Gema Di Ufuk Timur 4
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 4 "Sayu Wiwit." "Sayu Wiwit?" Debar jantung Rempek mengeras. Sayu Wiwit" Ini yang disebut-sebut Rsi Ropo dulu" "Ya. Hamba Sayu Wiwit." "Maafkan aku! Ahai, membawa rombongan gandrung. Sayu Wiwit menjadi gandrungnya ?" "Cuma dalam rangka mempersembahkan pesanan ini. Hamba tak akan menari di sini. Karena memang hamba bukan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ penari. Hamba cuma menjalankan perintah. Dan setelah selesai harus kembali untuk tidak mengundang kecurigaan." "Siapa yang memerintahkan kalian?" "Mas Ayu Prabu." Makin kaget Rempek mendengar itu. Apa hubungan Ropo dengan Ayu Prabu" Tapi bukan cuma Rempek yang kaget. Tha Khong Ming juga tak kurang-kurang kagetnya. Mendengar itu ia tahu bahwa ini bukan rumah Ayu Prabu. Gila! Aku diperdaya oleh wanita itu. Dan senjata ini bukan untuk Ayu Prabu sendiri. Tapi untuk Mas Rempek. Gila! ia mengumpat dalam hati. "Lalu?" "Hamba akan mohon diri." "Itu akan makin mencurigakan. Marilah ke taman dan tabuhlah angklung ini barang beberapa bentar. Siapa tahu di antara mereka ada yang tidak setia?" Rempek menunjuk penjaganya sendiri. "Dan marilah kita bawa kotak-kotak itu ke ruang belakang." Semua membenarkan. Kotak-kotak diangkut ke ruang belakang. Sambil menikmati suara angklung mereka dijamu di taman. Tidak banyak yang bisa dinikmati di taman itu. Mendung menggantung tebal sehingga kegelapan menyelimuti alam. Para istri Rempek juga ikut menjamu mereka. Tha Khong Ming mendekati Sayu Wiwit dan bertanya tentang Ayu Prabu, maka dijawab seperti pesan bahwa Tha Khong Ming akan berjumpa dengan gadis itu barang lima hari lagi di kedai Sumberwangi. Ketika pulang ke Sumberwa-ngi bersama rombongannya, Tha Khong Ming tetap menyembunyikan kekecewaannya. Sedang Jlempek sendiri gagal menjajagi di mana sebenarnya Ayu Prabu tinggal. 0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setiap keadaan menumbuhkan pemikiran yang tersendiri. Lingkungan memang mempengaruhi jalan pikiran manusia, demikian ungkapan seorang bijak. Demikianlah kenyataan yang dialami Jaksanegara. Kebiasaan melihat dan berkumpul dengan penguasa Kompeni membuatnya mendapat keinginan baru. Ditambah lagi betapa sulit ia mendekati Nawangsurya. Asmara merrrang tak memandang usia. Sekalipun usianya sudah lebih empat puluh tahun, namun keinginan untuk memetik bunga Pakis itu tetap ada. Jangankan membawanya ke pembaringan, mencari kesempatan untuk berdekatan pun sukar. Lain halnya jika ia adalah penguasa tunggal di Blambangan. Maka harus terjadi semua yang ia maukan. Soalnya sekarang ada Wangsengsari, Sutanegara, dan Suratruna. Memusnahkan mereka bukan hal yang mudah. Ah... betapa enaknya jika aku seperti Mangkuningrat" Semua yang ada di Bumi Semenanjung ini akan jadi milikku. Yang terbaik sekalipun. Tapi sekarang tak mungkin lagi menjadi seseorang seperti Prabu Mangkuningkrat. Ada Belanda di Bumi Semenanjung. Dulu Mangkuningrat dengan mudahnya memanjakan diri sendiri. Yah, Belanda! Aku tak memiliki laskar untuk menaklukkan Sutanegara dan Wangsengsari. Satu-satunya jalan harus menggunakan kekuatan Belanda yang kini menguasai Blambangan. Nah, aku harus mendekatkan diri pada Belanda dengan mengiakan semua yang mereka maukan. Bahkan lebih dari itu Jaksanegara sangat memanjakan Belanda. Ia sering mengundang makan dan minum para opsir. Ia juga memperluas tamansarinya, dan menambah perbendaharaan taman itu dengan sejumlah wanita muda yang cantik-cantik. Dengan kecantikan taman dan penghuninya itu membuat beberapa pejabat seperti Biesheuvel, Schophoff, Pieter Luzac, atau beberapa perwira lainnya senang menerima undangan jamuan makan dari Jaksanegara. Bapa Anti adalah salah seorang pembantunya yang paling cakap menjadi penghubungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Menurut Jaksanegara, Bapa Anti adalah orang yang mampu mengantar banyak satria Blambangan untuk menjadi penguasa. Seperti Mas Anom dan Mas Weka. Sekalipun kemudian digusur oleh hadirnya Wong Agung Wilis kembali di Blambangan beberapa tahun lalu. Tentunya Bapa Anti tidak akan sulit mengantarnya ke jenjang tertinggi bagi seluruh pribumi Blambangan itu. Bagaimana dengan pembantunya" Mas Rempek yang sudah terlanjur menjadi pembantunya" Pemuda itu berdarah Tawang Alun. Apa tidak akan menimbulkan kesulitan di masa mendatang" Ia harus bersekutu dengan pemuda yang tampaknya mudah mempengaruhi orang lain itu. Apalagi ia menginginkan Nawangsurya. Tentu harus pandai-pandai merangkul Rempek, agar dengan demikian akan lebih mudah mendekati gadis yang mengganggu tidurnya itu. Maka suatu senja ia sengaja mengundang Mas Rempek ke tamansari-nya. Dan dengan tanpa curiga semenir pun Rempek menghadirinya. Pengawalnya berjaga di luar taman. Kedatangannya juga salah satu kepatuhannya pada atasan. Orang ciwa telah membiasakan diri untuk patuh. Rempek menyebut dalam hatinya ketika melihat taman yang begitu luas. Berbagai macam anggrek terkumpul dan bertempelan di pohon-pohon mahoni dan kenanga. Kehijauan makin subur di musim penghujan seperti saat itu. Burung-burung berdatangan tanpa dipelihara, namun menjadi pelengkap yang manis bagi taman itu. Dalam taman itu berdiri juga beberapa rumah yang tidak begitu besar dan berdinding kayu ulin. Sekitar delapan rumah. Beratap ijuk hitam yang nampak begitu serasi dengan hijaunya daun dan rumput serta merahnya bunga. Di tengah taman ada satu bangunan seperti pendapa tanpa dinding. Beratap ijuk dan berlantai kayu ulin yang dilam-bari permadani merah. Lebih mempesona lagi karena bangunan itu dikelilingi kolam yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berair jernih dan banyak ikan emas serta beberapa jenis ikan peliharaan lainnya. Melewati sebuah jembatan bambu Rempek mencapai tempat itu. Sebuah meja yang penuh hidangan telah tersedia di samping beberapa tempat duduk kosong. Ah, betapa tempat ini seperti milik dewa-dewi. Jaksanegara duduk sambil tersenyum. Di sampingnya juga duduk seorang perempuan muda cantik. Belum lagi dua orang yang bertugas sebagai tukang kipas. Gila! gumam Rempek dalam hati. Berapa uang orang ini untuk menghidupi begitu banyak wanita cantik" Dari mana ia mendapat uang sehingga mampu membangun tamansari yang hampir menyamai taman milik Ken Dedes" "Senang sekali dapat kunjungan Yang Mulia," Jaksanegara mendahului karena ia melihat Rempek agaknya terbengongbengong. "Oh... terima kasih, Yang Mulia." "Silakan duduk. Hamba pikir akan datang bersama istri atau saudara-saudara keluarga Pakis lainnya." "Untuk urusan tugas tak baik mengajak keluarga" "Haha... ha... ha... ha... tidak begitu penting sebenarnya." Jaksanegara kembali tertawa. Mengelus kumisnya sebentar. Membetulkan letak destarnya sebentar dan kembali bicara, "Tapi ini menyangkut masa depan Blambangan. Yah... masa depan negeri kita. Tentunya menarik jika kita semua ikut bicara. Maksud hamba jika Yang Mulia sekeluarga ikut berembuk. Bukankah keluarga Yang Mulia lebih dekat pertaliannya dengan wangsa Tawang Alun daripada kami?" Sedikit berdebar hati Rempek mendengarnya. Tapi memang semestinya akan sangat menarik. Di saat seperti ini ada orang mengajak berembuk soal Blambangan yang telah runtuh ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tentunya para Yang Mulia akan membangun kembali wangsa Tawang Alun yang porak poranda, bukan?" "Hamba kurang tahu, Yang Mulia. Tapi kami belum pernah membicarakannya." Mata Rempek liar melirik kiri-kanan. Dan Jaksanegara mengerti apa yang dikhawatirkan Rempek. "Di sini aman, Yang Mulia. Jangan khawatir. Hamba menjamin." Walau begitu Rempek masih saja membetulkan letak kerisnya. Satria harus bersiap jika sewaktu-waktu ada sesuatu, pikirnya. "Tidak seharusnya Blambangan terpecah seperti sekarang ini. Kita tak tahu jelas siapa yang salah. Tapi kita yang memikul akibatnya. Seluruh kawula juga. Tapi aniaya ini akan terobati jika kita dapat mempersatukan kembali Blambangan." "Betul, Yang Mulia." Rempek masih saja melirik kiri-kanan. Kadang matanya tertuju pada para wanita yang mengitari Jaksanegara. Semua berkemban. Mereka telah tidak sama dengan kebanyakan orang Blambangan. Walau makan dari hasil bumi Blambangan, dan minum air Blambangan. Juga Jaksanegara telah berpakaian tidak seperti umumnya satria Blambangan. Orang begini akan bicara masa depan Blambangan" Mungkinkah masih ada cinta untuk negeri ini dalam kalbunya" Aku harus hati-hati. Rsi Ropo mengatakan, tak seorang pun yang telah menikmati keenakan karena kerja sama dengan Kompeni dapat dipercaya. Orang demikian biasanya cenderung mengulur keenakan yang dinikmatinya agar berlangsung lebih lama tanpa mempedulikan aniaya yang dirasakan orang lain. "Tentunya tidak ada orang lain yang memperhatikan kecuali kita. Jadi Blambangan harus diperintah oleh satu orang raja dan seorang patih." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apakah itu mungkin, Yang Mulia" Tampaknya sulit jika masih ada Belanda di sini. Karena Belanda-lah yang memecah Blambangan menjadi dua." "Jika Belanda angkat kaki maka Bali akan mengirimkan laskarnya. Maka sebaiknya biarlah Belanda di sini memayungi kita." "Jadi bagaimana rencana Yang Mulia. Hamba maksud bagaimana cara kita agar mempersatukan Blambangan?" "Ini yang perlu kita bicarakan. Kita harus menghindari perang melawan Belanda. Kawula Blambangan sudah begitu menderita. Dari waktu ke waktu didera perang. Mereka harus diberi kesempatan untuk menikmati keindahan hidup. Dan itu baru akan mereka alami jika mereka hidup di sebuah negeri yang damai, yang perniagaannya maju." "Indah sekali impian Yang Mulia itu." Rempek menarik napas panjang. Sementara itu seorang perempuan muda keluar dari sebuah rumah tak jauh dari tempat mereka berunding itu dengan membawa sebuah guci kecil. Rempek tahu bahwa itu arak. Guci keramik bikinan Cina. Demikian pun beberapa cangkir yang ditaruh di atas meja itu. Dari Cina. Namun Rempek kurang begitu tertarik untuk memperhatikan wanita pembawa minuman itu. Bayangan wajah Rsi Ropo berulang muncul di bayang-bayang senja yang mulai menghilang. Setiap pengkhianatan harus dibayar mahal. Jatuhnya leher Yang Mulia ke atas bumi yang memberi makan pada Yang Mulia sendiri. Dan ia menyadari, tak mungkin dapat berlari. Pengawalnya tak mampu melihat pengiriman senjata masuk ke istananya. Apalagi melindunginya dari mertalutut Wilis. Jangan-jangan di antara wanita cantik itu ada juga orangnya Wilis. "Ya... setuju kan, Yang Mulia, jika kita mencoba mewujudkannya?" "Hamba membantu sepenuhnya usaha itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Inilah yang hamba tunggu, Yang Mulia. Kita harus menerangkan pada kawula Blambangan, bahwa kita harus berbagi anugerah dengan Belanda. Hasil panen kita harus dibagi dua. Karena mereka yang menjaga ketenteraman negeri dari incaran Bali. Jangan lupa orang Bali selalu mengancam dari saat ke saat," Jaksanegara meneruskan lagi. Beberapa bentar lagi pelita mulai dipasang. Kegelapan membuat ikan-ikan di kolam tidak tampak lagi. Burung-burung juga berhenti berkicau. Sebagai gantinya suara jangkrik, katak, dan beberapa jenis binatang malam lain. "Hamba perhatikan dan pikirkan semua cita-cita Yang Mulia ini. Kemudian hamba akan bicarakan pada Kanda Mas Talip, Mas Nawang-surya, atau juga yang lain-lain. Bahkan mungkin Kanda Bagus Puri." "Artinya Pakis akan membicarakannya?" "Ya." "Mudah-mudahan semua setuju." "Yang menjadi masalah bagi hamba adalah cara. Bagaimana caranya, itu yang belum tahu." "Jika perlu hamba akan bicarakan ini dengan para tumenggung. Nah, jika mereka semua setuju, tentu semuanya akan berlangsung amat mudah." "Itu mungkin yang terbaik. Sebagai pembantu patih, hamba akan patuh. Hamba akan lakukan apa yang harus hamba lakukan untuk negeri ini." "Kita mengikat janji, Yang Mulia. Kita bahu-membahu. Mari kita minum bersama." "Maaf, Yang Mulia. Hamba melihat butiran candu di meja." Rempek menunjuk beberapa gelintir benda yang sebesarbesar kelingking, terbungkus daun lontar dengan amat rapi. Ia tahu itu candu yang juga biasa dipakai untuk upacara keagamaan. Namun beberapa orang tidak menggunakan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebagai alat upacara keagamaan. Tapi untuk mendapat kekuatan baru. Keindahan baru. "Hamba tidak biasa memakan milik dewa-dewa itu." "Kenapa tidak" Kita akan mendapat kekuatan seperti para dewa." "Apa pun kata orang, hamba tidak ingin memakannya. Nah... Yang Mulia, hamba mohon diri. Selamat malam." Ia bangkit kemudian berlalu. Jaksanegara kecewa melihat itu. Ia ingin Rempek menemaninya minum sampai jauh-jauh malam. Kalau mungkin bermalam di situ. Tapi tak lama kemudian kekecewaannya terobati dengan datangnya Bapa Anti. "Ah... kebetulan. Kita minum sampai puas. Hamba ingin ditemani Mas Rempek tapi dia menolak." Bapa Anti tertawa mendengar itu. "Tentu. Ia tak berani makan candu, Yang Mulia. Apalagi ia Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekarang sering datang ke Songgon." "Songgon" Desa tua..." "Sekarang menjadi daerah perdikan yang makmur. Semua kawulanya tidak terikat dengan peraturan di Blambangan." "Ya, Al ah. Siapa pemimpin mereka?" "Seorang rsi yang masih sangat muda. Ia memiliki pengamatan yang amat tajam. Padahal jaraknya puluhan ribu tombak dari sini. Tapi hampir semua kejadian penting ia tahu." "Iblis dari mana dia itu" Pernahkah Yang Mulia ke sana?" "Pernah..." Bapa Anti kemudian menceritakan pengalamannya dan apa yang ia lihat di sana. "Jadi sudah banyak orang yang ke sana" Dan apa kata Yang Mulia tadi" Dia katakan Wong Agung Wilis masih hidup" Dan banyak orang percaya" Mustahil! Itu cerita mustahil!