Ceritasilat Novel Online

Misteri Listerdale 2

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie Bagian 2


semacamnya" Pasti ada surat-surat rahasia. Beri aku kesempatan."
Kereta api sudah berhenti. Dengan cepat Elizabeth melompat turun ke peron. Ia
berbalik dan bercakap pada George melalui jendela.
"Apa Anda bersungguh-sungguh" Apa Anda benar-benar mau melakukan sesuatu untuk
kami - untukku?" "Aku mau melakukan apa pun untukmu, Elizabeth."
"Meskipun aku tidak bisa memberikan alasan?"
"Persetan dengan alasan!"
"Meskipun hal itu... berbahaya?"
"Semakin berbahaya, semakin baik."
Gadis itu ragu sejenak, kemudian seakan membuat keputusan.
"Condongkan badan ke luar jendela. Pandanglah peron seakan tidak benar-benar
memandang." Rowland berusaha keras mematuhi permintaan yang agak sulit itu. "Apa
Anda melihat pria yang baru naik itu - pria berjanggut hitam dan bermantel warna
pucat itu" Ikuti dia, perhatikan apa yang dilakukannya dan ke mana dia pergi."
"Cuma itu saja?" tanya Mr. Rowland. "Apa yang ku..."
Gadis itu memotong kalimatnya.
"Instruksi selanjutnya akan diberikan pada Anda. Perhatikan dia - dan jagalah
ini." Ia menyodorkan bungkusan kecil ke tangan George. "Jagalah dengan nyawa
Anda. Ini kunci dari semuanya."
Kereta api melanjutkan perjalanan. Mr. Rowland tetap menatap ke luar jendela,
sambil memerhatikan sosok jangkung Elizabeth yang anggun itu berjalan menuruni
peron. Di tangannya ia menggenggam bungkusan kecil yang disegel itu.
Sisa perjalanannya terasa membosankan dan tanpa kejadian istimewa. Kereta ini
bukan kereta api cepat, dan berhenti di mana-mana. Di setiap stasiun, George
menjulurkan kepalanya ke luar jendela, khawatir kalau-kalau buruannya turun.
Sekali waktu ia berjalan-jalan di peron bila kereta berhenti agak lama, dan
memastikan orang itu masih ada di tempat.
Tujuan akhir kereta adalah Portsmouth, dan di situlah pelancong berjanggut hitam
itu turun. Ia berjalan menuju hotel kecil kelas dua dan memesan kamar. Mr.
Rowland melakukan hal sama.
Kedua kamar itu berada di gang yang sama, dan berjarak dua pintu. Bagi George,
pengaturan ini cukup memuaskan. Ia sama sekali belum berpengalaman dalam seni
menguntit, tapi ingin sekali menjalankan tugasnya dengan baik, dan tidak menyianyiakan kepercayaan Elizabeth terhadapnya.
Saat makan malam, George memperoleh meja tidak jauh dari buruannya. Ruang makan
tidak penuh, dan George menduga sebagian besar orang yang makan di situ adalah
pelancong komersial, orang-orang terhormat pendiam yang menyantap makanan mereka
dengan lahap. Cuma seorang pria yang menarik perhatiannya, laki-laki kecil
dengan rambut dan kumis cokelat kemerah-merahan dengan penampilan mirip kuda.
Tampaknya ia juga tertarik pada George, lalu mengajaknya minum dan bermain
biliar seusai makan malam. Namun George baru saja melihat dari kejauhan pria
berjanggut hitam tadi mengenakan topi dan mantelnya, jadi ia menolak ajakan itu
dengan sopan. Saat berikutnya ia sudah berada di jalan, menambah wawasan baru
dalam seni menguntit yang cukup sulit itu. Pengejaran itu terasa panjang dan
meletihkan - dan pada akhirnya seakan tidak membawanya ke mana pun. Setelah
berputar-putar dan berbelok menyusuri jalan-jalan di Portsmouth sejauh kuranglebih enam kilometer, pria itu kembali ke hotel, diikuti George dengan ketat.
Rasa ragu menyerang George. Mungkinkah orang itu menyadari kehadirannya" Saat ia
mempertanyakan hal ini sambil berdiri di ruang depan, pintu depan pun terbuka
dan pria kecil berambut cokelat kemerah-merahan itu masuk. Rupanya ia juga baru
jalan-jalan keluar. George tiba-tiba menyadari bahwa gadis cantik di kantor hotel itu berbicara
padanya. "Anda Mr. Rowland, bukan" Ada dua pria datang dan ingin bertemu Anda. Dua pria
asing. Mereka menunggu di ruangan kecil di ujung gang."
Agak heran, George mencari ruangan itu. Di situ duduk dua laki-laki yang
langsung bangkit berdiri dan membungkuk dalam-dalam.
"Mr. Rowland" Saya yakin, Sir, Anda bisa menebak identitas kami."
George memandang mereka silih berganti. Yang berbicara tadi yang lebih tua, pria
beruban dan angkuh yang berbahasa Inggris sempurna. Pria yang satu berperawakan
jangkung, berjerawat, masih muda, dan berambut pirang, dengan raut wajah Jerman
yang tidak semakin tampan karena air muka cemberutnya itu.
Sedikit lega karena tamunya bukanlah pria tua yang dijumpainya di Waterloo,
George mengambil sikap seceria mungkin.
"Silakan duduk, Tuan-Tuan. Saya senang berkenalan dengan Anda. Bagaimana kalau
kita minum?" Pria yang lebih tua mengangkat tangannya, menolak ajakan itu.
"Terima kasih, Lord Rowland - tidak perlu. Kami hanya punya waktu sedikit - cukup
bagi Anda untuk menjawab satu pertanyaan."
"Anda baik sekali memberiku gelar bangsawan tadi," ujar George. "Sayang sekali
Anda tidak bersedia minum bersamaku. Dan apakah pertanyaan penting itu?"
"Lord Rowland, Anda meninggalkan London bersama seorang wanita. Anda tiba di
sini seorang diri. Di manakah wanita itu?"
George bangkit berdiri. "Saya tidak memahami pertanyaan itu," ujarnya dingin, semirip mungkin dengan
pahlawan dalam cerita novel. "Saya mendapat kehormatan mengucapkan selamat malam
pada Anda, Tuan-Tuan."
"Tapi Anda memahaminya. Anda sangat memahaminya," seru pria muda itu tiba-tiba.
"Apa yang telah Anda lakukan terhadap Alexa?"
"Tenanglah, Sir," gumam rekannya. "Aku mohon, tenanglah."
"Saya bisa memastikan pada Anda," ujar George, "bahwa saya tidak mengenal wanita
dengan nama itu. Pasti ada kekeliruan."
Pria tua itu memerhatikannya dengan saksama.
"Mana mungkin," ujarnya acuh tak acuh. "Saya telah memberanikan diri memeriksa
daftar nama tamu hotel. Anda telah mencatatkan diri sebagai Mr. G. Rowland dari
Rowland's Castle." Mau tak mau George tersipu.
"Itu... itu cuma lelucon kecil saja," jawabnya lemah.
"Itu dalih yang tak berarti. Ayolah, jangan kita mengulur-ulur waktu. Di manakah
Yang Mulia?" "Bila yang Anda maksud adalah Elizabeth..."
Sambil melolong marah orang muda tadi melompat kembali ke arah George.
"Babi kurang ajar - anjing! Berani-beraninya kau menyebutnya seperti itu."
Pria satunya berkata lambat-lambat, "Yang saya maksud adalah Grand Duchess
Anastasia Sophia Alexandra Marie Helena Olga Elizabeth dari Catonia."
"Oh!" kata Mr. Rowland tak berdaya.
Ia berusaha mengingat-ingat semua hal yang pernah diketahuinya tentang Catonia.
Seingatnya, ini sebuah kerajaan kecil di Balkan, dan ia teringat sesuatu tentang
revolusi yang pernah terjadi di sana. Ia memulihkan diri sebisa-bisanya.
"Rupanya kita membicarakan orang yang sama," ujarnya ceria, "hanya saja saya
memanggilnya Elizabeth."
"Baiklah kalau begitu," gertak pria yang lebih muda. "Kita akan berkelahi."
"Berkelahi?" "Duel." "Saya tidak pernah berduel," sahut Mr. Rowland tegas.
"Mengapa tidak?" tanya lawannya kesal.
"Saya terlalu takut terluka."
"Aha! Begitu" Kalau begitu, paling tidak aku akan menarik hidung Anda."
Laki-laki muda itu menyerang dengan garang. Apa persisnya yang terjadi, sulit
dilihat, tapi mendadak ia melambung ke udara dan jatuh ke lantai dengan
berdebam. Ia bangkit berdiri dengan kebingungan. Mr. Rowland tersenyum senang.
"Seperti saya katakan tadi," komentarnya, "saya selalu takut terluka. Itu
sebabnya saya pikir ada baiknya belajar jujitsu."
Hening sejenak. Dengan ragu kedua orang asing itu menatap pria muda yang tampak
ramah itu, seakan mereka baru menyadari bahwa di balik sikap santainya yang
menyenangkan tersembunyi sifat berbahaya. Wajah pemuda Jerman itu pucat pasi
karena amarah. "Anda akan menyesalinya," desisnya.
Pria yang lebih tua mempertahankan gengsinya.
"Apa ini keputusan akhir Anda, Mr. Rowland" Anda menolak memberitahukan
keberadaan Yang Mulia pada kami?"
"Saya sendiri juga tidak tahu."
"Anda tentunya tidak berharap saya memercayainya."
"Saya khawatir Anda memang punya watak sulit percaya, Sir."
Laki-laki satunya hanya menggeleng, dan sambil bergumam, "Persoalan kita belum
selesai. Anda akan mendengar dari kami lagi," kedua pria itu beranjak pergi.
George mengusap kening. Kejadian demi kejadian berlangsung begitu cepat. Ia
jelas-jelas sedang terlibat skandal Eropa kelas satu.
"Mungkin ini bahkan berarti perang," kata George penuh harap, sambil memandang
berkeliling untuk melihat di mana gerangan pria berjanggut hitam itu.
George sangat lega ketika melihatnya duduk di sudut ruang niaga. George duduk di
sudut lain. Sekitar tiga menit kemudian, laki-laki berjanggut hitam itu pun
bangkit berdiri dan masuk tidur. George mengikuti, dan melihatnya masuk ke
kamarnya, lalu menutup pintunya. George menarik napas lega.
"Aku butuh istirahat," gumamnya. "Sangat membutuhkan."
Tiba-tiba muncul pikiran menakutkan. Bagaimana kalau orang berjanggut hitam itu
menyadari bahwa George sedang membuntutinya" Bagaimana kalau ia menyelinap di
tengah malam sementara George tidur nyenyak" Setelah berpikir sejenak, Mr.
Rowland menemukan jalan untuk mengatasi kesulitan ini. Ia membongkar rajutan
salah satu kaus kakinya sampai mendapatkan benang wol berwarna netral yang cukup
panjang. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, merekatkan ujung benang itu di
bagian tepi pintu orang asing itu dengan kertas prangko, lalu mengulur benang
wol itu sampai ke kamarnya sendiri. Di situ ia mengikatkan ujungnya pada lonceng
perak kecil - peninggalan pesta malam sebelumnya. Ia mengamati taktiknya ini
dengan puas. Seandainya orang berjanggut hitam itu meninggalkan kamarnya, George
akan langsung diperingatkan oleh denting lonceng itu.
Setelah membereskan masalah ini, George langsung menuju tempat tidurnya. Ia
telah menyembunyikan bungkusan kecil itu dengan cermat di bawah bantalnya.
Sementara berbaring, ia merenung kurang-lebih begini:
"Anastasia Sophia Marie Alexandra Olga Elizabeth. Tunggu dulu, ada satu nama
yang ketinggalan. Sekarang aku bertanya-tanya..."
Karena terganggu dengan kegagalannya memahami situasi sebenarnya, ia tidak bisa
langsung tertidur. Apa arti semua ini" Apa hubungan kaburnya sang Grand Duchess
dengan bungkusan bersegel dan orang berjanggut hitam itu" Apa gerangan yang
membuat Grand Duchess melarikan diri" Tahukah kedua orang asing tadi bahwa
bungkusan itu ada padanya" Apa kira-kira isinya"
Sementara memikirkan hal-hal tadi dan kesal karena tidak mampu memecahkan tekateki itu, Mr. Rowland akhirnya tertidur juga.
Ia terbangun karena bunyi samar-samar denting lonceng. Karena bukan termasuk
orang yang bisa langsung bertindak begitu terjaga, ia membutuhkan satu setengah
menit untuk menyadari situasi. Ia lalu melompat berdiri, mengenakan sandal, dan
setelah membuka pintu dengan sangat hati-hati, ia menyelinap di gang. Sesosok
bayangan bergerak di ujung gang, menunjukkan arah yang diambil buruannya. Sambil
sedapat mungkin tidak menimbulkan bunyi, Mr. Rowland menguntit. Ia sempat
melihat orang berjanggut hitam itu menghilang ke dalam kamar mandi. Ini
membingungkan, terutama karena tepat di depan kamarnya sendiri ada kamar mandi.
Sambil mendekati pintu yang terbuka lebar, George mengintip melalui celah. Orang
itu sedang berlutut di samping bak mandi, melakukan sesuatu dengan papan
pinggiran di belakangnya. Ia berada di sana selama kurang-lebih lima menit,
kemudian bangkit berdiri. George langsung mundur dengan hati-hati. Terlindung di
bayang-bayang pintunya sendiri, ia memerhatikan orang itu lewat dan masuk ke
kamarnya sendiri. "Bagus," ujar George dalam hati. "Misteri kamar mandi akan kuperiksa besok
pagi." Ia berbaring kembali di tempat tidurnya, lalu menyelipkan tangannya ke bawah
bantal, untuk memastikan bungkusan berharga itu masih berada di situ. Saat
berikutnya ia sudah menarik-narik seprai dengan panik hingga berantakan.
Bungkusan itu sudah hilang!
Keesokan paginya George sarapan telur dan ham dengan murung. Ia telah melalaikan
pesan Elizabeth. Ia telah membiarkan bungkusan berharga yang dipercayakan
padanya diambil darinya, dan "Misteri Kamar Mandi" itu sama sekali tidak sepadan
dengan kehilangan itu. Ya, tak pelak lagi, George telah membuat dirinya benarbenar dungu. Selesai sarapan, ia kembali ke lantai atas. Seorang pelayan kamar sedang berdiri
kebingungan di gang. "Ada masalah, Nona?" tanya George ramah.
"Tamu yang menginap di kamar ini, Sir. Dia minta dibangunkan pukul setengah
sembilan, tapi dia tidak menjawab ketukanku, dan pintunya terkunci."
"Yang benar saja," ujar George.
Hatinya tidak enak. Ia lalu bergegas masuk kamarnya sendiri. Rencana apa pun
yang tadi terbentuk di benaknya langsung terhapus karena pemandangan yang sama
sekali tak terduga. Di atas meja riasnya tergeletak bungkusan yang dicuri malam
sebelumnya! George memungut dan memeriksanya. Benar, tak diragukan lagi ini bungkusan yang
sama. Namun segelnya sudah dirusak. Setelah ragu sejenak, ia membuka bungkusan
itu. Bila orang lain telah melihat isinya, tak ada alasan mengapa ia tidak boleh
melihatnya juga. Lagi pula, mungkin saja isinya telah diambil. Setelah kertas
pembungkusnya dibuka, tampaklah kotak karton kecil, seperti biasa digunakan
tukang emas. George membukanya. Di dalamnya tampak cincin emas kawin polos di
atas segumpal kapas. George memegang dan memeriksanya. Di bagian dalamnya tidak ada tulisan apa pun apa saja yang dapat membedakannya dari cincin kawin lain. George menopang
kepalanya dengan mengerang.
"Ini gila-gilaan," gumamnya. "Betul, benar-benar gila. Sungguh tidak masuk
akal." Tiba-tiba ia teringat pernyataan pelayan kamar tadi, dan pada saat yang sama ia
juga melihat ada sandaran lebar di bagian luar jendela. Ini bukanlah tindakan
yang dalam keadaan biasa akan dilakukannya, tapi ia sudah begitu terbakar oleh
rasa ingin tahu dan amarah, hingga ia cenderung menganggap ringan kesulitan. Ia
melompat ke ambang jendela. Beberapa detik kemudian, ia sudah mengintip lewat
jendela kamar yang ditempati orang berjanggut hitam itu. Jendela itu terbuka dan
kamarnya kosong. Tak jauh dari situ tampak tangga darurat. Jelaslah lewat mana
buruannya telah meninggalkan tempat.
George melompat masuk kamar lewat jendela. Barang-barang orang yang menghilang
itu masih berserakan. Di antaranya mungkin masih ada beberapa petunjuk yang bisa
menyingkap kebingungan George. Ia mulai mencari-cari, dimulai dengan mengadukaduk isi tas barang perlengkapan yang sudah usang.
Suatu bunyi menghentikan pencariannya - bunyi sangat halus yang pasti berasal dari
kamar itu. Pandangan George melayang ke lemari pakaian yang besar. Ia melompat
dan membuka pintunya dengan keras. Begitu terbuka, seorang laki-laki melompat
keluar dan berguling-guling di lantai, terkunci dalam pelukan keras George. Ia
bukan lawan yang bengis. Semua siasat istimewa George tidak banyak gunanya.
Akhirnya kedua orang itu terpisah karena kelelahan, dan untuk pertama kalinya
George melihat siapa lawannya tadi. Ternyata laki-laki kecil dengan kumis
cokelat kemerah-merahan itu.
"Siapa Anda?" bentak George.
Sebagai jawaban, orang itu mengeluarkan sehelai kartu nama dan menyodorkannya
pada George, yang lalu membacanya dengan suara keras.
"Detektif Inspektur Jarrold, Scotland Yard."
"Betul, Sir. Dan sebaiknya Anda katakan pada saya segala sesuatu yang Anda
ketahui tentang masalah ini."
"Begitukah?" sahut George sambil merenung. "Anda tahu, Inspektur, saya percaya
Anda benar. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang lebih nyaman?"
Di sudut bar yang tenang, George mengungkapkan seluruh pengalamannya. Inspektur
Jarrold mendengarkan penuh simpati.
"Seperti Anda katakan, ini sungguh membingungkan, Sir," komentarnya ketika
George selesai. "Banyak hal yang tidak saya pahami juga, tapi ada satu-dua hal
yang bisa saya jelaskan pada Anda. Saya berada di sini membuntuti Mardenberg
(teman Anda yang berjanggut hitam itu), dan kemunculan Anda yang terus
memerhatikannya membuat saya curiga. Saya tidak kenal Anda. Semalam saya
menyelinap ke dalam kamar Anda saat Anda keluar, dan sayalah yang mengambil
bungkusan kecil itu dari bawah bantal Anda. Ketika saya membuka dan mendapati
bukan ini barang yang saya cari, saya mengambil kesempatan pertama untuk
mengembalikannya ke kamar Anda."
"Pantas saja," ujar George merenung. "Sepertinya saya sudah bertindak bodoh
sekali." "Saya takkan berkata begitu, Sir. Bagi seorang pemula, apa yang Anda lakukan itu
sudah bagus sekali. Anda berkata pagi tadi Anda memeriksa kamar mandi dan


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil benda yang tersembunyi di balik papan pinggirannya?"
"Ya. Ternyata cuma surat cinta brengsek," ujar George murung. "Saya tidak
bermaksud mengorek-ngorek kehidupan pribadi orang itu."
"Bolehkah saya melihatnya, Sir?"
George mengeluarkan surat yang terlipat itu dari dalam sakunya dan memberikannya
pada sang inspektur, yang lalu membukanya.
"Tepat seperti Anda katakan tadi, Sir. Tapi saya kira bila Anda menarik garis
dari satu huruf i ke huruf i berikutnya. Anda akan mendapatkan hasil berbeda.
Wah, Sir, ini rencana pertahanan pelabuhan Portsmouth."
"Apa?" "Betul. Sudah beberapa waktu ini kami memantau orang ini. Tapi dia terlalu licin
bagi kami. Sebagian besar tugas kotornya diserahkan pada wanita."
"Wanita?" tanya George lirih. "Siapa namanya?"
"Dia memiliki banyak nama samaran, Sir. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan
Betty Brighteyes. Wanita itu sangat cantik."
"Betty - Brighteyes," ulang George. "Terima kasih, Inspektur."
"Maaf, Sir, tapi Anda kelihatan kurang sehat."
"Saya memang sedang kurang sehat. Saya sakit keras. Yang pasti, sebaiknya saya
naik kereta api pertama dan kembali ke kota."
Inspektur itu melihat arlojinya.
"Saya rasa kereta apinya jenis yang lambat, Sir. Sebaiknya Anda menunggu kereta
ekspres saja." "Tidak apa-apa," ujar George murung. "Tak ada kereta yang lebih lambat daripada
yang saya naiki kemarin."
Duduk sekali lagi dalam gerbong kelas satu, George membaca berita-berita hari
itu dengan santai. Mendadak ia terlonjak dan menatap halaman di depannya.
"Kemarin dilangsungkan acara pernikahan romantis di London ketika Lord Roland
Gaigh, putra kedua Marquis of Axminster, menikah dengan Grand Duchess Anastasia
dari Catonia. Upacara ini dirahasiakan. Sang Grand Duchess tinggal di Paris
bersama pamannya sejak pergolakan yang terjadi di Catonia. Dia berjumpa dengan
Lord Roland ketika yang disebut belakangan ini menjabat sebagai sekretaris
Kedutaan Inggris di Catonia, dan hubungan mereka diawali sejak itu."
"Astaga, aku..."
Mr. Rowland tidak mampu mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
Ia menatap kosong ke langit. Kereta itu berhenti di sebuah stasiun kecil, dan
seorang wanita muda naik. Ia duduk di seberang George.
"Selamat pagi, George," sapanya manis.
"Ya ampun!" seru George. "Elizabeth!"
Perempuan itu tersenyum padanya. Ia tampak lebih cantik.
"Dengar," seru George sambil memegangi kepalanya. "Demi Tuhan, katakan padaku.
Kau ini Grand Duchess Anastasia atau Betty Brighteyes?"
Wanita itu menatap George.
"Bukan kedua-duanya. Aku Elizabeth Gaigh. Sekarang aku bisa menceritakan
semuanya padamu. Dan aku harus minta maaf juga. Begini, Roland (kakakku) sejak
dulu mencintai Alexa..."
"Maksudmu Grand Duchess?"
"Ya, keluarganya memanggilnya demikian. Nah, seperti kukatakan tadi, Roland
mencintainya sejak dulu, demikian pula sebaliknya. Kemudian pecah revolusi, dan
Alexa berada di Paris. Mereka baru saja hendak meresmikan hubungan ketika Sturm,
pimpinan kedutaan itu, muncul dan bersikeras membawa pergi Alexa dan memaksanya
menikah dengan Pangeran Carl, sepupu Alexa, laki-laki mengerikan penuh
jerawat..." "Rasanya aku pernah berjumpa dengannya," ujar George.
"Yang sangat dibenci Alexa. Pangeran Usric, pamannya, melarangnya bertemu Roland
lagi. Karena itu dia kabur ke Inggris, dan aku ke kota untuk menemuinya; kami
mengirim telegram ke Roland yang ketika itu berada di Skotlandia. Pada saat
terakhir, ketika kami sedang dalam perjalanan menuju Kantor Catatan Sipil dengan
taksi, siapa lagi yang kami jumpai dalam taksi lain, kalau bukan Pangeran Usric
sendiri. Sudah tentu dia membuntuti kami, dan kami kehilangan akal harus berbuat
apa, karena si tua itu pasti akan membuat keributan besar. Lagi pula, dia wali
Alexa. Aku lalu mendapat ide untuk bertukar tempat dengannya. Zaman ini orang
nyaris tidak bisa melihat wajah seorang gadis kecuali ujung hidungnya. Aku
mengenakan topi merah dan mantel cokelat Alexa, sedangkan dia mengenakan mantel
kelabu milikku. Kemudian kami menyuruh sopir taksi ke Waterloo, dan aku melompat
keluar di situ, dan berlari ke stasiun. Si tua Usric tentu saja mengejar si topi
merah tanpa memikirkan penumpang taksi yang satu lagi, yang sedang meringkuk di
dalam. Dia tak mau repot-repot melihat wajahku. Jadi, aku melompat begitu saja
ke dalam gerbongmu dan menyerahkan diri pada belas kasihanmu."
"Aku sudah paham," sahut George. "Itu kelanjutannya."
"Aku tahu. Itu sebabnya aku harus meminta maaf. Kuharap kau tidak marah sekali.
Begini, sepertinya kau begitu berharap kejadian itu adalah misteri - seperti di
buku-buku, hingga aku tidak mampu melawan godaan. Aku lalu asal main tunjuk, dan
memilih pria yang kelihatan agak seram di peron, dan menyuruhmu mengikutinya.
Setelah itu aku menyodorkan bungkusan itu padamu."
"Yang berisi cincin kawin."
"Ya. Alexa dan aku membelinya, sebab Roland mungkin baru bisa tiba dari
Skotlandia tepat sebelum upacara pernikahan. Dan tentu saja aku tahu bahwa pada
saat aku tiba kembali di London, mereka berdua sudah tidak membutuhkannya lagi mereka tentu terpaksa menggunakan cincin tirai atau semacamnya."
"Aku mengerti," ujar George. "Sama seperti semua hal - begitu sederhana bila kau
sudah tahu! Izinkan aku, Elizabeth."
George menanggalkan sarung tangan kiri Elizabeth, dan menarik napas lega saat
melihat jari manisnya yang masih kosong.
"Tak mengapa," komentarnya. "Lagi pula, cincin itu takkan terbuang percuma."
"Oh!" seru Elizabeth, "tapi aku belum mengenalmu sama sekali."
"Kau sudah tahu betapa baiknya aku," sahut George. "Omong-omong, baru terpikir
olehku, kau tentunya Lady Elizabeth Gaigh."
"Oh! George, apa kau suka membanggakan diri?"
"Terus terang saja, memang betul, sedikit. Impianku adalah, Raja George meminjam
uang setengah crown dariku untuk mengunjunginya pada akhir minggu. Tapi aku
sedang memikirkan pamanku - yang sekarang sudah berpisah denganku. Dialah yang
benar-benar suka menyombongkan diri. Kalau dia tahu aku akan menikah denganmu,
dan bahwa kami akan memperoleh gelar bangsawan dalam keluarga, dia akan langsung
menjadikanku mitranya!"
"Oh! George, apa dia kaya-raya?"
"Elizabeth, apa kau mata duitan?"
"Sangat. Aku suka sekali menghambur-hamburkan uang. Tapi aku sedang berpikir
tentang ayahku. Lima anak perempuan, sarat dengan kecantikan dan darah biru. Dia
mendambakan menantu kaya-raya."
"Hm," kata George. "Ini akan menjadi perkawinan impian. Bagaimana kalau kita
tinggal di Rowland's Castle" Mereka pasti akan mengangkatku jadi wali kota
London bila kau jadi istriku. Oh! Elizabeth, Darling, ini mungkin bertentangan
dengan peraturan perusahaan, tapi aku benar-benar harus menciummu!"
NYANYIKAN LAGU ENAM PENCE
Sir EDWARD PALLISER, K.C., tinggal di Queen Anne's Close No. 9. Queen Anne's
Close adalah perumahan tipe cul-de-sac. Berlokasi di jantung Westminster,
suasananya tenteram, jauh dari kebisingan abad dua puluh. Keadaan ini sangat
cocok bagi Sir Edward Palliser.
Sir Edward pernah menjadi salah seorang pengacara kriminal paling ternama di
zamannya. Mengingat ia sekarang sudah tidak membuka praktek di kantor pengacara,
ia menghibur diri dengan menghimpun perpustakaan kriminologi yang sangat
lengkap. Selain itu, ia penulis buku Reminiscences of Eminent Criminals yang
mengenang para penjahat terkenal.
Malam itu Sir Edward sedang duduk-duduk di depan perapian perpustakaannya sambil
menghirup kopi pahit bermutu tinggi. Ia membaca buku karangan Lombroso dan
menggeleng. Benar-benar teori yang kreatif, sekaligus ketinggalan zaman.
Pintu perpustakaan dibuka nyaris tanpa bunyi, dan pelayannya yang terlatih
melintasi permadani tebal, lalu bergumam dengan hati-hati,
"Seorang wanita muda ingin bertemu Anda, Sir."
"Wanita muda?" Sir Edward terheran-heran. Ini kejadian yang tidak biasa. Kemudian ia teringat
bahwa mungkin Ethel, keponakannyalah yang datang - tapi tidak, kalau memang Ethel,
Armour pasti akan berkata demikian.
Ia bertanya hati-hati. "Wanita itu tidak menyebutkan namanya?"
"Tidak, Sir, tapi katanya dia yakin Anda mau bertemu dengannya."
"Suruh dia masuk," ujar Sir Edward Palliser. Rasa ingin tahunya tergugah.
Seorang gadis jangkung berkulit gelap mendekati usia tiga puluh, mengenakan
mantel dan rok hitam berpotongan bagus, serta topi kecil berwarna hitam,
menghampiri Sir Edward sambil mengulurkan tangan dengan wajah berseri. Armour
mengundurkan diri sambil menutup pintu tanpa suara.
"Sir Edward - Anda masih ingat saya, bukan" Saya Magdalen Vaughan."
"Wah, tentu saja." Sir Edward menjabat tangan yang terulur itu dengan hangat.
