Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 7
bukit. Kejernihan air dari anak sungai itu, telah menarik dua gadis
itu untuk berhenti. Sekedar membasuh muka supaya menjadi
lebih segar. Menuju pada sisi landai anak sungai. Dua gadis itu telah turun ke
dasar yang dangkal dari anak sungai itu. Menjangkau aliran air
jernih dengan dua telapak tangan, mereka pun membasuh muka
dan leher. serta minum. Dingin air itu telah memberikan
kesegaran. Cukup lama dua gadis itu berada di dasar anak
sungai. Alih-alih turun ke sungai, tiga laki itu hanya duduk di tepi
anak sungai. Duduk di bawah pada sebatang pohon gayam
besar. Dari balik ilalang di sebelah barat, berjarak empat tumbak, satu
rombongan lain juga telah menghampiri anak sungai itu.
Rombongan itu terdiri dari dua belas orang. Rata-rata berusia di
atas empat puluh tahun. Hanya dua orang yang terlihat berbeda.
Satu orang laki-laki berusia lebih tua, dan satu gadis yang tidak
terpaut jauh dengan usia dua gadis yang sedang bermain-main
pada dasar anak sungai yang dangkal.
Di mata Arga, dua belas orang itu bukan orang biasa. Mereka
adalah orang pesilatan. Sepuluh laki-laki dalam rombongan itu
terlihat jelas menyemat sebilah keris. Dari belakang pinggang
masing-masing, tersembul kepala sebilah keris. Keris itu memiliki
ciri yang seragam. Orang tua yang bersama mereka, tidak terlihat
menyandang sebilah keris, namun di kedua lengannya melingkar
di kiri dan kanan sepuluh gelang logam. Gelang itu terbuat dari
batang-batang baja setebal ibu jari tangan. Gelang baja yang
tebal dan berat. Sementara satu-satunya gadis muda di antara
375 mereka menyandang sepasang pedang di punggungnya.
Penampilan yang tidak ditutupi untuk menyatakan diri sebagai
kaum pesilatan. Orang tua pada rombongan itu tampak memperhatikan lima
orang yang telah lebih dahulu berada tidak jauh di sisi timur
mereka. Ia sangat tertarik, khususnya tertarik oleh Kanistha yang
menyandang pedang pada punggungnya. Pedang yang sangat
bagus. Bukan sekedar pedang biasa. Pedang itu tidak terlalu
panjang. Hanya satu setengah hasta. Terlihat pada gagangnya
sebuah ukiran. Ukiran berbentuk seperti mahkota. Mahkota yang
biasa menghias kepala raja atau pangeran. Apalagi, melihat yang
menyandangnya adalah gadis "Gadis itu dari keluarga istana",
batin orang tua penyandang gelang-gelang baja.
Seperti juga orang tua itu, Ki Gardapati dan Ki Antargata pun
tidak sedikitpun melepaskan pengamatan pada rombongan itu.
Dua orang tua itu berkesimpulan sama. Rombongan itu berasal
dari sebuah perguruan. Begitu pun dengan Arga, telah melakukan
hal yang sama. Hanya perhatiannya lebih terarah untuk
memberikan perlindungan terhadap dua gadis yang kini telah
8 berada kembali bersamanya. Perlindungan atas kemungkinan
yang bisa terjadi. Agaknya, orang tua penyandang gelang tidak dapat menahan diri
untuk menyelidik rombongan yang sebelumnya berada pada anak
sungai itu. Didampingi oleh gadis dan empat laki-laki lain yang
bersamanya, orang tua itu datang menghampiri lima orang yang
kini semuanya berada di bawah pohon gayam besar itu. Kepada
lima orang di sana, ia pun bertanya, "Maaf Ki sanak, boleh kami
tahu ke mana Ki sanak akan pergi. Jika tujuan itu searah dengan
kami, kita dapat berjalan beriringan." Suatu tawaran telah
376 dikatakan oleh orang tua itu. Ki Antargata dan Ki Gardapati
menangkap tawaran itu sebagai niat baik.
"Kami dari Perguruan Bukit Suci. Kami dalam perjalanan menuju
Tembelang." Sambung orang tua itu mengungkap identitas dan
tujuan perjalanan rombongan yang dipimpinnya. "Ah, orang tua
itu pun bersama rombongannya hendak ke Tembelang. Tempat
di mana Perguruan Merak Mas berada", pikir Ki Gardapati. "Bukit
Suci. Perguruan itu jauh terletak di timur Yawadw?pa. Mengapa
mereka ingin ke Tembelang", Ki Antargata dalam benak mengurai
asal perguruan itu. Lima orang itu tetap terdiam. Belum juga menjawab pertanyaan
dan tawaran orang tua itu. Bahkan, masih terdiam setelah orang
tua itu mengungkapkan identitas dan tujuan perjalanan
rombongannya. Sesaat kemudia, orang tua itu pun kembali
berkata, "Tidak mengapa, bila Ki sanak tidak bersedia berjalan
bersama-sama. Apa yang aku utarakan hanya semata-mata
sebuah tawaran." Lewat kata-katanya itu, orang tua itu telah
memastikan lima orang yang berada di sana. Sebab, sesaat
bertanya tadi orang itu telah mengetarkan udara sekitar untuk
mendeteksi pancaran energi lima orang itu.
"Ah, tiga orang di antara mereka telah merespon tenaga yang
telah kugetarkan. Orang tua di depanku tampak memiliki tenaga
yang terkuat, dan dua gadis itu pun bukan gadis yang lemah.
Sedangkan dua orang lainnya, baik yang tua dan yang muda
sama sekali tidak memberi reaksi apapun terhadap getaran itu",
kata orang itu di dalam hati. Suatu kesimpulan yang tepat
adanya. Ki Gardapati memang sengaja merespon getaran itu,
yang dirasakan telah dilontarkan oleh orang itu saat bertanya.
Sementara, Puteri Rajni dan Kanistha sama sekali tidak
377 mengetahui adanya getaran itu. Dua gadis itu memang belum
melalui tataran untuk mengetahui getaran itu. Lagi pula, mereka
juga belum mampu meredupkan apa yang dimilikinya.
Meredupkan hingga sirna, tidak terlacak. Lain halnya dengan Ki
Antargata, yang selalu meniadakan milikinya, saat berjumpa
dengan orang yang tidak dikenalnya. Dengan kemampuan yang
telah dirambahnya, Arga pun melakukan apa yang telah
9 dilakukan oleh Ki Antargata. Sehingga, orang itu tidak
menemukan kekuatan yang tersimpan pada diri Arga.
"Ki sanak, kami juga akan ke Tembelang mengantar anak muda
itu untuk mengunjungi keluarganya. Bila Ki sanak tidak
berkeberatan, kami justru ingin berjalan bersama-sama ke kota
itu," kata Ki Gardapati menyatakan tujuan dan keinginannya yang
serupa dengan tawaran orang tua itu. Belum juga orang tua itu
membalas perkataan Ki Gardapati, tiba-tiba terdengar suara dari
rimbunan ilalang. Suara yang telah dilambari dengan tenaga.
"Wah...wah... Aku ingin melihat sejauh mana kekuatan sayapsayap burung manyar kecil ini
sanggup terbang hingga ke
Tembelang". Suara itu muncul menebarkan ancaman. Ancaman
bagi yang ingin ke Tembelang. Yang memperdengarkan suara itu
muncul sesaat kemudian. Suara itu telah mengundang dua
kelompok menyatu. Di hadapan tujuh belas orang itu telah berdiri tiga orang yang
sudah sangat tua. Dua orang kakek dan seorang nenek. Tiga
orang itu kehadirannya sungguh telah mengejutkan. Ki Antargata,
Ki Gardapati dan orang tua yang berbicara dengannya sungguh
telah mengenali tiga orang tua yang baru menampakkan diri itu.
Tiga Wilmuka (dedengkot) menakutkan dari masa silam. Lebih
dari tiga dasawarsa, tokoh-tokoh itu tidak pernah terdengar keluar
378 dari susuh (sarang). Tokoh-tokoh yang di masa lalu telah
membuat banyak kegemparan di wilayah masing-masing. "Entah
siapa, untuk apa dan dengan cara bagaimana tiga orang itu bisa
sampai ke tempat ini." Yang telah mereka saksikan kini adalah
sebuah Anis Wilmuka Kawuryan. Kemunculan Dedengkot Rimba
Pesilatan Yang Telah Menghilang.
*** "Bagaimana Nyai, engkau akan ikut bermain-main bersamaku"
Bermain-main dengan kawanan anak Manyar yang hendak
menyamakan mereka yang akan pergi ke Tembelang sebagai
kawanan anak Manyar. Ki Antargata membisikan sesuatu kepada Arga, "orang tua yang
bicara itu adalah Utpala Waliwis (Blibis Teratai Biru) dari pantai
selatan, sementara kakek lainnya disebut Duhkata Gandra
(Wajah Pembawa Kesedihan atau Muka Iblis) dari pesisir utara
dan nenek itu adalah Taragnyana Iswara (Ratu Tenung) ditakuti
di wilayah barat tlatah Yawadw?pa. Mereka merupakan tiga
Wilmuka (harafiah: pimpinan para raksasa) yang sangat
menakutkan pada lima puluh tahun silam. Anis Wilmuka.
Dedengkot yang lama menghilang".
Yang tidak mengerti oleh Ki Antargata adalah bagaimana tiga
tokoh itu bisa ditarik keluar dan menghadang mereka. "Siapa pun
yang telah melakukannya, ia adalah orang yang sangat luar
"Aku akan bermain-main dengan ketiga orang dari mereka yang
tertua, termasuk salah seorang dari Wimala Ancala (Bukit Suci)",
ujar Utpala Waliwis. "Biarlah si tua Duhkata Gandra berpangku
10 379 tangan, aku akan bermain dengan seluruh sisanya dan
menjadikan mereka sebagai anak burung yang sebenarnya...
hi...hi...hi..." Nenek itu membalas perkataan Utpala Waliwis
dengan akhir sebuah tawa yang pendek. Tawa pendek itu bukan
sekedar tawa karena nenek itu telah menyisipkan dan
melontarkan kekuatannya: kekuatan tenung.
"Dasar nenek tua, engkau telah mengambil bagianmu lebih
dahulu", kata Waliwis Utpal untuk kemudian berkelebat ke arah
tiga orang yang telah dimaksudkannya. Dengan demikian, di sisi
anak sungai itu telah terbentuk dua arena laga. Satu laga antara
Utpala Waliwis dengan Ki Antargata, Ki Gardapati dan orang tua
dari Bukit Suci, dan satu lagi antara nenek Taragnyana yang telah
melepaskan kekuatan tenung pada empat belas orang, termasuk
Arga di dalamnya. Yang kedua itu, sesungguhnya bukan arena
laga, tetapi arena permainan dari Nyai Taragnyana.
Terlihat pada arena itu, tiga belas orang termasuk Kanistha dan
Puteri Rajni, telah tertekan oleh kekuatan tenung yang tak terlihat.
Tiga belas orang itu telah ditetapkan sebagai sasaran oleh nenek
tua. Mereka tiba-tiba dilingkungi oleh kekuatan serangan tenung.
Tenung yang telah dilepaskan oleh seorang dedengkot masa
silam. Taragnyana Iswara atau Nyai Taragnyana.
Sebelas orang dari Bukit Suci terlihat berperilaku aneh. Orangorang itu, termasuk seorang wanita
muda, telah berpolah seperti
seperti anak burung. Mereka mengepak-kepakan kedua
tangannya, mengerak-gerakan kepala ke kiri dan ke kanan serta
menciap-ciap. Kesadaran orang-orang itu telah sirna. Dikuasai
oleh kekuatan tenung. Kekuatan tenung dari Nyai Taragnyana.
Lewat kekuatan itu, nenek tua itu pernah merajalela menguasai
dan melenyapkan ratusan pesilat tangguh di Yawadw?pa bagian
380 barat. Dua gadis yang bersama Arga juga terlihat melakukan hal yang
sama. Melihat gelagat itu, Arga berpaling kepada Puteri Rajni dan
Kanistha. "Maaf Bibi...". Ia pun meraih lengan dari dua gadis itu.
Serta merta tindakan kedua gadis itu terhenti. Berhenti seiring
dengan merasuknya aliran tenaga yang disalurkan oleh anak
muda itu melalui lengan gadis-gadis itu.
Pemuda itu telah menyalurkan tenaga Panchajanya sekaligus
merapal Jagattraya Naga Japa (Mantra Naga Semesta), untuk
mengusir pengaruh tenung Nyai Taragnyana yang telah merasuki
kedua gadis itu. Dengan kekuatan yang ada padanya, pengaruh
tenung itu tidak berarti baginya. "Bibi Kanistha, cepat kerahkan
Samudra Carmi (Samudra Cermin). Dan, bibi Rajni kerahkan
Pawitra Soma (Rembulan Suci)", pinta Arga kepada kedua gadis
itu untuk mengerahkan kekuatan pelindung mereka mengusir
kuasa tenung itu. Arga berketetapan untuk memutus kekuatan tenung yang telah
11 dilontarkan dengan menyerang langsung sumbernya.
Melepaskan kedua genggamannya, ia melesat dengan Naga
Meluncur dan memukul serta mencakar lewat teknik gerakangerakan Parusa Jagattraya Naga
(Naga Semesta Tajam dan Menusuk). Sontak nenek itu menjadi terperanjat. "Anak muda itu
tidak terpengaruh tenung itu. Bagaimana hal itu bisa terjadi?" pikir
Nyai Taragnyana heran. "Ha...ha...ha...ha.... Nenek tua, permainan anak kecilmu itu
sungguh tidak berguna. Bahkan, bagi anak muda itu saja
permainanmu tidak menunjukkan apa-apa." Menggelegar suara
Duhkata Gandra menertawakan Nenek Taragnyana.
Yang ditertawakan tentu saja menjadi sangat marah, dan
381 sebenarnya ingin melabrak orang tua yang tidak jauh dari
sampingnya. Namun, itu semua hanya sebuah keinginan. Nenek
itu harus segera melupakannya. Sebab, telah muncul baginya
sebuah serangan. Serangan yang harus dihindarinya agar tidak
menjadi korban dari serangan itu. Serangan anak muda itu
memang berhasil diloloskannya, namun sayatan yang tajam dan
menusuk dari tenaga anak muda itu sungguh dirasakannya.
Sambil mencelat menghindar, nenek itu mengambil sesuatu di
balik bajunya, lalu menebarkannya sambil melontarkan kata-kata
mantra yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, seraya membentak:
"Lihat anak muda, tujuh gajah besar menyerang menerjang dan
menghancurkan dirimu".
