Ketika Dewa Memaksa 2
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Bagian 2 pulanglah sekarang. Kalau rajamu yang bernama Kuncoro Manik marah, biar nanti aku yang turun tangan." "Dorna, Dorna...bukan cuma namamu, tapi kelakuanmu juga aku sudah tahu," kata Begawan Pulasara. "Kurang ajar!" kata Begawan Dorna marah. Ia tersinggung berat disepelekan pendita kampung yang ada dihadapannya. Maka dengan sombong, dikeluarkannya pusakanya yang bernama Cundomanik. Katanya sambil menggertak: "Kalo kamu sudah tahu siapa aku, berarti kamu juga tahu apa yang ada ditanganku ini kan?" "Jangan kamu kira aku takut sama senjata mainanmu itu. Aku bukan maling yang bisa ditakut-takuti pisau dapur begituan." "Dasar Asu!" pekik Begawan Dorna yang keluar sifat aslinya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (30) Seketika itu juga darah Begawan Dorna mendidih. Tensinya naik. Buru-buru ia menenangkan diri dengan bersemadi karena takut kena stroke. Ketika dirasa sudah dapat mengendalikan diri kembali, ia mulai mainkan jurus-jurus dengan memakai senjata pusaka Cundomanik. Penghinaan yang baru saja diterimanya nampaknya sudah tak ada lagi obatnya. "Bersiaplah untuk mampus, kau bangsat!" kata Begawan Dorna. Matanya mendelik memancarkan kebengisan. Napasnya terengah-engah. Jenggotnya yang tertiup angin mirip kambing Bandot yang betinanya ingin direbut pejantan lain. "Jangan lari kow? ya!" "Heyaaa!!" "Wuusss!!" Cundomanik ternyata memang senjata sakti. Angin kibasannya saja bagaikan dorongan angin sebuah truk gandengan ketika menyalip sebuah becak. Beberapa prajurit yang ilmu tenaga dalamnya rendah nampak terpental. Namun pertempuran tidak berlangsung lama. Malah boleh dikatakan terlalu singkat karena Begawan Pulasara nampaknya tidak ingin mengulur-ulur waktu. Ketika senjata lawan ditusukkan ke arahnya, Begawan Pulasara nampak berkelit. Gerakkannya yang terlalu cepat tak mudah diduga. Ketika membalikkan badan, tahutahu tangan kanannya telah berhasil merebut senjata lawan. Sedangkan tangannya yang lain digunakannya untuk menampar pipi kanan lawannya: "Plaakk!!". "Adduuooohh!!" teriak Begawan Dorna. Tamparan musuh bagaikan serudukan seekor kerbo liar. Perih dan panas. Karena menggunakan tenaga dalam yang tak main-main. Dua gigi gerahamnya copot, padahal kemarin habis di tambal. Rohaniwan elit itu terhuyung-huyung mundur, dan jatuh terduduk tak jauh dari Adipati Karna. Badannya meriang. Seiring dengan K.O.-nya Dorna, Patih Sengkuni memberi aba-aba kepada gerombolan Astina: "Serbuuuu!! Hancurkann!!" Mendengar aba-aba itu berhamburanlah mereka bagai air bendungan yang bobol. Senjata-senjata berbagai bentuk nampak diacung-acungkan. Dan bagi yang tidak sempat membawa senjata, apa saja mereka raih. Bahkan pohon-pohon yang baru tumbuhpun mereka cabuti. Wajah-wajah beringas nampak sudah mulai kesetanan: "Bunuh!" "Rajam!" "Cincang!" "Bakar!" Begawan Pulasara masih berdiri tenang. Kain sarung yang tadi tergantung di lehernya kini ia pegang sebagai senjata. Ketika jarak para pengeroyok sudah berada dalam jangkauan, ia kibaskan kain itu. Satu per satu mental. Bahkan banyak diantara mereka yang langsung roboh, pingsan. Patih Sengkuni yang lari belakangan, menyerang membabi buta. Patih kerajaan Astina itu kesaktiannya cuma tanggung karena yang dipikirkan hal-hal duniawi melulu. Ketika serangannya mengenai ruang hampa, lawannya cuma meniup kupingnya. Iapun roboh. Tubuhnya yang nampak menggigil itu meringkuk kedinginan. Pertempuran usai dalam tiga puluh menit. Seratus orang bergelimpangan disanasini. Banyak yang masih mengerang-erang kesakitan, dan juga minta ampun. Pakaian mahal keluaran butik-butik terkenal yang mereka kenakan nampak compangcamping. Sementara itu, Begawan Pulasara sudah mengalungkan sarungnya kembali. Kemudian dengan tenang berjalan menghampiri Dorna. Di tangannya ada senjata Konta dan Cundomanik yang barusan ia pungut. "Dorna, Sengkuni, dan juga Karna," kata Begawan Pulasara. "Aku datang kemari itu bukan untuk mencari keributan, apalagi merebut senjata Konta dan Cundomanik. Nih, senjata-senjata kalian aku kembalikan. Males aku punya senjata kayak gituan...." Dilemparkannya dua senjata itu di depan mereka masing-masing. "Ketahuilah sekali lagi, hai orang-orang Astina. Aku datang kesini ingin memboyong permaisuri, Dewi Banowati. Tapi lihat, berhubung yang akan aku boyong ini adalah manusia, bukannya barang, maka semua keputusan ada pada manusia itu. Aku akan ajak permaisuri secara baik-baik. Dan kalau ia tidak mau, aku tak akan memaksa." "Lalu, apakah Begawan Pulasara ingin masuk ke istana?" tanya Begawan Dorna memelas. Ia takut Prabu Duryudana tahu kalo ia telah kalah. Ia takut pamornya bakal jatuh di mata rajanya. Begitulah sifat Pendita Dorna. Biar dalam keadaan kepepet sekalipun ia tetap berusaha menjaga reputasinya. Reputasi yang telah ia bangun puluhan tahun lamanya. Baik dengan cara halal maupun tak halal. Tapi memang orang-orang Astina sendiri terkenal memiliki "jiwa pemaaf". Hingga terkadang sikap mereka terlalu membabi buta dalam menutup mata terhadap tindakan yang dilakukan para tokoh masyarakat seperti Dorna ini. "Ooo, nggak perlu. Aku nggak perlu masuk lagi ke dalam istana," kata Begawan Pulasara. "Permaisuri Dewi Banowati yang bakal datang sendiri kemari." Setelah berkata begitu, pendita sakti itu mulai merapal mantra. Mulutnya komat-kamit. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (31) Begawan Pulasara mulai memejamkan matanya. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Ia pusatkan pikirannya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra, Mantra Pemanggil Jiwa: "Jopa-japu pinjal tumaning asu Ono sapi ayu 'mlaku kabotan susu Susun? simbah k?w?r-k?w?r Moro-o n?ng pangkuanku yo ngg?r Tul ja?nak ja? jatul ja? ji Kuntul jar? banyak ndok-? bajur kar?k siji. " Saat mantra itu bekerja, tiba-tiba angin bertiup kencang. Serangga enggan bernyanyi. Para kucing jantan mengejar kucing betina terkena panah birahi. Dijalanan, lampu lalu lintas banyak yang kedap-kedip bagai seseorang lelaki genit. Dan semua radio serta telivisi di Astina mengalami gangguan frekwensi. Para kakek dan nenek kembali bergairah, seperti baru saja menelan pil Viagra. Mantra itu memang ampuh, karena tak berapa lama kemudian, permaisuri Dewi Banowati terlihat muncul di pintu gerbang istana. Matanya sayu tertuju lurus ke depan. Jalannya pelan namun mantap. Bagai ada kekuatan dahsyat yang menuntunnya. Dewi Banowati, permaisuri kerajaan Astina memang cantik. Wajahnya adalah perpaduan kecantikan bintang-bintang film terkenal dari Holywood dan Bolywood. Alisnya melengkung bagaikan pelangi yang muncul di akhir hujan. Matanya mirip warna batu akik blue safir muda. Hidungnya mancung. Bibirnya yang sexy mirip bibir Angelina Jolie. Dan rambutnya yang ikal, hitam legam tanpa Hi-Light. Dadanya bidang terbuka. Buah dadanya bagaikan bulan purnama kembar. Tangan serasi dan lembut, dengan jari-jari tangan yang lentik. Sedangkan pinggulnya yang langsing mirip alat musik Cello yang biasa digesek pemusik Cello kenamaan: Yo-Yo Ma. Pantatnya berisi bagai dua buah semangka dibelah. Ketika berjalan, goyangannya adalah perpaduan goyang Inul Daratista dan Jenifer Lopez. Kaki dan betisnya panjang dan indah. Begitu Dewi Banowati tersadar dari pengaruh mantra, ia telah berada di hadapan Begawan Pulasara. Ia kaget bukan kepalang melihat keadaan sekelilingnya. Sementara itu semua prajurit dan bangsawan telah menyembah kepadanya. Yang terluka memaksakan diri menyembah, walau sebetulnya hanya sekedar ingin menengok kecantikan sang permaisuri. Melihat wanita dihadapannya nampak tertegun, Begawan Pulasara mencoba tersenyum ramah padanya: "Banowati. Namaku, Begawan Pulasara." "Oh, maafkan saya Bapa Begawan. Saya sedang bingung kenapa tiba-tiba bisa berada di depan anda," kata Banowati sembari menyembah. Kaum brahmana, dimana saja memang selalu dihormati. Hal itu wajar, karena kasta mereka paling tinggi. Namun banyak juga oknum brahmana yang menggunakan pengaruh kastanya untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan, pujian dan kemuliaan duniawi. Padahal tugas kaum brahmana yang sebenarnya adalah sebagai penghubung antara kawula dan gusti, manusia dan Tuhan. "Saya ingat, tadi sedang berada sendirian di tamansari istana. Saya ikuti keelokan seekor kupu-kupu yang terbang diantara bunga-bunga. Namun tiba-tiba segalanya gelap. Ketika sadar, tahu-tahu sudah barada di hadapan Bapa Begawan," kata Dewi Banowati. "Ya, memang. Sesungguhnya akulah yang menyebabkan semua itu. Tadi itu kamu telah terkena mantra saktiku. Hal itu terpaksa aku lakukan, karena aku tak mau membuat keributan di dalam seperti yang telah terjadi disini tadi." "Ampun Bapa Begawan. Lalu, apa kesalahan saya sehingga bapa begawan memerlukan memanggil saya?" "Oh, kesalahanmu tidak ada," jawab Begawan Pulasara. "Hanya saja, karena tugasku ada menyangkut dirimu, maka terpaksa aku gunakan cara itu. Ketahuilah, aku datang kemari sebagai utusan raja khayangan Jonggring Saloka yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Saat ini yang berkuasa di khayangan sudah bukan Bethara Guru lagi. Ia sudah mengundurkan diri. "Prabu Kuncoro Manik mengutusku supaya memboyongmu. Nah, setuju atau tidaknya engkau diboyong ke khayangan adalah keputusanmu sendiri. Aku tidak akan memaksa. Kalau kamu nggak mau, kamu akan saya tinggalkan sekarang. Tapi kalau kamu mau, maka sekarang juga kita berangkat." Banowati masih bingung: "Nantinya, apa yang harus saya lakukan di khayangan?" "Engkau akan diajar tata cara kehidupan khayangan. Setelah lancar bersikap dan bergaul dengan tata cara hidup di khayangan, maka akan mendapat 'green card', kartu ijin menetap sementara. Dan kalau kamu betah, maka pada akhirnya diperbolehkan menjadi penduduk tetap khayangan. Setelah jadi penduduk tetap itu, baru engkau bisa dilantik jadi bidadari." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (32) Rupanya tawaran Begawan Pulasara cukup menarik bagi Dewi Banowati. Menjadi bidadari khayangan adalah idaman setiap wanita bumi. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa diterima. Dan jarang ada tawaran gratis seperti sekarang ini. Biasanya orang harus punya sponsor, atau paling tidak, dapet lotre tahunan. Menjadi bidadari khususnya, dan warga khayangan umumnya, bukan saja menyenangkan, namun juga mengasyikkan. Di khayangan orang tak usah terlalu berat bekerja. Segalanya ada dan tersedia. Makanan berlimpah ruah. Barang siapa ingin minum tinggal menjulurkan lidahnya di bawah dedaunan, karena minuman itu menetes seperti embun yang terjatuh di pagi hari. Udara di khayangan ada empat musim. Dan tingkat polusinya minim. Karena semua kendaraan tiap tahun harus di tes emisi dan knalpotnya. Jadi boleh dikata penduduknya rata-rata sehat. Walaupun tidak semuanya. Karena yang namanya virus, kuman dan bakteri, nggak peduli dia dewa atau manusia akan dihantamnya tanpa ampun. Biar begitu Jonggring Saloka masih jauh lebih baik dibandingkan Astina. Di Astina, polusi mencapai titik tertinggi. Karena peraturan tidak diterapkan secara tegas dan keras. Peraturan dibuat seolah-olah untuk dilanggar, dan bukan turuti. Disiplin individu kurang membudaya. Ditambah aparat pembuat dan juga pelaksana peraturan gampang dibeli maupun disuap. "Saya dengar di khayangan banyak bidadari-bidadari yang jadi istri dan pacarpacarnya kangmas Arjuna. Apa itu betul, Bapa Begawan?" tanya Dewi Banowati. Sampai sekarangpun Banowati masih tetap naksir berat Arjuna. Hanya kedudukan dan kewajiban sebagai permaisuri saja yang membuatnya sukar untuk melakukan 'affair' semaunya. Dan ia sangat menjaga prestise dan harga dirinya. Selain itu, Prabu Duryudana, sang raja Astina, sangat tergila-gila kepadanya. Jadi segala yang diminta bisa didapatnya. "Hmmm, ya. Itu betul," jawab Begawan Pulasara . "Dan aku kira Arjuna pun pasti datang sewaktu-waktu kesana. Jadi bagaimana" Apa engkau berminat pergi ke khayangan?" Rupanya pertanyaan sang begawan yang terakhir itu, dan tanpa adanya tekanan pemaksaan, membuyarkan keragu-raguan Dewi Banowati. Walaupun selama ini di Astina segala keinginannya terpenuhi, tapi lama-kelamaan ia meraja jenuh juga. Sekali-kali plesir pasti nggak ada salahnya. "Kalau begitu saya ikut, Bapa Begawan. Tapi saya ingin melihat-lihat dulu keadaan khayangan sebelum saya memutuskan jadi bidadari." "Oh, itu semua terserah kamu," kata Begawan Pulasara. Kemudian ia menghadap pada warga Astina yang masih bergelimpangan, "nah, dengar. Dorna, Sengkuni, Karna, dan semuanya. Dewi Banowati setuju ikut aku ke khayangan. Semua itu atas kehendaknya sendiri. Aku tidak memaksa." Tak berapa lama kemudian datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz, dengan pilotnya, Vladimir Putin. Rupanya Begawan Pulasara sudah mencarter pesawat itu jauh-jauh hari sebelumnya. Walaupun birokrasi di Rusia masih cukup rumit, namun tidaklah sukar untuk menyewa pesawat ruang angkasa. Uang berbicara. Kemarin sebenarnya ia sudah mencoba menghubungi Amerika buat menyewa pesawat mereka. Tapi malah dapat jawaban arogan: mereka tak butuh uang dan pesawat ruang angkasa mereka tak bisa disewa-sewakan karena dapat membahayakan sekuriti nasional. Akhirnya Begawan Pulasara mundur tanpa argumen. Biarpun ia tahu bahwa Amerika sekarang ini sedang mengalami defisit pada anggaran belanjanya. Ketika pesawat mendarat, Begawan Pulasara dan Dewi Banowati segera masuk ke dalamnya. Setelah itu pesawat ruang angkasa take-off menembus awan menuju khayangan. "Wah, kok jadi begini, nih," kata Patih Sengkuni memecah keheningan. Kini ia berniat melepas tanggung jawab. "Mimpi keponakan saya itu tadi yang meramal sampeyan lho, kakang Dorna. Sampeyan tadi bilang bahwa akan ada kejadian yang baik dan menyenangkan hati Anakprabu Duryudana. Nah, sekarang lihat kenyataannya. Kok jadi hancur-hancuran begini?" Begawan Dorna tahu, Sengkuni sedang mencari kambing hitam. Dan nampaknya dirinyalah yang akan dijadikan kambing hitam. Tapi ia tak bisa mengelak dari dakwaan itu. Soalnya tadi waktu disuruh meramal mimpinya Prabu Duryudana, ia memang ngeramal sembarangan. Karena sebenarnya nggak begitu ngerti arti mimpi itu. Semua ia lakukan gara-gara takut kehilangan wibawa sebagai orang yang dihormati. Sebagai orang yang serba bisa dan serba mengerti dimata raja dan semua penduduk Astina. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (33) Dorna tidak ingin jatuh dari kedudukannya. Baginya kedudukan atau jabatan adalah segalanya. Kalau sampai jatuh, tentu harga diri dan kewibawaannya ikut jatuh pula. Maka ia berusaha waspada terhadap ancaman Patih Sengkuni. "Udahlah, tenang dik Haryo. Ini cuma persoalan kecil. Dan saya sudah punya akal. Saya akan adukan masalah ini pada murid saya, Arjuna." "Maksud sampeyan, kang Dorna?" tanya Patih Sengkuni kurang begitu paham. "Maksud saya begini," kata Begawan Dorna. "Arjuna nanti kita tipu. Biar saya bilang padanya, bahwa Prabu Duryudana bakal menyerahkan sebagian tanah Astina kepada keluarga Pandawa, kalo ia mampu membawa kembali Dewi Banowati kemari." "Rencana itu nampaknya ok?, kang. Dan saya tahu si Arjuna sakti. Tapi apa dia bakal mampu merebut Dewi Banowati dari tangan Begawan Pulasara. Sampeyan tahu kan pendita itu kesaktiannya nggak main-main?" "Iya tahu. Tapi jangan khawatir. Saya denger kesaktian Arjuna kini sudah mulai nambah. Apalagi sejak dia lulus Phd dari luar negri." Akhirnya mereka semua setuju. Maka, dengan iringan pasukan yang besar, disertai persenjataan komplit, berangkatlah rombongan Astina yang dipimpin Dorna. Patih Sengkuni ikut dalam rombongan itu. Ia memaksa ikut karena takut kena damprat keponakannya. Untuk memimpin keamanan kerajaan selama Dorna dan Sengkuni pergi, beban diserahkan pada Adipati Karna. Sementara itu jauh di bumi utara terletak hutan Boroneyo. Nampak seorang Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kesatria, dengan iringan para punakawan, tengah berjalan dipinggirannya. Mereka merencanakan masuk ke dalam hutan itu. Hutan Boroneyo termasuk hutan yang masih perawan. Ratusan ribu pepohonan besar yang berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tegak berdiri dengan gagahnya. Pepohonan itulah yang banyak menghasilkan kayu gelondongan untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Banyak pengusaha yang memiliki HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menjadi kaya karena usaha penebangan hutan itu. Terkadang para pemegang HPH ini melakukan penebangan melebihi kuota yang telah ditentukan. Untuk dapat melakukan hal itu, mereka banyak bekerja sama, baik dengan aparat pusat maupun aparat setempat. Kesatria yang tengah berjalan menuju ke jantung hutan itu tak lain daripada Raden Arjuna. Ia diiringi Semar beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Sudah dua jam ini mereka berjalan semenjak istirahat yang terakhir. Kini mereka kembali merasa letih, dan memutuskan untuk kembali istirahat. Arjuna berjalan mencari tempat yang sunyi. Ia ingin bersemadi, memulihkan kembali semangatnya dan juga tenaganya yang telah terkuras dalam perjalanan. Sementara itu para punakawan menyiapkan perkemahan dan makan siang. Kecuali Semar yang minta ijin pergi mencari buah-buahan. "Gua heran deh, Truk," kata Bagong tiba-tiba. "Juragan kita, Raden Arjuna, itu kok ya masih suka keluar masuk hutan buat bersemadi. Padahal apa sih kekurangannya" Istana punya. Rumahnya banyak, termasuk rumah kontrakan. Mobilnya juga banyak, termasuk yang disewakan untuk Angkot. Istrinya cantik. Anak-anaknya pada sukses semua. Mau nyari apa lagi sih dia".." "Huss! Jangan kenceng-kenceng kalo ngomong. Entar kedengeran juragan," potong Petruk. "Juragan kita emang lain dari pada yang lain kok," kata Gareng menengahi. "Banyak memang, orang kalo udah kaya terus lupa ama latar belakang dirinya. Bahkan terkadang lupa ama yang di atas. Nah, kalo juragan kita kagak. Biar dia udah punya segalanya, tapi dia nggak lupa ngucapin terima kasih kepada para dewa, dan Sang Hyang Widiwasa, atas apa yang udah dia dapetin." Gareng mulai bercerita: tadi ketika mereka mau berangkat, Arjuna memanggil Semar. Kebetulan disitu ada dirinya, maka sekalian aja diajak rembukan. Mereka diberitahu agar mempersiapkan perjalanan masuk ke hutan Boroneyo. Arjuna ingin bersemadi. Bertanya pada dewata, kemana gerangan hilangnya menantunya, Antasena. Tangis anak perempuannya, Dewi Jenokowati, yang tengah kehilangan suaminya, ikut membuatnya sedih. Karena itu ia memutuskan mencari si Antasena. Ia tak mau besannya, Bimasena, tahu. Ia takut besannya itu bakal marah besar jika tahu kalau anaknya hilang. Karena kalo sang besan sampai marah, akan sukar dikendalikan. Dan malah bikin situasi tambah runyem. "Oh, gitu toh ceritanya," kata Bagong. Saat mereka bertiga sedang melanjutkan masak, dari jauh tampak dua sosok yang gemerlapan. Benar-benar pemandangan mengagumkan. Dalam hati mereka mencoba menebak-nebak, siapa gerangan yang datang itu" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (34) Dua sosok berjalan menuju perkemahan Raden Arjuna. Pakaian mereka yang tertimpa cahaya mentari nampak berkilauan dari jauh. Ketika sudah dekat, baru sosok mereka bisa dikenali. Yang gagah dan tampan ternyata Dewa Serani. Sedangkan pengiringnya tak lain adalah Togog. Jika Ki Lurah Semar adalah dewa yang memiliki tugas mengasuh para kesatria di jalan kebenaran. Togog adalah dewa pengasuh para kesatria yang berada di jalan yang salah. Begitu tiba di perkemahan, Bagong dengan cu?k menyapa duluan: "Eh, Selamat datang Waser." "Hussss!!" bentak Togog. "Waser, waser, emangnya ambeiyen!" "Oh, maaf 'wak Togog. Maksud saya Tuanku Dewa Serani. Apa khabar, Tuan?" "Heh, biasa aja," jawab Dewa Serani tersenyum sinis. "Gimana khabarmu?" "Kami bertiga baik-baik saja, tuan. Maaf atas kelancangan Bagong," jawab Gareng. Ia sengaja menyambar pertanyaan tamunya sebelum mulut Bagong yang lancang dan nggak tahu aturan menjawabnya. "Wah, kaget juga bisa ketemu sama tuan Dewa Serani di tengah-tengah hutan. Mau kemana, tuan?" "Aku sedang mencari majikanmu. Kemana dia?" "Tadi beliau bilang mau bersemadi melepaskan lelah, tuan," jawab Petruk. "Hmmm. Coba panggilkan sana. Beritahu dia, bahwa Dewa Serani ingin bertemu." "Baik, tuan," jawab Petruk sambil menunduk-nunduk pergi. Belum sampai duaratus meter berjalan, Petruk melihat majikannya turun dari perbukitan. Wajahnya nampak cerah. Pertanda bahwa kekuatannya telah pulih kembali. Melihat hal itu Petruk jadi lega. Tak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Bahaya yang membayang, menyusul kedatangan kedua tamunya, sedikit demi sedikit sirna. Lalu, dengan berlari-lari kecil, ia hampiri juragannya. "Tampaknya ada tamu ya, Truk?" tanya Arjuna lebih dahulu. "Hmm, Dewa Serani?" "Betul, tuan. Tapi...hati-hati lho, tuan," kata Petruk setengah berbisik. "Si Trouble Maker. Perasaan saya kok nggak enak kalau ketemu dia." "Hmm, nggak apa-apa. Tenang aja," kata Arjuna seraya bergegas. Petruk pun ikut mempercepat langkahnya. Langit masih cerah. Udara tak begitu panas karena angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan bergoyang-goyang seperti penari Serimpi yang kompak. Ketika pepohonan mengayun agak keras, para serangga yang tadi selalu berbunyi, berdiam sebentar. Setelah itu berbunyi lagi seperti penyanyi koor gereja. Bunyi nyanyian itu datang dari serangga-serangga Tonggeret dan Garengpung yang menggesek-gesekkan sayap mereka. Setelah sampai di perkemahan, Arjuna memberikan sembah kepada tamunya. Hal itu memang sudah jadi kebiasaan di jagat raya ini. Walaupun Arjuna dan Dewa Serani sama-sama kesatria, namun derajat mereka berbeda. Dewa Serani adalah seorang dewa, sedangkan Arjuna hanyalah manusia biasa. Derajat dewa lebih tinggi dibandingkan derajat manusia, sekalipun manusia itu memiliki kedudukan sebagai seorang raja. "Apa khabar, kakang (kakak) Arjuna?" sapa Dewa Serani pada kesatria di hadapannya. "Khabar baik dimas (adik). Bagaimana khabarmu sendiri" Dan tumben, tidak biasa-biasanya kita bertemu di jalan. Apalagi di pinggiran hutan seperti sekarang ini," jawab Arjuna. "Silahkan dimas dan paman Togog minum-minum dulu. Tentunya haus setelah perjalanan jauh." "Ah, tidak usah. Kami masih kenyang," kata Dewa Serani sambil geregetan melihat Togog. Mata pembantunya itu nampak mengincar ikan asin yang tengah dipersiapkan Gareng. "Ya, kan paman Togog"!" "Ha" Oh ya, ya. Kami tadi sempat mampir di Lembur Kuring. Hehehe...jadi masih kenyuuangg," jawab Togog meringis. "Sebenarnya bukan kebetulan kita bertemu disini." Dewa Serani menyingkapkan selendangnya. Sekilas nampak senjata pusakanya yang mengkilat terselip di pinggang. "Kami tadi sempat mencari ke rumahmu, ke Madukoro. Namun kami mendapat jawaban, bahwa kamu dalam perjalanan semadi ke Hutan Boroneyo. Jadi kami menyusul kemari." "Hmm, nampaknya ada keperluan penting apakah hingga dimas mencari-cari saya?" tanya Arjuna. Ia telah merasakan datangnya bahaya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (35) Burung alap-alap terbang diangkasa. Sayapnya yang lebar terentang, seolah bayangan maut yang siap memayungi korbannya. Pada ketinggian seperti itu, tatapannya yang tajam mengincar calon korbannya. Bagi calon korban yang waspada, mereka memiliki dua pilihan, menghindari atau melawan dengan segenap kekuatannya. Namun bagi yang lengah, tamatlah riwayatnya. "Kakang Arjuna. Aku ingin bicara langsung saja pada pokok permasalahannya," kata Dewa Serani dengan nada serius. "Ketahuilah. Saat ini menantumu, Antasena, sudah mati. Karena itu aku ingin melamar anakmu, Dewi Jenokowati. Dan aku kira, kurang baik buat anakmu kalau ia terlalu lama menjanda." Panas hati Arjuna seperti terpanggang di atas tungku. Emosinya menggelegak bagai kawah gunung berapi yang siap meledak. Ingin rasannya ia segera merobek-robek mulut dewa yang ada di hadapannya ini. Namun nalurinya menyuruhnya menahan diri. "Kakang Arjuna, engkau tak usah kawatir. Kalau Jenokowati mau jadi istriku, ia akan aku jadikan permaisuri. Ia tak akan aku jadikan selir. Dan mengenai emas kawinnya, silahkan kakang Arjuna sebutkan apa yang kakang inginkan. Mau rumah bertingkat di Pondok Indah" Mau Lamborgini" Atau Roll Royce" Atau perhiasan satu ton beratnya" Semuanya akan aku penuhi. Oh ya, jangan lupa. Tindakanku ini telah mendapat restu ayahku, Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru." Suasana kembali hening. Suara anjing hutan yang melolong-lolong terdengar sayupsayup di kejauhan. "Dimas Dewa Serani," kata Arjuna tenang. "Sebetulnya salah satu tujuan kepergian kamipun dari Madukara, adalah mencari kemana hilangnya Antasena. Ia tiba-tiba saja bisa lenyap dari muka bumi. Namun kini aku heran setelah mendengar berita darimu bahwa Antasena sudah mati. Bagaimana dimas bisa tahu perihal kematian Antasena" Sedangkan khabar burung tentang kematiannya saja kami tak pernah dengar?" Seketika itu juga Dewa Serani menjadi gugup. Ia ingat pesan ayahnya supaya tidak menceritakan perihal pembunuhan Antasena kepada siapapun. Salah tingkahnya itu ditutupinya dengan perkataan yang malah membuat lawan bicaranya makin curiga: "Ah, sudahlah. Hal itu tak usah kita persoalkan...kita lanjutkan saja pembicaraan mengenai rencana lamaranku pada Dewi Jenokowati." Awan-awan kelabu bergerombol memenuhi angkasa. Awan yang menyembunyikan mentari membawa suasana sejuk. Namun toh kesejukan itu tak terasa dihati dua kesatria yang kini tengah berhadapan. "Dimas Dewa Serani belum menjawab pertanyaanku," desak Arjuna. "Darimana dimas tahu kalau Antasena sudah tiada?" Dewa Serani tersenyum, namun mukanya kentara sekali memerah. Kegugupannya semakin menjadi-jadi. Ia nampak berusaha menekan perasaannya: "Alaahh, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kakang Arjuna mengijinkan apa tidak, Jenokowati aku ambil istri?" Arjuna kini bukan saja tersinggung, malah semakin mencurigai anak dewa yang kurang ajar ini. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikannya. "Cuma ada satu jawabanku," kata Arjuna tenang. "Langkahi dulu mayatku jika kau ingin mengambil anakku sebagai istrimu." "Bullshit!!" teriak Dewa Serani. "Kalau itu yang kau mau, bersiap-siaplah jadi bangkai!" Bersamaan dengan teriakan itu, Dewa Serani menyingkapkan selendang suteranya. Pada selendang itu tersulam kata-kata yang terbuat dari benang emas: "Love or Perish". Lalu, sarung suteranya yang berkilauan, diikatnya kuat-kuat di badannya. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda. Sebuah tattoo bergambar Mickey Mouse menyembul di betisnya. Arjuna dengan tenang mundur selangkah membetulkan letak kuda-kudanya. Baru kali ini ia berhadapan dengan Dewa Serani. Walaupun ia sering mendengar tentang kesaktiannya, namun ia tidak merasa gentar. "Hiaattt!!" Dengan sebuah teriakan yang melengking, Dewa Serani menerjang lawannya. Ia keluarkan jurus 'Dewa Maut Mencengkeram Jagat Raya'. Jurus dahsyat pemberian orang tuanya itu diwariskan secara turun temurun. Setiap pukulan dari serangannya ditujukan pada bagian-bagian yang membahayakan. "Chiaatt!!" "Hiyaa!!" Angin dari pukulan jurus andalan Dewa Serani benar-benar menggetarkan. Udara sekitarnya panas bagai terkena lambaian sebuah gada yang membara. Daun-daun di pepohonan rontok satu per satu. Sementara, rerumputan dan semak-semak layu seketika. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (36) Pertempuran antara Raden Arjuna dan Dewa Serani sungguh dahsyat. Hutan yang tadinya sepi kini menjadi hingar-bingar. Membuat binatang maupun serangga yang ada di sekitar situ lari tunggang langgang. Semetara itu beberapa pohon telah rubuh terkena terjangan pukulan yang luput. Dewa Serani ternyata salah perhitungan. Ia pikir, hanya dalam beberapa jurus saja musuhnya akan binasa ditangannya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan ia sendirilah kini yang harus mempertahankan diri dari serangan-serangan balasan musuhnya. "Kakang Arjuna!" teriak Dewa Serani setelah meloncat mundur. Napasnya ngosngosan. Dalam keadaan seperti itu, ia baru ingat bahwa ia harus mengurangi kebiasaannya merokok kretek. "Kini terimalah ajalmu! Bersiap-siaplah menjadi abu!" Dengan geram Dewa Serani mengeluarkan jurus barunya. Jurus Tapak Geni adalah pemberian Dewa Brahma. Apapun yang terkena pukulan jurus itu akan terbakar habis jadi abu. "Ciaaaaattt!!" "Buumm!!" Arjuna yang tak menyadari akan datangnya serangan, tak punya kesempatan untuk mengelak. Gumpalan api yang datang bersama pukulan musuh menerjang tubuhnya. Dalam sekejap, tubuhnya sudah terlalap api yang berkobar-kobar. Melihat pemandangan mengerikan itu, para pembantunya berteriak ketakutan. Petruk yang pertama keluar dari persembunyian, disusul Bagong. Lalu, Gareng datang terpincang-pincang. Para punakawan yang panik hanya bisa berteriak-teriak. Tapi mereka takut mendekat. Kobaran api demikian besarnya. Karena frustasi, akhirnya Petruk dan Gareng cuma bisa menangisi tubuh juragannya yang terbakar. Sementara itu Bagong lari menuju ke sungai mencari air. Tiba-tiba terdengar suara Arjuna dari dalam api: "sudah, sudah stop, jangan nangis kayak anak kecil begitu. Aku tidak apa-apa. Aku masih hidup." Kedua punakawan itu segera menghentikan tangisnya. Mereka berdiri heran setengah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Petruk yang memberanikan bertanya: "Lho, tuan. Kalau masih hidup kok masih enak-enakan ada di dalam api?" "Aku sengaja lama-lama disini karena baru mencuci jaket ini. Kata penjualnya, jaket ini harus sering-sering dicuci dengan api peperangan kalau ingin bertambah kesaktiannya," tutur Arjuna. Rupanya tadi sebelum bertempur, Arjuna telah memakai jaket jeans andalannya. Jaket tanpa lengan itu dibelinya seminggu yang lalu, waktu iseng jalan-jalan ke Pasar Loak Taman Puring, di daerah Kebayoran Baru. Kata tukang loak yang menjualnya, pemilik jaket itu adalah dewa yang tidak mau disebutkan namanya. Sang dewa terpaksa menjual jaket saktinya karena lagi butuh uang untuk bisa datang ke reuni SMA-nya. Tak lama kemudian Arjuna keluar dari api tanpa luka bakar secuilpun. Wajah kedua pembantunya berubah cerah. Tapi pandangan mereka lebih ditujukan pada jaket majikannya. Dalam benak masing-masing sudah tersusun rencana untuk pergi ke Pasar Loak Taman Puring nanti, jika tugas telah selesai. Mereka memang sering dengar, bahwa di Taman Puring sering dijual barang-barang bermerek yang sudah bekas dengan harga miring. "Terus gimana, tuan?" tanya Petruk kepada Arjuna. "Tolong ambilkan busur panahku," kata Arjuna. "Dan bawa kesini anak panah yang tumpul. Biar aku kirim si brengsek Dewa Serani ke Nusakambangan." Ketika senjata sudah ada di tangan, Arjuna membidikkannya pada Dewa Serani. "Wuuzzz!!" "Zgeerrr!!" Panah sakti mengenai sasarannya. Begitu terkena, tubuh itu lenyap seketika. Bagaikan seekor semut terkena sentilan jari manusia. "Wah, hebat!" teriak Petruk kegirangan. "Apa Dewa Serani itu tadi langsung masuk penjara di Nusakambangan, tuan?" "Iya, Truk. Biar aja, untuk sementara kok," jawab Arjuna. "Apa senjata itu juga bisa digunakan untuk memanah dewa-dewa yang pada korupsi milyaran rupiah, biar sekalian bisa pada masuk ke Nusakambangan, tuan?" "Bisa aja sih, Truk. Tapi nampaknya iklim politik belum mengijinkan..." Petruk mengerti maksud majikannya. Jaman sekarang memang masih susah memenjarakan para dewa yang pada korupsi. Apalagi kekuasaan dan pengaruh mereka Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu luar biasa besarnya, susah disentuh. Ditambah aparat penegak hukum yang juga belum bersih. Akhirnya semuanya cuma bisa menunggu-nunggu datangnya jaman baru. Tapi sampai kapan" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (37) Hutan Boroneyo kembali tenang. Mendung di angkasa tersapu angin, hingga terbukalah celah bagi sinar sang mentari. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Demikian rindunya mereka pada anak-anak yang tak sempat dibawanya ketika harus mengungsi tadi. Pertemuan antar keluarga, teman dan handai taulan bangsa unggas itu menghasilkan kicau yang berisik. Begitu Togog pergi, sambil terus-menerus minta ampun, dan terus menerus melirik ke arah ikan asin, Arjuna dan para pembantunya kembali berbenah. Walaupun kemah porak poranda akibat perkelahian tadi, namun beruntung makanan masih utuh. Maka, selesai berbenah, mereka segera makan siang. "Tuan, apa Dewa Serani itu bisa sadar sama kesalahan-kesalahannya?" tanya Gareng pada Arjuna, ketika mereka sedang menikmati makan siang. "Hmm, nggak tahu aku, Reng. Kalau dia nggak bisa sadar sendiri, paling-paling nanti kan akan ada yang membuatnya sadar." Selesai makan, Arjuna memerintahkan Bagong, yang sudah balik dari sungai, untuk mencari Semar. Waktu Bagong baru berjalan seratus depa, ia berhenti melangkah. Sambil berdiri tertegun ditatapnya iring-iringan besar prajurit yang nampak di kejauhan. Iring-iringan itu menuju ke perkemahan mereka. Ia segera kembali ke perkemahan sambil melaporkan apa yang dilihatnya pada majikannya. Iring-iringan itu nampak mendekat. Di barisan paling depan ada dua gajah dikawal puluhan prajurit berkuda di sampingnya. Di belakangnya ada dua kompi prajurit bersenjata lengkap. Tidak ketinggalan pula beberapa mobil jip Hummer dengan senapan mesin menyembul di atasnya. "Hmm, Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna," guman Arjuna ketika tahu siapa yang duduk di atas gajah-gajah itu. Petruk yang kurang awas karena matanya sudah minus, terperanjat mendengar katakata boss-nya. Dari mulutnya keluar peringatan: "Wah, hati-hati, tuan. Orang-orang berbahaya." Rombongan besar dari kerajaan Astina itu sampai. Dua gajah dan kuda-kuda tunggangan dibawa ke sungai untuk di beri minum. Kepala rombongan terdiri dari Patih Sengkuni, Begawan Dorna, beberapa bangsawan, dan para jendral serta kolonel. Lalu, dibelakangnya dengan muka yang sangar-sangar para prajurit bawahan, dipimpin oleh mayor, kapten dan letnan-letnan mereka. Tiga regu prajurit diperintahkan menjaga dan mengawasi daerah itu. Pemandangan yang terlihat adalah tipikal pemandangan bala tentara kerajaan Astina. Mereka yang berpangkat kolonel dan jendral kelihatan gemuk-gemuk, sedangkan yang berpangkat mayor kebawah terlihat kurus-kurus. Prajurit di Astina gajinya kecil-kecil. Cuma yang beruntung bisa ngobyek (menjadi beking perjudian, tempat hiburan, dan toko-toko) saja yang kelihatan punya daging. Arjuna dan para pembantunya segera memberi hormat, ketika Sengkuni dan Dorna datang. Bagi Arjuna, Patih Sengkuni masih terbilang pamannya, walaupun paman tiri. Sedangkan Begawan Dorna adalah bekas gurunya. "Saya benar-benar terkejut bisa bertemu dengan paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna di dalam hutan ini. Kalau saya boleh tahu, sesungguhnya paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna ini ingin melakukan perjalanan kemana?" tanya Arjuna penuh hormat. "Begini Juna," kata Sengkuni. "Sebenarnya aku cuman ngikut rombongannya kakang Dorna saja. Biar kakang Dorna sendiri yang menerangkan keperluan kita." "Betul, Juna," sambar Dorna. "Rombongan ini adalah rombonganku. Adapun keperluanku melakukan perjalanan ini adalah untuk menemuimu. Kami sudah cari engkau ke rumahmu di Madukara. Katanya engkau sedang melakukan perjalanan untuk semadi ke pusat hutan Boroneyo. Lalu, kamipun menyusulmu hingga bertemu engkau disini, nak." Gaya bahasa Begawan Dorna dibuat sedemikian rupa sehingga membikin lawan bicaranya penting. Padahal perasaan hatinya bertolak belakang. Pada permukaannya saja ia kelihatan memiliki perhatian besar pada bekas muridnya itu. Tapi dalam hati ia ingin supaya tujuannya lekas tercapai. Begawan Dorna seorang pandita yang sudah lupa pada kaul kemiskinan. Ia lebih mementingkan kesukaan duniawi ketimbang menjunjung tinggi ajaran-ajaran surga. Ia lebih suka lingkungan istana, lingkungan birokrasi yang mewah, yang memujamuja dan menyanjung-nyanjung dirinya. Ia telah melupakan ajaran utama kependitaan, yaitu kejujuran, kebenaran dan kerendahan hati. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (38) Begawan Dorna menceritakan peristiwa penculikan Dewi Banowati pada Arjuna. Lalu, dengan berterus terang ia minta bantuan pada Arjuna untuk merebut kembali Dewi Banowati dari tangan penguasa khayangan, Prabu Kuncoro Manik. "Hanya engkau yang mampu merebut kembali Dewi Banowati dari tangan Prabu Kuncoro Manik, Juna," kata Begawan Dorna. "Kalau engkau mampu membawa kembali Dewi Banowati ke Astina, maka akan ada imbalannya, nak. Yaitu: bukan cuma sebagian tanah kerajaan Astina, namun seluruhnya dikembalikan kepada keluarga Pandawa oleh pihak Kurawa." Arjuna agak ragu mendengar kata-kata bekas gurunya itu. Sudah beberapa kali ia kena kibul. Juga kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia sudah tahu sifat bekas gurunya itu. Namun suara hatinya sebagai seorang kesatria begitu menguasai dirinya. "Kakang Dorna benar, nak," kata Patih Sengkuni tiba-tiba. Ia seperti bisa meraba kebimbangan Arjuna. "Saat ini kakakmu Duryudana sedang kesusahan. Biar bagaimana keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa masih bersaudara. Kalau bukan pada keluarga sendiri, siapa lagi yang musti dimintai tolong?" Tiba-tiba saja Patih Sengkuni mampu bersikap seperti anak kecil yang merengekrengek minta dibelikan balon ayahnya. Wajahnya demikian memelas. Penampilan dan sikapnya itu memang telah benar-benar direncanakannya masak-masak. "Dan apa yang dikatakan kakang Dorna tidaklah salah, nak. Kerajaan Astina bakal diserahkan kembali kepada keluarga Pandawa. Sebetulnya tanpa ada kejadian inipun pihak Kurawa telah merencanakan mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa. Begitu kan kang Dorna?" "Iya, ya, ya betul. Memang begitu itu rencananya. Sayangnya kok ya ada kejadian seperti ini. Hingga semua rencana buyar," kata Dorna. "Jadi bagaimana nak, apa engkau akan menolong kami?" "Jika demikian keinginan Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna, saya akan berusaha menolong sebisa saya," kata Arjuna. "Saya mohon doa restu Paman dan Kakek Begawan." Dua rombongan itu akhirnya berpisah. Rombongan besar kerajaan Astina, kembali ke kerajaan mereka setelah puas berhasil "menggarap" korbannya. Sedangkan Arjuna dan para pembantunya bersiap-siap pergi ke khayangan. Tak lama setelah rombongan Astina berangkat lebih dahulu, Semar datang dari arah barat. Dalam kantung yang dibawanya hanya ada tiga buah mangga. Ketika ditanya, kenapa metik mangga tiga biji aja kok lama banget" Jawabnya seperti biasa: ketiduran. "Wah, kok setuju begitu aja sih, tuan?" tanya Petruk. Ia menyesali sikap lemah majikannya saat berhadapan dengan Dorna dan Sengkuni. Padalah siapapun sudah tahu bahwa kedua petinggi Astina itu terkenal sebagai orang-orang munafik. "Iya, padahal mereka itu tadi keliatan banget menipu, tuan," tambah Gareng. "Saya sih tahu banget dah tipuan mereka." "Hus, sudah pada diem!" bentak Semar pada anak-anaknya. "Majikan kalian tentu tahu mana yang baik dan mana yang buruk." Waktu semua sudah siap, tiba-tiba datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz. Pesawat itu mendarat tak jauh dari perkemahan. Rupanya pesawat itu sudah dipersiapkan oleh pihak Kurawa untuk mereka. Yang mereka tidak ketahui, pesawat itu disewa bukan dengan uang, namun dengan cara ditukar minyak kelapa sawit. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (39) Negeri Darawati adalah negeri yang indah. Tanahnya subur karena merupakan tanah lava, yang berasal dari sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang. Letak gunung itu agak jauh dari pusat kerajaan. Sungai-sungainya ada beberapa yang membelah ibukota. Disamping sungai-sungai itu, menghindari banjir lahar maupun banjir lumpur akibat meletusnya gunung berapi, dibuatlah kanal-kanal besar oleh penduduk. Selain pintar, penduduk negeri Darawati terkenal disiplin. Tiap penduduk tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan bersama. Dengan kesadaran tinggi, penduduk selalu menuruti hukum dan peraturan, yang diterapkan tanpa pandang bulu. Raja Darawati dan para pemimpinnya yang bijaksana, bukan saja dihormati oleh rakyatnya. Para pemimpin ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Mereka bukan tipe pemimpin yang mengandalkan kekejaman, kelicikan dan kelaliman. Maupun tipe pemimpin yang hanya pandai bicara, banyak berpropaganda, dan pandai menipu untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompoknya. Para pemimpin yang bijaksana dituruti perintahnya oleh rakyat dengan perasaan hormat. Sedangkan pemimpin yang kejam, lalim dan licik akan dituruti perintahnya oleh rakyat karena perasaan takut. Rasa hormat akan menumbuhkan rasa percaya diri. Sedangkan perasaan takut akan menghancurkannya. Hancurnya rasa percaya diri, pada akhirnya akan mematikan kreatifitas, yang bisa mengakibatkan mundurnya budaya sebuah bangsa. Pada siang yang cerah itu, Prabu Bethara Kresna, raja Darawati, sedang duduk termenung di singgasananya. Ada sesuatu yang amat merisaukan pikirannya, sehingga ia belum berkenan bersabda. Para pejabat dan bangsawan istana ikut diam terpekur di hadapannya. Tampak di bagian terdepan barisan, patih kerajaan, yaitu Patih Udawa. Lalu disusul dengan panglima perang kerajaan yang gagah berani, Setyaki. Tiba-tiba kepala prajurit pengawal istana datang tergopoh-gopoh memberi laporan kepada rajanya: "Paduka, tuan Bimasena bersama rombongannya sudah datang." Mendengar khabar dari kepala prajurit istana itu, Kresna tersadar dari lamunannya. Wajahnya kembali cerah, bagai menerima khabar gembira. Diperintahkannya seluruh warga Darawati melakukan penyambutan selayaknya terhadap Bimasena. "Ada apa abang Kresna manggil gua kemari?" tanya Bima, ketika suasana hiruk pikuk penyambutan telah mereda. "Maafkan kakakmu ini, kalau membuatmu kaget akibat panggilan itu. Tapi memang ada sesuatu hal yang penting yang musti aku bicarakan denganmu." Kresna membetulkan letak duduknya. Ia berdeham, seperti tidak mau ada kata-katanya yang tidak terdengar pembicaranya. Para pejabat dan bangsawan istana yang ada di balairung semuanya berusaha menajamkan pendengaran mereka. Semua nafas agak tertahan karena takut bunyi nafas mereka sendiri akan menghalangi pendengaran mereka. "Aku memiliki visi, bahwa penguasa di khayangan Jonggring Saloka, sekarang ini bukan lagi Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru, melainkan seseorang yang bernama Prabu Kuncoro Manik," kata Kresna. Sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, ia memiliki kesaktian mampu melihat kejadian yang akan terjadi dimasa datang. "Dan rupanya penguasa baru khayangan ini ingin menggagalkan perang besar Baratha Yudha..." "Hmmm..." suara dari kerongkongan Bima bagaikan bunyi sebuah mobil truk yang distater. "Seperti engkau tahu, adikku Bima. Baratha Yudha sudah menjadi kodratnya jaman. Perang itu bukan saja menjadi alat kembalinya kerajaan Astina ke pihak Pandawa dari tangan pihak Kurawa, namun juga menjadi sarana kemenangan para kesatria yang berjalan di pihak yang benar. Itulah sebabnya arti perang besar itu penting bagi mereka yang ada di pihak Pandawa. "Tapi walaupun begitu, keputusan untuk tetap perang atau tidak ada di pihak keluarga Pandawa. Dan saat ini yang mewakili mereka disini kebetulan adalah engkau. Kalau memang engkau tidak menginginkan terjadinya perang Baratha Yudha, akupun akan ikut." Sampai disitu pembicaraan Kresna berhenti sebentar. Ia ingin melihat reaksi Bima terhadap persoalan yang baru saja diutarakannya. Sebagai penasehat, ia sangat dihormati oleh pihak Pandawa. Karena selain memiliki visi yang tajam, iapun amat bijaksana dan tak pernah menodai kepercayaan yang diberikan padanya. Bimasenapun tahu, sebagai penasehat keluarga Pandawa, Kresna selalu memberikan bimbingan yang terbaik bagi keluarga itu. Ia tak pernah membimbing kearah yang salah, apalagi sampai membuat pecahnya maupun kemarahan di pihak yang dibimbingnya. Ia selalu berusaha bersikap rendah hati, dan tidak pernah memaksakan aturan pribadi terhadap keluarga yang dibimbingnya. Kresna tak pernah menginginkan sanjungan dan puji-pujian jika pekerjaannya berhasil. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (40) Suasana di balairung istana kerajaan Darawati hening. Masing-masing yang hadir bagaikan ikut menimbang-nimbang persoalan yang diutarakan Prabu Kresna terhadap Bimasena, satria Pandawa. Dalam hati mereka berharap agar Bimasena tidak menggagalkan perang Baratha Yudha. Menggagalkan perang itu berarti menyalahi kodratnya jaman, dan membiarkan pihak yang jahat terus merajalela memuaskan tindak kejahatannya. "Abang Kresna, sebenernya dari pertama gua udah tahu keputusan apa yang musti gua ambil. Gua ngerti kalau elu adalah seorang penasihat yang baik. Kagak pernah berkianat. Maka dari itu, gua sependapat sama elu, perang Baratha Yudha musti jadi. Perang itu kagak boleh gagal," kata Bima mantap. Kemantapan keputusan Bimasena itu ikut membawa semangat baru bagi Kresna. Maka selanjutnya raja Darawati berkata: "Dimas Bima, jika demikian keputusanmu, selain aku nurut, akupun akan mendukung bagi kemenangan pihak Pandawa kelak. Nah, saat ini, kerajaan akan kedatangan tamu dari Jonggring Saloka. "Rupanya penguasa Jonggring Saloka menganggapku sebagai orang penting yang mampu menggagalkan perang Baratha Yudha. Untuk itu mereka akan memanggil dan membawaku ke khayangan, secara baik-baik maupun secara paksa. Maka dari itu, sebelum mereka menginjakkan kaki, atau bahkan membawa kerusakan bagi kerajaan ini, mari sambut kedatangan mereka..." Ketika Bima dan juga mereka yang hadir di balairung kerajaan menyadari arti kata-kata Kresna, kepala pengawal istana datang tergopoh-gopoh sambil menyembah. Ia membawa khabar mengejutkan: "Tuanku, mohon ampun. Menurut mata-mata kerajaan, puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap dan panji-panji serta bendera perang dari khayangan Jonggring Saloka tengah mendekati tapal batas kerajaan kita..." Seketika itu juga balairung geger. Semuanya gaduh. Terdengar dengung percakapan para pemimpin seperti sekumpulan lebah yang sadar bahwa sarangnya terusik bahaya. Bima berteriak menggelegar bagaikan bunyi kereta api 'Senja Ekonomi': "Abang Kresna! Biar gua yang hantam musuh kita itu!" Akhirnya diputuskan rombongan Bima disertai Setyaki dan dua divisi pasukan lengkap kerajaan Darawati menyongsong kedatangan musuh di tapal batas kerajaan. Sementara Kresna akan menyusul mereka nantinya. Sedangkan Patih Udawa diperintahkan untuk menjaga pusat kerajaan dengan sisasisa pasukan yang ada. Mendengar negaranya ingin diserang, rakyat Darawati langsung mempersiapkan diri. Setiap orang laki-laki, tua maupun muda, berbondong-bondong pergi ke tempat pendaftaran Wamil (Wajib Militer) di kelurahan-kelurahan. Gadis-gadis berbondong-bondong pergi ke rumah sakit untuk mendaftar jadi perawat. Sedangkan ibu-ibu yang sering kumpul-kumpul arisan langsung membentuk dapur umum. Anak-anak mereka sibuk membuat ketapel. Perjalanan kelompok Darawati ke tapal batas kerajaan singkat saja, karena kerajaan itu hanyalah sebuah kerajaan kecil. Tapi mereka sungguh terkejut begitu sampai di tempat yang dituju. Musuh yang ada dihadapan mereka demikian besar jumlahnya. Ternyata mata-mata kerajaan tidaklah salah. Musuh datang bagai airbah yang bobol dari bendungan. Kemungkinan tiga kali lipat jumlah pasukan Darawati. Selain itu, persenjataan mereka lengkap dan terbaru. Bagi Bima dan rombongan Darawati ada sesuatu yang mengganjal keberanian mereka. Bukan jumlah pasukan musuh yang mereka takuti, namun suatu keengganan jika harus berhadapan dengan pemimpinnya, yaitu Bethara Narada. Patih Jonggring Saloka ini terkenal bijaksana dan jarang bertindak kasar. Dalam hati Bima dan rombongan Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bertanya-tanya: apa yang menyebabkan Dewa Narada sampai tega mengerahkan pasukan yang demikian besar jumlahnya itu" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (41) Kini dua kelompok telah berhadapan: Prajurit khayangan Jonggring Saloka dan Prajurit Darawati. Wajah para prajurit Darawati nampak tak gentar, biar jumlah mereka lebih sedikit. Sebaliknya, wajah para prajurit Jonggring Saloka nampak bimbang begitu tahu Bimasena dan Setyaki ada barisan terdepan lawan. Nyali mereka menciut. Tak lama kemudian, Bima dan Setyaki meninggalkan barisannya menuju ke arah pihak Jonggring Saloka. Begitu sampai di hadapan Bethara Narada, keduanya memberikan sembah. Hormat pada para dewa adalah kebiasaan manusia turun-temurun dimulai entah kapan. Biar bagaimanapun wujud dan kesaktian para dewa itu, namun kasta mereka masih tetap lebih tinggi dari pada manusia. Para dewa adalah keturunan pilihan. Mereka tak pernah mengenal kerja keras dibandingkan manusia. Makanan merekapun lebih bergizi. Selain itu, mereka lebih mampu mengenyam pendidikan dan memiliki titel-titel luar negri, sehingga mampu menjadikan hidup mereka yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Dan juga tidur mereka cukup dan buang airpun selalu lancar. "Hei Bima. Dari mana mau kemana engkau, nak?" tanya Narada. "Engkong Narada, gua ini tamu di negara ini. Dan tuan rumah minta gua supaya nyambut kedatangan elu dan rombongan. Nah, elu sendiri ama rombongan mau kemana?" "Busyettt, nih anak, wong ditanya malah balik nanya," kata Narada. " Hmm..tapi emang hebat Prabu Bethara Kresna. Visinya memang benerbener tajem. Oke deh, begini Bima anakku. Aku memang diutus oleh penguasa baru kerajaan khayangan Jonggring Saloka, Prabu Kuncoro Manik, untuk memanggil Prabu Kresna. Ia mau diajak rembukan untuk menggagalkan perang Baratha Yudha." Setengah menggeram, Bima bilang: "Kalau itu emang tujuan elu datang kemari, sorry-sorry aja kalo gua mesti halangi. Apalagi kalau elu pengen ngegagalin perang Baratha Yudha. Nah, sebelum terjadi keributan, gua minta secara baik-baik para dewa dan prajurit khayangan supaya balik. Nanti biar gua yang berurusan sama si Kuncoro Manik." "Wah, gimana nih Yamadipati. Kamu tahu kan apa yang terjadi jika kita pulang dengan tangan kosong?" kata Narada setengah berbisik pada Bethara Yamadipati, dewa pencabut nyawa, yang ada disampingnya. "Wah ya gimana dong, man. Paman Narada kan tahu, kalo kita gagal, kita bakalan dihukum sama Kuncoro Manik. Apa paman mau mandi sauna di neraka?" bisik Yamadipati bercanda. "Huss! Jangan sembarangan kamu ya. Ini persoalan nggak maen-maen tahu." "Udahlah, man. Biar saya yang turun tangan," kata Yamadipati. "Hei, Bima! Kamu dan gerombolanmulah yang musti mundur. Mau pilih mundur atau aku cabut nyawamu dan rombonganmu satu per satu. Hayo, bubar sekarang juga!" Bima dan Setyaki masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka tetap tak mengundurkan langkah barang sejengkalpun. Walau mereka tahu tugas Dewa Yamadipati adalah mencabut nyawa, namun tak takut terhadap gertakannya. Tiba-tiba terdengar suara Bimasena yang meledak marah bagaikan halilintar di tengah-tengah mendung: "Hmmm, jangan cuman satu dewa aja, tapi semuanya maju sini! Biar gua injek-injek semua jadi t?mp?!" "Sesumbar kamu ya anak kemarin sore! Heaaatttt!!" Yamadipati menyerang Bima. Bagai mendapat aba-aba, bersamaan dengan itu pihak Jonggring Saloka yang tiga kali lipat jumlahnya ikut menyerang pihak Darawati: "Serbu!!" "Ganyang!!" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (42) Bima mengamuk seperti gajah yang marah. Kuku di dua jempol tangannya menusuk kesana kemari bagai gading mencari sasaran. Dewa Yamadipati kewalahan menghadapinya. Ia minta bantuan teman-temannya. Tanpa menunggu aba-aba, mereka langsung mengeroyok rame-rame. Bukan cuma manusia, dewapun terkadang kalo kepepet suka main keroyokan. Setyaki juga mengamuk tak kalah hebatnya. Gada Wesi Kuning dikibas-kibaskannya kesana kemari. Senjata itu mirip stik baseball. Terbuat dari besi kuning. Ayunannya kuat. Musuh yang terkena hantaman senjata itu masih beruntung nasibnya kalo cuma benjol kepalanya. Tak lama kemudian Prabu Kresna datang dengan pasukannya. Melihat kedatangan rekan-rekannya, pasukan Darawati makin naik semangat tempurnya. Sementara itu di pihak pasukan Jonggring Saloka terlihat tanda-tanda desersi. Semangat mereka satu per satu amblas. Jurus-jurus yang diajarkan di Bangau Putih Gonzaga tak banyak gunanya. Apalagi yang diajarkan keseringan jurus yang itu-itu juga, yaitu: Jurus Janda Genit. Prabu Kresna segera menuju ke tempat Bethara Narada, yang sedang menggelenggelengkan kepalanya melihat ulah para dewa yang melakukan pengeroyokan. Beberapa diantaranya sudah nampak babak belur dihajar oleh Bima. "Mohon ampun atas keterlambatan saya, tuanku Bethara Narada," kata Kresna sambil menghaturkan sembah. "Kamu ini memang pinter, Kresna," kata Narada. "Kamu tidak mau mengotori tanganmu sendiri. Lihat tuh, para dewa dan pasukanku dihajar babak belur sama Bima dan Setyaki. Aku kan datang kemari cuma sebagai utusan Jonggring Saloka. Aku kira engkau sendiri sudah tahu kan tugas apa yang aku emban?" "Ya, saya sudah tahu, tuan Narada. Tapi bukankah perang Baratha Yudha yang ingin digagalkan oleh penguasa Jonggring Saloka itu sudah menjadi kodrat jaman" Dan apakah Sang Hyang Wenang sudah tahu tentang rencana Kuncoro Manik itu?" "Wah, gini aja deh. Aku ini cuma utusan. Makanya aku harus nurut perintah atasan. Kamu tahu kan konsekwensinya seorang pegawai negri kalau nggak nurut atasan" Kalo cuman dipensiunkan, dimutasi, atau dipecat sih masih bagus lah. Tapi kalo sampai dicemplungkan ke kawah Candradimuka karena tugas gagal, terus gimana dong" Udahlah, kasihan sama aku barang sedikit ya, Kresna?" Sementara itu prajurit Jonggring Saloka mulai nampak terdesak. Sebagian dari mereka sudah kelihatan kabur. Yang masih bertahan dan bertempur moralnya makin merosot ketika melihat para dewa pemimpin mereka banyak yang dibawa ambulan ke Rumah Sakit Fatmawati. "Saja kira begini saja, tuan Narada. Sekarang tuan Narada dan rombongan pulang saja ke khayangan terlebih dahulu. Nanti saya menyusul," kata Kresna tiba-tiba. "Lho, kenapa nggak bareng aja sih" Soalnya kalao saya pulang nggak bawa kamu, aku bakal langsung kena semprot nih." "Begini, tuan Narada. Saya ingin tahu sampai dimana kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Tapi itu nanti. Nah, sekarang kalau saya pergi bareng dengan tuan, artinya saya menyerah kalah. Padahal saya tidak mau dianggap kalah, karena kalau ketahuan kalah ataupun lemah, pasti bakalan disepelekan. Saya ingin mereka tahu bahwa kedatangan saya ke khayangan adalah dengan sukarela." Dewa Narada garuk-garuk kepala. Ia kelihatan bimbang. Kalau ia balik tanpa Kresna, ia bakalan diceburkan ke Candradimuka. Tapi kalau ia tetap memaksa Kresna, iapun merasa tak mampu. Apalagi setelah ia menengok melihat kondisi pasukannya yang berantakan. "Tapi kamu bener-bener bakal nyusul ke khayangan kan, Kresna?" tanya Dewa Narada ragu. "Saya tidak akan berbohong. Pasti saya bakal nyusuh," jawab Kresna mantap. "Bener, nih. Bareng aja kenapa sih" Nanti biar aku yang carter mobil limosin lengkap dengan sopirnya deh. Kalau perlu sopirnya cewek blondie. Mau kan?" Biar terus dirayu, Kresna nampak sudah pada ketetapannya. Akhirnya Bethara Narada yang menyerah. Ia perintahkan pasukan Jonggring Saloka untuk menarik diri. Semuanya nampak lega. Banyak diantaranya yang terkilir maupun patah tulang pada minta ijin meneruskan perjalanan ke Cikini maupun di Cimande mendatangi tukang urut. Prabu Kresna sendiri segera mengkonsolidasikan kekuatannya. Ia memberi wejangan kepada rakyat yang akan ditinggalkannya untuk sementara. Ia serahkan tanggung jawab keamanan dan kelangsungan pemerintahan kerajaan Darawati kepada Setyaki dan Patih Udawa. Sebelum Kresna berangkat menuju khayangan, Bima telah mendahuluinya. Kesatria Pandawa itu sangat penasaran ingin mencoba kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Selain itu ia ingin tahu apa maksud perintah-perintah aneh yang telah dikeluarkan oleh penguasa baru itu. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (43) Sebelum berangkat ke khayangan, Kresna membelokan arah perjalanannya menuju ke Jakarta. Di dalam visinya, ia melihat cahaya kemenangan datang dari seorang yang berada di kota itu. Orang itulah yang nantinya sanggup melawan kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Kota Jakarta adalah ibukota Indonesia. Sebuah sosok ibukota yang tengah dilanda keprihatinan panjang. Para pemimpin dan elit kekuasaan yang tengah berkuasa, menggunakan uang, propaganda, dan tekanan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tak peduli mereka dari golongan kanan, kiri, maupun tengah. Akhirnya selalu saja rakyat yang jadi korban. Walaupun sebagian rakyat semakin pintar dalam memilih siapa pemimpin yang mampu membawa kemakmuran, sebagian lagi masih suka tertipu oleh para demagog-demagog bermulut manis. Mereka ini para srigala berbulu domba. Prabu Kresna tidak mau ikut campur urusan dalam negri rakyat Indonesia. Ia datang ke negeri ini hanya untuk mencari seseorang. Supaya tidak dikenal dan menimbulkan kegegeran, ia sengaja datang dengan berpura-pura sebagai seorang businessmen. Walaupun begitu, ternyata proses pencarian tidaklah mudah. Sosok yang dicari Prabu Kresna adalah seseorang yang sedang "Tapa Ngrame", yaitu bertapa mirip seorang yang sinting (gila). Tapi ternyata orang yang gila, baik yang betulan maupun berpura-pura, banyak. Belum lagi yang gila harta maupun kekuasaan. Orang yang gila harta maupun kekuasaan ini terutama muncul pada masamasa pemilihan umum seperti sekarang ini. Prabu Kresna sadar bahwa misi yang diembannya tidak mudah. Namun ia tidak putus asa, karena tahu semua ini dilakukan demi kemanusiaan. Kalau sampai gagal, maka masalah kekusutan jagat raya akan terus berlangsung. Ia datangi sebuah Bajaj. Sopirnya baru saja selesai makan di Warung Tegal. Setelah bernegosiasi, sopir itu setuju dirinya dan kendaraannya disewa jamjaman. Sedangkan bensinnya, menurut perjanjian, ditanggung oleh penumpangnya. Kendaraan penumpang roda tiga ini memang benar-benar unik. Getarannya bagaikan getaran mesin untuk terapi tulang bagi mereka yang baru saja mengalami kecelakaan. Bunyi mesinnya memekakkan telinga, hingga terkadang harus berteriak jika ingin bicara dengan sopirnya. Setelah dua jam dibawa berkeliling kota, akhirnya Prabu Kresna tahu latar belakang kehidupan sang sopir. Sopir itu bercerita bahwa namanya: Georgio Sasimi Waluyo. Ia kelahiran Atlanta, di negara bagian Georgia, di Amerika Serikat sebelah timur. Bapak dan ibunya adalah perantauan dari Indonesia yang ketemu saat mereka kerja di restoran Jepang. Waktu ada NSEERS, bapaknya mendaftarkan diri ke INS (Immigration Naturalization Services). Padahal sudah diperingatkan temantemannya supaya nggak usah ndaftar. Banyak teman-temannya yang 'go underground'. NSEERS adalah program yang dilakukan oleh pemerintah Amrik untuk mendaftar pada pendatang dari beberapa negara. Karena kurang populer dan dianggap rasis, akhirnya program ini dirubah menjadi pendaftaran sidik jari di airport. Akhirnya bapaknya ditahan oleh INS karena ketahuan sebagai pendatang ilegal. Pada waktu bapaknya berada di tahanan INS itulah Georgio lahir. Beberapa bulan kemudian bapaknya dideportasi. Sebelum dideportasi, bapaknya mewanti-wanti ibunya agar bertahan di Amrik. Pertama, karena wanita tidak masuk dalam program NSEERS. Kedua, ibunya disuruh mengumpulkan uang banyak-banyak supaya bisa dijadikan modal kalo pulang nanti. Dua tahun kemudian Georgio dan ibunya pulang ke Indo. Tapi bapaknya ternyata sudah ngabur dengan wanita lain. Akhirnya, Georgio kecil dititipkan pada neneknya, di Mojokerto. Sedangkan ibunya kawin lagi dengan pegawai asing World Bank yang kebetulan sedang mengadakan studi pengairan sawah di daerah Jawa Timur. Baik ibu maupun bapaknya tak terdengar lagi kabar beritanya sampai kini. Ketika sedang asyik mendengarkan cerita tentang masa lalu Georgio, di daerah Salemba, Prabu Kresna melihat sebuah cahaya dari arah Pasar Senen. Ia minta Georgio untuk membawanya kesana. Benar saja. Di perempatan Kwitang, seorang gila sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Orang yang lalu lalang bersikap acuh tak acuh terhadap orang gila itu. Setelah membayar ongkos Bajaj, ia datangi orang gila itu. Pakaiannya rombeng dan dekil. Jelas yang ini bukan orang yang gila kekuasaan. Apalagi baunya seperti bau sampah di Cilincing. Sedangkan orang yang gila kekuasaan, baunya pasti Christian Dior. Ketika Prabu Kresna mendekati orang gila, banyak orang yang mula-mula heran dan memperhatikannya. Namun kemudian orang-orang itu kembali tak acuh. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (44) Orang gila itu terbangun dari tidurnya. Waktu bergerak, lalat-lalat yang tadi sempat berpesta di atas tubuh pada berterbangan. Ia tatap tamunya dengan padang curiga. Tetapi tiba-tiba keluar tawa yang berderai: "Huahahahahhahahaha...hehehehe...hohohoho....hahahaha....." Bethara Kresna membiarkan orang gila itu tertawa sepuasnya. Mendengar tawa nyaring, orang-orang yang lalu lalang berhenti seketika. Mereka cukup heran karena ada orang berpakaian necis sedang ditertawai oleh seorang gembel gila. Pada raut wajah mereka seakan bertanya curiga: Ini siapa yang gila" Apa janganjangan dua-duanya gila" Tapi ketika terlihat tak ada kejadian istimewa, orang-orang itu kembali pada kegiatannya. Dalam benak mereka telah terpatri ucapan penghakiman: aku baru saja ngelihat dua orang gila, yang satu pakai pakaian necis (mungkin pejabat yang lagi stress), yang satunya lagi gembel abis. "Wahahahahaha...seorang raja berpura-pura menjadi kawula..hehehe...jaman edan...hoho...memang jaman edan...raja edan..kawula gendeng...hehehehe..." kata orang gila itu terbahak-bahak. Prabu Kresna tahu penyamarannya telah diketahui. Ia kini semakin yakin bahwa gembel gila di hadapannya ini adalah benar orang yang dicarinya. Setelah situasi sekeliling tempat itu agak sepi, maka mulailah ia bicara: "Benar, bung. Saya Kresna dari Darawati. Siapa nama panggilan, bung?" "Hehehehehohoho...raja mau coba berpura-pura...hehehehe...Tanya nama" Namaku George Busss..percaya nggak" Lho, nggak percaya" Oke deh, Sadam Ngus?n...hayo percaya nggak" Lho nggak percaya lagi...oke deh Joyo Lelono Mangku Rondo Sedoso...hehehe yang ini asli-sli..hehe" "Bung Joyo Lelono, aku datang jauh-jauh bukan hanya sekedar lewat. Aku ingin minta bantuanmu. Di khayangan saat ini bertahta seseorang yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Aku minta tolong supaya engkau mengalahkannya. Dalam visiku, cuma engkaulah yang mampu. Dan kalau engkau bisa mengalahkannya, apapun yang kau minta akan aku penuhi..." "Hahahihihi...ada raja kep?p?t...hohoho..ada raja d?speret hehe...tapi mongngomong boleh juga deh tawarannya...semua permintaan dipenuhi...ah jadi Presiden ah..hehehe.." Akhirnya Kresna mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Ia ceritakan bahwa jagat raya saat ini sedang dilanda kekusutan. Sedangkan untuk mengurai kekusutan itu, salah satunya adalah menggulingkan tahta Prabu Kuncoro Manik. Walaupun nampak main-main dan selalu cengingisan, tapi rupanya orang gila itu mendengarkan keluhan Prabu Kresna dengan serius. "Hohohhoho..akur...hehe..cocok...kalau gitu aku berangkat sekarang juga. Hei, Prabu Kuncoro Manuk eh Manik! Duduk yang nikmat kau di singgasanamu. Aku melihat, aku datang, aku menang...hohoho..." Dengan sempoyongan orang gila itu tiba-tiba berdiri. Tanpa menunggu aba-aba ia terbang melesat ke angkasa. Prabu Kresna kaget bukan main. Ia tak menyangka kalo orang gila itu bisa terbang. Terpaksa ia buru-buru ke pangkalan udara Halim Perdana Kusuma. Disana ia menyewa pesawat Sukhoi. Setelah tawar menawar, akhirnya harga disetujui bersama. Tujuan Prabu Kresna hanyalah satu: menyusul Joyo Lelono ke khayangan. Tapi begitu sampai di langit ke empat, pesawat Sukhoi yang disewanya ternyata sudah mulai batuk-batuk. Prabu Kresna bertanya pada pilotnya, ada apa dengan Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pesawat yang mereka tumpangi. Dengan santai dijawab, bahwa harga bensin saat ini kebetulan naik, jadi tadi ngisinya pas-pasan. Selain itu, lama ditunggu-tunggu, onderdil pesawat ini belum datang juga. Padahal minyak kelapa sawit sudah terlanjur dikapalkan untuk membayarnya. Karena kawatir, Prabu Kresna minta diturunkan saja di langit ke lima. Kebetulan sekali disitu banyak ojek. Setelah diamat-amati ternyata para supir ojeknya adalah para dewa yang lagi pada ngobyek. Rupanya jaman memang bener-bener lagi susah, hingga para dewapun terpaksa ngojek. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (45) Ternyata tidak mudah mengatur khayangan. Birokrasi dan KKN di kerajaan para dewa itu sudah mendarah daging di tubuh. Dan juga telah membudaya, sulit untuk dihapuskan. Hingga penduduk disitu menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Malahan jika ada dewa yang berlaku idealis, jujur, atau bersih dalam tindakannya, dianggap sebagai dewa yang aneh, dewa yang bodoh, atau dewa yang tak tahu memanfaatkan kesempatan. Cara para dewa ber-KKN juga macam-macam. Ada yang dengan cara kasar, ada pula yang bercara halus, sehingga hampir tidak kentara. Selain itu, segala sesuatunya, bahkan bantuan kepada pihak yang lain sekalipun, diperhitungkan. Bantuan selalu dihubungkan dengan pamrih, dihubungkan dengan maksud-maksud tertentu. Bantuan adalah hutang yang tersamar. Namun pemimpin khayangan yang baru, Prabu Kuncoro Manik, adalah sosok yang tegar. Karena kesaktiannya ditakuti, maka segala perintahnya dituruti. Ia memang bukan tipe seorang pemimpin yang penuh kharisma. Tapi paling tidak dia punya pendirian. Jadi tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Raja baru itu juga telah mulai memperbaiki pemerintahannya. Para dewa pembantunya semuanya didudukkan sama rata. Semuanya diberi perhatian yang sama. Tidak ada yang diberi perhatian lebih. Tak ada yang dimanja. Ia tahu, kemanjaan hanya akan melahirkan kemalasan. Di paseban agung itu, Prabu Kuncoro Manik duduk terdiam di singgasananya. Dalam benaknya penuh dengan rencana-rencana yang belum diwujudkannya. Karena raja belum berkenan bersabda, para kawulanyapun masih pada ikut termangu-mangu. Tiba-tiba nampak mobil butut Toyota Corolla tahun 1988 datang dan parkir di halaman istana. Dari dalam mobil keluar Begawan Pulasara. Begitu keluar dari mobil, sang begawan langsung menuju ke istana. Ia mengendarai mobil itu sendirian. Selama ini ia memang ditawari sopir, tapi selalu menjawab bahwa ia lebih senang nyetir sendiri. Lima belas menit kemudian menyusul rombongan mobil-mobil keren. Paling depan nampak mobil Mercedes Benz merek terbaru warna hitam. Di dekat lampu samping nampak bendera berpanji-panji Jonggring Saloka. Mereka yang miskin tentu akan terkagum-kagum melihat pemandangan megah dan mewah itu. Dari dalam mobil keluar Dewa Narada, disusul Dewa Yamadipati yang meringis kesakitan. Mukanya bengep dan tangan kanannya kelihatan di gibs. Merekapun langsung menuju ke paseban agung. Prabu Kuncoro Manik menerima mereka semua dengan muka cerah. Ia memang sedang menantikan para pemuka kerajaan ini kembali dari tugasnya masing-masing. Tapi kecerahan wajahnya seketika lenyap dan berubah menjadi keheranan. Dihadapannya nampak Dewa Yamadipati yang babak belur nggak karuan. Selain itu ia lihat wajah Bethara Narada nampak muram. "Bagaimana khabar Paman Pulasara" Apakah tugas yang paman laksanakan berhasil?" tanya Kuncoro Manik. "Sesuai seperti rencana kita, nak. Aku berhasil memboyong Dewi Banowati ke khayangan. Saat ini ia ada di keputren," jawab Begawan Pulasara tenang, mantap. Keputren adalah tempat yang dikhususkan untuk para wanita, termasuk permaisuri dan selir, di dalam komplek istana. "Hmmm, bagus. Selamat," ucap Prabu Kuncoro Manik. Lalu, ia tatap Bethara Narada dan Yamadipati secara bergantian. "Terus gimana dengan Prabu Kresna" Apa tugas sudah dilaksanakan dengan berhasil?" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (46) Bethara Narada nampak gelisah. Pertanyaan Prabu Kuncoro Manik terasa menohok ulu hatinya. Napas tuanya tersengal-sengal. Sudah terbayang di angannya Kawah Candradimuka yang panas menggelegak. Semua ini gara-gara tugasnya gagal. Memang tidak gagal total, tapi memang tidak sesuai dengan kemauan rajanya. Dan itu artinya sama saja dengan gagal. "Begini, nak," kata Narada mencoba mencari alasan. "Kresna akan datang sendirian kemari. Kami sudah berusaha membujuknya, tapi dia nggak mau. Katanya, takut dibilang menyerahkan diri. Kalo kami paksakan lagi, kami takut hasilnya malah nihil. Atau keadaannya tambah parah. Soalnya belum ketemu Bethara Kresna saja kita sudah dihadang Bima dan Setyaki. Kalo nggak percaya lihat saja tuh hasilnya. Yamadipati sampai babak belur kayak gitu." Prabu Kuncoro Manik dalam hati tersenyum melihat Dewa Yamadipati. Dewa yang satu itu memang terkadang terlalu sombong. Mentang-mentang tugasnya mencabut nyawa orang, terus mau bertindak seenak perutnya. Nah, sekarang rupanya dia kena batunya. Dia merasakan lagi bahwa dewa nggak selamanya sakti terus. Apalagi kalau kesaktian itu dipergunakan untuk pamer-pameran, untuk menyombongkan diri. Kalau dia lagi sial, dia tetap bakal kena sial. "Oke deh. Kali ini gua maafkan. Tapi besok-besok gua nggak tahu dah...." Belum sampai Prabu Kuncoro Manik mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba datang dayang kerajaan dari arah keputren. Begitu sampai di depan raja, ia segera menjatuhkan diri dan menyembah. Nafas terengah-engah seperti habis dikejar setan. Suasana paseban goncang. Beberapa petinggi kerajaan sudah pada memegang senjatanya masing-masing. Prabu Kuncoro Manik sendiri kaget: "Eh, kenapa nih" Bocah emban, elu kok lari-lari gitu emangnya ada apa?" "Ampun gusti...mohon ampun paduka...mau...lapor," kata dayang istana sambil berusaha mengatur nafasnya. Rambutnya yang panjang dibiarkannya tegerai. "Ampun gusti. Ada tamu-tamu tidak diundang masuk ke keputren." Kembali semua yang ada di paseban agung, termasuk Kuncoro Manik, kaget bukan main. "Siapakah mereka?" Belum sempat pertanyaan itu terjawab, datang pula kepala pengawal istana dengan tergopoh-gopoh. Sambil menyembah ia berkata: "Gusti, di depan kerajaan tengah mengamuk seorang kesatria yang mengaku bernama Bimasena. Sampai sekarang belum ada yang mampu menangkapnya." Rupanya dua musuh datang sekaligus. Yang satu berhasil masuk dari belakang komplek istana, langsung ke keputren. Yang lainnya sedang berusaha masuk melalui gerbang depan. "Udah sekarang gini aja. Paman Begawan Pulasara dan Ayahnda Bethara Guru tangkap tamu yang di keputren, biar gua hadapi Bimasena di gerbang istana. Yang lainnya berjaga-jaga di dalam," titah Prabu Kuncoro Manik. Maka pertemuan di paseban agung itu bubar. Di tengah jalan menuju ke keputren Begawan Pulasara dan Bethara Guru memisahkan diri untuk mengepung musuh. Yang satu lewat gerbang sebelah barat, yang lain lewat sebelah timur. Ketika Bethara Guru sampai di pintu gerbang timur keputren, ia bertemu Ki Lurah Semar. Terkaget-kaget ia bertanya: "Lho, kakang Semar kok ada disini?" "Memang dari tadi saya disini kok. Lha, sampeyan mau kemana, kok bawa-bawa golok segala?" tanya Semar. "Aku ingin menangkap tamu tak diundang," jawab Bethara Guru nampak terburu-buru sambil terus nengok kiri dan kanan. "Katanya ia sedang bersembunyi di keputren, kang. Apa kang Semar lihat" Nggak lihat" Oke, kalo gitu permisi dulu, kang," jawab Bethara Guru. "Eeeeiitt, entar dulu. Main permisi-permisi aja. Tahu nggak, tamu tak diundang yang ada di dalam yang sampeyan maksud itu adalah boss saya sendiri, Arjuna. Sampeyan tak boleh masuk kesana, karena dia sedang ada urusan penting," kata Semar. "Kang, aku dapat perintah menangkap tamu tak diundang itu. Aku tak ada urusan denganmu. Nah, sekarang permisi aku mau lewat, kang." "Siapa bilang nggak ada urusan sama saya. Kalau sampeyan mau menangkap boss saya berarti mau berurusan dengan saya juga dong," kata Semar acuh. Semar, yang tak lain adalah Bethara Ismoyo, sebenarnya sedang siaga dan mengambil ancang-ancang. Ia tahu bahwa bekas penguasa Jonggring Saloka yang ada di depannya inilah yang menyebabkan kekusutan dunia saat ini. Dan sekarang ia sedang stress. Orang stress biasanya tindakannya nekat. Maka ia berjaga-jaga. Tak lupa perutnya dia tekan-tekan supaya mules. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (47) Muka Bethara Guru memerah karena marah. Bekas penguasa Jonggring Saloka itu merasa disepelekan. Ia tak bisa menerima hal itu. Egonya sebagai seseorang yang pernah memegang jabatan yang tinggi ternyata masih tetap tinggi. Ia masih menginginkan orang lain menghormati dan menuruti segala perintahnya. "Sekali lagi aku bilang. Kalau engkau masih mau aku hormati, menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu," kata Bethara Guru kepada Semar. Nada suaranya kini meninggi. Ketara sekali ia mulai jengkel. Emosinya sudah mencapai unyeng-unyeng yang tiga biji jumlahnya. "Ya, terserah. Nggak dipanggil kakang juga nggak rugi kok," kata Semar enteng. "Orang kok nggak pernah mau introspeksi. Wibawa sudah hancur kok nggak juga sadar." Perkataan terakhir Semar itu benar-benar membuat Bethara Guru geram. Emosinya meluap: "Kalau itu memang kemauanmu terserah! Terimalah Cis Jaludara yang ada ditanganku ini! Hiyaaaaaaattt!" Bethara Guru menyerang sambil berusaha menebas leher Semar. Semar mengelak kesamping. Serangan lawan mengenai tempat yang kosong. Walaupun badan Semar gemuk dan pendek ternyata ia cukup lincah. Banyak yang tidak tahu kalau ia selama setahun ini rajin latihan kebugaran tubuh di Bally's Fitness Center, gara-gara dokternya memperingatkan bahwa kolesterolnya mulai naik. Selain latihan kebugaran, ia juga sering latihan senam Taebo melalui kaset video yang dibelinya di toko loak. "Ciaaaaaattt!!" Dua orang dewa bertempur dengan dahsyat. Kesaktian masing-masing sudah mencapai taraf yang sempurna. Bethara Guru mengayunkan senjatanya, mirip seorang guru sekolah di Indonesia yang sedang berusaha menghajar muridnya yang bebal. Sedangkan Semar, Sang Bethara Ismoyo yang menyamar menjadi manusia, terus meloncat-loncar dengan lincah bagai kodok bangkong. Ketika Semar balas menyerang, dalam beberapa gebrakan saja lawannya sudah nampak kewalahan. Napasnya mulai kelihatan ngos-ngosan. Fisik lawan yang kelihatan segar itu ternyata bervitalitas rendah. Rupanya semenjak tidak memangku jabatan tinggi, kerjanya cuman makan enak dan tidur. "Hiaaattt...Pleettakk!" Ketika ada ruang pertahanan musuh yang kosong, Semar melemparkan jitakannya. Jari tengahnya yang memakai batu cincin kecubung sebesar biji salak mendarat tepat di jidat musuh. Jitakan itu demikian keras dan bertenaga dalam besar, sehingga membuat lawannya terhuyung-huyung sebelum jatuh terjengkang. Semar mendekati lawan yang masih pening dan sedang berusaha untuk duduk itu. Lalu, tanpa pikir panjang ia membalikkan diri dan kentut dengan sekeraskerasnya. Itulah senjata Semar paling mutakhir. Kentut itu bukan sembarang kentut. Kentut itu mengandung gas Mustard berbahaya seperti milik tentara Jepang pada perang dunia ke dua, yang masih ditemukan di sebuah desa di negeri Cina baru-baru ini. Melihat bahaya sedang mengancam, Bethara Guru langsung ngabur. Cis Jaludara, dan bahkan sepatunya yang tadi mental dari tapak kakinya, ditinggalkannya begitu saja. Kaburnya norak, seperti maling ABG yang ketahuan habis nyengget celana Levis seorang hansip yang sedang dijemur. "Hei, lari kemana kamu, Bethara Guru"! Hayo, sini, kok malah kabur"!" teriak Semar sambil terpontang-panting berusaha mengejar musuhnya. Kalo urusan lari, tentu ia kalah sama musuhnya. Makanya jarak antara dirinya dan musuhnya makin terlihat jauh. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (48) Sementara itu di dalam keputren, Arjuna tengah berusaha untuk meyakinkan Dewi Banowati supaya mau kembali ke Astina. Tapi tampaknya Dewi Banowati merajuk. Ia kesal Arjuna tak pernah datang menengoknya. "Cinta bukan berarti harus memiliki, mbak," demikian Arjuna pernah berkata kepada Banowati suatu kali ketika mereka sedang berdua saja. Waktu mengungkapkan hal itu, Arjuna sedang berada di Astina dengan alasan ingin menghadap Prabu Duryudana. Kata Arjuna selanjutnya: "Biarlah cinta yang bersemi diantara kita, menjadi pupuk bagi kehidupan kita masing-masing. Dan tentunya kita mengharap bahwa pupuk itu adalah pupuk yang baik. Karena, pupuk yang baik tentu akan menyuburkan." Ungkapan Arjuna itu meneteskan air di mata Dewi Banowati. Permaisuri Astina itu nampak kecewa. Rupanya rasa cinta telah tumbuh antara keduanya sejak dahulu kala, ketika mereka masing-masing belum kawin. Namun kodrat nampaknya lebih berjaya. Arjuna selanjutnya menikah dengan Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Dewi Subadra satu halus budi bahasanya dan juga bijaksana. Sedangkan Srikandi, selain tomboy, juga jujur dan pemberani. Kalau ia ikutan "Gay Parade" pasti bakal ditaksir berat sama lesbian-lesbian. Lain lagi ceritanya Dewi Banowati. Perikahannya dengan Prabu Duryudana, kurang membahagiakan. "Jadi pulanglah, mbak," kata Arjuna penuh kesabaran. "Prabu Duryudana membutuhkanmu. Kerajaan Astina membutuhkanmu." "Ah, itu bohong!" pekik Dewi Banowati. "Prabu Duryudana memang memanjakan diriku dan menuruti segala apa yang aku minta. Tapi kan bukan cuma kemewahan dan keenakan hidup yang aku harapkan. Aku terutama sekali mengharapkan pengertian dan rasa saling menghormati. Kedua hal itu tak bisa aku dapatkan. "Aku cuma jadi burung dalam sangkar emas. Prabu Duryudana lebih suka mendengarkan omongan ibunya, Dewi Gendari, daripada omonganku. Kalau ibunya yang ngomong dan memerintah, langsung ia kerjakan. Tapi kalau aku" Boro-boro dikerjakan, didengarkanpun tidak. Lalu apa fungsiku" Cuma sebagai pajangan?" Arjuna tahu bahwa Dewi Banowati sedang berusaha menumpahkan segala beban yang ada dalam hatinya. Maka ia mencoba mendengarkan sebaik-baiknya. Di buku yang pernah dibacanya, ia tahu, jika seorang wanita sedang "curhat" sebaiknya didengarkan tanpa dikomentari. Wanita biasanya akan merasa "ringan" kalau telah berhasil melepaskan semua unekuneknya. Kata Dewi Banowati lagi: "Lalu kau bilang kerajaan Astina membutuhkan aku" Membutuhkan apa" Sedangkan pendidikan anak-anakkupun aku tak punya hak untuk ikut campur. Semuanya ditangani oleh suamiku, tentu dengan nasehat mertuaku. Nah, hasilnya engkau tahu sendiri kan" Anak-anakku pada jadi anak manja dan bandelnya minta ampun. Kerjanya bolos sekolah, nge-club dan mabuk-mabukan seperti bapaknya. Sedang yang perempuan kerjanya cuma pada belanja melulu. "Anak-anak itu, karena juga belajar dari lingkungan sekeliling bapaknya, menjadi anak-anak yang penjilat, hipokrit, dan juga mata duitan. Kentara sekali bakalan pada jadi koruptor kayak bapaknya. Apa jadinya mereka nanti setelah besar" Bagaimana jadinya nanti kerajaan ini jika sudah diwariskan pada mereka?" Arjuna diam saja tidak berkomentar. Ia tidak ingin menambah ruwet suasana. Sebenarnya ia ingin mengingatkan, bahwa kerajaan Astina yang sekarang dikangkangi keluarga Kurawa itu sebenarnya adalah milik Pandawa. Tapi ia diam saja. Selain itu Arjuna agak gerah juga ketika melihat kancing di dada Banowati yang terbuka tak sengaja di bagian dada. Walaupun tak pernah operasi plastik, dada ratu Astina itu memang tak kalah sama dadanya Pamela Anderson. Pemain filem serial "Baywatch". (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (49) Waktu Arjuna masih berusaha menyakinkan Dewi Banowati untuk kembali ke Astina, dari arah pintu gerbang keputren muncul Begawan Pulasara. Sikapnya nampak biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, ia hampiri orang yang dicarinya : "Arjuna, menyerahlah. Aku mau menangkapmu." "Lho, dari mana engkau tahu namaku" Kamu ini siapa ya?" tanya Arjuna terheranheran. Rasa-rasanya, ia baru pertama kali ini bertemu dengan rohaniwan sederhana ini. "Jangankan namamu, latar belakangmu maupun sikapmupun aku sudah tahu. Ketahuilah, namaku Begawan Pulasara." Arjuna kini menjadi semakin waspada. Ia dapat merasakan bahwa pendita dihadapannya ini bukan orang sembarangan. "Baik, silahkan saja menangkapku asal Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mampu melangkahi mayatku dulu." "Hiyyaaatt!!" Arjuna menyerang dengan jurus "Janda Kembang". Ia dapatkan jurus itu dari seorang guru silat di daerah Depok. Jurus ampuh itu kebanyakan dipelajari oleh wanita. Tapi karena potongan badan dan sikap kesatria Pandawa itu lemah gemulai, maka jurus itu cocok dipelajarinya. Pertempuran itu berlangsung dahsyat dan membuat keputren porak poranda. Bedak dan gincu tercecer dimana-mana. Tak ketinggalan beha-beha dan segitiga pengaman wanita yang sedang dijemur tersangkut sekenanya. Dengan sebuah gerakan yang kasat mata, Begawan Pulasara berhasil membekuk Arjuna. Kedua tangannya ia borgol kebelakang. "Bapa Begawan, kakang Arjuna jangan diapa-apakan!" teriak Dewi Banowati tiba-tiba. Wajahnya penuh kekawatiran. Begawan Pulasara mula-mula kaget akan sikap Banowati, tapi kemudian ia mengerti. Ia tahu akan arti sikap itu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Permaisuri Astina itu naksir berat Arjuna. Angin berhembus lembut. Memainkan umbul-umbul keputren yang compang-camping. Kibarannya yang lemah bagaikan lambaian tangan bidadari yang tengah menari Serimpi. Empat tiang-tiang penyangga keputren patah-patah. Suasana keputren kini benar-benar terlihat menyedihkan. Lebih mirip daerah kaki lima yang habis diacak-acak polisi pamong praja, ketimbang tempat tinggal para dewi dan bethari. Suara gemericik air pancuran di kolam kecil terdengar menyejukkan. Di tempat itu, kini tinggal mereka betiga saja. Para dewi dan bethari serta dayang-dayang sudah pada bubar entah kemana. Sedangkan para pengawal tempat itu semua ditarik ke gerbang istana untuk menghadapi rombongan Bimasena. "Banowati," kata Begawan Pulasara. "Sudah sepatutnya seorang yang masuk tanpa ijin ke dalam sebuah rumah harus ditangkap. Ia bisa dikategorikan maling. Dan maling ini harus diserahkan kepada pemilik rumah itu untuk ditanya apa keperluannya." "Saya mengerti hal itu. Tapi kedatangan kakang Arjuna adalah untuk menyelamatkan saya. Karena mungkin dia kira kepergian saya bukan karena kehendak saya. Ia mengira, saya dalam keadaan bahaya, Bapa Begawan," desah suara rintihan Dewi Banowati. "Ya, tapi Arjuna harus tetap dihadapkan dulu pada Prabu Kunco Manik." "Kalo begitu biar saya ikut serta. Karena kesalahan kakang Arjuna sebagian menjadi tanggung jawab saya. Kakang Arjuna tidak mungkin kemari kalau bukan karena saya berada disini," kata Banowati sambil menyerahkan kedua tangannya. "Baik kalo itu permintaanmu." Setelah memborgol juga tangan Dewi Banowati, Begawan Pulasara membawa segera membawa kedua orang itu untuk diserahkan pada rajanya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (50) Bima datang dengan rombongannya. Tidak banyak, hanya sepuluh orang. Di tengahtengah perjalanan tadi ia sempat bertemu Bethara Guru. Napas dewa itu terengah-engah sedangkan jidatnya kelihatan benjol. Setelah menyembah, sebagaimana harusnya seorang manusia menyembah pada dewa manapun, Bima bertanya: "Lho, kakek Guru kok lari-lari kayak dikejar hansip emangnya ada apa?" "Oh, nggak apa-apa kok. Aku lagi jogging, soalnya kata dokter kolesterolku naik. Jidatku memar karena tadi kesandung dan jatuh dekat gapura," kata Bethara Guru mencoba menutupi peristiwa yang sebenarnya. "Kamu sama rombonganmu mau kemana, nak?" "Gua mau ke istana elu. Apa benar yang berkuasa sekarang namanya Kuncoro Manik?" "Ya..ya..benar nak. Ia memang yang sekarang bertahta disana...." "Hmm, katanya dia juga yang mau menggagalkan perang Baratha Yudha. Kalo gitu biar gua usir dia. Enak aja bikin perintah yang kagak-kagak, bikin keputusan yang aneh. Mentang-mentang baru dapet kekuasaan. Apa dia kagak sadar kalo bakal nyalahin kodrat?" Bima menampakkan kegeramannya. "Kalau dia kagak mau turun tahta, biar entar gua tendang dari kursinya..." Mendengar rencana Bima itu, wajah Bethara Guru yang tadi lesu berubah menjadi cerah. Rupanya telah datang seorang kesatria yang akan mengembalikan kekuasaannya. Benar-benar sebuah keberuntungan yang tak bisa ditampik. "Wah, anakku Bima. Engkau memang kesatria yang berbudi luhur, karena itu aku percaya pada sikap dan sifatmu. Kalau engkau mampu mengalahkan Kuncoro Manik, aku bakal memberimu hadiah. Nantinya engkau akan aku berikan tempat tersendiri di langit ke tujuh. Kalo perlu engkau bakal tak beri jabatan. Dan juga senjata-senjata yang sakti milik kahyangan bakal aku wariskan kepadamu," kata Bethara Guru mencoba meyakinkan. Untuk kesatria yang suka jabatan, kedudukan dan hadiah, ucapan Bethara Guru itu tentu akan memberikan rangsangan tersendiri. Namun tidaklah demikian dengan Bima. Ia bukan tipe kesatria seperti itu. Seorang kesatria sejati biasanya tahu dan berhati-hati, bahwa dibalik sanjungan dan hadiah, biasanya ada makian dan tuntutan balas budi. Tipu muslihat. Rupanya Prabu Kuncoro Manik sudah menunggu Bima dan rombongan di pintu gerbang istananya. Ia berdiri paling depan dengan tangan bertolak pinggang. Kainnya berkibar dimainkan angin yang bertiup ringan. Gagah. Percaya Diri. Tak ada terlintas keraguan pada wajahnya. "Hei, stop dulu disini!" teriak Prabu Kuncoro Manik mengankat tangan kanannya. "Kok mirip orang pada mau nggrebek perjudian. Elu-elu ini pada mau kemana, bung!" Dengan wajah mrengut Bima berteriak bergemuruh: "Gua mau mencari penguasa baru negeri ini yang namanya Kuncoro Manik! Suruh dia turun tahta, kalo nggak mau gua tebalikin entar!" "Hehehe gua udah tahu elu bakal cari gua. Nih, gua Kuncoro Manik. Enak aja elu mau tebalikin orang sembarangan. Nah, gini aja. Gua saranin mendingan elu sama rombongan balik aja deh. Disini lagi banyak masalah." "Kurang ajal, lu! Kalo gitu, terima nih bogem mentah gua! Heeaaaattt!!" Beriring dengan teriakan itu, Bima melabrak musuhnya. Ia memakai jurus Kuku Bima. Serangannya bagaikan amukan seekor badak yang marah karena betinanya ada yang membawa pergi. Mengetahui lawannya menyerang tanpa ampun, Prabu Kuncoro Manik tidak tinggal diam. Ia keluarkan semua ilmu andalannya, termasuk yang telah diajarkan oleh pamannya, Bagawan Pulasara. Dan jurus-jurus yang dimiliki penguasa kahyangan itu memang dahsyat. Lawannya kelihatan terdesak biar bentuk fisiknya jauh lebih besar dibandingkan dirinya. "Hiyaaaa!!" "Dezzz!!" Dengan sebuah gebrakan Prabu Kuncoro Manik berhasil menjatuhkan dan membekuk lawannya. Bersama jatuhnya kepala rombongan, para anak buahnya satu per satu jatuh pula ke tangan para pengawal Jonggring Saloka. Jumlah mereka kalah jauh. Prabu Kuncoro Manik segera memerintahkan anak buahnya agar membawa tawanan mereka ke rumah tahanan Salemba. Setelah semua beres ia segera kembali ke istana. Ketika penguasa Jonggring Saloka itu berbalik, tiba-tiba angin kencang bertiup dari belakang. Angin aneh yang entah dari mana datangnya itu dibarengi dengan suara tawa yang menggelegar: "Huehehe... huaahaha... ada raja baru..hehehe..baru jadi raja sudah banyak tingkah...hehehe!!!" Seorang gelandangan tampak bersender santai pada gapura pintu gerbang istana. Suaranya terdengar nyaring, pertanda ia punya tenaga dalam yang telah sempurna. Gelandangan itu nampak menggaruk-garuk rambutnya yang kotor. Seperti ada segerombolan kutu di kepala yang nekat tak mau minggat dari tempatnya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (51) Prabu Kuncoro Manik berbalik menghampiri gelandangan yang nampak acuh di pintu gerbang istana. Perasaannya mengatakan bawa gelandangan itu bukan sembarang gelandangan. Keberaniannya datang sendirian ke Jonggring Saloka dan tak