti. "Jangan melotot kepadaku, belum tentu patah beneran. Mari sini kuperiksa." Ching-ching sudah akan melihat keadaan Toan Cu kalau saja gadis itu tak buru-buru menarik balik kakinya. "Kenapa sih" Aku tok takkan gigit kakimu!" kata Ching-ching tersinggung. "Biar begini aku mengerti juga ilmu pengobatan, tahu!" "Jangan keburu marah," kata Yin Hung. "Toan Kouw-nio menolak karena kesopanan. Tak pantas seorang gadis dilihat laki-laki. Masakan kau tak tahu." "Huh, banyak aturan!" dengus Ching-ching yang memang jarang peduli kesopanan. "Aku kan bukan laki-laki." "Lalu kauanggap mereka perempuan?" Yin Hung berkata agak keras seraya menuding Wu Fei dan Wang Li Hai. Ching-ching nyengir menyadari kekeliruannya. Untuk menutupi, ia membentak kedua pemuda itu, "Masih belum pergi" Kepingin lihat kaki A Cu?" Dengan wajah berobah merah, keduanya menyingkir. Toan Cu tidak berontak lagi Ching Ching 270 sewaktu Ching-ching periksakan kakinya. "Tak apa-apa," kata cucu angkat Yok Ong Phoa itu setelah meraba di beberapa tempat. "Cuma keseleo sedikit. Obatnya gampang dicari nanti sekalian jalan." "Nanti ya nanti," kata Yin Hung. "Sekarang ia susah berjalan, bagaimana?" "Suruh saja Hai-ko menggendongnya!" Khoe Yin Hung cemberut. Li Hai menuntun Toan Cu saja ia sudah iri, apalagi menggendong"! "Jangan!" Toan Cu buru-buru melarang. Ia tak mau perepotkan, apalagi menyusahkan Hai-ko. "Aku ... aku bisa sendiri." "Betulan tak mau" Nanti kau menyesal!" ledek Ching-ching. Toan Cu menggeleng-geleng. "Paling tidak ia mesti membantumu." Ching-ching menyuruh Li Hai memapah Toan Cu. Ia sendiri memotong cabang pohon besar dengan belatinya untuk membuat tongkat. Meski jarang dipakai sebagai senjata, tapi Ching-ching tak dapat lepaskan belati itu dari badannya. Nyatanya dalam keadaan begini, belati lebih berguna daripada golok atau pedang. Mereka meneruskan perjalanan. Kali ini dengan lebih hati-hati. Wang Li Hai dan Toan Cu disuruh berjalan agak sebelah depan supaya nantinya tidak ketinggalan jauh. Kemudian menyusul Lie Mei Ching, Lan Siu Yin dan Sie Ling Tan, lantas Thio Lan Fung, kemudian Ching-ching dan Khoe Yin Hung. Yang lainnya menyusul di belakang. Ching-ching memperhatikan gadungannya yang berjalan di depan. Kentara sekali ia coba menarik perhatian Sie Ling Tan. Tapi pemuda itu malahan sibuk memperhatikan Lan Siu Yin yang sedang bicara. Ocehan Lie Mei Ching tak dipedulikan sama sekali. Gadis itu tersinggung. Ia cemberut dan tak mau berjalan berendeng lagi. Ia pergi ke belakang seiring dengan Thio Lan Fung, kawannya. Di belakangnya Ching-ching dan Yin Hung menertawai. "Dua gadis yang sama-sama sedang cemburu berjalan seiring. Betul lucu kelihatannya," Ching-ching menyindir. "Mana?" Yin Hung terbawa iseng. "Thio Lan Fung, aku tahu siapa yang dicemburui. Tapi kalau satunya lagi?" "Ah, masa tak tahu. Ia cemburu pada Tan Toa-ko. Kasihan, Tan Toa-ko malah tak peduli sama sekali." "Oh, ya, betul kasihan. Habisnya tak tahu diri, suka mengaku-aku nama orang. Mana ada yang begini lagi di kolong langit." "Salahnya, ia tak tahu diri mau menyaingi piauw-cieku. Uuh, apa yang bisa dibanggakan mengimbangi Yin Ciecie yang cantik." "Sama dengan kawannya seiring," Yin Hung menimpali. Panas kuping kedua gadis yang disindir itu. Namun keduanya enggan membalas, malu pada pemuda-pemuda yang disebut-sebut. Jadi mereka berlagak tak mendengar. Kemudian serentak keduanya memulai bicara. "Apakah kau ...." "Kau lihatlah ...." Sudah itu mereka sama terdiam menyilakan yang lain bicara. "Ha-ha!" Ching-ching menertawai. "Benar cocok kataku. Yang seorang bicara bebareng dengan yang lain. Yang satu diam, satunya ikut berhenti." Thio Lan Fung dan Lie Mei Ching berlagak tak peduli. "Fung-fung, lihatlah kembang itu, bagus sekali." "Memang benar bagus, coba kaupetik!" kata Lan Fung. Lie Mei Ching memetik setangkai. "Wah, sejak kapan gadis bernama Lie Mei Ching suka kembang?" sindir Ching-ching Ching Ching 271 yang memang tak suka bebungaan. "Sejak selagi kecil yang namanya Lie Mei Ching tak suka kembang." "Selagi kecil boleh tak suka. Sudah menjadi gadis mana ada yang tak suka kembang bagus begini," kilah Thio Lan Fung membela temannya. "Tidak semua gadis mesti suka sama kembang, ada juga yang lebih suka pedang," sahut Ching-ching. Mendengar percakapan ini, Lie Chung Yen tersirap darahnya. Ia teringat masa sepuluh tahun lalu. * * Pada waktu itu Lie Chung Yen sedang berlatih sendirian. Selesai latihan Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terdengar suara orang bertepuk tangan. "Thia-thia, kau hebat sekali," puji Ching-ching yang rupanya sudah memperhatikan semenjak tadi. Lie Chung Yen menyimpan pedangnya ke dalam sarungnya lantas menggendong anaknya tersayang. "Ching-ching, kau dari manakah" Tidak bersama cie-ciemu?" Anaknya menggeleng, dua kucir mungilnya ikut bergoyang-goyang. "Piauw-cie sedang memetik kembang. Mau dironce katanya." "Kau tidak ikut?" "Aku tak suak bunga. Baunya membuat hidungku gatal. Tapi Yin Cie-cie bilang, anak perempuan harus suka bunga. Betulkan, Thia?" "Biasanya begitu," kata Lie Chung Yen. "Lalu aku bagaimana" Aku lebih suka pedang seperti milik Thia-thia daripada segala macam kembang." "Itu juga tak apa-apa. Barangkali kau akan jadi pendekar wanita kelak." * * "Lie Tay-hiap, masih jauhkah ujung hutan ini?" "Ada ap ... eh, tidak ... tidak seberapa jauh lagi," Lie Chung Yen tergagap menjawab pertanyaan Houw-touw Yo Chow. Ia lalu menoleh ke belakang, kepada 'kedua anaknya'. Houw-touw Yo Chow maklum apa yang terjadi pada pendekar she Lie ini. "Lie Tayhiap, maafkan kalau aku lancang mulut. Tapi boleh kukatakan, kau orang yang sungguh beruntung. Dua gadis yang cantik dan lihay suka menjadi anakmu. Umurku ada sepantaran denganmu, tak satu suka mempunyai ayah macamku. Aaah, kalau saja aku jadi engkau. Senang hati akan kuakui saja dua-duanya. Lie Chung Yen tidak menjawab. Ia cuma mesem saja sambil manggut-manggut. Sesekali matanya masih melirik kepada 'anak-anaknya'. Gadis-gadis dalam rombongan itu rupanya tertarik juga pada kembang yang jarang ada di tempat lain itu. Selain dari Ching-ching, mereka mengambil seorang satu, seperti juga Khoe Yin Hung. "Wah, kembang secantik dan sewangi ini ternyata ada juga yang tak suka," katanya. "Huh, gadis macam apa itu yang tak suka melihat kembang." "Cuma melihat saja sih tak apa-apa. Tapi kalau dicium-cium, puh!" Ching-ching mengernyitkan hidung. "Tapi kembang ini benar wangi," kata Yin Hung mendekatkan kembang itu ke hidung Ching-ching. "Jangan!" Ching-ching seperti takut dan menarik kepala ke belakang. Sayang telat. Hidungnya keberu mencium bau kembang itu. "Haaaacih!" Ching-ching terbersin. "Sudah kubilang, jangan ssuruh aku cium ... Haaatcih! ... kembang itu." "Maafkan," kata Yin Hung merasa bersalah. Ching Ching 272 "Huh! Kau juga jadi bau kembang sekarang. Aku jalan sama Ngo-soe-heng saja, ah." Ching-ching pergi ke sebelah Wu Fei kira-kira berjalan dua depa di belakang Yin Hung. "Huh, semua pada pegang kembang itu. Sepanjang jalan bakalan bau, nih." Gadis itu memencet hidungnya dengan dua jari. "Heran, senang amat mereka dengang kemang jelek itu." Suaranya jadi sengau karena hidungnya ketutupan. "Aku rasanya pernah melihat gamar kemang macam itu. Di mana, yah" Oooh, marangkali di mukunya Kong-kong. Hei, Siauw Hung, awas, jangang-jangang itu bunga beracung." "Apa" Kau ngomong apa?" Khoe Yin Hung tak mengerti ucapan Ching-ching. "Katanya, bunga itu beracun," Wu Fei memberitahu. "Racun" Ih!" Thio Lan Fung buru-buru membuang kembang di tangannya, disusul yang lain-lain. Khoe Yin Hung ragu-ragu. Sedari kecil ia sudah main-main dengan racun. Tak pernah ia dengar bunga beracun semacam ini bentuknya. "Lekasan kau buang! Aku tak mau lain kali kau racuni aku dengan kembang itu," kata Thio Lan Fung curiga. Berat hati Yin Hung melepas kembang yang indah dan harum itu. Di belakang Chingching tersenyum senang. Haaaah! Ia sudah boleh melepas hidungnya sekarang. Matahari hampir tenggelam waktu akhirnya mereka dapat keluar dari hutan itu. Diam-diam semua merasa bersyukur. Selain dari Toan Cu, tak ada orang lain celaka di dalam hutan gelap yang angker di belakang mereka. "Sudah ini kita merti melewati gunung batu," kata Lie Chung Yen. "Jalannya cukup panjang dan sukar. Akan tetapi, lewat gunung batu itu kita akan sampai di Pekeng-pay besok malam dan boleh istirahat tenang di sana." Yang lain setuju-setuju saja. Mereka juga sudah lelah dan sebentar lagi hari gelap. Memang tak ada lain yang bisa dikerjakan selain beristirahat. Mereka duduk di tanah, membuat kelompok-kelompok kecil. Ching-ching membuatkan Toan Cu yang terluka dengan tanaman obat yang ditemukan di hutan tadi. Kaki Toan Cu membengkak besar sekali. Ia hampir tak sanggup berjalan lagi. "Besok kakimu tak boleh digerakkan sama sekali. Malamnya akan sembuh sendiri. Lusa kau sudah boleh lari-lari," kata Ching-ching. "Lantas besok bagaimana" Apakah dia mau kau tinggal di sini?" Khoe Yin Hung kaget. "Tentu saja tidak, tolol!" hardik Ching-ching. "Aku mau suruh Hai-ko menggendongnya." Khoe Yin Hung langsung bungkam. Pipinya menggembung, cemberut. Ching-ching tertawa. Ia lalu berdiri dan menjauh. "Mau ke mana?" tegur Lie Chung Yen yang mengawasi gadis itu sedari tadi. "Mau cari pohon buat ditebang," sahut Ching-ching. "A Cu butuh sesuatu supaya besok tak usah jalan-jalan." "Bolehkah aku membantu?" Lie Chung Yen menawarkan diri. Sebetulnya masih ada ganjelan antara Ching-ching kepada ayahnya. Gadis itu sudah membuka mulut hendak menolak. Akan tetapi saat itu matanya melihat gadungannya yang nampak mengerut alis. Langsung saja Ching-ching batalkan niatnya. Ia tersenyum manis. "Tentu boleh!" katanya dengan suara senang. Lie Mei Ching mengawasi keduanya dengan pandangan iri, kuatir, dan marah. Ia benci sekali pada gadis yang mau merebut ayahnya itu. Ia ingin mengadu. Tapi pada siapa" Thio Lan Fung seperti sibuk dengan Wang Li Hai. Ah, betul. Piauw-cienya dan Sie Ling Tan pasti mau mendengarkan. Mana mereka" Pasti sedang berduaan lagi. Huhu, ia tak boleh biarkan mereka kalau tak mau Sie Ling Tan direbut oleh Lan Siu Yin. Ia menemukan muda-mudi itu sedang bicara serius sambil mengawasi arah Ching Ching 273 Ching-ching dan ayahnya pergi. Lie Mei Ching hampir menyapa dari belakang mereka kalau saja tidak mendengar namanya dan ayahnya disebut-sebut. "Apa mungkin Siok-siok sudah tahu mana anaknya yang betul?" "Kurasa tidak. Tadi Suhu masih nampak bingung di antara keduanya. Moay-moay, apakah kau merasa pasti mana yang bakalan dipilih Sunio dan Suhu nanti?" "Entahlah. Tapi aku sudah tahu mana yang palsu dari mereka. Nanti aku bisa memberi tahu Siok-bo," kata Lan Siu Yin. Lie Mei Ching mengertak gigi. Hmm, jadi Lan Siu Yin sudah tahu menentukan mana yang betul-betul Lie Mei Ching. Ia tak boleh biarkan! Kedudukannya sebagai nona kecil di Pek-eng-pay adalah menyenangkan. Ia takkan melepasnya begitu saja. Takkan dibolehkannya Lan Siu Yin memberi tahu Han Mei Lin, ibunya selama ini. Seharusnya ia disingkirkan dulu. Ya, betul. Singkirkan! Dengan begitu ia akan tetap menjadi anak pendekar besar Lie Chung Yan, menjadi nona di Pek-eng-pay. Kelak ia akan miliki sendiri partai itu. Dan yang paling penting, Sie Ling Tan tidak punya perhatian selain kepadanya kalau Lan Siu Yin sudah tersingkir. Lie Mei Ching undurkan diri. Biarlah kali ini ia tak mau ganggu mereka yang sedang berdua-dua. Tapi besok, kalau Lan Siu Yin sudah tersingkir .... "Ada apa mesem-mesem sendiri?" Tahu-tahu Thio Lan Fung sudah ada di sebelahnya. "Tidak apa-apa," jawab Lie Mei Ching. "Kau tidak menemani Wang Siauw-hiap?" "Huh, dia sudah repot dengan Toan Kouw-nio. Dia tak tahu