Hotel Majestic 2
Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 2 "Kami lalu bertekad untuk bepergian," katanya. "Sudah lama kami ingin datang ke negeri tua ini. Nah, kami pun melakukannya. Lalu kami datang ke daerah ini. Kami mencoba untuk mencari beberapa orang sanak saudara istri saya. Mereka memang berasal dari daerah sekitar sini. Tapi kami tak berhasil menemukan jejak mereka. Kemudian kami pergi ke benua Eropa - ke Paris, Roma, ke danau-danau di Italia, ke Florence, pokoknya ke semua tempat yang bagus. Waktu berada di Italia itulah kami mengalami kecelakaan kereta api. Istri saya yang malang yang paling hebat terimpit. Kejam sekali, bukan" Saya telah membawanya ke dokter-dokter terbaik, tapi komentar mereka sama saja - tak ada yang dapat dilakukan, jadi dia harus bersabar. Bersabar, dan terus terbaring. Yang dialaminya adalah cedera pada pinggul." "Kasihan sekali!" "Buruk sekali nasib kami, bukan" Nah, begitulah. Padahal dia masih saja memendam satu keinginan, yaitu datang ke daerah ini. Dia ingin sekali punya rumah kecil, untuk tinggal sendiri - yang kecil saja - supaya keadaan bisa berubah. Sudah banyak pondok yang kami lihat, tapi semuanya buruk. Kemudian kami beruntung menemukan ini. Bagus, tenang, dan tersembunyi. Tak ada mobil-mobil berseliweran, atau suara gramofon dari sebelah. Jadi langsung saya ambil." Sambil bercakap-cakap demikian, kami pun tiba di pondok itu. "Cooee," teriaknya dengan suara nyaring dan bergema. Lalu terdengar suara balasannya, "Cooee." "Mari masuk," kata Mr. Croft. Ia masuk melalui pintu yang memang sudah terbuka, lalu menaiki sebuah tangga rendah, dan langsung ke sebuah kamar tidur yang menyenangkan. Di kamar itu, di atas sebuah sofa, terbaring seorang wanita setengah baya yang gemuk. Rambutnya bagus, berwarna abu-abu, dan senyumnya manis sekali. "Coba lihat siapa ini, Mama?" kata Mr. Croft. "Mr. Hercule Poirot, detektif kawakan yang terkenal di seluruh dunia. Aku mengajaknya kemari supaya bisa mengobrol denganmu, Mama." "Aduh, tak tahu saya apa yang harus dikatakan," pekik Mrs. Croft, sambil menyalami Poirot dengan hangat. "Saya sudah membaca tentang perkara Kereta Api Biru itu. Kebetulan sekali Anda berada di dalam kereta api itu juga, ya" Saya juga sudah membaca tentang banyak perkara Anda yang lain. Sejak mengalami kesulitan dengan punggung saya ini, saya rasa saya sudah membaca semua cerita detektif yang ada. Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu. Bert sayang, tolong panggilkan Edith, supaya dia membawakan teh." "Baik, Ma." "Edith adalah semacam perawat, merangkap pelayan," Mrs. Croft menjelaskan. "Dia datang setiap hari untuk mengurus saya. Kami tak menginginkan pelayan sepanjang hari. Bert pandai sekali memasak, dan dia bisa bertindak sebagai seorang pengurus rumah tangga yang baik sekali. Dan hal itu memberinya kesibukan, ditambah lagi dengan pekerjaannya di kebun." "Nah," kata Mr. Croft waktu ia muncul kembali sambil membawa nampan, "ini teh kita. Ini merupakan hari yang penting dalam hidup kita, ya, Ma." "Anda menginap di sini, Mr. Poirot?" tanya Mrs. Croft, sambil membungkuk sedikit dan mengambil poci teh. "Ya, Madame. Saya sedang berlibur di sini." "Oh, ya, sudah saya baca bahwa Anda sudah pensiun - bahwa Anda ingin berlibur untuk selama-lamanya." "Ah, Madame! Jangan percaya semua yang Anda baca dalam surat-surat kabar." "Yah, benar juga. Jadi Anda masih terus bekerja?" "Bila saya menemukan suatu perkara yang menarik minat saya." "Jadi Anda berada di sini bukan khusus untuk bekerja?" tanya Mr. Croft tajam. "Atau mungkin Anda hanya pura-pura saja menyebutnya libur?" "Jangan menanyakan pertanyaan yang membuat risi begitu, Bert," tegur Mrs. Croft. "Nanti dia tak mau datang lagi. Kami hanya orang-orang sederhana, Mr. Poirot, dan kedatangan Anda kemari benar-benar merupakan suatu hiburan besar - juga sahabat Anda. Anda tak menyadari betapa besarnya kesenangan yang Anda berikan pada kami." Wanita itu tampak begitu wajar dan begitu berterus terang dalam menyatakan rasa terima kasihnya, hingga hatiku merasa hangat karenanya. "Peristiwa mengenai lukisan itu mengerikan sekali," kata Mr. Croft. "Gadis malang itu bisa-bisa tewas bila tertimpa," kata Mrs. Croft dengan perasaan mendalam. "Dia itu seperti kabel listrik saja. Dia menghidupkan suasana di sini bila dia datang. Tapi saya dengar dia kurang suka berada di daerah ini. Begitulah keadaannya di tempat-tempat terpencil di Inggris ini. Tempat-tempat begini tak bisa memberikan kehidupan dan keceriaan pada seorang gadis. Saya tak heran kalau dia tak sering menghabiskan waktunya di sini. Dan sepupunya yang suka mencampuri urusannya itu pun tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk mendesaknya supaya menetap di sini selama-lamanya...." "Jangan menggunjingkan orang, Milly," kata suaminya. "Oh," kata Poirot. "Jadi ke sana rupanya arah angin. Percayailah naluri wanita! Jadi Mr. Charles Vyse mencintai gadis kecil kita itu?" "Pria itu tergila-gila padanya," kata Mrs. Croft. "Tapi gadis itu tak mau menikah dengan seorang pengacara desa. Dan saya tidak menyalahkannya. Soalnya pria itu juga membosankan. Saya lebih senang kalau dia menikah dengan pelaut yang baik itu - siapa namanya" Challenger. Mereka cocok sekali. Pria itu memang lebih tua darinya, tapi apalah artinya" Yang dibutuhkan gadis itu adalah penunjang untuk hidup menetap. Supaya dia tidak terbang kian-kemari saja, bahkan ke benua Eropa, seorang diri atau dengan Mrs. Rice yang berwajah aneh itu. Dia seorang gadis yang baik, Mr. Poirot - saya tahu betul itu. Tapi saya khawatir memikirkannya. Akhir-akhir ini ia sama sekali tidak kelihatan ceria. Wajahnya membayangkan ketakutan. Dan saya jadi cemas! Saya punya alasan sendiri menaruh minat pada gadis itu, bukan begitu, Bert?" Mr. Croft bangkit dari kursinya dengan agak mendadak. "Tak perlu kau bicara terlalu banyak tentang itu, Milly," katanya. "Apakah Anda tak ingin melihat beberapa foto dari Australia. Mr. Poirot?" Sisa kunjungan kami ke pondok itu berlalu tanpa peristiwa penting. Sepuluh menit kemudian, kami minta diri. "Orang-orang yang baik, mereka itu," kataku. "Sederhana sekali, dan tidak tinggi hati. Khas orang-orang Australia." "Kau suka pada mereka?" "Kau tidak?" "Mereka memang menyenangkan - ramah sekali." "Lalu ada apa" Pasti ada sesuatu, aku melihatnya." "Mungkin mereka agak terlalu 'khas'," kata Poirot sambil merenung. "Teriakan 'cooee' itu - desakan untuk memperlihatkan foto-foto pada kita - apakah itu tak mungkin suatu sandiwara yang dimainkan dengan terlalu sempurna?" "Dasar setan yang terlalu banyak curiga kau ini!" "Kau benar, mon ami. Aku curiga pada semua orang - semua orang. Aku takut, Hastings, aku takut." 6 KUNJUNGAN PADA MR. VYSE POIROT tetap berpegang pada sarapan dengan gaya Eropa. Ia bingung dan tak suka melihatku makan telur dan lemak babi - begitu katanya selalu. Jadi ia sarapan di tempat tidur, minum kopi dan makan roti, sedangkan aku bebas mengawali hariku dengan sarapan bergaya Inggris yang terdiri atas lemak babi, telur, dan selai marmalade. Aku menjenguk ke dalam kamarnya pada pagi hari Senin, waktu aku akan turun ke lantai bawah. Ia masih duduk di tempat tidurnya dengan mengenakan pakaian tidur yang bagus sekali. "Bonjour,* (*selamat pagi, selamat siang) Hastings. Aku baru saja akan menekan bel untuk memanggilmu. Aku baru selesai menulis surat. Maukah kau menolongku menyuruh seseorang mengantarnya ke End House, dan langsung menyerahkannya pada Mademoiselle?" Kuulurkan tanganku untuk mengambil surat itu. Poirot memandangiku, lalu mendesah. "Kalau saja... kalau saja kau membelah rambutmu di tengah, dan tidak di tepi begitu, Hastings! Akan besar bedanya dengan simetri penampilanmu. Lalu kumismu. Kalau kau memang ingin punya kumis, sebaiknya kumis yang tebal... bagus seperti kepunyaanku." Kutahan diriku dengan bergidik mendengar jalan pikirannya itu, lalu cepat-cepat kuambil surat dari tangannya, dan kutinggalkan kamar itu. Aku sedang duduk bersamanya lagi di ruang duduk, ketika kami diberitahu bahwa Miss Buckley datang untuk menemui kami. Poirot memerintahkan supaya gadis itu dipersilakan naik. Gadis itu masuk dengan ceria, tapi kurasa lingkaran hitam di bawah matanya lebih gelap daripada biasanya. Ia sedang memegang telegram, yang kemudian diserahkannya pada Poirot. "Ini," katanya, "saya harap itu akan membuat Anda senang!" Poirot membacanya dengan bersuara. "Tiba hari ini jam setengah enam. Maggie." "Perawat dan pelindung saya!" kata Nick. "Tapi tahukah Anda" Anda keliru. Maggie itu tak punya otak. Yang cocok baginya adalah kegiatan-kegiatan yang baik. Selain itu, dia juga tak pernah memahami lelucon. Sebenarnya Freddie sepuluh kali lebih pandai dalam melacak penyerang tersembunyi. Dan Jim Lazarus akan lebih baik lagi. Saya rasa, orang tak pernah mengerti betul tentang Jim." "Dan bagaimana dengan Komandan Challenger?" "Oh! George! Dia takkan pernah melihat apa pun kalau tidak disodorkan ke bawah hidungnya. Tapi begitu melihatnya, dia akan benar-benar menindaknya. George berguna sekali kalau harus diadakan adu kekuatan." Ditanggalkannya topinya, lalu ia berkata lagi, "Sudah saya pesankan supaya pria yang Anda sebutkan dalam surat Anda itu diperbolehkan masuk. Kedengarannya misterius sekali. Apakah dia akan memasang alat penyadap atau semacamnya?" Poirot menggeleng. "Tidak, tidak. Bukan sesuatu yang bersifat ilmiah. Hanya berdasarkan suatu pendapat sederhana, Mademoiselle. Sesuatu yang ingin saya ketahui." "Wah," kata Nick, "menyenangkan sekali, ya?" "Begitukah menurut Anda, Mademoiselle?" tanya Poirot dengan halus. Sesaat lamanya gadis itu berdiri membelakangi kami. Ia memandang ke luar jendela. Lalu ia berbalik. Semua sikap berani dan menantang sudah hilang sama sekali dari wajahnya. Kini wajah itu seperti wajah kanak-kanak, berkerut, dan tampak bahwa ia sedang berjuang menahan air matanya. "Tidak," katanya. "Bukan... sebenarnya tidak begitu. Saya takut. Takut sekali. Padahal saya pikir saya ini pemberani." "Anda memang pemberani, mon enfant.* (*anakku) Anda pemberani sekali. Saya dan Hastings sama-sama mengagumi keberanian Anda itu." "Ya, memang begitu," kataku dengan hangat. "Tidak," kata Nick sambil menggeleng. "Saya tidak pemberani. Apalagi dalam keadaan menunggu begini. Saya selalu bertanya-tanya apakah akan terjadi sesuatu lagi. Dan bagaimana hal itu akan terjadi! Saya tahu hal itu akan terjadi." "Ya, ya, itu memang menegangkan." "Semalam, tengah malam, saya tarik tempat tidur saya keluar dari kamar. Dan saya mengunci jendela, dan pintu. Waktu saya datang kemari pagi ini, saya lewat jalan besar. Saya tak bisa... saya benar-benar tak bisa lagi lewat kebun. Rasanya seolah-olah keberanian saya hilang sama sekali. Gara-gara soal yang menumpuk di atas segala-galanya ini." "Apa maksud Anda sebenarnya, Mademoiselle" Menumpuk di atas segala-galanya?" Keadaan hening sejenak sebelum ia menyahut. "Saya tak punya maksud khusus. Saya rasa saya sedang mengalami apa yang dalam surat-surat kabar disebut 'ketegangan akibat kehidupan zaman modern'. Saya jadi terlalu banyak minum koktail, terlalu banyak merokok - -segala macam hal itu. Itu gara-gara saya berada dalam... dalam keadaan aneh ini." Ia menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi, dan duduk di situ. Jemarinya dikatupkan dan dibuka berulang kali dengan gugup. "Anda tidak berterus terang pada saya, Mademoiselle. Pasti ada sesuatu." "Tak ada... sungguh tak ada apa-apa." "Ada sesuatu yang tidak Anda ceritakan pada saya." "Sudah saya ceritakan segala-galanya, sampai hal yang sekecil-kecilnya." Ia berbicara dengan tulus dan bersungguh-sungguh. "Mengenai 'kecelakaan-kecelakaan' itu - mengenai serangan-serangan atas diri Anda, memang sudah." "Ya - lalu?" "Tapi Anda tidak menceritakan segala-galanya yang ada dalam hati Anda - dalam hidup Anda...." Lambat-lambat ia berkata, "Apakah ada orang yang bisa berbuat begitu?" "Nah," kata Poirot dengan nada kemenangan. "Anda mengaku!" Gadis itu menggeleng. Poirot memandanginya lekat-lekat. "Atau mungkin itu rahasia tentang diri Anda?" tanya Poirot dengan tajam. Kurasa aku melihat suatu getaran kecil pada kelopak mata gadis itu. Tapi ia segera menjawab. "Sungguh mati, M. Poirot, saya sudah menceritakan segala-galanya yang saya ketahui mengenai urusan yang tak menyenangkan itu. Bila Anda pikir saya tahu sesuatu mengenai seseorang, atau Anda curiga, Anda keliru. Karena saya tak punya rasa curiga, saya merasa seperti akan menjadi gila! Karena saya tidak bodoh. Karena saya menyadari bahwa bila 'kecelakaan-kecelakaan' itu bukan kecelakaan, semua itu tentu telah diciptakan oleh seseorang yang sangat dekat - seseorang yang mengenal saya. Dan itulah yang mengerikan. Karena saya sama sekali tak punya dugaan - sedikit pun tidak - siapa seseorang itu." Sekali lagi ia pergi ke jendela dan melihat ke luar. Poirot memberi isyarat padaku supaya tidak berbicara. Kurasa ia berharap akan ada pernyataan selanjutnya, setelah kontrol diri gadis itu hancur. Waktu gadis itu berbicara lagi, suaranya lain sekali, seperti suara orang yang sedang bermimpi. "Tahukah Anda bahwa saya sudah lama punya suatu keinginan" Saya mencintai End House, Sudah lama saya ingin mementaskan suatu sandiwara di situ. Sandiwara itu harus merupakan drama yang punya ciri tersendiri. Saya sudah membayangkan bermacam-macam sandiwara yang bisa dipentaskan di situ. Dan sekarang saya merasa seolah-olah suatu drama sedang dimainkan di situ. Tapi saya bukan produsernya. Saya memegang peran di dalamnya! Saya benar-benar ikut main dalam sandiwara itu! Barangkali saya yang akan menjadi orang mati dalam adegan pertama...." Suaranya terputus. "Ah, sudahlah, Mademoiselle." Suara Poirot penuh semangat dan ceria. "Tak ada gunanya kita begini terus. Ini namanya histeris." Ia berbalik, lalu memandang Poirot dengan tajam. "Apakah Freddie yang mengatakan pada Anda bahwa saya histeris?" tanyanya. "Dia berkata bahwa saya kadang-kadang histeris. Tapi Anda jangan selalu percaya apa kata Freddie. Soalnya, kadang-kadang dia... dia lain dari biasanya." Keadaan hening sebentar. Kemudian Poirot menanyakan sesuatu yang sama sekali tak ada hubungannya. "Eh. Mademoiselle, pernahkah ada orang yang menyatakan ingin membeli End House?" tanyanya. "Membeli End House?" "Ya." "Tidak. Tak ada." "Apakah Anda mau mempertimbangkan untuk menjualnya, kalau ada orang yang menawarkan harga yang baik?" Nick berpikir sebentar. "Tidak, saya rasa tidak. Maksud saya, kecuali kalau tawaran itu demikian tingginya, hingga bodoh sekali saya bila tidak menerimanya." "Precisement."* (*Tepat sekali.) "Tapi saya tak ingin menjualnya, karena saya menyayangi rumah itu." "Tentu. Saya mengerti." Nick berjalan perlahan-lahan ke arah pintu. "Ngomong-ngomong. malam ini akan ada pesta kembang api. Maukah Anda datang" Kita makan malam jam delapan. Pesta kembang apinya dimulai jam setengah sepuluh. Kita bisa melihatnya dengan jelas, dari kebun yang menghadap ke pelabuhan." "Pasti saya akan terpesona melihatnya." "Anda berdua tentu harus datang," kata Nick. "Terima kasih banyak," kataku. "Hanya dengan pesta kita bisa menghidupkan kembali semangat yang lesu ini," kata Nick. Lalu ia keluar sambil tertawa. "Kasihan anak itu," kata Poirot. Ia menjangkau topinya, lalu dengan cermat menjentik sebutir debu yang kecil sekali dari permukaan topi itu. "Akan pergikah kita?" tanyaku. "Mais oui,* (*tentu saja) ada urusan penting yang harus kita lakukan, mon ami." "Ya, tentu. Aku mengerti." "Otakmu yang cemerlang tentu bisa mengerti, Hastings." Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perkantoran Messrs. Vyse. Trevannion & Wynnard terletak di jalan utama kota. Kami menaiki tangga ke lantai dua, dan masuk ke sebuah ruangan di mana ada tiga orang yang sedang menulis. Poirot minta bertemu dengan Mr. Charles Vyse. Seorang pegawai menggumamkan beberapa patah kata di telepon. Agaknya ia mendapatkan jawaban positif, lalu ia berkata bahwa Mr. Vyse bersedia menemui kami - sekarang. Ia berjalan mendahului kami, menyeberangi lorong rumah, mengetuk sebuah pintu, lalu menyingkir sambil mempersilakan kami masuk. Mr. Vyse bangkit dari balik meja tulis besar yang penuh dengan surat resmi. Ia menyambut dan menyalami kami. Ia seorang pria muda yang tinggi, agak pucat, dan air mukanya tidak membayangkan perasaan apa-apa. Kedua sisi pelipisnya mulai agak botak, dan ia memakai kacamata. Rambut dan matanya pucat dan sulit dipastikan warnanya. Poirot datang dalam keadaan siap. Untunglah ia membawa semacam surat perjanjian yang pada saat itu belum ditandatangani. Ada beberapa hal teknis sehubungan dengan surat perjanjian itu, yang memerlukan nasihat Mr. Vyse. Mr. Vyse berbicara dengan berhati-hati dan cermat. Ia segera bisa menghilangkan keragu-raguan yang dikemukakan Poirot, dan bisa pula menjelaskan beberapa soal mengenai peristilahan dalam surat perjanjian itu. "Saya berterima kasih sekali pada Anda," kata Poirot. "Anda tentu mengerti bahwa sebagai seorang asing, urusan-urusan resmi dan penggunaan kata-kata tentu sulit sekali bagi saya." Pada saat itulah Mr. Vyse bertanya siapa yang memberitahu Poirot untuk datang padanya. "Miss Buckley," sahut Poirot langsung. "Dia saudara sepupu Anda, bukan" Dia seorang gadis yang menarik sekali. Saya kebetulan bercerita padanya bahwa saya sedang kebingungan, dan dia memberitahukan supaya saya datang pada Anda. Saya sudah mencoba menemui Anda pada hari Sabtu siang, kira-kira jam setengah satu, tapi Anda sedang keluar." "Ya, saya ingat. Saya pulang lebih awal pada hari Sabtu." "Pasti Mademoiselle, sepupu Anda itu, merasa kesepian di rumah besar itu, ya" Kalau tak salah, dia tinggal seorang diri di situ." "Ya, memang." "Mr. Vyse, izinkan saya bertanya, apakah ada kemungkinan rumah itu akan dijual?" "Saya rasa tidak." "Anda tentu mengerti bahwa saya tidak asal bertanya. Saya punya alasan! Saya sendiri sedang mencari rumah dan tanah seperti itu. Iklim di St. Loo ini membuat saya tertarik. Rumah itu kelihatannya memang memerlukan perbaikan besar. Saya rasa selama ini tak pernah dikeluarkan biaya untuk perbaikan, ya" Sehubungan dengan itu, apakah tak mungkin Mademoiselle mempertimbangkan suatu tawaran untuk menjualnya saja?" "Kemungkinan itu sama sekali tak ada." Charles Vyse menggeleng dengan penuh keyakinan. "Sepupu saya sayang sekali pada rumah itu. Tak ada satu hal pun yang bisa mendorongnya untuk menjualnya, saya tahu betul itu. Soalnya rumah itu merupakan rumah keluarga." "Saya mengerti, tapi..." "Sama sekali tak mungkin. Saya kena! betul sepupu saya itu. Dia benar-benar sayang pada rumah itu." Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di jalan lagi. "Nah, sahabatku," kata Poirot, "kesan apa yang kaudapatkan tentang M. Charles Vyse?" Aku berpikir. "Suam kesan yang negatif sekali," kataku akhirnya. "Dia aneh dan negatif sekali." "Bisakah dikatakan bahwa pribadinya lemah?" "Bukan begitu. Dia jenis orang yang takkan kita ingat bila kita bertemu lagi dengannya. Orang yang tak ada istimewanya." "Penampilannya memang sama sekali tidak menarik. Apakah kau mendengar pertentangan dalam percakapanku dengannya tadi?" "Ada," kataku lambat-lambat. "Sesuatu yang sehubungan dengan penjualan End House." "Tepat. Bisakah kita menyatakan bahwa Mademoiselle 'sayang sekali' pada rumah itu, setelah kita mendengar kata-katanya sendiri?" "Kata-kata itu terlalu berlebihan." "Padahal M. Vyse bukan jenis orang yang biasa menggunakan kata-kata berlebihan. Sikapnya yang wajar - yang selalu resmi - lebih cenderung merendah daripada memberi tekanan berlebihan. Tapi dia berkata bahwa Mademoiselle sayang sekali pada rumah nenek moyangnya itu." "Padahal tadi pagi gadis itu tidak memberikan kesan begitu," kataku. "Kupikir dia berbicara dengan akal sehat mengenai rumah itu. Kelihatannya dia memang sayang pada rumah itu - seperti biasanya orang-orang seperti dia - tapi tak lebih dari itu." "Jadi yang jelas, salah seorang di antara mereka lelah berbohong," kata Poirot sambil merenung. "Tapi kita tak bisa menduga Vyse berbohong." "Jelas ada alasannya kalau seseorang harus berbohong," kata Poirot. "Ya, pria itu sok menentukan, seperti seorang presiden saja. Apakah kau melihat yang lain lagi, Hastings?" "Apa itu?" "Dia tidak berada di kantornya pada hari Sabtu, jam setengah satu." 7 TRAGEDI NICK adalah orang yang pertama-tama kami jumpai waktu kami tiba di End House malam itu. Ia sedang berjalan kian-kemari dengan ceria, di dalam ruangan besar. Ia mengenakan sehelai kimono besar bergambar naga. "Oh. Anda!" "Mademoiselle, maaf. kami mengganggu!" "Saya mengerti. Maafkan, mungkin kata-kata saya kasar tadi. Soalnya saya sedang menunggu baju saya. Mereka - setan-setan itu - sudah berjanji sungguh-sungguh untuk mengantarnya!" "Oh! Persoalan pakaian rupanya! Malam ini ada acara dansa, rupanya?" "Ya. Kita semua akan meneruskan dengan acara dansa, setelah pesta kembang api. Maksud saya, begitulah rencananya." Suaranya tiba-tiba merendah. Tapi kemudian ia tertawa lagi. "Jangan pernah merendah! Itulah semboyan saya. Jangan pikirkan kesulitan, maka kesulitan itu takkan datang! Malam ini saya sudah memiliki keberanian lagi. Saya akan ceria dan bersenang-senang." Terdengar langkah-langkah orang di tangga. Nick menoleh. "Oh! Ini Maggie. Maggie, ini detektif-detektif yang melindungiku dari penyerangpenyerang rahasia itu. Tolong bawa mereka ke ruang tamu utama, dan mintalah agar mereka menceritakan soal itu padamu." Kami bergantian bersalaman dengan Maggie Buckley, dan sebagaimana diminta oleh Nick, kami diajaknya masuk ke ruang tamu utama. Aku langsung mendapatkan kesan yang baik tentang gadis itu. Kurasa penampilannya yang tenang dan akal sehat yang dimilikinyalah yang paling menarik. Ia seorang gadis pendiam, pantas dalam bergaya dengan cara kuno, dan ia sama sekali tidak cantik. Di wajahnya ia tidak memakai make-up, dan ia mengenakan pakaian malam yang sederhana, yang sudah agak tua. Matanya biru dan membayangkan kejujuran, sedangkan suaranya halus dan menyenangkan. "Nick telah menceritakan hal-hal yang luar biasa," katanya. "Pasti dia telah melebih-lebihkan, ya" Siapa sih yang ingin menyakiti Nick" Tak mungkin dia punya musuh!" Nada suaranya jelas membayangkan rasa tak percaya. Ia melihat pada Poirot dengan pandangan tak menyenangkan. Aku mengerti bahwa bagi gadis seperti Maggie Buckley, orang-orang asing selalu mencurigakan. "Padahal saya bisa memastikan bahwa itu benar, Miss Buckley," kata Poirot dengan tenang. Gadis itu tak menyahut, tapi wajahnya tetap membayangkan rasa tak percaya. "Malam ini Nick kelihatan seperti orang linglung," katanya. "Saya tak tahu ada apa dengannya. Dia kelihatan kacau sekali." Kata linglung itu membuatku merasa bergidik. Lalu sesuatu dalam suaranya pun membuatku jadi ingin tahu. "Apakah Anda orang Skot, Miss Buckley?" tanyaku mendadak. "Ibu saya orang Skot," jelasnya. Kulihat pandangannya terhadap diriku lebih baik daripada terhadap Poirot. Aku jadi merasa bahwa bila aku yang mengemukakan persoalan itu, akan lebih berarti baginya daripada bila Poirot yang melakukannya. "Saudara sepupu Anda itu sangat berani," kataku, "Dia bertekad untuk bersikap seperti biasa." "Memang hanya itu yang bisa dilakukannya, bukan?" kata Maggie. "Maksud saya, bagaimanapun perasaan kita, tak ada gunanya diributkan. Itu hanya akan membuat suasana tak enak bagi orang lain." Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan suara halus, "Saya sayang sekali pada Nick. Dia selalu baik pada saya." Kami tak dapat berkata apa-apa lagi, karena pada saat itu Frederica Rice masuk ke dalam ruangan. Ia mengenakan gaun berwarna biru Madonna, dan ia kelihatan halus dan rapuh sekali. Lazarus segera menyusulnya, lalu Nick masuk dengan ceria. Ia mengenakan gaun hitam, di pundaknya tergantung sehelai syal tua bergaya Cina, yang bagus sekali, warnanya merah cerah berkilat. "Halo, semuanya," katanya. "Mari minum koktail." Kami semua minum. Lazarus mengangkat gelasnya ke arah Nick. "Cantik sekali syal itu, Nick," katanya. "Itu pasti sudah tua, ya?" "Ya, ini oleh-oleh dari kakek buyutku, Timothy, dari perjalanannya." "Cantik - benar-benar cantik. Biar dicari ke mana pun, pasti takkan bisa ditemukan lagi yang seperti itu." "Rasanya pun hangat," kata Nick. "Enak sekali kalau kita nonton pesta kembang api nanti. Apalagi warnanya cerah. Aku... aku benci warna hitam." "Ya," kata Frederica, "selama ini kurasa aku memang tak pernah melihatmu memakai baju hitam, Nick. Mengapa kau memakainya sekarang?" "Entahlah." Gadis itu mengelak dengan gerakan marah, tapi aku sempat melihat sekilas gerakan bibirnya yang membayangkan rasa tersiksa. "Siapa yang tahu mengapa seseorang melakukan sesuatu?" Kami pergi makan malam. Seorang pelayan laki-laki yang misterius muncul. Kurasa ia disewa untuk kesempatan itu. Makanannya biasa-biasa saja. Sebaliknya, sampanyenya enak. "George belum muncul," kata Nick. "Menjengkelkan sekali. Dia harus kembali ke Plymouth kemarin malam. Tapi kurasa dia akan berusaha datang malam ini. Entah kapan, mungkin pada saat acara dansa dimulai, Untuk Maggie sudah kusediakan seorang pasangan. Lumayan untuk ditampilkan, meskipun tidak terlalu menarik." Samar-samar terdengar bunyi deru mesin lewat jendela. "Ah, sialan speedboat itu," kata Lazarus. "Bosan aku mendengarnya." "Itu bukan bunyi speedboat," kata Nick. "Itu pesawat terbang laut." "Kurasa kau benar." "Tentu saja aku benar. Bunyinya lain sekali." "Kapan kau akan membeli pesawat terbangmu, Nick?" "Kalau aku sudah bisa mengumpulkan uangnya," kata Nick sambil tertawa. "Lalu pasti kau akan terbang ke Australia, seperti gadis itu - siapa namanya?" "Ingin sekali memang." "Aku kagum sekali pada gadis itu," kata Mrs. Rice dengan suaranya yang terdengar letih. "Betapa beraninya dia! Seorang diri lagi!" "Aku kagum pada semua penerbang," kata Lazarus. "Kalau saja Michael Seton berhasil dalam penerbangannya keliling dunia, dia pasti akan menjadi pahlawan itu memang pantas. Sayang sekali dia mengalami kecelakaan itu. Inggris sangat rugi kehilangan orang seperti dia." "Mungkin saja dia masih selamat," kata Nick. "Tak mungkin! Kemungkinannya satu berbanding seribu. Kasihan si Seton gila itu." "Ya, orang selalu menyebutnya Seton gila, ya?" kata Frederica. Lazarus mengangguk. "Dia berasal dari suatu keluarga yang agak tak waras," kata Lazarus. "Pamannya, Sir Matthew Seton, yang baru meninggal kira-kira seminggu yang lalu itu, benarbenar gila." "Bukankah dia jutawan gila yang mengelola tempat pelestarian burung itu?" tanya Frederica. "Dia juga pernah membeli pulau-pulau. Dia benci sekali pada wanita. Kurasa dia pernah dikhianati oleh seorang wanita. Dan untuk menghibur diri, dia mempelajari sejarah alam." "Mengapa kaupastikan bahwa Michael Seton meninggal?" Nick berkeras. "Aku masih belum melihat alasan untuk putus harapan." "Oh, ya, kau kenal dia, ya?" kata Lazarus. "Aku lupa." "Aku dan Freddie bertemu dengannya di Le Touquet, tahun lalu," kata Nick. "Dia hebat sekali, bukan, Freddie?" "Jangan tanya padaku, Sayang. Kaulah yang telah memenangkannya, bukan aku. Dia pernah mengajakmu terbang, bukan?" "Ya, di Scarborough. Menyenangkan sekali." "Apakah Anda pernah terbang, Kapten Hastings?" tanya Maggie padaku dengan nada sopan. Aku harus mengakui bahwa penerbangan pulang-pergi ke Paris merupakan satusatunya pengalaman terbang bagiku. Tiba-tiba, sambil berseru, Nick melompat bangkit. "Ada telepon. Jangan tunggu aku. Hari sudah larut. Dan aku telah mengundang banyak orang." Ia meninggalkan ruangan. Aku melihat ke arlojiku. Waktu itu tepat jam sembilan. Orang menghidangkan makanan penutup dan minuman. Poirot dan Lazarus asyik berbincang-bincang tentang seni. Lazarus sedang berkata bahwa lukisan merupakan candu berat di pasaran sekarang. Lalu mereka terus membahas pikiran-pikiran baru mengenai perabot rumah tangga dan dekorasi. Aku menjalankan tugasku dengan mengajak Maggie Buckley bercakap-cakap. Tapi harus kuakui bahwa gadis itu adalah teman bicara yang sulit. Ia menjawab dengan cara yang menyenangkan, tapi ia tak pernah melemparkan bahan pembicaraan baru. Sungguh suatu tugas yang sulit. Frederica Rice duduk diam-diam sambil merenung. Sikunya bertelekan di meja, dan asap rokoknya berputar-putar di sekeliling kepalanya yang berambut pirang. Ia kelihatan seperti bidadari yang sedang bersemedi. Baru jam sembilan lewat dua puluh menit. Nick menjengukkan kepalanya di pintu. "Ayo keluar semua! Orang-orang akan berdatangan berpasang-pasangan." Kami berdiri dengan patuh. Nick sibuk menyambut tamu-tamu yang datang. Kira-kira dua belas orang yang diundangnya. Kebanyakan kurang menarik. Kulihat Nick adalah seorang nyonya rumah yang baik. Sikap hidupnya yang modem disingkirkannya, dan ia menyambut setiap tamu dengan cara kuno. Di antara para tamu kulihat Charles Vyse. Setelah itu, kami semua pindah ke kebun, ke suatu tempat yang menghadap ke laut dan ke pelabuhan. Beberapa buah kursi telah disiapkan di situ untuk orang-orang tua, tapi kebanyakan di antara kami berdiri saja. Kembang api yang pertama menyala di langit. Pada saat itu kudengar suatu suara nyaring yang kukenal, dan waktu aku menoleh, kulihat Nick menyambut Mr. Croft. "Sayang sekali Mrs. Croft tak bisa datang," kata Nick. "Seharusnya kita angkut dia dengan tandu atau sesuatu." "Memang buruk sekali nasib si Mama. Tapi dia tak pernah mengeluh. Wanita itu punya sifat yang manis sekali. Ha! Itu bagus sekali." Waktu itu sebuah kembang api yang merupakan hujan emas nampak di langit. Malam itu gelap - bulan tak ada - tiga hari lagi bulan baru akan muncul. Sebagaimana biasanya musim panas, waktu itu udaranya dingin. Maggie Buckley yang berdiri di sampingku menggigil. "Saya akan masuk mencari mantel," gumamnya. "Biar saya yang mengambilkan." "Jangan, Anda tak tahu tempatnya." Ia berbalik ke arah rumah. Pada saat itu terdengar Frederica Rice berseru, "Oh, Maggie, tolong ambilkan kepunyaanku juga, ya" Ada di dalam kamarku." "Dia tak mendengar," kata Nick. "Biar aku yang mengambilkan, Freddie. Aku akan mengambil mantel buluku juga. Syal ini sama sekali tak cukup hangat. Anginnya keras." Memang angin keras sedang bertiup dari laut. Ada beberapa kembang api yang dinyalakan dari dermaga. Aku terlibat percakapan dengan seorang wanita yang agak tua, yang berdiri di sebelahku, yang dengan gigih memberikan ceramah mengenai hidup, karier, selera, dan kemungkinan berumur panjang. Dor! Hujan bintang-bintang hijau memenuhi langit. Bintang-bintang kecil itu berubah menjadi biru, lalu merah, dan kemudian berwarna perak. Sebuah lagi dan sebuah lagi. "'Oh!' dan 'Ah!' begitulah kata orang-orang," kata Poirot tiba-tiba di dekat telingaku. "Akhirnya jadi membosankan, ya" Huh! Rumputnya membuat kaki dingin! Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bisa-bisa aku menggigil kalau begini. Apalagi tak mungkin bisa mendapatkan minuman hangat." "Menggigil" Pada malam seindah ini?" "Malam yang indah! Malam yang indah! Kau berkata begitu karena kita tidak diguyur hujan malam ini! Bila hujan tidak turun, selalu disebut malam yang indah. Tapi aku yakin, sahabatku, kalau saja ada termometer, baru kau melihat." "Yah," kuakui, "aku tidak keberatan memakai mantel." "Itu namanya akal sehat. Soalnya kau datang dari negeri beriklim panas." "Biar kubawakan sekali kepunyaanmu." Poirot mula-mula mengangkat kakinya sebelah, lalu yang sebelah lagi, bergantian seperti gerakan kucing. "Aku takut kakiku basah. Apa kaupikir kau bisa membawakan sekalian sepatu karet?" Aku menahan senyum. "Tak mungkin bisa," kataku. "Kau kan tahu, Poirot, bahwa orang tidak memakai begituan lagi?" "Kalau begitu, aku akan duduk di dalam rumah saja," katanya. "Mana aku mau masuk angin lalu pilek, gara-gara pertunjukan kembang api Guy Fawkes ini! Bisa-bisa aku sakit radang paru-paru." Kami pun berjalan menuju rumah, Poirot tak henti-hentinya mengomel dengan berbisik. Dari tempat kami berada, masih terdengar tepuk tangan nyaring dari dermaga di bawah, di mana satu set kembang api dipertunjukkan lagi. Waktu itu yang dipertunjukkan adalah suatu rangkaian yang bertulisan SELAMAT DATANG PADA SEMUA TAMU KAMI. "Pada dasarnya, kita ini tetap anak-anak," kata Poirot. "Kita menyukai kembang api, pesta-pesta, permainan-permainan, pesta dansa, ya, bahkan ahli sulap, orang yang pandai menipu mata, betapapun cermat kita memperhatikannya. Yah, untuk apa itu semua?" Pada saat itu, aku menangkap dan mencengkeram lengannya dengan sebelah tanganku, sedangkan dengan tangan yang sebelah lagi aku menunjuk. Kami berada dalam jarak hampir seratus meter dari rumah, dan tepat di depan kami, di antara kami dan pintu yang terbuka, terbaring suatu sosok dalam keadaan meringkuk, terbungkus syal Cina berwarna merah hati.... "Mon Dieu!"* (*Tuhanku!) bisik Poirot. "Mon Dieu." 8 SYAL KEMATIAN KURASA tak lebih dari empat puluh detik kami berdiri di situ, membeku karena ngeri, tanpa bisa bergerak. Tapi rasanya satu jam. Lalu, sambil menepiskan tanganku, Poirot bergerak maju. Gerakannya kaku seperti robot. "Terjadi juga rupanya," gumamnya. Sulit rasanya aku menggambarkan kegetiran bercampur kesedihan dalam suaranya. "Meskipun kita telah melakukan segalagalanya, meskipun kita telah begitu waspada, terjadi juga! Ah! Alangkah jahat dan tololnya aku! Mengapa aku tidak mengawalnya dengan lebih ketat! Seharusnya aku sudah tahu ini akan terjadi - aku seharusnya sudah tahu. Sebenarnya tak sedetik pun aku boleh meninggalkannya!" "Jangan salahkan dirimu," kataku. Lidahku terasa kaku, dan sulit rasanya aku mengucapkan kata-kata. Poirot hanya menjawab dengan menggeleng. Ia berlutut di dekat korban. Pada saat itulah kami mengalami shock untuk kedua kalinya. Karena pada saat itu suara Nick melengking dengan jelas dan ceria, dan sebentar kemudian Nick sendiri muncul di ambang pintu yang berbentuk segi empat. Ia berdiri menghalangi sinar lampu yang bersinar dari ruangan di belakangnya. "Maaf, aku terlalu lama, Maggie," katanya. "Soalnya..." Suaranya terputus. Ia terbelalak melihat pemandangan di hadapannya. Sambil memekik tajam, Poirot membalikkan mayat yang terbaring di halaman itu. Aku pun maju mendekat untuk melihat lebih jelas. Yang kulihat adalah wajah Maggie Buckley yang sudah meninggal. Sesaat kemudian, Nick sudah berada di sisi kami. Ia berteriak, "Maggie - oh! Maggie - tidak - tak mungkin...." Poirot masih memeriksa tubuh gadis itu. Akhirnya ia bangkit perlahan-lahan sekali. "Apakah... apakah dia...," suara Nick terputus. "Ya, Mademoiselle. Dia sudah meninggal." "Tapi mengapa" Mengapa" Siapa yang ingin membunuhnya?" Poirot menjawab dengan cepat dan tegas, "Bukan dia yang ingin dibunuh orang, Mademoiselle! Andalah yang ingin mereka bunuh! Mereka kelim gara-gara syal itu." Nick berteriak nyaring. "Mengapa bukan aku?" ratapnya. "Oh! Mengapa bukan aku saja" Lebih baik aku yang mati sekarang. Aku tak ingin hidup. Aku... aku ingin sekali... aku rela... mati." Ia mengangkat kedua belah tangannya tanpa kendali, agak terhuyung. Aku cepatcepat melingkarkan lenganku ke tubuhnya, untuk menopangnya. "Bawa dia masuk ke rumah, Hastings," kata Poirot. "Lalu telepon polisi." "Polisi?" "Mais oui! Katakan pada mereka bahwa ada seseorang yang tertembak. Setelah itu, kau harus tetap berada di dekat Mademoiselle Nick. Jangan sekali-kali meninggalkan dia!" Aku mengangguk, menyatakan bahwa aku mengerti instruksi-instruksi itu. Dan sambil menopang gadis yang setengah pingsan itu, aku masuk melalui pintu ruang tamu utama. Di sana gadis itu kubaringkan di sofa, kepalanya kusangga dengan sebuah bantal kursi. Lalu aku bergegas keluar ke lorong rumah, untuk mencari pesawat telepon. Aku terkejut sekali, karena aku hampir bertabrakan dengan Ellen. Ia sedang berdiri dengan air muka yang aneh sekali pada wajahnya yang lemah. Matanya berkilat, dan ia membasahi bibirnya dengan lidah. Tangannya gemetar karena merasa kacau. Begitu melihatku, ia berkata, "Apakah telah terjadi sesuatu, Sir?" "Ada kecelakaan," kataku mengelak. "Ada yang luka. Saya harus menelepon." "Siapa yang luka, Sir?" Wajahnya tampak penuh rasa ingin tahu. "Miss Buckley. Miss Maggie Buckley." "Miss Maggie" Miss Maggie" Yakinkah Anda, Sir" Maksud saya, yakinkah Anda bahwa... bahwa dia Miss Maggie?" "Saya yakin sekali. Mengapa?" "Oh! Tak apa-apa. Sa... saya pikir, mungkin salah seorang tamu wanita yang lain. Saya pikir mungkin... Mrs. Rice." "Sudahlah," kataku. "Mana telepon?" "Di kamar kecil, di sini, Sir." Dibukanya pintu kamar itu, lalu ditunjukkannya pesawat itu. "Terima kasih," kataku. Dan karena kelihatannya ia berniat untuk berlama-lama, kutambahkan, "Hanya itu saja. Terima kasih." "Bila Anda memerlukan Dr. Graham..." "Tidak, tidak," kataku. "Itu saja. Pergilah." Ia mengundurkan diri dengan enggan dan lambat-lambat sekali. Mungkin saja ia memasang telinga di luar pintu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Bagaimanapun juga, sebentar lagi ia pasti tahu semua yang ingin diketahuinya. Aku dihubungkan dengan kantor polisi, dan aku pun menyampaikan laporanku. Kemudian, atas inisiatifku sendiri, aku menelepon Dr. Graham yang disebut Ellen tadi. Nomor teleponnya kutemukan di dalam buku. Soalnya, kupikir Nick kelihatannya memerlukan perawatan, meskipun dokter sudah tak bisa berbuat apaapa lagi untuk gadis yang terbaring di luar sana. Ia berjanji akan segera datang. Kugantungkan kembali alat penerima telepon, lalu keluar ke lorong rumah lagi. Kalaupun Ellen tadi memasang telinga di luar pintu, ia telah berhasil menghilang dengan cepat. Tak ada seorang pun yang kelihatan waktu aku keluar. Aku kembali ke ruang tamu utama. Nick sedang mencoba duduk. "Bisakah... Anda... menolong mengambilkan brendi?" "Tentu." Aku cepat-cepat pergi ke ruang makan. Setelah menemukan apa-apa yang kuperlukan, aku cepat-cepat kembali. Setelah minum brendi beberapa teguk, tenaga gadis itu tampak pulih kembali. Pipinya mulai memerah. Kuperbaiki letak bantal di bawah kepalanya. "Semuanya... mengerikan sekali." Ia gemetar. "Segala-galanya... dan di manamana." "Saya tahu itu, Anak manis. Saya tahu." "Tidak, Anda tak tahu! Tak mungkin Anda tahu! Semuanya sia-sia. Kalau saja saya yang menjadi korban, segala-galanya akan beres...." "Jangan," kataku. "Anda tak boleh berpikiran begitu." Ia hanya menggeleng, dan terus berkata, "Anda tak tahu! Anda tak tahu!" Lalu tiba-tiba ia menangis terisak perlahan-lahan, seperti anak kecil. Kurasa itulah yang terbaik untuknya, jadi aku tak berusaha menahan air matanya. Waktu tangisnya yang sedih itu sudah mulai reda, aku perlahan-lahan menyeberang ke jendela dan melihat ke luar. Beberapa menit sebelumnya, aku telah mendengar suara orang-orang berteriak. Kini semua orang sudah berada di tempat itu. Mereka membentuk setengah lingkaran di sekeliling tempat peristiwa menyedihkan itu terjadi, sedangkan Poirot yang bertindak sebagai pengawal yang baik, menahan mereka. Sementara aku memperhatikan mereka itu, tampak dua orang berseragam datang dengan langkah-langkah tegap, menyeberangi rumput. Polisi telah tiba. Diam-diam aku kembali ke tempatku di dekat sofa. Nick mengangkat wajahnya yang berbekas air mata. "Apakah saya harus berbuat sesuatu?" "Jangan, Anak manis. Poirot akan mengurus segala-galanya. Serahkan saja padanya." Nick diam beberapa saat, lalu berkata, "Kasihan Maggie. Kasihan Maggie tersayang. Dia begitu baik, tak pernah merugikan siapa pun juga selama hidupnya. Mengapa ini harus terjadi atas dirinya" Saya merasa seolah-olah sayalah yang telah membunuhnya, karena sayalah yang membawanya kemari." Aku menggeleng dengan sedih. Manusia memang tak mampu melihat masa depan. Waktu Poirot menganjurkan agar Nick mengundang seorang teman, ia sama sekali tidak menyadari bahwa dengan demikian ia telah menandatangani surat perintah kematian bagi seorang gadis. Kami duduk tanpa berkata apa-apa. Aku ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi di luar, tapi dengan setia aku memenuhi perintah Poirot, dan bertahan di tempat tugasku. Rasanya berjam-jam kemudian pintu baru terbuka. Poirot masuk, diikuti oleh seorang inspektur polisi. Mereka disertai pula oleh seorang pria, yang ternyata Dr. Graham. Ia segera mendatangi Nick. "Bagaimana perasaan Anda, Miss Buckley" Ini pasti merupakan shock hebat bagi Anda." Ia meraba nadi Nick. "Tidak terlalu jelek." Ia menoleh padaku. "Apakah dia sudah diberi sesuatu?" "Brendi sedikit," sahutku. "Saya tak apa-apa," kata Nick dengan berani. "Bisa menjawab beberapa pertanyaan?" "Bisa." Inspektur Polisi maju mendekat, dengan mendehem terlebih dahulu. Nick mengangguk padanya dengan senyum dipaksakan. "Kali ini bukan perkara pelanggaran lalu lintas, bukan?" kata gadis itu. Agaknya kedua orang itu sudah pernah berurusan sebelumnya. "Ini urusan yang mengerikan, Miss Buckley," kata inspektur itu. "Saya ikut prihatin. Saya sudah mendapat keterangan dari Mr. Poirot, yang namanya sudah tak asing lagi bagi kita - dan kita tentu bangga dia berada di tengah-tengah kita sekarang - bahwa menurut dia, Anda juga sudah ditembak orang di halaman Hotel Majestic kemarin pagi?" Nick mengangguk. "Saya pikir itu hanya seekor lebah," kata Nick menjelaskan. "Tapi rupanya bukan." "Dan Anda telah mengalami beberapa kecelakaan aneh sebelum itu?" "Ya. Paling tidak, aneh rasanya bahwa kecelakaan-kecelakaan itu terjadi dalam jangka waktu yang begitu berdekatan." Nick bercerita dengan ringkas mengenai beberapa peristiwa. "Begitu rupanya. Lalu mengapa saudara sepupu Anda itu sampai mengenakan syal Anda malam ini?" "Kami masuk untuk mengambil mantelnya. Udara agak dingin saat nonton pertunjukan kembang api di luar itu. Syal saya itu saya lemparkan saja di sofa ini. Lalu saya naik ke lantai atas, dan mengenakan mantel yang saya pakai ini - mantel dari bahan yang ringan. Saya juga mengambil mantel untuk teman saya, Mrs. Rice, dari kamarnya. Itu mantelnya, di lantai di dekat jendela itu. Lalu Maggie berseru bahwa dia tak bisa menemukan mantelnya. Saya katakan bahwa mantel itu pasti ada di lantai bawah. Dia turun, lalu berseru lagi bahwa dia masih belum berhasil menemukannya. Saya katakan, mungkin ketinggalan di dalam mobil. Yang dicarinya itu mantel dari bahan triko - dia tidak memiliki mantel dari kulit hewan untuk malam hari. Saya katakan bahwa saya akan meminjaminya kepunyaan saya. Tapi katanya tak usah, dia akan memakai syal saya saja, kalau saya tak memerlukannya. Kata saya boleh saja, tapi apakah itu cukup" Dan katanya tak apa-apa, karena dia tidak terlalu kedinginan. Dia sudah terbiasa dengan udara dingin di Yorkshire. Asal ada sesuatu saja untuk melindungi dirinya. Kata saya, baiklah, sebentar lagi saya keluar. Dan waktu saya keluar..." Ia terhenti, suaranya terputus. "Jangan sedih, Miss Buckley. Tolong katakan saja, apakah Anda mendengar suatu suara tembakan - atau dua mungkin?" Nick menggeleng. "Tidak. Saya hanya mendengar suara kembang api dan letusan petasan." "Hanya itu saja?" tanya Inspektur. "Yah, kita memang tak bisa mengenali suara tembakan dalam segala macam keriuhan itu. Saya rasa tak ada gunanya menanyakan pada Anda, kalau-kalau Anda punya petunjuk mengenai siapa yang mengadakan serangan-serangan terhadap Anda itu?" "Saya sama sekali tak tahu," sahut Nick. "Saya tak bisa membayangkan." "Memang tak mungkin Anda tahu," kata inspektur polisi itu. "Sepanjang penglihatan saya, itu perbuatan seorang gila yang jahat. Runyam sekali urusan ini. Nah, saya tak perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi malam ini, Miss, Saya prihatin sekali dengan segala kejadian ini." Dr. Graham maju ke depan. "Saya anjurkan supaya Anda tidak tinggal di sini, Miss Buckley. Saya sudah membicarakan hal itu dengan M. Poirot. Saya tahu ada sebuah rumah perawatan yang baik sekali. Anda baru saja mengalami shock. Yang Anda butuhkan adalah istirahat total...." Nick tidak melihat padanya. Matanya tertuju pada Poirot. "Apakah benar... karena shock itu?" tanyanya. Poirot mendekatinya. "Saya ingin Anda merasa aman, mon enfant. Dan saya sendiri juga ingin merasa yakin bahwa Anda aman. Di sana akan ada seorang perawat - seorang perawat yang praktis dan rendah hati. Dia akan berada di dekat Anda sepanjang malam. Bila Anda terbangun dan berteriak, dia akan siap siaga. Mengertikah Anda?" "Ya," kata Nick. "Saya mengerti. Tapi Anda yang tidak mengerti. Saya tak takut lagi. Saya tak peduli apa-apa lagi. Kalau ada orang yang ingin membunuh saya, biar saja." "Ssst, sst," kataku. "Anda sedang tegang." "Kalian semua tak tahu. Tak ada di antara kalian yang mengerti!" "Saya rasa, rencana M. Poirot bagus sekali," sela Dokter, membujuknya. "Saya akan mengantar Anda naik mobil saya. Dan Anda akan saya beri sesuatu, supaya Anda benar-benar bisa beristirahat malam ini. Nah, bagaimana?" "Saya tak keberatan," kata Nick. "Berbuatlah seperti yang kalian sukai. Saya tak peduli." Poirot meletakkan tangannya di atas tangan Nick. "Saya mengerti, Mademoiselle. Saya tahu bagaimana perasaan Anda. Saya berdiri di hadapan Anda ini dengan perasaan malu dan tegang di hati. Saya yang telah menjanjikan perlindungan, tidak berhasil melindungi. Saya telah gagal. Saya ini tak becus. Tapi percayalah, Mademoiselle, hati saya tersiksa gara-gara kegagalan itu. Bila Anda tahu betapa penderitaan saya, saya yakin Anda mau memaafkan saya." "Tak apa-apa," kata Nick, tetap dengan suara tak bersemangat. "Anda tak perlu menyalahkan diri sendiri. Saya yakin Anda telah berusaha keras. Tak seorang pun bisa mencegahnya - atau berbuat lebih banyak, saya yakin itu. Janganlah Anda jadi sedih." "Anda baik hati, Mademoiselle." "Tidak, saya..." Pada saat itu timbul suatu gangguan. Pintu terbuka lebar-lebar, dan George Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Challenger bergegas masuk. "Ada apa ini?" pekiknya. "Saya baru saja tiba. Saya dapati seorang polisi di pintu pagar, dan saya dengar desas-desus bahwa ada seseorang yang meninggal. Ada apa sebenarnya" Apakah... adakah sesuatu yang terjadi atas diri Nick?" Ketakutan yang terdengar dari suaranya terasa mengerikan. Tiba-tiba baru kusadari bahwa Poirot dan dokter itu membuat kehadiran Nick jadi sama sekali tak kelihatan. Sebelum ada orang yang sempat menjawab, Challenger mengulangi pertanyaannya. "Tolong katakan - katakan bahwa itu tak benar - katakan bahwa Nick tidak mati." "Tidak, mon ami," kata Poirot dengan halus. "Dia masih hidup." Lalu ia menyingkir, hingga Challenger bisa melihat sosok kecil yang terbaring di sofa. Beberapa saat lamanya Challenger hanya menatap gadis itu dengan pandangan tak percaya. Kemudian, sambil berjalan terhuyung seperti orang mabuk, ia berkata dengan gagap, "Nick... Nick." Lalu dijatuhkannya dirinya di sisi sofa, dan sambil menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya, ia meratap dengan suara tertahan, "Nick - kekasihku kusangka kau sudah meninggal." Nick mencoba duduk. "Aku tak apa-apa, George. Jangan bodoh. Aku selamat." George mengangkat kepalanya, lalu melihat ke sekelilingnya dengan heran. "Tapi ada seseorang yang meninggal, bukan" Polisi itu berkata begitu." "Ya," kata Nick. "Maggie. Maggie yang malang. Oh...!" Wajah Nick mengernyit karena kejang. Dokter dan Poirot mendekatinya lagi. Graham membantunya berdiri. Berdua dengan Poirot ia mengapit Nick dan menuntunnya keluar dari kamar itu. "Makin cepat Anda pergi tidur, lebih baik," kata dokter itu. "Saya akan segera membawa Anda pergi dengan mobil saya. Saya sudah meminta bantuan Mrs. Rice untuk menyiapkan beberapa lembar pakaian untuk Anda bawa." Mereka menghilang melalui pintu. Challenger mencengkeram lenganku. "Saya tak mengerti. Akan mereka bawa ke mana dia?" Kuberikan penjelasan padanya. "Oh, begitu. Nah. Kapten Hastings, sekarang demi Tuhan, tolong ceritakan semuanya pada saya. Mengerikan sekali tragedi ini! Kasihan gadis itu." "Mari kita minum," kataku. "Anda kacau sekali." "Saya tak peduli." Kami pergi ke ruang makan. "Tahukah Anda," katanya, setelah ia meneguk wiski soda yang keras, "saya pikir itu Nick." Perasaan Komandan George Challenger sama sekali tak perlu diragukan lagi. Rasa cintanya pada gadis itu begitu jelas. 9 A SAMPAI J AKU tak yakin apakah aku akan bisa melupakan peristiwa malam berikutnya. Poirot menjadi korban dari siksaan batin yang disebabkan oleh rasa bersalahnya, hingga aku ketakutan melihatnya. Tak henti-hentinya ia berjalan hilir-mudik di dalam kamar, sambil mengutuki dirinya sendiri, dan sama sekali tak mau mendengarkan sanggahan-sanggahanku yang tulus. "Apa gunanya aku suka memuji-muji diriku sendiri" Aku sedang menjalani hukuman ya, aku sedang dihukum. Aku, Hercule Poirot, selama ini aku terlalu yakin akan kemampuan diriku." "Tidak-tidak," bantahku. "Tapi siapa yang bisa membayangkan - siapa yang bisa membayangkan kekurangajaran yang tak ada taranya itu" Kupikir aku telah mengambil semua langkah pencegahan. Si pembunuh telah kuberi peringatan." "Memberi peringatan pada pembunuh?" "Mais oui. Aku telah menarik perhatian orang pada diriku sendiri. Sudah kuperlihatkan padanya bahwa aku mencurigai... seseorang. Aku telah membuatnya merasa betapa akan berbahaya baginya bila dia mengulangi percobaan pembunuhannya - setidaknya begitulah pikirku. Telah kupasang barisan pengawalan di sekeliling Mademoiselle. Tapi pembunuh itu menyelinap melalui pengawalan itu! Dengan nekat boleh dikatakan di hadapan mata kita sendiri, dia menyelinap melaluinya! Padahal kita semua ada - -padahal semua orang waspada. Dia berhasil juga mendapatkan korbannya." "Tapi itu bukan korban yang diinginkannya," aku mengingatkan. "Itu hanya kebetulan saja! Dan menurutku, itu sama saja. Nyawa seseorang telah hilang, Hastings. Nyawa siapa yang tak penting?" "Tentu," kataku, "bukan begitu maksudku." "Tapi sebaliknya apa yang kaukatakan itu benar. Dan itu membuat keadaan bertambah buruk - sepuluh kali lebih buruk. Karena si pembunuh masih belum mendapatkan korban yang diincarnya, kedudukannya jadi berubah - jadi makin memburuk. Mengertikah kau, sahabatku" Karena itu berarti tidak hanya satu nyawa melainkan dua nyawa - yang akan menjadi korban." "Itu takkan terjadi selama kau masih berada di tempat," kataku dengan berani. Poirot berhenti, lalu meremas tanganku. "Merci,* mon ami! Merci! (*terima kasih) Kau masih menaruh kepercayaan pada orang tua ini - kau masih percaya. Kau telah memberiku semangat baru. Hercule Poirot takkan gagal lagi. Takkan ada lagi nyawa yang hilang. Aku akan menebus kesalahanku, karena kau tentu maklum, kesalahan pasti ada! Pasti telah terjadi kekurangan siasat dan kekeliruan cara kerja pada jalan pikiranku yang biasanya begitu terencana dengan baik. Aku akan mulai lagi. Ya, aku akan mulai dari awal. Dan kali ini aku tidak akan gagal." "Jadi, kau benar-benar yakin bahwa nyawa Nick Buckley masih terancam bahaya?" tanyaku. "Sahabatku, tak ada alasan lain aku mengirimnya ke rumah perawatan itu." "Rupanya bukan karena shock?" "Shock" Bah! Orang bisa saja pulih dari shock di rumahnya sendiri. Tak perlu di sebuah rumah perawatan. Dalam beberapa hal, bahkan lebih baik di rumah sendiri. Di sana keadaannya tak menyenangkan. Lantainya dari linolium berwarna hijau, percakapan antara para perawat, makanan di nampan, dan mandi yang tak sudahsudahnya. Tidak, dia kukirim ke sana bukan untuk kesenangan, melainkan demi keamanan semata-mata. Kepada dokter telah kuceritakan semua hal itu. Dan dokter sependapat denganku. Dia akan mengatur segala-galanya. Tak seorang pun, mon ami, akan diizinkan menemui Miss Buckley, bahkan sahabatnya yang terdekat pun tidak. Hanya kau dan aku yang diperbolehkan. Untuk orang-orang lain - yah! Orang-orang itu akan diberitahu bahwa larangan itu adalah atas 'perintah dokter'. Ungkapan yang sangat memberikan kemudahan dan tak bisa dibantah." "Ya," kataku. "Hanya..." "Hanya apa, Hastings?" "Keadaan itu tak bisa terus-menerus." "Suatu pengamatan yang tajam. Setidaknya, hal itu memberi kita ruang bernapas yang lebih luas. Dan kau tentu menyadari bahwa sifat operasi kita sudah berubah." "Berubah bagaimana?" "Tugas kita yang pertama adalah menjamin keselamatan Mademoiselle. Sekarang tugas kita jadi jauh lebih sederhana, karena merupakan tugas yang sudah sangat kita kenal, yaitu tak lebih dan tak kurang, melacak seorang pembunuh." "Kausebut itu lebih sederhana?" "Jelas itu lebih sederhana. Sebagaimana telah kukatakan kemarin, si pembunuh telah menandatangani namanya atas kejahatan itu. Dia telah keluar ke tempat terbuka." "Apa kaupikir...," aku ragu sebentar, lalu kulanjutkan, "kau kan tidak merasa bahwa polisi benar" Bahwa ini adalah perbuatan seorang gila. seorang gelandangan gila dengan kesukaan membunuh?" "Aku yakin sekali bahwa bukan begitu perkaranya." "Jadi kau benar-benar yakin bahwa..." Aku berhenti. Poirot menyudahi kalimatku. Ia berbicara dengan serius sekali. "Bahwa si pembunuh adalah salah seorang dalam lingkungan Mademoiselle sendiri" Benar, mon ami, aku yakin akan hal itu." "Tapi kejadian semalam pasti telah menghapuskan kemungkinan itu. Soalnya kita semua bersama-sama, dan..." Ia memotong kata-kataku. "Apakah kau bisa bersumpah, Hastings, bahwa tak ada seorang pun yang pernah meninggalkan kelompok kecil kita barang sesaat pun, waktu kita berada di atas batu karang itu" Apa kau bisa bersumpah bahwa setiap orang berada di tempat itu sepanjang waktu?" "Tidak," kataku lambat-lambat. Aku terkesan oleh kata-katanya, "Kurasa tak bisa. Malam itu gelap, dan kita boleh dikatakan berpindah-pindah terus kian-kemari. Pada kesempatan berbeda-beda, aku melihat Mrs. Rice, Lazarus, kau, Croft, Vyse tapi tidak sepanjang waktu." Poirot mengangguk. "Tepat. Pembunuhan itu hanya makan waktu beberapa menit. Kedua gadis itu masuk ke rumah. Si pembunuh menyelinap pergi tanpa diketahui siapa-siapa, bersembunyi di balik pohon sycamore, di tengah-tengah halaman berumput itu. Kemudian Nick Buckley, begitu sangkanya, keluar lagi dari rumah, melewatinya hanya dalam jarak beberapa meter, dan dia pun melepaskan tiga kali tembakan cepat berturut-turut." "Tiga?" selaku. "Ya, kali ini dia tak mau mengambil risiko. Kami menemukan tiga peluru di dalam tubuhnya." "Itu ada pula risikonya, bukan?" "Mungkin. Tapi risikonya kurang besar daripada satu tembakan saja. Sebuah pistol Mauser tidak keras suaranya. Letusannya kurang-lebih sama dengan letupan kembang api, dan malam itu suaranya terbaur sempurna dengan keributan kembang api." "Apa kalian menemukan pistolnya?" tanyaku. "Tidak. Nah, kupikir di situlah letak bukti yang tak bisa dibantah, bahwa itu bukan perbuatan orang tak dikenal. Bukankah kita sudah sependapat bahwa pistol Miss Buckley sendiri sudah diambil orang, terutama hanya dengan satu alasan supaya kematiannya diduga bunuh diri." "Ya." "Itu satu-satunya alasan yang jelas ada, bukan" Tapi kini kaulihat, tak ada tanda-tanda bunuh diri. Si pembunuh tahu bahwa kita tak bisa lagi ditipu begitu. Sebenarnya dia bahkan sudah tahu bahwa kita sudah mencium kejahatannya!" Aku berpikir, dan mengakui bahwa uraian Poirot itu masuk akal. "Menurutmu, pistol itu diapakan?" Poirot mengangkat bahu. "Itu sulit dikatakan. Tapi bukankah laut dekat sekali" Dengan melemparkannya kuat-kuat, pistol itu akan tenggelam, dan takkan pernah bisa ditemukan kembali. Kita tentu tak bisa yakin benar, tapi aku sendiri akan berbuat demikian." Nada bicaranya yang begitu bersungguh-sungguh membuatku bergidik. "Apakah... apakah kaupikir dia menyadari bahwa dia telah keliru membunuh orang?" "Aku yakin dia tidak menyadarinya," kata Poirot dengan tegas. "Ya, itu pasti merupakan kejutan tak menyenangkan baginya, waktu dia tahu keadaan sebenarnya. Tidaklah mudah baginya untuk tidak mengubah air mukanya agar tidak mengkhianati dirinya sendiri." Pada saat itu aku teringat akan sikap aneh Ellen, si pelayan. Tindak-tanduknya yang aneh itu kuceritakan pada Poirot. Ia sangat tertarik. "Dia menyatakan sangat terkejut bahwa Maggie yang meninggal, bukan?" "Terkejut sekali." "Itu aneh. Padahal, kenyataan bahwa suatu tragedi telah terjadi tidak membuatnya heran. Ya, ada sesuatu yang harus diselidiki dalam hal itu. Siapa sebenarnya si Ellen itu" Begitu tenang dan begitu anggun dalam bersikap sebagai orang Inggris sejati. Mungkinkah dia yang...?" kata-katanya terputus. "Kalau kau juga melibatkan kecelakaan-kecelakaan itu," kataku, "pasti hanya seorang laki-lakilah yang bisa menggulingkan batu besar yang berat itu dari bukit karang." "Tak perlu begitu. Itu cuma masalah tenaga pengungkit. O, ya! Itu bisa saja terjadi." Ia terus saja berjalan hilir-mudik perlahan-lahan di dalam kamar. "Semua orang yang berada di End House kemarin malam harus kita curigai. Tapi tamu-tamu yang lain tidak. Kurasa bukan salah seorang di antara mereka. Kurasa mereka hanya kenalan biasa saja. Tak ada hubungan akrab antara mereka dan nyonya rumah yang muda itu." "Charles Vyse ada juga di situ," kataku. "O, ya, kita tak boleh melupakan dia. Logisnya, dialah orang yang paling kita curigai." Ia menggoyang-goyang lengannya dengan sikap putus asa, lalu mengempaskan diri di kursi di seberangku. "Voila, selalu saja kita harus kembali pada soal yang sama! Motif! Kita harus menemukan motifnya kalau ingin memahami kejahatan ini. Dan di situlah aku berulang kali gagal, Hastings. Siapakah yang mungkin punya motif untuk membinasakan Mademoiselle Nick" Aku telah membiarkan diriku membuat pengandaian yang bukan-bukan. Aku, Hercule Poirot, telah menggambarkan bayangan yang paling keji. Aku telah berpikir dengan mental seorang murahan, yang menyukai sesuatu yang mendebarkan. Sang kakek - Old Nick yang dianggap telah menghabiskan uangnya di meja judi. Benarkah dia berbuat begitu" tanyaku pada diri sendiri. Atau tidakkah dia, sebaliknya, menyembunyikan uangnya itu" Apakah uang itu tersembunyi di suatu tempat di End House" Terkubur dalam tanah, di suatu tempat" Dengan berpegang pada kemungkinan itulah kutanyai Mademoiselle Nick, apakah ada orang yang menyatakan keinginannya untuk membeli rumah itu. Sebenarnya aku malu harus mengakui hal itu." "Tahukah kau, Poirot," kataku, "gagasan itu merupakan gagasan cemerlang di mataku. Mungkin ada sesuatu di situ." Poirot menggeram. "Bisa dikatakan begitu! Aku tahu bahwa gagasan seperti itu akan menarik bagimu yang berpikiran romantis, tapi agak kurang berarti. Harta terpendam - ya, kau pasti menyukai gagasan seperti itu." "Yah, mengapa tidak." "Karena, sahabatku, makin biasa-biasa saja suatu penjelasan, makin besar kemungkinannya. Kemudian mengenai ayah Mademoiselle - aku telah membayangkan gagasan yang lebih rendah lagi mengenai dia. Dia seseorang yang banyak bepergian. Andaikan - kataku sendiri - andaikan dia telah mencuri sebuah permata mata sebuah patung umpamanya, pendeta-pendeta yang sakit hati lalu mencari jejaknya. Ya, aku, Hercule Poirot, telah merendahkan dirinya sampai pada titik serendah itu. "Aku juga punya bayangan lain lagi mengenai ayahnya itu," lanjutnya. "Suatu gagasan yang lebih terhormat dan lebih masuk akal. Apakah tak mungkin dalam melanglang buana itu dia menikah untuk kedua kalinya" Dengan demikian, ada seorang ahli waris yang lebih dekat daripada Charles Vyse. Tapi lagi-lagi hal itu tidak menjelaskan apa-apa, karena kita dihadapkan pada kesulitan yang sama, yaitu bahwa tak ada satu pun barang berharga yang diwariskan. "Tak ada satu pun kemungkinan kuabaikan. Bahkan pernyataan Mademoiselle Nick sambil lalu mengenai tawaran dari M. Lazarus itu. Ingatkah kau" Tawaran untuk membeli lukisan kakeknya itu" Pada hari Sabtu yang lalu, aku mengirim telegram pada seorang ahli, memintanya datang untuk memeriksa lukisan itu. Dialah pria yang kuceritakan dalam suratku pada Mademoiselle tadi pagi. Seandainya lukisan itu bernilai beberapa ribu pound umpamanya?" "Masa seorang pria muda yang kaya seperti Lazarus...?" "Apakah dia memang kaya" Penampilan saja tidak menjamin. Bahkan suam perusahaan yang sudah mantap dengan ruang pameran yang mentereng dan segala macam penampilan yang menunjukkan kekayaannya sekalipun, mungkin saja bertumpu pada dasar yang busuk. Lalu apa yang dilakukan orang itu" Apakah dalam hal itu orang itu lalu harus kian-kemari memekikkan betapa sulitnya keadaan" Tidak, orang itu bahkan membeli sebuah mobil baru yang mewah. Orang itu lalu membelanjakan uang agak lebih banyak daripada biasanya, dan hidup dengan agak berlebihan. Karena kau tentu tahu, gengsi itu penting sekali! Tapi adakalanya sebuah perusahaan besar hancur sama sekali, hingga yang tertinggal tak lebih dari beberapa ribu pound uang tunai. "Oh, aku tahu!" lanjutnya, sebelum aku sempat menyatakan protesku. "Itu terlalu dicari-cari, tapi perumpamaan itu lebih baik daripada pendeta yang mendendam atau harta terpendam. Bagaimanapun juga, hal semacam itu biasa terjadi. Dan kita tak bisa mengabaikan apa pun juga - apa pun juga yang bisa lebih mendekatkan kita pada kebenaran." Dengan berhati-hati, diperbaikinya letak barang-barang di atas meja di hadapannya. Waktu ia berbicara lagi, suaranya terdengar berat dan tenang. "Motif!" katanya. "Marilah kita kembali ke situ, dan memikirkan hal itu dengan tenang dan metodis. Pertama-tama, ada berapa macam motifkah dalam pembunuhan ini" Motif yang manakah yang mendorong orang untuk tak segan mencabut nyawa seorang manusia lain" "Untuk sekarang, kita singkirkan kemungkinan penyakit suka membunuh, karena aku benar-benar yakin bahwa penyelesaian masalah kita bukan di situ letaknya. Kita singkirkan pula kemungkinan pembunuhan yang dilakukan atas dorongan perasaan yang timbul seketika, berdasarkan dorongan hati karena kemarahan yang tak Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terkendalikan. Ini merupakan pembunuhan berdarah dingin yang direncanakan. Kalau begitu, apakah motif-motif yang mendorong pembunuhan itu" "Pertama-tama adalah keuntungan. Siapakah yang akan mendapatkan keuntungan dengan kematian Mademoiselle Buckley" Baik secara langsung maupun tak langsung" Yah, kita bisa mencatat Charles Vyse. Dia akan mewarisi harta, yang kalau ditinjau secara finansial, mungkin bukan merupakan warisan yang menguntungkan. Mungkin dia harus melunasi dulu utang yang menjaminkan rumah itu, lalu membangun vila-vila kecil di tanah itu, dan dengan demikian baru bisa mendapatkan keuntungan sedikit. Itu mungkin. Mungkin pula tempat itu sesuatu yang berharga baginya karena dia amat mencintainya - bila rumah itu merupakan rumah keluarga, umpamanya. Tak dapat diragukan bahwa itu merupakan insting yang tertanam dalam sekali pada diri beberapa manusia. Dan dalam beberapa perkara yang kuketahui, itu bisa menjadi penyebab kejahatan. Tapi aku tak bisa melihat motif semacam itu pada diri M. Vyse. "Ada seorang lain lagi yang akan mendapat keuntungan dari kematian Mademoiselle Buckley, yaitu sahabat karibnya, Madame Rice. Tapi jumlahnya jelas kecil sekali. Sepanjang pengetahuanku, tak ada lagi orang yang mendapat keuntungan dari kematian Mademoiselle Buckley. "Apakah motif yang lain" Rasa benci - atau cinta yang telah berubah menjadi kebencian, yang biasa disebut crime passionnel - kejahatan karena nafsu. Nah, dalam hal ini, kita perhatikan kata-kata Madame Croft yang tajam pengamatannya. Dikatakannya bahwa baik Charles Vyse maupun Komandan Challenger kedua-duanya mencintai wanita muda itu." "Kurasa kita sendiri pun sudah meninjau soal itu," kataku dengan tersenyum. "Ya, pelaut yang jujur itu agaknya tak bisa menyembunyikan rasa cintanya. Mengenai pria yang seorang lagi, kita harus mengandalkan ucapan Madame Croft. Nah, bila Charles Vyse merasa disingkirkan, apakah dia akan demikian terpukulnya, hingga merasa lebih baik membunuh saudara sepupunya daripada membiarkannya menjadi istri pria lain?" "Kedengarannya terlalu melodramatis," kataku ragu. "Kau sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu kedengarannya tak sesuai dengan sifat orang Inggris sejati. Aku sependapat. Tapi orang Inggris juga punya emosi, bukan" Dan laki-laki seperti Charles Vyse itu mungkin sekali mau berbuat demikian. Dia seorang anak muda yang tertutup. Dia tak mudah memperlihatkan perasaannya. Padahal orang-orang begitulah yang sering punya perasaan paling keras. Aku takkan pernah menuduh Komandan Challenger membunuh dengan alasanalasan emosional. Tidak, tidak, dia bukan tipe itu. Tapi bagi Charles Vyse - ya, itu mungkin. Tapi aku sama sekali tak puas. "Ada satu lagi motif untuk berbuat jahat, yaitu rasa cemburu. Itu kupisahkan dari motif yang terdahulu, karena rasa cemburu bisa saja tidak bersifat emosi seksual. Ada pula yang disebut rasa iri. Iri akan kebendaan, iri akan kelebihan orang lain. Rasa iri semacam itulah yang telah mendorong Iago, tokoh dalam buku karangan Shakespeare, pengarang kalian yang hebat itu, melakukan kejahatan yang sangat berhasil - bila ditinjau dari segi profesional." "Mengapa itu dianggap berhasil?" tanyaku, menyimpang sebentar. "Parbleau,* (*tentu saja) karena dia menyuruh orang-orang lain melaksanakannya. Bayangkan seorang penjahat zaman sekarang. Yang tak bisa ditangkap karena dia sendiri tak pernah melakukan apa-apa. Tapi bukan itu pokok yang sedang kita bahas. Bisakah semacam rasa cemburu menjadi penyebab kejahatan ini" Siapakah yang punya alasan untuk merasa iri terhadap Mademoiselle" Apakah dia seorang wanita lain" Yang ada hanya Madame Rice, padahal sepanjang penglihatan kita, tak ada persaingan antara kedua wanita itu. Tapi sekali lagi, itu hanya 'sepanjang penglihatan kita'. Mungkin ada benarnya. "Dan yang terakhir adalah rasa takut. Mungkinkah Mademoiselle Nick menyimpan rahasia seseorang" Apakah dia mengetahui sesuatu yang, bila diketahui orang lain, mungkin akan menghancurkan hidup orang itu" Bila demikian keadaannya, kurasa kita bisa berkata dengan pasti bahwa dia sendiri tidak menyadarinya. Tapi ingat, itu hanya suatu kemungkinan. Hanya suatu kemungkinan. Dan karenanya, akan menjadi lebih sulit lagi. Karena kalaupun ada suatu petunjuk dalam tangannya, dia memegangnya tanpa disadarinya, dan dia takkan bisa mengatakannya pada kita." "Apa kau yakin kemungkinan itu ada?" "Itu suatu hipotesis. Aku mengalihkan perhatianku ke arah itu, karena sulitnya menemukan teori yang masuk akal di tempat lain. Bila semua kemungkinan lain sudah kita singkirkan, kita beralih pada satu-satunya kemungkinan yang masih ada. Dan karena yang lain tak cocok, kita berkata. Pasti ini yang benar." Lama ia berdiam diri. Akhirnya, setelah terbangun dari renungannya, ia mengambil selembar kertas dan mulai menulis. "Apa yang kautulis itu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu, "Mon ami, aku sedang membuat suam daftar. Daftar nama orang-orang yang ada di sekeliling Mademoiselle Buckley. Bila teoriku benar, dalam daftar itu pasti tercantum nama si pembunuh." Mungkin selama dua puluh menit dia menulis terus - lalu digeserkannya lembaranlembaran kertas itu ke arahku. "Voila, mon ami. Lihat apa yang bisa kaulakukan dengan daftar itu." Pada kertas itu tercantum sebagai berikut. A. Ellen. B. Suaminya yang tukang kebun. C. Anak mereka. D. Mr. Croft. E. Mrs. Croft. F. Mrs. Rice. G. Mr. Lazarus. H. Komandan Challenger. I. Mr. Charles Vyse. J. " Keterangan-keterangan: A. Ellen. Hal-hal yang mencurigakan. Sikap dan kata-katanya waktu mendengar tentang kejahatan itu. Punya kesempatan terbesar untuk mengatur kecelakaankecelakaan. Mungkin tahu tentang pistol, tapi tak mungkin mengotak-atik mobil, dan mental kejahatan agaknya berada di atas tingkatannya. Motif. Tak ada, kecuali mungkin rasa benci yang ditimbulkan oleh suatu insiden yang tak disadari. Catatan. Selidiki selanjutnya mengenai kehidupannya sebelumnya. Dan bagaimana hubungannya secara umum dengan Nick Buckley. B. Suaminya. Sama dengan di atas. Lebih masuk akal telah mengotak-atik mobil. Catatan. Harus diwawancarai. C. Anak. Boleh dikesampingkan. Catatan. Harus diwawancarai. Mungkin bisa memberikan informasi berharga. D. Mr. Croft. Hanya satu hal yang dicurigai. Kenyataan: dia naik tangga ke lantai atas, tempat kamar tidur berada. Langsung memberikan penjelasan yang mungkin ada benarnya. Tapi mungkin pula tidak! Masa lalunya sama sekali tak diketahui. Motif. Tak ada. E. Mrs. Croft. Hal-hal yang mencurigakan. Tak ada. Motif Tak ada. F. Mrs. Rice. Hal-hal yang mencurigakan. Kesempatannya baik sekali. Meminta Nick Buckley untuk mengambilkan mantelnya. Dengan sengaja menciptakan kesan bahwa Nick Buckley adalah seorang pembohong, supaya kisah gadis itu mengenai 'kecelakaan-kecelakaan' tidak ditanggapi. Tidak berada di Tavistock waktu kecelakaan-kecelakaan itu terjadi. Di mana dia berada" Motif. Keuntungan" Sedikit sekali. Rasa cemburu" Mungkin, tapi tak diketahui cemburu apa. Catatan. Bicara dengan Nick Buckley mengenai hal itu. Lihat kalau-kalau ada yang memberi kejelasan pada soal itu. Mungkin ada hubungannya dengan pernikahan Frederica Rice. G. Mr. Lazarus. Hal-hal yang mencurigakan. Kesempatan pada umumnya. Menawarkan untuk membeli lukisan. Berkata bahwa rem mobil tak apa-apa (menurut cerita Frederica Rice). Mungkin sudah berada di sekitar daerah ini sebelum hari Jumat. Motif. Tak ada, kecuali mungkin keuntungan dari lukisan. Rasa takut" Tak mungkin. Catatan. Cari tahu di mana Jim Lazarus berada setelah tiba di St. Loo. Cari tahu mengenai keadaan keuangan Aaron Lazarus dan putranya. H. Komandan Challenger. Hal-hal yang mencurigakan. Tak ada. Berada di sekitar tempat kejadian sepanjang minggu lalu, jadi kesempatan untuk menciptakan 'kecelakaan-kecelakaan' baik. Tiba setengah jam setelah pembunuhan. Motif. Tak ada. I. Mr. Vyse. Hal-hal yang mencurigakan. Tidak berada di kantor pada saat tembakan dilepaskan di kebun hotel. Punya kesempatan baik. Pernyataan mengenai penjualan End House perlu diragukan. Bertemperamen tertutup. Mungkin tahu tentang pistol. Motif Keuntungan" Kecil. Cinta atau rasa benci" Mungkin, sesuai dengan temperamennya. Rasa takut" Tak mungkin. Catatan. Cari tahu siapa yang menerima gadaian rumah. Selidiki kedudukan perusahaan Vyse. J. " Mungkin ada seorang J, umpamanya orang luar. Tapi yang ada hubungannya dengan salah seorang yang tersebut di atas. Kalau begitu, mungkin, berhubungan dengan A, D, dan E atau F. Adanya J akan menjelaskan, (1) Mengapa Ellen tidak terlalu terkejut mendengar terjadinya pembunuhan, juga rasa puas dan rasa senang yang tampak pada sikapnya (Tapi itu mungkin pula disebabkan orang-orang semacam dia memang suka mendengar tentang kematian). (2) Alasan mengapa Croft dan istrinya datang untuk tinggal di pondok. (3) Bisa memberikan motif mengenai rasa takut yang ada pada Frederica Rice, kalau-kalau rahasianya dibuka, atau rasa cemburu. Poirot memperhatikan diriku yang sedang membaca. "Khas Inggris daftar itu, bukan?" katanya dengan bangga. "Aku lebih bersifat Inggris bila sedang menulis, daripada bila berbicara." "Ini suatu hasil karya yang istimewa," kataku dengan hangat. "Di sini tercantum semua kemungkinannya dengan jelas sekali." "Ya," katanya dengan merenung, waktu ia mengambil kertas itu kembali dariku. "Satu nama menarik perhatian kita, sahabatku. Charles Vyse. Dia yang punya kesempatan terbaik. Kita telah memberinya pilihan antara dua motif. Ma foi kalau saja itu daftar kuda-kuda pacu, dialah yang akan menjadi pilihan utama, bukan?" "Dia memang tersangka paling kuat." "Kau cenderung lebih menyukai yang paling tak mungkin, Hastings. Itu pasti akibat terlalu banyak membaca cerita-cerita detektif. Dalam kehidupan nyata, sembilan dari sepuluh keadaan, orang yang paling besar kemungkinannya dan yang paling nyatalah yang melakukan kejahatan itu." "Tapi kau kan tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa kali ini pun demikian pula halnya?" "Hanya ada satu hal yang melemahkan kemungkinan itu. Yaitu betapa beraninya kejahatan itu dilakukan! Sejak semula hal itu sudah menonjol. Oleh karenanya, sebagaimana kukatakan, motifnya tak jelas." "Ya, kau mula-mula memang berkata begitu." "Dan sekarang pun aku berkata begitu lagi." Dengan gerakan kasar dan mendadak diremas-remasnya kertas itu lalu dilemparkannya ke lantai. "Tidak," katanya, waktu aku terpekik menyerukan protesku. "Daftar itu tak ada gunanya, tapi telah membuat pikiranku terbuka. Aturan dan cara kerja! Itulah langkah yang pertama. Kita harus menyusun fakta-faktanya dengan rapi dan tepat. Langkah berikutnya..." "Ya?" "Langkah berikutnya adalah psikologi. Yaitu pemanfaatan yang tepat dari sel-sel kelabu yang kecil! Hastings, sebaiknya kau tidur." "Tidak," sahutku. "Kecuali kalau kau juga tidur. Aku tak akan meninggalkanmu." "Kau seperti anjing yang setia sekali. Tapi ketahuilah, Hastings, kau takkan bisa membantu berpikir, Padahal hanya itulah yang akan kulakukan - aku akan berpikir." Aku tetap menggeleng. "Mungkin kau perlu membahas sesuatu denganku." "Yah, yah, kau memang seorang sahabat setia. Kuminta sekurang-kurangnya berbaringlah di kursi malas." Usul itu kuterima. Sebentar kemudian, kamar terasa mulai bergoyang-goyang dan tenggelam. Yang terakhir kuingat adalah Poirot memungut kembali kertas yang sudah tergumpal-gumpal dari lantai, lalu membuangnya dengan rapi ke dalam keranjang sampah. Setelah itu pasti aku tertidur. 10 RAHASIA NICK HARI sudah siang waktu aku terbangun. Poirot masih berdiri di tempatnya semalam. Sikapnya juga masih sama, tapi pada wajahnya tampak perbedaan. Matanya bersinar, berwarna hijau aneh seperti mata kucing, sebagaimana biasa kulihat. Dengan susah payah aku duduk tegak. Tubuhku terasa kaku dan tak nyaman. Tidur di kursi memang seharusnya tak boleh dilakukan oleh orang-orang seusiaku. Namun setidaknya ada juga akibat baiknya. Aku terbangun tidak dalam keadaan malas dan masih mengantuk, melainkan dengan pikiran dan otak seaktif waktu aku tertidur. "Poirot," panggilku, "kau pasti telah menemukan sesuatu." Ia mengangguk dan membungkukkan tubuhnya sambil mengetuk-ngetuk meja yang ada di hadapannya. "Tolong, Hastings, jawablah ketiga pertanyaanku ini. Mengapa Mademoiselle Nick sulit tidur akhir-akhir ini" Mengapa dia membeli gaun hitam" Bukankah dia tak pernah mengenakan baju hitam" Mengapa semalam dia berkata, 'Saya tak punya apaapa lagi untuk hidup - sekarang'?" Aku menatapnya. Pertanyaan itu agaknya tak ada hubungannya dengan persoalan yang kami hadapi. "Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu, Hastings, jawablah!" "Yah... yang pertama, katanya akhir-akhir ini dia merasa susah." "Tepat. Apa yang disusahkannya?" "Dan mengenai baju hitam itu... yah, semua orang kadang-kadang menginginkan perubahan." "Sebagai seorang pria beristri, kau sangat tidak menghargai psikologi wanita. Bila seorang wanita menganggap suatu warna tertentu tak pantas baginya, dia takkan pernah mau memakainya." "Dan yang terakhir, yah, wajar saja dia berkata begitu setelah shock hebat yang dialaminya." "Tidak, mon ami, itu bukan kata-kata yang wajar untuk diucapkan. Bila dia sangat ketakutan oleh kematian sepupunya, kalau dia menyesali dirinya mengenai kejadian itu... ya, itu wajar saja. Tapi yang satu lagi tidak. Dia berbicara tentang kehidupan yang lesu sekali, seolah-olah mengenai sesuatu yang tak dicintainya lagi. Padahal dia tak pernah memperlihatkan sikap seperti itu. Dulu dia bersikap menantang. Ya, dia dulu melecehkan kejadian-kejadian. Tapi setelah pertahanannya runtuh, dia ketakutan. Ingat, dia takut karena hidup begitu manis, dan dia tak ingin mati. Tapi tidak... dia tak pernah bosan hidup! Tak pernah! Bahkan sebelum kita makan malam pun tidak. Dalam hal itu, kita telah melihat suatu perubahan psikologis. Dan itu menarik. Apa yang telah menyebabkan pandangannya berubah?" "Shock atas kematian saudara sepupunya." "Aku ingin tahu. Shock itu telah membuatnya berbicara. Tapi seandainya perubahan itu terjadi sebelumnya, apakah ada sesuatu yang lain yang menjadi penyebabnya?" "Aku tak tahu apa-apa." "Berpikirlah, Hastings. Gunakanlah sel-sel kelabumu yang kecil." "Benarkah...?" "Kapankah kita mendapat kesempatan terakhir untuk mengamat-amatinya?" "Yah, kurasa sebenarnya pada saat makan malam itulah." "Tepat. Setelah itu kita hanya melihat dia menerima tamu-tamu, dan membual mereka merasa senang - semuanya semata-mata sikap yang resmi. Apa yang terjadi pada saat makan malam akan berakhir, Hastings?" "Dia pergi ke pesawat telepon," kataku lambat-lambat. "A la bonheur.* (*Syukurlah.) Akhirnya tiba juga kau ke situ. Dia pergi untuk menelepon. Lama sekali dia tak berada di tempat. Sekurang-kurangnya dua puluh menit. Itu lama sekali untuk suatu percakapan di telepon. Siapa yang berbicara padanya melalui telepon itu" Apa kata mereka" Apakah dia benar-benar menelepon" Kita harus menyelidiki hal itu, Hastings - apa yang terjadi dalam waktu dua puluh menit itu. Karena aku yakin benar bahwa di sanalah kita akan mendapatkan petunjuk yang kita cari." "Yakin benarkah kau?" "Mais oui, mais oui! Aku selalu berkata padamu, Hastings, bahwa ada sesuatu yang tidak diceritakan oleh Mademoiselle. Menurut dia, hal itu tidak berhubungan dengan peristiwa pembunuhan itu. Tapi aku, Hercule Poirot, aku lebih tahu! Itu pasti sesuatu yang ada hubungannya. Karena aku selalu berperasaan bahwa ada suatu faktor yang kurang. Kalau saja tak ada faktor yang hilang itu... wah, akan jelaslah segala-galanya bagiku! Dan karena kini tak jelas, eh bien... faktor Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang hilang itu merupakan kunci dari misteri ini! Aku yakin bahwa aku benar, Hastings. "Aku harus mendapatkan jawaban dari ketiga pertanyaan itu. Setelah itu... setelah itu barulah aku akan mulai mengerti." "Yah," kataku sambil meregangkan anggota-anggota tubuhku yang kaku, "kurasa kita perlu mandi dan bercukur." Setelah aku selesai mandi dan mengenakan pakaian sehari-hari, barulah aku merasa enak. Rasa kaku dan lesu hilang, dan keadaan yang tak menyenangkan pun lenyap. Aku tiba di meja sarapan dengan perasaan bahwa setelah minum kopi panas secangkir, aku akan pulih kembali. Aku membaca surat kabar sepintas lalu, tapi tak banyak berita di dalamnya, kecuali berita yang memastikan kematian Michael Seton. Penerbang yang amat pemberani itu telah tewas. Aku ingin tahu, apakah besok tajuk-tajuk rencana akan bermunculan dengan berita: SEORANG GADIS TERBUNUH DALAM PESTA KEMBANG API. SUATU TRAGEDI MISTERIUS. Umpamanya. Baru saja aku selesai sarapan, Frederica Rice datang ke mejaku. Ia memakai gaun sederhana berwarna hitam, dengan leher lembut berwarna putih yang dikerut-kerut kecil. Ia jadi nampak makin pirang. "Saya ingin bertemu dengan M. Poirot, Kapten Hastings. Apa dia sudah bangun?" "Mari saya antar Anda naik," kataku. "Kita pasti akan menemukannya di ruang duduk." "Terima kasih." "Mudah-mudahan tidur Anda tidak terlalu terganggu?" kataku saat kami berdua meninggalkan ruang makan. "Peristiwa itu mengejutkan sekali," katanya dengan suara seperti orang merenung. "Meskipun saya tak kenal pada gadis malang itu. Saya takut sekali kalau-kalau yang tertembak itu Nick." "Apakah Anda tak pernah bertemu dengan gadis itu?" "Pernah sekali, di Scarborough. Dia datang bersama Nick ke sana untuk makan siang." "Ayah dan ibunya pasti akan terpukul sekali," kataku. "Mengerikan sekali." Tapi caranya mengucapkan kata-kata itu tanpa perasaan. Kurasa ia seorang wanita yang egois. Segala sesuatu yang tak ada hubungannya dengan dirinya sendiri, kurang berarti baginya. Poirot sudah selesai sarapan, dan sedang duduk membaca harian pagi. Ia bangkit untuk menyambut Frederica menurut tata krama yang biasa. "Madame," katanya. "Enchante!"* (*Menyenangkan sekali!) Ia menyodorkan sebuah kursi. Wanita itu mengucapkan terima kasih padanya dengan senyum samar sekali, lalu duduk. Kedua belah tangannya diletakkannya di lengan kursi. Ia duduk tegak sekali, dan melihat ke depan saja. Ia tak ingin cepat-cepat mulai berbicara. Ada sesuatu yang mengerikan pada sikapnya yang diam menyendiri. "M. Poirot," katanya akhirnya, "saya rasa kejadian semalam itu pasti merupakan satu paket yang sama, ya" Maksud saya... korban yang diinginkan sebenarnya adalah Nick?" "Saya rasa, Madame, hal itu sama sekali tak perlu diragukan lagi." Frederica agak mengernyitkan dahinya. "Hidup Nick memang seperti dilindungi jimat," katanya. Dalam suaranya terdengar sesuatu yang aneh, yang tak kumengerti. "Kata orang, keberuntungan bergerak bersama daur," kata Poirot. "Mungkin. Dan itu pasti tak dapat dilawan." Kini hanya keletihan yang terdengar dalam nada suaranya. Beberapa saat kemudian ia berkata lagi, "Saya harus meminta maaf, M. Poirot. Juga atas nama Nick. Sampai semalam, saya tak percaya. Saya tak pernah mimpi bahwa bahaya itu... serius." "Begitukah, Madame?" "Sekarang saya lihat bahwa segala sesuatu harus ditinjau dengan cermat. Dan saya pikir, lingkungan yang berhubungan langsung dengan Nick takkan bebas dari kecurigaan. Memang tak masuk akal, tapi begitulah keadaannya, bukan, M. Poirot?" "Anda cerdas sekali, Madame." "Kemarin Anda mengajukan beberapa pertanyaan mengenai Tavistock, M. Poirot. Karena cepat atau lambat Anda pasti akan tahu juga kebenarannya, sebaiknya saya ceritakan saja apa adanya pada Anda. Saya tidak berada di Tavistock." "Tidak, Madame?" "Awal minggu ini, saya sudah datang ke sini, bermobil dengan Mr. Lazarus. Kami tak ingin memancing komentar lebih banyak daripada yang perlu. Kami menginap di suatu tempat kecil bernama Shellacombe." "Kalau tak salah, tempat itu kira-kira sepuluh kilometer dari sini, bukan, Madame?" "Ya, kira-kira begitulah." Kelesuan masih saja terasa. "Maafkan saya kalau saya lancang, Madame." "Mana ada basa-basi begitu lagi zaman sekarang." "Mungkin Anda benar, Madame. Sudah berapa lama Anda berteman dengan M. Lazarus?" "Saya bertemu dengannya enam bulan yang lalu." "Dan apakah Anda... suka padanya, Madame?" Frederica mengangkat bahunya. "Dia... kaya." "Oh! L? l?," seru Poirot. "Tak baik berkata begitu." Wanita itu kelihatan agak senang. "Bukankah sebaiknya saya sendiri yang mengatakannya daripada Anda yang mengatakannya?" "Yah, itu memang lebih baik. Sekali lagi saya katakan, Madame, bahwa Anda cerdas." "Anda harus segera memberi saya ijazah," kata Frederica, lalu bangkit. "Tak ada lagikah yang ingin Anda ceritakan pada saya, Madame?" "Tidak, saya rasa tak ada lagi. Saya akan membawa bunga untuk Nick, sekalian melihat keadaannya." "Ah, Anda memang seorang sahabat yang baik. Terima kasih atas kejujuran Anda, Madame." Ia memandang Poirot dengan tajam, kelihatannya akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya, lalu keluar dari kamar. Ia tersenyum kecil padaku waktu aku membukakannya pintu. "Dia cerdas," kata Poirot. "Ya, tapi Hercule Poirot juga cerdas!" "Apa maksudmu?" "Cerdik sekali dia untuk memaksakan supaya aku percaya bahwa M. Lazarus itu kaya." "Kurasa aku jadi muak." "Mon cher, kau selalu memberikan reaksi yang benar, tapi tidak pada tempatnya. Sekarang ini persoalannya bukan mengenai selera yang baik atau sebaliknya. Bila Madame Rice punya teman kaya yang dicintainya, yang bisa memberikan segala yang dibutuhkannya, yah, jelaslah bahwa dia tak perlu membunuh sahabat terdekatnya hanya karena mengharapkan warisan yang sedikit." "Oh!" kataku. "Precisement! Oh!" "Mengapa kau tidak melarangnya pergi ke rumah perawatan?" "Mengapa aku harus menunjukkan belangku" Apakah Hercule Poirot yang melarang Mademoiselle Nick bertemu dengan sahabat-sahabatnya" Pikiran apa itu! Para dokter dan perawat yang melarangnya. Perawat-perawat yang membosankan itu! Banyak sekali larangan dan peraturannya. Belum lagi perintah-perintah dokter." "Apa kau tak takut mereka tetap saja mengizinkannya masuk" Mungkin saja Nick memaksakannya." "Takkan ada seorang pun diizinkan masuk, Hastings, sahabatku yang baik. Kecuali aku dan kau. Dan omong-omong, sebaiknya kita cepat-cepat ke sana." Pintu kamar duduk itu terbuka dengan mendadak, dan George Challenger masuk bagaikan terbang. Wajahnya yang coklat akibat sengatan matahari berapi-api karena marah. "Dengar, M. Poirot," katanya. "Apa artinya ini. Saya menelepon rumah perawatan sialan tempat Nick berada. Saya tanyakan keadaannya, dan jam berapa saya bisa datang menjenguknya. Mereka menjawab bahwa dokter tidak mengizinkan siapa pun mengunjunginya. Saya minta penjelasan, apa artinya ini" Terus terang saja, apakah itu ulah Anda" Atau Nick benar-benar sakit gara-gara shock itu?" "Yakinlah, Monsieur, saya tak pernah membuat peraturan-peraturan untuk rumahrumah perawatan. Mana saya berani! Mengapa tidak Anda telepon dokternya - siapa namanya" - Oh, ya, Dokter Graham." "Sudah saya telepon. Katanya Nick baik-baik saja, sebagaimana diharapkan - jawaban yang biasa itulah! Tapi saya mencium semua tipu muslihat itu, soalnya paman saya dokter. Di Harley Street. Dia spesialis saraf. Dia biasa menangani analisis psikologis - dan sebagainya. Menolak kunjungan sanak saudara dan teman-teman dengan kata-kata halus. Saya sudah biasa mendengarnya. Saya tak percaya Nick tak bisa menemui siapa-siapa. Saya yakin Andalah yang mendalangi semua ini, M. Poirot." Poirot tersenyum ramah sekali padanya. Aku sering melihat bahwa Poirot mempunyai perasaan halus terhadap seorang yang sedang jatuh cinta. "Dengarkan, mon ami," katanya. "Bila seorang tamu diizinkan masuk, yang lain tak bisa ditolak. Anda mengerti, bukan" Jadi, harus semuanya atau tidak sama sekali. Bukankah kita menginginkan keselamatan bagi Mademoiselle" Tepat. Jadi Anda mengerti. Tak seorang pun diperbolehkan." "Saya mengerti," kata Challenger lambat-lambat. "Tapi lalu..." "Sudahlah! Tak usahlah kita berkata apa-apa lagi. Bahkan sebaiknya kita lupakan saja apa-apa yang telah diucapkan. Kewaspadaan, kewaspadaan yang sempurna, itulah yang diperlukan sekarang." "Saya bisa tutup mulut," kata pelaut itu dengan tenang. Ia berbalik ke pintu, tapi sebelum keluar, ia berhenti dan berkata lagi, "Tapi tak ada larangan untuk mengirim bunga, bukan" Asal saja tidak yang berwarna putih." Poirot hanya tersenyum. "Nah, sekarang," katanya, setelah pintu ditutup oleh Challenger yang bersemangat, "sementara M. Challenger dan Madame, dan mungkin M. Lazarus, bertemu di toko bunga, kau dan aku akan pergi ke tempat tujuan kita, naik mobil." "Untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan itu?" kataku. "Ya. Kita akan bertanya-tanya. Meskipun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya." "Apa?" pekikku. "Ya." "Tapi kapan kau mendapatkan jawabannya?" "Saat aku sarapan tadi, Hastings. Rasanya jawaban-jawaban itu terbayang-bayang di hadapanku." "Coba ceritakan." "Tidak. Aku ingin kau mendengarnya dari Mademoiselle." Kemudian, seolah-olah akan mengalihkan pikiranku, disodorkannya sepucuk surat padaku. Surat itu merupakan laporan dari ahli yang telah dikirim Poirot untuk memeriksa lukisan dari Nicholas Buckley. Dengan pasti dinyatakannya bahwa lukisan itu bernilai paling tinggi dua puluh pound. "Jadi sudah satu hal yang terjawab," kata Poirot. "Jadi rupanya tak ada tikus di lubang tikus itu," kataku, mengulangi metafora Poirot yang pernah diucapkannya pada suatu peristiwa yang lalu. Maksudnya, lukisan itu tidak memberikan petunjuk mengenai pembunuhan itu. "Oh! Kau ingat itu rupanya. Tidak, memang tepat katamu, tak ada tikus di lubang tikus itu. Dua puluh pound! Padahal M. Lazarus menawarkan akan membelinya dengan harga lima puluh pound. Betapa salahnya penilaian seorang pemuda yang kelihatannya begitu cerdas. Tapi di situ, ya, di situlah kita harus mulai menjalankan tugas kita." Rumah perawatan itu terletak tinggi di atas sebuah bukit yang menghadap ke teluk. Seorang penjaga pintu berjas putih menerima kami. Kami dipersilakan menunggu di sebuah kamar kecil di lantai bawah, dan tak lama kemudian, seorang juru rawat yang gesit mendatangi kami. Sekali saja melihat Poirot agaknya sudah cukup baginya. Jelas bahwa ia telah mendapat instruksi dari Dr. Graham, lengkap dengan gambaran yang jelas sekali mengenai detektif bertubuh kecil itu. Perawat itu bahkan sempat menyembunyikan senyum. "Miss Buckley tidur nyenyak semalam," katanya. "Mari silakan naik." Kami temukan Nick dalam sebuah kamar yang menyenangkan, yang bermandikan sinar matahari. Di tempat tidur besi yang kecil itu, ia nampak seperti seorang anak kecil yang letih. Wajahnya pucat dan matanya sangat merah. Ia juga kelihatan lesu dan tak bersemangat. "Baik sekali Anda mau datang," katanya dengan suara datar. Poirot menggenggam tangan Nick dengan kedua belah tangannya. "Besarkan hati Anda, Mademoiselle. Hidup kita selalu ada tujuannya." Kata-kata itu membuat gadis itu terkejut. Ia mendongak, memandangi Poirot lekatlekat. "Oh!" katanya. "Oh!" "Apakah Anda sekarang masih tak mau menceritakannya pada saya, Mademoiselle" Apa yang menyusahkan hati Anda akhir-akhir ini?" Wajah Nick memerah. "Jadi Anda tahu. Ah, sudahlah, sekarang biar saja orang tahu. Karena sekarang segalanya sudah berlalu. Karena sekarang saya takkan pernah bertemu dengannya lagi." Suaranya terputus. "Besarkan hati Anda, Mademoiselle." "Sudah tak ada lagi semangat pada diri saya. Sudah terkuras habis semangat saya dalam minggu-minggu terakhir ini. Berharap dan berharap terus, dan - akhir-akhir ini - mengharapkan yang sia-sia." Aku terbelalak. Aku sama sekali tak mengerti. "Lihatlah si Hastings yang malang itu," kata Poirot. "Dia tak tahu tentang apa kita berbicara." Nick memandangiku dengan mata sedih. "Michael Seton, si penerbang itu," katanya. "Saya sebenarnya sudah bertunangan dengan dia. Dan sekarang dia sudah meninggal." 11 MOTIF AKU terpana. Aku menoleh pada Poirot. "Itukah maksudmu tadi?" "Ya, mon ami. Tadi pagi - aku tahu." "Bagaimana kau bisa tahu" Bagaimana kau bisa menebak" Kaukatakan hal itu terbayang di hadapanmu waktu kau sedang sarapan." "Memang begitu, sahabatku. Dari halaman depan surat kabar. Aku teringat percakapan pada waktu makan semalam, lalu aku melihat segalanya." Ia menoleh lagi pada Nick. "Anda mendengar berita itu tadi malam?" "Ya. Saya mendengarkan berita radio. Saya pura-pura ingin menelepon. Saya ingin mendengar berita itu seorang diri, kalau-kalau..." Ia meneguk ludahnya kuatkuat. "Lalu saya dengar berita itu...." "Saya tahu. Saya tahu." Poirot mengambil tangan Nick dengan kedua belah tangannya. "Berita-berita itu mengerikan sekali. Lalu semua orang berdatangan. Entah bagaimana saya bisa melewatkan waktu itu dengan baik. Segalanya terasa seperti mimpi. Saya serasa melihat diri saya dari luar... bersikap seperti biasa. Tapi rasanya aneh." "Ya, ya, saya mengerti." "Lalu waktu saya pergi mengambilkan mantel Freddie... saya menangis sebentar. Tapi saya cepat-cepat menguatkan diri. Dan Maggie memanggil-manggil terus dari bawah, meributkan mantelnya. Lalu akhirnya dia pergi dengan membawa syal saya. Saya membedaki wajah sedikit, dan memakai perona pipi, lalu menyusulnya. Tahutahu dia sudah meninggal...." "Ya, ya, itu tentu mengejutkan sekali." "Anda tak mengerti. Saya marah! Saya ingin sayalah yang mengalami kejadian itu! Saya ingin mati... tapi saya... tetap saja hidup, mungkin masih bertahun-tahun lagi! Padahal Michael sudah meninggal - tenggelam, jauh di Samudra Pasifik." "Pauvre enfant."* (*Anak yang malang.) "Saya tak ingin hidup. Saya tak ingin hidup, sungguh!" katanya dengan keras. "Saya tahu, saya tahu. Memang ada saatnya kita lebih menginginkan kematian, daripada kehidupan, Mademoiselle. Sekarang Anda tak percaya, saya mengerti. Tak ada gunanya orang setua saya berbicara. Kata-kata saya tak ada artinya - begitu barangkali pikir Anda. Kata-kata yang kosong." "Anda pikir saya akan melupakannya dan menikah dengan orang lain" Takkan pernah!" Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Duduk di tempat tidur begitu, ia kelihatan cantik. Kedua belah tangannya tergenggam dan pipinya membara. Dengan lembut Poirot berkata, "Tidak, tidak. Saya tak punya pikiran semacam itu. Anda beruntung sekali, Mademoiselle. Anda telah dicintai oleh seorang pemberani, seorang pahlawan. Bagaimana Anda dulu bertemu dengannya?" "Kami bertemu di Le Touquet pada bulan September yang lalu. Hampir setahun lalu." "Lalu kapan Anda berdua bertunangan?" "Tak lama setelah Natal. Tapi hal itu dirahasiakan." "Mengapa?" "Paman Michael - Sir Matthew Seton - dia mencintai burung-burung, tapi membenci wanita." "Ah, itu tak masuk akal!" "Oh, bukan begitu maksud saya. Dia orang yang aneh sekali. Dia berpendirian bahwa wanita merusak hidup kaum pria. Padahal Michael benar-benar bergantung padanya. Dia bangga sekali pada Michael, dan dialah yang membiayai pembuatan pesawat Albatross itu, juga membiayai penerbangan keliling dunia itu. Itu merupakan impian yang paling disukainya dalam hidupnya, juga bagi Michael. Sekiranya dia berhasil, dia akan bisa meminta apa saja dari pamannya itu. Dan meski seandainya Sir Matthew tetap marah padanya, itu tak jadi soal. Michael akan dijadikan... semacam pahlawan dunia. Pamannya akhirnya pasti mau berdamai." "Ya, ya, saya mengerti." "Tapi kata Michael, kalau rahasia kami sampai bocor, akan habislah segalanya. Kami harus menutup rahasia itu rapat-rapat. Dan itu saya lakukan. Saya tak pernah menceritakannya pada siapa pun juga, bahkan pada Freddie pun tidak." Poirot menggeram. "Alangkah baiknya bila Anda ceritakan itu pada saya dulu, Mademoiselle." Nick memandangnya dengan terbelalak. "Apa bedanya" Hal itu tentu tak ada hubungannya dengan serangan-serangan misterius atas diri saya, bukan" Tidak, saya telah berjanji pada Michael, dan saya memenuhi janji itu. Tapi itu mengerikan sekali. Saya selalu dipenuhi rasa cemas, bertanya-tanya, dan selalu saja ketakutan. Dan semua orang mengatakan bahwa saya gugup sekali. Sedangkan saya tak dapat menjelaskan." "Ya, saya mengerti semuanya itu." "Soalnya dia pernah hilang sekali. Waktu sedang menyeberangi gurun pasir, dalam penerbangannya ke India. Mengerikan sekali, padahal kemudian ternyata dia tak apa-apa. Pesawatnya rusak, tapi bisa diperbaiki, dan dia melanjutkan perjalanannya. Dan saya terus-menerus berkata pada diri saya sendiri bahwa kali Lima Setan Dari Barat 1 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Darah Menggenang Di Candi 1