terdeteksi telah membuktikan bahwa ia seorang kesatria sakti. "Hai, bung!" sapa Prabu Kuncoro Manik. "Kalau elu haus, atau lapar pengen makan, masuk aja ke dalem. Entar tinggal gua bilang ama yang di dalem bahwa elu tamu gua...." "Hohohehe...haus" Malu ah" Haus kekuasaan baru malu-maluin namanya..haha..." jawab gelandangan itu cek bebek. Sikapnya sungguh menyebalkan. "Atau elu mau istirahat" Mau ganti pakaian" Silahkan masuk aja ke dalem. Minta saja ke dalam. Beri tahu mereka, bahwa itu atas perintah Prabu Kuncoro Manik." "Ganti pakaian" Istirahat di sofa empuk" Hahaha pasti asyiiikk" Enak ya kalau lagi berkuasa...hehehe..tinggal ngomong semua orang nurut..hehe.. kalau udah gitu bisa lupa diri..asyiiikk..hehehe..." Prabu Kuncoro Manik semakin tak mengerti omongan ngaco tamu yang tak diundang itu. Namun makna kata-kata gelandangan itu jelas-jelas menyindir dirinya sebagai raja yang sedang berkuasa. Biarpun gayanya dibikin gendeng. Jaman sekarang memang lagi banyak orang gendeng yang gaya bicaranya waras. Tapi tak sedikit juga orang yang waras tapi gaya bicaranya kayak orang gendeng. Sambil garuk-garuk betis, gelandangan itu mulai ngoceh lagi: "Hahaha...orang berkuasa biasanya bukan cuma gampang ngelupa'in sesama, tapi juga lupa diri...hehehe...orang punya pengaruh biasanya suka maksa'in kehendaknya... hehehehe..." "Ah, udahlah gua kagak ngarti maksud elu apa," kata Prabu Kuncoro Manik. "Sebenernya elu ini siapa, dan punya keperluan apa ke kahyangan sini?" "Hehehe...asyiiikk marah nih y???... oke, gua lagi cari orang yang namanya Prabu Kuncoro Manik...elu tahu nggak dia dimana..." "Kebetulan sekali, karena orang yang lagi elu cari ada di depan elu. Nih, gua Prabu Kuncoro Manik.." "Hahaha...untung...hehe..ini namanya jodoh," kata gelandangan sambil bangkit sempoyongan. Namun wajahnya kini nampak kegirangan. "Berhubung elu udah ngaku siapa diri lu, nih kenalin gua. Nama gua, Begawan Joyo Lelono. Gua utusannya Prabu Bathara Kresna. Gua kemari untuk nendang elu dari tahta...mau nggak" Nggak mau" Nggak mau ya udah, soalnya terpaksa harus mau sih...hahahaha...." Kini Kuncoro Manik samar-samar mulai bisa menebak maksud kedatangan gelandangan ini: "Hmm, memang gua kemarin ngirim utusan buat manggil Prabu Kresna. Kata mereka, Raja Darawati itu mau datang sendiri kemari. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyuruh elu kemari" Ini yang bikin gua heran. Udah gitu malah nyuruh gua turun tahta segala" Kenapa" Apa gara-gara perintah-perintah gua" Semua perintah dan keputusan yang gua bikin itu udah final..." "Ya kan..hehe..mau maksa'in kehendak. Emang tipikal penguasa, kayak buah petai lupa lanjaran. Udah kagak usah banyak ngomong lu!" kata Begawan Joyo Lelono. Kini wajahnya berubah jadi serius. Menyeramkan. "Sekarang tinggal memilih: mau turun tahta apa kagak. Kalau kagak mau ya terpaksa gua turunin. Dan biasanya kalo nurunin tahta orang, gua kagak biasa pake demontrasi dulu lho...hahaha...." Mendengar omongan ngaco gelandangan kesasar itu, Prabu Kuncoro Manik semakin gemas. Ia sudah tak mampu lagi membendung amarahnya. Gelandangan yang ngaku seorang begawan ini benar-benar tidak punya sopan santun dan meremehkannya. Karena itu nampaknya harus dihajar biar sedikit punya etiket. "Hmm, jadi elu pembunuh bayaran, ya" Datang kemari cuma mau cari ribut" Oke, bilang sama Prabu Kresna, gua nggak mau turun tahta. Sana pergi! Sebelum rasa kemanusiaan gua habis..." "Hahaha....hohoho...hehe...ngusir kucing sih gampang. Tapi jangan elu kira segampang itu ngusir macan...jangan elu kira segampang itu ngusir Begawan Joyo Lelono....hohohoho.." "Emang cari mampus lu ya. Ciaaaatttt!!" Bersama dengan teriakan itu, Prabu Kuncoro Manik melancarkan serangannya. Bunyi pukulan itu demikian dahsyat bagai bunyi petasan sebesar paha. "Zzddueeerrrr!!" Para prajurit Jonggring Saloka mulai berdatangan. Saat mereka mau mengeroyok rame-rame, Prabu Kuncoro Manik mencegah dengan mengangkat tangannnya. Ia memerintahkan prajuritnya buat mundur. Akhirnya mereka cuma bisa nonton di pinggir lapangan seperti orang-orang nonton adu ayam gratis. Begawan Joyo Lelono yang nampak seperti gelandangan malas itu ternyata sosok yang lincah. Pukulan lawan ia hindarkan bagaikan kucing menghindari lemparan sandal majikannya. Lalu, dengan sigap ia pasang kuda-kudanya. Ia mulai mengeluarkan ancang-ancang untuk melancarkan serangan dari jurus andalannya: "Gembel Tangan Geledek" "Heeyaaaaatttt!! D???rr!! Dheerr!! Dhheerr!!" Ternyata jurus lawannya memang benar-benar jurus berbahaya. Hampir saja Prabu Kuncoro Manik terkena pukulan lawannya. Untung ilmu meringankan tubuhnya tinggi. Karena itu cuma sarungnya saja yang bolong terkena gebrakan lawan. Kini ia lebih berhati-hati lagi. "Hiyyaaaaaattt!!" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (52) Pertempuran dua kesatria itu berlangsung seru. Ilmu silat keduanya benar-benar mengagumkan. Mirip filem-filem silat Hongkong. Bedanya, perkelahian yang satu ini bukan sekedar akting. Melainkan perkelahian sungguhan yang mematikan. Dan makin lama perkelahian itu menjadi makin seru, juga fatal. Sementara itu di pinggir lapangan para prajurit Jonggring Saloka bersorak sorai waktu rajanya unggul dalam serangan. Sedangkan saat rajanya terdesak, mereka mulai terlihat gelisah, bahkan ada yang langsung kirim SMS ke temen-temennya mengabarkan situasi itu. Temen-temennya itu kirim SMS lagi ke temen-temen mereka sendiri hingga akhirnya khabar yang belum ketahuan juntrungannya tersebar luas dengan cepat. Situasi itu mengakibatkan harga saham jadi jatuh dan dolar jadi naik di pasaran. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih kurang ajar lagi, ada beberapa prajurit di barisan belakang, diam-diam bertaruh dengan sesamanya. Ada yang menjagoi rajanya, tapi ada juga yang menjagoi musuh rajanya. Rupanya judi memang sudah merebak kemana-mana. Tidak terkecuali ke khayangan sekalipun. Jurus demi jurus telah terlalui. Namun rupanya Prabu Kuncoro Manik dan Begawan Joyo Lelono sama-sama kuat dan sakti. Biar begitu mereka ingin sekali segera mengakhiri pertempuran. Time is money. Maka seperti sama-sama di komando, masing-masing melancarkan serangan pamungkas, serangan terakhir yang mampu melumpuhkan lawan. Dengan ekstra konsentrasi Prabu Kuncoro Manik mulai menggalang tenaga intinya, begitu pula Begawan Joyo Lelono. Tiba-tiba dua sosok itu nampak maju melesat berbarengan. "ZZZDHUUEERRR!!" Pertemuan pukulan kedua kesatria itu menimbulkan bunyi gelegar yang dahsyat. Para penonton di pinggir lapangan rubuh terkena dampaknya. Beberapa nampak mental. Ketika mereka bangkit, mereka terheran-heran melihat dua sosok di tengah lapangan yang kini telah berubah bentuk. Prabu Kresna yang dari tadi rupanya telah mengamati dari jauh, kini tergopohgopoh mendekat. Iapun nampak bingung melihat pemandangan yang terlihat di gelanggang. Katanya: "Hmm, jadi Prabu Kuncoro Manik itu ternyata kamu toh, Antasena." "Ya, paman," kata Antasena sambil menyembah. Setelah menyembah tanda menghormat, ia pegangi lagi kepalanya yang masih terasa pening akibat adu kekuatan dengan lawannya barusan tadi. "Aku heran. Kok wujudmu itu bisa berubah jadi Prabu Kuncoro Manik itu asal usulnya gimana?" tanya Kresna. "Wah, ceritanya panjang, paman," kata Antasena. Kemudian Antasena mencoba menceritakan kisahnya. Waktu itu, diam-diam ia diperintahkan menghadap kepada Sang Hyang Bethara Guru. Sesampai di khayangan ternyata ia di culik, mirip orang-orang yang diculik di Iraq. Dan tanpa tahu apa kesalahannya, ia diceburkan ke Kawah Candradimuka, neraka jahanam. Belakangan ia baru paham bahwa perintah pembunuhan terhadap dirinya itu justru didalangi oleh Bethara Guru sendiri. Waktu melayang jatuh ke Candradimuka, rupanya ada sebuah kekuatan misterius yang menangkapnya dan mengangkatnya keluar dari kawah itu. Begitu keluar, Antasena telah mendapati tubuhnya berganti wujud menjadi sosok yang baru. Dengan tubuh baru itu ia mulai berkelana kesana-kemari. Rupanya dengan sosok baru itu tenaganya pun berubah menjadi berlipat ganda. Ia berangkat ke Amerika pakai visa Turis. Di negeri empat musim itu, ia kerja ilegal serampangan. Mula-mula kerja di Gas Station. Kemudian kerja di Country Club ngangkat-ngangkat meja, kursi dan juga bersih-bersih WC. Lalu, nglamar jadi supir limosin. Karena bosan terus kerja di restoran jadi tukang cuci piring. Dan terakhir di kontraktor bangunan, jadi kuli ngaduk semen. Bosan jadi kuli, ia Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo loper koran tiap pagi-pagi buta. Biar sudah berubah bentuk, namun ia tak pernah lupa pada jati dirinya yang lama. Dari gosip-gosip yang ia dengar, rupanya Bethara Gurulah panyebab kesengsaraan dirinya. Semua itu dilakukan oleh Bethara Guru, karena Raja Dewa itu berambisi menuruti kemauan anak kesayangannya, Dewa Serani, yang minta dikawinkan dengan Dewi Jenokowati. "Hmm, jadi begitu cerita tentang dirimu, nak," kata Prabu Bethara Kresna. "Lha, kalau kamu, Gatotkaca, bagaimana kamu bisa berubah menjadi Begawan Joyo Lelono?" "Ceritanya begini, paman," kata Gatotkaca. Ia adalah kakak Antasena, kakak dari lain ibu. "Saya merasa teramat sedih dan bingung setelah kehilangan Antasena. Apalagi banyak pihak telah memberi saya tanggung jawab sebagai pengawal langgengnya perkawinan antara Antasena dan Dewi Jenokowati. Maka saya mencoba bertanya kesana kemari tentang dimana keberadaannya. Tapi hasilnya nihil karena Antasena hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Saya nggak tahu kalo Antasena rupanya pergi merantau ke Amrik." "Lalu, kenapa kamu bisa jadi seorang Begawan." "Ketika saya sudah merasa frustasi karena gagal mencari Antasena, iseng-iseng saya mampir ke daerah Ancol untuk menenangkan diri. Waktu ngaso di tepi pantai, ada bisikan yang menyuruh saya bertapa "Ngrame". Dengan begitu saya akan menemukan Antasena. Maka, tanpa berpikir dua kali saya ikuti saja instruksi itu, berhubung sudah tidak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan. Saya menjadi petapa yang menggelandang tanpa tujuan. Hingga akhirnya kita semua bisa bertemu disini." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (53) Heran akan kejadian-kejadian yang timbul dan tenggelam tanpa disangka dan diduga, Prabu Kresna, Antasena dan Gatotkaca mencoba merangkai kembali perjalanan hidup yang telah masing-masing lalui. Akhirnya muncul satu kesimpulan bersama: Semua kekusutan persoalan di dunia ini hanya bisa terjadi karena tindakan semena-mena yang telah dilakukan Sang Hyang Bethara Guru. Bethara Guru memang pemimpin bijaksana, tapi tidak semua tindakannya mencerminkan kebijaksanaannya. Bahkan terkadang, karena merasa memiliki kekuasaan, ia suka memaksakan kehendak. Hal itu dilakukan dengan cara terang-terangan maupun tersamar. Bahwa kehendak yang dipaksakannya itu dapat diterima oleh orang lain atau tidak, ia tak pernah mau memikirkannya. Ia merasa bahwa segala apa yang dilakukannya adalah benar. Prinsipnya: The King always right. Selain itu, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Bethara Guru sering memanipulasi situasi. Orang-orang selalu ia dijejali propaganda "demi setia kawan", "demi pelayanan sesama" dan "demi kemakmuran wong cilik (rakyat kecil)". Dengan propaganda semacam itu, rakyat menjadi berilusi dan mengikuti segala perintahnya. Rakyat berilusi bahwa segala tindakan dan kegiatan yang telah mereka lakukan adalah baik, benar, berpahala, dan berguna. Banyak yang membenarkan, dan bahkan menutup mata terhadap segala tindakan buruk ini Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang merasa bangga karena bisa punya kenalan dan pergaulan dengan pemimpin, maupun orang-orang yang nge-top, punya titel serta jabatan. Rupanya makin sedikit orang yang mampu (dan mau) melihat sisi-sisi buruk tindakan penguasa. Apalagi jika tokoh yang berkuasa itu nampak selalu bijaksana, adil, dermawan, ramah, serta murah senyum dan menjadi idola dimana-mana. Belum lagi jika tokoh pejabat itu "berspiritual tinggi" dan mampu memberi "kekuatan spiritual" pada orang lain. Emosi Antasena tiba-tiba meluap sampai ke ubun-ubun atas kesimpulannya sendiri. Ia tiba-tiba berkata: "Hmm, paman Kresna dan bang Gatot. Gua mau permisi dulu. Gua mau cari Bethara Guru dulu. Gua percaya, dia tipe orang yang mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang sewenang-wenang...." Belum sampai ada jawaban, Antasena telah melesat pergi. Prabu Kresna dan Gatotkaca cuma bisa terbengong-bengong di tempat. Lalu, keduanya segera masuk menuju Paseban Agung dengan iringan para prajurit Jonggring Saloka. Para prajurit itu bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka nampak bingung dan tak tahu tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Selama belum ada serah terima jabatan, mereka masih menganggap Antasena, perubahan wujud Kuncoro Manik, sebagai raja mereka. Sesampai di Paseban Agung, terlihat Begawan Pulasara, Arjuna dan Banowati tengah menunggu. Prabu Kresna memiliki banyak mata-mata tangguh di kerajaan Darawati. Mereka itu diantaranya adalah bekas-bekas KGB yang merasa dapet gaji kecil setelah Uni Soviet runtuh. Selain itu juga para bekas CIA yang tidak suka pada organisasinya, terutama setelah penanganan 'Weapon of Mass Destruction' ternyata bikin organisasi itu jelek dimata dunia. Dan terakhir James Bond ngelamar kerjaan. Ia dipecat organisasinya di Inggris gara-gara mengadukan kebiasaankebiasaan buruk Pangeran Charles. Dari khabar mata-matanya, Prabu Kresna dapat laporan bahwa Begawan Pulasara memiliki kesaktian luar biasa "Maaf, apakah anda memang benar yang bernama Begawan Pulasara?" "Ya, betul," kata pendita itu sambil mesem. Wajah tenang sang pendita membuat gregetan Prabu Kresna. Tersirat dalam niatnya untuk mencoba kesaktian pendita itu. Namun belum sampai terlaksana niatnya, tiba-tiba datang angin kencang entah dari mana. Banyak yang menutup matanya untuk menghindari debu dan dedaunan yang berterbangan mengenai muka. Suasana menjadi gaduh. Dan di tengah-tengah kegaduhan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara: "...namun sesungguhnya aku Sang Hyang Baruna." Setelah berkata demikian, tiba-tiba sosok Begawan Pulasara merubah. Betapa kagetnya semua yang ada di Paseban Agung, terutama sekali Prabu Kresna. Semua tidak menyangka, jika Begawan Pulasara adalah penjelmaan Sang Hyang Baruna, Dewa Lautan. Prabu Kresna segera menghaturkan sembah, diikuti oleh yang lain. Dewa Laut ini adalah tokoh yang disegani karena kebijaksanannya. Biar kekuasaannya hanya di lautan, tapi ia tidak ambisius. Jaman sekarang memang banyak dewa-dewa yang pada ambisius. Terutama karena disebabkan lahan yang makin mengecil dan persaingan untuk bisa nge-top makin ketat. Tapi ambisius sih sebenarnya boleh-boleh saja karena hal itu merupakan "natural process". Asalkan jangan sudah ambisius, terus masih ditambah otoriter, anti kritik dan pilih kasih. Dewa yang begini inilah yang dinamakan dewa keblinger. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (54) Sang Hyang Baruna menceritakan campur tangannya terhadap perjalanan hidup Antasena. Hal itu dilakukannya karena terpaksa. Ia tidak tega melihat Antasena menjadi korban ambisi Bethara Guru. Maka supaya tidak terlalu dikenal, ia merubah sosoknya menjadi Begawan Pulasara. "Nah, karena tugasku aku anggap sudah selesai, maka aku akan segera pulang ke rumahku," kata Sang Hyang Baruna. Kharismanya benar-benar memancar, gilang-gemilang. "Mengenai Antasena yang saat ini sudah badar, dan sedang menuntut hak-haknya, kalian tidak usah kawatir. Karena hal itu akan melibatkan kekuasaan yang lebih besar." "Ya, saya mengerti paduka," jawab Kresna. "Oh ya, pada bahumulah Kresna, kusandarkan kejayaan anak dan cucuku, keluarga besar Pandawa. Jagalah dan bimbinglah mereka. Sebagai penasehat dan duta, engkaulah tulang punggung yang mampu membawa irama bagi langkah hidup mereka. Jangan karena posisimu dan kekuasaanmu itu lantas engkau bertindak di luar batas. Dan jangan mengharapkan sanjungan dan nama baik bagi pekerjaanmu itu." Mendengar permintaan itu, Prabu Kresna segera menghaturkan sembah. Ia berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih tercecer. Diantaranya mengembalikan Dewi Banowati kembali ke Astina. Setelah mendengar kesanggupan Kresna, Sang Hyang Baruna segera menghilang. Sosoknya bagai lenyap terbawa angin. Beberapa saat kemudian, dari belakang paseban terdengar bunyi gaduh. Para prajurit Jonggring Saloka rupanya telah membebaskan Bima dan rombongannya. Setelah gemuruh emosi Bima bisa diredakan, Prabu Kresna segera memberitahu duduk perkara semua persoalan. Sang surya telah condong di cakrawala. Senja menjelang tiba. Langit di ufuk barat nampak kemerahan, dihiasi selendang-selendang awan yang menghitam. Udara sore itu cerah, namun lembab. Demikianlah cuaca di negeri para dewata saat ini. Udara yang menyesakkan itulah yang makin membuat para dewa dan dewi, bethara dan bethari serta hapsara dan hapsari, malas untuk keluar rumah. Apalagi banyak yang sudah tahu bahwa negeri mereka sedang dilanda kerusuhan. Kebanyakan dari mereka memilih tenang-tenang berada dalam rumah yang ber-AC dan nonton CNN untuk mengetahui berita terakhir. Kerusuhan itu khabarnya telah berubah menjadi huru-hara. Demikian kusut urusannya sehingga bahkan menurut khabar burung sempat melibatkan United Nation. Sudah lumayan jauh juga Bethara Guru lari meninggalkan gelanggang perkelahian, ketika sadar bahwa senjata andalannya, Kiai Cundomanik, tak mempan waktu digunakan buat menghajar tubuh Ki Lurah Semar. Setelah merasa aman, ia memutuskan untuk beristirahat sebentar mengatur napas yang kelihatan kembangkempis. Ia agak menyesal juga karena sudah cukup lama tidak berolah raga. Biasanya ia rajin jogging. Tiba-tiba dari kejauhan nampak sebuah mobil jip menuju ke arahnya. Dengan hati girang ia keluar dari persembunyiannya. Kalo diperbolehkan, ia ingin numpang. Namun betapa kaget dirinya setelah tahu bahwa pengendarannya adalah Antasena. Dan semuanya sudah terlambat. Antasena sudah melihatnya dan melambai-lambaikan tangannya melalui jendela. "Bethara Guru! Hooiii! Guru!" teriak Antasena sambil mengeluarkan kepalanya di jendela, "gua pengen bicara ama elu! Gua cuma pengen minta pertanggung jawaban elu!" Mendengar teriakan itu, sadarlah Bethara Guru akan datangnya bahaya baru. Ketika mobil jip itu sudah semakin dekat, tanpa memberi jawaban, ia langsung kabur tunggang langgang. Ia lari ke arah jalan setapak yang menuju ke hutan kecil. Larinya mirip seorang maling yang dikejar hansip satu kompi. Ia tahu, jika Antasena dihadapinya, nasibnya nggak bakal lebih baik daripada waktu berhadapan dengan Semar. Saat ini kesaktiannya lagi apes. Di mobil jip-nya, Antasena cuma bisa bengong. Hatinya tambah dongkol berat. Tapi ia tidak putus asa. Biar tidak kenal daerah sekitar sini, ia yakin akan mampu menemukan Bethara Guru. Di mobilnya ada GPS (Global Positioning System). Dengan alat itu, ia nggak kawatir nyasar. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (55) Ternyata Bethara Guru memutuskan lari ke luar negri, ke Amerika. Memang, sebenarnya Amerika tempat pelarian yang paling nyaman, terutama bagi oknum-oknum pejabat dari negara berkembang. Asal yang bersangkutan tidak melanggar hukum setempat, ia tidak akan diusik-usik. Selain itu, yang bersangkutan tidak dalam kategori pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan juga tidak pernah mendapat cap pelaku Crimes Against Humanity di negara asalnya. Tapi ada peribahasa: hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Artinya: biar bagaimanapun enaknya tinggal di negara orang, masih enak tinggal di negara sendiri. Di Amrik, orang asing akan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Demikian juga halnya dengan Bethara Guru. Karena itu ia tidak betah. Maka setelah seminggu, ia memutuskan untuk pulang ke Jonggring Saloka. Ia sudah rindu Mie T?k-t?k, Nasi Uduk dan juga Sop Buntut, makanan-makanan kegemarannya. Ia bosan makan Hamburger Mc Donald dan Kentucky Fried Chicken melulu. Maka dengan segala resiko sampailah kembali ia di Kahyangan Jonggring Saloka. Begitu sampai ia langsung cium tanah. Ia sudah demikian rindu pada tanah airnya. Rupanya hatinya telah memiliki ketetapan. Dan ketetapan itu adalah keinginannya untuk mengurai kekusutan persoalan yang tengah terjadi di jagat raya. Artinya, ia sudah sadar bahwa sumber semua kekusutan itu adalah dirinya, yang dengan semena-mena telah menghukum Antasena. Hanya ada satu tempat, dimana persoalan jagat raya yang sudah mentok bisa dipecahkan. Bukan ke DPR, bukan ke DPA, dan bukan ke PBB, tapi kembali ke Rumah Kebajikan. Dan tempat ini bukanlah berbentuk gereja, masjid, pura, kuil maupun tempat ibadah berupa bangunan yang megah lainnya. Karena semua bangunan itu hanyalah sarana. Kembali ke Rumah Kebajikan artinya kembali kepada kesadaran diri sendiri. Karena sudah berhasil kembali pada kesadaran diri, maka tindakan selanjutnya tinggal mengurai kekusutan persoalan disekelilingnya. Dan pertama-tama itu dilakukan oleh Bethara Guru dengan cara bersemadi, memohon kedatangan Sang Hyang Wenang, pemegang kekuasaan atas semua dewa. Ia adalah dewanya para dewa yang bertugas mengatur supaya para dewa tidak jalan sendiri-sendiri dan tidak bertindak samau-maunya. Ia jugalah pemegang otoritas kehidupan dan kodrat manusia di jagat raya. "Maafkan saya, karena telah terpaksa mohon petunjuk paduka," demikian awal pengaduan Bethara Guru. Ia terpaksa harus jujur, karena tanpa kejujuranpun Sang Hyang Wenang sudah mengetahui segalanya. "Hmmm, ya...ya...kebetulan aku lagi monitor persoalan Timur Tengah dan Afrika. Tiba-tiba kok ada SMS yang meminta kedatanganku. Ada apa Bethara Guru?" tanya Sang Hyang Wenang. "Pertama, kedatangan saya adalah memohon perlindungan dari kejaran Antasena dan Kakang Semar. Adapun yang kedua, saya ingin memecahkan persoalan jagat raya yang makin hari saya rasakan semakin parah saja." "Nah, itulah Bethara Guru. Engkau tahu kan kalo kedua persoalan yang kau ungkapkan itu berhubungan satu dan lainnya. Semua itu awalnya dari nafsu, yaitu nafsumu. Nafsu itu sebaiknya janganlah terlalu dituruti. Nafsu itu memang tidak bisa hilang, tapi paling tidak bisa dikendalikan. Karena dari nafsu-nafsu yang paling kecil, seperti nafsu bergosip, sampai nafsu yang paling besar, yaitu nafsu berkuasa, semua itu bisa berakibat buruk. "Akibat buruk yang paling parah dari nafsu itu adalah bobroknya sifat-sifat pribadi, seperti menjadi tamak, egois, dan mau menang sendiri. Selain itu bukan hanya diri pribadi yang terpengaruh, tapi juga keadaan di sekeliling atau lingkungan. Karena kenyamanan dan kedamaian lingkungan jadi terganggu." Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulut Bethara Guru selain: "Ya, saya mengerti paduka." Sang Hyang Wenang melanjutkan wejangannya karena ia merasa sudah waktunya untuk mengingatkan Bethara Guru. Katanya lagi: "Nah, itu tadi masalah nafsu. Sekarang yang kedua adalah masalah ambisi. Punya ambisi sih boleh-boleh karena ambisi sudah jadi bagian dari hidup untuk mencapai kemajuan. Tapi ambisi juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jangan sampai gara-gara kemampuannya terbatas terus 'njilat yang di atas dan sikut kanan-kiri. Itu ambisi gila namanya. Apalagi kalo sampai nginjek yang di bawah. "Lebih parah lagi kalo ambisi dikombinasikan dengan sifat dan sikap yang otoriter. Ini berbahaya. Karena mereka yang otoriter biasanya tidak mau denger kata orang lain dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Ia mau berkuasa sendiri dan bertindak sewenang-wenang pada yang lain..." Belum sampai Sang Hyang Wenang menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar rumah. Beberapa saat kemudian masuklah Antasena dan Ki Lurah Semar. Betapa kagetnya Bethara Guru. Apalagi muka kedua orang itu sangar-sangar mirip anggota Babinsa kalah main judi. Antasena membawa pentungan di tangan kanannya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (56/Habis) Ketika Semar dan Antasena tahu siapa yang ada di hadapan Bethara Guru, mereka segera menjatuhkan diri, menyembah. Pentungan di tangan kanan Antasena terjatuh tak disengaja. Penghormatan mereka tak dibuat-buat. Melihat ulah mereka, Sang Hyang Wenang hanya tersenyum. "Ada apa Antasena, kok datang bawa pentungan segala seperti mau tawuran" Dan juga kamu Ismoyo, baru kali ini aku lihat wajahmu sangar kayak Pam Swakarsa nggak dapet bayaran gitu. Ada apa?" tanya Sang Hyang Wenang. "Maapin gua, kek. Gua kesini memang nyari Bethara Guru. Menurut intel gua, dia ada di rumah kontrakan ini. Eh, ternyata bener juga. Tapi gua kagak tahu kalo elu juga ada disini," jawab Antasena. Pandangannya kemudian dilayangkan pada Bethara Guru dengan sengit. Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hmm," Ki Lurah Semar titisan Bethara Ismoyo memulai jawabannya setelah berhasil menurunkan tensinya, "saya kira kan paduka sendiri tahu apa sebabnya saya kemari. Kalo bukan lantaran para putra Pandawa asuhan saya yang lagi dibikin susah sama Bethara Guru, saya nggak bakalan sampai kemari. Di jalan tadi saya diajak sama Antasena, yang katanya telah menemukan lokasi Bethara Guru dan mau minta pertanggung jawabannya. Nah, saya ikut aja sekalian." Suasana di dalam rumah hening. Hanya suara-suara penduduk kampung saja yang terdengar berisik dan gaduh di luar. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi dalam rumah kontrakan itu. Selain itu masih ditambah datangnya para pedagang kaki lima, yang pandai sekali membaca situasi dan memanfaatkan kerumunan umum. "Memang Bethara Guru memintaku datang kemari," kata Sang Hyang Wenang tiba-tiba. "Ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepada kalian. Nah, Bethara Guru, silahkan kamu ungkapkan apa yang ada di benakmu saat ini." Dengan sedikit salah tingkah Bethara Guru berkata: "Begini, nak, Antasena. Aku mengaku salah telah mencelakaimu. Aku sadari itu semua karena arogansiku pada kekuasaan. Selain itu, aku berusaha menuruti kemauan keluargaku, terutama anakku Dewa Serani, tanpa memandang patut atau tidaknya tindakanku itu. Karena itu aku sekarang minta maaf kepadamu, nak. Begitu juga aku minta maaf kepadamu Ismoyo, atas kesalahpahaman yang telah terjadi." Antasena tak mampu berkata-kata. Biar ia seorang pemberani dan sedang dalam keadaan emosi, toh luluh juga hatinya mendengar kata minta maaf itu. Dan nampaknya diungkapkan dengan sejujurnya oleh yang mengatakannya. Begitu juga Semar hanya mesam-mesem, namun dengan raut muka puas. "Nah, Antasena dan Ismoyo, Bethara Guru sudah mengakui kesalahannya. Dengan demikian maafkanlah dia. Jadi tak usah ada lagi dendam. Dia telah menunjukkan kembali kebesarannya sebagai pemimpin. Yah, para pemimpin pun kalau sudah terlalu lama berkuasa akan sulit mengucapkan kata maaf. Mereka mengira bahwa tindakannya selalu baik dan disetujui semua orang. Karena kedudukan mereka sudah terlalu tinggi sehingga kuping mereka kadang sulit untuk di raih oleh rakyat yang membutuhkan pengaduan dan keluh kesah. Mata mereka selalu menengok ke atas hingga lupa bahwa mereka sedang menginjak yang di bawah..." Mendengar nasehat-nasehat selanjutnya yang cukup tajam, Bethara Guru hanya menunduk diam. Menekuri penyesalannya sendiri. Tapi kemudian ia sempat kaget bagai disambar petir waktu terlempar ucapan Sang Hyang Wenang: "...nah, biarpun kejadian ini nantinya bukan yang terakhir kalinya, tapi mungkin baik bagimu, Bethara Guru, kalau sebelum bertindak berpikirlah dengan panjang. Dan juga sering-seringlah instrospeksi dan belajar dari pengalaman." "Baik, paduka," sembah Bethara Guru sambil menangkupkan kedua tangannya di atas jidat. "Sedangkan bagimu, Antasena," sabda Sang Hyang Wenang selanjutnya, "karena Bethara Guru sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, maka urusan ini aku anggap sudah selesai. Pulanglah kembali ke rumah. Temuilah istrimu karena kamu sudah diberi berkah kelanggengan dalam berjodohan dengan Dewi Jenokowati. Sedangkan tahta Jonggring Saloka, sekarang juga kuminta untuk kau serahkan kembali kepada Bethara Guru. Tahta itu sudah menjadi haknya. Mengenai urusan Dewa Serani biar nanti aku yang menyelesaikan. "Dan juga kau Ismoyo, kembalilah lagi kepada para kesatria sejati asuhanmu. Bantulah mereka mengurai kekusutan yang tengah terjadi di dunia." Hampir bersamaan Antasena dan Bethara Ismoyo menjawab: "Baik, kek! Baik, paduka!" Bersama dengan jawaban kesanggupan itu, lenyaplah sosok Sang Hyang Wenang. Tak ada bekas maupun aromanya yang tersisa. Lenyap bagai lebur dalam udara. Pada akhirnya, kehidupan alam berjalan pada porosnya masing-masing lagi. Kawah Candradimuka kembali tenang tak bergejolak. Gempa dan bencana alam telah berhenti. Kekusutan dunia telah terurai. Para mahkluk hidup dengan aman, damai dan sentosa. Namun, dibalik semua itu, nafsu angkara masih mengintai dibalik tiap jiwa-jiwa. Siap melepaskan amuknya jika si empunya tak mampu mengendalikannya. (Tamat) Document Outline KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK1.pdf KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK29.pdf Iblis Hutan Tengkorak 2 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Kisah Para Penggetar Langit 3