Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
"Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Hemmmm, engkau takut"
Musim dingin baru tiba. Bunga-bunga salju kecil ringan
bagaikan kapas melayang-layang turun dari langit,
bertebaran menutupi segala benda di permukaan
bumi. Di mana-mana tampak putih, putih bersih
menyedapkan penglihatan. Biasanya, pada awal
musim salju, segalanya tampak indah. Warna keputihputihan yang bersih itu diselingi warna totol-totol
hitam dari benda berwarna yang luput dari tutupan
salju, bagaikan hiasan di atas dasar putih, tampak
indah sekali. Tentu saja, seperti sudah menjadi watak manusia,
segala yang pada mulanya tampak indah itu tidak
berlangsung selamanya. Segala sesuatu di dalam
dunia ini hanya pada mulanya saja dapat dinikmati
manusia. Pemandangan indah itu dalam waktu yang
tidak lama akan terlihat membosankan, menjemukan
dan tidak lagi menyenangkan. Hawa udara yang
tadinya terasa sejuk segar akan segera terasa dingin
menusuk tulang. Dinginnya hawa udara memang amat menusuk,
terutama di puncak bukit Heng-san yang menjulang
tinggi. Semua pohon di hutan-hutan yang memenuhi
bukit itu, yang biasanya kaya dengan warna hijau
daun-daun, kini tertumpuk salju. Daun-daun hijau
telah rontok meninggalkan cabang-cabang dan
ranting-ranting gundul yang kini telah dicat putih oleh
salju. Jarang tampak binatang hutan yang dahulunya
banyak. Entah ke mana mereka pergi bersembunyi
menyelamatkan diri dari musim dingin yang
terkadang terasa kejam bagi mereka itu.
Keadaan di bukit Heng-san seakan-akan mati. Sunyi
sekali, agaknya tidak ada mahluk hidup yang berani
meninggalkan tempat berlindung pada saat hawa
sedingin itu. Akan tetapi kiranya tidak demikian! Lihat di lereng
dekat puncak itu! Dua sosok bayangan manusia
sedang bergerak menuruni lereng yang amat terjal.
Ada sesuatu yang aneh. Dua orang manusia itu
bergerak demikian cepatnya menuruni lereng yang
terjal dan berbahaya, menerjang hujan salju seolaholah tidak merasa dingin. Sepatutnya hanya sebangsa
kera saja yang akan mampu bergerak sedemikian
cekatan menuruni lereng yang terjal. Apalagi setelah
dua sosok bayangan itu dilihat dari dekat. Orang akan
menjadi semakin heran. Seorang dari mereka adalah kakek berjenggot
panjang. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih
semua, seperti benang-benang sutera putih, berkibarkibar ketika dia bergerak. Bahkan alisnya juga sudah
putih semua, bukan putih oleh salju, melainkan putih
uban. Pakaiannya amat sederhana, pakaian petani
dan bentuk tubuhnya yang kurus itu masih tampak
tegak dan kuat walaupun usianya tentu sudah
mencapai tujuhpuluh tahun lebih.
Adapun orang kedua juga menimbulkan keheranan
bagi yang melihat mereka tadi menuruni lereng yang
terjal itu. Orang kedua ini ternyata seorang gadis
muda yang usianya paling banyak baru delapanbelas
tahun. Rambutnya hitam tebal dikepang menjadi dua
kuncir panjang tebal yang bergantungan di kanan kiri
lehernya, panjang sampai ke punggung.
Mengherankan memang melihat seorang kakek tua
dan seorang gadis muda bergerak demikian cekatan
dan lincah melalui tebing terjal dalam hujan salju
yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang.
Dan keduanya kini melangkah dengan wajah berseri
dan tetap segar, sama sekali tidak tampak kelelahan
maupun kedinginan. Akan tetapi kalau orang sudah
mengenal siapa mereka, tentu tidak akan merasa
heran lagi. Kakek itu adalah seorang yang amat terkenal di dunia
kang-ouw (sungai telaga) dan bu-lim (rimba
persilatan), bahkan para penjahat ganaspun kiranya
akan cepat lari bersembunyi dengan tubuh gemetar
ketakutan kalau melihat kakek itu. Dia bukan lain
adalah datuk persilatan yang dikenal dengan julukan
Sin-kiam Lojin (Kakek Tua Pedang Sakti) dari Hengsan yang memiliki tingkat tinggi sekali dalam dunia
persilatan. Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pedang yang telah
berhasil merangkai jurus-jurus ilmu pedang yang
kabarnya belum pernah terkalahkan sehingga dia
dijuluki Si Pedang Sakti. Karena ilmunya yang tinggi,
maka tubuhnya yang sudah tua itu amat kuat
sehingga setua itu dia masih mampu bergerak
menuruni lereng terjal itu dengan cepat tanpa merasa
lelah dan juga tidak kedinginan walaupun diterpa
hujan salju. Adapun gadis muda itu, yang berwajah manis sekali,
hanya dikenal dengan nama Bwee Hwa, adalah murid
Sin-kiam Lojin. Maka, tentu saja ia sudah mewarisi
ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek itu dan tidaklah aneh
kalau ia mampu bergerak cepat tanpa kelelahan dan
kedinginan. Gadis ini cantik jelita dan tampaknya
demikian lemah gemulai sehingga melihat wajah dan
bentuk tubuhnya, tidak akan ada orang menyangka
bahwa dalam tubuh yang indah dan sempurna lekuk
lengkungnya itu terkandung kekuatan yang amat
dahsyat dan ilmu silat yang amat lihai.
Wajahnya bulat telur, dengan sepasang mata yang
lebar, jeli, bercahaya jernih akan tetapi terkadang
dapat mencorong tajam penuh wibawa. Hidungnya
kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah sekali.
Sepasang bibir yang selalu merah segar itu amat
menggairahkan. Tubuhnya yang padat dan indah,
dengan kulit putih mulus itu mengenakan pakaian
yang indah sekali, jauh berbeda jika dibandingkan
pakaian Sin-kiam Lojin. Baju dan celananya terbuat
dari sutera halus berwarna merah dengan sulaman
kembang kuning di sana-sini.
Ia memakai sebuah baju luar berwarna kuning emas
yang berkibar-kibar di belakang, terkadang kalau
terhembus angin berkembang mirip sayap lukisan
bidadari. Ketika jubah itu tersingkap, tampaklah
sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah,
tergantung di pinggang kiri. Sepatunya memakai sol
besi dan berwarna hitam mengkilap. Bentuk tubuh
dengan lekuk lengkung sempurna itu sedang saja dan
tampak serasi, hanya rampingnya pinggang dan
panjangnya leher dan kaki membuat ia tampak
jangkung. Guru dan murid itu berjalan cepat menuruni bukit,
berjalan berdampingan tanpa bercakap-cakap. Kakek
itu tampak tenang-tenang saja, akan tetapi si dara
tampak gelisah atau tidak senang, sepasang alis yang
hitam kecil melengkung itu berkerut. Pandang
matanya juga menunjukkan bahwa hatinya sedang
murung. Setelah menuruni lereng-lereng terjal, terkadang harus
melompati jurang, akhirnya mereka tiba di kaki bukit,
dan mereka berhenti di sebuah jalan simpang tiga.
Mereka saling pandang dan kakek itu berkata,
suaranya besar dan penuh wibawa.
"Nah, Bwee Hwa, akhirnya tiba juga saatnya bagi kita
untuk berpisah. Engkau ambillah jalan menuju ke
timur ini, sedangkan aku akan mengambil jalan
menuju ke barat." Suhu (guru) tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu
terpejam. Bwee Hwa menahan agar kedua matanya
yang terasa panas itu tidak sampai menitikkan air
mata. "......mengapa suhu tidak mengijinkan teecu
(murid) mengembara bersama suhu! Selama teecu
belajar dan ikut suhu, belum pernah teecu dilepas
seorang diri di dunia yang luas ini?"" ucapan itu
mengandung penuh permohonan.
Sin-kiam Lojin mengerutkan alisnya yang putih,
menatap tajam wajah muridnya penuh selidik dan
kedua tangannya bertolak pinggang, sikapnya
berwibawa sekali. "Hemmmm, apa pula ini" Engkau?" takut?"?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan suhunya, tibatiba Bwee Hwa mengangkat mukanya dan
memandang suhunya dengan sinar mata tajam.
Kemuraman yang tadi menyelubungi wajahnya yang
jelita itu lenyap seketika dan sepasang matanya
bersinar-sinar, kepalanya tegak.
"Suhu! Teecu takut" Apakah teecu bukan murid suhu"
Ah, teecu sama sekali tidak takut dan tentu suhu juga
tahu betul akan hal ini. Akan tetapi, setelah hidup
bersama suhu selama kurang lebih sepuluh tahun
lamanya, dan selama itu suhu telah melimpahkan
budi kebaikan kepada teecu, mendidik, memelihara,
berupaya dengan susah dan penuh kasih sayang
untuk menjadikan teecu seperti yang suhu harapharapkan, kini?" suhu melepaskan teecu pergi begitu
saja...." "Muridku, memang demikianlah keadaan dalam
kehidupan ini, sesuai dengan hukum alam, tiada yang
kekal di dunia ini. Ada waktunya bertemu, ada
waktunya berkumpul dan ada waktunya berpisah."
"Suhu benar sekali. Akan tetapi, suhu telah teecu
anggap seperti orang tua sendiri dan teecu belum
diberi kesempatan untuk membalas semua budi
kebaikan suhu. Suhu sekarang sudah tua, teecu ingin
merawat suhu dan biarkanlah teecu membalas budi
sebagai seorang murid atau anak yang berbakti."
Sin-kiam Lojin menghela napas panjang, bukan
karena duka, melainkan karena lega dan senang.
"Bwee Hwa, engkau tidak mengecewakan hati
gurumu. Tidak sia-sia kiranya aku menculikmu dahulu
dan mengambilmu sebagai murid. Akan tetapi engkau
tidak usah merasa berhutang budi kepadaku, Bwee
Hwa. Engkau tidak berhutang apapun kepadaku,
karena akupun tidak merasa menghutangkan apa-apa
kepadamu. Aku tidak merasa telah memberi apapun
kepadamu dan kalau pelajaran ilmu silat itu kau
anggap sebagai pemberian, akupun tidak kehilangan
apa-apa. Asal engkau mempergunakan semua ilmu
itu untuk membela kebenaran dan keadilan,
menantang kejahatan, itu berarti engkau telah
membayar segala jerih payahku mengajarimu, juga
membayar segala jerih payahmu sendiri ketika
mempelajari kepandaian itu. Tentang berbakti tadi....
hemm, engkau masih mempunyai orang tua, kepada
merekalah engkau harus berbakti."
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hwa akan keadaan
dirinya dan ia menatap wajah gurunya. "Teecu hampir
lupa akan ayah ibu teecu. Setelah kini suhu ingatkan,
harap suhu memberitahu, di mana teecu dapat
menemukan mereka?" Sin-kiam Lojin menghela napas lagi, sekali ini helaan
napasnya karena dia seakan-akan merasa menyesal
telah mengingatkan muridnya akan orang tuanya.
"Bwee Hwa, terus terang saja, aku sendiri tidak tahu
di mana adanya orang tuamu karena mereka tidak
memiliki tempat tinggal yang tetap."
Bwee Hwa mengerutkan alisnya. "Tidak apa, suhu.
Tolong suhu beritahu saja siapa nama ayah teecu
karena sesungguhnya teecu telah lama lupa sama
sekali akan nama ayah dan ibu."
"Nama aselinya akupun tidak tahu. Akan tetapi
ayahmu terkenal dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan
(Lutung Putih Tangan Sembilan)."
Bwee Hwa merasa penasaran. Sejak ia ikut dengan
gurunya, setiap kali ia tanyakan, gurunya seolah tidak
mengacuhkan pertanyaannya tentang orang tuanya
dan sekarang ia menduga bahwa ayahnya yang
mempunyai julukan seperti itu, tidak salah lagi tentu
seorang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai
seorang ahli silat yang pandai.
"Apakah yang menjadi pekerjaan ayah, suhu?"
"Aku tidak dapat menceritakan kepadamu, Bwee
Hwa," Sin-kiam Lojin menggeleng-geleng kepalanya.
"Pernah kuceritakan kepadamu bahwa dahulu aku
menculikmu karena aku melihat engkau berbakat
baik dan aku ingin mengambil engkau sebagai
muridku. Ketika engkau kubawa lari, aku mendengar
orang memanggilmu dengan nama Bwee Hwa. Ketika
itu engkau berusia kurang lebih delapan tahun. Tentu
engkau akan dapat mengenal wajah orang tuamu
kalau engkau bertemu dengan mereka. Cari saja
Kauw-jiu Pek-wan dan engkau tentu akan bertemu
dengan ayah ibumu. Percayalah bahwa kelak kita
tentu akan dapat saling berjumpa lagi. Baik-baiklah
engkau menjaga dirimu dan setiap menghadapi
persoalan ingatlah akan semua petuah dan nasihatku
agar engkau selalu mengikuti jalan yang ditempuh
para pendekar. Nah, selamat berpisah, Bwee Hwa!"
Sehabis berkata demikian, kakek itu mengebutkan
lengan bajunya dan tubuhnya berkelebat ke arah
barat. Bwee Hwa menggerakkan tangannya hendak
mengejar, namun ia ingat akan watak suhunya yang
aneh dan keras. Sekali suhunya mengeluarkan katakata, tidak akan ditarik kembali atau ditunda-tunda.
Maka iapun lalu menjatuhkan dirinya berlutut ke arah
perginya Sin-kiam Lojin sebagai penghormatan
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terakhir. Hatinya disentuh keharuan dan tak terasa lagi air
matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya.
Ia merasa betapa ia sangat mencinta dan
menghormat gurunya yang ia anggap sebagai
pengganti orang tuanya itu.
Ketika akhirnya ia bangkit berdiri sambil mengusap air
matanya dengan ujung lengan baju, ia teringat akan
ayah ibunya. Ia lalu duduk di atas sebongkah batu
besar yang berada di tepi jalan dan mengingat-ingat,
mengenang masa kecilnya. Samar-samar ia ingat bahwa ayahnya adalah seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar yang mukanya penuh
cambang bauk yang hitam. Wajah ayahnya itu gagah
sekali dan juga menyeramkan seperti harimau. Yang
terbayang dalam benaknya adalah bahwa suara
ayahnya itu besar dan lantang, dan sepasang
matanya lebar dan bundar, pandang matanya tajam.
Ia lalu mencoba untuk mengingat-ingat wajah ibunya
dan terbayanglah dibenaknya wajah seorang wanita
yang cantik berkulit putih dan wajahnya selalu
kepucat-pucatan dengan sepasang mata yang selalu
tampak sayu dan sedih. Mengingat ibunya, hatinya
kembali diliputi keharuan dan bibirnya gemetar ketika
ia berbisik, "Ibu?""
Kini ia hidup seorang diri. Dilepas sendirian di dunia
yang luas ini, ia sama sekali tidak merasa khawatir
atau takut. Ia hanya merasa kesepian. Dulu telah
beberapa kali suhunya membawa ia berkeliling dari
dusun ke dusun lain sehingga ia tidak merasa terlalu
asing akan keadaan dusun-dusun dan kota. Juga di
dalam buntalan pakaiannya yang tergantung di
punggungnya terdapat beberapa potong uang perak
pemberian suhunya untuk bekal dalam
perantauannya. Kalau ia kehabisan uang untuk biaya perjalanannya,
suhunya berpesan bahwa boleh saja ia mengambil
uang dari tangan para gerombolan perampok, atau
dari rumah seorang pembesar yang terkenal korup,
atau dari rumah seorang hartawan yang kikir dan
suka menggunakan harta benda untuk berbuat
sewenang-wenang. Setelah menenangkan hatinya, Bwee Hwa lalu
membenarkan letak buntalan pakaiannya,
mengencangkan tali sepatu dan ikat pinggangnya, lalu
berangkatlah ia menuju ke timur. Dengan hati tabah
dan tekad bulat, ia mulai dengan pengembaraannya
tanpa tujuan tertentu kecuali hendak mencari orang
tuanya yang hanya dikenal sebagai Kauw-jiu Pekwan dan akan mempergunakan semua kepandaian
yang telah dikuasainya untuk membela kebenaran,
keadilan dan kebaikan. "Y" Kota Ki-ciu merupakan kota yang makmur dan ramai
dikunjungi para pedagang dari daerah-daerah lain.
