Ceritasilat Novel Online

Hotel Majestic 4

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 4 yang mengambilnya, dan mengantarkannya kepada para pasien." "Ingatkah Anda jam berapa kiriman ini diantar?" "Kalau tak salah, kira-kira jam setengah enam, atau lewat sedikit. Soalnya waktu itu pos juga baru datang, dan itu kira-kira jam setengah enam. Petang itu keadaan agak sibuk, banyak orang yang menitipkan bunga atau datang untuk menjenguk pasien-pasien." "Terima kasih. Nah, sekarang kami ingin bertemu dengan juru rawat yang mengambil kiriman itu." Ternyata juru rawat itu masih dalam masa percobaan. Ia bertubuh kecil dan berwajah montok, kelihatan sangat berdebar-debar. Ia ingat bahwa dialah yang mengambil kiriman itu pada jam enam, waktu ia mulai bertugas. "Jam enam," gumam Poirot. "Kalau begitu, selama kira-kira dua puluh menit kiriman itu terletak di atas meja di lantai bawah." "Bagaimana?" "Tak apa-apa, Mademoiselle. Coba lanjutkan. Anda lalu mengantarkan kiriman itu pada Miss Buckley?" "Ya, ada beberapa kiriman untuknya. Ada kotak itu, ada bunga, ada... kacang, kalau tak salah... dari Mr. dan Mrs. Croft. Semuanya saya bawa sekaligus. Lalu ada pula kiriman yang datang lewat pos, dan anehnya kotak itu juga berisi coklat buatan Fuller." "Comment" Ada dua buah kotak?" "Ya, kebetulan sekali, ya" Miss Buckley membuka kedua-duanya. Katanya, 'Aduh, sayang sekali. Aku tak boleh memakannya.' Lalu dibukanya tutupnya, untuk melihat isinya, kalau-kalau sama jenisnya. Lalu ditemukannya kartu nama Anda di dalam salah satu kotak itu, dan dia berkata, 'Bawa saja kotak yang satu ini, Suster. Itu pasti ada apa-apanya. Saya takut nanti tertukar.' Aduh! Siapa sangka hal itu akan terjadi" Rasanya seperti dalam buku cerita karangan Edgar Wallace saja." Poirot menghentikan arus kata-katanya. "Dua kotak, kata Anda" Dari siapa kotak yang sebuah lagi?" "Tak ada nama di dalamnya." "Lalu yang mana yang - seolah-olah - datang dari saya" Kotak yang lewat pos atau yang bukan?" "Wah, saya tak ingat. Bolehkah saya naik dan menanyakannya pada Miss Buckley?" "Anda baik sekali kalau mau berbuat begitu." Gadis itu berlari naik ke lantai atas. "Dua kotak," gumam Poirot. "Membingungkan sekali." Juru rawat itu kembali dengan terengah-engah. "Miss Buckley tak yakin. Soalnya dia membuka kedua bungkusan itu sekaligus, sebelum melihat isinya. Tapi katanya, kalau tak salah, bukan kotak yang datang lewat pos." "Bagaimana?" tanya Poirot kebingungan. "Kotak dari Anda tidak datang lewat pos. Begitulah perkiraannya, tapi dia tidak begitu yakin." "Diable!"* (*Setan!) umpat Poirot dalam perjalanan kami kembali. "Kelihatannya tak ada orang yang merasa yakin. Dalam buku-buku detektif... memang. Tapi dalam hidup - hidup nyata - selalu penuh dengan kekacauan. Apakah aku sendiri merasa yakin" Tidak, tidak, seribu kali tidak." "Lazarus," kataku. "Ya, mengherankan, ya?" "Apakah kau akan mengatakan sesuatu tentang hal itu padanya?" "Pasti. Aku ingin sekali melihat tanggapannya. Ngomong-ngomong, mungkin juga kita terlalu melebih-lebihkan betapa seriusnya keadaan Mademoiselle itu. Memang tak ada salahnya kalau kita beranggapan bahwa dia berada di ambang kematian. Mengertikah kau maksudku" Ah, wajahmu yang serius itu mengagumkan sekali. Kau jadi mirip dengan seorang pengurus pemakaman. Ya, mirip sekali." Kami mujur, karena bisa langsung bertemu dengan Lazarus. Ia sedang membungkuk menekuni tempat mesin mobilnya, di depan hotel. Poirot langsung mendatanginya. "M. Lazarus, apakah kemarin sore Anda ada meninggalkan sekotak coklat untuk Mademoiselle?" tanyanya tanpa berbasa-basi lebih dahulu. Lazarus kelihatan agak terkejut. "Lalu?" "Anda baik sekali." "Sebenarnya coklat itu dari Freddie - Mrs. Rice. Dia meminta bantuan saya untuk mengantarnya." "Oh, begitu." "Saya bermobil mengantarnya ke sana." "Saya tahu." Poirot diam beberapa lama, lalu berkata, "Di mana Madame Rice sekarang?" "Saya rasa dia ada di ruang duduk." Kami mendapati Frederica sedang minum teh. Ia mendongak melihat kami. Wajahnya membayangkan rasa cemas. "Saya dengar Nick jatuh sakit. Betul?" "Urusan ini memang misterius, Madame. Apakah Anda mengiriminya sekotak coklat kemarin?" "Ya. Soalnya dia meminta saya untuk membelikannya." "Dia yang meminta Anda membelikannya?" "Benar." "Tapi dia tak boleh bertemu dengan siapa pun. Bagaimana Anda bertemu dengannya?" "Saya tidak bertemu dengannya. Dia menelepon saya." "Oh! Apa katanya?" "Apakah saya mau membelikannya coklat buatan Fuller sekotak, yang beratnya satu kilogram." "Bagaimana bunyi suaranya" Lemah?" "Tidak, sama sekali tidak. Cukup bertekanan. Tapi entah mengapa, agak lain. Mula-mula saya tak menyangka bahwa dia yang berbicara." "Sampai dia mengatakan siapa dirinya?" "Ya." "Apakah Anda yakin, Madame, bahwa itu suara sahabat Anda?" Frederica kelihatan terkejut. "Saya... ah... saya... tentu saja. Siapa lagi kalau bukan dia?" "Itu pertanyaan yang menarik, Madame." "Anda kan tidak bermaksud...?" "Bisakah Anda bersumpah, Madame, bahwa itu adalah suara sahabat Anda - maksud saya, tanpa mengingat kata-kata yang diucapkannya?" "Tidak," kata Frederica lambat-lambat. "Saya tak bisa bersumpah. Suaranya memang lain. Saya pikir itu karena telepon - atau barangkali karena dia sakit." "Seandainya dia tidak mengatakan pada Anda siapa dia, Anda tidak akan mengenalinya?" "Tidak, saya rasa saya tak akan mengenalinya. Siapa dia sebenarnya, M. Poirot" Siapa dia?" "Itulah yang ingin saya ketahui pula, Madame." Wajah Poirot yang serius agaknya menimbulkan kecurigaan Frederica. "Apakah Nick... apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan menahan napas. Poirot mengangguk. "Mademoiselle Nick sakit - sakit keras. Coklat itu, Madame, mengandung racun." "Coklat yang saya kirim" Tapi itu tak mungkin. Tak mungkin!" "Bukan tak mungkin, Madame. Karena nyatanya kini Mademoiselle sedang berada di ambang kematian." "Ya Tuhanku!" Ditutupnya mukanya dengan kedua belah tangan. Setelah itu diangkatnya wajahnya, pucat dan bergetar. "Saya tak mengerti - saya tak mengerti. Peristiwa-peristiwa yang lain itu mungkin memang terjadi, Tapi yang ini tidak. Coklat itu tak mungkin mengandung racun. Tak seorang pun menyentuhnya, kecuali saya dan Jim. Anda telah membuat suatu kekeliruan besar, M. Poirot." "Bukan saya yang telah membuat kekeliruan, meskipun nama saya yang ada di dalam kotak itu." Frederica terbelalak dengan pandangan kosong. "Bila Mademoiselle Nick sampai meninggal...," kata Poirot sambil menggoyanggoyangkan telunjuknya, sebagai isyarat mengancam. Frederica terpekik dengan suara halus. Poirot berbalik, sambil mencengkeram lenganku, diseretnya aku ke ruang duduk kami. Dilemparkannya topinya ke atas meja. "Aku tak mengerti apa-apa - sama sekali tidak! Aku berada dalam kegelapan. Aku seperti anak kecil. Siapa yang mendapatkan uang banyak dengan meninggalnya Mademoiselle" Madame Rice. Siapa yang membeli coklat dan tak enggan pula mengakuinya, dan masih juga bercerita bahwa dia ditelepon, padahal itu sama sekali tak benar" Madame Rice. Ini terlalu sederhana - terlalu gamblang. Padahal dia sebenarnya tidak bodoh." "Jadi kalau begitu...?" "Tapi dia kecanduan kokain, Hastings. Aku yakin dia seorang pecandu kokain. Tak salah lagi. Dan di dalam coklat itu ada kokain pula. Lalu apa maksudnya waktu dia berkata, 'Peristiwa-peristiwa yang lain itu mungkin memang terjadi. Tapi yang ini tidak'" Kata-kata itu memerlukan penjelasan! Dan M. Lazarus yang licik itu... apa pula peranannya dalam semua ini" Apa yang diketahui oleh Madame Rice" Dia tahu sesuatu. Tapi aku tak bisa membuatnya berbicara. Dia bukan orang yang bisa ditakut-takuti, lalu mau berbicara. Tapi pasti dia tahu sesuatu, Hastings. Apakah kisahnya mengenai telepon itu benar, atau hanya karangannya saja" Bila memang benar, suara siapakah itu" Sungguh, Hastings, semuanya ini gelap bagiku gelap sekali." "Tapi keadaan memang selalu paling gelap menjelang fajar menyingsing," kataku meyakinkannya. Ia menggeleng. "Lalu kotak yang sebuah lagi - yang datang lewat pos itu. Bisakah itu kita kesampingkan saja" Tidak, tak bisa, karena Mademoiselle tak yakin. Menjengkelkan sekali!" Ia menggeram. Aku baru akan mulai berbicara, tapi ia mencegah niatku itu. "Jangan. Jangan. Jangan ucapkan peribahasa lagi. Tak tahan aku mendengarnya. Kalau kau memang seorang sahabat yang baik, yang bisa membantu..." "Ya," kataku dengan bergairah. "Tolonglah aku. Keluarlah, dan tolong belikan aku kartu untuk main." Aku terbelalak. "Baiklah," kataku dingin. Mau tak mau, aku beranggapan bahwa ia memang sengaja mencari alasan itu, supaya aku meninggalkannya. Tapi rupanya aku salah menilainya. Malam itu, waktu aku masuk ke ruang duduk, kira-kira jam sepuluh, kudapati Poirot sedang menyusun rumah-rumahan dari kartu, lalu aku ingat! Itu kebiasaan lamanya untuk menenangkan saraf. Ia tersenyum padaku. "Ya, kau tentu ingat. Kita memerlukan ketepatan. Kartu-kartu disusun saling tindih - begini - pada tempat yang tepat, sehingga menunjang berat kartu di atasnya, dan seterusnya, terus ke atas. Pergilah tidur, Hastings. Tinggalkan aku di sini, dengan rumah kartuku ini. Aku sedang menjernihkan pikiranku." Kira-kira jam lima pagi, aku dibangunkannya. Poirot berdiri di sisi tempat tidurku. Ia kelihatan senang dan gembira. "Tepat sekali apa yang kaukatakan, mon ami. Oh, tepat sekali! Apalagi kata-kata itu mengandung falsafah!" Aku memandanginya dengan mata masih mengerjap-ngerjap, karena belum benar-benar bangun. "Keadaan memang selalu paling gelap menjelang fajar menyingsing - begitu katamu. Keadaan memang gelap sekali, tapi sekarang fajar sudah menyingsing." Aku melihat ke jendela. Ia benar. "Bukan, bukan, Hastings. Maksudku di kepalaku! Pikiranku! Sel-sel kecilku yang kelabu." Ia berhenti sebentar, lalu berkata dengan suara halus, "Tahukah kau, Hastings, Mademoiselle sudah meninggal." "Apa?" pekikku. Tiba-tiba aku benar-benar terbangun. "Sst... sst. Itu hanya kata-kataku. Bukan sebenarnya. Bien entendu,* (*camkan itu) tapi itu bisa diatur. Aku akan mengaturnya dengan para dokter dan para juru rawat. "Tahukah kau, Hastings" Si pembunuh sudah berhasil. Dia sudah mencoba empat kali, dan gagal. Yang kelima kalinya, dia berhasil. "Dan sekarang, akan kita lihat apa lagi yang terjadi. Pasti akan menarik sekali." 18 WAJAH DI JENDELA KEJADIAN-KEJADIAN esok harinya benar-benar samar dalam ingatanku. Aku sangat tak beruntung, karena terserang demam waktu aku bangun. Aku mudah terserang demam begini pada saat-saat yang tak menyenangkan, sejak aku terserang malaria dulu. Akibatnya kejadian-kejadian hari itu hanya kuingat sebagai suatu mimpi buruk ketika Poirot datang dan pergi sebagai pelawak aneh yang sekali-sekali muncul dalam sirkus. Kurasa ia sedang senang sekali. Sikapnya yang membayangkan putus asa mengagumkan sekali. Tak dapat kukatakan bagaimana ia berhasil mencapai akhir yang sudah dibayangkan dan yang telah diceritakannya padaku pagi-pagi sekali itu. Yang jelas, ia telah berhasil. Hal itu pasti tak mudah. Pasti besar sekali kebohongan dan kepura-puraan yang telah dilibatkannya. Orang-orang Inggris benci sekali akan kebohongan, padahal justru itulah yang diperlukan dalam rencana Poirot. Pertama-tama, ia harus memperalat Dr. Graham dalam rencananya itu. Setelah Dr. Graham berada di pihaknya, ia harus membujuk Pengawas Rumah Perawatan dan beberapa anggota stafnya untuk ikut serta dalam rencananya. Dalam usahanya itu, tentu besar sekali kesulitan yang dihadapinya. Mungkin pengaruh Dr. Graham-lah yang mempermudah persoalan. Selain itu, ada pula kepala polisi setempat dan korps polisi. Dalam hal itu, Poirot berhadapan dengan badan resmi. Namun akhirnya ia berhasil juga mendapat persetujuan dari Kolonel Weston, meskipun dengan susah payah. Kolonel itu menjelaskan bahwa ia sama sekali tak mau bertanggung jawab. Poirot-lah yang harus bertanggung jawab mengenai penyebarluasan laporan-laporan bohong itu. Poirot menyanggupinya. Ia mau menyanggupi apa saja, asalkan diperbolehkan melaksanakan rencananya. Hampir sepanjang hari kuhabiskan dengan tidur-tiduran saja di sebuah kursi besar, dengan sehelai selimut menutupi lututku. Setiap dua atau tiga jam, Poirot masuk dan memberikan laporan padaku tentang kemajuan kegiatannya. "Bagaimana keadaanmu, mon amil Aku kasihan sekali padamu. Tapi barangkali itu lebih baik, karena kau takkan bisa memainkan sandiwara ini sebaik aku. Aku baru saja kembali dari memesan sebuah karangan bunga - sebuah karangan bunga yang besar sekali - yang luar biasa. Bunganya bunga lili, sahabatku, dalam jumlah besar sekali, disertai ucapan, Berdukacita sedalam-dalamnya. Dari Hercule Poirot. Ah! Lucu sekali." Ia pergi lagi. "Aku baru kembali dari percakapan yang sangat tajam dengan Madame Rice," begitu bunyi informasinya yang berikut. "Pantas sekali dia memakai baju hitam. Sahabatnya yang malang - alangkah tragisnya! Aku menggeram, menyatakan ikut prihatin. Nick begitu periang, begitu penuh kehidupan, katanya. Rasanya tak mungkin membayangkan dia meninggal. Aku membenarkannya. 'Memang,' kataku, 'itulah ironinya kematian. Dia mengambil orang yang seperti itu. Yang tua-tua dan tak berguna lagi dibiarkannya hidup.' Wah, aku lalu menggeram lagi." "Pasti kau senang sekali dengan permainan itu," gumamku lemah. "Du tout.* (*Sama sekali tidak.) Itu merupakan bagian dari rencanaku. Tak lebih. Untuk bisa memainkan suam komedi dengan berhasil, kita harus memainkannya dengan sepenuh hati. Nah, setelah basa-basi ucapan duka-cita selesai, Madame membicarakan hal-hal yang lebih berhubungan dengan kenyataan. Sepanjang malam dia tak bisa tidur, katanya. Dia bertanya-tanya terus mengenai coklat itu. Itu tak mungkin - tak mungkin. 'Madame,' kataku, 'hal itu bukan tak mungkin. Anda bisa melihat laporan dari analis yang telah memeriksanya.' Lalu dia berkata dengan suara yang sama sekali tak mantap, 'Anda katakan... itu kokain, bukan"' Kujawab ya. 'Ya Tuhan! Saya tak mengerti!' katanya." "Mungkin itu benar." "Dia tahu benar bahwa dia terancam bahaya. Dia wanita yang cerdas. Sudah kukatakan itu padamu dulu. Ya, dia terancam bahaya, dan dia tahu itu." "Tapi kulihat mula-mula kau tak percaya bahwa dia bersalah." Poirot mengerutkan dahinya. Sikapnya yang bersemangat agak berkurang. "Dalam sekali kata-katamu itu, Hastings. Ya, aku menyadari hal itu, entah bagaimana. Kulihat fakta-faktanya tak cocok lagi. Kejahatan-kejahatan, selama ini, paling ditandai dengan kelicikan, bukan" Tapi dalam hal ini sama sekali tak ada kelicikan. Yang terasa hanya kekasarannya, keasliannya, dan Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kesederhanaannya. Jadi... yah, tak cocok." Ia duduk di meja. "Voila - mari kita meneliti kenyataan-kenyataannya. Ada tiga kemungkinan. Kita tahu bahwa coklat itu dibeli oleh Madame Rice, dan diantar oleh M. Lazarus. Dalam hal itu, kesalahan ada pada salah seorang di antaranya, atau pada keduanya. Lalu telepon itu, yang katanya dari Mademoiselle Nick, itu jelas sesuatu yang dikarang-karang. Itulah yang jelas, penyelesaian yang nyata. "Penyelesaian kedua. Kotak yang sebuah lagi, yang datang lewat pos. Siapa saja mungkin mengirimnya. Salah seorang di antara para tersangka yang namanya tercantum dalam daftar kita, dari A sampai J. - Kau ingat, kan" Suatu kemungkinan yang luas. - Bila kotak itu yang menjadi penyebab kematian, apa maksud telepon itu" Mengapa mempersulit persoalan dengan kotak kedua?" Aku menggeleng dengan lemah. Karena suhu badanku hampir tiga puluh sembilan derajat Celsius, semua yang sulit rasanya tak ada gunanya dan tak masuk akal. "Penyelesaian ketiga. Kotak coklat yang dibeli Madame memang tak apa-apa. Tapi kotak itu telah ditukar dengan sebuah kotak yang isinya sudah diracuni. Dalam hal itu, pembicaraan telepon itu memang benar ada, dan bisa dimengerti. Madamelah yang harus menjadi apa yang kita sebut kambing hitam. Dialah yang harus menanggung dosa orang lain. Jadi, penyelesaian ketigalah yang paling logis, tapi sayang, itu pulalah yang paling sulit. Bagaimana mereka bisa yakin menukarkan sebuah kotak pada saat yang tepat" Pesuruh itu bisa saja langsung membawa kotak tersebut ke lantai atas. Pokoknya ada seribu satu kemungkinan yang bisa mencegah terjadinya penukaran itu. Tidak, rasanya tak masuk akal." "Kecuali orang itu Lazarus," kataku. Poirot memandangiku. "Kau demam, sahabatku. Sekarang panasmu sedang meninggi, ya?" Aku mengangguk. "Aneh, ya, suhu badan yang lebih tinggi beberapa derajat malah bisa merangsang kecerdasan. Pernyataanmu merupakan observasi dari suatu hal yang sangat sederhana. Demikian sederhananya, hingga tak terlihat olehku. Tapi hal itu bisa dianggap aneh. M. Lazarus, sahabat dekat Madame, berusaha keras supaya wanita itu digantung. Itu aneh, bukan" Hal itu menunjukkan kemungkinan adanya sifat aneh. Tapi rumit sekali." Aku memejamkan mata. Aku senang dikatakan cerdas, tapi aku tak mau memikirkan yang rumit-rumit. Aku ingin tidur. Poirot terus saja berbicara, tapi aku tak mendengarkan. Suaranya terasa sayupsayup menenangkan. Sore sudah larut waktu aku bertemu lagi dengannya. "Rencana kecilku telah mendatangkan untung besar pada toko bunga," kisahnya. "Semua orang memesan karangan bunga. Mr. Croft, M. Vyse, Komandan Challenger..." Nama yang disebut terakhir itu menimbulkan rasa penyesalan dalam pikiranku. "Dengarkan, Poirot," kataku. "Dia harus kauikutsertakan dalam rencanamu ini. Kasihan dia. Pikirannya akan kusut dan sedih. Itu tak adil." "Hatimu lembut terhadapnya, Hastings." "Aku suka padanya. Dia orang baik-baik. Kau harus mengikutsertakannya dalam rahasia ini." Poirot menggeleng. "Tidak, mon ami. Aku tak mau pilih kasih." "Tapi kau kan tidak curiga bahwa dia terlibat dalam peristiwa ini?" "Aku tak mau membuat pengecualian." "Bayangkan betapa menderitanya dia." "Sebaliknya, aku lebih suka membayangkan betapa menyenangkan kejutan yang kusiapkan untuknya. Dia, yang mengira bahwa orang yang dicintainya telah meninggal, kemudian melihat bahwa orang itu masih hidup! Itu merupakan suatu sensasi yang lain dari yang lain - luar biasa." "Keras kepala sekali, kau. Dia pasti akan menyimpan rahasia itu." "Aku tak yakin." "Dia orang terhormat. Aku yakin itu." "Justru itu, akan lebih sulit baginya untuk menyimpan rahasia. Menyimpan rahasia merupakan suatu seni yang menuntut kepandaian kita menceritakan kebohongan dengan lihai, dan kita harus memiliki kemampuan besar untuk memainkan komedi itu, dan menikmatinya. Bisakah Komandan Challenger berpura-pura" Bila benar apa yang kaukatakan tentang dia, pasti dia tak bisa." "Jadi kau tak mau menceritakannya padanya?" "Aku pasti menolak melakukan sesuatu yang akan mengancam keberhasilan rencanaku, hanya demi perasaan mendalam terhadap seseorang. Yang kita mainkan ini suatu permainan hidup dan mati, mon cher. Lagi pula, penderitaan itu bagus untuk watak seseorang. Banyak pendetamu yang berkata begitu - bahkan kalau tak salah, ada pula seorang uskup." Aku tidak lagi berusaha menggoyahkan keputusannya. Kulihat tekadnya sudah bulat. "Aku tidak akan berpakaian resmi untuk makan malam," gumamnya. "Aku harus berperan sebagai seorang tua yang patah semangat. Itulah peranku, mengertikah kau" Rasa percayaku sudah hancur sama sekali. Aku hancur. Aku sudah gagal. Aku akan makan sedikit sekali. Akan kubiarkan makanan tak tersentuh di piringku. Kurasa itulah sikap yang paling tepat. Di apartemenku, aku akan makan manisan dan coklat yang sudah kubeli di toko kue dan gula-gula. Et vous?"* (*Dan kau") "Tolong belikan aku kina lagi," kataku dengan sedih. "Kasihan kau, Hastings. Tapi besarkanlah hatimu. Besok pasti kau sudah sembuh." "Besar sekali kemungkinannya. Serangan-serangan seperti ini biasanya memang hanya berlangsung dua puluh empat jam." Aku tak mendengarnya kembali ke kamarnya. Aku pasti tertidur lagi. Waktu aku terbangun, ia sedang duduk menulis di mejanya. Di depannya ada kertas tergumpal yang sudah dilicinkan kembali. Aku mengenali kertas itu, tempat ia menuliskan daftar nama orang-orang, dari A sampai J, yang waktu itu sudah digumpal-gumpalkannya dan dibuangnya. Ia mengangguk, seolah-olah memberikan jawaban membenarkan untuk pikiranku yang tak kuucapkan itu. "Ya, sahabatku, aku telah memungutnya kembali. Sekarang aku menanganinya dari segi lain. Kususun suatu daftar pertanyaan mengenai setiap orang. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan kejahatan itu, soalnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah mengenai hal-hal yang tidak kuketahui - hal-hal yang tetap tak terjelaskan. Dan untuk semua pertanyaan itu, aku memberikan jawaban dari otakku sendiri." "Sudah sampai berapa jauh kau?" "Aku sudah selesai. Mau kau mendengarnya" Bukankah kau sudah cukup kuat?" "Ya, aku bahkan sudah merasa lebih baik." "Syukurlah! Baiklah, akan kubacakan. Pasti ada di antaranya yang kauanggap kekanak-kanakan." Ia berdehem. A. Ellen. Mengapa dia tinggal di dalam rumah dan tidak keluar untuk nonton pesta kembang api" (Itu tidak biasa, sebagaimana dinyatakan oleh Mademoiselle dengan heran.) Apakah dia mengira atau menduga akan terjadi sesuatu" Adakah dia mengizinkan seseorang masuk ke rumah" (J umpamanya") Benarkah apa yang dikatakannya mengenai pelapis dinding rahasia itu" Kalaupun itu ada, mengapa dia tak bisa mengingat di mana tempatnya" (Kelihatannya Mademoiselle yakin bahwa pelapis semacam itu tak ada, padahal dia pasti tahu.) Lalu, kalau dia hanya mengarang-ngarang saja, untuk apa" Apakah dia sudah membaca surat-surat cinta Michael Seton, atau apakah sikap terkejutnya mendengar berita pertunangan Mademoiselle Nick, memang mumi" B. Suaminya. Apa dia benar-benar sebodoh penampilannya" Apakah dia mengetahui pula apa yang diketahui Ellen" Atau tidak" Apakah dia punya kelainan jiwa, entah dalam bentuk apa" C. Anak mereka. Apakah kesenangannya melihat darah merupakan naluri yang wajar, yang sesuai dengan umur dan perkembangannya" Ataukah itu merupakan kelainan jiwa" Dan apakah kelainan jiwa itu diwarisinya dari salah seorang orangtuanya" pernahkah dia menembak dengan pistol mainan" D. Siapakah Mr. Croft" Dari mana dia sebenarnya" Benarkah dia telah memasukkan surat wasiat itu ke dalam kotak pos, sebagaimana sumpahnya" Motif apa yang mungkin ada padanya untuk tidak memasukkannya ke kotak pos" E. Sama dengan di atas. Siapakah Mr. dan Mrs. Croft" Apakah mereka sedang dalam persembunyian karena suam sebab" Kalau memang begitu, apakah sebab itu" Apakah hubungan mereka dengan keluarga Buckley" F. Mrs. Rice. Apakah sebenarnya dia tahu tentang pertunangan antara Nick dan Michael Seton" Apakah dia hanya menerka-nerka saja, atau apakah sebenarnya dia sudah membaca surat-menyurat antara mereka berdua" (Dalam hal itu, dia pasti tahu bahwa Mademoiselle adalah ahli waris Seton.) Tahukah dia bahwa dia sendiri adalah ahli waris yang tinggal" (Kurasa itu mungkin. Mungkin Mademoiselle sendiri yang mengatakannya padanya. Mungkin Mademoiselle menambahkan bahwa dia takkan mendapat banyak dari warisan itu.) Apakah pernyataan Komandan Challenger bahwa Lazarus tertarik pada Mademoiselle Nick ada benarnya" (Hal itu mungkin dapat menjelaskan mengenai hubungan yang kurang akrab antara kedua sahabat itu dalam beberapa bulan terakhir ini.) Siapakah yang dimaksud dengan "teman pria" yang tercantum dalam suratnya, yang katanya telah memberinya obat terlarang itu" Mungkinkah dia J" Mengapa pada suam hari dia tiba-tiba pingsan dalam ruangan ini" Apakah gara-gara sesuatu yang telah diucapkan, ataukah sesuatu yang dilihatnya" Apakah laporannya mengenai telepon yang memintanya untuk membeli coklat itu benar" Atau itu suatu kebohongan yang disengaja" Apa maksudnya dengan kata-kata, "Saya mengerti mengenai peristiwa-peristiwa yang lain itu, tapi yang ini tidak?" Kalau bukan dia sendiri yang bersalah, apakah yang diketahuinya tapi dirahasiakannya" "Kaulihat," kata Poirot, tiba-tiba memotong pembacaannya, "pertanyaan-pertanyaan yang sehubungan dengan Madame Rice boleh dikatakan tak terhitung jumlahnya. Dari awal sampai akhir, dia merupakan teka-teki. Dan hal itu memaksaku mengambil suatu kesimpulan. Madame Rice yang bersalah, atau dia tahu - atau dapat pula kita katakan dia mengira dirinya tahu - siapa yang bersalah. Tapi apakah dia benar" Apakah dia benar-benar tahu, atau hanya curiga" Dan bagaimana caranya untuk membuatnya bicara?" Ia mendesah. "Nah, akan kuteruskan dengan daftar pertanyaanku. G. Mr. Lazarus. Aneh, boleh dikatakan tak ada pertanyaan mengenai dia, kecuali satu, yaitu suatu pertanyaan kasar, "Diakah yang telah menukarkan coklat beracun itu?" Selanjutnya aku hanya menemukan satu pertanyaan yang tak ada hubungannya. Tapi itu pun kucantumkan. "Mengapa Mr. Lazarus menawarkan untuk membeli sebuah lukisan dengan harga lima puluh pound, padahal lukisan itu hanya bernilai dua puluh pound?" "Dia ingin membantu Nick," kataku, mengeluarkan pendapat. "Dia tidak akan melakukannya dengan cara itu. Dia seorang pedagang. Dia takkan mau membeli kalau harus menjualnya dengan rugi. Kalau ingin berbuat baik, dia akan meminjaminya uang secara pribadi." "Bagaimanapun juga, tak mungkin ada hubungannya dengan kejahatan itu." "Ya, mungkin benar. Tapi aku tetap ingin tahu. Ingat, aku pernah menjadi mahasiswa psikologi. "Sekarang kita sampai pada H." H. Komandan Challenger. Mengapa Mademoiselle mengatakan padanya bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain" Apa yang membuatnya menganggap perlu untuk mengatakan itu" Gadis itu tidak menceritakannya pada orang lain. Apa karena Challenger melamar Mademoiselle Nick" Bagaimana hubungannya dengan pamannya" "Pamannya, Poirot?" "Ya, dokter itu. Pribadi yang patut dipertanyakan itu. Apakah berita pribadi mengenai kematian Michael Seton telah sampai pada Angkatan Laut, sebelum disiarkan pada umum?" "Aku sama sekali tak mengerti maksudmu, Poirot. Meskipun sekiranya Challenger sudah tahu sebelumnya tentang Seton, kita tetap tidak mendapatkan kejelasan apaapa. Hal itu tidak memberikan motif yang jelas untuk membunuh gadis yang dicintainya." "Aku sependapat. Apa yang kaukatakan sangat masuk akal. Tapi itu hanya hal-hal yang ingin kuketahui. Soalnya, aku tetap anjing yang mendengus-dengus kiankemari, mencari hal-hal yang tidak begitu menyenangkan!" I. Mr. Vyse. Mengapa dia harus mengatakan tentang betapa fanatiknya sepupunya mencintai End House" Motif apa yang mungkin ada padanya dalam mengatakan itu" Adakah dia menerima surat wasiat itu atau tidak" Apakah dia seorang yang jujur" "Dan sekarang J. Eh bien, J kucantumkan dengan disertai tanda tanya raksasa. Apakah orang itu ada, atau tak ada.... "Mon Dieu! Sahabatku! Kenapa kau?" Aku tiba-tiba terlompat dari tempat dudukku, sambil menjerit. Aku menunjuk ke arah jendela dengan jari gemetar. "Ada wajah orang, Poirot!" pekikku. "Ditempelkan di kaca. Wajah yang mengerikan! Sekarang sudah tak ada lagi, tapi aku melihatnya tadi." Poirot berjalan ke jendela dengan langkah-langkah panjang, lalu mendorongnya hingga terbuka. Ia menyandarkan diri pada jendela, dan menjenguk ke luar. "Tak ada siapa-siapa di sana sekarang," katanya sambil merenung. "Yakinkah kau bahwa kau tidak mengkhayal, Hastings?" "Aku yakin. Wajah itu mengerikan." "Di sini memang ada balkon. Siapa pun bisa berdiri di situ dengan mudah sekali, bila ingin mendengarkan percakapan kita. Waktu kaukatakan wajah yang mengerikan, Hastings, apa maksudmu sebenarnya?" "Wajah itu putih dan menatap keras, hampir tidak seperti wajah manusia." "Mon ami, itu pasti gara-gara demammu. Wajah... ya, mungkin. Wajah yang tak menyenangkan, bisa. Tapi wajah yang hampir-hampir tak manusiawi - tidak. Yang kaulihat adalah akibat wajah yang ditekan keras-keras pada kaca, ditambah dengan perasaan shock-mu karena melihat wajah di situ." "Wajah itu mengerikan," kataku berkeras. "Apakah itu bukan wajah... seseorang yang kaukenal?" "Sama sekali bukan." "Hm... tapi itu mungkin saja! Aku ragu apakah kau bisa mengenalinya dalam keadaan demikian. Ya, aku ragu sekali." Sambil merenung, ia mengumpulkan kertas-kertasnya. "Setidaknya ada juga satu kebaikannya. Kalaupun si pemilik wajah itu ikut mendengarkan percakapan kita tadi, kita tidak menyebutkan bahwa Mademoiselle Nick masih hidup dan sehat-sehat saja. Apa pun yang didengar tamu kita tadi, setidaknya hal yang satu itu tidak didengarnya." "Tapi," kataku, "sampai sejauh ini, hasil dari... eh... langkahmu yang hebat itu, agaknya mengecewakan, bukan" Nick sudah meninggal, tapi tak ada perkembangan baru yang mengejutkan!" "Untuk sementara aku belum mengharapkan hasil. Dua puluh empat jam, kataku pada diriku sendiri. Besok, mon ami, bila aku tidak kelim, akan terjadi hal-hal tertentu. Kalau tidak... kalau tidak, artinya aku salah, dari awal sampai akhir. Aku juga mengharapkan pos besok." Pagi harinya aku bangun dengan perasaan lemah, tapi demamku sudah berkurang. Aku juga merasa lapar. Aku dan Poirot minta sarapan diantar ke kamar duduk kami. "Bagaimana?" kataku dengan usil, saat ia memilih surat-suratnya. "Apakah harapanmu mengenai pos sudah terpenuhi?" Poirot, yang baru saja membuka dua buah amplop yang pasti berisi surat-surat tagihan, tidak menyahut. Menurut penglihatanku, ia agak sedih. Ia tidak seperti biasanya, penuh percaya diri. Aku membuka surat-suratku sendiri. Yang pertama adalah pemberitahuan mengenai suatu pertemuan kaum spiritualis. "Kalau semuanya gagal, kita harus mendatangi kaum spiritualis itu," kataku. "Aku sering bertanya sendiri, mengapa tidak diadakan tes lebih banyak mengenai halhal seperti yang kita alami ini. Roh si korban bisa kembali dan menyebutkan nama si pembunuh. Itu bisa menjadi bukti." "Itu tidak akan banyak membantu kita," kata Poirot linglung. "Aku ragu apakah Maggie Buckley tahu siapa yang telah menembaknya. Biarpun rohnya bisa berbicara, tak ada hal penting yang bisa dikatakannya pada kita. Ah, aneh sekali." "Apanya yang aneh?" "Kau berkata tentang orang meninggal yang berbicara, dan pada saat yang bersamaan, aku membuka surat ini." Dilemparkannya surat itu padaku. Surat itu dari Mrs. Buckley. Rumah Pendeta Langley. M. Poirot yang baik, Sekembalinya saya dari sini, saya menerima surat dari anak saya yang malang itu pada saat ia tiba di St. Loo. Saya rasa tak ada yang menarik bagi Anda dalam surat itu. Tapi saya pikir lagi, mungkin Anda ingin membacanya. Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Anda. Hormat saya, Jean Buckley. Membaca surat yang terlampir, leherku serasa tercekat. Surat itu sangat biasa, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh kecurigaan akan adanya suatu tragedi. Ibu tercinta, Saya telah tiba dengan selamat. Perjalanannya menyenangkan sekali. Di sepanjang perjalanan sampai ke Exeter, hanya ada dua orang penumpang lain dalam gerbong. Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di sini cuacanya bagus. Nick kelihatannya sehat dan ceria - mungkin agak gelisah. Tapi saya tak mengerti mengapa ia sampai menelegram saya secepat itu. Padahal hari Selasa pun sama saja. Tak ada berita lain sekarang. Kami akan minum teh bersama beberapa orang tetangga. Mereka orang-orang Australia, dan menyewa pondok di pekarangan End House. Kata Nick, mereka baik, meskipun agak menjengkelkan. Mrs. Rice dan Mr. Lazarus akan datang untuk menginap. Mr. Lazarus adalah seorang pedagang barang-barang seni. Surat ini akan saya masukkan ke kotak pos di dekat pintu pagar, nanti akan diambil oleh petugas pos. Besok saya akan menulis lagi. Ananda yang mencintaimu, Maggie. N.B. Kata Nick, dia punya alasan mengapa dia sampai mengirim telegram. Dia akan menceritakannya setelah minum teh nanti. Sikapnya aneh dan gugup sekali. "Suara orang yang telah meninggal," kata Poirot dengan halus. "Tapi suara itu... tidak menceritakan apa-apa pada kita." "Kotak pos di dekat pintu pagar," kataku iseng. "Kata Croft, di situ pula dia memasukkan surat wasiat itu." "Ya, memang begitu katanya. Aku ingin tahu. Ya, ingin sekali aku tahu!" "Tak adakah lagi yang menarik di antara surat-suratmu itu?" "Tak ada, Hastings. Aku tak senang. Aku berada dalam kegelapan. Masih tetap dalam gelap. Aku tak mengerti apa-apa." Pada saat itu, telepon berdering. Poirot pergi ke tempat pesawat itu berada. Segera kulihat perubahan pada wajahnya. Sikapnya jadi tegang sekali. Namun tak luput pula dari penglihatanku, betapa berkobar perasaannya. Jawaban-jawabannya sendiri dalam percakapan itu sama sekali tak berarti, hingga aku tak tahu, tentang apa pembicaraan itu. Akhirnya, setelah mengucapkan, "Banyak terima kasih," diletakkannya kembali alat penerima telepon itu, lalu ia kembali ke tempat aku duduk. Matanya bersinar, dan ia kelihatan senang sekali. "Mon ami," katanya. "Apa kataku! Mulai ada kejadian-kejadian." "Apa itu?" "M. Charles Vyse yang menelepon tadi. Dia memberitahukan bahwa pagi ini, melalui pos, dia menerima surat wasiat yang telah ditandatangani oleh sepupunya, Miss Buckley. Surat wasiat itu ditandatangani pada tanggal 25 Februari yang lalu." "Apa" Surat wasiat yang itu?" "Benar." "Sudah muncul sendiri?" "Pada saat yang tepat, bukan?" "Apakah menurutmu, benar apa yang dikatakannya itu?" "Atau apakah kupikir surat wasiat itu memang sudah lama ada padanya" Begitukah maksudmu" Yah, semuanya memang aneh. Tapi satu hal sudah pasti. Sudah kukatakan padamu bahwa bila Mademoiselle Nick dianggap meninggal, kita akan mendapatkan kemajuan-kemajuan, dan nyatanya memang begitu!" "Luar biasa," kataku. "Kau benar. Kurasa itulah surat wasiat yang menjadikan Frederica Rice pewaris yang tinggal, ya?" "M. Vyse tidak berkata apa-apa tentang isi surat wasiat itu. Dia orang yang sangat tahu aturan. Tapi sedikit sekali alasan untuk meragukan bahwa memang surat wasiat itulah yang dimaksud. Katanya surat wasiat itu disaksikan oleh Ellen Wilson dan suaminya." "Jadi kita kembali pada persoalan semula," kataku. "Frederica Rice." "Yang merupakan teka-teki itu!" "Frederica Rice," gumamku sambil lalu. "Sebuah nama yang bagus." "Lebih bagus daripada panggilan teman-temannya, 'Freddie'," kata Poirot dengan wajah mengejek. "Itu tak bagus - bagi seorang wanita muda." "Memang tak banyak singkatan untuk Frederica," kataku. "Tidak seperti Margaret yang ada enam macam singkatannya, seperti Maggie, Margot, Madge, Peggie..." "Benar juga. Nah, Hastings, apa kau lebih senang sekarang, karena sudah ada yang terjadi?" "Ya, tentu. Coba katakan terus terang, apakah kau memang sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi?" "Tidak, sebenarnya tidak. Aku tidak merumuskan apa-apa secara khusus. Aku hanya berkeyakinan bahwa kalau ada akibatnya, penyebab dari akibat itu akan bermunculan." "Ya," kataku dengan rasa hormat. "Apa yang akan kukatakan tadi, saat telepon itu berdering, ya?" renung Poirot. "Oh, ya! Surat dari Mademoiselle Maggie itu. Aku ingin melihatnya sekali lagi. Rasanya ada sesuatu yang aneh di dalam surat itu." Kupungut lagi surat itu dari tempat aku melemparkannya tadi, lalu kuberikan padanya. Poirot membacanya sekali lagi. Aku berjalan hilir-mudik dalam kamar itu. Aku memandang ke luar jendela, dan memperhatikan kapal-kapal pesiar melaju di teluk. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suatu pekikan. Aku berbalik. Poirot sedang memegang kepalanya dan mengayun-ayunkan tubuhnya kian-kemari. Kelihatannya ia seperti sedang tersiksa oleh suatu kesedihan. "Aduh!" geramnya. "Aku buta sekali - buta." "Ada apa?" "Rumit kataku" Berbelit" Mais non.* (*Sama sekali tidak.) Justru sangat sederhana - bukan main. Dan tololnya aku! Aku tak melihat apa-apa - tak menampak apa-apa." "Demi Tuhan, Poirot, cahaya apakah yang tiba-tiba telah menerangimu?" "Tunggu! Tunggu! Jangan bicara. Aku harus mengatur pikiranku. Harus kuatur kembali dalam penerangan penemuan baru yang luar biasa ini." Diambilnya kembali daftar pertanyaannya, lalu dibacanya pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi, tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang sibuk bergerak. Sekali-dua kali ia mengangguk kuat-kuat. Lalu diletakkannya kembali daftar itu, kemudian ditutupnya matanya sambil bersandar di kursinya. Akhirnya kusangka ia tertidur. Tiba-tiba ia mendesah, lalu membuka matanya. "Tentu saja!" katanya. "Semuanya cocok! Semuanya yang telah membuatku bingung. Semuanya yang seolah-olah tak wajar di mataku. Semua itu ada tempatnya." "Maksudmu... kau tahu semuanya?" "Hampir semuanya. Semua yang ada manfaatnya. Dalam beberapa hal, kesimpulankesimpulanku benar. Dalam hal-hal lain, jauh sekali dari kebenaran. Tapi sekarang semuanya jelas. Hari ini aku akan mengirim telegram, untuk menanyakan dua hal, tapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu aku sudah tahu - sudah ada di sini!" katanya sambil mengetuk dahinya. "Dan bila kauterima jawaban-jawabannya?" tanyaku ingin tahu. Ia melompat berdiri. "Sahabatku, ingatkah kau Mademoiselle Nick berkata bahwa dia ingin mementaskan suatu sandiwara di End House" Malam ini akan kita pentaskan sandiwara itu di End House. Tapi Hercule Poirot yang akan menjadi produsernya. Mademoiselle Nick akan memainkan suatu peran dalam sandiwara itu. Dalam sandiwara itu, akan ada hantunya. Ya, hantu. Orang tak pernah melihat hantu di End House. Malam ini orang akan melihatnya. Tidak," katanya, waktu aku mencoba bertanya. "Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Malam ini, Hastings, kita akan mementaskan kisah komedi kita, sekalian menampilkan kebenaran. Tapi sekarang banyak yang harus kita lakukan - kerja kita banyak." Ia keluar dari kamar dengan terburu-buru. 19 POIROT MEMENTASKAN SUATU SANDIWARA Di End House, malam itu, diadakan suam pertemuan yang terdiri atas sekumpulan orang yang semuanya ingin tahu. Sepanjang hari itu aku hampir tak bertemu dengan Poirot. Ia pergi keluar untuk makan malam, tapi ia meninggalkan pesan bahwa jam sembilan malam aku sudah harus berada di End House. Ditambahkannya bahwa aku tak perlu mengenakan pakaian malam resmi. Seluruh peristiwa itu seperti sebuah mimpi yang agak lucu. Begitu tiba, aku dipersilakan masuk ke ruang makan. Dan waktu aku menatap ke sekelilingku, kulihat bahwa semua orang yang namanya tercantum dalam daftar Poirot, dari A sampai I, hadir. (J sudah disingkirkan, karena kedudukannya, seperti yang dikatakan Mrs. Harris, "Mana ada orang seperti itu.") Bahkan Mrs. Croft pun hadir. Ia duduk di kursi khusus untuk orang cacat. Ia tersenyum dan mengangguk padaku. "Ini suatu kejutan, bukan?" katanya dengan ceria. "Saya akui bahwa ini merupakan suatu perubahan bagi saya. Saya rasa, saya memang harus mencoba keluar sekalisekali. Semua ini gagasan M. Poirot. Mari duduk di dekat saya, Kapten Hastings. Entah karena apa, saya merasa urusan ini mengerikan, tapi Mr. Vyse telah berusaha keras." "Mr. Vyse?" tanyaku agak terkejut. Charles Vyse sedang berdiri di dekat para-para perapian. Poirot berdiri di sebelahnya, bercakap-cakap serius dengannya, dengan berbisik. Aku melihat ke seputar ruangan. Ya, mereka semua ada di situ. Setelah mempersilakan aku masuk (aku terlambat satu atau dua menit), Ellen lalu duduk di sebuah kursi di dekat pintu. Suaminya duduk di kursi lain dengan kaku dan tegak sekali, dan napasnya mendengus. Alfred, anak mereka, menggeliat dengan gelisah di antara ayah-ibunya. Yang lain-lain duduk mengelilingi meja makan. Frederica yang mengenakan baju hitamnya, Lazarus di sampingnya, George Challenger dan Croft di seberang meja. Aku duduk agak jauh dari meja makan, di dekat Mrs. Croft. Dan sekarang, setelah mengangguk untuk terakhir kalinya, Charles Vyse mengambil tempat di kepala meja, sedangkan Poirot diam-diam menyelinap ke sebuah kursi di sebelah Lazarus. Jelas kelihatan bahwa sang produser, sebagaimana Poirot menamakan dirinya, tak punya keinginan untuk memainkan peran penting dalam sandiwara itu. Agaknya Charles Vyse-lah yang bertugas memimpin sandiwara itu. Aku ingin tahu, kejutankejutan apa yang akan dibuat Poirot. Pengacara muda itu meneguk air ludahnya, lalu berdiri. Penampilannya sama seperti biasa, datar, resmi, dan tanpa emosi. "Pertemuan kita malam ini tidak konvensional," katanya. "Tapi keadaannya memang tak biasa. Maksud saya, keadaan sehubungan dengan kematian sepupu saya, Miss Buckley. Autopsi pasti akan diadakan. Agaknya tidak diragukan lagi bahwa dia meninggal karena racun, dan bahwa racun itu dibubuhkan dengan niat untuk membunuh. Itu urusan polisi, dan saya tak perlu membahasnya lebih jauh. Polisi pasti tak ingin saya berbuat demikian. "Dalam keadaan biasa, surat wasiat dari seseorang yang meninggal dibacakan setelah pemakaman. Tapi, atas permintaan khusus dari M. Poirot, saya akan membacakannya di sini sekarang. Itulah sebabnya semua orang diminta datang kemari. Seperti saya katakan tadi, keadaannya luar biasa. Oleh karenanya kita boleh menyimpang dari kebiasaan yang lazim. "Surat wasiat itu sendiri tiba di tangan saya dengan cara tak wajar. Sebab surat itu baru saya terima melalui pos tadi pagi, padahal surat wasiat itu bertanggal bulan Februari yang lalu. Tapi tak diragukan lagi bahwa itu adalah tulisan tangan sepupu saya - saya tak ragu mengenai hal itu. Dan meskipun itu merupakan dokumen tak resmi, surat wasiat itu telah diberi kesaksian sebagaimana mestinya." Ia berhenti sebentar dan berdehem sekali lagi. Semua mata tertuju padanya. Dari sebuah amplop panjang ia mengeluarkan sehelai kertas. Kami lihat itu hanya kertas tulis biasa khusus End House. "Surat wasiat ini singkat sekali," kata Vyse. Ia berhenti sebentar, lalu mulai membaca, "Ini merupakan surat wasiat dan testamen terakhir dari Magdala Buckley. Saya minta supaya semua biaya penguburan saya dibayarkan, dan saya menunjuk sepupu saya, Charles Vyse, sebagai pelaksana warisan saya. Segala sesuatu yang saya miliki pada saat meninggal, saya wariskan pada Mildred Croft, sebagai pernyataan terima kasih saya atas jasa-jasa yang telah diberikannya kepada ayah saya, Philip Buckley. Jasa-jasanya itu tak dapat dibayar dengan apa pun juga. Ditandatangani: Magdala Buckley. Saksi-saksi: Ellen Wilson - William Wilson" Aku terpana! Dan kurasa begitu pula semua orang. Hanya Mrs. Croft yang mengangguk dengan penuh pengertian. "Itu memang benar," katanya dengan tenang. "Bukan karena saya ingin menonjolnonjolkan hal itu. Philip Buckley memang pernah berada di Australia, dan kalau bukan karena saya - ah, saya tak mau bercerita lebih lanjut mengenai hal itu. Selama ini hal itu merupakan rahasia, dan sebaiknya tetap menjadi rahasia. Tapi gadis itu tahu. Ya, Nick tahu. Pasti ayahnya telah menceritakannya padanya. Kami datang kemari karena ingin melihat tempat ini. Sudah lama saya ingin tahu tentang End House yang telah diceritakan oleh Philip Buckley. Dan gadis yang baik hati itu tahu semua tentang urusan tersebut, lalu dia mau melakukan apa saja untuk kami. Dimintanya kami datang dan tinggal bersamanya di End House. Tapi kami menolak. Jadi didesaknya kami supaya mau tinggal di rumah bedeng itu, dan dia tak mau menerima uang sewa barang satu penny pun. Tentu kami berpurapura membayarnya, agar tidak menimbulkan gunjingan, tapi uang itu kemudian dikembalikannya pada kami. Dan sekarang, ini lagi! Nah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa di dunia ini tak ada lagi rasa terima kasih, saya yang akan mengatakan pada mereka bahwa mereka kelim! Inilah buktinya!" Keadaan masih hening dan diliputi kebingungan. Poirot melihat ke arah Vyse. "Apakah Anda tahu hal itu?" Vyse menggeleng. "Saya tahu bahwa Philip Buckley memang pernah berada di Australia. Tapi saya tak pernah mendengar desas-desus tentang suatu skandal atau semacamnya di sana." Vyse menoleh pada Mrs. Croft dengan pandangan bertanya. Wanita itu menggeleng. "Tidak. Saya takkan mengucapkan sepatah kata pun pada Anda. Selama ini saya tak pernah mengatakan apa-apa, dan saya takkan pernah melakukannya. Rahasia itu akan saya bawa ke kubur bersama saya." Vyse tidak berkata apa-apa. Ia duduk diam-diam, sambil mengetuk-ngetukkan pensil di meja. "M. Vyse," - Poirot mencondongkan tubuhnya ke depan - "saya rasa, sebagai keluarga terdekat, Anda bisa menggugat surat wasiat itu. Kalau tak salah, kekayaan yang dipertaruhkan sekarang ini besar sekali jumlahnya. Padahal waktu surat wasiat itu dibuat, tidak demikian halnya." Vyse melihat padanya dengan pandangan dingin. "Surat wasiat itu benar-benar sah. Saya sama sekali tak berniat menggugat penyerahan kekayaan sepupu saya." "Anda seorang pria jujur," kata Mrs. Croft memuji, "dan saya akan berusaha agar Anda tidak dirugikan gara-gara sifat yang baik itu." Charles agak terkejut mendengar pernyataan yang mengandung niat baik namun agak memalukan itu. "Ah, Mama," kata Mr. Croft dengan nada girang yang tak dapat disembunyikannya. "Ini suatu kejutan! Nick tidak mengatakan padaku bagaimana dia akan mewariskan kekayaannya." "Gadis manis yang baik itu," gumam Mrs. Croft sambil menekankan saputangan ke matanya. "Saya harap dia bisa melihat kita sekarang, dari atas sana. Mungkin dia bisa melihat. Siapa tahu?" "Mungkin bisa," kata Poirot membenarkan. Tiba-tiba ia seperti mendapatkan suatu ilham. Ia memandang berkeliling. "Ini gagasan saya! Kita semua duduk mengelilingi meja. Mari kita memanggil roh orang yang sudah meninggal itu." "Memanggil roh orang yang sudah meninggal?" tanya Mrs. Croft agak terkejut. "Tapi untuk apa?" "Ya, ya, itu akan menarik sekali. Hastings ini memiliki kekuatan batin untuk menjadi perantara." (Mengapa aku yang ditunjuk, pikirku.) "Untuk menyampaikan pesan dari dunia lain. Kesempatan ini lain dari yang lain! Saya rasa keadaannya sekarang tepat sekali. Kau merasa begitu juga, bukan, Hastings?" "Ya," kataku dengan nekat. Aku menyesuaikan diri dengan permainan. "Bagus. Aku sudah tahu itu. Cepat padamkan lampu." Sebentar kemudian ia sudah bangkit dan memadamkan lampu-lampu. Keadaan itu dipaksakannya dengan cepat pada semua yang hadir, sebelum mereka sempat dan punya kekuatan untuk protes. Meskipun mungkin keinginan untuk protes itu ada, kurasa mereka masih bingung dan terkejut mendengar isi surat wasiat tadi. Kamar itu tidak terlalu gelap. Tirai-tirai dibuka, juga jendela-jendela, karena malam itu panas. Melalui jendela itu masuk cahaya samar-samar. Setelah kami duduk dalam keheningan selama beberapa menit, aku mulai bisa membedakan garisgaris bentuk perabot rumah tangga. Aku ingin sekali tahu, tindakan apa yang seharusnya kulakukan. Dalam hati, aku mengutuki Poirot, karena tidak memberikan instruksi sebelumnya. Tapi kupejamkan juga mataku, lalu aku bernapas dengan agak mendengkur. Kemudian Poirot bangkit, berjalan berjingkat ke kursiku. Lalu ia kembali ke kursinya dan berkata, "Ya, dia sudah mulai kemasukan. Sebentar lagi ada sesuatu yang akan terjadi." Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Duduk sambil menunggu dalam gelap selalu menimbulkan perasaan ngeri pada seseorang. Kusadari bahwa aku sendiri telah menjadi korban saraf yang tegang, dan aku yakin semua orang juga begitu. Tapi setidaknya aku sudah punya bayangan apa yang akan terjadi. Aku tahu suatu kenyataan yang sangat penting, yang tak diketahui siapa pun juga. Meskipun demikian, jantungku serasa meloncat ke mulut, waktu kulihat pintu ruang makan terbuka perlahan-lahan. Pintu itu terbuka tanpa bersuara (mungkin telah diminyaki), hingga menimbulkan kesan mengerikan. Berayun perlahan, dan selama beberapa menit, hanya itulah yang terjadi. Dengan terbukanya pintu, embusan angin dingin memasuki ruangan. Kurasa itu hanya embusan angin dari kebun, tapi rasanya begitu dingin, seperti biasa disebutkan dalam kisah-kisah hantu yang pernah kubaca. Lalu kami semua melihatnya! Di ambang pintu, berdiri suam sosok putih. Nick Buckley.... Ia berjalan maju perlahan-lahan, tanpa suara, dengan semacam gerakan halus mengambang, yang memberikan kesan sangat tidak manusiawi.... Waktu itu kusadari betapa hebatnya dia, sekiranya ia menjadi seorang aktris. Nick memang ingin memainkan suatu peran di End House. Sekarang ia memainkannya, dan aku yakin ia sangat menikmatinya. Ia memainkan perannya dengan sempurna. Ia seperti mengapung, maju terus ke dalam ruangan, dan keheningan pun pecah. Terdengar pekik tercekat dari kursi roda di sebelahku. Dari Mr. Croft terdengar suara seperti orang berkumur. Karena terkejut, suatu umpatan terlompat dari mulut Challenger, Charles Vyse mendorong kursinya ke belakang, sedangkan Lazarus mencondongkan tubuhnya ke depan. Hanya Frederica yang tak bersuara dan tak bergerak. Kemudian suatu teriakan membelah ruangan itu. Ellen terlompat dari kursinya. "Itu dia!" pekiknya. "Dia kembali. Dia berjalan! Orang-orang yang mati dibunuh memang selalu berjalan. Itu dia! Itu dia!" Lalu terdengar bunyi "klik", dan lampu pun menyala. Kulihat Poirot berdiri di dekat sakelar lampu. Di wajahnya terbayang senyum senang. Nick berdiri di tengah-tengah ruangan, mengenakan pakaian putih yang banyak kerutnya. Frederica-lah yang pertama-tama berbicara. Dengan sikap tak yakin diulurkannya tangannya, lalu disentuhnya sahabatnya itu. "Nick," katanya. "Kau... kau masih hidup!" Suaranya hanya merupakan suatu bisikan. Nick tertawa dan berjalan terus. "Ya," katanya. "Aku masih hidup. Terima kasih banyak atas apa yang telah Anda lakukan terhadap ayah saya, Mrs. Croft. Tapi sayang, Anda belum bisa menikmati manfaat dari surat wasiat itu." "Ya Tuhanku," seru Mrs. Croft dengan terengah. "Ya Tuhanku." Ia bergerak-gerak gelisah di kursinya. "Bawa aku pergi, Bert. Bawa aku pergi. Yang kukatakan tadi hanya lelucon belaka, Sayang. Semuanya hanya lelucon. Sungguh." "Suatu lelucon yang aneh," kata Nick. Pintu terbuka lagi, dan seorang pria masuk perlahan-lahan sekali, hingga aku tak mendengarnya. Aku terkejut, karena ternyata ia adalah Japp. Ia dan Poirot saling mengangguk dengan singkat, dan kelihatannya ia merasa puas akan sesuatu. Lalu wajahnya tiba-tiba berseri, dan ia maju selangkah ke arah sosok yang menggeliatgeliat di kursi roda. "Wah. Halo... halo," katanya. "Apa ini" Teman lama! Milly Merton rupanya! Dan kelihatannya tetap dengan tipu muslihatnya yang lama." Ia berbalik, lalu memberikan penjelasan pada kumpulan orang-orang itu, tanpa mempedulikan pekik jerit bantahan dari Mrs. Croft. "Milly Merton adalah seorang pemalsu terpandai yang tak ada duanya. Kami tahu mereka mengalami kecelakaan mobil, waktu sedang dalam perjalanan untuk melarikan diri. Tapi lihatlah! Cedera pada pinggulnya pun tidak menghalangi Milly dalam usaha tipu dayanya. Dia seorang aktris hebat!" "Apakah surat wasiat itu palsu?" tanya Vyse. Suaranya mengandung nada heran. "Tentu saja itu palsu," kata Nick mencemooh. "Kaupikir aku mau membuat surat wasiat yang sebodoh itu bunyinya" End House kuwariskan padamu, Charles, dan sisa kekayaanku semua pada Freddie." Sambil berbicara, ia berjalan ke seberang, lalu berdiri di dekat sahabatnya itu. Dan pada saat itu terjadilah sesuatu! Suatu kilatan api tampak menembus jendela, terdengar desing peluru, yang disusul suara letusan lagi. Lalu terdengar suara orang mengerang dan seseorang jatuh di luar.... Frederica melompat berdiri dengan darah mengalir di lengannya.... 20 J KEJADIAN itu demikian mendadak, hingga sesaat lamanya tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi. Lalu, sambil menjerit hebat, Poirot berlari ke pintu. Challenger menyusulnya. Sebentar kemudian, mereka muncul kembali sambil membawa tubuh seorang pria yang tak berdaya. Setelah mereka meletakkan tubuh itu dengan hati-hati di sebuah sofa kulit yang besar, hingga wajahnya bisa dilihat, akulah yang terpekik. "Wajah itu... wajah yang di jendela waktu itu!" Dialah orang yang kulihat mengintip kami melalui kaca jendela, kemarin malam. Aku segera mengenalinya. Kusadari pula bahwa waktu kukatakan wajahnya hampir tidak seperti wajah manusia, aku telah melebih-lebihkan, seperti tuduhan Poirot waktu itu. Tapi memang ada sesuatu di wajah itu yang membenarkan kesanku. Wajah itu gelap wajah seseorang yang tak memiliki sifat-sifat manusia. Wajah itu pucat, lemah, dan hampa, seolah-olah roh di dalamnya sudah lama hilang. Di sisi wajah itu mengalir darah. Frederica perlahan-lahan berjalan maju, sampai tiba di dekat sofa itu. Poirot menahannya. "Anda luka, Madame?" Wanita itu menggeleng. "Peluru itu hanya menyerempet bahu saya. Tak apa-apa." Frederica mendorong Poirot ke samping dengan halus, lalu membungkuk. Mata laki-laki itu terbuka, dan dilihatnya Frederica menunduk memandanginya. "Mudah-mudahan kau puas kali ini," kata laki-laki itu dengan suara rendah yang bernada jahat. Lalu tiba-tiba suara itu berubah menjadi seperti suara anak kecil, "Oh, Freddie! Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku tidak bermaksud jahat. Kau selalu baik padaku...." "Tak apa-apa." Frederica berlutut di sampingnya. "Aku tak bermaksud..." Kepala laki-laki itu terkulai. Kalimat itu tak pernah terselesaikan. Frederica mendongak, melihat pada Poirot. "Ya, Madame, dia sudah meninggal," kata Poirot dengan halus. Frederica bangkit perlahan-lahan, sambil tetap menunduk memandangi laki-laki itu. Disentuhnya dahi laki-laki itu dengan rasa iba di wajahnya. Akhirnya ia mendesah, lalu berbalik menghadapi kami semua. "Dia bekas suamiku," katanya tenang. "J," gumamku. Poirot mendengar, lalu mengangguk singkat, membenarkan. "Ya," katanya berbisik. "Aku memang sudah merasa bahwa ada seorang J. Sejak semula sudah kukatakan, bukan?" "Dia bekas suamiku," kata Frederica lagi. Suaranya terdengar letih sekali. Ia duduk di kursi yang dibawakan Lazarus untuknya. "Sekarang, sebaiknya kuceritakan saja segala-galanya pada kalian. "Dia... sudah benar-benar hancur. Dia seorang pecandu berat obat-obat terlarang. Aku diajarinya untuk menggunakan obat-obatan itu. Tapi sejak aku meninggalkannya, aku telah berjuang untuk melawan kebiasaan itu. Kurasa - akhirnya - aku hampir sembuh. Meskipun itu... sulit sekali. Oh! Betapa sulitnya. Tak seorang pun tahu betapa sulitnya! "Tapi aku tak pernah lolos dari dia. Sekali-sekali dia tiba-tiba, dan menuntut uang dariku - dengan ancaman. Semacam pemerasan. Bila aku tidak memberinya uang, dia akan menembak dirinya, katanya. Begitu selalu ancamannya. Kemudian dia mulai mengancam akan menembakku pula. Dia tak punya rasa tanggung jawab. Dia gila sudah benar-benar gila. "Kurasa dialah yang menembak Maggie Buckley. Tentu dia tidak berniat menembak Maggie. Dia pasti mengira Maggie adalah aku. "Barangkali seharusnya itu kukatakan dulu-dulu. Tapi aku tak yakin. Lalu kecelakaan aneh yang dialami Nick itu - aku jadi merasa bahwa bukan dia pelakunya. Mungkin orang lain. "Dan kemudian - pada suatu hari - aku melihat tulisan tangannya pada secarik kertas di meja M. Poirot. Itu merupakan bagian dari surat yang dikirimkannya padaku. Aku lalu tahu bahwa M. Poirot sedang mencari jejak. "Sejak itu aku merasa kita hanya tinggal menunggu saatnya saja.... "Tapi saya benar-benar tak mengerti mengenai coklat itu, M. Poirot. Tak mungkin dia ingin meracuni Nick. Lagi pula saya tak melihat keterkaitannya dengan hal ini. Saya telah mencoba dan mencoba untuk memecahkan teka-teki itu." Ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Lalu dilepaskannya tangannya itu, dan dengan suara aneh yang menimbulkan belas kasihan ia berkata, "Sekian saja...." 21 ADA PULA... K LAZARUS cepat-cepat menghampirinya. "Sayangku," katanya. "Sudahlah." Poirot berjalan menuju bufet. Dituangnya segelas anggur, lalu diberikannya pada Frederica. Ia tetap berdiri di sampingnya, sementara Frederica meminum anggur itu. Frederica mengembalikan gelas yang sudah kosong padanya sambil tersenyum. "Saya sudah tak apa-apa lagi," katanya. "Apa... apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?" Ia menoleh pada Japp, tapi inspektur itu hanya menggeleng. "Saya sedang berlibur, Mrs. Rice. Saya hanya membantu seorang sahabat lama - itu saja yang saya lakukan sekarang. Kepolisian St. Loo yang bertugas menangani perkara ini." Frederica menoleh pada Poirot lagi. "Dan apakah M. Poirot bertugas di kepolisian St. Loo?" "Ah! Pikiran macam apa itu, Madame! Saya hanya seorang penasihat yang tak berarti." "M. Poirot," kata Nick, "tak bisakah kita mendiamkan saja perkara ini?" "Anda menginginkan hai itu, Mademoiselle?" "Ya. Bagaimanapun juga, sayalah orang yang paling bersangkutan. Dan sekarang takkan ada serangan-serangan lagi atas diri saya." "Ya, memang tidak. Takkan ada serangan-serangan lagi atas diri Anda." "Anda memikirkan Maggie. Tapi, M. Poirot, tak ada yang bisa menghidupkan Maggie kembali. Kalau Anda menyebarluaskan hal ini, Anda hanya akan membuat Freddie menderita, dan dia akan banyak mendapat sorotan, padahal dia tak pantas menanggung itu semua." "Anda katakan dia tak pantas menanggung itu?" "Tentu saja tidak! Sejak semula sudah saya katakan pada Anda bahwa suaminya orang jahat yang bengis. Malam ini sudah Anda saksikan sendiri siapa dia. Nah, dia sudah meninggal sekarang. Biarkanlah itu merupakan penutup dari segalanya. Biarkanlah polisi yang meneruskan tugasnya mencari orang yang telah menembak Maggie. Mereka pasti takkan bisa menemukannya. Pasti tidak." "Jadi itu yang Anda inginkan, Mademoiselle" Mendiamkan saja semuanya ini?" "Ya. Tolonglah. Oh! Tolonglah, M. Poirot yang baik." Perlahan-lahan Poirot melihat ke sekelilingnya. "Bagaimana pendapat Anda semua?" Masing-masing orang berbicara. "Aku setuju," kataku, waktu Poirot menoleh padaku. "Saya juga," kata Lazarus. "Itulah yang terbaik," kata Challenger. "Sebaiknya kita lupakan saja segala-galanya yang telah terjadi dalam ruangan ini, malam ini," Kata-kata itu diucapkan dengan mantap oleh Croft. "Kau memang pantas berkata begitu," sela Japp. "Jangan menghukum saya terlalu berat, Anak manis," kata istrinya, terisak pada Nick. Nick tak menjawab. Ia hanya memandangi dengan mencemooh. "Ellen?" "Saya dan suami saya tidak akan mengatakan apa-apa, Sir. Makin sedikit berkatakata, makin mudah penyelesaiannya." "Dan Anda, M. Vyse?" "Hal seperti ini tak bisa didiamkan saja," kata Charles Vyse. "Fakta-faktanya harus dikemukakan sebagaimana mestinya." "Charles!" seru Nick. "Maaf, Sayang. Aku harus meninjaunya dari segi hukum yang sah." Poirot tiba-tiba tertawa. "Jadi Anda seorang diri lawan tujuh. Soalnya Japp yang baik bersikap netral." "Aku sedang berlibur," kata Japp sambil tertawa. "Aku tak masuk hitungan." "Tujuh lawan satu. Hanya M. Vyse yang bertahan - di pihak undang-undang dan peraturan! Anda, M. Vyse, adalah orang yang berkepribadian!" Vyse hanya mengangkat bahu. "Keadaannya jelas sekali. Hanya ada satu hal yang harus dilakukan." "Ya, Anda seorang pria yang jujur. Eh bien, saya sendiri berpihak pada golongan yang kecil. Saya juga menginginkan kebenaran." "M. Poirot!" pekik Nick. "Mademoiselle, Anda telah menyeret saya ke dalam perkara ini. Saya terlibat atas kehendak Anda. Sekarang Anda tak bisa membungkam saya." Ia mengangkat jari telunjuknya dengan sikap mengancam, suatu isyarat yang sudah kukenal betul. "Duduklah Anda semua, dan saya akan menceritakan... keadaan sebenarnya pada Anda." Kami terdiam melihat sikapnya yang berwibawa. Dengan patuh, kami duduk dan semua wajah berpaling serius ke arahnya. "Ecoutez!* (*Dengarlah!) Saya memiliki sebuah daftar nama orang yang ada hubungannya dengan kejahatan ini. Nama-nama itu telah saya beri nomor menurut abjad, sampai huruf J. Huruf J adalah orang yang tak dikenal - yang terkait pada kejahatan ini, melalui salah seorang yang lain. Semula saya tak tahu siapa J. Baru malam ini saya tahu. Tapi selama ini saya sudah tahu bahwa orang itu ada. Peristiwa-peristiwa yang terjadi malam ini membuktikan bahwa saya benar. "Tapi kemarin saya tiba-tiba menyadari bahwa saya telah membuat suatu kesalahan besar. Saya telah melewatkan sesuatu. Jadi saya tambahkan sebuah huruf lagi pada daftar saya. Huruf K." "Lagi-lagi seseorang yang tak dikenal?" tanya Vyse dengan agak mengejek. "Tidak juga. Saya telah menggunakan huruf J sebagai lambang untuk orang yang tak dikenal. Kalau ada orang tak dikenal lagi, berarti saya harus menambah seorang J lagi. Huruf K memberikan kejelasan lain. Huruf itu adalah untuk seseorang yang seharusnya dicantumkan pada daftar semula, tapi terlupakan." Ia membungkuk ke arah Frederica. "Yakinlah, Madame, suami Anda tidak membunuh. Orang yang berlambang K itu yang telah menembak Mademoiselle Maggie." Frederica terbelalak. "Lalu siapa K itu?" Poirot mengangguk ke arah Japp. Japp melangkah maju, lalu berbicara dengan nada seperti dulu, saat ia harus memberikan kesaksian dalam pengadilan-pengadilan polisi. "Saya bertindak berdasarkan informasi yang saya terima. Pada malam pesta kembang api itu, sebelum hari larut benar, saya sudah berada di rumah ini. M. Poirot-lah yang diam-diam membawa saya masuk. Saya bersembunyi di balik tirai, di dalam ruang tamu utama. Waktu semua orang berkumpul di ruangan ini, seorang wanita muda masuk ke ruang tamu utama itu, dan menyalakan lampu. Dia berjalan ke arah perapian, lalu membuka sebuah tempat kecil yang tersembunyi pada kayu pelapis dinding. Agaknya tempat itu bisa dibuka dan ditutup oleh semacam per. Dari tempat itu dia mengeluarkan sebuah pistol. Dia keluar dari ruang tamu dengan membawa pistol itu. Saya mengikutinya, dan melalui celah pintu yang saya buka sedikit, saya bisa mengikuti gerak-geriknya selanjutnya. Para tamu telah meninggalkan mantel dan syal mereka di lorong rumah waktu mereka tiba. Gadis itu menggosok pistol itu dengan cermat dengan saputangannya, lalu memasukkannya ke dalam mantel yang berwarna abu-abu, milik Mrs. Rice..." Nick terpekik. "Bohong - semua itu bohong!" Poirot menudingkan jarinya ke gadis itu. "Voila!" katanya. "Itu dia orang yang berlambang huruf K. Mademoiselle Nick-lah Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang telah menembak saudara sepupunya, Maggie Buckley." "Apa Anda sudah gila?" seru Nick. "Mengapa saya harus membunuh Maggie?" "Untuk mewarisi uang yang sudah diwariskan Michael Seton kepadanya! Dia juga bernama Magdala Buckley, dan dengan dialah Michael Seton bertunangan, bukan dengan Anda." "Kau... kau..." Nick berdiri dengan tubuh gemetar. Ia tak bisa lagi berbicara. Poirot berpaling pada Japp. "Kau sudah menelepon polisi?" "Sudah. Mereka sedang menunggu di lorong rumah sekarang. Mereka membawa perintah penangkapan!" "Kalian semua gila!" seru Nick dengan suara mencemooh. Cepat-cepat ia berjalan ke arah Frederica. "Freddie, berikan arlojimu padaku sebagai... sebagai tanda mata. Ya?" Perlahan-lahan Frederica menanggalkan arlojinya yang bertatahkan permata dari pergelangan tangannya, lalu diberikannya pada Nick. "Terima kasih. Nah, sekarang kurasa kita harus menyudahi komedi gila-gilaan ini." "Komedi yang telah Anda rencanakan sendiri untuk diproduksi di End House. Ya, tapi seharusnya Anda tidak memberikan peran utama pada Hercule Poirot. Di situlah kesalahan Anda, Mademoiselle - kesalahan Anda yang besar sekali." 22 AKHIR CERITA "ANDA semua ingin saya menjelaskan?" Poirot melihat ke sekelilingnya dengan tersenyum puas dan sikap pura-pura merendah yang sudah begitu kukenal. Kami telah pindah ke ruang tamu utama, dan jumlah kami sudah berkurang. Para pembantu rumah tangga tahu diri, lalu menarik diri, sedangkan suami-istri Croft telah diminta untuk ikut polisi. Yang tinggal adalah Frederica, Lazarus, Challenger, Vyse, dan aku sendiri. "Eh bien, harus saya akui, saya telah dibodohi. Benar-benar dibodohi habishabisan. Si kecil Nick telah berhasil menempatkan diri saya di tempat yang diinginkannya, seperti kata peribahasa Anda. Nah, Madame, waktu Anda mengatakan bahwa sahabat kecil Anda itu adalah seorang pembohong yang lihai Anda benar sekali! Benar sekali!" "Nick memang selalu berbohong," kata Frederica dengan tenang. "Sebab itu saya tak begitu percaya akan kisah-kisahnya mengenai luputnya dia dari kematiankematian itu." "Sedangkan saya percaya. Tolol sekali saya!" "Apakah semuanya itu sebenarnya tidak terjadi?" tanyaku. Harus kuakui bahwa aku masih bingung sekali. "Semua itu hanya karangannya saja untuk memberikan kesan yang tepat. Pandai sekali dia." "Kesan apa itu?" "Kisah-kisahnya memberikan kesan seolah-olah nyawa Mademoiselle Nick sedang terancam bahaya. Tapi saya akan mulai dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Akan saya ceritakan kejadian-kejadian itu sebagaimana yang telah saya susun sendiri tidak sebagaimana yang telah dikisahkan pada saya secara sekilas, hingga tak sempurna. "Pada awal peristiwa ini, adalah seorang gadis bernama Nick Buckley. Dia masih muda, cantik, licik, dan sangat mencintai rumahnya." Charles Vyse mengangguk. "Sudah saya katakan itu pada Anda." "Dan Anda benar. Mademoiselle Nick mencintai End House. Tapi dia tak punya uang. Rumah itu digadaikan. Dia memerlukan uang - sangat memerlukannya - dan dia tak bisa mendapatkannya. Lalu dia bertemu dengan anak muda Seton itu di Le Touquet. Anak muda itu tertarik padanya. Gadis itu tahu bahwa besar kemungkinan pemuda itu adalah pewaris dari pamannya. Padahal pamannya itu memiliki harta kekayaan yang bernilai jutaan pound. Bagus, pikirnya, bintangnya akan naik. Tapi pemuda itu tidak sungguh-sungguh mencintainya. Dia hanya menganggap Nick sebagai teman yang menyenangkan untuk berhura-hura. Tak lebih dari itu. Mereka bertemu lagi di Scarborough. Seton mengajak Nick terbang dengan pesawatnya. Tapi di situ pula malapetaka itu terjadi. Anak muda itu bertemu dengan Maggie, dan jatuh cinta pada gadis itu pada pandangan pertama. "Mademoiselle Nick terkejut sekali. Soalnya sepupunya itu tak bisa disebut cantik! Tapi agaknya bagi Seton gadis itu 'lain'. Dialah satu-satunya gadis di dunia ini baginya. Mereka lalu diam-diam bertunangan. Hanya satu orang yang tahu - yang harus tahu. Orang itu adalah Mademoiselle Nick. Kasihan Maggie. Dia bahkan merasa senang karena ada orang yang bisa diajaknya bicara tentang hal itu. Dia pasti juga telah membacakan sebagian surat-surat tunangannya pada sepupunya itu. Dengan demikian, Mademoiselle Nick jadi tahu tentang surat wasiat itu. Pada waktu itu, dia tidak memperhatikan surat tersebut, tapi hal itu melekat terus dalam ingatannya. "Kemudian, tanpa diduga, Sir Matthew Seton meninggal mendadak, dan tak lama kemudian disusul oleh desas-desus tentang hilangnya Michael Seton. Langsung saja suam rencana gila-gilaan muncul di kepala gadis itu. Seton tak tahu bahwa nama Nick juga Magdala. Surat wasiatnya memang tak resmi - di situ hanya disebutkan sebuah nama. Tapi di mata dunia, Seton berteman dekat dengan Nick! Dengan Nicklah namanya dikaitkan orang. Jadi, kalau Nick mengaku bahwa dia bertunangan dengan Seton, tak seorang pun akan heran. Tapi dia harus melenyapkan Maggie, supaya rencananya berhasil. "Waktunya singkat. Diaturnya supaya Maggie bisa diundangnya untuk datang menginap selama beberapa hari. Lalu diaturnya pula peristiwa-peristiwa luputnya dia dari kematian. Tali penggantung lukisan sengaja dipotongnya. Rem mobilnya dirusaknya sendiri. Lalu batu besar - itu mungkin merupakan peristiwa alami, tapi dia mengaku seolah-olah sedang berada di jalan setapak di bawahnya waktu itu. "Lalu dilihatnya nama saya di surat kabar. - Sudah kukatakan padamu, Hastings, bahwa semua orang mengenal Poirot! - Dan dia pun mencoba menjadikan saya komplotannya. Berani benar dia! "Peluru yang menembus topinya dan jatuh di kaki saya! Bukan main! Lucu sekali komedi itu. Saya pun terperangkap! Saya percaya bahwa bahaya sedang mengancamnya! Bon! Pikirnya ada seorang saksi yang berarti di pihaknya. Saya menyertainya dalam permainannya, dan saya suruh dia meminta datang seorang sahabat. "Kesempatan itu dimanfaatkannya benar-benar, dan Maggie-lah yang dimintanya datang, sehari lebih awal. "Betapa mudahnya kejahatan itu sebenarnya. Ditinggalkannya kita di meja makan. Setelah mendengar melalui radio bahwa Seton memang benar-benar telah meninggal, dia mulai menjalankan rencananya. Dia masih punya banyak waktu untuk mengambil surat-surat cinta Seton pada Maggie. Ditelitinya surat-surat itu, lalu dipilihnya beberapa yang bisa dipakainya untuk mencapai tujuannya. Surat-surat itu ditaruhnya di dalam kamarnya sendiri. Setelah itu, dia dan Maggie meninggalkan tontonan kembang api untuk kembali ke rumah. Disuruhnya sepupunya memakai syalnya. Lalu diam-diam disusulnya sepupunya itu dan ditembaknya. Cepatcepat dia kembali ke dalam rumah. Pistol disembunyikannya di dalam papan pelapis dinding rahasia. Pikirnya tak seorang pun tahu tentang tempat persembunyian itu. Lalu dia naik ke lantai atas. Di sana dia menunggu sampai ia mendengar suarasuara. Mayat diketemukan. Itulah yang merupakan isyaratnya sendiri. Dia pun bergegas turun dan keluar. "Betapa pandainya dia memainkan perannya! Hebat sekali! Oh, ya, dia benar-benar telah mementaskan sebuah drama di sini. Ellen, si pelayan, telah berkata bahwa ada sesuatu yang jahat di rumah ini. Saya cenderung sependapat dengan dia. Karena dari rumah inilah Mademoiselle mendapatkan ilhamnya." "Tapi bagaimana dengan coklat beracun itu?" tanya Frederica. "Saya masih belum mengerti." "Semua itu merupakan bagian dari rencana jahatnya. Tidakkah Anda mengerti bahwa bila nyawa Nick masih terancam setelah kematian Maggie, berarti kematian Maggie adalah suatu kekeliruan. "Waktu dia menganggap saatnya sudah matang, diteleponnya Madame Rice dan dimintanya untuk membelikannya sekotak coklat." "Jadi itu memang suaranya sendiri?" "Tentu saja! Memang sering kali penjelasan yang paling sederhanalah yang paling benar. Bukankah begitu" Dia sengaja mengubah suaranya agar terdengar lain - itu saja, supaya Anda ragu-ragu bila ditanyai. Lalu tibalah kotak itu - lagi-lagi sederhana sekali. Dibubuhinya tiga dari coklat itu dengan kokain. - Dia menyimpan kokain yang disembunyikannya dengan cerdik sekali. - Dan dia pun keracunan, tapi tidak terlalu parah. Dia tahu berapa banyak kokain yang harus dimakannya, dan dia tahu betul gejala-gejala apa yang harus dilebih-lebihkannya. "Lalu kartu itu - kartu ucapan saya! Ah! Sapristi* (*gila) - berani sekali dia! Kartu itu memang kartu saya - kartu yang saya kirimkan bersama bunga. Sederhana, bukan" Ya, semua itu harus dipikirkan...." Keadaan hening beberapa lama, lalu Frederica bertanya, "Mengapa pistol itu ditaruhnya di dalam saku mantel saya?" "Sudah saya duga bahwa Anda akan menanyakan itu, Madame. Pada waktunya, hal itu akan terpikir oleh Anda. Coba katakan, pernahkah terpikir oleh Anda bahwa Mademoiselle Nick tidak lagi menyukai Anda" Pernahkah Anda merasa bahwa dia bahkan... membenci Anda?" "Sulit mengatakannya," kata Frederica lambat-lambat. "Kami sama-sama tidak tulus. Dulu dia sayang pada saya." "M. Lazarus, harap maklum bahwa sekarang bukan saatnya lagi untuk menyembunyikan sesuatu, jadi harap Anda katakan, apakah ada sesuatu antara Anda dan Mademoiselle Nick?" "Tidak," sahut Lazarus sambil menggeleng. "Pernah saya merasa tertarik padanya. Lalu, entah mengapa, saya berpaling dari dia." "Oh!" kata Poirot sambil mengangguk penuh pengertian. "Itulah tragedi hidupnya. Dia menarik hati orang banyak, tapi mereka lalu 'berpaling dari dia'. Anda bukannya makin lama makin menyayanginya, sebaliknya malah jatuh cinta pada sahabatnya. Dia mulai membenci Madame yang punya teman pria kaya. Pada musim salju yang lalu, waktu dia membuat surat wasiatnya itu, dia masih sayang pada Madame. Kemudian keadaan berubah. "Dia teringat akan surat wasiat itu. Dia tak tahu bahwa Croft telah menahannya, bahwa surat wasiat itu tak pernah dikirimkan ke alamatnya. Madame punya motif untuk menginginkan kematiannya - begitulah kata dunia kelak. Sebab itu, Madame-lah yang diteleponnya dan dimintanya untuk membelikan coklat. Malam ini surat wasiat itu akan dibacakan. Di situ tercantum bahwa Madame-lah yang akan mewarisi semua kekayaannya yang tersisa, lalu pistol itu akan ditemukan pula di dalam saku mantelnya - pistol yang telah digunakan untuk menembak Maggie Buckley. Bila Madame menemukan pistol itu, Madame akan ketakutan, dan akan mencoba membuangnya." "Begitu bencinya dia pada saya," gumam Frederica. "Ya, Madame, soalnya Anda memiliki apa yang tak ada padanya - kemampuan untuk mendapatkan cinta dan tetap memilikinya." "Saya masih bingung," kata Challenger. "Saya belum begitu mengerti soal surat wasiat itu." "Yah, itu soal lain lagi, meskipun amat sederhana juga. Suami-istri Croft sedang menyembunyikan diri di sini. Pada suatu kali, Mademoiselle harus menjalani pembedahan. Dia belum membuat surat wasiat. Suami-istri Croft melihat kesempatan. Mereka membujuknya untuk membuat surat wasiat itu, dan mengirimkannya melalui pos. Lalu, seandainya terjadi sesuatu atas diri Mademoiselle Nick - bila dia meninggal - mereka akan membuat surat wasiat yang telah mereka palsukan dengan baik sekali - di mana kekayaannya diwariskan pada Mrs. Croft, dengan menyebutkan Australia. Di sana mereka pernah kenal pada Philip Buckley yang pernah berkunjung ke sana. "Tapi pembedahan usus buntu Mademoiselle Nick cukup memuaskan, hingga surat wasiat tiruan itu tak berlaku. Maksud saya, untuk masa itu. Lalu mulailah percobaan-percobaan pembunuhan atas diri gadis itu. Dan timbul lagi harapan Croft suami-istri. Akhirnya saya pun mengumumkan kematiannya. Kesempatan itu bagus sekali, mereka tak mau kehilangan kesempatan itu. Surat wasiat palsu itu pun segera dikirimkan pada M. Vyse melalui pos. Asal mulanya tentu karena mereka mengira gadis itu jauh lebih kaya daripada sebenarnya. Mereka tak tahu tentang penggadaian itu." "Saya ingin sekali tahu, M. Poirot," sela Lazarus, "bagaimana Anda sampai tahu semua itu. Kapan Anda mulai curiga?" "Nah, di situ saya merasa malu. Lama sekali - terlalu lama saya baru tahu. Memang ada beberapa hal yang membuat saya risau. Hal-hal yang kelihatannya tidak lurus. Ada pertentangan-pertentangan antara apa yang diceritakan Mademoiselle Nick dan apa yang diceritakan orang-orang lain. Malangnya, selalu Mademoiselle Nick-lah yang saya percayai. "Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang membuka mata saya. Mademoiselle Nick membuat suatu kesalahan. Dia terlalu pandai. Waktu saya mendesaknya untuk meminta seorang temannya datang, dia berjanji untuk melakukannya. Dia tidak mengatakan bahwa dia sudah meminta Mademoiselle Maggie datang. Agaknya dia mengira hal itu tidak terlalu mencurigakan - tapi itu salah. "Soalnya, Maggie Buckley menulis surat pada ibunya, segera setelah dia tiba. Dan di dalam surat itu ada kalimat yang membuat saya bertanya-tanya. 'Tapi saya tak mengerti mengapa dia sampai menelegram saya seperti itu. Padahal hari Selasa pun sama saja.' Apa maksudnya menyebutkan hari Selasa itu" Itu hanya berarti satu hal. Yaitu bahwa Maggie memang sudah akan datang pada hari Selasa. Jadi, dalam hal itu Mademoiselle telah menyembunyikan kebenaran. "Dan saya pun mulai menilainya dengan pandangan lain. Saya mulai meragukan pernyataan-pernyataannya. Saya tidak lagi mempercayainya. Saya malah berkata sendiri, 'Bagaimana kalau yang dikatakannya itu tak benar"' Saya lalu ingat akan pertentangan-pertentangan yang ada, dan bertanya, 'Bagaimana kalau selama ini Mademoiselle Nick yang berbohong, dan bukan orang lain"' "Lalu saya jawab sendiri pertanyaan itu, 'Biarlah kita bersikap sederhana saja. Apa sebenarnya yang telah terjadi"' "Kemudian saya lihat apa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Maggie Buckley telah terbunuh. Hanya itu! Tapi siapa yang menginginkan Maggie meninggal" "Lalu saya berpikir akan suatu hal lain lagi, yaitu beberapa pernyataan Hastings yang saya anggap bodoh, kira-kira lima menit sebelumnya. Dia berkata bahwa banyak cara untuk menyingkat nama Margaret, yaitu Maggie, Margot, dan sebagainya, Lalu tiba-tiba saya jadi ingin tahu nama Mademoiselle Maggie yang sebenarnya. "Lalu tiba-tiba saya mendapatkannya! Apakah tak mungkin nama sebenarnya Magdala" Itu nama khas keluarga Buckley. Mademoiselle Nick pernah berkata begitu pada saya. Jadi ada dua orang gadis yang bernama Magdala Buckley. Bagaimana kalau... "Saya lalu mengingat-ingat kembali surat-surat Michael Seton yang telah saya baca. Ya, ya, mungkin saja. Dalam surat-surat itu ada dituliskan tentang Scarborough, dan Maggie pernah berada di Scarborough bersama Nick - itu dikatakan oleh ibu Maggie pada saya. "Dan hal itu menjelaskan satu hal yang menyusahkan hati saya. Mengapa sedikit sekali surat-suratnya" Bila seorang gadis menyimpan surat-surat cintanya, semua tentu disimpannya. Mengapa hanya menyimpan sedikit" Adakah keanehan-keanehan dalam hal itu" "Lalu saya ingat lagi bahwa dalam surat-surat itu tak pernah disebutkan nama. Semua pembukaan surat itu berbeda-beda, selalu dengan pernyataan kasih sayang. Tak satu pun menyebutkan nama... Nick. "Lalu ada satu hal lagi, sesuatu yang seharusnya segera terlihat oleh saya sesuatu yang amat jelas." "Apa itu?" "Begini. Mademoiselle Nick telah menjalani operasi usus buntu pada tanggal 27 Februari yang lalu. Ada salah satu surat Michael Seton yang bertanggal 2 Maret. Tapi dalam surat itu sama sekali tidak tercantum rasa khawatirnya tentang penyakit itu, atau sesuatu yang tak biasa. Keadaan itu sebenarnya sudah bisa menunjukkan pada saya bahwa surat-surat itu ditulis untuk orang lain. "Lalu saya meneliti daftar pertanyaan yang telah saya buat sendiri. Dan saya menjawabnya berdasarkan petunjuk dari gagasan baru saya. "Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu ternyata sederhana dan meyakinkan, kecuali untuk beberapa pertanyaan istimewa. Dan saya juga menjawab satu pertanyaan yang telah saya pertanyakan sebelumnya. Mengapa Mademoiselle Nick membeli baju hitam" Jawabnya adalah bahwa dia dan sepupunya harus mengenakan baju sewarna, dengan syal berwarna merah sebagai aksesori. Itulah satu-satunya jawaban yang benar dan meyakinkan, bukan jawaban lain. Masa seorang gadis membeli pakaian berkabung sebelum dia tahu tunangannya meninggal! Dia jadi aneh dan tak wajar di mata saya. "Maka, pada gilirannya saya pun mementaskan drama kecil saya. Dan terjadilah apa yang saya harapkan! Nick Buckley bersikap keras dalam membantah adanya pelapis dinding rahasia. Dia menyatakan dengan yakin bahwa itu tak ada. Kalau ada, dia tentu tahu tempat itu. Tapi saya tak mengerti mengapa Ellen harus mengada-ada. Lalu mengapa Nick begitu keras membantahnya" Mungkinkah karena dia telah menyembunyikan pistol itu di situ" Dengan niat tersembunyi untuk menggunakannya, Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan kemudian melemparkan kecurigaan pada orang lain" "Saya bayangkan padanya bahwa kelihatannya dakwaan terhadap Madame berat. Itulah yang diinginkannya. Sebagaimana telah saya ramalkan, dia tak bisa menahan diri untuk mengemukakan bukti terakhir. Sebab dengan demikian dia akan lebih aman. Mungkin saja pelapis dinding rahasia itu kelak ditemukan oleh Ellen dengan pistol di dalamnya! "Dia merasa aman karena kita semua berada di sini. Dia menunggu di luar untuk melaksanakan langkah terakhir itu. Ketika menurutnya keadaan sudah benar-benar aman, diambilnya pistol itu dari tempat persembunyiannya, dan dimasukkannya ke saku mantel Madame. "Dan dengan demikian - akhirnya - dia pun gagal." Frederica bergidik. "Bagaimanapun juga," katanya, "saya senang telah memberikan arloji saya padanya." "Benar, Madame." Frederica cepat mendongak, melihat pada Poirot. "Anda juga tahu?" "Bagaimana dengan Ellen?" tanyaku menyela. "Apakah dia tahu atau mencurigai sesuatu?" "Tidak. Aku bertanya padanya. Dikatakannya bahwa dia memutuskan untuk tinggal di dalam rumah malam itu, karena dia merasa 'akan terjadi sesuatu'. Agaknya Nick terlalu keras mendesaknya untuk menonton kembang api. Dia telah meraba kebencian Nick pada Madame. Dikatakannya bahwa dia telah merasa sesuatu akan terjadi, tapi dikiranya hal itu akan terjadi pada diri Madame. Katanya pula, dia tahu sifat penaik darah Mademoiselle Nick, dan bahwa majikannya yang muda itu gadis aneh." "Ya," gumam Frederica. "Ya, biarlah kita kenang dia demikian. Seorang gadis yang berperilaku aneh. Yang tak dapat mengekang dirinya. Yang jelas, saya sendiri akan mengenangnya dengan cara demikian - apa pun yang terjadi." Poirot mengambil tangan wanita itu, lalu mengecupnya. Charles Vyse tampak gelisah. "Urusan ini bisa tidak menyenangkan," katanya perlahan-lahan. "Saya rasa saya harus berusaha membelanya." "Saya rasa itu tak perlu," kata Poirot dengan halus. "Ya, itu tak perlu lagi, kalau dugaan saya benar." Tiba-tiba ia berpaling pada Challenger. "Anda memasukkan obat terlarang itu ke situ, bukan?" katanya. "Maksud saya ke dalam arloji-arloji tangan itu." "Sa... saya...," kata pelaut itu tergagap, tak tahu harus menyahut apa. "Tak usah mencoba menipu saya dengan sikap Anda yang baik dan ceria itu. Anda bisa menipu Hastings, tapi saya tak bisa ditipu. Anda mendapatkan hasil banyak dari situ - dari mengedarkan obat-obat terlarang itu. Demikian pula paman Anda di Harley Street." "M. Poirot!" Challenger bangkit. Sahabatku yang kecil itu mendongak dan mengedipkan mata dengan tenang. "Anda merupakan sahabat yang 'berguna'. Anda boleh membantah kalau mau. Tapi saya nasihatkan supaya Anda pergi - bila Anda tak ingin kenyataan-kenyataan ini sampai ke tangan polisi." Dan alangkah herannya aku melihat Challenger benar-benar pergi. Secepat kilat ia keluar dari kamar itu. Aku menatap punggungnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Poirot tertawa. "Sudah kukatakan padamu, mon ami. Nalurimu selalu salah. Mengejutkan sekali, bukan?" "Dalam arloji tangan itu... ada kokain!" kataku lagi. "Ya, benar. Begitu mudahnya Mademoiselle Nick membawanya masuk ke Rumah Perawatan. Dan karena persediaannya sudah habis dimakannya bersama coklat dulu, sekarang dimintanya kepunyaan Madame yang masih penuh." "Maksudmu dia selalu harus menggunakannya?" "Tidak, bukan begitu. Mademoiselle Nick bukan seorang pecandu. Dia hanya menggunakannya sekali-sekali, sekadar untuk bersenang-senang saja. Tapi malam ini dia memerlukannya untuk tujuan lain. Kali ini dia akan meminumnya sampai habis." "Maksudmu...?" sergahku. "Itulah jalan terbaik. Lebih baik daripada mati di tiang gantungan. Tapi... ssst! Kita tak boleh berkata begitu di hadapan M. Vyse yang begitu sadar hukum dan peraturan itu. Resminya, aku tak tahu apa-apa mengenai isi arloji tangan itu. Itu hanya dugaanku saja." "Dugaan-dugaan Anda selalu benar, M. Poirot," kata Frederica. "Saya harus pergi," kata Charles Vyse dengan sikap dingin yang mencela, sambil berjalan keluar dari ruangan itu. Poirot memandangi Frederica dan Lazarus bergantian. "Anda berdua akan menikah, ya?" "Secepatnya." "Sungguh, M. Poirot," kata Frederica, "saya bukan pecandu obat terlarang seperti yang Anda kira. Saya sudah sangat menguranginya, hingga tinggal dosis yang kecil sekali. Saya rasa sekarang - karena kebahagiaan sudah terbentang di hadapan saya saya tidak akan membutuhkan arloji tangan itu lagi." "Saya doakan semoga Anda mendapatkan kebahagiaan, Madame," kata Poirot dengan lembut. "Anda sudah banyak menderita. Meskipun demikian, Anda masih bisa menaruh belas kasihan." "Saya akan melindunginya," kata Lazarus. "Perusahaan saya memang sedang dalam kesulitan, tapi saya rasa saya dapat mengatasinya. Dan kalaupun tak bisa... yah, saya percaya Frederica tidak keberatan hidup miskin - bersama saya." Frederica menggeleng sambil tersenyum. "Malam sudah larut," kata Poirot sambil melihat jam. Kami semua bangkit. "Kita telah melewatkan malam yang aneh di dalam rumah yang aneh ini," sambung Poirot. "Saya rasa memang benar apa kata Ellen, rumah ini memang rumah jahat." Ia mendongak, melihat ke lukisan Sir Nicholas tua. Lalu tiba-tiba ia menarik Lazarus menjauhi yang lain. "Maafkan saya. Tapi, dari semua pertanyaan, masih ada satu yang belum terjawab. Mengapa Anda mengatakan bersedia membeli lukisan itu dengan harga lima puluh pound" Saya akan senang sekali kalau boleh tahu - supaya tak ada satu pun pertanyaan saya yang tak terjawab. Anda tentu maklum, bukan?" Lazarus menatapnya dengan pandangan kosong beberapa lama. Lalu ia tersenyum. "Harap maklum, M. Poirot," katanya, "saya ini seorang pedagang." "Benar." "Nilai lukisan itu sebenarnya tak lebih dari dua puluh pound. Saya tahu bahwa kalau saya menyatakan ingin membelinya dengan harga lima puluh pound, Nick akan segera curiga bahwa harganya lebih dari itu. Dan dia akan meminta harga lukisan itu ditaksir di tempat lain. Dia akan mendengar bahwa harga penawaran saya jauh lebih tinggi daripada nilai sebenarnya. Jadi, bila lain kali saya ingin membeli lukisan lain lagi, dia tidak akan meminta orang lain menaksirnya lagi." "Ya, lalu?" "Nah, lukisan yang ada di dinding di ujung sana itu nilainya sekurang-kurangnya lima ribu pound," kata Lazarus dengan nada datar. "Oh, begitu!" Poirot menarik napas panjang. "Sekarang saya tahu semuanya," katanya dengan rasa puas. Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers http://epublover.blogspot.com http://facebook.com/epub.lover (Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited) Romantika Sebilah Pedang 1 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Warisan Laknat 1

Cari Blog Ini