Golok Kelembutan 4
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 4 "Ooh, rupanya Mo Pak-sin," kata Pek Jau-hui. "Kenapa aku tidak melihat kalian meninggalkan tanda rahasia?" tanya Ong Siau-sik keheranan. "Kalau kalian pun bisa melihatnya, mana bisa disebut tanda rahasia?" "Benar juga perkataanmu itu," kata Pek Jau-hui sambil menghela napas, "jika Sokongcu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau setiap kali membunuh orang dilakukan dengan cara tidak mudah, di dunia persilatan tentu tak akan ada sebutan si golok nomor wahid di kolong langit." "Ooh, jadi kalian hendak memancing pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk bertarung habis habisan di sini?" kata Ong Siau-sik agak tertegun. Mendadak terdengar So Bong-seng bertanya, "Dari pihak mereka siapa yang telah datang" Lui Sun" Atau Ti Hui-keng?" "Ti Hui-keng!" jawab Mo Pak-sin, si pemuda bloon itu segera. "Kalau begitu persoalan hari ini akan diakhiri dengan perundingan, bukan pertarungan habis-habisan." Sementara itu Pek Jau-hui sudah memberi tanda kepada Ong Siau-sik sambil berkata, "Tampaknya cerita ini telah memberi pelajaran yang sangat berharga buat kita berdua, bahwa semua yang kita alami dalam sepuluh hari belakangan, tak satu pun yang merupakan kejadian untung-untungan." "Ya, benar, kelihatannya kisah ini sudah mengatur peranan kau dan aku," sambung Ong Siau-sik sambil tertawa. "Dan aku rasa, kisah ini baru saja akan dimulai," ujar Pek Jau-hui lagi sambil memandang ke tempat jauh dan menghela napas panjang. Mengikuti arah pandangan Ong Siau-sik, dia segera dapat melihat munculnya satu rombongan manusia, kawanan manusia yang baru muncul itu memegang payung berwarna kuning. Tiba-tiba Mo Pak-sin membuka mata lebar-lebar, biji matanya yang memancarkan sinar tajam seolah baru menerobos keluar dari balik lapisan kulit mata yang berlapis-lapis banyaknya, memancar keluar bagai pancaran sinar matahari. Terdengar ia berseru, "Lui Moay telah datang!" ooOOoo Tentu saja Lui Moay adalah seorang wanita. Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, kini Lui Moay sudah menjadi salah sstu wanita paling misterius, paling cantik dan berkuasa di antara tiga wanita lainnya, dengan tiga kemampuan yang dimilikinya, nyaris seluruh pria di dunia ini gampang jatuh hati kepadanya, paling tidak akan menaruh rasa ingin tahu terhadap perempuan ini. Menurut berita burung, ada orang bilang sesungguhnya Lui Moay adalah putri tunggal Lui Ceng-lui, pendiri yang sesungguhnya dari perkumpulan Lak-hun-poantong, tapi kemudian kekuasaan tertinggi perkumpulan itu berhasil direbut oleh Lui Sun, salah satu jagoan kosen dari aliran sesat dalam keluarga Lui, mengingat Lui Ceng-lui punya jasa dalam pendirian perkumpulan itu, maka ia mengangkat Lui Moay menjadi Tongcu kedua. Tapi ada juga yang bilang Lui Moay jatuh hati kepada Lui Sun, maka dia tak segan menyerahkan posisi ketua umum perkumpulan itu kepadanya. Tapi ada juga yang bilang, lantaran Lui Moay sadar kalau kepintaran maupun kepandaian silatnya jauh di bawah Lui Sun, demi kejayaan dan kemajuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka dia serahkan posisi puncak itu kepadanya. Ada lagi cerita, sebetulnya Lui Moay berasal dari aliran sesat dalam keluarga Lui, sejak awal dia memang kekasih gelap Lui Sun. Semenjak bini resminya yaitu Bong-huan-thian-lo, si impian jagad Kwan Siau-te meninggalkan Lui sun, dia selalu berhubungan gelap dengan perempuan ini, malah ada yang menaruh curiga, bisa jadi Kwan Siau-te sudah tewas di tangan Lui Moay, itulah sebabnya perempuan itu lenyap semenjak tujuh belas tahun lalu. Tentu saja Pek Jau-hui juga tahu kalau di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdapat seorang jago wanita yang bernama Lui Moay, dia malah pernah mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan perempuan itu dari mulut Tio Thiat-leng. Waktu itu Tio thiat-leng hanya berkata sambil tertawa getir, "Dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdapat tiga orang yang selamanya tak akan pernah dipahami orang lain, pertama adalah Lui Sun, tak ada yang tahu jelas manusia macam apakah dia, karena dia tak pernah membiarkan orang lain memahami tentang dirinya. Orang kedua adalah Ti Hui-keng, hanya dia yang memahami orang lain, tak ada orang lain bisa memahami tentang dirinya. Orang ketiga adalah Lui Moay, dia gampang sekali membuat orang lain memahami dirinya, tapi dengan cepat kau akan menemukan bahwa pemahaman tiap orang terhadap dirinya berbeda satu dengan yang lain, tergantung ke arah mana dia menginginkan kau memahaminya', jika dia ingin kau memahami dirinya dalam bidang A, maka yang bisa kau pahami hanya bidang A saja." Karena Pek Jau-hui sudah banyak mendengar tentang Lui Moay, dia pun ingin sekali dapat berjumpa dengan Lui Moay. Pek Jau-hui adalah seorang lelaki yang tinggi hati, namun seangkuh apa pun kadang kala timbul juga perasaan ingin tahunya terhadap perempuan kenamaan, apalagi kalau dia amat cantik. Paling tidak ia ingin melihatnya sekejap, melihat sebentar saja sudah merasa amat puas. Ong Siau-sik juga pernah mendengar dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita yang bernama Lui Moay. Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Moay me?megang tampuk kekuasaan pasukan yang misterius, dia merupakan panglima kesayangan Lui Sun. Orang bilang dalam dunia persilatan dewasa ini terdapat tiga orang wanita cantik yang penuh misteri, pertama adalah istri Lui Sun, kedua adalah putri Lui Sun dan ketiga adalah anak buah andalan Lui Sun. Manusia yang bernama Lui Sun ini memang orang hokki, bukan saja memiliki jagoan yang amat banyak, rata-rata anak buahnya yang lelaki berwajah tampan, yang perempuan ber?paras cantik. Tiba-tiba satu ingatan aneh melintas dalam benaknya, mungkinkah suatu hari nanti, dia pun mempunyai anak buah semacam itu" Bila seseorang ingin memiliki ilmu silat yang hebat, maka dia perlu tekad yang besar, kesabaran, keberanian serta bakat, asal syarat itu terpenuhi maka tak sulit untuk mendapatkannya. Namun apabila seseorang ingin memperoleh kekuasaan yang besar, maka dia perlu ambisi yang besar, cara bertindak yang keji serta kemampuan untuk mengendalikan orang lain. Ong Siau-sik sadar, dia mampu melaksanakan tugas besar yang belum tentu bisa dilaksanakan orang lain, tapi tidak memiliki ambisi yang terlalu besar untuk merebut posisi tinggi. Bila dia harus mengorbankan segalanya, mengubah wataknya hanya ditukar dengan kekuasaan, baginya lebih baik tidak usah. Terlepas dari semua itu, sebagai seorang anak muda, dia pun mempunyai harapan, dia ingin melihat bagaimana bentuk wajah Lui Moay yang dibilang merupakan panglima andalan Lui Sun. Oleh sebab itu dia segera berpaling, menoleh ke arah datangnya perempuan itu. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, tak menemukan perempuan yang bernama Lui Moay. Satu rombongan gadis berusia tujuh-delapan belas tahun dengan mengenakan baju berwarna kuning, berpinggang ramping, bermata bening, membawa payung berwarna kuning perlahan-lahan berjalan ke tengah arena. Rombongan gadis itu rata-rata berwajah cantik rupawan, membuat orang tak tahu siapakah Lui Moay yang sesungguhnya. Begitu rombongan gadis itu muncul, kecuali Lui Heng, semua jago yang berkumpul di dalam pasar serentak bergeser ke arah jalan Tang-sam-pak, seakan sedang memberi jalan lewat buat rombongan itu. Paras muka Mo Pak-sin kembali menampilkan perubahan mimik yang aneh. Kedua puluh sembilan orang berpayung hijau tua itu serentak mulai bergerak, mengikuti perubahan barisan mereka, ikut bergeser, gerakannya lamban tapi mantap, sama sekali tak terlihat ada celah yang ditimbulkan, tapi jelas mereka sedang mengatur sebuah barisan khusus untuk menyongsong kedatangan rombongan gadis-gadis cantik itu. Sebuah barisan tangguh untuk membendung kedatangan gadis-gadis lemah lembut itu. ooOOoo "Yang mana bernama Lui Moay?" tak tahan Ong Siau-sik bertanya kepada Pek Jauhui. "Masa kau tidak melihat kemunculan kawanan gadis itu?" jawab Pek Jau-hui. "Tapi di situ hadir belasan orang gadis, mana yang sebe?narnya bernama Lui Moay?" "Menurut kau, gadis-gadis itu cantik tidak?" "Cantik sekali," jawab Ong Siau-sik jujur. "Nah, asal ada gadis cantik yang bisa ditonton, peduli amat mana yang bernama Lui Moay." "Benar juga katamu," Ong Siau-sik manggut-manggut setelah berpikir sebentar. Dia mengerti arti perkataan Pek Jau-hui itu, gunakan kesempatan untuk menikmati apa yang bisa dinikmati. Tampaknya situasi bertambah gawat dan berbahaya, dalam keadaan seperti ini, orang memang dituntut berpikir positip saja, jangan berpikir negatip. ooOOoo Sorot mata So Bong-seng yang dingin menyeramkan sedang mengawasi rombongan gadis berpayung kuning itu, kemudian memperhatikan pula rombongan 'Berbuat onar semau sendiri' yang dipimpin Mo Pak-sin, setelah itu dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya, mengambil beberapa butir pil lalu ditelannya. Air hujan membasahi wajahnya, seakan hendak mengurai lelehan air mata penderitaannya. Setiap kali dia sedang minum obat, baik dia Mo Pak-sin maupun Su Bu-kui, tak seorang pun berani mengusik, apalagi merecoki dirinya. Lewat beberapa saat kemudian So Bong-seng baru mengurut dadanya dengan sebelah tangan, lalu dengan sorot mata yang tajam dia menyapu sekali lagi sekeliling arena. "Ti Hui-keng ada dimana?" tanyanya. "Dia ada di loteng Sam-hap-lau," jawab Mo Pak-sin. So Bong-seng berpaling dan mengawasi bangunan loteng nomor tiga di sisi jalan raya, bangunan itu adalah sebuah rumah makan karena di depan pintu terdapat sebuah tiang dengan panji bertuliskan "arak". Kembali S6 Bong-seng berkata kepada Mo Pak-sin, "Kau tetap di sini!" Sedang kepada Su Bu-kui, ajaknya, "Kau ikut aku naik ke sana." "Baik!" Su Bu-kui maupun Mo Pak-sin serentak menyahut. "Bagaimana dengan kami?" tanya Ong Siau-sik. So Bong-seng tidak menjawab, mendadak ia terbatuk-batuk, batuk dengan sangat hebatnya. Dari sakunya dia mengeluarkan saputangan berwarna putih, kemudian digunakan untuk menutupi mulutnya. Sewaktu batuk, sepasang bahunya berguncang keras, seperti sebuah kotak angin yang sudah rusak sedang berusaha memompa udara, napasnya begitu berat dan sesak, seakan setiap saat kemungkinan besar bisa terputus. Lama kemudian ia baru menggeser saputangannya. Sekilas pandang Ong Siau-sik dapat melihat noda darah yang membekas di atas saputangan berwarna putih itu. So Bong-seng memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian baru membuka matanya kembali, kepa?da Ong Siau-sik tanyanya, "Kau tahu siapa yang berada di atas loteng itu?" Ong Siau-sik menatapnya tanpa berkedip. Sewaktu menyaksikan ia terbatuk dengan hebatnya tadi, dalam hati kecilnya ia segera mengambil keputusan, apa yang bisa dia lakukan akan segera dilakukannya. "Aku tahu," jawabnya cepat, "di situ ada Ti Hui-keng." "Kau tahu siapakah Ti Hui-keng?" "Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong." So Bong-seng kembali menuding bangunan loteng itu dengan jari tangannya yang tak bertenaga, katanya lebih jauh, "Tahukah kau, sekali kamu naik ke situ, maka siapa pun tak bisa menjamin adakah peluang lain bagimu untuk turun lagi dalam keadaan selamat?" "Ketika memasuki pintu Po-pan-bun bersamamu tadi, aku pun tak tahu apakah ada jalan ketiga yang bisa kulewati untuk keluar dari situ," sahut Ong Siau-sik hambar. So Bong-seng menatapnya sekejap, hanya sekejap! Kemudian tanpa berpaling ke arah Pek Jau-hui, tanyanya, "Bagaimana dengan kau?" Pek Jau-hui tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah balik bertanya, "Apakah ilmu silat yang dimiliki Ti Hui-keng memang sangat hebat?" "Jika kau naik ke atas, segera akan kau peroleh jawab?annya," sahut So Bong-seng dengan wajah senyum tak senyum, "bila tak ingin naik ke situ, buat apa mesti banyak bertanya?" Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian, "Baik, aku ikut naik." Maka mereka berempat pun mengayunkan langkah menuju ke bangunan loteng itu. ooOOoo Di bawah bangunan loteng itu hanya ada meja dan bangku yang ditumpuk, tak nampak manusia. "Kau berjaga di sini," perintah So Bong-seng kepada Su Bu-kui. Tanpa banyak bicara Su Bu-kui melintangkan goloknya di depan dada sambil berdiri tegap di muka pintu, sekarang biarpun ada ribuan ekor kuda dan pasukan yang menyerbu masuk, dia tak akan membiarkan mereka bergerak maju setengah langkah pun. Dengan langkah santai So Bong-seng menaiki anak tangga menuju ke tingkat dua. Dalam keadaan begini, mau tak mau Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera mengikut di belakangnya naik ke atas loteng. Kedua orang pemuda itu jalan bersanding, bahu menempel bahu, ketika berjalan dengan cara begini, muncul perasaan aneh di hati mereka, seakan dengan jalan seperti itu, bukan saja mereka tak takut menghadapi hujan badai dan angin puyuh, ancaman bahaya sebesar apa pun seolah pasti dapat mereka atasi. Di atas loteng ternyata memiliki dunia ruang loteng, apa yang terdapat di atas loteng" Padahal setiap orang, dalam kehidupannya selalu mendapat kesempatan untuk naik ke loteng, tapi tak ada yang tahu apa yang sedang menanti mereka di atas loteng. Mereka yang belum pernah naik ke atas loteng, berupaya dengan segala kemampuan untuk menaikinya, tujuannya adalah ingin menaikkan pamor sendiri, sebaliknya bagi mereka yang sudah ada di atas loteng, orang-orang itupun berkeinginan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi, bahkan berusaha dengan segala tipu daya agar dirinya tak sampai jatuh menggelinding ke bawah loteng. Loteng makin dinaiki semakin terjal, loteng makin tinggi semakin dingin. Angin di atas loteng amat kencang, padahal loteng yang tinggi tak punya sandaran, namun justru banyak orang suka naik ke loteng yang tinggi, semakin tinggi semakin senang. Padahal di tempat ketinggian justru lebih banyak ancaman mara bahaya! ooOOoo So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hampir pada saat yang bersamaan tiba di atas loteng. Oleh karena itu hampir pada saat yang bersamaan pula mereka melihat seseorang. Ti Hui-keng!, Toatongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Di dalam perkumpulan ini, dia hanya di bawah kekuasaan satu orang, tapi di atas puluhan ribu orang. Bahkan sebagian besar orang menganggap bahwa orang yang paling disanjung dan paling dihormati dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah dia, bukan Lui Sun. ooOOoo Tapi Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui sama sekali tidak menyangka kalau orang yang muncul di hadapan mereka adalah manusia semacam ini. ooOOoo akhir dari Bab I BAB II: PERSAUDARAAN 16. Batuk dan menundukkan kepala. Mengharapkan persahabatan hingga di hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Huikeng. ooOOoo Bila kau tidak mempunyai sahabat, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng adalah sahabatmu yang paling setia. Bila tak ada orang yang bisa memahami dirimu, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng akan menjadi seorang teman yang bisa memahami perasaanmu. Bila kau bertemu kesulitan, carilah Ti Hui-keng, sebab dia dapat menyelesaikan seluruh kesulitan yang sedang kau hadapi. Bila kau ingin mengambil jalan pendek, carilah Ti Hui-keng, dia pasti dapat membangkitkan kembali semangat hidupmu, dan waktu itu sekalipun sang Kaisar bersedia memberi hadiah sepuluh juta tahil emas murni untuk kematianmu pun tak nanti kau sudi melukai ujung jari sendiri. Semuanya ini merupakan kabar yang tersiar dalam kota. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sayang Ti Hui-keng hanya ada satu, dan itupun tidak gampang untuk menjumpainya. Di kolong langit hanya ada satu orang yang setiap saat dapat bertemu dengannya, dia bukan putri Ti Hui-keng karena Ti Hui-keng tak punya anak perempuan, juga bukan bini Ti Hui-keng karena dia belum beristri. Sepanjang hidupnya Ti Hui-keng hanya punya teman, tak punya keluarga, dia hidup sebatang kara. Hanya Lui Sun seorang yang setiap saat dapat bertemu dengannya. Siapa yang bisa bersahabat dengan Ti Hui-keng, dia pasti bisa menghasilkan sebuah karya yang menggemparkan, tapi sayang sahabat karib Ti Hui-keng hanya Lui Sun seorang. Malah ada orang bilang, Ti Hui-keng bisa memahami kolong langit sementara Lui Sun dapat memanfaatkan Ti Hui-keng, itulah sebabnya dia bisa 'memperoleh seluruh jagad'. Tapi ada juga yang berkata, sebuah gunung tak akan menerima dua ekor macan, sekarang Lui Sun memang tak akan bentrok dengan Ti Hui-keng, tapi bila dunia sudah aman, jagad sudah mereka kuasai, pasti akan terjadi bentrokan di antara kedua ekor macan itu. Kalau peristiwa ini sampai terjadi, sudah pasti akan menjadi satu kehilangan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, merupakan sebuah aib yang harus dihindari. Tentu saja So Bong-seng pernah juga mendengar berita itu. Tentang berita yang terakhir, konon dia sendiri yang menciptakan, ia sengaja menyiarkan berita ini ke dunia persilatan, kemudian menunggu reaksi yang akan diperlihatkan kedua orang gembong utama perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Cara yang paling jitu untuk melenyapkan musuh adalah membiarkan mereka saling melenyapkan. Agar musuh bisa saling membunuh, pertama-tama dia harus membangkitkan dulu rasa curiga di masing-masing pihak. Kalau sudah timbul perasaan saling curiga, maka mereka pun tak bisa bekerja sama, asal tak bisa bekerja sama, berarti ada peluang baginya untuk menyusup. Maka So Bong-seng pun menciptakan isu itu, isu memang selalu mendatangkan manfaat. Sehebat apa pun kemampuanmu, setinggi apa pun ilmu silatmu, sulit bagi mereka untuk menghindari isu, mereka mudah dipengaruhi berita yang tersiar di luar, sebab isu itu sendiri bisa menciptakan semacam daya tekanan, seperti bola salju, semakin menggelinding akan semakin bertambah besar. Biarpun kau termasuk orang yang tak mau percaya dengan isu, namun apa yang bisa kau perbuat tak lebih hanya semacam menghindar, atau dengan perkataan lain isu tetap meninggalkan daya pengaruh, karena itu dia tak berani menghadapi kenyataan itu. Hanya orang yang bisa menghadapi isu, berani menghadapi isu dan menyelesaikan berita isu terhitung seorang pemberani. Setelah menyebarkan isu itu, So Bong-seng tinggal menunggu reaksi dari perkumpulan Lak-hunpoan-tong, jika mu?suh merupakan sebuah gudang mesiu, dia tak perlu memindahkan isi gudang itu, tapi cukup menyulut sumbunya dengan api. Dia percaya apa yang telah dilakukan ibarat menuang sebaskom air ke dalam sekarung gandum, tak selang lama gandum dalam karung akan menjamur lalu membusuk. Jika kau menginginkan sepasang suami istri cekcok, gampang sekali, cukup menyiarkan kejelekan masing-masing pihak di luar, sebarkan isu itu dan tak lama kemudian percekcokan segera akan berlangsung. Terkadang So Bong-seng juga percaya, asalkan persahabatan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng mulai retak, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya pasti akan mulai goyah. Oleh sebab itu dia 'menuangkan sebaskom air, kemudian dengan sabar menanti hasilnya. Lalu apa yang berhasil dia dapatkan" Tidak mendapat apa-apa! Lui Sun tetap Lui Sun, sama sekali tidak menderita Sun (rugi), Ti Hui-keng tetap Ti Hui-keng, dia tidak jadi Keng (kaget) karena perubahan itu, yang satu tetap menjadi Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, yang lain tetap menjadi Toatongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tak ada yang lebih unggul tak ada yang lebih asor, keduanya tetap seimbang. Sebaskom air' itu ibarat dibuang ke tengah laut, sama sekali tidak bereaksi. Sejak itu pandangan So Bong-seng terhadap Ti Hui-keng semakin mengherankan, semakin ingin tahu. Seorang Loji memang harus mengalah kepada sang Lotoa, sebab kekuasaan Lotoa jauh lebih besar dari Loji, kalau Loji tak bisa menahan diri, maka ia tak bisa menjadi Loji, dia boleh jadi Lotoa, tapi sebagai Loji sudah menjadi kewajibannya untuk mengalah kepada sang Lotoa.. Tapi dengan cara apa sang Loji dapat membuat Lotoa tak perlu curiga kepadanya, tak perlu waspada kepadanya" Di sinilah letak kehebatan Ti Hui-keng, selain itu juga me?rupakan kelebihan yang tak boleh diabaikan dari seorang Lui Sun. So Bong-seng merasa sangat heran, tapi ia tidak lepas tangan begitu saja. Dia tahu, di antara Ti Hui-keng dan Lui Sun pasti terdapat satu alasan yang membuat kedua belah pihak sama-sama menaruh kepercayaan, alasan itu besar kemungkinan adalah sebuah rahasia, asal dia berhasil menemukan rahasia itu, mungkin tak sulit untuk mengetahui hubungan mesra di antara mereka. So Bong-seng ingin sekali menemukan rahasia itu. Demi rahasia itu, dia tak segan menitahkan penyusupnya yang sudah berada dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk mencari tahu hubungan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng sebagai tugas paling utama. Kini dia sudah mulai memperoleh titik terang. Ia telah berjumpa dengan Lui Sun. Lui Sun adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia merupakan orang lapangan, orang yang berada di garis depan, tak sulit bagi So Bong-seng untuk bersua dengan Lui Sun. Tapi hingga kini So Bong-seng belum pernah bertemu dengan Ti Hui-keng. Ti Hui-keng bukan seorang jagoan yang gemar menampakkan diri, dan sekarang dia berada di atas loteng, dia sedang menuju ke situ untuk bertemu dengannya. Kini ia telah berjumpa dengan Ti Hui-keng. Tapi apa yang dilihat membuatnya amat terkejut. Ti Hui-keng sebenarnya terhitung seorang pemuda ganteng, kesepian dan sedikit agak lugu, sedemikian tampannya sampai Pek Jau-hui yang melihat pun timbul perasaan iri dalam hatinya. Saat itu Ti Hui-keng sedang menundukkan kepala, mengawasi jubah panjang sendiri, mungkin juga sedang memperhatikan ujung sepatu sendiri, sikap dan tingkah lakunya persis seperti seorang nona pemalu, tak berani mendongakkan kepala untuk memandang ke arah orang lain'. Seorang nona tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang orang lain, karena dia memang seorang gadis. Maklum, seorang gadis biasanya memang pemalu. Tentu saja Ti Hui-keng bukan seorang gadis, dia malah seorang Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi mengapa sewaktu berbicara dengan orang lain, ia tak pernah mendongakkan kepala" Apakah dia tidak merasa tindakannya itu kurang sopan" Tapi tak pernah ada orang menegurnya, tak pernah menyalahkan sikapnya, bahkan tak tega untuk memarahinya. Sebab begitu melihat So Bong-seng bertiga naik ke atas loteng, Ti Hui-keng segera berkata dengan nada minta maaf, "Tolong, jangan salahkan kalau aku kurang hormat, tulang kepalaku ada kendala hingga tak bisa didongakkan, sungguh aku minta maaf!" So Bong-seng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak tahu apakah Ti Hui-keng sedang bicara jujur atau tidak, namun perasaan mereka bertiga segera terkesiap dibuatnya. ooOOoo Seorang lelaki yang begitu tampan ternyata tulang tengkuknya patah, ini menyebabkan dia tak pernah bisa mendongakkan kepala, tak pernah bisa menikmati pemandangan alam di kejauhan sana. Sekilas perasaan sedih melintas dalam hati ketiga orang itu. Mereka merasa sedih dan ikut berduka atas ketidak beruntungan pemuda ini. Apakah dikarenakan alasan ini, maka Ti Hui-keng diangkat menjadi orang kedua" Tengkuk Ti Hui-keng terkulai lemas ke bawah, siapa pun dapat melihat dengan jelas kalau tulang tengkuknya memang patah, justru yang membuat orang terperangah adalah dia tidak mati lantaran hal itu, bahkan masih bisa hidup sehat hingga sekarang. Nada suaranya amat lirih dan lembut, seakan ada seakan tak ada, kadang terputus kadang tersambung kembali, ini disebabkan ia tak sanggup menyelesaikan sepotong kalimat sekaligus. Bisa hidup hingga hari ini dalam kondisi semacam ini pula, dapat dibayangkan betapa tersiksa dan menderitanya dia selama ini. Tak punya tengkuk, napas pun sangat pendek hingga sukar berbicara, apa mungkin manusia dengan kondisi tubuh semacam ini memiliki kepandaian silat yang luar biasa" Jelas kehidupan semacam ini merupakan sebuah kehidupan yang amat menyiksa! Tapi Ti Hui-keng tetap tersenyum, dia seolah merasa amat puas dengan kondisi tubuhnya itu, senyuman yang tersungging di ujung bibirnya yang pucat menimbulkan suatu perasaan yang sangat aneh. Ti Hui-keng selalu menundukkan kepala, maka dengan sangat mudah ia dapat melihat rombongan So Bong-seng naik ke atas loteng tapi setelah rombongan tamunya itu berada di atas, ia jadi tidak leluasa lagi, karena dia harus bicara dengan kepala tetap tertunduk. Menyaksikan semua ini, rasa iri yang muncul dalam hati Pek Jau-hui seketika hilang lenyap. Ternyata di dunia ini memang tiada kejadian yang sempurna, oleh sebab itu tak mungkin pula terdapat manusia yang sempurna. Oleh karena Ti Hui-keng duduk dengan kepala tertunduk, tubuhnya jadi nampak lebih pendek dari siapa pun, Ong Siau-sik yang melihat hal ini ingin sekali menjatuhkan diri berlutut, agar bisa berbicara saling bertatap muka dengan orang ini. Mungkin hanya dengan berbuat begitu mereka bisa duduk sejajar, bisa berbicara sambil bertatap muka. Bagaimana dengan So Bong-seng" Apa pula jalan pikirannya" ooOOoo So Bong-seng berjalan menuiu ke depan jendela. Sejauh mata memandang, pemandangan di luar jendela ibarat seutas ikat pinggang kemala, bayangan pagoda di atas permukaan telaga, bayangan pohon yang bergoyang terhembus angin, wuwungan rumah yang berjejer .......... Sambil menggendong tangan, So Bong-seng membuang pandangannya keluar jendela, dia tidak memandang ke tempat jauh tapi memperhatikan suasana di tengah jalan raya. Hujan masih membasahi bumi, awan kelabu masih menyelimuti angkasa. Tapi di tengah jalan raya hanya ada dua macam warna Kuning dan hijau!! Payung kuning dan payung hijau telah terbentang menjadi sebuah lukisan, masingmasing bergerombol pada kelompoknya, tapi mereka tidak berdiam diri, terkadang mereka bergerak cepat, terkadang saling serobot posisi, dipandang dari kejauhan, pemandangan itu sangat indah karena ibarat bunga kuning dan hijau yang sedang menari di tengah guyuran air hujan. Tentu saja orang-orang itu berada di bawah payung. So Bong-seng yang memandang dari atas loteng hanya menyaksikan lautan payung, tidak nampak bayangan manusia. Payung berwarna hijau adalah barisan 'Berbuat onar semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Sementara payung kuning adalah pasukan Lui Moay. Pada saat So Bong-seng membalikkan tubuh, lagi-lagi dia terbatuk hebat, begitu mulai berbatuk, setiap otot tubuhnya seakan mengejang keras, setiap sarafnya seolah ikut bergetar keras, membuat setiap jengkal badannya seakan ikut tersiksa. Kembali ia mengeluarkan saputangan putih dan ditutupkan ke sisi mulutnya. Apakah saputangan putihnya kembali ternoda darah" Kali ini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tak sempat melihat, sebab begitu selesai batuk, So Bong-seng segera memasukkan kembali saputangannya ke dalam saku. Kalau ditinjau dari keadaan kedua tokoh silat ini, penderitaan Ti Hui-keng jauh lebih tersiksa" Ataukah siksaan So Bong-seng jauh lebih menderita" Beginikah pengorbanan yang harus dibayar untuk mem?peroleh kekuasaan dan nama besar" Berhargakah bila dibayar dengan pengorbanan sebesar ini" Untuk sesaat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui termenung, perasaan aneh itu seketika muncul di hati mereka berdua. ooOOoo Tiba-tiba So Bong-seng buka suara, caranya berbicara sama sekali tak sungkan. Dia hanya melongok sekejap keluar jendela, sekali pandang ia sudah mengambil kesimpulan, Situasi sudah terkendali! Untuk sementara waktu, pasukan payung hijau pimpinan Mo Pak-sin dapat membendung serbuan pasukan payung kuning pimpinan Lui Moay, bahkan menurut kode rahasia yang dipancarkan melalui gerakan payung, ia mendapat tahu kalau sesaat lagi Yo Bu-shia, salah seorang jenderal andalannya segera akan tiba di situ. Dia tahu, Yo Bu-shia tak nanti datang seorang diri. Boleh dibilang ia bersama pasukan intinya yang ada di bawah loteng sudah seia sekata. Asal situasi sudah terkendali, berarti sekarang mulai merundingkan syarat perjanjian. Itulah salah satu sebab mengapa So Bong-seng harus mengetahui terlebih dulu keadaan di luar sana. Syarat perundingan apa pun yang akan diajukan selalu ter?bentuk atas dasar kekuatan yang dimiliki, jika seseorang tak memiliki kekuatan, maka dia tak akan bisa mengajak orang lain berunding dan mengajukan syarat, yang bisa dilakukan hanya minta bantuan orang, memohon kemurahan hatinya, bimbingan dan perlindungannya. So Bong-seng sangat memahami teori ini. Ia harus dapat menganalisa kekuatan sendiri dalam situasi yang kalut, setelah yakin situasi menguntungkan pihaknya, perundingan baru bisa dimulai. Dia selalu berpendapat, berunding adalah jenis lain dari sebuah serangan. Sebuah serangan yang tidak perlu menggunakan pasukan maupun senjata. ooOOoo "Ada apa dengan kepalamu?" pertanyaan yang diajukan So Bong-seng langsung ke tujuan. Dia berpendapat kalau bisa menghindari segala liku-liku, kenapa tidak dilakukan, yang penting tujuannya tercapai, maksud dipahami dan apa yang ingin disampaikan dimengerti orang lain. Langsung pada tujuan memang sistim yang paling aman dan bisa diandalkan, satu sistim yang sangat menghemat waktu. Tentu saja bila orang tak punya kekuatan untuk menggunakannya, belum tentu sistim ini akan bermanfaat. Tapi So Bong-seng, biarpun sedang berhadapan dengan sang Kaisar pun dia berhak bicara begitu, tidak usah mesti munduk-munduk di depan orang. Mungkin di sinilah letak daya tarik sebuah kekuasaan. Begitu So Bong-seng buka suara, dia langsung mengorek titik kelemahan orang. Ketika seseorang tertusuk bagian tubuhnya yang sakit, kau baru dapat melihat sampai dimana kemampuannya untuk mengatasi persoalan, sebab bila seseorang tersentuh titik kelemahannya, ia baru akan menampilkan sisi kuatnya. "Tulang tengkukku patah!" Ternyata jawaban Ti Hui-keng pun langsung, bahkan sangat halus dan sopan. "Jika memang tulang tengkukmu patah, kenapa tak diobati?" "Tulang tengkukku sudah patah lama sekali, bila dapat diobati, sejak awal sudah diobati." "Su-tayhu dari balai pengobatan negara adalah salah satu tabib andalan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, datang saja ke loteng kami, akan kuundang dia untuk mengobati penyakitmu." "Tabib kenamaan tidak menjamin dia adalah seorang tabib yang hebat, kau anggap hidangan yang dimasak oleh koki kerajaan pasti merupakan hidangan yang paling lezat?" jawaban Ti Hui-keng sangat cepat bahkan tajam nadanya, "jika dia benarbenar seorang tabib hebat, sekarang kau tak usah terbatuk-batuk lagi." "Aku sendiri yang memilih batuk. Di antara kematian dan batuk, aku lebih memilih batuk, bukankah batuk lebih baik ketimbang mampus?" "Selalu menundukkan kepala pun merupakan nasibku, ada kalanya seorang harus menundukkan kepalanya, sering menundukkan kepala ada juga faedahnya, paling tidak, tak usah kuatir menumbuk tiang rumah, bila aku harus memilih antara me?nundukkan kepala dan batuk, aku tetap akan memilih menundukkan kepala." "Aku mengerti maksudmu." "Aku memang sudah bicara sangat jelas." "Bila seseorang dapat memilah secara jelas apa yang dilakukan, dia patut diajak Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bersahabat." "Terima kasih." "Sayang kita bukan sahabat." "Kita memang bukan sahabat." So Bong-seng kembali terbatuk-batuk, sementara Ti Hui-keng masih menundukkan kepalanya. Hanya dalam satu gebrakan, perundingan telah diakhiri dengan satu keputusan. Ti Hui-keng telah menyatakan posisinya, dia menampik undangan yang disampaikan So Bong-seng dan mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong tetap menyatakan permusuhannya dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. Oleh sebab itu mereka adalah musuh, bukan sahabat. Tapi bukankah sahabat yang paling memahami diri kita justru merupakan musuh yang paling berbahaya" ooOOoo Mereka segera memulai perundingan babak kedua. "Belakangan pihak kerajaan berupaya menggalang kekuatan, biasanya cara yang digunakan untuk menggalang kekuatan adalah mencari musuh dari luar, provokasi dari musuh luar biasanya paling gampang membangkitkan perasaan nasionalis warganya, jika patriotisme dan nasionalisme sudah tumbuh, maka bangsa pasti bersatu dan negara bertambah kuat." Dalam hal ini, So Bong-seng pun berpendapat begitu. Bila menginginkan Lui Sun gontok-gontokan dengan Ti Hui-keng, mungkin harus menunggu sampai perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau roboh lebih dulu, dunia mulai aman, mereka berdua baru mulai saling bermusuhan. Menghadapi serangan musuh yang muncul di depan mata, malah sebaliknya membuat mereka semakin bersatu. Sayang So Bong-seng tak dapat menunggu sampai saat itu. "Aku pernah mendengar soal itu," jawab Ti Hui-keng santun. "Jika kau ingin menggerakkan pasukan, maka negara harus dibuat aman dan tenteram terlebih dulu." "Tentu saja." "Kalau keadaan di luar tidak aman kan tidak jadi masalah, yang penting keadaan di dalam harus tenang. Di tempat kejauhan tidak tenteram juga tak masalah, tapi di depan kaisar mesti aman dan tenteram." "Padahal kaki kaisar berada di kotaraja." "Benar, itulah sebabnya situasi di kotaraja mesti aman tenteram dan sentosa, untuk itu pertama-tama kita mesti mengurangi para pembuat keputusan." "Semakin sedikit pembuat keputusan, kekuatan semakin terpusat, dapat memusatkan kekuatan berarti menguasai, ini sangat menguntungkan jika membawa pasukan untuk melakukan penyerangan ke tempat jauh." "Oleh sebab itu para pembesar tinggi kerajaan berharap di dalam kotaraja hanya tersisa sebuah perkumpulan saja." "Perkumpulan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit) termasuk kekuatan yang datang dari luar, jadi tak masuk hitungan, berarti antara perkumpulan Kimhong-si-yu-lau dan Lak-hun-poan-tong harus menyingkir salah satunya." "Menurut pendapatmu, mungkinkah kita melebur jadi satu?" "Tidak mungkin." "Kenapa?" "Karena kau tak bakal setuju." "Kenapa aku tak bakal setuju?" "Sebab kau selalu ingin jadi Lotoa, bila harus melebur jadi satu, apa mungkin kau mau turun pangkat" Apa mau kau diperintah oleh satu persekutuan?" "Jadi menurut kau lebih baik membuat persekutuan?" "Tidak mungkin." "Kenapa?" "Sebab Lui-congtongcu juga ingin menjadi Lotoa, bila bergabung dalam persekutuan, maka dia mesti menerima juga peleburan." "Oleh sebab itu kita selalu beda pendapat?" "Dan di kaki kaisar hanya boleh tersisa perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kimhong-si-yu-lau." "Ternyata kau memang orang pandai." "Biarpun aku jarang mendapat kesempatan untuk mendongakkan kepala," sekilas senyuman pedih melintas di wajah Ti Hui-keng, "namun aku selalu pandai mengatur pekerjaan." "Orang yang pandai mengatur pekerjaan memang selalu merupakan orang yang kurang beruntung," tampak sekilas kehangatan melintas di mata So Bong-seng, "karena dia tak boleh bloon, tak boleh pikun, bahkan tak boleh menuruti suara hati sendiri, biasanya tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat." "Ya, jika tugas kelewat banyak, otomatis kehidupan pun jadi kurang bergairah." "Tahukah kau, tugas berat apa yang harus kau pikul kali ini?" "Kau ingin aku memikul tugas apa?" "Sangat sederhana," sahut So Bong-seng cepat, "suruh Lu Sun menyerah!" Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, kembali terbatuk-batuk. ooOOoo 17. Pengalaman aneh Perundingan babak kedua telah berakhir. Ti Hui-keng sama sekali tidak kaget. Dia mengangkat kelopak matanya, terpancar sinar mata yang bening. Dengan tenang ditatapnya wajah So Bong-seng, menunggu So Bong-seng selesai batuk. Oleh karena tengkuknya terkulai ke bawah maka kelopak matanya mesti diangkat ke atas agar bisa melihat So Bong-seng. Biji matanya pun bergeser ke arah atas, hal ini membuat matanya nampak putih kebiru-biruan, tajam, mantap dan sangat menawan. Dia seakan sudah menduga kalau So Bong-seng bakal mengucapkan perkataan semacam itu. Yang merasa terkejut justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Mereka tidak menyangka begitu buka suara So Bong-seng langsung minta perkumpulan Lak-hunpoan-tong, perkumpulan nomor wahid di kolong langit untuk menyerah kepadanya. ooOOoo Kini So Bong-seng sudah selesai batuk. Jarang ada orang yang bisa bersabar menanti sampai dia selesai batuk. Penyakit batuknya mungkin tidak terlampau parah, tapi begitu mulai batuk, setiap bagian tubuhnya seolah mulai berubah bentuk, suaranya begitu parau seakan pita suaranya segera akan retak dan pecah, lambungnya mengejang keras seakan dijepit orang dengan tanggam baja, seluruh tubuhnya melengkung bagai busur, jantungnya seolah ditusuk hingga berdarah, bola matanya penuh dengan jaringan darah, otot wajahnya menonjol keluar, jalan darah Tay-yang-hiat naik turun tak menentu, otot tubuhnya mengejang, jari tangan pun ikut kejang, begitu hebat batuknya sampai sepasang kakinya tak sanggup berdiri tegak, suaranya menyayat seolah paru parunya mulai retak dan hancur, hancur berkeping dan ikut menyembur keluar bersama suara batuknya. Akhirnya selesai juga ia berbatuk. Begitu batuknya berhenti, dengan hati-hati dia melipat kembali saputangan putihnya dan dimasukkan ke dalam saku, caranya memasukkan saputangan persis seperti seorang yang sedang menyimpan selembar cek yang bernilai seratus juta tahil perak. "Apakah kau punya pendapat atau usul lain?" tanyanya kemudian. ooOOoo Begitu pertanyaan itu diutarakan, berarti perundingan babak ketiga dimulai. Banyak perundingan yang diselenggarakan di dunia ini memang tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat apalagi terburu-buru. Siapa terburu-buru berarti dia tak bisa mengendalikan diri, berarti pula dia tak punya kesempatan untuk meraih kemenangan. Siapa tak dapat mengendalikan diri, dia selalu akan menderita rugi. Makna yang sebenarnya dari sebuah perundingan adalah bertujuan agar tidak menderita rugi atau sedikit menderita kerugian, atau juga membiarkan orang lain yang rugi, oleh sebab itu semakin berunding harus semakin pandai mengendalikan diri. "Kenapa bukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang menyerah kepada perkumpulan Lak-hunpoan-tong?" Ti Hui-keng balik bertanya. Pertanyaan itu diajukan dengan perasaan tenang dan datar, sama sekali tak diselipi gejolak emosi, dia seakan sedang merundingkan satu persoalan yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. "Sebab situasi saat ini sudah amat jelas, Phang-ciangkun yang semula menunjang kalian, sekarang telah berbalik menunjang kami, Yan Yu-si yang semula menjadi bukit sandaran kalian, sekarang malah mengajukan laporan yang merugikan kalian di depan Kaisar, Lui Sun tiga kali mengajukan permohonan untuk bertemu perdana menteri tapi selalu ditolak, masa kau belum bisa menganalisa situasi semacam ini?" tanpa sungkan So Bong-seng langsung menyerang. "Semua yang kau ungkap memang kenyataan," Ti Hui-keng mengakui dengan cepat. "Oleh sebab itu kalian sudah mulai menunjukkan gejala kekalahan, bila tidak segera menyerah, yang kalian tuai hanya kekalahan dan kematian, mencari penyakit buat diri sendiri." "Walaupun fakta yang kau kemukakan benar," ujar Ti Hui-keng hambar, "akan tetapi kami masih mempunyai tujuh puluh ribu anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tinggal di kotaraja, mereka rela mati dalam pertempuran dan tak sudi menjadi seorang lelaki yang menyerah kalah "Kau keliru besar," tukas So Bong-seng cepat. "Pertama, kalian tidak memiliki tujuh puluh ribu anggota, hingga kemarin sore, anggota kalian hanya tersisa lima puluh enam ribu lima ratus delapan puluh dua orang, tapi kemarin tengah malam, delapan ribu empat ratus enam puluh tiga orang yang berada di wilayah Keng-hoa-to telah bergabung ke pihakku, maka hari ini sisa anggota kalian tinggal empat puluh delapan ribu seratus sembilan belas orang, itu belum dipotong lagi dengan kematian si Hwesio perlente barusan." Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, So Dong-seng berkata lebih jauh, "Kedua, dari sisa anggotamu yang empat puluh delapan ribu seratus delapan belas orang itu, paling tidak ada setengahnya bukan manusia yang setia, sisanya yang setengah lagi, di antaranya ada empat puluh persen yang tidak tahan menerima godaan dan rayuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau kami, sisanya yang enam puluh persen ada tiga puluh persen di antaranya tak sudi mati demi perkumpulan Lakhun-poan-tong, jadi kekuatan yang benar-benar dapat kalian gunakan bukan berjumlah tujuh puluh ribu orang melainkan hanya tujuh ribu orang, jadi kau tak perlu ragu lagi." So Bong-seng membuka daun jendela yang menghadap ke arah timur, sambil menuding keluar katanya lagi, "Ketiga, coba kau lihat sendiri!" Di kejauhan sana, dipandang dari tempat yang tinggi, di antara lamat-lamatnya cuaca mendung dan langit berwarna keabu-abuan, tampak satu pasukan manusia berbaju hijau yang menggembol golok besar di punggungnya, berdiri berjajar di tengah terpaan hujan gerimis. Di belakang pasukan bergolok itu, berjajar pula sepasukan berkuda yang dipimpin seorang lelaki berbaju perang warna putih, membawa tombak panjang yang sangat menyolok. Biarpun anggota pasukan itu banyak sekali jumlahnya, namun suasana amat hening dan sepi, mereka berdiri angker di bawah derasnya air hujan. Pasukan itu sama sekali tidak bergerak, hanya panji kebesarannya yang berkibar ketika terhembus angin, di atas panji itu tersulam sebuah huruf yang sangat besar, "To" atau golok. Perlahan-lahan Ti Hui-keng bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela lalu dengan susah payah melongok sekejap ke tempat jauh, setelah itu dia baru berkata, "Ooh, rupanya To Lam-sin telah membawa pasukan angin puyuhnya datang kemari." "Oleh karena kalian sudah terkepung, maka pasukan Lui Moay tak berani bergerak maju secara sembarangan," kata So Bong-seng menerangkan. "Sayang kalian pun tidak sungguh-sungguh berani melancarkan serangan, sebab jika sampai geger, penggunaan pasukan kerajaan untuk kepentingan organisasi bisa menjadi masalah yang amat serius, sudah pasti perdana menteri dan raja muda akan tak senang," kata Ti Hui-keng cepat. Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Kecuali kalau pihak kami yang menyerang duluan, To Lam-sin dengan alasan menumpas pemberontakan bisa saja melancarkan pembersihan." "Perkataanmu tepat sekali," kata So Bong-seng manggut-manggut, "oleh sebab itu kalian pun tak akan melancarkan se?rangan, tapi kau mesti tahu, dua puluh persen kekuatan pasukan yang ditempatkan di kotaraja berada dalam genggaman kami, ini fakta, inipun kekuatan nyata, padahal kalian tidak memilikinya." "Betul, kami memang tidak punya," kali ini Ti Hui-keng mengangguk. "Makanya lebih baik kalian menyerah saja." "Sekalipun kami bersedia menyerah, belum tentu Cong-tongcu akan menyetujuinya." "Orang yang sudah terbiasa jadi orang nomor satu memang tak ingin jadi orang nomor dua, tapi bagaimana dengan kau?" tatapan So Bong-seng tajam bagai sembilu. "Aku pun sudah terbiasa menjadi orang nomor dua," jawaban Ti Hui-keng masih tetap santai, "jadi, mau pindah kemana pun tetap aku jadi orang nomor dua, apa gunanya" Apalagi kalau sampai dijadikan orang nomor tiga atau orang nomor empat, waah ... bedanya bisa jauh sekali." "Belum tentu, bisa saja kau malah jadi orang nomor satu?" tukas So Bong-seng cepat, kemudian setelah mengatur nada sua?ranya, ia melanjutkan, "Orang nomor satu perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan orang nomor satu perkumpulan Kim-hong-siyu-lau boleh saja tetap ada, asalkan si penanggung jawab perkumpulan Lak-hunpoan-tong mau bertanggung jawab juga terhadap perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau." Ti Hui-keng mencibirkan bibir sebagai ganti senyuman, "Sayang selama ini aku terbiasa memberi pertanggungan jawab kepada Lui Sun." "Lui Sun sudah tua, sudah tak becus, kau tak usah bertanggung jawab lagi kepadanya, sudah waktunya bagimu untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri." Ti Hui-keng seakan agak tertegun, sesaat dia tak berkata-kata. So Bong-seng berkata lebih jauh, "Setelah tujuh-delapan tahun menjadi orang nomor dua, sekarang menjadi orang nomor satu, rasanya hal ini menarik juga." Ti Hui-keng menghela napas panjang, tapi suaranya sangat lirih, sedemikian lirih hingga nyaris tak terdengar oleh orang lain. "Apakah kau masih punya pendapat lain?" kembali So Bong-seng bertanya. Ti Hui-keng mendongakkan kepala dan memandang lawan lekat-lekat, sesaat kemudian ia baru menjawab, "Aku sudah tak punya pendapat apa-apa lagi. Tapi Congtongcu pasti mempunyai pendapatnya sendiri." "Kau ingin menanyakan pendapatnya?" So Bong-seng tiba-tiba menarik kelopak matanya hingga pandangan matanya nampak dingin menggidikkan. Ti Hui-keng manggut-manggut. "Kau sendiri tak sanggup mengambil keputusan?" desak So Bong-seng lagi dengan sorot mata setajam sembilu. Ti Hui-keng mengawasi sepasang tangannya. Sepasang tangan yang putih dan bersih, jari tangannya panjang tapi ramping, ruas jarinya kelihatan sangat bertenaga. "Aku selalu memberikan pertanggungan jawab kepadanya, sedang dia bertanggung jawab atas keseluruhan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bagaimanapun aku harus menanyakan pendapatnya, setelah itu baru mulai mempertimbangkan pendapatku sendiri." So Bong-seng mulai bersikap tenang. Ong Siau-sik yang selama ini hanya membungkam, mendadak mulai merasa kuatir. Dia menguatirkan Ti Hui-keng. Asal So Bong-seng melolos goloknya, mungkin dalam waktu singkat Ti Hui-keng sudah roboh bersimbah darah. Menyaksikan Ti Hui-keng dengan tubuhnya yang begitu lemah, ditambah lagi mengidap cacad yang begitu mengenaskan, dia tak tega menyaksikan orang itu mati. Untung So Bong-seng tidak turun tangan, dia hanya berkata dengan nada dingin, "Tengah hari tiga hari kemudian, di tempat yang sama, suruh Lui Sun datang kemari, aku ingin berbicara hingga jelas dengannya. Jika ia tidak datang, segala akibat tanggung jawab dia sendiri." Begitu selesai bicara ia segera beranjak pergi, pergi tanpa melirik lagi ke arah Ti Hui-keng. Perundingan tiga babak pun kini berakhir. ooOOoo So Bong-seng membalikkan badan dan berlalu, turun dari loteng. Karena ia pergi secara tiba-tiba, mau tak mau Ong Siau-sik mengikut di belakangnya turun dari loteng itu, Pek Jau-hui sebetulnya ingin membangkang, tapi situasi dan kondisi tidak mengizinkan dia mengumbar watak sendiri, maka dia pun ikut turun dari situ. So Bong-seng memang selalu memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain mengikuti kehendaknya. Kendatipun dia sendiri sudah didera penyakit yang membuatnya nyaris kehilangan segenap tenaga dan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan dalam kehidupan! ooOOoo So Bong-seng sudah turun dari loteng, namun Ti Hui-keng sama sekali tak bergerak. Beberapa saat kemudian, ia menjumpai gerombolan payung hijau yang semula Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memenuhi tengah jalan raya, kini sudah bubar dan lenyap dari pandangan. Tak selang berapa saat kemudian, pasukan berkuda yang berada di kejauhan pun dengan tanpa menimbulkan suara telah bergeser dan meninggalkan tempat itu. Ti Hui-keng masih duduk dengan santai, persis seperti seorang siucay yang sedang menikmati pemandangan alam di tengah hujan sambil membuat pantun dan syair. Menyusul kemudian ia mendengar suara tiupan seruling yang berkumandang dari kejauhan, dua kali tiupan panjang tiga kali tiupan pendek, seakan ada orang yang sedang memanggil. "Sungguh aneh," kala itulah Ti Hui-keng baru berbisik. Meskipun mengucapkan dua patah kata yang singkat, tapi jelas dia bukan sedang bergumam. Dia seakan sedang berbicara dengan seseorang. Tapi ... dalam ruangan loteng itu hanya ada dia seorang, dengan siapa dia berbicara" Baru selesai dia bicara, mendadak terdengar seseorang menanggapi, "Apanya yang aneh?" Seseorang terlihat 'berjalan' turun dari atap rumah. Ia tidak menggunakan gerakan tubuh apa pun, hanya membuka jendela dekat atap rumah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Di antara atap bangunan dengan lantai ruangan tingkat dua, sama sekali tak tersedia anak tangga, namun dia telah berjalan turun ke bawah dengan santainya, seolah sedang berjalan di tanah datar saja. Orang ini mengenakan jubah lebar berwarna abu-abu, tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku, sewaktu turun ke dalam ruangan, tiba-tiba Ti Hui-keng merasa kalau saat itu turun hujan, benar-benar langit gelap dan hujan turun, suasana hujan yang akan amat menggidikkan. Sampai kapan hujan akan turun" Ketika musim hujan lewat, salju pun akan mulai turun. Bila salju sudah turun, harus menunggu sampai berapa lama lagi matahari baru menampakkan diri" Pikiran semacam itu hanya berkecamuk di dalam benaknya, di luar ia segera menyapa, "Congtongcu sudah menunggu lama di atap rumah?" Kakek itu tertawa. "Loji, kau pasti sangat lelah," katanya, "cucilah dulu matamu, kemudian cucilah tanganmu." Begitu perkataan itu diucapkan, dua orang gadis cantik dengan membawa sebuah baskom perak berisikan air bersih dan sebuah handuk berwarna putih telah muncul dalam ruangan, kemudian dengan sangat hati-hati meletakkannya di atas meja, persis di samping Ti Hui-keng. Menyaksikan hal ini Ti Hui-keng tertawa. Ia benar-benar mencuci matanya dengan air, lalu mencelupkan handuk putih itu ke dalam air dan membilas wajahnya perlahan, setelah itu dia celupkan juga sepasang tangannya ke dalam air. Selang beberapa saat baru ia mencuci tangan itu dengan sangat teliti, mencucinya dengan serius, sangat hati-hati dan tak ada bagian tangannya yang tidak dibersihkan. Kakek itu hanya mengawasi dari kejauhan, jenggotnya kelihatan agak berguncang, entah karena terhembus angin atau alasan lain, tapi yang jelas bukan cuma jenggotnya yang bergoyang, jubah yang dikenakan pun ikut bergelombang. Dengan sabar dan hati-hati Ti Hui-keng mencuci matanya, mencuci tangannya, lalu satu demi satu dilap dengan handuk hingga kering, dia tidak membiarkan setetes air pun masih membasahi jari tangannya. Si kakek pun dengan sabar menunggu, menanti hingga dia menyelesaikan semua pekerjaannya. Usianya sudah cukup tua, dia tahu, semua keberhasilan harus melalui kesabaran dan keuletan. Ketika masih muda dulu, dia lebih membara ketimbang orang lain, itulah sebabnya ia berhasil memperoleh dunia, tapi dunia bisa diperoleh dengan semangat yang berkobar, namun begitu harus mempertahankan dunianya, kobaran api yang kelewat panas justru bakal membikin runyam masalah. Sebab yang diutamakan adalah kesabaran. Oleh karena itu dia bisa bersabar jauh melebihi kemampuan siapa pun. Setiap kali dia membutuhkan orang, dia dapat begitu sabar. Apalagi ingin memanfaatkan orang berbakat, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dia sadar banyak persoalan tak akan selesai bila terburu-buru, bahkan ada persoalan tertentu yang semakin susah dicapai bila kelewat bernapsu, maka dia belajar menjadi seorang pemburu, menjadi seorang nelayan, menebarkan jaring dan perangkap, kemudian menyingkir agak menjauh dan menunggu dengan sabar. Sabar memang mempunyai banyak keuntungan, paling tidak bisa membuat orang lebih jelas melihat situasi, bisa mengatur langkah dengan lebih tepat, memperkuat diri, mengubah posisi lemah menjadi kuat. Jika seorang tak punya kesabaran, dia tak akan berhasil menciptakan karya besar, paling yang bisa dilakukan hanya usaha kecil. Tentu saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong bukan sebuah usaha kecil. Maka ia harus sabar, khususnya sabar menghadapi Ti Hui-keng. Karena Ti Hui-keng adalah orang paling berbakat di antara orang berbakat lainnya. Ti Hui-keng memiliki dua kelebihan, kelebihan yang dimilikinya terhitung nomor satu di kotaraja, tak nanti ada orang lain sanggup mengunggulinya. Sepasang tangan Ti Hui-keng. Sepasang mata Ti Hui-keng. Maka dari itu dia harus merawat sepasang tangannya ekstra hati-hati, melindungi sepasang matanya ekstra ketat. Lui Sun sangat memahami akan hal ini. Hari ini dia mengatur rencana secara cermat, menyusun strategi dengan sempurna, tujuannya tak lain adalah untuk mengatur suatu pertemuan antara Ti Hui-keng dengan So Bong-seng, jelas pertemuan ini bertujuan melakukan perundingan, bagaimana hasil perundingan itu tidak terlalu penting baginya, justru kesimpulan yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih penting dari segalanya. Inilah yang disebut kekuatan dari suatu pengamatan, jika pandai memanfaatkannya, maka pengamatan dari seseorang justru jauh lebih berharga daripada harta kekayaan. Setelah So Bong-seng berlalu, Ti Hui-keng hanya mengu?capkan sepatah kata, "Aneh!" Kenapa aneh" Apanya yang aneh" Lui Sun tak perlu terburu-buru, sebab dia tahu Ti Hui-keng pasti akan menjelaskan. Siapa pun orangnya, bila dia memiliki bobot seperti Ti Hui-keng, memiliki kemampuan yang hebat dalam menganalisa sesuatu dan mengambil suatu kesimpulan, dia berhak untuk jual mahal, berbicara bila dia merasa senang. Akhirnya Ti Hui-keng bicara juga, ujarnya, "Aneh, kenapa So Bong-seng begitu terburu-buru?" "Maksudmu dia terburu-buru ingin bertanding melawanku?" tanya Lui Sun hati hati. Ti Hui-keng menundukkan kepala, mengalihkan sorot matanya mengawasi sepasang tangannya yang putih mulus, "Sebenarnya dia tak perlu terburu-buru, karena situasi makin lama semakin menguntungkan bagi dirinya." Lui Sun tidak menjawab, dia menunggu Ti Hui-keng bicara lebih jauh. Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan melanjutkan kata-katanya. Sekalipun Ti Hui-keng bukan sedang memberi laporan kepada atasannya tentang hasil pantauan dan analisanya, dia tetap akan mengatakannya, sebab pandangan seseorang yang kelewat istimewa, pendapat yang kelewat sempurna, selalu berharap ada orang bisa menikmatinya, ada orang memujinya. Tak disangkal Lui Sun adalah seorang pendengar, penikmat dan pemuja yang amat pandai. Benar saja, Ti Hui-keng berkata lebih jauh, "Jika seseorang sudah terburu-buru ingin menyelesaikan segala sesuatunya, berarti dia sudah berada dalam kondisi tak bisa menunggu lagi, jelas hal ini merupakan kesulitannya, kesulitan seseorang besar kemungkinan merupakan titik kelemahannya." Bicara sampai di situ ia segera membungkam. "Apakah dengan mencari titik kelemahan itu berarti kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan diri dari kekalahan?" Lui Sun segera menimpali. "Benar!" "Tapi kesulitan apa yang sedang ia hadapi?" "Kita tidak tahu, kita hanya bisa menebak ..." sekilas perasaan bimbang muncul di wajah Ti Hui-keng. "Kondisi kesehatannya?" tanya Lui Sun. Inilah tujuan utamanya mempersilakan Ti Hui-keng berjumpa dengan So Bong-seng, hanya Ti Hui-keng seorang yang bisa melihat apakah So Bong-seng benar-benar berpenyakit, bagaimana penyakitnya dan apa penyakitnya. So Bong-seng merupakan seorang jago yang tak mudah dikalahkan, dia nyaris tak punya kelemahan, musuh-musuhnya pun tak berhasil menemukan titik kelemahannya. Tapi setiap orang tentu punya kelemahan, biasanya jago tangguh pandai menyembunyikan kelemahan, bahkan pandai mengubah titik kelemahannya menjadi titik yang paling kuat. Sehebat apa pun kepandaian silat yang dimiliki seseorang, dia tak akan lolos dari kematian, begitu juga dengan kondisi kesehatan seseorang, seprima apa pun kondisi tubuhnya, suatu ketika pasti akan sakit juga. Tapi penyakit apa yang diderita So Bong-seng" Bila orang lain tak sanggup merobohkan dia, mungkin setan penyakit dapat merobohkan dirinya" Berita semacam inilah yang paling ingin diketahui Lui Sun. "Dia benar-benar sakit," ungkap Ti Hui-keng tegas, dia tahu analisa yang baru saja dilontarkan itu sudah lebih dari cukup untuk menggemparkan seluruh kotaraja, menggetarkan separuh dunia persilatan, "Seluruh tubuhnya tak ada yang tidak sakit, paling tidak ia menderita tiga empat macam penyakit, hingga kini penyakitnya boleh dibilang termasuk penyakit parah yang tak ada obatnya, di samping itu dia pun menderita lima-enam macam penyakit yang hingga kini belum diketahui nama?nya. Sampai sekarang dia masih belum mati karena dia mempunyai tiga kemungkinan." Setelah termenung sejenak, terusnya, "Kemungkinan pertama, tenaga dalamnya kelewat tinggi, sanggup mengendalikan penyakitnya hingga tidak menjalar. Namun, sehebat apa pun tenaga dalamnya, mustahil dia bisa mengendalikan penyakitnya dalam jangka waktu yang panjang, mustahil bisa membuat penyakitnya tidak memburuk." Sinar matanya dialihkan ke atap bangunan dan menerawang sampai lama sekali. Lui Sun menanti dengan tenang, menanti dia melanjutkan perkataannya, wajahnya tak ada rasa gusar, tak ada perasaan mendongkol, yang ada hanya keseriusan, keseriusan untuk mendengar. Mimik seperti inilah yang paling ditakuti Ti Hui-keng, sebab dari balik mimik muka seperti ini, sulit baginya untuk menebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan orang itu. "Kemungkinan kedua, bisa jadi tujuh delapan macam penyakit yang dideritanya saling mengendalikan, saling berbenturan hingga untuk sementara tak akan kambuh." "Apa pula kemungkinan yang ketiga?" tanya Lui Sun cepat. "Pengalaman aneh." ooOOoo 18. Wajah penuh senyum Pengalaman aneh. Masalah yang tak bisa dijelaskan dengan berbagai alasan masih bisa dijelaskan dengan satu kata, yaitu pengalaman aneh! "Menurut aturan, bila ditinjau dari kondisi penyakit yang dideritanya, dia semestinya sudah mati sejak tiga-empat tahun lalu, tapi kenyataannya hingga hari ini dia masih tetap hidup bahkan masih mengemban tugas paling berat dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, benar-benar kejadian seperti ini merupakan kejadian aneh." Lui Sun termenung tanpa berkata. Manusia macam dia, dengan kedudukannya, tentu saja tahu kalau perkataan itu tak perlu banyak diucapkan, tapi setiap perkataan yang diucapkan harus berbobot. Biasanya dia malah lebih banvak mendengarkan perkataan orang lain, hanya dalam situasi banyak mendengar, analisa dan kesimpulannya baru lebih akurat, perkataannya baru lebih berbobot. Maka dengan sangat berhati-hati ia bertanya, "Jadi maksudmu, semestinya kan Sokongcu bisa menunggu, tak perlu terburu-buru karena situasi telah berkembang ke arah menguntungkan pihaknya, dia tak perlu terburu-buru menyelesaikan pertikaian antara perkumpulan kita ... tapi dia tak bisa menahan diri, jadi menurut dugaanmu, kemungkinan besar ..." Ia merasa kurang leluasa untuk melanjutkan perkataannya, maka ucapan itu terhenti di tengah jalan, karena kata berikut seharusnya Ti Hui-keng yang lebih berhak untuk bicara. "Dia tidak menunggu berarti ada alasan tertentu yang membuatnya tak mungkin menunggu, atau situasinya berbeda dengan dugaan kita semula," Ti Hui-keng segera melanjutkan perkataannya, dia selalu mengerti kapan tugas dan tanggung jawabnya harus dilaksanakan. Dalam sebuah organisasi, setiap orang pasti mempunyai peranan sendiri, ada orang harus bicara secara langsung, ada orang kalau bicara mesti menyisakan sedikit, ada orang berperan jadi 'orang baik', ada pula yang harus berperan sebagai 'orang jahat', berbicara di saat tidak seharusnya bicara dan tidak bicara di saat harus berbicara, sama halnya dengan seseorang yang tidak tahu posisi sendiri, cepat atau lambat orang semacam ini pasti akan didepak keluar dari organisasi. Posisi Ti Hui-keng selama ini mantap bagaikan bukit Thay-san, dia tahu tindaktanduk serta sepak terjang yang ia lakukan sangat berkaitan erat dengan kekuasaan. "Perkataanmu memang benar," sahut Lui Sun, "baik soal waktu maupun masalah situasi, semuanya menguntungkan posisinya." "Tapi sekarang telah terjadi pergeseran, situasi memang masih menguntungkan pihaknya, tapi soal waktu kemungkinan besar justru menguntungkan pihak kita," kata Ti Hui-keng. "Maksudmu kondisi kesehatannya semakin parah?" pertanyaan Lui Sun ini diajukan dengan sangat berhati-hati. Ti Hui-keng tidak langsung menjawab, dengan sorot matanya yang tajam dia memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru sahutnya, "Benar!" Lui Sun merasa sangat puas, memang jawaban ini yang sedang dinantikan. Jawaban itu bukan saja menyangkut mati hidup dia pribadi, bahkan menyangkut mati hidup beberapa puluh ribu orang, menyangkut berjaya atau runtuhnya sebuah kota. Karena jawaban itu keluar dari mulut Ti Hui-keng. ooOOoo Ada kalanya ucapan Ti Hui-keng jauh lebih ampuh daripada firman kaisar. Sebab meski firman kaisar penuh dengan kekuasaan, namun kaisarnya adalah kaisar lalim, sementara Ti Hui-keng adalah seorang jenius. Sekalipun sasaran analisa itu adalah Lui Sun atau bahkan dia sendiri, ia akan memberikan pandangan secara jujur, adil dan bijaksana. Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, Ti Hui-keng mulai menyeka butiran keringat yang membasahi jidatnya. Jawaban itu sama beratnya seperti pertempuran sengit melawan seseorang. Padahal untuk memutuskan sebuah kesimpulan atas seseorang atau suatu masalah, dibutuhkan kemampuan seluruh pengalaman yang dimiliki serta ketajaman menganalisa yang akurat, sama halnya dengan seseorang yang mengerahkan se?genap tenaga dalam dan jurus silat yang diketahuinya untuk bertarung melawan seseorang. Lui Sun melayang turun dari atap rumah, waktu itu hujan masih turun di luar sana, anehnya pakaian yang ia kenakan sama sekali tidak basah. Tiba-tiba terdengar Ti Hui-keng bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Congtongcu tentang janji pertemuan tiga hari lagi?" Dia jarang sekali bertanya. Terhadap Lui Sun dia tahu, seharusnya dia banyak menjawab, bukan banyak bertanya. Tentu saja terkecuali dia butuh tahu tentang persoalan itu. Padahal dalam pandangan Lui Sun, seringkah pertanyaan yang diajukan Ti Hui-keng sama bobotnya dengan jawaban yang dia berikan. "Kalau memang waktu menguntungkan kita, kenapa kita tidak berusaha mengulur waktu?" jawabnya. Ti Hui-keng menghela napas panjang. Tampaknya Lui Sun menyadari akan hal itu, segera ujarnya, "Kau merasa kuatir?" Ti Hui-keng membenarkan. "Apa yang kau kuatirkan?" "Kalau toh dia bermaksud menyelesaikan persoalan ini secepatnya, tak nanti akan memberi kesempatan kepada kita untuk mengulur waktu, lagi pula ..." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lagi pula kenapa?" Tiba-tiba Ti Hui-keng berganti nada pembicaraan, katanya, "Congtongcu, apakah kau memperhatikan juga kedua orang anak muda itu?" Lui Sun tak bisa menahan diri lagi, dia menghela napas panjang. "Ai, dalam situasi seperti ini ternyata muncul dua orang macam mereka, kejadian ini benar-benar di luar dugaan." "Apakah Congtongcu tahu siapakah kedua orang itu?" "Aku sedang menunggu keterangan darimu." "Aku hanya tahu mereka baru setengah tahun tiba di kotaraja, yang satu bermarga Pek, yang lain bermarga Ong, kepandaiannya cukup bisa diandalkan, aku sangka mereka hanya bisa bertahan selama dua tiga bulan, asal tetap tak bisa menonjolkan diri, secara otomatis akan meninggalkan kotaraja, di luar dugaan Perkumpulan Lak-hun-poan-tong tahu tentang kedua orang ini, namun mereka tidak memandang sebelah mata terhadap kemampuan mereka, maka Ti Hui-keng hanya menitahkan orang untuk mengawasi dan tidak mengusik kedua orang pemuda yang asal-usulnya tak jelas tapi memiliki kungfu hebat itu, sebab dia tahu, kecuali benar-benar menghadapi musuh tangguh, alangkah baiknya bila dapat menghindari perkelahian. Ada sementara orang, asal kau tidak menggubrisnya maka beberapa saat kemudian dia akan lenyap dengan sendirinya, bahkan tak perlu mengganggu atau menggunakan kekerasan, cara seperti ini bukan saja merupakan cara yang cerdik, bahkan tak usah membuang tenaga. "Sungguh tak disangka, begitu mereka menampilkan diri, ternyata sudah bergabung dengan So-kongcu dan bersama-sama menjebol Ku-swi-po dan menyerbu Po-pan-bun," kata Lui Sun. Setiap kali menyinggung soal So Bong-seng, dia selalu menyebut So-kongcu, peduli di sana ada atau tidak orang luar, dia selalu bersikap sungkan, menaruh hormat dan hati-hati. Kenapa begitu" Apakah dia sedang mempersiapkan sebuah jalan mundur untuk berjaga-jaga terhadap segala sesuatu" Apakah dia tak ingin hubungannya dengan So Bong-seng menjadi retak hingga tak mungkin bisa diobati" Tentu saja tak ada orang yang berani mengajukan pertanyaan ini, tapi setiap orang tahu, berada di depan orang atau tidak, So Bong-seng selalu menyebut Lui Sun langsung dengan namanya, sikapnya dengan Lui Sun yang selalu menghormatinya sebagai So-kongcu sama sekali bertolak belakang. "Tampaknya kita benar-benar telah melupakan kedua orang yang tak terkenal itu," kata Ti Hui-keng. "Orang ternama mana pun selalu dimulai dari seorang yang tidak terkenal." "Tapi sejak hari ini, kedua orang tak ternama itu akan menggetarkan kotaraja." Perlahan-lahan Lui Sun menarik keluar tangan kirinya dari dalam saku bajunya. Tangan itu sangat kurus bahkan kering kerontang. Yang lebih mengerikan lagi adalah jari tangan yang tersisa hanya jari tengah dan ibu jari. Sebuah cincin zamrud hijau dikenakan pada ibu jarinya itu. Tampaknya jari telunjuk, jari manis dan kelingkingnya telah dipapas kutung seseorang dengan menggunakan senjata tajam, bahkan masih meninggalkan bekas luka yang sangat kentara kendatipun kejadiannya sudah berlangsung lama. Dapat diduga betapa sengit dan ngerinya pertempuran itu. Banyak jago tangguh dalam dunia persilatan yang mulai menancapkan kaki setelah melalui berbagai pertempuran sengit, tidak terkecuali Lui Sun. Ti Hui-keng tahu bila Lui Sun sudah mengeluarkan tangan itu, berarti dia sudah menurunkan perintah membunuh, jika Lui Sun menggerakkan tangan kanannya yang utuh, berarti dia akan berkenalan dan bersahabat dengan orang itu, tapi sekarang dia telah mengeluarkan tangan kirinya yang penuh bekas luka, berarti dia sudah siap membasmi lawan. Oleh karena itu segera ujarnya, "Walaupun kedua orang itu berjalan bersama So Bong-seng, bukan berarti mereka adalah anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau." "Maksudmu?" Lui Sun menghentikan tangannya di tengah jalan. "Mereka bisa menjadi pembantu andal bagi So Bong-seng, tapi juga bisa menjadi ancaman serius baginya." Dia tidak seperti Lui Sun, menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu, tapi dia pun tidak meniru Lui Kun dengan memaki So Bong-seng sebagai setan penyakitan. Sebenarnya apakah dia segan menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu karena posisi Lui Sun sedang bermusuhan dengannya, sehingga dia merasa kurang leluasa untuk menyebutnya begitu" Kadang kala Lui Sun pun pernah memikirkan persoalan ini, namun tak pernah memperoleh jawaban. Selama ini memang hanya Ti Hui-keng yang memahami orang lain, jarang ada orang lain bisa memahami dirinya.. Perlahan-lahan Lui Sun memasukkan kembali tangan kirinya ke dalam saku, senyuman mulai muncul di balik sorot matanya, "Kalau mereka bisa menjadi musuh kita, sama saja mereka pun bisa menjadi sahabat kita," katanya. "Antara musuh dan teman, sebenarnya hanya dibatasi sebuah benang yang tipis, mereka bertemu lebih dulu dengan So Bong-seng, maka bergaul dengannya, kita pun dapat pergi mencari mereka." Mendadak Lui Sun mengalihkan pokok pembicaraan, ta?nyanya, "Tadi mengapa kau tidak menyinggung soal perkawinan?" "So Bong-seng diserang duluan di Ku-swi-po kemudian baru melancarkan serangan balasan ke Po-pan-bun, kedatangannya sangat garang dan buas, hanya dalam waktu singkat dia telah mendatangkan pasukan 'Berbuat keonaran semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin dan pasukan angin puyuh pimpinan To Lam-sin untuk mengepung sekeliling tempat itu, posisinya waktu itu sangat kuat karena sudah memegang tujuh puluh persen kemungkinan menang," kata Ti Hui-keng, "jika dalam situasi semacam itu kita tawarkan soal perkawinan, mungkin dia malah memandang enteng kita. Tujuannya kemari kan untuk berunding." "Bagus sekali," Lui Sun tertawa, "mau jadi jingke (besan) atau musuh besar, biar dia sendiri yang memutuskan." Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Ti Hui-keng. "Bila kedatangan So Bong-seng tidak segarang hari ini, urusan perkawinan mungkin sudah beres sejak tadi." Perkataan itu tampaknya amat cocok dengan selera semua orang, Lui Sun segera tertawa terbahak-bahak. Ti Hui-keng ikut tertawa, kecuali satu orang yang baru saja menaiki anak tangga, sekilas perasaan murung yang sangat tebal melintas dari balik sorot matanya. Di mulut tangga muncul seseorang, dia adalah Lui Heng. "Cu-tayjin dari kantor kejaksaan kotaraja mohon bertemu Congtongcu," lapor Lui Heng. Lui Sun segera mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng. Ti Hui-keng sendiri;tetap duduk santai, matanya tetap bening dan wajahnya tanpa perubahan. Melihat itu Lui Sun segera berseru, "Persilakan masuk." Lui Heng menyahut dan segera berlalu. Sambil tertawa Ti Hui-keng berkata, "Cepat betul pihak kejaksaan memperoleh laporan." "Cu Gwe-beng memang selalu muncul tepat pada waktunya," kata Lui Sun tertawa, "di saat harus datang, ia segera datang, di saat harus pergi dia segera pergi." "Tak heran kalau belakangan pangkatnya cepat sekali naiknya." Sementara pembicaraan masih berlangsung, Cu Gwe-beng sudah muncul di mulut tangga. Cu Gwe-beng adalah seorang lelaki gemuk, ramah dan berwajah penuh senyuman, bukan saja tidak nampak cekatan atau cerdas, malah sedikit kelihatan bebal dan kedodoran. Tentu saja dia bukan datang seorang diri. Dengan posisinya sebagai kepala kantor kejaksaan, bukan satu kejadian aneh bila kemana pun dia pergi, selalu dikawal tiga empat ratusan oang pengawal, tapi kali ini dia hanya mengajak tiga orang. Seorang lelaki setengah umur berkulit hitam, sekilas pan?dang tangannya seakan sedang menggenggam senjata tajam. Padahal orang itu datang dengan tangan kosong. Tak pernah ada yang berani membawa senjata atau menggembol senjata rahasia sewaktu datang bertemu Lui Sun. Tapi sepasang tangan milik orang itu tidak mirip sepasang lengan, tapi lebih mirip sepasang senjata tajam. Sepasang senjata tajam yang dalam waktu singkat dapat mencabik-cabik tubuh manusia hingga hancur. Yang seorang lagi adalah seorang kakek yang alis mata serta jenggotnya sudah putih, tak berbeda dengan orang tua biasa, hanya saja sewaktu berjalan dan naik anak tangga, jenggot maupun air matanya seolah kawat baja, sama sekali tidak bergerak barang sedikitpun. Yang seorang lagi adalah seorang anak muda yang sedikit agak kemalu-maluan, dia nyaris menempel terus di samping lengan Cu Gwe-beng. Kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia seakan senang sekali berdiri di bawah bayang-bayang orang lain. Bagi orang yang tak tahu, mereka pasti akan mengira orang itu adalah seorang bocah idiot atau seorang kacung. Begitu bersua dengan Lui Sun dan Ti Hui-keng, Cu Gwe-beng segera menjura dan berseru dengan penuh kegembiraan, "Lui-congtongcu, Ti-lotoa, kelihatannya kalian bertambah makmur saja belakangan ini!" Nada suaranya mirip dengan lagak seorang saudagar, sama sekali tak terkesan kejam dan angkernya seorang kepala kejaksaan. "Cu-tayjin, selamat bersua," sahut Lui Sun sambil tertawa, "berkat anugerahmu, meski suasana dalam kota makin lama makin bertambah kalut, namun untuk hidup pas-pasan sih masih cukup." "Hahaha, kalau aku, mana punya anugerah, justru karena Sri Baginda Sinbeng, maka kami semua ikut kecipratan hok-kinya, tapi yang pasti damai melahirkan kehormatan, aman menimbulkan rejeki, bukankah begitu Congtongcu?" "Ah, akhirnya dia singgung juga masalah ini," pikir Lui Sun dalam hati, buruburu sahutnya, "Lohu hanya tahu Tayjin bukan cuma sukses di bidang kejaksaan, dalam perdagangan pun makin lama semakin bertambah kaya. Ucapan Cu-tayjin ibarat emas dan kemala, sungguh bikin kagum orang yang mendengarnya." Cu Gwe-beng mengerdipkan mata, lalu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, padahal kalau menyinggung soal dagang, selama ini aku hanya mendompleng perlindungan Congtongcu, sehingga tak perlu kelewat menyerempet bahaya." "Cu-tayjin terlalu memuji, antara sahabat memang seharusnya saling membantu," Lui Sun tertawa hambar. "Ah, benar," sela Ti Hui-keng tiba-tiba, "darimana Cu-tayjin tahu kalau kami berada di loteng Sam-hap-lau" Atau mungkin Tayjin pun sedang mencari kesenangan, hingga khusus kemari untuk menikmati pemandangan alam?" Paras muka Cu Gwe-beng segera berubah jadi serius, dengan merendahkan suaranya ia berkata, "Terus terang, pertemuan dan perundingan yang diadakan Congtongcu serta Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan Locu perkumpulan Kim-hongsi-yu-lau sudah tersebar di seantero ko?ta, bukan saja semua orang sedang membicarakan kejadian ini, bahkan atasan kami pun sudah mengalihkan perhatian kemari, malah sang Baginda ... hehehe ... beliau pun sudah mendengar kabar ini!" Lui Sun tersenyum. "Padahal kejadian ini hanya urusan kecil, sungguh memalukan kalau sampai Koan-ya sekalian turut menaruh perhatian." Cu Gwe-beng melangkah maju, kemudian katanya lagi sambil tertawa, "Kalian berdua pasti tahu bukan, kalau aku bertugas di bagian kejaksaan, banyak urusan dan kejadian mau tak mau harus dibuatkan laporan, ah, betul, dalam pertemuan di Samhap-lau tadi, siapa yang keluar sebagai pemenang?" Lui Sun dan Ti Hui-keng saling bertukar pandang sekejap kemudian tertawa, mereka bisa menduga, siapa menang siapa kalah di antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah menjadi urusan yang paling diperhatikan seluruh penduduk kota, meski Cu Gwe-beng datang dengan alasan dinas, padahal dia pun hanya ingin mencari tahu kabar berita terakhir tentang peristiwa itu. Bicara sejujurnya, Cu Gwe-beng sebenarnya termasuk salah seorang yang selama ini menunjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, alasannya, jika perkumpulan Lak-hunpoan-tong tidak menunjang Cu Gwe-beng, maka baginya tidak segampang sekarang dalam memecahkan setiap kasus besar yang terjadi, dan lagi meski dia punya kekuasaan, bukan berarti dia gampang dapat duit. Bila seseorang sudah memperoleh kekuasaan, otomatis dia akan senang duit, bila duit dan kekuasaan sudah didapat, maka dia mulai memburu nama, jika nama pun sudah diperoleh, maka dia akan mulai mencari benda mestika yang memungkinkan dia panjang umur, pokoknya napsu manusia untuk memperoleh sesuatu yang lebih, tak pernah akan puas. Lui Sun dan Ti Hui-keng sama sekali tidak menjawab, akan tetapi wajahnya penuh senyuman, mereka merasa sangat bangga. Cu Gwe-beng mulai panik, paling tidak ada dua tiga orang atasannya yang ingin mengetahui situasi di situ, tentu saja ia tak boleh pulang dengan tangan hampa. Maka kembali desaknya, "Sobat berdua, kita kan sahabat lama, tolong tanya siapa di antara kalian yang berhasil menempati posisi di atas angin" Siapa menang dan siapa kalah?" "Masa kau tidak melihat kalau w ajah kami penuh senyuman?" tanya Ti Hui-keng sambil tertawa. "Kenapa kau tidak menanyakan langsung kepada So-kongcu?" sambung Lui Sun. Dalam hati Cu Gwe-beng tahu, sejak awal sudah ada orang lain yang pergi mencari So Bong-seng, tentu saja dia tak ingin ketinggalan dari rekannya itu, paling tidak dia pun harus mendapat berita. Biarpun sampai sekarang ia belum tahu keadaan yang sebenarnya, paling tidak ia sudah memperoleh sedikit masukan. Walaupun ia belum jelas bagaimana hasil perundingan antara So Bong-seng dan Lui Sun, tapi setelah perundingan itu, dia masih menyaksikan wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh senyuman. Jika seseorang masih bisa menampilkan wajah penuh senyuman, paling tidak hasil yang diperoleh tidak kelewat jelek. Memandang senyuman yang menghias wajah Lui Sun, pada hakikatnya dia mirip seekor musang yang baru saja berhasil menemukan sarang anak ayam. Maka sekembalinya dari loteng Sam-hap-lau, Cu Gwe-beng pun segera memberi laporan kepada atasannya. "Kelihatannya perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah berhasil menempati posisi di atas angin." "Kenapa?" tanya atasannya. "Karena wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh dengan senyuman, senyuman yang amat cerah." Sekalipun atasannya merasa agak sangsi, namun dia terpaksa harus menerima kesimpulan itu. ooOOoo 19. Saudara Baru saja So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui turun dari loteng Sam-haplau, segera ada orang memanggilnya, "So-kongcu!" Menyusul kemudian orang itu bertanya, "Bagaimana hasil pertarunganmu melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Si penanya masih berada di dalam kereta kuda. Kereta kuda itu sangat mewah dan megah, saisnya ada tiga orang, semuanya mengenakan baju halus yang mahal harganya, sekilas pandang mereka mirip pejabat tinggi dari kerajaan, mirip juga pengurus kelenteng besar. Tapi sekarang, mereka hanya menjadi sais, sais orang lain. Di luar kereta berdiri delapan orang pengawal bergolok, kedelapan orang itu berdiri mematung bagaikan patung baja. Sekilas Pek Jau-hui segera tahu bahwa paling tidak ada dua orang di antaranya merupakan jago golok kenamaan, tiga orang yang lain merupakan Ciangbunjin partai besar, satu di antaranya malah merupakan ahli waris Ngo-hou-toan-hun-to (lima harimau golok pemutus sukma) Phang Thian-pa yang bernama Phang Jian, selain itu hadir juga Ciangbunjin angkatan ketujuh Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Tiau Lian-thian serta ahli waris Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) Beng Khong-khong. Ilmu golok lima harimau pemutus sukma tak pernah diwariskan kepada orang lain, selain sadis, enam puluh empat jurus serangannya khusus diciptakan untuk menyerang pertahanan bawah musuh, oleh karena itu anak murid keluarga Phang yang sudah dihajar sampai terjatuh ke tanah pun, kemampuannya tak boleh dipandang enteng. Ngo-hou-phang-bun atau perguruan keluarga Phang ini sama seperti keluarga Tong di wilayah Siok-tiong, Bi-lek-tong dari wilayah Kanglam, perkumpulan gagang golok, perguruan kaisar hijau dan perkampungan ikan terbang, merupakan sebuah perguruan dengan segala peraturan yang sangat ketat. Ada orang berkata, bila sudah menjadi ketua dari beberapa perguruan itu maka posisinya jauh lebih stabil ketimbang menjadi seorang kaisar. Ciangbunjin keluarga Phang yang bernama Phang Jian sudah termashur di kolong Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langit dengan ilmu golok andalannya sejak berusia dua puluh lima tahun, tapi sejak berusia tiga puluh lima tahun ia meninggalkan perguruan keluarga Phang untuk menjadi pengawal orang. Golok pengejut sukma Tiau Lian-thian terhitung juga keturunan orang kaya, ilmu goloknya merupakan aliran yang luar biasa, sudah banyak jagoan tangguh yang lahir dalam perguruan ini. Tiau Lian-thian sendiri pun termasuk seorang jago berbakat alam, dia sanggup mengubah ilmu golok pengejut sukma menjadi ilmu golok pengejut impian, kehebatannya luar biasa, tapi sekarang dia hanya seorang pelindung kereta mewah. Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) didirikan oleh keluarga Beng, ketika diwariskan ke tangan Beng Khong-khong, nama besar dan pamornya sudah amat tersohor di kolong langit, sepak terjangnya selama ini mengutamakan kejujuran dan kebenaran. Tapi kini Beng-kongcu yang amat termashur itu hanya menjadi salah satu pelindung orang dalam kereta. Lalu siapakah orang yang berada di dalam kereta" Selama ini Pek Jau-hui selalu santai, acuh tak acuh dan tak pernah serius, tapi sekarang dia celingukan ke sana kemari. Setelah orang di dalam kereta mengucapkan perkataan tadi, dua orang berbaju putih segera maju ke depan dan dengan sangat hati-hati mulai menyingkap tirai yang menutupi kereta mewah itu. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Ong Siau-sik tidak seluas Pek Jau-hui, namun setelah menyaksikan tangan kedua orang yang sedang menyingkap tirai kereta itu, diam-diam ia terkesiap. Ternyata bentuk tangan kedua orang itu sangat aneh, telapak tangan yang sebelah tebal lagi kasar, ibu jari tangannya pendek, kasar lagi gemuk sementara keempat jari lainnya nyaris menyusut dan layu di dalam telapak tangan, bentuk telapak tangannya persis seperti sebuah palu besi. Sebaliknya telapak tangan yang lain lembek seakan tak bertulang, kelima jari tangannya panjang dan ramping mirip ranting pohon yang-liu, ujung jarinya ramping dan runcing mirip sebatang lidi, tapi sayang tidak kelihatan ada kuku yang menempel di situ. Sekilas pandang saja Ong Siau-sik segera tahu kalau telapak tangan yang kasar dan kaku bagai palu besi itu paling tidak sudah terlatih tenaga pukulan Bu-ciciang (telapak tanpa jari) hampir enam puluh tahun lamanya, sementara telapak tangan yang lembek bagai kapas itu paling tidak sudah melatih ilmu lembek Sohsim-ci (ilmu jari hati suci) selama tiga puluh tahun dan tenaga yin-kang Lokhong-jiau (cakar perontok angin) selama tiga puluh tahun. Ilmu cakar perontok angin adalah ilmu andalan Kiu-yu Sin-kun, sedang ilmu jari hati suci merupakan ilmu jari aliran sesat, kedua macam ilmu itu sesungguhnya mustahil bisa dilatih bersama, selama ini hanya satu orang saja yang berhasil menguasai kedua ilmu itu sekaligus, orang itu adalah Lam-hoajiu si tangan bunga anggrek Thio Liat-sim. Jika orang ini adalah Thio Liat-sim, berarti orang yang satunya adalah si telapak tanpa jari Thio Thiat-su. Bila kedua orang itu bergabung menjadi satu, mereka berjuluk Thiat-su-kay-hoa atau pohon besi mulai berbunga. Biasanya pohon besi mulai berbunga merupakan gejala yang sangat menguntungkan. Tapi bagi Thio Liat-sim dan Thio Thiat-su, bukan begitu arti yang dimaksud. Arti dari 'berbunga' adalah bunga kaca yang mulai mekar atau tegasnya berarti retak, jadi dimana telapak tangan mereka lewat maka baik tulang atau daging tubuh lawan, semuanya tetap akan 'berbunga', bahkan pasti akan 'berbunga'. Jangankan orang biasa, sepasang tangan milik Liu Tiong-mo, seorang guru besar Thiat-sah-ciang pun pernah dibikin 'berbunga' oleh serangan mereka. 'Berbunga' masih mengandung sebuah arti lagi. Pekerjaan yang tak mungkin diselesaikan orang lain, asal jatuh ke tangan mereka, maka semuanya tetap akan lancar dan berhasil, seperti juga 'pohon besi yang berbunga', rejeki seolah jatuh dari langit, apa pun yang diinginkan selalu terkabulkan. Ilmu jari dan ilmu telapak semacam ini biasanya butuh latihan puluhan tahun lamanya untuk bisa mencapai tingkatan tertentu, bahkan mereka harus melakukan pengorbanan yang sangat menakutkan, tapi kalau dilihat usia kedua bersaudara Thio ini, sekalipun usia mereka digabungkan menjadi satu juga belum mencapai enam puluhan tahun, semestinya ilmu Bu-ci-ciang yang mereka miliki belum mencapai tingkat kesempurnaan. Itulah sebabnya jarang ada orang yang mau berlatih ilmu telapak tanpa jari ini, sebab walau sudah menguasainya, belum tentu bisa mencapai puncak kesempurnaan di usia senja mereka. Dalam pada itu ilmu jari hati suci Soh-sim-ci dan ilmu cakar perontok angin merupakan dua ilmu yang bertolak belakang, satu dari aliran lurus sedang yang lain berasal dari aliran sesat, kedua macam ilmu itu mustahil bisa dilatih bersamaan waktu. Tapi hal itu terkecuali bagi si pohon besi berbunga ini. Dan kenyataannya sekarang, biarpun mereka memiliki kepandaian yang luar biasa, tugasnya sekarang hanya membukakan tirai di atas kereta orang. Lalu siapakah orang di dalam kereta itu" Ong Siau-sik adalah pemuda yang besar rasa ingin tahunya, kini bukan saja dia ingin tahu, pada hakikatnya sudah terangsang untuk mencari tahu persoalan ini. Begitu tirai kereta tersingkap, ketiga orang sais, ke delapan pengawal dan kedua orang pembuka tirai itu serentak menunjukkan sikap yang sangat menaruh hormat. Tampak seseorang menongolkan dulu kepalanya dari balik kereta, kemudian baru perlahan-lahan turun dari keretanya. Jelas orang yang ada di dalam kereta itu mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, namun terhadap So Bong-seng ternyata dia tak berani ayal. Orang itu berwajah sangat tampan, meskipun pakaian yang dikenakan sangat bersahaja, namun sikap maupun penampilannya tetap anggun dan penuh wibawa. So Bong-seng segera menghentikan langkahnya, senyuman yang sangat jarang mampir di wajahnya tiba-tiba menghiasi ujung bibirnya, sembari menjura sapanya, "Siau Hou-ya!" Dengan cermat Siau Hou-ya memeriksa raut mukanya, kemudian baru berkata, "Aku lihat kalian belum turun tangan." "Betul, kami hanya bersilat lidah," sahut So Bong-seng tertawa, "kecuali memang dibutuhkan, kalau tidak, bisa tidak bertempur lebih baik janganlah bertarung." "Ah, setelah mendengar penjelasanmu itu, aku pun bisa berlega hati." "Tentu saja kami pun tidak berharap kejadian ini menyusahkan Siau Hou-ya." Siau Hou-ya tertawa getir. "Nama besar Kongcu dan Lui-tongcu sudah menggetarkan seluruh jagad, ditambah masing-masing pihak memiliki kekuatan hingga ratusan ribu jiwa, seandainya sampai terjadi pertempuran terbuka, mungkin aku pun susah untuk bertanggung jawab." "Kami pasti tak akan menyusahkan Siau Hou-ya." "Bagus," Siau Hou-ya tertawa lebar, "setelah mendengar perkataanmu ini, aku pun bisa berlega hati sekarang." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, "Bagaimana hasil perundingan tadi?" "Sangat bagus." "Sangat bagus?" sela Siau Hou-ya ragu. "Memang sangat bagus." Siau Hou-ya termenung sesaat dengan wajah penuh tanda tanya, mendadak sambil tertawa tergelak katanya, "Hahaha, kelihatannya isi pembicaraan itu merupakan rahasia perkumpulan Kimhong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" "Ketika masalah ini sudah boleh dibuka untuk umum, Siau Hou-ya pasti akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya." "Bagus, bagus sekali," sambil mengelus jenggotnya Siau Hou-ya manggut-manggut dan tertawa, perlahan pandangan matanya dialihkan ke wajah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, kemudian tanyanya lagi, "Apakah mereka berdua adalah jenderal utama dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" "Bukan, mereka bukan anak buahku." "Oya?" Siau Hou-ya mengangkat alis matanya, "jadi mereka adalah sahabatmu?" "Juga bukan," sahut So Bong-seng sambil tertawa, kemu?dian sepatah demi sepatah lanjutnya, "Mereka adalah saudaraku!" Begitu perkataan itu diucapkan, yang terperanjat justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, kedua orang pemuda ini benar-benar kaget bercampur terperangah. Bukan anak buahnya, bukan sahabatnya, tapi saudaranya"! "Saudara", sebutan ini bagi banyak orang gagah dalam dunia persilatan merupakan daya tarik yang luar biasa besarnya, merupakan rayuan yang luar biasa, banyak orang mau berkorban dan melelehkan darah demi sebutan itu. Saudara! Persaudaraan! "Saudara", banyak orang telah menyia-nyiakan sebutan ini, banyak orang berjuang mati hidup demi sebutan itu, banyak orang punya banyak saudara tapi belum pernah memiliki sau?dara sejati, banyak orang meski tak bersaudara namun memiliki saudara yang tak terhingga di kolong langit, banyak orang saling menyebut saudara namun perbuatannya justru tidak mencerminkan persaudaraan, banyak orang tak punya saudara tapi empat arah delapan penjuru justru dipenuhi persaudaraan. Saudara! Bagaimana kita harus 'susah sama dijinjing senang sama dinikmati' sehingga pantas disebut saudara" Apakah dengan berjabat tangan, bahu membahu, darah panas menggerakkan darah panas, perasaan saling bertautan dengan perasaan, keadaan semacam ini baru disebut saudara" Tampaknya Siau Hou-ya ikut melengak dibuatnya, tapi cepat dia berseru, "Kionghi! Kionghi! Walaupun selama ini So-kongcu malang melintang dalam dunia persilatan, namun selalu hidup sebatang kara, dan kini menjelang hari perkawinanmu, ternyata kau pun mendapat dua saudara sejati! Aku orang she Pui betul-betul ikut merasa gembira dan senang." "Perkataan Siau Hou-ya kelewat serius, siapa yang tidak kenal Sin-jiang-hiatkiam Siau Hou-ya (Tombak sakti pedang darah) yang nama besarnya tersohor di seantero kotaraja" Kami sebagai rakyat kecil mana berani mendapat sanjungan seperti ini!" "Sudahlah, kita tak usah berkata sungkan lagi," tukas Siau Hou-ya sambil tertawa, "setelah menyaksikan keadaan Kongcu, aku pun bisa segera pulang untuk memberi laporan kepada perdana menteri." "Merepotkan Siau Hou-ya." "So-kongcu, semoga tak lama kemudian kau sudah mendirikan lagi beberapa buah kantor cabang, dengan begitu keamanan di kotaraja tentu akan bertambah stabil." Selesai berkata ia segera masuk kembali ke dalam ruang keretanya, kereta pun bergerak meninggalkan tempat itu, masih seperti tadi, tiga orang bertindak sebagai sais kuda, dua orang berjaga di depan tirai dan delapan orang mengawal dari kiri, kanan, depan dan belakang. Tak lama kemudian kereta pun lenyap di ujung jalan. Kecuali kereta kuda yang ditumpangi Siau Hou-ya, sejak So Bong-seng memasuki wilayah 'pasar', tak pernah ada seorang pun yang bisa memasuki daerah itu. Tentu saja terkecuali Cu Gwe-beng. Dia pun termasuk manusia istimewa. Sama seperti Siau Hou-ya, dia bertugas mencari tahu hasil perundingan antara ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lalu berita apa yang berhasil mereka peroleh" ooOOoo "Menurut kau, Siau Hou-ya akan memberikan jawaban macam apa kepada perdana menteri," ujar So Bong-seng kepada Mo Pak-sin yang berada di sampingnya, "semua orang ingin tahu kuat lemah, menang kalah antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-huri-poan-tong, siapa mempunyai keyakinan enam puluh persen maka dialah yang akan berhasil merebut peluang utama, sayang jawaban itu susah untuk dijawab, jangan lagi mereka, bahkan aku dan Lui Sun sendiri pun tidak tahu. Kami hanya tahu banyak orang menaruh perhatian kepada kita, padahal kenyataan mereka ingin sekali kami cepat mampus atau mampus salah satu di antaranya!" Dengan susah payah Mo Pak-sin mengangkat kelopak matanya yang bengkak besar seakan ditonjok orang, kemudian sahutnya, "Selama ini Kpngcu tertawa terus, barang siapa yang selalu tersenyum sehabis perundingan dilakukan, biasanya orang akan mengira dialah pemenangnya, padahal bagaimana keadaan selama perundingan, siapa pun tak bisa menebaknya." Dia memang bebal dalam cara berbicara, sehingga perkataannya itu terasa amat telanjang tanpa tedeng aling-aling. "Terkadang tertawa memang jauh lebih berguna ketimbang kepalan!" So Bong-seng manggut-manggut, "aku rasa sewaktu Cu-tayjin yang diutus bagian kejaksaan dan bagian sekretariat negara mengunjungi Lui Sun, dia pun pasti sedang tertawa." "Bolehkah aku mengajukan tiga pertanyaan kepadamu?" tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. "Katakan." Mereka berbicang sambil berjalan, sepanjang jalan Mo Pak-sin selalu melindungi mereka dengan pasukan dan barisannya. "Pertama, orang yang muncul tadi apa benar orang paling top dari kantor perdana menteri yang berjuluk Sin Thong-hou, si Bangsawan serba bisa Pui Ing-gan?" "Di kolong langit dewasa ini, kecuali Pui Siau Hou-ya yang sanggup mengajak delapan raja golok sebagai pelindungnya, si pohon besi berbunga sebagai penyingkap tirainya dan kusir paling top dari negeri Cidan, Mongol dan Li-tin sebagai saisnya dalam satu kali perondaan, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?" Pek Jau-hui segera manggut-manggut, kembali tanyanya, "Tadi sebetulnya gampang saja bagimu untuk turun tangan membunuh Ti Hui-keng sehingga pihak lawan akan kehilangan salah satu tenaga andalannya, mengapa tidak kau lakukan itu?" "Pertanyaanmu ini tidak jujur," dengan sorot mata yang dingin So Bong-seng menatap pemuda itu, "padahal kau sudah tahu jawabannya, buat apa mesti ditanyakan kepadaku." "Jadi kau sudah tahu kalau di atas atap rumah telah bersembunyi seorang jago tangguh, maka kau tidak membunuhnya?" kata Pek Jau-hui sambil menarik napas panjang. "Mungkin saja aku memang tak berniat untuk membunuh Ti Hui-keng aku rasa kau sudah mengajukan tiga pertanyaan." "Semua pertanyaan sudah kau mentahkan kembali, hingga kini belum satu pun yang kau jawab." "Bertanya adalah urusanmu, sedang mau menjawab atau tidak adalah urusanku," tukas So Bong-seng cepat. "Kalau aku hanya ada satu pertanyaan," tiba-tiba Ong Siau-sik menimbrung. Mendengar perkataan itu So Bong-seng segera memperlambat langkahnya sambil berpaling ke arah pemuda itu. Dengan suara lantang Ong Siau-sik segera bertanya, "Tadi kau ... kau berkata pada Siau Hou-ya bahwa kita ... kita adalah saudara?" "Memangnya kau tuli?" So Bong-seng tertawa lebar, "masa inipun kau anggap sebagai pertanyaan?" Ong Siau-sik tertegun, katanya agak ragu, "Tapi kita baru kenal belum setengah hari lamanya." "Tapi kita pernah mati hidup bersama." "Memangnya kau tahu siapa karai?" tanya Pek Jau-hui. "Aku tak peduli siapa kalian!" "Kalau siapa kami saja tidak kau ketahui, bagaimana mungkin bisa mengangkat saudara dengan kami?" "Siapa yang membuat peraturan semacam itu?" seru So Bong-seng sambil melotot besar, "siapa bilang kalau ingin mengangkat saudara kita mesti menyelidiki dulu asal-usul keluarga, nenek moyang, perguruan dan asal daerahnya?" "Kau Pek Jau-hui melengak. "Kenapa kau ingin mengangkat saudara dengan kami?" ujar Ong Siau-sik pula. So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. "Angkat saudara ya angkat saudara, buat apa mesti tanya alasannya" Memangnya kita harus seia sekata, ada rejeki dinikmati bersama ada bencana dihadapi berbareng dan peduli apa segala tetek bengek omongan yang memuakkan itu?" "Sebetulnya kau punya berapa saudara angkat sih?" tanya Pek Jau-hui. "Dua orang." "Siapa mereka?" "Kau dan kau!" tuding So Bong-seng ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Seketika itu juga Ong Siau-sik merasakan hawa darah yang amat panas menerjang naik ke atas kepalanya. Sementara Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, mendadak katanya dingin, "Aku tahu." Kemudian sambil menatap wajah So Bong-seng, katanya lagi, "Apakah kau ingin mengundang kami masuk menjadi anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. Setelah tertawa, dia pun mulai terbatuk-batuk, sambil terbatuk sambil tertawa.... Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Biasanya ketika orang mengira dia sudah tahu, sesungguhnya ia sama sekali tidak tahu, ungkapan ini memang tepat," kata So Bong-seng, "kalian anggap dirimu adalah manusia macam apa" Buat apa aku mesti menggunakan cara begini untuk memaksa kalian masuk perkumpulan" Kalian anggap kemampuanmu sudah cukup untuk memangku jabatan besar" Kenapa tidak terpikir mungkin aku yang sedang memberi peluang kepada kalian" Manusia berbakat di dunia ini sangat banyak, kenapa aku justru harus menggaet kalian berdua?" Bicara sampai di situ, dengan nada dingin tambahnya, "Jika kalian merasa tak senang, sekarang juga boleh pergi, biarpun mulai detik ini hingga selamanya kita tak pernah bersua kembali, kalian masih tetap adalah saudaraku." Setelah terbatuk beberapa saat, katanya lagi, "Sekalipun kalian tidak menganggap aku adalah saudaramu, tidak masalah, aku tak peduli." Ong Siau-sik tak kuasa menahan diri lagi, mendadak ia berlutut sambil menyembah, serunya, "Toako!" ooOOoo 20. Bukan hanya nomor satu "Kau jadi Lotoa?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya sambil menghela napas panjang. "Manusia macam aku kalau tidak jadi Lotoa, siapa yang jadi Lotoa?" So Bong-seng balik bertanya sambi! mendelik. Sambil menggendong tangan memandang langit Pek Jau-hui termenung beberapa saat lamanya, sampai lama kemudian ia baru menghembuskan napas panjang dan berkata, "Ada scpatah kata akan kusampaikan dulu." "Katakan." Mendadak Pek Jau-hui maju ke depan, menggerakkan sepasang tangannya, dan memegang bahu So Bong-seng. Tangan Su Bu-kui yang menggenggam golok pembabat seketika nampak mengejang keras hingga otot-otot hijaunya kelihatan nyata. Sorot mata Mo Pak-sin yang tersembunyi di balik kelopak matanya yang bengkak pun tiba-tiba memancarkan cahaya setajam sembilu. Bila sepasang tangan itu dibiarkan memegang bahu So Bong-seng, maka paling tidak ada tujuh delapan macam cara untuk menguasainya dan tujuh delapan belas jalan darah ke-matian akan terancam. Apalagi tangan yang menggenggam itu milik Pek Jau-hui. So Bong-seng sama sekali tak bergerak, mengedipkan mata pun tidak. Dengan cepat sepasang tangan Pek Jau-hui sudah menempel di atas sepasang bahu So Bong-seng. Tanpa perintah dari So Bong-seng, siapa pun tak berani turun tangan secara sembarangan. Begitu tangannya memegang bahu So Bong-seng, dengan suara lantang Pek Jau-hui berseru, "Toako!" So Bong-seng tertawa. Ia memandang Ong Siau-sik sekejap, kemudian memandang pula Pek Jau-hui sekejap, sinar mata penuh senyuman terpancar dari balik matanya. Begitu ia tertawa, semua kebekuan pun sirna, seakan bukit salju yang tiba-tiba mencair dan airnya mengalir masuk ke dalam sungai. "Tahukah kalian apa bedanya senyumanku sekarang dengan senyumanku tadi?" ia bertanya. "Tadi palsu, senyuman palsu!" seru Ong Siau-sik tertawa geli. "Dan sekarang asli, tertawa asli!" sambung Pek Jau-hui pula sambil tertawa, suara tawanya ibarat hembusan angin musim semi yang menggoyangkan permukaan air. "Hahaha, tepat sekali jawaban kalian!" So Bong-seng tertawa tergelak. Ketiga orang itu segera tertawa keras, tertawa penuh kegembiraan. Mo Pak-sin segera maju ke depan, serunya cepat, "Kionghi Locu, hari ini kita benar-benar telah menaikkan bendera kemenangan, bukan saja dalam perundingan berhasil meraih di atas angin, bahkan bisa berkenalan dengan dua saudara yang baik!" "Kau jangan merasa iri dulu," kata So Bong-seng sambil tertawa, "persaudaraan kami tidak terjadi dengan gampang, tugas pertama yang harus mereka kerjakan selain ganas juga luar biasa susahnya. Sementara kau adalah anak buah andalanku, kau bersama si To tua, A Si, Siau-kwik semuanya merupakan malaikat penunggu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, tanpa kehadiran kalian, mungkin sejak awal perkumpulan kita sudah ambruk, sudah runtuh dan bubar!" Sekilas perubahan terpancar dari wajah Mo Pak-sin, perasaan terharu yang amat sangat. Gejolak emosi itu meski menyelimuti hatinya, namun dia berupaya untuk menahannya. Tapi dia tak sanggup menahan diri. Gejolak emosi yang didorong perasaan terharu itu datang semakin menggelora, bagaikan hantaman ombak besar di atas batu karang menimbulkan gelombang besar dalam hatinya. Tiba-tiba So Bong-seng bertanya, "Mana To Lam-sin" Apakah pasukan angin puyuhnya sudah ditarik mundur?" Sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Mo Pak-sin baru menjawab, suaranya tenang, "Sudah ditarik mundur, katanya dia akan menarik pasukannya kembali ke markas, mungkin malam nanti baru akan datang ke loteng untuk memberi laporan." So Bong-seng manggut-manggut, kepada Su Bu-kui tanyanya, "Kau tahu, kau adalah apaku?" "Aku adalah pasukan berani mati dari Kongcu," jawab Su Bu-kui tanpa berpikir lagi, "jika Kongcu menginginkan aku mati, aku segera akan pergi mati!" "Kau keliru besar," tukas So Bong-seng serius, "bila seseorang benar-benar sangat baik terhadap orang lain, dia pasti tak akan berharap dia mati demi dirinya, kau harus ingat terus perkataanku ini." "Tapi aku rela mati demi Kongcu, mati tanpa penyesalan." "Hal itu hanya menunjukkan kesetiaanmu terhadapku, tapi aku lebih suka kau hidup demi aku." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah orang kepercayaanku, bukan pasukan berani matiku." Sekilas cahaya mata yang tak terlukiskan dengan kata memancar keluar dari balik mata Su Bu-kui. Terharu" Gejolak emosi yang meluap" Rasa terima kasih yang berlebihan" Mungkin satu di antaranya, mungkin juga meliputi keseluruhannya. So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sayang Wo Hu-cu, Hoa Buciok, si Barang antik dan Te Hoa sudah pergi jauh ... coba kalau mereka masih ada dan menyaksikan aku berhasil mengangkat saudara dengan dua adik yang setia ka?wan, mereka pasti akan ikut gembira." Cahaya air mata terbias di balik mata Su Bu-kui. Dia tahu, So-kongcu selalu meluangkan banyak waktu hanya untuk mengenang dan memikirkan orang kepercayaannya, sayang mereka semua tak mungkin bisa berkumpul jadi satu. Bedanya, dalam kenangannya kali ini Hoa Bu-ciok dan si Barang antik telah mati karena pengkhianatannya, Wo Hu-cu dan Te Hoa tewas karena dibokong musuh, yang tersisa sekarang tinggal Yo Bu-shia dan dirinya, tapi terlepas apakah dia telah berkhianat atau tetap setia, So Bong-seng tetap sama saja akan mengenangnya. Tak kuasa lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang. Mengapa dia menghela napas" Apakah dia pun mempunyai pengalaman yang tak diketahui orang, pengalaman sedih yang selalu terpendam di dasar hatinya" Seorang jago berilmu tinggi yang sudah berusia mendekati tiga puluh tahun tapi masih belum ada orang yang mengetahui kehadirannya, sebetulnya pengalaman luar biasa apa yang pernah dialaminya" Sekilas perasaan simpati bercampur rasa ingin tahu melintas secara tiba-tiba dari balik mata Ong Siau-sik, tentu saja ia tak berani memperlihatkan perasaan Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 5 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Penjarah Perawan 2