Kota ini memiliki daerah petanian dan perkebunan
yang subur dan terkenal sebagai daerah yang
menghasilkan banyak buah-buahan, palawija, bahkan
rempa-rempa. Hasil bumi yang banyak itu banyak
dicari para pedagang yang membawanya ke luar
daerah sehingga keadaan kota Ki-ciu menjadi ramai,
penduduknya mendapatkan penghasilan yang cukup
sehingga kehidupan mereka lebih makmur
dibandingkan penduduk kota lain yang tidak memiliki
tanah sesubur di daerah Ki-ciu. Karena keadaannya
yang baik ini, makin lama kota Ki-ciu menjadi
semakin besar. Ba?nyak pedagang menanamkan modalnya di situ,
dan banyak penduduk daerah lain pindah ke daerah
Ki-ciu untuk mencari nafkah. Kotanya sendiri semakin
besar. Banyak toko-toko menjual segala macam
kebutuhan. Banyak pula rumah makan dan rumah
penginapan untuk melayani para pendatang dan
pedagang yang bermalam di kota itu. Rumah-rumah
besar dibangun untuk mengganti rumah-rumah butut.
Tanah di daerah Ki-ciu, terutama di dalam kota,
menjadi mahal sekali. Rumah-rumah besar dan bagus
yang berderet-deret di sepanjang jalan raya kota itu
menjadi lambang kemakmuran kota.
Pada suatu hari, kota Ki-ciu menjadi lebih ramai dari
pada biasanya. Orang-orang yang berlalu-lalang di
jalan raya, di daerah toko-toko dan rumah-rumah
besar, tampak berseri-seri, dan banyak rumah yang
dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga
dan daun-daunan. Suasananya seperti kalau
penduduk menyambut hari besar atau hari raya.
Padahal hari itu tidak merupakan hari raya. Namun,
penduduk kota Ki-ciu menyambut hari itu seperti
sedang merayakan sesuatu yang menggembirakan.
Memang, sebagian besar penduduk Ki-ciu sedang
bergembira, menyambut dan ikut merayakan hari
ulang tahun Thio-taijin (Pembesar Thio) yang menjadi
jaksa di kota Ki-ciu. Sungguh amat mengherankan
kalau penduduk menyambut gembira perayaan hari
ulang tahun seorang pembesar, apa lagi seorang
jaksa! Padahal, pada waktu itu, pada umumnya
rakyat membenci para pembesar yang mereka
anggap sebagai penguasa yang suka menyalahgunakan kekuasaan mereka, sewenang-wenang
terhadap rakyat dan suka melakukan korupsi.
Akan tetapi, Thio-taijin terkenal sebagai seorang
bangsawan dan jaksa yang adil dan jujur, dengan
tegas dan adil membela kebenaran, suka membela
rakyat kecil sehingga tidak mengherankan apabila dia
disegani dan dicinta oleh penduduk kota Ki-ciu.
Namun, seperti lajim terjadi di bagian manapun di
dunia ini, kalau ada yang diuntungkan pasti ada pula
yang dirugikan. Kalau yang diuntungkan mencinta
jaksa Thio yang adil itu, pasti banyak pula yang
membencinya, yaitu mereka yang merasa dirugikan
oleh keadilan sang jaksa. Yang jelas, para penjahat
amat membenci Jaksa Thio karena dia tidak pernah
memberi ampun kepada penjahat yang tertangkap.
Dan tidak segan menjatuhkan hukuman berat kepada
para pemerkosa, perampok, pencuri, penipu dan
sebagainya. Selain para penjahat, juga banyak hartawan
membencinya, yaitu para hartawan yang suka
bertindak sewenang-wenang mengandalkan
hartanya, ingin menjadi "raja kecil", suka membeli
tanah rakyat kecil dengan paksa. Mereka ini
membentur karang dan tidak berdaya menghadapi
Jaksa Thio karena dalam segala perkara yang
diajukan di pengadilan, Jaksa Thio bertindak tegas dan
adil, memenangkan yang benar dan mengalahkan
yang salah. Para hartawan itu sama sekali tidak
mampu untuk menyogok atau menyuapnya. Bahkan
yang berani coba-coba, ditindak tegas dan dihukum!
Para pembesar lain di kota Ki-ciu tidak ada yang
berani banyak ulah berbuat sewenang-wenang
mengandalkan kekuasaannya karena tentu akan
ditentang Jaksa Thio. Mereka ini "terpaksa" ikut
menjadi baik pula. Keadaan inilah yang menambah
tenteram dan makmur para penduduk kota Ki-ciu.
Pagi itu Bwee Hwa memasuki kota Ki-ciu yang
sedang dalam suasana gembira itu. Gadis yang
bagaikan seekor burung baru meninggalkan
sarangnya itu merasa gembira sekali. Ia berjalan
perlahan, memandangi ke kanan kiri, memuaskan
pandang matanya yang mengagumi keindahan
gedung-gedung dengan cat beraneka warna dan ukirukiran yang menghias wuwungan atap dan tiangtiangnya. Bahkan ia menjadi agak bingung melihat
banyaknya orang lalu lalang di atas jalan raya, di
depan toko-toko bagaikan rombongan semut!
Ketika tiba di depan sebuah kuil, ia menghentikan
langkahnya dan memandang dengan penuh
kekaguman. Pernah ia melihat kuil-kuil di dusun yang
dilewatinya, akan tetapi tidak seperti ini. Kuil-kuil itu
kecil sederhana saja. Akan tetapi kuil ini besar,
dengan ukiran-ukiran dan tata warna indah sekali. Di
atas atapnya terdapat ukir-ukiran sepasang naga
sedang memperebutkan sebuah bola mustika. Di
depan kelenteng terdapat banyak arca besar yang
menggambarkan perajurit-perajurit yang gagah
perkasa, arca yang besar dan megah. Dari dalam
kelenteng tampak asap mengepul keluar dan tercium
bau hio (dupa) yang harum.
Kuil ini menjadi tempat pemujaan terhadap Kwan
Kong atau Kwan In Tiang, seorang panglima besar,
seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktian,
kegagahan, kesetiaan dan kejujurannya dalam kisah
lama Sam Kok (Tiga Negara). Kuil ini memang
terpelihara baik-baik karena Jaksa Thio adalah
seorang pemuja Kwan Kong dan dia merayakan hari
ulang tahunnya di kuil itu. Jaksa inilah yang
membiayai pemeliharaan kuil sehingga masih tampak
terawat dan indah. Pada saat itu, orang-orang memenuhi halaman kuil,
bahkan banyak yang berdesak-desakan di jalan raya
depan kuil. Mereka berdesakan hendak melihat Jaksa
Thio sekeluarga yang sedang menyalakan lilin-lilin dan
hio, kemudian melakukan sembahyang di depan arca
Kwan Kong yang sangat besar. Sebetulnya, hal ini
sama sekali tidak aneh dan tidak ada harganya untuk
ditonton. Apakah anehnya orang sembahyang" Akan
tetapi ada sesuatu yang amat menarik perhatian
sekalian banyaknya penonton yang sebagian besar
adalah laki-laki itu. Bwee Hwa yang berada di antara mereka mendengar
percakapan mereka dan segera ia tahu bahwa yang
membuat orang berjubal di tempat itu adalah untuk
melihat seorang gadis yang ikut melakukan
sembahyang dalam keluarga dalam kuil itu. Ia sendiri
tidak mau berdesakan dan segera menjauh, lalu ia
mendekati seorang wanita setengah tua yang juga
ikut menonton dari kejauhan.
"Bibi yang baik, tolong tanya. Siapakah keluarga yang
sedang bersembahyang di kuil itu dan kenapa begitu
banyaknya orang berdesakan untuk menonton. Dan
pula, suasana dalam kota ini seperti Orang-orang
sedang merayakan pesta, ada perayaan apakah
sebetulnya?" Wanita setengah tua itu memandang kepada Bwee
Hwa dan matanya terbelalak kagum. Jelas bahwa ia
merasa kagum sekali akan kecantikan Bwee Hwa
dengan pakaiannya yang berwarna merah dan
mencolok indah itu. "Aduh, nona. Kukira Thio-siocia (Nona Thio) sendiri
yang datang di depanku! Aih, engkau tidak tahu apa
yang terjadi dan tidak mengenal keluarga yang
sedang bersembahyang dan menjadi tontonan" Kalau
begitu, mudah saja menduga bahwa engkau tentu
bukan orang sini!" "Memang benar, bibi. Akan tetapi orang-orang itu
berdesakan ingin melihat gadis itu. Siapakah ia?"
"Ia adalah Thio-siocia dan engkau mirip sekali
dengannya, nona. Coba lihat, sungguh mirip! Heii,
kalian lihatlah, bukankah nona ini mirip Thio-siocia?"
Wanita itu tidak memberi keterangan kepada Bwee
Hwa malah berteriak-teriak untuk menarik perhatian
orang. http://cerita-silat.mywapblog.com
. Penyelamatan Keluarga Thio-taijin
Beberapa orang laki-laki yang sedang berdesakan itu
melotot dan mereka terbelalak memandang kepada
Bwee Hwa dengan penuh kagum. Memang gadis ini
mirip Thio-siocia, cantik jelita, bahkan lebih cantik
ditambah gagah lagi. Mereka berseru kagum dan
seruan ini membuat sebagian besar pria yang sedang
menonton ke dalam menengok. Ketika mereka
melihat Bwee Hwa, mereka semua memutar tubuh
dan kini lebih banyak pria yang menengok ke luar
daripada yang memandang ke dalam!
Tadinya para penonton pria memang terkagumkagum kepada seorang gadis yang ikut
bersembahyang. Gadis itu adalah puteri Jaksa Thio
yang bernama Thio Cin Lan. Ia memang cantik sekali,
bahkan terkenal sebagai kembangnya kota Ki-ciu!
Sebagai puteri bangsawan tentu saja Cin Lan jarang
sekali memperlihatkan diri di depan umum dan
karena itu, semakin banyak saja pemuda yang
merindukannya. Bukan saja rindu karena berangan-angan kosong
untuk memilikinya sebagai isteri, namun juga rindu
untuk sekadar melihat dan mengagumi
kecantikannya. Karena itu, tidak mengherankan kalau
banyak sekali pemuda berdesakan di depan kuil itu
hanya sekadar untuk dapat melihat wajah dan tubuh
gadis yang disohorkan cantik jelita itu.
Thio Cin Lan atau penggilannya Thio-siocia (Nona Thio)
bukan tidak maklum akan hal ini. Ia maklum bahwa
dirinya menjadi pusat perhatian, maka ia
bersembahyang dengan muka tunduk dan kedua
pipinya yang putih mulus itu kemerahan karena ia
merasa malu. Betapapun juga, ia tidak marah, bahkan
sebaliknya, di lubuk hatinya ia merasa bangga dan
girang, dan jantungnya berdebar.
Beberapa kali ia mencuri dengan sudut matanya
mengerling keluar dan ia tersenyum geli melihat
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
betapa pandang mata para pemuda itu bagaikan
mata harimau yang kelaparan. Dan setiap kali ia
mengerling dengan sudut matanya, setiap orang lakilaki merasa bahwa dirinyalah yang dilirik!
Akan tetapi tiba-tiba suasana di luar kelenteng (kuil)
itu berubah. Para penonton pria itu banyak yang
berbalik menonton keluar. Hal ini membuat Cin Lan
merasa tidak senang dan heran. Ia cepat
menyelesaikan sembahyangnya, kemudian ia
memandang keluar. Karena tempat sembahyang itu
agak tinggi, maka ia dapat melihat kepala dan dada
Bwee Hwa dan tahulah ia bahwa gadis berpakaian
merah itulah yang menjadi sebab para penonton
membalik keluar dan tidak memperhatikan dirinya
lagi. Ia merasa tertarik kepada gadis berpakaian
merah itu dan segera berbisik kepada ayahnya.
"Ayah, di luar ada seorang gadis yang agaknya
sangat ingin menonton perayaan kita dari dekat.
Kasihan ia berdesak-desakan di luar. Iebih baik suruh
ia masuk saja, ayah."
Jaksa Thio adalah seorang tua yang baik hati.
Pembesar yang usianya kurang lebih limapuluh tahun
ini selain menjadi pejabat yang bijaksana, juga amat
mencinta puterinya. Mendengar ucapan Cin Lan, dia
segera berpaling dan memandang keluar. Dia segera
dapat melihat siapa yang dimaksud puterinya. Melihat
gadis berbaju merah itu menjadi pusat perhatian para
penonton, Jaksa Thio lalu turun dari atas tempat
sembahyang dan berkata kepada para penonton.
"Hai, saudara-saudara, berilah jalan kepada nona baju
merah yang berdiri di luar itu agar ia dapat masuk!"
Kemudian dia memandang kepada Bwee Hwa dan
berseru, "Nona baju merah, silakan masuk saja, tidak
baik berdesakan di luar!"
Melihat keramahan laki-laki tua berpakaian indah itu,
Bwee Hwa merasa senang. Ia melihat wajah laki-laki
yang berwibawa namun ramah dan sikapnya lembut,
juga hormat kepadanya. Maka iapun tersenyum dan
mengangguk. Kemudian ia melangkah masuk dan
karena ia terhalang banyak orang, ia menggunakan
kedua tangannya untuk mendorong perlahan ke
kanan kiri, membuka jalan.
Dasar para pemuda, di mana-manapun sama saja.
Melihat gadis baju merah yang jelita ini menggunakan
tangan mendorong ke kanan kiri, banyak di antara
mereka sengaja berdiri menghalang agar didorong
dan disentuh tangan yang putih mulus itu. Inilah
kesempatan untuk bersentuhan dengan gadis cantik
jelita itu! Akan tetapi, kalau tadinya mereka menanti sentuhan
sambil tersenyum-senyum memasang gaya, pada
saat tangan lembut itu mendorong perlahan, mereka
terbelalak kaget dan senyum mereka seketika
berubah menjadi seruan kaget karena mereka
terdorong ke kanan kiri seperti dilanda gempa bumi
saja! Mereka yang tidak menggunakan tangan untuk
melawan dorongan itu, hanya terdorong minggir saja.
Akan tetapi mereka yang menggunakan tenaga untuk
melawan dan menahan dorongan Bwee Hwa, merasa
tubuh mereka dilanda tenaga raksasa sehingga
mereka menubruk orang di sampingnya dan
terhuyung! Hal ini hanya diketahui dan dirasakan oleh mereka
yang bersangkutan saja. Thio-taijin sekeluarga dan
orang lain tidak mengetahuinya sedangkan mereka
yang merasakan tentu saja merasa malu untuk
menceritakan betapa mereka terdorong sampai
terhuyung oleh tangan halus gadis itu yang
tampaknya hanya mendorong dengan perlahan saja.
Biarpun jarang bergaul, namun Bwee Hwa cukup
diajar tata cara sopan santun oleh Sin-kiam Lojin. Ia
mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura
kepada Jaksa Thio. Akan tetapi karena ia tidak tahu
bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang
bangsawan yang berkedudukan tinggi, maka ia
berkata dengan lembut namun bersahaja.
"Lo-pek (paman tua), terima kasih banyak atas
kebaikanmu." Tentu saja para keluarga Jaksa Thio dan para
penonton yang mendengar ucapan itu terbelalak
heran dan memandang khawatir dan tegang, takut
kalau Jaksa Thio menjadi marah. Akan tetapi Jaksa
Thio sendiri setelah memandang dengan kaget dan
heran, lalu tertawa bergelak-gelak sampai kedua bola
matanya menjadi basah. Dia benar-benar merasa geli
hatinya karena selama hidupnya belum pernah dia
disebut paman tua begitu saja oleh seorang gadis
asing. Sebaliknya Bwee Hwa yang melihat orang tua itu
tertawa bergelak-gelak, ikut pula tertawa dan
tawanya bebas, tidak menutupi mulutnya seperti
kebiasaan gadis malu-malu sehingga mulutnya
terbuka dan orang dapat melihat deretan gigi yang
putih dan rapi, lidah dan rongga mulut yang merah.
Bwee Hwa menganggap orang tua itu tentu girang
sekali dan menurut pelajaran tata susila yang pernah
ia dapatkan dari gurunya, jika orang-orang tertawa,
biarpun ia tidak tahu apa sebabnya, maka sebaiknya
iapun tertawa pula. Melihat betapa Jaksa Thio dan gadis baju merah itu
sama-sama tertawa besar, orang-orang yang tadinya
terheran-heran kini semakin melongo keheranan dan
saling pandang dengan muka bodoh!
