Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 3
dengan serius membicarakan rencana pertemuan besok siang.
Diputuskan bahwa Satwika dan Anggasta tetap tinggal di
penginapan untuk menjaga Anala. Dipesankan kepada dua murid
Merak Mas itu, apabila situasi berkembang menjadi lebih buruk,
cepat-cepat pergi meninggalkan kota dan segera kembali ke
128 Perguruan Merak Mas untuk memberikan laporan tentang apa
yang terjadi. *** M asih di Hita Harsita Praja, namun di tempat yang berbeda. Di
bawah penerangan senthir di sebuah ruangan, terlihat empat
orang terlibat perbincangan yang serius. Dari empat orang itu,
dua di antaranya adalah orang yang sudah lanjut usia, sementara
dua orang lainnya masih sangat muda. Dua orang yang disebut
terakhir sepantasnya menjadi cucu dari salah satu orang tua di
ruangan itu. Mereka membicarakan sesuatu yang sedang terjadi
di Hita Harsita Praja. Kejadian itu telah diwartakan orang yang
terikat oleh mereka di kota itu, dan kejadian itu melibatkan dua
kelompok. Dua kelompok utama: Rembulan Emas dan Merak
Mas. "Eyang, jika orang-orang itu berasal dari perguruan Rembulan
Emas, seperti yang diduga, berarti mereka telah keluar jauh ke
Hita Harsita Praja. Apa yang telah membuat mereka bergerak
demikian jauh hingga menjangkau kota kecil yang berada di
wilayah Wwatan atau Tembelang?" Demikian orang yang paling
muda itu berkata kepada tiga orang tua yang bersama
dengannya. "Tentang maksud mereka, aku sendiri tidak mengetahui dengan
pasti. Hanya saja, yang sedikit dapat dipastikan bahwa kelompok
itu kemungkinan besar dari Rembulan Emas. Orang kita di
penginapan itu sepintas mendengar salah satu dari empat anak
muda yang menginap di sana menyebut-nyebut Locana Soma.
Empat anak muda yang aku maksud adalah murid-murid dari
129 Merak Mas yang telah terlibat benturan dengan kelompok itu".
Jawab salah satu dari orang tua itu memberikan alasan tentang
pendapat, bahwa kelompok yang sedang terlibat benturan itu
berasal dari Rembulan Emas. Salah satu perguruan utama yang
berpusat di Kota Mataram, tempat yang berjarak cukup jauh
dengan Hita Harsita Praja.
Suasana di ruangan itu kemudian terdiam. Empat orang itu
terbenam pada pemikiran masing-masing. Pemikiran tentang
22 kehadiran Perguruan Rembulan Emas di kota Hita Harsita Praja.
Akhirnya, salah seorang telah memecahkan keheningan di
ruangan itu. "Sudahlah, biarlah kita membayang-bayangi kehadirannya di kota
ini, dan melihat lebih jauh apa yang akan terjadi antara Rembulan
Emas dengan Merak Mas. Barangkali, nanti ada tanda-tanda
yang menyatakan alasan mereka datang ke sini." Kata salah satu
orang tua di sana kemudian terdiam merenung sesaat, lalu
meneruskan perkataannya. "Sejak kemunculan kegemparan atas nama Chandrakapala tiga
tahun belakangan ini, aku telah menjadi sangat khawatir.
Khawatir akan terjadi sesuatu yang memuakkan dan paling aku
benci. Sesuatu yang telah menjelmakan seseorang bertindak
melampaui kewarasan. Sesuatu yang sama sekali tidak waras.
Tidak waras karena dengan tindakan itu, ia telah merampas
nyawa orang lain. Bahkan, orang yang seharusnya dikasihi
karena dengannya ia masih terikat dalam darah yang sama."
Sambil berkata demikian, orang tua itu menerawangkan dua mata
jauh ke depan. Dua mata itu, sekalipun berada di dalam kulit
kelopak mata yang telah menyusut keriput, tetap memancarkan
pandangan tajam dan bersemangat. Orang tua lain di sebelah kiri
130 pun telah melakukan hal yang sama. Ia mengerti apa yang
sedang dipikirkan orang yang telah bersama lebih dari tiga
dasawarsa. Bersama sejak dua orang muda di sampingnya,
belum lahir di dunia itu.
Mata dua orang tua itu seakan-akan bergerak menjelajah waktu
dan merajut kembali peristiwa di masa silam. Masa-masa pahit
yang menyusul sebagai akibat dari Perang Saudara. Perang
Saudara yang memuakkan. Perang dua wangsa. Dua wangsa
utama di Bhumi Mataram. Tiga puluh tahun silam dua orang itu adalah prajurut pilihan.
Berdiri terdepan. Memberi perintah dan arahan pada ratusan
prajurit. Mereka adalah dua Senopati Utama Bhumi Mataram.
Senopati dengan tugas istimewa. Membawa ratusan prajurit
untuk membersihkan sisa-sisa pengikut Balaputradewa. Sisa
yang masih tertinggal dari kekuatan yang pernah membangkang
terhadap Bhumi Mataram. Padahal terhitung saat dua Senopati
Utama menggerakkan prajurit atas sisa-sisa kekuatan
pembangkang, peristiwa itu sendiri telah berjarak lebih dari
sepuluh tahun. Dua Senopati Utama itu ditugaskan mengejar mereka yang terkait
dengan peristiwa yang telah lewat sepuluh tahun silam. Apa yang
ditugaskan kepada mereka adalah mengais dan mengorek sisasisa kekuatan pembangkang. Apa
yang dilakukan dua Senopati
Utama dengan prajurit itu adalah terus menghadirkan kembali
apa yang telah berakhir sepuluh tahun silam. Menghadirkan
dalam bentuk peringatan dan pencegahan.
Atas dasar peringatan dan pencegahan itu banyak kesalahan
23 telah terjadi. Salah tangkap. Salah Bunuh. Salah tangkap dan
bunuh atas orang yang tidak semestinya. Orang yang dilaporkan.
131 Laporan palsu. Tapi laporan itu telah dialaskan untuk menangkap.
Menangkap orang yang tidak semestinya. Tidak kuat berada di
bawah tekanan dan siksaan, mereka terpaksa bahkan dipaksa
mengakui hubungannya dengan sisa pembangkang. Pengakuan
yang mengantar mereka kepada Bhatara Yama (Dewa
Kematian). Tidak bagi diri sendiri, tapi serentak juga bagi seluruh
anggota keluarga, bahkan kerabat. Itu semua terjadi di bawah
penanganan dua orang itu selaku Senopati Utama. Masa lalu
yang memuakkan karena telah menghadirkan tragedi bagi
banyak wanua (warga, penduduk) di Bhumi Mataram. Wanua
yang seharusnya diberi perlindungan.
Sepuluh tahun dua Senopati Utama itu bertindak sebagai
penyebar tragedi. Hingga akhirnya, mereka bertemu dengan
seorang Pangeran. Pangeran itu selalu berada bersama wanua.
Dua Senopati Utama itu pun mengikatkan persahabatan dengan
Pangeran itu. Pangeran itu telah mengunci dua Senopati Utama
itu dengan suatu pandangan: berdiri bersama dan di antara
wanua. Berdiri dan berada bersama untuk melindungi dan
membela. Atas dasar persahabatan itu, dua Senopati Utama itu
menarik diri dari Pretana Prakawis (Urusan Keprajuritan) dan
mengikatkan dengan Pangeran. Mengikatkan diri dalam
Chandrakapala. "Sungguh, aku telah mencium sesuatu yang memuakkan sedang
dimunculkan kembali. Dimunculkan dalam bayang-bayang
Chadrakapala. Lewat peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan
nama itu, ada orang yang tengah melepaskan bibit-bibit angkara
di atas Bhumi Mataram." Seorang Senopati Utama yang telah
menjadi tua itu menyatakan pendapatnya.
Pertemuan di ruangan itu pun berakhir. Berakhir dengan suatu
132 kesimpulan: mengamati perkembangan yang akan terjadi antara
Rembulan Emas dan Merak Mas. Perkembangan antara dua
perguruan utama di Bhumi Mataram. Dua perguruan yang terletak
dan terpisah pada wilayah dua pemerintahan berbeda di Bhumi
Mataram. *** Hutan Beringin Putih terletak di batas kota sebelah utara. Seperti
namanya tempat itu ditumbuhi pohon-pohon beringin besar yang
berdaun putih. Di bagian selatan kawasan itu, terdapat tanah
lapang seluas 5.000 depa persegi (kurang lebih 1.000 meter
persegi) dikelilingi batu-batu gunung dengan ukuran tidak merata.
Mendapat kepastian dari Rasendriya, tempat itu memang adalah
Arjuna Aswattha (Hutan Beringin Putih). Arga dan Kang Tedja
segera melakukan penyelidikan dan pengamatan. Setelah
meyakini tidak ada yang mencurigakan, dua anak muda itu
24 mencari tempat teduh untuk menanti. Duduk menanti Rembulan
Emas yang belum juga muncul. Kelompok yang telah mengikat
perjanjian dengan anak muda itu.
"Mereka telah terlambat, atau tepatnya aku dan Kang Tedja lebih
dahulu yang muncul di tempat itu". Batin Arga.
Datang lebih awal atau datang lebih lambat untuk membiarkan
lawan menunggu merupakan suatu siasat yang sering digunakan
dalam menyongsong suatu perjanjian. Datang lebih dahulu,
menguntungkan karena memiliki waktu lebih leluasa untuk
menyelidiki dan mempelajari situasi dan tempat perjanjian
berlangsung, tetapi merugikan karena dapat menumbuhkan rasa
bosan akibat menunggu. Sebaliknya, datang lebih lambat,
133 memberi waktu terbatas dalam mempelajari situasi dan tempat,
tetapi menguntungkan karena membiarkan pihak lain menunggu
dan merasa bosan. Pihak-pihak yang saat ini mengikat janji bertemu di Hutan
Beringin Putih, telah memainkan strategi masing-masing.
Kelompok yang belum mengenal tempat itu datang lebih dahulu
untuk melakukan persiapan dan penyesuaian, sementara
kelompok yang sudah lebih mengenal daerah itu, datang lebih
kemudian dan membiarkan pihak lain berada dalam penantian.
Matahari telah condong ke arah barat. Penantian dua anak muda
itu dibayang-bayangi tanda tanya. Sejauh ini mereka belum juga
mendapatkan kepastian. Kepastian atas kehadiran Rembulan
Emas. Apa yang dinanti pun sepertinya telah tiba. Didahului oleh
sekumpulan burung berterbangan dari rimbunan pohon, muncul
sebuah rombongan dari arah dalam Hutan Beringin Putih. Mereka
bergerak ke tanah lapang di mana kedua anak muda itu berada.
Bergerak pasti. Tak lama, dua kelompok yang telah mengikat janji pertemuan
telah mengambil posisi berhadap-hadapan satu sama lain.
Rombongan yang baru tiba terdiri dari dua puluhan orang,
termasuk di dalam tiga orang membawa tamyang (perisai).
Tamyang dengan ciri mencolok. Rembulan warna keemasan.
Simbol Perguruan Rembulan Emas. Saat itu, tidak terlihat orang
yang berperan sebagai penyampai pesan.
"Anak muda, kita bertemu kembali." Terdengar suara menggema.
Suara itu diserukan dengan lambaran tenaga dalam. Diserukan
oleh seseorang dari tempat tersembunyi.
"Itu dia. Sang penyampai pesan." Batin Arga.
"Kau menepati janjimu. Kulihat Rasendriya tidak mengalami
134 penderitaan yang berarti, segera lah lepaskan dia untuk
bergabung dengan kami. Namun, itu bukan berarti kami akan
melepaskanmu begitu saja. Kami mungkin hanya akan
membiarkan temanmu pergi. Belum saatnya kami berurusan
dengan Perguruan Merak Mas". Suara orang itu menggema lagi
25 menetapkan syarat sepihak.
"Kalau kiranya Ki Sanak berkenan bertemu muka dengan muka
menyampaikan pesan di penginapan, mengapa kini Ki Sanak
sungkan untuk menampakkan diri dan membicarakan syaratsyarat yang kita inginkan sebagaimana
layaknya orang mengikat suatu perjanjian, bukan sekedar menetapkan syarat sepihak
seperti yang tuan telah utarakan." Arga pun menyerukan suatu
permintaan sambil mengutarakan sesuatu yang umum dalam
suatu perjanjian. Sesaat tidak ada jawaban dari orang itu. Yang kemudian muncul
adalah tiga bayangan. Tiga bayangan itu melesat cepat ke arah
tanah lapang. Kini, tiga orang telah menunjukkan kekuatan.
Kekuatan lewat gerakan yang lincah dan cepat. Salah satu di
antara mereka adalah sang penyampai pesan. Ia datang ke
Hutan Beringin Putih bersama dengan dua orang lain. Seorang
laki-laki tua sebaya dan seorang gadis yang sangat muda. Tidak
berjarak jauh dengan usia Arga.
"Rasendriya menyampaikan hormat pada Puteri, Kakang
Antargata, dan Kakang Anubhawa." Orang yang bersama anak
muda itu memberi salam, sambil membungkuk hormat kepada
tiga orang itu. Arga pun mengarahkan pandangan kepada tiga
orang yang baru saja tiba, khususnya yang dipanggil Rasendriya
dengan sebutan Puteri. "Puteri" Pimpinan yang membawa Perguruan Rembulan Emas
135 adalah seorang wanita, bahkan seorang wanita yang masih
sangat muda." Demikian Arga menyatakan keheranan, dan terus
memandang tajam gadis yang kini berada dalam jarak kurang
lebih 10 depa di hadapannya. Gadis itu berwajah lonjong, dengan
mata bulat, hidung dan mulut mungil, dan berkulit kuning langsat.
"Usia gadis itu mungkin tidak terpaut jauh denganku." Kata Arga
dalam hati. Yang mencolok dari penampilan gadis itu adalah
lambang rembulan warna emas. Lambang itu disematkan pada
gelungan rambut. Rambut hitam kelam lebat yang telah digelung
ke atas. Lambang itu menjadi perhiasan rambut.
Di samping kiri gadis itu berdiri orang tua yang telah dikenal
sebagai pembawa pesan. Penampilan orang itu jauh berbeda
dengan apa yang ditunjukkan sewaktu menjadi pembawa pesan.
Kini, dengan pakaian ringkas berwarna biru cemerlang, ia tampil
anggun dan berwibawa. Penampilan orang itu tidak berbeda
dengan pria tua lain di sisi kanan gadis. Yang membedakan
hanya warna pakaian, karena yang satu ini mengenakan pakaian
berwarna jingga. Dua orang tua itu mengenakan ciri yang sama.
Ikat kepala warna emas dengan hiasan rembulan di tengahtengah.
*** "Anak muda, sesungguhnya kami sangat tidak tertarik untuk
membicarakan syarat-syarat itu. Bagaimana mungkin Perguruan
Rembulan Emas mengikatkan diri dalam suatu syarat dengan
seseorang seperti dirimu." Kata orang tua di sisi kanan gadis itu.