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Memang kelihatannya mustahil. Tapi Yang Mulia Sutanegara membenarkan bahwa sebenarnya Wong Agung Wilis masih hidup di Bali." "Gila! Rangkap berapa nyawanya" Hah!" Jaksanegara benar-benar terkejut. Jika cerita itu benar maka keinginannya untuk menjadi penguasa tunggal di Blambangan akan gagal. Kawula tidak akan patuh pada siapa pun jika ada Wong Agung Wilis. "Kita tidak perlu resah, Yang Mulia. Andaikata benar Wilis masih hidup, apa ia mampu mengalahkan VOC" Pengalaman menunjukkan bahwa ia kalah. Siapa yang tak dengar itu orang gagah berani, Untung Surapati" Juga mati di tangan Belanda." "Tapi belum ada ceritanya orang mati hidup lagi. Padahal Rsi Ropo mengatakan Wilis tidak akan mati sepanjang segala zaman." "Cuma para dewa yang tak pernah mati. Kita akan bertanya besok pada Yang Mulia Wangsengsari. Apa beliau dengar tentang ini." "Ya. Malam ini kita minum-minum." Jaksanegara menyodorkan minuman. Bapa Anti pun ternyata sudah biasa minum arak yang dicampur candu... Sementara itu Rempek dengan para pengawalnya telah meninggalkan Pangpang. Namun di tengah jalan Rempek memerintahkan sebagian pengawalnya pulang untuk memberi tahu istrinya bahwa malam ini Rempek akan ke Songgon. Ada beberapa hal yang perlu ia tanyakan pada Rsi Ropo. Kendatipun malam kian naik, ia tak peduli. Bulan memancar terang, awan-awan putih berkejaran di udara tanpa mengenal lelah. Cuma dua pengawal yang dibawanya. Demikian pula kuda Rempek. Tanpa mengenal lelah berlari terus dalam usaha mengalahkan jarak yang membatasi Rempek dengan Rsi Ropo. Tidak peduli apakah ia harus melewati jalan yang sulit. Jalan mendaki, menurun berbatuTiraikasih Website http://kangzusi.com/ batu, jalan setapak penuh onak dan ilalang, terus diterjangnya. Akhirnya Songgon dijangkaunya. Namun begitu ia mencapai rumah pertama di ujung desa, seseorang menahan langkah kudanya. "Selamat malam, Yang Mulia," seorang petani bertubuh gempal menyembahnya. "Akari menghadap Rsi-kah" Begini malam?" "Ada sesuatu yang penting hendak kubicarakan." 'Tidakkah bisa ditunda esok pagi" Kami menyediakan tempat jika Yang Mulia perlu istirahat." "Jagat Dewa!" Rempek menyebut. Bukan kebiasaan sudra menahan satria. Tidak ada sudra memiliki keberanian seperti itu. "Apa keberatanmu, Ki Sanak?" Rempek mengernyitkan dahinya. "Desa kami tidak pernah terusik langkah orang asing di malam hari. Apalagi derap kuda." Orang itu tetap tenang. Matanya menatap tajam pada ketiga orang penunggang kuda itu. "Aku kauanggap asing" Songgon tidak terpisah dari Blambangan?" "Bagaimana kami harus satu dengan Blambangan yang terpecah-pecah" Bagi kami Blambangan yang tidak tunduk pada pemerintahan Wil is .maka ia adalah asing." "Jagat Dewa! Justru itu yang hendak aku bicarakan. Baik! Aku akan turun dari kudaku. Biar kuda itu di sini dan aku berjalan kaki ke padepokan." "Sudah hamba katakan. Tidak ada langkah orang asing pernah mengusik tempat ini malam hari. Jika Yang Mulia memaksa, maka ini yang pertama kali terjadi. Dan Yang Mulia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ akan melihat kenyataan pahit. Yang Mulia tetap tidak akan bersua Rsi. Bahkan mungkin untuk selamanya." "Hyang Bathara!" Rempek kian terkejut atas jawaban itu. Juga para pengawalnya. Jawaban yang mengandung ancaman. Dengan kata lain di sini ada kekuatan yang akan bertindak jika ia memaksa masuk. Lalu ini pertapaan macam apa" " Ingin ia melompat turun membunuh petani itu. Namun indria keenamnya memperingatkan supaya ia tidak gegabah. Tidak mendengar kata hati semata. Sebab di dalam rumah di ujung jalan itu, baik di sebelah kiri dan kanan, ada prajurit rahasia yang menyamar menjadi petani. Dengan mata berkilat-kilat menahan marah dalam dadanya, Rempek menyerah. Dugaan Rempek tidak meleset. Ketika ia dibawa ke rumah di ujung jalan itu, maka tidak ada seorang pun wanita. Mungkin petani itu tidak beristri. Tapi yang lebih membuatnya curiga adalah tiga orang lelaki lain yang duduk di tikar pandan. Semua sedang berkinang. "Selamat malam, Yang Mulia," sambut mereka berbareng. "Selamat!" Rempek kesal. Untuk kesekian kali ia harus mengerjakan sesuatu yang tidak ia maukan. Untuk mengurangi kekesalan hatinya ia segera berbaring. Ia tidak mungkin kembali ke Pakis dengan kepala yang dibebani tanya. Berbaring memandang ke langit-langit yang tidak nampak secara jelas karena penerangan tidak terlalu banyak dalam ruangan itu. Padahal bulan memancar, terang di luar. Namun semuanya jadi diam. Keheningan merajai alam. Beberapa bentar kemudian Rempek mendengar di luar suara bisik sepasang manusia. Langkahnya belum terdengar, namun percakapan mereka kian lama kian jelas. Suara seorang lelaki dan seorang lagi perempuan. Rempek menajamkan telinga. Ia lirik seorang di antara para petani yang dalam biliknya bangkit. Dua lainnya ikut bangkit dan mengintip di balik pintu. Keduanya membawa benda yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terbungkus kain kumuh. Rempek cuma memperkirakan itu senjata laras panjang. Rempek kian berdebar. Ah, andaikata tadi ia berani menikam petani yang menghadangnya, hampir dapat dipastikan istrinya bakal jadi janda. Gila, tempat ini mengandung banyak hal yang tersembunyi. Seorang yang terdahulu dengan cepat menyelinap ke luar. Rempek tidak bergerak. "Selamat malam, Yang Mulia," terdengar suara petani tadi. "Selamat malam. Aku akan berangkat malam ini bersama Sayu Wiwit." Suara lainnya pelan. Tapi malam begitu sepi. Memudahkan telinga Rempek memantau kata-kata mereka. "Yang Mulia memerlukan kuda" Baik, hamba akan ambilkan. Sebab hamba khawatir keliru ambil," petani tadi berbisik. "Keliru?" "Ya. Dengan kepunyaan Mas Rempek." "Mas Rempek ada di sini" Akan menghadap Rsi" Bersama kami Rsi sedang keluar. Beliau ke barat. Beliau akan naik." "Kapan baru akan turun?" "Jika tak terjadi sesuatu esok malam baru akan sampai di sini. Kami tidak menduga Mas Rempek datang hari ini. Sebab laporan mengatakan bahwa ia sedang bersama Jaksanegara malam ini. Ah... dia terlambat. Baik! Itu urusan para cantrik besok! Mana kuda kami." Orang itu menjauh. Sebentar kemudian terdengar langkah dua ekor kuda. Dan beberapa bentar kemudian berderap menjauh... Kekesalan Rempek menjadi genap. Tapi tetap tak berani berkutik. Dua orang yang di balik pintu itu lebih dulu berbaring di tikar yang tak jauh dari pintu. Benda yang terbungkus kain kumuh itu mereka letakkan di samping mereka masingTiraikasih Website http://kangzusi.com/ masing. Ternyata dua rumah yang saling berhadapan di ujung jalan ini gardu jaga orang-orang Songgon. Tampaknya memang tak pernah ada pengawalan di sini, tapi jika ada sesuatu maka Rempek yakin sewaktu-waktu bermunculan pengawal-pengawal yang tidak mustahil bersenjata lengkap. Kepala Rempek sibuk menebak-nebak. Kemana ya Rsi Ropo" Ke atas" Tentu ini kata sandi. Rsi masih punya pimpinan yang lebih tinggi. Bisa, ya! Bisa diterjemahkan begitu. Atau ke pusat mereka di sebuah gunung yang letaknya lebih tinggi dari Songgon. Buntu jalannya melacak Rsi Ropo, kini hatinya mempertanyakan siapa yang pergi bersama Sayu Wiwit tadi. Mengapa di sini" Ke mana pula mereka itu" Juga sukar menduga. Ingin ia bangun membuntuti kedua orang tersebut. Gila! Apa sebab keinginan semacam itu timbul" Apakah karena kemanisan Sayu Wiwit yang mengguncang hati" Senyum, mata, dan bibir tipisnya" Ah... bukan! Ia menjadi terombangambing oleh teka-teki. Dan ia harus berusaha memecahkan teka-teki itu. Aku, satria! Kenapa kalah oleh teka-teki" Andaikata ia mampu mengikuti perjalanan dua insan yang menguak kesunyian malam, di bawah bulan purnama serta awan putih berkejaran seperti anak-anak kecil yang sedang bercanda itu, maka semua teka-tekinya mungkin akan musnah. Angin bertiup perlahan membelai keduanya. Rambut Sayu Wiwit berkibar seperti bendera. Keduanya tidak memacu secara cepat. Seperti orang yang sedang bersantai. Kendati begitu debu mengepul di belakang kuda mereka bagai asap. Membubung ke angkasa dan jatuh kembali bersama lembabnya udara ke daun-daun, dahan-dahan, atau bebatuan. "Aku melihat banyak kemajuan dalam dirimu, Wiwit," Ramad membuka percakapan. "Berkat, Mas Ayu...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sepandai-pandai Mas Ayu, tapi jika kau sendiri bukan merupakan tanah subur untuk ditanami maka sia-sialah kerjanya. Ia tidak akan memetik buahnya." Wiwit malu mendengar itu. Andai bukan malam hari tentunya Ramad akan dapat melihat perubahan wajah Wiwit. Memerah. Senang mendengar pujian dari seorang pemuda seperti Ramad. "Kali ini kau mendapat tugas mengawasi Jember dan aku daerah Puger serta daerah selatan lainnya. Jadi kita tidak terlalu jauh jika dibanding tempat Mas Ayu di Sumberwangi." "Rasanya hamba belum mampu." "Kau akan mampu. Pada saatnya kau akan berhadapan dengan Letnan Steenberger, komandan tangsi Belanda di Jember." "Seperti mimpi saja. Seorang sayu, yang seharus tinggal di pura, kini harus berkuda berpuluh-puluh ribu depa jauhnya. Belum lagi tugas yang harus hamba emban. Semestinya tangan ini dipergunakan hanya untuk menyiapkan kemenyan, dupa, dan kembang, tapi sekarang harus memegang senjata. Juga mulut ini, biasanya cuma untuk berdoa, tapi sekarang..." "Keadaan memerlukan kau berubah demikian. Aku tak tahu mana lebih baik, duduk berdoa saja, tidak melakukan sesuatu apa pun sementara orang lain memperkosamu, menginjak kepalamu dan bangsamu, dengan kau bertandang mengangkat senjata!" . Sayu Wiwit terdiam. Bunyi langkah kuda mereka makin jelas. Mulai menapak daerah berbatu-batu. "Ternyata kesucian tidak cukup dibela hanya dengan doa," lagi Ramad berkata. "Kesucian harus dijaga dengan suatu tindakan nyata. Karena pada perkembangannya manusia kian jauh dari keadilan yang sebenarnya. Semua berkata memihak keadilan. Keadilan dari sudutnya sendiri-sendiri." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tidak, Yang Mulia. Keadilan di mana pun sama. Siapa bersalah dia menerima hukuman," bantah Sayu Wiwit. Sementara itu bulan kian bergeser ke barat. "Adilnya begitu. Tapi kenyataan yang berlaku di bumi Blambangan tidak demikian. Orang yang membela haknya sendiri dihukum. Tidak dengar kau kejadian di desa Meneng beberapa waktu lalu?" "Apa itu?" "Sibun dipaksa menggantung diri oleh bekel. Sebab bekel desa itu takut disiksa Kompeni karena Sibun tidak mau pergi kerja paksa di Benteng Pangpang. Inikah keadilan yang sama dengan keadilan kita" Dan ada berapa wanita muda harus mati karena membela kehormatannya" Inikah keadilan" Keadilan di mata perampok tidak sama dengan keadilan di mata kita." "Dewa Bathara!" Wiwit kagum pada pengamatan Ramad. Ternyata bukan cuma Ayu Prabu yang memiliki pengamatan tajam. Tiga orang yang pernah ia temui dan semua putra Wong Agung Wilis, semua memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Lalu bagaimana dengan junjungan mereka yang disebut-sebut dengan nama Wilis itu" Jika para pembantunya sudah seperti ini, ah... tentunya orang itu jauh lebih dari Ramad. "Tapi hamba seorang sayu. Hamba harus jujur pada Yang Mulia, bahwa hamba takut membunuh. Takut berperang, takut berdosa. Takut merusak kesucian____" "Wiwit, itu barangkali yang membuat kau tidak menjawab aku ketika aku menyatakan cintaku." Ramad memandang Wiwit sambil memperlambat langkah kudanya. Kiri-kanan mereka ternyata padang rumput yang luas. Sayu Wiwit berdebar demi memandang sekitarnya. Kuda mereka berjajar. "Jika memang kesucian dan keluhuran nilai kehidupan bisa dipertahankan cuma dengan doa, semestinya tidak perlu ada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ cerita tentang 'perang Barata Yudha. Dan tidak usah ada Bhagavat-gita. Perang bukan dosa!" lanjut Ramad. "Tapi penyebab perang itu. Sebab pada umumnya perang Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bersumber dari keinginan yang tidak terpenuhi dengan jalan damai. Bukankah kita ini sebenarnya sekadar alat di tangan Hyang Maha Dewa" Dan adakah kebahagiaan yang lebih besar dari memenangkan pertempuran membela kebenaran?" "Hyang Dewa Ratu! Yang Mulia membaca Bbagavatgita ?" "Ingatkah kau dalam percakapan kedua sloka ketiga puluh tiga mengatakan: 'atha chet tvam imam dharmyam samgramam na karishyati tatah svadharmam kirtim cha hitva papam avapsyasi' yang artinya: 'tetapi jika engkau tiada melakukan perang menegakkan kebenaran ini meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu maka dosa papalah bagimu.' Nah, dengan kata lain jika kau menolak berperang dan membunuh demi kebenaran maka dosa telah kau perbuat." "Hyang Dewa Ratu!" Wiwit menarik napas panjang. Buah dadanya naik-turun. Kekaguman Sayu Wiwit pada Ramad kian naik pula. Sesaat ia pandang Ramad. Namun kemudian tertunduk. Malu. Betapa tidak. Ia seorang satria memiliki pengetahuan seperti brahmana. "Ampuni hamba, Yang Mulia. Hamba terbuka kini. Hamba tak takut lagi. Tapi nanti di Jember kan hamba belum punya tempat" Juga teman?" "Langkah kuda kita kian perlahan. Lihat bulan juga tepat di atas kepala kita. Sudah jauh sekali kita berkuda ini. Kita akan istirahat. Setuju kau?" "Yang Mulia pemimpin hamba. Hamba menurut." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mereka berkuda sebentar lagi. Di depan mereka ada sebuah gubuk kecil. Sayu Wiwit heran. Tampaknya Mas Ramad sudah amat menguasai daerah itu. Keduanya turun. Lepaskan begitu saja kuda mereka setelah mengambil seluruh perbekalan di bawah sanggurdi. "Daerah ini tidak dalam pengawasan Belanda." "Hamba tak melihat rumah-rumah. Kita berada di tengah padang rumput yang begini luas. Seperti impian." Keduanya menaruh perbekalan dalam gubuk kecil yang tidak terbagi dalam bilik-bilik. Ramad menceritakan bahwa gubuk itu didirikan oleh anak buahnya yang bertugas di Jember. Mereka selalu istirahat dalam gubuk yang dinding dan atapnya juga terbuat dari ilalang. Tiada jendela. Sinar rembulan masuk melalui pintu. Daun pintu itu pun terbuat dari ilalang. Ada sebuah balai-balai bambu di dalamnya. Keduanya duduk di balai-balai itu. "Pertanyaan hamba belum, terjawab," Sayu Wiwit memulai setelah mereka minum dan sedikit makan. "Kau akan berada di pinggiran kota Jember. Sesuai namamu, kau akan memimpin sebuah padepokan. Dan kau akan mengajar di sana. Sepuluh murid membantumu. Ditambah tujuh wanita yang juga akan menjadi murid dan temanmu. Aku akan selalu menghubungimu dan "juga akan menyampaikan perintah dari Ayu Prabu maupun dari Bayu. Sedang pembantuku di Jember bernama Lebok Samirana." "Hamba juga menyiapkan laskar bersama Lebok Samirana?" "Tugas utama kita adalah. itu. Yang kedua mempersiapkan cadangan makanan untuk masa perang nanti." "Sungguh tak terpikirkan hamba akan memikul beban seperti itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Berbahagialah orang yang mendapat kesempatan mempersembahkan karya dan darmanya bagi kemanusiaan." "Dan hamba tidak mimpi bahwa akan mendapat tantangan begitu besar dalam hidup sehingga membuat hamba bergabung dengan Yang Mulia. "Tantangan adalah salah satu keindahan dalam kehidupan. Apakah kau menyesal?" "Tidak! Tapi memang ada sebuah pertanyaan yang disusul dengan pertanyaan lainnya dalam hati ini. Mengapa keluarga-keluarga mesti hancur di Blambangan" Mengapa Hyang Durga izinkan itu terjadi" Bukankah bila keluarga-keluarga sudah hancur, peradaban juga lebur" Dan jika demikian maka peraturan dengan mudahnya dikuasai tirani jahat. Ah, Yang Mulia... kenyataan sekarang tiada terelakkan sebagai akibat bersimaharajalelanya tirani jahat, maka perempuan telah menjadi jalang. Apakah jadinya bila perempuan telah menjadi jalang" Ketiadaan susila akan melanda semua kasta." "Kau benar, Wiwit. Malah aku mengkhawatirkan adanya peralihan peradaban. Peradaban leluhur sudah dianggap kenisbian dan ketertinggalan. Kemudian kita dipaksa menyerap kebudayaan asing. Apakah orang asing akan memberikannya" Aku kira yang mereka berikan adalah ampasnya. Apa yang terbuang di negeri mereka, itulah yang mereka berikan." "Mungkin itu salah satu sebab Malaka tidak pernah menang, Surabaya kalah, Untung Surapati juga punah, dan semua yang melawan bule binasa. Persenjataan mereka selalu baru dan lebih baik dari kita. Kita banyak yang membeli dari mereka." "Benar. Salah satu sebab. Karena itu kemarin Ayu minta si Repi merayu Bozgen untuk mengumpulkan senjata-senjata yang di tinggal mati oleh serdadunya, untuk diberikan pada kita." "Sudah sejauh itu" Apakah Bozgen mau melakukannya?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita berdoa. Cinta itu indah, mengalahkan semua kecintaan yang ada. Dan karena itu cinta mengalahkan semua-mua." "Ah..." Wiwit tertawa lirih. Kemudian dia bangkit berdiri dan menuju pintu. Perlahan. Bulan telah condong ke barat. Udara di padang rumput itu terasa dingin. Embun mulai menitik dari langit. Sayu Wiwit melangkah ke luar. Perlahan. Seolah takut bumi yang dipijaknya merupakan endapan lumpur yang dapat me-1 nyedotnya ke dasar bumi. Sayu Wiwit tertunduk. Merenungi sesuatu. Cinta. Cinta adalah sesuatu yang indah dan sangat diperindahkan. Lubuk hatinya tersentuh. Ia ingat jika ia sedang dekat dengan Mas Ramad seperti ini hatinya melambung. Apalagi jika sedang berjalan di sampingnya dan Mas Ramad membuat banyak lelucon. Bila berjauhan, semua yang ada dalam diri Ramad muncul dalam impiannya. Inikah j cinta" Jika saling bersua ingin rasanya ia berlari memeluk pemuda itu. Tapi... sebandingkah aku dengan dia" Adiknya adalah guruku. Sedangkan ia sendiri memiliki pengetahuan seperti para dewa. Dan mereka berdua sepertinya menyimpan teka-teki yang harus dipecahkan banyak orang. Aneh. Dan jika ia bertanya pada Ayu Prabu tentang siapa Rsi Ropo yang wajahnya mirip Mas Ramad ia akan diketawai. Kau lagi gandrung padanya" Suatu pertanyaan yang membuatnya tersipu. Dan tidak berani mengejar dengan pertanyaan berikut. Tanpa sadar langkahnya kian menjauh dari r gubuk. Dan ia juga tidak menyadari bahwa Mas Ramad mengekornya bagai bayang-bayang. Sampai ia berhenti pada tempat yang agak tinggi. Sekilas ia perhatikan sekitarnya. Rumput yang diinjaknya menjadi basah. Bukan oleh hujan. Tapi embun. "Ada apa engkau ke sini, Wiwit," sapa Ramad mengejutkan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ia berbalik. Tubuh pemuda itu dekat sekali. Mata mereka beradu. Bulan tersenyum memandang mereka. "Yang Mulia mengikuti hamba?" "Karena kau baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku bukan menganggapmu anak kecil, tapi di daerah asing dengan tanpa senjata kau bisa tidak sampai pada tugas yang dibebankan di pundakmu." "Oh... terima kasih, Yang Mulia. Keindahan tempat ini membuat hamba tertarik untuk..." "Keindahan selalu menyenangkan siapa saja, * dan kapan saja. Tak peduli malam telah larut dan N pagi siap memeluk bumi." Sesaat keduanya diam lagi. "Kau agak gegabah berjalan tanpa kesadaran tinggi. Kau tidak takut binatang buas?" "Di dekat seorang perkasa tidak perlu takut." Wiwit tersenyum. "Kau bercanda, Wiwit?" Mas Ramad menangkap bahu Sayu Wiwit dengan kedua lengannya. Mengguncangkannya perlahan. Ia pandang dengan tajam. Gadis itu tetap memamerkan bibirnya yang seperti kulit buah manggis sedang merekah. Mendebarkan hati. "Damai merasuki hati jika dekat dengan Yang Mulia. Kenapa ini dianggap bergurau" Dan hamba kira semua orang merasakan begitu. Yang Mulia... betapa teman-teman gadis hamba di Sempu akan menjadi iri jika mehhat hamba berduaan dengan Yang Mulia. Tapi ampuni hamba, karena hamba tak berani menerima anugerah cinta Yang Mulia. Bagi hamba Yang Mulia adalah bintang cemer-lang." "Ha... ha... ha... ha... Jika demikian kau adalah rembulan." Mas Ramad menarik bahu itu lebih dekat ke dadanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Yang Mulia..." "Kau mengalami banyak hal yang hampir sama dengan aku. Mengapa kau mau dibatasi oleh pagar kasta dan..." "Kecerdasan Yang Mulia melebihi banyak brahmana. Bagaimana hamba akan mensejajarkan diri?" "Sebenarnyalah cinta sejati itu tak dapat dibatasi oleh apa pun juga. Pagar, gunung, samudra, dan jarak tidak akan dapat memisahkan yang sedang bercinta. Kecuali jika cinta itu mainmain. Yah... permainan cinta tak mengenal pengorbanan. Berbeda dengan cinta kudus." "Apakah ini bukan mimpi?" "Ini bukan hanya mimpi! Pagi yang dini ini menjadi saksi! Sayu Wiwit, percayalah!" "Yang Mulia..." Sayu Wiwit menjatuhkan kepalanya ke dada Ramad. Seolah ingin mendengar suara hati Ramad. Sementara kabut mulai menyelimuti bumi. Bahkan seperti ingin membungkus keduanya. Ramad memeluk makin erat, pagi kian mendekat. Bumi membisu. "Lupakanlah semua itu. Lupakanlah kasta! Lupakanlah segala kebisaan dan kemampuan yang memisahkan manusia. Hapuslah semua kesan! Mari kita sama-sama melangkah, menjelang mentari pagi yang cemerlang." "Berbagi tangis dan tawa bersama?" Wiwit berbisik. "Bukan tangis dan tawa. Tapi duka dan suka. Bagi satria apalagi brahmana tidak ada tangis. Sebab ia sudah menimbang setiap langkahnya. Juga tidak pernah ada penyesalan." "Sudahkah Yang Mulia mempertimbangkan keputusan Yang Mulia?" Tiraikasih Website http://kangzusi. com/ "Kau sendiri bagaimana" Apakah dengan perasaan kau menerima aku?" "Tidak. Namun cuma satu yang hamba takutkan..." "Aku tidak mungkin memperbandingkan wanita secantik kamu dengan wanita lainnya," Ramad memotong cepat.. "Ah... Yang Mulia." Wiwit mengalungkan tangannya ke leher Mas Ramad. Dan mendekatkan muka Ramad ke mukanya sendiri. Di bawah kesepian bumi dan dibungkus kabut tebal mereka saling berpelukan dan berciuman. Menyatakan semua yang terpendam sekian lama sejak perjumpaan mereka yang pertama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ VIII. PETIR DI MUSIM KEMARAU Gema nama Wilis kian berdengung di setiap sudut Bumi Semenanjung Blambangan. Walau cuma tinggal gema. Namun nama itu ternyata mampu membangkitkan keberanian yang sirna karena keganasan perang. Perang yang tidak pernah membawa kemenangan bagi kawula Blambangan. Baik dengan Bali maupun melawan Belanda. Dan karena gema nama Wong Agung Wilis, kawula berani meninggalkan tanah garapannya dan masuk hutan membuka sawah baru dengan susah-payah. Semua dilakukan sebagai unjuk rasa ketidaksetiaan mereka pada pemerintahan VOC. Lebih dari itu gema nama Wong Agung Wilis mampu membuat mereka yang masih tersisa di perkampungan masing-masing berani menahan hasil buminya untuk tidak membayar pajak. Dan kian hari kian banyak orang yang membicarakan bahwa Wong Agung Wilis tidak mati. Tidak mati! Tidak mati! Tapi di mana" Tidak ada yang tahu! Rempek sendiri tidak tahu, sekali pun ia sangat percaya. Dan ia memang menceritakan apa yang ia dengar dari mulut ke mulut itu pada Jaksanegara. Sekalipun ia tidak pernah menceritakan bahwa dari Rsi Ropo ia diberi tahu Wong Agung Wilis berkali-kali bersurat pada anak-anaknya. Itu menarik bagi Jaksanegara. Jika Rempek bisa tahu, tidak mustahil . jika Bapa Anti juga tahu. Dan tentunya Wangsengsari maupun Sutanegara dan bangsawan lainnya juga tahu. Setelah bersepakat dengan Bapa Anti maka ia mengundang Sutanegara dan Wangsengsari serta Suratruna. Dan ketiga orang itu memang sangat mengagumi taman milik Jaksanegara. Apalagi Jaksanegara telah berbaik hati menyediakan tempat agar mereka bermalam saja di situ karena hari telah larut malam. Bukan cuma tempat untuk bermalam. Tapi juga teman tidur malam itu. "Berita-berita simpang-siur tentang Wong Agung Wilis memenuhi seluruh Blambangan. Bagaimana sikap kita sebagai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pemerintah resmi?" pertanyaan Jaksanegara mengusik semua malam itu. "Jika tidak ada api tentu tidak ada asap," Wangsengsari menjawab. "Maka aku juga percaya bahwa Wong Agung masih hidup." "Hal itu tidak mustahil. Bukankah beliau memang memiliki syakti dari para dewa" Ingat" Cuma beliau berani menghukum mati seorang brahmana," Sutanegara mengingatkan. "Kita memang bukan apa-apa." "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang" Di saat kita telah mengangkat sumpah menjadi punggawa Kompeni?" "Itu... itu yang sukar. Tapi mari kita timbang, mana lebih menguntungkan, ikut Belanda atau Wong Agung. Selama pemerintahan Colmond hamba sudah kehilangan seorang anak gadis. ' Tewas dengan menyedihkan. Diperkosa sampai lumat. Belum lagi kerugian harta benda yang dialami oleh kawula Blambangan." "Hamba rasa tidak ada untungnya mengikuti Belanda terusmenerus," Suratruna memberikan pendapat. "Sebaiknya kita sehati membantu pemerintahan Wong Agung Wilis. Demi keadaan seluruh bumi Blambangan." "Bagaimana dengan igama yang telah kita peluk ini?" Jaksanegara masih bertanya sambil mempersilakan mereka Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo minum arak wangi. "Aku kira Wong Agung tidak akan terlalu keberatan. Kita akan memberitahukan apa saja yang telah terjadi atas kita," kini Wangsengsari memberikan ketegasan. "Aku sendiri telah kehilangan banyak. Coba anakku, si Repi, sudah tidak lagi bisa menghargai orang tuanya sendiri. Ia sekarang lebih suka tinggal bersama Bozgen. Lebih menyakitkan lagi karena perbedaan kekayaan antara Repi yang terus-menerus mendapat hadiah dari orang-orang bule itu, membuat iri hati saudara-saudaranya. Aku tidak mampu berbuat sesuatu, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebab kata Repi justru akulah yang menyebabkannya begitu. Ia telah sakit karena perbuatan Gubernur Vos." Jaksanegara mendengar semua keluhan itu dengan saksama. Tidak salah. Setelah Belanda datang maka kebebasan tiada lagi. Jadi mereka sekarang ini ingin kembali mengambil apa yang pernah menjadi hak mereka. Barangkali inilah jalan baginya untuk menyatukan kembali Blambangan. Tapi mungkinkah dia menjadi penguasa tunggal di Blambangan" Jika benar-benar Wong Agung Wilis tidak mati seperti yang didengungkan banyak orang, maka tidak mungkin kekuasaan jatuh ke tangan orang lain. Sekarang bagaimana sikap yang harus ia tampilkan di hadapan semua undangannya itu. Harus mengiakan semua pendapat mereka. Itu tahap awal. Selanjutnya akan ditentukan