Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 12

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 12 air mata melihat pertemuan yang mengharukan diantara ibu dan anak itu. Lo In dilain pihak duduk membisu 1001 bahasa. Meskipun demikian, pikirannya melayang-layang. Dalam hatinya berkata, "Apa Liok sinshe itu Kwee Cu Git adanya " Kim Wan Tahuto kata, Kwee Cu Git adalah ayahku. Tapi kenapa Liok sinshe diam-diam saja tidak mengaku aku sebagai anaknya " Dimana Liok sinshe dan Kwee Cu Git sekarang " Lalu, dimana ibuku " Apakah dia sudah mati " Eng Lian sudah menemukan kembali ibunya- oh, bagaimana girang kalau aku juga dapat menemukan ibu yang melahirkan aku ke dunia ini............ Diam-diam Lo In juga jadi berkaca-kaca matanya, sedih rupanya ia ingat akan nasibnya yang belum ketentuan ayah ibunya. Ketika ia sedang menyusut air mata dengan tangan bajunya, Lo In mendengar Eng Lian berkata, "Adik In, kau harus memberi hormat pada ibu. Eh, kenapa kau menangis ?" Eng Lian cepat melepaskan pelukan ibunya dan menghampiri Lo In. "Adik In, kau kenapa ?" Eng Lian ulangi pertanyaannya seraya mengusap-usap bahu Lo In. "Aku menangis karena terkenang akan ibuku pula melihat kau menemui ibumu. Entah dimana ibuku sekarang." sahut Lo In, kembali si bocah berlinang-linang air mata. "Kenapa kau sampai begini sedih ?" kata Eng Lian menghibur, "sekarang aku ketemu ibu, lain kali giliranmu ketemu ibumu. Kan sama juga ?" Meskipun hiburan Eng Lian ada ceplos-ceplos sekenanya, tapi dianggap oleh Lo In benar juga perkataannya sang enci. Ia ketawa nyengir pada Eng Lian lalu bangun dari duduknya menghampiri nyonya Teng untuk memberi hormat. Nyonya Teng senang nampak si bocah mendengar kata-kata anaknya, tapi diam-diam ia merasa gegetun akan wataknya Lo In yang barusan demikian sedihnya, sebentaran saja sudah berubah gembira seperti tak ada kejadian apa-apa. Juga kelakuan Eng Lian membuat ia bingung. Barusan si gadis menangis sedih, berpelukan dengannya, sekarang menuntun tangan Lo In untuk diajak duduk lagi berdampingan sambil ketawa-ketawa, tidak nampak bayangan kesedihannya barusan. Nyonya Teng jadi saling pandang dengan suaminya. "Anak sian, seharusnya kau mengucapkan terima kasih kepada Teng siokhu yang telah melindungi dan merawat ibu serta adikmu dengan tak kurang suatu apa-" berkata nyonya Teng sambil tersenyum. Eng Lian melirik pada Teng Hauw yang duduk tersenyum. "Ibu, nama Eng Lian sudah melekat padaku. Maka sebaiknya ibu panggil Eng Sian saja dari pada Leng sian yang asing untukku." jawab sang anak seraya bangun dari duduknya menghampiri Teng Hauw. Nyonya Teng ketawa anaknya menolak mengganti namanya dengan yang lama. sementara itu Eng Lian sudah menjura pada Teng Hauw seraya berkata, "Paman Teng, aku Eng Lian mengucapkan banyak terima kasih, paman sudah ajak ibu dan adik tinggal sama-sama dan semoga adik siong punya adik lagi..........." "Hust " nyonya Teng memotong sang anak yang melantur bicaranya, sambil ketawa nyonya Teng melanjutkan, "Ibumu sudah jadi nenek-nenek, apa-apaan omong melantur begitu ?" Eng Lian melengak heran dikatakan bicaranya jadi melantur, Ia panas dan lalu menanya, "Ibu, apa salah omonganku barusan " Bukan lebih baik kalau ada adik lagi untuk temani adik siong ?" Teng Hauw ngakak ketawa mendengar perkataan Eng Lian yang polos. sebaliknya nyonya Teng deliki matanya pada sang suami dengan paras semu-semu merahTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Tapi nyonya Teng dapat menyelami watak sang anak yang Jenaka berandalan ini, ia berkata, "Anak Lian, sudah ada kau sekarang, buat apa adik lagi buat menemani Leng siong ?" "Mana bisa aku tinggal disini, aku mau pulang....." sahut Eng Lian. "Pulang kemana ?" tanya sang ibu, memotong bicaranya Eng Lian. "Pulang ke lembah Tong-hong-gay dengan adik In untuk sama-sama lagi naik Tiauw-heng dan main-main dengan Jiehek dan siao-hek- Hihihi........." Eng Lian ketawa ngikik seraya melirik manis ke arah Lo In yang tengah ketawa nyengir mendengar enci Liannya berkata mau pergi ke lembah Tonghonggay. "Siapa itu Tiauw-heng Jie-hek dan siao-hek ?" tanya nyonya Teng, yang menjadi keheranan anaknya yang baru ditemui kembali itu tidak mau tinggal sama-sama dengannya. "Hihi, ibu tidak kenal Tiauw-heng, adik In " kata Eng Lian (Bersambung) Jilid 12 Nyonya Teng sudah mau buka mulut lagi menanya, Lo In sudah mendahului menerangkan siapa yang Eng Lian maksudkan dengan Tiauw-heng,jie-hek dan Siao-hek. Ialah si rajawali emas dan gorila-gorila yang menyeramkan apabila orang baru melihatnya. "Selainnya itu," menjelaskan Lo In dalam ceritana, "Kami juga ada punya banyak teman kawanan kera kecil besar yang selalu menyediakan makanan berupa buahbuahan untuk kami makan setiap hari. Di sana kami hidup senang dan merdeka." Nyonya Teng dan suaminya terbelalak matanya dan berdebaran hatinya mendengarkan penuturan Lo In. Dalam hatinya nyonya Teng berkata, "Pantasan anak Sian wataknya agak liar, kalau begitu campurannya dengan segala buronan-buronan hutan." Pedih hatinya mengingat akan ditinggalkan pula oleh Eng Lian. Tampak la murung. Sebentar lagi ia seperti kaget, katanya, "Anak Sian, eh, Lian, bagaimana dengan adikmu siong yang dibawa oleh Sucouwmu ?" "Sucouw " Idiiih, aku takut sama sucouw." sahutnya sambil melirik pada Lo In. si bocah tidak enak hatinya ketika semua mata pada memandang padanya. "Bibi dan paman harap legakan hati. Meskipun kepandaianku rendah, tapi untuk merebut pulang enci Leng Siong, aku sanggup lakukan. Kalau enci Lian takut, biar aku sendiri yang pergi ke Coa Kok dan........" "Tidak, tidak- Aku mesti ikut kau, adik In " memotong Eng Lian seraya tangannya repot menekap mulutnya Lo In yang tengah menghibur ibu dan ayahnya. Nyonya Teng dan suaminya merasa lucu melihat tingkah laku anaknya yang satu dari si kembar dua hingga mereka jadi ketawa geli. Meskipun sangat duka dengan lenyapnya Leng siong, hati mereka terhibur akan janji Lo In, si bocah sakti yang akan merampas pulang anaknya yang tercinta Juga mereka tidak kuatir Leng siong mendapat halangan apa-apa ditangannya Lam hay Mo Lie seperti yang mereka dengar dari Eng Lian bahwa Hantu Wanita dari Lautan Kidul itu sangat sayang pada Eng Lian. Kepada Leng siong juga pasti Lamhay Mo Lie akan menyayangnya, ditangannya malah bukan mustahil Leng siong akan mendapat kepandaian silat yang tinggi seperti Eng Lian. Dalam omong-omong lebih jauh, tiba-tiba nyonya Teng merandek dalam kata-katanya, "Tunggu " katanya seraya bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam. sebentar ia sudah keluar lagi dengan roman berseri-seri. Ia mendekati Lo In dan berkata, "Lo Hiantit, aku tidak punya apa-apa sebagai tanda kenangkenangan. Kau terimalah ini warisan dari ayahnya Eng Lian." Nyonya Teng berkata sambil angsurkan sejilid kitab mungil. Lo In bermaksud menolak, tapi melihat barang yang diangsurkan itu merupakan sejilid buku dan nyonya rumah mengatakan adalah warisan dari ayah Eng Lian, ia jadi kepingin tahu juga. Ia menyambuti seraya menghaturkan terima kasih-Terus saja ia masukkan ke dalam sakunya tanpa dilihat lagi apa judulnya buku. Dengan mendapat restunya Teng Hauw suami isteri, Lo In dan Eng Lian pada hari berikutnya memohon selamat berpisah untuk menolong Leng siong. Belum jauh mereka jalan tiba-tiba ada yang memanggil dari belakang. Lo In berpaling. Kiranya yang memanggil ada Kie Giok Tong dan tiga saudaranya., masing-masing pada membawa bungkusan. Lo In dan Eng Lian merandek untuk menantikan. "Mereka apa-apaan menahan perjalanan kita ?" nyeletuk Eng Lian kurang senang. "Husstt " kata Lo In. "orang demikian hormat, masa kita tidak ladeni ?" "Sengaja kita ngumpat-ngumpat pergi, siapa sih yang kasih tahu mereka " "sudah tentu ayahmu yang kasih tahu mereka." "Kapan aku sudah pesan jangan bikin berabe mereka. Kalau kita sudah pergi boleh saja ayah dan ibu mengabarkan pada mereka." "Tentu dengan diam-diam ayahmu mengabarkan karena tidak enak untuknya kalau tidak mengabarkan sama sekali hal kepergian kita." Eng Lian hanya mendengus mendengar penjelasan Lo In. sementara itu Kie Giok Tong dan tiga saudaranya sudah sampai. "Lo Hiantit, kau terlalu. Kalau kami tahu kau hari ini bakal meninggalkan suyangtin, tadi malam kami tentu mengadakan satu meja perjamuan untuk memberi selamat jalan kepada kalian. Kami hanya mengantarkan barang-barang yang tidak berharga ini, harap Lo Hiantit dan nona Lian suka terima baik," demikian Kie Giok Tong berkata seraya ia angsurkan barang yang dibawanya, diturut oleh yang lain-lainnya. "Terima kasih, terima kasih." kata Lo In. "Menyesal tak dapat aku terima, lantaran berabe dibawa di perjalanan." Melihat bungkusan-bungkusan diterimakan oleh suyangtin si-houw (empat macan) tidak memberabekan kalau diterima, maka Eng Lian menyela, "Adik In." katanya. "orang demikian baik kepada kita, kenapa menolak tanda kecintaannya " Mari aku yang mewakili terima " seraya menerima bungkusan-bungkusan yang disodorkan oleh Empat Macan. "Bagus, memang benar apa katanya nona Lian." kata Kie Giok Tong, setelah ia menyerahkan bungkusannya, kecil tapi agak berat. Lo In tidak bisa berkata apa-apa kalau encinya sudah bertindak. Karena kalau ia tetap menolak bakal dapat delikan tidak enak dari Eng Lian. Lalu ia punjadi menghaturkan terima kasih kepada mereka yang menaruh simpati itu. setelah omong-omong sebentar, dalam mana Kie Giok Tong mengulangi pengharapannya agar si bocah sukses dalam usaha mengambil pulang Leng siong. Mereka lalu berpisahan. "Enci Lian, kan kita jadi berabe bawa-bawa bungkusan begini banyak ?" kata Lo In dalam perjalanan selanjutnya. "Berabe apa sih?"sahutsi nona ketawa. "Mari kita cari tempat penginapan untuk memeriksa barangbarang apa saja yang mereka bekali untuk kita." Lo In tidak menyahut, hanya ia ketawa nyengir. "Tapi ini apa, bungkusan kecil-kecil juga berat2 benar." kata Eng Lian seraya angkat tinggi-tinggi bungkusan kecil yang dihadiahkan oleh Kie Giok Tong. "Coba kita lihat apa isinya." sahut Lo In seraya menyambuti bungkusan tadi yang disodorkan Eng Lian kepadanya. Ketika Lo In periksa isinya, ia menjadi kaget. "Enci Lian, mari sini" katanya pada sang kawan yang sedang repot, lagi memeriksa dan menaksir-naksir barangbarang apa yang ada dalam bungkusan lain-lainnya. Eng Lian menghampiri Lo In. Ia juga kaget melihat isi bungkusan yang dibuka Lo In. Kiranya bungkusan yang berat itu terisi lempengan uang emas dan perak. entah berapa banyak timbangannya. Meskipun hati mereka kurang enak mendapat hadiah demikian, mereka kegirangan juga sebab merupakan bekal yang sangat dibutuhkan dalam perjalanan mereka yang berkantong kosong. Apalagi Lo In tidak punya uang sama sekali sebab dalam perjalanan dengan Bwee Hiang, selalu si nona yang mengeluarkan biaya untuk makan, sewa penginapan dan lain-lainnya. Beberapa orang yang berlalu lalang tidak dihiraukan oleh mereka, karena perhatian mereka dipusatkan pada isinya bungkusan kecil yang berat itu. setelah beberapa bungkusan lainnya dibagi dalam buntelan masing-masing, mereka lalu meneruskan perjalanan. Bungkusan uang disimpan pada Lo In. Bobotnya ada berat juga. Tidak enak kalau bungkusan itu harus dibawa oleh Eng Lian sebagai perempuan. Mereka berjalan dengan gembira. Keakraban mereka pada 3 tahun yang lalu tidak menjadi hilang disebabkan usia mereka yang bertambah- Kegembiraan mereka meluap ketika melalul jalanan-jalanan pegunungan yang pemandangannya mirip seperti di lembah Tong-hong-gay. "Adik In, selama kau berpisahan denganku, apa kau tidak merindukan pulang ke lembah kita di Tong-hong-gay ?" tibatiba Eng Lian menanya, ketika mereka meneduh dibawahnya sebuah pohon yang daunnya rindang. "Aku merindukan." sahut Lo In. "Cuma saja, ah, sudahlah........" "Nah, tuh- Belum apa-apanya lagaknya sudah angot lagi." Lo In heran dikatakan angot. Ia menanya. " Angot apanya, enci Lian ?" "Angot, kalau ngomong suka dipotong-potong. Kau kata 'sudahlah', apa maksudmu ?" Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "oo, tentang itu. Aku maksudkan, kalau tidak dengan enci Lian bersama-sama mana aku bisa betah tinggal di lembah kita " Eng Lian tekap mulutnya yang mungil dan ketawa ngikik"Jadi, kalau tidak encimu, kau takut tinggal sendirian ?" katanya. "Bukannya takut, cuma saja..........." "Cuma saja apa ?" memotong si nona ingin tahu. "Kalau aku sendirian jadi kesepian, pikiranku jadi linglung dan bisa-bisa jadi gila " "gilanya kenapa ?" "Gila karena memikirkan enci Lianku yang bawel........" Tiba-tiba saja dua jari Eng Lian, telunjuk dan jempol mencubit lengan Lo In. "Anak nakal, masih belum kapok " Ah, tidak, jangan......." si nona ngawur kata-katanya sambil cepat menarik pulang tangannya yang mencubit. Kiranya Eng Lian mendadak kaget, setelah jari jarinya mencubit. Cepat ia tarik tangannya takut Lo In menyalurkan "siauw-thian-sin-kang" atau "Tenaga sakti membakar langit" yang panasnya seperti besi dibakar. Lo In mengerti maksud Eng Lian menarik pulang cubitannya. Maka ia tertawa terbahak-bahak, sebaliknya Eng Lian tampak merengut. si bocah melihat encinya jengkel lantas mencari akal. Ia kata, "Enci Lian, mari kita lihat buku warisan ayahmu, pengasih bibi Teng." sambil berkata Lo In merogo sakunya dan kasih keluar buku pemberian nyonya Teng. "Buku apa sih ?" tanya Eng Lian sambil duduk mendekati si bocah- Hilang marahnya seketika dan tersenyum-senyum manis lagi seperti biasa. Diam-diam Lo In geli hatinya melihat sang enci yang aneh adatnya tapi ia lucu bahwa dirinya juga ada aneh bin ajaib wataknya. Muda mudi itu duduk berdempetan memeriksa judul buku. Kiranya kita itu isinya adalah pelajaran caranya menggunakan 7- pisau terbang yang dinamai "Hui-to Pit-kip"Lo In balik-balik lembaran buku dan membaca isinya. Dalam tempo singkat saja si bocah sudah dapat menangkan inti sari dari "Hui-to Pit-kip" yang mencakup pelajaran melatih Iwekang (tenaga dalam), sebab pisau terbang itu kurang faedahnya kalau tidak disertakan dengan kekuatan tenaga dalam. Jago cilik kita sudah sempurna Iwekangnya dan tinggi, kepandaian silatnya- Tidak memerlukan segala senjata rahasia, apalagi senjata pisau terbang segalaKepandaian Liok sinshe yang luar biasa sudah diwariskan semua kepada si bocah-Belakangan ternyata tidak terbatas pada kepandaian Liok sinshe saja sebab diam-diam Lo In sudah menggodok lebih sempurna dan menciptakan tipu-tipu serangan yang lebih mudah dan lebih lihai dari apa yang ia dapat pelajari dari ajaran Liok sinshe. Tampak ia kerutkan keningnya, setelah membaca isinya buku. "Mari kasih aku yang meyakinkan." kata Eng Lian seraya merebut buku yang tengah dipegangi Lo In. " Kau sudah tidak memerlukan pula yang beginian, tapi aku sebaliknya. Aku harus mempelajarinya karena ini adalah warisan dari ayahku." Lo In ketawa serta angguk-anggukan kepalanya. "Tapi enci Lan." kata Lo In. "Bukankah kau juga tidak memerlukan senjata rahasia pisau terbang " senjata rahasiamu Bu-im-in-coa1 sudah lebih dari cukup kau gunakan." "Itu kan punyanya Kim Coa siancu. Aku sudah tidak menjadi Siancu lagi, mana dapat aku menggunakannya. Bisabisa aku mendapat hukuman sucouw." "Dan itu, Kim-coa, bagaimana ?" "Ah, tidak sembarangan aku menggunakan ular emasku." "Kenapa tempo hari kau sembarangan gunakan menyerang adikmu ?" "Adik In, kau gila " Masa encimu begitu kejam kalau tahu kau adalah adikku ?" "ya, tapi boleh dikata kau sudah berlaku sembarangan." " Kapan " Waktu itu aku masih menjadi siancu." Lo In termenung, pikirnya, benar juga perkataan sang enci. Ia berkata, "Baiklah, kau pelajari senjata rahasia pisau terbang itu. Apa yang kau kurang terang boleh tanyakan aku. Nanti adikmu akan memberi penjelasan." senang hatinya Eng Lian. "Adik In, kenapa kau demikian memperhatikan aku ?" "sebab kau sangat baik sekali padaku, enci Lian." "Bagaimana dengan enci Bwee Hiangmu?" Kaget Lo In mendengar disebut namanya Bwee Hiang seperti saat itu barusan saja ia ingat, sedang Bwee Hiang sudah lama menghilang dan perlu dicari"Enci Lian dan enci Hiang sama baiknya padaku." sahut Lo In kemudian. "sama artinya tidak ada perbedaan sedikit juga ?" tanya Eng Lian ketawa- Lo In juga ketawa nyengir jawabnya, "Tentu saja ada- Perasaanku lebih dekat dengan enci Lian dan juga enci Lian ada lebih..........ah, sudahlah-" "Nah, tuh, mulai angot lagi dengan watakmu- Lebih apa sih ?" "Enci Lian lebih cantik dari enci Hiang......." Lo In menyatakan polos. Meskipun begitu, si bocah sudah siap sedia untuk menyambut tangannya Eng Lian yang diduga bakal menyambar lengan atau pipinya untuk dicubit. Tapi Lo In kecele, Eng Lian tidak melakukan penyerangan, sebaliknya ia ketawa ngikik dan kasih lirikan manis mempesonakan ke arah si bocah, siapa, meskipun belum tahu apa-apa sedikit banyak terkesiap juga nampak tingkah laku sang enci. Ia pun lantas ketawa dan keduanya jadi pada ketawa gembira. "Adik In, encimu akan bantu kau mencari enci Hiang mu." kata Eng Lian wajar. Lo In jadi kegirangan mendengar perkataan Eng Lian. Mendengar perkataan Lo In bahwa si bocah lebih dekat padanya dan ia lebih cantik dari Bwee Hiang, hati Eng Lian merasa senang dan tidak khawatir si bocah berwajah hitam akan dimiliki Bwee Hiang. Ia sendiri heran kenapa hatinya tidak menginginkan Lo In dimiliki orang lain. entah kenapa, ia juga tidak tahu. Demikian, dua muda mudi itu dibawah pohon sambil mengadem telah meyakinkan "Hui-to Pit-kip?" Ada beberapa bagian yang kurang jelas, Eng Lian lantas menanyakan pada si bocah yang dengan gembira telah memberi penjelasan. setelah lama juga mereka belajar, Lo In kelihatan bangkit dari duduknya dan ngeloyor mendekati pohon yang tidak jauh dari mereka, Ia memotong dua cabang pohon itu dengan pedangnya (pedang Liok sinshe)- Ia heran nampak tajamnya pedang seperti baru nempel cabang pohon tertabas kutung, Ia coba ke dahannya, eh, putus juga dengan mudahnya. Lalu bongkot pohon ia tabas perlahan,juga terpapas dengan mudahnya. "Enci Lian, coba kau kemari " serunya kepada si nona yang sedang asyik membaca "Hui-to Pit-kip""Ada apa sih adik In ?" sahutnya seraya bangkit dari dudukna, akan tetapi matanya masih terus membaca buku yang dipegangnya. Ketika Eng Lian sudah datang dekat, Lo In berkata, "Enci Lian, coba lihat " sambil berbareng ia menabas perlahan pada bongkot pohon yang sebesar mang kok. pohon mana segera tumbang seketika. Eng Lian terbelalak matanya"Adik In, kenapa tajam amat pedangmu ?" tanyanya, seraya mendekati Lon dan minta lihat pedang luar biasa itu. Lo In sudah lantas menyerahkan. Eng Lian meneliti muka dan belakang pedang, tidak ada yang istimewa. Pikirnya pedang begini jelek, kenapa begitu tajam. " E h, adik In, ini apa ?" seru si gadis ketika ia meneliti sampai pada gagangnya. "Kwee Cu Gle Toan-kiam, bukan ?" sahut Lo In yang sudah menduga lebih dahulu. "Betul, betul. Apa kau sudah tahu ?" tanya si nona"Tadinya aku tak tahu, tapi toako (dimaksudkan Kim Wan Thauto) yang kasih tahu padaku. Tapi aku heran, kenapa dia berada di tangan Liok sinshe." "Mungkin Liok sinshe adalah Kwee Cu Gie- siapa sih Kwee Cu Gie ?" " orang bilang Kwee Cu Gie adalah ayahku, tapi entahlah " "Bagus, bagus. Kalau begitu kau masih punya ayah. Mari kita cari sekalian." Lo In diam. termenung. tiba-tiba melayang pada waktu ia berkumpul dengan Liok sinshe, orang baik yang memperhatikan dirinya. Liok sinshe itu apakah ayahnya yang bernama Kwee Cu Gie " Tapi, kenapa dia tidak mengaku anak pada dirinya " Ia ingat ketika Liok sinshe mau menuturkan suatu kisah, tiba-tiba lilin ditiup padam oleh Liok sinshe, kemudian mereka diberondong senjata piauw beracun. Pertempuran hebat dibawahnya hujan lebat, dimana Liok sinshe dikeroyok banyak orang, berbayang saat itu di depan matanya. "Hei, kau lagi ngelamun apa ?" Eng Lian menegur, seraya menowel lengan orang. Lo In seperti baru sadar, cepat pungut dua cabang pohon yang ia barusan tebang. Kemudian bersama Eng Lian menghampiri ke bawah pohon pula. "Adik In, ini adalah pedang mustika, kasih aku pakai saja, boleh ?" Eng Lian tanya. "Tentu saja boleh- Malah maksudku untuk menghadiahkan itu pada enci." "Hihi, pedang orang mau dihadiahkan pada encimu." si gadis ketawa. "Pedang orang, bukan orang lain. Boleh kan barang punya ayah sendiri dikasih enci untuk tanda mata. Hahaha........." Lo In berkata sejujurnya, tidak bermaksud apa-apa dalam perkataannya, sebaliknya Eng Lian yang sudah "matang", kata-kata Lo In dianggap serius, maka parasnya lantas saja berubah semu merah dan menundukkan kepala. Si nakal tidak tahu apa yang sedang dipikirkan sang enci, ia berkata, "Enci Lian, mari aku pinjam dahulu pedangnya untuk membikin pisau-pisauan guna kau latihan." si nona angsurkan pedangnya yang diminta si nakal tanpa kata apa-apa. Ia kemudian duduk pula seraya membuka-buka lembaran kitab "Hui-to Pit-kip", seakan-akan yang betul-betul tengah meyakinkan isinya buku, padahal pikirannya melayanglayang ngelamun akan kebahagiaannya yang bakal datang. Tapi dasar gadis nakal berandalan, apa yang dipikirkan barusan, hanya sebentaran saja mengganggu otaknya sebab dilain saat ia sudah melupakan itu semua. Ia menegur Lo In, "Adik In, mana pisaunya " Lama amat membuat tujuh bilah pisau saja- Kau bikin apa lagi ?" "Enci, kau main gampang saja, kan sudah bikinnya." sahut Lo In. "Jangan bagus-bagus, asal berbentuk sedikit pisau saja sudah cukup " Baharu si gadis berkata "cukup", Lo In sudah ada di depannya, sambil kasih lihat tujuh bilah pisau buatannya, si bocah berkata, "Nih, lihat buatan adikmu, bagus tidak ?" Eng Lian menyambuti, "Kenapa bagus amat ?" katanya, setelah memeriksa. "Ini kepanjangan." sahut Lo In. "Pisau yang aslinya nanti kita suruh orang bikin, palingpaling juga panjangnya empat cun (dim)-Eng Lian kegirangan melihat adik In-nya bisa kerja cepat. si nona sudah memiliki Iwekang, tidak perlu lagi ia menghapal dari kitab "Hui-to Pit-kip", cukup ia meyakinkan cara menyambitkan pisau. otaknya terang, maka dalam tempo pendek ia sudah dapat mengingat petunjuk-petunjuk di dalam kita. Maka ia lantas ajak Lo In untuk melatih diri si bocah yang sangat cerdik, dapat memimpin Eng Lian berlatih dengan pisau terbangnyasedang mereka kelelap dalam kegembiraan melatih Hui-to, tiba-tiba mereka berhenti berlatih ketika nampak ada kira-kira sepuluh orang datang menghampiri dengan masing-masing ada membawa senjata tajam ditangannya-Lo In heran melihat kedatangan mereka, begitu banyak dengan membawa senjata -"Mereka mau apa-apaan datang kemari ?" tanya Eng Lian pada Lo In. Lo In geleng kepala dan menunggu mereka datang dekat. seorang dengan muka berewokan bengis berkata pada Lo In, "Anak kecil, barusan kau ada bawa-bawa buntelan kecil berisi mas dan perak- Mana dia ?" "Dari mana kau tahu ?" tanya Lo In heran. "Barusan orangku melihat kau ada membuka bungkusan kecil" "Habis, kau mau apa kalau aku betul membawanya ?" "Aku minta kau serahkan bungkusan itu kepaaku Hek-in Touw Liong (si Mega Hitam). Kalau kau tidak menurut, kau lihat ini apa ?" sambil acungkan goloknya. "Hihihi " tiba-tiba saja Eng Lian ketawa terpingkal-pingkal. "Apa yang kau tertawakan, budak kecil ?" tanya Hek-in Touw Liong heran. "Barang itu memangnya kau punya, makanya minta diserahkan?" sahut Eng Lian. "Bukan aku punya, tapi justru aku mau dapati itu dari kalian." "Enak saja kau ngomong. Bisa tidak dapatinya ?" "Kenapa tidak bisa " Kalau secara halus kalian tidak mau menyerahkan, melakukannya dengan kekerasan. Kalian anakanak, bau pupuk di kepala aja masih belum hilang. Mau Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melawan dengan apa ?" "Matamu buta, tidak mengenali nonamu siapa ?" bentak Eng Lian. "Aku tahu sebab kaujuga akan kami ringkus untuk dipersembahkan kepada pemimpin kami." "siapa pemimpin kamu namanya dan dimana tinggalnya ?" "Tidak perlu banyak tanya, lekas serahkan barang yang diminta " "Kalau aku tidak mau kasih ?" ngeledek Eng Lian, gembira ia kelihatannya kalau sudah menghadapi pertempuran. Lo In tinggal berdiri saja menonton encinya bertengkar. "Maju semua " berseru si berewokan kepada temantemannya. Mereka itu ada orang-orang jahat yang mengacau keamanan sekitar tempat itu. Tadi ketika Eng Lian dan Lo In memeriksa bungkusan pemberian Kie Giok TOng, rupanya ada salah satu orangnya yang melihat dan mengabarkan pada kepalanya- Maka juga Lo In dan Eng Lian yang sedang enakenakan melatih Hui-to telah disatroni. Apa mau mereka kebentur tembok, bukannya kebentur pagar bambu yang amoh. Lo In sama sekali tidak bergerak melihat sepuluh orang datang menyerbu. Ia menonton enci Liannya dikepung. Kaget dan dan heran juga ia melihat sang enci gunakan pisau kayunya yang barusan dilatih, satu demi satu kena disambit roboh oleh pisau kayunya. Malah serangannya jitu benar sebab yang dituju persis jalan darah pada tubuh orang sehingga mereka pada roboh tanpa dapat bangun lagi. Hek-in touw Liong merasa cukup tujuh orangnya untuk menangkap Eng Lian, maka ia dengan dua kawannya menghampiri Lo In. Maksudnya hendak menangkapnya. Dengan beringas mereka menyerang, tapi dengan meringis mereka mundur kesakitan. Mukanya seperti dihantam segumpal pasir dengan hanya dikebas tangan bajunya Lo In. Dengan ketakutan mereka memutar tubuh hendak lari, tapi dengan satu kebasan lengan baju si bocah sakti membuat mereka roboh berbareng. Kakinya lemas, tak dapat diperintah untuk lari. Kepaksa mereka mendeprok dengan ketakutan. semuanya telah dibikin rebah tak berdaya. Tujuh orang oleh Eng Lian dengan totokan pisau kayunya, tiga orang dengan totokan angin lengan bajunya Lo In. si nona dan si bocah ketawa terkekekh nampak semua itu. Kemudian mereka melanjutkan latihannya tanpa menghiraukan pada orang-orang yang rebah tertotok itu. Ketika mereka sudah merasa cukup berlatih, Lo In berkata pada Eng Lian, "Hui-to Pit-kip rupanya berjodoh dengan enci Lian. Maka juga dengan sedikit waktu saja kau telah dapat yakinkan hampir mahir betul. Baik kita membuat Hui-to yang bagus pada satu pandai besi yang ahli- Kita nanti pilih salah satu yang baik bikinannya, kepada siapa kita boleh suruh bikini" "Dimana kita dapat cari pandai besi yang baik, adik In ?" tanya si nona. "Kita toh dalam perjalanan, sepanjang jalan kita boleh tanya-tanya pada penduduk-siapa tahu kita kebetulan menemui pandai besi yang ahli, bukan ?" Eng Lian kegirangan mendengar perkataan Lo In. "Mari kita jalan." kata lagi si bocah seraya memungut pedang yang menggeletak ditanah kemudian menyerahkan pada Eng Lian sambil katanya, "Kau lebih memerlukan. Maka peganglah pedang ayahku ini sebagai tanda mata." Lo In berkata sambil ketawa nyengir seorang bocah- "Terima kasih-" kata Eng Lian seraya menyambuti lalu gantung pedang "tanda mata" itu dipinggangnya yang ceking langsing, Ia tidak ketawa kegirangan, hanya lantas mendahului Lo In, jalan seperti malu. sejenak Lo In merasa aneh dengan kelakuan sang enci diluar kebiasaannya. Hanya sejenak perasaan aneh itu timbul, lantas ia sudah menyusul dan berseru, "Enci Lian, jangan cepat-cepat jalan. Memangnya mau menyusul siapa ?" Lucu lagaknya si bocah. Ia tidak tahu akan perasaan si gadis cilik yang hatinya mulai dikacaukan oleh panah dewi asmara. Eng Lian juga hanya sepintas lalu timbul perasaan kikuknya karena segera ia kembali kepada sikapnya yang riang gembira- "Adik In." katanya sambil menantikan adik In-nya yang menyusul di belakang. "Kau jalan lambat amat sih- Mana ada waktu encimu menungguimu- Aku sebal melihat itu sepuluh manusia tidak tahu diri" Lo In ketawa nyengir setelah berada di samping Eng Lian. "Anak penakut " kata Eng Lian berguyon seraya mencubit perlahan pipi si hitam. "Baru ditinggalkan sebegitu saja sudah ketakutan. Hihi......." "Memang aku ketakutan." sahut Lo In kontan. "Ketakutan pada teman-temannya itu sepuluh orang yang tidak punya guna ?" "oo, bukan itu. Manusia begituan, biar didatangkan segerobak lagi juga tidak aku tinggal lari." "Habis, kau ketakutan sama siapa ?" "Aku ketakutan kehilangan enci Lian." Lo In kata, mukanya yang hitam ketawa. "Ah, adik In........." hanya ini yang keluar dari mulut Eng Lian yang mungil lalu ia ajak Lo In untuk melanjutkan perjalanannya. Dalam sedikit waktu saja, sikapnya Eng Lian sudah wajar lagi. Ia banyak ketawa ngikik lantaran si bocah ngobroinya membikin urat-urat ketawa tergerak"Ah, ada kerjaan lagi " kata Lo In tiba-tiba"Kerjaan apa, adik In ?" Eng Lian menanya heran. "Mereka menyusul kita." sahut Lo In. "Mari kita gunakan jalan cepat saja supaya mereka tak dapat menyusul kita." "Jangan." kata Eng Lian. "Kita harus kasih hajaran dulu, baru kita tinggal mereka pergi." "Tapi, aku harap kau jangan bikin luka mereka " "Buat apa aku membikin luka orang. Aku hanya mau mainmain saja." "Baiklah, mari kita tunggu." kata Lo In seraya tarik tangannya Eng Lian buat diajak duduk dipinggiran jalanan dimana ada terdapat batu besar. Mereka duduk menunggu. Lama juga belum kelihatan mereka datang. Eng Lian ketawa ngikik dengan tiba-tiba. "Adik In, kau hanya ingin duduk berdekatan dengan encimu saja sebab apa kau katakan tidak ada orang-orangnya " kata Eng Lian. "Aku barusan bilang mereka masih jauh- Tapi sekarang sudah dekat. Bukankah itu banyak suara kaki orang mendatangi " Malah ada yang naik kuda segala kedengarannya" si bocah kata seraya diam pasang kuping. Eng Lian juga pasang telinganya. Belum sempat Eng Lian berkata kepada Lo In, segera dihadapan mereka sudah ada tiga orang penunggang kuda yang ketawa terbahak-bahak nyarinG sekali. Setelah berhenti ketawa, satu diantaranya yang mulutnya agak mengok ke kanan telah berkata, "Aku kira tadinya dua orang dengan badan tinggi besar menyeramkan dan masing-masing bertangan empat. Tidak tahunya hanya dua bocah ingusan saja. Hahaha - haup oho, oho........." kata-katanya terhenti karena selagi ketawa ada menyambar suatu benda ke mulutnya hingga ia gelagapan dan batukbatukIa rasakan seperti ada yang nyangkut ditenggorokannya. "Kau kenapa, toako ?" tanya temannya heran, si mulut mengok tidak menjawab, sebaliknya ia berkutat untuk mengeluarkan benda yang nyangkut dalam tenggorokannya. Air matanya bercucuran keluar tidak nangis, mulutnya owa owe bertahak tak hentinya. setelah lama ia disiksa oleh benda yang nyangkut dalam tenggorokannya, akhirnya dapat juga benda itu dikeluarkan. Kiranya benda itu hanya selembar rumput alang-alang yang panjangnya kira-kira tiga cun berujung tajam. sementara itu, orang-orang yang berjalan kaki mengikuti tiga penunggang kuda itu sudah ada disitu, pada berdiri siap dengan senjatanya masing-masing. Mereka pun heran nampak pemimpinnya owa owe seperti wanita ngidam (mengandung bayi) sampai bercucuran air mata dan payah benar kelihatannya, malah hampir-hampir ia jatuh dari kudanya. sambil melemparkan rumput alang-alang yang menyulitkan tenggorokannya tadi, si mulut mengok mendelik matanya ke arah Eng Lian yang saat itu tengah ketawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perutnya. "Budak liar " bentaknya. "Kau yang main gila barusan pada tuan besarmu Hm " seiring dengan kata-katanya, cambuk kudanya diangkat untuk menghajar si gadis nakal. "Pluk " terdengar suara barang jatuh yang semestinya berbunyi "Tar Tar " tandanya cambuk kuda bekerja. Tapi ini suara "Pluk "yang kedengaran. Kiranya suara pluk adalah suara pecut si mulut mengok yang jatuh sebelum dia dapat digerakkan menghajar Eng Lian, tetapi telah didahului oleh Eng Lian yang mengirim pisau terbang kayunya mengarah jalan darah dibahunya. Kembali si mulut mengok dirugikan, sebelum ini ia dirugikan oleh Lo In yang mengirim rumput alang-alang ke mulutnya sehingga bersemayam ditenggorokannya karena si bocah merasa sebal dengan lagaknya yang tengik si mulut mengok tertegun di atas kudanya. "Toako, dua bocah ini rupanya bukan sembarangan bocahMari kita bereskan saja " berkata temannya yang bermuka lonjong. " ya, jangan kita buang tempo-" menimpali temannya yang satu yang berjenggot kambing. si mulut mengok sudah lantas turun dari kudanya diikuti oleh dua temannya la la u menghampiri Eng Lian yang ada disampingnya Lo In. "Adik In." bisik si dara cilik, "Kau diam saja nonton. Biar aku yang bereskan tiga kurcaci ini. Akan kubikin satu persatu jatuh duduk dan berlutut padaku" Lo In diam saja, hanya manggut sambil ketawa nyengir. "Hei, kalian ini anak siapa ?" tiba-tiba si mulut mengok membentak nyaring. Eng Lian dan Lo In diam saja, tidak menjawab bentakan yang nyaring itu. "Kalian tidak dengar pertanyaan Lie Toaya ?" bentaknya lagi lebih nyaring. Lie Toaya artinya tuan besar Lie. Melihat dua anak itu tinggal diam saja, si mulut mengok jadi gusar. Bentaknya lagi lebih nyaring, "Aku Lie Kiang tidak pernah membunuh anak kecil. Maka itu lekas kalian panggil orang tua kalian datang terima binasa di ujung golok Toaya " Tadi Lo In dan Eng Lian mau tinggal diam saja menonton lagaknya si mulut mengok dan mau lihat apa yang ia bisa bikin- Tapi mendengar kata-kata si Lie Toaya yang mengitik urat ketawa, tiba-tiba saja Eng Lian ketawa ngikikTiga orang yang naik kuda itu tiga saudara she Lie, bukan seayah seibu- yang tua Lie Kiang (si mulut mengok), kedua Lie Sun (si muka lonjong) dan ketiga Lie Bin (sijeng got kambing). Dalam desa Tiokschung mereka dikenal dengan nama Tiokschung-sam-lie (Tiga Saudara Lie dari Tiokschung) dan menjadi jagoan yang tak terkalahkan dalam kampungnya. Maka juga mereka ada sangat sombong dan pandang sesamanya sangat rendah-Melihat Eng Lian ketawa ngikik, Lie Kian atau si mulut mengok menjadai heran. "Kau ketawakan apa ?" bentaknya bengis. "Aku ketawakan lagak tengikmu " sahut Eng Lian kontan. "Dengan anaknya masih belum tentu menang, mau menantang orang tuanya. Apa-apaan ?" "Toako" nyeletuk Lie sun. "sudah jangan banyak cakap- Timpa saja sekali dengan gagang golok, biar dia tahu rasa " "Ah, yang beginian sih, ginikan saja.......aduh " Lie Bin berjengit sambil lompat mundur dan meraba jenggot kambingnya yang telah kehilangan beberapa lembar hingga matanya mendelik ke arah Eng Lian yang nakal. Kiranya si jenggot kambing ada sedikit nakal juga terhadap cewek (wanita). Melihat si dara cilik demikian cantik dan Jenaka, mendadak timbul napsunya ingin memeluk Eng Lian. Maka ketika ia kata "ginikan saja............1 berbareng ia hendak memeluk si dara cilik- Tidak tahunya bukan Eng Lian kena dipeluk dan meronta-ronta ketakutan, sebaliknya si dara cilik lenyap dari depannya sambil mencuri beberapa lembar jenggot kambingnyasementara Lie Bin mendelik matanya, Eng Lian di depannya ketawa ngikik- sambil angkat tangannya yang menggenggam beberapa lembar jenggot Lie Bin, ia berkata, "Awas Kalau kau berani kurang ajar lagi, akan kucabut semua jenggotmu yang macam jenggot kambing itu" Lie Kiang dan Lie Bin tak dapat menahan hatinya yang mendelu. Tanpa banyak cakap, mereka menerjang Eng Lian. Mereka hendak menangkap si nona untuk dikasih berapa cambukan pantatnya sebagai hajaran. Lie sun tidak turut. Karena pikirnya ia harus mengawasi si bocah hitam. Kalau-Kalau Lo In nanti membantu kawannya, ia lantas dapat merintanginya. Pikirannya sih memang baik, hanya ia tidak tahu si bocah wajah hitam itu ada Hek-bin-sintong atau siBocah sakti muka hitam. Kalau ia tahu siapa dirinya Lo In, tentu ia sudah lari tunggang langgang dengan tidak menengok ke belakang lagiLo Inpun tidak ada maksud membantu kawannya karena ia sudah dipesan Eng Lian bahwa ia hanya disurun nonton enci Liannya berkelahi- Lie Kiang dan Lie Bin yang semula hanya bermaksud menangkap si dara cilik untuk dihajar dengan cambukmenjadi Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sengit dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang ganas, melihat Eng Lian telah mempermainkan dirinyaTapi Eng Lian tidak takut- Memang maunya dia, dua jago dari Tiok-chung itu mengeluarkan kepandaiannya yang aslisaking gemas dan sengitnya, serangan-serangannya mereka telah menimbulkan angin keras yang membikin orangorangnya yang menonton disekitarnya pada mundur jauh-jauh takut kesambar angin pukulan. Melihat dua saudaranya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap si gadis cilik, diam-diam hatinya Lie sun menjadi cemas, Ia tinggalkannya Lo In dan bantu mengepung Eng Lian. "Bagus, kalian sudah datang komplit " seru Eng Lian Jenaka. "Awas, aku nanti bikin kalian satu demi satu jatuh berlutut di depan nona kecilmu. Hihihi........" Eng Lian ngeledek Tiokchung-sam-lie sehingga tiga jago itu menjadi sangat gusar. Benar bukan omong kosong kepandaian tiga benggolan Tiokchung itu. serangan-serangan mereka dilakukan dengan teratur dan hebat sekali hingga diam-diam Lo In kuatirkan encinya salah tangan dan celaka di tangan mereka. Dengan turunnya Lie Sun jalan perkelahian tambah seru lagi. Tampak Eng Lian dikurung rapat oleh tiga saudara Lie, tiputipu serangan yang berbahaya dilancarkan dengan sengit ke arah Eng Lian. Timbullah seketika keganasan mereka untuk melenyapkan si dara cilik dari muka bumi ini. sampai dimana tingginya kepandaian Eng Lian dapat dinilai dari caranya ia melayani tiga orang lawannya yang bukan rendah kepandaiannya, sampai angin pukulan mereka menghembus dan menakutkan para begundalnya yang menonton disekitarnya. sampai begitu jauh si nona tidak balas meyerang, hanya berkelit saja. "Awas " tiba-tiba Eng Lian berseru. Berbareng bayangannya berkelebat dan jenggotnya Lie Bin kena dijambret sehingga seketika Lie Bin berhenti mengeroyok dan berdiri tertegun sambil meraba jenggotnya yagn sudah mulai gundul. Meluap amarah Lie Bin dan ia menerjang lagi Eng Lian dengan sengitnya- "Awas " kembali si nona berseru- "Plak Plak " menyusul suara tamparan dua kali- Tampak tubuhnya Lie Kian terhuyung-huyung kemudian jatuh duduk- Ia rasakan dunia berputar, kepalanya pusing tujuh keliling, dari mulutnya keluar kecap segar. Lucu kelihatannya Lie Kiang, mulutnya yang agak mengok seperti betul-betul mengok akibat kerasnya tamparan si dara nakalUntuk merobohkan Lie Kiang sampai semaput demikian, Eng Lian telah menggunakan jurus ketiga dari "Lam-haycianghoat" (Ilmu pukulan dari laut kidul) yang dinamakan "Lam-hay-liu-sui" atau "Air mengalir dari Laut Kidul"- Lihainya jurus ketiga dari "Lam-hay-ciang-hoat" itu dapat menimbulkan perasaan aneh bagi korbannya- Tamparan Eng Lian bukan sembarang tamparan sebab taparan biasa paling-paling juga membikin kecap serta ada dua sampai tiga buah giginya yang rontok atau copot. Tetapi akibat tamparan dari "Lam-hay-liusui" nya, Lie Kiang mulutnya melelehkan darah tapi giginya tidak apa-apa, kuat dan segar, Ia terkulai jatuh untuk tidak bangun lagi. Badannya terasa lemas tak bertenaga seperti kena ditotok jalan darahnya, Inilah keistimewaan dari jurus "Lam-hay-liu-sui" (Air mengalir dari Laut Kidul), ajaran sucouwnya Eng Lian ialah Lamhay Mo Lie, pada waktu si nona masih dalam tangan Ang Hoa Pay menjadi Kim Coa siancu (Dewi ular emas). Demikianlah, melihat saudara tuanya yang hanya ditampar saja sudah roboh dengan tidak bangun lagi, Lie sun dan Lie Bin menjadi cemas hatinya. Tapi mereka tidak mengurangi serangan-serangannya yang berbahaya, malah makin gencar saking gemasnya pada si dara cilik yang lincah yang tak dapat ditawan. Penonton dibikin kagum oleh gerakan si nona yang istimewa. Waktu Eng Lian dengan enteng badannya mencelat ke atas sampai lima meter tingginya, ketika mengelakkan serangan kombinasi dua lawannya yang hendak menggunting pinggangnya. Di tengah udara si dara cilik bikin gerakan yang mengagumkan, setelah terputar badannya, ia turun ke bawah dengan gerakan kaki seperti menendang saling susul hingga Lie sun dan Lie Bin ragu-ragu untuk menyergap si nona begitu Eng Lian menancapkan kakinya di tanah lagi. Tapi mereka sudah sangat gemas pada si dara cilik. Buktinya, begitu Eng Lian menyentuhkan kakinya di tanah tiga meter jaraknya dari mereka, dengan berbareng mereka lompat menyergap. Tapi si nona seperti ada dipasang per pada kakinya, lantas membal lagi dan jumpalitan ke belakang mereka. Lie sun dan Lie Bin terkejut bukan main. Lekas mereka putar tubuh untuk menghadapi si nona pula. Tapi sudah terlambat karena ia rasakan seketika bahunya kesemutan kemudian lemas tak bertenaga dan tubuhnya menyusul terkulai roboh- Dengan sekaligus dapat merobohkan dua musuh tangguh, itu bukan pekerjaan mudah-Tidak heran kalau Lo In yang berkepandaian sangat tinggi telah bersorak dengan tiba-tiba dan berkata, "Enci Lian, benar-benar kau hebat Kionghi " sambil angkat tangannya dengan lucu menyoja pada Eng Lian. si nona deliki matanya yang halus sambil tersenyum pada si wajah hitam. Eng Lian barusan telah menggunakan gerakan kombinasi "Lian-hoan-tui-kong" (Tendangan berantai di angkasa) dan "Hay-tee-tancu1 (Mencari mutiara di bawah laut), juga termasuk tipu serangan yang si nona yakinkan dari "Lam-haycianghoat1. gerakan "Tendangan berantai di angkasa1 adalah ketika Eng Lian melambung tubuhnya ke udara dan kakinya bergerak saling susul seperti menendang, Ini sebenarnya untuk menghadapi musuh yang sama-sama terapung di udara, tapi kalau Eng Lian sudah berbuat demiikian, itu hanya ia mendemonstrasikan kepandaiannya saja. Yang kedua "Mencari mutiara di bawah laut adalah gerakan yang tidak diduga-duga karena begitu kakinya menginjak tanah, si nona sudah mumbul lagi dan jungkir balik ke belakang lawan, yang dari mana otomatis kedua lengannya bekerja untuk menotok jalan darah lawan pada bagian belakang pundaknya sebelum kedua lawannya membalikkan tubuhnya. Tiga musuhnya sekarang sudah mendeprok di tanah dengan tak dapat bangun lagi. Benar-benar si nona telah buktikan perkataannya kepada adik In-nya, bahwa ia akan jatuhkan satu persatu lawannya dan berlutut padanya. Begitu lama Eng Lian bertempur, tidak menunjukkan bahwa ia lelah- Itu membuktikan bahwa tenaga dalam si nona sempurnagirang bukan main hatinya Lo In menyaksikan kelihaian enci Liannya yang tadinya ia sangsi, kuatir si nona salah tangan dan dibikin celaka musuh-musuhnya. Syukur ia tidak keburu napsu ceburkan diri datang membantu Eng Lian. Kalau sampai kejadian begitu, paling sedikit ia akan diomeli encinya kalau tidak dicubit keras pipinya lantaran tidak mendengar perkataan sang enci yang kosen. "Mari, maju semua " tantang Eng Lian ketika melihat begitu banyak begundalnya Tiokschung-sam-lie hanya pada berdiri bengong mengawasi tiga cukongnya mendeprok di tanah tak dapat bergerak- Mereka tidak bergerak di tangan si nona, malah saling lihati satu sama lain. Ketika Eng Lian menggertak seperti hendak menghampiri mereka seperti yang hendak berdamai satu dengan lain, mereka segera pada lari serabutan ketakutan. "Enci Lian, aku mau apakan ini tiga ekor kambing ?" tanya Lo In melihat mereka hanya berlimaan saja setelah begundalbegundalnya Tiokschung-sam-lie pada kabur. "Seperti yang sudah, kita tinggalkan saja." sahut Eng Lian yang tengah membereskan rambut dan pakaiannya, tampaknya ia tidak menghiraukan pada tiga pecundangnya. "Ah, jangan enci Lian " kata Lo In. "Kenapa jangan ?" tanya si dara cilik heran, sementara itu ia sudah rapih- "Mereka terkena ilmumu beratjuga. Kasihan mereka kalau dibiarkan." Lo In tidak menyebut "totokan" tapi "ilmu" untuk membikin Eng Lian senang. Cerdik juga si bocah, menerka jalan pikirannya sang kawan sebab sehabis ia berkata demikian, tampak si nona ketawa manis, senang hatinya rupanya. "Ah, adik In, kau bisa saja. Masa totokan biasa dikatakan ilmu ?" kata Eng Lian.. "Siapa bilang bukannya ilmu " Malah kalau ditambah "sakti"juga ada tepat sekali sebab kepandaiannya enci sangat hebat" Eng Lian tertawa ngikik mendengar si bocah berkokoh dengan pendiriannya. "Totokan biasa dikatakan ilmu sakti. Kau sih ada-ada saja, adik In" "orang menggampar lawannya, biar bagaimana keras paling-paling hanya si korban kesakitan dan giginya pada nyoplok. Tapi enci gamparannya ada lain coraknya, tamparan enci adalah tamparan sakti sebab lawan lantas roboh terkulai dengan tidak dapat bangun lagi. Malah dari mulutnya tidak menyemburkan gigi yang copot selain darah meleleh dibibirnya." "Hihihi - " Eng Lian ketawa ngikik, "Habis apalagi kesaktian encimu ?" "Ketika kaki enci menyentuh tanah dan mumbul lagi, berjumpalitan ke belakang lawan berbareng menotok tanpa memberi kesempatan pada lawan, apakah itu bukannya ilmu sakti " Ha h a, coba adikmu periksa, apa kaki enci dipasangi per?" Lo In berkata, serentak berbuat dan mau pegang kaki Eng Lian hingga si nona jadi gugup dan tarik wajahnya tersenyum manis. "orang mau periksa ada per tidaknya, kok dikatakan sinting " Lo In bergurau JenakaTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Mari adikmu periksa, boleh apa tidak" "Tidak- tidak......" kata si dara cilik sambil angkat naik turun kakinya, berkelit dari tangan Lo In yang paksa mau memegangnya. "Aduuuh " Lo In menjerit dan lompat mundur sambil pegangi pipinya. "Nah, rasakan ya, anak nakal. Kalau encimu sudah sengit " berkata Eng Lian cekikikan ketawa melihat Lo In meringisringis ketawa melihat Lo In meringis-ringis pelangi pipinya yang barusan ia cubit. "Enci Lian, awas akan kubalas " seru Lo In, badannya lantas bergerak menubruk si dara cilik. Tapi Eng Lian sudah keburu lompat ke dekatnya kuda Lie Kiang. Ia berkata, "Adik In, mari kita belajar menaik kuda saja dari pada kau balas mencubit encimu " Lo In kegirangan. "Benar, benar." katanya lucu. segera ia juga lantas memegang tali kendali kuda Lie Bin. Dengan satu lompatan saja tanpa menginjak pelana, ia sudah bercokol di atas kuda. sementara itu si gadis juga sudah meniru caranya Lo In menaiki kuda. Mereka berseri-seri diatas kudanya masingmasing. "Adik In, kau sudah bisa belum naik kuda ?" tanya Eng Lian. "Kapan kita baru belajar-" sahut Lo In "Mari kita coba-coba." "Adik In, kita jangan larikan dulu kuda kita. Kita jajal dulu perlahan, nanti kalau sudah gapah dan tetap kita mengendalikannya, barulah perlahan-lahan kita suruh dia lari. Bukankah itu lebih bagus ?" "Bagus, bagus." sahut Lo In yang tadinya hendak main larikan saja, sedang ia belum pernah naik kuda. Eng Lian senang usulnya diterima baik oleh si adik nakal. Mereka jalankan masing-masing kudanya dengan perlahan jalan berendeng sambil saban-saban saling lirik ketawaketawa. Kebetulan kuda yang diambil itu, dua-duanya jinak. Coba kalau salah satu dari dua bocah itu mengambil kudanya Lie sun, pasti akan gagal belajar menunggang kuda karena kudanya Lie sun belum lama dibeli dan masih liar. Bisa-bisa Lo In atau Eng Lian yang menaikinya jatuh terbanting. Dasar dua-dua anak nakal dan berani, belum lama mereka jalankan kudanya perlahan, tiba-tiba Lo In sudah mencambuk perlahan supaya sang kuda jalan lebih kencang. Tidak tahunya kuda itu telah mengangkat kakinya sambil meringkik. Tapi Lo In tidak takut, malah ia ketawa terbahak-bahak kesenangan di atas kuda. Mendadak kudanya menaruh pula dua kaki depannya ditanah dan membawa Lo In kabur entah kemana. Eng Lian kaget nampak kawannya dibawa kabur. Tanpa disadari ia juga memecut kudanya hinga berjingkrak dan menyusul adik In-nya. Mereka kelihatan saling kejar dijalanan pegunungan yang luas lebar. Eng Lian lihat Lo In dengan kudanya sedang mendaki sebuah bukit, Ia cambuk dan cambuk lagi kudanya supaya dapat mengudak si bocah yang sudah jauh meninggalkannya. sungguh ajaib kepandaian dua bocah itu- Tadinya belajar dan takut-takut menaiki kudanya. sekarang tampak demikian gapahnya mereka menunggang kuda seperti yang sudah biasa. Rupanya kesatu didorong oleh nyalinya yang besar, kedua dipaksa oleh kudanya. Maka dengan mendadak saja mereka menjadi kampiun naik kuda. Ketika Eng Lian mendaki bukit yang barusan ia lihat darijauh Lo In mendakinya, ia kehilangan jejak Lo In di balik bukit. Eng Lian kebingungan, Ia tahan kudanya dan pasang mata ke sekelilingnya tapi tidak kelihatan Lo In dengan kudanya. Makin tidak enak hatinya Eng Lian ketika ia berusaha Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencarinya Lo In tidak juga ia ketemuku n adik nakalnya itu. Dalam putus asanya ia jadi mewek (nangis). "Adik In, kenapa kau tinggalkan encimu ?" berkata Eng Lian sendirian sambil menyusut air matanya yang berlinang-linang pada pipinya yang botoh- Eng Lian menantikan disitu Kalau-Kalau Lo In nanti kembali lagi. Akan tetapi ditunggu sampai matahari tenggelam ke barat tidak kelihatan mata hidungnya si bocah wajah hitam. sampai disini kita kembali kepada Bwee Hiang yang sudah lama kita tinggalkan. Bwee Hiang sudah antar ong Kui Hoa sampai di rumahnya dengan selamat hingga kedua orang tuanya Kui Hoa sangat berterima kasih kepada jago betina kita atas pertolongannya kepada puterinya. Pulangnya Kui Hoa sangat menggemparkan ong-ke-cnung, sebuah kampung yang tidak begitu banyak penduduknya. Banyak sanak Iamili dan sahabat-sahabat keluarga ong pada datang untuk memberi selamat kepada keluarga ong yang puterinya sudah kembali dengan selamat. Diantara yang datang ada on Lian dengan puterana bernama Keng Siang, satu pemuda yang Idt^nrns cakap umur 32 tahun. Kui Hoa diminta oleh para hadirin untuk menuturkan riwayatnya diculiktau lebih tegas dirampas dengan paksa oleh orang-orang Thoat Beng mo Siauw atau si Hantu Ketawa yang menyeramkan penduduk ong-ke-chung. Si nona tidak menutur banyak hal dirinya sebab keburu mendapat pertolongan dari Bwee Hiang. Ia kata, "Kalau tidak ada enci ini", sambil menunjuk paria Bwee Hiang, "entahlah bagaimana dengan nasibku ?" Dalam paria itu, si nona telah menceritakan halnya Bwee Hiang telah menaklukan kawanan penjahat hingga yang mendengarkan terkagum-kagum keparia si nona she Liu yang gagah perkasa. Mereka telah memberikan pujiannya tapi Bwee Hiang merendahkan diri. katanya, "Kepandaianku tidak tinggi, kalau mereka sudah dapat aku tumpas adalah dengan cara kebetulan saja. coba Thoat Beng siauw Mo masih hidup, mungkin pekerjaanku tidak semudah itu..........." "Hah Thoat Beng Mo siauw sudah mati ?" tiba-tiba ong Keng siang si pemuda cakap, menanya dengan mata terbelalak- " Aku sendiri tidak menyaksikan kematiannya." sahut Bwee Hiang. "Aku hanya dapat kabar dari anak buahnya bahwa si Hantu Ketawa telah binasa di tangannya Kim Coa siancu dengan gigitan ular emasnya yang amat lihai." ong Keng siang seperti yang belum hilang kagetnya, tampak ia seperti terpaku duduk dikursinya hingga diam-diam Bwee Hiang menhadi heran dalam hatinya. "Kenapa pemuda ini ada demikian memperhatikan pada si Hantu Ketawa " Apakah dia ada hubungannya " Ah, tidak bisa jadi- Pemuda begini cakap untuk apa ia bikin hubungan dengan seorang jahat dan buas " Demikian rupa-rupa pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Meskipun demikian, tampak Bwee Hiang tenang-tenang saja, belaga pilon terhadap kelakuannya Keng siang yang anehorang banyak kegirangan mendengar kabar kematiannya si Hantu Ketawa, hanya Keng siang yang kelihatannya tidak mengunjuk reaksi apa-apa. Bwee Hiang matanya lihai. Sejak hatinya merasa aneh akan gerak gerik si pemuda cakap, ia jadi merasa curiga. " Kalau Thoat Beng Mo siauw sudah mati, terang bekas markasnya itu sekarag telah menjadi kosong, bukan ?" Keng siang menanya sambil ketawa dipaksakan. "oo, markasnya sudah habis dimakan api." nyeletuk Kui Hoa. "siapa yang emmbakarnya ?" Keng siang menanya kepingin tahu. "Enci Bwee Hiang yang suruh anak buahnya si Hantu Ketawa membakarnya-" sahut Kui Hoa seraya melirik pada Bwee Hiang- "Lalu, kemana anak buahnya sekarang ?" Keng siang menegas- "sudah dibubarkan oleh enci Bwee Hiang-" jawab Kui Hoa Keng siang manggut-manggut akan selanjutnya ia membisu- Tidak lama kemudian ia sudah ngeloyor pergi dengan diam-diam dan tidak ada yang memperhatikan selain ayahnya yang diminta permisi untuk pulang lebih dahuluKepergiannya dengan diam-diam ia pikir tidak ada orang yang tahu- Ia lupa kalau Bwee Hiang yang matanya awas tak dapat diselomoti- Kui Hoa tidak enak kalau ia terus menerus dirubung-rubung oleh orang banyak, terutama ia melihat tamunya seperti merasa sebal melayani mereka, maka Kui Hoa sudah lantas mohon diri untuk masuk ke dalam. Kui Hoa bawa Bwee Hiang ke dalam kamarnya sendiri, dimana ia tukaran pakaian. "Adik Hoa, kamarmu begini indah- sudah tentu kau menangis waktu dijebloskan dalam tahanan." berkat Bwee Hiang menggoda. "Enci Hiang, entah dengan apa aku dapat membalasnya atas pertolonganmu." sahut si nona ong, tengah merapikan pakaiannya di muka cermin, "soalnya asal kau sudah selamat, untuk apa bicara tentang membalas budi ?" "Tapi enci, biar bagaimana aku tak dapat melupakan pertolonganmu-" "Baiklah." Bwee Hiang tertawa. "sekarang aku mau menanya pada adik Hoa. Tapi aku harap kau dapat menjawab dengan terus terang " "Enci, kau tanyalah- Aku nanti akan menjawab dengan sejujurnya." Dalam pada itu, tampak Kui Hoa sudah selesai berdandan dan duduk berhadapan dengan Bwee Hiang. Baharu saja ia duduk- ia harus bangun lagi ketika mendengar pintu kamarnya ada yang ketuk- Ia membukai, tampak satu pelayannya masuk dengan membawakan penampan yang berisi hidangan untuk siocia dan tamunya. setelah mengatur hidangan di atas meja, pelayan tadi lantas berlalu lagi setelah permisi pada siocianya. Pintu kamar ditutup lagi. Kui Hoa lantas duduk menghadapi tamunya. Ia mengundang. "Enci Hiang, mari makan apa yang ada. Harap kau jangan mencelanya. Besok-besok tentu akan aku jamu enci dengan meja yang penuh hidangan lezat. Kau tidak menolak, bukan ?" "Untuk apa kau menjamu aku sampai demikian ?" tanya Bwee Hiang ketawa. " Untuk kehormatan ha Liu Lie-hiap (pendekar wanita) yang sudah menolong aku." "Hihi, ada-ada saja nona Kui Hoa yang manis ini. "Eh, adik Kui. Wajahmu sekarang benar-benar sudah berubah, tidak seperti waktu di markasnya Thoat Beng Mo siauw." "Berubahnya bagaimana ?" tanya Kui Hoa kepingin tahu. "Kau berubah sangat cantik- tidak heran Thoat Beng Mo siauw tergila-gila- Hihi....." Wajahnya Kui Hoa tampak semu merah "Enci Hiang, kau memuji terlalu berlebihan." katanya agak kikuk- Bwee Hiang lantas tahu bahwa nona ong seorang gadis pendiam. "Mari kita makan." Bwee Hiang mengundang untuk menghilangkan rasa kikuk Kui Hoa. Ia pun sudah mendahului menyumpir makanan. "Aku sudah biasa tidak malu-malu. Ketambahan aku sudah lapar- Maka barusan aku yang mengundang makan, semestinya kau, adik Hoa." "Itu sama saja." sahut Kui Hoa yang juga lantas turun tangan untuk menyikat makanan diatas meja. Kedua gadis itu bercakap-cakap dengan gembira, sampai pada pokoknya soal yang ditanyakan Bwee Hiang tadi- Kui Hoa menanya lagi, "Enci, kau mau tanya apa padaku?" "oo, ya- Hampir aku lupa." sahut Bwee Hiang sambil menaruh sumpitnya. "Dalam urusan apa, enci Hiang ?" tanya Kui Hoa kepingin tahu. "Aku mau tanya kau, siapa pemuda cakap itu yang sabansaban menanyakan urusannya Thoat Beng Mo siauw " Aku lihat sikapmu seperti yang ketakutan terhadapnya." Kui Hoa wajahnya pucat mendengar pertanyaan Bwee Hiang yang diluar dugaannya. sejenak ia tidak menyahut sampai Bwee Hiang berkata lagi, "Adik Hoa, kalau kau merasa keberatan untuk menerangkan padaku, tidak apa. Biarlah kutarik pulang pertanyaanku tadi dan anggaplah bahwa aku seperti tidak menanyakan apa-apa padamu." "oo, tidak, tidak-" kata Kui Hoa lantas. "Dia bernama Keng siang dan menjadi saudara cintong denganku, sebab ayahnya adalah adik ayahku." "Begitu ?" sahut Bwee Hiang. "Tapi kenapa kau seperti yang ketakutan melihat dia ?" "soalnya, soalnya...........eh, aku tak dapat menceritakan kepadamu enci." kata Kui Hoa terputus-putus bicaranya seperti menyembunyikan sesuatu rahasia. Nampak Kui Hoa demikian gugup, makin curiga Bwee Hiang ada apa-apa yang Kui Hoa sukar menuturkannya kepada orang luar. Ia kepingin tahu, tapi tidak baik kalau ia mendesak si nona. Apa daya " Tapi dasar murid jago cilik kita (Lo In) cerdik otaknya. Hanya sebentaran saja Bwee Hiang termenung, lantas ia kelihatan tersenyum seperti sudah dapat jalan keluar. Ia berkata, "Adik Kui, aku kira tadinya kau ada sahabat baru yang bisa pegang janji, tidak tahunya aku kecele Biarlah aku sekarang mohon diri saja " Bwee Hiang berkata sambil bangkit dari duduknya, sudah tentu membikin Kui Hoa jadi kelab akan. Cepat-cepat ia juga bangun dan memegangi tangan Bwee Hiang, disuruh duduk lagi. Katanya, "Enci Hiang, jangan marah Aku akan bicara terus terang tentang dirinya engko Keng siang. Duduk, duduklah enci Jangan bikin aku ketakutan, kau pergi meninggalkan aku begitu saja." "Bagus, itu baharu sahabat baikku." sahutBwee Hiang ketawa sambil duduk lagi. Itu hanyalah taktik Bwee Hiang untuk membikin nona ong membuka rahasianya tentang dirinya Keng siang yang nona Liu curiga pemuda cakap itu ada hubungannya dengan Thoat Beng Mo siauw. Pikirnya, kalau benar Keng siang ada begundalnya si Hantu Ketawa, sekalian saja ia bekerja untuk membereskannya. Kui Hoa menutur pada Bwee Hiang dengan tidak pakai tedeng aling-aling. Kiranya ong Keng siang dalam kampungnya ada terkenal tidak baik kelakuannya. sayang dibalik wajahnya yang cakap, ia ada menyembunyikan kekejaman dan suka main perempuan. sudah berulang kali ia tukar bini sampai paling belakang adik cincongnya sendiri, ialah Kui Hoa tanpa mengingat hubungan keluarga ia mau ganggu. Keng siang berwajah cakap ganceng, mulutnya manis dan pintar merayu. Kui Hoa yang usianya baru memasuki 18 tahun tidak kenal akan kepalsuannya seseorang pria yang wajahnya cakap tapi hatinya tidak baik- Dalam buaian kata-katanya yang merayu Kui Hoa dapat di"nina bobo"kan. ong seng, ayahnya Kui Hoa sangat sayang pada puterinya itu lancaran belum lama ia sudah kehilangan encinya Kui Hoa yang mati karena sakit- Ia tidak merintangi anak gadisnya yang ia anggap masih kecil bergaul dengan Keng siang keponakannya. Apalagi saban Keng siang berkunjung alasannya adalah hendak memberi pelajaran surat kepada adik cincongnya hingga kedua orang tuanya Kui Hoa merasa senang atas kesudian Keng siang memberi pelajaran surat kepada puterinya. Pada suatu sore, dalam memberikan pelajaran di kamar tulis, Keng siang berkata pada Kui Hoa, "Adik Hoa, kau sangat cancik, Ibarat kembang sedang mekarnya dan aku ingin menjadi kumbangnya. Apa kau suka kokomu menjadi kumbang mendekati kau ?" Kui Hoa tengah menulis, ia diam saja. Tapi lama-lama ia mengerti akan maksud omongan sang engko cincong maka ia ketawa manis dengan pipi semu merah"Adikku, lama aku impikan wajahmu yang cancik-" Keng siang berkata lagi- "Ingin aku memilikinya- Apakah kau bersedia untuk.jadi isteriku ?" si nona menatap wajah Keng siang yang cakap sementara hatinya berdebaran mendengar engko cincongnya secara blak-blakan membuka rahasia hatinya"Aku sendiri tidak keberatan, asal ayah dan ibu setuju." sahut si gadis sambil tundukkan kepala malu-malu. "Cuma kata ibu, tidak baik kalau kita mengikat jodoh karena masih ada hubungan darah. Tidak baik untuk keturunan." "oh, apa kau sudah kasih tahu tentang urusan kita ?" tanya Keng siang kaget. "Kasih tahu terang-terangan sih tidak, hanya aku samarsamar tanya ibu apakah kakak dan adik cintong menikah dibolehkan atau tidak. Lantas kata ibu, itu tidak boleh sebab masih ada hubungan keluarga dan bisa mencelakakan pada turunan," "Adik Hoa, apakah kau percaya omongan ibumu itu ?" " Aku percaya. Masa ibu membohong iku " setiap ibu yang mengasihi anaknya tentu ingin melihat anaknya beruntung dalam hidup berkeluarga." Keng siang diam. Lama ia tidak berkata-kata seperti yang memikirkan apa-apa dalam otaknya yang jahat. Kemudian ia berkata, "Bagaimana juga kau akan menjadi isteriku. Kau jangan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo percaya sama omongan ibumu yang melantur." "Hei, kau berani menuduh ibu omong sembarangan " kata Kui Hoa tidak senang. "Kenapa tidak berani " sudah terang kita boleh menikah berdasarka suka sama suka, kenapa ibumu mengatakan perkataan yang janggal itu" seakan -akan menghalangi jodoh kita. Pendeknya kau setuju atau tidak, toh kau akan jadi milikku" Kui Hoa tidak senang mendengar perkataan Keng siang demikian kasar. "Kau mau paksa aku bila aku tidak setujui ?" katanya tidak senang. "sudah tahu, untuk apa kau menanya ?" Keng siang mulai unjuk kekasarannya. sampai sebegitu jauh Kui Hoa pandang engko cintongnya ada seorang yang tamah dan berwajah cakap, senang ia saban-saban mendapat kunjungan engkonya itu. Ia pandang Keng siang sebagai engko sendiri yang sangat baik hati, memberi pelajaran surat kepadanya. Tapi lambat laun si gadis merasakan kelakuannya Keng siang agak janggal terhadapnya, seperti yang mempunyai maksud tertentu atas dirinya, bukan dengan sewajarnya ia mengajari surat kepadanya. Hal itu pun baginya menjadi jelas ketika Keng siang mulai mengeluarkan kata-kata yang merayu, hingga hatinya menjadi guncang masuk perangkap asmara. Mengingat ia dengan Keng siang bukanlah orang lain, maka dengan samar-samar ia menanyakan pada ibunya kalau kakak dan adik sama-sama she, tegasnya saudara cintong, apakah boleh menikah- sang ibu paham akan maksud puterinya yang mulai kena panah dan tahu bahwa orang yang dimaksudkan si gadis adalah Keng siang. Tapi sebagai ibu yang bijaksana ia tidak mau membuka rahasia anaknya. Hanya ia mengatakan dengan jujur bahwa perjodohan itu tidak dibenarkan oleh siapa juga karena akibatnya akan merusak keturunan. Kui Hoa sangat menyesal kenapa ia dilahirkan menjadi adik cintongnya Keng siang. Kalau tidak- ia setuju sekali pada pemuda yang berwajah tampan itu. Ingin hal itu ia katakan pada Keng siang tapi tidak ada jalan, sebab sebagai wanita, mana boleh lebih dahulu memberi tahukan hal demikian kepada seorang lelaki yang tengah mengharapkan dirinya. Dengan cara kebetulan pada sore itu, dalam omong-omong dapat ia memberitahukan pada Keng siang. Tidak tahunya Keng siang bukannya merundingkan mencari jalan keluar, sebaliknya malah menghina ibunya dan mengancam dengan kekerasan akan memiliki dirinya. Meskipun hatinya setuju pada Keng Siang, tapi tatkala melihat Keng Siang berlaku kasar demikian, Kui Hoa menjadi tidak senang. Dalam kesalnya Kui Hoa bangkit dari duduknya dan berkata, "Sudahlah, urusan kita sampai disini saja " Tapi sebelum Kui Hoa sempat melangkahkan kakinya, tibatiba ia rasakan tangannya dipegang Keng siang. "Adik Kui Hoa, tidak semudah ini kau berlalu Hehehe" kata Keng siang dengan roman beringas seperti kerangsekan setan. Kui Hoa menjadi marah melihat engko cincongnya berlaku kurang ajar "Binatang, kau berani berlaku kasar begini ?" ia mendamprat sambil tarik tangannya dari cekalan Keng siang. Bukannya tangan terlepas, malah Keng siang datang lebih dekat padanya dan sebelum ia sempat mencaci maki lagi, si pemuda ganas sudah memeluk dirinya, Ia coba beroncak dan sudah membuka mulutnya untuk berteriak minta tolong, apa mau mulutnya kena didekap tangan Keng siang. Kui Hoa meronca-ronca untuk meloloskan diri tetapi percuma saja. Malah hidungnya yang kena ketutupan tangan Keng siang membuat ia tak dapat bernapas dan perlahanlahan ia jadi lemas, lalu ia merasakan badannya terangkat dipondong oleh Keng siang. Ia menjadi kaget menghadapi maksud jahat sang engko cincong, tapi ia tidak berdaya untuk, melawan. Hanya ia tahu bahwa dirinya telah direbahkan diatas dipan dan sang engko yang sudah kerangsekan setan telah menciumi pipi dan mulut dengan