Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 5

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 5 cepat sekali pada 'siang-yang-hiat', jalan darah di jari telunjuk lawan yang mau mengorek matanya. 'Nyer !' rasanya ketika telunjuknya kena disentil. Ma Liong rasakan kesemutan dan ngilu. Tapi ia ada jago silat yang keras kepala dan bandel, hanya sebentar saja ia sudah dapat membebaskan rasa kesemutan dan ngilu. "Nenek maling !" bentak Hek-houw Ma Liong gemas tapi agak jeri juga melihat si nenek sangat lihai. Dua serangannya yang dahsyat dapat dipatahkan dengan mudah, malah ia hampir dirobohkan dengan totokan 'siang-yang-hiat'. "Aku tidak bermusuhan dengan kau. Kenapa kau mau mencelakakan keluarga Ma ?" tanya Ma Liong. "Aku tidak pernah mencelakakan keluarga Ma, aku hanya mau ajak anak gadismu untuk menjadi pelayannya Kim Coa Siancu....." jawab Ang Hoa Lobo tenang-tenang. Tapi ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena lantas dipotong oleh Ma Liong, "Hah ! Apa kau kata " Kim Coa Siancu " Siapa kau, apa kau Kim Coa Siancu sendiri ?" "He he he !" tertawa Ang Hoa Lobo yang melihat Hek-houw Ma Liong seperti yang ketakutan mendengar disebut Kim Coa Siancu. "Aku bukannya Kim Coa Sincu, tapi aku ada suruhannya saja. Kepandaianku amat rendah, beda jauh dengan majikan Kim Coa Siancu yang dapat pergi dan pulang dengan hanya berkesiur angin saja. Tak seorang pun dapat melihat bayangannya kalau dia memasuki rumah orang." (Bersambung) Jilid 05 Hek-houw Ma Liong terkejut. Pikirnya, orang suruhannya sudah begini lihai. Sudah terang si nenek tidak ngebohong kalau Kim Coa Siancu sendiri ada jauh lebih lihai dari padanya. Meskipun sangat jeri, ia tidak ingin kehilangan anak gadisnya. Begitu melihat Ang Hoa Lobo sudah menyentuh pula tubuh anak gadisnya, hendak diangkat. Lantas ia kalap. Ia terjang si nenek dengan pukulan maut, tapi Ang Hoa Lobo hanya geraki badannya sedikit, lantas tangan kanannya diulurkan untuk menangkis. 'Krak' segera terdengar satu suara, berbareng si Macan Hitam lompat mundur sambil pegangi tangan kirinya yang telah patah tulangnya. Tiba-tiba tiga sosok tubuh sudah menyerbu masuk. Mereka ternyata murid-muridnya Ma Liong. Si guru silat melihat kedatangan murid-muridnya bukannya girang malah ia jadi ketakutan karena ia sudah perhitungkan, mereka bukan tandingannya si nenek. Ia hendak membuka mulut mencegah tapi sudah terlambat karena Gouw Liu Pa yang berangasan sudah menerjang Ang Hoa Lobo dibantu oleh Hoan Tek Huy sedang Ma Kian menolong ayahnya yang dalam semaput kesakitan. Ang Hoa Lobo pikir tidak seharusnya ia membuang-buang waktu, maka ketika si berangasan Gouw Liu Pa mengulur tangannya ke arah dada, ia menyampok dengan tangan bajunya yang berisi lwekang. Tentu saja si berangasan tidak tahan. Kedua lengannya ia rasakan seperti copot. Si nenek susul dengan totokan ke iga kiri sehingga Gouw Liu Pa seketika itu juga roboh di lantai. Tek Huy melihat kawannya hanya segebrakan saja dirobohkan, hatinya panas lalu menerjang Ang Hoa Lobo. Si nenek berkelit ke samping, dari mana jarinya yang kurus diulur meluncur menotok 'ceng-leng'hiat' di lengan kanan Tek Huy sehingga merasakan lengan yang tertotok itu kesemutan dan ngilu kemudian ia pun roboh terkulai seperti Gouw Liu Pa. Ma Kian terkejut. Apa mau, sebelum ia turun tangan, dengan kegesitannya si nenek sudah mendahului si anak guru silat, menotok 'thian-ki-hiat' di iga kanan. Lantas Ma Kian juga roboh seperti teman-temannya. Serangan is nenek tak puas sampai disitu sebab segera menyusul si guru silat Ma Liong sendiri dibikin mendeprok di lantai karena totokan si nenek yang lihai. "Hehehe !" terdengar Ang Hoa Lobo tertawa ketika melihat musuh-musuhnya sudah dirobohkan semua. Ia menghampiri pembaringan Sian Bwee, membungkus tubuh si dara yang tak bergerak karena ditotok lalu diangkat lantas dipanggul dibawa pergi dari situ. "Aku hanya menotok tidak berat. Maka dalam tempo tidak lama kalian sudah bebas pula dari totokan. Hehehe....!" demikian si nenek meninggalkan kata-katanya ketika ia mau berjalan pergi membawa Sian Bwee. Si Macan Hitam Ma Liong dan ketiga muridnya hanya matanya saja dapat bergerak-gerak mengawasi si nenek, mulutnya tak dapat membuka suara untuk mencaci atau meminta belas kasihannya Ang Hoa Lobo supaya jangan membawa Sian Bwee. Adalah pada saat si nenek menginjakkan kakinya ditanah, barusan lompat dari atas genteng rumah tiba-tiba ia dibikin kaget dengan teguran dari belakangnya, "Jalan perlahan sedikit, orang tua. Jangan tergesa-gesa !" Ang Hoa Lobo cepat menoleh, kiranya yang berkata-kata tadi adalah seorang perempuan usia kira-kira 40 tahun. Mukanya bundar, alisnya lentik, tingginya sedang, cantik wanita itu, sedang ditangannya ada mencekal sebatang pedang yang siap untuk digunakan dimana perlu. "Kau siapa ?" tanya Ang Hoa Lobo. Wanita itu ketawa manis sebelum menjawab, "Aku adalah nyonya dari rumah ini." kemudian sahutnya, suaranya halus terang. "Oh, jadi kau ada nyonya Ma ?" tanya Ang Hoa Lobo pula. "Tidak salah, aku adalah nyonya Ma.' sahutnya. "Ingin aku menanyakan sebab apa kau orang tua mencari perkara dengan keluarga kami disini ?" "Heheheh !" tertawa Ang Hoa Lobo. "Soalnya aku mau membawa anak gadismu dirintangi oleh suamimu. Kalau tidak, tak akan aku menganggu ketentramanmu." Nyonya Ma bersenyum tawar. Alisnya tampak berkerut, "Meskipun kau sudah mengacau dalam rumahku, melukai suamiku dan menotok rubuh tiga muridnya, tidak aku tarik panjang. Kau boleh berlalu dengan tenang asal kau tinggalkan itu bungkusan yang digemblik dipunggungmu. Akur ?" kata si nyonya Ma. Diam-diam si nenek merasa heran. Ia mengawasi wanita cantik, pikirnya, bisa ada orang yang sikapnya begini tenang menghadapi musuh yang sudah timbulkan kerugian. Ucap katanya begitu merendah, seharusnya si nenek mengalah dan kembalikan bungkusan gede itu kepada nyonya Ma, tapi dasar watak si nenek mau unggul saja, tidak mau ia pulang dengan tangan kosong. Maka ia lalu menjawab, "Seharusnya aku menurut apa kau katakan, cuma dalam menjalankan perintah Kim Coa Siancu, siapa yang berani membantah " Inilah yang menjadikan aku keberatan......." Ia tutup kata-katanya sambil putar tubuhnya, disusul dengan satu lompatan jauh untuk lantas meninggalkan si wanita cantik. Tapi niatnya si nenek tidak kesampaian sebab dibelakangnya lantas terdengar pula nyonya Ma berkata, "Kalau begitu, marilah kita main-main untuk menetapkan siapa unggul !" Kapan Ang Hoa Lobo balik tubuhnya, lantas ia menghampiri nyonya Ma yang sudah siap dengan pedangnya. Melihat caranya si nyonya menyusul ia yang lari menggunakan ilmu larinya yang istimewa dengan mudah saja dapat membayangi dirinya, maka Ang Hoa Lobo menduga bahwa wanita ini bukannya lawanan empuk. Maka itu ia lalu turunkan bungkusannya yang berisi Sian Bwee kemudian menghadapi nyonya Ma, ia berkata, "Jika kau inin main-main, tidak ada halangannya kita mencoba beberapa jurus !" Toya besinya si nenek sudah disiapkan di tangan kanan. "Bagus !" kata nyonya Ma. "Nah, sambutlah seranganku !" ia menyambung tanpa ada tawar menawar lagi dalam hal siapa lebih dahulu menyerang. Rupanya nyonya Ma sangat mendongkol atas kelakuannya si nenek, meskipun sudah dilayani dengan kerendahan juga masih kepala batu saja. Dua jago betina segera sudah bertempur seru. Ilmu pedang nyonya Ma baik sekali hingga Ang Hoa Lobo berhati-hati melayaninya. Salah sedikit saja ia bisa dipecundangi dan habislah cita-citanya untuk membangun Ang-hoa-pay (Partai Kembang Merah). Maka itu si nenek Kembang merah melayani nyonya Ma dengan sungguhsungguh hingga pertarungan menjadi seru. Si wanita cantik (nyonya Ma) adalah puteri tunggal dari Siangtauwniauw Kam Eng Kim, namanya Lian Eng dan mendapat julukan 'Lengkoan Giok-li' atau 'Wanita elok dari kota Lengkoan'. Selain kesohor kecantikannya, juga kesohor ilmu pedangnya yang hebat. Maklumlah puteri tunggal dari si Burung Kepala Dua yang terkenal dalam propinsi Hokkian, semua kepandaiannya yang ada diturunkan pada Lian Eng sehingga si juwita dari Lengkoan itu menjadi jago betina yang belum menemukan tandingannya. Kepandaiannya itu ada setingkat lebih tinggi dari Hek-houw Ma Liong yang menjadi suaminya atau murid kepala dari Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim. Pertempuran antara Lian Eng Kam dan Ang Hoa Lobo benarbenar ramai. Pedangnya Lian Eng berkelebatan mencari sasaran penting pada tubuh si nenek. Sebaliknya, Ang Hoa Lobo dengan toya besinya yang berat, berputaran dan toyanya menyambar-nyambar keluarkan suara menderu-deru. Diamdiam Lian Eng berpikir, orang suruhannya begini lihai, bagaimana dengan Kim Coa Siancu sendiri kalau menyatroni rumahnya " Lengkoan Giok-li lalu merangsek. Pedangnya berputar sebentaran lalu dengan gerakan kilat ia menikam ke arah tenggorokan Ang Hoa Lobo. Ini ada gerakan 'Giok li touw kang' atau 'Wanita elok menyeberang sungai', salah satu jurus yang penting dari Liu-su Kian-hoat atau ilmu silat pohon Liu, yang menjadi kebanggaan ayahnya. Biasanya Lian Eng belum pernah gagal menggunakan tipu 'Giok li touw kang', tapi kali ini yang dihadapi adalah Ang Hoa Lobo. Terang tak semudah yang ia alami sebelumnya. Melihat pedang hendak menikam 'jalan makanan', si nenek menaiki badannya, toyanya dipegang dengan dua tangan dilintangi menangkis serangan, kaki kanannya berbareng bekerja menyapu kaki Lengkoan Giok-li. Ini adalah gerakan 'Liong pang heng ouw' atau 'Toya naga melindungi telaga'. Melihat serangan gagal, malah kakinya hampir disapu si nenek, cepat Lian Eng ganti serangannya dengan 'Peng ouw se ie' atau 'Hujan gerimis ditengah telaga'. Pedangnya susul menyusul mengarah mta, tenggorokan, pundak dan sebagainya. Cepat gerakan pedang itu hingga kalau bukan Ang Hoa Lobo yang ilmu toyanya tinggi, siang-siang ia sudah dapat dirobohkan oleh si jago betina dari kota Lengkoan. Si nenek tahu bahayanya serangan musuh lalu memutar toyanya, dibarengi dengan suara ketawanya yang melengking, menggunakan tenaga dalamnya untuk membuat kacau pikiran musuhnya yang sedang hebat menyerang. Inilah salah satu jurus Ang Hoa Lobo yang paling ampuh yang dinamai 'Yu lim mo siauw' atau 'Di rimba sunyi iblis tertawa'. Benar saja, tipu silat si nenek membawa efek buruk bagi Lian Eng. Sebab seketika ia mendengar suara tertawa yang seram melengking, pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hatinya tergetar oleh suara tawa Ang Hoa Lobo, serangannya jadi kacau. Kelemahan ini tidak disia-siakan oleh si nenek, toyanya yang berputar tadi berganti arah, nyelonong ke 'hoa-kay-hiat', jalan darah di bagian pundak kiri Lian Eng, kontan si wanita cantik terkulai roboh. Ia rasakan totokan ujung toya si nenek melumpuhkan lengan kirinya. Tangan kanannya masih mencekal pedang tapi tak dapat digerakkan karena kelumpuhan itu dari lengan kiri menjalar ke lengan kanan. Tidak heran kalau pedangnyajatuh dengan sendirinya dan ia mendeprok di tanah tak berdaya. "Hehehe !" tertawa si nenek. "Bagaimana nyonya Ma yang botoh ?" Ang Hoa Lobo berkata sambil bekerja, angkat dan panggul pula bungkusan gede yang terisi Sian Bwee. Setelah selesai dan tinggal berangkat, ia berkata pada Lian Eng, "Nyonya Ma, kau tak usah kuatir. Anakmu akan kupelihara seperti anak sendiri. Dia akan menjadi pelayannya Kim Coa Siancu. Belakangan hari, kalau berjumpa pula dengannya, kau akan kegirangan sebab ilmu silatnya akan berada diatas kalian suami istri. Nah, selamat tinggal........" Setelah melemparkan senyumannya yang tidak enak dilihat, si nenek meninggalkan nyonya Ma yang tidak berdaya. Lengkoan Giok-li mengawasi berlalunya Ang Hoa Lobo dengan berlinang-linang air mata. Ia sangat berduka dan penasaran anak gadisnya digondol orang tapi ia tak dapat menolongnya......... Sudah lama kita tinggalkan Kim Popo. Marilah kita lihat si nenek bandel dengan pacarnya The Sam. Bagaimana perbuatan mereka untuk dapat merebut kembali kotak yang berisi buku Tiam-hiat Pit-koat yang berada di tangan Kim Wan Thauto. Belum lama Kim Wan Thauto sampai di Kunhiang, mereka juga sudah datang menyusul dan dari kejauhan memperhatikan gerak gerik dari si Thauto beranting emas. Kim Popo tidak ambil tempat di rumah penginapan An Goan, dimana Kim Wan Thauto menginap. Ini untuk menjaga jangan sampai ia dikenali oleh Kim Wan Thauto sedang The Sam, ia suruh ambil di rumah penginapan An Goan untuk memperhatikan gerak gerik Thauto dimana bila ada kesempatan The Sam boleh turun tangan untuk merampas pulang kotak mungil berisi kitab pelajaran menotok jalan darah yang amat berharga. The Sam menurut perintah pacarnya. Tidak berani The Sam menghadapi Kim Wan Thauto dengan terang-terangan. Maka ia menunggu sampai si Thauto lenah, baru ia akan turun tangan. Pada malam kedua meliaht gerak gerik Kim Wan Thauto pada waktu makan malam, The Sam yang lihai matanya dapat menduga bahwa Kim Wan Thauto sedang menghadapi suatu urusan, pikirnya, pasti ia akan keluar lagi sebentar tengah malam. Ia sudah menduga pasti si Thauto akan ambil jalan dari jendela kamarnya. Supaya jangan bikin kaget orang, maka malam itu ia terus pasang mata ke jurusan jendelanya si pendeta rambut panjang. Benar lihai dugaannya sebab Kim Wan Thauto lewat tengah malam betul saja keluar melalui jendela kamarnya. Girang hatinya The Sam. Tidak lama si Thauto pergi, ia lantas masuk Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ke kamar Kim Wan Thauto melalui jendela tadi dimana ia menggeledah dan kegirangan menemukan barang yang diselipkan dibawah bantal. Barang itu ia masukkan ke kantongnya, kemudian meniup lilin yang ia pasang ketika ia masuk dalam kamar itu yang dalam keadaan gelap. Cepat ia keluar dari jendela dan dilain saat ia sudah berada dalam kamarnya sendiri. Setelah menyalakan lilin, ia duduk menghadapi meja. Dari sakunya ia keluarkan kotak kecil yang barusan ia sikat dari kamarnya Kim Wan Thauto. Ia pandang kotak mungil itu sekian lama lalu mencoba membukanya tapi tak dapat dibuka. Ia coba dan coba lagi, kotak mungil itu tetap tak dapat dibuka. Setelah dipandang lagi barang itu untuk sesaat lamanya, tibatiba ia tertawa, "Hahaha ! Barng berharga memang sukar didapat, biarlah aku buka belakangan." Kemudian kotak itu ia letakkan diatas meja. Kembali ia memandangnya, tiba-tiba pikiran serakah timbul seketika. "Tidak, aku tidak akan serahkan barang ini pada Kim Nio. Aku harus miliki dulu. Bila aku sudah pandai meyakinkannya dan benar-benar dapat malang melintang dengan ilmu menotokku yang hebat, barulah aku akan menemui Kim Nio lagi. Waktu itu dia toh tidak akan memarahi aku lagi sebab aku sudah dapat membujuk dia dengan turunkan sedikit kepandaian menotokku kepadanya. Dia tentu sudah kegirangan dengan ilmu yang didapatkan dari Tiam-hiat Pit-koat. Hahaha......" demikian ia berkata-kata sendirian. Sebentar lagi tampak The Sam menguap beberapa kali, ngantuk dirasakan matanya. Lalu ia menghampiri pembaringan dan tidur nyenyak disana tanpa memperhatikan pula barang berharganya yang terletak diatas mejanya. Malah ia lupa untuk meniup padam api lilin, yang biasanya dipadamkan bila orang hendak masuk tidur. Dalam keadaan gelap, tiba-tiba sesosok tubuh telah masuk dalam kamar itu melalui jendela, kemudian cepat melompat keluar lagi. Pada keesokan harinya The Sam baru bangun setelah matahari naik tinggi. "Celaka, kenapa aku jadi kepulasan seperti orang mati !" berkata The Sam sembari turun dari pembaringan, menghampiri meja diatas mana ia taruh kota mungilnya. "Hah !" ia terkejut karena kotak berharga itu sudah tidak ada ditempatnya. Dengan gugup ia memeriksa, malah sampai di kolong mejanya, kalau-kalau kotak itu jatuh pikirnya. Tapi barang itu tak diketemuka, lenyap, hilang entah siapa yang ambil. Baru sekarang ia sadar akan keserakahan hatinya untuk memiliki kepandaian hebat tapi akhirnya gigit jari. Siapa yang ambil kotak berharga itu " Apakah Kim Wan Thauto " Bagaimana ia harus melaporkan pada Kim Nio akan kejadian itu " Pikirnya, bagaimana juga ia harus menemui Kim Nio (dimaksudkan Kim Popo) supaya bisa berdamai. bagaimana baiknya untuk mendapatkan kembali barang berharga itu. Maka setelh ia cuci muka dan berpakaian rapi, lalu ia keluar dari hotel An Goan menuju ke hotel Hok Lai untuk menemui Kim Popo. Belum sampai ia bertindak mencari kamar Kim Popo, tiba-tiba ia dicegat oleh kuasa hotel yang berkata, "Aku ada titipan sepucuk surat untuk tuan, marilah ikut ke kantorku." si pemilik ajak The Sam ke kantornya. "Surat dari siapa ?" tanya The Sam. "Sebentar kalau tuan sudah lihat, tentu tahu surat itu dari siapa." sahutnya. Sebentar lagi mereka sudah berada dalam kamar hotel. Si kuasa hotel ambil surat dari dalam lacinya lalu diserahkan kepada The Sam. Ia tidak punya sahabat atau kenalan yang dapat mengadakan surat menyurat. Dari mana datangnya surat itu " Tanyanya dalam hati kecilnya. Tapi bagaimana juga ia harus membuka dan membaca isinya, baru ketahuan siapa pengirimnya. Koko, Setelah aku sudah pandai meyakinkannya dan dapat malang melintang dengan ilmu menotokku yang hebat, barulah aku akan menemui kau lagi. Waktu itu, sebab aku sudah dapat membujuk kau dengan menurunkan sedikit kepandaian menotokku kepadamu. Kau tentu akan kegirangan dengan ilmu totok yang didapatkan dari Tiam-hiat Pit-koat. Hihihi...." Surat itu tidak ditandatangani tapi sudah terang sekali bagi The Sam bahwa surat itu ditulis oleh Kim Popo alias Kim Nio. Kata-katanya persis seperti yang dikatakan tadi malam, maka kotak kecil itu juga sudah tentu telah terbang bersama Kim Popo. Ia sesalkan dirinya yang tidak jujur. Sekarang ia kehilangan kotak berharga dan kehilangan juga Kim Nio, malah kehilangan juga kepercayaan sang pacar itu, bagaimana ia ada muka nanti bertemu lagi dengan Kim Popo " Dalam keadaan lesu The Sam meninggalkan kantor hotel Hok Lay, tidak jadi mencari kamarnya Kim Popo sebab penghuninya sudah terbang tadi pagi-pagi sekali, menurut kuasa hotel. Rupanya Kim Popo tidak percaya seratur persen atas kejujuran The Sam. Maka kalau The Sam membayangi Kim Wan Thauto, ia sendiri tidak tahu kalau dirinya dibayangi juga oleh Kim Popo. Kata-katanya yang diucapkan dalam kamarnya, semua terdengar tegas oleh Kim Popo yang mengintip dari jendela. "Kurang ajar ! Dia mau main gila denganku. Hmm !" diam-diam Kim Popo berkata dalam hati kecilnya. Kemudian dia menyulut hio obat pulas yang asapnya ia tiup masuk ke dalam kamar The Sam. Sebentar saja tampak The Sam mengantuk dan menguap beberapa kali, akan kemudian saking tidak tahan ia sudah banting dirinya di pembaringan dan tidur nyenyak, tidak menghiraukan kotak berharganya disikat Kim Popo. Sekarang kita kembali pada Liu Wangwee. Liu Wangwee sangat berterima kasih kepada si kerudung merah. Disamping itu, ia menyesal sekali tidak dapat mengetahui siapa adanya bintang penolongnya itu sampai pada saat si kerudung merah meninggalkan rumahnya. Dari suara bicara bintang penolongnya, seperti ia pernah mendengarnya cuma ia lupa dimana ia pernah mendengar suara itu. Meskipun ia coba kumpul ingatannya, tapi tetap luput untuk mengingatkan dimana ia pernah ketemu dengan orang yang suaranya tidak asing ditelinganya. Ingin sekali ia menjambret kerudung si kerudung merah tetapi sudah tentu keinginan itu tak dapat ia wujudkan karena perbuatan itu tentu tak sopan. Ia hanya boleh terhibur hatinya ketika si kerudung merah meninggalkan, memesannya, "Toako, kau jangan kuatirkan lagi kepada Sucoan Sam-sat karena mereka tentu tidak akan berani lagi datang kemari sedang bentrokan dengan Tan Kong Ceng sebaikanya diselesaikan saja agar tidak menanam permusuhan yang tidak ada gunanya." "Terima kasih atas nasihat Injin (tuan penolong),aku akan perhatikan betul-betul. Cuma saja....." Liu Wangwee tidak dapat menemukan kata-katanya, sebaliknya ia tersenyum kepada tamunya yang aneh itu. "Cuma saja apa, toako ?" tanya si kerudung merah. "Cuma saja aku menyesal tak dapat melihat wajah Injin." sahut Liu Wangwee. "Untuk apa melihat wajahku. Kita berkenalan cara begini saja sudah cukup." kata si kerudung merah, ia tertawa gelak-gelak. Liu Wangwee terkejut, suara tertawa itu seperti ia kenal baik tapi dimana ia pernah mendengarnya, siapa orangnya " Maka dengan bernapsu berkata, "Injin, suara ketawamu aku kenal benar, hanya dimana aku pernah mendengarnya aku sudah lupa lagi. Dasar aku sudah tua, tukang pelupa !" "Toako kenal suara tawaku, itu sudah bagus." sahut si kerudung merah. "Sekarang belum waktunya aku memperkenalkan wajahku tapi ada suatu waktu, tentu aku akan datang pula untuk menyambangi toako dan disitulah toako nanti kenali siapa diriku." Liu Wangwee tidak memaksa si kerudung merah untuk memperkenalkan diri karena sudah jelas si bintang penolong sungkan berbuat demikian. Maka ia suruh seorang pelayan untuk panggil keluar nonanya, untuk kasih selamat jalan kepada bintang penolongnya yang hendak berangkat hari itu. Sebentar lagi tampak Bwee Hiang sudah keluar, lalu Liu Wangwee berkata pada gadisnya, "Anak Hiang, Injin akan berangkat hari ini juga. Lekas kau mengucapkan selamat jalan dan terima kasih." Bwee Hiang lantas berlutut dihadapan si kerudung merah yang sedang duduk di kursi. "Budi Injin sebesar gunung, entah dengan apa kami dari keluarga Liu dapat membalasnya. Moga-moga Thian akan melindungi Injin dalam perjalanan dengan tak kurang suatu apa pun. Bwee Hiang mengharap perpisahan ini hanya untuk sementara saja dan segera akan disusul oleh kunjungan Injin sehingga Bwee Hiang dapat melayani Injin lagi..." demikian si gadis mengucapkan kata-kata selamat berpisahnya, air matanya tampak bercucuran jatuh di lantai. Bwee Hiang sangat duka hatinya. Ia tidak menduga si kerudung merah akan meninggalkan mereka demikian cepatnya sebab hari kemarin ia duduk berkumpul dengan si bintang penolong, tidak ada omongan bahwa si kerudung merah akan berangkat hari ini. Dalam beberapa hari berkumpul, disamping si kerudung merah terus mengobati ayahnya, tamu asing itu sangat ramah terhadap dirinya. Ia dapat banyak petunjuk dalam hal ilmu silat maupun sastra, dan Bwee Hiang juga sangat hormat dalam pelayanannya sehingga si kerudung merah kelihatan betah tinggal dalam rumah Liu Wangwee. Sebagaimana dengan ayahnya, Bwee Hiang juga sudah berusaha memancing siapa dirinya si kerudung merah tapi tamu itu selalu kesampingkan omongan yang menyinggung tentang keadaan dirinya, maka Bwee Hiang tidak berani mendesak. Kini tiba-tiba ia mendengar si kerudung merah akan angkat kaki dari rumahnya, tentu saja si nona menjadi terkejut dan merasa sangat sedih. Seraya mengelus-elus rambut si nona, si kerudung merah berkata, "Anak Hiang, kau tak usah menangis. Kau lupa dengan peribahasa yang mengatakan, 'Tiap ada berkumpul. selalu ada berpisah'. Maka perpisahan ini semoga disusul dengan kunjunganku berikutnya. Kata-katamu ini tepat sekali. Nah, bangunlah nak !" Sementara Bwee Hiang bangkit dari berlututnya sambil menyusuti air matanya dengan saputangan berbareng si kerudung merah juga bangkit dari duduknya. Setelah angkat tangan menyoja pada Liu Wangwee, dengan tidak berkata apa-apa lagi ia putar tubuhnya dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat sehingga Liu Wangwee tertegun ditempatnya melihat sikap tamunya yang aneh itu. Sebentar saja si kerudung merah sudah lenyap dari pandangan mereka. Sejak itu ayah dan anak itu berlatih keras dalam ilmu pukulan maupun pedang untuk berjaga-jaga kalau-kalau dari pihaknya Tan Kong Ceng mencari gara-gara pula. Dengan dapat beberapa petunjuk yang berharga dari si kerudung merah, dalam tempo pendek ilmu pedang Bwee Hiang sudah berubah jauh. Ia merasa girang akan kemajuannya itu tapi ia tidak pernah lupa untuk berterima kasih kepada tamu anehnya itu. Hari lewat dengan cepat laksana anak panah yang melesat dari busurnya. Tanpa terasa sudah satu tahun setengah dilewati sejak kunjungannya si kerudung merah. Ternyata si bintang penolong tidak kelihatan mata hidungnya pula. Tapi Liu Wangwee dan Bwee Hiang tentram hatinya karena ilmus ialtnya sudah banyak maju. Sementara itu desa Kunhiang pun sudah banyak berubah. Desa itu maju karena pabrik-pabrik disitu bertamah banyak. Penduduk makin banyak sehingga makin ramai desa itu, tentam dan aman. Hartawan Tan juga tidak mencari gara-gara pula kepada Liu Wangwee. Liu Wangwee mengira keadaan akan dinikmati terus dampai hari tuanya, tidak dikira pada suatu hari ia dibikin terkejut dengan adanya kabar yang tersiar bahwa Sucoan Samsat sudah kembali mengganas. Mereka sedang mencari si kerudung merah. Kabar yang mengagetkan Liu Wangwee adanya berita yang mengatakan bahwa Sucoan Sam-sat akan membakar dan menghancurkan desa Kunhiang kalau mereka tidak menemukan si kerudung merah. Mereka hendak melampiaskan angkara murkanya kepada desa Kunhiang sebagai gantinya si kerudung merah. Bingung hatinya Liu Wangwee bersama gadisnya. Kemana mencari si kerudung merah yang sampai sebegitu jauh tidak mengunjungi rumahnya. Tiba-tiba Liu Wangwee ingat akan sahabatnya yang tinggal dikota Gakwan, dibawah kaki gunung Hengsan, ialah Soatcian Ang Ban Teng, Pangcu dari Ceng Gee Pang. Pikirnya, Ceng Gee Pang ada mempunyai banyak anggauta, tersebar luas, siapa tahu dengan bantuan Pangcu dari Ceng Gee Pang, ia dapat berita dimana adanya si kerudung merah supaya dapat diberitahukan tentang maksud Sucoan Sam-sat mencarinya. Demikianlah, Liu Wangwee setelah memesan Bwee Hiang untuk berhati-hati dirumah, ia berangkat ke kota Gakwan menemui Ang Ban Teng dan minta pertolongan sahabat ini. Ang Ban Teng dan Liu Wangwee ada sahabat dari banyak tahun, maka pertemuan mereka sangat menggembirakan. Liu Wangwee tidak minta bantuan sang sahabat untuk menghadapi tiga algojo dari Sucoan, ia hanya minta bantuan supaya mendengar-dengar dimana adanya si kerudung merah. Ang Ban teng menjanjikan akan membantunya. Meskipun tidak diminta bantuan untuk menghadapi Sucoan Sam-sat, Ang Ban Teng tidak enak nampak sahabatnya menghadapi bencana, maka Pangcu dari Ceng Gee Pang itu sudah perlukan malam-malam mengunjungi markas Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cabangnya di atas jurang Tong-hong-gay seperti yang kita ceritakan disebelah atas. Sudah dua minggu lamanya sejak kunjungannya pada Ang Ban Teng, diam-diam Liu Wangwee merasa cemas hatinya karena belum mendapat berita apa-apa dari sahabat itu. Pada suatu siang hari untuk menghibur diri dari kecemasannya, Liu Wangwee jalan-jalan disekitra desa dan akhirnya memasuki rumah makan An Goan dimana ia minta disediakan arak dan makanan sederhana untuk mengisi perutnya. Setelah ia menengak beberapa sloki araknya, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh suara ramai-ramai diatas loteng. Ketika ia melihat ke loteng, saat itu satu anak kecil tengah dilemparkan oleh dua pelayan rumah makan melalui langkan. Liu Wangwee memeramkan matanya saking ngeri melihat adegan itu. Pikirnya, anak kecil dilempar dari atas loteng yang demikian tinggi, bagaimana jadinya kalau sebentar jatuh diatas lantai. Kalau tidak hancur, sedikitnya anak itu bakalan setengah mati keadaannya. Ketika ia membuka pula matanya, tiba-tiba ia berseru, "Eh...." Matanya terbelalak heran sebab anak kecil itu tampak lagi berdiri tidak kurang suatu apa, hanya kedua tangannya memegangi perutnya. Tampak dua pelayan yang melemparkan si bocah turun dan satu diantaranya yang dipanggil Lo-ji telah mendamprat. "Enak saja kau ngomong. Besok-besok sampai kapan kau akan membayarnya " Memangnya uang sewa kamar disini boleh diulur-ulurkan " Hmm ! Bocah, lebih baikkau sekarang pergi dari sini supaya jangan aku si Lo-ji menggebuki kau setengah mati. Hayu, pergi sana. Bocah tukang sikat !" "Aku bukan mau sikat uang sewaan kamar cuma aku mau minta tempo besok." kata si anak kecil. Lo-sam, kawannya Lo-ji menghampiri si bocah, katanya, "Sudah, sudah, hayo keluar. Jangan sampai Lo-ji turun tangan !" Lo-sam berkata sambil menjoroki si anak kecil hingga sempoyongan. Tamu-tamu rumah makan itu jadi pada menonton kejadian itu. Mereka lihat si anak kecil wajahnya hitam legam seperti pantat kuali, usianya kira-kira baru 14 tahun, cuma perawakannya ada tinggi kurus. Entah anak siapa dia, para tamu menanya dalam hatinya. Ada yang menanyakan pada Lo-ji, lalu menerangkan. "Aku tidak tahu dia anak siapa, hanya dia sudah menginap disini selama tiga malam. Ketika diminta uang sewa kamar dan makan, katanya besok, besok kapan " Dia memang anak gembel yang kesasar ke sini rupanya." Lo-ji tutup kata-katanya sambil menghampiri si bocah yang belum mau pergi. Ia ulur tangannya dan menjoroki lagi sambil berkata, "Lekas keluar, aku tak ingin melihat cecongormu, tukang sikat !" Kembali si bocah sempoyongan, malah kali ini sampai terpelanting tapi ia cepat bangun lagi. Para tamu pada ketawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. Hanya Liu Wangwee yang lihai matanya tidak turut ketawa. Sedari tadi, pada saat ia buka matanya melihat si bocah tidak apa-apa dilempar dari atas loteng, hatinya merasa heran. Sekarang ia menyaksikan si anak kecil dijoroki sempoyongan sampai terpelanting lagi, tapi kakinya antap betul. Anak itu seperti mempunyai kepandaian yang disembunyikan. Melihat si bocah belum mau keluar, dua pelayan itu makin marah. Dua orang lalu menubruk mau menggusur si anak hitam dilempar keluar. Benar si bocah kena dicekal tapi waktu mau diseret tidak bergeming seperti nyangkut pada tiang besi. Tapi ini hanya sejenak saja, sebab lantas si bocah dapat diseretoleh dua pelayan itu. Dasar orang-orang dogol, pikirnya, barusan si bocah tidak bergeming diseret lantaran kurang keras gentaknya, maka mereka ulangi lagi, benar saja anak kecil itu kena diseret. "Tahan !" tiba-tiba Liu Wangwee berkata ketika melihat si bocah mau dilempar keluar. Dua pelayan itu hentikan niatnya melempar si anak kecil keluar. Mereka lihat ada orang menghampiri mereka, lantas mereka kenali itu adalah Liu Wangwee, ketua dari orang-orang kaya dalam desa itu. Dengan sangat hormat, mereka menanyakan apa maksudnya si hartawan mengucapkan kata 'Tahan !' yang mana dijawab oleh Liu Wangwee, "Kalian lepaskan anak ini, semua hutangnya aku yang tanggung !" Dua pelayan itu melengak. Tapi tidak berani membantah, maka seketika itu mereka melepaskan cekalannya hingga si anak kecil sekarang bebas. Anak itu ketawa nyengir pada mereka, lalu membungkukkan badan memberi hormat pada Liu Wangwee, katanya, "Terima kasih atas kebaikan Lope." "Anak kurang ajar, Loya begitu kenapa dipanggil Lope ?" semprot Lo-ji mau ambil muka Liu Wangwee. Tapi hartawan Liu menggoyangkan tangannya, "Kalian sudah tidak ada urusan lagi, lekas layani tamu-tamu lainnya !" Lo-ji jadi bengong. Dikira bakal dipuji tapi kenyataannya menerima kata-kata pahit dari Liu Wangwee. Lo-ji dan Lo-sam pada ngeloyor pergi. "Anak, mari kita makan sama-sama." kata Liu Wangwee seraya tangannya diulur mencekal lengan si anak kecil diajak ke mejanya. Liu Wangwee minta pelayan tambah hidangan lagi. Setelah sama-sama sudah ambil tempat duduk, Liu Wangwee menanya, "Anak, namamu siapa ?" "Aku she Lo, nama In." sahut si anak kecil, yang memang Lo In adanya. "Aku ribut dengan pelayan itu lantaran......." "Sudah, sudah." memotong Liu Wangwee seraya goyanggoyang tangannya. "Urusan dengan mereka sudah aku bereskan, jadi tak usah kau sebut-sebut lagi. Aku hanya mau berkenalan dengan kau, sebenarnya kau anak siapa ?" Mendapat pertanyaan itu, Lo In tidak lantas menjawab. Ia kerutkan keningnya, berpikir apakah ia boleh mengaku ia anaknya Kwee Cu Giok " Tidak bisa, sebab ia tidak kenal siapa Kwee Cu Giok itu. Anak Liok Sinshe juga tidak tepat sebab Liok Sinshe janya pelindungnya saja, ia jadi sangsi. "Anak, kau dapat kesulitan untuk menyebutkan nama orang tuamu ?" tanya Liu Wangwee yang melihat Lo In seperti yang ragu-ragu akan menyebutnya. "Oh, bukan, bukan." sahut Lo In gugup. "Aku sendiri tidak tahu aku anak siapa, maka aku jadi ragu-ragu untuk menjawabnya." Lo In berkata dengan malu-malu, sambil tundukkan kepalanya. Liu Wangwee ketawa. "Tidak apa, mari kita makan. Eh, barusan aku lihat kau memegangi perut saja, apa kau sakit ?" "Memang aku lagi sakit perut, tapi sekarang sudah baik." jawab Lo In. "Lantaran tubuhmu didorong-dorong tadi oleh dua orang dogol itu, rupanya perutmu terkojak-kojak hingga perutmu kabur sendirinya. Hahaha..." Liu Wangwee tertawa. Lo In turut tertawa. "Mari kita makan." mengundang hartawan Liu. Lo In tidak diundang untuk kedua kalinya, ia hantam saja makanan yang sudah tersedia di depannya. Sudah lama ia hanya makan buah-buahan saja, kini menghadapi makanan enak bukan main senangnya. Hampir kenyang, tiba-tiba ia ingat sesuatu dalam benaknya, maka seketika itu ia letakkan mangkok dan sumpitnya. Ia bengong, dari kedua matanya tampak ada mengembeng air mata. Liu Wangwee heran melihat kelakuannya Lo In, ia menanya, "Nak, kenapa " Apa kau rasakan perutmu sakit lagi ?" Lo In geleng kepala. "Aku menghadapi makanan seenak ini, aku jadi ingat kepada seseorang yang pernah mengajak aku makan seperti Lope sekarang ini." kata Lo In seraya menyusut air matanya dengan tangan bajunya. "Siapa orang itu ?" tanya Liu Wangwee. "Lebih baik aku tidak menyebutkan namanya." sahut Lo In. "Sebab dengan menyebutkan namanya aku menjadi lebih sedih lagi." Liu Wangwee tidak menanya panjang. Ia hanya menghibur, "Orang baik memang selalu diingat orang, biarlah orang itu mendapat lindungan Thian. Anak, kau jangan sedih, sebaiknya kau makan terus dan lebih banyak." Mendengar hiburan Liu Wangwee, bukannya Lo In terhibur sebaliknya malah ia menangis tersedu-sedu hingga membuat tamu-tamu yang duduk disekitarnya menjadi heran. Liu Wangwee merasa tidak enak. "Nak, mari kita pulang. Di rumah ada enci yang dapat menghiburmu." Dengan serentak Lo In hentikan tangisnya yang terisak-isak ketika mendengar Liu Wangwee menyebutkan kata 'enci'. Ia ingat akan enci Eng Lian-nya. Apakah yang dimaksud oleh orang tua didepannya ini ada enci Eng Lian-nya " Lo In anggukkan kepalanya. Liu Wangwee heran melihat kelakuannya si anak hitam, apakah dia kurang waras ingatannya, tadi menangis tersedusedu sekarang berhenti menangis seraya mengangguk,a pa yang ia anggukkan " Justru kelakuan Lo In yang ia anggap aneh itu yang membuat Liu Wangwee makin keras niatnya untuk mengetahui rahasia dirinya si bocah. Meskipun ditutup oleh wajahnya yang hitam, mata Lo In yang tajam bercahaya tidak bisa menutup matanya Liu Wangwee yang lihai. Orang tua itu menduga pasti si bocah ada berkepandaian sangat tinggi dilihat dari sorot matanya yang tajam luar biasa seakan-akan ada membungkus tenaga dalam yang dahsyat. Setelah membayar uang makanan, Liu Wangwee lantas ajak Lo In berlalu dari situ. "Kau mau ajak aku kemana, Lope "' tanya Lo In seperti yang linglung. "mari kita pulang." sahut Liu Wangwee manis budi. "Pulang kemana ?" si bocah menanya heran. "Ke rumahku. Mari, disana kita bisa ngomong-ngomong dengan tiada yang ganggu." Liu Wangwee kata seraya tarik tangan Lo In. "Nanti dulu, aku mau ambil pakaianku sebentar." kata Lo In sambil terus lari naik tangga loteng masuk ke kamarnya. Sebentar lagi ia sudah turun lagi dengan membawa buntalan kecil. Liu Wangwee ketawa melihat kelakuan Lo In yang lucu. Dalam perjalanan, Lo In menanya, "Lope kata tadi di rumah ada enci ?" "Ya, benar ada enci. Di sana kau akan ketemu enci." sahut Liu Wangwee. Lo In kegirangan. Jalannya makin cepat hingga Liu Wangwee terheran-heran sebab ia sudah gunakan jalan cepat untuk mencoba meninggalkan si bocah, kenyataannya Lo In masih terus mengintil dalam jarang yang dekat sekali dengannya. -- 14 -- Ketika sampai dirumah, Bwee Hiang heran melihat ayahnya membawa pulang satu anak berwajah hitam seperti pantat kuali. "Nah, ini encimu." kata Liu Wangwee memperkenalkan anak gadisnya pada si bocah. "Bukan, bukan, dia bukan enci Lianku." sahut si bocah mengawasi Bwee Hiang. "Siapa itu enci Lianmu ?" tanya Bwee Hiang, tersenyum manis. Lo In ketawa nyengir. Lucu kelihatannya hingga Bwee Hiang tertawa ngikik. "Anak Hiang, kau bawa masuk adikmu itu." kata Liu Wangwee dari sebelah dalam, yang sudah masuk lebih dahulu setelah memperkenalkan Bwee Hiang pada Lo In. "Adik, mari masuk." kata Bwee Hiang. "Ah, aku tidak mau. Tidak ada enci Lian, buat apa aku masuk." kata si bocah seraya mundur dan mau ngeloyor dari depan pintu masuk. "hei, kau mau kemana " Mari masuk, di dalam nanti enci kasih makanan enak." membujuk Bwee Hiang seraya cekal tangannya Lo In ditarik masuk ke dalam. Lo In sudah mau bebaskan tangannya yang dicekal si gadis kalau ia tidak mendengar Bwee Hiang kata 'mau kasih makanan enak'. Ia ragu-ragu makanan enak apa yang akan diberikan padanya oleh enci yang baru dikenal itu. Lagian Bwee Hiang kelihatan ramah tamah meskipun tidak selincah enci Liannya, si bocah merasa malu hati. Maka ia menurut dituntun oleh Bwee Hiang dibawa masuk ke dalam rumah dimana Lo In dapat lihat perabotan dan perhiasan rumah itu sangat indah dan menarik perhatiannya. Dasar orang gunung, ia menanya ini itu pada Bwee Hiang, kapan ia melihat barang yang menarik hatinya. Si gadis sangat sabar, ia memberi keterangan dengan terang hingga Lo In menjadi girang. "Ini namanya apa ?" tanya Lo In pada Bwee Hiang seraya menunjuk sesuatu ketika ia dibawa ke ruang belakang. Bwee Hiang pintar, otaknya cerdas. Melihat Lo In laga lagunya seperti baru keluar dari pegunungan, maka ia selalu melayani gerak geriknya supaya si bocah senang. Apalagi barusan dikisiki oleh ayahnya supaya ia perlakukan si bocah baik-baik karena bocah itu ada isinya. Maka Bwee Hiang menjaga hati-hati supaya tidak membikin hatinya si anak kecil kurang senang. Ketika ia ditanya Lo In sambil tersenyum ia menjawab, "Aku Bwee Hiang, dan kau, siapa namamu ?" "Aku she Lo nama In, enci Hiang." jawabnya seraya nyengir ketawa. Nyengir ketawa dalam wajah hitam macam pantat kuali, tentu saja kelihatannya lucu dan tak tahan Bwee Hiang untuk tidak tertawa. Ia ngikik ketawa sambil menekap mulutnya dengan tangannya yang halus putih. Lo In senang melihat teman barunya banyak ketawa. Pada Bwee Hiang ternyata Lo In lebih terlepas omongannya hingga diam-diam si gadis pun merasa suka pada anak hitam ini. Ditanya kenapa Lo In ribut dalam rumah makan, Lo In lantas saja nyerocos cerita. ia kata bukannya ia tidak mau bayar uang sewa kamar tapi lantaran uangnya kena dicopet orang, maka ia minta tempo besok. Apa mau pada hari yang dijanjikan ia sakit perut tidak bisa keluar hingga kembali berjanji besok. Tapi orang-orang rumah makan tidak mau mengerti dan mengusir dia seperti mengusir binatang. Untung Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ketemu sama Liu Wangwee dan membereskannya, kalau tidak entah bagaimana jadinya. "Orang usirmu seperti binatang, kenapa kau tidak melawan ?" tany Bwee Hiang. "Aku anak kecil, mana bisa menang sama orang tua." sahut Lo In ketawa. "Kau bohong, ya. Kalau kau mau, mungkin dua orang dogol itu bukan tandinganmu." berkata lag si gadis yang hendak memancing Lo In. Lo In ketawa nyengir. "Enci Hiang bisa saja. Aku tidak pandai berkelahi. Bagaimana aku bisa menangkan dua orang tua itu" jawab Lo In kemudian. Si bocah suka dengan humor, maka laga lagunya sabansaban bikin Bwee Hiang ketawa ngikik hingga diam-diam si gadis merasa suka sama adik kecil ini. Omong-omong tidak terasa lagi hari sudah sore. Lo In permisi pada Bwee Hiang hendak berlalu, tapi si gadis menahan. "Nanti dulu, aku akan kabarkan pada ayah." katanya. "Jangan ganggu orang tua. Biarkan dia mengaso. Sebentar pun masih boleh enci sampaikan aku punya rasa hormat dan terima kasih padanya." berkata Lo In ketawa. "Adik kecil, kau jangan pergi dulu. Kalau aku pergi, aku nanti marah !" kata Bwee Hiang sambil bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam menemui ayahnya. Lo In tidak berani tinggalkan tempat itu, karena ia takut membuat marah Bwee Hiang yang ia pandang sebagai enci yang sangat baik padanya. Selagi menanti Bwee Hiang, pikirannya melayang pada Eng Lian. Dimana enci nakal itu sekarang berada, dimana ia harus mencaharinya " Dalam keadaan ngelamun, tiba-tiba ia ditegur oleh Bwee Hiang, "Adik kecil, kau lagi ingati apa saja sampai terbengongbengong kulihat." Lo In seperti tersadar dari tidurnya, dengan gugup ia menjawab, "Tidak, oh tidak. Aku hanya memikiri dimana malam ini aku harus menginap. Aku tidak punya uang untuk membayar uang sewa penginapan, nanti diusir orang lagi." Bwee Hiang tersenyum, "Adik kecil kalau tidak, seharusnya kau tidur di pohon." si gadis berkata sambil ngikik ketawa. "Oh, kalau di lembah, oh, tidak, kalau.... kalau....." omongan Lo In jadi kacau. Ia kesalahan omong maka ia jadi gugup tidak karuan tapi Bwee Hiang yang cerdik sudah lantas dapat menangkap apa yang Lo In ingin maksudkan omongannya itu. "Nah, anak tukang ngebohong." ia berkata sambil jari telunjuknya menuding pada Lo In. "Ngomongnya saja sudah gaga gugu hihihi..." Mau tidak mau Lo In jadi ketawa melihat teman barunya bergaya lucu. "Begini, adik kecil." berkata lagi Bwee Hiang. "Ayah kata sedikitnya kau harus menjadi tamu kita seminggu lamanya, itu baru betul. Kau tidak boleh sekarang pergi dari sini sebab ayah kata kalau kau paksa pergi artinya kau tidak memandang mata pada orang tua." Lo In jadi melengak mendengar kata-kata Bwee Hiang. "Habis, aku tidur dimana ?" tanyanya. "Di pohon, tuh !" jawab Bwee Hiang sembari jarinya telunjuknya menunjuk ke jurusan pohon, lucu gayanya hingga Lo In jadi tertawa terbahak-bahak. Senang Lo In dapatkan teman barunya yang jenaka, sekalipun tidak seperti Eng Lian yang kejenakaannya suka dibarengi dengan mencubit. Si bocah tidak ingat bahwa usia Eng Lian dan Bwee Hiang jauh bedanya. Eng Lian masih terhitung anak-anak sedang Bwee Hiang sudah masuk hitungan gadi yang sudah matang 'keluar pintu', mana bisa antara Eng Lian dan Bwee Hiang disamakan kelakuannya. Bwee Hiang demikian open pada Lo In selain sendirinya kena ketarik sama kejenakannya si bocah, adalah keinginan ayahnya supaya ia dapat mengetahui asal usulnya Lo In. Liu Wangwee percaya anak gadisnya yang cerdik dapat mengorek rahasia dirinya Lo In yang diduga menyembunyikan kepandaian sangat tinggi. Liu Wangwee curigai Lo In bukan anak sembarangan, siapa tahu bapaknya ada orang lihai yang dapat menolong ia dalam kesulitan menghadapi Sucoan Samsat. Matanya Liu Wangwee lihai. Memang betul Lo In hendak sembunyikan kepandaiannnya. Hanya sayang, dasar anak kecil 'sok aksi', dipancing-pancing akhirnya si bocah bercerita juga pada Bwee Hiang bahwasanya ia di lembah ada mempunyai kawan-kawan tentara kera, burung rajawali, gorila serta teman mainnya Eng Lian yang nakal jenaka. Perihal ia makan buah 'Jit-goat-ko' dan nyalinya Tok-gan Siancu tidak ia ceritakan pada si gadis. Bwee Hiang separuh percaya, setengah tidak. Tapi melihat Lo In bercerita sambil bergaya dan tangannya tidak bisa diam dan unjuk aksinya, mau tidak mau tiap sebentar si nona jadi cekikikan ketawa. Lo In girang dapat membikin teman barunya itu ketawa ngikik. Dengan pertemuan ini, membuat ia tidak begitu kehilangan atas lenyapnya Eng Lian. Keluarga Liu ada kaya raya, rumahnya besar bertingkat, dilingkari dengan pekarangan yang lebar dan luas. Malah dibelakang rumahnya ada satu tempat yang dinamakan 'rimba kecil', dimana orang bisa jalan-jalan cari angin seperti di Kebon Raja. Untuk mengurus rumah dan tanahnya yang luas itu, sudah tentu hartawan Liu ada memakai banyak pegawai dan pelayan. Bwee Hiang sendiri ada pakai dua pelayan yang ia beri nama sendiri Ling Ling dan Lan Lan yang berusia kirakira 15 dan 16 tahun. Bwee Hiang bukan gadis hartawan yang sombong dan angkuh, sebaliknya ia sangat ramah tamah sehingga dua pelayannya sangat suka dan setia padanya. Begitulah dengan bergaul sama Bwee Hiang yang diramaikan oleh Ling Ling dan Lan Lan, kelihatannya si bocah Lo In senang tinggal dalam rumahnya Liu Wangwee. Pada suatu sore, cuaca ada adem sekali. Tampak Lo In sedang mendongeng apa tahu, yang terang Bwee Hiang terpingkal-pingkal ketawa. "Kalau mendengar dari mulutmu yang banyak omong, kukira kau hanya satu bocah tukang ngobrol saja, adik kecil." berkata Bwee Hiang setelah ia berhenti ketawa. Kiranya Lo In sedang mendongeng bagaimana ia dapat memerintah tentara keranya dengan bahasa monyet, perintah burung garudanya dengan hanya siulan saja, lompat tinggi ke atas pohon dengan hanay sekali gerakan saja, inilah rupanya yang membuat Bwee Hiang terpingkal-pingkal ketawa. Pantasan si gadis sama sekali tidak percaya. Pikirnya, bagaimana manusia bisa bercakap bahasa monyet, memerintah dan memanggil burung raksasa hanya dengan siulan saja. Maka juga, setelah ia terpingkal-pingkal ketawa ia mengatakan si bocah hanya pandai omong besar saja. Ia tidak kira justru kata-kata ini membuat si bocah penasaran. "Enci Hiang mau bukti ?" tanya si bocah dalam penasarannya. "Coba kau tangkan tuh burung gereja yang saling kejar di pohon !" sahut Bwee Hiang ketawa seraya jarinya menunjuk ke pohon. Lo In menoleh ke jurusan yang ditunjuk. Benar saja ada dua ekor burung gereja yang terbang saling kejar. Tanpa banyak omong si bocah dekati pohon, kemudian enjot tubuhnya ngapung ke atas pohon. Entah bagaimana ia menyergap, tahu-tahu dua ekor burung gereja itu sudah berada ditangannya dan dibawa lompat turun. Sambil ketawa-ketawa ia menghampiri Bwee Hiang, seketika itu sedang terbelalak keheranan melihat gerakan si bocah yang sangat gesit. "Nah, ini lihat, burung yang enci suruh tangkap." berkata si bocah seraya taruh dua ekor burung gereja itu ditelapakan tangan kirinya. Burung yang tadinya lincah, terbang dengan gesitnya, sekarang berada di telapak tangan si bocah kelihatannya jinak, hanya sayapnya mengebas-ngebas seperti mau terbang tapi tak dapat mereka pergi dari telapak tangan Lo In seakanakan sepasang kakinya pada melengket pada telapak tangan si bocah. Bwee Hiang lihat burung itu tampak gemetaran, seperti yang kedinginan. Ia heran, tapi ia lantas berkata, "Pantas tidak bisa terbang, burung-burung itu barusan kau pencet sih !" "Siapa yang pencet " Nah, nih lihat !" berkata Lo In seraya ia lemparkan dua ekor burung itu ke udara. Lantas saja dua burung itu dapat bergerak bebas lagi, terbang gesit sekali seperti tadinya. Malah, kali ini mereka seperti yang ketakutan, sudah terbang jauh dari situ. Bwee Hiang tidak merasa heran. Ia kira si bocah tentu bisa main sulap dengan dua ekor burung gereja yang ditangkapnya tadi. Tapi untuk membikin si bocah jangan sampai kurang senang, maka ia berkata sambil unjukkan jempolnya, "Begini, kau benar hebat adik kecil. Kau ajari aku nanti, ya !" Lo In hanya ketawa, tapi diam-diam si bocah yang 'sok aksi' bangga dalam hatinya. Pada malam harinya, ketika Bwee Hiang omong-omong dengan ayahnya, sang ayah menanya : "Anak Hiang, bagaimana dengan usahamu, apa sudah berhasil ?" "Ah, itu anak tidak punya kepandaian apa-apa. Cuma omong kosong saja. Katanya ada punya teman kawanan kera dan ia bisa bahasa monyet. Hihihi...." jawab Bwee Hiang. Liu Wangwee kerutkan alisnya mendengar si putri menutur. Sebelum ia buka mulut menanya, Bwee Hiang sudah menyambung, "Tapi ayah, lompatannya ke atas pohon dan menangkap burung memang begini !" Bwee Hiang unjuk jempolnya. "Lompatan bagaimana, coba, coba kau tuturkan." mendesak sang ayah. Bwee Hiang lantas tuturkan bagaimana Lo In lompat ke pohon, tahu-tahu dua ekor burung gereja sudah kena ditangkapnya. Kemudian ditaruh ditelapak tangan dan burung-burung itu tak dapat terbang seolah-olah kedinginan. "Anak hitam itu mungkin hanya bisa sulap saja, yah. Tidak sebagaimana ayah duga ada menyembunyikan kepandaiannya...." kata Bwee Hiang menutup penuturannya. Tapi ia terhenti kata-katanya karena tiba-tiba ia dibikin kaget oleh kelakuan sang ayah yang sekonyong-konyong tertawa terbahak-bahak. "Oh, ayah ketawakan dia " Memang juga lucu caranya menangkap burung dan ditaruh ditangannya, persis tukang sulap." menyambung Bwee Hiang, turut ketawa. "Anak tolol !" kata Liu Wangwee kepada puterinya, hingga sang puteri menjadi kaget karena tidak biasanya sang ayah mengatakan ia 'anak tolol'. "Ayah, kenapa kau bilang aku tolol ?" ia menanya dengan penasaran. "Anak Hiang, itu bukannya ilmu sulap dari si bocah." menerangkan sang ayah dengan roman kegirangan. "Anak itu telah memperlihatkan 'Han ki bian kang', Ilmu tenaga lunak berhawa dingin, satu ilmu yang tak mudah dilatih kalau orangnya tidak punya lwekang yang dahsyat dalam tubuhnya. Hahaha, memang tidak meleset dugaanku. Dia satu anak yang luar biasa, harus kau baik-baik melayaninya dan coba-coba pancing kepandaian silatnya, anak Hiang." Bwee Hiang melongo mendengar kata-kata ayahnya. Pikirnya, kalau begitu si bocah benar bukannya main sulap seperti yang dikiranya. Entahlah, apa dia hanya punya kepandaian itu saja " Maka ia girang ketika ayahnya menganjurkan buat ia coba-coba pancing kepandaiannya si bocah hitam dengan ilmu silat. Demikian pada suatu sore, Bwee Hiang ajak Lo In ke lapangan tempat berlatih. Belum lama mereka omong-omong, muncul Liu Wangwee menghampiri mereka. Mereka jadi ngobrol bertiga. Setelah beberapa lama Liu Wangwee berkata kepada anaknya, "Anak Hiang, cuaca begini baik, bagaimana kalau kita berlatih pedang ?" "Bagus, bagus !" kata sang anak sambil bertepuk tangan. "Eh, Ling Ling, coba kau ambilkan sepasang pedang yang biasa aku dan ayah pakai berlatih !" kata Bwee Hiang suruh pelayannya. Ling Ling lekas berlalu ambil barang yang diperlukan, sebentar lagi ia sudah ambilkan sepasang pedang pada nonanya. Satu batang pedang ia pegang sendiri, lainnya ia angsurkan kepada ayahnya. Sambil melirik pada Lo In yang tinggal tenang-tenang saja duduk. Bwee Hiang berkata, "Adik kecil, kau lihat encimu main pedang. Kau nonton disitu !" Liu Wangwee sementara itu sudah siap, ia mengedipkan matanya pada si gadis, satu tanda supaya Bwee Hiang berlatih benar-benar lalu serang menyerang dimulai. Perlahan mula-mulanya, tapi makin lama main seru. 'Bwee hoa kiam hoat' dimainkan dengan indah sekali, banyak jurus-jurus yang berbahaya diperlihatkan hingga sepasang pedang berkelebatan seakan-akan lihat sambaran. Ling Ling dan Lan Lan yang menyaksikan merasa sangat kagum dan bertepuk tangan beberapa kali. Sebaliknya, Lo In menonton acuh ta acuh kelihatannya. Sikap si bocah tak lolos dari matanya Liu Wangwee yang lihai. "Sudah, kita sampai disini saja." kata Liu Wangwee sambil lompat keluar dari arena pertempuran. Bwee Hiang juga merasa heran si bocah seperti yang tidak tertarik dengan latihan mereka yang sangat hebat. Terdengar Liu Wangwee menanya, "Anak In, apa kau tidak tertarik dengan latihan kami barusan ?" "Aku tidak bisa berkelahi seperti kalian, mana aku mengerti." sahutnya, nyengir ketawa. Liu Wangwee menggelengkan kepala. Di luar tahunya Lo In, matanya mengedip pada gadisnya, disambut dengan manggutan oleh Bwee Hiang. "Anak In tidak bisa main pedang. Coba kau ajari anak Hiang. Aku ada urusan. Biarlah kalian berdua teruskan berlatih." berkata Liu Wangwee sambil terus bertindak meninggalkan Lo In dan Bwee Hiang. Bwee Hiang ambil tempat disampingnya Lo In. Ia berkata, "Adik kecil, mari aku ajari kau bermain pedang supaya jangan nanti dihina orang." sambil menarik tangannya Lo In diajak ke tengah lapangan. "Nah, ini pakai pedangku. Aku pakai pedang ayah." menyambung si nona seraya angsurkan pedangnya pada si bocah, sedang ia mengambil pedang Liu Wangwee Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang diletakkan tidak jauh dari situ. "Ketika mereka sudah berhadapan, Lo In berkata, "Eh, barusan aku tidak ingat bagaimana kau mainkan pedangmu. Coba sekarang unjuk sekali lagi." Jengkel juga Bwee Hiang menghadapi anak yang cerewet ini, sembari putar pedangnya ia berkata, "Nah, ini lihat !" Bwee Hiang mainkan tipu-tipu silat 'Bwee hoa kiam hoat' atau 'Ilmu pedang kembang bwee'. ialah 'Bwee swat tiauw goat' atau 'Kembang bwee mekar menghadapi rembulan'. Pedang si nona menusuk ke depan, ke kanan dan ke kiri dengan cepat sekali. Kemudian disusul dengan tipu 'Bwee hiang boan wan' atau 'Harumnya bunga bwee memenuhi taman', salah satu jurus dari 'Bwee hoa kiam hoat' yang paling disukai oleh Bwee Hiang. Mungkin karena namanya 'bwee hiang' ada termasuk di dalamnya. Tampak Bwee Hiang bersemangat memainkan tipu 'Bwee hiang boan wan', pedangnya menari-nari dengan indahnya, berkelebat laksana kilat, tubuhnya si nona yang tinggi seolah-olah tebungkus oleh sinar pedang yang dimainkan. Lo In kelihatan tersenyum-senyum. "Enci Hiang, hebat permainan pedangmu. Sayang aku tak dapat melayani kau. Aku ngeri melihat pedangmu menyambar-nyambar. Bisa-bisa leherku putus oleh.... eh, kau jangan main-main...." Berbareng si bocah menghilang dari hadapannya Bwee Hiang sehingga pedangnya Bwee Hiang menyabet angin. Matanya si gadis celingukan mencari Lo In sementara dua pelayannya Ling Ling dan Lan Lan pada mendekap mulutnya untuk menahan ketawa karena saat itu tampak Lo In berada di belakangnya Bwee Hiang sambil leletkan lidahnya dalam gayanya yang sangat lucu. Melihat Bwee Hiang celingukan mencari dirinya, Lo In berkata, "Enci Hiang, aku ada disini." Bwee Hiang cepat putar tubuhnya. Benar saja si nakal sudah ada dibelakangnya. "Setan kecil." kata Bwee Hiang, ketawa kegirangan. "Kau membohongi encimu, ya !" "Habis, leherku mau disabet pedang, siapa mau kasih." sahut Lo In melucu seraya pegangi lehernya hingga Bwee Hiang ngikik ketawa dibarengi oleh ketawanya Ling Ling dan Lan Lan. Ramailah saat itu pada ketawa. Apa sebenarnya sudah terjadi hingga Lo In kepaksa memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa " Saat itu, Bwee Hiang sedang enaknya memainkan tipu silatnya 'Bwe hiang boan wan', ia mendengar si anak kecil nyerocos ngomong lantas berkelebat dalam benaknya untuk menyerang tiba-tiba pada si bocah dengan telengas. Kalau Lo In bisa silat, tentu ia akan berkelit dari serangannya. Sebaliknya kalau si bocah tak punya guru, paling-paling si anak kecil akan terluka batang lehernya. Mendapat pikiran bagus itu, maka selagi ia putar pedangnya, diam-diam ia balik mata pedangnya sehingga belakang saja yang ia gunakan membabatleher Lo In dengan jurus yang ampuh dan seperti kilat menyambar. Dalam kagetnya, otomatis keluar ilmu saktinya Lo In 'Bu eng bue seng' (tiada bayangan tiada suara), menghilang dari hadapannya Bwee Hiang sehingga si nona terperanjat. Pikirnya, hanya setan saja yang bisa menghilang demikian. Hatinya kegirangan sebab percobaannya berhasil. Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa si bocah memang ada mempunyai kepandaian luar biasa seperti kata ayahnya. "Anak kecil, kau jangan suka gede bohong." kata Bwee Hiang sehabisnya ngikik ketawa. "Sekarang sudah ketahuan rahasia dirimu, kau mau bilang apa ?" Lo In ketawa nyengir. Tiba-tiba ia rasakan adanya angin menyambar dari belakangnya, tangannya yang kanan menyampok ke belakang lalu tangan kirinya diacungkan, kemudian tubuhnya berputar. Tahu-tahu dia sudah menggigti sebuah benda. Ia melihat si penyerang gelap lompat dari balik pohon mau melarikan diri. Benda yang digigit di mulutnya ia tiup sambil berkata, "Perlahan jalan, sahabat...." Orang itu menjerit dan jatuh meloso, badannya menggigil kedinginan. Lo In sudah mau lompat menyusul tapi dari balik pohon-pohon kembali muncul lima orang yang memegat dan mengurungnya. Ternyata orang-oang itu hebat-hebat pengawakannya, tinggi besar dan bengis-bengis. Tapi Lo In tidak takut seperti biasa, ia menanya dengan tenang, "Para paman, aku tidak bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian mau tangkap aku ?" "Hahaha !" tertawa seorang diantaranya, seraya usap-usap jenggotnya yang panjang. "Anak kecil, kau anaknya Kwee Cu Gie, bukan ?" "Aku tidak kenal siapa Kwee Cu Gie." kata Lo In tenang. "Tidak perduli kau anak Kwee Cu Gie atau bukan, kami harus tangkap sebab kau sudah membuat malu namanya Ceng Gee Pang !" kata lagi orang tadi. "Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Ceng Gee Pang ?" tanya Lo In. "Kalau benar, kau mau apa ?" "Aku sih cuma mau menanya saja." Lo In berkata sambil bejak-bejak benda ditangannya. Kiranya itu ada dua panah kecil yang barusan ia tangkap dengan tangannya dari si penyerang gelap. Lima orang yang mengurung si bocah terbelalak matanya karena mereka kenali panah kecil itu terbuat dari logam istimewa tapi diremas-remas Lo In si bocah seperti juga meremas tepung terigu. Dua panah itu hancur menjadi bubuk. "Maju semua !" bentak orang tadi yang berkata pada Lo In, menganjurkan kawan-kawannya mengepung rapat. Dengan rada-rada jeri mereka maju. "Aku hanya satu bocah. Kalau sebentar kalian kalah sama anak kecil, jangan salahkan aku berbuat kurang ajar, ya !" berkata Lo In, ketawa nyengir dia. Panas hatinya orang-orang yang mengepung si bocah. Masa mereka yang sudah tercatat namanya dikalangan Kangouw sebagai jago-jago kenamaan boleh diingusi oleh satu bocah yang belum lepas tetek, pikir masing-masing. "Anak sombong, lebih baik kau menyerah supaya dengan baik kita bawa kau ke pusat untuk dihadapkan kepada Pangcu." kata satu diantara lima orang itu. "Buat apa aku menghadap Pangcu kalian ?" kata si bocah acuh tak acuh. Kalau Lo In menghadapi lima jago itu dengan santai saja, sebaliknya Bwee Hiang dan dua orang pelayannya Ling Ling dan Lan Lan menjadi ketakutan. Mereka kuatirkan keselamatannya Lo In. Meskipun Bwee Hiang tahu barusan Lo In ada unjukkan kepandaiannya yang luar biasa, pikirnya, anak kecil menghadapi orang-orang gede yang sudah kawakan dalam kalangan kangouw, mana bisa menang " Apalagi Bwee Hiang melihat semuanya pada membawa senjata tajam yang menyeramkan. Ia diam-diam heran kenapa ada orang-orang masuk ke dalam rumahnya, sang ayah diam-diam saja " Apakah ayahnya memang tidak ada di rumah " Mungkinkah sang ayah keluar sebab tidak kelihatan muncul orang tua itu disitu justru keadaan sedang gentingnya. Bwee Hiang menjadi nekat. Ia lalu lompat menghampiri Lo In, katanya, "Adik kecil, kau jangan takut. Encimu datang membantu !" Lo In menoleh ke arah Bwee Hiang. "Enci Hiang, kau tenangtenang saja nonton. Lihat adikmua akan bikin semua paman ini tangkap angin." "Kentut !" memotong si orang yang berjenggot panjang. "Jangan jumawa, anak kecil. Lihat kami tangkap kau !" Berbareng ia ajak kawan-kawannya maju, kira-kira jaraknya empat langkalh lagi mereka mendekati Lo In, tiba-tiba si bocah ketawa terbahak-bahak lalu tubuhnya berputar seperti gasing, perlahan seperti asap tubuhnya naik ke atas hingga lima orang itu jadi heran dan matanya mengikuti tubuh Lo In yang ngapung seperti asap. Dalam tertegunnya tiba-tiba mereka rasakan dengkulnya pada terkulai roboh mendeprok ditanah dibarengi dengan jatuhnya sepotong baju dari udara. Kiranya yang mencolot ke udara tadi bukan tubuh Lo In, sebaliknya bajunya yang melayang ke udara bagaikan asap, sementara Lo In berbareng sudha jongkok dan lalu menotok 'leng-coanhiat' jalan darah di dengkul masing-masing lawannya. Sambil pakai lagi bajunya, Lo In jalan menghampiri Bwee Hiang yang saat itu berdiri terkesima di tempatnya. Ling Ling dan Lan Lan terbelalak matanya nampak kejadian yang mempesonakan di depannya, satu kejadian yang mungkin dilakukan hanya oleh tukang sulap kawakan dengan ilmu sihirnya, tapi tidak oleh si anak kecil seperti Lo In. Sungguh kejadian itu mengagumkan kepada yang melihatnya. Termasuk itu orang-orang kasar yang telah menjadi korban totokan Lo In. "Enci Hiang, kau mau apakan orang-orang jahat ini ?" tanya Lo In. Bwee Hiang masih belum hilang kesimanya, ia hanya memandang si bocah dengan air mata mengembeng saking girangnya ia menyaksikan ilmu sakti Lo In. "Kenapa kau menangis, enci Hiang ?" tanya Lo In kaget. "Oh, oh, adik kecil. Aku menangis saking kegirangan. Kau,kau...... selamat." "Sekarang enci mau apakan mereka itu ?" "Adik kecil, biarkan saja dahulu, tunggu ayah pu...." "Tahan, tahan !" terdengar suara dari kejauhan hingga si nona berhenti bicaranya. Kiranya yang datang itu adalah Liu Wangwee. Ketika is orang tua sampai pada mereka, Bwee Hiang cepat berkata, "Ayah, orang-orang ini....." "Tunggu, aku bicara dahulu." memotong Liu Wangwee. "Semua ada orang sendiri. Kejadian yang menegangkan barusan adalah gara-gara ayahmu." Bwee Hiang terkejut, "Ayah....." "Tunggu dahulu, aku belum bicara habis." kata Liu Wangwee. "Anak In, harap kau jangan marah, Semua ini ada aku yang atur. Aku lihat kau selalu mau umpatkan kepandaianmu yang sakti, membuat aku jadi tidak sabaran. Maka, kebetulan ada Pangcu datang dari Ceng Gee Pang dan orang-orangnya. Pangcu dari Ceng Gee Pang adalah sahabatku. Ketika aku ceritakan hal dirimu, dia kaget. Karena dia menduga pasti bahwa kau ada anak itu yang membuat repot cabangnya di Tong-hong-gay. Sahabatku ingin mencoba-coba dengan panah saljunya, dibantu oleh lima anak buahnya, ternyata percobaan mereka telah membuka kedokmua yang menyembunyikan kepandaian saktimu. Anak In, nanti aku akan ceritakan panjang lebar duduknya urusan. Sekarang aku perkenalkan kau dengan Ang Pangcu dari Ceng Gee Pang...." Berbareng maju satu orang, ternyata orang itu adalah si pembokong denan panah lihainya, hingga Lo In menjadi tertawa terbahak-bahak. Setelah Lo In ketawa puas, Soat-cian Ang berkata, "Siauwhiap (pendekar cilik), harap kau jangan marah. Barusan apa yang aku lakukan adalah hanya main-main saja. Tidak sebenarnya kami mau berbuat kurang ajar padamu." "Main-main tinggal main-main, paman." sahut Lo In, melucu dia. "Kalau aku tidak punya sedikit kepandaian, barusan aku sudah ditembusi oleh tiga panah tanganmu." Semua orang jadi ketawa, begitu juga Bwee Hiang, Ling Ling an Lan Lan. Lega hatinya masing-masing, setelah tahu duduknya perkara. Lima orang yang masih mendeprok di tanah lalu dibebaskan dari totokan oleh Lo In. Mereka pada bangun serentak, salaman dengan si bocah, memohon maaf untuk kelakuannya yang barusan dibuat. Tapi Lo In sudah lantas berkata, "Para paman, kalian tidak bersalah. Malah yang harus minta maaf pada kalian yang sudah berbuat kurang ajar membikin kalian duduk ditanah sebentaran. Hahaha.... " Meskipun kata-kata Lo In membanyol sifatnya, tapi mereka merasa tersindir juga, tampak muka semuanya pada bersemu merah saking jengah. Dari musuh sekarang sudah menjadi teman, maka dengan gembira orang-orang pada masuk ke dalam untuk menyambung pembicaraan lebih jauh. Lo In yang tadinya hendak menyembunyikan kepandaiannya, sekarang sudah tidak bisa lagi. Rahasianya sudah bocor. Maksudnya menyembunyikan kepandaia, ia tidak mau cari urusan, kuatir ketahan perjalanannya mencari enci Liannya. Tidak tahunya ia ketemu dengan Liu Wangwee yang lihat matanya hingga rahasia dirinya jadi terbongkar. Soat-cian Ang bersama dengan lima orang pilihannya datang ke rumah Liu Wangwee untuk memberitahukan bahwa ia tidak mendapat kabar perihal si kerudung merah. Ia mau damaikan bagaimana baiknya nanti menghadapi Sucoan Sam-sat. Tibatiba ia mendengar si bocah hitam ada dirumahnya Liu Wangwee, membikian ia disamping kegirangan ingin juga mencoba-coba kepandaian si bocah yang dikatakan Hupangcu Ang Ban Ie si bocah boleh dijuluki 'Hek bin sin tong' atau 'si bocah sakti hitam'. Setelah sekarang ia menjajal kepandaiannya Lo In, barulah ia mau percaya memang anak itu sakti dalam ilmu silat. Tiga panahnya yang diarahkan dengan sungguh-sungguh malah disambut dengan tangan dan mulut. Itu adalah kepandaian luar biasa yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Malah yang membikin ia kaget adalah lima orangnya, bukan orang sembarangan, jago-jago pilihan sudha kena dikerjakan demikian mudahnya, membuat ia merasa takluk pada kepandaian si bocah. Dalam omong-omong, Liu Wangwee menyatakan kesulitannya pada Lo In bahwa ia akan disatroni oleh Sucoan Sam-sat sedang si kerudung merah yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, malah diselidiki juga tidak ketahuan jejaknya ada dimana. "Mendengar namanya," kata Lo In. "Tiga algojo itu benarbenar seram. Entah kepandaiannya bagaimana, tapi kalau sepanjang aku masih ada disini, aku nanti coba-coba menghadapinya. Harap Lope jangan kuatir." Liu Wangwee saling pandang dengan Ang Ban Teng. "Memangnnya kau mau pergi dari sini, Siauw-hiap (pendekar cilik) ?" tanya Ang Ban Teng. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jangan panggil Siauwhiap segala. Panggil saja aku anak In. Aku paling suka dengar, karena itu ada panggilannya Liok Sinshe." kata Lo In. "Baik, baik." sahut Ang Ban Teng cepat. "Aku selanjutnya akan panggil kau, anak In. Tapi kalau aku boleh tahu, siapa itu Liok Sinshe yang kau sebutkan ?" "Liok Sinshe ada seorang baik. Biarlah kita jangan omong tentang Liok Sinshe sebab nanti bikin aku menangis karena ingat kepadanya." kata Lo In, sedih tampaknya. Liu Wangwee dan Soat-cian Ang saling pandang nampak kelakuannya si bocah. "Anak In, kau mau kemana ?" tanya Soat-cian Ang, nampak Lo In bangkit dari duduknya dan mau ngeloyor keluar. Lo In balik tubuhnya, sambil ketawa nyengir ia menyahut. "Aku mau mencari enci Hiang." Rupanya si bocah tidak kerasan duduk berunding dengan orang-orang tua. Liu Wangwee kedipi matanya pada sahabatnya hingga Soatcian ANg tidak membuka mulut lagi. Mereka hanya mengawasi saja si bocah ngeloyor keluar. "Biarkan dia pergi pada Bwee Hiang. Anak itu selama disini kelihatan akur betul dengan puteriku. Aku percaya Bwee Hiang dapat menahan dia." kata Liu Wangwee pada Soat-cian Ang dan para hadirin lainnya. Soat-cian Ang anggukkan kepalanya. "Adatnya aneh tapi terang ia mempunyai kepandaian yang luar biasa sampai aku dan lima Hiocu pilihan digulingkan." menyatakan Pangcu dari Ceng Gee Pang sambil melirik pada anak-anak buahnya. Lima Hiocu (pemimpin pusat) pada ketawa, tapi dalam hatinya merasa malu. Soat-cian Ang alihkan pembicaraan sekarang pada soal Sucoan Sam-sat. "Bagaimana sekarang pikiran toako ?" tanya Ang Ban Teng. "Bagaimana kau pikir tentang si bocah ?" balik menanya Liu Wangwee. "Anak itu berkepandaian tinggi. Hanya aku sangsikan pengalamannya bertempur dengan jago-jago kelas berat seperti Sucoan Sam-sat." menyatakan Soat-cin Ang. "Jadi bagaimana baiknya ?" Liu Wangwee seperti yang keputusan akal. "SUcoan Sam-sat adalah sangat ganas." menyatakan Soatcian Ang. "Kalau toako gagal majukan kita punya jago cilik, akibatnya mengerikan. Seluruh keluarga toako akan dibasmi olehnya. Ini justru yang aku sedang pikirkan." Liu Wangwee ketawa. Tapi ketawanya mengandung kecemasan. Ia rupanya dapat mengerti akan kekuatiran sahabatnya itu. Memang juga ia sangsikan Lo In nanti bisa tempur tiga algojo dari Sucoan yang buat itu tapi apa daya " Keadaan sudah memaksa, si kerudung merah yang diharapharap kedatangannya kini ditumplek pada si bocah saja. Kalau toh Lo In tidak tahan mengusir tiga jagoan jahat dari Sucoan itu, apa boleh buat. Sudah nasibnya mesti hancur lebur dibawah keganasannya mereka. Cuma ia menyesal kalau dalam urusannya itu si bocah nanti kebawa-bawa membuang jiwa dengan percuma. APa nanti kata orang tuanya apabila mengetahui duduknya urusan bahwa jago cilik itu dibawabawa olehnya sehingga menemui kebinasaannya. Memikir kesitu, hartawan Liu menjadi lesu. Untuk beberapa saat dalam ruangan itu menjadi sunyi. "Pangcu, bukankah kita akan ketamua Kian-san Ji-lo ?" nyeletuk salah satu Hiocu dari Ceng Gee Pang yang bernama Lie Goan Tay. "Aaa... " tiba-tiba Ang Ban Teng terkejut girang. "Kau benar Lie Hiocu. Aku sampai lupa akan kedatangan Kian-san Ji-lo. Ya, ya, betul toako."ia meneruskan kata-katanya pada Liu Wangwee. "Dalam dua hari ini Ceng Gee Pang akan kedatangan Kian-san Ji-lo, aku nanti coba untuk minta bantuannya. Asal mereka bersedia membantu, rasanya kita tak usah kuatirkan akan kedatangannya tiga orang jahat itu kemari." "Kian-san Ji-lo...." menggumam Liu Wangwee. "Bukankah toako juga kenal dengan Kian-san Ji-lo Cia Kie dan Cia Liang " Dua orang tua dari Kian-san itu kepandaiannya susah diukur." Liu Wangwee anggukkan kepala. "Aku tidak kenal dengan dua orang tua dari gunung Kian-san (Kian-san Ji-lo)." katanya. "Hanya kau dengar sepak terjangnya dalam rimba persilatan tidak menentu sehingga orang sangsi apakah mereka itu masuk kalangan Pek-to atau Hek-to. Liu Wangwee belum jelas benar apakah Kian-san Ji-lo itu masuk Pek-to (golongan ksatria) atau Hek-to (golongan jahat). "Mereka ada hubungan baik dengan suhuku." berkata Soatcian Ang. "Kalau aku minta bantuannya, rasanya mereka tentu mau terima." "Ya, kalau Hiante yang minta untuk memecahkan kesulitan Hiante sendiri rasanya mereka tidak menolak." menyatakan Liu Wangwee. "Tapi ini halnya menyangkut diriku, mana dapat mereka dimintakan bantuannya sedang aku tidak kenal kepada mereka ?" "Hahaha...." tertawa Soat-cian Ang. "Toako ini anggap aku seperti orang lain atau bagaimana " Urusan toako sama juga ada urusanku, kenapa mesti dibedabedakan ?" Senang Liu Wangwee mendengar kata-kata sahabatnya itu, dengan siapa memang ia bersahabat rapat meskipu tidak angkat saudara. "Kalau begitu terserahlah untuk mana sebelumnya aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas perhatian Hiante." kata Liu Wangwee seraya bangkit dari duduknya dan angkat tangannya menyoja pada Ang Ban Teng hingga tergopoh-gopoh Soat-cian Ang berdiri untuk membalasnya. Ia berkata, "Jangan seeji, toako." Demikian perundingan sudah didapat pemecahan. Kian-san Ji-lo atau dua orang tua dari gunung Kian-san, she Cia bernama Kie dan Liang, pendek saja. Sepak terjangnya disamping membuat kagum orang, juga membikin orang membenci mereka. Itulah karena perbuatannya yang murah hati dan kejam buas hingga orang tak dapat memastikan mereka masuk golongan baik atau jahat. Mereka ada hubungan baik dengan gurunya Soat-cian Ang, si panah salju ialah Ang Hui Kin, satu she dengan Soat-cian Ang, gelarnya 'Touw-kut-ciang' atau 'si pukulan menembus tulang', cukup kenamaan dalam kalangan Kangouw. Omong-omong dalam hal berkelana, Ang Hui Kin dapat tahu kalau dua sahabatnya ini bakal lewati kota Gakwan, maka Ang Hui Kin minta kalau dua orang tua itu lewat disana, sukalah mampir di pusat Ceng Gee Pang. Disana muridnya Ang Ban Teng menjadi Pangcu. Cia Kie dan Cia Leng terima baik undangan itu. Maka diamdiam Ang Hui Kin sudah mengabarkan pada Ang Ban Teng bakal kedatangannya dua orang tua itu ke Gakwan. Benar jgua, dua jago tua yang sepak terjangnya tak menentu itu datang di Gakwan, selewatnya dua hari dari kejadiankejadian yang diceritakan diatas. Kedatangan mereka sangat dihormatai sekali oleh Ang Ban Teng dan anak buahnya. Dalam omong-omong, Soat-cian Ang menceritakan tentang sahabatnya Liu Wangwee menghadapi kesuakaran akan disatroni Sucoan Sam-sat dan minta bantuannya dua orang tua itu untuk menjadi perantara suapaya urusan dapat didamaikan. Cia Kie kerutkan alisnya setelah mendengar penuturan Ang Ban Teng. "Untuk menjadi perantara, kami tidak keberatan." kata Cia Kie. "Cuma soalnya, apakah Sucoan Sam-sat dapat memahami atau tidak kami punya maksud baik " Biasanya, tiga algojo itu suka bawa kemauannya sendiri, tidak ingin urusannya dicampuri orang lain. Inilah yang sulit. Akhirnya, tentu akan terjadi pertempuran." Ang Ban Teng terdiam. Lalu ia ceritakan tentang Sucoan Samsat yang dipecundangi si kerudung merah. Sebenarnya mereka ada mencari si kerudung merah tapi oelh karena orang yang dicari tak dapat diketemukan, maka Liu Wangwee yang akan dijadikan sasaran dari kekejamannya sebagai pembalasan sakit hati. "Memang aku dengar." Cia Liang kali ini yang bicara. "Pada waktu belakangan ini ada muncul satu pendekar dengan kerudung merah. Katanya ia selalu membuat kebaikan dalam sepak terjangnya sehingga orang sangat memujanya. Kami belum tahu siapa adanya dia dan ingin sekali kalau ketemu, kami juga akan coba-coba kepandaiannya yang hebat seperti dikatakan orang." -- 15 -- Lalu Ang Pangcu ceritakan halnya si bocah Lo In, bagaimana dia (Soat-cian Ang) dan lima Hiocunya dipecundangi si bocah secara yang mempesonakan. Dua orang tua itu diam-diam terkejut mendengar ceritanya Pangcu dari Ceng Gee Pang. "Ah, masa ada kejadian begitu ?" tanya Cia Liang, tidak percaya dia. "Memang, kalu tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tidak akan percaya dengan ceritaku barusan." kata Ang Ban Teng. "Nanti kedua Lo-suhu saksikan sendiri kepandaiannya yang luar biasa itu." Tadinya Kian-san Ji-lo mau menolak dengan halus permintaan bantuan Ang Bang Teng. Tapi setelah mendengar tentang adanya bocah hitam yang gaib kepandaiannya, maka mereka jadi rubah haluan. Ingin mereka menyaksikan kepandaiannya bocah sakti itu. Demikianlah, pada malam harinya dengan diantar oleh Ang Ban Teng, Kian-san Ji-lo telah bikin kunjungan pada Liu Wangwee, oleh siapa diterima dengan manis budi hormat hingga dua orang tua itu menjadi girang. Selain mereka bertiga, juga Ang Ban Teng ajak lima Hiocunya. Pikirnya, jikalau perlu mereka bisa dikerahkan tenaganya. Meskipun bulan muda, malam itu malamnya Sie-gww ce-cit (bulan 4 tanggal 7 Tionghoa), cuaca tampak terang. Sudah menjadi kebiasaan dari Liu Wangwee, kalau ada datang tamu yang menjadi kenalan baiknya, ia suka bawa tamunya itu ke taman bungan yang dikitari oleh banyak pohon besar dan tinggi yang terawat baik. Kali ini kedatangan Pangcu dari Ceng Gee Pang yang membawa serta Kian-san Ji-lo dan lima anak buahnya juga oleh Liu Wangwee dibawa ke taman tersebut. Disana, selain mereka menikmati hidangan yang mencocoki selera, juga menikmati harumnya bunga-bunga yang baru mekar dalam taman yang luas itu. Senang kelihatannya para tamu dibawa ke tempat ini. Mereka memuji Liu Wangwee yang dapat menciptakan taman sedemikian indah dan menariknya. Dalam omong-omong Kian-san Ji-lo matanya selalu melirik sana sini. Liu Wangwee diam-diam heran, tapi Ang Ang Teng lantas sudah dapat tebak maksud dua jago tua itu. Ia lantas berkata pada Liu Wangwee, "Toako, kedua Lo-suhu ini ingin berkenalan dengan anak In. Dimana dia sekarang ?" "Oh, begitu." sahut Liu Wangwee, tahu sekarang ia kenapa dari setadian dua jago tua itu larak lirik saja. "Nanti aku suruh panggil dia." Lantas Liu Wangwee suruh salah satu pelayannya untuk memanggil Lo In. Tidak lama pelayan itu datang kembali tapi tidak dengan Lo In. Ia berkata pada Liu Wangwee, "Loya, anak itu tidak ada ditempatnya." "Coba cari, tentu dia ada bersama Siocia." "Sudah kucari dan menanyakan pada Siocia. Katanya anak kecil itu sejak siang tadi keluar dan sampai sekarang belum kembali." Liu Wangwee heran. Kemana perginya Lo In sebab biasanya anak itu hampir tidak berkisar dari samping puterinya. Lalu ia minta maaf kepada dua jago tua itu, katanya, "Harap kedua Lo-suhu dapat memaafkan, bocah itu katanya tidak ada." "Jangan seeji, Liu-heng." kat Cia Kie. "Kedatangan kami kemari memang pertama ingin belajar kenal dengan bocah sakti itu. Tapi biarlah, kalau dia tidak ada di rumah. Kami rupanya tidak berjodoh menemuinya." "Maksud kedua." menyambung Cia Liang, adiknya. "Adalah hendak mendamaikan urusan Liu-heng dengan Sucoan Samsat. Kami harap saja berjalan memuaskan dan...." Cia Leng berhenti bicaranya karena melihat ada satu pelayan yang berlarian datang menghampiri Liu Wangwee kepada siapa diserahkan sebatang pisau kecil dengan secarik kertas. Tanpa menanya lagi pada si pelayan, Liu Wangwee lantas baca surat itu diterangi rembulan. Tampak mukanya pucat setelah membaca. "Toako, ada urusan apa yang membuat kau kaget ?" tanya Ang Ban Teng. Liu Wangwee tidak menjawab, hanya serahkan secarik kertas itu kepada sahabatnya, siapa lalu menyambuti dan dibaca isinya. "Sucoan Sam-sat datang !" sekonyong-konyong Ang Ban Teng berteriak hingga membuat terkejut para hadirin seketika itu, tidak terkecuali Kian-san Ji-lo. "Inilah Lo-suhu, coba baca." kata Ang Ban Teng seraya menyerahkan secarik kertas itu kepada Cia Kie yang lalu membacanya. Surat itu hanya pendek saja bunyinya : "Liu In Ciang, meskipun kau minta bala bantuan dua tua bangka dari Kian-san, rumahmu toh akan kami hancurkan dan bakar habis. Serumah tanggamu tak ada satu jiwa yang kami tinggalkan ! Sucoan Sam-sat" "Hehehe !" tertawa Cia Kie. "Kami tidak bermusuhan dengan kalian, tapi kalau kalian anggap kami sebagai musuh, apa boleh buat. !" Kemudian ia berpaling pada Liu Wangwee yang masih tertegun ditempatnya. Ia berkata, "Liu-heng, mereka memasukkan nama kita berdua. Biarlah kami berdiri dibelakangmu. Jangan takut Liu-heng. Dan....." "Hahaha !" sekonyong-konyong kedengaran suara tawa dari balik gerombolan rumput alang-alang hingga bicaranya Cia Kie menjadi terhenti lalu berpaling ke jurusan orang tertawa tadi yang lantas muncul dan Liu Wangwee kenali itulah Sin-mo Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lie Kui, si berewok ganas, saudara ketiga dari Sucoan Samsat. Terdengar kata-katanya menyambung ketawanya tadi. "Tua bangka, biarpun kalian berdua berdiri di belakangnya, percuma saja. Paling baik, kalau kalian tahu gelagat lantas enyah dari sini dan biarkan kami mengganas pada keluarga Liu !" Cia Kie dan Cia Liang bangkit dengan serentak. Yang disebut duluan berkata, "Kian-san Ji-lo belum pernah terbirit-birit lari oleh karena gertakan. Malah makin digertak mereka makin nekad. Hahaha..." Tertawanya berhenti karena sebatang piauw menyambar pada tenggorokannya. "kau kirim barang rongsokan begini. Mana masuk hitungan jago Kangouw !" Cia Kie kata seraya tangannya diangkat dan piauw tahu-tahu sudah terjepit pada dua jarinya lalu dibuang begitu saja hingga membuat Lie Kui panas hatinya melihat senjata rahasianya dihina oleh Cia Kie. Melihat akan terjadi pertempuran ramai, maka semua orang pada mundur. Sedang pelayan-pelayan yang hatinya kecil sudah pada lari ketakutan. "Kau sambuti lagi ini !" teriak Lie Kui, berbareng tangannya saling susul hingga beberapa batang piauw menyambar dahsyat ke arahnya Cia Kie. Ta[i si orang she Cia tidak gentar. Dengan berkelit dan kebasan lengan bajunya yang gedombrongan, semua piauw Lie Kui kena dijatuhkan. Tidak heran kalau Lie Kui menjadi jengkel dan penasaran, cepat ia enjot tubuhnya lompat mendekati Cia Kie. Setelah berhadapan, si berewok obral makiannya pada Cia Kie sambil dua kepalannya bekerja saling susul menyerang toako dari Kian-san Ji-lo. Mereka jadi bertempur seru saling jotos, hebat sekali, sama-sama tandingan. Liu Wangwee merasa tidak enak hatinya. Belum apa-apanya, tamu barunya sudah bertarung dengan musuhnya yang ganas. Bagaimana kalau Cia Kie nanti mengalami celaka " Ai, kemana perginya si bocah perginya " Demikian pikir Liu Wangwee yang menjadi kacau pikirannya memikirkan Lo In yang diharap tenaganya. Sementara itu perkelahian hebat berlangsung terus. Diamdiam tanpa diketahui oleh orang-orang disitu yang tengah memusatkan perhatiannya kepada mereka yang sedang bertempur, disitu sudah tambah dua orang yang bukanlain adalah Giam-ong Puy Teng dan si Cakar Setan Teng Cong. Mereka menyaksikan Sam-tenya berkelahi tenang-tenang saja, seolah-olah sudah memperhitungkan bahwa Cia Kie bukan tandingan Samtenya yang belakangan ini sudah dipale oleh gurunya. Lie Kui berkelahi bagaikan banteng ngamuk, pukulannya mendatangkan suara menderu-deru dan betul-betul saja Cia Kie keteter. Melihat gelagat jelek, Cia Liang adiknya sudah lantas nyerbu untuk bantu engkonya tapi si Raja Akherat Puy Teng sudah menghadang di hadapannya. "Jangan kesusu, sobat !" katanya. "Kalau mau main-main, jangan ganggu orang yang sedang enaknya berlatih. Mari aku layani kau !" Cia Liang gemas. Tanpa banyak cing-cong lagi ia sudah menerjang Puy Teng. Si Raja Akherat ganas pukulanpukulannya. Lwekangnya bertambah setelah dipale oleh gurunya, sebagai bekal untuk menuntut balas. Ia bersilat degan Mo-jiauw Sin-kang atau Tenaga sakti cengkeraman setan. Jurus-jurus yang digunakan sangat berbahaya sekali. Tangannya menjambret dan mencengkeram hingga dalam sedikit tempo saja Cia Liang menjadi kewalahan melayaninya. "Celaka !" kata Liu Wangwee dlam hatinya ketika melihat kedua penolongnya keteter. Bagaimana sekarang " Dari takut, hatinya Liu Wangwee menjadi nekad. Seketika itu juga lompat ke dalam kalangan berkelahi hendak membantu Cia Liang yang sudah kepayahan. Perbuatan Liu Wangwee dicegat oleh Teng Cong hingga dua orang ini jadi bertempur. Liu Wangwee gunakan 'Bwee hoat Kun-hoat (Ilmu jotosan bunga bwee) untuk menggempur Mojiauw Teng Cong. Meskipun kelihatannya perlahan seranganserangannya tapi antap dan telak sekali mengarah sasarannya. Dalam beberapa bulan ini, ia berlatih tekun bersama puterinya. Maka telah didapat kemajuan yang baik sekali. Ia kelihatan bersilat lebih lincah dan cepat. Kalau tempo hari ketemu Teng Cong, saat itu Liu Wangwee sudah punya pukulan-pukulan seperti sekarang, mungkin dapat sama kuat kalau tidak sampai menang. Tapi sekarang dimana Mo-jiauw juga sudah mendapat pelajaran dari gurunya sebagai bekal untuk mencahari si kerudung merah, mau tidak mau Lin In Ciang harus mengakui pihak lawan ada lebih unggul. Teng Cong dari dahulu memang adalah setingkat lebih tinggi kepandaiannya dari dua saudaranya. Ia pun disayang oleh gurunya Thitouw-eng Ie Jie Lo atau Garuda Kepala Besi yang menciptakan ilmu pukulannya tersendiri yang dinamai 'Sin-mo Siang jiauw Ciang-hoat' atau 'Ilmu pukulan Sepasang Cakar Iblis Sakti'. Melayani Mo-jiauw Sin-kang dari Teng Cong yang lihai, sudah tentu Liu In Ciang alias Liu Wangwee bukan tandingannya. Hal mana membuat Pangcu dari Ceng Gee Pang yang menonton menjadi khawatir. Ia lalu mengedipkan pada lima anak buahnya. Tidak sampai dikedipi dua kali, mereka sudah sama mengerti sebab dengan serentak sudah menyerbu ke dalam arena pertarungan sehingga adegan-adegan saling gempur dalam taman bunga itu menjadi ramai bukan main. Tiga orang lawan delapan orang, Sucoan Sam-sat tidak menjadi keder malah tampak makin bernapsu. Tubuhnya berkelebatan gesit sekali hingga lawan-lawannya saban-saban kebogehan serangannya tidak mendapat sasarannya. Sebentar lagi terdengar jeritan saling susul. Itu adalah jeritan tanda dari kesakitan. Tampak beberapa tubuh pada roboh tersungkur, terkulai atau mendeprok di tanah dengan sukar bangun pula. Mereka yang roboh itu adalah lima Hioucu bersama Pangcu dari Ceng Gee Pang, mereka kedengaran merintih kesakitan. Yang masih kuat bertempur tnggal Kiansan Ji-lo dengan tuan rumah. Tapi juga tidak lama sebab Cia Kie sudah dibikin mental tubuhnya kena tendangan Lie Kui, Cia Liang adiknya menyusul kena dicengkeram pundaknya oleh Giam-ong Puy Teng sedang Liu Wangwee tampak masih terus bertahan. Ini bukannya karena Liu Wangwee ilmu silatnya lebih tinggi dari Kian-san Ji-lo, yang sebenarnya kalau ia masih terus dapat bertahan adalah Teng Cong tidak sekejam dua saudaranya. Ia bermaksud mau bikin Liu Wangwee lelah dan roboh sendirinya, ia peras tenaga Liu Wangwee dengan kegesitannya lompat sana sini. Dalam keadaan sudah tinggal robohnya saja, tiba-tiba Liu Wangwee mendengar teriakan puterinya dari jauh yang barusan keluar dari rumahnya. Bwee Hiang barusan saja mendapat laporan dari salah satu pelayannya bahwa ayahnya terancam bahaya di taman bunga, berhantam dengan salah satu orang dari Sucoan Sam-sat. Ia cepat sembat pedangnya dan lari keluar. Tampak olehnya sang ayah sudah lelah dan tinggal robohnya saja. Hatinya sedih bercampur gusar, ia berteriak, "Orang jahat, kau jangan lukai ayahku !" Dengan beberapa lompatan ia sudah sampai di taman bunga. Mo-jiauw Teng Cong lompat mundur ketika diserang Bwee Hiang dengan pedangnya. Berbareng tampak Liu Wangwee sudah jatuh duduk saking lelahnya karena barusan diperas tenaganya oleh si Ji-ko dari Sucoan Sam-sat. "Jangan melukai ayah ! Berani ganggu lagi, jangan sesalkan pedang nonamu tidak mengenal ampun !" kata si nona dengan gagah, ia berdiri di samping Liu Wangwee yang mengeletak empas-empis kecapaian. Kian-san Ji-lo dan yang lainnya sudah pada rebah malang melintang, dari mulutnya keluar rintihan kesakitan. Melihat kejadian itu semua, hatinya si nona sangat sakit. Ia menyesal orang kabarinya telah terlambat. Kalau tidak, tentu ia sudah keluar siang-siang membantu para tamu yang membantu ayahnya menempur si tiga algojo buas. "Ji-ko, serahkan dia padaku." kata Lie Kui yang kegirangan melihat si botoh dapat ia jumpai kembali. "Kalau sebentar kita basmi keluarga Liu, biar tinggalkan dia untuk aku. Hahaha....." Bwee Hiang kenali si berewok yang tempo hari kurang ajar terhadap dirinya. Matanya melotot gemas ke arah si ceriwis hingga Lie Kui kembali berkakakan ketawa. "Kau ketawai apa, orang jelek !" semprot si gadis. "Kau jangan marah. Jelek-jelek aku bakal suamimu, bukan ?" goda Lie Kui. "Fui !" si gadis meludahi muka Lie Kui, saking gemasnya. Sin-mo Lie Kui keburu berkelit hingga mukanya tidak sampai berkenalan dengan ludah si nona. Ia tidak marah, malah dengan ketawa hahah hihi, ia menghampiri Bwee Hiang. Tangannya yang nakal diulur untuk mencolek pipi orang, tapi pedang si nona menyabet laksana kilat. Cepat ia tarik tangannya, kalau tidak, pasti tangan nakal itu akan kutung dan kutungannya pasti jatuh di tanah. "Nona manis, kau jangan galak-galak. Nanti aku cium kau di depan orang banyak !" Lie Kui mengancam dengan omongannya yang tidak enak di dengar untuk telinga si nona. "Tutup mulut kotormu !" bentak Bwee Hiang. Berbareng pedangnya dikasi kerja untuk menyerang si setan sakti. Pikirnya, ia sudah berlatih banyka dengan ayahnya, masa ia tidak bisa menabas si berewok yang memuakkan ini " Ia tidak tahu bahwa Lie Kui juga sudah dapat kemajuan banyak, dibekali oleh gurunya. Serangan si nona meskipun bagus dan berbahaya, tidak ubahnya seperti dahulu ketika ia menghadapi Lie Kui. Ia hanya diganda dengan berkelit sana sini saja hingga diam-diam Bwee Hiang mengeluh kenapa dirinya goblok amat tidak bisa menjatuhkan Lie Kui. Si setan sakti sebaliknya merasakan bahwa ilmu pedang si nona sudah jauh berbeda dengan dahulu. Diam-diam ia amat berterima kasih pada gurunya sebab kalau tidak kepandaiannya ditambah, sekarang menghadapi si nona, salah-salah lehernya bisa dibabat pedang yang menari-nari dengan sangat cepatnya. Bwee Hiang gunakan gurus serangan kesayangannya, ialah 'Bwee hiang boan-wan' (harumnya bunga bwee memenuhi taman), bagus sekali dimainkan oleh si gadis. Gerakan pedang menari-nari dengan indahnya. Menyabet ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah dengan cepat sekali. Dengan itu ia coba mendesak si setan sakti tapi tidak bermanfaat. Lie Kui adalah lebih gesit dari dahulu. Malah sekarang lantaran agak kewalahan, selainnya berkelit sana sini, lengan bajunya sering dipakai menyampok pedang hingga serang si nona sering mencong dari sasarannya. Teng Cong dan Puy Teng ketawa bergelak-gelak melihat si bontot tengan permainkan si nona yang sudah jadi mandi keringat. Sebaliknya, Kian-san Ji-lo menonton dengan rasa penuh penasaran. Pangcu dari Ceng Gee Pang dengan lima anak buahnya merintih-rintih menahan sakit dari lukanya sedang Liu Wangwee keadaannya dalam sadar atau tidak, mengikuti jalannya pertempuran si gadis lawan si bontot dari Sucoan Sam-sat. Sebentar lagi, tampak si gadis menusuk dengan bernapsu. Inilah tindakan yang ditunggu-tunggu oleh Lie Kui. Dengan tipu 'Han mo tui ho' atau 'Setan kedinginan mengejar api', ia lihat pedang Bwee Hiang tangan bajunya dibarengi dengan kekuatan lwekang, ia menyentak hingga senjata itu terlepas dari cekalannya si gadis. Malah Bwee Hiang hampir terhuyung-huyung menubruk si berewok kalau sja ia tidak cepat-cepat tancap kakinya dengan ilmu 'cian kin tui' yang membuat berat badannya seribu kati. Bwee Hiang berdiri terkesima. Putuslah semua harapannya. Tadinya ia berbesar hati dengan ilmu pedangnya yang hebat, ia dapat melindungi orang-orang yang kini rebah malang melintang. Kenyataannya, ilmu pedangnya meskipun meningkat berkat pengunjukkannya si kerudung merah, tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi si muka berewok. Ia lupa bahwa lwekannya kalah jauh dengan Lie Kui. Jago pedang tak dapat menjadi jago pedang yang kesohor jikalau ilmunya itu tidak dibarengi dengan lwekang yang tinggi. Seperti Bwee Hiang, ilmu pedangnya bukannya jelek, ia bisa bikin Lie Kui mandi keringat dan mungkin tertusuk salah satu anggotanya kalau saja lwekangnya Bwee Hiang sedikit sama dengan tenaga dalamnya si berewok. Bwee Hiang hanya merasa cemas, cemas karena latihannya kurang mahir pikirnya. Sayang, sebenarnya Bwee Hiang bisa menjadi jago betina kelas wahid sebab ia berbakat kalau saja ia mendapat didikan yang baik dari seorang berilmu dan melatih lwekangnya yang dahsyat untuk menghadapi jagojago kuat. Dalam putus asa dan hilang harapan, Bwee Hiang cuma bisa jongkok dan menubruk ayahnya, dipeluki sambil menangis. "Oh, ayah, anakmu yang celaka ini, yang membuat gara-gara ini semua. Oh, ayah, ayah....." ia menangis makin keras ketika sang ayah digoyang-goyang tubuhnya tinggal diam saja. Dasar orang buas, dengan tidak punya perasaan sedikitpun melihat orang sedang bersedih. Sin-mo Lie Kui seraya menghampiri si nona, ia menggodai, "Nona manis, kalau aku Lie Kui tidak pandang kau ada calon istriku, siang-siang sudah aku cabut nyawamu. Sekarang jangan nangis, marilah ikut aku..........." "Tahan, tahan, aku datang....." terdengar orang berteriak, keluar dari pintu belakang rumah. Teriakan mana membikin Lie Kui tidak jadi mencekal lengan si botoh yang lemas halus. Dalam sekejapan saja lantas berdiri di depan Sucoan Sam-sat seorang anak berwajah hitam. Mereka tidak tahu bagaimana si bocah bergerak sebab tahu-tahu setelah terdengar teriakannya 'Tahan, tahan, aku datang........', orangnya sudah berdiri di hadapan mereka. Sudah tentu mereka tidak pandang mata pada Lo In yang hanya satu bocah mukanya hitam, lain tidak. Lie Kui tertawa, kapan melihat anak kecil itu wajahnya hitam. Ia berkata, "Anak kecil, pantas benar kalau kau jadi anak aku Lie-toaya (tuan besar Lie)." Lo In ketawa nyengir. "Sama-sama hitam, bagus sekali kalau kau pelayan dari aku Losiauwya (tuan kecil)". sahut Lo In. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Matanya Lie Kui mendelik pada si bocah. "Hei, anak kecil. Lekas kau enyah dari sini !" kata Giam-ong Puy Teng nyaring. "Kenapa aku harus pergi ?" tanya Lo In. "Di sini bukan urusan anak kecil, semua urusan orang tua !" sahut Puy Teng. Lo In tiba-tiba ketawa gelak-gelak. Meskipun suaranya tidak sekeras orang dewasa, tapi bagi telinga bukan main berisiknya hingga dirasakan pekak oleh karenanya. Sucoan Sam-sat bukan main kagetnya apabila merasakan suara ketawa itu selain menyelusup ke kuping memekakkan juga jantung rasa tergetar. Teng Cong yang sangat berhati-hati dalam segala hal lalu menanya pada si bocah, "Saudara kecil, apa maksudmu datang kemari ?" Matanya si bocah berkilat melihat ke sekitarnya, banyak orang bergeletakan rebah keluarkan rintihan sedang enci Hiangnya sedang menangis sesengukkan memeluki Liu Wangwee. "Enci Hiang, kau mengapa menangis ?" ia tanyai Bwee Hiang dan tidak meladeni pertanyaannya Mo-jiauw Teng Cong. "Adik kecil, kau terlambat datang. Oh, ayah, ayah sudah.........." Bwee Hiang tak dapat melampiaskan katakatanya. Karena sangat sedih, ia tersedu-sedu menangis sembari peluki tubuhnya Liu Wangwee dan digoyang-goyang, mulutnya tak hentinya memanggil : "ayah, ayah !" "Anak bau, kau bikin ribut saja !" bentak Lie Kui seraya tangannya yang segede apa tahu, digaploki ke kepala Lo In. Badannya si berewokan mendadak terputar sendiri karena saking kerasnya ia memukul, ia telah menggaplok angin sebab Lo In sudah lenyap dari hadapannya. Mo-jiauw Teng cong yang lihat gelagat jelek sudah lantas hendak mencegah Lie Kui berlaku kasar pada si bocah tapi gagal akeran Giam-ong Puy Teng yang berangasan sudah turun tangan mencengkeram kedua pundak Lo In saat itu ada dibelakangnya Lie Kui. "Celaka !" pikir Mo-jiauw Teng Cong dalam hati kecilnya. Sebelum ia membuka mulut hendak mencegah toakonya berlaku kasar, tiba-tiba terdengar : plak ! plak ! tiga kali. Tubuhnya Giam-ong Puy Teng tampak terputar bagaikan gasing, seraya tangannya memegangi pipinya yang kena digampar oleh Lo In. Kesakitan bukan main dia, sebab giginya sampai pada rontok, malah kepalanya jadi keleyengan pusing karena tubuhnya terputar. Entah dibagaimanakan oleh si bocah nakal. Bwee Hiang sembari tersedu-sedu menangis, diam-diam ia perhatikan gerak gerik adik kecilnya. Melihat Lo In dalam segebrakan saja membuat dua jagoan yang kesohor kebuasannya menjadi pecundang, bukan main girangnya. Malah ia tertawa ngikik waktu nampak Giam-ong tubuhnya berputar macam gasing seraya memegangi pipinya yang bekas digampar si bocah. Melihat keadaan genting, Mo-jiauw Teng Cong tak dapat berpeluk tangan menonton. Segera ia melompat, maksudnya hendak membekuk Lo In yang berdiri membelakanginya. Adegan itu sangat menegangkan urat syaraf sampai-sampai Bwee Hiang menjerit saking ngerinya melihat si bocah dibokong. Tapi bukannya si bocah yang kena dibekuk, sebaliknya si Cakar Setan yang tersungkur dan ngusruk habis, mukanya mencium tanah. Terbelalak matanya si gadis. Ia hampir tidak percaya akan penglihatannya sebab Lo In tampaknya lenyap seperti asap saja. Gerakannya bagaikan kilat, seantero tubuhnya seperti ada matanya, tidak mudah di bokong lawan. Giam-ong Puy Teng tampak roboh terkulai, setelah main gasing sebentaran. Ia rasakan kepalanya pusing benar, mulutnya berlumuran darah. Ketika ia semburkan ada tiga empat biji giginya yang ikut lompat keluar dengan darahnya. Lie Kui naik pitam. Goloknya yang berkilauan dihunus dari sarungnya. "Anak haram jadah ! Kau rasakan golok kakakmu !" bentaknya disusul dengan serangan membacok dari atas ke bawah kemudian dari samping kiri ke kanan dan sebaliknya, disusul dengan tikaman ke arah dada, dahsyat sekali. Cepat serangannya Lie Kui, bertubi-tubi. Tidak heran sebab ia menggunakan salah satu jurus yang paling ampuh dari 'Sinmo Siang jiauw Ciang-hoat' yang dinamai 'Han mo hoan sin' atau 'Setan kedinginan jungkir balik'. Cuma si berewokan merasa amat gegetun karena tiap tebasan, tikaman dan sontekan dari goloknya, seakan-akan menebas, menikam dan menyontek bayangan saja. Lo In di depannya bergerak terlalu gesit, meskipun melayani ia dengan tangan kosong. Mata Lie Kui serasa mabuk, nampak Lo In seperti menari-nari dengan lima bayangan, mengitari dirinya. Terpaksa ia membacok sana sini, serabutan saja. Untuk mengocok si berewokan itu, Lo In sudah gunakan gerakan 'Thian lie pian in', ialah 'Bidadari menari di awan'. Si bocah punya 'Bu ong sin kang' (tenaga sakti tanpa bayangan) yagn sempurna, telah memungkinkan ia memerkan gerakan yang indah, lincah dan gesit laksana kilat dalam jurusnya 'Bidadari menari di awan' tubuhnya tampak bagaikan menarinari diikuti dengan lima bayangan. Karena ini si bontot dari Sucoan Sam-sat matanya menjadi mabuk. Bwee Hiang berhenti menangis. Ia terpesona dengan kepandaiannya si bocah sakti yang nakal, lupa ia kepada ayahnya yang barusan ia peluki dengan tangisan terisak-isak. Demikian mudah si bocah permainkan Lie Kui yang tinggi besar, kasar. Hatonya merasa puas. Pikirnya, "Aku sendiri tak dapat membalas si kurang ajar. Biarlah adik In yang tolong balaskan !" Dalam berpikir demikian, tiba-tiba ia menjerit, "Adik kecil, awas !" Berbareng dengan jeritan si gadis tampak Lo In jumpalitan. Ujung sepatunya yang kecil menotok jalan darah di pergelangan tangan kanan Lie Kui hingga goloknya terpental dan orangnya jatuh numprah. Badannya Lo In kemudian berputar, mencelat ke atas beberapa kali. Ketika si bocah berhenti bergerak, tampak ia berdiri dengan mulut menggigit pisau dah dua tangannya juga menggenggam pisau. Dari mana Lo In dapat tiga pisau dengan berbareng " Itu ketika sedang gembiranya Bwee Hiang menonton si berewokan dipermainkan oleh adik kecilnya, tiba-tiba matanya yang awas melihat Mo-jiauw Teng Cong tengah mengayun tangannya melepaskan senjata rahasianya 'Thoat-beng-ciam' (Jarum pencabut nyawa) dan Giam-ong Puy Teng menyambitkan 'Hui-to' (pisau terbang). Mereka lepaskan senjata-senjata rahasianya dengan serentak dan saling susul hingga Bwee Hiang menjerit 'Adik kecil, awas !' dan hatinya ketakutan adik kecilnya mati dibokong oleh dua orang jahat itu. Mendengar tanda bahaya, si bocah lantas jungkir balik, ujung sepatunya menotok pergelangan Lie Kui hingga goloknya jatuh untuk hindarkan hujan jarum, badannya berputar mengebut dengan bajunya sedang sambaransambaran pisau terbang Giam-ong Puy Teng, ia punahkan dengan tubuhnya mencelat pergi datang beberapa kali. Dua pisau ia tangkap dan satu ia gigit hingga waktu ia tancap kaki pula ke tanha, tampak gayanya lucu sekali. Mulutnya yang menggigit pisau seperti ketawa, dua pisau yang dipegang kedua tangannya diacung-acungkan. Tapi hanya sejenak saja si bocah hitam bergaya lucu sebab kemudian pisau di tangan kiri ia lontarkan pada Lie Kui, mengarah kuping sebelah kiri hingga si berewokan menjerit dan memegang telinganya yang daunnya sudah copot. Pisau di mulut ia tiup, menyambar telinga Mo-jiauw Teng Cong sebelah kanan hingga ia pun menjerit, daun kupingnya mental jatuh di tanah. Tinggal pisau di tangan kanannya yang membuat Giam-ong Puy Teng menggigil ketakutan sebab saat itulah ada gilirannya. Si bocah dengan wajahnya yang hitam legam memandang toako dari Sucoan Sam-sat. Kemudian ia menengadah ke langit lalu tertawa gelak-gelak yang memekakkan telinga tiga algojo pecundang, setelah mana ia memandang pula Giamong Puy Teng dan berkata, "Kau ada paman jahat, biar hukuman begini saja !" Berbareng dengan kata-katanya, pisau ditangan kanannya juga sudah lantas meluncur ke arah mata kirinya. Pisau itu meluncur cepat karena di dorong oleh kekuatan lwekang sehingga tahu-tahu sudah nancap pada matanya si raja akherat tanpa ia dapat berkelit lagi. Ia teraduh-aduh sambil pegangi matanya yang berlumuran darah. Sucoan Sam-sat rasakan hukuman yang mereka terima lebih berat dari si kerudung merah sebab dua daun kuping yang mental dari tempatnya tak dapat ditempel lagi dan matanya Giam-ong Puy Teng menjadi meram dua-duanya. Ia menjadi buta. Untuk mengeroyok Lo In, itu sudah tak mungkin. Si bocah kepandaiannya benar-benar mempesonakan. Belum pernah mereka saksikan jago silat yang mana juga, apalagi Lo In hanya satu anak kecil saja. Dengan memimpin toakonya yang sudah buta, Teng Cong dan Lie Kui berlalu meninggalkan tempat itu. Mereka ketakutan ditahan oleh Lo In tapi kenyataannya tidak demikian sebab si bocah sudah bertindak menghampiri Bwee Hiang, tidak menghiraukan lagi pada mereka. "Adik kecil, kau datang terlambat. Kemana saja kau pergi ?" tanya Bwee Hiang sambil deliki matanya, ia memarahi si adik kecil. Lo In hanya tertawa nyengir. Ia tidak ladeni enci Hiangnya. Sebaliknya, ia lantas jongkok untuk memeriksa keadaan Liu Wangwee. "Gara-gara kau adik kecil datang terlambat, ayah, ayah sudah....." Bwee Hiang kembali menangis sesenggukkan, seraya goyang-goyang tubuhnya Liu Wangwee. Bwee Hiang rupanya ngeri untuk mengatakan 'ayah sudah MATI', hanya sampai pada kata 'sudah' lantas ia nangis sesenggukan seperti anak kecil. "Enci Hiang, kenapa kau menangisi lope begini sedih ?" kata Lo In setelah si bocah memeriksa Liu Wangwee. Sambil menyeka air matanya dengan lengan baju, Bwee Hiang menyahut, "Kau bisa kata begitu tapi bagaimana aku tidak bisa menangis karena dia sudah pulang..... Oh, ayah, ayah, kau tega tinggalkan Bwee Hiang....." Bwee Hiang menangis keras, malah kali ini gegerungan. Lo In menjadi heran, dari heran ia jadi tertawa terbahak-bahak. Sudah menjadi wataknya rupanya, kalau Lo In menghadapi sesuatu yang akan meminta tenaganya, ia suka tertawa terbahak-bahak. Orang sedang kematian bapak, sedih bukan main. Menangis untuk melampiaskan kesedihan, tiba-tiba mendengar si bocah ketawa terbahak-bahak, sudah tentu si nona menjadi jengkel. Tak tahan meluapnya hawa amarah, maka seketika itu ia sudah lantas merangsang Lo In yang sedang jongkok di dekatnya. Ia ingin cekek mampus saja si bocah seketika itu sampai melupakan badannya bersentuhan dengan si bocah. Gemas ia hendak menggigit Lo In yang saat itu dengan sabar melayani tangan si nona yang saling susul hendak mencengkeram mukanya. Dua tangannya si nona sudah kena dipegangi Lo In, lalu Bwee Hiang gunakan mulutnya menggigit pipi si bocah muka hitam. Heran, Lo In tinggal antapkan saja pipinya digigit si nona. Lo In kelihatan seperti yang bercanda dengan Bwee Hiang, tapi sebaliknya si nona beringas hendak menerkamnya. Orang-orang yang melihat perbuatan Lo In pada mencela, diam-diam pada mengutuk kelakuan si bocah yang keterlaluan. Masa orang yang menangisi ayahnya yang mati ditertawakan, mereka tidak menyalahkan kalau si nona begitu marah. Malah, kalau mereka tidak sedang terluka, tentu dengan serentak turut mengganyang si bocah. Bwee Hiang rasakan menggigit pipinya Lo In bukannya menggigit daging tapi seperti menggigit kapas, lunak bukan main. Dalam sikapnya itu ia bukan menggigit, sebaliknya Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Dewa Arak 64 Satria Sinting Iblis Cebol 2

Cari Blog Ini