Gema Di Ufuk Timur 9
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 9 sebaliknya. Setelah jarak mereka dekat benar, pedang pun bicara. Senjata panah dan bandit cukup menyulitkan pasukan Fischer. Mereka cuma membawa bedil kocok, pedang, atau kelewang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Darah lelaki dan perempuan, tua dan muda, telah tertumpah. Rumah dan huma menjelma jadi lautan api. Fischer menyesali keadaan itu. Ia tidak pernah menduga, semangat orang-orang Blambangan begitu tingginya. Mereka memilih mati daripada menyerah. Lelaki dan perempuan bertumpuk menjadi bangkai. Semua yang mati tertelungkup memeluk bumi kelahirannya. Didahului oleh teriakan yang tidak ia mengerti maknanya. Fischer tahu apa bakal jadinya setelah ia merebut kota. Sungai-sungai telah dicemari oleh bangkai dan tinja. Bangkai binatang dan manusia menyatu. Singa Manjuruh, Lebok Samirana, dan Cheng Shian Hauw marah bukan kepalang ketika mereka berpapasan dengan rombongan pengungsi. Dan mereka menyusun kembali kekuatan dari para pengungsi yang masih bersedia untuk ikut membantu yang masih bertahan di selatan Jember. Atau juga sebelah tenggara kota itu. Hanya yang terlalu tua dan anak-anak saja yang dilarang ikut bertempur. Maka hasilnya mereka dapat mengumpulkan hampir lima ratus orang. Bersenjata apa adanya. Kedatangan ketiga pemimpin itu memang membuat kejutan. Semangat laskar Blambangan naik kembali. Keberanian mereka makin mengagumkan. Apalagi setelah Singa Manjuruh dan Shian Hauw bisa mencapai daerah pertahanan anak buah mereka. Laskar Cina itu seperti gila saja. Sebab bagi mereka kehilangan Jember berarti musnahnya harta yang telah mereka kumpulkan beberapa lama. Fisher cukup repot menghadapi arus balik yang menyemut itu. Rasanya seperti tak habis-habisnya. Jember menjadi banjir darah. Darah orang-orang Blambangan, Cina, Belanda, Madura... dan banyak suku bangsa yang ikut bertempur di sana. Dan kepala Fischer berdenyut-denyut melihat kenyataan itu. Orang yang dipenggal kepalanya, yang terburai ususnya, yang pecah dadanya, yang remuk tulangnya, yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengejang-ngejang sekarat, yang merintih kesakitan. Perang sungguh kegilaan. Fishcer hampir putus asa kala melihat beberapa ratus anak buahnya cerai-berai melarikan diri. Ia tahu persis tak ada jalan melarikan diri jika hutan dan semaksemak itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Maka pelarian adalah jalan kematian yang mengerikan. Apakah itu di hutan wilayah Jember atau mana pun saja asal masih dalam wilayah Blambangan, pasti akan sama saja. Masih beruntung nasib Fischer karena saat itu pasukan Kapten Heinrich tiba dan langsung terlibat dalam pertempuran. Maka pada penengahan hari sudah mulai tampak bahwa barisan demi barisan merupakan arus gelombang yang tak tertahan oleh pasukan Shian Hauw. Apalagi setelah Shian Hauw sendiri terkena tembakan di perutnya. Para pembantunya berusaha menyelamatkan nyawanya dengan menandu Cina itu ke luar daerah peperangan. Tapi kematian tidak pernah dapat dibatalkan cuma oleh usaha manusia. Para selir, gundik, dan istrinya mengerumuni mayatnya sambil menangis. Ada yang menangis cuma dibuat-buat. Tapi menangis adalah keharusan untuk mengantarkan nyawa Shian Hauw pada Thian Kong. Pada sang Pencipta. Meskipun begitu pertempuran tidak menjadi surut. Sebab bagi laskar Cina itu pun tidak ada jalan untuk lari dari medan tempur, meskipun sebagian mengangkat tangan dan membawa bendera putih. Lebok