26 Orang tua itu tampak tidak suka, ada pihak menetapkan suatu
syarat dengan Perguruan Rembulan Emas. Apalagi pihak tanpa
136 nama, pihak yang sama sekali tidak dapat disandingkan dengan
kebesaran perguruan itu. "Sudahlah Paman Anubhawa, aku sudah memutuskan bertemu
muka dengan muka dan menjajagi syarat-syarat yang diinginkan
olehnya dan dengan daya upaya apa syarat-syarat itu dapat
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diwujudkan." Kata sebuah suara kecil di samping lelaki tua itu.
"Bila orang itu bernama Anubhawa, maka nama sang pengirim
pesan ini tentulah Antargata. Pantas ia begitu sempurna
memainkan peran dalam menyamar. Itu sangat sepadan dengan
arti nama Antargata (Yang Tersembunyi)." Demikian Arga
mengenali dua orang tua itu berdasarkan apa yang telah
dikatakan oleh Rasendriya pada saat memberi hormat tadi.
"Anak muda, kau telah berhasil menarik kami keluar hingga jauh
ke tempat ini. Bahkan, tidak hanya itu, sang Puteri pun tak urung
tertarik dengan sepak terjangmu. Siapa kau sebenarnya, dan
dengan kekuatan mana kau menyandarkan diri" Lalu, apa
kepentinganmu terkait ini semua?". Kata orang tua itu kembali
menggorek apa yang diinginkan oleh anak muda yang berada di
hadapannya. Sesaat memandang lekat orang yang telah mengajukan
pertanyaan kepadanya, Arga dengan wajah yang memancarkan
kesungguhan berkata: "Pertama-tama aku akan mengatakan apa
kepentinganku. Dengan sangat hormat, aku meminta agar
kelompok Rembulan Emas tidak mengusik orang kebanyakan.
Terlebih orang yang berpergian sebagaimana itu menimpa pada
diriku. Tentang perseteruan kalian dengan Perguruan Merak Mas,
yang menurut penilaianku memang demikian adanya, sungguh
aku tidak mau mengurusi. Hanya tidak bijak, menarik orang
kebanyakan ke dalam pusaran perseteruan kalian. Buatlah
137 perseteruan itu terbuka, muka dengan muka, tanpa menarik
masuk mereka yang tidak dalam jangkauan, bahkan menjadikan
mereka korban. Penilaian ini tidak tanpa dasar, tetapi dialaskan
pada kejadian yang menimpa aku sendiri. Yang kedua, tentang
jati diri dan latarbelakang, aku hanya akan mengatakan kepada
siapa aku berkenan. Ini pun berlaku terhadap Rembulan Emas".
Perkataan itu diucapkan Arga dengan sikap mantap. Penuh
percaya diri. Sikap itu telah memancarkan sesuatu yang
mengejutkan. Hal ini sangat dirasakan oleh sang pembawa
pesan. Ia sejak tadi hanya berdiam diri. Berdiam diri untuk
melakukan pengamatan terhadap anak muda itu. Yang
mengejutkan orang tua itu, bukanlah apa yang dikatakan anak
muda itu. Tetapi, sesuatu dari balik sikap anak muda itu. Sikap
mantap dan penuh percaya diri saat menyampaikan apa yang
dikatakan. 27 "Luar biasa. Siapapun dirimu, kau hanya lah seorang anak
kemarin sore. Sungguh sangat lancang, anak kemarin sore telah
berani memainkan peran sebagai acalapati acarya (guru paling
agung). Guru agung yang mengumbar nasehat pada seorang
murid. Dan, murid itu Perguruan Rembulan Emas. Perguruan
ternama yang telah menyadap Jnana (pengetahuan) lima
generasi. Jangan karena telah menaklukkan Rasendriya dan
kelompoknya, kau bisa menjadi guru apalagi guru yang paling
agung bagi Rembulan Emas. Jangan bermimpi". Kata orang tua
dengan suara yang meninggi.
"Sudah Paman Anubhawa, sekalipun pemuda itu belum mau
mengatakan jati diri dan asal-usul, setidaknya ia sudah
mengatakan suatu kepentingan, yang menurut penilaianku adalah
syarat yang diinginkan dalam pertemuan ini." Terdengar suara
138 merdu dari satu-satunya wanita yang hadir pada pertemuan yang
sedang berlangsung. "Sekarang aku ingin mengutarakan apa syarat-syarat yang
menjadi keinginanku, sebagai orang yang bertanggungjawab atas
pergerakan di wilayah ini. Syarat yang aku ajukan lebih banyak.
Tapi, syarat-syarat itu tidak berlebihan. Aku yakin kau dapat
memenuhi. Tentu saja, yang pertama, lepaskan Rasendriya dan
biarkan ia bergabung ke mari. Kedua, aku memintamu bergabung
dengan kami. Aku memastikan sebuah kedudukan kunci akan
tersedia bagimu." Puteri itu sengaja berdiam sebentar setelah
mengatakan syarat kedua. Terlihat reaksi tidak puas dari lelaki
tua yang sejak tadi sudah menjadi marah. Ia tidak puas
bagaimana anak muda itu tidak mendapat hukuman. Ia justru
dirangkul masuk ke dalam perguruan, bahkan dijanjikan suatu
tempat terhormat. "Aku tidak menetapkan jati diri dan asal usulmu sebagai suatu
syarat ketiga. Nah, syarat ketiga adalah kau harus dapat
melepaskan diri dari kekuatan kami di sini, agar kami memenuhi
syarat yang kau inginkan sekaligus membebaskanmu dari syaratsyarat yang ingin kuikatkan,
termasuk bebas untuk memperlakukan Rasendriya yang sejak kemarin sudah menjadi
milikmu". Kata gadis itu.
Mendengar rangkaian kata-kata itu, dapat disimpulkan bahwa
gadis itu sangat cerdas. Agaknya, bukan hanya karena garis
keturunan, ia dinilai pantas memimpin Rembulan Emas,
melainkan juga karena kemampuan, terutama kecerdasan.
Sesungguhnya, apa yang dikatakan gadis itu sama persis dengan
apa yang dikatakan Rasendriya sebelumnya. Hanya saja, yang
dikatakan gadis itu memuat bobot pengaruh yang lebih
139 mendalam. "Kata kunci dari perjanjian ini adalah melepaskan diri dari
kekuatan kalian. Tentu ini seperti badasa celih (menghindari
28 bahaya pohon-pohon berduri) dan akan mensayat-sayat kulit .
Tapi, toh itu hanya duri tidak menimbulkan kematian. Demikian,
juga dengan kalian, aku kira tidak menginginkan kematianku,
karena itu ada baiknya aku mencoba melepaskan kekuatan yang
ingin mengekangku". Kata anak muda
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
itu menjawab persyaratan gadis itu. "Baiklah, anak muda, aku akan menjajagi kemampuanmu yang
telah menjatuhkan adik seperguruanku yang termuda,
Rasendriya." Kata orang tua itu sambil bersiap maju. Orang tua
yang sejak tadi telah terpancing oleh kemarahan.
"Tahan Paman. Biar aku sendiri yang akan maju." Kata gadis itu.
"Puteri Nirbita Rajni ..." Seru kedua orang tua itu berbarengan
bermaksud menahan gadis itu. Ucapan dua orang tua itu telah
menjadi sia-sia. Gadis itu telah bergerak cepat, meloncat maju
untuk berhadapan dengan Arga. Ini adalah pertama kali Arga
bertemu muka dengan seorang gadis. Dalam jarak yang dekat,
bahkan sangat dekat. Hanya setengah tumbak. Pada jarak itu, ia
mencium samar-samar kamini anggara (wewangian khas wanita)
dari arah gadis itu. "Boleh ku tahu dengan nama apa aku dapat memanggilmu." Itu
keluar dari mulut gadis itu ketika berada dalam jarak yang lebih
dekat. "Namanya Arga, Put...." Rasendriya mengeluarkan jawaban
spontan, karena takut pertanyaan itu tidak terjawab, namun tidak
sampai tuntas. "Biar kudengar langsung darinya." Potong gadis itu.
140 "Seperti yang dikatakannya, panggil saja aku dengan nama itu."
Kata Arga pelan tanpa menyebutkan nama diri.
"Persoalan ini sepertinya akan berujung pada suatu penjajagan.
Sejujurnya, tidak ada keinginanku lebih dari sekedar
menaklukanmu. Agaknya, kau pun bersikap seperti itu,
sebagaimana telah kau tunjukkan pada Rasendriya. Baiklah, mari
kita bergeser ke tempat yang lebih lapang agar leluasa untuk
melepaskan sandaran masing-masing" Kata gadis itu sambil
berjalan lebih dahulu menentukan tempat yang dimaksud.
Menghadapi gadis itu, Arga menjadi sangat sungkan, canggung
dan kikuk. Hanya sekedar bertemu saja, itu sudah demikian. Kini
ia harus bertarung. Bertarung dengan seorang gadis. Seperti
orang tidur sambil berjalan, tanpa sadar Arga mengikuti gadis itu
dari belakang. "Nah, di sinilah kita akan bertarung. Bersiap-siaplah." Katanya.
Mengambil jarak tertentu, dua anak muda berlainan jenis itu telah
saling berhadapan pada jarak sekitar setengah tumbak, dikelilingi
oleh orang-orang yang telah hadir di sana. Rasa sungkan,
canggung, dan kikuk belum juga hilang dari anak muda itu.
"Mari kita mulai." Kata gadis itu.
"Silahkan." Jawab anak muda itu singkat.
*** Dengan gerakan cepat dan ringan, gadis itu mengirimkan
serangan berupa tebasan tangan yang menyasar pada bahu
1 kanan. Dengan melenggos menyamping serangan itu dapat
diluputkan Arga. Lalu sebuah tendangan sangat cepat diarahkan
ke samping. Tendangan dari gadis itu datang mengejar,
141 kemudian disusul serangan lain berupa totokan sederhana
namun menjangkau delapan titik sasaran secara bersamaan.
Suatu pertunjukan kecepatan dan kelincahan luar biasa.
Mendapat serangan itu, Arga terpaksa menjatuhkan diri hingga
punggung menyentuh tanah, lalu meluncur menghindar.
Demikian, anak muda itu telah menghindari dan meluputkan diri
dari serangan-serangan gadis itu. Rupanya, gadis itu mengetahui
ke mana lawan akan menghindar, ia pun telah meloncat dan
membuat gerakan seperti menumbuk. Tumbukan itu telak
mengena pada pundak Arga.
Tumbukan itu tidak sepenuhnya dilambari dengan tenaga murni,
sehingga tidak menimbulkan pengaruh serius pada otot bahu.
Tumbukan itu hanya akan melunglaikan sementara tangan yang
berhubungan dengan bahu Arga.
"Kakang Antargata, jurus Daki Soma (Rembulan Seperti LakiLaki) mengalami banyak kemajuan."
Pernyataan itu diakui oleh
orang tua pembawa pesan dengan sebuah anggukan kepala.
"Bagaimana mungkin dengan kemampuan seperti itu, Rasendriya
dapat ditaklukkan. Padahal Puteri hanya bermain-main, dan ia
sudah tunggang langgang?" Dengan penuh tatapan lebih
seksama orang tua pembawa pesan mengamati laga. Ia tidak
mengacukan pertanyan itu.
Serangan telak pada bahu telah menyadarkan anak muda itu
bahwa pertempuran adalah pertempuran. Siapa pun yang
dihadapi. Kesadaran itu telah mencuatkan suatu ketegasan
menyikapi laga itu. Anak muda itu memutuskan untuk tidak
menjadikan dirinya sebagai korban dari laga. Korban laga
sebagaimana itu terjadi di masa-masa ia masih menetap di
perguruan Merak Mas. Karena hal itu, ia dijuluki uncalan.
142 Untuk menghindari serangan susulan setelah terkena telak
sebuah serangan pada pundak, anak muda itu kembali bergulingguling kemudian cepat melenting
lentur menjauhi orang beruntun
menyerang deras. Setelah mengenai lawan dengan sebuah
serangan, gadis itu menjadi begitu bersemangat. Ia pun mengejar
dan memburu lawan sekalipun lawan itu telah melenting menjauh.
Penuh gelora dan percaya diri, gadis itu yakin akan segera
mengulangi apa yang baru saja disarangkan pada bahu anak
muda itu. Mengulangi dalam bentuk lain dengan tataran jurusjurus telah ditingkatkan.
Keyakinan itu terlihat jelas pada serangan-serangan gadis itu. Ia
telah meningkatkan tataran jurus-jurus yang dimainkan. Jurusjurus itu telah menghasilkan
gerakan-gerakan yang lebih kuat,
cepat dan rapat. Kecepatan dan kelincahan dari gerakan-gerakan
gadis itu terus mengurung serta menutup rapat ruang gerak dari
2 anak muda itu. Gerakan-gerakan itu begitu lancar luwes mengalir
sebagai hasil dari latihan. Latihan itu telah mematangkan
penguasaan dalam menerapkan jurus-jurus Rembulan Emas.
Jurus-jurus yang telah menjadi andalan sekaligus kebanggaan.
Kesempatan yang dinanti oleh gadis itu pun telah tiba. Ia telah
mengirimkan tendangan ke arah perut dan dada. Tendangan itu
tidak mungkin dapat dihindari oleh lawan. Sebuah tendangan
yang dilakukan dengan suatu teknik gerak tipu. Tendangan
tersembunyi, tidak terduga. Gerak tipu itu merupakan andalah
rahasia dari Perguruan Rembulan Emas, dan selalu berhasil
menjatuhkan lawan saat dimainkan. Dimainkan pada saat latih
tanding atau laga yang telah dijalani sebelumnya.
Memang, anak muda itu pun telah menjadi sangat terkejut karena
tendangan yang tidak terduga itu. Tendangan itu dilakukan
143 dengan teknik yang tidak umum. Tendangan itu menampakkan
wujud sebagai suatu serangan, justru saat gadis itu menyerang
terus seolah-olah tanpa henti dengan pukulan dan totokan. Entah
bagaimana, tiba-tiba gadis itu telah mengubah serangan dengan
tangan itu menjadi serangan menggunakan kaki. Dua kaki.
Gerakan berupa tendangan rangkap. Tendangan yang
dilancarkan dengan dua kaki. Kuat. Cepat. Susul menyusul.
Gadis itu melakukan tendangan rangkap dengan posisi tubuh
lurus miring dengan kepala merendah menghadap ke tanah. Dua
tangan bertumpu pada tanah dan berfungsi sebagai penentu arah
dari gerakan sekaligus memberi lambaran kekuatan dan
kecepatan dari serangan itu.
Dalam keadaan sangat terkejut, anak muda itu tidak bergerak
meloncat jauh menghindar, melainkan merangsek maju ke depan
dengan gerakan menyusur rendah, tipis di atas permukaan tanah.
