Memanah Burung Rajawali 13
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 13 tidak berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja..... Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: "Orang she Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah menyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu" Kau pinjamkan itu kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?" "Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!" menyahut Bwee Tiauw Hong. Auwyang Kongcu tertawa, "Kau serahkan dulu kitabmu!" katanya. Kita "Kiu Im Cin-keng" di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil keputusan: "Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!" Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar. "Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!" ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu. Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon pohon kayu besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya. "Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!" katanya kemudian. "Kau ambillah ini!" "Kau lemparkan!" kata Auwyang Kongcu yang licik. "Kau sambutlah!" seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun. Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh. Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar. "Perempuan siluman!" dia berteriak seraya mundur, "Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!" Bwee Tiauw Hong itu menyerang dengan "bue-heng-teng", yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas. Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkainya beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan" Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat. Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat. Inilah hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut. Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya. Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat. Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: "Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini...." Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyinya burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara seruling yang halus dan merdu. Kedua pihak, yang "tengah" bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, yang mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu. Bukan main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahi ia kapannya si baju hijau itu berada di atasnya pohon itu. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyanggoyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu..... Seruling masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, atau ia kaget sendirinya, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling itu. Hampir di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menarinari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari kuka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi mereka merasakan sakit. Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu. Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: "Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengari lagi serulingnya!" Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin. Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tenagh bersemadhi, untuk menguasi dirinya. Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya, tetapi mendengari suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa. Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, diwaktu ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringatnya, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu. * * * Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya siangnya, mereka jalanjalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat. Biar bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si Mayat Besi" Karenanya, diwaktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu. "Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?" katanya kepada si nona. "Jangan," Oey Yong menggoyangi tangan. "Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya, setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja padanya!" "Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?" tanya si pemuda lagi. "Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!" sahut si nona, yang tertawa. Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras itu dan luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya itu. Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis, bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka berdiam lebih lama. Dihari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya itu ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuha tengkorak dengan lubang lima jari tangan. Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong. Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia menanya: "Siapa...siapakah yang membawa ini kemari?" Ia pun memcoba berbangkit dengan bantuan tangannya. Bab 29. Orang yang Berjalan di Atas Kali Sambil Menjunjung Jambangan Air... Koan Eng dapat menduga tengkorak itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu berkhawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya itu. "Barusan orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak," ia menerangkan. "Chunteng kita mengira pada bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana. Adapakah mengenai barang ini, ayah?" Chungcu tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu. Koan Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. "Adakah lubang ini dibikin dari tusukan jari tangan?" tanyanya. Sang ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia bilang: "Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in-chung ini, ada api atau kitar berkurang, jangan mereka datang menolongi....!" "Ayah, apakah artinya ini?" Koan Eng tanya, kaget. Liok Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya ia berpaling kepada kedua tetamunya untuk berkata: "Kita baru bertemu tetapi kita cocok sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula...." Terus ia menoleh kepada kacungnya dan kata: "Pergi kau ambil uang emas empatpuluh tail." Kacung itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanyatanya lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya. Sebentar kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu menyambuti itu, untuk terus dihanturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: "Nona ini cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya." Mendengar itu muka, Oey Yong merah sendirinya. "Tajam sekali mata orang ini," pikirnya. "Kiranya ia telah mengetaui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku belum menikah sama engko Ceng?" Kwee Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghanturkan terima kasih. Di meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus itu, kemudian ia kata pula: "Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat berkenalan, inilah sedikit hormatku." Obat itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada obat yang dinamakan pil "Kiu-hoa Giok-louw-wan". Semasa kecil pernah ia mambantui ayahnya mengumpuli sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat obat. Memang tiadk gampang untuk membikin obat itu. Maka itu ia kata: "Tidak gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini," ia berkata, "Dari itu sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja." Herang chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. "Kenapa nona ketahui namanya obat ini?" tanyanya. "Dimasa kecil tubuhku lemah sekali," Oey Yong mendusta, "Kebetulan pandai kita bertemu dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu, kesehatanku pulih." Tuan rumah tertawa menyeringai pula. "Jangan menampik, jiwi," ia berkata. "Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya." Oey Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh, maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih. "Perahu telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meinggalkan telaga ini," berkata lagi tuan rumah. "Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini." Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga itu untuk memberikan bantuannya tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya, terpaksa ia mengangguk. "Aku lancang, ingin aku menanyakan suatu hal," kata Oey Yong. "Apakah itu, nona?" tanya si tuan rumah. "Chungcu sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak menyingkir daripadanya" Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa membilang, seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata...." Chungcu itu menghela napas. "Tapi dua orang itu telah membuatnya aku menderita," katanya, masgul. "Cacad tubuhku ini pun adalah pemberian mereka itu. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka untuk membuat perhitungan, sekarang mereka itu datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan Thian!" Oey heran mendengar orang menyebut dua orang. "Ah, ia tentunya masih menduga si Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka itu" Sayang aku tidak dapat menanyakannya...." Tapi ia tertawa. Ia lantas menanya: "Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau pun ketahui kami belum menikah" Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?" Ditanya begitu tuan rumah melengak. "Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak dapat melihatnya" Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya..." pikirnya. Selagi ia bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, "Pesan ayah sudah disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang. Mereka kata biarnya mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak meninggalkan Kwie-in-chung!" Liok Chungcu menghela napas. "Sungguh mereka baik sekali," katanya. "Nah, kau antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini." Oey Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan keledai mereka. "Naik perahu atau tidak?" Kwee Ceng berbisik. "Kita pergi untuk kembali!" sahut Oey Yong, berbisik juga. Koan Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya itu pergi, ia tidak memperhatikan sikapnya kedua tetamunya itu. Disaat Oey Yong berua hendak naik di perahu yang sudah disediakan, mendadak saja ia menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan cepat sekali di tepi telaga, di kepala itu ada dijunjung satu jambangan yang besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengawasi seperti si nona. Sebentas kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegnag sebuah kipas yang besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia terhuyung, lalu dari jambangan itu itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat itu benar-benar hebat. "Apakah bisa menjadi dialah musuh ayah?" Koan Eng menduga-duga. Ia lanatas saja menyusul. Oey Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti. Cepat jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie. Koan Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua. Juga Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia ini melebihkan lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar tetapi jambangan ini jauh lebih besar. Si orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi bersangsi. Ia pikir: "Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia menyembunyikan kawan-kawannya" Baiklah aku balik..." Tapi di depannya ada kali, ia heran. Pikirnya pula: "Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat bagaimana dia melewatinya.... Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian barat..." Selagi ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak. Si orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletaki jambangan di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia berjalan setindak demi setindak kembali ke darat. Kwee Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman. Tiba-tiba si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. "Tuan, adakah kau chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?" dia bertanya. "Maaf," kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang. "Ah, masih ada dua engko kecil di sana!" kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. "Marilah kamu sama-sama datang ke mari!" Koan Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat ebrlari keras seperti dia tanpa tindakannya bersuara. Kwee Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan - thay-kong orang tua yang dihormati. Orang tua itu tertawa pula; "Sudah, Sudah!" ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia mengawasi Koan Eng dan berkata: " Di sini bukan tempat yang tepat untuk memasang omong, mari kita mencari tempatnya untuk berduduk-duduk." Koan Eng tetap bersangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. "Apakah thaykong kenal ayahku?" ia menanya. "Kau maksudkan chungcu yang tua" Belum pernah aku bertemu dengannya." sahut si orang tua. Agaknya orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: "Hari ini ayah menerima serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?" "Bingkisan apakah itu yang aneh?" si orang tua balik menanya. "Itulah sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan...." sahut Koan Eng. "Benar-benar aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?" tanya si orang tua lagi. Mendengar itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia lantas menunjuk wajah gembira. "Jikalau thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum the," ia mengundang. "begitupun baik," shaut orang tua itu setelah berpikir sejenak. Buakn main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka. "Apakah kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?" tanya si orang tua seraya ia menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. "Kedua tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku," menyahut Koan Eng. Lantas orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat. Kwee Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya. Tidak lama, tuan rumah telah muncul dengan digotong dua orangnya. Ia numprah di atas pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: "Maaf, tak tahu aku akan kedatangan tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya." Orang tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar ketika ia berkata: "Tak usah menggunai banyak adat peradatan, Liok Chungcu." Tuan rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya itu. "Aku she Kiu, namaku Cian Jin," sahutnya. Tuan rumah terkejut. "Jadinya locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang-piauw!" katanya. Ia ketahui baik nama orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air. "Bagus sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku itu! Sudah duapuluh tahun semenjak aku tidak muncul pula dalam dunia kangouw, aku menyangka orang telah melupai aku." Memang pada duapuluh tahun yang lampau itu, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupai dia. Liok Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat. "Untuk apakah locianpwee datang ke sini?" ia menanya. "Bila aku sanggup, suka sekali aku berbuat sesuatu untukmu." "Tidak ada urusan yang penting," sahut si orang tua tertawa. "Atau mungkin aku bakal ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-lahan." Liok Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan tetapi ia tetap kurang tenang hatinya. "Apakah locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?" ia menanya. "Hek Hong Siang Sat" Apakah kedua iblis itu belum mampus?" si orang tua balik menanya. Lega juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu. "Anak Eng, pergi kau minta locinpwee beristirahat di kamar tulis," katanya kemudian. Kiu Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng. Liok Chungcu belum tahu kepandaiannya Kiu Cian Jin itu, hanya ia ketahu ketika dulu hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat datang, bolehlah tak usah ia terlalu berkhawatir. "Jiwi belum berangkat, inilah bagus," katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silkana jiwi beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya sudah tak ada lagi!" Oey Yong tertawa. "Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?" ia bertanya lucu. Tuan rumah berpikir. "Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi tidak bakal dapat melayani jiwi," berkata dia. "Tapi baiklah, asal jiwi berdiam saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini, segala tikus tentulah tidak ada artinya!" Oey Yong bertepuk tangan saking girangnya. "Aku memang paling gemar menonton orang berkelahi!" katanya. "Ketika kemarin ini kau menghajar pangeran cilik, sungguh senang untuk menyaksikannya!" "Tapi yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik itu," Liok Chungcu memberitahu. "Dia lihay sekali, karenanya aku berkhawatir." "Ah, chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?" Oey Yong tanya, ia heran. "Nona tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti," berkata tuan rumah. "Ketika si pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu sama denagn kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu." "Aku mengerti sekarang!" kata Oey Yong. "Memang juga tulisan Souw Tong Po beda dengan tulisannya Oey San Kok, sama seperri bedanya lukisan Too Koen Hong dari lukisannya Cie Hie! Cuma ahli yang segera dapat menbedakannya!" "Sungguh kau cerdas, nona!" tertawa tuan rumah. Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng. "Mari kita lihat itu orang tua yang kumisnya ubanan!" katanya. "Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?" "Eh, jangan nona!" mencegah tuan rumah, terkejut. "Jangan kau membuatnya gusar!" "Oh, tidak ada!" kata Oey Yong, tertawa. Ia berbangkit, untuk berlalu. Liok Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi bergelisah sendirinya. "Nona ini sangat nakal!" katanya. "Mana orang dapat diintai?" Terpaksa ia suruh orangnya menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari masih jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela. Oey Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, untuk mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan rumah supaya tuan rumah itu datang padanya. Liok Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia berkhawatir, kalau ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia lantas menjdai heran sekali. Kiu Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya menghembus keluar tak habisnya serupa hawa mirip asap atau kabut. Ia luas pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung bajunya Kwee Ceng, untuk menyuruh orang jangan mengintai terlalu lama. Kwee Ceng seorang terhormat, ia mengindahi tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas ia mencuri melihat lain orang, dari itu ia terus tariknya Oey Yong. Bersama-sama tuan rumah mereka masuk ke perdalaman. "Bagus sekali permainannya tua bangka itu!" kata Oey Yong tertawa. "Di dalam perutnya bisa api menyala!" "Kau tidak tahu, nona," kata tuan rumah. "Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!" "Mustahilkah mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?" tanya Oey Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang keluar dari mulutnya tetamu tua itu. "Kalau itu benar api, itulah tidak mungkin," berkata tuan rumah. "Aku percaya, itulah semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?" "Ya, dengan hancuran bunga menghajar orang!" seru Oey Yong. "Benar-benar nona cerdas!" tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya. Setelah mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di paling bawah. Liok Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali. "Liok Laotee," kata Kiu Cian Jin kemudian. "Kau menjadi pemimpin di Kwie-inchung ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu atau dua jurus kepadaku" Dengan begini mataku jadi dapat dibuka." "Kepandaianku tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee," kata tuan rumah menghormat. "Laginya sudah lama aku bercacad, sedikit pelajaran yang aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya." "Siapakah itu gurumu, laotee?" tanya tetamu itu. "Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku si orang tua mengenalnya." Liok Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. "Kelakuanku tidak selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu untuk aku menyebutnya," katanya selang sejenak. Mendengar itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu yang ayahnya lihay ilmu silatnya. Ia percaya ayahnya itu ada punya lelakon yang menyedihkan. "Liok Chungcu," berkata si orang tua, "Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak hendak menggunai ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak kepuasanmu itu" Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu menjadi insyaf dan menyesal karenanya." "Aku bercacad, aku bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali, menyesal aku tidak dapat menerimanya," sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara dengan merendah. "Chungcu terlalu merendah. Di depan mataku ada satu jalan, hanya entahlah, chungcu memang tidak melihatnya atau memang tidak memikirkannya...." "Tolong locianpwee memberi petunjuk" Kiu Cian Jin tersenyum, ia santap lauk pauknya, ia tidak menyahuti. Tuan rumah menduga pasti ada sebabnya kenapa orang tua ini muncul setelah ia mengundurkan diri duapuluh tahun lamanya, ia hanya tidak dapat menerka maksud orang itu. Orang pun ada dari kalangan terlebih atas, tidak dapat ia menanyakannya, maka itu ia membiarkan saja sampai orang suka bicara sendiri. "Tidak apalah Chunngcu tidak sudi memberitahukan guru atau rumah perguruanmu," kata Kiu Cian Jin kemudian. "Kwie-in-chung begini kesohor, yang mengurusnya mesti murid dari guru yang kenamaan...." "Segala apa disini diurus oleh Koan Eng, anakku," menerangkan tuan rumah. "Ia adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di kota Lim-an." "Ah, Kouw Bok Taysu itu adalah ahli waris yang menjadi ketua dari cabang Selatan dari partai Hoat Hoa," berkata Kiu Cian Jin. "Dialah ahli luar. Maukah siauwchungcu mempertunjuki sesuatu untuk aku meluaskan pandangan mataku?" "Locianpwee sudi memberi petunjuk, inilah untungnya anakku," kata Liok Chungcu. Koan Eng memang ingin sekali diberi petunjuk, maka itu ia sudah lantas pergi ke tengah ruang. "Tolong thay-kong mengajari aku," katanya. Lalu ia mulai bersilat dengan tipu silatnya yang ia paling gemari, yaitu Loo-han Hok-houw-kun, kuntauw Arhat Menakluki Harimau. Setiap kepalannya memperdengarkan suara angin santar, tindakannya pun gesit dan tetap. Dekat penutupnya ia berseru keras, bagaikan harimau menderum, hingga api lilin pada bergoyang dan orang merasakan tersampar angin dingin. Itulah artinya arhat bertempur sama raja hantu. Diakhirnya ia menghajar batu sampai batu batanya hancur, lalu ia berdiri tegar, tangan kirinya diangkat tinggi menunjang langit, kaki kanannya ditendangkan ke depan. Dengan begitu ia memperlihatkan sikap dari arhat atau loohan. "Bagus! Bagus!" Kwee Ceng dan Oey Yong berseru memuji. Habis itu Koan Eng memberi hormat kepada Kiu Cian Jin. Ketika ia kembali ke kursinya, air mukanya tidak berubah, napasnya tidak memburu, ia duduk dengan tenang seperti bukan habis bersilat hebat sekali. Kiu Cian Jin tidak membilang suatu apa, ia melainkan tersenyum. "Apakah kebisaannya anakku ini masih dapat dilihat?" Liok Chungcu tanya. "Begitulah," sahut si orang tua. "Tolong locianpwee beri petunjuk di mana yang perlu," tuan rumah minta. "Ilmu silat putramu ini, kalau dipakai untuk memperkuat tubuh, sunggu tak ada yang melebihkannya," menyahut tetamu itu, "Hanya kalau ia hendak dipakai untuk merebut kemenangan, dapat dikatakan itu tidak ada gunanya." Selagi tuan rumah belum membilang suatu apa, Kwee Ceng merasa heran. Ia pikir: " Memang tidak terlalu lihay ilmu silatnya tuan rumah yang muda ini, akan tetapi tidaklah tepat untuk mengatakan tidak ada gunanya...." Tuan rumah lantas berkata: "Tolong locianpwee memberikan petunjuk untuk sekalian membuka pandangan kami yang cupat." Kiu Cian Jin berbangkit, ia bertindak keluar ruangan. Ketika ia kembali, di kedua tangannya masing-masing ada tercekal sepotong batu bata. Orang tidak lihat ia mengerahkan tenaga, tahu-tahu ada terdengar suara meretek, lalu tertampak dua Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo potong batu bata itu sudah remuk, akan kemudian hancur menjadi seperti tepung. Semua orang terkejut. Duduk pula di kursinya, semberai tertawa ia berkata: "Chungcu muda dapat menhajar batu hancur itu pun bukan sembarang pelajaran, tidak gampang untuk mendapatkan itu, tetapi haruslah diingat, musuh bukan sepotong batu, musuh tidak mungkin mandah saja diserang. Maka dalam ilmu silat, yang penting ialah menggunai ketika terlebih dulu untuk menaklukkan musuh. Ini dia yang orang dahulu kala menyebutnya, diam bagaikan anak dara, gesit bagaikan kelinci." Koan Eng terdiam, menginsyafi kata-kata itu. Kiu Cian Jin menghela napas. Ia berkata pula: "Sekarang ini banyak orang yang menyakinkan ilmu silat tetapin kepandaiannya berarti tidak ada seberapa...." "Siapakah beberapa orang itu, lojinkee?" Oey Yong tanya. "Kaum Rimba Persilatan menyebutnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima," menyahut si orang tua. "Semua mereka itu pernah aku ketemukan sendiri, aku lihat diantaranya yang terlihay ialah Tiong Sin Thong, yang lainnya, ada keistimewaannya tetapi pun ada kekurangannya masing-masing. Harus diketahui, ada panjang mesti ada pendek, asal kita ketahui cacad orang, tak susah untuk merobohkannya." Liok Chungchu bersama Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat. Koan Eng sendiri tidak, sebab ia tidak tahu siapa itu lima orang lihay yang disebutkan. Tapi Oey Yong terkejut berbareng mendongkol. Suara orang itu bernada menghina ayahnya. ia tidak memperdulikan lagi bahwa orang dapat berjalan di air sambil menjunjung jambangan, napasnya mengeluarkan asap dan remasan tangannya kuat sekali. "Apakah tidak bagus jikalau locianpwee menghajar roboh kelima orang itu supaya namamu jadi sangat kesohor di kolong langit ini?" ia menanya seraya tertawa. Kiu Cian Jin tidak menjawab, dia hanya melanjuti kata-katanya: "Sekarang ini Ong Tiong Yang itu telah menutup mata. Ketika terjadi perundingan ilmu silat pedang di gunung Hoa San itu, lantaran kebetulan ada urusan, aku tidak dapat turut hadir, dengan begitu gelaran jago silat nomor satu di kolong laing ini telah didapatkan imam tua yang telah meninggal dunia itu. Tatkala itu mereka berlima memperebuti kitan Kiu Im Cin Keng, katanya siapa yang paling tangguh, dialah yang mendapatkan kitab itu. Tujuh hari dan tujuh malam sudah mereka bertempur, Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay menyerahlah mereka semua. Kemudian, sesudah Ong Tiong Yang meninggal, timbul lagi gelombang. Katanya ketika si imam tua hendak menutup mata, kitabnya itu dia wariskan kepada Ciu Pek Thong, adik seperguruannya. Tong Shia Oey Yok Su sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong itu, Ciu Pek Thong bukan tandingannya, kitabnya terampas sebagian. entahlah kemudian bagaimana urusan kitab itu." Oey Yong dan Kwee Ceng mengangguk dengan diam-diam. Baru sekarang mereka ketahui lelakonnya kitab Kiu Im Cin Keng itu, yang sebagiannya lagi kena dicuri Hek Hong Siang Sat. "Oleh karena lojinkee ialah orang yang nomor satu ilmu silatnya, sudah selayaknya kitab itu menjadi kepunyaanmu," berkata Oey Yong. "Aku malas untuk berebutan sama orang," sahut Kiu Cian Jin. "Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, mereka adalah setengah kati delapan tail. Selama beberapa puluh tahun ini keras mereka berlatih, ingin mereka menjadi jago nomor satu. Maka itu kalau terjadi pertemuan yang kedua di Hoa San, pastilah ramainya bukan buatan." "Oh, bakal terjadi pertempuran yang kedua di Hoa San?" si nona menegaskan. "Duapuluh lima tahun ialah satu generasi!" berakta Kiu Cian Jin. "Mereka ynag tua bakal mati, yang muda bakal muncul, maka itu, lagi satu tahun akan tibalah saat perundingan yang kedua di Hoa San itu. Aku lihat, yang bakal bertarung itu kembali kami si orang-orang tua. Sayang sekarang tidak ada lagi anak-anak muda yang berarti, ilmu silat menjadi lemah satu generasi demi satu generasi....!" "Apakah lain tahun lojinkee hendak mendaki gunung Hoa San itu?" Oey Yong menanya terus-menerus. "Kalau benar lojinkee hendak pergi, maukah kau mangajak aku untuk turut menyaksikan keramain itu" Akulah orang yang paling gemar menonton orang berkelahi!" "Ah, mana dapat itu dikatakan pertempuran" Sebenarnya aku tidak mengandung niat pergi. Bukankah kita si tua bakal masuk ke dalam tanah" ntuk apa segala nama kosong" Hanya di hadapan kita sekarang ada satu urusan sangat besar, yang mengenai keselamatan seluruh umat manusi. Jikalau aku termahai hidup senang sendiri dan aku tidak manjat tinggi, celakalah semua umat dan makhluk!" Inilah hebat, maka Liok Chungcu berempat lantas menanyakan bencana apa itu yang demikian hebat ancamannya. "Inilah rahasia sangat besar. Kedua engko kecil Kwee dan Oey, kamu bukan orang kangouw, kamu lebih baik jangan ketahui urusan ini!" Oey Yong tidak menjadi kurang senang, sebaliknya ia tertawa. "Liok Chungcu ini sahabatku yang baik sekali, asal kau menjelaskan kepadanya, tidak nanti ia menyembunyikan itu kepadaku!" katanya. "Ah, anak nakal!" kata Liok Chungcu di dalam hatinya. Tapi ia berdiam. "Kalau begitu, baiklah aku menjelaskan kepada kamu semua!" kata Kiu Cian Jin. "Cuma aku minta kemudian janganlah kau membocorkannya." "Kamu bukan sanak bukan kandung, urusan rahasia ini baiklah kami tidak mendengarnya," pikir Kwee Ceng, yang terus berbnagkit dan berkata: "Maafkanlah aku serta saudara Oey ini, ingin aku mengundurkan diri." "Jiwi adalah sahabat-sahabat kekal dari Liok Chungcu, kamu bukan orang luar, silakan duduk!" Kiu Cian Jin minta. Sembari berkata ia menekan pundaknya si anak muda. Kwee Ceng tidak merasakan tekanan keras, akan tetapi karena ia mengaku tidak mengerti ilmub silat, ia tidak melawan, ia berduduk pula. Karena itu, Oey Yong pun batal mengundurkan diri. Kiu Cian Jin berbangkit, ia mengangkat araknya untuk mengajak orang minum bersama. "Tidak sampai setengah tahun, kerajaan Song bakal menghadapi bencana besar," katanya kemudian. "Apakah tuan-tuan ketahui itu?" Mendengar ini, semua orang terkejut. Bahkan Koan Eng lantas menitahkan orangorangnya mundur sampai ke pintu dan semua pelayan dilarang datang dekat. "Aku telah mendapat keterangan pasti," Kiu Cian Jin melanjuti. "Dalam tempo enam bulan pastilah angkatan perang bangsa Kim bakal menyerbu ke Selatan. Kali ini angkatan perangnya itu besar dan kuat, maka juga kerajaan Song pastilah tidak dibelakan pula. Ya, inilah takdir, tidak dapat kita berbuat apa-apa...." Kwee Ceng terkejut hingga ia lantas berkata: "Kalau begitu haruslah locianpwee lekas memberitahukan ancaman itu kepada pemerintah supaya pemerintah segera siap sedia untuk menyambut musuh!" Orang tua itu mendelik kepada anak muda itu. "Kau tau apa"!" tegurnya. "Satu kali angkatan perang Song bersiap sedia, bahayanya bakal terjadi terlebih hebat lagi!" Kwee Ceng terdiam. Tidak mengerti ia maksud orang. Oey Yong pun bungkam. "Lama aku telah memikirkan itu," Kiu Cian Jin melanjuti omongannya. "Aku lihat cuma ada satu jalan untuk membikin rakyat hiudp damai dan senang, supaya negera yang indah ini tidak sampai menjadi habis terbakar. Inilah tujuanku kenapa aku telah melakoni perjalanan ribuan lie jauhnya datang ke Kanglam ini. Kabarnya chungcu telah menawan pangeran muda negara Kim serta komandan tentara Toan Tayjin, tolongkan undang mereka hadir di sini untuk kita memasang omong. Maukah kau meluluskan, chungcu?" Liok Chungcu terpengaruh kata-kata orang. Ia pun heran kenapa orang ini mendapat tahu hal tertawannya dua orang itu. Ia lantas meluluskan, ia membawa menghadap orang tawanannya itu, bahkan mereka dibebaskan dari belengguan dan disuruh duduk disebelah bawah. Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan, baru ditahan beberapa hari, roman Wanyen Kang sudah kucel dan perok, sedang Toan Tayjin itu, yang berumur limapuluh lebih dan berewokan ketakuan. "Siauw-ongya, kaget"!" kata kiu Cian Jin pada Wanyen Kang. Pangeran itu mengangguk, tetapi hatinya berkata: "Si Kwee dan si Oey ini berada di sini, entah mau apa mereka... Dan adik Liam Cu itu, entah dia bawa ikat pinggangku kepada guruku atau tidak...." "Chungcu," berkata Kiu Cian Jin pada tuan rumah. "Di hadapanmu ada terbayang harta besar dan kemuliaan, aku melihat itu tetapi tidak hendak mengambilnya, kenapakah?" Tuan rumah heran. "Kemuliaan apakah itu, locianpwee?" tanyanya. "Kalau nanti angkatan erang Kim itu menyerbu ke Selatan ini dan peperangan itu terjadi, mesti banyak sekali orang yang terluka," berkata Kiu Cian Jin, "Oleh karena itu bukankah bagus jikalau chungcu menggabungi semua orang gagah untuk melenyapkan ancaman perang itu?" "Memang itu urusan yang besar dan baik sekali," pikir Liok Chungcu. Maka ia menjawab: "Jikalau dapat aku mengeluarkan tenaga untuk negera dan juga dapat menolong rakyat dari marabahaya - yang mana adalah tugas kita sebagai rakyat jelata - tentu sekali sudi aku melakukannya. Sebenarnya aku setia kepada pemerintah, tetapi sayang pemerintah sendiri yang tidak mengerti itu, sekarang ini kawanan pengkhianatlah yang memegang tampuk pemimpin, maka itu sia-sialah belaka maksud hatiku. Locianpwee, tolong kau menunjuk aku satu jalan yang terang, untuk itu aku akan sangat bersyukur kepadamu." Kiu Cian Jin mengusap kumisnya, ia tertawa lebar. ia baru hendak berkata pula atau ia terhalang oleh datangnya satu chungteng yang memberi kabar: "Thio Cecu yang kebetulan berada di tengah telaga sudah menyambutnya enam tetamu luar biasa, yang sekarang sudah berada di depan." Kaget tuan rumah itu. "Lekas mengundang!" titahnya. Koan Eng sudah lantas berlari keluar untuk menyambut. Diantara terangnya api terlihat enam tetamu yang tubuhnya tinggi dan kate tidak rata, antaranya ada seorang wanita. Ketika mereka itu bertindak masuk, Kwee Ceng berbareng girang, segera ia lari memapaki untuk berlutut di hadapan mereka itu. "Suhu!" katanya. "Apakah suhu semua baik?" Keenam tetamu itu memang Kanglam Liok Koay adanya. Mereka itu datang dari Utara, setibanya mereka di telaga Thay Ouw, lantas ada beberapa orang yang menyambutnya dengan manis. Sudah lama mereka meninggalkan Kanglam, mereka masih rada asing. Maka itu Cu Cong yang melayani beberapa itu bicara. Kemudian ternyata, pihak penyambut adalah Thio Cecu dari Kwie-in-chung. Sebenarnya tidak tahu cecu itu siapa enam orang ini, ia doyong menduga kepada musuhnya chungcu tua, maka itu selama menyambut, ia terbenam dalam kesangsian. Ia ditugaskan Koan Eng berjagajaga, sekalian menyambut orang pandai, maka itu ia bertindak secara hati-hati. Liok Koay pun heran melihat muridnya itu ada di sini. "Eh, bocah, mana silumanmu"!" Han Po Kie menanya. Ia menegur. Han Siauw Eng bermata tajam, segera ia melihat Oey Yong hadir bersama, maka itu ia tarik ujung baju kakaknya seraya berbisik: "Sabar, urusan ini kita boleh bicarakan perlahan-lahan kemudian." Nona lihay ini dapat mengenali walaupun Oey Yong dandan sebagai seoarng pemuda. Tuan rumah tak kenal siapa enam orang itu tetapi karena Kwee Ceng memanggil guru kepada mereka, ia lantas memberi hormat. Ia minta dimaafkan yang ia tidak dapat berjalan. Ia pun segera memerintahkan menyiapkan sebuah meja untuk ini tetamu baru. Kwee Ceng tidak berayal lagi menjelaskan perihal gurunya. Liok Chungcu menjadi girang sekali. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan-tuan, hari ini aku dapat meneminya, sungguh aku beruntung!" katanya. Bebeda dari tuan rumah, Kiu Cian Jin duduk tetap di kursinya. Ia cuma tersenyum, terus ia dahar dan minum seoarng diri. "Siapa tuan ini?" menanya Han Po Kie. Ia sebal atas sikap orang acuh tak acuh itu, bahkan temberang. "Baiklah Liok-hiap ketahui," tuan rumah berkata, "Tuan ini adalah gunung Tay San dan Bintang Pak Tauw dari Kaum Rimba Persilatan di ini jaman, yang kepandaian ilmu silatnya tidak ada orang di kolong langit ini yang dapat menandinginya...." Mau tidak mau Liok Koay heran. "Apakah dia Oey Yok Su dari Tho Hoa To?" tanya Han Siauw Eng. "Apakah dia Kiu Cie Sin Kay?" tanya Han Po Kie. "Meskipun tuan dari pulau Tho Hoa To serta Kiu Cie Sin Kay sangat lihay, tidak nanti mereka dapat menandingi Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Locianpwee!" Liok Koan Eng lantas memperkenalkan. Kwa Tin Ok heran. "Oh, Locianpwee Kiu Cian Jin!" katanya. Kiu Cian Jin tertawa keras, sampai rumahnya bagaikan tergetar. Ketika itu beberapa chungteng telah selesai menyiapkan meja serta barang hidangan dan keenam tetamu itu sudah lantas mengambil tempat duduk mereka. Kwee Ceng pindah duduk di sebelah bawah gurunya itu. Ia telah menarik tangannya Oey Yong untuk diajak duduk bersama, si nona tapinya menggoyang kepala sambil tertawa, ia menampik untuk pindah duduk. Liok Chungcu tertawa, ia kata: "Aku menyangka saudara Kwee tidak mengerti ilmu silat, kiranya kau adalah muridnya enam orang pandai. Benar-benar mataku lamur, tidak dapat aku melihat mustika yang disembunyikan...." Kwee Ceng berbangkit, ia memberi hormat. "Kepandaianku tidak seberapa," ia berkata, "Dengan menerima pengajaran guruku, tidak berani aku banyak bertingkah. Harap chungcu sudi memaafkannya." Senang Tin Ok mendengar pembicaraan itu. Terang sudah Kwee Ceng pandai membawa diri. "Tuan-tuan adalah orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini," berkata Kiu Cian Jin. "Kebetulan sekali aku si orang tua ada punya urusan yang penting, jikalau di dalam hal itu aku bisa memperoleh bantuan kamu, sungguh bagus sekali!" "Ketika tuan-tuan datang, baru saja Kiu Locianpwee hendak memberi penjelasan," berkata tuan rumah. "Sekarang silakan locianpwee memberi petunjuk kepadaku." Kiu Cian Jin menurut, ia lantas berkata: "Kita yang memernahkan diri dalam dunia Rimba Persilatan, pokok penting dari tujuan kita adalah perbuatan-perbuatan mulia, menolong rakyat dari kesengsaraan. Sekarang ini tinggal ditunggu harinya saja yang angkatan perang negara Kim meluruk ke Selatan ini, jikalau kerajaan Song tidak dapat melihat selatan dan dia tidak sudi menyerah, asal saja peperangan terjadi, celakalah rakyat, entah berapa banyak jiwa yang bakal terbinasa! Bukankah ada kata-kata, siapa menurut Thian dia makmur, siapa menentang Thian dia musnah" Maka juga aku datang ke Selatan ini untuk menggabungi semua orang gagah di Kanglam, untuk bersama menyambut angkatan perang Kim itu, supaya Kerajaan Song digencet dari luar dan dalam, hingga habislah tenaganya, tidak dapat ia melawan perang dan karenanya menyerah. Kalau usaha ini berhasil, disebelahnya pangkat mulia dan kedudukan yang senang buat kita, rakyat pasti sangat bersyukur. Dengan begitupun tidaklah sia-sia kita telah mempunyai kepandaian silat yang lihay." Mendengar itu, air muka Kanglam Liok Koay berubah, bahkan dua saudara Han saudh lantas hendak membuka suaranya, syukur Coan Kim Hoat dapat lantas menarik ujung baju mereka seraya matanya melirik kepada tuan rumah, menunjuki untuk melihat atau mendengar sikapnya tuan rumah itu. Sebegitu jauh Liok Chungcu menghormati tetamunya yang tua itu, tetapi sekarang, mendengar suara orang ia heran bukan main. Ia mencoba tertawa ketika ia berkata: "Meskipun aku bodoh tetapi dengan menempatkan diri di dalam kalangan kaum kangouw, masih mengerti juga aku tentang tiong dan gie, kesetian dan kebajikan dan tidak dapat aku melupakannya. Angkatan perang Kim itu hendak menyerbu ke Selatan ini, itu artinya mereka bakal mencelakai rakyat negeri, kalau itu sampai terjadi, aku akan turut semua tindakannya orang gagah di Kanglam ini untuk menentangnya hingga aku terbinasa! Untuk ini aku akan mengangkat sumpah! Locianpwee, kata-katamu ini rupanya hendak memancing aku, bukan?" "Laotee, mengapa pandangan matamu begini pendek?" tanya tetamu itu. "Apakah kebaikannya membantu kerajaan Song melawan bangsa Kim" Paling banyak kau bakal mengalami nasib sebagai Gak Bu Bok yang terbinasa secara menyadihkan di paseban Hong Po Teng..." Mendengar ini, tuan rumah kaget berbareng gusar. Ia mulanya mengharap mandapat bantuan melawan Hek Hong Siang Sat, siapa tahu ia justru dibujuk untuk mengkhianati negera sendiri! Maka sia-sia belaka orang tua ini pandai ilmu silatnya kalau jiwanya demikian rendah, dia demikian tidak tahu malu. Ia lantas mengebaskan tangan bajunya. Ia berkata: "Malam ini aku lagi menghadapi datangnya musuh, sebenarnya aku berniat memohon batuan locianpwee, tetapi karena kita tidak sepaham, walaupun leherku bakal memuncratkan darah, tidak berani aku melayani locianpwee terlalu lama pula! Silahkan!" Ia memberi hormat pula, tandanya ia mengusir tetamunya itu. Kanglam Liok Koay berikut Kwee ceng dan Oey Yong girang dalam hatinya. Kiu Cian in tidak tertawa, ia pun tidak menyahuti, dengan tangan kiri mencekal cawan arak, tangan kanannya dibawa ke mulut cawan itu, terus diputar-putar, mendadak tangan kanannya itu dikebaskan, disambarkan terbalik. Maka untuk herannya semua orang, cawan arak itu terpapas separuhnya! Liok Chungcu berdiam dengan hatinya bekerja keras memikirkan daya untuk melayani orang tua ini, yang sudah mengancam dengan kepandaiannya itu yang luar biasa. Tapi Ma Ong Sin Han Po Kie tidak dapat bersabar lagi, dia lompat bangun dari kursinya menghadapi orang tua itu. "Manusia tak tahu malu, mari kita mengadu kepandaian!" ia menantang. Kiu Cian Jin tidak menjadi gentar. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sudah lama aku mendengar nama Kanglam Cit Koay, baiklah hari ini diuji tulen palsunya!" katanya, "Tuan-tuan, baiklah kau maju semua berbareng!" Tuan rumah mau menduga Han Po Kie bukan tandingan orang, mendengar tantangan itu, ia girang sekali. Ia lantas berkata: "Memang biasanya Kanglam Liok Koay meju berbareng mundur berbareng, musuh seorang mereka berenam, musuh sepasukan tentara besar mereka berenam juga, tidak pernah ada salah satu di antaranya yang sudi ketinggalan!" Inilah kata-kata yang disengaja. Mendengar ini Cu Cong ketahui maksud orang. "Baiklah!" dia berkata, "Biak kita bersama-sama melayani ini jago Rimba Persilatan yang kenamaan!" Lalu dengan mengebaskan tangannya, lima saudaranya segera berbangkit bangun bersiap-sedia. Kiu Cian Jin berdiri, ia angkat kursinya, lalu ia bertindak ke tengah ruangan, yang mau dijadikan gelanggang pertarungan itu. Di situ ia letaki kursi itu, terus ia berduduk pula, kaki kanannya disusun diatas kaki kirinya. Dengan duduk tenang, ia berkata: "Sambil berduduk begini aku si orang tua akan menemani tuantuan bermain-main!" Tin Ok terkesiap hatinya. Jikalau orang bukan lihay luar biasa, tidak nanti ia membawa sikap demikian rupa. Selagi guru-gurunya belum bergerak, Kwee Ceng majukan diri ke depan. Ia pun mau percaya semua gurunya bukan lawannya jago tua ini, yang kepandaianny telah ia saksikan sendiri. Tentu saja ia bersedia binasa untuk membantu gurunya itu, maka ia menjadi nekat. "Locianpwee, aku yang muda memohon pengajaran dari kau," ia berkata seraya menjura. Kiu Cian Jin melengak, akhirnya ia tertawa. "Tidak mudah ayah dan ibumu memelihara kau, kenapa jiwa kecilmu hendak cuma-cuma diantarkan di sini?" katanya. "Anak Ceng, mundur!" berseru Tin Ok, yang kagum dengan keberanian muridnya itu tetapi ia menyayanginya. Tapi Kwee Ceng sudah bulat tekadnya. Ia khawatir nanti gurunya mencegah terus, maka tanpa berkata lagi, ia tekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya digeraki melingkar, lalu dengan keras tangannya itu ditolakkan maju! Bab 30. Si baju hijau yang aneh..... Inilah jurus "Hang Liong Yu Hui" dari Hang Liong Sip-pat Ciang, yang anak muda she Kwee ini telah menyakinkan sekira selama satu bulan, hingga bisalah dimengerti beda jauh dengan waktu permulaannya Ang Cit Kong mengajarinya. Kiu Cian Jin memandang enteng kepada murid orang ini, sebab ia melihat dari gerak-gerik, mestinya Han Po Kie tidak seberapa lihay, maka kaget ia melihat serangan itu. Ia mencelatkan tubuhnya, melompat tinggi-tinggi, karena mana, hancurlah kursinya itu. Ia menjadi gusar sekali. "Anak kurang ajar!" bentaknya setelah turun kembali di lantai. "Locianpwee, tolong berikan pengajaran padaku!" kata Kwee Ceng dengan hormat. Ia berlaku harti-hati, tak mau ia segera menyerang pula. Tetapi Oey Yong hendak mengacaukan pikirannya orang tua itu. "Engko Ceng, menghadapi tua bangka ini jangan kau sungkan-sungkan!" Orang tua itu murka bukan kepalang. Dia kenamaan sekali, siapa pernah mencaci padanya, apapula di hadapannya sendiri" Sekarang ada ini bocah! Hampir ia melompat dengan tangannya diayun, untuk menghajar bocah itu, atau mendadak ia masih ingat akan kehormatannya dirinya sendiri. Dia tertawa dingin. Dia mengeluarkan tangannya yang kanan, tangan kirinya dibawa ke keningnya, kemudian ia menyerang, justru disaat itu Kwee Ceng lagi menyampingkan diri. Sebat sekali gerakannya ini. Tapi Oey Yong sudah lantas berteriak. "Itulah pukulan yang tidak ada keanehannya! Itulah jurus ke delapan yang dinamakan 'Burung belibis tunggal keluar dari rombongannya' dari tipu silat Thong-pek Liok-hap-ciang!" Kiu Cian Jin heran orang mengenali pukulannya itu. Memang itu adalah tipu silat Thong-pek Ngo-heng-ciang. Jurus itu tidak aneh, tetapi ia telah melatihnya selama beberapa puluh tahun, maka di tanganya, pukulan itu lihay sekali, kedua tangannya dapat bergerak dengan sebat dan hebat. Kwee Ceng tidak berani menangkis serangan itu, kesatu ia gentar juga untuk nama orang, kedua ia melihat gerak-gerik orang yang luar biasa. Ia main mundur. Kiu Cian Jin menduga-duga terhadap si anak muda, ia mengambil kesimpulan; "Dia dapat menghajar kursi, itulah sebab tenaganya yang besar. Ilmu silatnya hanya biasa saja...." Karena itu ia lantas mendesak. Oey Yong bingung melihat kawannya terdesak demikian rupa, ia mengkhawatirkan kekalahannya. Maka ia lantas bersiap untuk membantu. Kwee Ceng kebetulan menoleh kepada si nona, kapan ia melihat roman berkhawatir dari nona itu, tanpa merasa hatinya terkesiap. Justru itu, tinjunya Kiu Ciab Jin mampir di dadanya. Serangan itu membuatnya Oey Yong dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, mereka mau menyangka akan habis sudah anak muda itu. Bukankah musuh itu sangat tangguh" Kalau tidak mati, Kwee Ceng akan terluka parah. Kwee Ceng pun kaget bukan main, ia lantas mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya dipentang dengan kaget. Habis itu, ia menjadi heran sendirinya. Ia terhajar dadanya tetapi ia tidak merasakan terlalu sakit, hingga ia jadi tercengang. Oey Yong dapat melihat orang berdiam, ia menyangka pemuda itu mau pingsan, ia lantas lompat untuk mempepayang. "Bagaimanam, engko Ceng?" tanyanya. Tanpa merasa, air matanya meleleh. Tapi jawaban si pemuda luar biasa sekali. "Tidak apa-apa, akan aku mencoba pula!" demikian jawaban itu. Ia terus mengangkat dadanya dan bertindak menghampiri lawannya yang berdiri mengawasi padanya. "Kaulah si jago tua Tangan Besi, marilah kau pukul pula aku satu kali lagi!" ia menantang. Jago tua itu menjadi sangat gusar, ia sudah lantas meninju. Sebagai akibat serangan itu terdengar suara "Duk!" keras sekali. Bukannya ia jatuh atau kesakitan, Kwee Ceng justru tertawa berkakakan. "Suhu, Liok Chungcu, Yong-jie!" dia berteriak. "Tua bangka ini berkepandaian biasa saja! Dia tidak menghajar aku tidak apa, setelah ia menghajar, terbukalah rahasianya!" Kata-kata ini disusul dengan gerakan tangan kiri mengebas akan mendesak orang itu sambil si anak muda berseru: "Kau pun rasakan tanganku!" Melihat gerakan orang itu, Kiu Cian Jin memandang enteng. Ia lantas menggeraki kedua tangannya, guna membentur tangan kiri si pemuda. Ia tidak tahu Kwee Ceng justru menggunai jurus "enam naga naik ke langit" dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah salah satu pukulan yang paling luar biasa. Maka tidak ampun lagi ia kena trerhajar pundak kanannya yang menyambung sama dadanya, tubuhnya terus terlempar ke luar pintu bagaikan layangan putus! Semua orang menjadi kaget hingga mereka memperdengarkan seruan. Jutsru itu, kejadian aneh lainnya menyusul itu. Dari luar terlihat masuknya seorang wanita yang mencekal Kiu Cian Jin pada leher bajunya, tindakan wanita itu lebar, sesampainya di dalam ruangan, ia meletakkan orang yang dibawanya itu seprauh ditenteng. Dia berdiri tegar, pada wajahnya tak tampak senyuman, sebaliknya romannya sangat dingin. Dia panjang rambutnya riap-riapan ke pundaknya, kepalanya pun didongakkan. Sebab dialah tat Sie Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang Sat. Semua orang terperanjat. Di belakang si Mayat Besi ini ada mengikuti seorang lain, tubuhnya jangkung kurus, bajunya hijau, wajahnya luar biasa sekali. Siapa mengawasi wajah itu, sendirinya ia akan menggigil. Siapa pernah melihat satu kali, lantas tak sudi dia melihatnya buat kedua kalinya.... Liok Chungcu heran bukan main, Kiu Cian Jin yang demikian kesohor itu, yang mulutnya terpentang sangat lebar, tidak sanggup mempertahankan diri untuk satu hajaran dari Kwee Ceng. Ia pun merasa lucu. Akan tetapi, menampak munculnya Bwee Tiauw Hong, ia melongo. Wanyen Kang melihat gurunya, ia girang bukan main. "Suhu!" ia memanggil seraya ia menghampirkan untuk memberi hormat. Berbareng dengan itu dia menjadi ingat Liam Cu, yang dia heran tidak datang bersama, entah di mana adanya si nona. Liok Chungcu tidak berdiam lama, atau segera ia memberi hormat pada si Mayat Besi. "Bwee Suci!" katanya, "Duapuluh tahun sudah kita berpisah, hari ini kita dapat bertemu pula, aku girang sekali. Tentunya Tan koko baik, bukan?" Liok Koay saling mengawasu dengan Koan Eng. Kenapa tuan rumah memanggil Suci, kakak seperguruan kepada Bwee Tiauw Hong itu" Mereka heran berbareng gentar juga. Tin Ok pun berpikir, "Hari ini kita berada dalam kurungan. Sudah Bwee Tiauw Hong sendiri sukar dilawan, sekarang ada adik seperguruannya ini." Oey Yong sebaliknya berpikir: "Liok Chungcu ini, ilmu silatnya, ilmu suratnya, kata-katanya, gerak-geriknya, semua mirip dengan ayah, aku sudah menyangka dia ada hubungannya sama ayah, siapa sangka dia justru murid ayah...!" Segera terdengar suara dingin dari Bwee Tiauw Hong. "Yang bicara ini apakah sutee Liok Seng Hong?" "Benar suteemu, suci," sahut Liok Chungcu. "Sejak perpisahan kita, apakah suci banyak baik?" Atas itu, Bwee Tiauw Hong menjawab, "Kedua mataku telah menjadi buta dan kau punya kakak Hiang Hong telah orang bunuh mati pada duapuluh tahun yang lalu! Tidakkah itu memuaskan hatimu"!" Mendengar itu, tuan rumah girang berbareng kaget. Kaget sebab Hek Hong Siang Sat yang begitu lihay, yang malang melintang di dunia ini, telah ada yang binasakan. Girang sebab itu berarti ia kekurangan seorang lawan tangguh dan ini musuh sisanya sudah bercacad matanya. Hanya ia berduka kapan ia ingat persaudaraan mereka selama di pulau Tho Hoa To. "Siapakah musuh dari Tan koko itu?" ia tanya. "Sudahkah suci menuntut balas?" "Aku justru hendak mencari mereka itu!" sahut Tiauw Hong. "Nanti aku akan membantu kau menuntut balas itu suci," berkata Liok Chungcu. "Selesai pembalasan itu, barulah kita membereskan perhitungan kita!" "Hm!" Bwee Tiauw Hong mengasih dengar ejekannya. Mendadak itu Han Po Kie menepuk meja sambil berlompat bangun. "Bwee Tiauw Hong, musuhmu ada di sini!" dia berteriak. Coan Kim Hoat terkejut, ia tarik saudaranya itu. Tiauw Hong sebaliknya melengak. Sampai disitu Kiu Cian Jin yang sejak tadi berdiam saja, sebab ia merasakan sakit bekas hajaran Kwee Ceng dan baru sekarang rasa sakitnya itu hilang sedikit, turut bicara. "Apa itu yang disebut menuntut balas dan membereskan perhitungan!" katanya. "Sekalipun guru sendiri dibunuh orang tidak tahu, untuk apa menyebut diri sebagai orang gagah"!" "Apa kau bilang"!" membentak Bwee Tiauw Hong seraya mencekal keras tangan orang. "Lekas lepas!" berteriak Kiu Cian Jin kesakitan. "Kau bilang apa?" tanya pula Tiauw Hong, tidak memperdulikannya. "Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To, telah orang bunuh mati!" sahut si orang tua. Liok Seng Hong kaget sekali. "Benarkah kata-katamu ini?" ia menanya. "Kenapa tidak benar"!" membaliki Kiu Cian Jin. "Oey Yok Su kena dikurung Coan Cin Cit Cu murid-muridnya Ong Tiong Yang dan terbinasa karenanya." Mendengar itu, Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong menjerit menangis menggerung, sedang Oey Yong roboh pingsan berlutut di kursinya. Dan yang lainnya semua kaget sekali. Sebenarnya mereka tidak percaya Oey Yok Su yang begitu lihay terbinasakan orang, tetapi mengetahui musuh-musuhnya adalah Coan Cin Cit Cu, mau mereka mempercayainya. Mereka ketahui baik kelihayan Ma Giok bertujuh. Kwee Ceng pun kaget tetapi ia segera tubruk Oey Yong, untuk dikasih bangun sambil dipeluki. "Yong-jie, sadar!" ia memanggil-manggil. Ia melihat muka orang pias dan napasnya berjalan perlahan sekali, saking berkhawatir, ia berteriak: "Suhu! Suhu! tolongi dia!" Cu Cong lompat menghampirkan, ia meraba hidung orang. "Jangan khawatir," ia berkata. "Ia pingsan karena kaget mendadak, dia tidak mati." Ia lantas mengurut-urut jalan darah lauw-kong-hiat di telapakan tangan si nona. Dengan perlahan-lahan Oey Yong mendusin, lantas ia menjerit: "Mana ayahku" Ayah! Aku menghendaki ayahku!" Mendengar itu Seng Hong terperanjat. "Oh!" serunya, "Kalau dia bukannya putri guruku, mana mungkin ia ketahui tentang Kiu-ho Giok-louw-wan?" Lalu ia menangis, air matanya meleleh. Ia kata: "Adik kecil, mari kita mengadu tenaga dengan itu imam-imam bangsat dari Coan Cin Kauw! Eh, Bwee Tiauw Hong, kau turut atau tidak" Kalau tidak, hendak aku mengadu jiwa lebih dulu denganmu!" Koan Eng segera pepayang ayahnya, yang menjadi demikian berduka. "Jangan terlalu berduka, ayah," ia membujuki, "Kita bertindak perlahan-lahan." Sneg Hong tidak memperdulikan anaknya itu, ia menangis menggerung-gerung pula. "Bwee Tiauw Hong, kau perempuan bangsat!" dia mendamprat. "Sungguh hebat kau telah menganiaya aku! Kau tidak tahu malu, kau mencuri laki, itulah masih tidak apa! Tapi kenapa kau curi juga kitab Kiu Im Cin Keng kepunyaan guru" Kau tahu, saking gusarnya suhu, dia sudah putuskan urat kaki dari kami empat saudara, dia usir kami semua dari pulau Tho Hoa To! Aku masih mengharapkan suhu nanti sadar liangsimnya, nanti ia mengasihani kami yang tidak bersalah dosa, supaya kami diterima kembali sebagai muridnya, tetapi sekarang ia telah menutup mata! Dengan begini pastilah penyesalanku ini ada untuk seumur hidupku...!" Bwee Tiauw Hong panas hatinya, dia membalas mencaci: "Dulu aku mencaci kau tidak punya semangat, sekarang tetap aku mencaci kau tidak mempunyai semangat! Berulangkali kau mengajak orang membikin susah kami suami-istri, kau membuatnya kami tidak punya tempat untuk menyembunyikan diri, karenanya kami menjadi menderita sangat di gurun di Mongolia! Sekarang, bukannya kau berdaya untuk membalas sakit hati suhu, kau repot hendak membuat perhitungan denganku, kau menangis saja tidak karuan! Mari kita mencari Coan Cin Cit Cu, untuk mencari balas! Jikalau kau tidak kuat jalan, nanti aku gendong padamu!" Sampai di situ, Oey Yong campur bicara. "Bwee Suci! Liok Suko! Pergi kau menuntut balas untuk ayah! Engko Ceng, mari kita menyusul ayahku!" Habis ia berkata begitu, si nona menghunus senjatanya, Ngobie kongcie, untuk menikam tenggorakkannya. Cu Cong awas matanya dan sebat gerakannya. Ia merampas senjata orang itu. "Nona, tanyalah dulu biar terang!" ia memberi ingat. Ia terus menghampirkan Kiu Cian Jin, debu di tubuh siapa ia kepriki beberapa kali. Ia berkata: "Muridku belum tahu apa-apa, dia lancang, harap locianpwee memaafkannya." Tapi Kiu Cian Jin murka sekali. "Aku sudah tua, mataku lamur!" serunya. "Mari kita bertempur pula!" Cu Cong menepuk pundak orang dengan perlahan, menggenggam tangan orang yang kiri, sembari tertawa berkata: "Locianpwee lihay sekali, tak usahlah main-main pula!" Ia menarik orang duduk lalu tangan kirinya mengambil cawan arak, mulutnya ia tutup dengan tangan kanannya, yang ia putarkan, atau mendadak tangan kanan itu dipapaskan ke arah keluar. Maka heran sekali, cawan itu lantas terpapas kutung separuhnya, tepat seperti caranya Kiu Cian Jin tadi. Selagi lain orang terperanjat bahna heran, Cu Cong tertawa dan berkata kepada orang tua itu: "Hebat kepandaian locianpwee, barusan aku dapat mencurinya, maka itu harap locianpwee memaafkan aku! Terima kasih, locianpwee!" Wajahnya Kiu Cian Jin berubah menjadi pucat. Orang heran tetapi orang tetap tidak mengerti. "Anak Ceng, mari!" Cu Cong memanggil muridnya. "Kepandaian yang gurumu ajarkan padamu lain kali kau boleh gunai untuk membikin orang kaget, untuk memperdayakan orang!"? Kwee Ceng menghampirkan gurunya yang nomor dua itu, lalu dari tangan kiri si guru, dari jari tengah, ia meloloskan sebuah cincin. Ia kata: "Inilah kepunyaan locianpwee, tadi aku meminjamnya. Silahkan locianpwee memakai pula." Kiu Cian Jin kaget dan heran. Ia sungguh tidak mengerti, cincin ditangannya dapat berpindah ke tangan lain orang. Cu Cong berkata pula, "Cincin ini ditaburkan sepotong intan, yang sifatnya keras luar biasa, kau gunai itu menempelkan di cawan, lalu kau putarkan..." Kwee Ceng menurut, ia melakukan titah gurunya itu. Baru sekarang semua orang mengerti duduk halnya, Koan Eng semua tertawa. Oey Yong pun tertawa, tetapi sesaat kemudian ia menangis pula. Sebab ia segera ingat lagi ayahnya. "Jangan menangis, Nona!" Cu Cong menghibur. "Ini Kiu locianpwee paling suka memperdayakan orang, kata-katanya belum tentu harum wangi!" Oey Yong heran, ia mengawasi guru kawannya itu. "Cu Cong tertawa, dia berkata pula: "Ayahmu sangat lihay, cara bagaimana dia dapat dibinasakan orang" Laginya Coan Cin Cit Cu adalah orang-orang terhormat, mereka juga tidak bermusuh dengan ayahmu, kenapa mereka jadi bisa bertempur?" "Mungkin ini disebabkan urusan Ciu Pek Thong, pamannya Khu Totiang beramai...." Oey Yong mengutarakan dugaannya. "Bagaimana itu?" tanya Cu Cong. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau tentunya belum tahu...." si nona menangis lagi. "Biar bagaimana, aku percaya kata-kata orang tua bangka ini berbau busuk!" Cu Cong mengasih kepastian. "Apakah kau maksudkan dia melepas...melepas...." Cu Cong menyahuti dengan sikapnya wajar. "Tidak salah, dia melepaskan angin busuk! Di dalam tangan bajunya masih ada rupa-rupa barang yang muzijat, kau terka-lah apa perlunya itu..." Dan dia merogoh ke tangan baju orang, ia mengasih keluar barang-barang yang disebutkan itu, ialah dua potong batu bata, seikat rumput kering, sepotong wol peranti menyalakan api, sepotong baja peranti membangkitkan api, serta sepotong batu api. Oey Yong jumput batu bata itu, ia pencet, lantas bau itu hancur luluh. Karena ini berkuranglah kesedihannya, dapat ia tersenyum. Ia kata: "Jie suhu, bata ini terbuat dari tepung! Tadi dia memencetnya dengan menggunai ilmu tenaga dalamnya yang lihay sekali!" Kiu Cian Jin malu bukan main, mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, karena tak ada tempat untuk menaruh muka lagi, ia kebaskan tangan bajunya, ia bertindak keluar untuk berlalu. Bwee Tiauw Hong menggeraki tangannya, menyambar tubuh orang, terus dibantingkan. "Kau bilang guruku meninggal dunia, bilang benar atau dusta"!" si Mayat Besi tanya dengan bengis. Hebat bantingan itu, Kiu Cian Jin merintih kesakitan. Oey Yong lihat seikat rumput itu ada bekas terbakar, maka sadarlah dia. "Jie suhu," katanya pada Cu Cong. "Coba kau sulut rumput itu dan kau masuki ke dalam tangan bajumu, lalu kau menyedot dan meniupnya keluar." Cu Cong menurut, ia berbuat itu, malah sambil menutup kedua matanya dan menggoyang-goyangkan kepalanya! Oey Yong bertepuk tangan, dia tertawa gembira. "Engko ceng, lihat, bukankah begini caranya si tua bangka ini memainkan tenaga dalamnya?" katanya. Ia bertindak menghampirkan orang tua itu, sembari tertawa geli ia memerintah, "Kau bangunlah!" Ia mencekal tubuh orang, untuk dikasih bangun, lalu memdadak dengan tangan kirinya ia menotok jalan darah sintong-hiat di punggung orang. Membarengi itu, ia membentak: "Kau bilang, sebenarnya ayahku mati atau tidak" Jikalau kau bilang benar mati, aku menghendaki jiwamu!" Dilain pihak Ngobie kongcie sudah mengancam dada orang. Semua orang merasa lucu mendengar pertanyaan Oey Yong ini. Orang ditanya tetapi orang dilarang menyebutkan kematian dari ayahnya. Kiu Cian Jin sendiri merasakan penderitaan hebat. Ia merasakan sakit dan gagal bergantian. "Aku khawatir mungkin juga ia belum mati..." sahutnya kemudian. "Aneh pertanyaannya sumoyku ini," pikir Liok Seng hong. Maka ia turut menanya kepada orang tua itu: "Kau bilang guruku dibinasakan Coan Cin Cit Cu, kau melihat dengan mata sendiri atau hanya mendapat dengar cerita orang?" "Aku hanya mendenagr kata orang," menjawab Kiu Cian Jin. "Siapa yang membilanginya?" Kiu Cian Jin berdiam sebentar, ia seperti mendumal. "Ang Cit Kong," sahutnya kemudian. "Kapannya Ang Cit Kong membilangi itu?" Oey Yong tanya. "Satu bulan yang lalu," sahut Kiu Cian Jin pula. "Dimana Ang Cit Kong bicara denganmu?" Oey Yong menanya lagi. "Di atas puncak gunung Tay San," sahut si orang tua. "Di sana kita mengadu kepandaian, dia kalah, dengan tidak disengaja dia mengatakannya." Bukannya kaget, Oey Yong sebaliknya girang luar biasa mendengar jawaban itu. Ia berjingkrak, tangan kirinya menyambar dada orang, tangan kanannya mencabut kumis. Ia lantas tertawa cekikikan. "Ang Cit Kong kalah olehmu, tua bangka busuk!" katanya. "Bwee Suci, Liok Suko, jangan, jangan dengar, dia melepas....melepas..." Sebagai wanita, tak dapat si nona meneruskan kata-katanya. "Melepas...angin!" Cu Cong yang melanjuti tertawa, tetapi ia membekap mulutnya. Oey Yong berkata pula, "Pada sebulan yang laku itu terang-terangan Ang Cit Kong ada bersama-sama aku dan engko Ceng ini! Eh, engko Ceng, kau hajarlah dia dengan satu tanganmu lagi!" "Baik!" jawab Kwee Ceng, lalu tubuhnya bergerak. Kiu Cian Jin ketakutan, dia memutar tubuhnya untuk berlari, tetapi di muka pintu ada Bwee Tiauw Hong menghalang. Dia berputar pula, untuk lari ke dalam. Dia segera dirintangi Liok Koan Eng, tetapi ia mendorongnya hingga pemuda itu terhuyung. Biar bagaimana, dia pernah mendapat nama, meskipun benar nama itu didapat kebanyakan karena penipuan belaka, karena ilmu sulapnya. Dia hanya bernyali besar, dari itu berani dia menantang Liok Koay dan Kwee Ceng. Koan Eng pastilah bukan tandingannya. Oey Yong lompat menghampirkan, untuk memegat. "Kau menjunjung jambangan besi, kau jalan di air, ilmu apakah itu?" si nona tanya. "Itulah kepandaianku yang istimewa," sahut si orang tua, yang tetap mengepul. "Itu dia yang dinamakan ilmu ringan tubuh menyeberangi air dengan menaiki kapukapu!" "Ah, kau masih saja mengoceh!" kata si nona tertawa. "Sebenarnya kau mau bicara benar-benar atau tidak?" "Usiaku sudah lanjut, ilmu silatku tidak seperti dulu lagi," Kui Cian Jin menjawab, "Meski begitu, ilmu ringan tubuhku masih aku belum mensia-siakannya." "Baiklah!" kata Oey Yong. "Di luar sana ada sebuah jambangan besar ikan mas, coba kau jalan di atas jambangan itu itu kasih kami menyaksikannya! Kau lihat tidak jambangan itu. Sekeluarnya dari ruang ini, di sebelah kiri, di bawah pohon, itulah dia!" " Di dalam jambangan, mana bisa orang melatih diri...?" kata Kiu Cian Jin. Tapi belum berhenti suaranya itu, mendadak ia lihat suatu apa berkelebat, di depan matanya, akan dilain saat ia mendapatkan tubuhnya sudah berjumpalitan dan kakinya tergantung. "Kematianmu sudah menantikan, kau masih omong jumawa!" membentak Bwee Tiauw Hong. Si Mayat Besi telah mengangkat tubuh orang itu dengan Tok Liong Gin-pin, cambuk perak Naga Berbisa. Kapan cambuk itu dikebaskan, tubuhnya si orang tua terlempar ke arah jambangan, tepat jatuhnya ke dalam jambangan itu. Oey Yong menyusul, ia mengancam dengan Ngo-bie kongcie! "Jikalau kau tidak memberi keterangan, aku tidak ijinkan kau keluar dari sini!" bentaknya. Kiu Cian Jin mencoba menjejak dasar jambangan, baru tubuhnya mencelat atau pundaknya sudah ditekan si nona, maka ia terjatuh pula. Maka basah kuyuplah ia berikut kepalanya. Ia meringis. "Sebenarnya jambangan itu terbuat berlapis besi," ia mengaku akhirnya. "Di dalamnya jambangan pun ditutup sebatas tiga dim, di atas itulah cuma ada isinya air. Dan itu kali kecil, di dasar itu aku telah menancapkan banyak pelatok, yang dibikin tenggelam lima enam dim dari permukaan air hingga jadi tidak kelihatan..." Oey Yong tertawa, terus ia bertindak ke dalam, tak sudi ia memperdulikan lagi, dari itu Kiu Cian Jin dapat keluar dari jambangan ikan itu, sambil tunduk ia ngiprit pergi. Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong merasa tidak enak sendirinya. Tadi mereka menangis dengan cuma-cuma disebabkan lagak-lagunya si tua bangka itu. Setelah orang kabur, mereka masih likat. Tiauw Hong adalah yang dapat menenangkan diri lebih dulu. Maka berkatalah ia pada tuan rumah: "Seng Hong, kau merdekakan muridku! Dengan memandang kepada guru kita, urusan dahulu hari itu suka aku tidak menimbulkannya pula. Liok Seng Hong menghela napas. Di dalam hatinya ia kata: "Dia telah kematian suaminya, matanya sendiri buta, sekarang dia hidup sebatang kara. Aku sendiri, walaupun kakiku bercacad, aku ada punya istri dan anak, aku ada punya rumah tangga, aku masih menang berlipat kali daripadanya... Kita pun sama-sama sudah berusia limapuluh lebih, untuk apa masih memikirkan sakit hati lama...?" Mala ia menjawab: "Pergi kau bawa muridmu, Bwee Suci. Besok pagi hendak aku pergi ke Tho Hoa To, untuk menjenguk suhu. Kau mau turut atau tidak?" "Beranikah kau pergi ke sana?" Tiauw Hong tanya. "Tanpa perkenaan suhu kita lancang mendatangi Tho Hoa To, itulah memang satu pelanggaran besar," menyahut Sneg Hong. "Akan tetapi si tua bangka barusan sudah mengaco belo, hatiku tetap tidak tenang, ingin aku menjenguknya." Belum lagi Bwee Tiauw Hong menyahuti, Oey Yong sudah berkata: "Marilah kita pergi beramai menjenguk ayahku, di sana aku nanti memohonkan keampunan bagi kamu." Bwee Tiauw Hong berdiam diri, kedua matanya mengucurkan air mata. "Mana aku punya muka akan menemui suhu lagi?" katanya. "Suhu mengasihi aku yang piatu, dia pelihara aku, dia mengajarkannya, tetapi hatiku buruk, aku mendurhaka..." Mendadak ia mengangkat kepalanya dan berseru, "Asal aku sudah berhasil membalas sakit hati suamiku, aku tahu bagaimana harus membereskan diriku sendiri! Kanglam Cit Koay, kalau kau benar laki-laki, marilah! Malam ini aku hendak mengadu nyawa denganmu. Liok Sutee, Oey Sumoy, kamu berdiam saja menonton, kamu jangan membantui siapa juga! Siapa mampus siapa hidup, kamu tetap jangan campur tangan! Kamu dengar"!" Mendengar itu, Kwa Tin Ok bertindak ke tengah ruang. Sepotong besi jatuh di lantai, suaranya nyaring dan panjang. Lalu ia mengasih dengar suaranya yang serak: "Bwee Tiauw Hong! Kau tidak melihat aku, aku juga tidak melihat kau! Ketika itu malam di tempat belukar kita bertempur, suamimu binasa wajar, tetapi juga saudaraku yang kelima telah kehilangan jiwanya. Tahukah kau"!" "Oh," bersuara si nyonya. "Jadi sekarang kamu tinggal berenam?" "Ya!" sahut Tin Ok. "Kami sudah menerima baik permintaan Totiang Ma Giok, kami tidak hendak memusuhkan kau terlebih lama pula, tetapi hari ini kaulah yang mencari kami. Baiklah! Dunia ini luas, tetapi kita berjodoh, di mana saja kita dapat bertemu! Mungkinlah Thian tidak sudi membiarkan Kanglam Liok Koay dankau hidup bersama di kolong langit ini! Nah, kau majulah!" Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. "Kau berenam, majulah semua!" dia menantang. Belum Tin Ok menyahuti, Cu Cong sudah berdiri di sampingnya. Saudara ini hendak mencegah kalau-kalau musuh membokong. Bersama lain sudaranya, ia sudah menghunus senjata. Justru itu Kwee Ceng mengajukan diri. "Biarlah murid yang maju lebih dulu!" kata murid ini. Liok Seng Hong menjadi tidak enak hati mendengar Tiauw Hong menentang Liok Koay dan Liok Koay menyambutnya. Ingin ia mengajukan diri di sama tengah tetapi tidak dapat ia menghampirkan mereka, ia pun tidak mempunyai cukup pengaruh. Maka itu, mendengar suaranya Kwee Ceng, satu pikiran berkelebat di otaknya. "Tuan-tuan, tahan dulu!" dia mencegah. "Aku minta sukalah kau dengar dulu padaku. Diantara kamu berdua sudah ada yang meninggal, bukankah" Maka itu menurut aku, pertempuranan ini baiklah dibataskan menang dan kalahnya dengan saling towel saja, jangan ada yang main melukakannya. Liok Koay melawan satu, walau itu sudah seharusnya, aku anggap masihlah kurang adil. Maka itu, aku minta biarlah Bwee Suci main-main saja dengan ini Kwee Laotee. Setujukah kamu?" Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. "Mana dapat aku menempur segala bocah tak namanya?" katanya. Tapi Kwee Ceng berani, ia kata nyaring, "Suamimu itu aku sendirilah yang membunuhnya, apakah sangkut pautnya dengan semua suhuku?" Tiba-tiba saja Tiauw Hong menjadi gusar sekali. "Betul!" serunya. "Mari aku bunuh dulu padamu, bangsat cilik!" Dengan mendengar suara orang, ia ketahui di mana beradanya orang itu, maka ia ulur tangan kirinya ke batok kepala si bocah. Kwee Ceng lompat berkelit. Ia kata dengan nyaring: "Bwee Cianpwee, ketika dulu hari itu aku kesalahan membinasakan Tan Cianpwee, itulah disebabkan usiaku yang muda dan aku belum tahu apa-apa, tetapi untuk itu aku berani bertanggung jawab, maka kamu berurusanlah denganku, tidak nanti aku menyingkirkan diri! Bagaimana jikalau dibelakang hari kau masih mencari keenam guruku?" "Benarkah kau demikian laik-laki, hingga kau tidak bakal kabur?" menegaskan Tiauw Hong. "Pasti tidak!" jawab si anak muda mantap. "Baiklah, ganjalanku dengan Kanglam Liok Koay aku bikin habis! Mari bocah, kau turut aku!" "Bwee Suci!" Oey Yong berteriak. "Dia pun satu laki-laki sejati! Kau nanti ditertawakan orang-orang kangouw!" "Apa?" tanya Tiauw Hong gusar. "Dia ahli waris satu-satunya dari Kanglam Liok Koay!" kata si nona. "Sekarang ini kepandaiannya Kanglam Liok Koay tidak sama lagi seperti dulu, maka jikalau mereka hendak mengambil nyawamu, gampangnya sama seperti mereka membalikkan telapak tangan! Hari ini mereka memberi ampun padamu, itu artinya mereka telah memberi muka, tetapi kau tidak tahu selatan, kau masih membuka mulut besar!" "Fui! Aku menghendaki diampunkan mereka" Eh, Liok Koay, benarkah kau telah memperoleh kemajuan besar" Mari, marilah kita coba-coba!" "Perlu apa sampai mereka sendiri turun tangan?" berkata pula Oey Yong. "Sekalipun muridnya seorang diri, tidak nanti kau dapat memenangkannya!" Tiauw Hong bergusar hingga ia berkoakan. "Jikalau dalam tiga jurus aku tidak dapat membikin dia mampus, di sini juga aku akan membenturkan diriku hingga binasa!" teriaknya. Si Mayat Besi ingat pertempurannya sama Kwee Ceng di dalam istana, ia ketahui baik kepandaian orang, ia hanya tidak mendapat tahu, sesudah berselang beberapa bulan, pemuda ini telah mendapat didikannya Kiu Cie Sin Kay dan kepandaiannya telah maju pesat sekali. "Baiklah!" tertawa Oey Yong. "Semua orang di sini menjadi saksinya! Tiga jurus terlalu sedikit, aku beri batas sampai sepuluh jurus!" "Tidak," berkata Kwee Ceng. "Akan aku menemani cianpwee main-main limabelas jurus!" "Sekarang mintalah Liok Suko serta tetamu dengan siapa suci datang bersama untuk tolong menghitungnya!" berkata Oey Yong pula. Tiauw Hong heran. "Siapa yang menemani aku datang ke mari?" tanyanya. "Aku datang seorang diri. Perlu apa aku memakai kawan?" "Habis itu siapa di belakang suci?" Oey Yong tanya. Dengan tiba-tiba Tiauw Hong menyambar ke belakang, cepatnya bukan main. Orang tidak melihat si baju hijau berkelit, tahu-tahu dia telah lolos dari sambaran itu. Sampai itu waktu, anehnya, ia masih terus membungkam. Tiauw Hong tidak menyerang pula tetapi ia lantas merasakan sesuatu. Ketika itu malam ia melayani Auwyang Kongcu bertempur diwaktu mana ia mendengar suara seruling, yang membebaskan ia dari kurungan barisan ular, ia telah menghanturkan terima kasih ke tengah udara, sebab ia tak tahu siapa si peniup suling yang membantunya itu. Sejak itu ia merasakan ada suatu apa di belakangnya, sia-sia belaka segala pertanyaannya dan sambarannya, ia tidak mendapatkan hasil, sampai ia mau merasa mungkin ia kurang sehat, hingga mau ia menerka kepada hantu. Sekarang, mendengar perkataannya Oey Yong itu, ia tidak ragu-ragu lagi. Tentu saja ia menjadi kaget sekali. "Kau siapa"!" ia tanya, suaranya menggetar. "Mau apa kau selalu mengikuti aku"!" Orang itu tidak menjawab, ia seperti tidak mendengarnya. Tiauw Hong lompat menubruk. Kembali ia gagal. Nampaknya orang itu tidak bergerak tetapi ia tidak kena diserang. Semau orang menjadi kaget dan heran. Pastilah orang itu lihay luar biasa. Liok Seng Hong sudah lantas menegur, katanya, "Tuan, dari tempat yang jauh kau datang kemari, aku belum sempat menyambutnya, silahkan duduk! Maukah Tuan minum arak?" Kembali si baju hijau tidak menyahuti, bahkan ia membalik tubuhnya, untuk berlalu. "Kaukah yang meniup seruling menolongi aku?" tanya Tiauw Hong. Orang heran. Tiauw Hong ditolongi orang itu" Orang pun heran, lihay sebagai dianya, si Mayat Besi ini tidak ketahui orang sudah berlalu. "Bwee Suci, orang itu sudah pergi?" Oey Yong memberitahu. "Dia sudah pergi?" Tiauw Hong heran. "Ya, dia sudah pergi," menerangkan Oey Yong. "Pergi kau susul dia, jangan kai main galak-galak di sini!" Tiauw Hong menjublak sekian lama, wajahnya berubah-ubah. Nampaknya ia berduka. Lalu mendadak dia berseru,: "Bocah she Kwee, kau sambutlah!" Lalu dua tangannya bergerak, sepuluh jari tangannya nampak seperti api yang marong. Toh ia tidak menyerang. "Aku di sini," Kwee Ceng menjawab. Baru saja ia mendengar "Aku" itu atau tangan kanan Tiauw Hong sudah berkelebat menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, menyambar ke muka orang. Kwee ceng lihat serangan itu, ia mengegos tubuhnya, sembari berkelit, ia menyerang dengan tangan kirinya. Tiauw Hong dapat mendengar suara serangan, hendak ia menangkis tetapi sudah tidak keburu, dengan mendatangkan suara, pundaknya kena dihajar hingga ia mundur tiga tindak. Karena ia telah diserang denagn salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Tapi ia lihay luar biasa, lekas sekali ia berbalik dan tangannya menyambar. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Inilah Kwee Ceng tidak sangka dan ia menjadi kaget sekali, hanya ia kaget untuk percuma-cuma, karena segera juga ia telah kena dicekal lengan kanannya pada tiga jalan darah Iwee-kwan, gwa-kwan dan hwee-cong. Sebenarnya ia senantiasa siap sedia dan berjaga-jaga, sudah ia mendengar keterangan guru-gurunya tentang lihaynya Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang toh ia kena tercekal. Ia menjerit celaka, separuh tubuhnya menjadi lemas. Disaat berbahaya itu ia masih ingat untuk berdaya. Ia tekuk dua jeriji tangan kanannya, jeriji telunjuk dan tengah, dengan itu ia menyerang ke dada lawannya. Seharusnya serangan itu disusul dengan serangan tangan kiri tetapi tangan kirinya itu tercekal lawan, terpaksa ia mennggunakan sebelah tangan saja. Ini pun ada suatu jurus dari Hang Liong Sippat Ciang itu. Bwee Tiauw Hong dapat mendengar serangan ini, yang anginnya luar biasa. Ia tidak menangkis, ai berkelit, tidak urung ia kena terhajar juga, hanya sebab ia berkelit itu, yang menjadi sasaran ialah pundaknya. Ia merasakan dorongan yang keras sekali, hingga terpaksa ia ayun tangannya melepaskan cekalan. Kwee Ceng menyerang seraya berbareng mencoba menarik diri, untuk meloloskan tangannya yang dicekal itu, karena dilepaskan, tubuhnya terpental. Sebaliknya tubuh si Mayat Besi terdampar karena serangannya itu. Maka keduanya sama-sama terhuyung mundur, punggung mereka masing-masing mengenai pilar. Besar dan tangguh pilar itu, benturan tidak menyebabkannya patah atau roboh, akan tetapi akibat benturan membuatnya genteng dan batu pecah dan meluruk jatuh. Banyak chungteng menjadi kaget, sambil berteriakan mereka lari keluar. Kanglam Liok Koay saling mengawasi, mereka heran dan berbareng girang. "Darimana anak Ceng mendapatkan pelajaran ini?" mereka saling menanya di dalam hatinya. Han Po Kie sampai melirik kepada Oey Yong, karena ia menduga mestilah si nona yang mengajarinya. Pertempuran sudah berjalan terus. Kedua pihak sama-sama mengeluarkan kepandaiannya. Tiauw Hong berkelahi dengan sengit, karena ia gusar dan penasaran. Kwee Ceng berlaku gesit dan waspada. Si Mayat Besi berlompatan ke delapan penjuru, anginnya menyambr-nyambar. Kwee Ceng ingat pelajaran Ang Cit Kong tentang ilmu "Lok Eng Ciang", ia tetap bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, ia putar balik semua lima belas jurusny. Ia berhasil dengan cara berkelahi ini. Bukan limabelas, bahkan sudah hampir limapuluh jurus. Tiauw Hong masih belum berhasil merobohkan atau menawan lawannya seperti bermula tadi. Bahkan untuk mendesak saja ia tak sanggup. Oey Yong menonton dengan tertawa atau tersenyum-senyum, mukanya yang boto menjadi manis sekali. Sedang Kanglam Liok Koay berdiri terbengong-bengong. Liok Seng hong pun mnejublak bersama putranya. "Hebat kemajuan Bwee Suci ini," tuan rumah itu berpikir, "Kalau aku mesti melawan dia, dalam sepuluh jurus saja pastilah aku telah kehilangan jiwaku... Tapi ini Kwee laotee yang masih begini muda, kenapa dia begini lihay" Oh, sungguh mataku kabur! Syukur aku perlakukan dia dengan hormat, tidak sampai aku berlaku tak kurang horamt terhadapnya..." Sampai di situ Oey Yong berseru, "Bwee Suci, sudah enam puluh jurus lebih! Masihkah kau tidak mau menyerah?" Tiauw Hong mendongkol bukan kepalang. Dengan latihannya beberapa puluh tahun, ia tidak sanggup menjatuhkan satu bocah. Lantaran ini, ia tidak ambil mumat suaranya Oey Yong, bahkan sebaliknya, ia menyerang dengan terlebih hebat, sambarannya dilakukan saling susul dengan cepat luar biasa. Ia tidak merasa dengan begitu ia nyata kalah imbangan. Bukankah kedua matanya buta" Bukankah karena kemurkaannya, ia jadi tidak dapat memusatkan pikirannya" Di pihak lain, Kwee Ceng awas kedua matanya, lincah tubuhny. Pemuda ini telah menghisap darah ular dan memperoleh Hang Liong Sip-pat Ciang. Pertempuran berlanjut sampai seratus jurus lebih. Setelah ini, Wee Tiauw Hong dapat juga berpikir. Ia mulai meraba-raba ilmu silat lawannya yang cilik ini. Ia merasa tidak dapat ia menyerang dari dekat. Maka ia menjauhkan diri dari Kwee ceng setombak lebih. Ingin ia membuatnya lawan itu letih. Memang juga disebabkan usainya muda dan latihannya belum sempurna, lama-lama Kwee Ceng berkurang kelincahannya. Oey Yong tahu kawannya bisa celaka, maka ia berteriak-teriak pula: "Bwee Suci, seratus jurus sudah lewat! Sudah hampir duaratus jurus! Apakah kau tetap tidak hendak menyerah"!" Tiauw Hong berlagak tuli, ia menyerang tak hentinya. Bingung juga Oey Yong, tetapi dasar licik, segera ia mendapat akal. "Engko Ceng, lihat aku!" ia memanggil. Ia melompat ke depan pilar. Dua kali Kwee Ceng berkelit, untuk menjauhkan diri, mendengar suaranya Oey Yong, ia menoleh. Bagitu ia melihat orang lari memutarkan pilar, ia sadar. Maka ia pun berlompat ke pilar itu. Tiauw Hong mengetahui kemana orang menyingkir, ia lompat menyusul. Tepat di dekat pilar, Kwee Ceng berkelit, lari ke belakang pilar itu. Ia baru berkelit atau sambarannya Tiauw Hong sudah tiba, tepat lima jarinya nancap di pilar itu, yang disangkanya adalah tubuh musuh. Bukankah ia cuma mengandalkan suara angin" Kwee Ceng tidak cuma bersembunyi, ia pun membalas menyerang. Tapi hebat tenaga menolak dari Tiauw Hong, meski si Mayat Besi terpental, ia pun mesti mundur juga. Lima jarinya Tiauw Hong terlepas dari pilar. Tiauw Hong bertambah-tambah gusar, saking sebatnya, ia sudah berlompat pula untuk menyerang lagi. Hebat untuk Kwee Ceng yang belum sempat memperbaiki diri, kendati dia dapat berkelit, tidak urung bajunya kena kesambar hingga robek dan lengannya kena terlanggar. Syukur untuknya, ia tidak terluka. Ia menjadi gentar hatinya. Tapi ia melawan terus, malah ia membalas menyerang. Habis itu baru ia melompat pula mundur ke belakang pilar itu. Sengaja ia mengasih dengar suara, hingga Tiauw Hong menyambar pula. Kali ini lima jari si Mayat Besi kemabli nancap di pilar itu. Barulah kali ini Kwee Ceng tidak menyerang. "Bwee Cianpwee," ia berkata, "Kepandaianku tidak dapat melayani kau, sukalah kau menaruh belas kasihan padaku." Dengan kata-katanya ini, bocah ini telah memberi muka. Ia tidak kalah, mungkin ia lebih ungggul. Dengan mengandal sama pilar itu, ia toh tak bakalan kalah. Tapi ia suka mengalah. Bwee Tiauw Hong menyahut dengan dingin: "Jikalau kita mengadu kepandaian, setelah tiga jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, seharusnya aku mesti menyerah. Tapi sekarang kita bukan lagi mengadu kepandaian, aku hanya hendak menuntut balas, meski aku sudah kalah bertaruh, toh aku mau berkelahi terus! Tidak dapat tidak, mesti aku membunuh kau!" Kata-kata ini disusul dengan serangan saling susul, dengan tangan kiri tiga kali, dengan tangan kanan tiga kali juga, semuanya mengenai pilar, sembari menyerang secara hebat itu, dia berseru. Serangannya yang terakhir adalah dua tangan berbareng, hebat kesudahannya, dengan menerbitkan suara nyaring, pilar itu patah bagian tengahnya! Semua hadirin adalah orang-orang lihay, walaupun mereka kget, mereka toh dapat menolong diri. Semuanya lantas menlompat keluar. Koan Eng lompat setelah ia sambar ayahnya, yang ia terus pondong. Boleh dibilang sekejap saja, runtuhlah sebagian ruangan itu. Celaka untuk Toan Tayjin, si komandan tentara, cuma ia yang tidak keburu lari, maka ia ketimpa dan ketindihan kedua kakinya. Ia menjerit-jerit meminta tolong. Wanyen Kang lantas maju untuk menolongi, dalam kekacauan itu, hendaknya keduanya lantas melarikan diri, akan tetapi disaat mereka memutar tubuh, mendadak mereka merasakan punggung mereka kaku, tak tahu mereka siapa yang sudah menotoknya. Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan Kwee ceng seorang. Diwaktu si anak muda berlompat, ia pun lompat menyusul, maka itu setibanya mereka di depan, yaitu di luar ruangan, di mana cahaya rembulan guram, keduanya sudha bertempur pula. Anginnya gerak-gerik mereka berdesiran, dan tulang-tulangnya Bwee Tiauw Hong berbunyi berperetekan. Perempuan ini jauh terlebih hebat daripada di dalam tadi. Kali ini Kwee Ceng terdesak betul-betul. Segera ia mengalami ancaman bahaya tendangan si Mayat Besi. Kaki kanan wanita lihay itu bergerak, menyambar ke arah kaki lawannya. Kalau tendangan ini mengenai tepat, pasti patahlah kaki si anak muda. Tapi Tiauw Hong tidak menendang terus, baru setengah jalan, ia sudah menarik pulang, untuk diganti dengan uluran tangan kiri ke arah kaki kiri lawannya itu. Koan Eng kaget hingga ia menjerit, "Hati-hati!" Ia ingat, itulah serangan berbahaya yang ia peroleh dari Wanyen Kang, hingga ia kena dikalahkan pangeran itu. Dalam bahaya seperti itu, Kwee Ceng menggeraki tangan kirinya untuk menangkis tangannya Tiauw Hong itu. Ia masih cukup gesit tetapi tenaganya sudah berkurang. Tiauw Hong lihay sekali, begitu kedua tangan bentrok, ia mengerti kurangnya tenaga si bocah. Ia lantas memutar tangannya, tiga jerijinya, kelingking, manis dan tengah sudah lantas menggurat ke belakang telapakan tangan lawan. Kwee Ceng menginsyafi ancaman itu, ia menyerang dengan tangan kanannya, hebat sekali. Kalau lawan tidak menyingkir, mereka akan bercelaka dua-duanya! Tiauw Hong berkelit dengan lompat ke samping, terus ia tertawa panjang. Kwee Ceng merasakan panas dan sakit sekali pada belakang tangannya itu, apabila ia melihatnya, ia mendapat tiga guratan yang tidak mengeluarkan darah. Itulah luka yang membikin ia merasa sakit itu, yang berwarna hitam. Mendadak ia ingat sembilan buah tengkorak yang Tiauw Hong meninggalkannya di puncak gunung Mongolia dan Ma Giok membilangnya, tangan itu ada racunnya. Ia menjadi kaget sekali. "Yong-jie, aku terkena racun!" katanya pada kekasihnya. tapi, tanpa menanti jawaban, ia berlompat menyerang Tiauw Hong, kedua tangannya dikasih bekerja. Ia cuma tahu perlu membekuk wanita lihay ini, untuk memaksa ia mengeluarkan obat pemunahnya, tanpa itu jiwanya tidak akan ketolongan lagi... Tiauw Hong merasakan sambaran angin, ia melompat berkelit. Oey Yong, begitupun yang lainnya, mendengar suaranya Kwee Ceng itu, menjadi kaget sekali. Boleh dibilang serempak, dimulai dari Kwa Tin Ok, mereka itu berlompat maju mengurung si Mayat Besi. "Bwee, Suci!" Oey Yong berteriak. "Kau sudah kalah, kenapa kau masih bertempur terus" Lekas kau keluarkan obat pemunahnya untuk menolongi dia!" Tiauw Hong tidak menjawab, ia lebih perhatikan serangan lawannya. Ia bergirang sekali, di dalam hatinya ia kata: "Semakin kau mengeluarkan tenaga, semakin hebat bekerjanya racun! Taruh kata hari ini aku terbinasa di sini, aku toh sudah berhasil membalaskan sakit hati suamiku!" Kwee ceng mulai merasakan matanya kabur dan kepalanya pusing, seluruh tubuhnya terasa tidak enak, bahkan lengan kirinya lemas, hingga ia mulai berpikir untuk tidak berkelahi lebih jauh. Itulah tanda bekerjanya racun. Coba ia tidak minum darah ular, mungkin ia sudah lantas roboh terbinasa. Oey Yong melihat wajah orang tidak wajar. "Engko Ceng, lekas mundur!" ia berteriak. Ia pun hendak menerjang. Terbangun semangatnya Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia menyerang dengan tangan kirinya. Ia menggunakan jurus ke sebelas dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang dinamakan "Menunggang enam naga". Lengannya bergerak lambat. Oey Yong semua dapat melihat serangan itu. Disaat itu mereka jusru hendak menyerang. Perlahan serangan Kwee Ceng itu, atas itu Bwee Tiauw Hong tidak menangkis atau berkelit. Jitu serangan itu, pundak si Mayat Besi menjadi sasaran. Mendadak saja ia jatuh berguling. Inilah diluar dugaan. Sebabnya ialah, karena serangan datangnya perlahan, Tiauw Hong tidak mendengarnya. Dia justru mengandal pada kupingnya saja sebab matanya tidak dapat melihat. Oey Yong tercengang, tetapi Han Po Kie, Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat sudah lantas lompat menubruk, dengan niat membekuk si Mayat Besi. Tiauw Hong lihay sekali. Dengan geraki kedua tangannya, ia berontak. Po Kie dan Kim Hoat kena dibikin mental. Lalu sebelah tangannya meneruskan menyambar Hie Jin. Atas ini, si orang she Lam membuat diri jatuh bergulingan. Cepat sekali Tiauw Hong berlompat bangun. Justru ia hendak menaruh kakinya, tinjunya Kwee Ceng tiba dipunggungnya. Hebat serangan itu, sekali lagi ia roboh. Juga tinju itu datang tanpa suara. Hanya karena serangan tidak keras, ia tidak terluka. Setelah dua kali menyerang itu, Kwee Ceng terhuyung, terus ia roboh sendirinya. ia roboh di sampingnya Tiauw Hong. Oey Yong lompat untuk mengasih bangun padanya. Tiauw Hong mendengar suara orang di dekatnya, tanpa ayal lagi, tangannya menyambar, lima jari tangannya bekerja. habis itu, ia mendi kaget. Lima jeriji tangannya itu dirasakan gatal sekali. Hampir itu waktu, ia sadar, ia telah kena menyerang tubuh Oey Yong, tangannya menancap di baju lapis joan-wie-kah dari si nona. Dalam kagetnya ia berlompat dalam gerakan "Ikan gabus meletik". Bab 31. Pemilik dari Pulau Tho Hoa To Cu Cong mendengar suara itu, ia segera lantas menoleh, maka terlihatlah olehnya menyambarnya suatu barang ke arah Bwee Tiauw Hong, siapa sudah lantas menangkis. Tepat tangkisannya itu, barang itu mengeluarkan suara keras, rusak dan jatuh. Nyata itu adalah sebuah kursi. Menyusul itu terdengar angin dari datangnya suatu barang lain, yang terlebih besar. Kali ini si Mayat Besi mengeulur tangan kirinya, untuk menangkap. Dan ia kena pegang suatu barang lebar dan licin. Sebab itulah sebuah meja yang ebrada di samping Cu Cong, yang patah kakinya tertimpa pilar. Penyerangnya pun Cu Cong sendiri. Habis itu Tiauw Hong menendang meja itu. Berbareng dengan itu, Cu Cong, yang mengulur tangan kanannya, memasuki tiga benda bergerak ke leher bajunya si wanita lihay itu. Tiauw Hong kaget hingga ia menggigil. Ia merasakan barang yang hawanya dingin nelusup ke dadanya. Ia menduga kepada senjata rahasia yang aneh atau permainan ilmu dukun. Ia lantas merogoh, untuk menangkapnya. Ia kena pegang beberapa ekor ikan emas. Tapi yang membuatnya kaget luar biasa ialah tangannya tidak dapat meraba botol obat di dalam sakunya, obat mana lenyap berbareng bersama pisau belatinya serta kitab Kiu Im Cin-keng. Ia sampai berdiri berjublak saja. Si cerdik Cu Cong sudah menggunai tiga ekor ikan emas itu untuk menyimpangkan perhatiannya Bwee Tiauw Hong yang lihay itu. Itulah ikan-ikan emas, yang lolos dari jambangannya sebab jambangannya pecah ketimpa runtuhan. Diwaktu memasuki ikan itu ke leher baju, ia sekalian menyambar isinya saku orang. Setelah itu dengan cepat ia membuka tutup botol kecil itu, yang dibawanya ke hidungnya Tin Ok, "Bagaimana?" tanyanya. "Untuk dimakan dan ditarohkan, inilah obatnya!" berkata saudara tua itu, yang ada ahli dalam pemakaian obat beracun. Tiauw Hong dapat mendengar pembicaraan orang itu, ia sadar, dengan berlompat, ia menerjang. Tapi ia disambut tongkatnya Tin Ok, cambuknya Han Po Kie, dacinnya Coan Kim Hoat dan pikulannya Lam Hie Jin. Ia hendak mengeluarkan cambuknya sendiri atau ia batalkan itu dengan mendadak karena pedangnya Han Siauw Eng menikam ke arah dadanya. "Kasih dia makan, torehkan padanya!" kata Cu Cong pada Oey Yong, kepada siapa ia serahkan obat pemunah racun itu. Dilain pihak, ia sesapkan pisau belatina si Mayat Besi kepada muridnya seraya memberitahukan: "Inilah piasu asal kepunyaanmu." Setelah itu, dengan mainkan kipas besinya, ia mau membantu saudara-saudaranya mengepung musuh yang lihay itu. Habet pertempuran itu, karena berselang sepuluh tahu, Kanglam Liok Koay telah memperoleh kemajuan pesat. Seng Hong dan anaknya heran menyaksikan pertempuran itu. Mereka beranggapan, "Tiauw Hong benar-benar lihay, tetapi pun jago-jago Kanglam itu tidak bernama kosong." Tapi Seng Hong sudah lantas berseru: "Tuan-tuan, berhenti dulu! Mari dengar aku!" Orang lagi itu bertarung hebat, tidak ada yang pedulikan teriakan itu, mereka itu bertarung terus. Tidak lama sehabisnya makan obat, Kwee Ceng mulai sadar. racun itu menyerang cepat tetapi perginya cepat juga. Lukanya masih menimbulkan rasa sakit tapi itu tidak mengganggu gerakan lengan kirinya yang terluka itu. Maka itu setelah, memasukkan piasu belati ke dalam sakunya, ia berlompat bangun dari rangkulannya Oey Yong. Ia maju ke gelanggang pertempuran, untuk berkelahi pula. Seperti tadi, ia menyerang dengan gerakan perlahan, pada saatnya baru ia mengerahkan tenaganya. Tiauw Hong repot melayani musuh-musuhnya, ia juga tidak mendengar sambaran angin dari serangannya si anak muda, tahu-tahui ia sudah kena terhajar. Kembali ia roboh. Justru itu senjatanya Po Kie dan Hie Jin turun ke arah tubuhnya. "Suhu, ampunkan dia!" berseru Kwee Ceng, yang menangkis sejata kedua gurunya itu. Liok Koay menurut, mereka lantas berlompat mundur. Tiauw Hong masih hendak membela diri, ia bersiap sedia dengan cambuknya, cambuk Tok-liong-pian yang beracun. Kwee Ceng tidak menyerang lebih jauh, ia hanya berkata pada wanita lihay itu: "Hari ini baiklah pertempuran diakhirkan secara baik! Kami tiak hendak membikin susah padamu, kau pergilah!" Tiauw Hong suka menyimpan cambuknya. "Kau kembalikan kitabku!" katanya. Cu Cong melengak. "Aku tidak mengambil kitabmu!" katanya. "Kau tahu sendiri, tidak pernah Kanglam Liok Koay berdusta!" Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia tidak tahu kertas kulit manusia di luar pisau belati adalah rahasianya Kiu Im Cin-keng. Tiauw Hong tahu Kanglam Cit Koay jujur, karena ini ia mau percaya kitabnya pastilah telah terjatuh selagi ia bertempur, dari itu ia lantas berdongko dan meraba-raba ke tanah. Sekian lama ia bekerja, ia tidak berhasil mendapatkan barang yang dicari itu. Menyaksikan orang rape-rape itu, semua orang merasa kasihan juga. Tidakkah ia buta walaupun ia sangat lihay" Seng Hong lantas saja berkata: "Suci, di sini benar-benar tidak ada barangmu! Mungkin kau kena bikin hilang di tengah jalan..." Tiauw Hong tidak menjawab, ia pun tidak berhenti bekerja. Sekonyong-koyong mata orang banyak bagaikan berkelebat, lalu di hadapan mereka muncul pula si orang baju hijau, yang gerakan tubuhnya bagaikan kilat. Tahu-tahu saja dia sudah mencekal punggung Bwee Tiauw Hong, yang terus diangkat, untuk dibawa pergi. Perginya pun lenyapnya dalam sekejap, lenyap di antara pepohonan di luar Kwie-in-chung itu. Begitu lihaynya si Mayat Besi, ia tidak berdaya. Orang semua melongo, mereka saling memandang. Sunyi si sekitar mereka, kecuali suara gelombang, yang nanti terdengar, nanti tidak.... Masih selewat sekian lama, barulah Kwa Tin Ok memecahkan kesunyian. Ia berkata kepada tuan rumah: "Murid kami telah menempur wanita jahat itu, karena kami merusak rumahmu, tuan, kami sangat menyesal." "Jangan berucap demikian, tayhiap," Seng Hong berkata, "Justru aku girang sekali yang tayhiap semua serta muridmu datang ke mari. Justru aku hendak menghanturkan termia kasihku, sebab kalau tidak, mungkin rumahku ini bakal ludas." "Aku minta sukalah semua tuan duduk beristirahat," Koan Eng menimpali ayahnya dengan sikapnya yang ramah tamah. "Saudara Kwee, apakah lukamu tidak sakit?" "Tidak," sahut Kwee Ceng. Tapi, baru ia menutup mulutnya, atau tiba-tiba sudah terlihat pula si baju hijau bersama Bwee Tiauw Hong, datangnya seperrti tidak Nona Berbunga Hijau 2 Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih Ilmu Ulat Sutera 4