saja apa di balik cadar gadis itu." "Apa?" Lie Mei Ching ingin tahu. "Ssst, sini." Thio Lan Fung membawanya menjauh dari yang lain. "Mukanya di balik cadar itu seram sekali. Hiih, kurasa setan pun kalah menakutkan kalau dibandingkan." "Tahu dari mana?" "Semalam aku sempat melihat." Thio Lan Fung bergidik mengingat apa yang dilihatnya. "Kalau begitu kau boleh senang hati. Ia boleh tidak kauanggap saingan." "Betul juga." Thio Lan Fung menoleh ke arah Toan Cu yang sedang ditemani Wang Li Hai. Ia mencibir. "Huh, keseleo saja seperti yang mau mati. Hei, mau ke mana?" tanyanya melihat Lie Mei Ching berjalan ke arah pepohonan. Yang ditanya tak menjawab, malah meringis menunjuk ke perutnya. Thio Lan Fung mesem. Kiranya sobatnya itu harus memenuhi 'panggilan alam'. Tapi sedetik kemudian Lan Fung melihat sekelebatan orang di arah yang dituju Lie Mei Ching. Gadis itu juga melihat. Ia mempercepat tindakannya. Thio Lan Fung jadi curiga. Jangan-jangan Lie Mei Ching ada janji suatu pertemuan dengan orang itu. Siapakah kiranya" Apakah ada orang lain di hati gadis itu selain Sie Ling Tan" Lan Fung penasaran. Ia berniat mengintip. Diikutinya tindakan Lie Mei Ching yang sudah agak jauh di depan. Dugaannya benar. Sobatnya memang mau menemui orang yang tadi ia lihat sekelebatan. Waktu Lan Fung ketemukan tempat mereka, Lie Mei Ching sedang bicara dengan orang itu yang berbaju hitam dan berkedok pula. "Kudengar kau ada masalah besar di Goat-kiong," kata orang itu. "Benar, aku ketemu dengannya." "Lie Mei Ching?" "Ya. Ia bikin Thia, maksudku Lie Chung Yen, jadi bingung karenanya." "Tak boleh kaubiarkan. Singkirkan dia!" "Tak mungkin, kepandaiannya jauh di atasku." Ching Ching 274 "Pakai otakmu, tolol!" maki si orang berkedok. "Kecuali kalau kau mau dicaci-maki orang-orang Kang-ouw. Apa kata mereka kalau tahu kau adalah gadungan?" "Aku takkan punya kesempatan. Besok kami akan sampai di Pek-eng-pay. Saat itu urusan akan segera dibikin beres. Tapi aku ada punya kesempatan. Lie Chung Yen tak tahu mana dari kami yang asli. Kurasa ia ada lebih mempercayaiku." "Kau atur sajalah. Tapi jangan kaubolehkan ia rebut kedudukanmu sekarang. Kalau tidak, aku akan biarkan kau melarat seperti dulu." "Thia jangan kuatir - " Tahu-tahu terdengat pekik tertahan di balik semak. "Siapa!" membentak orang bertopeng itu. Perlahan sekali Thio Lan Fung keluar dari tempatnya sembunyi. "Fung-fung!" Lie Mei Ching berseru kaget. "Anak tolol, ia sudah tahu rahasia kita, kau masih juga belum bertindak"!" Si orang berkedok lantas menyerang. Thio Lan Fung kaget, untung ia cepat berkelit menghindari pukulan orang itu, yang lantas menyerang lagi dengan bertubi. Lan Fung tak dapat menghindar terus. Ia lalu menangkis pukulan orang itu hingga yang memukul merasa kesemutan tangannya. "Anak bodoh, bantu aku!" teriak laki-laki bertopeng itu. Lie Mei Ching yang tadinya bengong melihat jalannya perkelahian jadi terkaget. Tapi ia cepat ikuti ucapan orang itu dan mengeroyok Thio Lan Fung. Si orang berkedok bukannya membantu malah meloncat mundur dan terus kabur. "Habisi dia!" katanya sebelum pergi. "Dan ingat pesanku!" Thio Lan Fung kini menghadapi Lie Mei Ching. Ternyata menghadapi gadis ini jauh lebih sulit ketimbang orang bertopeng yang dipanggil thia barusan. Sebenarnya ilmu kepandaian Cheng-kok-pay dan Pek-eng-pay tidak seberapa jauh berbeda tingkatannya. Thio Ceng Hong, ketua Cheng-kok-pay, paling jauh cuma satu tingkat di atas Lie Chung Yen, yang mengajarkan ilmunya kepada gadis yang ia sangka anaknya, sementara Lan Fung digembleng pamannya. Tapi Lan Fung digembleng benar-benar baru satu tahun. Pada dasarnya ia berbakat hingga dapat cepat belajar banyak. Melawan Lie Mei Ching yang sudah berlatih bertahun-tahun terang saja ia keteteran, hingga suatu ketika Lie Mei Ching berhasil memukulnya jatuh. Thio Lan Fung memegangi ulu hatinya yang nyeri. Ia terduduk tak sanggup bangun. Tapi ia tak terluka dalam, cuma pukulan yang sebentar juga hilang sakitnya. "Kau ...." Lie Mei Ching nampaknya agak kuatir tapi agak sungkan mengatakan. "Kau dapat bunuh aku sekarang. Kenapa diam saja?" tantang Lan Fung. "Tak takut rahasiamu kubongkar?" Lie Mei Ching menghunus pedangnya. Ia mendekati Lan Fung. Diam-diam gadis dari Cheng-kok-pay itu takut juga melihat pedang berkilauan ditimpa cahaya bulan yang muali muncul. Pedang itu makin dekat padanya. Thio Lan Fung memejamkan mata, siap menerima kematian. Tapi kemudian didengarnya suara pedang jatuh ke tanah. Buru-buru ia buka lagi matanya. Lie Mei Ching duduk bersimpuh di depannya menutupi muka dengan kedua belah tangan. "Kau sahabatku yang pertama," isaknya. "Mana boleh aku membunuhmu?" Ia terisak beberapa saat. Thio Lan Fung diam saja, bingung tak tahu harus bertindak bagaimana sampai sobatnya berhenti sendiri dan kemudian berdiri. "Baiklah, aku tak bisa membunuhmu, tak mungkin kembali lagi ke Pek-eng-pay. Biarlah aku pergi saja. Selamat tinggal, Thio Lan Fung!" Lie Mei Ching bertindak hendak pergi. Ching Ching 275 "Nanti dulu!" Thio Lan Fung memegangi tangan gadis itu. "Siapa bilang kau tak bisa kembali ke Pek-eng-pay?" "Tapi aku sudah tahu saruanku." "Lantas kenapa" Hei, kalau ayahmu, kau, dan aku tutup mulut, asalkan kau dapat mencari bukti bahwa kau benar anak Lie Tay-hiap, siapa bakalan tahu kau menyaru sebagai Ching-ching?" "Kau ... tapi ...." "Ayolah. Masakan kau tak percaya padaku" Lagipula aku tak akan suka membolehkan Ching-ching hidup senang," kata Lan Fung mendendam. "Sudah kelamaan kita di sini, mari kembali saja. Oh, ya, namamu yang benar siapa?" "Nanti saja kalau urusan sudah beres kuberitahukan," elak Lie Mei Ching. Ketika mereka balik lagi, Ching-ching dan Lie Chung Yen sudah kembali. Dibantu Wu Fei dan Khoe Yin Hung, mereka sedang bikin suatu barang yang menyerupai kursi dari batang-batang bambu. Melihat Lie Mei Ching, Chung Yen menghentikan pekerjaannya. "Dari mana?" tegurnya pada 'anaknya'. "Jalan-jalan," sahut Lie Mei Ching yang belum ketahuan namanya yang benar. "Jalan-jalan" Malam-malam begini" Yang benar saja," tukas Khoe Yin Hung ketus. "Memangnya kenapa?" Thio Lan Fung menyahuti. "Tak ada urusan dengan kau. Ia toh tak bicara padamu." "Siauw Hung juga tidak ngomong denganmu, kenapa ikut campur?" Ching-ching membela kawannya. "Kau sendiri ikut-ikutan!" tuding Lie Mei Ching. Melihat gelagat, Wu Fei langsung melerai. "Kenapa jadi ribut, ada kerjaan lain yang belum beres." "Ching-ching, kau sebaiknya bantu," kata Lie Chung Yen kepada Lie Mei Ching. "Aku sudah bantu dari tadi," Ching-ching yang menjawab. Lie Chung Yen jadi bingung. Bolak-balik ia memandang Ching-ching dan gadungannya. Tahu-tahu Wu Fei ketawa. "Siauw-soe-moay, kerjamu memang bikin pusing orang saja sedari dulu. Sekarang tak disengaja pun kau sudah bikin pusing lagi. Lihatlah, ayahmu mulai bingung membedakan kalian, dua orang Ching-ching!" Ching-ching menjebi mendengar kata-kata soe-hengnya. "Tak ada gunanya meladeni orang begitu. Lebih bagus kembali bekerja," kata Khoe Yin Hung. "Bukankah besok begitu terang hari akan dipakai?" "Ayo, kita juga tak usah lama-lama di sini," ajak Thio Lan Fung. "Betul, pergilah sana. Cuma merecoki saja kerjamu," usir Ching-ching. Dengan setengah mendongak dan lagak angkuh, Thio Lan Fung menyeret kawannya. Di belakang mereka Lie Chung Yen memandang 'anaknya' pergi menjauh. Parasnya menunjukkan kekecewaan besar. "Selesai!" berseru Wu Kong mengagetkan. "Ayo kita cobakan pada A Cu!" Ramai-ramai mereka membawa kursi itu ke dekat Toan Cu dan Li Hai. "A Cu, ayo dicoba kursinya," kata Ching-ching. Toan Cu memandang sangsi. Kursi dari bambu itu tak kelihatan cukup kokoh. Apalagi bentuknya tak seperti kursi tandu biasa untuk digotong dua orang melainkan seperti kursi tak berkaki. Ada sebuah sandaran, dua dudukan tangan, dan sepasang kaitan dan sabuk di belakangnya. Ching-ching menunjukkan cara memakainya. Kaitan di belakang sandaran dicantelkannya ke pundak Li Hai, sabuk diikatkan ke pinggang. Orang yang duduk di kursi itu jadi membelakangi orang yang menggendongnya. Ching Ching 276 Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ayolah, tak apa. Aku berani jamin kau tak akan kenapa-kenapa," desak Ching-ching. Toan Cu menggeleng-geleng bersangsi. Ia tak berani dan sungkan juga. Takut badannya terlalu berat buat Li Hai. Melihat A Cu berlama-lama, seperti biasanya, Ching-ching mulai tak sabaran lagi. "Baiklah, aku tunjukkan dulu padamu," katanya. "Hai-ko, bersiaplah, aku mau naik." Kini hampir semua orang melihat kepada mereka, ingin tahu apa yang mau dilakukan Ching-ching. Gadis itu melompat dan mendarat sembari duduk tepat di kursi. Mula-mula Li Hai tak terbiasa dengan benda di punggungnya. Ia berjalan sempoyongan. Ching-ching di belakangnya kalang-kabut takut jatuh. Gerakannya malah membuat Li Hai makin bingung. Tak dapat ditahan-tahan lagi, keduanya jatuh ngusruk ke tanah. Mereka yang melihat tertawa melihat lagak keduanya. Tempo Ching-ching jatuh, sejenak mereka memandang kuatir. Akan tetapi demi melihat gadis itu berdiri lagi, sembari menggerutu mereka mesem-mesem lagi. Ching-ching memeriksa kursi yang masih menempel di punggungnya. "Masih bagus!" katanya sambil menepuk-nepuk kursi buatannya. "Ayo coba lagi, Hai-ko!" katanya penasaran. Li Hai mengangguk. Ia juga penasaran. Masakan tak kuat membawa Ching-ching yang punya badan langsing itu. Sebagai seorang yang dianggap pendekar muda, Li Hai malu hati. Mereka mencoba lagi. Kali ini Li Hai berjongkok dulu selagi Ching-ching dudul. Lalu ia berjalan pelan-pelan. Beberapa tindak kemudian ia sanggup membawa Chingching berlari. Gadis itu bersorak senang. "Gantian!" rengek Yin Hung. "Tidak mau!" kata Ching-ching. Tapi waktu Yin Hung mulai cemberut, ia cepat meloncat turun, membiarkan temannya ikut merasakan. Sesudah satu putaran, Chingching minta giliran lagi. Wang Li Hai berjongkok, menyilakan. Tahu-tahu Ching-ching mulai iseng lagi. Ia mendorong soe-hengnya nail sambil tempelkan telunjuk di bibir, melarang memberi tahu. Li Hai kaget saat merasakan badan Ching-ching lebih berat. Alisnya berkerut heran. Namun ia tetap juga lari mengitar. Semua yang lihat mesem-mesem geli. Bahkan Yo-si Soe-thay yang biasanya galak juga mesem sedikit. Baru waktu Wu Fei turun sambil ketawa-ketawa. pemuda itu tahu sudah kena dipermainkan. "Wah, Hai-ko, kau benar hebat," ledek Ching-ching seraya ketawa geli. "Satu putaran kaugendong Soe-heng tanpa merasa berat. Kau apakah makan obat kuat?" Li Hai ikut ketawa juga biarpun agak mangkal hatinya. Pada Toan Cu, Ching-ching berkata, "Kau sudah lihat, Soe-heng saja sanggup diangkan. Masakan kau masih tak ada nyali?" "Lagipula tak bisa tidak, esok kau mesti juga digendong," sambung Yin Hung. Akhirnya mau juga Toan Cu mencoba. Benar kata Ching-ching, kursi itu memang kokoh. Sengang juga Toan Cu duduk di atasnya. Ching-ching bertepuk-tepuk tangan. Ia senang Toan Cu tak berkecil nyali lagi. "Macamnya anak kecil saja," bisik Thio Lan Fung pada Mei Ching di sampingnya. Gadis itu mnegangguk setuju. Padahal dalam hati keduanya ingin juga mencoba kursi lucu itu. "Sudah cukup main-main," kata Lie Chung Yen menasihatkan. "Kita mesti segera istirahat supaya besok pagi sudah pulih tenaga kita." Mereka menurut, masing-masing merebahkan diri, terpisah laki dan perempuan. Ching Ching 277 Ching-ching, Khoe Yin Hung, dan Toan Cu berbaring berendengan dengan Thio Lan Fung dan Lie Mei Ching. Toan Cu diam di tengah seolah sebagai pemisah. Gadis itu sebentar saja telah pulas. Begitu pula Lie Mei Ching. Tiga yang lain masih melek. Yin Hung dan kawannya mulai bisik-bisik melewatkan waktu. "Psst, Ching-ching, esok kau akan ketemu ibumu. Sangkamu apakah