Itulah salah satu teknik Naga Meluncur. Jurus warisan Naga
Branjangan itu telah dikerahkan. Pada saat itu, tubuh Arga
menghadap ke langit. Sepenuhnya, tubuh itu bertumpu pada
ujung tumit dan siku. Atas dasar tumpuan itu, Arga meluncur
cepat ke arah berlawanan.
Dari sudut pandang, orang tua pembawa pesan terlihat bahwa
gadis itu bergerak ke barat dengan dua kaki yang terus menerus
menendang, sementara anak muda itu bergerak meluncur ke
timur. Gadis menendang sembari melayang dengan tubuh
menghadap ke tanah, sementara anak muda meluncur tipis di
atas permukaan tanah dengan tubuh menghadap ke langit. Dua
anak muda itu tidak hanya bergerak berlawanan, tapi juga
menghadap pada arah berlawanan. Namun, mereka telah
bergerak menurut garis sejajar.
144 Dalam gerak sangat cepat, dua orang muda pada laga itu telah
memangkas jarak, tanpa membentur. Gadis melayang di atas ke
arah barat dengan wajah ke tanah, sementara pemuda itu
3 meluncur di bawah ke arah timur dengan wajah ke langit.
Berlangsung begitu cepat, wajah gadis dan pemuda itu tepat
menjajar. Dua wajah bertemu dalam jarak tipis. Sangat dekat.
Kurang dari satu jengkal. Saat itu juga, tatapan dua pasang mata
telah melebur menyatu. Apa yang terjadi pada laga itu telah membangkitkan decak kagum
mereka yang melihat. Tidak terkecuali dua orang tua di sana. Dua
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tua yang mengenal betul keampuhan tendangan rangkap.
Tendangan tersembunyi. Rahasia Rembulan Emas.
"Anak muda itu melepaskan diri dari tendangan rangkap Puteri
dengan cara aneh. Sangat aneh. Sejak ia terkena pukulan, anak
muda itu telah bergerak dengan cara berbeda. Ia mulai
memperlihatkan diri." Sangat jitu. Penilaian itu datang dari
seorang pengamat yang jeli. Orang tua pembawa pesan.
Tidak seperti mereka yang melihat dan telah menjadi kagum, dua
orang yang berlaga justru merasakan sesuatu yang lain. Gadis itu
telah menjadi jengah tersipu, sementara anak muda semakin
canggung dan kikuk. Bertemu dengan wajah tepat berhadapan,
kurang dari satu jengkal. Tapi, itu hanya sesaat gadis itu sadar
lawan telah lolos dari tendangan rangkap. Lolos dengan cara
yang tidak terduga. Tidak ingin kehilangan kesempatan, saat gadis itu masih
melayang di atas tubuh lawan, ia pun mengirimkan dua buah
pukulan. Pukulan ke arah dada dan perut lawan. Lawan yang
sangat dekat tetap di sisi bawah. "Tidak ada lagi jalan keluar
baginya. Kena." Teriak gadis itu dalam hati kegirangan. Girang
145 karena ia membayangkan suatu hasil dari apa yang berkali-kali
telah dilakukan atas lawan itu. Ia membayangkan lawan terpukul
dan tergolek, dan ia pun akan berdiri sebagai pemenang dengan
iringan sorak-sorai dari anggota rombongan.
Di luar dugaan, pukulan gadis itu tidak mengena pada sasaran.
Mendarat pada tempat kosong. Lawan seketika telah mengubah
arah gerakan. Dengan menjejakkan dua siku ke tanah, anak
muda itu menghentikan luncuran, lalu melejit dan cepat melenting
ke samping. Semua berlangsung begitu cepat, kini anak muda itu
telah mendarat dalam jarak di luar jangkauan serangan gadis itu.
Lawan yang sudah seperti mangsa dalam genggaman, kembali
raib pergi. Itu terjadi tidak hanya sekali. Setidaknya dua kali. Atas
keadaan ini, gadis itu menjadi gemas dan gusar. Gemas karena
sejumlah serangan yang dinilai berhasil, ternyata selalu luput.
Gusar, lawan selalu mengelak dan menghindar. Gemas dan
gusar itu sesaat telah menghentikan serangan. Memandang
tajam lawan dalam jarak di mana ia berdiri, gadis berkesimpulan:
lawan telah mempermainkan dirinya!
"Jangan permainkan aku, mari bertarung sungguh-sungguh."
Kegusaran menguasai dominan gadis itu, dan kegusaran itu telah
diletupkan dengan berteriak marah. Setelah berkata demikian, ia
pun mengambil suatu sikap berbeda. Sangat berbeda. Ancangancang itu. Teknik tarikan nafas.
4 Gerakan tangan. Dan beberapa
ciri lainnya. Semua itu ditampilkan sangat berbeda, dan... gadis
itu pun terdiam beberapa saat. Menghimpun tenaga dalam.
"Edan, Puteri memulai Soma Chanda (Nyanyian Suci Rembulan)
dan Citra Soma (Rembulan Beraneka Warna) secara
bersamaan?" Bisik lelaki tua berpakaian jingga. Bisikan itu
sebenarnya lebih menunjukkan rasa heran, karena menilai
146 apakah perlu gadis itu mengeluarkan dua satu jurus utama
perguruan, hanya untuk mengalahkan anak muda itu.
Sejatinya, hanya Puteri seorang yang tahu, apa yang
sesungguhnya telah berlangsung.
Yang sesungguhnya terjadi adalah sepercik kekagetan yang
tertutup oleh rasa gemas dan geram tadi. Keadaan ini telah
mengubah gadis itu dalam menyikapi pertarungan. Perubahan
sikap itu mengalir dari dua sumber.
Pertama, sentuhan telak pukulannya pada bahu lawannya.
Sekalipun pukulan itu hanya dilambari tenaga murni ringan, tetapi
itu seharusnya cukup untuk melunglaikan lawan. Apalagi, lawan
itu sangat anom (muda) dan tidak mengakar pada tradisi
perguruan besar. Sentuhan yang seharusnya menjadi penutup
laga, justru telah mengarahkan laga menuju babak baru. Ya,
sebuah sentuhan telah membalikkan situasi berubah 180 derajat.
Mengapa" Saat pukulan itu mengena telak pada bahu anak muda itu, gadis
itu merasakan keberadaan sejenis hawa dari tubuh lawan. Hawa
itu bukan hawa menolak atau menyedot, melainkan hawa yang
bersifat merangkul. Jenis tenaga itu seharusnya hanya mengakar
pada mereka yang telah menjalani olah meditasi teknik tinggi. Itu
pun harus dicapai dengan latihan dalam waktu lama dan
mendalam. Hanya mereka yang telah mencapai tahapan Curirana (Enggan
bertempur) yang mampu mengendapkan energi dengan bersifat
merangkul. Dengan teknik itu, hawa serangan lawan tidak ditolak
atau disedot, melainkan dirangkul dibawa berputar-putar
kemudian dijinakkan dan disatukan sebagai satu kesatuan dari
yang ada sebelumnya. Cara kerja tenaga itu seperti seorang ibu
147 yang dipukul anak kecilnya yang marah, lalu merangkul dan
membelai hingga rontaan sang anak mereda, kemudian memeluk
dan mendekap erat anak itu sebagai satu kesatuan dari dirinya.
"Aneh" Anak muda itu menyimpan tenaga Curirana." Pikir gadis
itu. Kedua, cara mengelak berulir mengguling-guling kemudian
melenting lentur lalu mendarat lunak. Gerakan itu seperti anak
kucing yang berguling-guling bermain di atas pasir, dan sontak
melenting lentur menangkap mangsa yang tiba-tiba hadir di
hadapannya. Teknik menghindar itu hanya dapat dilakukan murni
5 oleh gerak naluri atau refleks. Respon segera sesaat rangsang
datang. Tetapi, apa yang telah diperlihatkan lawan bukan sekedar
gerak reflek, melainkan langkah sistematis. Langkah hasil ciptaan
pesilat kelas tinggi dan dimatangkan lewat latihan. Bagaimana
lawan bisa melakukan teknik itu"
"Sekali lagi, jangan permainkan aku. Mari bertarung sungguhsungguh." Suara gadis itu
menggelegar, telah meledakkan
keheningan. Mereka yang hadir di sana, melonjak kaget, khususnya tiga orang
pembawa tamyang. Ki Anubhawa, Ki Antargata dan beberapa lain
tidak terpengaruh oleh ledakan suara itu. Sebab, mereka sudah
mengenal ciri-ciri dari tenaga lambaran suara itu: Nyanyian Suci
Rembulan. Suatu teknik penyaluran tenaga memperbesar
getaran suara yang keluar.
Perubahan sikap tidak hanya terjadi pada gadis itu. Perubahan
juga telah berlangsung pada diri anak muda yang berdiri sebagai
lawan dari gadis itu. Sekali lagi, kesadaran anak muda itu telah
menggugah: "Arga, pertempuran adalah pertempuran, siapapun
lawan yang kau dihadapi".
148 Setelah bergerak melejit melenting dan kemudian mendarat pada
jarak yang terjaga, anak muda itu pun segera meningkatkan
tenaga. Tenaga itu sudah sejak tadi dikerahkan dalam tataran
tertentu. Seketika peningkatan tenaga itu membentuk benteng
perlidungan diri: Jubah Perang Naga dan Sambega Warastika.
Dua teknik untuk berjaga-jaga terhadap pengaruh serangan gadis
yang telah menjadi geram.
Demikian, Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega telah
dikerahkan pada tingkat yang diinginkan. Arga tidak
mengerahkan sepenuhnya tenaga dalam simpanannya.
"Baiklah mari kita lanjutkan." Ajak anak muda itu singkat, tanpa
terpengaruh oleh ledakan suara tadi.
Tidak menunggu lama, gadis itu telah bergerak cepat. Luar biasa.
Pada saat gadis itu bergerak dengan cepat, serangkuman hawa
dingin datang menyerang Arga. Hawa itu telah mendahului tiba.
Hawa dingin itu tidak lemah. Cukup untuk menggigilkan apa yang
disasar. Gerakan yang telah dilancarkan sebagai serangan oleh gadis itu
berupa tamparan dengan tangan kanan ke arah leher belakang,
dan totokan menggunakan jari-jari kiri yang disatukan dengan
sasaran pada kening. Serangan itu sangat berbahaya karena
mengarah pada bagian penting tubuh, sekalipun bukan bagian
yang mematikan. Masih tidak beranjak dari tempat semula, anak
muda itu bergerak menjongkok, lalu melompat ke samping
kemudian melenting tinggi, bergeser, mengekukkan badan hingga
90 derajat. Anak muda itu melakukan gerakan-gerakan dengan kecepatan
tinggi. Melalui gerakan-gerakan itu, Arga menghindari dan berkelit
dari serangan-serangan gadis itu. Begitulah, serangan itu telah
6 149 diawali dengan tamparan dan totokan, lalu berkembang dalam
berbagai bentuk serangan lain: tendangan, pukulan, tarikan
membanting, sabetan tangan dan kaki, dan benturan
menggunakan lutut atau siku. Gadis itu terus menyerang,
sementara anak muda itu terus menghindar.
Waktu pun terus berlalu di atas laga itu. Pada kesempatan itu,
terlihat gadis itu melompat tinggi kira-kira setengah tumbak lalu
meluncur menyerang Arga. Yang aneh adalah cara ia
menyerang, tidak menukik sebagaimana dilakukan Rasendriya
sebelumnya, melainkan dengan posisi kedua kaki yang
menyerang dengan menendang-nendang dan menotok.
Serangannya cepat menyasar pada dagu dan bahu. Dengan
gerakan seperti mengusir hewan pergi, serangan-serangan itu
tertepis, namun tidak berhenti melainkan datang melebih dari
yang sebelumnya. Arga memutuskan untuk menghentikan rentetan serangan yang
terus menerus mengalir mendesak dengan sebuah benturan.
Barangkali, beturan itu dapat menutup dan mengakhiri pertarung.
Ia pun meningkatkan daya perlindungan Jubah Perang Naga dan
Sambega Warastika. Saat serangkaian serangan datang, ia
membalikkan badan membelakangi lawan, dan membiarkan
serangan itu mendarat telak di punggung. Punggung adalah
bagian tubuh paling kuat dan tidak berbahaya, untuk menerima
serangan. BUK. BUK. BUK. BUK. Empat kali tendangan itu mampir telak di punggung anak muda
itu. Bukan tendangan sembarangan. Itu tendangan dengan
dengan lambaran Nyanyian Suci Rembulan dan Rembulan
Beraneka Warna. Empat kali. Beruntun.
150 Sesaat empat tendangan itu membentur lawan, gadis itu
melenting cepat ke belakang dan mendarat ringan dalam suatu
jarak. Ia menghentikan serangan. Seharusnya gadis itu dapat
meneruskan tendangan itu dengan guntingan atau melenting
vertikal ke atas untuk segera mengirimkan suatu tumbukan
seperti ia lakukan pada bahu anak muda itu pada awal laga. Tapi,
kini gadis itu telah berhenti menyerang.
"Hei, dari mana kau mempelajari tenaga Curirana". Pertanyaan itu
dilontarkan tidak berisi kekagetan sebagai hasil empat tendangan
yang telah membentur anak muda itu. Pertanyaan itu merupakan
sikap menyelidik sesuatu yang sebelumnya sudah dipastikan oleh
gadis itu. Lewat empat tendangan yang dilambari Nyanyian Suci
Rembulan dan Rembulan Beraneka Warna, gadis itu memastikan
bahwa ia berhadapan dengan penyandang Curirana. Suatu tahap
pencapaian penghimpun tenaga inti langka. Curirana yang hanya
dikenal dalam cerita. Keberadaan Curirana menjadi sangat nyata. Sama sekali tidak
7 samar. Hadir seperti saat anak muda itu terkena pukulan pertama
di pundak lawan pada awal laga. Tapi, jika sebelumnya tenaga
pukulan pada pundak itu dirasakan "seolah-olah seperti
dirangkul", kini tenaga empat tendangan pada punggung
"sunguh-sungguh dirangkul dan dibelai".
Memang, tenaga gadis itu yang telah disalurkan lewat tendangan.
Empat tendangan. Tidak sama sekali tidak ditolak atau
dihempaskan. Tidak juga tidak tersedot atau terhisap. Apa yang
berlangsung tidak menurut cara-cara itu.
"Tidak ada pantulan tenaga membalik, tanda tenagaku ditolak
atau dihempaskan. Tidak ada hentakan yang memaksa tenaga
mengalir ke luar, tanda tenagaku disedot atau dihisap." Gadis itu
151 menilai apa yang telah berlangsung sesaat setelah empat
tendangan itu membentur. Sementara gadis itu tenggelam dalam
penilaian, anak muda itu tampak sejenak terguncang, namun
pada hitungan tiga-empat tarikan nafas kembali normal. Hanya
sesaat, Arga menenangkan dan menetralkan gejolak tenaga dari
tendangan itu. "Curirana?" Kali ini yang berseru kaget adalah orang tua
pembawa pesan. Orang itu sejak tadi hanya berdiam diri.
