Ceritasilat Novel Online

Naga Bhumi Mataram 6

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 6


Sanjaya. Beliau bernama Dapunta Selendra. Semasa muda, ia
senang melakukan pengembaraan jauh melewati batas-batas
tanah Yawadw?pa. Dalam pengembaraannya, Dapunta Selendra
lebih dikenal dengan panggilan Bhanu Brata. Seperti Ratu
Sanjaya disebut-sebut sebagai pendiri Wangsa Sanjaya, Buyutku
itupun diyakini merupakan pendiri Wangsa Syailendra*). Entah
mengapa, kehidupan istana tidak menarik bagi dirinya. Ia pun
menyerahkan tahtanya kepada adiknya, untuk kemudian
melalangbuana. Tidak berapa lama, orang itu digantikan oleh
313 Kakekku, Wisnuwarman." Kisah yang telah membuka banyak
orang tentang penguasa tanah Yawadw?pa jauh di masa silam.
24 Arga terdiam saat orang tua itu menyebut nama Buyutnya,
khususnya nama akhirnya. Nama itu menjadi bagian dari nama
orang yang telah berdiam di sebuah gua pada lereng Gunung
Pawaka Jantera: Bratasenawa. "Apakah ada hubungan antara
Bhanu Brata dengan Bratasenawa." Dalam batin ia bertanya.
"Buyutku yang disebut dengan nama Bhanu Brata meninggalkan
istana dan kuasa dengan segala kemewahan dan kenikmatan
yang melekat di dalamnya, termasuk pergi menjauh dari
keluarganya. Itu semua diputuskan untuk menjalani suatu laku
kehidupan, sebagaimana telah dijalaninya sebelum duduk di
singgasana. Sepeninggalannya dari istana, tidak sepotong pun
kabar beredar mengenai dirinya. Hanya saja, konon, di luar sana
telah muncul seorang pendekar jelmaan naga yang tidak dari
berasal dari mana. Itulah penggalan cerita, mungkin lebih sebagai
sebuah dongeng, yang terus diceritakan turun temurun hingga
sampai diperdengarkan kepadaku." Orang tua itu menceritakan
kisah keluarga sekaligus keberadaan pendekar naga terakhir.
Seluruh yang hadir di sana menyimak cermat penuturan orang
tua itu. Kisah dengan latarbelakang keluarga.
"Eyang Kawiswara." Arga menyebut nama orang tua itu
sebagaimana umumnya penghuni padepokan itu telah
menyebutnya. "Aku sepenuhnya tidak mengenal gelang ini.
Hanya sebagian yang aku dapat kenali, yakni ukiran yang tertera
pada bulatan gepeng dari benda ini. Aku sungguh mengenali
ukiran itu karena serupa benar dengan ukiran pada sebuah
timang yang aku temukan dan ukiran pada kitab yang
daripadanya aku menyadap kemampuanku. Ukiran yang
314 membentuk seekor naga yang berdiri perkasa dengan cakar
kirinya menggenggam sebuah lingkaran menyerupai bola, yang
aku tafsirkan sebagai simbol semesta." Arga berdiam diri untuk
menimbang, apakah ia akan menceritakan lebih jauh kehidupan
di dalam gua, termasuk nama dari orang yang menyebut diri
sebagai Naga Branjangan. Nama yang sama dengan nama dari
buyut dari Pangeran Sepuh itu.
"Anak muda, tidak perlu engkau menjelaskan siapa dirimu.
Sebab, dari pengakuanmu itu, sudah cukup bagiku untuk
mengetahui siapa yang bersemayam dalam dirimu dan darimana
ia berasal. Itu sudah cukup menjadi pembuktian akan
keyakinanku bahwa sesungguhnya, di dalam dirimu telah hadir
sang Naga. Sosok itu telah lama aku nantikan dan menjadi
harapan ke mana Chandarakapala akan dibawanya." Sebuah
rencana telah dikemukan oleh Pengeran Sepuh. Rencana untuk
anak muda itu. "Kehadirannya sudah aku rasakan saat aku melontarkan
Samudra Manthana untuk kali pertama. Hanya mereka yang
menyandang sebutan para Naga yang memiliki kemampuan
untuk menerima daya kekuatan Pengaduk Samudra seutuhutuhnya, tanpa mengalami pengaruh
yang mendalam. 25 Kehadirannya semakin kuat menebar ketika engkau memainkan
jurus-jurus memasuki laga dengan diriku. Saat itu bayang-bayang
Naga Perkasa terus menyeruak mengiringi kehadirannya dengan
tanda-tanda yang membekas semakin nyata. Dengan merasakan
apa yang aku kenali sebagai tanda-tanda kehadirannya, aku
sampai sebuah pilihan, yang lebih didasarkan pada suatu
keyakinan bukan pembuktian, untuk memberikan dan
melepaskan sebagian besar dari yang telah aku pupuk selama
315 berpuluh-puluh tahun melalui pengerahan Aryasatya Samudra
(Samudra Kemuliaan). Alasanku melakukan hal itu sangatlah
sederhana. Mengembalikan apa yang telah kusadap, sebagai
sesuatu yang bersumber dari benih-benih kekuatan para Naga itu
sendiri, kepada pemilik sebenarnya. Yakni, jelmaan sang Naga itu
sendiri. Itulah mengapa kekuatan besar yang aku alirkan
kepadamu dapat begitu saja menyatu dengan yang ada di dalam
dirimu. Tanpa suatu hambatan yang meronta melawan.
Bagaimana mungkin suatu sumber melakukan penolakan
terhadap datangnya sesuatu yang berasal daripadanya. Sumber
itu tidak akan menolak, tetapi justru menyambut. Demikianlah
yang terjadi atas dirimu, di mana sumber itu bersemayam." Itulah
pembenaran dari rencananya. Pembenaran yang diuraikan
dengan memberikan penekanan pada penuturan bahwa itu
semua merupakan pembuktian atas keyakinannya. Keyakinan
atas kehadiran Sang Naga. Pembenaran yang disimpulkan atas
apa yang terjadi pada anak muda itu. Kekuatannya telah menjadi
"senyawa" dalam diri anak muda itu.
Arga menyimak setiap perkataan orang tua itu. Sejak terjadi
lekatan dalam laga, ia merasakan ada sesuatu yang diingatnya
muncul setelah ia mensenyawakan kekuatan orang tua itu
dengan kekuatannya melalui pengerahan paduan Jubah Perang
Naga dan Warastika Sambega. Apa yang telah muncul itu
kemudian seperti berlompat-lompat bergerak memutari sekeliling
tubuh, khususnya pada titik-titik penting pembangkit tenaga pada
dirinya, bahkkan titik-titik pembangkit tenaga yang tidak
terjangkau oleh latihan tenaga dalam yang selama ini ia jalani.
Sesuatu itu kemudian dirasakan bersenyawa terus dengan
kekuatan yang berasal dari Pangeran Abhinaya, dan bergerak
316 semakin cepat untuk mengetarkan sumber-sumber tenaga inti
dalam dirinya. Semakin terang, Arga sampai pada suatu penilaian bahwa orang
tua itu memberikan sebagian kekuatan kepada dirinya dan
melalui bantuan dari kekuatan itu, Arga telah membangkitkan
sumber-sumber tenaga inti di dalam dirinya. Suatu manfaat yang
telah berefek ganda: menambah sekaligus meningkatkan. Selain
dari itu, Arga juga sampai pada kesimpulan mengapa pengalihan
kekuatan dari orang tua itu berlangsung begitu normal. Ternyata,
26 apa yang tersimpan di dalam diri orang tua itu sebenarnya
bersumber pada kekuatan yang bersemayam padanya. Hal itu
dikatakan sendiri oleh orang tua itu.
Sekali lagi, Arga telah sampai pada suatu penilaian yang kuat,
bahwa: Pangeran Sepuh itu telah memindahkan kekuatan kepada
dirinya. Ini menimbulkan getaran kuat pada hati anak muda itu.
Getaran yang kembali memberi kesan istimewa pada orang tua
itu. Kesan istimewa yang spontan timbul karena penilaian anak
muda itu, sekalipun penilaian itu tidak demikian adanya.
"Seperti yang telah aku katakan, Chandrakapala hingga saat
masih belum menentukan seorang Ascarya. Seorang figur
terdepan untuk dimunculkan ke permukaan. Aku berharap
kemunculan jelmaan dari sang naga dapat beriringan dengan
kemunculan Chandrakapala secara nyata di tengah keramaian.
Aku akan meminta tetua lain dalam ikatan persaudaraan ini agar
Chandrakapala menampilkan sang jelmaan naga untuk tampil
sebagai Ascarya. Aku akan mengusulkan agar ia menjadi
pemimpin dari Chadrakapala dalam bentuk sebagai kelompok
dengan ciri yang dikenali". Tegas orang tua itu mengutarakan
keinginannya. Keinginan agar Arga tampil sebagai Ascarya bagi
317 Chardrakapala. Ascarya yang memimpin Chardrakapala sebagai
perkumpulan layaknya perguruan pada umumnya.
Sekalipun setiap orang sudah mengira arah keinginan orang tua
yang disebut sebagai Eyang Kawiswara, namun tidak menyangka
bahwa orang tua itu menyatakan secara terbuka dan tegas
keinginan itu. Tentu saja, hal ini memberikan kejutan kepada
yang hadir pada ruangan itu, terutama Arga. Tidak pernah
terbayangkan olehnya sama sekali untuk berdiri menjadi yang
terdepan, apalagi menjadi terdepan dari sebuah perkumpulan
yang nantinya memiliki keluasan wilayah, melewati batas-batas
sebuah negeri. Untuk itu, Arga pun menyatakan keberatan.
"Eyang Kawiswara, Arga sama sekali bukanlah orang yang
pantas menerima apa yang Eyang telah katakan. Hal ini menuntut
sesuatu yang berada di luar daya yang aku miliki. Aku ini
hanyalah seorang yang hendak membuka diri terhadap dunia,
sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dan memiliki
kemampuan untuk menilai apa yang akan terjadi. Aku sama
sekali tidak memiliki pengertian mengenai apa yang tengah
terjadi, apalagi apa yang terjadi pada dunia kanuragan yang aku
dengar penuh dengan lika-liku. Masih banyak orang yang lebih
pantas daripada diriku untuk menyandang apa yang Eyang
maksudkan. Lagi pula, masih ada beberapa hal yang masih harus
aku lalui karena itu masih tertinggal." Demikian Arga menyebut
nama dirinya singkat saat memberikan penjelasan. Penjelasan
dari anak muda itu, terlihat menyimpan sesuatu yang samar. Ia
tidak ingin mengatakan bahwa ia ti
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
dak mengenal jati diri. Tidak
mengenal dari mana ia berasal, siapa ayah ibunya. Ia
menyatakan hal itu dengan ungkapan "masih tertinggal".
"Jadi namamu adalah Arga. Aku memahami bahwa apa yang aku
318 utarakan sangat tiba-tiba, dan sangat mengejutkan dirimu. Akan
tetapi, akupun tidak menghendaki dan mendesakkan hal itu
terjadi saat ini, besok atau lusa. Karena harus ada proses untuk
mewujudkan hal itu. Proses yang melibatkan kesepakatan tetua
lain. Artinya, apa yang aku katakan membutuhkan suatu
persiapan. Yang mungkin memakan waktu cukup panjang.
Namun hal itu harus berjalan dalam suatu kepastian. Sementara
itu, Chandrakapala pun masih harus mempersiapkan hal-hal lain,
di luar penetapan figur terdepan. Menurut perhitunganku,
setidaknya dibutuhkan waktu lima enam purnama untuk
mematangkan itu semua, agar Chandrakapala dapat berdiri sama
tegak dengan perkumpulan berciri lainnya. Arga, kiranya tersedia
waktu yang cukup bagimu membuat pertimbangan. Waktu-waktu
itu dapat engkau lalui untuk menuntaskan apa yang kau katakan
masih tertinggal. Pada waktunya aku akan menemui dirimu dan
berharap dapat membawamu kepada Chandrakapala pada saat
yang lebih pantas." Itulah akhir dari apa yang ingin disampaikan
oleh Eyang Kawiswara. Bertepatan dengan itu, suara kentongan telah dipukul
menandakan malam telah beranjak dari ujungnya. Namun
demikian, tidak tampak kelelahan di antara orang-orang yang
hadir di sana, termasuk Eyang Kawiswara. Suasana, yang
tadinya serius pada saat Eyang Kawiswara menyampaikan
perkataannya, telah berubah menjadi cair dan hangat. Itu
mengemuka pada ketiga tokoh sepuh yang agaknya telah lama
tidak bertemu: Ki Antargata, Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita.
Mereka asyik berbincang-bincang, yang diselingi dengan tawa.
Di antara tawa dan senda gurau di ruangan itu, hanya Arga yang
tampak masih terhanyut oleh apa yang telah berlangsung.
319 "Chardrakapala Ascarya. Lima enam purnama. Chardrakapala
Ascarya. Lima enam purnama....." Begitulah, dua rentetan katakata terus berputar silih berganti
dalam benak anak muda itu.
Kata-kata itu membingungkan. Lama ia telah terdiam di atas
kebimbangan dan kebingungan. "Masih ada waktu lima enam
untuk memutuskan itu semua. Biarlah aku lalui kesempatan itu.
Apapun yang harus terjadi biarlah nanti itu terjadi." Demikian Arga
menghentikan apa yang terus berkecamuk dalam pikiran. Ia pun
kemudian bergabung dengan canda ria bersama orang-orang
yang ada di sana. Ia mengambil tempat duduk bersama dengan
Labdajaya, anak muda yang tidak terpaut jauh dengan dirinya.
1 Anak muda yang merupakan murid dari dua Senopati Utama, Ki
Gardapati dan Ki Gardagarjita.
Tak lama kemudian, Eyang Kawiswara didampingi oleh Kanistha
undur diri dan mempersilahkan orang-orang di sana meneruskan
apa yang sedang diperbincangkan. Namun, sesaat akan
meninggalkan ruangan itu, Pangeran Abhinaya meminta kepada
Arga untuk bersamanya. Menurutnya, ada sesuatu hal penting
yang masih akan dibicarakan dengan pemuda itu. Setelah
meminta izin dengan orang-orang di sana, terutama Ki Antargata
dan Puteri Rajni, Arga pun meninggalkan ruangan itu mengikuti
orang tua yang berjalan didampingi oleh cucunya menuju ke bilik
orang tua itu. *** Bilik itu hanya terletak tiga tumbak dari ruangan utama
padepokan. Diterangi oleh dua buah senthir tergantung pada
dinding bilik. Pada bilik itu, terlihat dua orang telah duduk bersila.