ia akan langsung kenali kau sebagai anak?" "Entahlah. Tapi kalau ia bersangsi, aku ada satu tanda yang akan membuatnya yakin." "Tanda apakah itu?" "Tanda warna merah berbentuk kembang di pundak kanan, tanda semenjak aku lahir. Nio tak mungkin lagi salah mengenali," Ching-ching pelan berkata. Sayangnya tak cukup pelan untuk tak didengar Thio Lan Fung yang segera berpikir. Huh, gadis busuk! Rupanya kau masih ada satu simpanan. Lihat saja. Kau akan begitu kaget jika nanti di pundak gadunganmu ada tanda serupa! Maka jika sudah jatuh temponya kau akan mendapat malu besar! Malam itu Lan Fung tidur dengan hati berbunga. Ia terus memikir bahwasanya Ching-ching akan mendapat malu esok. Maka dendamnya dipermalukan di Pek-san dulu akan terlampiaskan. Lihat saja! Esoknya, setelah istirahat semalam, pulih sudah tenaga para pendekar golongan putih. Demikian pula semangat mereka. Inilah dibutuhkan mengingat jalan yang dilewati nanti adalah cukup sukar menurut Lie Chung Yen. Selagi mereka bersiap untuk berangkat, Thio Lan Fung menarik Lie Mei Ching mendekat. "Apakah kau memberikan tanda di pundakmu?" tanyanya. "Tanda apa?" Lie Mei Ching balik menanya. "Tanda kembang merah. Kata Ching-ching, ia ada memiliki tanda itu di pundaknya sebenlah kanan." "Celaka, aku tak ada tanda semacam itu." "Bisa dibikin. Asal kita punya sempat begitu tiba di kota." "Ah, ya, betul!" Lie Mei Ching manggut-manggut membenarkan. "Hayo kita berangkat, lihatlah yang lain sudah mendahului!" Begitu berjalan keduanya langsung memisah. Lan Fung menyusul Li Hai bebareng Lie Mei Ching mendekati Sie Ling Tan. Permulaannya jalan yang dilewati tidak berapa sulit, akan tetapi semakin sukar juga jalannya. Jalan yang dilewati berbatu-batu besar-kecil yang tidak mantap letaknya dan mudah longsor. Mereka mesti hati-hati karena kalau seorang salah menapak, batu-batu akan berjatuhan menimpa mereka yang di belakangnya. Setelah jalan sedemikian lewat, ada suatu jalan yang lebih keras, tapi sempit dan menanjak. Jalan itu dapat dilewati dua orang berpapasan, tapi salah satu mesti mepet ke dinding tebing karena di sisi satunya lagi jurang yang dalam menunggu mangsa. Oleh sebab itu, mereka terpaksa jalan berurutan seorang-seorang. Diam-diam Toan Cu bersyukur bahwa Ching-ching telah buatkan kursi ini untuknya. Kalau semisal kursi tandu yang dibuat, entah bagaimana dapat lewat jalan kecil berbelok-belok begini. Begitu melihat jalanan yang mau dilalui, Lie Mei Ching langsung teringat rencana sore kemarin. Kalau ia mau menyingkirkan Lan Siu Yin, inilah ketika yang baik. Lan Siu Yin berjalan tepat di depannya sedangkan Sie Ling Tan ada di belakangnya. Kalau ia berlagak tersandung dan menabrak Siu Yin tepat di tikungan, ditanggung gadis itu terlempar ke dalam jurang. Rencana jahatnya segera diwujudkan. Hasilnya seperti yang dikira. Ia menabrak Lan Siu Yin. Gadis itu kaget. Badannya oleng ke arah jurang. Dan satu teriakan Ching Ching 278 menghantar badan ke bawah. "Piauw-cie!" Lie Mei Ching berlagak panik. Ia duduk bersimpuh di jalan, malah menghalangi Sie Ling Tan yang akan berindak menolong. Semua terkaget oleh teriakan keduanya. Di depan Lan Siu Yin adalah Thio Lan Fung. Saking kagetnya ia berdiri bengong tak mampu bertindak. Ching-ching yang berjalan agak sebelah depan menengok. Mukanya langsung berobah pucat, menyadari apa yang terjadi. Ia buru-buru menghampiri sambil berteriak, "Minggir!" pada mereka yang menghalangi jalannya. Teriakan itu disertai khikang tanpa sengaja menjadi semacam perintah berwibawa yang goncangkan hati. Tak disadari hampir semua yang berdiri antara dia dan Lie Mei Ching mepet ke pinggir. Di belakang gadis itu menyusul Lie Chung Yen yang sejenak merasakan hatinya tergoncang. Tingkatan tenagaku adalah lebih tinggi daripadanya. Kenapa suaranya telah dapat pengaruhi aku" pikirnya. Akan tetapi ia tak punya tempo memikir lama-lama. Mereka keburu tiba di tempat Siu Yin jatuh. "Piauw-cie!" teriak Ching-ching. Tak ada sahutan. "Semua salahku!" isak Lie Mei Ching. "Aku kurang hati-hati sehingga Cie-cie Siu Yin celaka." Ching-ching sebenarnya tak tahu persis kejadian. Tapi demi melihat gadungannya tak bisa lain daripada menangis, ia jadi kesal. "Memang salahmu!" katanya. "Minggir kau, jangan halangi tindakanku!" Lie Mei Ching kaget dibentak. Dari tadinya cuma terisak, sekarang ia menangis menggerung. "Diam!" bentak Ching-ching galak. Seketika Lie Mei Ching berhenti dan kembali menangis tertahan. "Piauw-cie!" Ching-ching memanggil-manggil dengan manik dengan panik. Sayangnya belum juga ada sahutan. "Ba ... bba ... barangkali sudah mmati di dasar ju ...," Thio Lan Fung terbata. Melihat Ching-ching mendelik, ia berhentikan ucapannya. "Jangan kaubicara begitu lagi atau kutarik copot lidahmu!" ancamnya dnegan muka makin pucat. Ia sendiri tak yakin piauw-cienya selamat. Setelah beberapa lama, ia tak sabar lagi. "Aku akan turun menolongi!" katanya. "Tidak, biar aku," kata Lie Chung Yen. "Suhu, Tee-coe yang akan melakukan," Sie Ling Tan menawarkan diri. Lie Chung Yen mengawasi muridnya yang seperti mempunyai pengharapan besar. Sebagai guru, ia bukannya tak tahu perasaan Ling Tan kepada keponakannya. Andaikata Siu Yin tak dapat selamat .... "Baik," Lie Chung Yen memberi izin. "Kau hati-hatilah." Sie Ling Tan mendekati tepi jurang. "Tunggu!" cegah Ching-ching. "Dengar!" Sunyi beberapa lama. Tapi orang lain tak dengar apa-apa. "Ada apa?" "Ssst!" Ching-ching menelengkan kepala. Yang lain binging. Kuping mereka sudah terlatih, tapi tetap saja tak ada sesuatu terdengar. Mereka menganggap Ching-ching mengada-ada. Padahal gadis itu memang mendengar sesuatu. Semasa di Sha-ie, ia digembleng habis-habisan. Latihan pendengaran juga bukan main-main. Selama beberapa tahun di Tionggoan, ia memang jarang latihan lagi, tapi kemampuannya belum hilang sama sekali. apalagi pada saat seperti ini. Setelah mendengar beberapa waktu lamanya, tahu-tahu Ching-ching berdiri dengan wajah berseri. "Yin Cie-cie selamat," katanya. "Ia menggelantung kira-kira sedalam 500 elo dari sini. Sebelah tangannya patah tulangnya. Kita harus cepat Ching Ching 279 tolong dia sebelum pegangannya lepas dan ia jatuh ke bawah." "Nanti dulu. Dari mana kau tahu?" "Cepat! Belakangan saja kuberitahukan. Lekasan!" desak Ching-ching. "Lie Tay-hiap, aku ada memiliki sedikit ilmu memanjat," kata salah seorang utusan dari Thian-kiam-pay bernama Teng Kie Yu. Semua tahu markas Thian-kiam-pay di Tong-thian-san adalah cukup susah dicapai karena letaknya di tebing tinggi. Tak heran sedari tadi Teng Kie Yu paling lincah berjalan. Ia sudah biasa jalan pegunungan. Sekarang ia tawarkan bantuan, tak ada alasan menampik lagi. "Tunggu! Tunggu!" Ching-ching mendekati Toan Cu. "A Cu, aku pinjam dulu kursimu." Toan Cu dengan senang hati meningkir dari tempatnya duduk. Membawa kursi itu, Teng Kie Yu memanjat turun untuk menolongi Lan Siu Yin. Mereka menanti agak lama. Di atas, Ching-ching sudah tak sabaran lagi. Melihatnya Miauw Chun Kian segera mendekat untuk menenangkan. "Sayang aku terikat sumpah pada Suhu," kata Ching-ching. "Kalau tidak, aku sendiri akan turun menolongi Yin Cie-cie. Toa-heng, kalau keadaan kepepet, bolehkan aku gunakan ilmuku?" "Jangan!" kata Miauw Chun Kian. "Kalau Suhu mengetahui, bisa-bisa kau tak diakui lagi sebagai muridnya." "Mestinya dulu kubiarkan saja Thio Lan Fung menjadi soe-moaymu," gumam Ching-ching. "Apa kau kata?" Miauw Chun Kian kurang mendengar. "Tak apa-apa," sahut Ching-ching kesal. Kemudian ia mulai mengomel lagi tak sabar. Menunggu kira-kira sepertanak nasi, kedengaran suara orang berteriak dari bawah. Cuma sepotong-sepotong yang kedengaran, tapi Teng Kie Yu mengatakan akan segera naik membawa Lan Siu Yin. Turun ternyata lebih gampang daripada naik. Mereka masih menunggu dua pertanakan nasi lagi baru kemudian kelihatan kepala Teng Kie Yu menyembul. Ia cepat dibantu. Perkiraan Ching-ching benar, tulang lengan Lan Siu Yin patah. Tapi itu cuma soal enteng. Ching-ching ada membawa kouw-yoh dari Yok Ong Phoa si raja obat yang dapat sembuhkan patah tulang dalam sehari dua. "Piauw-cie, maafkan aku telah sebabkan engkau celaka," Lie Mei Ching menangis-nangis berulang kali minta maaf. "Tak apa, aku tahu kau bukannya sengaja. Sudahlah, aku tok sudah tak apa-apa sekarang." Ching-ching sebal melihat Lie Mei Ching yang menangis berkepanjangan. Ia menggerutu pada Yin Hung di sebelahnya. "Yin Cie-cie terlalu baik. Kalau aku, kubikin patah dulu tangannya baru kuberi maaf." Yin Hung manggut-manggut setuju. Rata-rata ia memang setujui apa kata kawannya itu. "Siok-siok, perjalanan kita tertunda karena aku," kata Siu Yin. "Baiknya kita teruskan supaya tidak nantinya kemalaman di jalan." "Tapi keadaanmu ...." "Aku baik. Piauw-moay sudah beri obat buatku." Lie Chung Yen nampak bersangsi, akan tetapi ponakannya memaksa. Pada akhirnya mau juga ia lanjutkan berjalan. Ching-ching bercuriga pada gadungannya yang memilih berjalan di belakang. Lan Siu Yin dituntuni Sie Ling Tan, di belakangnya menyusul Lie Mei Ching, kemudian Ching Ching 280 Ching-ching yang terus-terusan mengawasi. Karena kejadian itu, mereka telat sampai di Pek-eng-pay. Sudah lewat matahari tenggelam barulah tiba. Untung selepas lewat pegunungan, jalanan ada datar hingga mudah dilewati sekalipun remang-remang cahaya bintang yang menerangi. Sesampai di Pek-eng-pay mereka disambut oleh beberapa pelayan. Mereka tak menduga bakal menerima tamu sebegitu banyak. Jadinya sibuk sekali menyiapkan segala sesuatu. Ching-ching terharu sampai di rumah lagi. Ia melihat kanan-kiri sambil mengingat-ingat. "Tak ada yang berubah," komentarnya. Siu Yin yang mendengar cuma senyum-senyum. "Yin Cie-cie, apakah gadunganku memakai kamarku yang dulu?" tanya Ching-ching tiba-tiba. Ia menunjukkan roman kecewa waktu Siu Yin mengiyakan. Mereka diterima di dalam toa-thia dan dijamu di sana. Lie Chung Yen duduk di kursi besar tempat tuan rumah, di atas panggung rendah. Masih di panggung itu berdiam juga Lie Mei Ching, Lan Siu Yin, dan Sie Ling Tan yang juga dianggap tuan rumah. Ching-ching mendapat tempat tamu. Diam-diam ia berjelus. Hah, rupanya ia belum dianggap anak oleh Lie Chung Yen. Untung ketua Pek-eng-pay itu dapat membaca roman muka orang. Ia sadari kekeliruan dan buru-buru suruh pelayan ambil kursi buat Ching-ching ditempatkan di atas panggung. Barulah wajah gadis itu berseri, akatn tetapi justeru Lie Mei Ching yang kini cemberut. Setelah bersantap, mereka diantar ke kamar masing-masing. Seorang pelayan mengantar Ching-ching dan kawan-kawannya. Ching-ching mengenali si pelayan dan langsung mengajak bercakap-cakap. "A Heng, pohon besar yang ada di sini mana?" "Sudah dibabat atas suruhan Siauw-sio-cia." "Apa" Tapi pohon itu kesayanganku, eh, kesayangannya semenjak kecil, bukan?" "Ya, ya," si pelayan heran, nona tamu ini tahu soal itu. "Tapi semenjak pergi lantas kelakuannya berubah. Ia tak suka pohon besar, digantinya dengan bunga-bungaan." "Huah, padahal waktu kecil ia tak suka bunga, kan?" Si pelayan mengangguk-angguk. Mulutnya terbuka hendak berkata, tapi tak jadi takut dianggap lancang. "Kau mau ngomong apa" Jangan sungkan!" kata Ching-ching. "Euh, anu, apakah Kouw-nio pernah datang kemari" Saya rasa ada mengenal, tapi lupa. Dan lagi Kouw-nio tahu begitu banyak ...." "Ha, ha, kau pun tak kenali aku. Tunggulah sampai aku ketemu nyonyamu maka persoalannya akan segera menjadi terang. Oh, ya, aku belum melihat Nyonya. Apakah sedang istirahat?" "Nyonya sedang keluar mengunjungi vihara di luar kota." "Oh, bio Kuan Im itu?" Muka Ching-ching menjadi keruh. Ibunya kalau sudah ke Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo vihara, paling cepat tiga hari baru pulang. Kalau lama, urusan dengan keluarganya tak nanti lekas beres. Mereka telah diantar ke kamar masing-masing. Tapi Ching-ching tak segera pulas. Ia masih gulak-gulik beberapa lama. Banyak hal yang dipikirkan. Terutama sekali persoalan ia dan ayahnya. Namun karena penat, ia tertidur juga. Tak jauh dari situ, Lan Siu Yin yang sedang tidur mendadak terbangun. Barusan ia bermimpi akan dibunuh orang. Ketika dekat, dilihatnya wajah orang itu adalah Lie Mei Ching yang mengaku-aku sebagai piauw-moaynya. Ching Ching 281 Lan Siu Yin jadi tak bisa tidur lagi. Ia terus-terusan memikir. Dalam hatinya ia semakin yakin, Ching-ching adalah piauw-moaynya yang sebenar-benarnya. Tapi lantas siapakah Lie Mei Ching yang satunya" Tapi yang lebih penting lagi, akankah siok-sioknya memilih yang benar di antara kedua gadis itu" Bagaimana kalau salah memilih" Sayang, siok-bonya sedang pergi. Ah, mereka sedikitnya mesti tunggu 3 hari sebelum urusan jadi beres. Lan Siu Yin meyakini siok-bonya takkan salah pilih. Tapi selama ini siok-bonya tak pernah omong apa-apa soal Lie Mei Ching yang mengaku sebagai anak. Apa siok-bonya tahu atau tidak" Entahlah. Esoknya hampir siang hari ada keributan lagi di Pek-eng-pay. Biangnya tak lain adalah Ching-ching dan gadungannya. Tentu saja Khoe Yin Hung dan Thio Lan Fung tak mau kalah membantu kawan masing-masing. Ribut-ribut itu semakin rame jadinya. Awalnya cuma persoalan sepele saja. Ching-ching menunjukkan pada Yin Hung pohon besar di kebun belakang tempat ia dan Lan Siu Yin dulu sering bermain-main. Gadis itu mengajak Yin Hung naik ke batang paling tinggi dan menceritakan mengenai masa kecilnya. Tak sengaja mereka kemudian bikin gugur daun-daunan. Tak tahunya di bawah mereka Lie Mei Ching dan Thio Lan Fung sedang duduk pula dan daun-daun berjatuhan di kepala mereka. Lie Mei Ching lantas saja marah-marah. Ching-ching serta Yin Hung malah menertawakan. Kemudian mereka saling teriak memaki dan akhirnya merembet sampai ke soal siapa dari mereka yang pantas jadi anak ketua Pek-eng-pay. Chung Yen yang mendengar peristiwa itu jadi marah sekali. Ia datang sendiri ke kebun belakang dan mendapati kedua gadis itu. "Kalian berdua, ikut sekarang juga ke ruang belajar!" Kedua gadis itu melihat betapa sangar muka ayahnya, tak berani membantah, langsung mengekor. Masuk ke ruang baca, lagi-lagi ia ingat masa anak-anaknya. Dulu ia sering sekali diam di kamar ini, dihukum atas kesalahan yang ia buat. Mengingat itu semua ia tak sadar lantas kui di hadapan ayahnya. Berlainan dengan Lie Mei Ching yang semenjak datang mengaku sebagai anak ketua Pek-eng-pay itu segala kesalahannya gampang diampuni. Ia pintar merayu sehingga jarang dihukum. Terlebih lagi Lie Chung Yen ingin menebus tempo terbuang selama anaknya hilang. Karenanya, ia tak tahu apa mesti dilakukan. Melihat Ching-ching menekuk lutut, disangkanya gadis itu terima salah dan mau mohonkan ampun. Ia malah tolak pinggang seraya mengejek, "Hai, pada akhirnya si bebal ini takluk juga. Huh, mau mohonkan ampun" Pay-kui dulu 30 kali." "Kui!" Lie Chung Yeng menuding anaknya yang masih berdiri. Yang ditunjuk kaget. Gemetar, turun juga lututnya ke tanah. Di sampingnya, Ching-ching mencibir melecehkan. "Puas!" desisnya senang. "Kalian sungguh bikin malu! Ribut di hadapan orang-orang! Apa bagusnya begitu?" "Tapi Thia, dia mulai duluan," Lie Mei Ching menuding. "Eee, menuduh. Kau sendiri yang marah-marah padaku." "Tapinya - " "Diam!" bentak Lie Chung Yen. "Aku tak mau tahu siapa yang mulai lebih dulu. Pokoknya kalian sama-sama salah." "Thia, semuanya bermula dari perbutan kedudukan saja. Tak dapatkah Thia memutuskan antara kami supaya kami tak usah adu bicara lagi," usul Lie Mei Ching, ingin mengambil untung mumpung ibunya belum pulang. Ia hampir yakin Lie Chung Yan lebih mempercayai dia. Tapi Han Mei Lin istrinya tak dapat dipastikan Ching Ching 282 keputusannya. "Thia sudah berkata hendak rundingan dulu dengan Nio, apakah kau tak dapat bersabar?" "Kau rupanya meragukan keputusan Thia." "Kau sendiri yang - " Brak! Lie Chung Yen menggebrak meja. "Bolehkah kalian akur barang sebentar"!" Kedua gadis di hadapannya langsung diam menunduk, tak berani angkat suara lagi. "Pergilah. Kalau sampai nanti kudengar kalian bikin ribut-ribut, akan kukurung berdua." Tak usah diperintah dua kali, kedua gadis itu angkat kaki sembari saling melirik benci. Tinggallah Lie Chung Yen dengan pikiran mumet. Dua gadis mengaku menjadi anaknya. Dua-duanya sama tak mau saling mengalah. Lie Chung Yen jadi bingung sendiri. Diam-diam ia membandingkan. Lie Mei Ching yang selalu bersama dia sepanjang lima tahunan ini, lincah dan manja. Persis anaknya dulu. Itulah mengapa ia percaya. Sewaktu baru datang dulu, sikapnya memang malu-malu. Tapi lama-lama keluar sifatnya yang asli. Hanya saja ada beberapa hal yang berubah. Han Mei Lin istrinya tampak kurang memperhatikan anak mereka. Padahal dulu anak itu dekat baik pada ayah maupun ibunya. Ah, ada lagi. Ching-jie yang sekarang tak secerdas dulu. Kalau diajari mesti dua tiga kali baru mengerti, sementara dulu ia banggakan anaknya yang punya bakat Kwee-bak-put-bong. Cukup sekali diberi tahu, langsung dapat ikuti dengan baik. Akan tetapi kini lebih tekun. Dan Lie Chung Yen percaya, ketekunan akan lebih berguna daripada bakat selangit yang tidak dimanfaatkan. Lalu Lie Mei Ching dari Pek-san-bu-koan. Tingkahnya tak jauh beda dari anaknya. Sayang ia baru kenal beberapa hari, tak tahu banyak tentangnya. Tapi sifat manja jelas kelihatan dari sikapnya pada para pendekar yang memang lekas menyukai gadis lincah itu. Tapi tidak cengeng, ah, tapi anaknya juga rasanya tidak terlalu cengeng. Tapi kecerdasannya benar menyerupai Ching-ching kecil. Dan lagi ia tahu kebiasaan Ching-jie-nya semasa anak-anak. Ada lagi yang membuat Lie Chung Yen ingat pada Ching-ching kecil. Caranya berlutut tadi. Telapak kaki kiri dilipat ke belakang, tangannya menggantung di samping, lalu lutut kirinya ditekuk menyentuh tanah, bari kemudian yang kanan menyusul. Lie Chung Yen terkesiap. Cara seperti itu, dapatkah ditiru orang. Rupanya tak sadar ia telah perhatikan gerak-gerik gadis itu dan membandingkan dengan Lie Mei Ching yang selama ini bersama dengan dia. Dan semakin dipikir, Lie Mei Ching dari Pek-san-bu-koan lebih mirip Ching-chingnya yang hilang. Dan gadis itu lebih banyak tahu soal hal-hal yang kecil. Ini ia tahu dari A Heng yang menanyakan soal tamu yang banyak tanya ini-itu dan tahu banyak hal. Pelayan tua itu merasa kenal, tapi lupa pada orang. Ketua Pek-eng-pay itu menggeleng. Tidak, lebih baik tidak. Ia tak mau terima telah ditipu bocah perempuan yang telah ia anggap anak selama bertahun-tahun. Sebegai ketua partai besar, mana boleh begitu rupa. Lebih baik jangan! Namun ia sadar, jauh, jauuh sekali di lubuk hatinya yang paling dalam, diharap istrinya akan setujui Lie Mei Ching murid Pek-san-bu-koan sebagai anak mereka. Siang itu Lie Chung Yen menjamu tamu-tamunya tanpa bergirang hati. Urusan yang belum beres membuat ia tak enak makan. Hatinya juga tak tenang persiapkan pertemuan para pendekar dua minggu mendatang. Ching-ching dapat rasakan kebingungan ayahnya. Diam-diam ia merasa kuatir. Lie Mei Ching nampak berkuatir pula. Disangkanya gadungannya itu ada perhatikan ayahnya. Ia jadi bersimpati sedikit. Sayang, ia tak tahu ada rasa kuatir lain di Ching Ching 283 hati Lie Mei Ching, yaitu memikirkan cara untuk singkirkan dia punya saingan. Lantaran gundah hatinya, Lie Chung Yen banyak minum hari itu. Bolak-balik ia menyuruh orang mengambil arak peranti penuhi cawan. Mereka yang menjadi tetamu keheranan pada mulanya. Akan tetapi demi melihat dua anak gadis yang saling lirik di depan, segera mereka mengerti urusan. "A Thia, kau sudah banyak minum. Sudahlah," Ching-ching mengingatkan secara berbisik. Lie Chung Yen seperti tidak mendengar. "A Thia, kalau mau minum lagi, nantilah di kamar. Kasihan tamumu sudak kembung menemani minum." Barulah Lie Chung Yen taruh cawan dengan gusar. Ia mengawasi anaknya seperti mau memarahi. Lie Mei Ching besorak dalam hati. Rasakan! Siapa suruh lancang-lancang. Sekarang akan dimarahi di depan banyak orang. Sukur! Tapi ia kecele. Lie Chung Yen bukannya memarahi, cuma mengawasi saja. Lamaa sekali. Ching-ching jadi jengah sendiri. Ia tak berani tentang tatapan ayahnya. Untung kemudian mendatangi seorang pelayan membisik sesuatu. Mendadak muka Lie Chung Yen jadi berseri. "Nyonyamu sudah sudah pulang" Suruh kemari lekas!" tak sadar Lie Chung Yen berkata keras-keras. Hampir semua tamu mendengar. Mereka saling pandang dengan lainnya. Sudah tahu bahwa putusan Lie Chung Yen soal putrinya adalah juga bergantung istrinya. Apakah akan dibereskan sekarang" Ataukah nanti di belakang orang banyak" Diam-diam mereka ingin menyaksikan. Mana kiranya yang akan dipilih Lie Hujin dari kedua gadis yang mengaku anaknya itu" Di panggung mendadak wajah Lie Mei Ching menjadi pucat. Demikian pula Ching-ching merasa tegang. Di luar terdengar suara langkah kaki yang halus berirama. Ketika Han Mei Lin masuk, semua tamu berdiri menghormat. Wanita itu membalas dengan menangkupkan dua belah tangan serta menyilakan tamu duduk kembali. Batu kemudian ia menghadap ke panggung di mana suami dan 'anak-anaknya' menanti. Begitu membalik, mendadak Han Mei Lin merasakan darahnya berdesir. Jantungnya berdetak cepat setelah melihat dua gadis yang berdampingan. "Ching-jie!" panggilnya halus. Lie Mei Ching sudah bergirang hati. Ia berlari sambuti Han Mei Lin sambil mulutnya berseru, "Nio!" Wanita itu merentangkan tangan mendekati panggung. Tapi bukan Lie Mei Ching yang ia tujukan, melainkan Ching-ching yang masih terpaku di samping ayahnya. Gadis itu demi melihat ibunya, tak dapat menahan hati lagi. Ia berlari menubruk ibunya sambil menangis sesenggukan seperti anak kecil. Sejenak keduanya bertangisan. Hampir semua yang melihat tergetar hatinya. Sioe Ing, Yin Hung, bahkan Thio Lan Fung ikut segra-segru. Apalagi Toan Cu yang paling halus perasaannya. Rata-rata dari mereka sudah tak beribu. Masing-masing teringat nasib sendiri bebareng rasa iri dan haru melihat pertemuan ibu dan anak. Di sudut, diam-diam Yo-si Soe-thay dan seorang muridnya ikut juga menyusut air mata. Melihat apa yang terjadi, Lie Mei Ching mendadak panik. Ia akan kehilangan semuanya! Kasih sayang orang tua, baju dan perhiasan miliknya, pegawai yang selalu melayaninya. Ia akan kehilangan Sie Ling Tan, akan ditertawakan orang, tak dapat belajar silat lagi, dan kelak Pek-eng-pay takkan mungkin jatuh ke tangannya. Ia akan melarat seperti ancaman ayah kandungnya! Tidak! Ia tak mau menjadi begitu rupa. Tak mau! "Nio!" ia menjerit. "Ini aku, anakmu! Kenapa Nio malah memeluk dia" Apakah Nio sudah lupa padaku" Apakah Nio lupa tanda lahir anakmu"!" Ching Ching 284 Bret! Lie Mei Ching menobek kain yang menutupi pundaknya. Bajunya yang sobek memamerkan kulit yang putih dengan satu tanda bunga warna merah. Semua tamu merasa jengah. Mereka cepat memalingkan muka. Wu Fei bahkan membalikkan badan menghadap tembok sembari tutupi mata dengan tangan. Di depan Lie Chung Yen dan Han Mei Lin bertatapan bingung. Tanda apa" Anak mereka tak punya tanda apa pun sewaktu lahir. Cuma Ching-ching seorang saja yang mengerti apa yang terjadi. Tahu-tahu ia tertawa sembari mengusap air mata. "Rupanya ada yang katakan padamu aku punya tanda di pundak, yah?" katanya melirik Thio Lan Fung. "Sayangnya tidak. Dan kalaupun betul ada, aku masih punya muka untuk tidak pamer di depan orang banyak!" Kata-kata Ching-ching bagai geledek di tengah hari bolong buat gadungannya. Ia mendadak sadar telah kena diperdaya orang. Ia merasa malu, maluu sekali. Mau rasanya ia melesak ke dalam bumi menghindari orang lain. Ia mundur-mundur beberapa tindak. Kemudian dengan tangis menggerung ia lari keluar. Semua yang ada di dalam ruangan itu terpaku beberapa lamanya, sampai kemudian terdengar suara golok dicabut dari sarungnya. Sebagai orang Kang-ouw, suara itu segera pulihkan kesadaran dan segera mereka jadi waspada. Seseorang melompat ke tengah-tengah ruangan. Golok mengkilap terhunus di tangannya. Dengan golok itu ia menuding kepada Ching-ching. "Bocah busuk! Berani kau perhinakan anakku"!" Lie Chung Yen terkejut. "Boe Siauwtee, Ching-jie, maksudku, gadis itu anakmu?" "Hah! Baru tahu kau Lie Tay-hiap. Memang itulah anakku, yang telah dapat mengelabuimu bertahun-tahun!" "Tapi ... tapi kenapa?" "Masih kautanya" Baiklah, kuberitahukan. Belasan tahun aku membantumu, apa balasanmu padaku" Kedudukanku di Pek-eng-pay juga sebegitu-sebegitu saja. Lalu anakmu lenyap. Kau begitu berduka. Bekerja adalah pelarianmu. Kaubuat Pek-eng-pay jadi partai besar. Tapi kau lupa bantuanku. Itulah mengapa aku coba ingatkan kau! Kuberikan anakku, ia akan menghiburmu, ia akan warisi semua ilmu yang kaubanggakan, ia akan menjadi orang yang dihormati. Tapi anakmu telah menghinakannya. Katakan, apakah tak pantas aku, ayahnya, menuntut balas?" Lagi-lagi orang she Boe itu acungkan goloknya. "Ngaco-belo!" bentak Ching-ching. "Orang licik semacam kamu, mana ada pikirkan orang lain selain diri sendiri" Mengaku sajalah. Kauberikan anakmu adalah maksud tersembunyi. Memang - ia akan warisi semua ilmu Pek-eng-pay. Dan barangkali ia juga mengajarkan kepadamu" Dan ia akan menduduki jabatan ketua, bukankah kau yang nanti mengaturnya juga dari belakang?" "Bocah lancang!" Boe Hok Sin menjadi beringas. Kata-kata Ching-ching memang tepat mengena. Ia maju setindak sambil menggenggam goloknya erat-erat. Melihat gelagat, beberapa pendekar sudah raba senjata hendak membela tuan rumah. Boe Hok Sin tahu. Ia cepat menengok dan berkata, "Ini urusan keluarga orang, jangan ada yang ikut campur!" "Ya, ya, dan sementara kau cari ribut di sini, barangkali anakmu sudah mati bunuh diri!" kata Ching-ching. "Baiklah anakku mati, tapi aku harus bunuh padamu lebih dulu!" "Ayah macam apa kau, keselamatan anak adalah mesti didahulukan!" bentak Lie Chung Yen. Menyususl ia sendiri mengejar 'bekas' anaknya. Ching-ching ikut melompat menyusul ayahnya. Ia juga ingin tahu apakah gadungannya sudah mati bunuh diri ataukah masih sanggup menanggung malu. Ching Ching 285 "Mau lari ke mana kau, bocah jahanam!" seru Boe Hok Sin. Ia ikut mengubar keluar. "Soe-heng, kita mesti bagaimana?" tanya Wu Fei kepada kakaknya seperguruan. "Soe-moay tak akan suka kita ikut campur urusan keluarganya. Jangan kita bertindak. Lagipula aku yakin ia dapat menjaga diri sendiri." Han Mei Lin dapat lihat tamunya bingung, tak tahu bagaimana harus berbuat. Ia cepat paham. "Urusan ini adalah urusan keluarga kami, aku yakin suamiku akan dapat beresi dengan segera. Harap coe-wie tak usah berkuatir." Pada pelayannya ia memerintah, "A-ming, antarkan tamu beristirahat!" Para tamu menjadi lega. Nyonya rumah telah meminta mereka menonton saja. Dengan lega hati kemudian mereka menyoja mohon diri beristirahat. Setelah tetamunya pergi semua, Han Mei Lin merasa lemas. Ia terhuyung dan lekas duduk di kursi. Di depan orang banyak ia boleh mengatakan tak usah berkuatir, akan tetapi hatinya sendiri tidak menjadi tentram. Sepuluh tahun ia tak ketemu anaknya, sekarang begitu berjumpa, ada urusan besar pula sehingga tak sempat melepas rindu. Han Mei Lin menghela napas. Moga-moga semua urusan segera beres. Ching-ching menyusul ayahnya. Di belakang ia, berlari Boe Hok Sin dengan goloknya. Diam-diam Ching-ching nyengir. Kejar-kejaran begini mengingatkannya pada Wu Fei yang senang saling mengejar dengannya. Lie Chung Yen menemukan 'bekas' anaknya di mulut tebing. Gadis itu memandang ke bawah, ke arah batu-batu besar terserak. Kalau ia lompat, dijamin tulang-tulangnya akan remuk dan ia akan mati. Ia tak tahu apa harus memanggil pada gadis itu. Namanya jelas bukan Lie Mei Ching. Akan tetapi karena tak tahu kata lain .... "Ching-ching!" panggil Lie Chung Yen. "Ayo, pulang!" katanya membujuk. Yang dipanggil menoleh. Mukanya basah oleh air mata. "Jangan dekat!" katanya dengan suara serak. "Ching-ching, jangan lakukan hal yang bodoh. Marilah pulang saja." "Tidak, aku sudah tak ada muka lagi ketemu orang. Lebih bagus aku mati." "Kesalahan bisa diperbaiki, tapi orang mati tak bisa hidup lagi - " Lie Chung Yen belum sempat meneruskan kata-kata, di belakangnya terdengar suara senjata diadu. Boe Hok Sin telah mendapati Ching-ching dan menyerang gadis itu. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lie Chung Yen memandang bingung pada dua gadis itu, mana mesti dibantu lebih dulu. Akhirnya ia putuskan bahwa Ching-ching dapat lindungi diri untuk sementara waktu. Saat ini 'bekas' anaknya lebih terancam jiwanya. Ia terus membujuk sementara Ching-ching bertempur. Ching-ching berkelahi melawan Boe Hok Sin. Orang itu benar-benar kepingin membunuh. Serangannya bertubi-tubi tidak berhenti. Bagus Ching-ching masih dapat menghindari. Ilmu golok orang itu tidaklah luar biasa. Ching-ching masih mampu memenangi dengan gampang. Akan tetapi suatu ketika Boe Hok Sin mengubah caranya menyerang. Ia memakai ilmu pedang dari Pek-eng-pay! Ching-ching kaget. Untung ia ada berpengalaman dan dapat lekas kuasai diri. Ia cepat keluarkan juga jurus-jurusnya dari Pek-san-bu-koan. Boe Hok Sin memang mempelajari ilmu pedang Pek-eng-pay dari anaknya. Baru beberapa jurus saja yang dikuasainya. Semestinya ia masih dapat melawan Ching-ching dengan ilmunya itu. Akan tetapi senjata di tangannya bukanlah pedang, melainkan golok yang selain lebih berat, juga kurang lincah dimainkan. Akibatnya ia jadi terdesak sendiri. Boe Hok Sin merasa percuma melawan gadis tanggung ini. Ia mundur terus, mendekati tempat Lie Chung Yen berdiri. Pada Ching Ching 286 ketika baik, ia membacok ketua Pek-eng-pay itu dari belakang. "Ah!" kedua gadis yang melihat menjerit bebareng. Lie Chung Yen merasakan kesiuran angin di belakangnya. Ia cepat melompat ke samping menghindar. Golok Boe Hok Sin mengenai angin. "Pembokong!" Ching-ching berteriak marah. Ia maju dengan pedang menyerang lakilaki itu. "Jangan!" jerit gadungannya yang melihat ayah kandungnya terancam jiwanya. Gadis itu melompat dan dengan pedangnya memapaki pedang Ching-ching. Keduanya jadi berkelahi, dan ayah mereka berkelahi juga. Ilmu Lie Chung Yen adalah sudah tinggi, semestinya ia dapat kalahkan Boe Hok Sin dalam beberapa jurus. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tak dapat berlaku demikian. Tangannya terasa amat berat. Kakinya sulit digerakkan. Dadanya terasa sakit, napasnya sesak, dan tiap kali ia bertindak, kepalanya pening. Boe Hok Sin tersenyum senang. "Lie Tay-hiap, sudah kaurasakan racun yang kuberikan dalam arakmu?" Chung Yen tidak menjawab. Kepalanya terasa berat, Ia tak dapat berdiri tegak dan jatuh ke tanah. "Ha-ha, Lie Tay-hiap, hari ini kau mesti mati oleh golokku!" Kedua gadis yang bertempur kaget mendengar omongannya. Melihat golok Boe Hok Sin bergerak, Ching-ching melompat menangkis dengan pedangnya menghalangi laju golok. Sebenarnya saat itu gadungannya punya ketika mencelakai Ching-ching. Tapi itu tidak dilakukan. Ia melompat dengan pedang di tangan. Yang dilakukan berikutnya sungguh di luar dugaan. Gadis itu menusuk Boe Hok Sin pada dadanya, tembus sampai ke punggungnya! Semua terkesima. Boe Hok Sin terundur beberapa tindak sembari menuding anaknya. Pedang masih menancap di dadanya. "Kau ...!" cuma itu yang bisa dikatakan sebelum akhirnya ia roboh untuk selamanya. "Thia!" si gadis she Boe menubruk ayahnya. Ia menangis sesenggrukan kemudian roboh pingsan saking menyesali. Ching-ching menolong ayahnya bangun kemudian hendak meninggalkan tempat itu. "Tunggu!" kata Lie Chung Yen. "Bagaimana mereka" Tak boleh kita tinggal di sini." "Belakangan aku jemputnya. Thia keracunan, mesti ditolong duluan. Boe Hok Sin sudah mati, tak usah ditolongi, sedangkan anaknya cuma pingsan, sebentar juga baik." "Tidak boleh! Kita harus tolong mereka!" Lie Chung Yen mencoba menghampiri dua orang yang tergeletak, tapi baru setindak, ia sudah ambruk lagi ke tanah. "Thia!" Ching-ching mau menolongi lagi. "Tidak!" Lie Chung Yen menolak. "Tolong dulu mereka, baru boleh kau tolongi aku." Ching-ching mengerutkan alis. Ia masih ada ganjelan sama gadungannya, tak berniat menolong. Tapi ayahnya keras hati. Sekali berkata maka tak bakal ditarik kembali. Kalau Ching-ching juga ngotot, salah-salah racun di badan ayahnya menyebar dan akan segera menyusul Boe Hok Sin jadi mayat. Memikir demikian, Ching-ching buru-buru hampiri gadungannya, si gadis she Boe. Ia totok beberapa jalan darah sehingga gadis itu cepat mendusin. Begitu sadar dan ingat kejadian, ia menangis lagi. Secara cepat sekali ia bangun dan lari menuju jurang. Ching-ching dapat baca tindakan orang. Ia buruan mencegat. "Kau mau cari mati, aku tak melarang. Tapi kau kan mesti kuburkan ayahmu lebih Ching Ching 287 dulu. Aku tak mau buang tenaga buatnya. Tapi kalau kau lebih suka kalian mati tanpa kubur, terserah." Ching-ching memberi jalan. Gadis she Boe itu malah mandeg. "Kuburan," gumamnya. "Aku mesti kuburkan ayahku dulu." "Betul. Tapi nanti saja. Sekarang mesti pulang tolongi ayahku dulu. Sana bopong ayahmu sendiri." Macamnya orang linglung, si gadis she Boe menuruti saja apa yang disuruh Ching-ching sampai mereka pulang lewat pintu belakang. Tak ada orang yang melihat kepulangan mereka. Ching-ching cepat suruh orang gali kubur buat Boe Hok Sin. Ia sendiri lekas membopong ayahnya yang sudah setengah semaput ke kamar dan buru-buru periksa nadinya. Biarpun kurang mendalami ilmu pengobatan, sedikit-banyak Ching-ching tahu juga soal segala macam racun apa akibatkan apa. Melihat yang terjadi pada ayahnya apalagi sudah memeriksa nadinya, ia segera dapat duga racun apa di badan ayahnya. "Bagaimana bisa?" ia menggumam heran. "Kenapa" Kenapa ayahmu?" tanya Han Mei Lin panik. "Dia bisa disembuhkan, bukan?" "Tentu saja, tapi .... A-ping, coba panggil Khoe Kouwnio ke sini. Katakan Ching-ching yang memanggilnya. Lekas!" Pelayan yang disuruh tergopoh-gopoh keluar. Tak berapa lama ia sudah balik lagi dengan Khoe Yin Hing yang cemberut. Melihat Ching-ching, ia ingin memaki, tapi demi melihat Lie Hoe-jin juga ada di sana, ia rapatkan mulut. "Siauw Hung, keluarkan Hwi-sim-tok milikmu!" kata Ching-ching. Ayal-ayalan Khoe Yin Hung menraba sabuk tempat ia simpan semua racunnya. Mendadak mukanya pucat waktu tidak temukan yang dicari. "Tidak ada!" katanya. "Padahal belum aku pakai." "Kau bawa pemunahnya, tidak?" "Bawa." Khoe Yin Hung meraba lagi pinggangnya sebelah belakang dan menaris katu bungkusan kecil, untung tidak hilang juga. "A-ping, cepat ambil semangkok air panas!" perintah Ching-ching. "Ada apa sih?" Khoe Yin Hung bertanya. "Ayahku terkena Hwi-sim-tok milikmu!" "Ah, tak mungkin. Tapi ... apakah kau mau bilang ada yang mencuri milikku?" "Kau mestinya tahu," kata Ching-ching. Saat itu pelayan mereka masuk membawa air semangkok. Ching-ching menuang semua penawar yang diberikan Yin Hung. Lalu ia ambil belati dan hendak mengiris tangan sendiri. Han Mei Lin kaget. "Apa mau kau buat?" "Nio, jangan kuatir. Penawar ini akan lebih manjur kalau dicampur dengan darah. Aku cuma mau ambil sedikit darahku saja. Tak apa-apa." Han Mei Lin mengawasi anaknya dengan sikap berkuatir. Melihat Ching-ching luka, ia merasa seperti jarinya sendiri yang diiris. Setelah gadis itu memaksa ayahnya minum, barulah mereka bertenang hati. "Siauw Hung, pergilah katakan pada Hai-ko supaya menyuruh Thio Lan Fung mengawasi gadunganku." "Kenapa mesti suruh Hai-ko" Apa kau pikir aku jeri pada gadis she Thio itu?" "Kau sangka dia mau dengar perkataanmu" Jangan banyak rewel, turut saja kataku!" Sembari menjebi, Siauw Hung pergi. Ia bahkan tidak berpamit pada Han Mei Lin. Seperti juga Ching-ching, ia tak banyak pusing dengan aturan sopan-santun yang biasanya dijunjung tinggi di antara para pendekar Kang-ouw. Ching Ching 288 Sepeninggal Siauw Hung, mendadak kamar itu sepi. Han Mei Lim dan putrinya saling mengawasi. Ching-ching melihat ibunya jauh lebih tua dari sebelum ia pergi 10 tahun yang lalu. Bahkan kelihatan lebih tua dari umurnya yang belum mencapai 50 tahun. Barangkali karena makan hati ditinggal anak yang hilang tak keruan paran. Sedangkan Han Mei Lin mengawasi putrinya dengan rasa haru, senang, dan bangga jadi satu. Ching-ching kecilnya sudah jadi anak gadis, perkasa pula, dikenal sebagai pendekar golongan putih. Siapa yang tak bangga punya anak sedemikian. Tapi dalam hatinya Mei Lin merasa was-was. Putrinya tak nampak seperti kebanyakan dara lainnya. Ia nampak lebih lincah seperti tak tahu aturan dan lebih pengalaman dalam berkelahi. Manja tapi tegas, pemurah tapi kejam. Tapi biar bagaimanapun, Han Mei Lin bahagia bertemu anaknya. Lama mereka bertatapan. Tak ada kata-kata, tapi mereka saling mengerti perasaan yang lain, sambung rasa antara ibu dan anak tak dapat dihapuskan oleh perpisahan 10 tahun sekalipun. Tiga hari kemudian Lie Chung Yen sudah sembuh sama sekali. Selama sakit, Ching-ching yang paling telaten mengurusnya. Dalam tiga hari itu, Ching-ching pandai-pandai mengambil hati ayah dan ibunya. Sebentar saja ia sudah menjadi kesayangan seisi rumah, termasuk para pelayan. Ia sudah bercerita pengalamannya semenjak diculik sampai ke Pek-san-bu-koan. Ayah dan ibunya seperti tak percaya. Lie Chung Yen tambah sayang pada Ching-ching kala melihat istrinya jauh lebih gembira, lebih gampang tertawa, dan nampak jauh lebih muda dari hari-hari sebelum ini. Semuanya terjadi cuma dalam tiga hari! Tapi masih ada satu ganjelan di hati Lie Chung Yen, yaitu karena Ching-ching tak mau mewarisi Pek-eng-sin-kun kebanggaannya. Dara itu sudah cerita bahwa suhunya melarang ia menggunakan ilmu lain perguruan. Diam-diam Lie Chung Yen sakit hati. Menganggap serendah itukah anaknya pada ilmu perguruan kebanggaannya" Tapi Lie Chung Yen tak berani suruh anaknya undurkan diri dari Pek-san-bu-koan, takut kalau-kalau rusak hubungan dua partai. Ching-ching bukan tak tahu dia ada kecewakan ayahnya. Tapi ia merasa sayang tinggalkan Pek-san-bu-koan. Terlebih menyadari, nama besar Pek-san-bu-koan adalah karena lima orang murid dengan ilmu Pek-san-ngo-kiam dan Ngo-lian-kian. Kalau ia pergi, nama jurus uang begitu hebat adalah tinggal nama karena kurang seorang berarti kelemahan yang lainnya. Tapi ada satu hal yang lebih mengganggu ketenteraman hatinya. Kemarin ayahnya mengusulkan anak Boe Hok Sin yang ternyata bernama Boe Sin Mei diangkat jadi anak. Ibunya mengiyakan saja, asal Ching-ching ada bersamanya. Mereka menyerahkan putusan pada gadis lincah itu. Tinggal dia bingung berpikir-pikir. Ching-ching merasa tidak suka. Tak bisa disangkal ia takut kasih sayang ayah-ibunya nanti direbut Boe Sin Mei. Bukankah gadis itu ada lebih lama tinggal di Pek-eng-pay" Dan lagi riwayat hidupnya yang menyedihkan dapat meluluhkan hati siapa saja. Belum lagi ayahnya amat berterima kasih pada dara itu karena telah bela dia sampai rela korbankan jiwa ayah kandung sendiri. Siapa takkan salut pada gadis ini. Lebih celakanya, hampir semua orang sudah tahu bahwa keputusan jadi tidaknya mengangkat anak pada Boe Sin Mei diserahkan ke tangan Ching-ching sepenuhnya. Gadis itu jadi serba salah. Mau menerima, nanti dibilang munafik. Memang pada dasarnya ia tak mau. Kalau tidak menerima, dikatakan tak berjiwa pendekar, tak mau ampuni kesalahan orang. Hah! Khoe Yin Hung mengetahui gusar di hati Ching-ching. Ia mencoba menghibur, tapi Ching Ching 289 segera diusir jauh-jauh. Begitupun semua kawan Ching-ching, tak boleh mendekat hari itu. Ia tak mau keputusannya dipengaruhi orang lain. "Begini salah, begitu susah," Ching-ching mengeluh. Ia duduk selonjor di tanah sambil memain pada belatinya. "Hah, coba kutimbang mana lebih baik. Kalau kuterima, barangkali nantinya aku tidak pula disayang. Tapi toh aku mesti cepat pulang ke Pek-san-bu-koan. Jarang-jarang bisa ketemu Thia dan Nio. Dan lagi, para pendekar akan salut padaku. Aku bisa angkat nama Pek-eng-pay dan Pek-san-bu-koan sekaligus. Yah, ditimbang begitu, baiknya diterima saja. Tapi awas kalau belakangan hari berani macam-macam, kugencet dia sampai mampus!" Ching-ching memutuskan. Bukan main girangnya Lie Chung Yen mendengar putusan Ching-ching. Ia tertawa besar sambil tepuk-tepuk pundak anaknya. "Inilah baru putriku," katanya bangga, "pendekar yang sejati!" Dua hari lagi pertemuan besar akan diadakan. Utusan-utusan dari berbagai partai sudah datang. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada tetamu bulan lalu di Goat-kiong. Untuk Pek-eng-pay bukan partai kecil sehingga sudah siap dengan tamu begitu banyak. Apalagi Lie Chung Yen sudah suruh orang buat banguanan baru untuk para tetamu ini. Ching-ching senang menjadi tuan rumah yang menyambuti tetamu. Di sampingnya berdiri Boe Sin Mei dengan muka berseri. Keduanya sudah akur kini. Sin Mei jarang main dengan Thio Lan Fung, kuatir kalau Ching-ching merasa tak suka. Ia juga tak suka cari gara-gara sekarang. Banyak orang sudah dengar kabar soal itu. Mereka bersalut dan banyak memuji kedua gadis itu sehingga sesekali muka mereka memerah. Kejadian memalukan si gadis she Boe itu sudah terlupa ditebus kematian ayahnya. Dari semua, Ching-ching lebih banyak kenal tamu. Ia memang pengelana yang banyak ketemu orang. Suhunya pun sering mengajak kalau mau kunjungi partai lain. Tak heran ia dapat jadi tuan rumah yang ramah. Lagipula hari-hari belakangan ibunya telah mengajar bagaimana bersikap. Sikap sopan itu tidak lama-lama. Ching-ching cepat bosan. Ia mulai bandel lagi. Kalau saja tak ada Boe Sin Mei yang takut bakal menyainginya, pasti ia sudah ngelayap ke mana-mana. Sehari sebelum pertemuan besar, datang dua orang yang dandanannya menarik perhatian. Yang satu gemuk, tinggi-besar. Yang satunya jangkung-ceking mirip tongkat. Ching-ching segera ingat kedua orang itu. Ia menyambuti yang gemuk sembari berteriak girang, padahal saat itu ia sedang mengobrol dengan Li Hai dan Wu Fei. "Ha, si gemuk dan si ceking jalan bebareng. Tak salah lagi, mestilah Lam-tay-siang-tiau." Kedua orang itu merasa heran. Nama mereka tidak terlalu dikenal, bagaimana dara ini dapat mengenali" Si gemuk mengawasi baik-baik. Mendadak wajahnya berseri. "Ie-ie!" panggilnya. "Tak menyangka bakal ketemu lagi. Hampir aku tak mengenali. Sudah besar dan cantik sekarang, ya!" Hek-tiau si gemuk mengenali juga. Ia lantas mengawasi dua pemuda di belakang Ching-ching. Yang satu nampak pucat dan kaget melihatnya. Yang lain nyengir melihat lagaknya dan panggilannya kepada Ching-ching yang dianggap ie-ie. "Ha, ada dua pemuda ganteng. Aku tak dapat menerka. Yang mana Ie-thio?" Ia menanyakan paman angkatnya yang tak lain adalah Siauw Kui. Ching-ching menghela napas sebelum menjawab orang. "Aku sendiri sudah hampir dua tahun tak ketemu Ie-thiomu itu." Muka gadis itu mendadak suram. "Ia sedang cari Ching Ching 290 ilmu. Hei, Hek-tiau, kalau waktu dua tahun lagi aku tak jumpa Ie-thiomu, maukah kau temani aku mencarinya?" Muka Ching-ching terang lagi. "Boleh, boleh," sambut Hek-tiau, lalu berbisik, "Tapi dua pemuda ini jangan diajak, nanti Ie-thio ngambek." Ching-ching nyengir. Ia menyilakan dua orang itu masuk. Sekilas ia lihat tatapan benci dari Kim-tiau, suheng Hek-tiau. Barangkali si tongkat berjalan itu masih mendendam peristiwa tempo dulu. Berikutnya yang datang adalah Wu Kong dari Goat-kiong. Ching-ching menyambutinya lagi. "Wu Toa-ko, datang juga. Eh, kau sendirian" Mana ayahmu?" "Thia tak dapat ikut. Semenjak peristiwa tempo hari ia terus-terusan tak enak badan." "Apakah obat dari Kong-kong tak manjur?" tanya Ching-ching heran. "Kata Yuk Toa-hoe, luka Thia-thia suah sembuh. Tak enak badan barangkali disebabkan pikiran berat. Tapi Toa-hoe sudah mengasi obat. Tak berapa lama lagi Thia-thia pasti sembuh." Selesai mengata begitu, Ching-ching melihat seorang lain jalan sendirian. Ia lekas menyapa sambil menyoja. "Wu-yi-sian-li, apa kabar?" katanya menyapa wanita tua yang baru datang. "Baik, baik," wanita itu balas menyoja. Biarpun sudah tua dan keriput kulitnya namun rambut nenek itu tetap hitam. Sementara suaminya, Wu-yi-pek-sian berambut putih sampai kepada alisnya. Tapi kali ini si dewa putih tak anmpak. Mereka tentu saja heran dan menanyakan. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hah, kakek tua itu sedang membasmi gerombolan di selatan. Kalau urusan tak banyak makan waktu, ia akan menyusul kemari." Ching-ching menyilakan tamu. Wu Kong sebenarnya masih kepingin menemani gadis itu di luar, tapi ia mesti menemui Lie Chung Yen dulu yang menjadi tuan rumah sebenarnya. Yang paling terakhir datang adalah Lie Wei Ming dan Yuk Lau. Dengan girang Ching-ching menyambuti. "Wah, Suhu dan murid-murid utama Pek-san-bu-koan ada di sini, perguruan siapa yang menjagai?" tanya Wu Fei. "Adik seperguruan kita kan banyak, buat apa berkuatir?" Ching-ching yang menyahut. Lantas ia ajak suhunya menemui keluarganya. Selagi orang-orang tua berbincang, Ching-ching mencari kawan-kawannya, terutama A Cu yang sehari ini belum dia lihat. Gadis itu malu ketemu orang. Ia pasti sedang menyulam di kamarnya. Tapi Ching-ching tak menemukan A Cu di kamar. Begitu juga teman-temannya, tak ada yang melihat dara tersebut. "Jangan-jangan diculik orang!" Wu Fei menakuti. "Ngaco-belo! Siapa berani culik orang tengah hari bolong begini!" Ching-ching menghardik. Ia mencari lagi dan ternyata A Cu ada di dapur. "Ngapain di sini?" "Belajar masak," jawab A Cu. "Ah, Toan Kouwnio merendah saja," kata seorang pelayan. "Jangan percaya, Siauw-sio-cia. Justeru dari tadi kami yang banyak belajar padanya." "Oooh, kau senang masak juga, ya. Coba lihat apa sudah kau buat." Ching-ching menghampiri kuali dan mencicip isinya. "Enak, enak," ia memuji. "A Cu, boleh juga kau bantu-bantu di daput. Daripada kau mengeram di kamar, bagusan masak saja." A Cu tersenyum membenarkan. Sudah dua hari A Cu membantu-bantu memasak. Banyak orang memuji, tapi tentu saja mereka menyangka pegawai Lie Chung Yen yang dididik hingga dapat bikin makanan enak. Ching Ching 291 Hari ini Toan Cu mesti masak lagi. Hampir semua pelayan sibuk urusan masing-masing. Urusan makanan diserahkan pada Toan Cu. Seorang pelayan masuk dan memberikan bungkusan padanya. "Apa ini?" tanya A Cu heran. "Orang yang tadi memberikan padaku bilang ini adalah untuk menyedapkan masakan." Toan Cu tersenyum. Tak usah pakai obat juga masakannya sudah sedap. Buat apa ditambahi lagi" Akan tetapi begitu si pelayan pergi, Toan Cu ada berpikir lain. Apa salahnya kalau makanannya ditambahi sedikit bumbu itu. Kalau memang jadinya lebih enak lagi. Tapi kalau orang lain tahu, pasti dia disangka memakainya juga kemarin-kemarin. Tapi kalau cuma sedikiiit saja, siapa yang tahu" Memikir demikian, A Cu membuka bungkus dan mengambil sedikit untuk dimasukkan dalam kuali berisi makanan. Ia melakukan dengan buru-buru seolah takut ketahuan. Pada ketika itu Thio Lan Fung lewat. Tak sengaja ia melihat gelagat Toan Cu yang bikin heran. Ia masuk ke dapur waktu A Cu sedang memberi sedikit serbuk bumbu. "Apa sedang kau lakukan di sini?" tanya Lan Fung. Toan Cu kaget. Tangannya langsung gemetar. Tak sengaja semua isi bungkusan dituangnya dalam kuali. "A-aku ... aku ... ttidak sedang apa-apa," katanya gugup seperti baru kepergok berbuat jahat. "Bohong! Apa itu di tanganmu?" "Ini ... bungkus bubuk penyedap makanan." "Eh" Apakah kau sudah jadi tukang masak di sini?" Thio Lan Fung cekikikan. "Kelewatan si Ching-ching. Kawan sendiri dijadikan tukang masak. Kau juga, kenapa mau?" Toan Cu tidak menjawab, cuma bersenyum saja. "Hah, tunggu sampai kukatakan pada Hai-ko, Ching-ching pasti diomelinya habis." "Eh, jangan!" Toan Cu melarang. "Aku senang memasak. Lagipula andaikata ia tahu pun, paling ia akan tertawa saja." "Huh, semaumulah!" Thio Lan Fung pergi ke ruang besar. Hampir semua pendekar sudah berkumpul di sana. Selesai bersantap nanti, mereka akan mulai rapat besar, mendamaikan cara menghadapi Kim-gin-siang-coa-pay. Rapat dimulai. Semua tamu duduk dengan sikap agak tegang. Lie Chung Yen membuka pembicaraan. "Sudah kita ketahui, beberapa tahun ini Kim-gin-siang-coa-pay berlaku keji baik kepada rakyat biasa maupun pada sesama golongan Kang-ouw, terutama golongan putih. Bulan-bulan belakangan mereka malah berani kirim surat ancaman supaya tunduk pada mereka. Kalau tidak, seluruh partai beserta keluarga akan dibunuh habis. Beberapa partai telah mendapat kebenarannya, seperti misalnya beberapa partai di selatan. Tindakan Kim-gin-siang-coa-pay sudah kelewatan. Hari ini kita akan satukan semua usulan dari cuwi untuk menghancurkan partai iblis tersebut." "Benar, sudah waktunya kita basmi iblis-iblis jahanam itu!" Houw-touw Yo Chow ikut mengisiki. Beberapa orang turut menyambuti dengan bersemangat. "Tapi bagaimana caranya" Partai tersebut sangat kuat!" seorang dari See-san-pay bertanya. "Betul, bahkan beberapa partai besar sudah mereka kuasai." "Hei, biarpun sudah kuasai beberapa partai besar, tapi mana bisa dibandingkan dengan kita semua dijadikan satu?" kata Houw-touw Yo Chow. Lagi-lagi ia disambuti. "Ya, apabila kita berpadu saling bantu, apa yang bisa dilakukan mereka itu?" Yo-si Suthay ikut bersemangat. "Aku tak yakin," gumam ketua See-san-pay pelan. Akan tetapi tidak cukup pelan Ching Ching 292 untuk tidak didengar oleh Ching-ching. Gadis itu menjebi melecehkan. "Ong Giam Pangcu, sedari tadi kau paling tidak bersemangat. Apa nama Kim-gin-siang-coa-pay telah membuatmu jeri?" "Hah, jangan bilang kau juga tunduk pada partai iblis itu!" Houw-touw Yo Chow menuding. Muka ketua See-san-pay itu menjadi pucat pasi. Ia lekas menggoyangkan tangan menyangkal. "Tidak, tentu saja tidak. Cuma minggu lalu kami terima ancaman itu juga." "Bukan kau seorang diri yang sudah diancam," kata Wu Kong. "Kau tahu, kami juga sudah terima surat itu, akan tetapi aku dan ayahku talah berketetapan, tidak sekali-kali kami tunduk pada iblis-iblis she Chang itu!" "Saudara Wu Kong, sungguh besar nyalimu berani berkata demikian!" terdengar suara berwibawa dari luar. Dua bayangan putih melayang masuk disusul 12 bayangan hitam yang menggunakan seragam sama sengan gambar sepasang ular di dada! Begitu tamu-tamu tak diundang itu masuk, seketika di dalam ruangan menjadi sunyi. Wajah-wajah tegang memandang mereka yang baru datang. Sebagian lagi parasnya pucat ketakutan. "Sungguh tak tahu sopan santun, datang tak diundang, berani masuk pula tanpa dipersilakan!" Mendengar suara jernih gadis itu, para pendekar segera tersadar pula. Kini mereka melihat ke arah tamu dengan muka marah. Chang Houw yang melihat siapa yang berdiri di depan, di samping tuan rumah, kaget luar biasa. Ia tahu gadis ini bernama Lie Mei Ching dan dia adalah murid Pek-san-bu-koan. Tapi sekali-kali ia tak menduga dara ini adalah putri Lie Chung Yen, ketua Pek-eng-pay. Akan tetapi, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, ia dapat segera tenteramkan hati. "Lie Kouw-nio, berjumpa lagi kita. Apa kabarmu?" "Ceriwis! Aku mau ada kabar apa, tak ada urusan denganmu!" Kata-kata Ching-ching membikin merah paras Chang Houw. Sebenarnya saat itu perkataan Ching-ching jauh dari sopan, namun para tamu kepalang benci pada Chang Houw dan pengikutnya. Dalam hati mereka malahan ingin juga berlaku sama pada orang-orang Kim-gin-siang-coa-pay itu. "Tak disambuti dengan baik, kami pun tak mau berlama-lama," kata Chang Lun. "Kedatangan kami kemari cuma ingin sampaikan undangan. Kebetulan semua partai ada di sini, tak usah kami repot mengantar satu-satu." Ia bertepuk tiga kali. Seorang pengikutnya maju ke depan sembari membawa sebuah kotak. "Ini undangan dari kami dalam masa she-jit ibuku bulan depan. Barangsiapa tak ingin keluarga atau partainya musnah, jangan coba-coba tak datang!" Semua tamu kaget. Undangan" Apa bedanya dengan surat ancaman" Memang kelihatannya lebih halus dan lebih sopan, tapi pada dasarnya toh sama saja. "Tak usah repot, tak satu dari kami akan datang ke perayaan itu!" sahut Yo-si Suthay. "Terserah, aku cuma menyampaikan saja. Oh, ya, Wu Kongcu, Goat-kiong akan mendapat pengampunan kalau kau mau datang bulan depan." "Tak sudi!" Wu Kong membuang muka. "Buat apa aku datang ke perayaan orang rendah macam ibumu!" "Jangan kau bicara sembarangan mengenai ibuku!" Chang Houw menjadi marah. "Aku boleh bicara semauku, siapa dapat melarang?" tantang Wu Kong. "Aku melarangmu!" tahu-tahu Chang Houw sudah ada di depan pemuda she Wu itu dan Ching Ching 293 menampar mulutnya sampai berdarah. Wu Kong tak menduga bakal diserang sebegitu cepat. Ia tak sempat lagi menangkis, apalagi menghindar. Mulutnya kena dihantam orang, bibirnya pecah. Masih untung giginya tidak copot, tapi tak urung Wu Kong merasa pening kepalanya. "Kurang ajar!" Houw-touw Yo Chow menggebrak meja. "Iblis, berani kau mengacau di rumah orang?" Orang beringas itu memutar golok. Seorang pengikut Chang Houw maju ke depan memasang kuda-kuda siap melindungi tuannya, tapi Chang Houw mengangkat sebelah tangannya melarang. "Tak perlu, harimau ini sudah ompong, tak usah dilawan pun sudah roboh sendiri." Baru saja si pemuda berkata demikian, Houw-touw Yo Chow memuntahkan darah. Ia terhuyung dan jatuh duduk di kursi sendiri. "Jahanam! Ilmu siluman apa yang kau pakai!" berteriak Teng Kie Yu, utusan Thiankiam-pay. "Tidak ada siluman-silumanan. Hanya saja kami sudah campurkan Cheng-coa-tok pada makanan kamu sekalian. Kamu tak boleh pakai tenaga kalau tak mau luka dalam. Dan kalau dalam semalam tidak minum pemunahnya, besok tengah hari kamu bakal lumpuh semuanya!" Setiap orang di sana kaget. Mereka tak menduga bakal diracuni sehingga kurang waspada. Tapi terlebih Lie Chung Yen merasa malu bukan main telah kecolongan hingga tamunya kena racun semua. Bukan racun sembarangan pula. Tapi Ching-ching tampak tak peduli. Ia sedang mengawasi pengikut Chang Houw yang tadi hendak lindungi majikannya. Orang itu masih muda, paling banter 20 tahun umurnya. Mukanya bulat, matanya sipit, tapi tak kelihatan gemuk karena badannya jangkung dan nampak kuat-kokoh. Namun yang terlebih menarik perhatian Ching-ching adalah tangannya sebelah kanan yang terbungkus sarung warna keperakan. Ia masih mengawasi beberapa lama. Kemudian setelah yakin, ia beringsut ke arah Yuk Lau yang berdiri tak jauh darinya. "Ssst, Sam-soe-heng!" bisiknya memanggil. "Apa?" sahut Yuk Lau berbisik pula. "Kau kihatlah pengikut Chang Houw yang berdiri paling depan itu. Katakan, kau ingat siapa?" Yuk Lau mengawasi sambil memikir, tapi ia tak mengerti apa yang dimaksud Ching-ching. "Aku tak tahu," sahutnya. "Kenapa aku mesti ingat?" "Aduuh, sam-soe-heng, aku tak tahu kau berlagak lupa atau kau memang sudah pikun. Lihat sarung tangannya! Itu sarung tangan yang kuberika pada Fuk Toa-ko. Dia kakak angkat kita!" "Tak mungkin!" sanggah Yuk Lau. "Fuk Toako takkan sudi ikut partai rendah seperti Kim-gin-siang-coa-pay!" "Tapi sarung tangannya ...." "Sarung tangan begitu bukan cuma Fuk Toako yang punya." "Satung tangannya itu aku yang bikin, mana mungkin aku salah mengenali?" Yuk Lau menggeleng-geleng lagi. Ia tak percaya sedikit pun. Dalam hatinya ia selalu berkeyakinan bahwa Chow Fuk kakak angkatnya hidup di sutau tempat terpencil seperti kampung mereka dulu. Barangkali jadi tukang besi datau petani. Tapi tidak sebagai pengikut golongan hitam. "Kau tak yakin" Baik, akan kutanyakan sendiri padanya!" Ching-ching berkata. Pada masa itu Chang Houw sedang membagikan undangan dengan cara melempar-lemparkan kertas bertulisan itu kepada mereka yang diundang. Pelemparan kertas disertai tenaga itu luar biasa hasilnya. Kertas tipis yang cuma sehelai-helai itu menancap kalau bukan di sandaran kursi orang, pasti tak jauh Ching Ching 294 dari tempatnya, semisal di tiang atau menancap di lantai. Ching-ching yang melihat malah mengomel, "Orang she Chang, jangan merusak rumah orang!" Chang Houw mendengar teguran si gadis merasa hatinya seperti disiram air dingin. Ia batal pamer kekuatan lagi. Undangan-undangan itu kini dilempar ke pangkuan atau dibikin terpegang di tangan orang yang dituju. Sesudah semua undangan terbagi, ia melihat seisi ruangan sembari tersenyum. "Kamu boleh merasa syukur. Hari ini aku tak minat membunuh orang. Membuat hilang kepandaian kamu orang juga rasanya tak ada guna. Baiklah kuberi kesempatan sekali lagi." Chang Houw mnegerling pada adiknya. "Sekalian supaya kamu ingat budi orang." Chang Lun segera mengerti isyarat. Ia mengeluarkan sebuah Giok-peng. "Dalam botol ini ada berisi yowan pemunah. Isinya cukup buat kamu orang semua. Baik kuberikan padamu!" Ong Giam yang duduk paling dekat padanya berdiri hendak menyambuti. "Nanti dulu! Tak sembarang orang boleh mengambilnya dari tanganku! Biar kuberikan pada nona rumah, Lan Kouw-nio!" Lan Siu Yin terkejut. Berani-beraninya Chang Lun menginginkan dia ambil pemunah itu. Bagaimana kalau orang lain tahu hubungan antara mereka" Gadis itu melihat pada Lie Chung Yen meminta persetujuan. Ketika pamannya mengangguk, baru ia berani bertindak. Di belakangnya, Ching-ching menyipitkan mata. Ia tak suka piauw-cienya berkawan dengan Chang Lun yang dianggapnya orang licik tak dapat dipercaya. Sejak pertama melihat di Goat-kiong ia sudah mendapat kesan demikian. "Undangan sudah disampaikan, pemunah sudah diberikan. Kiranya kamu sudah tak punya urusan lagi. Cuwi, aku permisi." Chang Houw menjura diikuti adiknya. Mereka sudah mau pergi dari tempat itu kalau saja tak ada seorang berteriak, "Tunggu!" Chang Houw menghadapi orang itu yang tak lain adalah Ching-ching. Gadis itu berisi menghampiri. Hati Chang Houw memukul. Mau apa gadis ini" Memaki atau malah berterima kasih" Tapi pemuda ini kecele. Ching-ching melewatinya terus menghampiri seorang pengikutnya. "Kau! Siapa namamu?" tanya Ching-ching. Ditanya secara mendadak, tentu saja si pengikut itu jadi kelabakan. "Aku?" tanyanya. "Apakah aku menunjuk orang lain?" Ching-ching balik menanya. "A-aku ... namaku Gin-ciang." "Aku tidak tanya julukanmu. Aku tanya namamu!" "Euh, namaku A Ciang." "Dusta!" bentak Ching-ching. "Akui saja, namamu Chow Fuk, bukan?" Yang terakhir disebutnya pelan sekali. Seketika muka orang itu menjadi pucat. Ia melongo melihat Ching-ching macam melihat setan. "Kau ... siapa kau" Tahu dari mana ...?" bisiknya. "Dari sini!" Ching-ching nyengir sembari menggenggam tangan orang itu yang dibungkus sarung perak. "Haa, rupanya kau lupa aku, ya. Tega benar!" ia malahan bercanda. "Coba diingat-ingat!" Orang yang di hadapannya itu mengawasi, tapi lalu menggeleng-geleng. "Aku belum pernah ketemu kau." "Baiklah, kau boleh berkata belum pernah ketemu aku. Tapi aku yakin aku pernah temui sobatku!" Ching-ching mencabut sepasang belati di kakinya dan memegang Ching Ching 295 dengan sikap mengancam. "Ini ... kau ... Ching-moay, ini benar-benar kau?" Chow Fuk mengenali belati buatannya yang telah ia berikan pada giemoaynya dulu. "Ha, Fuk Toa-ko, pada akhirnya kau kenaliku juga!" "Ching-moay! Eh, kata Yang Toa-ko, kau diculik orang, kenapa mendadak ada di sini?" "Ceritanya panjang. Toa-ko, aku mau kau ketemu seseorang." "Siapa?" "Ching-ching membawa Chow Fuk ke hadapan Yuk Lau. "Coba, kau kenali dia, tidak" Dia adalah - " "Lau-tee" Chow Fuk menyebut duluan. Yuk Lau mengawasi dua orang di hadapannya yang memperlihatkan muka gembira. Ia Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo juga menangkap pandang mata orang-orang yang menatap dengan curiga, heran, dan ingin tahu. Tentu saja, bagaimana mungkin dua orang pendekar golongan putih dapat bersaudara dengan pengikut golongan hitam" Yuk Lau juga mendengar suara berbisik-bisik membicarakan mereka. "Jie-ko!" Ching-ching menegur. Yuk Lau memalingkan muka. "Aku tak punya abang angkat sepertinya!" ia berkata. "Jieko ... kau ...!" Ching-ching hampir tak dapat berkata-kata saking kecewa. Di sebelah sana Lie Chung Yen mengerutkan alis. Baru beberapa hari lalu Ching-ching menceritakan semua pengalamannya. Diceritakannya juga ia ada mempunyai dua orang abang angkat. Yang seorang adalah Yuk Lau dan yang lain adalah Chow Fuk. Tapi ia tak menduga kalau Choe Fuk ada kawannya golongan sesat. Lie Chung Yen tak suka anaknya berkawan golongan jahat. Dan melihat gelagat Ching-ching seperti mau marah, ketua Pek-eng-pay ini segera ambil tindakan. "Ching-ching, kemari!" Chang Houw juga tak mau orang kepercayaannya dipermalukan. Ia cepat memanggil pula. "A Ciang, kita pergi!" Chow Fuk terlalu kecewa, di samping pula tak berani melawan kepada mejikannya. Sembari menunduk ia melangkah pergi. Teriakan Ching-ching yang memanggil sepertinya tak didengar sama sekali. Sperginya orang-orang Kim-gin-siang-coa-pay, Lan Siu Yin dibantu beberapa orang membagikan yowan pemberian Chang-sie Heng-tee. Khoe Yin Hung memastikan pil-pil itu adalah asli, maka tanpa pikir dua kali, mereka segera menelannya, kecuali Ching-ching yang masih memandang keluar. Miauw Chun Kian memberi sebutir yowan padanya, tapi Ching-ching cuma memandangi saja yowan itu seperti tak tahu harus diapakan. "Ayo dimakan!" desak Wu Fei pada sumoaynya. Ching-ching masih bengong. Wu Fei jadi tak sabaran. Direbutnya pemunah itu, dibukanya mulut Ching-ching secara paksa, lagi ia jejalkan obat ke dalamnya. Diperlakukan secara demikian, Ching-ching jadi tersadar. Ia mengomeli Wu Fei, kemudian lari ke dalam mencari Yuk Lau. Setelah ketemu ia langsung membentak. "Sam-soe-heng, teganya kau!" "Ching-ching!" Lie Chung Yen memotong perkataan anak gadisnya. "Kau tak ada urusan lagi, pergilah istirahat." Lie Chung Yen berkata dengan halus, tapi nadanya seperti perintah yang tak boleh dibantah. Ching-ching tahu itu. Ia tak banyak bicara, hanya membanting kaki dengan amat jengkel dan pergi. Khoe Yin Hung sobatnya menyusul. Ia tahu Ching-ching sedang kecewa. Sebagai kawan, paling tidak ia harus menghibur atau menemani saja. Ching-ching tidak pergi beristirahat seperti yang disuruhkan ayahnya. Ia malah Ching Ching 296 pergi ke belakang tempat murid-murid ayahnya biasa berlatih. Gadis itu berdiri menyandar pada sebuah tiang rumah. Mukanya sangar. Yin Hung jadi bimbang mau mendekat. "Ching-ching!" ia memanggil takut-takut. "Hmm!" "Kau marah, ya" Karena persoalan tadi itu" Semestinya kau mengertikan keadaan suhengmu. Ia tak mau dianggap saudara oleh orang jahat - " "Siauw Hung, kau yang tidak mengerti. Seberapa pun jahatnya Chow Fuk, kita sudah terlanjur angkat saudara. Semestinya Jie-ko tanya dulu sebabnya Toa-ko ikut perkumpulan itu. Kalau ia tak suka, semestinya ia ajak Toa-ko kembali ke jalan lurus, bukannya malah tak mengakui." Ching-ching menghela napas. "Kasihan, Toako. Aku yakin, ia sebenarnya bukan orang jahat. Siauw Hung, kau tahu rasanya ditolak orang" Sakit sekali. Aku pernah merasakannya sewaktu Thia tak akui aku menjadi anak. Kiranya Toa-ko sekarang merasakan hal serupa. Siauw Hung, kau tentunya sudah letih. Sana pergi tidur!" "Kau sendiri?" "Aku mau di sini dulu." "Kalau begitu, aku akan menemanimu." "Kau bandel!" "Kau yang mengajariku bandel." "Baiklah, baiklah. "Aku juga akan tidur. Mari!" ajak Ching-ching. Tapi di kamarnya gadis itu malahan tak dapat memejamkan mata. Ia masih dengar orang-orang lewat di depan kamarnya mengatakan besok hari pertemuan para eng-hiong baru akan diteruskan. Ia dengar satu-satu dari mereka pergi ke kamarnya masing-masing. Bahkan sampai tengah malam, saat semua sudah sunyi, ia masih gulak-gulik saja di pembaringan. Di kamar Wang Li Hai, ternyata pemuda itu juga tak dapat lelap. Dari pembicaraan Ching-ching dengan Hek-tiau dua hari lalu, ia tahu bahwa Ching-ching masih mengingat dia sebagai Siauw Kui. Ia merasa senang gadis itu belum lupakan dia, tapi juga sedih karena belum boleh mengaku diri sebagai Siauw Kui. Semenjak itu ia sering membuntuti Ching-ching ke mana pun pergi. Akan tetapi dara itu malah marah-marah. Dan seperti sengaja, Ching-ching malah lebih banyak main dengan Wu Kong dan Cia Wu Fei. Wang Li Hai berasa tak suka. Entah apa namanya perasaan itu. Cemburukah" Atau hanya sekedar iri" Atau penasaran" Sebab A Cu, Yin Hung, dan Lan Fung selalu berusaha menarik perhatiannya, berusaha berlaku manis padanya sementara Ching-ching malah tak peduli, memperlakukannya sama seperti pada yang lain - kadang bercanda, membentak, tak jarang menjauhi secara mendadak. Setelah gulak-gulik beberapa lamanya, Ching-ching akhirnya bangkit dari pembaringan. Ia akan berjalan-jalan sejenak. Barangkali dengan begitu ia akan mengantuk. Ching-ching membawa pedangnya dan pergi ke kebun belakang. Ia berlatih sebentar di sana sampais eseorang menegurnya. "Sudah malam begini, kau belum pergi tidur?" Ching-ching menoleh cepat. Ia mendengus kesal. "Hai-ko, kau ini tak bosan-bosannya. Tak siang, tak malam, terus-terusan aku buntutui aku!" "Siapa bilang aku mengekormu. Aku cuma tak bisa tidur saja. Kupikir jalan-jalan akan membuatku mengantuk, tak tahunya malah ketemu kau. Tambah tak dapat tidur aku." "Ah, tanggung kalau jalan-jalan cuma sampai di sini. Aku mau ke hutan kecil ah." Ching-ching berjalan menuju tempat yang disebutnya. Li Hai hendak ikut, tapi Ching Ching 297 kuatir dibentak. "Hai-ko, kau sudah bosan mengekorku?" tanya Ching-ching. Li Hai nyengir. "Bilang saja kau minta ditemani." Ching-ching tak menjawab, terus saja berjalan duluan. Dalam hatinya ia mengakui, memang segan pergi sendiri. Keduanya memasuki hutan kecil tak jauh dari rumah Ching-ching. Namanya hutan, tapi tidak serupa hutan. Lebih cocok dibilang taman besar, sebab pohon-pohonnya berjajar rapi, diselang-seling semak rimbun yang juga rapi. "Dulu aku dan piauw-cie-ku sering main petak di sini," kata Ching-ching. "Atau, kadang-kadang kami sembunyikan barang dan balap mencari. Kau tahu, semua pohon dan semak di sini mirip semua. Kalau lupa tempat menyembunyikan, celakalah!" "Kau sering lupa tempatmu sembunyikan barang?" "Pernah, tapi jarang. Kalau lupa, biasanya aku naik ke pohon. Kalau ada yang bukan hijau warnanya, pastilah di situ tempatnya. Tapi kalau main petak, ada satu tempat yang paling kusuka. Biarpun aku main dengan murid-murid ayahku yang sudah besar, tak seorang pernah ketemuiku di tempat itu." "Di manakah?" Li Hai ketarik. "Agak ke depan sana!" Setelah sampai, Ching-ching menunjuk. "Di sini!" "Apakah tidak keliru" Ini sama saja dengan yang lain tadi kita lewati." "Lihat saja!" Ching-ching menyibak semak di situ. Di tengahnya ternyata tak ditumbuhi dauh, sehingga membuat ruangan di dalam semak itu. "Silakan!" Ching-ching menyuruh Ching-ching mendului. Pemuda itu masuk tanpa bercuriga, tapi kakinya tak menginjak tanah. Ia terperosok. Li Hai kaget bukan main. "Kena!" Ching-ching bergirang. Ia lantas menyusul melompat ke samping Li Hai. Di dalam semak itu ternyata ada sebuah lubang. Tidak dalam, cuma sedikit di atas dengkul, tapi cukup lebar. Supaya kepala tidak terkena ranting kecil semak-semak, keduanya mesti duduk sehingga kepala mereka saja yang di atas tanah di luar. "Heran, dulu rasanya di sini tidak sempit," kata Ching-ching. "Terang saja sempit. Kau kan tambah besar. Ada aku pula di sini." "Memang kau cuma bikin sempit!" gerutu Ching-ching. "Salah siapa mengajak kemari!" "Kau sendiri yang ...." Ching-ching tak teruskan kata-kata. Ia membawa telunjuk ke bibir. "Ssst, ada yang datang!" Li Hai juga mendengar tindakan orang yang rupanya memiliki gin-kang cukup baik. Kentara dari caranya berlari yang cuma menimbulkan sedikit suara dan tidak kedengaran sedari tadi. Sekarang ini ia paling berada sekitar tiga tombak dari mereka. Suara itu disusul dua suara lain yang serupa, tetapi masih lebih rendah tingkatannya. Yang ini suaranya terlebih jelas pula. Tindakan-tindakan itu makin mendekat dan kemudian berhenti cuma sedepa jauhnya dari tempat Ching-ching dan Li Hai sembunyi. Mengetahui orang pandai telah tiba, keduanya tak berani memunculkan diri. Lagi mereka tak dapat melihat siapa yang datang selain kaki-kakinya. "Hormat kepada Nio," kedengaran suara dua orang yang datang bebareng serentak bicara. Sekali menangkap suara orang, Ching-ching dan Li Hai segera mengenali Chang Heng-tee. "Hmm," cuma itu yang disahuti ibu mereka. Diam-diam di persembunyiannya Li Hai dan kawan kadisnya ada merasa keder. Kalau yang dipanggil Nio itu adalah Kim-koay-coa, si wanita iblis ular emas, andaikata Ching Ching 298 ketahuan ada dua orang sembunyi, tentunya tak bakal dilepaskan pula. "Nio, apakah baik?" bertanya Chang Lun. "Kalau tidak baik, dapatkah aku berdiri di sini?" kedengaran suara tak jelas dari Kim-koay-coa. Tak usah melihat, baik Ching-ching maupun Li Hai sudah tahu Kim-koay-coa pastilah mengenakan kedok. Tapi kenapa" Apakah takut dikenali orang" Namanya sudah rusak, ia adalah golongan sesat, kenapa mesti ditutupi" Ataukah mukanya jelek, seperti A-coe yang bercadar terus" "Nio, anak berdua sudah melakukan tugas. Adakah Nio merasa tidak puas?" Chang Houw segera mengertikan sikap kasar ibunya. "Ya. Kalian datang terlalu cepat tadi. Kami belum sempat bicara apa-apa. Besok baru akan ada pertemuan lagi. Saat itu kamu sudah tak punya sempat mengganggu." "Maafkan kami tak becus melakukan tugas." "Bukan itu saja. Kalian terlalu lembek tadi. Mestinya kauhajar habis pemuda she Wu itu. Sekarang, cacat mukanya pun tak kaubuat. Lagi kau, A-lun. Bakal apa kau suruh-suruh Lan Sioe Yin menerima obat" Mestinya kaubiarkan Ong Pang-coe yang menerima. Ia akan berterima kasih dan gampang dihasut oleh kita!" Chang Lun tak berkata-kata. "Kau juga, A-houw. Tak satu kata pun kau tujukan kepada tuan rumah. Padahal Lie Pang-coe bukan orang yang gampang takut sama racun. Dia harus ditekan supaya memikirkan keselamatan anak-bininya, baru bersedia bergabung dengan kita. Dan anaknya yang lancang mulut mestinya kauberi pelajaran sedikit. Hitung-hitung menebus kekalahanmu tempo hari. Nio tak mengerti. Gadis tingkatan rendah macamnya kenapa tak bisa kaubikin roboh sekali gebrak" Malah pula kau terluka. Bikin malu!" Ching-ching yang menguping, panas hati dimaki-maki demikian. Kalau menuruti adatnya, ia pasti sudah melompat keluar, balas mencaci. Akan tetapi, Lie Hai menggenggam erat-erat tangannya, melarang bergerak. Biarpun mendongkol, terpaksa gadis itu berdiam diri. "Nio tidak tahu" Toako ketarik pada gadis she Lie itu," Chang Lun meledek. Kalau tadinya Ching-ching mendongkol, mendadak kini ia merasa malu. Mukanya Pedang Inti Es 5 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Naga Sakti Sungai Kuning 11