"Ha-ha-ha-ha! Nona baju merah, engkau sungguh lucu
sekali! Lucu dan baik!" kata Jaksa Thio sambil
memandang kepada Bwee Hwa. "Engkau tentu
bukan orang sini dan agaknya engkau seorang gadis
kang-ouw karena aku melihat pedang tergantung di
pinggang, di balik baju luarmu. Nona yang baik,
siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Melihat di situ terdapat banyak bangku bundar yang
terukir indah, tanpa diminta lagi Bwee Hwa lalu duduk
di atas sebuah bangku sebelum menjawab
pertanyaan itu. Melihat ini, Jaksa Thio tersenyum dan
memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk
duduk. Mereka lalu duduk mengelilingi meja,
berhadapan dengan Bwee Hwa. Setelah itu, Jaksa
Thio lalu berseru kepada para penonton.
"Saudara-saudara, silakan mengambil tempat duduk
dan merayakan ulang tahun kami bersama-sama!"
Seruan ini disambut dengan riuh gembira oleh semua
penonton dan mereka lalu menduduki bangku-bangku
yang memang telah disediakan di pekarangan itu.
Jaksa Thio memberi isyarat kepada para pelayan
untuk mengeluarkan hidangan kepada semua orang.
Semua orang merasa girang dan berterima kasih
sekali karena kembali pembesar itu memperlihatkan
kebijaksanaan dan kebaikan hatinya terhadap siapa
saja. Setelah duduk berhadapan dengan Jaksa Thio dan
anak isterinya, Bwee Hwa menjawab pertanyaan tadi
dengan sikap sederhana. "Namaku Bwee Hwa dan entahlah, aku sendiri tidak
tahu apakah aku ini seorang gadis kang-ouw atau
bukan. Aku juga tidak mempunyai tempat tinggal
tetap. Aku baru datang dari bukit Heng-san, berpisah
dari guruku dan aku kini sedang merantau."
Mendengar jawaban yang sangat terbuka dan
sederhana ini mengertilah Jaksa Thio bahwa dia
sedang berhadapan dengan seorang gadis yang
benar-benar bodoh dan jujur, bukan seorang kangouw yang biasanya bersikap takacuh dan berani
bersikap ugal-ugalan terhadap siapa saja. Maka
diapun lalu memperkenalkan diri, isteri dan puterinya.
Biarpun kini ia tahu bahwa keluarga itu adalah
keluarga bangsawan dan pembesar, sikap Bwee Hwa
masih biasa saja, bersahabat dan tidak menjilat. Hal
ini membuat Jaksa Thio menjadi semakin kagum. Dia
sudah jemu dengan sikap orang yang biasanya amat
menghormat, bahkan terkadang berlebihan seperti
menjilat terhadap dirinya dan dia tahu benar bahwa
penghormatan itu sesungguhnya bukan ditujukan
kepada pribadinya, melainkan kepada kedudukan dan
kekuasaannya! Thio Cin Lan mengamati pakaian dan pedang Bwee
Hwa dengan tertarik sekali. Pakaian Bwee Hwa itu
indah dan juga ringkas, enak dipakai dan membuat
gadis itu dapat bergerak leluasa, tidak seperti
pakaiannya, pakaian seorang gadis bangsawan yang
gedombrangan dan membuat ia tidak dapat bergerak
leluasa. "Berapakah usiamu sekarang" Engkau tampak masih
sangat muda." Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum.
"Usiaku delapanbelas tahun."
"Ah, masih muda sekali. Aku sudah sembilan belas
tahun. Adik Bwee Hwa, dalam usia semuda ini
engkau sudah berani berkelana seorang diri. Engkau
tentu pandai sekali bersilat. Maukah engkau bersilat
pedang sebentar untuk kami?"
Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum
menggeleng kepalanya. "Tidak, enci Cin Lan. Aku
tidak mau." Jaksa Thio ikut membujuk Bwee Hwa untuk
memperlihatkan permainan pedangnya. Pembesar ini
suka sekali melihat pertunjukan silat, walaupun dia
sendiri tidak sangat pandai bermain silat. Dia
mempunyai banyak pengawal yang ahli dalam hal
ilmu silat, bahkan di sekitar kuil itu terdapat banyak
pengawalnya yang menjaga keselamatan
keluarganya. Dia hanya ingin memeriahkan suasana
dengan membujuk Bwee Hwa bersilat pedang dan
dia mengira bahwa gadis itu hanya memiliki
kepandaian silat biasa saja.
Akan tetapi ternyata Bwee Hwa juga menolak keras.
"Tidak mungkin!" gadis itu menggeleng-geleng
kepalanya. "Suhu bilang bahwa sekali-kali aku tidak
boleh bermain-main dengan pedang, lebih-lebih untuk
sekedar memamerkan kepandaian. Aku hanya mau
mencabut pedangku dan memainkannya jika terjadi
kejahatan dan ada orang yang perlu kubela dan
kutolong. Harap kalian tidak kecewa dan tidak
marah." Biarpun mulutnya tersenyum, namun di dalam hatinya
Jaksa Thio menganggap bahwa Bwee Hwa terlampau
angkuh. Akan tetapi karena ucapan gadis itu jelas
sekali terdengar demikian berterus terang dan jujur,
maka diapun tidak menjadi kecewa dan mereka lalu
makan minum. Bwee Hwa tidak merasa malu-malu atau sungkansungkan lagi. Setelah dipersilakan, ia lalu menggasak
hidangan di atas meja karena memang sejak pagi
tadi ia belum sarapan. Apalagi masakan yang
dihidangkan di atas meja itu ternyata lezat dan belum
pernah ia makan senikmat itu.
Jaksa Thio sekeluarga merasa geli dan juga senang
melihat sikap Bwee Hwa dan cara makannya yang
gembul itu. Mereka membiarkan saja gadis itu makan
sampai kenyang dan ayah, ibu dan puteri mereka itu
dengan ramah bergantian menawarkan masakanmasakan yang belum disentuh Bwee Hwa.
Akhirnya mereka merasa cukup dan melihat Bwee
Hwa tidak makan lagi dan hendak menyusut bibirnya
dengan ujung lengan baju, Cin Lan memegang
lengannya dan menyerahkan sehelai kain lap putih
yang memang disediakan untuk menyusut bibir dan
tangan. Bwee Hwa menerima dan tersenyum senang.
"Bwee Hwa," kata Jaksa Thio yang mulai merasa
akrab dengan gadis itu maka ia memanggil namanya
begitu saja. "Engkau belum mengatakan siapa She
(marga) dan siapa pula orang tuamu, di mana tempat
tinggal mereka." Bwee Hwa mengerutkan alisnya akan tetapi ia
menjawab juga. "Aku tidak tahu siapa she-ku. Sejak kecil aku ikut
suhu dan aku tidak tahu pula siapa nama orang
tuaku, hanya ayahku berjuluk Kauw-jiu Pek-wan dan
sekarang aku sedang mencari orang tuaku."
Jaksa Thio mengangkat alisnya. "Akan tetapi, di mana
tempat tinggal mereka?"
Bwee Hwa menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu,
akan tetapi aku akan mencarinya."
Jaksa Thio dan anak isterinya merasa suka dan iba
sekali kepada gadis baju merah yang cantik jelita dan
bersikap polos itu. Jaksa Thio juga tidak bertanya lebih
lanjut agar tidak membangkitkan kenangan sedih
dalam hati Bwee Hwa. Pada saat keluarga Jaksa Thio dan semua orang
sudah menyelesaikan perjamuan itu, tiba-tiba sebuah
benda kecil hitam menyambar dari luar ke arah dada
Jaksa Thio. Pembesar ini dapat melihat benda itu dan
cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan
tetapi gerakannya kurang cepat dan benda itu
menancap di pundak kirinya. Jaksa Thio berteriak
kesakitan dan semua orang terkejut. Benda hitam itu
ternyata adalah sebuah senjata rahasia piauw (besi
runcing bersayap). Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dari mulut
Bwee Hwa dan gadis ini melompat ke atas. Kedua
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya bergerak menangkap dua benda piauw
lagi yang melayang ke arah tubuh Jaksa Thio. Piauw
ke empat ia tendang dengan sepatunya sehingga
senjata rahasia itu mencelat ke atas dan menancap
pada langit-langit ruangan kuil itu. Akan tetapi pada
saat itu, dari luar menyambar lagi empat buah piauw
ke arah Jaksa Thio dan isterinya!
Bwee Hwa kembali mengeluarkan bentakan nyaring,
cepat ia menyambitkan dua batang piauw di
tangannya, dengan tepat mengenai dua batang piauw
yang melayang dari luar sehingga runtuh. Kemudian
dengan kepretan tangan ia menangkis dua batang
lagi sehingga dua batang piauw itupun jatuh ke lantai.
Bwee Hwa lalu tersenyum kepada Thio Cin Lan dan
berkata, "Enci Lan, engkau tadi ingin melihat aku
bermain pedang" Nah, sekaranglah waktunya aku
bermain pedang!" Cin Lan hanya memandang dengan mata terbelalak
dan muka pucat dan tiba-tiba pandang matanya
menjadi silau ketika Bwee Hwa tahu-tahu telah
mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking
tajamnya. Itulah pedang mustika Sin-hong-kiam
(Pedang Tawon Sakti) pemberian gurunya. Kemudian,
dengan menggunakan jurus Sin-liong-coan-in (Naga
Sakti Menembus Awan), tubuh Bwee Hwa melompat
tinggi dan melayang keluar ruangan itu.
Di lain saat gadis baju merah itu telah bertanding di
pekarangan kuil melawan tiga orang laki-laki yang
berpakaian serba biru dan yang bertubuh tinggi besar.
Bwee Hwa melihat betapa di bagian dada kiri tiga
orang lawannya itu terdapat sulaman gambar seekor
ular kecil bersayap. Mereka bertiga memegang golok
dan ternyata ilmu golok merekapun cukup lihai.
Para pengawal Jaksa Thio hanya mengepung dari
jauh. Mereka ada belasan orang, akan tetapi karena
tadi ketika mereka hendak menangkap orang-orang
yang menyerang Jaksa Thio dengan senjata rahasia,
merekapun diserang dengan piauw dan tiga orang di
antara mereka roboh. Karena itulah mereka menjadi
gentar dan melihat nona baju merah itu bertanding
seru melawan tiga orang penjahat, mereka hanya
mengepung dan siap dengan senjata mereka.
Para penonton yang tadi ikut makan minum, menjadi
ketakutan, akan tetapi karena perkelahian itu terjadi
di pekarangan kuil, merekapun tidak berani keluar
dan tinggal berkumpul dalam ruangan depan kuil itu
sambil menonton pertandingan di pekarangan dengan
muka pucat. Lima orang pengawal kini berdiri
menjaga dan melindungi Jaksa Thio dan anak
isterinya. Sikap mereka berlagak gagah-gagahan,
seolah merekalah yang menyelamatkan keluarga itu!
Tiga orang laki-laki tinggi besar itu memang mahir
sekali bersilat golok. Akan tetapi sekali ini mereka
menghadapi murid Sin-kiam Lojin yang memainkan
pedang pusaka ampuh dan ilmu pedangnya tinggi
sekali. Belum sampai duapuluh jurus mereka
bertempur, seorang pengeroyok telah roboh dengan
pundak terluka tusukan pedang di tangan Bwee Hwa.
Dua orang pengeroyok lain yang sudah terdesak,
tidak sanggup menandingi kelihaian Bwee Hwa.
Mereka berseru keras dan melompat jauh,
menyimpan golok mereka dan kedua tangan mereka
bergerak. Dari masing-masing tangan mereka
menyambar tiga batang piauw sehingga sekaligus
ada dua belas batang piauw menyambar.
Bwee Hwa merasa kagum juga. Ia cepat memutar
pedangnya sehingga piauw-piauw itu tertangkis
runtuh. Akan tetapi ia mendengar jeritan di
belakangnya dan ketika ia menengok, ia melihat
betapa seorang penjahat yang tadi dirobohkannya
telah tewas dengan dua batang piauw menancap di
lehernya! Dan ketika dia memandang ke arah dua
orang yang melarikan diri tadi, mereka sudah lenyap.
Bwee Hwa dengan tenang menyarungkan kembali
pedangnya, lalu dipungutnya sebatang piauw yang
tadi tertangkis runtuh ke atas tanah. Seperti semua
piauw yang dipergunakan para penjahat itu, yang
melukai jaksa Thio dan yang menewaskan penjahat,
senjata rahasia itu berbentuk aneh. Kepala piauw itu
berbentuk seekor ular bersayap. Ia teringat akan
gambar sulaman di baju bagian dada kiri para
penjahat. Setelah seorang penjahat tewas dan dua orang
melarikan diri, para penonton yang ikut berpesta
bubaran tanpa sempat pamit atau berterima kasih
kepada Jaksa Thio. Mereka menjadi ketakutan. Para
pengawal kini sibuk berkumpul dekat keluarga Jaksa
Thio dengan muka pucat. Ada pula yang mengurus
mayat penjahat itu. "Bwee Hwa, kami sekeluarga telah engkau
selamatkan. Kalau tidak ada engkau di sini, besar
kemungkinan kami tewas di tangan para penjahat.
Marilah, Bwee Hwa, marilah ikut dengan kami ke
rumah kami di mana kita dapat bicara dengan
leluasa," kata Thio-taijin setelah pundaknya diberi obat
oleh kepala pengawal. "Terima kasih, lopek. Aku hendak melanjutkan
perjalananku," Bwee Hwa menolak.
Cin Lan menghampiri dan merangkulnya. "Adik Bwee
Hwa, marilah engkau ikut dengan kami ke rumah.
Engkau bukan saja telah menyelamatkan kami, akan
tetapi aku sudah menganggap engkau sebagai adikku
sendiri. Marilah, Bwee Hwa!"
Nyonya Thio juga membujuk. "Bwee Hwa, kami
mohon agar engkau suka ikut dengan kami. Kami
khawatir sekali. Bagaimana kalau para penjahat itu
datang lagi dan mengulangi serangan mereka kepada
kami?" Karena keluarga itu membujuk-bujuk dan Bwee Hwa
sendiri juga khawatir kalau-kalau para penjahat itu
akan mengganggu lagi, maka akhirnya ia ikut juga.
Keluarga itu bersama Bwee Hwa lalu menuju ke
rumah Jaksa Thio, dikawal oleh para perajurit
pengawal. Di sepanjang perjalanan, banyak orang
menonton karena berita tentang gadis baju merah
yang amat lihai dan yang sudah menyelamatkan
nyawa keluarga Jaksa Thio telah tersebar luas di
seluruh kota Ki-ciu. "Y" Jaksa Thio yang sudah mendapat perawatan dan
lukanya tidak terasa terlalu nyeri lagi, lalu memanggil
semua pengawal yang tadi bertugas mengawalnya.
Dia memarahi mereka dan menyatakan
penyesalannya bahwa mereka itu lalai dan lemah.
"Bagaimana mungkin ada tiga orang penjahat dapat
menyerang kami padahal kalian belasan orang
menjaga di sana?" Jaksa Thio menegur kepala
pengawal yang bernama Kim Tiong, seorang perwira
pengawal yang bertubuh tinggi besar dan berkumis
tebal. "Mohon beribu maaf, taijin," Kim-ciangkun (Perwira
Kim) berkata sambil memberi hormat. "Hamba dan
teman-teman sudah berusaha menangkap mereka,
akan tetapi mereka itu lihai sekali sehingga tiga orang
anak buah hamba roboh terluka. Akan tetapi hamba
telah tahu siapa mereka yang menyerang taijin tadi."
"Hemm, bagus. Siapakah mereka yang seberani itu?"
"Mereka adalah anggauta-anggauta perkumpulan
rahasia yang menamakan diri Hwe-coa-kauw (Agama
Ular Terbang), taijin."
Tidak hanya Jaksa Thio yang terkejut mendengar
nama perkumpulan rahasia yang berkedok agama
dan yang amat tersohor itu, bahkan Bwee Hwa juga
terkejut. "Jadi benarkah mereka itu para anggauta Hwe-coakauw?" kata Bwee Hwa. "Tadi telah kuduga ketika
melihat senjata rahasia dan sulaman pada dada
mereka. Suhu pernah bercerita tentang kekejaman
dan kesesatan perkumpulan ini. Aku senang sekali
telah dapat menghalangi niat jahat mereka tadi!"
"Bahkan lihiap (Pendekar wanita) telah berhasil
membunuh seorang di antara mereka," kata Kim Tiong
dengan kagum. "Bukan aku yang membunuhnya, akan tetapi kawankawannya sendiri. Agaknya mereka yang melarikan
diri itu khawatir kalau kawan yang terluka itu akan
membuka rahasia, maka mereka lalu membunuhnya
dengan piauw mereka," kata Bwee Hwa.