Sekarang ia ingat gadis ini dengan jelas. Perjalanan pulang dari Amerika di
kapal Siluric! Anak yang memesona - sebab ketika itu ia masih belia sekali. Dengan
gaya hati-hati orang tua yang luas pergaulannya, Sir Edward ingat pernah
menjalin hubungan mesra dengannya. Ketika itu gadis ini masih begitu belia begitu menggebu - begitu penuh kekaguman dan pemujaan - cocok sekali untuk mencuri
hati pria mendekati usia enam puluhan. Kenangan itu meningkatkan kehangatan
jabat tangannya. "Ini sungguh menyenangkan. Silakan duduk." Ia menarik kursi untuk gadis itu,
bicara santai sambil terus bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan ia
datang. Waktu ia akhirnya selesai berbasa-basi, suasana hening.
Tangan gadis itu memegangi sandaran lengan kursi dengan gelisah, dan ia
membasahi bibirnya. Mendadak ia berbicara - langsung ke tujuan.
"Sir Edward - saya ingin Anda membantu saya."
Sir Edward heran dan bergumam, "Ya?"
Gadis itu melanjutkan dengan nada lebih mendesak.
"Anda pernah berkata bila saya membutuhkan bantuan - bila ada sesuatu yang bisa
Anda lakukan untuk saya - Anda akan melakukannya."
Ya, ia memang pernah mengatakannya. Orang sudah biasa mengucapkan basa-basi
semacam ini - terutama saat hendak berpisah. Ia teringat suaranya sendiri yang
tercekat - ketika mengangkat tangan gadis itu ke bibirnya.
"Kalau ada yang bisa kulakukan untukmu - ingat, aku bersungguh-sungguh..."
Ya, orang biasa berjanji demikian... Tapi sangat, sangat jarang orang harus
menepati janjinya! Yang pasti bukan setelah - berapa lama" - sembilan atau sepuluh
tahun. Sir Edward melirik ke arahnya - dia masih sangat cantik, tapi ia telah
kehilangan sesuatu yang pernah membuat Sir Edward terpesona - paras belia yang
belum tersentuh. Mungkin wajahnya sekarang lebih menarik - laki-laki yang lebih
muda boleh jadi akan berpikir demikian - tapi Sir Edward sama sekali tidak
merasakan gelora kehangatan dan emosi seperti yang dialaminya di akhir
perjalanannya mengarungi Samudra Atlantik.
Wajahnya berubah resmi dan hati-hati. Dengan agak tegas ia berkata,
"Tentu, Nona. Aku akan senang membantu semampuku - meskipun hari-hari ini aku
tidak yakin bisa membantu siapa pun."
Entah Sir Edward sedang bersiap-siap mundur, yang jelas gadis itu tidak
menyadarinya. Ia jenis orang yang hanya bisa melihat satu hal pada satu saat,
dan yang dilihatnya saat ini adalah kebutuhannya sendiri. Ia menganggap
kesediaan Sir Edward membantu sebagai sudah seharusnya.
"Kami berada dalam kesulitan besar, Sir Edward."
"Kami" Apa Anda sudah menikah?"
"Tidak - maksud saya, kakak saya dan saya sendiri. Oh! William dan Emily juga,
sebenarnya. Tapi saya harus menjelaskan. Saya punya - saya pernah punya bibi - Miss
Crabtree. Anda mungkin pernah membacanya di surat kabar. Sungguh mengerikan. Dia
tewas - dibunuh." "Ah!" Rasa tertarik terbersit di wajah Sir Edward. "Sekitar satu bulan lalu,
bukan?" Gadis itu mengangguk. "Kurang dari itu - tiga minggu."
"Ya, aku ingat. Kepalanya dihantam di rumahnya sendiri. Mereka tidak berhasil
menangkap pelakunya."
Lagi-lagi Magdalen Vaughan mengangguk.
"Mereka tidak berhasil menangkapnya - saya tidak percaya mereka akan bisa
menangkapnya. Mungkin tidak ada orang yang bisa ditangkap."
"Apa?" "Ya - sungguh mengerikan. Di koran hal ini tidak diberitakan. Tapi itulah yang
diduga polisi. Mereka tahu malam itu tidak ada orang datang ke rumah itu."
"Maksud Anda...?"
"Pelakunya salah seorang dari kami berempat. Pasti begitu. Mereka tidak tahu
siapa - dan kami tidak tahu siapa... kami tidak tahu. Setiap hari kami duduk
saling memperhatikan dengan curi-curi pandang, sambil bertanya-tanya. Oh!
Seandainya saja pelakunya orang luar - tapi saya tidak tahu bagaimana ini
mungkin..." Sir Edward menatapnya, rasa tertariknya semakin besar.
"Maksud Anda anggota keluarga dicurigai?"
"Ya, itulah maksud saya. Sudah tentu polisi tidak berkata demikian. Sikap mereka
cukup sopan dan ramah. Tapi mereka telah menggeledah seluruh rumah, menanyai
kami semua, termasuk Martha, berulang kali... Dan berhubung tidak tahu siapa
pelakunya, mereka belum berbuat apa-apa. Saya takut - amat sangat takut..."
"Anakku, ayolah, Anda pasti hanya membesar-besarkan."
"Saya tidak membesar-besarkan. Pelakunya salah satu dari kami berempat - pasti."
"Siapa saja keempat orang yang Anda bicarakan ini?"
Magdalen duduk tegak dan berbicara dengan lebih tenang.
"Pertama, saya dan Matthew. Bibi Lily saudara perempuan Nenek. Kami tinggal
bersamanya sejak kami berusia empat belas (kami berdua saudara kembar). Kemudian
ada William Crabtree. Dia keponakan Bibi Lily - anak saudara laki-lakinya. Dia
juga tinggal di situ bersama Emily, istrinya."
"Apakah dia menyokong mereka?"
"Lebih-kurang. William punya sedikit uang, tapi fisiknya lemah dan terpaksa
tinggal di rumah. Dia laki-laki pendiam dan suka melamun. Saya yakin dia takkan
mungkin - oh! - alangkah jahatnya saya, meskipun cuma berpikir begitu!"
"Aku masih belum bisa memahami posisinya. Mungkin Anda tidak keberatan
menceritakan fakta-faktanya - bila ini tidak terlalu membuat Anda tertekan."
"Oh, tidak! Saya ingin menceritakannya pada Anda. Semuanya masih jelas sekali
dalam ingatan saya - jelas dan mengerikan. Begini, ketika itu kami baru selesai
minum teh, dan kami masing-masing sibuk sendiri. Saya menjahit baju. Matthew
mengetik karangan - tugas jurnalistik; sedangkan William asyik dengan prangkonya.
Emily tidak turun untuk minum teh. Dia baru minum obat sakit kepala dan sedang
berbaring. Itulah kami, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ketika Martha masuk
untuk menata meja pada pukul setengah delapan, Bibi Lily sudah terkapar - mati.
Kepalanya - oh! Sangat mengerikan - hancur."
"Kurasa senjatanya ditemukan?"
"Ya. Pelakunya menggunakan penindih kertas berat yang selalu terletak di meja
dekat pintu. Polisi memeriksa apakah ada sidik jari di atasnya, tapi ternyata
tidak ada. Sudah dibersihkan."
"Dan apa dugaan awal kalian?"
"Kami tentu saja menyangka ada pencuri masuk. Ada dua atau tiga laci bufet yang
ditarik, seakan pencurinya telah mencari-cari sesuatu. Tentu saja kami mengira
ini perbuatan pencuri! Kemudian polisi datang - dan mereka bilang Bibi sudah
meninggal sekitar satu jam sebelumnya. Mereka bertanya pada Martha, siapa yang
datang ke rumah, dan Martha menjawab tidak ada. Semua jendela terkunci dari
dalam, tidak ada tanda-tanda dirusak. Kemudian mereka mulai mengajukan berbagai
pertanyaan pada kami..."
Magdalen berhenti. Dadanya terangkat. Kedua matanya yang ketakutan dan memohon,
menatap mata Sir Edward mencari penenteraman hati.
"Begini, siapa yang akan mendapat keuntungan lewat kematian Bibi Lily?"
"Sederhana sekali. Kami berempat sama-sama mendapat keuntungan. Dia mewariskan
kekayaannya untuk dibagi rata di antara kami berempat."
"Dan berapa nilai estatnya?"
"Pengacaranya berkata pada kami jumlahnya sekitar delapan puluh ribu pound
setelah dikurangi pajak warisan."
Mata Sir Edward agak terbelalak karena heran.
"Jumlah yang lumayan besar. Kurasa Anda sudah tahu jumlah kekayaan Bibi?"
Magdalen menggeleng. "Tidak - kami sendiri cukup kaget. Sejak dulu Bibi Lily selalu sangat berhati-hati
dengan uangnya. Dia hanya mempekerjakan seorang pembantu, dan sering berbicara
tentang ekonomi." Sir Edward mengangguk sambil merenung. Magdalen duduk sambil mencondongkan
badannya ke depan. "Anda mau membantu saya, bukan?"


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata-katanya mengejutkan Sir Edward tepat ketika ia mulai tertarik dengan kisah
itu sendiri. "Nona - apa gerangan yang bisa kulakukan" Bila Anda membutuhkan saran hukum yang
baik, aku bisa memberikan nama..."
Gadis itu memotong kata-katanya.
"Oh! Saya tidak menginginkannya! Saya ingin Anda sendiri yang membantu - sebagai
teman." "Sungguh menarik, tapi..."
"Saya ingin Anda datang ke rumah kami. Saya ingin Anda mengajukan pertanyaan.
Saya ingin Anda melihat dan menilainya sendiri."
"Tapi, Nona..."
"Ingat, Anda pernah berjanji. Anda berkata di mana saja - kapan saja - bila saya
membutuhkan bantuan..."
Mata Magdalen yang memohon sekaligus yakin menatapnya lurus-lurus. Sir Edward
merasa malu dan terharu. Kesungguhan hati gadis yang luar biasa itu, rasa
percaya yang teguh akan janji basa-basi yang diucapkan sepuluh tahun lalu, yang
dianggapnya ikatan keramat. Sudah berapa banyak laki-laki pernah mengucapkan
kata-kata yang sama itu - nyaris merupakan kata-kata klise! - dan betapa sedikit
yang ditepati. Sir Edward berkata lemah, "Aku yakin banyak orang mampu memberikan saran lebih
baik daripada aku." "Saya punya banyak teman - sudah tentu." (Sir Edward geli mendengar keluguan rasa
percaya dirinya.) "Tapi masalahnya tak seorang pun dari mereka yang pandai.
Tidak seperti Anda. Anda sudah terbiasa menanyai orang. Dan dengan semua
pengalaman itu, Anda tentunya tahu."
"Tahu apa?" "Apakah mereka tidak bersalah atau sebaliknya."
Sir Edward tersenyum kecut. Ia memuji diri bahwa secara umum ia biasanya memang
tahu! Meski sering kali pendapat pribadinya berbeda dengan para juri.
Magdalen menggeser topi yang menutupi dahinya dengan gelisah, memandang
sekeliling, lalu berkata,
"Betapa sunyinya suasana di sini. Apakah Anda kadang-kadang tidak merindukan
sedikit keramaian?" Cul-de-sac! Tanpa sengaja kata-kata yang diucapkan asal-asalan itu mengena
dengan telak. Cul-de-sac, lingkungan perumahan yang tertutup. Ya, tapi selalu
ada jalan untuk keluar - lewat jalan masuk - jalan menuju dunia luar... Sesuatu yang
bergolak dan berjiwa muda menggerakkan hatinya. Rasa percaya lugu yang
ditunjukkan gadis itu telah menggugah sisi terbaik wataknya - sedangkan kondisi
masalahnya menggugah hal lain - pembawaan kriminolog yang ada dalam dirinya. Ia
ingin menemui orang-orang yang dibicarakan Magdalen tadi. Ia ingin membuat
penilaian sendiri. Katanya, "Bila Anda benar-benar yakin aku bisa membantu... Tapi ingat, aku tidak
menjamin apa-apa." Sir Edward menyangka gadis itu akan girang sekali, tapi ternyata ia menerimanya
dengan sangat tenang. "Saya tahu Anda akan melakukannya. Sejak dulu saya menganggap Anda sahabat
sejati. Maukah Anda ikut bersama saya sekarang?"
"Tidak. Kurasa lebih baik aku datang besok. Maukah Anda memberikan nama dan
alamat pengacara Miss Crabtree padaku" Mungkin aku perlu menanyakan beberapa hal
padanya." Magdalen mencatat dan memberikannya pada Sir Edward. Setelah itu ia bangkit
berdiri dan berkata agak tersipu,
"Saya... saya amat sangat berterima kasih. Sampai jumpa."
"Bagaimana dengan alamat Anda sendiri?"
"Betapa bodohnya saya. 18 Palatine Walk, Chelsea."
*** Keesokan harinya pukul tiga sore, Sir Edward Palliser berjalan menuju 18
Palatine Walk dengan tenang. Ia telah menemukan beberapa hal. Pagi itu ia
berkunjung ke Scotland Yard, menemui teman lamanya, Asisten Komisaris Polisi.
Selain itu ia juga berbincang dengan pengacara mendiang Miss Crabtree. Hasilnya,
ia lebih memahami situasinya. Pengaturan Miss Crabtree menyangkut keuangan agak
ganjil. Ia tidak pernah memanfaatkan buku cek. Ia lebih suka menulis surat pada
pengacaranya dan memintanya menyediakan jumlah tertentu dalam bentuk lembaran
lima pound. Jumlahnya hampir selalu sama. Tiga ratus pound, empat kali setahun.
Ia datang sendiri naik mobil untuk mengambilnya, dan menganggap inilah satusatunya kendaraan yang paling aman. Selain untuk keperluan ini, ia tidak pernah
meninggalkan rumah. Di Scotland Yard, Sir Edward mendengar bahwa soal finansial itu telah diselidiki
dengan cermat. Tak lama lagi akan tiba waktunya Miss Crabtree mengambil uangnya.
Rupanya pengambilan tiga ratus pound sebelum itu sudah habis - atau hampir habis
digunakan. Tapi justru hal inilah yang tidak mudah dipastikan. Dengan mengecek
pengeluaran rumah tangga, nyatalah bahwa pengeluaran Miss Crabtree per kuartal
jauh lebih sedikit daripada tiga ratus pound. Selain itu, ia punya kebiasaan
mendermakan lembaran lima pound pada teman-teman maupun sanak keluarga yang
berkekurangan. Apakah saat kematiannya di rumah terdapat banyak atau sedikit
uang, memunculkan perdebatan. Ternyata tak ditemukan sepeser pun.
Hal inilah yang dipertanyakan Sir Edward saat ia melangkah menuju Palatine Walk.
Pintu rumah (yang tidak memiliki ruang bawah tanah) dibukakan seorang wanita tua
bertubuh kecil dengan sorot mata tajam. Sir Edward diantar masuk ruangan luas di
sebelah kiri ruang depan, dan Magdalen menemuinya di situ. Sir Edward melihat
garis-garis ketegangan yang lebih jelas di wajahnya.