Melakukan pengamatan. Pengamatan atas laga, penuh
perhatian. Secara spontan, orang tua itu melayang cepat dan mendarat
ringan di samping gadis itu. Ia adalah ahli olah tenaga dalam,
yang telah mampu mencapai tingkat kematangan. Pada tingkat
kematangan itu, ia secara sempurna dapat menyimpan dalamdalam tenaga itu secara tersembunyi
tanpa terdeteksi, sebagaimana ia lakukan selagi berperan sebagai penyampai
pesan. Sebagai tokoh tenaga dalam, apa yang dikatakan gadis itu
telah menggelitik. Perasaan itulah yang telah mendorongnya
untuk spontan bergerak ke samping gadis itu.
"Anak muda, benarkah itu Curirana sebagaimana dikatakan
Puteri" Terbenggong-benggong. Itu tergambar jelas pada wajah
anak muda yang telah ditanya. Ditanya oleh dua orang. Ditanya
mengenai hal yang sama: Curirana. Bagaimana tidak bengong,
anak muda itu baru pertama kali mendengar kata "Curirana".
Mendengar pertama kali dari gadis itu.
"Jangan bengong dan berlagak pilon, jawab pertanyaan itu?"
Tetap saja anak muda itu bengong. Bahkan, bengong untuk
beberapa lama. "Curirana?". Justru anak muda itu bertanya
dalam batin. Sebab, yang ada pada adalah Jubah Perang Naga
152 dan Sambega Warastika. Dua teknik melindungi diri warisan
Naga Branjangan. Bukan Curirana! Sekali lagi, bukan Curirana
seperti dikatakan gadis itu dan orang tua penyampai pesan.
"Sekali lagi, dari mana kau mempelajari tenaga Curirana" Biarpun
kau sembunyikan, aku mengenali tenaga itu. Karena aku ini
8 adalah wanita, seorang calon ibu. Curirana adalah tenaga
pelindung yang bersumber pada sikap dan semangat seorang
ibu. Sikap dan semangat seorang yang yang selalu memeluk
anaknya dengan kasih sayang". Mata gadis itu telah menjadi
menyala sembari menyergah anak muda itu dengan kata-kata.
Kata-kata itu juga tetap tidak dipahami anak muda itu, termasuk
apa yang kembali ditanyakan oleh gadis itu: dari mana kau
mempelajari tenaga Curirana"
Sebenarnya, apa yang dikatakan gadis itu tidak tepat.
Mengatakan "dari mana kau mempelajari tenaga Curirana", sama
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
halnya dengan mengatakan "dari mana kau mempelajari teknik
menghimpun tenaga Curirana". Di sinilah letak ketidaktepatan itu.
Sebab, Curirana itu bukan teknik penghimpunan tenaga yang
dipelajari. Curirana adalah suatu sebutan terhadap taraf
pencapaian seseorang dalam latihan tenaga dalam. Latihan
tenaga dalam yang dilakukan melalui teknik apapun.
"Aku tidak mengenal apa itu Curirana, karena memang bukan itu
yang ada padaku." Setelah beberapa lama, anak muda itu
mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan tanpa menyebutkan
Jubah Perang Naga dan Warastika Sambega.
Sungguh, Arga memang tidak tahu apa itu Curirana. Ia pun tidak
tahu bahwa penerapan teknik perlindungan Jubah Perang Naga
dan Warastika Sambega secara bersamaan, yang dilandasi
ahwaya (penggabungan) elemen semesta sesuai teknik
153 Panchajanya, telah menghasilkan reaksi seperti yang mereka
sebut: Curirana. "Ehm, sangat menarik anak muda. Kau itu siapa sudah lagi tidak
menjadi penting. Curirana telah mengantarkan aku mengenal
sumber dirimu." Kata orang tua itu lagi. Lewat Curirana orang tua
itu telah mengenal anak muda itu.
"Puteri, mari kita sudahi apa yang tengah terjadi. Memang, sudah
sepantasnya Rasendriya tidak berdaya di tangannya." Kata si
pembawa pesan menyatakan ajakan daripada permintaan. "Kata
sepantasnya Rasendriya tidak berdaya di tangannya" terdengar
dikatakan penuh tekanan. Itu telah memancing orang tua
berpakaian jingga bergerak melayang ke tengah laga. Ia datang
ke situ untuk meminta penjelasan mengapa orang tua pembawa
pesan mengatakan, "mari kita sudahi apa yang tengah terjadi".
Orang tua berpakaian jingga itu sangat tidak puas apabila semua
yang telah berlangsung, disudahi begitu saja. Ketidakpuasan itu
nyata pada tatapan dua bola mata. Tanpa mempedulikan tatapan
itu, si pembawa pesan justru menatap Puteri. Lewat tatapan itu,
ajakan yang diajukan lewat pernyataan telah beralih menjadi
permohonan. Tatapan memohon.
"Tidak, paman. Aku justru ingin menggali sedalam-dalamnya apa
yang ada padanya. Silahkan Paman berdua kembali ke tempat
semula." Katanya ingin tetap melanjutkan apa yang tengah
berlangsung. 9 Sekali lagi, orang tua pembawa pesan menatap gadis itu. Ia tidak
lagi memohon. Juga tidak marah atau kecewa karena
permohonan itu tidak terwujud. Sebaliknya, ia justru
mempersilahkan gadis itu meneruskan. Meneruskan dengan hatihati. Tatapan mengingatkan.
154 Kini, kembali tinggal dua orang berdiri berhadap-hadapan.
Seorang gadis dan seorang pemuda. Dua orang tua itu telah
menyingkir dan kembali ke tempat semula. "Menggali sedalamdalamnya" menyatakan bahwa gadis
itu akan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Mengerahkan kemampuan itu
sehabis-habisnya hingga menjangkau tataran tertinggi. Puncak
dari jurus-jurus Rembulan Emas.
Rangkaian kata dari gadis itu segera menyihir suasana. Suasana
menjelang malam. Remang-remang. Memang, saat itu matahari
telah usai menjalankan tugas menyinari bumi. Kata-kata itu
sontak telah menerbarkan hawa magis. Mencekam. Merindingkan
bulu roma. Hawa magis itu pada remang-remangnya suasana.
*** Kebisuan suasana remang-remang senja di Hutan Beringin Putih
itu kemudian dipecahkan oleh perkataan anak muda.
"Baiklah, agaknya aku harus menari. Menari dengan Kanaka
Soma. Rembulan Emas." Kata anak muda di hadapan gadis itu
diucapkan pelan namun terdengar jelas.
Gadis itu menangkap apa yang dimaksud dengan "menari".
Dengan kata itu, anak muda yang berdiri di hadapannya tidak lagi
akan bersikap seperti sudah-sudah: menghindar, menangkis atau
membentur, bahkan membiarkan menerima serangan. Tetapi,
akan bertindak menyerang memberikan balasan. Gadis itu pun
menyiapkan diri. Siap di puncak penguasaan ilmu.
Selang tidak berapa lama, tubuh gadis ini terangkat melayang
setinggi seperempat tumbak. Teknik Mahitala Nasti (Tidak
Terpengaruh Oleh Permukaan bumi) kembali mempertunjukkan
155 wujud. Tapi kali ini jauh melebihi apa yang telah diperlihatkan
oleh Rasendriya. Rasendriya hanya sejengkal melayang, gadis itu
mengapung seperempat tumbak dari permukaan tanah. Tidak
hanya itu, tubuh gadis itu telah berubah. Rona biru keputihan
telah berbinar tegas mengelilingi tubuh yang sedang mengapung
di udara. Anak muda itu juga telah menampakkan wujud sejati. Lambaran
ilmu yang disadap dari Naga Branjangan. Seketika itu, ia telah
menanggalkan wujud lumrah. Kini, yang tampil terlihat adalah
sosok yang juga dilingkungi oleh rona sinar. Rona merah
kejinggaan. Siapapun yang hadir di sana maklum bahwa dua
anak muda itu telah menapaki lambaran sejati ilmu masingmasing. Lambaran itu telah mewujud
dalam bentuk sebagaimana terlihat di tengah laga. Dua anak muda, yang awal telah menjadi
pusat tontonan, kini semakin memaku dan memantek perhatian
10 penonton. Orang-orang di pinggir laga.
Yang tampak paling terkagum-kagum adalah murid Perguruan
Merak Mas, Tedja Permana. Sempat ia menyandingkan
kemampuannya dengan dua anak muda yang tengah bersiapsiap di arena laga itu. Perasaan
menjadi kecil. Betapa jauh celah
itu berjarak. Celah kemampuannya dibandingkan dua anak muda
itu. Kenyataan ini, telah mengikatkan suatu ikrar. Ikrar pada diri
sendiri. Yakni, bertekun dan bekerja keras meningkatkan
kemampuan dalam segala kesempatan.
Demikian juga dengan orang tua penyampai pesan. Ia ternganga
atas apa yang dilihat. Ia semakin mengenal anak muda itu.
Mengenal bukan "siapa" anak muda itu, tetapi mengenal "sumber
dalam" anak muda itu. Sumber itu telah diceritakan turun
temurun. Sumber yang berada dalam sebuah petikan cerita suci.
156 Cerita mengenai Dewi dan Putera Bayu. Dewi Sinta dan Anoman.
Cerita itu ada dalam Kisah Suci Ramayana.
Demikian dua orang muda itu telah menjadi siap. Siap dalam
wujud sebenarnya. Yang gadis tetap mengapung di udara
setinggi seperempat tumbak tubuh biru keputihan, sedangkan
anak muda itu berjongkok mantap dengan dua jari membentuk
cakar. Satu di depan, satu lagi di belakang menempel pada
punggung. Dua anak muda itu siap memasuki laga untuk
"menggali dalam-dalam" atau "harus menari". Begitulah dua anak
muda itu tadi telah memaknai laga.
Kesiapan dalam wujud sejati dua anak muda di tengah arena laga
telah membangkitkan kekaguman sekaligus ketegangan. Dua hal
itu sangat cepat merambat melingkungi arena laga. Begitu terasa.
Apalagi, pada dua orang tua di tepi laga. Kendatipun, mereka
memiliki keyakinan pada wujud sejati gadis itu, tetap saja
ketegangan mengurat tegas pada dua wajah itu. Spontan,
Mereka secara bersama-sama mempersiapkan diri, berjaga-jaga
mengantisipasi suatu kemungkinan yang dapat terjadi.
Kemungkinan yang tidak menguntungkan, utamanya menyangkut
keselamatan sang Puteri. Puteri Utama Rembulan Emas.
"Awas serangan". Suatu peringatan dengan lambara Nyanyian
Suci Rembulan mengelegar. Peringatan dalam kesatuan dengan
serangan. Atau serangan dalam peringatan. Serangan lewat
getaran suara. Menyusul peringatan itu, belum juga ada yang
beranjak dari kedudukan masing-masing. Dari tempat ia
melayang, gadis itu menyentil dua kali dengan tangan kanan. Dari
sentilan itu meluncur dua titik bersinar kebiruan dengan
kecepatan tinggi. "Dahayu Soma Bana (Anak Panah Rembulan Cantik Molek)".
157 Kata-kata itu meluncur keluar, tak tertahan dari Rasendriya di sisi
Tedja Permana, Murid Merak Mas. Tedja hanya memandang
Rasendriya. Ia tidak mengerti sama sekali apa yang telah
11 dikatakan oleh orang itu.
Dengan berkelit cepat ke kiri dan ke kanan, anak muda itu telah
menghindar. Ia masih merendah berjongkok. Titik-titik sinar itu
berlalu lewat. Lewat tanpa menyentuh tubuh anak muda itu.
Meneruskan gerak berkelit, didahului dengan sebuah lompatan
melenting anak muda itu melancarkan sebuah tusukan kilat.
Tusukan dengan dua jari. Dilancarkan lewat Teknik Naga
Semesta Tajam dan Menusuk. Tusukan itu menyasar ke arah
dada bagian atas dekat dengan bahu.
Dalam sebuah gerakan melengos luwes dan lemah gemulai,
tusukan Arga dihindari oleh gadis itu. Sekejap setelah
menghindar gadis ini mengirimkan totokan. Totokan dengan kaki.
Pangkal leher belakang, sasarannya. Suatu teknik yang sulit,
karena hal ini dilakukan dalam posisi melayang. Hanya dengan
penguasaan teknik Mahitala Nasti sempurna, gerakan itu dapat
dilakukan. Gadis itu memang telah menguasai Mahitala Nasti
dengan sempurna. Dengan posisi membungkuk-udangkan tubuh, sehingga lutut
dapat tercium, anak muda itu menjinakkan totokan kaki gadis itu.
Totokan sekonyong-konyong, yang datang saat anak muda itu
menyerang. Dalam keadaan tubuh yang mengecil menciut,
sebuah sambaran Naga Semesta Membara dalam bentuk
cakaran telah dilepaskan Arga. Ia mengirimkan cakar itu saat
membungkuk udang. Cakar itu mengarah pada perut. Bergeser
memutar gadis itu menghindar dari cakar itu. Demikian, dua anak
muda itu mempertunjukkan gerakan-gerakan istimewa di tengah
158 laga. Gerakan dari wujud sejati dari dua anak muda itu.
Selepas itu, dua anak muda itu terus bergerak. Bergerak sangat
cepat. Sebentar menyerang, sesaat kemudian menghindar. Atau,
menghindar sekejap, lantas menyerang. Bahkan, menyerang
seraya menghindar atau menghindar sembari manyerang.
Begitulah dua anak muda itu bergerak: "serang-hindar", "hindarserang", "seranghindar " atau
"hindarserang".
Ratusan bentuk jurus telah lewat. Lewat dalam aneka
gerakan.Silih berganti dari dua anak muda pada laga itu.
Gebrakan tingkat tinggi. Pada tingkat kecepatan maupun
kerumitan. Keadaan laga masih berada pada keberimbangan.
Sama dalam kekuatan. Sepadan pada kecepatan. Setara di
kerumitan. Dari laga antara yang sama kuat itu, terlihat secara jelas
bayangan dua sosok. Karena suasana Hutan Beringin Putih telah
menjadi gelap, dua anak muda itu lebih terlihat sebagai sosok
berona. Satu berona putih. Yang lain merah kejinggan. Dua sosok
itu bergerak cepat. Berpindah-pindah. Ke kiri, ke kanan.
Melambung tinggi, melengser rendah. Bergerak silih berganti
saling menekan dan melepaskan tekanan. Kadang-kadang sosok
putih datang memberikan tekanan, dan kadang-kadang sosok itu
bergerak mundur karena mendapat tekanan dari sosok merah
12 kejinggaan. Demikian, dua sosok itu kejar mengejar.
