Tuan Tanah Kedawung 2
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Bagian 2 kegaduhan itu, Ki Kewot pun terbangun, memburu ke kamar putrinya. Tapi Kakek ini rubuh terjengkang diterjang dua penculik yang menerobos ke luar sambil membopong tubuh Ratna yang terbungkus kain selimut itu. "Setan! Lepaskan anakku!" teriak Ki Kewot dengan panik. Belum lagi tubuh tua ini merayap bangun, sebuah tendangan telah membuatnya terguling lagi. "Jangan gegoakan Ki. Sudah malam nih. Mending lu molor lagi dah!" hardik salah seorang dari penculik itu. Ki Kewot berkutat untuk bangkit, tapi ia cuma mampu merayap sambil berteriakteriak. "Rampok...! Rampoook! Tolooooong!" pekiknya. Teriakan Ki Kewot memecahkan kesunyian malam, tapi apa daya, gubuk itu terpencil di tepi persawahan. Dua penculik itu kabur dengan leluasa menembus kegelapan malam. Ki Kewot berusaha mengejar, tapi ia jatuh tersungkur lagi di muka gubuknya. Dan penculik ini lari terus menerobos hutan jati dengan bungkusan berisi tubuh Ratna pada bahu salah seorang dari mereka. Berbareng dengan berdesirnya hembusan angin, muncullah dengan tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar menghadang di hadapan mereka. Kedua penculik ini dengan amat terkejut menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok tinggi besar itu. Di bawah kesuraman cahaya bulan tampak orang ini sangat mengerikan, seakan-akan sesosok jin penunggu hutan jati yang tiba-tiba muncul dari perut bumi. Kedua penculik ini tersentak mundur beberapa langkah. "Siapa di situ?" hardik si tubuh gempal agak gemetar. Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan, kedua penculik ini berseru hampir berbareng. "Samolo!" "Dedemit! Lagi-lagi dia." Sambung si tubuh gempal gemas. Ia meletakkan bungkusan berisi tubuh Ratna itu di tanah. Lengannya tiba-tiba sudah menghunus goloknya. "Lu selalu mau usil dengan urusan orang lain. Kali ini lu pasti mampus. Serbu!" teriak si tubuh gempal mengajak kawannya untuk mengeroyok penghalang itu. Si tubuh gempal langsung menerjang dengan sebuah sabetan ke arah dada Samolo, disusul pula dengan serangan temannya ke lambung centeng ini. Samolo dengan gesit berkelit sedikit. Bagaikan kilat telapak tangannya berkelebat menggocoh kepala si gempal. Menyusul pula tendangan menghantam perut si penculik yang seorang lagi. Maka dalam satu gebrakan saja, kedua penculik itu rubuh terjungkal ke bumi untuk tak bangun lagi. Samolo membebaskan tubuh Ratna yang pingsan itu dari bungkusan selimut. Dengan sebuah pijatan lunak pada sisi tengkuknya, gadis ini segera menggeliat siuman. Samolo segera beranjak ke balik pohon. Tepat pada saat itu, cahaya-cahaya obor tampak muncul dari kejauhan, puluhan penduduk dengan berbagai senjata di tangan, hiruk-pikuk menyerbu masuk ke dalam hutan jati. Tampak Ki Kewot berjalan di muka sambil berkali-kali memanggil nama putrinya. Kemudian semuanya tertegun memandang Ratna yang terduduk, baru saja siuman dari pingsannya. Ki Kewot segera menubruk tubuh putrinya. Keduanya berangkulan sambil bertangisan. Kedua penculik itu pun pada saat bersamaan siuman dari semaputnya. Sadar dengan keadaan yang tidak menguntungkan itu, keduanya langsung kabur sejadi-jadinya, nyaris jadi perkedel diamuk orang-orang sekampung. Dari balik pohon, Samolo mau tak mau tersenyum juga menyaksikan tingkah dua penculik yang ketakutan setengah mati. Dengan napas ngos-ngosan Sarkawi nongol di muka pintu rumah kasir Samirun. Subaidah, Samirun dan Mirta tanpa berkedip memandang mandor ini yang berjalan gontai seperti seorang hukuman yang melangkah ke tiang gnatungan. Melihat tampang lecek mandor, Subaidah dan Samirun sudah dapat meraba dengan pasti, bahwa rencana mereka telah gagal total lagi. Dan mereka tidak merasa heran. Tapi Mirta dengan bernafsu menyongsongnya. "Beres, Wi" Lu simpan di mana gacoan gua?" Tapi Mandor Sarkawi cuma tertunduk bungkam. Mirta jadi tidak sabar, dijambaknya baju Sarkawi dan diguncangnya keras-keras. "Lu bawa ke mana si Ratna, ha" Budek kuping lu?" "Sudahlah. Macam gentong nasi begitu mana bisa beres kerjanya. Kalau disuruh menghabiskan nasi tujuh bakul, nah baru beringas dia" nyeletuk Subaidah dengan sinis. Mirta betul-betul naik pitam. Dicakarnya muka Sarkawi hingga berdarah. Kemudian anak kolokan ini menghempaskan dirinya ke atas meja sambil sesambat dengan pilunya. "Kalau begini, lebih baik Ita bunuh diri saja... Buat apa hidup menderita, tanpa si Ratna di sampingku..." Samirun dan Subaidah kewalahan membujuk putra-jadah- nya yang rada-rada senewen ini. Sarkawi benar-benar merasa sebal dan dongkol melihat ulah pemuda yang terlalu dimanja itu. "Huh, kolokan banget." celetuknya tanpa sadar. Mirta makin berjingkrak mendengar ucapan Sarkawi. Dengan kalap diraihnya pistol Samirun. "Gua mampusin lu!" Teriaknya sambil siap menembakkan pistol itu ke arah Sarkawi. Mandor Sarkawi jadi pucat seketika, ia mundur ke sudut dinding dengan dengkul gemetar. "To... tolong Den Kasir... Cepat ambil pistol itu..." ratapnya dengan terpatah-patah. Tapi Samirun maupun Subaidah tetap dingin. "Sumpah disambar geledek, saya sudah berhasil nyulik si Ratna, eh mendadak Samolo muncul bersama ratusan penduduk kampung mengeroyok saya berdua. Si Ucih mati dicincang kayak perkedel. Kalau saya kurang lihai, pasti sudah jadi bangke... " Kata Sarkawi megap-megap coba membela diri. Mirta membanting-banting kaki uring-uringan. Subaidah menghiburnya sambil membelai kepala anak kesayangannya ini. "Sudah, sudah jangan kau sedih, Mir! Ibu akan carikan yang sepuluh kali lebih cantik dari si Ratna. Anak melarat itu tidak sepadan untukmu, Mirta!" "Hati Ita cuma diisi oleh Ratna. Kalau Ibu mau carikan yang lain enggak menjadi soal. Yang penting Ratna harus jadi milik Ita dulu." Rengek Mirta dengan kepala terbenam di pangkuan ibunya. Samirun menarik napas, kesal sekali nampaknya. Ia merasa sangat kecewa karena tidak berhasil memenuhi keinginan anak hasil hubungan gelapnya itu, yang juga amat dikasihinya secara diam-diam. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 7 TIBALAH hari pernikahan Giran dan Ratna. Seluruh desa Kedawung seolah-olah ikut berpesta. Gedung Tuan Tanah terang benderang selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Segala macam hiburan tak putus-putusnya bertalu-talu menyambut para tamu yang berdatangan dari segala pelosok, untuk memberi selamat kepada tuan rumah, terutama kepada kedua mempelai. Itulah hari terbahagia bagi sepasang pengantin baru. Giran dan Ratna seakan-akan hidup di dalam dunia khayal 1001 malam. Mereguk segala kenikmatan cumbuan kasih surgawi yang dapat membuat iri pada dewa-dewi khayangan sekalipun. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena pada hari ketujuh, datanglah musibah menimpa Tuan Tanah. Pada pesta terakhir yang naas itu, Tuan Tanah yang mulanya sangat gembira itu, sekonyong-konyong muntah-muntah darah. Paniklah seluruh isi gedung itu. Tuan Tanah segera digotong ke dalam kamarnya. Sementara beberapa orang diperintahkan oleh Subaidah yang kelihatan sangat panik itu untuk mencari obat. Dan Samolo disuruhnya memanggil Giran dan Ratna yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Ki Kewot. Tuan Tanah masih saja memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajahnya jadi pucat-pasi. Namun ia masih nampak kuat bertahan. Kini di dalam kamar itu cuma ada Subaidah, Samirun, Mirta dan Sarkawi. Subaidah masih terus mengurut dada suaminya. "Pak, kenapa kau, Pak" Oh Gusti...!" ratap perempuan ini. Samirun mendekat ke tepi pembaringan. "Den Besar..."!" "Uh..."!" "Tolong tanda-tangani surat ini, Den...!" Samirun menyodorkan pulpen dan secarik kertas yang bertempelkan materai kepada majikannya. Tuan Tanah memicingkan matanya meneliti isi surat tersebut. Tiba-tiba wajahnya yang pucat itu berubah jadi merah padam seketika. Ia terbatuk dan segumpal darah segar pun tersembur dari mulutnya, membasahi seluruh kertas tersebut. Samirun mundur. Melempar kertas yang berlumur darah itu. Matanya tiba-tiba jadi liar mengerikan. Sekonyong-konyong ia meraih sebuah bantal lalu dibekapkan ke wajah Tuan Tanah yang segera meronta-ronta dengan seluruh sisa tenaganya. Samirun mengerahkan seluruh kekuatannya menekan bantal itu. Tapi tak berhasil. "Pegang tangannya. Cepat!" teriak Samirun setengah tertahan kepada Subaidah. Subaidah yang sejak tadi tertegun dengan wajah pucat, segera menuruti perintah Samirun. Lalu Sarkawi pun disuruhnya untuk membantu. Tinggal Mirta memandangi pergumulan mengerikan itu dengan tubuh menggigil seperti diserang demam. Pergumulan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Tuan Tanah kini telah terkulai tak berkutik lagi di bawah dekapan bantalnya sendiri. Semua tertegun terengah-engah. Mirta menggigil di kolong meja. "Kenapa pada bengong" Ayo siapkan rencana kita berikutnya!" seru Samirun dengan suara di kerongkongan. Subaidah dan Sarkawi segera bergerak menghapus semua bekas tindakan mereka. Jenazah Tuan Tanah dibaringkan dengan rapi di pembaringan. Seakan-akan kematian Tuan Tanah itu disebabkan penyakit yang sudah lama diidapnya. Sesaat kemudian, Giran dan Ratna yang dipanggil oleh Samolo, tiba di gedung yang masih dipajang janur-janur pesta itu. Mereka terpaku di ambang pintu. Tangisan memilukan menggema di ruangan gedung tersebut. Tampak Subaidah tengah terisak memeluki tubuh Tuan Tanah yang terbujur kaku di atas dipan tepat di tengah ruangan utama itu. "Aduh, Pak. Tega benar kau meninggalkan aku serta anak-anak...! Bawalah Subaidah, Pak... Apa artinya hidup ini tanpa kau di sisiku, Pak...! Aduuuuh... perih hatiku, Pak... Hu hu hu" tangis Subaidah melolong-lolong, sangat memilukan. Mirta pun tampak menggerung-gerung bersimpuh di sisi dipan. Giran berlutut di sisi tubuh ayahnya yang mulai dingin itu, dibukanya kain penutup jenazah lalu dipandangnya wajah ayahnya yang membiru. "Ayah..."!" Cuma itu yang sanggup terlontar dari mulut Giran, kemudian ia duduk tafakur di sisi jenazah. Tampak bahunya terguncang-guncang. Namun tak terdengar isak tangisnya. Ratna menepis air mata, ikut berlutut di sampingnya. Samirun tertunduk dengan wajah pura-pura sedih. Matanya berkali-kali melirik ke arah Sarkawi. Mandor ini sedang asik mengunyah kue yang terletak di meja. Kasir ini mendehem, tapi Sarkawi tak mengerti dengan tanda isyarat tersebut. Samirun terpaksa mendekatinya lalu menginjak kaki Mandor bego ini. Sarkawi mengaduh kesakitan dengan mulut penuh tersumpel kue. Di sudut ruangan tampak Nyi Londe terisak-isak menepis air mata dengan ujung kebayanya. Di luar pintu terlihat Samolo tertunduk dalam-dalam. Tampak matanya merah berkaca-kaca. Betapa sedih ia mengingat semua kebaikan majikannya itu, yang kematiannya kini terasa tidak wajar. *** Upacara pemakaman Tuan Tanah Kedawung telah berlalu. Namun suasana duka masih melekat di setiap hati para penduduk desa. Desa itu terasa seakan-akan telah kehilangan sebagian sinar matahari, suram dan beku. Terutama bagi gedung besar dan megah itu, dari luar terlihat sunyi. Apalagi pintu utama tak pernah lagi dibuka semenjak wafatnya Tuan Tanah. Giran dan Ratna lebih banyak mengurung diri. Kematian ayahnya nyaris menghancurkan gairah hidup Giran. Untung saja kini di sisinya selalu ada Ratna, yang menghiburnya dan memberikan semua kesejukan pada dasar jiwanya. Samolo kini merasa dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga generasi penerus sang majikan. Tanggung jawab serta kewajiban yang diembannya tanpa pamrih, karena budi sang Tuan Tanah baginya tak dapat dibanding-ukur oleh apapun di dalam kehidupan ini. Kecuali Subaidah dan Samirun-lah yang merasa lega dengan meninggalnya perintang utama bagi hasrat mereka itu. "Kini harta warisan itu berada di tangan si bocah bedebah. Kalau dia dan anjing Samolo itu sudah disingkirkan, kitalah raja dan ratu di gedung ini. He he he...!" Mengkhayallah Kasir Samirun dan itu diutarakannya kepada Subaidah ketika mereka pada kesempatan tertentu mengadakan pertemuan rahasianya secara rutin. "Aku ada jalan yang paling lunak untuk melenyapkan anak itu. Lenyap untuk selama-lamanya" kata Subaidah sambil tersenyum iblis di dekapan kekasih gelapnya. Esok harinya, pagi-pagi sekali Subaidah sudah memanggil Giran ke hadapannya. Mata ibu-tirinya terlihat berkaca-kaca dan sembab. Giran tertunduk terharu. "Giran..." terisak-isak Subaidah dan berkali-kali menepis air matanya. "Ya, Bu." "Sebenarnya sangat berat ibu mengatakannya kepadamu, Nak." "Katakanlah, Bu...!" "Tapi hati ibu lebih tidak tentram dan selalu gelisah bila belum menyampaikan pesan almarhum ayahmu...!" "Pesan apa, Bu?" tanya Giran ingin tahu. "Pada akhir hayatnya, ayahmu berpesan, agar aku mengirim kau ke Borneo, untuk mengurus kebun karetnya di sana." "Ke Borneo?" Ulang Giran sambil tercenung. Subaidah mengangguk, isaknya terus berkepanjangan. "Itulah beratnya. Ibu maklum kau masih pengantin baru." "Tidak apa, Bu. Saya pasti akan melaksanakan pesan ayah itu!" kata Giran pasti. "Berangkatlah besok pagi-pagi, agar cepat pula pulang. Ibu telah mempersiapkan segala sesuatunya untukmu." "Baiklah, Bu!" Angguk Giran, lalu bangkit melangkah ke luar. Subaidah menutup mulutnya dengan sapu tangan untuk menahan tawanya. Samirun yang sejak tadi pura-pura sibuk menulis, kini ikut menekap mulutnya menahan geli. Di luar jendela, Nyi Londe diam-diam memperhatikan tingkah aneh kedua orang itu. Malam itu, bagaikan kisah Remeo dan Juliet, Giran dan Ratna berdekapan dengan perasaan sukar dilukiskan, menanti fajar yang begitu cepat dan juga menakutkan. Karena pada dini hari sang "Romeo" akan berangkat meninggalkan "Juliet"-nya menuju Borneo demi melaksanakan pesan almarhum ayahnya yang disampaikan melalui ibu tirinya yang amat "bijak" itu. "Berapa lamakah aku harus menanggung rindu ini, Kak" Aku takut, kalau-kalau terjadi sesuatu padamu di negeri yang amat jauh itu..." bisik Ratna sambil memeluk suaminya erat-erat, takut kehilangan, dan terlalu berat untuk dilepaskan kepergiannya. "Tabahkan hatimu, sayang. Aku akan cepat kembali. Berat hatiku meninggalkan kau. Tapi demi baktiku terhadap orang tua, apa boleh buat!" Gemetar suara Giran. Nun di kejauhan, kokok ayam mulai sayup-sayup terdengar. Ratna makin erat memeluk suaminya yang sangat dicintai dengan segenap jiwa-raganya. Giran bangkit perlahan-lahan, membuka jendela. Tampak fajar mulai terbayang di ufuk timur. Giran menghela napas. "Betapa cepat waktu ini berlalu. Tanpa terasa saat keberangkatanku sudah tiba." Ratna turun dari pembaringan, menubruk suaminya dan dipeluknya semakin erat. Air matanya terasa hangat membasahi punggung Giran. Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak...! Tidak...! Jangan tinggalkan aku... Aku tidak perduli betapa dunia ini akan kiamat sekali pun." Ratap Ratna dengan hati luluh. Roda kereta itu bergerak membawa Giran ke Batavia, lalu dengan kapal laut akan bertolak ke Borneo. Mata Ratna berkaca-kaca mengiringi kepergian suaminya sampai jauh menjadi titik kecil di kaki langit. Ia masih berdiri terpaku di ujung jembatan itu, seakan-akan sebagian sukmanya telah ikut terbawa pergi. Belum dua minggu madu kasih itu direguknya, kini harus direnggut dari sisinya. Ia masih termenung di situ, sampai lengan Nyi Londe merangkulnya dan membawanya pulang. Di sebuah persimpangan jalan yang akan dilalui kereta berkuda itu, tampak seorang laki-laki berbaju hitam-hitam dan kaos loreng, duduk menunggu sejak subuh. Matanya yang setajam mata elang itu hampir tak berkedip menatap lurus-lurus ke ujung jalan. Sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba sudah tegak di belakangnya. "Hmm, Mat Gerong..." Suaranya berat mengejutkan. Si mata elang tersentak berpaling. "Oh, Bang Samolo." "Rupanya kau yang dapat kehormatan untuk memberi salam dan selamat jalan kepada putra majikanku!" Tukas Samolo dengan nada kalem. Mat Gerong bangkit, sebuah tanda goresan bekas luka bacokan pada pipi kirinya menambah seramnya wajah pentolan penjahat yang sangat ditakuti ini. Keduanya berhadapan dengan waspada. "Rejeki ini adalah pemberian nyonya besarmu sendiri, Bang. Tujuh Ringgit uang emas upah memetik batok kepala bocah ini cukup menarik, bukan" Kita bagi berdua. Setuju"!" "Sebaiknya kau tahu, Mat Gerong. Setiap helai rambut di tubuh pemuda itu, jauh lebih berharga dari nyawa tujuh-turunan manusia macam kau! Karena itu mana mungkin aku tinggal berpeluk tangan saja." tegas Samolo dengan suara tenang dan mantap. Sementara itu, di ujung jalan tampak debu mengepul dan kereta kuda itu berderap mendatangi, Mat Gerong jadi gelisah dan geram. "Sialan! Kau mau bikin tumplek bakul nasi gua?" Dengan sebuah gerakan kilat Mat Gerong mencabut golok Cibatunya, langsung menerjang ke arah Samolo. Pembunuh bayaran ini benar-benar ingin memburu waktu. Tanpa gentar sedikit pun Samolo menyambut serangan itu dengan kibasan lengan kosongnya. Golok yang menderu itu terlempar ke udara. Bersamaan dengan itu telapak tangan kanan Samolo menyapu leher Mat Gerong. Tapi ternyata nama besar pentolan penjahat ini memang bukan omong kosong. Gerakannya serba kilat dan tangguh. la menangkis serta menyerang dengan tipu-tipu pukulan yang mematikan. Kedua Jawara ini nyaris seimbang. Pertarungan berlangsung cepat dan sengit. Sementara itu, kereta kuda yang membawa Giran sudah semakin dekat. Mat Gerong jadi nekat, tujuh Ringgit uang emas terlalu berharga baginya untuk dibiarkan lewat begitu saja. Ia merangsak dengan tendangan berantai. Samolo memapaknya dengan tebasan lengannya. Mat Gerong terpekik, betis kananya remuk terbabat telapak tangan Samolo. Ia berguling untuk menyambar golok Cibatunya yang tergeletak di tanah. Dengan masih berguling ia langsung menyerang lawannya dengan tebas-tebasan beruntun yang sangat berbahaya. Samolo berkelit dan melompat dengan sebuah tendangan keras pada kepala Mat Gerong, yang segera tersungkur mencium bumi. Golok Cibatunya terlotar berputar ke udara. Cepat sekali tubuh Mat Gerong berguling-guling ke arah jalan raya, dengan maksud untuk mencegat "buruannya" yang berada di kereta kuda yang semakin dekat itu. Samolo lompat memetik golok Cibatu yang masih berputar di udara, lalu lompat turun langsung menebang kedua kaki pembunuh bayaran yang rakus itu. Dengan pekikan yang sangat memilukan tubuh Mat Gerong tersentak ambruk ke bumi. Sepasang kakinya terlontar masuk saluran irigasi. Detik itu gemuruh roda kereta serta derap kaki-kaki kuda melintas dengan cepatnya di jalan itu. Samolo lompat berlari ke tepi jalan untuk mengejar kereta yang ditumpangi Giran itu. Tapi mana mungkin ia mampu mengimbangi kecepatan larinya dua ekor kuda putih yang tangkas itu. Dalam sekejap saja kereta itu sudah hilang dari pandangannya. Dengan napas masih memburuh serta perasaan kecewa, Samolo berdiri memandangi ujung jalan yang sunyi itu. "Den Giran, semoga Tuhan memberi firasat padamu, akan kebusukan tipu muslihat ibutirimu. Menyesal sekali aku terlambat mengetahui dan tidak sempat pula memberi tahu kepadamu, bahwa kebon karet milik ayahmu di Borneo itu cuma isapan jempol ibu tirimu dan Samirun. Apa boleh buat. Semoga Tuhan melindungimu selalu!" keluh Centeng setia ini dengan pedih. Dengan perasaan sedih dan kecewa Samolo berjalan pulang ke Kedawung, meninggalkan tempat pertarungan yang telah tersimbah darah seorang jawara yang sangat ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin. Mat Gerong masih merintih dan terkapar kehilangan "Rejeki Tujuh Ringgit Uang Emas" berikut sepasang kakinya. Pada kemudian hari, jago dari daerah Sepatan yang ganas ini, akan muncul malangmelintang lagi dengan julukan "Si Buntung dari Cisadane". Iblis penyebar maut yang sukar ditaklukkan ini, telah berhasil membuat lembaran sejarah hitam pada jamannya. Dendamnya kepada Samolo terbawa sampai mautnya. Peristiwa penghadangan yang gagal itu akhirnya diketahui juga oleh nyonya besar Subaidah dan kasir Samirun. Karena Mat Gerong tidak pernah muncul lagi meminta upahnya, kecuali uang muka itu. Juga berdasarkan laporan Mandor Sarkawi yang diperintah untuk memata-matai pelaksanaan tugas pembunuh bayaran itu secara diam-diam dari kejauhan. "Lagi-lagi Samolo! Anjing itu pun mesti segera disingkirkan. Dia pasti sudah terlalu banyak mencium rencana kita." Bisik Subaidah dengan wajah kecut. "Ya, bila tidak, kitalah yang akan disingkirkan olehnya." kata Samirun serius, suaranya terdengar agak gemetar, membuat wajah Subaidah makin kecut dan pias. "Duri utama telah lenyap, duri kedua meski belum berhasil dimusnahkan, tapi setidaknya sudah tidak jadi penghalang lagi. Kini muncul duri ketiga yang cukup berbahaya. Dia tidak bisa disingkirkan dengan cara keras, melainkan harus dengan cara halus." Bisik Samirun dengan hati-hati. Agaknya kini kehadiran si centeng yang satu ini, memang harus diperhitungkan matang-matang oleh mereka. Karena merasa takut kepada Samolo, niatnya untuk segera menguasai harta warisan Tuan Tanah terpaksa harus ditangguhkan, sampai keadaan benar-benar tepat. Namun semenjak perginya Giran, kegelapan mulai menelungkupi kehidupan Ratna. Caci maki serta siksaan lahir batin dirasakannya setiap hari dari ibu mertuanya yang telah berubah dalam wujud aslinya. Persoalan kecil dan sepele saja telah cukup membuatnya jadi sasaran caci maki serta sindiran yang amat menyakitkan. Ratna pun tidak diperbolehkan lagi tidur di kamar Giran di dalam gedung utama, tapi ia harus tidur bersama Nyi Londe di emper belakang. Ratna menerima semua itu tanpa pernah mengeluh apalagi protes, karena sadar, ia cuma berasal dari keluarga petani miskin lagi bodoh. Ia cukup tahu diri sebagai orang yang menumpang meski statusnya sebagai menantu keluarga Tuan Tanah yang sangat terpandang di Desa Kedawung dan sekitarnya. Ia cuma bisa berdoa dan mengharap, semoga suaminya bisa cepat pulang. Sudah selusin pembantu pria dan wanita yang diberhentikan oleh Subaidah. Akibatnya semua pekerjaan yang ada di gedung itu harus ditangani oleh Ratna yang kadang-kadang dibantu oleh Nyi Londe yang tak sampai hati melihat Ratna bekerja membanting tulang sejak subuh sampai jauh malam. Namun masih saja datang omelan dan celaan dari ibu mertuanya yang sadis itu. "Matamu buta"!" maki Subaidah seperti geledek sambil menjitak kepala Ratna yang baru saja menjatuhkan sebuah cangkir berisi kopi panas buat sang mertua ini. "Huh, dasar si buta baru melek. Kerja sebegitu saja ogah-ogahan. Bertingkah!" "Maafkan dia, Nya Besar. Neng Ratna tidak sengaja" kata Nyi Londe yang baru datang bantu memunguti pecahan cangkir kopi itu. "Hmm, siapa tahu" Dia memang sengaja mau merongrongku agar aku cepat mati... Dan dia jadi nyonya besar di gedung ini. Mentang-mentang jadi menantu Tuan Tanah sudah gede kepala. Lupa waktu melarat dulu, mau gegares juga susah!" Gerutu Subaidah dengan nada sinis yang sangat menyakitkan hati. Ratna tertunduk, memunguti pecahan beling dan mengelap tumpahan air kopi yang telah tercampur dengan air matanya. Nyi Londe menghiburnya sambil menghela napas panjang-pendek. Secara rutin, dua hari sekali Ratna harus menggiling kacang kedelai berbakulbakul banyaknya, untuk kemudian dibuat tempe dan tahu. Sebuah pekerjaan berat yang biasa dikerjakan laki-laki itu sungguh meletihkan dan menguras tenaga Ratna. "Sudah hampir sebulan ini, Samolo tiap hari disuruh mengirim kelapa dengan gerobak ke Selapanjang. Kadang-kadang dua hari baru pulang, itu pun selalu tengah malam." kata Nyi Londe ketika membantu Ratna mendorong batu gilingan kedelai yang besar dan berat itu. Sang Nyonya besar Subaidah tiba-tiba sudah muncul di pintu, bertolak pinggang dengan wajah masam. "Eh..., eh... eh... Londe! Siapa sih majikanmu, atau dia"! Kenapa kau begitu repot kalau dia mengerjakan sesuatu" Dasar kau juga yang membuat dia jadi kolokan, pemalas, sok kaya. Sudah. Tak perlu kau temani dia. Cucian masih numpuk sebakul tuh!" katanya dengan ketus. Nyi Londe terpaksa meninggalkan Ratna mengerjakan tugas berat itu seorang diri, seperti kuda beban. Waktu berlalu bagaikan melata dengan lambatnya. Bila malam tiba kedua perempuan ini dengan perasaan letih baru bisa istirahat di emper usangnya. Dan gejalagejala keletihan yang disertai muntah-muntah mulai terlihat pada Ratna. "Beberapa hari ini, kelihatannya Neng kurang sehat badan. Selalu muntah dan senang makan yang asam-asam. Jangan-jangan sedang ngidam. Sudah berapa bulan?" tanya Nyi Londe perhatian sambil memijat kaki Ratna yang tergolek dengan wajah pucat. "Entahlah Nyi. Barangkali baru dua bulan" Jawab Ratna malu-malu. Nyi Londe tersenyum campur haru memandangi wajah sayu. Dan bayangan Giran pun selalu muncul di depan pelupuk pengasuh ini. Pada suatu hari, Ratna dipanggil oleh mertuanya, yang menyongsongnya dengan wajah ramai dihiasi senyum yang sangat ramah. Membuat Ratna jadi agak tertegun keheranan. "Ai, aih... Ratna, sini nak, sini dekat ibu! Sini. Ibu mau tanya kau." kata Subaidah sambil menggamit lengan Ratna yang masih kebingungan serta takut-takut. "Aih, nih anak. Kenapa kau enggak mau bilang-bilang pada ibu. Kata Nyi Londe kau sedang mengandung. Benarkah itu?" tanya Subaidah sambil memandang perut Ratna, suaranya lembut penuh kasih sayang keibuan. Ratna mengangguk sambil tertunduk. "Waduh, hati ibu jadi gembira mendengarnya. Ibu bakal punya cucu, bukan" Hi hi hi... Ingat, mulai sekarang kau tidak boleh kerja yang berat-berat! Harus bisa menjaga diri. Ingat pesan itu ya, Nak." "Terima kasih, Bu. Tapi saya masih bisa bekerja!" Jawab Ratna masih diliputi keraguan terhadap sikap mertuanya yang sangat berbeda dari biasanya. "Ah, jangan suka bandel ya. Nanti ibu jewer kupingmu ini. Hi hi hi... Ngerti kau"!" kata Subaidah sambil benar-benar menjewer telinga Ratna dengan lembut, seakan-akan kepada anak kesayangannya. "Nah, istirahatlah sono...!" bujuknya lagi sambil menepuk pantat Ratna. Samirun yang pura-pura sibuk menulis jadi tertawa geli menyaksikan adegan mesra tersebut. Ratna dengan wajah merah serta dengan perasaan aneh melangkah luar dari ruangan itu. "Oh ya, Ratna, tunggu dulu!" panggil Subaidah tiba-tiba. Ratna menghentikan langkahnya di pintu. "Hampir ibu lupa. Coba kau bawa kotak yang berisikan surat-surat itu ke sini. Karena perlu dicatat oleh paman Samirun. Ng... kau ada menyimpan kotak itu, bukan"!" tanya Subaidah, dengan lagak setengah acuh tak acuh. "Ya, Bu!" jawab Ratna tanpa curiga. "Bagus. Cepat bawa ke sini, ya!" perintah Subaidah masih berlagak acuh dan tak acuh. Seolah-olah kotak yang disebutnya itu tak terlalu penting. Ratna keluar dengan masih diliputi tanda tanya akan sifat sang mertua yang tibatiba berubah jadi manis terhadapnya. Sekonyong-konyong ia tersentak kaget, ketika seseorang muncul dari balik tiang dan menegurnya. "Neng... Neng Ratna!" Panggilnya dengan suara berbisik. "Siapa"! Oh, Bang Samolo..." kata Ratna perlahan, karena melihat sikap Samolo yang sembunyi-sembunyi dan memberi tanda dengan gerakan jarinya agar ia mendekat. Rupanya Samolo yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu tadi. Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan Samirun, Samolo terpaksa menceriterakan semua kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya. Ratna jadi pucat dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut. Peluh dinginnya tanpa terasa membasahi pori-porinya. "Ya Allah, tidak kusangka!" keluhnya. "Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular itu!" bisik Samolo tegas. Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung. Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu tersembul di pintu. "Hei, Ratna. Kenapa kau"! Sakit"!" tanya Subaidah sambil tersenyum. "Ti... tidak apa-apa, Bu!" jawab Ratna gugup. "Mana kotak warisan... eh... ng... Kotak surat-surat itu, Ratna"!" Tanya lagi Subaidah dengan nada seramah mungkin. "Maaf, Bu. Kak Giran berpesan..." "Ah, anak tolol, kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa kotak tersebut tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang lain, bukan?" Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan. "Tapi Bu..." kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut. "Tapi! Tapi apalagi..."! Akulah ibunya, berhak mengambil kotak itu. Paham kau"! Cepat ambil kotak itu!" hardik Subaidah dengan mata mendelik. "Maafkanlah, Bu! Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran!" kata Ratna gemetar. "Setan! Berani kau membangkang perintahku"! Ambil kotak itu atau ku potes batang lehermu. Cepat!" bentak Subaidah menjambak rambut Ratna. "Ampun Bu!" ratap Ratna gemetar. Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi. Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun. Ratna menjerit dan merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi. Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu. Nyi Londe datang untuk menolong wanita muda yang malang ini, tapi ia dihalang-halangi oleh Samirun yang berdiri di pintu kamar. Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela. Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar itu. Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai. "Aduh Neng! Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran yang setimpal." kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya. Samolo mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 8 HARI dan bulan silih berganti, beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayanglayang dihembus angin, seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper penggilingan kacang kedelai setiap hari. Bagaikan jendela penjara yang mengurung dirinya. Air mata Ratna hampir mengering, terkuras oleh deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di dadanya. Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya dari Negeri seberang. "Kak Giran... Bilakah kau kembali, Kak" Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu lama?" ratapnya di dalam hati. Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya. Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya. Didengarnya dari Samolo, bahwa orang tua itu sedang menderita sakit. Seorang diri tinggal di gubuknya, tiada yang merawat dan memasaki makanannya. Betapa pedih dan sedih hati Ratna memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu. Sulit baginya untuk pergi menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta yang sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya. Pemuda sinting itu selalu mencari kesempatan untuk menerkam dirinya. Ratna selalu bergidik ketakutan bila mengingat hal itu. Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya maupun di emper tempat tidurnya. Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali mengunjunginya. Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya ini. Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang, karena tak berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu. Untunglah Samolo kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya. Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya. Tapi sesungguhnya hatinya ketika itu sedang menangis dan meratap. Ia tidak tahu apakah ayahnya bisa dikelabui oleh sandiwaranya itu. Ia ragu, karena ia tahu bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan mata seorang ibu, sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya. Yang pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya. Bukan disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong itu. Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar menambah beban penderitaannya. Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau Samolo kalau kebetulan sedang sempat, untuk pergi menengok orang tuanya sekalian membawakan makanan secara sembunyi-sembunyi buat ayahnya itu. Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah semakin besar. Sampai pada suatu sore, dandang nasi yang masih mendidih itu nyaris menimpa dirinya ketika sedang diangkat oleh Ratna. Nyi Londe menjerit sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan. Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe yang sedang sibuk menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya. Sepanjang malam itu terdengar Ratna merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan. Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe, yang terus mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh. Kadang-kadang merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya. "Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan beres..." hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus peluhnya. Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung. Wajah centeng ini belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang. Nampak gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal. Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam, keheningan yang mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru lahir. Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha Pencipta. Matanya berkaca-kaca. Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu, wajah pucat-sayu si ibu-muda yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan, ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang terbungkus kain itu kepadanya. "Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan lebih nyaring dari semua ayam-ayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng. Wajahnya mirip benar dengan bapaknya" kata Nyi Londe, bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya sendiri. Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat seperti itu. "Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini..." cuma itulah yang menjadi pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan kebanggaan. *** SEMINGGU kemudian, komplotan manusia tamak mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji. "Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim gerobak padi ke Mauk. Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai gantinya!" tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi. "Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya nyeplos melulu" Yang benar saja." jawab si Mandor yang banyak lagak ini. Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit. "Jangan banyak cing-cong lu, gendut! Pokoknya, gagal-modar!" Ancam Mirta sambil menimang-nimang pistol Samirun. Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu melangkah ke luar. Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar emper Ratna. Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya. "Busyet! Sudah punya anak malah tambah botoh. Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila..." gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liur. Didorongnya pintu emper tersebut langsung masuk. Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya. "Bang Sarkawi..."! Ada apa?" tanya Ratna gugup. "Astaga! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya?" kata Sarkawi dengan senyum serta tatapan mata kurang ajar. "Apa maksudmu" Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya. Kenapa"!" Ratna tersinggung. Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna. "Sarkawi! Anakku!" jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu. "Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau melihat, masak kagak boleh." kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, melompat keluar. "Anakku! Anakku! Jangan kau bawa anakku, Sarkawi!" Ratna mengejar ke luar. "Sarkawi, tinggalkan anakku." jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung. Ratna semakin nekat dan terus mengejar sambil menjerit-jerit. Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang menuju jalan desa yang sudah sunyi dan gelap itu. Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun langsung masuk. Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapat-rapat. Ia memekik dan melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya. "Buka! Kembalikan anakku! Anakku...!" jerit Ratna sambil menangis histeris, karena ia tahu akan kebusukan komplotan mertuanya itu. "Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu!" kata Samirun dengan senyum iblisnya. Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan Subaidah dan Mirta yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu. Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya suasana di rumah tersebut. Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka tetap dingin. Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat kepalanya. "Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit tempo hari. Perut saya hampir ambrol di serobot biang nya. Nah, yang ini juga persis, kalau enggak lihai saya pasti sudah ko'it diterjang sama dia. Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den." Desahnya sambil mengipas-ngipas. "Mana upahnya, Den?" sambungnya. "Apa" Upah"!" tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta. "Nih upah! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu!" kata Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi. "Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?" Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia meringis. "Ah, Den Kasir... segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda... simpan ah si bongkok nya" katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa. Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya itu, membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkali-kali sambil memaki. "Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu! Diam! Eh, Bandel!" Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang tanggung. "Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den. Saya beresin saja nih?" tanyanya kepada Samirun. Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya. "Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor." katanya ketus. Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar. "Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal kau bersedia meluluskan sebuah syarat." "Syarat apa?" tanya Ratna dalam isak tangisnya. "Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh!" Samirun menjelaskan syaratnya. Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya, rela mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Samirun tersebut. "Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku!" isak Ratna minta kepastian dari luar pintu. "Cepat! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu kejam!" jawab Samirun dengan suara dingin. Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan malam menuju gedung besar. Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut, dengan lengan-lengan gemetar serta perasaan panik luar biasa. Ia seakan-akan tengah berlomba dengan Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya. Nyi Londe hanya tertegun tanpa daya. Kedua wanita itu bagaikan makhluk-makhluk lemah yang tak berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini. Ratna hampir tak membuang waktu sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir Samirun. Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas masih memburu, Ratna langsung berteriak. "Ini peti warisannya, cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku!" "Bagus! Coba kau bawa masuk petinya!" jawab Samirun, membuka daun pintu itu sedikit. Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh Samirun. Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang kasir yang licik. Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya, dan memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi. Samirun dengan dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuat-kuat, membuat tubuh Ratna terjepit dan tak bisa bernapas. Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan, juga akibat kerja tanpa istirahat sepanjang hari. Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun mengunci pintu itu rapat-rapat. Mereka memeriksa peti pusaka yag sangat didambakannya itu dengan seksama. "Periksa, siapa tahu peti ini palsu..." perintah Subaidah. "Palsu" Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu!" sela Samirun, berusaha membuka peti warisan. Diperiksanya semua surat-surat berharga yang berada di dalam kotak berukir indah itu. Serenceng kunci-kunci brankas penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya yang pernah dilihat Subaidah ada disimpan suaminya. Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotak-kotak emas permata yang pernah dilihatnya tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu. Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya. Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap menangis. "Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan kembali." katanya dingin. "Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia ini" Semuanya bisa diatur." kata Samirun dengan sombongnya. "Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun ke dalam testamen ini." suara Samirun gemas, setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak, yang tersimpan rapi di amplop khusus. "Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut." jawab Subaidah tenang. "Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia juga harus disingkirkan!" Dingin dan tajam kata-katanya itu. Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan. "Kalau begitu, tua bangka itu sudah tahu tentang hubungan kita?" bisik Samirun di sisi Subaidah. "Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya." kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah. "Dan dia pun tahu, Mirta sesungguhnya bukan anaknya"!" "Testamen itu sudah menjawabnya." kata Subaidah tertunduk. Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya. Bagaimanapun ia merasa "malu-hati" terhadap, majikannya almarhum. Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun. "Alaaah... buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur." nyeletuk Subaidah, juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta nongol dari pintu dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang tergeletak seenaknya itu. Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh Ratna. Tampak mata pemuda ini makir liar menjalari setiap lekuk tubuh yang sangat diimpikannya setiap detik. Napasnya makin memburu menyesakkan dada. Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu. "Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selama-lamanya." desis Mirta. Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta yang begitu dekat di hadapannya itu. Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini, ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding. "Apa yang kau lakukan, Mirta?" pekik Ratna. Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar membuat Ratna tersentak mundur lalu lari ke pekarangan. Mirta mengejar. "Kau... kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku! Ingatlah aku adalah istri kakakmu." jerit Ratna ketakutan. "Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot. Heh heh heh...!" Lalu pemuda. ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan "si tukang serobot" ini terpaksa "mencium" pohon hingga hidungnya mengucurkan darah. Ratna makin ketakutan, ia lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak. Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang berdarah itu. Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa menahan tawanya. Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor yang sedang tertawa terbahak-bahak itu hingga terjengkang ke batang pohon. "Sialan! Ngeledek lu, ya"! Gua mampusin lu. " bentak Mirta dengan suara sengau. Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon. Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya. Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup terus. Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk mengakhiri nyawanya dengan sebuah gunting yang dilihatnya tergeletak di atas meja di kamar empernya itu. UntungIah Nyi Londe cepat Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencegahnya. "Ya Allah! Apa-apaan Neng"! Aduh, kuatkanlah hatimu, Neng! Ingat...!" Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir ditusukkan Ratna ke lehernya itu. Kedua perempuan ini saling bertangisan. Ratna menangis dengan pedihnya di pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya. "Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta!" bujuknya sambil ikut terisak-isak. "Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai begini!" katanya lagi sambil menghela napas. Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang terlalu dimanja, kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi. Mandor Sarkawi yang punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang "p angeran" sinting itu. Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung. Galaknya melebihi macan kebelet. Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya. Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal bahkan pandai menjilat para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat. Pada hari pertama saja sebagai Tuan Tanah baru, ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan Residen sampai pada para Pamong Desa. Maka sebentar saja ia sudah memperoleh pengaruh di desa kecil itu. Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat pertengkaran yang cukup sengit, karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar selentingan dari Sarkawi bahwa sang "suami" mempunyai beberapa "simpanan" di kampung. Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya, untuk memata-matai sepak terjang "Don Yoan" kampungan ini di luaran, sering memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya semata-mata demi mendapatkan upah. Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir. Persoalan lainnya ia sangat sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen kepadanya, tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan beberapa orang tertentu. Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal. Dengan tumpleknya para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan iri hati. Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan Samirun di luaran. Samirun memang paling senang ngibing doger. Persenanannya pun tak kepalang tanggung. Ada seorang primadona doger yang dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan. Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun. *** Gedung besar itu tetap sunyi, kadang-kadang saja Subaidah pulang untuk ber "week end" di tempat tsb. Samirun telah mendandani rumahnya sendiri hingga tak kalah mewah dan lengkapnya dengan Gedung Tuan Tanah, ayah Giran itu. Bukan Samirun tidak ingin menguasai juga gedung megah itu, tapi ia merasa khawatir bila kelak Samolo atau Giran muncul secara tibatiba. Pada suatu malam Samolo tiba-tiba muncul di kamar emper Nyi Londe dan Ratna. Sinar mata centeng ini menjadi sayu ketika memandang tubuh Ratna yang kurus dan pucat tengah terbaring di balai-balai itu. Nyi Londe pun tampak kuyu menyedihkan. "Kenapa kau Neng" Sakit" Oh ya, ke manakah si bayi?" tanya Samolo dengan hati serta perasaan tidak enak. Ratna tidak sanggup menjawab, hanya air matanya saja yang tercurah ke atas bantal. Nyi Londe memandang Samolo seakan-akan menyesali kepergiannya yang begitu lama. "Samolo, kenapa kau baru kembali?" tanya Nyi Londe. "Ke mana saja kau selama ini?" Samolo melepaskan buntalannya yang tergemblok di punggungnya. Ia duduk dan menuang air dari kendi, lalu diminumnya. "Ketika aku membawa segerobak padi ke Mauk, di tengah jalan tiba-tiba aku disergap Opas Kompani dituduh mencuri padi. Tanpa mau mendengar penjelasanku mereka langsung saja menjebloskan aku ke dalam bui." Cerita Samolo dengan suara berat. "Dua minggu lamanya aku disekap di balik terali besi. Dari ceritera bisik-bisik para opas itu aku baru tahu, bahwa sesungguhnya penangkapan atas diriku itu memang telah diatur oleh Samirun. Kemudian aku pun tahu ternyata pintu sel penjara itu sengaja tidak dikunci untuk memancingku kabur dan mereka punya alasan untuk menembakku." "Lalu bagaimana kau bisa keluar?" tanya Nyi Londe ingin tahu. "Berdiam di dalam sel atau kabur sama saja, mereka memang sengaja ingin membunuhku dengan cara apa saja. Dipancing untuk kabur, ya aku kabur." "Opas-opas itu tidak menembakmu?" Suara Nyi Londe terdengar berdebar. "Tidak sempat. Karena aku lebih dahulu melabrak mereka." kata Samolo tenang. "Tapi para hamba wet itu pasti mencarimu..." ujar Nyi Londe khawatir. "Dari dulu pun aku memang orang buronan. Berkat perlindungan dan wibawa Den Besar, mereka tidak dapat berbuat, apa-apa." "Tapi kini keadaan, sudah lain, Samolo." tukas Nyi Londe penuh emosi. "Sejak aku melangkah masuk ke mulut desa ini aku sudah dapat menduganya. Telah terjadi sesuatu di sini. Tiga sosok mayat secara berturut-turut kulihat tergantung di pohon. Hal ini belum pernah terjadi, aku tahu benar penduduk desa ini bukanlah orang-orang yang mudah putus asa." kata Samolo geram. Bergidik bulu kuduk Nyi Londe dan Ratna mendengar ceritera Samolo itu. Lalu Nyi Londe pun menceritakan peristiwa diculiknya bayi Ratna oleh komplotan Samirun untuk memperoleh kotak warisan. "Si bayi harus cepat ditolong. Semoga dia masih selamat." kata Samolo tegas. "Tolonglah anak saya, Bang...! Tolonglah...!" ratap Ratna memohon dengan setengah menangis. "Pasti, Neng." tegas Samolo seraya bangkit. "Berdo'alah kepada Yang Maha Kuasa, semoga orang-orang sesat itu diberi kesadaran!" Katanya tenang namun mengandung rasa geram dan sesal yang dalam. "Mereka lebih berbahaya dari segala ular berbisa. Maka lebih aman kalau kalian mengungsi dahulu ke rumah ayahmu!" Nyi Londe dan Ratna setuju dengan usul tersebut. Malam itu juga Samolo mengantar Ratna dan Nyi Londe ke rumah Ki Kewot. Lengan tua kakek tersebut jadi gemetar memapah tubuh putrinya yang menangis tersedu-sedu di haribaannya. "Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan selalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah." hibur Ki Kewot dengan mata berkaca-kaca. Hati orang tua ini rasa teriris-iris. Meskipun hidup dalam serba sederhana, di gubuk yang reyot itu, Ratna tidak pernah menderita seperti sekarang ini. Ia selalu melimpahkan kasih sayang yang tak terbatas kepada putri tunggalnya. Ia tak pernah membiarkan putrinya menangis barang sejenak, apalagi bekerja keras, kedinginan atau kelaparan atau derita lainnya. Seekor nyamuk saja yang hinggap dan mengganggu tidur Ratna sudah cukup membuat Ki Kewot jadi geram dan kalap. Kini betapa tidak akan terenyuh hati orang tua ini melihat keadaan serta penderiataan putrinya, bahkan cucunya yang masih tak mengenal dosa itu pun ikut jadi korban kerakusan orang-orang tak beriman itu. Malam itu bulan dan bintang lenyap, tak tampak cahayanya setitik pun. Langit gelap-gulita bagaikan selembar kain hitam raksasa yang menelungkupi seluruh desa Kedawung. Angin berhembus membawa hujan rintik-rintik disertai bunyi guruh yang lapat-lapat terdengar di kejauhan. Tepat pada saat itu tampak sesosok bayangan melesat ke atas wuwungan rumah Samirun. Dengan gerakan seperti seekor kucing, sosok bayangan itu melompat turun dari lubang genting yang dibongkarnya tanpa suara. Ia tepat berada di kamar Samirun yang sedang tertidur pulas. Di antara cahaya lampu yang remang-remang itu terlihat sosok bayangan tinggi besar yang ternyata Samolo. Dengan hati-hati ia melangkah ke sebuah lemari. Dengan sekali sentuh terbukalah lemari tersebut. Dugaannya sangat tepat, ia mendapatkan kotak wasiat itu berada di dalam lemari itu. Dengan kotak terkempit di lengan, Samolo lompat kembali ke atas wuwungan. Sekeping pecahan genting jatuh meluruk menimpa kepala Samirun yang segera tersadar dengan tiba-tiba. Ia masih sempat melihat ujung kaki "pencuri" itu lenyap di lobang plafon kamarnya. Ia lompat ke lemari dan langsung berteriak sambil meraih pistolnya dari bawah bantal. "Maling! Tangkap pencuri...!" Teriaknya sambil melompat ke luar kamar. Di halaman belakang ia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas wuwungan. Ia menembak secara beruntun ke arah bayangan tadi. Tapi sosok bayangan itu telah lenyap melompat ke sisi depan gedung. Samirun jadi kalap. "Pencuri! Pencuri!" Teriaknya kalap sambil berlari ke luar. Sesaat kemudian tampak belasan centeng muncul berserabutan dengan obor serta senjata-senjata terhunus di tangan. Semuanya bergerak ke arah luar gedung untuk mengejar si pencuri yang amat tangkas tadi. Namun yang didapati mereka di luar gedung itu cuma deru angin dan suara lolongan anjing Samirun yang menyalak tanpa henti. Samirun membanting kakinya dengan penuh luapan amarah. Dimakinya para centeng itu habis-habisan. Sesaat kemudian Samirun tersentak karena mengingat sesuatu. "Si bayi!" teriaknya, lalu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya lagi diikuti oleh derap belasan pasang kaki para centengnya. Mereka langsung pula menerobos masuk ke dalam sebuah kamar. Tampak seorang pengasuh sedang berdiri menggigil ketakutan di sisi ranjang bayi yang sudah kosong. "Bangsat! Tidak salah lagi ini pasti perbuatan Samolo." Teriak Samirun sambil membalikkan ranjang bayi dengan marahnya. "Sosok bayangan itu jelas mirip si keparat sialan itu." sambungnya. Lalu matanya mendelik ke arah para centengnya yang jadi tertunduk mengkerat. "Bakul-bakul nasi! Aku gaji kalian bukan untuk tidur ngorok, tahu"!" Semprot Samirun belum hilang kalapnya. Sementara itu Samolo telah menyerahkan si bayi ke dalam pelukaan ibunya. Ratna mendekap bayinya yang dikiranya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dengan ledakan tangis. Kotak wasiat itu pun diberikan kepada Ki Kewot untuk disimpannya. "Terima kasih, Samolo!" Cuma itu yang keluar dari mulut Ki Kewot, karena suaranya terasa menyangkut di kerongkongannya. "Bersyukurlah kepada Tuhan, Ki!" jawab Samolo sambil meminum air kendi. "Aku pikir sebaiknya kita segera meninggalkan rumah ini. Samirun pasti tidak tinggal diam!" sambung Samolo. Perhitungan Samolo memang tepat. Karena menjelang fajar, gubuk kecil itu telah dikepung oleh orang-orang Samirun dan beberapa opas dengan senjata-senjata terhunus. Samirun berteriak memerintahkan Samolo menyerahkan diri atau gubuk itu akan dibakar ludes. Detik itu orang-orang di dalam justru sedang siap-siap untuk pergi mengungsi. Demi keamanan dan keselamatan yang lain, Samolo terpaksa pasrah diborgol dan diseret pergi. "Kalau dia berani kabur lagi, bikin tubuhnya jadi santapan buaya-buaya Cisadane." perintah Samirun kepada orang-orangnya. Seperginya gerombolan yang menggiring Samolo, Samirun bersama tiga orang centengnya, termasuk mandor Sarkawi menerobos masuk ke dalam gubuk Ki Kewot. "Geledah seluruh sudut gubuk reyot ini!" perintah Samirun kepada tiga orang upahannya sambil bertolak pinggang dengan sombongnya. Tiga begundal itu segera mengobrak-abrik seluruh isi pondok untuk mencari kotak wasiat. Melihat ulah orang-orang ini, Ki Kewot tak dapat menahan diri lagi. "Setan neraka jahanam. Keluar kalian!" tudingnya kepada Samirun yang tersenyum iblis. "Hei, tua bangka pikun! Mana mungkin aku keluar dari kandang babi ini, sebelum kotak itu berada di tanganku. Mengerti kau"!" kata Samirun, balas menuding Ki Kewot dengan tongkatnya. "Kotak apa"! Kalian memang sengaja cuma mau mengacau." bentak Ki Kewot. "Kau sembunyikan di mana kotak itu"!" bentak Samirun setelah melihat orang-orangnya tak berhasil menemukan kotak wasiat itu. "Ayo katakan! Sebelum peluruku ini mengoyak dada keriputmu." katanya sambil mengokang pistolnya ke arah dada Ki Kewot. Sungguh di luar dugaan, kakek ini malah maju sambil membuka bajunya dan membusungkan dadanya. "Silahkan! Ayo pilihlah yang paling empuk, kasir keparat!" katanya mantap dan nekat. Meletuslah pistol Samirun diiringi jeritan Ratna dan Nyi Londe. "Ayah!" jerit Ratna sambil menubruk tubuh ayahnya yang limbung dengan darah tersembur dari dadanya. Sarkawi menarik lengan Ratna yang meronta dan menjerit seperti gila. Samirun memerintahkan Sarkawi menyeret Ratna keluar, sementara pistolnya sekali lagi "memakan" tubuh Ki Kewot yang langsung tersungkur ke lantai gubuk. Nyi Londe berusaha menolong kakek ini, tapi ia jatuh tersungkur juga digetok gagang pistol Samirun pada keningnya. Ratna terus diseret Sarkawi ke luar gubuk, yang meronta dan menjerit dengan kalap. Gagal menemukan kotak wasiat itu, Samirun jadi buas. Setibanya di luar ia menyambar obor dan menyulut atap gubuk kemudian melemparnya ke atas atap. Dalam sekejap saja api pun berkobar. Ratna makin panik dan meronta dengan kalap di dalam dekapan tiga begundal itu. "Anakku...! Anakku...!" jerit Ratna seperti gila. Tapi Samirun dan tiga begundalnya terus menyeretnya pergi. Suaranya semakin jauh kemudian tertindih oleh gemuruh api yang makin besar melahap seluruh gubuk itu. Nyi Londe berusaha bangkit namun kepalanya terasa berat dan pening. Dengan terbatuk-batuk ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk merangkak ke kamar karena dari sana terdengar suara tangisan si bayi. Sementara api dengan cepat menjilat dan melahap rumah bilik itu. Sang pengasuh merangkak menembus asap yang menyesakkan napas. "Cepat tolong cucuku, Nyi...! Cepat...!" Dengus Ki Kewot dengan napas satu-satu, sambil mencoba bergerak dan beringsut ke arah kamar di mana cucunya berada. Darah mengalir semakin deras dari luka di dada dan perutnya, berceceran membasahi lantai. Api semakin besar dan ganas melahap seluruh isi gubuk. Balok-balok berapi pun berjatuhan dari atas, nyaris menimpa Nyi Londe yang terus berkutet merangkak menembus asap, menggapai-gapai mencari pintu kamar tidur si bayi. "Cepat selamatkan cucuku, Nyi. Cucuku...!" Terdengar suara Ki Kewot megap-megap di tengah gulungan asap yang makin tebal. Nyi Londe berhasil mencapai kamar dan langsung meraih tubuh bayi yang menangis kepanasan. Darah tampak mengalir dari kening Nyi Londe tapi tak dihiraukan. Ia mendekap tubuh si bayi erat-erat sambil berdo'a karena api telah mengurung semua jalan keluar. "Oh Tuhan, lindungilah makhluk-Mu yang tak berdosa ini...!" Ratap Nyi Londe dalam do'anya. Sementara itu, Samolo sedang digiring oleh para begundal dan opas menuju Tangsi. Dari atas tanggul yang dilaluinya, terlihat olehnya cahaya api dari arah gubuk Ki Kewot. Hati centeng ini jadi tercekat, ia tahu itu pasti perbuatan Samirun dan begundal-begundalnya. Ia benar-benar merasa khawatir akan keselamatan Ratna dan bayinya juga Nyi Londe dan Ki Kewot yang berada di dalam gubuk. Sekonyong-konyong Samolo menggentak rantai borgolnya hingga putus. Berbareng dengan itu, dua begundal yang berjalan di depannya terjungkal ke dalam sungai dengan kepala remuk dibabat lengan Samolo. Dua opas yang berjalan mengiringinya itu terkejut namun sebelum kedua hamba wet ini siap mengayun kelewangnya, Samolo telah lebih dahulu menyapunya dengan sebuah tendangan berantai yang sangat dahsyat, hingga kedua opas itu terpental saling susul ke bawah tanggul. Sisanya menjadi ciut lalu kabur terbirit-birit dari atas tanggul. Samolo pun memang tidak ada waktu lagi untuk berurusan dengan mereka, karena ia dengan kecepatan penuh berlari ke arah gubuk yang sedang terbakar itu. Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Api sedang mengamuk dengan dahsyatnya ketika Samolo tiba di muka gubuk yang hampir musnah ditelan lidah-lidah api yang mengganas. Tak terasa peluh dingin Samolo membasahi tubuhnya yang panas terpanggang. Ia berteriak memanggil nama Ki Kewot dan Nyi Londe, tapi suaranya sirna ditelan gemuruh api. Juga Ratna yang dipanggilnya tak ada jawaban. Maka dengan nekat ia lompat menerjang gumpalan asap dan api itu dan menerobos masuk. Samar-samar dilihatnya Ki Kewot sedang merangkak-rangkak menuju kamar. "Ki Kewot, mana Ratna dan bayinya" Juga Nyi Londe"!" Teriak Samolo sambil menghindar dari balok berapi yang berjatuhan. Ia melompati lidah-lidah api yang bergejolak itu langsung menyambar tubuh kakek yang terluka parah ini lalu dibawa lompat ke luar. "Jangan hiraukan aku, Samolo. Tolonglah cucuku dan Nyi Londe...!" kata Ki Kewot megap-megap di kempitan Samolo. Samolo meletakkan tubuh tua yang bersimbah darah itu di pekarangan. "Kotak itu berada di bilik kamar itu...!" ujar Ki Kewot dengan napas makin memburu. Samolo tanpa membuang waktu sedikit pun sudah melompat masuk lagi melalui jendela yang dijebol jerujinya dengan sekali babatan telapak tangannya. "Nyi Londe, tetaplah di situ!" serunya kepada Nyi Londe yang terpaku di sudut bilik sambil mendekap si bayi. Samolo membungkus tubuh si Bayi dengan selimut yang dibasahkan lebih dahulu. "Kau keluar dulu melalui jendela itu, Nyi! Aku mau mencari kotak. Cepat!" Nyi Londe agak ragu karena merasa khawatir dengan keselamatan bayi itu, namun ia keluar juga melalui jendela yang sudah dijebol oleh Samolo. Setibanya di luar Nyi Londe dan Ki Kewot menunggu munculnya Samolo dengan jantung berdebar-debar. Ketegangan serta rasa khawatir seolah telah melumpuhkan seluruh sendi tulang dan syaraf mereka. Bagian samping gubuk itu tiba-tiba runtuh. Nyi Londe dan Ki Kewot tampak makin pucat menggigil. "Samolo...! Samolo cepat keluar...!" Teriak Nyi Londe tak sabar. "Cucuku... Oh, bagaimana dengan cucuku..."!" ratap Ki Kewot tersendat-sendat. Tiba-tiba tampaklah Samolo di tengah gejolak api. Kini tiang-tiang bangunan itu mulai berderak bergoyang. Pada detik terakhir itu, Samolo melesat keluar melalui jendela, dan tepat pada detik itu pula ambruklah seluruh bangunan tersebut dan menjelma jadi tumpukan api unggun raksasa. Samolo berguling dengan sang bayi dalam pelukannya dan kotak wasiat tergemblok di punggungnya dalam buntalan kain sarung. Tampak beberapa bagian baju centeng perkasa ini hangus terbakar. Nyi Londe segera menggendong si bayi yang terus menangis itu, Samolo berlutut di sisi tubuh Ki Kewot untuk memberi pertolongan selanjutnya. Tapi kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan lemah. "Jagalah Ratna dan cucuku... Samolo...!" pesannya. "Tenanglah, Ki. Aku pasti akan selalu melindungi mereka." janji Samolo dengan suara haru. Kepala Ki Kewot tergolek ke sisi, wafatlah orang tua yang telah banyak menderita itu. Samolo tertunduk dengan hati pilu. Setelah Nyi Londe menceriterakan diculiknya Ratna oleh Samirun, Samolo segera mengubur jenazah Ki Kewot di dekat puing gubuknya. Samolo dan Nyi Londe lama termenung, semua peristiwa itu seakanakan sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi mereka. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 9 NYI LONDE membawa si bayi dan Samolo ke sebuah rumah bilik yang terletak terpencil di tepi sungai setelah berjalan menembus hutan jati yang cukup lebat. Rumah bilik itu tampak masih cukup kuat biarpun sudah banyak yang bocor dan bolong di sana-sini, namun masih bisa untuk mereka berteduh. Di sini mereka merasa lebih aman karena agaknya tempat itu jarang dilalui orang. "Rumah ini sudah lama kosong sejak ayahku meninggal dunia!" kata Nyi Londe sambil menidurkan si bayi. "Mudah-mudahan nasib Girin tidak akan seburuk aku." sambungnya dengan suara pelan penuh haru. "Girin..."!" Tanya Samolo heran mendengar nama itu. "Agaknya untuk selalu mengingat nama Den Giran, Ratna memberi nama Girin kepada putranya ini!" Nyi Londe menjelaskan dengan tersenyum. Samolo termenung memandang keluar jendela. "Entah bagaimana dengan nasib Neng Ratna sekarang. Dia pasti dibawa ke rumah Samirun. Nanti malam akan kucoba ke sana." "Hati-hatilah, mereka makhluk-makhluk busuk yang banyak akalnya!" kata Nyi Londe khawatir. "Aku tahu mereka akan menggunakan Neng Ratna untuk ditukar dengan kotak warisan!" Malamnya Samolo berangkat ke rumah Samirun, karena ia yakin Ratna pasti disekap di rumah itu. Dengan gerakan ringan ia menyelinap ke dalam pekarangan dan segera bersembunyi di balik pilar. "Sunyi. Aku yakin Neng Ratna berada di sarang setan ini." pikirnya dengan penuh waspada. Keadaan di rumah itu terasa sunyi mencekam. Samolo pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sekonyong-konyong sambaran angin mendesing ke arahnya. Samolo berkelit tepat ketika sebatang tombak menancap di pilar hanya beberapa inci dari kepalanya. Berbarengan dengan itu, berlompatanlah belasan orang bersenjata dari berbagai sudut, mengepung Samolo. Samolo sadar bahwa ia telah masuk perangkap. Namun sedikitpun ia tidak gentar. Dengan sikap tenang namun waspada ia tegak di tengah pekarangan. Sementara orang-orang bersenjata itu semakin rapat mengurungnya. "Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak mungkin bisa lolos lagi, anjing!" terdengar suara gelak tawa Samirun dari tengah kerumunan para begundalnya. "Sebaiknya kau menyerah saja. Nyawa Ratna dan kau sendiri sudah berada di telapak tanganku. Serahkan kotak itu, kalian pasti selamat!" serunya lagi. "Carilah sendiri di tumpukan puing gubuk yang sudah jadi arang itu!" ejek Samolo. Mata Samolo tajam mencari Samirun di antara para pengepungnya itu. Dia berpikir, jika ingin membunuh ular haruslah kepalanya lebih dulu. Ia sudah mengambil keputusan untuk menghabisi si biang kerok itu. Maka ketika matanya menangkap sesosok tubuh jangkung berdiri di belakang para centeng itu, Samolo tiba-tiba melejit seperti pantulan bola lalu lompat melesat ke arah Samirun. Gerakannya begitu cepat dan sukar diduga, membuat para centeng sewaan jadi tersentak dan bergerak serentak untuk menghalangi terjangan Samolo. Samirun terkejut tak alang-kepalang ketika sosok tubuh tinggi besar itu tibatiba saja sudah berada dekat di hadapannya, menerjang bagaikan seekor burung rajawali yang sangat tangkas. Samirun dengan gugup lompat mundur sambil menembak dengan pistolnya. Dua letusan terdengar disusul oleh jeritan mengaduh dua orang centengnya sendiri yang segera rubuh bergelimpangan ke tanah terkena peluru nyasar. Detik itu Samolo sudah lompat lagi setelah berguling menghindar dari desingan peluru. Sasarannya selalu terarah kepada Samirun, membuat kasir ini jadi kelabakan dan menembak membabi-buta karena paniknya. Setiap butir peluru yang dimuntahkan dari moncong pistolnya itu selalu saja merenggut satu atau dua nyawa orang-orang sendiri. Keadaan menjadi kacau-balau. Para centeng lari serabutan atau tiarap karena takut terkena peluru nyasar. Hal ini tentu saja tidak pernah direncanakan oleh Samirun. Keadaan kembali sunyi mencekam. Masingmasing berdiam diri di tempatnya. Gelap di sekitarnya, membuat mata Samirun jadi jalang dengan pistol siap tembak di tangannya yang makin gemetar. Ia tersandar di pilar dengan napas tersengal-sengal, karena penyakit asmanya yang kronis itu tiba-tiba kambuh. Mendadak sesosok tubuh melayang ke arahnya, Samirun dengan gugup menembak. Tubuh itu ambruk tepat di bawah kakinya dan ternyata korban pelurunya itu adalah orangnya sendiri yang sudah jadi mayat. Rupanya Samolo yang melemparkan tubuh itu kepada si kasir yang sedang panik ini. Kini Samolo berdiri tegak di hadapan Samirun yang segera menembak dengan pistolnya. Namun yang terdengar hanya bunyi berjetrek karena telah kehabisan peluru. Samolo sudah memperhitungkan semua itu. Samirun jadi panik dan melempar pistol kosong itu ke arah Samolo tapi melenceng menghantam kepala seorang centeng yang sedang tiarap hingga langsung "tidur pulas" di tanah. "Kepung dia! Bunuh cepat!" teriak Samirun kepada para tukang pukulnya dengan gugup. Kini belasan centeng kembali mengepung Samolo. Tiga orang serentak menerjang dengan tombak dan golok. Samolo berkelit dari sambaran senjata-senjata itu sekaligus membalas hingga mereka terjungkal dan menggelepar di atas bumi. Kembali serangan meluruk ke arah Samolo yang ditangkisnya dengan sebatang tombak yang direbutnya tadi. Kali ini pertarungan menjadi seru, senjata-senjata berkelebatan mengurung dan menyambar-nyambar ke arah Samolo bagaikan badai. Setiap tombak Samolo meluncur dan menikam selalu dibarengi oleh pekikan menyayat seorang pengeroyok. Samolo sambil bertempur terus mundur masuk ke dalam rumah. Para centeng yang agaknya dijanjikan upah yang sangat besar oleh Samirun, mereka terus mengejarnya dan perkelahian berlangsung semakin dahsyat. Dengan mengandalkan kehebatan ilmu tangan kosongnya, Samolo berkelahi bagaikan seekor banteng yang tak kenal takut. Babatan maupun pukulan telapak tangannya selalu melumatkan apa saja yang terkena. Satu demi satu para tukang pukul itu rubuh bergelimpangan dengan kepala atau dada remuk. Seluruh perabotan rumah Samirun menjadi berantakan seperti diamuk topan yang amat dahsyat. Anehnya tak seorang pun dari tukang pukul itu yang gentar, malah makin merangsak dengan bernafsu. Samolo pun sadar bahwa orang-orang sewaan ini hampir semuanya terdiri muka-muka baru dan rata-rata berkepandaian ilmu silat cukup lumayan. Maka tidaklah heran sifat pantang mundur itu dipegang teguh oleh mereka. Suatu sikap yang rata-rata dimiliki para pendekar silat. Begitu pun sikap Samolo, ia rela hancur dan pantang mundur setapak pun demi kehormatan nama besar perguruannya. Meskipun dikeroyok oleh belasan jago-jago silat yang rata-rata cukup tangguh, Samolo sama sekali tidak bergeming, senjata-senjata lawan yang bertubi-tubi menyambarnya tak sepotong pun yan bisa menggores tubuhnya. Palingpaling bajunya saja yang koyak tertikam atau terbabat senjata-senjata tajam itu. Semuanya sudah sama-sama nekat seperti kesetanan. Arena pertarungan itu sekejap saja sudah menjadi porak-poranda. Dinding-dinding pun jebol hingga ke atap dan para-para. Lama-lama semuanya merasa letih namun tak seorang pun mau menyerah. Mayat-mayat mulai bertumpang-tindih di lantai rumah Samirun. Suatu pemandangan yang mengerikan. Mata Samolo terus mencari Samirun, tapi kasir licik sudah tidak terlihat lagi di situ. Tahulah Samolo bahwa rumah itu telah dijadikan alat perangkap baginya, karena tenyata seluruh kamar sudah kosong dan tak terlihat Ratna berada di situ. Samolo benar-benar menjadi geram. Ia tahu pasti ke mana larinya Samirun. Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuannya digempurlah sisa pengeroyoknya yang tinggal tiga orang lagi, yang tampaknya paling tangguh dari seluruh para pengeroyok. Samolo tiba-tiba jadi sadar siapakah tiga orang ini. Melalui jurus-jurus silat mereka itu, Samolo tahu bahwa tiga pemuda ini pasti ada hubungannya dengan Mat Gerong, pentolan kepala Garong yang telah dibikin buntung kakinya. "Kalian apanya Mat Gerong"!" tanya Samolo sambil bertempur. "Kau harus membayar hutang kaki guruku yang kau bikin buntung itu, Samolo!" jawab seorang. "Pulang tanpa membawa sepasang kakimu itu berarti mati bagi kami bertiga." kata yang seorang lagi. "Kenapa kalian begitu bodoh" Potong saja sepasang kaki mayat itu dan katakan kepada guru kalian bahwa dua kaki itu adalah milikku. Setelah itu kalian menyingkir jauh-jauh dari dia untuk selama-lamanya." kata Samolo memandang tajam ke tiga pemuda yang agaknya bersaudara karena rupa mereka tampak sangat mirip satu dengan yang lainnya. Ketiga pemuda murid Mat Gerong saling pandang sejenak lalu sama-sama lompat mundur. "Suatu pikiran yang baik. Demi ibuku yang sudah tua dan kini sedang terbaring sakit, kami terima usulmu itu." kata yang lebih tua. "Bagus! Kalian masih sangat muda. Berbakti kepada orang tua pahalanya sangat besar." kata Samolo tersenyum. Dan tanpa menunggu lagi untuk melihat tiga pemuda itu melaksanakan usulnya tadi, Samolo segera lompat keluar rumah yang telah porak poranda dan lenyap di kepekatan malam. Tanpa membuang waktu sedetik pun Samolo terus berlari langsung ke gedung Tuan Tanah. Ia melangkah masuk ke pekarangan yang sunyi dan gelap itu. "Hei, Samirun, keluar kau! Sudah cukup kau bikin kotor gedung Den Besar ini. Jangan dikotori lagi oleh darahmu yang busuk itu. Keluar, keparat!" teriak Samolo seperti guntur. Tak ada jawaban dari gedung induk yang terkunci rapat itu. "Baik, aku akan masuk menyeret kau!" Samolo melangkah masuk untuk menjebol pintu utama yang terpaksa harus dilakukannya, karena ia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk ke ruangan utama. Pintu yang menuju ke belakang itu pun pasti sudah dikunci oleh Samirun. Samolo sendiri sejak dulu belum pernah berani masuk melalui pintu utama itu. Biasanya ia selalu masuk melalui pintu samping. Hal ini ia terpaksa harus melanggar kebiasaannya itu. Namun sebelum ia lakukan, pintu itu terkuak dan terlihat Samirun muncul sambil mengancam Ratna dengan pisau pada lehernya. "Bawa ke sini kotak warisan itu, atau dia akan mati!" ancam Samirun dengan beringas. Wajah Ratna tampak pucat tapi ia tetap tabah dan tenang. Samolo melangkah maju. Samirun segera menekan pisau itu pada leher Ratna. Tampak mandor Sarkawi mengintai di balik pintu. "Den Giran akan segera pulang, kau dan komplotanmu itu akan digulung oleh hukum karena telah merampas semua hak milik majikanmu." Samolo balas mengancam. "Huh, dengan harta sebanyak itu di tanganku, hukum pun berada di pihakku." kata Samirun sinis. "Setan sudah menutup matamu, Samirun. Hukum dunia kau dapat hindari tapi tidak hukum akhirat!" "Tutup mulutmu! Kotak itu atau perempuan ini binasa!" bentak Samirun makin kalap. "Baik! Tapi selembar saja rambut Neng Ratna kau ganggu, hanya Tuhan saja yang bisa menolongmu juga para begundalmu itu, Samirun!" ancam Samolo sambil beranjak pergi. Samolo melesat seperti angin ke luar pintu gerbang, berlari ke arah jalan lalu lenyap di kegelapan malam. Samirun menyeret kembali Ratna ke dalam gedung lalu diikatnya di atas kursi. Sementara ia dan Sarkawi duduk di dekatnya untuk menunggu Samolo. Tapi ternyata Samolo tidak pulang mengambil kotak wasiat itu, ia memutar ke belakang gedung dan memanjat dinding lalu melompat masuk ke halaman belakang. Ia mengintai melalui jendela, tampak olehnya Subaidah dan Mirta sedang sibuk mengurus isi sebuah peti, di pindahkan ke dalam koper-koper. Rupanya mereka sudah siap-siap angkat kaki dari gedung itu. Agaknya cuma peti besi itulah yang sempat dibukanya karena kunci-kunci lainnya yang berada di dalam kotak wasiat keburu dicuri oleh Samolo. Namun harta yang dikurasnya itu sudah cukup membuat mereka kaya-raya selama tujuh turunan. Namun karena jiwa mereka memang terlalu tamak, masih juga menuntut seluruh harta warisan yang ada di gedung Tuan Tanah berikut segenap kekayaan yang ada. Dengan memiliki surat-surat Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sah atas pemilikan harta peninggalan tersebut, mereka akan merasa lega. Sesungguhnya Samirun pun cukup bertindak hati-hati serta penuh perhitungan. Agar tidak menimbulkan perkara dan sanksi hukum, maka ia tidak segera membunuh Ratna dan anaknya yang tercantum sebagai ahli waris dari harta peninggalan Tuan Tanah itu. Kecuali jika seluruh surat-surat berharga itu sudah berada di tangannya, semuanya bisa diatur dengan mudah, demikian pertimbangan si kasir yang cerdik ini. Bahkan dengan menyandera Ratna, ia masih berharap untuk memperoleh seluruh isi kotak wasiat yang ia yakin masih disimpan oleh Samolo di suatu tempat. Ia tahu benar centeng itu pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan harta benda majikannya. Sikap kesetiaan yang luar biasa dari si centeng terhadap majikannya sangat menggagumkan hatinya juga sekaligus membencinya. Tapi kali ini perkiraan Samirun terhadap Samolo meleset, karena ternyata centeng ini tidak pulang mengambiI kotak wasiat yang akan ditukar dengan nyawa Ratna. Ia lupa Samolo bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi kalau diancam. Maka Samirun tidak sadar kalau pihaknya sendiri yang terancam sekarang ini. Karena macan dari Gunung Krakatau ini sudah siap menerkam Subaidah dan Mirta yang sedang berada di dalam kamar penyimpanan peti-peti harta itu. Dengan beberapa kali gempuran tangan Samolo, jebollah jeruji-jeruji besi jendela kamar itu. Ia lompat masuk disambut jeritan Subaidah dan Mirta yang terkejut setengah mati. Kedua ibu dan anak ini segera lari ke sudut kamar dengan tubuh menggigil tak menghiraukan lagi isi koper-koper mereka yang berceceran di lantai. Samirun dan Sarkawi yang berada di ruangan depan terkejut mendengar jeritan Subaidah dan Mirta. "Tunggu di sini, Wi!" perintah Samirun kepada Sarkawi, maksudnya untuk menjaga Ratna yang terikat di kursi. Ia sendiri masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi dengan Subaidah dan Mirta. Dilihatnya Subaidah dan Mirta sedang berdiri ketakutan di sudut ruangan, sinar matanya menunjukkan kepadanya akan adanya bahaya di ruangan itu. Samirun mundur sambil meraih sebatang tancapan lilin bercabang tiga yang sangat runcing dari atas meja. Sekonyong-konyong sebuah lengan dengan kuat mencengkeram leher bajunya dari belakang. Samirun berbalik langsung menikamkan tancapan lilin itu, namun senjata darurat itu tiba-tiba pindah tangan dan tibatiba pula terhunjam ke dadanya sendiri. Dengan jeritan yang sangat menyayat tubuh Samirun tergetar terhuyung-huyung, darah segar pun tersembur dari dadanya itu ketika tancapan lilin tersebut dicabut. Ia mendekap dadanya, menatap Samolo yang masih menggenggam tancapan lilin itu dengan sorot mata jalang seekor serigala. Tubuhnya semakin limbung lalu ambruk ke lantai menggapai dan meraup emas permata yang berserakan itu dengan lengan gemetar berlumur darah. Namun hanya sekejap karena sejenak kemudian ia menggeliat lalu tersungkur lagi dengan mata tetap terbelalak mengerikan. Subaidah terpekik histeris merangkul Mirta yang menggigil seperti demam. Samirun tewas penuh penasaran. Konon menurut ceritera penduduk setempat, hantunya acap kali terlihat bergentayangan di gedung itu sampai bertahun-tahun kemudian. Samolo melangkah mendekat ke arah Subaidah dan Mirta yang masih menggigil dengan wajah seperti tidak dialiri darah lagi. "Ular betina berkepala dua! Penyebab dari segala bencana terkutuk. Inilah hari terakhir bagimu." ancam Samolo dengan suara dalam. Lengannya menuding dengan ujung tancapan lilin yang masih meneteskan darah Samirun. "A... a... ampun Bang Sssamolo...! Ampuni saya dan Mirta...! Saya mengaku salah...!" Ratap Subaidah gemetar sambil semakin ketat memeluk putranya. Mirta menggumam tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mata pemuda itu merah dan nampak liar. Tapi ujung tancapan lilin yang sangat runcing dan masih berteteskan darah itu terus terarah kepada nyonya Tuan Tanah tak bermoral yang meratap mengiba-iba dengan air mata bercucuran. Lenyaplah segala keangkuhan serta kecongkakannya sebagai sang Nyonya Besar yang terlalu berambisi ingin meraih bintang. Tapi kini semua impiannya telah pudar menjadi debu. "Ampun, Bang... Kasihanilah saya dan Mirta...! Ambillah semua harta itu tapi jangan bunuh kami...! Ampuun... Bang...!" Subaidah terus menatap ngeri melihat ujung tancapan lilin berdarah itu. "Minta ampunlah kepada arwah Den Besar bila kalian jumpa di akhirat nanti. Kalian sudah terlalu menghina serta menyiksanya, padahal kalian telah dilimpahkan harta benda serta kasih sayangnya. Mau apa lagi"!" bentak Samolo dengan suara dalam menahan haru dan kepedihan hatinya. Subaidah menangis terisak-isak, entah menyesal atau entah karena takut mati. Sekonyong-konyong Mirta menjerit kalap dan langsung menerjang Samolo seperti celeng liar. Samolo menyambar rambut pemuda itu, namun ketika ia hendak menikamnya dengan tancapan lilin tersebut, terlintaslah bayangan Den Besarnya sedang membelai dan memangku Mirta kecil. Suatu kenangan yang begitu melekat di benaknya. Sesungguhnya Den Besarnya sangat mengasihi anak itu meskipun mungkin majikannya itu akhirnya tahu bahwa anak itu sebetulnya bukan darah dagingnya sendiri, karena sampai pada menjelang ajalnya, sikap Den Besar terhadap Mirta tak pernah berubah. Betapa pedih hati Samolo bila mengingat nasib Den Besarnya yang begitu tragis. Namun itu bukan kesalahan Mirta, ia cuma hasil dari penyelewengan dan ketidakkesetiaan orang-orang tak berbudi, kedua ayah-ibunya, ialah Samirun dan Subaidah, biang keladi dari kehancuran keluarga serta kharisma Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu. Samolo jadi tercenung sementara Mirta masih meronta di cengkeramannya. Melihat anak kesayangannya itu terancam nyawanya, Subaidah jadi nekat, ia segera menyerang Samolo dengan kekalapannya sambil menjerit histeris. Samolo melepas cengkeramannya pada Mirta dan menyambut terjangan Subaidah yang kalap itu dengan hempasan lengannya, membuat tubuh Nyonya Besar ini terlontar ke arah sebuah cermin dinding berbingkai antik. Wajah Subaidah tepat menghantam cermin hingga cermin tersebut hancur berkeping-keping. Dengan pekikan yang amat menyayat Subaidah tersentak membalikkan tubuhnya, tampak wajah serta matanya berlumur darah tercacah serpihan kaca. Lengannya menggigil berusaha mencabuti pecahan kaca yang menancap di wajah dan matanya. Ia merintih kesakitan. "Mirta...! Mirtaaa... Tolong ibu, Nak...!" rintihnya. Tapi Mirta mundur ngeri memandang keadaan ibunya. Lengannya mendekap matanya dengan napas tersengal-sengal, ia melangkah mundur lalu berbalik lari keluar ruangan. Samolo yang ikut tertegun tiba-tiba jadi geram lalu melempar tancapan lilin itu yang telak menghantam kepala pemuda itu hingga jatuh tersungkur. Namun setelah menggelepar sejenak ia cepat bangkit dan terhuyung-huyung lari ke luar sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Subaidah jatuh tersandar ke dinding, merintih terus dengan tubuh gemetar. Seluruh wajah dan baju kebaya rendanya yang berwarna putih itu penuh tersimbah darah. Samolo tak mau melihat lebih lama lagi penderitaan nyonya majikannya yang telah menerima hukuman akibat perbuatannya. Samolo berbalik hendak beranjak dari situ. Tepat pada saat ia berbalik itulah sebuah tikaman ujung tancapan lilin menghantam dan menancap tepat di kedua matanya. Samolo terpekik sambil menepis tancapan lilin yang sudah terlanjur melukai kedua matanya, seraya menghantam si pembokong pengecut itu. Sebuah teriakan mengiriskan terdengar disusul oleh robohnya tubuh gemuk itu ke lantai. "Sarkawi!" dengus Samolo sambil tangannya mendekap matanya yang mengucurkan darah. Rasa sakit terasa menyayat-nyayat seluruh sendi syaraf dan tulang sumsumnya. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar, meninggalkan ceceran darah yang menetes terus dari kedua matanya. Tampak tubuh Sarkawi menggeliat-geliat. Kepalanya pecah terkena gempuran tangan Samolo yang sekeras godam baja itu. Tapi mandor ini masih berusaha merangkak ke arah Subaidah yang merintih-rintih terkapar di dinding. "Mana upah saya, Nya Besar..." Upah... sssa... ya...!" katanya sambil menggapai menengadahkan tangannya. Lalu kepalanya tersungkur ke lantai, diam tak berkutik lagi. Dengan langkah tersuruk-suruk Samolo berjalan ke ruangan utama. Ratna yang duduk terikat di kursi jadi terkejut melihat kemunculan Samolo dengan keadaan yang sangat mengerikan itu. "Bang Samolo..."!" jerit Ratna. "Kenapa mata Abang?" tanyanya dengan iba bercampur ngeri. "Biarlah, semuanya sudah lunas ditebus oleh kedua mataku ini." kata Samolo menahan sakit yang sangat hebat pada kedua matanya yang sudah buta itu. Lengannya yang nampak gemetar itu meraba tambang yang mengikat tubuh Ratna dan membukanya. Samolo tiba-tiba jatuh berlutut. Ratna segera menubruk tubuh centeng perkasa itu dan memapahnya. "Bang Samolo..." keluh Ratna dengan air mata berlinang-linang. "Mari kita pergi ke rumah Nyi Londe, Girin mungkin sedang menangis menunggumu untuk menyusu..." ujar Samolo dengan suara tetap mantap. Dengan penuh haru dan iba serta air mata bercucuran Ratna memapah Samolo, sang centeng yang sangat setia itu, berjalan meninggalkan gedung yang telah menjadi saksi atas peristiwa tragis. Hujan turun rintik-rintik dibawa hembusan angin ketika keduanya berjalan menembus kegelapan malam menuju hutan jati. * * * TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 10 DEMIKIANLAH sebuah kisah panjang yang dituturkan oleh Nyi Londe kepada Giran, putra sulung Tuan Tanah Kedawung yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Begitulah kejadian sesungguhnya yang melanda keluarga besar ayahmu, Giran. Kini terserah kepadamu, mau percaya atau tidak. Yang pasti tugasku kini sudah selesai." Kata Nyi Londe sambil bangkit dari tempat duduknya. Pemuda ini terpaku, termenung dalam kebisuan. "Peti pusaka itu telah selamat jatuh ke tangan pewarisnya yang berhak. Kukira Ratna dan Samolo pun tidak perlu ucapan terima kasihmu, andai pun kau mau mempercayai semua kenyataan itu secara jujur. Yang penting bagi mereka cumalah pengertian darimu. Karena betapa pun mereka telah banyak menderita, sengsara, bahkan terlalu banyak, Giran!" sambung pengasuh ini tanpa bermaksud membujuk. Giran masih tunduk termenung di jendela, sementara Nyi Londe membungkus pakaiannya dengan buntalannya. "Sebenarnya penderitaan Samolo belum berakhir sampai di situ. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan pembantaian masal. Hampir dua tahun perkaranya berlangsung. Berkat pembelaan gigih seorang pengacara kawakan, juga para korban itu terbukti memang para buronan dan penjahat yang sedang dikejar-kejar polisi, maka akhirnya Samolo terbebas dari hukuman seumur hidup atau tiang gantungan." tutur Nyi Londe lebih lanjut. "Dan untuk apakah Samolo sampai rela mempertaruhkan nyawanya sendiri" Untuk siapakah semua pengorbanannya itu" Padahal dia pribadi sama sekali tidak mengharapkan apa pun. Aku tahu pasti itu." sambung Nyi Londe dengan suara agak tersendat. Giran masih bungkam, namun sesungguhnya sebuah perang sedang berkecamuk di rongga dadanya. "Dapatkah aku mempercayai semua cerita Uwak Londe" Benarkah ibuku menyuruhku ke Borneo hanya siasat untuk menyingkirkan aku semata" Semula aku mengira, akulah yang bodoh tidak bertanya lebih jelas tentang letak kebun karet milik ayahku itu, padahal ternyata pulau Borneo itu begitu luas dan beribu Onderneming karet ada di sana. Maka sia-sialah aku menemukan kebun karet ayahku yang katanya berada di pulau itu. Uang bekal habis sampai aku hidup terlunta seperti gelandangan. Entah berapa puluh suratku yang kukirim ke sini untuk meminta kiriman uang tanpa satu pun yang terbalas. Mungkin Samirunlah yang menyita surat-suratku itu. Akibatnya hidupku makin parah dan terpaksa jadi kuli kontrak sebagai penyadap karet. Kehidupan yang benar-benar pahit penuh pergumulan serta pertarungan seperti hewan liar. Kadang-kadang cuma demi sedikit uang, nyawa manusia akan dipertaruhkan. Istri-istri mereka begitu mudah luntur kesetiaannya jatuh ke pelukan para controlir atau kepada laki-laki iseng siapa saja yang mau membayarnya hanya dengan sekeping uang. Begitu mudahnya manusia kehilangan martabat serta harga dirinya hanya demi sepotong logam itu. Sejak itu luntur pula kepercayaanku terhadap yang namanya kesetiaan dan kejujuran. Manusia tidak lebih hanya segumpal daging yang serakah dan tamak. Yang masih dipercayai hanyalah kasih ibu dan persaudaraan yang sejati. Hal itu kuperoleh dari orang tua angkatku, kepala suku Dayak Iban yang baik hati. Atas pertolongannya aku masih bisa hidup sampai sekarang ini. Atas bantuan saudarasaudara suku Dayak itulah akhirnya aku bisa berlayar ke Batavia dan pulang ke rumah lagi. Ternyata peristiwa yang lebih tragis dari kebuasan hidup di belantara hutan karet itu telah terjadi di sini, di tengah keluargaku sendiri! Kini jelas sudah, mengapa ayah tidak mencantumkan nama ibu dan Mirta di dalam surat wasiatnya itu sebagai ahli waris dari harta peninggalannya. Rupanya ayah sudah mengetahui penyelewengan kedua orang itu. Namun demi menjaga nama baik serta keutuhan keluarganya, ia rela menelan semua derita pahitnya itu dan dipendamnya rapatrapat sampai ajalnya yang sangat menyedihkan itu. Oh, betapa mulia hatimu, ayah...!" Sebuah bayangan seolah-olah terpeta kembali di hadapan Giran, sebuah pengalaman hidup yang begitu pahit yang pernah dialaminya di negeri seberang dan telah menempanya menjadi seorang berwatak keras dan tegas. Kepalsuan serta kelicikan sesama manusia terlalu banyak dilihat dan dirasakannya. Kini ia tak mudah lagi mau mempercayai apa saja tanpa bukti nyata. Sikap itu pula yang diajarkan oleh bapak angkatnya yang membekalinya dengan ilmu beladiri cukup lumayan. Hidup ini memang belantara buas, orang harus cerdik dan pandai bila tidak mau jadi mangsa sesama makhluk yang hidup di atas bumi ini. Demikian prinsip petuah itu tertanam dalam-dalam di dasar jiwa Giran. Nyi Londe mulai berkemas dan memakai kerudungnya. Di luar badai masih mengamuk mesti tidak sedahsyat tadi. "Uwak mau berangkat sekarang" Hujan masih belum reda, nanti Uwak sakit...!" Kata Giran pelan. "Apalah artinya hujan sebegitu, kami sudah terlalu terbiasa menghadapi badai sengsara dan derita dunia ini, Giran." jawab Nyi Londe tajam. Dengan menjinjing buntalan Nyi Londe menguak pintu. Tepat pada sat itu kilat menyambar. Pohon di muka pondok itu tumbang mengepulkan asap. Tapi tanpa gentar sedikitpun perempuan setengah tua ini melangkah terus. "Kau mau ke mana, Wak...?" Tanya Giran melihat kekerasan hati pengasuhnya itu. "Ke mana lagi kalau bukan menyusul Ratna dan Samolo!" jawab Nyi Londe sambil berjalan terus di bawah deraan hujan lebat. Sementara Giran berjalan mengikuti di sampingnya sambil mengempit kotak pusaka itu. "Ke gedung kita?" "Buat apa ke situ lagi, mereka telah kau usir, bukan?" jawab Nyi Londe agak sinis. Giran tertunduk. Mereka berjalan menembus hutan jati yang lebat itu. Cahaya kilat berkali-kali menerangi hutan itu. Tiba-tiba di antara deru angin yang menerpa daun jati, terdengarlah suara teriakan seseorang, suaranya mirip auman seekor anjing liar. "Dengar, Wak, suara apa itu?" tanya Giran sambil memasang telinganya. "Seperti salakan seekor anjing hutan, bukan?" tanya Giran lagi. "Ya, suara seekor anjing hutan yang sangat liar. Mirta!" "Mirta..."!" tanya Giran kaget, karena diketahuinya "adiknya" itu sudah tergeletak jadi mayat di tengah hutan jati tersebut. Giran Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terperangah, karena kini tampak olehnya Mirta sedang jalan terhuyung-huyung di tengah hutan jati itu sambil berteriak dan tertawa terbahak-bahak seperti orang kemasukan setan. "Hua... ha... ha... ha... Ke sini manisss...! Jangan lari, Ratna... Ratnaaa... Aku cinta padamu... Hi... hi... hi...!" teriak Mirta menggapai-gapai entah kepada siapa. "Mirta, dia tidak mati...?" gumam Giran sambil mengintai dari balik pohon. Mirta memang tidak mati, tapi jiwanya sudah tidak waras lagi, akibat pukulan pada kepalanya serta guncangan-guncangan hebat pada jiwanya. Wajah Mirta yang berlumuran darah itu tiba-tiba berubah buas. Ia menggeram. "Hei, Ratna! Apa yang kau lakukan dengan si bedebah Giran di situ" Bocah keparat itu sudah mati, tahu"!" teriak Mirta makin kalap. "Kesini kau Giran! Kutelan hidup-hidup kau, Bangsat! Kau memang selalu menyaingi aku. Sekarang kau rebut Ratna dariku. Dasar setan laknat kau, Giraaannn!" Giran tersentak bagaikan disambar petir. Ia tertunduk dengan lunglai. Sesaat kemudian Mirta membenturkan kepalanya ke pohon jati, lalu menangis sesengukan. "Aduuuuh, Ratna... Jangan tinggalkan aku, Ratna...!" ratapnya tersedu-sedu seperti anak kecil. Pada saat itu dari kejauhan tampak seorang nenek berambut putih berurai, berjalan dengan tersuruk-suruk dan meraba-raba dengan tongkatnya, menghampiri Mirta. "Mirta... Mirta... Di mana kau, Nak..."!" lirih suara nenek ini memanggilmanggil nama anak kesayangannya. Tapi pemuda yang dipanggil malah jadi ketakutan ketika melihat ibunya, lalu menyelinap ke balik pohon dan mengintai dengan mata terbelalak menakutkan. "Sssssiapa lu...!?" tanyanya dengan mata melotot tak berkedip. "Mirta... Kenapa kau, Nak" Ini ibu...!" Jawab Subaidah semakin lirih. Ia melangkah mendekat. Mirta tersentak lalu lari berputar ke balik pohon. Ditatapnya ibunya tajam-tajam. Ia menjerit dengan tiba-tiba. "Kau..."! Kau Samolo...! Ampuuun...! Ampuun Samolo...! Jangan...! Jangan bunuh aku...! Jangaaannn...! Bukan aku yang menyuruh membunuhmu, Ratna, Girin dan Nyi Londe... Ibuku dan Samirun-lah yang punya maksud menguasai seluruh harta itu. Sungguh mati, Samolo, bukan aku...!" ratap Mirta terbata-bata ketakutan. Subaidah mendekat, lengannya menggapai-gapai ingin membelai kepala putranya yang semakin angot ini. Tapi tangannya itu ditepis oleh Mirta yang menelungkup dan menggigil ketakutan. "Ampun Samolo... Ampun...!" jerit Mirta sambil menutupi kepala dengan lengannya. Subaidah masih berusaha meraba tubuh anaknya, tetapi malah membuat Mirta makin panik meronta dan lari bersembunyi ke balik pohon lagi. Subaidah pun menangislah. "Ya, Allah, ya Gusti...! Beginilah kiranya kutukan-Mu terhadap diriku yang penuh dosa dan noda ini...?" Ratapnya tersedu-sedu penuh penyesalan. "Ibu..."!" Teriak Mirta tiba-tiba seperti sadar. "Oh Mirta... ini ibu! Ibumu Nak...! Ke sinilah, jangan tinggalkan ibu, Mirta...! Ibu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kau...!" Seru Subaidah mengiba-iba. Mirta menghampiri ibunya, mendekapnya sambil menangis. "Ibu, kenapa kita jadi begini, Bu..."! Kenapa..."!" Tanyanya sambil menangis. Air mata Subaidah semakin deras tertumpah dari kelopak matanya yang sudah tak berbiji itu. Mirta menatap wajah ibunya dengan pandangan aneh. Tiba-tiba ia tersentak mundur dan jatuh terduduk di kaki ibunya, wajahnya kembali berubah jadi ketakutan. "Haaaah"! Kau bukan ibuku...! Muka ibuku tidak sejelek seperti hantu...! Ya kau hantu...! Hantu... Hiiiii!" Suara Mirta menggigil seperti benar-benar melihat hantu yang amat mengerikan. "Bukankah kau yang bersama-sama paman Samirun dan Sarkawi mencekik ayahku sampai mati" Kalian bertiga ramai-ramai membunuh dia. Sekarang kau juga mau mencekik aku, seperti yang kaulakukan terhadap ayahku..."!" Jerit Mirta tersendat sambil memegang lehernya sendiri. "Cukup Mirta! Cukup! Jangan kau siksa lagi ibu dengan kata-katamu itu!" jerit Subaidah pilu sambil menekap wajahnya. "Aku memang manusia iblis, Samirun juga setan. Aku diseretnya ke jurang paling nista dalam hidup ini. Sekarang aku beritahukan kepadamu, kau sesungguhnya bukanlah anak kandung yang selama ini kau anggap ayah. Dia ayah Giran, bukan ayahmu. Samirun-lah ayah kandungmu, Mirta!" kata Subaidah sambil menangis terisak-isak. Giran memejamkan matanya, ia telah mendengar semuanya. Setiap kata-kata itu seakan-akan lidah petir yang menyambar, menghanguskan serta mengoyak-ngoyak jantungnya. Angin masih menderu-deru. Pohon jati meliuk-liuk mengeluarkan suara seperti rintihan yang sangat melirihkan, selirih rintihan dan ratapan Mirta yang bergayut di tubuh ibunya. "Pantas, pantas Ratna tidak mau kepadaku, dia lebih cinta kepada Giran, karena bocah jahanam itu adalah asli dari Tuan Tanah yang kaya raya, hartanya tak habis di gegares tujuh turunan. Tapi aku" Aku Cuma anak seorang kasir melarat, si setan Samirun...!" begitu ratap Mirta sambil bergelayut di tubuh ibunya yang jadi limbung keberatan. "Coba kalau dulu si Sarkawi berhasil memenggal kepala bocah sialan itu di kebun kelapa, atau dia mati dihadang Mat Gerong tempo hari, waktu ibu tipu dia supaya berangkat ke Borneo, sekarang Ratna pasti sudah jadi milikku. Oh... dasar nasibku yang sial-dangkalan." Subaidah jatuh terduduk ke akar pohon ditindih oleh Mirta yang semakin angot gilanya. Pemuda ini mulai bicara tidak karuan lagi. Sekarang ia memandang wajah ibunya sambil tersenyum-senyum genit. Lengannya meraba-raba tubuh kurus itu dengan napas berdengus-dengus seperti hewan liar. Membuat Subaidah jadi kelabakan dicumbu anaknya yang sinting ini. "Ratna... Ratna. Lu tambah botoh saja sekarang. Hihihihi...!" rayu Mirta sambil meraba pipi ibunya yang sudah keriput itu. "Sekarang gua sudah kaya, lu mau apa" Kalung" Gelang emas atau giwang" Mau berapa gerobak" Gua beliin dan semuanya, asal... hi... hi... hi..." cumbuan Mirta semakin panas. "Sadar Nak! Eliiiiiinnnggg...!" jerit Subaidah ripuh. "Apa lu bilang" Maling!" Lu katain gua maling"! Lu yang maling si Ratna. Biarin lu nyaru jadi nenek-nenek, gua tahu lu si Giran. Mau mengelabuhi mata gua, lu ya" Gua mampusin lu!" geram Mirta, lengannya mencengkeram leher ibunya yang jadi megap-megap. "Mirta! Ini ibu, Mirta... Aakhhk...!" jerit Subaidah tersendat-sendat. Lengannya berusaha melepaskan cekikan tangan Mirta yang makin kuat mencengkeram lehernya. "Bangsat! Lu kira gua takut sama lu" Lu betul-betul biang penyakit, Giran. Garagara lu, gua jadi sengsara begini. Mampusss dah, lu...!" geram Mirta sambil mencekik leher ibunya sekuat-kuatnya. Subaidah meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari cekikan putranya yang sudah terganggu jiwanya. Tapi usaha Subaidah sia-sia, cekikan Mirta malah semakin kuat, membuatnya tak bisa bersuara maupun bernapas lagi. Matanya memuncratkan darah, lidahnya pun terjulur keluar. Tubuhnya kejang dalam sekarat. Tangan Mirta masih terus mencekik lalu ditekan kepala ibunya hingga hampir terbenam ke dalam lumpur-daun-jati yang membusuk itu. Nyi Londe yang menyaksikan adegan yang sangat mengerikan itu, tanpa terasa menjerit sambil membuang muka ke arah lain. Giran tersentak lalu berusaha mencegah tindakan Mirta yang sudah tak waras lagi itu. Tapi ia terlambat, karena tubuh Subaidah sudah terbujur kaku dengan lidah terjulur ke luar. Giran jadi bergidik dan terpaku di tempatnya. Sesaat kemudian dengan masih terengah-engah Mirta terdiam, memandangi wajah ibunya yang diam membiru. Ia tersentak gemetar. "Mati...!?" Gumamnya sambil melangkah mundur. Dengan beringas ditatapnya kedua lengannya yang gemetar itu lalu pandangannya beralih lagi ke wajah ibunya. Wajahnya nampak makin pucat. "Mati..." Ibu ma...ti..."!" celotehnya berulang-ulang. Lalu ia tiba-tiba menelungkup memeluk kepalanya sendiri, menangis terisak-isak. "Ibuku sudah mati...! Hu... hu... hu...!" Mirta terus meratap. Sekonyong-konyong ia menghempaskan tubuhnya ke batang pohon dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke batang pohon itu dengan kerasnya hingga darah pun muncrat dari kepalanya yang memang sudah luka itu. Ia menjerit melengking seakan-akan menyesali perbuatannya sendiri. Giran dan Nyi Londe hanya bisa terpaku memandang kejadian itu dengan perasaan ngeri. Mirta sudah terdiam tenang, hanya matanya saja yang masih nampak liar. Namun sesaat kemudian ia senyum-senyum aneh dan terkekeh-kekeh geli sekali seakan-akan melihat suatu peristiwa yang sangat lucu. Kini tertawanya semakin keras dan terbahak-bahak seru. "Dia sudah matiiiiiii... Hua ha ha haha... Matiiiiii...!" Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil menari-nari. Berputar-putar dari pohon ke pohon. Giran menghampiri dan memanggil namanya, tapi Mirta sudah tak dapat mengenali siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Ia masih terus terbahak-bahak sambil menari. Kini suara tertawanya makin mirip lolongan anjing hutan, melengking dan panjang. Ia terus menari-nari semakin jauh ke tengah hutan jati. Hujan masih tumpah dengan derasnya, guntur dan halilintar berpecahan di angkasa. Sekonyong-konyong secercah cahaya yang sangat menyilaukan mata menyambar sebatang pohon jati, disusul dengan sebuah dentuman dahsyat, dan tumbanglah sebuah pohon jati besar. "Mirta awasss...!" Teriak Giran secara reflek. Mirta terpaku memandang pohon besar itu rubuh tepat ke arahnya. Beberapa detik kemudian tubuhnya lenyap tertindih batang pohon yang tumbang itu. Giran memburu ke tempat itu, ia cuma melihat sebuah lengan Mirta terjulur di antara ranting dan daun jati. Dibongkarnya daun-daun itu, terlihat tubuh Mirta tergencet cabang besar dan sudah tak bernapas lagi. Giran berusaha mengangkat cabang pohon yang menghimpit tubuh Mirta tapi tak berhasil. Ia menghela napas dan termenung di sisi pohon tumbang itu. Kemudian melangkah ke arah tubuh ibu tirinya yang terbujur kaku. Nyi Londe pun sudah berdiri di situ. "Kutukan Tuhan akhirnya datang menghukum mereka." kata Nyi Londe pelan. "Aku merasa seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi yang begitu menakutkan." Desah Giran sambil menghela napas dalam-dalam. "Ke manakah kira-kira mereka pergi sekarang ini, Wak..."!" tanya Giran. "Maksudmu Neng Ratna, Girin dan Samolo" Aku pikir mereka pergi ke Cengkareng, seorang bibi Ratna katanya tinggal di sana." Jawab Nyi Londe. Segores senyum kecil terlihat di wajahnya. Setelah menutupi mayat Subaidah dengan dedaunan, Giran merencanakan untuk mengerahkan penduduk agar mengubur jenazah ibu tiri dan Mirta itu dengan layak. Setelah itu ia dan Nyi Londe akan menyusul anak-istrinya serta Samolo dan membawanya pulang ke gedung warisan ayahnya. Hujan masih turun berderai dan angin pun menderu-deru. Dengan langkah masih lunglai Giran berjalan mengiringi Nyi Londe ke luar dari hutan jati, sebuah hutan yang telah membuka tabir rahasia yang selama ini menyelubungi keluarganya. Matanya kini telah melihat dengan jelas, juga mendengar dengan seksama semua peristiwa yang terjadi di balik tabir tersebut. Betapa terenyuh hatinya. Sementara itu di sebuah kandang kerbau, tampak Ratna dan Girin juga Samolo sedang berteduh dari serangan hujan deras. Samolo melangkah ke luar kandang tersebut, tangannya menengadah. "Hujan sudah reda dan sebentar lagi berhenti. Mari kita berangkat sekarang Neng, agar tidak kemalaman di jalan!" kata Samolo. Ratna dengan menggendong Girin keluar dari kandang kerbau tersebut, lalu mereka berjalan menuju Cengkareng, seperti yang telah diduga oleh Nyi Londe. Memang tidak ada sanak-saudara bagi Ratna kecuali bibinya yang di Cengkareng itu. Dari jauh Giran melihat mereka. "Itu mereka, Wak. Di dekat kandang kerbau itu!" kata Giran memberitahu Nyi Londe. "Mana...?" tanya Nyi Londe menyipitkan matanya karena ia cuma melihat dua titik kecil saja di kejauhan. Itupun hanya samar-samar tertutup kabut. Giran segera berlari untuk menyusul mereka. "Ratnaaaa! Samolooo...! Tunggu dulu...!" Teriak Giran memanggil-manggil. Suaranya menggema dan memantul di dinding bukit. Samolo tiba-tiba tersentak menghentikan langkahnya. Wajahnya jadi tegang dan beringas. "Huh! Bocah durhaka itu rupanya masih belum puas bila belum menghirup darah kita." geram Samolo sambil berbalik menghadap dan menyongsong Giran. "Kak Giran...!" kata Ratna lirih. "Jangan khawatir, Neng. Jagalah Den-Cilik!" seru Samolo. Ratna jadi panik mendekap putranya. Hatinya menangis, sakit rasanya karena sang suami yang sangat dicintai dengan sepenuh jiwa raganya itu ternyata tak punya perasaan. Demikian anggapannya saat itu. "Cepat lari ke atas bukit, Neng. Biarlah nyawa tuaku ini dilahapnya kalau dia masih penasaran." seru Samolo lagi. Dengan susah payah Ratna mendaki tebing bukit itu, sesaat kemudian ia berpaling kepada Samolo. "Marilah Bang. Jangan ladeni dia...!" Teriak Ratna dengan suara gemetar. Tapi Giran sudah semakin dekat. "Hei, Ratna... tunggu...!" teriak Giran sambil berlari semakin dekat. Air mata Ratna deras mengalir, didekapnya putranya erat-erat. Ia bukan takut kepada suaminya, kalo toh ia harus mati. Ia rela mati di tangan suaminya itu. Yang dikhawatirkan adalah keselamatan putranya yang masih kecil itu. Giran tiba di hadapan Samolo yang tegak menghadangnya. Giran melangkah maju mendekat, tapi Samolo sudah demikian nekat dan menyambutnya dengan sebuah babatan tongkatnya kepada Giran. "Langkahi dulu mayatku, sebelum kau menjamah nyawa istri dan anakmu itu, keparat!" bentak Samolo. Giran terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya mengucurkan darah tergores ujung tongkat Samolo. "Bang Samolo..." Suara Giran tersendat dan gemetar. Samolo tertegun karena Giran tidak berusaha menangkis serangannya tadi, bahkan kini suaranya terdengar lembut mengiba. Sebelum hilang rasa heran Samolo, Giran sudah menubruk kaki si centeng yang setia ini dan tersimpuh sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. "Maafkan saya Bang Samolo...! Saya telah berdosa terhadap Abang dan Ratna... juga kepada anak saya sendiri..." Giran tersedu-sedu memeluk kaki Samolo yang jadi tertegun. Tanpa terasa matanya yang sudah tak dapat lagi melihat dunia ini pun jadi ikut berkaca-kaca. Butiran-butiran air hangat jatuh menetes ke kepala Giran. Nyi Londe yang sudah tiba di situ jadi ikut pula menepis air matanya. Giran masih terisak-isak dengan penuh penyesalan. "Sudahlah Den. Sebagai manusia kita semua tak pernah luput dari kesilapan dan dosa...!" Suara Samolo parau bergetar di kerongkongannya. Lengannya mengangkat tubuh majikan mudanya yang kini telah sadar dari kesalahpahaman itu. "Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, mau Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengampunkan dosa-dosa semua hambanya." Kata Samolo lirih. Giran tertunduk menghapus air matanya. "Kalian telah banyak menderita. Entah bagaimana harus kuminta maaf padamu, Bang... Budi Abang begitu dalam seperti lautan." Suara Giran masih bergetar. "Jangan Aden bicara begitu, kalo soal budi mungkin aku-lah yang lebih banyak berhutang kepada mendiang ayahmu, Den!" ujar Samolo sambil menarik napas. Giran pun meminta maaf kepada Nyi Londe dengan mencium tangan pengasuhnya itu. "Aku gembira ternyata kau masih senang mendengar dongengku, Giran." kata Nyi Londe tersenyum dalam linangan air matanya. "Neng, Neng Ratna!" tiba-tiba Samolo memanggil Ratna. "Bawalah Den Girin menjumpai ayahnya!" Tapi tidak terdengar jawaban Ratna. Senyum Samolo lenyap berganti rasa khawatir yang tergambar di wajahnya. Begitupun dengan Giran dan Nyi Londe, mereka memandang ke sekitar tempat itu lalu ke atas tebing. Namun tidak terlihat bayangan Ratna di manapun. Rasa cemas segera merayapi hati tiga orang ini. Mereka segera berpencar ke tiga penjuru untuk mencari Ratna dan Girin. Giran melompat ke atas tebing, memandang ke sekeliling dan terkesiaplah hatinya karena di balik tebing itu terdapat jurang yang menganga dalam. "Ratnaaaaaaa...!" Teriak Giran keras-keras. Suaranya menggema dan berkumandang ke seluruh penjuru. Tapi tiada jawaban kecuali pantulan gema suaranya sendiri. Samolo dan Nyi Londe pun memanggil-manggil nama Ratna dan Girin, juga tiada jawaban, kecuali gemuruh air sungai yang mengalir sangat deras di bawah jurang terjal itu. Giran dengan putus asa melompat dari tebing, wajahnya pucat dan muram. Ia menghempaskan tubuhnya duduk di atas batu, membenamkan kepalanya di antara kedua sikunya. Samolo dan Nyi Londe sama-sama lemah lunglai, masing-masing duduk di atas batu pula. Langit mendung kian menggantung di angkasa. Sekelam hati ketiga insan yang tengah dirundung duka nestapa. Wajah kedua abdi yang setia ini tenggelam dalam kepedihan yang sangat dalam. Tiada nampak air mata lagi, karena kali ini yang menangis adalah hati mereka. Wajah Samolo tampak kosong tak berekspresi, ia tafakur menunjang tubuhnya yang kokoh itu dengan tongkatnya. Bagaikan sebuah patung arca yang menunggu kelapukannya dimakan zaman. Mata Nyi Londe pun tampak hampa tak bersinar lagi. Dunia ini terasa begitu kosong bagi mereka. Karena mereka sudah merasa pasti bahwa orang yang mereka sangat kasihi telah tiada lagi di dunia ini, hanyut bunuh diri ke dalam sungai karena kecewa dan putus asa. Membawa anaknya ikut bersamanya, daripada anak itu akan jadi korban kekejaman ayah kandungnya sendiri. Ada rasa penyesalan terhadap sikap tuan mudanya ini, namun mereka tak mau mengutarakannya karena sudah tak berguna lagi. Mereka hanya menyesali nasib, mengapa harus mendera seorang wanita yang lembut hati itu sampai begitu kejam. Bukankah ada orang lain yang lebih jahat dan buruk tetapi bisa hidup senang menikmati hasil kebusukannya" Oh, betapa tidak adilnya kehidupan ini. Demikian pikir Samolo dan Nyi Londe hampir bersamaan. Angin berhembus membawa titik-titik air sisa hujan. Suasana terasa hening membeku seakan-akan seluruh permukaan bumi sudah tidak lagi dihuni manusia. Giran terkulai bagaikan sebatang kayu yang layu. Hilanglah ketegaran jiwanya yang kokoh tak kenal kompromi. Tadinya ia menganggap dirinya sudah demikian dewasa dan matang, namun sesungguhnya ia pun tidak berbeda dengan orang-orang picik dan dungu, juga kekanak-kanakan. Memandang corak dan warna kehidupan ini dari sudut yang begitu sempit lalu dengan gegabah memvonisnya tanpa kenal ampun. Giran kini mengutuki dirinya sendiri, ia merasa kerdil dan sangat berdosa, karena telah menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang sesungguhnya sangat mengasihinya. Giran meremas-remas kepalanya penuh penyesalan. Betapa pedih dan hancur hatinya bila mengingat nasib sang istri yang begitu setia dan sabar menantinya, meski setiap hari menerima siksa dari sang mertua yang ternyata berhati iblis. Yang lebih tragis lagi sepulangnya suami yang amat dirindukannya itu malah telah mendatangkan bencana yang lebih fatal lagi. Tak sanggup lagi Giran memikirkan hal itu. Ingin rasanya ia terjun ke dasar jurang untuk menyusul anak dan istrinya itu. Semua yang dimilikinya kini terasa sudah tak berarti sama sekali. Kehidupannya benar-benar sudah terasa hampa, lebih pahit dari kehidupannya ketika harus bergumul di tengah belantara hutan Kalimantan yang buas itu. Bahunya terguncang dalam isak penuh penyesalan. Berkali-kali disebutnya nama Ratna sambil meremas-remas kepalanya sendiri. Hingga pada suatu saat, di antara linangan air matanya ia melihat sepasang kaki putih mulus melangkah mendekat dan berhenti di sisinya. Giran pelan-pelan mengangkat wajahnya, ia seakan-akan tengah bermimpi, ditatapnya perempuan yang berdiri menggendong putranya itu, laksana bayangan fatamorgana yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Ratna..."!" Gemetar bibir Giran menyebut nama itu. "Kak Giran...!" lembut jawaban itu namun bagaikan awan mendung menjelang hujan. Dengan perasaan takut kehilangan lagi, Giran segera merangkul tubuh semampai itu, yang sudah bertahun-tahun dirindukannya. Erat-ketat bagai tiada sesuatu pun yang dapat memisahkan mereka lagi. Ratna menangis tersedu-sedu terbenam dalam pelukan suaminya. Girin menangis ketakutan. Suatu pertemuan yang amat mengharukan. Ketiganya berdekapan dalam sedu-sedan yang sangat melirihkan namun membahagiakan. Samolo dan Nyi Londe pun ikut menepis air mata karena rasa haru dan bahagia yang menyesakkan dada mereka. Giran membelai kepala putranya. "Girin, anakku..." katanya penuh kasih sayang, juga mengandung rasa bersalah. Girin masih memangis dan memeluk ibunya erat-erat karena takut kepada laki-laki asing yang pernah menganiaya ibunya serta uwak-nya dengan garang itu. "Ini ayah, Nak...! Ayahmu..." Bujuk Ratna dengan mata berkaca-kaca. Tapi Girin masih meronta ketakutan. "Biarkan saja dulu. Kelak kasih sayang jugalah yang akan melunakkan hati dan jiwanya." ujar Samolo tersenyum. "Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa mempersatukan manusia." sambung Nyi Londe seperti berfilsafat. Samolo manggut-manggut menyetujui pendapat pengasuh yang telah membuktikan sendiri kata-katanya melalui kasih sayang yang dilimpahkan kepada anak asuhannya yaitu Giran. Tanpa kasih sayangnya itu barangkali pamor keluarga Tuan Tanah akan hancur sama sekali. Begitu pun Samolo, demi kasih sayang ia rela berkorban apa saja termasuk sepasang matanya itu. Juga Ratna, dia begitu tabah dan setia, tahan segala derita. Semua demi kasih sayangnya. Maka tak masuk di akal kalau ia menjadi nekat bunuh diri bersama Girin. Hati kecilnya masih punya keyakinan bahwa Giran pada suatu saat akan sadar dari kekeliruannya. Maka ia menyelinap turun dari tebing dan bersembunyi di balik batu. Ia telah mendengar dan melihat perubahan sikap suaminya itu. Dia-lah yang pertama-tama menangis di balik batu itu, tangis bahagia yang sudah bertahuntahun tak pernah lagi menghinggapi hatinya semenjak malam terakhir Giran pergi meninggalkannya. Kini masa lalu itu bagaikan sebuah mimpi yang amat menakutkan dan telah berakhir. Mereka telah berkumpul kembali, sama-sama menghapus air mata. Berganti denga air mata bahagia yang mengalir dari relung hati serta wajah-wajah yang dihias senyum ceria. Seceria cahaya fajar yang baru menyingsing di ufuk timur. Awan mendung pun telah buyar sudah. Dengan langkah mantap mereka saling berpegangan berjalan pulang untuk menyongsong fajar kehidupan baru. TAMAT Kembalinya Raja Tengkorak 1 Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Kelana Buana 25