kemudian. Dan acara makan dan minum berlangsung terus bagi mereka berempat. Jika arak habis maka seorang wanita muda yang terpilih mengantarkannya. Sate kambing juga telah tersedia sebagai teman minuman itu. Membuat tubuh mereka menjadi kian panas. "Kita wajib membela kemiskinan yang melanda negeri ini. Para Yang Mulia lebih tua dari hamba sendiri, tentulah lebih bijak dalam mengambil langkah. Hamba tinggal mengikuti," Jaksanegara akhirnya tidak bertanya lebih lanjut. "Kita harus menyatukan diri! Itulah langkah awal kita. Kita akan dukung semua usaha Wong Agung mengusir kembali Belanda. Blambangan harus bersih dari kekuatan asing! Ternyata mereka tidak lebih dari pada iblis!" geram Wangsengsari. "Kita tandai persatuan kita ini dengan mengangkat cawan bersama-sama." Jaksanegara tertawa. Semua mengangkat cawan dan kembali mereka meneguk isinya. Cawan demi cawan makin menghangatkan tubuh mereka. Tanpa sadar bintang juga bergeser ke barat menunjukkan waktu mulai larut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita akan mendapat bantuan senjata dan laskar dari Bali. Menurut Wong Agung dalam pesannya terakhir, ia akan mengirimkan tiga ratus orang dengan senjata lengkap. Seseorang yang bernama Gusti Tangkas akan dikirimkannya dari Jembrana," Sutanegara mulai tidak dapat menguasai diri. Betapa terkejutnya Jaksanegara mendengar itu. Dengan kata lain mereka benarbenar ada hubungan dengan Bali. Apakah Wong Agung Wilis ada di Bali" Di Mengwi" Hah" Rangkap berapa nyawa orang itu" Hatinya menjadi kian berdebar. "Kapan itu dimulai?" ia mendesak. "Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Akan ada berita lebih lanjut," kata Sutanegara lagi. "Siapa yang akan menyampaikan pada Yang Mulia?" "Itu yang kita semua tidak boleh tahu____" Walau mulai kehilangan kendali tapi ia ingat pada Mas Ramad, yang dengan mata berapi-api memesan agar ia tidak berkhianat. Pengkhianatan berarti kepalanya akan jatuh ke bumi. "Yang Mulia, kita kan sudah satu...," Jaksanegara mencoba. "Ingat cara Wong Agung menyelesaikan masalah" Jika kita tidak memegang janji kita padanya tentu kepala kita akan terpisah dari tubuh kita ini. Ingat, Yang mulia. Maafkan hamba." Jaksanegara memahami kekhawatiran Sutanegara. Tapi ia tersenyum. Tidak sekarang mengetahuinya. Tapi mungkin lain kali. Atau nanti di tempat tidur. Karena itu pula ia berbisik pada seorang gadis yang akan diberi tugas untuk melakukannya sesaat ia mempersilakan tamunya untuk pergi beristirahat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kala semua pergi tidur, semuanya diantar oleh wanita yang ditunjuk. Mereka mengantar sampai ke pembaringan. Walau biliknya berlainan, namun apa yang mereka lakukan sama. Begitu memasuki bilik mereka mencuci kaki para tamu itu dengan air bunga. Setelahnya mereka menyembah. "Hamba dipersembahkan pada Yang Mulia malam ini." Wangsengsari yang mendengar itu tidak tunggu lama lagi. Sejak tadi memang kepalanya sudah berdenyut-denyut dan pikirannya ingin pulang menjumpai istri termudanya. Barangkali pengaruh minuman dan daging kambing yang begitu banyak ia telan. Otot-ototnya mengeras. Dan kini seorang gadis siap mengendorkannya. Dalam hati ia memuji kebaikan hati Jaksanegara. Segera ia menggulingkan perempuan muda itu di pembaringan. "Sabar, Yang Mulia...." Perempuan itu melepas kembennya. Berbeda dengan Suratruna. Ketika perempuan itu menyatakan tugasnya ia mengatakan bahwa ia belum mengantuk. Ia perintahkan perempuan itu keluar. "Yang Mulia, hamba akan kehilangan segala-gala jika hamba tidak menyukakan hati Yang Mulia malam ini," perempuan itu menyembah lagi. Tangannya terasa dingin. "Setan!" desis Suratruna. "Kasihanilah hamba, Yang Mulia. Suami hamba telah mati dibunuh oleh para pengawal...." "Apa katamu" Suami mati?" "Jangan keras-keras, Yang Mulia. Hamba juga bisa mati jika menceritakan ini." "Hah...," Suratruna berdesah. Kemudian dengan berani wanita itu berdiri. Dan berbisik ke telinga Suratruna bahwa di luar bilik ada berjaga laskar bayaran dari Madura. Jadj ia harus melakukan perintah Jaksanegara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Suratruna terdiam. Sekalipun ia mengutuk dalam hati. Wanita itu melepas kancing bajunya. Dan melepaskan destarnya sesudah menyembah. "Jangan!" bisiknya. "Aku tidak tidur." "Hamba kurang cantik?" Wanita itu memandangnya. "Kau cantik. Tapi kau seumur anakku. Bagaimana mungkin?" Keduanya terdiam. "Karma apa yang akan kuterima jika aku lakukan ini" Aku belum pernah memperduakan cintaku. Nah, kita akan seperti ini saja sampai pagi." Ia kemudian mengelus kepala wanita itu. Dan perempuan muda itu tertunduk. Masih ada orang berhati mulia di zaman edan seperti ini. Tapi ia tahu persis, jika sampai ketahuan oleh Jaksanegara akan halnya seperti itu, maka nasib buruk akan menimpanya. Pernah ia lihat teman-temannya disiksa dengan jalan diperkosa secara bergantian oleh para pengawal dari Madura itu. Apa yang terjadi" Teman-temannya itu mati lemas. Maka ia harus berusaha. Ia melepas kembennya. Buah dadanya yang mulus terpampang jelas. Namun itu tak membuat Suratruna bergeming. Pemandangan seperti itu tidak asing bagi orang Blambangan. Susu adalah lambang kesuburan. Justru jika perempuan Blambangan tidak memamerkan susunya itu berarti hancurnya peradaban Blambangan. Tiba-tiba ia berdiri dan melangkah dengan gontai menuju sudut ruang. Di situ terdapat meja kecil dan di atasnya ada dua cawan serta satu teko keramik buatan Cina. Perempuan itu menuangkan isinya. Seperti air gula aren. Kembali membawanya ke Suratruna. "Pengantar tidur, Yang Mulia," wanita itu menyodorkan. "Kita sudah lelah. Hamba akan istirahat." Suratruna menerimanya. Kali ini ia segera minum untuk menenangkan hatinya yang gundah. Sesaat setelah mengembalikan cawan, wanita itu membaringkan tubuh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan tenang. Tertelentang dengan berbantal kedua telapak tangan. Hal itu membuat susunya menonjol ke atas. Apalagi jika ia menarik napas panjang. Sebelah kakinya lurus, sedang sebelahnya ditekuk pada lututnya. Membuat kainnya sedikit tersingkap memamerkan paha yang mulus. Sedang Suratruna duduk di sampingnya. Berkali ia lirik gadis itu. Memejamkan mata. Lehernya jenjang berhias kalung emas. Suratruna memalingkan pandangan ke tempat lain. Namun beberapa bentar kemudian suatu perasaan aneh merambati tubuhnya. Keringat mulai membasahi tiap lekuk tubuhnya. Napasnya memburu seperti kuda. Ia berusaha menahan gejolak hati itu. Namun makin ditahan suatu arus kuat mendorongnya untuk menoleh ke tubuh yang tergolek di sisinya. Tanpa sesadarnya ia menggeliat-geliat. Bangkit. Berjalan hilir-mudik dalam bilik kecil itu.Tak sabar ia menuju tempat minuman di meja. Ia tuangkan secawan dan meneguknya sampai habis. Rasa segar mengganti haus. Namun itu sebentar saja. Sesaat lagi arus kuat dalam tubuhnya menghebat. Gila! Belum pernah aku merasakan seperti ini. Arus itu seperti mendorongnya untuk kembali ke pembaringan. Dengan gemetar tangannya mengelus paha wanita muda itu. Gadis itu masih saja terpejam. Berkali ia menelan ludahnya. Napasnya tambah seperti kuda berlari jauh. Kesabaran Suratruna habis. Ia bangunkan gadis itu. Purapura terkejut. "Ada apa, Yang mulia?" "Kau... Kau... tadi bertugas..." Suratruna menarik gadis itu. "Yang Mulia menolak hamba. Ampuni hamba, Yang Mulia." "Sekarang tidak!" Dengan cepat Suratruna melepas pakaiannya dan kain gadis itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tentu saja apa yang ia alami tidak sama dengan yang dialami Sutanegara. Orang itu benar-benar sudah mabuk ketika memasuki biliknya. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh gadis yang bertugas menemaninya. Karena begitu dalam pelukannya, Sutanegara cepat menjadi padam dan mendusin. Usahanya untuk membangunkan kejantanan Sutanegara tidak banyak hasilnya. Mendengar laporan macam itu Jaksenegara tertawa terbahak-bahak. Seperti tidak masuk akal seorang lelaki tidak melahap gadis montok yang disediakan untuknya. Tapi ia tidak marah. Setidaknya ia sudah mengerti bahwa Sutanegara memegang kunci. Sutanegara yang mempunyai hubungan langsung dengan orang-orang yang ingin menumbangkan kekuasaan Belanda. Itu masuk akal. Karena kematian anaknya meninggalkan segumpal dendam dalam hatinya. Sekalipun Colmond sudah ditarik dari Blambangan. Namun keadaan berkembang cepat. Gejala makin tidak sehat mencurigakan semua pejabat VOC. Banyak orang Blambangan yang meninggalkan pekerjaannya di tangsitangsi, benteng-benteng, dan loji-loji. Tentu saja ini membuat Biesheuvel memangil semua bawahannya untuk diajak berunding. Dalam ruangan kerja yang dulu dibangun oleh Colmond ia juga memanggil Sutanegara dan Wangsengsari di samping Pieter Luzac dan Schophoff. Ia tidak mungkin tidak mempertanyakan semua keganjilan ini pada mereka. "Ini harus diselidiki kenapa demikian. Jika tidak ada gerakan tersembunyi maka tidak mungkin mereka melakukannya secara serempak. Di seluruh Blambangan Bayangkan!" Biesheuvel menguraikan pendapatnya. "Ada laporan dari beberapa mata-mata kita bahwa di masyarakat sekarang berkembang secara luas berita tentang Wong Agung," Schophoff menjelaskan apa yang ia dengar. "Wong Agung" Siapa dia?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Wong Agung Wilis yang telah pernah membunuh hampir tiga ribu tentara Kompeni di Blambangan. Tuan tidak dengar" Ketika orang tersebut pertama kali menyerbu bentengbenteng VOC tanggal dua belas Maret tahun seribu tujuh ratus enam puluh delapan yang lalu?" Pieter Luzac mengingatkan. Karena memang ia mencatat kejadian itu dalam buku hariannya di Surabaya. "Jadi dia bekas Patih Blambangan yang dilaporkan menentang rajanya sendiri itu?" , "Ya." Schophoff mengangguk. Kemudian Biesheuvel menoleh pada Wangsengsari dan Sutanegara. Keduanya berdebar. Mendengar nama Wong Agung disinggung saja mereka sudah berdebar. Sekalipun mereka tak mengerti makna pembicaraan Biesheuvel yang berbahasa Belanda. Kemudian Biesheuvel menanya dalam Blambangan. "Benar ada berita Wong Agung Wilis masih hidup?" Keduanya sulit menjawab. Namun Wangsengsari segera menemukan akal. "Justru inilah yang hendak kami tanyakan pada Tuan-tuan. Apakah benar berita yang kami dengar bahwa Wong Agung Wilis masih hidup?" Biesheuvel tampak mengerutkan kening. Pusing ia. Bukan hanya pertanyaan itu. Tapi sebenarnya akhir-akhir ini ia juga dipusingkan oleh hamilnya salah satu gadis pengipasnya. Namun untung masih ada Bapa Anti yang sanggup menolong dan membawa gadis itu ke dukun untuk menggugurkan kandungannya. Jika tidak ia akan mendapat aib, punya anak dengan pribumi yang kurang peradabannya. Tentu ia akan menjadi bahan ejekan jika ke Batavia. "Yah... ini suatu kesulitan. Tapi aku tak percaya bahwa Wong Agung Wilis bisa hidup kembali di Blambangan." Ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bangkit. Perlahan berjalan mengitari meja pertemuan. Dua gadis pengipas mengikut ke mana pun ia bergerak seperti sepasang bayang-bayang. "Tidak masuk akal," lanjutnya. "Tapi kawula Blambangan mengenalnya sebagai seorang sakti yang penuh wibawa." Wangsengsari menceritakan. "Mereka percaya bahwa Wong Agung akan tetap hidup. Itu berarti perintah yang keluar dari mulut kami tidak akan pernah digubris oleh mereka/" "Bedebah! Setan dari neraka mana ia itu" Punya wibawa demikian besar?" "Wibawanya memang besar. Di Blambangan tidak pernah ada orang berani mengusik brahmana. Apalagi membunuhnya. Tapi Wong Agung berani melakukannya. Apa yang tidak pernah dilakukan lain orang, ia mampu melakukannya," Sutanegara menerangkan lagi. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ada juga orang Blambangan yang berpengetahuan tinggi, pikir Biesheuvel. Ia menduga tentu Wong Agung Wilis sendiri meniupkan berita bahwa ia tidak mati. Ia bukan tidak dengar laporan pelarian Wong Agung Wilis dari Pulau Banda. Tapi sengaja ia menyembunyikannya. Jangan sampai ada orang Blambangan yang tahu bahwa Wong Agung mampu mengelabui dan membunuh beberapa serdadu Kompeni. Ia benar-benar menyesal kenapa tidak ada pengejaran terhadap manusia satu itu! Itu keteledoran! Dan sekarang nyatalah kemampuan orang itu. Mengguncangkan! Ya, mengguncangkan seluruh sendi kehidupan di Blambangan. Harus diakui kenyataan ini. Bibir anak-anak gembala menembangkan kidung tentang Wong Agung Wilis. Kelompok anak-anak muda hampir setiap saat menyanyikan pujian bagi Wong Agung Wilis. Seperti orangorang Kristen menyanyikan mazmur bagi Tuhan. Semua itu merupakan petunjuk baru bagi Biesheuvel bahwa dia akan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menghadapi banyak kesulitan. Namun ia bertekad akan mematahkannya. Ia harus mampu menghancurkan pendapat yang berkembang di masyarakat. Harus dibuka tabir bahwa Wong Agung akan mati dan pasti mati. Maka ia berkata pada Wangsengsari dan Sutanegara, "Kita harus memberikan penyuluhan dan pendekatan pada masyarakat. Tidak ada orang yang dapat hidup kembali dari kematiannya. Jika perlu kita akan mengancam dengan hukuman berat bagi mereka yang sengaja menyebarluaskan berita bahwa Wong Agung Wilis masih hidup." "Jika demikian kita harus membuktikan kubur Wong Agung!" "Harus ada bukti kubur Wong Agung?" "Ya. Jika tidak mereka tidak akan percaya Wong Agung bisa mati. Bahkan apa yang sampai di telinga kami, Wong Agung mampu mengubah dirinya menjadi beribu-ribu. Nah, di Blambangan akan muncul banyak Wong Agung Wilis," Wangsengsari kembali menjelaskan. "Ha... ha... ha... ha... Tuan, sangat lucu." Terbahak Biesheuvel mendengar itu. Apalagi Schophoff. Terpingkalpingkal dalam waktu yang agak lama. Sedang Pieter Luzac tersenyum. Wangsengsari sedikit tersinggung ditertawai begitu rupa. "Mana ada dongengan seperti itu. Dongeng! Yang tidak akan pernah ada, ha... ha... ha... ha... Pokoknya dengan berbagai jalan kita harus membalut luka masyarakat Blambangan. Luka akibat tingkah Colmond. Ini yang harus kita hapus. Aku minta maaf pada mereka." "Lalu apa jalan kita?" Pieter bertanya kini. "Apa saja. Yang sifatnya pendekatan. Sehingga mereka kembali ke tangsi-tangsi, benteng-benteng, bahkan semua Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang mau membayar pajak. Demi VOC kita kerjakan segala cara." Semua diam. Ada yang menggaruk-garuk kepala. Menggaruk-garuk jenggot. Tapi Schophoff meletakkan tangan ke pahanya sambil terus mengguncang-guncangkannya. "Bagi Tuan berdua, adakan penyuluhan di daerah Tuan masing-masing. Dengan demikian mereka akan menyadari arti pajak bagi kepentingan keamanan mereka sendiri." "Baik, Tuan," kedua tumenggung mengiakan. "Nah, Tuan-tuan boleh meninggalkan tempat ini." Dan kedua orang itu pergi. Sesaat kemudian Biesheuvel menyuruh pengawal memanggil Beglendeen dan Bozgen sebagai orang-orang yang bertanggung jawab atas keamanan Pangpang. "Kita harus kirimkan banyak mata-mata untuk mengawasi gerakan baru ini. Aku tetap tidak percaya Wong Agung Wilis tidak bisa mati. Kita harus cari orang itu sampai dapat. Kita awasi setiap orang yang datang dari Bali. Yang mencurigakan kita tangkap. Mungkin kita akan mendapat petunjuk di mana Wong Agung Wilis bersarang." "Betul, Tuan," Pieter Luzac setuju. "Tapi..." Schophoff menyela, "kita tidak akan bisa memakai orang kulit putih. Mereka sukar didekati orang kulit putih." "Untuk itu kita akan belajar dari Bozgen. Bukankah dia menyimpan perempuan pribumi dalam lojinya?" Schophoff terbahak-bahak. Suaranya seperti menggema di dinding rumah itu. Bersamaan dengan habisnya gema tawa Schophoff, Beglendeen dan Bozgen memasuki ruangan. Keduanya menghormat pada ketiga orang atasannya. Setelannya dipersilakan duduk oleh Biesheuvel. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Letnan dan Sersan, aku ingin kalian mengerti keadaan gawat yang kita alami di Blambangan ini?" Biesheuvel memulai. "Semua orang menyadari, Tuan. Negeri ini telah berubah jadi seperti negeri hantu yang menakutkan. Banyak orang kulit putih mati karena sakit. Mereka banyak yang minta dipulangkan ke Surabaya." "Ya. Aku tahu soal itu, Tuan. Tapi kita toh prajurit. Yang makan gaji karena tugas yang kita emban. Karena itu kita harus tetap melakukannya sesuai dengan sumpah kita sendiri. Sumpah!" Biesheuvel menegaskan sambil menunjukkan kepalannya. "Benar, Tuan. Tapi inilah kenyataan kita sekarang." "Bahaya yang lebih besar bukan dari hantu, tapi dari Wong Agung Wilis. Sebab ia telah menghasut orang-orang untuk tidak masuk kerja pada kita...." "Mereka tidak mau bekerja bukan berarti pembangkangan," Bozgen menjelaskan sekalipun tidak diminta. "Mereka takut pada dewa-dewa mereka. Kata mereka dewa-dewa marah. Tidak ada lagi orang Blambangan yang mampu memberikan sesajian di pura-pura maupun candi- * candi. Mereka sudah terlalu miskin. Jadi dewa-dewa membunuhi orang-orang yang di loji atau benteng-benteng yang kata mereka adalah penyebab kemiskinan kawula Blambangan." "Gila!! Orang Blambangan bisa berpendapat begitu" Dengan kata lain mereka tidak bisa diajak bersahabat lagi?" "Ya. Karena Belanda, yah, kita ini mengkhianati persahabatan dengan mereka," Bozgen menguraikan. Semua orang memandangnya heran. "Menghianati?" desis mereka hampir berbareng. "Ya. Pada mula kami datang, mereka menyambut dengan rasa persahabatan yang tinggi. Tapi Komandan Blanke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengotorinya dengan meminta anak gadis Mas Anom, orang yang sangat bersahabat dengan Kompeni dan membenci Bali. Selanjutnya, Tuan Colmond berbuat hal yang sama. Dia menarik pajak yang berlebihan dan di akhir pemerintahannya ia juga memperkosa..." "Stop! Alkitab katakan kita harus menguasai bumi dengan isinya," Biesheuvel memotong. "Tuan menyalahgunakan kekristenan" Alkitab harus dipelajari dengan baik dan teliti. Yesus ajarkan pada kita supaya kita mengasihi. Karena Al ah adalah kasih. Dan dalam Injil Yohanes pasal lima belas ayat ketiga belas dikatakan: 'Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.' Nah, apa yang kita lakukan" Kita bersahabat dengan mereka hanya di bibir. Tapi pelaksanaannya tidak demikian. Inilah sebabnya kita gagal." "Kau berkhotbah, Bozgen" Bukan di sini tempatnya!" Biesheuvel jengkel. "Tuan sendiri yang menyinggung Alkitab. Saya tidak suka Alkitab diselewengkan. Apalagi untuk tujuan yang tidak benar." "Kau dibayar bukan untuk berkhotbah! Tapi untuk kepentingan VOC. Kau harus tetap setia pada VOC. Dengan kata lain kau juga harus patuh pada atasanmu." "Baik, Tuan." Bozgen diam. Kini ia melihat kenyataan, enaknya orang memegang jabatan yang lebih tinggi. Selalu saja memenangkan pendapatnya sendiri. Kalau perlu menginjak kebenaran. Bahkan kebenaran Alkitab sekalipun. Demi kewibawaan seorang atasan, kebenaran harus dikalahkan. Kewibawaan lebih penting dari kebenaran. Nah, kini ia mulai merasakan keharusan baru, mengiakan semua yang dikatakan seorang pejabat residen. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita tidak bisa salahkan Tuan Blanke maupun Tuan Colmond. Karena mereka jauh dari istrinya. Dan mereka menghadapi masalah-masalah pelik. Jadi perlu hiburan untuk menurunkan tekanan darah yang meninggi. Kau sendiri kan begitu, Bozgen?" "Tapi kami saling mencintai, Tuan," bantah Bozgen. "Kau tidak akan membawa pulang gundikmu itu ke Nederland. Apa kata orang nanti jika kau mengawini wanita pribumi?" "Apa salahnya...?" "Kau akan membantah lagi" Yang penting sekarang lakukan perintahku. Pertama adakan pengawasan ketat terhadap tiap orang Bali. Yang dicurigai harus ditangkap, diperiksa, untuk memperoleh keterangan di mana Wilis berada!! Dengar kalian?" "Baik, Tuan," jawab keduanya. "Apanya yang baik?" Biesheuvel jengkel terhadap jawaban anak buahnya yang ia rasakan sekenanya itu. "Oh... itu perintahnya yang baik," Beglendeen agak gugup. "Perintahnya baik! Jika tidak terlaksana dengan baik berarti kalian yang tidak baik. Mengerti?" "Mengerti, Tuan," kembali mereka menjawab bersamasama. "Perintah kedua, kirimkan mata-mata untuk menyelidiki siapa orang yang sengaja menyebarkan atau mendesasdesuskan nama Wong Agung Wilis di sini! Kalau ketemu tangkap mereka dan periksa sampai mengaku siapa yang memerintahkan mereka. Barangkali ada hubungan dengan Wong Agung Wilis. Tahu kalian bahwa Wong Agung Wilis telah meloloskan diri dari Banda?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Belum, Tuan." "Nah, karena itu kerjakan semua perintahku. Kalian adalah prajurit Kompeni. Jelas?" "Jelas, Tuan." Kembali mereka membuat diri seperti beo. "Apanya yang jelas?" "Itu... suaranya, Tuan." "Suaranya" Perintahnya tidak?" Suara Biesheuvel meninggi. Membuat muka Beglendeen makin tegang. Bozgen menahan senyum. "Ya. Itu perintahnya." "Nah, pergilah kalian." Di bawah sorot mata agak marah dari Biesheuvel keduanya meninggalkan ruangan. Memang rasanya tidak segarang Colmond, bisik Beglendeen pada Bozgen. Tapi cerewetnya itu, ah, hampir seperti nenek-nenek. Dan Bozgen tersenyum. Sambil jalan ke loji masing-masing ia mengatakan bahwa sebenarnya ia kerasan tinggal di sini. Tapi sayang akhir-akhir ini ketegangan makin menjadi-jadi. "Tentu saja kau kerasan. Kau punya gundik yang begitu molek. Eh... simpan baik-baik. Jangan sampai Tuan Biesheuvel lihat gundikmu. Bisa-bisa diambilnya." "Tuan ada-ada saja...." "Kamu tidak percaya?" "Tapi kami sudah terikat pada perkawinan. Jadi tak mungkin lagi melepasnya." "Eh... kamu?" Suara Beglendeen serak. "Di mana kalian kawin" Tidak di gereja?" "Di mana pun sama saja. Kami kawin di hadapan seorang penghulu di Probolinggo." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Penghulu?" "Sudahlah... jangan dipersoalkan lagi. Kita menghadapi tugas yang berat. Anak buah kita semua telah kehilangan semangat. Kita hanya bisa mengerahkan laskar Madura dan Probolinggo atau Sidayu." "Mereka juga yang kita kerahkan jadi mata-mata. Atau kita perlu berunding dengan Bapa Anti. Aha... dia orang paling setia. Ha... ha... ha... ha..." Beglendeen gembira. "Itu juga baik." Kemudian mereka berpisah untuk kembali ke loji masing-masing. Namun Beglendeen tidak segera sampai di lojinya karena ia mampir dulu di sebuah kedai yang tampaknya agak ramai. Ternyata yang menjadi tamu di situ umumnya pedagang. Atau serdadu dari Sidayu yang umumnya lebih suka minum tuak. Mereka menghormat kala Beglendeen masuk. Matanya mengawasi seluruh ruangan sebelum ia mengambil tempat duduk. Ia tidak ingin duduk dekat tamu-tamu Cina. Sebab umumnya mereka suka berdahak. Lebih tidak tahan lagi jika mereka memuntahkan dahak semau-mau. Di sudut ruangan ia mengambil tempat duduk. Udara bisa masuk dari jendela. Ah, tidak ada pribumi duduk di sini, pikirnya setelah melihat ke jendela. Anak-anak kecil bermainmain di halaman kedai itu. Umur mereka barang tiga sampai lima tahunan. Ah, telanjang bulat. Debu menyelimuti tubuh mereka. Beglendeen menoleh pada pelayan yang mendekatinya. Ia pesan sate kambing. Coba makan seperti orang-orang Sedayu atau Madura makan. Teman-temannya banyak makan roti dan keju tapi toh banyak yang mati sakit. Kini ia memperhatikan para pedagang dan serdadu yang makan dan mabuk-mabukan. Agak tidak sabar ia menunggu makanan. Sekilas ia ingat temannya yang menjadi komandan Benteng Lateng, Van Schaar. Ia harus mengirim berita tentang apa yang diperintahkan Biesheuvel itu padanya. Ya, segera sore ini akan ia perintahkan orang berkuda, seorang ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Jember, menemui Letnan Steenberger, seorang lagi ke Lateng. Lateng lebih dekat dengan Sumberwangi, jadi sekaligus mengawasi nelayan dan pedagang dari Bali. Tibatiba ia panggil seorang prajurit Sidayu. Orang yang sedang asyik minum itu mendekat. Beglendeen menyampaikan perintah untuk memanggil Ge Dank dan Badeloens. "Segera!"' katanya. "Kutunggu di sini. Dan jangan lupa, suruh mereka datang dengan kuda." Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Baik, Tuan." Orang itu bergegas pergi. Sebagai gantinya pelayan membawa makanan dan minuman tiba. Ia pesan dua lagi, karena ia ingin anak buahnya nanti juga makan bersama sambil mendengar perintahnya. Dengan demikian mereka tidak kesal menjalankan perintah. Tidak ada nyanyian musik di kedai itu. Yang ada berisik orang membicarakan apa saja. Yang pedagang bicara soal perdagangan, yang serdadu tertawa-tawa. Di dekatnya ada seorang yang baru masuk. Duduk memunggunginya. Ia perhatikan pakaiannya seperti pedagang dari India. Membawa sebuah benda panjang yang terbungkus kain. Ia tidak tahu apa itu. Barangkali barang dagangan atau bekal. Beberapa bentar lagi dua orang pembantunya datang. Melihat itu banyak serdadu yang segera membayar harga minuman dan pergi. Mereka agak segan ditunggui opsir kala minum. Tapi anak-anak di luar masih saja berlari-lari dan bermain-main. Setelah mempersilakan duduk dan makan bersama, ia menyampaikan perintah Biesheuvel yang harus mereka sampaikan ke Jember dan Lateng. Kedua orang itu harus berangkat sekarang juga. Tidak boleh ditunda, kata Beglendeen sambil senyum. Rasanya tersumbat tenggorokan mereka mendengar perintah itu. Akhir-akhir ini mereka tidak begitu berani berkuda di hutan. "Tapi ini perintah. Jika kalian tidak mau, yah..