Samirana yang ada di bagian timur marah bukan main. "Enak saja mereka itu! Jika menang mereka setia pada kita. Tapi jika kita terdesak mereka menyeberang. Selalu saja cari enak!" Dengan begitu ia mulai menarik pasukannya dari medan dan berniat menerobos hutan menuju Probolinggo. Ia merasa tidak mungkin Blambangan akan menang. Dan lebih baik ia mengulur waktu untuk kemudian melakukan perlawanan di negeri lain kelak. Dengan beberapa pengikut ia menggiring kaum wanita untuk mundur. Tapi begitu memasuki rimba raya ia sendiri menjadi terkejut. Beberapa anak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ buahnya terperangkap jebakan harimau yang di dalamnya telah tersedia tombak-tombak bambu. Dan beberapa wanita menjerit karena menjadi umpan cula serta songga. Hati Lebok Samirana menjadi kecut. Jebakan orang Blambangan dipersiapkan di mana-mana. Kini ia baru menyadari kata-kata Mas Ramad beberapa bulan lalu, jika kita berperang harus sungguh-sungguh. Tak ada jalan di Blambangan ini untuk meninggalkan perang dengan jalan menghindar. Bagi kita yang ada, tanah atau mati! Kita pasti menang! Karena itu tahulah kalian! Jika terdesak dan harus mundur, maka hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan kalian, bergabung dengan Benteng Bayu. Ingat-ingat! Menyesal Lebok Samirana mengapa bergabung dengan Ramad. Kejam anak muda itu! Sekarang ingin ia membunuhnya. Anak muda itu telah menjebak pasukannya sendiri. Dan sepatutnya di hukum. Maka ia kembali. Mengurungkan niatnya menerobos ke utara. Ia pikir lebih baik bunuh pemuda itu terus menyerah. Apalagi setelah Dewi Murni, salah seorang kekasihnya, ikut mati dalam jebakan harimau. Sementara itu Mas Ramad dan Sayu Wiwit makin mendekati pertahanan Singa Manjuruh di medan tempur sebelah selatan. Hati keduanya kian berdebar. Beberapa tempat yang dulunya adalah tempat persinggahan mereka tampak bo-sah-baseh. Kegelisahan mereka makin menggunung ketika berpapasan dengan rombongan orangorang tua dan anak-anak yang menjatuhkan diri di kaki mereka dan menerangkan bahwa Jember, Candi Bang, Puger, serta Sentong telah jatuh ke tangan Belanda. "Apa kata kalian" Bagaimana bisa Belanda datang begitu cepat?" teriak Mas Ramad heran. "Drubiksa!" mengumpat sambil menarik les kudanya. Dan kuda itu melompat bagai terbang mengejutkan Sayu Wiwit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kanda!" "Demi Hyang Maha Dewa! Blambangan atau mati!" Mas Ramad dalam puncak kemarahannya. Sementara Sayu Wiwit termangu, suaminya telah hilang dari pandangan. Ditelan debu. Sadar. Ia segera menyusul. Tapi suaminya begitu cepat. Gerakannya seperti hantu. Bayang-bayang pun tiada.... Mas Ramad berpendapat bahwa apa yang telah direbutnya tidak boleh kembali jatuh ke tangan VOC. Pengalaman mengajar jika ia meninggalkan wilayah untuk diduduki VOC, maka di sana akan didirikan benteng yang kuat. Itu akan menyulitkan kedudukan Bayu. Ia tak ingin Bayu dikepung dari segala penjuru. Ia merasa perlu untuk berperang habishabisan kali ini. Dan kala sampai di tempat pertahanan selatan ia disambut dengan tempik sorak yang gegap-gempita. "Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Dewa kita rebut kembali tiap jengkal tanah kita!" "Dirgahayu! Dirgahayu! Demi Hyang Maha Dewa! Demi tanah yang suci! Menang atau mati!" mereka mengucapkan sesanti. Singa Manjuruh segera mencegahnya. Tapi pemuda itu tertawa. "Saatnya tiba, Kakang! Ini untuk kali penghabisan. Menang atau menjadi budak!" "Ya! Tapi ingat mereka datang seperti air bah." "Aku ingin menjadi karang! Ya, karang! Jika kau mundur, laporkan kejadian ini ke Bayu. Dan... titip istriku. Kau boleh undur dari Bayu setelah melaporkan keadaan kita. Di selatan Lateng ada satu lembah yang aman untuk kauba-bat jadi pengungsian abadi. Biar aku akan menghalau sampai VOC tumpas tapis!" (kelak Singa Manjuruh mendirikan sebuah desa di daerah Banyuwangi yang diberi nama Singojuruh) "Yang Mulia...