Ceritasilat Novel Online

Bocah Sakti 6

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 6 seperti ia menciumi si hitam. Ketika ia sadar atas kelakuannya yang tidak benar, ia rasakan dirinya sudah berada dalam pelukan Lo In. Ia berontak tapi tanpa hasil. Kedua tangan Lo In yang memeluk dirinya seperti besi seberat seribu kati, susah disingkirkan. Ia jadi jengah dengan sendirinya, selebar mukanya merah karena malu. Ketika mulutnya sudah siap hendak mencaci maki, tiba-tiba ia mendengar si bocah berkata, seperti berbisik di kupingnya, "Enci Hiang, jangan marah. Juga jangan menangis sebab Lope tidak apa-apa....." Bwee Hiang mendelik matanya, "Apa kau masih belum mau lepaskan encimu ?" Bwee Hiang menegur tatkala si bocah masih terus memeluki tubuhnya. Sambil ketawa haha hihi, Lo In lepaskan pelukannya. Kelakuan Lo In hanya bersifat main-main saja. Ia anggap Bwee Hiang seperti Eng Lian. Sebaliknya bagi Bwee Hiang yang sudah dewasa, merasa tidak enak Lo In perlakukan dirinya demikian di depan orang banyak. Ketika ia hendak melampiaskan amarahnya via mulutnya, Lo In sudah mendahului berkata, "Enci Hiang, Lope hanya kehabisan tenaga. Dia tidak mati !" "Hah ! Masa ?" Bwee Hiang kaget tapi timbul harapannya. "Kau lihat, nanti adikmu tolong Lope." kata Lo In. Sambil berkata, tangan Lo In bekerja. Ia angkat tubuhnya Liu Wangwee supaya dikasih duduk, lalu berkata pada Bwee Hiang, "Kau bantu aku, enci Hiang. Kau pegangi tubuh Lope supaya dia dapat duduk tegak." Bwee Hiang cepat membantu, memegangi tubuhnya Liu Wangwee yang lemas dan hendak jatuh rebah lagi. Kemudian Lo In tempelkan tangan kirinya ke bokong si orang tua, tangan kanannya menempel di dada. Seperti strum mengalir, tenaga dalamnya Lo In yang dikerahkan, sudah nyusup membuka otot-otot yang mecet dan saluran-saluran darah yagn jalannya mampet. Dalam tempo tidak lama, kelihatan Liu Wangwee bergerak, kemudian menarik napas dan membuka matanya. Saking kegirangannya, Bwee Hiang lantas mau berteriak dan memeluk ayahnya tapi melihat Lo In geleng-geleng kepalanya, ia tidak berani sembarangan. Ia taat pada kewajibannya sampai si orang tua pulih kesegarannya. Ia melihat Lo In dan Bwee Hiang ada didekatnya. Si gadi tengah memegangi tubuhnya, sedang Lo In menempelkan telapakan tangannya di dada dan di bebokongnya. Liu Wangwee mengerti bahwa Lo In sedang menolong dirinya dengan tenaga dalamnya yang dahsyat sebab ia rasakan hawa panas menyelusup dimana-mana dalam tubuhnya dan segera ia merasakan kesegarannya kembali. "Anak-anak, terima kasih atas pertolongan kalian." Liu Wangwee tiba-tiba berkata. Bwee Hiang memandang Lo In dan Lo In anggukkan kepalanya. Itu sebagai tanda si nona boleh bicara dengan ayahnya. Seketika si nona sudah menubruk ayahnya dan berkata sambil berlinang-linang air mata, "Ayah, kau sudah sembuh. Oh, untung ada adik kecil. Kalau tidak, entahlah bagaimana jadinya kita." Bwee Hiang berkata seraya menunjuk pada Lo In yang saat itu juga ia sudah hentikan pertolongannya pada Liu Wangwee yang sudah kembali kesehatannya. "Anak In, terima kasih. Kau anak baik. Semoga selamanya kau mendapat perlindungan dari Thian...." Liu Wangwee berkata, seraya ia bangkit dari duduknya dibantu oleh Bwee Hiang yang sangat kegirangan. Setelah melihat sang ayah dapat bergerak bebas, si nona lepaskan tangannya yang membantu Liu Wangwee untuk berdiri. Lalu ia rapihkan rambut kepalanya yang awut-awutan dan ketika ia merapihkan pakaiannya yang juga awut-awutan, matanya melirik pada Lo In yang mengangguk sambil ketawa. Bwee Hiang pelototi matanya sebentar, tapi ia pun ketawa mesem. Ia sadar sekarang, bahwa perbuatan Lo In barusan bukannya kelakuan kurang ajar. Itu hanya kelakuan dari seorang bocah nakal yang menganggap ia (Bwee Hiang) sebagai teman sebayanya memain. Kalaupun dimisalkan Lo In barusan main gila terhadap dirinya, si nona pun tidak merasa menyesal sebab pertolongan Lo In pada orang tuanya ada jauh lebih berharga dari kenakalannya si bocah barusan atas dirinya. Maka itu, barusan setelah pelototi Lo In, ia telah kasih senyum mesem memikat pada si bocah hitam. Liu Wangwee melihat Kian-san Ji-lo dan Pangcu beserta anak buahnya roboh malang melintang terluka karena mengganasnya Sucoan Sam-sat, hatinya sangat terharu. Sebab oleh karena hendak membantu dirinya, mereka telah menjadi korban. "Anak In, coba kau periksa lukanya para pamanmu itu. Barangkali kau dapat menolongnya." berkata itu Liu wangwee kepada Lo In. (Bersambung) Jilid 06 Si bocah menurut. Yang luka parah ternyata Cia Liang dari Kian-san Ji-lo, tulang sambungan pundak sebelah kiri remuk dicengkeram Giam-ong Puy Teng. Cian Kie sang engko tidak seberapa berat kena tendangan Lie Kui sedang Pangcu dan lima anak buahnya dari Ceng Gee Pang hanya luka-luka ringan. Mungkin karena takut, mereka tidak berani maju lagi dan pura-pura merintih kesakitan ketika mereka dirobohkan. Sementara Lo In memberi pertolongan kepada mereka yang terluka, Bwee Hiang di lain pihak sudah nyerocos menuturkan bagaimana Lo In menempur tiga jago jahat dari Sucoan dan merobohkannya satu persatu. Liu Wangwee ketika Lo In datang, ia sudah jatuh pingsan, tidak menonton pertempuran ramai itu. Maka sambil anggukanggukan kepala, diam-diam Liu Wangwee merasa sangat kagum akan kepandaian Li In yang sakti. "Hek-bin Sin-tong...." kedengaran ia menggumam setelah mendengar habis si nona bercerita. Ini adalah cetusan perkataan yang tanpa terasa dari bibirnya Liu Wangwee seperti juga kejadian dengan Hu-pangcu dari Ceng Gee Pang tempo hari. Julukan bagi Lo In ialah 'Hek-bin Sin-tong' atau 'Si bocah sakti berwajah hitam', sejak membuat kucar kacir Sucoan Sam-sat telah menjadi populer di kalangan Kangouw. Nama Hek-bin Sin-tong untuk Lo In dengan serentak telah menjadi terkenal. Seraya mengurut-urut jenggotnya, Liu Wangwee menarik napas tatkala Bwee Hiang habis menutur. Parasnya kelihatan sangat berduka, hingga Bwee Hiang jadi kaget. "Ayah, kau kenapa ?" tanya sang gadis penuh kuatir. "Aku menyesal anak In datang terlambat. Kalau tidak, tentu para pamanmu tidak sampai mengalami malapetaka seperti sekarang ini." jawab sang ayah lesu. "Aku juga tidak tahu kemana anak nakal itu sudah pergi. Coba aku nanti tanya padanya." kata Bwee Hiang seraya bertindak menghampiri si bocah yang sedang repot. Kiranya Lo In tidak boleh disalahkan. Sebab ia tidak tahu kalau pada malam ini bakal kedatangan Sucoan Sam-sat. Ia permisi pada Bwee Hiang untuk jalan-jalan keluar lantaran ada urusan sendiri. Si bocah masih penasaran pada orang yang menggasak miliknya berupa bungkusan kecil. Uang ia tidak buat pikira. Yang ia sayangi obat-obatan yang ia bawa ada dalam bungkusan itu. Maksudnya ia keluar jalan-jalan, siapa tahu ia dapat pergoki orang yang menyikat barang miliknya itu. Dari siang ia kelayapan tanpa tujuan sampai pada saat cuaca remang-remang ia lihat ada seorang yang kebetulan kesamprokan dengannya seperti ketakutan dan menjauhkan diri. Orang yang potongannya kurus kecil tapi gesit. Romannya seperti kunyuk, ketawanya tidak enak dilihat. Lo In lantas curiga, mungkin orang ini yang sudah ambil buntelan kecilnya. Ia pura-pura tidak memperhatikan tapi diam-diam ia pasang mata kemana perginya orang itu. Lo In harus melewati beberapa lapangan dan tikungan untuk menguntit orang yang mencurigakan itu. Waktu sampai pada satu jalan yang menikung ke belakang sebuah kuil kecil, Lo In kehilangan jejak orang yang dikuntitnya. Ia merasa heran. Bagaimana orang itu bisa lolos dari kuntitannya. Pikirnya, tidak bisa salah. Orang itu tentu masuk ke dalam kuil di situ. Dasar anak bernyali besar, tanpa pikir dirinya bisa terjebak, Lo In sudah masuk dalam kuil itu. Di dalam ia disambut oleh Hweshio (pendeta) muda dari kira-kira berusia 18 tahun dan menanyakan pada Lo In, "Saudara kecil, ada urusan apa kau datang kemari ?" "Aku hendak sembahyang, suhu." sahutnya singkat, sedang matanya berkilat memperhatikan sekitarnya. Ia mengharap kalau-kalau dapat melihat orang yang dikuntitnya. Omongnya mau sembahyang tapi Lo In tidak maju ke tempat pemujaan, sebaliknya ia jalan sana sini melongok-longok mencari orang yang dicurigai. "Saudara kecil, kau cari apa ?" tanya si Hweshio mesem, rupanya sudah tahu apa yang diinginkan oleh si bocah. "Tidak, aku mau mencari orang. Apa suhu dapat lihat ada orang kurus kecil masuk ke sini barusan ?" Lo In balik menanya. "Bukankah saudara kecil hendak sembahyang ?" menanya lagi si Hweshio. "Sembahyang belakangan kalau aku sudah ketemu orang itu." sahutnya, nyengir. "Saudara kecil, tempat disini tidak boleh dipakai main-main !" kata si Hweshio. "Aku omong benar, bagaimana kau katakan main-main ?" "Tadi bilangnya mau sembahyang, sekarang mau cari orang. Apa itu bukannya main-main ?" "Kau keluarkan dulu orang itu, aku nanti sembahyang !" Si Hweshio jadi kurang senang, matanya mendelik. Ia angkat tangannya, menunjuk ke pintu sambil katanya, "Keluar, lekas keluar !" "Kau suruh aku keluar, mudah saja. Asal kau sudah keluarkan orang yang sembunyi dalam kuilmu disini !" Panas hatinya si Hweshio. Si bocah diusir, bukannya menurut malah menantang ! "Aku Tong Seng, murid keempat dari Ceng Bian Hweshio. Belum pernah menemui tamu macam kau yang tidak tahu adat !" teriaknya sambil tepuk-tepuk dada. "Baru murid keempat, biar kau murid nomor wahid juga aku tidak takut. Asal kau masih membandel tidak mau keluarkan orang yang kucari !" sahut Lo In. Meluap amarahnya Tong Seng Hweshio. "Kau kira disini biasa sembunyikan maling ?" bentaknya berbareng tangannya melayang hendak menyekik batang leher Lo In. "Hehehe, kau mau berkelahi ?" kata Lo In, tangan si Hweshio yang melayang dapat ditangkapnya. Sekali sentak tubuh Tong Seng Hweshio terjerunuk ke depan, jidatnya membentur meja tepekong hingga kontan tambah daging. "Rampok ! Rampok !" teriaknya seraya pegangi jidatnya yang kesakitan. Lo In tenang-tenang saja meskipun dari berbagai jurusan pada bermunculan kawanan kepala gundul dengan masing-masing membawa gegaman pentungan kayu besar. Si bocah hitung kira-kira ada 15 orang yang muncul berbareng mendengar teriakannya Tong Seng Hweshio tapi diantaranya tidak kelihatan orang yang dicari. Satu Hweshio yang usianya lebih tua dari Tong Seng tampak maju mendekat Lo In. Dengan bengis ia membentak, "Anak kecil, kau mau merampok di sini ?" "Buat apa aku merampok kuilmu yang tidak ada harganya." sahut Lo In. "Aku hanya mau minta orang yang kucari, kau keluarkan !" "Siapa yang kau cari ?" tanya si Hweshio. "Hehehe, kau juga mau main putar-putar ?" kata Lo In tidak senang. "Nih, main putar-putar !" bentak si Hweshio seraya pentungnya melayang mau mengepruk kepala Lo In. "Bagus !" kata Lo In, berbareng ia berkelit nyamping. Ketika pentungan lewat, kakinya maju, tangan kanannya dengan satu jari telunjuk menotok lengan si Hweshio jagoan yang menjerit seketika dan roboh terkulai. Semuanya menyerbu Lo In. Sesosok tubuh menjadi sasaran pentungan ramai-ramai hingga yang dijadikan sasaran menjadi berkuing-kuing seperti babi dipotong. Kiranya orang yang dihujani pentungan bukannya Lo In sebab si bocah sudah lenyap tanpa setahu mereka. Mereka celingukanmencari seraya minta maaf pada si Hweshio yang menjadi sasaran pentungan tadi. Siapa, ternyata ada Hong Seng, murid kepala dari Ceng Bian Hweshio dalam kuil itu. "Kemana itu anak anjing ?" teriak Hong Seng penuh kegusaran. Ia dapat bergerak bebas pula dari totokan Lo In sebab si bocah hanya menotok main-main saja. Mendengar ribut-ribut, Ceng Bian Hweshio keluar dari kamar semedhinya. Murid-muridnya repot melapor tentang munculnya bocah berwajah hitam membuat onar dalam kuil. Ketika ditanyaka apa sebabnya, Hong Seng lapor kalau si bocah hitam itu mencari jejaknya si kurus kecil. "Aku sudah katakan, kalian jangan suka campur dengan si Tangan panjang Ong Cit. Sebab satu waktu Ong Cit akan ketemu batunya. Benar ia pandai memindahkan milik orang dengan menggunakan kesebatan tanganya, tapi itu perbuatan tidak baik. Satu waktu bila ia diterjang sial bisa susah. Nah, buktinya sekarang, bagaimana " Kuil kita menjadi kerembetrembet oleh perbuatannya Ong Cit." Kawanan Hweshio itu ada komplotannya Ong Cit. Mereka suka melindungi si Tangan Panjang dengan menyuruh Ong Cit melenyapkan diri dalam kuilnya sebab tidak ada orang berani carinya kalau ia sudah berada dalam kuil itu. Orang segan kepada Ceng Bian Hweshio yang menjadi kuil tersebut. Mereka begitu perlu melindungi si Tangan Panjang latnaran mereka sering mendapat bagian dari penghasilan yang diperoleh Ong Cit. Mendengar kata-kata gurunya, Hong Seng membela kawannya. Ia berkata, "Suhu, Ong Cit banyak membantu kuil kita. Apa suhu hendak pungkir kedermawanannya " Orang Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah hinakan kuil kita, bukannya suhu mencari tahu siapa orangnya, sebaliknya suhu marahi kita dan sesalkan bergaul dengan Ong CIt." Ceng Bian Hweshio juga bukannya pendeta suci. Maka ketika mendengar jawaban sang murid kepala, seketika itu menjadi gusar. "Mari kita cari anak hitam itu !" katanya seraya ajak anak muridnya untuk memeriksa seluruh kuil. Tapi Lo In tidak diketemukan, entah kemana bocah itu larinya. Ketika Hong Seng membuka sebuah kamar yang biasa dipakai untuk mengumpat oleh Ong cit, kaget bukan main si murid kepala dari Ceng Bian Hweshio. Dalam kamar itu tampak Ong Cit, dua daun kupingnya hilang, empat jari tangan kanannya sudah kuntung dan kuntungannya jatuh di lantai. Dari tangan dan kedua belah telinganya tampak berlumuran darah, bekas bekerjanya pisau tajam yang menggeletak tidak jauh dari si Tangan Panjang. Malah pisau itu pun miliknya Ong Cit. Si copet lihat dalam keadaan tidak bergerak karena kena ditotok terpaksa Hong Seng lapor pada gurunya untuk sekalian minta bantuan supaya membuka totokan. Ceng Bian Hweshio sudah lantas datang ke kamarnya Ong Cit. Ia geleng-geleng kepala nampak nasib yang dialami si Tangan lihai. Cepat ia bekerja untuk membuka totokan tapi sana sini ditepuk tubuhnya si copet lihai oleh si kepala kuil untuk membebaskan totokan tetap tak berhasil. Hong Seng heran. Ceng Bian Hweshio malah lebih heran dan terkejut karena sebagai orang Kangouw kawakan ia tidak bisa membuka totokan orang. Bagaimana ia berusaha ternyata tidak peroleh hasilnya malah Ong Cit tiap sebentar berjengit kesakitan dan matanya mengucurkan air. Ia menangis dan matanya saja yang mencilak-cilak seolah-olah memohon supaya percobaa Ceng Bian Hweshio jangan diteruskan karena ia merasakan suatu siksaan ditepuk sana sini bagian anggautanya untuk mencari tempat membuka totokan. Ceng Bian Hweshio yang sudah banyak pengalaman dapat memahami keadaan si Tangan Panjang. Maka ia hentikan percobaannya. Ia berkata, "Biasanya totokan macam ini tidak sembarang orang bisa buka, berjalan dua jam lamanya dan si korban akhirnya bebas dengan sendirinya. Maka tunggu saja dua jam lagi, lihat bagaimana jadinya." Ceng Bian Hweshio berkata seraya ngeloyor keluar dari kamar. Tinggal Hong Seng dan kawan-kawannya pada menemani Ong Cit sambil menanti sang waktu lewat dua jam sebagaimana dikatakan oleh suhunya. Selama menemani, diam-diam mereka ketakutan kalau-kalau si bocah wajah hitam itu datang lagi menotok mereka dan menyiksa sebagaimana yang dialami si Tangan Panjang Ong Cit. Syukur-syukur si bocah tidak datang lagi dan mereka kegirangan. Ketika sudah lewat dua jam, benar saja totokan pada Ong Cit terbuka dengan sendirinya. Kini baru terdengar rintihan si Tangan Panjang yang kesakitan karena sepasang daun telinga dan empat jari di tangan kanannya dihilangkan orang dengan paksa. Hong Seng sudah memberi obat pil bikinan Ceng Bian Hweshio untuk menahan rasa sakit dan obat bubuk untuk diborehkan pada bagian-bagian angguta yang terluka maka Ong Cit tidak sampai menderita kesakitan terus menerus. Menurut penuturan Ong Cit, ketika ia kesomplokan dengan Lo In, ia lihat matanya Lo In berkilat tajam menotok di jantungnya hingga berdebaran. Maka ia jadi ketakutan sebab menurut penuturan jago-jago persilatan kalau orang punya mata demikian berwibawa mempunyai lwekang (tenaga dalam) yang dahsyat. Tadinya ia tidak takuti Lo In ketika dalam rumah makan ia sambar bungkusa kecilnya yang saat itu si bocah tengah bicara dengan seorang pelayan, berdiri membelakangi bungkusannya. Tapi tadi, ketika ia kesomplokan dan pandangannya kebentrok dengan mata Lo In yang berkilat menusuk jantung, membuat ia jadi ketakutan. Sebagai copet yang lihai, ia tahu dirinya dikuntit Lo In. Maka pikirnya, jalan yang selamat adalah masuk ke dalam kuil Thian Ong Bio dimana ia banyak kawan yang dapat membantu melindungi dirinya. Setelah kasak kusuk dengan Tong Seng lalu ia masuk ke kamar biasa ia mengumpat tapi tidak urung ia dapat diketemukan oleh si bocah muka hitam. Tatkala mana ia sudah berlaku nekad dengan pisaunya yang tajam luar biasa, ia menerjang Lo In. "Hehe, mau melawan ?" si bocah berkata berbareng Ong Cit rasakan nadi tangannya yang memegang pisau kena disentil, kesemutan lemas, pisaunya dengan sendirinya jatuh ke lantai. Ia coba menerobos keluar tapi satu tendangan mengenai pahanya membuat ia jatuh melongsor. Cepat ia bangun lagi tapi bukan untuk lari, sebaliknya ia lantas jatuhkan diri berlutut di depan Lo In untuk minta ampun. "Asal kau kembalikan barangku, aku nanti kasih kelonggaran." kata Lo In. "Ada, oh, ada. Aku tidak ganggu sedikit pun barang Siaoya." sahut Ong Cit. Setelah berkata, Ong Cit bangun dari berlututnya dan jalan menghampiri satu lemari kecil dimana ia keluarkan miliknya Lo In. "Inilah barang Siaoya." katanya seraya menyerahkan pada Lo In. Lo In menyambuti lalu periksa isinya, ternyata benar saja tidak diganggu. Uang yang jumlahnya tidak seberapa dan botol obat-obatan yang si copet tidak tahu obat apa membikin Ong Cit tidak bernafsu untuk mengganggunya. Makanya juga ia lantas simpan saja di dalam lemari kecil, spesial untuk menyimpan barang-barang rongsokkan (tidak berharga) dari hasil kerja tangan panjangnya. "Bagus." kata Lo In setelah memeriksa isi bungkusa kecilnya. "Nasibmu masih baik. Coba kau bikin hilang barangku. Sebagai gantinya aku bikin hancur batok kepalamu. Nah, ini kau lihat !" berbareng tangan Lo In diulur mengambil sebuah patung kecil diatas meja tidak jauh dari situ. Patung itu dikepal Lo In sejenak lalu setelah kepalannya dibuka, ia perlihatkan pada Ong Cit. Matanya Ong Cit terbelalak ketakutan, badannya menggigil seperti disambar penyakit malaria layaknya. Kembali ia tekuk lututnya dan minta-minta ampun. "Ampun, Siaoya, ampunilah selembar jiwaku........." ia meratap. Kiranya patung itu, meskipun kecil terbuat dari logam murni yang kuat. Di taruh dalam kamar itu, merupakan tepekongnya Ong Cit dalam pekerjaan jahatnya. Patung yang sekeras itu ternyata dalam genggamannya Lo In telah berubah menjadi tepung terigu. Sudah tentu saja Ong Cit menjadi ketakutan menyaksikan demikian dahsyatnya tenaga dalam si bocah wajah hitam. Setelah meniup berhamburan patung yang berubah menjadi tepung itu dari tangannya, Lo In berkata pada Ong Cit, "Kau jahat, suka bikin susah orang tapi tidak sejahat orang yang membunuh sesamanya. Maka aku kasih kelonggaran hukuman. Sekarang kau ambil pisau ini dan iris kedua daun telingamu !" Ong Cit gemetaran tubuhnya. Matanya memandang Lo In seperti yang mohon dikasihani tapi Lo In belagak pilon, malah katanya, "Lekas kerjakan !" Si Tangan Panjang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ambil pisaunya sendiri yang tadi jatuh di lantai, sambil kuatkan hati, ia mengiris dua daun telinganya satu demi satu. Darah mengetel jatuh dari telingan yang sudah kehilangan daunnya. Melihat itu, hatinya Ong Cit terkesiap dan ia jatuh pingsan. Kapan ia siuman kembali, ia dapatkan dirinya tak dapat bergerak. Empat jari di tangan kanannya sudah berserakan di lantai bersama dua daun kupingnya. Mulutnya tak dapat bersuara untuk minta tolong karena urat gagunya sudah kena ditotok Lo In. Maka terpaksa ia menantikan orang datang membuka kamarnya saja. Mendengar penuturan Ong Cit, semua orang menjadi gentar terhadap si bocah wajah hitam. Mereka mengharap Lo In tidak mengulangi kedatangannya ke kuil mereka. Demikianlah, Lo In sambil bersiul-siul kegirangan mendapat pulang barangnya yang tak ternilai harganya. Ia berjalan pulang ke ruman Liu Wangwee. Justru tatkala itu Kian-san Jilo dan jago-jago dari Ceng Gee Pang sudah dirobohkan oleh Sucoan Sam-sat. Si botoh Bwee Hiang tengah dipermainkan oleh Lie Kui. Pelayan yang melihat si bocah pulang lantas memberikan laporannya. Kaget Lo In. Cepat ia lari ke taman bunga, dimana ia lihat enci Hiang sedang peluki tubuhnya Liu Wangwee yang dalam keadaan kehabisan tenaga. Kapan ia lihat Lie Kui hendak menganggu Bwee Hiang, mengulur tangan hendak memegang si nona, lantas ia berteriak : 'Tahan, tahan, aku datang.....!' dari kejauhan, sementara tubuhnya melesat seperti meluncurnya roket yang barusan dilepaskan, bagaimana si bocah bergerak tahu-tahu sudah muncul dihadapan mereka. Tidak mudah untuk memberi pertolongan kepada mereka yang menjadi korban keganasan Sucoan Sam-sat, apalagi Cia Liang yang remuk sambungan tulang pundaknya di cengkeram Giam-ong Puy Teng. Untung, dengan secara kebetulan, Lo In sudah dapat kembali obat mustajabnya sehingga dapat menolong mereka dengan tidak usah ke sana sini mencari obat. Obat buatan Lo In, yang mewariskan kepandaian Liok Sinshe memang manjur sekali. Maka dalam tempo pendek korbankorban yang terluka karena keganasan Sucoan Sam-sat sudah dapat bergerak pula. Hal mana membikin Liu Wangwee jadi sangat kegirangan. Segera ia suruh Bwee Hiang supaya pelayan-pelayannya menyiapkan satu meja perjamuan untuk memberi selamat pada mereka, yang membantu dirinya dengan tidak sampai mengorbankan jiwanya. Dengan dipimpin oleh Liu Wangwee dan Pangcu dari Ceng Gee Pang, dilain saat para tamu sudah kelihatan pada memasuki rumahnya Liu Wangwee. Mereka diantar ke sebuah ruangan makan yang lebar luas dan diperaboti indah lengkap. Mereka kelihatan amat senang dapat memasuki ruangan yang mencocoki seleranya sehingga mereka pada melupakan apa yang sudah terjadi barusan dan rasa sakitnya kena dihajar oleh Sucoan Sam-sat. Sementara, Lo In tidak mau turut dengan mereka. Ia hanya menyusul Bwee Hiang yang pergi dari situ untuk menyampaikan perintah Liu Wangwee kepada para pelayan yang bertugas menyiapkan barang hidangan. "Kenapa kau ikuti aku ?" tanya Bwee Hiang. "Bukannya berkumpul dengan para paman. Siapa tahu mereka mau dengar ceritamu yang lucu-lucu. Hihihi...." "Aku tidak kerasan berkumpul dengan orang tua. Maka aku menyusul enci kemari." sahut si bocah. "Apa tidak boleh ?" "Bukannya tidak boleh, cumanya tidak pantas begitu saja meninggalkan mereka." "Tidak pantas dalam pandangan mereka, tidak jadi soal. Asal pantas dalam pandangan enci Hiang, aku sudah puas." Kata-kata Lo In mengingatkan Bwee Hiang pada kejadian, ia menciumi pipinya si bocah yang maksudnya mau gigit hancur dagingnya, tahu-tahu si bocah berbalik memeluki tubuhnya. Ingat kesitu, wajah si nona menjadi merah dan berkata, "Tidak pantas kelakuanmu barusan terhadap encimu. Malu ditonton banyak orang !" "Enci yang mulai, bagaimana bisa salahkan aku ?" "Hah ! Aku mulai apa ?" si gadis cepat menanya, kaget ia dituduh yang mulai. "Mencium pipiku, apakah itu bukan mulai dulu " Maka lantas saja kalau aku main-main memeluk tubuh enci, bukan " Hehehe... " Bwee Hiang pucat wajahnya lalu merah karena jengah. Pikirnya, kurang ajar bocah hitam ini. Tapinya memang alasannya tepat juga. Ia jadi membisu. Kemudian, ia gerakan kakinya lebih cepat meninggalkan Lo In dengan tidak berkatakata seperti yang sedang mendongkol. Sebelum ia bertindak jauh, tiba-tiba kupingnya mendengar Lo In berkata, "Baik, kau marah. Aku pun akan pergi dari sini !" Terkejut si nona. Cepat ia balik tubuhnya dan lekas menghampiri Lo In. Sambil pegang tangan si bocah, dituntun, ia berkata, "Adik kecil, kau gampang ngambek ya " Mari ikut encimu !" Lo In ketawa nyengir, sebaliknya si nona gondok. Cuma ia tidak berani berlaku kasar lagi pada si bocah, takut Lo In benar-benar pergi dari rumahnya. Kalau Lo In berlalu garagara ia (Bwee Hiang), pasti ia akan didamprat oleh ayahnya. Juga, andaikata diantara Sucoan Sam-sat ada yang balik lagi, siapa yang berani melayaninya " Dalam bahaya, keluarga Liu, bagaimana dapat membiarkan si bocah pergi begitu saja " Oleh sebab itu, maka Bwee Hiang sudah robah sikapnya yang mendongkol menjadi ramah seperti biasanya hingga Lo In senang hatinya. Demikian, tidak lama perjamuan sudah disiapkan. Lo In ada bersama-sama Bwee Hiang di ruangan belakang lagi ngomong-ngomong. Tiba-tiba muncul satu pelayan, berkata pada Bwee Hiang, "Siocia, loya suruh aku undang adik kecil turut serta dalam perjamuan !" "Nah, kau dapat kehormatan. Lekas pergi turut makan ke sana. Makanannya enak-enak, tentu kau dapat makan banyak." berkata Bwee Hiang pada Lo In, menggodai si bocah. "Brengsek !" Lo In menggerutu hingga Bwee Hiang menjadi heran. "Apanya yang brengsek, adik kecil ?" si nona lantas menanya. Lo In tidak menjawab perkataan Bwee Hiang, sebaliknya ia berkata pada si pelayan, "Kau katakan pada Loya, aku tidak bisa ke sana, lagi tidak enak badan." "Hihihi..." Bwee Hiang tertawa ngikik, sambil tekap mulutnya. "Orangnya segar bugar dikatakan tidak enak badan. Kalau tidak enak badan iut, biasanya rebah di pembaringan. Ah, adik kecil, kau kenapa sih permainkan orang tua ?" Lo In ketawa nyengir. Kepalanya digeleng-gelengkan. "Aku tidak mau ke sana, kalau tidak bersama enci." ia berkata Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kemudian. Bwee Hiang melengak. "Kenapa mesti sama-sama encimu ke sana ?" ia menanya. "Kalau bersama enci, aku jadi punya teman ngobrol." sahut si bocah. Bwee Hiang memandang paa pelayannya yang saat itu tengah tersenyum-senyum melihat lagak lagunya dan kata-katanya si bocah yang serba lucu. "Kau katakan pada Loya apa yang dikatakan adik kecil barusan." Bwee Hiang berkata pada si pelayan yang sedang menanti keputusan. Pelayan itu lantas berlalu. Tak lama lagi ia kembali, katanya, "Loya minta adik kecil ke sana bersama-sama Siocia." "Nah, ini baru betul !" kata Lo In seraya bertepuk tangan kegirangan. Bwee Hiang jebirkan bibirnya yang mungil pada Lo In yang kontan disambut dengan jebiran pula hingga si pelayan yang menyaksikan adegan itu tidak tahan untuk tidak ketawa cekikikan. Bwee Hiang tidak marah sebab ia tahu, memang kelakuan mereka waktu itu dapat mengitik urat ketawa. Si nona tak usah tukar pakaian lagi karena ia sekarang sudah berdandan rapih. Tadi, setelah ia pesan tukang masak untuk menyiapkan hidangan, ia sudah masuk ke kamarnya untuk menukar pakaian yang kotor dan awut-awutan. Rambutnya pun sudah rapih dibereskan oleh dua pelayannya Ling Ling dan Lan Lan. Waktu ia menemui Lo In pula, kecantikannya membuat kagum si bocah berbareng bau harum menusuk ke lubang hidungnya. Entah minyak wangi apa yang dipakai Bwee Hiang. Yang terang si bocah setelah menghirum bau harum itu merasakan dadanya lega dan segar. "Hebat enciku ini." ia berkata dalam hati kecilnya. Tidak berani ia mengatakan terang-terangan, nanti sang enci salah paham. Coba kalau Eng Lian yang ia hadapkan, sudah lantas mulutnya ramai memuji dan mungkin ia memeluk si dara harum sambil membisiki kata-kata pujian pada telinganya. Kalau dalam keadaan biasa, sudah tentu Liu Wangwee keberatan puterinya turut dalam perjamuan diantara orangorang lelaki yang bukan menjadi famili dekatnya. Tapi kali ini ia terpaksa karena Lo In tanpa Bwee Hiang biar bagaimana juga tak akan menghadiri perjamuan itu. LO In justru orang penting dimana Kian-san Ji-lo berkali-kali ada mengatakan keinginannya berkenalan dengan si bocah. Demikian ketika Lo In dan Bwee Hiang muncul, orang-orang pada bertepuk tangan. Malah Soat-cian Ang, Pangcu dari Ceng Gee Pang berseru, "Hidup, jago kecil kita." beberapa kali, disambut riuh oleh anak buahnya. Kian-san Ji-lo hanya ketawa ngekeh, kepalanya manggutmanggut. Segera perjamuan dimulai karena sekarang sudah komplit dengan hadirnya Lo In. Dalam omong-omong, Cia Kie berkata pada Lo In, "Siohiap, eh, anak In. Tiga manusai dari Sucoan itu sangat jahat. Kau telah memberi hukuman terlalu enteng pada mereka. Mereka jadi keenakan, malah mungkin akan menuntut balas !' Kian-san Ji-lo sudah dikisiki oleh Ang Ban Teng, kalau bicara dengan Lo In jangan menggunakan perkataan 'Siaohiap' sebab si bocah paling suka dipanggil 'anak In'. Ia menyatakan penyesalannya pada Lo In yang memberikan hukuman terlalu enteng pada Sucoan Sam-sat yang kesohor kebuasannya. "Paman-paman itu toh tidak membunuh orang." sahut Lo In acuh tak acuh. "Ha ha ha !" Cia Kie tertawa. "Anak In, kau masih kecil. Belum banyak mendengar dalam kalangan Kangouw orang ributi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kau tahu anak In, mereka membunuh orang tanpa berkedip matanya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang dikirimkan pada Giamloong oleh mereka. Tapi yang terang, kalangan Pekto maupun Hekto pada mengutuk atas perbuatannya. Terbelalak matanya Lo In. Lucu tampaknya sepasang mata yang bening dan berwibawa terdapat diantara wajahnya yang hitam legam. "Ah, masa sampai begitu ?" Lo In menanya, heran dia. "Seharusnya mereka itu dibasmi habis." menyela Cia Liang. "Apa dibasmi, paman maksudkan apa dibasmi ?" si bocah tidak mengerti. "Di basmi ialah dibunuh habis mereka itu." menegaskan Cia Liang, ketawa. "Mana bisa dibunuh, aku tidak biasa membunuh." Lo In ketawa nyengir. "Mereka datang ke sini mau membunuh keluarga Liu, tidak satu juga yang mereka mau kasih tinggal. Kenapa kita tidak mau bunuh habis mereka ?" tanya Cia Kie. Lo In geleng-geleng kepala. "Aku belum pernah bunuh orang." katanya lucu. Para hadirin jadi saling pandang melihat kelakuan si bocah. Bwee Hiang ingin menegur atas ketololan Lo In tapi ia tidak berani buka mulut dihadapan banyak orang tua. Hanya matanya saja mengawasi si bocah seolah-olah menyesalkan dengan kata-kata yang diucapkan Lo In. Tapi Lo In tidak dapat memahami isi hatinya si enci Hiang. Ia tinggal tenang-tenang saja. Ang Pangcu tidak sabaran. Ia lantas berkata, "Anak In, kalau mereka tidak dibasmi habis, dibunuh semua aku maksudkan, mereka akan...." Kata-kata Ang Pancu tidak diteruskan karena ia kaget tiba-tiba melihat satu orangnya bernama Kang Kiat muncul diantar oleh satu pelayan. kang Kiat ada salah satu Tocu dari markas cabang Ceng Gee Pang di sebelah barat desa Kunhiang (tempatnya Liu Wangwee). Belum berapa lama dibangun, masih dibawah penilikan Hoan Hiocu dari pusat di Gakwan. Disana selainnya Kang Tocu, masih ada tiga Tocu lagi yang menjadi pemimpin cabang itu, dibantu oleh beberapa anak buahnya yang semuanya ada pandai silat. Ceng Gee Pang pada waktu belakangan ini mendapat kemajuan pesat, membangun cabang di beberapa tempat. Ang Ban Teng merasa sangat girang karena dalam pimpinannya Ceng Gee Pang mendapat banyak kemajuan. Melihat kedatangan Kang Kiat dengan air muka kusut dan bajunya berlepotan darah, dengan cepat Ang Ban Teng menaya, "Kang Tocu, kelihatannya ada kabar penting untukku. Ada apa ?" Setelah memberi hormat dan disuruh ambil tempat duduk oleh Liu Wangwee, Kang Tocu lalu menyampaikan kabar duka untuk Ceng Gee Pang. Kan Kiat menceritakan telah kedatangan dua orang itu malam, satu bermuka kelimis bersih dan satu lagi hitam berewokan bengis. Mereka menanyakan apa disitu ada pusat dari Ceng Gee Pang. Kang Kiat jawab bukan, hanya cabangnya saja yang baharu dibangun belum lama. Tiba-tiba ia dengar si berewokan ketawa terbahak-bahak lalu berkata pada temannya, "Jiko, Ceng Gee Pang suah menjadi alatnya Liu In Ciang, mari kita bereskan !" Leng Tongcu yang berdiri tidak jauh dari Kang Kiat panas hatinya mendengar kata-kata si berewokan, lalu maju dan berkata, "Apa yang dibereskan ?" -- tangannya berbareng melayang hendak menggaplok kepala tamu yang tidak diundang itu. Tapi si berewokan yang bukan lain Lie KUi adanya, sudah lantas berkelit. Cepat bagaikan kilat tangannya diulurkan menepuk pundaknya Leng Tongcu yang tidak keburu mengelakkannya. Hanya menjerit sekali, Leng Tongcu sudah roboh tersungkur tidak bangun lagi. Kang Kiat melihat hal itu menjadi gusar. Ia sudah lantas mau menerjang Lie Kui tapi Ong Tocu sudah mendahului. Orang-orang Ceng Gee Pang beringas dan ramai-ramai mengeroyok si berewokan hitam tapi mereka diganda hanya dengan ketawa-ketawa saja, malah ketika Mo-jiauw Teng Cong, si muka kelimis turun tangan, segera terdengar beberapa jeritan ngeri dan orang-orang Ceng Gee Pang pada roboh dihajar dua tamu tidak diundang itu. Kemudian muncul orang-orang bersenjata dipimpin oleh Hoan Hiocu. Barangkali lebih baik kalau rombongan bersenjata tajam ini tidak muncul sebab akibatnya sangat mengerikan. Lie Kui dan Teng cong lantas merampas golok lawan, dengan senjata mana mereka mengganas. Teriakan-teriakan ngeri menyayatkan hati, kepala orang pating berjatuhan bagaikan buah kelapa yang berjatuhan dari pohonnya. Banjir darah disitu, malah Hoan Hiocu pun menjadi salah satu korbannya. Kepalanya menggelinding jatuh dilantai karena ditebas oleh Lie Kui. Kang Kiat yang masih sempat menyelamatkan diri, sudah lantas meninggalkan mereka yang sedang ngamuk dalam markasnya, lari ke rumahnya Liu Wangwee. Ia tahu Pangcunya ada disana untuk memberi laporan. Ang Pangcu mendengar kejadian yang menyedihkan itu sampai tidak bisa membuka mulut, saking sangat gusar dan jeri pada Sucoan Sam-sat. "Ang-hiante, bagaimana baiknya ini ?" Liu Wangwee berkata pada Ang Ban Teng. "Hahaha !" sekonyong-konyong Cia Kie ketawa. "Anak In, kalau kau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu kau mengatakan aku si kakek omong kosong. Nah, sekarang buktinya bagaimana ?" "Anak In, coba kau turut paman Ang pergi ke sana menengoknya." Liu Wangwee berkata pada si bocah yang acuh tak acuh mendengar hal itu. Mendengar kata-katanya Liu Wangwee, barulah ia seperti tersadar. Tapi ia tidak menyahut, sebaliknya ia memandan Bwee Hiang yang pucat wajahnya mendengar kabar jelek yang disampaikan oleh Kang Kiat. "Kau ikut paman Ang ke sana, adik kecil." berkata Bwee Hiang ketika si bocah tinggal diam saja duduk di kursinya. "Apa mesti encimu turut ke sana ?" Nada suaranya paling belakang agak keras, seperti teguran. "Anak In, turutlah kata-kata encimu." Liu Wangwee menganjurkan. Lo In tinggal diam saja. Liu Wangwee dan Bwee Hiang saling pandang nampak Lo In tidak bergerak dari duduknya. Mereka mengerti kalau tidak bersama Bwee Hiang, si bocah tidak mau pergi. Keadaan sudah demikian mendesak, Ang Pangcu kelihatan amat gelisah. Ia tidak punya nyali untuk pergi ke markas cabangnya tanpa Lo In, sebab percuma saja akan mengantarkan jiwa saja kepada Sucoan Sam-sat. Matanya mengawasi Liu Wangwee seperti memohon pertolongan. Liu Wangwee menjadi sangat tidak enak, maka ia lalu berkata pada puterinya, "Anak HInga, kau bawa pedangmu dan antarkan adik kecilmu kesana, ikut paman Ang." Bwee Hiang bangkit dari duduknya dan berlalu, diikuti oleh Lo In, seolah-olah yang tidak mau ketinggalan. Kemana Bwee Hiang pergi, ia harus ikut. Sungguh lucu lagaknya si bocah hitam. Sebenarnya bukan apa-apa kelakuannya Lo In itu, ia memang ketakutan kehilangan Bwee Hiang seperti ia sudah kehilangan Eng Lian. Sebentar lagi tampak Bwee Hiang sudah muncul kembali dengan pakaian ringkas, pedangnya disorong di pinggang. Di belakangnya tampak Lo In mengintil. "Habis, kalau anak pergi, siapa yang temani ayah ?" tanya si gadis. Ia khawatir ayahnya ditinggal sendirian. "Legakan hatimu, kami disini akan menemani ayahmu." Cia Kie berkata tertawa. Lega hatinya si gadis, lalu ia bersama Lo In ikut Ang Pangcu dan Kang Kiat pergi ke markas cabang Ceng Gee Pang. Karena masing-masing dapat menggunakan jalan cepat, maka dalam tempo pendek saja mereka sudah sampai di tempat tujuan. Keadaan dalam markas cabang itu benar-benar mengerikan. Mayat tampak malang melintang, yang kuntung tangan, kaki, paha dan kepala terdapat di sana sini. Sunyi senyap, hanya terkadang seperti ada terdengar rintihan dari korban-korban yang belum mati. Sementara Lie Kui dan Teng cong yang diharapkan masih dapat dijumpai disitu, ternyata sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Ang Pangcu nampak semua itu telah mengucurkan air mata, diikuti oleh lima Hiocunya. Bwee Hiang juga tidak dapat menahan rasa terharunya, ia menangis. Beberapa kali ia menyeka air mata dengan lengan bajunya. Lo In yang belum pernah melihat orang dibunuh demikian kejam, tampak geleng-geleng kepala. Pernah ia melihat orang terluka, berceceran darahnya, kejadian itu dua tahun yang lalu dimana Liok Sinshe mengamuk menghajar musuh-musuhnya. Di sini ia nampak bukan darah berceceran saja, tapi mengumpiang di sana sini, sedang kepala, tangan, kaki dan lain-lain anggota tubuh manusia berserakan mengerikan. Hatinya yang lemah tidak mau membunuh orang, tiba-tiba tergugah. Tangannya yang kecil dikepal-kepalkan, romannya sangat gusar. Ia menyesal tadi kenapa ia tidak membereskan jiwanya Sucoan Sam-sat. Kalau tidak, tentu ia tidak menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan seperti sekarang ini. Bwee Hiang melirik pada adik kecilnya, ia tahu bahwa Lo In sangat gusar. "Adik kecil," katanya. "Lantaran kau punya murah hati, nah kejadiannya begini. Kau lihat, bagaimana kejamnya Sucoan Sam-sat mengganas !" "Biarlah sekali lagi kita ketemu mereka, aku tak akan kasih ampun !" jawab si bocah seraya angguk-anggukkan kepalanya. Terkejut Bwee Hiang. Pikirnya, kenapa bocah ini mengatakan 'kita' " Apakah dimaksudkan dia dengan ia (Bwee Hiang) yang kelak akan menghadapi Sucoan Sam-sat " Ia tidak sempat memecahkan soal ganjil itu karena segera mendegnar Ang Pangcu berkata pada Lo In, "Anak In, inilah bukti dari perbuatan ganas Sucoan Sam-sat. Maka kalau belakang hari kau ketemu mereka, aku harap kau suka menghukum mereka yang setimpal dengan kebuasannya !" "Aku mengerti paman Ang. Semoga dalam perjalanan berkelana aku akan menjumpai mereka supaya para paman Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang mati sekarang toh akhirnya mendapat kepuasan di alam baka !" demikian si bocah berjanji. -- 17 -- Kata-kata Lo In membuat Bwee Hiang ketawa girang sebab sudah terang si bocah sekarang sudah berubah pandangannya terhadap orang-orang jahat. Kelemahan hatinya berubah menjadi suatu keganasan. Yang paling girang adalah Ang Pangcu sebab ia percaya meskipun ia sendiri tidak bisa membalas kekejamannya Sucoan Sam-sat, sekarang ada si bocah sakit yang menyanggupinya. Mendengar kedatangannya ketua dari pusat, maka orangorang Ceng Gee Pang yang tadi pada lari menyembunyikan diri dari angkara murka Sucoan Sam-sat pada muncul dan memberikan pertolongan pada mereka yang belum tewas jiwanya. Atas perintahnya Pangcu, tempat itu dibersihkan dari mayat-mayat yang malang melintang. Ketika Kang Kiat berada jauh dari Bwee Hiang dan Lo In, Kang Tocu berkata pada Ang Pangcu, "Pangcu, kalau tadi kita tidak berkutat dulu membujuk si bocah muka hitam, kita pasti datang disini dalam waktunya. Kita masih bisa menjumpai dua orang jahat itu dan kita dapat menolong saudara-saudara kita, tidak sampai mengambil korban begini banyak !" "Kang Tocu." katanya. "Kau tidak tahu." Ang Pangcu ketawa. "Justru si bocah yang penting kita bawa ke sini. Apa dengan tenaga kita, dapat kita usir Sucoan Sam-sat " Hmm ! Kau jangan mimpi. Bocah itu mempunyai kepandaian yang susah diukur, dialah yang telah mengusir pergi Sucoan Sam-at dari taman bungan Liu Wangwee, dimana kita berenam dan KianTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ san Ji-lo sudah roboh tidak berdaya. Kalau tidak ada dia, sekarang, kau tentu tidak bisa berhadapan dengan Pangcumu........." "Ha ! Apa iya ?" memotong Kang Kiat, matanya terbelalak kurang percaya. Ang Pangcu hanya tersenyum melihat kelakuan Tocunya. Sementara itu ia sudah bertindak ke arah Bwee Hiang dan Lo In yang tengah ngomong-ngomong. Sebelum ia membuka mulut bicara, Bwee Hiang sudah mendahului, "Paman Ang, musuh sudah pergi. Sedang paman juga repot menghadapi para paman yang mati dan terluka. Maka sebaiknya aku dan adik In pulagn saja. Aku masih kuatirkan di rumah ada terjadi apa-apa yang tidak diingini !" Sebenarnya Ang Pangcu hendak menahan mereka tapi karena alasannya Bwee Hiang cukup teguh maka ia pun tidak bisa berkata apa-apa selain mengucap terima kasih pada Lo in dan si nona atas perhatiannya. "Aku harap saja di rumah tidak terjadi apa-apa, anak Hiang !" berkata Ang Pangcu ketika ia mengantar muda mudi itu keluar dari kantor cabangnya. Hanya diwaktu menyaksikan pemandangan yang mengerikan tadi, tampak Lo In seperti hatinya tergerak, gusar dan berubah kelemahan hatinya dengan ketegasan. Tapi waktu dalam perjalanan si bocah hanya biasa lagi saja. Riang gembira dan saban-saban menggodai enci Hiangnya supaya tertawa. Lo In senang hatinya, kalau melihat Bwee Hiang ngikiki ketawa karena kejenakaannya. Dalam perjalanan pulang ini juga bukan sedikit Bwee Hiang dibikin ketawa ngikik oleh ucapan atau lagaknya si bocah. Kapan mereka sampai di rumah pula, Bwee Hiang berasa tidak enak hatinya. Ia tidak melihat ada pelayannya yang membukai pintu pekarangan. Malah pintu itu tidak terkunci, tidak biasanya demikian. Masuk ke dalam rumah, biasanya ia disambut oleh Ling Ling dan Lan Lang. Kali ini tidak kelihatan satu juga pelayannya itu. Kemana mereka sudah pergi " Ia masuk lebih jauh ke ruangan dimana ayahnya dan Kian-san Jilo pasang omong di waktu ia meninggalkan rumah. Tidak tampak mereka disitu. "Adik kecil, mungkin ada kejadian hebat di sini !" kata Bwee Hiang. Hatinya sangat tegang, sedang Lo In terus mengintil di belakangnya si gadis. Bwee Hiang cepatkan tindakannya, menghampiri kamarnya. Ketika ia membuka pintu kamar, matanya terbelalak. Lo In tidak turut masuk ketika melihat Bwee Hiang tergesa-gesa masuk ke dalam kamarnya, ia menanti di luar sambil bersiulsiul. Bwee Hiang lihat Lan Lan menggeletak di lantai sudah tidak bernapas. Ia jongkok memeriksa. Terkejut ia ketika melihat pakaiannya si pelayang sobek sana sini seperti yang disobek orang. Kapan Bwee Hiang angkat pakaian yang menutupi tubuh si pelayan, kiranya Lan Lang sudah telanjang sehingga pusar ke bawah. Dari tanda-tanda yang mencurigakan, Bwee Hiang duga Lan Lan dibunuh setelah diperkosa. Tidak terdapat tanda penganiayaan. Rupanya Lan Lan dibunuh dengan totokan maut. Bwee Hiang ngeri. Ia menekap mulutnya. Kemudia ia buka tekapan tangannya, ia memandang ke pembaringannya. "Hei, kenapa ada orang lagi tidur ?" ia menanya pada dirinya sendiri. Cepat ia bangkit dari jongkoknya lantas menghampiri orang yang seperti tertidur dengan pakai selimut. "Kurang ajar, siapa berani tidur di pembaringanku ?" bentak Bwee Hiang seraya ia menyingkap selimut yang dipakai menutup kepala orang yang lagi tidur. "Ah, Ling Ling !" teriaknya ketika ia mengenali wajah orang yang tidur. Pada wajahnya Ling Ling yang cantik tampak sepasang mata yang melotot penasaran. Meskipun merasa ngeri melihat wajahnya si pelayan, Bwee Hiang masih sempat membuka selimut yang menutupi tubuh. "Aiyaaa !" Bwee Hiang mengeluarkan teriakan tertahan, seraya ia mundur setelah menutupi pula selimut tadi yang menutupi tubuhnya Ling Ling. Apakah yang membikin si nona sangat kaget " Kiranya, ketika selimut dibuka, tampak tubuh Ling Ling telanjang bulat. Sepasang buah dadanya yang montok sudah dikupas orang hingga rata. Kemana sepasang buah dadanya itu " Sedang tangan kirinya, 3 dim diatas nadi berlumur darah, tertabas kutung oleh senjata tajam. Bwee hiang tak tahan menghadapi dua adegan di depannya, maka ia berteriak, "Adik kecil, adik kecil, lekas kau masuk !" Lo In terkejut mendengar panggilan Bwee Hiang seperti yang ketakutan. Sekali lompat ia sudah berada di dalam mendekati Bwee Hiang yang berdiri gemetaran di tepi pembaringan di atas mana ada terlentang mayatnya Ling Ling. Ketika Lo In sudah berada di dekatnya, Bwee Hiang tak tahan dengan goncangan hatinya maka ia roboh terkulai dan akan mendeprok di lantai kalau tidak keburu Lo In datang menyangga. "Enci Hiang, enci Hiang !" memanggil si bocah ketika melihat si nona lemas badannya dan kedua matanya tertutup. Apa yang sudah terjadi " Tanyanya dalam hati. Sementara matanya melirik ke bawah, ia melihat tubuhnya Lan Lan yang terkapar tak berkutik. Cepat Lo In pondong Bwee Hiang dan diletakkan di atas satu dipan, tidak jauh dari pembaringan. Meskipun biasanya Lo In sangat tenang, kali ini kelihatan ia gugup juga. Cepat si bocah menghampiri Lan Lan yang menggeletak di lantai. kapan ia membuka baju yang sobek sana sini yang menutupi tubuhnya Lan Lan, tampak Lan Lan telanjang bagian bawahnya. Cepat ia menutupi pula Lan lan, lalu meraba tangan si pelayan diperiksa urat nadinya. Kiranya Lan Lan sudah tidak bernyawa. Ia geleng-geleng kepala tampaknya ia merasa kasihan pada si pelayan yang bernasib malang itu. Ia mengerti bahwa Lan lan mati karena totokan jahat pada jalan darah. Lo In jadi termenung sejenak dalam keadaan berjongkok. Kapan matanya kemudian melirik ke pembaringan, ia lihat ada sesosok tubuh yang ditutupi selimut seluruhnya. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Perlahan-lahan ia membuka selimut yang menutupi. Kaget ia karena itulah Ling Ling yang ketawanya manis dan mukanya botoh, sekarang sudah jadi mayat dengan mata melotot. Dalam terkejutnya, ia menyingkap terus selimut yang menutupi tubuh Ling Ling. Bukan main gusarnya Lo In nampak sepasang buah dadanya si pelayan yang cantik dikupas orang. Berbayang di matanya si bocah, kapan Ling Ling turut tertawa ngikik, sepasang buah dadanya yang bulat menonjol seperti turut bergoyang. Pikir si bocah, Ling Ling toh sudah jadi mayat. Apa halangannya kalau ia diperiksa lebih jauh tanda-tanda kekejaman manusia atas dirinya si pelayan. Maka, ia sudah menyingkap terus selimut dan.... hatinya terkesiap kapan melihat tangan kirinya si Ling Ling dekat pergelangan terkutung mengeluarkan banyak darah. Kekejaman itu sedikitnya dengan pedang, kalau tidak dengan golok dikerjainya. Lo In sambil bergidik. Ia bergidik dan bulu tengkuknya dirasakan berdiri. Bukannya takut tapi meluap kegusarannya yang belum pernah ia alami sebelumnya. Cepat-cepat ia menutupi pula tubuhnya Ling Ling dengan selimutnya. Lo In tampak berdiri bengong. Pikirnya, apakah mungkin ada manusia demikian kejam merusak anggauta tubuh si Ling Ling yang botoh mungil " Tapi bukti sudah ada, bagaimana juga Lo In dapat melupakan kekejamannya manusia jahat dalam dunia yang lebar ini. Kalau tadi ia acuh tak acuh meskipun sudah menyaksikan kekejaman dalam markas cabang Ceng Gee Pang, sekarang setelah menyaksikan Ling Ling dan Lan Lang menjadi korban keganasan manusia jahat, maka hatinya benar-benar menjadi sadar bahwa seharusnya ia membasmi kejahatan untuk menolong si lemah. Tiba-tiba ia teringat akan Liu Wangwee, maka seketika itu ia lompat keluar kamar. Saban beberapa tindak ia jalan, ia menemukan mayat para pelayan yang mengerikan. Ia tidak ada tempo untuk memeriksa satu demi satu. Yang penting ia mau cari Liu Wangwee, orang tua yang telah perlakukan dirinya sangat baik. Setelah ia berputar-putar mencari, tidak juga ia menemukan si orang tua. Akhirnya ia sampai ke taman bunga, dimana belum lama berselang ada dilakukan pertempuran dengan Sucoan Sam-sat. Di sini ia telah menemui mayatnya Cia Kie terkapar dengan leher hampir putus, tidak jauh darinya terlihat mayatnya Cia Liang terlentang dengan kepala sudah terpisah. Cemas hatinya Lo In, sebab Liu Wangwee masih juga belum diketemukan. Ia berdiri bengong. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap seperti ada suara rintihan dalam gerombolan alang-alang. Dengan beberapa lompatan ia sudah sampai disana, ia menerobos masuk dan kemudian keluar lagi dengan sesosok tubuh dipanggul di atas pundaknya. Itulah Liu Wangwee yang keadaannya sudah hampir mati. Lo In letaki orang tua yang bernasib buruk di tempat terbuka. Dengan meminjam penerangan rembulan, Lo In periksa keadaannya si orang tua. Si bocah cepat menotok beberapa bagian jalan darah untuk menghentikan darah yang keluar tidak hentinya dari luka-luka di bagian muka, bahu dan kedua tangannya yang sudah menjadi buntung. Keadaan lukanya si hartawan sangat parah. Lo In putus harapan untuk merampas jiwanya dari malaikat elmaut. Meskipun demikian, ia coba keluarkan obatnya yang manjur untuk menolongnya. Dalam repotnya, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh Bwee Hiang yang menubruk ayahnya dan menangis menggerung-gerung. Bwee Hiang ketika mendusin dari pingsannya, ia tidak melihat adik kecilnya dalam kamar. Ia lantas menduga Lo In tentu sedang mencari ayahnya. Cepat ia bangun dan lari keluar. Ia tidak perdulikan mayat-mayat para pelayannya yang malang melintang ia ketemukan. Terus ia mencari Lo In sampai ia jumpai si bocah sedang memberikan pertolongan pada ayahnya di taman bunga. Bukan main takutnya si gadis tampak keadaan ayahnya sudah sangat payah. Ia memeluki sambil menangis, tangannya meraba-raba wajah si orang tua yang sudah mandi darah. Dengan jari-jarinya yang halus, si nona beberapa kali coba melekkan matanya Liu Wangwee yang meram saja seperti sudah mati. Putus harapan si nona, ia menangis makin menjadi. "Enci Hiang." tiba-tiba si gadis mendengar adik kecilnya berkata halus. "Lope tidak dapat ditolong hanya dengan tangisan saja. Maka tenangkanlah hati enci dan marilah kita sama-sama menolongnya." Bwee Hiang seperti tersadar mendengar kata-kata si bocah. Ia melepaskan pelukannya sambil masih terisak-isak ia menyusuti air matanya. "Adik kecil, bagaimana ini..........?" si gadis kebingungan, tangisnya belum berhenti. "Tenang, enci Hiang." menghibur Lo In. "Jiwa ada di tangan Thian (Tuhan). Kita manusia harus pasrah kepada nasib, asal kita sudah menolong dengan sebisanya kepada Lope. Coba aku periksa lagi keadaannya." Lo In berkata sambil tangannya mengangkat tubuhnya Liu Wangwee hendak di pondong, di bawa pergi dari situ. Tiba-tiba matanya Liu Wangwee yang barusan meram saja tampak dibuka, sebelum badannya terangkat oleh Lo In. Si bocah tersenyum kepadanya. Bwee Hiang lihat itu, mukanya mendekati wajah si orang tua. Katanya, "Ayah, oh, ayah......" Si orang tua tersenyum. Terdengar ia berkata, "Anak Hiang, anak Hiang. Selanjutnya kau harus akur-akur dengan adik kecilmu. Eh, anak In." Liu Wangwee teruskan kata-katanya pada si bocah. "Tolong kau jaga encimu. Biarlah kalian hi...." Sampai disitu kata-kata Liu Wangwee terputus berbareng jiwanya juga sudah pergi. Kepalanya teklok dengan sendirinya. Lo In menghela napas. Liu Wangwee mati dengan disangga tangannya. Suatu kematian yang mengharukan, setelah meninggalkan pesa pada putri kesayangannya dan si bocah wajah hitam. Sementara itu, setelah mendengar pesan sang ayah kemudian melihat ayahnya menutup mata, Bwee Hiang tidak tahan dengan getaran hati yang sangat sedih dan putus harapan. Maka ia tidak bisa menangis, sebaliknya, ia jatuh pingsan........ Sampai disini kita melihat pada Eng Lian. Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seperti diceritakan di sebelah atas, Eng Lian setelah dicekoki 'Cian jit su su hun' atau 'Obat bubuk mematikan ingatan seribu hari', ingatannya sudah berubah dan menjadi lupa kepada segala kejadian yang sudah-sudah. Si bocah Lo In sudah tidak ada dalam alam pikirannya lagi. Ia hanya ingat Ang Hoa Lobo ada suhunya dan kepada siapa ia harus bersetia dan menurut. Meskipun demikian, obat itu tidak mengganggu alam pikirannya yang cerdik, lincah dan gayanya yang lucu. Ang Hoa Lobo sangat kegirangan setelah menguasai Eng Lian. Cita-citanya yang besar untuk mendirikan partay baru, segera kesampaian dengan bantuannya Siauw Cu Leng. Ang Hoa Pay (Partay Bunga Merah) telah terbentuk dan perlahan-lahan dikenal di kalangan Kangouw. Akan tetapi orang tak dapat menemukan dimana pusat atau cabangnya Partay Bunga Merah itu. Orang hanya dengar perkumpulan baru itu dikepalakan oleh satu nona muda yang menamakan dirinya Kim Coa Siancu atau Dewi Ular Emas. Kabarnya Kim Coa Siancu ada sangat lihai, pergi dan datang tak kelihatan bayangannya, menakjubkan dan membuat jagojago rimba persilatan (Bulim) menjadi khawatir akan sepak terjangnya partai baru itu. Apakah partai itu berhaluan baik atau jahat. Tapi yang terang, belakangan ini banyak terjadi penculikan anak-anak tanggung usianya, menimbulkan kegemparan karena diketahui penculikan-penculikan itu dilakukan oleh Kim Coa Siancu. Eng Lian yang sudah berubah dirinya menjadi Kim Coa Siancu memang juga berkepandaian lihai. Ia bukan saja dapat didikan serius dari Ang Hoa Lobo tapi juga disayang oleh Sucouwnya ialah Lamhay Mo Lie atau 'Si Iblis wanita dari lautan kidul (selatan)' yang kepandaiannya susah diukur. Lamhay Mo Lie yang melihat Eng Lian ada berbakat jempolan, tidak ragu-ragu lagi ia mendidik si dara cilik dengan luar bisa. Lwekangnya Eng Lian dahsyat oleh karena emposan dari obat-obat gaib Lamhay Mo Lie. Dalam tempo pendek atau tidak sampai dua tahun, dari satu dara kecil yang lemah, Eng Lian berubah menjadi si 'Jelita 17 tahun' yang tegap, cantik luar biasa dan kepandaiannya sangat tinggi. Memang tidak dilebih-lebihkan kalau Ang Hoa Lobo suka membual bahwa Kim Coa Siancu ada seorang yang hebat kepandaiannya sebab memang demikian kenyataannya si dara cilik di bawah didikan langsung dari Lamhay Mo Lie. Sepanjang muncul Kim Coa Siancu yang memimpin Ang Hoa Pay, ada juga beberapa orang kuat yang dapat menyelidiki dimana tempatnya partai baru itu. Tapi Coa-kok (lembah ular) adalah sangat berbahaya untuk dikunjungi, maka ada sedikit orang yang berani menempuh bahaya untuk pergi ke sana. Diantara yang sedikit orang yagn berani menempuh bahaya terhitung Siang-tauw niauw Kam Eng Kim, puteri dan mantunya (Lengkoan Giok Lie Kam Lian Eng dan Hek-houw Ma Liong). Mereka sangat penasaran dengan diculiknya Ma Sian Bwee, cucu dan puteri kesayangannya mereka. Setelah Ma Sian Bwee diculik Ang Hoa Lobo, dengan bercucuran air mata Kam Lian Eng melapor pada ayahnya, si Burung Kepala Dua Kam Eng Kim. Mendengar laporan yang mengagetkan itu, bukan main marahnya si Burung Kepala Dua. Sambil menggebrak meja ia mencaci si nenek yang menculiknya, ia tidak tahu siapa namanya si nenek culik itu. Hanya ia tahu si nenek adalah suruhannya Kim Coa Siancu sebagaimana diterangkan oleh Lengkoan Giok-Lie Kam Lian Eng. Sejak itu, penyelidikan dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui dimana tempatnya Kim Coa Siancu itu. Sampai beberapa lama dia berusaha, akhirnya dapat juga keterangan yang dingini oleh mereka. "Coa-kok letaknya ada di sebelah utara barat gunung Hengsan." menyatakan Ma Liong dalam membicarakan soal menolong anaknya. "Jauh tentunya dari tempat kita." kata sang isteri, Lengkoan Giok Lie. "Jauh tidak menjadi soal." menyela Kam Eng Kim. "Yang dipikirkan tempat itu merupakan lembah yang banyak ular jahatnya. Banyak orang bilang yang memasuki lembah itu, bisa masuk tidak bisa keluar lagi." "Apa benar sampai begitu bahayanya, ayah ?" tanya Lengkoan Giok-lie. "Aku sendiri belum tahu ke sana, bagaimana aku tahu ?" jawab sang ayah. "Biar bagaimana, kita tidak tega anak Bwee diantapkan begitu saja !" Ma Liong menyatakan kecemasannya. Kam Eng Kim dan puterinya membungkam. Tampak si Burung Kepala Dua mengurut-urut jenggotnya yang panjang. "Memang begitu." katanya. "Tidak perduli ada gunung golok di sana, kita harus pergi untuk menolong Sian Bwee !" si jago tua meneruskan, bersemangat dia. "Kapan kita berangkat ?" Lengkoan Giok-lie juga bersemangat. Ma Liong melirik pada mertuanya, tidak berkata apa-apa. "Nanti aku tanyakan dahulu pada sahabatku Louw Bin Cie, apa dia bersedia untuk mengikuti kita atau tidak." Kam Eng Kim menyatakan. "Bagus." kata Ma Liong. "Kalau Louw Su-siok turut, kita dapat tambah tenaga yang sangat berarti. Dia kepandaiannya menggunakan sepasang pedang, tiada yang dapat menandinginya !" Ma Liong kelihatan kegirangan mendengar Louw Bin Cie akan diajak dalam kepergiannya itu. Tidak heran ia kegirangan karena Louw Bin Cie ada tersohor kepandaiannya bersilat dengan sepasang pedangnya. Dua pedang yang digunakan olehnya bukan pedang dari ukuran biasa, tapi pendek. Dari ujung pedang samapi di ujung gagangnya kira-kira panjang dua kaki. Pedang biasa, tajam hanya satu muka. Tapi pedang Louw Bin Cie ada dua muka, depan belakang. Kepandaiannya menggunakan sepasang pedang itu, membuat namanya Louw Bin Cie terkenal dengan julukan Sian-jin Siang-kiam Louw Bin Jie atau 'Si Sepasang Pedang Dewa' dan dengan kepandaiannya ini bukan sedikit jago-jago silat yang menjadi pecundang. Malah di kalangan Hekto (jahat) namanya sangat ditakuti. Dengan Kam Eng Kim, si Sepasang Pedang Dewa ada bersahabat baik, lebih-lebih dari saudara putusan perut. Maka ketika Louw Bin Cie mendapat kabar hal diculiknya Sian Bwee, dia juga sangat gusar. Sian Bwee ada satu anak perempuan yang berbakat untuk belajar ilmu silat. Maka Louw Bin Cie sering memberi beberapa petunjuk dan pandangan kepada si dara cilik sebagai cucunya juga, karena atas perintah Kam Eng Kim, kepadanya Sian Bwee ada memanggil Yaya (engkong atau kakek). Demikian, ketika ditanya pikirannya, Louw Bin Cie tidak pikirpikir lagi. Ia sudah lantas menyanggupi untuk pergi bersamasama dengan Kam Eng Kim ke Coa-kok. "Aku ingin lihat, Kim Coa Siancu itu macam bagaimana. Apakah dia ada mempunyai tangan delapan sampai orang ketakutan kepadanya " Hmm !" Louw Bin Cie menyatakan kesengitannya ketika Kam Eng Kim mengatakan si Dewi Ular Emas ada sangat lihai ilmu silatnya, disamping juga ada pembantunya yang lihai-lihai. Pada keesokan harinya, genap satu setengah tahun Sian Bwee menghilang. Ma Liong dan isteri dengan dikawal oleh dua jago tua Kam Eng Kiam dan Louw Bin cie, mereka melakukan perjalanan ke lembah ular dimana ada bersemayam Kim Coa Siancu. Dalam perjalanan kesana, mereka dapat kesukaran mencari keterangan. Waktu jarak tempat yang dituju masih jauh, mereka masih dapat petunjuk dari orang dimana letaknya Coa-kok. Tapi makin mendekat ke tempat tujuan, makin sukar mereka dapat keterangan. Orang-orang yang ditanyai kebanyakan menggeleng kepala, mengatakan tidak tahu. Lengkoan Giok-lie coba gunakan pengaruh uang, menyogok, supaya orang mau kasih petunjuk tetapi tidak ada yang mau terima. Mereka jadi heran. "Kalau begitu jalannya, bagaimana kita cari sarangnya Kiam Coa Siancu ?" tiba-tiba Kam Eng Kiam mengutarakan pikirannya. Ma Liong dan isterinya hanya memandang si jago tua, hanya diam saja. Rupanya mereka satu pikiran. Memang sukar untuk mencari sarangnya Kim Coa Siancu, manakala tidak mendapat petunjuk dari orang-orang yang berdekatan dengan Coa-kok. Louw Bin Cie juga terdiam di tempat berdirinya. Setelah semuanya membisu untuk beberapa lama, tiba-tiba Louw Bin Cie berkata, "Mari ikut aku. Di sana ada orang yang akan menolong kita." Louw Bin Cie berkata sambil tangannya menunjuk ke jurusandepan, nyamping ke kiri hingga kawan-kawannya menjadi heran, "Memangnya siapa ada tinggal disana ?" tanya Kam Eng Kim pada sahabatnya. "Aku kira toako tentu kenal orangnya manakala sudah jumpa." jawabnya. Louw Bin Cie tidak menerangkan siapa adanya orang itu, hanya ia terus memimpin orang-orangnya dengan jalan lebih dahulu menuju ke arah yang barusan ia tunjuk sehingga Kam Eng Kim sungkan untuk menanya lebih jauh. Tidak lama mereka jalan, segera menemukan sebuah rumah sederhana dikurung oleh pagar bambu sekitarnya. Mereka sampai didekatnya, tiba-tiba dibikin kaget oleh anjing yang menyalak. Gonggongan anjing itu keras dan galak. Rupanya anjing jantan sebab kemudian disusul menyalaknya anjing lain yang tidak begitu galak, anjing betina rupanya. Sebentar lagi tampak muncul seorang wanita yang berusia pertengahan, melihatnya, Louw Bin Cie menyapa, "Thio Jiso (enso kedua), apa kau baik-baik saja " Sungguh girang aku dapat melihat kau lagi." Wanita tadi memandang ke jurusan Louw Bin Cie, "Eh, kau yang datang Louw-ji (si Louw kedua). Sungguh tidak disangkasangka." kata si wanita seraya menghampiri pintu pekarangan, berbareng mulutnya ramai melarang anjing-anjingnya menyalak. "Mari, mari masuk. Kau bawa banyak teman ?" kata si wanita lagi seraya membuka pintu pekarangan, menyilahkan tamutamunya masuk. "Bagaimana, apa toako ada di rumah ?" tanya Louw Bin Cie sambil terus berjalan mengikuti si Thio Jiso, nyonya rumah rupanya. Si wanita yang dipanggil Thio Jiso tidak menyahut, hanya jalannya dipercepat dan masuk lebih dahulu ke dalam rumah. Sebentar lagi tampak muncul lagi wanita lain. Lian Eng yang melihat merasa bingung sebab wanita itu romannya hampir sama dengan yang tadi, hanya sedikit tuaan. Tapi kalau dilihat sepintas lalu, orang bisa keliru dan menyangka wanita yang baru muncul itu yang tadi juga. "Selamat datang, selamat datang !" menyambut si wanita yang barusan muncul. "Thio Toaso, bagaimana kau baik-baik saja ?" kata Louw Bin Cie sambil angkat tangannya menyoja si nyonya dan diturut oleh yang lain. Lian Eng bingung Louw Bin Jie memanggil Jiso dan Toaso (enso kedua dan kesatu). Apa tuan rumah punya dua isteri " Tanya hati kecilnya. Lengkoan Giok-lie tak usah lama-lama menebak dalam hatinya karena ia segera diperkenalkan kepada tuan rumah dan dua wanita tadi. Dan benar saja dua wanita itu adalah isterinya tuan rumah. Mereka itu Sian Kin dan Sian Lian, orang she Kho, keduanya adalah isteri dari Kim to Thio Tiat, si Golok Emas yang pada 10 tahun berselang terkenal namanya sebagai guru silat di kota Hokciu (Hokkian). Sian Kin dan Sian Lin adalah sepasang dara kembar dari puteri hartawan Kho di kota Hokciu yang bersama-sama mencintai Thio Tiat gara-gara belajar silat. Thio Tiat tidak memilih-milih lagi, ia sikat sekaligus kedua-duanya menjadi istrinya. Matanya Thio Tiat benar-benar lihai sebab dua isterinya memang benar isteri-isteri yang pantas mendapat cinta sang suami. Karena mereka betul-betul setia dan merawat suaminya dengan baik. Satu sama lain bisa akur, tidak main iri-irian seperti biasanya bila satu suami dengan dua istri bila dijadikan satu (srumah) pasti cakar-cakaran. Tetapi mereka dapat hidup dengan bahagia. Belakangan Thio Tiat merasa bosan dengan penghidupan di kota, maka ia sudah ajak dua istrinya menyepi di tempat pegunungan, yang ditinggali sekarang, ialah dusun Cit-sengtin, termasuk wilayah Coa-kok juga. Thio Tiat dengan Louw Bin Cie adalah teman baik dari kecil. Malah ketika si guru silat bercinta-cintaan dengan sepasang dara kembar, ia tahu juga. Malah sering menggodai mereka. Pada waktu itu ia sering mendapat pesanan Sian Kin dan Sian Lin, bukannya suatu hadiah tapi pesanan cubit karena si dara jengkel digodai. Thio Tiat hanya ketawa terbahak-bahak dapat melihat Louw Bin Cie teraduh-aduh terima cubitan Sian Lin yang lebih galak dari encinya. Louw Bin Cie dipanggil Louw-ji karena masih ada engkonya yang dipanggil Louwtoa (si Louw kesatu atau tua) yang bernama Bin Gie, yang juga mengenali sepasang dara itu tapi tidak suka bersenda gurau seperti Louw Bin Cie. Demikian pertemuan antara Thio Tiat dan Louw Bin Cie, sungguh-sungguh menggirangkan kedua pihak karena sejak si orang she Thio menyepi di kampungnya situ, belum pernah ketemu lagi dengan teman sepermainan di waktu masih kecil itu. Louw Bin Cie mengenalkan Kam Eng Kim dan lain-lainnya pada Thio Tiat dimana Thio Tiat memberi sambutannya indah dan sopan hingga menyenangkan para tamunya. Siang-tauwniauw Kam Eng Kiam memang kenal dengan Thio Tiat tapi hanya kenal nama saja. Begitu juga sebaliknya dengan Thio Tiat. Tapi sekarang, begitu berani, kelihatan mereka cocok dan dapat mengobrol banyak. Demikian, dilain pihak Lian Eng pun dapat mengobrol dengan gembira dengan dua nyonya rumahnya, yang ternyata suka ngomong. Tidak hentinya dua nyonya rumah itu menghujani Lian Eng dengan rupa-rupa pertanyaan tentang keadaan di kota sekarang ini. Lengkoan Giok-lie tidak keberatan untuk Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menceritakan perubahan-perubahan yang ia tahu sehingga dua nyonya itu kelihatannya merasa senang. Selama mereka bercakap-cakap, tak terasa cuaca mulai gelap. Dengan ramah tamah, tuan dan nyonya rumah mengundang mereka untuk melewatkan sang malam dalam rumah itu saja. Para tamu tidak melihat alasan untuk menolak. Apalagi urusan yang penting hendak ditanyakan belum dilakukan. Maka itu mereka dengan baik telah menerima undangan untuk menginap dalam rumah Thio Tiat. Nyonya rumah telah menyediakan hidangan sekedarnya tapi cukup lezat dimakan oleh para tamu dan semuanya pada mengatakan banyak terima kasih. Pada mulanya, di waktu omong-omong dengan perlahanlahan Louw Bin Cie timbulkan persoalan Kim Coa Siancu. Waktu mendengar disebutnya Kim Coa Siancu, otomatis, tampak wajah Thio Tiat dan dua istrinya menjadi pucat. Tapi Thio Tiat dapat menguasai getaran jantungnya yang kaget. "Sebaiknya jangan kita bicarakan soal itu." katanya, perlahan suaranya. Ma Liong tidak puas. Ia lantas ceritakan tentang diculiknya Sian Bwee dan maksud mereka lewat di Cit-sen-tin adalah hendak menyatroni sarangnya Kim Coa Siancu di Coa-kok. Hanya menyesal sekali, tidak ada seorang yang dapat memberi petunjuk yang jelas untuk pergi ke sana. Mendengar itu, Thio Tiat saling pandang dengan kedua istrinya. "Urusan kalian memang hebat." kata Sian Lin tiba-tiba. "Dalam hal lain mungkin kita dengan lantas dapat membantu tapi dalam itu, maaf saja." "Kenapa begitu ?" tanya Kam Eng Kim, tidak puas dia. "Dalam wilayah di sini, ada satu pantangan untuk orang menyebut apa-apa mengenai dirinya, apalagi petunjuk seperti yang kalian ingini." berkata lagi Sian Lin, wajahnya sudah pucat ketakutan. Thio Tiat dan Sian Kin juga kelihatan gelisah. "Hahaha !" terdengar Kam Eng Kim tertawa. "Kalian tidak berani kasih tahu, kami juga tak berani lama-lama tinggal disini. Nah, marilah kita pergi !" ia bangkit dari duduknya mengajak kawan-kawannya berlalu dari rumah itu, malam-malam itu juga. "Ayah, kau jangan bawa adat yang bukan-bukan !" berkata Lian Eng yang merasa jengkel dengan kelakuan sang ayah yang tidak benar. "Apa kau bilang " Bukan-bukan " Hmm !" tidakk senang ia ditegur anaknya. "Orang sudah begitu baik terhadap kita, masa dibalas dengan kelakuan yang demikian tidak sopan ?" berkata lagi Lien Eng, berani ia menyela ayahnya. "Kau, kau, anak apa ! Tidak punya isi perut. Orang sudah ketakutan masih mau ngotot lagi. Mereka boleh takut pada si sundal Kim Coa Sian....." berbareng api lilin yang sengaja dipasang dua batang telah menjadi padam. "Hihihi....." kedengaran suara ketawa wanita di sebelah luar, perlahan suara ketawa itu tapi menusuk ke telinga orang yang ada disitu. Thio Tiat dan dua istrinya saling peluk ketakutan sementara Ma Liong dan Liang Eng juga jeri hatinya, hanya Louw Bin Cie yang besar hatinya. Dengan sekali lompat ia sudah berada di luar pintu. Di sana si orang she Louw hanya melihat seperti segulungan asap ketiup angin pergi, pergi tidak kelihatan ditelan kegelapan sang malam. Louw Bin Cie sebenarnya hendak mencegat larinya si wanita yang ketawa tadi tapi sudah terlambat. Wanita itu sudah lenyap seperti asap bergulung-gulung. Si orang she Louw hanya bisa menghela napas dengan mendongkol. Ketika ia masuk lagi ke dalam, api lilin penerangan sudah dipasang lagi. Mendadak Lian Eng menjerit melihat ayahnya sedang duduk menyender di kursi dengan kedua matanya tertutup. Waktu Thio Tiat dan dua istrinya mendekati, mereka menjadi menggigil seperti yang merian, "Kim...... Kim..... Coa.... Sian.....cu.....!" kata-kata ini molor keluar dari bibirnya sian Lin seraya tangannya menunjuk pada jidatnya Kam Eng Kim dimana terdapat goresan seperti gambar ular kecil tengah meloget-loget jalan. "Ayah, ayah........." Lian Eng bangkit dari duduknya hendak menubruk ayahnya, tapi cepat dihalangi oleh Sian Lian hingga mereka jadi berkutatan. Lian Eng berontak hendak menghampiri ayahnya sedang Sian Lian bertahan menghalanginya. Segera Sian Kin sudah turun tangan juga, katanya, "Nona Eng, kau dengar dulu omonganku. Sabar, satu sudah hilang, masa harus yang lain menyusul ?" Ma Liong dan Louw Bin Cie heran mendengar kata-kata Sian Kin. Sementara itu, Lian Eng juga sudah menjadi tenang. Tidak lagi ia berontak untuk memeluk ayahnya yang sudah jadi mayat. Ia ingin mendengar penjelasan Sian Kin, yang lalu berkata lagi, "Nona Eng, kalau adikku barusan mencegah kau menubruk ayahmu adalah demi keselamatanmu. Kam Lo-enghiong setelah mendapat totokan maut dari Siancu, badannya menjadi beracun. Kalau kena diraba, orang yang merabanya akan ikut ia ke alam baka. Inilah yang dapat kuterangkan. Harap kau tidak menjadi kecil hati. Sekarang paling baik kita urus jenasah ayahmu baik-baik. Mau ditanam disini boleh saja, mau di bawa pulang, itu terserah." Lengkoan Giok-lie mendengar perkataan Sian Kin, berdiri bulu kuduknya. Seram dia, hatinya berdebar keras, ketakutan. Matanya saling pandang dengan suaminya. Ma Liong ragu-ragu akan Sian Kin, maka ia tinggal membisu saja, tak dapat ia memberi putusan. Sang istri paham dengan sikapnya sang suami, maka dari takut ia juga menjadi raguragu atas keterangannya Sian Kin. Louw Bin Cie juga masih tidak percaya, masa sampai begitu ampuh totokan si Dewi Ular Emas. Dapatkan ia menyimpan bisa di dalam tubuhnya sang korban " Melihat sikap mereka, kuatir salah satu antaranya nanti nekad mencoba-coba meraba mayatnya Kam Eng Kiam, maka si Jiso (Sian Lin) berkata, "Kalian mungkin tidak percaya akan katakata enciku. Nanti aku kasih bukti !" berbareng ia berlalu dari situ masuk ke belakang. Tidak lama ia kembali dengan membawa seekor anak anjing yang masih kecil hingga para tamu menjadi heran. "Nah, lihat, aku korbankan makhluk yang tidak berdosa !" katanya berbareng ia pegang kepalanya si anjing kecil, mukanya ditempelkam pada pipinya Kam Eng Kim, lalu dilepaskan dengan cepat hingga si anak anjing jatuh di lantai. Ia tidak berkuing-kuing lari mencari ibunya, sebaliknya, begitu badannya menyentuh lantai, tampak ia berkelejetan seperti makan racun layaknya. Sebentar kemudian terdengar suara 'Ngik' hanya sekali dan anjing kecil itu melayang jiwanya dan tubuhnya sudah tak bergerak lagi. Lian Eng lompat menubruk Ma Liong. Ia memeluk suaminya dengan ketakutan bukan main. Ma Liong pun tergetar hatinya, tapi tidak ketakutan seperti Lian Eng. Louw Bin Cie dilain pihak, tampak angguk-anggukkan kepalanya. Hatinya cemas tercampur terharu. Ia cemas karena gara-gara ia yang membawanya ke rumah Thio Tiat sehingga Kam Eng Kim menemukan kematian konyol, terharu kehilangan si Burung Kepada Dua yang tidak sedikit tahun menjadi sahabatnya. Ia jadi berdiri menjublek. Sekonyong-konyong Lian Eng melepaskan pelukan dari suaminya lalu menghampiri Sian Lin, di dekapnya Lian Eng jatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Lin koukou, kau adalah Injinku, terimalah hormatku dan aku mohon maaf atas kelakuanku barusan yang tidak benar." air matanya tampak bercucuran. Koukou artinya bibi dan Injin (tuan penolong). Melihat kelakuan Lengkoan Giok-lie, Sian Lin mengelus-elus rambut si juwita dari kota Lengkoan, "Anak Eng. Kita orang sendiri, tak usah banyak peradatan. Nah, bangunlah !" Sian Lin menyilakan si nyonya muda bangun. Mengingat nanti berabe diperjalanan kalau mayatnya Kam Eng Kim di bawa pulang, maka atas kemauan Lin Eng sendiri, mayat Kam Eng Kim dikubur di Cit-seng-tin. Mayat itu dibungkus dengan kain tebal dan selimut supaya tubuhnya yang beracun tidak sampai teraba oleh orang yang menggotongnya ke dalam liang kubur. Lian Eng mengucurkan banyak air mata, menyaksikan penguburan jenasah ayahnya yang kesohor itu hanya disaksikan oleh ia sendiri, sang mantu Ma Liong, sahabatnya Louw Bin Cie serta Thio Tiat dan dua nyonya yang mulia hatinya. Coba kematian Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim kejadian di tempatnya sendiri, sudah tentu banyak yang datang melayat dan penguburan dilakukan dengan ramai sekali dengan diantar oleh banyak kawankawannya dalam dunia Kangouw. Setelah selesai membereskan penguburan jenasah ayahnya, Lian Eng ajak kawan-kawannya untuk meneruskan perjalanan. Kepada tuan rumah dan dua nyonya rumah, Lengkoan Giok-lie mengucapkan banyak terima kasih. Malahan ia mau tinggalkan uang untuk ongkos selama mereka tinggal disitu, akan tetapi ditolak oleh tuan dan nyonya rumah yang manis budi. Dalam perjalanan, mereka mampir disebuah rumah makan An Seng untuk melepaskan lelah dan mengisi perut. Mengingat akan nasehat dua nyonya Thio Tiat bahwa ada pantangan bagi orang-orang yang tinggal di wilayah dekat Lembah Ular menyebutkan nama Kim Coa Siancu atau menyinggungnyinggung soalnya, maka Lian Eng dan dua kawannya tak berani dengan terang-terangan berbicara mengenai soal Kim Coa Siancu lagi. Mereka kini tahu akan kelihaiannya si Dewi Ular Emas. Meskipun demikian, diam-diam Lian Eng ada mengandung maksud bahwa suatu waktu ia mesti menemui Kim Coa Siancu untuk menentukan siapa unggul. Tapi hal ini ia tidak dapat lakukan sekarang. Pikirnya, ia akan belajar atau memperdalam ilmu silatnya lagi, setelah mana ia baru akan mencari Kim Coa Siancu yang telah menculik puterinya dan membunuh ayahnya. Dalam rumah makan itu mereka kasak kusuk untuk mengambil keputusan, apakah perjalanan baik diteruskan atau baik pulang saja. Louw Bin Cie tidak berkata apa-apa sebab ia memang hanya sebagai pengantar saja. Putusannya sudah tentu ada pada Ma Liong dan istrinya yang mempunyai kepentingan dalam hal itu. "Diteruskan juga percuma, kita hanya akan mengantarkan jiwa saja." Ma Liong menyatakan pikirannya. "Sebaiknya kita pulang saja dahulu untuk berdamai dengan orang-orang tua dirumah, untuk meminta nasehatnya bagaimana kita harus berbuat menghadapi musuh yang sangat tangguh." Louw Bin Cie pikir, itulah jalan paling baik. Maka Lian Eng pun tidak bisa membantah dan mereka sekarang telah putar haluan untuk balik kembali saja. Tidak jauh dari meja makan mereka, tampak ada 4 orang, juga sedang makan dengan bernapsu. Mereka ketawa geli dalam hati melihat satu diantaranya yang bermuka merah dan gendut pendek, makannya sangat gembul. Beberapa kali telah tambah nasi dalam mangkoknya tapi masih belum juga kelihatan merasa kenyang. "Tan-heng, aku kuatir perutmu nanti kembung seperti balon !" kawannya bermuka putih menggodai si gendut yang makan tanpa batas. "Hahaha !" si gendut tertawa seraya letakkan mangkok dan sumpitnya di meja, mulutnya masih penuh dengan nasi. Setelah menelan habis nasi di mulutnya, ia meneruskan berkata, "Perjalanan kita ke Coa-kok harus melewati banyak tempat sepi. Maka aku harus bekal makanan dalam perutku supaya tidak kelaparan di jalan. Hahaha !" Si gendut tertawa seraya tepuk-tepuk perutnya. Louw Bin Cie terkejut mendengar kata si gendut. Pikirnya, kalau begitu 4 orang yang sedang makan itu bermaksud hendak pergi ke lembah ular. Apa maksud mereka ke sana " Apa ada urusan yang sama dengan urusannya Ma Liong " Louw Bin Cie saling berpandangan dengan Ma Liong serta istrinya. Si Sepasang Pedang Dewa Louw Bin Cie ingin mencari tahu, kalau benar mereka ada bertujuan sama, baik sekali kalau diajak menjadi teman seperjalanan. Ketika ia mau bangkit dari duduknya, tiba-tiba ia mendengar seorang lain yang memakai kumis berkata pada si gemuk, "Tan-heng, jangan-jangan belum sampai disana bekal dalam perutmu itu sudah digerembengi orang............ Hehehe !" Si gemuk ketawa, "Aku Tan Thiat Ga, datang kemari mengantar dia, aku punya toako." berkata si gemuk seraya menunjuk orang di depannya yang berperawakan jangkung. "Kalau aku si orang she Tan tidak punya 'isi', mana berani begitu gegabah mengantar orang ke tempat yang seram !" Maksud si gemuk 'isi' itu artinya 'punya kepandaian silat'. Tapi temannya, si kumis berlagak pilon dengan arti yang sebenarnya, ia menggodai, katanya, "Tentu saja ada isi, ialah isi perut. Hahahaha...." Semua orang ketawa kecuali si jangkuk yang kelihatannya sedari tadi bermuram durja saja. Thiat Gu rupanya seorang yang jenaka diantara mereka, maka kawannya suka menggodainya. Sebab kemudian dengan gayanya yang lucu ia berkata lagi pada si kumis seraya mengusap-usap perutnya, kepalanya nunduk memandang perutnya yang seperti balon ditiup, katanya, "Lie-heng, isi ini penuh dengan lwekang (tenaga dalam) yang dahsyat. Siapa berani raba isinya " Hmm ! Jago-jago temanku, jungkir balik dengan iniku !" si gemuk perlihatkan kepalannya. Lalu meneruskan, "Di sini aku mau coba si dara jelita yang disohorkan berkepandaian sangat tinggi !" "Siapa itu dara jelita, Tan-heng ?" tanya si kumis seraya menahan tertawa. "Hehehe...." kepalanya mendongak. "Itulah Kim Coa Sian...... !" Baru saja menyebut 'Kim Coa Sian...', belum 'cu'-nya keucapkan, badan si gemuk tiba-tiba gemetaran dan jatuh ke Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lantai bersama bangku yang didudukinya. Semua orang kaget, apa lagi kawan-kawannya yang serentak turun tangan menolong temannya yang diserang penyakit ayan, pikir mereka. "Hi hi hi..... !" terdengar suara ketawa wanita di sebelah luar. -- 18 -- Suara ketawa itu tidak diperhatikan oleh kawan-kawannya Tiat Gu yang sedang repot menolong si gemuk yang kelenger dengan tiba-tiba itu. Tapi bagi Louw Bin Cie dengan kawankawannya, tertawa wanita itu mereka kenal baik. Itulah Kim Coa Siancu, berkata dalam hati masing-masing. Tidak berani mereka mengucapkan dengan terang-terangan karena takut mati konyol seperti Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim dan si gemuk yang barusan mereka saksikan menemui ajalnya. Louw Bin Cie hanya dapat berpandangan dengan dua kawannya. Sementara itu Tiat Gu yang digoyang-goyang lengannya tetap tidak sadarkan diri. Si jangkung, toakonya si gemuk lalu ulur tangannya meraba pipi dan dahinya sang kawan. Tiba-tiba ia bergemetaran dan jatuh meloso di lantai. Berkelejatan sebentar seperti anak anjing beberapa malam yang lalu Lian Eng saksikan, lantas si jangkung tidak berkutik lagi. Melihat si jangkung keracunan gara-gara meraba pipi si gemuk, maka dua kawannya yang lain ketakutan, tidak berani meraba tubuh sang kawan. Apalagi si kumis yang barusan menggoyang-goyang lengan si gemuk, bukan main ia ketakutan. Ia tidak apa-apa menggoyang-goyang lengan si gemuk lantaran lengan si korban ketutupan lengan baju. Coba bila tidak, pasti si kumis yang direnggut duluan jiwanya oleh racun dahsyat dari Kim Coa Siancu. Keadaan waktu itu menjadi panik, para tamu yang takut tentang hal itu sebentar saja sudah padalari keluar kecuali tamu-tamu yang datang dari luar tempat tidak mengerti akan kematiannya si gemuk dan si jangkung. Penduduk disitu sudah lantas tahu bahwa si gemuk mendapat hadiah 'Bu-im In-coa' atau 'Cap ular tanpa suara', senjata rahasia Kim Coa Siancu yang menggemparkan. Pada dahi si gemuk tampak goresan gambar ular yang sedang melegot-legot jalan. Entah macam apa bentuknya senjata rahasia dari Kim Coa Siancu, tiada orang yang tahu. Orang-orang hanya tahu korban-korban yang kena sasarannya akan gemetaran sebentar dan kemudian lantas mati. Pada jidat si korban akan diketemukan satu goresan gambar ular kecil yang jalan melegot-legot. Berdasar inilah rupanya orang menamakan senjata yang ampuh dari Kim Coa Siancu 'Bu-im In-coan' atau 'Cap ular tanpa suara'. Si muka putih dan si kumis mengeluarkan banyak uang juga untuk mengubur jenazah kedua kawannya karena mereka tak dapat melakukannya sendiri tapi harus minta bantuannya beberapa penduduk disitu yang sudah biasa menguburkan korban-korban dari Kim Coa Siancu sehingga tidak sampai keracunan. Louw Bin Cie dan dua kawannya tidak menyaksikan penguburan itu karena mereka sudah lantas melakukan perjalanan pulang. Meskipun sudah kawakan dalam dunia Kangouw, Louw Bin Cie menyaksikan kejadian yang sehebat dilakukan Kim Coa Siancu, diam-diam keberaniannya menjadi kecut untuk menghadapi Kim Coa Siancu. Ia ingin buru-buru pulang untuk berunding dengan kawan-kawannya yang lebih tua tentang halnya Kim Coa Siancu. Ketika matahari mendoyon ke sebelah barat, si Sepasang Pedang Dewa Louw Bin Cie dan dua kawannya menjadi kebingungan karena sudah kesasar jalan. Hari sudah mendekati sore, bagaimana mereka nanti dapat tempat pemondokan sebab disitu jalan-jalan yang dilewati boleh dikata hanya hutan-hutan yang sepi saja. Di depan sana, tiba-tiba Lian Eng nampak ada satu kebun bunga. Ia memang paling suka pada kembang-kembang, maka seketika itu ia cepatkan jalannya meninggalkan kawankawannya. Ia tidak mengira bahwa disana sudah ada seorang gadis tengah memetik bunga-bungan yang indah seraya dari mulutnya terdengar suara nyanyian yang amat merdu kedengarannya. "Hm, siapa anak dara ditengah-tengah hutan ini ?" Lian Eng menanya pada dirinya sendiri seraya teruskan jalannya mendekati si anak dara yang tengah asyik memetik bunga. Lengkoan Giok-lie menggunakan ilmu entengi tubuh maka juga si gadis jelita tadi tidak mengetahui kalau dirinya ada yang dekati. "Adik manis, kau sendirian saja memetik kembang ?" tiba-tiba ia menegur si gadis yang kelihatan kaget dan hentikan menyanyinya. Ka[an ia menoleh pada Lengkoan Giok-lie, si Lengkoan Gioklie menjadi sangat terperanjat hatinya. "Eh, kau, kau ada disini, anak Bwe..." tiba-tiba mulutnya nyonya Ma tercetus ucapan aneh. Aneh untuk si gadis sebab ia tidak kenal sama wanita di depannya. "Siapa yang kau maksudkan dengan anak Bwee ?" ia lantas menanya. "Eh, apa kau bukan anak Bwee ?" Lengkoan Giok-lie menegasi berbareng hatinya rada sangsi karena reaksi dari si gadis di luar dugaannya. Gadis itu geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Lengkoan Giok-lie. Lian Eng menjadi penasaran, ia datang lebih dekat dan mengawasi wajah gadis itu. Ia lihat si gadis pengawakannya agak berubah, lebih jangkung dan lebih botoh dari Sian Bwee anaknya satu setengah tahun yang lalu. Pikirnya, perubahan itu wajar karena satu setengah tahu ia tidak ketemu anaknya itu. Ibu mana sih yang tidak mengenali anaknya, maka juga Lian Eng sudah berkata pula, "Tidak salah, kau adalah Sian Bwee anakku. Kalau buka, siapa ada orang tuamu, adik manis ?" "Hihihi..... bibi ini lucu. Aku jadi anakmu, aku sudah keliru. Aku bernama Cui Sian bukannya Sian Bwee !" si gadis menyangkal seraya terus memetik bunganya, tidak memperdulikan Lian ENg yang haus akan cintanya sang puteri yang hilang ! Sementara itu Ma Liong, suaminya sudah datang mendekati isterinya yang sedang terpaku, tercengang mendapat perlakuan dari si gadis yang ia kira anaknya. "Engko Liong, coba kau lihat siapa dia." kata Lian Eng ketika mengetahui suaminya ada didepannya. "Eh, nona. Coba kau lihat siapa ini." Lian Eng kata pada si gadis yang sedang membelakangi mereka, asyik memetik bunga. Si gadis menolah kepada mereka. Ma Liong terkesiap hatinya nampak wajah si gadis tapi dia sangsi sebab gadis yang dilihatnya ini pengawakannya lebih jangkung dan lebih botoh dari anaknya Sian Bwee yang hilang. "Adik Eng, anak ini mirip dengan anak kita." akhirnya ia berkata juga. Liang Eng tidak menyahuti kata-katanya sang suami tapi ia gapaikan tangannya pada Louw Bin Cie yang berdiri sedikit jauh dari mereka, si Sepasang Pedang Dewa dengan segera lantas datang menghampiri. "Louw susiok (paman), coba kau lihat, siapa gadis itu." kata Lian Eng. Louw Bin Cie memandang pada gadis yang asyik memetik bunga, "Hei, nona, coba kau berpaling sebentar !" katanya pada si gadis. Si nona menoleh dan melemparkan senyuman manis. "Ah, dialah Sian Bwee." kataya setelah melihat tegas roman muka si gadis. "Nah, bagaimana pendapatmu ?" Lian Eng menanya suaminya. Ma Liong juga memang menduga gadis itu adalah anaknya hanya ia ragu-ragu karena perbedaan perawakan si gadis itu. Mendengar perkataan sang isteri dan ucapan Louw Bin Cie, mau tidak mau ia harus akui bahwa gadis di depannya itu ada puterinya yang hilang. Maka ia lantas maju mendekati dan berkata, "Anak Sian, apakah kau sudah lupa kepada ayah bundamu " Kau disini sendirian, mari kita pulang !" "Hihihi...." si gadis ketawa empuk. "Pulang " Pulang kemana " Aku tidak bisa meninggalkan suhu, lagian aku tidak kenal kalian !" si gadis berbareng angkat kaki hendak meninggalkan mereka. "Tunggu !" kata Lian Eng, agak bengis suaranya. Si gadis hentikan tindakannya. Ia agak kaget, wanita ini main bentak, pikirnya. "Kau mau apa " Aku tidak ada urusan dengan kau. Kenapa kau tetap juga mengaku aku sebagai anakmu " Hihihi, adaada saja." Lian Eng dan dua kawannya seketika mempunyai satu anggapan baha gadis di depannya ini memang Sian Bwee adanya, cuma saja ingatannya sudah tidak waras, memungkiri ayah bundanya sendiri. Maka mendengar kata-kata Cui Sian, Louw Bin Cie saling pandang bertiga. Dengan satu tanda kedipan dari Lian Eng, segera juga Ma Liong bergerak hendak menangkap Cui Sian. Pikrinya, dengan sekali jambret tangan Cui Sian sudah dapat dicekal olehnya sebab dalam gerakannya ia gunakan tipu 'Sianjin hian chiu' atau 'Sang Dewa perlihatkan tangan', salah satu jurus dari 'Liu su ciang hoat' (Ilmu pukulan pohon Liu) yang menjadi kebanggaan dalam perguruannya. Tangan kiri di dada untuk menjaga serangan membalik, tangan kanan menyambar tangan si gadis. Ma Liong sangsi kalau Cui Sian bukan puterinya dan pandai silat, maka ia sudah gunakan tipu itu. Tapi sebaliknya sang isteri, Lian Eng menganggap perbuatan sang suami itu terlalu kasar terhadap anak sendiri. Meskipun kelihatannya tidak berjaga-jaga, tangannya yang halus terancam bakal kena dicekal Ma Liong, si gadis waspada juga. Begitu tangan Ma Liong menyambar, segera ia tarik sedikit tangannya sehingga sambaran tangan Ma Liong hanya menangkap angin. "Hihihi..." Cui Sian ketawa, seraya lari dari situ. Ma Liong terbelalak matanya, Lian Eng terpaku ditempatnya dan Louw Bin Cie manggut-manggut kepalanya. Kenapa " Ma Liong suami isteri dan Louw Bin Cie bukannya heran atas kegesitannya si gadis, hanya mereka kenali Cui Sian menyelamatkan tangannya dari sambaran Ma Liong adalah jurus 'Thian lie kay tay' atau "Bidadari meloloskan sabuk'. Suatu gerakan yang khusus untuk mengelakkan tipu 'Sian jin hian ciu' dari ilmu silat 'Liu su ciang hoat'. Dengan begitu, Cui Sian itu benar-benar adalah Sian Bwee, puterinya yang hilang itu. Lian Eng tidak sabaran setelah mendapat bukti ini, maka ia sudah lompat menyusul sebelum Cui Sian pergi jauh, "Anak Bwee, kau mau kemana ?" ia memanggil. Cui Sian tidak meladeni, ia terus lari seperti yang ketakutan. Tiba-tiba ia hentikan larinya dan kebingungan karena di depannya sudah ada Ma Liong yang mencegat. Ia tidak kekurangan akal, lantas ia belik ke kanan, lari menghampiri sebuah pohon besar seraya berteriak-teriak minta tolong. Tapi sebelum ia sampai ke pohon yang dituju, tiba-tiba muncul Louw Bin Cie dari balik sebuah pohon yang terus mencekal tangan si gadis sehingga tidak berkutik meskipun Cui Sian berontak-rontak keras untuk melepaskan tangannya. Tidak lama lagi, sudah sampai Ma Liong dan Lian Eng kesitu. Lian Eng peluk Cui Sian seraya mengelus-elus rambutnya, "Anak Bwee, kau benar-benar adalah puteriku yang hilang. Apa kau tidak kenali aku, ibumu ?" berkata Lian Eng dengan penuh kesayangan. Tapi si gadis terus berontak-rontak, mulutnya ribut tidak mengakui Lian Eng dan Ma Liong sebagai ayah ibunya, hingga suami isteri itu kewalahan. "Mari kita bawa dengan paksa saja." Ma Liong mengusulkna. "Nanti setelah di rumah, kita pikir bagaimana baiknya mengobati pikirannya yang ngawur." Louw Bin Cie setuju dengan usul itu. Tiada ada lain jalan dari pada demikian, maka Lian Eng juga jadi mufakat dan seketika itu juga, Ma Liong sudah gunakan jarinya menotok jalan darah si gadis yang membuat ia tidak berontak-rontak dan gampang diangkutnya. Tiba-tiba mereka mendengar suara, "hihihi!". Suara ketawa wanita yang sangat dikenal oleh mereka. "Kim Coa Siancu..." ucap mereka dalam hati masing-masing. Ma Liong dan Lian Eng tanpa disadari sudah menggigil tubuhnya. Louw Bin Cie masih dapat menahan getaran jantungnya, ia tidak demikian jeri seperti Ma Liong suami isteri. Ia pasrah kepada nasib apabila senjata rahasianya Kim Coa Siancu ialah 'Buim In-coa' mengambil jiwanya seketika itu. Mereka sudah pada memeramkan matanya untuk menerima kematian. Tapi lama ditunggu, kiranya tidak ada apa-apa yang menakutkan sebab disana tidak jauh dari pohon besar tampak seorang dara manis yang umurnya sebaya dengan Cui Sian lagi ketawa-tawa manis ke arahnya. Kapan Lian Eng perhatikan si dara manis yang sedang jalan mendatangi, ia lihat, gadis itu benar-benar sangat cantik. Terpesona ia oleh kecantikan gadis itu. Kecantikannya sendiri yang sampai mendapat julukan Lengkoan Giok-lie atau si Jelita dari kota Lengkoan, ia merasa belum menemui tandingan, sekarang ia menjumpai nona di depannya sungguh menakjubkan hatinya. Dalam pakaian serba tipis yang menggiurkan, burungburungan yang bergerak-gerak memain pada ikat kepalanya yang pantas sekali, sungguh nona ini pantas menjadi satu ratu yang dipuja dalam suatu negera. Demikian mempesonakan wajahnya si dara manis, hingga Lian Eng tanpa merasa dari bibirnya telah berkata, "Nona, kau sangat cantik....." tatkala si dara manis sudah berhadapan dengan Lengkoan Giok-lie. "Terima kasih atas pujianmu." suaranya ramah dan meresap di hati. Cui Sian sementara itu masih tetap dikuasai oleh Ma Liong dan isterinya. Ketika melihat yang datang itu lantas saja Cui Sian berkata, Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Siancu, mereka hendak membawa aku. Katanya aku adalah anak mereka. Tolong Siancu supaya dapat mengusir mereka yang mengganggu kesenangan kita !" Lenkoan Giok-lie dan dua kawannya menjadi terkejut. Kiranya dara manis itu adalah Kim Coa Siancu yang ditakuti bagaikan hantu. Mereka kira tadinya Kim Coa Siancu itu adalah satu wanita yang berwajah jelek menakuti dengan jari-jarinya yang berkuku panjang-panjang runcing menyeramkan. Tidak tahunya, ia hanya satu dara manis dari usia yang sebaya dengan Sian Bwee dan cantik sekali. Lian Eng memberanikan hati apalagi melihat Kim Coa Siancu tidak ada apa-apanya yang harus ditakuti dan seram. Ia berkata, "Mohon Siancu punya kemurahan supaya anakku ini dikembalikan ingatannya dan mengenali ayah bundanya lagi." Kim Coa Siancu tertawa manis. "Dari mana kau tahu CUi Sian adalah puteri kalian " Bagaimana kalian dapat mengenalinya ?" tanya Kim Coa Siancu. "Aku yang menjadi ibunya, mana tak bisa mengenali anaknya. Juga ayahnya dan Yayanya (dimaksudkan Louw Bin Cie) pasti mengenalinya." "Orang bisa saja keliru kecuali bila ada buktinya." "Bukti apa yang Siancu maksudkan ?" menyela Ma Liong. "Kalian mengatakan Cui Sian adalah anak kalian, tapi apa buktinya ?" sahut si Dewi Ular Emas. Lengkoan Giok-lie dan suaminya merenungkan apa yang dimaksud oleh Kim Coa Siancu. Akhirnya Lengkoan Giok-lie dapat tahu maksud si Dewi Ular Emas, lalu katanya :"Aku dapat buktikan bahwa pada jidat puteriku ada satu andeng-andeng kecil. Sepintas lalu memang tidak kelihatan. Tapi kalau diperhatikan tampak nyata." "Bagus." kata Kim Coa Siancu. "Coba kau unjukkan padaku, dimana adanya andeng-andeng itu pada jidatnya Cui Sian. Kalau benar ada, tentu Cui Sian adalah anak kalian." "Baik !" sahut Lian Eng hampir berbareng dengan Ma Liong. Lengkoan GIok-lie lantas pegang kepala Cui Sian dan memeriksa. Bukan main girangnya sebab tanda yang dimaksudkan itu memang ada diatas jidat Cui Sian. "Siancu, ini dia...." kata Lengkoan Giok-lie seraya dengan jarinya ia tekan andeng-andeng paa jidat si gadis. Karena jidatnya kena disentuh, otomatis Cui Sian beringas dan tangannya si wanita cantik dari kota Lengkoan kena digigit seketika. Cui Sian berbareng berontak dan lari kepada Kim Coa Siancu sambil ketawa hi hi hi.... Cui Sian merasa dirinya aman disampingnya Kim Coa Siancu. Sementara Ma Liong dan Louw Bin Cie berdiri bengong melihat kejadian itu. Kim Coa Siancu telah berkata, "Nah, lihat buktinya !" Apa yang dimaksudkan 'Nah, lihat buktinya' oleh Kim Coa Siancu, Ma Liong dan Louw Bin Cie tidak paham tapi yang terang bahwa dengan sekonyong-konyong setelah digigit Cui Sian, Lengkoan Giok-lie telah tertawa Hi hi hi..., berbareng gerakan kakinya lari pada Kim Coa Siancu. Pikirannya Lengkoan Giok-lie sudah berubah sekarang, berubah dalam alam pikiran untuk Kim Coa Sianculah adanya suhunya dan pelindungnya. Ia sudah tidak mengenali Ma Liong lagi sebagai suaminya, apalagi kepada Louw Bin Cie. Ma Liong jadi kebingungan. Anak belum dapat ditarik pulang, sekarang isterinya lagi ikut pihak sana. Dalam tertegunnya itu, Ma Liong dengar kata-kata Louw Bin Cie, "Lekas tarik pulang isterimu sebelum dikuasai orang !" Ma Liong tiba-tiba menjadi nekad. Ia lompat dan menyambar tangan isterinya. Tapi sang isteri berkelit seperti Cui Sian barusan menggunakan gerak 'Bidadari loloskan sabuknya', hingga Ma Liong menjadi sangat cemas. "Adik Eng, ingat mari kita pulang !" kata Ma Liong seraya kembali ia lakukan percobaannya untuk menjambret tangan Lengkoan Giok-lie. Lagi-lagi Ma Liong jambret angin, malah diluar dugaannya, sang isteri telah menyerangnya dengan jurus yang sangat berbahaya. Coba kalau ia tidak siap sedia dengan kemungkinan itu, tentu kena dihajar oleh Lengkoan Giok-lie. "Pulang " Pulang kemana " Aku tidak kenal dengan kau !" bentak Lengkoan Giok-lie, sambil maju menyerang Ma Liong lagi. "Adik Eng, ingat, kau adalah istriku." kata Ma Liong sambil menangkis serangan-serangan Lengkoan Giok-lie yang hebat. "Susiok !" teriak Ma Liong. "Kau jangan diam saja, lekas bantu aku !" Mendengar teriakan Ma Liong, Louw Bin Cie seperti yang baru tersadar dari tidurnya. Ia sudah lantas maju untuk bantu menangkap Lengkoan Giok-lie. Pertempuran menjadi seru. Lengkoan Giok-lie dikerubuti dua orang yang kepandaiannya sudah terkenal dalam kalangan Kangouw. Kim Coa Siancu dan Cui Sian hanya menonton saja, tidak begitu menaruh perhatian kelihatannya. Rupanya mereka hanya menunggu bagaimana kesudahannya pertempuran sengit itu. Lengkoan Giok-lie tampak beringas menempur dua lawannya. Karena kalah unggul, akhirnya Lian Eng menjadi kewalahan dan kena disergap oleh Louw BIn Cie. Lengkoan Giok-lie masih terus berontak-rontak. Tidak enak Louw Bin Cie pikir, saat itu ia memeluki istri orang, maka ia teriaki Ma Liong, "Lekas, lekas kau gantikan aku !" Dengan cepat Ma Liong menggantikan yang masih terus meronta-ronta, "Jahanam, kau tidak mau lepaskan nyonyamu !" ia semprot Ma Long hingga sang suami jadi kebingungan. "Adik Eng, kau toh ada istriku. Bagaimana kau maki aku jahanam ?" kata Ma Liong sambil pererat pelukannya, kuatir sang isteri terlepas lagi. "Kau dua orang jahat, bagaimana mau menghina nyonyamu ?" semprot Lian Eng, sepasang matanya beringas menakutkan. Ma Liong hanya saling pandang dengan Louw Bin Cie. Louw Bin Cie gerak-gerakkan tangannya, mengasih isyarat pada Ma Liong. Si Macam Hitam Ma Liong mengira sang paman menyuruh ia menotok jalan darah isterinya supaya jangan ia berontak-rontak terus-terusan. Dalam keadaan tertotok, meskipun pikirannya sudah berubah, Lengkoan Gioklie mudah diangkut pulang. Tapi bagaimana " Dua tangannya dipakai memeluki Lian Eng. Bagaimana mungkin dengan satu tangan ia bisa kuasai Lian Eng sedang dengan satu tangan lain dapat menotok Lengkoan Giok-lie " Tapi ia tidak kekurangan akal rupanya, tangan kanannya yang memeluk Lian Eng digeser pindah ke atas, maksudnya hendak menotok 'tee-hiat' (jalan darah dibawah tetek) tapi justru tiba-tiba Lian Eng berontak, jari yang hendak menotok 'tee-hiat' tadi, sesudah menyentuh buah dadanya Lengkoan Giok-lie, otomatis si cantik dari kota Lengkoan itu menggigit lengan Ma Liong hingga Ma Liong jadi kesakitan dan berbareng dengan Lengkoan GIok-lie yang terlepas dari pelukannya, ia lari menghampiri Kim Coa Siancu seraya ketawa hihihi ! Tampak Ma Liong berdiri kesakitan digigit Lengkoan Giok-lie tadi. "Liong-jie, kau kenapa ?" tanya Louw Bin Cie seraya menghampiri pada Ma Liong. "Siapa kau ?" bentak Ma Liong tiba-tiba hingga Louw Bin Cie sangat kaget. "Aku adalah kau punya susiok." sahut Louw Bin ie terang. "Susiok " Siapa susiok ?" kata Ma Liong, matanya beringas. Louw Bin Cie mengerti bahwa Ma Liong juga sudah ketularan berubah pikirannya seperti istrinya tadi. Tapi toh ia mau coba juga, katanya, "Liong-jie, ingat ! Kau kena dikerjai orang. Ingat, lekas ingat !" Ma Liong bukannya mengingatkan malah ia jadi marah pada Louw Bin Cie. "Pergi kau ! Aku tidak kenal denganmu !" bentaknya kasar. Berbareng ia juga sudah jalan menghampiri Kim Coa Siancu yang memandang Louw Bin Cie dengan senyuman manis mempesonakan. "Bagaimana, paman ?" tanyanya pada Louw Bin Cie. Louw Bin Cie jadi serba salah. Ia mau marah salah, tidak marah memang ia tahu sudah dipermainkan oleh Kim Coa Siancu. Perlahan dari jeri hatinya menjadi nekad. Pikirnya, ia tempo hari meninggalkan kampung halaman dengan empat orang, masa sekarang ia harus pulang dengan sendirian. "Siancu." katanya dengan hati mantap setelah ia berhadapan dengan Kim Coa Siancu yang tatkala itu sudah hendak berlalu meninggalkan tempat itu, diiringi oleh Cui Sian, Ma Liong dengan istrinya, "Kau adalah satu Dewi yang sangat dipuja. Tidak seharusnya kau berlaku kejam...." "Aku kejam apa ?" memotong Kim Coa Siancu. "Setelah merampas anaknya, masa sekarang kau mau kuasai juga ayah bundanya " Itu suatu perbuatan yang tidak betul, masuk hitungan kejam." berkata si orang she Louw berani. "Orang she Louw," Kim Coa Siancu ketawa manis. "Kalau aku tidak pandang kau orang baik yang belum pernah berbuat kejahatan, siang-siang aku sudah ambil jiwamu." kata si Dewi Ular Emas. "Bagus." sahut Louw Bin Cie. "Kau sudah menghargai aku, tapi aku juga tidak akan angkat kaki dari sini sebelum aku adu jiwa dengan kau." Berbareng dengan kata-katanya, Louw Bin Cie sudah mencabut dua belah pedangnya. Pikirnya, ia kesohor kepanaiannya dengan sepasang pedangnya yang aneh, belum pernah dipecundangi musuh, masa menghadapi satu gadis cilik saja ia mesti terima takluk sebelum bertempur " Sungguh hatinya yan berani tidak mau terima. "Siancu." katanya lagi. "Dengan sepasang pedangku ini, akan aku adu jiwa denganmu. Mari, marilah kita menetapkan siapa unggul !" Kim Coa Siancu yang sedari tadi menonton saja laga lagunya Louw Bin Cie yang sudah nekad, tiba-tiba ia tertawa. Suaranya kali ini melengking menusuk telinga hingga Louw Bin Cie kalau tidak merasa malu, saat itu ia sudah kepingin angkat tangannya untuk menutupi kupingnya yang sakit seperti ditusuk-tusuk. Setelah berhenti tertawa, Kim Coa Siancu memandang Louw Bin Cie. "Kau mau berkelahi ?" tanyanya halus, bukan satu bentakan. "Ya !" sahut Louw Bin Cie singkat. "Sudah siap ?" Kim Coa Siancu menggoda. "Sudah siap ?" Kim Coa Siancu menggoda. "Ya !" sahut Louw Bin Cie gemas. Berbareng ia mulai menyerang, tidak menanti Kim Coa Siancu bersiap-siap dahulu. Pikirnya, dengan secara tidak menduga-duga serangannya akan berhasil. Tapi ia tidak mengira bahwa Kim Coa Siancu tidak boleh dipandang enteng. Demikian ketika sepasang pedangnya menusuk berbareng ke arah dada, tiba-tiba tangan kiri Louw CIn Bie kesemutan dan pedang jatuh dengan sendirinya. Saat itu Louw Bin Cie hanya lihat Kim Coa Siancu bergerak sedikit tangannya, berkelebat menyentil jalan darah pada nadi tangan kirinya. Louw Bin Cie bukan jago kampungan, sentilah Kim Coa Siancu pada nadinya hanya membuat jatuh satu pedangnya tidak sampai membuat ia jatuh terkulai oleh pengaruh totokan. "Boleh juga, ya !" berkata Kim COa Siancu seraya berkelit dari serangan susulan Louw Bin Cie yang hebat sebab si orang she Louw sudah menggunakan tipu yang sukar dielakan yang dinamai 'Beng goat Kiam eng' atau 'Bayangan pedang diterang bulan'. Ujung pedang seperti menusuk dada tapi sebenarnya yang diarah adalah 'jalanan nasi' (tenggorokan). Cepat laksana kilat gerakan ini dilakukan, maklumlah Louw Bin Cie adalah jago pedang maka julukannya juga 'Sian-jin Siang-kiam', si Sepasang Pedang Dewa. Tapi.... terbelalak sepasang matanya si Sepasang Pedang Dewa ketika melihat ujung pedangnya bukan menusuk tenggorokan tapi nancap diantara dua jari mungil si Dewi Ular Emas, wajahnya si elok bersenyum manis ke arahnya. Louw Bin Cie kerahkan tenaga dalamnya untuk menarik pulang pedangnya yang dijepit dua jarinya Kim Coa Siancu tapi meskipun ia berdegingan, tidak dapat ia tarik lolos dari jepitan jari lawan. Kaget si Sepasang Pedang Dewa, peluh bercucuan di seluruh tubuhnya. "Mari, kita jangan terlalu lama main-main !" berkata Kim Coa Siancu berbareng terdengar suara 'pletak !'. Itu adalah suara patahnya pedang Louw Bin Cie hingga si jago pedang hanya memegangi pedang buntung di tangannya sambil berdiri menjublek, tidak tahu apa yang ia harus berbuat saking kagetnya. Pedang Louw Bin Cie bukan sembarangan pedang. Dibuat dari baja pilihan, meskipun pendek, bobotnya berat juga. Pendekar Lembah Naga 19 Dewi Ular 90 Misteri Surat Setan Pendekar Sakti Welas Asih 1

Cari Blog Ini