Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 21

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 21 seekor ikan lodan yang besar, sudah satu hari satu malam aku mengejarnya, aku gagal, maka sekarang hendak kau mengejar pula! Nah, sampai ketemu lagi!" "Toako, naik kemari!" berteraik Kwee Ceng. Ia takut saudara tua itu pergi pula. "Lekas toako, di sini ada banyak manusia jahat yang lagi menghina adikmu!" "Oh, begitu!" berseru Pek Thong, yang lantas saja menjadi gusar. Ia terus mengulur tangannya ke mulut ikannya, terus ia menarik. Entah apa itu yang ditariknya. Sang ikan segera berontak, berlompat tinggi bersama-sama penunggangnya, tiba di atas perahu di mana ia melewati banyak kepala orang. "Kurang ajar, siapa yang bernyali begitu besar"!" membentak si orang tua ini. "Siapakah yang berani menghina adik angkatku"!" Di atas perahu itu, semua adalah orang-orang yang luas pandangnya dan pintar, akan tetapi munculnya Ciu Pek Thong dengan caranya ini yang luar biasa membuat mereka tak habis pikir, maka semuanya berdiri tercengang, mata mereka mendelong, mulut mereka di pentang lebar-lebar. Heran Ciu pek Thong kapan ia melihat Oey Yong ada di situ. "Ah, adik kecil, mengapa kau pun ada di sini?" ia menanya. "Memang aku di sini!" menjawab si nona yang lantas tertawa. "Mari lekas kau ajari aku menunggang ikan ini!" "Sabar, adik kecil!" menyahut si tua berandalanb ini. Ia lantas memandang ke sekitarnya, menyapu kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia mengawasi See Tok seraya berkata: "Aku tahu lain orang tidak nanti berani berbuat sangat kurang ajar, kiranya benar-benar kau tua bangkat bangkotan!" Auwyang Hong bersikap tawar ketika ia menyahuti!: "Seorang yang tidak mentaati kata-katanya, walaupun ia mencuri hidup di dalam dunia ini, ia hanya bakal ditertawakan orang-orang gagah!" "Itulah benar!" berkata Pek Thong. "Aku memang hendak mencarik kau untuk membuat perhitungan! Sekarang kau berada di sini, tidak ada ketika yang terlebih baik daripada ini! Eh, pengemis bangkotan, kaulah saksinya, kau bangunlah untuk memberikan jawaban peradilanmu!" Ang Cit Kong tetap rebah di lantai, tetapi ia tertawa. Ia tidak menjawab. Oey Yong yang mewakilkan gurunya itu. "Si tua bangkotan berbisa ini ada sangat jahat!" berkata nona ini. "Dia mendapat bahaya, sang maut tengah menghampirkan padanya, lantas guruku ini menolongi dia, tetapi dia jahat seperti manusia berhati serigala, berjantung anjing, bukannya dia balas budi, ia justru membalas jahat, ia melukai guruku, dia menotok juga jalan darahnya!" Pek Thong segera menghampirkan, untuk menotok jalan darah sahabatnya itu kioktie-hiat dan yongcoan-hiat. "Percuma Loo Boan Tong, tidak ada faedahnya," Cit Kong berkata. Memang hebat totokannya Auwyang Hong, kecuali dia sendiri atau Oey Yok Su, tidak ada lain orang yang dapat menitok membebaskannya. Puas Auwyang Hong menyaksikan kegagalan Pek Thong itu. "Eh, Loo Boan Tong, kalau kau mempunyai kepandaianmu, kau totoklah ia hingga ia bebas!" ia mengejek. Belum lagi si orang kocak menjawab, Oey Yong sudah mendahulukan dia. Si nona tidak dapat menolong gurunya itu tetapi ia ketahui tentang totokan itu. Ia monyongkan mulutnya dan berkata: "Apakah yang aneh dengan ilmu totokmu ini" Dengan hanya setiupan debu, ayahku dapat membebaskannya! Bukankah ini dia yang dinamakan Touw-kut Ta-hiat-hoat, ilmu totok menembusi tulang"!" Mendengar itu, Auwyang Hong tercengang, tetapi ia tidak heran yang nona itu mengetahuinya. Ia tidak memperdulikannya, ia memandang kepada Ciu Pek Thong, akan berkata: "Kau telah kalah bertaruh, kenapa kau bicara seperti melepas angin busuk"!" "Angin busuk"!" Pek Thong menanya. Dan ia menekap hidungnya. "Sungguh bau! Sungguh bau! Sekarang hendak aku menanya kau, kita bertaruh apa?" "Di sini kecuali si bocah she Kwee dan itu budak cilik, semua adalah orang-orang gagah yang telah kenamaan," menyahut Auwyang Hong. "Maka itu aku minta tuan-tuan ini memberikan suaranya yang adil!" "Baik, baik!" menyahut Pheng Lian Houw. "Auwyang Sianseng, silahkan bicara!" "Tuan ini adalah Ciu Pek Thong dari Coan Cin Kauw," See Tok lantas berkata, "Dialah yang orang Kangouw menyebutnya Loo Boan Tong si Bocah Tua yang bandel. Dia berderajat bukannya rendah, sebab dialah paman guru dari Khu Cie Kee dan Ong Cie It sekalian anggota Coan Cin Cit Cu." Sudah belasan tahun Pek Thong berdiam di pulau Tho Hoa To, lebih dulu daripada itu, namanya memang tidak terlalu terkenal, tetapi sekarang, mendengar ialah pama guru dari Coan Cin Cit Cu, orang menjadi kagum, orang percaya dialah bukan sembarang orang, maka mereka lantas kasak-kusuk. Pheng Lian Houw pun menjadi kecil hatinya. Ia sudah berjanji akan bertempur di lauwteng Yan Ie Lauw di Keehin, kalau Cioan Cin Cit Cu dibantu "manusia aneh" ini, sungguhlah orang ada seperti harimau yang tumbuh sayap... Auwyang Hong meneruskan akata-katanya. "Ini saudara Ciu telah dikurung ikan hiu di tengah laut, aku telah tolongi dia. Aku kata, ikan hiu ikan tak berarti, asal satu kali aku menggeraki tanganku, semua ikan itu bakal mampus semua. Saudara Ciu tidak percaya padaku, maka itu kita berdua lantas bertaruh. Saudara Ciu, benarkah begitu?" Pek Thong menangguk. "Sedikit juga tidak salah!" sahutnya. "Hanya apakah pertaruhan itu, kau perlu menyebutkannya kepada orang banyak ini." "Akur! Aku telah membilang jikalau kau kalah, apa pun yang kau katakan, akan aku kerjakan, jikalau aku menyangkal, akan aku terjun ke laut, supaya tubuhku digegaras ikan. Dan kalau kau yang kalah, kau pun begitu. Bukankah benar demikian?" Pek Thong mengangguk pula, bahkan berulang-ulang. "Sedikit juga tidak salah," sahutnya pula. "Kemudian bagaimana?" "Bagaimana" Kemudian kaulah yang kalah!" Kali ini Pek Thong menggeleng-geleng kepalanya berulang-ulang. "Salah, salah!" ia berkata. "Yang kalah ialah kau, bukannya aku!" See Tok menjadi gusar. "Satu laki-laki, dapatkah ia putar balik omongannya?" dia menegur keras. "Dapatkah orang main menyangkal" Jikalau aku yang kalah, kenapa kau rela membuang dirimu ke laut untuk membunuh diri?" Pek Thong menghela napas. "Benar, sebab memangnya nasibku yang buruk," ia berkata. "Aku telah kalah itu waktu...Hanya setelah aku masuk ke laut, Thian telah membuatnya aku bertemu sama suatu hal yang kebetulan sekali, setelah mana tahulah aku bahwa kaulah si tua bangka berbisa yang kalah, bahwa Loo Boan Tonglah yang menang!" "Apakah hal kebetulan itu"!" tanya Auwyang Hong yang menjadi heran sekali. Juga Ang Cit Kong dan Oey Yong turut menanyakan. Ciu Pek Thong membungkuk, tangannya dimasuki ke mulut ikan, di mana ada sebatang tongkat pendek, ia mencekal itu dengan apa ia pun mengangkat ikan itu. "Hal kebetulan itu ialah aku bertemu sama binatang tungganganku ini!" ia menyahut. "Kau lihatlah! Inilah perbuatannya keponakanmu yang kau sayang bagaikan mustika! Benar tidak"!" Memang itu perbuatannya Auwyang Kongcu, yang mengganjal mullut ikan, supaya ikan tak dapat makan dan menjadi mati sendirinya. Auwyang Hong menyaksikan sendiri perbuatan curang dari keponakannya itu. See Tok pun mengenali ikan ini, yang mulutnya pun luka bekas kena pancing. "Habis bagaimana"!" ia menanya pula. Ciu Pek Thong menepuk tangan. "Itulah artinya kau kalah!" ia memberikan jawabannya. "Pertaruhan kita ialah semua ikan hiu mesti dibikin mati, akan tetapi ia satu ekor, karena ia dapat pertolongan keponakanmu itu, karena dia tak dapat memakai bangkai bangsanya yang keracunan, dia tidak terkena bisa, dia hidup sampai sekarang ini! Kau lihat bukankah Loo Boan Tong yang menang?" Dan ia pun tertawa terbahak-bahak. Auwyang Hong sebaliknya melengak. Ia terdiam. Kwee Ceng girang sekali. "Toako, selama ini beberapa hari kau di mana saja?" Ia menanya kakak angkatnya itu. "Sungguh sengsara aku memikirkan nasibmu..." Pek Thong tertawa riang. "Aku pelesiran dengan puas!" ia menyahut. "Tidak lama setelah aku terjun ke laut, aku bertemu makhluk yang tengah megap-megap di permukaan air, agaknya dia sedang penasaran sekali. Maka aku tanya dia 'Eh, ikan, ikan hiu, bukankah hari ini kau dan aku sama nasibnya yang harus dikasihani"' Segera aku lompat ke punggungnya. Atas itu dia segera selulup ke dalam air. Aku menunggang terus, maka aku menahan napas. Dengan kedua tanganku aku memegang erat-erat lehernya. Sebaliknya dengan kedua kakiku, aku mendupak dia tak hentinya. Dia menimbul pula, hanya belum lagi aku bernapas, kembali ia selam. Demikian kita berdua saudara, kita bertemput di tengah laut. Hanya sesudah berselang sekian lama barulah ia menyerah dan menjadi jinak karenanya, suka ia mendengar perkataanku. Aku menghendaki ia pergi ke timur, dia pergi ke timur, aku mengingini ia menghadap utara, ia menghadap ke utara juga. Pendeknya ia menurut sekali...." Dan ia tepuk-tepuk kepalanya ikan itu, agaknya ia sangat puas. Selagi lain-lain orang heran, Oey Yong sangat mengagumi ikan itu, ia segera mengiri untuk pengalaman luar biasa dari si tua berandalan. Kedua matanya bersinar ketika ia berkata: "Bertahun-tahun aku main-main di laut, kenapa aku tidak memikirkan kepelesiran semacam ini" Sungguh aku tolol!" "Lihat mulutnya," berkata Pek Thong. "Lihat giginya! Tanpa mulutnya ditunjang tongkat ini, beranikah kau menaikinya?" Oey Yong tidak mengambil mumat, ia hanya menanya: "Apakah selama beberapa hari ini kau terus-terusan naik ikan ini?" "Kenapa tidak?" Pek Thong membaliki. "Kami berdua bersaudara, dalam hal menangkap ikan, kami pandai sekali. Kapan aku melihat seekor ikan, aku suruh saudaraku ini mengejar, setelah kecandak, aku menghajar dengan kepalanku, aku bikin ikan itu mampus! Belum pernah aku gagal! Dalam sepuluh bagian ikan itu, aku makan cuma satu bagian, yang sembilan bagian ialah yang gegaras habis!" Si kocak menyebutnya ikan hiu itu sebagai saudaranya... Oey Yong mengusap-usap perut ikan itu. "Apakah kau beleseki ikan mati ke dalam perutnya?" si nona menanya pula. "Tanpa menggunai giginya, bisakah ia menelannya?" "Dia pandai sekali," menjawab Pek Thong. "Ada satu kali..." Gembira ini si tua dan si nona, mereka pasang omong seperti juga di situ tidak ada lain orang serta tidak ada bahaya mengancam. Sedang sebenarnya Auwyang Hong tengah memikirkan daya upaya untuk menghadapinya. "Eh, makhluk berbisa bangkotan, kau menyerah kalah atau tidak"!" tiba-tiba Pek Thong menegur See Tok. Auwyang Hong tidak gampang-gampang mau menyerah kalah tetapi ia habis daya. "Kalau aku kalah, bagaimana"!" ia balik menanya. "Kalau begitu, aku mesti memikir sesuatu untuk kamu melakukannya!" berkata Pek Thong. "Bagus, aku ingat sekarang! Bukankah kau tadi mendamprat aku si tua seperti si angin busuk" Nah, sekarang aku menitahkan kau segera mengeluarkan angin busukmu itu!" Bab 46. Restoran gelap di dalam desa Bab ke-46 cersil Memanah Burung Rajawali. Tidak puas Oey Yong mendengar Pek Thong cuma mewajibkan Auwyang Hong membuang balas. Untuk orang biasa memang sukar tak karuan mengeluarkan angin busuk, perbuatan itu tak dapat dilakukan semua orang, tidak demikian dengan seorang yang ilmu dalamnya sudah mahir. Sebaliknya, sungguh gampang buat orang sebangsa See Tok. Maka ia lantas berteriak mencegah: "Tidak bagus, itu tidak bagus! Lebih dulu dia dimestikan membebaskan totokannya kepada guruku, kemudian baru kita bicarakan pula!" Ciu Pek Thong tertawa. "Kau lihat!" katanya kepada See Tok, "Sekalipun nona cilik ini takut pada angin busukmu itu! Baiklah, aku bebaskan kau dari kewajibanmu ini, aku juga tidak hendaki memustikan kau melakukan lainnnya, cukup asal kau mengobati lukanya si pengemis tua. Kepandaiannya si pengemis tua tidak ada dibawahanmu, coba tidak kau menggunai akal busuk, tidak nanti kai dapat melukai dia! Kau tunggu sampai dia sudah sembuh betul, maka kamu berdua boleh bertempur pula secara laki-laki sejati, itu waktu aku Loo Boan Tong suka menjadi saksinya!" Auwyang Hong ketahui Ang Cit Kong tidak dapat disembuhkan, dia tidak takut si raja pengemis nanti menuntut balas padanya, hanya sekarang ia merasa sulit untuk desakan Ciu Pek Thong ini. Dia pun didesak di muka banyak orang. Menerima baik, sukar dilakukannya, menyangkal, ia malu. Karena itu, tidak bisa lain, ia membungkuk, terus ia totok Ang Cit Kong guna membebaskan dia dari totokannya. Kwee Ceng bersama Oey Yong segera maju untuk membantui gurunya bangun. Ciu Pek Thong sendiri segara menyapu dengan sinar matanya yang tajam kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia berkata; "Aku, Loo Boan Tong paling takut mencium bau amis dari daging kambing yang biasa digegares orang bangsa Kim, oleh karena itu lekas kamu turunkan perahu kecil untuk mengantarkan kami berempat ke darat!" Auwyang Hong pernah menyaksikan Pek Thong bertempur dengan Oey Yok Su, ia mengetahui baik bahwa orang berilmu tinggi, kalau ia yang menempurnya, belum tentu ia kalah tetapi juga pasti sulit untuk ia memperoleh kemenangan, lantaran itu, ia terpaksa menahan sabar, ia hendak menanti sampai ia sudah paham Kiu Im Cin-keng, baru ia ingin membuat perhitungan. Maka berkatalah ia: "Baiklah, siapa suruh nasibmu bagus hingga kau menang bertaruh!" Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, untuk meneruskan berkata; "Ong-ya, tolong menurunkan sebuah perahu untuk mengantarkan ini empat orang mendarat." Wanyen Lieh tidak lantas meluluskan permintaan itu, di dalam hatinya ia berpikir; "Gampang untuk mengantarkan mereka ke darat, hanya rahasia kita yang hendak pergi ke Selatan ini, tidak dapat itu diketahui mereka..." Sementara itu Leng Tie Siangjin tidak puas terhadap sikapnya Auwyang Hong. Semenjak tadi ia mengawasi saja tanpa membilang suata apa. Ia pikir: "Kalau kau sangat lihay, belum tentu kau dapat mengalahkan kita yang terdiri dari banyak orang pandai.." Maka, melihat si pangeran bersangsi, ia bertindak maju seraya berkata: "Jikalau kejadian di atas getek, Auwyang Sianseng dapat berbuat apa yang ia pikir baik, kami tidak nanti berani banyak mulut. Hanya di sini setelah Sianseng naik di perahu besar, sudah selayaknya kau mendengar segala katakatanya ong-ya!" Mendengar itu, hati semua orang menjadi tergerak, semua lantas mengawasi Auwyang Hong. Auwyang Hong memandang Leng Tie Siangjin dengan sepasang matanya yang tajam, ia melihat ke atas dan ke bawah bergantian. Kemudian ia dongak ke langit. "Apakah tuan paderi yang mulia ini hendak mempersulit aku si orang tua?" ia menanya, suaranya tawar. "Itulah aku paderi yang rendah tak berani," menyahut Leng Tie. "Aku yang tinggal di Tibet, aku hidup menyendiri, sedikit pendengaranku, dari itu barulah ini hari aku mendapat dengar nama sianseng yang termashur, maka itu ada apakah sangkutannya di antara kita berdua..?" Belum lagi paderi ini menutup mulutnya, Auwyang Hong sudah maju satu tindak, selagi tangan kirinya dikibaskan, tangan kanannya sudah menyambar tubuh Leng Tie yang besar kekar itu, hanya dengan sekali mengerahkan tenaganya saja, ia telah membuatnya tubuh orang jungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas! Orang semua kaget dan heran. Tidak mereka lihat sambaran See Tok, tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie, dengan jubah merahnya yang bergerombongan, sudah seperti berkibar-kibar di udara. Mereka pikir entah ilmu apa yang digunai See Tok ini. Leng Tie Siangjin tinggi besar melebihkan lain-lain orang tetapi Auwyang Hong dapat mencekuk batang lehernya dan terus diangkat, itulah hebat. Leng Tie sendiri pun heran. Ketika tubuhnya diputar, kepalanya terpisah dari kira tanah empat kaki. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, cuma kedua kakinya menendang udara secara kalang kabutan dan suaranya memperdengarkan kemurkaannya. Tatkala Leng Tie Siangjin bertempur sama Ong Cie It di istana Chao Wang, semua orang telah menyaksikan kepandaiannya itu yang lihay, maka aneh sekarang, dengan gampang saja ia dipermainkan Auwyang Hong, seperti kedua tangan itu telah patah, sedikit pun kedua tangan itu tidak dapat dipergunakan. Auwyang Hong sendiri masih tetap dongak ke udara, ia berkata: "Hari ini adalah yang pertama kali kau mendengar namaku, kau lantas tidak memandang mata kepada aku si orang tua, benarkah?" Leng Tie kaget, heran dan gusar sekali, beberapa kali ia mencoba mengerahkan tenaganya, untuk berontak, saban-saban ia gagal, tak dapat ia meloloskan diri dari cekalan orang. Pheng Lian Houw semua tidak berani campur tangan, tahulah mereka Auwyang hong tengah memperlihatkan pengaruhnya terhadap Leng Tie dan lainnya juga. "Kau tidak memandang kepada aku si orang tua, itu masih tidak apa," berkata pula Auwyang Hong, lagu suaranya tetap tawar, "Sekarang dengan memandang muka ongya, tidak ingin aku berpemandangan sama cupatnya seperti kau. Bukankah kau hendak menahan kepada Loo Boan Tong Ciu Looya-cu serta Kiu Cie Sin Kay Ang Looya-cu" Apakah yang kau andalkan maja kau berniat berbuat demikian" Loo Boan Tong, kau Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sambutlah!" Tidak kelihatan gerakan tangan dari See Tok atau tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie sudah terlempar melayang ke arah kanan. Paderi ini merasakan ia telah terlepas dari cekalan, maka ia teruskan menjumpalitkan diri seperti ikan meletik, untuk dapat melempangkan tubuh, untuk dapat berdiri. Justru itu ia merasakan batang lehernya sakit. Ia menjadi kaget sekali, di dalam hatinya ia berseru: "Celaka!" Ia lantas menggeraki tangan kirinya, untuk menyerang. Tapi tangan kiri itu lantas kesemutan dan kaku, hilang tenaganya, hingga ia mesti mengarih turun melonjor di luar keinginannya. Berbareng dengan itu juga tubuhnya sudah terangkat naik kembali seperti tadi. Sebab diluar tahunya, dia sudah dicekuk Ciu Pek Thong, yang bertindak sama seperti Auwyang Hong barusan. Wanyen Lieh menjadi tidak enak hati menyaksikan paderi itu dibuat permainan seperti itu. Ia mengerti, jangan kata ada Auwyang Hong, melihat kepandaiannya Pek Thong saja, semua orang pasti bukan tandingannya, maka itu, lekas ia bertindak. "Sudahlah, Ciu Loosianseng, tak usah kau bergurau pual," katanya. "Nanti siauwongya mengirimkan perahu untuk kamu berempat mendarat." Sebagaimana biasanya, pangeran ini membasakan diri siauw-ongya, pangeran yang kecil. "Baiklah!" menyahut Ciu Pek Thong. "Kau juga boleh mencoba-coba! Sambutlah!" Menelad Auwyang Hong. Loo Boan Tong melemparkan tubuhnya Leng Tie. Wanyen Lieh mengerti ilmu silat, tetapi itu cuma permainan golok atau tombak dan hanya di atas kuda, tentu sekali ia tidak sanggup menyambuti tubuh si paderi, kalau ia paksa menyambuti juga, ia bisa tertubruk roboh, terluka atau mati. Hal ini diketahui See Thong Thian, maka orang she See ini sudah lantas berlompat maju dengan gerakannya "Menggeser tindakan, menukar wujud", dengan lantas ia berada di depannya si pangeran. Ia mengerti, kalau ia menyambuti dengan tangan seperti biasa, mungkin si paderi mendapat luka, maka ingin ia berbuat seperti Auwyang Hong atau Ciu Pek Thong.Selagi memikir begini, ia tidak mengukur tenaga kepandaian sendiri. Bukankah ia telah menyaksikannya See Tok dan Loo Boan Tong seperti tidak menggunakan tenaga sama sekali" Maka ia ulur tangan kanannya, untuk menyambar batang lehernya Leng Tie. Ia berhasil, hanya ketika ia dapat memegang batang leher orang, ia kaget dengan mendadak. Ia merasakan hawa yang panas pada tangannya itu. Itulah suatu tangkisan yang dahsyat. Ia insyaf, kalau ia melawan, maka tangannya itu bisa patah karenanya. Maka dalam kagetnya itu, ia menarik tangan kanannya itu sambil tangan kiri ia menyerang, untuk menolak tubuh si paderi. Leng Tie telah diputar balik Auwyang Hong dan dilemparkannya, lalu ia merasakan pengelaman serupa dari Ciu Pek Thong, ia menjadi bermata kabur dan berkepala pusing, darahnya mengalir dan menjadi panas, pada itu ditambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Ia masih dapat mendengar seruannya Ciu Pek Thong, lantas ia menduga, orang yang bakal menyambutinya tentulah musuh adanya, maka itu selagi tubuhnya melayang, ia mengerahkan tenaganya, begitu See Thong Thian memegang batang lehernya, ia membarengi menyerang dengan pukulannya Tay-ciu-in. Di dalam halnya tenaga, Leng Tie Siangjin dan See Thong Thian berimbang. See Thong Thian berdiri jejak, ia sudah siap sedia, sebenarnya ia lebih unggul. Tapi juga Leng Tie telah mengerahkan tenaganya, ia dalam gusar dan mendongkol, tenaganya jadi bertambah besar berlipat ganda. Maka itu sebagai kesudahannya, See Thong Thian kena terpukul mundur tiga tindak dan terus jatuh berguling. Berbareng dengan itu, Leng Tie sendiri pun tidak luput. Karena dihajar tangan kiri See Thong Thian, tubuhnya roboh melintang di atas perahu. Hanya paderi itu cuma jatuh sebentar, begitu mengenakan lantai, ia dapat melompat bangun pula. Begitu lekas ia dapat berdiri, Leng Tie dapat mengetahui orang yang menyambuti dan menyerang padanya adalah See Thong Thian. Ia tidak ketahui maksud orang, menjadi gusar, di dalam hatinya, ia kata: "Celaka betul, kau juga hendak mempermainkan aku!" Terus ia maju, berniat menghajar Thong Thian. Pheng Lian Houw mengerti paderi itu salah terka, lekas-lekas ia maju menghalang seraya ia berkata nyaring: "Taysu, jangan gusar, jangan salah mengerti! Sebenarnya See Toako bermaksud baik!" Sementara itu perahu kecil telah dikasih turun. Ciu Pek Thong memegang tongkat di dalam mulut ikan, ia mengangkat dan mengibat. Atas itu, tubuh ikan yang besar itu terangkat dan terlempar, tercebur di laut. Dengan kibasannya itu, Pek Thong membuatnya tongkat patah. Kapan ikan hiu itu merasakan mulutnya tidak tergalang pula, pasti ia girang bukan main dan terus selulup untuk berenang pergi.... Oey Yong tertawa. "Engko Ceng," ia berkata, "Lain kali marilah bersama Ciu Toako kita menaiki masing-masing seekor ikan untuk berlomba main cepat-cepatan!" "Bagus!" berseru Loan Boan Tong sambil ia bertepuk tangan sebelumnya Kwee Ceng sempat memberi penyahutan. Sampai di situ, berempat mereka turun ke perahu kecil. Wanyen Lieh pintar sekali. Melihat lihaynya Auwyang Hong, ia lantas ingat berapa besar faedahnya kalau orang ini suka membantu ia mencari surat wasiatnya Gak Hui. Maka itu ia lantas cekal tangannya Leng Tie Siangjin, untuk ditarik hingga di depan orang kosen itu. "Kita sama-sama sahabat satu dengan lain, aku minta sianseng jangan buta kecil hati," ia berkata, untuk mengakurkan. "Aku harap Siangjin juga tidak memandang secara sungguh-sungguh. Aku minta, dengan memandang kepadaku, sukalah urusan dipandang sebagai guyon saja." Auwyang Hong tertawa, ia mengulurkan tangannya. Leng Tie Siangjin masih belum puas, pikirnya. "Tak lebih tak kurang kau menggunai ilmu silat menangkap Kim-na-hoat, kau juga menyerang secara tiba-tiba. Ilmu silatku Tay-in-ciu, yang telah aku pahamkan beberapa puluh tahun ini, mustahilkah ilmu itu tak dapat melawanmu?" Karena ini ia angsurkan tangannya dengan tenaganya telah dikerahkan, ia memencetnya dengan keras. Justru itu, mendadak ia merasakan seperti memegang baja yang terbakar marang, panas dan sakitnya bukan buatan, dengan kelabakan ia melepaskan cekalannya untuk menarik pulang tangannya itu. Auwyang Hong mengerti maksud orang, ia tidak sudi berbuat keterlaluan, maka itu ia mengganda bersenyum saja. Leng Tie lantas melihat tangannya, ia tidak dapatkan tanda atau bekas apa-apa, sedang barusan ia merasakan seperti terbakar. Ia menjadi heran sekali, hingga ia menduga: "Mestinya orang ini mengenal ilmu gaib..." Auwyang Hong melihat Nio Cu Ong masih rebah di lantai tanpa bergeming, ia bertindak mendekati. Ia dapat menduga, ketika orang didesak Kwee Ceng hingga kecebur, dia disambuti Ciu Pek Thong sambil ditotok, maka itu setelah melihat sebentar, ia pun menotok jalan darah orang. Hanya melihat saja, Sam Sian Lao Koay sadar akan dirinya. Wanyen Lieh girang bukan main. Ia lantas perintah orangnya segera menyajikan barang hidangan, untuk manjamu itu paman dan keponakannya. Karena dengan sendirinya Auwyang Hong dipandang sebagai kepala rombangan orang kosen itu.... Sambil menjamu, Wanyen Lieh menuturkan kepada Auwyang Hong tentang niatnya mencuri surat wasiat Gak Hui di kota Lim-an dan ia minta supaya See Tok suka memberikan bantuannya. Auwyang Hong memang pernah dengar hal itu dari keponakannya, diminta demikian hatinya tergerak. Ia lantas mandapat suatu pikiran lain. Pikirnya: "Aku Auwyang Hong, kamu kira aku orang macam apa" Mana dapat aku diperintah olehmu" Aku tahu Gak Hui itu tidak saja pandai mengatur tentara tetapi juga lihay ilmu silatnya, maka di dalam surat wasiat itu, kecuali ilmu perang, mungkin ada catatan tentang ilmu silat. Baiklah, aku terima permintaan ini, untuk aku melihat dulu surat wasiat itu. Mustahil aku si makhluk tua yang berbisa tidak dapat mengangkangi surat itu?" Maka itu ia lantas menyambut baik permintaannya Wanyen Lieh. Dua orang itu ada masing-masing pikirannya sendiri. Wanyen Lieh membutuhkan surat wasiat Gak Hui, supaya ia dapat mengatur tentaranya, untuk mencapai maksud gerakannya. Tidak pernah ia memikir bahwa lain orang pun sama mengarahnya, bahkan lain orang itu lebih cerdik daripadanya. Nio Cu Ong membantu menggembirakan perjamuan itu. Cuma Auwyang Kongcu yang tidak dapat memuaskan diri. Ia minum sedikit arak, ia bersantap, habis itu ia mendahului masuk ke dalam perahu untuk beristirahat, karena ia lagi menderita luka dikakinya. Orang masih sedang berjamu tatkala mendadak saja Auwyang Hong menunda cawan araknya serta wajahnya berubah. Melihat perubahan itu, semua orang terkejut. Mereka tidak tahu, di dalam hal apa mereka berbuat salah kepada ini orang lihay. Wanyen Lieh baru