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tapi pemuda itu tidak mendengarkan kelanjutan kata-kata Singa Manjuruh. "Hati-hati, Kakang! Jangan undur lewat jalan yang belum kaukenal benar! Kau akan tumpas di hutan apabila salah memilih jalan. Nah, selamat berbahagia dengan istrimu." Kembali pemuda itu berkata-kata dengan tanpa menoleh lagi. Benar yang dilaporkan Singa Manjuruh. Barisan Kompeni datang seperti semut yang berjalan di atas sebuah batu besar jika di pandang dari kejauhan. Sekilas ia ingat akan Bhagavadgita." (Bhagavadgita sloka kedua pupuh 27) jatasya hi dhruwo mrityur dhruvan janma mritasya cha tasmad apariharye rthe na tvam sochitum arhasi artinya: Barangsiapa lahir menyongsong kematian adalah keharusan Demikian pula, siapa mati pasti menghadapi kelahiran Semua-mua tak terelakkan Dan tiada yang patut disedihkan. Menggelegak darah Mas Ramad. Musnah segala keraguan. Dengan diikuti oleh segenap laskar Blambangan ia menyongsong hujan peluru dari . pihak musuh. Pasukan berkuda di belakangnya.. Sekarang atau tidak sama sekali! Gebrakannya dengan gelar perang garuda nglayang (barisan jika dilihat dari udara seperti garuda terbang, bisa bergerak ke semua arah) ternyata mampu menghentikan hujan tembakan barisan pertama pasukan VOC. Ribuan pejalan kaki kini ikut menyerbu. Tanpa menghiraukan dentuman meriam yang mampu membuat mereka jadi kepingan-kepingan kecil. Separuh kota Jember kembali jatuh ke tangan satria muda itu. Fischer terluka lengan kirinya. Kapten Heinrich marah bukan kepalang. Tapi ia tahu perang tak dapat dimenangkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hanya dengan kemarahan. Ia mencoba menjebak laskar Blambangan masuk ke tengah kota. Sementara ia akan mengepung dari semua penjuru. Memancing mereka masuk memang berhasil, tapi gelar yang dipakai oleh Mas Ramad garuda nglayang. Jadi begitu digempur mereka bergerak ke semua arah. Dan memang beberapa kali laskar Mas Ramad mematahkan mata rantai kepungan lawan. Ia bergerak begitu lincah. Menembak dari atas kudanya untuk kemudian hilang dan berpindah ke tempat lain. Teriakan-teriakannya menggelegar di telinga tiap orang Blambangan untuk terus maju mengusir Kompeni. Singa Manjuruh yang masih saja ikut bertempur di bagian selatan kota seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Apakah tak melihat bayangan setan" Dan sorak gegap-gempita kembali mengguncang Jember kala semua Kompeni mundur. Tapi mereka terpecah ke tiga jurusan. Ke tenggara, atau ke jurusan Pangpang, ke utara atau ke jurusan Probolinggo, dan ke jurusan Puger. "Dirgahayu! Dirgahayu Blambangan!" teriak semua orang. "Jangan lengah!" Mas Ramad memperingatkan. Beberapa bentar kemudian Sayu Wiwit dan rombongan, termasuk Singa Manjuruh, menguak kerumunan manusia. Dan semua orang yang melihat kedatangannya langsung menyambutnya. "Dirgahayu, Sri Ratu! Dirgahayu! Blambangan!" Sayu Wiwit membalas mereka cuma dengan senyuman. Ia ingin segera bersua suaminya. Ingin ia memeluk dan mempersembahkan pujian bagi lelaki perkasa itu. "Kanda!" teriaknya. "Adinda!" Mas Ramad terkejut melihat Sayu Wiwit menyusul. Beruntung perang usai. "Ah, Kakang Singa Manjuruh. Kau belum pergi?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Belum. Aku menyaksikan tandangmu." Singa Manjuruh maju sambil menepuk-nepuk bahu temannya. Segera mereka menuju ke alun-alun, di mana laskar Blambangan menunggu. Dan teriakan, "Dirgahayu!" tetap saja mengguruh. Mas Ramad naik panggung dan menyampaikan perintah dari Sri Ratu. Kini ia memerintahkan pasukan berbagi menjadi tiga bagian untuk mengejar musuh. Sayu Wiwit terpaksa harus tinggal di Jember. "Kanda..." "Masa depan adalah milik kita, Dinda. Sekarang kita sedang merebut masa depan itu. Merebut dengan berperang," kata Mas Ramad menghibur. Semua barisan Singa Manjuruh pun sudah berangkat. "Tapi..." "Keberadaan kita di medan laga amat penting. Pemimpin yang dibutuhkan bukan yang cuma pandai memerintah. Juga bukan yang cuma tinggal di rumah sambil memanjakan istrinya yang cantik. Tapi yang mampu merebut masa depan dengan darah dan keringatnya sendiri. Ingat-ingat! Bukan dengan darah dan keringat orang lain." Mas Ramad memeluk dan mencium istrinya. Berat. Awan Jingga di langit sebelah barat kian meredup. Keduanya berdebar. Kelelawar dan kalong mulai bangun dari tidur. Dan melakukan kewajibannya dengan damai. Seolah tak terpengaruh oleh lingkungan yang porak-poranda itu. Tapi kala burung hantu memperdengarkan suaranya, Ramad sempat berpaling ke arah suara itu. Entah mengapa hatinya sedikit berdesir.... Tapi ia segera membunuh anganangan atas burung hantu yang bermata bundar dan sadis. "Ada apa, Kanda?" Sayu Wiwit mengikuti pandangan suaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ah, tidak apa-apa. Aku cuma memperhatikan beringin itu. Lihat! Lambang kebesaran itu tumbang oleh meriam!" "Kanda... itu lambang pengayoman. Jadi, jika pengayoman itu tumbang, siapa lagi yang akan mengayomi kawula?" "Ha... ha... ha... cuma sebatang pohon yang tak bermakna. Jangan pikir yang bukan-bukan!" Mas Ramad merangkul istrinya. "Kanda..." Kembali suara Sayu Wiwit lirih. Dan kembali hati Mas Ramad berdesir. Dan lagi, ia membunuh perasaan itu. Dan ia berbalik seraya katanya, "Laskar sudah menunggu!" "Kanda...," Sayu Wiwit seperti tidak biasanya melakukan hal itu. Namun kuda Mas Ramad tetap saja melangkah. Makin lama makin cepat. Sayu Wiwit seperti terpatri di atas bumi. Letusan-letusan kecil, suara hutan terbakar, disertai bau daging hangus menusuk hidung. Perasaan ganjil menelusuri hatinya. Dan ternyata firasat itu bukan kosong. Lebok Samirana telah berjumpa n. dengan Kapten Heinrich dan berjanji akan membantu Belanda asal dijamin keamanannya. Dan kala malam tiba, Lebok Samirana mulai bergerak memasuki Jember. Semua anak Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo buahnya yang tersisa heran melihat perubahan sikap pimpinannya itu. Tapi mereka tidak membantah. Kala tembakan meriam pertama dari Kompeni yang berjalan di belakang Lebok Samirana berdentum, Mas Ramad belum terlalu jauh meninggalkan Jember. Karena itu ia masih mendengar dengan jelas. Dan naluri memerintahkannya berhenti untuk mengadakan pengamatan buat beberapa saat. Dentuman pertama disusul rentetan tembakan bedil dan kanon. Kecurigaan menguak kalbunya. Mulutnya segera menurunkan perintah kembali dengan jajar perang. Sementara itu Sayu Wiwit amat terkejut. Dengan segera ia tersadar. Sigap seperti belalang ia melompat ke atas kudanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dan kuda itu segera menguak kegelapan malam membawa penunggangnya pergi. Di kuti oleh ribuan laskar Blambangan, Sayu Wiwit menyongsong pasukan musuh. VOC tidak pernah mempunyai yudha gama, maka mereka tidak segan melakukan penyerangan malam hari. Tak ubahnya serigala yang sedang merampok calon mangsanya, kata Sayu Wiwit. Jika kita lakukan perang, bukan karena membalas dendam atau serakah. Tapi untuk mempertahankan hak dan melakukan kewajiban, lanjutnya sambil berkuda. Dan sekalipun laskar Blambang-I an sudah lelah, tapi mereka enggan mati konyol. Maka mereka mengikuti perintah Sayu Wiwit untuk mempertahankan tiap jengkal tanah kelahiran mereka. Lebok Samirana tahu persis Blambangan telah lelah. Mereka harus ditekan dengan tembakan gencar. Namun malam itu ia tak berani menggunakan jajar perang tapal kuda, karena gerakan lewat hutan yang penuh jebakan akan sangat * merugikan. Ia sudah tahu bahwa di tiap hutan dipasang jebakan. Bukan cuma untuk lawan. Tapi juga untuk siapa pun yang mencoba meninggalkan perang. Kekecewaan makin bertambah setelah Sayu Wiwit mendapat sebutan Sri Ratu dari orang-orang Jember dan sekitarnya. Ia tidak ingin mengakuinya sebagai Sri Ratu. Tidak! Ia merasa lebih banyak berjasa dari Sayu Wiwit. Ternyata Sayu Wiwit dan anak buahnya mampu menahan gerak maju Kompeni dan laskar Lebok Samirana. Bersamaan dengan itu laskar Mas Ramad tiba kembali. Namun Mas Ramad bersikap hati-hati. Kegelapan akan membuat mereka saling hantam. Dan semua itu membuat hati Mas Ramad tidak menentu. Gelisah memikirkan nasib istrinya, gelisah menebaknebak siasat yang digunakan lawan. Boleh jadi lawan belajar dari kekalahan Montro, boleh jadi lawan telah menyusupkan teliknya. Atau pengkhianatan" Bisa! Bisa jadi. Tiba-tiba saja ia ingat pada Lebok Samirana dan Cheng Sian Hauw. Dan ia menanyakan pada pengawal di dekatnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lebok Samirana mengundurkan diri dari medan tempur dan menerobos hutan menuju ke daerah Probolinggo." "Lebok Samirana?" "Hamba, Yang Mulia." "Bagaimana dengan Shian Hauw?" "Kemungkinan besar gugur. Sebab kala kami mundur, mereka makin maju. Tanpa memperhatikan hujan pelor. Bahkan sebagian dari kaum wanita mereka yang berkaki kecil itu, maju dan bertempur habis-habisan." "Hyang Bathara! Keberanian yang tidak menyertakan akal ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kita tunggu fajar. Tapi gelar yang kita pakai tentu harus lebih hati-hati." Mas Ramad menghela napas panjang. "Apakah kita tidak terlambat Yang Mulia" Hamba pikir sekarang kita bisa merayap masuk untuk bergabung dengan Sri Ratu. Keselamatan Sri Ratu mengkhawatirkan." Buat beberapa jenak Mas Ramad tercenung sebagai kelanjutan dari perasaan yang tersentak. Keselamatan Sri Ratu" Sayu Wiwit" Istrinya" Ya! Bukan itu lebih penting dari semua" Keraguan merambati hatinya. Perang bukan sekadar menyelamatkan nasib seorang istri. Tapi lebih besar dari itu. Mempertahankan kedaulatan suatu negeri. Bukan cuma Sri Ratu! Apalah artinya istri yang cantik jika kelak ia melihat bangsanya, kawula Blambangan, menyusul nasib bangsa Nusantara lainnya, menjadi budak! Berhamba! Hamba! Menjadi manusia-manusia yang akan kehilangan kedaulatan. Dan mereka tidak akan bebas lagi mengutarakan pendapat atau berbuat sesuatu. Semua pendapat harus menyenangkan, dapat melanggengkan kekuasaan Yang Dipertuan Agung VOC. Karenanya sekalipun cuma pendapat harus disetujui dan diketahui oleh yang berkuasa. Bukankah begitu nasib suatu bangsa yang telah kehilangan kedaulatan" Lalu apa akal" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sanggutru!" Mas Ramad akhirnya berkata pada pengawalnya. "Hamba, Yang Mulia." "Adakah keberanian di hatimu?" "Inilah hamba, Yang Mulia." "Bagus! Kau masuk dengan separuh laskar kita. Pakailah gelar kepiting gangsir (jajar perang yang bergerak seperti barisan kepiting dan gangsir, merayap pelan-pelan, tapi tidak boleh mundur)" "Hamba, Yang Mulia." "Pergilah! Tapi, ingat! Tugasmu bukan sekadar menyelamatkan Sri Ratu. Tapi mempersiapkan serangan yang akan kupimpin esok fajar." Orang itu menghilang setelah lebih dulu menyembah. Dan selanjutnya semua anak buah Mas Ramad yang tidak berkuda melata seperti barisan biawak, mendekati mangsanya, memasuki kota Jember. Mereka sudah sangat terlatih untuk itu. Makin lama makin dekat. Dan beberapa gugus sudah mencapai pertahanan Sayu Wiwit. Gembira wanita itu mendengar laporan bahwa Mas Ramad kembali ke Jember. Maka ia menurunkan perintah hati-hati menembak. Karena bisa keliru. Di samping itu ia juga memerintahkan orang melapor pada Mas Ramad, ada laskar berdestar yang berperang buat Belanda. Mas Ramad memang menahan diri untuk tidak menjumpai istrinya malam itu. Kendati kerinduan untuk memeluk wanita itu mengentak sukmanya. Mata tak terpejam. Pikiran melayang. Ah, nyamuk pun tiada sudi berdamai. Semua gambaran manis dan pahit berebut tempat di angannya. Maka ingatannya pun melayang pada Arok dan Umang. Kendati ia tahu istrinya tentu jauh lebih rupawan dari Umang. Namun Arok juga memerawani Umang di tengah hutan. Juga cuma Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berlapik sesobek kain cawat. Sayang, akhirnya Arok memperduakan cinta. Jatuh dalam pelukan Dedes. Ah, siapakah yang tak pernah dengar kisah itu" Bagaimana Arok tidak akan jatuh" Dedes begitu cerdas dan gilang-gemilang. Kulitnya begitu mulus. Sampai-sampai orang bilang bahwa tumitnya saja bisa dipakai bercermin. Pendek kata sampai sekarang pun belum ada wanita yang menyamai kesempurnaan Dedes. Begitu cantik tak bercela. Fajar menyapu lamunan Ramad. Kendati kabut belum terusir. Sawah-sawah, dahan-dahan, jalan-jalan, semua masih berselimut kabut. Namun tembakan tetap tak berhenti sepanjang malam dan dinihari. Memang cuma satu-dua kali. Tidak gencar seperti kemarin. Dan mungkin tidak membawa korban. Tiba-tiba saja Mas Ramad menurunkan perintah untuk menembakkan meriam ke arah utara barat daya dan barat laut. Bumi serasa bergetar kala gelegar menguak pagi. Semua pihak terkejut. Namun tembakan tidak cuma sekali. Pasukan cetbang sudah diperintahkan maju oleh Ramad. Ia ingin membakar musuhnya hidup-hidup. Geram menguasai hatinya. Di bawah hujan tembakan, cetbang didorong maju. "Bakar semua hutan!" perintah meluncur lagi. Kini Kapten Heinrich terkejut. Rumput mulai terbakar. Maka ia putuskan untuk menggempur mereka habis-habisan. Mentari merambat naik. Kuda Mas Ramad sudah siap. Ramad juga sudah berdoa di atas punggung kudanya. Bedil ditenteng di tangan kanannya. Satu ayunan tangan cukup menggerakkan orang-orang berkuda di belakangnya. Bagai air bah pasukan berkuda itu dengan beraninya masuk arena pertempuran. Bangkai-bangkai, pohon-pohon yang tumbang mereka langkahi, terus makin dekat. Sementara api yang ditimbulkan tembakan cetbang kian membakar semua dan segala. Kesempatan untuk mengisi peluru pada bedil yang baru terpakai kurang. Maka pedang, keris, tombak, panah, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bandil dan lain-lain senjata tangan yang