320 Dua orang dengan usia yang terpaut jauh. Mereka bersila saling
berhadapan tiga hasta jaraknya. Ya, mereka adalah Pangeran
Abhinaya dan Arga. "Nakmas Arga, Eyang ingin meneruskan apa yang masih
tersimpan mengenai Chandrakapala. Sesuatu yang tidak mungkin
dikatakan secara terbuka." Dalam ucapan orang tua itu, ada
sesuatu yang begitu menancap dalam. Sebuah nama panggilan:
Nakmas. Panggilan yang lama sekali tidak pernah lagi didengar
oleh Arga. Panggilan yang ia ingat hanya diucapkan oleh isteri
Paman Wira, semasa ia masih kecil. Ia pun terbayang samar,
sangat samar, wajah wanita itu. Wanita yang tidak lagi ada di
dunia ini. Ia telah wafat saat dirinya berusia lima tahun. Kini,
orang tua yang berada di hadapannya telah menyandangkan
panggilan itu kepadanya. Panggilan bagi mereka yang berada
dalam kasta tertentu. Kasta utama.
"Seperti yang telah Eyang katakan sebelumnya, di dalam diri
Chandrakapala telah berhimpun sejumlah tokoh. Tokoh yang
memiliki pandangan yang sama. Lepas dari belenggu wangsa,
keyakinan dan kekuasaan. Beberapa dari mereka adalah orangorang utama. Eyang berharap
Nakmas Arga dapat memenuhi
permintaan Eyang. Permintaan untuk tinggal beberapa lama di
padepokan ini. Setidaknya tiga purnama ke depan. Pada saat ini,
sejumlah besar atau bahkan seluruh dari tokoh-tokoh itu akan
datang ke padepokan ini. Berkumpul bersama untuk


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membicarakan perkembangan atas Chandrakapala dan Bhumi
Mataram pada umumnya. Bhumi Mataram yang tiga tahun
belakangan ini telah terguncang oleh banyak peristiwa." Anak
muda itu teringat kembali apa yang telah didengar secara tidak
sengaja dari seorang kuwad?an banija (pedagang besar kain dan
321 pakaian) di Hita Harsika. Dari orang itu, ia mendengar kabar
2 bahwa di Watugaluh pun kekuatan yang mengatasnamakan
Chandrakapala telah menebarkan pengaruh. Kini, dua kabar
tentang keguncangan atas nama Chandrakapala telah didengar
oleh anak muda itu. Satu keguncangan di Prasoda Nawa
(Sembilan Bangunan) dan satu lagi pembunuhan Pangeran
Penguasa Watugaluh. Atas dasar apa yang telah didengar, anak
muda itu mengamini bahwa Bhumi Mataram saat ini sedang
dihadapkan pada guncangan. Guncangan yang bukan tidak
mungkin dapat menyeret khalayak luas terhisap ke dalam
pusaran. "Dalam keadaan sekarang, Eyang tidak akan diam. Tidak akan
pergi meninggalkan pihak-pihak yang bertikai, tanpa mencoba
menghentikan. Pertikaian yang pada akhirnya berujung pada
perang saudara. Lewat Chandrakapala, Eyang akan berusaha
sekuat tenaga mencegah kemungkinan buruk yang dapat
berkembang di atas Bhumi Mataram. Untuk itu, sekali lagi Eyang
minta agar Nakmas bersedia berdiri bersama-sama dengan
Chandrakapala." Permintaan yang telah dinyatakan, kembali
dinyatakan oleh orang tua itu. Anak muda itu tercenung kembali.
Tercenung dihadapkan oleh suatu permintaan. Permintaan itu
tidak sekedar bersama Chandrakapala, melainkan meredam apa
yang mungkin terjadi di atas Bhumi Mataram.
"Nakmas Arga, Eyang sendiri juga nanti akan meminta kepada Ki
Antargata untuk tinggal di padepokan ini. Eyang rasa Ki Antargata
tidak akan berkeberatan menetap beberapa lama di tempat ini. Di
sini ada Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita. Mereka tentu sangat
senang berjumpa kembali. Berkesempatan kembali bersamasama. Bersama-sama dalam waktu
yang cukup lama." Di balik
322 perkataan itu, Pangeran Abhinaya jelas cukup mendesak anak
muda itu untuk tinggal beberapa lama di padepokan.
Tanpa terasa, waktu pun telah mendekati fajar. Orang tua itu pun
merasa cukup mengatakan apa yang ingin dikatakan. Yakni,
meminta tiga tamu padepokan tinggal lebih lama.
"Nakmas Arga, saat ini sudah cukup apa yang Eyang ingin
katakan. Silahkan Nakmas beristirahat, Eyang sendiri akan
mengantar ke bilik Nakmas." Orang tua itu pun berdiri dan
berjalan bersama-sama dengan anak muda itu. Mereka menuju
sebuah bilik yang tidak terpisah jauh. Di depan bilik itu, keduanya
pun berpisah setelah saling memberi penghormatan.
*** Menempati sebuah bilik yang tidak terlalu besar, namun bersih
dan apik, Arga langsung menuju ke tempat pembaringan.
Sekalipun telah bertempur lama, Arga tidak merasa lelah. Itu
semua terjadi karena dalam pertempuran itu, ia telah menerima
tambahan energi sekaligus meningkatkannya. Alih-alih kelelahan,
Arga justru menjadi segar. Oleh karena itu, ia tidak
membaringkan diri untuk tidur melainkan mengambil sikap laku
Panchajanya untuk memeriksa dan meninjau kembali medanmedan energi yang berada di dalam
3 dirinya. Tindakan itu dilakukan hingga kokok ayam jantan terdengar saut bersautan
untuk menyambut datangnya sang surya. Ia menghentikan sikap
laku Panchajanya, beranjak dari pembaringan dan mengambil
segelas air putih yang disediakan di sana.
"Ah, ada baiknya aku keluar berjalan-jalan untuk melihat
sekeliling padepokan ini, sampai nanti tiba saatnya untuk
323 membasuh diri dan sarapan." Pikir Arga sambil melangkah
meninggalkan bilik. Ia melangkah begitu saja ke arah dari mana
matahari akan menampakkan diri.
Binar-binar berwarna menyala telah menandai cakrawala, namun
tanah belum sepenuhnya terang. Arga telah tiba di sebuah lahan
persawahan di belakang padepokan itu. Tampak padepokan itu
dialiri oleh sebuah anak sungai kecil yang dijadikan sumber untuk
mengairi tanaman padi yang tumbuh subur di sana. Di tepi sungai
itu terdapat sebidang tanah kosong yang hanya ditumbuhi oleh
rerumputan. Dari kejauhan, Arga melihat seorang sedang berlatih
dengan sangat serius. Orang itu bergerak cepat ke samping dan
kadang membal melenting ke atas, lalu menungkik. Gerakangerakan itu begitu dikuasai dan
dilakukan dengan sempurna.
"Siapa yang sepagi ini sudah melatih diri dalam gerakan-gerakan
yang sangat indah dan menawan itu." Batin Arga, yang karena
keingintahuan datang secara diam-diam mendekati orang yang
berlatih. Dengan kemampuannya, tidak terlalu sulit bagi Arga
mendekati orang itu tanpa diketahui kehadirannya, apalagi orang
itu sedang terbenam oleh gerakan-gerakan yang dimainkan
dalam rangkaian gerakan yang terus mengalir.
Bersembunyi di balik sebuah batu gunung sebesar kerbau tidak
jauh dari tepi anak sungai, Arga dengan jelas dapat mengamati
siapa yang sedang berlatih di sana. "Ah, gadis yang semalam
berpenampilan pria, cucu dari Pangeran Abhinaya, Kanistha.
Gadis itu bergerak lincah, bersemangat dan ringan. Hebat!
Gerakan yang menawan, seperti seorang yang sedang
menunggangi gelombang samudra." Sorak Arga di dalam hati.
Rupanya, gadis itu melengkapi diri dengan sebilah bambu yang
dipegang dengan tangan kanan. Di tangan gadis yang sedang
324 berlatih itu, sekalipun hanya sebilah bambu, benda itu telah
berubah sama sekali. Ketika ia membuat gerakan tangan yang
menusuk, kemudian menebas dan menggulung-gulung, potongan
bambu itu menimbulkan suara mendengung, tanda gerakan itu
sungguh berisikan tenaga. Tenaga dahsyat. Gadis itu pun
mengulang gerakan menusuk, menebas dan menggulung dari
beberapa sudut dan posisi berbeda, untuk kemudian membentuk
suatu kedudukan tertentu di mana ia berdiri tegak dengan dua
kaki merapat, tangan kiri disilangkan hingga telapak menyentuh
pipi, sementara tangan kanan yang memegang bilah bambu
4 teracung ke atas. Setelah menarik nafas dan menghembuskan pelahan selama
beberapa tarikan, ia melenting, menghujam dan menusuknusukan benda itu dengan cepat. Dalam
kecepatan gerak itu, Arga menghitung 32 tusukan telah dilesakkan dalam gerakan itu.
Tusukan yang kuat dan jitu. Menurut penglihatan Arga, gerakan
selain cepat dan efektif untuk menyergap lawan, juga tidak
memberi ruang gerak pada lawan karena gerakannya telah
mengurung pergerakan lawan dalam waktu yang sangat singkat.
Gerakan itu diakhiri dengan beberapa tebasan membelah berupa
gerakan menyilang ke kiri dan ke kanan. Gerakan yang cepat,
ringan namun kuat bertenaga.
Yang tidak kalah mempesona adalah apa yang telah tampak
pada bilah bambu yang dimainkan gadis itu. Bilah itu sepenuhnya
telah mengalami perubahan. Ada balutan sinar kehijauan yang
membayang di sepanjang permukaan bambu yang dimainkan.
Sekalipun telah berbaur dengan suasana hari yang sudah
menjadi terang, namun sinar itu tetap dapat tertangkap mata saat
berkelebat-kelebat mengiringi gerakan sang gadis. Sebilah
325 bambu yang mungkin telah menjadi setajam pedang yang mampu
menebas atau membelah sebatang pohon. Melihat itu semua,
Arga menjadi sangat kagum dengan gadis yang menurut
perkiraan tidak berbeda jauh dengannya dalam hal usia.
Hari semakin terang. Gadis itu telah menyelesaikan latihan
kemudian bergerak ke tepi anak sungai, untuk membasuh wajah.
Di kejauhan tampak tiga orang bergerak ke arah di mana gadis itu
sedang berada. Karena akan menjadi sangat malu apabila
tertangkap melakukan pengintaian terhadap gadis itu, Arga pun
diam-diam mengendap-endap dan melengos pergi menjauh. Ia
memutuskan berputar menjauh, kemudian mendatangi tempat
gadis itu berada. Sesaat kemudian, Arga memunculkan diri dari
kejauhan dan melihat tiga orang itu sudah bergabung dengan
sang gadis. Tiga orang itu adalah Ki Gardapati, Ki Gardagarjita dan Ki
Antargata. Melihat ada orang yang datang ke mana mereka
berada, empat orang itu pun serentak berpaling. Tidak dapat
disembunyikan, kegembiraan membayang di wajah empat orang
itu. Mereka pun memberikan salam kepada yang baru tiba,
demikian juga sebaliknya. Mereka berlima pun berbicang-bincang
santai. Ki Gardapati dengan penuh kegairahan menceritakan
keadaan padepokan. Padepokan yang sangat beruntung karena
diberkati tanah yang subur dan orang-orang yang giat bekerja.
Hanya dalam hitungan delapan belas purnama, padepokan itu
menunjukkan perkembangan. Tidak sedikit penduduk sekitar
padepokan telah bergabung dengan padepokan itu untuk
bersama-sama mengolah sawah, dan beberapa di antara mereka
telah bersedia sebagai pekerja untuk menjalankan aktivitas yang
dibutuhkan oleh padepokan itu. Juga tidak sedikit remaja baik
5 326 putera dan puteri dari penduduk setempat yang bergabung
menimba ilmu dalam padepokan itu. "Ah, suatu padepokan yang
asri." Demikian batin Arga, sambil melirik kepada satu-satunya
gadis yang berada di antara mereka.
Lagi, seorang yang lain datang menyusul. Siapa lagi kalau bukan,
Puteri Rajni. Yang bertanya-tanya kepada murid padepokan
mengenai keberadaan orang tua yang datang bersamanya,
namun sebenarnya yang ingin dicari adalah Arga yang diduga
pergi bersama orang tua itu. Tidak dinyana oleh gadis itu, ketika
bertemu dengan orang yang dicari, yang sebenarnya ingin dicari,
ternyata tengah asyik berbincang-bincang dengan empat orang
lain, termasuk seorang gadis seperti dirinya. Ketika tiba
mendekat, ia memastikan bahwa gadis itu adalah orang muda
yang semalam berhadapan dengannya dalam penampilan
seorang pemuda. "Gadis yang sangat menawan." Batin Puteri
Rajni memberikan penilaian.
"Paman Antargata, dari tadi aku bingung, berputar-putar mencaricari Paman". Puteri Rajni berkata,
setiba di hadapan empat orang
itu. "Yang kau cari diriku atau orang lain yang saat ini bersamaku." Ki
Antargata menggoda. Godaan itu menghujam pada pusat
perasaan Puteri itu. Sontak wajahnya memerah pucat seperti
warna jantung pisang muda, dan menjadi kian memerah dan
tertunduk manakala mendengar lirih suara kedua orang tua lain
dari padepokan itu. Yang tidak kalah malu adalah satu-satunya pemuda yang berada
di sana. Hanya Kanistha yang terdiam muram dan menampilkan
wajah yang tidak senang. Tentu saja, Ki Gardapati tahu alasan di
balik muram wajah cucu sahabatnya. "Agaknya, dua Puteri
327 menginginkan seekor merak yang sama... ha...ha...ha." Tertawa
itu lepas terdengar. Dua gadis itu mengerti apa yang dimaksudkan orang tua itu, dan
tanpa disadari telah melemparkan pandangan satu sama lain,
dengan wajah serupa: cemberut namun malu.
Kanistha menjadi orang yang paling tidak kuat menanggung
perasaan, lalu segera pamit dan beranjak pergi. Demikian juga
Puteri Rajni, takut terus menjadi bahan olokan orang tua yang
sangat usil. Tak berapa lama kemudian, ia pun pamit dan
menyusul pergi. "Paman mungkin ada baiknya, pagi ini kita menjengguk Eyang
Kawiswara melihat keadaan Eyang." Arga telah mengalihkan
perhatian selepas kepergian dua gadis itu. Seperti disadarkan,
mereka pun sepakat untuk bersama-sama mengunjungi sesepuh
Chandrakapala, sekalipun mereka yakin tidak ada sesuatu pun
yang buruk telah terjadi pada orang tua itu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi empat orang itu tiba di
6 tempat di mana Eyang Kawiswara berada. Orang tua itu tidak
berada di dalam bilik, melainkan duduk bersila di pelataran,
ditemani Kanistha yang sedang menyediaan panganan dan
minuman bagi orang tua itu.
"Mari.... Mari.... Silahkan." Eyang Kawiswara pun mempersilahkan
empat orang yang baru tiba untuk duduk bersama.
