Ceritasilat Novel Online

Misteri Listerdale 3

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie Bagian 3


"Istri Anda tidak keberatan dengan ide ini?" tanya Evans santai. "Ada beberapa
wanita yang tidak menyukainya. Mereka merasa seperti mengundang kesialan - atau
semacamnya." "Oh, Margaret orang yang sangat praktis," ujar Merrowdene sambil tersenyum. "Dia
sama sekali tidak percaya takhayul. Bahkan sebenarnya ide ini datang darinya.
Dia tidak suka melihat saya cemas."
Evans sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Tak lama kemudian ia
meninggalkan sang profesor dengan bibir terkatup rapat. Mr. Anthony telah
mengasuransikan diri untuk kepentingan istrinya beberapa minggu sebelum
kematiannya. Karena terbiasa mengandalkan nalurinya, Evans merasa sangat yakin. Tapi
bagaimana akan bertindak, itu soal lain. Ia tidak ingin menangkap basah si
pelaku kejahatan, ia hanya ingin mencegah terjadinya kejahatan, dan ini tugas
yang sangat berbeda dan jauh lebih sulit.
Sepanjang hari itu ia banyak merenung. Sore itu akan diadakan pesta Primrose
League F?te di lahan tuan tanah setempat, dan Evans menghadirinya. Ia menikmati
permainan dengan koin, menebak berat badan babi, melempar kelapa, dan semua ini
dilakukannya dengan wajah penuh konsentrasi. Ia bahkan menghabiskan uang
sebanyak setengah crown atau dua setengah shilling di Zara, ahli nujum Crystal
Gazer, sambil tersenyum sendiri saat teringat aktivitasnya melawan para ahli
nujum ketika masih bekerja.
Evans tidak begitu memerhatikan alunan suara ahli nujum yang naik-turun itu sampai akhir kalimatnya menarik perhatiannya.
"...Dan tak lama lagi - sungguh tak lama lagi - Anda akan terlibat masalah antara
hidup dan mati... Hidup atau matinya seseorang."
"Eh... apa kata Anda tadi?" Evans langsung bertanya.
"Suatu keputusan - Anda harus membuat keputusan. Anda harus sangat berhati-hati sangat, sangat berhati-hati... Bila Anda melakukan kesalahan - kesalahan terkecil
sekalipun..." "Ya?" Ahli nujum itu bergidik. Inspektur Evans tahu semua ini omong kosong belaka,
tapi bagaimanapun juga ia merasa terkesan.
"Aku peringatkan Anda - jangan sampai melakukan kesalahan. Kalau Anda sampai
melakukannya, aku melihat akibatnya dengan sangat jelas - kematian..."
Aneh, luar biasa aneh. Bayangkan, dia bisa meramalkan hal itu!
"Bila aku melakukan kesalahan, akibatnya kematian" Betul?"
"Ya." "Kalau begitu," ujar Evans sambil bangkit berdiri dan menyerahkan uang setengah
crown, "aku tidak boleh melakukan kesalahan, eh?"
Ia mengucapkannya dengan santai, tapi saat melangkah keluar dari tenda peramal,
rahangnya terkatup dengan tekad bulat. Mudah dikatakan - tapi tidak semudah itu
melakukannya. Ia tidak boleh terpeleset sedikit pun. Hidup orang yang sangat
rentan bergantung padanya.
Dan tak seorang pun bisa membantunya. Ia memandang sosok Haydock sahabatnya dari
kejauhan. Dia pun tidak bisa membantu. "Jangan turut campur," adalah motto
Haydock. Dan motto itu tidak berlaku di sini.
Haydock sedang berbincang dengan seorang wanita. Perempuan itu meninggalkan
Haydock dan melangkah ke arah Evans yang langsung mengenalinya. Wanita itu Mrs.
Merrowdene. Evans sengaja menempatkan diri di jalur yang akan dilewati wanita
itu. Mrs. Merrowdene lumayan cantik. Alisnya lebar, mata cokelatnya sangat indah, dan
ekspresi wajahnya tenang. Penampilannya mirip madona Itali, lebih-lebih karena
ia membelah rambutnya di tengah dan menyangkutkannya di belakang telinga.
Suaranya berat mendayu. Ia tersenyum pada Evans, senyuman puas yang mengundang.
"Saya sudah mengira itu Anda, Mrs. Anthony - maksud saya, Mrs. Merrowdene," sapa
Evans lancar. Ia memang sengaja "keseleo lidah", sambil memerhatikan wanita itu dengan tidak
kentara. Mata wanita itu melebar dan napasnya sedikit tersengal. Tetapi
tatapannya tetap tajam. Ia menatap Evans dengan angkuh.
"Saya sedang mencari-cari suami saya," ujarnya tenang. "Apa Anda melihatnya?"
"Terakhir kali saya melihatnya, dia sedang berada di sebelah sana."
Mereka berjalan berdampingan menuju arah yang ditunjuk Evans, sambil mengobrol
dengan santai. Sang inspektur semakin kagum. Benar-benar wanita yang luar biasa!
Begitu menguasai diri. Sikapnya begitu anggun. Wanita yang mengagumkan - dan
sangat berbahaya. Evans masih sangat gelisah, meskipun ia puas dengan langkah awalnya. Ia telah
menunjukkan pada wanita itu bahwa ia mengenalinya. Ini akan membuatnya waspada.
Ia takkan berani bertindak gegabah. Masalahnya adalah Merrowdene. Bila ia bisa
diperingatkan... Mereka menjumpai laki-laki kecil itu sedang memandang linglung boneka yang
didapatnya dari permainan dengan koin. Sang istri mengajaknya pulang, dan ia
menerima ajakan itu dengan senang hati. Mrs. Merrowdene berpaling pada sang
inspektur. "Bagaimana kalau Anda ikut bersama kami dan minum-minum teh, Mr. Evans?"
Benarkah ada nada menantang samar-samar dalam suara wanita itu" Evans merasa
memang ada. "Terima kasih, Mrs. Merrowdene. Saya senang sekali."
Mereka berjalan bertiga sambil mengobrol santai tentang hal-hal umum. Matahari
bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, pemandangan di sekeliling mereka
menyenangkan dan biasa-biasa saja.
Pelayan mereka sedang berada di pesta, Mrs. Merrowdene menjelaskan ketika mereka
tiba di pondok bergaya kuno yang memesona itu. Mrs. Merrowdene masuk kamar untuk
menanggalkan topinya, lalu kembali untuk menyiapkan teh dan merebus air dalam
ceret di atas lampu perak kecil. Ia mengambil tiga mangkuk kecil dan cawan dari
rak dekat perapian. "Kami punya teh Cina yang sangat istimewa," jelasnya. "Dan kami selalu
meminumnya dengan gaya Cina - dari mangkuk, bukan cangkir."
Ia berhenti bicara, melihat ke bagian dalam salah satu mangkuk, dan menukarnya
dengan mangkuk lain sambil berseru kesal.
"George - kau ini keterlaluan. Kau sudah menggunakan mangkuk-mangkuk ini lagi."
"Maafkan aku, Sayang," sahut sang profesor. "Ukurannya pas sekali. Mangkukmangkuk yang kupesan belum tiba."
"Suatu hari nanti kau bisa meracuni kita semua," ujar istrinya sambil tertawa
kecil. "Mary menemukan mangkuk-mangkuk ini di laboratorium dan membawanya
kemari. Dia tidak pernah mau repot-repot mencucinya, kecuali ada sesuatu yang
terlihat jelas di dalamnya. Waktu itu kau bahkan menggunakan salah satunya untuk
kalium sianida. Sungguh, George, ini benar-benar berbahaya."
Merrowdene tampak agak kesal.
"Mary tidak punya urusan untuk memindahkan barang-barang dari laboratorium. Dia
tidak boleh menyentuh apa pun di situ."
"Tapi kita sering meninggalkan cangkir teh kita di situ. Bagaimana dia bisa
tahu" Bersikaplah masuk akal, Sayang."
Profesor itu masuk ke laboratorium sambil bergumam sendiri, dan sambil tersenyum
Mrs. Merrowdene menuangkan air mendidih ke atas daun teh, dan meniup nyala api
lampu perak kecil itu. Evans menjadi bingung. Namun mendadak ia mengerti. Karena alasan tertentu, Mrs.
Merrowdene sedang menunjukkan niatnya. Apakah ini yang akan dijadikannya
"kecelakaan?" Apakah ia sengaja membicarakan semua ini untuk mempersiapkan
alibinya" Agar suatu hari nanti, saat "kecelakaan" itu terjadi, Evans terpaksa
menunjukkan bukti yang menguntungkan wanita itu. Bila memang demikian, dia
sungguh bodoh, sebab sebelum itu...
Tiba-tiba Evans tersentak. Perempuan itu telah menuangkan teh ke dalam ketiga
mangkuk itu. Sebuah diletakkan di depan Evans, sebuah di depan dirinya sendiri,
dan yang sebuah diletakkan di meja kecil di samping perapian, dekat kursi yang
biasanya ditempati sang suami. Saat meletakkan mangkuk terakhir ini, bibirnya
seakan tersenyum aneh. Senyuman inilah yang memastikan.
Evans tahu! Wanita yang luar biasa - wanita yang berbahaya. Tidak perlu menunggu lagi - tidak
butuh persiapan. Sore ini - sore ini juga - dengan dirinya sebagai saksi. Kenekatan
tindakan itu membuatnya terperangah.
Benar-benar pintar - sangat pintar. Ia takkan dapat membuktikan apa pun. Perempuan
itu memperhitungkan bahwa Evans takkan curiga - semata-mata karena kejadiannya
"secepat itu". Wanita dengan kecepatan seperti kilat dalam berpikir dan
bertindak. Evans menghela napas dalam-dalam sambil mencondongkan badan ke depan.
"Mrs. Merrowdene, saya orang yang punya gagasan-gagasan agak ganjil. Maukah Anda
berbaik hati mengabulkan salah satu darinya?"
Pandangan wanita itu penuh tanda tanya, tapi tidak curiga.
Evans bangkit berdiri, mengambil mangkuk teh di depan wanita itu, melangkah
menuju meja kecil tadi, lalu menukar mangkuk di atasnya dengan yang dipegangnya.
Ia membawa mangkuk ini, lalu meletakkannya di depan perempuan itu.
"Saya ingin melihat Anda meminum teh ini."
Mata wanita itu menatap mata Evans lurus-lurus dengan pandangan tak bisa
ditebak. Perlahan-lahan wajahnya berubah pucat pasi.
Ia mengulurkan tangan dan mengangkat mangkuk itu. Evans menahan napas. Bagaimana
seandainya selama ini ia keliru"
Wanita itu membawa mangkuknya ke bibir - dan pada saat terakhir tubuhnya
menggigil, condong ke depan, dan dengan cepat ia menuang isi mangkuk itu ke pot
bunga berisi tanaman pakis. Setelah itu ia duduk bersandar dan menatap Evans
dengan sikap menantang. Evans menghela napas panjang dengan lega, dan duduk kembali.
"Bagaimana?" ujar perempuan itu.
Suaranya sudah berubah. Sedikit mengejek - menantang.
Dengan tenang dan muram Evans menjawab,
"Anda wanita yang sangat pintar, Mrs. Merrowdene. Saya rasa Anda memahami saya.
Jangan sampai... terulang kembali. Anda paham maksud saya?"
"Saya tahu maksud Anda."
Suaranya terdengar datar, tanpa ekspresi. Evans mengangguk puas. Dia wanita yang
cerdas, dan ia tidak mau dihukum gantung.
"Demi umur panjang Anda dan suami Anda," ujar Evans tegas, dan mengangkat
mangkuk tehnya ke bibir. Kemudian wajahnya berubah. Parasnya menyeringai mengerikan... ia berusaha
bangkit - untuk berteriak... Tubuhnya kaku - wajahnya berubah ungu. Ia terjengkang
di kursinya - anggota badannya kejang-kejang.
Mrs. Merrowdene membungkuk ke depan sambil memerhatikan korbannya. Senyuman
kecil mengembang di wajahnya. Ia berbisik pada Evans - sangat lirih dan lembut.
"Anda melakukan kesalahan, Mr. Evans. Anda menyangka saya ingin membunuh
George... Betapa bodohnya Anda - betapa sangat bodohnya."
Ia tetap duduk beberapa saat sambil menatap laki-laki yang tak bernyawa itu,
laki-laki ketiga yang telah menjadi ancaman baginya dan bisa memisahkan dirinya
dari laki-laki yang dicintainya.
Senyumannya melebar. Wajahnya semakin mirip dengan madona. Setelah itu ia
mengeraskan suara dan memanggil-manggil,
"George, George! ...Oh, cepat ke sini! Aku takut telah terjadi kecelakaan
mengerikan... Mr. Evans yang malang..."
JANE MENCARI PEKERJAAN JANE CLEVELAND membalik-balik halaman koran Daily Leader, lalu menghela napas.
Desah yang keluar dari relung hati paling dalam. Dengan kesal ia menatap meja
pualam, telur rebus, roti panggang di atasnya, dan teko teh kecil itu. Bukannya
ia tidak lapar. Sebaliknya, Jane sangat lapar. Saat itu ia merasa sanggup
melahap satu setengah pon daging panggang lengkap dengan keripik kentang, dan
mungkin juga buncis Prancis. Lalu ditutup dengan minum anggur yang lebih
menggairahkan daripada teh.
Tapi para wanita muda yang kondisi keuangannya payah memang tidak bisa rewel.
Jane masih cukup beruntung sanggup memesan telur rebus dan seteko teh. Besok ia
mungkin sudah tidak mampu melakukannya lagi. Kecuali...
Ia kembali membuka halaman iklan di Daily Leader. Jelasnya, Jane sedang
menganggur, dan kondisinya semakin gawat saja. Induk semang di pondokannya yang
kumuh sudah memandangnya tak senang.
"Padahal," kata Jane dalam hati, sambil mengangkat dagu dengan dongkol, seperti
kebiasaannya, "padahal aku cerdas, cantik, dan terpelajar. Apa lagi yang
kurang?" Menurut Daily Leader, orang sepertinya menginginkan juru tulis steno
berpengalaman, manajer perusahaan yang punya modal untuk diinvestasikan, kaum
wanita yang bisa berbagi keuntungan dalam usaha peternakan ayam (lagi-lagi
diperlukan sedikit modal di sini), dan sejumlah besar juru masak, pelayan rumah
tangga, dan pramuwisma - terutama pramuwisma.
"Aku tidak keberatan menjadi pramuwisma," ujar Jane dalam hati. "Tapi lagi-lagi
takkan ada yang mau. menerimaku tanpa pengalaman. Aku bisa saja pergi ke suatu
tempat, sebagai Gadis Muda Penurut - tapi mereka tidak menggaji para gadis muda
penurut." Ia menghela napas lagi, meletakkan surat kabar itu di depannya, dan melahap
telur rebusnya dengan semangat orang muda yang sehat.
Selesai menelan suap terakhir, ia membalik koran itu, lalu membaca kolom Derita
dan Pribadi sambil menghirup tehnya. Kolom Derita selalu jadi pengharapan
terakhir. Andai ia memiliki beberapa ribu pound, masalahnya akan terpecahkan dengan mudah.
Setidaknya ada tujuh peluang unik - semuanya menjanjikan paling sedikit tiga ribu
pound setahun. Jane mengerutkan bibir.
"Kalau aku punya dua ribu pound," gumamnya, "takkan mudah mengambilnya dariku."
Ia mengamati iklan-iklan kolom itu dengan cepat sampai ke baris paling bawah,
lalu mengangkat mata kembali dengan kepiawaian yang lahir dari latihan cukup
lama. Ada wanita yang menjual pakaian bekas dengan harga sangat rendah. "Gaun-gaun
wanita yang sudah diteliti". Kemudian ada para pria yang bersedia membeli APA
PUN - terutama GIGI. Lalu ada beberapa wanita bangsawan yang akan ke luar negeri
dan ingin melepas mantel-mantel bulu mereka dengan harga tidak masuk akal. Ada
juga pendeta yang sedang kesulitan, janda yang hidupnya susah, serta perwira
cacat, yang semuanya membutuhkan sejumlah uang, mulai dari lima puluh sampai dua
ribu pound. Dan mendadak Jane tersentak. Ia meletakkan cangkir tehnya dan
membaca iklan itu berkali-kali.
"Di dalamnya pasti ada udang di balik batu," gumamnya. "Selalu ada udang di
balik batu dalam hal-hal semacam ini. Aku harus berhati-hati. Tapi..."
Iklan yang sangat menggugah rasa ingin tahu Jane Cleveland itu berbunyi sebagai
berikut: Dicari wanita muda berusia antara 25 sampai 30 tahun, memiliki mata biru tua,
rambut pirang, alis dan bulu mata hitam, hidung lurus, potongan tubuh langsing,
tinggi badan 167,5 cm, kemampuan meniru mimik dan berbahasa Prancis, bersedia
datang ke 7 Endersleigh Street, antara pukul 17.00 sampai 18.00. Ada pekerjaan
menarik untuknya. "Iklan berbahaya untuk perempuan-perempuan lugu," gumam Jane. "Aku harus sangat
berhati-hati. Tapi untuk profesi semacam itu, persyaratan yang ditentukan
terlalu banyak. Aku jadi bertanya-tanya sekarang... Biar kuteliti daftar
persyaratan tadi." Jane menelitinya. "Antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun - umurku dua puluh enam. Mata biru
tua, cocok. Rambut pirang - alis dan bulu mata hitam - semua oke. Hidung lurus" Y-ya
- setidaknya cukup lurus. Hidungku tidak bengkok atau menjungkit. Dan potongan
badanku langsing - bahkan untuk zaman susah seperti sekarang. Tinggi badanku cuma
165 cm - tapi aku bisa saja memakai sepatu hak tinggi. Aku memang pandai menirukan
mimik - tidak istimewa, tapi aku bisa menirukan suara orang, dan aku mampu
berbahasa Prancis dengan fasih, atau seperti wanita Prancis tulen. Yang jelas,
aku pasti yang terbaik. Mereka akan melonjak kegirangan bila aku muncul. Jane
Cleveland, maju dan menanglah."
Dengan tegas Jane merobek iklan itu dan menyimpannya di tasnya. Setelah itu ia
meminta bon dengan kelincahan baru dalam suaranya.
Pukul lima kurang sepuluh menit, Jane mengintai di lingkungan Endersleigh
Street, jalan sempit yang diapit dua jalan lebih lebar di lingkungan Oxford
Circus. Memang kurang menarik, tapi cukup terhormat.
Rumah No. 7 sepertinya tidak berbeda dengan tetangga-tetangga lainnya. Bentuk
bangunannya mirip perkantoran. Namun saat mendongak, Jane menyadari untuk
pertama kali bahwa ia bukan satu-satunya gadis dengan mata biru, rambut pirang,
hidung lurus, tubuh langsing, dan berusia antara dua puluh lima sampai tiga
puluh tahun. Ternyata London penuh dengan gadis-gadis seperti itu, dan
setidaknya empat puluh sampai lima puluh dari mereka berkumpul di luar
Endersleigh Street No. 7.
"Persaingan ketat," ujar Jane. "Sebaiknya aku segera bergabung dalam antrean."
Jane ikut antre tepat ketika tiga gadis lain muncul di sudut jalan. Di belakang


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka beberapa gadis mengikut. Jane menghibur diri dengan memerhatikan para
gadis yang berdiri paling dekat dengannya. Pada setiap gadis ia berhasil
menemukan kekurangan - bulu mata pirang dan bukannya hitam, mata yang lebih mirip
kelabu daripada biru, rambut pirang buatan dan bukannya alami, berbagai variasi
bentuk hidung, dan bentuk tubuh yang hanya bisa disebut langsing oleh mereka
yang cukup bermurah hati. Semangat Jane melambung.
"Aku percaya peluangku sama besarnya dengan siapa saja," gumamnya sendiri. "Aku
penasaran, apa artinya semua ini" Membentuk paduan suara yang anggotanya cantikcantik?" Antrean berjalan maju dengan lambat namun pasti. Tak lama kemudian mengalirlah
serangkaian gadis dari dalam rumah. Ada yang membuang muka dengan angkuh, ada
juga yang tersenyum sinis.
"Ditolak," ujar Jane senang. "Semoga tempatnya tidak terisi penuh sebelum aku
masuk." Barisan maju terus. Ada yang melirik cemas ke cermin kecil dan membedaki hidung
sebisa-bisanya. Belum lagi lipstik yang dioleskan dengan royal.
"Andai aku punya topi yang lebih keren," pikir Jane sedih.
Akhirnya tiba juga gilirannya. Di dalam rumah tampak pintu kaca di satu sisi
dengan tulisan Messrs. Cuthbertsons tertera di atasnya. Melalui pintu kaca
inilah para pelamar lewat satu per satu. Giliran Jane tiba. Ia menarik napas
dalam-dalam dan melangkah masuk.
Di dalam terdapat kantor bagian luar yang rupanya disediakan bagi para juru
tulis. Di ujungnya terdapat pintu kaca lain. Jane dipersilakan memasuki pintu
ini. Sekarang ia berada di ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada meja tulis
besar, dan di balik meja duduk pria berusia pertengahan dengan mata tajam dan
kumis tebal yang tampak agak asing. Ia memandang Jane, lalu menunjuk pintu
sebelah kiri. "Silakan menunggu di situ," ujarnya singkat.
Jane menurut. Ruangan itu ternyata sudah ada yang menempati. Lima gadis duduk
tegak di situ, saling memelototi pesaingnya. Jelas bagi Jane bahwa ia telah
dimasukkan golongan kandidat yang paling berpeluang, dan semangatnya semakin
melambung. Bagaimanapun, ia terpaksa mengakui bahwa kelima gadis ini memiliki
peluang sama dengan dirinya, sejauh persyaratan yang tercantum dalam iklan itu.
Waktu berjalan terus. Sudah jelas para gadis yang mengalir melintasi kantor
bagian dalam itu cukup banyak. Sebagian besar dipersilakan keluar lewat pintu
lain yang menuju koridor, tapi sesekali masuk calon lain yang membuat kelompok
ini semakin banyak saja. Pukul setengah tujuh sudah terkumpul empat belas gadis
di ruangan itu. Jane mendengar suara-suara orang dari kantor bagian dalam, setelah itu pria
berwajah asing yang diam-diam dijulukinya "Sang Kolonel" berkat kumis khas
militer itu pun muncul di pintu.
"Saya akan menemui Anda sekalian satu per satu," ia menyampaikan. "Silakan masuk
sesuai urutan." Jane mendapat urutan keenam. Dua puluh menit berlalu sebelum ia dipanggil masuk.
"Sang Kolonel" berdiri dengan kedua tangan di balik punggung. Ia menguji Jane
dengan cepat, termasuk kemampuannya berbahasa Prancis, lalu mengukur tinggi
tubuhnya. "Ada kemungkinan, Mademoiselle," ujarnya dalam bahasa Prancis, "bahwa Anda
memang cocok. Saya tidak tahu. Tapi mungkin saja."
"Apa tugas saya, kalau saya boleh bertanya?" tanya Jane terus terang.
Laki-laki itu hanya angkat bahu.
"Saya belum bisa menyampaikannya sekarang. Bila Anda terpilih, barulah Anda bisa
tahu." "Kelihatannya misterius sekali," Jane menyatakan keberatan. "Saya tidak mungkin
menerima sesuatu tanpa mengetahui perinciannya. Kalau saya boleh bertanya,
apakah ini ada hubungannya dengan panggung?"
"Panggung" Tentu saja tidak."
"Oh!" sahut Jane tercengang.
Pria itu menatapnya tajam.
"Anda memiliki kecerdasan, bukan" Dan kebijaksanaan?"
"Tentu saja," ujar Jane tenang. "Bagaimana dengan bayarannya?"
"Bayarannya akan mencapai dua ribu pound - untuk bekerja selama dua minggu."
"Oh!" ujar Jane lirih.
Ia sangat tercengang mendengar besarnya jumlah tadi, hingga sulit mencernanya
dalam sekejap. Kolonel itu melanjutkan pembicaraannya.
"Saya sudah memilih wanita muda lain. Anda dan dia sama-sama sesuai untuk tugas
ini. Mungkin saja ada beberapa lagi yang belum saya lihat. Saya akan memberikan
instruksi selanjutnya pada Anda. Anda tahu Harridge's Hotel?"
Jane tersentak. Di Inggris ini siapa pula yang tidak tahu Harridge's Hotel"
Penginapan terkenal yang berlokasi di jalan samping Mayfair, tempat para tokoh
terkemuka dan bangsawan biasa datang dan pergi. Baru pagi tadi Jane membaca
berita tentang kedatangan Grand Duchess Pauline dari Ostrova. Beliau datang
untuk meresmikan bazar guna membantu para pengungsi Rusia, dan tentu saja
menginap di Harridge's. "Ya," sahut Jane, menjawab pertanyaan sang Kolonel.
"Bagus sekali. Pergilah ke sana. Mintalah berjumpa dengan Count Streptitch.
Berikan kartu nama Anda - Anda punya kartu nama?"
Jane mengeluarkan sehelai. Kolonel itu menerimanya, lalu mencoretkan huruf P
kecil di sudutnya. Ia mengembalikan kartu itu pada Jane.
"Tanda itu menjamin bahwa Count Streptitch akan menjumpai Anda. Dia akan tahu
sayalah yang mengirim Anda. Keputusan terakhir ada di tangannya - dan tangan satu
orang lagi. Bila dia menganggap Anda cocok, dia akan menjelaskan semuanya pada
Anda, dan Anda bisa menerima atau menolak tawarannya. Cukup memuaskan?"
"Sangat memuaskan," jawab Jane.
"Sejauh ini," gumamnya saat berada di jalan kembali, "aku tidak melihat udang di
balik batu. Tapi bagaimanapun, pasti ada. Tidak ada yang namanya mendapat uang
dengan cuma-cuma. Ini pasti kejahatan! Tidak bisa tidak."
Semangatnya melambung. Secara umum Jane tidak begitu menentang kejahatan.
Belakangan ini koran-koran penuh dengan berita tentang para bandit perempuan.
Jane bahkan sudah mempertimbangkan dengan serius untuk menjadi bandit seandainya
tak ada jalan lain lagi. Ia memasuki gerbang eksklusif Harridge's dengan agak ragu bercampur takut. Ia
semakin berharap punya topi baru.
Tapi dengan tabah ia melangkah menuju meja, mengeluarkan kartu namanya, dan
menanyakan Count Streptitch dengan sikap percaya diri. Ia merasa juru tulis itu
menatapnya ingin tahu. Namun ia menerima kartu itu dan memberikannya pada
seorang pesuruh, berikut beberapa instruksi yang tidak tertangkap oleh Jane.
Sebentar kemudian pesuruh itu kembali, dan Jane diminta mengikutinya. Mereka
naik lift, dan menyusuri koridor menuju pintu besar yang lalu diketuk oleh
pesuruh tadi. Sesaat kemudian Jane sudah berada di ruangan luas, berhadapan
dengan pria jangkung kurus dengan janggut pirang; pria itu memegang kartu nama
Jane di tangannya yang putih dan tampak tak bertenaga.
"Miss Jane Cleveland," ia membaca perlahan-lahan. "Saya Count Streptitch."
Bibirnya tiba-tiba terbuka seakan tersenyum, memamerkan dua baris gigi putih dan
rapi. Namun senyumannya tidak mengandung keceriaan sedikit pun.
"Saya mengerti Anda melamar pekerjaan sebagai tanggapan atas iklan kami," lanjut
Count Streptitch. "Kolonel Kranin yang baik mengirim Anda kemari."
"Ternyata dia memang kolonel," Jane membatin, merasa senang dengan
kecerdasannya, tapi ia cuma mengangguk.
"Anda mau memaafkan bila saya mengajukan beberapa pertanyaan?"
Ia tidak menunggu jawaban Jane, tapi melanjutkan dengan memberikan uraian yang
mirip sekali dengan yang diberikan Kolonel Kranin. Jawaban-jawaban Jane
tampaknya cukup memuaskan. Ia mengangguk sekali-dua kali.
"Sekarang, Mademoiselle, saya minta Anda berjalan ke pintu dan kembali lagi
perlahan-lahan." "Mungkin mereka ingin aku jadi peragawati," pikir Jane sambil menuruti
permintaan tadi. "Tapi peragawati takkan dibayar dua ribu pound. Biarpun begitu,
mungkin sebaiknya aku tidak bertanya dulu."
Count Streptitch mengerutkan dahi. Jari-jarinya yang putih mengetuk-ngetuk meja.
Mendadak ia bangkit berdiri, dan setelah membuka pintu penghubung dengan ruangan
sebelah, ia berbicara pada seseorang di dalamnya.
Setelah itu ia kembali ke kursinya, dan seorang wanita pendek setengah baya
masuk dari pintu itu, lalu menutupnya kembali. Perawakannya gemuk dan wajahnya
luar biasa jelek, namun sikapnya seperti orang yang sangat penting.
"Nah, Anna Michaelovna," ujar count itu. "Bagaimana pendapat Anda mengenai nona
ini?" Wanita itu memandangi Jane dari ujung rambut sampai ujung kaki, seakan gadis itu
patung lilin di pameran. Ia sama sekali tidak menyapa Jane.
"Mungkin dia cocok," akhirnya ia berkata. "Memang tidak persis sama. Tapi bentuk
tubuh maupun warnanya sangat bagus, lebih bagus daripada yang lain. Menurut Anda
bagaimana, Feodor Alexandrovitch?"
"Saya sependapat dengan Anda, Anna Michaelovna."
"Bisakah dia berbahasa Prancis?"
"Bahasa Prancis-nya bagus sekali."
Jane semakin merasa seperti patung. Kedua orang ini seakan tidak ingat bahwa ia
manusia. "Tapi apakah dia mampu menyimpan rahasia?" tanya wanita itu sambil mengerutkan
kening. "Ini Putri Poporensky," ujar Count Streptitch pada Jane dalam bahasa Prancis.
"Dia menanyakan apakah Anda mampu menyimpan rahasia?"
Jane menyampaikan jawabannya pada sang putri.
"Sebelum posisi saya dijelaskan, saya tidak bisa berjanji apa pun."
"Apa yang dikatakan gadis ini benar," komentar wanita itu. "Saya rasa dia
cerdas, Feodor Alexandrovitch - lebih cerdas daripada yang lain. Katakan padaku,
gadis kecil, apa Anda juga punya keberanian?"
"Entahlah," jawab Jane bingung. "Saya memang tidak suka disakiti, tapi saya bisa
menanggungnya." "Ah! Maksud saya bukan begitu. Anda tidak keberatan menghadapi bahaya, bukan?"
"Oh!" sahut Jane. "Bahaya! Tidak mengapa. Saya suka bahaya."
"Dan Anda miskin" Anda ingin dapat banyak uang?"
"Silakan coba," jawab Jane bersemangat.
Count Streptitch dan Putri Poporensky bertukar pandang. Kemudian mereka
mengangguk serempak. "Apakah saya sebaiknya menjelaskan semuanya, Anna Michaelovna?" tanya count itu.
Putri itu menggeleng. "Tuan Putri ingin melakukannya sendiri."
"Itu tidak perlu - dan tidak bijaksana."
"Bagaimanapun, itulah perintahnya. Saya harus mengantar gadis ini begitu Anda
selesai dengannya." Count Streptitch angkat bahu. Ia jelas tidak senang, tapi juga jelas tidak
berniat melanggar perintah. Ia berpaling pada Jane.
"Putri Poporensky akan mengantar Anda pada Tuan Putri Grand Duchess Pauline.
Jangan takut." Jane sama sekali tidak takut. Ia justru senang akan diperkenalkan pada grand
duchess sungguhan. Tidak ada sikap Sosialis dalam diri Jane. Saat itu ia bahkan
telah melupakan soal topinya.
Putri Poporensky berjalan di depan dengan langkah-langkah gontai berwibawa.
Mereka melintasi ruangan penghubung tadi yang merupakan semacam ruang tamu, dan
putri itu mengetuk pintu di seberang ruangan. Terdengar jawaban dari dalam.
Putri itu membuka pintu, lalu masuk, diikuti Jane tepat di belakangnya.
"Izinkan saya memperkenalkan pada Anda, Madame," ujar putri itu dengan khidmat,
"Miss Jane Cleveland."
Wanita muda yang tadinya duduk di kursi besar di seberang ruangan melompat
berdiri dan berlari menghampiri. Ia menatap Jane lurus-lurus untuk beberapa
saat, lalu tertawa riang.
"Ini benar-benar luar biasa, Anna," sahutnya. "Aku tidak menyangka kita akan
berhasil. Ayo, mari kita bercermin bersama-sama."
Sambil menggandeng Jane, ia mengajak gadis itu berdiri di depan cermin besar
yang tergantung di dinding.
"Kaulihat?" serunya gembira. "Benar-benar cocok!"
Setelah memandang Grand Duchess Pauline sekilas, Jane mulai paham. Sang Grand
Duchess mungkin lebih tua satu-dua tahun daripada Jane. Warna rambutnya sama,
demikian juga potongan tubuhnya yang langsing. Boleh jadi ia sedikit lebih
tinggi. Setelah berdiri berdampingan, kemiripan mereka sangat jelas. Warna
setiap detail pun nyaris sama.
Grand Duchess bertepuk tangan. Sepertinya ia wanita muda yang sangat ceria.
"Tidak bisa lebih baik lagi," ujarnya. "Kau harus mengucapkan selamat pada
Feodor Alexandrovitch untukku, Anna. Dia melakukan tugasnya dengan sangat baik."
"Sampai saat ini, Madame," gumam putri itu lirih, "gadis ini tidak tahu apa yang
diharapkan darinya."
"Betul," ujar sang Grand Duchess yang sudah agak lebih tenang. "Aku lupa. Hm,
aku akan menjelaskan padanya. Tinggalkan kami, Anna Michaelovna."
"Tapi, Madame..."
"Tinggalkan kami, kataku."
Ia mengentakkan kaki dengan marah. Dengan enggan Anna Michaelovna meninggalkan
ruangan. Grand Duchess itu duduk dan mempersilakan Jane berbuat sama.
"Perempuan-perempuan tua ini membuat saya kesal," komentar Pauline. "Tapi mereka
dibutuhkan. Anna Michaelovna lebih baik daripada yang lain. Baiklah, Miss - ah,
ya, Miss Jane Cleveland. Saya suka nama itu. Anda tampak simpatik. Saya bisa
langsung tahu bila melihat orang simpatik."
"Anda cerdas sekali, Ma'am," ujar Jane, bercakap untuk pertama kalinya.
"Saya memang cerdas," sahut Pauline tenang. "Baiklah, saya akan menjelaskan
semuanya pada Anda. Bukan berarti banyak yang perlu dijelaskan. Anda tentunya
tahu sejarah Ostrova. Nyaris seluruh sanak keluarga saya sudah tiada - dibantai
Komunis. Boleh jadi sayalah satu-satunya keturunan terakhir. Saya wanita, jadi
tidak mungkin menduduki takhta. Anda mungkin menyangka mereka takkan mengganggu
saya. Tapi tidak, ke mana pun saya pergi, selalu saja ada usaha untuk membunuh
saya. Gila, bukan" Para bedebah vodka ini tidak pernah tahu batas-batas."
"Saya mengerti," ujar Jane, merasa ada yang diharapkan darinya.
"Saya lebih banyak menjalani hidup tanpa tugas - hingga saya bisa berjaga-jaga,
tapi adakalanya saya harus ambil bagian dalam upacara-upacara di depan umum.
Contohnya, sementara berada di sini, saya harus menghadiri beberapa upacara
semipublik. Begitu pula di Paris dalam perjalanan pulang nanti. Saya memiliki
estat di Hongaria. Olahraga di sana benar-benar luar biasa."
"Sungguh?" ujar Jane.
"Istimewa. Saya sangat menyukai olahraga. Selain itu - sebenarnya saya tidak boleh
menyampaikannya pada Anda, tapi tetap akan saya lakukan, sebab wajah Anda begitu
simpatik - di situ sedang dibuat rencana - dengan diam-diam tentu saja. Secara
keseluruhan, penting sekali saya jangan sampai terbunuh dalam waktu dua minggu
mendatang ini." "Tapi tentunya polisi...," kata Jane.
"Polisi" Oh, ya, saya percaya mereka sangat andal. Dan kami pun demikian - kami
punya mata-mata. Ada kemungkinan saya akan diperingatkan bila usaha pembunuhan akan dilaksanakan. Tapi mungkin juga
tidak." Ia angkat bahu. "Saya mulai paham," ujar Jane perlahan. "Anda ingin saya menggantikan Anda?"
"Hanya dalam kesempatan tertentu," ujar Grand Duchess itu bersemangat. "Anda
harus siap di suatu tempat, paham" Saya mungkin akan membutuhkan Anda dua, tiga,
atau empat kali dalam dua minggu mendatang ini. Setiap kali dalam kesempatan
upacara di depan umum. Dengan sendirinya Anda tidak bisa menggantikan tempat
saya dalam pertemuan-pertemuan pribadi."
"Tentu saja," Jane menyetujui.
"Anda benar-benar cocok. Pintar juga Feodor Alexandrovitch karena terpikir
memasang iklan, bukan?"
"Bagaimana seandainya saya terbunuh?" tanya Jane.
Sang Grand Duchess angkat bahu.
"Sudah tentu risiko itu ada, tapi menurut informasi dari pihak kami, mereka
ingin menculik saya, bukan langsung membunuh saya. Tapi saya akan berterus
terang - tidak tertutup kemungkinan mereka akan melemparkan bom."
"Saya mengerti," ujar Jane.
Ia mencoba menirukan sikap santai Pauline. Ia sangat ingin membicarakan soal
bayarannya, namun tidak tahu cara terbaik untuk mengungkapkannya. Tapi Pauline
yang lebih dulu menyinggung hal itu.
"Kami akan membayar Anda dengan pantas, tentu saja," ujarnya santai. "Saya tidak
ingat persis berapa jumlah yang disarankan Feodor Alexandrovitch. Ketika itu
kami membicarakannya dalam mata uang franc atau kronen."
"Kolonel Kranin," ujar Jane, "menyebutkan dua ribu pound."
"Itu dia," sahut Pauline gembira. "Sekarang saya ingat. Saya harap jumlah itu
cukup memadai" Atau Anda lebih senang menerima tiga ribu?"


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm," ujar Jane, "bila tak ada bedanya bagi Anda, saya lebih suka menerima tiga
ribu." "Saya lihat Anda berjiwa bisnis," ujar Grand Duchess itu ramah. "Seandainya saya
juga begitu. Tapi saya sama sekali tidak paham soal nilai uang. Apa yang saya
inginkan akan saya dapatkan. Itu saja."
Bagi Jane ini sikap berpikir yang sederhana sekaligus mengagumkan.
"Dan sudah tentu, seperti Anda katakan tadi, tugas ini mengandung bahaya,"
Pauline melanjutkan dengan prihatin. "Meskipun menurut saya, Anda tidak takut
bahaya. Saya sendiri seperti itu. Saya harap Anda tidak menganggap saya pengecut
karena menginginkan Anda menggantikan saya. Begini, bagi Ostrova, sangatlah
penting saya harus menikah dan melahirkan setidaknya dua anak laki-laki. Setelah
itu, tak jadi soal apa yang terjadi dengan saya."
"Saya mengerti," sahut Jane.
"Dan Anda menerimanya?"
"Ya," kata Jane tegas. "Saya menerimanya."
Pauline bertepuk tangan penuh semangat. Putri Poporensky langsung muncul.
"Aku sudah menceritakan semua padanya, Anna," ujar Grand Duchess. "Dia akan
melakukan apa yang kita inginkan, dan dia akan mendapat tiga ribu pound.
Sampaikan pada Feodor untuk mencatat hal ini. Dia sangat mirip denganku, bukan"
Tapi kurasa dia lebih cantik dariku."
Putri Poporensky melangkah gontai keluar ruangan, dan kembali bersama Count
Streptitch. "Kami sudah mengatur segalanya, Feodor Alexandrovitch," kata sang Grand Duchess.
Count Streptitch membungkuk.
"Saya penasaran, apakah dia sanggup memainkan perannya?" ia bertanya sambil
menatap Jane ragu. "Akan saya tunjukkan pada Anda," sahut gadis itu tiba-tiba. "Bila Anda
mengizinkannya, Ma'am?" ujarnya pada Grand Duchess.
Yang disebut belakangan ini mengangguk senang.
Jane bangkit berdiri. "Tapi ini benar-benar luar biasa, Anna," ujarnya. "Aku tidak menyangka kita akan
berhasil. Ayo, mari kita bercermin bersama-sama."
Dan, sama seperti yang tadi dilakukan Pauline, Jane menggandeng dan menarik
Grand Duchess itu ke cermin.
"Kaulihat" Benar-benar cocok!"
Kata-kata, gaya, maupun sikap Jane sangat mirip dengan sambutan Pauline. Putri
Poporensky mengangguk dan mendengus tanda setuju.
"Bagus," komentarnya. "Itu akan mengecoh kebanyakan orang."
"Anda pintar sekali," ujar Pauline kagum. "Saya takkan mampu menirukan siapa pun
demi menyelamatkan nyawa."
Jane memercayainya. Ia sendiri kagum melihat Pauline begitu mirip dengannya.
"Anna akan mengurus detail-detailnya dengan Anda," ujar Grand Duchess. "Ajak dia
ke kamar tidurku, Anna, dan minta dia mencoba beberapa pakaianku."
Ia berpamitan dengan mengangguk anggun, dan Jane diantar Putri Poporensky.
"Gaun ini akan dikenakan Tuan Putri ke bazar terbuka nanti," jelas wanita tua
itu sambil memegang sehelai gaun terbuka berwarna hitam-putih. "Acaranya
berlangsung selama tiga hari. Boleh jadi Anda perlu menggantikan tempatnya di
situ. Kami tidak tahu. Kami belum menerima informasi."
Sesuai permintaan Anna, Jane menanggalkan pakaiannya sendiri yang kumal dan
mencoba gaun tadi. Ternyata pas sekali. Wanita itu mengangguk puas.
"Nyaris sempurna - hanya sedikit terlalu panjang untuk Anda, sebab Anda lebih
pendek satu inci daripada Tuan Putri."
"Itu mudah diatasi," sahut Jane cepat. "Saya lihat Grand Duchess mengenakan
sepatu bertumit rendah. Bila saya mengenakan sepatu serupa tapi bertumit tinggi,
takkan ada masalah."
Anna Michaelovna menunjukkan sepatu yang biasanya dipakai Grand Duchess dengan
gaun itu. Sepatu kulit biawak dengan tali melintang. Jane mengingat-ingat
modelnya, dan akan mengusahakan sepasang dengan model sama, tapi dengan tumit
lebih tinggi. "Akan lebih baik bila Anda mengenakan gaun dengan warna dan bahan khusus yang
berbeda dari gaun Tuan Putri," ujar Anna Michaelovna. "Jadi, saat Anda harus
segera menggantikan tempatnya, hal ini takkan mudah diketahui."
Jane berpikir sejenak. "Bagaimana dengan gaun crepe merah manyala" Dan mungkin saya akan mengenakan
kacamata biasa. Ini akan sangat mengubah penampilan."
Kedua saran itu disetujui, dan mereka membicarakan detail-detail selanjutnya.
Jane meninggalkan hotel itu dengan lembaran-lembaran uang seratus pound di
dompetnya, berikut instruksi untuk membeli pakaian yang diperlukan dan memesan
kamar di Blitz Hotel atas nama Miss Montresor dari New York.
Dua hari setelah itu, Count Streptitch mengunjunginya.
"Sungguh transformasi yang bagus," katanya sambil membungkuk.
Jane membalasnya dengan membungkuk juga. Ia sangat menikmati pakaian-pakaian
baru dan kehidupan mewah yang dijalaninya.
"Semua ini sangat menyenangkan," desahnya. "Tapi saya rasa kedatangan Anda ini
berarti saya harus bekerja untuk mendapatkan uang saya."
"Benar. Kami sudah mendapat informasi. Kemungkinan akan ada usaha penculikan
atas Tuan Putri dalam perjalanan pulang dari bazar, yang seperti Anda ketahui
akan diadakan di Orion House, lima belas kilometer dari London. Tuan Putri
terpaksa menghadiri bazar itu secara pribadi, mengingat Countess Anchester yang
menyelenggarakan acara itu mengenalnya secara pribadi juga. Tapi berikut ini
rencana yang sudah saya atur."
Jane menyimak dengan cermat saat ia menjelaskan.