Jaksa Thio menggeleng-geleng kepalanya. "Memang
demikianlah yang kudengar. Mereka itu menculik,
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
membunuh, dan mereka selalu membunuh kawan
mereka yang tertawan. Akan tetapi setahuku,
perkumpulan jahat itu berada di daerah Tit-le. Kenapa
mendadak mereka berada di sini dan datang-datang
mereka itu hendak membunuhku?"
"Ah, sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa
tadi aku tidak mengejar dan menangkap yang dua
orang lagi. Kupikir mereka tidak berhasil membunuh,
dan seorang di antara mereka telah dapat
kurobohkan, maka aku sengaja memberi keringanan
kepada mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Betapapun, engkau telah berjasa besar
menyelamatkan kami sekeluarga, Bwee Hwa," kata
Jaksa Thio dan dia lalu memerintahkan para kepala
pengawal agar melakukan penjagaan dengan ketat
agar jangan ada penjahat yang mampu datang
mengganggu. Ketika malam tiba, Cin Lan mengajak Bwee Hwa tidur
di dalam kamarnya yang cukup luas dan indah. Bwee
Hwa merasa senang sekali. Ia belum pernah bergaul
dengan gadis sebaya, dan kini bertemu dengan Cin
Lan yang amat ramah dan tidur sekamar dengan
gadis itu, ia bergembira sekali dan mereka berdua
ngobrol sampai jauh malam.
Lewat tengah malam, Bwee Hwa masih belum tidur.
Suasana dalam kamar yang indah dan harum itu
amat berbeda dengan tempat seadanya di mana ia
biasa melewatkan malam. Mungkin terlalu nyaman
dan terlalu indah, kasurnya juga terlalu lunak baginya
sehingga ia malah sukar untuk jatuh pulas. Padahal,
pernah ia terpaksa tidur di dalam sebuah kuil kosong
yang pengap dan kotor, atau di dalam sebuah guha
batu dan ia dapat tidur dengan nyenyak!
Tiba-tiba pendengarannya yang peka dan tajam
karena terlatih, mendengar suara perlahan di atas
atap. Ia menoleh dan melihat Cin Lan sudah tidur
pulas. Wajah gadis itu lembut dan cantik sekali ketika
tidur, bibirnya lersenyum.
Bwee Hwa cepat turun dari pembaringan,
mengenakan sepatu, membereskan pakaiannya dan
mencabut pedangnya. Ia merasa yakin bahwa suara
itu tentu gerakan kaki orang di atas genteng, gerakan
kaki yang menggunakan gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) tingkat tinggi. Ia merasa heran bagaimana
orang itu dapat tiba di atas genteng, padahal rumah
jaksa Thio dijaga ketat oleh pasukan pengawal,
dijaga bagian bawah dan bagian atasnya! Sekeliling
gedung telah dikepung pasukan pengawal, namun
masih saja ada orang yang dapat menyusup.
Dari tempat ia berdiri, yaitu di dekat jendela, Bwee
Hwa meniup ke arah lilin kecil yang dibiarkan
menyala di atas meja. Iilin itu padam dan Bwee Hwa
lalu membuka daun jendela dengan hati-hati agar
tidak menimbulkan suara. Ia melompat keluar dan
pada saat itu ia mendengar teriakan-teriakan orang
dan berkerontangannya senjata tajam beradu.
Suara itu terdengar dari atas genteng. Tahulah Bwee
Hwa bahwa tentu para pengawal sudah memergoki
penjahat dan kini mereka sedang mengeroyok
penjahat itu. Maka cepat iapun keluar dan melompat
naik ke atas genteng. Benar saja dugaannya. Dia bawah sinar bulan yang
cukup terang, Bwee Hwa melihat seorang laki-laki
berkepala gundul sedang dikepung dan dikeroyok
tujuh orang pengawal! Si kepala gundul itu
memainkan sebatang golok besar dengan hebatnya.
Goloknya berubah menjadi segulungan sinar putih
yang menahan serangan tujuh orang pengeroyoknya
yang juga mempergunakan golok.
Namun, Bwee Hwa melihat jelas betapa sinar golok
yang dimainkan si kepala gundul itu jauh lebih
dahsyat daripada para pengeroyoknya sehingga ia
mampu mendesak ke tujuh orang pengawal. Bahkan
pada saat itu, tendangan kakinya mengenai dada
seorang pengeroyok sehingga tubuhnya tergulingguling dan jatuh ke bawah, mengeluarkan suara
berdebuk. "Para bu-su (pengawal), serahkan bangsat gundul ini
kepadaku!" bentak Bwee Hwa sambil melompat
dekat. Para pengawal yang sudah merasa jerih,
merasa lega mengenal suara Bwee Hwa dan mereka
segera mundur, membiarkan gadis perkasa itu untuk
menghadapi lawan yang lihai itu.
"Ha-ha-ha!" Si gundul tertawa sambil memandang
kepada Bwee Hwa dengan sinar mata jalang. "Benar
sekali kata-kata Tiat-ko (kakak Tiat). Nona baju merah
ini selain hebat ilmu silatnya, juga amat cantik jelita!"
Di bawah sinar bulan Bwee Hwa yang sudah
berhadapan dengan penjahat itu dapat melihat
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan jelas. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
berusia kurang lebih empatpuluh tahun, kepalanya
gundul dan pakaiannya juga mirip jubah yang biasa
dipakai para hwesio (pendeta Bud?dha), akan tetapi
di dadanya sebelah kiri, di atas bajunya terdapat
sulaman seekor ular bersayap! Tahulah ia bahwa
hwesio ini tentu anggauta perkumpulan Hwe-coakauw itu. Perkumpulan penjahat yang berkedok
agama! Pantas saja tokoh?tokohnya ada yang
berpakaian seperti hwesio, dengan kepala digunduli.
"Hemm, engkau ini seorang pendeta mengapa
menjadi penjahat" Percuma saja engkau berpakaian
pendeta dan menggunduli kepalamu. Engkau hwesio
palsu, penjahat yang berkedok pendeta!" Bwee Hwa
memaki sambil menudingkan pedangnya ke arah
muka orang itu. Hwesio itu hanya tertawa, akan tetapi tiba-tiba kedua
tangannya bergerak dan enam batang hwe-coapiauw (Piauw Ular Terbang) sudah menyambar ke
arah bagian tubuh Bwee Hwa yang cepat memutar
pedangnya. Pedangnya berubah menjadi gulungan
sinar yang melindungi tubuhnya dan semua piauw itu
terpental ke kanan kiri. Tangan kiri gadis itu cepat
merogoh sebuah kantung di pinggangnya.
"Makanlah ini!" bentak Bwee Hwa dan begitu tangan
kirinya bergerak, sinar-sinar kecil berkeredepan
menyambar ke arah tubuh si kepala gundul. Itulah
hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia
berbentuk jarum yang dibagian belakangnya ada
lubangnya sehingga ketika disambitkan dengan
pengerahan tenaga dalam, jarum itu meluncur dan
mengeluarkan bunyi berdengung seperti tawon! Tanpa
menggunakan tenaga dalam yang amat kuat, tidak
mungkin jarum-jarum itu dapat mengeluarkan suara
berdengung seperti itu. Hwesio palsu itu terkejut bukan main melihat senjata
rahasia lembut yang menyambar sambil berdengungdengung seperti sekumpulan tawon menyerangnya
itu. Cepat dia memutar goloknya dengan gerakan
Sian-jiu-khai-mo (Dewa Membuka Payung). Goloknya
berubah menjadi gulungan sinar seperti payung yang
menangkis semua jarum. Melihat jarum-jarumnya gagal, Bwee Hwa lalu
menerjang dan menyerang dengan pedangnya. Sinar
pedangnya berkelebat dan sebuah tusukan kilat
menyambar ke arah leher hwesio itu. Si pendeta
palsu mengerahkan seluruh tenaga sakti dan
menggunakan goloknya menangkis sekuat tenaga
dengan maksud untuk membuat pedang lawan patah
atau setidaknya terpental.
"Wuuutttt?" trangg....!!" Hwesio Hwe-coa-kauw itu
terkejut setengah mati karena bukan pedang gadis itu
yang patah atau terpental. Bahkan golok di tangannya
hampir saja terlepas karena tangannya tergetar
hebat. Kiranya gadis itu memiliki sin-kang (tenaga
sakti) yang tidak kalah kuatnya! Dia lalu balas
menyerang dan bersilat dengan hati-hati sekali karena
maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan
yang amat tangguh. Akan tetapi, gerakan pedang Bwee Hwa terlampau
cepat dan tenaga sin-kang gadis itu terlampau kuat
bagi pendeta Hwe-coa-kauw itu. Dia terdesak hebat
dan nyaris tidak mampu balas menyerang. Akan
tetapi pada saat itu, tampak sesosok bayangan
berkelebat datang dan muncullah seorang hwesio lain
yang memegang golok. Hwesio pertama menjadi
girang. "Sute (adik seperguruan), mari kita bunuh kuda betina
liar ini!" Ternyata hwesio kedua itupun lihai ilmu goloknya dan
Bwee Hwa lalu dikeroyok dua. Namun gadis perkasa
itu tidak menjadi gentar. Ia malah mempercepat
gerakan pedangnya sehingga Sin-hong kiam itu
berubah menjadi gulungan sinar yang lebar dan tubuh
gadis itu lenyap dalam sinar pedangnya.
Ketika para pengawal yang belasan orang jumlahnya
itu datang hendak membantu, muncul pula tiga orang
hwesio lain. Pertempuran menjadi semakin hebat.
Bwee Hwa tetap dikeroyok dua, sedangkan belasan
orang pengawal itu mengeroyok tiga orang pendeta
Hwe-coa-kauw yang baru muncul. Sayang sekali
bahwa di antara para pengawal, hanya perwira Kim
Tiong seorang yang kepandaian silatnya lumayan,
sedangkan yang lain jauh di bawah tingkatnya. Oleh
karena itu, maka amukan tiga orang hwesio yang
baru datang itu membuat para pengawal kocar-kacir
dan sebentar saja empat perajurit pengawal sudah
roboh terkena sambaran golok tiga orang pendeta
gundul itu. Bwee Hwa maklum bahwa keadaan para pengawal
terancam bahaya. Ia menjadi marah dan kini
pedangnya menyambar-nyambar dahsyat dan mulut
gadis itu mengeluarkan suara berdengung yang tinggi.
Suara itu tidak keras, seperti dengung lebah-lebah
yang mengamuk, akan tetapi karena suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang, maka
mengandung getaran yang dapat menggetarkan
perasaan lawan sehingga melemahkan semangat
lawan. Usahanya itu berhasil baik. Kedua orang
pengeroyoknya melemah pertahanannya dan dengan
jurus Sin-liong-bhok-cu (Naga Sakti Menyambar
Mustika) pedangnya meluncur dan seorang
pengeroyok berteriak dan roboh bergulingan di atas
genteng lalu jatuh ke bawah, tewas seketika karena
dadanya tertembus pedang. Pengeroyok kedua
terkejut bukan main dan melompat ke belakang.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan kebakaran
dari belakang gedung dan tampak api berkobar
menjilat-jilat ke atas payon. Melihat ini, sebagian para
pengawal segera meninggalkan atap dan lari ke
belakang untuk membantu teman-teman mereka
yang berusaha memadamkan api agar jangan sampai
menjalar ke bagian tengah gedung.
Bwee Hwa tidak berani meninggalkan atap itu karena
ia harus melindungi Jaksa Thio sekeluarga. Ia
mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar
dengan ganasnya mendesak hwesio kedua yang tadi
mengeroyoknya. Akan tetapi hwesio itu meloncat
pergi melarikan diri dan terdengar suara mendesisdesis seperti ular. Suara itu menjadi isyarat bagi
kawanan gerombolan Hwe-coa-kauw untuk
melarikan diri. Bwee Hwa menjadi marah. Tubuhnya melayang
bagaikan seekor tawon terbang dan sekali pedangnya
berkelebat, hwesio yang melarikan diri terkena
babatan pedangnya sehingga sebelah kakinya
buntung dan dia menjerit kesakitan, tubuhnya
menggelinding dan terjatuh ke bawah. Akan tetapi
tiga orang hwesio lain sudah melarikan diri dan
menghilang dalam kegelapan malam.
Bwee Hwa melompat turun. Ternyata banyak juga
pengawal yang terluka, bahkan ada juga yang tewas.
Sedangkan yang berhasil dirobohkan hanya dua orang
penjahat gundul yang roboh oleh pedangnya tadi.
Ketika ia hendak masuk ke bagian dalam gedung
untuk melihat keadaan Jaksa Thio sekeluarga, tibatiba ia melihat Jaksa Thio berlari keluar dengan napas
terengah-engah dan pembesar itu berteriak-teriak.
"Tolong"..! Tolong".. Cin Lan diculik penjahat?"!" Dia
melihat Bwee Hwa berdiri di situ dengan pedang di
tangan. Jaksa Thio lalu menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Tolonglah, Bwee Hwa...... tolong Cin Lan?"
ia dibawa lari penjahat berkepala gundul?"!"
Bwee Hwa tidak menunggu sampai pembesar itu
habis berkata-kata. Tubuhnya berkelebat lenyap dari
depan Jaksa Thio dan sebentar saja dara perkasa itu
sudah berlari-lari di atas genteng mencari ke sana-sini.
Akan tetapi dalam kegelapan malam yang hanya
disinari bulan remang-remang itu, ke mana ia harus
mencari" Setelah mengejar ke mana-mana, mengelilingi kota
tanpa hasil, ia teringat akan dua orang hwesio yang
dirobohkannya tadi. Cepat ia kembali ke gedung
Jaksa Thio. Dia situ orang masih sibuk menolong
mereka yang terluka dan mengurus yang tewas. Dua
orang pendeta palsu itu masih menggeletak di sana.
Yang seorang telah tewas mandi darah sedangkan
yang buntung sebelah kakinya sudah tiga perempat
mati karena banyak mengeluarkan darah dan tidak
ada yang sudi menolongnya.
Bwee Hwa menyeret tubuh penjahat itu ke tempat
terang. Ia menotok pangkal paha kaki yang buntung
untuk menghentikan keluamya darah dan mengurangi
rasa nyeri. Hwesio itu bergerak perlahan dan
membuka matanya, memandang muka Bwee Hwa
dengan kagum dan benci. "Engkau akan mati. Lebih baik engkau menebus
dosamu dengan memberitahukan kepadaku di mana
sarang kawan-kawanmu. Mungkin dengan jalan ini
dosa-dosamu menjadi ringan," kata Bwee Hwa.
Dengan susah payah orang gundul itu bertanya,
"......engkau... engkau...... engkau... siapakah......?"
"Aku Bwee Hwa, murid Sin-kiam Lo?jin!" jawab Bwee
Hwa tegas. Ia sengaja memperkenalkan nama
gurunya yang dia tahu amat ditakuti para penjahat di
dunia kang-ouw. Kedua mata orang itu terbelalak, mukanya pucat
sekali ketika dia memandang wajah Bwee Hwa.
?"ahh?" engkau.... hong-cu?" Ang-hong-cu....!" setelah
berkata terengah-engah itu kepalanya terkulai dan
diapun tewas. Bwee Hwa menghela napas panjang. Ia telah gagal
memaksa orang itu mengakui di mana sarang Hwecoa-kauw. Akan tetapi ia tertarik mendengar ucapan
terakhir orang tadi. Ia dapat menduga bahwa pendeta
Hwe-coa-kauw itu tentu mengenal baik nama besar
gurunya dan tentu mengenal pula kesaktian gurunya
yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum
yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon), maka tadi
dia menyebutnya sebagai Ang-hong-cu. Tentu karena
pakaiannya serba merah itulah. Ang-hong-cu"
Hemm, julukan yang tepat dan tidak buruk, bahkan
lucu. Ia memang berpakaian merah, warna
kesukaannya, dan ia pandai mempergunakan hongcu-ciam, bahkan pedang pemberian gurunya juga
disebut Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti)! Boleh
juga, pikirnya. Mulai sekarang aku akan
menggunakan julukan Ang-hong-cu!
Ia bangkit berdiri dan pada saat itu Jaksa Thio
menghampirinya dan dengan suara gemetar dia
bertanya mengenai Cin Lan, puterinya. Nyonya Thio
berada di belakang suaminya, wajahnya pucat sekali.