mau minta keterangan, atau Auwyang Hong telah berkata: "Dengar!" Orang lantas pada memasang kupingnya. Mereka tidak mendengar suara apa juga kecuali desiran angin laut dan damparannya gelombang. Maka mereka mnejadi heran, semua mata lantas diarahkan kepada orang she Auwyang itu. Auwyang Hong masih terus memasang kupingnya, sampai sesaat kemudian ia berkata: "Kamu sudah mendengar atau belum" Itulah suara seruling!" Sekarang benar-benar orang mendengar suara seruling itu, walaupun masih samarsamar, sebab suara itu terganggu angin dan ombak laut. Coba mereka tidak diberikan keterangan oleh Auwyang Hong, masih mereka belum mendengarnya. Auwyang Hong berbangkit, ia pergi ke kepala perahu. Di sana ia lantas berdongko, dari mulutnya terdengar suara kowak-kowek yang dalam. Maka ia benar-benar sangat mirip dengan seekor kodok besar. Menyaksikan itu, semua orang heran berbareng merasa lucu, walaupun demikian tidak seorang juga yang berani tertawa. Orang terus mendengarinya. Tidak lama, mereka lantas mendengar nyata suara seruling dan suara seperti kodok itu, bahkan mereka dapat mengetahui juga, seruling dan suara kodok itu saling sahutan, merupakan sebuah lagu. Mereka masih mendengari terus, atau sekarang mereka merasakan hati mereka menjdai tidak tentram, seperti terombang-ambing dalam kebimbangannya. Leng Tie Siangjin mencoba menentramkan dirinya. Ia kata dalam hatinya: "Benarbenar inilah ilmu sesat! Entah ia hendak memainkan lelakon apa! Aku mesti berhati-hati!" Anak-anak buah perahu bersama Wanyen Lieh adalah orang yang paling dulu tidak sanggup mempertahankan diri dari tenaga menarik dari seruling dan suara seperti kodok itu. Mereka sudah lantas berjingkrakan. Menampak demikian, tiba-tiba saja Auwyang Hong menghentikan suaranya yang aneh itu, sebagai gantinya, ia berseru keras sekali. Serentak dengan itu, nerhenti juga suara seruling tadi. Ia lantas saja memandang jauh ke laut. Sekarang semua orang berani memghampirkan, mereka turut mengawasi ke arah yang dipandang itu, hanya hati mereka kebat-kebit, khawatir nanti menyaksikan pula sesuatu yang mukjizat. Mereka berdiri di belakang See Tok beberapa kaki, untuk bersiap sedia kalau-kalau ada bahaya.... Belum terlalu lama, di kejauhan terlihat tiga lembar layar hijau. Itulah layar dari sebuah perahu enteng, yang lajunya sangat pesat, yang lagi mendatangi ke arah perahu besar mereka. Semua orang menjadi heran. "Mungkinkah suara seruling itu datangnya dari dalam perahu ini?" mereka mendugaduga, "Terpisahnya kita begini jauh, bisakah suara itu terdengar sampai di sini?" Auwyang Hong sendiri sudah lantas menitahkan anak buah perahu memutar haluan kendaraan air itu, untuk menampaki perahu enteng itu. Maka lekas juga kedua perahu mulai datang dekat satu dengan lain. Di kepala perahu enteng itu berdiri seoarng yang memakai jubah panjang warna hijau, di tangannya benar-benar dia mencekal sebatang seruling kuningan. Ia pun sudah lantas mengasih dengar suaranya yang tinggi muluk: "Saudara Hong, adakah kau melihat anak perempuanku?" "Putrimu itu sangat temberang, mana berani aku main gila terhadapnya!" See Tok menjawab. Kedua perahu terpisah hanya lagi beberapa tembok, tak terlihat bergeraknya orang dengan jubah hijau itu, hanya terlihat berkelebatan satu bayangan, tahu-tahu dia sudah berada di perahu besar. Menyaksikan orang demikian lihay, kumat sifatnya Wanyen Lieh akan mengambil hati orang. Ia lantas menyambut. Katanya: "Sianseng, bolehkah aku mendapat ketahui she mu" Sungguh beruntung yang aku dapat bertemu dengan sianseng!" Hebat pangeran ini, sebagai seorang bangsawan ia telah berlaku demikian merendah terhadap seseorang yang tidak dikenal. Akan tetapi orang itu, apabila ia melihat dandan mentereng orang Kim ini, dia cuma melirik, lantas dia tidak memperdulikannya lagi. Auwyang Hong melihat ongyanya tidak mendapat muka, ia lantas berkata: "Saudara Yok, mari aku perkenalkan! Tuan ini adalah Chao Wang, putra keenam raja dari negara Kim!" Lalu ia berpaling kepada Wanyen Lieh, akan meneruskan: "Inilah Tocu Oey Yok Su dari Pulau Tho Hoa To, yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini, yang tak ada tandingannya." Mendengar itu, Pheng Lian Houw semua mencelat mundur. Memang mereka telah mengetahui ayahnya Oey Yong adalah orang yang luar biasa, dari itu mereka menjadi jeri sendirinya. Semua berdiam terus. Semenjak putrinya minggat, Oey Yok Su telah menduga tentulah Kwee Ceng yang disusul. Mulanya ia gusar sekali, ia tidak memperdulikannya, akan tetapi lewat beberapa hari, hatinya menjadi berkhawatir juga. Ia khawatir putrinya itu nanti bertemu sama Kwee Ceng di perahu hiasnya itu. Kalau benar, Oey Yong pasti terancam bahaya besar. Maka diakhirnya ia melayarkan perahu, ia menuju ke tengah laut untuk mencari. Bagaimana sulit untuk mencari perahu hiasnya itu. Suadah beberapa hari ia berada di tengah laut, belum juga ia menemukannya. Maka itu hari ia meniup serulingnya dengan mengharap-harap putrinya nanti mendengarnya. Di luar dugaannya, Auwyang Hong yang menyambutinya dan keduanya jadi bertemu pula. Oey Yok Su tidak mengenal Pheng Lian Houw sekalian, mendengar orang di depannya itu satu pangeran bangsa Kim, ia semakin tidak menggubrisnya. Melirik lebih jauh pun ia tidak sudi lagi. Hanya, dengan mengangkat tangan terhadap See Tok, untuk memberi hormatnya, ia berkata: "Aku hendak lekas-lekas menyusul anakku, maaf tidak dapat aku menemani lebih lama pula!" Lalu ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi. Leng Tie Siangjin baru saja dipermainkan Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong, ia merasakan perutnya panas sekali, dadanya mau meledak, sekarang ia menghadapi pula seorang yang sangat jumawa, bahkan Auwyang Hong memperkenalkan si pangeran secara demkian merendah kepada orang itu, ia jadi berpikir: "Mustahilkah di kolong langit ini ada demikian banyak orang kosen" Mungkinkah orang-orang ini cuma mengerti ilmu gaib atau ilmu sesat, cuma untuk menggertak orang saja"! Baiklah aku coba-coba padanya, untuk mengakalinya...." Maka lantaslah ia berkata kepada Oey Yok Su: "Apakah yang kau cari itu satu bocah perempuan umur lima atau enambelas tahun?" Oey Yok Su menghentikan tindakannya, wajahnya nampak gembira. "Benar!" sahutnya. "Adakah taysu dapat melihat dia?" Leng Tie Siangjin menjawab, tetapi dengan suara dingin; "Melihat aku ada melihat, cuma aku melihat yang sudah mati, bukannya yang masih hidup." Mendengar itu, Oey Yok Su terkejut. "Apakah taysu bilang?" tanyanya lekas, suaranya pun menggetar. "Pada tiga hari yang lalu, aku pernah melihat mayatnya satu bocah perempuan ngambang di laut," berkata pula si paderi dari Tibet itu. "Dia mengenakan baju putih dan rambutnya memakai gelang emas, romannya cukup cantik." Paderi ini melukiskan pakaian dan romannya Oey Yong. Hebat Oey Yok Su merasakan gempuran pada hatinya, tubuhnya sampai terhuyung, mukanya menjadi pucat pias. "Benarkah itu, taysu?" tanyanya pula selang sesaat. Semua orang mendengar pembicaraannya kedua orang itu, mereka tahu Leng Tie Siangjin tengah mendustakan orang, maka itu dengan sendirinya hati mereka kebatkebit. Mereka melihat tegas kedukaannya Oey Yok Su tetapi terus mereka membungkam. Masih Leng Tie Siangjin menambahkan keterangannya pula. Katanya, "Di samping mayat bocah perempuan itu ada mengambang tiga mayat lainnya, yang satu mayat anak muda, yang lain lagi satu pengemis tua, yang lainnya lagi satu tua bangka yang rambut dan kumisnya sudah ubanan." Ia menyebutnya Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong. Sampai di situ, Oey Yok Su tak bersangsi lagi. Maka ia lirik Auwyang ong. "Kau kenal anakku, mengapa kau tidak hendak memberitahukannya siang-siang?" pikirnya. Auwyang Hong dapat melihat sinar matanya Oey Yok Su, ia pun mengetahui baik kedukaan orang, maka itu ia berkhawatir untuk banyak orang itu. Kalau Tong Shia turun tangan, ia boleh tak usah mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi yang lainnya, mana mereka sanggup malawan" Maka hebat permainannya Leng Tie Siangjin ini. Tetapi sebagai seorang licin, ia lantas mendapatkan daya untuk meredakan suasana. Maka lekas-lekas ia berkata: "Saudara Yok, aku baru saja naik ini perahu, sedang dengan semua tuan-tuan ini, inilah pertemuan kita yang pertama kali. Mayat yang dilihat taysu itu belum tentu ada mayat putrimu..." Ia menghela napas, ia menambahkan: "Putrimu itu cantik sekali, kalau benar dia berumur Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pendek, sungguh sayang..." Auwyang Hong hendak membersihkan diri dari kedua belah pihak, tetapi di kupingnya Oey Yok Su, perkataannya itu terdengarnya lain. Tapi Tong Shia ini bertabiat paling gemar menggumbar hawa amarahnya terhadap lain orang, kalau tidak, ketika dulu hari Hek Hong Siang Sat mencuri kitabnya, tidak nanti dia gusari Liok Seng Hong dan lainnya yang tidak bersalah dosa, yang dia bikin bercacad kemudian diusirnya. Demikian kali ini, ia merasakan tubuhnya menjadi panas dingin mendengar hal kematian putrinya yang ia sangat sayangi itu. Ia berduka hebat sama seperti ketika ia kematian istrinya yang ia sangat cintai. Kedua tangannya bergemetaran keras, mukanya pucat dan merah bergantian. Semua orang, dengan mulut membungkam, mengawasi saja. Maka itu, sesaat itu, perahu besar itu menjadi sangat sunyi senyap. Cuma suara angin dan gelombang saja yang terdengar. Tiba-tiba Oey Yok Su mengasih dengar suara tertawanya yang panjang, bagaikan menggeramnya naga seperti tak putusnya. Suara itu mengejutkan semua orang. Oey Yok Su tertawa hingga berlenggak, tertawanya itu makin lama makin nyaring. Pada nada suara itu bagaikan ada sifatnya yang dingin, hingga orang menjadi semakin heran. Lalu dilain saat, tertawa itu berubah menjadi tangisan, tangisannya menggerung-gerung, sedihnya bukan kepalang. Di antara banyak orang itu, cuma Auwyang Hong yang kenal lagak-lagunya Tong Shia, yang suka bernyanyi dan menangis tak ketentuan, dari itu ia menjadi tidak terlalu heran. Hanya, ketika ia mendengar tangisan jadi demikian sedih, ia berpikir juga: "Secara begini, Oey Lao Shia menangis, dia pasti akan terluka tubuhnya. Di jaman dulu Gwan Sek kematian ibunya, ia menangis hingga memuntahkan darah segantang lebih. Kemungkinan ini bisa terjadi dengan si Sesat dari Timur ini. Sayang tiat-cengku tenggelam bersama perahu yang karam, kalau tidak, bolehlah aku menabuhnya untuk meramaikan tangisannya ini." Lebih jauh Auwyang Hong berpikir; "Oey Lao Shia bertabiat luar biasa sekali, sekali dia gusar, dia sukar diurusnya. Kalau dia sampai menghadapi sesuatu maka lain kali, dalam pertemua kedua di Hoa San, aku jadi kekurangan seorang lawan yang tangguh. Ah sayang, sayang..." Habis menangis, Oey Yok Su mengangkat serulingnya, dengan itu ia mengetok pinggiran perahu, setelah mana ia bernyanyi: "Dengan firmannya Tuhan, mengapakah dibikinya dia umurnya demikian pendeka" Atau orang ubanan sampai akhir usianya, atau orang bercelaka karena melahirkan anak" Kenapa belum lagi keduakaan lama lenyap atau sekarang datang bersusun yang baru" Kenapa baru pagi lantas datang sang sore, atau fajar berembun lantas melenyap pula" Yang lenyap itu tak terkejar, atau sekarang mendadak orang hilang akal budinya" Langit demikian tinggi tak ujung pangkalnya, kepada siapa aku mesti mengadukan penasaranku ini...?" Hanya terdengar suara "Tok!" maka serulingnya Tong Shia terpatah dua. Lalu tanpa berpaling lagi, Oey Yok Su bertindak ke kepala perahu. Leng Tie Siangjin bertindak maju, dengan kedua tangannya ia menghalang. "Kau menangis dan tertawa," katanya dengan dingin, "Kenapa kau mengacau secara edan begini"!" Wanyen Lieh terperanjat. "Siangjin hangan...." katanya atau ia tidak dapat meneruskannya. Belum sempat pangeran ini mengucap habis cegahannya itu, tangannya Oey Yk Su sudah berkelebat ke belakang lehernya si paderi dari Tibet itu, hanya dengan satu kali gerakan tangan, tubuh orang yang besar itu telah terangakat lalu terputar hingga Leng Tie Siangjin menjadi berkepala di bawah, berkaki di atas dan tempo tubuhnya dilemparkan, tidak ampun lagi kepalanya yang besar melesak masuk ke lantai perahu sampai di pundak! Habis itu Oey Yok Su bernyanyi: "Langit kekal, bumi abadi, berapakah lamanya manusia hidup" Yang sudah, yang mendatang, semuanya tak terasa, semua itu ada batas temponya..." Lalu tubuhnya berkelebat, maka tibalah ia kembali di perahunya sendiri, perahu itu lantas berlayar pergi........ Semua orang tercengang, hanya bentaran, lantas mereka bergerak hendak menolongi Leng Tie Siangjin yang entah hidup entah mati, akan tetapi belum lagi mereka keburu bertindak, mendadak, mereka mendengar suara berisik dari bergeraknya lantai perahu, lalu muncullah satu anak muda yang bibirnya merah dan giginya putih, yang romannya tampan. Dan dialah Yo Kang, putranya Wanyen Lieh. Semenjak dia bentrok sama Bok Liam Cu, Yo Kang cuma ingat saja kata-katanya Wanyen Lieh, yang ayah, bahwa kebahagiannya tak ada batasnya. Di Hoay Utara ia lantas berhubungan sama pembesar-pembesar Kim, maka kemudina ia dapat mencari ayahnya itu, hingga bersama-sama mereka berangkat ke Selatan. Ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, ia lantas menyembunyikan diri, tak berani ia keluar. Dari dalam perahu ia hanya mengintai saja, maka segala kejadian ke atas perahu, semuanya ia dapat melihatnya dengan tegas dan nyata. Sampai telah berlalunya Oey Yok Su, baru ia merasa dirinya aman, dari itu ia lantas munculkan diri. Hebat Leng Tie Siangjin merasakan hajaran itu, tetapi dasar ia tangguh, dia tidak terluka, cuma kepalanya pusing. Begitu ia lekas dapat menetapkan hati, dengan kedua tangannya ia menekan lantai perahu, maka dilain saat tubuhnya sudah mencelat bangun, di lantai itu tertampaklah suatu liang besar dan bundar. Orang heran dan kagum, diakhirnya mereka merasa lucu, tetapi tak seorang juga yang berani mengasih dengar suara tertawanya. Karena menahankan hati, mereka menjadi pada menyeringai. "Anak, mari menemui Auwyang Sianseng!" Wanyen Lieh kata kepada putranya. Dengan begitu ia pun memecahkan ketegangan. Yo Kang sendiri sudah lantas menjura kepada Auwyang Hong, ia berlutut dan mengangguk empat kali. Itulah satu kehormatan besar, sedang ia adalah seorang pangeran, maka orang semua menjadi heran. Selama di dalam istana, Yo Kang sudah sangat mengaggumi Leng Tie Siangjin, tetapi sekarang ia telah menyaksikan lihaynya Auwyang Hong, Ciu Pek Thong dan Oey Yok Su, kekagumannya pindah kepada ketiga orang itu. Bukankah Leng Tie Siangjin telah dapat dicekuk dan dilempar pergi datang bagaikan dia ada satu bocah cilik" Bukankah itu menandakan suatu kepandaian yang luar biasa" Bukankah ini serupa dengan artinya kata-kata: "Di luar langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang lainnya?" Dia sudah lantas ingat peristiwa di Kwie-in-chung di Thay Ouw waktu ia kena dibekuk, selama ketakutannya di rumah abu keluarga Lauw ketika ia menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong. Semua itu disebabkan ilmu silatnya yang tiadk berarti. Sekarang di depannya ada seorang yang berilmu tinggi, jikalau ia tidak mengangkatnya orang menjadi gurunya, pasti sudah ia membikin hilang satu ketika paling baik. Maka itu, dengan kecerdikannya itu ia telah menjalankan itu kehormatan besar. Kemudian ia menoleh kepada Wanyen Lieh sambil berkata: "Ayah, anak ingin mengangkat sianseng ini menjadi guruku." Wanyen Lieh senang dengan kelakukan anaknya itu, maka ia pun menjura kepada See Tok seraya berkata: "Putraku ini gemar ilmu silat, hanya ia belum bertemu guru yang pandai, jikalau Sianseng tidak mensia-siakannya dan sudi memberika dia pelajaran, Siauw-ong ayah dan anak sangat berterima kasih untuk budimu yang sangat besar." Di matanya lain orang, hebat untuk menjadi guru dari seorang pangeran, untuk memintanya pun sulit, tetapi Auwyang Hong berpikir lain. Ia membalas hormat seraya berkata: "Di dalam partaiku ada suatu aturan yang dihormati, yaitu ilmu silat kami hanya diwariskan kepada satu turunan, tidak kepada lain orang. Sekarang ini kebisaanku telah diturunkan kepada keponakanku, karenanya aku tidak dapat menerima lain murid lagi. Mengenai ini aku mohon ongya sudi memaafkannya." Mendengar ini Wanyen Lieh menyesal, tetapi ia tidak memaksa, maka itu ia lantas memerintah orangnya segera menyediakan barang santapan guna menjamu ini orang berilmu. Yo Kang pun berputus asa. Kemudian Auwyang Hong berkata sambil tertawa: "Pangeran muda hendak mengambil aku sebagai guru, inilah tidak berani aku menerimanya, tetapi untuk memberikan dia beberapa petunjuk, itulah tidak sukar. Hal ini baiklah diurus perlahan-lahan belakangan." Biarnya ia putus asa, mendengar janji Auwyang Hong itu, lega juga hatinya Yo Kang. Ia ketahui baik kegagahannya Auwyang Kongcu, bahkan orang banyak gundiknya, kalau ia mendapat petunjuk dari See Tok, mesti ia mendapat kemajuan pesat, mungkin ia tidak selihay Auwyang Kongcu, toh sedikitnya ia bisa menjagoi juga. Sembari berjamu, pembicaraan berpokok kepada kemujawaan Oey Yok Su. Orang anggap pantaslah ia dipermainkan Leng Tie Siangjin. "Suheng, dia menangis dan tertawa, dia pun bernyanyi, kenapa?" Hauw Thong Hay menanya kakak seperguruannya. See Thong Thian tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka ia menyahuti secara sembarangan saja: "Siapa kesudian memperdulikan segala perbuatannya yang edan itu?" "Yang ia nyanyikan itu ialah syair karangannya Co Cu Kian di jaman Sam Kok," Yo Kang memberitahu. "Co Cu Kian itu kematian anak perempuannya, dia membuat dua ruas syairnya itu. Dengan itu dia mengatakan, ada orang hidup sampai tua sekali, ada yang berumur sangat pendek, mati muda-muda, maka ia bertanya mengapa Thian demikian tidak adil. Maka ia menyesal, langit tinggi tidak ada tangganya, hingga tak dapat ia naik untuk mengajukan pengaduannya. Akhirnya ia membilang bahwa dia sangat berduka, bahwa tak lama lagi waktunya dia menyusul putrinya itu." "Siauw ongya benar-benar terpelajar!" orang banyak memuji si pangeran. "Kita orang-orang kasar, mana kita ketahui itu?" Wanyen Lieh girang mendengar kepintaran putranya itu. "Suara serulingnya itu membuat hatiku tidak tentram, apakah sebabnya itu?" ia tanya. "Itulah disebabkan semacam tenaga dalam yang mahir sekali," menyahut Nio Cu Ong. "Auwyang Sianseng telah perdengarkan suaranya di kepala perahu, itulah jawaban timpalan untuknya, yang satu memanggil, yang lain bertahan. Benarkah begitu, Auwyang Sianseng?" Auwyang Hong tersenyum, dan mengangguk.. Lagi sekali orang memberi pujian, sekarang kepada See Tok. Yo Kang sendiri sementara itu telah berpikir: "Jikalau dihitung-hitung, Oey Yok Su adalah kakek guruku, hanya disebabkan Bwee Suhu telah bersalah terhadapnya, dan ada urusan anaknya yang mencurigai aku, jikalau lain hari aku bertemu pula dengannya, itulah berbahaya untukku. Selama di Kwie-in-chung, aku menduga dia tidak ada lawannya, siapa nyana sekarang ada Auwyang Sianseng ini yang seimbang dengannya. Ah, sayang Auwyang Sianseng tidak dapat menerima murid........" Selagi pangeran ini bepikir dan yang lainnya berpesta, Oey Yok Se berlayar sendiri dengan tidak karuan rasa. Ia berduka dan mendongkol. Ia penasaran sekali, ada kalanya ia mengutuk langit dan bumi, dilain saat ia mencaci segala hantu atau iblis. Ia mengatakan Thian tidak adil. Kemudian ia perintahkan anak buahnya mengarahkan perahunya ke pinggiran di mana ia mendarat. Lebih dulu daripada itu, dalam kalapnya, ia telah bunuh anak-anak buahnya itu. Sambil berdongak, ia berteriak-teriak: "Siapakah yang membinasakan anakku Yong-jie" Siapakah membinasakan anakku Yong-jie" Ah, itu bocah she Kwe, tidak salah, mestilah dia! Jikalau tidak karena dia, cara bagaimana Yong-jie pergi ke perahunya itu" Hanya sayang bocah itu menemani Yong-jie terbinasa. Sekarang kepada siapa aku mesti melampiaskan hatiku"!" Berpikir sampai di situ Tong Shia mendadak ingat keenam gurunya Kwee Ceng. "Kanglam Liok Koay adalah biang dari kebinasaannya anakku Yong-jie," ia memikir. "Jikalau mereka tidak mengajari silat kepada bocah she Kwee itu, mana dia dapat berkenalan dengan Yong-jie" Jikalau aku tidak kutungkan tangan dan kaki dari setiap mereka itu, tidak dapat penasaranku ini dilampiaskan!" Ia lantas pergi ke kota untuk bersantap sembari dia pikirkan jalannya untuk mencari Kanglam Liok Koay. "Ilmu mereka tidak tinggi tetapi nama mereka besar," katanya di dalam hatinya. "Mungkin mereka ada punya apa-apa yang melebihkan kebanyakan orang.... Mungkin mereka banyak akal muslihatnya! Jikalau aku datangi mereka secara berterang pasti tidak dapat aku mencarinya, maka itu baiklah aku tunggu sampai malam gelap petang, aku menyerbu ke rumahnya, aku bunuh mereka berikut semua anggota keluarganya, tua dan muda!" Panas hatinya Tong Shia, maka sehabisnya bersantap, dengan tindakan lebar ia menuju ke Utara, ke Kee-hin. * * * Ang Cit Kong bersama Ciu Pek Thong, Kwee Ceng dan Oey Yong berempat, dengan perahu kecilnya, berlayar ke daratan. Kwee Ceng duduk di belakang memegang kemudi. Oey Yong bicara tak habisnya menanyakan Ciu Pek Thong perihal pesiarnya di laut dengan ikan hiu. Agaknya ia sangat mengaguminya. Pek Thong pun gembira, hingga disaat itu ia ingin menangkap pula ikan hiu untuk pesiar bersama si nona. Kwee Ceng sementara itu mengawasi gurunya, air muka siapa beda daripada biasanya. "Suhu, bagaimana kau merasa sekarang?" ia bertanya. Cit Kong tidak menjawab, hanya napasnya memburu dan keras suaranya. Dia telah tertotok dengan ilmu totok Touw-kut Ta-hiat-hoat dari Auwyang Hong, walaupun dia sudah ditotok bebas, dia telah terluka dalam. Ciu Pek Thong sedang gembiranya, ia tidak memperhatikan orang lagi menghadapi bahaya maut, Oey Yong tapinya mengetahui keadaan gurunya itu, berulangkali ia mengedipi mata dan memberi tanda dengan tangannya agar si orang tua berandalan itu tak menerbitkan suara ribut yang mengganggu Pak Kay tapi si orang tua itu tetap saja ngoceh. Oey Yong mengerutkan alis. "Kau hendak menangkap ikan hiu, tapi kau tidak punya umpannya, buat apa kau omong saja?" kata si nona akhirnya. Loo Boan Tong tua tetapi seperti tak menghargai dirinya, ditegur orang muda, ia tidak mengambil peduli. "Ada akalnya!" katanya selang sesaat, "Saudara Kwee, mari! Aku nanti tarik tanganmu, kau rendam separuh tubuhmu di dalam air!" Kwee Ceng sangat menghormati kakak angkat itu, walaupun ia tidak ketahui maksud orang, hendak ia menurut. Tidak demikian dengan Oey Yong. "Engko Ceng, jangan ladeni dia!" si nona mencegah. "Dia hendak pakai tubuhmu seperti umpan guna memancing ikan hiu!" Nona ini dapat menerka maksud orang. "Benar!" Pek Thong bersorak. "Begitu lekas ikan hiu itu datang, aku nanti sambar dia dan mengangkatnya ke atas. Kau boleh percaya, tidak nanti dia dapat melukakan kau!" "Tapi perahu kita ini kecil, heranlah kalau perahu tak karam!" berkata Oey Yong. "Karam itu terlebih baik lagi!" berkata Loo Boan Tong. "Kita boleh sekalian turun ke laut untuk pelesiran!" "Habis bagaimana dengan guru kami?" menanya si nona. "Apakah kau tidak menghendaki dia hidup terus?" Pek Thong menggaruk-garuk kepalanya, tak dapat ia menjawab. Hanya kemudian ia persalahkan Auwyang Hong yang melukai Pak Kay. "Jikalau tetapi kau masih ngoceh tidak karuan, kita bertiga nanti tidak sudi bicara pula denganmu!" mengancam Oey Yong, yang agaknya habis sabar. Pek Thong mengulur lidahnya, ia tidak berani mementang bacot pula. Ia lantas menyambuti pengayuh dari tangannya Kwee Ceng untuk mengayuh perahu itu. Daratan tak jauh nampaknya, tetapi untuk tiba di tepian, mereka mesti memakan tempo sampai langit mulai gelap. Karena itu, terpaksa mereka bermalam di pesisir. Besoknya pagi ternyata penyakitnya Ang Cit Kong jadi bertambah berat. Kwee Ceng berduka dan berkhawatir sangat hingga ia menangis. Pak Kay sebaliknya tertawa. "Walaupun aku hidup lagi seratus tahun, di akhirnya toh aku mesti mati," katanya. "Anak yang baik, aku hanya mempunyai satu keinginan, maka kmu pergilah untuk mendapatkannya!" Pek Thong memegat: "Si makhluk berbisa bangkotan itu, melihat cecongornya tidaklah senang aku, maka itu, kalau kau mati, kau matilah, kau legakan hatimu, nanti aku balaskan sakit hatimu, akan aku bunuh mampus padanya!" Ang Cit Kong tertawa pula. "Membalas sakit hati?" tanyanya. "Itulah bukannya keinginanku! Sebenarnya aku menghendaki dahar masakan Wanyoh Ngo-tin-kwee dari istana kaisar." Tadinya tiga kawan itu menyangka kehendak terakhir itu ada urusan yang sangat besar, tidak tahunya urusan gegares, maka legalah hati mereka. "Itu gampang suhu," Oey Yong lantas berkata, "Dari sini tak terpisah jauh dengan kota Lim-an, nanti aku pergi ke istana kaisar untuk mencuri beberapa mangkok masakan itu untuk kau dahar sepuasnya." "Aku juga ingin dahar!" Pek Thong menyelak. Oey Yong mendelik pada "Bocah" bangkotan itu. "Tahu apa kau tentang makanan lezat atau tidak"!" tegurnya. "Wanyoh Ngo-tin-kwee itu, sekalipun di dalam istana tak gampang-gampang dibikinnya," Ang Cit Kong mengasih tahu. "Ketika dulu ahti aku bersembunyi selama tiga bulan di dapur istana, cuma satu kali pernah aku merasainya. Lezatnya masakan itu, kapan aku ingat, membikin aku hendak mengeluarkan ilar..." "Kalau begitu, aku ada punya satu pikiran," Pek Thong turut bicara. "Kita pergi Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencuri koki raja, kita suruh dia masak untuk kita." "Pikirannya Loo Boan Tong ini tak buruk," Oey Yong bilang. Bukan main girangnya Pek Thong dipuji si nona. Sebaliknya Ang Cit Kong menggeleng kepala. "Tak dapat itu dilakukan," katanya Pengemis dari Utara. "Barang hidangan itu, segala apanya mesti istimewa, sampai baranya, mangkoknya juga, kalau tidak, rasanya tidak lezat, salah sedikit pun tidak boleh. Paling benar kita pergi sendiri ke istana untuk memakannya." Tiga orang itu tak takut pergi ke istana. "Itu memang paling bagus!" kata mereka bareng. "Nah, mari kita berangkat sekarang!" Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, buat dibawa ke dalam desa yang berdekatan. Di situ mereka minta nasi dan arak, untuk mereka menangsal perut. Mereka hendak membayar uang makanan itu ketika mereka mendapat kenyataan kantung mereka kosong. Orang yang mempunyai rumah itu ada satu nyonya, dia baik budi, bukan saja ia tidak menghendaki uang makan, bahkan ia mengantarkannya ke kota. Cit Kong berempat menghanturkan terima kasih, lantas mereka pamitan. Ketika melewati sebuah rumah gadai, mendadak Pek Thong gusar dan berseru: "Ini dia usaha membunuh orang tanpa melihat darah!" Lantas ia hendak menyerbu untuk merampas uang dari pengadaian itu. "Buat apa terburu nafsu?" Oey Yong mencegah. Ia loloskan gelang rambutnya, ia masuk ke dalam rumah gadai itu, untuk menggadaikan itu buat empatbelas tail perak, kemudian mereka mencari hotel dimana mereka beristirahat. Sehabis bersantap, Kwee Ceng bertiga tidak melihat Oey Yong ada bersama. Berkata Pek Thong kepada adik angkatnya: "Itu istrimu yang lihay, kalau aku Loo Boan Tong melihat padanya, aku takut sekali!" Kwee Ceng tersenyum. Tidak lama terlihat Oey Yong muncul dari luar dengan wajahnya berseri-seri. "Kenapa kau takut padaku?" tanyanya pada si tua berandalan. Pek Thong mengawasi, ia melihat rambut orang ada gelang emasnya. "Eh, kenapa kau lantas menebusnya kembali?" ia tanya heran. "Kalau begitu, kita mesti mencari daya untuk membayar uang sewaan kamar dan makanan kita ini..." Oey Yong tidak segera menjawab, hanya dari sakunya ia tarik keluar empat kantung uang. "Untuk apa mesti ditebus?" katanya tertawa. "Rumah gadai itu akulah yang usahakan, maka berapa banyak aku menghendaki, berapa banyak aku boleh ambil!" Pek Thong kagum bukan main orang dapat pergi dan pulang dengan cepat untuk mengambil balik gelangnya berikut uang, maka ia memberikan pujiannya. Katanya: "Ini nona kecil benar-benar dapat mewariskan kepandaian keluarganya, dia pandai sekali!" "Jikalau aku dibandingkan sama Biauw Ciu Sie-seng yang menjadi guru nomor dua dari engko Ceng, kepandaianku ini sungguh tidak berharga setengah peser juga!" kata si nona tertawa. "Oh, ada orang yang demikian lihay?" kata Pek Thong. "Aku ingin bertemu dengannya!" Sementara itu terlihat sakitnya Ang Cit Kong bertambah berat sedang di kota itu tidak ada tabib terkenal, maka Kwee Ceng bertiga menyewa sebuah kereta keledai untuk Pak Kay, dengan itu mereka berangkat menuju ke utara, ke kota Lim-an. Pada suatu hari tibalah mereka di sungai Cian Tong, darimana mereka pergi ke luar kota Lim-an. Mereka tidak keburu masuk ke dalam kota karena cuaca mulai gelap, burung-burung gowak tengah terbang pulang. Karena itu mereka memikir mencari rumah penduduk, buat menumpang bermalam. Mereka melihat sedikit jauh dari situ ada aliran air yang mengitari tujuh atau delapan rumah. "Kampung itu bagus, mari kita singgah di sana?" Oey Yong mengajak. "Bagus apa?" tanya Pek Thong, matanya mencilak. "Kau lihat, bukankah pemandangannya indah bagaikan gambar?" si nona bilang. "Kalau indah bagaikan gambar, habis bagaimana?" tanya Loo Boan Tong. Si nona heran, hingga ia melengak. "Jikalau kau bilang jelek, kita jangan singgah di sini," katanya kemudian. "Tapi kita tidak dapat pergi ke lain tempat..." "Kalau kamu tidak pergi perlu apa aku pergi sendiri?" berkata si orang tua yang lagi kumat berandalannya. Sementara itu mereka sudah tiba di kampung itu. Nyata itulah sebuah kampung rudin, sebab di sana sini telihat tembok-tembok runtuh. Di muka kampung sebelah timur terlihat sebuah warung arak, maka mereka menuju ke sana. Di bawah payon ada dua buah meja papan, mejanya tebal debunya. "Hallo!" Pek Thong lantas memanggil. Dari dalam lantas muncul satu nona umur tujuh - atau delapanbelas tahun, rambutnya awut-awutan tetapi rambut itu ditancap sebatang tusuk konde. Dia mementang matanya lebar-lebar mengawasi ketiga orang itu. "Kasihkan aku nasi dan arak," Oey Yong minta. Si nona menggeleng kepalanya. "Kau tidak punya arak dan nasi, habis untuk apa kau membuka rumah makan?" menegur Pek Thong. "Aku tidak tahu," sahut si nona, yang kembali menggoyang kepalanya. "Ah, kau benar-benar nona tolol!" kata Pek Thong. Si nona tertawa. "Memang aku si Sa Kouw!" sahut nona itu. "Sa Kouw" berarti "nona tolol"! Mendengar jawaban itu Oey Yong bertiga girang. Oey Yong terus masuk ke dalam terus ke dapur untuk melihat-lihat. Ia mendapatkan banyak galagasi. Nasi tinggal nasi dingin. Di atas pembaringan, tikarnya pun tikar butut. Itulah tanda kemelaratan, maka ia terharu. "Apakah kau bersendirian saja di sini?" ia menanya si nona rumah. Sa Kouw mengangguk sambil tersenyum. "Ibumu?" Oey Yong tanya pula. "Sudah mati," sahut si nona. Ia mengusap matanya, seperti mau menangis. "Ayahmu?" Nona itu menggeleng kepala tanda tak tahu. Oey Yong melihat tangan dan muka orang kotor, seperti sudah beberapa bulan tidak pernah ketemu air, maka di dalam hatinya ia berkata: "Taruh kata dia masak nasi, tentulah aku tak dapat emndaharnya...." Tapi ia toh menanya: "Ada beras?" Nona itu mengangguk, kembali ia tersenyum. Ia pergi mengeluarkan paso besar, yang isinya separuh. Oey Yong lantas turun tangan sendiri, mencuci beras dan memasaknya. Kwee Ceng lantas pergi ke kampung sebelah barat dimana ia membeli dua ekor ikan serta seekor ayam, terus bersama Oey Yong ia kerjakan itu. Tempo nasi dan barang makanan itu matang dan disajikan, sang malam tiba. Oey Yong minta minyak, untuk memasang lampu, tapi Sa Kouw menggeleng kepala. Terpaksa nona Oey mencari sebatang cemara, ia sulut itu. Ia pergi ke dapur, akan mencari mangkok dan sumpit. Ketika ia membuka lemari, ia dapat cium bau busuk. Ia menyuluhi, maka terlihatlah tujuh atau delapan mangkok hijau yang sudah sombeng di sana sini. Di sininya ada belasan bangkai cecurut.... Kwee Ceng membantui mengambil mangkok. "Pergi kau cuci bersih sekalian ambil beberapa batang cabang pohon untuk dipakai sebagai sumpit," berkata Oey Yong. Si anak muda menurut, ia berlalu dengan mangkok kotornya itu. Oey Yong menjumput mangkok yang terakhir ketika ia merasakan mangkok itu dingin seperti es, beda dari mangkok biasa. Ia mengangkatnya, tapi mangkok itu diam di tempatnya seperti terpaku. Ia menjadi terlebih heran. Ia tidak berani memaksa mengambil, khawatir mangkok itu pecah. Ia hanya mencoba lagi tetapi kembali gagal. "Mustahilkah karena dibiarkan lama di sini, mangkok ini penuh debu dan jadi nempel lengket karenanya?" ia berpikir. Maka itu ia mengawasi terus, sampai ia lihat mangkok itu karatan, sebab mangkok itu ternyata terbuat dari besi. Sendirinya nona itu tertawa geli. "Mangkok emas, mangkok perak, mangkok kumala, semuanya aku pernah lihat," katanya di dalam hati. "Tetapi belum pernah aku dengar ada mangkok besi." Ia mencoba menarik dengan menggunai sedikit tenaga, tetap mangkok itu tak bergeming. Ia heran bukan main. Mestinya mangkok itu dapat terangkat berikut papannya. Maka ia mau menduga papannya itu pun besi. Ia lantas menyentil. Ia mendengar suara nyaring. Benarlah dugaannya. Oey Yong pegang mangkok itu, ia memutar ke kiri. Mangkok diam saja. Ia mencoba memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembok memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembol dapur itu terbelah dua, memperlihatkan suatu lobang yang gelap. Dari situ lantas menghembus bau busuk, sampai si nona mau muntah, lekas-lekas ia lompat ke samping. Kwee Ceng bersama Ciu Pek Thong mendengar suara si nona, mereka lantas datang melihat. "Jangan-jangan inilah rumah makan gelap," berkata Oey Yong, yang menjadi curiga. "Mungkin Sa Kouw berpura-pura tolol." Tiba-tiba ia berlompat ke samping nona tolol itu, yang berada di ruang dapur itu, kedua tangannya diulur untuk menangkap lengan orang. Ruang itu gelap tetapi Sa Kouw mendengar suara angin, ia menarik tangannya dengan jurus "Melepas jubah menyerahkan kedudukan," setelah bebas, ia membalas menyerang, ke arah pundak orang. Oey Yong menduga orang mungkin tidak bermaksud jahat hanya ia tidak menyangka nona itu demikian gesit dan serangannya pun ganas, ia menjadi kaget. Dengan tangan kiri ia menangkis, terus membangkol dengan tangan kanan ia menyerang dua kali beruntun. Setelah menyakinkan Ie-kin Toan-kut-pian, ia menjadi sebat sekali dan tenaganya bertambah, maka itu Sa Kouw lantas saja menjerit kesakitan karena lengannya kena terpukul, meski begitu, ia melawan terus. Sungguh Oey Yong tidak menyangka, di dusun sepi itu ada rumah makan gelap, bahkan pelayan seorang nona jorok itu, bahkan dia cukup gagah karena dia dapat bertahan sampai tujuh atau delapan jurus. Kwee Ceng dan Pek Thong turut menjadi heran. Kemudian Pek Thong dengar suara anginnya Oey Yong berubah hebat, lanats ia berteriak: "Eh, nona Oey, jangan kau ambil jiwanya!" Selagi begitu, Kwee Ceng berjaga-jaga di sisinya Ang Cit Kong, ia khawatir ada penghuni jahat lainnya, yang bisa membokong gurunya itu. Lagi beberapa jurus, Oey Yong menghajar lengan orang hingga lengan itu dikasih turun, tak dapat digeraki lagi. Kalau mau, ia dapat membinasakan, tetapi ia merasa kasihan. "Berlutut!" ia menitah. "Akan aku beri ampun padamu!" "Aku tidak sudi!" menjawab nona itu, yang mendadak menyerang pula dengan tangan kanannya, bahkan jurusnya ada jurus "Lok Eng Ciang-hoat" ajarannya Oey Yok Su. Oey Yong kaget dan heran. Sambil menangkis, ia menanya: "Darimana kau pelajarkan ini jurus Lok Eng Ciang-hoat" Siapakah gurumu?" Nona tolol itu tertawa. "Aku tidak suka menjawab. Habis kau mau apa?" ia menantang. Melihat suara orang tak lagi seperti orang tolol, Oey Yong mengulang serangannya, kedua tangannya bergerak saling susul dua kali, kemudian itu disusul sama serangan yang kelima, untuk menggertak, sebab berbareng dengan itu, kakinya bekerja. "Bruk!" demikian Sa Kouw roboh terguling. "Ah, kau memakai akal!" serunya. "Mari kita bertempur pula!" Ia terus merayap bangun. Oey Yong tidak sudi memberi ketika, ia menubruk dan menindih, lalu ia merobek baju orang untuk dipakai mengikat tangannya dia itu. "Bukankah Lok Eng Ciang-hoatku lebih baik daripada kepunyaanmu?" ia bilang. "Kau menggunai akal, aku tidak terima!" nona itu membelar. Dan ia mengulanginya perkataannya itu. Melihat si tolol sudah kena dibikin tidak berdaya, Kwee Ceng lari keluar, untuk terus melompat naik ke atas wuwungan, untuk mengawasi sekelilingnya. Ia tidak melihat apa juga. Tapi ia turun ke bawah, ia jalan mengitari rumah makan itu. Rumah itu mencil sendirian dan pintunya pun cuma satu. Dengan merasa lega, ia masuk pula ke dalam. Oey Yong tengah mengancam Sa Kouw dengan pisaunya diarahkan ke mata orang. "Siapa yang mengajari kau ilmu silat?" demikian tanyanya. "Lekas bilang! Kalau kau tidak suka bicara, aku nanti tikam mampus padamu!" Bab 47. Tempat rahasia Bab ke-47 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Sa Kouw tidak menjadi takut, bahkan ia tertawa haha-hihi. Dia seperti tidak kenal bahaya, dia rupanya menyangka nona tetamunya tengah main-main dengannya. Oey Yong penasaran, ia ulangi pertanyaannya. "Aku tidak mempunya guru," sahut si tolol akhirnya. "Siapa yang membilang ada orang yang mengajar aku?" "Budak ini tidak suka bicara, mari kita masuk ke dalam lobang ini untuk memeriksa," berkata Oey Yong kemudian. "Ciu Toako, tolong kau lindungi guruku serta menjagai budak ini. Engko Ceng, mari kau bersama aku..." "Tidak, tidak!" Pek Thong menggoyangi tangannya. "Aku pergi bersama kau!" Si nona mengkerutkan keningnya. "Tidak, aku tidak mau pergi bersama kau!" ia menolak. Pek Thong lihay, usianya pun tinggi, entah kenapa, terhadap si nona tak berani ia membantah, bahkan sebaliknya, ia lantas memohon. "Nona yang baik, lain kali aku tidak berani pula..." katanya. Oey Yong lantas saja tertawa untuk kejenakan orang tua itu. Ia mengangguk. Pek Thong jadi sangat girang, lekas ia mencari dua cabang cemara, untuk disulut menyala, untuk dipakai ia menyuluhi ke dalam gua, yang ia asapkan sekian lama. Oey Yong sendiri malah melemparkan sebatang cemara yang apinya menyala ke dalam lobang itu, setelah itu ia mendengar suara bentroknya batang itu dengan dinding. Maka teranglah tempat rahasia itu tidak dalam. Dengan memimjam penerangan obor kayu cemara itu orang memandang ke dalam gua. Tidak ada bayangan orang di dalam situ, tidak ada suara apa-apa. Maka itu tanpa bersangsi lagi, Ciu Pek Thong lantas lantas bertindak masuk. Dia disusul oleh Oey Yong. Setelah memperhatikan seketika, nyata gua itu ada sebuah kamar kecil. "Kita terjebak, kita terjebak!" Pek Thong berseru-seru. "Tak bagus!" Oey Yong sebaliknya mengeluarkan suara kaget. Dia melihat ke bawah dan ia menampak tulang belulang seorang manusia, yang rebah celentang. Pakaiannya sudah rusak, hingga tak dapat dikenali, semasa hidupnya dia orang macam apa. Di pojok timur pun ada tulang-belulang serupa, terletak di atas sebuah peti besi. Sebatang golok tajam panjang satu kaki tengah menancap di punggung di atas tutup peti besi itu. Pek Thong mendapatkan ruang kecil dan kotor dan seram dengan adanya tulangbelulang itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, tetapi karena Oey Yong masih memperhatikan segala apa, ia berlaku sabar untuk menemani, hanya kemudian, ia tak dapat menahan sabar pula. "Nona yang baik," katanya, "Hendak aku pergi keluar, bolehkah?" "Baiklah," menjawab si nona. "Pergi kau menggantikan engko Ceng, supaya ia datang ke mari." Pek Thong girang bukan main, ia keluar seperti burung terbang, akan dilain saat Kwee Ceng datang masuk. Oey Yong mengangkat obor kayu cemaranya, untuk menyuluhi, supaya Kwee Ceng dapat melihat segala apa terutama itu tulang-belulang manusia, kemudian ia menanya bagaimana atau apa yang menyebabkan kematiannya dua orang itu. "Dia ini tentu lagi hendak membuka besi itu, lantas ada orang yang hendak membokong dari belakang," kata Kwee Ceng seraya menunjuk tulang-tulang di atas peti besi. "Yang di tanah itu, karena tulang-tulangnya pada patah, mestinya diserang dengan tangan kosong." "Aku juga menduga demikian, hanya duduknya hal-hal disini membuatnya aku tidak mengerti," menyatakan si nona. "Apa yang kau maksudkan?" "Umpama Sa Kouw," sahut si nona. "Dia mengerti ilmu silat Lok Eng Ciang-hoat, benar ia menyakininya belum sempurna tetapi itu ada pelajaran yang sejati. Darimana ia dapatkan itu" Dua orang ini mati disini, ada hubungan apakah di antara mereka dan Sa Kouw" Sebelum ketahui jelas semua ini, tak tentram hatiku..." "Baiklah kita tanya pula nona itu," Kwee Ceng mengusulkan. Ia tidak mau menyebutnya nona itu nona tolol, karena ia sendiri sering dikatakan tolol. "Menurut penglihatanku, dia memang benar-benar tolol," kata Oey Yong. "Dia tidak suka bicara, percuma kita menanya pula padanya. Mari kita memeriksa pula dengan seksama, barangkali saja kita mendapati sesuatu." Maka ia angkat obornya, menyuluhi pula dua perangkat tulang-belulang manusia itu. Ketika ia menyuluhi ke peti besi, di kaki itu ada suatu benda yang bergemerlap. Ia lanta jumput itu, ialah sebuah pay emas dan di tengahnya ditabur dengan sebutir batu permata sebesar jempot tangan. Ia membalik pay itu, maka ia menampak sebaris ukiran huruf-huruf, bunyinya: "Cio Gan Keng, panglima kota Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiongciu, gelar Bu Kong Tayhu". "Pay ini kepunyaannya ini setan mati, pangkatnya bukan kecil," kata si nona. "Seorang berpangkat tinggi terbinasa di sini, sungguh aneh," Kwee Ceng mengutarakan keherannnya. Oey Yong memeriksa pula tulang-tulang di tanah, ia tidak dapatkan apa, hanya tulang punggung itu rada munjul, maka ia mengoreknya dengan ujung cabang cemara, tempo debunya sudah berkisar, di bawah itu ada selembar besi. Ia kaget hingga ia berseru, cepat sekali ia sambar besi lempangan itu. Kwee Ceng pun berseru saking heran kapan ia telah melihat benda itu. "Kau kenal ini?" Oey Yong tanya. "Ya. Inilah patkwa besi kepunyaannya Liok Chungcu di Kwie-in-chung." "Tapi belum tentu kepunyaannya Liok Suheng sendiri." "Mungkin. Melihat rusaknya pakaian, mayat ini mestinya sudah berada di sini sepuluh tahun." Oey Yong berdiam akan tetapi otaknya bekerja. Habis itu ia sambar golok di atas peti besi itu, ia bawa itu ke depan matanya, untuk melihat dengan teliti. Ia mendapatkan ukiran sebuah huruf "Kiok". Atas itu dengan kaget ia berseru: "Yang rebah di tanah ini adalah kakak seperguruanku!" Kembali Kwee Ceng memperdengarkan suara heran. "Menurut Liok Suheng, Kiok Suheng masih hidup, siapa tahu dia telah terbinasa di sini," berkata Oey Yong kemudian. "Engko Ceng, coba kau lihat ini tulang kakinya." Kwee Ceng berdongko. "Kedua tulang pahanya patah," ia berkata. "Ah, ia telah dihajar patah oelh ayahmu..." Si nona mengangguk. "Kakak seperguruan ini bernama Liok Leng Hong," ia memberi keterangan. "Pernah ayah menerangkan, di antara enam muridnya, Kiok Suheng ini paling pandai dan ia pun paling disayangi..." Belum habis ia berkata, Oey Yong sudah lompat untuk lari ke luar dari ruang rahasia itu. Kwee Ceng, yang merasa heran lari mengikuti. Oey Yong lari kepada Sa Kouw. "Kau she Kiok, bukankah?" ia menanya. Sa Kouw tidak menyahuti, ia hanya tertawa geli. "Nona, apakah shemu?" Kwee Ceng menanya, sabar. "Aku tidak tahu," menyahut nona itu menggeleng kepala. Selagi dua orang itu hendak menanyakan terlebih jauh, Pek Thong menjerit-jerit; "Aku sudah lapar! Aku sudah lapar! Aku bisa mati kelaparan!" "Benar," berkata Oey Yong. "Mari kita bersantap dulu." Ia membukai ikatannya Sa Kouw, ia ajak nona itu bersantap bersama. Sa Kouw tidak menampik, ia tertawa, ia angkat mangkoknya dan dahar. Sembari bersantap Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia itu. Pak Kay pun heran. "Rupanya orang she Cio itu menghajar mati suhengmu itu, lantas ia hendak membuka peti besi itu," katanya, mengutarkan dugaannya. "Tidak tahunya suhengmu itu belum mati dan ia menimpuk dengan golok itu." "Melihat keletakannya, mungkin begitu kejadiannya," Oey Yong membenarkan. Ia lantas memperlihatkan golok lancip itu serta patkwa besi pada si nona tolol. Ia menanya, "Apakah kau tahu siapa punya ini?" Melihat itu, wajahnya Sa Kouw berubah. Ia berpaling, agaknya ia berpikir, tapi ia tidak dapat mengingat apa-apa. Akhirnya ia menggeleng kepalanya, hanya tangannya memegangi golok itu, tak mau dilepaskan. "Rupanya pernah ia melihat golok ini, sekarang dia tidak ingat," bilang Oey Yong. Habis bersantap, sesudah memernahkan Ang Cit Kong, yang merebahkan diri untuk tidur, Oey Yong ajak Kwee Ceng pergi pula ke kamar gelap itu, untuk memeriksa terlebih jauh. Sekarang perhatian mereka ditujukan kepada peti besi itu, yang entah apa isinya. Semua tulang di atas tutup peti disingkirkan. Gampang sekali mengangkatnya, sebab peti tidak dikunci. Peti itu menyinarkan cahaya bergemerlapan, sebab isinya adalah pelbagai macam batu permata. Kwee Ceng hanya merasa aneh, tetapi Oey Yong ketahui itulah harta besar sekali. Ayahnya biasa mengumpulkan permata tetapi tak sebanyak ini. Nona Oey meraup permata itu, lalu ia melepaskan pula. Batu-batu itu mengasih dengar suara nyaring. "Semua permata ini mestinya ada riwayatnya," kata si nona kemudian. "Kalau ayahku ada disini, ia tentu mengetahuinya." Lalu ia menjelaskan kepada Kwee Ceng namanya setiap batu permata itu. Kwee Ceng gelap untuk semua permata itu, belum pernah ia melihatnya, belum pernah ia mendengarnya. Oey Yong meraup pula, sampai dalam. Tangannya membentur dasarnya peti besi. Ia merasakan lantai yang keras. Ia jadi menduga peti besi itu ada lapisannya. Ia lantas meneliti pinggirannya peti itu. Sekarang ia melihat gelang kecil di kira dan di kanan, yang tadinya kealingan batu-batu permata. Ia menggunai kedua tangannya memegang sepasang gelang itu, lalu ia mengangkat. Untuk herannya, ia mendapatkan di dasar peti itu sejumlah barang kuno dari perunggung dan lainnya dan mestinya pun dari pelbagai jaman yang telah lampau. Jadi inilah benda-benda yang lebih berharga daripada batu-batu permata itu. Masih ada lagi lain lapisan peti itu. Ketika lapisan ini pun diangkat, di dalam situ terlihat pelbagai gambar lukisan dan tulisan huruf segulung demi segulung. "Mari bantui aku," si nona minta pada Kwee Ceng, untuk membeber gambar-gambar itu. Kesudahannya, ia menjadi heran dan kagum. Sebab ia melihat lukisan-lukisan dari Gouw Too Cu, Co Pa, Kie Jian dan Lie Houw-cu kaisar dari dinasti Tong Selatan, dan lainnya lagi, jumlahnya duapuluh lembar lebih. Dan semua itu pun barang-barang yang harganya luar biasa. Saking kagum, Oey Yong tidak mau melihat lebig lama, semua itu ia masuki ke dalam peti itu, lalu ditutup dengan rapi, kemudian sambil memeluk dengkul, ia duduk bercokol di atasnya. Ia berpikir keras. "Ayahku pengumpul semua permata dan barang kuno, tetapi apa yang ia peroleh tidak ada satu sepersepuluh dari harta karun ini," pikirnya. "Kenapa Kiok Suheng ada demikian lihay hingga ia dapat memeproleh semua ini?" Tidak sempat nona ini berpikir terus, ia mendengar suara nyaring Ciu Pek Thong, "He, keluar kamu semua! Mari kita pergi ke rumahnya kaisar untuk dahar Wanyoh Ngo-tin-kwee!" "Kita pergi malam ini?" tanya Kwee Ceng. "Lebih cepat satu hari lebih baik," berkata Cit Kong. "Kalau kita berlambat, aku khawatir aku tak dapat bertahan lebih lama pula..." "Suhu," berkata Oey Yong, "Paling cepat juga baru besok pagi kita dapat masuk ke dalam kota. Suhu jangan dengarkan ocehannya Loo Boan Tong!" "Ya, sudah, sudahlah!" berkata Ciu Pek Thong. "Memang sagalanya aku yang salah!" Terus ia menutup mulutnya. Besoknya pagi, Oey Yong berdua dengan Kwee Ceng mematangi nasi, lalu mereka sarapan bersama-sama Sa Kouw. Oey Yong memikirkan tempat yang aman untuk menyimpan harta karun itu. "Sudah, mari kita lekas pergi!" Pek Thong mengajaki. "Itu toh bukannya bendamu! Perlu apa kau capaikan hati?" Si nona memikir, memang tempat itu adalah tempat yang paling aman. Bukankah harta karun itu sudah berdiam di dalam kamar rahasia itu untuk belasan tahun" Maka ia lantas bekerja, menutup rapat pula pintu rahasia dan benahkan segala apa yang seperti bermula mereka datang. Selama itu Sa Kouw tidak memperdulikan perbuatan orang, ia tidak tahu menahu, ia hanya lebih suka membuat main golok tajam itu. Ketika mau pergi, Oey Yong memberikan uang perak dua potong. Sa Kouw menerimanya untuk terus dilempar secara sembarangan ke atas meja. "Jikalau kau lapar, pakailah uang ini untuk membeli beras dan daging," pesan Oey Yong. Nona itu acuh tak acuh, ia cuma tertawa saja. Oey Yong berduka sangat, ia mengasihi nona tolol itu ini. Ia mau percaya dia ada hubungannya sama Kiok Leng Hong, mungkin sanak atau muridnya suheng itu. Ia pun tidak mengerti, orang tolol semenjak kecil atau hanya baru belakangan saja karena sesuatu serangan otak. Tadinya ia hendak mencari keterangan di kampung itu tetapi Ciu Pek Thong mendesak tak hentinya, terpaksa ia turut juga. Maka berempat mereka pergi menuju ke kota. Cit Kong tetap naik kereta. Kota Lim-an ialah kota Hangciu yang tersohor indah, kota ini dijadikan kota raja oleh karena pemerintahan Song berpindah ke Selatan. Oey Yong berempat memasuki pintu kota timur, Cit Kong mendesak untuk pergi ke istana kaisar, dari itu mereka menuju ke pintu Lee-ceng-mui. Pek Thong bertiga memandang istana, yang indah, yang berukir dan bergambar dan juga dicat merah dan air emas. Wuwungannya ditutup dengan genteng kuningan yang berkilauan, yang pun diukir dengan naga-nagaan dan burung hong. "Bagus!" Pek Thong berseru, kagum. "Mari kita masuk!" Di muka istana ada serdadu-serdadu pengawal, mereka mendengar suara berisik itu, mereka melihat seorang tua dan sepasang muda-mudi mengiringi kereta keledai, empat diantaranya lantas maju mendekati untuk menangkap. Mereka semua bergenggaman kampak. Pek Thong si berandalan gembira sekali, tidak perduli orang bertibih kekar dan romannya garang, ia hendak maju melayani mereka itu. "Jangan!" mencegah Oey Yong. "Mari kita lekas pergi!" "Takut apa"!" mata Pek Thong mencelik. "Masa mereka dapat gegares aku?" "Jikalau kau tidak mau dengar aku, lain kali aku tidak mau memperdulikan pula padamu!" kata Oey Yong yang terus mencambuk kedelai hingga keretanya menggelinding cepat ke arah barat. Kwee Ceng lantas menyusul. Pek Thong takut juga nanti ditinggal pergi hingga ia tidak dapat turut pesiar, ia turut pula berlalu dengan meninggalkan keempat pengawal pintu itu. Mereka ini tidak mengejar, hanya mereka menertawai. Mereka menduga itulah rombongan orang desa.... Oey Yong larikan keretanya ke tempat sepi di mana tidak ada lain orang, di situ ia berhenti. "Kenapa tidak menerjang masuk ke istana?" kata Pek Thong. "Itu segala kantung nasi, mana mereka bisa mencegah kita?" "Menerjang masuk memang tidak sukar," menyahut Oey Yong. "Tetapi kita datang ke mari untuk bertarung atau untuk pergi ke dapur raja untuk mencari barang makanan" Dengan menerjang masuk, kau membuatnya gaduh, dengan begitu, mana bisa kau mendapatkan Wanyon Ngo-tin-kwee untuk guruku?" Pek Thong berdiam, tak dapat ia menjawab. "Baiklah, kembali aku yang salah!" katanya kemudian. "Dasarnya salah!" kata Oey Yong. "Ya, sudahlah!" kata pula si tua berandalan itu. Ia terus perbaling kepada Kwee Ceng untuk mengatakan: "Wanita di kolong langit semuanya galak-galak, maka itu juga Loo Boan Tong tidak sudi menikah seumur hidupnya..." Oey Yong tertawa. "Engko Ceng orang baik, orang tidak nanti menggalaki dia!" katanya. "Kalau begitu, apakah aku bukannya orang baik?" "Habis apa kau sebenarnya orang baik" Coba bilang, kau yang tidak hendak menikah atau si nona yang tak sudi menikah denganmu?" Pek Thong miringkan kepalanya, ia tidak menjawab. "Mari kita mencari penginapan dulu," Kwee Ceng datang sama tengah. "Sebentar malam baru kita memasuki istana." "Benar," kata Oey Yong. "Setelah suhu berdiam di hotel, nanti aku masak unntuk kamu dahar." "Bagus, bagus!" Cit Kong memuji. Ia girang sekali. Mereka lantas menuju ke Jalan Gie-gay, untuk menyewa kamar di penginapan Kim Hoa. Oey Yong benar saja lantas pergi ke dapur itu untuk memasak tiga rupa barang hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga orang-orang di penginapan itu menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana yang pandai masak itu. Diwaktu bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak ada wanita yang sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja ngambek....! Habis bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng mengajak Pek Thong jalanjalan, Loo boan Tong tetap ngambek. "Kalau begitu, baik-baiklah kau temani guruku," kata Oey Yong tertawa. "Sebentar aku belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau buat main." Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu. "Apakah kau tidak mendustakan aku?" tanyanya. "Pasti tidak!" si nona memberikan perkataannya. Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya di musim semi, pernah ia pergi ke kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To, hanya karena khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, sekarang ia luang tempo, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga See Ouw yang tersohor itu. Biar bagaimana, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira. Oey Yong melihat itu, ia menduga itulah disebabkan si pemuda memikirkan sakitnya Cit Kong. Maka ia berkata: "Suhu bilang ada serupa barang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkannya, bahkan ia melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimana, aku hendak berdaya untuk mendapatkannya, buat mengobati dia hingga sembuh!" "Yong-jie, itulah paling bagus!" kata Kwee Ceng girang. "Apakah kau merasa pasti akan bisa mendapatkannya itu?" "Aku tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku menanyakan keterangan suhu. Disaat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba ia sadar, lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek keterangannya." Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega. Sembari berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan buntung di tepi telaga. Inilah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw, dimana orang bisa mendapat lihat sisa salju, cuma karena sekarangt musim panas, yang terlihat ialah pohonpohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong jembatan itu. "Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga teratai," Oey Yong mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil yang nampaknya resik. Kwee Ceng akur, maka berdua mereka pergi ke rumah makan itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa barang santapan yang rasanya lezat. Sembari minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di jendela timur ada sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia lantas mendekati itu. Nyata di bawahnya itu ada tulisan yang berupa syair. "Syairnya indah juga," katanya. "Apakah artinya itu?" tanya Kwee Ceng. Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; "Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan...." "Benar begitu," sahut Oey Yong. "Maka itu ayahku paling jemu semua orang semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin ia cari penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong...." Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin yang berkata: "Jiwi tahu apa maka kamu bicara semabarangan di sini?" Kwee Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan dandanan sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empatpuluh tahun, yang masih saja tertawa dingin. Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata: "Aku yang rendah tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya." "Kau tahu inilah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari tahun Sunhie," kata orang itu. "Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke mari untuk minum arak, dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi, lalu di itu hari juga ia memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena karyanya itu. Itulah untuk bagus dari seorang sastrawan. Maka kenapa jiwi bicara sembarangan saja?" "Jadi kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?" tanya Oey Yong. "Bukan itu saja!" kata orang itu, tetap tertawa dingin. "Coba lihat itu bagian kata-kata 'Besok datang kembali dengan sisa mabuk': Bukankah pada itu ada dua tanda hurufnya yang diubah?" Oey Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan itu. "Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak,' tetapi kaisar cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia mengubahnya yaitu huruf 'bawa' ditukar dengan huruf 'mendukung' dan huruf ' arak' ditukar dengan huruf 'mabok'. Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak'. Kalau kaisar tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?" Habis berkata orang itu menggeleng kepala dan menghela napas. "Ha, satu kaisar begitu gila arak!" seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak terbalik kekosol itu, hingga rusak. Sejak masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal kekejaman bangsa Kim, ia menyangka itu hanya disebabkan kelemahannya kerajaan Song, maka ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti bergiat memajukan negera, untuk Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menuntut balas, siapa tahu, raja gila pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia hajar sekosol ini, terus ia jambak si sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia roboh masuk ke jambangan arak. Kepala di bawah, kaki di atas! "Bagus!" Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu, lalu dengan sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan. Pemilik rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi apa, lari keluar dengan ketakutan. Kwee Ceng lantas mengamuk seperti Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga tiang itu patah dan rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa, sambil berpegangan tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang berani menyusul mereka. "Puas juga sekarang!" kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula. "Ya, apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!" Oey Yong membenarkan. "Bagus begitu!" Jalan lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di batu, di pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas. "Kalau begini, tak bisa kita menghajar semua," ia bilang. "Kau cerdik, Yong-jie, kau ada punya daya apa?" "Aku lihat ada syairnya yang baik," sahut si nona. "Ah, peduli apa!" Selagi bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada paseban Cui Bie Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng melihat itu, sebab Han See Tong ialah panglima tersohor yang menentang bangsa Kim. Ia bertindak masuk ke dalam paseban itu. Di dalam itu ada sebuah syair tulisan Han See Tiong. "Bagus syair ini!" Kwee Ceng memuji. "Sebenarnya itulah syairnya Bu Bok Ong Gak Hui," kata Oey Yong. "Eh, mengapa kau ketahui itu?" "Ayah pernah menuturkan itu padaku. Tempo tahun Ciauw-hin ke 11 di musim dingin, Gak Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di lain tahunnya di musim semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai tanda peringatan dan ia menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus diukir." Kwee Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam mengawasi syairnya, yang pun ia usap-usap. Sedang begitu, mendadak Oey Yong mendak seraya menarik ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti, masuk ke dalam gombolan pohon bunga. Di situ pundaknya di tekan, hingga ia berjongkok seperti si nona. Hampir di itu waktu, mereka mendengar tindakan kaki memasuki paseban itu. "Han See Tiong itu memang seorang enghiong," berkata seorang. "Tetapi istrinya pun gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah turut maju di medan perang dan telah memukul tambur untuk mengajurkan suaminya memperoleh kemenangan?" Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat ia suara siapa itu. "Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka kalah dengan kaisar," kata seorang lain. "Bukankah kaisar menghendaki kematiannya dan semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang" Mereka gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang tak dapat ditentang!" Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia menduga-duga, mengapa pemuda ini berada di tempat ini. Justru itu terdengar satu suara lain, yang seperti cecer pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget. Itulah suaranya See Tok Auwyang Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang Hong: "Benar! Asal kaisar gelap pikiran yang bertahta dan segala dorna memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli satu enghiong terbesar, ia tak ada gunanya!" "Maka kalau raja bijaksana," berkata orang yang pertama, "Pastilah orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan kegagahan dan kepandaiannya!" Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh, putra keenam dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam tempo pebdek, ia tak segera mendapat ingat. Mereka berdiam tidak lama di dalam paseban, habis bicara dan tertawa, mereka berlalu pula. "Coba duga," kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh, "Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini" Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka itu?" "Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah," menyahut si nona. "Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?" "Aku juga tidak mengerti," kata Kwee Ceng. Oey Yong lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di istana Chao Wang baru-baru ini. Ia menambahkan: "Wanyen Lieh telah mengumpulkan Pheng Lian Houw dan kambrat-kambratnya, maksudnya untuk mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka mau aku menduga surat wasiat itu mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh celaka rakyat Song kita apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh di tangan mereka itu!" Tergetar hatinya Kwee Ceng. Memang itulah hebat. "Yong-jie," katanya. "Kita mesti mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!" "Hanya sulitnya mereka itu ada bersama si Bisa dari Barat itu..." "Apakah kau jeri?" "Apakah kau sendiri tidak takut?" "Memang aku takut terhadap See Tok, tetapi urusan ada begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja." Oey Yong tertawa. "Kau tidak takut, aku juga tidak takut!" katanya. "Bagus! Sekarang mari kita susul mereka!" Mereka berlalu dari paseban itu, tetapi mereka tak dapat menyandak Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka ubak-ubakan di dalam kota. Hangciu kota besar, dalam tempo yang singkat, kota itu tak dapat diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang sore mendatangi, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu. Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendah membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langitdan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu. "Entah rumah makan apa itu?" kata Oey Yong. Ia mendapat cium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko topeng itu. "Rupanya jiwi bukan orang sini maka jiwi tidak ketahui," berkata pelayan toko tertawa. "Itulah restoran Sam Goan Lauw, yang kesohor nomor satu di kota kita. Jangan jiwi melewatkan kesempatanmu ini!" Oey Yong ketarik hatinya, ia menyambuti topengnya, lantas ia tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Rumah makan itu dipajang indah, catnya pun bagus. Diatas lauwtengnya ada dipanjar banyak tengloleng. Di pekarangannya dalam ada pohon-pohon bunga dan lainnya. Setibanya mereka di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis, menunjuki mereka tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan itu mengundurkan diri. Dari terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan pakaiannya yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak menanyakan pelayan atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya segera mendapat dengar satu suara dari balik tembok: "Baik juga! Coba suruh mereka bernyanyi menemani kita minum arak!" Itulah suaranya Wanyen Lieh. Kwee Ceng dan Oey Yong saling merilik. Di dalam hatinya mereka kata: "Bagus!" Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini. Lalu terdengar suara memanggil dari pelayan, atas mana satu nona bunga raja menyahuti lantas datang menghampirkan. Dia bertindak elok dan tangannya memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara bernyanyi yang merdu, nyanyian yang memujikan sungai Cian-tong dan kotanya yang indah. "Bagus!" demikian terdengar pujiannya Wanyen Lieh dan Yo Kang diakhirnya lagu itu. Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar. "Anak," kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. "Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada hubungannya sama negara Kim yang besar?" "Anak tidak tahu, coba ayah menjelaskannya," terdengar jawabannya Yo Kang. Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan. Yang dibilang syairnya Liu Eng itu ialah syair "Bong Hay Tiauw" atau "Memandang gelombang" yang tadi dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu. Lantas terdengar penjelasan Wanyen Lieh. "Di dalam tahun Ceng-liong dari negara Kim yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu Eng itu yang memuji telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke Selatan, sekalian dikirim juga seorang pelukis, buat dia menggambar panorama kota Lim-an dalam mana dilukiskan juga Junjungan kita lagi berdiri bersama kudanya di puncak bukit Gouw San, kemudian Junjungan sendiri yang menulis syair di dalam gambar itu, syair yang menguraikan ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di puncak ke satu dari bukit Gouw San itu." "Sungguh bagus!" Yo Kang memuji. Kwee Ceng meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya. Lalu terdengar Wanyen Lieh menghela napas yang berkata dengan menyesal: "Sayang tak tercapai cita-cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke Selatan untuk mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu sekarang akan ditelad oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan itu terbukti dengan syair yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya, 'Kalau gagang kipas ada di tangan, maka angin sejuk akan memenuhi kolong langit'." Di waktu mengucap begitu, pastilah semangat Wanyen Lieh tengah tersengsam. Setelah itu terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata: "Kalau di lain hari ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan tercapai itu citacita berdiri di puncak gunung Gouw Wan!" "Semoga terjadi apa yang sianseng katakan," kata Wanyen Lieh perlahan. "Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum saja." Sampai di situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka itu bertiga. Mereka berbicara tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya. "Mereka minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!" Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran! Dalam sekejap berisiklah suara orang yang berteriak-teriak dari berlari-larian: "Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!" "Mari lekas ke depan!" si nona membisiki lawannya. "Nanti mereka keburu lenyap lagi!" "Malam ini mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!" kata Kwee Ceng sengit. "Tapi kita mesti temani suhu masuk dulu ke istana," kata Oey Yong. "Kemudian kita minta Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa menghadap itu sepasang manusia celaka!" "Benar!" kata Kwee Ceng setuju. Mereka lantas turut berdesakan pergi ke depan dimana justru Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong terlihat lagi keluar dari rumah makan. Mereka menguntit dari kejauhan, melintasi sejumlah jalan dan gang, sampai di penginapan Siang Hong di See-sie-tiang. Sekian lama mereka menantikan, tidak juga Wanyen Lieh keluar, maka mereka menduga tentulah tiga orang itu mondok di hotel itu. "Mari kita pulang, setelah mengajak Ciu Toako, baru kita satroni pula mereka!" kata Oey Yong. Kwee Ceng menurut. Mereka pulang ke penginapan Kim Hoa. Baru sampai di depan penginapan, mereka sudah dengar suara berisik dari Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget, ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk. Tiba di pekarangan, hatinya lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama beberapa anak-anak. Nyata dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan anak-anak itu tidak mau mengerti. Melihat Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk. Oey Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona mengeluarkan macam-macam topeng yang ia beli itu, ia perlihatkan pada si orang tua. Pek Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, hingga sebentar ia jadi hakim neraka, sebentar ia jadi hantu. Oey Yong lantas bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu ia untuk menghadapi Auwyang Hong. "Baik!" Pek Thong menjawab. "Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam ilmu silat juga!" Oey Yong khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab menghukum diri disebabkan menggunai ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia sudah ikat kedua tangannya untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia lantas berkata: "See Tok itu manusia sangat busuk, kalau kau gunai Kiu Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu tidak melanggar larangan kakak seperguruanmu!" "Ah, itu tidak dapat!" menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar matanya. "Aku toh sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunai Kim Im Cin-keng itu." Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu nanti ngambek. Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dengan sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja. Istana terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma apinya yang terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi mereka ini sudah keburu tidur pulas. Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit Kong di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggerataki almari untuk mencari barang hidangan seadanya, maka dilain saat, berempat mereka sudah menggoyang janggut. "Ah, pengemis bangkotan, barang makanan di sini mana lebih lezat daripada masakannya Nona Oey," kata Pek Tong menggeleng kepala. "Jauh-jauh kau datang kemari, habisnya tak menggembirakan...." "Sebenarnya aku ingin dahar Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah pergi kemana," sahut Ang Cit Kong. "Yang ada di sini ialah barang makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok kita bekuk itu koki dan suruh ia memasaki." "Aku tidak percaya dia dapat menangkan masakan Nona Oey!" kata pula Pek Thong. Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng. "Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu," kata Cit Kong. "Kalau kau tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku." Pek Thong membekal topengnya, ia pakai topeng malaikat kota. "Tidak, aku akan ebrdiam di sini menemani kau!" katanya tertawa. "Besok aku akan pakai topeng ini untuk menemui raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu awasi See Tok jangan sampai ia berhasil mencuri surat wasiatnya Gak Bu Bok." "Loo Boan Tong benar, maka pergilah kamu lekas," kata Ang Cit Kong. "Asal kamu waspada." Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati pesan itu. "Malam itu jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihar aku!" Pek Thong memesan pula. "Meskipun kita tidak menang, kita mesti tempur dia," Oey Yong bilang. Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu, maksudnya pergi ke penginapan Siang Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga. Dua pendopo istana telah dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta kupingnya mendengar suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga. Oey Yong memang paling menggemari bunga, mendapat cium bau semerbak itu, ia lantas berpikir di istana ini, di dekatnya, bunga-bunga di istana mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia melihatnya. Karena ini ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat ajak si anak muda pergi mencari pohon bunga itu. Tidak gampang untuk muda-mudi ini sampai di tempat tujuannya, mereka hanya merasai hawa semakin dingin dan suara air makin keras dan berisik. Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong panjang dan menikung, lalu sampai di satu tempat di mana ada ditaman rapi banyak pohon cemara dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Oey Yong bergembira. Ia dapatkan jalanan di dalam istana ini kalah dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu, tetapi pepohonannya tidak usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di hadapannya ia melihat air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak, jatuhnya ke sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah paseban indah dengan merknya Cui Han Tong. Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong bertindak masuk ke dalam paseban itu di mana di bagian depannya terlihat banyak macam bunga musim panas, seperti melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan di sebelah belakangnya ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya pesaben itu. Di atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti obi teratai, semangka, tho dan lainnya. Di atas kursi ada beberapa buah kipas. Mungkin tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur. "Sungguh raja berbahagia!" Kwee Ceng mengeluh. "Nah, kau pun mencobai menjadi raja barang satu kali!" kata Oey Yong tertawa seraya ia tarik tangan si anak muda itu, untuk orang bercokol di atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa rupa buah, ia menyuguhinya sambil berlutut dan berkata: "Silahkan Sri baginda bahar bebuahan!" Kwee Ceng tertawa, sambil tangannya mengambil buah piepee, ia berkata: "Silahkan bangun!" "Salah!" berkata Oey Yong. "Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!" Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona. Selagi mereka gembira itu, hingga mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan: "Siapa di sana"!" Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat, untuk terus sembunyi di belakang gunung-gunungan. Teguran itu disusul sama tindakan cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan mana lega hatinya si pemuda dan pemudi itu. "Jangan pedulikan mereka!" Oey Yong berbisik. "Dua kantong nasi itu tidak bakal menemui kita!" Itu waktu lantas terlihat dua orang, yang tubuhnya besar, tiba di paseban, tangan mereka masing-masing mencekal sebatang golok. Mereka itu lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa. "Ah. Lao Su, kau melihat setan!" katanya. "Ya, dalam beberapa hari ini mataku seperti lamur!" sahut kawannya yang dipanggil Lao Su itu, artinya Su si tua. Kemudian dua orang itu mengundurkan diri. Oey Yong tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng niatnya untuk diajak keluar, tetapi belum lagi mereka muncul dari tempat persembunyiannya mereka itu, kuping mereka mendapat dengar seruan tertahan dari dua centeng istana itu, benar suara itu perlahan akan tetapi si noa dan si pemuda mengerti, itulah suara dari orang yang kena ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir: "Tentu Ciu Toako tak sabaran, dia pun lantas keluar pesiar!" "Itu paseban di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!" tiba-tiba Oey Yong dan Kwee Ceng mendnegar suara orang, perlahan. "Mari kita pergi ke sana." Muda-mudi ini terperanjat. Mereka mengenali suaranya Wanyen Lieh. keduanya saling menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan diri mereka. Tubuh mereka tidak berkutik, tetpai mata mereka dipasang, diincarkan ke depan. Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian, Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong. "Heran, mau apa mereka datang ke istana..." pikir muda mudi ini. "Tak mungkin mereka pun hendak mencuri barangan makanan raja..." "Siauw-ong telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok," terdengar suaranya Wanyen Lieh, "Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua kaisar Kho Cong dan Hauw Cong, mak aitu berani siauw-ong memastikan surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya disimpan di sini, lima belas tindak di Timur Cui Han Tong ini." Sembari berkata pangeran Kim itu menunjuk dengan tangannya, maka semua kawannya memandang ke arah tempat yang di tunjuk itu. Di sana adalah air tumpah, tidak Pedang Langit Dan Golok Naga 35 Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana Pena Wasiat 28

Cari Blog Ini