Jane mengajukan beberapa pertanyaan, dan akhirnya menyatakan ia sudah memahami
perannya. Cuaca keesokan harinya sangat cerah - hari yang sempurna untuk salah satu acara
besar dalam London Season, bazar di Orion House, yang diselenggarakan oleh
Countess Anchester untuk membantu para pengungsi Ostrovia di negeri ini.
Mengingat iklim Inggris yang tidak menentu, bazar itu akan diadakan di ruanganruangan luas Orion House, yang sudah dimiliki para Earl Anchester selama lima
ratus tahun. Berbagai koleksi telah dipinjamkan, dan ada ide menarik berupa
pemberian dari seratus tokoh wanita yang menyumbangkan sebutir mutiara dari
kalung masing-masing. Setiap butir akan dilelang pada hari kedua. Selain itu
juga ada berbagai tontonan dan atraksi di lahan sekelilingnya.
Jane tiba lebih awal dengan menyamar sebagai Miss Montresor. Ia mengenakan gaun
merah manyala dari bahan crepe, dan topi kecil berwarna merah.
Sepatunya terbuat dari kulit biawak, dan bertumit tinggi.
Kedatangan Grand Duchess Pauline disambut meriah. Ia dikawal menuju panggung dan
menerima buket bunga mawar yang diserahkan seorang anak kecil. Ia memberikan
sambutan singkat namun menawan, lalu meresmikan pembukaan bazar. Count
Streptitch dan Putri Poporensky mendampinginya.
Grand Duchess mengenakan gaun yang telah dilihat Jane, dengan corak hitam-putih
yang jelas, topi kecil berwarna hitam dengan sejumlah besar bunga osprey putih
yang menjuntai dari tepinya, serta sehelai cadar renda yang menutupi separo
wajahnya. Jane tersenyum sendiri.
Grand Duchess berkeliling mengunjungi setiap stan, membeli beberapa benda, dan
bersikap ramah terhadap semuanya. Setelah itu ia bersiap-siap meninggalkan
tempat. Jane langsung menangkap isyaratnya. Ia meminta izin bertemu dengan Putri
Poporensky dan diperkenalkan pada Grand Duchess.
"Ah, ya!" ujar Pauline merdu. "Miss Montresor, saya ingat namanya. Dia wartawati
Amerika. Dia sudah banyak membantu kita. Saya akan senang sekali memberinya
waktu untuk wawancara bagi surat kabarnya. Apa ada tempat di mana kami tidak
akan diganggu?" Sebuah ruang tamu kecil langsung disiapkan bagi Grand Duchess, dan Count
Streptitch disuruh membawa masuk Miss Montresor. Setelah melaksanakan tugas itu,
ia meninggalkan ruangan, Putri Poporensky tetap di dalam untuk membantu. Kedua
wanita muda itu cepat-cepat bertukar pakaian.
Tiga menit kemudian, pintu terbuka kembali dan sang Grand Duchess pun muncul
dengan memegang buket mawar di depan wajahnya.
Sambil membungkuk anggun dan berpamitan kepada Lady Anchester dalam bahasa
Prancis, ia melangkah keluar dan masuk ke mobil yang sudah menanti. Putri
Poporensky mengambil tempat di sampingnya, dan mobil itu pun meluncur pergi.
"Nah," ujar Jane, "habis perkara. Saya ingin tahu bagaimana keadaan Miss
Montresor." "Takkan ada yang memerhatikannya. Dia bisa menyelinap pergi diam-diam."
"Betul," ujar Jane. "Akting saya cukup bagus, bukan?"
"Anda menjalankan peran Anda dengan sangat meyakinkan."
"Mengapa Count Streptitch tidak bersama kita?"
"Dia terpaksa tetap tinggal. Harus ada yang menjaga keselamatan Tuan Putri."
"Saya harap takkan ada yang melemparkan bom," ujar Jane khawatir. "Hei! Kita
meninggalkan jalan utama. Untuk apa?"
Sambil menambah kecepatan, mobil itu melesat memasuki jalan kecil.
Jane terlonjak dan melongokkan kepala ke luar jendela, memprotes sang sopir yang
hanya tertawa sambil menambah kecepatan. Jane bersandar di tempat duduknya
kembali. "Mata-mata Anda benar," katanya sambil tergelak. "Kita memang diperlukan. Saya
rasa, semakin lama kita mengulur waktu, semakin aman bagi Grand Duchess.
Bagaimanapun, kita harus memberinya cukup waktu untuk kembali ke London dengan
selamat." Mengingat prospek adanya bahaya, semangat Jane melambung. Ia tidak menyukai bom,
tapi petualangan semacam ini cocok bagi nalurinya.
Mendadak mobil itu berhenti dengan rem berderit. Seorang laki-laki melompat ke
pijakan. Di tangannya tampak sepucuk pistol.
"Angkat tangan," gertaknya.
Putri Poporensky langsung mengangkat tangan, tapi Jane hanya melontarkan
pandangan meremehkan padanya, dan tetap berpangku tangan.
"Tanyakan apa maksudnya dengan kekonyolannya itu," ujarnya dalam bahasa Prancis
kepada teman seperjalanannya.
Namun sebelum Putri Poporensky sempat membuka mulut, orang tadi menyela. Ia
memuntahkan serangkaian kata dalam bahasa asing.
Karena tidak mengerti sepatah kata pun, Jane cuma angkat bahu sambil berdiam
diri. Sang sopir turun dari tempat duduknya dan bergabung dengan laki-laki tadi.
"Apakah Nona yang mulia berkenan turun?" pinta pria itu sambil tersenyum lebar.
Sambil mengangkat buket bunganya ke wajah, Jane melangkah keluar dari mobil,
diikuti Putri Poporensky.
"Apakah Nona yang mulia mau berjalan kemari?"
Jane tidak mengindahkan sikap melecehkan orang itu, tapi atas kemauannya sendiri
ia berjalan menuju rumah beratap rendah, sekitar sembilan puluh meter dari
tempat mobil itu berhenti. Jalan itu merupakan cul-de-sac yang berakhir di
gerbang dan jalan masuk yang menuju bangunan yang sepertinya tidak berpenghuni
itu. Orang yang masih juga menodongkan pistolnya, mendekati kedua wanita itu. Saat
mereka menapaki anak tangga, ia mendahului dan membuka lebar pintu di sebelah
kiri. Ruangan itu ternyata kosong, dan hanya berisi meja dengan dua kursi yang
rupa-rupanya baru saja dibawa ke situ.
Jane masuk, lalu duduk. Anna Michaelovna mengikutinya. Pria itu mengempaskan
pintu dan menguncinya. Jane berjalan menuju jendela dan melihat ke luar.
"Saya bisa saja melompat ke luar," komentarnya. "Tapi saya takkan bisa pergi
jauh-jauh. Tidak, sementara ini kita harus tetap di sini dan berusaha
memanfaatkan situasi sebaik-baiknya. Saya ingin tahu, apakah mereka akan
membawakan makanan untuk kita?"
Sekitar setengah jam kemudian, pertanyaannya terjawab.
Semangkuk besar sup mengepul dibawa masuk dan diletakkan di meja tepat di
hadapannya. Selain itu ada dua potong roti kering.
"Sepertinya bukan makanan mewah bagi bangsawan," komentar Jane riang saat pintu
ditutup dan dikunci kembali. "Anda mau memulainya, atau saya saja?"
Dengan rasa jijik Putri Poporensky menolaknya.
"Bagaimana mungkin saya bisa makan" Siapa tahu bahaya apa yang mengintai majikan
saya?" "Dia pasti baik-baik saja," ujar Jane. "Diri sayalah yang sedang saya
khawatirkan. Orang-orang ini takkan senang saat mengetahui mereka telah menculik
orang yang salah. Mereka akan sangat tidak senang. Saya akan mempertahankan
peran anggun Grand Duchess selama mungkin, dan langsung kabur begitu ada
kesempatan." Putri Poporensky diam saja.
Jane yang memang lapar, langsung melahap habis sup itu. Rasanya sedikit aneh,
tetapi hangat dan lezat. Setelah itu ia merasa mengantuk. Putri Poporensky seakan menangis diam-diam.
Jane berusaha duduk senyaman mungkin di kursinya yang tidak nyaman itu, dan
membiarkan kepalanya terkulai.
Ia pun tertidur. *** Mendadak Jane terbangun. Rasanya ia telah tidur sangat lama. Kepalanya terasa
berat dan pusing. Dan tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuatnya tersentak.
Ia sudah mengenakan gaun crepe merahnya kembali.
Ia duduk tegak dan memandang berkeliling. Ya, ia masih berada di ruangan dalam
rumah kosong itu. Semuanya masih sama seperti saat ia jatuh tertidur tadi,
kecuali dua hal. Pertama, Putri Poporensky sudah tidak duduk di kursi satunya.
Kedua, pergantian kostum yang tak dapat dijelaskan.
"Aku tidak mungkin bermimpi," gumam Jane. "Seandainya bermimpi, aku takkan
berada di sini." Ia menoleh ke arah jendela, dan menyadari fakta lain yang mencolok. Ketika ia
jatuh tertidur, matahari bersinar masuk melalui jendela. Sekarang rumah ini
melemparkan bayang-bayang tajam di jalan masuk yang bermandikan cahaya matahari.
"Rumah ini menghadap ke barat," ia mengingat-ingat. "Hari menjelang sore saat
aku tertidur. Berarti sekarang keesokan paginya. Sup itu pasti telah diberi obat
tidur. Karena itu... oh, entahlah. Semua ini begitu gila."
Ia bangkit, lalu melangkah ke pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia menyelidiki
rumah itu. Sunyi dan kosong.
Jane memegangi kepalanya yang berdenyut dan mencoba berpikir. Tiba-tiba ia
melihat sehelai koran robek tergeletak di dekat pintu. Judul berita utamanya
tercetak dengan huruf besar dan menarik perhatiannya.
"Bandit Perempuan dari Amerika di Inggris," ia membaca. "Gadis Bergaun Merah.
Perampokan Sensasional di Bazar Orion House."
Jane melangkah tergopoh-gopoh menuju cahaya matahari di luar. Duduk di anak
tangga sambil membaca, matanya semakin terbelalak lebar. Fakta-faktanya singkat
dan ringkas. Tepat setelah Grand Duchess Pauline meninggalkan tempat, tiga pria dan seorang
gadis bergaun merah mengeluarkan pistol masing-masing dan merampok pengunjung
dengan sukses. Mereka merampas keseratus butir mutiara itu dan kabur dengan
mobil balap besar. Sampai saat ini, mereka belum berhasil ditangkap.
Di rubrik stop press (koran itu edisi malam) tercantum bahwa "gadis bergaun
merah" itu menginap di Blitz dengan nama Miss Montresor dari New York.
"Aku tertipu," ujar Jane. "Tertipu mentah-mentah. Sejak awal aku sudah tahu ada
udang di baliknya." Kemudian ia tersentak. Terdengar bunyi aneh. Suara pria yang mengutarakan satu
perkataan berulang kali. "Sialan," katanya. "Sialan." Dan sekali lagi, "Sialan!"
Mendengar suara itu, Jane tergetar. Suara itu begitu mengekspresikan perasaannya
sendiri. Ia berlari menuruni anak tangga. Di sudutnya tergeletak seorang lakilaki muda. Ia berusaha keras mengangkat kepalanya dari tanah. Di mata Jane,
wajah pria itu salah satu wajah paling tampan yang pernah dilihatnya. Wajahnya
berbintik-bintik dan ekspresinya agak kebingungan.
"Sialan kepalaku," keluhnya. "Sialan. Aku..."
Ia terhenti dan menatap Jane.
"Aku pasti sedang bermimpi," katanya lirih.
"Itu juga yang kukatakan tadi," sahut Jane. "Tapi kita tidak bermimpi. Ada apa
dengan kepala Anda?"
"Seseorang memukul kepalaku. Untung saja batok kepalaku tebal."
Dengan susah payah ia duduk sambil menyeringai kesakitan.
"Kurasa otakku sebentar lagi akan mulai berfungsi. Rupanya aku masih berada di
tempat yang sama." "Bagaimana Anda bisa sampai kemari?" tanya Jane penuh rasa ingin tahu.
"Ceritanya panjang. Omong-omong, Anda bukan Grand Duchess itu, kan?"
"Bukan. Aku Jane Cleveland saja."
"Setidaknya Anda bukan gadis ala kadarnya," sahut laki-laki muda itu sambil
menatapnya kagum. Jane tersipu.

Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seharusnya aku mengambilkan air atau sesuatu, bukan?" tanya Jane ragu.
"Biasanya begitulah," orang itu mengiyakan. "Bagaimanapun, aku lebih suka wiski
kalau Anda bisa menemukannya."
Jane tidak berhasil menemukan wiski. Pria muda itu meneguk air dengan lahap,
lalu menyatakan keadaannya sudah membaik.
"Apakah aku akan menceritakan petualanganku, atau Anda lebih dulu?"
"Anda dulu." "Pengalamanku tidak begitu berarti. Aku kebetulan melihat sang Grand Duchess
masuk ke ruangan itu mengenakan sepatu bertumit rendah, dan keluar lagi dengan
sepatu bertumit tinggi. Bagiku ini agak janggal. Aku tidak suka hal-hal janggal.
"Jadi, aku mengikuti mobil dengan sepeda motorku, dan melihat Anda dibawa masuk
ke dalam rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah mobil balap besar melesat
masuk. Seorang gadis bergaun merah melompat keluar, diikuti tiga pria. Gadis itu
mengenakan sepatu berhak rendah. Mereka masuk ke rumah. Tak lama kemudian, si
tumit rendah keluar lagi mengenakan gaun hitam-putih dan pergi mengendarai mobil
pertama bersama perempuan tua dan laki-laki jangkung berjanggut pirang. Yang
lain pergi dengan mobil balap tadi. Aku menyangka mereka sudah pergi semua, dan
baru saja hendak masuk lewat jendela untuk menyelamatkan Anda ketika seseorang
memukul kepalaku dari belakang. Itu saja. Sekarang giliran Anda."
Jane menceritakan pengalamannya.
"Dan aku sungguh beruntung karena Anda menguntit," ia mengakhiri kisahnya.
"Sadarkah Anda seburuk apa keadaanku seandainya Anda tidak mengikuti" Grand
Duchess itu akan mendapatkan alibi sempurna. Dia meninggalkan bazar sebelum
perampokan itu terjadi, dan tiba di London dengan mobilnya sendiri. Siapa pula
yang akan memercayai kisah fantastisku yang mustahil ini?"
"Tidak ada," sahut orang muda itu yakin.
Mereka begitu tenggelam dalam kisah masing-masing, hingga tidak memerhatikan
keadaan sekitar. Dengan terkejut mereka mendongak ke arah pria jangkung berwajah
muram yang bersandar di dinding rumah. Pria itu mengangguk ke arah mereka.
"Sangat menarik," komentarnya.
"Siapa Anda?" gertak Jane.
Kedua mata pria berwajah muram itu berbinar sedikit.
"Detektif Inspektur Farrel," jawabnya lembut. "Saya sangat tertarik mendengar
kisah Anda dan wanita muda ini. Kita mungkin akan sedikit sulit memercayai
kisahnya, kalau bukan karena satu-dua hal."
"Seperti misalnya?"
"Hm, begini. Pagi ini kami mendengar Grand Duchess yang asli telah kabur bersama
sopirnya ke Paris." Jane ternganga. "Kemudian kami tahu bahwa 'bandit perempuan' Amerika itu telah datang ke negeri
ini, dan kami menyangka akan terjadi kudeta atau semacamnya. Kami akan segera
menangkap mereka, itu bisa saya janjikan. Permisi sebentar."
Pria itu berlari masuk ke rumah.
"Well!" seru Jane penuh semangat.
"Kurasa Anda cerdas sekali karena memerhatikan sepatu itu," katanya tiba-tiba.
"Sama sekali tidak," sahut laki-laki muda itu. "Aku dibesarkan di perusahaan
sepatu. Ayahku semacam raja sepatu bot. Dia ingin aku juga terjun ke dalamnya menikah dan menetap, dan seterusnya. Tepatnya, orang biasa-biasa saja - sekadar
mengikuti prinsip. Tapi sebetulnya aku ingin jadi seniman." Ia menghela napas.
"Aku ikut prihatin," ujar Jane ramah.
"Aku sudah mencobanya selama enam tahun. Tak pelak lagi. Aku bukan pelukis
hebat. Aku berniat meninggalkan profesi ini dan pulang seperti anak yang hilang
itu. Jabatan bagus sudah menantiku."
"Senang ya kalau punya pekerjaan," Jane mengiyakan dengan pandangan menerawang.
"Bisakah Anda mencarikan aku pekerjaan, misalnya mencoba sepatu bot?"
"Aku bisa menawarkan yang lebih baik - kalau Anda mau menerimanya."
"Oh, apa itu?" "Jangan pikirkan sekarang. Akan kusampaikan nanti. Anda tahu, sampai kemarin aku
belum juga menemukan gadis yang ingin kunikahi."
"Kemarin?" "Di bazar. Kemudian aku melihatnya - satu-satunya si Dia!"
Ia menatap Jane lurus-lurus.
"Alangkah cantiknya bunga-bunga delphinum ini," ujar Jane tergesa dengan pipi
merah padam. "Ini bunga lupin," kata orang muda itu.
"Tidak jadi soal," bisik Jane.
"Sama sekali tidak," orang muda itu mengiyakan. Dan ia pun bergeser mendekat.
BUAH BERLIMPAH DI HARI MINGGU
"WAH, sungguh, menurutku ini menyenangkan sekali," kata Miss Dorothy Pratt untuk
keempat kalinya. "Andai kucing tua itu bisa melihatku sekarang. Dia dan Jamesnya!" Julukan "kucing tua" yang disinggung dengan pedas tadi ditujukan pada Mrs.
Mackenzie Jones, majikan Miss Pratt yang terhormat, yang punya pendirian keras
tentang nama kecil mana saja yang sesuai bagi para pramuwisma; ia memilih
memanggil Miss Pratt dengan nama Jane - nama kedua yang tidak disukai Miss Pratt.
Teman Miss Pratt tidak segera menanggapi - alasannya sangat masuk akal. Bila Anda
baru saja membeli mobil Baby Austin, tangan keempat, seharga dua puluh pound,
dan baru dua kali mengendarainya di jalan, seluruh perhatian Anda harus terpusat
pada tugas sulit menggunakan kedua tangan maupun kaki dalam keadaan darurat.
"Hm - ah!" kata Mr. Edward Palgrove sambil mengerem, hingga menimbulkan bunyi
derit mengerikan yang bisa membuat ngilu gigi para pengemudi sejati.
"Hm, kau tidak banyak bicara, ya," keluh Dorothy.
Mr. Palgrove tidak perlu memberikan jawaban, karena saat itu ia dihujani sumpah
serapah oleh pengemudi bus.
"Wah, kasar sekali," ujar Miss Pratt sambil membuang muka.
"Coba kalau dia punya rem seperti ini," ujar sang pacar kesal.
"Apa rem mobilmu bermasalah?"
"Kau bisa injak pedal ini sampai tua," sahut Mr. Palgrove. "Tapi tidak akan
bekerja." "Oh, Ted, kau tidak bisa mengharapkan barang bagus untuk dua puluh pound.
Bagaimanapun, kita sudah punya mobil betulan, jalan-jalan keluar kota pada
Minggu sore, sama seperti orang-orang lain."
Terdengar lagi bunyi derit dan derak memekakkan telinga.
"Ah," ujar Ted dengan wajah merah penuh kemenangan. "Kedengarannya lebih bagus."
"Kau benar-benar pandai mengemudi," ujar Dorothy kagum.
Merasa disemangati oleh pujian itu, Mr. Palgrove mengebut melintasi Hammersmith
Broadway, dan mendapat teguran keras dari polisi.
"Ya ampun," kata Dorothy, saat mereka meneruskan perjalanan menuju Hammersmith
Bridge dengan terpukul. "Apa sih maunya para polisi itu. Mestinya mereka lebih
ramah, apalagi mereka banyak mendapat sorotan belakangan ini."
"Lagi pula, aku tidak ingin lewat jalan ini," sahut Edward sedih. "Aku ingin
lewat Great West Road dan kabur dari situ."
"Lalu langsung masuk perangkap," ujar Dorothy. "Itulah yang terjadi pada
majikanku kemarin. Kena denda lima pound, ditambah ongkos."
"Sebenarnya polisi tidak sejelek itu," bela Edward. "Mereka memang menyerang
orang-orang kaya. Bukannya membela. Aku kesal memikirkan orang-orang kaya yang
bisa begitu saja membeli beberapa Rolls-Royce tanpa berkedip. Sungguh tidak
masuk akal. Aku sama baiknya dengan mereka."
"Dan perhiasan mereka," keluh Dorothy. "Lihat saja toko-toko perhiasan di Bond
Street itu. Berlian, mutiara, dan entah apa lagi! Sedangkan aku cuma punya
kalung mutiara Woolworth."
Dengan sedih Miss Pratt merenungkan nasibnya. Edward bisa kembali memusatkan
perhatian pada kegiatan mengemudi. Mereka berhasil melintasi Richmond dengan
aman. Perdebatan dengan polisi tadi telah menciutkan nyali Edward. Sekarang ia
mengambil taktik yang paling tidak berisiko, yaitu mengikuti saja setiap mobil
di depannya, setiap kali muncul kesempatan di tengah ramainya lalu lintas.
Demikianlah, ia tiba di jalan pedesaan yang sangat didambakan banyak pengendara
mobil. "Ternyata aku cukup cerdas juga bisa menemukan jalan ini," Edward memuji dirinya
sendiri. "Bagus sekali jalanan ini," sahut Miss Pratt. "Dan astaga, di sana ada penjual
buah juga." Benar saja, di sebuah sudut terlihat meja kecil dengan keranjang buah di
atasnya, dan spanduk bertulisan MAKANLAH LEBIH BANYAK BUAH.
"Berapa?" tanya Edward khawatir, setelah menarik rem tangan berkali-kali agar
mobilnya berhenti. "Buah arbeinya cantik," ujar si penjual.
Orang itu penampilannya tidak menyenangkan, dan suka mengerling.
"Cocok sekali untuk Madam. Buah masak, baru dipetik. Ada buah ceri juga. Asli
Inggris. Anda mau sekeranjang ceri, Madam?"
"Kelihatannya cukup menarik," ujar Dorothy.
"Tepatnya, sangat cantik," sahut laki-laki itu dengan suara parau. "Keranjang
itu membawa keberuntungan, Madam." Akhirnya ia mau menjawab pertanyaan Edward.
"Dua shilling, Sir, sangat murah. Anda pasti akan berkata begitu bila tahu isi
keranjang ini." "Kelihatannya menarik sekali," kata Dorothy.
Edward menghela napas dan membayar dua shilling. Benaknya sibuk menghitung.
Sesudah ini minum teh, beli bensin - kegiatan bermobil hari Minggu ini tidak bisa
dikatakan murah, ini bagian terburuk dalam mengajak pergi gadis-gadis! Mereka
selalu menginginkan apa pun yang mereka lihat.
"Terima kasih, Sir," ujar laki-laki dengan penampilan tidak menawan tadi. "Di
dalam keranjang ceri itu ada sesuatu yang nilainya melebihi harga yang Anda
bayar." Edward menginjak pedal dengan keras, dan sang Baby Austin melonjak ke arah
penjual ceri, bagaikan anjing marah.
"Maaf," kata Edward. "Saya lupa persnelingnya masuk."
"Kau harus lebih hati-hati, Sayang," ujar Dorothy. "Kau bisa mencelakai dia."
Edward tidak menjawab. Sekitar tujuh ratus meter kemudian, mereka tiba di lokasi
ideal di tepi sungai kecil. Austin itu ditinggalkan di tepi jalan, sedangkan
Edward dan Dorothy duduk-duduk di tepi sungai sambil mengunyah ceri. Di kaki
mereka tergeletak koran Minggu.
"Ada berita apa?" kata Edward akhirnya, sambil meregangkan tubuh dan berbaring
telentang, serta menutupi matanya dengan topi.
Dorothy membaca sekilas judul-judul berita utama.
"Istri yang Malang. Kisah Luar Biasa. Minggu Lalu Dua Puluh Delapan Orang
Tenggelam. Laporan Kematian Pilot. Perampokan Perhiasan yang Menggemparkan.
Kehilangan Kalung Batu Delima Senilai Lima Puluh Ribu Pound. Oh, Ted! Lima puluh
ribu pound. Bayangkan saja!" Dorothy terus membaca. "Kalung tersebut terbuat
dari dua puluh satu butir batu delima dengan ikatan platina, dan dikirim dengan
pos tercatat dari Paris. Setiba di alamat, bingkisan itu ternyata hanya berisi
beberapa butir batu kerikil, sedangkan kalung itu sendiri raib."
"Dicuri di pos," ujar Edward. "Aku percaya pos di Prancis memang brengsek."
"Aku ingin bisa melihat kalung seperti itu," kata Dorothy. "Berkilau bagai
tetes-tetes darah - darah merpati, mereka menamakannya begitu. Aku penasaran,
seperti apa rasanya punya benda seperti itu melingkar di leher."
"Hm, kau sepertinya takkan pernah tahu, gadisku," canda Edward.
Dorothy membuang muka. "Mengapa tidak" Hebat ya, gadis-gadis yang bisa berhasil dalam hidup. Aku
mungkin akan jadi bintang panggung."
"Gadis-gadis yang tahu menjaga sikap takkan pernah bisa sukses," kata Edward
mengecilkan hati. Dorothy sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi menahan diri, lalu bergumam,
"Tolong cerinya."
"Aku sudah makan lebih banyak daripadamu," komentar Dorothy. "Aku akan membagi
yang tersisa dan... wah, apa itu di dasar keranjang?"
Sementara berbicara, ia mengeluarkannya - seuntai kalung batu delima merah darah.
Mereka berdua menatap takjub.
"Katamu tadi di dalam keranjang?" Edward akhirnya berkata.
Dorothy mengangguk. "Di dasarnya - di bawah buah ceri."
Lagi-lagi mereka saling menatap.
"Menurutmu bagaimana kalung ini bisa berada di situ?"
"Tak bisa kubayangkan. Sungguh aneh, Ted, tepat sesudah membaca beritanya di
koran - tentang batu-batu delima itu."
Edward tertawa. "Kau tidak membayangkan sedang memegang lima puluh ribu pound, bukan?"
"Aku cuma bilang sungguh aneh. Batu delima dengan ikatan platina. Platina adalah
logam berwarna keperakan - seperti ini. Alangkah gemerlapnya, dan warnanya sangat
cantik, kan" Ada berapa butir batu delima di kalung ini, ya?" Dorothy
menghitung. "Aduh, Ted, ternyata tepat dua puluh satu butir."
"Tidak!" "Ya! Jumlah yang sama dengan yang ditulis di koran. Oh, Ted, apa menurutmu..."
"Mungkin saja." Tapi ia mengucapkannya dengan ragu. "Ada satu cara untuk
mengetahuinya - dengan menggoreskannya di kaca."
"Itu kan untuk menguji berlian. Tapi, Ted, pria tadi terlihat aneh - si penjual
buah - kelihatannya jahat. Dan anehnya, dia bilang di dalam keranjang ini ada
sesuatu yang nilainya melebihi harga yang kita bayar."
"Ya, tapi, Dorothy, untuk apa dia memberi kita lima puluh ribu pound lebih?"
Miss Pratt menggeleng dengan kecil hati.
"Sepertinya memang tidak masuk akal," akunya. "Kecuali bila polisi sedang
mengejarnya." "Polisi?" Wajah Edward langsung pucat.
"Ya. Di koran tertulis 'polisi menemukan petunjuk'."
Edward berkeringat dingin.
"Aku tidak menyukai urusan ini, Dorothy. Bagaimana kalau polisi menangkap kita."
Dorothy menatapnya melongo.
"Tapi kita tidak melakukan apa-apa, Ted. Kita menemukannya di dalam keranjang."
"Dan kisah itu akan terdengar konyol! Tidak mungkin."
"Memang agak tidak mungkin," Dorothy mengakui. "Oh, Ted, apa menurutmu kalung
ini benar yang ITU" Seperti dongeng saja!"
"Menurutku ini bukan dongeng," sergah Edward. "Bagiku, ini lebih mirip cerita
tentang pahlawan yang dijebloskan ke penjara Dartmoor selama empat belas tahun
karena tuduhan yang tidak adil."
Tapi Dorothy tidak mendengarkan. Ia telah memasang kalung itu di lehernya dan
mengagumi penampilannya di cermin kecil yang diambilnya dari tas.
"Sama seperti yang dikenakan seorang duchess," gumamnya bahagia.
"Aku tidak mau percaya," ujar Edward keras. "Batu-batu itu cuma imitasi. Pasti
imitasi." "Benar, Sayang," kata Dorothy, masih terkagum-kagum pada pantulan dirinya di
cermin. "Mungkin sekali."
"Kemungkinan lain akan terlalu kebetulan."
"Darah merpati," gumam Dorothy.
"Ini benar-benar gila. Gila. Dengar, Dorothy, kau mendengarkan kata-kataku atau
tidak?" Dorothy menyingkirkan cerminnya. Ia menoleh pada Edward, salah satu tangannya
membelai batu-batu delima yang melingkari lehernya.
"Bagaimana penampilanku?"
Edward menatapnya, kegalauannya terlupakan. Ia belum pernah melihat Dorothy
seperti ini. Ada aura kemenangan yang melingkupinya, semacam kecantikan agung
yang baru pertama kali ini dilihatnya. Keyakinan bahwa dirinya mengenakan kalung
senilai lima puluh ribu pound telah menyulap Dorothy Pratt menjadi wanita baru.
Ia tampak tenang sekaligus angkuh, semacam gabungan Cleopatra, Semiramis, dan
Zenobia. "Kau tampak... kau tampak... memesona," ujar Edward khidmat.
Dorothy tertawa, gelaknya pun sangat berbeda.
"Dengar," kata Edward. "Kita harus bertindak. Kita harus membawa kalung itu ke
kantor polisi." "Omong kosong," sergah Dorothy. "Kau sendiri tadi bilang mereka takkan
memercayaimu. Kau mungkin akan dipenjara atas tuduhan mencurinya."
"Tapi... tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Menyimpannya," ujar Dorothy Pratt yang baru.
Edward menatapnya nanar. "Menyimpannya" Kau sudah gila."
"Kita menemukannya, kan" Jadi, mengapa kita harus menganggap kalung ini
berharga" Kita akan menyimpannya, dan aku akan mengenakannya."
"Dan polisi akan menangkapmu."
Dorothy mempertimbangkan kemungkinan ini sejenak.
"Baiklah," katanya. "Kita akan menjualnya. Dan kau bisa membeli satu mobil
Rolls-Royce, atau dua, aku akan membeli perhiasan berlian dan beberapa cincin."
Edward masih saja melotot. Dorothy tidak sabar lagi.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini kesempatan - terserah kau mau mengambilnya atau tidak. Kita tidak mencurinya aku takkan mau mencuri. Kalung ini datang sendiri pada kita, dan boleh jadi
inilah satu-satunya kesempatan kita memperoleh semua hal yang kita dambakan. Apa
kau tidak punya nyali sedikit pun, Edward Palgrove?"
Edward akhirnya mampu berbicara kembali.
"Menjualnya, katamu" Tidak semudah yang kausangka. Setiap tukang emas pasti
ingin tahu dari mana aku mendapatkan benda mewah ini."
"Kau tidak perlu membawanya ke tukang emas. Apa kau tidak pernah membaca cerita
detektif, Ted" Kau harus membawanya ke 'tukang tadah', tentu saja."
"Dan bagaimana aku bisa kenal tukang tadah" Aku dibesarkan dalam keluarga baikbaik." "Laki-laki harus tahu segalanya," ujar Dorothy. "Untuk itulah mereka ada."
Edward menatap Dorothy. Gadis ini tetap tenang dan tidak mau menyerah.
"Aku tidak percaya kau bisa berkata begitu," ujar Edward lesu.
"Kusangka kau punya lebih banyak keberanian."
Hening sejenak. Kemudian Dorothy bangkit berdiri.
"Nah," ujarnya ringan. "Sebaiknya kita pulang."
"Sambil mengenakan kalung itu di lehermu?"
Dorothy melepaskan kalung itu, menatapnya khidmat, lalu memasukkannya ke dalam
tas. "Sini," kata Edward. "Berikan kalung itu padaku."
"Tidak." "Ya, harus. Aku dibesarkan sebagai orang jujur, gadis manisku."
"Silakan melanjutkan sikap jujurmu. Kau tidak perlu berurusan dengan kalung
ini." "Ayolah, berikan padaku," kata Edward serampangan. "Biar aku saja yang
melakukannya. Aku akan menemukan tukang tadah. Seperti katamu tadi, inilah satusatunya kesempatan kita. Kita mendapatkannya dengan jujur - membelinya seharga dua
shilling. Sama seperti orang-orang terhormat yang membanggakan perolehan mereka
dari belanja di toko antik."
"Itu dia!" seru Dorothy. "Oh, Edward, kau benar-benar hebat!"
Dorothy menyerahkan kalung itu, dan Edward memasukkannya ke sakunya. Edward
merasa bergelora, agung, dan sangat jantan! Dalam suasana seperti inilah ia
menstarter Austin-nya. Keduanya terlampau tegang untuk mengingat teh. Mereka
kembali ke London dalam diam. Di salah satu persimpangan jalan, seorang polisi
melangkah menuju mobil mereka, dan jantung Edward berdegup keras. Sungguh ajaib
mereka bisa sampai dengan selamat.
Kata-kata perpisahan Edward pada Dorothy masih diilhami semangat petualangan.
"Kita akan membereskannya. Lima puluh ribu pound! Memang sepadan!"
Malam itu ia bermimpi tentang panah-panah besar dan penjara Dartmoor, terbangun
di pagi buta dengan mata cekung dan lesu. Ia harus keluar mencari tukang tadah dan ia sama sekali tidak tahu caranya!
Ia melaksanakan tugas di kantor dengan teledor, dan sebelum makan siang ia sudah
kena teguran keras dua kali.
Bagaimana cara menemukan tukang tadah" Edward berpendapat Whitechapel lingkungan
yang tepat - atau mungkin Stepney"
Setiba kembali di kantor, ada panggilan telepon untuknya. Terdengar suara
Dorothy - tragis dan penuh air mata.
"Kaukah itu, Ted" Aku menggunakan telepon majikanku, dan dia bisa masuk setiap
saat. Aku harus berhenti bicara. Ted, kau belum melakukan apa pun, kan?"
Edward menjawab belum. "Nah, dengarkan, Ted, jangan lakukan. Sepanjang malam tadi aku tidak bisa tidur.
Benar-benar menyedihkan. Aku terus memikirkan ayat di Alkitab yang mengatakan
kita tidak boleh mencuri. Aku pasti sudah gila kemarin - pasti. Kau takkan
melakukan apa pun, benar kan, Ted, Sayang?"
Apakah Mr. Palgrove merasa lega" Mungkin saja - tapi ia takkan mau mengakuinya
begitu saja. "Kalau aku bilang akan membereskan sesuatu, aku akan melakukannya," ujarnya
dengan nada seperti Superman perkasa dan tatapan mata sekeras baja.
"Oh, tapi, Ted, Sayang, jangan lakukan. Oh, Tuhan, dia datang. Dengar, Ted,
nanti dia akan makan malam di luar. Aku bisa menyelinap keluar dan menemuimu.
Jangan lakukan apa pun sampai kau berjumpa denganku. Jam delapan malam. Tunggu
aku di sudut jalan." Suara Dorothy berubah lembut. "Ya, Ma'am, saya rasa
teleponnya salah sambung. Yang diinginkan, adalah Bloomsbury 0234."
Ketika Edward meninggalkan kantor pada pukul enam sore, sebuah judul berita
utama menarik perhatiannya.
PERAMPOKAN PERHIASAN. PERKEMBANGAN TERAKHIR Dengan tergesa ia menyodorkan uang satu penny. Terlindung aman dalam kereta api
Tube, setelah berhasil mendapatkan tempat duduk dengan gesit, ia membaca
korannya dengan teliti. Dengan mudah ia mendapatkan apa yang dicarinya.
Sebuah siulan tertahan lolos dari bibirnya.
"Ya... ampun..."
Kemudian alinea lain yang berdekatan menarik perhatiannya. Selesai membaca
berita itu, ia menjatuhkan korannya ke lantai.
Tepat pukul delapan malam, Edward sudah menanti di tempat sesuai janji. Dorothy
yang terengah-engah, tampak pucat namun cantik, bergegas menemuinya.
"Kau belum melakukan apa-apa, Ted?"
"Aku belum melakukan apa pun." Ia mengeluarkan kalung batu delima itu dari
sakunya. "Kau boleh mengenakannya."
"Tapi, Ted..." "Polisi sudah menemukan batu-batu delima itu - termasuk orang yang mencurinya.
Sekarang bacalah ini!"
Edward menyodorkan sehelai guntingan koran ke bawah hidung Dorothy yang lalu
membacanya, TRIK PERIKLANAN GAYA BARU
Sebuah siasat periklanan baru yang cerdik telah dijalankan oleh All-English
Fivepenny Fair yang berniat menantang perusahaan Woolworth yang terkenal itu.
Kemarin telah dijual sejumlah keranjang buah yang selanjutnya akan dijual setiap
hari Minggu. Dalam setiap lima puluh keranjang, salah satunya berisi kalung
terbuat dari berbagai batu permata imitasi. Untuk harga yang dipungut, kalungkalung ini sangat indah. Kemarin sambutan yang diperoleh sungguh sangat meriah,
dan hari Minggu depan, semboyan MAKANLAH LEBIH BANYAK BUAH akan menjadi mode
yang digemari. Kami mengucapkan selamat pada Fivepenny Fair atas ide mereka, dan
mendoakan sukses besar bagi kampanye mereka untuk Membeli Barang-Barang Asli
Inggris. "Well..." ujar Dorothy.
Dan sesaat kemudian, "Well!"
"Ya," kata Edward. "Aku merasakan hal yang sama."
Seorang pria yang melintas memberikan sehelai kertas pada Edward.
"Ambillah selembar, saudaraku," ujarnya.
"Perempuan yang saleh lebih berharga daripada permata batu delima."
"Nah!" kata Edward. "Kuharap ini bisa membangkitkan semangatmu."
"Entahlah," sahut Dorothy ragu. "Aku tidak begitu ingin tampak seperti perempuan
saleh." "Memang tidak," ujar Edward. "Itu sebabnya laki-laki itu memberikan kertas ini
padaku. Dengan rentetan batu delima yang melingkari lehermu itu, kau sama sekali
tidak tampak seperti perempuan saleh."
Dorothy tertawa. "Kau memang manis, Ted," ujarnya. "Ayo, mari kita pergi menonton bioskop."
PETUALANGAN MR. EASTWOOD Mr. EASTWOOD menatap langit-langit. Setelah itu ia menunduk menatap lantai. Dari
situ matanya perlahan-lahan beralih ke dinding kanan. Kemudian dengan mendadak
ia kembali memusatkan perhatian pada mesin tik di hadapannya.
Lembaran kertas putih bersih itu hanya dinodai sebuah judul dengan huruf-huruf
besar. MISTERI MENTIMUN KEDUA. Judul yang menarik. Anthony Eastwood merasa siapa pun
yang membaca judul itu pasti tergugah rasa ingin tahunya dan terpukau. "Misteri
Mentimun Kedua," mereka akan berkata. "Tentang apa gerangan isi ceritanya"
Sebuah mentimun" Mentimun kedua" Aku harus membaca cerita ini." Mereka akan
tergetar dan terpukau pada keahlian sempurna pakar kisah fiksi detektif ini
dalam merajut alur cerita yang seru seputar buah yang sederhana ini.
Bagus sekali. Anthony Eastwood tahu seperti apa kisah itu seharusnya - masalahnya,
ia tidak mampu meneruskannya. Dua unsur penting dalam cerita adalah judul dan
alurnya - sisanya sekadar pekerjaan persiapan. Adakalanya judulnya sendiri akan
membawa penulis pada alurnya, dan selanjutnya semua berjalan lancar - tapi dalam
kasus ini, judul tadi tetap saja menghiasi bagian atas lembaran kertas,
sedangkan sisanya tetap kosong tanpa alur cerita.
Lagi-lagi tatapan mata Anthony Eastwood terarah pada langit-langit, lantai, dan
kertas pelapis dinding, mencari ilham, namun tetap saja tidak ada hasilnya.
"Aku akan memberi nama Sonia pada tokoh wanitanya," gumam Anthony untuk
menyemangati dirinya. "Sonia atau mungkin Dolores - dengan kulit putih bersih
bagaikan gading - bukan pucat karena kesehatan yang buruk, dan mata sedalam telaga
yang tak terukur. Tokoh prianya kunamai George, atau mungkin John - nama singkat
dan khas Inggris. Kemudian ada si tukang kebun - kurasa dalam kisah ini harus ada
tukang kebunnya, karena bagaimanapun, alurnya tentang mentimun - tukang kebun itu
bisa saja orang Skotlandia, dan kelewat pesimis memikirkan datangnya es yang
terlalu dini." Adakalanya metode seperti ini membawa hasil, tapi pagi ini, cara itu sepertinya
sia-sia saja. Meskipun Anthony bisa melihat tokoh-tokoh Sonia, George, dan
tukang kebun yang menggelikan itu dengan cukup jelas, mereka tidak menunjukkan
minat sedikit pun untuk bergerak aktif dan melakukan berbagai hal.
"Aku bisa saja menggantinya dengan pisang," pikir Anthony putus asa. "Atau
selada, atau toge Brussel - toge Brussel, bagaimana kira-kira" Kode rahasia yang
cocok untuk Brussels - surat obligasi curian - Baron dari Belgia yang menakutkan."
Untuk sesaat secercah cahaya seakan menampakkan diri, tapi setelah itu padam
kembali. Baron Belgia itu tak mau terwujud, dan tiba-tiba Anthony teringat bahwa
es yang datang terlalu dini dan mentimun adalah dua hal yang bertentangan, tidak
bakal cocok dengan komentar-komentar lucu yang diucapkan si tukang kebun
Skotlandia itu. "Oh! Sialan!" umpat Mr. Eastwood.
Ia bangkit berdiri dan menyambar koran Daily Mail. Mungkin saja ada yang
terbunuh dengan cara begitu rupa, hingga mampu memberikan inspirasi pada penulis
yang setengah mati membutuhkan inspirasi. Tapi berita hari ini ternyata hanya
berkisar soal politik dan kejadian-kejadian di luar negeri. Mr. Eastwood
melemparkan korannya dengan kesal.
Berikutnya, sambil menyambar sebuah novel dari meja, ia memejamkan mata dan
menudingkan jari ke salah satu halamannya. Kata yang kena tunjuk oleh jarinya
adalah "domba". Saat itu juga dengan kecemerlangan menakjubkan seluruh kisah pun
terbentang di benak Mr. Eastwood. Gadis cantik - kekasihnya tewas di medan perang,
dengan linglung menggembalakan domba di pegunungan Skotlandia - pertemuan mistis
dengan arwah kekasihnya, efek akhir dengan domba dan cahaya bulan seperti dalam
film pemenang Oscar dan sang gadis tergeletak mati di salju, serta sepasang
jejak kaki menuju... Ini akan menjadi kisah yang indah. Anthony keluar dari lamunan itu sambil
menghela napas dan menggeleng sedih. Ia tahu betul editornya takkan mau menerima
kisah semacam itu - seindah apa pun jadinya. Jenis kisah yang diinginkannya dan
bersikeras harus diterimanya (dan rela dibayarnya cukup mahal), harus bercerita
tentang wanita-wanita berkulit gelap yang misterius, ditikam tepat di jantung,
tokoh muda yang salah dituduh, misteri yang terbongkar mendadak dan menetapkan
kesalahan pada orang yang paling tak terduga, melalui petunjuk-petunjuk yang
sangat tidak memadai - jelasnya, MISTERI MENTIMUN KEDUA.
"Meskipun," renung Anthony, "taruhan sepuluh lawan satu, dia akan mengubah
judulnya dengan sesuatu yang jelek, misalnya Pembunuhan Paling Keji, tanpa
meminta pendapatku! Oh, terkutuklah telepon itu."
Dengan marah ia melangkah menuju pesawat itu dan mengangkat gagangnya. Dalam
satu jam terakhir ini sudah dua kali ia harus menerima panggilan telepon - sekali
salah sambung, dan sekali undangan makan malam dari wanita tokoh masyarakat yang
sangat dibencinya, tapi terlampau keras kepala untuk dikalahkan.
"Halo!" bentaknya kasar.
Suara seorang wanita menjawabnya dengan aksen asing yang lembut.
"Kaukah ini, sayangku?" ujarnya lembut.
"Hm - anu - saya tidak tahu," jawab Mr. Eastwood hati-hati. "Siapa ini?"
"Ini aku. Carmen. Dengar, Sayang. Aku sedang dikejar-kejar - dalam bahaya - kau
harus segera datang. Ini soal hidup dan mati."
"Maaf," sahut Mr. Eastwood sopan. "Saya khawatir Anda salah..."
Wanita itu memotong pembicaraannya sebelum ia sempat mengakhirinya.
"Madre de Dios! Mereka sudah datang. Kalau mereka tahu apa yang kukerjakan,
mereka akan membunuhku. Jangan kecewakan aku. Datanglah segera. Aku akan mati
bila kau tidak datang. Kau tahu kan, 320 Kirk Street. Kata sandinya adalah
mentimun... Sst..." Mr. Eastwood mendengar bunyi klik saat wanita itu meletakkan gagang teleponnya.
"Celaka," ujar Mr. Eastwood terheran-heran.
Ia melangkah ke kaleng tembakaunya, lalu mengisi pipanya dengan hati-hati.
Ia merenung. "Kurasa itu efek bawah sadarku. Dia tak mungkin berkata mentimun.
Seluruh urusan ini luar biasa. Apa dia tadi berkata mentimun, atau tidak?"
Ia berjalan mondar-mandir dengan ragu.
"320 Kirk Street. Apa artinya semua ini" Wanita itu menunggu kedatangan lakilaki lain. Kata sandinya adalah mentimun - oh, tidak mungkin, benar-benar gila - ini
pasti halusinasi otakku yang sibuk."
Dengan kesal ia menatap mesin tiknya.
"Aku ingin tahu, apa manfaatmu" Aku sudah memelototimu sepanjang pagi, dan tidak
mendapat apa-apa. Penulis harus mendapatkan alur cerita dari kehidupan nyata kehidupan nyata, kaudengar" Sekarang aku akan keluar untuk mendapatkannya."
Ia mengenakan topi, menatap penuh sayang pada koleksi porselen antiknya, dan
keluar meninggalkan apartemen.
Kirk Street, seperti diketahui kebanyakan penduduk London, adalah jalan yang
panjang dan berkelok-kelok, sarat dengan toko-toko barang antik, tempat segala
macam barang tiruan ditawarkan dengan harga tinggi. Selain itu ada juga tokotoko kuningan tua, toko-toko gelas, toko barang bekas, dan pedagang pakaian
bekas. Bangunan No. 320 digunakan untuk menjual gelas-gelas kuno. Segala macam pecahbelah dipajang berlimpah di situ. Anthony terpaksa bergerak dengan sangat hatihati saat melangkah di lorong yang diapit rak-rak penuh gelas anggur dan
berbagai tempat lilin gantung yang berayun-ayun berkilauan di atas kepalanya.
Seorang wanita tua renta sedang duduk di bagian belakang toko itu. Ia memiliki
kumis tipis yang bisa membuat iri banyak pemuda, dan perilaku kasar.
Ia menatap Anthony, lalu berkata, "Bagaimana?" dengan suara menakutkan.
Anthony termasuk orang muda yang agak mudah dibuat gugup. Ia langsung menanyakan
harga beberapa gelas yang digadaikan.
"Empat puluh lima shilling untuk setengah lusin."
"Oh, begitu," ujar Anthony. "Lumayan bagus. Kalau yang ini berapa?"
"Itu gelas-gelas cantik, keluaran Waterford. Aku akan melepas sepasang dengan
harga delapan belas guinea."
Mr. Eastwood merasa ia mencari masalah saja. Sebentar lagi ia akan membeli
sesuatu karena terhipnotis oleh mata tajam perempuan tua yang menakutkan itu.
Namun ia tidak mampu meninggalkan toko itu.
"Bagaimana dengan yang itu?" ia bertanya sambil menunjuk sebuah tempat lilin
gantung. "Tiga puluh lima guinea."
"Ah!" ujar Mr. Eastwood dengan menyesal. "Itu sedikit di atas kemampuanku."
"Apa yang Anda inginkan?" tanya perempuan tua itu. "Sesuatu untuk hadiah
pernikahan?" "Tepat sekali," Anthony menyambar alasan itu. "Tapi barang-barang ini tidak
begitu cocok." "Ah, begitu," kata wanita tua itu sambil bangkit dengan tekad bulat. "Pecahbelah kuno yang cantik pasti cocok untuk siapa pun. Di sini ada beberapa karaf
anggur antik - dan itu perangkat liqueur mungil manis yang pasti cocok bagi
pengantin..." Selama sepuluh menit berikutnya Anthony merasa tersiksa. Perempuan tua itu
seolah menguasainya. Setiap hasil karya seni pembuat gelas berjajar di depan
matanya. Ia merasa putus asa.
"Indah sekali, sangat indah," pujinya asal-asalan sambil meletakkan gelas anggur
besar yang disodorkan di depan hidungnya. Akhirnya ia cepat-cepat bertanya,
"Maaf, apa di sini ada telepon?"
"Tidak ada. Anda bisa menelepon dari kantor pos di seberang. Nah, Anda mau yang
mana, gelas anggur yang besar ini - atau gelas minum antik ini?"
Karena ia bukan perempuan, Anthony tidak tahu cara meninggalkan toko secara
halus tanpa membeli apa pun.
"Lebih baik saya ambil perangkat liqueur itu," jawabnya muram.


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepertinya itulah barang terkecil. Ia sudah sangat ketakutan bila sampai harus
membeli tempat lilin itu.
Dengan sedih ia membayar barang belanjaannya. Kemudian, saat wanita tua itu
sedang membungkusnya, mendadak keberaniannya muncul kembali. Lagi pula, wanita
itu paling-paling akan menganggapnya eksentrik saja; selain itu, peduli amat apa
yang dipikirkannya. "Mentimun," kata Anthony, jelas dan tegas.
Perempuan tua itu langsung berhenti membungkus.
"Eh" Apa kata Anda tadi?"
"Tidak ada," Anthony berdusta.
"Oh! Kusangka Anda tadi berkata mentimun."
"Memang benar," sahut Anthony menantang.
"Nah," ujar perempuan itu. "Mengapa tidak Anda katakan sejak tadi" Membuangbuang waktuku saja. Lewat pintu di sana itu dan langsung naik. Dia sedang
menunggu Anda." Bagaikan dalam mimpi, Anthony masuk lewat pintu yang ditunjuk, dan naik melalui
tangga yang luar biasa kotor. Di ujung tangga ada pintu yang terbuka lebar
menuju ruang duduk sempit.
Seorang gadis duduk di kursi sambil menatap pintu, wajahnya menyiratkan
penantian penuh harap. Gadis yang sangat luar biasa! Kulitnya mulus bagaikan gading yang telah begitu
sering digambarkan Anthony dalam karya tulisnya. Dan matanya! Mata yang sangat
luar biasa! Sekilas lihat saja langsung tampak ia bukan gadis Inggris. Ia
memiliki penampilan eksotis asing yang bahkan terlihat dari kesederhanaan
gaunnya. Anthony berdiri terpaku di pintu, sedikit malu-malu. Saat untuk menjelaskan
duduk perkara sepertinya sudah tiba. Tapi dengan pekik gembira gadis itu bangkit
berdiri dan menghambur ke dalam pelukan Anthony.
"Kau sudah datang," isaknya. "Kau sudah datang. Oh, syukurlah. Syukurlah."
Anthony, yang tidak pernah mau kehilangan kesempatan, mengulang pernyataan itu
dengan sungguh-sungguh. Akhirnya gadis itu melepaskan diri dan menatap wajah
Anthony dengan sikap malu-malu yang memesona.
"Aku tidak bakal bisa mengenali Anda," kata gadis itu. "Sungguh."
"Begitu?" ujar Anthony lemah.
"Tidak, bahkan mata Anda tampak berbeda - dan Anda sepuluh kali lebih tampan
daripada yang kubayangkan."
"Benar?" Namun dalam hatinya Anthony berkata, "Tenang, Bung, tenang. Situasinya
berkembang dengan bagus, tapi jangan sampai lupa daratan."
"Bolehkah aku mencium Anda lagi?"
"Tentu saja," jawab Anthony bersemangat. "Sesering yang Anda mau."
Terjadilah selingan yang sangat menyenangkan.
"Siapa gerangan aku ini?" pikir Anthony. "Mudah-mudahan saja orang yang
sebenarnya tidak muncul. Alangkah cantiknya gadis ini."
Mendadak gadis itu menjauh, dan di wajahnya terbayang ketakutan.
"Anda tidak diikuti kemari?"
"Astaga, tidak."
"Ah, tapi mereka sangat licik. Aku kenal betul mereka. Boris benar-benar iblis."
"Aku akan segera membereskan Boris untuk Anda."
"Anda sangat berani - ya, seperti singa. Sedangkan mereka busuk semuanya - mereka
semua. Dengar, celakalah aku! Mereka pasti akan membunuhku kalau tahu. Aku takut
- aku tidak tahu harus berbuat apa, kemudian aku teringat Anda... Ssst, bunyi apa
itu?" Bunyi itu berasal dari toko di bawah. Sambil memberi isyarat agar Anthony tetap
di tempat, ia berjingkat keluar menuju tangga. Ia kembali dengan wajah pucat dan
mata terbelalak. "Madre de Dios! Polisi. Mereka sedang menuju kemari. Anda punya pisau" Atau
pistol" Yang mana?"
"Nona manis, Anda tidak benar-benar berharap aku membunuh polisi, kan?"
"Oh, tapi Anda gila - gila! Mereka akan membawa dan menggantung Anda sampai mati."
"Mereka akan apa?" ujar Mr. Eastwood merinding.
Terdengar langkah-langkah kaki di tangga.
"Mereka datang," bisik gadis itu. "Sangkal semuanya. Ini satu-satunya harapan
kita." "Itu cukup mudah," Mr. Eastwood mengakui, sotto voce.
Sesaat kemudian masuklah dua pria. Mereka mengenakan pakaian biasa, tapi
memiliki sikap resmi yang menunjukkan hasil pelatihan panjang. Pria yang lebih
kecil berkulit gelap dan memiliki mata kelabu tenang, dan ia bertindak sebagai
juru bicara. "Saya menahan Anda, Conrad Fleckman," katanya, "atas tuduhan membunuh Anna
Rosenburg. Apa pun yang Anda katakan akan digunakan sebagai bukti melawan Anda.
Ini surat perintah saya, dan sebaiknya Anda ikut dengan tenang."
Gadis itu terpekik. Anthony melangkah maju sambil tersenyum tenang.
"Anda keliru, Opsir," ujarnya ramah. "Nama saya Anthony Eastwood."
Kedua detektif itu sama sekali tidak terpengaruh oleh pernyataan tersebut.
"Conrad," tangis gadis itu. "Conrad, jangan biarkan mereka membawamu."
Anthony menatap kedua detektif itu.
"Saya yakin Anda mengizinkan saya berpamitan pada nona ini?"
Dengan sikap lebih sopan daripada yang diharapkan Anthony, kedua pria itu
beranjak ke pintu. Anthony menarik gadis itu ke sudut ruangan dekat jendela, dan
berbisik cepat padanya. "Dengar. Apa yang saya katakan tadi memang benar. Saya bukan Conrad Fleckman.
Waktu Anda menelepon tadi pagi, mereka pasti salah menyambungkan. Nama saya
Anthony Eastwood. Saya datang menanggapi permintaan Anda - nah, jadi saya datang."
Gadis itu menatapnya tak percaya.
"Jadi, Anda bukan Conrad Fleckman?"
"Bukan." "Oh!" tangisnya putus asa. "Padahal aku telah mencium Anda!"
"Tidak mengapa," Mr. Eastwood menenangkannya. "Kebiasaan itu sudah ada sejak
zaman dulu. Cukup masuk akal. Sekarang dengarkan, saya akan mengurus kedua orang
itu. Saya akan segera membuka identitas saya. Sementara itu, mereka takkan
mengganggu Anda, dan Anda bisa memperingatkan Conrad Anda. Setelah itu..."
"Ya?" "Hm - cuma ini. Nomor telepon saya Northwestern 1743 - dan perhatikan, jangan sampai
mereka menyambungkan ke nomor yang keliru."
Gadis itu menatapnya dengan pandangan memikat, setengah menangis, setengah
tersenyum. "Aku takkan lupa - sungguh, aku takkan lupa."
"Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal. Begini..."
"Ya?" "Omong-omong tentang kebiasaan mencium... cium sekali lagi boleh juga, kan?"
Gadis itu melingkarkan kedua lengannya di leher Anthony. Bibirnya sekadar
menyentuh bibir Anthony. "Aku benar-benar menyukai Anda - ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang
terjadi, Anda akan mengingatnya, bukan?"
Dengan enggan Anthony melepaskan diri dari pelukannya dan melangkah ke arah
kedua orang yang menahannya itu.
"Saya siap ikut dengan Anda. Saya rasa Anda tidak akan menahan nona ini, bukan?"
"Tidak, Sir, tidak perlu," jawab pria kecil itu sopan.
"Para petugas Scotland Yard ini memang sopan santun," pikir Anthony, sambil
mengikuti mereka menuruni tangga sempit itu.
Perempuan tua itu tidak tampak di toko, tapi Anthony mendengar bunyi napas
tersengal di balik pintu belakang, dan menebak bahwa wanita itu berdiri di
baliknya sambil mengamati kejadian itu dengan hati-hati.
Begitu berada di Kirk Street yang jorok, Anthony menghela napas dalam-dalam,
lalu berbicara pada pria yang lebih kecil.
"Begini, Inspektur - Anda seorang inspektur, bukan?"
"Betul, Sir. Detektif Inspektur Verrall. Dan ini Detektif Sersan Carter."
"Nah, Inspektur Verrall, sudah tiba saatnya bicara masuk akal - sekaligus
mendengarkan. Saya bukan Conrad. Nama saya Anthony Eastwood seperti sudah saya
katakan tadi, dan saya berprofesi sebagai penulis. Bila Anda bersedia ikut ke
apartemen, saya rasa saya bisa mengungkapkan identitas saya pada Anda."
Gaya bicara Anthony yang apa adanya sepertinya membuat terkesan kedua detektif
itu. Untuk pertama kalinya terbayang ekspresi ragu di wajah Verrall.
Ternyata Carter lebih sulit diyakinkan.
"Saya yakin itu," ejeknya. "Tapi Anda tentunya ingat nona tadi memanggil Anda
'Conrad'." "Ah! Itu soal lain. Saya tidak keberatan mengakui pada Anda berdua bahwa
karena... mm... alasan pribadi, di hadapan nona itu saya menyamar sebagai orang
bernama Conrad. Ini persoalan pribadi."
"Mungkin saja kisah Anda benar," Carter menimpali. "Tidak, Sir, silakan Anda
ikut kami. Panggil taksi itu, Joe."
Sebuah taksi yang kebetulan lewat dihentikan, dan ketiga laki-laki itu pun naik.
Anthony mencoba sekali lagi, kali ini ia berbicara pada Verrall yang tampaknya
lebih mudah diyakinkan. "Dengar, Inspektur yang baik, apa salahnya Anda ikut ke apartemen saya dan
membuktikan bahwa saya tidak berbohong" Anda boleh menggunakan taksinya kalau
mau - nah, ini penawaran yang cukup murah hati, kan" Selisih waktunya takkan
sampai lima menit." Verrall melemparkan pandangan menyelidik.
"Baiklah," ujarnya tiba-tiba. "Meskipun aneh, saya percaya Anda tidak berbohong.
Kami juga tidak mau tampak dungu di kantor polisi karena salah menahan orang. Di
mana alamat Anda?" "Brandenburg Mansions nomor empat puluh delapan."
Verrall melongokkan kepala ke luar jendela dan meneriakkan alamat itu pada sopir
taksi. Ketiganya duduk dalam diam sampai mereka tiba di tujuan. Carter melompat
keluar, dan Verrall memberi isyarat agar Anthony mengikutinya.
"Tidak perlu canggung," jelasnya sambil turun dari taksi. "Kita akan masuk
dengan bersahabat, seakan Mr. Eastwood sedang mengajak teman-temannya ke rumah."
Anthony sangat bersyukur atas usul ini, dan pendapatnya tentang Departemen
Investigasi Kriminal semakin positif saja.
Di ruang depan, mereka cukup beruntung menjumpai Rogers, sang portir. Anthony
menghentikan langkah. "Ah! Selamat malam, Rogers," sapanya santai.
"Selamat malam, Mr. Eastwood," jawab portir itu dengan hormat.
Laki-laki ini suka pada Anthony yang selalu bersikap ramah, tidak seperti para
tetangganya. Anthony berhenti dengan satu kaki di anak tangga paling bawah.
"Omong-omong, Rogers," ujarnya santai. "Sudah berapa lama aku tinggal di sini"
Aku baru saja mengobrol soal itu dengan kedua temanku ini."
"Biar kuingat-ingat, Sir. Kalau tidak salah sudah hampir empat tahun."
"Tepat seperti dugaanku."
Anthony melemparkan pandangan penuh kemenangan ke arah kedua detektif tadi.
Carter mendengus, tapi Verrall tersenyum lebar.
"Bagus, tapi belum cukup bagus, Sir," komentarnya. "Bagaimana kalau kita ke
atas?" Anthony membuka pintu apartemen dengan kuncinya. Ia bersyukur saat teringat
bahwa Seaman, asistennya, sedang keluar. Semakin sedikit saksi yang melihat
peristiwa memalukan ini, semakin baik.
Mesin tiknya masih dalam keadaan sama seperti semula. Carter melangkah ke meja,
dan membaca judul di lembaran kertasnya. "MISTERI MENTIMUN KEDUA," bacanya
dengan suara muram. "Cerita yang sedang saya tulis," jelas Anthony santai.
"Satu poin bagus lagi, Sir," ujar Verrall sambil mengangguk dengan mata
berbinar. "Omong-omong, kisahnya mengenai apa, Sir" Apa sebenarnya misteri dari
mentimun kedua itu?"
"Ah, tepat sekali," ujar Anthony. "Mentimun kedua itulah yang menjadi sumber
semua masalah ini." Carter menatapnya tajam. Tiba-tiba ia menggeleng dan menepuk dahi.
"Gila, pemuda yang malang," gumamnya berbisik.
"Nah, Tuan-Tuan," ujar Mr. Eastwood tegas. "Mari kita mulai. Ini surat-surat
yang ditujukan pada saya, buku tabungan saya, dan surat-surat pemberitahuan dari
para editor. Apa lagi yang Anda inginkan?"
Verrall memeriksa kertas-kertas yang disodorkan Anthony padanya.
"Secara pribadi, Sir," ujarnya penuh hormat, "saya tidak menginginkan apa-apa
lagi. Saya cukup yakin. Tapi saya tidak bisa memikul tanggung jawab dengan
melepaskan Anda sendiri. Begini, meskipun tampaknya Anda benar-benar sudah
tinggal di sini selama beberapa tahun sebagai Mr. Eastwood, tidak tertutup
kemungkinan Conrad Fleckman dan Anthony Eastwood adalah orang yang sama. Saya
terpaksa memeriksa apartemen ini dengan teliti, mengambil sidik jari Anda, dan
menelepon ke kantor pusat."
"Kelihatannya cukup mendetail," komentar Anthony. "Saya bisa memastikan Anda
bebas memeriksa setiap rahasia saya."
Inspektur itu tersenyum lebar. Bagi seorang detektif, ia termasuk pribadi yang
sangat manusiawi. "Sementara saya sibuk, bisakah Anda pergi ke ruangan kecil di ujung itu bersama
Carter, Sir?" "Baiklah," sahut Anthony segan. "Saya rasa tidak ada cara lain, bukan?"
"Maksud Anda?" "Bagaimana kalau Anda dan saya yang menempati ruangan itu sambil minum wiski dan
soda sementara Sersan, teman kita, melaksanakan pemeriksaan berat ini?"
"Kalau Anda lebih menyukainya, Sir."
"Saya benar-benar lebih menyukainya."
Mereka berdua meninggalkan Carter yang memeriksa isi meja tulisnya dengan sangat
teliti. Saat meninggalkan ruangan, mereka mendengarnya mengangkat gagang telepon
untuk menghubungi Scotland Yard.
"Ternyata tidak begitu buruk," ujar Anthony, sambil duduk nyaman di samping
botol-botol wiski dan soda, setelah memenuhi beberapa permintaan Inspektur
Verrall. "Apakah sebaiknya saya minum lebih dulu, untuk menunjukkan pada Anda
bahwa wiski ini tidak mengandung racun?"
Inspektur itu tersenyum. "Semua ini memang sangat tidak umum," komentarnya. "Tapi kami cukup mengenal
profesi kami. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa kami berbuat kekeliruan.
Tapi sudah tentu orang harus mengamati semua hal yang umum. Anda tidak bisa
menghindari birokrasi, bukan?"
"Saya rasa tidak," sahut Anthony menyesal. "Tapi Sersan sepertinya tidak begitu
ramah, betul?" "Ah, Detektif Sersan Carter sebenarnya orang baik. Dia memang tidak mudah
dipengaruhi." "Saya sudah melihat itu," kata Anthony.
"Omong-omong, Inspektur," tambahnya, "apakah Anda keberatan bila saya mendengar
sedikit tentang diri saya?"
"Dengan cara apa, Sir?"
"Ayolah, tidakkah Anda menyadari bahwa saya sangat ingin tahu" Siapa Anna
Rosenburg, dan mengapa saya membunuhnya?"
"Besok Anda akan membaca beritanya di koran, Sir."
"Besok saya mungkin kembali jadi Diri Saya Sendiri, sama seperti Kemarin," ujar
Anthony. "Saya yakin Anda bisa memuaskan rasa ingin tahu saya yang sangat sahsah saja, Inspektur. Singkirkan sikap tutup mulut Anda yang resmi itu, dan
ceritakan semuanya pada saya."
"Ini agak tidak biasa, Sir."
"Inspektur yang baik, bahkan saat kita sudah berteman seperti ini?"
"Begini, Sir, Anna Rosenburg adalah wanita Jerman keturunan Yahudi yang tinggal
di Hampstead. Tanpa mata pencaharian jelas, setiap tahun dia semakin kaya saja."
"Kebalikan dengan diri saya," komentar Anthony. "Saya punya mata pencaharian
jelas, dan setiap tahun saya semakin miskin saja. Mungkin lebih baik saya
tinggal di Hampstead. Sejak dulu saya dengar Hampstead sangat menyegarkan."
"Selama beberapa waktu," Verrall melanjutkan, "dia berdagang pakaian bekas..."
"Sekarang jelas bagi saya," sela Anthony. "Saya ingat pernah menjual seragam
saya setelah perang usai - bukan yang terbuat dari kain khaki, tapi bahan satunya.
Seluruh apartemen sarat dengan celana-celana panjang merah dan renda keemasan,
terbentang di mana-mana. Kemudian datang pria gemuk bersetelan kotak-kotak naik
mobil Rolls-Royce, bersama pekerja serabutan lengkap dengan tasnya. Dia menawar
seluruhnya seharga satu pound sepuluh shilling. Akhirnya saya menambahkan
sehelai jaket berburu dan beberapa pasang kacamata Zeiss agar jumlah harganya
genap dua pound. Setelah mendapat isyarat, pekerja serabutan itu membuka tasnya
dan memasukkan barang-barang itu ke dalamnya, dan pria gemuk itu menyerahkan
lembaran sepuluh pound pada saya dan meminta kembaliannya."
"Sekitar sepuluh tahun yang lalu," lanjut sang inspektur, "datang beberapa
pengungsi politik Spanyol ke London - di antara mereka adalah Don Fernando


Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ferrarez bersama istrinya yang masih muda, dan seorang anak. Mereka sangat
miskin, dan sang istri sedang sakit. Anna Rosenburg mengunjungi tempat mereka
menginap, dan menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin mereka jual. Don Fernando
sedang keluar, dan istrinya memutuskan berpisah dengan sehelai selendang Spanyol
yang sangat indah, penuh bordiran, salah satu hadiah terakhir dari suaminya
sebelum mereka meninggalkan Spanyol. Ketika Don Fernando pulang, dia marah besar
mendengar selendang itu sudah dijual, dan dengan sia-sia berusaha mendapatkannya
kembali. Ketika dia akhirnya berhasil menemukan wanita pedagang pakaian bekas
itu, wanita tadi menyampaikan dia telah menjual selendang itu pada seorang
wanita tak dikenal. Don Fernando putus asa. Dua bulan kemudian, dia ditikam di
jalanan dan tewas karena luka-lukanya. Sejak itu Anna Rosenburg menimbulkan
kecurigaan karena berlimpah uang. Dalam kurun waktu sepuluh tahun berikutnya,
rumahnya sudah dimasuki pencuri tak kurang dari delapan kali. Empat kali di
antaranya tidak berhasil dan tak ada barang yang diambil, tapi dalam pencurian
keempat, sehelai selendang bordir termasuk yang berhasil dibawa kabur."
Inspektur itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan atas desakan Anthony.
"Seminggu yang lalu, Carmen Ferrarez, putri belia Don Fernando, tiba di negeri
ini dari sebuah biara di Prancis. Yang pertama dilakukannya adalah mencari Anna
Rosenburg di Hampstead. Di sana dilaporkan dia bertengkar hebat dengan perempuan
tua itu, dan kata-katanya saat meninggalkan tempat itu terdengar oleh salah
seorang pelayan. "'Tunggu saja,' teriaknya. 'Selama bertahun-tahun ini Anda kaya-raya karena
selendang itu - tapi benda itu akan membawa nasib sial bagi Anda. Anda tidak punya
hak atasnya, dan suatu saat nanti Anda akan menyesal pernah melihat Selendang
Seribu Bunga itu.' "Tiga hari kemudian, Carmen Ferrarez menghilang dengan misterius dari hotel
tempatnya menginap. Di kamarnya ditemukan nama dan alamat - nama Conrad Fleckman,
berikut catatan dari seorang laki-laki yang mengaku pedagang barang antik, yang
menanyakan apakah gadis itu ingin melepaskan sehelai selendang bordir yang
dipercayai pedagang itu ada padanya. Alamat dalam catatan itu palsu.
"Sudah jelas selendang ini merupakan inti dari seluruh misteri. Kemarin pagi
Conrad Fleckman mengunjungi Anna Rosenburg. Mereka berbicara di ruangan tertutup
selama satu jam atau lebih, dan saat pria itu pergi, wanita itu terpaksa
berbaring di tempat tidur, pucat pasi dan terguncang oleh pembicaraan mereka.
Namun dia memberikan perintah agar Fleckman dibiarkan masuk setiap kali dia
datang berkunjung. Semalam dia bangun dan pergi keluar pada pukul sembilan, dan
tidak kembali. Pagi ini dia ditemukan di rumah yang pernah ditempati Conrad
Fleckman, dengan tusukan tepat di jantungnya. Di lantai di sampingnya ada... apa
menurut Anda?" "Selendang itu?" desah Anthony. "Selendang Seribu Bunga."
"Sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada itu. Sesuatu yang mengungkap
seluruh misteri selendang yang membuat jelas nilainya yang tersembunyi itu...
Permisi, saya rasa itu kepala..."
Memang terdengar dering lonceng. Anthony menahan rasa tak sabarnya sedapat
mungkin dan menanti inspektur itu kembali. Sekarang ia sudah merasa cukup tenang
soal posisinya sendiri. Setelah mengambil sidik jarinya, mereka akan menyadari
kekeliruan mereka. Dan setelah itu, barangkali Carmen akan meneleponnya...
Selendang Seribu Bunga! Kisah yang sangat aneh - cocok sekali menjadi latar
belakang kecantikan gadis yang elok itu.
Carmen Ferrarez... Anthony terlonjak dari lamunannya. Alangkah lamanya si inspektur. Ia bangkit dan
membuka pintu. Apartemen itu sunyi. Mungkinkah mereka telah pergi" Tak mungkin
tanpa berpamitan terlebih dulu.
Anthony melangkah ke ruangan berikutnya. Ruangan ini kosong - begitu juga ruang
duduknya. Kosong dan janggal! Begitu kosong-melompong. Ya ampun! Koleksi
porselennya - barang-barang peraknya!
Dengan kalut ia berlarian memeriksa apartemennya. Ternyata setiap ruangan sama
saja. Tempat itu telah dijarah habis-habisan. Setiap barang berharga telah
dijarah, padahal Anthony memiliki selera tinggi seorang kolektor dalam
mengumpulkan benda-benda mungil.
Sambil mengerang Anthony terhuyung-huyung dan duduk di kursi, dengan tangan
menopang kepala. Ia tersentak mendengar dering bel pintu depan. Saat membukanya,
ia bertatap muka dengan Rogers.
"Maaf, Sir," ujar Rogers. "Tapi tuan-tuan itu berpendapat Anda mungkin
membutuhkan sesuatu."
"Tuan-tuan itu?"
"Kedua teman Anda itu, Sir. Saya membantu mereka mengepak barang sebisa-bisanya.
Untung sekali saya menyimpan dua peti bagus di ruang bawah tanah." Ia lalu
menatap lantai. "Saya juga sudah menyapu jeraminya sebersih mungkin, Sir."
"Kau mengepak barang-barang di dalam sini?" Anthony mengerang.
"Ya, Sir. Bukankah itu permintaan Anda sendiri" Tuan yang lebih jangkung itu
yang menyuruh saya melakukannya, Sir. Dan melihat Anda masih sibuk berbicara
dengan tuan satunya di ruangan kecil di ujung itu, saya putuskan untuk tidak
Gajahmada 1 Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa Pendekar Pedang Sakti 19

Cari Blog Ini