"Anda memintaku mengajukan pertanyaan, dan aku datang untuk melaksanakannya,"
ujar Sir Edward sambil tersenyum saat berjabat tangan. "Pertama-tama, aku ingin
tahu siapa yang terakhir melihat Bibi dan pukul berapa."
"Sekitar pukul lima - sesudah minum teh. Martha orang terakhir yang ada
bersamanya. Sore itu dia baru membayar buku-buku, dan mengantarkan uang
kembalian berikut rekeningnya pada Bibi Lily."
"Apa Anda memercayai Martha?"
"Oh, sepenuhnya. Dia sudah mendampingi Bibi Lily selama... oh! Tiga puluh tahun,
saya rasa. Dia sangat jujur."
Sir Edward mengangguk. "Pertanyaan lain. Mengapa sepupu Anda, Mrs. Crabtree, minum obat sakit kepala?"
"Hm, karena dia sakit kepala."
"Sudah pasti, tapi apa ada alasan tertentu mengapa dia harus sakit kepala?"
"Hm, ya, begitulah. Saat makan malam terjadi kericuhan kecil. Emily mudah gusar
dan tegang. Dia dan Bibi Lily adakalanya bertengkar."
"Dan mereka bertengkar saat makan malam?"
"Ya. Bibi Lily memang agak rewel soal hal-hal kecil. Semuanya diawali dengan hal
sepele - setelah itu mereka bertengkar hebat - Emily melontarkan kata-kata yang
pasti tidak dimaksudkannya - bahwa dia akan meninggalkan rumah dan takkan pernah
kembali - bahwa dia menyimpan dendam dengan setiap suap yang dikunyahnya - oh!
Segala macam perkataan konyol. Dan Bibi Lily membalas berkata bahwa semakin
cepat Emily dan suaminya berkemas dan pergi, semakin baik. Tapi pertengkaran
mereka tak ada artinya, sungguh."
"Sebab Mr. dan Mrs. Crabtree takkan sanggup berkemas dan pergi?"
"Oh, bukan hanya itu. William menyayangi Bibi Emily. Sungguh."
"Mungkinkah hari itu memang hari penuh pertengkaran?"
Wajah Magdalen memerah. "Anda maksud saya" Pertengkaran soal keinginan saya menjadi model?"
"Bibi Lily tidak setuju?"
"Tidak." "Mengapa Anda ingin menjadi model, Miss Magdalen" Apakah kehidupan itu sangat
menarik bagi Anda?" "Tidak, tapi apa pun pasti lebih baik daripada tinggal di sini terus."
"Ya, ketika itu. Tapi sekarang Anda akan punya pemasukan lumayan banyak, bukan?"
"Oh! Ya, sekarang keadaan memang berbeda."
Ia mengucapkan pengakuan itu dengan teramat lugu.
Sir Edward hanya tersenyum dan tidak mengejar masalah itu lebih lanjut. Ia lalu
bertanya, "Dan bagaimana dengan saudara Anda" Apa dia juga bertengkar?"
"Matthew" Oh, tidak."
"Kalau begitu, tak ada yang bisa mengatakan bahwa dia punya alasan menyingkirkan
Bibi Lily." Sir Edward langsung menangkap sekilas rasa tak senang yang membayang di wajah
Magdalen. "Oh ya, saya lupa," ujar Sir Edward santai. "Dia punya utang lumayan besar,
bukan?" "Ya. Matthew yang malang."
"Tapi kesulitannya akan teratasi sekarang."
"Ya..." Ia menghela napas. "Memang melegakan."
Magdalen tetap saja belum menyadari apa pun! Sir Edward buru-buru mengubah pokok
pembicaraan. "Apakah sepupu dan saudara Anda ada di rumah?"
"Ya, saya sudah menyampaikan pada mereka bahwa Anda akan datang. Mereka semua
begitu ingin membantu. Oh, Sir Edward - bagaimanapun, saya merasa Anda akan
menemukan semuanya baik-baik saja - bahwa tak seorang pun dari kami tersangkut di
dalamnya - bahwa ternyata pelakunya memang orang luar."
"Aku tidak bisa melakukan mukjizat. Aku mungkin mampu mengungkap kebenaran, tapi
aku tidak mampu membuat kebenaran itu sesuai dengan yang Anda inginkan."
"Anda tidak mampu" Saya rasa Anda mampu melakukan apa pun - apa pun."
Gadis itu meninggalkan ruangan. Dengan risau Sir Edward berpikir, "Apa
maksudnya" Apakah dia ingin aku memberikan pembelaan" Untuk siapa?"
Lamunannya buyar ketika seorang pria berusia lima puluhan melangkah masuk.
Perawakannya kekar, namun agak bungkuk. Pakaiannya tidak rapi dan rambutnya
sedikit acak-acakan. Ia tampak ramah, namun tidak tegas.
"Sir Edward Palliser" Oh, apa kabar" Magdalen menyuruh saya kemari. Saya yakin
Anda begitu baik mau menolong kami. Meskipun saya rasa masalah ini takkan pernah
bisa tersingkap. Maksud saya, mereka takkan mampu menangkap pelakunya."
"Jadi, Anda berpendapat pembunuhnya seorang pencuri - orang luar?"
"Hm, sepertinya begitu. Tidak mungkin yang melakukan itu salah seorang dari
keluarga. Zaman ini para penjahat begitu pintar, mereka mampu memanjat bagaikan
kucing dan keluar-masuk sesukanya."
"Ketika tragedi itu terjadi, Anda sedang di mana, Mr. Crabtree?"
"Saya sedang sibuk dengan koleksi prangko saya - di ruang duduk kecil di lantai
atas." "Anda tidak mendengar apa-apa?"
"Tidak - tapi saya memang tidak pernah mendengar apa pun bila sedang asyik.
Sungguh bodoh memang, tapi itulah sifat saya."
"Apakah letak ruang duduk yang Anda sebut tadi di atas ruangan ini?"
"Tidak, letaknya di belakang."
Pintu terbuka lagi. Seorang wanita kecil berkulit putih masuk. Ia meremas-remas
kedua tangannya dengan gugup. Ia tampak gelisah dan risau.
"William, mengapa kau tidak menungguku" Tadi aku kan bilang 'tunggu'."
"Maaf, Sayang, aku lupa. Sir Edward Palliser - kenalkan, ini istri saya."
"Apa kabar, Mrs. Crabtree" Saya harap Anda tidak keberatan saya datang kemari
untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya tahu kalian sangat ingin masalah ini
dibereskan." "Sudah pasti. Tapi saya tidak bisa mengatakan apa pun - betul kan, William" Ketika
itu saya sedang tidur - di tempat tidur - saya baru terbangun ketika Martha
menjerit." Ia terus saja meremas-remas tangan.
"Di mana letak kamar Anda, Mrs. Crabtree?"
"Di atas ruangan ini. Tapi saya tidak mendengar apa pun - bagaimana mungkin saya
bisa mendengar" Saya sedang tidur."
Sir Edward tidak bisa mengorek keterangan apa pun kecuali pernyataan tadi. Ia
tidak tahu apa pun - ia sedang tidur. Ia mengulang-ulang pernyataan itu dengan
ngotot, seperti ketakutan. Namun Sir Edward tahu betul bahwa besar kemungkinan
apa yang dikatakannya itu memang benar.
Akhirnya ia meminta izin mengajukan beberapa pertanyaan pada Martha. William
menawarkan diri untuk mengantarnya ke dapur. Di ruang depan, Sir Edward nyaris
bertabrakan dengan pemuda jangkung berkulit gelap yang sedang melangkah ke pintu
depan. "Mr. Matthew Vaughan?"
"Ya - tapi begini, saya tidak bisa menunggu. Saya sudah ada janji."
"Matthew!" terdengar suara saudara perempuannya dari arah tangga. "Oh, Matthew,
kau sudah berjanji..."
"Aku tahu, Kak. Tapi aku tidak bisa. Harus menjumpai seseorang. Lagi pula, apa
gunanya membicarakan hal itu berulang-ulang. Kita sudah cukup membahasnya dengan
polisi. Aku sudah muak dengan semuanya itu."
Pintu depan terempas. Mr. Matthew Vaughan telah keluar rumah.
Sir Edward diantar ke dapur. Martha sedang menyetrika. Ia berhenti sambil tetap
memegangi setrika. Sir Edward menutup pintu dapur di belakangnya.
"Miss Vaughan memintaku membantunya," ujarnya. "Kuharap Anda tidak keberatan aku
mengajukan beberapa pertanyaan."
Martha menatapnya, lalu menggeleng.
"Tak seorang pun dari mereka yang melakukannya, Sir. Saya tahu apa yang Anda
pikirkan, tapi itu tidak benar. Mereka wanita dan pria terhormat yang sangat
baik." "Aku tidak meragukannya. Tapi kebaikan mereka tidak bisa kita sebut bukti."
"Mungkin tidak, Sir. Hukum memang aneh. Tapi bukti itu ada - seperti Anda
sebutkan, Sir. Tak seorang pun dari mereka bisa melakukannya tanpa sepengetahuan
saya." "Tapi sudah tentu..."
"Saya tahu apa yang saya katakan, Sir. Nah, coba dengarkan itu..."
'Itu' adalah bunyi berderak di atas kepala mereka.
"Anak tangga, Sir. Setiap kali ada yang naik atau turun, anak tangga itu
berderak, sehati-hati apa pun orang melangkah. Mrs. Crabtree sedang berbaring di
tempat tidurnya, dan Mr. Crabtree sedang sibuk dengan prangko-prangkonya yang
jelek itu. Miss Magdalen sudah naik lagi dan asyik dengan mesin jahitnya.
Seandainya salah seorang dari mereka turun lewat tangga, saya pasti tahu. Dan
mereka tidak melakukannya!"
Martha berbicara dengan keyakinan yang mampu membuat terkesan sang pengacara
kriminal. Pikirnya, "Saksi yang bagus. Kesaksiannya pasti berbobot."
"Mungkin saja Anda tidak memerhatikan."
"Ya, boleh dikatakan saya pasti akan memerhatikan tanpa melihatnya. Seperti
kalau Anda memerhatikan saat pintu tertutup dan seseorang pergi keluar."
Sir Edward mengubah pendapatnya.
"Itu tadi penjelasan tentang tiga orang, tapi masih ada orang keempat. Apakah
Mr. Matthew Vaughan juga berada di atas?"
"Tidak, dia berada di ruangan kecil di lantai bawah. Di sebelah. Dan dia sedang
mengetik. Anda bisa mendengarnya dengan jelas dari sini. Mesin tiknya tidak
pernah berhenti sesaat pun. Tidak sesaat pun, Sir, saya berani bersumpah. Benarbenar bunyi tik-tik yang menyebalkan."
Sir Edward terdiam sejenak.
"Anda-lah yang menemukan tubuhnya, bukan?"
"Ya, Sir, betul. Terbaring dengan kepala berdarah. Dan tak seorang pun mendengar
bunyi apa pun selain ketukan mesin tik Mr. Matthew."
"Sejauh yang Anda ketahui, tidak ada yang masuk ke dalam rumah?"
"Bagaimana bisa, Sir, tanpa sepengetahuan saya" Bel pintu akan berdering di
dalam sini. Dan hanya ada satu pintu masuk."
Sir Edward menatapnya lurus-lurus.
"Anda sangat dekat dengan Miss Crabtree?"
Cahaya hangat - dan tidak dibuat-buat - terpancar di wajah Martha.
"Ya, benar, Sir. Kalau bukan karena Miss Crabtree - saya sudah tua dan sekarang
saya tidak keberatan berbicara mengenai hal ini. Ketika masih gadis, saya
mendapat masalah, Sir, dan Miss Crabtree membela saya - dia menerima saya kembali
bekerja - setelah semua urusan beres. Saya rela mati untuknya - sungguh."
Sir Edward bisa mendengar kesungguhan dalam kata-kata Martha.
"Sejauh Anda ketahui, tidak ada yang datang berkunjung?"
"Tidak mungkin ada yang datang."
"Saya berkata sejauh yang Anda ketahui. Tapi seandainya Miss Crabtree menunggu
seseorang - bila dia sendiri membukakan pintu bagi orang tersebut..."
"Oh!" Martha tampak terperanjat.
"Menurutku ini mungkin saja, bukan?" desak Sir Edward.
"Memang mungkin - ya - tapi rasanya kecil kemungkinannya. Maksud saya..."
Martha jelas-jelas terkejut. Ia tidak bisa menyangkal, meskipun ingin. Mengapa"
Sebab ia tahu kebenarannya terletak di segi lain. Yang mana" Keempat orang di
dalam rumah itu - apakah salah seorang memang bersalah" Apakah Martha ingin
melindungi yang bersalah" Apakah anak tangga memang berderak" Apakah ada yang
turun diam-diam dan Martha tahu siapa orang tersebut"
Ia sendiri jujur - Sir Edward yakin akan hal itu.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sir Edward terus menekan, sambil memerhatikan Martha.
"Kurasa Miss Crabtree bisa saja melakukannya. Jendela kamar itu menghadap ke
jalan. Dia mungkin melihat orang yang ditunggu-tunggunya itu dari jendela, lalu
berjalan ke ruang depan untuk membiarkannya masuk. Dia bahkan mungkin tak ingin
ada yang melihat orang tersebut."
Martha tampak risau. Akhirnya ia berkata enggan,
"Ya, Anda mungkin benar, Sir. Saya belum pernah memikirkan hal itu. Bahwa Miss
Crabtree menantikan seseorang - ya, mungkin saja."
Ia seakan mulai menyadari keuntungan sudut pandang itu.
"Anda orang terakhir yang melihatnya, bukan?"
"Ya, Sir, sesudah saya membereskan cangkir-cangkir teh. Saya mengantarkan bukubuku kepadanya, termasuk kembalian uang yang diberikannya pada saya."
"Apakah dia memberikan uang dalam lembaran-lembaran lima pound?"
"Selembar lima pound, Sir," sahut Martha terkejut. "Harga buku tidak pernah
sampai lima pound. Saya sangat berhati-hati."
"Di mana dia biasanya menyimpan uangnya?"
"Saya tidak begitu tahu, Sir. Menurut saya dia membawa-bawanya - dalam tas beludru
hitamnya. Tapi dia mungkin saja menyimpannya dalam salah satu laci di kamar
tidurnya yang selalu terkunci. Dia senang sekali mengunci barang miliknya,
meskipun cenderung kehilangan anak kuncinya."
Sir Edward mengangguk. "Anda tidak tahu berapa banyak uang yang dimilikinya - maksud saya dalam lembaran
lima pound?" "Tidak, Sir, saya tidak tahu persis jumlahnya."
"Dan dia tidak berkata apa pun yang menyiratkan dia sedang menanti seseorang?"
"Tidak, Sir." "Anda yakin" Apa yang dikatakannya?"