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Walau Beglendeen tak melanjutkan kata-katanya, mereka tahu apa isi kelanjutannya. Maka tak , ada kata lain kecuali mengiakan sambil nyengir. Setelah kenyang makan keduanya pergi. Beglendeen puas. Ia menoleh ke jendela untuk mengawasi kepergian mereka. Walau ia sudah mendengar derap kudanya. Tapi kebetulan saat itu beberapa anak berkejaran di dekat jendela. Beglendeen memperhatikan. Ia ingat anak-anaknya yang ia tinggal di Nederland. Jika Blambangan sudah aman ia akan bawa anak-anaknya kemari untuk melihat negeri yang elok inj.. Melihat pura. Melihat gandrung. Tapi semakin memperhatikan anak-anak itu Beglendeen menjadi merinding. Beberapa di antaranya berlari dengan lendir berwarna kuning campur putih kehijau-hijauan, menggantung di bawah hidung mereka. Lebih menjijikkan lagi karena beberapa dari mereka dikejar-kejar lalat ke mana pun mereka pergi. Ternyata tangan serta kepala mereka berborokborok. Ah, Beglendeen memejamkan mata kala melihat sebagian dari mereka telinganya juga keluar lendir dengan warna yang sama dengan yang keluar dari hidung. Dan lalat itu... Mual merasuki perut Beglendeen. Ingin ia mengusir anak-anak itu. Kejengkelannya mencapai puncak. Tiba-tiba ia berteriak sambil mengangkat bedilnya dengan laras tertuju pada anak-anak itu. Semua terkejut. Juga pemilik kedai. Tapi kala ia akan menarik pelatuk bedilnya, sebuah benda keras menempel punggungnya. "Jatuhkan bedil itu! Mereka bukan ayam. Atau Tuan sendiri pergi ke neraka sekarang juga." Suara itu tegas dan dingin. Beglendeen mengurungkan niatnya. Dan tanpa tertahan mualnya membuahkan muntahan. Tidak sempat mengumpat. Tapi ia buang juga senjatanya. Seseorang memungutnya. Selesailah sudah. Semua yang ditelannya keluar. Tapi ia tak berkutik dan menjadi tontonan para pengunjung yang masih tersisa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sekarang tinggalkan semua uang Tuan di atas meja. Jangan main-main, Tuan sedang berhadapan dengan Wilis. Ya, Wong Agung Wilis. Dengar baik-baik. Wilis!" "Wi..." "Jangan banyak tanya! Tidak ada waktu bercanda." Bentakan orang itu membuat Beglendeen merogoh kantungnya. Tangannya gemetar mengeluarkan semua uangnya. Dan terdengar orang itu memanggil pelayan. Diperintahkan untuk mengambil semua uang di meja. "Sekarang jalan ke pelataran!" Dan Beglendeen melakukan perintah itu lagi. Setelah itu ia terpaksa menyerahkan tangannya diikat ke belakang pantat. Sebentar kemudian orang yang mengikatnya menjauh sambil memerintahkannya menoleh. Kini ia dapat melihat, orang itu adalah yang duduk memunggunginya tadi. Matanya tajam, dengan kumis di bawah hidungnya. Tidak begitu tebal. Kini orang itu telah melompat ke atas punggung sebuah kuda Sumba yang gagah. Ternyata benda yang terbungkus kain itu adalah senjata laras panjang bikinan Inggris. "Selamat tinggal, Tuan. Dan berjalanlah pulang ke tangsi! Dan jangan suruh siapa pun membuka ikatan itu! Siapa pun! Biarlah Biesheuvel percaya bahwa Wilis tidak mati. Ia akan hidup selamanya di Bumi Semenanjung ini! Dengar, hai kawula Pangpang! Siapa pun yang berani membuka ikatannya akan terjungkal mencium bumi dengan tanpa nyawa!" Orang itu berteriak keras. Sebentar kemudian menyentuhkan kaki ke perut kuda. Dan kuda itu mulai melangkah untuk kemudian kabur ditelan debu yang mengepul. Beglendeen penasaran. Ternyata tidak seorang pun di kedai itu yang berani menolongnya. Semua malah menonton. Terpaksa ia berjalan ke kantor Biesheuvel seperti perintah Wilis. Ia pikir, barangkali dia adalah orang VOC pertama yang tunduk diperintah pribumi. Semua orang yang berpapasan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengannya heran tapi tak berani berbuat apa-apa. Beglendeen tertunduk dengan muka merah. Pribumi tidak beradabsanggup mempermalukan yang lebih beradab. Beberapa jarak kemudian beberapa ekor anjing mulai menguntitnya sambil menyalak-nyalak. Gila. Ia berhenti dan menoleh. Ingin ia menendang anjing-anjing itu. Tapi mereka juga berhenti sambil tetap menyalak. Menarik perhatian kawanan anjing lainnya. Beglendeen dikelilingi anjing-anjing yang menyalaknyalak. Ia ingin menutup telinga. Tapi tidak bisa. Berlari. Mereka tetap membuntuti. Beberapa laskar Madura ingin menolongnya. Tapi kawanan anjing itu tampak galak, membuat mereka ikut panik. Akan menembak takut mengenai Beglendeen yang sedang pontang-panting itu. Penjaja gerbang Biesheuvel menemukan akal dan menembak ke udara kala Beglendeen sampai di gerbang itu. Dengan napas tersengal-sengal, keringat sebe-sar-besar biji jagung, Beglendeen melaporkan apa yang baru dialaminya. 'Tidak masuk akal Agung Wilis bisa di sini!" Biesheuvel geleng kepala. "Dan anjing-anjing itu tentu kebetulan saja!" Pernyataan Biesheuvel i membuat Beglendeen kecewa. Dengan kata lain ia menganggap aku ini pembohong" Biesheuvel, memang kau harus mengalami sendiri supaya matamu celik! Beglendeen terus mengumpat dalam hati ketika diantar pulang ke lojinya oleh pengawal benteng. Laporan-laporan berikut datang seperti petir di musim kemarau. Rombongan peronda di serbu oleh babi hutan. Akibatnya mereka terbirit-birit dan banyak senjata mereka hilang. Laporan dari Lateng lebih mengherankan lagi. Rombongan penarik pajak yang dikawal satu regu Kompeni tercerai-berai karena dikejar oleh beberapa kerbau liar. Peristiwa yang membuat penarik pajak takut berkeliling. Biesheuvel jadi pusing. Bapa Anti juga. Maka ia sendiri memerlukan pergi ke Lateng untuk membuktikan. Tapi waktu di Pangpang ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berpapasan dengan kerbau yang sedang pulang ke kandangnya, tidak terjadi seperti yang dilaporkan. Mungkin saja laporan itu " sekadar kebohongan. Aneh. Akhir-akhir ini di Blambangan jadi penuh sas-sus. Sebenarnya itu bukan kejadian aneh. Anak buah Mas Ayu Prabu menemukan cara untuk melatih kerbau-kerbau yang biasanya patuh dan bersahabat itu, menjadi liar dan galak. Suatu kali mereka datang dengan berpakaian Kompeni, dan menggunakan wangi-wangian di tubuh mereka, kemudian mengikat serta menyiksa kerbau-kerbau itu dengan luar biasa. Terutama kerbau jantan. Lain kali mereka datang lagi dengan pakaian petani. Sambil mengelus kepala kerbau-kerbau yang teraniaya itu dengan kasih, mereka membebaskannya. Begitulah, latihan yang dilakukan berulang kali itu menanamkan dendam di hati para kerbau. Kemudian Mas Ayu Prabu menurunkan perintah pada para petani agar tidak mengikat kerbau-kerbau yang akan berangkat atau pulang kerja di sawah. Apalagi yang sedang digembalakan. Itulah awal kejadian yang mengejutkan semua orang. Apa tujuan Mas Ayu Prabu dari semua akal-akalannya itu" Tak lain untuk mengendor-kan ketatnya patroli Belanda. Dengan begitu akan memudahkan pendaratan laskar Bali yang akan dipimpin Gusti Tangkas. Pengiriman laskar Bali itu atas permintaan Sutanegara. Mas Ayu Prabu telah menyampaikan permintaan itu pada Wong Agung Wilis, yang bersedia mengirim tiga ratus orang. Bagi Wong Agung Wilis itu merupakan kesempatan menghantam Belanda. Kini pasukan sudah bersiap di Jembrana. Tinggal menunggu isyarat dari Mas Ayu Prabu. Mereka merencanakan pendaratan di Pantai Grajagan. Namun Gusti Tangkas jadi amat heran, Mas Ayu tidak kunjung mengirimkan utusannya. Mereka tidak pernah tahu bahwa bersamaan dengan waktu Ayu Prabu menyiapkan dan mengamankan daerah pendaratan, seorang pedagang yang dulu pernah mendapat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ keleluasaan oleh Colmond, yaitu Lie Pang Khong, sedang menghadap Letnan Schaar di benteng Kota Lateng. Orang itu bertubuh gemuk, tidak terlalu tinggi, hidungnya agak pesek, dan matanya sipit. Setelah melewati beberapa tatacara dan penjagaan ia diizinkan masuk benteng dengan syarat harus berjalan dengan kepala tertunduk. Tidak boleh memperhatikan kiri dan kanan. Tidak boleh berdahak. Dia digiring melewati lorong-lorong yang'agak gelap. Belok kiri, belok kanan, belok kiri lagi. Dan entah berapa kali lagi ia harus berbelok-belok. Ia tidak ingat. Tentu semua itu merupakan aniaya bagi Lie Pang Khong. Apalagi ^ mencegah kebiasaan berdahak selama ada di lingkungan benteng. "Duduk!" Suara Van Schaar dingin. Matanya tajam mengawasi tamunya. "Ada apa?" "Sebelum menghadap Tuan Biesheuvel untuk memperpanjang izin tinggal di Lo Pangpang, saya ingin menyampaikan berita yang mungkin amat penting untuk segera ditangani." "Apa itu?" Schaar mengerutkan dahinya. Penuh perhatian. "Begini, Tuan..." Cina itu menelan ludah menahan keinginan berdahak. "Di Jembrana, kami melihat persiapan laskar Bali akan mendarat di Blambangan." "Apa kon (kamu (diambil dari bahasa Surabaya, karena Schaar pernah bertugas di Surabaya) bilang" Pasukan Bali akan menyeberang?" "Saya berani bersumpah, Tuan. Banyak jumlah mereka." "Jika demikian kon harus lapor ke Pangpang. Dan kon akan diantar oleh Pembantu Letnan De Kornet Tine. Nah, tunggulah di luar." "Ya, Tuan. Terima kasih." Orang itu kemudian buru-buru meninggalkan Van Schaar. Ingin ia segera melepaskan segala aniaya di luar benteng. Benteng yang mengharuskannya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berjalan tertunduk tanpa menoleh kiri dan kanan. Jika sepuluh hari saja ia diperakukan seperti itu mungkin saja ia akan menjelma menjadi babi. Leher sukar ditekuk. Sepeninggal Lie Pang Khong, Schaar memanggil pembantu letnan, De Kornet Tine dan Ostransky. Kepada mereka ia terangkan laporan Lie Pang Khong. "Karena itu kamu menghadap Tuan Biesheuvel." Ia menunjuk De Kornet. Dan orang itu menghormat lalu pergi setelah menerima petunjuk lanjutan. Kemudian Schaar memerintahkan Ostransky memperketat penjagaan pantai dan meminta pengawalan laut dari armada yang ditempatkan di Sumberwangi. Tentu saja semua itu mereka kerjakan dengan tanpa gerakan yang berbondong-bondong. Namun demikian penjagaan pantai yang begitu rapat membuat Mas Ayu menjadi curiga. Dan itu sebabnya ia tidak segera mengirimkan utusan. Kecurigaan Mas Ayu sangat beralasan. Karena setelah ia berusaha menghubungi Sutanegara, ternyata orang itu tidak ada di tempat. Menurut istrinya, sehari setelah Jaksanegara bertamu ke Lateng, Sutanegara dijemput oleh Van Schaar dan tidak kembali. "Apa ia ke benteng?" Mas Ayu memburu. "Menurut Sutanegara sebelum pergi ia memberi tahu bahwa ada panggilan mendadak ke Pangpang." "Sendiri beliau ke sana?" "Bersama Patih Suratruna." "Hyang Bathara!" Mas Ayu berdebar. Ia mendapat firasat buruk. Maka segera ia minta permisi. Tentu rumah ini dalam pengawasan, pikirnya. Dan segera ia mengirimkan utusan ke Pangpang untuk menyelamatkan Wangsengsari. Namun terlambat. Wangsengsari juga sudah dipanggil menghadap Biesheuvel dan belum kembali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Hujan sudah tiada turun lagi kala itu. Orang-orang Blambangan tiga belas hari lagi merayakan hari raya Waisaka. Memang tidak besar-besaran hari macam begitu. Apalagi dalam kesulitan pangan seperti itu. Jadi menurut orang Blambangan bulan itu adalah bulan Wisaka. Sedang menurut orang Belanda adalah pertengahan Mei. Ya, pertengahan Mei seribu tujuh ratus tujuh puluh satu tahun Masehi kala Wangsengsari, Sutanegara, dan Suratruna menerima keputusan dibuang ke Seilan karena Dewan Hindia di Batavia menganggap mereka melakukan pengkhianatan terhadap pemerintahan agung VOC di Batavia. Ada beberapa istri dan anak-anak mereka yang harus mengawal orang tua mereka ke pembuangan. Apa pun pembelaan mereka, namun saksi dan bukti cukup banyak. Ketiganya tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa Jaksanegara yang begitu baik dan akrab pada mereka itu adalah antek VOC. Karena mereka tak tahu maksud tersembunyi Jaksanegara, yaitu menjadi penguasa tunggal di Bumi Semenanjung. Ya, keinginan hati untuk merajakan diri sendiri telah mengorbankan kerabat, sahabat, dan adat. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Saksi lain, Lie Pang Khong, juga orang yang sering mempersembahkan berbagai macam hadiah. Bagaimana mungkin orang sebaik itu menjadi saksi yang memberatkan" Apalagi setelah orang ketiga yang dijadikan saksi adalah anak Wangsengsari sendiri. Anak perempuan dari istri kedua Wangsengsari, Mas Sanggawati. Anak itu memang sering ikut menemani bapaknya menemui tamu. Tidak tahu bahwa anak itu juga sering menerima tamu jika Wangsengsari tidak ada. Karena iri terhadap Repi yang memperoleh kebebasan dan kekayaan, maka ia berusaha memperoleh yang seperti adiknya dengan caranya sendiri. Tanpa setahu Wangsengsari ia sering berhubungan dengan Lie Pang Khong atau Pieter Luzac. Atau kadang juga dengan Biesheuvel sendiri, demi emas dan uang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sanggawati akhirnya tidak mungkin mampu membebaskan diri karena keinginan-keinginannya makin bertambah tiap hari. Saat yang membuatnya berdiri di simpang jalan ialah kala ia berjumpa dengan Jaksanegara. Candu menjeratnya dan membuat ia harus mengiakan semua perintah Jaksanegara. Dan kala Wangsengsari bersama lainnya dilayarkan maka ia diberi hak untuk menguasai rumah bapaknya. Dengan begitu ia makin bebas melakukan segala langkah untuk memanjakan kejalangannya. Peristiwa itu tidak hanya membuat Mas Ayu membatalkan isyarat yang semestinya ia kirimkan. Tapi membuat ia harus menghitung berulangkali setiap langkah yang ia ambil. Langkah pertama tentu saja ia mengirim berita pada Mas Ramad Surawijaya dan Sayu Wiwit serta Rsi Ropo. Langkah kedua harus segera memberi tahu Wong Agung Wilis di Mengwi. Demi langkah kedua itu ia kembali memasuki gedung Tha Khong Ming di Sumberwangi. Tidak sukar baginya memasuki rumah tersebut karena semua penjaga memang anak buahnya sendiri. -Tapi nampaknya Tha Khong Ming amat gugup. Tha Khong Ming sama sekali tak menduga mendapat kunjungan mendadak malam-malam begitu. Tapi bagaimanapun juga ia tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. "Selamat malam, Yang Mulia. Datang sendiri?" "Ya. Datang sendiri." Gadis itu senyum sambil menajamkan matanya. Mata itu seperti mampu memantulkan cahaya lampu-lampu di sekitarnya. "Tidak seperti biasa. Tentu amat penting?" Tha Khong Ming mempersilakannya duduk. Kemudian ia mengambilkan minuman. Arak putih buatan Cina. Menuangkan dalam cawan. "Ini untuk penghangat badan. Tentu Yang Mulia kedinginan. Malam-malam begini berkuda." Ia menyodorkan cawan itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Terima kasih, Tuan. Aku sejak siang di kedai itu. Sengaja datang malam-malam ke tempat ini. Memang sengaja. Karena ada sesuatu yang penting hendak kuutarakan?" Kembali gadis itu memamerkan lesung pipit dan sinar matanya. Hati Tha Khong Ming meriup-riup seperti pelita dihembus angin perlahan-lahan. "Apa itu, Yang Mulia?" Tha Khong Ming berbisik sambil mengambil kesempatan untuk mendekatkan tempat duduknya di sebelah kursi Ayu Prabu. Bahunya menyentuh sedikit bahu Ayu Prabu. Berdebar. "Apa Tuan belum dengar?" "Apa itu?" tanyanya sambil minum. "Sutanegara ditangkap." "Hai?" Alis Tha Khong Ming sedikit terangkat. "Tidak perlu terkejut." Gadis itu tetap saja tersenyum. "Lalu apa ia tidak membongkar rahasia kita?" "Kau takut?" Kini gadis itu membalikkan badan dan kembali menatap matanya. Dekat sekali jarak mereka. Pertanyaan yang membuat Tha Khong Ming malu. Gadis yang ia puja ini ternyata sangat pemberani. Ah... seperti bapaknya. Kini debar jantungnya mengeras. Dalam keadaan hening rasanya suara debaran itu terdengar oleh telinganya sendiri. Tapi akan celaka jika didengar oleh Ayu Prabu. Maka cepat-cepat ia tersenyum dan menjawab, "Tidak, Yang MuHa. Eh... mari minum, jangan segan, Yang Mulia. Bukankah kita sahabat dekat?" "Persahabatan belum tentu harus ditandai dengan minuman," kata gadis itu tegas. Walau tetap saja bibir mungilnya berhiaskan senyum. "Sebenarnyalah persahabatan harus ditandai dengan kasih setiap waktu. Dan sahabat sejati sanggup menjadi saudara dalam masa sulit." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ah... Yang Mulia tidak mempercayai hamba?" Tha Khong Ming seperti hanyut dalam gelombang. Ia berusaha menebak arah pembicaraan gadis itu. "Aku memang tidak dapat memastikan apakah kau bisa dipercaya atau tidak. Sebab kau seorang pedagang. Lelaki pedagang." Ayu mencoba mengetuk pintu hati Tha Khong Ming untuk " menguak kesetiaan lelaki itu. Sementara malam kian larut. Penjaga pintu di luar berjalan mondar-mandir untuk menghindari kantuk. Dalam hati terpecik sedikit tanya. Apa saja yang dikerjakan wanita itu dalam gedung bersama lelaki yang tinggal sendirian" Ingin rasanya ia meninggalkan gerbang dengan temannya yang sedang mengantuk untuk mencoba mengintip ke balik jendela. Tapi ia tak berani. Ayu Prabu adalah wanita terlatih yang mempunyai telinga seperti dewa. Itu yang menyebabkan pemuda-pemuda Raung atau Sempu atau Songgon yang jatuh cinta padanya tidak berani melamar. Apalagi ia adalah putra Wong Agung Wilis. "Sekalipun begitu, hamba ingin membantu perjuangan kawula Blambangan. Dan sedikit demi sedikit hati hamba terpaut oleh Blambangan." Ayu Prabu tersenyum mendengar itu. Ia tahu persis, pemuda itu ingin mengatakan yang lain. Ia bukan terpaut dan tertarik oleh perjuangan kawula Blambangan, tapi oleh dirinya. Itulah naluri kewanitaan. "Senang sekali mendengarnya, Tuan. Tapi aku ingin bukti." "Apa yang harus hamba kerjakan supaya bisa menjadi bukti dari cinta hamba pada Blambangan." Tha Khong Ming makin berani. "Masuk sumur" Boleh saja asal itu perintah Yang Mulia," senyumnya sambil menembuskan pandang. Namun gadis itu tidak mau berpaling ke tempat lain. Ia tantang Tha Khong Ming beradu pandang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku minta kau pergi ke Mengwi. Jika perlu malam ini kau turun ke laut. Karena aku perlu menyampaikan berita buat Ramanda." "Ke Mengwi?" "Sanggup?" gadis itu masih menatap sambil terus senyum. Ah, siapa yang berani menolak permintaan gadis ini" pikir Tha Khong Ming. Ingin ia mendekap dan melumat bibir mungil yang mengundang kerinduan itu. "Sanggup, Yang Mulia. Lalu apa yang harus hamba sampaikan" Apa hanya pesan?" Tha Khong Ming tidak pikir panjang. Ia merasa mampu menembus barisan armada Kompeni. "Ini lontarku untuk beliau." Mas Ayu menyerahkan tusuk kondenya. Semula Tha Khong Ming terkejut. Tapi Mas Ayu segera bangkit dan katanya, "Kau tidak perlu tahu isinya. Ramanda* sudah tahu bagaimana membuka tusuk konde itu." Kini gadis itu dengan berani memegang bahu Tha Khong Ming yang masih duduk sambil berkata lagi, "Terima kasih, Pahlawan!" - kemudian berbalik hendak pergi. Tapi langkahnya yang ketiga ditahan oleh suara Tha Khong Ming. "Tunggu, Yang Mulia. Hamba akan pergi malam ini juga. Tapi hamba mohon selama hamba tiada, rumah ini tetap dalam pengawasan Yang Mulia." Kemudian Tha Khong Ming menunjukkan sebuah kamar kosong. Tapi tetap terawat bersih. "Sebab dalam waktu dekat hamba akan menerima tamu dari Surabaya. Paman hamba. Jika rumah ini kosong maka beliau akan marah besar," sambung Tha Khong Ming. "Ahai, kau tahan aku" Baik. Tapi jangan terlalu lama, sebab banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Nah, besok pagi saja aku akan datang. Sekarang aku pergi dulu. Selamat malam." Tha Khong Ming memandangi punggung gadis itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ah... mengundang sejuta angan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ IX. SEGUMPAL MENDUNG Pemerintah VOC menganggap dengan dibuangnya dua tumenggung serta seorang patihnya dan seluruh keluarganya ke Seilan akan menghentikan semua pembangkangan yang ada di Blambangan. Dan dengan begitu akan membuat orang Blambangan takut. Memang ketakutan orang Blambangan diperlukan oleh Kompeni. Dengan dicekam ketakutan maka mereka tidak akan berbuat apa-apa jika mereka diperlakukan dengan semau-mau. Selebihnya kawula Blambangan akan mengiakan terhadap semua kemauan pemerintah. Dan itulah yang disebut kekuasaan. Dalam banyak hal kekuasaan itu ternyata dibangun dan hidup di atas ketakutan banyak manusia. Bukan atas pendapat semua manusia. Dengan sengaja pemerintah Belanda menciptakan ketakutan secara tersembunyi, dan membiasakan orang menjadi takut dari waktu ke waktu, sehingga kelak berkembang menjadi semacam kesadaran untuk patuh. Patuh melakukan kewajiban yang harus mereka berikan kepada pemerintah VOC. Dan seperti daerah Jawa lainnya, maka Belanda ingin membuat kawula Blambangan menjadi seperti siput. Yang harus mengkerut jika mendengar langkah dan detak sepatu orang-orang Belanda. Merunduk-runduk tidak berani memandang wajah siapa pun yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari mereka. Belanda yang menciptakan begitu! Bagi Mas Rempek peristiwa pembuangan itu memberikan arti yang lain. Matanya menjadi terbuka, bahwa tidak setiap sosok manusia di bumi Semenanjung ini boleh dipercaya. Di hatinya terukir berbagai tanya tentang Jaksanegara. Tentang Sanggawati. Tentang banyak orang yang menyebabkan ketiga satria Blambangan itu dibuang ke negeri yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan dalam hidup mereka. Lebih dari semua itu, merupakan pelajaran berharga. "Bahwasanya tindakan separuh-separuh lebih banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Dan siapa yang ingin rugi" Karena barangsiapa melakukan segala hal dengan separuhTiraikasih Website http://kangzusi.com/ separuh, maka ia tak akan pernah sampai pada apa yang ia inginkan. Karena ia tidak pernah sepenuhnya benar. Tidak demikian halnya Jaksanegara. Sebongkah kegembiraan memenuhi hatinya. Selangkah lagi ia akan menjadi penguasa tunggal di Blambangan. Tidak peduli hanya akan diberi pangkat adipati atau bupati. Apalagi Pieter Luzac dan Schophoff sebagai orang dekat Biesheuvel mengatakan bahwa mereka telah mengajukan usul pada Gubernur supaya Jaksanegara diangkat sebagai Adipati Blambangan. Dan untuk berita yang baru ia terima itu tentu ia mempersembahkan hadiah-hadiah istimewa pada keduanya walau waktu mempersembahkannya tidak sama. Dan saling tidak mengetahui. Tentu keduanya memberi pesan pada Jaksanegara agar tidak seorang pun tahu jika mereka menerima persembahan dari Jaksanegara. Tapi banyak kali kenyataan tidak semanis impian. Karena dengan tegas Gubernur J. Vos menolak usul yang ditandatangani Pieter Luzac dan Schophoff dan diketahui oleh Biesheuvel. J. Vos menyatakan curiga terhadap setiap orang Blambangan. Sekalipun mereka sudah menjadi Islam seperti halnya penguasa Jawa lainnya namun mereka masih takut pada kaum brahmana. Sebagai bukti, menurut surat J. Vos pada Biesheuvel mereka tidak bertindak terhadap sepakterjang Rsi Ropo di Songgon. Sehingga Songgon seolah daerah yang berdiri sendiri, di luar kekuasaan Blambangan. Vos menerima laporan dari beberapa telik Sidayu yang pernah secara diam-diam menyusup ke Songgon. Biesheuvel sangat terkejut karena surat Vos menyebutkan daerah Songgon tidak terlalu jauh dari Pangpang sebenarnya. Diperkirakan cuma dua jam perjalanan jika mereka menempuhnya dengan naik kuda. Dan karena itu sebagai ganti kedua tumenggung yang telah dijatuhi hukuman buang, Gubernur menunjuk Patih Surabaya, yaitu Raden Kertawijaya. Seorang yang tinggi besar menurut ukuran Jawa. Hidungnya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mancung hain-pir seperti Arab. Barangkali saja memang keturunan Arab. Karena di Kartasura sekarang banyak saudagar keturunan Arab. Dan tidak mustahil jika , ada diantara mereka yang dekat dengan kraton dan berhubungan dalam banyak hal. Mula-mula mereka keluar-masuk istana hanya untuk menawarkan barang dagangan. Atau juga mereka merangkap menjadi pengajar bahasa Arab dan igama Islam. Seperti hal lainnya maka hubungan yang dekat akan membuahkan sesuatu. Sebab kodratnya memang demikian. Maka itu sebabnya tidak mengherankan jika di Kartasura sekarang ada orang-orang Arab atau Cina yang bergelar seperti ? layaknya bangsawan Jawa. Semula memang ditentang oleh beberapa bangsawan. Tapi dijawab oleh Susuhunan, raja-raja Jawa menerima gelar Sultan juga dari tanah suci Mekah. Kenapa mereka tidak boleh menerima gelar jika sudah bertalian darah dengan kita. Tidak ada salahnya anak-anak kita dikawin oleh mereka, titah Susuhunan dalam pembelaannya. Arab adalah bangsa mulia, keturunan Nabi besar Muhammad. Baik-baik saja itu terjadi. Kertawijaya mengenakan ikat kepala berwarna merah soga. Tepat di atas dahinya dihiasi bros yang bertahtakan intan, sehingga tampak berkilau-kilau. Bajunya hitam dan bagian depan dihias dengan benang-benang emas. Mulai ujung bawah sampai melingkari leher. Keris yang terselip di punggungnya membuat ia kelihatan gagah. Kulitnya tidak terlalu hitam. Namun tidak bisa dikatakan kuning. Dan namanya segera tersebar ke seluruh Blambangan karena ia mengadakan pesta minum serta tayuban (semacam pesta yang disertai tari pergaulan yang melibatkan tamu untuk menari bersama penari wanita) Ia mendatangkan tuak dari Gresik dan penari-penari dari daerah Surabaya. Juga penabuh dan gamelan, semua dari Surabaya. Kaya rupanya. Tentu saja Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu mengecewakan Jaksanegara yang sudah mengimpikannya siang dan malam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Belanda tak menggubris jasa kita," katanya suatu hari pada Mas Rempek dan Bapa Anti. Dan itu merupakan petunjuk pasti bagi Mas Rempek tentang pengkhianatan Jaksanegara pada Wangsengsari dan teman-temannya. Tapi seperti yang dikatakan Rsi Ropo, ia harus menjadi dewasa dan lebih dewasa lagi. Ia mendapat tugas dari Wilis supaya untuk sementara, sampai waktu yang ditentukan, harus hidup di dunia orang lain. "Kita harus bersabar, Yang Mulia. Keinginan kita menyatukan kembali Blambangan telah tercapai. Masalahnya sekarang ini Blambangan diperintah oleh bukan orang Blambangan sendiri," Bapa Anti menasihati. "Menurut Tuan Pieter Luzac, salah satu sebab tidak dipercayanya aku memegang kekuasaan tertinggi di Blambangan ialah karena Gubernur mendengar adanya Rsi Ropo di Songgon. Aku. belum pernah ke sana. Belum pernah mehhat Rsi Ropo. Apa saja kerjanya sehingga menarik perhatian Gubernur" Katanya dialah yang menghasut kawula untuk mempercayai bahwa Wong Agung "Wilis masih hidup, sekarang menjadi pemimpin Blambangan." Tiba-tiba saja muka Bapa Anti berubah. Sedikit demi sedikit menjadi pucat. Rempek masih berusaha menahan hatinya. Berdebar. "Apa Bapa Anti tidak pernah tahu?" akhirnya Jaksanegara menanyakan. "Yah... hamba..." Terhenti. Sekilas menoleh pada Rempek. "Kenapa" Tampaknya kok takut" Yang Mulia pernah dengar?" Kini Jaksanegara menoleh pada Rempek yang pura-pura memperhatikan ikan-ikan dalam kolam di seputar tempat mereka berunding. Ia menarik napas panjang sebentar. Rsi Ropo sendiri sudah memperkirakan. Akan datang pertanyaan semacam itu padanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Pernah dengar," katanya perlahan dengan suara parau. "Seperti orang lain pernah ke sana, hamba pun." "Pernah ke sana?" "Apa salahnya" Yang lain juga pernah ke sana. Ia rsi yang luar biasa. Memiliki pandangan tajam. Matanya seperti mampu menembus wiswayana (Khatulistiwa) Lidahnya seperti dewa." "Ya, Al ah, kenapa Yang Mulia tidak melaporkan pada hamba" Dia orang yang dicurigai VOC." "Apa salahnya dicurigai" Hamba tidak tahu itu. Baru sekarang hamba tahu adanya kecurigaan pada rsi itu. Lagi pula sudah agak lama hamba tidak ke sana. Barangkali Bapa Anti yang masih sering." Seperti tertimpa batu segunung Bapa Anti mendengar namanya disebut oleh Mas Rempek. Sebelumnya dalam hati ia berdoa supaya Rempek tidak mengatakannya. Tapi doanya tidak didengar Yang Maha Tinggi. Kini Jaksanegara menoleh padanya. Bapa Anti cepat-cepat menunduk. "Bapa Anti juga pernah ke sana?" "I... ia... iya..." "Kenapa tidak pernah cerita?" "Ampun, Yang Mulia... tidak apa-apa. Maksud hamba rsi itu tidak apa-apa...." "Tidak apa-apa bagaimana" Dia mampu membuat hamba gagal." "Hamba rasa itu tidak beralasan." "Apa pun kata Yang Mulia berdua, hamba akan pergi melihat. Membuktikan apakah Rsi Ropo membahayakan atau tidak. Jika benar hamba akan menangkapnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Menangkapnya?" tanya kedua orang itu berbareng. Bapa Anti makin gemetar. Ia teringat rsi itu menuding hidungnya. "Ya. Kenapa" Bapa Anti, tunjukkan jalan ke sana. Kita ajak beberapa laskar Madura yang bertugas mengawal rumah kita." "Am... ampun, Yang Mulia... kaki hamba sedang sakit. Tak kuat jalan. Jika naik kuda pantat juga sakit," Bapa Anti mencari alasan. Betapa heran Jaksanegara. Menjadi penunjuk jalan Belanda menyerbu Wilis dia tidak takut. Tapi sekarang takut. Memang Jaksanegara tidak tahu apa yang dialami Bapa Anti akhir-akhir ini. Ia sering menerima kiriman sebah kotak dari orang yang mengaku Wong Agung Wilis. Apa isi kotak itu" Pernah isinya kepala seorang prajurit Madura. Pernah juga sekali berisi kepala seorang sersan Belanda yang beberapa hari sebelumnya diperkirakan tersesat di hutan waktu berburu. Dan dengan ketakutan amat sangat secara diam-diam ia dan anaknya mengubur kepala itu di tengah hutan. Lebih menakutkan lagi pesan orang bertopi lebar seperti laiknya petani Blambangan jika sedang bekerja di sawah. "Ingat, jika kau teruskan menjual bangsamu, maka tidak ada sulitnya membuat kepalamu seperti ini!" "Baik, jika Bapa Anti tidak memiliki keberanian, maka aku mohon Mas Rempek menemani hamba." Jaksanegara menoleh pada Rempek. Dan Rempek tersenyum. Menyanggupi tapi dengan syarat tidak membawa prajurit ke Songgon. Jika itu dilakukan maka ia tak akan mau menjadi penunjuk jalan. "Kenapa, Yang Mulia?" "Daerah itu damai dan bersahabat. Tidak terlihat seorang pun bersenjata di sana. Seperti negeri kudus. Jangan dikotori dengan prajurit yang biasa menumpahkan darah. Hamba keberatan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita akan pergi tanpa pengawal!?" "Satu-dua orang boleh. Laskar Pakis siap mengawal kita." Jaksanegara ragu. Namun ia menerima juga. Keinginannya untuk tahu siapa Rsi Ropo yang membuatnya gagal menjadi penguasa tunggal di Blambangan, begitu besar. Karenanya pada hari Radite yang telah ditentukan mereka sudah berada di Songgon. Sebab biasanya hari Radite merupakan hari di mana banyak orang berkumpul. Jaksanegara melihat betapa berjubelnya orang di pendapa menunggu munculnya sang rsi. Bau keringat semua orang berbaur menyatu. Mata Jaksanegara memperhatikan ke segala penjuru. "Lihat, Yang Mulia, semua mereka bersahabat. Berbagi makan dan minum bersama. Berbagi tawa secara tulus," Rempek menerangkan. "Dan telah kita lihat tadi, tidak ada senjata di pinggang semua orang. Pertanda di sini tak pernah ada pertumpahan darah." Jaksanegara mengangguk. Ia memperhatikan para cantrik yang ramah terhadap semua orang dan mengatur semua tamu agar duduk dengan tenang. Dan tiap orang patuh, sekalipun harus berlama-lama menunggu. Tiba-tiba seorang perempuan yang masih sangat muda dan agak hitam manis muncul di tengah bale pracabaan itu. Sayu Wiwit, demikian nama yang diterangkan pada Jaksanegara oleh Mas Rempek. Dan apa yang dilakukan wanita muda itu" "Saudara-saudara!?" suara wanita itu merdu didengar Jaksanegara. "Yang Tersuci Rsi Ropo masih bersemadi dan tidak bisa diganggu. Karena itu pertemuan kita hari ini diganti nanti hari Sukra (hari Jumat) mendatang. Semua dipersilakan meninggalkan tempat dan boleh datang pada hari Sukra yang akan datang." Kemudian gadis tadi menghilang ke dalam bilik. Dan semua orang bubar dengan tanpa kecewa. Tinggal Jaksanegara dan Rempek serta empat orang pengawalnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita tidak bisa memaksa, Yang Mulia," Rempek mengajaknya pulang. Namun Jaksanegara tetap diam dengan wajah merah padam. "Hamba merasa dipermainkan." "Bagaimana dengan ribuan orang yang pulang dengan tanpa desah. Yang ada cuma senyum. Senyum yang tulus. Tulus berdamai dengan keadaan yang mereka terima. Seperti sudah hamba katakan. Di sini tidak ada desah dan sakit hati. Yang ada damai sejahtera, maka jangan kita kotori keadaan seperti ini. Mereka tenteram tanpa kurang makan. Kita syukuri ini. Mengapa kita hendak mengusik yang telah menjadi baik seperti ini?" Rempek berusaha mendinginkan hati Jaksanegara. "Tapi mereka tidak sama dengan kita. Kita adalah satria!" Napas Jaksanegara memburu. "Kita pembesar negeri. Kita pejabat yang mewakili kekuasaan di Blambangan." "Lihat, tatanan di sini tak sama dengan Blambangan. Di sini tidak ada Belanda. Tidak ada laskar Madura, Sidayu, atau Probolinggo! Semua orang mengerjakan sawahnya sendiri. Untuk sendiri dan untuk anak-istri mereka. Marilah kita pulang, Yang Mulia." "Tidak! Menyesal tidak membawa laskar Madura itu. Jika ada mereka mungkin tak ada perlakuan semacam ini." Kemudian Jaksanegara bergerak maju. Melangkah ke pendapa dan berteriak, "Rsi Ropo keluar kamu! Jaksanegara ada di sini. Belajarlah menghormat pada penguasa!" Rempek buru-buru mencegahnya. Tapi Jaksanegara tetap tidak menggubrisnya. Seorang cantrik keluar menemuinya. Tanpa menyembah pada Jaksanegara. Menyakitkan. "Ada apa, Yang Mulia?" "Aku tidak membutuhkan kamu! Mana Rsi Ropo?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sudah dijelaskan tadi." "Aku penguasa di Blambangan! Suruh dia keluar!" "Salah satu tugas brahmana adalah menyatu dengan Penciptanya. Mendengar suara Penciptanya. Bukan mendengar suara hatinya sendiri. Dan bukan suara manusia lainnya." "Apa" Dengan kata lain suaraku tidak didengarnya?" Suara Jaksanegara meninggi. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak seperti kilat menempeleng sang cantrik. Tak ayal lagi cantrik itu terdorong selangkah mundur dengan muka merah bekas telapak tangan Jaksanegara. Dan saat itu Marmi yang dikenal sebagai Sayu Wiwit oleh Rempek keluar. Berpakaian seperti biasanya pakaian para sayu. Berjubah kuning dengan kalung emas yang tergantung sampai perut dan dihiasai medali bunga teratai. "Sabar sedikit, Yang Mulia. Di sini tidak ada kebohongan. Tidak perlu digunakan kekerasan seperti itu," suaranya merdu. Semua menoleh padanya. Namun Jaksanegara maju dengan geram melihat wanita itu juga tidak menyembahnya. "Menyembahlah!" teriaknya. "Tidak ada brahmana menyembah satria," ujar wanita itu. "Apakah zaman sudah berbalik dan kehilangan kesusilaannya sehingga brahmana harus menyembah pada satria?" "Iblis!" Jaksanegara mendekat. Tapi wanita itu diam dan tenang. Tapi apa yang dilakukan Jaksanegara di luar dugaan semua orang. Ia menarik jubah Sayu Wiwit sampai robek. Tidak puas ia lepaskan jubah itu dan melemparnya ke atas tanah kendati berkali diperingatkan Rempek untuk berhenti. Cantrik Janaluka dan Marmi yang mengaku sebagai sayu itu tetap diam. Dan kini mereka tidak mau menjawab lagi sepatah pun pertanyaan Jaksanegara. Sampai orang itu berkata, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Baik! Hari Sukra aku akan datang! Tapi jika Rsi Ropo tidak ada lagi maka Songgon akan kubakar!" Ia berbalik pergi. Debar jantung Rempek tidak bisa tenteram kala mereka sudah keluar dari Songgon. Jaksanegara mengajak mereka melingkar ke utara melewati Hutan Kepanasan yang sudah ada jalannya. Tidak melewati belukar seperti waktu mereka berangkat. Jika ada tidak sesulit jika mereka langsung ke timur. Tapi memang jaraknya teramat jauh berbeda. Seperti tidak mengenal lelah kuda mereka melewati jalanjalan setapak. Tidak ada perkampungan. Melewati semak dan padas karang yang keras. Sebentar mereka berhenti di kali kecil yang mengalir jernih untuk memberi minum kuda mereka. "Hamba khawatir, Yang Mulia," kata Rempek di tengah jalan. "Aha... mereka tidak punya apa-apa selain doa. Apa yang kita takuti" Apalagi hamba sekarang tidak terikat oleh aturan harus meninggikan brahmana." "Hamba khawatir hukum karma terjadi, Yang Mulia." "Tidak ada karma! Itu kebohongan!" Ketika senja hampir tiba, mereka mulai memasuki Hutan Kepanasan. Semua orang Blambangan tahu di situlah laskar Bali menderita kekalahan pertama digempur oleh laskar Madura dan sekutunya. Sekarang di tengah hutan itu dibangun jalan menuju ke Lateng, melewati Lo Pangpang. Di jalan itu kuda bisa berjajar empat sekaligus. "Jika Yang Mulia tidak lagi percaya karma, hamba tidak paksakan pendapat hamba. Tapi ingat, kita sudah mencoreng kedamaian di desa Songgon. Hamba khawatir berita perlakuan Yang Mulia ini didengar oleh seluruh kawula yang saat ini menumpuk berlaksa kekecewaan. Itu akan menjadi suatu kepundan. Dan seperti kepundan gunung berapi jika sudah membeludak, sukar diatasi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ha... ha... ha... ha... Yang Mulia di belakang kita ada Kompeni yang gagah perkasa. Tidak pernah kalah. Apa yang kita takutkan?" Jaksanegara menyambung lagi dengan tertawa berkepanjangan. Namun belum lagi senyap suara tawanya yang bergema di hutan sunyi itu, terdengar suara derap kuda menyusul mereka. Disusul sebuah letusan membuat mereka semua menghentikan langkah kuda masing-masing. Tiga orang penunggang kuda dengan senjata api berlaras panjang di tangan mereka. Seorang di antara mereka mengenakan ikat kepala merah soga dan rambut ikal terurai sampai ke pundak. Kedua ujung ikat kepalanya naik ke atas. Telanjang dada, sehingga nampak tubuh orang itu. Tidak terlalu kekar. Boleh dikatakan agak ramping sebagai seorang lelaki. Masih muda, sekitar dua puluh lima tahunan. Dengan gelang dan pending emas pada tangan dan pinggangnya. Kakinya juga mengenakan binggal emas. Pandangan matanya tajam. Membuat Rempek terkejut. Seperti pernah mengenal wajah itu. Tapi ia ragu menyapa karena sikap pemuda itu mengancam mereka. Apalagi dua pengawalnya yang membawa senjata berjenis sama dengan senjata yang pernah ia terima dari Sayu Wiwit membuat hatinya berdebar. Bukan cuma itu, di sanggurdi mereka masih tampak satu perangkat anak panah dengan busurnya. Tombak lempar terselip beberapa buah. Juga sebilah pedang. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Selamat sore, Jaksanegara." Suara pemimpin mereka dingin dan tanpa menyembah. "Dari mana kalian?" "Siapa kalian?" Jaksanegara tidak menyadari keadaan. "Aku" Wilis. Nah, sekarang kau sudah tahu, aku perintahkan kalian semua turun dari kuda dan menyembahku! Karena aku berhak untuk itu." Semua orang turun dari kudanya. Mas Rempek dan para pengawalnya. Namun Jaksanegara tidak. Pemuda itu tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kini aku tahu, semua orang tunduk pada penguasa Blambangan kecuali kau. Mas Rempek dan para pengawal tetaplah duduk! Jangan membuat aku curiga!" Suara itu tetap dingin. Kemudian pemuda yang mengaku bernama Wilis itu memberi isyarat pada seorang pengawalnya. Dan pengawal itu bergerak mendekati Jaksanegara dengan tali di tangan. Jaksanegara terkejut dan menyepak kudanya. Kudanya terkejut untuk kemudian berlari. Namun tali di tangan pengawal itu cepat diayunkan dan seperti buah nangka terjatuh dari dahannya, demikian juga tubuh Jaksanegara jatuh. Tali melingkar di tubuhnya. Wilis tertawa terbahak-bahak. "Seret dia kemari!" Tanpa ampun lagi, seperti batang pisang yang roboh ia diseret ke dekat kaki Wilis. "Lepaskan bajunya, hadiah dari Belanda itu!" lagi perintah Wilis. "Jangan! Ampuni aku..." Kini Jaksanegara gemetar. Tapi pengawal itu tetap tak mempedulikan ratapannya. "Ha... ha... ha... ha..." Wilis tertawa lagi. Sementara semua orang Rempek ngelesot tanpa daya di bawah todongan bedil. "Masih kau tak mengakui junjungan Blambangan?" Suara Wilis menekan lagi. Dan dengan wajah pucat Jaksanegara terpaksa menyembah. "Ampun, Yang Mulia." "Pandang wajahku!" bentak Wilis. Dan dengan ketakutan luar biasa Jaksanegara mendongak. "Kumismu membuat kau nampak gagah. Tapi hatimu sebesar biji sawi," ejek pemuda dengan sorot mata seperti mentari pagi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Cukur sebelah kumisnya!" perintah Wilis lagi pada pengawalnya. "Aduh... ampun, Yang Mulia... Kenapa hamba dipermalukan?" "Karena kau suka mempermalukan orang lain," jawab pemuda itu cepat. Dan pengawal itu menghunus pedangnya. Tanpa daya Jaksanegara menyerahkan kumis kebanggaannya sebelah kanan. Cuma sebelah kanan. Dengan pedang lagi. Setelah pengawal itu selesai Wilis tertawa. "Balikkan tubuhmu. Nah, kalian pandang ini wajah penjual negara dan bangsa!" Wilis berseru pada semua orang. Rempek menahan geli sampai terasa sakit perutnya. Tapi harus ia pandangi wajah Jaksanegara jika itu tak ingin menimpa dirinya. Demikian pula para pengawal. Mereka takut aniaya menimpa diri mereka. "Cukup! Sekarang dengarkan. Duduk yang baik kamu, Jaksanegara! Tak usah resah. Kudamu setia menunggu." Memang kudanya setia menunggu. Begitu ia terjatuh kuda itu berhenti. "Hormatilah orang lain jika ingin dihormati. Kau, Jaksanegara, dengar?" "Dengar, Yang Mulia." "Tapi berapa orang yang kamu perhinakan dalam tamanmu" Berapa wanita cantik yang kau ambil dengan paksa dari suaminya?" Senja Jatuh Di Pajajaran 2 Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan Pendekar Latah 4