Apa yang ditebarkan oleh nenek itu sesunggungnya adalah
kelopak-kelopak kering bunga kantil (cempaka putih). Sontak
muncul tujuh ekor gajah dengan ukuran dua kali kerbau dewasa,
ganas menerjang anak muda itu. Arga tidak menjadi gentar,
karena ia tahu itu hanya permainan pikiran, yang hanya sebuah
bentuk makhluk maya (semu). Ia pun bergerak cepat memukul,
dengan lambaran Jagattraya Naga Japa, tujuh makhluk semu dan
setelah itu kembali ke rupa semula. Helaian kelopak kering bunga
kantil. Kelopak bunga kering itu helai demi helai melayang-layang
jatuh ringan ke tanah. "Edan... Siapa kau sebenarnya anak muda?" Kata nenek itu
dengan keterkejutan luar biasa. Tidak hanya nenek Taragnyana
yang telah menjadi terkejut. Kedua kakek itu, terkejut. Duhkata
Gandra terkejut dengan apa yang dilihatnya sendiri, sementara
Utpala Waliwis terkejut oleh suara Nenek Taragnyana. Ia pun
segera menarik diri dari pertempurannya dengan Ki Antargata, Ki
Gardapati dan orang tua dari Bukit Suci. Utpala Waliwis telah
382 melesat pergi bersanding di dekat Duhkata Gandra.
Keterkejutan nenek Taragnyana serta merta telah membuyarkan
dan mengoyakkan pengaruh tenung pada sebelas orang dari
Bukit Suci. Mereka sepenuhnya telah sadar diri. Mereka segera
membentuk perlindungan diri. Mengerahkan tenaga murni pada
12 tataran paling tinggi yang telah dimiliki. Dengan kondisi itu, tidak
mudah tenung nenek itu menguasai kesadaran mereka seperti
terjadi sebelumnya. Tidak mudah serangan tenung membokong
menguasai orang-orang itu.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat tiga Wilmuka itu berdiam diri. Mereka agaknya
sedang menghitung kekuatan lawan yang dihadapi, khususnya
kekuatan anak muda itu. Anak muda yang telah memunahkan
tenung Nenek Taragnyana. "Gila, aku sendiri belum tentu
semudah itu mengusir tenung nenek peot itu," batin Duhkata
Gandra. Ia telah menyaksikan bagaimana anak muda itu
melenyapkan tujuh gajah yang dibentuk oleh kekuatan si nenek.
"Untuk melumpuhkan dan menguasai mereka, harus
menjatuhkan anak muda itu terlebih dahulu." Ia mengambil
kesimpulan. *** Kini, di tepi anak sungai itu berdiri dua kelompok saling
berhadapan. Membelakangi anak sungai itu, Tujuh belas orang
telah bersiaga. Bersiaga dengan tenaga murni yang dimilikinya.
Menghadap mereka, tiga orang yang disebut Anis Wilmuka.
Kebisuan telah berlangsung atas dua kelompok itu. Memecahkan
kebisuan di sana, Duhkata Gandra kemudian mengatakan apa
yang sebentar lagi akan terjadi.
383 "Nenek tua. Engkau tidak lagi seperkasa dahulu. Kini terhadap
anak muda itu, agaknya aku harus turun membantu. Membantu
agar kita tidak kehilangan banyak tenaga dan waktu. Tenaga dan
waktu yang sangat berharga." Mata nenek tua itu melotot. Ia tidak
senang mendengar apa yang dikatakan Muka Iblis. Akan tetapi, ia
setuju dengan perkataan Duhkata Gandra. Tidak perlu
membuang-buang banyak tenaga dan waktu.
"Muka Iblis. Siapa sudi dibantu. Pilih lawan bagi dirimu." Nenek
tua itu menyatakan ketidaksukaan. Tidak suka karena laganya
dicampuri oleh Kakek Muka Iblis.
"Dasar nenek pilon. Bukankah aku telah memilih lawan. Lawan
yang sama dengan dirimu". Suatu argumen yang sangat tepat.
Duhkata Gandra memang telah memilih lawan. Lawan yang akan
dihadapinya bersama dengan nenek itu.
"Sudah. Aku tidak ingin banyak bicara dengan mulut pedasmu".
Nenek tua itu telah bersiap-siap memasuki laga. Laga yang
sejenak tertunda. Terlihat dua tangan nenek tua itu telah
memerah. Merah seperti warna darah. Itulah rapalan jurus Ludira
Danastri Karatala (Tapak Bidadari Darah). Satu bentuk kekuatan
masa silam. "Bagus...Bagus....Nenek tua. Rupanya, engkau ingin cepat-cepat
memberikan akhir lewat Tapak Bidadari Darah. Agar sungguhsungguh cepat, bahkan sangat cepat,
aku pun akan membantumu." Muka Iblis seketika memperlihatkan kekuatannya.
Wajahnya benar-benar berubah seperti iblis. Dua kepalan tangan
terlihat biru bersinar. Drubiksa Wulat Tebah (Pukulan Muka Iblis).
13 Percakapan dua Wilmuka itu telah membuat kelompok yang
membelakangi anak sungai menjadi berdebar-debar. "Hati-hati
Nakmas". Kata Ki Antargata, entah bagaimana pada kata-kata itu
384 ia telah menyebut Arga dengan panggilan "Nakmas". Panggilan
yang belum pernah diucapkan untuk anak muda itu. Sedari tadi
Arga telah mempersiapkan diri. Ia tidak melapisi diri dengan
Jubah Perang Naga atau Samana Yatna. Ia ingin mencoba
sesuatu yang baru. "Paman Antargata dan Paman Gardapati, mereka telah
memilihku sebagai lawan. Mohon bawa menyingkir yang lainnya,
dan awasi kakek tua lain yang masih berdiri di sana." Arga
meminta kepada dua orang tua itu. Penuh kecemasan dan
keraguan, dua orang tua itu pun mengarahkan orang-orang di
sana menyingkir. Yang tidak habis mengerti adalah orang tua dari
Bukit Suci. "Rupanya, anak muda itu telah menyembunyikan
kekuatannya dariku". Ia pun beringsut ke pinggir dan akan
melakukan apa yang diminta anak muda itu.
"Anak muda, siapa na......" Belum tuntas kalimat itu, bayang
merah telah berkelebat cepat dari sampingnya. Bayangan itu
bergerak ke arah anak muda yang hendak ditanya namanya.
"Dasar nenek tua". Batin Muka Iblis. Ia pun mengikuti bayangan
merah itu. Nenek Taragnyana telah sampai pada sasarannya. Ia telah
menyerang dengan telengas. Mata, pangkal tenggorokan, ubunubun dan ulu hati. Serangan lewat
tebasan, tusukan, tamparan
dan dorongan keras. Semua mengarah pada bagian tubuh yang
sangat berbahaya. Tapak Bidadari Darah yang telengas dan
kejam. Jurus yang langsung dapat membinasakan sasaran yang
terkena. Andalan seorang Wilmuka dari barat Yawadw?pa.
Naga Meluncur cepat bekerja. Dengan teknik itu, Arga
menghindar cepat. Menghindar dengan melengos ke samping
menjauhi orang-orang yang bersamanya. Dengan gerakan itu, ia
385 melepaskan diri. Tapi, itu hanya sesaat. Anak muda itu kembali
mendapat serangan. Serangan dari dua arah. Serangan yang
jauh lebih rapat dan dahsyat. Dua jurus masa silam telah
mengurung dirinya. Tapak Bidadari Darah dan Pukulan Muka
Iblis. Menjaga kemungkinan buruk terjadi atas dirinya, Arga pun telah
mengerahkan apa yang baru disadapnya. Selapis Tubuhnya telah
berkilauan putih cermerlang. Sangat putih. Serangan dua
Wilmuka terus rapat menekan dan mengepung dirinya. Ke mana
pun bergerak. Tapak Bidadari Darah dan Pukulan Muka Iblis dari
dua Wilmuka itu terus mengejar semakin lama semakin rapat.
Arga tidak lagi menghindar melainkan juga menyerang. Atau
memapas serangan dua Wilmuka itu dengan serangan.
Dua penderesan nira pertarungan telah berlangsung. Sekalipun
14 telah membalas serangan dua Wilmuka itu, Arga tetap terkukung.
Tidak hanya oleh Tapak Bidadari Darah dan Pukulan Muka Iblis,
melainkan juga oleh hawa yang terkandung pada dua jurus itu.
Dua hawa yang sama. Menyengat panas. "Hawa itu seharusnya
sudah membakarnya." Batin Muka Iblis.
Memang, Arga tidak terpengaruh oleh sengatan-sengatan panas
dari dua Wilmuka itu. Dari dalam dirinya, tiada henti memancar
gelombang angin yang keras mengusir dan menghalau sengatan
hawa panas itu. Gelombang angin itu meluncur deras dan
mengenyahkan sirna serangan sengatan hawa panas. Hawa
panas yang mengiringi Tapak Bidadari Darah dan Pukulan Muka
Iblis. Sejauh ini, anak muda itu telah mampu memunahkan dua
jurus itu dan membuyarkan sengatan hawa panas membakar
yang menyertainya. 386 *** Tiga pertarungan terdahulu, utamanya laga dengan Pangeran
Abhinaya, merupakan kesempatan yang berharga bagi anak
muda itu. Lewat pertarungan itu, Arga mengurai segala
kemungkinan terhadap jurus-jurusnya. Mengurai menurut bentuk
dan isi. Bentuk itu menyangkut unsur gerakan. Unsur yang
terlihat. Isi menukik pada lambaran tenaga dalam. Unsur yang
tidak terlihat. Anak muda itu terus memetakan dan mengenali
kaitan antara bentuk dengan isi dari jurus-jurusnya.
Mengurai bentuk ada isi adalah cara yang telah biasa dilakukan
anak muda itu. Cara ia mendalami jurus-jurus Naga Semesta di
dalam gua. Cara itu telah melekat menjadi kebiasaan darinya.
Bahkan, pada saat ia melihat orang lain menggerakkan jurusnya.
Menurut cara itu, ia mengurai setiap gerakan yang diperagakan di
hadapannya. Cara itu telah membawanya kepada pemahaman
yang seutuhnya terhadap jurus-jurus Naga Semesta. Tidak hanya
Naga Semesta, tetapi juga jurus-jurus lain yang diketahuinya.
Di bawah arahan Eyang Kawiswara, sekalipun hanya tiga
purnama, Arga menyadap Samudra Carmi dan Samudra
Manthana. Dua ilmu dari Eyang Kawiswara. Adalah suatu
keberuntungan bagi Arga, sebelumnya lewat pertarungan dengan
orang tua itu, ia telah menerima sebagian besar tenaga orang tua
itu. Tenaga itu merupakan hasil endapan dari Samudra Carmi
yang telah dilatih oleh orang tua itu. Dengan keberadaan tenaga
itu di dalam dirinya, telah memudahkan Eyang Kawiswara
mengarahkan dan membimbing anak muda itu untuk menguasai
seutuhnya Samudra Carmi dan Samudra Manthana.
Tidak hanya itu, selama tiga purnama itu pula, Arga telah
387 mengurai menurut bentuk dan isi sebuah jurus dari perguruan
Merak Mas, yakni: Mangwa Jrabang Swarna Manyura (Merak
Mas Merah Membara). Jurus itu diperolehnya lewat catatan yang
15 diberikan Paman Wira semasa ia menetap di perguruan itu.
Dari pengenalan atas jurus itu, Arga melepaskan setiap bentuk.
Setiap unsur gerak dari jurus itu. Melepaskan setiap bentuk itu
dari konteksnya semula. Kemudian, anak muda itu meletakkan
konteks baru pada setiap bentuk itu. Konteks baru yang
sederhana, fleksibel dan cepat. Dalam konteks baru itu, ia bisa
memainkan Merak Mas Merah Membara selaras dengan jurusjurus Naga Semesta.
Hal yang sama juga dilakukan terkait dengan isi. Ia memberi
konteks baru tentang bagaimana mengerahkan tenaga dalam
untuk melambari jurus itu. Pengerahan tenaga yang disesuaikan
dengan apa yang ada pada dirinya. Dengan itu, anak muda itu
bisa mengalaskan jurus itu dengan lambaran tenaga
Panchajanya atau Samudra Carmi. Dua teknik tenaga dalam
yang telah menjadi miliknya.
Di depan Eyang Kawiswara, ia telah menunjukkan jurus Merak
Mas Merah Membara dalam wujud konteks yang baru. Ia
mengerahkan jurus itu dengan lambaran Samudra Carmi. Atas
dasar itu, Eyang Kawiswara memberikan sebuah nama bagi jurus
itu, Samudra Raya Swarna Manyura (Merak Mas Samudera
Raya). Demikian, anak muda itu selama tiga purnama mematang diri
berikut yang tersimpan di dalamnya. Jalan pematangan diri itu
ditempuh dengan menarik dan mengurai apa yang dialaminya
dalam laga. Dari laga yang telah dilalui, ia menemukan masingmasing sebuah aura tersendiri. Aura
berupa Daya Blabar (medan
388 energi) yang terus menarik keluar apa yang tersimpan di
dalamnya. Laga telah dimaknai dengan proses pematangan
ilmunya. Lalu, hal itu semakin mendalam dan kokoh di bawah
bimbingan dan arahan Eyang Kawiswara. Tokoh sepuh murid
utama Sang Reshi Agung Mahendradewanta.
*** Penasaran orang tua itu pun terus meningkatkan sengatan itu. Ia
telah mengerahkan W?dang Drubiksa Bajra (Halilintar Iblis yang
Membakar). Jurus ini berpengaruh panas pada sekitarnya. Panas
yang mengelupaskan kulit. Bahkan, kulit pohon jati tua sekalipun.
Di saat yang sama Nenek Taragnyana pun telah merambah
Ludira Danastri Bahni (Tapak Bidadari Api). Dengan tapak itu,
nenek tua itu telah membakar hangus puluhan lawan yang
pernah dihadapinya. Kini, dua jurus dari Wilmuka itu tidak memberi sengatan. Tapi,
lontaran. Lontaran panas membakar. Sedari tadi, dua Wilmuka itu
telah bertempur bersama. Mereka bertempur dengan amat serasi.
Saling mengisi. Tidak memberi ruang bagi lawannya.
Sesungguhnya, di masa mudanya mereka berdiri sebagai
pasangan. Entah, sebab apa, dua Wilmuka itu telah menempuh
jalannya masing-masing. Satu di barat, dan satu lagi di utara.
Sekalipun telah menempuh jalan masing-masing, saat bertempur
bersama dua Wilmuka itu tampil sangat serasi. Serasi layaknya
16 sepasang kekasih. Sejumlah lontaran dua Wilmuka itu terlihat telak mengena anak
muda itu. Ia tampak bergetar dan beberapa kali memejamkan
mata. Tampak menahan sesuatu. Akan tetapi, itu hanya sesaat.
389 Sebab, anak muda itu kembali seperti semula. Agaknya, sama
dengan sengatan-sengatan sebelumnya, lontaran-lontaran hawa
panas itu tetap tidak berpengaruh atas diri anak muda itu.
Lontaran hawa panas itu hanya mengetarkan anak muda itu.
"Degr?s! (gila), siapakah anak muda itu", di pinggir lapangan
Utpala Waliwis telah berteriak.
Teriakan itu dimaknai oleh anak muda itu sebagai peringatan atas
dirinya sendiri. Ia pun memutuskan untuk menegaskan diri
seutuhnya. Menegaskan diri untuk pertama kali. Chandrakapala
Ascarya. Figur terdepan Chandrakapala. Tubuhnya yang tadi
hanya mengeposkan gelombang angin keras, kini beralih menjadi
memutih. Putih seperti sebuah arca kristal. Anak muda itu telah
mengerahkan Samudra Carmi dan Samudra Manthana. Dua
lambaran utama Eyang Kawiswara.
"Abhinaya...." Tiga tokoh masa silam itu hampir serentak
menyebut nama seseorang. Bukan nama jurus yang dimainkan
anak muda itu. Dua Wilmuka yang masih bergerak mengurung
anak muda itu pun menghentikan serangannya dan meloncat
surut. Meloncat surut tidak jauh di depan Utpala Waliwis berada.
"Apa hubunganmu dengan orang yang bernama Abhinaya?"
Bentak Nenek Taragnyana. Anak muda itu diam di tempatnya. Ia
tidak menjawab dan juga tidak mengejar menyerang.
"Bagus...Bagus....Bagus. Suatu kekuatan yang luar biasa.
Gurumu, Abhinaya telah makbul menurunkan miliknya
kepadamu." Muka Iblis kembali menyebut nama itu, sambil
menimbang sesuatu. "Agaknya, saat ini aku tidak perlu membuang-buang waktu
bermain dengan kalian, kawanan burung manyar... Aku ingin
menghentikan permainan sampai di sini dulu. Masih ada banyak
390 waktu. Biarlah saat ini kami melepaskan kalian pergi. Toh, sangat
mudah bagi kami untuk mencari dan menemukan kalian."
Kecermatan pengamatan Kakek berwajah iblis itu memang luar
biasa. Menurutnya, tidak mudah bagi dia dan dua rekannya
menundukkan orang-orang itu. Khususnya, anak muda murid
Abhinaya. Kalau mereka maju bertiga menghadapi anak muda
itu, maka seluruh orang dalam kelompok itu akan maju bersama.
Mereka bukan orang yang lemah, khusus tiga orang yang tertua
di antara mereka. Pun, jika dapat diatasi, tidak mungkin itu
dilakukan dalam waktu singkat. Dibutuhkan banyak waktu dan
tenaga untuk menundukkan mereka.
Lagi pula, ia telah mengetahui siapa anak muda itu. Anak muda
17 itu telah mengantarnya pada keterangan penting: Abhinaya telah
menampakkan wujudnya. Keterangan yang pasti diterima
gembira oleh Kakangmas Pangeran. Maka ia pun berkata,
"baiklah, aku pergi dahulu, silahkan siapa yang akan menyusulku
kemudian." Kata Duhkata Gandra sambil berkelebat pergi. Kini
tertinggal Nyai Taragnyana dan Utpala Waliwis.
Wilmuka yang disebut terakhir menimbang bahwa kepergian
Duhkata Gandra telah menyusutkan kekuatan Wilmuka. Ia sendiri
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepenuhnya tidak akan dapat mendesak apalagi menguasai
dalam waktu singkat tiga orang yang tadi menjadi lawannya.
Apalagi ada anak muda yang terkait dengan Abhinaya. Jadi,
bilamana laga ini diteruskan maka ia akan mendapat tambahan
lawan. Tambahan kekuatan pada lawan yang sangat tidak
menguntungkannya. Di sini ia pun berkeputusan untuk luruh pergi
menyusul Duhkata Gandra. "Baik, selamat bertemu kembali
manyar-manyarku", katanya berlalu.
391 Tidak menunggu lama, sekalipun memendam rasa penasaran
yang mendalam, penasaran atas diri anak muda itu, nenek
Taragnyana pun telah mencelat pergi.
*** Selepas kepergian tiga Wilmuka itu, suasana tepi anak sungai itu
menjadi sunyi. Orang-orang yang berada di sana masih terdiam,
merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Pertanyaan yang
sama mengemuka dalam hati tiga orang tua yang berada di sana:
bagaimana bisa tiga Wilmuka masa silam telah muncul dan
muncul secara bersama-sama! Yang kemudian juga menjadi
pertanyaan: Siapa atau apa yang telah menariknya keluar"
Bagi orang-orang lainnya, peristiwa itu sungguh mendebarkan
hati dan telah membetot semangat. Siapa pun merasa bersyukur
bahwa anak muda itu telah hadir bersama mereka. Orang-orang
dari Bukit Suci tidak putus-putusnya memandang Arga. Sungguh
tidak akan percaya bila tidak menjadi saksi hidup, bahwa ada
seorang anak muda yang telah mampu menghalau pergi tiga
Wilmuka. Wilmuka yang telah mengguncang dunia pesilatan di
masa lima dasawarsa silam.
"Kisanak, perkenalkan namaku Cutajanma. Gadis itu Acintya,
anak dari kakakku. Sepuluh orang ini adalah murid-murid utama
Bukit Suci. Perkumpulan kami berada di kaki Gunung Bromo.
Yang kebetulan menjadi pimpinan Bukit Suci adalah Kawanda
Jenggala, kakakku sekaligus ayah dari Acintya." Demikian orang
yang menyebut dirinya Cutajanma memperkenalkan diri dan
tempatnya berasal. Diwakili oleh Ki Gardapati, rombongan lainnya
juga memperkenalkan diri, namun tidak menyebutkan dari mana
392 mereka asal. Ia hanya mengatakan sekali lagi ke mana mereka
hendak pergi. Setelah itu mereka pun memutuskan untuk pergi bersama ke
18 Tembelang. Sepanjang jalan tidak henti-henti, orang-orang dari
Bukit Suci itu bersyukur terbebas dari cengkraman Wilmuka.
Sudah tentu, kehebatan anak muda yang mereka saksikan di
depan mata menjadi buah bibir utama sepanjang perjalanan.
Rombongan itu pun bergerak untuk melintasi bukit lainnya
menuju perguruan Merak Mas. Baik Puteri Rajni dan Kanistha
lebih banyak diam. Mereka terdiam karena sebuah permintaan
maaf dengan ucapan "bibi" yang diikuti oleh genggaman tangan
pada lengan masing-masing. Mereka merasakan bahwa dari
genggaman itu mengalir tanaga yang lembut namun tegas
membangkitkan kesadaran dan merangsang getaran-getaran
Samudra Carmi (Samudra Cermin) dan Pawitra Soma (Rembulan
Suci) pada kedua gadis itu. Dengan getaran pada inti kekuatan
mereka. Pemuda itu telah membantu kedua gadis itu melepaskan
pengaruh tenung. "Mbokayu Rajni", panggil Kamistha kepada Puteri Rajni yang
memang lebih tua darinya, "bagaimana jika engkau mengatakan
kepada Arga agar ia mau membantu meningkatkan tenaga murni
sebagaimana telah dilakukannya tadi?" Orang yang ditanya diam
saja. Tetapi tampaknya, ia setuju terhadap apa yang dikatakan
Kanistha. Setuju agar Arga membantu meningkatkan tenaga
murni tidak hanya padanya melainkan juga pada Kanistha. Ia pun
berpikir bagaimana itu bisa terjadi. "Ah, aku akan minta Paman
Antargata mengatakan hal itu kepada Arga", katanya pelan
namun terdengar jelas oleh Kanista yang kemudian
menganggukkan kepala dan tersenyum.
393 Di suatu kesempatan, Puteri Rajni didampingi oleh Kanistha
menemui Ki Antargata. Ia mengatakan bahwa saat diserang oleh
pengaruh Nenek Taragnyana, Arga telah mampu membangkitkan
kekuatan mereka berdua dan mengusir pergi tenung itu. "Paman,
saat itu Arga mampu membangkitkan dan memperkuat Pawitra
Soma dalam diriku dan Samudra Carmi pada Kanistha. Aku
mohon kepada Paman agar ia melakukan hal yang sama
sepanjang perjalanan menuju Merak Mas", pinta Puteri Rajni
kepada Ki Antargata. Tentu saja, orang tua itu kaget, mana ada orang yang begitu saja
memberikan kekuatannya untuk membangkitkan orang lain,
apalagi hal itu dilakukan oleh seorang pemuda terhadap seorang
gadis. Tampak wajah Ki Antargata dirambah keraguan.
"Ayo paman" kata dua gadis itu bersama-sama.
"Baiklah, aku akan mengatakan kepadanya. Namun, keputusan
sepenuhnya ada pada dirinya". Kata Ki Antargata mengabulkan
pemintaan dua gadis itu. Selepas melintasi bukit yang kedua, mereka tiba di suatu
perkampungan yang sebelumnya telah dikatakan oleh Ki
Gardapati. Pada perkampungan itu tersedia satu-satunya tempat
pengingapan dengan kamar penampungan yang terbatas. Dalam
keterbatasannya, rombongan itu bersedia untuk bermalam di
19 penginapan tersebut. Memesan kamar seadanya, mereka
memutuskan menghabiskan satu malam di sana.
Pada malam itu, Ki Antargata didampingi dua orang gadis
mendatangi Arga dan mengajaknya pergi keluar. Ki Gardapati
tidak bersama dengan mereka, karena asyik bercengkrama
dengan Ki Cutajanma. Sesampainya di sebuah tempat yang sepi
di sekitar penginapan itu, Ki Antargata berkata kepada pemuda
394 untuk menggoda. "Mereka ingin engkau membantu mereka
meningkatkan Samudra Carmi dan Pawitra Soma. Aku hanya
menyampaikan apa yang mereka minta, keputusan ada pada
dirimu", lanjut Ki Antargata.
Mendengar permintaan itu, Arga menjadi kaget. "Bagaimana aku
harus melakukannya?" Katanya dalam hati. Memang baik apabila
kemampuan Samudra Carmi pada Kanistha dan Pawitra Soma
pada Puteri Rajni dapat ditingkatkan, namun bagaimana caranya,
Arga kembali membatin. "Menurut Paman bagaimana" Memang menjadi sangat berguna
caranya", ujar Arga kepada Ki Antargata. Yang dimaksud Arga
dengan "bagaimana" bukan cara harafiah menyalurkan
kekuatannya untuk meningkatkan tenaga dalam kedua gadis itu.
Hal itu sebelumnya telah berhasil dilakukannya. Tetapi,
"bagaimana" menyangkut pandangan hubungan antara pemuda
dan gadis dalam melakukan hal itu. Jadi, cara yang dimaksud
Arga lebih bernuansa susila, bukan teknik melakukan
peningkatan itu sendiri. Ki Antargata tidak menjawab itu. Ia sepenuhnya telah
menyerahkan hal itu kepada Arga. Orang itu hanya memandang
lekat anak muda itu. Pandangan yang tidak memaksa namun
memberi dorongan agar pemuda itu memberikan keputusannya.
Beberapa lama diam melakukan pertimbangan, Arga pun
akhirnya berkata, "baiklah aku akan melakukannya, hanya saja
aku ingin Paman Antargata mendampingi saat aku menguatkan
Pawitra Soma pada Bibi Rajni dan Ki Gardapati saat aku
395 menguatkan Samudra Carmi pada Bibi Kanistha". "Keputusan
yang bijak", pikir Ki Antargata, "bagaimana orang semuda itu bisa
menjangkau seluas itu. Pada anak muda itu jelas kedewasaan
sikap dan pikiran tidak berjalan berbanding lurus dengan
usianya". Demikian setelah Ki Antargata mengatakan keputusan Arga
kepada Ki Gardapati, maka sejak malam itu Arga secara
bergantian menguatkan tenaga Pawitra Soma dan Samudra
Carmi pada dua gadis itu. Itu dilakukan dengan didampingi oleh
dua orang tua itu. *** Menjelang senja, selepas dari hadangan tiga Wilmuka beberapa
hari lalu, rombongan yang sebenarnya terdiri dari dua kelompok
20 itu, pada akhirnya tiba di kota Tembelang. Salah satu kota
penting di Bhumi Mataram. Sekalipun hari telah menjadi gelap,
terlihat jelas bahwa kota itu sedang mempersiapkan sesuatu. Di
banyak tempat terpasang umbul-umbul dan bendera-bendara
serta alat-alat penerangan sebagai simbol kemeriahan dan
semarak sebuah kota. Salah satu kota utama Bhumi Mataram.
Melihat itu semua, Arga menjadi sangat bergembira. Ia
merasakan kemeriahan itu sebagai penyambutan atas kehadiran
rombongannya. "Tembelang, aku telah datang", pekik Arga dalam
batin. Dua rombongan itu sepakat untuk meneruskan kebersamaan
mereka pada malam ini dengan menginap di suatu penginapan
yang sama. Menunda satu malam, apa yang menjadi urusan
masing-masing di kota Tembelang.
396 Di kota itu, sangat mudah untuk mencari sebuah penginapan
yang berkemampuan menampung sembilan tamu secara layak.
Bagi Arga yang semasa kecil pernah tinggal di kota itu,
Tembelang telah memunculkan suatu kegairahan pada dirinya.
Kenangan sekaligus impian. Kenangan akan masa-masa indah
bersama-sama dengan sanak saudara dan teman-teman
sekalipun sering mendapat selorohan sebagai "uncalan" (yang
selalu terlontar atau keluar gelanggang). Dan, impian untuk
menjalani hidup di tengah-tengah keramaian, tidak menyepi di
gua atau hutan serta gunung, lembah dan tegala yang sunyi.
Yang pertama-tama ditanyakan Arga kepada salah satu pekerja
di penginapan itu adalah apakah besok masih merupakan hari
pasar yang diselenggarakan di Tembelang. Seingatnya pasar di
Tembelang diadakan setiap Kliwon. Kebetulan Kliwon jatuh pada
hari esok. Anak muda itu sangat gembira mendapat kepastian
bahwa hal itu memang demikian. Tembelang membuka pasar
setiap Kliwon tiba. Mengunjungi keramaian pasar merupakan hal
yang selalu dinanti-nanti oleh pemuda itu. Melihat keramaian
pasar merupakan saat-saat yang selalu meluapkan
kegembiraannya sedari kanak-kanak. Demikian, anak muda itu
menjadi tidak sabar akan datangnya hari esok. Hari esok yang
penuh keramaian. Sejak pertama kali ayam jantan berkokok, Arga sudah
mempersiapkan diri mengunjungi pasar. Pagi-pagi benar,
sebelum pengunjung penginapan memulai kesibukannya, Arga
sudah pergi ke membersihkan diri lalu berjalan ke ruang makan
untuk mengambil sarapannya. Ia pun mengambil dua potong
ketela rebus dan tiga potong pisang yang digoreng dengan
tepung. Melahap itu semua, dan bersiap-siap pergi ke pasar.
397 Kegiatan pasar selalu berlangsung sejak pagi hari.
"Hei, mau ke mana pagi-pagi begini", sebuah suara menegurnya.
"Oh, Bibi Rajni". Arga pun menceritakan kepada gadis itu apa
21 yang hendak dilakukannya. Gadis itu pun memintanya untuk
mengajak serta dirinya dan Kanistha. Permintaan yang sulit
ditolak olehnya. Tampak pagi itu, tiga orang muda pergi
meninggalkan penginapan. Mereka hendak melihat keramaian
pasar. Di ruang makan, Ki Antargata dan Ki Gardapati asyik menikmati
sarapan sambil bercakap-cakap. Kedua orang tua itu telah
mengizinkan dua gadis di bawah pengawasannya untuk pergi ke
pasar bersama Arga. Mereka tidak merasa khawatir melepas
gadis-gadis itu, karena keduanya pergi dengan seorang pemuda,
yang menurut penilaian mereka, telah memiliki sesuatu yang sulit
untuk dijajagi batas-batasnya.