"Hm," ujar Martha, "katanya tukang daging itu tidak lebih dari bangsat dan
penipu, dan dia juga berkata bahwa saya memesan teh seperempat pon lebih banyak
daripada seharusnya. Dia berkata Mrs. Crabtree bodoh sekali karena tidak suka
margarin, dan dia tidak menyukai mata uang kembalian enam pence yang saya
bawakan - mata uang baru dengan gambar daun ek - dia bilang mata uang itu jelek, dan
saya terpaksa bersusah payah mencoba meyakinkan dirinya. Dan dia berkata - oh, si
penjual ikan telah mengirimkan ikan haddock dan bukannya whiting, dan bertanya
apakah saya sudah menyampaikan hal ini padanya; saya jawab sudah - dan, sungguh,
saya rasa hanya itulah yang disampaikannya, Sir."
Pernyataan Martha membuat sosok mendiang tampak jelas bagi Sir Edward, dan
takkan tertandingi oleh uraian mendetail mana pun. Dengan santai ia berkata,
"Majikan yang agak rewel, ya?"
"Memang agak cerewet, tapi wanita malang itu jarang keluar, dan karena terkurung
seperti itu dia tentunya harus menghibur diri sendiri. Dia rewel, tapi baik hati
- tidak pernah ada pengemis yang pergi tanpa mendapat sesuatu. Memang dia
cerewet, tapi dermawan."
"Aku senang masih ada orang yang merasa kehilangan dia, Martha."
Pelayan tua itu terkesiap.
"Maksud Anda - oh, tapi mereka semua menyayanginya - sungguh - dalam hati. Memang
kadang-kadang mereka bertengkar dengannya, tapi tidak serius."
Sir Edward mendongak. Terdengar derak di atas mereka.
"Itu Miss Magdalen sedang turun."
"Bagaimana Anda tahu?" sergah Sir Edward.
Wajah perempuan tua itu memerah. "Saya mengenal langkahnya," gumamnya.
Sir Edward cepat-cepat meninggalkan dapur. Ternyata Martha benar. Magdalen baru
saja menginjak anak tangga paling bawah. Ia menatap Sir Edward penuh harap.
"Belum banyak kemajuan," ujar Sir Edward menanggapi tatapannya, lalu
menambahkan, "Barangkali Anda tahu surat-surat apa saja yang diterima Bibi Lily
pada hari kematiannya?"
"Semua surat sudah dikumpulkan. Polisi sudah memeriksanya, tentu saja."
Gadis itu menunjukkan jalan menuju ruang tamu luas, dan setelah membuka laci ia
mengeluarkan tas beludru hitam besar dengan gesper perak model kuno.
"Ini tas Bibi. Seluruh isinya masih lengkap seperti pada hari dia tewas. Saya
mempertahankannya tetap seperti itu."
Sir Edward mengucapkan terima kasih padanya, lalu menuang isi tas itu ke atas
meja. Menurutnya, isinya pernak-pernik khas wanita tua eksentrik.
Ada beberapa koin perak, dua butir permen jahe, tiga guntingan koran tentang
kotak Joanna Southcott, sajak murahan tentang para pengangguran, sebuah Old
Moore's Almanack, segumpal kapur barus, sepasang kacamata, dan tiga pucuk surat.
Yang satu surat dari "Sepupu Lucy" dengan tulisan cakar ayam, selembar bon untuk
memperbaiki arloji, dan sehelai surat permohonan dari institusi amal.
Sir Edward memeriksa setiap benda dengan cermat, mengembalikan semuanya ke dalam
tas, dan menyerahkannya pada Magdalen sambil menghela napas.
"Terima kasih, Miss Magdalen. Aku khawatir tidak banyak yang bisa kutemukan."
Ia bangkit berdiri dan menyadari bahwa melalui jendela, orang bisa melihat anak
tangga di pintu depan dengan jelas, lalu ia menjabat tangan Magdalen.
"Anda akan pergi?"
"Ya." "Tapi apa... apakah semuanya akan beres?"
"Tak seorang pun yang terkait dengan hukum akan membuat pernyataan terburu-buru
seperti itu," sahut Sir Edward khidmat, lalu melangkah keluar.
Ia menyusuri jalan dan tenggelam dalam pikiran. Teka-teki itu tepat di depan
mata - dan ia belum berhasil memecahkannya. Masih dibutuhkan sesuatu - sedikit saja.
Cukup untuk menunjukkan arah.
Seseorang menepuk pundaknya dan ia pun terlonjak. Ternyata Matthew Vaughan yang
agak terengah. "Saya tadi mengejar-ngejar Anda, Sir Edward. Saya ingin meminta maaf untuk sikap buruk yang saya perlihatkan setengah
jam lalu. Tapi saya khawatir sikap saya memang bukan yang terbaik. Anda sangat
baik, mau bersusah payah mengurus peristiwa ini. Silakan bertanya apa saja pada
saya. Kalau ada yang bisa saya bantu..."
Mendadak Sir Edward tersentak. Pandangannya tertuju - bukan pada Matthew - tapi ke
seberang jalan. Agak kebingungan, Matthew mengulangi,
"Kalau ada yang bisa saya bantu..."
"Anda sudah melakukannya, anak muda," sahut Sir Edward. "Dengan jalan
menghentikanku di tempat ini, hingga aku memusatkan perhatian pada sesuatu yang
tadinya pasti terlewatkan."
Ia menunjuk ke restoran kecil di seberang jalan.
"The Four and Twenty Blackbirds?" tanya Matthew bingung.
"Tepat." "Dua Puluh Empat Burung Hitam memang nama yang ganjil - tapi makanan di situ
enak." "Aku tidak mau mengambil risiko dengan bereksperimen," sahut Sir Edward.
"Berhubung aku lebih tua daripada Anda, Kawan, boleh jadi aku lebih kenal
pantun-pantun di masa kecilku. Ada pantun klasik yang berbunyi: Nyanyikan lagu
enam pence, sekantong gandum hitam, dua puluh empat burung hitam, dipanggang
dengan kue pai - dan seterusnya. Sisanya tak perlu kita pedulikan."
Sir Edward langsung berbalik.
"Anda mau ke mana?" tanya Matthew Vaughan.
"Kembali ke rumah Anda, Kawan."
Mereka berjalan tanpa berkata-kata, dan Matthew melirik keheranan pada teman
seperjalanannya. Sir Edward masuk, melangkah ke laci tadi, mengeluarkan tas
beludru, dan membukanya. Ia menatap Matthew, dan anak muda itu pun meninggalkan
ruangan dengan enggan. Sir Edward menuang seluruh koin perak ke atas meja. Ia lalu mengangguk.
Ingatannya tidak keliru. Ia bangkit dan menekan bel sambil menyelipkan sesuatu ke telapak tangannya.
Mendengar dering bel, Martha datang.
"Kalau aku tidak salah ingat, Martha, Anda sedikit berdebat dengan mendiang
mengenai salah satu koin enam pence yang baru itu."
"Betul, Sir." "Ah! Tapi anehnya, Martha, di antara seluruh uang kecil yang ada ini, tidak ada
koin enam pence yang baru. Di sini ada dua koin enam pence, tapi keduanya
keluaran lama." Martha menatapnya bingung.
"Anda lihat apa artinya" Malam itu seseorang benar-benar datang ke rumah seseorang yang diberi koin enam pence oleh majikan Anda... Kurasa dia
memberikannya pada orang itu sebagai ganti ini..."
Dengan sigap, Sir Edward mengulurkan tangan ke depan dan menyodorkan sajak
murahan mengenai para pengangguran itu.
Sekali pandang ke wajah Martha sudah cukup.
"Petualangan sudah berakhir, Martha - karena aku sudah tahu. Sebaiknya Anda akui
saja semuanya padaku."
Martha terduduk di kursi - air matanya mengalir deras.
"Memang benar - memang benar - bel tidak berbunyi sebagaimana mestinya - saya tidak
begitu yakin, jadi saya pikir sebaiknya saya pergi melihat. Saya sampai di pintu
tepat saat dia menghantam Miss Crabtree. Gulungan uang kertas lima pound berada
di atas meja di depannya. Itulah sebabnya dia berbuat demikian, selain itu dia
mengira korbannya sendirian saja di rumah ketika membukakan pintu. Saya tidak
mampu menjerit. Saya seakan lumpuh, dan ketika dia berbalik... dan saya melihat
dia ternyata putra saya sendiri...
"Oh, sejak dulu dia memang nakal. Saya memberikan seluruh uang saya. Dia sudah
pernah dipenjara dua kali. Dia tentunya datang untuk menemui saya, dan karena
melihat saya tidak membukakan pintu, Miss Crabtree membukakannya sendiri. Putra
saya terperanjat, lalu mengeluarkan salah satu lembaran sajak tentang
pengangguran itu. Mengingat majikan saya baik dan murah hati, dia mengajak anak
saya masuk dan mengambil koin enam pence. Selama itu gulungan uang kertasnya
masih tergeletak di meja, seperti saat saya memberikan uang kembalian itu. Setan
merasuki Ben anak saya, yang lalu menghantamnya dari belakang."
"Setelah itu?" tanya Sir Edward.
"Oh, Sir, saya bisa apa" Dia darah daging saya sendiri. Ayahnya memang jahat,
dan Ben mewarisi sifatnya - tapi dia anak saya sendiri. Saya mendorongnya keluar,
dan kembali ke dapur, menyiapkan makan malam seperti biasanya. Apakah menurut
Anda saya sangat jahat, Sir" Saya berusaha tidak berbohong waktu Anda mengajukan
pertanyaan." Sir Edward bangkit berdiri.
"Perempuan malang," ujarnya penuh perasaan, "aku sangat prihatin. Tapi hukum
tetap harus ditegakkan."
"Dia telah melarikan diri ke luar negeri, Sir. Saya tidak tahu di mana dia
berada." "Kalau begitu, ada kemungkinan dia bisa menghindar dari tiang gantungan, tapi
jangan terlalu berharap. Tolong panggilkan Miss Magdalen."
"Oh, Sir Edward. Betapa baiknya Anda - Anda begitu baik," ujar Magdalen ketika Sir
Edward selesai berkata-kata. "Anda telah menyelamatkan kami semua. Dengan cara
apa saya bisa menyampaikan terima kasih?"
Sir Edward tersenyum padanya sambil menepuk tangan gadis itu dengan lembut. Ia
memang pria yang luar biasa. Magdalen kecil begitu memesona di kapal Siluric.
Sekuntum bunga berusia tujuh belas - luar biasa! Tentu saja ia sekarang sudah
kehilangan pesona itu. "Lain kali Anda membutuhkan teman...," ujar Sir Edward.
"Saya akan langsung datang pada Anda."
"Tidak, tidak," seru Sir Edward panik. "Justru itulah yang aku tidak mau Anda
lakukan. Datanglah pada pria yang lebih muda."
Ia lalu meninggalkan seluruh penghuni rumah yang bersyukur itu dengan gesit, dan
masuk taksi dengan lega. Bahkan pesona gadis belia berumur tujuh belas pun rasanya tidak terlalu menarik
lagi. Tak dapat menandingi perpustakaan yang sarat dengan buku-buku kriminologi.
Taksi itu berbelok ke Queen Anne's Close.
Cul-de-sac-nya. KEJANTANAN EDWARD ROBINSON
"DENGAN sekali ayun, Bill mengangkatnya dengan kedua lengannya yang kekar dan
mendekapnya erat. Sambil menghela napas dalam-dalam, perempuan itu menyerahkan
bibirnya dengan ciuman yang belum pernah diimpikan Bill..."
Sambil menarik napas, Mr. Edward Robinson meletakkan buku When Love is King dan
memandang ke luar jendela kereta api bawah tanah. Mereka sedang melaju melintasi
Stamford Brook. Edward Robinson sedang berpikir tentang Bill. Bill tokoh super
jantan kesayangan para novelis wanita. Edward iri pada otot-otot, ketampanan,
dan gairahnya yang luar biasa. Ia membuka buku itu lagi dan membaca deskripsi si
angkuh Marchesa Bianca (yang telah menyerahkan bibirnya). Kecantikannya begitu
menggairahkan, begitu memabukkan, hingga pria-pria kekar roboh di hadapannya
bagaikan deretan pin yang diterjang bola boling, lemah tanpa daya karena cinta.
"Tentu saja," kata Edward dalam hati, "semua ini cuma omong kosong. Kisah-kisah
seperti ini omong kosong. Tapi aku penasaran..."
Matanya menerawang. Benarkah nun di sana ada yang namanya dunia asmara dan
petualangan" Apa memang ada wanita-wanita yang kecantikannya menggairahkan" Apa
ada cinta yang mampu melalap orang bagaikan api"
"Ini kehidupan nyata," ujar Edward. "Aku harus menjalaninya seperti orang-orang
lain." Ia berpendapat bahwa secara keseluruhan, ia patut menganggap dirinya beruntung.
Ia punya jabatan cukup bagus - sebagai juru tulis perusahaan yang maju. Ia
berbadan sehat, tidak punya tanggungan, dan sudah bertunangan dengan Maud.
Namun begitu teringat Maud, wajahnya langsung muram. Meski ia takkan pernah
mengakuinya, ia takut pada Maud. Ia mencintai Maud - ya - ia masih ingat betapa
hatinya tergetar saat melihat dan mengagumi tengkuk putih Maud dari balik blus
murahnya yang berharga empat pound sebelas penny ketika pertama kali berjumpa.
Waktu itu Edward duduk di belakang Maud, menonton bioskop bersama temannya yang
kenal dengan Maud dan memperkenalkan mereka berdua. Tak dapat disangkal bahwa
Maud sangat superior. Ia cantik, pandai, sangat feminin dan anggun, dan selalu
benar dalam segala hal. Jenis gadis yang, menurut semua orang, akan menjadi
istri yang sangat cakap. Edward bertanya-tanya apakah Marchesa Bianca bisa menjadi istri yang cakap. Ia
meragukannya. Ia tak bisa membayangkan Bianca yang menggairahkan itu, dengan
bibirnya yang merah merekah dan tubuh aduhai, menjahit kancing dengan manis
untuk, katakan saja, Bill yang jantan itu. Tidak, Bianca adalah Asmara,
sedangkan ini kehidupan nyata. Edward dan Maud akan sangat bahagia. Maud begitu
penuh akal sehat.... Tapi bagaimanapun, Edward berharap seandainya saja sikap Maud tidak terlalu...
ya, tajam. Begitu cepat mengkritik.
