Darah Pendekar 17
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 17 tertimpa atap yang ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Mali-sang berloncatan pergi menyelamatkan diri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri ke dalam ke- gelapan malam. Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan mereka me- lakukan pengejaran sambil mengerahkan anak buahnya. Akan tetapi dua orang pendekar itu su- dah menghilang ke dalam sebuah hutan yang gelap di luar dusun itu. Melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-bengcu dan pemuda tampan itu berarti mengun-dang bahaya maut kalau hal itu dilakukan di dalam hutan yang amat gelap, maka terpaksa Kwa Sun Tek hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak tergesa - gesa sehingga dia dan ka-wan - kawannya tertinggal jauh dan kehilangan jejak buruannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng lengan Bu Beng Han yang menderita luka cukup parah aki-bat pukulan yang dilontarkan oleh tokoh Tai- bong- pai itu. "Gila, dia memiliki pukulan - pukulan iblis !" Bu Beng Han mengomel. "Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong - pai. Untung engkau masih dapat bertahan terhadap pukulan mautnya, Bu Beng." "Liu - twako, di manakah nona Ho ?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir. "Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan berpengalaman, tentu ia dapat menjauhkan diri dari pasukan mu-suh itu. Nanti saja kita mencarinya. Sekarang yang terpenting kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka. Ssstt, ada pasukan datang !" Liu Pang menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup ke dalam semak - semak di balik pohon besar, bersembunji sambil mengintai. Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasu-kan musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria gagah perkasa yang bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati - hati karena belum mengenal mereka, akan tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu, Bu Beng Han segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah berseri"Ngo - suheng !" serunya girang. Pria berpedang sepasang itu menoleh dan ter-kejut, akan tetapi wajahnya berseri dan diapun meloncat mendekati. "Kim - sute ! Kau di sini ?" Alisnya berkerut ketika dia melihat wajah sutenya. "Eh, Kim - sute, engkau kenapakah " Terluka ?" Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap - lojin ketua Thian - kiam pang itu mengangguk lemah. "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai - bong - pai." Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera memperkenalkan ngo - suhengnya kepada pemimpin itu. "Liu-twako, ini adalah suheng saya yang ke lima bernama Kwan Hok. Ngo - suheng, inilah Liu - twako, pemimpin para pendekar yang terkenal itu." Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan dengan orang yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagak perkasa yang berjiwa pahlawan itu, "Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu dariku ?" tanya Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia mem-balas penghormatan Kwan Hok dan kawan - kawan-nya. Yap Kim menghela napas panjang. Kini meli-hat betapa ngo - suhengnya malah menjadi pemim-pin sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya. "Terus te-rang saja, Liu - twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam - pang." "Ah, kiranya putera Yap - lojin yang lihai itu !" Liu Pang berseru girang sekali. Kini orang - orang Thian - kiam - pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati sekali. Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin murid Thian - kiam - pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati Liu - bengcu men-jadi girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup parah, maka terpaksa mereka lalu pergi ke tebing - tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk menyembunyikan diri. Sampai malam tiba, fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka mengaso di te-bing sungai. Yap Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi, menghimpun hawa murni dan suheng-nya bercakap - cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh. "Di dalam kota Sian - cung itu terdapat pasukan pilihan dari kota raja yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari kota raja dan pasukan - pasukan kepala daerah terdapat rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu bengcu ketahui bahwa di dalam pasukan kepala daerah itu terdapat dua orang per-wiranya yang memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian antara lain Kwan Hok bercerita. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Tidak salah ! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang melukai su-temu justeru adalah seorang di antara mereka, ya-itu tokoh Tai - bong - pai, sedangkan yang seorang lagi bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu tentulah orang asing yang bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama pasukannya yang mengejar-ngejar kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum ketahuan ke mana perginya " Tiba - tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh pasukan-nya yang terdiri dari duapuluh orang pilihan yang menjadi anak buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan kini melakukan penyerbuan serentak. Tentu saja Kwan Hok dan kawan - kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang dan Kwan Hok segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu, bahkan Yap Kim biarpun sudah terluka, masih membantu suhengnya untuk menge-royok kakek raksasa itu. Biarpun dikeroyok oleh tiga orang, Malisang mengamuk dan sepak terjang-nya memang menggiriskan. Pukulan - pukulannya seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi adalah cengkeraman kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali ter-kena cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas! Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang mengeroyoknya, menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar dengan kulit tubuh berbintik-bintik darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam keadaan seperti itu, tokoh Tai - bong-pai ini berada dalam puncak keganasannya. Agak-nya, para pendekar itu tentu akan tewas semua di tangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang meluncur dengan cepat. Begitu tiba, dua orang anak buah Kwa Sun Tek terjungkal dan kini bayangan itu menerjang Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh ramping juga sudah menerjang, Mali-sang, membantu Liu Pang dan kawan - kawannya. "Ngo - sute ! Siauw - sute !" Bayangan pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik sepergmuan itu. Kiranya dia adalah Yap Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian - kiam - pang dan merupakan tokoh muda yang paling lihai dari perguruan itu. Ada-pun orang ke dua yang datang adalah Ho Pek Lian yang dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena dikeroyok empat. Sementara itu, anak buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru di lembah sungai yang bertebing tinggi itu. Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song - bun - kwi (Iblis Berkabung) Kwa Sun Tek melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk - datuk persilatan yang amat hebat kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ke-tua Tai - bong - pai tellah mewarisi ilmu - ilmu kesaktian peninggalan dari datuk Cui - beng Kui-ong pendiri Tai bong - pai dan dia telah mengua-sai ilmu-ilmu Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat Hidup dan memiliki pula te-naga sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau dupa harum. Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, meru-pakan ahli waris dari datuk Sin - kun Bu - tek datuk pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian - hui Khong - ciang (Tangan Kosong Api Langit) dan Hong - i Sin - kun (Silat Sakti Angin Puyuh), juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang pasangan dari Thian - kiam - pang! Kini, karena bertemu lawan tangguh, keduanya menge-luarkan ilmu - ilmu simpanan mereka dan terjadilah perkelahian dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar yang mencoba memasuki gelang-gang perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang dengan darah berbintik - bintik merembes keluar melalui pori - pori kulit lengan mereka ! Juga fihak anak buah Kwa Sun Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun terkapar dengan muka go-song terbakar! Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat. Mengeluarkan ha-wa panas dan seperti meledak - ledak, menggetar-kan keadaan sekelilingnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan keduanya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ terpental. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling desak dengan mati - matian. Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus memeras keringat menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap Kim yang terluka parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh. Akan tetapi melihat ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur karena perkelahian amat membahayakan dirinya. Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani dan berhati baja, maka biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan pengeroyokannya. Repotlah Malisang oleh penge-royokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan Hok dan Liu Pang amat merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan sebatang dari sepasang pedangnya kepada pemimpin ini. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan pengawal Kwa Sun Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru-Akan tetapi, makin lama makin nampak bahwa pa-ra pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak buah pasukan musuh roboh dan terbunuh. Perke-lahian antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai puncaknya dan sedikit demi sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek melawan dengan gigih dan keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengelu-arkan semua ilmu simpanan mereka. "Hiaaaatttt !" Suara lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini menangkis pukulan lawan sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki kirinya. "Desss !" Kaki itu tepat menghantam pinggang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar ke belakang, menghantam sebatang pohon dengan amat kerasnya. Pohon itu tumbang seketika ! Akan tetapi, dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat bangun, tubuhnya bergoyang - goyang dan dari hidung serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat tadi. Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki ki-rinya nyeri sekali. Cepat dia mengeluarkan sebu-tir pel yang segera ditelannya, kemudian memerik-sa kakinya. Ternyata sepatunya ada tanda - tanda darah dan ketika dia membukanya, nampaklah da-rah merembes keluar dari pori - pori kakinya sam-pai sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya benar-benar memiliki ilmu yang menyeramkan. Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari keja-uhan. Seorang pendekar datang berlari-lari dan berkata kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang, "Liu-bengcu, pasukan, pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Lai datang !" Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir berhasil menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan besar itu. Liu Pang lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri. Malisang dan Kwa Sun Tek tidak berani me-ngejar, karena selain anak buah mereka banyak yang sudah tewas, juga keadaan Kwa Sun Tek yang sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pemuda ini untuk bertanding lagi. Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali ke perkemahan pasukannya, di lembah Huang - ho. Mereka disambut oleh pa-sukan pendekar dan Liu Pang lalu memperkenalkan Yap Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian - Idam - pang itu, kepada para pembantunya. Semua orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar betapa pemuda perkasa ini mampu menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai - bong - pai yang memiliki ilmu penghisap darah yang mengerikan itu. Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditung-gui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap Kim dengan halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hama menunduk, merasa bahwa dia memang bersalah. Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menja-di kakak seperguruan yang membimbingnya dalam ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras. "Tidak, twako. Aku KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tidak mau pulang ke rumah yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu dengan ayah yang selalu mengasing-kan diri di tempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu dengan ibu yang selalu berdiam di istana membantu kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan pembesar - pembesar lalim penindas rak-yat. Aku ingin bersama kawan - kawan berjuang di antara rakyat. Kalau twako memaksa aku pu-lang, lebih baik engkau bunuh sajalah aku !" Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee ter-mangu - mangu. Di dalam hatinya dia harus meng-akui bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya seperti sudah mengasing-kan diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersa-madhi saja di dalam kamarnya. Sedangkan subo-nya bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu ambisius untuk menjadi tokoh istana. Dia dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan putera angkat, kadang - kadang juga merasakan kepahitan kenyataan ini. Sementara itu, di bagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap cakap dengan muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba - tiba menghi-lang kemudian secara mendadak muncul pula ber-sama Yap Kiong Lee. "Suhu, kita semua harus berterima kasih kepa-da Yap - twako. Tanpa ada dia yang turun tangan, agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu akan celaka kalau tidak ada dia yang menolong." Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia disuruh oleh Liu Pang untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi ke belakang rumah, ke sebuah sumur yang agak jauh terpencil di tempat sunyi dan selagi ia hendak menimba air tiba - tiba ia dikejutkan oleh bayangan orang berkelebat. Ia mengangkat muka dan kiranya di situ telah mun-cul seorang laki - laki bertubuh kecil pendek, ber-pakaian mewah dan tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek Lian segera mengenal orang itu. Dia mengenal laki - laki bertubuh pendek kecil bermata sipit yang duduk di pagar sumur itu. Si cebol itupun memandang tajam lalu tersenyum menyeringai. "Hi - hi - hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu luas lagi, hi-hi- hik! Di manakah kawan - kawanmu yang cantik-cantik itu ?" Suaranya juga kecil mencicit seperti suara tikus. Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus di lorong - lorong bawah tanah. Bagaimana-kah iblis ini bisa sampai di tempat ini " Iblis ini adalah putera Te tok - ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang berjuluk Siauw - thian - ci. Apakah orang - orang Ban kwi - to telah keluar dari sarang mereka semua " Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah be-gitu saja dan tanpa menjawab sedikitpun, ia sudah menyerang dengan pedangnya- Siauw - thian - ci tertawa dan menghadapi gadis itu dengan meng-gunakan cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya, ilmu silat dari si katai ini tidaklah berapa tinggi. Orang - orang Ban-kwi-to memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang ter-lalu hebat. Mereka hanya mengandalkan penggu-naan racun saja, maka Siauw - thian - ci, biarpun menjadi putera dari orang pertama Ban - kwi - to, juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah perkelahian itu berlangsung puluhan jurus dan belum juga dia mampu menundukkan Pek Lian, Siauw - thian - ci menjadi penasaran dan ma-rah sekali. "Bocah bandel, engkau belum juga mau me-nyerah ?" bentaknya dan tiba - tiba cambuknya meledak ketika dia menyerang. Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi dia terkejut sekali melihat sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu! Ternyata musuh mempergunakan senjata rahasia yang agaknya dipasang di dalam cambuk dan kini ada beberapa batang jarum hitam menyambar ke arah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik kembali pedangnya dan memutar senjata itu, menyampok runtuh semua jarum yang menyambar ke arahnya. Pada saat itu, tangan kiri Siauw - thian - ci mengebutkan sehelai saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau me-nyambar ke depan. Pek Lian terkejut dan melon-cat ke belakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis memuakkan. Tak tertahan-kan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ lagi ia muntah - muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntah - muntah itu, ujung cam- buk Siauw - thian - ci mematuk pergelangan tangan-nya. Seketika Pek Lian merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan di lain saat, cambuk panjang itu seperti seekor ular telah mem-belit tubuhnya. Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauw thian - ci meno-toknya sambil tertawa - tawa. Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat seekor kuda dan tubuh-nya lalu ditelungkupkan di atas punggung kuda. Si cebol sudah meloncat ke atas punggung kuda dan melarikan binatang itu. Pek Lian tidak tahu dibawa ke mana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia dibawa masuk ke dalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga di situ sudah mengenal Siauw - thian - ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit tertawa - tawa fnelihat si cebol ini datang membawa tangkapan seorang dara cantik. Darah 22 17 Sambil tertelungkup melintang di atas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara para penjaga itu. "Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia selalu men-cari pengganti baru!" "Husssh, jangan keras - keras bicara. Jangan - ja-ngan engkau nanti hanya tinggal tulang- tulang saja digerogoti tikus - tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu untung ada Kwa - taihiap yang mence-gahnya, kalau tidak tentu akupun sudah habis di-makan tikus tikusnya." Mendengar percakapan itu, Pek Liari merasa ngeri. Kiranya manusia tikus ini telah bersekutu dengan tokoh Tai - bong - pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan tetapi matanya dapat mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya di depan sebuah rumah penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan itupun sudah tutup daun pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari kuda, kemudian si katai itu mengetuk daun pintu. Ketika daun pintu terbuka, ternyata di ruangan depan masih terang - bende-rang. Di sudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah tua sedang asyik bermain catur. Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka itu. Suami isteri cabul dari Ban-kwi - to, Im - kan Siang - mo ! Bouw Mo - ko, kakek berusia enampuluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa menoleh agaknya sudah tahu akan kedatangan Siauw - thian - ci, dan dia menegur, "Engkau baru datang " Mana pa-man - paman dan bibi - bibimu yang lain ?" Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira, "Ah, kiranya paman guru dan bibi guru sudah datang lebih dulu ! Aku belum melihat yang lain lain." Diam - diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh bantuan banyak golongan sesat termasuk tokoh - tokoh Ban-kwi - to ini. Sungguh merupakan lawan berat dan Liu - bengcu harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana mungkin ia meloloskan diri dari tangan iblis - iblis ini " Setelah dia menjalankan biji caturnya dan me-nanti isterinya mendapat giliran, Bouw Mo - ko menoleh, memandang kepada murid keponakan-nya. Pada saat itulah dia baru melihat gadis yang dipanggul oleh Siauw - thian - ci dan seketika dia bangkit berdiri. "Heiii ! Itu adalah gadis tawananku tempo hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat me-nangkapkannya untukku, ha - ha. Berikan kepada-ku !" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur tangan hendak mencengkeram Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan meram-pasnya dari panggilan Siauw - thian - ci. Akan tetapi si cebol itu meloncat ke belakang, mengelak dan memandang marah. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Susiok, ia ini milikku ! Aku yang menangkap-nya dan siapapun juga tidak boleh merampasnya!" Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata cambuknya, sikapnya mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada di depan mulutnya. "Apa " Kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu " Gadis ini milikku, dan engkau hanya membantuku menangkapnya kembali. Berikan!" "Tidak !" "Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku ?" "Tidak !" "Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo - ko menubruk ke depan, tangan kiri meraih ke arah tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanan-nya menghantam dengan tangan terbuka ke arah kepala murid keponakannya. Siauw - thian - ci maklum akan kelihaian susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut. Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak mampu bergerak itu ke sudut ruangan dan cambuknya diputar cepat, mele-dak - ledak membalas serangan paman gurunya. Paman dan murid keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit mati - matian ! Demiki-anlah watak orang - orang dari golongan sesat. Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak se-gan - segan untuk saling serang, kalau perlu saling bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo - li, nenek gendut galak yang tadi bermain catur bersama suaminya, agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan per-kelahian itu dan masih enak- enak saja mengerutkan alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya yang tadi terdesak. Orang - orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. Kaum sesat ini bersikap bebas semau gue, bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang sendiri. Kebebasan macam ini bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini merupakan semacam ikatan atau beleng-gu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri. Yang dinamakan kebebasan hidup bukan sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan adalah kebebasan yang wajar, bebas dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan men-capai kemenangan sendiri. Sungguhpun bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang bukan tim-bul dari ingin menyenangkan atau ingin disenang-kan, ingin menghormat atau dihormat, tertib diri ini tidak mengandung pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga batin yang demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain! Perkelahian antara dua orang tokoh Ban - kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat mereka memang tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun! Dan sekali orang Ban-kwi-to mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung. Rumah penginapan itu menjadi geger. Para ta-mu yang tadinya sudah mengaso dalam kamar, mendengar suara ribut - ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh celaka bagi mereka yang ka-marnya berdekatan dengan ruangan itu, karena di antara para tamu itu ada yang terkena jarum atau pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu. Mereka yang terkena senjata rahasia beracun ini, langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi melihat bermacam binatang kecil seperti kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor lebah beracun beterbangan, para tamu men-jadi panik dan melarikan diri. Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Mo-li menaruh perhatian. Inipun karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya. "Heii, suami tolol, kini giliranmu menggerakkan biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia mengerutkan alisnya. "Siauw - thian - ci, tikus kecil keparat. Hentikan ribut - ribut ini dan biarkan suamiku melanjutkan permainan caturnya denganku ! Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan permainan, kupatahkan hidungmu !" Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu, mana mau men-dengarkan ucapan si nenek galak " Mereka masih terus saling serang dan mengobral senjata - senjata dan binatang - binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan kehebatan masing - masing. Hoan Mo - li menjadi kesal rupanya dan iapun me-noleh ke arah Pek Lian yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ masih rebah miring di sudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka bangkitlah Hoan Mo - li dari tempat du-duknya, sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian. "Hi - hik, si genit ini kiranya yang menjadi ga-ra - gara sampai paman dan keponakan saling han-tam sendiri. Dasar kaum laki - laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat perempuan cantik. Dari pada sekeluarga berkelahi karena perempuan, le-bih baik perempuan genit ini kubunuh saja !" Ia mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya di tangan wanita gendut itu. Akan tetapi Hoan Mo - li menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang manis itu sambil tertawa ha ha - hi-hi. "Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki - laki mata keranjang ingin mencium dan membelainya. Coba hendak kulihat apakah mere ka masih akan memperebutkan dirimu kalau muka-mu kubikin rusak dan menjadi buruk. Hi- hi-hik !" Wanita itu terkekeh - kekeh seolah - olah ia memperoleh pikiran yang amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan kuning. Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan ja-lan darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak. Pada saat wanita gendut itu membuka tutup botol dan menuangkan cairan ku-ning ke arah wajahnya, Pek Lian cepat menggu-lingkan tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk menge-nai mukanya kini menetes ke atas lantai. Terde-ngar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan permukaan lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar! Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mu-kanya akan berlubang - lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan ! Sementara itu, Hoan Ma-li terkekeh girang melihat gadis itu bergu-lingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya gadis itu sambil mengacung - acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang ter-siksa merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena ancaman sik- saan amat menggembirakan hatinya. Agaknya se-perti itulah setan - setan penjaga neraka kalau menyiksa orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng - dongeng lama. Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis se-perti ini, yaitu merasa gembira melihat mahluk atau orang lain ketakutan atau tersiksa atau men-derita, agaknya menjadi semacam penyakit yang menghinggapi diri kita masing - masing. Kalau kita mau mengamati dengan jujur, akan nampaklah penyakit itu melekat di batin kita. Kitapun selalu merasa senang atau gembira melihat mahluk atau orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada kebencian dalam hati kita terhadap mahluk atau orang lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan dirugikan. Kalau kita mau membuka mata melihat dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati melihat mahluk - mahluk yang merugikan kita seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita bunuh perlahan - lahan, kita siksa sebagai pelam-piasan dari pada dendam karena kita diganggu " Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati kita, di luar kesadaran kita, kalau kita mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan sedang kita musuhi, menderita malapetaka " Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita melihat atau mendengar orang yang tidak kita su- kai, penjahat - penjahat dalam film atau cerita mi-salnya, menerima hukuman dan siksaan yang amat sadis " Bukankah kadang-kadang datang keingin-an atau harapan dalam batin kita melihat orangDarah 22 yang kita benci mengalami penderitaan seberat-beratnya " Hoan Mo - li terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia melemparkan botol itu agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia ingin melihat jelas ketika tetesan ca-iran kuning beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu menggeliat - geliat seperti cacing terkena panas, maka iapun terus mengejar. Akhirnya, ia dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak rambut gadis itu, memaksa muka yang pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah siap menuangkan isi botol sambil ter- kekeh - kekeh. "Wuuuuutttt plakkk!" Botol kecil itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan lantai mengelu-arkan asap dan berlubang - lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya bagi Pek Lian itu, nam-pak sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda ini cepat menendang ke arah tangan Hoan Mo-li yang memegang botol sehing-ga botolnya terlempar. Pek Lian cepat menggu-lingkan tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan, tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir pingsan. Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari cari sutenya inipun bermalam di tempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi saja di kamarnya dan di-am-diam melakukan penyelidikan ketika dia me-lihat betapa suami isteri cabul dari Ban - kwi - to itu berada di situ. Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan terkejutlah dia melihat Pek Lian ter-ancam bahaya. Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh dara itu di pundak kirinya. Sementara itu, Hoan Mo-li tadi terkejut seka-li. Lengannya seperti patah rasanya dan racun di botol itu sudah terbuang sia - sia. Marahlah wa-nita ini dan iapun mengeluarkan teriakan seperti seekor serigala, dan iapun menyerbu dan menye-rang Kiong Lee dengan ganas, dengan kedua ta- ngan membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan ketika kaki kirinya menyambar, Hoan Mo-li nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** a mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu. Sebetulnya, ting-kat kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka ber-tiga. Akan tetapi, musuh - musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia dan racun - racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pedangnya untuk menangkis dan menolak semua ra-cun. Melihat orang - orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir dan men-jauhi ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada be-berapa orang yang terhuyung dan roboh karena ruangan itu kini penuh dengjan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan mengandung racun-racun ganas. Biarpun Kiong Lee amat lihai, bau memu-akkan dan mengandung hawa beracun itu membuat dia repot dan kepalanya terasa pusing. Dia meli-hat bahwa Pek Lian juga sudah pingsan karena bau keras itu. Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat tiga orang lawan mundur dan dia melon-cat keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga orang Ban - kwi - to yang merasa penasaran melakukan pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu masih belum mampu menandingi Kiong Lee sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang menyelinap di antara rumah - rumah orang. Terjadi kejar - kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi - to itu berteriak - teriak di sepanjang jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak buah Liu Pang, memasuki kota. Teriakan - teriakan ini menimbul-kan kegempalan dan banyak perajurit mulai berkeliaran ikut mencari di seluruh kota itu. Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek - ubekan mencari ke semua penjuru kota itu, terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari - cari. Mereka ini bukan lain adalah Kiong Lee dan Pek Lian ! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya, mereka berdua lalu menawan dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan me-notok lalu membelenggu dan menyumpal mulut mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga. Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba di pintu gerbang sebelah selatan. Dengan Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sikap gagah Kiong Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan Pek Lian dibukakan pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu. "Ada mata - mata berkeliaran di dalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan tidak membiarkan seorangpun keluar. Demikian perin-tah atasan !" bantah komandan jaga. "Siapa yang tak tahu akan perintah itu ?" ben-tak Kiong Lee. "Kamipun sudah mendengarnya. Akan tetapi, kami mempunyai dugaan keras bah-wa para penjahat mata - mata itu sudah mening-galkan kota dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian mencegah kami KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ dan sampai mata-ma-ta itu jauh meninggalkan kota, kami akan mela-porkan hal ini kepada atasan !" Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para pen-jaga pintu gerbang menjadi bingung. Akhir- akhir ini memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira yang baru tiba. Pin-tu gerbang lalu dibuka perlahan - lahan dan kedua orang pendekar itu segera cepat menyelinap keluar dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pa-sukan juga mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai yang memimpin pasukan itu untuk ikut men-cari, menjadi marah melihat pintu gerbang dibuka. "Hei, siapa berani lancang membuka pintu ger-bang " Bukankah sudah kami perintahkan agar semua pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar ?" bentaknya. Dengan muka pucat komandan jaga lalu menghadap dan membe-ri hormat kepada panglima itu. "Harap paduka maafkan. Kami membuka pin-tu hanya untuk membiarkan dua orang perwira keluar karena mereka hendak mengejar mata - mata yang melarikan diri," Panglima itu melotot dan marah sekali. "Tolol kamu ! Merekalah mata - mata itu !" Dan diapun menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah terlambat. Dua orang bu-ronan itu sudah menghilang di dalam gelap dan mereka semua tidak tahu ke arah mana harus me-ngejar. Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua segera mem-buang pakaian perwira yang dipakai di luar pakai-an mereka sendiri itu. Pek Lian mengucap terima kasih atas pertolongan Kiong Lee. "Berkali - kali Yap - twako menolongku, sungguh budimu besar sekali." "Sudahlah, nona. Lebih baik kauceritakan ba-gaimana engkau sampai tertawan oleh iblis dari Pulau Selaksa Setan itu." Pek Lian lalu bercerita tentang semua penga-lamannya. "Aku sedang melakukan penyelidikan tentang keadaan fihak musuh, bersama guruku, Liu-bengcu, dan bersama Bu Beng ah, se- karang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Ban-kwi-to dan bertemu denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim putera ketua Thian kiam - pang !" Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia me-rasa sudah mengenal wajah Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Sekarang tiba - tiba saja ia teringat bahwa ia pernah berte-mu dengan pemuda itu di Ban - kwi - to, ketika pemuda itu bersama sama dengan Thian - te Tok-ong atau Ceng-yang-kang Si Kelabang Hijau, orang ke lima. dari iblis-iblis Ban-kwi- to, berada di kepulauan itu ! Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari carinya itu sudah ber-ada bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan penuturan gadis itu yang bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh dan yang kini hanya dikenal seba-gai Bu Beng Han. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan ke dusun sunyi itu dan seperti telah kita ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee dapat menyelamatkan mereka dan kembali ke markas pasukan para pendekar di Lembah Huang-ho. "Demikianlah, suhu. Untung sekali aku berte-mu dengan Yap - twako sehingga kita semua dapat terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian meng-akhiri ceritanya. Liu Pang mengerutkan alisnya. "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu bersahabat dengan para iblis Ban - kwi - to hemm, berat juga bagi kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan asing, juga tidak segan-segan memperalat orangworang dunia hitam." "Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bongrpai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa orang di an-tara mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang gadis yang biarpun wataknya aneh, namun menghargai kega-gahan dan sama sekali tidak jahat" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Liu Pang menghela napas panjang. "Tidak aneh, di dalam keadaan negara sedang kacau- balau, ten-tu bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar besarnya, dengan cara dan jalan apapun." * * * Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musya-warah dengan para pembantunya, yaitu para pim-pinan pasukan pendekar yang sudah menggabung-kan diri dengan pasukan induk yang dipimpinnya. Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid utama dan juga putera angkat ketua Thian - kiam - pang ini terpaksa mengalah terhadap sute atau adik ang- katnya yang amat disayangnya itu-. Dia terpaksa 32 Darah 22 33 ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Liu Pang, yang telah menarik per-hatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini yang merasa bersimpati. Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya banyak bantuan dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit ke-rajaan yang menyeberang dan membantu, Liu-beng-cu berkata lantang, "Di hadapan kita terdapat dua kekuatan yang biarpun berdiri sendiri - sendiri, namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi kita. Yang satu adalah pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai, sedangkan kekuatan ke dua adalah pasukan pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasu-kan asing. Kita harus mencari akal agar keduanya itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus." Semua orang yang menghadiri rapat itu me-ngerutkan alis dan berpikir. Tiba tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri- Dia ini adalah Siong - ciangkun, seorang bekas komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan Liu Pang, seorang ahli perang yang usianya sudah hampir enampuluh tahun. "Memang benar sekali pendapat Liu - twako bahwa kita harus mencari akal yang baik untuk menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita mempelajari dahulu keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru saya akan menge- mukakan akal saya." Liu Pang mengangguk - angguk. "Siong-ciang-kun tentu lebih mengetahui keadaan bala tentara kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun meng-gambarkan agar kita semua mengetahuinya." "Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pembantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal Lai ditugaskan untuk menghentikan gerakan pasukan kita agar tidak menjalar ke kota raja. Jenderal Beng Tian sendiri bersama induk pasukannya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat, membendung gerakan pasukan Chu Siang Yu yang semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa kaisar kini mengutus pangeran mahkota untuk memimpin tentara cadangan dari kota raja untuk membantunya " Bekas perwira kerajaan itu berhenti sebentar dan dengan pandang matanya menyapu para hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Lee yang selalu dekat dengan istana di kota raja menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan di istana dari pada bekas perwira itu. Melihat sikap ini, Siong - ciangkun bertanya kepadanya, "Bukankah demikian, Yap - taihiap ?" Yap Kiong Lee mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong ciangkun. Akan tetapi sesungguhnya bukan kaisar yang mengutus pangeran mahkota membawa pasukan ke garis depan peperangan, melainkan Perdana Menteri Li Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan di istana kota raja sungguh berobah. Penuh rahahasia dan semua orang berada dalam ketegangan dan kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan, bahkan semua orang berani menduga bahwa kaisar tidak berada di istana, tidak berada di kota raja lagi. Entah di mana, tidak ada yang tahu atau dapat menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi pengawal pribadi kaisar, juga tidak tahu ! Yang diketahui hanyalah bahwa kaisar telah melimpahkan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su untuk urusan kenegaraan dan kepada thaikam kepala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam istana, lalu kaisar menghilang !" . Semua orang terheran - heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja datang dari kota raja dan mereka tahu bahwa subo dari pendekar itu adalah Siang Houw Nio - nio, bibi dan juga pengawal pribadi kaisar, maka mereka menaruh kepercayaan dan menanti pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik sekali. Dia menganggap betapa pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda itu suka melanjutkan cerita-nya. Yap Kiong Lee menghela napas panjang. "Se-telah Perdana Menteri Li Su berkuasa di kota raja, bergandeng tangan dengan Chao - thaikam, maka mulailah kemelut menggelapkan kota raja. Wakil Perdana Menteri Kang dan para menteri setia yang tadinya sudah diangkat kembali oleh kaisar, satu demi satu disingkirkan." "Ahhh ! " Para pendekar mengepal tinju mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran dan marah. "Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai tersiar ke luar kota raja." Murid utama Thian - kiam - pang itu melanjutkan. "Semua orang yang masih setia menjatuhkan harapan mereka kepada putera mah-kota, akan tetapi pada suatu hari, pangeran itu dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bah-wa semua ini tentulah akal muslihat Li Su dan Chao Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengang-kat putera kaisar ke dua yang berwatak jelek itu sebagai pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka di tangan mereka. Kini yang berkuasa ada-lah panglima-panglima dan menteri-menteri yang menjadi kaki tangan kedua orang lalim itu. Hanya Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang - orang seperti mereka itulah yang benar - benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi kepada kerajaan. Oleh ka-rena itu saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan Liu - bengcu clan saudara sekalian untuk kelak memikirkan nasib mereka itu, yang saya tahu ada-lah orang - orang yang menjunjung kegagahan dan kesetiaan." Liu Pang mengangguk - angguk. "Terima kasih atas semua keterangan yang amat penting itu, Yap - sicu. Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan menghancurkan mereka yang jahat itu. Nah, Siong - ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana rencana siasatmu itu ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah barisan kita menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati mar-kas Jenderal Lai dan bersikap seolah - olah Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo meng-hindarkan diri tidak menghendaki bentrokan, lang-sung; saja ke depan dan menyerang atau menduduki kota kecil di depan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar dia segera melakukan pengejar-an." "Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang ?" "Benar, Liu - twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng melakukan pengejar-an, kita menggunakan tiga perlima bagian pasu-kan untuk menghadangnya agar pasukan itu tidak dapat kembali ke markas, kita memotong jalan. Sementara itu. yang seperlima bagian lagi kita pergunakan untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan pejabat daerah yang bersekong-kol dengan orang - orang asing itu." Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh Siong - ciangkun. Kekuatan pertama yang bertugas memancing ha-rimau keluar dari sarang hanya merupakan seper-lima bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pendekar lain. Bagian ke dua merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thian - kiam - pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid ke lima Thian - kiam - pang dan diperkuat oleh Siong - ciangkun sebagai penasihat. Adapun bagian ke tiga, yaitu hanya seperlima bagian, dipimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan inilah yang bertugas untuk menduduki dan menyerbu benteng yang dikosong-kan oleh Jenderal Lai nanti, untuk menghancurkan pasukan daerah yang dibantu oleh orang - orang asing itu, musuh utama dari pasukan para pende-kar. Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi - bagi. Sesuai dengan rencana, pa-sukan pertama berangkatlah, menghindarkan mar-kas besar Jenderal Lai, lalu menuju ke kota kecil di depan. Sementara itu, diam - diam pasukan be-sar yang dipimpin oleh tiga saudara seperguruan Thian - kiam - pang juga meninggalkan sarang dan 38 39 mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan pemotongan atau penghadangan terhadap pasukan Jenderal Lai. Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan mendekati benteng musuh dengan hati - hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi di tepi sebuah su-ngai kecil yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar Jenderal Lai meninggalkan benteng. Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua hari atau tiga hari sampai Jen-deral Lai melakukan pengejaran dengan pasukan-nya terhadap pasukan para pendekar yang me-nyerang kota kecil di depan. Pada keesokan harinya setelah matahari terbe-nam, barulah Liu Pang menerima kabar bahwa gerakan pertama dari pasukan pertama telah ber-hasil mengepung kota kecil di depan, dalam gerak-an memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan pasukan para pendekar se-ngaja membiarkan kepala daerah dan para penga-walnya lolos, agar mereka dapat mengabarkan ke-pada Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan jen-deral ini. Seperti yang telah direncanakan, ternyata ha-silnya memang tepat. Jenderal Lai yang mende-ngar bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil di depan, menjadi geram. "Kurang ajar sekali Liu Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku dan sengaja mengambil jalan memutar untuk bergerak ke arah kota raja. Hemm, hal ini tak boleh dibiarkan saja!" Diapun lalu memerintahkan para perwiranya untuk mempersiapkan pasukan mereka. Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar dengan megah, menuju ke kota kecil untuk merampas kembali kota itu, mengha-langi pasukan Liu Pang menuju ke kota raja dan menghajar mereka. Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap sesuai dengan siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan pasukannya untuk menyer-bu ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi, tiba - tiba KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka sangka - sangka. Terjadilah kegemparan ketika sebagian besar dari para anak buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi perut mereka yang terasa sakit sekali! Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang mengaduh - aduh tak berdaya itu. 41 Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasa-kan betapa perut mereka mulas dan nyeri. Terke-jutlah mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan. Untunglah bahwa dia dan muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh, dan pula agaknya me- marah 22, reka tidak begitu banyak terkena racun seperti anak buah mereka. Setelah mengadakan pemerik-saan dan melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati di dalam sungai kecil, tahulah Liu Pang bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat persembunyian mereka itu dan men-campuri air sungai dengan racun. "Ini tentu perbuatan iblis Tai - bong - pai itu !" Pek Lian teringat dan gurunya mengangguk. Liu Pang dan para pembantunya segera mem-bagi - bagi obat penawar. Untunglah bahwa racun yang telah larut dengan air sungai itu hanya ter-batas kekuatannya, hanya membuat mabok dan sakit perut saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak berdaya dan lemas badan. Selagi mereka sibuk mengobati diri, men-jelang tengah malam itu terdengarlah sorak-sorai dan datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal di benteng itu, dibantu oleh pasukan asing, menye-rang para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan keracunan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Song - bun - kwi Kwa Sun Tek dan Malisang raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pem-bantaian terhadap pasukan para pendekar. Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan mati - matian itu dapat melarikan diri cerai - berai memasuki hutan-hutan gelap mencari selamat sendiri - sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda sakit perut, dapat dikatakan hancur total walaupun banyak juga di antara mereka yang berhasil selamat. Liu Pang sendiri bersama muridnya, dengan pedang di tangan mengamuk. Namun, menghadapi Kwa Sun Tek dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua terpaksa menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan kekacauan yang terjadi di tepi sungai kecil itu. Dengan dilindungi oleh belasan orang penga-walnya yang terdiri dari pendekar pendekar yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri, dikejar oleh pemuda Tai-bong - pai dan raksasa Mongol. "Ha - ha - ha, Kwa - taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua pemberontak ini, habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu ke-padaku kata Malisang dan dengan dua losin pengawal diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman temannya. Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh sebelas orang pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari da-lam hutan. Perkelahian seru terjadi secara kero-yokan. Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju menghadapinya, sedangkan Pek Lian membantu para pengawal menandingi para pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak itu. Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pe-dangnya yang lihai, namun pada saat itu dia mengalami pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya dipukul cerai- berai oleh musuh, betapa siasatnya telah digagal-kan fihak musuh bahkan dia kena ditipu sehingga pasukannya menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air beracun yang biarpun ti-dak membahayakan keselamatan nyawanya, na-mun cukup membuat tubuhnya lemas dan tenaga-nya berkurang. Karena itu, kecepatannyapun ba-nyak berkurang sehingga beberapa kali dia terke-na hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan gurunya, Pek Lian cepat mener-jang maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa - tawa girang karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ raksasa ini sudah me-mastikan bahwa malam itu dia tentu akan berha-sil membekuk pemberontak besar Liu Pang ini, baik dalam keadaan hidup maupun mati. "Suhu, mari kita pergi!" Tiba - tiba Pek Lian menusukkan pedangnya ke arah dada Malisang. Ketika raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram ke depan, kedua tangannya berani menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali pedangnya, menggan-deng tangan gurunya dan mengajak gurunya yang sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu un-tuk bersama - sama meloncat ke dalam sungai. "Byuurrr !" Keduanya ditelan air yang gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek Lian membantu gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan Malisang dan kawan-kawannya yang hendak melakukan pengejaran. Dalam usaha ini, beberapa orang pendekar yang menolong dan melindungi guru dan murid itu ro-boh dan tewas, lainnya terpaksa melarikan diri karena kekuatan fihak musuh jauh lebih besar. Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu be-nar - benar mengalami hantaman yang tidak kepa-lang tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan lainnya kembali meng-alami nasib seperti yang pernah berkali - kali mereka alami, yaitu cerai berai melarikan diri men-cari keselamatan masing - masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan mereka. Bagaimana-pun juga, mereka itu tidak pernah kehilangan se-mangat perlawanan, sesuai dengan watak mereka sebagai pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang kekuasaan lalim. Sejarah berulang tenis. Golongan yang mena-makan dirinya penentang kejaliman, yang meng-anggap diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan yang berjuang dengan se-mangat bernyala - nyala, rela berkorban apa saja H 4i yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa, selalu bangkit menentang golongan yang pada sa-at itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golong-an yang lalim, golongan penindas dan golongan yang jahat. Fihak penentang kekuasaan yang ada selalu menganggap diri mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan sebaliknya, fihak yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu sebagai perusuh - perusuh, pengacau - pengacau dan peru-sak - perusak ketenteraman, sebagai pemberontakpemberontak yang hanya bergerak demi satu am-bisi, yakni merebut kekuasaan. Fihak yang berku-asa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak menyengsara-kan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak itu selalu men- dasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi menentang keja- hatan dan kebusukan ! Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, di dalam negeri manapun juga. Selalu nama rakyat dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rak-yat ditarik sana - sini untuk dijadikan Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekutu, un-tuk memperkuat landasan mereka. Dan bagaima-na kalau sampai golongan yang menentang kekua-saan yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan kekuasaan yang ada dan fihak pe-nentang ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi yang berkuasa " Sejarahpun berulang kembali! Cepat atau lambat muncullah lagi golongan - golongan yang menentangnya, golongan yang sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasa-an baru itu, untuk menumbangkannya, untuk merebut kekuasaan ! Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini selalu mengaki-batkan satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat jelata yang menanggung akibat-nya ! Rakyat bagaikan pohon - pohon kecil dilanda badai peperangan, daun- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ daunnya rontok, kem-bang - kembangnya gugur, bahkan batang-batang-nya tumbang dan mati. Rakyat mengalami keta-kutan, penderitaan, korban kekerasan - kekerasan yang mengerikan. Padahal, semua gerakan yang dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi rakyat! Memang sungguh menyedihkan, namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat oleh kita semua di dunia ini. Mengapa harus demikian " Kalau semua go-longan itu benar - benar berjuang demi rakyat je-lata seperti yang selalu didengang - dengungkan, bukankah tujuan mereka semua itu sama, yakni demi kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat " Apakah kemakmuran rakyat dapat dicapai dengan perang, dengan bunuh - bunuhan, dengan keka-cauan - kekacauan, dengan perebutan kekuasaan yang pada hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila kekuasaan belaka " Mengapa semua golongan itu tidak mem-buang senjata saja, menggantikan dengan alat-alat pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, meng-ajak rakyat untuk benar-benar membangun lahir batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejah-teraan hidup, yang penuh damai, penuh ketente-raman, jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari kekacauan " Sungguh menyedihkan ! Yang jelas, rakyat ha-nya menjadi korban nafsu kemurkaan beberapa ge-lintir orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang - orang gila yang selalu mengejar kekuasaan, yang tidak segan - segan melakukan apapun juga demi mencapai ambisi, bahkan kalau perlu meng-gunakan nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat, asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhir-nya duduk di puncak kekuasaan bersama temantemannya " Dan mereka selalu menaburi cara men-capai tujuan yang amat busuk ini dengan bunga rampai, dengan slogan-slogan yang muluk - muluk, demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, bahkan mereka tidak segan - segan untuk sekali waktu mengatakan Demi Tuhan! Ya ampun, semoga rakyat di seluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak terbuai oleh taburan bunga rampai yang ha-rum dan muluk - muluk itu, dan semoga rakyat dapat melihat bahwa di balik semua itu tersembu- 48, nyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar keku-asaan, kemuliaan dan kesenangan sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula ! * * * Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari pengejaran musuh - musuhnya. Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan pelarian mereka menjelang subuh itu, tertatih - tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka terpaksa berhenti di sebuah kuburan yang sunyi di pagi hari itu, ka-rena Liu Pang harus beristirahat dan merawat luka - lukanya. "Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti di sini untuk merawat luka suhu yang perlu beristirahat sebelum kita melanjutkan per-jalanan," kata Pek Lian dan Liu Pang mengangguk lesu. Karena pukulan - pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup hebat, selama sehari itu Liu Pang bersila, menghimpun tenaga dan ha-wa murni sambil menelan beberapa macam obat. Pada senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka - luka yang dideritanya men-jadi sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi. Sehari itu, Pek Lian merawat dan Darah 22 menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari makan sekedarnya. Malam itu bulan sepotong muncul di antara awan tipis. Guru dan murid yang merasa berduka atas kekalahan mereka itu duduk menghadapi ma-kan malam yang hanya terdiri dari daging ayam hutan panggang sambil bercakap - cakap. "'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya. Juga ba-nyak orang lihai di antara mereka." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Gurunya mengangguk - angguk dani menghela napas panjang. "Di sana ada tokoh Taibong- pai yang jahat sekali dan amat lihai, hampir saja ra-cun - racunnya membunuh kita sepasukan ! Dan raksasa Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh tidak kusangka, rencana kita dapat gagal, padahal sudah kita susun baik - baik. Kita malah yang menjadi sasaran se-rangan mereka. Orang - orang yang bergabung da-lam benteng itu kiranya bukan orang - orang sem-barangan." "Agaknya demikianlah, suhu. Di sana berkumpul pembesar - pembesar daerah dan perwira - perwira yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu saja dipimpin oleh orang-orang pandai di samping tokoh - tokoh kaum sesat yang lihai." Tiba - tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka kembangkempis dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba - tiba mereka mencium bau asap dupa wangi yang semerbak menusuk hidung! Di tempat se-perti itu, di kuburan tua yang sepi tercium bau dupa. Sungguh menyeramkan! Guru dan murid itu segera memandang ke ka-nan kiri dengan sikap yang waspada dan seluruh urat syaraf mereka menegang dalam kesiapsiagaan. Mereka memandang ke arah gundukan - gundukan tanah kuburan yang tersebar di tempat luas itu. Akan tetapi, tempat itu benar - benar sunyi, tak nampak ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada sesuatupun yang nampak bergerak. Kadang-kadang, selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang sinarnya memang lemah itu, membuat suasana men-jadi semakin menyeramkan. Akan tetapi, hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar wa-laupun mereka tidak melihat adanya asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolah-olah dupa yang terbakar itu berada amat dekat de-ngan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkuk-nya berdiri. Ia sudah mengenal bau ini dan oto-matis ketika ada bau keras datang dari arah bela-kangnya, ia menoleh cepat. "Hiiihhh !" Ia menjerat tertahan dan tangannya menangkap lengan suhunya. "Ada apa ?" bisik gurunya kaget sambil menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan. "Di sana tadi ah, ke mana perginya ?" "Sttt, tenanglah. Apa yang kaulihat ?" gurunya berbisik dan bersikap waspada. "Tadi tadi kulihat di sana, di belakang gundukan tanah itu, seorang laki - laki dan seorang wanita melihat ke sini. Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi sekarang menghilang " "Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenang-kan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang yang setiap kali teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Men-teri Ho selalu menyebutnya nona walaupun gadis itu adalah muridnya. Tiba - tiba mereka terkejut sekali ketika mendengar suara orang tertawa. "Ha - ha - ha - ha ! Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lo-los dari tanganku ?" Tiba - tiba muncullah raksasa Mongol Malisang bersama belasan orang pemban-tunya yang telah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan dan dengan sikap mengancam se-kali ! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian segera menghunus pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang di-serang oleh Malisang yang dibantu oleh dua orang perwira Mongol lainnya sedangkan anak buah la-innya mengeroyok Pek Lian. Terjadilah perkelahian seru dan mati - matian di tanah kuburan itu, per-kelahian dalam cuaca remang - remang yang hanya diterangi oleh bulan kecil sepotong. Tentu saja guru dan murid itu segera terdesak dan terhimpit, berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali karena mereka berdua itu jauh kalah kuat. Terpaksa guru dan murid itu kini saling melin-dungi dengan berdiri beradu punggung dengan pe-dang melintang di depan dada. Malisang tertawa bergelak melihat keadaan kedua orang buruannya yang sudah tersudut ini. "Ha - ha - ha, Liu Pang, engkau seperti seekor tikus yang sudah terjepit di pojok. Lebih baik menyerah saja untuk kubeleng-gu dari pada harus kuseret sebagai mayat." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya di depan dada. "Mati dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada kemampuan, majulah dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' ben-taknya menantang. Malisang mengeluarkan ben- takan nyaring memberi aba - aba kepada anak bu-ahnya untuk mendesak dan menyerang guru dan murid yang sudah tersudut itu. "Trang - trang - tranggg !!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan anak buah pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah patah, jatuh berhamburan sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sam-bil memegangi tangan mereka yang terasa panas. Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang. Kiranya di situ telah muncul dua orang, seorang laki - laki dan seorang wanita sete-ngah tua yang bermuka pucat pucat dan berpa-kaian putih - putih dengan gerakan dingin menye-ramkan seperti mayat mayat hidup ! Melihat mereka, Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang yang tadi dilihatnya mun-cul di balik gundukan tanah kuburan lalu menghi-lang seperti setan. Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata, "Nona Ho, selamat bertemu kembali !" Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh perhatian dan di bawah sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan kecantikan akan tetapi wajah itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera mengenal wajah itu, apa lagi setelah hidungnya mencium bau dupa wangi kelu-ar dari tubuh nenek itu. "Bibi Kwa !" Pek Lian berseru girang karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok Eng, atau nyonya ketua Tai - bong-pai yang lihai itu ! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat menduga siapa adanya kakek dan ne-nek itu karena dia pernah mendengar cerita mu-ridnya. Diapun memandang dengan mata terbela-lak. Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah mendengar nama Tai - bong - pai, per-kumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah tahu bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong - pai pula. Kalau yang muncul ini suami isteri ketua Tai - bong - pai, berarti mereka ini adalah ayah ibu pemuda Kwa Sun Tek, Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan tentu dia akan celaka! Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telun-juknya kepada muka Malisang dan dengan suara dingin nenek itu berkata, "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa anak buahmu dan jangan engkau berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih lama lagi!" Malisang adalah seorang kepala suku yang li-hai dan bertubuh kuat, tidak pernah merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang kakek dan nenek yang telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi ketika mendengar ucapan nenek itu yang amat memandang rendah kepada-nya, dia segera mengeluarkan suara menggeleng seperti seekor biruang dan diapun menubruk ke depan dengan kedua lengannya yang panjang itu menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya dengan jari - jari terbuka mencengkeram. "Duk! Duk!" Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tang-kisan yang dilakukan oleh kakek itu yang mewakili isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga mengeluarkan seruan marah ketika merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan raksasa Mongol yang ber-tenaga raksasa itu. Malisang segera menyerang la-gi, mengerahkan kekuatan dan kekebalannya. Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong - pai, seorang tokoh yang memiliki ilmu mu-jijat. Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong - pai itu, sudah amat lihai. Apa lagi kakek ini adalah ayahnya, ketua Tai - bong - pai yang ten-tu saja telah menguasai ilmu - ilmu siluman dari Tai - bong - pai dengan sempurna. Baru belasan jurus saja, Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya roboh terguling dengan darah me-rembes keluar dari tubuhnya bercampur keringat-nya. Dia telah terkena ilmu ampuh Tai - bong - pai, yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak bu-ahnya memandang dengan mata terbelalak, bahkan Liu Pang sendiri sampai bergidik. Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai - bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap seorang ketua yang berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan menjadi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ korban ilmu-nya, dia lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua butir pel itu ke arah Ma-lisang sambil berkata, "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan sampai engkau mati oleh pu-kulanku. Minumlah dua butir pel penawar itu!" Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi dia-pun maklum bahwa kalau tidak memperoleh obat penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan diri dan mengam-bil dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang merembes keluar dari pori-pori kulit tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu dan tahu bahwa melawan tiada gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh anak buahnya, tanpa mengelu-arkan kata - kata lagi. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak buahnya te-lah dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh suami isteri iblis Tai-bong - pai yang menyeramkan itu. "Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami yang nakal itu " Kami khawatir sekali, ia pergi tanpa pamit, padahal ia belum sembuh benar " Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami isteri yang seperti ma-yat hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka, iapun tidak banyak bicara dan hanya menjawab, "Saya sendiri tidak tahu, bibi." Pek Lian masih meragukan keadaan suami isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya bahwa Kwa Siok Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis itu kini bahkan bersekong-kol dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak yang bersekutu dengan Darah 22 57 pejabat - pejabat daerah " Sukar diduga keadaan orang-orang Tai - bong - pai, maka ia merasa lebih aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka. "Sudahlah, mari kita mencari di tempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan sekali berke-lebat, dua orang itu lenyap dari situ seperti menghi-lang saja. Hanya bau dupa harum yang lapat-lapat masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya. Mereka berdua bergidik ngeri. Sungguh, banyak terdapat orang - orang lihai yang aneh di dunia ini dan agaknya, dalam keadaan negara dilanda keka-cauan, tokoh - tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan aneh - aneh pada bermunculan keluar da-ri sarang mereka. Setelah suami isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka yang kini bersekutu dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak dibicarakannya dengan mereka tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan men-dapatkan kesan baik dari ibu Siok Eng dan siapa tahu ketua Tai - bong - pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak gadis itu dan akan menen-tangnya. Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu saja, Liu Pang lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu, mengambil jalan memutar melalui tempat - tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri dengan pa- sukan lain yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam - pang. Mereka mengambil jalan di lembah bukit yang terjal dan sunyi, dengan hati - hati mereka melalui jurang - jurang dan tanah yang penuh dengan dinding-dinding karang dan gua-gua. Setelah matahari menyingsing, mereka beristirahat sambil bersembunyi di dalam sebuah guha di mana mereka bersila untuk memulihkan tenaga. Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia, mereka me-lanjutkan perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba di tepi sebuah sungai. "Hati - hati ada asap di depan itu, tentu ada orangnya di sana," kata Liu Pang. Mereka lalu menyelinap dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati tempat itu. Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Di depan sebuah gua kecil nampak seorang laki - laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi sebuah api KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ ung-gun. Laki - laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan mengeluarkan bau sedap, sedangkan di dekatnya duduk seorang ga-dis yang menundukkan mukanya dan gadis itu termenung menatap ke dalam api unggun seperti orang yang sedang bersedihDi tempat persembunyian mereka yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang mereka intai, Pek Lian menyentuh tangan gurunya dan berbisik, "Suhu, dia adalah si jahat Jai - hwa Toat-beng - kwi yang tersohor itu." Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki - laki tampan pesolek itu kini me-nyodorkan sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan sedih. "Nih, makanlah, agar engkau tidak nampak lesu begitu." Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak. Diterimanya po-tongan daging panggang itu dan gadis itupun ma-kan karena memang perutnya amat lapar. Jai-hwa Toat - beng - kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain. "Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan senang." Keduanya makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya terisi arak karena tercium bau arak ketika laki - laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa minum arak walaupun ia kelihatan tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung himcwe emasnya dan tercium-lah bau asap tembakau. "'Aku sudah banyak mendengar tentang jaha-nam itu," bisik Liu Pang. "Gadis itu tentu seorang korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusik-nya. Penjahat seperti dia banyak muslihatnya. Ja-ngan-jangan urusan kita malah menjadi berantak-an. Kaum sesat seperti mereka itu kini bersatu di bawah Si Raja Kelelawar, sangiat berbahaya kalau mencari perkara dengan mereka. Dia sendiri sih tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan - kawannya muncul, berbahaya juga. Mari kita meng-hindar saja." Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sem-pat pergi, tiba - tiba terdengar siulan nyaring yang menuju ke tempat itu. Terpaksa mereka menyeli-nap dan bersembunyi lagi sambil mengintai. Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tigapuluh tahun dan gerakannya cepat sekali, dan kini setelah berdiri di dekat api unggun, mata-nya yang jeli mengerling ke arah si Jai - hwa Toat-beng - kwi, lalu kerling mata itu menyambar ke arah si gadis yang bermuka sedih dan wanita ini tersenyum mengejek, bibirnya yang merah berjebi. "Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik !" Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata bukan wanita penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang orang yang di dunia kang-ouw sudah terkenal sebagai tokoh - tokoh kaum sesat. Ada sembilan orang banyaknya dan kini Jai - hwa Toat - beng - kwi bangkit berdiri dan mengomel. "Wah, sampai penat - penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong ya ! Siauw- kwi, bacalah keras - keras agar semua orang mendengarnya !" kata jai-hwa Toat beng - kwi sambil melemparkan segulung kertas ke arah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu menyambar cepat dan ditangkap oleh Pek - pi Siauw - kwi yang segera membuka gulungannya dan terdengarlah suaranya yang lembut namun nyaring itu. "Sekalian rakyatku yang malang-melintang di rimba raya dan sungai telaga, dengarlah baik- baik ! Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. Pem-berontakan terjadi di mana - mana. Negara berada dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para pemberontak sedikit demi sedikit men-duduki daerah - daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja di sekitar kota raja yang masih tersisa. Nah, sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada kalian itu tiba. Berkumpullah kalian semua ke kota raja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita akan bersuka ria dan kejayaan ber-ada di tangan kita!" Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pek - pi Siauw - kwi, semua orang menyambut gembira. "Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong - ya!" Kalau saja mereka semua belum me- nyaksikan sendiri kehebatan orang yang kini men-jadi pemimpin mereka itu, tentu para tokoh sesat ini tidak akan mudah begitu saja mempercayai jan-ji yang dikeluarkan sedemikian mudahnya. Bergerak di kota raja ! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya hal ini akan dianggap seperti orang mencari mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah percaya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan apapun yang diperintahkannya akan mereka taati tanpa banyak ragu lagi. Sambil bersorak - sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai hwa Toat beng-kwi sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan penjahat cabul itu-pun berkelebat pergi. Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama pergi, mereka masih saja bersembunyi di tempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan, malam amat gelap dan kini api unggun itu telah padam. Di dalam kegelapan ini sukar diketahui apakah benar - benar tempat itu telah bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman pendengaran saja Liu Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pang meneliti keadaan di tempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti dulu sebelum meninggalkan tempat persembunyian mereka. "Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya. "Golongan sesat yang dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan negara, bahkan mereka itu langsung bergerak ke kota raja. Ini benar-benar merupakan hal yang amat gawat. Jenderal Beng Tian dan putera mahkota sudah tidak berada di kota raja dan kini keadaan akan menjadi sema-kin kalut. Kiranya di istana yang dapat diandalkan kini hanyalah pasukan pengawal istana saja. Sedangkan barisan kita sendui kini masih tertahan di daerah ini. Untuk mencapai kota raja masih melalui jalan yang panjang dan sukar. Bagaimana-pun juga, kita harus cepat dapat mencapai kota raja, jangan sampai didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau istana sampai dikuasai oleh iblis - iblis pimpinan Raja Kelelawar, ahh jangan sampai terjadi hal itu! Kita harus cepat mencari pasukan kita." (Bersambung jilid ke XXIII) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid XXIII * * * TIBA - TIBA Liu Pang memegang tangan mu-ridnya dan menyuruhnya jangan bergerak. Bulan sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan di dalam cuaca yang suram - muram itu nampak bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali. Tahu - tahu, seperti setan saja di tempat itu, tak jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua orang kakek berjenggot putih panjang. Mereka adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah panjang berwarna coklat dan di bagian dada jubah itu nampak jelas lukisan na-ga terbuat dari pada benang kuning emas. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak - gerik kedua orang kakek itu, guru dan murid ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kesaktian dan sedikit saja mereka mengeluarkan suara tentu akan terde-ngar oleh dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka, yang lebih muda, menuding ke arah bekas api unggun dan terdengar suaranya lirih, "Lihat, suheng. Iblis - iblis itu ten-tu baru saja berkumpul di sini. Sungguh menghe-rankan, mereka itu biasanya bergerak sendiri - sen-diri, kalau sampai mereka dapat berkumpul, tentu telah terjadi hal yang amat luar biasa." "Benar, memang telah terjadi hal yang luar bia-sa," kata temannya. "Munculnya seorang pelindung seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan ke-pada mereka untuk tumbuh, keadaan mereka se-perti harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang sudah cukup menderita sengsara akibat peperangan - peperangan itu. Mereka itu menjadi semakin berani dan ganas karena mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada kekuatan yang berani menghalangi mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk me-nanggulangi para KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ pemberontak. Musuh bebuyutan mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk melawan pemerintah." "Para iblis itu mengganas di kota raja sekalipun, takkan ada yang menghalangi. Bukankah ini sudah keterlaluan sekali " Bagaimana jadinya dengan ne-gara ini nanti ?" "Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak, sudah kuhancur-kan orang - orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju dengan sikap marah. "Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang - orang itu. Hayo kita pergi, benteng itu tidak jauh lagi dari sini." Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi memang sudah hebat dan menunjukkan betapa mereka itu rata - rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi, tingkat kepan-daian dua orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka berkelebat lenyap, Liu Pang menghela napas panjang. "Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan suara. Entah dari golongan manakah mereka itu " Agaknya mereka tidak menyukai golongan Chu Siang Yu mau-pun golongan kita. Dan mereka amat membenci anak buah Raja Kelelawar. Mereka juga tidak su-ka kepada golongan yang mengkhianati pemerin-tah. Hemm, sungguh aneh, mereka itu dari golong-an mana dan berpihak kepada siapakah ?" "Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak beradik Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orangj-orang tadi masih terhitung susiok kakak ber-adik itu. Guru orang - orang tadi adalah murid ke dua dari mendiang Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu di tempat kediaman murid keturunan Sin - kun Bu - tek, yaitu ketua Thian - kiam - pang. Agaknya di antara kedua orang tua itu terdapat persahabatan yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thiankiam-pang adalah keluarga kai-sar, maka kurasa kedua orang itupun tentu termasuk pengikut kaisar." Liu Pang mengangguk - angguk. "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa sebenarnya tugas yang mereka terima dari guru mereka itu ?" Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah malam, tibalah mereka di suatu padang rumput Kini bintang berta-buran di langit bersih sehingga cahaya cukup me-nerangi keadaan sekeliling. "Suhu, lihat di sana itu ! Apakah itu ?" Pek Lian menunjuk jauh ke depan. Guru dan murid itu memandang dan jauh di depan nampak peman-dangan yang amat menarik. Seolah - olah ribuan bintang di langit itu bergerak turun dan berbaris di atas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip. "Hemm , itu sudah pasti sebuah barisan pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedikitnya tentu ada limaribu orang, dan ada iringiringan kereta lagi, hemim entah pasukan ma- na yang bergerak pada malam hari ini ?" Mereka lalu cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati, kemudian bersembunyi di balik pohon - pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan ringkik kuda, juga bunyi roda kere-ta sudah terdengar oleh mereka, diseling berkerin-cingnya senjata para anak buah pasukan. Dugaan Liu - bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak itu adalah sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani terlalu mendekatkan diri, dan hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada di lereng bukit itu. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda mendekat dan nam-paklah beberapa orang perajufit pengawal mengi-ringkan dua orang raksasa. Pek Lian terkejut sekali mengenal bahwa raksasa pertama adalah Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol de-ngan pasukan daerah itu. Kiranya orang Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pu-kulan mujijat ketua Tai - bong, - pai dan kini sudah berada di sini, agaknya memimpin pasukan besar yang melakukan gerakan di waktu malam itu. Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika mengenal raksasa ke dua yang lebih besar lagi tubuhnya dari pada si tokoh Mongol. Dan iapun menjadi gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata adalah Tiat - siang - kwi (Setan Gajah Besi), tokoh ke dua dari para iblis Ban - kwi - to itu ! Tentu saja guru dan murid itu tak berani banyak berkutik ketika KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ melihat betapa dua orang raksasa bersama penga-walnya itu kini berhenti di dekat pohon - pohon tempat mereka bersembunyi! "Ha - ha !" Raksasa Ban - kwi - to itu tertawa bergelak ketika mereka itu memandang ke arah pasukan yang lewat di bawah. "Kalau kota raja sedang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, lang-sung menyerang kota raja terus menduduki istana-nya, apakah sukarnya ?" "Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara ! Keadaan istana dan kota raja memang ka-lut, akan tetapi bukan itulah yang selama ini me-musingkan kami, melainkan si petani Liu Pang itu-lah ! Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan menyerbu kota raja." "Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu bahwa kami mau mem-bantu karena pasukanmu hendak menyerbu istana di kota raja," kata pula si raksasa dengan suaranya yang lantang. "Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu istana, tentu kami akan mem-beri kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara - saudaramu untuk berpesta - pora sepuas-nya di istana. Ha - ha - ha !" "Huhh !" Tiba - tiba raksasa dari Bankwi - to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia celingukan ke kanan kiri, ke belakang dan hidungnya terdengar mendengus - dengus. "Aku mencium bau daging wanita muda! Ada wanita muda di sekitar tempat ini!" Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging manusia ini benar - benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja. Akan tetapi Malisang tertawa. "Saudara Tiat - siang - kwi benar - benar memiliki penciuman yang hebat. Memang ada wanita-wa-nita di dalam barisan itu. Di dalam kereta itu terdapat para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi dan kita kawal!" "Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada di sini, di sekitar tempat ini!" kata raksasa itu dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar di mana Liu Pang dan muridnya bersembunyi. Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi di atas pohon besar itu, di antara dahan - dahan dan daun - daun pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup kencang penuh ketegangan. Liu Pang sendiri sudah bersiap - siap untuk meloncat turun dan kalau perlu mengadu nyawa melindungi mu-ridnya. Akan tetapi, ketika tiba di bawah pohon besar itu, Tiat - siang - kwi bukan menengok ke atas, me-lainkan membungkuk ke bawah dan tangannya menyambar ke arah sehelai ikat pinggang yang berkembang merah. "Inilah wanita itu !" katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam tanah. Malisang menghampiri dan memandang heran. "Eh, ini tanah galian baru !" katanya dan dia-pun membantu raksasa itu menarik ikat pinggang yang sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal bahwa itulah gadis yang mereka lihat bersama Jaihwa Toat - beng - kwi itu ! Kiranya gadis korban penjahat cabul itu telah dibunuh dan mayatnya dikubur secara sembarangan di bawah pohon itu. "Heii ! Mayat siapakah itu ?" Terdengar seruan orang dan seorang pria muda yang rambutnya riap-riapan tahu-tahu muncul di situ. Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bongpai itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Entahlah, kami temukan ia terkubur di sini," jawab Malisang. Kwa Sun Tek berjongkok meme-riksa. "Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi. "Kwa - sicu, apa maksudmu ?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap pemuda ini seper-ti orang marah - marah dan mencari - cari sesuatu. "Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel. "Para penjahat itu sungguh tidak me-mandang sebelah mata kepada kita! Berani meng-ganggu barisan kita yang besar. Seorang dayang gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keluarga gubernur. Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menan-tang sekali " Seorang di antara mereka, kalau tidak salah yang berjuluk Pek - pi Siauw - kwi, terkena pukulanku, akan tetapi ia gesit sekali dan dapat melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari ke dalam hutan, bagaimana aku dapat menge-jar mereka ?" "Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita bisa kapiran. Hayo kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan sebelum matahari terbit." Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu. Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian me-nyaksikan iring - iringan yang besar dan ternyata bahwa pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing. Mereka agaknya meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir barisan itu nampak kereta - kereta, di antaranya gerobak suami isteri Ban - kwi - to yang sudah amat dikenal oleh Pek Lian itu. Melihat ini, Liu Pang berpikir. "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur daerah itu bukan hanya bersekongkol dengan orang - orang asing, akan tetapi juga dibantu oleh kaum sesat."Setelah barisan itu lewat dan suasana di situ menjadi sunyi lagi, Liu Pang dan muridnya turun dari batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada mayat gadis yang ma- sih menggeletak di bawah pohon. Liu Pang me-narik napas panja* "Gadis yang malang " "Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita, suhu," kata Pek Lian. Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu. Setelah itu, keduanya lalu dengan hati - hati melanjutkan perjalanan. Semua pengalaman yang dialami oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat berharga baginya. Tanpa disengaja dia telah memperoleh banyak ke-terangan mengenai keadaan musuh - musuhnya se-hingga dari semua pengalaman ini dapat dipergu-nakannya untuk menyusun siasatnya kelak ketika dia memimpin pasukannya sampai berhasil. * * * ** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak beradik yang melakukan perjalanan ke kota raja dan diikuti oleh A - hai itu. Makin mendekati kota raja, kakak beradik ini me-lihat betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa. Memang arus para pengungsi berku-rang akan tetapi ketegangan terasa di mana - mana. Kota - kota menjadi sunyi, dusun - dusun diliputi ketegangan dan ketakutan. Para penjahat berpes-ta-pora, melakukan aksi di mana saja, terutama sekali di sekitar kota raja. Para penjahat ini tahu bahwa para perajurit sedang sibuk bertempur menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas kea-manan hanya lemah dan sedikit saja, bahkan para petugas keamanan sendiri ikut - ikutan bersikap sewenang - wenang karena tidak diawasi oleh atas-an mereka yang sibuk sendiri. Para penjahat yang memiliki kepandaian seperti menjadi raja - raja ke-cil atau penguasa - penguasa yang menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keaman-an, juga para pendekar menentang mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang me-ninggalkan rumah dan bergabung dengan pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang para pengacau. Keadaan sungguh kalut dan hu- kum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Para hartawan dan para pejabat, orang - orang terkemuka dan mampu, menggaji barisan tukang pukul untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka ini mendekati para penja-hat, menyogok sana - sini agar keluarga mereka ti-dak diganggu. Segala macam perbuatan kejipun terjadilah di malam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan dan kerusuhan karena persainganpun terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat me-nyedihkan. Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A - hai juga melihatnya, akan tetapi pemuda yang linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan. Sebaliknya, kakak ber-adik yang berjiwa pendekar itu merasa berduka se-kali. Mereka prihatin menyaksikan keadaan ini, melihat bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah rakyat jelata yang miskin dan lemah. Rakyat yang tidak mempunyai pelin-dung dan tidak kuasa melindungi diri sendiri inilah yang ditindas, diinjak - injak, disiksa, dibunuh, di-perkosa hak - haknya, sedikitpun tidak ada kemam-puan untuk membalas dan biasanya hanya mena-ngis saja. Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang terletak di sebelah tenggara kota raja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang di depan, memasuki pintu gerbang utara untuk menuju ke arah kota raja. Kota kecil ini biasanya cukup ramai akan tetapi sekarang di balik keramaian itu terasa adanya ke-tegangan dan rasa takut membayang dalam pandang mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya berdagang. Baru sampai di pintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang amat mengheran-kan. Mereka melihat betapa setiap orang yang le-wat di situ menghampiri sebuah sudut di pintu gerbang. Di situ berdiri sebuah guci besar, tinggi-nya ada satu meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit di bagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci itu lalu memasukkan uang ke dalam mulut guci. Di belakang guci itu duduk ber-sila seorang laki - laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Di sekitar tempat itu terdapat enam orang laki - laki yang rata - rata berwajah se-rem dan bersikap galak. Mereka inilah yang mengamati setiap ada orang memasukkan uang ke da-lam guci, dan orang - orang yang memasukkan uang itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya, seolah - olah hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang secukupnya. Dari sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut terhadap orang - orang yang menjaga guci itu. Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak tahu apa artinya guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat di pintu gerbang itu. Maka Seng Kun dan Bwee Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang menghampiri guci itu dengan mulut kemak - kemik dan muka pucat, mata terbelalak membayangkan rasa takut. Nenek itu berusia hampir enampuluh tahun, memikul keranjang sayuran yang kosong. Melihat pakaiannya, tentu ia seorang nenek dusun yang baru saja pu-lang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sa-yur - sayuran. Dengan tangan gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak memasukkannya ke dalam mulut guci. Akan tetapi tiba - tiba terdengar bentakan keras dan nenek itu terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki - laki tinggi besar yang membentaknya tadi. "Nenek mau mampus ! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang tiada har-ganya itu?" Seorang di antara enam laki-laki ga-lak itu membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam. "Ampun saya saya tidak punya uang " nenek itu berkata dengan suara gemetar dan merangkapkan kedua tangan, memberi soja berka-li-kali. "Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran sepikul " Hayo cepat beri lima kali itu !" "Akan tetapi ah cucu saya sakit pa- nas ....... uang penjualan sayur nanti untuk membeli obat " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Alasan ! Biar cucumu mampus ! Cepat beri-kan uang itu !" "Tidak tidak nanti bagaimana cucuku " "Plak !" Laki - laki kasar itu menggerakkan ta-ngan menampar dan nenek itu terkena tamparan pada pipinya, membuatnya terpelanting. "Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan hendak melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan. "Manusia berhati kejam seperti binatang!" Ti-ba - tiba nampak bayangan berkelebat dan Bwee Hong sudah berada di situ, menyambar tubuh ne-nek itu sehingga terluput dari tendangan. Dengan sikap halus Bwee Hong mengajak nenek itu ber-diri di tepi jalan, membersihkan baju nenek itu dan menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata, "Nenek, pakailah uang ini untuk membeli obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini." Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan cepat pergi terbongkok - bongkok. Sementara itu, laki - laki tinggi besar tadi memandang kepada Bwee Hong dengan muka merah. Dia hendak marah, akan te-tapi begitu melihat wajah yang cantik jelita itu, kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah tersenyum lebar dan matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu. "Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah ! Nona manis, kalau no-na yang mintakan, ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** bng - tukang pukul yang pandai ilmu silat. Melihat nona cantik itu menggerakkan ta-ngan menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih dan hendak menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menam-par. Akan tetapi, tiba tiba ada bayangan menyam-bar dari bawah dan tahu - tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului tangan kirinya, menen-dang tinggi ke atas dan menyambar ke arah muka pria itu dengan kecepatan kilat. "Plakkk !" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba tiba saja membeng-kak, dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya telah rontok terkena ten-dangan kaki Bwee Hong. Kiranya nona ini telak sudi menyentuh muka orang dengan tangan dan tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan me-mancing belaka sedangkan yang sungguh - sung-guh menyerang adalah kakinya. Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami penghi-naan seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata pandai ilmu silat. Bagaimana-pun juga, mereka masih memandang rendah. Bo-leh jadi nona ini pandai dan berhasil menendang muka kawan mereka, akan tetapi menghadapi mereka semua, tentu nona ini, tidak akan mampu ber-buat banyak. Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan untuk menangkap dan mem-balas dendam dengan menghina dara ini. "Perempuan tak tahu diuntung ! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!" kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan bertu-buh gendut pendek. Lima orang itu dengan kedua tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan seekor domba, lalu menu-bruk ke depan dari semua jurusan. Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya rontok tadi, se-kali ini benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini, dikepalai oleh orang tinggi besar yang masih duduk bersila, bersikap sewenang - wenang di kota kecil itu, merajalela seperti raja - raja kecil memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut mereka sendiri, tanpa ada yang dapat menentang mereka. Kini, mereka kecelik dan benar-benar bertemu batunya. Mereka hanya meli-hat tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nam-pak bayangan berkelebatan dan bagaikan terbang saja Bwee Hong berloncatan ke sana - sini, mem-bagi - bagi tendangan dengan kedua kakinya, su-sul - menyusul dan ganti - berganti. Terdengar sua-ra Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan perut, disusul teriakan kesakitan dan enam orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh - aduh. Ada yang pe-rutnya mendadak menjadi mulas, ada yang dada-nya sesak sukar bernapas, ada yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ patah tulang dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya ron-tok ! Hebat memang sepak terjang Bwee Hong dengan kecepatannya yang membuat semua lawan-nya roboh tanpa mereka ketahui apa yang sebe-narnya menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi. Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat se-perti seekor srigala marah dan tahu tahu laki- laki tinggi besar yang tadi duduk bersila di belakang guci uang, melompat ke atas dan dengan kedua lengan bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk ke arah Bwee Hong. Jelaslah bahwa dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam orang temannya tadi dan memang sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang tentu saja memiliki ilmu silat yang lebih lihai. Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau dan dengan loncatan itu, dia sudah me-nerkam ke arah Bwee Hong, mencengkeram ke arah kepala dan dada gadis itu. Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Pendekar Patung Emas 26