"Menakjubkan. Benar-benar sebuah Kanaka Soma Nritto (Menari
dengan Rembulan Emas)." Desis orang tua pembawa pesan
berkomentar atas laga. Ia tidak melihat itu sebagi laga, melainkan
pertunjukan. Mempesona. Menawan. Tidak ada aroma ancaman,
apalagi bahaya. "Kakang, anak muda itu mampu memberikan perlawanan yang
159 seimbang. Siapa dia Kakang?" Orang tua berpakaian jingga
bertanya pada pembawa pesan. Menggarisbawahi "Siapa dia
Kakang?" Orang tua itu meminta informasi, karena orang yang
disebut Kakang tadi telah mengatakan: "Curirana telah
mengantarkan kami mengenal siapa dirimu." Tapi, yang ditanya
tetap diam. Terhanyut pada Kanaka Soma Nritto. Menari dengan
Rembulan Emas. Di tepi laga pada sisi yang lain, dua mata Rasendriya terbuka
lebar-lebar. "Edan. Kalau saja anak itu berkehendak
memberangus aku dengan apa yang saat ini aku saksikan, ia
akan melakukan itu seperti meremas tahu." Orang itu bergidik
membayangkan kalau hal itu terjadi. Ini membuat ia benar-benar
takluk. Suatu sikap takluk yang tidak datang karena tekanan, tapi
takluk yang lahir dari rasa hormat. Takluk seorang bawahan
terhadap junjungan yang dihormati.
Kembali ke jalannya laga. Pemandangan itu masih sama. Tetap
berlangsung pada tingkat kekuatan, kecepatan dan kerumitan
yang tidak berkurang. Juga kejar mengejar silih berganti. Kejar
mengejar dua sosok berbeda. Yang putih lemah gemulai lincah
dalam kekuatan dan kerumitan. Yang merah kejinggaan kuat
kokoh dalam kecepatan dan kerumitan. Ciri-ciri itu tampak
melengkapi satu sama lain, dan jika dipadukan akan menjadi satu
kesatuan yang sulit untuk ditaklukkan.
"Bukan sekedar hanya Kanaka Soma Nritto (Menari dengan
Rembulan Emas), tetapi suatu Dami Mahogra Ahwaya
(Gabungan Maha Kuat yang Serasi)". Kembali orang tua
penyampai pesan menilai dari di tepi laga. Penilaian itu berupaya
membayangkan kemungkinan kombinasi kekuatan dari dua anak
muda itu. 160 Decak kagum mengalir makin meningkat. Itu telah menggeser
ketegangan yang sebelumnya mencengkram suasana. Di arena
laga, saat ini dua sosok itu terlihat menyatu dan membentuk garis
lurus tegak. Sosok rona putih berada di atas sosok yang lain.
Sebentar kemudian, sosok putih itu melengkung oval, dan
serentak direspon oleh sosok merah kejinggaan dengan
lengkungan oval. Sekalipun terlihat sesaat, dua sosok itu telah
membentuk bulatan melonjong. Bulatan lonjong dengan sebagian
berwarna rona putih dan sebagian lagi merah kejinggaan.
Selepas itu, dua sosok itu membuyar. Mencelat ke arah
13 berlawanan, lalu melesat cepat saling mendekat. Apa yang
sebenarnya terjadi" "Birawa Tandhing (Pertarungan yang Luar Biasa)." Kali ini orang
tua berpakaian jingga yang telah mencetuskan kekaguman atas
apa yang sedang disaksikan. Ia berkata demikian sembari
menoleh orang tua lain di sisinya. Yang ditoleh hanya manggutmanggut. Cetusan dan anggukan itu
menegaskan bahwa apa yang sedang berlangsung sepenuhnya tidak lepas dari
pengamatan mereka berdua. Tingkat kecepatan pada dua orang
dalam laga itu begitu cepat. Mungkin, hanya dua orang tua itu
saja yang dapat mengikuti laga dalam detail. Dua tokoh utama
Kanaka Soma dengan penguasaan kepandaian tinggi.
Dari pengamatan mereka, terlihat jelas bagaimana gadis itu
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meloncat melengkung. Tapi, ia tiba-tiba berubah melenting naik di
tengah jalan. Saat itu, ia tepat berada di atas lawan. Lawan yang
tidak diam, tapi lawan yang sedang bergerak cepat. Kemudian
secepat kilat gadis itu turun menghujam tepat tegak vertikal
menuju lawan. Suatu teknik menyerang secara tegak vertikal,
berlangsung cepat dan mendadak. Itulah Teknik Padmarini Paksa
161 Soma (Rembulan Bersayap yang Indah dan Tajam). Jurus
simpanan Rembulan Emas. Hanya dilatih Sang Ketua dan
diajarkan terbatas pada Calon Ketua.
Yang diserang tentu saja terhentak. Kaget menerima serangan
yang telah datang. Serangan tegak vertikal dengan dua kaki.
Lagi-lagi kaki. Dengan kesigapan tinggi, serangan dua kaki itu
dipunahkan. Anak muda itu menangkap dua kaki gadis yang
menyerang tegak vertikal. Seketika gadis itu menyadari hambatan
pada dua kaki, lalu secepat kilat ia melengkungkan tubuh dengan
gemulai dan luwes menghujam tajam. Menghujam untuk
mengirimkan pukulan dengan dua tangan ke perut dan dada
lawan. Tidak ingin terkena pukulan dari gadis itu, Arga yang telah
menangkap kaki lawan pun melengkungkan tubuh hingga
mencapai jarak tertentu. Lengkungan tubuh untuk menciptakan
jarak agar tubuh tidak mampu dijangkau pukulan itu. Paduan
gerakan melengkungkan tubuh dari anak muda itu sesaat telah
membentuk bulatan lonjong, dan sekaligus menciptakan gerakan
seperti roda pedati mengelinding sekejap.
Gerakan melengkungkan tubuh dinilai anak muda itu masih
kurang, bisa saja lawan mengubah pukulan menjadi totokan jari.
Perubahan itu akan memperpanjang jangkauan serangan lawan.
Setidaknya lebih panjang seperlima hasta (red-kurang lebih 8
cm). Pukulan jadi totokan jari menciptakan jarak tambahan
serangan. Hanya seperlima hasta memang. Tapi, pada sebuah
laga jarak tambahan yang hanya seperlima hasta akan sangat
menentukan. Apa yang dipikirkan anak muda itu terjadi. Gadis itu
telah mengubah pukulan menjadi totokan. Sasaran tetap sama:
dada dan perut. Sekelip menilai gerakan melengkung itu tidak cukup untuk
14 162 meluputkan pukulan itu. Masih menangkap dua kaki, Arga
melepaskan kaki itu seraya melontarkan menjauh. Lontaran itu
mengakibatkan dua pihak menjauh. Hanya sesaat. Tanpa
menunggu kaki menjejak pada tanah, dua anak muda itu secara
bersamaan telah mencelat maju saling mendekat, mengirimkan
kembali serangan. Serangan itu silih berganti.
Tanpa terasa telah dua belas penderesan nira (red - dua belas
kali sepuluh menit) dua orang itu masih bertarung. Pertarungan
yang seru dan asyik ditonton. Tidak sedikit tenaga dua anak
muda itu telah dilepaskan. Dilepaskan untuk menyerang dan
menghindar. Tidak hanya tenaga, tetapi juga konsentrasi.
Konsentrasi untuk melihat cermat setiap jurus lawan dan
perubahan-perubahan atas jurus itu. Tenaga dan konsentrasi.
Tenaga menyangkut jasmani. Konsentrasi ada pada fikiran. Laga
itu menghabiskan pengerahan kekuatan jasmani dan fikiran.
Apalagi, laga itu berjalan lama. Dua belas penderesan nira.
Terang, dua anak muda itu menjadi lelah. Peluh membanjiri
sekujur tubuh, dan nafas memburu. Namun, dua anak muda itu
tetap menjalani laga itu dengan semangat. Terlihat tidak kendor,
baik dalam kekuatan, kecepatan dan kerumitan. Dua anak muda
itu jelas menikmati pertarungan.
Benar! Arga memang sangat menikmati pertarungan itu. Pertarungan itu
telah mengantar dirinya pada pengalaman amat berharga.
Pengalaman yang tidak mungkin didapat dalam latihan seorang
sendiri. Sekalipun latihan itu dijalani secara ajeg dan benar. Pada
laga itu, Arga dapat menerapkan secara langsung teknik-teknik
yang telah dipelajari. Warisan Naga Branjangan. Menerapkan
warisan pendekar itu pada situasi laga. Laga sebenarnya.
163 Menerapkan ilmu tidak atas bayangan imajinasi pikiran, tapi
kenyataan lawan sebenarnya. Lawan dengan lambaran dan
teknik tersendiri. Kecuali itu, Arga juga dapat menyelami
perubahan-perubahan gerakan sesuai dengan keadaan laga. Ini
semua semakin mematangkan pengertian dan penerapan jurusjurus Naga Semesta, baik pada
jurus itu sendiri maupun perubahan-perubahan. Hal yang sama juga berlaku pada gadis itu. Ia sangat menikmati
pertarungan ini. Menikmati pertarungan atas dasar rasa
penasaran yang terus dikejar. Ia menikmati laga atas dasar rasa
penasaran. Ya, penasaran karena sejauh ini belum bisa
menjatuhkan lawan. Sekalipun lawan itu menyandang ciri
Curirana, tapi yang dihadapi oleh lawan itu adalah dirinya. Puteri
Nirbita Rajni. Puteri Tunggal Ketua Rembulan Emas. Perguruan
Utama di Bhumi Mataram. *** Sesuatu yang ada awalnya tentu juga akan ada akhirnya. Itu
15 hukum alam. Begitu juga dengan pertarungan yang sedang
terjadi. Terutama bagi gadis itu. Gadis itu menginginkan suatu
akhir. Suatu akhir sebelum laga itu melampau batas kekuatan
yang dimiliki. Saat ini kekuatan gadis itu telah beranjak sedikit
demi sedikit surut. Sebelum segala kekuatan habis menguap,
dengan kekuatan yang masih dimiliki, gadis itu mulai menyiapkan
sesuatu. Sesuatu yang istimewa sebagai penutup laga. Itu
dilakukan oleh gadis itu dalam keadaan tetap bergerak cepat.
Sebuah jurus telapak. Teknik pamungkas Perguruan Rembulan
Emas. Teknik itu telah tuntas dipelajari, namun sampai saat ini
164 belum pernah dicobakan atas lawan dalam suatu pertarungan.
Persiapan itu terlihat. Perubahan pada rona sosok gadis itu. Tidak
lagi kebiruan. Tapi putih mengkilat. Seperti kristal.
"Aih, Palawa Soma Pangkaja (Telapak Rembulan Bersemi)".
Cetus orang tua berpakaian jingga, penuh kekagetan. Agaknya
persiapan atas teknik pamungkas Perguruan Rembulan Emas
dikenali oleh orang tua itu. Ia paham betul kedahsyatan jurus
tapak itu. Orang tua pembawa pesan pun mengenali wujud
persiapan itu. Tapi, ia tetap terdiam. Hanya dua mata telah
membuka lebar, ekspresi rasa kaget yang sama.
Dalam keadaan tetap bergerak, Arga melihat perubahan pada
gadis itu. Atas perubahan itu, Arga meyakini bahwa lawan telah
menginginkan suatu akhir atas laga itu. Anak muda itu terlihat
agak kecewa. Kecewa karena masih ingin meneruskan
pertarungan itu. Terus berupaya menyerap pengalaman berharga
dari sebuah laga. Pengalaman tak tergantikan. Tak tergantikan
sekalipun oleh latihan selama bertahun-tahun, sekalipun latihan
itu dilakukan secara ajeg dan benar.
Dengan kekecewaan yang membekas pada wajah itu, Araga
meluluskan keinginan gadis itu. Ia pun segera menapaki Naga
Semesta Membara, menapak masuk ke tahap yang mapan.
Demikian, pada akhirnya gadis itu melepaskan jurus pamungkas.
Ciri dari jurus itu adalah serangan tapak tangan. Telapak tangan
yang memutih cemerlang. Putih cemerlang bagai tebaran embun
pagi pada saat bunga-bunga mekar bersemi. Palawa Soma
Pangkaja. Telapak Rembulan Bersemi.
Bersamaan dengan tapak gadis, Arga merasakan serangkum
hawa dingin. Hawa dingin yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Hawa dingin itu jauh lebih cepat datang mendahului tapak mungil.
165 Tapak yang sudah terisi oleh kekuatan Telapak Rembulan
Bersemi. Arga tidak menghindari tapak itu. Ia justru bergerak
menyongsong. Menyongsong dengan Naga Semesta Membara
yang dimainkan menyatu dengan Teknik Naga Meluncur. Yakni,
gerakan meloncat tangkas cepat layaknya seekor harimau
perkasa, namun itu dilakukan secara mengulir. Mengulir seperti
gerakan bor. 16 Gerakan mengulir seperti bor itu berfungsi memperkuat himpunan
energi untuk melepaskan Naga Semesta Membara. Gerakan itu
seperti apa yang dilakukan oleh seorang tukang kayu. Ia tidak
membuat lubang pada kayu yang keras dengan gerak vertikal
langsung, melainkan dengan cara mengulir. Demikian juga
dengan Naga Semesta Membara jauh lebih kuat bila dilakukan
menurut gerak mengulir itu.
BLAAAR. Akhir dari laga yang diinginkan oleh gadis itu pun tiba. Tiba
dengan ujung sebuah benturan. Benturan yang disertai suara
keras. Benturan antara kekuatan Naga Semesta Membara dan
Telapak Rembulan Bersemi.
Sesaat sebelum benturan, dua orang itu bergerak mendekat,
pada suatu jarak tertentu, mereka merasakan sebuah dinding
penahan yang tidak kasatmata. Sebenarnya, itu bukan dinding
penahan, tapi daya dorong. Dua daya dorong yang dihasilkan
oleh dua jurus. Hanya saja dua jurus itu dimainkan bergerak
berlawan arah. Satu dari utara ke selatan, yang lain dari selatan
ke utara. Secara alamiah, daya dorong itu dialami oleh masingmasing anak muda, yang tengah
bergebrak dan bergerak saling
berlawanan, sebagai penahan. Dinding penahan tidak kasatmata.
Daya dorong menjadi daya penahan. Tergantung dari mana itu
166 dilihat. Dengan melakukan hentakan dan peningkatan daya
dorong masing-masing, baik gadis maupun anak muda itu pada
akhirnya mampu menembus dinding penahan itu. Keduanya pun
bertemu di udara dalam suatu benturan dengan suara keras tadi.
Seketika setelah benturan, dua anak muda itu terlihat tertolak ke
arah berlawanan. Dengan berjungkir balik tiga putaran, anak
muda itu mendarat sempurna. Ia mendarat dengan kedudukan
seperti orang yang ingin mengawali lomba lari jarak dekat. Tubuh
membungkuk, kaki kanan menekuk dan lutut kiri menyentuh
tanah. Dua tangan, kiri dan kanan, bertumpu pada tanah. Tubuh
itu tampak sedikit bergetar. Masih dalam keadaan mata tertutup,
ia melakukan beberapa tarikan nafas teratur. Sesaat kemudian,
anak muda itu telah membuka mata dan bangkit berdiri lalu
melihat keadaan lawan. Seperti halnya pemuda itu, benturan dua jurus pada akhir
pertarungan telah melontarkan gadis itu. Saat terlontar, ia
mengatakan sesuatu. "Paman berhenti. Aku tidak apa-apa." Katakata itu tidak menghentikan dua
orang tua itu untuk bergerak.
Memang, tidak menghentikan, tapi mengubah arah ke mana dua
orang tua itu kemudian bergerak. Semula, dua orang itu bergerak
ke arah anak muda, lawan laga gadis itu. Seketika kata-kata itu
terdengar, dua orang tua itu bergerak ke arah ke mana gadis itu
meluncur terlontar. Sebelum mengeluarkan kata-kata mencegah, tampak pada sudut
mulut sebelah kiri gadis itu berwarna merah. Tindakan
mengeluarkan kata-kata mencegah, agaknya, telah berpengaruh
17 pada keadaan gadis itu. Setelah mengeluarkan kata-kata itu,
dalam keadaan masih melayang meluncur di tengah udara, gadis
itu tampak mengatup erat. Ia berusaha menahan sesuatu yang
167 ingin keluar dari mulut. Sambil menahan sesuatu dengan dua bibir, gadis itu membiarkan
kekuatan daya lontar itu mengempaskan dirinya melayang.
Setelah daya lontar itu menyusut menghilang, ia kemudian
melakukan gerakan memutar indah untuk meredam daya lorot ke
bawah. Kang Tedja, Murid Merak Mas, melihat gerakan gadis itu.
"Ia seperti bidadari yang turun ke bumi." Lirih Murid perguruan itu
berkata dalam hati. Ia kini telah mendarat di tanah. Tangan kiri memegang dada dan
tangan kanan membekap mulut. Bersamaan itu, dua orang tua itu
telah tiba di sampingnya. Masing-masing berdiri di kiri dan kanan,
memegang lengan gadis itu untuk menyangga agar tetap berdiri.
"Bagaimana keadaanmu Puteri?" Tanya orang tua berpakaian
jingga dengan penuh kekhawatiran. Orang tua pembawa pesan
tidak mengatakan apapun, ia dengan cekatan memeriksa denyut
nadi tangan gadis yang dipegang untuk memastikan keadaan
aliran peredaran. Hal itu berlangsung beberapa saat. Dengan
sengaja membatuk, gadis itu mengeluarkan segumpalan darah
dari mulut. Sengaja membatuk sangat berguna untuk melegakan
dada. Dada yang terasa sesak oleh tekanan gejolak akibat
benturan. Dua orang tua itu pun mendudukan gadis itu.
Dengan sikap tertentu dan dibantu oleh dua orang kepercayaan,
ia menetralkan pengaruh-pengaruh benturan. Menetralkan hingga
ke kondisi yang tidak membahayakan diri. Proses itu berlangsung
tidak lama. Setelah itu, ia membuka mata dan berdiri. Hanya
kurang dari setengah tumbak, lawan laga telah tegap berdiri.
Anak muda itu sudah berdiri di situ saat ia dan dua Paman
melakukan proses pemulihan diri.
168 *** "Maaf, Puteri..." Kata anak muda itu terputus.
"Namaku Nirbita Rajni. Orang tuaku memanggil Rajni." Kata gadis
itu tanpa ekspresi. Ia masih belum terbebas dari pengaruh
benturan. "Boleh aku memeriksa dirimu?" Suatu tawaran jasa datang dari
anak muda yang tadi digempurnya.
Ia tidak menjawab tawaran itu, tetapi menoleh dua orang tua yang
bersamanya. Dan dua orang itu mengangguk. Dengan penuh
keraguan, pelan-pelan ia mengangkat tangan kiri dan
mengarahkan kepada orang yang menawarkan jasa itu. Anak
muda itu pun duduk berhadapan.
Didahului dengan pemeriksanaan, kemudian diikuti penerapan
Teknik Samana Yatna (Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh
18 Nafas Hidup), anak muda itu mengalirkan tenaga. Mengalirkan
delapan putaran ke seluruh titik-titik himpunan tenaga inti pada
gadis itu. Tenaga anak muda itu, dirasakan kembali membelai
dan membangkitkan. Membelai untuk menjinakkan gejolak
tenaga liar akibat benturan, dan membangkitkan tenaga yang
sudah jinak itu untuk memperkuat diri gadis itu. Proses itu
berjalan selama dua penderesan nira. Pelan dan lembut, anak
muda itu menarik kembali tenaganya. Dengan bantuan Arga,
Nirbita Rajni merasakan keadaannya lebih baik. Tinggal
menunggu pemulihan saja. Gadis itu tetap duduk di tempat
semula, ketika anak muda itu bangkit berdiri dan sedikit menjauh.
*** Beberapa lama Hutan Beringin Putih tersenyap. Pada senyap itu,
169 seorang gadis masih terduduk. Dua orang tua di kiri dan kanan.
Sejumlah orang-orang lain tak jauh di belakang mereka. Di
hadapan gadis itu berdiri anak muda. Lawan laga.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seperti yang aku katakan sebelum kita memulai petarungan, aku
memastikan kau mendapatkan syarat yang kau inginkan dan
bebas dari syarat-syarat yang ingin kuikatkan. Kau juga bebas
melakukan apa pun yang kau inginkan terhadap Rasendriya.
Bahkan, jika kau menginginkannya sebagai milikmu." Suara tegas
namun pelan memecahkan senyap di hutan itu. Tampak dari
perkataan gadis itu suatu sikap ksatria. Ia menepati apa yang
telah dijanjikan. "Tidak, aku tidak menginginkan lebih dari apa yang aku
kemukakan sebagai syaratku. Mengenai Rasendriya, ia berhak
kembali ke tempat dari mana ia berasal. Ia bebas bergabung
seperti semula." Arga berkata sesuai garis persyaratan yang
diinginkan. Orang tua penyampai pesan senang mendengar jawaban anak
muda itu. Senang karena anak muda tidak menuntut sesuatu
yang berakibat pada benturan lebih jauh antara Rembulan Emas
dengan anak muda itu. Sebenarnya, orang tua itu telah menjadi
kagum dan bersimpati pada Arga. Ia enggan dan lebih-lebih
segan bentrok dengan anak muda itu. Rasa senang itu telah
bangkit bersamaan dengan sebuah pertanyaan.
"Seperti tadi aku katakan, siapa itu dirimu tidak lagi menjadi
penting. Kini semua telah selesai. Kau boleh pergi anak muda.
Apa yang kau minta, aku pastikan terlaksana." Orang tua
pembawa pesan menegaskan kembali apa yang dikatakan gadis
itu. "Terima kasih. Kami akan segera pergi." Bersiap akan pergi, anak
170 muda itu sekali lagi memandang gadis yang masih terduduk. "Kau
boleh panggil namaku Arga." Anak muda itu meninggalkan
sebuah nama, sebelum ia sungguh-sungguh beranjak pergi.
Arga dan Tedja Permana meninggalkan Hutan Beringin Putih
19 untuk kembali ke tempat penginapan mereka.
*** Tiga tahun silam. 795 ?aka (873 M). Di Poh Pitu. Atau bertepatan
dengan sepuluh tahun naik tahta, Maharaja Raka i Limus Dyah
Dewendra menggantikan ayahnya. Tidak lama setelah perang
saudara berakhir, Maharaja Raka i Pikatan telah mengkuasakan
ke ayahnya Kota Mataram dan Poh Pitu. Angka sepuluh
merupakan angka istimewa. Apalagi hal itu berkaitan dengan
naiknya seseorang duduk di atas tahta. Sudah pasti kesempatan
itu tidak akan terlewat tanpa suatu Praguwa Gawar. Peringatan
Agung. Sebagai tanda atas peringatan itu, sebagaimana pada pusat
pemerintahan Limus Dyah Dewendra di Kota Mataram, Poh Pitu
pun telah berhias dengan semarak. Berbagai gapura pada sudutsudut kota dipugar dan diperbarui.
Aneka bentuk upasadana uparengga (hiasan penghormatan) telah mendandani alun-alun
kota. Berbagai bentuk kumbala (hiasan jambu-jambu berbentuk
bunga) dan panguparengga (hiasan pepohonan dan dedaunan
seperti janur manten) telah dipajang indah. Untuk kumbala
dengan taburan aneka warna, digantung indah mengelilingi alunalun, dan diselingi oleh
umbul-umbul. Umbul-umbul kekuasaan
Bhumi Mataram berdiri tegak.
Di tengah alun-alun itu, telah didirikan lelangon tratag (panggung
171 hiburan) berukuran besar. Tanda akan diadakan pertunjukan
besar. Pertunjukan untuk menghibur wanua (penduduk desa).
Wanua di sekitar Poh Pitu. Kecuali lelangon tratag, di alun-alun
itu telah disediakan petak-petak berukuran seragam. Disekatsekat olah bilah-bilah bambu. Petak itu
dipersiapkan untuk gelar pasar. Gelar pasar satu pekan penuh, lima hari, atau pancawara.
Poh Pitu Pancawara. Dua hari lagi Poh Pitu Pancawara akan
digelar. Pembukaan dari utsawa (pesta besar) itu akan dilakukan
sendiri oleh Raka i Limus Dyah Dewendra, yang sengaja datang
bertandang ke Poh Pitu. *** Pagi itu, satu hari menjelang dirayakan Poh Pitu Pancawara,
enam barisan prajurit berbaris gagah dan apik. Masing-masing
barisan dipimpin oleh senopati, pada pinggang sisi kiri tergantung
sebatang pedang dan di punggung belakang kanan terselip
sebilah keris. Pedang dan keris merupakan dua senjata yang
selalu menghiasi penampilan seorang senopati dalam setiap
acara resmi. Dari dua senjata itu, yang istimewa adalah keris
yang terselip di punggung masing-masing senopati itu. Keris itu
merupakan hadiah pemberian penguasa atas jasa-jasa mereka.
Keistimewaan sebuah keris terungkap pada apa yang
dilambangkan oleh tiga bagian utama dari keris, yakni bilah (daun
keris), ganja (alas atau dasar dari bilah), dan pesi (ujung bawah
dari bilah). Masing-masing bagian itu mewakili suatu lambang.
Bilah keris adalah lambang dari bentuk lingga (alat kelamin pria),
20 ganja keris adalah lambang dari yoni (alat kelamin perempuan).
Sedangkan, pesi adalah pemersatu antara lingga dan yoni.
172 Persatuan antara lingga dan yoni itu melambangkan kesuburan,
kesinambungan, dan kekuatan.
Dari tiga bagian itu, bilah merupakan bagian paling penting dari
sebuah keris. Setiap bilah keris terdapat dhapur atau bentuk
khusus keris yang mencerminkan kehalusan dan keindahan
teknik pembuatan serta memberikan identitas pada keris itu.
Semenjak Raka i Pikatan berkuasa ada 19 macam dapur keris.
Yang paling populer dan digemari di antaranya adalah dhapur
Sempana, Tilam Upih, Jalak Dhindhing, Kebo Lajer. Seperti
halnya para leluhur, penguasa Poh Pitu sangat menggemari
dhapur Kebo Lajer. Dhapur itu melambangkan kewajiban laki-laki
untuk giat bekerja menghidupi keluarga. Laki-laki adalah tulang
punggung keluarga. Kecuali dhapur, identitas keris juga dinyatakan dengan ada tidak
luk (lekukan) pada bilah. Ada keris tanpa luk. Ada keris dengan
luk. Luk selalu berjumlah ganjil, tidak pernah genap, paling sedikit
3 lekukan dan paling banyak 13 lekukan. Berapapun lekukan,
sebuah bilah keris rata-rata memiliki panjang kurang dari 1 hasta.
Para senopati yang memimpin barisan di alun-alun itu, masingmasing menyandang keris berdhapur
Kebo Lajer dengan 7 luk. Dengan keris yang terselip pada punggung, senopati-senopati itu
mendapat pengakuan bahwa mereka merupakan tulang
punggung dari tanah Bhumi Mataram. Penopang utama
berdirinya suatu tahta di atas Bhumi Mataram. Para senopati dan
barisan itu tengah berlatih bentuk-bentuk wyuha (barisan dan
gerak prajurit sebagai strategi perang). Wyuha itu esok akan
digelar sebagai bagian dari Poh Pitu Pancawara.
Di sisi alun-alun, wanua (penduduk desa), tidak sedikit di antara
mereka membawa anak-anak, membeludak berdesak-desakan
173 menonton. Wajah mereka menunjukkan kekaguman atas apa
yang dilakukan oleh prajurit-prajurit di dalam barisan. Tidak hanya
itu, sebentar sebentar terdengar decak kagum keluar dari mulut
mereka. Khususnya pada saat para prajurit itu menggelar makara
wyuha, barisan perang berbentuk udang raksasa. Ditampilkan
pada wyuha itu, bagaimana prajurit-prajurit di sisi kanan dan kiri
yang membentuk capit bergerak cekatan, lincah, beringas.
Gerakan-gerakan itu memperlihatkan kekuatan wyuha itu dalam
menghancurkan setiap lawan yang dihadapi. Menyaksikan itu
semua, telah berkumandang sorak sorai. Membahana dari sisi
alun-alun itu. *** Di tengah keramaian itu, tampak seorang lelaki setengah baya
yang telah berjalan mengitari alun-alun itu. Ia berjalan perlahan
dan dengan cermat mengamati siap sudut alun-alun, khususnya
21 sudut di mana terletak sekelompok prajurit berjaga. Tidak hanya
mengamati, ia pun membuat coretan-coretan sebagai catatan dari
pengamatan itu. Yang dibuat sebagai coretan-coretan adalah
letak keberadaan dan jumlah masing-masing kelompok prajurit
serta jarak di antara satu kumpulan prajurit dengan kumpulan
lain. Sebuah catatan yang ringkas namun taktis. Dibuat oleh
seorang yang telah terbiasa melakukan itu.
Setelah melakukan itu semua, ia pun memasukkan catatan itu ke
balik baju. Berjalan ke kedai c?ndhol wlija (pedagang cendol), ia
pun mengambil sebuah kursi dan duduk, serta memesan
secawan cendol kemudian meminum cendol itu. Yang kemudian
ia lakukan adalah menunggu. Menunggu tiga rekan. Tiga rekan
174 tengah menyelesaikan tugas seperti yang telah ia lakukan. Di
tempat itu, mereka telah berjanji sebelumnya, untuk berkumpul
seusai tugas terlaksana, dan selanjutnya pergi bersama-sama
melaporkan hasil pengamatan masing-masing kepada orang
yang telah mengutus mereka.