Sudah tentu sifat bijaksana dan akal sehat itulah yang membuatnya bersikap
demikian. Maud memang sangat berpikiran sehat. Dan biasanya Edward juga sangat
berpikiran sehat, tapi sekali-sekali saja - contohnya, ia ingin menikah pada Hari
Natal ini. Maud lalu menjelaskan alangkah lebih bijaksana kalau mereka
menundanya dulu - mungkin satu-dua tahun. Gaji Edward tidak besar. Ia ingin
memberi Maud cincin mahal - Maud kaget setengah mati, dan memaksa Edward
mengembalikan dan menukar cincin itu dengan yang lebih murah. Semua standar yang
dianutnya sangat tinggi, tapi adakalanya Edward berharap Maud memiliki lebih
banyak kekurangan dibanding kelebihan. Kelebihannya itulah yang membuat Edward
melakukan hal-hal nekat. Misalnya saja... Rasa bersalah merona di wajahnya. Ia harus mengakuinya pada Maud - segera. Rasa
bersalah di hatinya membuatnya bersikap ganjil. Besok hari pertama dari tiga
hari libur. Malam Natal, Hari Natal, dan Hari Natal Kedua. Maud telah
menyarankan agar Edward datang berkunjung dan melewatkan waktu bersama
keluarganya. Dengan cara kikuk, yang pasti membangkitkan rasa curiga Maud,
Edward berhasil menghindar - ia berbohong panjang-lebar bahwa ia sudah berjanji
akan melewatkan waktu bersama seorang teman di daerah pedesaan.
Padahal ia tidak punya teman di pedesaan. Ia hanya punya rasa bersalah itu.
Tiga bulan lalu, Edward Robinson, bersama beberapa ratus ribu pemuda lain,
mengikuti lomba yang diadakan salah satu koran mingguan. Nama dua belas gadis
harus diurut sesuai popularitas masing-masing. Edward mendapat ide bagus.
Pilihannya pasti keliru - ia telah menyadarinya dalam lomba-lomba sejenis sebelum
itu. Ia mencatat kedua belas nama itu dengan urutan sesuai pertimbangannya
sendiri. Kemudian ia menuliskan nama-nama itu lagi, kali ini urutannya ditukar,
yang paling atas menjadi yang paling bawah, kedua dari atas menjadi kedua dari
bawah, dan seterusnya. Waktu hasil lomba diumumkan, delapan dari dua belas nama yang disusun Edward
ternyata benar, dan ia memenangkan hadiah pertama sebesar ?500. Oleh Edward,
keberuntungan ini dianggap sebagai hasil langsung dari "sistem"-nya. Ia bangga
bukan main pada diri sendiri.
Berikutnya, apa yang harus ia lakukan dengan hadiah ?500 itu" Ia tahu betul apa
yang akan dikatakan Maud. Investasikan saja. Sebagai persediaan bagus untuk masa
depan. Dan, tentu saja, Maud pasti benar, ia tahu itu. Namun memenangkan uang
sebagai hasil suatu lomba terasa sangat berbeda dengan semua hal lain.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seandainya uang itu diberikan padanya sebagai warisan, Edward akan
menginvestasikannya di Conversion Loan atau Savings Certificates seperti
selayaknya dilakukan. Namun uang yang diperoleh dengan sekadar mencoretkan pena,
dan peluang keberuntungan yang luar biasa, bisa dikategorikan seperti uang jajan
anak kecil - "untukmu sendiri - untuk dibelanjakan sesuka hati."
Dan di sebuah toko mewah yang setiap hari dilintasinya dalam perjalanan menuju
kantor, tampak impian yang luar biasa itu, mobil mungil untuk dua orang dengan
moncong panjang mengilat, dan harganya tercantum jelas - ?465.
Setiap hari Edward berkata pada mobil itu, "Kalau aku kaya, aku akan membelimu."
Dan sekarang ia kaya - meski belum benar-benar kaya - setidaknya ia punya cukup uang
untuk membuat impiannya jadi kenyataan. Mobil itu, benda cantik mengilat yang
memikat itu, akan jadi miliknya bila ia mau membayar harganya.
Tadinya ia bermaksud memberitahu Maud soal uang itu. Setelah memberitahu, ia
akan terlindung dari godaan. Menghadapi kekagetan dan ketidaksetujuan Maud, ia
takkan pernah berani menjalankan ide gilanya itu. Tapi ternyata Maud sendiri
yang membereskan persoalan itu. Edward mengajaknya ke bioskop - dan membeli karcis
kelas utama. Dengan ramah namun tegas, Maud menunjukkan betapa bodohnya tindakan
Edward - menghambur-hamburkan uang yang berharga - tiga pound enam penny, bukannya
dua pound empat penny, padahal orang bisa menonton sama jelasnya dari kelas yang
lebih murah. Edward menerima omelannya dengan diam dan kesal. Maud merasa puas karena
menyangka telah menanamkan pengaruhnya. Edward tidak boleh dibiarkan menghamburhamburkan uang seperti itu. Ia mencintai Edward, tapi ia sadar tunangannya ini
lemah - tugasnyalah untuk selalu siap mempengaruhinya ke arah seharusnya. Maud
mengamati sikapnya yang seperti cacing itu dengan puas.
Edward memang seperti cacing. Dan sama seperti cacing, ia berbalik. Hatinya
hancur karena kata-kata Maud, tapi justru saat itulah ia memutuskan untuk
membeli mobil itu. "Sialan," umpat Edward dalam hati. "Kali ini aku akan melakukan apa yang kusuka.
Persetan dengan Maud!"
Keesokan harinya ia melangkah masuk ke istana kaca dengan seluruh isinya yang
mewah dan terdiri atas email serta logam berkilauan. Dengan sikap riang dan
bebas dari rasa cemas, ia pun membeli mobil itu. Tindakan paling mudah di dunia,
membeli mobil! Sudah empat hari kendaraan itu jadi miliknya. Dari luar, sikapnya tenang-tenang
saja, namun di dalam, kegembiraannya meluap-luap. Dan ia belum menceritakannya
sama sekali pada Maud. Selama empat hari, saat istirahat makan siang, ia
mendapat instruksi tentang cara menjalankan benda cantik itu. Ia murid yang
cekatan. Besok, pada Malam Natal, Edward akan membawanya ke pedesaan. Ia telah berbohong
pada Maud, dan ia akan berbohong lagi bila perlu. Ia sudah diperbudak lahirbatin oleh harta barunya ini. Baginya, mobil ini mewakili Asmara, Petualangan,
dan segala sesuatu yang didambakan namun tidak pernah dimilikinya. Besok ia dan
mobil ini akan merambah jalanan. Mereka akan melesat membelah udara dingin,
meninggalkan hiruk-pikuk London - menuju daerah-daerah lapang yang segar...
Saat ini Edward, meski tidak menyadarinya, sudah sangat mirip penyair.
Besok... Ia menatap buku di tangannya - When Love is King. Ia tertawa dan memasukkannya ke
saku. Mobilnya, bibir merah Marchesa Bianca, dan kejantanan Bill yang
mengagumkan itu seakan berbaur jadi satu. Besok...
Cuaca yang biasanya payah, kali ini bersahabat terhadap Edward. Hari yang
didambakan Edward, kristal es berkilauan, langit biru cerah, dan matahari yang
bersinar kekuningan. Dengan semangat petualangan yang tinggi dan berani mati, Edward mengendarai
mobilnya ke luar kota London. Ada sedikit hambatan di Hyde Park Corner dan
pengalaman sial menyedihkan di Putney Bridge, ia sering harus memindahkan
persneling dengan berisik dan menginjak rem dengan mendadak, hingga dihujani
caci-maki yang dilontarkan para pengemudi lain. Tapi sebagai pemula, ia menilai
dirinya menjalankan tugas dengan baik. Akhirnya ia sampai juga ke salah satu
jalan lebar yang sangat nyaman bagi pengendara mobil. Hari ini di bagian jalan
ini tidak banyak kemacetan. Mabuk dengan kepemilikannya atas kendaraan
berkilauan ini, Edward terus ngebut membelah dinginnya dunia yang terbungkus
salju putih, bangga seperti dewa.
Benar-benar hari yang bahagia. Ia berhenti untuk makan siang di penginapan
bergaya kuno, dan kembali lagi saat minum teh. Setelah itu ia akan pulang dengan
rasa enggan - kembali ke London, ke Maud, ke penjelasan yang mau tak mau harus
diberikannya, tuduhan-tuduhan...
Ia menepiskan pikiran ini sambil mendesah. Terserah bagaimana esok. Ia masih
memiliki hari ini. Dan apa yang lebih memukau daripada ini" Melesat membelah
kegelapan malam dengan lampu mencari jalan di depan. Wah, inilah bagian yang
paling seru! Ia memutuskan takkan sempat berhenti untuk makan malam di mana pun. Mengemudikan
mobil di kegelapan seperti ini tidaklah mudah. Waktu yang dibutuhkannya untuk
kembali ke London ternyata lebih lama daripada perkiraannya. Sudah pukul delapan
saat ia melintasi Hindhead dan tiba di tepi lembah Devil's Punch Bowl. Bulan
bersinar, dan salju yang turun dua hari lalu masih belum meleleh.
Ia menghentikan mobilnya dan menatap kosong. Memangnya kenapa kalau ia tidak
sampai di London sebelum tengah malam" Ia tidak mau merenggutkan dirinya dari
kesenangan ini sekarang juga.
Ia keluar dari mobil dan menghampiri tepi lembah. Di dekatnya tampak jalan
setapak berkelok-kelok yang menurun dan menggoda. Edward menyerah pada
pesonanya. Selama setengah jam berikutnya ia berjalan keliling menikmati
pemandangan dengan salju terhampar luas. Ia belum pernah membayangkan pengalaman
seperti ini. Pengalamannya sendiri, yang diberikan kekasih mengilat yang setia
menantinya di jalan atas sana.
Ia mendaki kembali, masuk ke mobil, dan melanjutkan perjalanan, masih agak
pusing karena menemukan keindahan luar biasa yang sesekali menghampiri orang
yang paling biasa. Kemudian, sambil menghela napas, ia tersadar dari lamunannya, lalu merogoh
kantong mobil tempat ia meletakkan syal pagi tadi.
Tapi syalnya ternyata tidak ada lagi. Kantong itu kosong. Tidak, tidak
sepenuhnya kosong - ada sesuatu yang kasar dan keras di dalamnya - mirip batu
kerikil. Edward merogoh dalam-dalam. Detik berikutnya ia termangu bagaikan orang hilang
ingatan. Benda yang dipegangnya dan berjuntai di sela jari-jarinya, diterpa
cahaya bulan dan memantulkan cahaya gemerlapan itu, ternyata seuntai kalung
berlian. Edward menatap dan menatap. Tak pelak lagi. Kalung berlian yang mungkin bernilai
seribu pound (karena batu-batu berliannya besar) ini tergeletak begitu saja di
kantong samping mobil. Tapi siapa yang telah meletakkannya di situ" Saat berangkat dari kota tadi,
benda ini jelas-jelas tidak ada di situ. Pasti ada orang yang datang ketika ia
berjalan-jalan di tengah salju, dan sengaja memasukkannya ke situ. Tapi mengapa"
Mengapa memilih mobilnya" Apakah pemilik kalung itu keliru" Atau apakah benda
itu... mungkinkah ini kalung curian"
Kemudian, sementara semua pikiran itu berkecamuk di benaknya, Edward mendadak
terenyak dan merasa dingin. Ini bukan mobilnya.
Mobil ini memang sangat mirip, betul. Warna merahnya sama - merah seperti bibir
Marchesa Bianca - moncongnya sama panjang dan mengilat, tapi melalui berbagai ciri
lain, Edward menyadari bahwa ini bukan mobilnya. Kilau catnya yang baru sudah
tergores di sana-sini, menandakan mobil ini sudah sering digunakan. Dalam hal
ini... Tanpa berpikir lebih panjang, Edward cepat-cepat memutar mobil itu. Ia memang
belum mahir melakukannya. Dengan persneling mundur, ia kebingungan dan berkalikali memutar setir ke arah yang salah. Selain itu, ia juga keliru menginjak
pedal gas dan rem yang berakibat cukup fatal. Bagaimanapun, akhirnya ia berhasil
juga dan mobil itu kembali bergerak mendaki bukit.
Edward teringat bahwa tidak jauh dari mobilnya, tadi ada mobil lain yang
diparkir. Ketika itu ia tidak begitu memerhatikannya. Ia kembali dari berjalanjalan melalui jalan lain. Ia menyangka jalan kedua ini membawanya tepat ke
belakang mobilnya sendiri. Rupanya jalan setapak itu berakhir di belakang mobil
lain. Dalam sepuluh menit ia sudah tiba kembali di tempat ia berhenti tadi. Namun
sekarang di tepi jalan tidak terlihat mobil sama sekali. Siapa pun pemilik mobil
ini sekarang pasti sudah pergi dengan mobil Edward - ia sendiri mungkin keliru
karena kemiripan kedua mobil tersebut.
Edward mengeluarkan kalung berlian itu dari sakunya, dan memegang-megangnya
dengan bingung. Apa yang harus dilakukannya" Bergegas ke kantor polisi terdekat" Menjelaskan
situasi, menyerahkan kalung itu, dan memberikan nomor mobilnya sendiri.
Omong-omong, berapa nomor mobilnya" Edward memeras otak, tapi tetap saja tak
mampu mengingatnya. Ia tertegun. Ia akan seperti orang paling dungu di kantor
polisi. Ia hanya bisa mengingat ada angka delapan di dalamnya. Tentu saja ia
tidak perlu terlalu mempersoalkannya - setidaknya... Ia menatap kalung berlian itu
dengan perasaan tidak enak. Bagaimana kalau mereka berpikir - oh, tapi tak akan meskipun mereka bisa saja - berpikir bahwa ia telah mencuri mobil dan kalung
berlian itu" Sebab, bila dipikir-pikir, apakah orang yang waras pikirannya akan
meletakkan kalung berlian berharga dengan sembarangan di dalam kantong mobil
yang terbuka" Edward keluar dari mobil dan berjalan ke bagian belakangnya. Nomor pelatnya XR
10061. Kecuali fakta yang mengatakan bahwa ini jelas-jelas bukan nomor mobilnya,
nomor itu tidak menyampaikan apa pun padanya. Ia lalu memeriksa seluruh isi
kantong mobil secara sistematis. Di dalam kantong tempat ia menemukan kalung
tadi, ia mendapatkan secarik kertas dengan tulisan pensil di atasnya. Di bawah
penerangan lampu besar mobil, Edward bisa membacanya dengan mudah.
"Temui aku di Greane, di sudut Salter's Lane, jam sepuluh."
Edward teringat nama Greane itu. Tadi pagi ia melihatnya di sebuah papan
penunjuk jalan. Dalam sekejap ia membuat keputusan. Ia akan pergi ke desa Greane
ini, mencari Salter's Lane, menemui orang yang menulis pesan itu, dan
menjelaskan keadaannya. Ini jauh lebih baik daripada terlihat bagaikan orang
dungu di kantor polisi. Edward berangkat dengan hati nyaris gembira. Lagi pula, ini petualangan. Ini
peristiwa yang tidak terjadi setiap hari. Kalung berlian itu membuatnya seru
sekaligus misterius. Ia agak kesulitan menemukan Greane, dan lebih sulit lagi menemukan Salter's
Lane, namun sesudah mengetuk pintu dua pondok, ia berhasil.
Meski demikian, sudah beberapa menit lewat waktu yang ditentukan saat ia
menjalankan mobil dengan hati-hati melintasi jalan sempit, sambil memerhatikan
sebelah kiri jalan tempat Salter's Lane bercabang, seperti diberitahu orang
padanya. Ia tiba di tempat yang tiba-tiba menikung, dan bahkan sebelum ia sampai, ada
sosok yang muncul dari kegelapan.
"Akhirnya!" seru seorang gadis. "Lama sekali kau, Gerald!"
Sementara berbicara, gadis itu melangkah tepat ke tengah sorot lampu besar, dan
Edward tersentak. Dia makhluk paling cantik yang pernah dilihatnya.
Ia masih muda, dengan rambut hitam pekat dan bibir merah menggairahkan. Mantel
tebal yang dikenakannya tersingkap, dan Edward melihat ia mengenakan gaun malam gaun berwarna merah padam yang memamerkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Di
sekeliling lehernya melingkar kalung mutiara yang sangat indah.
Mendadak gadis itu tersentak.
"Wah," serunya, "Anda bukan Gerald."
"Bukan," sahut Edward cepat-cepat. "Saya harus menjelaskan." Ia mengeluarkan
kalung berlian itu dari sakunya dan menyodorkannya pada gadis itu. "Nama saya
Edward..." Ia terhenti, sebab gadis itu bertepuk tangan dan menyela,
"Edward, tentu saja! Aku senang sekali. Tapi si idiot Jimmy itu berkata padaku
di telepon bahwa dia mengirim Gerald dengan mobilnya. Anda baik sekali mau
datang kemari. Aku sudah rindu sekali melihat Anda. Ingat, aku tidak berjumpa
dengan Anda sejak aku berumur enam tahun. Aku lihat Anda membawa kalungnya.
Masukkan ke saku Anda kembali. Polisi desa mungkin saja lewat dan melihatnya.
Brrr, menunggu di sini rasanya sedingin es! Biarkan aku masuk."
Bagaikan dalam mimpi, Edward membukakan pintu, dan gadis itu melompat masuk
dengan ringan ke sisinya. Mantel bulunya menyapu pipi Edward, dan aroma mirip
bunga violet dibasahi hujan, menyerbu hidungnya.
Edward tidak punya rencana atau pikiran apa pun. Dalam sekejap, di luar
kemauannya sendiri, ia telah menceburkan diri ke dalam petualangan. Gadis itu
memanggilnya Edward - peduli apa kalau ia Edward yang salah" Gadis itu akan segera
menyadarinya. Sementara itu, biarkan permainan ini berjalan terus. Ia memasukkan
gigi persneling, dan mereka pun meluncur maju.
Sesaat kemudian gadis itu tertawa. Gelak tawanya sama indah dengan sosoknya.
"Mudah dilihat bahwa Anda tidak tahu banyak tentang mobil. Aku rasa tidak banyak
mobil di sana?" "Di mana gerangan 'di sana' itu?" Edward membatin. Dengan suara keras ia hanya
berkata, "Tidak banyak."
"Lebih baik aku saja yang mengemudi," ujar gadis itu. "Tidak gampang menemukan
jalan di sekitar sini, sampai kita tiba di jalan besar kembali."
Edward melepaskan tempatnya dengan senang hati. Tak lama kemudian, mereka sudah
menembus malam dengan cepat dan nekat. Diam-diam Edward kagum. Gadis itu menoleh
padanya. "Aku suka ngebut. Anda juga" Anda tahu... Anda sama sekali tidak mirip Gerald.
Orang takkan pernah menyangka kalian bersaudara. Anda juga tidak mirip sama
sekali dengan yang kubayangkan."
"Saya rasa," ujar Edward, "saya biasa-biasa saja. Benar, bukan?"
"Bukan biasa-biasa saja - tapi berbeda. Aku tidak bisa menggambarkan diri Anda.
Bagaimana kabar Jimmy" Sangat jemu, kurasa?"
"Oh, Jimmy baik-baik saja," sahut Edward.
"Mudah bagi Anda untuk mengatakannya - tapi sial baginya karena kakinya terkilir.
Apakah dia menceritakan seluruh kisahnya pada Anda?"
"Sama sekali tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Saya harap Anda mau menjelaskannya
pada saya." "Oh, kejadiannya seperti mimpi saja. Jimmy masuk dari pintu depan, menyamar
seperti perempuan. Aku menunggu semenit-dua menit, lalu memanjat jendela.
Pelayan Agnes Larella ada di dalam, sibuk menyiapkan gaun dan perhiasan Agnes,
termasuk pernak-pernik lainnya. Tiba-tiba terdengar jeritan dari bawah, keadaan
jadi kacau dan semua orang berteriak-teriak. Pelayan itu berlari keluar kamar,
dan aku melompat masuk, menyambar kalung itu, keluar jendela dan meluncur turun,
lalu lari lewat jalan belakang melintasi Punch Bowl. Aku menyelipkan kalung dan
catatan itu ke dalam kantong samping mobil. Setelah itu aku bergabung dengan
Louise di hotel, setelah melepaskan sepatu botku tentu saja. Alibi yang sempurna
buatku. Dia sama sekali tidak tahu aku keluar."
"Dan bagaimana dengan Jimmy?"
"Soal itu, Anda tentu tahu lebih banyak daripada aku."
"Dia tidak mengatakan apa pun pada saya," ujar Edward santai.
"Hm, kakinya tersangkut roknya dan terkilir. Mereka terpaksa menggotongnya ke
mobil, dan sopir keluarga Larella mengantarnya pulang. Bayangkan seandainya
sopir itu kebetulan merogoh ke dalam kantong mobil!"
Edward tertawa bersamanya, tapi memutar otak. Sekarang ia lebih memahami
situasinya. Sepertinya ia pernah mendengar nama Larella - nama yang berkaitan
dengan kekayaan. Gadis ini, dan pria tak dikenal bernama Jimmy itu, telah
berkomplot mencuri kalung itu, dan berhasil. Gara-gara kakinya terkilir dan
kehadiran sopir keluarga Larella, Jimmy tidak sempat melongok kantong samping
mobil sebelum menelepon gadis ini - mungkin juga ia tidak ingin melakukannya. Tapi
hampir bisa dipastikan bahwa "Gerald" yang tidak dikenalnya itu akan
melakukannya begitu ia sempat. Dan di dalam kantong mobil, ia akan menemukan
syal Edward! "Lancar semua," ujar gadis itu.
Sebuah trem melintas. Mereka berada di pinggiran kota London. Mobil mereka
melesat di sela-sela kesibukan lalu lintas. Edward nyaris tercekat. Gadis ini
memang pengemudi andal, tapi benar-benar nekat!
Seperempat jam kemudian, mereka berhenti di depan rumah menakjubkan dengan
halaman luas. "Kita bisa ganti pakaian di sini," ujar gadis itu, "sebelum pergi ke Ritson's."
"Ritson's?" tanya Edward. Ia mengucapkan nama kelab malam terkenal itu dengan
nada nyaris penuh hormat.
"Bagaimana dengan pakaianku?"
Gadis itu mengerutkan kening.
"Mereka tidak mengatakan apa pun pada Anda" Kalau begitu Anda perlu didandani.
Kita harus melaksanakannya sampai tuntas."
Seorang kepala pelayan yang gagah membukakan pintu dan menepi untuk
mempersilakan mereka masuk.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mr. Gerald Champneys menelepon, Tuan Putri. Dia sangat ingin berbicara pada
Anda, tapi tidak mau meninggalkan pesan."
"Aku yakin dia sangat ingin bicara," kata Edward dalam hati. "Bagaimanapun,
sekarang aku tahu nama lengkapku. Edward Champneys. Tapi siapa sebenarnya gadis
ini" Mereka menyebutnya Tuan Putri. Untuk apa dia mencuri kalung itu" Untuk
membayar utang main bridge?"
Dalam feuilleton atau cerita bersambung yang kadangkala dibacanya, peran
utamanya yang cantik dan berdarah biru biasanya bertindak nekat karena terjepit
utang dalam permainan kartu.
Edward diantar kepala pelayan itu, untuk selanjutnya diurus oleh seorang pelayan
pria. Seperempat jam kemudian ia kembali bergabung dengan gadis itu di ruang
depan, lengkap dengan setelan malam buatan Saville Row yang sangat pas di
badannya. Astaga! Malam yang benar-benar luar biasa!
Mereka mengendarai mobil tadi menuju Ritson's yang terkenal itu. Sama seperti
orang lain, Edward telah membaca berita-berita skandal yang menyangkut Ritson's.
Cepat atau lambat, siapa saja pasti akan masuk juga ke Ritson's. Edward hanya
khawatir kalau-kalau muncul seseorang yang mengenal Edward Champneys yang asli.
Ia menghibur diri dengan pemikiran bahwa orang yang sesungguhnya itu telah
beberapa tahun berada di luar Inggris.
Sambil duduk di depan meja kecil dekat dinding, mereka menghirup koktail.
Koktail! Bagi Edward yang sederhana itu, minuman ini melambangkan inti kehidupan
mapan. Gadis itu, dalam balutan selendang penuh berbordir cantik, menghirup
minumannya dengan santai. Tiba-tiba ia menanggalkan selendang itu dari bahunya,
lalu bangkit berdiri. "Mari kita berdansa."
Satu-satunya hal yang mampu dilakukan Edward dengan sempurna adalah berdansa.
Ketika ia dan Maud melantai di Palais de Danse, orang-orang memerhatikan mereka
dengan terkagum-kagum. "Aku hampir lupa," ujar gadis itu tiba-tiba. "Kalungnya?"
Ia mengulurkan tangan. Edward yang masih terbingung-bingung, mengeluarkan kalung
itu dari sakunya dan menyerahkannya pada gadis itu. Dengan terpana ia melihat
gadis itu melingkarkan kalung itu ke lehernya dengan tenang. Setelah itu ia
tersenyum menawan pada Edward.
"Sekarang," bisiknya lembut, "kita akan berdansa."
Mereka pun berdansa. Dan di seluruh ruangan Ritson's tak ada yang lebih sempurna
daripada mereka berdua. Setelah keduanya kembali ke meja mereka, seorang pria tua lumayan gagah menyapa
pasangan dansa Edward. "Ah! Lady Noreen, selalu berdansa! Ya, ya. Apakah malam ini Kapten Folliot hadir
di sini?" "Jimmy terjatuh - pergelangan kakinya terkilir."
"Yang benar saja. Bagaimana kejadiannya?"
"Saya belum mendengar detailnya."
Gadis itu tertawa dan terus melangkah.
Edward mengikutinya sambil memutar otak. Sekarang ia sudah tahu. Lady Noreen
Eliot yang terkenal itu, boleh jadi yang paling banyak dibicarakan orang di
London. Ternama karena kecantikannya, karena keberaniannya - pemimpin kelompok
bernama Bright Young People. Pertunangannya dengan Kapten James Folliot, wakil
konsul Household Calvalry, baru saja diumumkan belum lama ini.
Tapi kalung itu" Edward masih belum memahami soal kalung itu. Ia terpaksa
mengambil risiko ketahuan jati dirinya, tapi ia tahu ia harus mencobanya.
Saat mereka sudah duduk kembali, Edward menunjuk kalung itu.
"Mengapa Anda lakukan itu, Noreen?" ujar Edward. "Katakan pada saya, mengapa?"
Lady Noreen cuma tersenyum, matanya menerawang jauh, masih terpesona oleh dansa
tadi. "Kurasa Anda sulit memahaminya. Orang akan jenuh dengan suasana yang sama - selalu
sama. Berburu harta karun memang menyenangkan untuk sementara waktu, tapi
akhirnya orang jadi terbiasa pada semua hal. 'Pencurian' adalah gagasanku. Uang
pendaftarannya lima puluh pound, dan ada undiannya. Ini yang ketiga. Jimmy dan
aku menarik undian dengan nama Agnes Larella. Anda sudah tahu aturan mainnya"
Pencurian itu harus dilakukan dalam waktu tiga hari, dan hasil curian harus
dikenakan selama paling tidak satu jam di tempat umum. Bila tidak, Anda akan
kehilangan taruhan dan terkena denda sebesar seratus pound. Jimmy tidak
beruntung karena terkilir, tapi kami akan memenangkannya."
"Begitu," ujar Edward sambil menarik napas dalam-dalam. "Begitu."
Mendadak Noreen bangkit berdiri sambil menyelempangkan selendangnya.
"Antar aku dengan mobil ke dermaga. Ke tempat yang jelek tapi seru. Sebentar..."
Ia menanggalkan kalung berlian itu dari leher. "Sebaiknya Anda simpan lagi
kalung ini. Aku tidak mau terbunuh gara-gara benda ini."
Mereka melangkah keluar dari Ritson's bersama-sama. Mobil itu berada di lorong
sempit dan gelap. Ketika mereka berbelok di tikungan, sebuah mobil lain mendekat
dan seorang laki-laki muda melompat keluar.
"Syukur pada Tuhan, Noreen, akhirnya aku bertemu juga denganmu," serunya. "Ada
masalah gawat. Si goblok Jimmy pergi dengan mobil yang salah. Hanya Tuhan yang
tahu di mana kalung berlian itu saat ini. Kita benar-benar mendapat masalah."
Lady Noreen menatapnya melongo.
"Apa maksudmu" Kalung berlian itu sudah ada pada kita - paling tidak Edward."
"Edward?" "Ya." Ia menunjuk sosok yang berdiri di sampingnya.
"Sekarang akulah yang dapat masalah besar," pikir Edward. "Berani bertaruh
sepuluh lawan satu, inilah saudara Edward yang sesungguhnya."
Orang muda itu menatapnya.
"Apa maksudmu?" ujarnya perlahan. "Edward sedang berada di Skotlandia."
"Oh!" seru gadis itu. Ia menatap Edward. "Oh!"
Wajahnya sebentar pucat sebentar merona.
"Jadi Anda," katanya lirih, "benar-benar pencuri?"
Edward hanya membutuhkan sesaat untuk memahami situasi.
Ada sorot terpesona di mata gadis itu - mungkinkah itu - kekaguman" Apakah ia
sebaiknya menjelaskan" Tidak perlu! Ia akan memainkan perannya sampai tuntas.
Ia membungkuk takzim. "Saya harus berterima kasih pada Anda, Lady Noreen," ujarnya, semirip mungkin
dengan gaya penyamun, "untuk malam yang sangat menyenangkan ini."
Ia melihat sekilas ke arah mobil yang dikendarai pria tadi. Mobil merah manyala
dengan kap mengilat. Mobilnya!
"Dan saya akan mengucapkan selamat malam pada Anda."
Dengan satu lompatan ia sudah berada di dalam mobilnya sendiri, dengan kaki siap
menginjak kopling. Mobilnya melonjak maju. Gerald terpaku, namun gadis itu lebih
cepat daripadanya. Sementara mobil itu meluncur, ia melompat ke arahnya dan
mendarat di pijakannya. Mobil itu melenceng, menikung tajam dan menambah kecepatan. Noreen yang masih
terengah sehabis melompat, memegangi lengan Edward.
"Anda harus menyerahkan kalung itu padaku - oh, Anda harus menyerahkannya padaku.
Aku harus mengembalikannya pada Agnes Larella. Bersikaplah yang baik - kita sudah
bersama-sama melewatkan malam yang menyenangkan - kita sudah berdansa - kita sudah berteman. Maukah Anda memberikannya padaku" Pada saya?"
Benar-benar wanita yang mampu membuat mabuk dengan kecantikannya. Memang ada
juga wanita-wanita seperti itu...
Lagi pula, Edward memang sudah sangat ingin melepaskan diri dari kalung itu.
Benda itu adalah kesempatan dari langit untuk mendapatkan beau geste.
Edward mengeluarkan kalung itu dari sakunya dan menjatuhkannya di telapak tangan
gadis itu. "Kita sudah... berteman," ujarnya.
"Ah!" Mata gadis itu membara - berpendar.
Mendadak ia menundukkan kepala ke arah Edward. Untuk sesaat Edward memeluknya,
bibir gadis itu merapat di bibirnya...
Setelah itu Lady Noreen melompat turun. Dan mobil merah itu melesat maju.
Asmara! Petualangan! *** Pukul dua belas siang pada Hari Natal, Edward Robinson melangkah masuk ke ruang
tamu sempit sebuah rumah kecil di Clapham sambil mengucapkan, "Selamat Natal"
seperti biasanya. Maud yang ketika itu sedang memasang hiasan daun holly, menyapanya dengan
dingin. "Sudah bersenang-senang dengan temanmu di pedesaan?" ia bertanya.
"Dengar," sahut Edward. "Aku sudah berbohong padamu. Sebenarnya aku baru menang
sayembara - sebesar ?500, dan membeli mobil dengan uang itu. Aku sengaja tidak
menceritakannya padamu, karena tahu kau pasti meributkannya. Itu hal pertama.
Aku sudah membeli mobil itu, dan tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kedua - aku
takkan mau menunggu bertahun-tahun lagi. Prospekku cukup bagus, dan aku ingin
menikahimu bulan depan. Paham?"
"Oh!" pekik Maud lemah.
Apakah ini - mungkinkah ini - Edward yang bicara dengan gaya mengagumkan seperti
itu" "Kau bersedia?" tanya Edward. "Ya atau tidak?"
Maud menatapnya terperangah. Ada rasa terpesona dan kagum di matanya, dan
pemandangan ini memabukkan Edward. Hilang sudah sikap keibuan penuh kesabaran
yang justru membuatnya gusar itu.
Semalam tatapan Lady Noreen tepat seperti ini. Namun Lady Noreen sudah
menghilang, masuk ke daerah Asmara, berdampingan dengan Marchesa Bianca. Inilah
Kenyataan. Inilah wanita miliknya.
"Ya atau tidak?" ulangnya sambil mendekat selangkah.
"Y - ya-a," jawab Maud tergagap. "Tapi, oh, Edward, apa yang telah terjadi padamu"
Hari ini kau begitu lain."
"Ya," sahut Edward. "Sudah dua puluh empat jam ini aku jadi pria dewasa dan
bukannya cacing - dan, astaga, aku tidak rugi!"
Ia memeluk Maud erat-erat, mirip apa yang mungkin akan dilakukan Bill, sang
superman. "Apa kau mencintaiku, Maud" Katakan, apa kau mencintaiku?"
"Oh, Edward!" desah Maud. "Aku memujamu..."
KECELAKAAN "...DENGAR ya... itu wanita yang sama - tak diragukan lagi!"
Kapten Haydock menatap wajah sahabatnya yang berapi-api dan penuh harap, lalu
menghela napas. Betapa ia berharap Evans tidak bersikap sepositif dan segembira
ini. Sepanjang kariernya di laut, kapten tua ini telah belajar tidak mencampuri
hal-hal yang bukan urusannya. Evans, sahabatnya, mantan Inspektur C.I.D., punya
falsafah hidup berbeda. "Bertindak berdasarkan informasi yang diterima" sudah
menjadi mottonya sejak dulu, dan ia telah meningkatkannya dengan mencari sendiri
informasinya. Dulu Inspektur Evans perwira yang sangat cerdas dan sigap, dan ia
menerima kenaikan pangkat yang memang patut diterimanya. Sekarang pun, setelah
pensiun dari angkatan dan menetap di pondok pedesaan impiannya, naluri
profesionalnya masih tetap aktif.
"Jangan sering melupakan wajah orang," ia mengulangi pernyataannya dengan puas.
"Mrs. Anthony - ya, itu pasti Mrs. Anthony. Waktu kau menyebut nama Mrs.
Merrowdene... aku langsung mengenalinya."
Kapten Haydock gelisah. Selain Evans sendiri, keluarga Merrowdene adalah
tetangga terdekatnya, dan mengidentifikasi Mrs. Merrowdene sebagai perempuan
yang menjadi terkenal karena suatu kasus menggemparkan, membuatnya susah.
"Kejadiannya sudah lama," ujarnya lemah.
"Sembilan tahun," kata Evans, akurat seperti biasanya. "Sembilan tahun tiga
bulan. Kau masih ingat kasus itu?"
"Samar-samar." "Anthony ternyata pemakan arsenik," ujar Evans, "karena itu mereka membebaskan
wanita itu." "Nah, mengapa tidak?"
"Tidak ada alasan. Satu-satunya putusan yang mampu mereka berikan atas bukti
itu. Benar sepenuhnya."
"Kalau begitu tak ada masalah," sahut Haydock. "Dan aku tidak mengerti apa yang
kita permasalahkan."
"Siapa yang mempermasalahkan?"
"Kusangka kau."
"Sama sekali tidak."
"Perkara itu sudah selesai," kapten itu menyimpulkan. "Kalau Mrs. Merrowdene
pernah kurang beruntung diperkarakan dan dibebaskan dari tuduhan pembunuhan..."
"Biasanya dibebaskan dari tuduhan tidak disebut kurang beruntung," sela Evans.
"Kau tahu maksudku," ujar Kapten Haydock kesal. "Wanita malang itu telah melalui
pengalaman mengerikan, dan bukan urusan kita untuk mengungkitnya kembali, ya
kan?" Evans tidak menjawab. "Ayolah, Evans. Wanita itu tidak bersalah - kau baru saja mengatakannya."
"Aku tidak bilang dia tidak bersalah. Aku bilang dia dibebaskan."
"Itu sama saja."
"Tidak selalu."
Kapten Haydock, yang baru mulai mengetukkan pipanya di sisi kursinya, berhenti
dan duduk tegak dengan waspada.
"Halo - alo - alo," ujarnya. "Angin bertiup ke arah itu, kan" Apa menurutmu dia
bersalah?" "Aku takkan berkata begitu. Aku cuma... tidak tahu. Anthony memang punya
kebiasaan menelan arsenik. Istrinyalah yang mendapatkan racun itu untuknya.
Suatu hari dia keliru menelan dosis terlalu besar. Apakah itu kekeliruannya
sendiri atau kesalahan istrinya" Tidak ada yang bisa mengatakan, dan dengan
keraguan itu, tim juri dengan sendirinya membebaskan istrinya. Ini sah-sah saja,
dan aku tidak menyalahkan mereka. Tapi tetap saja... aku ingin tahu."
Kapten Haydock memerhatikan pipa tembakaunya kembali.
"Nah," katanya santai. "Ini sama sekali bukan urusan kita."
"Aku tidak begitu yakin..."
"Tapi tentunya..."
"Dengarkan sebentar. Orang ini, Merrowdene... malam ini mengadakan percobaan di
laboratoriumnya - kauingat..."
"Ya. Dia menyebut-nyebut soal tes Marsh untuk arsenik. Dia bilang kau tahu semua
tentang tes itu - bahwa ini bidangmu - lalu tertawa kecil. Dia takkan berkata begitu
seandainya dia mau berpikir sejenak..."
Evans menyelanya. "Maksudmu dia takkan berkata begitu seandainya dia tahu. Pasangan itu sudah
menikah berapa lama - enam tahun katamu" Aku berani bertaruh dia sama sekali tidak
tahu istrinya adalah Mrs. Anthony yang sangat terkenal itu."
"Dan dia pasti takkan mengetahuinya dari mulutku," sahut Kapten Haydock kaku.
Evans tidak memedulikannya dan melanjutkan,
"Kau baru saja menyelaku. Sesudah tes Marsh itu, Merrowdene memanaskan zat kimia
itu dalam tabung percobaan. Residu logamnya dilarutkan dalam air yang lalu
diendapkan dengan cara membubuhkan perak nitrat. Ini tes untuk unsur khlorat.
Tes kecil yang rapi dan sederhana. Tapi kebetulan aku membaca tulisan ini di
buku yang terbuka di atas meja: 'H2SO4 mengurai khlorat dengan evolusi CL4O2.
Bila dipanaskan akan terjadi ledakan keras; karena itu campuran ini harus
disimpan di tempat sejuk dan digunakan dalam jumlah sangat kecil.'"
Haydock menatap lurus ke sahabatnya.
"Nah, bagaimana menurutmu?"
"Cuma ini. Dalam profesiku, kami juga punya beberapa tes - tes untuk melacak
pembunuhan. Misalnya menggabungkan fakta-fakta - menimbangnya, memecah-mecah
sisanya saat kau membiarkan prasangka muncul, juga ketidaktepatan para saksi.
Tapi ada satu tes lagi dalam menghadapi kasus pembunuhan - tes yang cukup akurat,
tapi agak... berbahaya! Pembunuh jarang merasa puas dengan satu kejahatan.
Berikan waktu dan tidak adanya kecurigaan, maka dia akan melakukan kejahatan
lagi. Kau menangkap seseorang - apakah dia membunuh istrinya atau tidak" - boleh
jadi kasusnya tidak terlalu memberatkan dirinya. Periksalah masa lalunya - bila
kau mendapati dia pernah punya beberapa istri - dan kita katakan saja mereka semua
meninggal... dengan cara tidak biasa" - maka barulah kau tahu! Aku tidak bicara
dari segi hukum. Aku bicara tentang kepastian secara moral. Sekali kau tahu, kau
bisa melanjutkan dengan mencari bukti."
"Lalu?" "Aku sudah hampir sampai ke tujuan. Itu bagus-bagus saja kalau memang ada masa
lalu yang bisa ditelusuri. Tapi bagaimana seandainya kau menangkap si pembunuh
pada kejahatan pertamanya" Maka dari tes itu kau takkan mendapatkan reaksi. Tapi
misalnya tahanan itu dibebaskan - dan dia memulai hidup baru dengan menggunakan
nama lain. Apakah si pembunuh ini akan mengulangi kejahatannya?"
"Ini gagasan yang mengerikan!"
"Apa kau masih berani bilang ini bukan urusan kita?"
"Betul. Kau tidak punya alasan untuk menganggap Mrs. Merrowdene bukan wanita
yang sama sekali tak bersalah."


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mantan inspektur itu terdiam sesaat. Setelah itu ia berkata perlahan,
"Sudah kukatakan kita menelusuri masa lalunya dan tidak menemukan apa pun. Ini
tidak sepenuhnya benar. Dia pernah punya ayah tiri. Ketika masih berusia delapan
belas tahun, dia tertarik pada seorang laki-laki muda - dan ayah tirinya
memanfaatkan wewenangnya untuk memisahkan mereka. Dia berjalan-jalan bersama
ayah tirinya melintasi tebing berbahaya. Kemudian terjadilah kecelakaan - sang
ayah tiri berjalan terlampau dekat dengan tepi jurang... yang longsor hingga
laki-laki itu terjerumus dan tewas."
"Kau tidak menganggap..."
"Itu kecelakaan. Kecelakaan! Arsenik melebihi takaran yang ditelan Anthony
adalah kecelakaan. Perempuan itu takkan pernah diadili kalau saja tidak ada
orang lain waktu itu - tapi dia mengubah pernyataannya. Tampaknya dia tidak puas
seperti tim juri. Dengar, Haydock, selama wanita itu terkait, aku khawatir akan
terjadi... kecelakaan lagi!"
Kapten tua itu angkat bahu.
"Sudah berlalu sembilan tahun sejak perkara itu. Mengapa sekarang harus terjadi
'kecelakaan' lain seperti katamu tadi?"
"Aku tidak bilang sekarang. Aku bilang suatu hari nanti. Bila timbul motif yang
diperlukan." Kapten Haydock angkat bahu lagi.
"Hm, aku tidak tahu bagaimana kau bisa mencegah hal itu terjadi."
"Aku juga tidak tahu," ujar Evans sedih.
"Aku tidak akan turut campur," ujar Kapten Haydock. "Tak ada gunanya mencampuri
urusan orang lain." Namun nasihat ini tidak cocok bagi mantan inspektur itu. Dia orang yang sabar
tapi bertekad kuat. Ia meninggalkan rumah sahabatnya, melangkah menuju desa, dan
memikirkan bagaimana bisa bertindak dengan sukses.
Ketika berbelok ke kantor pos untuk membeli prangko, ia berpapasan dengan objek
perhatiannya, George Merrowdene. Mantan profesor kimia ini laki-laki kecil
dengan pandangan menerawang, sikapnya lembut dan ramah, dan biasanya linglung.
Ia mengenali orang yang bersenggolan dengannya tadi dan menyapanya dengan ramah,
sambil membungkuk untuk memungut surat-surat yang terjatuh. Evans juga
membungkuk, dan dengan gerakan lebih sigap ia merapikan dulu tumpukan surat yang
dipungutnya, lalu mengembalikannya pada si empunya sambil meminta maaf.
Sementara melakukan itu, ia melirik amplop-amplop yang dipegangnya. Mendadak
rasa curiganya tergugah kembali saat melihat alamat yang tertera di amplop
paling atas. Di situ tertera nama perusahaan asuransi ternama.
Tekadnya sudah bulat. George Merrowdene yang lugu itu nyaris tidak menyadari
sama sekali bagaimana bisa sampai terjadi ia dan mantan inspektur itu sama-sama
berjalan ke desa, lebih-lebih bagaimana percakapan mereka bisa berkisar soal
asuransi jiwa. Evans tidak kesulitan mencapai tujuannya. Atas kemauan sendiri, Merrowdene
memberikan informasi bahwa ia baru saja mengasuransikan jiwanya untuk
kepentingan istrinya, dan menanyakan pendapat Evans tentang perusahaan
bersangkutan. "Saya sudah melakukan beberapa investasi yang agak bodoh," jelasnya. "Akibatnya,
penghasilan saya berkurang. Seandainya terjadi sesuatu pada diri saya, nasib
istri saya akan buruk sekali. Asuransi ini akan membereskan segalanya."
Dewi Maut 9 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Begal Dari Gunung Kidul 1

Cari Blog Ini