bicara. Mas Ramad bagai alap-alap yang bergerak ke segala arah. Mata tombaknya berlumuran darah. Dia tidak ingat, berapa sudah nyawa punah di ujung tombak itu. Sesekali ia gunakan tombak lempar. Makin naik perjalanan mentari menyusuri cakrawala. Keringat membasahi semua orang dan kuda. Semangat laskar Mas Ramad seperti makin meluap. Bergilir mereka mundur untuk menerima makanan. Begitu selesai mereka kembali ke garis depan. Korban tidak lagi terbilang. Dan kembali Heinrich menegur Lebok Samirana. Ia menuduh sengaja Lebok Samirana menjebak VOC untuk dihancurkan oleh Mas Ramad. Maka Lebok Samirana harus bertanggung jawab atas kerusakan pasukan Kompeni ini. Sambil menarik mundur pasukannya, sedikit demi sedikit Heinrich mengatur siasat baru. Sementara Lebok Samirana mencoba mendekati Ramad yang bergerak seperti bayangan setan. "Yang Mulia!" panggilnya dari balik pohon. Telinga Ramad segera menangkap suara sahabatnya. Tidak ingat bahwa sahabat itu sudah menyeberang. Beberapa bentar ia menghentikan langkah kudanya. Mungkin saja sahabat itu terluka. "Yang Mulia!" lagi Lebok Samirana yang dikawal oleh beberapa penembak ulung Kompeni Madura itu memanggil. Dan Mas Ramad benar-benar berhenti. Beberapa pengawalnya segera memperingatkan. Maka ia menyiapkan bedil. Pelan kuda mulai melangkah ke arah Lebok Samirana yang terkulai di bawah pohon. Namun sebuah letusan menyambutnya. Peluru menerjang kepala kudanya. Dan kuda itu terjungkal setelah melonjak ke atas. Penumpangnya bergulingan di atas rumput. Berondongan peluru dari berbagai arah. Sebelum pengawalnya sempat melindungi, bahu dan dadanya telah terobek peluru. "Drubiksa!" Mas Ramad mengutuk. Berusaha Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bangkit. Namun kepalanya berkunang-kunang. Matanya nanar. Lebok Samirana tertawa berkepanjangan. Melihat Mas Ramad berkali tersungkur mencium bumi. Kini ia bangkit mendekat. Beribu sumpah-serapah dan ejekan keluar dari bibirnya. Ramad Surawijaya, Pangeran Puger, putra Wong Agung Wilis itu menahan hati sambil menggenggam senjatanya. Sementara para pengawalnya terpatri tanpa kata. Bagai kena pesona. Menyaksikan Lebok Samarina dan beberapa orang bintara kulit putih dan hitam maju mendekat. Ramad melirik jantung Lebok Samarina. Seolah mendapat kekuatan baru. Pemuda itu menggulingkan dirinya ke dekat kudanya, sambil membidik ke arah jantung Lebok Samirana. Meleset. Namun kepala orang itu yang tersasar. Tak ayal Lebok Samirana terpental dan tak bangun lagi. Semua orang berteriak kaget. Maka mereka melompat mundur sambil memberondong Mas Ramad. Pemuda itu tak membalas. Dagingnya memang telah tersayat-sayat peluru. Tapi darahnya belum tuntas. Pemandangan yang menyentak hati. Para pengawalnya segera mengangkat senjata dan membidik ke arah pengepung. Membuat semua bertumbangan. Mereka mendekati Pangeran Puger. Namun pemuda itu bangkit sambil tersenyum. Beberapa jenak. Terhuyung" "Maju!!!" pemuda itu berseru dengan suara yang penghabisan. Untuk kemudian roboh tanpa nyawa. Kepala barisan pengawal berteriak. Balik menghampiri tubuh Ramad. Menaikkan ke atas punggung kudanya, kemudian diikuti anak buahnya berlari mencari Sri Ratu. Melintasi mayat dan bangkai lainnya. Menerobos peperangan dan peluru. Mangguruh, demikian nama kepala pengawal itu, dengan setia melindungi jenazah pimpinannya. Seolah melindungi bayi. Sayu Wiwit sedang sibuk menembak kala Mangguruh datang Suramnya Bayang Bayang 40 Pendekar Rajawali Sakti 136 Singa Gurun Penghuni Rimba Gerantang 3