seenaknya saja tanpa ia dapat melawan untuk mempertahankan dirinya. Pada saat itulah, ketika Keng siang hendak memperkosa Kui Hoa, tiba-tiba pintu kamar tulis terbuka dan dua orang tidak dikenal lompat masuk. satu antaranya telah membentak. "Manusia bergajul, kau mau berbuat apa ?" seiring dengan bentakannya , orang itu menyerang Keng siang. Dengan berani Keng siang melawan tapi lantaran dikeroyok dua orang akhirnya ia kalah dan lari keluar kamar dengan tidak berpaling lagi ke belakang. Mereka tertawa gelak-gelak melihat Keng siang lari tunggang langgang. yang membentak tadi seorang tinggi kurus dengan matanya yang sebelah kiri seperti meram. Rupanya matanya sudah rusak satu. Dengan laku kasar ia pondong Kui Hoa yang sudah tidak berdaya lantaran lemas seluruh badannya. Tapi si nona masih sempat menanya, "Kalian mau bawa aku kemana ?" "Hahaha, mau tanya lagi nona manis." katanya ceriwis. "sayang aku menjalankan tugas. Kalau tidak, kita tentu boleh bersenang-senang.........." "hush.. jangan ngaco belo " kata temannya. "Kalau ada yang dengar dan dilaporkan pada orang tua, kau bisa susah " orang terrsebut menjadi ketakutan. Tanpa banyak cakap ia pondong terus si nona keluar kamar. Kui Hoa seperti mendapat tenaga baru. Ia meronta-ronta dan memaki, "Kau mau bawa kemana nonamu " Binatang, lekas lepaskan nonamu" "Baik, aku nanti lepaskan kau kalau sudah sampai di Pekkutnia " sahut orang itu. "Pek-... kut.....nia....." Kui Hoa mengulangi dengan terputusputus dan berbareng seketika itu ia telah jatuh pingsan. Rupanya hatinya diserang oleh perasaan takut yang hebat karena ia tahu bahwa dirinya akan menjadi korban si Hantu Ketawa di Pek-kut-nia. Ia sering dengarkan ayah dan ibunya mengatakan bahwa disana ada tinggal satu hantu tua jahat yang suka mengganggu anak perawan orang. "Nah, itulah keteranganku, enci Hiang." kata Kui Hoa. "Kau lihat aku ketakutan ketika berpandangan dengan engko Keng siang lantaran adanya perasaan bahwa aku belum bebas. Engko Keng siang pasti akan membuat susah lagi pada diriku setelah ia tahu bahwa Thoat Beng Mo siauw sudah mati. sudah tidak ada yang ia takuti dan tentu ia punya suka untuk melampiaskan kelakuannya yang buruk " "Adik, kau jangan takut " menghibur Bwee Hiang. "Ada aku disini, takut apa ?" "Tapi enci, kau toh tidak tinggal selamanya bersamaku." "Aku akan tinggal selama kau belum aman, adikku" "Terima kasih enci yang baik," kata Kui Hoa. "Aku senang sekali kalau kau bisa selamanya disamping enci Hiang." "Masa selamanya mau bersamaku saja. Kalau kau nanti punya suami, bagaimana ?" menggoda Bwee Hiang sambil ketawa hingga Kui Hoa merah seluruh wajahnya. "Enci, aku tidak akan menikah kalau kau selamanya ada disamping ku." kata Kui Hoa sambil menundukkan kepala. " Kalau aku yang menikah, bagaimana ?" Bwee Hiang menggoda lagi. Rupanya Bwee Hiang sekarang sudah ketularan guru ciliknya yang nakal suka menggodai orang. Kui Hoa tidak menyahut, matanya yang bagus deliki sang enci yang nakal. Akhirnya keduanya jadi pada tertawa. senang Kui Hoa mendapat teman seperti Bwee Hiang yang Jenaka sepak terjangnya, disamping sebagai jago betina yang belum menemukan tandingan. Dua hari sudah Bwee Hiang tinggal di rumahnya Kui Hoa, ia tidak nampak kejadian apa-apa- Pada malam yang ketiga, ketika dua gadis itu sedang omong-omong dengan asyiknya, tiba-tiba Bwee Hiang merasa seperti ada apa-apa yang tidak beres melihat Kui Hoa saban-saban menguap ngantuk. Malah sembari bicara, Kui Hoa matanya tampak meram. Bwee Hiang juga merasa sangat ngantuk- Cepat ia rogoh sakunya mengeluarkan pil pengasih Lo In dan ditelan dengan air teh sebagai alat pengantarnya. setelah mana ia menguap beberapa kali. Lalu pondong Kui Hoa yang sudah dari setadian tidur tanpa terasa diatas meja, direbahkan dipembaringan. Ia juga lantas naik tidur dan menutup kelambu, selama dirumah Kui Hoa, Bwee Hiang memang tidur bersama-sama dengan nona rumah yang ramah tamah itu. Lewat sekian lama, tampak ada bayangan masuk melalui jendela kamar yang memang terpentang. Dengan berjingkatjingkat, kuatir suara tindakannya kedengaran, orang itu telah menghampiri pembaringan dan menyingkap kelambu. Hatinya berdebar-debar keras nampak dua nona cantik sedang tidur lupa daratan dalam pakaian tidurnya yang serba tipis. "Hehe " orang itu tertawa perlahan. "Kiranya seorang Liehiap juga tak dapat lolos dari hio pulasnya yang manjur. Dasar peruntungan yang mujur, yang mana antaranya yang harus aku pilih " Ah, biar aku ambil dulu si pendekar wanita yang lihai. Asal dia sudah jadi "mainanku", apa dia bisa bikin " Paling-paling juga dia marah-marahUntuk membunuh aku sudah tidak mungkin karena nasi sudah jadi bubur. Kepaksa dia nanti turut aku Haha Adik Kui Hoa aku titipi saja dulu, lagi tiga malam baru aku ambil sebab waktu itu tentu aku sudah bosa sama si Liehiap " Kebetulan Bwee Hiang yang diincar tidurnya di sebelah pinggir, hingga dengan mudah saja sudah dipondong pergi oleh orang itu setelah mengucapkan perkataan, "Nona manis, mari kita berangkat " Gesit bayangan itu, meskipun membawa beban ia dapat lari cepat, sebentar saja ia sudah berada di luar ong-ke-chung. Tidak lama ia sampai pada sebuah bangunan rumah tua di pegunungan yang jauh bila hendak kemana-mana. Tampak ada dua orang yang menyambutnya dengan sangat hormat. Rupanya mereka adalah centeng rumah itu karena itu keduanya membawa golok di pinggang. Ketika orang itu sudah masuk ke dalam, terdengar orang dibelakangnya berkata, "Loji, kongcu kita bawa barang baru. Besok pagi tentu kita akan mendapat hadiah dua botol arak. Hahaha.......Biar kita doakan lebih banyak bawa barang baru hingga kita dapat minum arak mabuk-mabukan " "Loa-toa, kau jangan kegirangan dulu. Kalau arak sudah ditangan, barulah kita boleh girang." sahut temannya si Lo-jiDalam pada itu, orang yang membawa Bwee Hiang tadi yang bukan lain Keng siang adanya sudah ada di dalam, tengah menyalakan dua batang lilin besar. Keadaan dalam ruangan itu menjadi terang ketika Keng siang telah tambah lagi dengan dua lilin yang lebih kecilan. Itu berada di ruangan tengah yang merupakanjuga ruangan kamar sebab disitu tampak ada dua buah pembaringan yang dihias indah sekali dan serba harum di dalamnya. Kapan orang tidur dalam salah satu pembaringan itu, pasti akan merasa segar dan pikiran melayang-layang disebabkan bau harum sedap menusuk hidung dan perlengkapan pembaringan yang serba bersih dan indahKeng siang bawa Bwee Hiang ke pembaringan yang letaknya sebelah dalam, yang lebih indah dari yang satunya, di atas mana si nona direbahkan dengan tidak berkutik, sambil merebahkan Bwee Hiang, Keng siang berkata, " Nona pendekar, terimalah nasibmu sebagai nyonya Keng siang. Tunggu aku ambil lilin untuk menerangi wajahmu yang sangat cantik," Ia berkata sambil berlalu mengambil lilin dan ditaruh diatas meja tidak jauh dari pembaringan yang harum semerbak itu. Keng siang kegirangan bukan main bahwa sebentar lagi ia akan "naik surga" dengan si cantik Bwee Hiang yang keadaannya sudah tidak berkutik di atas pembaringan. Biasanya kalau hendak menerkam korbannya, Keng siang meloloskan pakaian luarnya. Kali ini rupanya ada kecualian karena tak tertahankan dengan getaran hatinya melihat wajahnya Bwee Hiang yang cantik seperti tersenyum ke arahnya. Bibirnya merah menyala menantang lawan tampaknya. "Nona cantik, biarlah aku kasih persekot du.........." "cuh Cuh " terdengar dua kali Bwee Hiang meludahi Keng siang tepat mengenai kedua matanya, disaat Keng siang menundukkan kepalanya hencak mencium si nona. Itulah ludah kental yang lama disiapkan oleh Bwee Hiang. Ia meludahi kedua matanya si cakap Keng siang dengan Iwekang, tidak heran kalau Keng siang menjerit teraduh-aduh sambil menekap kedua matanya, ia lompat mundur. Ketika ia coba buka matanya, ternyata penglihatannya menjadi gelap, tak ada benda yang ia dapat lihat, kedua matanya sudah menjadi buta. Keng Siang menjadi ketakutan. Dari ketakutan ia menjadi nekad- Dengan tenaga penuh ia sudah menyergap ke atas pembaringan sambil menghajar kedua tangannya hebat sekali. Pikirnya dengan serangan mendadak itu, si nona yang meludahinya akan melayang jiwanya seketika itu juga. Ia salah hitung sebab musuh yang ditemuinya adalah Bwee Hiang si jago betina yang belum menemukan tandingan yang dapat ia bikin celaka, mana dapat bung. Hanya suara pembaringan yang terdengar dihajar oleh Keng siang sebab Bwee Hiang sudah sedari tadi ada dibelakangnya. "Manusia hina " bentak si nona. "Percuma kau dikasih hidup, hanya menyusahkan orang saja " berbareng kakinya Bwee Hiang bekerja dan Keng siang roboh dengan jidat membentur tepi ranjang besi. Kontan jidatnya tambah daging hingga tangannya repot mengusapi jidatnya yang benjol- "Manusia hina " terdengar Bwee Hiang kembali membentak ketika Keng siang sudah berdiri pula dengan tangan merabaraba mencari pegangan. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Banyak korban tentu kau lakukan dan inilah hukuman dari seorang wanita " "Duk - Bluk " menyusul terdengar suara itulah bebokong Keng siang yang dihajar dan tubuhnya roboh di lantai mengeluarkan suara "bluk" "Liehiap, ampuni selembar jiwaku, oh....." Keng siang meratap kesakitan. "Plak Plak " suara dua kali gamparan Bwee Hiang mengenakan dua belah pipinya Keng siang, cukup membuat beberapa giginya si muka tampan rontok dengan berboran darah dari mulurnya. Keadaannya sangat kasihan, tapi Bwee Hiang hatinya tidak merasa kasihan lagi. Ketika si nona hendak angkat Keng siang bangun dan hendak dihajar lagi, tiba-tiba ia rasakan ada angin dingin dari belakangnya. Cepat ia berputar dan berbalik berada dibela kang Keng siang. "cras " menyusul suara. Kiranya tubuh Keng siang terbabat kutung oleh golok tajam yang disabetkan oleh centengnya sendiri. Tatkala si nona merasa ada angin dingin di belakangnya, ia tahu akan datangnya senjata tajam. Maka cepat tubuhnya berputar ke belakang Keng siang, tubuh Keng siang didorong untuk mengganti kedudukannya tadi- Maka tidak ampun lagi tubuh Keng siang yang terbabat kutung yang semestinya tubuh Bwee Hiang. Kejadian cepat dan hanya beberapa detik saja terjadinya hingga si centeng jadi melongo sendiri. sebelum ia sadarakan kagetnya, tiba-tiba badannya terasa enteng melayang. Kiranya Bwee Hiang sudah menendang dengan kaki dari bawah ke atas, mengarah pantat si centeng sehingga tubuhnya melayang dan "buk" saja tubuhnya jatuh dilantai. Ketika ia hendak bangun lagi, ia tidak merasakan apa-apa lagi sebab kepalanya sudah menggelinding disabet oleh goloknya sendiri melalui tangan Bwee Hiang. seorang kawannya datang, ialah Lo-toa dan membentak Bwee Hiang, " Wanita liar, dari mana kau datang kemari ?" Bwee Hiang dalam pada itu sudah siap dengan goloknya, Ia menjawab, "Hehe, masih belum terlambat kau menyusul roh saudara dan cukongmu menghadap ciiam-lo-ong " Lo-toa nama aslinya adalah sie Giam, bekas guru silat di ong-ke-chung. sengaja Keng siang undang ia untuk menjadi centeng di rumah "simpanannya" dengan upah yang cukup untuk mengongkosi rumah tanganya- Maka kepandaian silatnya boleh juga dibanding dengan si Lo-ji yang sudah melayang jiwanya- Waktu ia melihat Kongcu dan kawannya sudah binasa, kemurkaannya telah meluap seketika- sekarang ditambah dengan kata-kata Bwee Hiang yang suruh ia menyusul arwah majikan dan kawannya, terang kemurkaannya menjadi dobel. "Perempuan liar, lihat ini" tanpa memikirkan lagi kepandaian musuh, ia menyerang dengan kalap- gerakannya baikjuga, ia menggunakan jurus "Elang lapar menyambar kelinci" yang sangat ia banggakan, belum pernah gagal menyerang musuh. serangannya pasti tidak gagal kalau ia menyerang jago jago kampungan. Tapi Bwee Hiang adalah murid Lo In, si bocah sakti- Maka belum sempat ia menggunakan tipu serangan yang lainnya, tiba-tiba ia rasakan dadanya ditembusi golok si nona yang dengan tanpa sadar cara bagaimana si nona barusan bergerak- Ia jadi ketakutan setengah mati waktu golok Bwee Hiang menembusi dadanya- sudah terlambat baginya untuk minta ampun, sebab waktu golok dicabut dari dadanya, lantas saja darah segar membanjir keluar dari lukanya dan seketika itu juga ia terkulai badannya untuk tidak bangun selama-lamanya. Itulah Liu Bwee Hiang, puterinya Liu Wangwee dari Kunhiang yang tidak menyesal sudah melakukan pembunuhan itu mengingat perbuatannya tidak seberapa kalau dibanding dengan sucoan sam-sat yang telah membasmi habis seluruh isi rumah tangganya. Dengan seenaknya saja ia melenggang keluar dari rumah tua itu, setelah ia melemparkan golok di tangannya. Di luar rumah, dengan ginkang (ilmu entengi tubuh) yang tinggi dalam tempo pendek saja ia sudah sampai di rumah ong seng. Dengan melalui jendela, si nona masuk ke dalam kamarnya Kui Hoa dimana ia lihat nona masih tidur nyenyaksetelah menukarkan pakaiannya yang kecipratan darah tadi, Bwee Hiang lantas naik ke pembaringan dan tidur pulas seperti kejadian yang barusan ia hadapi tidak artinya bagi si nona jagoan. Pada keesokannya sesudah kematian Keng siang tidak ada kejadian apa-apa, tapi pada hari kedua keadaan dalam ongkechung menjadi gempar dengan diketemukannya mayatmayat dalam bangunan tua dipegunungan yang sunyi. sudah tentu ong Liang dan istrinya menjadi sangat sedih ketika mendengar diantara mayat-mayat itu terdapat mayatnya sang anak- ong seng, ayahnya Kui Hoa datang ke rumah ong Liang untuk menyaksikan mayatnya sang keponakan. sungguh mengerikan Tubuhnya Keng siang terpotong dua. Entah siapa yang telah demikian kejam membunuh ong Kongcu. orang kira pembunuhnya tentu orang dari luar daerah ong-ke-chung karena di dalam kampung itu tak ada jagoan yang melebihi Keng siang. Pengusutan pada pembunuhan dilakukan. Malah ong Liang sebagai hartawan di ong-ke-chung telah menyediakan hadiah besar kepada siapa yang dapat menangkap pembunuh anaknya. ong Kui Hoa juga dapat dengar tentang kematian sang engko cintong. Disamping ia merasa aman dengan lenyapnya ong Keng siang tetapi hatinya sedih juga bila mengenangkan saat-saat yang bahagia ketika ia duduk berduaan dengan si pemuda cakap. Demikian nikmat ia rasakan dalam buaian kata-kata merayu ong Keng siang. Ia suka menarik napas kalau mengenangkan tempo yang lampau. Setelah itu ia masuk ke kamar menemui Bwee Hiang sebab Bwee Hiang tidak ingin menampakkan dirinya kepada yang lain kecuali Kui Hoa, nona rumah telah berkata seperti memancing Bwee Hiang, "Enci Hiang, kau tahu siapa pembunuh dari engko Keng siang ?" "Mana aku tahu." sahut Bwee Hiang. "Aku kira tentu orang luar yang membunuh engko Keng siang." "Mungkin juga, tapi kenapa " Apa kau berduka dengan kematiannya Keng Siang " "Bukan begitu, hanya aku kepingin tahu saja siapa pembunuhnya." " Kalau demikian, nah, kau tebak-tebak saja." kata Bwee Hiang ketawa. Kui Hoa melihat Bwee Hiang ketawa, ia jadi curiga. Lalu menanya sambil ketawa, "Enci, kalau aku tidak salah tebak- pembunuhnya tentu ada disini." Bwee Hiang ketawa ngikik hingga Kui Hoa bertambah curiga- "Enci Hiang, kau mengaku saja. Kau tentu yang membunuh, ya ?" "Dari mana kau bisa tahu " Jangan sembarangan menuduh orang " "Ah, aku sudah tahu. Pembunuhnya ada di depanku sekarang." Kui Hoa berkata lagi sambil tersenyum pada Bwee Hiang. "Dari mana kau bisa tahu ?" Bwee Hiang menanya dengan heran. "Aku toh tidak kemana-mana, tiap detik ada bersamamu, bukan ?" "Enci Hiang, bajumu yang membuka rahasia." Kui Hoa ketawa. "Membuka rahasia bagaimana, adik Hoa ?" Bwee Hiang kepingin tahu. "Nenek ciang, si tukang cuci, ada lapor padaku bahwa bajumu ada banyak noda darah ketika ia mencucinya." Kui Hoa menerangkan. Bwee Hiang melengak- Lantas ia ingat pada malam itu, setelah ia berada pula dalam kamar Kui Hoa, ia membuka bajunya yang banyak noda darahsi nona lalu tersenyum kepada Kui Hoa. Ia berkata, "Adik Hoa, kau cerdik juga. Tapi aku bukan pembunuhnya Keng siang, engko cintongmu " Kui Hoa melengak heran. " Habis, siapa yang bunuh engko Keng siang " tanyanya. "yang membunuh Keng siang, orangnya sendiri" sahut Bwee Hiang yang lalu menuturkan kejadian malam itu, hampirhampir saja mereka jadi korban obat pulasnya Keng siang kalau tidak keburu ia (Bwee Hiang) sadar bahwa ada orang yang ingin membius mereka. Diceritakan dengan jelas kepada Kui Hoa, bagaimana ia membiarkan dirinya dibawa ke tempat "penyimpanan" Keng siang, bagaimana ia menghajar Keng siang berkesudahan dengan kematiannya dan tiga orang yang melayang jiwanya. Mendengar itu, diam-diam Kui Hoa berdiri bulu pundaknya. "Enci, sebenarnya kau siapa ?" kata Kui Hoa setelah sejenak ia termenung. Bwee Hiang tidak keberatan untuk menerangkan siapa dirinya. Maka si nona secara ringkas telah menuturkan perjalanannya, hingga Kui Hoa terkagum-kagum mendengarnya. "Enci, tidak salahnya bila aku menyebut kau seorang Liehiap-" berkata Kui Hoa setelah Bwee Hiang habis bercerita. "Cuma sayang aku tidak berjodoh ketemu dengan adik kecilmu yang lihai itu. oh, aku sangat bangga sekali kalau dapat berkenalan dengan jago cilik seperti adik kecilmu itu." "Adik Hoa, adik kecilku sangat Jenaka." Bwee Hiang kata dengan ketawa. " Kalau kau dapat berkumpul dua tiga hari saja dengannya, kau akan merasa umurmu bertambah dua tiga tahun, antahlah, kapan aku dapat bersua lagi dengannya." si nona menghela napas Kui Hoa mengerti akan kedukaan sang enci yang kehilangan jejak adik kecilnya. Tapi nona ong diam-diam merasa heran atas perkataan Bwee Hiang bahwa kalau ia berkumpul dua tiga hari dengan Lo In, umurnya dapat bertambah dua tiga tahun, Ia lalu menanya, "Enci, apa yang kau maksudkan dengan tambah umur dua tiga tahun ?" "Adik kecilku mukanya hitam legam macam pantat kuali tapi pribadinya sangat polos Tiap kali ia melucu, tiap kali orang yang mendengarnya akan tergerak urat ketawanya. selama kita berkumpul, belum pernah satu hari pun tidak ketawa terpingkal-pingkal oleh kejenakaannya. Disamping kepandaiannya bikin tergerak urat ketawa orang, ilmu silatnya tinggi luar biasa, susah diukur." Kui Hoa sangat tertarik dengan penuturan Bwee Hiang, "Enci," katanya. " Kalau kau sudah dapat menemui adik kecilmu, tolong kau bawa kesini supaya aku dapat belajar kenal, boleh tidak ?" "Boleh saja, asal urat ketawa mu nanti jangan putus." sahut Bwee Hiang ketawa. Kui Hoa tersenyum manis mendengar itu Ia berkata, "Enci, kau juga rupanya ketularan penyakit adik kecilmu yang lucu itu. setiap kali kau berkata, membikin aku kepingin ketawa." Bwee Hiang ketawa ngikik, "Eh, adik Hoa." katanya tiba-tiba. "Apa kau bisa tolongi aku?" "Tolongi apa " Katakanlah, kalau bisa tentu akan kutolongi kau " sahut Kui Hoa. "T0long belikan pakaian pria. sudah tentu bukan kau yang pergi tapi kau suruh orangmu untuk membelinya." kata Bwee Hiang. Kui Hoa melengak- Ia kira Bwee Hiang mau minta tolong apa, tidak tahunya minta dibelikan pakaian pria. Ia heran, buat apa si nona beli yang begituan, lalu ia menanya. "Enci, untuk apa pakaian pria "Juga, disini mana ada yang jual?" " Untuk aku pakai dalam perjalanan mencari adik kecilkuDengan pakaian perempuan, aku rasa kurang leluasa menghadapi mata2 alap- Tapi bagaimana ya " Kau kata tadi disini tidak ada yang jual " "Jangan kuatir, aku akan bikinkan untukmu, enci" Tiba-tiba saja Bwee Hiang memeluk Kui Hoa hingga nona ong jadi gelagapan. "Adik Hoa, sungguh kau baik sekali pada encimu. Tolong bikinkan yang bagus, ya " kata Bwee Hiang sambil tidak lupa ia kecup pipinya Kui Hoa yang botoh-Kui Hoa berdebar juga hatinya ketika pipinya dikecup (dicium) Bwee Hiang. Memang pandai Kui Hoa membuat pakaian. Tidak makan tempo banyak sebab pada malam berikutnya Bwee Hiang sudah dapat memakai pakaian pria tersebut di depan cermin dalam kamarnya Kui Hoa. sungguh cakap parasnya Bwee Hiang dalam pakaiannya yang baru. sambil berpose di depan Kui Hoa, sang enci berkata, "Adik Hoa, apa hatimu tidak bergolak melihat pemuda seperti ini ?" Kui Hoa terpesona. Memang hatinya berdebaran nampak Bwee Hiang demikian cakapnya dalam pakaiannya yang baharu. "Sungguh pria yang sangat cakap " ia berkata dalam hati kecilnya, parasnya tampak bersenyum-senyum tanpa menjawab pertanyaan Bwee Hiang. seminggu sudah lamanya Bwee Hiang berkumpul dengan Kui Hoa. Pada suatu pagi, Bwee Hiang mohon diri dari si nona dan ayah bunda nona Kui Hoa untuk meneruskan perjalanan mencari adik kecilnya. Mereka coba menahan tapi nona Liu menolak dengan halus- Keluarga ong membekali ia uang banyak sekali untuk ia pakai di perjalanan. Tapi Bwee Hiang hanya ambil separuhnya Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo saja. Bwee Hiang terpaksa menerima sumbangan orang karena ia membutuhkan sebab buntalan dan pakaiannya ketinggalan disuyangtin (rumahnya Leng siong) dimana di dalamnya ia bekal banyak uang dari rumahnya. Benar saja, dengan pakaian pria, si nona lebih leluasa dalam perjalanannya- Tidak banyak 'mata liar' yang memandangnya, sebaliknya "mata halus" (wanita) banyak yang terpesona oleh parasnya yang cakapBwee Hiang pikir kurang baik kalau ia sudah menyaru lelaki, namanya tidak dirubah-Maka ia lalu pikirkan satu nama yang mengingatkan ia pada adik kecilnya- Tidak ragu-ragu lagi lantas ia menggunakan nama In Hiang, Liu In Hiang. sementara Bwee Hiang menyaru jadi Laki-Laki, untuk memudahkannya kita pakai namanya yang baru iaLah In Hiang, Liu In Hiang. seteLah keLuar dari ong-ke-chung, In Hiang bingung juga kemana ia harus tujui untuk mencari adik kecilnya. Dengan sendirian menyatroni sarangnya sucoan sam-sat, itu tidak mungkin- Tanpa bantuan adik kecilnya (Lo In) yang hebat kepandaiannya, meskipun ia punya dua kepaLa dan empat tangan, In Hiang akan pikir-pikir dulu menghadapi kebuasan si Tiga ALgojo dari Sucoan. Ia jaLan semau kakinya saja tanpa tujuan. Tanpa disadari ia sudah memasuki Kunhoa, sebuah kota kecil. Tampak keadaan disitu amat ramai, kebetulan sedang haripasar rupanya- In Hiang melihat ke kiri dan ke kanan, mengharap dengan cara kebetulan dapat ketemu dengan adik kecilnya- Ia lihat tidak jauh darinya ada banyak orang berkumpul sedang menaksir-naksir harga kuda yang diperjualbelikan di situ. In Hiang memang suka tunggang kuda dan sering pesiar dengan ayahnya dipegunungan. Tapi sejak ia kenal Lo In, kegemarannya pada kuda menjadi hilang, sekarang ia ketemu pasar kuda, hatinya menjadi tertarik- Pikirnya, kalau ia dapat membeli seekor kuda untuk kawan perjalanan, barangkali ada lebih baik, Iseng-iseng ia datang menghampiri pasar kuda untuk memilih kuda yang baik. Pilih punya pilih akhirnya tidak ada yang ia setujui hingga In Hiang menjadi kecewa, Ia lantas mau meninggalkan pasar kuda itu. Tapi belum berapa langkah ia bertindak, mendengar ada suara kuda meringkik. Cepat In Hiang menoleh- Ia lihat kuda yang baru dituntun datang dengan warna merah mengkilap, kepalanya saban-saban diangkat dan perdengarkan suaranya yang nyaring. "Ah, inilah kuda bagus." kata In Hiang dalam hatinya, Ia tidak jadi berlalu dari situ, sebaliknya ia menghampiri orang yang menuntun kuda merah tadi"saudara." katanya hormat"Apakah kau mau jual kudamu itu ?" yang menuntun kuda tidak lantas menyahut, hanya mengawasi pada pemuda1 kita yang cakap dengan mata tidak berkedip- In Hiang rada-rada kikuk diawasi si tukang kuda demikian rupa- "Apa saudara baru Lihat manusia seperti aku ?" tegur In Hiang kurang senang. "Tidak, tidak?" sahut si tukang kuda gugup. "Aku Lihat kau sangat cakap, maka barusan aku jadi kesemsem. sukaLah kau memaafkannya, adik kecil." Tukang kuda itu usianya kira-kira sudah setengah abadTapi sikapnya gagah dan tindakannya mantap seperti yang pandai silat, In Hiang tahu ini tapi ia tidak ambil perduli. Ia kesitu hanya mau membeLi kuda, bukannya untuk mencari onar. "Bagaimana " Apa kau maujuaL kudamu itu ?" tanya In Hiang pula. KembaLi si tukang kuda tidak menyahut. KaLi ini ia tidak mengawasi wajah orang, hanya pedang In Hiang yang tergantung dipinggangnya ia awasi dengan kagum. "Hei, kau mau juaL kudamu tidak ?" In Hiang mulai jengkeL. "Aku tidak maujuaL kudaku, hanya aku mau tukar." sahut si tukang kuda. "Tukar dengan apa ?" tanya In Hiang kepingin tahu. "TUkar dengan pedangmu itu." sahut si tukang kuda sambil menunjuk pinggang In Hiang. "Ah, mana boLeh- Tukar dengan uang toh sama saja." "Tidak- aku mau tukar dengan pedangmu-" In Hiang tidak mau Layani si tukang kuda yang kukuh mau minta kudanya ditukar dengan pedang. Maka ia Lantas mau ngeloyor pergi- BeLum berapa Langkah ia bertindak, tiba-tiba ia dengar orang membentak dari beLakangnya. "Tunggu " In Hiang merandek dan putar tubuhnya. Kiranya yang membentak tadi adaLah si tukang kuda yang ngotot mau tukar kudanya dengan pedang. In Hiang kata, "Kuda ada kudamu, pedang ada pedangku, sudah tidak ada urusan Lagi kalau aku tidak mau tukar " Dalam pada itu si tukang kuda sudah datang menghampiri, "Bagus, pedang ada pedangmu dan kuda ada kudaku. Kalau aku mau tukar, kau bisa apa adik kecil. Hahaha " Kiranya si tukang kuda ada "cabang atas" {jagoan) juga dalam kota Kunhoa itu. Makanya begitu temberang dan mau berbuat sewenang-wenang. Pasar kuda yang tadi ramai lantas berubah sepi ketika melihat si tukang kuda bertengka dengan anak muda. "Mungkin kau orang baru datang, maka aku perkenalkan padamu. Aku adalah Hek-him Toan Ceng, murid kelima Tiat-ci Hweshio dari Thian-ong-bio. Hahaha Kau boleh tanya orang, siapa Hek-him Toan Ceng, adik kecil" Dengan memperkenalkan namanya Hek-him Toan ceng (si Beruang Hitam) dan gurunya Tiat-ci Hweshio, si Pendeta jari Besi, orang itu mengira In Hiang bakal gemetaran badannya seketika. Tidak tahunya In Hiang malah ketawa meniru terbahak-bahaknya si Beruang Hitam tadi hingga Hek-him Toan ceng jadi mendelik matanya karena gusar ketawanya di"ciplok" oleh In Hiang, si anak muda yang cakap ganteng. "Binatang, kau mau main gila dengan Hgo Toaya (Tuan besar kelima) ?" bentaknya nyaring. "Aku kurang paham." ngeledek In Hiang ."Kau sebenarnya mau apa ?" "Lepas pedangmu Baru kau boleh berlalu dari sini" "Lepas kudamu Baru kau boleh pergi dari sini" Dari suaranya yang tegas ngeledek lawan, terang jago betina kita mulai naik pitam menghadapi Hek-him Toan ceng yang mencari gara-gara. "Anak kurang ajar, berani kau ngeledek Ngo Toaya ?" "Tua bangka kurang ajar, berani kau mengganggu Siauya ?" Digodai begitu, si Beruang Hitam menjadi sangat gusar. Dalam katanya, jangan lagi ia digodai begitu, orang memandang mukanya lamaan dikit, ia pelototi lantas lari sipat kuping ketakutan. Tidak pernah sebelumnya ia hadapi pemuda yang demikian berani. Dalam gusarnya ia hunus goloknya yang berat dan berkata, "Anak muda, aku sayangkan mukamu yang cakap mendapat tanda dari golokku Tapi, apa boleh buat " "sret " In Hiang mencabut pedangnya lalu menjawab, " orang tua, aku sayangkan daun kupingmu bakal hilang sebelah gara-gara pedangku Tapi, apa boleh buat " Betul-betul menjengkelkan kata-kata sambutan In Hiang hingga si Beruang Hitam hilang sabar dan lantas saja menyerang dengan jurus 'Hek-him-pay-yang' atau 'Beruang hitam menyembah matahari'- Golok mula-mula diputar, terus menusuk dada, tapi setengah jalan tusukan berubah arah mengarah perut, sungguh hebat serangan kombinasi dari si Beruang Hitam. Pantasan namanya ditakuti oleh kawan dan lawan dalam kotanya. In Hiang kaget juga nampak serangan si Beruang Hitam yang berubah arah cepat sekali. Baiknya ia sudah dapat gemblengan guru ciliknya yang sakti. Pedangnya yang dilintangkan tadi untuk menangkis serangan tusukan golik ke dada, sudah lantas berubah arah juga menekan golok lawan yang nyelonong ke perutnya. Dua senjata jadi melekat satu sama lain. Hek-him TOan ceng coba tarik pulang goloknya yang ditindih pedangnya In Hiang, tapi gagal, Golok seperti melengket dan tekanan pedang dirasakan sangat berat, Ia kerahkan lwekangnya,juga sia-sia saja ia menarik pulang goloknya hingga ia mengeluarkan peluh dingin. Ia tak menduga bahwa lawan yang muda belia itu mempunyai tenaga dalam yang hebat. Matanya mendelik ke arah In Hiang yang sedang mentertawakannya yang tidak becus membebaskan goloknya yang ditindih pedangnya. Tiba-tiba saja In Hiang menggentak pedangnya terlepas menyusul dengan kecepatan kilat pedang menabas dari bawah ke atas, sembari memegangi telinganya yang kiri yang sudah hilang daunnya. Itulah In Hiang menggunakanjurusnya yang indah sekali yang dinamakan 'Liu-sui-pian-lou' atau "Air mengalir berubah arah" hingga si Beruang Hitam dirugikan, daun telinganya disuruh istirahat di tanah. Dalam murka si Beruang Hitam lupa bahwa lawannya itu bukan tandingannya, Ia menerjang seperti yang kerangsokan setan, Golok besarnya membabat pinggang In Hiang tetapi telah dielaknya dengan lompat mundur dua langkah- Hek-him Toan ceng merangsek, goloknya sekarang menebas dari atas ke bawah pada bahu lawan, In Hiang tahu bahayanya serangan itu. Cepat ia tangkis golok dengan keras dari bawah ke atas. Trang ", suara senjata beradu, seketika tampak Toan ceng berdiri melongo sambil pegangi goloknya yang sudah kutung bagian tengahnya. sungguh tajam pedang In Hiang yang ia dapatkan dari si Toako "sip-sam-siau-mo". Dengan golok utuh Toan ceng tidak bisa apa-apa, maka sekarang goloknya sudah buntung, apa ia bisa bikin terhadap In Hiang yang jauh lebih tinggi kepandaiannya. Maka, Hek-him Toan ceng sudah melemparkan golok buntungnya lalu jalan ngeloyor meninggalkan In Hiang. "Hei, kudamu ini, apa kau kelupaan ?" teriak In Hiang. si Beruang Hitam menoleh- Ia berkata, "Kau sudah menang, ambillah " setelah berkata, si Beruang Hitam lantas putar tubuhnya lagi dan berlalu dengan cepat hingga In Hiang melongo dibuatnya karena ia tak menduga kemenangannya barusan diberi hadiah kuda jempolan yang lengkap dengan pelananya. sambil masukkan pedang pada sarungnya pula, In Hiang menghampiri kuda hadiah Hek-him Toan Ceng. Ia mengusapusap dan tepuk-tepuk lehernya kuda itu dengan sikap sayang. Kuda itu bebenger, kepalanya diangguk-anggukkan dan kaki depan yang kanan digaruk-garuk ke tanah seolah-olah menyuruh si nona lekas naik di punggungnya untuk berlalu dari tempat berbahaya itu. sayang In Hiang tak mengerti akan "kode" si kuda cerdik itu. Ia terus mengusap-usap dengan penuh rasa sayang. In Hiang memandang sekitarnya, ternyata sudah sepiHampir tidak ada kelihatan satu orang juga. Pikirnya, apakah disitu biasanya begitu kalau ada orang bertempur " Pada ketakutan lari atau masing-masing menutup pintu rumahnya " Ia ketawa geli- Baru saja ia menyemplak kudanya, tiba-tiba dari jauh terdengar bentakan nyaring, "Anak muda, jangan pergi dulu- Tunggu, tunggu " sebentar saja orang yang berteriak-teriak tadi sudah ada dihadapannya- Kiranya ia ada Hek-him Toan ceng yang diantar oleh empat kawannya, satu orang biasa dan tiga hweshio masih mudamuda. Mereka adalah saudara seperguruan dengan Hek-him Toan Ceng. Ketika si Beruang Hitam berlalu daripada suhunya Tiat-ci Hweshio bahwa ia sudah dikalahkan musuh dan minta sang guru membalaskan sakit hatinya agar pamornya dalam kota Kunhoa tidak jatuh. Letaknya Thian-ong-biojauh diluar kota, bagaimana ia bisa mencapai ke sana sementara musuhnya belum meninggalkan kota. Ini adalah urusan yang memusingkan kepalanya. Mendadak ia jadi kegirangan ketika bertemu dengan sisuhengnya (kakak ke-4) yang bernama Leng Hian yang mengatakan bahwa Toa-suheng,ji-suheng dan sam-suheng (kakak ke-i, ke-3 dan ke-2) ada dalam kota sedang menjalankan tugas memungut derma. Cepat-cepat Toan ceng ajak Leng Hian untuk menemui tiga saudara tuanya yang waktu itu sedang beristirahat dalam kuil cabang Thian-ong-bio. Kepada 3 saudara tuanya, Toa Ceng melapor tentang pertempurannya dengan seorang muda yan dikalahkan. Tentu saja dalam laporan itu ia kasih bumbu yang bukan-bukan supaya tiga saudara tuanya menjadi panas hatinya, sedang kelakuannya hendak memeras In Hiang, ia tidak sebut-sebut. Begitu berhadapan dengan In Hiang, siBeruang Hitam berkata pada Hweshio muda yang kepalanya gede, umurnya kira-kira 50 tahun. "Toa-suheng, dia ini yang merampas kuda kita. Aku sudah cukup mempertahankan jangan sampai kena dirampas, nyata tidak berhasil lantaran bocah ini menggunakan pedang pusaka " si Hweshio kepala gede lantas saja marah, ia membentak. "Binatang, kau berani merampas orang punya kuda mentang-mentang kau ada punya pedang pusaka ?" In Hiang jadi melongo mendengar omongannya Toan Ceng, kemudian disusul oleh makian si Hweshio kepala gede yang tidak mengetahui ujung pangkalnya. "Hai, Beruang Hitam " kata In Hiang nyaring, suara wanitanya lenyap karena ia sudah melatih suara pria dalam penyaruannya. "Kenapa kau jadi ngaco belo " Bukankah kau sudah hadiahkan kudamu lantaran kau kalah berkelahi " Kenapa sekarang kau menuduh aku merampasnya " Kau kira no....oh tuan mudamu boleh kau permainkan" In Hiang keseleo lidahnya, barusan hampir ia mengatakan "nonamu", baru sampai di "no..." untung ia ingat, lantas dia Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ganti dengan "tuan mudamu". "Ah, anak kecil, kau jangan banyak lagak- Lekas kembalikan kudaku dan terima hukumanku rangket 10 kali, baru kau dapat ampun meninggalkan tempat ini" kata Hek-him Toan Ceng, pulih lagi kesombongannya yang sudah. In Hiang menjadi gusar, sebelum ia balas memaki, tiba-tiba saja dua Hweshio dan Leng Hiang sudah menyergap di diatas kuda. In Hiang tidak kasihkan dirinya disergap. Dengan meminjam injakan pelana, ia enjot tubuhnya terbang dan meluncur turun kira jarak 4 meter dari mereka"srett " ia mencabut pedangnya dan siap untuk bertempur. "oo, kau mau main pedang " Hehe " ketawa Toasuhengnya Toan ciang. "sam-suheng, coba kasih pinjam golokmu. Aku mau jajal dia sampai dimana dapat menggunakan pedang pusakanya." Berbareng Hek sam suheng sudah menyodorkan goloknya. girang hatinya Toan Ceng, Toa-suhengnya akan bergebrak sebab ia yakin 100 persen Toa-suhengnya akan menang diatas angin, pikirnya, mungkin hanya 5 jurus saja si pemuda bakal sudah terjungkal. Pedang tajamnya akan ia miliki, apabila si pemuda dirobohkan. "Kepala gundul, hanya buang tempo saja siaoya mu melayani kau seorang, sebaiknya maju semua Dan kau, hei. Beruang Hitam, mau sekalian" tantang In Hiang. si Hweshio kepala gede bukan main panas hatinya diremehkan oleh pemuda yang tidak ada apa-apanya untuk ditakuti- "Jangan sombong, terima dulu golok Taysu " bentaknya dan konta menerjang In Hiang hingga mereka jadi bertempur. Dalam pada itu, Hek-him Toan cenng anjurkan pada saudara-saudaranya untuk mencari Genggaman untuk mengeroyok In Hiang apabila Toa-suhengnya keteter. sebentar saja mereka sudah siap, dua Hweshio pada pegang pikulan, Toan ceng golok sedang Leng Hian sebatang besi yang merupakan toya panjang. Persiapan mereka memang diperlukan sebab sebentar lagi kelihatan benar-benar Toa-suheng mereka telah keteter, hanya dibikin pembelaan saja dengan goloknya, tidak kelihatan membalas menyerang. Mereka kuatir akan Toasuhengnya dilukai si pemuda, maka dengan serentak mereka sudah turun tangan mengeroyok In Hiang. "Bagus, semua sudah turun" seru In Hiang, suaranya seperti kegirangan. Kepandaiannya murid-murid Tiat-ci Hweshio memang bukannya rendah, apalagi mereka berlima bergabung mengeroyok lawannya, terang telah membuat lawannya repot bukan main. Dalam kerepotannya In Hiang menjadi naik pitam. Tadinya bermaksud hanya untuk main-main saja melayani mereka dan mengasih hajaran satu demi satu. Tapi setelah ia merasakan tekanan berat juga dan mereka kelihatan menyerang dengan telengas seolah-olah menginginkan jiwanya, pikirannya jadi berubah dan hendak balas menyerang dengan kejam "Awas " seru In Hiang lalu disusul dengan suara "sret sret1 beberapa kali. Tampak senjata lawan saling susul berjatuhan di tanah dibarengi dengan suara jeritan kesakitan. Dalam beberapa detik saja, pedang pusaka In Hiang sudah mengambil lima korban sekaligus, si Hweshio kepala gede, kutung lengannya sebatas sikut, dua Hweshio lainnya mendapat tusukan di masing-masing bahunya, Leng Hian copot tangan kanannya sebatas pergelangan dan paling menderita adalah siBeruang Hitam, kecuali lengan kanannya terpapas kutung sebatas pundak, dadanya juga memancarkan darah segar bekas ujung pedang bertamu ke situ. Hek-him Toan ceng sudah tak ketolongan jiwanya karena setelah terkulai roboh, ia sudah lantas menarik napasnya yang penghabisan. ciut nyalinya 4 saudaranya Toan ceng. seketika itu juga mereka sudah pada lari meninggalkan si Beruang Hitam yang sudah menjadi bangkai. Demikian adalah jalannya nasib Dasar si Beruang Hitam mesti mati di ujung pedangnya In Hiang yang sebenarnya bila ia tidak kembali lagi, tentu jiwanya tidak melayang. setelah membikin bersih pedangnya, In Hiang masukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Keadaan tempat itu jadi bertambah sepi dari sebelumnya si Beruang Hitam menemukan ajalnya, tidak seorang manusia tampak menongolkan kepalanya. In Hiang menghampiri kudanya, lalu menyemplaknya. Dengan beberapa tepukan pada lehernya si merah sudah lantas angkat kakinya untuk bawa In Hiang ke arah selatan. sekarang kita kembali pada Lo In, kemana sebenarnya ia dibawa kabur kudanya hingga membuat enci Liannya mewek kehilangan jejaknya. Dasar anak besar nyalinya dan nakal berandalan, Lo In dibawa kabur kudanya demikian rupa bukannya takut malah berkikikan ketawa di atas kudanya, Ia biarkan kudanya membawa dirinya. Pikirnya, sampai dimana sih kekuatan tenaga kuda. Biarka ia lari sampai napasnya habis sendirinya, setempe ia berpaling ke belakang dan melihat enci Liannya sedang menyusul dengan cepatnya, cambuk lantas dikerjakan supaya sang kuda bawa dirinya lebih kencang meninggalkan encinya. Diam-diam hatinya geli, ketika nampak ke belakang tidak kelihatan bayangan Eng Lian menyusul. Pikirnya, sang enci tentu gelabakan mencari jejaknya yang hilang. Tapi, biarlah sebentar ia akan kembali untuk menerima Cincin Berlumur Darah 1 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Darah Menggenang Di Candi 2

Cari Blog Ini