Di hadapan orang tua itu, Arga menyampaikan keinginan untuk
memeriksa kondisinya. Eyang Kawiswara mengizinkan apa yang
hendak dilakukan Arga. Mengambil posisi berhadapan, Arga
menjulurkan dua tangan dan menempelkan dua telapak pada
telapak-telapak tangan orang tua itu, lalu menyalurkan tenaga
dengan Samana Yatna (Pengerahan Tenaga untuk Memperoleh
328 Nafas Hidup) kepada orang yang berada di hadapannya.
Tenaga itu mengalir dan berputar-putar mengarah pada sumbersumber tenaga orang tua itu, dan
Arga mendapati bahwa, sekali
pun tidak mengalami banyak kerusakan, namun sebagian besar
sumber-sumber itu telah melemah dan melayu. Tenaga Samana
Yatna yang dialirkan oleh Arga, seperti air yang memberi
kesegaran bagi tanaman yang beranjak layu, mengetarkan dan
merangsang membantu sumber-sumber itu bekerja dalam
kepulihan. "Teknik pengerahan tenaga yang sangat sempurna! Apa lagi
yang masih tersimpan dalam diri anak muda ini." Orang tua itu
membiarkan tenaga anak muda itu memasuki sumber-sumber
penyimpanan tenaganya. Tidak serta merta apa yang dilakukan Arga membawa orang tua
itu pada kepulihan seperti sedia kala. Hal itu membutuhkan waktu
yang panjang, mengingat faktor usia pada Eyang Kawiswara.
Tenaga Samana Yatna hanya membantu orang tua itu pulih
secara lebih cepat. Lebih cepat bila dibandingkan pemulihan itu
dilakukan seorang diri. Hampir enam penderesan nira, Arga
mengalirkan Samana Yatna kepada orang tua itu. Samar ia
merasa sifat-sifat yang aneh.
Menilai cukup, pelan-pelan anak muda itu menarik Samana Yatna
halus dan lembut. Lalu, tampak anak muda dan orang tua itu
beristirahat sejenak. Menyaksikan itu semua, tiga tokoh sepuh
yang juga tengah berada di sana semakin kagum pada anak
muda itu. Demikian juga dengan Kanistha yang sejak awal
menyaksikan apa yang telah terjadi.
Ketika semua yang terjadi telah berlalu, suasana pelataran itu
menjadi riuh rendah. Agaknya, telah bertambah satu orang lagi
329 bergabung di sana, yakni Puteri Rajni. Di tengah berlangsungnya


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keriangan dan kehangatan di antara mereka, beberapa murid
padepokan datang membawa sejumlah hidangan dan minuman,
yang semakin menyemarakkan suasana bagian depan bilik
Eyang Kawiswara. 7 "Ki Antargata, bagaimana jika Andika beserta Arga dan Puteri
Rajni tinggal beberapa hari di padepokan ini. Rasanya padepokan
ini membutuhkan kehadiran kalian untuk beberapa saat." Orang
tua itu mengajukan permintaan kepada Ki Antargata. Permintaan
yang sebelumnya telah dikatakan kepada Arga. Yang diminta
tidak menjawab, melainkan justru bertanya. "Bagaimana
pendapatmu Engg?r Arga?" Anak muda itu tidak segera
menjawab. Ia berpaling kepada yang bertanya dan Puteri Rajni.
Gadis itu menampakkan raut muka enggan untuk berlama-lama
di padepokan ini. Tidak demikian dengan Ki Antargata, yang
agaknya menginginkan tinggal di padepokan itu lebih lama,
karena masih berharap memperpanjang ingatan masa lalu
dengan tokoh-tokoh utama padepokan itu.
Sebelumnya, di saat berjalan-jalan untuk melihat-lihat padepokan
ini, Arga telah memutuskan mengabulkan permintaan orang tua
itu. Apalagi ia menilai bahwa orang tua itu membutuhkan bantuan
mempercepat proses pemulihan. Ini semakin menguatkan
keputusan Arga untuk tinggal beberapa lama di padepokan ini.
"Jika Paman tidak berkeberatan, kita bisa tinggal di padepokan
ini. Hari-hari itu dapat aku manfaatkan untuk membantu
pemulihan Eyang Kawiswara." Kata Arga kepada Ki Antargata.
"Baiklah kalau begitu, aku tidak berkeberatan." Balas Ki Antargata
cepat dengan wajah yang dipenuhi kegembiraan. Puteri Rajni
yang mendengar itu merasa menjadi mual, dan memasang muka
330 masam kepada anak muda dan pamannya. "Ah, biar nanti aku
minta Arga menghiburnya agar ia menjadi krasan berada di sini."
Kata Ki Antargata dalam hati melihat raut masam dari Puteri
Rajni. *** D ua purnama sudah lewat. Peristiwa di lereng Gunung Welirang
sudah menjadi surut redam dan terpinggir dilupakan. Sebagai
ganti, di kota Watugaluh saat ini sedang ramai dilakukan
persiapan. Persiapan untuk suatu Wisudha. Penobatan.
Pengangkatan penguasa baru kota itu untuk menggantikan
penguasa sebelumnya yang dinyatakan telah terbunuh di lereng
Gunung Welirang. Saat itu kota Watugaluh telah bersolek dengan
berbagai rupa hiasan. Hiasan yang serba indah dan semarak.
Sudah sepantasnya itu dilakukan. Seorang Pangeran baru akan
duduk memerintah kota itu. Ia adalah Pangeran Sikara.
Memang, hari itu telah berlangsung penobatan Pangeran Sikara
menggantikan kakaknya, Pangeran Sarkara, duduk di atas tahta
Watugaluh. Penobatan itu dilakukan satu purnama setelah
perabuan dan masa berkabung atas tewasnya Pangeran Sarkara
bersama-sama dengan dua Senopati Utama dan delapan puluh
prajurit berakhir. Penobatan itu dilakukan sendiri oleh Sri
Wairiwarawiramardana, bertempat di istana Watugaluh. Sri
Wairiwarawiramardana sendiri memutuskan melangsungkan
Wisudha itu dengan sederhana. Ia tidak membawa serta pejabatpejabat Carangsoka. Raja itu
8 datang ke Watugaluh hanya
bersama dua orang Patih. Rangkaian upacara penobatan itu terdiri dari beberapa bagian:
331 Camana Sawana (Mandi untuk Menyucikan Diri), Kalabusana
Panigraha (Pengenaan Busana Kebesaran), Pranatagama
Pudyastuti (Puja Pujian Doa dari Pimpinan Agama), Mukti Brata
(Sumpah Mulia), Padmasana Jalasa (Duduk di atas Singgasana)
dan puncaknya Udrata Sengkelat (Pengenaan Mahkota). Tentu
saja, Wisudha itu dilakukan menurut tata cara penobatan yang
ditetapkan oleh Raka i Pikatan.
*** Dalam hitungan satu atau dua penderesan nira, penobatan atas
Pangeran Sikara akan dimulai. Sri Wairiwarawiramardana telah
berada di tempat. Ia duduk di atas singgasana berlapiskan emas.
Di depan terdapat sebuah paso (jambangan tempat air) berukiran
indah terbuat dari emas. Di dalamnya telah diisi penuh oleh air
yang sudah disucikan. Air itu akan digunakan untuk Camana
Sawana. Memandikan Pangeran yang akan dinobatkan. Tidak
jauh dari paso, terlipat pada sebuah meja seperangkat
Kalabusana dengan segala perhiasan, termasuk sebilah keris dan
sebuah mahkota. Melengkapi itu semua, terletak sebuah
singgasana kosong yang juga berlapiskan emas.
Tidak jauh dari raja berada, di sisi kiri telah hadir duduk dengan
anggun dan berwibawa tiga orang tua. Orang tua itu adalah para
Pendeta. Pendeta yang akan melakukan Pranatagama Pudyastuti
sekaligus menjadi saksi atas Mukti Brata dari seorang penguasa
baru. Yang kemudian bersama-sama dengan Sri
Wairiwarawiramardana akan membimbing penguasa baru itu
menuju dan duduk di atas singgasana.
Di sekitar tempat itu telah berkerumum khalayak. Mereka telah
332 datang ingin menyaksikan kebesaran orang yang akan menjadi
junjungan mereka. Junjungan yang mereka harapkan dapat
memberikan keadilan dan kemakmuran bagi Watugaluh. Keadilan
dan kemakmuran, sebagaimana telah mereka mendengar, telah
berlangsung di Kambang Putih. Kambang Putih yang telah
tumbuh menjadi bandar penting di timur Yawadw?pa.
*** Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Khalayak bersorak gembira.
Mereka melihat iringan rombongan keluar dari sisi kanan istana
menuju ke tempat Camana Sawana akan dilangsungkan. Enam
orang kalawija (abdi istana) berjalan di depan rombongan, disusul
dengan empat prajurit pilihan, lalu Pangeran Sikara telihat
telanjang dada. Di belakang, berjajar rapih keluarga dan kerabatkerabat dekat. Rombongan pun
telah memasuki wisudha larah
(tempat penobatan) dan mengambil tempat masing-masing.
Suara tambur pun telah ditabuh. Itu menjadi tanda bahwa
9 upacara penobatan dimulai. Dengan diikuti oleh dua Patih dan
tiga Pendeta, Sri Wairiwarawiramardana bergerak menuju paso,
mengambil gayung perak yang telah disediakan dan mulai
melakukan Camana Sawana. Air dingin segar telah mengguyur
basah kepala dan badan Pangeran Sikara. Air yang seharusnya
sudah dibasuhkan padanya lima tahun silam. "Seandainya air ini
telah menguyurkan lima tahun silam, tidak perlu aku harus
mengubur Kakang Sarkara di sebuah jurang di lereng Gunung
Welirang." Ia berkata dalam hati. "Dimulai dengan dinginnya air ini
membasahi kepala dan tubuh, pada akhirnya Watugaluh ada
dalam genggamanku". Alih-alih tersenyum gembira, Pangeran
Sikara terlihat menangis. Menangis sesunggukkan. Itu dimainkan
333 untuk menunjukkan kepada yang hadir dalam wisudha larah,
bahwa ia tidak bergembira atas penobatan ini. Tidak bergembira
di atas kematian penguasa sebelumnya, Kematian yang baru saja
lewat dua purnama. "Lihat, Pangeran menangis. Ia masih tidak melupakan kakaknya."
Permainan Pangeran itu tampak berpengaruh pada khalayak.
Sontak mereka pun semakin mengelu-elukan orang yang
sebentar lagi resmi menjadi junjungan mereka.
Tidak lama setelah upacara Camana Sawana, dibantu dengan
kalawija Sri Wairiwarawiramardana mengenakan pada Pangeran
Sikara pakaian serta perhiasan kebesaran. Itulah upacara
Kalabusana Panigraha yang ditutup dengan penyelipan sebilah
keris oleh Sri Wairiwarawiramardana pada punggung Pangeran
Sikara. Setelah itu, upacara penobatan memasuki Pranatagama
Pudyastuti dan Mukti Brata. Tiga Pendeta dengan khusyuk dan
khidmat melantunkan beberapa Pudyastuti. Sependeresan nira
telah lewat dan tiga pendeta itu telah menyelesaikan puja-puji
mereka. Tiga orang itu kemudian bergerak mendekat ke
Pangeran Sikara. Meminta Pangeran itu meluluskan keris
pusaka, mengacungkan ke atas, dan mengucapkan brata.
Siapapun yang menyaksikan Mukti Brata itu tentu akan tergetar
haru hatinya. Bergetar dan haru melihat Pangeran Sikara
mengucapkan sumpah dengan tubuh bergetar dan air mata
berlinang pada dua mata. Air mata yang mengalir itu menyatakan
isyarat bahwa dirinya masih berkabung atas kematian kakaknya.
"Luar biasa anak itu telah memainkan perannya. Sungguh luar
biasa, saat-saat awal saja ia telah menarik simpati seluruh
Watugaluh. Tidak akan ada yang curiga atas apa yang telah
dilakukannya pada diriku." Seorang di antara kerumunan itu
334 mengatakan penilaian. Penilaian atas apa yang disaksikan.
Orang itu berpakaian layaknya kuwad?an banija (pedagang besar
kain dan pakaian). Pedagang yang biasa datang dari kota ke
kota, khususnya pada saat berlangsung suatu keramaian.
Pada akhirnya upacara wisudha pun tiba pada puncak. Dibimbing
10 oleh ayahnya dan diiringi dua Patih dan tiga Pendeta, Pangeran
Sikara didudukkan di atas singgasana. Di atas singgasana itu, Sri
Wairiwarawiramardana meletakkan dan mengenakan mahkota
pada kepala Pangeran Sikara. Sekali lagi, ia menangis sedih.
Kewenangan pemerintahan diturunkan kepada penguasa baru itu
tidak diiringi dengan sorak sorai kegembiraan rakyat, melainkan
oleh sebuah isak tangis duka. Suatu permainan yang
mengagumkan. Permainan itu telah menyihir dan membius
seluruh khalayak Watugaluh. Junjungan mereka adalah junjungan
yang berhati peka dan tidak lena oleh kuasa. Bahkan, Sri
Wairiwarawiramardana termakan oleh permainan itu. "Kematian
kakaknya telah mengubah sikapnya." Kata Sri
Wairiwarawiramardana dalam hati penuh syukur.
*** Kala senja tiba, di sebuah bangunan di pinggir kota Watugaluh
dua sedang bicara. Salah satu di antaranya adalah orang
berpakaian layaknya kuwad?an banija yang pada siang tadi hadir
dalam wisudha pangeran Sikara.
"Guru, aku sangat senang bahwa kini kita dapat membayangi
Tembelang dengan lebih leluasa. Adikku yang sekarang bertahta
di Watugaluh tentu akan lebih keras menyatakan sikapnya
terhadap Tembelang. Dengan simpati yang telah ditebarkan pada
335 wisudha tadi, hal yang mudah baginya untuk menggiring
kekuatan Watugaluh berhadapan dengan Tembelang. Di balik
bayang-bayang yang samar, aku sendiri akan menghembuskan
bahwa apa yang terjadi di lereng Gunung Welirang itu terkait
dengan penguasa Tembelang. Dengan kabar itu, khususnya
dengan peran guru, kekuatan Watugaluh dapat diarahkan kepada
Tembelang. Persiapan lima atau enam purnama, bahkan bisa
lebih cepat dari itu, cukup untuk menghancurkan Tembelang.
Apalagi di sini aku dengar telah hadir Paman dan Bibi Guru".
Wajah orang tua bermuka pucat yang disebut sebagai Guru oleh
orang berpakaian layaknya kuwad?an banija itu tersenyum puas.
Bahkan sangat puas. "Tidak sia-sia aku membentuknya. Tidak
seperti adiknya, ia sangat pandai memainkan siasat yang
tersembunyi. Siasat yang jauh lebih berbahaya. Siasat itu akan
menutupi siasat terbuka yang aku akan hembuskan lewat
penguasa baru Watugaluh, seorang muridku yang lain, Sikara".
Orang tua bermuka pucat itu berkata memberikan penilian dalam
batin. "Aku katakan lebih leluasa membayangi Tembelang, karena
dengan berdiri sebagai seorang kuwad?an banija aku dapat
keluar masuk Tembelang dan wilayah-wilayah lain di bawahnya,
tanpa mengundang kecurigaan siapa pun termasuk orang-orang
yang menjadi tangan-tangan dari penguasa Tembelang. Selain
itu, selama lima atau enam purnama ke depan aku bisa
menggunakan pengaruhku untuk menggiring kekuatan-kekuatan
di sekitar Tembelang yang tidak menyukai penguasa di sana,
11 termasuk orang-orang dari rimba pesilatan." Kembali pedagang
itu mengutarakan pandangan.
Pada ujung pertemuaan itu, orang tua bermuka pucat itu pun
336 menyatakan pandangan. "Nakmas Pangeran, aku setuju dengan
apa yang telah Nakmas katakan. Lima atau enam purnama
menjadi kesempatan yang sangat berharga untuk menyiapkan
sesuatu atas Tembelang. Aku pun akan menyiapkan bukti-bukti
untuk mengkaitkan kejadian di lereng Gunung Welirang dengan
penguasa Tembelang. Bukti-bukti untuk menggiring kekuatan
Watugaluh ke Tembelang." Ini tentu hal mudah bagi orang tua
pucat itu. Bagaimana pun, orang yang berada di atas singgasana
Watugaluh adalah muridnya. Kini, dengan kekuasaan yang ada
padanya, ia dapat mengarahkan dan mengerahkan kepada
Tembelang. Mengarahkan dan mengerahkan kekuatan
Watugaluh dengan suatu alasan yang kuat. Alasan itu diletakkan
pada suatu penebusan. Penebusan atas tewasnya penguasan
Watuhaluh terdahulu, yang akan dilekatkan lewat bukti-bukti pada
kekuasaan Tembelang. "Selain itu, aku pun akan meminta Paman dan Bibi Gurumu untuk
datang membayang-bayangi Tembelang. Kehadiran mereka tentu
akan memberi pengaruh terhadap kekuasaan di Tembelang.
Bagaimana pun kehadiran sekelompok orang dari masa silam,
apalagi orang yang sangat terkemuka di masanya, tidak mungkin
tidak akan mendatangkan suatu pengaruh. Pengaruh itu tentu
akan membagi perhatian penguasa kota itu. Pengaruh yang akan
memecah kekuatan mereka." Kembali orang tua bermuka pucat
itu mengatakan suatu rencana yang tak tersanggah
kebenarannya. "Akan tetapi, tindakan kita atas Tembelang harus terukur dan
dijalankan dengan cermat dan penuh kewaspadaan. Yang akan
dihadapi adalah penguasa Tembelang. Penguasa yang lain dari
lainnya. Ia adalah seorang yang tidak hanya ahli dalam
337 pemerintahan dan ilmu perang. Tetapi lebih itu, ia adalah seorang
Ketua Perguruan. Perguruan Merak Mas. Samaragrawira adalah
pejabat yang sangat istimewa. Pejabat, Panglima sekaligus Ketua
Perguruan. " Peringatan ditegaskan oleh orang tua bermuka
pucat itu. Sesaat hening. Hening berpikir. "Ah, biarlah aku tetap
menyimpan." Orang tua itu berkeputusan menyimpan sesuatu
dari kuwad?an banija. . "Sebagai Ketua Perguruan, ia memiliki sahabat dan dukungan
luas. Sahabat dan dukungan dari sejumlah tokoh pesilatan. Aku
dengar di masa muda, ia pernah menyadap ilmu dari seorang
petapa di Gunung Prabu. Petapa yang terbilang Kakek Guru
sendiri." Kembali peringatan ditegaskan hingga pada ujungnya.
Ujung yang tidak utuh, karena ada sesuatu yang masih disimpan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua itu. Pertemuan itu pun berakhir dengan "sesuatu yang
12 masih tersimpan". Disimpan orang tua itu! .
*** Jawaban Ki Antargata untuk tidak berkeberatan menetap
beberapa lama di padepokan Chandrakapala, menjadi awal dari
Arga, Puteri Rajni dan Ki Antargata sendiri memulai hari-hari di
padepokan asri. Dua pekan berlalu cepat, dan Puteri Rajni yang
semula menunjukkan rasa tidak suka berlama-lama di padepokan
itu telah bersifat seperti sedia kala. Ia kembali ceria. Padepokan
dengan penghuni ramah itu menghargai keberadaannya.
Terutama menghargainya sebagai orang dekat, bahkan terdekat,
dengan orang yang dipilih oleh Eyang Kawiswara untuk tampil
sebagai Ascarya. Chandrakapala Ascarya, kurang dari tiga
purnama di muka. 338 Pagi itu di tempat biasa Kanistha berlatih, terlihat delapan orang.
Dua di antaranya sedang melakukan gerakan-gerakan yang
sangat mengagumkan. Enam lainnya berkumpul berdiri
menyaksikan yang ditunjukkan oleh dua orang di hadapan
mereka. Dua orang itu adalah Puteri Rajni dan Kanistha. Mereka
berdua sedang berlatih tanding. Berlatih tanding di bawah
pengawasan tokoh-tokoh utama. Salah satu di antara tokoh itu
adalah Pangeran Abhinaya sendiri, yang telah membaik.
Membaik berkat penyaluran Samana Yatna selama tiga pekan.
"Hmmm... menurut penilaianku, dua dara itu akan mampu
menguasai dengan sempurna seluruh jurus-jurusnya dua
purnama ke depan. Hanya saja, kekuatan tenaganya yang harus
terus ditingkatkan. Tenaga untuk menopang dan melambari gelargelar dari jurus-jurus mereka."
Kepuasan terpancar dari wajah
Eyang Kawiswara menyaksikan kemampuan dua gadis itu.
Tidak terasa dua gadis itu telah berlatih tanding lebih dari enam
penderesan nira. Mereka pun sepakat menyudahi latihan itu.
Sesaat kemudian mereka menghampiri lima orang dan langsung
mengubar pertanyaan yang meminta penilaian. "Bagaimana
kemajuan jurus-jurus yang tadi aku mainkan, paman?" adalah
pertanyaan dua gadis itu yang dilontarkan kepada Ki Gardapati
oleh Kanistha dan Ki Antargata oleh Puteri Rajni. Dengan
beberapa kali latih tanding, dua gadis itu telah menjadi akrab,
bahkan sangat akrab. Pujian-pujian pun mengalir dari dua orang
tua itu. Pujian atas pencapaian yang telah diraih oleh dua gadis
itu. Matahari pun sudah semakin meninggi. Delapan orang itu sudah
tidak lagi bersama. Di tanah lapang itu tertinggal dua orang. Arga
dan Eyang Kawiswara. Agaknya, anak muda itu masih ingin
339 sedikit berlama-lama di tempat itu. Atas keinginan itu, Eyang
Kawiswara telah menemani anak muda itu. Mereka di sana tidak
lama. Eyang Kawiswara telah meminta anak muda itu pergi
bersamanya. Pergi ke bukit di sebelah timur padepokan itu.
13 *** Di bukit itu, pada sebagian puncak, terdapat bebatuan. Bebatuan
seakan-akan menyokong bukit berdiri dengan kokoh. Ke tempat
itu, Eyang Kawiswara membawa Arga. Sebuah tempat sunyi sepi
yang jarang didatangi penghuni padepokan maupun penduduk
sekitar padepokan. Menurut Eyang Kawiswara, tempat penuh
bebatuan itu sangat cocok untuk melihat tingkat pencapaian Arga
sepenuhnya. "Nakmas Arga, Eyang datang ke tempat ini untuk sebuah
maksud. Eyang ingin melihat sejauh mana Nakmas Arga telah
menyimpan kekuatan sang Naga. Eyang yakin bahwa apa yang
telah Nakmas tunjukkan saat berlaga tempo hari belum
menyatakan seluruh apa yang tersimpan. Di tempat ini dan pada
kesempatan ini, Eyang ingin memastikan hal itu. Memastikan apa
yang masih tersisa di dalam dirimu." Kegembiraan terpancar di
wajah Arga. Kegembiraan seperti dua gadis yang pagi tadi
berlatih di tanah lapang. Dua gadis itu gembira karena ada orang
yang memberikan penilaian terhadap setiap jurus yang
dimainkan. Penilaian dari seorang ahli. Kini, di hadapan anak
muda itu ada Eyang Kawiswara. Orang tua yang mapan dalam
dunia yang telah ditempuhnya. Ditempuh sejak usia muda. Dan,
orang itu sebentar lagi akan memberikan penilaian atas jurusjurus yang segera ia mainkan.
"Apa lagi yang masih tersimpan dalam diri anak muda ini."
340 Sebuah pertanyaan terus berdiam di batin orang tua itu.
Tanpa merasa sungkan, Arga pun mengambil sebuah sikap.
Sikap awal untuk membuka jurus-jurus Naga Semesta yang akan
dimainkannya. Tidak hanya itu, ia pun telah mengerahkan tenaga
murni untuk melambari setiap gerakan dari jurusnya. Tenaga
yang digerakan menurut Panchajanya. Arga memulai dari Naga
Semesta Tajam dan Menusuk. Orang tua itu tidak pernah melihat
jurus ini dimainkan oleh anak muda itu. Ia hanya membayangkan,
jika jurus itu dengan dahsyat menyerang dirinya. Dirinya yang
telah dilambari dengan Samudra Carmi (Samudera Kaca).
Menurut penilaiannya, Samudra Carmi tentu mampu ditembus
oleh jurus itu sekalipun tidak menjadi terkoyak. Setahap demi
setahap, Arga memainkan Naga Semesta Tajam dan Menusuk.
Cepat, berbobot, penuh tenaga dan telengas adalah sifat-sifat
yang tertangkap dari jurus itu.
Sebentar saja, udara di sekitar ia memainkan jurus itu tampak
telah menjadi sangat dingin. Dingin terjalar angin yang
diemposkan oleh tenaga dari tusukan atau sabetan telapak
tangan anak muda itu. Hawa dingin itu terus meningkat. Kini
hawa itu sekedar mengalir, tetapi menyambar-nyambar. Diiring
oleh suara yang terus menajam ke segala arah. "Luar biasa,
hawa di sekitar tempat ini menjadi dingin menggigit. Pucuk-pucuk
rumput dan ilalang telah terlapis oleh serbuk-serbuk putih.
Serbuk-serbuk yang sangat dingin dan terus menebal menutup
lembaran daunnya. Serbuk-serbuk putih yang sangat dingin
14 membekukan telah tercipta oleh jurus itu". Suatu pujian
dilontarkan tidak lama anak muda itu memainkan jurusnya.
Dalam dua penderesan nira, enam belas tata gerak utama dari
Naga Semesta Tajam dan Menusuk pun telah lewat. Tata gerak
341 itu terdiri dari aneka gebrakan, berupa aksi langsung atau aksi
tipuan atau trik. Pada suatu laga, 16 tata gerak itu dapat
dimainkan jauh lebih lama dari hanya dua penderesan nira.
Situasi yang terjadi pada laga akan menentukan singkat atau
cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan jurus itu.
Menjelang penutupan jurus itu, telah terjadi perubahan pada
gerakan Arga. Saat itu, Arga mulai memainkan Naga Semesta
Meraung. Pada jurus itu, ia bergerak dengan memainkan hampir
seluruh bagian tubuh. Menggunakan tapak serta kepalan tangan
dan juga siku untuk menghantam atau menebas ke depan, ke
atas dan ke samping atau mendatar. Memakai lutut untuk
memukul paha lawan, atau mengangkat kaki untuk memapak
tulang kering lawan. Menggoyangkan keras bahu dan pinggul
untuk mendorong lawan. Seiring dengan mapannya anak muda
itu memainkan Naga Semesta Meraung, setahap demi setahap
tubuh telah merona. Rona itu memancarkan dua rona yang silih
berganti. Rona itu memerah saat anak muda itu melambari
jurusnya dengan anasir panas, atau membiru manakala
lambarannya adalah anasir dingin. Pergantian rona itu tergantung
pada anasir mana yang sedang tampil mendominasi.
Dengan tambahan dan peningkatan tenaga murni setelah
menjalani pertarungan dengan orang tua yang saat ini
bersamanya, kemampuan Arga untuk mengerahkan dan
mengalihkan anasir panas dan dingin secara silih berganti jauh
lebih mantap dan mapan dibandingkan sebelumnya. Begitu cepat
dua anasir yang berbeda itu silih berganti melambari setiap
gerakan. Menurut penilaian Eyang Kawiswara, jurus yang sedang
dimainkan anak muda itu terdiri dari unsur gerak yang ringan dan
342 sederhana namun penuh fleksibilitas dan keselarasan di
dalamnya. Akan tetapi, dalam gerak sederhana dan ringan itu,
justru terpancar tenaga panas dan dingin. Dua tanaga yang silih
berganti terlontar dari gerakan anak muda itu. Bahkan, dua
tenaga itu pun dapat terlontar serentak secara bersama-sama.
"Jurus yang tidak terduga dan mengecoh lawan karena
kesederhanaan." Eyang Kawiswara memberikan kesimpulan.
Tahap akhir dari Naga Semesta Meraung segera akan dilalui.
Sebagaimana dilakukan di lereng Gunung Pawaka Jantera, Arga
pun telah melontarkan tenaga Naga Semesta Meraung melalui
suara. Melontarkan ke bebatuan yang berada di puncak bukit itu.
Sejenak suara raungan itu dilepaskan, bebatuan berjarak lima
tumbak di depan anak muda itu sebagian telah menjadi runtuh.
15 Runtuh berguguran akibat tenaga yang dilontarkan melalui
raungan. Tenaga itu jauh lebih kuat dari sebelumnya.
"Sadi... Sadi.... Dahsyat.... Anak muda itu mampu melontarkan
serangan dalam jarak tertentu lewat raungan. Serangan melalui
suara. Keajaiban apalagi yang tersisa dalam diri anak muda itu."
Orang tua itu menarik kesimpulan. Pada waktunya nanti, orang
tua itu akan menjadi terbuka. Terbuka oleh keajaiban anak muda
itu yang berada dalam kepenuhannya.
Karena hari telah menjadi siang, anak muda itu pun
menghentikan jurusnya. Tiga jurus utama sang naga telah
disaksikan oleh orang tua itu. Dua jurus baru saja dilihatnya, dan
satu lagi telah "dirasakan" lewat pertarungan dengan anak muda
itu. Tiga jurus yang sangat luar biasa. Anak muda itu pun datang
mendekat kepada orang tua itu.
"Eyang, sebenarnya masih ada satu jurus lagi." Wajah Eyang
Kawiswara terlihat bertanya-tanya. "Sejauh apa kekuatan jurus
343 itu?". Menyimpan pertanyaan itu dalam batin. Sebagai gantinya,
orang tua itu hanya menganggukkan kepala mendengar
pengakuan anak muda itu. Anak muda itu tidak memperlihatkan jurus akhir dari kitab
Jagattraya Naga Walgita (Kitab Naga Semesta): Cadudasa
Jagattraya Naga (Naga Semesta Cemerlang). Urung
diperlihatkan karena masih ada sepenggal rentetan kalimat yang
belum terungkap. Rentatan kalimat di akhir pentunjuk dari orang
yang mewariskan jurus itu. Rentetan kalimat yang tak kunjung
tersingkap, dan dinilai anak muda itu sebagai bentuk bahwa ia
belum sempurna menguasai jurus itu secara paripurna.