"Harap lopek bersabar," kata Bwee Hwa. "Aku sudah
mencari ke seluruh penjuru kota, akan tetapi belum
menemukan jejak penculik itu. Ketika aku memaksa
keterangan dari penjahat yang terluka, sayang
sebelum dapat memberi keterangan orang itu telah
tewas." Mendengar ini, Nyonya Thio menjerit-jerit dan
menangis sedih, sedangkan Jaksa Thio membantingbanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya
dengan sedih dan bingung.
"Jahanam Hwe-coa-kauw! Kalau kamu hendak
membunuhku, datanglah dan cobalah, jangan
menggangu puteriku yang tidak berdosa!" teriak Jaksa
Thio sambil mengamangkan kepalan tangannya ke
arah genteng rumah. "Lopek dan bibi, biarlah aku mencari enci Cin Lan
sampai dapat!" Setelah berkata demikian, tubuh Bwee
Hwa melayang ke atas genteng dan sebentar saja
bayangannya sudah lenyap.
"Y" Malam telah hampir habis, terganti fajar yang
berwarna putih keabu-abuan. Ketika Bwee Hwa
sedang berlompatan dari sebuah genteng rumah ke
genteng rumah yang lain, dengan gerakan cepat dan
ringan sehingga tidak menimbulkan suara, tiba-tiba ia
melihat bayangan orang ber?lari-lari di sebelah timur.
Bayangan itu berlari di atas genteng dengan cepat
sekali. Bwee Hwa tentu saja menjadi curiga. Tak salah lagi,
bayangan itu tentu seorang di antara para anggauta
Hwe-coa-kauw, pikirnya, maka iapun cepat melompat
dan melakukan pengejaran. Agaknya bayangan itu
mengetahui bahwa dirinya dikejar orang. Dia
mempercepat larinya dan sebentar-sebentar
menengok ke belakang. Dalam kejar-mengejar ini, keduanya terkejut dan
heran karena mendapat kenyataan bahwa baik yang
mengejar maupun yang dikejar tidak mampu
mengubah jarak yang ada di antara mereka. Tidak
dapat lebih dekat atau lebih jauh. Ini hanya berarti
bahwa ilmu berlari cepat dan ilmu meringankan tubuh
mereka setingkat dan seimbang! Hal ini membuat
Bwee Hwa merasa penasaran sekali karena suhunya
sendiri pernah mengatakan bahwa jarang ada orang
yang mampu menandingi kecepatan larinya.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Asal Muasal Hwe-coa-kauw
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka berkejaran terus sampai keluar dari kota.
Kabut pagi menipis terusir cahaya matahari yang
makin meninggi sehingga kini Bwee Hwa dapat
melihat orang yang dikejarnya itu dengan jelas.
Sebaliknya, orang yang dikejarnya itu ketika
menengok, dapat melihat pengejarnya dengan jelas
pula dan dia tertegun. Tak disangkanya bahwa orang
yang sejak tadi mengejarnya adalah seorang gadis
berpakaian serba merah. Diapun tersenyum dan
menghentikan larinya, membalikkan tubuh dan
menanti datangnya pengejar itu.
Bwee Hwa yang sudah merasa panas hatinya dan
penasaran bahwa sejak tadi ia tidak mampu
menyusul orang itu, begitu berhadapan segera
menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu
dan memaki. "Pengecut jangan lari kalau engkau
memang gagah!" Ternyata pelari itu adalah seorang pemuda yang
berwajah cukup ganteng dengan bahu bidang dan
tubuh yang agak pendek, hanya lebih tinggi sedikit
ketimbang Bwee Hwa. "Astaga, kukira siapa yang mengejar-ngejarku sejak
tadi......." "Hemm, kaukira siapa?" bentak Bwee Hwa yang
marah dengan suara ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya tampak manis
kekanak-kanakan kalau dia tersenyum lebar. "Kukira
setan atau siluman, tidak tahunya......." dia tidak
melanjutkan kata-katanya dan mengamati gadis itu
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, membuat
Bwee Hwa merasa risi sekali.
"Tidak tahunya siapa" Hayo bicara yang jelas!"
"Tidak tahunya seorang bidadari baju merah yang
cantik jelita dan galak!"
"Bangsat kurang ajar!" Bwee Hwa memaki lalu cepat
ia menggerakkan pedangnya yang sejak tadi sudah
dipegangnya, menyerang dengan tusukan ke arah
dada pemuda itu. Gerakannya cepat dan mengandung
tenaga sakti yang amat kuat, terbukti dari suara
pedang itu yang menggetar ketika ditusukkan.
Pemuda itu terkejut, maklum bahwa gadis itu
memiliki pedang yang amat berbahaya dan
merupakan lawan yang lihai sekali. Diapun cepat
mencabut pedangnya dan segera menyambut dengan
gerakan tangkas, cepat dan bertenaga. Juga dia
bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah beberapa kali
serangan Bwee Hwa dapat dia hindarkan dengan
elakan cepat, tiba-tiba pedang gadis itu menyambar
dengan babatan cepat ke arah lehernya. Tentu saja
pemuda itu tidak mengehendaki lehernya dipenggal.
Dari samping diapun menggerakkan pedangnya
menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
"Tranggg?"!" Bunga api berpijar menyilaukan mata
dan pemuda itu terkejut bukan main. Ternyata
tangkisannya tidak mampu mematahkan pedang di
tangan gadis itu, bahkan tangannya tergetar ketika
dua pedang bertemu, menunjukkan tenaga sin-kang
(tenaga sakti) gadis itu benar-benar amat kuat!
Juga Bwee Hwa merasa tercengang. Tangan
kanannya yang memegang pedang tergetar hebat
dan biasanya, pedang lawan yang berbenturan
sedemikian kuatnya dengan pedang Sin-hong-kiam
(Pedang Tawon Sakti) di tangannya, pasti menjadi
buntung. Akan tetapi pedang lawannya ini tidak apaapa. Hal itu berarti bahwa pemuda itupun memiliki
sebatang pedang pusaka yang kuat dan ampuh!
Mendapatkan kenyataan ini, Bwee Hwa menjadi
penasaran sekali. Maka ia lalu mengerahkan seluruh
tenaga, mengeluarkan semua kemampuannya,
memainkan ilmu pedang yang khusus dirangkai oleh
Sin-kiam Lojin untuknya, disesuaikan dengan pedang
pusakanya. Pedang pusakanya itu bernama Sin-hongkiam (Pedang Tawon Sakti), ada ukiran beberapa ekor
tawon di sepanjang badan pedang. Gurunya telah
merangkai ilmu pedang yang disebut Sin-hong-kiam
(Ilmu Pedang Tawon Sakti).
Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar,
ujungnya berkelebatan seperti tawon menyambarnyambar dan mulut gadis itu mengeluarkan suara
berdengung lembut tajam seperti dengungan banyak
tawon yang mengamuk. Itulah Sin-hong-kiam-sut!
Pemuda itu terkejut bukan main dan dia
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya
untuk membela diri agar jangan sampai terdesak.
Bukan hanya kecepatan gerakan pedang gadis itu
yang membuatnya terkejut, terutama sekali suara
dengungan seperti ada tawon-tawon yang mengiangngiang di dekat telinganya itulah yang membuat dia
menjadi bingung. Suara itu sungguh membuat
telinganya sakit, konsentrasinya buyar dan karenanya
permainan pedangnya menjadi kacau.
Karena pemuda itu tidak bermaksud untuk berkelahi
sungguh-sungguh dan tadi hanya ingin mencoba atau
menguji saja, maka melihat kesungguhan gadis itu
dalam penyerangannya, diapun melompat jauh ke
belakang dan berseru, "Tahan......!"
Bwee Hwa menahan serangannya, menghentikan
gerakannya dan dengan tangan kiri bertolak pinggang
dan tangan kanan menggerakkan pedangnya
melintang di depan dada, berkata dengan suara
mengejek. "Hemm, pengecut. Kalau sudah terdesak minta
berhenti. Kau mau apa?"
Tiba-tiba pemuda itu memasukkan pedangnya
kembali ke dalam sarung pedang, lalu tersenyum dan
menjura dengan sikap hormat.
"Li-hiap (pendekar wanita), maafkan aku yang salah
sangka. Tadinya aku mengira bahwa engkau adalah
seorang anggauta Hwe-coa-kauw yang terkutuk itu,
akan tetapi tadi setelah berhadapan denganmu, aku
segera tahu bahwa engkau bukanlah anggauta
gerombolan busuk itu. Aku tadi hanya ingin
mengujimu dan ternyata engkau sungguh hebat dan
lihai sekali, membuat aku kagum dan tunduk.
Ketahuilah, pujianku ini bukan main-main untuk
bermuka-muka, karena aku Ong Siong Li bukanlah
laki-laki yang suka berbohong."
Mendengar nama itu, Bwee Hwa menjadi ragu-ragu
dan ia mengerutkan sepasang alisnya, mengingatingat. Suhunya pernah memperkenalkan nama orangorang yang terkenal di dunia kang-ouw, sebelum ia
berpisah dari gurunya itu. Dan kini ia ingat bahwa
nama Ong Siong Li juga pernah disebut suhunya.
"Aku tadi juga menyangka bahwa engkau seorang
anggauta Hwe-coa-kauw, maka aku mengejarmu
karena aku memang sedang mencari-cari mereka.
Namamu pernah kudengar dari suhuku. Bukankah
engkau seorang tokoh Thai-san-pai (Partai Thai-san)
yang berjuluk Kim-kak-liong (Naga Tanduk Emas)?"
Pemuda itu tersenyum lebar. "Ingatanmu sungguh
kuat, nona. Memang benar akulah orang yang
kaumaksudkan itu. Akan tetapi sebutan yang
diberikan kepadaku oleh orang-orang dunia kang-ouw
itu sungguh terlalu tinggi untukku."
Kini Bwee Hwa tersenyum lega. Senyum yang
membuat Siong Li terpesona karena begitu
tersenyum, wajah cantik jelita yang tadi tampak
galak itu berubah menjadi ramah dan manis bukan
main. Bwee Hwa memasukkan pedangnya di sarung
pedang yang tergantung di pinggang kiri. Ia maklum
bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda tokoh
Thai-san-pai yang terkenal sebagai pendekar pembela
kebenaran dan keadilan dan menurut suhunya
pendekar muda itu memiliki kepandaian yang tinggi.
Hal ini telah ia buktikan sendiri karena ketika tadi ia
bertanding melawan pemuda itu, ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu pedang pemuda itu tidak
berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri.
"Memang kalau tidak bertanding lebih dulu kita tidak
akan dapat berkenalan dengan baik seperti kata suhu
dahulu," kata Bwee Hwa.
"Maaf, nona. Suhumu yang mulia agaknya sudah
mengenalku. Siapakah sesungguhnya nama suhumu"
Dan siapa pula nama dan julukan nona sendiri kalau
aku boleh mengetahuinya?"
"Suhu berjuluk Sin-kiam Lojin......."
"Wah! Kiranya engkau murid locianpwe (orang tua
gagah) itu" Dan namamu?""
"Namaku Bwee Hwa boleh juga disebut Ang-hong-cu
(Si Tawon Merah)." "Ah, pantas saja aku menjadi sibuk setengah mati
menghadapi ilmu pedangmu. Tak tahunya engkau
murid seorang ahli pedang yang hebat. Dan
julukanmu tadi memang tepat sekali. Ketika tadi aku
bertanding denganmu, aku merasa seolah-olah aku
diserang ribuan ekor tawon yang luar biasa, membuat
aku bingung dan permainanku menjadi kacau. Dan
kalau tidak salah, locianpwe Sin-kiam Lojin adalah
seorang ahli pula dalam mempergunakan senjata
rahasia berupa jarum yang disebut hong-cu-ciam
(jarum tawon). Tentu engkau pandai pula
mempergunakannya. Pantas sekali kalau engkau
disebut Ang-hong-cu. Dengan pakaian merahmu
memang engkau seperti seekor tawon yang
sengatannya dahsyat dan berbahaya sekali!"
"Hemm, sengatanku hanya kutujukan kepada para
penjahat!" kata Bwee Hwa dan mukanya berubah
agak merah oleh pujian pemuda itu. Diam-diam ia
merasa suka kepada pemuda yang peramah dan
wajahnya cerah gembira ini.
Karena merasa lelah setelah tadi berkejaran
kemudian bertanding, Siong Li lalu duduk di atas
sebuah batu besar yang berada di tepi jalan dan
mempersilakan Bwee Hwa untuk duduk pula.
"Kita beristirahat sejenak agar lebih enak bercakapcakap. Kukira, banyak yang dapat kita bicarakan
tentang Hwe-coa-kauw yang sama-sama kita musuhi
itu, bukan?" Bwee Hwa mengangguk. "Agaknya engkau
mengetahui banyak tentang perkumpulan gerombolan
jahat itu. Ceritakanlah karena aku ingin menolong
seorang gadis yang mereka culik."
"Hemm, agaknya gadis yang aku tahu mereka larikan
itu. Baiklah, aku mulai bercerita tentang asal usul
mereka. Perkumpulan Hwe-coa-kauw sudah berdiri
kurang lebih tigapuluh tahun. Timbulnya agama baru
ini dari dunia barat. Pada suatu hari dari barat
datanglah seorang pendeta perantau yang
menyebarkan pelajaran tentang hidup yang baik dan
benar. Pendeta ini mempunyai seekor ular yang aneh.
Ular itu kecil saja, akan tetapi mempunyai keanehan.
Ia mempunyai tonjolan di kanan kiri perutnya yang
bentuknya seperti sayap dan ular itu dapat meloncat
dan meluncur dengan cepat seperti seekor burung
saja." "Mungkin ular kobra yang dapat mengembangkan
lehernya," kata Bwee Hwa.
"Mungkin saja. Akan tetapi ular kobra hanya dapat
mengembangkan tubuh bagian leher saja, sedangkan
ular kecil milik pendeta itu mengembangkan bagian
perutnya mirip sayap. Karena itulah maka ular kecil itu
disebut Hwe-coa (Ular Terbang) oleh penduduk."
Siong Li melanjutkan ceritanya. "Pendeta itu bernama
Leng Kong Hoatsu. Selain mengajar tentang budi
pekerti baik, juga dia adalah seorang ahli pengobatan
yang pandai dan banyak orang diselamatkan dari
penyakit yang gawat. Sebetulnya ular itu hanya
merupakan binatang peliharaan kesayangannya saja.
Akan tetapi karena pada jaman itu orang-orang masih
sangat bodoh dan percaya akan tahyul yang bukanbukan, segera tersiar kabar bahwa Leng Kong Hoatsu
mendapatkan ilmu kepandaiannya itu berkat
kesaktian ular terbang itu! Mulailah orang-orang
memuja ular kecil itu sebagai penjelmaan dewa! Siasia saja usaha Leng Kong Hoatsu untuk membantah
kabar itu sehingga akhirnya pendeta ini menjadi
kecewa dan meninggalkan tempat itu, kembali ke
dunia barat, di balik pegunungan Himalaya.
"Biarpun Leng Kong Hoatsu dan "ular terbangnya"
telah tidak ada lagi, orang-orang tetap memuja ular
terbang. Kebodohan dan ketahyulan orang-orang ini
dimanfaatkan orang-orang jahat dan timbullah
perkumpulan yang disebut Hwe-coa-kauw (Agama
Ular Terbang). Perkumpulan agama baru ini sebentar
saja mendapat banyak pengikut dan untuk
mendapatkan "berkat" dari Dewa Ular Terbang itu,
orang-orang rela menyerahkan uang dan harta benda
mereka, disumbangkan kepada perkumpulan agama
baru itu. "Setelah muncul tiga orang pendeta, sebenarnya
mereka itu adalah bekas perampok yang kini
mengenakan pakaian pendeta dan mencukur rambut
mereka, yang memimpin Hwe-coa-kauw,
perkumpulan itu maju pesat. Hal ini karena tiga orang
pendeta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
pandai pula bermain sihir sehingga orang-orang
menjadi semakin percaya. Tiga orang bekas
perampok itu mengangkat diri mereka menjadi Kauwcu (Ketua Agama). Tiga orang ini memilih para
pembantu mereka dari golongan penjahat yang
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki kepandaian silat tinggi. Para pembantu ini
dilatih dan tak lama kemudian Hwe-coa-kauw
menjadi perkumpulan yang kaya, kuat dan
berpengaruh. "Akan tetapi, seperti sering kali terjadi di dunia ini,
siapa yang sadar akan kekuatan dan pengaruh
mereka, akan muncul watak sewenang-wenang
mengandalkan kekuatan itu. Demikian pula dengan
Hwe-coa-kauw. Setelah merasa kuat, mereka tidak
puas hanya dengan menerima sumbangansumbangan, dan mulailah tampak belang mereka.
Tiga kauwcu dan para pembantunya yang memang
berasal dari golongan sesat, mulailah melakukan
perbuatan sewenang-wenang dan memaksakan
kehendak mereka sehingga rakyat yang tadinya
percaya dan kagum, mulai memandang dengan alis
berkerut, dan akhirnya menjadi ketakutan dan
membenci. Hwe-coa-kauw berubah menjadi
perkumpulan orang jahat yang tidak segan
melakukan perbuatan keji apapun juga. Bahkan
mereka berani melakukan penculikan, perkosaan dan
peram pasan hak milik orang lain!
"Karena inilah maka banyak pendekar pembela
kebenaran dan keadilan bertindak. Mereka bersatu
padu dan memusuhi Hwe-coa-kauw yang berpusat di
Tit-le itu. Para pendekar dari berbagai partai persilatan
ini berhasil mengobrak-abrik sarang Hwe-coa-kauw,
membunuh banyak anak buah mereka. Akan tetapi
tiga orang kauw-cu (ketua agama) itu berhasil
melarikan diri bersama sisa anak buah mereka yang
tinggal sedikit." "Aku mewakili perguruan Thai-san-pai bergabung
dengan para pendekar itu," Siong Li melanjutkan
ceritanya. "Aku amat membenci para pimpinan Hwecoa-kauw itu karena mereka telah membunuh
seorang suheng (kakak seperguruan) yang pernah
mencoba menentang mereka seorang diri saja. Maka
setelah mereka melarikan diri, aku segera mengejar
mereka dan melakukan penyelidikan. Akhirnya aku
mendapat keterangan bahwa ke tiga orang kauw-cu
itu menyusun anak buah mereka dan membangun
sarang baru di sebuah hutan besar dekat kota Ki-ciu,
maka aku segera menyelidiki ke sini."
Bwe Hwa yang sejak tadi mendengarkan dengan
penuh kekaguman, bertanya. "Dan engkau telah
menemukan sarang mereka yang baru itu?"
"Kebetulan saja ketika aku sedang menyelidiki ke
hutan, aku melihat mereka membawa lari seorang
gadis. Aku segera mencoba untuk menolongnya. Akan
tetapi ketika tiga orang pemimpin mereka yang
mereka sebut Toa-kauwcu (Ketua Agama Pertama) Jikauwcu (Ketua Agama kedua) dan Sam-kauwcu
(Ketua Agama ke Tiga) maju mengeroyokku, terpaksa
aku melarikan diri karena aku tidak mampu
menandingi pengeroyokan mereka yang lihai. Dan
ketika melihat engkau mengejarku, kukira engkau
seorang di antara mereka. Nah, sekarang ceritakan
bagaimana engkau dapat bentrok dengan mereka
dan siapa pula gadis yang mereka culik dan larikan
itu." Bwee Hwa dengan singkat menceritakan tentang
pertemuannya dan perkenalannya dengan Jaksa Thio
dan anak isterinya. "Jaksa Thio itu seorang pejabat
yang adil dan jujur. Isterinya juga ramah dan
puterinya, Thio Cin Lan, adalah seorang gadis yang
cantik dan lembut. Ketika malam tadi aku bermalam
di rumah Keluarga Jaksa Thio, penjahat-penjahat itu
menyerang dan aku cepat melawan mereka. Tidak
tahunya mereka itu membakar belakang gedung dan
selagi aku sibuk melawan penjahat dan semua
pengawal memadamkan api, penjahat
mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Enci
Cin Lan. Aku merasa heran sekali mengapa Hwe-coakauw itu memusuhi Jaksa Thio seperti itu?"
"Tidak aneh, li-hiap. Agaknya Hwe-coa-kauw
bermaksud untuk menanam pengaruh di daerah Kiciu. Mendengar akan keadilan dan kejujuran Jaksa
Thio, tentu saja mereka ingin menyingkirkan pejabat
yang berbahaya bagi mereka itu."
"Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong), sukakah engkau
bersamaku membasmi sarang Hwe-coa-kauw yang
jahat itu dan menolong Thio Cin Lan?" tanya Bwee
Hwa sambil menatap tajam wajah pemuda itu.
Ong Siong Li tersenyum. "Tentu saja, hal itu tidak
perlu ditanyakan lagi. Akan tetapi harap engkau
jangan menyebut tai-hiap (pendekar besar)
kepadaku." "Tentu saja aku menyebut tai-hiap, karena engkaupun
menyebutku li-hiap (pendekar wanita)!"
"Ha-ha, baiklah, aku yang salah, lalu aku harus
menyebutmu bagaimana?"
Bwee Hwa juga tersenyum. "Jawab dulu
pertanyaanku. Aku harus menyebutmu apa?"
"Kita orang segolongan dan sealiran, sudah seperti
saudara sendiri. Karena aku sudah berusia duapuluh
satu tahun dan tentu lebih tua ketimbang engkau,
maka bagaimana kalau engkau menyebut aku toako
(kakak) saja?" "Baiklah, Li-ko (kakak Li) dan engkau sebut aku Hwamoi (adik Hwa)." "Hwa-moi, kalau begitu mari kita pergi menyelidiki
sarang Hwe-coa-kauw di dalam hutan besar itu.
Mereka menggunakan sebuah kuil tua yang sudah
kosong sebagai sarang dan mereka telah membangun
kembali kuil itu. Akan tetapi kita harus berhati-hati,
karena tiga orang kauw-cu itu benar-benar lihai
sekali." "Baik, mari kita pergi."
Keduanya lalu bangkit dan pergi menuju sarang Hwecoa-kauw dengan Siong Li sebagai penunjuk jalan.
Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, tubuh
kedua orang pendekar muda itu melesat seperti
terbang saja cepatnya. "Y" Thio Cin Lan membuka kedua matanya. Ia merasa
seperti dalam mimpi, mimpi yang buruk sekali,
bermimpi bahwa ia diculik seorang laki-laki berkepala
gundul yang membawanya lari seperti terbang keluar
dari rumah orang tuanya di Ki-ciu. Kini ia sudah
terbangun dan tentu mendapatkan dirinya tertidur
dalam kamarnya dan semua tadi hanya mimpi
kosong belaka. Ia membuka matanya, mengeluh lirih dan bangkit
duduk, menggosok-gosok kedua matanya dengan
punggung tangan. Ia tidak berada dalam kamarnya
sendiri! Ia rebah di atas sebuah pembaringan bertilam
merah, dalam sebuah kamar yang sama sekali asing!
Oh, ia tidak bermimpi! Ia benar-benar diculik dan
dilarikan orang lalu kini dikeram dalam kamar ini!
Cin Lan cepat turun dari pembaringan, bermaksud
untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar itu.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul lima orang wanita muda
yang cantik-cantik dan mereka segera memegang
kedua lengannya. "Thio-siocia (Nona Thio), engkau tidak boleh keluar
dari kamar ini. Seorang nona pengantin tidak boleh
keluar dari kamar ini sebelum pernikahan disahkan!"
kata seorang di antara lima wanita itu.
"Apa" Kau gila! Siapa yang menjadi nona pengantin"
Siapa yang akan menikah?" bentak Cin Lan.
"Nona pengantinnya adalah engkau, Thio-siocia!
Engkau yang akan menikah dengan Hwe-coa-sian
(Dewa Ular Terbang) dan menjadi dewi!" jawab lima
orang wanita itu hampir berbareng.
"Tidak! Kalian gila! Lepaskan aku?"!" Cin Lan merontaronta dan mengamuk, akan tetapi lima orang gadis itu
memeganginya dan tentu saja ia kalah kuat
menghadapi lima orang wanita itu.
Cin Lan adalah seorang gadis terpelajar. Tentu saja ia
tidak mau percaya sama sekali akan bujukan mereka
yang penuh tahyul itu. Akan tetapi ia cukup cerdik
untuk mengetahui bahwa ia berada dalam tangan
orang-orang yang percaya akan tahyul, maklum
bahwa ia berada dalam ancaman bahaya besar.
Maka, ia pura-pura bersikap mengalah dan tidak
meronta lagi sehingga lima orang wanita itu
mengendurkan pegangan mereka. Cin Lan
menggunakan kesempatan ini untuk tiba-tiba meronta
dan berlari lepas dari tangkapan mereka, langsung lari
ke pintu kamar yang terbuka.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit kecil dan menahan
larinya, bahkan lalu melangkah mundur sambil
menatap wajah orang yang tiba-tiba muncul di
ambang pintu dengan mata terbelalak. Yang muncul
itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus, berusia
kurang lebih empatpuluh tahun dan ia ingat bahwa
orang inilah yang menculiknya keluar dari rumah
orang tuanya di Ki-ciu. Pengantin Dewa Ular Terbang
Laki-laki berpakaian jubah pendeta dan kepalanya
gundul itu tersenyum mengejek. Wajahnya cukup
tampan akan tetapi kulit mukanya pucat kekuningan.
Inilah Sam-kauwcu (Ketua Agama ketiga) dan ketika
lima orang gadis itu melihat dia memasuki kamar,
mereka segera menjatuhkan diri berlutut dengan
memberi hormat secara merendah sekali. Mereka
menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencium
lantai, seperti para hamba yang memberi hormat
kepada rajanya! Pendeta tinggi kurus itu memasuki kamar dan
menghampiri Cin Lan yang masih berdiri
memandangnya dengan mata bersinar penuh
keberanian dan kemarahan.
"Nona, mengapa engkau menentang nasibmu yang
amat baik ini" Ketahuilah, jika engkau menjadi
pengantin Dewa Ular Terbang, engkau akan menjadi
dewi dan hidupmu akan berbahagia dan terhormat."
Mengingat bahwa orang ini yang men?culiknya, Cin
Lan menjadi marah dan ia menudingkan telunjuk
kirinya ke arah muka Sam-kauwcu lalu membentak,
"Penjahat yang berkedok pendeta! Siapa sudi
mendengar ocehanmu" Cepat antarkan aku kembali,
kalau tidak ayah tentu akan mengirim para pengawal
untuk menyeretmu di depan meja pengadilan dan
menghukum dengan seribu kali cambukan!"
Sam-kauwcu tersenyum menyeringai dan berkata,
"Kalau begitu, terpaksa kami menggunakan
kekerasan!" Tangannya menyambar ke depan dengan
cepat sekali dan tahu-tahu Cin Lan telah tertotok dua
kali yang membuat ia menjadi lemas dan tidak
mampu mengeluarkan suara. Lima orang wanita
pelayan, itu cepat memeluk tubuh Cin Lan sehingga
tidak jatuh terkulai di atas lantai.
"Cepat dandani ia dengan pakaian pengantin yang
sudah dipersiapkan karena upacara pernikahan akan
dilangsungkan hari ini juga!" kata Sam-kauwcu
kepada lima orang wanita pelayan itu, lalu diapun
keluar dari dalam kamar. Thio Cin Lan sama sekali tidak berdaya melawan
ketika ia dimandikan oleh lima orang wanita itu,
kemudian pakaian baru dikenakan pada tubuhnya.
Pakaian dalam dari sutera halus, lalu pakaian luamya
adalah pakaian mempelai berwarna merah
berkembang-kembang dari kain tipis tembus pandang
sehingga bentuk tubuhnya yang langsing dan kulitnya
yang putih mulus itu membayang di balik pakaian
pengantin itu. Rambutnya disisir rapi dan digelung
secara indah, dihias tiara penuh mutiara. Wajahnya
juga dihias sehingga Cin Lan tampak benar-benar
cantik jelita dan agung bagaikan seorang bidadari!
Lewat tengah hari terdengar bunyi canang dan
tambur. Mempelai perempuan diarak keluar dari
kamarnya menuju ke ruangan tengah di mana semua
anggauta Hwe-coa-kauw telah berkumpul. Di tengahtengah ruangan itu dikelilingi oleh para anggauta yang
duduk agak jauh, terdapat sebuah bangku tinggi yang
sudah dihias dengan bunga-bunga dan kertas
berwarna. Cin Lan yang masih berada di bawah pengaruh
totokan, tak mampu meronta atau berteriak,
dinaikkan ke atas bangku tinggi dan didudukkan di
sana. Gadis yang tak berdaya itu hanya dapat duduk
lemas dan sepasang matanya memandang dengan
penuh rasa ngeri. Di depannya, kurang lebih dua
tombak jauhnya, terdapat sebuah kotak emas yang
tergantung oleh tali dari tiang penglari. Kotak itu
seluruhnya terbuat dari emas dan diukir indah, ukiran
berbentuk seekor ular yang sedang terbang.
Walaupun tidak diberitahu, Cin Lan dapat merasakan
bahwa bahaya yang mengancam dirinya tentu datang
dari kotak emas yang aneh itu, maka ia memandang
ke arah kotak emas itu dengan gelisah.
Semua anggauta gerombolan itu tidak ada yang
mengeluarkan suara, hanya mata mereka
memandang ke arah gadis itu dengan mata kagum
dan penuh gairah. Dari pandang mata mereka tampak
kesan seolah mereka hendak menelan gadis itu bulatbulat! Hal ini terasa oleh Cin Lan dan menambah
kengerian hatinya. Siapa takkan merasa ngeri, dalam
keadaan tidak berdaya berada di tengah-tengah
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang lebih tigapuluh orang laki-laki yang tampak
buas dan pandang mata mereka seperti orang
berotak miring itu! Di bawah gantungan kotak emas itu duduk tiga orang
pendeta berkepala gundul dan berjubah longgar. Yang
seorang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok
namun kepalanya gundul, matanya mencorong lebar,
usianya kurang lebih limapuluh lima tahun. Inilah Toakauwcu, ketua agama yang pertama.
Yang kedua adalah seorang laki-laki berusia limapuluh
tahun, pendek gendut sekali sehingga dia seperti
seekor babi saja, wajahnya tampak lucu dan sama
sekali tidak serem walaupun dia berusaha untuk
membuat wajahnya tampak serem. Dia adalah Jikauwcu, ketua kedua. Adapun orang ketiga adalah
Sam-kauwcu yang tinggi kurus berwajah pucat
kekuningan dan berusia empatpuluh tahun itu. Mereka
bertiga duduk di atas kursi-kursi berukir dengan
gambar ular terbang. Setelah menaikkan Cin Lan ke atas bangku tinggi itu,
lima orang pelayan wanita itu lalu mengundurkan diri
ke dalam kamar atau ruangan di bagian belakang
bangunan besar bekas kuil itu, seperti para wanita
pelayan yang lain. Mereka itu dilarang menyaksikan
upacara perkawinan. Cin Lan ditinggalkan seorang diri
dan gadis ini dengan wajah pucat ketakutan
memandang ke sekeliling melalui kerudung pengantin
yang berupa tirai tipis tembus pandang itu.
Kemudian tiga orang ketua agama itu berdoa dengan
suara yang tidak jelas, seakan-akan hanya digumam
saja. Akan tetapi aneh, semua anggauta yang berada
dalam ruangan itu lalu menundukkan muka dan ikut
berdoa sehingga ruangan itu penuh dengan suara
orang berdoa yang menimbulkan gaung aneh dan
suasananya menjadi seram sekali. Cin Lan
mendengarkan dengan mata terbelalak dan bulu
tengkuknya meremang karena ngeri dan takut. Toakauwcu lalu membakar dupa wangi yang asapnya
memenuhi ruangan itu. Bau dupa yang harum aneh ini
menambah suasana yang aneh dan menyeramkan.
Tiba-tiba semua mulut terdiam seper?ti mendapat
komando tak bersuara. Suasana menjadi sunyi, sunyi
yang aneh karena suara doa gemuruh tadi berhenti
secara tiba-tiba. Tiga orang ketua agama itu lalu
bangkit berdiri dan menghampiri Cin Lan yang duduk
di atas bangku tinggi. Mereka menggeser kursi
mereka ke dekat bangku tinggi yang diduduki Cin
Lan, lalu mereka berdiri di atas kursi sehingga dapat
berhadapan sama tingginya dengan gadis itu.
"Ya dewa ular yang maha agung, terimalah
persembahan kami ini, pengantin paduka!" kata Jikauwcu dalam doanya sambil merenggut kerudung
penutup kepala dan muka Cin Lan. Pada saat yang
sama Sam-kauwcu membuka totokan pada urat gagu
Cin Lan akan tetapi pada saat yang sama juga
menotok pundak gadis itu sehingga Cin Lan menjadi
lemas tak mampu bergerak sedikitpun. Gadis itu kini
hanya mampu bersuara akan tetapi tidak mampu
bergerak. Terdengarlah isak tangisnya yang
ketakutan. Kalau saja ia tidak ditotok sehingga tak
mampu bergerak, tentu Cin Lan akan melompat turun
dari bangkunya yang tinggi.
Sementara itu, Toa-kauwcu menekan tombol yang
terdapat pada kotak emas itu sehingga terdengar
suara menjepret dan kotak emas itupun terbuka.
Tampaklah dari kotak itu kepala seekor ular kecil
yang menjulur keluar dengan sepasang matanya
yang liar berwarna kemerahan dan lidahnya menjilatjilat keluar dari moncongnya. Lidah itu lebih merah
lagi warnanya. Perlahan-lahan ular itu merayap keluar sehingga
tampak tubuhnya yang kecil panjang berbintik-bintik
merah dan hitam. Binatang itu merayap ke atas peti
dan akhirnya melingkar diam di atas peti, kepalanya
memandang ke sana-sini seperti seorang raja sedang
memeriksa para hulubalangnya yang menghadap di
depannya. Agaknya ular itu hendak turun, akan tetapi peti emas
itu tergantung begitu tinggi sedangkan untuk turun
tidak terdapat tempat untuk merayap. Ular itu lalu
menggerak-gerakkan kepalanya mencari tempat yang
dekat untuk diloncati, dan tentu saja yang terdekat
dengan tempatnya adalah Cin Lan yang duduk di atas
bangku itu. Maka perhatian ular itu kini pindah
seluruhnya kepada gadis itu yang duduk tak bergerak
bagaikan patung di atas bangkunya.
Cin Lan terbelalak memandang ular itu. Melihat
betapa binatang itu memandang kepadanya sambil
menjilat-jilatkan lidahnya, Cin Lan menjadi begitu
ngeri dan takut sekali sehingga air matanya mengalir
membasahi pipinya yang pucat tanpa dapat
mengeluarkan sedikitpun suara karena ditahantahannya hati yang ingin menjerit-jerit, takut kalaukalau hal itu akan membuat ular itu menyerangnya.
Pada saat itu, Toa-kauwcu berdiri dari kursinya dan
menghampiri Cin Lan yang hampir pingsan ketakutan.
Kauw-cu ini memegang secawan anggur dan berbisik
kepada Cin Lan. "Nona pengantin, silakan minum anggur pengantin
untuk menghormati pengantin pria."
Tentu saja Cin Lan tidak sudi menerimanya, bahkan ia
memandang pendeta tinggi besar itu dengan mata
penuh sinar kebencian. Toa-kauwcu lalu berdiri di atas
kursinya dan berkata lirih, "Betapapun juga, lebih baik
mati minum racun daripada mati tersiksa."
Mendengar ucapan ini, Cin Lan menganggap bahwa
ucapan itu ada benarnya juga. Karena menyangka
bahwa yang berada dalam cawan itu tentu racun
yang akan mematikannya, cepat ia berkata, "Baik.....
berikan anggur itu..... akan kuminum.......!"
Karena Cin Lan tidak dapat menggerakkan tubuhnya
yang tertotok lemas, Toa-kauwcu lalu mengangkat
cawan itu ke bibir Cin Lan dan menunangkan isi
cawan ke dalam mulut gadis itu yang menerimanya
lalu meminumnya sampai habis. Rasa minuman itu
manis akan tetapi berbau amis, akan tetapi karena
merasa lebih baik mati cepat daripada menghadapi
siksaan yang mengerikan itu. Cin Lan menahan
kemuakannya dan menelan semua isi cawan.
Toa-kauwcu tersenyum lalu turun dari kursi dan
meninggalkan Cin Lan setelah dia membebaskan
gadis itu dari totokan yang membuatnya lemas tak
mampu bergerak tadi. Gadis yang malang itu merasa betapa kepalanya
menjadi pening dan pandang matanva kabur. Segala
sesuatu tampak berpusing dan ia memejamkan
kedua matanya, siap menerima datangnya kematian.
Ia merasa tubuhnya ringan sekali dan anehnya, ia
merasa nyaman, enak dan menyenangkan! Untuk
beberapa saat lamanya ia memejamkan kedua
matanya dan di depan mata yang terpejam itu ia
melihat banyak macam warna beterbangan, berputarputar dan berkilauan amat indahnya.
Ketika ia membuka mata kembali, sungguh heran, ia
merasa segar dan senang sekali. Ia melihat betapa
ular yang berada di atas kotak emas itu mengangkat
kepalanya dan kini tampak jelas betapa di bagian
dada dan perut ulat itu terkembang sayap di kanan
kiri! Alangkah indahnya ular itu. Kulitnya yang
bertotol-totol merah hitam itu mengkilap dan
warnanya amat indah. Cin Lan merasa suka sekali melihat ular itu, bagaikan
seorang gadis melihat setangkai bunga atau seekor
burung yang bulunya berwarna indah. Tanpa
disadarinya sendiri gadis itu mengangkat kedua
lengannya ke atas seolah-olah hendak dijulurkan dan
hendak membelai ular yang kini siap hendak
meloncat! Semua anggauta Hwe-coa-kauw yang berada di situ
memandang ke arah dua mahluk yang saling
berhadapan itu dan mereka menahan napas dengan
hati tegang. Mereka semua maklum bahwa sebentar
lagi, "pengantin pria" itu akan melompat dan
menerkam leher "pengantin wanita", dalam
gigitannya yang berbisa dan mematikan. Setiap tahun
sekali terjadilah persembahan kurban seperti ini yang
dipilih di antara gadis-gadis cantik. Dan tahun ini yang
dipilih adalah Thio Cin Lan, yang selain cantik jelita
dan menjadi kembang kota Ki-ciu, juga ia berdarah
bangsawan dan terutama sekali puteri Jaksa Thio
yang tidak disuka oleh Hwe-coa-kauw.
Suasana yang tegang memuncak dan semakin
mencekam ketika orang-orang melihat betapa ular itu
kini mengembang kan "sayapnya" yang sebetulnya
hanyalah tubuh ular yang digepengkan sehingga
menjadi lebar seperti sayap. Ular itu kini siap untuk
"terbang" atau melompat ke arah Cin Lan yang
berada di bawah pengaruh minuman perangsang itu,
menanti ular kecil indah itu dengan senyum yang
amat manis! Ular itu mendesis beberapa kali,
kemudian tiba-tiba ia "terbang" melompat ke arah Cin
Lan, meluncur ke leher gadis itu. Semua orang
menahan napas melihat tubuh ular itu melayang, hati
mereka penuh ketegangan. Pada saat itu, dari luar jendela ruangan itu
menyambar sinar-sinar kecil yang mengeluarkan
suara berdengung seperti ada serombongan tawon
kecil terbang masuk dan sinar-sinar kecil itu
menyambar ke arah tubuh ular yang sedang meluncur
di udara itu. Ular itu terpental di tengah udara sambil
menggeliat-geliat dan jatuh ke bawah. Ketika tiba di
atas lantai, ular itu berkelojotan sebentar lalu diam
mati. Kepala dan lehernya penuh ditancapi jarumjarum kecil. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon),
senjata rahasia yang amat ampuh dari Bwee Hwa Si
Tawon Merah! Untuk sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua
orang yang berada di situ tercengang keheranan.
Demikian pula tiga orang Kauw-cu yang sama sekali
tidak menduga akan terjadi hal seperti itu. Mereka
tertegun dan tak dapat berbuat sesuatu kecuali
memandang bangkai ular pujaan mereka yang telah
mati. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama.
Segera mereka bertiga melompat dengan marah
sambil mencabut senjata masing-masing.
"Jahanam busuk, jangan lari!" mereka berseru dan
cepat mereka melompat keluar dari ruangan itu
melalui jendela. Di luar jendela telah berdiri Bwee
Hwa dan Ong Siong Li, menanti dengan sikap tenang
dan dengan pedang di tangan kanan.
"Keparat, engkau berani datang lagi" Agaknya
memang sudah bosan hidup!" teriak Toa-kauwcu yang
segera mengenal Siong Li yang tadi pagi melarikan
diri setelah menghadapi pengeroyokan mereka
bertiga. Siong Li tersenyum mengejek.
"Selama pedang ini masih berada di tanganku, aku
takkan berhenti berusaha untuk membasmi Hwe-coakauw yang terkutuk!"
Bwee Hwa juga tidak mau kalah dan dengan pedang
melintang depan dada, telunjuk tangan kirinya
menuding ke arah tiga orang itu. "Kalian ini orangorang sesat yang menyamar sebagai pendeta agama
sesat. Kalau kalian ingin selamat, bebaskan nona Thio
dan bubarkan perkumpulan jahat ini, lalu kalian
menyerah kepada yang berwajib untuk menerima
hukuman. Kalau tidak demikian, terpaksa kami turun
tangan dan tidak saja kami akan membinasakan
kalian bertiga, tapi juga akan kami obrak-abrik dan
bakar sarang kalian ini!"
"Nah, bukankah engkau ini perempuan yang semalam
telah membunuh beberapa orang anak buah kami"
Bagus, tidak usah kami bersusah payah mencari,
engkau telah datang mengantarkan nyawa ke sini!"
teriak Toa-kauwcu. "Bunuh mereka!" bentak Ji-kauwcu yang segera
menyerang Bwee Hwa dengan serangan kilat.
Pedangnya membacok ke arah leher gadis itu.
"Wuuuttt....... trang?"" Bunga api berpijar ketika Bwee
Hwa menangkis serangan itu dengan Sin-hong-kiam
di tangannya. Tangan Ji-kauwcu tergetar dan tahu
bahwa mereka akan dikeroyok, Bwee Hwa dan Siong
Li cepat berlompatan keluar dari kuil untuk mencari
tempat yang luas. Mereka tiba di luar kuil yang luas
dan di sana mereka menanti tiga orang yang
mengejar mereka. Tiga orang Kauw-cu itu segera serentak menyerang
dan terjadilah perkelahian dua lawan tiga yang seru
sekali. Bayangan lima orang yang tangguh ini
berkelebatan di antara gulungan lima sinar pedang.
Para anak buah Hwe-coa-kauw juga mengejar
dengan senjata di tangan. Akan tetapi ketika mereka
hendak maju mengepung dua orang muda itu, tibatiba terdengar sorak sorai menggegap gempita dan
muncullah limapuluh orang perajurit pengawal di
bawah pimpinan Thio-taijin sendiri!
Kiranya tadi sebelum memasuki hutan, Bwee Hwa
dan Siong Li bersepakat untuk minta bantuan Thiotaijin mengingat bahwa gerombolan itu mempunyai
banyak anak buah. Mendengar permintaan Bwee
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwa yang sudah mengetahui sarang gerombolan
yang menculik puterinya, Thio-taijin yang marah dan
ingin segera menyelamatkan puterinya turun tangan
dan memimpin sendiri limapuluh orang perajurit
pengawal ditemani para perwira yang memiliki ilmu
silat tinggi, mengikuti Siong Li dan Bwee Hwa. Mereka
berindap-indap menghampiri kuil di tengah hutan itu.
Karena semua anggauta Hwe-coa-kauw sedang sibuk
mengadakan upacara "pernikahan" maka tidak ada
yang mengetahui akan datangnya pasukan ini.
Pasukan bersembunyi di luar kuil dan setelah melihat
Bwee Hwa dan Siong Li keluar dan bertempur,
melihat pula puluhan anak buah Hwe-coa-kauw siap
mengeroyok, baru pasukan itu keluar sambil bersorak
sorai dan dengan senjata di tangan.
Para anggauta gerombolan terkejut bukan main. Akan
tetapi karena pasukan itu sudah menyerbu, tidak ada
jalan lain bagi mereka. Terpaksa mereka melawan
mati-matian dan terjadilah pertempuran yang hebat di
depan kuil itu. Sementara itu Thio-taijin sendiri,
dikawal beberapa orang perwira, menyerbu kuil yang
sudah ditinggalkan para anggauta gerombolan yang
bertempur di luar. Mereka hanya menemukan belasan
orang wanita cantik yang dipaksa menjadi pelayan di
situ. Para wanita ini berlutut dan menyerah tanpa
perlawanan. Jaksa Thio mendapatkan puterinya di
ruangan tengah, mengenakan pakaian pengantin.
Ketika melihat ayahnya, Cin Lan berlari menyambut
dan jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Cepat
Jaksa Thio mem bawa puterinya pulang lebih dulu
untuk merawat gadis itu dan menyerahkan pimpinan
pasukan kepada para perwira.
Biarpun mereka melakukan perlawanan nekat, namun
karena jumlah mereka kalah banyak, hanya kurang
lebih setengahnya, maka gerombolan Hwe-coa-kauw
dapat dihancurkan. Banyak di antara mereka yang
yang terbunuh atau tertawan, sisanya melarikan diri
cerai berai ke dalam hutan.
Sebagian perajurit lalu melakukan penggeledahan ke
dalam kuil, menawan para wanita pelayan. Sebagian
pula mengepung tiga orang kauw-cu yang masih
bertanding melawan Bwee Hwa dan Siong Li. Mereka
hanya berani mengepung dari jarak jauh karena
ketika tadi mereka berusaha mengepung dari dekat
dan membantu dua orang muda itu, baru beberapa
gebrakan saja dua orang perajurit telah roboh terkena
sambaran pedang tiga orang Kauw-cu yang lihai itu.
Memang kepandaian tiga orang kauw?cu itu tangguh
sekali. Ilmu pedang mereka berdasarkan ilmu pedang
dari Go-bi-pai, walaupun mereka sama sekali bukan
murid-murid perguruan besar itu. Entah bagaimana
mereka dapat mencuri dan mempelajari ilmu pedang
ini. Akan tetapi ilmu pedang Go-bi Kiam-sut itu sudah
bercampur dengan ilmu silat aliran Pek-lian-kauw
(Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan besar
berkedok agama yang suka menentang pemerintah
dan juga tidak segan melakukan perbuatan jahat.
Tiga orang ini selain memiliki ilmu pedang yang kuat
juga mereka memiliki tenaga sakti yang cukup
tangguh di samping gerakan mereka cepat sekali.
Karena inilah maka sampai sebegitu jauh Bwee Hwa
dan Siong Li masih juga belum mampu mengalahkan
mereka. Hal ini membuat Bwee Hwa merasa
penasaran dan marah sekali. Diam-diam gadis
perkasa ini mengeluarkan enam batang jarum kecil
dan dengan mengerahkan tenaga, tangan kirinya
bergerak tiga kali. "Sambut hong-cu-ciam ini!" bentaknya.
Sebagai seorang pendekar, ia memberi peringatan
lebih dulu kepada orang yang ia serang dengan
senjata rahasia. Ini merupakan peraturan tak tertulis
bagi para pendekar agar tidak dianggap curang.
Terdengar bunyi dengung dan tiga orang kauw-cu itu
disambar senjata rahasia itu, masing-masing dua
batang jarum. Mereka bertiga terkejut dan maklum akan hong-cuciam, mereka cepat memutar pedang untuk
menangkis sehingga jarum-jarum itu runtuh. Akan
tetapi kesempatan itu dipergunakan Bwee Hwa untuk
menyerang hebat. Pedangnya berkelebatan dan dari
mulutnya terdengar dengung tawon yang membuat
tiga orang lawannya terganggu konsentrasinya. Juga
Siong Li menyerang dengan dahsyat menggunakan
kesempatan selagi gerakan tiga orang itu kacau
setelah diserang hong-cu-ciam.
Agaknya Toa-kauwcu yang bertubuh tinggi besar,
mukanya brewok dan kepalanya gundul itu merasa
bahwa kalau melawan terus, dia dan kawankawannya tidak akan menang, bahkan keadaan dia
dan dua orang sutenya (adik seperguruannya) amat
berbahaya karena anak buah mereka telah
dihancurkan, segera dia memberi isyarat dengan
teriakan rahasia kepada dua orang saudaranya.
Mereka bertiga lalu berlompatan ke belakang sambil
mengeluarkan senjata rahasia piauw beracun dan
tanpa memberi peringatan seperti kelicikan para
tokoh sesat, mereka menyambitkan piauw ke arah
Siong Li dan Bwee Hwa. http://cerita-silat.mywapblog.com
Kauw-jiu Pek-wan " Sang Ayah"
Dua orang muda ini sudah waspada sejak tadi, maka
ketika ada sinar-sinar hitam menyambar, mereka
berdua cepat memutar pedang. Sinar pedang mereka
membentuk payung yang menjadi perisai diri dan
semua piauw itu runtuh tertangkis sinar pedang.
Kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang ketua
gerombolan Hwe-coa-kauw untuk berlompatan keluar
dari kepungan perajurit pengawal dan melarikan diri.
Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li tidak mau
membiarkan mereka lolos. Dengan cepat mereka
berdua melakukan pengejaran sambil mengerahkan
ilmu berlari cepat mereka.
Setelah jarak antara mereka dan tiga orang kepala
gerombolan itu cukup dekat, Bwee Hwa lalu
menyerang dengan hong-cu-ciam (jarum tawon) ke
arah orang yang berada paling belakang. Sinar lembut
menyambar, terdengar dengung dan Ji-kauwcu yang
bertubuh pendek gendut itu berteriak dan tubuhnya
terpelanting. Sebatang jarum telah menancap di
tengkuknya, membuat lemas dan sama sekali dia
tidak dapat melakukan perlawanan ketika para
perajurit pengawal datang lalu membelenggunya.
Melihat Ji-kauwcu roboh, Toa-kauwcu mewjadi marah
sekali. Dia merasa sakit hatinya kepada dua orang
pendekar yang telah mengobrak-abrik gerombolannya
bahkan telah membunuh banyak pembantunya, maka
dengan nekat dia lalu membalikkan tubuh dan
mengamuk. Kesempatan ini dipergunakan oleh Samkauwcu untuk melarikan diri. Ketua ketiga dari Hwecoa-kauw ini memang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang tinggi dan dia mampu
berlari dengan amat cepatnya.
Siong Li berusaha mengejarnya, namun dia segera
kehilangan jejak dan karena dia mengkhawatirkan
keselamatan Bwee Hwa, dia cepat kembali dan ikut
mengeroyok Toa-kauwcu. Tentu saja ketua Hwe-coakauw ini tidak mampu menandingi dua orang
pendekar muda itu dan lewat belasan jurus saja dia
sudah roboh dan tewas. Maka terbasmilah
perkumpulan agama sesat Hwe-coa-kauw. Hanya
Sam-kauwcu seorang yang berhasil meloloskan diri.
Banyak anak buahnya tewas atau tertawan dan
hanya sedikit yang melarikan diri cerai berai mencari
keselamatan masing-masing.
Ketika Bwee Hwa dan Siong Li kembali ke sarang
Hwe-coa-kauw, mereka disambut dengan penuh
kegembiraan dan kehormatan oleh Jaksa Thio.
"Bagaimana keadaan Enci Cin Lan, lo-pek?" tanya
Bwee Hwa kepada Jaksa Thio.
"Ia baik-baik saja, hanya terkejut dan sekarang sudah
diantar pulang. Syukurlah, semua ini karena
pertolonganmu dan Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong)
. Kami sekeluarga berhutang budi kepada kalian
berdua." "Ah, harap jangan bicara tentang budi, taijin. Kami
berdua hanya melakukan apa yang menjadi tugas
kewajiban kami," kata Ong Siong Li.
"Aku ingin melihat keadaan Enci Cin Lan sebentar,"
kata Bwee Hwa kepada Siong Li.
Pemuda itu mengangguk dan mereka semua lalu
kembali ke kota Ki-ciu dengan gembira karena selain
Cin Lan telah dapat ditemukan dan diselamatkan,
juga gerombolan agama sesat Hwe-coa-kauw telah
dapat dibasmi. Setibanya di gedung keluarga Jaksa Thio, Bwee Hwa
lalu pergi ke kamar. Ia melihat Cin Lan dalam
keadaan sehat. Gadis bangsawan yang mengalami
peristiwa yang amat mengerikan dan menakutkan itu
kini sedang tidur pulas. Bwee Hwa tidak mau
mengganggunya, lalu mengambil buntalan
pakaiannya dan menuju ke luar di mana Siong Li
duduk bersama Jaksa Thio. Melihat gadis itu keluar
dan sudah menggendong buntalan pakaiannya, Jaksa
Thio terkejut sekali. Dia cepat bangkit berdiri. Siong Li
juga bangkit dari duduknya.
"Eh, Bwee Hwa, engkau menggendong buntalan
pakaianmu" Hendak ke manakah?"
Nyonya Thio juga datang berlari dari dalam. "Bwee
Hwa, jangan pergi sekarang. Tinggallah dulu di sini
selama yang kaukehendaki! Kami senang engkau
berada di sini!" Bwee Hwa tersenyum dan menggeleng kepalanya. Ia
tahu bahwa kalau ia lebih lama tinggal di situ, ia
hanya akan menerima pujian-pujian dan
penghormatan-penghormatan yang sesungguhnya
sama sekali tidak ia kehendaki atau cari.
"Tidak mungkin, lopek dan bibi. Aku masih
mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan.
Maka aku harus pergi sekarang juga melanjutkan
perjalananku. Kelak, kalau aku lewat di kota ini pasti
aku akan singgah untuk menanyakan keselamatan
kalian dan Enci Cin Lan."
"Thio-taijin, apa yang dikatakan Hwa-moi tadi
memang benar. Kami masih mempunyai banyak
urusan masing-masing yang harus diselesaikan.
Karena itu, sayapun mohon pamit!"
Jaksa Thio dan isterinya mencoba untuk menahan.
Akan tetapi Bwee Hwa tidak dapat ditahan. Bahkan
ketika Jaksa Thio menawarkan pemberian uang untuk
bekal, baik Bwee Hwa maupun Siong Li menolak
dengan halus. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan
Jaksa Thio dan isterinya yang hanya dapat mengikuti
mereka dengan pandang mata heran dan kagum.
Setelah tiba di luar kota Ki-ciu, Bwee Hwa berhenti di
sebuah perempatan dan ia berkata, "Li-ko, sekarang
kita harus berpisah di sini. Engkau teruskanlah
perjalananmu dan aku akan melanjutkan
perjalananku sendiri."
Siong Li tidak memperlihatkan rasa kecewa yang
menyelubungi hatinya. Dia masih tersenyum ketika
berkata, "Hwa-moi, apa salahnya kalau kita
mengambil jalan bersama" Apakah engkau
mempunyai tujuan tertentu?"
Bwee Hwa menggeleng kepala. "Kurasa lebih baik
kita mengambil jalan masing masing, Li-ko. Tidak baik
kalau engkau berjalan denganku karena hal itu akan
mengakibatkan urusanmu sendiri terbengkalai. Aku
hendak mencari seseorang."
Ong Siong Li maklum bahwa gadis itu merasa tidak
enak kalau harus melakukan perjalanan bersama dia
dan diapun maklum akan hal ini, karena sebagai
seorang gadis, tentu saja Bwee Hwa merasa malu
untuk melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda yang sama sekali tidak ada hubungan
apapun dengannya. Bahkan berkenalanpun baru saja!
Dia menghela napas panjang dan bertanya.
"Tidak apalah kalau kita harus berpisah, Hwa-moi.
Mungkin dan mudah-mudahan saja kelak kita akan
dapat saling berjumpa kembali. Akan tetapi tentang
orang yang kau cari itu, siapakah dia kalau aku boleh
mengetahuinya?" "Namanya akupun tidak tahu. Aku hanya mengetahui
bahwa julukannya adalah Kauw-jiu Pek-wan (Lutung
Putih Tangan Sembilan)."
Setelah berpikir dan mengingat-ingat berapa lamanya,
Siong Li lalu berkata, "Aku pernah mendengar nama
julukan yang cukup terkenal itu, akan tetapi aku
belum pernah bertemu dengan orangnya."
"Di mana dia tinggal?" tanya Bwee Hwa, ingin tahu
sekali. Siong Li menggeleng kepalanya. "Menurut
pendengaranku, dia adalah seorang tokoh kenamaan
yang menjagoi beberapa belas tahun yang lalu, akan
tetapi akhir-akhir ini tidak terdengar lagi namanya.
Dahulu dia menjagoi di daerah utara, sekarang entah
berada di mana, akupun tidak pernah mendengar lagi
tentang dia." Bwee Hwa kecewa mendengar bahwa kawan baru
ini tidak tahu di mana orang yang dicarinya itu
berada.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebetulnya dia itu orang apakah" Apa kedudukannya
dan apa yang dikerjakannya" Melihat julukannya,
tentu dia seorang ahli silat yang tangguh."
Siong Li memandangnya dengan sinar mata heran.
"Engkau mencari dia akan tetapi tidak tahu dia itu
orang macam apa" Sungguh aneh sekali. Kauw-jiu
Pek-wan adalah seorang perampok tunggal yang
namanya ditakuti orang karena kejam dan lihainya.
Engkau mencari dia ada urusan apakah, Hwa-moi"
Hati-hati, dia seorang yang lihai sekali, dan terkenal
amat kejam dan menurut apa yang pernah kudengar,
dia suka mengganggu wanita."
Tiba-tiba muka Bwee Hwa menjadi merah. "Ah, tidak
ada apa-apa. Terima kasih atas semua keteranganmu,
Li-ko. Nah, biarlah kita berpisah di sini."
Biarpun hatinya terasa berat harus berpisah dari gadis
yang baru saja dikenalnya akan tetapi yang amat
dikaguminya dan amat menarik hatinya itu, Siong Li
tidak dapat membantah. Mereka lalu mengangkat
kedua tangan dada, saling menghormat.
"Selamat berpisah, Li-ko."
"Selamat jalan, Hwa-moi. Semoga Thian (Tuhan)
selalu melindungimu." Mereka mengambil jalan
masing-masing. Bwee Hwa menuju ke utara dan
Siong Li menuju ke timur.
"Y" Bwee Hwa berjalan seorang diri. Ia tidak
memperhatikan ke mana ia menuju. Ia membiarkan
dirinya ke mana saja kedua kakinya membawanya.
Pikirannya melamun tiada hentinya, mengenang apa
yang ia dengar dari Ong Siong Li tentang Kauw-jiu
Pek-wan. Dia itu, ayah kandungnya, adalah seorang
perampok yang amat lihai dan amat kejam! Alangkah
rendahnya! Jadi, ia adalah puteri seorang perampok,
seorang penjahat" Ia mencoba untuk membayangkan lagi wajah
seorang laki-laki yang diingatnya sebagai ayahnya
dahulu. Seorang laki-laki tinggi besar bermuka seperti
harimau dengan sepasang mata bundar besar dan
suara yang keras dan kasar. Memang pantas kalau
ayahnya menjadi perampok, akhirnya ia menarik
kesimpulan sebagai hasil lamunannya itu dan ia
menghela napas dalam. Inilah agaknya yang menjadi
sebab mengapa gurunya tidak pernah mau
menceritakan siapa sebetulnya ayahnya itu. Agaknya
sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang
penjahat kejam. Bwee Hwa menghampiri sebatang pohon besar dan
duduk di atas sebuah batu besar yang berada di
bawah pohon itu. Timbul perasaan ragu dalam hatinya
untuk melanjutkan pencarian terhadap ayahnya. Ia
merasa malu memikirkan keadaan ayahnya sebagai
seorang perampok, sebagai seorang penjahat besar
yang kejam, bahkan yang menurut Siong Li tadi,
seorang pengganggu wanita! Akan tetapi tiba-tiba ia
teringat akan wajah ibunya. Ia masih ingat bahwa
ibunya adalah seorang wanita yang cantik, akan
tetapi seingatnya wanita cantik ibunya itu selalu
diliputi kedukaan, sinar mata itu selalu sayu dan tak
bersemangat. Ia menjadi terharu dan bibirnya berbisik
lirih. ".......ibu......."
Seketika lenyaplah semua keraguannya. Ia bukan
hendak mencari ayahnya yang menjadi perampok
jahat dan kejam, akan tetapi ia hendak mencari
ibunya! Ibunya yang terkasih, ibunya yang cantik
jelita dan ibunya yang selalu bersedih itu.
Menurut keterangan Siong Li tadi, ayahnya dahulu
menjagoi di daerah utara. Karena itulah ia tadi
memilih jalan yang menuju ke utara. Bwee Hwa
bangkit dan melanjutkan perjalanannya, menuju
utara. Mudah-mudahan ia akan dapat menemukan
ibunya. Kini hanya ibunya yang menjadi tujuan
perjalanannya. Ia mencari Kauw-jiu Pek-wan hanya
untuk dapat bertemu dengan ibunya.
Karena ia tidak mengenal jalan dan hanya ngawur
saja menuju ke utara, maka ketika bukit Siauw-liongsan menghadang di depannya, iapun langsung
mendaki bukit itu. Bukit yang penuh hutan lebat dan
besar, hutan-hutan liar yang jarang dimasuki orang
dan bukit itu terkenal sebagai sarang gerombolan
penjahat yang ganas. Orang-orang yang tinggal di
daerah itu mengenal tempat ini dan tidak ada
pemburu yang berani memburu binatang di hutanhutan itu, tidak ada pedagang yang berani melalui
jalan di hutan itu. Berhari-hari Bwee Hwa keluar masuk hutan dan
masih juga ia belum dapat keluar dari bukit penuh
hutan liar itu. Ia kehabisan bekal roti kering yang
dibelinya di sebuah dusun yang terakhir dilewatinya,
dan sudah dua hari ia terpaksa mencari buah-buahan
di hutan untuk dimakan. Bahkan ia terpaksa makan
pupus-pupus daun agar jangan mati kelaparan. Baru
gadis ini merasakan betapa susahnya melakukan
perjalanan merantau ke daerah yang asing dan tidak
dikenalnya sama sekali. Setelah berputar-putar dalam hutan-hutan di atas
bukit itu selama lima hari, pada hari keenam karena
kesal dan bingung ia melompat ke atas cabang pohon
lalu memanjat naik ke puncak pohon yang tinggi itu
untuk melihat keadaan sekeliling mencari kalau-kalau
ia dapat melihat sebuah dusun tak jauh dari situ. Tibatiba dari atas melayang turun dua titik hitam.
Setelah dekat, ternyata bahwa dua titik hitam itu
adalah dua ekor burung kim-gan-tiauw (rajawali mata
emas), semacam burung rajawali yang besar sekali
dan matanya berwarna kuning emas dan bersinar
mencorong! Kedua ekor burung itu mengeluarkan
suara teriakan melengking dan langsung menyerang
Bwee Hwa dengan sambaran kuku cakar mereka
yang tajam dan runcing melengkung.
Bwee Hwa terkejut bukan main dan cepat ia
melompat ke bawah pohon dan langsung mencabut
pedangnya. Ia melihat dua ekor burung itu melayang
turun. Bukan main besarnya burung-burung itu, ketika
berdiri di atas tanah, tingginya hampir sama
dengannya! Burung-burung rajawali raksasa itu masih
memekik-mekik nyaring dan mereka lalu menerjang
dengan paruh mereka yang kokoh kuat sambil
mengibas-ngibaskan sayap mereka yang besar.
Bwee Hwa tidak merasa takut. Gadis perkasa ini
bergerak cepat menghindarkan diri dari terjangan
mereka dan membalas dengan serangan pedangnya.
"Trak-tranggg?"!" Bwee Hwa terkejut sekali. Ketika
pedangnya bertemu dengan paruh burung, paruh itu
tidak terpotong dan bahkan tangannya yang
memegang pedang tergetar saking kuatnya tenaga
burung-burung itu. Dan kibasan sayap-sayap mereka
mendatangkan angin kuat sehingga amat sukar bagi
Bwee Hwa untuk menyerang. Menghadapi dua ekor
burung rajawali itu, agaknya ilmu silat dan kecepatan
gerakan gadis itu tidak ada artinya.
Bagaimanapun juga, ia masih dapat menyelamatkan
diri dengan elakan-elakan cepat sambil mengerahkan
pedangnya ke arah leher atau kepala kedua ekor
burung itu. Akan tetapi gerakan burung-burung itu
demikian cepatnya dan kibasan sayap mereka
membuat serangannya selalu gagal, bahkan beberapa
kali ketika pedangnya bertemu paruh yang keras dan
kuat, hampir saja senjata itu terlepas dari
genggamannya. Dua ekor burung rajawali itu agaknya juga mulai
menyadari bahwa lawan mereka sekali ini berbeda
dengan manusia lain yang pernah mereka serang dan
menjadi mangsa mereka. Dua ekor burung itu
menjadi marah lalu terbang dan berputaran di atas
kepala Bwee Hwa, memekik-mekik dan menyerang
dari atas, menyambar-nyambar dari segala penjuru
menggunakan cakar dan paruh mereka yang kuat.
Menghadapi serangan dari atas yang jauh lebih
dahsyat dan berbahaya daripada serangan di atas
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16 Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Naga Berkepala Empat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama