Ceritasilat Novel Online

Damar Wulan 2

Damar Wulan Karya Zuber Usman Bagian 2 akan tuanmu dan tidak akan merugikan kamu serta tuanmu." Sabda Palon memandang kepada Naya Genggong, kemudian kepada Anjasmara, seraya berkata, "Tuan hamba beruntung mendapat Ndara. Berakhirlah sudah duka nestapanya selama ini." "Apa maksudmu?" tanya Anjasmara menegasi. "Waktu kami di Paluh Amba, sering Tuan hamba duduk seorang dirinya meniup suling seperti meratap berhiba-hiba. Atau berhari-hari ia duduk Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ termenung atau seorang diri di malam sunyi menatap tenang-tenang ke langit yang penuh bertahur bintang," kata Sabda Palon. "Akhirnya ia tak dapat tertawa lagi," seru Naya Genggong pula. "Ya, kadang-kadang dengan tiba-tiba ia memanggil kami pergi berburu," sela Sabda Palon pula, "tetapi setelah sampai di pintu rumba, ketika kami melihat sekelamin binatang buruan, ia melarang kamu melepas anak panah. Sebaliknya kamu disuruhnya lekas-lekas kembali pulang." "Acapkali pula seperti gila lakunya," ujar Naya Genggong, "ia bercakapcakap dengan asyiknya seorang diri." "Dikatakannya ia berhadapan dengan Batara Wisynu," sambung Sabda Palon pula. "Cukuplah ceritamu sekian saja," ujar Anjasmara pula. "Hatiku sendiri dapat menambahnya, karena cintaku akan tuanmu telah dapat pula mernbayangkan bagaimana pula cintanya akan daku. Akan tetapi gilakah kamu jadi prajurit dalam laskar Adipati Tuban?" "Kami bertemu dengan tentara Adipati itu, ketika kamu akan berangkat ke Majapahit," jawab Sabda Palon. "Tuan hamba, Raden Damarwulan terus bermohon kepada Adipati Tuban turut menyerbu ke Wirabumi." "Kepandaiannya dalam berperang kelihatan sekali. Tidak siasia ia diajar kakeknya sejak kecil serta ayahnya Patih Udara. Badannya kiiat, matanya tajam, karena telah biasa hidup berkelana dalam rimba," sela Naya Genggong. "Dalam pertempuran ia selalu di muka barisannya," kata Sabda Palon. "Tetapi, Sabda Palon di belakang sekali," seru Naya Genggong. Setelah berdiam seketika, Anjasmara bertanya pula, "Berjuangkah dia bersama-sama dengan Raden Gajah, pahlawan yang hilang entah ke mana tak tentu rimbanya, yang sudah lama dicari Seri Ratu. Pahlawan yang dapat menggembirakan seluruh tentara yang tampil menyerang seperti singa?" Sabda Palon dan Naya Genggong tertawa. "Raden Gajah ialah nama Damarwulan dalam perlawatannya. Itulah namanya yang dikenal oleh kawan-kawannya di antara anak-anak gembala dan petani-petani di Paluh Amba. Apa sebabnya, kami tak tahu benar, mungkin karena keberaniannya juga," demikian keterangan Sabda Palon. "Damarwulanlah kiranya Raden Gajah itu?" ujar Anjasmara dengan amat girangnya. "Sungguh hatiku tidak keliru memilih. Benarlah cinta telah berurat berakar dalam hati dunia ini. Dewa Kamajaya telah memenuhi Swargaloka dengan cintanya dan telah menghiasi seluruh muka bumi dengan cintanya pula. Sekarang hatiku telah dimahkotai cinta yang ada dalam hatinya. Kami baru saja dipertemukan Dewata, akan tetapi perasaan cinta seakanakan telah lama mengikuti hati kami." "Ndara," seru Naya Genggong! "Hamba lihat Raden "Raden Gajah, Seri Ratu Majapahit telah lama mencari Kakanda. Mengapa Kakanda berdiam diri juga" Jika saya sekiranya Tuan, sudah lamalah saya di gapura Wirabumi." Demikian kata Dewi Anjasmara kepada Damarwulan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Dewi Anjasmara, hamba bukan kesatria semata. Jika hamba hanya kesatria saja, tentu telah hamba kerahkan bala tentara menyerang negeri Menak Jingga yang durhaka itu. Darah pendeta pun mengalir pula dalam tubuh hamba. Dalam menghadapi perang, yang hamba ingat hanya maju ke muka, menyerangmenyerang memusnahkan segala yang menghalang, segala yang menghambat di muka hamba. Dalam perang manusia bertindak seperti hewan, lupa akan kemanusiaannya. la mabuk melihat darah seperti harimau lakunya, membunuh, menerkam menewaskan mangsanya," demikian jawab Damarwulan. "Akan tetapi, o, kekasih hamba, setelah redalah nafsu yang berkobar dalam dada hamba, teringatlah hamba akan orang yang telah hamba bunuh dengan tangan hamba sendiri. Terbayang kembali di hadapan mata hamba bagaimana mereka mengaduh dan merintih. Senantiasa hamba melihat mayat yang berkumpul-kumpul keliling hamba, matanya terbuka tidak melihat, mukanya masih menyeringgit membayangkan sakit." Diam sebentar, kemudian katanya, "Waktu hamba sampai kemari, hamba lihat perempuan-perempuan di pintu gerbang bersama dengan anak-anaknya menantikan suami dan ayahnya. Ratap tangis mereka memilukan hati dan hamba sendiri turut menderita." Dewi Anjasmara memandang dengan tenang, kemudian ujarnya, "Kakanda Damarwulan! Sungguh aku bukan perempuan, kalau Adinda tidak mengerti akan perasaan Kakanda. Akan tetapi, kekasihku, haruslah dibiarkan Majapahit runtuh..."!" Damarwulan tiada segera menjawab. Keduanya sama-sama memandang ke jalan, kepada orang-orang yang lalu lintas, prajurit-prajurit yang datang dan pergi, yang menggambarkan keadaan dalam kota Majapahit yang sedang rusuh dan gelisah. Kemudian dengan lesu, seakan-akan kata-katanya terlompat dari mulutnya dengan tiada dipikir dan dirasakannya benar, "Ya, apa bedanya bagi hamba, siapa yang jadi raja di Jawadwipa?" "Bagaimana, jika sekiranya Menak Jingga yang menduduki takhta Kerajaan" Akan selamatkah Jawadwipa?" ujar Anjasmara. Damarwulan tiada lekas menjawab. "Bagaimana pada timbangan Kakanda?" ujar Anjasmara mendesak. "Pasti rakyat akan bertambah sengsara, negeri akan bertambah kacau, Menak Jingga bersifat raksasa, tidak mengindahkan keadilan dan peri kemanusiaan. Aku pernah menghadapi dia di medan pertempuran, is menaiki kuda hitam. Badannya hitam seperti karang, pakaiannya seakan-akan tiada bergerak, sekalipun angin bertiup dengan kencangnya. Matanya tiada menyorotkan cahaya, seperti mata orang yang mati. Seakan-akan dia sedang berhadapan dengan bala tentara raksasa dari neraka." Dewi Anjasmara berkata pula, "Relakah Kakanda membiarkan dia merampas Jawadwipa?" "Apa gunanya Majapahit ditolong lagi?" jawab Damarwulan. "Agama sekarang sudah berubah menjadi takhayul, pendeta sekarang telah menjadi pemeras. Tahukah Adinda apa yang terjadi di tempat-tempat peribadatan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sekarang, baiklah tiada hamba ceritakan. Agama dahulu meninggikan budi, sekarang sudah berubah sifatnya seperti penjara yang mengurung dan membelenggu hati rakyat, bahkan merusak-binasakan jiwa rakyat. Orang melihat lahirnya saja, tidak mengerti lagi isinya. Arca disembah sebagai dewa, sebab rakyat tak dapat berpikir lagi. Pendeta bukan memimpin kepada beragama, tetapi mengajarkan kebohongan dan menambah kebodohan saja, supaya kuasanya makin meluas, supaya tercapai kemauan yang hina dan rendah." Damarwulan terdiam pula, seketika kemudian katanya, "Kesatria namanya saja yang masih tinggal, sifat dan perbuatannya sudah seperti perampok. Rakyat jelata hidup melarat, kurus kering tidak bertenaga, seperti akan matt menahan lapar sekalipun masih bernapas. Majapahit akan punah, tidak dapat ditolong lagi. Sekalipun keadaan dapat diubah, akan tetapi apa gunanya?" "Kakanda hams memenuhi kewajiban, menuruti darmamu sebagai kesatria Majapahit," ujar Dewi Anjasmara pula. "Segala darma tidak hamba indahkan, kalau hamba tidak mengerti," jawab Darmawulan pula. Sambil melangkah menuju ke jalan samping is berkata perlahan-lahan, bimbang, seakan-akan ia berkata kepada dirinya sendiri, "Kewajiban dan darma hamba sekarang menanti di kandang kuda paman hamba!" 8. Berita dari Paluh Amba- Cinta dan Kew jiban Selama tinggal di ibu kota Majapahit banyak pengalaman Damarwulan bertambah. Panca mdranya seakan-akan semakin tajam, pendengarannya semakin nyaring, pemandangannya bertambah awas dan jauh, pertimbangan dan perhitungannya bertambah teliti. Sekalipun umurnya muda sekali, tetapi karena pendidikan dan pergaulannya di Paluh Amba. Damarwulan banyak berpikir dan merasakan. Sebagai kesatria sejati, ia beroleh pendidikan yang sempurna dari kakeknya yang telah menjalani darmanya di hari tuanya sebagai Maharesi serta dari ayahnya sendiri bekas patih kerajaan Majapahit, yang dengan rela hati menyerahkan kepatihannya kepada saudara sendiri. Akan tetapi sebagai anak desa, yang seharihari bergaul dengan kaum tani, rakyat biasa atau orang bawahan, Damarwulan selalu mempercermin kehidupan masyarakat yang sebenarnya melihat sendiri kesusahan dan kesulitan rakyat. Di samping itu dilihatnya pula golongan ksatria yang menempatkan dirinya terlalu tinggi di atas kasta-kasta atau golongan yang lain, serta memperlakukan mereka dengan tiada semenaTiraikasih Website http://kangzusi.com/ mena, bahkan telah jauh di luar garis keadilan dan peri kemanusiaan, terutama pada masa yang akhirakhir itu. Agama dan kaum brahmana hampirhampir tiada berdaya lagi. Ketika itu pula seperti telah diceritakan di daerah pesisir utara telah masuk pengaruh dan teladan kehidupan yang baru menurut ajaran Islam. Sekalian pertentangan itu berkesan serta berpengaruh ke dalam jiwa Damarwulan. Ayahnya dahulu acapkali mengatakan kepadanya, hati nurani sendiri adalah ibarat matahari yang menyinari jalan kehidupan. Pernah pula orang tuanya mengatakan, jalan kehidupan yang akan dilalui terentang dalam hati sendiri, kita mesti melaluinya dengan awas barulah kita dapat selamat sampai ke ujungnya. Karena sesuatu yang tiada sesuai dengan hati atau kemauan sendiri, tidaklah mungkin dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dipandang sepintas lalu Damarwulan seakan-akan orang yang amat keras rupanya. Memanglah demikian! Sebaliknya is selalu menjalankan kewajibannya dengan pikiran yang tenang. Sebagai kesatria sejati, ia selalu membela dan mengutamakan kebenaran dan keadilan. "Apa lagi yang Kakanda nantikan?" tanya Dewi Anjasmara pula. "Inginkah Kakanda membiarkan Majapahit hancur, sedang Kakanda sendiri sesungguhnya dapat membelanya!" Kakanda sendiri mengatakan, tugas kesatria membela negara dari kehancuran, akan tetapi Kakanda sendiri sekarang masih diam berpangku tangan." Anjasmara makin mendekatkan dirinya kepada Damarwulan dan membiarkan tangannya dipermainkan kekasihnya. Kemudian dengan menyandarkan kepalanya ke dada Damarwulan, ia berkata pula, "Aku ingin mengetahui apakah gerangan yang selalu mengganggu hatimu, kekasihku?" "Rahasia kehidupan, Anjasmara, yang selalu menyelimuti jiwaku seperti awan hitam yang menutupi muka bumi," jawab Damarwulan. "Jiwa Kakanda barangkali masih dipenuhi perasaan dendam kepada Ayahanda?" "Kalau begitu, pastilah kepada Kakanda Layang Seta dan Kurnitir?" "Demi dewa-dewa, tidak, kekasihku!" "Percuma Kakanda belajar kebatinan dan kesatriaan bertahun-tahun di asrama Paluh Amba, jika di hati Kakanda masih membekas kedengkian saudara sendiri." "Kalau begitu apakah yang membimbangkan hati Kakanda?" desak Anjasmara. Setelah berdiam diri seketika dan tidak juga beroleh jawaban, ia bertanya pula, "Tidakkah Kakanda mendengar berita dari istana?" "Tentang apa maksud Adinda?" Sebaliknya Damarwulan sekarang yang bertanya. "Kesatria yang berhasil mengalahkan Menak Jingga akan diberi kedudukan yang setinggi-tingginya di seluruh Majapahit. Apabila ia menghendaki, Seri Ratu bersedia mendudukkan kesatria itu di samping Baginda untuk dapat memerintah bersamasama. Adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari itu" Selain Tuan akan memerintah seluruh Majapahit, Kakanda akan mempersunting Kesuma Jawadwipa yang tiada taranya, yang sedang harum mewangi ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ seluruh Nusantara," jawab Anjasmara, mengangkat kepalanya dari ribaan Damarwulan dan melepaskan tangannya dari genggamannya, kemudian mena tap dengan tajam kepada anak muda itu. "Masihkah Adinda menyangsikan hati Damarwulan yang telah rela mengabdikan dirinya di kepatihan ini, semata-mata terikat kepada dara yang dicintainya"! Kalau tidak karena itu, sudah lamalah ia meninggalkan ibu kota Majapahit yang selalu dalam huru-hara, pergi berkelana dan mengembara entah ke mana!" ujar Damarwulan sambil meraih tangan Anjasmara yang halus itu ke haribaannya. "Hamby seperti mungkir menjalankan kewajiban hamba, tetapi Anjasmara, ketahuilah jauh dalam lubuk hati hamba, hamba ingat senantiasa, bahwa hamba akan pergi ke Wirabumi. Dewadewa mudah-mudahan menolong hamba untuk membela nama Majapahit, tetapi tidak karena mengharapkan mahkota. Apalagi karena ingin hendak mempersunting Kesuma Jawadwipa, seperti sangka!" "Tidakkah engkau dengar, Damarwulan, berapa banyak medan perang, karena tergila-gila oleh kecantikan dan keayuan Ratu Kencana Wungu, bermimpikan hendak bersanding dengan Ratu Majapahit yang amat muda belia itu!" "Terutama Kakanda Seta dan Kumitir, bukan" Tidak patutnyalah hamba turut bersaing dengan saudara sendiri," jawab Damarwulan tersenyum. "Hamba senantiasa mengharapkan akan jadi iparnya, bukan jadi saingannya.... Anjasmara pun tersenyum pula, mengerling kepada Damarwulan. Sejurus lamanya keduanya sama-sama berdiam diri, samasama membiarkan diri dipermainkan, dibuai dan diayunkan perasaan ma.singmasing. Kemudian Damarwulan berkata, "Anjasmara, hamba telah mengambil keputusan untuk berangkat ke Wirabumi bersama bala tentara. Tetapi sebelum berangkat, hamba ingin mendapat kepastian kawin dengan Adinda!" Dewi Anjasmara tidak menjawab, ia agak terperanjat, kelihatan warna merah naik sekonyong-konyong ke mukanya laksana rona fajar dini hari menanti siang yang cerah dan terus menatap kepada Damarwulan. "Bagaimana pendapat Adinda" Ke medan perang itu berarti mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati, sebelum berangkat hamba ingin beroleh kepastian. Keinginan Kakanda ini supaya direstui pula oleh Seri Ratu. Permintaan hamba hanya satu, sebelum meninggalkan Majapahit, supaya kita kawin terlebih dahulu. Jika sekiranya hamba harus gugur di medan perang, seandainya hamba meninggal dunia, damailah hati hamba masuk ke surgaloka, karena hamba telah mengenal bahagia cinta di dunia ini." "Mana kemauan Kakanda, Adinda turut... terserah kepada Kakanda," demikian jawab Anjasmara, lemah lembut. Setelah berkata itu, Damarwulan berdiri dan menuju ke tempatnya, rupanya hendak berkemas. Tak lama kemudian kelihatan Sabda Palon dan Naya Genggong datang dengan seorang utusan dari Paluh Amba. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Gusti, ada utusan dari Paluh Amba, membawa berita buruk. Di mana Raden Damar?" ujar Sabda Palon. "Berita apa yang dibawa utusan itu?" tanya Anjasmara dengan cemas. "Bunda Damarwulan sakit keras." "Damarwulan hendak berangkat bersama bala tentara ke Wirabumi," sahut Anjasmara, "ada berita semacam ini!" "Damarwulan hendak berangkat ke Wirabumi, betulkah, Gusti"!" ujar Naya Genggong pula. "Kalau begitu biarlah aku kembali ke Paluh Amba." "Dengar, Gusti!" kata Sabda Palon sambil menunjuk kepada Naya Genggong, ?"belum apa-apa si Naya sudah takut, hendak melarikan diri ke Paluh Amba." "Bukan takut," jawab Naya Genggong, "kita perlu menghibur dan membela yang sakit itu." Damarwulan selesai berkemas, ia masuk kembali berpakaian kesatria, di tangannya telah tersedia sebuah lontar. Anjasmara segera menyongsongnya dengan agak gugup dan cemas. "Damarwulan, kekasihku! Apa pun yang akan terjadi, janganlah lupa. Anjasmara senantiasa ada di sisi Kakanda," ujarnya. Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Wajah Adinda tak 'kan pernah lagi hilang dari rongga hati Kakanda," jawab Damarwulan. Kemudian ia menoleh kepada utusan yang datang dari Paluh Amba dan bertanya, "Mengapa engkau disuruh datang kemari?" "Jangan terkejut, Damarwulan, is membawa berita sedih bagi Kakanda," ujar Anjasmara pula. "Sakitkah bundaku, Sora..." Katakan terus terang!" "Sesungguhnya demikian Bunda sakit payah, Raden, dan selalu memanggil Tuan, karena tak ada harapan lagi." Damarwulan terperanjat, kemudian menundukkan kepalanya, sangat berduka cita rupanya. Tangannya dipegang Anjasmara dan berkata, "Baiklah Kakanda berangkat ke Paluh Amba terlebih dahulu. Tentu Ibunda sangat merindukan kedatangan Kakanda." Damarwulan mengangkat kepalanya dan memandang dengan tenang, kemudian berkata kepada kedua orang punakawannya, "Sabda Palon dan Naya Genggong, kembalilah kalian berdua dahulu ke Paluh Amba. Persembahkan baik-baik kepada Ibunda, pada saat ini saya tidak dapat datang, karena harus berangkat ke Wirabumi. Jangan lupa mempersembahkan salam baktiku yang sedalam-dalamnya." Damarwulan terdiam. "Kewajiban kepada negara memaksa hamba menahan rindu kepada Bunda." Sabda Palon dan Naya Genggong berpandang-pandangan dan mendengarkan perintah Damarwulan dengan suka citanya. "Bundaku tentu mengetahui, bahwa cinta-kasih putranya tiada berhingga, tetapi negara lebih utama daripada urusan keluarga. Sekiranya malang datang, menimpa, ibuku meninggal dunia, mintakanlah rahmatnya bagi anaknya dan sampaikan sembah sujudku kepada Bunda yang tercinta." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Damarwulan segera berangkat. 9. Majapahit Memerlukan Senapati Bangsal witana, tempat sidang besar telah penuh orang, para bupati, para tumenggung, patih dan para adipati telah hadir, tinggal menunggu Dewi Suhita, Seri Ratu Majapahit. Tak lama kemudian kalasangka dibunyikanlah, serunai ditiup serta gendang dan canang dipukul orang, tanda Sang Prabu akan masuk. Bentara kanan dan bentara kiri telah berdiri. Sekalian yang hadir duduklah dengan tertib dan azmatnya menanti kedatangan ratunya. Yang berdiri di luar bangsal segera melapangkan jalan dan berjongkok menyusun jarinya serta menundukkan kepala, masing-masing memberi hormat dengan khidmatnya. Dewi Suhita, disebut juga Ratu Kencana Wungu, Seri Ratu Majapahit kelihatan menuju bangsal, diiringkan oleh para pembesar istana, terus masuk dan duduk di atas singgasana. Setelah memberi hormat seperti diadatkan oleh rajaraja yang berkuasa di Majapahit sejak Kakenda Prabu Rajasa, Seri Ratu segera membuka sidang, sabdanya, "Tuan hamba sekalian yang hadir di bangsal witana yang terhormat ini! Adipati kepala agama, kepala pemerintahan, para punggawa tinggi, serta adipati-adipati yang memimpin ketentaraan! Pada saat ini acara sidang hanya satu: Kedurhakaan Adipati Wirabumi dan pengangkatan senapati baru, menggantikan Adipati Tuban yang telah gugur di medan laga." Dewi Suhita diam seketika, memandang kepada Adipati Matahun, adipati yang tertua, kemudian memandang berkeliling, seakan-akan tiap-tiap muka hendak ditatapnya, ingin mengetahui perasaan masing-masing. "Setelah yang mulia, Adipati Tuban meninggal dunia, gugur di medan pertempuran, belum ada senapati yang bersedia memimpin bala tentara. Menurut berita yang penghabisan, Menak Jingga telah menguasai Lumajang dan tiada berapa lama lagi akan sampai ke pintu gerbang Prabalingga. Dan telah berulangulang kami umumkan kepada ksatria-ksatria yang tinggi derajatnya, supaya suka dan bersedia menggantikan Adipati Tuban, tetapi sampai sekarang belum berhasil juga. Tidak seorang pun yang menyediakan diri serta menyanggupinya. "Sekarang bagaimana bicara kita sekalian" Akan kita biarkankah Menak Jingga memasuki Majapahit, merampas serta meruntuhkan singgasana Prabu Kartarajasa ini...?" Sekalian yang hadir berdiam diri; tak ada yang berani menyahut. "Tuan-Tuan sekalian! ingatlah Tuan-Tuan, bahwa nenek moyang TuanTuanlah dahulu yang telah membina kebesaran Majapahit dengan darah, pikiran dan perjuangan. Tidakkah Tuan-Tuan sekarang merasa berkewajiban untuk mempertahankan, membela dan memelihara pusaka nenek moyang Tuan-Tuan sekalian...?" "Pada zaman kakenda Prabu Rajasanegara, kedurhakaan yang semacam ini pastilah dengan segera mendapat hukuman yang setimpal. Kedurhakaan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Adipati Wirabumi telah mengancam seluruh Majapahit. Tindakannya itu, seolah-olah telah memperlihatkan kelancangannya yang sangat keterlaluan, seakanakan ia menyangka, bahwa di Majapahit in sudah tak ada lagi laki-laki." "Kalau betul darah kesatria ada mengalir dalam tubuh Tuan hamba sekalian, tunjukkanlah kiranya jiwa kesatria Tuan hamba itu. Jikalau Tuan hamba diamkan, Tuan-Tuan tidak segera membela Majapahit, apakah kata anak cucu Tuan hamba kemudian hari. Iastilah mereka akan mencela dan mengutuki perbuatan Tuan hamba yang tiada mengutamakan keselamatan negara. Perbuatan Menak Jingga terlalu merendahkan rakyat Majapahit sekalian. Tidakkah Tuan hamba sependapat dengan kami?" Dewi Suhita berdiam diri sebentar, memandang berkeliling, seakan-akan hendak merasakan pengaruh bicaranya itu. Kemudian ia berkata pula, "Tuan-Tuan yang hadir dalam sidang ini adalah ksatria belaka, bangsawan Majapahit, sendi kerajaan kami, sakaguru pemerintahan Jawadwipa, sekiranya Tuan-Tuan seiya sekata, tiada bersatu menyusun kekuatan, alamat Majapahit akan runtuh." Diam pula seketika. Anggota sidang berbisik-bisik sebagian menatap dengan kebingungan kepada Seri Ratu. "Sidang Majelis Mahkota yang terhormat! Sekarang kita harus memilih dan mengangkat senapati yang baru, untuk memimpin bala tentara ke Blambangan, guna menghukurn Adipati Menak Jingga yang durhaka itu. Pamanda, Adipati Matahun, siapakah yang patut menurut pandangan Tuan menjadi kepala bala tentara?" "Seri Ratu...!" sahut Adipati Matahun, seraya menyembah "Jikalau patik tidak dalam keadaan sakit, tentu patiklah yang pertama sekali memohonkan, minta diri akan melawan Menak Jingga itu. Ingin benar hati patik hendak memusnahkan si Durhaka itu. Patik serasa terikat sekarang ini, tidak berdaya, karena sakit, sekalipun hati rindu hendak membawa serta memimpin laskar ke puncak kemenangan. Prajurit patik sekaliannya patik serahkan kepada Seri Ratu." "Siapakah menurut pandangan Pamanda, yang patut mengepalai bala tentara?" tanya Dewi Suhita. "Siapa lagi yang lebih patut...," jawab Adipati Matahun sambil menunjuk ke sampingnya, "selain Adipati Daha." "Pamanda Adipati Matahun, terima kasih atas pandangan Tuan hamba! Kami pun tahu Tuan tiada sehat. Setia Tuan kepada mahkota tiada taranya, keperwiraan Tuan termasyhur ke manamana. Sekali lagi kami berterima kasih atas pandangan Tuan," jawab Dewi Suhita dengan hormatnya. Kemudian ia menoleh kepada Adipati Daha. "Pamanda Adipati Daha! Bagaimana bicara Tuan hamba?" "Seri Ratu," jawab Adipati Daha, "Seperti dimaklumi, patik sekarang mulai tua dan layaklah patik mengundurkan diri, supaya terbuka kesempatan bagi yang lebih muda menunjukkan keperwiraannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar perkataan Paman!" kata Dewi Suhita. "Sebelum yang muda-muda kami tanyai, patutlah kami meminta bantuan kepada yang tua-tua terlebih dahulu. Pertama karena pengalamannya, kedua karena rasa tanggung jawabnya, dan ketiga memang yang tua itu lebih patut dijadikan pemimpin karena perhitungannya yang matang, serta pertimbangannya yang saksama dan bijaksana." Dewi Suhita memandang kepada Adipati Wengker dan setelah berdiam diri sesaat berkata pula, "Bagaimana kalau Adipati Wengker...?" "Ampun Seri Ratu, beribu-ribu ampun...!" jawab Adipati Wengker agak gugup. "Kami mengetahui, antara Tuan-Tuan ada yang berkeluarga dengan Adipati Wirabumi, tetapi pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh, apa arti kewajiban dan kekeluargaan. Apa lagi dalam keadaan negara sekarang ini, yang sedang diancam oleh pengkhianatan dari dalam. Barang siapa yang mendiamkan pengkhianatan Adipati Wirabumi, berarti rela membiarkan Majapahit runtuh," ujar Seri Ratu Kencana Wungu dengan agak keras serta memandang dengan tajam, kemudian, "Bagaimana pikiran sidang majelis, kalau kami tunjuk saja siapa yang harus diangkat menjadi kepala tentara, tidak boleh membantah lagi, bila sudah kami putuskan." "Seri Ratu," sahut salah seorang patih, "ada kurangnya kehendak duli itu. Barang siapa dipaksa menjadi kepala bala tentara, tentu hatinya kurang gembira dan khawatirlah patik, tidak bersungguh-sungguh ia memimpin bala tentara. Artinya, belum lagi ia berangkat sudah berarti setengah kalah..." "Perkataan Paman benar sekali, tetapi apakah yang patut diperbuat sekarang" Waktu dahulu suatu kehormatan benar bila diangkat jadi kepala bala tentara, sekarang sukar mencari orang yang suka menjadi senapati." Seorang bentara dalam kelihatan menghadap dan menyembah. "Apa sebabnya engkau masuk menghadap?" tanya Dewi Suhita kepadanya. "Seri Ratu," sembahnya pula, "ada utusan dari Prabalingga..." "Suruh ia datang ke sini!" titah Dewi Suhita. Bentara dalam keluar dan sesaat kemudian masuk kembali, mengiringkan, utusan itu ke hadapan ratu. "Apa kabar yang engkau bawa?" "Seri Ratu," ujar utusan itu dengan sembahnya, "patik diutus Tuan hamba Menak Koncar, datang mempersembahkan kepada Seri Ratu bahwa Bupati Prabalingga telah menyerahkan ibu negerinya kepada Adipati Menak Jingga...." Dewi Suhita memperkatupkan kedua belah bibirnya. Wajahnya tetap tenang. Hanya kelihatan sinar matanya makin memancar-mancar, membayangkan perasaannya yang makin berkobar-kobar, kemudian keluar perkataan sebagai terluncur dari mulutnya, "Bertambah lagi orang durhaka. Di Jawadwipa tidak ada kesatria lagi." Pandangannya ditujukan kepada utusan itu, "Apabilakah Menak Jingga hendak berangkat untuk menyerang Majapahit?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tiga hari lagi, Seri Ratu, menurut pendengaran kami," jawab utusan itu. "Laskarnya hams beristirahat dahulu, melepaskan lelah." "Berapa.jumlah prajuritnya?" "Menurut taksiran, kira-kira tiga puluh ribu, Seri Ratu!" "Sekarang engkau boleh pergi. Sampaikan hormat kami kepada tuanmu, Raden Menak Koncar. Jasa tuanmu akan senantiasa teringat oleh kami selama-lamanya." Utusan keluar, diiringi oleh bentara dalam, diantarkan oleh pandangan mata majelis sampai ia hilang di luar pintu. "Majelis luhur, majelis mahkota kerajaan Majapahit!" ujar Dewi Suhita. "Tuan-Tuan sudah mendengar berita. Apakah sekarang bicara kita" Tuan Mahapatih, berbicaralah Tuan hamba!" "Seri Ratu, Majapahit sekarang telah dipecah-pecah oleh sifat dengki dan iri hati, telah dibakar oleh kelobaan orang-orang besarnya, serta diruntuhkan dari dalam oleh pengkhianatan adipati-adipati kerajaan yang diharapkan sebenarnya untuk membangunnya," jawab Patih. "Sekarang apa guna dipikir lagi, sudah terlambat." "Dalam peperangan yang baru lalu," kata Dewi Suhita pula, "hanya prajurit Adipati Tuban yang bersikap dan bertindak gagah berani membela kehormatan Majapahit." "Seri Ratu, sekarang harus diusahakan agar sekalian adipati berusaha menjaga, supaya negeri tinggal aman," sahut Adipati Matahun dan melihat berkeliling, kemudian katanya dengan ragu-ragu, "Anak-anak bangsawan sudah menyukai Menak Jingga." "Pamanda Adipati Matahun dan Anggota sidang sekalian!" seru Dewi Suhita. "Tidak usah dibicarakan lagi segala perkara yang sudah terjadi. Sekarang marilah kita pikirkan, apa yang harus kita lakukan. Pilihlah, turunan Prabu Rajasanegara atau Menak Jingga! Jangan dinanti siapa yang menang lebih dahulu! Tiadalah sifat kesatria yang sedemikian itu. Kami merasa banyak di antara Tuan-Tuan, yang mendua hati yang selalu dalam keadaan bimbang, kalau-kalau Menak Jingga menang ...." Terdiam dan kemudian, "Adipati Kahuripan, saudara sepupuku sendiri, bagaimana bicara Tuan?" Dewi Suhita dan Adipati Kahuripan sama-sama keturunan Sri Kartawardana, Adipati Singasari. Adipati Kahuripan masih belum menyahut. "Saudara sepupuku, kemukakanlah pikiran Tuan, supaya sama-sama kami dengar!" ujar Dewi Suhita pula mendesak. "Bangunlah Tuan seperti Janaka melawan Kurawa. Hilangkanlah kebimbangan dani hati Tuan, supaya Majapahit dapat tertolong kembali." "Seri Ratu!" sembah Adipati Kahuripan yang masih muda sekali, hampir sebaya dengan Dewi Kencana Wungu. "Sungguh patik ingin benar berjuang membela Majapahit, akan tetapi bagaimana bicara patik, karena Kahuripan dalam kesusahan sekarang. Rakyat kelaparan, karena kekurangan makanan, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ persawahan pertahunan kami tidak menjadi, padi rakyat, habis rusak ' belaka. Dalam keadaan negeri tengah kelaparan ini bagaimana bicara patik, akan mengerahkan rakyat untuk berperang. Bagaimana pula patik dapat meninggalkan rakyat, takutlah patik kalau negeri ribut sepeninggal patik. Sepatutnyalah adipati-adipati yang makmur ditunjuk mempertahankan mahkota Majapahit." Dewi Suhita, "Keberatan Tuan, sudah sama-sama kami dengar. Patih Amangkubumi, nasihat Tuan masih kami nantir" "Seri Ratu," jawab Amangkubumi, "kalau kita pikirkan benar-benar, tahulah kita, Majapahit kurang kuat sekarang. Sebab itu jika kita mengadang perang, tidak mungkin akan menang. Pada timbangan patik baiklah kita menjalankan muslihat, supaya kita jangan diserang. Kirimlah utusan yang bijaksana ke Prabalingga, menyatakan bahwa Seri Ratu suka berdamai! Menak Jingga, biarlah menjadi raja di sebelah Timur, dari Blambangan sampai ke Prabalingga." "Mamanda Patih," sahut Dewi Suhita dengan marah, "kami tak akan undur barang setapak." "Daulat Seri Ratu!" kata Patih dengan tenang. "Patik pun ingin melawan, tetapi sekarang keadaan memaksa. Seperti kita dengar dari Adipati Menak Koncar, dari berita disampaikan oleh utusan tadi, Menak Jingga sudah siap dengan tiga puluh ribu bala tentara. Sedang bala tentara yang ditinggalkan Adipati Tuban hanya kira-kira dua puluh ribu saja, dalam keadaan terpecahbelah pula ... belum tersusun, karena ditinggalkan senapatinya gugur dalam pertempuran yang lalu. Karena tidak mungkin kita akan menang, maka kita terpaksa mengambil muslihat semacam itu. Bila Majapahit telah kuat kembali, kita serang pula Wirabumi. Hanya untuk sementara! Sekarang haruslah Seri Ratu mengakui kekuasaan Menak Jingga. Itu bukan berarti takut, tetapi bijaksana." Dewi Suhita berpikir sebentar, kemudian katanya, "Bagaimana jika Menak Jingga tidak menerima keputusan kita dan terus datang menyerang ke Majapahit, apa pula yang kita perbuat?" "Seri Ratu," jawab Patih Amangkubumi, "menurut dugaan patik, Adipati Menak Jingga agak takut datang ke sini, karena Majapahit masih mungkin dalam sekejap mata saja kuat dan kokoh kembali. Daulat Wilwata, payung panji Prabu Rajasa, belum terbang, masih menghikmati Jawadwipa. Marilah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kita meminta kepada Dewata Raya, supaya Seri Ratu mencapai kedamaian dengan jalan yang sebaik-baiknya. Majapahit akan dapat tertolong oleh segala adipati, yang Seri Ratu katakan mendua-hati itu, mudah-mudahan akan tetap Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membela Gusti." "Baiklah, Paman Patih!" ujar Dewi Suhita. "Akan tetapi bagaimanakah dengan Raden Gajah, masih belumkah ada beritanya?" "Raden Gajah seperti hilang dari muka bumi, entah di mana is sekarang, tidak ada yang tahu." "Sejak aku menerima berita gugurnya Adipati Tuban dan peristiwa Raden Gajah yang mengherankan itu, rasanya sudah lama benar aku menanti. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu ketika Raden Gajah, satria sejati itu, akan muncul membela dan mempertahankan Majapahit." Sehabis perkataan Dewi Suhita, bentara-dalam datang pula menghadap, lalu ditegur oleh Dewi Suhita, "Apa sebabnya engkau masuk, kami sedang bersidang?" "Ampun, Seri Ratu, beribu-ribu ampun! Datang pula utusan Menak Jingga hendak menghadap Seri Ratu," sahut bentara dalam itu. Sekalian yang hadir terperanjat dan bertanya-tanya sesamanya. "Suruh masuk utusan itu," perintah Dewi Suhita. Bentara dalam keluar dan tak lama kemudian kembali bersama-sama utusan Menak Jingga, tiga orang banyaknya. "Tuan-Tuan disuruh Adipati Wirabumi datang kepada kami, apa berita yang TuanTuan bawa?" "Daulat Gusti, janganlah murka kepada patik-patik ini, karena patik bertiga hanya utusan," sembah ketiga orang utusan itu. "Berkatalah! Seri Ratu Majapahit yang memerintah Jawadwipa serta Nusantara, tahu akan adat ratu-ratu," titah Dewi Suhita. "Gusti," kata kepala utusan itu seraya menyembah dengan hormatnya, "paduka Adipati Wirabumi telah sampai ke Prabalingga. Paduka Adipati segan berangkat ke Majapahit, segan menghancurkan kota ini, karena Majapahit penuh kenangkenangan. Beliau menaruh hormat kepada daulat Gusti, turunan paduka Sri Rajasa_ Karena itu Sri Paduka meminta dengan sangat supaya Gusti mengakui kemenangannya, kegagahan serta kebesarannya dengan hati yang tulus ikhlas, supaya Jawadwipa aman serta selamat sentosa." Sekalian yang hadir dalam sidang itu terdiam. Mereka memperhatikan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh. "Seri Ratu," kata utusan itu pula, "Adipati Wirabumi meminta Gusti sudi datang ke Prabalingga, seraya membawa upacara kerajaan. Di atas singgasana Majapahit akan tetap tinggal Gusti duduk di sisi Prabu Menak Jingga sebagai Permaisuri. Demikian titah yang diserahkan kepada patik-patik utusan bertiga ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dewi Suhita menjawab dengan marah, katanya, "Utusan Wirabumi, sampaikan kepada Menak Jingga, ia boleh menghancurkan seluruh Majapahit serta Seri Ratu Dewi Suhita, tetapi kami tidak akan menyerahkan diri kepada musuh...." "Patik mohon berbicara sebentar, Gusti," ujar Patih pula. "Apalagi hendak dipikir, kebiadaban ini tidak layak dibicarakan...!" "Putusan Gusti tentang nasihat yang tadi patik bicarakan, baiklah sekarang diterangkan," kata Patih pula. "Jika nasihat itu Gusti setujui, kita tidak usah lagi mengirim utusan kepada Adipati Menak Jingga, utusan inilah yang membawa titah Seri Ratu." "Baiklah Patih menyampaikannya kepada utusan si durhaka itu," sahut Dewi Suhita pula dengan pendek. Patih lalu berkata kepada ketiga utusan itu, "Dengarlah, para utusan! Adapun titah Seri Ratu Majapahit: tuanmu, Adipati Menak Jingga boleh menjadi raja di sebelah timur Prabalingga, karena Seri Ratu ingin damai menjaga keselamatan Jawadwipa. Menak Jingga diberi kesempatan berpikir sepekan lamanya. Jika sesudah itu ia masih tinggal di Prabalingga, tentara Majapahit akan datang memusnahkannya dan menghancurkan negerinya.", Setelah selesai pembicaraan dengan utusan itu, mereka dipersilakan meninggalkan sidang. Kemudian setelah utusan itu berangkat, Dewi Suhita berkata pula, "Terasa lemah sungguh Majapahit sekarang, sehingga orang telah berani menghina kami dengan tiada semena-mena. Paman Patih Mangkubumi! Mata-mata harus segera dikirim ke daerah Prabalingga, mengawasi dan mengamat-amati gerak-gerik Menak Jingga. Para Adipati, kami titahkan jangan dahulu meninggalkan Majapahit, sampai kita mendapat berita dari Prabalingga. Sekarang Tuan-Tuan boleh meninggalkan sidang!" Dewi Suhita hendak berdiri pula, sekonyong-konyong seorang bentara dalam yang lain masuk dan menyembah. "Apakah yang hendak engkau persembahkan, katakanlah dengan segera!" "Gusti, jalan-jalan dalam kota sudah lama penuh dengan orang, dan kini bertambah sesak. Kalau-kalau akan timbul keributan...," kata orang itu. "Apakah sebabnya orang berkumpul?" tanya Dewi Suhita. "Mendengar kabar Menak Jingga akan menyerang Majapahit, rakyat sekalian gelisah dan kebingungan sekarang. Ada yang bermaksud hendak menyerang istana dan hendak membunuh para menteri serta bupati," jawab bentara dalam itu. "Apakah artinya, Pamanda Patih" Cobalah jelaskan kepada kami!" "Orang-orang jahat telah memenuhi kota. Mereka hendak menangguk di air keruh. Mereka sengaja membuat keributan dan huru-hara di antara rakyat. Kalau terjadi apa-apa, supaya mereka dapat merampas harta benda...,"demikian jawab Patih Mangkubumi, "biarlah patik mengerahkan prajurit memaksa orang-orang pulang ke rumah masing-masing." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ 10. Raden Gajah Memenuhi Harapan Ratu Wapahit Majelis yang hadir dalam bangsal witana itu sudah mulai lesu sekaliannya. Banyak yang tiada sabar lagi menunggu sidang selesai. Seorang bentara dalam yang lain masuk tergesa-gesa. "Hendak mengapa pula engkau?" tegur Dewi Suhita. "Di luar menunggu Raden Gajah, hendak datang menghadap," ujar bentara itu. "Ia akan mempersembahkan surat Adipati Tuban." "Raden Gajah" Benarkah itu...?" seru Dewi Suhita, tersenyum riang seraya berdiri dari singgasananya. Hampir lupa ia, bahwa ia sedang memimpin sidang. Semangat majelis yang sudah kehilangan tenaga, seperti pelita yang sudah hampir padam, sekonyong-konyong menyala, hidup kembali. "Sungguh, Gusti!" sembahnya. "Persilakan Raden Gajah masuk," kata Dewi Suhita pula dan kembali duduk, memandang berkeliling dengan sinar mata yang membayangkan pengharapan. "Aku merasa Majapahit kembali mulia...!" Bentara pergi dan tak berapa lama kemudian Damarwulan masuk. "Kami dengar, bahwa Raden membawa surat Adipati Tuban," titah Dewi Suhita. "Sesungguhnyalah, seperti titah Duli Ratu," jawab Damarwulan dengan hormatnya. "Mamanda Patih Amangkubumi, harap Tuan terima surat itu dan membacakan di muka sidang." Patih menerima surat dari tangan Damarwulan. Kelihatan air mukanya agak berubah. Setelah menenangkan perasaannya seketika surat itu lalu dibacanya. Begini bunyinya: "Adapun surat ini dari Raden Aria Ranggalawe, Adipati Tuban, ke hadirat dull paduka Seri Ratu Jawadwipa dan Nusantara, bersemayam di Majapahit. Rahmat Batara Syiwa melimpah kiranya atas Seri Ratu. Sebelum sangulun meninggalkan mayapada, patik mempersembahkan ke hadirat Seri Ratu, bahwa yang patut menjadi pengganti patik jadi Senapati, ialah Raden Gajah atau lebih dikenal namanya, Raden Damarwulan, putra Patih Udara, sahabat karib hamba yang telah lama mengundurkan diri. Percayalah Sri Paduka kepadanya, karena ia kesatria sejati, tak ada taranya di seluruh Jawadwipa sekarang ini. Lain dari pada itu, patik harapkan Seri Ratu lama hendaknya bersemayam di atas singgasana Majapahit. Tertulis di Lumajang, pada hari Respati Manis empat belas Manggakala, tahun Syaka 1328." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekalian yang hadir sangat tertarik mendengar bunyi surat itu. Kecuali yang membacanya sendiri. Tak habis-habis herannya, memikirkan apa hubungan Aria Ranggalawe dengan Damarwulan itu. "Raden Gajah!" kata Dewi Suhita pula. "Kami ingin benar mengetahui, bagaimana jalan perang dari mulut Tuan sendiri, sekalipun banyak sedikitnya telah kami dengar juga dari orangorang yang kembali dari medan pertempuran itu. Terutama ingin kami mengetahui, bagaimana Adipati Tuban meninggal dunia?" "Daulat Seri Ratu!" sembah Damarwulan, lalu diceritakannyalah pertemuannya dengan Adipati Tuban itu serta mengapa ia sampai menerima surat itu dari tangannya. "Waktu itu Menak Jingga telah sampai pula ke Prabalingga," kata Dewi Suhita. "Bupati negeri itu tidak melawan sedikit juga, malah disambutnya dengan gembira. Kami baru menerima utusan dari Prabalingga. Sungguh lancang sekali. Menak Jingga, ia berani meminta, supaya kami datang menghadap dia membawa upacara negeri. Ia hendak jadi Prabu dan kami jadi Permaisurinya." "Bagaimana jawab Seri Ratu?" tanya Damarwulan. "Permintaan itu kami tolak dan kami usulkan begini: Menak Jingga diakui sebagai penguasa dari Prabalingga ke Blambangan serta ia harus kembali ke ibu kotanya dalam pekan ini juga. Kami kira Menak Jingga akan terus datang ke sini, karena itu, Raden Gajah, Tuanlah sekarang yang jadi harapan kami. Majapahit sekarang di tepi jurang, dalam bahaya besar. Kami menanti pembela negeri, pahlawan sejati! Maukah Tuan menerima pangkat kesenapatian itu dan memimpin tentara, mempertahankan kedaulatan kami?" "Duli Seri Ratu," sembah Raden Damar dengan hormatnya, "segala titah patik junjung di atas kepala." "Jika demikian," sahut Dewi Suhita, "sekarang Majapahit tanah leluhur mendapat harapan kembali." Hening seketika dan Dewi Suhita memandang dengan tenang dan penuh harapan kepada Damarwulan, kesatria yang tampan itu. Lama benar Seri Ratu menatap. Sekian lama dinanti-nanti dicari-cari dan disebut-sebut sekarang ia muncul dengan tiba-tiba memenuhi harapan Majapahit. "Penduduk Majapahit hendak berontak, mereka sudah berkumpul di jalan. Baiklah segera Tuan perintahkan prajurit untuk mengembalikan ketenteraman dalam kota," titah Baginda. "Memang rakyat hendak berontak, Gusti! Akan tetapi, tahukah Tuan hamba apa sebab-sebabnya?" jawab Damarwulan. "Rakyat menderita bukan kepalang, terlalu sengsara karena kelakuan beberapa orang menteri. Iuran dipungut terlalu tinggi, melewati kesanggupan rakyat, harta benda tidak terlindung lagi di Majapahit ini. Sebaliknya golongan atasan, para menteri serta orang-orang besar, hidup mewah, senantiasa bersuka-suka, tiada mempedulikan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat bawahannya." Damarwulan diam pula sebentar, menatap dengan tenang, merasakan pengaruh perkataannya. Kemudian katanya dengan tegas, "Mereka biarkan, di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kaki singgasana Seri Ratu orang banyak kelaparan dan meratap, minta perlindungan. Gusti...! Patik enggan menumpahkan darah yang tidak bersalah." "Senapati, tidak pernah kami dengar perkataan seperti ini. Kami sangka rakyat kami selamat sentosa." "Rakyat belum pernah Gusti lihat," jawab Damamwulan. "Sayang patik tidak sempat menerangkan sekaliannya sekarang." Ia menoleh kepada sidang, dengan pandangan yang berarti "Titahkan, ya Gusti, kepada punggawa memberi tahu kepada rakyat di segala simpang jalan, bahwa duli Baginda akan memeriksa keadaan negeri yang sebenarnya dan akan meringankan segala beban rakyat, menghukum para punggawa yang curang dan yang berlaku sewenang-wenang. Kalau tidak, percayalah Gusti, Majapahit akan runtuh." Patih Amangkubumi serasa ditusuk bermuka-mukaan, mendengar perkataan Damarwulan. Mukanya menjadi merah padam. "Izinkanlah patik berbicara, Gusti!" katanya. "Berkatalah, Paman Patih!" "Rakyat harus dikekang dengan keras, Gusti! Mereka bukan dalam sengsara, hanya dibujuk orang-orang yang khianat. Jikalau Seri Ratu memberi hati sekali saja, rakyat tentu bertambah berani. Sekali diberi sedikit, pasti kedua kalinya akan meminta lebih banyak." Ia memandang dengan tajam ke arah Damarwulan. Dari nada suaranya ternyata benar kekesalan perasaan hatinya. "Damarwulan baru sebentar di Majapahit, tidak tahu keadaan negeri, belum mengenal hati rakyat," katanya. "Gusti, harus diperintahkan kepada senapati, memaksa rakyat pulang ke rumah masing-masing. Hanya tangan yang kuat dapat memerintah dengan selamat. Sekali saja Seri Ratu lemah, singgasana niscaya akan runtuh." Ia memandang kepada orang banyak sebagai meminta persetujuan, serta kepada Damarwulan, kemudian katanya pula, "Patik sudah bertahun-tahun jadi Patih, melayani mahkota dan mengerti benar kelakuan rakyat, seperti mengetahui perangai anak-anak sendiri." "Apa bicara, Senapati?" tanya Dewi Suhita kepada Damarwulan. "Seri Ratu," jawab Damarwulan, "Patik lebih mengerti hati rakyat dan mengetahui kemauan mereka. Kalau perlu nanti patik jelaskan panjang lebar. Jika usul patik ditolak, Gusti, patik terpaksa mempersembahkan pangkat, yang baru patik terima, ke hadirat Gusti kembali. Tidak sampai hati patik menumpahkan darah yang tidak bersalah. Apa gunanya membela negeri, jika rakyatnya tiada berhak" Negeri yang tidak mengutamakan rakyat akan lenyap dari muka bumi. Kedaulatan terletak di tangan rakyat, kekuasaan di tangan Gusti. Kabulkanlah permintaan patik, Gusti! Kemudian akan patik jelaskan." "Patih Amangkubumi," perintah Dewi Suhita, "permintaan Senapati kami kabulkan. Suruh pengawal menjalankan perintah." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Patih segera berangkat melakukan perintah Dewi Suhita. "Bentara kanan dan bentara kiri, kamu keduanya boleh meninggalkan ruangan," perintahnya kepada kedua bentara dalam, yang siap menjalankan perintah, yang berdiri di kiri kanan singgasana Baginda itu. "Gusti," sembah Damarwulan pula, "patik mohon Gusti menitahkan kepada para penewu supaya datang ke pelawangan') untuk mengenal senapatinya yang baru." "Bupati Raden Layang Kumitir," titah Dewi Suhita, "segera kumpulkan sekalian penewu ketentaraan." Layang Kumitir pergi. "Bagaimana pikiran Senapati melawan Menak Jingga?" tanya Dewi Suhita kepada Damarwulan. Damarwulan, senapati baru itu, memandang berkeliling, lalu berkata, "Karena hal ini berhubungan dengan siasat ketentaraan, hanya kepada Seri Ratu patik bersedia menerangkannya." Dewi Suhita mengangkat kepalanya serta memandang kapada majelis dan berkata, "Majelis yang terhormat, apakah lagi yang hendak dipersembahkan kepada kami?" Semuanya berdiam diri. "Kalau begitu," ujar Dewi Suhita pula, "Tuan-Tuan sekalian boleh meninggalkan sidang hendak bermusyawarah dengan kepala bala tentara." Sekaliannya berdiri dan menyembah, lalu bergegas-gegas keluar. "Senapati!" titah Dewi Suhita kepada Damarwulan, ketika mereka tinggal hanya berdua saja dalam bangsal witana itu. "Cobalah Tuan kemukakan bagaimana akal Tuan memerangi Menak Jingga"!" "Daulat Gusti," ujar Damarwulan, "Menak Jingga menyangka bahwa kita pasti datang menyerang ke Prabalingga, karena mendengar berita utusan. Pasti waktu yang Gusti katakan sepekan itu mereka perhitungkan benar-benar. Akan tetapi perhitungan mereka bukan untuk datang menyerang ke Majapahit dan bukan pula untuk meninggalkan Prabalingga. Malah sebaliknya untuk memperkuat pertahanan mereka di Prabalingga, karena mereka yakin tentara Majapahit akan datang menyerang. Karena itu patik akan berangkat selekaslekasnya membawa bala tentara dan menyerang dengan tiba-tiba', atau mengepung kota itu secara diam-diam." Damarwulan melihat berkeliling bangsal yang telah kosong itu, kemudian memandang tenang-tenang kepada Dewi Suhita, sebagai hendak mengajuk pikirannya. "Maksud ini sangat rahasia, Gusti!" katanya pula. "Sebab itu baiklah pengiring Seri Ratu sekaliannya tinggal dalam istana sebelum bala tentara meninggalkan kota." "Pengiring kami semuanya setia," jawab Dewi Suhita, "tetapi baiklah permintaan Tuan kami setujui." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Gusti, bolehkah patik meminta bantuan Seri Ratu?" "Mengenai hal apa!?" "Mengenai hal diri sendiri, Gusti!" Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Berkatalah Tuan, jika dapat kami kabulkan." "Gusti!" ujar Damarwulan, mendekatkan badannya ke singgasana Dewi Suhita, "Gusti tahu Amangkubumi paman patik sendiri. Tetapi kami tidak berbaik sebenarnya, ia tidak mengindahkan patik, apalagi kedua orang putranya, Raden Layang Seta dan Raden Layang Kumitir." "Lalu...?" desak Dewi Suhita tidak sabar. "Gusti tahu, Paman mempunyai seorang putri, Anjasmara." Damarwulan berhenti pula seketika, tiada langsung meneruskan perkataannya. "Lalu bagaimana?" tanya Dewi Suhita bertambah mendesak. "Gusti, Dewi Anjasmara bersedia dikawinkan dengan patik sebelum patik pergi berperang. Paman Patih, ayahanda tentu akan menolak. Karena itu, Gusti, patik memohonkan kepada Gusti sudilah kiranya memerintahkan Paman supaya mendudukkan kami!" Dewi Suhita tersenyum dan berkata, "Permintaan Tuan kami kabulkan." "Patik sangat berterima kasih ke bawah duli Seri Ratu," jawab Damarwulan dan menoleh ke pintu. Patih Amangkubumi masuk tergesa-gesa dan menyembah. "Ada berita apa, Paman Patih?" tegur Dewi Suhita. "Prajurit Daha sekarang berkelahi di jalan dengan prajurit Matahun," kata Patih Amangkubumi, "patik khawatir kalau-kalau rakyat turut gempar." "Adipati Matahun dan Daha segera diberitahukan," titah Dewi Suhita. "Mereka harus mengumpulkan prajurit masing-masing. Mereka boleh dengkimendengki, tetapi selama di Majapahit kami ingin damai." Diam sebentar, kemudian, "Patih Amangkubumi, sudahkah dijalankan titah kami?" Jawab I'atih Amangkubumi, "Punggawa sudah patik suruh memberitahukannya kepada rakyat." "Sudahkah hadir para penewu?" tanya Dewi Suhita. "Mereka sudah mulai datang," sahut Patih. "Senapati, ikutlah kami ke luar!" katanya pula sambil berdiri dan melangkah ke pinto. "Kami perkenalkan Tuan kepada mereka." "Sudahkah tetap hati Tuan sekarang?" seru Dewi Suhita pula kepada Damarwulan setelah melalui pintu bangsal. "Jika permintaan patik yang tadi sudah dijalankan...! Patik akan mengorbankan tenaga untuk melindungi singgasana," jawab Damarwulan. Ia memandang kepada pamannya, Patih Amangkubumi, dengan pandangan yang mengandung arti dan berkata, "Paman Patih melindungi rakyat jelata...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mereka kemudian menuju ke pelawangan tempat bala tentara dikumpulkan itu akan memperkenalkan senapatinya. 11. Menyerang Prabalingga Sehari setelah Damarwulan didudukkan dengan Dewi Anjasmara, seperti pernintaannya kepada Seri Ratu Dewi Suhita, berangkatlah tentara Damarwulan ke Prabalingga dengan cara diam-diam. Segala-galanya berjalan dengan rahasia sekali. Perkawinannya dengan Dewi Anjasmara dengan diam-diam pula. Sekalian tentara yang akan menyerang itu, sehari sebelum berangkat dijaga benar supaya jangan mengadakan hubungan dengan siapa pun juga, dengan keluarganya sekalipun tak boleh berjumpa. Juga dijaga benar supaya berita keberangkatan tentara itu jangan sampai diketahui mata-mata musuh. Sehabis Damarwulan berbicara dengan Dewi Suhita di bangsal witana, is segera mengatur siasat, beberapa orang mata-mata yang berpengalaman telah dikirim ke luar kota akan mengamat-amati orang yang akan masuk atau yang akan meninggalkan Majapahit. Prabalingga sendiri telah diawasi dari dekat, mata-mata telah dikirim lebih dahulu. Perhitungan Damarwulan tepat sekali! Ketika bala tentaranya telah sampai ke perbatasan Prabalingga, ternyata dari berita mata-matanya sendiri, tentara Blambangan sedang mengadakan perayaan besar, sedang bersuka ria, beriang gembira. Beberapa mata-mata musuh dapat ditangkap, merekalah yang memberi keterangan seperlunya tentang pertahanan musuh serta bagaimana keadaan dalam kota. Setelah beristirahat sehari di tempat yang sepi di luar kota, maka pada malam berikutnya Damarwulan dengan diam-diam berhasil memasuki Prabalingga. Karena petunjuk yang teliti dari barisan penyelidik dan matamatanya, boleh dikatakan kedatangan tentaranya sebanyak itu tidak diketahui musuh. Memang penjagaan kota, boleh dikatakan tidak ada, karena menurut perhitungan mereka, seperti telah diceritakan, tidak akan secepat itu Majapahit datang menyerang. Tentaranya diaturnya masuk cara bergelombang-gelombang, sebahagian masuk dari sebelah utara, dari laut, menyusur pantai, dipimpin oleh Raden Menak Koncar yang telah menggabungkan diri, sebahagian lagi dari selatan, dan sebahagian dari pintu timur dan yang terakhir dari barat dipimpin oleh Damarwulan sendiri. Di sebelah barat itu memang ada penjagaan, tetapi rombongan penjagaan itu dengan mudah juga dikuasai dan diperdayakan oleh anak buahnya. Sebahagian lagi pasukannya ditugaskan menjaga di luar kota, mengawasi kalau-kalau bantuan musuh datang. Atau sebaliknya bila pasukan sendiri yang masuk ke dalam kota memerlukan bantuan. Dengan hati-hati sekali mereka bergerak. Mereka menghindari jalan-jalan biasa sedapat-dapatnya, supaya kedatangan mereka tiada mendapat perlawanan. Orang-orang tani dan orangorang desa yang mengetahui kedatangan tentara Majapahit telah memberikan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bantuan sedapat-dapatnya, karena mereka tiada senang melihat kelakuan dan tindakan tentara Blambangan yang mendurhaka kepada Seri Ratu Suhita. "Bagaimana, Paman" ... Beres?" tanya Damarwulan, berbisikbisik kepada kedua orang punakawannya, Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya setelah selesai menyampaikan pesan Damarwulan kepada bundanya di Paluh Amba, segera diperintahkan bundanya menyusul ke Blambangan. "Beres, Den!" jawab Sabda Palon. "Naya sendiri yang masuk ke pekarangan kabupaten." "Tidak diketahui oleh musuh?" "Tentu tidak! Kami menyelinap bersama-sama orang banyak," jawab Naya pula. "Menak Jingga dengan orangorangnya sedang bersuka ria. Kabupaten penuh sesak.... Selama tentaranya masuk ke Prabalingga tiap malam mereka minum-minum dan bersuka ria, tak putus-putusnya." "Bagaimana berita, yang dapat dikumpulkan oleh barisan penyuluh kita"1)" tanya Damarwulan pula. "Mereka menanti berita dari mata-matanya yang dikirimnya ke Majapahit dan direncanakan, selekas-lekasnya kira-kira sepuluh atau dua belas hari lagi baru mereka berangkat." "Dapatkah diselidiki, ke mana biasanya Menak Jingga sehabis bersuka ria itu?" "Yang terang ke rumah Dewi Wahita atau ke rumah Dewi Puyengan," jawab Sabda Palon. "Kedua orang putri itu tinggal berdekat-dekatan, tiada jauh dari sini!" Sabda Palon menunjuk ke rumah tempat tinggal Dewi Wahita kemudian ke rumah Dewi Puyengan, yang berhampiran sekali letaknya. Adapun kedua rumah itu agak meminggir kota letaknya, terpencil dari rumah-rumah yang lain. Sebelum sampai ke pekarangan rumah itu ada sebuah tegalan dan di tengah-tengah tegalan itu berdiri sebatang beringin yang rindang; akar tunjangnya yang lurus-lurus bergantungan ke tanah menambah gelap dan sepi sekeliling tempat itu. Agak jauh di belakang tegalan itu tanah berlubang-lubang dan berpematang pendek-pendek tiada beraturan, kira-kira sepanjang-panjang tubuh orang. Tak salah lagi di situlah terletak "pendeman"2 warga kota sebelum dilakukan pembakaran mayat (ngaben). "Sudah diselidiki keadaan dalam rumah Dewi Wahita dan Dewi Puyengan itu Paman!?" tanya Damarwulan kepada Naya Genggong. "Sudah, Den!" sahut Naya dengan cepat, "Beres..." "Beres bagaimana?" Rupanya pengawal-pengawal yang diperintahkan menjaga putri-putri itu dengan diam-diam telah pergi pula ke tempat orang mengadakan tayuban, sehingga yang ada di rumah itu hanya seorang perempuan tua, Mbok Suti, yang sedang tidur di rumah depan. Dewi Wahita dengan Dewi Puyengan sedang bercakapcakap di rumah belakang ketika saya tinggalkan...." "Paman Sabda...!!" seru Damarwulan pula, "Paman tinggal di sini. Kami akan pergi dengan Paman Naya mengunjungi Mbok Suti dan kedua orang putri itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sabda Palon melihat ke kiri dan ke kanan, takut rupanya. Sebelum is sempat berkata, Damarwulan sudah hilang dalam gelap malam, diiringkan Naya Genggong. Keduanya mengendapendap masuk ke pekarangan rumah Dewi Wahita. Naya Genggong terus mendekati dinding dan berjalan lambat-lambat sepanjang parit dinding itu. Malang, kakinya terpijak pada ujung batu parit yang longgar, "rrrak" bunyinya. "Wahita...!" seru Mbok Suti ketakutan, sekujur badannya gemetar. "Jangan kaget, Mbok saya Naya, yang datang tadi. Ini Raden Damar, utusan Ratu Majapahit ingin bertemu dan berbicara dengan Putri Wahita...." Suara Naya Genggong telah dikenal oleh perempuan itu. Setelah berdiam diri sebentar Mbok Suti lalu membukakan pintu. "0, Dik Naya!" katanya pula tersipu-sipu. "Raden Damar ingin berbicara sendiri dengan Dewi Wahita serta Dewi Puyengan, Mbok!" ujar Naya dan menunjuk ke arah Damarwulan dengan ibu jarinya. Mbok Suti tercenung seketika, memandang Damarwulan yang masih tertegun di muka pintu, memandang dengan awas berkeliling. Kemudian katanya dengan sangat hormatnya kepada Mbok Suti, "Kami sangat mengharapkan bantuan Mbok...!" Belum lagi habis Raden Damar berkata-kata, Mbok Suti telah menjatuhkan dirinya, hendak sujud di kaki anak muda itu, tetapi segera dipapah oleh Damarwulan dan didudukkannya ke atas bale-bale tempat tidurnya itu. "Kami telah mendengar tentang penderitaan dan Mbok serta kedua orang putri itu, mudah-mudahan para dewa menolong kita sekalian!" ujar Damarwulan. "Mbok pura-pura tidurlah kembali. Biarlah kami saja mengunjungi Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Tadi kami dengar keduanya sedang bercakap-cakap." Setelah membisikkan beberapa hal yang harus diketahui dan diingat Mbok Suti, Damarwulan keluar diiringkan oleh Naya Genggong. Adapun kedua rumah itu berbelakang-belakang letaknya. Naya Genggong diperintahkannya menunggu di pintu belakang, kalau-kalau ada orang datang. la terus menuju ke dinding tempat kedua orang putri itu, mendengarkan percakapan mereka. Rumah itu amat sederhana keadaannya beratap tanah (genting) berdinding bilik, yaitu bilah-bilah bambu yang dianyam. Apa yang dibicarakan kedua orang putri itu nyata juga kedengaran dari luar, sekalipun keduanya berbicara sangat lambatlambat sekali, seperti berbisik-bisik lakunya. "Bagaimanalah untung kita, Dinda Puyengan!" ujar Dewi Wahita, seperti berputus asa seraya memeluk Dewi Puyengan, yang bertubuh ramping dan semampai itu serta kelihatan lebih muda usianya. "Yunda Wahita...!" sahut Dewi Puyengan dengan tenang. Sekalipun umurnya lebih muda dan jika diamat-amati benar kelihatannya masih anak-anak, paling tinggi baru 15 tahun umurnya, tetapi selamanya ia bersikap tenang. "Marilah kita pasrahkan untung kita kepada Gusti yang Maha Suci!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku ... daripada menanggung malu dan menderita semacam ini sukalah aku mati rasanya. Bila aku dipaksa Sang Prabu sampailah ajalku...," ujar Wahita, seperti berputus asa. "Yunda Wahita jangan berputus harap demikian," jawab Puyengan, "seluruh Majapahit berdaya-upaya membebaskan kita." Ia membiarkan badannya dalam pelukan Dewi Wahita beberapa lamanya dan ia seakan-akan mendengar detak-detik jantung Dewi Wahita, yang sedang dalam kecemasan itu. Malam sudah larut, perubahan udara sudah terasa, angin laut berembus dari arah mulut Selat Madura, amat sejuk terasa. Biasanya larut malam semacam itu Prabu Menak Jingga pulang dari tayuban atau dari melihat pertunjukan wayang. Menurut cerita, pertunjukan wayang pada zaman Majapahit hanya sampai setengah malam, belum lagi semalam suntuk seperti sekarang ini. "Jika benar seperti diberitakan Mbok Suti, utusan dari Majapahit telah sampai ke dalam kota...," kata Dewi Puyengan dan ia tertegun seketika, mendengar sesuatu dan ia seakan-akan sudah merasa ada orang yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka. "Malam ini atau besok utusan itu akan mengunjungi kita ke sini." "Nuwun ... kulo nuwun')...," kedengaran suara berseru dari batik dinding. Dewi Wahita melepaskan pelukan Dewi Puyengan. Keduanya terdiam seketika. Mereka tak lekas-lekas menyahut, ingin mengetahui siapakah gerangan yang datang malam buta itu. Suara itu belum mereka kenal, tetapi Dewi Puyengan yang bijaksana itu, sudah merasa bukan suara orang yang hendak berbuat jahat. Selamanya orang jahat atau orang yang bermaksud jahat, tidak akan memberitahukan kedatangan mereka, jangan pula akan meminta permisi masuk. "Saya ... dari Majapahit, bolehkah saya bertemu dengan Adinda kedua!?" seru Damarwulan, seraya menuju ke pintu belakang, yang ternyata sengaja tidak dikunci. "Paman Naya, awasi di luar! Perhatikan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk bala tentara kita...," perintah Damarwulan ketika akan masuk. Sesampai di dalam Damarwulan tertegun pula beberapa lamanya, kedua orang putri itu didapatinya masih berdiam diri. Ia menatap Dewi Puyengan dan Dewi Wahita berganti-ganti. Keduanya memakai batik tulis seperti lazimnya pakaian putri-putri Jawa di masa itu dan memakai kemben sutra halus, di tanah Pasundan biasa disebut cinde wulung, sesuai benar dengan kulitnya yang kuning keemas-emasan, seperti cahaya teja yang memancar atau tersembul dari sela-sela awan ungu nila warni. Nyata benar kelihatan dada kedua gadis yang sedang meningkat remaja itu bergerak turun naik dengan kencangnya dan kedua ujung teteknya seperti buah yang sedang bernas, seakan-akan hendak membelah kain kemben yang tipis halus itu. Sebaliknya kedua putri itu, sekalipun telah diberi kabar sebelumnya, amat sangat terperanjat dan kagum melihat kedatangan Damarwulan yang tiba-tiba itu, seolaholah seorang pahlawan atau perwira Batara Indra yang muncul dengan sekonyongkonyong di hadapan mereka. Keduanya hendak bersuara menyatakan harapan dan kegembiraannya, akan tetapi kerongkongan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keduanya seakan-akan tersumbat dan aliran darah mereka terasa lebih cepat naik ke kepala. Demikianlah beberapa lamanya Damarwulan berpandang-pandangan dengan kedua putri yang bernasib malang itu. "Rayi Wahita dan Rayi Puyengan...," ujar Damarwulan kemudian, seraya mengulurkan kedua belah tangannya, ketika dilihatnya keduanya hendak menjatuhkan diri memeluk kakinya. "Seyogianyalah kita berterima kasih kepada Gusti Yang Mahasuci_ Mudah-mudahan Majapahit serta kita semuanya dilindungi-Nya dari angkara murka. Marilah kita sama-sama memuja kepada para dewa, dalam menghadapi raja Blambangan yang durhaka" Kedua orang putri itu lalu memeluk dan merangkulnya berganti-ganti, seperti dua orang adik juga lakunya, memeluk kakak sendiri, yang datang akan melepaskannya dari malapetaka yang mahabesar atas diri keduanya, bahkan atas seluruh rakyat Majapahit. "Untung nasib kami berdua ini terserah dalam tangan Rakanda') Damarwulan!" ujar Dewi Puyengan, sambil melirik arah Dewi Wahita. Dari Tosari ke Sukapura, dari Mataram ke Boyolali; Untung kami siapa mengira, sudah tenggelam timbul kembali. Dewi Wahita segera pula menjawab: Dari Mataram ke Boyolali, orang Kelakuh menjual jala; Sudah tenggelam timbul kembali, Raden Gajah datang membela...! Wahita menjatuhkan badannya ke dada Damarwulan, diikuti oleh Puyengan. Beberapa lama mereka berbincang-bincang tidak usah dceritakan semuanya di sini. Dewi Puyengan juga yang banyak ceritanya terutama mengenai ilmu dan kesaktian Raja Blambangan itu. Sekaliannya telah dapat diketahuinya, lalu diceritakannya kepada Damarwulan. Malah segala yang bersangkut-paut dengan kerajaan Blambangan dan rakyatnya diketahuinya belaka dari ayahnya, seorang bupati yang setia kepada Seri Ratu Majapahit dan karena bupati itu tiada mau sekongkol dengan Menak Jingga lalu dipenjarakan dan putrinya ditawan. Diceritakan pula, Prabu Menak Jingga, pada malam itu pergi mengunjungi "tayuban", yaitu peralatan atau tari-tarian yang diadakan untuk merayakan kemenagannya. Sekalian pembesar kerajaannya serta para panglimanya tentu datang belaka, untuk beriang-riang, bergembira-ria. Minum-minuman keras, arak, tuak, nira dan seguir, bertahang-tahang disediakan, tapui atau air tapui bertempayantempayan, seakan-akan tidak akan putusputus gelak dan tawa mereka semalammalaman itu. Mana yang telah mabuk berjalanlah Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terhuyung-huyung atau bercakap-cakap semau-maunya, menyebut-nyebut apa saja yang teringat olehnya, yang sebenarnya tidak boleh disebut, berhubungan dengan rahasia ketentaraan atau kunci pertahanan negara. Bermacam-macamlah keadaan serta peri lakunya tentara yang telah mabuk itu. Menak Jingga dikelilingi oleh para pembesar, adipati, patih, bupati, serta petinggi-petinggi sekalian. Yang terlalu rapat kepadanya ialah Patih Angkat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Buta dan Patih Kot Buta, tiada berhenti-hentinya mereka bercakap-cakap, makin lama makin gembira rupanya dan makin keras suaranya. Setelah lewat tengah malam barulah mereka pulang ke tempat masingmasing. Prabu Menak Jingga sebelum kembali ke kepatihan yang dirombak menjadi istana, tempat baginda, lebih dahulu baginda menyimpang ke tempat Dewi Wahita dan Dewi Puyengan itu. Telah beberapa malam Prabu Menak Jingga mencoba mendekati dan menjinaki hati kedua orang putri itu, tetapi sampai kepada saat itu belum berhasil. Harapannya pada malam itu jangan sia-sia hendaknya. "Engkau dengarkan, hai Dayun!" ujar Menak Jingga kepada pengiringnya, ketika mereka telah tiba di pekarangan rumah itu. "Keduanya tentu sedang bersuka-suka... Siapa tahu... barangkali keduanya sudah lunak hatinya sekarang... dan telah sepakat dan setuju akan samasama menjadi...." Mereka berdiri seketika dekat dinding tempat kedua orang gadis itu, akan mengamat-amati dan mendengarkan percakapan mereka. "Eh, dengar...! Pasti keduanya sedang membawakan suatu cerita yang mesra. Menggambarkan pertemuan seorang pria... ya... ya... cerita apakah gerangan! Suatu cerita yang amat menggiurkan hati rupanya...," ujar Menak Jingga pula, kemudian diam seketika. "Pasti keduanya sedang membawakan-ya sedang memainkan dengan bersungguh-sungguh lakon pertemuan seorang satria menjumpai seorang putri. Ah, pandai benar ia menirukan suara serta lagak lagu satria itu. Dengar, dengar ... suaranya betuI-betul seperti suara laki-laki yang sebenarnya, yang sedang berhadapan dengan kekasihnya dan teramat mesra kedengarannya. Ah... ah_.. seorang satria berhadapan dengan dua orang kekasih...," ujarnya pula terlatah-latah, karena pengaruh minum-minuman di tempat tayuban itu. "Eh, Dayun...," katanya pula membentak. "Masuklah engkau dahulu. Tanyakan kepada Wahita dan Puyengan, lakon apakah gerangan yang tengah mereka mainkan itu?" Ki Dayun lalu membungkuk dalam samar-samar malam itu, hidungnya yang besar itu hampir terbentur ke lututnya, untuk menyatakan hormatnya. Sebenarnya hatinya sangat kecut, karena jelas bagi telinganya, suara itu bukanlah suara Wahita dan bukan pula suara Puyengan. Setelah mendengar bentak Menak Jingga kedua kalinya barulah ia mengangkat kepalanya dan bergerak lambat-lambat menuju ke pintu depan, lalu berseru-seru, hampir-hampir tiada kedengaran suaranya, karena takut dan gemetar, "Den...! Den...! ... Den Ayu!" serunya berulang-ulang sambil mengetuk-ngetuk pintu. "Den...! Den...!" Tidak ada yang menyahut. "Den Ayu Puyengan...! Den... Den! Den Ayu Wahita...!" "Den...!" Tidak juga menyahut. "Den Ayu Puyengan...!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Den Ayu Wahita ...!. Den... Ayu!" Dewi Puyengan memandang kepada Damarwulan sambil berseloka: "Orang Kelakah menjual jala, cemara hidup di rimba Pati. Pandan terletak di Bela perigi, sediakan beras dengan gabahnya; Raden Damar datang membela, esa hidup, kedua mati, Badan tak dapat bercerai lagi, biar kan tewas ketiga-tiganya." Wahita tersenyum dan membalas: "Ikan sepat dalam Perigi, sediakan beras dengan gabahnya, hampa padi tanlpitampikan, dari Ungaran ke Ambarawa; badan tak dapat bercerai lagi, biar 'kan tewas ketiga-tiganya, apa lagi kita takutkan, mari serahkan badan dan nyawa...!" Keduanya memeluk Damarwulan dengan penuh kasih sayang seperti memeluk kakak kandung sendiri. Asyik benar rupanya ketiganya bercakap-cakap. Kemudian terdengar pula mereka tergelak-gelak, tertawa-tawa, terutama Dewi Puyengan, terbuka benar hatinya berhadapan dengan anak muda itu, lupa ia akan penderitaan dan kedukaannya selama ini. Lembah Ungaran di Ambarawa, akar mengkudal berkait trait, anak penghulu naik kudanya; Mari serahkan badan dan nyawa, persembahan ratu Majapahit, aku dahulu jadi belanya. Sungguh benarlah mereka sedang membawakan bagian cerita yang teramat menggairahkan dan menggembirakan, yaitu dua orang putri yang sedang meningkat remaja dan seketika telah hampir berputus asa, sebagai tawanan dalam tangan musuh, sekonyong-konyong muncullah seorang satria muda belia, laksana diutus dewa-dewa datang membela mereka. Cerita itu bukan dongeng, bukan bohong dan bukan pula buat-buatan, tetapi lakon kehidupan yang sesungguhnya telah terjadi atas diri mereka sendiri.... "Hai... Dayun!" seru Menak Jingga pula dengan sebal hatinya_ "Mengapa engkau belum juga masuk...?" "Bagaimana hamba dapat masuk, kalau pintu tiada dibukakan...!" jawab Dayun bertambah gemetar dan hilang belulangnya serta giginya gemeletuk kedinginan, diembus angin malam. "Cari jalan lain!" perintah Menak Jingga pula dengan pendek. la sendiri sudah tidak sabar lagi rupanya menahan dingin. Bagaimana akal Ki Dayun untuk melihat dan mengetahui keadaan kedua orang putri itu serta siapa anak muda yang sedang bercumbu-cumbuan dengan keduanya" Ditariknya sepotong bambu, lalu ditegakkannya dekat pada tuturan atap, dekat dinding tempat mereka asyik bercakap-cakap itu, kemudian naiklah ia dengan sudah payah. Setelah sampai di atas dikisarkannyalah genteng sebata maka tampaklah gadis itu duduk bersender di atas tempat tidur mengapit seorang jaka. Wahita sebelah kanan dan Puyengan sebelah kiri. Asyik benar rupanya ia bercerita, bergembira ria, berkata-kata kepada kedua orang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masyuknya itu. Tak salah lagi, karena mesranya sebentarbentar ia dirangkul ke kanan, kemudian dihela dan dirangkul pula ke kiri. Ki Dayun mendelik, mulutnya ternganga... kemudian berseru, "Raden Ayu, Sang Prabu Menak Jingga datang berkunjung kemari serta Baginda ingin mengetahui, yang membawakan lakon yang dipertunjukkan itu siapa dalangnya?" Dewi Wahita menyahut, "Eh Dayun, ketahuilah, bukan dalang yang membawakan cerita ini, tetapi utusan Ratu Majapahit. Katakanlah kepada rajamu, perang sudah akan berakhir dan sedari saat ini, kami bukan lagi menjadi tawanan perang tuanmu." Ki Dayun, setelah mendengar perkataan Dewi Wahita, segera turun mendapatkan Prabu Menak Jingga serta menyampaikan apa yang didengar dan disaksikannya di tempat itu. Mendengar cerita Ki Dayun itu, tidak terkira-kira marahnya, sehingga dadanya merah menyala-nyala sampai ke kepalanya, kedua belah incat matanya melotot berapi-api, cuping hidungnya bergerak-gerak, kembangkempis, kedua belah daun telinganya mengipas-ngipas seperti telinga gajah. "Mengapa tidak kau tikam perutnya... nyata itu maling," bentaknya, seraya melompati Ki Dayun dengan membulatkan kedua belah tangannya. "Gusti...!" sahut Ki Dayun ketakutan. "Bagaimana hamba dapat menikamnya, hamba melihatnya dari atas tuturan atap ... dan hamba seorang diri pula, takutlah hamba..._" Prabu Menak Jingga makin menjadi-jadi marahnya, membentak-bentak dan menghardik-hardik, "Eh! eh! siapa itu di dalam" Jika benar laki-laki maxi keluar...." "Gusti! Gusti...!" seru Ki Dayun pula dengan gugup, "asap... asap!" Tiada jauh dari utara istana tampak kebakaran, asap menjulang ke udara. Berbareng dengan itu Sabda Talon dan Naya Genggong segera pula datang hendak memberitahukan peristiwa itu kepada Damarwulan. Dengan pertanda itu mengertilah tentara Majapahit seluruhnya, baik yang ada dalam kota maupun yang menanti di luar kota, bahwa perlawanan serta penyerbuan telah mulai. Damarwulan mempererat sabuknya dan memperbaiki letak kerisnya. Baru saja ia melangkahi ambang pintu, hendak keluar, akan mengawasi pertanda yang dilakukan para perwiranya, Damarwulan diterpa oleh Menak Jingga, tak ubahnya sebagai seekor harimau melompati mangsanya. Damarwulan yang berperawakan lincah serta awas itu dengan mudah juga dapat mengelakkan badannya sehingga ia terhindar dari serangan Menak Jingga yang tiada terkirakira deras datangnya itu. Hampir saja Dewi Puyengan kena oleh keris Menak Jingga yang sudah kehilangan keseimbangan itu. Setelah pintu dibukakannya, ia dan Dewi Wahita sama-sama berdiri dekat hang pintu, mengantarkan Damarwulan dengan pandangan yang penuh pengharapan dan permohonan kepada Sang Hiyang Mahatunggal, "Mudah-mudahan Raden Damar dilindungi...!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Menak Jingga, ketika melihat kedua orang putri itu agak reda hatinya dan setelah memandanginya berganti-ganti, sebagai minta pertimbangan atau penjelasan kepada keduanya, ia berkata, "Ai... ai... Wahita dan Puyengan! Inginkah Adinda kedua menyaksikan kerisku ini mencabut nyawa anak muda "Ai... ai... siapa namamu gerangan?" "Damarwulan, utusan Ratu Majapahit...," sahut Dewi Wahita. "Ai, ai... utusan Majapahit, benarkah" Hampir telanjur kerisku menembus perutnya. Mengapa tidak dari tadi engkau jelaskan maksudnya! Bagaimana keadaan Adinda Kencana Wungu ingin benar aku mengetahui keadaannya! Ya... ya... baiklah engkau bercerita dahulu." Menak Jingga berkata-kata itu masih terbata-bata sebagai orang mencacau. "Adakah gerangan pesannya bagiku?" Damarwulan menatap dengan tajam. "Aku malah membawa perintahnya bukan pesannya saja," jawab Damarwulan. "Sungguh beruntung aku," ujar Menak Jingga pula, "ada pesan Kencana Wungu. Katakanlah pesannya itu....!" "Dewi Suhita atau Ratu Ayu Kencana Wungu mengharapkan sekembali aku ke Majapahit dapatlah mempersembahkan kepala Menak Jingga ke hadapan Seri Ratu...." "Apa" Akan mempersembahkan kepalaku?" ujar Menak jingga. "Engkau yang diperintahkannya mempersembahkan kepalaku kepadanya" Ah, ah, terlalu Kencana Wungu! Aku kira ia sudah berbalik pikir dan memerintahkan engkau kemari akan membawa berita gembira, bagiku menyatakan dia bersedia menerima usulku, menjadi permaisuri Blambangan dan di samping itu ia tetap memerintah Majapahit. Ah... ah, memang terlalu! Berani benar ia memesankan kepalaku kepada anak muda ini! Terlalu... terlalu...." Menak Jingga terdiam sebentar, memperhatikan asap yang mengepulngepul makin lama makin besar juga. Sekitar tempat itu didengarnya pula bunyi huru-hara dan ingar-bingar sepanjang jalan. Ia tentu tidak mengerti dari mana asal kebakaran itu dan tidak mengerti pula apa maksudnya. "Ai, siapa namamu, anak muda?" ujar Menak Jingga pula lalu mendekati Damarwulan. "Engkau kulihat seorang anak muda yang tampan dan cakap! Jika engkau mau aku bersedia melindungi nyawamu, malah aku akan mengangkatmu kelak menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di istana Blambangan. Jika engkau mau, akan kujadikan angkau Adipati kerajaan Blambangan, janganlah kautolak usulku yang baik ini, demi keselamatan dirimu, orang muda! Aku bukan seorang yang bengis percayalah!" "Terima kasih atas usul dan tawaran Tuan yang manis sebagai madu," dan pahit seperti empedu," ujar Damarwulan. "Sebagai seorang satria Majapahit, saya tetap setia kepada Ratu Majapahit dan tetap menghendaki akan mempersembahkan kepala Tuan, kepada Dewi Suhita, hai Menak Jingga. Satria sejati sedia berkorban dan berbakti kepada negara dan ratunya...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hai, hai, coba engkau timbang-timbang dahulu, anak muda! Jangan terburu nafsu...,"jawab Menak Jingga, ketika dilihatnya Raden Damar meraba-raba hulu kerisnya. "Sayang rupamu yang setampan dan secakap ini menjadi korban senjataku dan darahmu yang masih muda itu akan tertumpah ke bumi. Pikirlah baikbaik, pikirlah sebelum telanjur!" "Aku bukan bakul') buah yang datang kemari untuk tawarmenawar," sahut Damarwulan pula, "tetapi kedatanganku untuk membebaskan Majapahit, serta akan menghindarkan ratunya dari seorang pengkhianat yang telah menodai namanya serta telah menodai sejarah Jawa-dwipa...." Damarwulan mencabut kerisnya. Menak Jingga undur beberapa langkah dan kedengaran ia mendehemdehem kecil, kemudian kelihatan mulunya komat kamit_ Ia rupanya sedang membaca mantra: Aku tahu mula kerismu, dari Gunung Kawi, pertapaan datu, asal besi mula ditempa, dititik dicuca di sinar nyala. Umm... umm...umm...umm asalnya dapat kukaji, dari burni ibu pertiwi. Aku mengerti asal sesuatu, dari air barang yang cair. Umm... umm... umm... um.... Sudah kukaji mula segala, kembalilah menurut kehendakku, jadi lemut kembali ke asalnya, barang cair balik ke air. Karena kulitku telah kuisi bagaikan waja landasan besi, semangatku cula api, yang selalu membara, menyala, membakar, melebur segala, menjadi hancur binasa rnana yang kena... Uum.... urnmm, umrn... ummm.... 1) bakul = saudagar, pedagang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Damarwulan terpesonalah oleh mantra Benarlah seperti yang diucapkan oleh Menak Jingga. Ketika Damarwulan menunjukkan ujung kerisnya ke tengahtengah dadanya yang kelihatan memerah bagai bara, ia tiada mengelak sedikit juga, sebaliknya malah membusungkan dadanya sehingga kelihatan mengembung seperti bola yang sedang ditiup. Apa yang terjadi" Keris itu bilut. Matanya jadi berlipat tiga. Damarwulan terperanjat. Ketika ternyata mata keris itu tiada melukainya, ia terhuyung seketika, seperti akan jatuh terpelanting. Cepat bagaikan kilat tangannya menjemba ke depan menerpa Damarwulan. Anak muda itu tergegau, terpesona, seperti kena pukul dengan benda keras lalu tersungkur hampir tak sadarkan diri. "Ha... ha... Anak Muda...!" katanya dan tertawa- tawa dengan garangnya. "Ha... ha... haaaa... sekarang baru engkau merasakan tanganku dan baru engkau tahu siapa Menak Jingga. Coba sekali lagi kerismu ini dadaku...!" Ia masih terhuyung-huyung dan meraba-raba, seperti orang yang kurang awas penglihatannya. "Hai Puyengan, di mana engkau" Jangan dekati dia...!" Dewi Puyengan dan Dewi Wahita, yang telah beberapa lama mengenal perilaku dan ilmu kebal Menak Jingga itu, berpandang-pandangan. Mereka hendak menolong Damarwulan. "Puyengan...! Wahita...! biarkan dia... marl tolong aku...! Mari... marl...! Mari Adik... marl sayang...!" Bicara Menak Jingga mulai mencacau. Benar-benar ia sudah mabuk, karena banyak minum arak dan tuak dalam tayuban. Ia bergerak berputar-putar, seperti orang sedang mengiringkan anak tandak disertai dengan bernyanyi-nyanyi dengan gembiranya. Mari Puyengan, mari Wahita mari menari, mari bergembira mari menandak bersamasama... beriangan-riang, bersuka-cita...! Mendengar Menak Jingga telah bernyanyi-nyanyi dan menari-nari semacam itu Mbok Suti datang seperti biasanya. Ditolongnya memapah Menak Jingga ke ruang belakang dan mendudukkannya di atas sebuah tapang dari jati. Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Puyengan segera mendapatkan Damarwulan lalu membisikkan sesuatu kepadanya; anak muda itu hanya pusing saja sebentar. Setelah dipungutnya kerisnya yang telah hampir bertemu ujung dengan hulunya, ia segera berdiri kembali. "Menak Jingga mempunyai ilmu tahan besi, Kakang!" demikian katanya. "Ya...! Sekarang baru saya mengetahuinya dan merasainya sendiri. Ya...ya ...saya sudah maklum." Damarwulan ingat akan petuah guru dan nasihat eyangnya. "Maklum bagaimana, Kakang" Dengan apa akan Kakang lawan...?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kakang hanya memerlukan pohon birah air putih sebatang!" jawab Damarwulan. "Dengan besi dia tidak mempan, akan tetapi dengan birah air ia akan...." Di dalam kota api kelihatan makin berkobar-kobar, perkelahian terjadi di manamana. Di sekitar rumah itu perkelahian antara Ki Dayun dengan Sabda Palon tidak kurang hebatnya, dibantu oleh Naya Genggong. Di sekitar istana yang dijaga oleh tentara Menak Jingga dan dibantu oleh barisan Patih Prabalingga terjadi pertempuran besar-besaran melawan tentara Menak Koncar. Menak Jingga setelah beristirahat sebentar, lalu bangun kembali. Rupanya lekas jua ia teringat akan musuhnya atau mungkin ia merasa telah waktunya kembali ke istananya tengah malam itu. "Puyengan ...Puyengan...!" katanya memanggil-manggil. "Wahita ...! Wahita ...! panggilkan Ki Dayun, aku mau pulang." Rupanya ia belum sadar benar dan belum menyadari bahwa telah terjadi perkelahian besar dimana-mana diseluruh kota. "Prabu Menak Jingga...!" seru Damarwulan dengan lantang suaranya, "Ketahuilah aku diutus Seri Ratu Dewi Suhita, datang ke Prabalingga ini, akan menjemput jemala Tuan. Sekiranya Tuan dengan rela menyerah dan bersedia tunduk kepada Seri Ratu, aku akan menyerahkan Tuan berikut kepala Tuan hidup-hidup. Tuan saya beri kesempatan berpikir seketika!" "Apa ..." Saya dan kepala saya akan dibawa hidup-hidup kepada Dewi Suhita...?" sahut Menak Jingga. "Ya ... ya... sampeyan'" akan saya bawa menghadap kepada Sang Prabu Kencana Wungu!" "Kencana Wungu..." Kencana Wungu... yang masyur itu," jawabnya terbata-bata. "Tetapi bersediakah Seri Ratu berunding dengan saya tentang usul saya, yang telah pernah disampaikan kepada Seri Ratu...?" "Pasti tidak!" ujar Damarwulan. "Sampeyan akan digiring ke Majapahit sebagai seorang tawanan, sebagai penjahat perang yang akan diadili!" "Ah... ah...! Bagaimana saya dapat menyembunyikan muka saya berhadapan dengan Dewi Suhita yang amat mulia, yang sangat saya cintai...!" Sekitar tempat itu dan di sepanjang alun-alun di sekitar kepatihan pertempuran berlangsung dengan hebatnya. Patih Angkat Buta dan Patih Kot Buta, kaki tangan Menak Jingga, segera juga dapat diringkus oleh tentara Majapahit. Menak Jingga lama juga berhadapan dengan Damarwulan, serangmenyerang dan terpa-menerpa berganti-ganti, seakan-akan tidak akan habishabisnya perkelahian itu, disaksikan oleh Dewi Puyengan dan Dewi Wahita yang tak dapat berbuat apa-apa untuk membantu. Akhirnya ketika perkelahian keduanya telah beralih ke luar rumah, Raden Damarwulan berhasil merenggutkan batang birah air yang kebetulan tumbuh di pekarangan itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Batangnya yang tua berwarna kekuning-kuningan, lalu dipukulkannya ke batang leher Menak Jingga yang kebal karena is menaruh ilmu tahan besi itu. Tentu aneh, ya, memang terlalu aneh kedengarannya, seorang raja yang tiada teralahkan selama ini, yang menakutkan dan menggemparkan penduduk dan pembesar-besar kerajaan Majapahit, tiba-tiba telah berhasil dikalahkan, ditundukkan bahkan telah terbunuh dengan sekerat batang birah air (talas) tua yang telah kekuning-kuningan warnanya. Oleh penyebar-penyebar berita itu kemudian, yang sejengkah telah disiarkan sehasta, yang sehasta dikatakan sedepa, dua depa, sepuluh depa dan seterusnya. Tidak disesalkan, apabila dalam cerita rakyat di tanah Parahiyangan diberitakan, dipukul dengan Wesikuning dan di daerah Jawa Timur dengan sebuah gada yang sakti. Orang-orang Nusantara zaman itu percaya kepada ilmu gaib dan mantramantra. Damarwulan tentu telah memperoleh bermacam-macam ilmu pula di pertapaan-pertapaan sekitar Paluh Amba. Apabila Damarwulan mendapat sambutan luar biasa, tentu sudah pada tempatnya dan tidak urung telah jadi berbagai-bagai pula cerita tentang dirinya. 12. Berita Kemenangan Seluruh penduduk kota Majapahit keluar belaka akan menyaksikan kedatangan bala tentara yang membawa berita kemenangan. Sebagian pasukan induk telah kembali dan tentu disambut dengan amat gembira dan meriah oleh penduduk kota. Di mana-mana rakyat berkumpul berkelompok-kelompok membicarakan kemenangan itu. Terutama sekitar alun-alun istana amat ramai orang, ingin mendengar sendiri dari anggota pasukan yang baru kembali itu, bagaimana caranya tentara Majapahit dapat memasuki PrabaIingga dan berhasil memenangkan perang itu. Sekalipun telah diumumkan, untuk menjaga keamanan, Damarwulan dengan sejumlah induk pasukan, buat sementara akan tinggal beberapa hari, mungkin beberapa pekan, di Prabalingga untuk menjaga keamanan dan untuk memulihkan ketenteraman kembali, tetapi penduduk masih tetap berbondong-bondong menuju ke alun-alun. "Raden Menak Koncar ...!" ujar Dewi Suhita kepada kepala pasukan yang baru kembali itu. "Kami ingin mendengar, cobalah ceritakan sekali lagi, bagaimana caranya bala tentara kita dapat mengalahkan tentara Menak Jingga, supaya sama-sama kami dengar." "Seri Ratu!" jawab Menak Koncar dengan hormat. "Atas segala kemenangan ini Majapahit harus berterima kasih kepada Raden Damar satria yang bijaksana, berani lagi berbudi itu...." "Den Ayu Anjasmara!" ujar Dewi Suhita dengan amat bergirang hati dan tersenyum kepada Dewi Anjasmara yang duduk di sisi Seri Ratu. "Adinda dengar sendiri tentang suami Adinda! Adakah puji-pujian yang lebih mulia dan menyenangkan terhadap seorang satria daripada berani dan berbudi....!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dewi Anjasmara tersenyum bangga dan berkata, "Tentu hamba lebih maklum tentang pekerti suami hamba, sekalipun dia baru saja jadi suami hamba, Seri Ratu!" Setelah memandang berkeliling dengan sukacitanya, Seri Ratu berkata pula kepada satria Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah Raden, bagaimana seterusnya!" "Seperti telah dimaklumi, keberangkatan tentara dari sini dengan diam-diam sekali. Penduduk kota hampir-hampir tiada mengetahui keberangkatan kami, karena kami baru meninggalkan kota setelah matahari terbenam, bahkan setelah malam gelap. Sekalipun ada melihat kami menuju ke luar kota, tetapi orang tidak akan nyana bahwa kami akan pergi berperang. Segala-galanya berjalan menurut yang telah direncanakan oleh Raden Damarwulan. Begitu pula ketika akan memasuki kota musuh. Waktu fajar kami berhenti di dalam hutan, jauh di luar kota Prabalingga. Orang yang lalu pada waktu paginya, baik yang datang atau menuju ke Prabalingga, semuanya ditahan dan dijaga benar supaya jangan ada orang yang dapat membawa berita tentang keadaan kami kepada kaki tangan Menak Jingga. Selain itu barisan penyuluh kita telah dikirim terlebih dahulu ke Prabalingga dengan diam-diam dan diperintahkan supaya berhati-hati sekali, guna mempelajari dan menyelidiki keadaan dalam kota. Pekerjaan mereka itu pun berjalan dengan baik dan amat rapi. Setelah kami menerima berita selengkapnya dari pasukan penyuluh kita, barulah Raden Damar menyusun rencana dengan terperinci dan teliti. Nasihat Raden Damar kepada kami, berhasil atau tidaknya penyerangan kita, menang atau kalah, tergantung pada usaha pasukan penyuluh dan perencanaan yang teliti itu. "Kami ingin mendengar, bagaimana akal Raden Damar melawan Menak Jingga, yang dikatakan tak teralahkan itu!" ujar Dewi Suhita. "Hamba tentu tak dapat menceritakan peristiwa itu semua, selain apa yang telah hamba saksikan sendiri dengan mata kepala hamba. Setelah kami tiba di luar kota Prabalingga bala tentara dibagi-bagi, menurut keadaan pertahanan musuh yang akan dimasuki. Tentu menurut laporan yang dapat diterima dari mata-mata atau penyuluh-penyuluh kita." "Hamba ingin benar mendengar bagaimana Damarwulan dapat menjatuhkan Menak Jingga...?" ujar Dewi Suhita sambil melirik kepada Dewi Anjasmara. "Cobalah Raden terangkan kepada kami!" "Sayang hamba sendiri tidak menyaksikan dengan mata hamba, karena hamba dengan pasukan hamba menghadapi musuh di tempat lain. Akan tetapi menurut berita yang disampaikan kepada hamba, ketika Menak Jingga telah terdesak, Raden Damar masih memberi kesempatan untuk menyerah dan bersedia tunduk mengakui kekuasaan Seri Ratu, serta masih memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir." Raden Menak Koncar terdiam seketika, is teringat akan beberapa peristiwa yang hampir saja menewaskan nyawa Damarwulan. "Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Seri Ratu Dewi Suhita dengan tidak sabar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Daulat Seri Ratu yang mulia, baiklah hamba ceritakan dari permulaannya. Kedka pemimpin-pemimpin pertempuran tentara kita selesai menerima tugas masingmasing dan penjelasan yang diperlukan dari Raden Gajah, demikianlah nama senapati dalam pertempuran, serta menjelaskan pula akan tanda-tanda penyerangan dan yang berhubungan dengan itu, senapati diiringkan pula oleh kedua punakawannya, Naya dan Sabda, lalu menuju ke rumah Dewi Puyengan dan Dewi Wahita. Adapun tempat tinggal kedua orang putri yang malang itu berdekat-dekatan tiada berapa jauh dari istana." "Siapakah Dewi Puyengan dan Dewi Wahita itu?" tanya Dewi Suhita memotong bicara Raden Menak Koncar. "Serta mengapa pula Raden Damar datang mengunjungi keduanya tengah malam semacam itu?" Memandang kepada Dewi Anjasmara, "Raden bercerita di hadapan istrinya sendiri dan seperti diketahui, Raden Damarwulan dan Dewi Anjasmara baru saja jadi pengantin, beberapa hari sebelum berangkat ke Prabalingga." "Raden Ayu Anjasmara, maafkanlah hamba! Bukan maksud hamba hendak membuat fitnah, jauh daripada akan mengasut dan mengada-ada... Seri Ratu!" Raden Menak Koncar terdiam memandang kepada Anjasmara dan Dewi Suhita berganti-ganti. "Cerita hamba belum selesai. Dewi Puyengan dan Dewi Wahitalah yang memainkan peranan yang penting dalam peristiwa "Lho, bagaimana peristiwanya lekas ceritakan! Dan siapa mereka?" desak Seri Ratu Suhita. "Hamba harap dimafkan, Ratu! Sudilah Seri Ratu mendengarkan keterangan hamba dengan sabar! Adapun kedua orang putri itu anak-anak bupati yang tiada mau tunduk atau bersepakat dengan niat busuk Menak Jingga; kedua orang bupati itu sangat setia kepada Seri Ratu." Diam pula. "Kedua orang putri itu terkenal amat cantik, terutama Dewi Puyengan, yang lebih muda serta lebih lincah, seperti namanya itu, benar-benar dapat memabukkan dan menggilakan barang siapa yang berani memandangnya atau jika dipandangnya dengan sudut matanya. Itu agaknya, yang dinamakan orang mabuk kepayang. Menak Jingga tergila-gila kepadanya. Sebab itu hampir tiap malam dia datang ke tempat itu, mengunjunginya, akan membujuk dan merayu putri itu." "Tunggu dahulu," kata Seri Ratu Suhita pula menyela. "Kalau kami tidak salah, tadi Raden katakan senapati Raden Damar diiringkan oleh kedua orang punakawannya, Naya dan Sabda, juga menuju ke rumah Dewi Puyengan dan Dewi Wahita. Yang kurang terang bagi kami, siapa yang tergila-gila kepada si Puyengan itu?" Melirik dengan tajam kepada Dewi Anjasmara yang masih menundukkan kepalanya, "Damarwulan atau Menak Jingga?" "Gusti, sekali lagi hamba mohon dimaafkan serta hamba berharap cerita hamba jangan disela dahulu!" "Raden!" sahut Seri Ratu Suhita agak membentak suaranya. "Bagaimana kami tidak akan menyela, kami ingin mendengar berita kemenangan Damarwulan! Tuan ceritakan yang lain-lain.._ tentang Dewi Puyengan dan Dewi Wahita. Sekalipun tidak diceritakan, kami akan maklum juga, bahwa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang laki-laki itu sama saja dari dahulu sampai sekarang, bila berhadapan dengan perempuan cantik, lagi muda pula. Apalagi dalam peperangan. Saya tiada sudi mendengar tentang Puyengan dan Wahita itu." Melihat ke arah Dewi Anjasmara yang masih berdiam diri. "Tuan tahu, perempuan seperasaan! Hati Dewi Anjasmara sekarang sebagai bara api yang sedang bernyala. Saya harap hendaknya Tuan bawakan obat penawar! Akan tetapi ternyata Tuan ungguni pula dengan jerami kering. Saya takut kalau makin membakar dan berkobar nyalanya. Demi untuk kepentingan perasaan Adinda Anjasmara, tak usah Tuan ceritakan tentang penyelewengan-penyelewengan semacam itu, tak usah... sekali lagi tak usah!" "Ini sekali-kali bukan penyelewengan, Gusti, betul-betul bukan penyelewengan, tetapi suatu siasat yang harus dilakukan. Jika sekiranya Gusti tak sudi atau tidak bersedia mendengarkannya, tak dapatlah hamba menggambarkan pertempuran dan bagaimana kami memperoleh kemenangan itu. Karena dalam hubungan Dewi Puyengan dengan Damarwulan itulah terletak kuncinya. Betul, Gusti, di sinilah terletak kuncinya, ibarat makanan malah yang menjadi bumbunya. Bagaimana hamba akan menghidangkan sesuatu makanan, apabila Gusti menghendaki supaya bumbunya dikeluarkan atau disisihkan. Makanan yang telah bersatu dengan bumbu-bumbunya bagaimana memisah-misahkannya terlebih dahulu...!" Raden Menak Koncar terdiam sebentar menghadap kepada Seri Ratu Prabu Suhita, seakan-akan menanti perintah. "Gusti Ratu!" sembah Dewi Anjasmara. "Bila terserah kepada hamba, hamba tiada berkeberatan, apabila hubungan suami hamba dengan Dewi Puyengan serta Dewi Wahita itu diberitakan semuanya di depan hamba...!!" Terdiam sebentar "Atau barangkali Gusti sendiri yang menaruh keberatan, tak tahulah hamba..." Terdiam pula, kemudian katanya, "Hamba tidak buta, Gusti, dan sudah biasa apabila seorang pahlawan mendapat pujaan serta sambutan di mana-mana karena kepahlawannya itu, seperti jiwa hamba mengaguminya dan mencintainya, tentulah akan ada pula perempuan selain diri hamba yang turut mengaguminya bahkan sampai mencintainya sekalipun. Bukankah tanda emas yang murni atau sifat berlian yang tulen itu disukai dan dicintai tiap-tiap orang, ya Gusti, terutama akan menjadi pakaian kita golongan istri." Anjasmara berdiam diri pula seperti hendak menelan perasaannya sendiri, kemudian katanya agak bernafsu, "Hamba percaya kepada Kakanda Damarwulan, sesuatu yang dilakukannya selamanya dengan pertimbangan serta diperhitungkannya dengan cermat jua, Gusti!" Menghadap kepada Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah sekaliannya, Raden, hamba ingin tahu sekaliannya!" Raden Menak Koncar tiada segera melanjutkan ceritanya. Sekarang tahulah ia akan perasaan kedua orang yang dihadapinya itu. Rahasia hati masingmasing telah dapat diselaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sekali lagi hamba ulangi," katanya, "Menak Jinggalah yang telah tergila-gila kepada Dewi Puyengan, sebab itu sehabis tayuban pada malam itu,'dapat dipastikan sebelum kembali ke keraton istana tentu ia akan datang ke tempat Puyengan dan Wahita lebih dahulu. Sangat menguntungkan bagi penyerangan kita, yang dengan tiba-tiba itu, musuh tidak mengetahui sedikit juga, bahwa sebahagian tentara kita telah ada dalam kota. Hal itu tiada akan berhasil, bila tidak karena kerapian pekerjaan pasukan penyuluh kita, yang masuk dengan jalan diamdiam dan sebahagian dengan jalan menyamar." "Bagaimana Raden Damar, suami hamba, mengetahui tempat Dewi Puyengan dan Dewi Wahita" Siapa yang memperkenalkannya kepada mereka?" tanya Anjasmara. "Seperti telah hamba terangkan terlebih dahulu, itulah gunanya dibentuk pasukan penyuluh atau mata-mata, yaitu akan mempelajari segala sesuatu dan untuk menyelidiki hal yang penting-penting yang berhubungan dengan pertahanan musuh dan yang bersangkut-paut dengan siasat penyerangan kita." Bagaimana pertemuan Damarwulan dengan kedua orang putri itu, diceritakanlah sekaliannya oleh Menak Koncar, sampai Damarwulan hampirhampir jatuh pingsan dalam perkelahian yang pertama. "Untung benarlah karena pertolongan Dewi Puyengan yang cerdik itu dan bantuan Dewi Wahita," kata Menak Koncar. "Bagaimana jalannya" Karena apa pada mulanya Raden Damar hampir Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hampir jatuh pingsan itu?" tanya Dewi Anjasmara. "Menak Jingga itu seperti diberitakan, memang seorang yang hebat rupanya dan sangat kuat dan tegap perawakannya. Apabila berhadapan dengan dia tidak ada yang dapat melawan jangankan akan mengalahkannya. Akan tetapi ada juga kelemahannya. Pada malam hari ia kurang awas dan karena terlalu banyak minum minuman keras ia selalu kelihatan seperti orang kehilangan ingatan.... Kedatangan Damarwulan sekali-kali di luar dugaannya, tidak disangka-sangkanya." "Kalau begitu Menak Jingga betul-betul berhadapan dengan Damarwulan dan tewas dengan tangannya sendiri?" tanya Sang I'rabu pula. "Memanglah demikian, Gusti Ayu!" jawab Menak Koncar. "Damarwulan berhadapan dengan Menak Jingga seorang lawan seorang, sementara pasukan kita berhadapan dengan pasukan Bupati Prabalingga dan bala tentara Menak Jingga di keraton, di alun-alun dan di sepanjang pusat pertahanan kota." "Bagaimana selanjutnya dengan Dewi Puyengan dan Dewi Wahita?" tanya Seri Ratu. "Tunggu dahulu, Gusti!" sahut Menak Koncar. "Ternyata bala tentara kita bukan menghadapi bala tentara Menak Jingga dan pasukan Bupati Prabalingga yang mendurhaka itu raja, tetapi ada lagi unsur-unsur yang lain." "orang-orang dari pesisir Utara yang Tuan maksud?"ujar Dewi Suhita. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bukan orang-orang dari Pesisir Utara, tetapi ada gerombolan-gerombolan lain, di antaranya yang dikenal dengan gerombolan Kelana Jaya, yang dikepalai oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa." "Ya...ya...! Mendiang Adipati Tuban telah pernah juga menceritakan tentang gerombolan-gerombolan semacam itu! Memang pada waktu yang akhir-akhir ini timbul banyak perusuh dan petualang semacam itu di mana-mana. Negara menderita dan rakyat merana oleh kekacauan yang tidak habis-habisnya." Seri Ratu Suhita terdiam sebentar, kemudian ujarnya, "Apakah yang telah dilakukan oleh gerombolan Kelana Jaya, yang dikepalai oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa itu?" "Anehnya gerombolan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa itu, tidak seperti gerombolan yang lain, yaitu mendatangkan kerusuhan atau kekacauan kepada penduduk dan biasanya mereka seakan-akan berpihak atau berpura-pura membantu tentara, tetapi tujuan mereka yang sebenarnya, hendak menangguk di air keruh." "Kalau ia tidak membantu tentara kita barangkali mereka menjadi kaki tangan musuh...," jawab Dewi Suhita dengan cepat. "Pada mulanya dugaan kami, memang, demikian! Ketika terjadi pertempuran hebat di sekitar alun-alun Prabalingga mereka turut menyerang musuh bersama-sama kami. Tetapi alangkah terperanjat kami semuanya, ketika Raden Damar datang hendak membantu kami sesudah membunuh Menak Jingga tiba-tiba Kuda Rarangin menghadangnya di jalan dan terjadilah perkelahian antara Damarwulan dengan Kuda Rarangin. Lebih heran lagi kami, ketika ternyata dalam perkelahian itu tak ada yang teralahkan, keduanya samasama jaya dan sama-sama gigihnya, kemudian datang pula Kuda Tilarsa; mula-mula rupanya ia hendak menolong Kuda Rarangin, tetapi tiba-tiba ia undur ke belakang, kerisnya yang telah keluar dari sarungnya dibantingkannya ke tanah." "Lalu...?" ujar Seri Ratu mendesak, ketika Raden Menak Koncar tidak segera melanjutkan ceritanya. "Kuda Rarangin memandang kepada Kuda Tilarsa sambil memungut kerisnya lalu memasukkanya ke dalam sarungnya. Melihat perbuatan kedua orang lawannya itu Raden Damar juga menyarungkan kerisnya dan ketiganya berpandangpandangan. Kami yang menyaksikan, malah sudah bersedia-sedia akan menangkap kedua orang yang kami anggap pengacau atau musuh itu, malah ikut terpaku di tanah." "Mengapa?" "Dari sinar pandangan, raut muka dan potongan badan ketiganya, sebelum masingmasing mengeluarkan perkataan, dapat kami lihat tentu bersaudara! Benarlah ketika masing-masing menerangkan asal-usul mereka ternyata ketiganya bersaudara." "Mana mungkin!" sahut Dewi Anjasmara tiba-tiba. "Kakanda Raden Damar anak tunggal. Sejak kecil ia tinggal di pertapaan kakenda Bagawan Santanu atau lebih dikenal dengan panggilan Kiyai Ageng di Paluh Amba. Tak mungkin!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Raden Menak Koncar tersenyum, kemudian katanya, "Sesungguhnya di mayapada ini banyak hal-hal yang pada mulanya kita katakan tak mungkin, karena kita hanya melihat lahirnya belaka, belum mengetahui rahasianya yang sebenarnya." "Saya tahu benar tentang diri Kakanda Raden Damar, anak tunggal Paman Patih Udara dengan Bibi Nawangsasih. Ketika Paman Udara mengundurkan diri dari pemerintahan Raden Damar masih kecil, masih kanak-kanak, dan dibesarkan di Paluh Amba oleh Kakenda Bagawan Santanu Murti atau Maharesi Paluh Amba seperti hamba katakan tadi yang terkenal bijaksana dan cendekiawan itu. Orang desa Paluh Amba seluruhnya mengenal Damarwulan, terutama yang sebaya dengan dia, sekaliannya mencintai dan menghormatinya, bukan karena ia anak Patih dan cucu seorang Maharesi, tetapi karena ia telah dapat mempersatukan hatinya dan dirinya dengan anakanak desa itu." "Benar, Den Ayu Anjasmara!" jawab Menak Koncar sambil memandang kepada Seri Ratu sebagai minta pertimbangan. "Maaf, kalau boleh hamba bertanya, apa sebabnya Patih Udara mengundurkan diri?" "Semata-mata hendak memberi kesempatan kepada Ayahanda hamba, adiknya." "Tidak adakah kiranya sebab-sebab yang lain?" tanya Menak Koncar. Dewi Anjasmara tidak segera dapat menjawab. Setelah memandang kepada Dewi Suhita ia berkata, "Ini menyangkut soal pemerintahan, tentu Gusti yang lebih mengetahuinya!" "Sekarang saya tiada dapat memberi keterangan, tetapi menurut yang saya dengar Paman Patih Udara lebih menyukai pengembaraan daripada pemerintahan. Setelah mengundurkan diri Patih Udara tidak langsung memasuki pertapaan tetapi lebih dahulu telah mengembara ke manamana di seluruh Nusantara. Malah selagi memegang jabatan pemerintahan ia suka mengembara ke mana-mana. Tetapi apakah hubungan sekalian itu dengan diri Damarwulan?" ujar Dewi Suhita. "Dari keterangan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa ternyata mereka samasama anak Patih Udara. Pada mulanya keduanya juga tidak kenal-mengenali, setelah berjumpa di pengembaraan dan setelah sama-sama mengadu kesaktian dan sama-sama tak dapat dialahkan barulah mereka mengetahui bahwa mereka bersaudara. Kuda Rarangin berasal dari desa Pesawahan dan Kuda Tilarsa dari Pratokal. Menurut keterangan Ajar Tunggul Manik, yang bertapa di Gunung Mahameru, mereka ada empat orang bersaudara sebapak, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tetapi berlain ibu, pada suatu ketika mereka akan bertemu di depan Ajar Tunggul Manik yang keramat itu." "Ini Paman Patih datang!" ujar Seri Ratu dengan tersenyum kepada Patih Logender yang datang dengan sekonyong-konyong. "Maafkanlah hamba beribu-ribu maaf, karena hamba terlambat datang menghadap. Rakyat seakan-akan membanjir datang dari seluruh pelosok negeri, dari desa-desa, menyambut berita kemenangan tentara Majapahit. Terpaksa hamba memberi penerangan dan menjelaskan bahwa baru sebahagian bala tentara kita yang pulang. Raden Damar dengan sebagian besar pasukannya baru beberapa hari lagi akan kembali. Jika tidak diberi tahu, rakyat mungkin akan tetap berdiri sepanjang jalan, menantikan pahlawannya. Juga hamba harus menjelaskan kepada mereka, bahwa pasukan kita terpaksa tinggal beberapa lamanya, karena perlu mengamankan gerombolan dan pengacau, selain untuk memulihkan keamanan dan ketenteraman dalam kota. Ya, hamba sangat berbesar hati dan mengucapkan selamat atas kemenangan tentara kita, Gusti!" Sekalian yang diucapkannya, seakan-akan telah diaturnya atau dikarangkannya terlebih dahulu. Tetapi dari getar suaranya, apa yang diucapkan lidahnya berlawanan dengan kehendak serta bisikan hatinya. Sesudah mengaturkan sembah, Patih Logender lalu duduk ke dekat Raden Menak Koncar. Sambil tersenyum dibuat-buat ia berkata pula, "Kepada Raden tiada terkira terima kasih hamba, yang telah memenangkan peperangan ini bersama-sama dengan Damarwulan. Anak saudara hamba, ah, ya menantu hamba yang masih muda sekali, tentulah dengan petunjuk dan bantuan Raden juga maka ia telah berhasil beroleh kemenangan. Sekali lagi hamba ucapkan terima kasih dan selamat." Kemudian berpaling kepada Seri Ratu Suhita, sembahnya, "Majapahit sekarang sementara telah terlepas dari bahaya, terhindar dari kehancuran, Gusti!" "Mengapa Paman katakan sementara?" tanya Dewi Suhita agak keheranheranan. "Maksud hamba, mudah-mudahan terhindar dari kehancuran untuk selama-lamanya, ah ... bukan sementara, harap hamba diberi maaf, Gusti...," katanya terbatabata. "Hamba sangat bersyukur kepada dewa-dewa, yang telah melindungi Pendekar Wanita Baju Merah 9 Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Memperebutkan Batu Kalimaya 1

Cari Blog Ini