Ceritasilat Novel Online

Golok Kelembutan 2

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 2 lantai papan yang diinjaknya pun nyaris retak dan hancur berantakan. Ong Siau-sik tetap berdiri tenang, ditatapnya wajah Tio Thiat-leng sekejap, kemudian ujarnya, "Kau bukan Tio Thiat-leng, kau sebenarnya adalah Si Say-sin!" Merah padam wajah Tio Thiat-leng, sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang, agaknya setiap saat dia akan melancarkan serangan. "Darimana kau bisa tahu?" terdengar Un Ji bertanya. Ong Siau-sik tidak menjawab pertanyaan itu, dengan setengah mengejek kembali ujarnya kepada Tio Thiat-leng, "Aku tidak salah menebak bukan?" Sepasang kepalan Tio Thiat-leng digenggam semakin kencang, di tengah udara mulai terdengar suara gemuruh nyaring. Jagoan ini memang hebat tenaga dalamnya, sepasang Tay-yang-hiat nya yang menonjol besar kini menongol makin besar. Ditatapnya Ong Siau-sik dengan mata melotot, kemudian teriaknya, "Darimana kau bisa tahu?" Ong Siau-sik kembali tertawa, senyuman itu dilemparkan ke arah Pek Jau-hui. Sikap Pek Jau-hui yang semula dingin angkuh, kini nam?pak sedikit berubah, berubah jadi lebih hangat dan lembut, kehangatan yang sangat aneh, tapi hanya sejenak kemudian sudah lenyap. "Tio-tongcu!" serunya tiba-tiba. "Ada apa?" Tio Thiat-leng segera berpaling. "Apakah urusan di luar sana sudah diselesaikan?" "Sudah selesai semuanya," jawab Tio Thiat-leng cepat, ia tak habis mengerti mengapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu. "Sampai kapan pihak pengadilan baru akan mengirim orang kemari?" "Sebentar lagi akan tiba." "Lalu putra tunggal Sin-hu?" "Dia ada dalam almari." Baru saja dia ingin bertanya kenapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu, Pek Jau-hui sudah berkata lagi, "Tadi kau sudah mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?" Tio Thiat-leng kembali tertegun, setelah termenung sejenak sahutnya, "Tiga!" "Keliru besar," kata Pek Jau-hui sambil tersenyum dan menggeleng kepala berulang kali, "termasuk pertanyaan terakhir, kau sudah mengajukan empat buah pertanyaan. Sudah saatnya kau redam dulu hawa amarahmu. Jika kau gagal mengendalikan hawa amarahmu itu, aku takut kau bakal tak mampu menghadapi Lote ini! Sekarang aku telah menjadi sahabatmu, apalagi kau pun telah memberi banyak uang untukku, sebagai sahabat, aku merasa wajib memberi nasehat ini kepadamu!" Tak terlukiskan rasa gusar Tio Thiat-leng setelah mendengar perkataan itu, tapi setelah berpikir sejenak dia pun mengendurkan badannya sambil menghembuskan napas panjang, kemudian bertanya, "Jadi kau menganggap aku bukan tandingan sahabatmu itu?" "Aku sendiri pun tidak tahu sampai dimana ketangguhan ilmu silatnya," sahut Pek Jau-hui sambil menggendong tangan, "tapi aku tahu otaknya encer, dia pintar dan sangat tanggap. Padahal dia tak tahu siapakah Si Say-sin, hanya berdasarkan keteranganmu kalau kau adalah anggota perkumpulan Kimhong-si-yu-lau yang menyusup ke dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, lalu mendengar kedatangan Tongcu kesembilan Ho Tong ke Ouw-pak kali ini adalah untuk menghadapi Si Saysin, dan melihat pula kau telah membunuh Ho Tong, dia sudah berani menyimpulkan kaulah Si Say-sin itu, apa kau tidak merasa bahwa dia sangat hebat?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan santainya dia menambahkan, "Jadi sebetulnya kau sendiri yang telah membocorkan rahasia itu kepadanya, aku tak ingin kau sekalian menyerahkan nyawamu kepadanya." Tiba-tiba Ong Siau-sik merasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Sekarang ia mulai sadar tentang mara bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, bila Pek Jau-hui sampai bekerja sama dengan Tio Thiat-leng, berarti jangan mimpi dia bisa keluar dari rumah penginapan itu dalam keadaan hidup. Terdengar Un Ji kembali berkata, "Kalau kau adalah Si Say-sin, lalu siapa pula lelaki kurus jangkung yang telah membantai kawanan opas tengah hari tadi?" "Darimana aku tahu?" jawab Tio Thiat-leng sembari menggeleng. Pek Jau-hui mencoba berpaling ke arah Ong Siau-sik, tapi pemuda itu segera menggeleng seraya menyahut, "Aku sendiri pun tidak tahu." Pek Jau-hui mulai tertawa, ketika tertawa ia nampak licik dan banyak akal bulusnya. "Untung saja masih ada persoalan yang tidak kita ketahui." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan, "Penghidupan semacam inilah baru menarik dan menyenangkan............" Ternyata hingga detik ini, dia masih tidak menganggap Un Ji sebagai salah satu bagian dari mereka, karena dia tetap tidak memperhitungkan gadis itu. 6. Secawan arak, tiga nyawa Un Ji amat sedih. Selama hidup, belum pernah ia berjumpa dengan seorang lelaki yang begitu tidak menghormatinya, begitu tak memandang sebelah mata terhadapnya, tidak menganggapnya sebagai seorang tokoh, bahkan nyaris tidak menganggapnya sebagai manusia. Ia merasa sangat terhina, merasa amat sedih. Melihat lelaki itu masih berdiri dengan sikap angkuh, acuh tak acuh dan jumawa, dia amat membencinya, makin dipandang makin sakit hati. Pada saat itulah ia mendengar Pek Jau-hui kembali berkata, "Terlepas siapa pun orang itu, yang pasti dia adalah seorang tokoh yang tak boleh dipandang enteng!" Tio Thiat-leng kembali berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya, "Aku lihat kau pun termasuk manusia yang tak boleh dipandang enteng, kemari dan bergabunglah, aku pasti akan menghargai tenagamu." "Aku tidak ambil peduli tentang kesemuanya itu," Ong Siau-sik menggeleng, "mau pandang enteng tidak masalah, mau menghargai kemampuanku juga silakan, tapi yang jelas, aku tetap aku, aku tak nanti bersedia kau gunakan hanya lantaran kau menghargaiku, aku pun tak bakal melancarkan serangan hanya dikarenakan kau memandang enteng diriku. Bagiku, persoalan yang terjadi adalah perseteruan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan perkumpulan Kimhong-si-yu-lau, siapa menang siapa kalah bukan persoalanku dan aku pun tak ingin tahu. Yang kuingin ketahui saat ini hanya satu hal." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah M'rius, "Apakah dikarenakan kau ingin merusak nama dan reputasi perkumpulan Lak-hun-poan-tong dalam dunia persilatan, maka kau sengaja memerintahkan kelompok akrobatik, kelompok pedagang dan penjual obat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?" "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah perkumpulan besar, mereka harus menghidupi banyak anak buah, jadi apa yang mereka lakukan selama ini untuk menunjang kehidupan anggotanya, aku rasa hampir setiap orang tahu dengan jelas dan tak usah aku jelaskan lebih jauh. Tapi satu hal kau mesti tahu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai nama dan reputasi yang baik di seputar wilayah Ouw-pak, pengaruhnya sangat besar dan banyak orang gagah.dunia persilatan yang bersedia bekerja untuk mereka. Bila aku tidak menggunakan siasat ini, bagaimana mungkin aku bisa mengubah pandangan dan haluan Sin-hu Tayjin yang selama ini selalu berkomplot dengan Lui Sun" Bagaimana mungkin aku bisa meminta dia untuk membuyarkan daya pengaruh perkumpulan Lakhun-poan-tong dengan berganti haluan bersekongkol dengan So-kongcu" Contohnya dua bersaudara Li, orang she Ting dan Ku Han-lim, selama ini mereka memang tak pernah melakukan perbuatan baik, bukankah gara-gara kejadian ini mereka malah bisa kita tumpas" Aku berharap kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong di wilayah Ouw-pak bisa diberantas seakar-akarnya." "Apakah orang-orang itu sangat mempercayai dirimu?" tanya Ong Siau-sik lagi dengan kening berkerut. Dia saksikan paras muka Li Tan serta Li Ciau-hong yang tergeletak di tanah mulai mengunjuk perasaan murka. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Justru yang percaya penuh kepadaku adalah Lui Sun Lui-congtongcu, sementara orang-orang itu .... Hmm! Tak lebih hanya mengantar nyawa saja." "Aku lihat perempuan ini baik hati dan masih mempunyai rasa peri kemanusiaan, kesalahannya belum pantas untuk dihukum mati," bocah muda itu coba membela. Waktu itu, meskipun jalan darah Li Ciau-hong sudah tertotok, namun mulutnya masih bisa berbicara bebas, sambil mengertak gigi penuh amarah, mendadak ia mengumpat, "He, orang she Tio, kau memang bedebah! Aku tidak ambil peduli kau mau bermarga Si atau bermarga Tio, tapi yang pasti kau memang seorang bangsat sejati, bedebah yang berhati kejam, hanya manusia macam kau yang mampu melakukan perbuatan terkutuk, biar jadi setan pun aku tak bakal melepaskan dirimu!" "Tutup mulutmu adikku!" hardik Li Tan cepat, lalu dengan nada setengah merengek terusnya, "Tio-tongcu, mohon kebesaran hatimu dengan mengampuni jiwa anjing kami bersaudara! Di kemudian hari, mau dijadikan kerbau atau kuda, kami siap menjalankan perintahmu dan tak akan membangkang." "Hmmm, kalau ingin jadi kerbau atau kuda, lebih baik cepatlah menuju ke neraka, di sana pun kalian berdua bisa memperoleh jabatan," sahut Tio Thiat-leng ketus. "Tio-tongcu," kembali Li Tan merengek, "kami berjanji tak akan membocorkan kejadian pada malam ini kepada siapa pun, jika kami sampai membocorkan kejadian ini, biar aku orang she Li mati disambar geledek, mati secara mengenaskan." "Hmm! Kau memang bakal mati secara mengenaskan." "Mau mati biarlah mati, kenapa mesti minta ampun!" jerit Li Ciau-hong tidak puas. "Adikku," kembali Li Tan berseru dengan gugup. "Kau jangan bicara sembarangan, jika kau melakukan kesalahan lagi terhadap Tio-tongcu, aku tak akan mempedulikan dirimu lagi." "Kakak, matikan saja pikiran semacam itu," tukas Li Ciau-hong lantang. "Malam ini, jangan harap kita berdua bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat." Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Li Ciau-hong," katanya, "percuma kau berteriak-teriak dengan suara keras, memangnya kau senang melihat urusan jadi semakin runyam" Sayangnya, semua penghuni rumah penginapan ini sudah ditukar dengan orang-orangku, mereka yang tidak berpihak kepadaku sudah bersih dibantai." "Apa" Orang-orang cacad itupun sudah kau bunuh?" tanya Ong Siau-sik dengan wajah berubah. "Hahahaha ... tidak sampai sesadis itu," Tio Thiat-leng tertawa tergelak, "justru orang-orang itu yang akan mendatangkan pahala bagiku, merekalah bukti nyata perbuatan terkutuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" Ong Siau-sik baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, tanyanya kemudian, "Di dalam almari sana terdapat sebuah peti, apakah putra tunggal Sinhu Tayjin yang disembunyikan dalam peti itu?" "Justru dialah yang dijadikan acara pembukaan oleh Si Say-sin dalam kejadian ini, tanpa dia, Bun Sin-hu serta kawanan pejabat anjing lainnya belum tentu mau berganti haluan, kini pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berani mengusik putra tunggal Bun Sin-hu, sudah jelas para pejabat negara akan menjadi musuh bebuyutannya," Pek Jau-hui menerangkan sambil tertawa. Sementara itu Tio Thiat-leng sudah berjalan menghampiri almari itu, dengan sekali bacok, dia jebol pintu almari, menyeret keluar sebuah peti, meremas kuncinya hingga hancur kemudian melayangkan sebuah tendangan untuk membuka peti itu. Seorang bocah berwajah bersih, tampan dengan hidung mancung duduk melingkar dalam peti itu, dia seakan terlelnp dalam tidur yang sangat nyenyak sehingga walaupun peti sudah terbuka dia masih tidur terus. Sekilas pandangan Ong Siau-sik tahu kalau bocah ini sudah dicekoki obat pembius, bila dilihat bagian tubuhnya yang utuh, rasanya dia belum dicelakai orang. Sekarang ia baru menemukan jawaban, berasal darimanakah suara dengusan napas perlahan yang didengarnya ketika bersembunyi dalam almari tadi. "Kali ini Sin-hu Tayjin dan Congkoan pasti akan merasa sangat puas," kata Tio Thiat-leng dengan perasaan lebih santai. "Yang pasti So-kongcu akan semakin puas dengan sepak terjangmu," sela Pek Jauhui. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Semua ini berkat bantuan dari saudara Pek, tapi masih ada satu urusan besar yang mesti kukerjakan, bila pekerjaan itupun berhasil kulakukan, semua tugasku baru bisa dianggap selesai." "Omong kosong," tak tahan Un Ji menyela, "Toasuheng bukan manusia semacam ini, mustahil dia memerintahkan kau untuk melakukan perbuatan terkutuk semacam ini!" Tio Thiat-leng tidak menanggapi perkataan itu, ia berpaling dan memandang Li bersaudara sekejap, kemudian katanya lagi kepada Ong Siau-sik, "Coba pertimbangkan sekali lagi tawaranku itu, selesai membereskan kedua orang ini, aku akan menunggu kabar baikmu." "Tak usah dipertimbangkan lagi," tukas Ong Siau-sik. "Oya?" "Aku telah mengambil keputusan." "Nah, begitu baru seorang pemuda tahu diri, masa de?panmu pasti cerah," seru Tio Thiat-leng sambil tertawa, setelah, itu dia melangkah maju menghampiri Li Ciauhong. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menghadang di hadapan Li Ciau-hong, teriaknya, "Hari ini sudah kelewat banyak orang yang tewas di sini, aku tak ingin melihat orang mati lagi, apalagi perempuan ini memang tidak seharusnya mati." "Dia tidak pantas mati?" jengek Tio Thiat-leng dengan sorot mata berkilat, "sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, dia adalah seorang perempuan bedebah, apakah kau ingin menjadi pelindungnya?" "Aku tak peduli apa katamu, seperti yang sudah kutegaskan tadi, hari ini aku tak akan membiarkan kau membunuh orang lagi." Sambil mundur selangkah, Tio Thiat-leng mengawasi wajah anak muda itu lekatlekat, akhirnya dia mengangguk tiga kali seraya berseru, "Bagus, bagus, bagus!" Ong Siau-sik sama sekali tak ambil pusing, sambil mengerling ke arah Pek Jau-hui sekejap, tiba-tiba ujarnya, "Saudara Pek, aku ingin tahu, kau berpihak kemana?" Sambil menggendong tangan Pek Jau-hui mundur sejauh tujuh langkah, sahutnya, "Malam ini adalah pertemuan kedua bagi kita, sementara aku sudah empat kali bertemu dengan Tio-tongcu, malah transaksi jual beli kami sudah berjalan mulus, artinya baik kau maupun dia, semua adalah sahabatku, aku tak ingin membantu pihak mana pun." Dengan satu gerakan kilat Un Ji melompat ke sisi Ong Siau-sik, serunya cepat, "Aku berpihak padamu ..........." Belum selesai gadis itu berbicara, Tio Thiat-leng sudah menerjang sembari menyodokkan sepasang kepalannya mele?paskan satu pukulan, sementara kakinya menyapu tubuh Un Ji. . Begitu tubuh Un Ji roboh terjungkal, kepalan itu langsung menyambar ke dada dan wajah Ong Siau-sik. Serangan itu sangat tiba-tiba dan cepatnya bukan kepalang, tak sempat bagi Ong Siau-sik untuk menghindarkan diri. Tio Thiat-leng segera sadar, dia bakal membunuh seorang lagi. Bagi dirinya, bagi pandangannya, saat ini Ong Siau-sik sudah ibarat sesosok mayat. Dia tidak kuatir ditegur So-kongcu, dia tak takut atasannya gusar karena ulahnya itu. Sebab sekarang dia sudah membuat jasa besar, bila ditambah aksi yang akan dilakukannya esok hari, maka jasa dan pahalanya akan luar biasa besarnya. Dia tahu So-kongcu selalu membedakan dengan jelas mana jasa dan mana dosa, sekalipun sekarang dia telah menyapu kaki adik seperguruannya hingga terjungkal, dia menganggap kejadian ini lumrah, apalagi dia toh tidak membunuhnya. Justru sekarang dia merasa sedikit sayang, sedikit kecewa. Dia tahu, Ong Siau-sik adalah seorang anak muda yang berbakat, ia dapat melihat hal itu. Tapi kenyataan, bakat yang begitu bagus ternyata enggan berpihak kepadanya, daripada bakat bagus ini terjatuh ke tangan orang lain, dia putuskan lebih baik mengirimnya lebih dulu ke dalam peti mati! Sekarang dia sedang menunggu suara tulang belulang Ong Siau-sik retak dan hancur. Suara tulang yang hancur bermacam-macam, suara tulang wajah yang retak beda sekali dengan suara tulang dada yang hancur, tulang wajah agak keras sementara tulang dada lebih lunak, bila dibandingkan suara tulang iga yang retak pasti lebih nyaring. Namun baginya, suara tulang wajah yang retak jauh lebih merangsang, jauh lebih menegangkan. Selama ini sudah terlalu banyak tulang dada orang yang hancur di tangan Tio Thiat-leng, oleh karena itu dia lebih suka menghajar wajah lawan. Misalnya saat dia menghajar Ho Tong sehingga tulang wajahnya hancur. Ketika mendengar suara tulang wajah seorang sahabatnya yang sudah lama dikenalnya, sudah lama berjuang bersama hancur berantakan, lalu dapat pula menyaksikan sorot mata ragu dan tak percaya yang dipancarkan dari mata rekannya Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu, bagi Tio Thiat-leng, kejadian ini amat merangsang napsu, dia merasa sangat menikmatinya. Betul juga, dia segera mendengar suara tulang patah. Bukan tulang wajah, bukan pula tulang iga, tapi tulang per-gelangan tangan. Suara retak itu berasal dari tulang pergelangan tangan kiri sendiri, suara retak yang amat nyaring. "Kraaak!" Tangan kanan Ong Siau-sik masih tetap menempel di atas gagang senjatanya. Gagang pedang itu panjangnya tujuh inci, berujung bulat dengan sarung yang antik, walaupun tubuh senjata tidak nampak namun gagang pedangnya kelihatan sangat nyata, sebuah gagang pedang berbentuk melengkung bagai bulan sabit, pada ujung lengkungan terlintas selapis cahaya berwarna hijau. Melihat bentuk senjata itu, setengah mirip sebilah golok, setengah mirip sebilah pedang, pedang yang tergabung dalam golok. Selama ini Ong Siau-sik belum pernah melolos pedangnya. Dia pun tidak bermaksud menghindarkan diri. Sekalipun tubuhnya tidak berkutik, namun telapak tangan kirinya telah bergerak cepat, menelusuri sisi tubuhnya dia menghadiahkan sebuah babatan kilat ke atas pergelangan tangan lawan. "Kraaak!", diiringi bunyi nyaring, pergelangan tangan itu segera terkulai lemas. Tidak berhenti sampai di situ, kembali Ong Siau-sik mementang kelima jari tangannya, kali ini dia berusaha mencengkeram kepalan kanan lawan. Dalam keadaan begini buru-buru Tio Thiat-leng menarik kembali serangannya, dengan buas penuh amarah dia melototi musuhnya sekejap, kemudian sambil memegangi tangan kirinya yang lunglai lemas, ia membalik badan dan segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu. "Ploook, plookk" Suara tepuk tangan bergema di udara, ternyata Pek Jau-hui yang sedang bertepuk tangan. "Kungfu yang hebat," puji orang itu dengan suara lembut, "aku tahu, kepandaian silatmu memang hebat, tapi tak kusangka ternyata kau pun sanggup melukainya tanpa harus mencabut pedang, sayang aku gagal mengetahui asal-usul perguruanmu, he sobat, aku lihat kau memang sengaja hanya melukai sebuah tangannya bukan" Kalau tidak, mungkin dia hanya memiliki dua kaki untuk kabur." Un Ji tidak habis mengerti dengan perkataan itu, sebab dia memang tak sempat melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Gerak serangan itu dilakukan dalam waktu singkat, serangan yang kelewat cepat. "Padahal apa yang kau lakukan akan sangat menguntungkan posisi Tio Thiat-leng," kembali Pek Jau-hui berkata, "coba bayangkan saja, jika dia pulang dalam keadaan utuh dan segar bugar, dengan kecerdasan Lui-congtongcu, masa dia tak curiga" Sekarang dia pulang dengan membawa luka, kejadian ini justru akan memperlancar usahanya memperoleh jasa dan pahala." "Manusia macam dia termasuk seorang jago yang licik dan banyak akal, sekalipun tidak kulukai, dia tetap bisa mengatur siasat dan akal muslihat untuk memberikan alasan yang masuk akal," kata Ong Siau-sik, "tadi aku memang sengaja memberi pelajaran kepadanya, karena aku tak suka dengan wataknya, untuk mencapai tujuan, dia tak segan banyak membunuh, perbuatan macam begini jelas merupakan satu perbuatan yang biadab." "Padahal kalau mau bicara sejujurnya, justru aku yang paling banyak membunuh pada malam ini," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "selanjutnya, kau bakal kubuat repot terus." "Aku masih muda, aku tak peduli." Un Ji yang membungkam terus, kini tak sanggup menahan diri, dengan sorot matanya yang bening dia mengawasi Pek Jau-hui sekejap, kemudian memperhatikan lagi Ong Siau-sik, setelah itu gumamnya, "Manusia aneh, manusia aneh, satu rumah penuh dengan manusia aneh, seluruh ruangan dipenuhi manusia aneh, sepasang manusia aneh." "Kalau sudah tahu di sini ada manusia aneh, kenapa pula nona Un datang kemari?" tegur Pek Jau-hui dengan kening berkerut. "Guruku dan orang tuaku minta aku berangkat ke kotaraja untuk membantu Suheng, tapi lantaran sepanjang jalan aku sering mendengar orang bercerita kalau di tempat ini sedang terjadi penculikan anak-anak, bahkan anak pembesar pun ikut diculik, maka dengan perasaan ingin tahu aku melacak kabar berita ini, akhirnya aku pun bersembunyi di atas wuwungan rumah sebelum akhirnya...." "Akhirnya diseret keluar orang lain?" sela Pek Jau-hui lagi. "Hmm, siapa yang berani menyeret aku?" teriak Un Ji gusar. "Nonamu Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ong Siau-sik berteriak keras, "Hati hati "Nguuung... braaaak!" Un Ji hanya merasakan seseorang menyambar lewat dari atas kepalanya, dengan perasaan kaget dia segera melepaskan tujuh delapan jurus serangan ke udara. Tampak orang itu merentangkan tangannya lebar-lebar, langsung memeluk tubuhnya dan merobohkannya ke lantai. Cahaya lampu yang semula menerangi ruangan, kini padam secara tiba-tiba. Sesaat sebelum cahaya lentera itu padam, tampak seseorang membentak nyaring dan langsung menerjang ke atas atap rumah. Un Ji tak tahu apa yang telah terjadi, dia hanya merasakan seseorang masih menindih di atas tubuhnya, dengus napas lelaki yang sangat kuat. Sebenarnya Un Ji berusaha meronta sambil bersiap mencaci maki, tiba-tiba dia seperti paham akan sesuatu, mulutnya segera terbungkam kembali dan tubuhnya tidak bergerak pula. Dalam pada itu, orang yang semula melompat ke atas atap rumah tadi, kini bagai segulung asap telah melayang balik ke dalam ruangan, Un Ji dapat merasakan gerak tubuh orang itu sangat enteng dan cepat. Sedang orang yang semula mendekap tubuhnya, kini pun sudah melompat bangun. Dalam keremangan cuaca, gadis itu dapat melihat orang berbaju putih yang gesit gerak tubuhnya itu sedang menvulut lentera. Malam ini, lentera di dalam kamar sudah padam sebanyak tiga kali. Kali pertama terjadi di saat Un Ji melayang turun dari atap rumah dan terjebak dalam kepungan orang banyak. Kali kedua terjadi di saat Tio Thiat-leng dan Pek Jau-hui bersamaan menyerbu masuk ke dalam ruangan disusul munculnya Ong Siau-sik. Dan kali ini adalah kali ketiga lampu lentera itu padam. Ketika cahaya api disulut kembali, di saat sinar mulai menerangi seluruh ruangan, pemandangan macam apa pula yang dijumpai" Un Ji dapat merasakan bahwa setiap kali cahaya lentera disulut kembali, maka seolah selapis kabut mulai disingkap, seolah sedang membuka sebuah halaman baru, seperti malam yang lewat dan fajar mulai menyingsing. Pemandangan macam apa pula yang akan tampil kali ini" ooOOoo Cawan. Ong Siau-sik sedang mengawasi sebuah cawan. Sebenarnya cawan bukan sesuatu yang aneh, di atas lantai penuh berserakan cawan yang utuh maupun cawan yang telah hancur lebur. Tapi cawan yang ini sangat berbeda, cawan ini menancap di atas tiang penyangga bangunan. Hampir seluruh permukaan cawan terbenam di tiang itu, yang tersisa di luar hanya dasar cawan, itupun hanya sebagian kecil yang terlihat. Sebetulnya cawan itu sangat biasa, tak ada keistimewaan apa pun karena terbuat dari porselen putih dan merupakan cawan arak yang bisa digunakan kebanyakan orang. Kalau dibilang benda itu mempunyai keistimewaan, maka hal ini dikarenakan di sisi cawan terlihat ada beberapa helai rambut yang terpapas serta selembar kecil kain putih, kain dengan bercak darah. Sekarang Un Ji jadi paham apa yang sebenarnya telah terjadi. Ternyata orang yang merobohkan tubuhnya dan melindunginya di atas lantai tak lain adalah Pek Jau-hui, lelaki acuh tak acuh itu. Sementara orang yang menerobos naik ke atap rumah untuk mengejar musuh adalah Ong Siau-sik, si anak muda yang nampak sedikit bloon itu. "Mana orangnya?" ia segera menegur sembari membenahi rambutnya yang kusut. "Sudah pergi," sahut Ong Siau-sik sembari mengawasi cawan itu tanpa berkedip. "Siapa sih orang itu?" tanya Pek Jau-hui pula. "Kurang jelas, aku hanya melihat bayangan orang berkelebat kemudian lenyap, rasanya dia agak jangkung, agak kurus, tapi tidak terlampau jelas." Kali ini giliran Pek Jau-hui yang melengak, dia tahu ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ong Siau-sik cukup tangguh, tapi nyatanya ia gagal mengejar orang itu, hal ini membuktikan kepandaian silat lawan memang luar biasa. Sementara itu Un Ji sedang mengawasi wajah Pek Jau-hui dengan matanya yang tajam, ia lihat pemuda itu memiliki hidung mancung dengan kelopak mata agak cembung tulang matanya tinggi menonjol, saat itu dia sedang berdiri dengan sikap tak acuhnya. Tak tahan si nona ini jadi mencak-mencak lantaran mendongkol, tapi sekarang dia sadar ada orang telah membokong mereka. Rambut yang terpapas kutung jelas merupakan rambut miliknya, robekan kain putih ternyata berasal dari ikat kepala Pek Jau-hui, sedang bercak darah berasal dari alis mata sebelah kiri Ong Siau-sik. Sungguh hebat kepandaian silat yang dimiliki si pembokong, ternyata ia mampu menggunakan sebuah cawan arak, dari sudut yang tak terduga sekaligus mengancam nyawa ketiga jago itu. "Serangan cawan yang hebat!" gumam Pek Jau-hui tanpa terasa. Ong Siau-sik memeriksa sekejap dasar cawan yang nampak menongol keluar, lalu katanya pula, "Orang ini sangat mahir menggunakan cawan sebagai senjata rahasia, aku jadi ingin tahu apakah dia hebat juga menggunakan tombak?" Begitu mendengar perkataan itu, Pek Jau-hui nampak terkesiap, serunya tanpa sadar, "Jangan-jangan perbuatan dia?" "Siapa?" "Seseorang!" Baru saja Ong Siau-sik dan Un Ji ingin bertanya siapakah orang itu, mendadak terdengar Pek Jau-hui berbisik lagi, "Sstt, jangan berisik, ada orang datang." "Benar, malah lebih dari satu," sambung Ong Siau-sik. ooOOoo 7. Manusia dalam impian Dengan kening berkerut, Un Ji siap melolos goloknya. "Jangan mencabut senjata," buru-buru Pek Jau-hui mencegah, "kali ini yang datang adalah para opas dari pengadilan." "Mau menangkap kita?" tanya si nona tertegun. Kontan Pek Jau-hui tertawa geli. "Memangnya kau sudah melakukan pidana?" ejeknya. "Kalau begitu mereka datang untuk menangkap kalian?" sekali lagi Un Ji tertegun. "Aku rasa kehadiran mereka hanya merupakan sebagian dari strategi yang diatur Tio Thiat-leng," kata Ong Siau-sik menjelaskan, "kini para opas sudah berdatangan, kita tak perlu berdiam terlalu lama di tempat ini." "Betul, lebih baik segera angkat kaki," Pek Jau-hui membenarkan. Terdengar suara gonggongan anjing, derap kaki kuda dan bentakan manusia berkumandang semakin dekat, kali ini Un Ji pun dapat menangkap suara berisik itu dengan jelas. Pek Jau-hui segera berseru sambil tertawa, "Kalau tidak angkat kaki sekarang, mau menunggu sampai kapan lagi?" Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap, Ong Siau-sik segera menerobos keluar lewat lubang di wuwungan rumah, Un Ji lewat jendela, sementara Pek Jauhui melesat lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia sempat menyentilkan jari tangannya ke arah dasar cawan yang menancap di tiang kayu. Begitu kena sentilan, cawan arak itu segera hancur, hancur jadi dua bagian. Kedua pecahan cawan tadi segera melesat ke samping, satu menghantam tubuh Li Tan sedang yang lain menghajar tubuh Li Ciau-hong, sungguh tepat gerak serangan itu. Saat itu sebenarnya Ong Siau-sik sudah melayang naik ke atap rumah, begitu mendengar desingan angin tajam, badannya segera meluncur kembali ke bawah, langsung menuju ke arah dua bersaudara Li tergeletak, dengan kepala di bawah kaki di atas dia menyambar ke samping, mengambil segenggam hancuran genting. "Sreeet!", terdengar suara desingan tajam menggelegar membelah bumi, belum lagi serangan Ong Siau-sik tiba, tahu-tahu pecahan cawan itu sudah menyambar lewat, langsung menancap di atas kening Li Tan. Tak ampun lagi diiringi suara dengusan tertahan Li Tan tewas seketika. Menyaksikan kejadian ini, Ong Siau-sik tak kuasa menahan rasa gusarnya, bentaknya penuh amarah, "Kenapa kau harus mencabut rumput hingga seakarakarnya?" "Perasaanmu kelewat lembek," sahut Pek Jau-hui santai. "Masalah ini bukan perasaan lembek atau tidak, tapi apa perlunya" Kenapa kau ngotot ingin membunuhnya?" "Jika kita melepaskan siapa pun di antara mereka, suatu ketika bila kejadian ini sampai tersiar, sudah pasti Lui Sun maupun So Bong-seng tak akan melepaskan mereka, bayangkan sendiri, apa untungnya perasaan lembekmu itu?" Ong Siau-sik tidak membantah, namun dia nampak uring-uringan. Sementara itu Un Ji yang sudah berada di luar tiba-tiba menegur, "He, apa yang sedang kalian lakukan di situ" Cepat keluar!" Tampaknya Pek Jau-hui tak ingin bentrok dengan Ong Siau-sik gara-gara persoalan ini, katanya kemudian, "Ayo, cepat kita menyusul keluar, kalau perempuan itu berkoar-koar di luar sana, bisa jadi seluruh opas dalam kota akan menyusul kemari." Ong Siau-sik memandang sekejap Li Ciau-hong yanj masih menggeletak di lantai, saat itu perempuan siluman itu sedang mendongakkan kepalanya dengan susah payah, pancaran sinar dendam yang kuat terlintas dari balik matanya. "Ya, sudahlah," ujar Pek Jau-hui kemudian, "akan kuampuni perempuan ini, semoga saja dia tidak menyia-nyiakan harapanmu yang telah menyelamatkan jiwanya." Selesai berkata, ia beranjak pergi dari situ. Sekali lagi Ong Siau-sik mengawasi Li Ciau-hong yang tergeletak di lantai, kemudian memandang pula mayat yang bergelimpangan dalam ruangan, tak kuasa dia menghela napas panjang. Dalam pada itu suara derap kaki kuda dan teriakan manusia sudah makin mendekat, Ong Siau-sik segera menendang tubuh Li Ciau-hong untuk membebaskan totokan jalan darahnya, sebelum meninggalkan tempat itu pesannya, "Semoga kau tidak melakukan kejahatan lagi." ooOoo Di bawah cahaya rembulan tampak tiga sosok bayangan manusia melesat dengan kecepatan tinggi. Bayangan berbaju putih adalah Ong Siau-sik, dia memang selalu berdandan sederhana, baju panjangnya berwarna cerah bagai sinar rembulan, lembut bagai warna rembulan. Bayangan yang berbaju sutera adalah Pek Jau-hui, dia mengenakan stelan baju terbuat dari bahan sutera yang mahal harganya, anggun, mewah dan terhormat. Sementara bayangan yang memakai baju merah adalah Un Ji, baju ketat warna merahnya dengan renda berbentuk kupu-kupu emas, sulaman bunga mawar di sisi bahu membuat gadis ini nampak cantik bak bidadari dari kahyangan. Tak kuasa Ong Siau-sik melirik sekejap ke arah gadis itu. Pek Jau-hui turut mengerling sekejap, namun sekulum senyuman angkuh segera tersungging di ujung bibirnya. Un Ji tahu, kedua orang anak muda itu sedang mencuri pandang ke arahnya. Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya jauh lebih rendah ketimbang kedua orang itu, namun dia yakin memiliki kemampuan yang cukup sempurna dalam menganalisa 'adakah seseorang yang sedang mencuri pandang ke arahnya'. Dalam persoalan ini, kaum pria memang selalu lebih bodoh ketimbang kaum wanita. Un Ji luar biasa gembiranya, dengan senyum di kulum dia sengaja hanya memandang jalanan di kejauhan sana, kepalanya didongakkan, alis matanya bekernyit dan sebisa mungkin dia berusaha menjaga gerak-geriknya agar selalu tampil anggun. Perasaan bangga menyelimuti hatinya, dia senang karena kedua orang anak muda itu mulai menaruh perhatian kepada?nya. Baru keluar dari rumah penginapan, mereka telah menginjak sesosok mayat yang tergeletak di sisi pepohonan, orang itu tak lain adalah salah satu mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hunpoan-tong untuk mengawasi Tio Thiat-leng. Menyusul teriakan kaget gadis itu, suara bentakan dan de?singan angin tajam bergema dari seluruh penjuru ruangan, untung Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik bertindak cepat, coba kalau bukan ditarik kedua orang pemuda itu, mungkin dia sudah dikepung pasukan kerajaan. "Hei, apa yang kalian takuti?" protes Un Ji tak senang hati, "aku toh tidak membunuh, juga tidak membakar, kenapa aku mesti takut?" Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tidak menggubris, mereka tetap menyeret gadis itu menjauh dari tempat itu. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menanti kejaran pasukan kerajaan tertinggal jauh, ketiga orang itu baru memperlambat larinya. Saat itulah Un Ji baru membenahi rambutnya yang kusut, dia tahu, gayanya saat ini pasti lembut dan menarik hati. "Eh, bukankah bunga yang kau sisipkan di sanggulmu adalah bunga melati?" tibatiba Pek Jau-hui bertanya. Un Ji memegang sisi sanggulnya sambil membetulkan letak bunga melati itu, lalu tanyanya sambil mengerling ke arah pemuda itu sekejap, "Benar, ada apa?" Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, serunya kemudian, "Nah, apa kubilang, ternyata memang bunga melati." "Bunga melati?" Ong Siau-sik seperti tak mengerti. "Tempo hari Gwe-sian dan Loan-si juga menyisipkan bunga itu disanggulnya," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "ketika aku tanya mereka, gadis-gadis itu enggan memberitahu, sekarang aku baru mengerti, ternyata bunga itu bernama melati." "Gwe Sian" Loan Si?" Ong Siau-sik semakin tak habis me?ngerti. "Masa kau tidak tahu?" kembali Pek Jau-hui berseru, "semua pelacur penghuni Ingcun-sian maupun Hong-hiang-kek di sepanjang sungai Chin-hway hampir semuanya menyisipkan bunga semacam itu di sanggulnya, tak kusangka Belum selesai perkataan itu diucapkan, Un Ji dengan wajah cemberut sudah kabur duluan meninggalkan mereka berdua. Melihat itu Pek Jau-hui mengerdipkan matanya ke arah Ong Siau-sik, kemudian tertawa tergelak. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng. "Sekarang kau hendak berangkat kemana?" tanya Pek Jau-hui kemudian. "Kotaraja" "Mau apa ke sana?" "Mengadu untung." "Kau punya sahabat atau sanak saudara di sana?" "Tidak." "Lantas mau apa kau ke kotaraja?" tegur Pek Jau-hui sambil tertawa, "ingin kaya mendadak" Ingin ternama?" "Aku tidak tahu, aku hanya tahu bahwa aku belajar ilmu untuk berbakti kepada negara, ambisi dan cita-citaku harus diwujudkan mumpung aku masih muda, aku tak ingin menyia-nyiakan hidupku," kemudian setelah berpikir sejenak, tambahnya, "Tapi seandainya cita-citaku tak terwujud, ya sudah, apa boleh buat." "Tahukah kau, begitu banyak manusia macam kau hidup di dunia ini" Tapi akhirnya mereka hanya menanggung rasa kecewa, karena keinginannya sulit terwujud." Ong Siau-sik tidak langsung menanggapi perkataan itu, dia berpikir sejenak kemudian baru sahutnya, "Paling tidak, aku toh harus mencobanya dulu." "Bagus sekali!" "Bagaimana dengan kau sendiri?" Ong Siau-sik balik bertanya. "Aku" Kenapa dengan aku?" "Aku lihat kungfumu hebat, kemampuanmu luar biasa, hendak kemana kau" Apa yang akan kau lakukan?" "Sebetulnya aku sejalan dengan kau," di balik keletihan ter?lintas sikap angkuh dan kesendirian di wajah Pek Jau-hui, "aku pun hendak ke kotaraja, mencoba mengadu untung pula. Oleh karena aku tak ingin mencari sesuap nasi dengan bekerja dalam lingkungan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka kuterima order sesaat yang bisa menghasilkan duit, dengan bekal itu aku hendak ke kotaraja, mencoba apakah aku bisa menancapkan kaki di situ." "Kalau begitu kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama," seru Ong Siau-sik kegirangan, "dengan begitu kita tak usah kesepian sepanjang jalan." "Kesepian sih tak mungkin, kau tak kuatir aku segera angkat kaki menyingkir begitu melihat kau tertimpa kesulitan?" "Ooh, masa iya?" Ong Siau-sik menanggapi dengan serius. "Hahaha, sayang aku bernama Pek Jau-hui, kabur di kala orang sedang murung, coba aku bernama Pek Oh-hui, aku tentu akan kabur di saat kau sedang kelaparan," Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak. Kini Ong Siau-sik baru tahu kalau rekannya tidak bicara serius, serunya cepat, "Mau kabur pada saat seperti apa pun aku tak bakal menyalahkan dirimu, aku hanya berharap kau jangan membohongi aku, seperti yang kau lakukan tadi, katanya tak akan membunuh, tapi kenyataan ... kau "Sudahlah, yang sudah lewat tak usah disinggung lagi," potong Pek Jau-hui sambil tertawa. "Saudara Pek," tiba-tiba Ong Siau-sik berseru setelah mengawasi wajahnya sekejap, "ternyata sewaktu tertawa, kau tidak nampak angkuh atau jumawa, malah kelihatannya amat ramah." Pek Jau-hui tidak menyangka kalau Ong Siau-sik akan mengucapkan perkataan semacam itu, setelah melengak sekejap sahutnya, "Kalau tiap saat kita mesti senyum tak senyum, bagaimana orang mau menghormati kita?" Tiba-tiba terasa segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu Un Ji bagaikan sekuntum bunga mawar sudah menerjang ke depan mereka, serunya sambil tertawa, "Aneh, masakah dua orang lelaki senang bicara berbisik, persis banci saja." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Coba tebak, nonamu mau pergi kemana" Kalau bisa menebak secara jitu, aku akan mentraktir kalian makan gulagula." Kemudian seraya berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya pula, "Kau duluan." "Aku rasa kau akan ke Mongolia," sahut pemuda itu terpaksa. "Dan kau?" tanya Un Ji sambil berpaling pada Pek Jau-hui. Dengan wajah serius Pek Jau-hui berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Kau akan menuju pesanggrahan Ing-cun-sian di tepi sungai Chin-hway." Saat itu mereka bertiga memang sudah tiba di tepi sungai, sudah barang tentu sungai itu bukan sungai Chin-hway me?lainkan sungai Han-swe dengan arusnya yang deras. Dengan menumpang sebuah sampan, mereka melanjutkan perjalanan, untuk tiba di kotaraja paling tidak masih membutuhkan waktu sepuluh hari hingga setengah bulan lamanya. Begitulah mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan bersama-sama, tengah hari itu tibalah mereka di dermaga penyeberangan Lam-tok-tau. Karena sepanjang perjalanan mereka berbincang dan bergurau, hubungan mereka bertiga pun bertambah akrab, saat itulah Ong Siau-sik dan Un Ji dapat merasakan bahwa Pek Jau-hui ternyata bukan orang jumawa yang segan bergaul, meski cara kerjanya tegas, telengas dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan terkadang tak kenal sanak keluarga sendiri, sesungguhnya dia adalah seorang pemuda yang berhati mulia. Sebaliknya Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun merasa bahwa Un Ji meski kekanakkanakan dan lincah, sesungguhnya dia berhati mulia, cuma rasa ingin tahunya kelewat besar dan agak keras kepala. Sementara Un Ji dan Pek Jau-hui menganggap Ong Siau-sik kelewat jujur, polos, namun terkadang serius dan tak main-main. Di samping mereka bertiga dapat memahami satu sisi dari rekannya, namun ada sisi lain yang mereka anggap sulit untuk diraba, seakan meraba sisi punggung rembulan, sulit untuk diketahui rahasia apa di balik semua itu. Adakah sisi baik dari semua itu" Atau justru sisi buruk yang masih tersembunyi" Terkadang dalam kehidupan manusia di dunia ini, ada sekelompok manusia berkumpul dan berteman lantaran mereka memiliki kegemaran yang sama, terkadang berkumpul karena kebutuhan yang sama atau didesak oleh keadaan, sifat asli mereka baru akan terlihat bila sedang menghadapi suatu masalah, suatu keadaan yang berbahaya, kerap kali sifat asli yang mereka tampilkan bisa membuat orang terkejut, membuat orang terpana bahkan melongo. ooOOoo Tiba di dermaga, mereka bertiga menyewa sebuah perahu dan bersiap melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Ujar Pek Jau-hui, "Lebih baik kita menempuh perjalanan air saja, lebih nyaman dan santai, toh kita tidak sedang terburu-buru, kalau ada angin, mungkin kita akan tiba di tempat tujuan lebih cepat, kalau sedang tak ada angin, anggap saja waktu yang lebih lama merupakan saat kita bersantai." "Aku tak setuju," protes Un Ji. "Kalau begitu kau boleh menempuh perjalanan darat sementara kami lewat jalan air." Un Ji kontan melotot, sambil menghentakkan tangan ia ber?teriak, "Pek Jau-hui, apa maksudmu?" "Apakah nona takut kurang leluasa berada di atas ranjang?" tanya Ong Siau-sik cepat. Sebenarnya ia bermaksud mengurai ketegangan di antara Un Ji dan Pek Jau-hui, siapa tahu saking cemasnya dia telah salah menyebut Juan (perahu) menjadi Juang (ranjang), aneh kalau perkataan ini tidak menimbulkan.bencana. Benar saja, Un Ji kontan mencak-mencak gusar, sambil menuding ke arah pemuda itu teriaknya penuh amarah, "Kalian memang cuma pintar bicara kotor, jangan keburu senang hati, suatu saat nonamu pasti akan membuat perhitungan!" Sepanjang perjalanan dia memang sudah terbiasa digoda Pek Jau-hui, maka ketika Ong Siau-sik ingin mengucapkan kata yang bernada menggoda, dia kira anak muda inipun telah bersekongkol untuk mempermainkan dirinya. Ong Siau-sik semakin tergagap, serunya lagi terbata-bata, "Nona Un, aku ... aku ... tidak ........... tidak bermaksud begitu, maksudku ............ aku ......... aku ingin bersamamu naik ... naik ranjang Lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar, naik 'perahu' disebutnya naik 'ranjang', kegugupan pemuda ini semakin membuat Un Ji naik darah, dia mengira pemuda ini sedang melakukan pelecehan terhadapnya, tanpa pikir panjang, telapak tangannya langsung diayunkan ke muka dan ............. "Plaaak!", dia tampar wajah Ong Siau-sik dengan keras. Bicara kepandaian silat yang dimiliki Ong Siau-sik., sebenarnya dia mempunyai kekuatan yang lebih untuk menghindar, tak ada alasan bagi anak muda itu untuk tak mampu menghindarkan diri. Tapi kenyataan, Ong Siau-sik sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari tamparan itu. Begitu pipinya terasa panas lantaran kena tamparan, untuk beberapa saat pemuda itu hanya berdiri tertegun tanpa mengerti harus berbuat apa. Pek Jau-hui sama sekali tidak melerai, dia hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan kejadian itu. Sementara itu Un Ji sambil bercekak pinggang mengomel lagi, "Hmm, kalian berdua memang bukan orang baik, beraninya hanya mempermainkan aku!" Selesai bicara ia segera melompat ke daratan dan beranjak pergi dari situ. Ong Siau-sik ingin melompat ke daratan untuk menyusul gadis itu, tapi segera dicegah Pek Jau-hui, ujarnya, "Kau tak usah terburu-buru, asal tidak menjumpai sesuatu yang menarik, dia pasti akan balik sendiri kemari." "Tapi dia ....... dia masih menaruh salah paham padaku," kata Ong Siau-sik sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas, "kalau tidak kuberi penjelasan, dia tentu akan menganggap aku sedang melakukan pelecehan, sengaja bicara kotor "Mau dibantah dengan cara apa pun toh percuma, perkataan sudah telanjur diucapkan," kata Pek Jau-hui tertawa, "apalagi dia memang cantik, masih muda dan menawan hati, bila tak ingin naik ranjang bersamanya, kau pasti bukan seorang lelaki." "Tapi....... tapi....... aku sama sekali tak punya pikiran begitu!" "Kalau hanya bicara, rasanya bukan kejadian yang luar biasa, bukankah dia pun sudah marah" Kenapa" Memangnya perkataanmu sudah merugikan dirinya" Apalagi dia toh sudah turun tangan menamparmu, apa dianggapnya kurang puas" Tak usah kuatir, menjelang rnalam dia pasti sudah balik lagi kemari!" "Semoga dia memang tidak pergi meninggalkan kita," gumam Ong Siau-sik sambil mengawasi tengah sungai dengan perasaan gundah. Pek Jau-hui yang mengamati gerak-gerik pemuda itu segera menyadari akan sesuatu, serunya kemudian, "Jangan kuatir, tak bakalan pergi Mendadak ia berhenti berbicara, dengan sikunya dia menyodok pinggang rekannya itu. Ong Siau-sik agak tertegun, belum sempat bertanya sesuatu, Pek Jau-hui kembali berbisik dengan nada serius, "Coba kau lihat!" Mengikuti arah yang ditunjuk Ong Siau-sik, ia lihat ada se?rombongan perempuan yang berdandan sebagai dayang, mengiringi seorang nona bergaun hijau sedang menaiki sebuah perahu pesiar mewah di sisi kiri sungai. Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap, tiba-tiba saja semua orang seakan sudah lenyap dari pandangan. Ia dapat melihat nona berbaju hijau itu berparas amat cantik, dengan perawakan tubuh yang ramping dan gerak-gerik yang lembah gemulai, sungguh seorang gadis yang menawan hati. Ong Siau-sik tak berani memandang lebih lama, ia merasa hatinya mendadak amat sakit, buru-buru pandangannya dialihkan ke tempat lain, mengawasi keindahan alam di kejauhan sana. Dalam pada itu para kelasi yang berada di atas perahu pesiar itu sudah mulai mendayung perahunya bergerak menuju ke mulut sungai. "Kau dapat menyaksikan sesuatu?" bisik Pek Jau-hui kemudian. "Ya, sungguh tak disangka ternyata di dunia ini terdapat seorang gadis yang begitu cantik, bila dibandingkan Un-lihiap, maka nona itu ... nona itu........" Bicara sampai di sini ia segera bungkam, ia merasa tak pantas untuk melanjutkan kata-katanya. "Haah, tak nyana kau pun pandai menilai," goda Pek Jau-hui cepat, "setelahbertemu wanita cantik, lalu ..." Ia tidak melanjutkan godaannya, karena dengan wajah serius kembali bisiknya, "Aku rasa perahu itu sedikit kurang beres" "Mana yang tak beres?" tanya Ong Siau-sik terperanjat, di samping menguatirkan keselamatan gadis cantik itu, dia pun sedikit kurang percaya dengan omongan Pek Jau-hui, dianggapnya rekannya itu sengaja mengada-ada. Pek Jau-hui tak menggubris keraguan rekannya, dengan sorot mata yang tajam dia masih mengawasi perahu pesiar yang semakin menjauh itu. "Orang yang sudah terbiasa mendayung perahu, biasanya galah mereka tak akan menimbulkan percikan air, sang juru mudi biasanya sangat mengenal sifat arus dan pandai mengendalikan posisi. Tapi kau lihat beberapa orang kelasi yang memegang kemudi perahu tadi, pertama, mereka bermata tajam, berotot kekar dan punya kudakuda yang mantap, siapa pun tahu kalau mereka sekawanan jago yang berilmu silat tinggi. Kedua, kawanan manusia itu tak mengerti mengemudikan perahu, dayungan mereka menimbulkan percikan air, siapa pun tahu kalau mereka masih sangat awam dalam mengemudikan perahu. Ketiga, kulit tubuh mereka kelewat putih dan mulus, padahal biasanya kelasi berkulit gelap karena tiap hari berjemur di bawah teriknya matahari. Selain itu, sebelum naik ke perahu mereka saling bertukar pandang sekejap, bahkan membawa perahu itu menuju ke tempat yang sepi, jelas mereka mempunyai rencana busuk." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku yakin, malam nanti perahu itu akan tertimpa bencana." Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Ong Siau-sik terbayang kembali wajah si nona yang cantik jelita itu, tanyanya tiba-tiba, "Bagaimana kalau kita memberi peringatan ..........." "Jangan!" cegah Pek Jau-hui, sorot mata yang buas bagaikan sorot mata serigala yang sedang mengintai mangsanya terlintas dari balik matanya. 8. Perempuan cantik di tengah sungai Riak air di permukaan sungai Han-swe nampak tenang bagaikan cermin, sedemikian tenangnya hingga memantulkan bayangan perahu, gunung, lentera dan pepohonan di atas permukaan sungai. Yang tak nampak justru hanya bayangan manusia. Sebagian besar penghuni perahu itu sudah terlelap tidur. Hanya ada dua tiga buah lentera yang tergantung di atas tiang, memancarkan cahayanya yang redup. Suasana di sepanjang tepi sungai hening dan amat sepi, hingga saat itu Un Ji belum juga balik kembali ke atas perahu. Di kejauhan sana terlihat ada orang sedang tidur, dengkurnya tenang penuh damai. Di ujung jembatan ada orang sedang meniup seruling, menemani rembulan, bercermin permukaan air. Un Ji wahai Un Ji, kemanakah kau pergi" Ong Siau-sik mulai cemas, mulai menguatirkan keselamatan gadis itu. "Kita jangan sembarangan bergerak," Pek Jau-hui telah berpesan begitu kepadanya senja tadi, "aku yakin mereka yang ada dalam perahu itu mempunyai asal-usul yang luar biasa, jelas bukan jago sembarangan, aku percaya menjelang tengah malam nanti kawanan jago yang menyaru sebagai kelasi itu akan turun tangan. Kita baru turun tangan setelah tahu keadaan yang sebenarnya." Pek Jau-hui memang lebih cenderung bertahan sambil menunggu datangnya kesempatan. Malam itu Ong Siau-sik tidak bisa tidur nyenyak, dia hanya membolak-balikkan badan namun mata tak mau terpejam, entah karena sedang memikirkan sesuatu atau karena sedang meningkatkan kewaspadaan. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Waktu berlalu amat lambat............... Beberapa saat sudah lewat, dari kejauhan terdengar suara kentongan pertama telah tiba. Pada saat itulah dia merasa perahu yang ditumpanginya sedikit berguncang. Ong Siau-sik tahu perahu mereka telah kedatangan seorang jago tangguh, buru-buru dia melompat bangun dari tidurnya dan duduk. Sesosok bayangan manusia melintas dari depan jendela perahu. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik membuka jendela sambil melompat keluar, dengan sekali gerakan dia mencengkeram tengkuk orang itu sementara tangan yang lain meng?hantam belakang kepalanya. Orang itu berseru tertahan, baru saja akan meronta, Ong Siau-sik telah mencengkeramnya kuat-kuat. Anak muda itu segera merasa tangannya seakan sedang menyentuh sebuah tubuh yang halus, lembut dan empuk, lamat-lamat terendus bau harum tubuh seorang perawan, apalagi ketika lengannya tanpa sengaja menyentuh dada orang itu, ia menjadi kaget setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan genggamannya. "Lepas tangan," terdengar orang itu menghardik, "kau memang orang jahat, cepat lepas tangan!" Ong Siau-sik amat terperanjat, lekas dia lepaskan genggamannya. "Kenapa bisa kau?" tegurnya. Gadis itu membalikkan badannya, rambutnya yang semula menempel di wajah pemuda itu segera menyiarkan bau harum semerbak, tampak dengan wajah girang bercampur mendongkol sedang memelototi dirinya. Siapa lagi dia kalau Un Ji, gadis yang dipikirkan selama ini" Ong Siau-sik girang setengah mati, sebaliknya Un Ji kelihatan hampir menangis saking jengkelnya, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menghadiahkan sebuah tempelengan. Kali ini Ong Siau-sik masih tetap tidak menghindar, untuk kedua kalinya dia harus menerima tempelengan gadis itu. Melihat tampang bloon yang ditunjukkan anak muda itu, tak tahan Un Ji tertawa cekikikan. Senyum gadis itu membuat Ong Siau-sik semakin kesem-sem, dia hanya bisa mengawasi nona itu dengari mata terbelalak dan mulut melongo. Agaknya Un Ji mulai menyadari kalau dia sedang dipandang pemuda itu lekat-lekat, pipinya kontan merah jengah, untung waktu itu cahaya rembulan tidak terlalu cerah sehingga tidak kelihatan warna merah di pipinya. Pada saat itulah mendadak dari kejauhan sana terdengar suara deburan air yang tersentuh benda berat, menyusul kemudian berkumandang suara jeritan ngeri yang memilukan hati. Tindakan pertama yang dilakukan Ong Siau-sik saat itu adalah mencari Pek Jauhui. Ternyata Pek Jau-hui tidak berada di atas perahu. "Celaka!" pekiknya tanpa terasa. "Ada apa?" tanya Un Ji keheranan. Sementara itu suara pertarungan yang amat seru sudah mulai berkumandang dari atas perahu pesiar yang mewah itu. "Aku tak sempat memberi penjelasan, lebih baik menyeberang dulu ke sana!" seru Ong Siau-sik cepat. Baik dia maupun Un Ji sama-sama tak pandai berenang, terpaksa dari sampan mereka melompat naik ke daratan, lalu dari tanggul sepanjang pantai melompat naik ke atas perahu pesiar itu. Baru saja mendekati sasaran, mendadak terlihat sesosok bayangan orang terlempar keluar dari atas perahu dan tercebur ke dalam sungai, begitu tenggelam, orang itu tak pernah muncul kembali. Ong Siau-sik segera mengajak Un Ji menyelinap ke atas perahu, tapi lagi-lagi sesosok bayangan orang terlempar keluar dan tercebur ke dalam sungai, kali ini orang itu tampak berusaha meronta di dalam air, namun tak selang beberapa saat kemudian dia pun berhenti bergerak. Sewaktu Ong Siau-sik dan Un Ji menerjang masuk ke dalam ruang perahu, kembali sesosok tubuh terlempar keluar, kali ini Ong,Siau-sik menyambutnya dengan tepat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi perahu, hanya alis matanya sudah berubah menjadi hitam keungu-unguan, darah memancar keluar dari panca indranya, orang itu sudah tewas. Un Ji menyelinap masuk dengan gerakan cepat, kebetulan seseorang sedang menerobos keluar, nyaris mereka saling ber?benturan. Lekas gadis itu melolos goloknya, tapi orang itu segera menahan gagang goloknya sehingga tak mampu dicabut keluar. Tangan Un Ji masih menggenggam gagang golok, tapi orang itu segera mencengkeram tangannya sebelum ia sempat melakukan suatu tindakan. Dengan cepat Un Ji dapat merasakan bau pria yang kuat menusuk hidungnya, bau kelakian yang sudah tidak asing lagi baginya. Terdengar orang itu berbisik dengan suara dalam, "Kau jangan melolos golok, kini hawa napsu membunuhku sedang bangkit, aku kuatir tak sanggup menahan diri." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dalam tangannya yang lain terlihat mencengkeram seseorang, dan kini dia mengayunkan tangannya, melemparkan tubuh orang yang dibekuknya itu hingga mencelat sejauh tiga tombak. Di bawah cahaya rembulan, terlihat jelas kalau orang itu adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi kapal. Tak ampun tubuh orang itu tercebur ke dalam sungai dan segera lenyap terseret arus sungai. Saat itulah Ong Siau-sik tiba di dalam ruang perahu, ketika melihat di sisi U n Ji berdiri seseorang, tanpa banyak bicara dia pun siap melancarkan serangan. Anak muda ini tak habis mengerti, padahal dia tahu kalau musuh yang sedang dihadapinya sangat tangguh, namun rasa ingin membunuhnya tahu-tahu sudah mencekam perasaannya, terutama setiap kali menyaksikan gadis itu terancam. Perasaan aneh ini belum pernah dialami sebelumnya, bahkan sejak terjun ke dalam dunia persilatan. Belum sempat serangan dilontarkan, terdengar orang itu telah berseru, "Ooh, rupanya kau pun sudah datang, bagus sekali." Dengan cepat Ong Siau-sik dapat mengenali suara orang itu, suara rekannya. Pek Jau-hui! Satu ingatan melintas dalam benaknya, selain gembira karena berhasil menjumpai rekannya, dia pun merasakan timbulnya perasaan sedih, dia tak tahu mengapa bisa muncul perasaan itu ............. Saat itulah cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruang perahu, seseorang berjalan keluar sambil menggenggam sebuah lentera. Sebuah lentera dengan penutup kaca yang indah. Tapi yang indah bukan lentera kaca itu, melainkan tangan yang memegang lentera. Jari jemari yang tersorot cahaya lentera, halus dan lembut bagai kuncup bunga anggrek yang belum mekar, dengan tangan sebelah memegang lentera, tangan yang lain melindungi api agar tidak padam, berjalan perlahan menyusuri suasana yang redup. Sebuah tangan dengan jari jemari yang sangat indah, sedemikian indah hingga susah untuk dilupakan. Ong Siau-sik dapat melihat dengan jelas, dia adalah seorang gadis yang amat cantik, seorang gadis dengan rambut sebahu yang terurai, seorang gadis dengan sepasang mata yang jeli dan bening bagaikan air di musim gugur. Pakaian bagian bahunya dalam keadaan terbuka, namun tertutup oleh mantel sutera milik Pek Jau-hui, menutupi baju tipisnya yang berwarna hijau muda. Namun yang membuat orang terbuai adalah sepasang matanya yang jeli bagai cahaya intan, bening bagaikan air jernih, seakan sebuah telaga yang dalam tertutup awan impian yang sedang mengalir. Ong Siau-sik hanya memandangnya sekejap, namun ia merasa dirinya seakan sedang bermimpi, bertemu dengan orang dalam impian. Namun ketika terbangun dari mimpi, ia baru sadar bahwa dirinya bukan sedang bermimpi, di hadapannya benar-benar terdapat seorang gadis yang begitu cantik dan menawan. Un Ji ikut terbelalak begitu bertemu dengan gadis ini, dia pun dapat merasakan betapa cantik dan lembutnya gadis itu, selembut namanya. Dulu, ketika masih kecil, dia pernah bermimpi menjadi gadis yang halus dan lembut, setelah menanjak dewasa, menjadi gadis lemah gemulai yang dicinta dan disayang banyak orang. Tapi kenyataan, setelah tumbuh dewasa, dia lebih suka berkelana, lebih suka bergaya seorang pendekar gagah, dia merasa dirinya saat ini jauh berbeda dengan yang dicita-citakan dulu. Untuk sesaat dia terbayang kembali pada lamunannya di saat kecil dulu, hanya sejenak, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku adalah aku, dia adalah dia, kenapa aku mesti menyesali keputusan yang telah kuambil?" Un Ji menganggap setelah berjumpa dengan gadis ini, dia merasa dirinya ibarat siang hari, sementara gadis itu ibarat malam hari.... Hampir pada saat bersamaan Un Ji dan Ong Siau-sik berseru, "Kau adalah .......... Kemudian mereka pun mengalihkan pandangannya ke arah Pek Jau-hui. Buru-buru Pek Jau-hui mengangkat bahu seraya menggeleng, "Aku sendiri pun tidak tahu." Kemudian sambil menuding seorang kelasi bergolok yang sudah tertotok jalan darahnya, ia menambahkan, "Coba tanyakan saja kepada orang ini, siapa tahu dia bisa bercerita banyak." Tampaknya saat itu Pek Jau-hui sudah mengendalikan seluruh keadaan. Semula dia berada dalam perahu bersama Ong Siau-sik, tapi begitu mendengar ada gerakan di perahu besar itu, dia pun seketika melakukan tindakan. Tatkala tiba di atas perahu itu, tidak dijumpai sesuatu apa pun di situ. Mula-mula Pek Jau-hui agak tercengang, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan terkesiap pekiknya di dalam hati, "Aduh, celaka!" Tidak ada gerakan dalam perahu itu bukan berarti tidak terjadi sesuatu di situ, kawanan manusia yang sedang melaksanakan rencana busuk itu sudah menyusup ke dalam perahu sejak tadi, bahkan mereka terhitung jago kawakan yang berpengalaman, andai kata benar-benar berniat melakukan perbuatan jahat, niscaya mereka akan berusaha tidak menimbulkan sedikit suara pun. Sadar akan situasi yang gawat, tak sempat memanggil Ong Siau-sik lagi, Pek Jauhui segera melompat naik ke daratan lalu menyusup naik ke dalam perahu besar itu. Baru saja menginjakkan kakinya di dalam ruang perahu, hidungnya segera mengendus bau anyir darah yang amat tebal, perasaannya kontan tercekat. Betul juga, ia saksikan ada beberapa orang pelayan yang terkapar bersimbah darah, ternyata sebagian di antara mereka dibantai orang di saat masih dalam alam mimpi. Diam-diam Pek Jau-hui menyesal karena kehadirannya sedikit terlambat, saat itulah dia mendengar dari balik ruangan ada seorang gadis dengan suara yang merdu sedang berkata, "Bukankah orang yang menjadi sasaran kalian adalah aku" Kenapa mesti membantai mereka yang tak tahu urusan" Apakah kalian tidak malu kalau perbuatan itu akan mencemari nama besar kalian?" Terdengar seseorang dengan suara parau menjawab sambil tertawa, "Kami bukan orang gagah, juga tak ingin berlagak macam orang gagah, meski Jit-he sudah menurunkan perintah agar kami menghabisi nyawamu, tapi asal kau bersedia menuruti kemauan Toaya, hehehe .......... bukan saja akan kau peroleh kesenangan, bahkan bisa kubuat kau lolos dari kematian." Terdengar gadis itu mendengus dingin, kemudian terdengar berpuluh kata ungkapan jorok dan kotor dilontarkan ke arah gadis itu, di balik kata-kata cabul terselip jeritan gugup dan panik dari kawanan gadis. Pek Jau-hui mengintip dari balik jendela, ia lihat ada enam tujuh orang lelaki kekar sedang mengerubuti tiga empat orang gadis muda, dengan wajah menyeringai cabul mereka sedang mempermainkan gadis-gadis itu. Seorang di antara gadis muda itu terlihat mengenakan jubah lebar terbuat dari sutera tipis, sedemikian tipisnya hingga kelihatan pakaian dalamnya yang berwarna merah, payudaranya setengah menonjol keluar, kulitnya nampak putih mulus, penampilan si nona setengah bugil itu membuat kawanan lelaki itu bertambah beringas, sorot mata mereka seakan tak pernah lepas dari tubuh nona itu, mengawasinya terus tanpa berkedip. Terdengar seorang lelaki di antaranya berkata sambil tertawa tergelak, "Sudah sejak awal kami menguntit dan mengawasi terus gerak-gerik manusia she Tio dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kami pun dapat melihat kalau orang she Tio itu menguntit terus di belakangmu, entah rencana busuk apa yang sedang dia persiapkan, sungguh tak nyana, kejadian apa yang dia alami, mendadak dia kabur terbirit-birit dari sini. Hahaha ........... jadinya, kamilah yang diuntungkan, coba kalau dia tidak kabur, belum tentu malam ini kami mendapat giliran." "Sekarang urusan menjadi gampang, karena kau bakal terjatuh ke tangan kami, tak perlu membangkang, puaskan kami semua dan kau pun tak perlu mampus. Hmm, kalau masih mengharap bantuan dari orang lain, hehehe .......... lebih baik padamkan saja harapan itu, beberapa orang gentong nasi yang kau bawa sudah terkena obat pembius kami, sekarang mereka sudah tertidur macam babi, tak perlu bersusahpayah kami bisa mengirim mereka pulang ke langit barat." Gadis itu segera tertawa dingin, ujarnya, "Hmmm, sungguh tak nyana Mi-thian-jit yang nama besarnya sudah tersohor di seantero jagad, ternyata memiliki anak buah dungu dan pandainya hanya melakukan tindakan tak terpuji." "Wah, coba kalian lihat," seru seorang lelaki dengan suara aneh, "tajam benar mulut bocah perempuan ini, berani amat dia mengejek dan mencemooh kita." Seorang yang lain berseru pula dengan suaranya yang aneh, "Kami pun tahu kalau di atas perahu ini kau membawa beberapa orang jagoan yang memiliki kungfu hebat, kami pun tahu mereka punya sedikit nama di dunia persilatan, tapi sayangnya yang kami adu bukan otot, tapi akal, kini kalian sudah menaiki kapal penyamun, maka jangan salahkan bila kami kaum penyamun menikmati hasil jarahannya." "Ci-lotoa," seorang penyamun yang lain menyela, "semakin kupandang gadis ini, sekujur badanku terasa makin gatal, napsuku makin membara, bagaimana kalau'kau serahkan dulu kepadaku, tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu." "Aaah, kau ini menduduki urutan keberapa?" jengek rekannya yang lain, "sampai tujuh keturunan pun belum tiba giliranmu untuk menikmati duluan. Ci-lotoa yang akan menjadi pembuka untuk menikmati cewek itu, sedang yang lain tunggu giliran sesuai dengan tingkatan." "Mana boleh jadi," protes lelaki itu lagi, "coba kau lihat nona itu, dia begitu lembut dan lemah, belum tiba giliranku mungkin dia sudah telanjur mampus duluan. Tadi ketika melancarkan sergapan, aku yang bekerja duluan, apa salahnya kalau sekarang aku pun mencicipinya paling dulu?" Gelak tawa mengejek segera bergema gegap gempita. Kembali seseorang menjengek, "Siapa suruh kau tidak jadi pemimpin kami?" "Betul, siapa suruh posisimu paling buncit," sambung yang lain, "kalau masih dapat giliran, anggap saja kau sangat beruntung karena menemukan mestika di tengah jalan, kalau tak dapat giliran, anggap saja bukan keberuntunganmu!" "Tidak, tidak," seseorang yang lain berseru pula, "aku lihat cewek ini makin dipandang semakin menawan, aku lebih suka tidak menerima emas dan intan permata ketimbang tak bisa menikmati kehangatan tubuh cewek ini." "Begini saja," seorang lelaki mengusulkan, "daripada saling berebut, mendingan kita undi, siapa yang mendapat nomor keberuntungan dialah yang boleh menikmati perempuan itu lebih dulu. Tergantung rezeki masing-masing, ini merupakan cara penyelesaian yang paling adil." "Aku setuju. Seandainya tidak mendapat cewek itupun masih ada beberapa orang dayang, mendingan dapat yang lain ketimbang tidur sendirian." "Bagus, bagus sekali "Aku tidak setuju," sela orang yang disebut Ci-lotoa itu cepat, "sekalipun tidak menuruti urutan posisi, paling tidak harus diatur menurut urutan tua muda, aku rasa siapa yang usianya paling tua, dia boleh mengambil undian terlebih dulu." "Sudah, kita tak perlu ribut, mendingan kita minta nona ini yang memilih sendiri, siapa yang terpilih maka dialah yang berhak menemaninya tidur, bagaimana" Setuju bukan?" "Setuju, setuju ..........." Maka ada enam orang lelaki kekar yang maju mengerubuti gadis itu, sambil mendekat mereka berteriak keras, "Nona, coba lihat aku tampan tidak?" "Aku yang paling hebat, pilih aku saja nona manis!" "Jangan pilih dia, orang itu tak punya hati nurani, pilih aku saja Biarpun dikerubut banyak lelaki, gadis itu tidak nampak ketakutan, dengan matanya yang jeli dia mengawasi sekejap wajah kawanan penyamun itu, kemudian ujarnya halus, "Selama ini aku paling mengagumi orang gagah, tunjukkan dulu kemampuan kalian, siapa yang berilmu paling tangguh, dialah seorang Enghiong." Pek Jau-hui yang bersembunyi di luar ruangan diam-diam bersorak memuji, dia tidak menyangka kalau gadis cantik itu masih bisa bersikap tenang, kendati sudah terjerumus dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. "Baiklah, mau bertanding juga boleh," teriak Lo-sim cepat, "memangnya aku takut mengadu kepandaian Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba Ci-lotoa menghampiri lelaki itu dan menempelengnya sambil mengumpat, "Kalian semua memang goblok, gentong nasi, masa kamu semua tidak sadar kalau perempuan berhati keji ini sedang mengadu domba kita semua?" "Kenapa?" kembali gadis itu mengejek, "mengadu domba" Aku hanya seorang wanita lemah, sementara pengiringku kalau bukan sudah mati, sebagian sudah tak mampu bergerak, memangnya kalian masih takut terhadapku" Karena kulihat semua gagah dan hebat, maka aku menaruh hormat dan kagum atas keberanian kalian, ingin kulihat sejauh mana kehebatan kungfu kalian, sejak kapan aku menyuruh kalian saling membunuh" Tapi ... ya, sudahlah, kalau memang takut, tentu saja kalian tak perlu bertanding, biarkan saja yang menjadi Lotoa mendapat keuntungan terlebih dulu." Lelaki yang melontarkan usul tadi segera berseru, "Betul, siapa pun tak boleh memperoleh keuntungan hanya karena kedudukan! Maknya sialan, siapa yang tak berani bertanding, lebih baik menyingkir jauh-jauh, kita mesti tentukan menang kalah dengan mengandalkan tinju masing-masing, jangan tunjukkan kelemahan kita di hadapan seorang perempuan!" Rekan-rekannya segera mendukung usul itu, maka suasana pun jadi gaduh, tampaknya pertarungan segera akan dim lai. Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu kembali berpikir, "Baguslah kalau begitu, akan kusaksikan dulu dengan cara apa perempuan lemah ini membereskan kawanan penyamun yang berotot namun tak berotak itu Baru berpikir sampai di situ, mendadak dari sisi tubuhnya terdengar seorang menghardik, "Siapa kau?" Diam-diam Pek Jau-hui mengeluh, karena kelewat kesem-sem menyaksikan peristiwa yang terjadi dalam ruang perahu, dia sampai lupa posisi sendiri yang sedang mengintip, baginya kejadian semacam ini boleh dibilang baru terjadi untuk pertama kalinya. Begitu orang itu menghardik dan belum sempat melakukan sesuatu tindakan, Pek Jau-hui sudah menerjang ke hadapannya, sekali sambar ia cengkeram tulang tenggorokan orang itu. "Kraaak!", sekali remas ia gencet tulang tenggorokan orang itu hingga hancur. Dari dalam ruangan perahu bermunculan lima sosok bayangan, mereka saksikan ada sesosok bayangan manusia terlempar ke udara dan tercebur ke tengah sungai. Menghadapi datangnya kelima orang itu, Pek Jau-hui sama sekali tidak bersuara, apalagi bicara, dengan gerak cepat ia menghampiri seorang di antaranya dan langsung menyodok keningnya dengan satu tonjokan maut. Jeritan ngeri yang menyayat hati seketika bergema memecah keheningan, suara jeritan inilah yang didengar Ong Siau-sik dan Un Ji dari atas perahunya. Menanti mereka berdua tiba di atas perahu besar, dari ketujuh orang penyamun itu, ada lima orang di antaranya yang sudah tewas di tangan Pek Jau-hui dan mayatnya dilempar ke dalam sungai, bahkan salah seorang di antaranya masih dicengkeram pemuda itu. Sisanya yang seorang sebetulnya bertugas menjaga gadis itu dalam ruang perahu, ketika terjadi pertarungan sengit di atas geladak, orang itu segera menjulurkan kepalanya keluar jendela, niatnya ingin melihat keadaan di luar. Begitu menyaksikan lelaki itu sedang menjulurkan kepala keluar jendela, si nona cantik segera menyambar sebatang bambu kemudian dihantamkan ke atas kepala lelaki itu. Tatkala sang penyamun menarik kembali kepalanya dengan gelagapan, mendadak gadis cantik itu melolos sebilah golok tajam dari balik sakunya dan langsung dihujamkan ke hulu hati penyamun itu. Begitu berhasil menyarangkan goloknya, dengan wajah pucat-pias gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Penyamun itu menjerit kesakitan, belum sempat mengucapkan sesuatu, nyawanya sudah telanjur melayang meninggal?kan raganya, sungguh mengenaskan nasib orang ini, dia harus mengakhiri nyawanya di tangan seorang gadis yang sama sekali tak mengerti ilmu silat. Waktu itulah Pek Jau-hui sambil mencengkeram Ci-lotoa memburu masuk ke dalam, sementara Ong Siau-sik dan Un Ji juga telah melompat naik ke atas perahu. ooOOoo 9. Angin, rembulan, bayangan manusia Kini suasana di atas perahu pesiar itu sudah pulih dalam ketenangan. Dari lima orang dayang yang ikut dalam perjalanan ini, empat di antaranya berhasil lolos dari maut, namun mereka sudah telanjur dibuat ketakutan setengah mati. Dari delapan orang pengawal yang ikut di atas perahu itu, enam orang di antaranya tewas karena terkena obat pembius dalam kadar yang banyak, sisanya dua orang harus diguyur air dingin berulang kali sebelum akhirnya tersadar kembali. Di antara mereka, hanya gadis cantik bak bidadari itu yang tetap bersikap tenang, ia perintahkan para pembantunya untuk menolong rekannya, memasang lentera dan membersihkan ru?angan, kemudian setelah berterima kasih kepada Pek Jau-hui, ia masuk ke ruang dalam untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna kuning jeruk, ia mempersilakan Pek Jau-hui bertiga mengambil tempat duduk, kemudian memerintahkan orang untuk menyiapkan meja perjamuan. Baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik, diam-diam amat mengagumi sikap tenang gadis itu, mereka tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan, tidak semua orang bisa bersikap begitu tenang dalam menghadapi kejadian seperti ini, terkecuali ia berasal dari satu keluarga kenamaan. Setelah menanyakan nama ketiga orang penolongnya, gadis itu baru berkata, "Malam ini seandainya tidak ada kalian bertiga, entah bagaimana nasibku sekarang, budi kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya." Walaupun perkataan itu ditujukan pada ketiga orang, namun sewaktu berbicara dia melirik terus ke arah Pek Jau-hui, membuat pemuda itu merasakan jantungnya berdebar. Sambil tertawa Ong Siau-sik menjawab, "Sebetulnya budi ini bukan milik kami, aku dan Un-lihiap hanya secara kebetulan tiba di sini, coba kalau tak ada saudara Pek, mungkin "Ketujuh orang itu memang kelompok penyamun berhati keji," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela, "mereka sudah terbiasa merampok, memperkosa dan membunuh, selama ini berlindung di bawah panji Mi-thian-jit dan menyebut diri sebagai Jit-sat, tujuh malaikat bengis. Tampaknya sebelum turun tangan terha?dap perahu ini, mereka telah menyusun rencana yang matang, boleh aku tahu apa sebabnya mereka mengincar kalian?" Gadis cantik itu tersenyum. "Biarpun mereka menyebut diri sebagai tujuh malaikat bengis, kenyataannya di tangan Inkong (tuan penolong) mereka tak lebih hanya sebangsa tikus." Pek Jau-hui ikut tertawa. "Sewaktu bersembunyi di luar jendela tadi, aku sempat mencuri dengar pembicaraan mereka," katanya, "aku rasa keha?diran mereka ada hubungannya dengan kelompok Mi-thianjit serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Setahuku kelompok Mi-thian-jit (pembius tujuh langit) adalah organisasi misterius yang didirikan di kota Kay-hong, kantor cabang dan pengaruh mereka sudah menyebar ke antero propinsi, memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap enteng, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah perkumpulan nomor satu di kolong langit. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin dua organisasi besar itu bisa berhubungan dengan tujuh malaikat bengis?" "Aku tidak seberapa tahu tentang masalah dunia persi?latan, kenapa tidak kau tanyakan sendiri kepada Ci Thian-jiu?" kata nona itu sambil tertawa. "Siapa itu Ci Thian-jiu?" tanya Ong Siau-sik. "Ci Thian-jiu adalah pemimpin kawanan penyamun ini," Pek Jau-hui menerangkan, "walaupun aku tahu mereka disebut tujuh malaikat bengis, namun nama mereka tak ada yang kukenal." "Aku juga tidak tahu," sambung Ong Siau-sik dengan mata berbinar. Un Ji tidak paham apa maksud pembicaraan kedua orang lelaki itu, segera serunya, "Aku pernah mendengar tentang hal ini." "Oya?" "Betul, Ci Thian-jiu adalah salah satu di antara tujuh malaikat bengis." "Selain itu?" "Dia ... dia seorang lelaki," agak gugup Un Ji menerangkan. "Terus?" "Dia adalah seorang telur busuk yang sudah banyak melakukan kejahatan." "Kejahatan apa saja yang telah dia lakukan?" Gadis cantik itu tersenyum, setelah mengerling pada Pek Jau-hui sekejap, ia memandang ke arah Un Ji dan katanya, "Se?orang gadis suci dari perguruan lurus, mana bisa mengingat semua perbuatan bejat yang pernah dilakukan manusia macam Ci Thian-jiu" Hanya kaum jalanan yang memperhatikan perbuatan busuknya. Un-lihiap, ketidak-tahuanmu dalam hal ini malah menunjukkan bahwa kau memang selalu berjalan lurus." "Nah, itulah dia," tanpa pikir panjang Un Ji berseru, kemudian katanya lagi pada gadis cantik itu sambil tertawa, "Ciri, pengetahuanmu sungguh luas, boleh tahu siapa namamu?" "Aku bermarga Thian, bernama Tun." "Oooh, rupanya cici Thian Tun!" Memandang rambutnya yang hitam berkilauan di bawah cahaya lentera, kembali Un Ji berseru, "Cici, rambutmu sangat indah!" "Senyuman adik pun segar bagai sekuntum bunga." "Menurut kau, bunga apa yang paling cocok untukku?" suara tawa Un Ji semakin melengking. "Aku rasa mirip sekali dengan bunga anggrek." "Apakah kau menganggap suara ter kelewat keras?" kem?bali Un Ji cekikikan. "Ah, tidak," Thian Tun menggeleng, "aku rasa semua bunga indah sewaktu mekar, bentuknya pasti mirip dirimu." Un Ji makin kegirangan, kembali serunya, "Betul, betul sekali, dulu di halaman rumahku juga tumbuh banyak jenis bunga, ada "He, bunga anggrek bulan, sudah selesai belum kau ribut?" mendadak Pek Jau-hui menyela. Dengan perasaan mendongkol Un Ji mengerling sekejap ke arah pemuda itu, ia merasa kegembiraannya sangat terganggu dengan teguran itu. Tapi Pek Jau-hui sama sekali tidak menggubrisnya, kepada Thian Tun katanya, "Nona Thian, apa boleh kupinjam sebentar tempatmu ini untuk menginterogasi orang itu, jika kau merasa tak tega, biar aku gelandang dia ke perahuku." "Tidak apa apa." Pek Jau-hui pun membanting tubuh Ci Thian-jiu ke atas tanah, belum sempat ia berbicara, Un Ji dengan mata melotot sudah berseru duluan, "Jadi dia adalah ketua dari tujuh malaikat bengis, Ci Thian-jiu?" "Hmmrn, dia memang Ci Thian-jiu yang sudah banyak melakukan kejahatan, tapi sayang, saat ini sudah menjadi Ci Thian-jiu yang mampus," sahut Pek Jau-hui dengan wajah membesi, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "Sejahat dan sebuas apa pun, jika sudah mampus maka tak nanti ia mampu mencelakai orang lain lagi." "Jadi kau tidak akan membunuhnya?" tanya Ong Siau-sik. "Tidak." "Kau totok jalan darahnya?" "Itulah sebabnya dia tak mampu membunuh diri." Ong Siau-sik berjongkok sambil memeriksa kelopak mata si orang mati, kemudian memeriksa juga mulutnya, setelah diamati sesaat, ujarnya, "Dia mati karena keracunan." "Mungkin sudah ia selipkan obat racun di antara sela-sela giginya," sambung Pek Jau-hui. "Bisa jadi Ci Thian-jiu tak ingin rahasianya terbongkar," kata Thian Tun pula, "maka begitu tertangkap oleh Pek-tayhiap, ia terpaksa menelan racun untuk menghabisi nyawa sendiri." "Ya, rasanya jalan ini memang merupakan jalan terakhir baginya" sahut Pek Jauhui sambil mengangkat bahu. Dengan tewasnya Ci Thian-jiu, berarti sumber berita pun terputus di tengah jalan, dalam keadaan begini Pek Jau-hui hanya bisa termenung sambil membayangkan kembali semua kejadian itu. Tio Thiat-leng pernah bilang, masih ada satu pekerjaan besar lainnya yang mesti diselesaikan, mungkinkah pekerjaan besar yang dimaksud adalah peristiwa ini" Apa hubungannya dengan Thian Tun, si gadis cantik ini" Tio Thiat-leng sudah kabur dengan membawa luka, kenapa Mi-thian-jit kembali mengirim anak buahnya untuk mencegat Thian Tun" Apa yang dia mau dan apa tujuannya" Dari pembicaraan yang kemudian berlangsung, diketahui bahwa Thian Tun sesungguhnya adalah putri seorang pejabat tinggi di kotaraja, waktu itu mereka dalam perjalanan pulang setelah pergi menengok famili. Baik Ong Siau-sik maupun Un Ji tahu, saat itu sedang ber?angsung perebutan pengaruh antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau melawan perkumpulan Lak-hun-poantong, untuk mem?perluas pengaruh dan daerah kekuasaan, kedua belah pihak samasama tak segan bersekongkol dengan para pejabat tinggi. Tampaknya peristiwa yang menimpa Thian Tun kali ini, kejadian itu tak terlepas dari perebutan pengaruh yang sedang berlangsung, malah kekuatan nomor tiga, perkumpulan Mi-thian-jit pun ada minat turut serta dalam pertikaian ini. Jelas kota Kay-hong akan semakin bertambah semarak! Mereka berempat berbincang-bincang hingga kentongan kedua, karena merasa cocok satu dengan lainnya, kebetulan Thian Tun yang sudah kehilangan banyak pengikut pun hendak balik ke kotaraja, maka mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Tampaknya Thian Tun amat menyukai Un Ji, segera katanya sambil tertawa, "Bagus sekali, dengan dilindungi adikku, Cici tak usah kuatir keselamatan lagi sepanjang perjalanan." Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, lalu katanya lagi, "Aku hanya merasa kurang enak karena harus merepotkan kalian berdua." "Tak usah sungkan," tukas Ong Siau-sik tersenyum, "kami malah merasa gembira karena punya teman dalam perjalanan." Sampai di sini dia pun berpaling ke arah Pek Jau-hui, ternyata rekannya sudah berdiri di ujung geladak sambil memandang rembulan. Rembulan bersinar terang menyinari permukaan sungai. Riak ombak saling keja- bagaikan gulungan perak. Ketika menjelang fajar, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berpamitan untuk kembali ke perahu sendiri dan beristirahat, se?mentara Un Ji tetap tinggal di perahu itu dan terpulas dengan nyenyak. Di tengah keheningan yang mulai mencekam seluruh jagat itulah Thian Tun dengan gerak-gerik yang amat lambat dan berhati-hati turun dari pembaringan, berjalan menuju ke depan cermin dan memperhatikan sekejap raut wajah sendiri yang cantik bak siluman rase. Tiada senyuman yang menghiasi raut muka cantiknya, ia nampak serius bahkan sedikit tegang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan sebuah jepitan rambut berwarna hitam dari gulungan rambut Ci Thian-jiu. Kemudian dengan jari tangannya yang lentik pelan-pelan dia lepaskan penjepit rambut itu. Satu sisi dari penjepit rambut itu terbuat dari baja, ujungnya kelihatan runcing dan tajam. Ketika tertimpa cahaya lentera, ujung jarum itu membias?kan cahaya biru yang menyilaukan mata, cahaya semu biru dikelilingi tujuh warna lain yang agak samar. Dari balik sanggulnya, kembali ia melepaskan sebuah tusuk konde, ujung tusuk konde dibukanya dengan hati-hati, lalu jarum berwarna biru yang barusan dijepit keluar dari balik kepala Ci Thian-jiu itu dimasukkan ke balik tusuk konde itu. Sesudah tusuk konde itu diselipkan kembali di balik sanggulnya, ia baru mengulum senyum di ujung bibirnya. Dia yakin perbuatannya itu, kecuali seluruh rambut di kepala Ci Thian-jiu dicukur hingga gundul, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan seksama, kalau tidak, tak mungkin orang bisa menemukan lubang lembut di kepala itu. Selesai dengan pekerjaannya, pelan-pelan ia berjalan keluar dari ruang perahu. Fajar belum lagi menyingsing, suasana di sekeliling sungai itu amat hening dan sepi, hanya cahaya rembulan yang menyaksikan seluruh perbuatannya. Seluruh perbuatannya, seluruh tingkah lakunya. Termasuk juga pakaiannya, wajahnya, hatinya. ooOOoo Mereka berada di satu perahu, melakukan perjalanan bersama-sama, makan, minum, tertawa dan bergurau bersama, berkumpul jadi satu membicarakan persoalan dunia persilatan, berkumpul membahas situasi dunia persilatan. Sikap Pek Jau-hui sudah tidak seangkuh dulu, seperti apa yang pernah dia katakan, "Bila seseorang kelewat banyak tertawa, dia sudah tak mampu angkuh dan jumawa", mungkin saja hal ini disebabkan selama beberapa hari terakhir dia kelewat banyak tertawa. Thian Tun pun bersikap sangat lembut dan halus, terkadang ia bersikap seperti pendekar wanita, ia pandai minum, Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik tak ada yang mampu mengungguli dirinya, dia pun pandai bermain dadu, begitu asyik bermain, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kemahirannya setara dengan tauke pemilik sarang judi. Tapi sebagian waktu dia hanya duduk di samping, mengawasi semua orang dengan sepasang matanya yang bening, atau tersenyum dengan tertawanya yang manis. Ada kalanya dia pun menertawakan Un Ji, kepolosan dan kenakalan gadis itu membuatnya merasa geli bercampur senang. Bagaimana dengan Ong Siau-sik" Dia hanya mengikuti semua itu dengan mulut bungkam. Dia memang bergabung dengan perasaan tulus, berhubungan dengan perasaan penuh persahabatan, tapi dia pun merasa bahwa perjalanan yang mereka tempuh bersamasama ini telah meninggalkan kenangan yang mendalam. Malam itu, di tengah pancaran sinar rembulan yang terang dan alunan ombak yang tenang, sambil tertawa Un Ji bertanya, "Setibanya di ibukota, kalian mau apa?" Tak ada yang menjawab. "Kau duluan!" ucap Un Ji kemudian sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik. "Aku akan mengadu nasib," sahut pemuda itu sambil tersenyum. "Kalau aku ingin berjuang agar bisa membangun satu usaha," sambung Pek Jau-hui sambil mendongakkan kepala memandang rembulan. "Apakah sebagai seorang lelaki, dia harus memiliki nama dan jabatan?" tanya Thian Tun tiba-tiba, nadanya agak sendu. "Sebagai seorang lelaki, bila tak mampu berjasa, tak mampu membangun usaha dan tak mampu punya nama, apakah artinya hidup di dunia ini?" sahut Pek Jau-hui. Perlahan Thian Tun mendongakkan kepala sambil memandang kejauhan, katanya lagi, "Bukankah lebih enak hidup gembira, hidup aman sentosa?" "Itu sih pemikiran orang yang tak punya ambisi, aku bukan jenis manusia begini. Ketenangan merupakan penderitaan, hidup sebagai nelayan, petani, tukang kayu, sastrawan merupakan pekerjaan yang membosankan!" "Aku pun hanya ingin mencoba," kata Ong Siau-sik pula, "belum tentu perjalananku kali ini akan menghasilkan nama atau kedudukan, aku tak peduli, tapi aku tak boleh tidak harus mencoba, melepaskan kesempatan merupakan orang bodoh, perbuatan yang akan disesrli di kemudian hari. Dan bagaimana dengan kau" Mau apa kau datang ke kotaraja?" "Aku?" Thian Tun tersenyum lirih, "aku bukan pergi ke kotaraja, aku dalam perjalanan pulang ke rumahku." Kemudian setelah mengerdipkan matanya yang jeli, dia menambahkan, "Pulang ke rumah merupakan keinginanku yang paling utama, bagaimana dengan kau, adikku?" Un Ji berpikir sejenak, mendadak ia jengah sendiri, pipinya berubah jadi merah dadu. "Kenapa" Mencari jodoh?" goda Thian Tun sambil tertawa. "Ah, kau, justru kau yang ingin kawin sampai-sampai rada sinting." "Masa selama hidup kau tak akan kawin?" "Aku ingin menjumpai Suhengku terlebih dulu." Terbayang Un Ji memiliki seorang Suheng yang amat tersohor di antero jagad, So Bong-seng, Ong Siau-sik seketika merasa tengkuknya agak gatal, begitu juga dengan Pek Jau-hui. Maka ujarnya kemudian, "Nona Thian, hari ini pemandangan alam sangat indah, suasana pun nyaman, bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu dengan alat khim?" "Darimana kau tahu kalau aku bisa memetik khim?" tanya Thian Tun seraya berpaling. "Dengan jari jemarimu yang begitu indah, aneh jika tak pandai memainkan khim" "Siapa yang bilang" Kesepuluh jari tanganku ini justru paling pandai membunuh orang!" seraya berkata pelan-pelan ia bangkit berdiri dan mengambil sebuah khim yang kelihatan agak hangus karena bekas terbakar dari atas sebuah rak. "Khim yang bagus!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa. Thian Tun tersenyum manis, jari jemarinya segera menari di atas senar dan melantunkan sebuah lagu yang merdu merayu. "Ilmu jari yang hebat!'' puji Pek Jau-hui cepat. Ong Siau-sik ikut bangkit kegembiraannya, segera ia mencabut keluar serulingnya dan mengimbangi permainan khim itu, melantunkan irama lagu yang indah. Pek Jau-hui pun tak kuasa menahan diri, ia bangkit berdiri dan mulai menari. Begitulah, di tengah sungai, di bawah cahaya rembulan, di tengah hembusan angin, di dalam perahu, seruling, khim dan tarian menghiasi sekeliling tempat itu. "Sayang, aku tak pandai menari maupun memainkan alat musik," keluh Un Ji penuh rasa sesal, "apa pun aku tak mampu, Cici, kau memang hebat!" "Kau toh bisa menyanyi," hibur Thian Tun. "Suaraku jelek, aku tak bisa menyanyi," sahut Un Ji dengan wajah memerah, "tatkala masih di rumah dulu, aku pernah menyanyi, baru kulantunkan dua bait, ayam dan burung tetangga pada jatuh sakit selama dua hari. Untung aku tidak ikut menyanyi saat ini, kalau tidak, mungkin pemain khim, pemain seruling dan penarinya sudah menceburkan diri ke dalam sungai lantaran pada mabuk." Ucapan itu kontan disambut gelak tertawa semua orang. Angin, rembulan, irama lagu dan tarian yang berlangsung malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan, meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang. Keesokan harinya, ketika Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik balik lagi ke perahu besar itu, mereka jumpai Thian Tun beserta para dayang dan barang bawaannya telah lenyap, yang tersisa hanyalah Un Ji yang masih terlelap tidur. Thian Tun telah pergi entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, sepucuk surat dengan bekas noda air mata. ooOOoo 10. Manusia dan ikan Bila empat orang yang sudah biasa berkumpul, lalu pada suatu hari tiba-tiba rombongan itu kehilangan satu orang, bagaimanakah perasaannya waktu itu" Jangan kan manusia, sebuah cincin pun terkadang bisa mendatangkan perasaan yang tak enak, mungkin di saat pertama kali mengenakannya, kau akan merasa tak leluasa, tapi bila sudah terbiasa mengenakannya, bila suatu ketika harus dilepas kembali, pasti akan merasa sangat kehilangan. Terlebih kalau dia bukan sebuah cincin. Terlebih jika dia adalah seorang gadis cantik. Seorang gadis yang masih polos, lembut, halus, terkadang pipinya bisa berubah merah jengah, terkadang nampak sedikit gelisah. Hari itu dia telah pergi, pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan ketiga orang yang ditinggalkannya" Tak tahan Un Ji mulai mengomel, "Thian Tun itu Cici macam apa" Kenapa pergi tanpa pamit" Kenapa ia berbuat begitu" Kenapa ia bersikap begitu?" Ong Siau-sik sendiri pun ikut merasa sedih, ujarnya, "Mungkin dia pergi karena ada urusan penting, mungkin ia mempunyai kesulitan yang tak ingin diketahui orang, padahal kita sudah satu rombongan, sekalipun ada urusan penting, kan bisa kita kerjakan bersama, kalau ada kesulitan, kita bisa pecahkan bersama, hanya saja..." Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, tambahnya, "Terkadang untuk menyelesaikan satu masalah, pergi beramai malah tidak leluasa, kalau toh ada kesulitan, mana mungkin bisa dibicarakan secara terbuka?" Ia tahu Pek Jau-hui selama ini hanya diam saja, bahkan dengan wajah gelap sedang duduk di tepi sungai sambil memancing. Ong Siau-sik pun meminjam alat pancing pada seorang tukang perahu, kemudian duduk di samping Pek Jau-hui. Tinggal Un Ji seorang yang tak tertarik untuk berbuat begitu, menggunakan kesempatan itu dia naik ke darat dan pergi ke kota terdekat untuk melihat keramaian. Sampai lama sekali, pancingan Pek Jau-hui belum juga disentuh ikan, begitu pula dengan pancingan Ong Siau-sik. Pek Jau-hui tetap membungkam. Ong Siau-sik ikut membungkam, dia memang sedang menemaninya memancing. Banyak orang mulai berlalu lalang di sepanjang pantai, suasana tambah lama tambah ramai, tapi kedua orang pemuda itu tetap duduk tenang di tepi pantai, duduk sambil memegangi alat pancing. Menjelang tengah hari, Un Ji balik dengan penuh kegembiraannya, sambil membawa barang bawaannya ia naik ke perahu, ia mulai ribut untuk meneruskan kembali perjalanannya. "Apakah tidak ditunggu sebentar lagi?" tanya Ong Siau-sik. "Tidak usah ditunggu," sahut Pek Jau-hui tanpa berpaling. Mereka bertiga bersantap di dalam perahu, hidangan yang disajikan adalah ikan leihi masak cuka. "Ikan ini hasil pancingan siapa?" tanya Un Ji sambil membersihkan mulutnya. Kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dengan sumpitnya dia menambahkan, "Kau?" Ong Siau-sik menggeleng. "Kalau begitu tentu kau!" seru si nona sambil menuding ke arah Pek Jau-hui, tapi yang ditunjuk sama sekali tidak menggubris. Tiba-tiba Un Ji meletakkan kembali sumpitnya seraya berseru, "Kalau bukan hasil pancingan kalian berdua, sudah pasti ikan itu meloncat sendiri ke atas daratan dan mengubah diri jadi sepiring hidangan!" Melihat gadis itu sewot, Ong Siau-sik mengerling sekejap ke arah Pek Jau-hui, kemudian katanya, "Bukan aku, bukan juga dia, tukang perahu yang membelinya di pasar." "Tapi bukankah kalian sudah memancing setengah hari lamanya, masa tanpa hasil seekor pun?" tanya Un Ji tidak habis mengerti. Pek Jau-hui tidak langsung menanggapi, dia menghirup dulu secawan arak, lalu berpaling ke arah Ong Siau-sik sembari bertanya, "Jadi kau pun tak berhasil mendapatkan seekor ikan pun?" "Bagaimana dengan kau sendiri?" pemuda itu balik bertanya. "Kailku tanpa umpan, mana mungkin ada ikan mau mendekat?" "Aku pun bukan bertujuan memancing ikan." "Kalau bukan memancing ikan, memangnya ingin dipancing sang ikan?" Ong Siau-sik segera tertawa. "Aku hanya menonton ikan. Biarkan saja sang ikan bere?nang bebas di dalam air, kenapa kita mesti memancingnya" Kita toh tidak harus memakannya, bayangkan sendiri, andai kata yang sedang berenang di air adalah manusia sementara sang pemancing adalah ikan, apa jadinya?" "Tapi kenyataan sekarang kita adalah manusia dan mereka adalah ikan. Orang yang hidup di dunia ini memang sudah terbagi sejak lahir, ada yang miskin, ada yang kaya, ada yang bodoh, ada yang pintar, ada pula yang beruntung dan ada yang tidak, semua ini alami, begitu juga seandainya ikan adalah manusia dan manusia adalah ikan, ikan pun akan memasang umpan untuk memancing manusia. Kini kau dan aku bukan ikan, maka sang ikanlah yang menjadi mangsa kita. Memang begitulah alam kehidupan." Ong Siau-sik mengalihkan sorot matanya ke tepi pantai, sambil mengawasi orangorang yang sedang berlaluTalang, ia menggeleng kepala dan berkata sambil tertawa, "Siapa bilang kita bukan ikan" Bukankah kita semua adalah ikan peliharaan Thian" Tinggal kapan Thian akan menangkap salah satu di antara kita. Siapa sih di antara kita yang bisa lolos dari tangkapan Yang di Atas?" Pek Jau-hui mendengus dingin. "Hmmm, sekarang aku sudah menebar kail, berarti aku harus mendapatkan sang ikan, andai kata akhirnya aku terseret masuk ke air oleh tarikan ikan, atau sebaliknya malah dipancing oleh sang ikan, hal itu bukan dikarenakan tanganku kurang kuat atau umpanku kurang banyak, sebaliknya karena aku memang sebetulnya berhati tulus, tak ingin memancingnya, tapi dia malah kabur." Belum selesai dia berkata, Un Ji sudah menyumpit seekor kepala ikan yang besar dan disodorkan ke dalam mangkuknya. "Aku jadi heran," seru gadis itu sambil tertawa, "tak ada hujan tak ada angin, kenapa kalian mengumpamakan diri sebagai ikan atau manusia, memangnya kalian berdua sudah terkena tenung atau sudah dibuat kesemsem siluman ikan waktu memancing tadi" Ayo, cicipi dulu kepala ikan itu baru kemudian bicara lagi!" Dengan murung Pek Jau-hui mengawasi mangkuk sendiri, tampak olehnya kepala ikan yang tergeletak dalam mangkuknya seolah sedang mengawasi dia dengan matanya yang putih keabu-abuan. Kotaraja semakin dekat, mereka bertiga pun naik ke daratan dan berencana melanjutkan perjalanan darat. Dengan uang sebanyak 270 tahil perak mereka membeli tiga ekor kuda jempolan, tentu saja Pek Jau-hui yang mengeluarkan duitnya. Ong Siau-sik segera menuntun kuda-kuda itu, sementara Un Ji mengajukan protes kepada Pek Jau-hui, "Udara begini panas, kenapa tidak menyewa tandu saja, kalau mesti menempuh perjalanan di udara terbuka, kulit tubuh kita bakal hitam terbakar "Kalau merasa kulit sendiri kelewat halus, sewalah sendiri tandumu," sahut Pek Jau-hui mendongkol, "dunia persilatan memang tidak cocok untuk Toasiocia macam kau!" "Jadi kalian berdua tega menyaksikan seorang gadis muda diterpa angin, dibakar sinar matahari, diguyur air hujan dan didera pasir serta debu?" "Ah, apa urusannya dengan diriku," sahut Pek Jau-hui setengah mengejek, "apalagi terhadap manusia macam kau, lelaki tidak perempuan pun bukan. Selagi ada keuntungan buru-buru jadi perempuan, kalau sudah tidak menguntungkan berlagak macam lelaki. Setelah dua kali kena batunya, Un Ji jadi mendongkol, teriaknya, "Ada apa sih dengan kau" Selama beberapa hari belakangan selalu saja sewot tanpa sebab, siapa yang telah menyalahi kau" Terus terang saja, aku tidak terbiasa dengan watak macam kau itu." Pek Jau-hui tertawa dingin. "Aku pun tidak terbiasa melayani Toasiocia macam dirimu, terserahlah, apa maumu, lakukan sendiri, kami segera akan melanjutkan perjalanan." "Aku tahu, kau hanya bersedia melayani Thian-toasiocia, hmmm! Sayangnya, orang justru kabur tanpa meninggalkan pesan, kenapa" Kau jengkel" Sedih" Kalau sudah tak tahan, kenapa tidak menceburkan diri ke dalam sungai saja" Buat apa kau berlagak sok di hadapanku?" Tampaknya perkataan itu mengena telak luka di hati Pek Jau-hui, sesaat dia tertegun, tapi kemudian serunya dengan suara keras, "Aku mau melayani siapa, peduli amat dengan kau" Asal aku senang, kau tak usah turut campur. Ong Siau-sik mungkin saja menahanmu, tapi aku tidak, kau boleh saja pergi sendiri ke ujung langit, apa urusannya dengan aku!" Un Ji merasa amat sakit hati, ucapan itu menusuk perasaannya hingga merasuk ke tulang sumsum, dengan wajah merah padam menahan amarah, serunya, "Bagus, bagus sekali manusia she Pek, kau boleh senang sekarang! Baik, nonamu akan berangkat sendirian, kita bertemu lagi di kota Kay-hong!" "Silakan saja kalau mau pergi, aku tak akan mengantar lagi. Ah, kebetulan si batu kecil sudah balik, bagaimana" Suruh dia pergi bersamamu?" Dengan air mata mengembeng di mata, Un Ji segera melompat naik ke atas kudanya kemudian dilarikan kencang meninggalkan tempat itu. Ong Siau-sik yang tidak tahu urusan hanya bisa berdiri tertegun sambil mengawasi bayangan hitam yang makin menjauh. Lewat beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata kepada rekannya, "Batu kecil, aku yang membuat gara-gara, membuatnya pergi dengan marah "Apakah dia ... dia akan balik kemari?" gumam Ong Siau-sik seperti orang yang kehilangan sukma, "apakah dia pergi sendiri ke kotaraja?" "Aku ... aku pun tidak tahu." Ong Siau-sik mengira Un Ji bakal balik lagi secara diam-diam, seperti apa yang dia lakukan ketika berada di Han-swe tempo hari. Ternyata tidak. Un Ji tidak kembali lagi. Mereka tidak segera melanjutkan perjalanan, dua hari lamanya mereka menanti di situ namun tiada hasil. Dalam keadaan begini terpaksa Pek Jau-hui mengajak Ong Siau-sik melanjutkan perjalanannya menuju ibukota. Di kotaraja tersedia pelbagai macam atraksi, ada tempat perjudian yang bisa membuat kaya mendadak, ada wanita cantik yang bisa membuat hati terhanyut, tersedia berbagai hiburan yang diimpikan setiap orang, terdapat pula hal yang sama sekali tidak terduga. Kota besar merupakan sumber segala kehidupan, di situ tersedia ranjang hangat yang bisa membuat kau dapat nama dan kedudukan, tapi juga merupakan jurang paling dalam dari segala dosa dan kenistaan. Di situ seorang Enghiong bisa termashur, bisa mendapat posisi terhormat, tapi di situ juga orang gagah akan terlupakan, akan memperoleh segala kenistaan dan penghinaan. Sejak dulu hingga kini, banyak sekali Enghiong Hohan, pelajar dan sastrawan yang berdatangan ke sana, ingin mendapat nama dan kedudukan dalam waktu singkat, ingin meniti karier dan mencapai puncak ketenaran, tapi akhirnya lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Mungkin karena itulah keberhasilan selalu merupakan satu kejadian yang amat berharga. Mungkin dikarenakan hal ini maka segenap orang pintar yang berkumpul di kotaraja selalu berusaha menunggu peluang secara seksama, kecuali mereka yang memiliki kemampuan luar biasa, saat dan kesempatan merupakan kunci yang menentukan. Hampir semua Enghiong Hohan berhasil dengan kariernya karena pandai menangkap kesempatan, bila kau paksakan diri menentang kebiasaan ini, seringkah bukan saja Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo usahamu akan gagal total, mungkin nyawa akan jadi taruhannya. Siapa yang bisa menduga angin yang tertiup ke arah sini, besok akan bertiup ke arah mana" Siapa pula yang tahu jalanan yang nampak buntu pada hari ini, mungkin besok akan berubah jadi sebuah jalanan yang lebar" Jalan kematian belum tentu merupakan jalan mati, siapa tahu besok akan berubah jadi sebuah jalan kehidupan" Ya, siapa yang bisa meramalkan keberhasilan atau kegagalan yang akan menimpa seseorang" Pek Jau-hui tidak tahu. Ong Siau-sik pun tidak tahu. Itulah sebabnya walaupun sudah setengah tahun mereka tiba di ibukota, namun apa yang dicita-citakan belum juga terwujud. Banyak kejadian di dunia ini butuh banyak waktu untuk meraba, butuh banyak pengalaman untuk melacak dan butuh banyak pelajaran, menang kalah tidak mudah untuk diraih, kendatipun kau adalah seorang cerdik. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik termasuk orang-orang cerdas, orang berbakat. Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tangguh, namun setibanya di tempat yang sangat asing ini, mereka toh tak mungkin mencari nama dengan membunuh orang lain, jika hal ini yang dilakukan, bukan saja mereka akan berurusan dengan pengadilan dan para opas, bahkan akan diburu oleh jago-jago tangguh kerajaan. Mereka pun tahu bahwa di kota besar itu terdapat perkum?pulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang berebut pengaruh, namun mereka menganggap kekuatan itu merupakan sebuah dunia lain, dunia yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka berdua. Sekalipun apa yang dicita-citakan belum terwujud, namun kedua orang pemuda ini justru hidup dengan riang gembira, mereka sudah menjadi sahabat karib. Apa yang disebut karib" Seorang sahabat karib akan memikul penderitaan bersama, mencicipi kegembiraan bersama, di saat kau kedinginan, dia datang membawa penghangat, di saat kau kepanasan, dia datang membawa salju. Sahabat karib tidak mengharapkan sesuatu dan tidak butuh sesuatu, namun mau berkorban demi yang lain. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bersama-sama datang ke kota Kay-hong, sama-sama dimaki orang, hapal setiap sudut kota, kehilangan semangat dan sama-sama mabuk di jalan.... Selama ini, mereka pun bersama-sama menimba banyak pengalaman, kenal dengan banyak manusia. Sampai akhirnya, uang persediaan yang dibawa Pek Jau-hui mulai menipis dan nyaris habis .... Dalam keadaan begini, Pek Jau-hui terpaksa membuka dasaran di tepi jalan dengan menjual tulisan dan lukisan, dia memang pandai menulis, lukisannya pun cukup indah, hanya sayang tak ternama. Lukisan hasil karya orang yang tidak ternama, biasanya murah harganya. Untuk hidup terus, orang butuh uang. Bagi Pek Jau-hui, lebih halal menjual lukisan dan tulisan ketimbang melakukan perdagangan tanpa modal. Sebelum balik ke rumah penginapan Toa-kong, ia menyempatkan diri mampir di Hwecun-tong untuk menjenguk Ong Siau-sik. Rekannya ini bekerja di Hwe-cun-tong sebagai tukang obat, Hwe-cun-tong adalah toko obat kenamaan di kota itu, lantaran dia pandai mengobati luka dana patah tulang, pemilik toko obat itu sangat menghargai kemampuannya. Bagi Ong Siau-sik sendiri, dia menganggap pekerjaan ini sebagai sebuah karya seni, lebih mendingan ketimbang dia mesti 'jual pedang'. Ketika Pek Jau-hui dengan membawa beberapa gulung lukisan tiba di toko obat Hwecun-tong, kebetulan Ong Siau-sik sedang beristirahat, maka seperti biasanya, mereka berdua pergi ke warung makan It-tek-kie untuk memesan beberapa piring sayur dan sepoci arak. Saat seperti ini biasanya merupakan saat yang paling menggembirakan bagi mereka berdua sejak tiba di kotaraja. Belum lama mereka berdua bersantap, hujan mulai turun. Mula-mula hanya setetes, dua tetes, tiga tetes, akhirnya hujan makin deras dan rapat, seluruh angkasa diselimuti awan gelap, burung mulai beterbangan mencari tempat persembunyian, orang yang berlalu-lalang pun berlarian mencari tempat Sayembara Maut 2 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Suling Naga 7

Cari Blog Ini