Demikianlah, satu per satu rekan itu menampakkan diri. Sesudah
semua berkumpul lengkap, mereka pun beranjak pergi
meninggalkan kedai. Apa yang dilakukan empat orang itu sama
sekali tidak menyolok. Begitu biasa. Tidak mengundang perhatian
orang-orang di alun-alun, termasuk kumpulan prajurit di sana.
Mereka bergerak menuju tempat di mana pengutus berada.
Berjalan memutar, empat orang yang tadi berkumpul di kedai
cendol itu terus bergerak. Bergerak ke sisi timur Istana Poh Pitu
berada. Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di kawasan
apa yang dinamakan Dayaka, rumah tinggal dari sanak keluarga
penguasa. Sebuah bangunan batu yang megah merupakan
tujuan empat orang itu. Di depan bangunan, berdiri megah
sebuah arca besar, yakni: seorang yang sedang duduk agung
dalam semadi sempurna. Siddhartha Gautama Buddha. Pendiri
Agama Buddha. Tidak sulit bagi empat orang tadi memasuki bangunan itu, karena
memang tidak ada seorang pun yang menghalangi mereka untuk
masuk. Di bagian belakang bangunan itu, tepatnya pada sebuah
ruangan besar berdinding batu tebal, empat orang langsung
masuk. Mereka memang telah lama ditunggu. Di ruangan itu telah
duduk enam orang. Satu di antaranya adalah orang tua berkulit
mengeriput dan berwajah pucat menyeramkan. Orang tua yang
telah membentuk seorang Pangeran Muda, membentuk tidak
175 hanya pada kepandaian dan kemapanan ilmu, tetapi juga pada
watak. *** Pada ruangan berdinding batu tebal, orang tua berwajah pucat
memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan: "Apa yang
22 telah kalian dapatkan dari pengamatan terhadap perayaan Poh
Pitu Pancawara besok" Ayo, siapa yang akan mulai untuk
mengatakan apa yang telah diamati?" Sekalipun telah mencatat
hasil-hasil penting yang telah mereka amati, wajah empat orang
itu tetap terlihat tegang. Tegang di bawah tatapan orang tua yang
telah bertanya kepada mereka. Mereka telah mengenal orang tua
itu. Orang tua bermuka pucat yang telah menebar rasa takut.
Takut yang teramat dalam.
Beberapa saat telah berlalu. Satu pun dari empat orang itu belum
berani membuka mulut. Masih tegang. Terlalu tegang untuk
memberikan laporan. Sebagai reaksi dari kebisuan, mata orang
tua bermuka pucat menatap tajam satu dari empat orang itu.
Pandangan meminta orang itu bicara mendahului yang lain.
"Maaa...aaaf Pangeran." Kata-kata secara terputus-putus dan
terbata-bata dari mulut orang yang diminta oleh orang tua
bermuka pucat lewat tatapan mata. Situasi yang sangat kontras.
Bagaimana mungkin orang-orang, yang sangat trampil di
lapangan, telah menjadi seperti orang dungu, saat melaporkan
hasil pengamatan di hadapan orang tua itu. Ia tampil dungu,
padahal padanya ada coretan-coretan yang tinggal dilihat dan
dijelaskan. Di hadapan orang tua itu, kerongkongan terasa sesak
terganjal. Terganjal oleh ketegangan. Sungguh luar biasa cara
orang tua itu menebar rasa takut. Rasa takut yang juga telah
176 memakan orang yang sangat menguasai bidang.
Cukup lama orang itu menyingkirkan ketegangan yang
mengganjal sesak tenggorokan, sehingga pada akhirnya dapat
menyampaikan laporan berdasarkan coretan-coretan di tangan:
"..... di setiap kumpulan ada dua puluh prajurit yang siap siaga.
Kumpulan itu terletak di pojok selatan, utara, barat dan timur alunalun. Di luar itu, terdapat dua
kumpulan prajurit yang menempati
tepat sisi tengah alun-alun. Sisi tengah yang biasa dipergunakan
untuk berjalan dari dan menuju istana. Menurut hitungan hamba
tadi, dua kumpulan itu masing-masing terdiri dari lima puluh
prajurit pilihan. Itu terlihat dari seragam yang telah mereka
kenakan. Mungkin, besok jumlah itu akan lebih banyak
sehubungan dengan kehadiran Raka i Limus Dyah Dewendra
pada perayaan itu. Jadi, menurut hitungan hamba, seluruh prajurit
yang bersiap siaga di alun-alun besok setidaknya berjumlah
seratus delapan puluh. Itu pun tidak termasuk para prajurit yang
nanti akan mengawal iringan sang penguasa."
Sesaat orang itu menghentikan laporan lalu memandang orang
tua itu dengan penuh rasa was-was. Takut orang tua itu tidak
puas terhadap laporan itu. Dengan penuh perasaan tidak pasti, ia
pun kembali meneruskan laporan: "Hamba juga ingin
menyampaikan bahwa besok akan ada gelar wyuha. Sebuah
makara wyuha. Gelar itu dipimpin langsung oleh enam senopati
utama. Ada enam ratus prajurit terlibat dalam gelar itu. Prajurit
yang sangat tangkas dan cekatan. Begitulah, hasil pengamatan
23 hamba Pang...." Orang itu tidak sampai selesai mengatakan
penutup dari laporan, karena orang tua bermuka pucat berkata
memotong. "Kau"
Satu per satu tiga orang yang tersisa itu memberikan hasil
177 pengamatan. Mereka melaporkan pengamatan pada bidang
masing-masing. Yang satu menyatakan pengamatan mengenai
keadaan pattana (kota) di sebelah barat istana, khususnya
tempat-tempat penginapan di sana. Tujuannya adalah mengamati
dan mencatat kehadiran tamu undangan dari kalangan persilatan
yang memiliki ikatan dengan penguasa Poh Pitu. Orang itu
mencatat delapan tokoh pesilatan yang dikenali telah hadir di Poh
Pitu sebagai undangan. Dua orang yang tersisa bertugas mengamati dua barak prajurit.
Yang satu terletak di sebelah barat pattana dan satu lagi terletak
di timur dayaka. Sisi timur dari tempat mereka berkumpul saat ini.
Dikatakan sebagai laporan bahwa sebagian dari prajurit itu akan
dikerahkan untuk menjaga sekeliling kota, untuk memperkuat
penjagaan dan keamanan perayaan Poh Pitu Pancawara.
Empat orang telah menyatakan pengamatan. Pengamatan atas
tempat yang berbeda, dengan hasil yang berbeda pula. Akan
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi, ada sesuatu yang sama pada empat orang itu. Mereka
sama-sama menyampaikan kepada orang tua itu dengan terbatabata, gagap dan canggung. Sekali
lagi, di hadapan orang tua itu,
kerongkongan mereka terasa sesak terganjal. Terganjal oleh
ketegangan. Orang tua itu pun terdiam melakukan pertimbangan atas laporan
yang telah disampaikan. Lalu, ia pun berkata. "Terima kasih.
Silahkan kalian cicipi hidangan yang telah tersedia". Mendengar
perkataan orang tua itu, empat orang itu saling berpandangan.
Pandangan yang memperlihatkan keraguan dan ketakutan. "Ayo,
dicicipi". Orang tua itu mengambil minuman. Dengan ragu-ragu,
empat orang itu mengambil cawan dan sekali lagi saling
berpandangan, lalu perlahan mengikuti apa yang orang tua itu
178 lakukan, mendekatkan cawan itu ke mulut dan minum. Air dalam
cawan itu perlahan melewati kerongkongan dan turun ke
lambung. Tidak ada reaksi apa pun yang mereka rasakan.
Kembali mereka saling berpandangan dan masing-masing
tersenyum lega. Mereka menjadi lega karena apa yang mereka
takutkan tidak terjadi. Perasaan yang sangat lega.....
Tetapi, itu hanya sesaat. Sebab, di tengah senyuman itu, tiba-tiba
empat orang itu serentak menggerakkan dua tangan untuk
menekan perut. Perut yang telah menjadi sangat mual. Tangan
itu menekan kuat seakan-akan ingin memencet keluar rasa mual
di dalam perut. Hanya sesaat, empat tubuh itu satu per satu
ambruk jatuh di atas meja. Mulut mengeluarkan busa, mata
terbuka lebar memerah, dan tubuh mengejang. Empat orang itu
24 tengah meregang nyawa sesaat, untuk kemudian bungkam
selamanya. Mereka telah kehilangan nyawa. Hanya sesaat.
"Polong upas*) (racun polong) yang luar biasa. " Tiba-tiba
terdengar suara, menyusul kemunculan seseorang di dalam
ruangan itu. Ia adalah Pangeran Sikara, Putera Sri
Wirawairimathana. Pangeran itu datang dari Kambang Putih
sebagai undangan. Karena, ia terbilang masih Sepupu dari Raka i
Kayuwangi, Putera Raka i Pikatan dan Pramodyawardani,
Penguasa Bhumi Mataram. "Singkirkan tubuh-tubuh itu. Tidak sepatutnya membiarkan
mereka pergi dengan ingatan bahwa di ruang ini telah
berlangsung suatu pertemuan. Pertemuan di antara kita." Kata
orang yang duduk di samping orang tua berwajah pucat itu,
memerintah orang lain di ruangan itu yang berada di samping.
Cepat dan cekatan, orang itu menarik ringan dan menyingkirkan
empat tubuh itu ke pinggir ruangan, meletakkan tubuh tak
179 bernyawa itu berbaring telungkup dan bertumpuk di dekat salah
satu dinding ruangan. Orang yang telah memberi perintah itu adalah seorang yang juga
telah berusia lanjut. Usianya mungkin sudah menginjak enam
puluhan, tetapi jauh lebih muda dibandingkan dengan orang tua
di sampingnya. Ia merupakan salah satu pejabat sepuh dari Poh
Pitu. Pejabat yang telah diangkat jauh-jauh hari sebelum Raka i
Limus Dyah Dewendra naik tahta menggantikan ayahnya sepuluh
tahun silam. Keberadaan orang itu di Poh Pitu karena permintaan
Pramodyawardani. Wanita perkasa itu telah meminta kepada
suaminya untuk memberikan kepada sepupunya suatu jabatan di
Poh Pitu. Demikian, orang itu menempati jabatan tinggi di Poh
Pitu. Jabatan yang langsung di bawah Paman Raka i Pikatan,
yang telah dikuasakan oleh Raka i Pikatan memerintah atas dua
kota di Bhumi Mataram: Kota Mataram dan Poh Pitu.
"Anakmas, silahkan bergabung bersama kami. Aku, anakku dan
ayahku telah menunggumu. Aku juga sudah mendengar dari yang
diceritakan ayah mengenai usahamu membangun Kambang
Putih. Selamat Anakmas. Semoga, engkau berhasil mengubah
tanah tandus dan hutan bakau itu menjadi delahan kitha (kota
masa depan). Masa depan bagi garis darah Syailendra mulia."
Pejabat Sepuh Poh Pitu itu menyambut Pangeran Sikara. Yang
menjadi catatan, Pejabat Sepuh Poh Pitu telah menyebut orang
tua pucat di sampingnya dengan kata "ayah". Ternyata, orang di
ruangan itu, kecuali Pangeran Sikara, memiliki ikatan sebagai
kakek-ayah-anak. Tiga generasi dari satu akar sama.
Empat orang di ruangan itu, di bawah arahan dari orang tua
berwajah pucat langsung membicarakan rencana mereka untuk
"meramaikan" Poh Pitu Pancawara. Hampir tiga penderesan nira
180 orang tua itu menguraikan apa yang diinginkan. Lalu, ia meminta
25 kepada tiga orang lain untuk menyatakan pendapat atau sekedar
bertanya. Orang tua pucat itu berpesan agar rencana itu berjalan
sesuai dengan arahan. Ia tidak menginginkan suatu
penyimpangan. Suatu penyimpangan yang tidak semestinya.
Apalagi, penyimpangan itu terjadi pada pelaksanaan awal. Awal
dari sebuah rencana besar yang akan digulirkan di atas Bhumi
Mataram. "Aku kira apa yang hendak dijalankan telah aku sampaikan
sepenuhnya. Tidak mungkin besok, kita dapat melakukan
Nararya Pantaka (pembunuhan terhadap seorang raja). Memang
tidak demikian tujuan kita. Cukup bagiku, apabila Poh Pitu
Pancawara menjadi purwa rohara (kegemparan awal) atas Tahta
Bhumi Mataram." Kata orang tua berwajah pucat menyatakan
maksud rencana di akhir pertemuan.
*** Hari itu adalah hari ke-12 pada Mangsa Kasanga**) tahun 795
?aka. Begitulah penanggalan Jawa mencatat. Tepat sepuluh
tahun Sri Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra naik tahta.
Untuk itu, dilakukan Poh Pitu Pancawara. Perayaan Besar di Poh
Pitu. Perayaan atas sebuah tahta.
Sejak pagi-pagi buta, pada sisi luar alun-alun Poh Pitu telah
berlangsung kegiatan yang ramai. Orang sudah ramai berlalu
lalang, khususnya para pedagang. Yang cukup mencolok adalah
orang-orang di sisi barat tanah lapang itu, Di sana terlihat
sekumpulan kuwad?an (pedagang kain) terus melakukan
kegiatan. Kegiatan yang sejak semalam mereka telah kerjakan.
181 Di tempat itu, para kuwad?an tengah mempersiapkan apa yang
akan mereka jual. Tidak jauh dari tempat itu, terlihat para carana wlija (penjual
perhiasan). Mereka dengan hati-hati tengah membongkar kotakkotak tempat perhiasan dan
meletakkan isinya pada meja-meja
yang beralaskan kain. Perhiasan-perhiasan yang umumnya
terbuat dari perak, dan sebagian lagi dari emas. Benda-benda itu
berbentuk padaka (kalung), bujangkara (gelang), pinggel (gelang
kaki), kelat bahu (gelang bahu), antingan (anting-anting), tusuk
rambut (konde) dan jenis-jenis kundhala (cincin).
Saat saput lemah (saat mulai remang-remang pada pagi hari),
khalayak berdatangan semakin banyak. Sebentar saja, di
sepanjang sisi lapangan itu wanua hadir desak mendesak. Para
prajurit juga telah menebar dalam kumpulan masing-masing
untuk berjaga-jaga. Di tengah lapangan itu di muka lelangon
tratag, prajurit-prajurit telah memasuki barisan masing-masing.
Mereka berkumpul di sana dengan segala kelengkapan layaknya
dalam pertempuran. Tanah pun telah menjadi terang. Khalayak sudah berdesakdesakan riuh rendah, menanti dengan
gairah dan berdebar-debar
junjungan mereka. Junjungan yang menjadi sembahan mereka.
Di antara kerumunan khalayak itu, terlihat tiga orang dengan ikat
26 kepala kuning, rata-rata berusia sudah melewati setengah abad.
Ikat kepala yang tidak menyolok, sebab di antara khalayak
banyak juga yang mengenakan ikat kepala. Ikat kepala dengan
aneka warna, sebagai simbol menyambut kehadiran junjungan
mereka. Tiga orang itu membaur dengan khalayak di sisi
belakang barisan prajurit yang akan menggelar wyuha.
Hei, tidak hanya di belakang barisan prajurit saja. Satu, dua, tiga,
182 empat, dan lima. Ada lima kelompok lain, yang masing-masing
juga terdiri dari tiga orang dengan ikat kepala kuning, telah
berpadu dengan khalayak di tempat masing-masing. Berpadu
samar dengan pengunjung Poh Pitu Pancawara lain.
Tambur telah dibunyikan. Tanda Pancawara dimulai. Prajurit
bergerak-gerak. Lincah, perkasa dan serasi. Riuh rendah
khalayak bersorak-sorai. Membahana, menyelimuti suara tambur.
Memberi semangat kepada yang telah bergerak. Prajurit-prajurit
di lapangan itu. Dalam barisan masing-masing. Tidak lama
kemudian, kalasangka (sangkakala atau terompet) telah ditiup.
Tanda penguasa akan hadir.
"Dakara Dewari (muda dan mulia sepanjang masa). Dakara
Dewari. Dakara Dewari. Ya, Sri Maharaja Raka i Limus Dyah
Dewendra." Demikian khalayak berseru keras. Seruan
menyambut kehadiran penguasa. Seruan itu semakin keras
menggema seiring keluarnya iringan rombongan dari arah istana
menuju alun-alun. Iringan itu menuju lelangon tratag. Diawali
dengan enam pasang Senopati Utama berkuda dan diikuti oleh
dua puluh prajurit pengawal, delapan buah jampana (tandu) yang
berlapiskan emas berjalan perlahan. Di belakang jampana itu
telah berbaris empat puluh prajurit mengikuti. Jampana itu
masing-masing dipikul oleh empat orang prajurit, dengan
pengawalan tiga puluh prajurit pada masing-masing sisi. Lagi-lagi,
mereka itu merupakan prajurit-prajurit pengawal pilihan. Abhitah
Sulaksana Nayaka (prajurit pilihan dan pemberani). Seratus dua
puluh prajurit pilihan dan enam Senopati Utama telah mengawal
delapan jampana, yang salah satu di dalamnya membawa Sri
Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra. Suatu pengawalan yang
luar biasa. 183 Tidak berapa lama, iringan itu telah tiba di lelangon tratag. Para
Abhitah Sulaksana Nayaka telah bergerak menyebar dan masingmasing mengisi posisinya di
seputar panggung itu. Dalam ancang
(jarak/radius) 100 depa seputar lelangon tratag telah terisi oleh
seratus dua puluh Abhitah Sulaksana Nayaka. Enam senopati
utama berkuda itu, setelah menambatkan tunggangannya, telah
berdiri di sisi delapan buah dirgamaya (singgasana) di atas
lelangon tratag. Singgasana berlapis emas. Dengan anggun, Sri
Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra telah menapak keluar
dari jampana-nya menuju dirgamaya. Tindakan itu diikuti oleh
27 Permaisuri, dan kedua anaknya. Satu laki-laki dan satu lagi
perempuan. Dua Patih, yang turut serta, dan dua orang Pejabat
Utama Poh Pitu. Salah satu dari pejabat itu adalah orang yang
telah memanggil orang tua keriput bermuka pucat dengan
Suara khalayak masih terus membahana. Suara itu kemudian
perlahan menurun seiring dengan bunyi keras bendh? dipukul.
Tanda sang raja ingin menyampaikan pernyataan. Tidak, bukan
perkataan tetapi Sabda. Sri Maharaja Raka i Limus Dyah
Dewendra itu tampil sungguh sangat berwibawa.
Pada kesempatan itu, Limus Dyah Dewendra memberikan hadiah
kepada delapan pejabat di Toh Pitu. Masing-masing mendapat
satu sima (daerah/tanah) dengan luas 10 tampah***). Dan, raja
itu memberikan keringanan potongan pajak untuk dua tahun ke
depan. Berbagai hadiah telah dinyatakan, khalayak bersorak untuk itu.
Terutama, saat hadiah berupa keringanan pajak dinyatakan.
Keringanan selama dua tahun. "Dakara Dewari. Dakara Dewari.
Dakara Dewar (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
i. Ya, Sri Maharaja Raka i Limus Dyah Dewendra."
184 Puja puji khalayak kepada Raja. Raja yang telah menyatakan
hadiah. Demikian, pada akhirnya raja pun telah menyelesaikan
pernyataan kepada khalayak. Akhirnya, acara yang dinantinantikan pun tiba: gelar wyuha. Bukan
sekedar wyuha, tetapi makara wyuha. Dalam gelar itu, barisan prajurit menghadap lelangon tratag.
Menghadap sang penguasa. Namun, jarak barisan itu menggelar
wyuha terbilang jauh. Kira-kira 200 depa dari barisan terluar
posisi Abhitah Sulaksana Nayaka yang menjaga raja. Apabila
dihitung dari posisi singgasana raja, di atas lelangon tratag itu,
maka barisan gelar wyuha berjarak sekitar 300 depa. Jarak itu
cukup aman dari jangkauan gelar itu. Yakni, jangkauan serangan
dari unsur-unsur yang mungkin disusupkan dalam barisan itu.
Didahului dengan pukulan tambur, barisan prajurit di tengah alunalun itu bergerak. Bergerak cepat
dan mengalir mengisi peran
masing-masing. Sesaat berselang, enam barisan prajurit itu telah
membentuk udang raksasa, dengan dua capit yang besar di kiri
dan kanan. Pada kepala udang raksasa itu, Senopati Utama
memberi aba-aba. Ia adalah pimpinan dari gelar wyuha itu.
Senopati itu menyatakan aba-aba dengan kedua tangan, dan
kadang-kadang diiringi teriakan keras.
Gelar udang raksasa itu bergerak luwes, kokoh, rapat dan ganas.
Tepuk tangan dan sorak-sorai khalayak terus mengalir
mengumandang. Suara itu menjadi sangat keras penuh
kegairahan dan kekaguman, pada saat barisan itu
memperlihatkan kipat-kipit makara (udang mengerak-gerakan
ekor). Pada gerakan itu, sekumpulan prajurit, yang menempati
posisi pada bagian belakang (ekor), bergerak bagaikan
gelombang bergelora. Dahsyat. Gerakan itu akan melibas dan
185 menyapu habis lawan yang dihadapi.
Gerakan kipat-kipit ditutup dengan langgula tekuk makara (udang
menekuk ekor). Penuh akrobatik yang memukau, prajurit-prajurit
pada posisi ekor wyuha melompat naik ke hingga ke batas tengah
barisan yang merupakan punggung dari makara. Di sana prajuritprajurit itu saling terangkai
membentuk bulatan oval dari bagian
tengah terus ke belakang dan naik ke arah atas punggung
makara itu. Bentuk itu seperti udang yang sedang menekuk ekor
ke atas. Luar biasa. Khalayak pun menyambut gelar itu dengan
hikuk-pikuk, penuh kekaguman.
*** "Saatnya bergerak", kata seorang berikat kepala kuning di antara
khalayak. Ia dan dua kawannya berada di posisi cukup dekat tiga
senopati di bagian kepala, capit kiri dan kanan dari makara.
1 Menurut perhitungan orang itu, sasaran telah berada dalam
jangkauan serangan. Dengan cermat dan hati-hati, tiga orang itu
menyiapkan sesuatu. Di tangan masing-masing, telah ada tujuh
batang jarum perak. Jarum yang telah dilumuri dengan racun.
Serentak tiga orang itu membidikkan jarum-jarum masing-masing
pada sasaran berbeda. SRREETTT. SRREETTT. SRREETTT.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga buah suara pelan lirih mengiringi lontaran jarum perak.
Suara yang sama sekali tidak terdengar di tengah gegap gempita
sorakan khalayak. Cara melontarkan jarum dilakukan sangat tidak
kentara. Tidak kentara di antara gerakan-gerakan khalayak yang
memberikan sambutan atas wyuha yang telah digelar.
Tiga Senopati Utama di bagian depan wyuha itu tidak pernah
menyangka, bahwa di antara khalayak itu ada tiga orang yang
186 tengah mengancam jiwa. Serangan jarum itu begitu cepat dan
tidak terduga. Tidak terduga oleh tiga Senopati Utama, karena
mereka sedang berada di puncak sanjungan yang tengah mereka
nikmati. Sanjungan dari ribuan khalayak, dan lebih-lebih
sanjungan dari Sri Maharaja. Mereka lengah di tengah sanjungan.
Tujuh batang jarum perak itu, tepat mengena pada titik-titik utama
di tubuh mereka. Serta merta, tubuh tiga Senopati Utama menjadi
oleng dan kemudian luruh jatuh ke tanah. Jatuh luruh di tengah
sanjungan. Tiga Senopati Utama adalah orang yang mumpuni dan
berpengalaman. Mereka tahu apa yang tengah menimpa diri
mereka. Maut mengancam di depan mata. Tanpa menunggu,
mereka pun duduk bersila untuk sekedar memperlambat maut
yang akan datang menjemput. Sebab, pada tubuh mereka telah
tertanam polong upas. Racun dahsyat tanpa penangkal.
Barisan yang telah kehilangan pimpinan pun telah menjadi kacau.
Dan, kian kacau lagi, manakala melesat cepat enam kelompok
dari sisi lapangan. Kelompok itu masing-masing terdiri dari tiga
orang. Seluruhnya mengenakan ikat kepala kuning dan telah
menutup rapat wajah. Hanya tersisa sepasang mata. Sepasang
mata dengan sorot yang tajam. Cepat sekali kelompok itu
bergerak menyerang prajurit-prajurit dalam barisan itu. Atas
kejadian ini, khalayak semakin bersorak. Mereka mengira semua
itu merupakan bagian dari gelar yang sedang dipertunjukkan.
Bagian sebagai suatu kejutan. Memang, demikianlah adanya.
Bagian itu akan memberikan kejutan. Kejutan tidak hanya bagi
khalayak di sana, tetapi juga bagi Penguasa Poh Pitu.
Tidak berlangsung lama. Prajurit-prajurit dalam barisan di tengah
alun-alun itu, berjatuhan. Di antara mereka ada yang terpental
187 jauh dan muntah darah untuk kemudian diam tak bergerak. Tak
bernyawa. Melihat itu semua khalayak menjadi sangat panik.
Mereka berhamburan kacau, berlari menjauhi barisan prajurit
2 yang sedang diserang. Khalayak itu saling berdorong dan
mendesak satu sama lain untuk menghindar dan menjauh. Tidak
sedikit dari mereka terjatuh dan terinjak-injak. Kepanikan dari
khalayak itu telah memangsa korban, khususnya anak-anak yang
telah dibawa-serta menonton gelar prajurit.
Seratus dua puluh Abhitah Sulaksana Nayaka, prajurit pilihan
pengawal raja, telah merapat di sekeliling lelangon tratag. Mereka
dengan segala kemampuan telah bersiap dan sigap menghalau
segala kemungkinan yang dapat membahayakan keselamatan
Raja sekeluarga. Di atas lelangon tratag, delapan orang di singgasana telah berdiri.
Raka i Limus Dyah Dewendra pun demikian. Ia berdiri di depan
Permaisuri dan kedua anaknya. Berdiri untuk melindungi mereka.
Di depan telah bersiaga tiga Senopati berkuda yang bersamanya,
tiga lainnya berjaga di sisi belakang. Dua Patih juga bukan orang
yang lemah. Mereka berdiri siaga di belakang junjungan. Turut
berjaga. Semua orang yang ada di atas lelangon tratag telah
menjadi tegang. Hanya dua Pejabat Utama Poh Pitu, tidak
tampak demikian. Pejabat Poh Pitu yang berhubungan dengan orang tua bermuka
pucat tampak begitu tenang. "Sangat mudah bagiku,
melenyapkan orang yang ada di depanku. Orang itu begitu dekat,
dan sangat dekat denganku sekarang. Sayang, ayah tidak
menginginkan nyawa orang itu. Ayah mengatakan hilangnya
nyawa orang itu saat ini akan mengacaukan rencana. Karena hal
itu akan mengundang Raka i Kayuwangi, penguasa Mamrati,
188 mengajak pemerintahan utama lain menelusur jejak pembunuh
orang itu. Ajakan yang akan menyatukan kembali Bhumi
Mataram. Bukan tidak mungkin, menurut penilaian ayah, upaya
itu akan mengungkap gerakan yang sedang direncanakan. Dan,
ayah pun telah berpesan. Suatu pesan yang sangat keras: jangan
sekali-sekali kau bertindak atas orang itu." Demikian orang itu
membatin, teringat pesan orang tua keriput berwajah pucat.
Seorang Pejabat Utama Poh Pitu lain, tidak terlihat tegang. Ia
sama sekali tidak tegang, melainkan ketakutan. Ia begitu
ketakutan sehingga seluruh tubuh telah menjadi gemetar. Pejabat
Utama itu sangat ketakutan, karena telah membayang di benak
pertanyaan kepada dirinya selaku orang yang bertanggungjawab
di Poh Pitu: Mengapa semua ini bisa terjadi" Bagaimana dengan
tanggungjawabmu atas segala kekacauan ini" Pertanyaan
menuntut suatu pertanggungjawaban. Pertanyaan yang hanya
dibayangkan saja, sudah cukup membuat ketakutan, apa lagi
manakala nanti pertanyaan itu diajukan. Diajukan kepada dirinya.
Tidak terbayangkan! *** Di alun-alun itu, perkembangan begitu cepat terjadi. Barisan tidak
hanya menjadi kacau, tetapi telah kocar-kacir. Berantakan.
Tersapu oleh serangan tiba-tiba dari enam kelompok orang
3 berikat kepala kuning dengan penutup wajah. Dari gerakangerakan, sudah dapat dipastikan mereka
adalah orang-orang pesilatan. Bergerak lincah, cepat dan kuat. Setiap sambaran
dilakukan, ada saja prajurit menjadi korban. Tumbang.
Satu per satu prajurit-prajurit, yang semula terlihat begitu kuat
dan perkasa dalam makara wyuha, jatuh tumbang. Mereka tidak
189 berdaya. Tidak berdaya karena kehilangan pimpinan. Kebiasaan
bergerak menurut suatu arahan, menjadi kelemahan barisan itu.
Barisan itu tidak bisa lepas dari seorang pimpinan. Pimpinan yang
memberi arahan. Dari empat arah tampak bergerak iring-iringan rombongan
prajurit. Bergerak mendekati alun-alun. Alun-alun yang telah
menjadi sangat kibang-kibut, semrawut dan keruntang-pukang.
Masing-masing iring-iringan itu dipimpin oleh tiga orang senopati.
Prajurit perang. Prajurit-prajurit perang itu keluar dari barak
setelah mendengar bunyi tambur. Tambur yang ditabuh dengan
isyarat perang. "Sudah waktunya pergi." Batin seorang dari kelompok penyerang
Badai Di Parangtritis 2 Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Bidadari Cadar Putih 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama