Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie Bagian 1
PARKER PYNE INVESTIGATES by Agatha Christie PARKER PYNE MENYELIDIKI Alih bahasa: Ny. Suwarni A.S.
PT Gramedia Cetakan kedua: September 2002
KASUS ISTRI SETENGAH BAYA
EMPAT kali menggerutu, dengan suara marah bertanya mengapa orang suka memindahmindahkan letak topi, lalu dengan membanting pintu Mr. Packington pun berangkat
untuk naik kereta api jam sembilan kurang seperempat ke kota. Mrs. Packington
duduk di meja sarapan. Wajahnya merah padam, bibirnya cemberut, dan satu-satunya
alasan mengapa ia tidak menangis adalah karena pada saat terakhir, kemarahannya
telah berubah menjadi kesedihan. "Aku sudah tak tahan lagi," kata Mrs.
Packington, "Aku sudah tak tahan lagi!" Beberapa menit lamanya ia merenung, lalu
bergumam, "Dasar kurang ajar. Kucing kotor yang licik! Betapa tololnya George!"
Setelah amarahnya hilang, kesedihannya timbul kembali. Matanya digenangi air
mata yang perlahan-lahan mengalir turun ke pipinya yang sudah setengah baya.
"Memang bisa aku mengatakan tak tahan lagi, tapi apa yang bisa kuperbuat?"
Tiba-tiba ia merasa kesepian, tak berdaya, dan benar-benar putus asa. Perlahanlahan diambilnya surat kabar pagi dan untuk kesekian kalinya dibacanya iklan
yang tercantum di halaman pertama.
PRIBADI Apakah Anda tidak bahagia"
Kalau begitu, mintalah nasihat Mr. Parker Pyne,
Richmond Street nomor 17.
"Tak masuk akal!" kata Mrs. Packington. "Sama sekali tak masuk akal." Tapi
kemudian, "Bagaimanapun, tak ada salahnya kalau aku mencoba...."
Itulah sebabnya pada jam sebelas, Mrs. Packington yang agak gugup dipersilakan
masuk ke kantor pribadi Mr. Parker Pyne.
Meski merasa gugup, entah bagaimana, baru melihat Mr. Parker Pyne saja Mrs.
Packington sudah merasa lebih tenang. Pria itu bertubuh besar, tapi tidak gemuk,
kepalanya botak berbentuk anggun, kacamatanya tebal, matanya kecil dan bersinarsinar. "Silakan duduk," kata Mr. Parker Pyne. "Apakah Anda datang berdasarkan iklan
saya?" katanya lagi.
"Ya," sahut Mrs. Packington, tanpa berkata apa-apa lagi.
"Dan Anda tidak bahagia," kata Mr. Parker Pyne dengan gaya tegas namun ceria.
"Sedikit sekali orang yang bahagia. Anda pasti akan terkejut sekali kalau tahu
betapa sedikitnya orang yang bahagia."
"Begitukah?" kata Mrs. Packington, tak peduli apakah orang-orang lain bahagia
atau tidak. "Saya tahu, itu pasti tidak menarik bagi Anda," kata Mr. Parker Pyne, "tapi bagi
saya itu menarik sekali. Soalnya, selama tiga puluh lima tahun saya bertugas
mengumpulkan statistik di sebuah kantor pemerintah. Sekarang saya sudah pensiun,
dan saya lalu memutuskan untuk memanfaatkan pengalaman yang sudah saya peroleh
itu dengan cara yang baik sekali. Semuanya begitu sederhana. Rasa tidak bahagia
bisa digolongkan pada lima pokok yang utama - tidak lebih, yakinlah. Begitu kita
tahu penyebab suatu penyakit, obatnya bukanlah sesuatu yang tak mungkin.
"Saya bekerja seperti seorang dokter. Mula-mula dokter mendiagnosis keluhan si
pasien, kemudian memberikan petunjuk cara pengobatan. Ada kasus di mana
pengobatannya tidak ada. Dalam hal itu, saya mengatakan terus terang bahwa saya
tak bisa berbuat apa-apa. Tapi yakinlah, Mrs. Packington, bila saya menangani
suatu perkara, pengobatannya boleh dikatakan terjamin."
Mungkinkah begitu" Apakah itu omong kosong belaka, atau benar" Mrs. Packington
memandangi Mr. Parker Pyne dengan penuh harapan.
"Mari kita diagnosis perkara Anda," kata Mr. Parker Pyne sambil tersenyum. Ia
bersandar di kursinya dan mempertemukan ujung-ujung jemarinya. "Kesulitannya
adalah suami Anda. Secara umum, kehidupan perkawinan Anda bahagia. Saya rasa
suami Anda bisa memberikan kemakmuran hidup. Saya rasa ada seorang gadis yang
terlibat dalam perkara ini - mungkin seorang gadis di kantor suami Anda."
"Seorang juru tik," kata Mrs. Packington. "Seorang gadis kotor yang kurang ajar,
dengan rias wajah tebal, cat bibirnya merah sekali, memakai stocking dari sutra
dan rambutnya dikeriting." Kata-kata itu meluncur dengan cepat.
Mr. Parker Pyne mengangguk dengan sikap menghibur. "Itu tak ada salahnya - pasti
begitu kata suami Anda."
"Benar." "Jadi, apa salahnya kalau dia menjalin persahabatan yang menyenangkan dengan
gadis itu, dan memberikan sedikit keceriaan, sedikit kesenangan ke dalam
hidupnya yang membosankan" Kasihan gadis itu, sedikit sekali dia bisa bersenangsenang. Saya rasa begitulah perasaan suami Anda."
Mrs. Packington mengangguk dengan bersemangat. "Gombal. Semua gombal! Gadis itu
diajaknya bersenang-senang di sungai. Saya sendiri suka sekali akan sungai, tapi
lima atau enam tahun yang lalu katanya dia tak bisa lagi mengajak saya ke
sungai, karena dia harus main golf. Tapi demi gadis itu, suami saya mengorbankan
golf. Saya suka nonton di teater, tapi George selalu berkata bahwa dia terlalu
letih untuk keluar malam. Sekarang dia membawa gadis itu pergi berdansa - dansa!
Dan jam tiga subuh baru kembali. Saya... saya..."
"Lalu dia pasti mengemukakan bahwa perempuan selalu cemburu, cemburu buta,
padahal sama sekali tak ada alasan untuk merasa cemburu?"
Lagi-lagi Mrs. Packington mengangguk. "Memang." Lalu ia bertanya dengan tajam,
"Bagaimana Anda bisa tahu semuanya itu?"
"Dari statistik," kata Mr. Parker Pyne dengan sederhana.
"Saya risau sekali," kata Mrs. Packington. "Selama ini saya adalah istri yang
baik bagi George. Pada saat-saat awal perkawinan kami, saya selalu bekerja
keras. Saya membantunya demi kemajuannya. Saya tak pernah melirik laki-laki
lain. Barang-barangnya selalu saya jaga, saya beri dia makanan yang baik,
rumahnya saya pelihara dengan baik dan hemat. Dan sekarang, setelah kami sudah
maju dan bisa menikmati hidup serta sekali-sekali bepergian dan melakukan apaapa yang sudah lama saya inginkan... yah, sekarang begini!" Wanita itu meneguk
ludahnya dengan keras. Mr. Parker Pyne mengangguk dengan bersungguh-sungguh. "Yakinlah, saya mengerti
benar persoalan Anda."
"Dan... bisakah Anda berbuat sesuatu?" Pertanyaan itu diajukan dengan berbisik.
"Tentu saja, ibu yang baik. Pasti ada obatnya. Ya, pasti ada obatnya."
"Apa?" Ia menunggu dengan mata lebar dan penuh harap.
Mr. Parker Pyne berbicara dengan suara halus namun tegas, "Serahkan saja diri
Anda ke dalam tangan saya, dan bayarannya dua ratus guinea." (1 guinea = 21
shilling). "Dua ratus guinea!"
"Benar. Anda mampu membayar tarif itu, Mrs. Packington. Anda pasti bersedia
membayar sejumlah itu untuk suatu operasi. Kebahagiaan sama saja dengan
kesehatan tubuh." "Apakah saya harus membayar sesudahnya?"
"Sebaliknya," kata Mr. Parker Pyne. "Anda harus membayar saya di muka."
Mrs. Packington bangkit. "Saya rasa saya tak mau..."
"Membeli kucing dalam karung?" kata Mr. Parker Pyne dengan ceria. "Yah, mungkin
Anda benar. Terlalu besar risikonya untuk uang sebanyak itu. Soalnya Anda harus
mempercayai saya. Anda harus membayar uang itu dan menanggung risikonya. Itulah
persyaratan saya." "Dua ratus guinea!"
"Tepat. Dua ratus guinea. Memang jumlah yang besar. Selamat pagi, Mrs.
Packington. Beritahu saja saya, bila Anda berubah pikiran." Mereka bersalaman.
Mr. Parker Pyne tersenyum dengan tulus.
Setelah wanita itu pergi, ditekannya sebuah tombol di meja kerjanya. Seorang
wanita muda yang tidak menarik dan berkacamata memenuhi panggilan itu.
"Tolong ambilkan arsip baru, Miss Lemon. Dan sebaiknya katakan pula pada Claude
bahwa mungkin sebentar lagi saya akan membutuhkannya."
"Ada klien baru?"
"Ya. Sekarang ini dia menolak, tapi dia pasti kembali. Mungkin petang ini, kirakira jam empat. Antar dia masuk."
"Daftar A?" "Benar, daftar A. Menarik ya, setiap orang mengira hanya dirinya yang memiliki
persoalan unik. Yah, sudahlah, pokoknya beritahu Claude. Katakan padanya supaya
jangan terlalu berlebihan. Jangan pakai wewangian, dan sebaiknya rambutnya
dipotong pendek." Pukul empat lewat seperempat, Mrs. Packington sekali lagi masuk ke kantor Mr.
Parker Pyne. Ia mengeluarkan sebuah buku cek, menuliskan jumlah uang yang
diminta, lalu menyerahkannya pada Mr. Parker Pyne, yang memberinya kuitansi.
"Lalu sekarang?" Mrs. Packington melihat padanya dengan penuh harapan.
"Dan sekarang," kata Mr. Parker Pyne sambil tersenyum, "Anda harus pulang.
Besok, lewat pos, Anda akan menerima beberapa instruksi. Saya akan senang bila
Anda menjalankan semua instruksi itu."
Mrs. Packington pulang dengan perasaan senang dan penuh harap. Suaminya tiba di
rumah dengan tekad untuk membela diri bila pertengkaran yang terjadi pada waktu
sarapan pagi itu berulang kembali. Tapi ia lega karena menemukan istrinya tampak
tidak sedang ingin bertengkar, dan malah lebih banyak merenung.
George mendengarkan radio dan bertanya-tanya sendiri, apakah si kecil Nancy itu
akan mengizinkan ia membelikannya mantel bulu binatang. Ia tahu gadis itu punya
harga diri. Ia tak ingin menyinggung perasaan Nancy. Tapi gadis itu sering
mengeluhkan udara yang dingin. Mantelnya yang dari bahan triko itu murahan dan
tak bisa mengusir dingin. Mungkin ia bisa melakukannya sedemikian rupa hingga
gadis itu tidak menolak, mungkin...
Mereka harus keluar bersama lagi secepatnya. Rasanya menyenangkan sekali
mengajak gadis seperti dia ke sebuah restoran terkemuka. Mr. Packington bisa
melihat bahwa beberapa anak muda merasa iri padanya. Sebab gadis itu cantik luar
biasa. Dan gadis itu menyukainya. Kata Nancy, baginya George sama sekali tidak
tua. George mendongak dan mendapati istrinya sedang menatapnya. Tiba-tiba ia merasa
bersalah dan kesal. Betapa picik dan penuh curiganya Maria! Ia tidak mengizinkan
suaminya menikmati kebahagiaan sedikit pun.
George mematikan radio, lalu pergi tidur.
Keesokan paginya, Mrs. Packington menerima dua pucuk surat yang tak terduga.
Salah satunya adalah sebuah formulir yang menyatakan janji dengan sebuah salon
kecantikan terkenal. Dan yang kedua merupakan janji pertemuan dengan seorang
tukang jahit. Yang ketiga adalah surat dari Mr. Parker Pyne, yang mengundangnya
untuk menemaninya makan siang di Restoran Ritz hari itu.
Mr. Packington berkata bahwa malam itu ia tak bisa pulang untuk makan malam,
karena ia harus menemui seorang rekan bisnis. Mrs. Packington hanya mengangguk
dengan linglung, dan Mr. Packington berangkat ke kantor sambil mengucapkan
selamat pada dirinya sendiri karena tidak harus menghadapi badai.
Ahli kecantikannya sangat mengesankan. Anda telah mengabaikan diri Anda, Madam,
mengapa" Sebenarnya sudah bertahun-tahun yang lalu ini harus ditangani. Meskipun
demikian, sekarang belum terlambat.
Wajahnya pun dirawat; ditekan-tekan, dipijat-pijat, dan diuapi. Kemudian
dibubuhi lumpur dan krim. Disapukan bedak. Dan diberikan sentuhan-sentuhan
terakhir. Akhirnya ia diberi cermin. "Kurasa aku benar-benar kelihatan lebih muda,"
pikirnya. Pukul setengah dua, Mrs. Packington memenuhi janji pertemuannya di Restoran
Ritz. Mr. Parker Pyne yang berpakaian necis dan memberikan kesan meyakinkan yang
membesarkan hati, sudah menunggunya.
"Menarik sekali," katanya sambil memandangi Mrs. Packington dari atas ke bawah
dengan mata berpengalaman. "Saya telah memberanikan diri untuk memesankan
penanganan perbaikan penampilan bagi Anda."
Mrs. Packington yang tidak biasa makan resmi di luar rumah tidak membantah.
Sambil menyeruput perlahan-lahan minuman yang luar biasa itu, ia mendengarkan
instrukturnya yang tulus hati itu.
"Suami Anda, Mrs. Packington," kata Mr. Parker Pyne, "harus kita buat supaya
matanya terbuka. Anda mengerti, kan" Untuk itu, saya akan memperkenalkan Anda
pada seorang teman saya yang masih muda. Hari ini Anda akan makan siang
bersamanya." Pada saat itu seorang anak muda masuk, sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
Terlihat olehnya Mr. Parker Pyne, dan dengan bergaya ia berjalan ke arah mereka.
"Mrs. Packington, kenalkan Mr. Claude Luttrell."
Mr. Claude Luttrell mungkin belum berumur tiga puluh tahun. Ia penuh gaya, baik
hati, pakaiannya sempurna, dan ia tampan luar biasa.
"Saya senang bertemu dengan Anda," gumam anak muda itu.
Tiga menit kemudian, Mrs. Packington duduk berhadapan dengan instrukturnya yang
baru di sebuah meja khusus untuk dua orang.
Mula-mula ia malu-malu, tapi Mr. Luttrell segera membesarkan hatinya. Ia
mengenal kota Paris dengan baik dan sudah sering pergi ke Riviera. Ia bertanya
apakah Mrs. Packington suka berdansa. Kata Mrs. Packington, ia suka, tapi akhirakhir ini ia jarang bisa berdansa, karena Mr. Packington tidak suka keluar
malam. "Tapi tak pantas dia membiarkan Anda tinggal di rumah terus," kata Claude
Luttrell sambil tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang bagus dan putih.
"Kaum wanita tak suka laki-laki yang cemburuan pada zaman sekarang ini."
Hampir saja Mrs. Packington berkata bahwa dalam hal ini tak ada soal cemburu.
Tapi kata-kata itu tidak diucapkannya. Soalnya, pendapat itu menyenangkan juga.
Claude Luttrell berbicara dengan ringan tentang kelab-kelab malam. Dicapailah
kesepakatan bahwa keesokan malamnya Mrs. Packington dan Mr. Luttrell akan
mengunjungi kelab malam Lesser Archangel yang populer itu.
Mrs. Packington agak gugup saat harus mengatakan hal itu pada suaminya. Ia
merasa George akan menganggap hal itu luar biasa, dan bahkan mungkin
menggelikan. Tapi ia diselamatkan dari kebimbangan itu. Ia terlalu gugup untuk
mengatakannya pada waktu sarapan, lalu pada pukul dua ia menerima pesan lewat
telepon yang mengatakan bahwa Mr. Packington akan makan malam di kota.
Malam itu sungguh menyenangkan. Ketika masih gadis, Mrs. Packington pandai
sekali berdansa, dan dengan tuntunan Claude Luttrell yang mahir, wanita itu
segera bisa mengikuti langkah-langkah modern. Mr. Luttrell memuji gaunnya, juga
tatanan rambutnya. (Pagi itu ia dibuatkan janji dengan seorang penata rambut
modern.) Pada waktu perpisahan, Mr. Luttrell mencium tangannya dengan cara
sangat mendebarkan. Sudah bertahun-tahun Mrs. Packington tak pernah menikmati
malam seindah itu. Maka dimulailah sepuluh hari yang sangat membingungkan. Mrs. Packington makan
siang, minum teh, makan malam, dan berdansa sampai larut malam. Ia mendengar
tentang masa kanak-kanak Claude Luttrell yang menyedihkan. Ayah Claude telah
kehilangan semua uangnya, kisah percintaan Claude menyedihkan, dan perasaannya
sudah getir terhadap wanita pada umumnya.
Pada hari kesebelas, mereka berdansa di kelab Red Admiral. Mrs. Packington lebih
dulu melihat suaminya sebelum suaminya melihatnya. George bersama gadis dari
kantornya itu. Kedua pasangan itu berdansa.
"Halo, George," kata Mrs. Packington dengan ringan, waktu mereka berpapasan di
lantai dansa itu. Ia senang melihat wajah suaminya yang mula-mula memerah, lalu menjadi merah
padam karena terkejut. Rasa terkejut itu agaknya bercampur dengan rasa bersalah.
Mrs. Packington merasa senang berada di atas angin. Kasihan George! Setelah
kembali ke meja mereka, dipandanginya pasangan suaminya. Suaminya tampak gendut
sekali, sudah botak, dan kelihatan lucu pada saat melangkah! George berdansa
dengan gaya dua puluh tahun yang lalu. Kasihan George, dia pasti ingin sekali
muda kembali! Dan gadis malang pasangannya itu harus berpura-pura senang. Kini
wajahnya tampak bosan. Mrs. Packington sendiri membuat orang merasa iri. Mrs.
Packington menoleh ke arah Claude yang bersikap sempurna dengan berdiam diri.
Betapa pandainya pemuda ini menunjukkan pengertiannya. Ia tak pernah mencela,
padahal para suami setelah beberapa tahun pasti suka mencela.
Mrs. Packington melihat lagi pada anak muda itu. Mata mereka bertemu. Pemuda itu
tersenyum, matanya yang gelap dan indah begitu murung dan begitu romantis ketika
ia menatap dengan lembut.
"Mau dansa lagi?" gumamnya.
Mereka berdansa lagi. Serasa di surga!
Mrs. Packington melihat George mengikuti mereka dengan rasa menyesal. Ia ingat
bahwa tujuannya memang membuat suaminya cemburu. Rasanya rencana itu sudah lama
sekali ada di benaknya! Tapi kini ia tak ingin George cemburu. George akan
sedih. Tapi mengapa harus sedih" Bukankah mereka sama-sama senang"
Mr. Packington sudah pulang satu jam sewaktu Mrs. Packington masuk. Suaminya
tampak bingung dan tidak yakin akan dirinya sendiri.
"Wah," katanya. "Baru kembali kau."
Mrs. Packington menanggalkan jas pendek untuk pesta, yang baru dibelinya pagi
itu dengan harga empat puluh guinea. "Ya," katanya sambil tersenyum. "Aku
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali." George mendeham. "Eh... rasanya aneh bertemu denganmu tadi."
"Masa?" kata Mrs. Packington.
"Aku... eh, kupikir baik kalau aku mengajak gadis itu keluar. Dia mengalami
banyak kesulitan di rumahnya. Jadi, kupikir... yah, baik juga, kau mengerti
kan?" Mrs. Packington mengangguk. Kasihan George - berjingkrak-jingkrak sampai kepanasan
tadi dan merasa senang sendiri.
"Siapa anak muda yang bersamamu itu" Aku tidak kenal dia."
"Luttrell, namanya Claude Luttrell."
"Bagaimana kau bertemu dengannya?"
"Oh, seseorang memperkenalkanku padanya," kata Mrs. Packington samar-samar.
"Aneh juga kau pergi berdansa... mengingat umurmu. Tak baik kalau kau sampai
jadi tertawaan orang, Sayang."
Mrs. Packington tersenyum. Ia merasa harus berbaik hati pada seluruh dunia,
hingga ia tak mau memberikan jawaban yang seharusnya diucapkannya. Ia hanya
berkata dengan ramah, "Perubahan selalu menyenangkan."
"Kau harus berhati-hati. Sekarang banyak sekali Kadal Terhormat berkeliaran.
Kaum wanita setengah bayalah yang biasanya menjadi korban permainan mereka. Aku
hanya mengingatkanmu, Sayang. Aku tak suka melihatmu melakukan sesuatu yang tak
pantas." "Menurutku perubahan suasana itu sangat menyenangkan," kata Mrs. Packington.
"Hmm... ya." "Kurasa kau juga begitu, kan?" kata Mrs. Packington dengan ramah. "Yang penting
merasa bahagia, bukan" Aku ingat kau berkata begitu waktu kita sedang sarapan,
kira-kira sepuluh hari yang lalu."
Suaminya menatapnya dengan tajam, tapi air muka Mrs. Packington sendiri sama
sekali tidak membayangkan ejekan. Ia menguap.
"Aku ingin tidur. Omong-omong, George, akhir-akhir ini aku boros sekali. Kita
akan menerima surat-surat tagihan dalam jumlah besar. Kau tidak keberatan, kan?"
"Surat-surat tagihan?" kata Mr. Packington.
"Ya. Untuk pakaian. Pijatan-pijatan. Dan tatanan rambut. Pokoknya aku luar biasa
borosnya. Tapi aku yakin kau tidak keberatan."
Ia pun menaiki tangga. Tinggallah Mr. Packington dengan mulut ternganga. Maria
baik sekali malam ini; kelihatannya ia sama sekali tak peduli. Tapi sayangnya ia
tiba-tiba banyak membelanjakan liang. Padahal Maria biasanya adalah si penghemat
yang pantas dijadikan panutan!
Dasar perempuan! George Packington menggelengkan kepalanya. Dan saudara-saudara
laki-laki gadis itu akhir-akhir ini mulai menggerogotinya. Tapi... yah, ia
senang saja membantu. Tapi sialnya keadaan di kota tidak terlalu baik.
Sambil mendesah, Mr. Packington perlahan-lahan menaiki tangga.
Kadang-kadang, kata-kata yang pada suatu saat terasa tidak penting, di kemudian
hari diingat kembali. Baru keesokan paginya kata-kata yang diucapkan Mr.
Packington benar-benar masuk ke dalam kesadaran istrinya.
Kadal-kadal terhormat; wanita-wanita setengah baya; teperdaya.
Mrs. Packington adalah wanita pemberani. Ia pun duduk dan menghadapi kenyataankenyataan. Seorang gigolo. Ia sering membaca tentang gigolo di koran-koran. Ia
juga sering membaca tentang betapa dungunya kebanyakan wanita setengah baya.
Apakah Claude seorang gigolo" Kelihatannya begitu. Tapi seorang gigolo biasanya
dibayar, sedangkan Claude selalu membayar untuknya. Ya, tapi Mr. Parker Pyne
yang membayar, bukan Claude - atau lebih tepatnya lagi, itu sebenarnya dibayarkan
dari uangnya sendiri yang dua ratus guinea itu.
Apakah ia sendiri seorang wanita setengah baya yang dungu" Apakah Claude
Luttrell menertawakannya di belakangnya" Wajahnya memerah mengingat hal itu.
Yah, bagaimana kalau memang begitu" Claude adalah seorang gigolo. Dirinya adalah
seorang wanita setengah baya yang dungu. Ia merasa harus memberikan sesuatu pada
Claude. Sebuah kotak rokok emas. Ya, benda semacam itu.
Suatu dorongan aneh membuatnya pergi pada saat itu juga ke toko Asprey.
Dipilihnya sebuah kotak rokok dan langsung dibayarnya. Hari itu ia akan makan
siang bersama Claude di Restoran Claridge.
Sedang mereka menghirup kopi, dikeluarkannya benda itu dari tasnya. "Sebuah
hadiah kecil," gumamnya.
Claude mendongak, dan mengernyit. "Untukku?"
"Ya. Ku... kuharap kau suka."
Tangan Claude menutupi tangan Mrs. Packington yang terulur, lalu mendorongnya
dengan keras di meja. "Mengapa kauberikan itu padaku" Aku tak mau menerimanya.
Ambil kembali. Ambil kembali, kataku." Ia marah. Matanya yang gelap menyala.
Mrs. Packington bergumam, "Maaf," lalu memasukkan benda itu kembali ke dalam
tasnya. Hari itu terasa ada ketegangan di antara mereka.
Keesokan paginya Claude meneleponnya. "Aku harus bertemu denganmu. Bolehkah aku
datang ke rumahmu petang ini?"
Mrs. Packington menyuruhnya datang jam tiga.
Claude tiba dengan wajah pucat dan tegang sekali. Mereka saling menyapa.
Ketegangan makin terasa. Tiba-tiba Claude melompat dan berdiri memandanginya. "Kaupikir aku ini apa" Aku
datang untuk menanyakan hal itu. Selama ini kita kan bersahabat" Ya, bersahabat.
Padahal selama itu pula kaupikir aku ini... seorang gigolo. Makhluk yang
dihidupi oleh kaum wanita. Kadal Terhormat. Begitu kan?"
"Tidak, tidak."
Claude menyingkirkan bantahan itu. Wajahnya jadi pucat sekali. "Kau memang
berpikiran begitu! Yah, itu memang benar. Aku datang untuk mengatakan hal itu.
Itu benar! Aku mendapat perintah untuk mengajakmu ke tempat-tempat tertentu,
untuk menghiburmu, untuk bercintaan denganmu, supaya kau melupakan suamimu.
Itulah mata pencaharianku. Menjijikkan, bukan?"
"Untuk apa itu semua kauceritakan?" tanya Mrs. Packington.
"Karena aku sudah bosan. Aku tak bisa meneruskannya lagi. Apalagi denganmu. Kau
lain. Kau adalah wanita yang bisa kupercayai, bisa kupuja. Kaupikir aku asal
mengatakannya saja. Kaupikir ini bagian dari permainan." Ia mendekat. "Akan
kubuktikan padamu bahwa ini bukan bagian dari permainan. Aku akan pergi - karena
kau. Aku akan menjadikan diriku laki-laki sejati, bukan makhluk menjijikkan
sebagaimana aku selama ini."
Tiba-tiba dirangkulnya Mrs. Packington. Bibirnya menutupi bibir wanita itu.
Kemudian dilepaskannya dan ia menjauh.
"Selamat tinggal. Selama ini aku jahat - selalu. Tapi aku bersumpah, mulai
sekarang aku akan berubah. Ingatkah kau, kau pernah berkata bahwa kau suka
membaca kolom Kesedihan" Setiap tahun, pada tanggal hari ini, kau akan menemukan
sebuah iklan pesan dariku yang mengatakan bahwa aku ingat dan keadaanku baikbaik saja. Supaya kau tahu, apa arti dirimu bagiku. Satu hal lagi. Aku tak
pernah mengambil apa-apa darimu. Aku ingin kau menerima sesuatu dariku."
Dicabutnya sebentuk cincin emas tanpa permata dari jarinya. "Ini dulu milik
ibuku. Aku ingin kau memilikinya. Nah, selamat tinggal."
George Packington pulang awal. Didapatinya istrinya duduk sambil memandangi api
di perapian, dengan pandangan menerawang. Istrinya menyapanya dengan ramah,
namun linglung. "Dengar, Maria," katanya tiba-tiba. "Mengenai gadis itu?"
"Ya, Sayang?" "Aku... aku tak pernah bermaksud membuatmu sedih. Mengenai dia... tak ada apaapanya." "Aku tahu. Aku yang tolol. Temuilah dia sesering yang kauinginkan, bila itu
membahagiakanmu." Seharusnya kata-kata itu membesarkan hati George Packington. Anehnya, kata-kata
itu membuatnya jengkel. Bagaimana kita bisa senang mengajak seorang gadis ke
mana-mana, bila istri kita terang-terangan mendorong kita untuk itu" Lagi pula,
itu tak pantas! Semua perasaan bahwa dirinya seorang pria periang, pria kuat
yang sedang bermain api, sudah padam dan sirna sama sekali. George Packington
tiba-tiba merasa letih dan kantongnya kosong. Gadis itu memang gadis kecil yang
licik. "Barangkali sebaiknya kita berdua bepergian sebentar. Maukah kau, Maria?"
usulnya malu-malu. "Ah, tak usah pikirkan aku. Aku cukup bahagia."
"Tapi aku ingin mengajakmu pergi. Kita bisa pergi ke Riviera."
Mrs. Packington tersenyum padanya dari jauh.
Kasihan George. Ia sangat mencintai suaminya itu. George laki-laki yang
berperasaan. Tak ada keindahan dalam hidup suaminya itu, sebagaimana yang ada
padanya. Ia pun tersenyum makin lembut.
"Itu akan menyenangkan sekali, Sayang," katanya.
Pada saat itu Mr. Parker Pyne sedang berbicara pada Miss Lemon. "Berapa
pengeluaran untuk menghibur?"
"Seratus dua pound, empat belas shilling, dan enam pence," kata Miss Lemon.
Pintu didorong terbuka dan Claude Luttrell masuk. Ia kelihatan murung.
"Selamat pagi, Claude," kata Mr. Parker Pyne. "Semuanya berjalan dengan
memuaskan?" "Saya rasa begitu."
"Bagaimana dengan cincin itu" Omong-omong, nama apa yang kaucantumkan di
dalamnya?" "Matilda," kata Claude dengan murung. "Tahun 1899."
"Bagus. Kata-kata apa yang dipakai untuk iklannya?"
"'Baik-baik saja. Tetap ingat. Claude.'"
"Tolong catat itu, Miss Lemon. Dalam kolom Kesedihan. Tanggal tiga November
selama... coba kuhitung dulu, yang sudah dikeluarkan seratus dua pound, empat
belas shilling, dan enam pence. Ya, kurasa selama sepuluh tahun. Dengan begitu,
kita masih mendapatkan keuntungan sebesar sembilan puluh dua pound, dua
shilling, dan empat pence. Lumayan. Cukup lumayan."
Miss Lemon berlalu. "Dengar," Claude meledak. "Saya tak suka ini. Ini permainan kotor."
"Anakku yang baik!"
"Ya, permainan kotor. Dia perempuan baik-baik - orang baik. Dan saya harus
mengatakan semua kebohongan itu padanya, menceritakan semua kesedihan itu
padanya. Saya muak!"
Mr. Parker Pyne memperbaiki letak kacamatanya, lalu memandangi Claude. "Astaga!"
katanya datar. "Tak terpikir olehku bahwa nuranimu pernah terganggu selama
menjalani... ahem... kariermu yang buruk itu. Permainan-permainanmu yang lain di
Riviera selama ini lancar saja, dan perlakuanmu terhadap Mrs. Hattie West, istri
Raja Mentimun dari California itu, luar biasa sekali, gara-gara naluri kerasmu
untuk mendapatkan keuntungan yang kauperlihatkan."
"Yah, saya sudah mulai merasa lain," gerutu Claude. "Permainan ini... tak baik."
Mr. Parker Pyne berbicara dengan gaya seorang kepala sekolah yang sedang menegur
murid kesayangannya. "Claude yang baik, kau telah melakukan perbuatan yang
terpuji. Kau telah memberikan pada seorang wanita yang tidak bahagia, sesuatu
yang dibutuhkan oleh semua wanita - - keindahan cinta. Seorang wanita bisa
menghancurkan nafsu dan tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa darinya, tapi
keindahan cinta bisa disimpan baik-baik dengan beralaskan bunga, untuk ditengok
lagi selama bertahun-tahun mendatang. Aku tahu betul sifat manusia, anakku, dan
percayalah, seorang wanita bisa mendapatkan hiburan dari peristiwa semacam itu,
selama bertahun-tahun." Ia mendeham. "Kita telah membelanjakan uang komisi dari
Mrs. Packington dengan cara yang sangat memuaskan."
"Yah," gumam Claude, "pokoknya saya tak suka." Ia pun keluar dari ruangan itu.
Mr. Parker Pyne mengeluarkan sebuah catatan baru dari laci, dan ia menulis:
Tanda-tanda yang menarik. Munculnya suara hati pada seorang Kadal Terhormat yang
sudah terlatih. Catatan: Pelajari perkembangannya.
KASUS PERWIRA YANG TIDAK PUAS
MAYOR WILBRAHAM bimbang setibanya di pintu kantor Mr. Parker Pyne. Untuk
kesekian kali dibacanya lagi iklan yang tercantum di harian pagi, yang merupakan
alasan kedatangannya ke tempat itu. Iklan itu sederhana saja:
PRIBADI Apakah Anda tidak bahagia"
Kalau begitu, mintalah nasihat Mr. Parker Pyne,
Richmond Street nomor 17.
Mayor itu menarik napas panjang, lalu dengan langkah tegas memasuki pintu putar
yang menuju bagian luar kantor. Seorang wanita muda yang biasa-biasa saja
mengangkat wajah dari mesin tiknya, lalu melihat padanya dengan pandangan
bertanya. "Mr. Parker Pyne?" tanya Mayor Wilbraham dengan wajah merah.
"Mari saya antar."
Diikutinya gadis itu memasuki bagian dalam kantor, menemui Mr. Parker Pyne yang
ramah. "Selamat pagi," kata Mr. Pyne. "Silakan duduk. Apa yang bisa saya lakukan untuk
Anda?" "Nama saya Wilbraham," kata tamunya.
"Mayor" Atau Kolonel?" tanya Mr. Pyne.
"Mayor." "Oh! Dan pasti baru kembali dari luar negeri" Dari India" Atau Afrika Timur?"
"Afrika Timur."
"Saya rasa itu negara yang bagus. Nah, sekarang Anda sudah kembali ke rumah...
dan Anda tak senang. Itukah kesulitannya?"
"Anda benar sekali. Entah bagaimana Anda sampai tahu."
Mr. Parker Pyne mengangkat tangannya memberi isyarat. "Urusan saya adalah untuk
mengetahui. Soalnya, selama tiga puluh lima tahun pekerjaan saya adalah
mengumpulkan statistik di sebuah kantor pemerintah. Sekarang saya sudah pensiun,
dan saya pikir sebaiknya pengalaman yang sudah saya dapatkan saya manfaatkan
dengan cara yang menguntungkan. Ketidakbahagiaan bisa disebabkan oleh lima
alasan utama - yakinlah, tak lebih dari itu. Begitu kita mengetahui sebab dari
suatu penyakit, maka pengobatannya bukanlah hal yang mustahil.
"Saya ini seperti seorang dokter. Mula-mula dokter mendiagnosis gangguan yang
dirasakan oleh pasien, kemudian menganjurkan pengobatannya. Ada kasus-kasus yang
tak ada pengobatannya. Dalam hal semacam itu, saya katakan dengan terus terang
bahwa saya tak bisa berbuat apa-apa. Tapi bila saya menangani suatu penyakit,
maka penyembuhannya bisa dijamin.
"Yakinlah, Mayor Wilbraham, bahwa sembilan puluh enam persen dari para pembangun
kekaisaran - begitulah saya menyebutnya - merasa tidak bahagia. Mereka harus
mengganti kehidupan yang aktif, penuh tanggung jawab dan bahaya, dengan... apa"
Kekayaan yang terbatas, iklim yang tidak bersahabat, dan perasaan bagaikan ikan
yang terdampar di darat."
"Semua yang Anda katakan itu benar," kata sang mayor. "Kebosananlah yang paling
saya rasakan. Kebosanan dan tetek-bengek yang tak berkesudahan tentang soal-soal
remeh di desa. Tapi apalah yang bisa saya lakukan" Saya punya sedikit uang di
samping pensiun saya. Saya punya gubuk yang menyenangkan di dekat Cobham. Saya
tak mampu pergi berburu, menembak, atau memancing. Saya tidak menikah. Tetanggatetangga saya orang-orang yang baik, tapi mereka tidak tahu apa-apa tentang halhal di luar pulau ini."
"Singkat cerita, persoalan Anda adalah, Anda merasa hidup ini membosankan," kata
Mr. Parker Pyne. "Membosankan sekali."
"Anda menginginkan pengalaman mendebarkan, bahkan mungkin yang berbahaya?" tanya
Mr. Pyne. Perwira itu angkat bahu. "Mana ada yang seperti itu di negeri sekecil ini."
"Maaf," kata Mr. Pyne dengan serius. "Anda keliru, banyak sekali bahaya, banyak
pula hal mendebarkan di London ini kalau Anda tahu ke mana mencarinya. Anda
hanya melihat permukaan dari kehidupan kita di Inggris ini, yang tenang dan
menyenangkan. Padahal ada pula sisi lainnya. Kalau Anda mau, bisa saya
perlihatkan sisi lain itu."
Mayor Wilbraham memandanginya sambil merenung. Ada sesuatu yang meyakinkan pada
diri Mr. Pyne. Ia bertubuh besar, meskipun tak bisa dikatakan gemuk; kepalanya
botak, namun berbentuk serasi, kacamatanya tebal, dan matanya bersinar-sinar. Ia
memancarkan sesuatu... sesuatu yang bisa diandalkan.
"Tapi Anda harus saya peringatkan," lanjut Mr. Pyne, "bahwa ada unsur
risikonya." Mata prajurit itu bersinar. "Itu tak apa-apa," katanya. Lalu ia langsung berkata
lagi, "Bagaimana... dengan bayaran Anda?"
"Bayaran saya," kata Mr. Pyne dengan tegas, "lima puluh pound, yang harus
dibayarkan di muka. Bila dalam waktu sebulan Anda masih merasa bosan, uang Anda
akan saya kembalikan."
Wilbraham berpikir. "Cukup adil," katanya akhirnya. "Saya setuju. Akan saya
berikan cek sekarang."
Setelah transaksi selesai, Mr. Parker Pyne menekan tombol pemanggil di meja
kerjanya. "Sekarang jam satu," katanya. "Saya minta Anda mengajak seorang wanita muda
pergi makan siang." Pintu terbuka. "Oh, Madeleine, anakku, mari kuperkenalkan
Mayor Wilbraham, yang akan mengajakmu pergi makan siang."
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilbraham agak terkejut. Itu tidak mengherankan. Gadis yang masuk ke ruangan itu
berkulit gelap, lemah lembut, bermata indah dengan bulu mata hitam panjang, raut
wajahnya sempurna dan bibir merahnya menggairahkan. Pakaiannya bagus sekali,
memamerkan bentuk tubuhnya yang indah gemulai. Ia sempurna dari ujung rambut
sampai ujung kaki. "Eh... senang bertemu Anda," kata Mayor Wilbraham gugup.
"Miss de Sara," kata Mr. Parker Pyne.
"Anda baik sekali," gumam Madeleine de Sara.
"Saya sudah memiliki alamat Anda," kata Mr. Parker Pyne. "Besok pagi Anda akan
menerima instruksi-instruksi saya selanjutnya."
Mayor Wilbraham dan Madeleine yang cantik pun berangkat.
*** Jam tiga Madeleine kembali.
Mr. Parker Pyne mendongak. "Bagaimana?" tanyanya.
Madeleine menggeleng. "Dia takut pada saya," katanya. "Dikiranya saya pengisap
darah." "Sudah kuduga," kata Mr. Parker Pyne. "Sudah kaulaksanakan semua instruksiku?"
"Ya. Kami berbicara tentang orang-orang yang duduk di meja-meja lainnya. Agaknya
dia menyukai wanita berambut pirang, bermata biru, agak pucat, dan tidak terlalu
tinggi." "Itu mudah saja," kata Mr. Pyne. "Tolong ambilkan Rencana B, aku ingin melihat
bagaimana persediaan kita sekarang." Ditelusurinya sebuah daftar dengan jarinya,
dan akhirnya berhenti pada sebuah nama. "Freda Clegg. Ya, kurasa Freda Clegg
cocok sekali. Sebaiknya aku menemui Mrs. Oliver."
*** Keesokan harinya Mayor Wilbraham menerima sepucuk surat pendek yang berbunyi:
Pada hari Senin, jam sebelas pagi yang akan datang, pergilah ke Eaglemont,
Friars Lane, Hampstead, dan temuilah Mr. Jones. Perkenalkanlah diri Anda sebagai
petugas dari Guava Shipping Company.
Dengan patuh Mayor Wilbraham berangkat ke Eaglemont, Friars Lane, pada hari
Senin berikutnya (yang kebetulan adalah Hari Libur Perbankan). Ia memang
berangkat ke sana, tapi ia tidak sampai di tempat itu. Karena sebelum ia tiba di
sana, telah terjadi sesuatu.
Semua orang, bersama istri mereka, agaknya sedang dalam perjalanan ke Hampstead.
Mayor Wilbraham terkurung dalam kerumunan orang, terjerat dalam kereta bawah
tanah, dan sulit menemukan letak Friars Lane.
Friars Lane adalah sebuah jalan buntu yang terbengkalai, penuh dengan saluransaluran kecil. Di kiri-kanannya terdapat rumah-rumah yang menjorok ke dalam.
Rumah-rumah itu cukup besar dan pernah berjaya, tapi kini dibiarkan rusak.
Wilbraham menyusuri jalan itu sambil memandangi nama-nama yang sudah separuh
terhapus pada tiang pintu-pintu gerbangnya. Tiba-tiba didengarnya sesuatu yang
sangat mengejutkannya. Semacam suara dengkur setengah tercekik.
Suara itu terdengar lagi, dan kali ini samar-samar terdengar ucapan "Tolong!"
dari balik tembok rumah yang sedang dilaluinya.
Tanpa ragu sedikit pun, Mayor Wilbraham mendorong pintu pagar yang sudah rapuh
dan berlari di sepanjang jalan masuk ke rumah yang ditumbuhi rumput liar. Di
situ, di bawah semak-semak, tampak seorang gadis sedang berjuang dalam
cengkeraman dua orang negro bertubuh besar sekali. Gadis itu berjuang dengan
berani, menggeliat dan berputar-putar sambil menyepak-nyepak. Salah seorang
negro itu menutupi mulutnya dengan tangannya, meskipun gadis itu berjuang keras
untuk membebaskan kepalanya.
Karena sedang berusaha meringkus gadis itu, kedua negro tersebut tidak menyadari
kedatangan Wilbraham. Mereka baru menyadarinya setelah sebuah tinju keras
mendarat di rahang laki-laki yang sedang menutup mulut gadis itu, hingga ia
terkapar ke belakang. Karena terkejut, yang seorang lagi melepaskan pegangannya
pada gadis itu dan berbalik. Wilbraham sudah siap menyambutnya. Sekali lagi
tinjunya melayang, dan negro itu terdorong ke belakang dan jatuh. Wilbraham
berbalik ke arah yang seorang lagi, yang mendekat di belakangnya.
Tapi kedua laki-laki itu merasa tak kuat lagi. Laki-laki kedua berguling, duduk,
bangkit, lalu melarikan diri ke pintu pagar. Temannya menyusul.
Wilbraham mengejar mereka, tapi kemudian berbalik ke arah gadis itu, yang kini
bersandar pada sebatang pohon dengan napas terengah-engah.
"Aduh, terima kasih!" katanya terengah. "Mengerikan sekali."
Barulah terlihat oleh Wilbraham siapa orang yang secara kebetulan telah
diselamatkannya. Seorang gadis berumur kira-kira dua puluh satu atau dua puluh
dua tahun, berambut pirang, bermata biru, cantik, meskipun agak pucat.
"Kalau Anda tidak datang...!" katanya, terengah lagi.
"Sudahlah, sudahlah," kata Wilbraham menenangkan. "Sekarang sudah beres. Tapi
saya rasa sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Mungkin nanti kedua laki-laki
itu kembali." Gadis itu tersenyum kecil. "Saya rasa mereka tidak akan kembali, mengingat cara
Anda memukul mereka tadi. Wah, Anda hebat sekali!"
Wajah Wilbraham memerah melihat pandangan hangat yang mengandung rasa kagum dari
gadis itu. "Tak apa-apa," katanya samar-samar. "Itu sudah biasa. Coba Anda
berpegang pada lengan saya, bisakah Anda berjalan" Saya yakin itu tadi merupakan
pukulan hebat bagi Anda."
"Sekarang saya sudah tak apa-apa lagi," kata gadis itu, sambil menyambut lengan
yang terulur. Ia masih agak gemetar. Ia menoleh ke belakang, ke rumah itu, waktu
mereka keluar dari pintu pagarnya. "Saya benar-benar tak mengerti," gumamnya.
"Padahal rumah itu jelas-jelas kosong."
"Memang kosong," sang mayor membenarkan, sambil mendongak ke jendela-jendela
yang tertutup kerai-kerainya dan memberikan kesan terbengkalai.
"Padahal ini benar Whitefriars." Gadis itu menunjuk ke nama yang sudah setengah
terhapus pada pintu pagar itu. "Dan saya harus pergi ke Whitefriars."
"Jangan memikirkan apa-apa sekarang," kata Wilbraham. "Sebentar lagi kita bisa
mendapatkan taksi. Kita bisa pergi ke suatu tempat untuk minum kopi."
Di ujung jalan, mereka tiba di sebuah jalan yang lebih ramai, dan beruntung
karena sebuah taksi baru saja menurunkan penumpangnya di salah sebuah rumah.
Wilbraham memanggil taksi itu, memberikan sebuah alamat pada pengemudinya, dan
mereka masuk ke taksi itu.
"Jangan berbicara," katanya pada gadis itu. "Bersandar saja. Pengalaman Anda
buruk sekali." Gadis itu tersenyum penuh rasa terima kasih padanya.
"Omong-omong... eh... nama saya Wilbraham."
"Nama saya Clegg. Freda Clegg."
Sepuluh menit kemudian, Freda menyeruput kopi panas dan melihat ke seberang meja
kecil, pada penyelamatnya, dengan pandangan berterima kasih.
"Rasanya seperti mimpi," katanya. "Mimpi buruk." Ia tampak bergidik. "Padahal
belum lama saya menginginkan agar sesuatu terjadi... apa saja! Oh, tidak berarti
saya suka petualangan."
"Coba ceritakan bagaimana terjadinya."
"Yah, untuk menceritakannya dengan baik, saya rasa saya harus banyak berbicara
tentang diri saya sendiri."
"Pasti suatu bahan cerita yang bagus sekali," kata Wilbraham sambil membungkuk.
"Saya yatim piatu. Ayah saya - seorang kapten laut - meninggal waktu saya berumur
delapan tahun. Ibu saya meninggal tiga tahun yang lalu. Saya bekerja di kota, di
Vacuum Gas Company, bagian administrasi. Pada suatu malam, waktu saya kembali ke
rumah kos saya, saya dapati seorang pria menunggu untuk menemui saya. Dia
seorang pengacara bernama Mr. Reid, dari Melbourne.
"Dia sopan sekali dan menanyakan beberapa hal tentang keluarga saya.
Dijelaskannya bahwa dia pernah mengenal ayah saya beberapa tahun yang lalu. Dia
bahkan telah menangani beberapa urusan perdagangan untuk Ayah. Lalu
diceritakannya tujuan kedatangannya. 'Miss Clegg,' katanya, 'saya rasa Anda
berhak atas warisan, dari transaksi keuangan yang telah dilakukan oleh ayah Anda
beberapa tahun sebelum dia meninggal.' Saya tentu terkejut sekali.
"'Mungkin Anda tak pernah mendengar tentang hal itu,' jelasnya. 'Saya rasa John
Clegg tak pernah menganggap hal itu serius. Tapi, tanpa diduga, hal itu telah
mendatangkan keuntungan, tapi saya rasa kalau Anda ingin memilikinya, Anda harus
mempunyai surat-surat tertentu. Surat-surat itu merupakan bagian dari kekayaan
ayah Anda, tapi mungkin sudah dimusnahkan karena dianggap tidak berharga. Adakah
Anda menyimpan surat-surat ayah Anda itu"'
"Saya jelaskan bahwa ibu saya menyimpan beberapa barang Ayah dalam sebuah peti
tua pelaut. Saya sudah mencari sepintas lalu, tapi tidak menemukan apa-apa yang
berharga. "'Besar kemungkinan Anda tidak tahu betapa pentingnya dokumen-dokumen itu,'
katanya sambil tersenyum.
"Nah, saya cari peti itu, saya keluarkan surat-surat yang ada di dalamnya, dan
saya bawa semua padanya. Dia melihatnya, lalu katanya dia tak mungkin bisa
segera mengatakan mana yang ada hubungannya dengan urusan itu, dan mana yang
tidak. Dia mengatakan akan membawa semuanya dan akan menghubungi saya bila ada
sesuatu. "Melalui pos pada hari Sabtu, saya menerima surat darinya. Dia menganjurkan agar
saya datang ke rumahnya untuk membicarakan hal itu. Diberikannya alamat rumah
itu: Whitefriars, Friars Lane, Hampstead. Saya harus datang ke situ jam sebelas
kurang seperempat pagi ini.
"Agak terlambat saya menemukan rumah itu. Saya cepat-cepat memasuki gerbang dan
langsung menuju rumah. Lalu tiba-tiba dua orang yang mengerikan itu melompat
keluar dari semak-semak. Saya tak sempat berteriak. Salah seorang laki-laki itu
menutupi mulut saya. Saya renggutkan kepala saya untuk membebaskannya, lalu
berteriak meminta tolong. Untunglah Anda mendengar saya. Sekiranya tak ada
Anda..." Ia berhenti. Pandangannya sudah lebih jelas daripada kata-kata.
"Saya senang kebetulan berada di tempat itu. Wah, ingin benar saya menangkap
kedua penjahat itu. Saya rasa Anda belum pernah melihat mereka?"
Gadis itu menggeleng. "Menurut Anda, apa artinya itu?"
"Sulit mengatakannya. Tapi agaknya satu hal sudah jelas. Ada sesuatu yang
diinginkan oleh seseorang dari surat-surat ayah Anda itu. Laki-laki bernama Reid
itu telah membohongi Anda untuk mendapatkan kesempatan mencarinya. Agaknya dia
tidak menemukan apa yang dicarinya."
"Wah!" kata Freda. "Saya juga heran, karena waktu saya pulang pada hari Sabtu,
saya rasa barang-barang saya telah diacak-acak orang. Terus-terang, saya
mencurigai ibu kos saya yang telah membongkar kamar saya karena ingin tahu. Tapi
sekarang..." "Itu tergantung. Ada orang yang berhasil masuk ke kamar Anda, lalu mencari-cari
di situ, tapi tidak menemukan apa yang dicarinya. Dia curiga Anda sudah tahu
nilai surat-surat itu, atau entah apalah itu. Dia juga curiga Anda membawanya
sendiri. Maka direncanakannyalah penyerangan itu. Sekiranya surat-surat itu ada
pada Anda, pasti sudah diambil. Kalau tidak, Anda akan disandera sementara dia
mencoba memaksa Anda untuk mengatakan di mana surat-surat itu disembunyikan."
"Tapi surat apa itu sebenarnya?" seru Freda.
"Entahlah. Tapi itu pasti sangat penting baginya."
"Rasanya tak mungkin."
"Ah, entahlah. Ayah Anda seorang pelaut. Dia sudah pergi ke tempat-tempat yang
jauh sekali. Mungkin dia telah menemukan sesuatu yang tidak dia sadari
nilainya." "Apakah Anda pikir begitu?" Pipi pucat gadis itu jadi bersemu dadu oleh semangat
yang timbul mendadak. "Ya. Masalahnya sekarang, apa yang harus kita lakukan" Saya rasa Anda tak mau
melapor pada polisi?"
"Oh, tidak." "Saya senang Anda berkata begitu. Saya rasa tak banyak yang bisa dilakukan
polisi, dan hal itu hanya akan mendatangkan gangguan saja bagi Anda. Sekarang
saya usulkan agar Anda mengizinkan saya mengajak Anda makan siang di suatu
tempat, dan supaya kemudian saya boleh menemani Anda pulang ke rumah kos Anda,
supaya Anda bisa selamat. Setelah itu mungkin kita bisa mencari surat-surat itu.
Karena surat itu pasti ada di suatu tempat."
"Mungkin ayah saya sendiri telah memusnahkannya."
"Mungkin, tapi pihak yang lain itu agaknya tidak berpendapat begitu, dan kita
jadi punya harapan."
"Menurut Anda, masalah apakah ini" Apakah harta karun tersembunyi?"
"Ya, mungkin!" seru Mayor Wilbraham. Ia jadi merasa seperti anak kecil yang
penuh semangat, mendengar kata-kata itu. "Tapi sekarang, Miss Clegg, kita harus
pergi makan!" Mereka makan dengan senang. Wilbraham menceritakan semua pengalamannya di Afrika
Timur. Dilukiskannya tentang perburuan gajah, dan gadis itu tampak sangat
terkesan. Setelah selesai makan, Wilbraham mendesak untuk mengantarnya pulang
naik taksi. Rumah kos gadis itu berdekatan dengan Notting Hill Gate. Setiba di sana, Freda
berbicara sebentar dengan ibu kosnya. Lalu ia kembali pada Wilbraham dan
mengajaknya naik ke lantai dua, ke kamar tidurnya yang merangkap kamar duduk
kecil. "Tepat sekali seperti dugaan kita," kata gadis itu. "Pada hari Sabtu pagi,
seorang pria datang dengan alasan akan memasang kabel listrik baru; katanya ada
yang tidak beres pada perkabelan di kamar saya. Beberapa lamanya dia berada di
sini." "Tolong perlihatkan peti ayah Anda itu," kata Wilbraham.
Freda memperlihatkan sebuah peti berbingkai kuningan. "Lihatlah," katanya,
sambil mengangkat tutupnya, "kosong."
Perwira itu mengangguk sambil merenung. "Lalu apakah tak ada surat-surat di
tempat lain?" "Saya yakin tak ada. Ibu menyimpan semuanya di sini."
Wilbraham memeriksa bagian dalam peti itu. Tiba-tiba ia berseru. "Ada sobekan di
kain pelapis di sini." Dengan hati-hati dimasukkannya tangannya, sambil merabaraba. Ia menemukan sehelai kertas. "Ada sesuatu terselip di belakang sini."
Sebentar kemudian dikeluarkannya apa yang ditemukannya. Sehelai kertas kotor
yang terlipat beberapa kali. Dilicinkannya kertas itu di meja; Freda melihat
dari balik pundaknya. Lalu ia berseru kecewa.
"Hanya tanda-tanda yang aneh."
"Wah, surat ini ditulis dalam bahasa Swahili. Bukan main, bahasa Swahili!" seru
Mayor Wilbraham. "Itu bahasa daerah di Afrika Umur."
"Kebetulan sekali!" kata Freda. "Jadi, bisakah Anda membacanya?"
"Tentu. Bukan main anehnya." Dibawanya kertas itu ke jendela.
"Adakah sesuatu?" tanya Freda ingin tahu. Dua kali Wilbraham membacanya, lalu ia
kembali ke tempat gadis itu berdiri. "Yah," katanya sambil tertawa kecil, "ini
memang harta karun Anda yang tersembunyi."
"Harta karun" Benarkah" Maksud Anda emas Spanyol... atau kapal pembawa harta
yang tenggelam... atau semacamnya?"
"Mungkin tidak seromantis itu. Tapi kesimpulannya seperti itulah. Di kertas ini
diberitahukan tempat persembunyian gading."
"Gading?" tanya gadis itu, terkejut sekali.
"Ya, gading gajah. Ada undang-undang mengenai jumlah gajah yang boleh ditembak
orang. Tapi ada pemburu yang melanggar undang-undang itu dan menembak secara
besar-besaran. Orang mencari jejaknya, lalu menyembunyikan gading itu. Jumlahnya
banyak sekali, dan kertas ini memberikan petunjuk yang jelas bagaimana
menemukannya. Dengar, kita berdua harus mencarinya."
"Maksud Anda, itu akan mendatangkan banyak uang?"
"Jumlah yang cukup besar untuk Anda."
"Tapi bagaimana kertas itu sampai berada di antara barang-barang ayah saya?"
Wilbraham angkat bahu. "Mungkin si pelanggar hukum itu sekarat atau bagaimana.
Mungkin dia lalu menuliskan petunjuk itu dalam bahasa Swahili untuk
melindunginya, lalu menyerahkannya pada ayah Anda, yang mungkin telah menjadi
sahabatnya. Ayah Anda, yang tak bisa membacanya, menganggapnya tidak penting.
Itu hanya dugaan saya, tapi saya rasa kemungkinan besar begitulah."
Freda mendesah. "Wah, mendebarkan sekali!"
"Yang penting sekarang, apa yang akan kita lakukan dengan dokumen penting ini,"
kata Wilbraham. "Saya tak suka meninggalkannya di sini. Mungkin mereka akan
kembali untuk mencari lagi. Tapi saya rasa Anda tak mau mempercayakannya pada
saya, ya?" "Tentu saya mau. Tapi... apakah tidak akan membahayakan diri Anda?" katanya
bimbang. "Saya orang yang kuat," kata Wilbraham dengan bersungguh-sungguh. "Tak usah
risaukan saya." Dilipatnya kertas itu, lalu dimasukkannya ke dalam buku
catatannya. "Bolehkah saya mengunjungi Anda lagi besok malam?" tanyanya.
"Sebelum itu, saya akan mengatur rencana, dan saya akan mencari tempat-tempat
itu di peta saya. Jam berapa Anda kembali dari kota?"
"Jam setengah tujuh."
"Bagus. Kita akan mengatur rencana, dan setelah itu mungkin Anda akan
mengizinkan saya mengajak Anda pergi makan malam. Kita harus merayakannya. Kalau
begitu, sampai bertemu. Besok jam setengah tujuh malam."
Esok harinya Mayor Wilbraham tiba tepat waktu. Ditekannya bel dan seorang
pelayan membukakan pintu. Dikatakannya pada pelayan itu bahwa ia ingin menemui
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miss Clegg. "Miss Clegg" Dia keluar."
"Oh!" Wilbraham tak ingin minta diizinkan masuk dan menunggu. "Nanti saya datang
lagi," katanya. Ia berjalan hilir-mudik di seberang rumah itu, dengan harapan akan segera
melihat Freda berjalan ke arahnya. Waktu berlalu. Jam tujuh kurang seperempat.
Jam tujuh. Jam tujuh lewat seperempat. Tetap saja tak ada Freda. Ia jadi merasa
cemas. Ia pergi ke rumah itu kembali dan menekan bel lagi.
"Dengar," katanya, "saya ada janji dengan Miss Clegg untuk menemuinya jam
setengah tujuh. Yakinkah Anda bahwa dia tak ada di rumah, atau... eh... apa dia
tidak meninggalkan pesan?"
"Apakah Anda Mayor Wilbraham?" tanya pelayan itu.
"Ya." "Kalau begitu, ada surat untuk Anda. Tadi diantar orang."
Mayor Wilbraham yang baik, telah terjadi sesuatu yang aneh. Saya tidak akan
menuliskan lebih banyak di sini, tapi bisakah Anda menemui saya di Whitefriars"
Pergilah ke sana segera setelah Anda menerima surat ini.
Hormat saya, Freda Clegg Wilbraham menautkan alisnya, sambil berpikir cepat. Dengan linglung
dikeluarkannya sepucuk surat dari sakunya. Surat itu adalah untuk tukang
jahitnya. "Eh," katanya pada pelayan itu, "bisakah Anda memberi saya prangko?"
"Saya rasa Mrs. Parkins bisa menolong Anda."
Sebentar kemudian, pelayan itu kembali dengan sebuah prangko berharga satu
shilling. Sebentar kemudian, Wilbraham berjalan ke arah stasiun bawah tanah, dan
sambil lalu memasukkan amplop itu ke kotak pos.
Surat Freda telah membuatnya cemas sekali. Mengapa gadis itu sampai pergi ke
tempat kejadian yang misterius kemarin itu, seorang diri"
Ia menggeleng. Bodoh sekali tindakan itu! Apakah Reid muncul" Apakah laki-laki
itu telah berhasil membuat Freda mempercayainya" Mengapa gadis itu sampai pergi
ke Hampstead" Sang mayor melihat ke arlojinya. Hampir setengah delapan. Gadis itu pasti
berharap ia berangkat pukul setengah tujuh. Berarti terlambat satu jam. Terlalu
lama. Kalau saja gadis itu memberikan suatu isyarat.
Surat itu membuatnya heran. Nadanya yang bebas rasanya bukan ciri khas Freda
Clegg. Pukul delapan kurang sepuluh, Wilbraham tiba di Friars Lane. Hari sudah mulai
gelap. Ia melihat dengan tajam ke sekelilingnya; tak kelihatan seorang pun.
Dengan halus dibukanya pintu gerbang yang sudah rusak, hingga engselnya tak
bersuara. Jalan masuk ke rumah kelihatan sepi. Rumahnya gelap. Ia berjalan di
lorong dengan waspada, sambil melihat kiri-kanan. Ia tak ingin diserang secara
tiba-tiba. Tiba-tiba ia berhenti. Sesaat tampak sebaris sinar lewat salah satu daun
jendela. Rumah itu tidak kosong. Ada seseorang di dalamnya.
Perlahan-lahan Wilbraham menyelinap ke semak-semak dan berjalan ke bagian
belakang rumah. Akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Salah satu jendela di
lantai dasar tidak terkunci. Itu semacam jendela dapur bersih. Diangkatnya kusen
jendela itu, dinyalakannya lampu senter (yang dibelinya di sebuah toko dalam
perjalanannya tadi), ke sekeliling bagian dalam yang kosong, lalu ia pun
memanjat masuk. Dengan hati-hati dibukanya pintu dapur kecil itu, dan ia memasang telinga. Tak
ada apa-apa. Ia menyelinap lewat pintu itu. Kini ia berada di ruang depan. Masih
belum ada suara. Ada sebuah pintu di sebelah kiri dan sebuah lagi di sebelah
kanan. Dipilihnya pintu yang di sebelah kanan. Ia memasang telinga sebentar,
lalu memutar gagang pintu. Berhasil. Sesenti demi sesenti dibukanya pintu itu,
lalu ia melangkah masuk. Disorotkannya lagi lampu senternya. Ruangan itu kosong. Tak ada perabotnya.
Tepat pada saat itu terdengar suara di belakangnya. Ia berputar... namun
terlambat. Sesuatu menghantam kepalanya, tubuhnya terdorong ke depan, dan ia
pingsan. Wilbraham tidak tahu berapa lama waktu sudah berlalu pada waktu ia siuman.
Ketika kesadarannya pulih kembali, kepalanya terasa pusing. Ia mencoba bergerak,
tapi tak bisa. Tubuhnya diikat dengan tali.
Tiba-tiba benaknya berfungsi lagi. Sekarang ia ingat. Kepalanya dipukul.
Berkas cahaya dari sebuah jet gas tinggi pada dinding menyadarkannya bahwa ia
berada di dalam sebuah gudang kecil. Ia melihat ke sekelilingnya dan jantungnya
pun terlonjak. Beberapa meter dari tempatnya, Freda terbaring terikat seperti
dirinya. Matanya tertutup, tapi ketika sang mayor memandanginya dengan cemas,
gadis itu mendesah dan membuka matanya. Pandangannya yang heran tertuju pada
sang mayor, dan setelah mengenalinya, terbayang rasa senang di mata itu.
"Anda juga!" kata gadis itu. "Apa yang terjadi?"
"Saya sudah sangat mengecewakan Anda," kata Wilbraham. "Saya bulat-bulat masuk
ke dalam jebakan. Apakah Anda telah menulis surat pada saya, meminta saya
menemui Anda di sini?"
Gadis itu terbelalak terkejut. "Saya" Bukankah Anda yang mengirimi saya surat?"
"Oh, saya yang mengirim surat pada Anda, ya?"
"Ya, saya menerimanya di kantor. Dalam surat itu saya diminta datang menemui
Anda di sini, bukan di rumah."
"Kita diperlakukan dengan metoda yang sama," geram Wilbraham, dan ia pun
menjelaskan keadaannya. "Saya mengerti," kata Freda. "Jadi, apa maksudnya...?"
"Untuk mendapatkan kertas itu. Pasti kita kemarin diikuti orang. Dengan cara
begitulah mereka menyerang saya."
"Apakah kertas itu ada pada Anda?" tanya Freda.
"Sayangnya, saya tak bisa melihat dan meraba," kata perwira itu, sambil
memandangi tangannya yang terikat dengan murung.
Lalu mereka berdua terkejut. Sebuah suara berbicara, agaknya berasal dari udara
kosong. "Ya, terima kasih," kata suara itu. "Saya sudah mendapatkannya. Tak salah lagi."
Suara tanpa rupa itu membuat mereka berdua bergidik.
"Itu Mr. Reid," gumam Freda.
"Mr. Reid adalah salah satu nama saya, nona manis," kata suara itu. "Tapi hanya
satu di antaranya. Nama saya banyak sekali. Nah, dengan menyesal harus saya
katakan bahwa kalian berdua telah menghambat rencana-rencana saya, dan itu tidak
akan saya biarkan. Penemuan rumah ini oleh kalian merupakan soal yang serius.
Anda memang belum melapor ke polisi, tapi kelak Anda akan melakukannya.
"Saya takut tak bisa mempercayai kalian berdua dalam urusan ini. Kalian bisa
saja berjanji, tapi janji-janji jarang dipenuhi. Padahal rumah ini berguna
sekali bagi saya. Ini boleh dikatakan rumah persinggahan saya. Rumah yang tak
ada jalan keluarnya. Dari sini orang akan keluar... ke tempat lain. Dengan
menyesal saya katakan bahwa kalian berdua akan melewatinya. Saya menyesal, tapi
itu perlu sekali." Suara itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Tidak akan ada pertumpahan
darah. Saya sangat membenci pertumpahan darah. Metoda saya lebih sederhana. Dan
saya dengar, tidak terlalu menyakitkan. Yah, saya harus pergi. Selamat malam,
Anda berdua." "Hei, dengar!" kata Wilbraham. "Lakukan apa saja yang Anda inginkan terhadap
saya, tapi wanita muda ini tidak melakukan apa-apa. Tidak akan merugikan bila
Anda membebaskannya."
Tapi tak ada jawaban. Pada saat itu Freda menjerit. "Air! Air!"
Wilbraham berputar sambil menahan sakit, lalu mengikuti arah pandangan Freda.
Dari sebuah lubang di atas, di dekat plafon, air menetes tanpa henti.
Freda berteriak histeris. "Mereka akan menenggelamkan kita!"
Keringat membasahi dahi Wilbraham. "Kita belum kalah," katanya. "Kita akan
berteriak minta tolong. Pasti ada orang yang akan mendengar kita. Sekarang kita
berteriak bersama-sama."
Mereka berteriak dan menjerit sekuat tenaga, sampai suara mereka habis. Barulah
mereka berhenti. "Sayang. Saya rasa tak berguna," kata Wilbraham dengan sedih. "Kita berada
terlalu jauh di bawah tanah, dan saya rasa semua pintu rumah disumbat. Soalnya,
kalau ada kemungkinan orang bisa mendengar kita, penjahat itu pasti telah
menyumbat mulut kita."
"Aduh," kata Freda dengan menangis. "Semuanya ini salah saya. Sayalah yang
menyeret Anda ke dalam ini semua."
"Jangan cemaskan hal itu, gadis kecil. Andalah yang saya pikirkan. Saya sudah
biasa mengalami kesulitan dan selalu bisa selamat. Jangan putus asa. Saya akan
menyelamatkan Anda. Kita masih punya banyak waktu. Meskipun air itu mengalir
terus, masih berjam-jam lagi sebelum terjadi hal yang terburuk."
"Alangkah hebatnya Anda!" kata Freda. "Tak pernah saya bertemu orang seperti
Anda, kecuali dalam buku-buku cerita."
"Omong kosong. Sekarang saya harus melepaskan tali sialan ini."
Setelah seperempat jam berlalu, dengan usahanya yang tak kenal lelah, dengan
meregang dan menggeliat, Wilbraham merasa puas karena ikatannya sudah cukup
longgar. Ia berhasil menundukkan kepalanya dan mengangkat pergelangan tangannya,
hingga ia bisa menyerang simpul ikatan dengan giginya.
Begitu tangannya bebas, yang lain jadi mudah. Dengan perasaan tegang, kaku,
namun bebas, ia membungkuk ke arah gadis itu. Sesaat kemudian, gadis itu pun
bebas. Sejauh ini, air baru mencapai mata kaki mereka.
"Dan sekarang," kata perwira itu, "kita usahakan untuk keluar dari sini."
Mereka harus menaiki beberapa buah tangga untuk mencapai pintu gudang itu. Mayor
Wilbraham menelitinya. "Ini tidak sulit," katanya. "Pintunya tidak kokoh. Akan mudah lepas dari
engselnya." Ditempelkannya pundaknya pada pintu itu, lalu didorongnya dengan
keras. Terdengar kayu berderak, suara sesuatu yang pecah, dan pintu itu pun terlepas
dari engselnya. Di luar ada sebuah tangga. Di atasnya ada pintu lagi - kali ini lain sekali,
terbuat dari kayu kokoh yang dipalang dengan besi.
"Yang ini agak sulit," kata Wilbraham. "Wah, kita beruntung. Pintu ini tidak
dikunci." Didorongnya pintu itu, lalu ia melongok ke sekelilingnya, dan mengisyaratkan
supaya gadis itu menyertainya. Mereka keluar ke sebuah lorong rumah di belakang
dapur. Sebentar kemudian, mereka sudah berada di bawah langit berbintang di
Friars Lane. "Oh!" kata Freda terisak. "Aduh, mengerikan sekali tadi itu!"
"Kasihan kau kekasihku." Sang mayor merangkul gadis itu. "Kau berani sekali.
Freda, kekasihku, bidadariku, akan bisakah kau... maksudku, maukah kau... aku
cinta padamu, Freda. Maukah kau menikah denganku?"
Beberapa lama kemudian, setelah kedua belah pihak merasa puas sekali, Mayor
Wilbraham berkata sambil tertawa kecil,
"Apalagi kita masih memiliki rahasia tempat penyimpanan gading itu."
"Tapi kan sudah mereka ambil!"
Sang mayor tertawa kecil lagi. "Mereka sama sekali tidak mendapatkannya!
Soalnya, aku telah membuat salinan tiruannya, dan sebelum mendatangimu ke sini,
petunjuk yang sebenarnya telah kukirim lewat pos kepada tukang jahitku. Yang
mereka dapatkan adalah salinan tiruannya dan kuucapkan selamat menggunakannya
pada mereka! Tahukah kau apa yang harus kita lakukan sekarang, Sayang" Kita akan
pergi ke Afrika Timur untuk berbulan madu dan mencari tempat rahasia itu."
*** Mr. Parker Pyne keluar dari kantornya, lalu menaiki dua buah tangga. Di sebuah
kamar di lantai atas rumah itu duduklah Mrs. Oliver, pengarang novel terkenal
yang kini menjadi staf Mr. Pyne.
Mr. Parker Pyne mengetuk pintu, lalu masuk. Mrs. Oliver duduk dekat sebuah meja
dengan mesin tik di atasnya, serta beberapa buku catatan, sekumpulan naskah
lepas yang acak-acakan, dan sebuah kantong besar berisi apel.
"Sebuah cerita yang bagus sekali, Mrs. Oliver," kata Mr. Parker Pyne dengan
ramah. "Apakah berakhir dengan baik?" kata Mrs. Oliver. "Saya senang."
"Mengenai air di dalam gudang itu," kata Mr. Parker Pyne, "tidakkah untuk
kesempatan yang akan datang, Anda bisa memikirkan sesuatu yang lebih mengerikan mungkin?" Usul itu disampaikannya dengan bersungguh-sungguh.
Mrs. Oliver menggeleng dan mengambil sebuah apel dari kantongnya. "Saya rasa
tidak, Mr. Pyne. Soalnya, orang-orang sudah biasa membaca tentang hal-hal
semacam itu. Air yang makin meninggi di dalam gudang, gas beracun, dan
sebagainya. Kalau kita sudah tahu sebelumnya, kita jadi merasa makin tegang
kalau hal itu terjadi atas diri kita sendiri. Masyarakat berpikiran konservatif,
Mr. Pyne; mereka menyukai sumber-sumber lama yang sudah biasa dipakai."
"Yah, Anda lebih tahu," kata Mr. Parker Pyne, mengingat pengarang wanita itu
telah menulis empat puluh enam buku cerita fiksi yang berhasil, yang semuanya
laku sekali di Inggris dan Amerika, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis, Jerman, Italia, Hungaria, Finlandia, Jepang, dan Abesinia. "Berapa
bayaran untuk Anda?"
Mrs. Oliver menarik sehelai kertas ke arahnya. "Secara keseluruhan, murah
sekali. Kedua laki-laki negro itu, Percy dan Jerry, menuntut sedikit sekali.
Pemuda Lorrimer, aktor, yang bersedia memerankan Mr. Reid, meminta lima guinea.
Kata-kata yang diucapkan di gudang tentu hanya suara kaset."
"Rumah Whitefriars itu berguna sekali bagi saya," kata Mr. Pyne. "Saya
membelinya murah sekali dan sudah dimanfaatkan untuk tempat memainkan sebelas
drama yang mendebarkan."
"Oh ya, saya lupa," kata Mrs. Oliver. "Upah si Johnny, lima shilling."
"Siapa Johnny?"
"Anak yang harus menuangkan air dari ketel-ketel ke lubang di dinding itu."
"Oh ya, omong-omong, Mrs. Oliver, bagaimana Anda sampai tahu bahasa Swahili?"
"Saya tidak tahu."
"Oh, saya mengerti. Dari British Museum mungkin, ya?"
"Bukan. Dari Biro Penerangan Delfridge."
"Luar biasa sekali sumber-sumber pengetahuan modern ini!" gumam Mr. Parker Pyne.
"Hanya ada satu hal yang mencemaskan saya," kata Mrs. Oliver, "yaitu bahwa kedua
anak muda itu tidak akan menemukan tempat harta karun itu bila mereka tiba di
sana." "Orang kan tak bisa berharap mendapatkan segala-galanya di dunia ini," kata Mr.
Parker Pyne. "Yang pasti, mereka akan menikmati bulan madu mereka."
*** Mrs. Wilbraham sedang duduk di kursi malas. Suaminya sedang menulis surat.
"Tanggal berapa sekarang, Freda?"
"Tanggal enam belas."
"Tanggal enam belas. Astaga!"
"Ada apa, Sayang?"
"Tak apa-apa. Aku hanya ingat pada seseorang yang bernama Jones."
Betapapun bahagianya suatu perkawinan, pasti ada beberapa hal yang tak pernah
diceritakan seseorang pada pasangannya.
"Sialan," pikir Mayor Wilbraham. "Seharusnya aku datang ke tempat itu dan
mengambil uangku kembali." Lalu, sebagai laki-laki yang berpikiran adil, ia
melihat ke sisi lain persoalan itu. "Soalnya, akulah yang telah memutuskan
perjanjian itu. Aku merasa bila aku pergi menemui Jones, mungkin akan terjadi
sesuatu. Apalagi sekiranya aku tidak pergi menemui Jones, aku tidak akan pernah
mendengar Freda berteriak meminta tolong, dan kami pun tidak akan pernah
bertemu. Jadi, secara tak langsung, mungkin mereka memang berhak atas uang lima
puluh pound itu!" Pikiran Mrs. Wilbraham juga sedang menerawang. "Alangkah bodohnya aku
mempercayai iklan itu dan membayar orang-orang itu tiga guinea. Padahal mereka
tidak melakukan apa-apa, dan tak pernah terjadi apa-apa. Alangkah baiknya kalau
aku tahu apa yang akan terjadi - mula-mula Mr. Reid, lalu alangkah anehnya, tapi
begitu romantis cara Charlie memasuki hidupku. Dan kupikir-pikir, hanya karena
benar-benar kebetulan sajalah aku bertemu dengannya!"
Ia menoleh, lalu tersenyum manis sekali pada suaminya.
KASUS WANITA YANG BINGUNG
TOMBOL pemanggil di meja kerja Mr. Parker Pyne berdering halus. "Ya?" kata pria
bertubuh besar itu. "Seorang wanita muda ingin menemui Anda," sekretarisnya memberitahukan. "Dia tak
ada janji." "Persilakan saja dia masuk, Miss Lemon." Sebentar kemudian, pria itu berjabat
tangan dengan tamunya. "Selamat pagi," katanya. "Silakan duduk."
Gadis itu duduk dan memandangi Mr. Pyne. Gadis itu cantik dan masih muda sekali.
Rambutnya berwarna gelap dan bergelombang, dengan sederetan rambut keriting di
tengkuknya. Ia tampak cantik mengenakan topi rajut berwarna putih, kaus kaki
panjang, dan sepatu yang rapi. Jelas kelihatan bahwa ia gugup.
"Apakah Anda Mr. Parker Pyne?" tanyanya.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar." "Yang memasang... iklan itu?"
"Ya, yang memasang iklan itu."
"Iklan itu berbunyi bahwa bila orang tidak bahagia... sebaiknya... sebaiknya
meminta nasihat pada Anda."
"Benar." Gadis itu pun langsung memaparkan tujuan kedatangannya. "Yah, saya sangat tidak
bahagia. Saya pikir biarlah saya datang dan... dan melihat bagaimana
keadaannya." Mr. Parker Pyne menunggu. Ia merasa akan mendengar lebih banyak.
"Saya... saya menghadapi kesulitan besar." Dikepalkannya tangannya karena gugup.
"Saya mengerti," kata Mr. Parker Pyne. "Bisakah Anda menceritakannya pada saya?"
Agaknya gadis itu sama sekali tak yakin apakah ia bisa. Dipandanginya Mr. Parker
Pyne dengan kesungguhan yang mengandung rasa putus asa. Tiba-tiba ia berbicara
cepat. "Ya, saya akan menceritakannya. Sudah saya putuskan. Saya hampir gila karena
cemas. Saya tidak tahu harus berbuat apa atau kepada siapa saya harus datang.
Lalu saya melihat iklan Anda. Saya pikir itu omong kosong saja, tapi iklan itu
terus menjadi pikiran saya. Entah bagaimana, kelihatannya bisa menenangkan. Lalu
saya pikir... tak ada salahnya kalau saya datang dan melihat keadaannya. Saya
tetap masih bisa mencari alasan untuk pergi kalau saya tidak... yah, kalau itu
tidak..." "Memang, benar sekali," kata Mr. Pyne.
"Soalnya," kata gadis itu, "itu berarti, yah, saya harus mempercayai seseorang."
"Dan Anda merasa bisa mempercayai saya?" tanya Mr. Pyne sambil tersenyum.
"Anehnya," kata gadis itu, tanpa menyadari bahwa ia bersikap kasar, "saya
percaya. Padahal saya tidak tahu apa-apa tentang Anda! Saya yakin bahwa saya
bisa mempercayai Anda."
"Yakinlah," kata Mr. Pyne, "kepercayaan Anda tidak akan disalahgunakan."
"Kalau begitu," kata gadis itu, "akan saya ceritakan. Nama saya Daphne St.
John." "Ya, Miss St. John."
"Mrs. Saya... saya sudah menikah."
"Wah!" gumam Mr. Pyne. Ia kesal pada dirinya sendiri saat dilihatnya cincin
platina polos yang melingkar di jari manis tangan kiri gadis itu. "Bodoh sekali
saya." "Kalau saja tidak menikah, saya tidak akan serisau ini," kata gadis itu. "Maksud
saya, saya tidak akan peduli dengan keadaan ini. Memikirkan Gerald... yah...
beginilah kesulitan saya itu!"
Ia mencari-cari di dalam tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dan melemparkannya ke
meja kerja. Benda itu berkilau dan memancar, sementara terguling ke arah Mr.
Parker Pyne. Benda itu adalah sebentuk cincin platina berhiaskan sebuah berlian besar.
Mr. Pyne mengambilnya, membawanya ke jendela, dan mengetesnya pada kaca jendela.
Ia menempelkan sebuah lensa ahli permata ke matanya, lalu meneliti berlian itu
dengan cermat. "Berlian yang luar biasa indah," katanya, sambil kembali ke meja. "Saya rasa
nilainya sekurang-kurangnya dua ribu pound."
"Ya. Dan benda itu dicuri! Saya yang mencurinya! Sekarang saya tidak tahu apa
yang harus saya lakukan."
"Astaga!" kata Mr. Parker Pyne. "Ini menarik sekali."
Kliennya tak tahan lagi dan terisak-isak di saputangan yang terlalu kecil.
"Sudahlah, sudahlah," kata Mr. Pyne. "Semuanya akan beres."
Gadis itu menyeka matanya sambil tetap terisak. "Benarkah?" katanya. "Oh,
benarkah itu?" "Tentu benar. Nah, sekarang ceritakan segala-galanya."
"Yah, semuanya berawal waktu saya sangat membutuhkan uang. Soalnya saya boros
sekali. Dan Gerald marah sekali pada saya. Gerald itu suami saya. Dia jauh lebih
tua dari saya, dan dia... yah, pikiran-pikirannya kaku sekali. Dia berpendapat
bahwa berutang itu mengerikan sekali. Jadi, saya tak mau menceritakannya
padanya. Dan saya mendatangi tempat perjudian Le Touquet dengan beberapa teman,
karena saya pikir siapa tahu saya beruntung di situ dan bisa membayar utangutang saya. Mula-mula saya memang menang. Lalu saya kalah, dan saya pikir saya
harus terus main. Dan saya pun main terus. Dan... dan..."
"Ya, ya," kata Mr. Parker Pyne. "Anda tak perlu menceritakan sampai hal-hal yang
sekecil-kecilnya. Anda jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Betul, kan?"
Daphne St. John mengangguk. "Dan waktu itu saya sudah sama sekali tak bisa
menceritakannya pada Gerald. Karena dia sangat membenci perjudian. Aduh, kacau
sekali keadaan saya. Lalu kami pergi menginap di rumah keluarga Dortheimer di
dekat Cobham. Orang itu kaya sekali. Istrinya, Naomi, teman sekolah saya. Dia
cantik dan baik sekali. Ketika kami berada di sana, ikatan mata cincin ini
lepas. Pada pagi hari, saat kami akan berangkat pulang, dia meminta saya membawa
cincin ini ke kota dan menyerahkannya ke toko perhiasan langganannya di Bond
Street." Ia berhenti sebentar.
"Dan sekarang kita tiba pada bagian yang sulit," kata Mr. Pyne membantu.
"Lanjutkan, Mrs. St. John."
"Anda tidak akan menceritakannya, kan?" tanya wanita muda itu dengan nada
memohon. "Kepercayaan klien-klien saya sakral bagi saya. Apalagi, Mrs. St. John, yang
Anda ceritakan sudah demikian banyak, hingga mungkin saya bisa menyelesaikannya
sendiri." "Tapi cerita itu benar. Dan saya tak suka mengatakannya, karena kedengarannya
jahat sekali. Saya pun pergi ke Bond Street. Di situ ada sebuah toko lain namanya toko Viro. Toko itu bisa memalsukan permata. Tiba-tiba saya kehilangan
kendali diri. Saya bawa cincin itu ke situ dan saya katakan bahwa saya ingin
minta dibuatkan tiruannya yang sama persis; saya katakan bahwa saya akan pergi
ke luar negeri dan tak ingin membawa perhiasan yang asli. Agaknya mereka merasa
hal semacam itu wajar. "Nah, saya pun menerima tiruannya yang dari kaca. Tiruan itu begitu mirip,
hingga kita takkan bisa membedakannya dari yang asli, dan saya kirimkan benda
itu pada Lady Dortheimer lewat pos tercatat. Saya menerima kotak bertulisan nama
toko perhiasan itu, jadi tak ada masalah, dan saya pun membungkus cincin tiruan
itu dengan profesional. Lalu saya... saya... menggadaikan yang asli."
Disembunyikannya wajahnya di tangannya. "Mengapa saya bisa begitu" Mengapa bisa
begitu" Jadi, saya ini pencuri biasa yang rendah dan jahat."
Mr. Parker Pyne mendeham. "Saya rasa Anda belum selesai benar," katanya.
"Memang belum. Yang saya ceritakan itu terjadi kira-kira enam minggu yang lalu.
Saya pun membayar semua utang saya sampai beres, tapi saya tentu menjadi risau.
Lalu seorang saudara sepupu saya yang tua meninggal dan saya mendapat warisan
uang. Saya pun langsung menebus cincin sialan itu. Nah, sekarang sudah beres.
Tapi kemudian terjadi sesuatu yang menyulitkan sekali."
"Ya?" "Kami bertengkar dengan keluarga Dortheimer. Gara-garanya adalah Sir Reuben yang
membujuk Gerald untuk membeli saham. Gerald menganggap saham-saham itu tidak
menguntungkan, dan mengatakan pada Sir Reuben apa adanya, dan... aduh, semuanya
mengerikan sekali! Dan sekarang, saya jadi tak bisa mengambil kembali cincin
itu." "Tak bisakah Anda mengirimkannya pada Lady Dortheimer tanpa nama si pengirim?"
"Itu akan ketahuan. Pasti dia akan memeriksa cincinnya sendiri, dan mendapati
bahwa itu tiruan. Dia akan langsung bisa menerka apa yang telah saya lakukan."
"Kata Anda, istrinya itu teman Anda. Bagaimana kalau Anda ceritakan saja keadaan
yang sebenarnya dan meminta maaf padanya?"
Mrs. St. John menggeleng. "Persahabatan kami tidak seakrab itu. Kalau mengenai
uang dan perhiasan, Naomi tegas sekali. Mungkin dia tak bisa menuntut saya kalau
saya sudah mengembalikan cincin itu, tapi dia bisa menceritakannya pada semua
orang, dan hancurlah saya. Kalau Gerald tahu, dia tidak akan pernah memaafkan
saya. Aduh, mengerikan sekali semua ini!" Ia mulai menangis lagi. "Saya berpikir
terus, tapi tetap saja tidak tahu apa yang harus saya lakukan! Aduh, Mr. Pyne,
tak bisakah Anda berbuat sesuatu?"
"Saya bisa melakukan beberapa hal," kata Mr. Parker Pyne.
"Bisakah" Sungguh?"
"Tentu. Tadi sudah saya anjurkan cara yang paling sederhana, karena berdasarkan
pengalaman saya yang banyak, saya mendapati itulah yang terbaik. Hal itu
mencegah kerumitan yang tidak kita inginkan. Namun saya mengerti mengapa Anda
keberatan. Sekarang ini, apakah tak ada seorang pun yang tahu tentang peristiwa
yang tidak menguntungkan itu, kecuali Anda?"
"Hanya Anda," kata Mrs. St. John.
"Ah, saya sih tidak masuk hitungan. Kalau begitu, rahasia Anda masih aman
sekarang. Yang diperlukan sekarang adalah menukarkan cincin-cincin itu dengan
cara yang tidak menimbulkan kecurigaan."
"Itulah persoalannya," kata wanita muda itu dengan bersemangat.
"Itu sebenarnya tidak sulit. Kita harus bersabar dan memikirkan cara terbaik."
Wanita itu menyela, "Tapi sudah tak ada waktu lagi! Itulah yang membuat saya
hampir gila. Naomi akan mengganti mata cincin itu."
"Bagaimana Anda tahu?"
"Secara kebetulan. Beberapa hari yang lalu, saya makan siang dengan seorang
wanita, dan saya mengagumi cincin yang dipakainya - sebentuk cincin bermata zamrud
yang besar. Katanya itu model terbaru, dan dikatakannya pula bahwa Naomi
Dortheimer akan mengganti mata cincinnya seperti itu."
"Itu berarti kita harus bertindak cepat," kata Mr. Pyne sambil merenung.
"Itu berarti kita harus bisa masuk ke rumah itu, dan kalau bisa tanpa setahu
para pelayan, karena sedikit kemungkinannya para pelayan menangani barang-barang
berharga. Apakah Anda sendiri punya usul, Mrs. St. John?"
"Yah, Naomi akan mengadakan pesta besar pada hari Rabu. Dan kata teman saya itu,
dia sedang mencari penari-penari untuk pertunjukan. Saya tidak tahu apakah
urusannya sudah beres..."
"Saya rasa itu bisa diatur," kata Mr. Parker Pyne. "Bila hal itu sudah diatur,
akan jadi lebih mahal, begitu saja. Satu hal lagi, apakah Anda tahu letak
sekering utama listrik di rumah itu?"
"Kebetulan sekali, saya tahu, karena pada suatu malam sekering lampu meledak,
waktu para pelayan sudah pergi tidur. Letaknya dalam sebuah kotak di bagian
belakang ruang depan, di dalam sebuah lemari kecil."
Atas permintaan Mr. Parker Pyne, ia menggambar sebuah sketsa.
"Dan sekarang," kata Mr. Parker Pyne, "segala-galanya akan beres, jadi jangan
kuatir, Mrs. St. John. Bagaimana dengan cincin ini" Bolehkah saya membawanya,
atau Anda lebih suka menyimpannya sendiri sampai hari Rabu?"
"Yah, mungkin sebaiknya saya simpan sendiri saja."
"Nah, sekarang ingat, jangan cemas lagi," kata Mr. Parker Pyne.
"Berapa bayaran Anda?" tanyanya malu-malu.
"Itu bisa menunggu. Pada hari Rabu akan saya beritahukan pada Anda, pengeluaranpengeluaran apa yang diperlukan. Yakinlah bahwa jumlahnya sedikit sekali."
Diantarnya wanita muda itu ke pintu, lalu ditekannya tombol pemanggil di meja
kerjanya. "Suruh Claude dan Madeleine kemari."
Claude Luttrell adalah salah satu gigolo paling tampan yang bisa ditemukan di
Inggris. Sedangkan Madeleine de Sara adalah wanita pengisap yang paling memikat.
Mr. Parker Pyne memandangi mereka dengan pandangan memuji. "Anak-anakku,"
katanya, "ada tugas untuk kalian. Kalian harus menjadi penari-penari untuk
pertunjukan internasional. Nah, perhatikan ini dengan cermat, Claude, dan
usahakan supaya kau menjalankannya dengan benar."
*** Lady Dortheimer puas sekali dengan pengaturan pesta dansanya. Diperiksanya
dekorasi bunga-bunga, lalu ia memberikan beberapa perintah terakhir pada
pengurus rumah tangga, dan mengatakan pada suaminya bahwa sejauh itu tak ada
yang salah! Sayangnya Michael dan Juanita, penari-penari dari kelab malam Red Admiral, tak
bisa memenuhi kontrak pada saat terakhir, gara-gara Juanita terkilir mata
kakinya. Tapi sebagai gantinya dikirimkan dua orang penari baru (begitu yang
dilaporkan lewat telepon), yang telah membuat kota Paris antusias.
Pada waktunya, kedua penari itu datang dan Lady Dortheimer menerima mereka
dengan baik. Pesta malam itu berjalan lancar. Jules dan Sanchia memainkan tugas
mereka, dan mendapat sambutan hangat sekali. Tariannya adalah sebuah tarian
Revolusi Spanyol yang lincah. Kemudian ditampilkan sebuah tarian bernama
Degenerate's Dream. Disusul oleh pertunjukan tarian modern.
Setelah pertunjukan tarian itu usai, dimulailah dansa biasa. Jules yang tampan
meminta berdansa dengan Lady Dortheimer. Mereka pun meluncur dengan indah. Lady
Dortheimer merasa tak pernah mendapatkan mitra dansa yang begitu sempurna.
Sir Reuben mencari-cari Sanchia yang memesona itu, tapi sia-sia. Ia tidak berada di ruang dansa itu.
Sebenarnya Sanchia berada di ruang depan yang sepi, di dekat sebuah kotak kecil,
dengan mata lekat pada arloji bertatahkan permata yang melingkar di pergelangan
tangannya. "Anda pasti bukan orang Inggris. Tak mungkin Anda orang Inggris, karena Anda
begitu pandai berdansa," gumam Jules di telinga Lady Dortheimer. "Anda adalah
tenaga, kekuatan dari angin. Droushka petrovka navarouchi."
"Bahasa apa itu?"
"Bahasa Rusia," kata Jules berbohong. "Yang saya ucapkan dalam bahasa Rusia itu
adalah yang tidak berani saya ucapkan dalam bahasa Inggris."
Lady Dortheimer menutup matanya. Jules mendekapnya lebih erat ke dadanya.
Tiba-tiba lampu mati. Dalam gelap, Jules membungkuk, lalu mencium tangan yang
terletak di pundaknya. Sewaktu wanita itu akan menarik tangannya, Jules
menangkapnya, lalu mengangkatnya lagi ke bibirnya. Entah bagaimana, sebentuk
cincin meluncur dari jari wanita itu, dan jatuh ke tangan Jules.
Bagi Lady Dortheimer rasanya hanya sedetik lampu padam, lalu menyala lagi. Jules
sedang tersenyum padanya.
"Cincin Anda," katanya. "Tadi meluncur. Izinkan saya." Lalu dipasangkannya
kembali cincin tersebut ke jari wanita itu. Matanya mengucapkan seribu bahasa
saat ia melakukannya. Sir Reuben sedang berbicara tentang sekering utama. "Ada orang gila. Saya rasa
ini suatu lelucon yang tidak lucu."
Lady Dortheimer tidak menaruh perhatian. Kegelapan yang beberapa menit itu
sangat menyenangkan. *** Mr. Parker Pyne tiba di kantornya pada hari Kamis pagi. Didapatinya Mrs. St.
John sudah menunggunya. "Persilakan dia masuk," kata Mr. Pyne.
"Bagaimana?" tanya wanita muda itu dengan penuh harap.
"Anda kelihatan pucat," kata Mr. Pyne menegur.
Wanita muda itu menggeleng. "Saya tak bisa tidur semalam. Saya bertanya-tanya
terus." "Nah, ini surat tagihan untuk pengeluaran-pengeluarannya. Pembayaran kereta api,
untuk kostum, dan lima puluh pound untuk Michael dan Juanita. Semuanya enam
puluh pound dan tujuh belas shilling."
"Ya, ya! Tapi mengenai semalam... baik-baik sajakah" Berhasilkah?"
Mr. Parker Pyne melihat padanya dengan keheranan. "Anak manis, tentu saja
berhasil. Saya kira Anda sudah mengerti."
"Wah, saya lega sekali! Saya takut..."
Mr. Parker Pyne menggeleng dengan sikap menegur. "Kegagalan adalah perkataan
yang tidak diterima dalam perusahaan ini. Kalau saya merasa tidak akan berhasil,
saya takkan mau menangani suatu perkara. Bila saya menerima suatu perkara, maka
keberhasilannya boleh dikatakan sudah bisa diramalkan sebelumnya."
Daphne St. John mendesah. "Betapa leganya saya. Berapa biaya pengeluarannya kata
Anda?" "Enam puluh lima pound, tujuh belas shilling."
Mrs. St. John membuka tasnya, lalu menghitung uangnya. Mr. Parker Pyne
mengucapkan terima kasih, lalu memberinya kuitansi.
"Tapi berapa upah untuk Anda?" gumam Daphne. "Itu hanya biaya pengeluarannya."
"Dalam hal ini tak ada upah."
"Aduh, Mr. Pyne! Saya tak bisa, sungguh!"
"Anak manis yang baik, saya tetap menolak. Saya tak mau menyentuh satu penny
pun. Itu akan bertentangan dengan prinsip saya. Ini kuitansi Anda. Dan
sekarang..." Sambil tersenyum bahagia, seperti seorang pesulap yang telah berhasil dengan
sulapnya, Mr. Pyne mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan mendorongnya
ke seberang meja kerjanya. Daphne membukanya. Ternyata di dalamnya terdapat
cincin berlian yang sama persis.
"Barang sial!" kata Mrs. St. John dengan wajah jijik ke arah benda itu. "Aku
benci sekali padamu. Ingin sekali aku melemparkanmu ke luar jendela!"
"Sebaiknya jangan lakukan itu," kata Mr. Pyne. "Bisa-bisa orang-orang terkejut."
"Yakin benarkah Anda bahwa itu bukan yang asli?" tanya Daphne.
"Bukan, bukan! Yang Anda tunjukkan pada saya kemarin sudah aman di jari Lady
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dortheimer." "Kalau begitu sudah beres." Daphne bangkit sambil tertawa bahagia.
"Aneh Anda menanyakan hal itu," kata Mr. Parker Pyne. "Si Claude malang itu
memang tak punya otak. Dia memang mudah bingung. Maka, untuk meyakinkan diri,
saya minta seorang ahli melihat benda ini tadi pagi."
Mrs. St. John duduk lagi dengan agak mendadak. "Oh! Lalu apa katanya?"
"Bahwa itu merupakan imitasi yang luar biasa bagusnya," kata Mr. Parker Pyne
dengan berseri-seri. "Hasil karya yang luar biasa. Jadi, Anda sudah tenang kan?"
Mrs. St. John akan mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia memandangi Mr. Parker
Pyne. Pria itu duduk kembali di belakang meja kerjanya dan membalas pandangannya
dengan ramah sekali. "Tugas yang berat sekali," katanya sambil merenung. "Bukan
suatu peran yang menyenangkan. Saya sebenarnya kurang rela staf saya
menjalankannya. Maaf. Apakah Anda mengatakan sesuatu?"
"Saya... tidak, tak apa-apa."
"Bagus. Saya ingin menceritakan suatu kisah, Mrs. St. John. Tentang seorang
wanita muda berambut pirang. Dia belum menikah. Namanya bukan St. John. Nama
kecilnya bukan Daphne, melainkan Ernestine Richards, dan dia adalah sekretaris
Lady Dortheimer, tapi baru-baru ini berhenti.
"Nah, pada suatu hari ikatan berlian pada cincin Lady Dortheimer longgar dan
Miss Richards membawanya ke kota untuk diperbaiki. Sama benar dengan cerita
Anda, bukan" Hal yang sama terjadi atas diri Miss Richards, seperti yang terjadi
atas diri Anda. Disuruhnya orang membuat tiruan cincin itu. Tapi gadis itu
cerdik. Dia ketakutan karena hampir tiba saatnya Lady Dortheimer akan mengetahui
tipuan itu. Bila itu sampai terjadi, Lady Dortheimer akan ingat siapa yang telah
membawa cincin itu ke kota untuk memperbaikinya, dan Miss Richards akan segera
dicurigai. "Jadi, apa yang terjadi" Saya rasa Miss Richards mula-mula mendatangi salon La
Merveilleuse untuk mengubah penampilannya. Saya rasa dia minta perubahan Nomor
Tujuh, dengan belahan rambut di pinggir" - Mr. Pyne melihat dengan rasa tak
bersalah pada rambut kliennya yang ikal - "dengan warna cokelat tua. Lalu dia
mendatangi saya. Diperlihatkannya cincin itu pada saya, dan meyakinkan saya
bahwa cincin itu asli, supaya saya tidak curiga. Setelah selesai, dan rencana
penggantiannya sudah diatur, wanita muda itu membawa cincin itu ke toko
perhiasan, yang, setelah tiba waktunya, mengembalikannya pada Lady Dortheimer.
"Kemarin malam, cincin yang sebuah lagi, yang palsu, cepat-cepat diserahkan di
Stasiun Waterloo pada saat terakhir. Miss Richards menganggap Mr. Luttrel bukan
orang yang ahli dalam hal berlian. Tapi sekadar untuk memuaskan diri saya bahwa
segala-galanya beres, saya atur supaya seorang sahabat saya berada di kereta api
itu. Dia melihat cincin itu dan segera mengatakan, 'Ini bukan berlian asli; ini
tiruan dari kaca yang bagus sekali.'
"Anda pasti sudah mengerti, Mrs. St. John" Bila Lady Dortheimer sampai tahu dia
kehilangan, apa yang akan diingatnya" Si penari muda yang tampan yang telah
meluncurkan cincin itu sampai lepas dari jarinya waktu lampau mati! Dia akan
mengadakan penyelidikan dan akan menemukan bahwa penari-penari yang semula sudah
dipesan, telah disuap untuk tidak datang. Bila persoalan itu ditelusuri sampai
ke kantor saya, maka cerita saya tentang seseorang bernama Mrs. St. John akan
sulit sekali diterima. Lady Dortheimer tak pernah mengenal orang bernama Mrs.
St. John. Kisah itu akan terdengar sangat dibuat-buat.
"Nah, Anda tentu mengerti bahwa saya tak ingin itu sampai terjadi" Maka teman
saya Claude mengembalikan ke jari Lady Dortheimer cincin yang sama yang telah
dilepaskannya." Kini senyum Mrs. St. John jadi kurang ramah.
"Mengertikah Anda mengapa saya tak bisa menerima upah" Saya menjamin untuk
memberikan kebahagiaan. Jelas saya tidak memberikan kebahagiaan pada Anda. Saya
akan mengatakan satu hal lagi. Anda masih muda; mungkin ini pertama kalinya Anda
mencoba melakukan hal semacam itu. Nah, sebaliknya, saya boleh dikatakan sudah
jauh lebih tua, dan saya sudah banyak berpengalaman dalam mengumpulkan
statistik. Dari pengalaman itu, bisa saya yakinkan pada Anda bahwa delapan puluh
tujuh persen dari perkara tidak jujur, selalu tidak berhasil. Delapan puluh
tujuh persen. Pikirkan itu!"
Dengan gerakan kasar, Mrs. St. John palsu bangkit. "Dasar orang licik keparat!"
katanya. "Kautipu aku! Kausuruh aku mengeluarkan biaya-biaya pengeluaran!
Padahal selama itu..." Ia berlari ke arah pintu.
"Cincin Anda," kata Mr. Parker Pyne, sambil mengulurkannya ke arah wanita itu.
Wanita itu merenggutkan cincin itu, melihatnya sebentar, lalu melemparkannya
kuat-kuat ke luar jendela yang terbuka.
Pintu terbanting, dan ia menghilang.
Mr. Pyne melihat ke luar jendela dengan penuh perhatian. "Benar kan kataku,"
katanya. "Benda itu telah menimbulkan keheranan yang cukup besar. Pria yang
berjualan barang-barang rongsokan itu tak tahu akan diapakannya benda itu."
KASUS SUAMI YANG CEMBURU SALAH satu aset Mr. Parker Pyne adalah sikapnya yang simpatik. Sikap itu
mengundang keyakinan. Ia tahu benar bahwa para kliennya mengalami semacam
keterpakuan begitu mereka masuk ke kantornya. Tugas Mr. Pyne-lah untuk
melicinkan jalan agar mendapatkan cerita yang diperlukannya.
Pagi ini ia duduk menghadapi seorang klien baru. Seorang pria bernama Mr.
Reginald Wade. Ia langsung mendapat kesan bahwa Mr. Wade adalah orang yang tidak
pandai berbicara. Ia kelihatannya sulit mengucapkan apa-apa yang berhubungan
dengan perasaannya. Mr. Wade bertubuh jangkung, berdada bidang, dengan mata biru yang menyenangkan
dan kulit terbakar oleh matahari. Ia hanya duduk sambil menarik-narik kumisnya
dan memandangi Mr. Parker Pyne, seperti seekor hewan jinak yang menimbulkan
belas kasihan. "Saya melihat iklan Anda," katanya tiba-tiba. "Saya pikir sebaiknya saya datang
saja. Rasanya tak masuk akal, tapi siapa tahu, bukan?"
Mr. Parker Pyne menafsirkan kata-kata singkat itu dengan tepat. "Bila keadaan
buruk, orang memang cenderung mengambil risiko," katanya.
"Begitulah. Tepat, begitulah. Saya berani menanggung risiko - risiko apa saja.
Keadaan saya buruk, Mr. Pyne. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sulit... sulit
sekali." "Dalam hal itulah saya diperlukan," kata Mr. Pyne. "Saya tahu apa yang harus
dilakukan! Saya seorang spesialis dalam segala macam kesulitan manusia."
"Wah, bukan main. Besar benar bicara Anda!"
"Tidak juga. Kesulitan-kesulitan manusia dengan mudah bisa digolongkan menjadi
lima pokok penting. Ada kesehatan yang buruk. Ada kebosanan. Ada istri-istri
yang menghadapi kesulitan dengan suami-suami mereka. Ada pula suami-suami," - ia
diam sebentar - "yang pusing memikirkan istri-istri mereka."
"Sebenarnya, Anda telah menebaknya. Anda telah menebaknya dengan tepat."
"Tolong ceritakan," kata Mr. Pyne.
"Tak banyak yang bisa diceritakan. Istri saya ingin saya menceraikannya, supaya
dia bisa menikah dengan laki-laki lain."
"Itu soal yang biasa sekali, zaman sekarang ini. Nah, Anda tidak sependapat
dengan istri Anda dalam urusan itu?"
"Saya sangat mencintainya," kata Mr. Wade dengan sederhana. Suatu pernyataan
yang sederhana dan agak datar. Tapi sekiranya Mr. Wade mengatakan, "Saya
memujanya," atau, "Saya menyembah jejak kakinya," atau, "Saya rela mati demi
dia," hal itu tetap saja tidak akan lebih jelas bagi Mr. Parker Pyne.
"Pokoknya," lanjut Mr. Wade, "apa yang bisa saya lakukan" Maksud saya, saya tak
berdaya. Kalau dia lebih menyukai laki-laki itu... yah kita harus mengerti;
memberinya jalan atau semacamnya."
"Anda ingin dia yang menceraikan Anda?"
"Tentu. Saya tak sampai hati menyeretnya ke pengadilan perceraian."
Mr. Pyne memandanginya sambil merenung. "Tapi Anda malah mendatangi saya"
Mengapa?" Tamunya tertawa dengan wajah malu. "Entahlah. Soalnya, saya ini bukan orang
pandai. Saya tak bisa berpikir banyak. Saya pikir mungkin Anda... yah, bisa
mengusulkan sesuatu. Saya masih punya waktu enam bulan. Istri saya sepakat dalam
hal itu. Bila sesudah enam bulan dia masih berpikiran sama, saya harus keluar.
Saya pikir mungkin Anda bisa memberikan beberapa petunjuk. Sekarang ini semua
yang saya lakukan membuatnya jengkel.
"Soalnya, Mr. Pyne, begini kesimpulannya: Saya bukan orang pintar! Saya suka
olahraga yang menggunakan bola. Saya suka main golf dan tenis. Saya tidak pandai
main musik, tidak mengerti seni dan semacamnya. Istri saya pintar. Dia suka
nonton film, nonton opera dan konser, dan wajarlah kalau dia jadi bosan terhadap
saya. Sedangkan laki-laki itu... berambut panjang dan jelek - dia tahu semua
tentang hal-hal itu. Dia bisa berbicara tentang hal-hal itu. Saya tak bisa. Saya
sebenarnya mengerti bahwa seorang wanita cantik yang pintar bisa bosan terhadap
orang dungu seperti saya."
Mr. Parker Pyne menggeram. "Sudah berapa lama Anda menikah" Sembilan tahun. Dan
saya rasa, sudah sejak awal Anda beranggapan begitu. Itu salah, saudaraku; salah
besar! Jangan pernah bersikap menyalahkan diri terhadap kaum wanita. Dia akan
memperlakukan Anda sesuai dengan anggapan Anda mengenai diri Anda sendiri, dan
Anda memang sepantasnya diperlakukan begitu. Seharusnya Anda membanggakan
keahlian Anda dalam atletik itu. Anda seharusnya membicarakan tentang seni dan
musik sebagai 'hal-hal omong kosong yang disukai istri saya'. Anda seharusnya
merasa sayang dia tak bisa memainkan olahraga sebaik Anda. Jiwa yang rendah
hati, saudaraku yang baik, merupakan perusak dalam perkawinan! Tak ada wanita
yang bisa diharapkan mampu melawannya. Tak heran kalau istri Anda tak mampu
mempertahankan perkawinan itu."
Mr. Wade memandanginya dengan bingung. "Yah," katanya, "menurut Anda, apa yang
harus saya lakukan?"
"Memang itulah persoalannya. Segala-galanya yang seharusnya Anda lakukan
sembilan tahun yang lalu, sekarang sudah terlambat. Kita harus memakai taktik
baru. Pernahkah Anda menjalin hubungan gelap dengan wanita-wanita lain?"
"Tentu saja tidak."
"Hubungan cinta sekilas?"
"Saya tak pernah menaruh perhatian besar pada wanita."
"Itu salah. Anda harus memulainya sekarang."
Mr. Wade tampak ketakutan. "Wah, masa saya harus... Maksud saya..."
"Anda tidak akan mengalami kesulitan dalam urusan itu. Akan saya siapkan seorang
staf saya untuk tujuan itu. Dia akan mengatakan pada Anda, apa yang dituntut
dari Anda, dan meskipun Anda lalu menaruh minat padanya, dia pasti akan mengerti
bahwa itu sekadar permainan saja."
Mr. Wade tampak lega. "Itu lebih baik. Tapi apakah Anda yakin benar... maksud
saya, menurut saya Iris akan jadi makin ingin menyingkirkan saya, daripada
semula." "Anda tak mengerti sifat manusia, Mr. Wade. Apalagi sifat wanita. Pada saat ini,
di mata wanita, Anda hanyalah makhluk yang sia-sia. Tak seorang pun menginginkan
Anda. Untuk apa seorang wanita menginginkan sesuatu yang tak diinginkan oleh
siapa pun" Tak ada gunanya. Tapi coba lihat dari sudut lain. Andaikan istri Anda
melihat bahwa Anda pun menginginkan kebebasan seperti dia?"
"Dia pasti senang."
"Dia akan senang, mungkin, tapi dia tidak akan senang! Apalagi kalau dilihatnya
Anda telah menarik perhatian seorang wanita muda yang memesona - seorang wanita
muda yang punya banyak pilihan. Harga diri Anda akan langsung naik. Istri Anda
akan menyadari bahwa teman-temannya akan mengatakan Andalah yang merasa bosan
padanya dan ingin mengawini seorang wanita yang lebih menarik. Dia pasti akan
jengkel sekali." "Begitukah menurut Anda?"
"Saya yakin. Anda bukan lagi si Reggie tua yang malang. Anda akan menjadi si
Reggie licik. Itu suatu perbedaan besar! Tanpa melepaskan laki-laki lain itu,
dia pasti ingin menguasai Anda kembali. Anda tak boleh kembali. Anda harus
berakal sehat dan Anda ulangi lagi semua ucapannya. Seperti, 'Jauh lebih baik
kalau berpisah.' 'Temperamen yang tidak sesuai.' Katakan bahwa Anda menyadari
bahwa apa yang diucapkannya itu benar, bahwa Anda memang tak pernah bisa
memahaminya, bahwa benar pula dia pun tak pernah memahami Anda. Tapi kita belum
perlu sampai ke situ sekarang; Anda akan mendapatkan instruksi-instruksi lengkap
bila sudah tiba saatnya."
Mr. Wade tampak masih ragu. "Apakah Anda yakin siasat Anda itu akan benar-benar
berhasil?" tanyanya ragu.
"Saya tidak akan mengatakan bahwa saya benar-benar yakin," kata Mr. Parker Pyne
dengan hati-hati. "Masih ada kemungkinan kecil bahwa istri Anda demikian
tergila-gila pada laki-laki itu, hingga apa pun yang Anda katakan atau lakukan,
tak bisa menyentuh hatinya. Tapi saya rasa itu tak mungkin. Mungkin dia
melakukan hubungan cinta itu karena terdorong oleh rasa bosan akan suasana cinta
Anda yang sama sekali tanpa kritik dan kesetiaan mutlak yang Anda berikan
padanya. Padahal itu benar-benar tidak bijak. Bila Anda ikuti instruksiinstruksi saya, boleh saya katakan, hasilnya sembilan puluh tujuh persen akan
menguntungkan Anda."
"Boleh juga," kata Mr. Wade. "Akan saya lakukan. Omong-omong... eh... berapa?"
"Upah saya dua ratus guinea, yang harus dibayar di muka."
Mr. Wade mengeluarkan buku cek.
*** Pekarangan rumah Lorrimer Court indah sekali di bawah sinar matahari petang itu.
Iris Wade, yang terbaring di sebuah kursi panjang, merupakan pemandangan yang
elok. Ia mengenakan pakaian berwarna hijau keunguan yang lembut, dan dengan rias
wajah yang dibubuhkan dengan mahir, ia jadi kelihatan jauh lebih muda daripada
usianya yang tiga puluh lima tahun.
Ia sedang bercakap-cakap dengan temannya, Mrs. Massington, yang selalu
dianggapnya baik. Kedua wanita itu terlibat pembicaraan tentang suami-suami yang
atletis, yang selain suka membahas tentang keuangan dan saham, juga suka
berbicara tentang golf. "Jadi, dengan begitu kita belajar untuk hidup dan kehidupan," kata Iris
akhirnya. "Kau luar biasa, Sayang," kata Mrs. Massington, lalu cepat menambahkan, "Omongomong, siapa gadis itu?"
Iris angkat bahu dengan lesu. "Jangan tanyakan padaku. Reggie yang menemukannya.
Dia teman cilik Reggie! Lucu sekali. Kau kan tahu dia biasanya tak pernah mau
menoleh pada gadis-gadis. Tiba-tiba dia datang padaku dan berbicara tetekbengek, dan akhirnya dikatakannya bahwa dia ingin mengundang Miss de Sara itu
untuk berakhir pekan di rumah. Tentu saja aku tertawa. Aku tak bisa berbuat
lain. Reggie, padahal kau kan kenal dia! Tiba-tiba saja ada gadis itu."
"Di mana Reggie bertemu dengannya?"
"Entahlah. Sedikit sekali yang dikatakannya tentang hal itu."
"Mungkin sudah lama dia mengenalnya."
"Ah, kurasa tidak," kata Mrs. Wade. "Aku tentu senang sekali," lanjutnya,
"benar-benar senang. Maksudku, hal itu jadi lebih memudahkan bagiku. Karena
selama ini aku benar-benar tidak bahagia dengan Reggie. Dia memang baik. Hal itu
sering kukatakan pada Sinclair - bahwa hubungan kami akan sangat menyakitkan bagi
Reggie. Tapi Sinclair berkeyakinan Reggie akan segera bisa melupakan rasa sakit
itu; kelihatannya dia memang benar. Dua hari yang lalu, Reggie kelihatan patah
hati, lalu sekarang dia ingin gadis itu datang! Seperti kukatakan, aku senang.
Aku senang melihat Reggie bisa bersenang-senang. Kurasa laki-laki malang itu
mengira aku akan cemburu. Pikiran tolol! 'Tentu,' kataku, 'undang saja temanmu
itu.' Kasihan Reggie, pikirnya gadis semacam itu akan bisa menyayanginya.
Paling-paling gadis itu akan memanfaatkannya saja."
"Tapi dia memang menarik sekali," kata Mrs. Massington. "Rasanya agak
membahayakan juga, mengerti maksudku" Dia tipe gadis yang hanya punya perhatian
terhadap kaum pria. Entah mengapa, aku merasa tak mungkin dia gadis baik-baik."
"Mungkin tidak," kata Mrs. Wade.
"Pakaiannya bagus sekali," kata Mrs. Massington.
"Terlalu mencolok, kan?"
"Tapi mahal sekali."
"Mencolok. Gadis itu terlalu mencolok."
"Ini mereka datang," kata Mrs. Massington.
*** Madeleine de Sara dan Reggie Wade sedang berjalan-jalan di halaman berumput.
Mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa, dan kelihatan bahagia sekali. Madeleine
mengempaskan tubuh ke kursi, menanggalkan topi baret yang dipakainya, lalu
menyisirkan jemarinya ke rambutnya yang hitam indah dan keriting.
Tak dapat dibantah bahwa gadis itu cantik.
"Senang sekali kita petang ini!" seru gadis itu. "Saya kepanasan sekali. Pasti
penampilan saya jelek sekali."
Reggie Wade sangat terkejut dan gugup mendengar kata-kata itu. "Kau kelihatan...
kau kelihatan..." Ia tertawa kecil. "Kurasa tidak," lanjutnya.
Mata Madeleine memandangi Reggie. Pandangan itu menyatakan bahwa ia mengerti
sekali. Mrs. Massington yang waspada melihatnya.
"Seharusnya Anda main golf," kata Madeleine pada nyonya rumahnya. "Kalau tidak,
Anda rugi sekali. Mengapa tidak Anda mulai sekarang" Ada seorang teman saya yang
melakukannya, dan sekarang dia pandai sekali, padahal dia jauh lebih tua
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada Anda." "Saya tak suka yang begituan," kata Iris dingin.
"Apakah Anda tak bisa main apa-apa" Menyedihkan sekali bagi Anda! Orang jadi
canggung dalam banyak hal. Tapi sungguh, Mrs. Wade, pelatihannya sekarang baik
sekali, hingga boleh dikatakan semua orang bisa main lumayan baik. Pada musim
panas yang lalu, saya telah membuat kemajuan pesat dalam permainan tenis saya.
Meskipun dalam golf saya masih kurang sekali."
"Omong kosong!" sela Reggie. "Kau hanya memerlukan pelatihan yang lebih baik.
Lihat saja betapa baiknya pukulan-pukulanmu tadi itu."
"Karena kau mengajariku. Kau pelatih yang baik sekali. Banyak sekali orang yang
tak bisa mengajar. Tapi kau punya bakat untuk itu. Pasti senang sekali menjadi
dirimu. Kau bisa melakukan segala-galanya."
"Omong kosong. Aku tidak pandai, tak bisa apa-apa." Reggie merasa bingung.
"Anda pasti bangga sekali padanya," kata Madeleine sambil menoleh pada Mrs.
Wade. "Bagaimana Anda sampai bisa mempertahankannya selama bertahun-tahun ini"
Pasti Anda pintar sekali. Atau Anda menyembunyikan dia?"
Nyonya rumahnya tidak menyahut. Ia mengambil bukunya dengan tangan gemetar.
Reggie menggumamkan sesuatu tentang berganti pakaian, lalu pergi.
"Anda baik sekali mengizinkan saya datang kemari," kata Madeleine pada nyonya
rumahnya. "Kebanyakan wanita sangat mencurigai teman-teman suami-suami mereka.
Menurut saya, kecemburuan itu menggelikan. Bagaimana dengan Anda?"
"Saya juga berpikiran begitu. Saya tidak akan pernah bermimpi akan mencemburui
Reggie." "Anda baik sekali! Karena semua orang bisa melihat bahwa suami Anda sangat
menarik bagi kaum wanita. Saya sangat terkejut waktu mendengar dia sudah
menikah. Mengapa kaum pria yang tampan begitu muda sudah direnggutkan?"
"Saya senang Anda beranggapan Reggie menarik," kata Mrs. Wade.
"Dia memang menarik, kan" Begitu tampan, dan begitu pandai dalam banyak
permainan. Apalagi dia berpura-pura tak peduli pada kaum wanita. Hal itu tentu
malah memacu kita, bukan?"
"Saya rasa Anda punya banyak teman laki-laki, ya?" kata Mrs. Wade.
"Oh, ya. Saya lebih suka pada pria daripada pada wanita. Kaum wanita tak pernah
benar-benar baik pada saya. Saya tidak tahu mengapa."
"Mungkin Anda terlalu manis terhadap suami-suami mereka," kata Mrs. Massington
sambil tertawa renyah. "Yah, kita kadang-kadang memang kasihan pada orang lain. Karena banyak sekali
kaum pria yang terikat pada istri-istri yang membosankan. Maksud saya, kaum
wanita yang sok nyeni dan angkuh. Wajar saja kalau pria itu lalu menginginkan
seorang teman bicara yang muda dan enak diajak bicara. Saya rasa pikiran-pikiran
baru tentang perkawinan dan perceraian modern masuk akal sekali. Selagi muda,
mulailah lagi dengan seseorang yang sama seleranya dan pikiran-pikirannya. Pada
akhirnya itu lebih baik bagi semua orang. Maksud saya, para istri yang tinggi
hati mungkin bisa memilih laki-laki berambut panjang yang memang tipenya dan
memberinya kepuasan. Saya rasa, menghentikan sesuatu yang merugikan dan memulai
lagi adalah suatu rencana yang bijak, bukan, Mrs. Wade?"
"Tentu." Agaknya suasana yang dingin itu disadari oleh Madeleine. Digumamkannya bahwa ia
ingin mengganti pakaiannya untuk minum teh, lalu meninggalkan mereka.
"Gadis-gadis modern ini adalah makhluk-makhluk yang menjijikkan," kata Mrs.
Wade. "Mereka tak punya otak."
"Ada satu pikiran dalam kepalanya, Iris," kata Mrs. Massington. "Gadis itu jatuh
cinta pada Reggie." "Omong kosong!"
"Sungguh. Aku tadi melihat caranya memandangi Reggie. Dia sama sekali tak peduli
Reggie sudah menikah. Dia punya niat untuk memilikinya. Menjijikkan sekali."
Mrs. Wade diam sejenak, lalu tertawa dengan tidak meyakinkan. "Lagi pula,"
katanya, "apa salahnya?"
Akhirnya Mrs. Wade pun naik. Suaminya sedang berganti pakaian sambil
bersenandung. "Sedang senang, ya?" kata Mrs. Wade.
"Oh, eh... lumayan, ya."
"Aku senang. Aku ingin kau bahagia."
"Ya, memang." Reggie Wade tidak pandai bersandiwara, tapi karena merasa sedang bersandiwara,
ia jadi malu sekali. Dihindarinya pandangan istrinya, dan ia terkejut waktu
istrinya berbicara dengannya. Ia merasa malu; ia membenci kepura-puraan itu.
Efek dari sikapnya itu bagus sekali. Ketahuan sekali bahwa ia merasa bersalah.
"Sudah berapa lama kau mengenal gadis itu?" tanya Mrs. Wade tiba-tiba.
"Eh... siapa?" "Miss de Sara, tentu."
"Yah, aku kurang ingat. Maksudku... oh, sudah beberapa lama."
"Benarkah" Kau tak pernah mengatakannya."
"Tidak" Kurasa aku lupa."
"Masa lupa!" kata Mrs. Wade. Ia beranjak pergi. Gaun lebarnya yang berwarna
hijau keunguan menyapu lantai.
Setelah minum teh, Mr. Wade memperlihatkan kebun bunga mawar kepada Miss de
Sara. Mereka berjalan menyeberangi halaman berumput. Mereka menyadari bahwa dua
pasang mata sedang mengikuti mereka dari belakang.
"Dengarkan," kata Mr. Wade yang ingin membebaskan diri dari beban batinnya,
setelah merasa lepas dari pandangan orang di dalam kebun bunga mawar. "Dengar,
saya rasa kita harus menghentikan ini. Tadi istri saya memandangi saya, seolaholah dia membenci saya."
"Jangan kuatir," kata Madeleine. "Itu tak apa-apa."
"Menurut Anda begitu" Maksud saya, saya tak ingin dia sampai membenci saya. Pada
waktu minum teh tadi, dia mengatakan beberapa hal yang menyakitkan hati."
"Tak apa-apa," kata Madeleine. "Perbuatan Anda sudah benar."
"Anda sungguh-sungguh berpendapat begitu?"
"Ya." Dengan suara direndahkan Madeleine berkata lagi, "Istri Anda sedang
berjalan di sudut teras. Dia ingin melihat apa yang kita lakukan, jadi sebaiknya
Anda mencium saya." "Wah!" kata Mr. Wade gugup. "Haruskah itu" Maksud saya..."
"Ciumlah saya!"
Mr. Wade menciumnya. Madeleine merangkulkan lengan ke lehernya. Mr. Wade
terhuyung. "Aduh!" katanya.
"Apakah Anda sama sekali tidak menyukainya?" tanya Madeleine.
"Bukan begitu, sama sekali bukan begitu," kata Mr. Wade. "Saya... saya hanya
terkejut." Dengan bijak ditambahkannya, "Rasanya kita sudah cukup lama di kebun
mawar ini, ya?" "Saya rasa begitu," kata Madeleine. "Kita juga sudah menjalankan tugas yang baik
di sini." Mereka kembali ke halaman berumput. Mrs. Massington mengatakan bahwa Mrs. Wade
pergi untuk beristirahat.
Tak lama kemudian, Mr. Wade kembali menjumpai Madeleine dengan wajah bingung.
"Keadaannya buruk sekali. Dia histeris."
"Bagus." "Dia melihat kita berciuman."
"Yah, memang itu maksud kita."
"Saya tahu, tapi saya kan tak bisa berkata begitu" Saya tidak tahu harus berkata
apa. Saya katakan itu terjadi... yah, begitu saja."
"Bagus sekali."
"Katanya Anda punya niat jahat untuk mengawini saya, dan bahwa Anda memang
sejahat yang diduganya. Itulah yang merisaukan saya. Malang sekali Anda. Maksud
saya, bukankah Anda hanya menjalankan tugas" Saya katakan bahwa saya sangat
menghormati Anda, dan bahwa apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak benar,
dan saya jadi marah waktu dia mempertahankan pendapatnya."
"Hebat!" "Lalu saya disuruhnya pergi. Dia tidak akan pernah mau berbicara dengan saya
lagi. Katanya dia akan berkemas dan berangkat." Wajahnya tampak murung.
Madeleine tersenyum. "Akan saya katakan pada Anda apa yang harus Anda lakukan
sehubungan dengan itu. Katakan padanya bahwa Andalah yang akan pergi; bahwa Anda
akan berkemas dan pergi ke luar kota."
"Tapi saya tak ingin!"
"Tak apa-apa. Anda tak perlu benar-benar pergi. Istri Anda pasti tidak akan
menginginkan Anda bersenang-senang sendiri di London."
*** Keesokan paginya, ada soal baru yang dilaporkan oleh Reggie Wade.
"Katanya dia berpikir tak adil kalau dia pergi. Soalnya dia sudah sepakat untuk
tinggal enam bulan lagi. Tapi katanya, karena saya telah mengundang teman-teman
saya di sini, dia merasa dia pun boleh mengundang teman-temannya. Dia akan
mengundang Sinclair Jordan."
"Apakah laki-laki itu kekasihnya?"
"Ya, dan saya tidak rela dia menginjakkan kaki di rumah ini!"
"Anda harus mau," kata Madeleine. "Jangan kuatir, saya yang akan mengurusnya.
Katakan bahwa setelah memikirkannya, Anda tidak keberatan, dan bahwa Anda tahu
dia pun tidak keberatan kalau saya boleh menginap lebih lama lagi."
"Aduh, aduh!" desah Mr. Wade.
"Sudahlah, jangan risau," kata Madeleine. "Segalanya akan berjalan dengan baik.
Dua minggu lagi semua kesulitan Anda akan berlalu."
"Dua minggu" Apakah Anda benar-benar yakin akan hal itu?" tanya Mr. Wade.
"Saya yakin," kata Madeleine.
*** Seminggu kemudian, Madeleine de Sara masuk ke kantor Mr. Parker Pyne dan
mengempaskan tubuhnya dengan lesu ke sebuah kursi.
"Ini dia si Ratu Pengisap Darah," kata Mr. Parker Pyne sambil tersenyum.
"Pengisap!" kata Madeleine. Ia tertawa hambar. "Tak pernah saya merasa begitu
sulit dalam bertugas. Laki-laki itu cinta mati pada istrinya! Sampai-sampai
seperti terobsesi saja."
Mr. Parker Pyne tersenyum. "Memang. Tapi ada pula yang memudahkan tugasku. Tidak
pada setiap orang aku bisa menugaskan dirimu untuk memanfaatkan pesonamu, dengan
hati ringan," Gadis itu tertawa. "Kalau saja Anda tahu betapa sulitnya saya menyuruhnya
mencium saya, dengan berpura-pura seolah-olah dia menyukainya!"
"Suatu pengalaman berharga bagimu, anak manis. Nah, apakah tugasmu sudah
selesai?" "Ya, saya rasa semuanya baik-baik saja. Ada peristiwa besar semalam. Saya
memberikan laporan terakhir tiga hari yang lalu, bukan?"
"Ya." "Nah, sebagaimana saya katakan, saya hanya perlu melihat satu kali pada lakilaki cacing bernama Sinclair Jordan itu. Dia tergila-gila pada saya, terutama
karena melihat pakaian saya. Dikiranya saya punya uang. Mrs. Wade tentu saja
marah besar. Soalnya kedua laki-laki itu berusaha menarik perhatian saya. Saya
langsung menunjukkan siapa yang lebih saya sukai. Saya ejek Sinclair Jordan,
tentang wajahnya dan tentang hubungannya dengan Mrs. Wade. Saya menertawakan
pakaiannya dan rambutnya yang panjang. Saya katakan bahwa usahanya sia-sia."
"Itu teknik yang bagus sekali," Mr. Parker Pyne memuji.
"Semuanya meledak semalam. Mrs. Wade terang-terangan mengamuk. Dia menuduh saya
telah memecah-belah perkawinannya. Reggie Wade menyebut soal hubungan istrinya
dengan Sinclair Jordan. Kata istrinya, itu akibat dari ketidakbahagiaannya dan
rasa kesepiannya. Sudah beberapa lama dia merasa kurang mendapat perhatian dari
suaminya, tapi dia tidak tahu sebabnya. Katanya selama ini mereka berdua bahagia
sekali, dan dia sangat mencintai suaminya, dan suaminya tahu itu, dan bahwa
hanya suaminyalah yang diinginkannya, bukan orang lain.
"Saya katakan bahwa sekarang sudah terlambat. Mr. Wade menjalankan instruksiinstruksinya dengan baik. Katanya dia tak peduli! Bahwa dia akan mengawini saya!
Mrs. Wade boleh mendapatkan Sinclair-nya kapan saja dia mau. Urusan perceraian
bisa dimulai segera; tak masuk akal mereka harus menunggu selama enam bulan.
"Dalam beberapa hari istrinya sudah harus mengumpulkan bukti yang diperlukan dan
memberikan instruksi pada pengacaranya. Kata Mr. Wade, dia tak bisa hidup tanpa
saya. Lalu Mrs. Wade mencengkeram dadanya dan mengatakan tentang jantungnya yang
lemah. Dia minta diberi brendi. Suaminya diam saja. Tadi pagi dia pergi ke kota,
dan saya yakin sekarang ini istrinya sedang menyusulnya."
"Jadi, sudah beres," kata Mr. Pyne ceria. "Dan hasilnya memuaskan."
Pintu terbuka lebar. Di ambang pintu berdiri Reggie Wade.
"Apakah dia ada di sini?" Ia melihat Madeleine. "Sayangku!" serunya.
Ditangkapnya kedua tangan Madeleine. "Sayangku, sayangku. Kau tahu kan, bahwa
apa yang kuucapkan semalam itu sungguhan" Bahwa setiap kata yang kuucapkan pada
Iris adalah sungguh-sungguh" Entah mengapa aku buta selama ini. Tapi selama tiga
hari terakhir ini aku jadi sadar."
"Tahu apa?" tanya Madeleine dengan lemah.
"Bahwa aku memujamu. Bahwa tak ada perempuan lain bagiku selain kau. Biar Iris
mengurus perceraian, dan bila sudah selesai, aku akan mengawinimu. Maukah kau"
Katakan kau mau, Madeleine, aku memujamu."
Dirangkulnya erat-erat Madeleine yang terpaku. Saat itu pintu terbuka lebarlebar lagi. Kali ini yang masuk adalah seorang wanita kurus berpakaian kumal
berwarna hijau. "Sudah kuduga," kata pendatang baru itu. "Kuikuti kau! Aku tahu kau akan
mendatanginya!" "Yakinlah...," kata Mr. Parker Pyne yang baru akan mulai berbicara, setelah bisa
mengatasi rasa terkejutnya yang amat sangat.
Wanita itu tidak memedulikannya. Ia berceloteh terus, "Oh, Reggie tak mungkin
kau sampai hati membuatku patah hati! Kembalilah! Aku tak akan mengungkit-ungkit
soal ini lagi. Aku akan belajar main golf. Aku tidak akan berteman dengan orangorang yang tidak kausukai. Mengingat sudah sekian lama kita hidup bahagia..."
"Aku tak pernah bahagia, baru sekarang ini," kata Mr. Wade sambil memandangi
Madeleine. "Sudahlah, Iris, kau ingin menikah dengan keledai Jordan itu. Pergi
dan lakukanlah itu."
Mrs. Wade meraung. "Aku benci padanya! Melihatnya saja aku muak." Lalu ia
berbalik pada Madeleine. "Kau perempuan jahat! Pengisap darah yang mengerikan.
Kaucuri suamiku." "Saya tidak menginginkan suami Anda," kata Madeleine dengan sedih.
"Madeleine!" Mr. Wade melihat padanya dengan tersiksa.
"Pergilah," kata Madeleine.
"Tapi dengarlah. Aku tidak berpura-pura. Aku bersungguh-sungguh."
"Pergilah!" teriak Madeleine histeris. "Pergilah!"
Dengan enggan Reggie berjalan ke pintu. "Aku akan kembali," katanya
memperingatkan. "Ini bukan terakhir kali aku datang." Ia keluar dengan
membanting pintu. "Gadis-gadis seperti kau seharusnya dicambuk dan dicap!" seru Mrs. Wade. "Selama
ini Reggie bagaikan malaikat bagiku, sampai kau datang. Sekarang dia sudah
berubah, hingga aku tak mengenalinya lagi." Sambil terisak, ia cepat-cepat
keluar menyusul suaminya.
Madeleine dan Mr. Parker Pyne berpandangan.
"Saya tak bisa berbuat lain," kata Madeleine tanpa daya. "Dia laki-laki yang
baik... baik sekali. Tapi saya tak ingin menikah dengannya. Saya tidak tahu akan
begini jadinya. Kalau saja Anda tahu betapa sulitnya saya menyuruhnya mencium
saya!" "Hm!" kata Mr. Parker Pyne. "Dengan menyesal kuakui bahwa aku salah
perhitungan." Ia menggeleng dengan sedih. Ditariknya catatan mengenai Mr. Wade,
lalu ditulisnya: GAGAL - gara-gara sebab-sebab alami.
N.B.: Seharusnya itu sudah bisa diramalkan.
KASUS KARYAWAN DI KOTA MR. PARKER PYNE bersandar di kursi putarnya dan memandangi tamunya. Yang
dilihatnya adalah seorang pria kecil bertubuh gempal, berumur empat puluh lima
tahun, matanya sayu, mengandung rasa tak mengerti, dan tampak malu.
Dipandanginya Mr. Pyne dengan penuh harapan.
"Saya melihat iklan Anda di koran," kata pria kecil itu dengan gugup.
"Apakah Anda dalam kesulitan, Mr. Roberts?"
"Tidak, sebenarnya tidak dalam kesulitan."
"Anda tidak bahagia?"
"Saya juga tak bisa berkata begitu. Banyak yang bisa saya syukuri."
"Kita semua begitu," kata Mr. Parker Pyne. "Tapi kalau kita harus diingatkan
akan hal itu, itu suatu pertanda buruk."
"Saya tahu," kata pria kecil itu bersemangat. "Itulah persoalannya! Tepat sekali
dugaan Anda, Sir." "Coba Anda ceritakan segala-galanya tentang diri Anda," usul Mr. Parker Pyne.
"Tak banyak yang bisa saya ceritakan, Sir. Seperti kata saya, banyak sekali yang
bisa saya syukuri. Saya punya pekerjaan; saya berhasil menabung sedikit; anakanak kuat dan sehat."
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, apa yang Anda inginkan?"
"Saya... entahlah." Wajahnya memerah. "Saya rasa menurut Anda itu kedengarannya
bodoh sekali, ya, Sir."
"Sama sekali tidak," kata Mr. Parker Pyne.
Dengan kepandaiannya bertanya, ia berhasil mengorek rahasia lebih banyak. Ia
jadi tahu bahwa Mr. Roberts bekerja di sebuah perusahaan terkenal, peningkatan
pangkat dan penghasilannya lamban, namun mantap. Ia juga mendengar tentang
kehidupan perkawinan Mr. Roberts; tentang perjuangannya untuk tampil lumayan,
untuk mendidik anak-anaknya supaya mereka "tampil bagus"; juga tentang upaya dan
perencanaan serta penghematan yang dilakukannya untuk menyisihkan beberapa pound
setiap tahun. Ia bahkan mendengar tentang kisah hidup mereka yang selalu
dipenuhi usaha keras tanpa henti, supaya bisa bertahan.
"Yah, begitulah keadaannya," kata Mr. Roberts. "Sekarang istri saya sedang pergi
ke tempat ibunya dengan membawa kedua anak kami. Suatu perubahan kecil baginya,
supaya dia bisa beristirahat. Tak ada tempat untuk saya di rumah itu, dan kami
tak mampu pergi ke tempat lain. Ketika sedang seorang diri membaca koran, saya
melihat iklan Anda. Saya jadi berpikir. Umur saya sudah empat puluh delapan.
Saya berpikir apakah... Di mana-mana keadaan berubah," katanya akhirnya. Di
matanya terbayang jiwanya yang murung dan terkekang.
"Anda ingin hidup nikmat selama sepuluh menit?" tanya Mr. Pyne.
"Yah, bukan begitu maksud saya. Tapi mungkin Anda benar. Saya hanya ingin keluar
sebentar dari kesengsaraan ini. Setelah itu, saya bersedia kembali dengan
bersyukur, asal saja ada yang bisa saya kenang kembali." Ia memandangi tuan
rumahnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Saya rasa itu mustahil, ya, Sir" Saya
juga takut... saya takut tak mampu membayar banyak."
"Anda mampu membayar berapa?"
"Saya bisa mengusahakan lima pound, Sir." Ia menunggu dengan menahan napas.
Tangan Geledek 11 Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Ajian Canda Birawa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama