Ceritasilat Novel Online

Golok Kelembutan 1

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 1 Golok Kelembutan "Wen Rou Yi Dao" penyadur : Tjan ID Cerita ini merupakan bagian dari seri Pendekar sejati, dalam cerita ini mengisahkan bagaimana pengalaman Ong Siau-sik (pedang tanpa perasaan), Pek Jau-hui dan Un-ji berkelana dalam dunia persilatan. BAB I MANUSIA DI TENGAH PUING 1. Manusia Yang tak mirip Manusia Diantara sekian banyak orang yang datang ke kota Kayhong untuk mengadu keberuntungan, Ong Siau-sik adalah satu diantaranya. Dia masih muda, ganteng, bercita-cita tinggi, berbakat hebat, datang dari jauh dan bersaku licin bagaikan baru keluar dari binatu. Tapi dia merasa angin yang berhembus semilir begitu lembut, kabut hujan yang remang-remang tidak menghalanginya menikmati keindahan alam, baginya tak ada persoalan yang bisa menghalangi cita-citanya untuk berkelana dalam dunia persilatan. Ong Siau-sik sedikit berbeda bila dibandingkan orang kebanyakan, dia membawa sebilah pedang. Tentu saja pedang itu dibalut rapat dengan kain tebal, dia bukan opas, juga tidak bekerja sebagai pengawal barang ekspedisi, malah bajunya dekil dan mirip gelandangan, jika senjata tajamnya tidak dibalut dengan kain tebal, tak perlu disangkal lagi tentu banyak kesulitan dan kerepotan yang akan dihadapinya. Pedang yang dibalut dalam bungkusan kain tebal itu hanya memiliki satu ciri khas, yakni gagang pedangnya berbentuk melengkung. Tentu saja pedang itu pedang asli, begitu juga dengan gagang pedangnya, gagang pedang yang berbentuk bulan sabit. "Meniup seruling di loteng Hong-hok-lau, Bunga bwe berguguran di kota Kang-shia pada bulan kelima" Seandainya Ong Siau-sik tidak beranjak ditepi telaga utara karena kagum oleh nama besar Hong-hok-lau, tergiur keindahan alam dan kemegahan bangunan itu, tak nanti dia akan bertemu dengan Pek Jau-hui. Semisal ia tak bertemu Pek Jau-hui, belum tentu akan terjadi banyak peristiwa dikemudian hari, sekalipun bakal terjadi sesuatu, belum tentu sama akibatnya. Memang begitulah kehidupan manusia, hanya kerena tanpa sengaja melihat sesuatu atau karena mendengar sesuatu, perubahan besar yang mungkin terjadi sering diluar gaan siapapun. Di tengah alur ombak sungai, di tengah asap dan kabut yang melayang tipis di atas permukaan air, baik di atas ba-ngunan loteng maupun di bawah loteng, banyak tertera tulisan dan syair hasil gubahan orang kenamaan. Sementara di luar bangunan, di sepanjang jalan banyak berkumpul pedagang kaki lima yang berteriak menjajakan ba-rang dagangannya, bau amis ikan dan udang yang dijajakan sepanjang sungai menambah joroknya suasana di seputar situ. Apa pun keadaan di sana, baik pedagang kaki lima mau-pun pemilik toko sepanjang jalan utama, semuanya tahu kalau para pelancong bukan melulu datang untuk menikmati kein-dahan alam, banyak di antara mereka yang memanfaatkan kesempatan itu untuk cuci mata sepanjang jalan. Bukankah banyak gadis penjaja yang menawarkan tubuhnya dari balik perahu" Ong Siau-sik sudah berkunjung ke banyak tempat, namun dengan ketajaman mata para pedagang, mereka tahu dengan pakaian yang dikenakannya begitu sederhana, jelas tak banyak uang yang dimiliki, karenanya tak ada yang menawarkan barang dagangan kepadanya. Ong Siau-sik sangat terusik dengan perlakuan semacam ini, baru saja dia akan naik perahu untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara gembreng yang dibunyikan bertalu-talu, begitu keras hingga menarik perhatian pemuda itu. Di sudut jalan utama terdapat sebuah lapangan beralas batu yang cukup lebar, tempat itu memang disediakan untuk orang jual jamu, jual silat dan akrobat lainnya, sudah banyak orang yang berkerumun di situ, tampaknya keramaian segera akan dimulai. Ong Siau-sik tertarik dengan keramaian itu, tanpa terasa dia pun ikut melongok ke sana. Padahal dia hanya melongok sekejap, melongok tanpa maksud tertentu, tapi justru karena dia melongok maka segala sesuatunya pun terjadilah, tak bisa dicegah lagi. Ketika melongok ke arah lapangan tadi, sempat satu ingat-an melintas dalam benaknya, siapa tahu ada gadis cantik penjual silat yang sedang mengadakan pibu untuk mencari jodoh. Tapi ia segera tahu kalau dugaannya keliru. Ia menyaksikan sebuah kejadian yang amat mengejutkan, satu pemandangan yang membuatnya terbelalak. Manusia" Makhluk itu nyaris tak mirip manusia. Orang berkerumun mengelilingi sebuah lapangan beralas batu hijau, di balik lingkaran kerumunan tampak beberapa orang lelaki kekar sedang menabuh tambur dan gembreng, dua orang perempuan bertubuh kasar dengan mengenakan topeng menuntun dua ekor kuda kecil, tangannya menggenggam golok kecil dan pedang kecil. Selain itu terlihat pula seekor monyet besar yang dirantai pada sepotong kayu, matanya yang melotot malas sedang mengawasi monyet kecil di tengah lapangan. Kalau hanya beberapa hal itu saja, Ong Siau-sik tak nanti dibikin kaget. Yang membuat Ong Siau-sik kaget justru hadirnya bebe-rapa 'manusia'. Ya, di tengah lapangan masih terlihat beberapa 'manusia'. Kalau dibilang mereka adalah manusia, sebenarnya hal ini merupakan satu kejadian yang sadis dan kelewat kejam. Di antara beberapa 'manusia' itu ada yang tak punya tangan dan kaki, ada pula yang sudah kehilangan sebelah tangan dan sebelah kaki, ketika membuka mulutnya, hanya suara parau tak jelas yang terdengar, membuat iba dan kecut perasaan siapa pun yang melihatnya. Di samping itu, masih ada lagi beberapa 'manusia' yang bentuknya lebih aneh, ada seorang di antaranya seluruh tubuh-nya terpendam dalam sebuah vas bunga yang panjangnya tiga kaki, hingga hanya terlihat wajahnya yang cengengesan saja, rambut orang itu sudah beruban, namun anehnya justru memi-liki wajah imut macam bocah kecil. Ada lagi 'seorang', separuh badan bagian atas berwajah manusia sementara separuh badan bagian bawah lebih mirip seekor monyet, seluruh badannya tumbuh bulu, hanya sayang gerak-geriknya tidak selincah monyet sungguhan. Ada pula dua 'manusia' yang punggungnya saling me-nempel satu sama lainnya, biarpun mereka terdiri dari dua orang namun hanya memiliki sebuah punggung, sepasang kem-bar dempet yang aneh. Ada juga seseorang yang tubuhnya sempurna, tak beda dengan manusia biasa, tapi raut mukanya justru sudah hancur berantakan, panca-indranya berdesakan menjadi satu, hidung-nya patah dengan bibir merekah, gigi taringnya mencuat keluar sehingga nampak menyeramkan. Di sisi arena bertumpukan pula beberapa buah peti besar yang ditutup dengan kain hitam, tidak jelas apa isi peti-peti itu. Ong Siau-sik hanya melihat sekejap lalu tak ingin meman-dangnya lebih jauh, dia merasa Thian sangat tidak adil dalam menciptakan manusia, mengapa ada yang berwajah rupawan tapi ada pula yang nampak begitu jelek, aneh dan menyeramkan semenjak dilahirkan. Ia tak tega untuk memandang lebih jauh, maka diambilnya sebuah kepingan perak dan kemudian dilemparkan ke tengah arena. Sekalipun dia hanya melihat sekejap, namun kesan yang tertinggal di hatinya sangat mendalam, kesan jelek yang tak mudah terhapus dari ingatan. Sudah beberapa langkah ia menjauh dari arena, namun perasaannya tetap tak senang, tak leluasa. Mengapa ada orang yang lahir begitu sehat dan sempurna, mengapa ada pula yang dilahirkan dalam keadaan cacad" Pada saat itulah mendadak ia merasa ada seseorang sedang menarik ujung bajunya. Ong Siau-sik berpaling, ternyata orang itu adalah seorang cebol yang tingginya cuma tiga kaki, bentuk kepalanya besar sekali, sorot matanya tak bersinar, empat anggota tubuhnya kusut lagi kurus kecil, mirip lengan bocah kecil. Waktu itu dia membawa sebuah nampan sambil menuding ke arah tengah arena pertunjukan. Ong Siau-sik tahu dia minta sedekah, padahal waktu itu sisa uang yang dimilikinya tinggal tak seberapa, sisa uang hasil penjualan kuda tunggangannya sepuluh hari berselang. Sewaktu kuda kesayangannya dijual, perasaannya teramat masgul, dia tak mengira kuda abu-abu yang telah menemaninya menempuh perjalanan ribuan li, akhirnya gagal mengantar dia tiba di kotaraja. Menjual kuda bagi seorang busu apa bedanya dengan seorang Enghiong menggantung pedangnya di atas dinding" Apa pun jalan pikirannya, dia rela mendermakan sisa uang miliknya itu untuk orang-orang cacad yang mengibakan hati ini. Melihat si cebol itu masih juga menuding ke arah nam-pannya, Ong Siau-sik pun manggut-manggut seraya berkata, "Kasihan, kau telah bertemu dengan orang rudin macam aku, semoga saja ada orang berbaik hati yang rela memeliharamu, sehingga kau tak usah menderita lagi mengembara di tengah udara dingin." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Ong Siau-sik mengu-tarakannya dengan perasaan tulus dan bersungguh hati. Dengan cepat ia mendengar suara tertawa dingin, suara itu muncul persis dari sisi tubuhnya. Ong Siau-sik segera berpaling, namun mereka yang berada di sampingnya sedang menonton pertunjukan manusia kecil di tengah arena, tak seorang pun sedang menoleh ke arahnya. Di antara sekian banyak orang, dia hanya menyaksikan seseorang sedang berdiri sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Orang itu mengenakan pakaian yang indah dan perlente, masih muda dan tampan, ketika berdiri di tengah kerumunan orang banyak, persis seperti seekor bangau yang berdiri di tengah kerumunan ayam. Karena sedang mendongakkan kepala memandang angka-sa, maka raut mukanya tidak terlihat dengan jelas. Ong Siau-sik sendiri pun tidak jelas apakah orang ini yang barusan tertawa dingin. Ketika selesai mendengar perkataan tadi, wajah si cebol segera menunjukkan mimik terharu bercampur terima kasih, kembali jari tangannya menuding kian kemari sambil mengu-capkan kata 'uu, aa' yang tidak jelas, tapi garis besarnya dia merasa berterima kasih atas kebaikan hati pemuda itu. Ong Siau-sik meletakkan beberapa keping hancuran uang perak ke nampannya, mendadak ia seakan menyaksikan sesuatu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Waktu itu si cebol sudah berpindah tempat untuk menarik ujung baju orang lain dan minta sedekah kepadanya. Ong Siau-sik seperti menemukan sesuatu yang mencuriga-kan, seakan ada hubungannya dengan masalah 'lidah', tapi un-tuk sesaat dia tak bisa menerangkan persoalan apakah itu, tak tahan kembali ia menengok ke tengah arena. Sementara itu suara genderang dan gembreng dibunyikan makin ramai, dua ekor monyet besar dengan menirukan lagak manusia bertarung sambil mengayunkan golok, para penonton mulai bersorak sambil bertepuk tangan, pertarungan antar monyet pun makin seru dan menarik. Kini ingatan yang melintas dalam benak Ong Siau-sik semakin nyata, karena dia telah menyaksikan sesuatu, yaitu golok dan lidah! Dia pun menghubungkan kedua hal itu menjadi satu, besar kemungkinan si cebol bukan bisu sejak dilahirkan, dia bisu karena lidahnya telah dipotong seseorang. Bahkan ia dapat menyimpulkan dengan lebih jelas, yakni lidah si cebol dipotong dengan sebilah golok yang amat tajam, ia bisa menganalisa segala sesuatunya hingga paling detil, sebab dialah Ong Siau-sik! Ong Siau-sik, satu satu ahli waris Thian-gi Kisu. Betapa sakit hatinya ketika pemuda ini mengetahui kalau bisunya si cebol bukan bisu sejak dilahirkan, tapi bisu lantaran lidahnya dipotong orang. Dulu ia pernah merasakan juga perasaan aneh semacam ini, ketika melihat orang di pasar memotong ikan, tatkala mata pisau mengiris tubuh ikan, dia seolah merasakan tubuh sendiri ikut tersayat, dia merasa seakan sayatan pisau si tukang ikan bukan sedang membelah perut ikan itu, tapi sedang menyayat perasaannya. Manusia berhati lemah semacam ini seharusnya tidak cocok berlatih silat, terlebih tidak cocok menjadi satu-satunya ahli waris Thian-gi Kisu, tokoh persilatan yang luar biasa. Untuk menjadi seorang tokoh silat yang sesungguhnya, seseorang harus memiliki perasaan setenang air. Pandangan se-luas jagad. Tapi sayang Ong Siau-sik tidak memilikinya, Ong Siau-sik adalah seorang yang kelewat perasa, kelewat sensitip perasa-annya. Biarpun begitu, hanya dalam sepuluh tahun berikutnya, Ong Siau-sik telah berhasil melatih ilmu pedang tanpa perasaan hingga mencapai tingkat kemahiran yang luar biasa, bukan saja ia dapat sehati dengan gerak pedangnya, bahkan mampu me-ngalahkan pedang keji di tangan gurunya, Thian-gi Kisu. Dalam keadaan begini, gurunya, Thian-gi Kisu, hanya bisa menghela napas sambil berkata, "Ai, tak kusangka bocah yang dulunya begitu tak tegaan, begitu perasa, begitu tak berguna hingga membunuh seekor kelinci saja tak berani, bahkan setiap kali bertemu anjing kecil atau kucing kecil yang telantar di jalan pun selalu dibawa pulang, tiap kali berkelahi dengan orang, lebih rela dirinya yang terluka ketimbang melukai orang lain, sekarang jadi begitu tangguh dan telengas, berhasil menguasai ilmu pedang yang tangguh, berhasil menggembleng diri menjadi jago tak terkalahkan." Maka dengan membawa pedang tanpa perasaannya, Ong Siau-sik berangkat ke kota Kay-hong, pergi mengadu untung. Belum lagi pengalaman lain dijumpai, kini dia bertemu lebih dulu dengan seorang cebol yang dipotong lidahnya. Ong Siau-sik tahu kalau lidah milik si cebol dipotong dengan golok, selain itu dia juga menjumpai peristiwa lain yang membuat amarahnya langsung memuncak. Ternyata sebagian besar orang cacad itu kehilangan ang-gota badannya karena sengaja dipotong dengan senjata tajam. Orang yang cacad sejak lahir tak akan meninggalkan bekas luka seperti ini, jangan-jangan mereka adalah korban peperang-an" Atau terluka oleh ulah perampok" Kalau memang demikian kejadiannya, kenapa mereka bisa tumbuh abnormal" Ong Siausik mulai sangsi dan coba memutar otak. Akhirnya dengan perasaan ingin tahu dia berjongkok, berjongkok sambil memeriksa manusia aneh yang kehilangan kedua kaki dan sebuah tangannya. Sambil mendesiskan suara parau yang aneh, orang itu balik mengawasi Ong Siausik, dia pun seakan merasa heran dengan ulah anak muda itu, mungkin juga ia sedang mengeluh, kenapa semua siksaan hidup yang ada di dunia ini ditimpakan pada dia seorang. Tapi begitu diperiksa, sekujur badan Ong Siau-sik segera gemetar keras, ternyata manusia yang mengibakan hati ini bukan saja kehilangan sepasang kaki dan tangannya karena dipotong orang dengan golok, bahkan lidahnya juga digunting orang hingga putus. "Siapa yang begitu kejam" Siapa yang begitu tega mela-kukan perbuatan keji ini?" Mendadak seorang lelaki kekar menerobos maju sambil mendorong tubuh Ong Siausik, hardiknya sambil melotot besar, "He, kalau mau sedekah cepat sedekah, kalau enggan memberi duit cepat menyingkir!" "Siapa yang memotong tangan orang ini?" tegur Ong Siau-sik tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya terperanjat, dengan mata melotot dia mengawasi Ong Siausik, tapi begitu tahu orang itu hanya seorang sastrawan yang lemah, hatinya menjadi tenang kembali, dengan tak memandang sebelah mata, kembali hardiknya, "Mau apa kau menanyakan persoalan ini?" "Bukankah kakinya dipotong orang dengan golok?" Sebetulnya lelaki kekar itu hendak mengumbar amarahnya, tapi karena tak ingin mengganggu para penonton yang me-ngelilingi arena, terpaksa ujarnya lagi sambil menahan amarah, "Apa urusannya dengan kau!" Dengan kasar ia mendorong bahu Ong Siau-sik, pemuda itu tidak melawan, sambil mundur setengah langkah, kembali ujarnya, "Bukankah lidahnya sengaja dipotong dengan golok?" Dengan penuh amarah lelaki kasar itu menyerbu ke depan, namun ketika dilihatnya ada beberapa orang penonton mulai berpaling dan memandang ke arah mereka, terpaksa sambil tertawa dibuat-buat ia menepuk bahu Ong Siau-sik sambil berseru, "Hati-hati kalau berdiri, hati-hati sedikit!" Kemudian sambil merendahkan suaranya, kembali dia mengancam, "Aku peringatkan, di sini tak ada urusannya dengan kau, lebih baik jangan mencari masalah!" Sambil berkata ia menggandeng tangan si manusia cacad itu balik ke tengah arena, sepanjang perjalanan tiada hentinya ia berpaling dan melotot ke arah Ong Siau-sik dengan pandangan buas. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ong Siau-sik segera melihat rasa takut dan ngeri muncul menghiasi wajah si manusia cacad itu. Baru saja anak muda itu ingin melakukan suatu tindakan, mendadak terdengar seseorang berbisik, "Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, masalah besar akan semakin kacau, rahasia di balik semua ini semakin susah ditelusuri, buat apa kau mesti berang?" Suara itu begitu jelas, seakan-akan dibisikkan seseorang persis di sisi telinganya. Dengan cepat Ong Siau-sik berpaling, namun di antara sekian puluh orang, hampir semuanya sedang memperhatikan tengah arena, hanya seorang lelaki yang semula berdiri men-dongakkan kepalanya, kini menyusup masuk di antara keru-munan orang untuk menjauh. Satu ingatan melintas dalam benak Ong Siau-sik, baru saja dia akan menerobos kerumunan orang banyak untuk mengejar orang itu, mendadak dari arah depan kembali muncul seseorang yang langsung menerjangnya. Karena seorang menerobos keluar sementara yang lain menerobos masuk, kontan saja kerumunan orang banyak yang merasa tertumbuk tubuhnya menjadi marah, kata-kata umpatan segera memenuhi arena. Orang itu menerjang sambil mengangkat siku kirinya untuk melindungi bagian dada, tapi lantaran menerobos kelewat cepat, tanpa sengaja kakinya menginjak kaki seorang perempuan yang sedang menonton keramaian, tak tahan perempuan itupun mengumpat, "Dasar orang dungu yang tak punya mata!" Orang itu nampak berkerut kening seakan-akan mengum-bar amarah, namun akhirnya niat itu diurungkan. Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap wajah orang itu, namun hanya sekejap saja sudah cukup membuatnya ter-pesona. Selama hidup belum pernah ia melihat seorang pria se-tampan ini. Alis matanya yang tipis bagai mata golok nampak begitu indah sewaktu bekernyit, kulit wajahnya yang putih bagaikan pualam kelihatan amat licin dan halus ketika tertimpa sinar matahari, ditambah perawakan tubuhnya yang tinggi semampai membuat orang itu sangat menawan. Kembali orang itu berkerut kening, dengan perasaan tak sabar ia menerjang kerumunan orang banyak sambil berputar mengelilingi arena, agaknya dia sedang mencari seseorang. Ong Siau-sik memperhatikan terus gerak-geriknya, ia perhatikan juga sebuah bungkusan panjang yang terselip di pinggangnya. Sekilas pandang saja dia sudah tahu apa isi bungkusan panjang itu, sebilah golok! oooOOooo 2. Manusia dalam almari Hanya dalam waktu sekejap orang itu sudah lenyap di tengah kerumunan orang banyak. Sewaktu Ong Siau-sik menoleh lagi ke tengah arena, ia saksikan beberapa orang lelaki kekar dan perempuan kasar itu sedang memberesi peralatan senjata dan barang-barangnya un-tuk meninggalkan arena dengan tergesa-gesa, para penonton yang semula mengerubung di seputar arena pun sudah mulai bubar. Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat kembali dengan kata bisik-an tadi, "Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, urusan besar jadi terbengkalai". Apa maksud bisikan itu" Setelah berpikir sejenak, dia berkeputusan akan menguntit rombongan akrobatik itu lebih dulu, dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rombongan itu berjalan menelusuri jalan besar kemudian memasuki lorong kecil, sepanjang jalan sering berpapasan de-ngan orang banyak, tapi mereka berjalan amat santai, menelu-suri jalan sembari bicara kasar, malah seringkali mereka meng-hadiahkan cambukan atau tendangan ke tubuh orang cebol dan manusia cacad itu. Cara mereka menempuh perjalanan tidak mirip manusia yang melakukan perjalanan bersama, tapi lebih mirip seorang peternak yang sedang menggiring binatang peliharaannya, mirip juga seorang majikan yang sedang menggiring budak belian, mereka membentak, mencambuk untuk memamerkan kewiba-waannya. Ong Siau-sik teramat murka menyaksikan kejadian ini, hampir saja dia mengumbar kemarahannya, ketika secara tiba-tiba ia saksikan munculnya seseorang yang jangkung dan kurus kering dari kejauhan sana. Orang jangkung itu mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, wajahnya putih memucat seakan sudah lama tidak bertemu sinar matahari. Di punggungnya kelihatan sebuah bungkusan besar, tua, kuno dan berat tergantung di situ. Tak selang berapa lama kemudian orang itu sudah berjalan semakin mendekat. Suasana pun sesaat menjadi hening, rombongan penjual akrobatik mulai berdiam diri sambil mengawasi gerak-gerik orang itu. Makin lama orang itu berjalan semakin dekat. Ong Siau-sik dapat merasakan betapa tegangnya kawanan penjual akrobat itu hingga susah bernapas, malah ada di antara mereka mulai gemetar kakinya, nyaris melarikan diri meninggal-kan tempat itu. Di tengah sorotan sang surya yang lembut, hembusan angin musim gugur terasa dingin, di antara guguran daun ke-ring yang beterbangan di udara, lamat-lamat terdengar suara alunan seruling yang menggema terputus-putus. Siapa yang meniup seruling di tengah udara seperti ini" Dalam pada itu orang tadi sudah berjalan lewat, berpa-pasan dengan rombongan penjual akrobatik, jangan kan berhen-ti, melirik atau berpaling sekejap pun ternyata tidak. Kini rombongan itu baru bisa menghembuskan napas lega, beberapa orang di antaranya malah sempat berpaling untuk melirik orang itu sekejap, memandang dengan sorot mata ke-takutan. Sekarang orang itu sudah berjalan mendekati Ong Siau-sik. Anak muda ini bisa merasakan hawa dingin yang meman-car dari wajah orang itu begitu menggidikkan hati, dingin beku bagai bongkahan salju yang sudah terkubur ribuan tahun, tapi hawa dingin yang terpancar dari bungkusan yang berada di punggungnya terasa jauh lebih menyayat hati. Orang itu berjalan terus ke depan, sewaktu hampir ber-papasan dengan Ong Siausik, tiba-tiba ia mendongakkan ke-pala, dengan sinar mata setajam kilat, ia melotot ke arah anak muda itu sekejap. Ong Siau-sik merasa hatinya tercekat. Orang itu sudah berjalan lewat, berjalan terus ke depan menjauhi tempat itu. Tapi Ong Siau-sik kembali menemukan suatu kejadian yang sangat aneh. Ia lihat dari ujung jalan, paling tidak dari lima enam arah yang berbeda, bermunculan belasan orang, ada yang berlagak seperti sedang pesiar, ada yang berlagak sebagai penjaja ma-kanan kecil, ada yang menjadi tukang ramal, ada pula kongcu yang membawa sangkar burung, di antara orang-orang itu ada yang tua ada pula yang muda, dandanan serta pakaian mereka berbeda, gerak-gerik juga berbeda, namun Ong Siau-sik dapat mengenali kungfu yang dimiliki orang-orang itu sangat tangguh, sedang tujuan kedatangan mereka pun hanya satu, menguntit manusia jangkung itu! Lalu siapakah lelaki ceking yang bertubuh jangkung itu" Mengapa kemunculannya menarik perhatian begitu banyak orang" Rasa ingin tahu Ong Siau-sik makin terusik, dia ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sementara itu rombongan pemain akrobatik tadi sudah memasuki sebuah rumah penginapan, segera Ong Siau-sik pun mengingat-ingat nama penginapan itu. Ketika berpaling lagi, ia lihat lelaki kurus jangkung itu sudah berjalan memasuki sebuah lorong kecil yang sepi, sedang belasan orang dengan dandanan yang berbeda itu turut me-masuki lorong itu. Ong Siau-sik segera mengambil keputusan dengan masuk ke rumah penginapan lebih dulu, melihat rombongan akrobatik itu sudah memasuki kamarnya masing-masing, dia pun men-catat kamar mana saja yang mereka gunakan. Baru saja akan berbalik meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia lihat lelaki kekar yang sempat menegur kasar kepadanya tadi sedang naik ke loteng sambil mengawasinya dengan pandangan gusar. Ong Siau-sik tak ingin mencari gara-gara dalam suasana begini, sambil melempar senyuman dia beranjak keluar dari penginapan dan langsung menyusul ke arah lorong tadi dengan kecepatan tinggi. Dia tahu, rombongan akrobatik itu tak mungkin kabur dalam waktu singkat, justru lelaki jangkung itu yang mesti diperhatikan lebih dulu, tapi siapa pula lelaki jangkung itu" Apa yang bakal terjadi dengan orang-orang itu" Segera Ong Siau-sik menyusul ke lorong sepi itu. Hembusan angin musim gugur terasa menyayat wajah, lamat-lamat hawa membunuh menyelimuti jagad. Tiba di ujung tikungan jalan, Ong Siau-sik seketika dibuat terbelalak dengan pemandangan yang terbentang di hadapan-nya. Di ujung lorong tumbuh sebuah pohon besar, dahan dan ranting yang tumbuh merentang ke empat penjuru kini dalam keadaan gundul karena sebagian besar daunnya sudah ber-guguran ke tanah. Di belakang pohon gundul itu, yang terlihat hanya darah dan kematian. Belasan orang penguntit itu kini sudah roboh terkapar di atas tanah, terkapar tumpang tindih, tak seeorang pun dalam keadaan hidup. Lelaki jangkung kurus kering tadi tidak nampak di antara tumpukan mayat. Ketika Ong Siau-sik mengejar masuk ke dalam penginapan kemudian berlari keluar ke lorong itu, selisih waktu sebenarnya teramat singkat, tapi kenyataannya belasan orang penguntit itu sudah mati semua dalam keadaan mengenaskan, jangan lagi ada yang hidup, yang menghembuskan napas pun tak ada. Siapa yang telah turun tangan secepat itu" Apakah di antara mereka terikat dendam kesumat sedalam samudra" Menghadapi situasi seperti ini, hanya dua pilihan yang dihadapi Ong Siau-sik, kabur atau