Penguasaan tuntas sempurna.
Mereka pun kemudian berajak pergi menuruni bukit itu. Beranjak
perlahan sambil terus memperbincangkan sesuatu.
"Eyang, pada sebuah catatan di dalam gua yang aku temukan
bahwa orang mewariskan jurus-jurus itu menyatakan namanya
Bratasenawa. Aku tidak berani menarik kesimpulan bahwa beliau
adalah orang yang sama dengan Buyut dari Eyang sendiri."
Orang tua itu sama sekali tidak terkejut oleh perkataan anak
muda itu. Jauh-jauh sebelumnya ia telah menduga, bahkan
menyakini, hal itu. Anak muda itu telah mewarisi kepandaian sang
Naga Terakhir. Naga terakhir yang adalah Buyutnya.
"Dan, sebelumnya aku telah mengatakan sesuatu yang masih
tertinggal". Kali ini wajah orang tua itu menampilkan sebuah tanda
tanya. Tanda tanya menyangkut apa yang dikatakan anak muda
itu sebagai "sesuatu yang masih tertinggal". Semula orang tua itu
berpikir kata-kata itu terkait dengan penuntasan ilmu yang masih
harus dijalani anak muda itu. Tetapi, anak muda itu tadi telah
mengatakan bahwa yang tersisa dari penguasaannya adalah
344 sepenggal rentetan kata-kata yang belum terungkap maknanya.
16 "Lalu, apa maksud dari "sesuatu yang masih tertinggal itu."
Sebuah pertanyaan serta merta mengemuka dalam diri orang tua
itu. "Eyang, yang aku maksudkan dengan sesuatu yang masih
tertinggal itu menyangkut keberadaanku di dunia ini. Sejauh ini,
aku tidak mengenal jati diri. Tidak tahu siapa ayah bunda dan di
mana kini mereka berada. Yang hanya aku tahu adalah Paman
Wira, Ketua perguruan Merak Mas. Ia telah membesarkan dan
mengasuh diriku. Paman Wira adalah satu-satunya orang yang
mengenal jati diriku." Kekagetan orang tua itu telah sirna berganti
dengan sesuatu yang lain. Sebuah kota. Tembelang. Bersamaan
dengan itu, membayang jelas di benak orang tua itu wajah
seseorang. Seseorang yang juga hidup tanpa jati diri. Kanistha,
sekalipun gadis itu terikat erat dengan dirinya, namun sejak kecil
ia sudah terpisah dari keluarga. Terpisah oleh imbas dari perang
saudara. "Setelah melalui hal-hal di padepokan, aku berencana untuk pergi
ke perguruan Merak Mas untuk menemui Paman Wira. Memohon
padanya untuk menceritakan apa yang diketahui menyangkut
diriku. Masa laluku." Suatu rencana telah dikatakan oleh anak
muda itu pada diri sendiri. Sejak anak muda itu menyatakan
persoalan jati diri, dalam benak orang tua itu telah tersembul
sesuatu. Suatu perkiraan. "Kalau anak muda itu sebelumnya telah
bersama dengan Samaragrawira, tentu di balik jati diri anak muda
itu tersimpan suatu misteri besar. Misteri yang belum
terungkapkan!" Dugaan itu merupakan kesimpulan terhadap jati
diri Arga. Dua orang itu telah memasuki wilayah padepokan. Orang telah
345 terlihat bekerja di sawah. Mereka memberi hormat pada dua
orang yang berjalan ke arah bangunan utama padepokan. Eyang
Kawiswara dan Arga langsung menuju ruang utama. Di sana
orang-orang yang tadi pagi bersama telah berkumpul. Hanya
Labdajaya yang tidak tampak hadir.
*** Kehidupan pada padepokan itu terus mengalir dijalani oleh Ki
Antargata, Puteri Rajni dan Arga. Bersama-sama dengan Ki
Gardapati, Ki Gardagarjita, Labdajaya, Kanistha dan kadangkadang Eyang Kawiswara, semuanya
begitu bergairah untuk saling bertukar pemahaman dalam ilmu silat. Pertukaran yang
tidak hanya dilakukan lewat pembicaraan atau latihan per
orangan, melainkan juga dalam bentuk latih tanding. Dalam
setiap akhir pertunjukan itu, masing-masing orang memberikan
catatan. Catatan untuk memperkuat atau mengembangkan lebih
lanjut jurus-jurus yang dimiliki.
Di antara mereka itu, hanya Arga yang sama sekali tidak pernah
menunjukkan jurus-jurus. Alih-alih menggelar jurus-jurus, anak
muda itu lebih banyak memberikan catatan terhadap mereka,
termasuk kepada Ki Antargata, Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita.
17 Dengan caranya yang istimewa, anak muda itu memberikan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejumlah catatan yang umumnya lebih praktis dan efektif. Catatan
yang membuat tokoh-tokoh itu senang, karena sering catatan itu
berada menyimpang dari pakem unsur-unsur jurus mereka. Akan
tetapi, setelah dimainkan catatan itu telah memberi warna lain
dalam jurusnya. Catatan-catatan itu semakin menancapkan
kekaguman terhadap diri anak muda itu.
Mengenai tidak sekalipun anak muda itu menampilkan jurus346
jurusnya, orang-orang itu menjadi maklum. Hal ini telah
dinyatakan oleh Eyang Kawiswara, bahwa biar anak muda
memainkan jurus-jurus secara tersendiri di atas bukit batu
sebelah timur padepokan. Tidak jarang Eyang Kawiswara
mengajak serta orang-orang itu menyaksikan apa yang dimainkan
Arga. Membandingkan apa yang mereka telah saksikan
sebelumnya, semua sepakat anak muda itu telah jauh meningkat
kemampuannya. "Arga telah jauh melampaui apa yang
sebelumnya telah ia capai, baik pada saat bertarung dengan
Puteri Rajni maupun Pangeran Abhinaya. Pengalihan tenaga dari
orang tua itu tidak hanya menambah melainkan juga
meningkatkan kemampuan anak muda itu. Kemampuannya
meningkat tidak hanya menurut ?tang jajar (deret hitung)
melainkan tepa jajar (deret ukur). Meningkat menurut suatu
lonjakan." Ki Antargata memberikan penilaian atas kemampuan
anak muda itu. Kesan yang sangat mendalam justru ada pada dua gadis muda
yang juga diajak serta oleh Eyang Kawiswara. Dua gadis muda
itu sangat kagum terhadap anak muda itu. Kekaguman yang
kemudian telah melahirkan rasa istimewa. Rasa antara seorang
dara dengan seorang jejaka. Rasa tidak saja indah tetapi selalu
mendebarkan dada. Selalu ingin bersama dengan pemuda itu,
adalah dorongan yang tidak pernah tertahan dari dua gadis itu.
Demikian tiga purnama dilalui orang-orang itu menurut cara yang
sama. Membicarakan dan berlatih untuk memperdalam
kemampuan yang dimiliki. Sekalipun terbilang singkat. Hanya tiga
purnama. Cara-cara itu telah memberi banyak pengaruh terhadap
kemampuan masing-masing orang. Kemampuan itu memberi
warna lain dari sebelumnya.
347 *** Tanpa terasa tiga purnama akan segera sampai. Dua pekan
menjelang Gadhug Samuha. Ki Gardapati dan Ki Gardagarjita,
dua Tetua Chandrakapala di padepokan itu, telah menjadi sangat
sibuk. Mereka diminta oleh Eyang Kawiswara untuk
mempersiapkan pertemuan itu, sementara ia akan pergi selama
dua pekan meninggalkan padepokan dan memastikan kembali
beberapa hari menjelang Gadhug Samuha itu. Dua orang tua itu
dengan senang hati melaksanakan permintaan itu. Sudah
maklum bagi dua orang tua, Pangeran Abhinaya sering
18 melakukan perjalanan. Kebiasaan yang sejak muda sudah ada
pada dirinya. *** Dua hari lagi di padepokan itu akan berlangsung suatu
Chandrakapala Gadhug Samuha (Pertemuan Tetua
Chandrakapala). Pertemuan itu akan dihadiri oleh sejumlah Tetua
penting dalam ikatan Chandrakapala. Menurut kabar, sekitar tiga
puluh Tetua dari sejumlah negeri akan menghadiri pertemuan di
padepokan itu. Saat ini dua puluh empat orang Tetua sudah
berada di padepokan itu. Tidak seluruh Tetua merupakan orang
pesilatan. Kendatipun bukan kaum pesilatan dan sedikit
jumlahnya, kehadiran mereka dalam Chandrakapala sangat
dihormati. Mereka itu kebanyakan menjalani hidup sebagai ahli
sastra atau pujangga. Orang yang memiliki pandangan yang
istimewa. Mereka yang telah hadir di padepokan itu datang sangat biasa.
348 Tidak kentara sebagai orang yang akan memenuhi suatu
undangan atas sebuah pertemuan. Demikian hal dengan tokohtokoh pesilatan yang terikat pada
Chandrakapala, kehadiran mereka juga tidak mencolok perhatian. Kebanyak dari tokohtokoh itu adalah pesilat-pesilat yang
tidak lagi menampilkan diri
ke permukaan. Mereka lebih banyak hanyut dalam kehidupan
orang biasa di dalam padepokan-padepokan yang didirikannya.
Menjalani hidup sebagai petani atau pengrajin. Sudah sangat
jarang mereka menampilkan kemampuan yang tersimpan dalam
diri mereka. Namun demikian, kemampuan itu tidak sirna. Tetap
dan terus berkembang di bawah latihan yang masih dilakoni
sekalipun berada pada jalan hidup orang biasa.
Eyang Kawiswara pun sudah berada di padepokan. Dan bersama
dua Tetua Chandarakapala lain telah menjadi sangat sibuk.
Mereka sibuk untuk menemani sesama Tetua yang telah tiba.
Ki Antargata, Arga dan Puteri Rajni untuk sementara tidak
melakukan latihan. Puteri Rajni sibuk membantu Kanistha di
dapur. Hingga petang Ki Antargata dan Arga berada di sawah bekerja
bersama-sama dengan penghuni padepokan lainnya. Mereka
melakukan apa yang biasa dilakukan petani. Mencabut rumput
yang dapat menggangu tumbuhnya padi. Mengusir belalang dan
membersihkan tanaman padi dari serangga yang merupakan
hama. Juga membereskan saluran air agar lancar mengairi
tanaman. Pekerjaan itu pun dihentikan oleh dua orang itu pada
saat petang tiba. Mereka memutuskan kembali ke padepokan.
Setelah membilas diri bersih, Ki Antargata dan Arga duduk di
depan bilik yang selama ini menjadi tempat tinggal orang tua itu.
Mereka duduk membicarakan apa yang akan berlangsung dalam
349 Gadhug Samuha dua hari di muka. Sementara mereka bicara,
19 Puteri Rajni dan Kanistha, dua orang gadis yang sebelumnya
sibuk di dapur, mendatangi Ki Antargata dan Arga. Di tangan
Kanistha terlihat sebuah nampan dengan makanan dan minuman
di atasnya. Oleh gadis itu, isi nampan itu ditaruh di hadapan
mereka. "Silahkan....." Gadis itu mengundang Ki Antargata dan Arga untuk
mengambil apa yang telah disajikan.
"Terima kasih, Puteri Kanis..."
"Jangan panggil namaku dengan sebutan Puteri, tapi kalau kau
ingin memberikan sebutan di depan namaku, sebut aku "Bibi".
Bibi Kanistha, dan ini Bibi Rajni" Suara itu terdengar jenaka dan
memotong ucapan terima kasih Arga saat sepiring serabi (kue
dari tepung beras yang diberi parutan kelapa muda dan santan)
telah diletakkan di hadapannya. Ki Antargata tersenyum lebar
secepat kilat memindahkan serabi di piring itu ke tangan.
Sementara itu, Puteri Rajni tertawa terpingkal-pingkal. Arga
sendiri tampak melonggo diam. Namun di hatinya berkata, "gadis
yang jenaka dan bertabiat usil".
"Baiklah, Bibi Kanistha, terima kasih." Kata Arga seraya
tersenyum. Tampak sekali, jika mereka kini telah menjadi satu
keluarga. Keluarga yang dipenuhi kehangatan. Dua gadis itu tidak
lama bersama mereka, karena masih harus membantu di dapur
menyiapkan makan malam. Selepas dua gadis itu pergi, Ki
Antargata dan Arga melanjutkan pembicaraan mereka.
Pembicaraan itu berakhir saat makan malam tersedia dan salah
sorang gadis yang petang tadi datang telah menyusul. Hari pun
terus bergerak mendekati saat Gadhug Samuha digelar.
350 *** Di ruang utama padepokan itu, dalam wujud yang sangat
sederhana, telah hadir lengkap tiga puluh tetua Chandrakapala.
Dipimpin oleh Pangeran Abhinaya Chandrakapala Gadhug
Samuha telah digelar, dengan pertama-tama mengucapkan
selamat datang. Setelah itu, orang tua itu menyampaikan maksud
dan tujuan dari pertemuan ini serta mengemukakan secara
ringkas hal-hal yang mungkin dapat dibicarakan secara terbuka di
pertemuan itu. "Di akhir nanti, aku akan menyampaikan sesuatu kepada para
tetua sekalian dan meminta pendapat dan pertimbangan atas hal
itu." Pangeran Abhinaya menyatakan sesuatu yang masih tersirat
bagi sejumlah tetua yang hadir di sana. Segera setelah
mengatakan hal itu, Pangeran Abhinaya mempersilahkan kepada
tetua-tetua itu untuk menyatakan pandangan-pandangan sesuai
perkembangan dan pengamatan yang mereka lakukan.
Pandangan tetua-tetua itu agaknya bermuara pada tiga
pandangan utama yang sama. Pertama, Bhumi Mataram
memang telah tersulut oleh bara api. Bara api itu setidaknya telah
mengemuka dalam bentuk tiga kegemparan. Pertama, peristiwa
20 Poh Pitu Pancawara pada tiga tahun silam. Di Poh Pitu itu
sejumlah senopati utama dan prajurit-prajurit telah tewas menjadi
korban. Kedua, menyusul satu tahun kemudian,
pembumihangusan dua bangunan suci pada Prasoda Nawa.
Peristiwa ini tidak hanya melalap musnah dua bangunan, tetapi
juga membantai habis dua puluh empat Danirmala Aswana
Gopala (penjaga tempat yang sangat suci). Ketiga, peristiwa yang
telah terjadi beberapa bulan berselang di lereng Gunung
351 Welirang. Pada peristiwa itu pangeran penguasa Watugaluh
dinyatakan hilang dan tewas. Tiga peristiwa itu sepenuhnya
terpisah dan terlepas menurut tempat dan waktu. Akan tetapi, tiga
kejadian itu telah diikatkan pada sesuatu yang sama: sebuah
lencana berupa sebuah panji bersimbolkan tengkorak bertaring di
atas bulan sabit dengan tulisan Chandrakapala di bawahnya.
Peristiwa-peristiwa itu telah diatasnamakan pada Chandrakapala.
Kedua, kesamaan dan kesatuan pandangan untuk meredam
kemungkinan buruk yang terjadi terhadap saudara-saudara yang
terikat dalam Chandrakapala. Bagaimana pun tiga kegemparan
itu telah membakar dan mengguratkan luka yang teramat dalam
pada penguasa utama di Bhumi Mataram, bahkan telah menohok
penguasa puncaknya, Raka i Kayuwangi. Penguasa itu sangat
murka atas apa yang terjadi di lereng Gunung Ungaran. Apa yang
dimuliakan dan dijaga kesakralannya telah dibumihanguskan.
Para Tetua sepakat bahwa kemarahan para penguasa terhadap
sosok yang berada di balik kegemparan-kegemparan telah
menyudutkan dan sangat membahayakan keberadaan saudarasaudara dalam ikatan
Chandrakapala, di mana pun mereka
berada. Mereka bisa menjadi sasaran kemurkaan itu. Harus ada
upaya untuk menjaga dan melindungi kehidupan mereka.
Pada saat bersamaan juga harus secepat mungkin
mengungkapkan kekuatan di balik kegemparan itu. Dengan
pengungkapan ini, dapat dilakukan pendekatan kepada
penguasa-penguasa tersebut untuk mencegah dan membatasi
kekuatan yang telah mengatasnamakan Chandrakapala. Ini
sekaligus menjadi jalan utama untuk membersihkan dan
memutus hubungan atau keterkaitan apapun antara kegemparankegemparan itu dengan nama
Chandakapala. 352 Ketiga, keinginan dan kehendak yang sama untuk segera
menyatakan Chandrakapala tampil ke permukaan khalayak
sebagai suatu perkumpulan dengan ciri sebagaimana umumnya
perguruan. Bersamaan dengan itu, perlu ditetapkan dan
dinyatakan lewat suatu kesepakatan adanya seorang Ascarya.
Figur terdepan untuk mewakili Chandrakapala tampil kepada
khalayak. Penetapan Ascarya juga dibutuhkan untuk memimpin
menelusuri jejak kekuatan yang berada di balik pengatasnaman
Chandrakapala pada kegemparan-kegemparan di atas Bhumi
21 Mataram serta mencegah kemungkinan terjadinya situasi yang
dapat berkembang ke arah yang lebih buruk. Mencegah
kemungkinan terjadinya pertikaian di antara penguasa di Bhumi
Mataram. Pertikaian yang dapat memicu perang dan menyeret
khalayak dalam pusaran. Tiga pandangan itu menjadi pendapat bersama, dan beberapa di
antaranya cenderung telah menjadi suatu keputusan. Keputusan
yang dengan mudah menjadi hasil paripurna dari Gadhug
Samuha itu. Keputusan itu harus segera ditetapkan mendahului
langkah-langkah lain yang menyusul kemudian.
"Para tetua sekalian, seperti telah aku katakan sebelumnya,
bahwa akan ada sesuatu yang ingin aku mintakan pendapat dan
pertimbangan dari para tetua sekalian. Hal itu terkait dengan apa
yang telah kita bicarakan beberapa saat lalu. Apa yang ingin aku
mintakan pendapat dan pertimbangan itu menyangkut kehadiran
seorang Ascarya bagi Chandrakapala." Tetua yang hadir di sana,
tahu ke mana arah ucapan Pangeran Abhinaya, dan mereka
terlihat saling memandang. Memandang satu sama lain.
Sebagian bahkan telah berbisik, "jadi, Pangeran telah
menemukan seorang Ascarya". Suasana sedikit riuh oleh bisikan
353 dari sejumlah tempat. "Tentang orang itu, aku sendiri telah mengujinya dan selama tiga
purnama terus bersamanya. Kebersamaan yang aku rasa cukup
untuk memberikan suatu penilaian atas dirinya." Hati Arga
menjadi tidak menentu mendengar ucapan orang tua itu. Sebagai
tamu dari padepokan itu, ia bersama-sama dengan Ki Antargata
dan Puteri Rajni, di dampingi oleh Kanistha dan Labdajaya, telah
diizinkan untuk duduk di belakang Eyang Kawiswara dan dua
Senopati Sepuh yang berada di samping orang tua itu.
"Untuk mempersingkat semuanya...." Orang tua itu menengok ke
belakang dan melanjutkan kata-katanya, "mari Nakmas Arga,
duduk di samping ku". Orang tua itu mengeser tubuh, demikian
juga dengan Ki Gardagarjita yang di sampingnya. Di antara dua
Tetua itu kini tersedia sebuah sela yang cukup untuk ditempati
oleh satu orang untuk bergabung dengan tiga puluh Tetua pada
pertemuan itu. Ruang sela itu sesaat masih kosong, belum juga
terisi oleh orang yang diminta oleh Pangeran Abhinaya untuk
menempatinya. Tetapi itu hanya sesaat. Tidak bebeberapa lama, seorang muda,
masih sangat muda, duduk mengisi sela di antara Tetua
Abhinaya dan Tetua Gardagarjita. Kembali ruangan itu dipenuhi
oleh kejutan. Tetua-tetua yang ada di sana tidak menyangka
bahwa akan telah dipilih oleh Pangeran Abhinaya adalah seorang
yang masih sangat muda. Masih sangat muda untuk tampil
sebagai Chandrakapala Ascarya.
"Nakmas Arga, boleh Eyang pinjam sebentar apa yang melingkar
pada pinggang Nakmas". Orang tua itu pelan namun jelas
mengatakan suatu permintaan. Tampak anak muda itu sesaat
22 agak terkejut, mendengar suatu permintaan yang sama sekali
354 tidak pernah diduganya. Namun, sebentar kemudian anak muda
itu menggerakkan kedua tangannya dan melepaskan timang
perak yang melingkari pinggangnya. Lalu ia menyerahkan benda


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kepada Eyang Kawiswara. Orang tua itu pun sudah
mengambil dengan satu tangannya, sebuah benda yang berada
di balik bajunya. "Para tetua, tentu ada di antara tetua sekalian yang pernah
mendengar sesuatu di balik dua benda ini. Dua benda yang telah
menjadi ciri utama dari orang yang didaulat sebagai sang naga di
tanah Yawadw?pa. Sebuah timan dan gelang yang berukirkan
bentuk yang sama. Ukiran yang membentuk seekor naga yang
berdiri perkasa dengan cakar kirinya menggenggam sebuah
lingkaran menyerupai bola. Itulah sang Naga Semesta." Orang
tua itu diam sesaat, memberikan kesempatan bagi tetua lain
untuk memikirkan apa yang telah diucapkannya.
"Maaf Pangeran, perkenankan hamba memeriksa dua benda
yang baru saja diceritakan". Sebuah permintaan datang dari sisi
kanan Eyang Kawiswara. Satu tumbak jauhnya dari tempat orang
tua itu bersila. Permintaan itu berasal dari seorang tua, yang oleh
seluruh tetua di sana dikenal dengan nama Ki Drawana Rasmi
(Darinya Keindahan Telah Mengalir). Sesuai namanya, ia adalah
seorang kamisepuh (kepala kampung) dari sebuah
perkampungan yang dihuni oleh para pengrajin. Pengrajian perak
dan emas. Selain ahli sebagai pengrajin, Ki Drawana Rasmi juga
merupakan seorang pesilat tangguh yang pilih tanding. Secara
turun temurun, keluarga orang tua itu dikenal sebagai Salaka
Kriya Mardawa (ahli dalam membuat perhiasan perak) sekaligus
pesilat utama. Diserahkan oleh salah seorang murid padepokan, orang tua itu
355 menerima dua benda perak. Satu gelang dan satu lagi timang.
Dengan seksama ia mengamati dua benda itu. Yang dilihat
memang adalah ukiran naga dengan cakar kiri menggenggam
sebuah bola. Ukiran yang sangat sederhana. Akan tetapi, begitu
ia menelitinya ahli perak itu tampak terkejut. Pada ukiran itu tidak
nampak jejak sebuah goresan pahat pun di atas sosok naga dan
bola. Sebagaimana umumnya, pengrajin perak selalu
menggunakan pahat untuk membentuk ukiran di atas perak.
Hanya dengan bantuan dari pahat, orang tua itu selama hidupnya
telah mengalirkan keindahan di atas perak. Tanpa pahat mana
mungkin ia mampu melakukan sebuah ukiran di atas perak.
Ia pun kembali meneliti untuk memastikan apa yang dilihatnya.
Sebuah kesimpulan tanpa sadar keluar dari mulutnya. "Luar
biasa. Ukiran yang luar biasa." Semua orang kembali terperanjat
dengan apa yang telah diucapkan tetua itu. Ia pun meletakkan
dua benda itu di hadapannnya. Meletakan dengan hati-hati lalu
23 menyembang hormat pada kedua benda itu. Sontak tindakan Ki
Drawana Rasmi menambah gempar ruangan itu. Di mata orang
tua itu, yang hadir di depannya bukan sekedar dua buah benda
melainkan sosok leluhurnya, Eyang Buyutnya sendiri.
Ia pernah mendengar kisah keluarganya, bahwa salah satu
Eyang Buyut bersahabat dengan seseorang yang disebut-sebut
sang naga. Dengan bantuan tenaga dalam orang itu, Eyang
Buyutnya telah berhasil menciptakan hasil karya ukiran perak.
Ukiran perak yang dibentuk tanpa pahat. Ukiran itu dibentuk
dengan tenaga dalam. Dua benda dari karya Eyang Buyut itu kini
ada di depannya dalam bentuk timang dan gelang dengan ukiran
yang sama: seekor naga dengan cakar kiri mencengkram sebuah
bola. "Benar itu adalah Naga Semesta". Batin orang tua itu yang
356 telah cukup lama bersujud.
"Pangeran, hamba memastikan bahwa dua benda itu memang
benar-benar yang pernah tersandang sebagai milik Sang Naga.
Dua benda itu sendiri dapat hamba kenali sebagai buah tangan
Eyang Buyut yang dibantu oleh Sang Naga. Ukiran yang dibentuk
tidak dengan segores pun pahat di sana, tetapi dibentuk lewat
pengerahan tenaga dalam." Tetua yang melakoni hidup menurut
jalur pengrajin itu memberikan penjelasannya. Penjelasan yang
menghubungkan suatu pandangan bahwa siapa pun pemilik dua
benda saat itu tentu memiliki kaitan dengan Sang Naga. Naga
yang pernah menyatakan wujud di tlatah Yawadw?pa.
Tentang jejak Sang Naga itu, seluruh tetua di ruangan itu pernah
mendengar kisahnya. Kisah layaknya sebuah dongeng yang
pernah diceritakan di masa kecil mereka. Naga yang dikatakan
setiap geraknya memberikan pengayoman dan perlindungan bagi
khalayak. Tetapi, benarkah anak muda di samping Pangeran
Abhinaya dan Tetua Gardagarjita memiliki keterkaitan dengan
Sang Naga" Sebuah pertanyaan yang membutuhkan suatu
kepastian. Ki Drawana Rasmi telah beranjak dan bergerak beringsut dengan
kedua lututnya untuk menyerahkan dua benda itu kepada
Pangeran Abhinaya. Dengan sangat hormat, Ki Drawana Rasmi
memindahkan dua benda itu ke tangan Pangeran Sepuh itu.
Setelah itu, ia kembali ke tempatnya semula.
"Para Tetua sekalian, anak muda di sampingku ini dapat
kupastikan adalah pewaris Sang Naga. Aku memastikan tidak
dengan perkataan melainkan lewat suatu pertempuran.
Pertempuran yang juga disaksikan oleh Tetua Gardagarjita dan
Tetua Gardapati. Pada laga itu, aku merasakan, merasakan
357 sepenuhnya, kehadiran Sang Naga dalam setiap gerakan yang
dimainkannya. Laga itu telah menjadi suatu pembuktian bahwa
Sang Naga memang sungguh telah menjelma. Menjelma dalam
diri anak muda itu. Timang perak ini adalah miliknya. Timang
24 yang berukir sama dengan gelang perak ini. Keduanya
merupakan ciri dari Sang Naga di masa silam." Dua alasan
dikatakan Pangeran Abhinaya mengenai keterkaitan anak muda
itu dengan Sang Naga. "Tiga purnama anak muda itu telah tinggal di padepokan ini.
Selama waktu itu, aku telah menilai siapa dirinya, terlepas dari
latarbelakangnya yang memang hingga kini belum terungkap
jelas. Bahkan, belum terungkap jelas oleh dirinya sendiri."
Keadaan sebenarnya dari Arga diungkapkan oleh Eyang
Kawiswara. Anak muda tanpa jati diri. Jati diri yang seharus
menyertai siapa saja. Siapa saja di dunia. Termasuk dirinya.
"Terlepas dari latarbelakang itu, aku memastikan bahwa aku telah
mengenal dirinya. Nah, atas dasar tiga pertimbangan itu aku
mengusulkan untuk mendudukkan dirinya sebagai
Chandrakapala Ascarya. Figur Terdepan Chandrakapala. Untuk
itu, aku meminta pandangan dan pendapat para Tetua sekalian."
Pada akhirnya, rencana Pangeran Abhinaya dikemukakan.
Rencana mendudukkan Arga sebagai Figur Terdepan
Chandrakapala. Figur yang padanya harapan dan cita-cita
Chandrakapala disandarkan.
Ruangan itu seketika menjadi sunyi, selepas Pangeran Abhinaya
melepaskan gagasan. Gagasan yang merupakan sebuah
rencana dari Pengeran Sepuh bermuka putih itu. Para Tetua di
ruangan itu telah sangat percaya dan menaruh hormat dengan
sangat dalam kepada Pangeran Sepuh itu. Pangeran Sepuh yang
358 telah memberi mereka suatu gagasan dan pandangan hidup.
Akan tetapi, mendudukkan seorang anak muda sebagai
Chandrakapala Ascarya, apalagi anak muda dengan jati diri yang
samar, merupakan gagasan yang telah membingungkan mereka.
Tetap membingungkan mereka, sekalipun Pangeran Sepuh itu
telah mengatakan alasannya. Bahkan, tiga alasan. Selama ini,
mereka justru lebih berharap untuk menempatkan Pangeran
Abhinaya itu sendiri yang berdiri sebagai Chandrakapala Ascarya.
Berdiri di depan mereka. Kebingungan itu serta merta telah melahirkan kebisuan di antara
mereka. Kebisuan yang digelayuti sebuah pertanyaan besar:
Bagaimana ini" Di tengah kebisuan itu, Ki Gardapati mengutarakan persetujuan
dan kemudian disusul oleh Ki Gardagarjita yang juga menyatakan
sikap yang sama. Tiga Tetua utama telah menyatakan sikapnya.
Tidak lama setelah itu, Ki Drawana Rasmi menempuh sikap
serupa. Ki Drawana Rasmi yang telah mengukapkan kepastian
bahwa pemilik kedua benda itu berkaitan dengan Sang Naga.
Tokoh sangat istimewa yang pernah hidup di tlatah Yawadw?pa.
Di luar Eyang Kawiswara, tiga Tetua telah menyatakan sikapnya,
mendukung apa yang disodorkan oleh orang tua yang kembali
mengelung rambutnya ke atas, Pangeran Abhinaya. Rambut
digelung ke atas sebagaimana umumnya dilakukan oleh orangorang yang telah menjadi tua.
25 Atas dasar kepercayaan kepada Pangeran Abhinaya, ditambah
sikap dari tiga Tetua, cukup untuk membangkitkan para Tetua lain
untuk satu per satu Tetua menyatakan persetujuan. Persetujuan
terhadap rencana Pangeran Sepuh, penggagas dan pendiri
Chandrakapala. 359 Sejak para Tetua telah menyatakan persetujuan, maka dalam
waktu singkat Chandrakapala Gadhug Samuha berubah menjadi
Chandrakapala Ascarya Samuwa (Penetapan Figur Terdepan
Chandrakapala). Atas Chandrakapala Ascarya Samuwa, suara
bulat para Tetua telah dinyatakan memberikan persetujuan
menetapkan seorang anak muda menjadi Figur Terdepan
Chandrakapala. Demikian pada pertemuan itu telah berlangsung
Chandrakapala Ascarya Samuwa. Pemilihan dan penetapan
seorang Chandrakapala Ascarya.
"Nakmas Arga, para Tetua telah menyatakan sikap. Mereka telah
sepakat untuk mendudukkan Nakmas sebagai Chandrakapala
Ascarya. Kini, Eyang bersama-sama dengan para Tetua di ruang
ini ingin mengetahui bagaimana sikap Nakmas Arga". Orang tua
itu meminta jawaban dari anak muda itu. Jelas sekali
kebimbangan dan keraguan terbayang di wajah anak muda itu.
Kebimbangan dan keraguan yang menahan beberapa saat
jawaban dari anak muda itu.
Sesungguhnya anak muda itu telah melakukan pertimbangan.
Pertimbangan selama para Tetua mengemukakan pandangan
mengenai keadaan Bhumi Mataram. Bhumi Mataram yang tengah
terancam suatu pertikaian. Lebih-lebih, sejumlah saudara dalam
ikatan Chandrakapala telah berada dalam bahaya. Bahaya
sebagai kemurkaan dari penguasa yang dapat menjadi buta
karena pengatasnamaan kegemparan-kegemparan pada
Chandrakapala. Atas semua ini, Arga pun telah memutuskan
sikapnya. "Mohon petunjuk Eyang dan Tetua sekalian." Anak muda itu telah
menyembah di tempat ia berada. Sikap itu menjadi isyarat bahwa
anak muda itu bersedia duduk sebagai Chandrakapala Ascarya.
360 "Nakmas Arga, terima kasih atas kerelaan dan kesediaannya.
Sebagai simbol kedudukan Chandrakapala Ascarya bolehkah aku
meminta timang Nakmas. Biar dua benda ini, timang dan gelang
menjadi simbol seorang Chandrakapala Ascarya." Anak muda itu
sama sekali tidak keberatan. Kini padanya telah dikenakan dua
benda. Gelang perak melingkar di tangan kanan dan timang
perak melingkari pinggang. Dua benda dengan ukiran yang sama.
Naga perkasa dengan cakar kiri menggengam sebuah lingkaran
seperti bola. Bola simbol semesta. Naga perkasa itu Naga
Semesta. *** Belum satu purnama berlalu sejak penobatan sebagai Penguasa
26 Watugaluh, Pangeran Sikara telah menorehkan suatu
keberhasilan. Keberhasilan mengungkap siapa pelaku di balik
peristiwa di lereng Gunung Welirang. Peristiwa yang telah
menewaskan kakaknya, Pangeran Sarkara. Keberhasilan itu
tentu saja disambut gembira oleh seluruh warga Watugaluh.
Siapa pun ingin mengetahui apa yang terjadi di lereng Gunung
Welirang dan lebih-lebih siapa pelaku di balik peristiwa itu.
Pagi itu kerumuman khalayak telah berkumpul di alun-alun istana.
Mereka berkumpul dengan antusias menanti. Menanti ada Astana
Wara-wara (Pengumuman dari Kerajaan). Pengumuman
mengenai peristiwa yang telah mengakibatkan P?ngeran Pati
(Kematian Seorang Pangeran) di lereng Gunung Welirang.
Pengumuman itu akan disampaikan sendiri oleh penguasa baru
Watugaluh, yang tidak lain adalah adik dari pangeran yang telah
361 terbunuh di lereng gunung itu. Tak terhitung banyaknya khalayak
yang berkumpul menanti di sekitar alun-alun.
*** Saat itu terlihat penguasa baru itu telah berjalan. Berjalan dengan
segala kebesaran yang melekat padanya. Ia bergerak pelahan,
anggun, berwibawa dan agung menuju sebuah tratag (panggug)
yang telah tersedia untuknya menyampaikan Astana Wara-wara.
Di depan panggung itu telah tergelar barisan prajurit-prajurit
Watugaluh yang gagah perkasa. Mereka menyandang pedang di
pinggang dan tombak di tangan kanannya. Dua senjata yang
semakin menampakkan kegagahan barisan itu. Pangeran Sikara
pun telah berada di atas panggung. Dengan sikap berdiri
sempurna, ia akan menyampaikan pengumumannya.
"Mulia dan panjang usia Sri Wairiwarawiramardana... Makmur dan
sejahtera seluruh wanua Carangsoka.... wanua Watugaluh...."
Begitu ia membuka pengumumannya. Sorak sorai menyambut
kata-kata Pangeran itu. "Sebagaimana aku telah mengangkat
Mukti Brata (Sumpah Mulia), yang di dalamnya berisi suatu tekad
untuk mengungkap peristiwa di Gunung Welirang. Peristiwa yang
telah menjadikan Kakang Sarkara bersama dengan dua senopati
utama dan delapan puluh prajurit sebagai korbannya..."
Penguasa itu terdiam sesaat untuk menyatakan kesedihannya.
"Pekan lalu, telah datang menghadapku seorang prajurit. Ia
mengatakan telah melihat seperangkat carana (perhiasan) yang
mirip dengan carana yang biasa dikenakan oleh Kakang Sarkara.
Carana itu ada pada seorang pedagang perhiasan. Aku pun
meminta seorang senopati utama bersama dengan sejumlah
prajurit untuk membawa pedagang itu menghadap diriku.
362 Menghadap untuk meminta keterangan darinya. Ternyata, tidak
hanya carana melainkan juga keris dari Kakang Sarkara juga ada
padanya. Keris yang terselip di balik punggung Kakang pada saat
27 berburu." Kata Penguasa itu.
"Di hadapan dua patih dan beberapa pejabat istana, aku telah
bertanya kepada pedagang perhiasan itu tentang dari mana ia
dapat memperoleh carana dan keris itu. Pertanyaan yang telah
membuat pedagang itu ketakutan. Aku pun meyakinkan
kepadanya untuk tidak perlu takut dan kembali meyakinkan
bahwa adanya benda-benda itu pada dirinya tidak serta merta
mengkaitkannya dengan peristiwa di lereng Welirang. Ia hanya
seorang pedagang. Murni berdagang. Aku justru ingin
berterimakasih dan telah memberinya hadiah untuk pengganti


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas barang-barang Kakang. Barang-barang yang sangat
berharga di mataku." Khalayak menilai Pangeran itu memang
pantas menggantikan kakaknya. Tidak kalah dengan Penguasa
Watugaluh yang digantikannya. Dari sikapnya terhadap pedagang
pers (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
iasan itu, ia telah bersikap bijaksana tidak sembarang
menjatuhkan hukuman. Terhadap itu semua, khalayak serta
merta bersorak sorai. "Luar biasa. Kembali ia memainkan perannya dengan sangat
sempurna. Peran yang sepenuhnya akan segera menarik simpati
seluruh Watugaluh. Menarik simpati untuk mengarahkan
kekuatan kepada Tembelang." Seorang yang menampilkan diri
sebagai kuwad?an banija (pedagang pakaian) mengutarakan
kata-kata di dalam batin.
"Pada akhirnya, pedagang itu mengatakan bahwa carana dan
keris itu telah dibeli dari sebuah barak prajurit di kota Tembelang.
Sebelumnya, empat orang prajurit Tembelang datang kepada
363 pedagang itu dan mengatakan bahwa mereka menyimpan
sesuatu yang berharga. Sesuatu yang berharga untuk dijual.
Perhiasan hasil pampasan milik lawan. Pedagang itu semula
ragu. Namun, salah seorang prajurit Tembelang menunjukkan
sebuah carana dan itu telah meyakinkan pedagang itu. Maka
pedagang itu pun ikut dengan empat prajurit Tembelang itu. Pada
akhirnya, pedagang itu tahu bahwa tempat yang mereka tuju
adalah sebuah barak prajurit Tembelang. Di barak prajurit
Tembelang itu, tidak hanya carana yang didapati oleh pedagang
itu tetapi juga banyak benda-benda lain, di antaranya pedang dan
keris. Keris yang ternyata milik Kakang Sarkara."
Enam kali Pangeran Sikara menyebut kota Tembelang. Hal itu
sengaja dilakukannya. Dilakukan untuk menguratkan dalamdalam pada benak khalayak Watugaluh
bahwa carana dan keris kakaknya telah berada di tangan prajurit kota itu. Dengan
demikian, tidak perlu baginya untuk memberikan suatu
kesimpulan apapun. Khalayak tentu telah dapat menarik suatu
kesimpulan sendiri bahwa Tembelang berada di balik peristiwa di
lereng Gunung Welirang. Hal ini tampak jelas dengan gumaman
di seluruh alun-aluan yang menyebut-nyebut kembali dengan
ramainya nama kota itu. Tembelang.
"Saat ini ada pada kita seperangkat carana dan sebilah keris
yang menjadi P?ngeran Pati Titik Melik (Barang Bukti
Pembunuhan Pangeran). Yang menurut pengakuan pedagang
tadi telah dibeli dari sebuah barak di kota Tembelang. Dengan
bukti ini, kita akan membawa sejumlah prajurit untuk datang ke
Tembelang untuk meminta penjelasan, bahkan sebuah
pertanggungjawaban". Kata "pertanggungjawaban" kuat
ditekankan oleh Pangeran Sikara. Khalayak pun telah menjadi
364 ramai. "Ya... Pertanggungjawaban... Pertanggungjawaban dari
Tembelang. Pertanggungjawaban atas peristiwa di Gunung
1 Welirang". Ramai kata-kata itu dilontarkan khalayak. Entah siapa
yang memulai, dari antara khalayak itu telah berkumandang dan
serta merta diikuti oleh seluruh yang berada di sana termasuk
juga para prajurit, kata-kata yang segera membangunkan berdiri
bulu kuduk, "Hancurkan Tembelang .... Hancurkan...." Sebuah
perkataan yang menyimpan makna pembalasan.
Kembali seorang yang menampilkan diri sebagai kuwad?an
banija (pedagang pakaian) telah melemparkan seulas senyum.
Senyum kemenangan. Selangkah demi selangkah rencana yang
telah dirancangnya telah memperlihatkan hasil nyata. Rencana
yang didalangi bersama-sama gurunya. Rencana yang berujung
pada membangun kembali kebesaran wangsa Syailendra di
Bhumi Mataram. *** Dua pekan sebelum Pangeran Sikara mengadakan Astana Warawara yang berujung pada sebuah
pembalasan, orang tua bermuka pucat telah meminta Pangeran itu secara diam-diam
menemuinya. Menemuinya untuk mendengarkan dan
menjalankan sebuah rencana. Malam itu, Pangeran Sikara pun
menyelinap pergi dari istananya menuju tempat yang telah
ditentukan oleh orang tua pucat itu.
"Nakmas Sikara, apa yang telah terjadi di lereng Gunung
Welirang perlu segera ditutup rapat. Ditutup rapat dengan sebuah
pengalihan atas pelakunya. Pengalihan yang sempurna,
365 sekaligus memberi keuntungan sampingan bagi rencana kita. Aku
telah memikirkan bentuk pengalihan itu." Sambil berkata
demikian, orang tua itu pun mengambil satu buah kotak kayu dan
sebuah bungkusan kain. Di atas sebuah meja ia meletakkan
benda itu, lalu membukanya. Terlihat olehnya seperangkat
carana dan sebilah keris. Benda-benda itu pun telah dikenali
sebagai milik kakaknya. Melihat benda itu, benak Pangeran Sikara bekerja. Dari bendabenda yang kini berada di tangan
orang tua pucat itu, ia segera
dapat menarik kesimpulan, bahkan suatu penegasan, bahwa
tewasnya dua senopati utama dan delapan puluh prajurit di lereng
gunung itu merupakan perbuatan gurunya. Setelah membunuh
senopati beserta prajurit-prajuritnya, orang tua muka pucat itu
telah turun ke jurang untuk memastikan keberadaan Kakang
Sarkara dan melucuti benda-benda miliknya. "Ah, syukurlah
Sarkara telah mati di dasar jurang itu", katanya lega di dalam hati.
Kepastian ini telah menutup pertanyaan mengenai hidup atau
tewaskah kakaknya di dasar jurang itu. Pertanyaan yang
seharusnya diajukan kepada gurunya.
"Nakmas, lewat benda-benda ini aku telah membentuk sebuah
pengalihan. Benda-benda ini menjadi Titik Melik (Barang Bukti)
yang sangat kuat. P?ngeran Pati Titik Melik (Barang Bukti
Pembunuhan Pangeran) dengan mengalihkan kepada
Tembelang. Sekali lagi Nakmas, mengalihkan peristiwa di lereng
2 Gunung Welirang ke Tembelang. Dengan pengalihan itu, Nakmas
bisa menutup siapa sebenarnya yang berada di balik peristiwa
Gunung Welirang. Selain itu, dengan mengungkapkan peristiwa
Gunung Welirang dengan pengalihan yang menyakinkan,
Nakmas bisa menarik simpati seluruh Watugaluh. Simpati yang
366 sangat berguna bagi rencana kita. Lewat simpati itu, Nakmas
akan segera mendapat restu untuk segera menarik kekuatan
Watugaluh untuk mengarahkan kepada Tembelang." Setelah
mengatakan hal itu, orang tua bermuka pucat itu pun mengatakan
bentuk pengalihan yang telah dirancangnya. Pengalihan peristiwa
Gunung Welirang kepada Tembelang melalui P?ngeran Pati Titik
Melik berupa carana dan keris milik Pangeran Sarkara yang
didapati dari seorang pedagang perhiasan. Pedagang perhiasan
yang telah membeli carana dan keris milik Pangeran Sarkara dari
sebuah barak prajurit Tembelang.
Demikianlah atas dasar pengalihan yang dinyatakan orang tua
itu, Pangeran Sikara akan mengadakan Astana Wara-wara
(Pengumuman dari Kerajaan) untuk mengungkapkan peristiwa
yang telah mengakibatkan P?ngeran Pati (Kematian Seorang
Pangeran) di lereng Gunung Welirang. Hal itu dilakukan
Pangeran dua pekan setelah pertemuannya dengan orang tua
berwajah pucat itu. *** "Jadi guru dua hari lalu telah mengutarakan pengalihan itu
kepada adikku." Kata Seorang yang menampilkan diri sebagai
kuwad?an banija (pedagang pakaian) kepada orang tua bermuka
pucat. "Mohon izin guru agar aku dapat berada di tengah-tengah
khalayak pada saat adikku mengadakan Astana Wara-wara. Dari
sana aku akan mendorong agar khalayak tidak hanya sekedar
bersimpati, tetapi lebih dari itu tersulut dan terbakar oleh api
pembalasan. Api pembalasan kepada Tembelang. Api itu akan
367 semakin memudahkan mengiring kekuatan Watugaluh ke
Tembelang. Kekuatan yang digerakkan oleh api pembalasan."
Kuwad?an banija jauh menatap ke depan. Menatap penuh tekad
untuk menyulut api pembalasan. Menjadi jelas siapa yang telah
mengobarkan sebuah makna pembalasan pada Astana Warawara yang terjadi kemudian.
Sementara kuwad?an banija itu menyatakan rencananya, orang
tua bermuka pucat itu pun mengatakan kepada orang yang
layaknya sebagai pedagang, bahwa ia telah meminta beberapa
sahabatnya untuk semakin ketat membayang-bayangi
Tembelang. Bahkan ia pun telah meminta tiga dari sahabatnya
untuk mencegah bergabung orang-orang dari perguruan Wimala
Ancala (Bukit Suci), yang ia dengar telah bergerak untuk
membantu perguruan Merak Mas, dan tentunya Tembelang.
Membantu untuk mencegah kemungkinan terjadinya
3 keguncangan pada Tembelang sebagai mana telah terjadi di
tempat lain. Itulah salah satu keistimewaan Samaragrawira
mampu menarik ke sisinya kekuatan perguruan. Salah satunya,
perguruan Bukit Suci. *** Tetua peserta Chandrakapala Gadhug Samuha (Pertemuan
Tetua Chandrakapala) seluruhnya telah undur diri dari padepokan
Eyang Kawiswara. Dua pekan sudah pertemuan itu berakhir.
Malam itu tampak delapan orang sedang berkumpul di bilik Eyang
Kawiswara. Delapan orang itu adalah Eyang Kawiswara, Ki
Gardapati, Ki Gardagarjita, Labdajaya, Kanistha, Ki Antargata,
Puteri Rajni dan Arga. 368 Arga terlihat duduk di tengah-tengah. Di tangan kanan melingkar
sebuah gelang perak dan di pinggang melingkar timang perak.
Timang yang sebelumnya selalu tersembunyi. Sejak dinyatakan
bahwa kedua benda itu menjadi ciri dari Chandrakapala Ascarya,
Arga mengenakan benda itu secara terbuka. Malam ini, ia akan
menyampaikan keinginan untuk pergi ke Merak Mas. Pergi untuk
mengurai "sesuatu yang masih tertinggal". Sesuatu menyangkut
jati diri. Satu-satunya orang yang menurutnya mungkin
mengetahui jati diri adalah Paman Wira, Ketua Perguruan Merak
Mas. "Eyang, besok pagi Arga mohon izin untuk mengunjungi
perguruan Merak Mas. Bertemu dengan Paman Wira. Bersama
Arga, akan turut serta Paman Antargata dan Bibi Rajni." Ada yang
aneh pada pengutaraan maksud anak muda itu. Ia menyebut
Puteri Rajni secara terbuka dengan panggilan "Bibi". Akan tetapi,
orang-orang di ruangan itu sudah terbiasa atas sebutan itu.
Eyang Kawiswara pun tidak mempedulikan sebutan itu. Orang tua
itu lebih menaruh perhatian pada makna kunjungan anak muda
itu ke Perguruan Merak Mas. Makna lebih dari sekedar
kunjungan, tapi mengurai "sesuatu yang masih tertinggal". Tanpa
berkeberatan, orang tua itu pun melepas kepergian anak muda itu
bersama dengan dua orang yang telah disebut.
Dari yang hadir di sana, tampak sebuah wajah yang tertunduk
muram. Ia adalah Kanistha. Gadis itu secara sembunyi menariknarik dari belakang ujung baju Ki
Gardapati, isyarat memohon
orang tua itu mengatakan sesuatu. Setiap orang di sana maklum
bahwa Ki Gardapati telah memperlakukan Kanistha sebagai cucu
sendiri, bahkan cucu kesayangan. Senantiasa ia mengabulkan
apa yang diinginkan oleh gadis itu. Kali inipun demikian.
369 "Pangeran", kata Ki Gardapati, "gatal rasanya diriku karena telah
lama tidak menjelajahi rerumputan dan memanjat bukit serta
menuruni lembah. Apalagi menjalani itu bersama-sama dengan
sahabat lawas, Ki Antargata. Oleh karena itu, aku mohon
diizinkan sementara meninggalkan padepokan ini untuk
4 menemani Ki Antargata".
Pangeran Abhinaya mengerti betul tabiat Ki Gardapati, biarpun
usianya telah merambah jauh namun jiwa mudanya tetap tidak
sirna, tetap menyala-nyala. Dan, ia pun mengerti bahwa di balik
itu perkataan sahabatnya itu ada sesuatu maksud lain yang
tersembunyi. "Dan, jika Pangeran mengizinkan aku akan
mengajak serta Kanistha melihat-lihat dunia di luar sana". Nah,
itulah maksud yang tersembunyi itu.
Mendengar apa yang baru saja dikatakan, wajah Kanistha
berubah penuh harapan. Pangeran Abhinaya hanya tersenyum,
tidak mengatakan sesuatu. Melihat Eyangnya tersenyum, wajah
Kanistha merona penuh kegembiraan. "Seperti biasa, apabila
mengabulkan permintaan, Eyang selalu tersenyum seperti itu."
Batin Kanistha senang. "Aku sama sekali tidak berkeberatan. Hanya saja permintaan Ki
Gardapati tadi salah alamat. Harusnya itu tidak ditujukan
kepadaku, melainkan kepada Ki Antargata. Orang yang
kepergiannya hendak ditemani." Kata Eyang Kawiswara.
"Haa...haa... Tidak juga berubah selalu bersemangat. Siapa yang
akan menolak untuk ditemani oleh sahabat. Sahabat yang selalu
dipenuhi semangat macam Ki Gardapati." Perkataan Ki Antargata
itu menjelaskan bahwa akan ada lima orang akan meninggalkan
padepokan Chandrakapala pada esok hari.
370 *** Langit telah menjadi terang. Gerimis yang datang semenjak fajar
belum juga berhenti. Rintikan air tipis terus membasahi
padepokan itu. Guyuran air tidak menghalangi lima orang. Lima
yang berencana meninggalkan padepokan. Lima orang keluar
dari padepokan. Mereka mengenakan caping penutup kepala dan
mantel dari daun pati (rumbia). Mantel itu telah membungkus
badan. Menangkal gerimis membasahi pakaian. Seorang dari
mereka tampak menyandang sebatang pedang di punggungnya.
Ki Gardapati dan Ki Antargata berjalan di depan. Berdampingan
sebagai pemandu jalan ke tempat tujuan. Arga berjalan sendirian
di belakang dua orang itu. Puteri Rajni dan Kanistha mengiringi
paling belakang. Dua orang gadis yang telah menjadi bagian dari
lima orang yang akan menuju ke Perguruan Merak Mas. Di
Tembelang. Dua belas penderesan nira telah lewat. Gerimis pun sepenuhnya
reda. Lapisan awan telah terusir oleh sinar surya. Cakrawala
sepenuhnya terbuka terang. Lima orang itu sudah menanggalkan
dan meninggalkan caping dan mantel rumbai. Kini lima orang itu
berjalan di bawah pancaran sinar surya. Selepas enam
penderesan nira kemudian, mereka memutuskan untuk
beristirahat. Memulihkan tenaga dan mengisi perut dengan bekal
yang dibawa. "Paman, kira-kira kapan kita akan tiba di Perguruan Merak Mas",


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

5 tanya Puteri Rajni kepada Ki Antargata. Yang menjawab
pertanyaan itu, bukan Ki Antargata melainkan Ki Gardapati.
"Bibi Ayu....", kata orang tua itu berseloroh, "setidaknya satu
setengah hari penuh perjalanan apabila dilakukan secara tanpa
henti. Tapi buat melakukan itu. Lebih baik kita beristirahat pada
371 malam hari. Dengan demikian, paling-paling tiga empat hari kita
akan tiba di sana. Bukankah Bibi Ayu berdua lebih suka
melakukan perjalanan lebih lama, kalau bisa satu pekan atau satu
purnama bahkan satu tahun lagi tiba di tempat itu". Kedua orang
tua itu pun tertawa, sementara Arga diam dan melonggo. Ia
kembali menjadi sasaran olok-olok dua orang tua itu.
Selesai menyantap bekal dan beristirahat cukup, lima orang itu
pun melanjutkan perjalanan. Alih-alih melewati Hita Harsika Praja,
Ki Antargata dan Ki Gardapati memutuskan melintasi jalan di
antara perkampungan-perkampungan sederhana. Mereka
berjalan lambat, karena memang tidak ingin cepat-cepat tiba di
Perguruan Merak Mas. Dua gadis itu selalu ceria dan bergembira
selama perjalanan. Demikian dua orang tua itu. Hanya Arga yang
lebih banyak terdiam. Sering mati kutu, menjadi sasaran olok-olok
di antara mereka. Menjelang malam, lima orang itu sampai pada sebuah
perkampungan. Perkampungan yang sederhana. Seperti pada
umumnya sebuah perkampungan, pada saat malam menjelang,
para warganya telah menghentikan aktivitasnya. Mereka lebih
banyak berkumpul dengan keluarga masing-masing di dalam
rumah. Pada perkampungan itu, sekalipun sederhana, bayangbayang kekuasaan Merak Mas sudah
singgah di sana. Hal itu tampak pada keberadaan sebuah panji yang terpampang di salah
satu sudut persimpangan jalan yang telah dilewati oleh kelima
orang itu. "Luar biasa, perguruan itu jelas telah menjangkau
perkampungan ini sekalipun letaknya satu hari perjalanan penuh
tanpa henti", batin Ki Antargata.
Terlihat ada sebuah kedai makan sederhana yang kecil, bisa
dibilang hanya usaha rumahan dengan sajian ala kadar. Kedai
372 yang kelihatannya sepi dari pengunjungnya, seperti saat
rombongan Arga tiba di sana. Setelah menyapa empunya kedai,
rombongan itu memesan santapan yang tersedia. Bagi mereka
telah terhidang tempe bacem yang digoreng dengan minyak
klentik (kelapa), sayuran yang masak dengan direbus,
semangkuk sambal pecel dan sebakul nasi. Juga pada masingmasing orang disedikan gelas bambu
yang terisi dengan teh hangat. Hidangan yang amat sederhana, namun menggoda
selera apalagi selera mereka yang sedang berpergian yang
selama siang tadi tidak mengisi perut dengan nasi. Nasi yang
mengepul hangat. Pria yang paling muda menyambut hidangan
itu paling lahap. 6 Selepas menghabiskan hidangan tersebut, Puteri Rajni bertanya
kepada pemilik kedai mengenai tempat menginap. Orang itu
menjawab bahwa di kampung ini tidak tersedia tempat
penginapan, karena memang sangat jarang didatangi tetamu.
Apabila ada orang yang kebetulan lewat dan harus bermalam,
kata orang itu, paling-paling mendatangi kepala kampung dan
bermalam di sana. Setelah membereskan perlengkapan untuk menghidangkan
makanan, pemiliki kedai pergi ke belakang. "Pak, biarkan saja
mereka bermalam di kedai ini" kata seorang wanita, isteri dari
pemilik kedai itu. "Jangan, Bu. Aku melihat seorang dari mereka
menyandang pedang. Mereka bukan orang kebanyakan. Aku
khawatir kehadiran mereka akan mengundang sesuatu yang tidak
diinginkan." Kata pemilik kedai itu menolak isterinya.
"Agaknya, kita harus bermalam di tempat terbuka." Kata Ki
Gardapati. Masih di dalam perkampungan yang sama, lima
pendatang itu mencari lokasi yang dirasa tepat untuk melepas
373 lelah. Dipilih sebuah gubuk di pinggir huma. Gubuk yang biasa
dipakai untuk berjaga mengusir hama tikus (malam hari) atau
burung-burung (siang hari). Mengusir hewan-hewan itu di saat
bulir-bulir padi mulai menguning dan berisi. Gubuk itu kini kosong
tidak terpakai. Sawah di sekitar gubuk hanya tersisa pangkal
batang-batang padi. Batang-batang yang telah terpotong. Tanda
bahwa penan baru saja dilakukan.
Dua gadis dipersilahkan untuk beristirahat menempati balai kayu
yang ada pada gubuk itu, sedangkan Ki Antargata, Ki Gardapati
dan Arga telah memetik dedaunan di sekitarnya untuk dijadikan
alas duduk. Tiga laki-laki itu duduk tepat di depan gubuk itu. Tidak
ada hal lain yang bisa dilakukan, kecuali berbicang. Mereka pun
melakukannya hingga tengah malam. Selepas tengah malam,
perbicangan telah berhenti. Mereka memutuskan untuk
beristirahat. Pagi-pagi buta, lima orang itu memutuskan untuk pergi
melanjutkan perjalanan. Mereka pergi bersamaan dengan
keluarnya ayam-ayam peliharaan penduduk mencari makan. Ki
Gardapati mengusulkan untuk tidak melalui jalan yang umumnya
ditempuh oleh orang kebanyakan.Menurut orang tua itu, ada
sebuah jalan lain. Jalan membelah dua bukit kecil. Selepas dua
bukit itu lewat, jalan itu akan segera menuntun ke Perguruan
Merak Mas. Menjelang tengah hari, lima orang itu tiba di salah satu bukit yang
dimaksudkan oleh Ki Gardapati. Mereka terus berjalan melintasi
bukit itu. Jalan pada bukit itu berliku-liku seperti cabang-cabang
pohon ubi jalar. Dua belas penderesan nira kemudian, lima orang
itu telah keluar dari ujung jalan yang membelah bukit dan sampai
pada sebuah lembah yang ditanami aneka tumbuhan palawija.
374 7 Lembah itu terlihat subur karena mendapat pengairan dari
sebuah anak sungai, yang mengalir dari sumber mata air di atas
Cinta Sang Naga 1 Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Kutukan Brahmana Loka Arya 2

Cari Blog Ini