Memanah Burung Rajawali 16
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 16 Rupanya setelah berpisah dari aku, segera ia mengambil pit dan kertas untuk mencatatnya, setelah mana ia memberikan itu kepada suaminya...." Kwee Ceng heran hingga ia terperanjat. "Nyonya Oey tidak mengerti tentang kitab itu, cara bagaimana dia sanggup menghapalkannya?" katanya. "Kenapa di kolong langit ini ada orang yang demikian terang otaknya?" "Aku rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey pun dapat berbuat demikian," mengatakan Ciu Pek Thong. "Setelah mendapat keterangannya Khu Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan Cin Pay, untuk mendamaikan urusan itu, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat membayar pulang kitab itu. Khu Cie Kee mengusulkan untuk aku jangan turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong Siang Sat lihay, tidak nanti mereka itu dapat mereka melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun tangan sendiri, aku ditertawankan kaum kangouw. Bukankah aku dari tingkat terlebih tinggi dan mereka itu lebih rendah" Aku setuju. Lantas aku menyuruh Cie Kee berdua Cie It yang mencari Hek Hong Siang Sat dan lima lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam, Hek Hong Siang Sat telah lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab mereka dikepung Liok Seng Hong, satu murid lainnya dari Oey Lao Shia. Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak kawan jago-jago dari Tionggoan. Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap. Kwee Ceng mengangguk. Ia berkata: "Pantas kalau Liok Chungcu membenci Hek Hong Saiang Sat. Dia diusir gurunya tanpa bersalah, cuma disebabkan Hek Hong Siang Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab." "Aku tidak dapat mencari Hek Hong Siang Sat itu, sudah tentu aku mencari Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti terhilang pula, aku bawa-bawa Kiu Im Ciekeng bagian atas itu. Setibanya di Tho Hoa To, aku tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, 'Pek Thong, aku Oey Yok Su, jikalau akau kata satu, tentu satu. Aku telah bilang tidak nanti aku melihat kitabmu itu, aku pegang perkataanku! Kapannya aku melihat kitabmu itu" Kiu Im Cie-keng yang aku baca ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu tidak ada sangkutannya dengan kau!' Aku tidak mau mengerti, maka itu kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia kasih aku bertemu sama istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya berduka, lantas ia ajak aku ke ruang dalam. Di sana aku terkejut untuk apa yang aku lihat, Istrinya sudah meninggal dunia, di situ terlihat cuma meja abunya beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada arwah Nyonya Oey itu, tetapi Oey Lao Shia kata padaku dengan dingin: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau berpura-pura! Coba kau tidak mengoceh tentang kitab tulen dan yang palsu, tidak nanti istriku meninggalkan aku!' Aku jadi heran. 'Apa katamu"' aku tanya. Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka. Kemudian mendadak saja air matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka menerangkan tentang meninggalnya istrinya itu." "Apakah sebabnya itu, toako?" "Istrinya Oey Lao Shia itu ada seorang yang otaknya terang luar biasa, untuk suaminya itu ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang ia pinjam lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin juga ia mendapatkan bagian atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia hendak menyakinkannya sekalian. Apa mau kitabnya itu kena dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya kitab, sukar untuk ia mengingat-ingat pula karena waktunya telah berselang lama. Kebetulan itu waktu, istrinya itu lagi mengandung sudah delapan bulan. Keras Nyonya Oey ini berpikit, mengingat-ingat, selama beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena ia terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum waktunya. Bayinya itu satu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali tetapi tidak dapat ia merebut jiwa istrinya, yang ia sangat cintai. Memangnya ia bertabiat aneh dan suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Demikian kali ini, saking bersedih, pikirannya seperti terganggu. Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan. Aku tahu tabiatnya itu, aku mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia. Aku pun berkasihan padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, 'Kau gemar silat, bagimana kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak khawatir, orang nanti ketawakan kau"' Atas itu, dia menjawab,' Kau tidak tahu, istriku ini lain daripada istri orang kebanyakan.' Aku kata pula, 'Kau telah kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau menyakinkan ilmu silatmu. Coba kau jadi aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.'" Kwee Ceng terperanjat. "Ah, mengapa kau mengatakan demikian?" katanya. Matanya Pek Thong membelalak. "Apa yang aku pikir, apa yang aku kata!" ia kata dengan keras. "Kenapa aku tidak boleh mengatakan sesuatu" Karena itu, Oey Lao Shia menjadi sangat gusar. Dengan mendadak ia menyerang aku. Kita lantas jadi berkelahi. Karena perkelahian itu, kesudahannya aku mesti duduk bercokol di sini selama limabelas tahun..." "Jadinya toako kalah?" Kwee Ceng menegaskan. Ciu Pek Thong tertawa. "Jikalau aku menang, tidak nanti aku berada di sini," sahutnya. "Dia telah menghajar patah kedua kakiku, dia memaksa aku mengeluarkan Kiu Im Cin-keng bagian atasnya, katanya untuk dibakar buat menyembahyangi arwah istrinya. Aku tidak serahkan kitab itu, yang aku simpan di dalam gua ini, aku sendiri menjaga di depan. Aku telah berkeputusan, asal ia memaksa, hendak aku meludaskan kitab itu. Atas sikapku itu, Oey Yok Su bilang bahwa akhirnya mesti ada jalan untuk dia mendapatkannya, ialah dengan membikin aku meninggalkan gua ini. 'Marilah kita coba!' aku menantang. Demikian sudah terjadi, aku berdiam saja di dalam gua ini, aku mensia-siakan tempo limabelas tahun. Dia tidak berani membikin aku kelaparan, dia telah mempergunakan pelbagai macam tipu daya, akan tetapi tetap dia tidak berhasil. Aku tidak kena dipaksa atau dibujuk. Hanya tadi malam hampir aku runtuh juga, syukur kau datang mebolongi. Baiknya ada hantu atau malaikat yang bawa kau padaku, jikalau tidak tentulah kitab itu sudah terjatuh ke dalam tangannya Oey Lao Shia." Kwee Ceng berpikir banyak mendengar keterangannya Pek Thong itu. "Toako, habis bagaimana selanjutnya?" ia menanya. Pek Thong tertawa. "Hendak aku melewatkan waktu bersama-sama Oey Lao Shia, untuk membuktikan, dia yang terlebih panjang umur atau aku yang hidup terlebih lama!" sahutnya. Kwee Ceng merasa itu bukanlah daya sempurna, hanya ia sendiri masih belum bisa memikir sesuatu. "Kenapa Ma Totiang dan lainnya tidak datang menolongi toako?" tanyanya kemudian. "Kebanyakan mereka tidak ketahui aku berada di sini," menyahut Pek Thong. "Umpama kata mereka mendapat tahu, tidak nanti mereka dapat masuk ke mari, kecuali Oey Lao Shia sengaja memberikan ketikanya." Kwee Ceng berdiam, ia berpikir pula. Tentang Ciu Pek Thong ia telah memperoleh kepastian, usia dia tinggi tetapi sifatnya gembira, seperti anak-anak yang doyan bergurau, omongannya pun polos dan langsung, tidak licik. Ia merasa suka terhadap ini orang tua, yang sebaliknya pun menyukai lainnya. Tidak lama, matahari merah sudah naik tinggi, si bujang tua datang pula dengan barang makanan. Habis bersantap, mereka berada berduaan saja, Pek Thong kata kepada Kwee Ceng: "Limabelas tahun lamanya aku melewatkan waktuku di Tho Hoa To ini, selama itu aku tidak mensia-siakannya. Di sini aku tidak pernah mengangkat kaki setengah tindak sekalipun, hatiku pun tidak terganggu, dengan begitu aku berhasil dengan peryakinkanku. Cobalah di tempat lain, sedikitnya aku membutuhkan tempo duapuluh lima tahun. Aku merasa bahwa aku telah memperoleh kemajuan, sayangnya aku tidak punya kawan untuk berlatih bersama-sama, karenanya terpaksa aku memakai kedua tanganku saja." Kwee Ceng heran. "Bagaimana bisa menjadi, tangan kanan bertempur dengan tangan kiri?" dia menanya. "Untuk itu aku main perumpamaan," menerangkan Pek Thong. "Tangan kananku aku umpamakan Oey Lao Shia, tangan kiriku adalah aku sendiri. Kapan tangan kanan memukul, tangan kiri menangkis, tangan kiri itu terus membalas menyerang. Demikian kedua tangan itu bertarung." Sembari berbicara, Pek Thong menggeraki kedua tangannya itu, seperti dua orang lagi berkelahi. Ia memberikan contoh. Kwee Ceng heran, hingga ia merasa lucu. Tapi berselang beberapa jurus, ia menjadi kagum. Ia mendapat kenyataan, benarlah kedua tangan itu luar biasa gerak-geriknya. Kalau lain orang menggunai kedua tangan, untuk menyerang dengan membela diri, Pek Thong ini menggunai satu tangan saja. Inilah langka. Anak muda itu terus mengawasi, sampai ia menanya; "Toako, barusan kau menggunai jurus Di Bawah Pohon Membereskan Pakaian, kau menggerakkan tangan kananmu, kenapa tidak kaki?" Pek Thong berhenti, ia tertawa. "Benar matamu tajam," katanya. "Mari, mari kau coba!" Ia melonjorkan tangan kanannya. Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk menandingi. "Hati-hati!" pesan si orang tua. "Aku hendak menolak kau ke kiri..." Selagi ia berkata, Pek Thong sudah mengerahkan tenaganya. Ia benar menggunai jurusnya itu. Kwee Ceng sudah siap sedia, ia melawan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang. Kesudahannya ia terpukul mundur tujuh atau delapan tindak, tangannya lemas dan sakit. "Barusan aku meminjam tenaga di kakiku, kau cuma terdorong," kata Pek Thong pula. "Sekarang mari kita coba pula, aku tidak akan pinjam tenaga di kaki itu." Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pula tangannya. Ia lantas merasa seperti tertolak dan ketarik, akan akhirnya, runtuh kuda-kudanya, lantas ia jatuh ngusruk ke depan, kepalanya membentur tanah. Ketika ia merayap bangun, ia berdiri bengong saking herannya. "Mengerti kau sekarang?" Pek Thong tanya tertawa. "Tidak," menyahut si anak muda, menggeleng kepala. "Ilmu ini aku dapatkan selama sepuluh tahun aku berdiam di dalam gua ini," Pek Thong menerangkan. "Aku pun mendapatkannya secara tiba-tiba. Semasa hidunya suko, ia pernah omong halnya menyerang menggertak manjadi benar-benaran. Dulu hari itu aku tidak menginsyafinya, aku tidak perhatikan, hanya kemudian baru aku memahamkan itu. Tadinya aku belum mempercayai penuh, sebab aku cuma dapat berlatih, belum pernah mencobanya. Sekarang barulah aku menguji terhadapmu. Adik, mari kita mencoba pula. Kau jangan takut, lagi beberapa kalli aku akan membuatmu roboh!" Kwee Ceng bersangsi. Orang tua ini melihat adik angkat ini ragu-ragu, ia lalu meminta. Katanya: "Adikku, aku menggemari ilmu silat melebihkan jiwaku, selama limabelas tahun, aku mengharap-harapkan ada orang yang bisa main-main dengan aku, buat beberapa jurus saja. Beberapa bulan yang lain putrinya Oey Lao Shia telah ke mari, ia omong banyak, bisa menghibur aku, hanya selagi aku ingin memancing ia untuk diuji, dilain harinya ia tidak datang pula. Adikku yang baik, tidak nanti aku merobohkan keras-keras padamu...." Kwee Ceng mengawasi, ia melihat kedua tangan orang digerak-gerakkan, seperti sudah sangat gatal. "Baik," sahutnya kemudian. "Roboh beberapa kali tidak berarti apa-apa." Ia pun lantas melonjorkan tangannya. Mereka lantas bentrok. Selang beberapa jurus, terasa tangannya Pek Thong dikerahkan. Tidak ampun lagi, Kwee Ceng terguling tapi belum ia roboh, ia disampok dengan tangan kiri, hingga ia berjumpalitan. Karena ini, ketika ia jatuh, ia merasakan sakit. Kelihatannya Pek Thong menyesal tetapi ia lantas berkata: "Adikku yang baik, tidak percuma aku membuatnya kau roboh. Nanti aku memberi penjelasan kepadamu tentang jurus ini." Kwee Ceng menahan sakit, ia merayap bangun. Ia dekati kakak angkatnya itu. Pek Thong mengangkat mangkok nasinya. "Mangkok ini asalnya terbuat dari lumpur, karena tengahnya dikosongi, dapatlah dipakai mengisi nasi. Coba semuanya terisi, ada apakah gunanya?" Kwee Ceng mengangguk, hatinya berpikir; "Inilah sangat sederhana, tapi sebenarnya tadi-tadinya belum pernah aku memikirkannya." "Demikian juga rumah," kata Pek Thong. "Karena di dalamnya kosong dan ada pintu dan jendelanya, rumah itu dapat ditinggali. Kalau rumah itu terisi dan tanpa pintu atua jendela, apa jadinya?" Kwee Ceng mengangguk. "Demikian pula ilmu silat Coan Cin Pay. Ilmu ini berpokok pada kosong dan lemas. Kosong dapat diisi dan lemas dapat dibikin keras." Kwee Ceng berpikir, ia masih belum mengerti jelas. "Ang Cit Kong itu ahli Gwa-kee, ilmu luar, dia sudah sampai di puncaknya kemahiran, maka itu, meski aku mengerti ilmu silat Coan Cin Pay, mungkin aku bukan tandingan dia. Tapi ilmu luar itu ada batasnya, tidak demikian dengan Coan Cin Pay. Buktinya ketika kakak seperguruanku memperoleh gelar orang gagah nomor satu, ia bukannya mendapatkannya itu karena beruntung, tidak, itulah karena kepandaiannya. Coba ia masih hidup sekarang, setelah peryakinan lebih jauh belasan tahun, apabila dia diadu pula, tidak nanti dia memakai tempo sampai tujuh hari tujuh malam. Aku percaya, dalam tempo satu hari saja, dapat ia merobohkan semua lawannya." "Sayang adikmu tidak mempunyai rejeki untuk menemui Ong Cinjin," berkata Kwee Ceng, "Ang Insu dengan Hang Liong Sip-pat Ciang menjadi jagonya golongan ilmu luar, dan toako barusan, dengan ilmu silatmu yang manjatuhkan aku itu, menjadi jago golongan lemas...." Pek Thong tertawa. "Benar, benar!" katanya. "Memang lemas bisa mengalahkan keras, hanya kalau Hang Liong Sip-pat Ciang kau adalah semahir Ang Cit Kong, tidak dapat aku merobohkan kau. Semua itu tergantung sama dalam dan ceteknya peryakinan. Sekarang kau perhatikanlah." Pek Thong lantas memberikan penjelasannya, berikit gerak-gerik tangannya. Karena ia tahu orang lambat mengerti, ia berlaku sabar dan perlahan. Kwee Ceng mesti belajar sambil mencoba, selang beberapa puluh kali, barulah ia mulai mengerti. "Kalau kau sudah tidak sakit lagi, mari aku mencoba merobohkan pula padamu!" kata Pek Thong kemudian. Kwee Ceng tertawa, "Sakitnya sih tidak, malah pengajaran barusan belum aku mengerti semua," sahutnya. Ia lantas mengingat-ingat. Pek Thong benar seperti bocah, ia mendesak. "Mari, marilah!" bilangnya. Tapi ini justru menyebabkan Kwee Ceng mesti berpikir terlebih keras lagi. Sampai sekian lama, baru si anak muda mengerti. Maka ia lantas melayani pula kakak angkatnya itu. Lacur untuknya, walaupun ia sudah bersedia, kembali ia kena dirobohkan! Demikian seterusnya, siang dan malam, mereka berlatih. Kwee Ceng menderita, tubuhnya jadi bengkak di sana-sini dan matang biru. Ia bukannya roboh terbanting puluhan, bahkan ratusan kali. Tapi tubuhnya kuat, ia pun bisa menahan sakit. Untungnya, kepadanya telah diwariskan kepandaiannya itu kakak angkat. Itulah ilmu silat "Kong-beng-kun" atau "Kepalan Kosong", yang terdiri daripada tujuhpuluh dua jurus, yang diciptakan sesudah limabelas tahun dalam kurungan......................... Bab 36. Ilmu silat dari kitab yang diperebuti Entah sudah lewat berapa banyak hari, maka pada suatu tengah hari bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: "Adik, kau telah berhasil mewariskan ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak bakal mampu merobohkan kau pula. Karena itu kita harus menukar caranya bermain-main." Kwee Ceng gembira, dia tertawa. "Bagus, toako. Apakah caramu itu?" "Sekarang kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi..." "Apa, empat orang?" "Benar, empat orang," sang kakak memberi kepastian. "Diumpamakan tangan kiriku satu orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang tanganmu, diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak saling membantu, kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan menarik hati!" Kwee Ceng gembira, ia tertawa pula. "Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku," katanya. "Nanti aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu." Pek Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua orang. Kwee Ceng melayani seorang diri. Di saat si adik angkat terdesak. Pek Thong menggunai tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah tangan kiri dari tangan kanan. Setelah merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng senang dengan permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong. Coba Yong-jie ada bersama, bukankah mereka bertiga bisa berkelahi seperti enam orang" Ia pun percaya Oey Yong senang dengan permainan ini. Pek Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng sudah beristirahat cukup, ia mengajak untuk mulai lagi. Ia pun senang si anak muda dapat melayani. Ia kata: "Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay, tidak nanti kau dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau menggunai tangan kiri dengan Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lam-san-ciang dan tangan kanan Wat-lie-kiam." Dengan Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie Jin, dan Wat-lie-kiam dari Han Siauw Eng. Pek Thong saban-saban memberi keterangannya, maka selang beberapa hari lagi, benar-benar Kwee Ceng sudah dapat memisahkan kedua tangannya masing-masing, maka selanjutnya bisalah mereka berdua bertempur seperti berempat. "Sekarang mari kita coba," kataPek Thong kemudian. "Tangan kananmu dan tangan kiriku menjadi satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu menjadi kawan yang lain, kita saling melawan." Kwee Ceng terus bergembira. Ia mematahkan secabang pohon, buat dicekal tangan kanan bagaikan pedang. Dengan begitu mereka mulai bertempur, mulanya perlahanlahan. Terus Pek Thong memberikan keterangan, sampai adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan begitu, adik angkat itu dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa itu. Hari terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak adik angkatnya itu bergerbrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang. Dalam kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng sebaliknya repot, ia kena terdesak, maka kalau tangan kanannya kewalahan, tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia terdesak, mereka jadi seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana, Kwee Ceng toh mengerti juga. "Ah, kau tidak pakai aturan!" Pek Thong tertawakan adiknya, yang berkelahi seperti sendiri itu. Kwee Ceng tidak membilang suatu apa, hanya selang beberapa jurus, tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia berdiam. "Toako!" katanya, habis berpikir, "Aku ingat suatu apa..." Pek Thong heran. "apakah itu?" dia menegasi. "Kedua tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu dipakai melawan satu orang, bukankah itu berarti dua lawan satu" Kita sekarang hanya main-main tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat berkelahi benar-benar..." Pek Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat keluar dari gua, dia menjambret cabang pohon, untuk mematahkan dua batang. Habis itu ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa terus. "Toako, kau kenapa?" menegur Kwee Ceng heran. Kakak itu seperti edan. "Kau kenapakah?" Pek Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata: "Adik, aku keluar dari gua!" "Ya," Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua. "Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh...." Pek Thong tertawa, dia menyahuti: "Sekarang ini kepandaianku ialah yang nomor satu di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su" Sekarang ini aku tinggal menantikan dia, untuk aku menghajarnya kalang-kabutan!" Kwee Ceng heran. "Toako, pastikah kau bakal dapat menang?" "Sebenarnya aku masih kalah seurat," sahut Pek Thong, "Tetapi sekarang aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini tidak bakal ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah mereka melayani dua Loo Boan Tong?" Kwee Ceng girang. Beralasan perkataanya ini kakak angkat. "Adikku," kata pula Pek Thong, "Kau sudah mengerti ini ilmu memecah diri, untukmu tinggal latihan terlebih jauh untuk memahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sesudah kau bisa menyakinkan seperti kakakmu ini, kau pasti akan tambah hebat!" Girang dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap-harap munculnya Oey Yok Su, yang baru beberapa saat di muka ia takuti. Coba tidak Oey Yok Su mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang, ia sudah pergi mencari. Sore itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal tangan orang. "Pergi lekas panggil Oey Yok Su kemari, bilang di sini aku menantikan dia, suruh dia mencobai tanganku!" Selama orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangi kepala, ketika Pek Thong sudah habis bicara, baru ia sadar sendirinya, "Aah, aku lupa dia tuli dan gagu!" katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng dan kata: "Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!" Ia lantas membuka tutup makanan. Kwee Ceng dapat mencium bau makanan yang sedap. Ketika ia sudah memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara sayuran ada ayam tim yang ia doyan sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencobai. Ia merasa itu seperti masakannya Oey Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah ia, itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang lainnya. Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti buli-buli, rupanya itu sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya cetek, tidak gampang untuk melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas-lekas ia masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak memperhatikannya. Kali ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong gembira karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok, ia seperti bersilat. Kwee Ceng mengharapkan lekas dahar cukup supaya ia bisa lekas baca suratnya Oey Yong. Ia percaya si nona ada punya kabar untuknya. Akhirnya Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tengak kuah supnya, habis itu si bujang berbenah dan berlalu. Sampai di situ Kwee Ceng keluarkan lilinnya, untuk dipecahkan. Benar di dalamnya ada suratnya, ialah surat dari Oey Yong. Si nona menulis: "Engko Ceng, jangan khawatir. Ayah sudah baik lagi denganku. Kau tunggulah, perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah melepaskan kau." Habis membaca, surat itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu tertawa. "Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak bisa!" katanya. Ketika itu cuaca mulai jadi gelap. Kwee Ceng duduk bersemadhi, tetapi ia senantiasa memikirkan Oey Yong, tidak bisa ia berdiam tenang. Selang sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenag, justru ia dapat berpkir bahwa untuk dapat memisah diri, ia mesti berkatih. Dengan kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin napasnya pun menjadi dua.... Kira-kira satu jam dia melatih diri, Kwee Ceng merasakan dia mendapat kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia membuka matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan kumis putih bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu Pek Thong lagi melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus itu. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan perlahan tetapi kesudahannya anginnya keras. Jadi itulah lemas memelihara kekerasan. Girang ia melihat kakaknya begitu hebat. Selagi Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek Thong bersilat dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul sama satu suara bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam terlempar dari tubuhnya si orang tua, membentur kepada pohon. Nampaknya bendabitu seperti kena disambar. Kwee Ceng terkejut. Ia lihat tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. "Toako, ada apa?" dia menanya. "Aku digigit ular berbisa!" sahut Pek thong. Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Ia tampak air muka kakaknya pias. Ia lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, untuk membalut keras paha kakaknya itu, ialah bagian yang dipagut ular, guna mencegah bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo ia menyalakan api, ia menjadi terlebih kaget. Ia melihat betis yang lantas menjadi bengkak. "Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah darimana datangnya binatang ini," kata Pek Thong. Ia kenali itulah ular hijau. Kwee Ceng mendengar nyata suara kakaknya, ia jadi terlebih kaget lagi. Itulah tanda hebatnya racun ular. Bagus, si kakak dapat mengendalikan napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan diri tanpa pingsan. Tanpa bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke paha, ke tempat yang luka, untuk menyedot darah yang telah kecampur racun ular itu. Pek Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini. "Jangan!" ia mencegah. "Ular orang, ia menyedot terus. Pek Thong bisa mati!" Kwee Ceng hendak menolongi jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri. Ia mencekal keras kaki orang, ia menyedot terus. Pek Thong hendak berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah dia lelah, tubuhnya lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia pingsan. Kwee Ceng menyedot lamanya semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia dapat menyedot pulang sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat tubuhnya berkat ilmu dalamnya, selang sejam, ia mendusin. "Adik," dia berkata, "Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka, sebelum mati aku dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi sebagai kau, aku sangat bergirang..." Kwee Ceng lantas saja mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka tetapi ia sangat ketarik sama orang tua ini, yang baik hatinya. Mereka sudah jadi seperti saudara kandung. Pek Thong tertawa dalam kedukaan. "Bagian dari Kiu Im Cin-keng berada di dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah di atas mana aku duduk numprah," Pek Thong berkata pula. "Sebenarnya aku hendak mewariskan itu kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal tidak panjang umur.... Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan bergandeng tangan, kita tak usah berkhawatir kita tak punya kawan...." Kwee Ceng terkejut mendengar kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia justru merasakan tubuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda yang luar biasa. Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa luka kakaknya itu. Bahan apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia keluarkan dari sakunya surat dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan untuk mencari cabang dan daun kering diluar gua, untuk ia sekalian, kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ, rumput semuanya hijau dan segar. Dalam bingung, ia merogoh pula sakunya, untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak dapatkan apa-apa kecuali itu sehelai benda kertas bukan kulit bukan, yang Bwee Tiauw Hong pakai membungkus pisau belati. Tanpa pikir nlagi, ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka Pek Thong. Ia melihat tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar sebagai bocah dari kakak angkatnya itu. Melihat api, Pek Thong mengawasi Kwee Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia lihat benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak huruf-huruf. Baru ia melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu hingga padam, sesudah mana, ia menghela napas lega. "Eh, adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?" ia tanya. "Kau sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai kau!" Ditanya begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu hari ia bersama Ang Cit Kong dan Oey Yong bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana tidak ada ular yang berani menggigit padanya, ketika kemudian Cit Kong minta keterangan padanya ia ingat yang pernah menghirup darah ularnya Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi keterangannya. Pek Thong mau mengerti, lantas ia menunjuk itu barang seperti kertas atau kulit. "Jangan kau bakar itu!" katanya. "Itulah mustika...!" Tidak sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia hendak menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im Cin-keng bagian bawah. Dalam keget dan bingungnya Kwee ceng menguruti kakaknya itu. hendak ia menolong tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, ia merasakan paha panas seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking berkhawatir, ia lari ke luar gua, ia lompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak: "Yong-jie" Yong-jie! Oey Tocu! Tolong! Tolong!" Luas Tho Hoa To itu, Oey Yok Su entah ada di bagian mana, suaranya Kwee Ceng sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu dari antara lembah. Habis daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak putus asa. Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Ular beracun tidak berani menggigit aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular." Begitu mengingat ini, begitu ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek Thong, yang diperantikan menaruh the, ia pun menghunus pisau belatinya. Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya, darahnya yang mengalir itu ia tadahkan dengan mangkok itu. Ia tunggu sampai darah habis menucur keluar, terus ia letaki tubuh Pek Thong di kakinya. Ia membuka mulut saudaranya itu, ia menggunai tangan kirinya lalu dengan tangan kanan ia menuang darahnya ke dalam mulut orang. Anak muda ini telah mengeluarkan banyak darah, walaupun tubuhnya kuat, ia lelah juga, ia menjadi lemas. Menyender pada lamping gua, sendirinya ia meram dan menjadi pulas. Ia baru sadar ketika merasa ada orang meraba lengannya untuk membalut lukanya, apabila ia membuka matanya, ia melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia menjadi girang dengan tiba-tiba. "Kau...kau...baik?" serunya. "Aku baik, adikku," sahut Pek thong. "Kau telah menolong aku, kau sampai mengorbankan dirimu." Kwee Ceng mengawasi paha kakak itu, warna hitamnya sudah lenyap, tinggal warna merah dan bengkaknya. Keduanya tidak banyak omong, bersama-sama mereka bersemadhi. Adalah setelah bersantap tengah hari, Ciu Pek Thong baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau kertas itu yang ada huruf-hurufnya. Kwee Ceng mesti mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat itulah benda yang ia dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu Sie-seng Cu Cong, yang sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee Tiauw Hong, ketika guru itu mencuri pisau belati orang, piasu belati mana dibungkus dengan kulit itu. Maka ia lantas menuturkan peristiwa di Kwie-in chung baru-baru ini. Ciu pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di kulit itu. "Toako, kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?" tanya Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu adalah Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. "Hendak aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab kau," menyahut Pek Thong. "Aku ingin membuktikan ini yang tulen atau yang palsu." Pek Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay dilarang mempelajari Kiu Im Cin-keng" Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang mendapatkan itu itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari" Ia tidak berani melanggar pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: "Bukankah aku tidak berniat mempelajarinya dan aku cuma hendak melihat saja?" Ini pula sebabnya kenapa selama numprah di dalam gua itu, ia telah periksa Kiu Im Cin-keng bagian atas itu dan membacanya berulangulang hingga ia hapal di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu silat tangan kosong dan pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk mengalahkan lain orang, jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak mendapatkan bagian bawahnya. Selama sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan menduga-duga bagaimana isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. Dasar kepandaiannya telah mencapai puncaknya dan ia pun sangat hapal Kiu Im Cin-keng bagian atas, maka itu begitu melihat bagian bawahnya itu, ia lantas mengerti hubungan keduanya itu. Sekarang ia berpikir keras, ia menyakinkan itu atau jangan" Ia tidak menghendaki menjadi jago nomor satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana lihaynya. Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak seperguruannya, akhirnya ia masuki kitab itu ke dalam sakunya dan tidur. Tidak lama setelah mendusin, pek Thong ajak Kwee Ceng membantui ia menggali tanah di bagian tempat duduknya, akan mengeluarkan kitab simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia menggorek beberapa kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali, mendadak ia berseru: "Benar! Benar! Inilah cara yang paling baik!" Ia lantas tertawa, agaknya ia girang luar biasa. "Toako, kau bilang apa?" tanya Kwee Ceng mengangkat kepalanya. Pek Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya mendapat ingat sesuatu. Katanya dalam hati: "Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari dia menurut bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia melatih itu, untuk aku melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai maksudku untuk melihatnya?" Tapi sejenak kemudian, ia memikir lainnya. "Di dengar dari suaranya, ia jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu sesat, cumalah ia keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong Siang Sat, yang mengerti hanya bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek Hong Siang Sat tidak mengetahui bagian atasnya itu, mereka menjadi sesat. Baiklah aku mengatur begini, aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham, baru aku mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?" Setelah berpikir demikian, ia awasi Kwee Ceng. Ia berkata: "Adikku, selama aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun serta cara berkelahi bermain-main itu, sebenarnya aku telah mendapatkan beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagimana jikalau aku mengajari pula padamu?" Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa. Kwee Ceng polos, ia girang. "Memang itu bagus!" jawabnya. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jangan kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!" kata Pek Thong dalam hatinya. Ia segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas. Kwee Ceng tidak cerdas, ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, ia menanyakan itu. Pek Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan penjelasannya, sesaudh mana, dari bagian atas ia menyambung ke bagian bawah. Cuma, untuk tidak membikin orang curiga, ia suka mengambiln jalan menyimpang. Luar biasa caranya mengajarnya Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru lainnya, ia tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kakinya, tetapi meski pun demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun bersungguh-sungguh, dan berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh hasil. Setelah Kwee Ceng mengerti, ia mencoba membandingkan itu dengan ilmu silat Coan Cin Pay. Kwee Ceng tetap tidak mendusin bahwa ia sudah mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Kiu Im Cin-keng. Hal ini membuat Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa sendirinya. Selama beberapa hari ini, Oey Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak muncul menemui anak muda itu. Kwee Ceng berlega hati, ia mantap belajar silat, ia mendapat kemajuan hebat. Pada suatu ahri Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pekku Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua. "Pusatkan perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!" berkata si guru. Kwee Ceng menurut. Selang beberapa kali, dia heran. "Toako," katanya, "Aku lihat Bwee Tiauw Hong pernah mempelajari ilmu semacam ini, melainkan sasarannya ialah manusia hidup, dengan jarinya ia mencengkram batok kepala orang, dia kejam sekalli!" Di dalam hatinya Pek Thong terkejut juga. Pikirnya: "Memang, Bwee Tiauw Hong itu mengambil jalan yang sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya. Ia cuma turuti kitab bawah yang bunyinya: 'Diwaktu bertempur, dengan jari-jari tangan mencengkram batok kepala lawan.' Ia tentunya pikir, melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia mulai curiga, baiklah aku mengubahnya..." Maka sembari tertawa ia berkata: "Dia mempelajari ilmu sesat, dia beda dari kita kaum sejati. Baiklah, kita menunda mempelajarinya ini ilmu Kiu Im Sin-jiauw, aku nanti mengajari kau lain ilmu dalam." Sembari berkata begitu, ia berpikir: "Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia hapal benar, kemudian baru bagian bawah. Kalau keduanya menemui runtunannya, tentulah ia tidak bercuriga lagi." Kwee Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas. Seperti biasa dengan pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, ialah tidak gampang ia mendapat ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya. Penjelasan ini sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak dapat mengerti maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena ini, mereka meminta tempo lagi beberapa hari lagi, baru setelah itu, Kwee Ceng mulai melatih dengan tangan dan kakinya. Sering Kwee ceng melihat kakaknya itu tersenyum atau tertawa sendirinya, ia tidak curiga, sebab ia tahu kakak angkatnya ini memangnya nakal dan suka bergurau. Kemudian pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua membawakan mereka barang makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat melihat sebuah bakpauw yang ada tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia bawa bakpauw itu ke pepohonan yang lebat, untuk dibuka dan diperiksa isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya membuatnya kaget. Nona itu menulis: "Engko Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, yang ia hendak rangkap jodohnya dengan jodohku. Ayah sudah memberikan jawabannya.... Sampai di situ surat itu. Rupanya belum selesai lagi ditulis, surat itu tealh dimasuki ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat tergesa-gesa. Tidak salah lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima lamaran itu, kalau tidak si nona tidak nanti menjadi bingung. Karena ini, ia pun menjadi bingung sekali. Kwee Ceng tunggu sampai si bujang tua sudah berbenah dan berlalu, ia perlihatkan suratnya Oey Yong itu kepada Pek Thong. "Ayahnya sudah menerima baik, itulah bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!" kata sang kakak. "Tidak, toako!" kata Kwee Ceng, tetap bingung. "Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya kepadaku. Dia bisa menjadi gila!" "Sesudah seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang tidak dapat dipelajari lagi lebih jauh," Pek Thong memperingatkan. "Umpama dua ilmu It-yangcie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari oleh anak-anak yang ebrtubuh jenaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik kau jangan menginginkan istri..." Kwee Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak sependapat dengannya, ia jadi semakin bergelisah. Ia bergelisah seorang diri. "Coba dulu hari itu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku," kata pula Ciu Pek Thong, "Hingga karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu It-yang-cie, mana bisa sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau iblis ini" Kau lihat sekarang, karena kau memikirkan istri, pemusatan pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu hari ini pastilah tidak dapat kau selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi putrinya Oey Lao Shia, putri yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang, sungguh sayang...." Tidak puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai istri. "Aku nikahi dia atau tidak, itulah urusan belakangan, toako!" katanya. "Sekarang kau tolongi dulu padanya!" "See Tok itu ada orang yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan orang baik," berkata Ciu Pek Thong. "Biarlah ia menikah sama putri yang licin dan buruk dari Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu bagus?" Kwee Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak. "Biar aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!" pikirnya mengambil keputusan. Karena ini, ia berlompat bangun. Justru itu ia dapat mendengar dua kali pekiknya burung di tengah udara, lalu berkelebat dua bayangan putih, yang menyambar ke bawah. Bahkan segera ia mengenali dua burung rajawali, yang dibawa Tuli dari gurun pasir. Ia menjadi girang sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya untuk burungnya itu mencelok. Di kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee ceng meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Itulah surat dari oey Yong. Si nona menulis bahwa ia terancam sangat, lantaran lagi beberapa hari See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia dijaga keras oleh ayahnya, sudah dilarang keluar dari rumah, tak boleh setengah tindak juga, ia pun dilarang memasaki makanan lagi untuk si pemuda. Maka itu, tulisnya lebih jauh, kalau sampai saatnya dan dia tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan nyawanya. Dia larang si pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa To penuh rahasia dan berbahaya. Kwee Ceng terbengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya. Ia mengurat berulangkali di selebung bambu itu, akan mengukir delapan huruf, bunyinya: "Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam sebuah liang." Ia ikat pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia kibaskan tangannya. Sepasang burung itu sudah lantas pergi terbang, di udara mereka terbang berputaran, lalu terus menuju ke arah Utara. Sekarang Kwee Ceng dapat melegakan hati, maka ia bersila pula untuk bersemadhi, guna menyakinkan ilmunya, akan sebentar kemudian ia menghampirkan Ciu Pek Thong, guna mendengari pengajaran kakak angkatnya itu. Lewat sepuluh hari, dari Oey Yong tidak terdapat kabar apa juga. Selama itu, Kwee Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena ini, dalam girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia cuma mengajari serupa demi serupa, ia tidak menyuruhnya orang berlatih dulu menuruti itu. Inilah untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak muda. Kwee Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia berhasil mengingat di luar kepala isinya kitab bagian bawah itu, maka itu, berhasillah ia menguasai kedua bagian kitab itu. Pada suatu malam, tengah rembulan terang menderang, Pek Thong ajak Kwee Ceng berlatih dengannya. Kesudahannya itu membuat ia girang sekali. Ia merasa bahwa ia telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat memahamkan isinya kitab, ia bakal terlebih lihay daripada Oey Yok Su dan Ang Cit Kong. Habis berlatih, keduanya beristirahat memasang omong. Lalu tiba-tiba mereka mendapat dengar suara menggelesernya sesuatu apa di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara itu. "Ular!" Pek Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia berlompat untuk lari masuk ke dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya sakit. Kwee ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong batu besar, untuk dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, "Toako, jangan bergerak, hendak aku melihat." "Hati-hati," Pek Thong memesan. "Lekas kau kembali!" Kwee Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan tindak, ia dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawahnya cahaya rembulan, nampak ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris bagai satu pasukan tentara, menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa pria dengan sergam putih, yang tangannya memegang galah panjang. Barisan ular ini lebih hebat daripada barisan ularnya Auwyang Kongcu. "Mungkinkah See Tok sendiri yang datang ke mari?" si anak muda menanya diri sendiri. Ia kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon, lalu ia menguntit barisan ular itu. Syukkur untuknya, semua penggembala ular itu biasa saja kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang mengikuti. Di paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di dalam rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira duapuluh lie, setelah melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan luas dengan rumput hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon bambu. Setibanya di situ, semua ular itu tidak berjalan lebih jauh, bahkan dengan menuruti petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam melingkar dengan rapi, kepala mereka diangkat tinggi. Kwee Ceng berlaku waspada, tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia nelusup ke Timur, yang merupakan rimba, dari situ ia ke Utara, ke hutan bambu itu. Di situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba itu sunyi. Ia bertindak secara enteng sekali. Di dalam rimba itu ada sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut mereknya yang tergantung, namanya Cek Cui Teng. Di samping kedua mereka itu ada sepasang lian. Di dalam pesaben ada meja dan kursi terbuat dari bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun, bambunya sudah mengkilap, warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasa di sekitar paseban itu. Mengintai keluar, Kwee ceng melihat rombongan ular itu masih mendatangi. Semua ular itu bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya besar dan ekornya panjang, cahayanya kekuning-kuningan seperti emas. Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah mereka bergerak pergi datang. Semua ular itu terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam putih dan tangan masingmasing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan perlahan. Di belakang mereka berjalan satu orang dengan jubah terikat di pinggang, yang tangannya mengebasebas kipas. Dialah Auwyang Kongcu. Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang terang dan nyata; "Auwyang Sianseng dari Wilayah Barat datang menjenguk Oey Tocu dari Tho Hoa To!" "Ah, benar-benar See Tok yang datang!" kata Kwee Ceng dalam hatinya. "Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan sikapnya." Memang, di belakangnya Auwyang Kongcu ada berjalan seorang lain, tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti bertindak, begitupun Auwyang Kongcu selagi pemuda itu mengasih dengar suaranya. Dari dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu, hampir Kwee Ceng menjerit. Itulah Oey Yok Su sendiri yang menuntun tangan putrinya, Oey Yong. Auwyang Hong bertindak maju, ia menjura kepada Oey Yok Su, yang membalasinya. Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas berlutut di depan pemilik dari Tho Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil mengangguk empat kali. Ia kata: "Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu tayjin, semoga gakhu tayjin sehat-sehat saja!" "Gakhu tayjin" itu berarti "Ayah mertua yang dihormati". "Sudah, kau bangunlah!" kata Oey Yok Su, yang mengulurkan tangannya akan mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut dirinya baba mantu dan memanggil orang sebagai mertuanya. Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah bersiap sedia. Ia mempertahankan diri begitu lekas tangan kirinya dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia berbangkit, tubuhnya terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan. Tubuhnya itu lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke tanah. Tapi Auwyang Hong sudah lantas menggeraki tongkat di tangannya, ditempel pada punggung keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka kesudahannya sang keponakan dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri tegar. "Ha, bagus sekali, saudara Yok!" Auwyang Hong tertawa. "Kau membuatnya baba mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang pertama kali?" Tidak sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinganya Kwee Ceng. "Dia telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana sudah kepandaiannya," menyahut Oey Yok Su. Auwyang Hong tertawa lebar. "Bagaimana sekarang, apakah dia cocok untuk dipasangi dengan putrimu?" dia menanya, sedangkan matanya melirik kepada Nona Oey, setelah mana ia mengasih dengar pujiannya: "Saudara, sungguh hebat! Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik molek!" Ia lantas merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak, yang mana pun ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu memancarlah keluar cahaya terang indah. Di dalam kotak itu terletak empat mutiara sebesar buah lengkeng. Ia lantas menghadap Oey Yong, untuk berkata pula: "Ayahmu pernah malang melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah yang aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya" Maka itu ini bingkisanku berasal dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini, pastilah akan dibuat tertawaannya...!" Sembari berkata begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu. Menampak itu, hatinya Kwee Ceng berdenyut keras. Katanya dalam hatinya itu: "Dia menerimanya atau tidak...?" Segera juga terdengar suara tertawanya Oey Yong. "Terima kasih!" berkata si nona, yang mengulur tangannya untuk menyambuti hadiah itu. Melihat saja kulit orang yang putih dan cantik itu, semangatnya Auwyang Kongcu seperti sebuah meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar tertawa orang yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat. Di dalam hatinya ia berpikir: "Ayahnya telah sudi menyerahkan dia kepadaku, maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak daripada dulu-dulu...." Tengah pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat menyambarnya suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia menjerit, "Celaka!" Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan tubuh, akan menjalankan tipu silat Tiat-poan-kio atau Jembatan Besi, hingga tubuhnya jadi terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri. "He, kau bikin apa"!" Oey Yok Su pun membentak seraya tangan kirinya mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum emas dari putrinya, ialah orang yang menyerang Auwyang Kongcu dengan senjata rahasia itu, sedang tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya itu. Oey Yong lantas saja menjerit menangis. "Ayah. lebih baik kau bunuh saja padaku!" demikian suaranya. "Tidak nanti aku menikah dengannya!" Auwyang Hong tidak menjadi kaget menyaksikan itu semua. Sambil dengan satu tangan ia menjejalkan mutiara ke dalam telapakan tangannya Oey Yong, dengan tangan lain ia sampok tangannya Oey Yok Su yang ditekankan ke bahu putrinya. "Putrimu tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguhsungguh?" dia berkata sambil tertawa kepada tuan rumah. Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak pula akan tetapi ia merasakan sakit pada dadanya, maka tahulah dia yang ia telah terkena jarum rahasia itu. Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang suka menang sendiri, ia menahan sakit, ia berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu, melainkan wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah. Auwyang Hong berkata pula sambil tertawa: "Saudara Yok, semenjak kita berpisah di gunung Hoa San sudah duapuluh tahun kita tidak pernah saling bertemu maka itu pertemuan ini sungguh membikin aku girang sekali. Saudara, setelah hari ini kau memandang mata kepadaku dengan menerima baik perangkap jodoh keponakanku dengan jodoh putrimu, maka selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!" "Siapakah yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?" menyahut Oey Yok Su. "Untuk duapuluh tahun kau berdiam diri di Wilayah Barat, kepandaian apa saja yang kau telah pahamkan, coba sekarang kau petunjuki untuk aku lihat." Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dasar sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh orang mempertunjuki kepandaiannya, Oey Yong menjadi ketarik, ia lantas saja berhenti menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya itu, matanya diarahkan kepada Auwyang Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan. See Tok si Racun Barat itu memegang sebatang tongkat berwarna putih, tongkat ini banyak tekukannya mirip dengan rotan. Unjungnya tongkat diukirkan sebuah kepala orang, yang mulutnya tertawa. Di dalam mulut itu terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang kulitnya berkilau putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun dan naik. Auwyang Hong tertawa ketika ia menyahuti: "Dulu hari itu kepandaianku tidak dapat menyamakan kepandaian kau, sekarang setelah mensia-siakan selama duapuluh tahun, pasti sekali aku kalah jauh terlebih banyak. Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk menumpang tinggal beberapa hari di pulau Tho Hoa To kau ini, untuk aku memperoleh kesempatan akan meminta pengajaran dari kau." Ketika pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su untuk melamar Oey Yong, Oey Yok Su berpikir, dijamannya itu, orang yang dapat menandingi ia sudah tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah salah satu diantaranya. Ia ketahui baik putrinya sangat nakal, jikalau dia mendapat suami sembarangan, anka itu bakal menghina suaminya, dari itu senang ia melihat kepandaiannya Auwyang Kongcu yang berani melayani Bwee Tiauw Hong. Ia anggap, Auwyang Kongcu adalah melebihkan Kwee Ceng yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal terhadap pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia sudah menerima baik lamarannya Auwyang Hong. Tapi sekarang, mendengar suaranya See Tok, yang putar balik, merendah dan berjumawa, ia menjadi curiga. Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang Hong telah pulih kesehatannya dan kepandaiannya setelah dulu hari ilmu kepandaiannya itu dipecahkan Ong Tiong Yang. Ia ketahui baik See Tok ini mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan licik. Tentu saja, ia tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang berbesar kepala. Maka itu ia sudah lantas menarik keluar serulingnya sambil ia berkata: "Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku membunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hatinya. Silakan duduk, sahabatku supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan." Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa menerka tuan rumah ini hendak memperdengarkan lagu "Thian Mo Bu Kiok" atau "Lagu tarian hantu langit" untuk mempengaruhkan padanya. Ia lantas mengibas dengan tangannya yang kiri, atas mana tigapuluh wanita berseragam putih itu, yang memegang tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi hormat pada tuan rumah. Ia lantas berkata: "Tigapuluh dua nona-nona ini adalah nona-nona yang aku menitahkan murid-muridku mencarinya di pelbagai tempat, sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka kepada kau, saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajarannya guru-guru yang pandai, mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim secara lumayan. Hanya sayangnya mereka adalah nona-nona asal Wilayah Barat, kecantikan mereka kalah jauh dibandingkan dengan nona-nona dari Kanglam!" Bab 37. Jago lawan jago Oey Yong memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih bersih, tubuh mereka tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang hidungnya mancung dan matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya biru. Mereka beda sekali dari nona-nona Tionggoan. Auwyang Hong menepuk tangan tiga kali, lantas delapan nona-nona itu mengasih keluar alat-alat tetabuhan mereka, untuk sesaat kemudian mereka mulai memainkan lagu, diikut dengan tariannya sisanya duapuluh empat nona lainnya. Mereka itu berdiri lempang, lalu mendak, lalu berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada kalanya mereka berdiri berbaris seperti tubuhnya seekor ular panjang, lalu jari tangan mereka dikutik-kutik. Oey Yong lantas ingat kepada ilmu silat "Kim Coa Kun" atau "Ular emas" dari Auwyang Kongcu, ia lantas melirik kepada pemuda itu. Justru itu ia mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi sebal, maka ia lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali yang usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat menjemukan. "Kalau aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudha tidak ada orangnya dengan siapa aku dapat menikah," demikian ia pikir pula. Karena ini puas hatinya, sendirinya ia bersenyum. Senang Auwyang Kongcu menampak senyuman si nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah berubah. Saking girangnya, sejenak itu ia melupakan rasa nyeri pada dadanya. Nona-nona yang tengah menari itu, menarinya menjadi semakin cepat, tetapi tetap lembut gerak-geriknya. Dilain pihak orang-orang lelaki yang memegangi galah, ialah si penggembala-penggembala ular, semua sudah menutup rapat-rapat mata mereka. Mereka takut, dengan menyaksikan tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dan nanti runtuh..... Oey Yok Su sendirinya menonton dengan bersenyum berseri-seri, selang sekian lama barulah ia bawa serulingnya ke bibirnya, untuk meniup, untuk mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia meniup, tariannya si nona-nona tampaknya kacau. Dan tempo tuan rumah meniup terus, lantas mereka itu menari menuruti iramanya seruling. Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia pernah merasakan hebatnya lagu seruling orang itu. Kalau seruling berlangsung terus, bukannya saja si nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia sendiri juga tidak akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia berseru: "Paman....!" Justru itu Auwyang Hong menepuk tangan, atau mana seorang nona, dengan memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas, maju menghampirkan. Ketika itu hatinya Auwayang Kongcu sudah goncang keras, sedang pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau berlompatan di antara barisan ularnya. Auwyang Hong lantas mementil alat tetabuhannya itu, ia mengasih dengar suara umpama kata: "Tombak-tombak emas saling beradu dan besi kaki kuda berketoprakan" Hanya beberapa kali saja suara itu terulang, lantas nada halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa bagian. Oey Yok Su tertawa. "Mari, mari!" katanya. "Mari kita berdua bersama-sama memainkan lagu!" Hebat kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka itu yang menari itu menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang edan. "Semua menutup kuping!" berteriak Auwyang Hong menyaksikan kehebatan itu. "Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!" Semua orang itu seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan mereka, mereka mengerti ancaman bahaya yang bakal datang itu, mak adalam ketakutannya, mereka pada merobek ujung baju mereka untuk menggunai robekan itu menyumbat kuping mereka. Auwyang Kongcu yang sudah cukup lihay turut juga menyumpal kupingnya. Menyaksikan kelakuan mereka itu, Oey Yong tertawa. Ia sendiri tidak terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: "Lain orang memainkan lagulagu, justru dikhawatir orang tidak dapat mendengarnya, tetapi kamu sebaliknya, kamu semua justru menutupi kuping! Tidak, aku sendiri tidak sudi menyumbat kupingku!" Oey Yok Su dapat mendengar perkataan putrinya itu, ia menegur: "Ilmu kepandaian mementil tiat-ceng dari pamanmu ini sangat kesohor di kolong langit ini, kau ada mempunyai kepandaian apa maka kau berani mendengarnya" Apakah kau kira kau dapat mencoba-coba"!" Dari sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek itu menjadi dua potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya itu. Kwee Ceng menjadi heran sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya, ingin ia mendengar lagu tetabuhannya Auwyang Hong itu. Tanpa mengenal bahaya, ia justru maju beberapa tindak, supaya ia dapat mendengar dengan terlebih nyata..... Oey Yok Su perpaling kepada tetamunya. "Semua ularmu tentunya tidak dapat menutup kupingnya," katanya. Ia menoleh kepada bujangnya yang gagu, ia mainkan kedua belah tangannya. Bujang gagu itu mengerti, ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular itu, memberi tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang menghendaki itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka mengiring ular mereka menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu. "Jikalau aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit," kata Auwyang Hong kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia mulai mementil alat tetabuhannya. Nyaring suaranya tiat-ceng itu. Kwee Ceng merasakan, setiap pentilan membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambha cepat, goncangan hatinya itu bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak enak sendirinya. Ia terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam hati: "Kalau suara jadi hebat, tidakkah hatiku pun akan concang hingga aku mati?" Karena ini lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila, akan memusatkan pikirannya, akan mengempos tenaga dalamnya. Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng itu tidak dapat lagi menggoncangkan hatinya. Suara tiat-ceng itu benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan tambur dan gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda bercongklang bersama. Atau dilain saat terdengar suaranya yang perlahan-lahan dan halus, ialah suara dari seruling yang seperti menembusi suara tiat-ceng itu. Mendadak Kwee Ceng merasa hatinya goncang dan mukanya panas. Ia lekas-lekas memusatkan pula perhatiannya, hingga hatinya menjadi tenang pula. Ia sekarang mendapat kenyataan, walaupun hebat suaranya tiat-ceng, suara itu tidak dapat menindih melenyapkan seruling, yang perlahan tetapi tegas. Maka juga heran, dua suara terdengar berbareng. Kalau suara tiat-ceng ada bagaikan pekiknya kera diatas gunung atau mengalunnya hantu iblis di tengah malam buta rata, suara seruling ada laksana bunyinya burung hong atau kasak-kusuknya si nona manis di dalam kamarnya. Kedua suara itu tinggi dan rendah, keras dan perlahan, maju dan mundur, sama-sama tidak mau mengalah..... Oey Yong ketarik hatinya, ia menonton sambil tertawa geli. Ia mengawasi orang memintil tiat-ceng dan meniup seruling. Lama-lama, ia pun merasa aneh. Lamalama, wajahnya kedua orang yang tengah mengadu tetabuhan itu berubah menjadi bersungguh-sungguh, menjadi tegang. Ia lantas melihat ayahnya dari duduk menjadi bangun berdiri, meniup serulingnya sambil bertindak, bertindak ke delapan penjuru menuruti kedudukan pat-kwa, segi delapan. Ia tahu itulah dasar kedudukan ayahnya setiap waktu ayahnya melatih diri dalam ilmu dalam. Teranglah musuh itu lihay sekali maka ayahnya mengambil tindakan itu. Kemudian si nona memandang ke arah Auwyang Hong. Juga jago dari Barat ini menunjuki wajah dan sikap bersungguh-sungguh. Dari kepalanya terlihat hawa mengepul naik seperti uap, itulah hawa panas mengkedus yang keluar naik. Dengan kedua tangannya dia menerus mementil alat tetabuhannya, sampai ujung bajunya menerbitkan suara angin. Nyata sekali dia tidak berani berlaku alpa. Kwee Ceng di tempat persembunyiannya memasang kuping, ia tidak mengerti ada apa hubungannya di antara seruling dan tiat-ceng itu. Ia heran kenapa masing-masing suara alat tetabuhan itu dapat mempengaruhkan orang menjadi tidak tenang. Di dalam ketenangan, perlahan-lahan ia dapat membedakan juga. Kedua suara itu seperti lagi serang, keras lawan lemah, lemah melawan keras. Sebentar kemudian, lantas ia mengerti seluruhnya. "Tidak salah lagi, Oey Tocu dan Auwyang Hong tengah mengadu ilmu dalam mereka," pikirnya. Karena ini, ia lantas menutup rapat kedua matanya, ia mendengari terus dengan penuh perhatian. Tadinya Kwee Ceng mesti mengeluarkan banyak tenaga melawan desakan tiat-ceng dan seruling, sekarang tidak demikian. Sekarang dengan tenang ia bisa mendengari kedua suara itu. Ia merasa bagaimana seruling seperti berkelit sana dan berkelit sini dari rangsakan tiat-ceng yang hebat, atau setiap kali ada lowongan, seruling lantas membalas menyerang. Satu kali ia mendengar, suara tiat-ceng menjadi lemah, sebaliknya seruling menjadi kuat. Tiba-tiba Kwee Ceng ingat ajarannya Ciu Pek Thong "Keras tak dapat bertahan lama, lemah tak dapat menjaga terus." Ia lantas menduga, tiat-ceng bakal membalas menyerang. Benar-benar, berselang sesaat suara tiat-ceng menjadi keras pula. Ketika Kwee Ceng menghapali ajarannya Ciu Pek Thong itu, ia tidak tahu bahwa itulah rahasia dari Kiu Im Cin-keng, dan ia pun tidak mengerti jelas maksudnya. Baru sekarang ia merasakan ada hubungannya ajaran itu dengan pertarungannya Oey Yok Su dan Auwyang Hong ini. Karena insyaf ini, ia menjadi girang sekali. Hanya ia masih belum mengerti akan jalannya terus pertempuran itu. Ada kalanya seruling dapat menghajar, ketika baik itu dilewatkan dengan begitu saja, demikian juga sebaliknya. Toh itu tidak mirip-miripnya dengan orang yang bersikap saling mengalah. Mendengari terlebih jauh, Kwee Ceng jadi menanya dirinya sendiri; "Mungkinkah pengajarannya Ciu Toako ada terlebih lihay daripada kepandaiannya Oey Tocu dan Auwyang Hong ini" Mungkinkah mereka ini tidak dapat melihat cacad masing-masing maka juga kelemahan itu mereka sama-sama tidak dapat menggunainya" Tapi heran! Kalau benar Ciu Toako telebih lihay, mestinya pada limabelas tahun yang lalu dia sudah dapat mencari Oey Tocu di sini untuk menghajarnya, tidak peduli pulau ini banyak terjaga dengan barisan sesat patkwa itu, tidak nanti ia membiarkan dirinya terkurung di dalam gua...." Masih Kwee Ceng mendengari. Lagi-lagi ia mendapat kenyataan telah tiba saat yang sangat genting, hingga ada kemungkinan kali ini bakal datang keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia berkhawatir untuk Oey Tocu... Justru itu waktu dari arah laut, dari tempat yang jauh, terdengar siulan panjang dan lama. Suara itu samar-samar tetapi toh dua-dua Oey Yok Su dan Auwyang Hong terkejut hingga sendirinya suara seruling dan tiat-ceng mereka berubah menjadi kendor. Siulan pun terdengar semakin nyata. Itu tandanya orang mendatangi dan orang itu berada semakin dekat. Auwyang Hong mementil dua kali, keras sekali, suara tiat-ceng sampai terdengar seperti suara cita terobek. Habis itu, suara siulan terdengar bernada tinggi. Rupanya siulan dan tiat-ceng tengah kebentrok. Tidak antara lama, suara seruling dari Oey Yok Su pun nyebur dalam bentrokan siulan dan tiat-ceng itu. Maka selanjutnya, sering terdengar, siualan bentrok tiat-ceng, siulan bentrok seruling, atau seruling bentrok tiat-ceng. Atua lagi, kedtiganya bentrok berbareng. Sekarang Kwee Ceng menduga apsti ada seseorang yang lihay yang telah datang ke pulau Tho Hoa To ini. Ia biasa main-main bertarung sempat tangan dengan Ciu Pek Thong, karena itu ia dapat menbedakan suara bentrokannya ketiga lawan ini: seruling, tiat-ceng dan siulan.... Setelah memperhatikan terlebih jauh. Kwee Ceng merasa orang yang bersiul itu sudah tiba di dalam rimba di dekat itu. Ia mendengar lebih nyata siulan orang itu, yang tinggi dan rendah bergantian, yang selalu berlainan. Ketika ia merasa, bentrokan menjadi demikian hebat, saking kagumnya, tanpa ia merasa ia berseru: "Bagus!". Kemudian ia terkejut sendirinya. Bukankah ia lagi bersembunyi" Ia lantas memikir untuk menyingkir. Tapi sudah kasep. Satu bayangan lantas berkelebat di depannya. Di situ berdiri Oey Yok Su. "Anak yang baik, mari!" berkata Tocu dari Tho Hoa To itu. Ketika itu semua tetabuhan sudah berhenti. Dengan membesarkan hati, Kwee Ceng ikut Tong Shia pergi ke paseban. Oey Yong tersumpal kupingnya, ia tidak mendengar seruannya si anak muda, maka heran ia menampak munculnya pemuda itu. Ia pun menjadi sangat girang, maka ia lari memapaki, untuk menyambar kedua tangan orang. "Engko Ceng, akhirnya kau datang juga...!" serunya. Tapi ia girang bercampur sedih, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Melihat pemuda ini, panas hatinya Auwyang Kongcu. Maka itu, menyaksikan kelakuannya si nona, ia panas berbareng gusar sekali. Tidak dapat ia mengendalikan diri, sambil berlompat ia menghajar kepalanya si anak muda itu. "He, bocah busuk, kau pun datang ke mari!" ia mendamprat. Kwee Cneg melihat datangnya serangannya, dengan sebat ia berkelit. Sekarang ini ilmu silatnya sudah maju jauh, ia beda dengan waktu ia masih di rumah abu Keluarga Lauw di Poo-eng, dimana ia menempur pemuda she Auwyang itu. Ia tidak cuma berkelit, terus ia membalas menyerang. Dengan tangan kiri memainkan "Naga sakti menggoyang ekor", dengan tangan kanan ia menggunai "Naga Menyesal", duaduanya merupakan jurus-jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang lihay. Sejurus saja sudah hebat, apapula dua jurus itu hampir berbareng. Auwyang Kongcu terkejut merasakan tangan kiri orang tahu-tahu menekan iga kanannya. Ia mengerti lihaynya Hang Liong Sip-pang Ciang, yang cuma dapat diegos, tidak ditangkis, dari itu lekas-lekas ia menyingkir ke kiri. Celaka untuknya, justru ia berkelit, justru tangan yang lain dari lawannya tiba. Tidak ampun lagi, dada kirinya kena terpukul, bahkan sebuah tulangnya patah sekali. Sebenarnya Auwyang Kongcu sudah cukup lihay dan ia mengerti lihaynya lawan, ketika serangan sampai, ia mencoba berkelit pula. Kali ini ia berkelit dengan mengapungi diri, untuk berlompat tinggi naik ke atas pohon bambu, habis itu baru ia lompat turun. Tapi ia tidak bisa membebaskan diri. Ia turun dengan muka merah bahna malu, dadanya juga dirasakan sakit. Ia bertindak dengan perlahan. Menyaksikan perlawannya Kwee Ceng itu, dua-duanya Oey Yok Su dan Auwyang Hong heran berbareng murka. Oey Yong sebaliknya, nona ini bertepuk-tepuk tangan Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo saking girangnya. Sebenarnya, Kwee Ceng sendiri kurang mengerti. Inilah kemenangan di luar dugaannya. Ia bukan menginsyafi bahwa ia sudah maju jauh, ia mau menyangka si anak muda lawannya itu sudah beralpa atau kurang sebat bergeraknya hingga kena terhajar. Ia khawatir pemuda ini nanti menyerang pula secara kejam, ia mundur setindak smabil memasang mata, untuk bersiap-siap. Auwyang Hong melirik pemuda itu dengan mata merah saking mendongkolnya. Kemudian ia dia berkata dengan nyaring: "Pengemis she Ang, aku beri selamat padamu yang sudah mendapatkan murid yang jempol!" Oey Yong sudah membuka sumpalannya ketika ia mendengar suaranya Auwyang Hong itu, ia lantas mengetahui Ang Cit Kong telah tiba, maka itu, lupa segala apa ia lari ke arah rimba sambil memanggil-manggil: "Suhu! Suhu!" Ia kegirangan karena ia tahu bintang penolong sudah datang. Mendengar suara putrinya itu, Oey Yok Su melengak. "Eh, mengapa anakku memanggil guru kepada si pengemis tua?" pikirnya. Itu waktu sudah lantas terlihat munculnya Ang Cit Kong si ketua pengemis. Di punggungnya ia menggondol cupu-cupunya merah, tangan kanannya memegang tongkatnya, tangan kirinya menuntuk Oey Yong. Ia berjalan sambil tertawa hahahihi. "Eh, Yong-jie, kau memanggil apa padanya"!" tanya Oey Yok Su gusar. Bukannya ia lantas menjawab ayahnya itu, Oey Yong justu menuding Auwyang Kongcu dan berkata dengan sengit, "Ini manusia busuk sudah menghina aku, jikalau tidak ada lojinkee Ang Cit Kong ynag menolongi aku, sudah tentu sudah semenjak lama kau tidak melihat Yong-jie, Ayah!" "Jangan ngaco belo!" membentak Oey Yok Su, walaupun sebenarnya ia heran. "Dia toh anak baik-baik, cara bagaimana dia menghina padamu!" "Jikalau Ayah tidak percaya, nanti aku tanyakan dia!" berkata si nona. Ia lantas mengawasi pemuda she Auwyang itu. Ia kata dengan keras; "Kau mesti lebih dulu mengangkat sumpah! Jikalau dalam jawabanmu kepada ayahku berdusta, kau nanti digigit mampus ular-ular di ujung tombaknya pamanmu itu!" Mendengar itu Auwyang Kongcu kaget hingga mukanya pucat. Auwyang Hong tidak kurang kaget dan herannya. Jago dari Wilayah Barat ini kaget sebab ia ketahui dengan baik, dua ekor ular pada tongkatnya itu adalah ular-ular piarannya selama sepuluh tahun, yang ia piara sedari baru diteteskan hasil dari kawinan beberapa macam ular yang paling berbisa. Kalau dia menghukum bawahannya yang berkhianat atau orang yang paling ia benci, ia bisa menghukum dengan menggunai kedua ularnya ini. Asal seorang digigit ularnya, lantas ia kegatalan luar biasa, dalam waktu yang pendek ia bakal mati, tidak ada pertolongan lagi sekalipun seandainya Auwyang Hong sendiri berbalik berkasihan dan hendak mengampunkannya. Oey Yong menyebut ular itu karena ia menduga saja, sebab kedua binatang itu lain daripada yang lain, tidak tahunya, ia menyebut tepat pantangannya See Tok si Racun dari Barat itu. "Terhadap pertanyaanya gakhu tayjin, mana aku berani mendusta," Auwyang Kongcu menjawab. Ia telah terdesak si nona, ia pun tidak berani menyangkal. "Cis!" berseru Oey Yong. "Jikalau kau berani mengacu belo, lebih dahulu aku akan gaplok kupingmu beberapa kali! Sekarang dengar pertanyaanku! Kita pernah bertemu di istananya Chao Wang di Pak-khia, benar atau tidak?" Auwyang Kongcu mengangguk. Tidak berani ia membuka suara. Hajarannya Kwee Ceng membikin ia merasakan sangat nyeri. Kalau ia membuka mulutnya untuk berbicara, rasa sakitnya itu menghebat. Ia pun memangnya berkepala besar. Kalau ia merasa sakit, kepalanya pusing dan mengeluarkan peluh. Dengan tidak bersuara, ia dapat menahan napas, ia bisa menguatkan diri. Oey Yong menanya pula; "Ketika itu kau ada bersama See Thong Thian, Pheng Lian Hauw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin, bersama-sama kau mengepung aku satu orang. Benar atau tidak?" Auwyang Kongcu berniat menyangkal ia bekerja sama dengan rombongannya See Thong Thian itu, bahwa bukan sengaja ia mengepung si nona, tetapi ketika ia paksa menyahut, lantas ia merasakan dadanya sakit, maka ia cuma bisa bilang; "Aku...aku tidak bekerja sama dengan mereka itu..." "Baiklah, aku pun tidak memerlukan jawabanmu dengan mulutmu!" berkata Oey Yong. "Jikalau aku menanya kau, cukup asal kau mengangguk atau menggeleng kepala. Sekarang kau dengar pertanyaanku: 'See Thong Thian bersama-sama Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin toh memusuhkan aku. Benar tidak"'" Auwyang Kongcu mengangguk. Ia menuruti kata-kata orang dan tidak berani membuka mulutnya. "Mereka itu hendak membekuk aku tetapi mereka itu tidak berhasil," berkata Oey Yong pula. "Kemudian kau muncul. Benar tidak?" Itulah hal yang sebenarnya, Auwyang Kongcu mengangguk. "Ketika itu aku berada di ruang besar dari istana Chao Wang. Di situ aku bersendirian saja, tidak ada siapa juga yang membantu aku, keadaanku sungguh menyedihkan. Ayahku pun tidak ketahui bahaya yang mengancam aku, ayah tidak dapat menolong aku. Benar tidak?" Auwyang Kongcu mengangguk dengan terpaksa. Ia ketahui, pertanyaan kali ini dari si nona, yang membawa-bawa nama ayahnya, cuma untuk memancing kemurkaannya si ayahnya dia itu. Setelah mendapat jawaban itu, Oey Yong tarik tangan ayahnya. Timbullah kemanjaannya. "Ayah, kau lihat," katanya. "Kau sedikit juga tidak menyayangi anakmu....Kalau ibu masih hidup, tidak nanti ia perlakukan aku begini rupa..." Mendengar orang menyebut istrinya, yang ia cintai itu, pilu hatinya Oey Yok Su. Ia ulur tangan kirinya untuk merangkul putrinya itu. Auwyang Hong sangat cerdas dan licin, ia melihat suasana buruk untuk pihaknya, maka belum lagi Oey Yong menanya pula, ia sudah mendahului. "Nona Oey," ia berkata, "Begitu banyak orang Rimba Persilatan yang kenamaan hendak membekuk kau, karena lihay ilmu silat keluargamu, mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu, bukankah?" Oey Yong tertawa, dia mengangguk. Oey Yok Su pun tersenyum. Ia senang orang puji ilmu silatnya. Auwyang Hong berpaling kepada tuan rumah, ia berkata: "Saudara Yok, keponakanku telah melihat putrimu demikian lihay, ia jadi sangat jatuh hati, inilah sebabnya kenapa sekarang kami datang kemari dengan tidak memperdulikan jalan jauh ribuan lie untuk meminangnya. Oey Yok Su tertawa. "Ya, sudahlah!" katanya. Auwyang Hong menolah kepada Ang Cit Kong, ia berkata: "Saudara Cit, kami paman dan keponakan mengagumi orang-orang Tho Hoa To, kenapa kau sebaliknya lain pandanganmu" Kenapa kau berlaku sungguh-sungguh sama segala bocah" Coba bukannya keponakanku itu panjang umurnya, pastilah siang-siang dia telah mati di bawah hujan jarum emas yang menjadi kepandaianmu yang istimewa...." Dengan kata-katanya ini Auwyang Hong hendak menimbulkan urusan ketika dulu hari Ang Cit Kong menolong Auwyang Kongcu dari serbuan jarum rahasia dari Oey Yong, hanya See Tok telah membalik duduk perkaranya mungkin itu disebabkan Auwyang Kongcu telah membaliknya waktu melaporkan hal ini kepada pamannya. Tapi Cit Kong adalah seorang polos dan sabar sekali, ia tidak mengambil mumat perkataan orang, bahkan tertawa lebar, malah dengan membuka tutup cupa-cupanya, ia menengak isinya. Tidak demikian adanya Kwee Ceng yang jujur, yang benci kedustaan. Anak muda ini lantas menyampur bicara. "Sebenarnya Cit Kong yang menolongi keponakanmu itu, kenapa sekarang kau bicara begini rupa"!" ia menegur. Tapi Oey Yok Su membentak; "Kita lagi bicara, bagaimana kau bocah berani campur mulut"!" Kwee Ceng penasaran, dengan nyaring ia kata kepada Oey Yong: "Yong-jie, kau beberlah urusannya Auwyang Kongcu merampas Nona Thia supaya ayahmu mendapat tahu!" Oey Yong tidak meluluskan permintaan anak muda itu. Ia kenal baik sifat ayahnya. Ayahnya itu dijuluki Tong Shia si Sesat dari Timur, justru karena tabiatnya yang aneh itu. Ada kalanya Tong Shia membenarkan apa yang tidak benar dan sebaliknya. Maka ada kemungkinan, perbuatan ceriwis dan busuk dari Auwyang Kongcu dipandang sebagai perbuatan umum pemuda-pemuda doyan pelesiran. Ia pun ketahui baik ayahnya tak sukai pemuda pujiannya itu. Maka ia menggunai siasat. Ia lantas berpaling pula kepada Auwyang Kongcu. "Bicaraku masih belum habis!" katanya. "Dulu hari itu di dalam istana Chao Wang, kau mengadu kepandaian dengan aku. Dengan sengaja kau menelikung kebelakang kedua tanganmu, kau bilang bahwa tanpa menggunai tangan, kau bisa mengalahkan. Benar bukan?" Auwyang Kongcu mengangguk membenarkan pertanyaan itu. "Kemudian aku telah mengangkat lojinkee Ang Cit Kong menjadi guruku," berkata Oey Yong. "Lalu di Poo-eng kita mengadu silat untuk kedua kalinya. Itu waktu kau menyebutnya aku boleh menggunakan kepandaian yang diwariskan ayahku atau Ang Cit Kong, kau bilang aku boleh keluarkan berapa banyak juga, sebaliknya kau sendiri, kau cuma akan menggunakan semacam ilmu kepandaian warisan pamanmu dengan apa kau sanggup mengalahkan aku. Benar tidak?" Mendengar itu Auwyang Kongcu berkata di dalam hatinya; "Semuanya itu ditetapkan olehmu sendiri, bukan ditetapkan olehku..." Menampak orang bersangsi, Oey Yong mendesak. Ia kata: "Bukankah itu hari kita telah menetapkannya demikian baru kita bertempur?" Mau tidak mau, Auwyang Kongcu mengangguk. "Ayah, lihatlah!" berkata Oey Yong kepada ayahnya. "Dia tidak memandang mata kepada Cit Kong, dia juga tidak menghormati padamu! Dia mau bilang, Cit Kong dan ayah berdua kalah jauh dengan pamannya itu! Bukankah itu berarti, meski Cit Kong dan ayah berdua mengepung pamannya, pamannya itu masih tak dapat dikalahkan. Tapi ini aku tidak percaya!" "Ah, budak cilik, jangan kau mainkan lidahmu!" berkata Oey Yok Su si ayah. "Diantara kaum persilatan di kolong langit ini, siapakah yang tidak kenal baik ilmu silatnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay?" Di mulutnya Oey Yok Su berkata demikian, di dalam hatinya ia mulai tidak puas terhadap Auwyang Kongcu, karena itu ia ingin hal pemuda itu jangan dibicarkan pula. Ia lantas menoleh kepada Ang Cit Kong. "Saudara Cit, kau datang berkunjung ke Tho Hoa To, ada urusan apakah?" ia menanya. "Aku datang untuk memohon sesuatu dari kau," sahut Cit Kong singkat. Cit Kong jenaka tetapi jujur dan polos dan benci sekali kejahatan, inilah Tong Shia ketahui baik. Karena ini, ia menghormati si raja pengemis ini. Ia pun ketahui, biasanya, kalau ada urusan, Cit Kong tentu mengerjakannya itu sendiri bersama-sama pengikut-pengikutnya dari Kay Pang, belum pernah ia memohon bantuan dari orang. Sekarang orang datang untuk memohon sesuatu, ia menjadi girang sekali. Lekas-lekas ia menjawab: "Persahabatan kita adalah persahabatan dari beberapa puluh tahun, saudara Cit, maka itu kalau ada titah dari kau, mana aku berani tidak menurutinya?" "Ah, janganlah kau begitu menerima baik permohonanku itu," berkata Cit Kong. "Aku khawatir permohonanku ini sulit untuk dilakukannya...." Oey Yok Su tertawa, ia kata: "Kalau urusan gampang tidak nanti saudara Cit sampai memikir untuk meminta bantuanku!" Cit Kong tertawa seraya menepuk-nepuk tangannya. "Benar-benar!" katany. "Kau barulah saudara yang sejati! Jadi kau pasti menerima baik?" "Sepatah kata-kataku menjadi kepastian!" sahut Oey Yok Su, kembali cepat dan singkat. "Lompat ke api, terjun ke air, sama saja!" Mendengar itu Auwyang Hong melinttangi tongkat ularnya. "Saudara Yok, tunggu dulu!" ia menyelak, "Perlu kita menanya dulu saudara Cit, urusan itu sebenarnya urusan apa?" Ang Cit Kong tertawa. Ia berkata; "Racun tua bangka, inilah urusan tidak ada sangkut pautnya dengan kau, jangan kau ikut campur! Lebih baik kau sedia-sedia dengan ususmu yang kosong untuk nanti kau menenggak arak kegirangan!" Auwyang Hong heran. "Eh, minum arak kegirangan?" ia menanya. "Tidak salah! Minum arak kegirangan!" memastikan Cit Kong. Dengan tangan kanannya ia menunjuk kepada Kwee Ceng dan Oey Yong bergantian. "Mereka berdua adalah murid-muridku, aku telah berikan janji kepada mereka untuk memohon kepada saudara Yok agar mereka dibiarkan menikah satu pada lain! Dan sekarang saudara Yok sudah menerima baik permohonanku itu!" Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat bahna girang, keduanya lantas saling memandang. Sebaliknya Auwyang Hong dan keponakan serta Oey Yok Su menjadi terkejut sekali. "Saudara Cit, kau keliru!" Auwyang Hong cepat berkata. "Putrinya saudara Yok sudah dijodohkan dengan keponakanku dan hari ini aku datang ke Tho Hoa TO ini untuk mengambil ketetapannya." "Saudara Yok, benarkah itu?" tanya Cit Kong. "Benar," menjawab Oey Yok Su. "Aku minta, saudara Cit jangan kau berkelakar denganku!" Cit Kong memperlihatkan roman bersungguh-sungguh. "Siapa yang main-main dengan kamu?" dia berkata. "Kau menjodohkan seorang putrimu kepada dua keluarga. Apakah artinya ini?" Ia lantas menoleh kepada Auwyang Hong. Ia kata: "Akulah orang perantaraan dari Keluarga Kwee! Kau sendiri, mana orang perantaanmu?" Auwyang Hong tidak menyangka bakal ditanya begitu rupa, dia tidak dapat menjawab, ia tercengang. Baru kemudian ia berkata; "Suadara Yok sudah menerima baik, aku pun sudah akur, maka itu, perlu apa lagi orang perantaan?" "Apakah kau ketahui masih ada satu orang yang tidak menerima baik?" Cit Kong tanya. "Siapakah dia"!" Auwyang Hong menegaskan. Ang Cit Kong menyahuti: "Maafkan aku, itulah aku si pengemis tua!" Auwyang Hong berdiam. Ia mengerti, tidak dapat ia tidak menempur pengemis ini, maka itu ia lantas memikirkan daya perlawanan. Ang Cit Kong tertawa, ia berkata pula: "Keponakanmu itu tidak bagus kelakuannya, mana dia cocok untuk dijodohkan dengan putri yang cantik manis dari saudara Yok ini" Umpama kata benar kamu berdua memaksa mereka menikah, habis bagaimana kalau mereka sendiri tidak akur, setiap hari mereka berkelahi saja" Apakah artinya itu?" Tertarik hati Oey Yok Su mendengar perkataan pengemis itu, ia lantas melirik kepada putrinya. Ia mendapatkan Oey Yong, dengan sinar mata penuh kecintaan, lagi mengawasi Kwee Ceng. Sebaliknya melihat Kwee Ceng, timbul pula rasa jemunya. Oey Yok Su ini ada seorang yang terang otaknya, pandai ilmu silat dan surat, pandai juga memainkan khim, menulis huruf-huruf dan melukis gambar. Sedari masih muda, semua sahabatnya ada orang-orang cerdik pandai. Pun istrinya serta putrinya ini, orang-orang pintar juga. Maka, mengingat anaknya yang cantik dan pintar itu mesti dipasangi dengan Kwee Ceng yang tolol-tololan itu, sungguh ia tidak mufakat. Dipadu dengan Auwyang Kongcu, Kwee Ceng kalah berlipat ganda. Maka itu, ia lebih penuju keponakannya See Tok itu. Tapi di situ ada Ang Cit Kong. Maka akhirnya, ia memikir satu jalan. "Saudara Hong," katanya kemudian, "Keponakanmu terluka, baik kau obati dulu padanya, urusan nanti kita damaikan pula." Inilah apa yang Auwyang Hong harap-harapkan, maka lantas ia menggapai pada keponakannya, lalu bersama-sama mereka masuk ke dalam hutan bambu. Lewat sesaat, mereka sudah kembali ke paseban. Auwyang Hong telah berhasil mengeluarkan jarum emas dan menyambung pula tangan keponakannya itu. Oey Yok Su sudah lantas berbicara, katanya: "Anakku bertubuh lemah dan nakal, sebenarnya sulit untuk dia merawati seorang budiman, maka adalah diluar dugaanku, saudara Cit dan saudara Hong telah memandang mukaku dan sama-sama melamarnya. Hal ini adalah suatu kehormatan untukku. Sebenarnya anakku ini sudah dijodohkan dengan pihak Auwyang tetapi sekarang ada titahnya saudara Cit, sukar aku tolak. Kejadian ini menyulitkan aku. Sekarang, aku pikir, baik diatur begini saja. Coba kedua saudara lihat, pemecahan ini dapat dilakukan atau tidak?" "Lekas bilang, lekas bilang!" berkata Ang Cit Kong. "Aku, si pengemis tua paling tidak suka omong pakai segala aturan!" Oey Yok Su tersenyum, ia berkata pula: "Sebenarnya anakku tidak mengerti segala apa, akan tetapi meskipun demikian, aku masih mengharap dia nanti menikah dengan seorang suami yang baik-baik. Auwyang Sieheng ada keponakannya saudara Hong dan Kwee Sieheng ada murid pandai dari saudara Cit, kedua-duanya baik, sukar untuk aku memilihnya, tidak dapat aku membuang salah satunya, karena itu, aku pikir baiklah mereka diuji saja. Di sini aku ada mempunyai tiga macam syarat. Pendeknya siapa yang lulus, anakku akan dijodohkan dengannya, tidak nanti aku berlaku berat sebelah. Bagaimana, sahabat-sahabatku?" Auwyang Hong sudah lantas bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya. "Cuma sekarang keponakanku sedang terluka, kalau buat adu silat, aku minta supaya itu ditunda sampai ia sudah sembuh." Mendengar itu, Ang Cit Kong berpikir: "Kau, si Oey tersesat, kau banyak akalnya, jikalau kau majukan ilmu surat, syair atau nyanyi, tentulah muridku yang tolol Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gagal. Kau bilang kau tidak mau berat sebelah, sebenarnya pikiranmu sudah lain. Maka tidak ada lain jalan, baiklah aku ambil caraku!" Ia lantas tertawa sambil berlenggak, terus ia berkata: "Kita semua tukang silat, kalau kita tidak adu silat, apa kita mesti adu main gembul-gembulan" Keponakanmu terluka, kau sendiri tidak, marilah, mari kita berdua yang main-main lebih dulu!" Begitu ia selesai bicara, tanpa menantikan jawaban, Ang Cit Kong sudah lantas menyerang ke bahu orang. Auwyang Hong berkelit, ia mundur. Ang Cit Kong meletaki tongkat bambunya di meja kecil di sampingnya. "Kau membalaslah!" ia menantang. Ia menantang tetapi kembali ia menyerang, beruntun hingga tujuh jurus. Auwyang Hong berkelit berulang-ulang, ke kiri dan ke kanan, habis tujuh serangan itu, dengan tangan kanannya ia menancap tongkatnya, sedang dengan tangan kirinya ia pun membalas tujuh kali. Oey Yok Su menyaksikan itu, ia bersorak memuji. Ia tidak mau datang memisahkan, karena ingin ia melihat kemajuan orang sesudah berselang duapuluh tahun semejak mereka mengadu kepandaian. Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong adalah ketua-ketua partai, pada duapuluh tahun dulu mereka sudah lihay, habis menguji kepandaian di Hoa San, mereka masing-masing menyakinkan lebih jauh kepandaian mereka, bisa di mengerti yang mereka telah maju banyak. Maka sekarang, bertarung di Tho Hoa To ini, mereka beda jauh daripada waktu di Hoa San. Mereka saling serang dengan cepat sekali tetapi semua itu adalah permulaan saja, untuk saling menggertak. Kwee Ceng menonton dengan perhatian sepenuhnya. Ia melihat gerakan kedua pihak sangat lincah. Untuk kegirangannya, ia mengerti semua jurus itu. Ia telah hapal kitab Kiu Im Cin-keng, sekarang ia mendapat kenyataan, semua gerak-gerik mirip sama kitab itu. Untuk menyaksikan ini, ia mimpi pun tidak. Semua yang ia lihat ini termuat dalam kitab bagian atas. Semua itu ilmu silat yang lihay. Tanpa disadari, ia menjadi gatal sendirinya. Dengan cepat kedua jago itu sudah bertempur hingga tigaratus jurus lebih. Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong kagum sendirinya, mereka saling memuji secara diam-diam. Oey Yok Su yang menonton pun kagum, ia menghela napas. Di dalam hatinya ia berkata: "Aku berdiam di Tho Hoa To ini dengan melatih diri sungguh-sungguh, aku percaya setelah Ong Tiong Yang meninggal dunia, aku bakal jadi orang gagah nomor satu di kolong langit ini, siapa tahu sekarang si pengemis tua bangka ini dan si biang racun tua telah mengambil jalannya masing-masing yang hebat sekali!" Auwyang Kongcu dan Oey Yong sama-sama tegang hatinya, mereka mengahrapi kemenangan pihaknya masing-masing. Mereka mengerti silat tetapi mereka todak mengerti ilmu silatnya dua jago yang lagi bertarung itu. Sama-sama mereka terus mengawasi dengan perhatian penuh. Satu kali Oey Yong melirik ke samping, lantas ia menjadi heran sendirinya. Ia melihat bayangan orang di sampingnya itu, bayangan yang lagi bergerak-gerak, terutama kaki tangannya, seperti orang menari. Ia lantas menoleh, maka itu ia kenali, itulah bayangannya Kwee Ceng. Wajah si pemuda tegang dan seperti menjadi korban kegirangan luar biasa. "Engko Ceng!" ia memanggil perlahan. Ia heran dan menjadi berkhawatir karenanya, apapula panggilannya itu tidak disahuti si anak muda, yang terus masih bergerak tak hentinya. Nyata sekali lagi bersilat seoarng diri. Mau tidak mau, Oey Yong mengawasi. Lama juga ia meminta tempo, baru ia mengerti. Terang sekarang, Kwee Ceng berlatih silat menuruti gerak-geriknya kedua jago tua itu. Perubahan terjadi dalam cara bertempurnya kedua jago itu. Kalau tadinya mereka berperang sebat sekali, sekarang mereka manjadi lambat, ada kalanya mereka menyerang dulu dengan dipikirkan lebih dahulu. Bahkan anehnya, ada kalanya, habis bergebark, mereka sama-sama duduk bersila, untuk beristirahat, kemudian berbangkit pula, akan mulai bertempur lagi. Mereka bukan seperti mengadu silat, bahkan juga bukan juga kedua saudara seperguruan lagi berlatih. Toh wajah mereka menunjukkan ketegangan yang bertambah-tambah. Oey Yong berpaling kepada ayahnya, ia mendapatkan ayahnya itu bengong mengawasi kedua jago itu. Ayah ini nampaknya tegang hatinya. Ketika nona ini menoleh kepada Auwyang Kongcu, ia mendapat kenyataan pemuda itu tenang seperti biasa, kipasnya dipakai mengipas perlahan-lahan. Kwee Ceng berhenti bersilat, ia mengawasi kedua orang itu, lalu seperti lupa pada dirinya sendiri, ia bersorak dengan pujiannya. "He, bocah tolol, kau mengerti apa"!" Auwyang Kongcu menegur, murka. "Apa perlunya kau membikin banyak berisik"!" "Apa perlunya kau banyak rewel"!" Oey Yong balas menegur. "Kau pun mengerti apa"!" Ditegur begitu, pemuda ini tertawa. "Bocah ini bergerak secara tolol!" dia berkata. "Dia masih sangat muda, mana dia ketahui kepandaian istimewa dari pamanku ini?" "Kau toh bukannya dia, mana kau ketahui dia mengerti atau tidak"!" Oey Yong menegur pula. Selagi muda-mudi ini berselisih mulut, Oey Yok Su tidak mengambil mumat, dia tetap mengawasi sepak terjangnya dua sahabatnya itu. Kwee Ceng pun memperhatikan dengan diam-diam saja. Gerakkannya Ang Cit Kong dan Auwyang Hong menjadi terlebih lambat pula. Yang mengangkat tangan kirinya, dengan jari tengahnya dia menyentil perlahan batok kepalanya. Yang lainnya lagi, dengan kedua tangan di kuping, berjongkok di tanah dengan romannya lagi berpikir keras. Hanya sejenak kemudian, keduanya sama-sama berseru, terus mereka berlompat bangun untuk saling serang pula. "Bagus! Bagus!" Kwee Ceng berseru-seru melihat serangan itu. Habis itu, kedua lawan itu berpisah pula. Kembali mereka berpikir. Terang sudah, masing-masing seperti sudah mengetahui ilmu silat lawan, maka itu, perlu mereka memikirkan cara penyerangannya. Duapuluh tahun sejak dua lawan ini berpisah sehabis bertempur di Hoa San, mereka masing-masing satu tinggal di Tionggan, satu yang lain di See Hek, Wilayah Barat. Sebegitu jauh tidak pernah mereka berhubungan satu dengan lain, sama-sama mereka menyakinkan lebih jauh ilmu silat mereka. Mereka pun tidak ketahui kemajuannya masing-masing. Sekarang ternyata, mereka sama gelapnya seperti duapuluh tahun dulu itu. Mereka mempunyai kepandaiannya, mereka pun sama-sama jeri. Dengan begitu, mereka membuang-buang tempo, sampai matahari sudah mulai menyingsing di arah Timur. Yang beruntung adalah Kwee Ceng, yang dapat memberi perhatian seluruhnya. Adakalanya ia memikir, pihak sana tentu bakal menyerang begini, tetapi buktinya, dugaannya penyerangan pihak lain dan ada terlebih sempurna dari apa yang ia pikir. Karena ini, ia menjadi mendapat tambahan kepandaian. Kejadian ini terulang banyak kali. Ia dapat menyangkok ilmu silatnya dua-dua jago tua itu. Oey Yong mengawasi pemudanya itu, ia bertambah heran. "Baru belasan hari aku tidak lihat dia, mungkinkah dia telah dapat pelajaran silat dari malaikat?" berpikir nona ini. "Benarkah dia memperoleh kemajuan begini pesat" Kenapa ia agaknya girang sekali?" Ia baru berpikir begitu, atau ia menjadi berkhawatir. Katanya di dalam hatinya: "Apa mungkin engko Ceng ini mendadak pikirannya terganggu?" Karena ini, ingin ia mendekati si anak muda, untuk menarik tangannya. Begitu berpikir, begitu ia bekerja. Itu waktu, Kwee Ceng tengah meniru gerakkannya Auwyang Hong, yang menyerang sambil memutar tubuhnya. Kelihatannya serangan itu sangat umum akan tetapi tenaga yang dikerahkan tak terkira-kirakan. Maka itu tatkala tangannya si nona dapat memegang tangan si pemuda, mendadak ia merasa kena tertolak keras, dengan tiba-tiba saja ia mental tinggi seperti terbang. Melihat itu, Kwee Ceng terkejut hingga ia menjerit tetapi pun tubuhnya terus berlompat menyusul. Pinggang langsing dari Oey Yong dapat kena disambarnya, karena mana dapatlah ia menaruh kaki di atas wuwungan paseban dengan tidak kurang suatu apa, di situ terus ia berduduk. Kwee Ceng sendiri, sebelum turut naik, telah menaruh tangannya di payon di mana ia menekan keras, hingga dilainnya saat dia jadi dapat duduk berendeng sama nona itu. Hingga dari situ, dengan memandang ke bawah, mereka dapat menonton pertaruhan. Telah terjadi perubahan pula dalam caranya kedua jago itu bertempur. Sekarang terlihat Auwyang Hong bejongkok dengan kedua tangannya dikasih turun, hingga ia memperlihatkan sikapnya seekor kodok, sedang dari mulutnya kadang-kadang terdengar suara seperti suaranya kerbau. Lucu sikap itu hingga Oey Yong tertawa. "Engko Ceng, dia bikin apakah itu?" dia menanya berbisik. Tertawanya pun perlahan sekali. "Aku tidak tahu," Kwee Ceng menyahuti. Ia baru menjadi demikian atau tiba-tiba ia ingat kata-katanya Ciu Pek Thong tengan Ong Tiong Yang dengan pukulan jeriji IT-yang-cie sudah memecahkan Kap-mo-kang atau Ilmu Kodok dari Auwyang Hong. Maka ia lekas menambahkan; "Inilah semacam ilmu silat yang lihay sekali, namanya Ilmu Kodok!" Oey Yong meresa lucu hingga ia bertepuk tangan. "Ya, sungguh mirip kodok buduk!" serunya. Sementara itu Auwyang Kongcu telah melihat orang duduk berendeng dan bicarabicara sambil tertawa dengan asyik, bukan main ia mendongkolnya. Ia menjadi sangat bercemburu. Menuruti hatinya, hendak ia melompat naik ke atas, untuk menggusur Kwee Ceng. Celaka untuknya, ia merasakan dadanya masih sakit, hingga tidak dapat ia mengeluarkan tenaga. Ia mendengar Oey Yong menyebut-nyebut kodok buduk, hatinya bertambah panas, ia menyangka ialah yang dikatakan si kodok buduk yang mengharap mencaplok daging angsa kayangan. Sekarang ia tidak dapat menguasai lagi dirinya, dengan tangan kanan menggenggam tiga biji torak Hui-yang Gin-so, ia bertindak perlahan-lahan mutar ke belakang paseban itu, lalu dengan diam-diam juga ia menyerang ke atas pesaben, kepada sepasang muda-mudi itu. Ia dapat berbuat demikian dengan leluasa karena lain-lain orang tengah menonton pertempuran yang nampaknya lucu itu. Ia mengarah punggungnya Kwee Ceng. Pemuda she Kwee ini tidak curiga suatu apa. Ia lagi asyiknya mengawasi pertempuran yang justru tiba disaatnya Ang Cit Kong, gurunya hendak menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang akan melayani terus kepada Auwyang Hong. Oey Yong tidak ketahui Pak Kay dan See Tok ini, dua orang paling kosen di jaman itu, tengah menghadapi pertempuran yang memutuskan, yang membahayakan salah satu diantaranya, karena itu ia masih dapat tertawa haha-hihi dan dengan tangannya tunjuk sana-sini. Secara kebetulan saja, ia melihat satu tubuh di luar paseban bambu. Dasar cerdik sekali, ia menyangka kalau-kalau Auwyang Kongcu main gila. Maka hendak ia memasang matanya. Justru itu waktu ia mendengar desiran angin dari senjata rahasia, yang melesat ke arah punggungnya Kwee Ceng, sedang Kwee Ceng sendiri tidak mengetahui itu. Tidak sempat lagi ia menangkis, segera ia bergerak menubruk diri ke punggungnya si anak muda, dengan begitu tubuhnya mewakilkan anak muda itu menyambuti serangan tiga biji Hui-ya Gin-so yang tepat mengenai punggungnya sendiri. Nona ini mengenakan baju lapis joan-wie-kah, ia tidak terluka, cuma saking kerasnya serangan, ia merasakan nyeri juga. Dengan sebat ia memutar balik tangannya, akan menyambar ketiga biji torak, kemudian sembari tertawa ia berkata; "Kau menggaruki gatal dipunggungku, bukankah" Banyak-banyak terima kasih! Nah, ini aku kembalikan garukanmu!" Auwyang Kongcu terperanjat, ia memasang matanya. Ia khawatir si nona benar-benar nanti menyerang padanya. Ia tidak mau mempercayai si nona itu sudi dengan baik hati memulangi toraknya itu. Hanya ia menanti dengan sia-sia. Si nona masih memegangi senjata rahasianya itu, dia tidak mengayunkan tangannya. Menampak demikian, kongcu ini segera menjejak tanah dengan kakinya yang kiri, untuk mengapungkan diri berlompat ke atas pesaben bambu itu. Ia hendak membanggakan ringannya tubuhnya. Disitu ia berdiri di satu pojok, bajunya yang putih berkibaran di antara sampokannya angin, hingga nampak sikapnya yang bagus, baguskan seorang suci. "Sungguh bagus ilmu ringan tubuhmu!" Oey Yong berseru dengan pujiannya. Lalu dia maju setindak untuk berlompat naik ke atas pesaben, untuk menghampirkan, untuk membayar pulang torak orang. Butek pikirannya Auwyang Kongcu menyaksikan tangan si nona yang putih halus dan montok itu, putih bagaikan salju. Ia lantas mengulurkan tangannya, guna menyambuti senjata rahasianya, sekalian ingin ia meraba tangan yang halus itu, tatkala tiba-tiba saja ia mendapat lihat sinar kuning keemas-emasan berkelebat di depan matanya. Dua kali sudah ia merasakan tangannya si nona, maka tanpa bersangsi pula, ia lompat berjumpalitan turun dari atas pesaben itu. Sambil berkelit secara demikian, ia juga mengibas-ngibaskan tangan bajunya, maka juga berhasil ia meruntuhkan jarum emasnya si nona. Oey Yong tertawa terkekeh walaupun serangannya itu gagal. Ia tidak berhenti sampai di situ. Dengan sekonyong-konyong saja, ia menyerang pula dengan tiga biji toraknya si anak muda, untuk menghajar embun-embunnya pemuda itu. "Jangan!" berseru Kwee Ceng kaget, menampak perbuatannya si nona itu, untuk dibawa lompat turun. Belum lagi anak muda ini dapat menginjak tanah, kupingnya dapat mendengar satu suara nyaring, yang mana dengan suara cegahannya Oey Yok Su, "Saudara Hong, berlakulah murah hati!" Kwee Ceng segera merasakan dorongannya angin yang keras, bagaikan gunung roboh menguruk lautan, mengenakan dadanya. Berbareng dengan itu, ia khawatir, Oey Yong nanti terluka, dari itu lekas-lekas ia mengerahkan tenaganya, ia menggunai jurus "Melihat naga di sawah" dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Dengan jurusnya itu ia menolak dorongan keras itu. Dimana dua-dua pihak menggunai tenaga besar, kedua tenaga itu bentrok keras sekali. Sebagai kesudahannya, Kwee Ceng tertolak mundur tujuh atau delapan tindak, karena pertahanannya tidak dapat mengalahkan Ilmu Silat Kodok dari Auwyang Hong yang lihay itu. Lekas-lekas Kwee Ceng melepaskan tubuh Oey Yong , lekas-lekas juga ia memasang kuda-kudanya, guna melayani terlebih jauh See Tok si Bisa dari Barat itu, yang sudah hendak menyerang pula padanya. Hanya belum lagi mereka bentrok pula, Ang Cit Kong berdua Oey Yok Su sudah berlompat maju menghalang di antara mereka. "Sungguh malu," berkata Auwyang Hong. "Tak keburu aku menahan diri! Apakah si nona terluka?" Sebenarnya Oey Yong kaget bukan main, tetapi mendengar pertanyaan orang itu, ia memaksakan diri tertawa. "Ayahku berada disini, mana dapat kau melukakan aku?" katanya. Oey Yok Su pun berkhawatir. Ia lantas cekal tangan anaknya itu. Ia menarik. "Apakah kau merasakan sesuatu yang beda pada tubuhmu?" tanyanya. "Lekas kau mainkan napasmu!" Oey Yong menurut, ia lantas menarik dan mengeluarkan napas dengan beraturan. Ia tidak merasakan apa juga yang mengganggu pernapasannya itu. Maka ia lantas tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat itu, barulah hati Oey Yok Su lega. "Kedua pamanmu lagi berlatih silat di sini, kenapa kau main gila, budak"!" ayah ini menegur putrinya itu. "Kee-mo-kang dari Auwyang pepe hebat luar biasa, jikalau bukannya dia menaruh belas kasihan kepadamu, apakah kau kira sekarang kau masih mempunyai jiwamu" Coba kau lihat paseban itu!" Oey Yong berpaling, akan melihat paseban seperti kata ayahnya itu. Diam-diam ia terperanjat. Paseban itu telah runtuh sebagiannya, tiang bambunya, yang mendam ke dalam tanah, telah terbongkar tercabut dan remuk bekas kena hajaran Silat Kodk. Tanpa merasa, ia mengulur lidahnya. Ilmu silat Kee-mo-kang dari Auwyang Hong itu dimulai dari mendiamkan diri disusul sama gerakan tubuhnya, ketika itu seluruh tenaganya telah dikerahkan, kalau ia diserang, segera ia dapat menolak balik serangan itu. Untuk menyerang pun ia mesti berdiam dulu, memasang kuda-kudanya yang aneh bagaikan kodok nongkrong. Barusan ia melayani Ang Cit Kong, ia bersiap dengan kuda-kudanya yang aneh itu, disaat ia hendak menyerang, mendadak Oey Yong pun berlompat turun sebab dipondong Kwee Ceng, jadi tepat di nona melintang di tengah. Auwyanng Hong pun kaget melihat arah serangannya adalah si nona, yang ia hendak ambil sebagai istri dari keponakannya. Ia menginsyafi bahwa si nona terancam bahaya maut, jiwanya tak bakal tertolong lagi. Ia juga dapat mendengar cegahannya Oey Yok Su. Begitulah ia mencoba menarik pulang pukulannya tetapi gagal, paseban kena terhajar runtuh, doronganya tenaga itu berlangsung terus. Lalu mendadak ia merasakan ada satu tenaga lain yang menahannya. Ketika ia sudah berhenti menyerang, ia memasang mata tajam ke depannya. Terlihat olehnya, penolong dari si nona adalah si pemuda Kwee Ceng. Diam-diam ia mengagumi Ang Cit Kong, katanya dalam hatinya: "Benar-benar lihay ini pengemis bangkotan, dia berhasil mengajari muridnya ilmu yang begini sempura!" Sampul Maut 8 Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut Pendekar Penyebar Maut 8