Bersamaan dengan itu, muncul rombongan dari Bukit Suci yang
juga ingin sarapan. Pada saat sarapan, rombongan itu bergabung
dengan Ki Antargata dan Ki Gardapati. Tidak seperti yang
lainnya, sangat menikmati percakapan dan sarapannya, seorang
dari kelompok Bukit Suci justru telah menjadi gelisah. Ia sedang
berharap menanti munculnya seseorang, namun orang itu tidak
juga telihat menampakkan sosok.
Menjadi tidak sabar, ia pun bertanya, "Paman, di mana Diajeng
Rajni dan Kanistha". Ki Gardapati yang mengerti ke mana arah
pertanyaan itu, menjawab. "Sejak pagi-pagi tadi, mereka berdua
telah pergi melihat-lihat keramaian pasar. Dasar anak-anak
muda. Selalu tidak dapat menahan diri dari keramaian! Oh, ya Ki
Cutajanma. Tadi Nakmas Arga berpesan untuk menyatakan
permintaan maafnya. Ia tidak bisa mengucapkan salam
398 perpisahan kepada Kisanak dan rombongan." Tampak bahwa
yang bertanya telah menjadi kecewa, karena hari ini ia tidak
mungkin bertemu dengan orang yang dimaksudkannya. Padahal,
pertemuan itu sangat diharapkannya.
Rombongan dari Bukit Suci tengah berpamitan pada Ki Antargata
dan Ki Gardapati. Mereka akan segera menempuh tujuannya.
Sebelumnya, pimpinan rombongan itu telah menyatakan
tujuannya kepada Ki Antargata dan Ki Gardapati. Perguruan
Merak Mas. Datang ke perguruan itu atas undangan Ki
Gilingwesi, orang yang bergelar Jingga Manyura (Merak Jingga)
dan menjadi Wakil Ketua Perguruan Merak Mas. Hubungan Bukit
Suci dengan Merak Mas telah berlangsung lama dan sangat
akrab. Bahkan di antara mereka telah mengikatkan diri sebagai
saudara. "Paman Cutajanma, kita mampir sebentar Paman melihat-lihat
keramaian pasar. Aku belum pernah mengunjungi pasar di kota
besar." Pinta gadis yang bernama Acintya sambil merajuk kepada
orang tua yang bersamanya.
"Sebaiknya, kita berkunjung dulu ke Perguruan Merak Mas.
Menemui dua Pamanmu. Setelah itu, kau bisa minta izin untuk
melihat-lihat pasar", jawab Ki Cutajanma menolak permintaan
gadis itu. "Tapi, paman...." Gadis itu menyatakan keberatannya,
22 namun tidak tuntas menyelesaikan kalimatnya karena Ki
Cutajanma telah bergegas menariknya pergi. Dengan enggan
dan memasang wajah cemberut tidak senang, gadis itu mengikuti
ke mana Ki Cutajanma menarik dan membawanya pergi.
*** 399 "Pasar yang sangat besar dan ramai", gumam Arga sesampainya
ia di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu lalang dengan
kepentingan dan kesibukannya masing-masing. Pasar memang
selalu demikian. Penuh kepentingan dan kesibukan. Tidak lebih
dari dua itu. Di luar itu tidak ada lainnya.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menjadi hal yang sangat menarik, melihat orang-orang
tenggelam dalam kepentingan dan kesibukannya", demikian pikir
Arga. Sudah sejak dahulu, pasar selalu menampikan ikatan yang
unik. Ikatan yang diukur berdasarkan besarnya Ma (mata uang
emas saat itu) yang tersimpan dalam kantung. Semakin banyak
Ma dibawa oleh seseorang, maka semakin rekat dan merentang
luas ikatan itu akan dibelitkan pada orang itu. Satu satunya
tempat yang dengan telanjang dan gamblang, di mana suatu
kepentingan dinyatakan secara terbuka dan terangan-terangan
tanpa ditutupi. Dinyatakan tanpa malu-malu. Apa yang terjadi di
pasar sangat kontras dengan apa yang terjadi dalam kehidupan,
di mana kepentingan tidak pernah ditampilkan apa adanya. Lebih
banyak disembunyikan di balik berbagai hal.
Menurut pandangan Arga, hubungan antara orang yang terjalin di
pasar merupakan hubungan yang sejati, di mana orang tidak
menyembunyikan kepentingannya. Ini merupakan salah satu
alasan mengapa Arga begitu menikmati ketika berada di tengahtengah keramaian orang di pasar. Ia
menilai di sana orang tampil
apa adanya: tampil terbuka dengan kepentingannya.
Tiga anak muda itu terus berjalan menyusup di tengah-tengah
keramaian. Di depan seorang kuwad?an banija yang
memamerkan kain-kain dagangannya, dua gadis itu tidak dapat
menahan diri. Mereka mampir dan terus membalik-balik kain-kain
yang ada di sana. 400 "Kain ini sutra asli dari negeri jauh. Hanya ada pada kesempatan
ini saja." Kata pedagang itu. Mendengar perkataan pedagang itu,
dua gadis itu menjadi sangat bergairah untuk memegang dan
tidak jarang mengeluarkan kata-kata mengagumi kain-kain itu.
"Diajeng Kanistha, kau tampak semakin bersinar mengenakan
kain merah muda itu", kata Puteri Rajni sambil menyelempangkan
kain yang dipegangnya ke pundak Kanistha. Demikian, hal itu
mereka lakukan berulang-ulang. Keduanya menjadi terbenam
dalam kesenangan mencoba-coba kain indah dari negeri jauh.
Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata telah mengawasi
mereka. Mengawasi sejak dua gadis itu menghampiri pedagang
23 kain itu. Di tengah keasyikan mereka, tiba-tiba sebuah tangan telah
menarik tangan dua gadis itu. "Bibi, mari kita pergi dari sini".
Segera ia menarik dua gadis meninggalkan jajaan pedagang kain
itu. Mendapat perlakuan yang sangat tiba-tiba, tentu mengejutkan
dua gadis itu. "Ada apa?" kata salah seorang gadis itu.
"Ssssttt". Yang ditanya terus menarik kedua gadis itu untuk
bergegas pergi. Setelah agak menjauh, pemuda yang telah menarik dua gadis itu
berkata. "Aku telah melihat nenek tua yang menghadang kita di
tepi sungai beberapa hari lalu. Orang itu agaknya juga telah
berada di Tembelang." Dua gadis itu menjadi sangat terkejut.
"Bagaimana dengan dua kakek lainnya" Apakah kau juga telah
melihatnya?" Kata Puteri Rajni. Arga tidak menjawab hanya
menggeleng kepala. "Kalau nenek itu telah berada di sini bukan tidak mungkin dua
orang tua lainnya juga demikian. Kita harus waspada". Anak
401 muda itu memberikan peringatan.
Apa yang dilakukan tiga orang muda itu, berjalan cepat dan
bicara berbisik-bisik, telah menarik perhatian orang-orang di
sana. Namun, orang-orang telah menjadi tertarik bukan karena
tiga orang muda itu berjalan cepat dan berbisik-bisik. Melainkan
pemuda itu berjalan menggenggam erat tangan dua gadis itu di
keramaian. Tindakan itu bukanlah tindakan lumrah. Tidak lumrah
seorang jejaka menggenggam tangan gadis di muka umum.
Apalagi, itu dilakukan tidak hanya pada seorang gadis, tetapi dua!
Tidak heran, mata orang-orang di sana tetuju pada tangan
pemuda yang memegang tangan dua gadis itu. Tentu saja, tiga
anak muda itu menjadi malu. Namun demikian, pemuda itu
enggan melepaskan pegangannya, sementara dua gadis itu juga
tidak berusaha menampik genggaman itu. Mereka terus saja
bergegas cepat. "Pemuda luar biasa. Ia telah mengetahui keberadaan kita.
Padahal kita berdua telah berdiri mengawasi dari jauh dan di
tengah-tengah orang yang begitu banyak. Bagaimana, ia dapat
melakukan semua itu. Utpala Waliwis, kita harus lebih berhati-hati
di Tembelang. Tembelang dengan puluhan bahkan ratusan
murid-murid perguruan Merak Mas. Itu pun masih ditambah
dengan ribuan pasukan kerajaan yang begitu saja dapat
dikerahkan oleh Samaragrawira. Dikerahkan untuk menghentikan
keributan apa pun yang terjadi di wilayah kekuasaannya". Muka
Iblis memperingatkan rekan yang bersamanya.
Dengan kewaspadaan tinggi, tiga orang muda itu terus mengitari
pasar dari sudut demi sudut. Berupaya menghindar dari nenek
tua yang telah dilihat oleh Arga tadi. Matahari telah berada di atas
kepala, banyak di antara pedagang-pedagang pada pasar itu,
402 24 khususnya pedagang sayur-sayuran, telah meninggalkan pasar.
Dagangan mereka telah terjual ludes. Pasar itu sebagian telah
menjadi kosong. Takut membuat Ki Antargata dan Ki Gardapati
menjadi khawatir, Arga pun memutuskan untuk mengajak dua
gadis itu kembali ke penginapan. Biarpun ditolak enggan, Arga
tetap memaksa dua gadis itu beranjak pergi meninggalkan pasar.
Tiba di penginapan, Ki Antargata dan Ki Gardapati tampaknya
berada di bilik tempat mereka beristirahat. Arga ditemani dua
gadis itu mendekati bilik Ki Antargata untuk mengajak orang itu
membicarakan sesuatu yang telah dilihatnya di pasar.
Pembicaraan itu tidak berlangsung di bilik yang digunakan Ki
Antargata, melainkan di bilik Ki Gardapati.
"Aku menduga, nenek itu tidak berada di sini sendirian.
Sebagaimana mereka bertiga telah keluar dari sarangnya
bersama-sama, kemungkinan besar mereka pun datang secara
bersama-sama ke Tembelang." Demikian Ki Antargata
memberikan kesimpulan. "Agaknya, kita harus segera mengunjungi Perguruan Merak Mas.
Di sana aku bisa mengatakan kepada Kang Tedja, saat bertemu
dengannya. Mengatakan kehadiran nenek itu dan kemungkinan
dua tokoh Wilmuka lainnya. Informasi ini dapat menjadikan
isyarat kepada perguruan itu untuk menjadi lebih waspada". Apa
yang dikemukan anak muda, disetujui oleh dua orang tua itu.
Mereka pun segera berangkat ke perguruan itu. Perguruan
tempatnya dibesarkan. Masa yang singkat namun tidak akan
pernah dilupakannya. Sejenak Arga terbayang kembali wajah
pamannya, lalu Karkasa Bayu, kuda kesayangan pamannya yang
gagah namun bernasib naas di tangannya. Kenangan itu selalu
memberi kerinduan untuk bertemu dengan satu-satunya keluarga
403 yang memiliki ikatan dengan dirinya, sekalipun ikatan itu belum
juga menjadi jelas hingga saat ini.
Tidak berapa lama rombongan itu telah tiba di alun-alun
perguruan Merak Mas. Alun-alun itu dengan jelas menyatakan ciri
perguruan itu. Sebuah arca besar tampak berdiri megah dan
anggun di tengah-tengahnya. Arca seekor merak simbol
perguruan itu. Sekalipun, terdapat beberapa perubahan pada
peguruan itu, namun Arga tetap masih mengenali perguruan itu.
Ia mengenalinya sebagai tempat yang pernah menjadi rumahnya
sendiri. Ia pun berjalan paling depan seakan-akan memandu empat orang
yang berjalan bersamanya. Ia menuju sebuah bangunan, dimana
biasa Paman Gilingwesi menemui tamunya semasa kecil dulu.
Bangunan itu sedikit berubah. Hanya warna dinding. Dinding
yang tidak lagi coklat tanah, tapi hijau muda sedikit kebiruan.
Tidak ingin lama-lama mengurai kenangan masa kecil, Arga pun
langsung menuju dua orang murid Merak Mas yang saat itu
melakukan tugas berjaga. Ia menyatakan maksudnya kepada
25 kedua orang itu. "Maaf, kisanak sekalian. Ketua kami masih menerima tamunya.
Mohon kiranya Kisanak sekalian bersabar untuk menunggu.
Setelah itu, kami akan menyampaikan kehadiran Kisanak
sekalian kepada Ketua". Rombongan yang baru datang itu
tertahan. "Baiklah, kami akan menunggu", kata Arga. Tetapi baru ia akan
beranjak dari tempatnya untuk bergabung kembali dengan empat
orang yang bersamanya, tiba-tiba sebuah suara memanggilmanggil.
"Adhi.... Adhi....". Orang itu berlari ke arah yang dipanggilnya.
404 Kemudian muncul sosok hitam. Orang itu adalah salah satu murid
Merak Mas yang pernah bersama-sama Arga pada pertarungan
di tepi sungai. Bertarung dengan kelompok orang yang menjadi
anak buah dari penyandang Lencana Locana Soma.
"Kakang Satwika." Arga menyebut nama itu.
"Adhi Arga, kapan kau tiba di sini. Mengapa tidak segera masuk
menemui Guru" Aku dan Kakang Tedja sudah lama menantinanti kedatangan Adhi......".
Pernyataan panjang terlontar dari
mulut murid itu. "Mari Adhi, aku antar masuk menemui Ketua." kata Satwika.
"Maaf kakang, Ketua sedang menerima tamu.....". Seorang murid
yang bertugas jaga mencoba mencegahnya.
"Waallah...Kau tahu siapa orang ini. Ia adalah kemenakan Ketua.
Yang dulu telah pergi, sekarang kembali". Perkataan penjaga itu
telah terpotong. "Mari, Adhi". Murid perguruan itu telah membimbing masuk.
Arga sedikit menjadi ragu, tetapi tetap mengikuti murid itu. Dua
orang itu diiringi oleh empat orang yang bersamanya. Demikian
mereka berjalan untuk bertemu dengan Ketua Perguruan Merak
Mas. Tamu yang telah berada ke ruang itu pun menghentikan
pembicaraan. Pembicaraan antara tuan rumah dengan
serombongan tamunya. Ki Cutajanma tampak terkejut, tapi
gembira. Gembira melihat kedatangan orang yang telah
dikenalnya. Sementara tuan rumah tampak menampilkan wajah
berkerut. Tanda benaknya sedang bekerja. Bekerja untuk
mengingat-ingat orang-orang yang telah dibawa oleh seorang
muridnya. "Ah, aku tidak perlu menyusulnya ke pasar. Puji syukur Hyang
405 Agung, Engkau telah mengirimnya ke sini". Suara itu keluar dari
batin Acintya. Wajah gadis itu membayang penuh kegembiraan.
"Maaf, Tetua Gilingwesi, murid telah lancang membawa tamu dan
mengganggu apa yang telah berlang....." Perkataan murid itu
tidak dapat diselesaikan sepenuhnya. Orang yang menjadi tamu
Tetua perguruan itu, yang terdorong oleh kegembiraannya, telah
memutus perkataannya. 26 "Adhi Gilingwesi, ini Arga. Anak muda yang tadi telah aku
ceritakan kepada Adhi". Yang disebut sebagai Adhi Gilingwesi
sontak berdiri dan cepat menyambut anak muda itu. "Sungguh
suatu peruntungan yang besar, bahwa aku menyambut sendiri
tetamu yang datang ke Merak Mas. Tetamu yang istimewa."
Orang tua itu memang telah menghentikan laku bersama Ketua
Samaragrawira di pesanggerahan. Laku yang telah dijalankan
hampir memasuki dua purnama. Sebelumnya ia telah
menyampaikan kepada Tujuh Murid Utama Merak Mas akan
menyambut sendiri kehadiran tetamu istimewa dari Bukit Suci.
Hari ini yang disambutnya bukan hanya Kakang Angkat dari Bukit
Suci, melainkan juga uncalan yang delapan tahun silam telah
pergi. Arga tidak merasa layak dan berani menerima sambutan itu. Ia
pun menjatuhkan diri untuk bersujud di hadapan orang yang
datang menyambutnya. "Maafkan Arga, Paman. Maafkan. Karena
Arga telah pergi dari Perguruan Merak Mas tanpa pamit. Sekali
maafkan Arga, Paman". Dalam sujud, anak muda itu meminta
maaf atas kesalahannya. Orang tua itu pun datang dan
membungkukkan diri serta membangunkan anak muda itu lalu
memeluknya erat. 406 anak muda itu. Ki Gilingwesi memang lebih suka memanggil Arga dengan
membaca. Kata-kata itu sungguh membuat Arga gembira, karena
sebutan-sebutan itu menyatakan kasih sayang dan kemesraan
serta kehangatan orang tua itu. Kasih sayang, kemesraan dan
kehangatan dari masa kecil itu kini hadir kembali secara nyata.
Bukan sebagai bayangan atau impian, pada pemuda itu.
Rasa haru yang mendalam telah meneteskan air mata Arga.
Orang-orang yang hadir di sana membiarkan dua orang yang
sudah delapan tahun tidak bertemu. Membiarkan mereka
menguras kerinduannya. "Engg?r Arga, biar nanti aku sampaikan kepada Pamanmu bahwa
engkau sudah kembali. Pamanmu sudah satu purnama ini sibuk
memasuki pesanggrahannya. Kedatanganmu pasti akan
menariknya sesaat keluar dari tempat itu". Anak muda itu kembali
terbayang akan wajah Paman Wira.
Sesaat kemudian, Arga pun memperkenalkan empat orang yang
bersamanya. Suasana yang semula haru biru telah menjadi cair
larut penuh suka cita. Ki Gilingwesi didampingi Bawana Manyura
Sapta (Tujuh Merak Dunia), murid utama Perguruan Merak Mas,
pun meminta pada tamu-tamunya beranjak untuk pergi ke
kediamannya. Ia ingin menyambut tamu secara pribadi, tidak di
tempatnya bekerja. Mereka pun segera beranjak menuju
kediaman Ki Gilingwesi. *** 407 27 Satwika begitu gembira dengan kedatangan Arga. Ia pun cepat
mencari kakak seperguruannya, Tedja, serta rekan-rekannya
Anggasta dan Anala yang pernah dibantu Arga menyembuhkan
lukanya. Berita kedatangan Arga ke Merak Mas cepat menyebar
dan terdengar juga oleh sepasang anak muda. Dua Anak muda
yang sangat mengenal Arga. Mengenalnya sebagai saudara.
Saudara semasa kecil. "Jadi, begundal itu telah kembali. Kembali setelah membawa lari
Karkasa Bayu dan menghilang. Aku akan mencari pembalasan
padanya." Kata-kata itu menyimpan kegeraman dan kegusaran
yang terpendam lama. "Tidak, Diajeng. Arga tidak melarikan Karkasa Bayu. Ia
bermaksud membawa kuda itu ke bukit di sebelah barat untuk
makan rumput. Hanya sayang nasib naas telah menimpa kuda
itu. Ia terpatuk ular berbisa hingga tewas." Pembelaan itu
diutarakan oleh seorang pemuda.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, alasan. Kakang selalu saja membela anak itu. Anak yang
mencari perhitungan dengannya. Titik." Dengan muka masam,
gadis itu melenggos pergi. Pemuda yang ditinggalkan itu hanya
tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepa
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
la. Dua anak muda itu adalah Janaloka yang laki-laki dan
Maheswari. Keduanya adalah kakak beradik, putra dan Puteri dari
Samaragrawira. Mereka merupakan putera dan puteri Ketua
Perguruan Merak Mas sekaligus Pejabat Utama dari Kota
Tembelang. Janaloka berusia dua tahun lebih tua dari Arga.
Sementara Maheswari satu tahun lebih muda dari Arga.
Di masa lalu, Janaloka merupakan teman sepermainan Arga.
Kedekatan itu telah membuat Maheswari merasa kehilangan
408 kakak. Membuat gadis itu merasa iri dan cemburu kepada Arga.
Apalagi, sang kakak lebih memilih bermain dengan anak itu
ketimbang dirinya. Rasa iri dan cemburu yang telah
menumbuhkan rasa tidak senang pada pemuda itu. Bahkan,
hingga pemuda itu menjejakkan kembali ke Perguruan Merak
Mas setelah delapan tahun menghilang.
Maheswari meninggalkan kakaknya dengan mengerutu. "Biarpun
Ayah dan Kakang Janaloka akan mencegah, aku akan sembunyisembunyi menghukumnya. Aku
akan menjadikannya kembali
aku memiliki sebuah permaian baru. Permainan yang
mengasyikkan". Senyum di wajahnya membayangkan apa yang
akan dimainkannya. Dimainkan hingga, ia mendengar anak itu
memohon-mohon minta ampun kepadanya. "Akhirnya, aku dapat
melampiaskan apa yang sudah begitu lama aku pendam". Ia pun
tersenyum puas. "Tapi, bagaimana aku dapat bertemu dengannya tanpa kehadiran
orang lain, khususnya Kakang Janaloka". Begitu gadis itu
bertanya dalam hati sambil berpikir mencari cara agar pertemuan
itu dapat dilakukannya. "Ah, aku akan meminta tolong pada Bibi
Gilingwesi menyampaikan pesan untuk pertemuan itu". Terlintas
suatu pikiran yang dinilainya tepat di benaknya.
Demikian gadis itu pun berjalan menuju ke kediaman pamannya.
Setibanya di tempat yang dituju, gadis itu menjadi heran. Di sana
begitu banyak orang berkumpul, termasuk kakaknya Janaloka
telah bergabung di tempat itu. "Mengapa Kakang Janaloka juga di
sana" Bukankah Kakang seharusnya berada di Tembelang
Dhatulaya (Kraton Tembelang). Sejak Ayah menyepi di
pesanggerahannya, Kakang telah menggantikan peran Ayah di
409 kraton. Juga peran Ayah menata prajurit. Lagi-lagi, begundal itu.
Begundal itu telah menggeser seluruh tugas Kakang. Bahkan,
tugasnya yang terpenting di kraton sekalipun." Kegusaran
kembali membayang di wajah gadis itu. Kegusaran yang semakin
menggunung. Apalagi, ia mengintip mereka kelihatan begitu
lepas. Begitu sukacita dan gembira. Kegembiraan masa kecil.
Kegembiraan yang juga menjadi kerinduannya. Namun,
1 kegembiraan itu telah tergeser dengan kehadiran anak muda itu.
Tidak ingin kehadirannya diketahui orang, ia pun berjalan
memutar bermaksud menemui bibinya melalui pintu belakang. Di
sana gadis itu berdiri diam dan menunggu. Menunggu Bibi
Gilingwesi. Menunggu cukup lama, akhirnya wanita itu pun
muncul. "Ada apa, Nduk Ayu Maheswari. Kok ...." Bibinya bertanya
melihat tingkah gadis itu yang aneh. "Ssttt... Bibi, katanya
kemenakan ayah yang pernah tinggal di sini telah kembali. Aku
mau minta bantuan bibi menyampaikan sesuatu kepadanya."
Tidak rela gadis itu menyebut nama pemuda itu dalam
permintaannya. Ia pun mendekatkan diri kepada wanita itu dan membisikan
sesuatu. "Oh, rupanya kau juga ingin bertemu dengan anak itu.
Bertemu berdua saja di tempat itu. Rupanya yang kangen
padanya bukan hanya Bibi, tetapi juga engkau Nduk Ayu." Yang
disergah oleh pernyataan wanita itu langsung menjadi sangat keki
dan mendengus "Huh. Siapa sudi", dan cepat-cepat pergi.
Waktu berjalan cepat. Rombongan itu agaknya sudah akan
beranjak pergi meninggalkan kediaman Ki Gilingwesi. Mereka
pergi untuk beristirahat di bilik masing-masing yang telah
disiapkan oleh tuang rumah.
410 "Paman, berapa lama kita akan tinggal di perguruan ini?" Tanya
Acintya kepada Ki Cutajanma. "Sore ini juga". Goda orang tua.
"Tapi, kau pasti keberatan bukan" Nah, supaya kau puas biar
keputusan kapan kita meninggalkan tempat ini aku serahkan
sepenuhnya padamu?" Sekalipun kembali menjadi malu, Acintya
sangat gembira mendengar itu. Maka, ia pun berjalan
melenggang untuk bergabung dengan Puteri Rajni dan Kanistha
meninggalkan kediaman Ki Gilingwesi menuju bilik masingmasing.
Arga sendiri memutuskan untuk lebih lama tinggal di tempat itu. Ia
masih belum puas untuk melepaskan rindunya kepada Paman
dan Bibi Gilingwesi serta Janaloka. Baik Ki Gilingwesi maupun
Janaloka kemudian beringsut pergi hendak menyelesaikan tugastugas perguruan maupun
pemerintahan yang telah menjadi
tanggungjawab mereka selama Ketua Samaragrawira bertekun di
pesanggrahannya. Arga kini hanya berdua dengan bibinya.
Sebagai seorang anak, ia memang sangat merindukan kehadiran
seorang ibu. Sosok yang tidak pernah dirasakannya singgah
dalam hidupnya. Bibi Gilingwesi adalah satu satunya wanita yang
dianggapnya sebagai pengganti sosok ibu. Dan, wanita itu
dengan sangat baik telah menunaikan peran itu. Tidak saja bagi
Arga, melainkan juga bagi Janaloka dan Maheswari. Dua anak
juga telah kehilangan ibundanya di kala usia yang sangat dini.
Kurang dari delapan tahun.
Bagi wanita yang hingga saat ini memang tidak beruntung itu.
Tidak beruntung karena tidak dikaruniai anak. Kehadiran tiga
anak itu telah mengisi penuh kerinduannya. Kerinduan akan
2 seorang momongan. Bibi Gilingwesi sangat menyayangi mereka
bertiga. Wanita itu telah mengganggap ketiganya sebagai
411 anaknya sendiri. Ia sangat kehilangan pada saat Arga pergi tanpa
kabar. "Engg?r Arga", kata wanita itu, "tadi Maheswari datang dan
meminta bibi untuk menyampaikan pesannya kepadamu". "Ah,
iya. Bagaimana kabar anak manja itu" Sudah tumbuh semakian
dewasa atau tetap seperti dulu. Hanya bisa merajuk, ngambek
dan marah-marah?" Batin Arga senyum-senyum membayangkan
gadis itu. "Sore ini, Maheswari minta kau menemuinya di tepi sungai tempat
biasa kau memandikan kuda-kuda". Demikian, pesan itu telah
sampai pada yang dituju. Disampaikan secara pribadi.
Setelah menghabiskan waktu melepaskan rindu dengan sosok
pengganti ibunya, Arga pun mohon diri untuk berjalan-jalan
melihat-lihat keadaan perguruan.
"Ah, sudah tidak sabar menanti datangnya sore, ya?" Goda
wanita itu. Arga pun tersenyum dan kembali mohon diri
meninggalkan kediaman bibinya.
*** Sore pun tiba, sesuai dengan apa yang dipesankan, Arga pergi
ke tepi sungai tempatnya dulu ia memandikan kuda. Tempat itu
cukup berubah. Misalnya, jembatan itu. Dulu tidak ada jembatan
kayu yang membentang menghubungan sisi sungai yang satu
dengan lainnya. Kalau ingin pergi ke seberang, orang bisa
langsung dengan berenang atau berjalan memutar ke arah barat
kurang lebih tiga penderesan nira untuk menemui satu-satunya
jalan terdekat menyeberangi sungai itu. Tetapi, sungai itu masih
tetap seperti dulu. Airnya mengalir tenang, tidak terlalu keruh.
412 Lebarnya pun tetap sama kira-kira 20 sampai 30 hasta. Itu
sebenarnya merupakan sungai kecil, yang kalau ditelusuri terus
ke timur akan bersatu dengan induknya. Agaknya, Arga datang
lebih awal. Untuk mengisi waktu, ia melepaskan bajunya dan
mengulung celananya hingga sebatas lutut lalu turun ke sungai
itu. Tidak pas rasanya, mengenang sungai itu tanpa merasakan
dinginnya air yang mengalir di sana.
"Ayo, naik dan lekas ke mari". Sebuah suara melengking tinggi
membentak. Arga pun mendongakkan kepala dan memandang
yang telah berteriak kepadanya. Sebuah wajah yang masih
diingatnya. Ia telah tumbuh tinggi, tapi kira-kira tetap sama seperti
dulu. Hanya sebatas janggutnya. Yang berubah adalah apa yang
ada pada matanya. Kalau dulu begitu sipit, kini sudah cukup
terbuka namun tetap terbilang sipit bila dibandingkan dengan
gadis pada umumnya. Mata itu seperti mata ibunya, kenang Arga,
mata yang terus akan diingatnya. Ibunya yang juga pernah
memberi kasih sayang kepadanya seperti kepada anaknya
3 sendiri. "Mata bibi yang sipit namun penuh kasih sayang, ternyata
menurun padanya", pikir Arga. Maklum, isteri mendiang Paman
adalah seorang Puteri dari negeri seberang yang letaknya jauh di
timur sana. "Ayo lekas, jangan hanya diam seperti sapi yang kekenyangan".
Gadis itu memekik lagi. Mengambil cepat bajunya di atas batu,
lalu mengenakannya, Arga pun naik ke darat.
"Mari ikut aku ke seberang sungai itu, di sana ada jembatan kayu
yang dapat kau gunakan". Perintah itu keluar dari mulut mungil
gadis itu. Arga pun berjalan melenggang menuju jembatan itu
menyeberang, sementara dengan ringannya gadis itu meloncat
413 dan menjejakkan ujung kakinya pada permukaan air sungai itu
sebanyak tiga kali dan seketika ia pun tiba di seberang sungai
mendahului pemuda yang berjalan ke tempat yang sama
melewati jembatan. "Huh, dasar uncalan!" Ejekannya dilontarkan saat melihat
pemuda itu telah tiba mendekat padanya. "Ikuti aku", katanya
kembali memerintah. Arga pun berjalan di belakang
mengikutinya. Tidak berapa lama, gadis itu menghentikan
langkahnya. "Di sini tempat yang cocok untuk menjatuhkan
hukuman baginya. Hukuman bagi orang yang telah melarikan
kuda kesayanganku", batin gadis itu.
Memang, sesungguhnya Karkasa Bayu adalah kuda
kesayangannya. Di atas kuda itu, ia merasakan saat-saat yang
membahagiakan, duduk di pangkuan ayahnya. Saat-saat itu
seperti direnggut dan dihempaskan jauh-jauh, dengan tiada lagi
kuda itu, yang katanya telah menjadi tewas karena ulah anak
muda yang kini telah kembali dan berdiri di depannya. Ia pernah
berjanji akan memberikan hukuman yang berat bagi anak yang
telah menghapus kebahagiaannya bersama hewan perkasa itu.
Sampai dengan saat ini, hukuman itu belum sempat ia jatuhkan.
Saat itu pada wajahnya membayang suatu kegembiraan. "Pada
akhirnya masa penantian untuk menjatuhkan suatu hukuman
pada anak itu telah tiba", batinya gembira.
"Kembalikan, Karkasa Bayu kepadaku!" Bentaknya di tempat itu,
yang dinilainya tidak ada orang lain, selain mereka berdua.
"Tetapi, Puteri. Mana mungkin aku dapat mengembalikan
Karkasa Bayu." Balas Arga yang memang selalu memanggil
Maheswari dengan sebutan Puteri sejak kecil. Sebutan yang
sangat tepat, karena gadis itu memang seorang puteri seperti
414 halnya Puteri Rajni yang berasal dari keluarga kerabat istana.
"Harus. Kubilang kau harus mengembalikan Karkasa Bayu. Jika
tidak, aku akan menghukummu. Menghukum seberat yang aku
mau. Hukuman sebagai bentuk Karkasa Bayu Jaul (Penagihan
Hutang Atas Karkasa Bayu)". Keras dan memburu suara Puteri
4 itu saat menyebut Karkasa Bayu Jaul. Penagihan Hutang Atas
Karkasa Bayu. Suara itu sungguh ingin menumpahkan seluruh
kemurkaan terhadap orang yang memang telah membuatnya iri
dan cemburu. Gadis itu bergerak mengirimkan tendangan ke perut Arga. Sekuat
tenaga, sekalipun tidak dilambari tenaga dalam. Namun demikian,
gerakan itu bukan gerakan asal tetapi gerakan yang didasarkan
pada salah satu jurus Merak Mas. Merak Melontarkan Halilintar
ke Sembilan Langit. Kekuatan tendangan itu telak menghantam
perut dan telah melontarkan Arga ke belakang. "Aku tidak akan
memberinya ampun. Biar dia menderita tanpa ada yang
menolongnya. Di tempat ini hanya ada aku dan dia." Maheswari
kembali menegaskan dalam batin apa yang akan dilakukan atas
anak muda itu. Akan tetapi, apa yang dibatin oleh gadis itu sama sekali tidak
benar. Sebab, di tempat itu tidak hanya mereka berdua. Dua
pasang mata, yang berada di balik semak-semak tidak jauh dari
sana, sejak tadi telah mengamati apa yang terjadi. Melihat Arga
terlontar karena tendangan di perutnya, salah seorang dari
mereka ingin bergerak, namun gerakan itu terhenti karena
seorang lainnya telah mencegah.
Menyusul tendangan itu, saat Arga sedang mengangkat tubuh
untuk bangkit, sebuah tinju menghantam keras rusuk kanannya.
Ia pun kembali terjatuh. Lalu, kembali sebuah tendangan kembali
415 bersarang mantap di perutnya. Bersarang saat ia masih terkapar
di tanah. Arga membiarkan serangan-serangan itu mengenai
tubuhnya. Serangan-serangan yang menurut penilaiannya tidak
akan berpengaruh pada dirinya. Tiga kali serangan beruntun
kembali telak bersarang. Anak muda itu terus terkapar. Sesaat
Maheswari menghentikan serangan atas diri anak muda itu.
"Ayo bangun. Dasar uncalan. Sekali uncalan selamanya uncalan."
Katanya berteriak menjatuhkan makian. "Ayo, lawan aku. Aku
akan melepaskan dan menganggap hutangmu atas Karkasa
Bayu lunas, jika engkau dapat mengalahkan aku". Sebuah syarat
dinyatakan gadis itu sebagai pelepas hutang.
Arga masih terkapar dan mendengarkan apa yang dikatakan
gadis itu. Semakin gadis itu menjadi kian marah, Arga semakin
menikmati suasana itu. Seperti waktu-waktu lalu, ia sangat
senang memancing gadis itu marah dan menjadi sewot. "Ah,
dasar usil, selalu saja ingin membuatnya marah dan sewot", batin
Arga menilai dirinya sendiri. "Puteri, ampun Puteri... aku mohon
ampun". Itulah kata-kata yang dulu diucapkannya untuk
menghentikan kemarahan gadis itu dan menghentikan pukulanpukulannya semasa kecil. Akan
tetapi, saat ini kata-kata itu tidak
berpengaruh menghentikan keinginan gadis itu untuk
menjatuhkan hukuman. "Ayo, bangun. Aku bilang bangun dan lawan aku". Menghampiri
orang yang terkapar di depannya, gadis itu pun kemudian
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 menendang-nendangkan kaki memaksa Arga bangun. Anak
muda itu pun telah bangun. Berdiri sekenanya.
"Bersiap-siaplah". Gadis itu seolah memberi peringatan, namun
sebenarnya sebuah ancaman.
Setelah berkata demikian, seketika itu juga Maheswari langsung
416 menyerang. Kali ini gadis itu masih menyerang dengan jurus yang
sama, yakni: Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan Langit.
Tapi, jurus itu telah dilambari dengan inti kekuatannya.
"Baik aku akan melihat sejauh mana gadis itu telah berkembang".
Batin Arga berniat menguji pencapaian Maheswari.
Kembali ia memasang tubuhnya dan membiarkan jurus-jurus itu
mengenai dirinya. "Jurus yang sangat efektif dalam menyerang
lawan". Di tengah deru serangan yang telah menghantam dirinya,
Arga memberikan penilaian. "Agaknya ia mencapai penguasaan
yang mantap dan berhasil menarik unsur-unsur udara, air, dan
api sehingga gerakan-gerakannya mampu mengalirkan sengatan.
Apabila sedikit dimatangkan, akan mampu menyengat
melumpuhkan, bahkan mematikan bagian tubuh yang
dikenainya." Demikian sengatan demi sengatan diterima oleh
pemuda itu. Setiap kali menerima sengatan itu, terdengar suara mengaduh.
Suara yang membuat hati gadis itu menjadi senang. "Rasakan
hukumanmu", batin gadis tanpa menghentikan serangannya.
"Sebuah penganiayaan, bukan suatu pertempuran", gumam salah
seorang yang mengamati di rimbunnya semak, dan telah menjadi
tidak tahan melihat pembantaian itu. Namun, lagi-lagi, seorang
yang lainnya mengurungkannya untuk keluar dari
persembunyiannya. Dua penderesan nira telah lewat, gadis itu terus memburu dan
memberikan hukuman yang menurutnya memang pantas diterima
pemuda itu. Sudah ratusan kali terdengar suara mengaduh.
Tetapi, anak muda itu masih saja dapat terus merangkak bangun
berdiri saat terpukul terkapar. Tidak ada tanda-tanda pada anak
muda itu bahwa ia akan menjadi tidak sadarkan diri. Tidak sadar
417 akibat pukulan-pukulan yang diterimanya.
Sepasang mata yang berada di kerimbunan semak itu cukup
heran. Mereka memastikan bahwa anak muda itu tidak memiliki
tanda-tanda terluka di bagian dalamnya. Padahal, ia meyakini
bahwa pukulan-pukulan gadis itu telah semakin berat seiring
dengan peningkatan Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan
Langit yang dimainkannya.
Arga kian tertarik untuk memainkan perannya. Semakin kuat
aliran sengatan itu dirasakan, maka semakin kuat ia mengaduh.
Hal itu terus berlangsung. Sebenarnya, yang menjadi korban dari
penghukuman itu bukan si anak muda, tapi justru gadis itu
sendiri. Ia telah menjadi lelah karena gerakan-gerakan yang
6 dilakukan. Gerakan-gerakan itu telah memakan simpanan
tenaganya. Hukuman yang telah dijatuhkan dan menyita tenaga
gadis itu, ternyata hanya menghasilkan suara mengaduh. Suara
gaduh yang terdengar terus mengeras.
Selepas enam penderesan nira hukuman dijatuhkan. Hukuman
berupa sentuhan-sentuhan telak melalui hantaman, tebasan,
tamparan, tendangan dan bantingan. Sentuhan-sentuhan itu
disalurkan dalam bentuk jurus-jurus andalan Merak Mas yang
telah dirampungkan oleh gadis itu. Namun, sekali lagi, yang
dihasilkannya hanyalah suara mengaduh dari mulut pemuda itu.
Suara mengaduh yang terus mengiringi ke mana tubuh pemuda
itu terpental, melayang dan terhempas jatuh ke tanah.
Lamat-lamat, gadis itu menyadari bahwa hukumannya hanya
menerbitkan suara. Sekalipun terpukul telak atau terbanting
keras, bahkan terpelanting hebat, ia melihat tidak tampak ada
darah setetes pun pada diri orang muda yang telah dihukumnya.
Tanda bahwa kulit anak muda itu tak terkoyak atau pecah terkena
418 pukulannya. Pada bekas-bekas pukulannya hanya terlihat berkasberkas memerah pada kulit, yang
sebentar kemudian menghilang. "Kurang ajar, terbuat dari apa tubuh anak ini. Tidak
ada tanda-tanda bahwa ia telah terluka", batin gadis itu.
"Biar tahu rasa, aku akan melukainya. Biar ia rasakan
hukumanku". Gadis itu mulai meningkatkan pengerahan
tenaganya untuk memainkan jurus terakhir andalah Merak Mas
yang telah dikuasainya, Merak Menggetar-guncangkan Semesta.
Ia telah merajuk hebat kepada ayah dan pamannya agar dizinkan
mempelajari jurus itu. Tidak hanya merajuk, melainkan juga
mengancam tidak akan makan minum alias mogok makan,
sampai kedua orang itu memberikan izin kepadanya mendalami
jurus pamungkas itu. Karena bujukan dari bibinya, pada akhirnya
kedua sesepuh Merak Mas mengizinkan gadis mempelajari
Merak Menggetar-guncangkan Semesta, langsung di bawah
bimbingan mereka berdua. Agaknya, izin itu terbayar lunas. Sekalipun sangat manja, gadis
itu telah bersungguh-sungguh dan bertekad kuat melakoni setiap
langkah-langkah yang dipersyaratkan dalam menguasai jurus itu.
Sudah satu setengah tahun ini, gadis itu berlaku keras dan
disiplin guna merampungkan dan memapankan jurus Merak
Menggetar-guncangkan Semesta. Upaya yang tidak percuma.
Usaha itu telah membuahkan hasil. Gadis itu mampu menguasai
Merak Menggetar-guncangkan Semesta dalam kemapanannya.
Tidak kalah bila dibandingkan dengan Janaloka, kakaknya yang
sudah dua tahun sebelumnya menjalani laku yang sama. Saat itu,
gadis telah mengambil sikapnya, untuk memulai pembukaan
teknik Merak Menggetar-guncangkan Semesta.
Melalui sikapnya itu, perlahan-lahan lima unsur alam angin, air,
419 7 api, kayu, dan swasana merasuki dirinya dan melebur bergabung.
Sedetik demi sedetik aliran lima unsur itu terserap semakin
mantap dan terus menjalani penggabungannya. Penggabungan
yang telah menghasilkan himpunan tenaga sangat kuat pada diri
gadis itu. "Biar tahu rasa", gadis itu berkata lirih hampir tidak
terdengar dan berkelebat cepat menghantamkan Merak
Menggetar-guncangkan Semesta yang telah terisi dengan tenaga
penggabungan unsur angin, air, api, kayu, dan swasana.
"DESS, DESS, DESS", tiga kali terdengar suara dari pukulan
yang telah mengena pada sasarannya. Terpukul tiga kali, tubuh
pemuda itu terhempas dan terlempar seperti daun yang tersapu,
kemudian jatuh terbanting pada jarak 10 hasta dari tempatnya
semua. Gadis itu ingin meneruskan serangannya, namun
tertahan. "Hentikan Maheswari". Bentak sebuah suara yang telah
mengurungkan serangannya. "Jangan main-main dengan Merak
Menggetar-guncangkan Semesta. Engkau bisa membunuhnya".
Orang yang tampil menghentikan gadis itu adalah Janaloka.
Sesudah berkata demikian langsung menghampiri pemuda yang
terkena Merak Menggetar-guncangkan Semesta. Pemuda itu
tampak tergolek berbaring di atas tanah. Namun, sesaat
kemudian, orang yang tadinya berbaring itu pelan-pelan telah
bangkit. Tanpa kurang sesuatu apa pun.
"Syukurlah ia dapat bangun kembali. Kalau saja Merak
Menggetar-guncangkan Semesta telah membunuhnya, tidak
terbayangkan hukuman apa yang nanti akan dijatuhkan ayah
kepadaku". Gadis itu lega setelah sebelumnya sangat gelisah dan
takut. Kedua perasaan yang muncul setelah kesadarannya
menjadi jernih oleh bentakan dari kakangnya. Bentakan kakaknya
420 telah menghapuskan awan pekat pembalasan yang telah
dilakukannya. Kegelisahan dan takut itu kemudian menyelipkan
penyesalan di hatinya. Penyesalan atas apa yang telah dibuatnya
dan berakibat pada tergolek diamnya seorang pemuda. Pemuda
yang sebenarnya masih dalam ikatan dengan dirinya. Pemuda itu
telah menjadi korban dari Merak Menggetar-guncangkan
Semesta yang telah dilepaskannya.
Melihat pemuda itu bergerak bangkit, terbit perasaan syukur
sebagaimana telah dinyatakan dalam ucapannya. Sekalipun
perasaan itu tidak menghapuskan penyesalannya. Rasa
penyesalan itu justru semakin kuat mencengkram.
Janaloka yang telah datang mendekat kemudian memapah Arga
dan keduanya berjalan ke arah gadis itu. Gadis itu hanya terdiam
berdiri dengan kepala tertunduk, tidak memiliki keberanian
memandang dua orang yang bergerak mendekatinya. Kepalanya
tertunduk dalam-dalam karena penyesalan.
"Ehmm..." Terdengar suara dari balik semak-semak diikuti oleh
kemunculan dua orang tua.
"Paman". Anak muda yang tadi telah tergolek di tanah langsung
8 menjatuhkan diri berlutut menghaturkan sembahnya.
"Mati aku! Bagaimana mungkin ayah sampai ada di sini
meninggalkan pesanggerahannya!" Gadis itu membatin dan
berdiri dengan kepala yang semakin tertunduk dan kian menjadi
takut. Orang yang dipanggil Paman itu mendekat dan memapah bangun
pemuda yang telah bersujud. "Engg?r, bangunlah. Aku sangat
mengkhawatirkan dan merindukanmu. Bagaimana keadaanmu?"
Orang yang disebutnya Paman itu menyatakan isi hatinya.
Kedua orang yang baru datang tadi adalah Ketua Samaragrawira
421 dan Ki Gilingwesi. Kalau saja tidak dalam keadaan seperti saat
itu, mungkin gadis itu akan memprotes ayahnya karena bersikap
baik terhadap pemuda yang telah menghilangkan nyawa Karkasa
Bayu. Sejak kejadian tadi, keadaan menjadi sangat berbeda.
Tidak ada setitik pun keberanian melekat pada gadis. Ia yang
sebelumnya berlaku sangat ganas, kini telah terdiam terpaku.
Terdiam karena sangat takut pada orang yang telah datang.
Sesungguhnya, Ketua Samaragrawira dan Ki Gilingwesi adalah
dua pasang mata yang sejak awal mengamati kejadian dari balik
kerimbunan semak-semak itu. Siang menjelang sore tadi, Ki
Gilingwesi telah menyampaikan kedatangan Arga kepada Ketua
Samaragrawira di pesanggerahan.
Mendengar kabar itu, Ketua Merak Mas itu sangat gembira dan
menghentikan lakunya di pesanggerahan. Ia ingin segera
bertemu dengan anak yang telah diserahkan di bawah
tanggungjawab dan pengawasannya, namun telah menghilang
tanpa jejak. Kembalinya anak telah menghapuskan rasa
bersalahnya kepada orang yang menyerahkan anak itu. Orang
yang sangat dihormatinya, yang merupakan ayah dari anak itu.
Yang telah berpesan untuk tidak mengatakan siapa dirinya,
sampai anak itu memiliki kemampuan untuk menemukannya
sendiri. Ayah anak itu telah mengatakan kepada ketua
Samaragrawira semua alasan dari apa yang dilakukannya. Dan,
Samaragrawira sangat memahami alasan di balik itu semua, dan
bersumpah untuk tetap akan menyimpan rapat-rapat alasan itu
sebagaimana diminta oleh ayah anak itu sendiri. Sekali lagi,
kembalinya anak itu telah melegakan hatinya sekaligus
menguapkan tekanan perasaan bersalah karena tidak menjaga
baik apa yang telah dipercayakan kepadanya. Sesuatu yang
422 dipercayakan oleh orang yang sangat dihormatinya.
Demikian, Ketua Samaragrawira pun menghentikan lakunya dan
didampingi oleh Ki Gilingwesi pergi menemui pemuda itu. Mereka
berjalan ke kediaman Ki Gilingwesi karena mengira pemuda itu
masih berada di sana bersama bibinya. Setiba di rumah itu,
mereka tidak mendapati pemuda itu, dan sesuai perkataan wanita
yang terakhir bersamanya pemuda itu sedang berjalan-jalan
9 melihat-lihat keadaan perguruan. Kedua sesepuh Merak Mas itu
memutuskan menunggu pemuda itu kembali ke rumah itu. Hingga
menjelang sore, yang ditunggu tidak juga muncul. Akhirnya,
wanita itu mengatakan saat ini mungkin pemuda itu sedang
bersama Maheswari seperti diminta gadis itu.
Didorong oleh kerinduannya, ketua Samaragrawira memutuskan
untuk pergi ke tempat di mana Puterinya berjanji akan bertemu
dengan pemuda itu. Begitulah, Ketua Samaragrawira dan Ki
Gilingwesi sampai ke tempat yang ditentukan anak gadisnya.
Sesampainya di tempat itu, Ketua Samaragrawira melihat dan
mendengar puterinya sedang membentak-bentak pemuda yang
dicarinya. Ki Gilingwesi menahan Ketua Samaragrawira agar
tidak memunculkan diri. Dari balik semak-semak dua Tetua Merak
Mas mengamati apa yang kemudian terjadi antara kedua anak
muda itu. Sebenarnya, Ketua Samaragrawira beberapa kali ingin
keluar menampakkan diri. Apalagi pemuda itu telah menjadi
bulan-bulanan puterinya. Keinginan itu selalu tertahan oleh Ki
Gilingwesi. Orang tua itu telah mendengar dari Ki Cutajanma
tentang kemampuan Arga. Disaksikan sendiri oleh orang tua dari
Bukit Suci itu, ia telah menghalau penghadangan tiga Wilmuka. Ki
Gilingwesi meyakini bahwa apa yang diperbuat oleh Maheswari
tidak akan berpengaruh pada anak muda itu.
423 Sebagaimana disaksikannya saat ini, memang benarlah terjadi
demikian. Anak muda itu sekalipun bertubi-tubi menerima pukulan
dari anak gadisnya, ternyata masih dapat berdiri tegak tidak
kurang sesuatu pun. Ia tetap seperti sediakala, padahal pukulanpukulan itu, khususnya tiga pukulan
paling belakangan yang merupakan puncak dari warisan Merak Mas: Merak Menggetarguncangkan Semesta.
"Nduk, mari sini". Ki Gilingwesi memanggil gadis yang berada
pada ruang sesak penyesalannya. "Arga tidak apa-apa. Tidak
usah takut, mari ke mari datanglah mendekat". Ki Gilingwesi
sangat menyayangi Maheswari sebagai anaknya sendiri untuk
mengisi kekosongan penumpahan kasihnya karena tidak
dikaruniai seorang momongan. Tidak hanya mengatakan ajakan
itu, Ki Gilingwesi telah datang dan menarik lembut gadis itu untuk
mendekat berkumpul dengan yang lainnya. Ia melakukan itu,
karena yang diminta datang tidak juga bergerak. Ia terus terpaku
oleh penyesalan dan ketakutannya.
"Bagaimana keadaan Engg?r Arga?" Tanya ketua Samaragrawira
sekali lagi untuk menegaskan keadaan pemuda itu.
"Seperti kata Paman Gilingwesi, aku memang tidak apa-apa.
Hanya memar-memar merah yang sebentar juga akan
menghilang kembali seperti sediakala". Arga menyakinkan
pamannya. "Luar biasa. Bagaimana itu bisa terjadi" Syukurlah, semua itu
terjadi demikian." Janaloka yang merasa datang terlambat untuk
mencegah tindakan adiknya menyatakan syukurnya. Namun
dalam ungkapan Putera Ketua Samaragrawira itu terkandung
10 ketidakpercayaan atas apa yang telah terjadi. Apa yang sebagian
dilihatnya sendiri.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
424 "Hyang Agung, masih mengulurkan tanganNya memberikan
perlindungan, sehingga aku tidak mengalami luka apapun oleh
serangan Puteri Maheswari". Arga tidak ingin mengatakan
kemampuannya. Semua telah menjadi sangat lega, demikian juga
Maheswari sekalipun masih dicekam oleh penyesalan dan
ketakutan. Mengumpulkan kekuatan dan keberaniannya, gadis itu
pun sedikit mendongakkan kepala dan mengarahkan pandangan
dengan sudut matanya kepada pemuda yang telah dihajarnya
habis-habisan. Melalui pandangannya yang sekilas itu, Ia
mendapati bahwa pemuda itu berdiri dalam keadaan normal.
Hendak tak hendak, ia pun menjadi heran dibuatnya. "Tak masuk
akal! Anak itu sepertinya tidak merasakan apapun setelah
menerima jurus-jurusku", gadis itu membatin.
Memastikan tidak ada apupun yang berarti terjadi pada pemuda
itu, Ketua Samaragrawira mengarahkan pandangan tajam kepada
anak gadisnya. Pandangan itu seakan-akan meminta
pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Pandangan dari Ketua pada anak gadisnya telah menjadikan
suasana terdiam membeku dan hening.
"Sudahlah, mari kita kembali ke perguruan. Kita bicarakan semua
di sana. Mari..." Kata Ki Gilingwesi memecahkan kebekuan itu.
Karena orang tua itu sudah berkata demikian, maka lima orang itu
pun perlahan beranjak pergi. Ki Gilingwesi sambil menuntun
Maheswari berjalan di muka, diikuti oleh kedua orang muda dan
Ketua Merak Mas berjalan paling belakang. Sepanjang
perjalanan, Ketua Merak Mas tidak lagi memikirkan apa yang
akan dilakukan oleh anak gadisnya, melainkan terhanyut dalam
sebuah pertanyaan: dari mana anak muda itu mendapatkan apa
yang sekarang telah dimilikinya"
425 Tidak berapa lama mereka sampai ke perguruan itu. Mereka
langsung menuju ke kediaman Ki Gilingwesi. Di sana telah ada Ki
Gardapati, Ki Antargata, Ki Cutajanma dan beberapa orang
lainnya yang lebih muda termasuk di antaranya ketiga gadis serta
perempuan tua yang merupakan isteri dari tuan rumah.
"Apa kabar Adhi Wira". Ki Cutajanma berdiri dan memeluk Ketua
Samaragrawira. Mereka berdua menyambut pertemuan itu
dengan kegembiraan. Kegembiraan dua orang yang telah
menyatakan ikatan saudara, dan telah lama tidak berjumpa.
Seperti halnya Ki Cutajanma telah memperkenalkan orang-orang
yang datang bersamanya, demikian juga Ki Gilingwesi sebagai
tuan rumah melakukan hal yang sama untuk memperkenalkan Ki
Gardapati, Ki Antargata, Puteri Rajni dan Kanistha kepada Ketua
Samaragrawira dan kedua orang anaknya. Ki Gilingwesi
menyebut bahwa empat orang itu datang ke Merak Mas bersamasama dengan Arga.
11 Demikian, mereka melanjutkan pembicaraan dengan penuh
keramahtamahan. Hanya seorang gadis, sekalipun ketakutannya
telah menjadi jauh berkurang, tampak terus terdiam membisu
dengan pertanyaan yang terus berputar: Benarkah anak itu tidak
terpengaruh oleh serangan-serangan itu" Atau ia telah rapatrapat menyembunyikan
pengaruh-pengaruh itu" Pembicaraan
mereka terhenti, saat Nyai Gilingwesi mempersilahkan semuanya
untuk makan malam. Di tengah santap malam itu, Ki Gilingwesi menyatakan sesuatu.
"Sebagaimana aku dengar dari Kakang Cutajanma, saat ini telah
muncul tiga Wilmuka yang di masa lalu tampil menggetarkan di
wilayahnya masing-masing. Kehadiran mereka tentu saja
mengundang pertanyaan besar. Pertanyaan tentang siapa yang
426 telah berhasil menarik mereka keluar dari sarangnya. Seperti
halnya pendapat Kakang Cutajanma, aku sepakat siapa pun
orang itu tentu dia adalah sosok yang sangat berpengaruh dan
perlu diwaspadai gerak langkahnya".
Menimpali itu Ki Gardapati menambahkan, bahwa salah seorang
Wilmuka itu telah terlihat oleh Arga muncul di Tembelang. Orang
tua itu memberi catatan, jika salah seorang telah muncul di sini,
bukan tidak mungkin dua lainnya juga telah berada di kota ini.
Mendengar keterangan itu, Ketua Samaragrawira, Ki Gilingwesi
dan Ki Cutajanma menjadi kaget.
"Jadi, salah seorang dari Wilmuka itu telah menampakkan diri di
kota ini". Kata Ki Cutajanma sambil memandang dua saudara
angkatnya. "Terima kasih atas keterangannya. Aku akan meminta muridmurid Merak Mas maupun
prajurit-prajurit yang ada di bawah
naunganku untuk berlaku waspada dan meningkatkan
penjagaannya." Kata Ketua Samaragrawira memberikan
penegasan. Setelah perkataan itu, tidak ada pembicaraan penting lain yang
mengemuka. Di ujung santap malam itu, Ketua Samaragrawira
menyatakan keinginan untuk mengajak berbicara kemenakannya
serta Ki Gilingwesi dan dua anaknya di pesanggerahan. Agaknya,
Ketua itu ingin mengadakan pembicaraan keluarga. Pembicaraan
keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Yang hadir menjadi
maklum adanya, dan sesaat kemudian telah melepaskan pergi
anak muda itu. Arga pun berjalan beriringan dengan Putera Ketua
Merak Mas menuju ke pesanggrahan yang dimaksudkan Ketua
itu. 427 *** Di malam yang sama, pada tempat yang berbeda. Di tengah kota
Tembelang. Di sebuah wand? (toko). Wand? yang terbilang
cukup besar dibandingkan wand? lain. Sejak senja tadi, pemilik
12 wand? itu telah sengaja menghentikan kegiatan. Menutup wand?
itu. Tujuh orang itu kembali berkumpul. Berkumpul di dalam
wand? yang berisi penuh dengan benda-benda yang dijual.
Benda-benda berupa kain dan pakaian. Aneka jenis bahan,
warna dan negeri asal buatannya. Benda-benda itu teronggok di
pinggir, karena bagian tengah dari wand? telah dipakai oleh tujuh
orang itu untuk berkumpul. Tujuh orang itu tidak lain orang-orang
yang telah bergerak atas nama Chandrakapala di puncak Gunung
Ungaran. Orang-orang yang telah membungkam legenda hidup
Danirmala Aswana Gopala menjadi legenda selamanya.
Tujuh orang itu hanya bicara sekenanya. Belum memulai yang
menjadi utama. Tidak juga memulai karena masih menunggu.
Menunggu seseorang lainnya. Dua orang di antaranya
menunjukkan ketidaksabarannya. Yang satu dengan
menggelengkan kepala sambil mengeluarkan suara dengusan
dan decakan. Yang lain memukul-mukulkan tombak kecil
miliknya. Tombak yang telah menemaninya sejak muda. Hanya
itu. Padahal dua orang itu adalah Wilmuka. Yang dapat berbuat
apa saja untuk menyatakan ketidaksukaan. Termasuk
ketidaksukaan menunggu yang telah menghilangkan kesabaran.
Tetapi tidak! Tidak! Di hadapan orang tua bermuka pucat itu.
Orang tua yang telah membuat mereka tunduk. Tunduk bukan
karena kekuasaan atau kekayaan, melainkan karena apa yang
tersimpan di dalam dirinya. Manila Widyutmala Tebah (Pukulan
428 Mata Petir Intan Biru). Dua Wilmuka itu telah melihat dengan dua
mata sendiri, ilmu mustika itu telah melontarkan sinar biru
menyambar hangus sejumlah Gopala di Gunung Ungaran. Di
hadapan Mata Petir Intan Biru, mereka telah keder susut dan
tunduk. Termasuk tunduk untuk menunggu di dalam wand?.
Menunggu orang yang tidak dikenal. Bukan siapa-siapa.
Beberapa saat kemudian, orang yang dinanti telah bergabung
dengan tujuh orang itu. Ia adalah pemilik wand? itu. Seorang
kuwad?an banija. Pedagang kain dan pakaian. Terlihat lucu dan
konyol. Seorang dengan Mata Petir Intan Biru dan empat orang
Wilmuka di tambah pendeta tua dari negeri seberang dan
seorang pejabat utama Poh Pitu, telah dipaksa menunggu.
Menunggu seorang kuwad?an banija untuk memulai sesuatu
yang akan dirancang untuk Tembelang. Sesuatu Tembelang
Geger Rancang. Rencana Menguncangkan Tembelang.
Kecuali orang tua bermuka pucat, orang-orang di dalam wand?
itu tidak mengenal laki-laki dalam wujud kuwad?an banija.
Kehadiran wujud itu kontan membuat orang-orang itu bertanya.
"Siapakah orang itu?" "Siapa kuwad?an banija yang telah
memaksa pemilik Mata Petir Intan Biru?" Pertanyaan-pertanyaan
itu akan terus menjadi misteri bagi orang-orang itu. Misteri yang
tidak akan pernah terungkap, bahkan tidak terungkap sampai
enam tokoh itu bertemu dengan ajal.
"Nakmas, silahkan".
13 "Terima kasih, Eyang". Percakapan dua itu menyimpan
kesepakatan. Kesepakatn di antara mereka untuk tidak
mengungkap hubungan Guru dan Murid. Menggantikan ikatan itu
dengan hubungan trah. Seorang yang merupakan pejabat Poh
Pitu di ruangan itu tentu menjadi sangat bingung. Ayahnya, orang
429 tua bermuka pucat itu, tidak menyembunyikan rasa hormat pada
kuwad?an banija itu. Rasa hormat yang pernah hanya
dinyatakannya kepada seorang Balaputradewa. "Apakah orang
itu adalah keturunan Balaputradewa?" Pejabat itu
mengungkapkan dugaannya di dalam hati.
Setelah kuwad?an banija itu mengambil tempatnya, orang tua
bermuka pucat itu pun mengutarakan sejumlah hal. Dikatakan
bahwa sejak Pangeran Sikara bertahta di Watugaluh, Kambang
Putih sepenuhnya telah berada di bawah pengaruhnya. Di sana
lima ribu prajurit pilihan yang dihimpun dari Tanah Sriwijaya,
dalam satu purnama ke depan, akan digerakkan turun ke selatan
dan ditempatkan di sekitar Pegunungan Kendeng. Kurang dari
tujuh pal jauhnya dari Tembelang. Prajurit-prajurit itu bersiap-siap
untuk melapis dua ribu prajurit yang akan dibawa oleh Penguasa
Watugaluh, Pangeran Sikara. Penguasa itu datang ke Tembelang
dengan kekuatannya untuk meminta pertanggungjawaban
kepada Penguasa Tembelang. Pertanggungjawaban atas
Watugaluh P?ngeran Pati di lereng Gunung Welirang. Dengan
dua kekuatan itu, setidaknya ada tujuh ribu prajurit akan
diarahkan ke Tembelang. Diarahkan di bawah kendali dirinya.
Ia tidak akan melibatkan kekuatan Poh Pitu, sekalipun sebagian
kekuatan di kota itu di bawah kendalinya. Kendali orang yang
berpakaian sebagai Pejabat Utama di wand?. Ia memang
seorang Pejabat Utama. Pejabat Utama Poh Pitu, namun
sekaligus adalah anaknya. "Biar kekuatan itu tetap tersimpan di
sana." Orang tua bermuka pucat itu berkata.
Setelah menyampaikan hal itu, orang tua bermuka pucat itu pun
meminta kuwad?an banija yang duduk di sampingnya
menyampaikan apa yang hendak dikemukakannya. "Nakmas
430 silahkan mengutarakan apa yang Nakmas ingin sampaikan". Dari
balik bajunya, kuwad?an banija itu mengambil secarik kain. Kain
segi empat berukuran dua kali dua hasta. Kain itu dipenuhi
dengan coretan-coretan. Coretan yang merupakan catatannya.
Berdasarkan coretan itu, kuwad?an banija menyampaikan
pandangannya. Semula orang-orang di sana, tidak memandang kuwad?an banija
itu. Sesaat sebelum mengutarakan pendapatnya, kuwad?an
banija itu menatap satu per satu mata orang-orang yang berada
di sana. Pertemuan tatapan mata dengan kuwad?an banija itu,
sekalipun sekilas cepat, telah membentuk penilaian dari orangorang itu terhadap kuwad?an banija.
Kendati tidak diungkapkan
14 wujudnya, penilaian mereka atas laki-laki sebagai pedagang kain
itu sama. Mata itu memancarkan wibawa dan kharisma. Bahkan,
empat Wilmuka di sana merasakan pada tatapan mata orang itu
wujud dari seorang Balaputradewa. Orang yang pernah mereka
ikuti sewaktu muda. "Orang itu jelmaan Balaputradewa".
*** "Terima kasih Eyang. Paman sekalian, aku telah menyiapkan
catatan mengenai kekuatan Tembelang. Catatan yang aku
himpun lebih dari dua purnama." Memata-matai kekuatan
Tembelang. Selama dua purnama. "Sekali lagi, ayahku telah
bergerak jauh. Jauh dari apa yang aku kira". Pejabat Poh Pitu itu
membatin. Atas dasar kain berisi catatan, kuwad?an banija itu menjelaskan
kekuatan Tembelang. Menurutnya, di Tembelang terbangun dua
kekuatan utama. Pertama, delapan ribu prajurit. Lima ratus prajurit berkuda. Dua
431 ribu lima ratus prajurit pedang tameng. Dua ribu prajurit tombak
tameng. Dua ribu prajurit gada (pemukul bergagang kayu dengan
logam besar pada ujung atas) tameng. Lima ratus prajurit panah.
Sisanya lima ratus prajurit lagi adalah prajurit-prajurit pilihan
sebagai pengaman kraton Tembelang.
Prajurit-prajurit itu menempati empat barak utama. Di empat arah
mata angin dengan kraton sebagai pusatnya. Pada masingmasing barat, ada tiga hingga empat
Senopati Utama. Senopati itu membawahi tujuh hingga delapan Senopati Madya. Senopati
Utama dan Senopati Madya itu umumnya adalah orang-orang
pilihan. Orang-orang yang ditarik oleh Samaragrawira tidak
menurut kedekatannya, melainkan atas dasar kemampuan
mereka. "Jangan remehkan keberadaan mereka. Kemampuan
mereka melebihi dua sepuluh atau bahkan lima puluh prajurit
pada umumnya". Kuwad?an banija memberikan peringatannya.
"Yang juga menjadi catatanku adalah kemampuan mereka untuk
saling melapis. Kemampuan itu telah menjadikan mereka sulit
ditembus, apalagi diceraiberaikan. Kematangan dan ketangguhan
mereka bergerak dalam barisan yang rapat, kokoh dan saling
mengisi. Mereka terlatih bergerak menurut seluruh gelar barisan
perang. Di segala laga. Kematangan dan ketangguhan itu juga
menjadi catatan tersendiri mengenai kekuatan Tembelang." Fasih
kuwad?an banija itu mengurai kekuatan prajurit Tembelang.
Orang-orang di sana semakin terbuka. Kuwad?an banija itu
"memang adalah seseorang". Bukan orang sembarangan. Ia
mengerti betul tentang dunia prajurit. Mengerti secara rinci.
Kuwad?an banija itu juga mengatakan bahwa kekuatan perang
Tembelang itu terikat dengan kekuatan di Wwatan, yang berada
16 pal jauhnya, tempat di mana Raka i Gurunwangi memerintah.
432 Wwatan itu, menurutnya, juga menyimpan kekuatan yang besar.
15 Tidak kalah dengan kekuatan yang berada di Bhumi Mataram
atau Carangsoka. "Memutuskan ikatan antara Wwatan denganTembelang
merupakan tindakan penting yang harus dilakukan. Jangan
biarkan aliran kekuatan Wwatan masuk memperkuat Tembelang.
Aku akan bertanggungjawab atas hal ini". "Bertanggungjawab
atas hal ini", perkataan itu menohok orang-orang di sana hingga
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget. Hanya orang tua bermuka pucat yang tampak tersenyum
puas. Senyum itu menyimpan kebanggaan. Bangga memiliki
murid yang sangat luar biasa ini.
"Di setiap lintas jurusan dari mana pun antara Tembelang dan
Wwatn, aku telah menempatkan orang-orangku. Orang-orang
yang telah tunduk kepadaku, karena penilaian mereka atas
kemampuanku". Kembali mereka menjadi kaget. Kaget atas
sedikit tabir yang diungkapkan oleh kuwad?an banija itu
mengenai dirinya. Dari kata-kata itu, mereka tahu bahwa yang
telah tunduk pada kuwad?an banija itu adalah orang-orang dunia
pesilatan. "Untuk itu, ada dua ratus orang bersedia membantuku.
Orang-orang itu sewaktu-waktu dapat aku kerahkan melapis
kekuatan dari Watugaluh. Aku yakin kekuatan dua ratus itu tidak
tidak kalah dengan dua ribu, bahkan lima ribu orang prajurit pada
umumnya. Mereka termasuk orang pilihan. Orang pilihanku.
Orang yang aku tarik atas dasar kemampuan mereka." Kuwad?an
banija itu mengungkapkan kekuatannya.
Lalu, kuwad?an banija itu pun menyebut beberapa nama. Namanama yang berdiri di tempat utama
kekuatan prajurit Tembelang.
Salah satu di antara nama-nama itu disebut Pangeran Janaloka.
Pangeran yang diberi catatan olehnya. "Janaloka, sekalipun
433 masih muda ia adalah Putera dari Samaragrawira. Putera Ketua
Merak Mas. Anak muda itu telah mewarisi hingga ke puncak
Jurus-jurus Merak Mas di bawah bimbingan langsung
Samaragrawira dan Saudara Seperguruannya. Selain itu, ia juga
diberkati dengan kecerdasan di atas rata-rata."
Kedua, di luar kekuatan perang itu, Tembelang memiliki
Perguruan Merak Mas. Perguruan yang terletak di sebelah
selatan Tembelang. Tidak jauh dengan salah satu barak prajurit
di sana. Setelah memberikan keterang mengenai keberadaan
Perguruan Merak Mas, kuwad?an banija itu memberikan
penilaian. "Perguruan Merak Mas telah tampil sebagai perguruan utama di
Yawadw?pa. Perguruan yang dipimpin sendiri oleh
Samaragrawira bersama-sama Saudara Seperguruannya,
Gilingwesi. Dua orang yang telah berdiri sebagai orang pilih
tanding di Bhumi Mataram. Perguruan itu memiliki lebih dari enam
ratus murid. Empat ratus di antaranya menetap di perguruan. Dua
ratus murid lainnya di luar menjalani hidup sebagai orang
kebayakan. Akan tetapi, dua ratus murid itu dapat sewaktu-waktu
bergabung dengan induknya. Dua ratus murid itu menjadi jejaring
16 hidup yang mengalirkan keterangan-keterangan menyangkut
segala perkembangan di atas Bhumi Mataram. Mengalirkan ke
pusat Perguruan. Mereka berlaku seperti tilik sandi bagi
Perguruan itu." Lebih jauh kuwad?an banija itu mengemukakan mengenai
tingkatan murid dalam Perguruan itu. "Dalam perguruan Merak
Mas terdapat lima tingkatan murid, yakni: Adhimukti
(bersemangat), Adhirajasa (tangguh), Adhipramana (penguasa
pertama), Adhigana (golongan unggul/pilihan) dan Adhyasta
434 (pengawas). Mereka telah merambah kekuatan menurut tingkatan
masing-masing. Saat ini Perguruan Merak Mas telah membentuk
lebih dari lima puluh murid menyandang tingkatan Adhigana
(golongan unggul/pilihan). Tingkatan murid yang setidaknya telah
menguasai lima jurus utama Perguruan itu. Merak Mas Merah
Membara, Merak Mengayun 1000 Hasta, Merak Melontarkan
Halilintar ke Sembilan Langit, Merak Membalik Arus Jagat Raya
dan Merak Membuka Sirkulasi Jalan Langit."
Sebagai lanjutan dari catatannya, kuwad?an banija itu
memberikan peringatan. "Paman sekalian, satu hal yang juga
telah aku catat adalah ikatan antara Perguruan itu dengan Butala
Wyaghra (Macan Bumi) dan Salaka Banth?ng (Banteng Perak).
Dua perguruan di Wwetan. Sebagaimana kekuatan perang dua
kota itu terikat, perguruan-perguruan itu juga telah saling terikat.
Terikat sejak lama. Seperti terhadap Perguruan Merak Mas, aku
pun telah membayang-bayangi dua Perguruan di Wwatan itu.
Membayang-bayangi dengan kekuatan yang cukup untuk
menghambat. Sekeder menghambat dua Perguruan itu secara
cepat mengalirkan bantuan kekuatan kepada Perguruan Merak
Mas." Agaknya, orang-orang di sana terlihat sudah mulai dapat
dijinakkan oleh kuwad?an banija itu. Hanya menunggu waktu bagi
mereka, untuk tunduk jinak sebagaimana di hadapan orang tua
pucat. "Catatanku terakhir, Perguruan Merak Mas juga menyimpan
Bawana Manyura Sapta (Tujuh Merak Dunia). Tujuh orang yang
telah dipilih dan dididik serta dibentuk selama sepuluh tahun lebih
oleh dua Tetua Perguruan itu. Kemampuan tujuh orang itu hanya
sedikit selisih dengan dua orang yang telah membentuknya.
Terhadap mereka aku sudah menetapkan sebuah rencana."
435 Kuwad?an banija mengutarakan catatan terakhirnya. Tujuh Murid
Utama Perguruan Merak Mas.
*** Pertemuan di wand? itu telah membedah panjang lebar kekuatan
yang dimiliki dan kekuatan yang akan dihadapi. Seterusnya,
orang tua bermuka pucat itu pun membagi tugas. Ia akan
beberapa kali di Watugaluh memastikan kesiapan kekuatan di
sana. Kemudian ia meminta sahabat-sahabatnya membayangbayangi Tembelang. Empat Wilmuka
17 dari masa silam. Kepada orang yang tampil sebagai Pejabat Poh Pitu, ia meminta
agar segera pergi ke Kambang Putih. Pergi bersama dengan
Pendeta dari negeri seberang. Ke Kambang Putih untuk
kemudian segera bergerak bersama senopati-senopati dan
prajurit-prajurit yang telah disiapkannya ke Pengunungan
Kendeng. Lalu, menunggu perintahnya untuk mengarahkan
kekuatan itu ke Tembelang.
Terhadap kuwad?an banija itu, orang tua bermuka pucat
sepenuhnya menyerahkan apa pun yang hendak dilakukannya.
Apapun itu! Orang tua itu pun mengatakan bahwa menjelang satu setengah
purnama menjelang pengerahan kekuatan ke Tembelang, sebuah
pertemuan akan kembali digelar. Digelar dengan melibatkan
banyak bagian yang akan turut serta dalam pengerahan kekuatan
ke Tembelang. Pertemuan itu akan dilangsungkan di atas sebuah
bukit dekat sebuah padepokan. Padepokan yang asri. Pertemuan
itu merupakan persiapan akhir atas Tembelang.
436 *** Delapan belas penderesan nira telah lewat. Pertemuan di wand?
itu akan tiba pada ujungnya. Sebelum membubarkan diri, Muka
Iblis mengatakan sesuatu. Sesuatu yang sepanjang pertemuan
itu ditahannya. Ditahan agar tidak memberikan kejutan yang
mempengaruhi pembicararaan pada pertemuan itu.
"Kakangmas Pangeran. Kami bertiga telah mendapati jejak
Abhinaya di Tembelang." Kakek yang memengang tombak
pendek adalah orang yang paling terkejut dengan berita itu.
Jingga Untuk Matahari 1 Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Warisan Laknat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama