Gema Di Ufuk Timur 1
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 1 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya : Putu Prana Darana Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di http://rapidshare.com/files/268931895/TB02-GemaDiUfukTimurBuku01.7z.html http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimurBuku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/ Penerbit PT Gramedia Tahun 1989 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ I. LUKA DAN DUKA Mentari tetap saja melayang. Karena janjinya pasti. Angin dan badai tetap juga berhembus menerpa bumi. Kehidupan berjalan terus. Semua... berjalan terus tanpa bisa dihalangi oleh siapa pun. Juga kehidupan. Peperangan tak bisa menghentikannya. Dia berjalan terus seperti roda ajaib yang tidak pernah berhenti. Walau mereka yang bernapas dan hidup, sudah sampai titik batas akhir. Demikian pula Yistyani berjalan terus membawa luka dan duka. Bahunya sebelah kiri robek oleh tembakan Kompeni di Banyu Alit. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Raung ini, dua pengawalnya tertembak mati. Tinggal dua orang lagi. Pedih dan perih dari luka yang tak terobati secara baik itu ia bawa terus berjalan. Menempuh jarak yang jauh. Melintasi belantara dan jurang-jurang, dan bukit-bukit. Duka pun menusuk-nusuk hatinya sepanjang perjalanan. Duka kehilangan semua harta, kedudukan, dan cita-cita akibat perang. Bahkan yang nilainya lebih berharga dari semua itu, kehilangan suami, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Namun dengan kesadaran tinggi ia berusaha menindas semua duka itu. Ia harus mempertahankan semangat untuk tetap hidup dan sampai di Raung. Wilis, anaknya, sekarang menjadi pemimpin di Raung. Ia merasa perlu menjumpai anaknya itu. Ia akan ceritakan semua pengalaman perang Blambangan ini sebagai pelajaran berharga. Anaknya masih terlalu muda untuk menjadi seorang pemuka yang mampu memimpin suatu negara. Karena, itu pula ia harus menumpahkan segala pengetahuannya sebagai tambahan pesangon bagi anak itu. Seorang pemimpin tanpa pesangon cukup tak ubahnya katak dalam tempurung. Ah, jarak yang memisahkannya dengan Raung masih terlalu jauh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dan itu harus dikalahkan dengan melewati banyak ketegangan dan bahaya. Yang telah dilewatinya membawa korban dua orang pengawalnya. Mati oleh tembakan laskar Madura yang ternyata menjaga ketat Hutan Kepanasan. Kini mereka harus berjalan ke barat untuk menghindar dari daerah yang dikuasai laskar Madura dan Kompeni. Tentunya mereka akan berhadapan dengan belantara yang mungkin saja belum pernah diinjak manusia. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dan berdaun lebat. Sinar mentari tidak mampu menembus sela dedaunan. Dan bukan mustahil bila hutan itu merupakan sarang nyamuk. Bukan cuma nyamuk, tapi juga binatang buas lainnya. Yistyani berdoa dalam hati agar tidak bersua ular puspakajang yang sering melingkar di cabang pohon-ponon besar begitu. Ia pernah menyaksikan keganasan seekor ular puspakajang yang memangsa kambing dengan sekali telan. Penghuni hutan lain yang tak kalah menakutkan adalah beberapa jenis harimau. Yistyani mengerti benar bahwa di hutan ini masih ada harimau gembong serta macan kumbang yang hitam dan mampu memanjat pohon dengan amat lincah. Namun ia tidak takut. Karena ia masih dapat membela diri dengan menggunakan senapannya. Demikian pula jika bersua dengan rombongan banteng. Mungkin saja ia masih berkesempatan memanjat ponon. Tapi jika bersua ular yang warnanya sering menyatu dengan cabang pohon yang ditempatinya itu" Untuk menjaga hal itu maka ia sering memperhatikan cabang-cabang sambil terus berjalan. Bukan untuk memperhatikan keindahan alam. Bukan pula langit dan burung-burung. Tapi ular. Kegelisahan Yistyani bukan terbatas soal-soal itu saja. Tapi juga khawatir tersesat dan tidak bisa mencapai Raung sebelum persediaan makanan habis. Kelaparan menimbulkan ketakutan tersendiri. Betapa ngerinya jika ia mati kelaparan seperti anjing kurap. Dalam kelaparan banyak kemungkinan bisa terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yistyani mulai memperhitungkannya. Ia berulang menoleh pengawalnya. Tubuh mereka dibasahi peluh. Bahan makanan yang mereka pikul masih kelihatan berat. Kain dan ikat kepala kedua pengawal itu kelihatan lusuh. Yistyani hampir tidak mampu lagi mengingat, Berapa hari sudah mereka menempuh perjalanan. Ia sadar bahwa mereka telah keluar dari jalan yang semestinya. Tiba-tiba saja rasa iba pada kedua pengawalnya menyelimuti hati Yistyani. Mukanya tidak bercahaya dan kumisnya tidak terawat. Tanpa banyak berpikir maka ia memerintahkan keduanya berhenti. "Ada apa, Yang Mulia?" tanya Gonar. "Taruhlah dulu bebanmu. Kita istirahat," jawab Yistyani. Kedua orang itu meletakkan ubi kayu dan dendeng daging babi serta perbekalan sedikit peluru yang mereka pikul ke tanah. Lega rasanya. Setelah menggerakgerakkan bahu ke kiri dan kanan, mereka mencari tempat duduk. "Kita tidak tahu apakah tempat ini aman atau tidak. Karenanya tetap waspadalah! " Yistyani memperingatkan. Mereka membenarkan peringatan Yistyani. Sekalipun yang memperingatkan seorang wanita namun mereka tetap patuh, karena mereka tahu Yistyani bekas menteri cadangan negara. "Bagaimana dengan luka Yang Mulia?" Buang kini yang bertanya. "Sudah agak baik. Darah sudah berhenti mengalir." "Syukurlah. Hyang Maha Ciwa masih menyertai kita." Gonar ikut senang. Senyuman mulai membayang di wajahnya. Entah sejak kapan senyuman menghilang dari bibirnya yang tebal itu. Angin bertiup tertahan dahan-dahan tua. Dedaunan bergerak seirama alunan angin. Namun begitu angin tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ saja menerobos sela dahan dan kayu untuk membantu menyusutkan peluh mereka. Bahkan lebih dari itu, mendatangkan rasa kantuk. Yistyani berusaha keras mengusir rasa kantuknya. Kantuk yang menyerang karena kelelahan. Buang dan Bonar pun berusaha. Namun rasa kantuk itu tak mau berdamai. Maka mereka minta izin Yistyani untuk tidur barang sebentar. "Tidurlah! Aku akan berjaga. Tapi usahakan jangan terlalu larut! Ingat?" Suara Yistyani keibuan. "Kami akan berusaha, Yang Mulia." Mereka mengambil keputusan tidur sambil duduk beradu punggung. Lutut mereka tekuk dan peluk dengan tangan dan dijadikan tumpuan kepala mereka yang tertunduk. Yistyani memperhatikan sambil menghela napas. Tentu ia tak berdaya mencegah kantuk mereka. Beberapa bentar kemudian ia beringsut mencari tempat duduk. Agak jauh dari tempat mereka tidur, di bawah pohon rindang, Yistyani duduk sambil membersihkan senapan yang berlaras panjang. Mentari bergeser terus ke barat. Dalam hati Yistyani berdoa agar malam segera tiba. Bagi mereka istirahat malam lebih aman. Tiba-tiba matanya memperhatikan sekawanan burung kecil yang terbang seperti ketakutan. Barangkali ada harimau lewat" Ia tajamkan mata dan telinganya. Lagi... Kini kawanan elang ketakutan. Naluri keprajuritan membuatnya berlari cepat membangunkan kedua pengawalnya. "Ada apa" Ada apa, Yang Mulia?" Buang gugup. Detak jantung mereka mengencang. "Musuh!" Napas Yistyani terengah. "Ha" Musuh?" Keduanya melompat sambil menyambar senapan dan panah mereka. "Drubiksa!" Buang mengumpat. "Mereka tidak mau berhenti memburu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Siapa kalah akan terus diburu dan dibunuh." Yistyani mengajak mereka mencari tempat persembunyian yang aman. Mereka berlari dari balik pohon ke pohon lain sambil mengendap-endap. Kemudian menenggelamkan diri dalam semak. Berhenti sambil menunggu apa yang bakal terjadi. Namun beberapa bentar kemudian gerombolan semut merah dan nyamuk mulai berdatangan mengusik. Kawanan serigala lari dengan ekor melengkung ke bawah menutupi kemaluan mereka. Takut dan marah. Tapi tidak berani melawan. Karena itu hanya menyalak saja. Menyalak merupakan satu bentuk perlawanan tersendiri. Karena wilayah dan hak mereka dijamah oleh manusia. Beberapa bentar kemudian terdengar suara derak ranting patah terinjak kaki-kaki yang berat. Kaki bersepatu. Jantung Yistyani berdebar keras. Ah... jika luka ini pulih, pastilah tidak seberat ini aku menanggung aniaya. Aku akan melawan semampu dapat. Ketiganya makin merapatkan tubuh ke tanah. Berulang Yistyani membuat gerakan, luka di bahunya tersentuh rerumputan dan menimbulkan rasa nyeri. "Tahan diri! Jangan menembak jika tak terpaksa." "Ya. Tapi Yang Mulia jangan terlalu banyak bergerak-gerak. Agar mereka tidak curiga," sahut Gonar. Sekali lagi Yistyani menyesali lukanya. Dalam hati ia berdoa, agar Hyang Durga melindunginya. Sambil terus menahan rasa sakit. Dan... beberapa bentar kemudian mereka melihat kembali burung-burung malio terbang tergopoh-gopoh. Ayam hutan pun berhenti berkokok. Sesaat setelah itu rombongan serdadu Belanda dan Madura muncul. Dengan gagah dan senjata di tangan mereka berjalan berdua-dua sambil mengamati kiri-ka-nan. Tiap gerak akan mereka curigai. Yistyani tidak tahu topi bundar di atas kepala mereka itu terbuat dari bahan apa. Ada dua orang dari tiga puluh orang itu yang bertopi tinggi. Berwarna merah dan pada bagian mukanya diberi penutup seperti serambi kecil yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berwarna hitam. Itu barangkali yang dinamakan pet. Di atas penutup muka yang kecil itu ada hiasan seperti bunga tebu berwarna kuning emas. Mereka adalah opsir. Ketiga orang itu menahan napas sambil terus mengintai tiap gerakan tentara Belanda dan laskar Madura itu. Kesalahan kecil akan membawa mereka pada kematian. Yistyani tak dapat menangkap makna pembicaraan mereka. Riuh tanpa makna. Keringat dingin meleleh di pori-pori ketiga orang itu. Bahkan Yistyani terpaksa menggigit bibir bawahnya sambil mengernyitkan dahi karena menahan sakit. Luka-lukanya digigit nyamuk. Ia tidak berani melakukan gerakan apa pun. "Yah... Dewa Bathara!" Yistyani berdesah lega kala barisan Kompeni dan Madura berlalu. Pelan-pelan ketiga orang itu bangkit. Dengan segera mereka membunuh semut-semut merah yang merubung tubuh mereka. Entah sudah berapa lama mereka menahan rasa sakit, pedih, panas, serta gatal. "Semut-semut jahanam!" Gonar mengumpat. Setelahnya mereka meneruskan perjalanan dengan mengambil arah menyimpang ke barat. Sebab jika mereka mengambil arah berlawanan dari pasukan tadi jangan-jangan masih ada lagi rombongan Kompeni yang menyusul. Setelahnya mereka kembali menerobos hutan. Tidak tampak lagi kupu-kupu terbang di sekeliling mereka. Namun mereka sering menjumpai sarang lebah yang menggandul di cabang-cabang pohon. Tentu saja lebah-lebahnya juga berkerumun tak terhitung jumlahnya. Kala senja mulai datang, Yistyani meminta Buang dan Gonar mengambil madu di salah satu sarang lebah itu. Dengan tanpa membantah mereka kembali meletakkan beban. Buang segera mencari ranting kayu sedang Gonar melihat-lihat mana sarang yang penuh madunya. Tentu saja perbuatan Gonar itu mencurigakan kawanan lebah yang didekatinya. Tak pelak lagi beberapa sudah mulai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menyengat tubuh Gonar. Tapi lelaki itu tidak mengacuhkan. Seolah tak terasa apa-apa. Kendati sengatan itu menimbulkan bengkak di beberapa bagian tubuhnya. Kata orang-orang tua sengatan lebah bisa menjadi obat sakit linu-linu. Beberapa bentar kemudian Buang menyusulnya dengan membawa beberapa pokok ranting. Untuk mengurangi perlawanan kawanan lebah yang akan diambil, sarangnya perlu diasapi dulu. Gonar menemukan sarang yang penuh madu. Dan kebetulan sekali pohon sonokembang yang ditempati sarang itu sudah roboh. Apa penyebabnya tidak terpikirkan oleh keduanya. Sementara mereka berusaha mengambil sarang lebah itu Yistyani tetap mengawasi sambil bersiaga dari beberapa jarak. Ternyata tidak mudah memungut sarang lebah. Namun demikian karena pengalaman, Gonar dan Buang mampu mengusir lebah itu dengan aman dan tidak menimbulkan perlawanan yang seru. Setelah lebih dahulu mereka memindahkan sarang itu ke dalam kain mereka dengan cara mengasapi kawanan lebah itu. Anak-anak lebah yang masih merupakan set menjadi makanan yang nyaman bagi ketiga orang itu. Madu benar-benar menyegarkan tubuh mereka. Kekuatan mereka pulih seperti sediakala. "Kita mencari tempat yang aman untuk istirahat." "Hamba mendengar deru air. Kita berhadapan dengan sungai," Gonar berkata sambil membuang sarang lebah yang usai diisap madunya. Dan ketiganya memasang telinga. Tapi tetap melangkah ke depan. "Jika demikian kita tersesat. Kita harus menyeberang sungai ini. Kira-kira ini Kali Setail. Mudah-mudahan sesampai di barat sungai kita akan dapat berjalan dengan aman," ujar Yistyani. Ia berjalan di belakang. Dan sering menoleh untuk mengamati perjalanan mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ternyata benar. Mereka sampai di sebuah sungai. Tebingnya berbatu-batu dan curam. Mereka berhenti untuk mengamati keadaan. Bahkan Yistyani memerintahkan Buang dan Gonar menyelidiki sekitarnya, kalau-kalau ada laskar musuh yang berkemah di situ. Tapi keduanya kembali melaporkan bahwa keadaan aman. Maka Yistyani memutuskan untuk beristirahat. Bianglala menghias ufuk barat. Gunung Raung, Gunung Sukep, Gunung Pendil, dan Gunung Merapi tampak berjajar di kejauhan. Seperti anak-anak raksasa yang berlomba berebut tinggi. Walau akhirnya dimenangkan oleh Gunung Raung. Yistyani memandang deretan gunung-gunung itu sambil mengeluh. Perjalanan mereka masih jauh. Kemudian ia tertunduk memandangi sungai. Tebingnya dalam dan berbatubatu. Demikian pun dasarnya. Airnya jernih dan berbuih-buih Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo karena seringnya berbenturan dengan batu besar yang mencoba menghalangi lajunya arus air itu. Dan benturan yang tiada henti-hentinya itu menimbulkan suara mendayu-dayu. Sementara kedua pengawalnya membuat perapian, Yistyani menuruni tebing. Kejernihan itu mengundangnya. Sudah beberapa hari ia tidak mandi. Mandi bukan sekadar menyegarkan badan. Tapi juga menghilangkan daki dan debu. Dengan bahu terluka begitu memang agak susah. Namun sampai juga. Ia cari tempat yang dalam dan terlindung. Sebelum mencebur ia sempatkan becermin. Cakar burung membayang samar di kedua sisi kelopak mata. Ketuaan mulai mengintip di perjalanan usianya. Ketuaan yang tidak mungkin dapat dibendung oleh siapa pun. Setelah melepas kain ia segera menceburkan diri. Ah, betapa sejuknya. Dengan perlahan ia membersihkan lukanya. Hampir kering. Ia menyebut dalam hati untuk mengucap syukur. Kemudian dengan perlahan juga ia membersihkan daki. Sudah sekian lama ia tidak merawat tubuhnya. Kesegaran membawanya pada kealpaan. Lupa waktu, lupa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keadaan, lupa tempat. Keremangan tiba. Dan ia dikejutkan suara tembakan yang menggema di tebing-tebing. Lagi sebuah letusan dan disusul letusan yang lain. Tentu itu bukan perbuatan Gonar dan Buang yang sedang berburu rusa atau babi. Mereka belum pernah segegabah itu. Tentu ada bahaya yang sedang datang. Dalam keadaan terpaksa mereka menembak untuk memberi isyarat pada Yistyani yang tak sempat mereka beri tahu dan untuk membela diri. Bangkit dan cekatan ia mengikatkan kainnya serta menyambar senapannya. Namun belum lagi lima langkah ia beranjak, sebuah tawa panjang menggema di tebing. Pantul-memantul di kesunyian senja. Yistyani menoleh ke arah datangnya suara tawa itu. Seorang tinggi besar berkumis bapang berdiri di atas sebuah batu besar di tebing itu. Sedang di kiri-kanan orang itu berdiri juga beberapa anggota laskar Madura dan Kompeni dengan senapan di tangan. Semua mata memandang Yistyani yang telanjang dada dengan berbinar. Orang tinggi besar berkulit sawo ma- T tang itu pastilah orang Blambangan. Walau ia mengenakan pakaian hitam-hitam seperti layaknya orang Madura. "Ha... ha... ha... ha... Yang Mulia Menteri Cadangan Negara" Ha... ha... ha..." Orang itu mengejek. "Akan lari ke mana?" Yistyani menajamkan matanya sambil bergerak mundur setapak demi setapak. Yistyani mencoba mengingat-ingat. Ternyata Sarmanja, seorang pedagang yang dulu pernah ditolak perizinannya karena bersekongkol dengan Martana. Sekarang menjadi orang kepercayaan Belanda dan Madura. "Masih juga ayu. Lupa dengan aku?" Orang itu tertawa lagi sambil berkacak pinggang. Beberapa saat kemudian memilin kumisnya. Dengan sigap melompat dari batu besar tempatnya berdiri. Melangkah mendekati Yistyani diikuti oleh lainnya. Napas Yistyani memburu. Cuma satu isi senapannya. Ah... Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan luka di bahunya maka ia tak mungkin melawan mereka dengan pedang. "Tidak perlu melawan. Wong Agung Wilis sudah kalah. Lateng sudah dikuasai Kompeni. Menyerah saja dan menjadi istriku." Sarmanja ketawa lagi. Yistyani tidak menjawab. Tapi terus bergerak mundur sementara Sarmanja dengan tujuh orang pengawalnya maju terus. "Sekali lagi. Menyerahlah! Sayangilah nyawamu dan wajahmu. Mari kubawa ke Lateng untuk menjadi istriku." Yistyani meludah. Keremangan kini menguasai jagat. Sebentar lagi bayang-bayang pun tiada. Napas Yistyani kian terengah-engah. Deru air di belakangnya kini bukan lagi mendayu. Semakin ia mundur semakin dalam. Yang terdengar kini suara air yang terhempas di bebatuan. Tentunya air terjun, katanya dalam hati. "Berhenti!" Sarmanja berteriak. "Dibelakangmu ada air terjun. Aliran sungai ini turun. Jika jatuh kau akan hancur! Berhenti!" Wanita itu tak lagi mampu berpikir panjang. Lateng sudah kalah. Maka tiada pilihan lain kecuali mati. Air di kakinya mengalir kian deras. Seakan menyeretnya. Kini ditatapnya dada Sarmanja baik-baik. Tidak boleh luput, pikirnya. Tiba-tiba Yistyani membuat gerakan seperti terpeleset jatuh. Ia merintih seolah minta tolong. Sarmanja dengan para pengawalnya terbahak-bahak. "Sudah kubilang..." Sarmanja melompat maju. Yistyani membuat gerakan sedikit lagi seperti hanyut oleh derasnya arus. Namun sebenarnya ia justru berlindung di balik sebuah batu besar. Sarmanja kini berlari untuk menolongnya. Namun setelah jarak mereka dekat benar, sedang para pengawal Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ masih tertawa di kejauhan, sebuah letusan membuat tubuh Sarmanja terpental dan roboh tanpa nyawa. Semua pengawal terkejut. Kemudian memburu dan menembak. Dan Yistyani sudah tiada karena sudah menghanyutkan dirinya untuk kemudian terhempas bersama air. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ II. SEJUMPUT HARAPAN Gelegar meriam sudah berhenti. Namun belum berarti perang usai. Kota Lateng memang sepenuhnya sudah dikuasai Kompeni. Demikian juga kota-kota besar Blambangan lainnya. Kawula dengan bertekuk lutut dan kepala tertunduk diharuskan menyambut pasukan Kompeni dan Madura yang berbaris memasuki kota-kota terbesar Blambangan. Umbulumbul Jingga tidak boleh berkibar lagi. Sebagai gantinya bendera merah-putih-biru mengangkasa. Tiap kekalahan harus dibayar mahal. Sekalipun sebagian satria Blambangan boleh sedikit berbangga karena mereka melawan. Melawan! Kala barisan itu memasuki bumi Blambangan masih tercium bau anyir. Bau darah satria dan pahlawan Blambangan. Dan beberapa hari setelah menguasai ibukota, VOC segera menyusun dan membenahi pemerintahan. Tapi lain di kota, lain pula di desa. Walau di beberapa desa memang masih tampak bekas-bekas peperangan. Sawah belum lagi ada yang menghijau. Kedai juga belum ada yang buka. Pohon-pohon yang pernah ditumbangkan di jalan-jalan masih belum disingkirkan. Bunga-bunga hampir tiada lagi. Tiap orang masih seperti dalam mimpi. Mimpi buruk. Perang singkat yang memakan korban banyak. Mereka tidak perlu menghormat pasukan musuh. Karena musuh masih membenahi kota-kota besar yang direbutnya. Terutama Lo Pangpang dan Lateng. Lebih mencekam lagi bagi seluruh kawula, bahkan juga orang-orang Raung yang terluput dari perang itu, ialah berita tentang hilangnya Wong Agung Wilis. Ada yang memberitakan bahwa ia mati. Tapi setelah perang usai, tiada mayat Wong Agung Wilis di antara tumpukan mayat yang berserak di hampir seluruh bagian kota Lateng. Ada sebagian yang menceritakan bahwa patih Blambangan itu tertembak di Lateng, tapi muksa atau hilang dari pandangan para pengawalnya sebelum rebah ke bumi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekalipun begitu ada juga desa-desa yang tidak terjamah oleh perang, walau mereka juga mengirimkan putra-putranya untuk ikut bertempur. Salah satu di antara beberapa desa itu ialah desa Sempu. Suatu desa yang rupanya baru saja dibangun. Penduduknya belum sebanyak desa-desa lain di Blambangan. Entah berapa jarak desa itu dengan Lateng. Tapi letaknya di sebelah barat daya Lateng. Rumah-rumah yang berdiri di kiri-kanan jalan selebar dua depa tidak begitu besar. Tampaknya dibangun secara acak. Tidak ada yang berdinding kayu seperti umumnya rumahrumah kawula Blambangan. Belum ada sawah di sekitar perkampungan itu. Rupanya penduduk masih mulai membuka ladang dan menanam ubi jalar, jagung, ketela, dan kacangkacangan. Tanaman yang bisa berbuah dalam tiga bulan. Di penghujung deretan rumah-rumah itu ada sebuah rumah yang besarnya dua kali lebih besar dari lainnya. Namun bentuknya sama seperti lainnya. Juga dindingnya terbuat dari gedek (dinding yang terbuat dari anyaman bambu). Tiangnya dari bambu. Demikian pula atapnya dari ilalang. Dalam rumah yang berada di tepi hutan itu cuma ada satu bilik untuk tidur. Sedang satu lagi ruangan besar yang bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan. Tidak sama seperti kebanyakan rumah Blambangan, rumah ini berjendela. Sebuah tempat duduk ditempatkan di tepi ruangan yang lebar. Berhadapan dengan tempat duduk itu hamparan tikar pandan yang cukup banyak. Sedang tempat duduk itu sendiri dibikin dari bambu. Kursi bambu. Jika orang melihat, di belakang rumah itu ada jalan setapak menembus rimba belantara. Demikian pula di sebelah kanan rumah itu. Terdapat bukit batu dan padas. Rumput pahitan menjalar subur di sela bebatuan. Dan setiap hari rumah itu kelihatan sepi. Karena memang penghuninya cuma dua orang gadis. Sayu Wiwit dan Mas Ayu Prabu. Kala siang hari mereka jarang sekali di rumah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Teman sekampung mereka tidak tahu ke mana mereka pergi. Mereka tak pernah diberi tahu kegiatan kedua gadis itu. Namun karena kebaikan hati keduanya yang sering menolong penduduk di sekitarnya maka mereka menjadi segan. Bahkan apa saja yang diperintahkan kedua gadis itu pasti merekalakukan. Penduduk sendiri selalu datang pada kedua orang itu jika ada kesulitan apa-apa. Dan hampir tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi jika Mas Ayu Prabu atau Sayu Wiwit turun tangan. Karenanya pula mereka tak segan membiarkan anakanak remaja ataupun yang sudah menjelang dewasa menjadi murid kedua gadis itu. Dua orang gadis yang memiliki wibawa seperti bidadari. Pada umumnya mereka tak berani bertatap pandang dengan Mas Ayu Prabu. Ah... mata gadis itu, desis seorang pemuda desa Sempu. Seperti bintang timur. Apalagi dilindungi oleh alis yang seperti gambar bulan tanggal satu serta bulu mata yang lentik. Lesung pipit selalu menghias pipinya yang seperti buah tomat dibelah itu, jika ia sedang tersenyum. Apalagi jika ia tertawa. Barisan mutiara berderet di sela kedua bibir tipis yang merekah seperti warna kulit manggis terbelah. Lehernya jenjang bergaris-garis samar dihiasi kalung emas yang tidak pernah dimiliki oleh sudra. Rambutnya hitam-pekat sangat berlawanan dengan warna kulitnya yang seperti kulit buah duku.. Susunya tegak disangga kutang rantai emas, menunjukkan gadis ini seorang ksatria. Telanjang dada sampai pusarnya. Sebagai pengikat kain penutup bagian bawah tubuhnya adalah sutera putih yang dililitkan pada pinggang. Keris terselip menyilang di depan perutnya. Berbeda dengan Mas Ayu Prabu, rambut Sayu Wiwit lebih ikal. Kulit agak sawo matang.Tanpa lesung pipit di pipi. Namun di atas sebelah kanan bibirnya ada tahi lalat kecil seperti titik hitam yang membuatnya lebih menarik. Wajahnya tampak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lebih periang dan senyumnya murah. Cara mereka berpakaian hampir sama. Pagi itu Sayu Wiwit pergi mendahului Mas Ayu Prabu. Sedang Mas Ayu Prabu masih ingin membaca Weda yang belum terselesaikan. Penduduk desa Sempu sudah sejak tadi pergi ke ladang. Kicau burung masih juga riuh walau mentari sudah mulai naik. Anak-anak kecil ramai bermain di jalanjalan. Saat begitu tiba-tiba saja telinga Mas Ayu Prabu menangkap suara derap kuda. Ia tajamkan telinganya. Makin dekat. Dari arah hutan di belakang rumahnya. Bergegas ia keluar dan dari halamannya ia meneriaki anakanak supaya segera bersembunyi. Tak ayal seperti anak-anak ayam yang berlarian mencari perlindungan di bawah sayap induknya, anak-anak kecil itu masuk rumah. Sebentar kemudian bersama-sama dengan ibu mereka menghilang dalam semak belukar. Orang-orang Sempu sudah dilatih oleh Mas Ayu Prabu untuk mencurigai semua dan segala. Juga lelaki yang di ladang. Segera hilang tanpa bekas. Sedang Ayu Prabu dengan tenang menyiapkan senapannya menyongsong ke arah suara derap kuda. Makin dekat. Dan kian lamban langkah kuda itu. Ayu Prabu juga kian masuk dengan senapan teracung. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Sampai saat dua ekor kuda tersembul di hadapannya. "Berhenti!" perintahnya dengan bahasa Blambangan. Seorang wanita muda melompat turun. "Ampuni hamba, Yang Mulia," Sayu Wiwit menyembah, "tak biasanya kita membawa kuda ke sini. Tapi sekarang terpaksa. Hamba menemukan seorang wanita yang terluka parah di pusaran air Kali Setail." "Ah... kamu membuatku terkejut." Mas Ayu Prabu menarik napas panjang sambil menjauhkan telunjuk dari pelatuk bedilnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Maafkan hamba...." "Masih hidup?" "Hamba sudah mengeluarkan semua air yang ada dalam perut wanita ini. Jika kita bertindak cepat ada kemungkinan masih bisa ditolong. Walau mungkin paru-parunya sudah mengisap..." Ayu Prabu tidak mendengar kelanjutan kata-kata Sayu Wiwit. Karena ia sudah mengajak membawa wanita yang tertelungkup di punggung kuda itu ke gubuk mereka. Dan Mas Ayu terpekik lirih demi menurunkan wanita itu. "Yang Mulia Yistyani...," desisnya perlahan. Sekuat tenaga keduanya mengusung Yistyani masuk ke gubuk untuk kemudian mereka baringkan di tempat tidur yang terbuat dari bambu. Bilik tempat mereka kini ditempati oleh Yistyani. "Pergi, kembalikan kuda itu ke kandangnya! " bisik Mas Ayu memerintah. Wiwit melaksanakan setelah berhamba lebih dulu. Sesaat kemudian Ayu Prabu meniup seruling dengan nada tinggi. Ternyata merupakan isyarat bagi orang-orang yang bersembunyi untuk keluar dan keadaan dinyatakan aman. Beberapa lama setelahnya suasana menjadi kembali ceria. Anak-anak terdengar bermain di jalan-jalan. Mas Ayu sempat menengok mereka. Anak-anak yang telanjang bulat pada berlarian. Riang. Tidak ingat lagi apa yang baru terjadi. Juga tak ingat ketegangan. Tak juga peduli pada debu yang menyelimuti mereka. Bahkan tidak jarang dari mereka yang dikejar-kejar oleh Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lalat karena sejak kemarin tidak mandi. Atau barangkali ada yang berbau anyir karena lendir yang menggantung tebal di bawah hidung mereka. Ada juga yang berdiri saja mengawasi teman-temannya sambil menggigit jari di bawah pohon mahoni. Mungkinkah aku dulu seperti mereka" tanya Mas Ayu dalam hati. Tapi ia tidak sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengawasi mereka lama-lama. Teringat pada Yistyani yang terkapar tanpa daya di pembaringan. Dirabanya tubuh itu. Panas. Ah... panas tinggi. Kemudian ia bergesa mengambil kain yang tidak terpakai lagi, mencelupnya ke dalam air. Dan ditaruhnya di atas kepala Yistyani. Diamatinya luka di bahu sebelah kiri Yistyani. Rupanya sobek karena peluru. Mungkin inilah sebabnya Yistyani menjadi pingsan. Luka itu robek lagi karena benturan dengan benda keras. Dibersihkannya luka itu. Setelahnya ia mencari daun lamtoro dan kunyit, ditumbuknya menjadi satu. Kemudian ia membubuhkan bubukan lamtoro dan kunyit itu ke luka Yistyani. Sedang ia sibuk memikirkan bagaimana cara untuk segera membuat Yistyani sadar, Sayu Wiwit telah tiba kembali. "Terima kasih, Wiwit, kau telah menyelamatkannya...." "Cuma kebetulan saja. Hamba pikir Hyang Maha Dewa sendirilah yang mengerjakan segala sesuatunya. Hamba cuma pelaku saja." Sayu Wiwit tersenyum. "Jika kita berhasil menolong beliau, maka ini akan sangat berarti bagi kawula di Blambangan." "Ya, kita harus berusaha dan berdoa." Tanpa janji mereka melangkah bersama menuju ke bilik. Dan juga sama-sama mengulurkan tangan. Meraba tubuh Yistyani. Seorang di kepala dan seorang lagi di leher. "Masih ada harapan," Sayu Wiwit berbisik sambil terus memperhatikan tubuh Yistyani. Sebentar kemudian memegang pergelangan tangannya. Sedang Ayu Prabu memperhatikannya dengan saksama. Sayu Wiwit kemudian mengambil kayu cendana dan mendekatkannya pada hidung Yistyani. Beberapa bentar. Tapi belum juga membawa kemajuan. Yistyani tetap tergolek seperti boneka. Sementara Ayu Prabu memijit-mijit kepala Yistyani. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Barangkali sudah sejak tadi malam tak sadarkan diri. Untunglah sekarang napasnya sudah mulai teratur," ujar Sayu Wiwit lagi. "Sebaiknya kita berdoa. Kita membaca Lokananta (mantra pelebur dosa) untuk beliau." Keduanya segera menyiapkan perapian. Menyiapkan dupa dan kayu setanggi. Setelah semuanya siap, mereka segera duduk di hadapan pembaringan Yistyani dengan membakar kemenyan, kayu setanggi dan dupa. Segera saja bau-bau wangi menusuk hidung. Ruangan yang tidak seberapa luasnya itu mulai penuh asap putih yang mengepul dan mengitari isi ruangan. Pelan sekali asap putih gumpal demi gumpal melayang ke atas. Mentok di langit-langit, turun lagi, mentok lagi di dinding. Beredar-edar diiringi nyanyian Lokananta yang keluar dari mulut mungil kedua gadis itu. Bau harum dupa dan kayu setanggi bercampur bau kemenyan merangsang hidung Yistyani. Merasuk terus masuk mempengaruhi saraf membuat Yistyani merintih untuk yang pertama. Ini membuat kedua gadis itu kian bersemangat menyanyikan doa mereka. Ternyata Hyang Maha Dewa mendengar doa mereka. Berdoa. Itulah usaha terakhir mereka. Doa merupakan pelarian dari keputusasaan manusia. Di saat semua daya sudah tiada, maka manusia cenderung mencari gegayutan. Gegayutan pada apa saja. Jika perlu pada sesuatu yang belum pernah dikenalnya sekalipun. Bahkan pada kegaiban. Alam gaib. Alam yang tak pernah terselidiki oleh manusia. Dan jika mereka memperoleh apa yang mereka maui, mereka akan mempercayai bahwa hasilnya itu merupakan mukjizat. Beberapa bentar lagi Yistyani mulai menggeliat. Menambah semangat kedua gadis itu. Mendoa. Makin keras. Makin merdu. Sampai akhirnya Yistyani membuka matanya. Dalam hati mereka bersorak. Tapi doa mereka belum habis. Sementara Yistyani menenangkan hatinya. Sebagai brah-mani ia cepat tahu ada suara yang menyanyikan Lokananta Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ untuknya. Namun sampai mereka selesai berdoa ia tetap tidak mampu memperoleh tenaganya kembali. "Di manakah aku?" Pertanyaan pertama muncul kala ia melihat dua gadis itu berdiri di sampingnya. "Yang Mulia tidak perlu memikirkan di mana Yang Mulia berada kini. Yang Mulia perlu istirahat. Jika sudah sembuh tentu yang Mulia akan tahu di mana Yang Mulia berada kini." "Ah... terima kasih." Yistyani berusaha memperbaiki letak kepalanya sendiri. Tapi masih juga belum mampu. Kedua gadis itu serempak menolongnya. Dengan mata sayu Yistyani berusaha mengenali mereka. Namun ingatannya belum pulih. Maka ia bertanya lagi. "Dengan siapakah aku berhadapan?" "Tentu Yang Mulia tidak ingat pada hamba," Mas Ayu menjawab. "Hamba adalah Ayu Prabu, anak Wong Agung Wilis." "Hyang Dewa Ratu! Anakkukah ini?" Yistyani terkejut. "Hamba, Yang Mulia. Anak Ibu Tantrini." "Yah... Dewata masih menolong aku," rintih Yistyani. "Lalu siapakah yang satu ini?" "Dia... Sayu Wiwit. Anak Dang Culas yang mati dibunuh oleh Bapa Anti. Dang Culas adalah seorang brahmana yang tinggal di Pangpang. Beliau tidak setuju Bapa Anti bekerja sama dengan Mas Anom menjual negeri kita pada Belanda. Namun Bapa Anti yang sebenarnya murid Dang Culas tidak mau dengar gurunya. Bahkan suatu hari Bapa Anti mulai kurang ajar dan meminta Wiwit sebagai putri satu-satunya Dang Culas untuk dipersembahkan pada Blanke, komandan Kompeni." "Sekali orang hidup dalam pengkhianatan, untuk seterusnya dia akan berjalan dalam pengkhianatannya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yistyani mulai mampu berkata-kata. Sementara itu Sayu Wiwit menumbuk beras dan kencur. Setelah itu disedu dengan air dan meminumkan jamu itu pada Yistyani. Setelahnya seluruh tubuh Yistyani diolesi dengan ampas bubukan beras kencur. "Biar cepat segar kembali, Yang Mulia." "Terima kasih, Wiwit." Yistyani ingin lebih tahu tentang Sayu Wiwit. Nama "Sayu" tentunya ada makna tertentu. "Yah... seperti sudah diceritakan tadi oleh Yang Mulia Mas Ayu Prabu, maka tambahannya cuma serentetan cerita yang kurang menyenangkan. Namun bila Yang Mulia suka mendengar pula maka... baiklah hamba akan cerita." Sayu Wiwit menarik napas panjang. "Cuma saja jika bercerita nanti hari cepat menjadi sore," Gadis itu bercanda. Disambut tawa oleh Yistyani dan Ayu Prabu. Setelah itu mulailah Sayu Wiwit bercerita sambil meneruskan mengoles tubuh Yistyani. "Lenyapnya Yang Mulia Wong Agung Wilis dari bumi Blambangan ternyata membawa akibat yang amat buruk bagi kawula. Apa yang bisa dilakukan kawula" Kecuali mengharapkan perbaikan nasib. Hadirnya laskar Bali saat itu dianggap bisa memberikan perlindungan untuk kawula. Tapi harapan tidak pernah menjadi kenyataan. Laskar Bali membawa kekecewaan bagi hampir seluruh kawula Blambangan. Kami semua tahu perjuangan Yang Mulia Paramesywari dan Yang Mulia sendiri. Tapi karena kita memang tidak memiliki laskar yang cukup kuat untuk melindungi kawula maka kita tak berdaya melihat segala ulah mereka. "Di bawah pimpinan Panigro dengan penunjuk jalan Bapa Anti, Kompeni masuk ke Blambangan. Laskar Bali porakporanda sampai kemudian Yang Mulia Wong Agung Wilis tiba-tiba muncul kembali di Blambangan. Semua orang bersukacita. Semua orang mengikuti beliau menggempur Kompeni. Kita ingat waktu itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ adalah bulan Palguna. Kalau hamba tidak salah ingat hari itu adalah tanggal 27 Palguna (kira-kira sama dengan tanggal 12 Maret. Catatan pihak Belanda menyebutkan gerangan Wilis Sebagai 12 Maret 1768) .Dan Blambangan menang. "Namun kita semua masih ingat beberapa bulan berikutnya yaitu bulan Jita, Kompeni mulai menang kembali. Bahkan pada tanggal 3 bulan jita (kira-kira tanggal 18 Mei. Sebab Belanda mencatat tanggal 18 Mei 1768 VOC membakar kota Lateng). Kompeni membakar semua sawah di Lateng sementara berita yang kita dengar Wong Agung terkepung dalam kota. Api menjalar terus ke dalam kota dan karena laskar kita kelaparan maka beberapa hari setelah pembakaran itu Wong Agung diberitakan gugur. "Kemenangan mereka adalah mimpi buruk bagi kita. Termasuk hamba. Bapa Anti mempunyai tugas baru. Di samping harus memberi makan laskar Madura dan Kompeni, ia juga harus mempersembahkan gadis-gadis sebagai pelepas lelah. Harga suatu kekalahan tidak hanya dibayar dengan harta benda dan nyawa. Tapi juga kerusakan moral dan akhlak. Terlebih lagi musnahnya suatu peradaban. "Orang tidak menghargai brahmana lagi. Orang suka semua yang dibawa oleh bangsa bule ini. Dan hamba tidak rela menjadi budak. Apalagi budak nafsu. Blambangan boleh mereka kuasai. Tapi hamba tidak pernah kalah. Bapa Anti menyeret Bapa Culas gurunya sendiri. Dan Bapa meneriaki hamba supaya pergi sebelum beberapa butir peluru mencabut nyawanya. Hamba mengintip dari belukar. Ah, Bapa telah berlumuran darah. Sebentar kemudian rebah di tanah. Beberapa murid lainnya juga harus mati. Sedang kaum wanita diseret. Entah dibawa ke mana. Yang tersisa mengikut hamba di sini. "Secara kebetulan hamba berjumpa Yang Mulia Mas Ayu Prabu yang sedang mengintai peperangan. Semua heran seorang wanita muda mengintai peperangan. Tapi itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kenyataan. Menarik perhatian hamba. Setelah peperangan usai kami bergabung dan membangun perkampungan ini. Yah... perkampungan kecil." Sayu Wiwit selesai bercerita. Mas Ayu Prabu memerintahkannya juga menghentikan tangannya yang memijit Yistyani. Setelah itu Mas Ayu Prabu menyodorkan sirih dan kapur. Gembira sekali Yistyani menerima kinangan itu. Sudah beberapa lama ia tidak sempat berkinang. "Jadi Raung sudah tahu kekalahan kita?" tanya Yistyani sambil mengunyah sirih, pinang, dan kapur yang diracik menjadi satu. Ia Seperti mendapat kekuatan baru setelah menelan air liurnya sendiri yang mengandung cairan kinang itu. Matanya tampak mulai bersinar kembali. "Sudah," Mas Ayu Prabu menjawab. "Kami sudah tahu Pramesywari gugur. Kami dengar Yang Mulia tertembak. Tetapi kami tidak tahu kelanjutan nasib Yang Mulia. Juga nasib Ramanda, Wong Agung Wilis." "Jika demikian mengapa bala bantuan tidak datang?" "Siapa bilang begitu?" kilah Ayu Prabu. "Sebelum Ayahanda mengepung Banyu Alit, Kanda Mas Sratdadi dan Mas Ramad menghancurkan Wijenan, Pangpang, dan bahkan Jember. Peperangan ada di mana-mana. Cuma kita kalah dalam persenjataan dan jumlah pasukan. Kita dikeroyok dari Madura, Pasuruan, Sedayu, dan sebagian lagi Mataram serta Belanda sendiri. Itu sebabnya Tuan Baswi memerintahkan kami mundur." "Ah... mereka terlalu kuat." "Ya. Apalagi dibantu oleh orang-orang Blambangan sendiri yang sudah berpaling pada mereka." Mas Ayu gemas. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Wiwit duduk di pembaringan Yistyani sambil terus mengelus dagunya. Atau kadang mempermainkan dua ujung kukunya sehingga mengeluarkan bunyi tik-tik pelan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ah... dalam setiap zaman selalu ada orang-orang yang menganggap bangsanya sendiri sebagai tabung kosong melompong yang perlu di si. Dan diisi dengan semua yang datangnya dari asing. Sekalipun harus dibayar dengan amat mahal. Coba saja kalian meniti masa lalu kita dengan membaca lontar. Maka kita akan tahu bahwa kita sendiri sebenarnya guci yang sarat dengan ratna manikam." Kedua gadis itu mendengar dengan amat saksama. Dan mereka kian gembira. Ingatan Yistyani kian pulih. "Sayang, banyak orang menutup mata. Apa sebab" Barangsiapa yang mementingkan diri sendiri maka ia akan menutup mata dan telinga pada kenyataan. Mereka tak mampu menggunakan kekayaan yang ada. Jangankan menggunakan. Menghargai pun tidak mampu. Siapa yang tidak menghargai miliknya sendiri maka ia juga tak akan menggunakannya. Dan yang paling menyedihkan ialah jika kelak guci itu digali dan dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak berhak." Untuk kesekian kalinya kedua gadis itu menganggukangguk. Yistyani mempunyai wawasan ke. depan yang cukup jauh. Ah... inilah brahmani. Keduanya menjadi iri pada pengetahuan yang dimiliki Yistyani. Beberapa bentar lagi Ayu Prabu menghidangkan makanan. Keduanya tidak biasa makan siang di rumah. Namun mereka memiliki banyak persediaan makanan. Tak ada beras pada mereka. Cuma ubi jalar, daging rusa yang sudah dikeringkan, daging babi hutan, atau hasil buruan lainnya. Sementara itu Sayu Wiwit membersihkan tubuh Yistyani dengan air hangat. Dan setelah makan, Yistyani diberi waktu beristirahat. Dan keduanya pergi sampai senja hari. Apa yang mereka kerjakan" Yistyani tidak tahu. Sebelum pergi tidur kedua gadis itu meminta Yistyani menceritakan pengalamannya sejak meninggalkan Lateng. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Yah... kita telah kalah," Yistyani memulai sambil menarik napas panjang. Ia duduk di pembaringan sambil bersandar ke dinding. Menatap lampu-lampu minyak yang menerangi ruangan. Sementara itu bintang-bintang di luar berkelap-kelip seperti mata penari. Angin bertiup perlahan menggerakkan ranting dan daun. Tak jarang pula menembus dinding gedek rumah kecil itu untuk menggoyangkan api pelita. Melambai Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengundang kegaiban di hati tiga wanita itu. Ditambah desir yang membelai rambut dan tengkuk mereka. Namun Yistyani tetap saja meneruskan kisahnya. Dan pada saat ceritanya sampai pada perjumpaannya dengan Sarmanja, kedua gadis itu terkikik-kikik. "Kenapa tertawa?" "Yang Mulia masih cantik," Sayu Wiwit bercanda. "Wajar jika Sarmanja tergilagila." "Ah... cuma lelaki rakus yang tak tahu diri saja. Sudah berapa umurku?" Yistyani tersenyum. Tanpa sadar tangannya bergerak membetulkan letak rambutnya yang tertiup angin. Tapi bagaimanapun juga hatinya sedikit kembang. Ia hampir merasa pasti masih memiliki sisa-sisa kecantikan. Andaikata tidak malu tentulah ia pergi untuk becermin. "Tidak pernah ada perondaan Kompeni masuk ke sini?" tanya Yistyani menutup ceritanya. "Belum pernah. Kenapa tanya demikian?" Ayu Prabu balik bertanya. "Apakah kau tidak sadar bahwa sekalipun Blambangan mereka kuasai kita belum kalah?" "Ya." "Karena itu mereka selalu memburu kita. Agar kita sujud di kaki mereka. Jika tidak tentu kita harus mereka bunuh. Nah, hidup adalah mengalahkan dan dikalahkan____" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ III ARUS BARU Bintang-gemintang tak pernah berhenti bersinar. Setiap malam ia muncul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Ia berkelip di atas gunung dan lembah, sungai dan samudra. Ia menerangi binatang buas di hutan, binatang melata di rawa, ternak dan unggas serta burung-burung malam di udara. Karena itu kehidupan di Blambangan juga tidak pernah berhenti. Walau tanpa Wong Agung Wilis, tanpa Mangkuningrat. Dan kekuasaan beralih ke tangan VOC (Vereenigde Oostindiscbe Companie: maskapai dagang Belanda di Hindia) Memang pada mulanya Gubernur Jenderal Van der Para tidak tertarik terhadap tanah semenanjung timur itu. Tapi setelah saingan dagang VOC, mulai menjamah dengan perdagangan candu dan senjatanya, maka berubahlah pikirannya. Sekalipun ia seorang gubernur jenderal, tetap saja ia juga manusia yang hidup di atas gaji. Gaji sebagai imbalan jasanya. Itu sebabnya ia menyerbu Blambangan. Untuk membuktikan bahwa ia berjasa pada VOC. Pada modal raksasa. Gaji" Yah... uang! Karena ada uang ada VOC. Karena uang ada manusia yang menipu dan " ditipu. Ada yang diperintah dan memerintah. Karena uang ada orang yang menyediakan diri jadi sundal ataupun pembunuh. Dan demi uang VOC harus mengatur jalannya kehidupan di Blambangan. Memang VOC mengeluarkan banyak biaya untuk menggaji pasukan dan pegawai. Tapi semua itu dilakukan untuk memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Demi sempurnanya pengelolaan modal itu maka VOC perlu membentuk pemerintahan di Blambangan. Karena itu gubernur Surabaya, Johanis Vos memerintahkan Mayor Colmond menjabat sebagai penguasa sementara di Blambangan. Sebagai orang yang paling berkuasa di Blambangan, dan paling dipercaya oleh gubernur, maka Colmond menentukan Lo Pangpang sebagai tempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kedudukannya. Tentu dalam angannya sudah tercanang rencana untuk dapat mengemban tugas yang dibebankan di atas pundaknya itu. Colmond mengirimkan temannya Mayor Van Coopa Groen ke Surabaya terlebih dahulu. Karena Van Coop sakit keras. Apakah yang menyebabkan ia sakit" Tidak ada yang tahu. Yang jelas ia sering mengalami panas tinggi. Dingin sebentar, panas lagi. Kadang menggigil. Dan jika panas meradang, Van Coop berteriak-teriak seperti orang ketakutan. Ia panggil nama istrinya, papanya, dan mamanya. Anak buahnya ikut takut. Sebelum diberangkatkan ke Surabaya Coop hampir setiap hari menangis. "Ia didatangi arwah orang-orang Blambangan yang dibunuhnya," ujar Kopral Meneerlijk pada Sersan Van Bozgen. "Apa kamu bilang, Kopral" Didatangi arwah orang Blambangan" Mana bisa bangkai-bangkai itu bangun lagi?" Sersan Bozgen tidak percaya. Ia berulang kali memandang rumah Van Coop. Kebetulan mereka berdua yang ditugaskan menjaga komandan yang sedang sakit itu. Meneerlijk duduk membelakangi rumah itu sambil membersihkan laras bedilnya. "Tidak percaya, Sersan" Buktinya dia sakit ngomel terus. Dan selama perang di sini prajurit kita lebih banyak yang mati bukan karena perang. Ingat zaman Komandan Blanke" Tiga ribu orang cuma tersisa tiga puluh. Bukan karena peluru musuh, Sersan." "Aa... Kopral jangan bicara yang tidak-tidak. Kita harus waspada dan selalu berdoa. Jangan karena kita menang, kita lalu bertindak semau-mau. Lihat itu mayor kita, lupa daratan. Ia tidak kenal lagi dengan dosa. Tidak pernah sembahyang. Di mana pun kita tidak boleh lupa Tuhan." Sersan itu mondarmandir dengan senjata di tangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa hubungannya perang dengan doa, Sersan" Kita kotor dan najis. Tapi Sersan masih juga bicara soal Tuhan. Sersan seperti malaikat. Saya hanya bisa berdoa di gereja. Lain tidak, Sersan." Sersan Bozgen terdiam. Apalagi saat itu Mayor Colmond mendatangi mereka. Segera mereka berdiri tegak seperti patung, kemudian memberi penghormatan. Dan senjata mereka diangkat dengan laras ke atas dan ditempatkan tepat di depan mereka. Setelah membalas penghormatan mereka Mayor Colmond memberi tahu bahwa Van Coop segera diberangkatkan ke Surabaya melalui laut. Setelah memberangkatkan Van Coop ke Surabaya, tugas Colmond adalah membenahi pemerintahan. Maka di kediamannya, ia berunding dengan beberapa anak buahnya untuk menentukan siasat yang terbaik dalam menjalankan pemerintahan, Rumahnya terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Lateng dengan Panarukan. Halamannya selebar dua ratus depa, sedang panjangnya kurang-lebih tiga ratus depa. Cukup luas memang. Pagar batu bata mengelilingi luas halaman. Dan pos penjagaan ditempatkan di gerbang masuk halaman itu. Jarak antara jalan raya dengan pendapa rumahnya kurang-lebih seratus depa. Di kiri-kanan jalan masuk ke gedungnya ditanami pohon kenari. Belum rimbun memang. Karena masih tiga-empat bulan saja umur pepohonan itu. Juga umur gedung yang ditempati Colmond itu. Gedung itu dikerjakan oleh ratusan tangan orang-orang Madura dan Blambangan. Tentunya dengan pengawasan. Bentuknya meniru kediaman Gubernur Jenderal di Jakarta. Dindingnya dari batu bata dan dilapis begitu halus serta dicat kapur putih. Orang Blambangan tak pernah mimpi bahwa di Pangpang akan berdiri gedung semacam itu... Meskipun penyelesaian bangunan belum usai, namun siang itu Colmond bersama beberapa pembantunya sedang berada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ di bangsal yang memang disediakan sebagai bagian dari bangunan itu. Bangsal yang menghadap halaman luas yang rencananya akan dijadikan taman. Jika Van Der Para di Batavia boleh berjalan-jalan di taman dengan ditemani oleh para selirnya kenapa para gubernur dan residen tidak boleh melakukan hal yang sama" Bukankah mereka juga membutuhkan keenakan dalam hidup" Sebuah kursi berukir didatangkan dari Pasuruan sebagai tempat duduk Colmond. Di depannya ada meja yang berukuran satu setengah depa kali tiga depa. Di kiri-kanan meja ada beberapa kursi yang diduduki oleh para pembantunya. Deretan sebelah kiri duduk Letnan Van Beglendeen dan Sersan Ge Dank. Sedang sebelah kanan meja tampak Sersan Bozgen, Kopral Badeloens, dan Kopral Meneerlijk. Dua orang pribumi berdiri di kiri-kanan Colmond sambil mengipasi orang tinggi besar berambut dan berkumis pirang itu. Yang mengipasi Van Der Para di Batavia pastilah dua wanita pribumi pilihan. Mungkin saja anak-anak bupati atau putri raja Jawa yang takluk pada VOC. Di Blambangan belum. Nanti juga akan begitu jika pemerintahan sudah mapan, pikir Colmond. Udara Blambangan terlalu panas buat Colmond. "Kita akan memulai lembaran baru bagi kehidupan kita. Dengan jatuhnya Blambangan ke tangan kita berarti habislah sudah wilayah Mataram. Dan VOC akan lebih kaya dari Mataram sendiri. Ha... ha... ha...," Colmond memulai. Setelah itu tangan kanannya memungut sebuah kipas yang terbuat dari kulit rusa. Walau dikipasi dari kiri dan kanan ia masih merasa gerah. Sampai-sampai keringat mengalir di jidat dan turun ke dahinya yang berwarna merah jambu itu. "Ya. Lalu apa yang harus kita kerjakan, Mayor?" tanya Letnan Beglendeen sambil menggaruk tangan kanannya yang berbulu kuning dengan jari-jari tangan kiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mayor Colmond menatap muka anak buahnya itu. Kedua belah alisnya yang tebal dan pirang itu menyatu. Sedang kedua ekor alis itu tertarik ke atas. Kemerut di dahi ditambah bibir lebar mengatup rapat di bawah hidung yang berbentuk seperti jambu mente. Tampaknya seperti orang yang selalu mengejan. "Kenapa Letnan bertanya begitu" Tentu kita membenahi pemerintahan. Agar kita bisa mengangkut hasil bumi dengan mudah maka kita harus membangun sarananya. Dan kita membangun benteng-benteng baru untuk memperkuat kedudukan kita." "Kita tidak bisa hanya menggunakan orang-orang Madura," Kopral Badeloens memberikan pendapat, "sebab tenaga mereka juga kita gunakan untuk berperang jika sewaktuwaktu pribumi melakukan perlawanan." "Betul!" Colmond menoleh pada Badeloens. Masih muda. Tapi perutnya agak buncit. Untuk ukuran Eropa tentunya Badeloens termasuk kerdil. "Karena itu kita akan menggunakan tenaga pribumi. Mereka harus kasih makan dan membangun benteng buat kita." Kini Colmond menoleh pada dua orang yang sedang mengipas-ngipas di belakangnya. Mereka tak mengerti bahasa Belanda. Juga tak mengerti makna tolehan itu. Dalam ketidaktahuan mereka mengipas makin kuat. Sebentar kemudian suara Letnan Beglendeen menarik perhatian Colmond. "Jika demikian kita harus menggunakan tenaga pribumi untuk memerintah pribumi sendiri." "Satu pemikiran yang bagus, Letnan Beglendeen. Tapi kita tidak boleh membiarkan penguasa pribumi itu membangun tentara. Pokoknya kita harus berusaha agar mereka tidak bisa melawan.' Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jika demikian maka ada baiknya kita angkat seorang bupati agar bisa membantu kita. Seperti Surabaya," Beglendeen menyarankan lagi. Sementara itu yang lain hanya diam. "Tidak boleh cuma satu. Blambangan ini wilayahnya cukup luas. Jika di bawah perintah satu orang dan kemudian orang itu memberontak maka seluruh Blambangan akan ikut memberontak. Karenanya kita akan angkat dua orang tumenggung. Blambangan kita bagi dua. Sebelah utara akan beribukota di La Pangpang ini, dan selatan beribukota di Lateng. Gubernur Yohanis Vos pasti akan menyetujui pendapat kita. Juga angkat dua pembantu tumenggung yang di Mataram biasa diberi pangkat patih. Aha... mereka akan menerima gaji dari VOC. Jadi mereka adalah pegawai kita. Yang kita angkat dan berhentikan." "Apakah Mayor sudah menemukan orang yang mungkin bisa kita percaya" Kita tidak boleh sembarang tunjuk." "Akh... benar juga, Letnan. Tapi... kita masih ingat pada Bapa Anti yang dulu datang ke Surabaya itu?" "Jika kita angkat dia maka orang-orang Blambangan tak akan mau percaya padanya. Mereka tentu tidak suka pada Bapa Anti itu. Sebab tentu dia yang dianggap penunjuk jalan sehingga kita dapat mematahkan Wong Agung Wilis. Nah... jangan lupa Wong Agung Wilis sangat berpengaruh di sini. Semua orang Blambangan dengar setiap kata-katanya," Beglendeen memperingatkan lagi. Sersan Badeloens dan lainnya menganggguk-angguk. Membenarkan. Mayor Colmond pun mengerutkan dahinya. Sebentar kemudian ikut mengangguk-angguk lemah. Tapi cuma beberapa anggukan dia berhenti dan mengelus jidatnya. Colmond tak habis mengerti, bagaimana caranya Wong Agung Wilis mempengaruhi kawula Blambangan. Bahkan menurut laporan mata-mata, Wong Agung Wilis mampu menggerakkan laskarnya walau dengan tanpa gaji. Gila! Tanpa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ uang dan paksaan. Ucapan Wong Agung dianggap ucapan dewa! Orang merasa dirinya mulia andaikata bisa melaksanakan perintah Wong Agung. Ah... tapi mereka tetap dungu. Wong Agung Wilis tertangkap dan sekarang dalam pelayaran ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu. Mengapa orang semacam itu diperdewakan" Colmond melecehkan dalam hati. Wong Agung Wilis sudah tak mampu membela diri sendiri. Apalagi Blambangan. Angin bertiup lagi dari pelataran. Tapi tetap belum menyejukkan yang sedang berunding. "Sedang mentari semakin meninggi. Tiba-tiba Colmond menemukan akal. Bukan Bapa "Anti calon pemimpin Blambangan. Tapi setidaknya orang itu bisa dimintai pendapat siapa yang bisa. Dan ia memandangi anak buahnya. Mereka sudah membuka kancing baju sehingga tampak bulu lebat memenuhi tiap dada anak buahnya. Yang agak tidak menyenangkannya ialah bau ketiak mereka mulai tercium di permukaan hidungnya. Tapi ia sendiri j:idak dapat mengusir mereka. Karena ketiaknya juga sudah berkeringat. Jangan jangan ketiaknya sendiri yang berbau. "Siapa di antara kalian yang bisa bicara Blambangan?" Colmond tiba-tiba bertanya. Bozgen dan Ge Dank mengangkat tangan bersama. Colmond senang. Ia perlu juga belajar sedikit-sedikit. Kemudian ia juga menganjurkan pada seluruh anak buahnya agar belajar bahasa Blambangan walau tidak sempurna. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sedang pada Ge Dank ia perintahkan agar memanggil Bapa Anti. Ia akan melibatkan banyak orang Blambangan sendiri untuk kepentingan VOC. Cukup lama mereka harus menunggu kedatangan Bapa Anti. Walau Ge Dank berkuda. Dan memang yang namanya menunggu selalu tidak menyenangkan. Apalagi ditambah dengan kegerahan. Melengkapi kejengkelan. Colmond berulang berdiri untuk menengok jalan raya. Sementara yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lain tidak berani bergerak. Mematung di kursinya. Dua orang pengipas Colmond tidak tahu makna umpatan yang keluar dari mulut Colmond. Mengumpat pada kelambanan Ge Dank, pada gerahnya udara, pada tumbuhan di sekitar rumah yang tidak cepat besar dan rimbun. Mengumpat pada semua dan segala sebagai pelampiasan kejengkelan. Akhirnya umpatan yang membuat anak buahnya terpatri di kursinya masing-masing itu berhenti juga. Ge Dank masuk ke ruangan itu dengan seorang yang telanjang dada dan berdestar. Agak kurus dan tinggi. Bermata kuyu dengan kumis tidak teratur. Di beberapa bagian kumis itu sudah mulai tercampur warna putih. Gelang akar hitam menghias pergelangan tangan kanan orang itu. Bapa Anti. "Silakan duduk. Bapa Anti?" Colmond bertanya dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Bozgen. "Benar, Tuan," Orang itu memberi penghormatan. Setelah itu mencari-cari tempat duduk dengan matanya. Tapi tak ada, karena kursi yang tersedia sudah diduduki oleh Ge Dank. Mau tak mau ia harus duduk di lantai tanah. Pembangunan gedung belum selesai. Ia ngelesot di hadapan Colmond. Harga sebuah kerja sama atau kekalahan" Namun Bapa Anti tidak mempersoalkannya. Apalagi Colmond segera menyambung pembicaraannya. "Kami datang karena Bapa Anti pergi ke Surabaya. Dan VOC ingin bekerja sama dengan orang-orang Blambangan. Tidak seperti orang-orang Bali. Mengerti?" Colmond memandang dengan matanya yang biru. Bahkan kini tersenyum. Bozgen terus menerjemahkan. "Ya. Mengerti, Tuan." Bapa Anti tidak mengerti apa kelanjutan kata-kata Colmond. Dia mendengar dan terus mendengar. "Tapi sayang Wong Agung Wilis datang menyerbu kami. Ia malah membagi-bagikan uang Bali. Sedikitnya dua ribu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sembilan ratus tujuh puluh orang Kompeni mati di sini. Belum biaya yang kami keluarkan. Begitu banyak. Tapi kami masih mau bersabar dan membantu kamu serta orang-orang Blambangan." "Ya, Tuan. Kami minta maaf." Bapa Anti tidak berani memandang wajah Colmond. "Mas Anom yang kau usulkan menjadi tumenggung tak juga berani menghadapi Wilis. Katanya akan setia pada Belanda, tapi setelah Wong Agung Wilis datang ia pergi meninggalkan tugasnya." "Semua orang takut pada Wong Agung Wilis, Tuan." "Takut" Ha... ha... ha... Ada apa dengan orang itu" Bukan setan dan bukan Tuhan. Kenapa takut?" Untuk pertama kali Bapa Anti mendengar istilah Tuhan. Bukan dewa. Hatinya berdesir. Tapi ia tak mampu membantah. "Wong Agung Wilis adalah ksatria yang mewakili dewa. Semua orang harus tunduk padanya." "Itu penipuan, Bapa Anti. Toh dia kalah... Nah, sekarang aku tuntut janjimu di hadapan gubernur Surabaya bahwa kau akan membantu r Kompeni sepenuhnya. Aa... ya, kami akan angkat kau menjadi pegawai yang dibayar oleh Kompeni." "Apa yang harus kami kerjakan?" "Dengar. Kami hanya ingin menjaga agar Blambangan tidak diserbu lagi oleh Bali. Kami tidak ingin memerintah. Karena itu kami ingin menyerahkan pemerintahan ini pada orang Blambangan sendiri." Colmond berhenti sebentar. Mengipasi mukanya. Kemudian memandang anak buahnya. Sekilas mereka tampak tersenyum. Beg-lendeen yang tidak pernah senyum itu pun turut senyum. Ia juga kagum pada akal Colmond. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Adakah orang yang layak memerintah Blambangan" Jangan kau sendiri, Bapa Anti. Kau tetap sahabat Kompeni. Kau juga akan tetap dibayar." Bapa Anti mengerutkan keningnya. Matanya memandang jauh. Mengingat-ingat. "Bukan hanya bayaran. Kau pernah ke Surabaya, kan" Sudah pernah lihat noni-noni" Ahai, kau juga akan dapat hadiah noni yang cantik bila kau ingin." Masih juga belum menjawab Bapa Anti. Tapi matanya menjadi berbinar demi mendengar kata noni-noni. Ah... ia ingat di Surabaya dulu. Dari kejauhan ia lihat seorang noni naik kuda dengan gaun putih, pinggang ramping, dan rambut kuning seperti emas... Orang Blambangan akan kagum jika ia beristri noni kelak. Maka ia berjanji akan menghubungi orang yang akan ia usulkan itu. "Bukan cuma satu orang, Bapa Anti. Tapi empat orang. Satu orang menjabat tumenggung di Pangpang. Dan satu orang menjadi patihnya. Satu orang menjadi tumenggung di Lateng. Satu orang lagi menjadi patihnya. Kau... jadi penasihat kami." "Blambangan dipecah?" "Untuk memudahkan pekerjaan saja, Bapa Anti." Bapa Anti mengangguk-angguk. Tapi tetap tunduk. "Apakah kau punya gambaran siapa-siapa orangnya?" Untuk beberapa jenak Bapa Anti berdiam lagi. Pikirannya berputar dari satu wajah ke wajah yang lain. Dari satu nama ke nama yang lain. Tiba-tiba dia ingat beberapa satria tak ternama di kalangan pemerintahan Blambangan zaman Wong Agung Wilis. Karena memang mereka dari turunan para selir. Bukan selir raja tentunya. Selir Bagus Tuwi sebagai pangeran. Berdarah satria namun tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pernah memiliki hak seluas satria lainnya. Hanya karena mereka anak selir. Atau karena memang mereka tak memiliki karya dan darma yang menonjol demi Blambangan maka mereka tak pernah dihormati. Atau mungkin saja karena mereka tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan karya dan darma mereka. Maka setelah agak lama Colmond menunggu, Bapa Anti menjawab juga. "Ada. Kami telah memperoleh gambaran mengenai orangorangnya. Walaupun demikian kami akan berunding dulu. Apakah mereka sanggup." "Siapa mereka itu?" "Semua adalah keluarga bangsawan. Mereka adalah Sutanegara, Suratruna, Wangsengsari, dan Jaksanegara. Dan kebetulan dua orang yang terakhir ini tinggalnya memang di Pangpang." "Ahai, bagus. Besok suruh mereka bertemu aku. Sekarang kau boleh pulang. Tapi jangan lupa besok ajak mereka datang kemari. Katakan biaya hidup mereka beserta anak-istri akan ditanggung Kompeni. Tidak usah ikut-ikutan miskin seperti pengikut Wong Agung Wilis. Tahu?" "Baik, Tuan." "Letnan Beglendeen, berangkat ke Surabaya! Lapor pada Gubernur Vos tentang yang kaudengar ini!" "Siap, Mayor." Semua memberi hormat. 0oo0 Esok harinya kediaman Colmond lebih ramai dari hari sebelumnya. Ada empat orang tamu, bangsawan pribumi. Colmond tak menduga sama sekali bahwa mereka akan membawa pengawal bersenjata. Padahal pada saat Blambangan dikalahkan, persenjataan mereka dilucuti. Jika Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ demikian, masih banyak orang Blambangan yang menyimpan senjata api" Dari mana mereka mendapatkannya" tanya Colmond pada diri sendiri. Melihat kenyataan itu Colmond buru-buru memerintahkan Badeloens menyiapkan tujuh puluh empat anak buahnya serta laskar Madura yang tersisa. Dan memerintahkan Ge Dank dan Meneerlijk untuk melarang para pengawal ikut masuk tempat perundingan. Sutanegara datang paling awal. Menurut ukuran Blambangan orang ini bertubuh tinggi besar. Hampir seperti orang Eropa. Kulitnya kuning dan hidungnya seperti jambu monyet. Sabuknya terbuat dari emas dihubungkan dengan selempang kain hitam bersulam benang emas, yang dipasang mulai dari perut sebelah kanan naik bersilang lewat dada kiri, bahu, turun lagi ke perut belakang sebelah kanan lewat punggungnya. Keris terselip di punggung dan condong ke kanan. Telanjang dada. Sedang bagian bawah tubuhnya tertutup celana dan kain batik. Mengenakan gelang emas di pergelangan tangan kanannya. Sepasang hinggai pada kedua pergelangan kakinya. Kepalanya tertutup destar berwarna merah soga. Keraguan menyertainya meninggalkan para pengawal dan melewati barisan Kompeni. Namun Bapa Anti segera menyongsong dan melenyapkan keraguan hatinya. Sesaat kemudian Su-ratruna disertai tujuh pengawal. Orang ini sebenarnya masih keponakan Tumenggung Singamaya dari Sumberwangi. Tak seberapa tinggi. Pakaiannya sama dengan Sutanegara. Cuma badannya lebih gempal dan rambutnya lebih hitam. Waktu pengawalnya dilarang masuk ia membangkang. "Kami diundang. Bukan datang menghadap. Hak kami membawa pengawal," katanya geram. "Benar, Tuan." Ge Dank berusaha menyabarkan. "Kami mengundang Tuan untuk berunding. Bapa Anti sudah di dalam. Juga Tuan Sutanegara. Lihat, itu pengawal mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Jika kami izinkan Tuan masuk membawa pengawal, maka mereka akan membuat kegaduhan." Dank berkali-kali menunjuk rombongan pengawal Sutanegara yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. "Apa kata mereka nanti jika kami pilih kasih. Bukan kami tak menghargai Tuan. Tapi kami menghendaki agar perundingan berjalan tenang." Suratruna pun mengalah. Apalagi ketika saat itu Jaksanegara juga datang dengan cuma tiga pengawal dan menyerahkan pengawalnya pada Ge Dank. Ia bersama Jaksanegara masuk ke tempat perundingan. Bapa Anti berdiri menyambutnya. Colmond cuma berdiri dari tempat duduknya dan menyilakan duduk. Terakhir yang masuk adalah Wangsengsari. Dia lebih tua dari keempat bangsawan yang hadir di situ. Dan ia membawa pengawal terbanyak. Lima belas orang. Kemerut terlukis di pipinya. Otot-otot nampak jelas menonjol di kedua tangannya. Di sudut matanya yang memerah itu tampak gambar cakar burung jika tertawa. Usianya telah lima puluhan. Setelah Bapa Anti menjelaskan bahwa semua sudah hadir Colmond segera memulai. "Terima kasih, Tuan-tuan sudi menghadiri undangan kami. Mudah-mudahan perundingan ini akan berjalan baik. Yah... sebelumnya kami minta maaf. Undangan kami begitu mendadak. Tidak heran jika Tuan-Tuan curiga dan membawa pengawal." Colmond tersenyum. Gigi yang putih berbaris rapi di sela bibirnya. Kumisnya juga terurus rapi kendati berwarna pirang. Jauh berbeda dengan Bapa Anti atau orang Blambangan lainnya yang berkinang. Gigi mereka dihiasi tiga warna. Kuning gading bercampur hitam dan merah. "Tidak apa, Tuan. Kami juga berterima kasih Tuan sudi mengundang kami." Wasengsari mencoba menembus batas kekakuan. Ketiga temannya memandang dengan tersenyum. "Ada di antara Tuan-tuan yang bisa Belanda?" tanya Colmond yang diterjemahkan oleh Bozgen. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kami sedang belajar. Baru bisa sedikit," Jaksanegara yang menjawab. "Bagus. Jika Tuan-tuan mau belajar, artinya Tuan-tuan punya niat untuk bekerja sama, to" Kami sendiri akan belajar bahasa Blambangan demi lancarnya kerja sama kita." "Terima kasih, Tuan," mereka menjawab bersama. "Tentunya Bapa Anti sudah bercerita tentang tujuan kami mengundang Tuan-tuan, bukan" Jadi kami tak perlu mengulangi maksud kami to?" "Ya, Tuan, kami sudah mengerti." "Ha... ha... ha... bagus, bagus...." Keempat tamu itu berikut Bapa Anti ikut tertawa. Walau mereka sama sekali tak mengerti I makna tawa itu. Namun tiba-tiba mata Colmond terbeliak. Ia mencium bau yang kurang sedap berbareng dengan suara tawa mereka. Maka ia buru-buru mengambil kipas yang tergeletak di meja. Sambil mengumpat dalam hati ia menggoyang-goyangkan kipas tepat di muka hidungnya. Ia tidak bermaksud mengusir kegerahan. Tapi bau tidak sedap mendatangkan aniaya tersendiri. Maka ia bermaksud mempercepat jalan- j nya perundingan itu. "Nah... begini, Tuan-tuan. Kami bermaksud mengangkat Tuan-tuan menjadi pegawai VOC. Tuan-tuan akan menerima gaji sehingga Tuan-tuan tidak perlu susah-susah. Kami tidak akan mengusik kekayaan Tuan-tuan. Bukankah Belanda datang untuk melindungi kekayaan Tuan-tuan dari keganasan orang Bali"' "Benar!" Wangsengsari yang memiliki kebun kelapa dan sawah yang luas itu berkata cepat. Disusul oleh Jaksanegara dan kemudian baru yang lain ikut mengiakan. Itulah yang ditunggu oleh Colmond sebagai hamba VOC. Semua hamba VOC sudah terlatih secara baik menggunakan siasat. Siasat kekuasaan! Yang ada dalam kepala Colmond Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ialah bagaimana cara menjadikan Blambangan tumpuan kaki VOC, sehingga setiap orang Belanda boleh menginjak bahu bahkan kepala orang Blambangan. Sebaliknya para satria Blambangan, yang tak pernah mengenal peta dan siasat kekuasaan yang tanpa batasan itu, dengan tanpa sesadarnya menyediakan diri sebagai landasan berpijak sepatu Kompeni Belanda. Tanpa sesadar mereka, secara sendiri ataupun bersama, mereka terlibat dalam usaha menjadikan Blambangan dengan seluruh isinya milik orang lain, bangsa lain. Juga diri mereka sendiri menjadi milik VOC. "Jadi Tuan-tuan sanggup?" Colmond menegaskan. "Sanggup," Jaksanegara bicara lebih dulu sementara yang lain masih bertimbang. Dan kesanggupan Jaksanegara mengejutkan lainnya. Terutama Suratruna. Namun ia ragu Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyatakan pendapatnya. "Bagus," Colmond tidak menunggu jawaban lainnya. "Jika demikian kita akan menulis surat perjanjian bahwa Tuan-tuan setuju bekerja sama dengan Kompeni dan membantu Kompeni." "Surat macam apa itu, Tuan?" Untuk pertama kali Sutanegara mengajukan pertanyaan. "Orang Blambangan tidak biasa menulis surat perjanjian segala. Jika kami berjanji, maka janji itu akan kami bawa mati." "Ha... ha... ha... Maafkan, Tuan Sutanegara, bukan kami tidak percaya. Tapi untuk laporan ke atasan kami. Karena surat perjanjian itu pula dasar VOC mengangkat Tuan-tuan sebagai pegawai dan Tuan akan mendapat gaji. Jangan tersinggung dulu." Colmond tertawa lagi. Dan mau tak mau mereka harus menyetujui tekanan Colmond agar mereka menulis surat perjanjian. Walau yang menulis Bozgen. Ditulis dalam bahasa Belanda kemudian diterjemahkan ke bahasa Blambangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Nah... sekarang kita adakan pembagian tugas. Blambangan ini akan dibagi menjadi dua. Jadi dibutuhkan dua tumenggung dan dua orang patih. Blambangan Utara dengan ibukota Lo Pangpang. Maksud kami, Tuan Wangsengsari yang lebih tua dan tinggal di Pangpang menjadi tumenggung, sedang Tuan Jaksanegara menjadi patih. Sedangkan Blambangan Selatan beribukota di Lateng. Kami pikir Tuan Sutanegara lebih tua maka sebaiknya Tuan menjabat tumenggung di Lateng, sedang Tuan Suratruna menjabat patih Lateng." "Jika itu dianggap bijaksana oleh Kompeni maka kami setuju." Lagi, Jaksanegara mendahului lainnya. "Setuju" Ha... ha... ha... Bagus." Colmond berdiri dan memberikan salam pada mereka. "Dalam waktu dekat Tuan-tuan akan menerima surat pengangkatan dari Batavia. Selamat." "Terima kasih," ujar tiap orang yang disalami. Setelah selesai semua mereka duduk lagi. "Kita akan merayakan persahabatan kita ini. Setuju" Kita mengundang seluruh kawula untuk ikut pesta. Kami juga perlu hiburan setelah tegang berperang melawan Wong Agung Wilis. Bapa Anti siapkan pesta ini. Tuan-tuan, semua setuju?" "Kawula masih tegang dan takut," Sutanegara keberatan. "Justru itu," Colmond bertahan, "kita berusaha memberi kedamaian di hati mereka. Dengan pesta itu kita membuktikan pada kawula Blambangan bahwa keamanan sudah mantap. Mereka tidak perlu takut bekerja di sawah dan membuka kedai-kedai. Pokoknya kami ingin menunjukkan pada mereka bahwa Kompeni mampu menjadi penjaga keamanan bagi Blambangan. Pesta itu juga perlu untuk saling mendekatkan diri antara pasukan kami dengan orang-orang Tuan. Mengerti?" "Masuk akal," Jaksanegara menyetujui. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tapi kami minta waktu sedikitnya tujuh hari untuk menyiapkan semuanya," Bapa Anti meminta. Colmond menyetujui. Sedang Jaksanegara dan Wangsengsari berjanji akan membantu dengan sepenuh tenaganya. "Tugas kami adalah menjaga keamanan di Blambangan. Tugas kami menenteramkan Blambangan. Tapi sebaliknya Blambangan menyiapkan perumahan bagi kami, bentengbenteng bagi pasukan Kompeni. Dan... menjamin makan pasukan kami. Ini tugas Tuan-tuan. Nah... pertemuan kita selesai dan kita akan bertemu lagi nanti tujuh hari kemudian." Tiada sempat empat orang itu mengajukan pendapat, walau mungkin saja keberatan terhadap tugas yang dibebankan pada mereka. Tapi mereka adalah pegawai. Setinggi apa pun pangkatnya, mereka tetap pegawai yang tidak berhak membantah atasan. Apa pun keberatan hati, mereka harus t mengiakan. Uang telah membeli hak mereka untuk mengutarakan pendapat. Lebih dari itu keberadaan mereka. 0oo0 Bapa Anti menjadi sibuk. Dia pikir mencari kepercayaan seperti yang telah diterimanya dari Mayor Colmond tidak mudah. Memang kepercayaan tidak datang begitu saja. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan seseorang haruslah menanam budi terlebih dahulu. Kepercayaan hampir seperti anugerah. Di mana ada karya di sana ada anugerah. Karena memang salah satu hukum kehidupan adalah timbal-balik. Tapi benarkah ada timbal-balik" Timbal-balik tentunya berdasarkan sesuatu yang seimbang. Alam memang membutuhkan keseimbangan. Bahkan alam selalu berusaha menjaga keseimbangannya sendiri. Gunung meletus, banjir, dan banyak lagi hal-hal serupa, sebenarnya adalah salah satu cara alam untuk mempertahankan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keseimbangannya. Alam suka akan keseimbangan itu. Tapi manusia" Manusia lebih suka pada keenakan. Dan barang siapa suka akan keenakan pribadi dia akan meninggalkan keseimbangan. Bapa Anti tidak pernah menyadari hal ini. Ia memburu keenakan. Lepas dari laskar Bali. Tapi bagaimanapun ia merasa bahwa ia membawa arus baru bagi kehidupan semua kawula Blambangan. Maka ia menghubungi para bekel (lurah) agar membantu mengirimkan orangorangnya untuk mendirikan tarup (semacam tenda terbuka beratap ilalang. Bangunan ini sifatnya sementara dan digunakan hanya untuk upacara-upacara) di halaman kediaman Colmond yang luas itu. Sebagian lagi ditugaskan mencari penari dan penabuh angklung yang terbaik. Dan berita pesta itu disebarkan ke seluruh penjuru Blambangan. Bapa Anti membagikan mata uang Belanda pada para bekel dan- menyatakan uang Blambangan dan uang Bali tidak berlaku. Orang menilai betapa murah hatinya Bapa Anti. Betapa baiknya Kompeni. Itu mendorong keinginan mereka untuk datang pada pesta nanti. Laki-perempuan, tua dan muda. Apalagi diumumkan oleh Bapa Anti akan ada pertunjukan menari dari penari-penari kenamaan yang didatangkan dari seluruh penjuru Blambangan. Berita yang menjalar tentang pembagian Blambangan menjadi dua wilayah dengan cepat sampai di telinga Mas Ayu Prabu. Dan tentu saja merupakan tugasnya untuk mengetahui lebih banyak. Ia segera memerintahkan Sayu Wiwit untuk mengerahkan anak buahnya. "Tugas kita cuma mencari berita. Belum ada perintah apa pun kecuali itu. Karena itu, Wiwit, jangan kau sendiri berangkat. Masih banyak orang lain yang bisa mengerjakannya." "Hamba, Yang Mulia." Yistyani sudah mulai bisa berjalan. Setiap hari ia melatih diri agar dapat pulih seperti sediakala. Hatinya tetap ingin Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bergabung dengan anaknya di Raung. Ia merasa kurang berarti tinggal bersama kedua gadis yang ternyata memiliki tugas khusus, yaitu menguping semua peristiwa di Blambangan untuk kepentingan Raung. Jika aku di sini terus, maka aku akan menjadi beban mereka. Sekilas ia teringat pada kedua pengawalnya yang ia tinggal mandi dulu. Matikah mereka" Sayu Wiwit tidak menemukan mayat mereka. Tidak mungkin mayat mereka dibawa oleh musuh. Biasanya mayat selalu ditinggal begitu saja. Atau mungkin saja dilahap oleh serigala-serigala" Atau dimakan burung-burung pemakan bangkai" Ah... betapa malangnya nasib mereka. Kasihan. Apakah secara kodrati manusia sama dengari anjing maka mereka juga harus mati seperti anjing kurap" Bukan cuma di Sempu berita yang dibawa Bapa Anti itu berkumandang. Tapi juga di Pakis. Sebuah daerah perdikan pada zaman Sri Danureja, ayah Mangkuningrat, berkuasa. Daerah itu dikuasai Wiraguna, masih keluarga dekat Mangkuningrat. Wiraguna sebenarnya adalah sepupu Danureja. Namun sekarang daerah perdikan Pakis dikuasai oleh Mas Bagus Puri, putra pertama Pangeran Wiraguna. Karena usianya sudah lanjut, maka ia dibantu oleh adiknya, Mas Rempek. Seorang yang berkulit kuning dan berhidung mancung. Kumis terawat rapi. Tahi lalat sebesar biji kedelai menghias pangkal hidung sebelah kanan, serasi dengan alis hitam yang tebal. Membuat wajahnya makin ganteng. Dadanya berbulu melengkapi keperkasaannya sebagai lelaki. Menjadi tumpuan iri hati pria lainnya. Mengundang pesona bagi banyak perempuan. Keluarga Pakis merupakan keluarga yang bersatu. Tiap kebijakan Rempek dalam memerintah daerah perdikan itu tak pernah meninggalkan permufakatan dengan semua saudaranya. Sebab di samping Mas Rempek masih ada saudara lain ibu, Mas Suratman yang sudah meninggal. Dia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dulu termasuk narapraja Blambangan zaman Mangkuningrat. Tapi karena menerima suap dari Martana, pedagang yang ditangkap Wong Agung Wilis, dan kemudian mengawini gadis pemberian Martana yang bernama Lam Thai Ning yang kemudian dijuluki Dewi Lam, tentu saja ia didepak oleh Wilis. Dengan menyembunyikan sakit hati yang mendalam ia kembali ke Pakis. Tidak satu pun saudaranya yang berani membela dan melawan keputusan Wong Agung Wilis. Ketiga saudara lainnya yang juga berlainan ibu dengan Bagus Puri, Mas Ayu Nawangsurya, Mas Ayu Rahminten, dan Mas Ayu Patih, adalah orang-orang yang tak pernah memberikan pendapat dalam persidangan keluarga. Berbeda dengan kebanyakan saudara lelakinya, Mas Rempak adalah pengagum Wong Agung Wilis. Pernah ia berbincang dengan orang itu walau tidak sering. Tapi itu cukup. Dan ia pikir pandangannya tidak keliru. Karena banyak kawula Blambangan yang berpendapat sama dengannya. Ketika siang itu Rempek sedang berbincang dengan Mas Bagus Puri, terdengarlah derap kuda mendekati rumah mereka. Pengawal melaporkan bahwa Jaksanegara dan Bapa Anti ingin menghadap. Bagus Puri menyuruh pengawal memperkenankan mereka naik ke pendapa. Jaksanegara iri ketika sampai di pintu gerbang rumah besar milik kepala tanah perdikan itu. Seperti tak terusik oleh perang. Tidak satu batu pun yang gempil. Dinding daerah perdikan itu masih utuh. Demikian pula pagar batu halaman yang hampir sebesar istana Mangkuningrat di Lateng. Apalagi ketika ia melangkah ke dalam. Jalan antara gapura ke pendapa nampak terawat rapi. Kiri-kanan ditanami kembang pacar yang beraneka warna. Merah, putih, kuning, dan ungu. Di pinggir pendapa juga dikelilingi bunga sedap malam. Belum lagi deretan mawar dan melati bahkan juga kembang lain yang mengundang kedamaian bagi tiap hati. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Menurut Bapa Anti, Pakis memang tidak terusik perang. Sebab ketika laskar gabungan Kompeni, Madura, Pasuruan, dan Sidayu yang menopang laskar Mas Anom masuk ke Blambangan, Mas Ngalit dan Bagus Puri menyongsong mereka dengan mengibarkan bendera putih. Kini barangkali istana Pakis merupakan bangunan terutuh di seluruh wilayah Blambangan. Apalagi setelah ia naik ke pendapa. Dalam hati ia tidak mengerti bagaimana bisa laskar Bali tidak menjarah-rayah kekayaan keluarga ini, padahal hampir semua tempat dijarah. Untuk ini Bapa Anti juga yang lebih tahu dari Jaksanegara. Keluarga Mas Bagus Puri adalah keturunan dekat Sri Tawang Alun. Yang masih berhubungan darah dengan raja-raja Bali. Tentu saja Pakis tidak akan diusik. Perabotan di pendapa itu masih lengkap dengan hiasan dan ukiran emas serta perak. Cuma Mas Rempek yang berdiri menyambut dan mempersilakan mereka duduk. Mas Bagus Puri tetap saja duduk di sebuah kursi kayu hitam berukir. Dan untuk mereka berdua disediakan dua kursi tanpa sandaran. Kursi yang terbuat dari kayu hitam. "Selamat datang, Yang Mulia," Rempek menghormat Jaksanegara. Ia sudah dengar pengangkatannya menjadi patih Pangpang. Sedangkan Pakis masuk wilayah Pangpang. "Terima kasih. Dirgahayu, Yang Mulia," balas Jaksanegara. "Sangat mengejutkan," Bagus Puri juga menghormat. "Maafkan kami, menghadap tanpa memberi tahu lebih dulu," Jaksanegara mencoba merendahkan diri. "Kami sangat senang menerima Yang Mulia. Ah... suatu kehormatan besar," Rempek tertawa ramah. Semua ikut tertawa. "Apalagi kunjungan Yang Mulia Patih... tentu ada yang sangat penting." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ya... ya... memang sangat penting," Bapa Anti mendahului Jaksanegara. "Kami tahu bahwa Yang Mulia Mas Bagus Puri adalah sesepuh keturunan Tawang Alun yang tersisa, maka kami perlu mohon doa restu agar kami diberi kesempatan membangun Blambangan. Demi Sri Prabu Tawang Alun Sorga (Sorga di belakang nama seseorang mengartikan bahwa orang tersebut telah mangkat karena tua atau sakit)" "Terima kasih. Siapa pun berhak membangun tanah kelahirannya. Siapa pun berhak mempersembahkan karya dan darmanya. Asal itu tulus. Tidak semata-mata kepentingan pribadi saja." "Keadaan memaksa kita untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan. Karena itu hamba datang kemari untuk membicarakan pembaharuan di Blambangan ini. Kita sekarang bekerja sama dengan Kompeni Belanda seperti halnya Madura, Surabaya, dan daerah lain di bumi Nusantara ini" Rempek memandang Mas Bagus Puri yang kelihatannya terkejut mendengar itu. Kedua orang itu belum memberikan jawaban. "Kerja sama ini berlaku untuk seluruh wilayah Blambangan. Termasuk Pakis," Jaksanegara menegaskan. "Termasuk Pakis?" Rempek terkejut. "Ya. Termasuk Pakis. Tak ada lagi daerah perdikan. Karena Blambangan tidak berhak menentukan apakah suatu daerah dijadikan perdikan atau tidak. VOC yang berhak." Muka Rempek seketika menjadi gelap. Alisnya tertarik ke atas. Membuat matanya melebar. Dadanya kembang-kempis menahan gejolak. Sedang Bagus Puri mendadak pucat. Dikuatkan oleh warna alis, kumis, dan rambut yang putih. Bibirnya yang berwarna ungu itu bergetar. Tapi cuma sesaat. Pengalaman serta usia cepat menurunkan darah yang naik ke ubun-ubun. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Rempek," katanya kemudian, "panggil seluruh saudara! Mereka harus tahu perubahan ini." Dengan mata berkilat tajam Rempek yang masih muda itu berdiri. Darahnya mendidih. Kehormatannya tersinggung. Darah Tawang Alun dipermalukan oleh datangnya kaum kulit putih. Semua pewaris tahta Blambangan tak seorang pun berani melakukannya. Bahkan mereka melindungi kebebasan tanah perdikan ini. Tidak pernah dipungut upeti ataupun pajak. "Panggil semua saudaraku! " perintah Rempek pada kepala pengawal dengan suara berat. "Cepat! Berkudalah! Katakan pada mereka bahwa ada perkara yang amat penting." Tidak biasa Rempek bicara pada pengawal seperti itu. Kelihatan beringas. Namun kepala pengawal itu tidak berani bertanya. Ia segera membagi lima orang anak buahnya berkuda menuju lima arah. Sambil menunggu saudara-saudaranya tiba di pendapa, Rempek tidak kembali ke pendapa. Ia harus melampiaskan rasa marahnya di luar. Ia tidak ingin kakaknya yang sudah tua itu melihat kemarahannya. Juga demi kesopanan, tidak boleh tamutamu itu melihatnya sedang marah. Maka ia memutuskan berjalan-jalan di taman. Dan secara kebetulan ia bersua dengan seekor kucing yang sedang mengintai kucing lainnya. Mengendap-endap. Rupanya mereka adalah sepasang kekasih yang hendak bercengkerama. Memadu kasih dengan meminjam tempat milik penguasa Pakis. Melihat itu kemarahan Rempek seperti disulut saja. Apalagi setelah sepasang kekasih itu bergelut disertai suara meraung-raung, menyakitkan telinga Rempek. Secepat kilat Rempek mencabut kerisnya dan melompat, membabat dua ekor kucing yang sedang mabuk asmara itu. Sesaat mereka mengeongngeong keras, sambil melotot pada Rempek. Namun keduanya segera mampus tanpa ampun. Rempek tertawa lirih. Kerisnya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengandung racun. Tidak satu pun makhluk yang mampu bertahan dari racun kerisnya. Andaikata bukan di Pakis, ingin ia membungkam mulut kedua orang itu. Seperti membungkam mulut kucing tadi. Tapi ini di Pakis yang selama ini menjadi daerah damai. Bali yang ganas itu pun tak pernah mengusik. Kini Belanda! Belanda! Keparat! Setelah menyarungkan kembali kerisnya ia berbalik. Mengumpat dan mengumpat sambil melangkah pelan-pelan ke pendapa. Bersamaan dengan itu Mas Talip dan Mas Ngalit memasuki gapura. Mereka tidak turun di gardu penjagaan. Setelah menerima penghormatan, mereka terus berkuda sampai di depan pendapa. Masih sangat muda tampaknya kedua orang itu. Tapi kegagahan sudah membayang di perawakan mereka. Kumis juga masih samar-samar. Rambut mereka ikal. Sedang pakaian mereka tidak berbeda dengan Rempek atau satria Blambangan lainnya. Keduanya naik ke pendapa dan segera memberi penghormatan pada Bagus Puri sebagai kakak tertua mereka. Kemudian pada kedua tamu di hadapan kakak mereka. Jaksanegara kagum. Itu menunjukkan bahwa Pakis sudah dengar pengangkatannya menjadi patih di Pangpang. Sesaat lagi menyusul tiga orang gadis turun dari kuda masingmasing dan memasuki pendapa itu juga. Sekali lagi, mata Jaksanegara memancarkan kekaguman. Mas Ayu Nawangsurya, yang tertua dari ketiga gadis itu. Berkulit kuning, rambutnya terurai sampai ke bawah pinggul. Dan rata-rata ketiga gadis itu berkulit kuning. Kaki mereka nampak mulus dihiasi oleh binggal emas yang bergiring-giring. Menunjukkan bahwa mereka tak pernah turun ke sawah. Suara giring-giring dan kain batik % yang membungkus ketat tubuh bahagian bawah mengiringi tiap langkah mereka. Buah dada mereka biarkan terbuka tanpa penutup apa pun. Kutang yang berupa rantai emas bukan untuk menutupi putik susu. Tapi sekadar penjaga agar susu yang montok itu tidak terlalu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ goyang saat mereka berjalan. Buah dada lambang keindahan dan kesuburan wanita Ciwa. Setelah semuanya duduk, Bagus Puri segera memberi penjelasan. Maksudnya agar mereka semua siap menghadapi perubahan yang sedang terjadi di Blambangan. Dan Pakis tentunya. "Pemerintahan Wong Agung Wilis sudah berakhir...," Bagus Puri mengakhiri penjelasannya. "Kalian harus menerima apa adanya. Ingat! Kita tak berhadapan dengan sesama darah Tawang Alun lagi. Kita berhadapan dengan Belanda.". Suara Bagus Puri bergetar. Entah menahan getaran-getaran jiwanya atau barangkali karena ketuaan, semua tidak mengerti. "Kita tidak pernah kalah," Rempek tidak terima. "Ya... tapi kita tak ikut berperang. Kita jauh-jauh sudah mengibarkan bendera putih begitu mereka masuk," lagi Bagus Puri menerangkan. "Leluhur kita yang membangun negeri ini. Untuk kita! Untuk anak-cucu kita! Bukan untuk orang lain," tiba-tiba Nawangsurya ikut bicara. Jaksanegara memandangnya. Jantungnya berdegup. Pikirannya berlarian ke mana-mana. "Benar, Nawangsurya. Tapi marilah kita berpikir...," Bagus Puri memperingatkan. "Sebenarnya siapakah yang lebih berhak di sini" Mangkuningrat sendiri mengundang Belanda. Beliau pergi ke Batavia. Mangkuningrat Anumerta (istilah bagi yang sudah tewas dalam peperangan, atau dibunuh). Ingat" Siapa lagi sesudah itu" Wong Agung Wilis" Yah... orang paling disegani di seluruh Blambangan. Ditakuti di seluruh bumi Semenanjung. Orang yang berlidah dewa itu" Memiliki laskar puluhan, sekali lagi... puluhan ribu, dengan bedil dan meriam, tak kuasa membendung tentara Belanda. Apalagi kita. Apa kekuatan yang bisa kita andalkan?" "Jadi kita sudah kalah dengan tanpa melawan?" Rempek masih sengit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita harus menyadari hal ini, Rempek," Bagus Puri berkata. "Kita harus belajar melihat dan menerima kenyataan." "Ada hal yang tidak pernah kita sadari. Alam dengan kodratnya selalu mengadakan pemilihan atas isi alam itu," kini Mas Ngalit yang berkata. "Jika kita tidak mampu bertahan terhadap jalannya pemilihan yang dilakukan oleh kodrat itu, maka kita akan tergilas. Kodrat berjalan seperti roda sebuah rata (kereta perang) Rempek, jika kita tak mau menghindari roda itu maka kita akan tergilas. Wong Agung Wilis tergilas. Ia menentang kodrat. Dan jika roda itu berjalan maka setiap kali kita tidak terpatok oleh satu cara dan keadaan. Kita harus mengikuti perkembangan yang menuju pada kemajuan zaman." "Benar, Yang Mulia," Bapa Anti ikut memberikan wawasan. Jaksanegara masih menjadi pendengar saja. Karena perhatiannya sedang tertuju pada ketiga wanita itu. Saling memiliki kelebihain. Sementara itu semua orang lain memperhatikan Bapa Anti. "Kami tahu perubahan suatu tatanan tidak akan semulus seperti yang kami impikan. Sebab ini menyangkut kehidupan banyak orang. Tatanan kehidupan ini berarti menyangkut juga perniagaan. Menyangkut perut banyak orang." Bapa Anti diam sebentar. Ia pandangi tiap orang. Mas Ngalit dan Mas Talip tampaknya memberikan dukungan. Tapi ia tak mampu menjajagi yang lain. "Belanda lebih maju dari kita. Bahkan menang segalanya. Apa sebab" Sebab mereka tidak terpatok seperti kita. VOC adalah perkumpulan perniagaan. Bukan negara. Tapi mampu memberi kebahagiaan, kekayaan bagi negerinya. Kumpulan niaga. Apa yang dihasilkan semasa Yang Mulia Wong Agung Wilis" Penggantungan para punggawa dan pedagang-pedagang besar yang ingin memberi kemakmuran pada kawula Blambangan. Nah, Kompeni lain, Yang Mulia. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mereka akan menjamin keamanan negeri kita. Mereka akan mengajari kita bagaimana menjadi bangsa yang maju," Bapa Anti makin bersemangat. Tangannya berkali-kali bergerakgerak di mukanya tiap kali ia memberi penegasan terhadap kata-katanya. "Nah... apa kataku?" Bagus Puri mendorong. "Kompeni, yah, Kompeni datang untuk membawa kebaikan. Untuk kebaikan tentu saja kita akan membayar harganya." "Tidak ada harga yang akan kita bayarkan!" Jaksanegara memperoleh bahan. "Kompeni malah membagikan uang untuk kita." Jaksanegara tersenyum sambil menoleh Bapa Anti. Yang ditoleh mengerti. Dan buru-buru permisi untuk mengambil bungkusan yang tertinggal di sanggurdi. Sementara Bapa Anti pergi Jaksanegara melanjutkan. "Hamba malah digaji. Digaji dengan uang Belanda. Dan sebentar lagi uang Bali dan uang Blambangan tidak laku di sini." "Uang Blambangan tidak laku di Blambangan sendiri?" Mas Ayu Rahminten bertanya. "Ya! Itu ketentuan Gubernur Vos dari Surabaya. Untuk menyerasikan Blambangan dengan negeri-negeri lain." Jaksanegara tersenyum. Ia tatap gadis itu dengan pandangan binal. Berbunga hatinya mendengar suara Rahminten yang merdu. Tapi gadis itu tak berkata lagi. Bahkan melempar pandangnya ke tempat lain. "Dengan kata lain, siapa yang menolak VOC akan kelaparan dan teraniaya?" Rempek berkata lirih, seperti pada diri sendiri. "Tepat!" Kini Jaksanegara tertawa ramah. Sementara itu Bapa Anti sudah tiba kembali. Burung-burung tidak terdengar bercanda di luar pendapa. Juga ayam dan bebek tidak muncul untuk bermain-main di pelataran. Bapa Anti kemudian menyerahkan sebongkah bungkusan pada Mas Bagus Puri. Semua orang memandangnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hadiah dari Tuan Colmond. Mayor Colmond," ujarnya. "Uh... berat sekali...." Bagus Puri gemetaran. Rempek menolong dan menaruh bungkusan itu di depan kaki Bagus Puri. "Itu untuk seluruh keluarga di Pakis," Jaksanegara menerangkan. "Terima kasih. Sampaikan pada Mayor...." "Kami akan sampaikan. Tapi kami juga minta ketegasan tentang kerja sama dengan Kompeni ini. Maksud kami Pakis menjadi salah satu wilayah Blambangan Utara. Semua di bawah VOC." Kembali mereka terdiam. Mereka semua tahu, Jaksanegara datang cuma berdua. Tapi jika ditolak, akan datang kembali dengan ribuan serdadu Kompeni. Inikah perubahan tatanan itu" Juga pemilihan alam. Dan semua yang telah dicanangkan oleh Bapa Anti bukan untuk ditolak. Perubahan untuk membawa kemakmuran bagi seluruh kawula. Mengapa harus ditampik" Pembangunan jalan-jalan raya dan loji-loji untuk mempercantik kota-kota besar Blambangan harus ditolak" Juga benteng-benteng bagi pelindung kawula Blambangan dari perampokan Bali atau Bugis apa harus dimusuhi" Semua baik. Demi kemajuan Blambangan. Tidak seperti Wong Agung Wilis yang tertutup dan terbelakang. "Agar lebih mempererat persahabatan kita, maka hamba bersedia mengangkat salah seorang keluarga Pakis ini untuk menjadi wakil hamba di Pangpang," Jaksanegara berjanji. "Baiklah," Bagus Puri menghela napas panjang, "kami menurut. Rempek, kau aku tunjuk mewakili kami!" "Hamba?" Rempek terkejut. Wajahnya sedikit memerah. Tanpa sadar meraba kumisnya. "Tidak ada jeleknya kita ikut menegakkan kembali Blambangan. Semua cara boleh ditempuh." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Rempek tertunduk. Mengalah. "Jika demikian, Mayor Colmond memohon kehadiran para Yang Mulia pada pesta yang akan diadakan tiga hari tiga malam. Kita semua bisa saling memperkenalkan diri. Dan kita akan tahu sahabat-sahabat kita dari luar Blambangan. Kita akan punya banyak teman dari luar negeri. Tidak seperti masa lalu." "Kami akan hadir," tegas Rempek. "Satu lagi, permintaan hamba, mohon Yang Mulia semua tak akan terkejut jika ada perubahan tatacara pengambilan sumpah jabatan di Pangpang nanti. Mungkin saja tidak seperti masa lalu. Karena tak ada brahmana Ciwa yang bersedia melantik pejabat VOC, maka mungkin kami akan dilantik dengan cara igama Islam. Nah, jika kami menolak itu, maka tidak akan ada pribumi yang memerintah di Blambangan. Kami tidak perlu persoalkan," Jaksanegara menerangkan lagi sebelum berdiri. Rempek sudah tahu hal itu. Demikian pun yang lain. Karenanya mereka tak perlu terkejut. Ini juga termasuk salah satu arus baru yang harus diterima. Juga oleh seluruh kawula Blambangan. Wangsengsari, Jaksanegara, Sutanegara, ataupun Suratruna harus dilantik dengan cara igama Islam. Benarkah tidak ada pandita yang bersedia" Atau memang tatanan baru itu tidak memberlakukan peranan pandita" Ah, arus yang dibawa bangsa asing ternyata harus dikunyah oleh setiap orang____ Bendera tiga warna, merah-putih-biru menghias jalan-jalan kota Pangpang. Juga umbul-umbul berwarna-warni. Yang tak boleh dikibarkan adalah umbul-umbul Jingga dengan gambar kepala anjing hitam atau lambang Sonangkara. Blambangan tak boleh mengibarkan benderanya sendiri. Colmond tidak pernah tahu arti bendera orang Blambangan. Yang tahu adalah Bapa Anti atau orang-orang Blambangan sendiri. Dan memang. Colmond belum pernah melarang. Tapi orang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Blambangan sendiri yang melarang. Karena mereka takut. Orang Blambangan takut melihat benderanya berkibar di angkasa Blambangan. Janur-jemanur dirangkai mendampingi bendera dan umbulumbul. Gardu penjagaan didirikan di tiap penghujung jalan raya dan tikungan-tikungan. Gardu-gardu itu dijaga oleh tiga orang. Satu orang Blambangan sisa laskar Mas Anom, dua orang laskar Madura, atau laskar Sidayu atau laskar Pasuruan, bahkan laskar Surabaya. Sementara itu kawula Blambangan yang tinggal di Lo Pangpang dan sekitarnya berbondong membanjiri alun-alun di depan halaman kediaman Mayor Colmond. Untuk pertama kali di Blambangan, pelantikan penguasa dilakukan di bawah langit dengan disaksikan oleh kawula dan mentari. Wajah para pemimpin yang disebut namanya itu tak asing bagi mereka. Yang asing adalah tatacara-nya. Tatacara yang berlaku di Blambangan asing bagi Blambangan sendiri. Tapi toh mereka berbondong, tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, ingin menyaksikan yang asing. Setiap yang baru selalu mendapat perhatian baru pula. Di alun-alun kawula melihat beberapa tarup besar dihias janur dan kain warna-warni. Tangan orang JJlambangan yang menghiasnya. Deretan angklung, gendang, dan gong serta kenong juga berderet siap untuk ditabuh seusai upacara dan memasuki acara pesta. Sedang di belakang rumah Colrrjond tampak asap putih tiada putus-putusnya mengepul ke Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo angkasa. Bau daging bakar yang gurih menusuk hidung. Daging kambing, babi, dan sapi dimasak untuk kepentingan pesta. Ribuan kati beras yang harus dipersembahkan oleh para bekel demi kepentingan pesta ini. Juga kambing, babi, dan sapi. Semua diambil dari kawula melalui para bekel untuk menjamu tamu asing dan pasukan yang menjaga ketenteraman kawula Blambangan. Sedang kawula yang mencium bau gurih itu cuma menelan ludah dan mendengar nyanyian perut mereka. Atau harus memenangkan amukan cacing penguasa perut. Perang membuat mereka harus Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menghemat persediaan makanan. Makanan harus diulur agar cukup sampai pada masa panen mendatang. Cuma puluhan orang bule yang ikut berjaga-jaga di seputar tempat pesta itu. Sebagian besar pasukan Madura. Meskipun begitu Belanda tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Mereka sudah kenyang dengan pengalaman merampas dan menduduki milik orang. Dan mereka juga berpengalaman mempertahankan hasil rampasannya itu. Dan kebiasaan itu berubah menjadi naluri. Mereka berusaha agar tidak alpa. Kealpaan yang membawa kekalahan semua raja-raja Jawa dan Nusantara lainnya. Dan VOC senang dengan kealpaan orang lain. Karena mereka memang hidup dari kealpaan orang lain. Kian naik mentari kian penuh orang berdiri di tepi alunalun. Ada yang gelisah dan ada pula yang tenang. Tenang karena kebetulan mereka mendapat tempat teduh di bawah pohon yang tak ikut dibabat kala membangun alun-alun itu. Namun yang kebetulan tidak berada di bawah pohon harus merelakan kulit mereka dibakar mentari. Untuk para satria disediakan tempat duduk dalam tarup. Ada yang membawa serta istri mereka, namun ada pula yang datang sendiri. Berbeda dengan ksatria Blambangan, maka para adipati atau perwakilan wilayah VOC lainnya di Jawa Timur yang diundang untuk menyaksikan upacara itu mengenakan baju hitam dan di bagian dada dihias dengan benang-benang emas. Cuma utusan Madura saja yang mengenakan destar dengan ujungnya naik ke atas. Pada umumnya ujung destar turun ke bawah. Warna-warni destar mereka. Ada yang hitam dengan kembang-kembang putih. Ada yang coklat dengan kembang-kembang hitam, ada yang merah dengan kembangkembang coklat tua. Cara memasang keris pun berbeda-beda. Ada yang di belakang. Ada yang di depan. Namun kawula tidak melihat satu pun perwakilan dari Bali. Ini juga merupakan hal baru. Juga mereka tak melihat satu pun brahmana duduk di bangku kehormatan. Sebagai gantinya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mereka melihat seorang berjubah putih dengan serban putih di kepalanya. Orang Blambangan tidak pernah mengenalnya, karena memang dia bukan orang Blambangan. Tapi orang Batu Ampar Madura. Para undangan sudah siap. Bahkan tidak sedikit yang selalu mengayunkan kipasnya karena gerah. Mas Bagus Puri dengan seluruh kerabatnya sudah duduk di antara para undangan. Mas Ngalit tidak henti-hentinya mengagumi pakaian serta tatacara baru yang dibawa oleh Kompeni melalui Bapa Anti. Pada ketikanya orang Blambangan akan berpakaian sama dengan mereka. Sebaliknya para tamu juga kagum terhadap mereka. Terutama terhadap putri-putri Blambangan. Semua dengan dada telanjang. Mata para serdadu VOC melotot menelan ludah. Beberapa bentar kemudian terdengar suara peluit dan sangkakala ditiup. Letnan Beglendeen yang baru saja tiba dari Surabaya berdiri menghadap para tamu. Pakaiannya hitam dengan tanda bintang emas di lehernya. Di pundaknya ada tanda pangkat, celananya berwarna putih. Topinya seperti periuk, terbuat dari kain beludru berwarna merah dengan pinggiran kuning emas. Tepat di atas dahinya ada simbol yang juga berwarna kuning emas bergambar pedang bersilang dengan bedil. Sebentar kemudian Beglendeen bertindak sebagai komandan upacara meminta kepada Sutanegara, Wangsengsari, Suratruna serta Jaksanegara berdiri di depan mimbar yang sudah disediakan. Keempat orang itu masih berbusana seperti biasanya satria Blambangan. Setelah itu Beglendeen nampak mencabut pedang di pinggangnya dan menempelkan punggung pedang ke bahunya. Berlari ke pendapa kediaman Colmond untuk melapor bahwa upacara siap dimulai. "Kerjakan!" perintah Gubernur J. Vos yang berkenan menghadiri upacara dan menjadi inspektur upacara itu. Beglendeen balik kanan dan dengan gerakan yang kaku Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ seperti wayang kulit, ia kembali berlari ke tengah-tengah lapangan. Setelah tepat di tengah lapangan ia menghadap pada beberapa regu pasukan Belanda dan pasukan tentara gabungan Madura, Sidayu, Pasuruan, serta Surabaya, yang sudah disiapkan di tengah lapangan untuk mengikuti upacara pelantikan Tumenggung Blambangan. Mereka disiapkan. Setelahnya Vos diiringi Mayor Colmond, dengan pakaian kebesaran yang sangat aneh menurut orang Blambangan, berjalan ke panggung yang disediakan. Orang ini pun mengenakan topi merah darah yang terbuat dari bahan semacam laken. Sedang bajunya hitam juga terbuat dari bahan beludru. Dari pangkal leher sampai pangkal perutnya berbaris menurun melalui dadanya kancing emas sebanyak delapan buah. Entah berapa gram beratnya. Tentu orang tidak sempat menimbangnya. Berapa lagi yang tertera di pundak" Juga bintang-bintang yang berbaris di leher bajunya" Tak ada yang tahu kecuali perancang modenya. Atau barangkali penjahitnya. Celana putih dan bersabuk, serta pedang panjang tergantung di pinggang kirinya, berkilau ditimpa sinar mentari. Muka Vos merah jambu, dihiasi kumis pirang. Hidungnya sungguh-sungguh macung seolah paruh burung betet. Perutnya agak buncit. Sedang baju bagian belakang memanjang menutupi pantat. Terkesan seperti baju Dewa Narada di wayang kulit. Beglendeen mengeluarkan aba-aba agar semua orang berdiri. Kemudian aba-aba sekali lagi mengguntur, memerintahkan semua memberi hormat pada J. Vos. Sedang pasukan penghormatan memberi penghormatan dengan cara mengangkat senjata mereka di depan tubuh yang berbaris kaku. Vos membalas dengan mengangkat tangan di pelipisnya sambil memutar badan ke segala penjuru. Beberapa bentar kemudian Vos diiringi Beglendeen berjalan memeriksa barisan. Semua orang masih harus dalam keadaan menghormat padanya. Sangkakala berbunyi mengiringi langkahnya yang diatur sedemikian rupa supaya nampak anggun dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berwibawa. Kembali ke tempat semula, aba-aba penghormatan selesai. Benar-benar tatacara baru bagi Blambangan. Kini keempat orang yang hendak dilantik itu diperintahkan maju ke depan J. Vos dengan sikap sempurna. Pengambilan sumpah pun dimulai. Kawula Blambangan berdesakan maju. Sedikitnya melongokkan kepala. Bersamaan dengan itu, orang yang berjubah putih dengan serban putih di kepalanya, turun dari tarup kehormatan. Kemudian berdiri di depan keempat orang yang terlantik itu. Sambil mengangkat tangannya ke atas kepala keempatnya ia mulai berdoa. Dan keempat orang itu harus menirukan. Walau mereka belum mengerti maknanya. Ya, mereka belum mengerti makna doa yang mereka ucapkan sendiri. Karena mereka memang belum pernah belajar untuk mengerti bahasa Arab. "Auuzhu bil ahi minasy syaithaanirrojim..." keempat orang itu menirukan secara bersama pembukaan doa oleh imam. Dan kemudian di sambung oleh rentetan doa Al Fatihah yang belum juga dipahami maknanya oleh semua orang yang terlantik itu. Disambung lagi dengan Kalimat Syahadat serta doa Shalawat Nabi. Kemudian diam beberapa bentar. Imam itu memperhatikan wajah keempat orang di depannya yang menjadi tegang. Ia tidak tahu penyebab ketegangan mereka. Barangkali saja terlalu lama di bawah terik mentari. Jangankan para satria, para kawula juga memperhatikan. Rasanya mereka sedang terombang-ambing oleh gelombang. Bahkan bagi Sutanegara, merasa seperti berdiri di atas sebuah mata pusaran. Dilihatnya di kejauhan Mas Rempek bersama saudara-saudaranya duduk berderet. Seolah merupakan arus tersendiri. Di lain pihak, mata para pembesar VOC dan sekutunya, yang merupakan arus baru. Semua tertumpu padanya. Bertemu dalam dirinya dan menjadi sebuah mata pusaran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Apalagi setelah sampai pada kalimat berikutnya. Serentet janji setia pada pemerintahan VOC. Pada Kompeni! Aku telah jadi salah satu punggawa Kompeni! Apa artinya ini" Aku mulai kehilangan kebebasanku. Jika aku menentang maka nasibku akan buruk. Setiap orang yang menyertakan kekuatan senjata dalam pemerintahannya, pasti dapat berbuat banyak untuk memaksakan kehendaknya. Demikian pula tentunya Mayor Colmond. Ketegangannya menjadi lengkap kala pengambilan sumpah selesai. Dan kepada keempat tersumpah itu diberi baju seperti para adipati Jawa lainnya. Inikah ganjaran sebagai pembaharu" Dengan pakaian baru yang masih asing itu maka Sutanegara merasa diri akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Atau memang setiap pembaharu harus menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri" Baju berwarna hitam dengan untaian benang-benang emas di leher dan dadanya itu kini menjadi milik mereka berempat. Kancingnya tidak berjumlah delapan seperti milik Johanis Vos atau Colmond. Tapi cukup empat. Di belakangnya tidak panjang. Tapi justru sedikit di atas pinggang. Sengaja dirancang seperti itu untuk mempermudah pemiliknya menyelipkan keris di punggungnya. Demikian pula kepada para istri mereka,-dilarang telanjang dada di depan umum. Tapi harus mengenakan kemben. Ini juga tatanan baru di Blambangan. Setelah itu mereka harus mendengar pesan Vos yang disampaikan dengan bahasa Jawa. Sudah pintar orang itu berbahasa Jawa" Setiap pejabat " VOC memang harus mengerti Jawa. Karena mereka harus berhadapan dengan raja-raja Jawa selama ditempatkan di Jawa. Tidak kurangkurang dari mereka yang lebih pintar dibanding orang Jawa sendiri. Karena memang mereka punya banyak waktu untuk belajar dan mengamati. Sebaliknya orang Jawa sendiri terlalu sibuk mencari makan dan membayar upeti. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Usailah upacara, ketika kata-kata Johanis'Vos habis. Kedua tumenggung dan patihnya yang baru dilantik itu diperkenankan bersalaman dengan semua tamu. Semuanya senyum-senyum. Memberikan ucapan selamat. Selamat bekerja dan selamat.... Capek juga tangan mereka membalas jabatan tangan itu. Dan setelah itu semua dipersilakan duduk. Para pembesar Kompeni dipersilakan mengambil makanan terlebih dulu. Setelahnya baru para satria pribumi. Suratruna pun mengalami seperti Sutanegara. Aniaya itu menjadi amat terasa justru saat perjamuan makan. Sebelum mengambil makanan ia sempatkan melirik tamu Surabaya. Ternyata mereka cuma mengambil telur rebus sebagai lauk. Atau sate kambing. Padahal banyak makanan yang lebih lezat. Demikian pula yang dari Madura, Pasuruan, dan Probolinggo. Liurnya menitik demi melirik Rempek dan rombongannya menyantap babi bakar yang menjadi makanan kesukaannya. Ingin juga ia mengambil. Ah... mata banyak orang tertuju padaku. Kini ia harus menyesuaikan diri.... Kawula masih belum bubar. Mereka ingin bersemuka dengan penguasa baru yang akan memimpin mereka. Setidaknya dalam hati mereka merekah sebuah harapan, dengan penyerahan kekuasaan kepada para satria Blambangan sendiri, maka laskar asing akan segera pergi. Mereka sudah kenyang memberi makan laskar asing dari sebelum zaman Wong Agung Wilis. Hidup di bawah pengawasan asing, tidak pernah membawa ketenteraman bagi mereka. Mana harus menyembunyikan ternak, mana harus menyembunyikan -harta lainnya. Bahkan yang lebih sulit lagi adalah menyembunyikan para wanita muda dan perawan. Apakah harapan mereka akan terpenuhi" Setiap gerak keempat penguasa baru itu tak pernah lepas dari mata kawulanya. Mereka melihat betapa penguasa mereka sibuk membungkuk-bungkuk tiap kali berpapasan dengan pejabat lain. Menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Di mata Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kawula, ah... betapa satria gagah seperti Suratruna telah berubah menjadi siput. Betapa jauh bedanya t dengan Tumenggung Singamaya, kakeknya dulu. Karena sibuk membungkuk-bungkuk itu barangkali mereka tak sempat bersemuka dengan kawulanya. Jangankan bersemuka, melambai saja tak sempat. Bahkan bersenyum saja tidak! bisik seorang pada lainnya. Tak seperti ketika Wong Agung Wilis dilantik menjadi patih Blambangan dulu. Sehabis pelantikan ia keluar istana dan membalas lambaian tangan seluruh kawula yang berbaris di seputar alun-alun Lateng. Inikah pembaharuan" "Sstt... jangan bicara begitu! Itu namanya masih ingat Cermin Alam Gaib 2 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Setan Dari Biara 2