meneruskan penyelidikan. Ia putuskan untuk melanjutkan penyelidikan! Dengan gerakan yang teramat cepat, dia periksa belasan sosok mayat itu satu per satu, kemudian menarik tiga kesim-pulan: Pertama, tidak dijumpai luka lain di tubuh belasan sosok mayat itu kecuali sebuah lubang. Lubang darah persis pada jantungnya, siapa yang tertusuk nyaris tak mungkin bisa hidup. Kedua, ketika menemui ajalnya, belasan orang itu tak sempat berteriak minta tolong. Di luar lorong adalah jalan raya besar, banyak orang berlalu lalang di situ, asal ada yang ber-teriak minta tolong, dapat dipastikan banyak orang akan mem-buru ke situ, tapi kenyataan belasan orang itu tewas tanpa sempat bersuara, hal ini semakin membuktikan kalau menjelang ajalnya mereka tak mempunyai kesempatan untuk minta tolong. Ketiga, pada ikat pinggang belasan orang itu sebagian be-sar membawa lencana perintah (leng-pay), surat tugas maupun surat perintah, hal ini membuktikan orang-orang itu kalau bu-kan opas kenamaan, pastilah petugas kepolisian atau petugas pengadilan yang sedang melacak suatu kasus, atau bahkan bisa jadi kawanan jago dari istana. Tapi kenyataan sekarang belasan jago tangguh itu telah tewas secara mengenaskan di situ. Ong Siau-sik tak sempat memeriksa lebih teliti lagi, karena tiba-tiba ia mendengar suara jeritan seorang wanita. Rupanya ada seorang wanita bersama kekasihnya melewati lorong itu, sebetulnya mereka berencana akan berpacaran di tempat yang sepi itu, siapa sangka di sana mereka melihat mayat yang berserakan. Bukan cuma mayat yang berserakan, di situ malah ada seorang hidup yang sedang memeriksa tumpukan mayat itu. Menanti jeritan kedua muda-mudi itu menarik perhatian orang banyak serta kehadiran dua orang opas, dalam lorong itu hanya tertinggal mayat-mayat yang bergelimpangan. Menyaksikan mayat-mayat korban pembunuhan, dengan muka hijau karena marah, kawanan opas segera menegur, "Ma-na pembunuhnya" Bukankah kalian melihat sang pembunuh masih di sini?" "Benar!" sahut sang pria, "sebenarnya dia masih ada di sini, tapi kemudian ... entah kemana perginya." "Aku melihat dia ...." sambung sang gadis. "Dia kabur kemana?" tukas sang opas. "Tadi dia melompat ke atas pagar rumah itu, kemudian melompat sekali lagi dan ...." Kedua opas itu segera berdiri terbelalak dengan mata melotot, sudah dua puluh tahun mereka bekerja sebagai opas di Lak-san-bun, tapi belum pernah mendengar cerita sehebat itu: Melompati pagar pekarangan setinggi dua tombak" Melompat dalam sekali lompatan. Dalam pada itu si lelaki kurus jangkung berbaju abu-abu itu kelihatan berdiri pula di antara kerumunan orang banyak, cuma saja hawa dingin yang menyelimuti wajahnya nampak jauh lebih tebal dan berat. oooOOooo Ong Siau-sik melompat ke atas atap rumah dengan gerakan seringan daun kering, ia menggelantung di atas wuwungan rumah dengan mengaitkan sepasang kakinya di atas emperan, tubuhnya kelihatan bergoyang ketika tertiup angin, ringan dan lembut seperti selembar daun. Saat itu ia sudah mendekam di atas atap rumah pengi-napan dimana rombongan akrobatik itu menginap. Dengan membasahi ujung jarinya ia mencoba melubangi kertas yang menutupi daun jendela, kemudian mengintip ke dalam. Dalam ruangan tampak tujuh delapan orang lelaki kasar dan tiga empat orang perempuan kekar sedang berduduk santai, mereka bukan lain adalah rombongan penjual akrobatik itu. Rombongan manusia cacad yang dipotong lidah dan ang-gota badannya, lelaki kekar yang melarang dia mencari berita, manusia yang berbisik memberi peringatan kepadanya, lelaki tampan yang menerobos di tengah kerumunan orang banyak, lalu lelaki jangkung yang membuat rombongan akrobatik itu ketakutan dan terakhir mayat yang bergelimpangan dalam lo-rong. Sebenarnya apa yang terjadi" Ong Siau-sik memutuskan untuk menyelidiki peristiwa ini, dia akan mulai mencari jejak rombongan orang-orang ini. Sama sekali tak ada pertanda apa pun yang didapat. Beberapa orang lelaki dan wanita kasar itu hanya duduk berkumpul dalam kamar, wajah mereka nampak tegang dan serius, tak seorang pun yang membuka suara maupun berbicara. Beberapa orang lelaki di antaranya kadang kala nampak berdiri sambil menghela napas panjang, mereka hanya meng-gosokkan kepalannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Malam semakin kelam, angin barat laut berhembus makin kencang. Tentu saja Ong Siau-sik tak ingin menderita dalam cuaca yang begini dingin, pikirnya, "Kelihatannya tak ada berita yang bisa kucari dari mereka." Baru saja dia bersiap meninggalkan tempat itu, tiba-tiba satu ingatan melintas. Perlahan-lahan dia mencongkel selembar genteng, lalu menekan dengan tangannya, sebelum genteng itu terjatuh ke dalam ruangan, dengan kecepatan bagaikan elang menyambar kelinci dia sudah melayang turun ke bawah, lalu bersembunyi di sisi pintu. "Braak!", diiringi suara nyaring, genteng itu terjatuh ke lantai dan hancur berantakan. Kawanan lelaki kekar yang ada dalam ruangan segera membentak nyaring, ada yang langsung menerobos keluar lewat jendela, ada pula yang membuka pintu sambil mencaci maki. Ketika itu Ong Siau-sik sudah bersembunyi di sisi pintu, menggunakan kesempatan di saat beberapa orang itu berlari keluar secara bergerombol, dia menyelinap masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan diri dalam sebuah almari kayu. Begitu menyelinap masuk, cepat dia merapatkan kembali pintu almari itu, tapi mendadak ia merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mendengar ada suara napas seseorang, suara napas manusia yang berasal dari sisinya. Dengus napas itu sangat lirih dan teratur, napas orang awam tak mungkin selembut dan sehalus ini, kecuali seseorang yang sedang terlelap tidur sangat nyenyak, apalagi kalau ada orang menyelinap secara tiba-tiba, dengus napasnya sudah pasti sangat kalut dan agak terengah, tapi dengus napas itu sangat tenang dan lembut. Ini menunjukkan ada seseorang telah bersembunyi dalam almari itu sejak tadi! Tapi siapakah dia" Tanpa sadar Ong Siau-sik bersiap menghadapi segala ke-mungkinan. Sementara itu di luar almari sudah terjadi kegaduhan, disusul suara tanya jawab antara orang di luar kamar dengan rombongan akrobatik itu. "Ada apa" Apa yang terjadi?" "Tidak ada apa-apa, rasanya ada orang membuat gara-gara!" "Ada orang membuat gara-gara?" "Benar, ada orang sengaja melempar genting dari atas atap, untung kami cepat menyingkir, kalau tidak, pasti ada yang terluka." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Melempar genting" Bukankah genting tersusun rapi di atas atap" Mana mungkin bisa jatuh sendiri?" "Darimana aku tahu, justru karena itu maka aku ingin mencari tahu sebabnya." "Kami sudah tiga belas tahun membuka usaha, belum pernah satu kali pun terjadi peristiwa seperti ini," kata pemilik losmen cepat, ia tahu kawanan manusia yang membawa golok itu adalah orang yang paling susah dihadapi. "Apa maksud perkataanmu itu" Kau anggap kami sedang mencari gara-gara" Katakan, kenapa kami mesti cari gara-gara?" "Bukan ... bukan begitu maksud kami ... mungkin atap itu sudah kendor karena lama tak dibetulkan hingga jatuh sendiri, baiklah, maaf, maaf ... kami segera akan memperbaikinya ...." Lociangkwe si pemilik losmen sadar bahwa manusia bengis macam begitu paling susah dilayani, maka dia mencari selamat dengan cepat minta maaf. Dengan uring-uringan ketujuh delapan orang lelaki kekar itupun balik kembali ke kamarnya. Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah balik, para wanita kasar yang semula berjaga di tepi pintu dan jendela baru merapatkan kembali pintu dan jendela, mereka lalu berkumpul di depan meja. "Maknya sialan ...." umpat lelaki beralis tebal itu sambil meletakkan goloknya di meja, "coba kalau bukan lagi ada urusan, akan kubacok habis orang itu ...." Sambil menahan napas, Ong Siau-sik tetap bersembunyi di dalam almari. 'Manusia' yang sudah bersembunyi dalam almari sejak tadi pun tidak melakukan reaksi apa pun. Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara serius dan nyaring, "Sim-jit, kau jangan mencari gara-gara, malam ini para jago dari kantor pusat perkumpulan Lak-hun-poan-tong (enam setengah bagian) segera akan berdatangan, kau boleh saja mencari onar dan tak ingin hidup, tapi rekan yang lain masih ingin mati secara utuh. Hmmm, lihat saja ulahmu tengah hari tadi, nyaris berkelahi dengan beberapa orang, aku lihat tabiatmu makin tak terkendali, lebih baik ingat baik-baik, jangan mencari gara-gara buat kita semua!" Ong Siau-sik coba mengintip lewat celah almari, ia lihat orang yang sedang berbicara itu adalah seorang lelaki tua yang bermata tajam dengan senjata penggaris baja tersoreng di ping-gangnya, di samping lelaki tua itu berdiri seorang wanita berwajah garang dan bermata licik. Ketika kedua orang itu berdiri di sana, ternyata kawanan manusia yang lain tak ada yang berani mengambil tempat duduk. Lelaki beralis tebal itu menundukkan kepala, meski kepal-annya yang segede mangkuk dikepal kencang, namun ia sama sekali tak berani membantah terhadap teguran kakek itu. Lewat sesaat kemudian seorang lelaki berkepala kecil bermata tikus baru menimbrung, katanya, "Lo-jit, selama ini memang kau yang salah, coba lihat ulahmu membuat Li Ya jadi sewot setengah mati, memangnya kau sudah kebanyakan meng-hirup hawa kentut!" Lelaki beralis tebal itu tetap membungkam, tak sepatah kata pun berani membantah, tapi tinjunya dikepal makin ken-cang, nampak otot-otot hijau menonjol keluar. Terdengar kakek she Li itu berkata lagi setelah menyapu wajah semua yang hadir dengan sorot matanya yang tajam, "Ka-lian anggap berhargakah kita mengusik rumput mengejutkan ular hanya gara-gara urusan orang yang tak penting" Li Ya, su-dah kau kirim orang untuk mengawasi ketiga buah kamar itu?" "Baru saja aku mengajak beberapa orang melakukan peron-daan di sekitar sana," sahut lelaki berkepala kecil bermata tikus itu dengan hormat, "setiap kamar dijaga dua orang saudara kita, hingga detik ini tidak ada kejadian apa pun." "Hmm! Paling bagus memang begitu," dengus kakek Li ketus. Menggunakan peluang itu, Li Ya, si lelaki bermata tikus itu berkata lagi, "Dalam wilayah tiga sungai besar enam propinsi, siapa yang telah makan nyali beruang hingga berani mengusik Liong-tau (ketua) perkumpulan akrobatik Li Tan, Li Ya" Apalagi kali ini Li-ji-nio pun ikut terjun sendiri ke dunia Kangouw, manusia busuk mana yang ingin cari apes?" Mendengar pembicaraan itu, Ong Siau-sik seketika teringat kembali beberapa tokoh termashur dalam dunia persilatan saat itu. Banyak perkumpulan dan partai termashur yang berdiri dalam dunia persilatan, di antara sekian banyak organisasi, ada di antaranya merupakan organisasi sempalan yang disebut Pay-kau. Hampir semua yang bergabung dalam Pay-kau memiliki sedikit kemampuan yang dapat diandalkan, mereka pandai mengikuti arus, pandai pula memotong arus. Di antara sekian banyak organisasi sempalan, di antaranya terdapat organisasi yang didirikan oleh para tabib, para peramal, pedagang maupun petani. Dari tujuh puluh dua organisasi sempalan ini masing-masing dipimpin oleh seorang Liong-tau yang berkuasa mengatur jalannya perkumpulan itu. Li Tan adalah salah satu Liong-tau organisasi sempalan itu, dia memimpin organisasi kaum akrobatik, bersama adik perem-puannya, Li Ciau-hong, memiliki kungfu yang hebat, berhati keji dan telengas, mereka sangat termashur namanya di seputar wilayah Ouw-pak. Entah karena urusan apa saat ini berkumpul di situ" Sementara orang yang disebut Sim-jit tadi adalah Ko-san-hou, si Macan gunung Sim Heng, sedang orang yang disebut Li Ya adalah seorang begal yang selama ini beroperasi di seputar wilayah Hong-hok-lau, orang memanggilnya Hau-cian-hu (manusia berwajah macan berhati rase). Ong Siau-sik memiliki daya ingat yang sangat baik, setiap kali tiba di suatu daerah, dia selalu mencatat dan mengingat baik-baik nama serta kelebihan yang dimiliki setiap tokoh yang dijumpai. Entah mengapa, dia selalu berpendapat suatu hari nanti semua bahan catatannya itu akan sangat berguna baginya. Mungkinkah ada hari seperti yang dia duga" Ong Siau-sik tidak tahu. Dia hanya tahu satu hal, hampir semua partai dan perkum-pulan yang ada di kolong langit, sebagian besar berada dalam kendali dan perintah organisasi Lak-hunpoan-tong ini. Hampir semua jago dan tokoh hebat tunduk serta takluk pada organisasi Lak-hunpoan-tong ini. Selama ini mereka selalu menyerahkan tiga setengah ba-gian yang dimiliki kepada organisasi Lak-hun-poan-tong, na-mun bila menjumpai suatu masalah atau kesulitan, maka orga-nisasi Lak-hunpoan-tong akan mengerahkan enam puluh lima persen kekuatannya untuk mendukung dan membantu mereka. Organisasi Lak-hun-poan-tong ini dipimpin oleh seorang Congtongcu yang bernama Lui Sun, sementara orang gagah di kolong langit menyebutnya sebagai Lotoa. Mungkin satu-satunya kekuatan lain yang bisa menandingi kemampuan perkumpulan Lak-hunpoan-tong hanyalah per-kumpulan Kim-hong-si-yu-lau (loteng angin emas hujan ge-rimis). Sedangkan jagoan yang bisa menandingi kehebatan serta ketenaran Lui Sun di kota Kay-hong pun hanya ketua atau Locu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau ini, Angsiu-to (golok baju merah) So Bong-seng seorang. Begitulah situasi dalam dunia persilatan waktu itu, ka-wanan jago yang tidak bergabung dalam partai besar hampir semuanya bergabung dalam perkumpulan Lakhun-poan-tong atau perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena perkumpulan angin emas hujan gerimis didukung oleh pemerintah kerajaan, sedangkan perkumpulan Lak-hunpoan-tong ditopang para jago dari golongan rimba hijau. Itulah sebabnya beredar satu pepatah yang berbunyi: Enam bagian adalah Lui, empat puluh laksa milik So. Artinya paling tidak ada empat puluh laksa orang yang bergabung dengan So Bong-seng, tapi bila diperbandingkan secara benar, maka ter-bukti ada enam puluh persen kekuatan persilatan berada dalam kendali Lui Sun. Dalam pada itu wanita bertubuh kekar yang berdiri di samping Li Tan telah tertawa terkekeh-kekeh sambil berkata, "Li Ya, tak heran kau bisa hidup makmur di wilayah seputar sini, mulutmu benar-benar pandai merayu hingga membuat muak hati orang, kelihatannya di kemudian hari aku mesti mengang-kat dirimu menjadi Liong-tau Lotoa dari organisasi kaum akrobatik wilayah sini." "Ji-nio tak usah menggoda aku," Li Ya turut terkekeh, "Liong-tau Lotoa bukan jatahku, sebab jabatan itu butuh ke-mampuan yang tangguh, aku hanya memiliki selembar bibir, jadi kalau ingin jadi Lotoa, mending aku banyak berdoa dulu pada Thian." Li Tan mengernyitkan dahi rapat-rapat, dengan kerutan wajah yang makin mengencang dan tak sekilas senyuman pun yang menghiasi bibirnya ia bertanya, "Siapa saja dari organisasi Lak-hunpoan-tong yang akan hadir di sini" Kenapa sampai sekarang belum nampak batang hidung mereka?" "Menurut apa yang kuketahui, paling tidak ada tiga orang jago yang datang kemari, malah langsung dipimpin sendiri oleh Tongcu kedua belas, Tio Thiatleng!" sahut Li Ya dengan nada hati-hati. "Hah" Dia pun ikut datang?" hampir berbareng Li Tan dua bersaudara berseru tertahan. Li Ya manggut-manggut. "Benar, aku rasa dari pusat akan menyerahkan sebuah tugas besar kepada kita," sahutnya dengan mata berbinar. "Aku justru sedikit rada kuatir," Li Ciau-hong menggeleng. "Apa yang kau kuatirkan?" "Dulu kita tak lebih hanya penjual silat yang mengembara dalam sungai telaga, kalau tak cocok dengan suatu masalah, kita bisa main tebas memenggal kepala lawan, kalau ketemu musuh tangguh paling kabur sembari mencari sedikit keuntungan. Tapi hari ini kita mesti menangkap bocah-bocah yang tak tahu urusan, harus memotong anggota badan mereka, menyambung anggota badan orang yang satu dengan tubuh orang lain, memaksa mereka untuk bersetubuh dengan hewan, akhirnya mereka jadi manusia cebol, manusia aneh, makhluk setengah manusia setengah hewan, pekerjaan macam ini kelewat keji, kelewat kejam dan sama sekali di luar peri kemanusiaan. Kita toh bukannya tak sanggup bermain senjata, bukan manusia tempe yang tak mam-pu merampok atau membegal, bertarung melawan puluhan orang juga masih sanggup, tapi kalau harus terus menerus menyiksa bocah-bocah yang tak berdosa, ai ... aku Li Ciau-hong betul-betul tak tega. Kakak, jelekjelek kita masih punya sedikit nama dalam dunia persilatan, kenapa harus melakukan jual beli semacam ini" Kalau sampai terjungkal di tangan orang, bukankah nama kita bakal ikut hancur dan rusak" Jika kantor pusat memerintahkan kita untuk melakukan pekerjaan semacam ini lagi, aku dengan tegas akan menolak!" Berubah hebat paras semua orang setelah mendengar perkataan itu, dengan wajah serius Li Tan segera menghardik, "Adikku, kau sudah gila" Mengapa mengucapkan perkataan seperti itu?" Dibentak kasar di hadapan orang banyak, kontan Li Ciau-hong bertambah sewot, dengan suara yang makin nyaring, teri-aknya, "Memangnya aku salah bicara" Sekarang putra tunggal Bun Sin-hu pun sudah kita culik, bila sampai pecah peristiwa besar, memangnya kita semua bisa cuci tangan dari masalah ini" Sampai waktunya, dengan cara apa kakak akan menjelaskan kepada orang luar?" Paras muka Li Tan berubah jadi hijau memucat, saking gusarnya seluruh badan gemetar keras. Tapi orang yang paling kaget dan terkesiap di antara yang hadir tak lain adalah Ong Siau-sik yang bersembunyi dalam almari. Ternyata manusia cacad yang patut dikasihani itu tak lain adalah hasil perbuatan kelompok manusia ini! Kenapa mereka begitu tega melakukan perbuatan sekeji ini" Mungkinkah semuanya ini atas perintah organisasi Lak-hun-poan-tong" Mengapa perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini melakukan perbuatan keji yang sangat terkutuk ini" oooOOooo 3. Orang ketiga Li Tan menarik napas panjang, berusaha menahan hawa amarahnya yang meledak, kemudian ujarnya, "Adikku, dari tiga puluh enam cabang darat dan tujuh puluh dua cabang air, kalau bukan tunduk di bawah perintah So-kongcu, tentu tunduk kepada Lui-tongcu, kita berdua meski bisa menancapkan kaki di wilayah seputar telaga Se-ouw, tapi terhitung jagoan macam apa di mata orang banyak" Saudara Li, saudara sekalian yang hadir, mohon maaf yang sebesar-besarnya atas perkataan adikku tadi, tolong masukkan perkataan tadi melalui telinga kiri dan kelu-arkan lewat telinga kanan, jangan sebar luaskan di depan umum. Untuk itu aku orang she Li pasti akan membalas budi kebaikan sahabat sekalian di kemudian hari." "Lotoa tak usah kuatir," sahut Sim-jit cepat, "kami semua malah tidak mendengar terlalu jelas apa yang telah dikatakan Cici kedua tadi." "Benar, benar," sahut rekan lainnya, "kami memang tak mendengar jelas apa yang Cici katakan tadi." Setelah memutar biji matanya, Li Ya ikut bicara, katanya, "Perkataan semacam ini memang tidak sepantasnya diutarakan secara terbuka." Rupanya ia telah melihat sorot mata semua yang hadir telah tertuju ke wajahnya, sadar bahwa dirinya merupakan satu-satunya 'orang luar' di tempat itu, maka untuk menghindari kecurigaan orang, dia mesti menunjukkan keseriusannya menja-ga rahasia. Dia pun tahu kawanan manusia yang hadir dalam ruangan saat ini merupakan jago kawakan dunia persilatan, mereka terhitung manusia yang bisa membunuh tanpa berkedip, bila sampai menunjukkan niat untuk berkhianat, niscaya jiwanya segera akan terancam. Maka setelah menarik napas panjang, kembali ujarnya dengan wajah serius, "Untuk membuktikan ketulusan hatiku, baiklah, biar aku bersumpah di hadapan Thian, jika aku Li Ya sampai membocorkan ucapan Ji-nio sepatah kata saja, biarlah aku orang she Li mati secara mengenaskan di pinggir jalan bagaikan tikus selokan yang mati digebuk orang ...." Tampaknya dia masih ingin mengucapkan sumpah yang lebih berat lagi, tapi Li Ciau-hong sudah tak sanggup menahan diri, selanya, "Kau tak usah meneruskan sumpahmu, kau me-mang si tikus jalanan, setiap orang akan menggebukmu sampai mampus." "Ah, Ji-nio suka bergurau," sahut Li Ya tersipu-sipu, na-mun dalam hati ia merasa lega sekali. Setelah menghela napas panjang, kembali Li Ciau-hong bertanya, "Kakak, benarkah kita akan berbuat jahat terus?" Li Tan tak sanggup mengendalikan emosinya lagi, sambil menggebrak meja bentaknya gusar, "Tutup mulutmu, kau tidak kuatir pihak pusat akan menurunkan perintah pembunuhan" Kau boleh saja bosan hidup, tapi jangan sampai menyusahkan saudara kita yang lain!" Baru saja Li Ciau-hong ingin membantah lagi, tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang dua kali suara lolongan anjing yang amat keras. Berubah hebat paras muka kawanan jago yang ada dalam ruangan, tapi setelah diamati sejenak, dengan wajah berseri Li Ya berseru, "Ah, jangan panik, orang sendiri." Li Tan berkerut kening, hawa pembunuhan memancar keluar dari sorot matanya. "Aku rasa dia datang dengan membawa teman," katanya. "Benar," sahut Li Ya sambil tertawa paksa, "kali ini yang menjadi komandan adalah Ku-toacongkoan dari pesanggrahan Yan-mo-cay, ia datang bersama Ting-tauke dari grup akrobatik." Sementara itu terdengar suara dua kali tepukan tangan dari bawah loteng. "Apa" Mereka juga ikut hadir?" seru Li Ciau-hong. "Aku telah menyebar mata-mata di luar sana, tebakanku tak bakal keliru." Mendadak terdengar lima kali suara ketukan pintu disusul dengan terbukanya pintu ruangan. Ketika Li Ya membukakan pintu, masuklah dua orang diikuti dua orang di sebelah kiri dan kanan, mereka menempel terus di belakang kedua orang itu secara ketat, seakan takut ada orang yang akan mencopet duit mereka. Empat orang yang mengintil di belakang, dua di antaranya berdandan pelajar, tapi sorot matanya bukan kelembutan, na-mun penuh dengan hawa pembunuhan. Kedua orang ini melindungi seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju halus, lelaki itu berkumis tipis dengan wajah cerah, persis seperti seorang saudagar. Di sisinya mengikut seorang pemuda berwajah bulat telur dengan kulit badan yang putih bersih, di belakang pemuda ini mengikut pula dua orang lelaki yang menempel terus bagaikan bayangan setan, di sisi ikat pinggangnya tergantung sebuah kantung kulit ikan, siapa pun yang melihatnya segera akan tahu kalau mereka berdua adalah jago menggunakan senjata rahasia. Begitu bertemu dua bersaudara Li, kedua orang itu segera menjura seraya menyapa, "Li-lotoa, Ji-moaycu, baik-baikkah selama ini?" Dua bersaudara Li lekas menyahut dengan beberapa kata sungkan. Menanti Li Ya mempersilakan tamunya duduk, Li Tan baru berkata, "Kelihatannya hari ini kantor pusat akan menga-dakan pertarungan akbar, kalau tidak, masa sampai merepotkan ketua pesanggrahan Yan-mo-cay, Ku Han-lim serta Toa-tauke dari kelompok akrobatik, Ting Siu-hok" "Mana, mana ..." sahut Ku Han-lim yang berdandan seperti saudagar itu sembari menjura, "aku tak lebih hanya pemeran pembantu, justru saudara Li, Ji-moaycu dan Ting-lote yang me-rupakan orang paling top dalam perkumpulan kita." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dalam persoalan malam ini, ada baiknya kita bersikap lebih hati-hati," sela Ting Siu-hok Tauke dari kelompok akro-batik tanpa basa-basi, "baru saja aku mendapat laporan, katanya Si Say-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau juga telah muncul di wilayah seputar sini." "Ah, ternyata memang dia!" seru Li Tan bersaudara serentak. "Jadi kalian pun telah bersua dengan mereka?" "Benar," kata Li Ciau-hong, "tadi ketika kami sedang bebenah untuk balik kemari, di tengah jalan kami telah bertemu dengan seseorang, orang itu mirip sekali dengan manusia tangguh yang kau maksudkan!" Senyuman yang semula masih menghias bibir Ku Han-lim, kini lenyap seketika, gumamnya, "Si Say-sin ... Si Say-sin ... jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yulau sampai menurunkan malaikat sakti dari langit barat, urusan jadi sedikit berabe, tidak gampang buat kita untuk turun tangan." "Ehmm, jika Si Say-sin benar-benar sudah datang, berarti kasus pembunuhan terhadap kedua belas orang opas di lorong belakang rumah keluarga Han siang tadi kemungkinan besar adalah perbuatannya," kata Ting Siu-hok murung, biar agak masgul namun nada suaranya masih terdengar lembut dan jelas. "Dua belas lembar nyawa roboh berserakan hanya dalam sekali tebasan, kungfu semacam itu memang menakutkan, se-olah dia sedang merontokkan dedaunan saja." "Hmmm, tapi kita semua bukan bangsa dedaunan," de-ngus Li Tan. "Sekalipun bukan dedaunan, rasanya juga tak selisih jauh," sambung Ting Siu-hong hambar. "Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Li Tan sewot. "Kalau cuma untuk menghadapi kita beberapa orang, rasanya tak perlu merepotkan malaikat sakti dari langit barat!" "Lalu kedatangannya untuk menghadapi siapa?" tanya Li Ciau-hong. "Aku tidak tahu, aku hanya tahu perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang bertarung ketat melawan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena itu ada seseorang yang menyusul kemari, khusus untuk menghadapi Si Say-sin." "Tio Thiat-leng, Tongcu kedua belas maksudmu?" tanya Li Tan kaget. Ting Siu-hok menggeleng. "Bukan, bukan dia, tapi Tongcu kesembilan, Ho Tong!" "Ho-kiutongcu?" dua bersaudara Li menjerit serentak. 'Benar, malah aku dengar selain dia datang pula dua orang yang lain, Tio Thiatleng dan ...." "Siapa orang kedua?" Belum sempat pertanyaan itu dijawab, dari luar ruangan kembali terdengar suara gonggongan anjing, kali ini suara gonggongannya jauh lebih keras dan nyaring. Paras muka semua orang yang hadir dalam ruangan segera berubah makin serius, seakan-akan sedang menghadapi datang-nya serangan musuh tangguh. "Rasanya orang-orang pusat yang datang," bisik Li Tan sambil bangkit berdiri untuk membukakan pintu. "Tunggu, belum tentu mereka," cegah Ting Siu-hok. Sejak awal, Li Tan sudah merasa tak senang dengan orang ini, tapi dia enggan mengumbar amarahnya karena orang-orang Lak-hun-poan-tong segera akan tiba, karena itu dia hanya melotot sekejap ke arahnya dengan perasaan mendongkol. "Aku pun mempunyai mata-mata di sekitar sini" kata Ting Siu-hok kembali. Dari kejauhan terdengar suara katak berkumandang, begitu mendengar suara itu, Ting Siu-hok baru berkata dengan perasa-an lega, "Ah, ternyata memang orang kita yang datang." Ia bangkit berdiri siap membukakan pintu, sikapnya bah-kan sangat menghormat, jauh melebihi sikap Li Tan tadi. Mendadak Ku Han-lim merentangkan tangannya mengha-langi. Dua orang pelajar yang berada di belakangnya segera menyelinap ke depan jendela, membuka daun jendela itu kemu-dian menyalakan korek api dan diayunkan beberapa kali, tak lama kemudian dari balik kegelapan di kejauhan sana melintas juga cahaya api balasan. "Ehmm, memang benar orang kita yang datang," kata Ku Han-lim sambil mengangguk. "Hmmm!" Li Tan mendengus dingin, "tampaknya me-mang Ku-toacongkoan dan Tingtauke punya banyak mata-mata di sini." "Ah, mana, mana ... oleh karena orang yang akan datang malam ini adalah utusan dari kantor pusat, mau tak mau kita mesti bertindak lebih hati-hati." Li Tan menarik napas panjang berusaha menenangkan hatinya, kemudian tanyanya, "Tadi kau menyebut ada tiga orang yang akan datang, siapa orang ketiga itu?" "Kemungkinan besar adalah ...." belum selesai Ting Siu-hok menjawab, dari bawah loteng kembali terdengar suara tepukan tangan, suara tepukan itu muncul sangat mendadak sehingga bukan saja membuat semua orang keheranan, bahkan Ong Siau-sik yang sedang bersembunyi dalam almari pun dibuat tercengang. Sebetulnya tujuan kedatangannya ke sana adalah untuk mencari tahu masalah manusia-manusia cacad itu, di luar du-gaan, bukan saja ia telah mendengar satu kejadian besar yang bakal terjadi dalam dunia persilatan, bahkan manusia tersohor macam Tio Thiat-leng dan Ho Tong pun sebentar lagi akan muncul di depan mata. Dalam pada itu dari luar pintu kembali terdengar lima kali suara ketukan pintu, ketukan itu sebentar perlahan sebentar cepat dan sangat tidak beraturan. Li Tan bersaudara, Ku Han-lim maupun Ting Siu-hok sekalian serentak melompat bangun sambil berdiri di depan pintu, sedang pintu kamar dibuka oleh Li Ya. Pintu telah terbuka lebar, namun tak nampak seorang pun. "Aneh, kenapa tak ada orang ...." gumam Li Ya keheranan. Ong Siau-sik mencoba mengintip keluar lewat celah almari, ia lihat di antara goyangan cahaya lilin tahu-tahu di dalam kamar telah bertambah dengan tiga sosok manusia, mereka melayang masuk lewat jendela dengan gerakan yang amat enteng, cepat dan sama sekali tidak menimbulkan suara. Tiga orang manusia. Orang pertama adalah seorang kakek berkepala botak, alis matanya keperak-perakan dengan jenggot berwarna putih, sepa-sang tangannya disembunyikan di balik pakaian, seolah sedang memegang benda mestika yang tak ingin diperlihatkan kepada orang lain. Orang kedua adalah seorang lelaki sedingin dan sebeku baja, ia mempunyai wajah persegi empat dengan perawakan kotak, bahkan tangannya pun berbentuk segi empat, ia mirip sekali dengan sebuah kotak. Sebuah kotak baja! Orang ketiga, begitu masuk ke dalam ruangan, sorot matanya dengan lagak sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah tempat persembunyian Ong Siau-sik, kebetulan anak muda itupun sedang menatap ke arahnya sehingga sorot mata mereka saling beradu. Ong Siau-sik segera merasakan hatinya bergetar keras, bukankah orang ini adalah lelaki yang dijumpainya siang tadi" Lelaki yang berdiri di lapangan sambil mendongakkan kepala memandang langit" Saat ini tentu saja ia tidak memandang ke arah langit. Yang dia awasi kini adalah cahaya lilin. Cahaya lilin berkilat di balik sorot matanya, membuat sorot mata orang itu bertambah terang, bertambah cemerlang. Begitu badannya berdiri dalam ruangan, seluruh cahaya lilin seakan hanya khusus menerangi tubuhnya, namun seakan juga cahaya itu tak mampu menerangi pakaiannya. Siapakah orang ini" Dalam pada itu seluruh jago yang ada dalam ruangan telah mengetahui kemunculan ketiga orang itu, serentak mereka maju sambil menyapa. "Tio-tongcu!" "Ho-tongcu!" Tak seorang pun yang menyapa orang ketiga, karena memang tak ada yang tahu siapakah orang itu. Orang itupun berdiri santai, tidak menyapa juga tidak menggubris, seakan dalam ruangan hanya ada dia seorang. Perlahan-lahan Tio Thiat-leng mengambil tempat duduk, kemudian dengan suara yang parau basah ujarnya, "Hari ini kantor pusat sengaja mengumpulkan kalian di tempat ini, karena ada tiga persoalan yang hendak disampaikan, kalian ditugaskan untuk menyelesaikan tiga persoalan." "Silakan Tongcu memberi perintah," sahut Li Tan sekalian dengan hormat. "Li Tan," ujar Tio Thiat-leng, "bukankah kusuruh kau me-nangkap semua orang yang namanya tercantum dalam daftar dan mengubah bentuk tubuh mereka" Apakah telah kau laku-kan?" "Dalam daftar tercatat empat puluh dua orang, sembilan belas orang di antaranya sudah berhasil diculik, ada yang telah dikebiri, ada yang telah dipotong, secara garis besar kami telah melaksanakan sesuai dengan perintah Tongcu dan mengubah mereka jadi manusia cebol atau makhluk jelek lainnya, jangan kan orang tua mereka tak bakal mengenal lagi, bahkan mereka sendiri pun kujamin tak akan kenal dengan diri sendiri." "Bagus sekali, apakah putra tunggal Bun Sin-hu juga telah berhasil ditangkap?" "Telah kami tangkap," Li Tan segera mengangguk. "Kalau begitu kirim utusan dan katakan kepada orang she Bun itu, jika dia masih saja condong membantu pihak perkum-pulan Kim-hong-si-yu-lau, maka kami akan menjadikan putra-nya sebagai anggota topeng monyet untuk mencari duit dalam rombongan akrobatikmu dan menjadi tontonan orang banyak!" "Cari duit tidak penting, aku hanya tahu melaksanakan perintah dari Tongcu," lekas Li Tan menimpali. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Hmm, mencari duit pun merupakan urusan penting, bukankah untuk menambah ragam permainan dalam tontonan-mu, kau pun sering mencelupkan tubuh orang ke dalam air panas agar melepuh, bukankah kalian pun sering mengikat tangan dan kaki mereka jadi satu, atau sengaja mematahkan tulang pinggang mereka agar tak bisa berdiri, lalu menjuluki mereka sebagai si bocah plastik, si manusia bola, tujuannya hanya mencari simpati orang, agar penonton melemparkan lebih banyak uang sedekah" Aku sudah kelewat banyak menyaksikan permainan busuk macam begitu! Tapi, tahukah kau, kenapa aku menyuruh kau yang melaksanakan tugas ini?" "Silakan Tongcu menjelaskan." "Tadi adalah persoalan pertama yang ingin kutanyakan kepadamu, dan sekarang aku beritahukan persoalan pertama yakni soal hukuman peringatan!" Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah setiap orang yang hadir dengan pandangan cepat, kemudian melanjut-kan, "Dulu, orang tua bocah-bocah itu kebanyakan adalah ang-gota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang, lantaran perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau mendapat dukungan dari pe-merintah, mereka beramai-ramai menyeberang dan mendukung pihak lawan, itulah sebabnya sebelum kami turun tangan meng-habisi orang-orang itu, kami ingin mereka menyaksikan dulu bagaimana anggota keluarganya yang paling disayang telah berubah jadi manusia tak mirip manusia, setan tak mirip setan, agar setelah kita kembalikan mereka di kemudian hari, orang-orang itu biar merasakan penyesalan yang bukan kepalang." "Apalagi manusia yang bernama Bun Sin-hu itu, hmm, hanya lantaran sedikit top posisinya di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, dia berani menangkap orang-orang kita. Hmmm, sekarang putra tunggalnya berhasil kita bekuk, akan kulihat apakah dia masih berani berulah terhadap kita." Bicara sampai di sini, kembali dia menyapu sekejap wajah orang-orang itu, kemudian menambahkan, "Aku ingin tahu, apakah masih ada yang berani berkhianat!" Tak ada yang menjawab, tak ada yang memberi tanggapan, suasana dalam ruangan itu sangat hening. "Ting-tauke! Pengurus Ku!" kembali Tio Thiat-leng ber-seru. "Siap!" sahut Ting Siu-hok dan Ku Han-lim berbareng. "Aku perintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan orang-orang berbakat, apakah dalam hal ini sudah ada berita-nya?" "Aku telah menaruh perhatian khusus," sahut Ku Han-lim cepat, "memang ada beberapa orang yang berkemampuan hebat dan bercita-cita tinggi, hal ini memang akan kulaporkan kepada Tio-tongcu." "Dari kalangan akrobatik juga terdapat beberapa orang pesilat yang berbakat," Ting Siu-hok segera menimpali, "malah ada dua orang di antaranya merupakan bekas Piausu yang pindah haluan, aku telah menahan mereka dalam rombongan-ku." "Bagus, saat ini pihak perkumpulan memang sedang membuka pintu untuk menerima orang-orang berbakat. Jika kita tidak segera menarik orang berbakat, jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sampai keburu menguasai pihak ekspedisi dan sekolah tinggi, maka kita tak akan kebagian orang pintar lagi, makanya kalian mesti berusaha sedapat mungkin merekrut orang. Tahu" Nah, inilah persoalan kedua yang hendak ku-sampaikan kepada kalian." "Bila dapat berbakti untuk perkumpulan, mesti mati pun kami tak akan menyesal," seru Ku Han-lim segera. "Benar, merupakan satu kehormatan dan kebanggaan bagi kami karena dapat menyumbangkan sedikit tenaga demi per-kumpulan," sambung Ting Siu-hok. "Hmm, kami toh tidak menyuruh kalian pergi mampus, apa urusannya dengan kehormatan atau kebanggaan" Asal tugas dapat kalian selesaikan dengan baik, pangkat dan posisi dijamin pasti akan naik, sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas, hukuman yang setimpal akan menanti kalian semua. Hal ini merupakan peraturan perkumpulan dan berlaku terhadap siapa pun." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Tio Thiat-leng melanjutkan, "Tahukah kalian, ada seorang yang bernama Si Say-sin telah tiba di sini?" "Selama beberapa hari terakhir ini, banyak laporan yang telah kuperoleh, kami tahu memang ada manusia seperti itu yang telah tiba di wilayah Ouw-pak," sahut Ku Han-lim. "Belakangan, kami malah sempat berpapasan dengannya," sambung Li Tan segera, "apakah perlu mengirim orang untuk meringkusnya?" "Aku malah tahu dia tinggal di dalam kuil Ho-song-an dekat jalan Mo-jong-ka," kata Ting Siu-hok, "tapi selama ini tidak banyak melakukan tindakan, kami masih menunggu perintah Tongcu." Tiba-tiba Tio Thit-leng tertawa tergelak. Ho Tong ikut tertawa. Mereka berdua saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa tergelak, Tio Thiat-leng menepuk bahu se-orang pemuda yang ada di belakangnya sembari berseru, "Lote, menurut kau menggelikan tidak?" "Menggelikan, sangat menggelikan!" sahut pemuda itu sambil tersenyum, senyuman yang mengandung keangkuhan dan sinis, kemudian kepada para jago lainnya ia berkata lagi, "Tahukah kalian, Si Say-sin adalah orang berkedudukan cukup tinggi di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, orang kesayangan So Bong-seng, So-kongcu. Memangnya kalian bisa berbuat apa terhadapnya" Justru kedatangan Ho-tongcu kali ini adalah khu-sus untuk menghadapi manusia she Si itu, nah, persoalan inilah merupakan persoalan ketiga yang ingin disampaikan kedua orang Tongcu kepada kalian." Li Tan, Li Ciau-hong, Ting Siu-hok, Ku Han-lim, Li Ya maupun Sim-jit sekalian hanya bisa tertawa paksa, sementara air muka mereka nampak agak tersipu. Ho Tong ikut tertawa tergelak, mendadak serunya sekata demi sekata, "Hei orang yang bersembunyi, sudah cukup belum menguping" Ayo, cepat menggelinding keluar dari tempat per-sembunyianmu!" Semua orang merasa terkesiap bercampur heran, mereka tak mengira Ho Tong telah menemukan seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka. Ong Siau-sik turut terperanjat, apakah Ho Tong telah me-ngetahui jejaknya" Baru saja ia bersiap menampakkan diri dari tempat persem-bunyian, tiba-tiba terlihat Ho Tong mencabut keluar sepasang tangannya dari balik baju, ia mencabut keluar tangannya seolah sedang mencabut sepasang senjata andalan. Ternyata dia memiliki sepasang tangan yang sangat aneh, sepasang tangan berwarna emas. Sambil menggebrak meja ia hisap permukaan meja itu kuat-kuat, kemudian sambil membalik tangan, dia lemparkan meja itu ke atas atap rumah. Semua perubahan itu terjadi secepat sambaran petir, selain Ong Siau-sik yang sempat melihat jelas sepasang tangan aneh-nya itu, para jago yang lain hanya menyaksikan meja itu tahu-tahu sudah melayang ke atas atap bangunan rumah bagaikan burung rajawali, sementara lilin yang ada di meja jatuh ke permukaan tanah, jatuh berjajar secara rapi di lantai tanpa ada sebatang pun yang padam apalagi patah. "Braak", diiringi suara gemuruh yang keras, meja itu men-jebol atap rumah dan menembus keluar. Menyusul kemudian tertampak sekilas cahaya golok melin-tas. Cahaya golok itu berkilau bagaikan untaian berlian yang dikenakan seorang gadis cantik, cahaya golok yang amat menyilaukan. Di antara kilatan cahaya tajam dan desingan angin, meja kayu itu hancur berantakan dan menyebar ke empat penjuru, di antara hancuran serbuk kayu, tampak sesosok bayangan manu-sia melayang turun dengan entengnya. Baru pertama kali ini Ong Siau-sik menyaksikan kilauan cahaya golok seperti ini, cahaya golok yang menghancurkan sebuah meja hingga remuk berkeping. Terdengar Ho Tong membentak keras, kembali sepasang tangannya menggebrak permukaan tanah. Kali ini yang mencelat ke udara adalah enam batang lilin yang semula berada di lantai, enam lilin dengan kecepatan ba-gaikan burung walet meluncur ke muka dan menghantam tubuh orang itu. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekali lagi cahaya golok berkelebat, dimana sinar golok menyambar, cahaya lilin seketika padam dan lenyap tak berbekas. Hanya sebatang lilin tetap utuh, sebatang lilin tetap me-mancarkan cahayanya. Lilin itu berada dalam telapak tangan orang itu, seperti seekor capung kecil yang hinggap di daun teratai. Cahaya golok memantulkan sinar lilin dan menyinari wajahnya yang lembut, cahaya golok menyinari pula biji mata-nya yang bening dan indah. Ia melayang turun bagaikan bidadari, indah, lembut dan menawan hati. Inilah kali pertama Ong Siau-sik berjumpa dengan Un Ji (Kelembutan). Ketika ia memandang wajah Un Ji, di kolong langit hanya ada sebatang cahaya lilin yang menerangi wajahnya. Sebatang cahaya lilin yang berasal dari lilin di telapak ta-ngannya. Anehnya. Dalam suasana seperti ini, di kala Ong Siau-sik belum sempat melihat raut wajah orang itu dengan jelas, tiba-tiba ia teringat akan seseorang. Orang itu tak lain adalah pelajar berbaju sutera yang berdiri di tengah kerumunan orang banyak sambil menengadah memandang angkasa. Dia tahu orang itupun sedang bersembunyi di balik kege-lapan, tentunya dia pun sedang mengawasi cahaya golok itu, mengawasi orang yang melayang turun sambil membawa se-batang lilin. oooOOooo 4. Siapakah dia sebenarnya" Pendatang itu memegang golok di tangan kanannya dan membawa lilin di tangan yang lain, sinar lilin persis menyinari raut mukanya, dia bukan lain adalah pemuda yang nyaris ber-tumbukan dengan Ong Siau-sik tengah hari tadi di tengah lapangan. Wajah orang itu nampak lebih indah dan menarik, sorotan cahaya lilin membuat penampilannya lebih menawan hati. Kini seluruh penerangan dalam ruangan telah padam, yang tersisa hanya pancaran sinar lilin yang berasal dari tangannya. Sementara pihak musuh berkumpul jadi satu di balik kege-lapan bagaikan sebuah gentong, sorot matanya justru tetap bersinar terang dan berkilauan, hanya kegembiraan yang meng-hiasi wajahnya, sama sekali tak tersirat perasaan takut barang sedikitpun. "Ooh, rupanya hanya seorang nona cilik, ilmu golok yang hebat!" hardik Ho Tong nyaring. Orang itu nampak amat senang ketika mendengar ada orang memuji kehebatan ilmu goloknya, tapi alis matanya kontan bekenyit begitu mendengar ia disebut "nona cilik". Dengan suara nyaring tegurnya, "Darimana kau tahu kalau aku adalah seorang nona cilik?" Begitu perkataan itu diutarakan, semua jago yang semula masih tercengang oleh kehebatan ilmu goloknya, kini tak kuasa menahan rasa gelinya, semua orang tertawa terbahak-bahak. Sambil menuding ke ujung hidung sendiri, Ho Tong ber-tanya seraya tertawa, "Menurut pendapatmu aku ini lelaki atau wanita?" "Tentu saja lelaki," sahut pemuda itu mendongkol, "me-mangnya manusia macam kau bisa seorang wanita?" "Nah itu dia," sahut Ho Tong sambil menirukan nada bicaranya, "kalau kau bukan perempuan, memangnya manusia macam kau bisa seorang lelaki." Bicara sampai di situ ia segera menggerakkan tangannya membuat gerakan gundukan di depan dada sendiri. Gadis itu amat jengkel, sambil mendepakkan kakinya ber-ulang kali ia maju selangkah sambil menenteng goloknya, kembali serunya, "Kalian manusia busuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong memang pintarnya melakukan perbuatan jahat! Membuat cacad anak-anak, menculik dan menipu bocah, hmmm! Akan kutangkap kalian semua untuk diserahkan ke kantor polisi!" "Kau ingin menangkap aku?" Ho tong mundur selangkah sambil menuding ujung hidung sendiri. "Bukan cuma kau, tapi akan kutangkap semuanya!" Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan, se-mua orang tertawa geli karena ucapan itu. Sambil tertawa Ho Tong mengamati ujung golok lawan de-ngan matanya yang setengah terpicing, sementara dalam hati kecilnya ia tahu jelas bahwa bocah ini sama sekali belum ber-pengalaman dalam dunia persilatan meski ilmu goloknya cukup hebat. "Kenapa tidak kubuat dia marah dulu, kemudian baru turun tangan?" demikian ia berpikir. Mengimbangi pernyataan rekannya tadi, Ku Han-lim ikut bertanya sambil tertawa, "Buat apa kau menangkap kami se-mua?" Sementara Ting Siu-hok sambil menjulurkan sepasang tangannya berseru pula, "Kau ingin menangkap aku bukan" Ayo, tangkaplah! Kalau bisa mati di bawah tangan bunga botan, jadi setan pun pasti setan romantis ... nona mau memberi hadiah, sudah sepantasnya kuterima pemberian itu. Silakan, silakan, silakan!" Kembali semua orang tertawa tergelak, kali ini gelak ter-tawa mereka malah disisipi perasaan cabul dan jahat. Hanya Li Tan seorang yang tidak tertawa, ia sadar bahwa semua perbuatan dan ulahnya yang memalukan telah diketahui lawan, kendatipun dia berbuat begitu karena perintah perkum-pulan Lak-hun-poan-tong, namun bila berita itu sampai tersebar luas, dia bersama kelompoknya yang tetap harus menanggung rasa malu dan nama busuk. Oleh karena itu diam-diam ia mengambil keputusan, apa pun jadinya, dia tak akan mengijinkan gadis itu berlalu dari situ dalam keadaan hidup. Mendadak gadis itu mendengus dingin, paras mukanya berubah sedingin salju, menyusul kemudian tampak cahaya lilin bergetar keras. "Hati-hati ...!" bentak Ho Tong keras. Lekas Ting Siu-hok mundur ke samping, "Blaam, blaam!", diiringi suara keras, kedua orang yang berdiri di belakangnya sudah terpental mundur dari posisi semula. Menanti ia berhasil berdiri tegak, tampaklah dua buah robekan besar muncul di jubah bagian pinggangnya. Pucat pias selebar muka Ting Siu-hok, setelah memper-hatikan sekejap robekan di atas jubah sendiri, dia mengawasi pula gadis itu sekejap, sadar akan kehebatan orang, dia tak berani lagi mendekati lawannya. Bukan hanya dia seorang yang kaget, hampir semua jago yang hadir dalam ruangan ikut terpana dibuatnya, mereka tidak menyangka kalau si nona memiliki ilmu golok secepat ini, hanya tampak cahaya lilin bergetar, tahu-tahu tubuh Ting Siu-hok nyaris terbabat kutung jadi dua bagian, masih untung orang she Ting ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kalau tidak, entah apa jadinya. Ho Tong mendengus dingin, wajahnya berubah amat serius, baru saja dia hendak turun tangan, tiba-tiba terdengar Tio Thiat-leng menegur, "Apa hubunganmu dengan So Bong-seng?" Kali ini giliran gadis itu yang melengak, dia balik berseru, "Darimana kau tahu kalau aku dan Toasuheng ...." Sadar kalau telah salah bicara, lekas ia tutup mulut. Tio Thiat-leng manggut-manggut berulang kali, selanya, "Tak heran kalau kau pun pandai menggunakan ilmu golok bintang Seng-seng-to-hoat dari bukit Siau-hansan!" "Haah, kalau begitu kau adalah si gadis sakti yang bela-kangan ini menggetarkan sungai telaga, Siau-han-san-yan (si burung walet dari bukit Siau-han-san) Un Ji, Un-lihiap?" seru Ho Tong pula. "Jika kau memang anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, jangan harap malam ini kau bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" ujar Tio Thiat-leng kemudian, suara-nya keras dan tegas bagaikan emas yang membentur cadas, sorot matanya setajam sembilu. "Kau salah menduga," dengan lembut gadis itu mendo-ngakkan kepala, "aku bukan anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, kedatanganku ke kotaraja kali ini adalah untuk men-cari tahu suatu masalah, ingin menanyakan satu hal kepada Toa-suheng, kenapa sih urusan jadi makin serius dan gontok-gontokan semakin parah. Cuma ... jangan kalian anggap lantaran menghadapi jumlah banyak lantas aku takut, justru aku datang untuk mencari tahu siapa biang keladi perbuatan keji ini, jadi kalian pun jangan harap bisa kabur dari sini dengan selamat!" "Kami memang tak bermaksud kabur!" jengek Ho Tong sambil menyeringai seram. Kawanan jago lainnya ikut tertawa tergelak, meski begitu, setiap orang diam-diam meningkatkan kewaspadaannya, mere-ka kuatir Un Ji melancarkan serangan lagi sehingga mereka yang teledor jadi korban. "Kami justru merasa senang karena Un-lihiap mau meng-antar diri," kata Ku Hanlim pula sambil tertawa, "jangan kan kabur, kami malah akan menyambut kedatanganmu dengan senang hati!" "Ya. Jika Siau-moay dari So-kongcu tertawan, dapat dipas-tikan kejadian ini merupakan sebuah pahala besar yang jarang dijumpai dalam perkumpulan Lak-hunpoan-tong," Ho Tong menambahkan. Begitu ucapan ini diutarakan, serentak para jago merangsek ke depan untuk melakukan pengepungan, dalam waktu singkat situasi berubah jadi tegang, tampaknya setiap saat pertarungan bakal meletus. Li Tan dan Li Ciau-hong tak mau ketinggalan, dengan penuh napsu mereka merangsek ke muka dan siap melancarkan serangan. Di antara kawanan jago itu, Ting Siu-hok adalah jago yang paling bernapsu membekuk gadis itu, pertama karena dia ingin membalas sakit hati karena rasa malu yang dideritanya tadi, kedua karena dia memang seorang lelaki pemogoran yang suka pipi licin. Belum sempat Li Tan, Li Ciau-hong dan Ting Siu-hok ber-gerak maju, Ku Han-lim yang berada di samping arena sudah turun tangan lebih dahulu. Bagi Ku Han-lim, hanya ada satu alasan mengapa harus segera turun tangan: Mencari pahala! Dari perkataan Ho tong tadi, ia sadar kalau inilah ke-sempatan emas baginya untuk mencari pahala, maka tidak menunggu orang lain turun tangan, ia sudah merangsek lebih dulu ke depan, sepasang tangan dengan kesepuluh jari tangan-nya segera melancarkan tujuh totokan maut ke tubuh lawan, dia berniat menghabisi lawannya dalam satu gebrakan. Kepandaian silat yang dimiliki Li Tan bersaudara serta Ting Siu-hok tidak selisih banyak dengannya, tentu saja mereka bertiga tak ingin ketinggalan dari rekannya, maka hampir pada saat bersamaan keempat orang jago tangguh itu menerkam ke arah Un Ji. Walau sekilas pandang serangan itu dilancarkan berba-rengan, namun kenyataan ancaman datang secara berurutan, karena Ku Han-lim yang menyerang duluan, maka dia juga yang pertama kali menghadapi ancaman cahaya golok. Baru saja tubuhnya bergerak, cahaya golok telah meng-ancam tiba, dengan perasaan kaget, cepat dia mundur ke bela-kang dan cahaya golok pun ikut lenyap. Li Tan menjadi orang kedua yang melancarkan serangan, kungfunya memang setingkat lebih tinggi dari kepandaian Li Ciau-hong, karenanya kendatipun mereka menyerang secara berbarengan, namun ancamannya sedikit lebih cepat mengan-cam sasaran. Dengan demikian dia pun menjadi orang kedua yang menerima ancaman cahaya golok itu. Serangan golok muncul sangat cepat, selain cepat juga amat ringan dan lembut, selembut hembusan angin semilir, sehalus cahaya rembulan di angkasa. Serangan yang datang dengan kekuatan dahsyat, bukan ha-langan bagi Li Tan untuk menghadapinya, tapi menjumpai ancaman golok yang begitu halus, begitu lembut dan enteng, dia jadi kelabakan dan tak tahu bagaimana mesti menghadapinya. Dalam keadaan begini, mau tak mau dia harus mundur. Karena dia mundur, cahaya golok itu mengancam tubuh Li Ciau-hong. Perempuan itu sangat kaget, dia ingin menangkis tapi ter-lambat, mau menghindar juga tak sempat lagi, sebaliknya jika merangsek maju sama artinya dia akan termakan bacokan itu, dalam paniknya segera dia mundur sejauh tujuh langkah. Kini cahaya golok itu menyongsong datangnya ancaman dari Ting Siu-hok. Tadi Ting Siu-hok sudah pernah menjajal keampuhan golok Un Ji, rasa ngeri segera muncul begitu melihat datangnya ancaman, tentu saja dia tak berani ayal lagi, melihat ketiga orang yang berada di depannya serentak mundur, tanpa memikirkan soal gengsi lagi dia ikut bergerak mundur ke belakang. Kembali Un Ji mengobat-abitkan goloknya ke empat pen-juru, kemudian baru ia menarik kembali serangannya. Golok masih berada dalam genggaman gadis itu, bahkan lilin pun masih berada di tangannya secara utuh. Empat jago tangguh ingin mengerubutnya, siapa sangka hanya dalam empat tebasan golok, keempat orang itu sudah dipaksa mundur secara mengenaskan. Berhasil menguasai keadaan, Un Ji kembali berpaling ke arah Ho Tong sambil tertawa cekikikan, nadanya penuh ejekan. Ong Siau-sik merasa amat kagum dengan kehebatan gadis itu, semakin diperhatikan dia merasa semakin kesemsem, baru saja dia berniat memperhatikan lebih seksama, tiba-tiba sesosok bayangan menutupi celah di hadapannya. Saat itulah ia mendengar seseorang berbisik lirih, berbisik persis di sisi telinganya, "Bila aku berteriak 'bagus' nanti, kau segera turun tangan, robohkan Li Tan bersaudara, sementara yang lain serahkan saja kepadaku." Ong Siau-sik tertegun. Bayangan punggung yang menutupi pandangan matanya itu ternyata tak lain berasal dari si pelajar yang dijumpai siang tadi, pemuda yang menggendong tangan sambil menengadah ke angkasa. Dalam pada itu Tio Thiat-leng yang berada di ruangan telah berkata kepada Ho Tong dengan suara dalam, "Kiu-ko, kelihatannya kau tak bisa menyembunyikan ilmu Kim-jiu-eng milikmu lagi." Kedua orang itu saling mengangguk sambil perlahan-lahan bergerak ke depan, dengan membentuk satu garis lurus, satu di depan yang lain di belakang, mereka mulai bergerak mendekati gadis itu. Un Ji dengan wajah dingin dan serius berdiri sambil melin-tangkan goloknya, setelah mendengus dingin, jengeknya, "Hmmm, kau anggap nonamu takut menghadapi kalian?" Tio Thiat-leng maupun Ho Tong tidak menjawab, sekali lagi mereka saling bertukar pandang sambil tertawa keras. "Engkoh Kiu," ujar Tio Thiat-leng kemudian dingin, "keli-hatannya kita mesti menangkap betina ini hidup-hidup, setelah itu biar kuserahkan dia kepadamu, ajari dia agar lebih jinak." "Hahaha, jangan kuatir, tapi kita mesti hati-hati, kelihat-annya dia hebat juga." "Apakah sudah waktunya?" tanya Tio Thiat-leng sambil tertawa dingin. Ho Tong tak langsung menjawab, ia berpaling ke balik kegelapan dan bertanya, "Bagaimana menurut pandangan sau-dara Pek?" Terdengar pemuda pelajar yang berdiri menggendong tangan sambil memandang ke angkasa itu menyahut dengan santai, "Bukankah Ho-tongcu sudah memegang kendali" Kenapa mesti bertanya lagi kepadaku?" Berkilat sepasang mata Ho Tong, tiba-tiba ia mengernyit-kan alis matanya kemudian berseru, "Serang!" Baru saja Un Ji merasakan jantungnya berdebar keras karena kaget, mendadak telapak tangannya terasa sakit, sedikit saja terpecah perhatian, secepat sambaran petir Ho Tong sudah mencengkeram golok dalam genggamannya. Gadis itu membentak nyaring, golok Seng-seng-to yang tajamnya luar biasa itu segera diputar setengah lingkaran. Menghadapi senjata mestika yang amat tajam ini, Ho Tong tak berani gegabah, dari pukulan, cepat sepasang tangannya diubah jadi jepitan, ia berusaha menangkap senjata itu. "Bagus!" saat itulah pemuda pelajar itu menghardik ny-aring. Berbarengan dengan suara bentakan itu, Tio Thiat-leng melepaskan sebuah pukulan ke punggung Un Ji. Bagaimanapun hebatnya gadis ini, sayang pengalamannya dalam menghadapi pertarungan masih sangat dangkal, rupanya Ho Tong sengaja mengulur waktu tanpa melancarkan serangan tadi, tak lain karena sedang menunggu lilin yang ada di tangan Un Ji habis terbakar, ketika cairan lilin yang meleleh menembus telapak tangan dan menyebabkan si nona kesakitan itulah dia manfaatkan kesempatan itu untuk merampas golok lawan. Sementara Tio Thiat-leng yang banyak pengalaman pun tak tinggal diam, dia manfaatkan juga kesempatan itu untuk men-cabut nyawanya. Dalam waktu singkat kepalan Tio Thiat-leng sudah tiba di depan dada Un Ji, tampaknya gadis itu segera akan terluka parah. Sementara Un Ji terperanjat, tiba-tiba pukulan itu menyam-bar lewat dari sisi telinganya, kepalan kiri langsung menghan-tam wajah Ho Tong sedang kepalan kanan menghajar dadanya. Tak ampun wajah Ho Tong terhajar hingga retak, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya. Un Ji menjerit ngeri, dia merasa kakinya lemas saking kagetnya, apalagi menyaksikan tulang wajah orang retak persis di hadapannya. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sungguh dahsyat tenaga pukulan itu, saking kerasnya deru angin serangan itu membuat api lilin padam seketika. Menanti lilin itu disulut kembali, tampak seseorang terjerembab jatuh di luar pintu, orang itu tak lain adalah Ku Han-lim. Padahal api lilin hanya padam sejenak, namun perubahan yang terjadi dalam ruangan itu luar biasa besarnya. Kini lilin sudah berada dalam genggaman pemuda pelajar itu, dia masih tetap berdiri angkuh dan santai, seolah semua kejadian yang berlangsung di hadapannya sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Namun di atas lantai telah bertambah dengan beberapa sosok tubuh, orang-orang itu hampir semuanya roboh terpakar di lantai. Ku Han-lim, Ting Siu-hok, Li Tan, Li Ciau-hong, Ho Tong beserta seluruh orang yang dibawanya, kini sudah terkapar semua di tanah. Kalau ingin dibilang ada perbedaan di antara mereka, maka perbedaan itu terletak pada dua bersaudara Li. Li Tan dan Li Ciau-hong hanya tertotok jalan darahnya, sementara kawanan jago yang lain telah kehilangan nyawa secara mengenaskan dalam kegelapan tadi. Ho Tong telah tewas, dia tewas terhajar sepasang kepalan baja milik Tio Thiatleng. Rupanya di saat Ho Tong sedang memusatkan seluruh per-hatiannya untuk menghadapi Un Ji tadi, rekan perjuangannya, Tio Thiat-leng justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabisi nyawanya. Di saat Ho Tong roboh terjungkal ke tanah dan api lilin mendadak padam itulah, pemuda pelajar itu dengan gerakan tubuh yang luar biasa cepatnya menotok jalan darah Ku Han-lim, Ting Siu-hok serta dua belas orang jago lainnya. Di antara sekian jago, Ku Han-lim berusaha melarikan diri dengan membuka pintu kamar, tadi tengkuknya segera tersodok telak hingga roboh terkulai, sementara Ting Siu-hok berusaha kabur dengan menerobos jendela, tapi punggungnya ikut tersodok telak hingga separoh badannya terkulai lemas di atas daun jendela. Kelompok yang semula memegang kendali akhirnya roboh terkapar secara mengenaskan, sebaliknya orang yang sama sekali tak terduga justru kini menguasai keadaan, bahkan yang lebih mengenaskan adalah pihak yang semula pegang kendali, kini justru tak sanggup berdiri tegak, malah banyak di antaranya yang harus kehilangan nyawa. Memang begitulah dunia persilatan, seringkali menang kalah ditentukan hanya dalam sedetik. Ong Siau-sik yang berada di kegelapan hanya sempat mendengar deru angin yang menyambar lewat, disusul suara manusia yang roboh ke lantai, menanti cahaya lilin bersinar kembali, ia lihat pemuda pelajar itu masih berdiri santai seolah belum pernah melakukan serangan. Tapi Ong Siau-sik tahu, bukan saja dia telah turun tangan bahkan kepandaian silatnya sangat tangguh, justru dialah meru-pakan tokoh yang paling hebat di situ. Begitu ia mendengar pelajar itu berseru "bagus", maka sesuai dengan bisikan yang diterimanya tadi, Ong Siau-sik langsung menerjang keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang orang yang berada paling dekat dengan posisinya. Satu-satunya yang tidak dia lakukan adalah melakukan pembunuhan, karena itu dia hanya menotok jalan darah dua bersaudara Li hingga tak mampu bergerak. Kendatipun ia telah merobohkan dua orang lawan, hingga kini dia sendiri pun tidak tahu secara jelas kenapa Tio Thiat-leng tiba-tiba membunuh Ho Tong" Siapa pula pemuda pelajar itu" Apa hubungannya dengan si nona Un Ji yang muncul seolah turun dari langit" Sementara dia masih termenung, Tio Thiat-leng sudah menepuk tangan seakan sedang membersihkan noda darah dari telapak tangannya, kemudian dengan sorot mata yang tajam dia menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu. Setelah yakin situasi telah teratasi, dengan nada puas ia baru berkata kepada pemuda pelajar itu, "Akhirnya semua telah beres." "Ya, semua telah beres!" sahut pelajar itu tertawa. "Siapa dia?" tanya Tio Thiat-leng lagi sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik, menuding dengan jari tangan yang kaku, persis seperti tangan boneka kayu. "Hingga sekarang aku pun belum tahu, tapi sebentar kita bakal tahu," sahut pelajar itu sambil tersenyum. "Ehm, kelihatannya dia sangat berguna," seru Tio Thiat-leng dengan pandangan kagum. "Orang yang berguna biasanya paling enggan digunakan orang lain." "Kalau orang berguna tak bisa digunakan, sama artinya dia tak berguna." "Kalau belum perlu, janganlah digunakan, bila sudah perlu, gunakanlah!" "Sungguh menyesal saudara Pek," ujar Tio Thiat-leng kemudian, "selama ini aku hanya bisa menggunakan orang yang berbakat macam kau untuk keperluan kecil, benar-benar menyia-nyiakan kemampuanmu." "Tapi hari ini, aku toh melakukannya demi uang seratus tahil perak," sela pelajar itu sambil tertawa lebar. "Jangan kuatir saudara Pek, aku akan menambah lima bagian untukmu," seru Tio Thiat-leng sambil merogoh sakunya. Pemuda pelajar itu menerima tiga lembar uang kertas, setelah diperiksa di bawah cahaya lilin, dia masukkan uang itu kedalam saku sambil serunya, "terima kasih banyak!" Tiba-tiba terdengar un-ji membentak nyaring, "He, siapa kalian" Mau apa kemari" Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Gadis ini menjadi sewot karena semua yang hadir seakan tidak memperhatikan Tio Thiat-leng dan Ong Siau-sik, namun semua bersikap begitu acuh, seakan tidak menganggap kehadirannya disitu. Lama-kelamaan dia menjadi jengkel hingga akhirnya mengumbar amarah. Tio Thiat-leng dan pelajar itu saling bertukar pandang sekejap, kemudian bersama mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak. Lain halnya dengan Ong Siau-sik, apa yang barusan ditanyakan Un-ji justru merupakan persoalan yang ingin dia ketahui. Siapa mereka" Sebenarnya apa yang telah terjadi" Siapa pula perempuan ini" Mau apa dia datang kesitu" oooOOooo 5. Orang membunuh orang "Di luar sana masih ada sedikit persoalan yang harus di-bereskan, rasanya aku harus segera pergi dari sini?" terdengar Tio Thiat-leng berkata sambil tertawa dingin. "Silakan Cap-ji Tongcu!" sahut pelajar itu tertawa. Ketika melihat Tio Thiat-leng sudah tiba di luar pintu, tiba-tiba pelajar itu berkata lagi, "Ah keliru, seharusnya kusebut kau sebagai Tio-kiutongcu (Tongcu kesembilan)!" Sekilas perasaan girang melintas di balik mata Tio Thiat-leng, tapi di luar ia merendah, "Itu kan susah dibilang, harus dibuktikan apakah aku memang bernasib jadi Tongcu kesem-bilan." ooOOoo Kini tinggal Un Ji dan Ong Siau-sik saling berpandangan dengan wajah melongo, kalau Ong Siau-sik merasa makin me-mandang gadis itu semakin menawan hati, sebaliknya Un Ji makin memandang wajahnya semakin tak habis mengerti. Hanya pemuda pelajar itu yang tetap berdiri acuh tak acuh, sambil menggendong tangan dia tetap mendongak memandang angkasa, seakan kehadiran siapa pun di tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Sampai lama kemudian Un Ji baru berseru nyaring, "He!" "Kau sedang memanggil aku?" tanya Ong Siau-sik sambil menuding ujung hidung sendiri. "Tentu saja aku sedang memanggil kau." "Kau benar sedang memanggil aku?" sekali lagi Ong Siau-sik menuding ke dada sendiri. Un Ji amat mendongkol melihat tingkah dungu yang diperlihatkan anak muda itu, teriaknya dengan wajah sewot, "Siapa kau" Siapa namamu" Mau apa kemari" Kelompok mana yang sedang kau bantu?" "Aku ...." Ong Siau-sik tidak tahu pertanyaan mana yang mesti dijawab duluan, untuk ketiga kalinya dia menuding ke tubuh sendiri, "Aku ...... aku pun tidak tahu." Dengan gemas Un Ji mengayunkan goloknya ke udara, sungguh hebat tebasan itu, Ong Siau-sik yang berada lima kaki di hadapannya pun ikut merasakan betapa tajamnya angin serangan itu. "He, siapa sih kamu ini?" teriak nona itu marah, "berani amat kau permainkan nonamu!" Ong Siau-sik tahu, jika ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, maka hanya pemuda pelajar itu yang bisa menerangkan, maka dia pun menghampiri orang itu, memberi hormat dan menyapa, "Heng-tay, selamat bersua." "Kau tak usah sungkan," balas pelajar itu tersenyum. "Boleh tahu siapa nama Heng-tay?" Belum lagi pemuda pelajar itu menjawab, Un Ji sudah menyela, "Buat apa mesti ditanya lagi, dia dari marga Pek." "Oya" Jadi kau tahu aku dari marga Pek?" pemuda itu mengalihkan sorot matanya ke wajah si nona, "lantas siapa pula namaku?" "Peduli amat kau bernama Pek apa," sahut Un Ji sembari menyarungkan kembali goloknya, "pokoknya aku hanya ingin kau menjawab sejujurnya, kenapa kau membantai orangorang itu" Apakah mereka satu komplotan denganmu?" "Bukankah kau sudah tahu kalau aku dari marga Pek" Jadi banyak bertanya pun percuma," pelajar itu tersenyum. Lagi-lagi Un Ji naik darah, tampaknya dia akan melolos go-loknya lagi. Melihat itu segera Ong Siau-sik berseru, "Boleh aku tahu siapa nama Heng-tay?" "Oh, aku she Pek bernama Jau-hui, boleh tahu siapa nama-mu?" "Pek Jau-hui" Pek Jau-hui?" pikir Ong Siau-sik di hati kecil-nya, "semenjak terjun ke dunia persilatan, aku selalu memperhatikan tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan, tapi rasanya be-lum pernah kudengar nama ini, jangan-jangan dia adalah jagoan muda yang baru tampil" Kalau tidak, kenapa tak pernah kudengar namanya?" Meski berpikir begitu, di luar segera dia memperkenalkan diri, "Oh, Cayhe dari marga Ong bernama Siau-sik, Ong dari kata raja, siau dari kata kecil dan sik dari kata batu." Sebetulnya Pek Jau-hui ingin menjawab "Selamat bertemu kembali", tapi setelah merasa nama Ong Siau-sik belum pernah didengar sebelumnya, dia menelan kembali perkataan itu, ujarnya kemudian, "Cepat betul gerak seranganmu, hanya dalam waktu singkat dua bersaudara Li telah berhasil kau roboh-kan, tampaknya kungfumu bukan berasal dari perguruan besar di daratan Tionggoan." "Ah, saudara Pek terlalu memuji, justru kungfumu yang lebih hebat. Tadi aku memang sengaja tidak membunuh mereka, karena aku beranggapan kejahatan mereka belum sepantasnya diganjar dengan hukuman mati." Pek Jau-hui menghela napas panjang, "Ai, jika kita biarkan satu saja di antara mereka pulang dalam keadaan hidup, bukan cuma kau dan aku, bahkan Tio-kiutongcu pun akhirnya akan tewas di tangan orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Tapi ... bukankah di antara orang-orang itu masih ada yang terhitung berhati baik, tidak berniat melakukan kejahatan, apakah orang semacam inipun harus dibunuh?" "Bila aku tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhku, biar salah bunuh, kita tak boleh melepaskan mereka begitu saja, apalagi orang-orang itu sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, jadi dibunuh pun tidak keliru." "Kita manusia, mereka pun manusia, kita semua ingin hidup terus, begitu juga dengan mereka, bila hanya dikarenakan alasan itu lalu kita membunuhnya, bukankah di kemudian hari mereka pun bisa menggunakan alasan yang sama untuk membunuh kita" Entah bagaimana menurut pendapat saudara Pek?" Pek Jau-hui kontan tertawa dingin. "Kita hidup dalam dunia yang kejam, siapa lemah dia tertindas siapa kuat dia pegang kekuasaan, bila suatu ketika kita yang terjatuh ke tangan mereka, sekalipun kita memiliki alasan yang kuat, alasan yang masuk akal pun, belum tentu mereka akan membebaskan kita. Aku rasa siapa yang harus dibunuh tetap mesti dibunuh, siapa yang sudah saatnya mati dia tetap harus mati." "Tapi bila kau tidak membunuhnya, dia pun tak ada alasan untuk membunuhmu, bukankah semua pihak dapat hidup secara aman damai?" seru Ong Siau-sik serius. "Pendapatmu keliru besar," bantah Pek Jau-hui serius, "asal di tempat itu ada manusia, asal manusia yang satu berkumpul dengan manusia yang lain, tak bisa dihindari kalau bukan kau yang membunuh aku, akulah yang akan membunuh kau, ada orang membunuh dengan darah berceceran, ada pula orang membunuh tanpa kelihatan darah. Ada orang membunuh sambil tertawa, membunuh sebagai satu kesenangan, ada pula yang membunuh dengan linangan air mata, membunuh karena terpaksa. Ada pula orang yang tak pernah membunuh sesa-manya, tapi apa yang diperbuat jauh lebih menyakitkan dari-pada membunuh. Ada pula orang yang hidup karena menunggu dibunuh orang lain. Dunia yang kau bayangkan selama ini, sebenarnya hanya ada dalam hatimu sendiri, dunia luar jauh berbeda dengan bayanganmu." "Kenapa sih kalian meributkan terus soal bunuh membunuh," sela Un Ji tiba-tiba, "kau anggap kita semua ini manusia atau bukan?" Sudah sedari tadi nona ini menahan diri, baginya, kesabaran yang ia perlihatkan saat ini sudah mencapai puncaknya. Mencapai pada taraf dimana ia sendiri pun memuji atas kemampuan sendiri. Padahal sejak kecil ia sudah terbiasa hidup manja, dia harus paling menang, harus paling diperhatikan, pernah gara-gara tidak dibelikan sebuah lentera waktu diajak ibunya menonton keramaian, ia menangis menjerit-jerit hingga seluruh orang datang berkerumun. Pernah juga gara-gara seekor burung hua-bi nya terlepas dari sangkar, dia mengumbar amarah dengan menghancurkan sebelas macam benda antik yang tak ternilai harganya, merusak enam lembar lukisan kenamaan dan menghancurkan cermin Persia kesayangan kakeknya. Kenakalannya semakin memuncak ketika suatu saat dia menggunakan cap kepangkatan milik ayahnya untuk menimpuk seekor anjing hingga cap itu hancur berantakan. Ketika mulai belajar silat di gunung Siau-han-san, semua anggota perguruan pun menaruh hormat kepadanya, gurunya juga amat sayang kepadanya. Kesemuanya ini membuat Un Ji sudah terbiasa dimanja, manja yang membuatnya sering bertindak semena-mena. Di luar dugaan, saat ini dua orang lelaki yang berada di hadapannya sama sekali tak memandang sebelah mata pun kepadanya, bisa dibayangkan betapa mendongkol dan gusarnya gadis itu. Jeritan Un Ji seketika membuat Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik tertegun, setelah selang beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata sambil tertawa, "Kau tak usah marah, kami pun tahu kalau kau adalah seorang pendekar wanita kenamaan, seorang pendekar sejati yang selalu menegakkan keadilan dan kebenaran, kami malah tahu kalau kau adalah murid paling kecil, murid paling disayang dari Angsiu Sinni, Ciangbunjin partai Siau-han-san, bukankah begitu Un Ji, Un-lihiap?" "Darimana kau bisa tahu sejelas itu?" tanya Un Ji kehe?ranan. Pek Jau-hui tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Menggunakan kesempatan ini Ong Siau-sik bertanya pula, "Saudara Pek, aku merasa sangat bingung dengan keadaan di sini, bersediakah kau memberi penjelasan?" "Sudah pernahkah kau mendengar tentang perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Pek Jauhui balik bertanya. "Dalam perjalanan menuju kemari, aku banyak mendengar tentang hal ini, bukankah perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah organisasi yang amat berpengaruh di kota Kay-hong?" "Kau pernah juga mendengar tentang perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" kembali Pek Jau-hui bertanya. Ong Siau-sik manggut-manggut. "Ya, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau adalah organisasi nomor wahid yang banyak disanjung jagoan baik dari golongan putih maupun golongan hitam." "Nah itulah dia, orang kuno bilang, di dalam satu gunung tak bisa ditempati dua ekor harimau, kalau kedua belah pihak sama-sama ingin jadi nomor wahid, lalu siapa yang paling pantas disebut nomor satu" Perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah dua puluh enam tahun menguasai dunia persilatan, sudah barang tentu mereka tak akan membiarkan pengaruh dan kekuatan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau bertambah besar dan kuat. Sebaliknya pihak perkumpulan angin emas hujan gerimis tumbuh amat pesat, perkembangannya di luar dugaan, tak aneh bukan jika mereka pun berusaha menggeser posisi perkumpulan Lak-hun-poan-tong agar bisa mereka gantikan?" Setelah berhenti sejenak, sambil menuding ke arah mayat yang berserakan, Pek Jau-hui berkata lebih jauh, "Peraturan lama tetap berjalan dimana pun, akhirnya ...... siapa kuat dia jadi raja, siapa lemah dia harus jadi seorang bandit." "Berarti Tio-kiutongcu yang barusan berlalu tadi adalah anggota perkumpulan Lakhun-poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. "Dia?" Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia berpaling keluar kamar Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sambil teriaknya, "Tio-tongcu, bukankah kau yang lebih pantas menjawab pertanyaan ini?" Tio Thiat-leng si manusia persegi empat yang semula sudah berlalu, kini muncul kembali seraya membuka pintu, sahutnya jujur, "Sampai sekarang aku malah belum tahu siapakah dia sebenarnya." Kalau dilihat tingkah lakunya yang sopan, polos dan jujur, siapa pun tidak akan menyangka kalau tadi ia telah melakukan pembunuhan secara keji. Mendengar pertanyaan itu, Ong Siau-sik segera menjawab, "Aku hanya seorang Bubeng-siau-cut, seorang ingusan yang baru terjun ke dalam dunia persilatan!" Dengan sorot matanya yang tajam Tio Thiat-leng mengawasi wajah bocah muda itu sekejap, tiba-tiba tanyanya lagi, "Kau ingin kaya raya" Ingin punya kedudukan" Ingin punya nama besar?" "Tentu saja ingin, tentu saja mau!" sahut sang pemuda tanpa ragu. "Kau berbakat, punya kungfu hebat, asal mau mengikuti aku, di kemudian hari kau pasti akan berhasil." "Aku toh tidak tahu siapakah dirimu, kenapa harus mengikuti kau?" "Aku adalah Tongcu kedua belas dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Dengan posisiku sekarang, belum tentu aku mau menerima orang lain jadi pengikutku walau mereka merengek-rengek." "Tapi kenyataannya, mereka yang bekerja untukmu akhirnya tewas juga di tanganmu." "Hmmm, sebaiknya kau sadar akan situasi yang sedang kau hadapi saat ini, sebentar aku harus balik ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, memangnya kau anggap aku akan membiarkan kau tetap hidup lalu menyebar luaskan berita ini di luar?" "Ooh, jadi kau ingin membunuhku untuk membungkam mulutku?" jengek Ong Siau-sik sambil tertawa menjengek. Sejak tadi Un Ji sudah tak kuasa menahan diri, maka begitu mendengar bakal ada gara-gara yang terjadi, cepat ia maju ke depan, seolah kuatir tak mendapat bagian, dia maju dengan wajah garang. "Eei, jangan lupa, aku pun ikut mendengarkan semua pembicaraan kalian," teriaknya keras, "jadi ada baiknya aku pun sekalian dibunuh." Tio Thiat-leng tersenyum, dengan wajah menghormat sahutnya, "Un-lihiap, aku bilang tak ada pembunuhan lagi di sini, apalagi kau, masa akan kubunuh juga?" "Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Un Ji melengak. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Sudah begitu banyak orang yang kubunuh, masakah nona Un masih belum tahu kalau aku sebenarnya bekerja untuk Suhengmu?" "Haaah, jadi kau ... kau adalah jagoan dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau!" Dengan pandangan geli Pek Jau-hui memandang Un Ji sekejap, lalu ujarnya kepada Ong Siau-sik, "Kelihatannya bila malam ini kau ingin lolos dari sini dalam keadaan selamat, paling tidak kau mesti mengunjuk kebolehanmu terlebih dulu." Dalam pada itu Tio Thiat-leng telah berkata lagi kepada Un Ji dengan suara lembut, "Sebenarnya bukan cuma dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong ada orang kita yang menyusup, mungkin ada pula orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang menyusup ke tubuh perkumpulan kita, ada di antara mereka yang bisa ditemukan, tapi banyak yang masih tersembunyi. Sudah umum kejadian semacam ini ditemukan dalam pertarungan antara dua kubu. Masalahnya hanya siapa tangguh dia menang, siapa lemah dia akan ketahuan. Bukan sesuatu yang luar biasa." Kemudian sambil berpaling ke arah Ong Siau-sik, tegur?nya, "Sudah kau dengar dengan jelas?" "Sudah!" "Kini rahasiaku sudah terbongkar, terhadap Pek Jau-hui aku tak perlu kuatir karena dia adalah sahabatku, aku percaya penuh padanya, sementara Un-lihiap adalah orang sendiri, tentu saja aku tak boleh membunuhnya, tinggal kau "Tinggal aku seorang yang tahu kalau kau pun bukan Tio Thiat-leng, bukan begitu?" tukas Ong Siau-sik tanpa berubah wajah. Berubah hebat paras muka Tio Thiat-leng begitu selesai mendengar perkataan itu, dengan melompat dia menerkam ke muka, lalu bentaknya, "Apa kau bilang?" Begitu keras bentakan itu, bukan saja membuat cahaya lilin bergetar keras bahkan Setan Cebol Penyebar Maut 3 Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Samurai Pengembara 5 1

Cari Blog Ini